KAJIAN EKONOMI REGIONAL
KAJIAN EKONOMI
REGIONAL
TRIWULAN IV
2012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
VISI BANK INDONESIA :
nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi
MISI BANK INDONESIA :
pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA : -nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, dan
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kata Pengantar
KATA
PENGANTAR
BUKU Kajian Ekonomi Regional (KER) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan IV-2012 dengan penekanan kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Moneter dan Perbankan, Sistem Pembayaran, Kesejahteraan dan Prakiraan Perkembangan Ekonomi Daerah pada triwulan I-2013. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan bulanan bank umum dan BPR, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya. Tujuan dari penyusunan buku KER ini adalah untuk memberikan informasi kepada stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau, dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang membutuhkan. Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi sangat diharapkan.
Pekanbaru, 7 Februari 2013 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau ttd
Mahdi Muhammad Kepala Kantor
iii
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
TABEL INDIKATOR
EKONOMI TERPILIH
A. INFLASI DAN PDRB INDIKATOR
2011 Tw III
2012 Tw IV
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
Indeks Harga Konsumen : - Kota Pekanbaru
127,44
129,35
130,20
131,64
132,81
133,68
- Kota Dumai
132,55
133,98
133,20
134,91
137,15
138,28
- Kota Pekanbaru
6,10
5,09
4,20
5,67
4,21
3,35
- Kota Dumai
5,78
3,10
2,75
4,38
3,47
3,21
Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas)
3,93
4,63
5,03
3,96
4,06
2,37
Pertumbuhan PDRB (yoy %, tanpa migas)
7,64
7,40
7,37
7,50
8,26
7,21
Nilai Ekspor Migas (Juta USD)
2.357,29
3.353,92
3.150,93
2.799,44
3.513,23
3.094,51
Volume Ekspor Migas (ribu Ton)
4.543,57
4.639,19
4.156,44
3.795,08
4.739,09
4.989,14
Nilai Impor Migas (Juta USD)
423,66
402,95
343,56
471,79
429,49
443,14
Volume Impor Migas (ribu Ton)
624,16
652,79
574,11
787,71
680,47
611,83
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
B. PERBANKAN INDIKATOR (dalam Rp juta)
2011 Tw III
2012 Tw IV
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
Bank Umum Total Aset
59.370.445
59.752.476
66.463.817
68.837.287
74.444.053
72.349.212
DPK
43.980.255
44.920.105
48.480.274
50.314.329
53.457.012
52.242.540
- Giro
11.567.327
10.837.130
13.012.413
14.452.073
17.014.756
14.149.049
- Tabungan
20.142.350
22.342.860
21.588.604
22.216.431
22.782.145
25.373.740
- Deposito
12.270.578
11.740.115
13.879.258
13.645.825
13.660.111
12.719.750
50.011.231
51.090.943
51.475.647
54.197.279
59.527.235
58.954.331
113,71
113,74
106,18
107,72
111,36
112,85
33.623.173
36.082.932
37.414.869
40.303.169
41.881.367
43.443.660
Kredit - berdasarkan lokasi proyek LDR - Lokasi Proyek (%) Kredit - Modal Kerja
11.939.534
12.729.875
12.804.704
14.246.546
14.462.342
15.201.999
- Investasi
9.199.610
10.207.813
10.676.704
11.298.412
11.868.510
12.252.477
- Konsumsi
12.484.028
13.145.244
13.933.462
14.758.211
15.550.515
15.989.184
- LDR (%)
76,45
80,33
77,18
80,10
78,35
83,16
- NPL (%)
2,39%
1,95%
2,22%
2,35%
2,76%
2,89%
- Mikro
2.901.705
3.112.386
3.313.470
3.545.514
3.617.892
3.843.216
- Kecil
4.921.351
5.448.902
5.640.244
5.935.445
5.787.787
6.057.104
- Menengah
4.440.529
4.868.783
4.955.899
5.364.799
5.160.074
5.729.879
3,13%
2,40%
3,06%
3,16%
3,80%
4,03%
Total Aset
848.125
920.404
972.275
997.840
1.008.552
1.038.271
DPK
624.634
642.785
685.220
692.916
692.080
694.541
Kredit - berdasarkan lokasi proyek
601.015
617.548
655.469
689.275
704.545
708.530
8,75%
8,22%
10,51%
10,88%
12,96%
13,11%
96,22%
96,07%
95,66%
99,47%
101,80%
102,01%
Kredit UMKM
NPL MKM (%) BPR
Rasio NPL LDR *) SBH 2007
xi
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
INDIKATOR
2011 Tw III
2012 Tw IV
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
C. SISTEM PEMBAYARAN Posisi Kas Gabungan
2.500.522
1.075.807
488.702
2.419.614
2.456.644
Inflow
1.270.188
1.002.685
1.084.400
828.061
1.505.849
957.321
Outflow
3.770.710
2.078.492
1.573.102
3.247.675
3.962.492
4.248.435
390.321
306.454
476.657
318.844
66.850
99.164
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar)
65.315
76.774
53.909
70.527
82.291
84.580
Volume Transaksi RTGS (lembar)
55.387
27.151
62.391
58.345
57.267
59.648
1.071
1.200
856
1.119
1.349
1.387
908
424
990
926
939
978
Nominal Tolakan Cek/BG Kosong
131.245
146.297
138.024
161.134
152.457
159.869
Volume Tolakan Cek/BG Kosong
4.946
5.615
5.042
5.680
5.755
5.523
Rata-rata Harian Nominal Cek/BG Kosong
2.152
2.286
2.191
2.558
2.499
2.621
81
88
80
90
94
91
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping)
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar)
Rata-rata Harian Cek/BG Kosong
3.291.115
xii
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
RINGKASAN
EKSEKUTIF
I. GAMBARAN UMUM Perkembangan ekonomi Riau pada tahun 2012 mencatat pertumbuhan yang tidak sekuat periode sebelumnya. Pada triwulan IV-2012, perekonomian tercatat Perekonomian Riau tahun 2012 secara umum berada dibawah rata-rata pertumbuhan lima tahun terakhir.
tumbuh sebesar 2,37% (yoy) dan 3,55% (yoy) untuk kumulatif tahun 2012. Dengan pencapaian tersebut, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2012 berada pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lima tahun terakhir yang mencapai 4,24% (yoy). Meskipun demikian, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi mencapai 7,21% (yoy) dan 7,82% untuk kumulatif tahun 2012. Pertumbuhan kumulatif tersebut berada diatas rata-rata pertumbuhan kumulatif non migas Riau selama tiga tahun terakhir yang mencapai 7,12% (yoy) serta diatas pertumbuhan ekonomi non migas nasional tahun 2012 yang tercatat 6,83% (yoy). Sementara itu, di sisi harga, tingkat inflasi berada pada tingkat yang rendah sejalan dengan terjaganya pasokan bahan makanan dan ekspektasi inflasi.
1
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau ditinjau dari sisi penggunaan secara umum menunjukkan perlambatan diluar komponen ekspor. Permintaan domestik, terutama konsumsi, yang menguasai pangsa terbesar dalam struktur ekonomi Riau tercatat tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya meskipun masih berperan sebagai sumber pendorong utama pertumbuhan. Adanya perlambatan diperkirakan tidak terlepas dari faktor pelemahan tingkat keyakinan konsumen sejalan dengan menurunnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Disamping itu, dari hasil survei yang dilakukan kepada pelaku usaha, hal ini juga diyakini erat
Dari sisi penggunaan, sumber pertumbuhan ekonomi relatif berimbang dimana permintaan domestik masih tercatat sebagai motor penggerak utama perekonomian diiringi dengan meningkatnya peran ekspor
deman
yang terjadi secara
beriringan pada triwulan sebelumnya.
Meskipun konsumsi secara umum mengalami pelemahan dibandingkan triwulan sebelumnya. Namun tingkat pertumbuhannya masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan triwulan IV-2011 yang tercatat sebesar 5,83% (yoy). Kondisi ini secara implisit mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat di Riau masih relatif terjaga dan stabil ditengah tekanan krisis ekonomi global yang telah berlangsung sejak tahun 2011 lalu.
Lebih lanjut, kinerja perdagangan eksternal Riau pada triwulan laporan mulai menunjukkan peningkatan ditengah tekanan krisis ekonomi global. Peningkatan ini utamanya didorong oleh meningkatnya ekspor non migas khususny komoditas pulp and paper ke wilayah Asia terutama Cina dan kawasan ASEAN.
Dari sisi sektoral, sektor non tradables kembali menjadi sumber pertumbuhan utama khususnya sektor perdagangan dan bangunan.
Secara sektoral, kondisi ekonomi Riau pada triwulan laporan masih ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor perdagangan dan bangunan. Sedangkan sektor tradables secara umum menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan sebagaimana terlihat dari kembali
minimmya
peran
sektor
tradables
dalam
menopang
perekonomian. Bahkan secara tahunan, pertumbuhan sektor tradables Riau mengalami kontraksi sebesar 1,51% atau merupakan titik terendahnya selama lima tahun terakhir.
2
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
Faktor penyebab rendahnya kinerja sektor tradables utamanya dipengaruhi oleh usia sumur yang tidak produktif, terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang dan hambatan pasokan baha baku
Hal ini utamanya disebabkan adanya penurunan kinerja sektor migas sejalan dengan faktor alamiah (natural decline) akibat usia sumur minyak yang sudah tidak produktif. Disamping itu, menurunnya kapasitas terpakai sektor industri pengolahan Riau pada triwulan laporan juga diperkirakan juga turut menjadi sumber penyebab rendahnya pertumbuhan sektor industri sejalan dengan dengan faktor terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang terhadap komoditas unggulan Riau dan adanya hambatan pasokan bahan baku khususnya pada industri karet olahan.
III. ASSESMEN INFLASI
Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada tahun 2012 (yoy) relatif rendah dan terkendali juga merupakan yang terendah dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. Inflasi Riau pada tahun 2012
Tekanan inflasi Riau pada tahun 2012 relatif rendah dan terkendali, dan merupakan yang terendah dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.
terjaga pada tingkat yang rendah yakni sebesar 3,32% (yoy) mengalami penurunan yang berarti dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 4,72%. Kelompok volatile food, yaitu komoditas cabe merah memberikan sumbangan yang berarti terhadap menurunnya tekanan inflasi selama tahun 2012.
Relatif stabilnya inflasi Riau pada tahun 2012 tidak terlepas dari (i)distribusi dan ketersediaan pasokan bahan pangan yang relatif aman dan lancar, (ii)penundaan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, (iii)trend penurunan harga komoditas pangan internasional, (iv)koordinasi TPID secara intensif disertai kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih antisipatif.
Berdasarkan kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru yaitu sebesar 3,35%, namun telah menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Selanjutnya, inflasi yang terjadi di Kota Dumai juga berada pada tingkat yang relatif rendah yaitu sebesar 3,20% dan tercatat lebih rendah dari inflasi Kota Pekanbaru.
3
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
IV. ASSESMEN KEUANGAN Perbankan
Kondisi usaha perbankan pada triwulan IV-2012 secara umum menunjukkan perkembangan yang tidak terlalu menggembirakan bila dibandingkan
Kondisi perbankan Riau menunjukkan perkembangan yang tidak terlalu menggembiarakan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
dengan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari perkembangan beberapa indikator utama perbankan Riau yaitu aset dan dana yang mengalami penurunan serta risiko kredit yang mengalami peningkatan meskipun masih berada pada batas aman. Di sisi lain, penyaluran kredit perbankan masih terus mengalami peningkatan meskipun pertumbuhan kreditnya relatif melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Aset
perbankan
di
Riau
mengalami
penurunan
sebesar
2,74%
dibandingkan dengan triwulan III-2012, sehingga menjadi sebesar Rp73,39 triliun. Penurunan ini terjadi seiring dengan menurunnya dana pihak ketiga yang dihimpun oleh perbankan Riau yang utamanya disebabkan oleh menurunnya giro milik Pemda. Sementara kredit yang disalurkan masih terus meningkat menjadi Rp44,15 triliun (3,68%).
NPL meningkat, namun masih dibawah batas yang ditentukan
Sebagian besar kredit yang disalurkan utamanya ditujukan pada sektor perdagangan, hotel dan restoran diikuti oleh sektor perdagangan. Sementara
itu,
tingkat
kredit
bermasalah
(NPL
gross)
perbankan
Riaumengalami sedikit peningkatan dari 2,93% menjadi 3,05%. Meskipun meningkat, tingkat NPL tersebut masih berada di bawah batas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni sebesar 5%. Penyaluran kredit UMKM terus mengalami peningkatan, dengan pangsa mencapai 35,98%.
Kepedulian bank umum di Riau terhadap sektor UMKM ditunjukkan dengan terus meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM yang telah mencapai Rp15,63 triliun atau meningkat sebesar 7,31% (qtq) dan 16,38% (yoy). Pangsa kredit UMKM pada triwulan laporan tercatat sebesar 35,98% dari total kredit bank umum. Sebagian besar kredit UMKM tersebut disalurkan kepada sektor perdagangan dan pertanian.
4
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
Pangsa perbankan Syariah Riau telah mencapai 6,24%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Perbankan
syariah
di
Riau
menunjukkan
perkembangan
yang
menggembirakan yang tercermin dari peningkatan aset, dana maupun financing. Sementara, pangsa aset perbankan Syariah terhadap total perbankan di Provinsi Riau pada akhir tahun 2012 telah mencapai 6,24%, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang memiliki pangsa sebesar 5,37%.
Keuangan Daerah
APBD Riau tahun 2012 mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dari Rp4,80 triliun menjadi Rp 8,37 triliun. Meskipun anggaran belanja
APBD Riau tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011, namun pencapaian realisasinya mengalami penurunan
mengalami peningkatan namun pencapaian realisasi tercatat lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Seperti halnya anggaran belanja, target anggaran belanja tahun 2012 juga mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu dari Rp4,62 triliun menjadi Rp6,64 triliun. Pencapaiannya juga mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun demikian pencapaian realisasi pendapatan tersebut telah melebihi target yang ditentukan yaitu sebesar 100,57%.
V. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I2013 diperkirakan akan tumbuh relatif tidak berbeda dengan periode sebelumnya
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2013 diperkirakan akan tumbuh relatif tidak berbeda dengan periode sebelumnya. Dengan memasukkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau diperkirakan secara tahunan pada kisaran 2,4%-3,0% (yoy). Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai kisaran 7,4%-7,9% (yoy).
Dari sisi penggunaan, sumber pertumbuhan diperkirakan akan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga dan ekspor non migas. Beberapa faktor yang berpotensi mendukung kondisi tersebut antara lain (i)meningkatnya Upah Minimum Provinsi tahun 2013, (ii)membaiknya
harga
komoditas
CPO
di
pasar
internasional
(iii)
5
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
GE
Ringkasan Eksekutif
meningkatnya kinerja perdagangan sejalan dengan mulai pulihnya negara mitra dagang ekonomi Riau terutama Cina.
Dari
sisi
sektoral,
perekonomian
Riau
pada
triwulan
mendatang
diperkirakan akan ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor perdagangan. Hal ini tidak terlepas dari mulai meningkatnya konsumsi masyarakat dan pulihnya kinerja ekspor sehingga turut menjaga kestabilan pertumbuhan di sektor perdagangan. Sementara itu, sektor pertanian khususnya pada sub sektor perkebunan diperkirakan akan mulai membaik sejalan dengan membaiknya harga komoditas internasional seperti CPO dan karet yang tentunya akan memberikan insentif bagi para petani untuk melakukan panen.
Namun demikian, belum ditemukannya sumur minyak yang lebih produktif diperkirakan akan mengakibatkan pencapaian lifting minyak bumi Riau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga berpotensi membawa pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Sementara itu, salah satu faktor yang berpotensi membawa pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang utama Riau dan negara berkembang (emerging market) di kawasan Asia yang diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau.
Selanjutnya dari sisi harga, perkembangan inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan mendatang akan relatif meningkat dan diproyeksikan berada pada
Iinflasi Kota Pekanbaru pada triwulan mendatang akan relatif meningkat dibandingkan dengan triwulan IV2012
kisaran 4,8% - 5,5% (yoy) dan 2,0% - 2,8% (qtq). Kondisi ini diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (i)kondisi cuaca ekstrem, (ii)meningkatnya biaya produksi di tingkat pelaku usaha sejalan dengan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan Upah Minimum Regional (UMP), (iii)gangguan produksi akibat faktor musiman dan menurunnya luas tanam bahan pangan pokok, (iv)masih belum memadainya kondisi infrastruktur.
Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan eksepektasi pelaku usaha sejalan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), hambatan
6
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Ringkasan Eksekutif
distribusi dan infrastruktur. Sementara itu, beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (downside risks) proyeksi diantaranya adalah solusi dini (pre-emptive solution) TPID yang dihasilkan melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait dan penguatan strategi komunikasi dalam menjaga ekspektasi.
7
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Bab 1
KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL
1. KONDISI UMUM Kinerja perekonomian Riau pada triwulan laporan menunjukkan perkembangan yang tidak sekuat periode sebelumnya. Dengan memasukkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau tumbuh sebesar 2,37% (yoy) atau melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini utamanya disebabkan oleh tidak optimalnya kinerja pada sektor tradables yang memiliki peran signifikan terhadap perekonomian. Dengan pencapaian tersebut, maka selama tahun 2012 perekonomian Riau mencatat pertumbuhan sebesar 3,55% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan selama lima tahun terakhir yang mencapai 4,24% (yoy).
8
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, perekonomian Riau mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi yakni sebesar 7,21% (yoy), lebih lambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi tanpa unsur migas mencapai 7,82% (yoy) atau berada diatas rata-rata pertumbuhan kumulatif non migas Riau selama tiga tahun terakhir yang mencapai 7,12% (yoy) serta diatas pertumbuhan ekonomi non migas nasional tahun 2012 yang tercatat 6,83% (yoy). Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional (yoy,%) 10,00
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00
1,00 I
II
III
2008 Riau
IV
I
II
III
IV
2009 Nasional
I
II
III
IV
2010 Riau (Tanpa Migas)
I
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
2012
Nasional (Tanpa Migas)
Sumber : BPS
2. PDRB SISI PENGGUNAAN Perkembangan ekonomi Riau ditinjau dari sisi penggunaan secara umum menunjukkan perlambatan kecuali komponen ekspor. Permintaan domestik, terutama konsumsi, yang menguasai pangsa terbesar dalam struktur ekonomi Riau tercatat tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Adanya perlambatan diperkirakan tidak terlepas dari faktor pelemahan tingkat keyakinan konsumen sejalan dengan menurunnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Disamping itu, dari hasil survei yang dilakukan kepada pelaku usaha, hal ini juga diyakini erat kaitannya dengan
1
yang terjadi
secara beriringan pada triwulan sebelumnya. Meskipun konsumsi secara umum mengalami pelemahan dibandingkan triwulan sebelumnya, namun tingkat pertumbuhannya masih relatif lebih tinggi jika
9
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
dibandingkan dengan triwulan IV-2011 yang tercatat sebesar 5,83% (yoy). Kondisi ini secara implisit mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat di Riau masih relatif terjaga dan stabil ditengah tekanan krisis ekonomi global yang telah berlangsung sejak tahun 2011 lalu. Selain itu, relatif stabilnya daya beli juga diperkirakan tidak terlepas dari pesatnya pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang cukup berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja baru pada baik pada sektor formal maupun informal. Di sisi investasi, pertumbuhan mengalami perlambatan akibat rendahnya investasi di sektor migas. Namun apabila melihat investasi sektor non migas, pembangunan infrastruktur masih relatif kuat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan PMTB non migas. Pada triwulan laporan, PTMB non migas di Riau tumbuh sebesar 13,65% (yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang tercatat sebesar 15,88% namun masih relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 10,22% (yoy). Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) Komponen
2011*** IV
2011***
2012*** III
IV
2012***
Sumbangan (%) 2011
III-12
IV-12
2012
1. 2.
Konsumsi
5,83
6,16
7,45
5,98
6,83
2,58
3,23
2,62
2,72
PMTB
8,12
8,36
7,69
5,64
5,83
2,33
2,22
1,62
1,67
3.
Ekspor
4,71
3,08
2,13
3,60
4,15
1,77
1,20
2,01
2,36
4.
Impor
8,16
5,78
8,21
6,15
6,70
1,79
2,55
1,93
2,11
4,63
5,01
4,06
2,37
3,55
5,01
4,06
2,37
3,55
Total Sumber : BPS Provinsi Riau
Keterangan : ***(data sangat sementara)
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan Tanpa Migas (yoy) Komponen
2011*** IV
2011***
2012*** III
IV
2012***
Sumbangan (%) 2011
III-12
IV-12
2012
1. 2.
Konsumsi
5,83
6,16
7,45
5,98
6,83
5,18
6,26
5,05
5,35
PMTB
10,22
9,45
15,88
13,65
12,97
2,75
4,43
3,94
3,70
3.
Ekspor
6,20
10,46
3,07
4,97
8,58
4,70
1,39
2,19
3,80
Impor
9,65
6,08
12,09
5,17
5,95
3,63
6,85
3,03
3,53
Non Migas
7,40
7,63
8,26
7,21
7,82
7,63
8,26
7,21
7,82
4.
Sumber : BPS Provinsi Riau Keterangan : ***(data sangat sementara)
Hari Raya Idul Fitri, Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-18. 12,00 RT
10,00 8,00
%
1
6,00 4,00
10
Swasta
Peme
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Lebih lanjut, kinerja perdagangan eksternal Riau pada triwulan laporan mulai menunjukkan peningkatan ditengah tekanan krisis ekonomi global. Total ekspor Riau pada triwulan laporan tumbuh meningkat dari 2,13% (yoy) menjadi 3,60% (yoy). Sementara, dengan mengeluarkan unsur migas, ekspor Riau tumbuh lebih tinggi yaitu 4,97% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,07% (yoy). Peningkatan ini utamanya didorong oleh meningkatnya volume ekspor (pulp and paper) ke wilayah Asia terutama Cina dan kawasan ASEAN.
2.1. Konsumsi Pertumbuhan konsumsi Riau pada triwulan IV-2012 mengalami perlambatan yakni dari 7,45% (yoy) menjadi 5,98% (yoy). Penurunan ini utamanya didorong oleh melambatnya
konsumsi
rumah
tangga
Riau
yakni
dari
8,17%
pada
triwulan III-2012 menjadi 6,80% pada triwulan IV-2012. Meskipun demikian, tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan masih lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV-2011 yang tercatat sebesar 5,65% (yoy) yang mencerminkan bahwa kondisi daya beli masyarakat Riau masih relatif terjaga dan stabil. Grafik 1.2. Pertumbuhan Komponen Konsumsi Riau Tahun 2011-2012 (yoy)
Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau 170
12,00 RT
10,00
Swasta
Pemerintah
150 130
8,00 %
6,80
110
6,00
4,92
90
4,00 2,00
70 1,02
-
50 I
II
III 2011
Sumber : BPS Provinsi Riau
IV
I
II
III 2012
IV
II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Indeks Keyakinan Konsumen Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini Indeks Ekspektasi Konsumen Baseline
Adanya perlambatan dalam triwulan laporan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya diperkirakan tidak terlepas dari pelemahan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi Riau pada triwulan yang utamanya bersumber akibat menurunnya harga jual TBS. Sebagaimana diketahui, harga rerata TBS di Riau pada
11
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
akhir tahun 2012 mencapai Rp1.068 per Kg atau merupakan yang terendah sepanjang tahun 2012. Sehingga kondisi ini sedikit banyak berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat khususnya yang bekerja di sektor perkebunan. Sejalan dengan melemahnya keyakinan konsumen, konsumsi yang dibiayai melalui kredit perbankan juga tercatat menunjukkan perlambatan. Pertumbuhan kredit konsumsi riil pada triwulan laporan tercatat tumbuh melambat yakni dari 19,53% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 17,59% (yoy). Kegiatan konsumsi yang dibiayai melalui kredit sebagian besar diserap dalam bentuk kredit perdagangan elektronik, perumahan dan perdagangan kendaraan bermotor. Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Konsumsi di Riau 18,00 16,00
19,53
12,00 8,00 6,00 4,00
kendaraan
laporan juga tercatat masih relatif
di
Riau
pada
triwulan
stagnan dan pertumbuhannya tercatat
10,00
mengalami
5,00
11,14% (yoy). Kondisi ini diindikasikan
I
penjualan
20,00
2,00 -
konsumsi,
melemahnya
bermotor
17,69 15,00
10,00
dengan
25,00
%
Rp triliun
14,00
Sejalan
dari
adanya
sebesar
II III IV I
II III IV I
II III IV
tidak
2010
2011
2012
penurunan harga komoditas Crude
yoy (kanan)
Palm Oil (CPO) dunia yang berdampak
K. Konsumsi (kiri)
terlepas
kontraksi
risiko
terhadap penurunan harga TBS Riau2. Selain itu, adanya ketentuan Bank Indonesia untuk menahan laju kredit konsumsi (Loan To Value/LTV) diperkirakan turut mempengaruhi, tercermin dari melambatnya realisasi kredit properti (perumahan) dan kendaraan bermotor.
2
Pada triwulan IV-2012, harga komoditas CPO dunia tercatat sebesar USD679 per MT atau turun 30,31% (yoy).
12
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
1.900 1.800
Grafik 1.6. Perkembangan Indikator Penjualan Kendaraan Bermotor di Riau
1.400
120.000
1.200
100.000
1.000
80.000
140,00
120,00 100,00
1.500
800
1.400
600
1.300
unit
Rp/Kg
1.600
USD/MT
1.700
40,00 20,00 -
20.000
1.200 200
(20,00)
-
(40,00) I
Jan-10 Feb-10 Mar-10 Apr-10 May-10 Jun-10 Jul-10 Aug-10 Sep-10 Oct-10 Nov-10 Dec-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 May-11 Jun-11 Jul-11 Aug-11 Sep-11 Oct-11 Nov-11 Dec-11 Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 May-12 Jun-12 Jul-12 Aug-12 Sep-12 Oct-12 Nov-12 Dec-12
1.000
60,00
60.000 40.000
400
1.100
80,00
TBS Domestik (kiri)
II III IV I
II III IV I
II III IV
2010
2011
2012
Penjualan Kendaraan
CPO Dunia (kanan)
%
Grafik 1.5. Perkembangan Harga TBS Lokal dan CPO Dunia
yoy (kanan)
Sumber : Dispenda Riau
Selain itu, penjualan kendaraan bermotor juga mengalami kontraksi yang diikuti pula dengan menurunnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) disamping karena adanya penurunan kuota BBM bersubsidi di Riau pada tahun 2012. Konsumsi listrik Riau
pada
triwulan
IV-2012
juga
tercatat
mengalami
perlambatan
jika
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini diperkirakan sangat terkait dengan telah berlalunya event PON XVIII pada triwulan III-2012 lalu. Grafik 1.8. Perkembangan Konsumsi Listrik di Riau
700
30
8.000,0
600
20
7.000,0
500
10
6.000,0
-10
200
-20
100
-30
-
-40
I II III IV I II III IV I II III IV 2010
2011 BBM
2012 yoy (kanan)
Sumber : PT. Pertamina Wilayah Riau
15
4.000,0
14
3.000,0 2.000,0
13
1.000,0 -
12
I
II
III
IV
2011
Konsumsi (kiri)
I
II
III
IV
2012
yoy (kanan)
Sumber : PT. PLN Wilayah Riau
2.2. Investasi Perkembangan investasi di Riau sebagaimana tercermin dari pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menunjukkan perlambatan, yakni dari
13
%
0
300
KWh
400
16
5.000,0
%
ribu KL
Grafik 1.7. Perkembangan Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Riau
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
7,69% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 5,64% (yoy) pada triwulan IV-2012. Dengan mengeluarkan unsur migas, PMTB Riau tercatat tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 13,65%, namun juga melambat dibanding triwulan sebelumnya meskipun masih lebih tinggi bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan investasi di Provinsi Riau, khususnya investasi non migas masih cukup tinggi pada akhir tahun 2012. Beberapa indikator penunjang yang mendukung kondisi tersebut adalah total jumlah proyek investasi langsung yang mencapai 62 proyek pada triwulan laporan atau merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2012. Meskipun jumlah proyek ini tinggi, namun total nilai penanaman modal di Riau pada triwulan laporan tercatat lebih rendah. Pada triwulan III-2012 nilai realisasi penanaman modal mencapai Rp5,97 triliun, namun pada triwulan IV-2012 hanya tercatat sebesar Rp2,61 triliun. Indikator lain yang mendukung masih tingginya kegiatan investasi di sektor non migas adalah tingkat konsumsi semen dan penjualan kendaraan jenis truk. Tingkat konsumsi semen di Riau pada triwulan laporan tercatat sebesar 418 ribu ton, merupakan yang tertinggi selama tiga tahun terakhir, dan tumbuh meningkat dari 4,36% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 7,91% (yoy) pada triwulan IV-2012. Kemudian, penjualan kendaraan jenis truk pada triwulan laporan tercatat sebesar 5.532 unit atau tumbuh sebesar 52,82% (yoy). Pertumbuhan ini juga cenderung meningkat bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan IV2011. Meskipun kegiatan investasi non migas masih tumbuh tinggi, namun investasi yang dibiayai melalui kredit cenderung menunjukkan perlambatan yakni dari 23,79% (yoy) menjadi 16,14% (yoy) dengan nominal penyaluran sebesar Rp12,25 triliun. Sebagian besar kredit ini utamanya diserap oleh sektor konstruksi terutama sub sektor bangunan lainnya dan perumahan sederhana. Adanya perlambatan diperkirakan berkaitan dengan faktor pemberlakuan kebijakan LTV dan telah selesainya
pembangunan
tempat
penginapan
yang
cenderung
mencapai
puncaknya di triwulan III-2012 lalu.
14
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
450
50,00
400
40,00
14,00
30,00
250
20,00
200
10,00
150
0,00
100
20,00
8,00 16,14
6,00
-10,00
2,00
-
-20,00
-
5,00
-
I II III IV I II III IV I II III IV 2011
I
2012
Konsumsi Semen (kiri)
15,00
10,00
4,00
50
2010
25,00
23,79
10,00
Rp triliun
300
30,00
12,00
%
ribu Ton
350
Grafik1.10. Perkembangan Kredit Investasi di Riau
%
Grafik 1.9. Perkembangan Penjualan Semen di Riau
g.yoy (kanan)
II III IV I
II III IV I
II III IV
2010
2011
2012
K. Investasi (kiri)
yoy (kanan)
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Grafik 1.11. Perkembangan PMA dan PMDN Nilai (Rp triliun)
Grafik 1.12. Perkembangan Penjualan Kendaraan Jenis Truk di Riau
Proyek
6000
140,00
5000
120,00
62 3000
60,00 2000
34
40,00
1000
23
21
20,00
0
9,42 1,84
80,00
%
unit
56
26
100,00
4000
1,64
6,26
5,97
I
II
III IV
2010
2010
2011
I-2012
II-2012
III-2012
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
I
II
III IV
I
II
III IV
2,61 IV-2012
2011 Truck
2012 yoy (kanan)
Sumber : Dispenda Provinsi Riau
2.3. Ekspor Impor Kinerja perdagangan eksternal Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan, yakni dari 2,13% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 3,60% (yoy). Peningkatan yang terjadi utamanya bersumber dari meningkatnya ekspor non migas ke wilayah Asia terutama Cina dan kawasan ASEAN. Volume ekspor non migas ke wilayah tersebut tercatat sebesar 1,96 juta ton atau tumbuh sebesar 26,38% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 15,89% (yoy).
15
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
Jika
1.465
1.396
1.477
856
730
khususnya komoditas pulp and
1.457
1.433
paper
1.343 3.100
1.257
1.019
844
510
534
2.100
784 1.100
648
1.101
713
734
638
100
901
842
922
Lainnya
733
511
481
629
756
931
910
786
762
I
II
III
IV
I
II
787
India
675
Cina 1.078
1.034
III
IV
sumber
meningkatnya
ekspor
non
migas
triwulan
laporan.
dalam
Sementara,
minyak dan kelompok nabati
(900) 2011
menjadi
pendorong
MEE ASEAN
783
884
485
563
600
berdasarkan
kelompoknya, barang mentah
5.100
4.100
dilihat
yang utamanya didominasi oleh
2012
CPO masih tercatat tumbuh melambat
sejalan
dengan
terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang utama. Ekspor komoditas non migas lain yang juga tercatat mengalami penurunan adalah batubara dan karet olahan. Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas di Riau (ribu Ton) 2012
Kelompok SITC
I
Makanan dan Hewan Bernyawa
yoy (%)
Pangsa (%)
II
III
IV
IV-12
III-12
IV-12
360
278
287
407
9,95
(25,62)
45,02
4
4
3
5
0,14
158,10
288,02
Barang Mentah
668
600
656
735
15,81
(2,00)
22,86
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas
321
496
474
501
13,06
(26,84)
(18,98)
Tembakau dan Minuman
Minyak dan Lemak Nabati
2.203
1.766
2.626
2.721
46,53
29,00
7,07
Bahan Kimia
193
252
304
251
6,64
(26,22)
8,68
Barang Manufaktur
408
399
388
368
10,52
(0,64)
0,13
Mesin dan Peralatan
0
-
0
0
-
-
-
Hasil Olahan Manufaktur
0
0
-
0
0,00
-
-
Koin, bukan mata uang
-
-
-
-
-
-
-
Total
4.156
3.795
4.739
4.989
100,00
4,30
7,54
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor CPO Riau 3.000
Grafik 1.15. Perkembangan Ekspor Pulp and Paper Riau
200,0
2.500
800,0
200,0
700,0
150,0
150,0
1.500
50,0
1.000
-
100,0
500,0 400,0
50,0
300,0
-
%
100,0
ribu Ton
2.000
%
ribu Ton
600,0
200,0 500
(50,0)
0
(100,0)
(50,0)
100,0 -
(100,0)
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
2006
Vol (kiri)
yoy (kanan)
2007
2008
Vol (kiri)
2009
2010
2011
2012
yoy (kanan)
16
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
1.600,0
700,0
10,0
1.400,0
600,0
9,0
500,0
8,0
1.200,0
300,0 800,0 200,0 600,0
Ribu Ton
400,0
1.000,0
100,0
400,0
200,0 -
2.500,0 2.000,0
7,0
%
Ribu Ton
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
1.500,0
6,0 5,0
1.000,0
4,0 500,0
3,0
-
2,0
(100,0)
1,0
(200,0)
-
(500,0)
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Vol (kiri)
%
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Vol (kiri)
yoy (kanan)
yoy (kanan)
Di sisi lain, impor Riau pada triwulan IV-2012 menunjukkan perlambatan yakni dari 8,21% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 6,15% (yoy). Sementara, dengan mengeluarkan
unsur
migas,
impor
non
migas
mengalami
perlambatan
pertumbuhan yakni dari 12,09% (yoy) menjadi 5,17% (yoy). Kondisi ini utamnya didorong oleh menurunnya impor barang mentah dan bahan kimia terutama pupuk sejalan dengan masih terbatasnya kapasitas terpakai industri. Meskipun demikian, volume impor barang manufaktur tercatat mengalami kenaikan sebesar 39,59% (yoy) menjadi 138,47 ribu ton. Kenaikan ini utamanya terjadi pada komoditas barang olahan kayu, pakaian serta elektronik. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan ekonomi yang didorong oleh konsumsi masih cukup tinggi. Tabel 1.4. Perkembangan Volume Impor Non Migas di Riau (ribu Ton) Kelompok SITC Makanan dan Hewan Bernyawa Tembakau dan Minuman Barang Mentah Bahan Bakar Mineral dan Pelumas Minyak dan Lemak Nabati Bahan Kimia Barang Manufaktur Mesin dan Peralatan Hasil Olahan Manufaktur Koin, bukan mata uang Total
I 27,65 0,25 142,11 0,16 268,06 117,64 12,92 5,33 574,11
2012 II III 12,70 10,06 0,24 0,78 171,83 191,06 0,00 0,21 0,17 465,86 374,55 119,98 76,70 10,56 18,89 6,32 8,26 0,00 787,71 680,47
IV 5,07 0,08 132,28 0,00 0,01 318,88 138,47 10,07 6,97 0,00 611,83
Pangsa (%) IV-12 1,61 0,03 21,81 0,00 0,03 59,14 15,23 1,34 0,80 0,00 100
yoy (%) III-12 IV-12 -58,28 -86,21 221,48 -69,23 27,58 -13,38 13,46 -6,53 -24,84 39,59 91,05 -29,94 4,00 -16,28 0,00 0,00 9,02 -6,27
17
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
3. PDRB SEKTORAL Kondisi ekonomi sektoral Riau pada triwulan laporan secara umum menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan sebagaimana terlihat dari kembali minimmya peran sektor tradables dalam menopang perekonomian. Bahkan secara tahunan, pertumbuhan sektor tradables Riau mengalami kontraksi sebesar 1,51% atau merupakan titik terendahnya selama lima tahun terakhir. Hal ini utamanya disebabkan adanya penurunan kinerja sektor migas sejalan dengan faktor alamiah (natural decline) akibat usia sumur minyak yang sudah tidak produktif. Disamping itu, menurunnya kapasitas terpakai sektor industri pengolahan Riau pada triwulan laporan juga diperkirakan turut menjadi sumber penyebab rendahnya pertumbuhan sektor industri sejalan dengan terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang terhadap komoditas unggulan Riau dan adanya hambatan pasokan bahan baku khususnya pada industri karet olahan3. Sebaliknya,
peran
sektor
non-tradables
terhadap
perekonomian
semakin
menunjukkan kenaikan khususnya pada sektor sekunder dan tersier terutama sektor bangunan dan perdagangan. Kondisi ini secara umum menunjukkan terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Provinsi Riau. Secara spesifik, motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan utamanya berasal dari sektor perdagangan dan bangunan. Kedua sektor tersebut tercatat memberikan sumbangan terbesar dibandingkan sektor lainnya baik terhadap total pertumbuhan
dengan
migas
maupun
pertumbuhan
tanpa
unsur
migas.
Meningkatnya peran kedua sektor tersebut secara signifikan diindikasikan tidak terlepas dari pesatnya pembangunan ekonomi Riau yang menjadi magnet bagi para pelaku usaha baik dari wilayah sekitar ataupun dari luar pulau.
3
Hasil liason dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia
18
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral (yoy,%) Keterangan A. 1 2 3 B. 4 5 6 7 8 9
Sektor Tradables Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Sektor Non Tradables Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Penganggkutan dan Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
2011*** 2011*** III IV 2,11 2,56 2,25 3,58 2,41 3,88 0,27 1,97 2,61 7,66 5,19 6,93 9,98 11,48 9,98 9,21 6,73 6,85 13,25 14,04 12,77 9,61 12,38 10,09 9,59 11,12 9,73 9,46 10,22 9,67 8,82 8,92 8,48 3,93 4,63 5,01
2012*** III IV 0,70 (1,51) 1,73 1,21 (0,28) (2,97) 3,08 0,39 14,63 14,22 2,52 3,19 15,69 13,58 17,32 18,18 13,31 12,84 17,78 13,36 9,54 9,12 4,06 2,37
2012***
2011 0,89 2,72 2,46 0,66 (0,91) 1,27 3,91 0,79 13,19 2,29 3,64 0,01 14,13 0,46 16,02 0,93 12,03 0,30 14,21 0,14 9,12 0,45 3,55 5,01
Sumbangan (%) III-12 IV-12 0,51 -1,14 0,29 0,20 -0,13 -1,4 0,35 0,05 3,55 3,51 0,01 0,01 0,61 0,55 1,70 1,81 0,44 0,43 0,26 0,21 0,53 0,50 4,06 2,37
2012 0,35 0,42 -0,43 0,36 3,20 0,01 0,55 1,55 0,38 0,21 0,50 3,55
Tabel 1.6. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Tanpa Migas (yoy,%) Keterangan A. 1 2 3 B. 4 5 6 7 8 9
Sektor Tradables Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Sektor Non Tradables Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Penganggkutan dan Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Non Migas
2011*** 2011*** III IV 2,11 2,56 2,25 3,58 2,41 3,88 13,65 12,62 13,18 8,74 5,88 8,09 9,98 11,48 9,98 9,21 6,73 6,85 13,25 14,04 12,77 9,61 12,38 10,09 9,59 11,12 9,73 9,46 10,22 9,67 8,82 8,92 8,48 7,64 7,40 7,63
2012*** III IV 0,70 (1,51) 1,73 1,21 7,58 6,93 3,69 (0,38) 14,63 14,22 2,52 3,19 15,69 13,58 17,32 18,18 13,31 12,84 17,78 13,36 9,54 9,12 8,26 7,21
2012*** 0,89 2,46 7,21 3,27 13,19 3,64 14,13 16,02 12,03 14,21 9,12 7,82
2011 3,03 1,33 0,26 1,44 4,60 0,03 0,92 1,87 0,61 0,27 0,90 7,63
Sumbangan (%) III-12 IV-12 1,39 0,46 0,57 0,39 0,16 0,14 0,66 -0,07 6,88 6,75 0,01 0,01 1,19 1,05 3,30 3,49 0,85 0,82 0,51 0,40 1,02 0,98 8,27 7,21
2012 1,55 0,82 0,15 0,58 6,27 0,02 1,07 3,03 0,77 0,41 0,97 7,82
3.1. Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian Riau pada triwulan laporan kembali mengalami perlambatan dari triwulan sebelumnya menjadi 1,21% (yoy) dan merupakan yang terendah sejak lima tahun terakhir. Melambatnya pertumbuhan sektor pertanian diindikasikan dipengaruhi oleh tidak optimalnya produksi tanaman perkebunan unggulan Riau baik karet alam maupun TBS. Hal ini diperkirakan tidak terlepas dari faktor tingginya curah hujan yang sedikit banyak mempengaruhi hasil panen komoditas tersebut. Kondisi ini juga tidak terlepas dari penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit mengingat sebagian besar tanaman kelapa sawit di Riau sudah berada dibawah kinerja produktifnya dan masuk dalam kategori peremajaan. Disamping itu, berdasarkan hasil survei kepada pelaku usaha, diketahui juga adanya penurunan produksi karet karena rendahnya minat petani untuk menyadap getah karet sejalan dengan rendahnya harga jual di tingkat pabrik.
19
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.19. Perkembangan Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan di Riau 108 106 104 102 100 98 96 94 92 90
12 10 8 6 4 2 (2) (4) (6) I
II III IV
I
2010
II III IV
2011 NTP (kiri)
Sumber : Departemen Pertanian AS
I
%
Grafik1.18. Perkembangan Curah Hujan di Provinsi Riau
II III IV
2012 yoy (kanan)
Sumber : BPS Provinsi Riau
3.1. Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan Riau pada triwulan laporan mengalami kontraksi sebesar 2,97% (yoy) atau merupakan yang terendah sejak lima tahun terakhir. Kondisi ini utamanya disebabkan oleh faktor alamiah (natural decline) akibat usia sumur minyak yang sudah relatif tua serta minimnya penggunaan teknologi modern dalam penggalian sumur minyak tua. Disamping itu juga ditemui sejumlah kendala lain seperti adanya pengikisan lingkungan, tumpang tindih lahan serta kendala peraturan dan birokrasi perizinan. Pada triwulan IV-2012, volume lifting minyak bumi Riau tercatat sebesar 32,77 juta barel atau terkontraksi sebesar 4,50% (yoy). Dengan demikian, selama tahun 2012, rata-rata volume lifting minyak Riau mencapai 371,88 ribu barel per hari atau turun 0,26% dibandingkan pencapaian rata-rata lima tahun terakhir yang tercatat sebesar 373,88 ribu barel per hari. Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, laju pertumbuhan sektor pertambangan mencatat angka yang lebih tinggi yaitu sebesar 6,93% (yoy), namun melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang tercatat sebesar 7,58% (yoy) dan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 12,62% (yoy). Berdasarkan hasil survei kepada pelaku usaha4, diketahui bahwa kondisi ini utamanya disebabkan oleh terbatasnya produksi batubara sejalan dengan faktor lokasi tambang yang sudah cukup dalam serta relatif tingginya curah hujan yang mengakibatkan produksi tidak optimal. 4
Survei liason
20
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Riau 25
Grafik 1.21. Perkembangan Volume Lifting Gas Bumi di Riau 3.000
38
3,50
37
2,50
33 10
2.000
Miliar BTU
34
juta barel
juta barel
35 15
32
2,00 1.500 1,50 1.000
31 5
3,00
2.500
36
Miliar BTU
20
1,00
30
500
0,50
29 -
28 I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV
2008
2009
2010
2011
2012
-
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2008
Bengkalis
Indragiri Hulu
Kampar
Kep. Meranti
Rokan Hilir
Rokan Hulu
Siak
Total (kanan)
Sumber : Departmen ESDM RI
Pelalawan
2009
2010 Pekanbaru
2011
2012 Total (kanan)
Sumber : Departmen ESDM RI
3.2. Industri Pengolahan Dalam triwulan laporan, sektor industri pengolahan Riau mencatat perlambatan cukup signifikan yakni dari 3,08% (yoy) menjadi 0,39% (yoy). Hal ini utamanya bersumber dari menurunnya kinerja sektor industri pengolahan non migas yang pada triwulan laporan mengalami kontraksi sebesar 0,38% (yoy). Pertumbuhan ini sekaligus menunjukkan pencapaian yang kurang menggembirakan mengingat fenomena ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak lima tahun terakhir. Kondisi ini diindikasikan tidak terlepas dari faktor krisis zona Eropa yang mengakibatkan minimnya permintaan terhadap komoditas ekspor unggulan Riau terutama CPO. Disamping itu, krisis yang juga menyebabkan penurunan harga komoditas unggulan TBS dan CPO internasional sepanjang tahun 2012 turut mempengaruhi kapasitas pelaku industri dalam meningkatkan produksinya. Hasil survei yang dilakukan kepada industri pengolahan kelapa sawit menunjukkan adanya penurunan produksi sebesar 4% (yoy), sedangkan pada industri karet olahan terjadi penurunan sekitar 30% (yoy).5 Kapasitas produksi sektor industri pengolahan di Provinsi Riau yakni turun dari 76,00% pada triwulan III-2012 menjadi 73,21% pada triwulan IV-2012. Perkembangan tersebut juga mengakibatkan pertumbuhan kapasitas produksi 5
Hasil survei liason kepada beberapa pelaku industri utama.
21
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
mengalami kontraksi sebesar 8,03% (yoy).6 Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, penurunan ini lebih disebabkan karena adanya penurunan volume produksi akibat keterbatasan bahan baku dan menurunnya permintaan
dari
negara mitra dagang. Grafik 1.22. Kapasitas Terpakai Industri Pengolahan di Riau (%) 90
50,00
80
40,00
70
30,00 20,00
50
10,00
40
%
%
60
Grafik 1.23. Realisasi Kegiatan Usaha Industri Pengolahan di Riau
-
30 20
(10,00)
10
(20,00)
0
(30,00) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2009
2010 Kapasitas
2011
2012 yoy (kanan)
Sumber : SKDU
Sumber : SKDU
3.3. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) Sektor PHR Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan yaitu dari 17,32% (yoy) pada triwulan III-2012 menjadi 18,18% (yoy) pada triwulan IV-2012, dan merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Kondisi ini diperkirakan dipengaruhi oleh relatif stabilnya daya beli masyarakat yang bersamaan dengan perayaan Natal dan musim liburan akhir tahun sehingga turut mendorong kenaikan pertumbuhan di sektor perdagangan . Adanya kondisi tersebut juga turut mendorong kenaikan tingkat hunian hotel (occupancy rate) hotel di Provinsi Riau. Dalam triwulan laporan, rata-rata tingkat pemenuhan kamar hotel mencapai 61,39% atau lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya yakni masingmasing tercatat sebesar 51,71% dan 52,42%.
6
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
22
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik.1.25. Perkembangan Penjualan Mobil dan Motor di Riau
65,00%
100.000
160,00
90.000
140,00
80.000
120,00
61,39% 60,00% 56,06% 52,42%
51,33% 50,00%
unit
54,41%
55,00%
52,20% 51,71%
48,96%
48,12% 46,72%
45,91% 44,35%
45,00%
70.000
100,00
60.000
80,00
50.000
60,00
40.000
40,00
30.000
20,00
20.000
-
10.000
(20,00)
-
(40,00) I
40,00% I
II
III
IV
I
II
2010
III
IV
I
2011
II
III
%
Grafik.1.24. Perkembangan Tingkat Hunian Hotel Bintang 3,4,5 Riau
II III IV I
II III IV I
II III IV
2010
2011
2012
IV
2012
Mobil dan Motor
Sumber : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
yoy (kanan)
Sumber : Dispenda Provinsi Riau
3.4. Pengangkutan dan Komunikasi Secara umum kegiatan perkembangan sektor pengangkutan dalam triwulan laporan menunjukkan perkembangan yang cukup kuat. Pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi di Riau mencapai 12,84% (yoy), sedikit melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang tercatat sebesar 13,31% (yoy) namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 11,12% (yoy). Grafik 1.26. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Penumpang di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim
Grafik 1.27 Arus Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim
3400
380000
3200
360000 340000
3000
320000
2800
300000
2600
280000
2400
260000
2200
240000
2000
220000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
200000 I
2009
2010
2011
II III IV I 2009
datang
II III IV I
II III IV I
II III IV
2012 2010
2011
2012
berangkat datang
berangkat
Sumber : PT. Angkasa Pura II
23
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional
Salah satu indikator yang mendukung kondisi tersebut adalah relatif tingginya arus kedatangan dan keberangkatan penumpang dan pesawat di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim (SSK). Pada triwulan laporan, arus kedatangan penumpang di Bandara
Internasional SSK mencapai 360.938 jiwa atau tumbuh 11,00% (yoy)
dan lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang tercatat sebesar 12,14% (yoy). Di sisi lain, jumlah penumpang yang berangkat dari Bandara Internasional SSK mencapai 361.991 jiwa atau tumbuh 10,80% (yoy) dan lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan III-2012 yang mencapai 14,78% (yoy). Relatif melambatnya baik kedatangan maupun keberangkatan penumpang diperkirakan erat kaitannya dengan berakhirnya faktor siklikal PON ke-18 pada triwulan sebelumnya yang turut meningkatkan migrasi penduduk secara temporer dari luar provinsi Riau baik melalui pelabuhan maupun bandara udara.
24
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Bab 2
PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
1.
KONDISI UMUM
Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada tahun 2012 (yoy)1 relatif rendah dan terkendali. Inflasi Riau pada tahun 2012 merupakan yang terendah selama 2 (dua) tahun terakhir, serta tercatat berada di bawah inflasi nasional maupun Sumatera. Berdasarkan disagregasinya, inflasi core Riau berada pada tingkat yang relatif stabil dibandingkan dengan inflasi tahun sebelumnya. Sementara, inflasi noncore terutama kelompok volatile food mengalami penurunan yang berarti bila dibandingkan dengan tahun 2011 yang lalu. 1
yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
25
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Relatif stabilnya inflasi Riau pada tahun 2012 tidak terlepas dari (i)distribusi dan ketersediaan pasokan bahan pangan yang relatif aman dan lancar, (ii)penundaan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, (iii)trend penurunan harga komoditas pangan internasional, (iv)koordinasi TPID secara intensif disertai kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih antisipatif.
2.
INFLASI TAHUNAN (YOY)
Secara tahunan, inflasi Riau pada tahun 2012 terjaga pada tingkat yang rendah yakni sebesar 3,32%. Inflasi pada tahun 2012 tercatat mengalami penurunan yang berarti dibandingkan dengan inflasi tahun 2011 yang mencapai 4,72%, juga lebih rendah bila dibandingkan dengan inflasi Sumatera dan Nasional yang pada tahun 2012 masing-masing tercatat sebesar 3,51% dan 4,30%. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat harga di Riau pada tahun 2012 tercatat lebih terjaga bila dibandingkan dengan tingkat harga di wilayah Sumatera maupun Nasional. Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy)
4,51
Inflasi Tw III-12 (yoy)
4,31 4,30
Inflasi 2012 (yoy) Rata-rata selama 2009-2011 (yoy)
Nasional 4,61
4,08 3,32
4,75 3,38 3,51
Riau
Sumatera
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru yaitu sebesar 3,35%, namun telah menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Deflasi yang terjadi pada komoditas cabe merah, ikan, minyak goreng dan beras menjadi sumber menurunnya tekanan inflasi di Kota Pekanbaru pada periode laporan. Di sisi lain, kenaikan harga pada kontrak/sewa rumah, daging sapi, dan rokok telah
26
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
menahan laju penurunan inflasi pada tingkat yang lebih rendah di Kota Pekanbaru pada tahun 2012. Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy) 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
3
4
1
2
3
2010
4
1
2
3
2011
4
1
2
3
4
2012
P.baru
2,20 1,94 2,26 4,58 4,72 7,00 7,76 5,61 6,10 5,09 4,20 5,67 4,21 3,35
Dumai
3,22 0,80 1,81 5,27 3,94 9,05 8,49 5,42 5,78 3,10 2,75 4,38 3,47 3,20
Riau
2,39 1,73 2,18 4,71 4,57 7,37 7,90 5,57 6,04 4,72 3,94 5,44 4,08 3,32
Sumatera 3,36 2,44 3,40 5,96 5,25 7,83 7,47 5,48 6,12 3,98 3,75 4,99 3,38 3,51
Sumber : BPS, diolah
Selanjutnya, searah dengan inflasi Kota Pekanbaru, inflasi yang terjadi di Kota Dumai juga menunjukkan kecenderungan yang menurun. Pada tahun 2012, inflasi Kota Dumai tercatat lebih rendah dari inflasi Kota Pekanbaru yaitu sebesar 3,20%. Seperti halnya di Kota Pekanbaru, deflasi yang terjadi pada komoditas cabe merah menjadi sumber utama menurunnya tekanan inflasi di Kota Dumai, yang selanjutnya diikuti oleh deflasi pada komoditas bayam, teri, kentang dan bawang merah. Sementara kenaikan bahan bakar rumah tangga, sewa rumah, rokok dan beras menjadi sumber terjadinya inflasi pada tahun 2012. Tabel 2.1. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama tahun 2012 (yoy)
Sumber : BPS, diolah
27
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
2.1.
Disagregasi Inflasi
Grafik 2.2. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
Pada tahun 2012, seluruh komponen inflasi IHK yaitu
18,00 16,00
inflasi
14,00
12,00
inti
volatile
10,00 8,00
food
(core),
inflasi
dan
inflasi
administered price berada
6,00 4,00
pada
2,00
level
yang
rendah.
(2,00)
2008
2009
2010
2011
Core
Volatile Food
Administered Price
IHK
Sumber : BPS, diolah Disagregasi dengan pendekatan subkelompok
2012
Realisasi
masing-masing
komponen
tersebut
tercatat
lebih
juga rendah
dibandingkan dengan tahun 2011. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari koordinasi kebijakan yang semakin solid antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Daerah.
2.1.1. Inflasi Inti (Core) Laju inflasi inti Riau pada tahun 2012 tetap berada pada level yang rendah dan relatif menurun. Kebijakan moneter yang dilakukan selama tahun 2012 mampu menjaga stabilitas nilai tukar sehingga menjadi faktor yang mendorong turunnya inflasi inti. Grafik 2.3. Perkembangan Nilai Tukar dan Inflasi Inti (yoy) 6,0
Core Inflation (yoy)
5,5
5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2011
2012
Sumber : BPS, diolah
28
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Harga komoditas non pangan global juga melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sehingga turut mendorong relatif rendahnya inflasi inti. Selain itu, penurunan harga minyak global dan perlambatan dari kenaikan harga emas dunia juga turut mendorong menurunnya inflasi inti tahun 2012. Grafik 2.4. Perkembangan Komoditas Global dan Inflasi Inti (yoy)
Grafik 2.5. Survey Konsumen Bank Indonesia
120,00
7,00
100,00
6,00
80,00
5,00
60,00 4,00 40,00 3,00 20,00 2,00
-
200 195 190 185 180 175 170 165 160 155 150 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(20,00) 2010
(40,00) Inti (RHS)
2011
CPO ($/MT)
WTI ($/barel)
2012
Emas ($/Oz)
Sumber : Bloomberg dan BPS, diolah
2
3
4
1
2
3
4
1,00
2011 Beras ($/MT)
Ekspektasi harga 3bulan yad Ekspektasi harga 12 bulan yad
2012
Ekspektasi harga 6 bulan yad
Sumber : Bank Indonesia
Di sisi lain, rendahnya inflasi inti pada tahun 2012 juga didukung oleh terkendalinya ekspektasi inflasi dan kemampuan sisi penawaran dalam merespon permintaan. Di awal tahun, ekspektasi inflasi sempat meningkat terkait dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, namun kembali terkendali hingga akhir tahun. Mempertimbangkan kondisi eksternal dan domestik pada saat itu, Bank Indonesia menjaga BI-Rate pada level yang tetap di 5,75% sepanjang tahun 2012. Kondisi ini juga didukung oleh keputusan pemerintah untuk melakukan penundaan penyesuaian harga energi tahun 2012.
2.1.2. Inflasi Volatile Food Stabilitas harga pangan disepanjang tahun 2012 relatif terjaga yang didukung oleh terjaganya stabilitas nilai tukar, kebijakan sektoral yang positif dan koordinasi kebijakan yang intensif. Kelompok volatile food tercatat mengalami penurunan yang signifikan, sehingga pada tahun 2012 tercatat merupakan yang terendah dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.
29
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.6. Perkembangan Komoditas Pangan Global dan Inflasi Volatile Food (yoy) 140,00
Gula ($/Pound)
120,00
25,00
Jagung ($/bushel) Kedelai($/bushel)
100,00
20,00
Terigu ($/bushel)
80,00
Beras ($/MT)
60,00
VF (RHS)
15,00
40,00
10,00
20,00 5,00
(20,00) (40,00)
1
3
5
7
9 11 1
3
5
7
9 11 1
3
5
7
9 11 0,00
2010
2011
2012
(60,00)
-5,00
Sumber : Bloomberg dan BPS, diolah
Penurunan harga pada komoditas cabe merah dan beras memberikan sumbangan tertinggi terhadap rendahnya tingkat inflasi kelompok volatile food tahun 2012. Pengadaan beras oleh BULOG secara nasional yang meningkat di tahun 2012 dan juga didukung oleh peningkatan produksi beras secara nasional tercatat mampu menurunkan tekanan inflasi beras selama tahun 2012. Terjaganya stabilitas harga beras juga turut didukung oleh penyaluran raskin, pelaksanaan operasi pasar dan pasokan domestik yang cukup serta didukung oleh kondisi cuaca yang kondusif. Namun demikian, meskipun secara umum kelompok volatile food mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011, masih terdapat komoditas yang mengalami peningkatan yang berarti antara lain komoditas daging sapi. Pada tahun 2012 inflasi daging sapi di Kota Pekanbaru tercatat sebesar 19,82% sementara di Kota Dumai sebesar 11,72%. Kondisi ini didorong oleh adanya kelangkaan stok daging sapi secara nasional yang berimbas pula ke Riau.
2.1.3. Inflasi Administered Price Sejalan dengan minimnya implementasi kebijakan administered price yang strategis, inflasi kelompok administered price pada tahun 2012 relatif terkendali. Komoditas administered price seperti bahan bakar rumah tangga dan bensin tercatat memberikan sumbangan yang minimal terhadap inflasi kelompok administered price di Riau.
30
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Kondisi ini juga sejalan dengan kelancaran program konversi minyak ke gas, selain adanya penambahan subsidi energi yang berdampak pada penundaan implementasi kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2012. Selain itu, pada tahun 2012 juga terdapat penambahan kuota untuk BBM bersubsidi secara nasional sebesar 45,6 juta KL2. Sumbangan inflasi kelompok administered price pada tahun 2012 berasal dari kenaikan harga komoditas rokok, seiring dengan penetapan tarif cukai rokok tahun 2012 yang ditetapkan sebesar 15%.
2.2.
Inflasi Kelompok Barang dan Jasa
Berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok pendidikan, sebaliknya inflasi terendah dialami oleh kelompok bahan makanan. Namun, bila dilihat dari kontribusinya, kelompok makanan jadi tercatat memberikan sumbangan inflasi tertinggi pada tahun 2012, diikuti oleh kelompok perumahan. Sementara, kelompok bahan makanan tercatat memberikan sumbangan terendah terhadap inflasi Riau 2012. Tabel 2.2. Perkembangan Inflasi Kelompok Barang dan Jasa (yoy) 2011 Kelompok Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transportasi UMUM
Pbr 6,01 5,88 3,48 6,33 7,10 7,18 2,73 5,09
Inflasi Dumai 0,69 5,06 3,78 10,68 3,49 5,92 0,34 3,10
Riau 4,98 5,73 3,54 7,06 6,47 6,96 2,25 4,72
2012 Pbr 1,61 1,23 0,77 0,50 0,30 0,43 0,39 5,09
Kontribusi Dumai 0,20 1,05 0,75 0,74 0,11 0,27 0,05 3,10
Riau 1,36 1,17 0,74 0,52 0,25 0,37 0,33 4,72
Pbr -0,13 6,45 4,87 3,41 5,17 7,26 0,84 3,35
Inflasi Dumai 1,90 4,40 4,45 4,69 2,40 5,44 1,36 3,20
Riau 0,24 6,07 4,80 3,63 4,69 6,95 0,94 3,32
Pbr -0,03 1,35 1,07 0,25 0,22 0,45 0,12 3,35
Kontribusi Dumai 0,54 0,92 0,89 0,33 0,08 0,25 0,21 3,20
Riau 0,06 1,28 1,02 0,27 0,18 0,39 0,14 3,32
Sumber : BPS, diolah
2.2.1. Kelompok Bahan Makanan Pada tahun 2012, kelompok bahan makanan tercatat mengalami inflasi terendah yaitu sebesar 0,24%, mengalami penurunan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (4,98%). Kelompok ini juga tercatat memberikan sumbangan inflasi terendah pada tahun 2012. Relatif rendahnya 2
Sumber : BKF-Kemenkeu
31
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
inflasi kelompok bahan makanan utamanya disebabkan deflasi yang terjadi pada subkelompok bumbu-bumbuan terutama komoditas cabe merah. Sementara itu, kenaikan harga daging sapi dan daging ayam ras merupakan penyumbang utama terjadinya Grafik 2.7. Perkembangan IHK Kelompok Bahan Makanan (yoy)
inflasi di Riau selama tahun
60,00
2012. Kenaikan harga daging
50,00
sapi disebabkan oleh kelangkaan
40,00 30,00
stok daging sapi secara nasional,
20,00 10,00
(10,00)
2008
2009
2010
2011
2012
kenaikan
harga
daging ayam ras terjadi karena
(20,00) (30,00)
sementara
Padi-padian Ikan Diawetkan Lemak dan Minyak
Sumber : BPS, diolah
Daging dan Hasil-hasilnya Bumbu - bumbuan BAHAN MAKANAN
peningkatan
harga
Day
Old
Chicken (DOC) di sentra utama.
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvey, relatif rendahnya inflasi kelompok bahan makanan disebabkan oleh deflasi kelompok bahan makanan yang terjadi di Kota Pekanbaru (0,13%), turun signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai inflasi 6,01%. Sementara kelompok bahan makanan di Kota Dumai tercatat mengalami inflasi sebesar 1,90%. Berbeda dengan Kota Pekanbaru, tekanan inflasi pada kelompok bahan makanan di Kota Dumai mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan harga beras merupakan faktor utama meningkatnya inflasi pada kelompok bahan makanan di Kota Dumai. Mengingat kontribusi Kota pekanbaru terhadap inflasi Riau sangat besar, maka deflasi yang terjadi pada kelompok bahan makanan di kota tersebut telah menurunkan tekanan harga kelompok bahan makanan secara umum.
2.2.2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau Secara umum, dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, tingkat inflasi kelompok makanan jadi tercatat relatif stabil. Perubahan harga yang terjadi pada subkelompok makanan jadi secara umum memberikan pengaruh yang lebih dominan terhadap inflasi kelompok makanan jadi diikuti oleh subkelompok tembakau & minuman berakohol. Pada tahun 2012, inflasi
32
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.8 Perkembangan IHK Kelompok Makanan Jadi (yoy)
kelompok makanan jadi sedikit mengalami
peningkatan
25,00
tahun
20,00
sebelumnya yaitu dari 5,73%
15,00
dibandingkan
10,00
menjadi sebesar 6,07%. Inflasi
yang
kelompok
terjadi
5,00
0,00
pada
makanan
2008
2009
2010
2011
2012
Makanan Jadi Minuman Tdk Beralkohol Tembakau & Minuman Beralkohol MAKANAN JADI, MINUMAN, ROKOK & TEMBAKAU
jadi
tercatat memberikan kontribusi
Sumber : BPS, diolah
tertinggi terhadap inflasi Riau pada tahun 2012. Dilihat dari komoditasnya, tingginya kontribusi didorong oleh inflasi yang terjadi pada komoditas rokok sebagai dampak dari penyesuaian harga cukai rokok pada tahun 2012. Inflasi kelompok makanan jadi di Kota Pekanbaru yaitu mencapai 6,45%, dan di Kota Dumai tercatat mengalami inflasi sebesar 4,40%.
2.2.3. Kelompok Perumahan Peningkatan
Grafik 2.9. Perkembangan IHK
cukup
Kelompok Perumahan (yoy)
harga
berarti
yang pada
20,00
subkelompok biaya tempat
16,00
tinggal
12,00
(7,04%)
dibandingkan dengan tahun
8,00
sebelumnya (4,66%) telah
4,00
2008
2009
2010
2011
2012
Biaya Tempat Tinggal
Bahan Bakar, Penerangan dan Air
Perlengkapan Rumahtangga
Penyelenggaraan Rumahtangga
PERUMAHAN,AIR,LISTRIK,GAS & BB
Sumber : BPS, diolah
mendorong inflasi
pada
perumahan. utamanya
peningkatan kelompok
Kenaikan bersumber
ini dari
kenaikan biaya sewa dan kontrak rumah serta biaya tukang. Peningkatan biaya tukang diperkirakan terjadi seiring dengan pesatnya pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Riau pada tahun 2012. Searah dengan hal tersebut, inflasi kelompok perumahan tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru yaitu sebesar 4,87%, mengingat pusat pembangunan infstruktur tersebut terdapat di Kota Pekanbaru dan tercatat meningkat
33
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
dibandingkan tahun sebelumnya (3,48%). Sementara, inflasi kelompok perumahan di Kota Dumai tercatat sebesar 4,45%, juga meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (3,78%).
2.2.4. Kelompok Sandang Tekanan
inflasi
sandang
pada
mengalami signifikan dengan
kelompok tahun
2012
penurunan
yang
bila
dibandingkan
tahun
sebelumnya.
Penurunan tersebut utamanya bersumber tekanan
Grafik 2. 10. Perkembangan IHK Kelompok Sandang (yoy) 30,00 26,00 22,00 18,00 14,00 10,00 6,00 2,00 -2,00
dari menurunnya inflasi
pada
subkelompok barang pribadi
2008
2009
2010
2011
2012
Sandang Laki-laki
Sandang Wanita
Sandang Anak-anak
Barang Pribadi dan Sandang Lain
SANDANG
Emas Dunia (yoy)
Sumber : BPS, diolah
dan sandang lainnya yang disebabkan oleh perlambatan kenaikan harga pada komoditas emas dunia yang berdampak pada pergerakan harga emas lokal. Berdasarkan kota yang disurvey, inflasi kelompok sandang tertinggi masih terjadi di Kota Dumai yaitu sebesar 4,69%, namun menurun signifikan dibandingkan tahun sebelumnya (10,68%). Sementara, inflasi sandang di kota Pekanbaru sebesar 3,41%, namun mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (6,33%).
2.2.5. Kelompok Kesehatan Inflasi
Grafik 2.11. Perkembangan IHK Kelompok Kesehatan (yoy)
kelompok kesehatan
pada tahun 2012 tercatat
20,00
16,00
mengalami
12,00
dibandingkan dengan tahun
8,00
2011
penurunan
yang
lalu.
Relatif
4,00
menurunnya tekanan inflasi
0,00 2008
2009
2010
2011
2012
Jasa Kesehatan
Obat-obatan
Jasa Perawatan Jasmani
Perawatan Jasmani dan Kosmetika
pada kelompok ini didorong oleh minimnya tekanan inflasi
KESEHATAN
Sumber : BPS, diolah
yang
berasal
dari
subkelompok jasa kesehatan dan subkelompok perawatan jasmani dan
34
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
kosmetika yang tercatat memiliki andil yang besar terhadap inflasi kelompok kesehatan. Inflasi yang terjadi pada kelompok kesehatan di tahun 2012 utamanya hanya berasal dari peningkatan pada tarif rumah sakit. Berdasarkan kota yang disurvey, kota Pekanbaru tercatat mengalami inflasi tertinggi yaitu 5,17%, sementara di Kota Dumai inflasinya tercatat sebesar 2,40%. Inflasi kelompok kesehatan pada kedua kota tersebut tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
2.2.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga Inflasi kelompok pendidikan pada
tahun
2012
berada pada yang tingkat yang
sama
Grafik 2.12. Perkembangan IHK Kelompok Pendidikan (yoy)
relatif
dibandingkan
26,00 22,00
18,00 14,00
dengan tahun sebelumnya. Dilihat dari subkelompoknya peningkatan yang signifikan hanya
terjadi
10,00 6,00
2,00 -2,00
pada
subkelompok rekreasi antara
2008
2009
2010
2011
2012
Pendidikan
Kursus-kursus/Pelatihan
Perlengkapan/Peralatan Pendidikan
Rekreasi
Olahraga
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGA
Sumber : BPS, diolah
lain berasal dari kenaikan harga sepeda untuk anak-anak. Namun demikian kenaikan pada subkelompok ini dikompensasi dengan penurunan tekanan inflasi pada subkelompok pendidikan yang tercatat memiliki andil terbesar terhadap inflasi kelompok pendidikan.
2.2.7. Kelompok Transpor, Komunikasi dan Jasa Kesehatan Grafik 2.13. Perkembangan IHK Kelompok Transpor (yoy)
Tekanan
inflasi
kelompok
16,00 12,00
tercatat
8,00
pada
transpor mengalami
penurunan dibandingkan
4,00 0,00 -4,00
2008
2009
2010
2011
-8,00
-12,00
Transpor Komunikasi Dan Pengiriman Sarana dan Penunjang Transpor Jasa Keuangan TRANSPOR,KOMUNIKASI DAN JASA KEUANGAN
2012
dengan sebelumnya.
tahun Hal
ini
utamanya didorong oleh
Sumber : BPS, diolah
35
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
menurunnya tekanan inflasi dari subkelompok transpor dan subkelompok sarana dan penunjang transpor. Subkelompok transpor tercatat memiliki andil terbesar terhadap inflasi kelompok transpor. Berdasarkan kota yang disurvey, penurunan inflasi terjadi pada Kota Pekanbaru, dan
tercatat memberikan
sumbangan yang berarti. Sementara inflasi kelompok transportasi di Kota Dumai mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
3.
INFLASI TRIWULANAN (QTQ)
Tekanan inflasi Riau pada triwulan
laporan
tercatat
mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan
triwulan sebelumnya yaitu dari 1,03% menjadi 0,68%. Kondisi yang sama juga terjadi pada inflasi nasional
Grafik 2.14. Grafik Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera & Nasional secara Triwulanan (qtq) 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
(0,67%), dimana tekanan
4
1
2
3
2010
4
1
2
3
2011
4
1
2
3
4
2012
1,70 0,30 0,79 1,72 1,83 2,48 1,51 -0,3 2,30 1,50 0,66 1,10 0,89 0,66
Dumai
3,52 -1,1 0,26 2,60 2,21 3,71 -0,2 -0,3 2,56 1,08 -0,5 1,28 1,66 0,82
Nasional 2,07 0,49 0,99 1,41 2,79 1,59 2,25 2,23 2,88 1,76 2,33 1,96 1,68 0,77 Riau
(0,77%), maupun Sumatera
3
P.baru
2,04 0,03 0,69 1,89 1,90 2,71 1,18 -0,3 2,35 1,43 0,43 1,13 1,03 0,68
Sumatera 2,80 0,16 0,91 1,97 2,12 2,62 0,58 0,09 2,74 0,55 0,35 1,29 1,16 0,67
Sumber : BPS, diolah
inflasi tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Koordinasi yang intensif oleh TPID Riau, TPID Pekanbaru dan TPID Dumai dengan instansi terkait diperkirakan menjadi salah satu pendorong menurunnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan. Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai yaitu sebesar 0,82%, namun tekanannya mengalami penurunan yang berarti dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 1,66%. Selanjutnya, seperti halnya Kota Dumai, maka tekanan inflasi di Kota Pekanbaru juga mengalami penurunan yaitu dari 0,89% menjadi 0,66%. Menurunnya tekanan inflasi pada kelompok noncore (inti dan administered price) menjadi faktor utama menurunnya inflasi Riau selama triwulan laporan. Di sisi lain, komponen inflasi IHK lainnya yaitu inflasi volatile food mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.Meningkatnya
36
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
inflasi pada kelompok volatile food didorong oleh inflasi pada komoditas beras dan daging ayam ras. Relatif terkendalinya inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan IV-2012 didorong oleh deflasi yang terjadi pada komoditas cabe merah, minyak goreng dan beberapa jenis ikan. Sementara itu, peningkatan harga/biaya tukang, beras, rokok, daging sapi dan daging ayam ras telah menahan laju penurunan inflasi pada tingkat yang lebih rendah lagi. Selanjutnya, rendahnya inflasi yang terjadi di Kota Dumai pada triwulan laporan didorong oleh deflasi yang terjadi pada komoditas ikan, sepeda motor,dan batu bata/tela. Sementara itu, seperti halnya di Kota Pekanbaru peningkatan harga pada komoditas beras, rokok, dan daging ayam ras juga telah menahan laju penurunan inflasi Kota Dumai selama triwulan laporan. Tabel 2.3. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama Triwulan IV-2012 (qtq)
Sumber : BPS, diolah
3.1. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa Berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvey di Provinsi Riau, maka inflasi tertinggi terjadi pada kelompok perumahan yaitu sebesar 1,32%. Kelompok ini juga tercatat memberikan sumbangan tertinggi terhadap inflasi triwulan IV-2012. Di sisi lain, kelompok transportasi tercatat mengalami inflasi terendah (-0,07%), dan juga tercatat memberikan sumbangan deflasi terhadap inflasi Riau triwulan IV-2012.
37
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Tabel 2.4. Perkembangan Inflasi Kelompok Barang dan Jasa (qtq)
Sumber : BPS, diolah
3.1.1. Kelompok Bahan Makanan Pada triwulan IV-2012, inflasi kelompok bahan makanan tercatat mengalami peningkatan yaitu dari -0,45% menjadi 0,29%. Inflasi kelompok bahan makanan berasal dari peningkatan harga di Kota Dumai, sementara kelompok bahan
makanan
subkelompoknya,
di
Kota
Pekanbaru
peningkatan
inflasi
tercatat
pada
stabil.
Berdasarkan
subkelompok
padi
dan
subkelompok daging telah mendorong terjadinya inflasi kelompok bahan makanan pada triwulan laporan. Grafik 2.15. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan (qtq) 60,00
BAHAN MAKANAN Padi-padian, Umbi-umbian dan Hasilnya Daging dan Hasil-hasilnya Bumbu - bumbuan Lemak dan Minyak
50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 -10,00 -20,00 -30,00
1
2
3
4
2010
-40,00
Sumber : BPS, diolah
1
2
3
2011
4
1
2
3
2012
4
100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 -
25.000 20.000 15.000
10.000 5.000 1
2
3
Cabe Merah (kiri) Daging Ayam Ras
4
5
6
7
8
9
2012 Daging sapi (kiri) Bwg Merah
10 11 12
Beras
Sumber : Perindag Pekanbaru
Berdasarkan komoditasnya, Inflasi kelompok bahan makanan tersebut didorong oleh meningkatnya harga-harga komoditas beras, daging ayam ras dan bawang merah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kenaikan harga daging sapi tersebut didorong oleh masih terbatasnya pasokan di pasar meskipun pemerintah telah melakukan penambahan kuota impor. Sementara itu, kenaikan harga Day Old Chicken (DOC) pada sentra utama telah mendorong meningkatnya harga komoditas daging ayam ras.
38
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Di sisi lain, penurunan harga pada komoditas cabe merah dan minyak goreng tercatat mampu meredam laju peningkatan inflasi kelompok bahan makanan pada triwulan laporan. Menurunnya harga cabe merah terjadi seiring dengan terjaganya pasokan, sementara penurunan harga CPO selama triwulan laporan telah mendorong penurunan harga minyak goreng.
3.1.2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau Inflasi kelompok makanan jadi tercatat perubahan
tidak yang
dibandingkan triwulan
Grafik 2.16. Inflasi Kelompok Makanan Jadi (qtq)
mengalami
5,00
signifikan
4,00 3,00
dengan
sebelumnya
2,00
yaitu
1,00 0,00
dari 1,30% menjadi 1,24%.
-1,00
Kondisi yang relatif sama juga
-2,00
terjadi pada Kota Pekanbaru, sementara untuk Kota Dumai, inflasi kelompok
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
2010 2011 2012 MAKANAN JADI, MINUMAN, ROKOK & TEMBAKAU Makanan Jadi Minuman yang Tidak Beralkohol Tembakau dan Minuman Beralkohol
Sumber : BPS, diolah
makanan
jadi tercatat mengalami perubahan yang lebih berarti yaitu dari 0,99% menjadi 1,49%. Namun mengingat kontribusi Kota Dumai yang relatif kecil terhadap inflasi Riau, maka perubahan tersebut tidak terlalu memberikan dampak yang besar terhadap tingkat inflasi kelompok makanan jadi di Riau. Inflasi yang terjadi pada kelompok ini hanya berasal dari kenaikan harga rokok, seiring dengan penyesuaian tarif cukai rokok oleh pemerintah. Sementara itu deflasi yang terjadi pada komoditas gula pasir merupakan faktor pendorong relatif tertahannya inflasi kelompok makanan jadi pada triwulan laporan.
3.1.3. Kelompok Perumahan Pada triwulan laporan, inflasi tertinggi berasal dari kelompok perumahan yaitu mencapai 1,32%, namun tercatat mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Inflasi kelompok ini juga tercatat memberikan kontribusi tertinggi terhadap inflasi Riau selama triwulan laporan. Berdasarkan Kota yang disurvey, penurunan terjadi pada kedua kota yang
39
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.17. Inflasi Kelompok Perumahan (qtq)
disurvey, dengan penurunan
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00
tertinggi terjadi pada Kota
PERUMAHAN,AIR,LISTRIK,GAS & BAHAN BAKAR Biaya Tempat Tinggal Bahan Bakar, Penerangan dan Air
Dumai
Perlengkapan Rumahtangga Penyelenggaraan Rumahtangga
yaitu
dari
2,30%
menjadi 0,13% pada triwulan laporan. Sementara kelompok perumahan di Kota Pekanbaru
1
2
3
4
1
2010
2
3
4
1
2
2011
3
relatif
4
tidak
mengalami
perubahan yang berarti yaitu
2012
dari 1,64% menjadi 1,57%.
Sumber : BPS, diolah
3.1.4. Kelompok Sandang Menurunnya
tekanan
inflasi kelompok sandang dibandingkan
triwulan
sebelumnya 1,55%
yaitu
menjadi
dari 0,76%
Grafik 2.18. Inflasi Kelompok Sandang (qtq) SANDANG Sandang Laki-laki Sandang Wanita Sandang Anak-anak Barang Pribadi dan Sandang Lain Emas Dunia (qtq)
14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00
tidak terlepas dari telah
2,00
berakhirnya perayaan hari
-2,00
0,00
Raya
Idul
Fitri.
barang-barang
Hargasandang
-4,00 -6,00
1
2
3
2010
4
1
2
3
2011
4
1
2
3
4
2012
Sumber : BPS, diolah
tercatat relatif stabil. Inflasi Riau pada triwulan laporan hanya berasal dari peningkatan harga emas perhiasan, namun peningkatan harga emas dunia pada triwulan laoran relatif minim, sehingga tidak terlalu memberikan tekanan yang besar terhadap inflasi kelompok sandang di Provinsi Riau.
3.1.5. Kelompok Kesehatan Inflasi kelompok kesehatan pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar 0,29%, mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,11%. Seperti pada triwulan sebelumnya, inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai yaitu sebesar 0,82%, dan inflasi kelompok kesehatan di Kota Pekanbaru tercatat sebesar 0,19%. Berdasarkan komoditasnya, inflasi
40
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
kelompok kesehatan berasal
Grafik 2.19. Inflasi Kelompok Kesehatan (qtq) 14,00
dari
KESEHATAN Jasa Kesehatan Obat-obatan Jasa Perawatan Jasmani Perawatan Jasmani dan Kosmetika
12,00 10,00
kenaikan
komoditas
harga
bedak,
obat
dengan resep dan pasta
8,00 6,00
gigi.
4,00
2,00 0,00 1
-2,00
2
3
4
1
2
2010
3
4
1
2
2011
3
4
2012
Sumber : BPS, diolah
3.1.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga Telah
berakhirnya
persiapan baru
tahun
menjadi
masa
Grafik 2.20. Inflasi Kelompok Pendidikan (qtq)
ajaran
12,00
penyebab
10,00 8,00
penurunan yang signifikan pada
inflasi
pendidikan, 5,19%
6,00
kelompok yaitu
menjadi
4,00
dari
2,00
0,10%.
0,00
1
-2,00
Berdasarkan komoditasnya, peningkatan
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGA Pendidikan Kursus-kursus / Pelatihan Perlengkapan / Peralatan Pendidikan Rekreasi Olahraga
2
3
4
1
2
2010
utamanya
3
4
1
2
2011
3
4
2012
Sumber : BPS, diolah
didorong oleh inflasi pada biaya kursus musik dan kursus komputer. Kedua komponen ini pada triwulan sebelumnya tercatat tidak mengalami inflasi.
3.1.7. Kelompok Transpor, Komunikasi dan Jasa Kesehatan Pada
Grafik 2.21. Inflasi Kelompok Transpor (qtq)
kelompok
PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAH RAGA Pendidikan Kursus-kursus / Pelatihan Perlengkapan / Peralatan Pendidikan Rekreasi Olahraga
12,00 10,00 8,00
triwulan transpor
tercatat
deflasi
sebesar
mengalami 0,07%,
6,00
laporan,
setelah
mengalami
inflasi sebesar 0,58% pada
4,00 2,00
triwulan
0,00
-2,00
1
2
3
4
2010
1
2
3 2011
4
1
2
3 2012
4
Menurunnya
sebelumnya. tingkat
harga
Sumber : BPS, diolah
41
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
pada kelompok ini didorong oleh penurunan pada subkelompok transpor yang berasal dari penurunan harga bensin yaitu untuk jenis pertamax. Di Kota Pekanbaru komoditas bensin mengalami deflasi sebesar 0,11%, sementara di Kota Dumai tercatat mengalami deflasi sebesar 0,09%.
3.1. Disagregasi Inflasi Pada
triwulan
laporan,
Grafik 2.22. Inlasi IHK dan Disagregasi Inflasi Riau (qtq)
menurunnya inflasi Rau
8,00
secara umum disebabkan
6,00
Core Volatile Food Administered Price
IHK 4,00
oleh menurunnya tekanan
2,00
inflasi
dari
inflasi
inti
komponen
1
(core)
dan
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
(2,00) 2010
2011
2012
(4,00)
inflasi administered price
(6,00)
dibandingkan
dengan
Sumber : BPS, diolah
triwulan sebelumnya. Sementara, komponen inflasi IHK lainnya yaitu inflasi volatile food mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya inflasi pada kelompok volatile food didorong oleh inflasi pada komoditas beras dan daging ayam ras.
3.1.1. Inflasi Inti Pada triwulan laporan, inflasi inti Riau menunjukkan penurunan setelah mengalami peningkatan pada triwulan sebelumnya. Penurunan inflasi inti terjadi pada kedua kota yang disurvey di Riau yaitu Kota Pekanbaru dan Kota Dumai, meskipun secara triwulanan nili tukar rupiah mengalami depresiasi. Grafik 2.23 PerkembanganNilai Tukar dan Inflasi Inti Riau (qtq) 3,00 2,50 Pekanbaru
2,00
Dumai
Riau
1,50 1,00 0,50 0,00 1
2
3
2009
4
1
2
3
2010
4
1
2
3
2011
4
1
2
3
4
2012
Sumber : BPS, diolah
42
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
3.1.2. Inflasi Volatile Food Berbeda dengan kondisi tahunan, inflasi volatile food Riau secara triwulanan menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Namun, berdasarkan kota yang disurvey, peningkatan hanya terjadi pada Kota Pekanbaru, sementara inflasi volatile food di Kota Dumai cenderung berada pada tingkat yang stabil. Berdasarkan komoditas yang disurvey, inflasi yang terjadi pada komponen volatile food utamanya berasa dari peningkatan harga beras, baik di Kota Pekanbaru maupun Kota Dumai. Namun demikian, menurunnya harga cabe merah, mampu menahan laju peningkatan inflasi volatile food yang terjadi pada triwulan laporan. Grafik 2.24. Perkembangan Rata-rata Harga Beras dan Cabe Merah di Pekanbaru
Grafik 2.25. Perkembangan Inflasi Volatile Food Riau (qtq)
10.400
12,00
10.200
10,00
10.000
8,00
9.800
6,00
20.000
9.600
4,00
15.000
9.400
2,00
50.000 45.000
Cabe Merah
40.000
Beras
35.000
Pekanbaru Dumai Riau
30.000 25.000
10.000
5.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
9.200
0,00
9.000
-2,00
12
1
3
4
1
2009
-4,00
2012
2
2
3
4
1
2010
2
3
4
1
2
2011
3
4
2012
-6,00
Sumber : Disperindag Pekanbaru, diolah
Sumber : BPS, diolah
3.1.3. Inflasi Administered Price Peningkatan harga rokok sebagai dampak dari penyesuaian cukai
Grafik 2.26. Inflasi Administered Price (qtq) 4,00 3,50
rokok
oleh
pemerintah
Pekanbaru
3,00
Dumai
2,50
merupakan
faktor
pendorong
2,00
terjadinya
inflasi
kelompok
1,00
administred price pada triwulan laporan. peningkatan
Namun harga
demikian, rokok
Riau
1,50
0,50 0,00
-0,50 -1,00
1
2
3
4
2010
1
2
3 2011
4
1
2
3
4
2012
Sumber : BPS, diolah
tersebut belum dapat mendorong peningkatan inflasi pada kelompok administered price secara umum selama triwulan laporan. Hal ini disebabkan oleh deflasi yang terjadi pada komoditas bensin yaitu pertamax turut memberikan sumbangan yang berarti.
43
Boks 1 Determinan Surplus-Defisit Bahan Pangan Strategis di Provinsi Riau : Pendekatan Model Data Panel Spasial Ketahanan pangan merupakan salah satu isu paling strategis dalam pembangunan nasional karena terkait erat dengan ketahanan sosial, stabilitas politik, ketahanan nasional, serta stabilitas ekonomi.
Aspek fundamental dalam membangun ketahanan pangan adalah
ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai dalam jangka panjang khususnya melalui perbaikan manajemen cadangan pangan. Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor penting bagi pemerintah guna melakukan kebijakan penyediaan bahan pangan secara konsisten guna menciptakan stabilitas perekonomian dalam negeri. Dalam konteks ketahanan pangan , cadangan pangan berfungsi utama sebagai sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi
dan kebutuhan masyarakat,
termasuk untuk mengantisipasi masalah rawan pangan, seperti kekurangan pangan dan keadaan darurat. Pengelolaan cadangan pangan yang baik menjadi sangat penting dalam upaya mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan mengupayakan
agar
setiap
rumah
tangga
mampu
mengakses
pangan
sesuai
1
kebutuhannya . Cadangan pangan harus dapat terukur secara baik, sehingga dapat memudahkan untuk melakukan
perencanaan
dan
pelaksanaan
program
ketahanan
pangan.
Namun,
realitanya data/informasi mengenai cadangan pangan nasional daerah secara umum belum tersedia dengan baik. Bahkan data tersebut cenderung mengalami bias/polemik karena data stok yang relatif akurat tidak tersedia. Ketidakpastian data/informasi ini dapat menimbulkan ekses yang negatif, seperti: penimbunan, atau tindakan spekulasi lainnya, yang pada gilirannya berdampak pada kenaikan harga yang cenderung berlebihan (eksesif). Sebagai ilustrasi, pada tahun 2011, produksi gabah kering giling (gkg) mencapai 65,4 juta ton (37 juta ton beras dengan laju konversi 0,57). Apabila konsumsi beras diperkirakan sebesar 113,5 kg per kapita, maka total konsumsi beras untuk 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya sebesar 27 juta ton. Berdasarkan data tersebut, maka Indonesia seharusnya mengalami surplus beras sebanyak 10 juta ton. Namun, fakta menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor beras sebanyak 2 juta ton (Arifin, 2011). 2 Sebagai negara kepulauan yang mempunyai karakteristik yang beragam, dapat diduga tidak semua daerah dapat mencukupi semua kebutuhannya sendiri (swasembada) pangan. 1
Sumber: Departemen Pertanian (2005). Arifin, Bustanul. 2011. “Ketahanan Pangan dan Pengendalian Harga”.
2
Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan sumber daya alam maupun karena faktor lainnya, seperti inefisiensi. Oleh karena itu, peran perdagangan antar daerah akan menjadi sangat penting terutama dalam memfasilitasi ketahanan pangan daerah pada khususnya, dan perekonomian nasional pada umumnya. Provinsi Riau merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Wilayah Riau terdiri atas 12 kabupaten/kota yang terletak berada pada bagian tengah Pulau Sumatera yang membentang di lereng kaki pegunungan Bukit Barisan sampai ke laut Cina Selatan. Dengan posisi geografis tersebut, wilayah ini setidaknya mempunyai posisi yang strategis dalam perekonomian nasional dan Sumatera. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau pada tahun 2012 mencapai Rp469,07 triliun atau berada pada tingkat ke-5 di tingkat nasional dengan kontribusi sebesar 5,7% terhadap pembentukan PDRB nasional. Secara umum, sektor migas memiliki peran yang cukup dominan terhadap perkembangan PDRB di Provinsi Riau meskipun trendnya cenderung menurun dari 43% pada tahun 2004 hingga menjadi sebesar 37% pada tahun 2012. Meskipun memiliki kekuatan ekonomi yang besar, namun ketersediaan pasokan bahan pangan seperti beras dan cabe merah cenderung sangat minim. Pada tahun 2010, kebutuhan beras di Provinsi Riau mencapai 770 ribu ton sedangkan produksinya mencapai 638 ribu ton. Dengan perkembangan tersebut, maka Provinsi Riau mengalami defisit pasokan beras setiap tahunnya mencapai 225 ribu ton. Sementara itu, kebutuhan Cabe merah di Riau pada tahun 2010 mencapai 28.879 ton dengan jumlah produksi lokal mencapai 10.575 ton. Artinya pasokan Cabe merah di Provinsi Riau mengalami defisit sebanyak 18.304 ton atau merupakan yang tertinggi di kawasan Sumatera. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Provinsi Riau merupakan wilayah dengan kategori defisit pangan. Tabel 1. Kebutuhan dan Produksi Beras di
Tabel 2. Kebutuhan dan Produksi Cabe Merah
Sumatera (ribu ton) Tahun 2010
di Sumatera (ton) Tahun 2010
Provinsi
Penduduk
Aceh 4.486.570 Sumatera Utara 12.985.075 Sumatera Barat 4.845.998 Riau 5.543.031 Jambi 3.088.618 Kepulauan Riau 1.685.698 Sumatera Selatan 7.446.401 Bengkulu 1.713.393 Lampung 7.596.115 Kep. Bangka Belitung 1.223.048 SUMATERA 50.613.947
Kebutuhan Beras 624 1.805 674 770 429 234 1.035 238 1.056 170 7.035
Produksi Beras 1.628 3.587 2.192 546 658 1 3.249 512 2.702 26 15.100
Sumber : BPS, Dinas Tanaman Pangan Asumsi : konsumsi beras 139 Kg per kapita / tahun
Surplus/ Defisit 1.004 1.782 1.519 (225) 229 (233) 2.214 274 1.646 (144) 8.065
Provinsi
Penduduk
Aceh 4.486.570 Sumatera Utara 12.985.075 Sumatera Barat 4.845.998 Riau 5.543.031 Jambi 3.088.618 Kepulauan Riau 1.685.698 Sumatera Selatan 7.446.401 Bengkulu 1.713.393 Lampung 7.596.115 Kep. Bangka Belitung 1.223.048 SUMATERA 50.613.947
Kebutuhan Cabai 23.375 67.652 25.248 28.879 16.092 8.782 38.796 8.927 39.576 6.372 263.699
Produksi Cabai 32.832 145.960 39.151 10.575 16.934 3.568 27.053 44.973 26.769 5.509 353.324
Sumber : BPS, Dinas Tanaman Pangan Asumsi : konsumsi Cabe 5,21kg per kapita/tahun
Surplus/ Defisit 9.457 78.308 13.903 (18.304) 842 (5.214) (11.743) 36.046 (12.807) (863) 89.625
Untuk menduga kondisi ketersediaan bahan pangan pangan dan harga komoditas khususnya beras, cabe merah dan bawang merah di Provinsi Riau maka dilakukan studi dengan menggunakan model data panel spasial yang dikembangkan oleh Elhorst (2003, 2010).3 Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa harga komoditas pertanian seperti beras, cabe merah dan bawang merah pada masing-masing kabupaten/kota dipengaruhi secara signifikan oleh variabel produktivitas lahan, pendapatan riil, biaya input, kondisi infrastruktur dan faktor efek spasial4. Dari hasil estimasi, diketahui bahwa faktor efek spasial sebagaimana terlihat dari variabel jarak ekonomi memiliki tingkat elastisitas tertinggi dibandingkan variabel lainnya. Pada komoditas beras dan bawang merah, kenaikan jarak antara masing-masing kabupaten/kota dengan kota referensi sebesar 1% akan mendorong kenaikan harga beras dan bawang merah berkisar hingga 0,68%-0.90%. Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari karakteristik Provinsi Riau yang berada dalam wilayah defisit pangan sehingga distribusi pangan pokok hampir sebagian besar didatangkan dari daerah sekitar. Faktor lain disamping efek spasial yang juga diketahui memberikan pengaruh cukup dominan terhadap kenaikan harga di masing-masing kabupaten/kota adalah kondisi infrastruktur. Ssemakin menurunnya rasio jalan beraspal di masing-masing kabupaten/kota sebesar 1% akan mendorong peningkatan harga beras sekitar 0,1%. Sementara, pada komoditas bawang merah menurunnya rasio jalan beraspal sebesar 1% akan mendorong peningkatan harga di masingmasing kabupaten/kota antara 0,13% sampai 0,67%. Selanjutnya, faktor biaya input juga memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan harga komoditas pertanian di masing-masing kabupaten/kota. Faktor biaya input memiliki tingkat elastisitas tertinggi pada komoditas cabe merah dibandingkan dengan komoditas beras dan bawang merah. Kenaikan biaya input sebesar 1% akan meningkatkan harga cabe merah sekitar 0.15% hingga 0.26% di masing-masing kabupaten/kota. Sementara, pada komoditas pertanian lainnya, kenaikan biaya input sebesar 1% akan meningkatkan harga antara 0,02% sampai 0,60%.
3
Spesifikasi model selengkapnya dalam Elhorst, J.P. 2003. “Specification and estimation of spatial panel data models”, International Regional Science Review 26: 244-268 dan Elhorst, J.P. 2010. “Applied spatial econometrics: raising the bar”, Spatial Economic Analysis 5: 9-28. Variabel (data sekunder) yang digunakan dakam penelitian diperoleh diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura dan BPS Provinsi Riau, meliputi 12 Kabupaten/Kota dalam rentang waktu triwulan I-2003 sampai triwulan IV-2010. Penentuan jarak atau matriks spasial menggunakan perangkat lunak Arc GIS dan Geoda. Mengingat adanya keterbatasan data stok di tiap kabupaten/kota, maka proksi variabel stok menggunakan harga jual. 4
Efek spasial mengukur jarak antara kabupaten/kota di Provinsi Riau dengan sentra ekonomi, dalam penelitian ini adalah DKI Jakarta.
Kemudian, faktor pendapatan riil, pengaruh yang cukup signifikan ditemukan pada komoditas cabe merah dan bawang merah dimana hasil estimasi menunjukkan jika terjadi kenaikan pendapatan riil sebesar 1% maka akan menyebabkan kenaikan harga cabe merah dan bawang merah masing-masing berkisar 0.02% sampai 0.03%. Hal ini mengindikasikan bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan masyarakat di masing-masing daerah, maka akan berdampak positif terhadap permintaan cabe merah dan bawang merah sehingga pada akhirnya berdampak terhadap kenaikan harga. Secara implisit, kondisi ini menunjukkan bahwa komoditas pertanian di luar beras bersifat barang normal. Sementara itu, pada faktor produktivitas lahan, hasil estimasi menunjukkan bahwa jika terjadi penurunan produktivitas sebesar 1% maka akan meningkatkan harga komoditas pada masingmasing kabupaten/kota berkisar 0,02% baik pada komoditas beras maupun cabe merah. Semakin menurunnya luas areal lahan tanaman pangan akan berdampak negatif terhadap harga komoditas pangan di Riau. Kondisi ini juga tidak terlepas dari fakta di lapangan yang menunjukkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan karet. Grafik 1. Kondisi Surplus-Defisit Komoditas Pangan Strategis di Masing-Masing Kabupaten/Kota Berdasarkan Hasil Estimasi Modal Data Panel Spasial
0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 -0,005
beras
cabe merah
bawang merah
Sumber : Olahan data Keterangan : Sumbu Y merupakan ukuran surplus-defisit dimana nilai diatas 0 mengindikasikan adanya defisit pangan di suatu daerah.
Hasil studi ini juga menunjukkan (Grafik 1) bahwa secara umum daerah-daerah di Riau mengalami defisit komoditas pangan strategis seperti beras, cabe merah dan bawang merah, kecuali di Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir. Hal ini juga sesuai dengan kondisi dilapangan yang menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan dengan kemampuan
produksi (terutama seperti beras dan cabe merah) di Provinsi Riau. Berdasarkan Grafik 1. juga diketahui bahwa Kabupaten Bengkalis merupakan daerah yang mengalami defisit komoditas pertanian tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya terutama untuk komoditas beras dan bawang merah. Kondisi ini mengakibatkan harga komoditas pertanian di wilayah tersebut relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH
1. Kondisi Umum Kondisi perbankan Riau pada triwulan IV-2012 menunjukkan hal yang kurang menggembirakan dibandingkan dengan triwulan III-2012. Beberapa indikator utama perbankan seperti aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada triwulan laporan menunjukkan penurunan. Sementara itu, dari sisi jumlah kredit yang disalurkan masih terus mengalami peningkatan yang juga diikuti dengan meningkatnya risiko kredit. Namun jika dilihat secara tahunan, indikator
44
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
perbankan pada akhir tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2011
2. Perkembangan Perbankan Riau Setelah mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada triwulan sebelumnya, kegiatan usaha perbankan di Provinsi Riau pada triwulan laporan menunjukkan penurunan. Kondisi ini tercermin dari menurunnya total aset perbankan Riau sebesar 2,74% (qtq) hingga menjadi Rp73,39 triliun. Penurunan tersebut utamanya bersumber dari menurunnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) yakni dari Rp54,15 triliun pada triwulan III-2012 menjadi Rp52,94 triliun pada triwulan IV-2012 atau mengalami kontraksi sebesar 2,24% (qtq). Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (dalam Rp Juta) Indikator
Pertumbuhan Tw IV-2012 (%)
2012
2011 I
II
III
IV
yoy
qtq
73,387,482
20.96
-2.74
44,152,190
20.30
3.68
58,954,331 52,937,080
15.39 16.18
-0.96 -2.24
Jumlah Bank
75
77
78
79
79
- Bank Umum
44
44
45
45
45
- BPR
31
33
33
34
34
619
624
634
650
676
Aset
60,672,880
67,436,092
69,835,127
75,452,605
Kredit
36,700,480
38,070,338
40,992,444
42,585,913
Kredit Lokasi Proyek Dana Pihak Ketiga
51,090,943 45,562,890
51,475,647 49,165,494
54,197,279 51,007,244
59,527,235 54,149,092
- Jaringan Kantor
LDR LDR (lokasi proyek) NPL
80.55%
77.43%
80.37%
78.65%
83.41%
112.13% 2.05%
104.70% 2.36%
106.25% 2.50%
109.93% 2.93%
111.37% 3.05%
Di sisi lain, kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau pada triwulan IV-2012 masih tetap menunjukkan kenaikan, yakni dari Rp42,58 triliun menjadi Rp44,15 triliun atau naik 3,68% (qtq). Sementara, dengan memperhitungkan kredit berdasarkan lokasi proyek, jumlah kredit yang disalurkan per November 2012 tercatat sebesar Rp58,95 triliun atau turun 0,96% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp59,53 triliun. Peningkatan realisasi kredit yang diikuti dengan penurunan jumlah dana yang dihimpun telah menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan Riau pada triwulan IV-2012 mengalami kenaikan yakni dari menjadi sebesar 78,65% menjadi 83,41%. Namun, dengan memperhitungkan lokasi proyek, LDR perbankan Riau tercatat mengalami kenaikan yaitu dari 109,93% menjadi 111,37%. Di sisi risiko, rasio kredit
45
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
bermasalah atau Non Performing Loan(NPL) yang dialami perbankan Riau masih berada di bawah batas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 5%. Meskipun demikian, risikonya sedikit mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 2,93% menjadi 3,05%.
3. Perkembangan Bank Umum 3.1. Perkembangan Jaringan Kantor Jumlah jaringan kantor bank umum di Riau pada triwulan laporan mengalami kenaikan sebanyak 26 kantor, sehingga menjadi 676 kantor. Penambahan jaringan kantor tersebut terjadi pada jumlah Kantor Cabang Pembantu (23 unit), kantor kas (2 unit) dan lainnya (1 unit). Sementara itu, pada tingkat
Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di Riau Triwulan IV-2012 Keterangan 1. Jumlah Bank - Pemerintah - Swasta - Asing - Syariah - Unit Usaha Syariah 2. Kantor Pusat 3. Kantor Cabang - Pemerintah - Swasta - Asing 4. Kantor Cab.Pembantu 5. Kantor Kas 6. Lainnya *) Jumlah
2011
Tw I
2012 Tw II Tw III Tw IV
44 6
44 6
45 6
45 6
45 6
29
29
29
29
29
0
0
0
0
0
5
5
5
5
5
4
4
5
5
5
1
1
1
1
1
83
84
85
86
86
43
43
43
44
44
40
41
42
42
42
0
0
0
0
0
384
386
392
409
432
56
58
58
56
58
95
95
98
98
99
619
624
634
650
676
*) Kantor Wilayah, Payment point , Kantor Fungsional, Kantor Layanan Syariah, Gerai, Kas Mobil
kabupaten/Kota,
penyebaran
jaringan kantor bank umum masih
terpusat
Pekanbaru
dengan
di
Kota jumlah
mencapai 252 jaringan diikuti oleh Kabupaten Indragiri Hilir dan
Kota
Dumai.
Namun,
perbankan juga sudah mulai melihat potensi ekonomi pada kabupaten/kota lain di Provinsi Riau sebagaimana tercermin
dari meningkatnya jumlah kantor bank di Kabupaten lain.
46
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Tabel 3.3. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum Menurut Kab./Kota di Riau Triwulan IV-2012 No.
Kab./Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pekanbaru Bengkalis Dumai Indragiri Hulu Indragiri Hilir Kampar Kuantan Singingi Pelalawan Rokan Hulu Rokan Hilir Siak Meranti Total
Jumlah Kantor Bank Umum di Kabupaten/Kota Kanwil KC KCP KK Lainnya 1 50 127 29 44 8 21 2 10 2 41 2 3 2 33 3 8 5 43 5 10 2 31 4 5 2 26 2 2 2 27 2 2 4 29 5 5 4 22 2 4 2 25 1 3 3 7 1 2 1 86 432 58 98
KP 1 1
Total 252 41 48 46 63 42 32 33 43 32 31 13 676
3.2. Perkembangan Aset Aset bank umum di Riau pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar Rp72,35
triliun
atau
turun
sebesar
2,81%
dibandingkan
dengan
triwulan III-2012. Penurunan ini disebabkan karena adanya perubahan portofolio aset dari DPK ke penempatan antar bank dalam bentuk surat berharga. Meskipun demikian, jika dilihat secara tahunan, aset bank umum Riau masih mencatat perkembangan yang positif yakni tumbuh sebesar 21,39% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 25,39%. Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau 80,00
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok
30,00
70,00
25,00 20,00
50,00 40,00
15,00
30,00
yoy, %
Rp triliun
60,00
10,00
20,00 5,00
10,00 -
-
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2008
2009
Aset (kiri)
2010
2011
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2008
2012
2009
2010
Pemerintah
Pertumbuhan (kanan)
2011
2012
Swasta
Berdasarkan kelompoknya, komposisi aset bank umum di Riau tidak mengalami
perubahan
yang
signifikan
dibandingkan
periode-periode
sebelumnya. Aset bank milik pemerintah masih memiliki pangsa terbesar 47
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
dengan nilai mencapai Rp50,78 triliun atau sekitar 70% dari total aset bank umum di Riau.
3.3. Kredit 3.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit Pada triwulan IV-2012, kredit yang disalurkan bank umum di Riau mencapai Rp43,44 triliun, atau meningkat sebesar 3,73% (qtq). Secara tahunan, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 20,40% atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III-2012 yang tercatat sebesar 24,56%. Menurut jenis kelompok bank, komposisi penyaluran kredit bank umum di Riau masih didominasi oleh kelompok bank milik pemerintah dengan nilai mencapai Rp27,60 triliun (63,53%), sedangkan pada kelompok bank milik swasta nilainya mencapai Rp15,84 triliun (36,47%). Sementara itu, dari sisi jenis valuta, lebih dari 90% kredit yang disalurkan oleh bank umum di Riau utamanya berupa mata uang Rupiah dengan nilai nominal sebesar Rp42,01 triliun (Tabel 3.4). Tabel 3.4. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau (dalam Rp juta) Keterangan
2012
2011
I
II
III
IV
Pertumbuhan (%) yoy qtq
A. Kelompok Bank 1. Bank Pemerintah 2. Bank Swasta
23,295,168 12,787,764
24,077,457 13,337,413
25,791,245 14,511,924
26,708,895 15,172,473
27,600,241 15,843,419
18.48 23.90
3.34 4.42
B. V a l u t a 1. Rupiah 2. Valas
34,748,115 1,334,816
35,966,424 1,448,445
38,734,053 1,569,115
40,326,516 1,554,851
42,008,274 1,435,386
20.89 7.53
4.17 -7.68
36,082,931
37,414,869
40,303,168
41,881,367
43,443,660
20.40
3.73
Total
3.3.2. Konsentrasi Kredit Secara sektoral, kredit yang disalurkan bank umum utamanya masih terkonsentrasi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai kredit mencapai Rp9,51 triliun atau porsinya sekitar 21,89% terhadap total kredit. Dalam triwulan laporan, penyaluran kredit ke sektor ini mencatat kenaikan sebesar 5,96% dengan tiga subsektor penggerak yakni kredit sub sektor perdagangan eceran makanan (Rp1,23 triliun), kredit sub sektor perdagangan mobil (Rp456,01 miliar) dan kredit sub sektor perdagangan kelapa (Rp437,82 miliar). Ketiga sub sektor tersebut tercatat memberikan 48
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
sumbangan
sebesar
34,62%
terhadap
kenaikan
(qtq)
kredit
sektor
perdagangan di Riau. Sementara itu, kredit sub sektor perdagangan eceran keliling yang juga memiliki pangsa cukup besar (Rp1,02 triliun) mengalami penurunan sebesar 0,82% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor lain yang juga tercatat menyerap kredit cukup besar adalah sektor pertanian, dimana sebagian besar kredit diserap oleh sub sektor perkebunan kelapa sawit dengan nilai mencapai Rp6,91 triliun dan jumlahnya naik 7,46% (qtq). Masih tingginya konsentrasi penyaluran kepada sub sektor perkebunan kelapa sawit diperkirakan tidak terlepas dari adanya kegiatan peremajaan tanaman kelapa sawit yang membutuhkan dana cukup besar serta tingginya minat pelaku usaha dalam melakukan ekspansi usaha melalui peningkatan luas tanam. Tabel 3.5. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp juta) No.
Sektor Ekonomi
2012
2011 I 6,662,578
6,936,742
II 7,548,586
Pertumbuhan (%) III
1
Pertanian
8,327,232
2
Pertambangan
3
Perindustrian
4 5 6 7 8
Jasa-jasa
3,065,079
3,070,879
3,366,105
9
Lain-lain
14,241,524
15,272,958
16,032,076
36,082,932
37,414,869
40,303,169
41,880,098
IV
yoy
qtq
9,012,129
35.26
8.22
355,058
244,627
251,149
271,420
261,265
-26.42
-3.74
1,763,623
1,758,769
1,870,186
1,740,050
1,421,502
-19.40
-18.31
Listrik, Gas dan Air
103,376
107,313
103,605
103,179
97,665
-5.52
-5.34
Konstruksi
983,619
895,840
977,907
1,279,529
1,528,632
55.41
19.47
Perdag., Resto. & Hotel
7,798,914
7,935,746
8,792,084
8,975,364
9,510,652
21.95
5.96
Pengangkutan
1,109,161
1,191,996
1,361,472
1,242,420
1,410,383
27.16
13.52
3,673,582
3,691,311
20.43
0.48
16,267,323
16,509,030
15.92
1.49
43,442,568
20.40
3.73
Jumlah
Ditinjau dari segi pertumbuhannya, penyaluran kredit sektor konstruksi masih mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya yakni sebesar 19,47% (qtq) atau mencapai 55,41% (yoy). Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari pesatnya pembangunan infrastruktur di Riau terutama seperti pembangunan tempat penginapan, gedung perbelanjaan dan perumahan sederhana. Sementara itu, berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit produktif1 masih tetap mendominasi dengan nilai sebesar Rp27,45 triliun atau mencapai 63,20% dari total kredit yang disalurkan dan tumbuh sebesar 4,27% (qtq) dan
1
Terdiri dari Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi
49
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
19,69%. Sementara kredit konsumsi tercatat sebesar Rp19,89 triliun atau naik 2,82% (qtq) dan 21,63% (yoy). DIlihat dari jenis komponennya, Kredit Modal Kerja (KMK) yang disalurkan pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar Rp15,20 triliun atau tumbuh sebesar 19,42% (yoy). Sedangkan Kredit Investasi (KI) mencapai Rp12,25 triliun atau tumbuh sebesar 20,03% (yoy). Relatif tingginya pertumbuhan KI di Riau diperkirakan tidak terlepas karena masih kuatnya daya tahan perekonomian Riau di tengah arus krisis ekonomi global sehingga mampu mendorong peningkatan investasi yang dibiayai dari kredit. Grafik 3.3. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Grafik 3.4. Pertumbuhan (yoy,%) Kredit Menurut Jenis Penggunaan 40 35
yoy,%
30 25 20 15 10 5 -
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2009
2010
Modal Kerja
2011
Investasi
2012
Konsumsi
I
II
III IV
2009
I
II
III IV
2010
I
II
III IV
I
2011
II
III IV
2012
Pertumb. MK
Pertumb. Inv
Pertumb. Kons
Total
Sementara itu, jika dilihat berdasarkan lokasi proyek, maka total realisasi kredit Riau per November 2012 telah mencapai Rp58,95 triliun atau turun 0,96% dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan daerahnya, kredit lokasi proyek yang diserap di Provinsi Riau sebagian besar masih terkonsentrasi di Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp24,39 triliun dan meningkat 2,79% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Wilayah lain yang tercatat menyerap kredit cukup tinggi adalah Kota Dumai dan Kabupaten Indragiri Hulu dengan nilai masing-masing mencapai Rp6,28 triliun dan Rp3,74 triliun.
50
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Tabel 3.6. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta) No 1 2 3 4 5 6
Kab./Kota Pekanbaru Bengkalis Dumai Indragiri Hilir Indragiri Hulu Lainnya Jumlah
2011 21,666,041 3,395,686 4,719,193 2,258,084 3,606,247 15,445,692 51,090,943
I 22,011,832 3,219,482 4,734,703 2,180,437 3,576,043 15,753,150 51,475,647
2012 II 22,618,110 3,274,797 5,159,444 2,267,220 3,740,232 17,137,476 54,197,279
III 23,736,541 3,317,323 7,342,889 2,425,193 3,751,049 18,954,239 59,527,234
Nov 24,397,882 3,413,266 6,287,121 2,459,965 3,740,086 18,656,010 58,954,330
Pertumbuhan (%) ytd qtq 12.61 2.79 0.52 2.89 33.22 -14.38 8.94 1.43 3.71 -0.29 20.78 -1.57 15.39 (0.96)
3.3.3. Penyaluran Kredit UMKM Penyaluran kredit kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) oleh bank umum di Riau pada triwulan IV-2012 mencapai Rp15,63 triliun atau meningkat sebesar 7,31% (qtq) dan 16,38% (yoy). Pangsa kredit ini mencapai 35,98% dari total kredit bank umum di Riau, namun menurun jika dibandingkan dengan tahun 2011 (37,22%). Secara spesifik, jika dilihat menurut skala usahanya, kredit yang disalurkan sebagian besar diserap oleh usaha kecil dengan nilai kredit sebesar Rp6,06 triliun, diikuti oleh skala usaha menengah dan mikro masing-masing sebesar Rp5,72 triliun dan Rp3,84 triliun. Relatif besarnya penyaluran kredit UMKM di Riau mengimplikasikan tingginya kepedulian perbankan Riau dalam mendukung kemajuan sektor UMKM. Tabel 3.7. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta) Skala Usaha
2010
Mikro
2,204,853
3,112,386
3,313,470
3,545,514
3,617,892
Kecil
4,797,283
5,448,902
5,640,244
5,935,445
5,787,787
Pertumbuhan (%) yoy qtq 23.48 6.23 3,843,216 11.16 4.65 6,057,104
Menengah
3,175,997
4,868,783
4,955,899
5,364,799
5,160,074
2011
2012 I
II
III
IV
5,729,879
17.69
11.04
10,178,133 13,430,070 13,909,612 14,845,758 14,565,754 15,630,199 3.24% 2.40% 3.06% 3.16% 3.80% 4.03%
16.38
7.31
Total Kredit 29,194,961 36,082,932 37,414,869 40,303,169 41,881,367 43,443,660 (% terhadap Total Kredit) 34.86% 37.22% 37.18% 36.84% 34.78% 35.98%
20.40
3.73
Kredit MKM NPL MKM
Ket : Kriteria UMKM mengikuti UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Dilihat secara sektoral, kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di Riau utamanya diserap ke sektor perdagangan dan pertanian (Tabel 3.8). Pada sektor perdagangan, penyaluran kredit UMKM utamanya diserap oleh sub sektor perdagangan eceran keliling dan perdagangan yang didominasi oleh makanan, minuman dan tembakau masing-masing sebesar Rp1,02 triliun dan Rp1,09 triliun. Selanjutnya, sektor UMKM yang juga cukup besar adalah sektor
51
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
pertanian (78,53%) yaitu digunakan untuk sub sektor kelapa sawit seiring dengan masih cerahnya prospek perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau. Sementara itu dilihat dari penggunaannya, Kredit UMKM utamanya diserap dalam bentuk kredit modal kerja yakni sebesar Rp10,77 triliun dan sisanya merupakan kredit investasi yakni sebesar Rp4,85 triliun. Penyaluran kredit modal kerja kepada UMKM di Riau tercatat meningkat sebesar 17,88% (yoy) dan penyaluran kredit investasi sebesar 13,19% (yoy). Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi (Rp juta) No.
Sektor Ekonomi
1 Pertanian 2 Pertambangan 3 Perindustrian 4 Listrik, Gas dan Air 5 Konstruksi
2011
Tw. IV-12
Tw I-12
Tw II-12
Tw III-12
3,559,782
3,693,996
3,962,481
4,385,602
4,717,083
40,231
44,578
80,070
72,619
415,450
417,929
455,196
7,964
6,786
6,618
Jumlah
yoy
30.2%
32.51
7.56
86,353
0.6%
114.6
18.9
307,591
323,321
2.1%
(22.2)
5.1
9,398
8,913
0.1%
11.9
(5.2) 9.2
475,643
463,482
528,375
629,279
687,217
6,025,879
6,093,857
6,593,722
6,703,088
7,188,246
512,506
519,095
540,282
430,095
8 Jasa-jasa
1,296,335
1,330,393
1,405,148
9 Lain-lain
1,096,280
1,339,496
1,273,865
13,430,070
13,909,612
14,845,758
6 Perdag., Resto. & Hotel 7 Pengangkutan
Jumlah
Pertumbuhan (%)
Pangsa
qtq
4.4%
44.5
46.0%
19.3
7.2
638,027
4.1%
24.5
48.3
1,310,834
1,460,101
9.3%
12.6
11.4
717,249
520,938
3.3%
(52.5)
(27.4)
14,565,754
15,630,199
100%
16.38
7.31
3.3.4. Kelonggaran Tarik Jumlah kredit yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp3,74 triliun (sekitar 8,62% dari total kredit), turun sebesar 2,93% (Rp113,04 miliar) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sebagian besar kredit yang belum dicairkan tersebut masih terdapat pada kelompok bank milik swasta dengan nilai sebesar Rp2,34 triliun dan jumlahnya mengalami kenaikan sebesar 4,56% (Rp272,88 miliar) dibandingkan triwulan sebelumnya.
52
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.5. Jumlah Kredit yang Belum Dicairkan Bank Umum di Riau 4,00 3,50 3,00 Rp Triliun
2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw 09 09 09 IV 09 10 10 10 IV 10 11 11 11 IV 11 12 12 12 IV 12 Pemerintah 1,01 0,85 0,94 1,15 1,14 1,34 1,39 1,94 1,72 1,50 1,57 1,83 1,88 1,67 1,62 1,41 Swasta
0,96 1,15 0,95 0,96 1,42 1,72 1,90 1,44 1,65 1,97 2,19 2,00 2,01 1,96 2,24 2,34
Total
1,98 1,99 1,89 2,11 2,56 3,07 3,29 3,38 3,36 3,47 3,77 3,83 3,89 3,63 3,86 3,75
Menurut jenis penggunaan, kredit yang belum dicairkan pada kelompok bank milik swasta tersebut utamanya merupakan kredit modal kerja dengan nilai mencapai
Rp1,85
triliun
diikuti
oleh
kredit
investasi
yakni
sebesar
Rp484,52 miliar. Sementara, Jika dilihat menurut sektor ekonomi, jumlah kredit yang belum dicairkan terbesar utamanya terdapat pada sektor perdagangan dan real estate yakni masing-masing sebesar Rp982,59 miliar dan Rp396,52 miliar. Relatif tingginya jumlah undisbursed loan diperkirakan karena pencairan kredit tersebut utamanya bersifat termin atau bertahap.
3.3.5. Risiko Kredit Kondisi risiko kredit bermasalah (Non Performing Loans/NPL2) bank umum berada pada tingkat yang relatif terjaga. Pada triwulan laporan, NPL bank umum di Riau mencapai 2,89% sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan III-2012 (2,76%) namun masih berada dibawah batas kewajaran yang ditetapkan Bank Indonesia yakni sebesar 5%.
2
NPL Gross
53
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.6. Perkembangan NPL Gross di Provinsi Riau Rp miliar
% 3,50
900 800
2,89
700
3,00 2,50
600 500
2,00
400
1,50
300
1,00
200
0,50
100
0
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV 09 09 09 09 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12
Kurang Lancar
Diragukan
Macet
NPLs (kanan)
Berdasarkan sektor ekonomi, diketahui bahwa sektor konstruksi masih mengalami NPL tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 7,85%. Meskipun demikian, pangsa penyaluran kredit ke sektor ini relatif kecil, sehingga belum memberikan dampak yang signifikan terhadap NPL secara umum. Namun demikian, mengingat pertumbuhan kredit di sektor ini pada triwulan laporan cukup tinggi, sehingga perlu menjadi perhatian perbankan Riau agar tingkat resikonya dapat terkontrol. Tabel 3.9. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau No.
Sektor Ekonomi
2011
2012 Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
1 Pertanian
1.11%
1.50%
1.42%
1.70%
2.11%
2 Pertambangan
0.15%
0.45%
0.58%
0.49%
0.50%
3 Perindustrian
1.24%
1.33%
1.31%
0.97%
1.17%
4 Listrik
0.18%
0.09%
0.58%
1.24%
0.66%
5 Konstruksi
6.82%
6.78%
8.95%
10.14%
7.85%
6 Perdagangan
3.80%
4.11%
3.87%
4.13%
4.34%
7 Pengangkutan
0.39%
0.17%
0.42%
0.51%
1.63%
8 Jasa Dunia Usaha
1.07%
1.35%
1.50%
1.83%
1.96%
9 Jasa Sosial
1.39%
4.51%
4.05%
4.16%
5.80%
1.42%
1.60%
1.92%
2.46%
2.32%
1.95%
2.22%
2.35%
2.76%
2.89%
10 Lain-lain Total
54
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Jika dilihat berdasarkan risiko di Kabupaten/Kota, maka risiko kredit bermasalah tertinggi terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu sebesar 6,09%, mengalami kenaikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,67%. Relatif tingginya risiko kredit bermasalah di Kabupaten Indragiri Hilir utamanya berasal dari sektor perumahan terutama kepemilikan rumah tempat tinggal tipe sederhana dengan NPL mencapai 37,41% dan perdagangan eceran yang didominasi oleh makanan dengan NPL mencapai 19,45%. Sedangkan NPL terendah terdapat di Kota Dumai yaitu sebesar 2,25, menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,77%. Tabel 3.10. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
No. 1 2 3 4 5 6
Kab./Kota Pekanbaru Dumai Bengkalis Indragiri Hulu Indragiri Hilir Lainnya
2011 2.10% 1.58% 1.89% 1.09% 1.29% 1.78%
2012 I 2.34% 1.11% 2.18% 1.30% 2.91% 2.11%
II 2.39% 2.41% 3.52% 1.01% 2.32% 2.28%
III *) 2.82% 2.77% 3.95% 1.36% 4.67% 2.24%
IV 2.92% 2.25% 3.68% 3.24% 6.09% 2.15%
Ket.: *) Data perubahan
3.4. Kondisi Likuiditas 3.4.1. Dana Pihak Ketiga Penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau pada triwulan laporan mengalami penurunan sebesar 2,27% (qtq) menjadi Rp52,24 triliun. Dana yang dihimpun ini juga utamanya masih bertumpu pada dana jangka pendek. Adanya penurunan DPK disebabkan karena menurunnya jumlah giro dan deposito yang dihimpun bank umum di Riau. Tingginya penurunan jumlah giro diindikasikan terkait dengan siklus realisasi belanja pemerintah daerah yang pada umumnya berada pada akhir tahun anggaran. Sementara itu, komponen tabungan yang memiliki pangsa terbesar dalam DPK masih terus mengalami peningkatan sebesar 11,38% (qtq) dan 13,57% (yoy) pada triwulan laporan hingga menjadi Rp25,37 triliun.
55
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Tabel 3.11. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar) No Komponen DPK 1 2 3
2011
Giro Tabungan Deposito a. s.d 3 bln b. > 3-6 bln c. > 6-12 bln d. > 12 bln
10,837 22,343 11,740 9,446 1,238 818 238
I 13,012 21,589 13,879 11,566 1,304 788 221
Total DPK
44,920
48,480
2012 II 14,452 22,216 13,646 11,160 1,507 812 167
III 17,015 22,782 13,660 11,138 1,475 867 179
IV 14,149 25,374 12,720 9,913 1,614 1,007 185
50,314
53,457
52,243
Pertumbuhan (%) yoy
qtq
30.6 -16.84 13.6 11.38 8.3 -6.88 4.9 -11.00 30.4 9.40 23.1 16.12 -22.2 #DIV/0! 3.21 #DIV/0! 16.30 -2.27
Berdasarkan kepemilikannya, terlihat bahwa penurunan DPK bank umum di Riau utamanya didorong oleh penurunan dana milik Pemerintah Daerah. Pada triwulan laporan, komposisi dana milik Pemerintah Daerah di bank umum mencapai Rp7,79 triliun atau turun 44,71% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang terkait dengan realisasi belanja Pemda. Sementara itu, DPK milik perorangan yang tercatat menguasai pangsa terbesar menunjukkan kenaikan yakni dari Rp31,48 triliun menjadi Rp34,58 triliun. Terus meningkatnya dana milik perorangan mengindikasikan semakin meningkatnya akses masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan yang tercermin dari meningkatnya jumlah tabungan milik perorangan pada kelompok nilai sampai dengan Rp100 juta Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp juta) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
7,354,226 209,282 6,484,913 80,958 485,786 93,287 6,354,088 74,236 5,565,121 564,985 134,565 15,181 31,211,791
I 12,437,605 221,268 11,488,233 191,992 492,845 43,267 5,976,678 81,437 5,255,431 485,323 140,598 13,890 30,065,991
2012 II III 13,368,237 15,033,055 204,086 211,716 12,378,411 14,098,828 128,338 82,199 596,105 573,722 61,297 66,590 6,307,174 6,948,758 103,593 109,946 5,540,719 5,831,564 529,553 859,146 124,062 132,806 9,246 15,296 30,638,917 31,475,199
IV 9,105,668 388,934 7,794,785 119,414 704,665 97,870 8,557,573 109,135 7,504,515 771,308 159,213 13,402 34,579,298
44,920,105
48,480,274
50,314,329
52,242,540
Kepemilikan
2011
Sektor Pemerintah Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Badan/Lembaga Pemerintah Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah Sektor Swasta Perusahaan Asuransi Perusahaan Swasta Yayasan dan Badan Sosial Koperasi Lainnya Perorangan Jumlah
53,457,012
Pertumbuhan (%) yoy qtq 23.82 -39.43 85.84 83.71 20.20 -44.71 47.50 45.27 45.06 22.82 4.91 46.97 34.68 23.15 47.01 -0.74 34.85 28.69 36.52 -10.22 18.32 19.88 -11.72 -12.38 10.79 9.86 16.30
-2.27
Berdasarkan Kabupaten/Kota, penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau pada triwulan laporan tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan triwulan-triwulan sebelumnya. Penghimpunan DPK oleh bank umum masih terkonsentrasi di Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp32,28 triliun atau sekitar 61,80% terhadap total DPK bank umum. Wilayah lain yang juga 56
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
memiliki pangsa DPK cukup besar adalah Kabupaten Bengkalis dan Kota Dumai masing-masing sebesar 8,97% dan 8,32% (Tabel 3.14). Relatif tingginya penghimpunan DPK di ketiga kota tersebut diindikasikan tidak terlepas dari prospek dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut yang juga memiliki andil cukup signifikan terhadap perekonomian Riau. Tabel 3.13. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
No. 1 2 3 4 5 6
Kab./Kota Pekanbaru Bengkalis Dumai Indragiri Hilir Indragiri Hulu Lainnya Jumlah
2011 27,747,965 4,727,706 3,623,654 1,688,899 1,935,182 5,196,698 44,920,104
Tw I-12 28,916,758 4,748,899 3,658,386 1,828,706 1,872,710 7,454,815 48,480,274
Tw II-12 29,860,131 4,875,790 3,802,907 2,013,106 1,990,529 7,771,865 50,314,328
Tw III-12
Tw IV-12
Pertumbuhan (%)
Pangsa 61.80% 8.94% 8.32% 3.64% 4.07% 13.24%
yoy
qtq
31,399,109 5,342,213 3,898,884 2,037,309 2,126,516 8,652,981
Rp 32,283,391 4,670,893 4,344,964 1,900,567 2,124,574 6,918,150
16.35 -1.20 19.91 12.53 9.79 33.13
2.82 -12.57 11.44 -6.71 -0.09 -20.05
53,457,012
52,242,540
100%
16.30
-2.27
3.4.2. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) Posisi LDR bank umum di Riau pada triwulan IV-2012 tercatat sebesar 83,16% atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 78,35%. Hal ini utamanya tidak terlepas dari relatif ekspansifnya bank umum dalam menyalurkan kredit baik untuk sektor produktif maupun konsumtif sejalan dengan menurunnya tingkat bunga kredit sementara dana yang dihimpun mengalami penurunan. Sementara itu, dengan memperhitungkan kredit berdasarkan lokasi proyek3, LDR perbankan Riau dalam triwulan laporan mencapai angka yang lebih tinggi yakni sebesar 111,37%, juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 109,93% dan LDR nasional4 yang tercatat 84,36% pada periode yang sama.
3 4
data posisi November 2012 data posisi November 2012
57
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.7. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau 120,0% 110,0% 100,0% 90,0% 80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0%
Tw I 09
Tw II 09
Tw III Tw IV 09 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III Tw IV 10 10
Tw I- Tw II- Tw III- Tw IV- Tw I- Tw II- Tw III- Tw IV 11 11 11 11 12 12 12 12
Nasional 88,4% 87,1% 73,6% 72,9% 75,7% 75,7% 77,4% 75,5% 77,2% 80,0% 81,7% 79,0% 80,8% 83,4% 84,72 84,36 LDR
65,2% 66,0% 73,2% 78,0% 73,4% 77,4% 78,5% 78,8% 75,2% 75,9% 76,5% 80,3% 77,2% 80,1% 78,3% 83,2%
LDR1
98,2% 95,9% 106,2 114,5 104,1 111,2 117,4 114,4 114,0 112,1 113,7 113,7 108,5 111,0 111,4 112,8
Ket : LDR 1 = LDR berdasarkan kredit lokasi proyek
3.5. Profitabilitas 3.5.1. Spread Bunga Pergerakan suku bunga rata-rata tertimbang bank umum di Riau pada triwulan IV-2012 menunjukkan penurunan baik pada suku bunga dana yang tercermin dari deposito 3 bulan maupun suku bunga kredit. Suku bunga kredit tertimbang bank umum pada triwulan laporan tercatat menurun sebesar 13 bps menjadi 12,22%. Sementara itu, suku bunga dana tertimbang mencatat kenaikan sebesar 18 bps menjadi 5,39%. Kondisi ini mendorong turunnya margin yang diterima bank umum sebesar 31 bps hingga menjadi 6,83%. Meskipun margin yang diterima perbankan telah mengalami penurunan, namun tingkat margin yang dinikmati oleh perbankan masih berada pada tingkat yang relatif tinggi Secara umum, rata-rata suku bunga kredit maupun dana pada tahun 2012 telah mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2011. Namun, karena laju penurunan suku bunga dana yang lebih tinggi daripada suku bunga kredit maka telah mendorong meningkatnya margin yang diterima perbankan pada akhir tahun 2012 relatif lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 6,01%.
58
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.8. Perkembangan Suku Bunga Rata-rata Tertimbang Kredit dan Deposito 3 bulan 20,00
18,00 16,00
Margin Kredit Deposito 3 bulan BI rate
%
14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00
Dalam upaya meningkatkan good governance dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan, Bank Indonesia secara resmi telah mengeluarkan kebijakan pemberlakuan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit5. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan disiplin pasar yang lebih baik melalui terbentuknya informasi yang simetris baik di tingkat pelaku usaha, masyarakat umum maupun perbankan.
3.5.2. Pendapatan dan Beban Bunga Jumlah pendapatan bunga yang diperoleh bank umum di Provinsi Riau selama triwulan laporan mencapai Rp1,67 triliun atau meningkat Rp66,47 miliar (4,13%) dibandingkan dengan triwulan III-2012. Peningkatan pendapatan bunga sebagian besar bersumber dari pendapatan bunga kredit yang tercatat meningkat sebesar Rp32,31 miliar menjadi Rp1,46 triliun sejalan dengan bertumbuhnya penyaluran kredit di Riau pada triwulan laporan meskipun ratarata suku bunganya mengalami penurunan.
5
Sebagaimana diatur dalam SE Ekstern No.13/5/DPNP tanggal 08 Februari 2011 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
59
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.9. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar) 100% 90% 80% 70%
60% 50%
40% 30%
20% 10% 0%
Tw I 09
Tw II 09
Tw III Tw IV 09 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III Tw IV 10 10
Tw I 11
Tw II 11
Tw III Tw IV 11 11
Tw I 12
Tw II 12
Tw III Tw IV 12 12
Lainnya
0,3
0,5
1,2
1,2
80,3
85,7
81,9
86,0
100,4 103,3 110,3 140,4
89,8
84,8
86,0
123,7
Antar Bank
76,9
55,0
51,8
88,5
32,2
45,3
47,4
42,3
28,0
21,3
43,2
47,6
51,9
Kredit
705,5 716,6 870,9 816,9 930,8 994,0 1.048 1.072 1.103 1.115 1.223 1.257 1.243 1.361 1.432 1.464
SBI dan surat berharga 84,9
61,2
35,8
17,3
14,1
30,7
25,1
25,8
36,1
40,6 42,7
43,5 50,4
34,9 55,1
40,5
39,9
42,5
34,6
Di sisi lain, beban bunga yang ditanggung oleh bank umum di Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan sebesar 3,48% (Rp 17,87 miliar) dibandingkan
triwulan
sebelumnya.
Kondisi
disebabkan
oleh
adanya
peningkatan yang relatif tinggi pada beban bunga deposito jangka pendek (1-3 bulan) selama periode Oktober sampai Desember 2012 meskipun jumlah dana yang dihimpun mengalami penurunan. Grafik 3.10. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tw I 09
Tw II 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III Tw IV Tw I- Tw II- Tw III- Tw IV- Tw I- Tw II- Tw III- Tw IV10 10 11 11 11 11 12 12 12 12
4.8
4.7
4.8
1.9
72.7
77.4
88.3
83.2 113.1 110.3 114.1 125.6 101.9 110.3 93.0 102.7
Antar Bank 23.9
45.7
39.1
35.6
38.0
43.7
44.8
39.8
Lainnya
Tw III Tw IV 09 09
23.5
16.6
23.3
11.8
7.0
6.1
8.0
8.7
Tabungan
104.1 90.5 108.8 110.4 107.9 102.9 109.3 116.6 125.1 129.0 133.6 129.0 124.4 110.3 111.4 114.3
Deposito
210.7 181.5 215.2 158.1 144.7 174.2 160.2 165.4 157.2 193.3 211.7 222.6 206.0 220.2 207.2 207.9
Giro
73.9
85.5
72.3
39.4
45.3
55.6
57.0
56.1
61.7
63.2
68.2
69.2
66.4
79.2
94.4
98.4
Lebih tingginya peningkatan pendapatan bunga dibandingkan dengan peningkatan beban bunga telah mendorong meningkatnya nilai pendapatan bunga bersih6 bank umum di Riau per Desember 2012. Nilai pendapatan
6
Net Interest Income atau pendapatan bunga bersih adalah pendapatan bunga dikurangi beban bunga.
60
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
bunga bersih pada tahun 2012 mencapai Rp1,14 triliun atau lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar Rp1,09 triliun dan Rp930 miliar.
4. Perbankan Syariah Kondisi
perbankan
syariah
Riau
per
Desember
2012
menunjukkan
kecenderungan yang lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya maupun periode yang sama tahun sebelumnya. Posisi aset perbankan syariah Riau pada Desember 2012 mencapai Rp4,58 triliun atau naik 8,15% (qtq) dan 40,79% (yoy). Peningkatan aset ini utamanya didorong oleh meningkatnya penghimpunan dana yaitu dari Rp3,20 triliun menjadi Rp3,45 triliun atau naik 7,60% (qtq) dan 47,27% (yoy). Dengan demikian, pangsa aset Perbankan syariah terhadap total perbankan di Provinsi Riau pada akhir tahun 2012 telah mencapai 6,24%, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang memiliki pangsa sebesar 5,37%. Tingginya animo perbankan nasional dalam melakukan penetrasi ke provinsi Riau terutama di bidang perbankan syariah diperkirakan masih akan terus mendongkrak pangsa aset perbankan syariah pada masa mendatang. Tabel 3.14. Indikator Kinerja Utama Perbankan Syariah di Provinsi Riau (Rp juta) No.
1 2 3
Keterangan
4
Jumlah Bank Aset DPK - Giro - Tabungan - Deposito Pembiayaan
5 6
NPF FDR
2011 11 3,256,336 2,341,312 328,209 1,175,950 837,153 2,290,267
I 11 3,457,740 2,743,362 416,494 1,420,873 905,995 2,373,195
2.58% 97.82%
2.91% 86.51%
2012 II III 12 12 3,911,778 4,239,148 2,868,268 3,204,695 445,583 584,125 1,491,500 1,596,958 931,185 1,023,612 2,576,518 2,750,200 2.95% 89.83%
3.03% 85.82%
IV 12 4,584,517 3,448,148 623,723 1,769,684 1,054,741 2,906,878
Pertumbuhan (%) yoy qtq
40.79 47.27 90.04 50.49 25.99 26.92
8.15 7.60 6.78 10.82 3.04 5.70
2.98% 84.30%
Sementara itu, pembiayaan yang disalurkan oleh Perbankan syariah di Riau pada triwulan laporan juga mengalami kenaikan sebesar 5,70% (qtq) sehingga menjadi Rp2,91 triliun pada triwulan laporan. Namun, lebih rendahnya pertumbuhan
pembiayaan
dibandingkan
dengan
pertumbuhan
DPK
mengakibatkan FDR Perbankan syariah di Riau relatif menurun yaitu dari 61
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
85,82% pada triwulan III-2012 menjadi 84,30% pada triwulan laporan. Meskipun demikian, risiko pembiayaan bermasalah (NPF) yang dialami berada pada tingkat relatif terjaga yakni sebesar 2,98%, juga mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Tabel 3.14). Sebagian pembiayaan yang disalurkan oleh bank umum syariah di Provinsi Riau utamanya diserap dalam bentuk pembiayaan produktif dengan pangsa mencapai 54,20% dan sisanya sebesar 45,79% diserap dalam bentuk pembiayaan konsumtif. Secara triwulanan pembiayaan modal kerja dan investasi masing-masing meningkat sebesar 2,80% (qtq) dan 7,44% (qtq), sedangkan pembiayaan konsumsi tercatat meningkat sebesar 6,59% (qtq). Sementara itu, secara sektoral, pembiayaan perbankan syariah sebagian besar masih ditujukan ke sektor lain-lain serta jasa dunia usaha dengan pangsa masing-masing mencapai 45,80% dan 22,74%. Pembiayaan sektor lain yang juga relatif besar disalurkan ke sektor pertanian khususnya sub sektor perkebunan kelapa sawit.
5. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) Kegiatan usaha BPR/S secara umum dalam triwulan laporan masih menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Aset BPR/S Riau per Desember 2012 tercatat sebesar Rp1,04 triliun atau naik sebesar 2,95% dibandingkan dengan triwulan III-2012 yang mencapai Rp1,01 triliun. Meningkatnya jumlah aset utamanya didorong oleh kenaikan penghimpunan DPK dari Rp692,08 miliar pada triwulan III-2012 menjadi Rp694,54 miliar (0,36%). Sementara itu, penyaluran kredit juga mengalami kenaikan yakni dari Rp704,55 miliar menjadi Rp708,53 miliar atau naik sebesar 0,57% (qtq). Lebih tingginya
peningkatan
kredit
yang
disalurkan
dibandingkan
dengan
peningkatan penghimpunan DPK mendorong LDR BPR/S di Riau meningkat yakni dari 101,80% pada triwulan III-2012 menjadi 102,01% pada akhir tahun 2012. Namun demikian, dari sisi risiko rasio kredit bermasalah BPR/S di Riau masih terus menunjukkan kenaikan yakni dari 12,96% menjadi 13,11%. Hal ini utamanya masih disebabkan oleh belum optimalnya kinerja debitur BPR 62
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
mengingat sebagian besar segmen kreditnya berada pada sektor informal. Kondisi ini sepatutnya dapat menjadi perhatian bagi BPR/S di Riau karena dapat mengakibatkan tingkat Kualitas Aktiva Produktif (KAP) memburuk yang pada akhirnya berpotensi mengganggu fungsi intermediasi bank. Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau (dalam Rp juta) Keterangan
2012
2011
1. Jumlah BPR/S 2. Asset 3. DPK - Tabungan - Deposito 4. Kredit 5. LDR 6. NPLs
I
II
III
IV
Pertumbuhan (%) yoy qtq
33 920,404 642,785 302,472 340,313 617,548
34 972,275 685,220 317,379 367,841 655,469
34 997,840 692,916 316,892 376,024 689,275
34 1,008,552 692,080 313,758 378,322 704,545
34 1,038,271 694,541 313,312 381,228 708,530
96.07% 8.22%
95.66% 10.51%
99.47% 10.88%
101.80% 12.96%
102.01% 13.11%
16.14 10.80 5.72 15.39 17.23
2.95 0.36 -0.14 0.77 0.57
6. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan oleh 6 (enam) bank pelaksana KUR di Riau hingga triwulan IV-2012 telah mencapai Rp3,08 triliun, naik 9,82% (qtq) atau berada pada urutan ke-7 di tingkat nasional dan ke-2 di Sumatera. Penyaluran KUR di Riau mencakup sekitar 3,17% dari total penyaluran KUR secara nasional yang tercatat sebesar Rp97,16 triliun. Jumlah debitur penerima KUR di Provinsi Riau s.d triwulan IV-2012 tercatat sebesar 125.571 jiwa. Dengan demikian, rata-rata KUR yang disalurkan di Provinsi Riau per Desember 2012 mencapai Rp24,52 juta/jiwa atau naik sebesar 3,30% (qtq) dan 17,69% (yoy) Tabel 3.16. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau Indikator
2012
2011 I
Kredit Usaha Rakyat
II
III
IV
1,963,716
2,255,137
2,569,548
2,804,050
3,079,345
94,246 20.84
101,284 22.27
110,260 23.30
118,121 23.74
125,571 24.52
- Jumlah Debitur - Rata-rata (Rp juta/jiwa) Sumber: Kantor Menko Perekonomian
63
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
7. Perkembangan Transaksi Pembayaran 7.1. Kondisi Umum Perkembangan transaksi pembayaran secara tunai di Provinsi Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan dari sisi uang keluar (outflow) namun mengalami penurunan dari sisi uang masuk (inflow). Trend ini relatif berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dimana outflow cenderung menurun pasca hari raya. Sementara itu, dari sisi transaksi pembayaran non tunai, transaksi BI RTGS masih mendominasi dibandingkan transaksi kliring. Transaksi BI RTGS mengalami kenaikan, sedangkan transaksi kliring mengalami penurunan.
7.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai 7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow
Outflow)
Pada triwulan laporan, perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau yang tercermin dari arus outflow tercatat sebesar Rp4,25 triliun, mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama di tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 7,22% dan 12,93%. Outflow di Provinsi Riau pada tahun 2012 menunjukkan perbedaan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana jumlah outflow cenderung menurun pasca hari raya. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa sampai dengan akhir tahun 2012 jumlah outflow Riau masih terus mengalami peningkatan. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh adanya kegiatan Pekan Paralimpik Nasional (Paparnas) ke XIV di Kota Pekanbaru pada bulan Oktober, sehingga perbankan cenderung meningkatkan ketersediaan uang tunai. Di sisi lain, inflow tercatat sebesar Rp957 miliar, mengalami penurunan sebesar 36,43% dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan ini merupakan faktor seasonal di mana inflow cenderung akan turun pasca hari raya yang jatuh pada triwulan III-2012. Namun jumlah inflow pada triwulan laporan masih lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp653,5 miliar.
64
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Dengan perkembangan tersebut di atas, jumlah transaksi uang tunai di Provinsi Riau pada triwulan IV-2012 masih terus menunjukkan net outflow yaitu sebesar Rp3,29 triliun. Jumlah ini tercatat mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan net outflow pada triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama di tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 33,97% dan 5,88%.
Rp. miliar
Grafik 3.11. Perkembangan Inflow dan Outflow Riau (dalam Rp miliar)
4.500 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2008 Inflow
2009 Outflow
2010
2011
2012
Net Outflow
Jika dilihat secara keseluruhan tahun 2012, maka jumlah outflow Provinsi Riau mencapai Rp 13,03 triliun. Meningkat dibandingkan dengan outflow tahun sebelumnya (8,11%), yang tercatat sebesar Rp12,05 triliun. Peningkatan outflow Riau selama tahun 2012 terjadi seiring dengan adanya beberapa event pada tahun 2012 antara lain PON XVIII dan Pekan Paralimpik Nasional (Paparnas) XIV. Jumlah outflow Riau juga tercatat jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi tetangga khususnya di Sumatera Bagian Tengah (Jambi dan Padang). Relatif tingginya outflow Riau tidak terlepas dari prospek bisnis di Riau, sebagai dampak dari pesatnya perkembangan ekonomi Riau dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
65
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.12. Outflow Riau dibandingkan Daerah Lain di Sumatra Bagian Tengah (Miliar Rupiah) 15.000
10.000
5.000
2008
2009
Riau
Jambi
2010
Padang
2011
2012
7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar Dalam upaya pemenuhan jumlah nominal uang kartal menurut jenis pecahan dan dalam kondisi layak edar (Clean Money Policy) bagi masyarakat, Bank Indonesia, secara berkala melakukan kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar (UTLE), dengan Pemberian Tanda Tidak berharga (PTTB). UTLE tersebut berasal dari setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat, yang selanjutnya ditukar dengan uang yang layak edar (fit for circulation). Meskipun jumlah uang kartal masuk (inflow) pada triwulan laporan mengalami penurunan, namun UTLE yang dimusnahkan (PTTB) mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Tercatat UTLE yang dimusnahkan sebanyak Rp99,16 miliar, meningkat 48,01% dibandingkan triwulan sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, ratio UTLE yang dimusnahkan terhadap inflow
pada
triwulan
laporan
tercatat
sebesar
10,36%,
meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,45%. Kenaikan UTLE yang dimusnahkan pada triwulan laporan berasal dari akumulasi sebagian UTLE dari triwulan sebelumnya, dan baru dimusnahkan pada triwulan laporan. Kondisi ini terjadi karena di triwulan III-2012 difokuskan pada pelayanan penukaran uang kepada masyarakat Riau dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri.
66
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.13. Perkembangan Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) terhadap Inflow di Provinsi Riau 2.000
120 100
1.500
80 60
40
500
20
-
0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Inflow (kiri)
PTTB (kiri)
persen (%)
Rp. miliar
1.000
Ratio PTTB terhadap Inflow (kanan)
Untuk menjaga jumlah uang yang dimusnahkan tetap berada pada level yang rendah, Bank Indonesia tetap giat melakukan sosialisasi prinsip 3D (Didapat, Disimpan, Disayang) kepada masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat memahami cara-cara memperlakukan uang dengan baik sehingga dapat memperpanjang usia manfaat fisik uang. Selama tahun 2012, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau telah melakukan sosialisasi prinsip 3D di beberapa tempat di Kota Pekanbaru. Selain itu, sosialisasi prinsip 3D juga dilakukan dalam berbagai kesempatan seperti Dumai Expo, Pekanbaru Expo dan Riau Expo, maupun sosialisasi kepada pihak eksternal lainnya yang melakukan kegiatan kunjungan ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.
7.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan IV-2012 tercatat mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 94 lembar menjadi 86 lembar. Namun nominalnya sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari Rp7,25 juta menjadi Rp7,35 juta. Pada triwulan laporan ditemukan sebanyak 86 lembar uang palsu, dengan rincian pecahan Rp100.000 sebanyak 61 lembar (71%) dan pecahan Rp50.000 sebanyak 25 lembar (29%).
67
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Penemuan uang rupiah tidak asli tersebut didasarkan pada permintaan klarifikasi perbankan dan masyarakat serta temuan dari setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau. Sebagai upaya menanggulangi peredaran uang rupiah tidak asli, Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya, antara lain dengan meningkatkan security features uang yang dicetak dan terus melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah, melalui penerapan prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang).
Rp. Juta
Grafik 3.14. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
8 7 6 5 4 3 2 1 -
160 140 120 100 80 60 40 20 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2008
2009
Nominal (kiri)
2010
2011
2012
Lembar (kanan)
7.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI 7.3.1. Transaksi Kliring Jumlah warkat dan nominal transaksi non tunai secara kliring pada triwulan IV-2012 tercatat mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Jumlah
warkat
tercatat
sebesar
267.841
lembar,
menurun
5,46%
dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 283.463 lembar. Seiring dengan penurunan jumlah warkat tersebut jumlah nominal transaksi kliring juga mengalami penurunan (7,59%), yaitu dari Rp 7,38 triliun pada triwulan III-2012 menjadi Rp 6,82 triliun pada triwulan laporan. Penurunan jumlah warkat kliring yang diiringi dengan penurunan jumlah nominal transaksi kliring mengindikasikan menurunnya jumlah aktivitas kliring selama triwulan laporan.
68
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Grafik 3.15. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
350 300 250 200 150 100 50 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2008
2009
2010
Nominal (kiri)
2011
2012
Warkat(kanan)
7.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS) Nilai transaksi dan jumlah warkat non tunai melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) di Riau pada triwulan IV-2012 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan laporan, nilai transaksi tercatat sebesar Rp84,58 triliun meningkat 2,78% dibandingkan triwulan sebelumnya. Seiring dengan meningkatnya nominal transaksi maka jumlah warkat transaksi juga mengalami peningkatan sebesar 4,16% yaitu dari 57.267 lembar pada triwulan III-2012 menjadi 59.648 lembar pada triwulan IV-2012. Tabel 3.17. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan IV-2012 (Rp miliar) Jumlah Nominal Kab/ Kota Bengkalis Dumai Indragiri Hulu Indragiri Hilir Kampar Kuantan Singingi Pekanbaru Pelalaw an Rokan Hulu Rokan Hilir Siak RIAU
From 629 1,985 3 14 19 49,768 1 31 206
To 1,504 1,744 626 44,155 11 1 1 848
iii-2012 From - To 298 368 18,570 19
Kumulatif 1,836 3,361 3 14 644 75,354 12 1 32 1,035
From 746 1,938 4 11 18 52,651 1 29 279
IV-2012 To From - To Kumulatif 1,163 283 1,626 1,676 433 3,182 1 5 0 11 450 1 466 1 1 41,281 15,460 78,472 32 0 33 2 2 1 0 30 499 25 753
52,656
48,890
19,255
82,291
55,676
45,106
16,202
84,580
69
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
Tabel 3.18. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan IV-2012 (lembar) Jumlah Warkat Kab/ Kota Bengkalis Dumai Indragiri Hulu Indragiri Hilir Kampar Kuantan Singingi Pekanbaru Pelalaw an Rokan Hulu Rokan Hilir Siak RIAU
III-2011
IV-2012
From 845 3,553 38 266 312 24,843 18 1 880 536
To 398 3,080 2 4 163 4 31,052 45 18 47 308
From - To 106 867 11 8,142 20
Kumulatif 1,137 5,766 40 270 464 4 47,753 63 19 927 824
From 1,267 2,506 33 201 237 26,854 20 753 671
To From - To Kumulatif 612 214 1,665 3,037 933 4,610 4 37 6 207 179 8 408 4 4 32,759 8,756 50,857 63 1 82 20 20 35 1 787 326 26 971
31,292
35,121
9,146
57,267
32,542
37,045
9,939
59,648
Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, jumlah transaksi RTGS tertinggi tercatat di kota Pekanbaru dan Dumai, hal ini sejalan dengan tingginya aktivitas ekonomi di kedua daerah tersebut, terutama Kota Pekanbaru. Transaksi RTGS di kota Pekanbaru tercatat mengalami peningkatan baik nominal maupun warkat yaitu masing-masing sebesar 4,14% dan 6,5% dibandingkan triwulan sebelumnya. Beberapa event olahraga di Riau pada triwulan IV-2012, serta penyelesaian pembangunan beberapa proyek menjadi faktor pendorong peningkatan tersebut. Sementara itu, jumlah transaksi RTGS terendah tercatat di Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hulu yaitu masing-masing sebesar Rp1 miliar dan Rp2 miliar. Hal ini dikarenakan sejalan dengan masih minimnya jumlah jaringan kantor perbankan di kedua kabupaten tersebut. Kedepan diharapkan dengan adanya peningkatan jaringan kantor perbankan di kedua daerah tersebut dapat pula mendorong peningkatan aktivitas transaksi bisnis, sehingga transaksi non tunai juga akan meningkat.
70
Boks 2 Dampak Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Terhadap Transaksi Pembayaran di Provinsi Riau Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-18 yang berlangsung pada triwulan III-2012 lalu diperkirakan telah secara langsung maupun tidak langsung mendorong kenaikan belanja masyarakat sehingga berdampak terhadap sektor perdagangan, hotel dan restoran di Provinsi Riau. Sejalan dengan kondisi tersebut, hal ini terkonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan kepada beberapa pelaku usaha.1 Grafik 1. Persentase peningkatan Tingkat Hunian Hotel dan Penginapan Selama PON XVIII di Provinsi Riau < 25%
25 % - 50 %
50 % - 75%
75 % - 100 %
> 100 %
48,1% 34,6%
9,6% 1,9% < 25%
0,0% 25 % - 50 %
50 % - 75%
75 % - 100 %
> 100 %
Pada Grafik 1 dapat dilihat bahwa persentase kenaikan omzet pada responden kategori hotel (diukur dengan tingkat hunian hotel) di Riau selama PON berlangsung menunjukkan angka yang cukup signifikan, yaitu mayoritas hotel dan penginapan (48,1%) mengalami peningkatan 75% hingga 100%. Namun tidak terlihat adanya lonjakan yang cukup signifikan di atas 100% dikarenakan banyaknya hotel dan penginapan yang tersedia, terutama di kota Pekanbaru dan bermunculan sebelum penyelenggaraan PON.
1
Survei dilakukan di 6 (enam) daerah yaitu Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hulu,
Kabupaten Siak, Kota Dumai Dan Kota Pekanbaru. Responden Total sampel mencapai 110 responden yang terdistribusi secara merata di tiap wilayah untuk tiap kategori responden. Metode sampel menggunakan probability random sampling.
Sementara, pada pelaku usaha sektor perdagangan juga mengalami kenaikan yang lebih bervariasi sebagaimana terlihat pada Grafik 2. Secara umum, sekitar 33,3% responden mengalami kenaikan keuntungan 25%-50% dan sekitar 27,50 menikmati kenaikan keuntungan berkisar 75%-100%. Kondisi ini secara implisit menunjukkan bahwa pelaksanaan PON memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan pelaku usaha. Grafik 2. Peningkatan Omzet Pelaku Usaha Selama PON XVIII Di Provinsi Riau 33,3% 27,5% 19,6% 11,8%
2,0%
< 25%
25 % - 50 %
50 % - 75 %
75 % - 100 %
> 100%
Terkait dengan penggunaan cara pembayaran yang dilakukan, terdapat perbedaan metode pembayaran yang diterima oleh pengusaha. Pada responden hotel, lebih dari 50% transaksi dilakukan umumnya melalui pembayaran non tunai dan hanya tiga wilayah yang dominan melakukan transaksi tunai yakni Kota Pekanbaru Kab. Kampar dan Kab. Pelalawan. Sebaliknya, pada pelaku usaha, seluruh responden cenderung untuk melakukan transaksi pembayaran secara tunai dibandingkan non tunai. Dari 6 wilayah yang disurvei, hanya Kab. Indragiri Hulu yang tercatat secara dominan melakukan transaksi pembayaran non tunai. Grafik 3. Metode Pembayaran Selama PON
Grafik 4. Metode Pembayaran Selama PON
XVIII di Tingkat Hotel
XVIII di Tingkat Pelaku Usaha Lain
52,4% 47,6%
Pekanbaru
44,2% 55,8%
Dumai
33,3%
Siak
Indragiri Hulu
Non Tunai Tunai
66,7% 71,4%
28,6%
100,0%
0,0% 20,0%
Kampar
80,0% 42,9%
Pelalawan 0,0%
50,0%
85,5% 3,3%
Pekanbaru
96,7% 20,0%
Dumai Siak
100,0%
80,0%
0,0%
100,0%
Indragiri Hulu
40,0%
60,0%
Non Tunai
20,0%
Kampar
80,0% 40,0%
Pelalawan
57,1%
Metode Pembayaran
14,5%
Total
Wilayah
Wilayah
Total
0,0%
Tunai
60,0%
50,0%
100,0%
Metode Pembayaran
Sejalan dengan tingginya transaksi pembayaran tunai di tingkat pelaku usaha lainnya, hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas pelaku usaha (32,1%) menyimpan uang tunai kurang dari 7 hari
untuk kemudian disetor ke perbankan, sebanyak 20% pelaku usaha menyimpan uang tunai antara 7 – 14 hari, sebanyak 17% pelaku usaha menyimpan uang tunai antara 21 – 30 hari, sebanyak 3,8% pelaku usaha menyimpan uang tunai > 30 hari dan sebahagian yang lain (26,4%) tidak menyetor hasil usahanya ke perbankan.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
Bab 4
KONDISI KEUANGAN DAERAH
1. Kondisi Umum Pada tahun 2012, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, baik dari sisi anggaran pendapatan maupun anggaran belanja. Namun, realisasi penyerapan anggaran pendapatan maupun anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2012 diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan penyerapan tahun 2011 yang lalu.
71
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
2. Realisasi APBD Realisasi pendapatan Provinsi Riau sampai dengan triwulan IV-2012 diperkirakan sebesar Rp6,68 triliun (100,57%) dari rencana anggaran sebesar Rp6,64 triliun. Sementara itu, realisasi anggaran belanja sampai dengan triwulan IV-2012 diperkirakan sebesar Rp6,42 triliun atau sekitar 76,63% dari rencana anggaran belanja tahun 2012 yang mencapai Rp8,37 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi anggaran pendapatan maupun anggaran belanja pada periode laporan mengalami penurunan masing-masing dari 117,64% dan 88,90% menjadi 100,57% dan 76,63%. Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Provinsi Riau 2011 dan 2012 (Rp miliar) 2011 Uraian
Alokasi Anggaran (1)
Pendapatan Belanja
Surplus / Defisit
4.624,52 4.797,60 (173,08)
Pembiayaan Penerimaan Daerah 390,61 Pengeluaran Daerah 224,92 Pembiayaan Netto 165,68 SILPA Keterangan : *) Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
2012 *)
Nilai Realisasi
Pencapaian (%)
(2)
(2) / (1)
5.440,44 4.265,13 1.175,31 421,52 257,45 164,07 1.339,38
117,64 88,90 107,91 114,46 99,03 -
Alokasi Anggaran (1)
Nilai Realisasi
Pencapaian (%)
(2)
(2) / (1)
6.639,43 8.373,81 (1.734,38)
6.677,01 6.416,84 260,17
1.839,38 105,00 1.734,38 -
1.829,51 105,00 1.724,51 1.984,68
100,57 76,63 99,46 100,00 99,43 -
Jumlah realisasi pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan realisasi belanja mendorong anggaran Provinsi Riau sampai dengan triwulan IV-2012 tercatat mengalami surplus sebesar Rp260,17 miliar. Sementara itu, pembiayaan netto Provinsi Riau diperkirakan mencapai Rp1,72 triliun. Dengan perkembangan tersebut, maka sampai dengan triwulan IV-2012 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Provinsi Riau diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp1,98 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 48,18% dibandingkan tahun sebelumnya.
72
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
2.1. Realisasi Pendapatan Realisasi komponen pendapatan daerah terbesar terjadi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan nilai realisasi diperkirakan sebesar Rp2,42 triliun (110,87%). Salah satu pendorong tingginya realisasi anggaran PAD pada periode laporan berasal dari pendapatan pajak daerah dengan nilai realisasi diperkirakan sebesar Rp1,96 triliun dari alokasi anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp1,84 triliun. Jika dilihat per komponen pendapatan, alokasi anggaran pendapatan Provinsi Riau sebagian besar berasal dari pendapatan transfer yang mencapai Rp3,79 triliun yang diperkirakan akan terealisasi sebesar Rp3,62 triliun (95,39%). Realisasi tersebut utamanya berasal dari dana perimbangan sebesar Rp3,62 triliun (95,38%) dari alokasi anggaran sebesar Rp3,79 triliun. Secara umum, realisasi seluruh komponen pendapatan yaitu transfer, pendapatan asli daerah, dan pendapatan lain-lain yang sah Provinsi Riau pada periode laporan relatif menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Realisasi Pendapatan Provinsi Riau s.d. Triwulan IV-2012 (Rp miliar) 2011 Alokasi Anggaran
Uraian
(1) Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Transfer Lain-Lain Pendapatan Yang Sah Pendapatan
1.732,70 2.888,35 3,47 4.624,52
2012 *)
Nilai Realisasi
Pencapaian (%)
(2)
(2) / (1)
2.210,13 3.226,84 3 5.440,44
127,55 111,72 100,00 117,64
Alokasi Anggaran
Nilai Realisasi
Pencapaian (%)
(2)
(2) / (1)
(1) 2.181,22 3.793,93 664,27 6.639,43
2.418,38 3.619,22 639 6.677,01
110,87 95,39 96,26 100,57
Keterangan : *) Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
2.2. Realisasi Belanja Pencapaian realisasi belanja Provinsi Riau sampai dengan triwulan IV-2012 diperkirakan
mengalami
penurunan
dibandingkan
tahun
sebelumnya,
meskipun alokasi anggarannya mengalami peningkatan. Realisasi belanja pada tahun 2012 tercatat sebesar 76,63% dengan nominal sebesar Rp6,42 triliun, relatif menurun dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya yang mencapai 88,90%. Alokasi anggaran belanja Provinsi Riau pada tahun 2012 mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari
73
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
Rp4,80 triliun menjadi Rp8,37 triliun (74,54%). Komponen dengan realisasi belanja terbesar terdapat pada belanja transfer dengan nilai realisasi sebesar Rp796,73 miliar (77,79%) yang dialokasikan seluruhnya pada bagi hasil pajak ke Kabupaten/Kota. Namun, alokasi anggaran untuk komponen ini tidak terlalu
besar
bila
dibandingkan
dengan
komponen
belanja
lainnya.
Selanjutnya, komponen belanja yang juga terealisasi lebih tinggi adalah komponen belanja operasi yang diperkirakan mencapai 76,86% dengan nilai realisasi sebesar Rp3,75 triliun. Penyerapan terbesar pada komponen ini utamanya berasal dari belanja hibah dengan nilai realisasi sebesar Rp1,5 triliun, diikuti belanja barang dan jasa sebesar Rp1,06 triliun dan belanja pegawai sebesar Rp997 miliar. Selanjutnya belanja modal yang dialokasikan sebesar Rp2,46 triliun telah terealisasi sebesar Rp76,03% sampai dengan triwulan IV-2012 dengan nilai realisasi sebesar Rp1,87 triliun. Realisasi belanja modal ini utamanya berasal dari realisasi untuk belanja jalan, irigasi dan jaringan yaitu sebesar Rp1,12 triliun (80,41%) diikuti oleh belanja gedung dan bangunan sebesar Rp501 miliar (69,31%). Tabel 4.3. Realisasi Belanja Provinsi Riau s.d Triwulan IV-2012 (Rp miliar) 2011 Alokasi Anggaran
Uraian
Nilai Realisasi s.d Realisasi Tw.IV-2011, %
(1) Belanja Operasi Belanja Modal Belanja Tidak Terduga Transfer Belanja
2.716,93 1.547,45 1,50 531,72 4.797,60
2012
(2) 2.411,83 1.342,18 0,10 511,02 4.265,13
(2) / (1) 88,77 86,73 6,77 96,11 88,90
Alokasi Anggaran (1) 4.881,75 2.457,13 10,78 1.024,15 8.373,81
Realisasi s.d Nilai Realisasi Tw.IV-2012, % (2) (2) / (1) 3.752,05 1.868,06 0,00 796,73 6.416,84
76,86 76,03 0,00 77,79 76,63
Keterangan : Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan belum optimalnya penyerapan belanja antara lain (i) permasalahan internal, yaitu kelambatan proses administrasi dan belum optimalnya perencanaan sehingga penyerapan menjadi tidak optimal, (ii) mekanisme pengadaan barang dan jasa yang relatif panjang,
(iii)
faktor
geografis
serta
keterbatasan
kapasitas
developer/kontraktor di daerah.
74
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan Daerah
Bab 5 PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN DAERAH MONETER, PERBANKAN
1. Kondisi Umum Kondisi kesejahteraan Provinsi Riau khususnya di pedesaan, sebagaimana tercermin salah satunya dari perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Penurunan tersebut didorong oleh menurunnya harga TBS lokal akibat penurunan harga CPO dunia dan peningkatan produksi pada triwulan IV-2012. Namun disisi lain, peningkatan UMP Provinsi dan upah minimum Kab/Kota menjadi indikator yang akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Riau. Meskipun demikian, Pemerintah Daerah juga perlu aware terhadap resiko-resiko yang mungkin muncul.
75
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan Daerah
2. Nilai Tukar Petani (NTP) Nilai Tukar Petani (NTP)1 merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan petani dengan mengukur kemampuan tukar produk yang dihasilkan oleh petani dengan produk yang dibutuhkan oleh petani baik untuk proses produksi maupun untuk konsumsi rumah tangga petani. Semakin tinggi NTP mengindikasikan semakin meningkatnya kemampuan daya tukar (term of trade) petani yang sejalan dengan peningkatan kehidupan petani. Pada triwulan IV-2012 indeks NTP di Provinsi Riau mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Penurunan NTP tersebut mengindikasikan semakin menurunnya daya tukar petani dari produk yang dihasilkan terhadap produk yang dibutuhkan. Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya indeks yang diterima oleh petani dari produk yang dihasilkan sementara indeks yang harus dibayar
petani
dari
produk
yang
dibutuhkan/dikonsumsi
mengalami
peningkatan. Kondisi tersebut pada akhirnya akan memberikan dampak yang cukup berarti terhadap menurunnya kesejahteraan petani. Grafik 5.1. Perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
1
NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani dan dinyatakan dalam bentuk persentase
76
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan Daerah
Pada triwulan laporan, NTP di Provinsi Riau tercatat sebesar 102,54 menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama pada tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 103,61(1,03%) dan 105,05 (2,39%). Secara tahunan (yoy), penurunan NTP Riau disebabkan karena lebih tingginya peningkatan indeks yang dibayar petani yaitu untuk konsumsi rumah tangga, biaya pemeliharaan dan penambahan barang modal dibandingkan dengan kenaikan indeks yang diterima. Namun demikian, secara triwulanan penurunan terjadi karena indeks yang diterima menurun sementara indeks yang dibayar mengalami peningkatan. Selanjutnya, jika dilihat secara sektoral, hampir semua sektor mengalami penurunan, kecuali sektor peternakan dan sektor perikanan. Namun demikian, indeks sektor perikanan secara persisten masih berada dibawah 100. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor tanaman perkebunan rakyat, dimana indeksnya pada 3 (tiga) triwulan terakhir berada dibawah 100. Jika dilihat dari perkembangannya, maka penurunan NTP yang paling besar terjadi pada sektor tanaman perkebunan rakyat yaitu menurun sebesar 2,81% (qtq) dan 5,61% (yoy). Mengingat besarnya pangsa sektor ini di Provinsi Riau sehingga telah memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap penurunan NTP secara umum. Grafik 5.2. Perkembangan Nilai Tukar Petani Sektoral di Provinsi Riau
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
Grafik 5.3. Perkembangan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Lokal di Provinsi Riau dan Harga CPO Dunia
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
77
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan Daerah
Menurunnya NTP sektor tanaman perkebunan rakyat disebabkan oleh penurunan harga TBS lokal. Pada triwulan laporan, harga TBS lokal secara rata-rata menurun dibandingkan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 19,68% dan 25,35%. Kondisi tersebut disebabkan oleh menurunnya harga CPO dunia akibat berkurangnya permintaan dunia terhadap CPO khususnya dari China sebagai konsumen CPO terbesar. Selain itu, panen raya pada bulan Agustus sampai November juga mengakibatkan peningkatan produksi TBS sehingga stok TBS Riau juga meningkat yang juga memicu penurunan harga TBS lokal. Grafik 5.4. Perkembangan Konsumsi CPO Dunia di Negara India, China dan Eropa
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
Grafik 5.5. Perkembangan Produksi CPO Dunia di Negara Indonesia, Malaysia dan Thailand
Sumber : United States Departemen of Agriculture Foreign Agricultural Service
3. Upah Minimum Provinsi (UMP) Melalui Surat Keputusan (SK) Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 67 tahun 2012 tentang penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Pemerintah Provinsi
Riau
telah
menetapkan
upah
minimum
di
masing-masing
Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau. Selanjutnya berdasarkan Kab/Kota, kenaikan upah minimum terbesar terdapat pada Kabupaten Bengkalis yaitu sebesar 26,77% dari Rp1,27 juta menjadi Rp1,61 juta, diikuti oleh Kabupaten Siak dari Rp1,31 juta menjadi Rp1,6 juta (22,14%). Upah minimum Kabupaten Bengkalis juga merupakan upah minimum yang tertinggi di Provinsi Riau.
78
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan Daerah
Selanjutnya, upah minimum terendah terdapat di Kabupaten Pelalawan yaitu sebesar Rp1,45 juta dari Rp1,25 juta. Namun demikian, jika dilihat dari besarannya, upah minimum di Riau telah berada pada tingkat yang cukup baik. Peningkatan upah minimum pada masing-masing Kab/Kota juga tercatat cukup tinggi, bahkan secara umum lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan UMP pada tahun 2012 tercatat sebesar 10,54%, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan UMP pada tahun 2011 yang lalu (10,24%). Di sisi lain, inflasi Riau pada tahun 2012 tercatat sebesar 3,32% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada tahun 2011 yang mencapai 4,72%. Kenaikan UMP yang lebih tinggi dan diiringi dengan inflasi yang lebih rendah mengindikasikan bahwa penduduk Riau pada tahun 2012 lebih sejahtera dibandingkan tahun 2011. Tabel 5.1 Perkembangan Upah Minimum per Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Pertumbuhan Pertumbuhan 11/12 12/13 1 Kab. Pelalawan 1.020.000 1.128.000 1.250.000 1.445.000 10,82 15,60 2 Kab. Rokan Hulu 1.060.000 1.150.000 1.265.000 1.450.000 10,00 14,62 3 Kab. Rokan Hilir 1.040.000 1.140.000 1.287.000 1.520.000 12,89 18,10 4 Kab. Indragiri Hulu 1.108.500 1.208.000 1.389.000 1.548.888 14,98 11,51 5 Kab. Indragiri Hilir 1.030.000 1.130.000 1.250.000 1.492.000 10,62 19,36 6 Kab. Siak 1.048.500 1.186.000 1.310.000 1.600.000 10,46 22,14 7 Kab. Bengkalis 1.050.000 1.125.000 1.270.000 1.610.000 12,89 26,77 8 Kab. Kampar 1.122.000 1.230.000 1.345.000 1.492.000 9,35 10,93 9 Kab. Kuantan Singingi 1.017.500 1.123.000 1.270.000 1.447.800 13,09 14,00 10 Kab. Kep. Meranti 1.016.000 1.125.000 1.255.000 1.510.000 11,56 20,32 11 Kota Pekanbaru 1.055.000 1.135.000 1.260.000 1.450.000 11,01 15,08 12 Kota Dumai 1.070.000 1.177.000 1.287.000 1.490.000 9,35 15,77 Provinsi Riau 1.016.000 1.120.000 1.238.000 1.400.000 10,54 13,09 Sumber : Kementerian Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Penduduk No
Wilayah
2010
2011
2012
2013
79
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Bab 6 PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2013 diperkirakan akan tumbuh relatif tidak berbeda dengan periode sebelumnya. Dengan memasukkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau diperkirakan secara tahunan pada kisaran 2,4%-3,0%
(yoy).
Sementara
itu,
dengan
mengeluarkan
unsur
migas,
pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai kisaran 7,4%-7,9% (yoy).
80
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Tabel 6.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan IV-2012 Pertumbuhan
2011***
2012*** I
II
III
IV
2012***
2013p) I
Total
5,01
5,02
3,96
4,06
2,37
3,55
2,4 - 3,0
Tanpa Migas
7,63
7,36
7,50
8,26
7,21
7,82
7,4 - 7,5
Sumber : BPS Provinsi Riau Keterangan :***) Angka Sangat Sementara, p) Perkiraan Bank Indonesia
Ditinjau dari sisi penggunaan, sumber pertumbuhan diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga dan ekspor non migas. Beberapa faktor yang berpotensi mendukung kondisi tersebut antara lain (i) meningkatnya Upah Minimum Provinsi tahun 2013 dari Rp1,24 juta menjadi Rp1,40 juta atau naik 13,09% (yoy) yang juga diikuti oleh peningkatan upah minimum di tingkat kabupaten/kota, (ii) membaiknya harga komoditas CPO di pasar internasional, dimana pada bulan Januari telah terjadi kenaikan harga CPO sebesar 8,07% (mtm) menjadi USD734 per MT dan (iii) meningkatnya kinerja perdagangan sejalan dengan mulai pulihnya negara mitra dagang ekonomi Riau terutama Cina1. Dari sisi sektoral, perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor perdagangan. Hal ini tidak terlepas dari mulai meningkatnya konsumsi masyarakat dan pulihnya kinerja ekspor sehingga turut menjaga kestabilan pertumbuhan di sektor perdagangan. Sementara itu, sektor pertanian khususnya pada sub sektor perkebunan diperkirakan akan mulai membaik sejalan dengan membaiknya harga komoditas internasional seperti CPO dan karet yang tentunya akan memberikan insentif bagi para petani untuk melakukan panen. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang berpotensi membawa pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Dari sisi internal, belum ditemukannya sumur minyak yang lebih produktif diperkirakan akan mengakibatkan pencapaian lifting minyak bumi Riau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Namun terdapat beberapa kebijakan pemerintah untuk meningkatkan volume lifting minyak bumi diantaranya (i) peningkatan eksplorasi sehingga reserve replacement ratio mendekati satu, (ii) mengganti infrastruktur 1
Dana Moneter Internasional memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Cina pada tahun 2013 mencapai 8,2% (yoy) atau lebih tinggi dari tahun 2012 yang tercatat sebesar 7,8% (yoy).
81
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
lama dan (iii) optimalisasi pelaksanaan Inpres 2/2012 tentang peningkatan produksi minyak bumi nasional. Sementara itu, salah satu faktor yang berpotensi membawa pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang utama Riau dan negara berkembang (emerging market) di kawasan Asia yang diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau. Disamping itu, adanya prakiraan terhadap kenaikan volume perdagangan dunia juga diperkirakan akan memberikan imbas positif terhadap kinerja perdagangan eksternal Riau secara umum.2 Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen di Provinsi Riau
Grafik 6.2. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha di Provinsi Riau
170 150 130 110 90 70 50 II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2006
2007
2008
2009
2010
2011 2012
2012
Indeks Keyakinan Konsumen
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Indeks Ekspektasi Konsumen
Baseline
Grafik 6.1. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Pertanian
2013
Grafik 6.2. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Pertambangan
2
Dana Moneter Internasional memprediksi bahwa pertumbuhan volume perdagangan dunia pada tahun 2013 mencapai 3,8% atau naik 1% dari tahun 2012 sejalan dengan pemulihan ekonomi negara maju.
82
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Grafik 6.1. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Industri
Grafik 6.2. Prakiraan Indeks Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan
2. PERKIRAAN INFLASI Perkembangan inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan mendatang relatif meningkat dan diproyeksikan berada pada kisaran 4,8% - 5,5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 2,0% - 2,8% (qtq). Kondisi ini diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya Pertama, kondisi cuaca ekstrem yang berpotensi mengganggu pasokan dan distribusi secara umum. Kedua, meningkatnya biaya produksi di tingkat pelaku usaha sejalan dengan kebijakan administered price yakni kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dengan rata-rata sebesar 15% dan Upah Minimum Regional (UMP). Ketiga, gangguan produksi akibat faktor musiman dan menurunnya luas tanam bahan pangan pokok seperti cabe merah di wilayah sentra produksi.3 Keempat, masih belum memadainya kondisi infrastruktur seperti kondisi jalan yang masih belum memenuhi standar yang terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara tonase jalan dengan kapasitas kendaraan sehingga berpotensi menghambat kelancaran distribusi pasokan bahan makanan. Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Triwulan IV-2012 Inflasi yoy,% qtq,%
I 7,90 1,18
2011*** II III 5,58 6,04 -0,30 2,35
IV 4,71 1,42
I 3,93 0,43
2012*** II III 5,44 4,08 1,14 1,03
IV 3,32 0,69
2013p) I 4,8 - 5,5 2,0 - 2,8
Sumber : BPS Provinsi Riau, Keterangan : p) Proyeksi Bank Indonesia
3
Berdasarkan informasi dari Dinas Perdagangan Kota Pekanbaru, sekitar 40% pasokan cabe merah keriting berasal dari Sumatera Utara, adanya masa libur pada tanggal 24-31 Desember 2012 cukup mempengaruhi pasokan cabe merah keriting di Riau mengingat petani di Sumatera Utara belum melakukan panen.
83
GE
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Prospek Perekonomian Daerah
Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan eksepektasi pelaku usaha sejalan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), hambatan distribusi dan infrastruktur. Sementara itu, beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (downside risks) proyeksi diantaranya adalah solusi dini (pre-emptive solution) TPID yang dihasilkan melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait dan penguatan strategi komunikasi dalam menjaga ekspektasi.
84
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
DAFTAR
ISTILAH
Aktiva Produktif Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan. Kualitas Kredit Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Capital Adequacy Ratio (CAR) Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Dana Pihak Ketiga (DPK) Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro, tabungan atau deposito.
xv
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
Financing to Deposit Ratio (FDR) Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum konvensional. Inflasi Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent). Inflasi Administered Price Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan bakar). Inflasi Inti Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan ekspektasi masyarakat. Inflasi Volatile Food Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya beras). Kliring Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Kliring Debet Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal) dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia)
untuk diperhitungkan secara
nasional.
xvi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
Kliring Kredit Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa menyampaikan fisik warkat (paperless). Loan to Deposit Ratio (LDR) Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang diterima (giro, tabungan dan deposito). Net Interest Income (NII) Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga. Non Core Deposit (NCD) Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan 10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan. Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls) Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan). Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs) Adalah
rasio
kredit/pembiayaan
yang
tergolong
NPLs/Fs
terhadap
total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
xvii
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
Rasio Non Performing Loans (NPLs)
Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS) Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI) Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
xviii