KAJIAN EKONOMI REGIONAL
KAJIAN EKONOMI
REGIONAL
TRIWULAN IV
2010
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
VISI BANK INDONESIA : “Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil”
MISI BANK INDONESIA : “Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan”
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA : “Nilai-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, dan Kebersamaan”
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kata Pengantar
KATA
PENGANTAR
BUKU Kajian Ekonomi Regional (KER) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan IV – 2010 dengan penekanan kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Moneter dan Perbankan, Sistem Pembayaran, Kesejahteraan dan Perkiraan Perkembangan Ekonomi Daerah pada triwulan I-2011. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan bulanan bank umum dan BPR, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya. Tujuan dari penyusunan buku KER ini adalah untuk memberikan informasi kepada stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau, dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang membutuhkan. Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi sangat diharapkan.
Pekanbaru, 9 Februari 2011 BANK INDONESIA PEKANBARU ttd
Hari Utomo Pemimpin
iii
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
TABEL INDIKATOR
EKONOMI TERPILIH
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH A. INFLASI DAN PDRB INDIKATOR
2010
2009 Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
MAKRO Indeks Harga Konsumen : Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
113,39
112,78
114,70
115,04
115,95
117,95
120,11
123,09
6,99
3,68
2,20
1,94
2,26
4,58
4,72
6,99
PDRB - harga konstan (Rp miliar ) - Pertanian - Pertambangan & Pengganlian - Industri Pengolahan - Listrik, gas dan Air Besih - Bangunan - Perdagangan, Hotel, dan restoran
3.872,05
3.991,50
4.080,01
4.127,57
3.987,44
4.114,33
4.276,60
4.327,99
11.690,21
11.764,91
11.717,11
11.715,53
11.712,54
11.896,90
11.921,22
12.027,16
2.505,22
2.538,55
2.623,99
2.740,27
2.630,32
2.689,07
2.827,62
2.957,26
50,73
50,88
50,09
52,33
52,66
53,46
54,54
54,75
762,08
787,16
820,00
864,46
831,72
861,72
894,38
931,68
1.964,70
2.018,49
2.107,90
2.079,68
2.122,77
2.215,60
2.329,28
2.333,78
- Pengangkutan dan Komunikasi
675,74
683,53
702,58
726,29
729,66
747,80
782,05
791,46
- Keuangan, Persewaan, dan Jasa
302,45
305,11
320,02
339,06
329,47
336,61
352,54
369,69
1.144,41
1.151,84
1.210,81
1.248,98
1.236,79
1.253,75
1.319,49
1.347,57
- Jasa Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas)
5,17
2,18
1,60
3,03
2,90
3,77
4,76
5,22
Pertumbuhan PDRB (yoy %, tanpa migas)
6,67
6,55
5,70
7,33
6,01
6,75
7,95
7,84
Nilai Ekspor Migas (Juta USD)
1.465,01
1.772,53
1.971,47
2.356,73
1.929,39
1.982,19
2.681,60
3.545,15
Volume Ekspor Migas (ribu Ton)
3.419,71
3.388,69
3.903,25
4.263,49
3.539,91
3.411,22
4.255,03
4.717,67
Nilai Impor Migas (Juta USD)
205,75
298,82
841,89
276,22
278,22
329,62
312,62
314,14
Volume Impor Migas (ribu Ton)
263,55
339,62
530,70
457,65
619,89
592,55
773,73
589,86
B. PERBANKAN INDIKATOR
2009 Tw I
Tw II
2010 Tw III
Tw IV
Tw I
Tw II
Tw III
Tw IV
Bank Umum (dalam Rp triliun) : Total Aset
37,56
40,61
39,34
38,89
41,60
41,46
43,75
44,22
DPK
31,82
33,71
31,63
30,88
33,87
34,32
35,39
37,01
9,98
10,93
8,80
7,08
9,66
9,56
9,46
9,20
12,57
13,17
13,66
15,42
14,50
15,34
16,14
18,41
- Giro - Tabungan - Deposito Kredit - berdasarkan lokasi proyek LDR - Lokasi Proyek (%)
9,27
9,62
9,17
8,38
9,71
9,42
9,79
9,40
34,67
32,32
33,58
35,36
35,20
38,06
41,37
43,38
109
95,89
106,16
114,50
103,92
110,92
116,91
117,19
20,73
22,26
23,15
24,08
24,90
26,38
27,47
28,86
- Modal Kerja
7,32
7,89
8,45
8,80
8,45
8,80
10,13
10,69
- Investasi
5,84
6,21
6,42
6,67
7,28
7,94
7,29
7,78
- Konsumsi
7,54
8,16
8,28
8,60
9,18
9,65
10,05
10,39
Kredit
- LDR (%)
65,17
66,03
73,20
77,98
73,52
76,88
77,64
77,97
- NPL (%)
2,79%
2,76%
2,80%
2,41%
2,67%
3,28%
3,17%
2,34% 21,85
Kredit UMKM (Rp triliun )
15,29
16,59
17,37
18,11
18,38
20,02
20,98
- Kredit Modal Kerja
5,17
5,68
6,07
6,34
6,20
6,71
7,83
8,06
- Kredit Investasi
2,59
2,77
3,02
3,19
3,37
3,71
3,17
3,42
- Kredit Konsumsi
7,53
8,14
8,27
8,58
8,81
9,60
9,98
10,37
2,68%
2,51%
2,61%
2,36%
2,67%
2,55%
2,74%
2,36%
NPL MKM (%) BPR (dalam Rp miliar) Total Aset
542,76
577,19
613,88
640,26
651,55
670,79
721,20
858,04
DPK
382,02
379,06
412,23
419,36
455,53
470,82
503,97
537,00
Kredit - berdasarkan lokasi proyek
353,33
379,26
391,86
398,67
428,25
468,47
495,77
515,00
7,75
7,25
8,86
7,16
8,24
7,82
9,38
7,98
92,49
96,23
87,31
91,82
94,01
99,50
98,37
95,90
Rasio NPL LDR *) SBH 2007
xiv
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
RINGKASAN
Ringkasan Eksekutif
EKSEKUTIF
I. GAMBARAN UMUM Perekonomian Riau pada triwulan laporan mencatat perkembangan yang Perekonomian Riau triwulan laporan mencatat pertumbuhan tertinggi selama tahun 2010
menggembirakan dengan sumber pertumbuhan yang lebih merata dan berkualitas. Pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan mengalami pertumbuhan tertinggi selama tahun 2010, bahkan melebihi proyeksi Bank Indonesia yang berada pada kisaran 3%. Hal ini tidak dari terlepas perkembangan ekonomi nasional yang menunjukkan peningkatan serta stabilitas sistem keuangan yang semakin terkendali.
1
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL •
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan IV-2010 secara umum menunjukkan
Pertumbuhan ekonomi Riau merupakan yang tertinggi sejak terjadinya krisis global
hal
yang
menggembirakan.
Pada
triwulan
laporan,
pertumbuhan ekonomi mencatat pertumbuhan tertinggi selama tahun 2010 yaitu sebesar 5,22%, bahkan jauh diatas pertumbuhan selama tahun 2009 serta melebihi perkiraan semula yang berkisar 3%. Dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau juga cukup tinggi yaitu mencapai 7,84%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan nasional meskipun sedikit melambat dibanding triwulan III.-2010 yang mencapai 7,95%. •
Menurut sisi penggunaan, permintaan domestik masih menjadi penopang utama pertumbuhan triwulan IV-10, khususnya konsumsi rumah tangga
Percepatan penyelesaian infrastruktur dan peningkatan harga komoditas energi memberikan daya dorong dari sisi permintaan
dan investasi non migas. Relatif tingginya peran kedua komponen tersebut diperkirakan terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur fisik pendukung PON yang masih berlangsung sehingga turut memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat Riau. Selain itu, meningkatnya harga komoditas energi di pasar dunia diperkirakan juga turut memberikan dorongan yang cukup signifikan bagi kinerja perdagangan eksternal Riau. •
Pada sisi sektoral, berbeda dibanding triwulan-triwulan sebelumnya, sektor tradables terutama sektor pertambangan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan
Optimalisasi produksi sumur mengakibatkan sektor pertambangan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan
ekonomi
Riau
dengan
sumbangan
sebesar
1,30%.
Peningkatan ini diindikasikan berkaitan erat dengan optimalisasi produksi sumur minyak yang telah ada khususnya di wilayah Bengkalis yang merupakan penghasil minyak terbesar di Provinsi Riau. Hal ini berada diluar prakiraan semula mengingat pada awal triwulan laporan terdapat gangguan produksi salah satu KKKS terbesar di wilayah bengkalis yang merupakan
penghasil
lifting
terbesar
minyak
di
Riau.
Kerusakan
pembangkit listrik tersebut sempat dikhawatirkan berpotensi mengganggu pencapaian lifting minyak bumi di tingkat nasional. Namun demikian, kondisi tersebut tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan mengingat telah dilakukannya optimalisasi produksi sumur minyak lain serta perbaikan secara bertahap pada pembangkit listrik yang mengalami kerusakan.
2
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
•
Ringkasan Eksekutif
Sektor lain yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap pertumbuhan triwulan laporan adalah sektor perdagangan dan industri
Peran Sektor industri pengolahan semakin membesar
pengolahan dengan angka masing-masing mencapai 1,06% dan 0,91%. Hal
ini
tentunya
memberikan
implikasi
penting
bahwa
kualitas
pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan IV-10 relatif lebih baik mengingat sumber pertumbuhan yang berasal dari sektor industri semakin meningkat yang diikuti dengan menurunnya sumbangan sektor nontradables utama (sektor perdagangan). •
Berdasarkan hasil survei kepada beberapa pelaku industri, diketahui bahwa kenaikan kapasitas produksi yang cukup signifikan terjadi pada industri pengolahan pulp and paper, sedangkan kapasitas produksi industri CPO
Industri pengolahan mengkonfirmasi adanya kenaikan kapasitas produksi pada akhir tahun 2010
relatif stabil. Meningkatnya kapasitas produksi industri pulp and paper sejalan dengan mulai membaiknya harga jual kertas di tingkat dunia serta kemudahan dalam memperoleh pasokan bahan baku. Disamping itu, berdasarkan informasi Gapkindo, diketahui bahwa kapasitas produksi industri pengolahan karet Riau pada triwulan laporan mengalami kenaikan sekitar 19% seiring dengan meningkatnya permintaan dari pasar ekspor. Orientasi penjualan karet olahan atau crumb rubber dari Provinsi Riau seluruhnya ditujuan untuk pasar ekspor
III. ASSESMEN INFLASI •
Dinamika perkembangan harga di Provinsi Riau pada triwulan IV-2010 yang diukur melalui Indeks Harga Konsumen (IHK) Kota Pekanbaru dan Kota
Tekanan inflasi triwulan IV mengalami lonjakan signifikan
Dumai secara tahunan (yoy) menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang cenderung lebih stabil. Pada
triwulan
laporan
inflasi
Riau
mencapai
7,37%,
mengalami
peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,57%. Berdasarkan kota yang disurvei, tekanan inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai yaitu dari 3,94% menjadi 9,05%. Sementara itu, inflasi Kota Pekanbaru mengalami peningkatan dari 4,72% menjadi 7,00%..
3
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
•
Ringkasan Eksekutif
Sumber tekanan inflasi pada triwulan laporan berasal dari kenaikan harga cabe merah, minyak goreng dan beras. Faktor pemicu tingginya harga bahan pangan antara lain curah hujan yang tinggi serta gangguan
Tingginya curah hujan yang disertai dengan kenaikan komoditas energi menjadi pemicu utama
gangguan hama tikus yan mengakibatkan pasokan dari sentra produksi menurun. Selain itu, adanya kenaikan harga CPO di pasaran internasional menjadi faktor utama relatif tingginya harga jual minyak goreng pada triwulan laporan. Kondisi ini diperkirakan menyebabkan pengusaha lebih memilih untuk menjual dalam bentuk CPO daripada mengolah menjadi minyak goreng sehingga pasokan minyak goreng mengalami penurunan. •
Inflasi inti mengalami kenaikan seiring dengan tekanan pada inflasi makanan jadi
Inflasi inti (yoy) Pekanbaru dalam triwulan laporan menunjukkan kenaikan dari 3,05% menjadi 4,23% seiring dengan adanya kenaikan pada kelompok makanan jadi. Inflasi inti (core inflation) di Kota Dumai juga tercatat lebih tinggi dibandingkan inflasi inti Kota Pekanbaru. Inflasi inti Kota pekanbaru tercatat sebesar 4,04% sementara inflasi inti Kota Dumai tercatat sebesar 5,33%
IV. ASSESMEN KEUANGAN Perbankan Riau •
Total aset perbankan pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar Rp45,08 triliun, meningkat 14,07% dibandingkan triwulan sebelumnya yang
Kredit perbankan masih mengalami pertumbuhan tertinggi secara tahunan
sebesar Rp44,47 triliun (q-t-q). Peningkatan aset tersebut terutama didorong oleh meningkatnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) dari Rp35,89 triliun menjadi Rp37,55 triliun atau tumbuh sebesar 19,93%. Dengan meningkatnya DPK, tentunya telah mendorong kemampuan perbankan
Riau
untuk
meningkatan
porsi
penyaluran
kredit/pembiayaannya dimana pada periode yang sama tercatat sebesar Rp29,38 triliun atau meningkat sebesar 20,01%. •
Meskipun
kredit
menunjukkan
peningkatan,
namun
kualitas
kredit/pembiyaan yang disalurkan tetap terjaga, sebagaimana terlihat pada rasio NPL gross yang tercatat 2,44%, jauh di bawah angka indikatif Bank Indonesia yang sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
4
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
Risiko kredit menunjukkan penurunan
debitur di Riau untuk mengembalikan pinjamannya (repayment capacity) cukup tinggi, selain diterapkannya prinsip kehati-hatian oleh bank.
Bank Umum •
Total aset bank umum di Riau pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar Rp44,22 triliun atau tumbuh sebesar 13,69% (y-o-y). Peningkatan aset pada triwulan laporan terutama didorong oleh meningkatnya DPK yang
Peningkatan DPK Bank Umum utamanya berasal dari tabungan
dihimpun serta adanya pembukaan jaringan kantor bank. Posisi DPK yang dihimpun bank umum di Riau pada triwulan IV-2010 mencapai Rp37,01 triliun atau meningkat 19,87% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan DPK tersebut disumbangkan oleh meningkatnya tabungan yang cukup signifikan sebesar 14,08% (q-t-q), sementara giro dan deposito mengalami penurunan masing-masing sebesar 2,77% dan 3,98%. •
Posisi
kredit/pembiyaan
yang
disalurkan
bank
umum
Riau
pada
triwulan IV-2010 tercatat sebesar Rp28,86 triliun, meningkat sebesar Peningkatan kredit didorong oleh meningkatnya DPK dan target penyaluran kredit
5,05% dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp27,47 triliun, sehingga secara tahunan tumbuh sebesar 19,85%. Dari sisi penawaran, peningkatan kredit didorong oleh meningkatnya penghimpunan dana, adanya target penyaluran kredit terkait kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta program consumer loan berupa kredit tanpa agunan yang diluncurkan oleh perbankan.
Kredit Modal Kerja mengalami pertumbuhan tertinggi pada triwulan laporan
•
Berdasarkan penggunaannya, baik kredit modal kerja, investasi dan konsumsi pada triwulan laporan mengalami peningkatan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada kredit investasi yakni sebesar 6,77%, sementara kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing meningkat sebesar 5,47% dan 3.36% (q-t-q). Dengan demikian secara tahunan kredit modal kerja meningkat sebesar 21,36%, investasi 16,59% dan konsumsi 20,84%..
Risiko kredit bank umum masih dalam batas aman dan menurun dibanding triwulan sebelumnya
•
Risiko kredit bank umum yang tercermin melalui rasio Non Performing Loan (NPL) gross pada triwulan laporan yang tercatat sebesar 2,34% lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 3,17%. Sementara, dengan
5
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
memperhitungkan Pencadangan Aktiva Produk (PPAP) maka NPL Net bank umum di Provinsi Riau mencapai 0,98%. Rendahnya NPL tersebut mencerminkan
bahwa
kemampuan
membayar kembali
(repayment
capacity) debitur atas kredit/pembiyaan yang diterimanya relatif baik. Hal ini tentunya sangat mendukung upaya menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya perbankan.
Efisiensi usaha serta peningkatan telah mendorong peningkatan laba perbankan selama tahun 2010
•
Bank umum di Riau hingga triwulan IV-2010 telah membukukan laba usaha sebesar Rp1.853 miliar, tumbuh sebesar 45,51% dibandingkan perolehan laba tahun 2009 yang sebesar Rp1.273 miliar. Peningkatan laba tersebut terutama didorong oleh meningkatnya pendapatan operasional terutama dari pendapatan bunga kredit dan efisiensi usaha.
•
Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan oleh bank pelaksana KUR di Riau pada triwulan IV-2010 baik dari sisi plafon maupun outstanding/baki debet
KUR yang disalurkan oleh perbankaan Riau mencapai Rp1,04 triliun hingga tahun 2010
memperlihatkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Total plafon tercatat sebesar Rp1,04 triliun secara triwulan tumbuh sebesar 27,22% sehingga secara tahunan tumbuh 85,42%. Sementara itu outstanding kredit tercatat sebesar Rp585,47 miliar meningkat 32,12% (qt-q) dan 61,64% (y-o-y). KUR tersebut tersalurkan kepada 58.401 debitur. •
Jumlah
bank
syariah
yang
beroperasi
di
Riau
sampai
dengan
triwulan IV-2010 tercatat 11 bank yang terdiri dari 9 bank umum syariah dan 2 BPR syariah. Total Pangsa aset perbankan syariah Riau mengalami peningkatan bahkan pangsa aset diatas nasional
aset perbankan syariah per Desember 2010
mencapai Rp2,28 triliun atau mencapai 5,16% dari total aset perbankan Riau, jauh di atas pangsa aset perbankan syariah nasional nasional yang hanya sekitar 3%. Hal ini mencerminkan perkembangan perbankan syariah di Riau cukup pesat. DPK yang dihimpun tercatat sebesar Rp.1,55 triliun, secara triwulanan tumbuh sebesar19,23% (q-t-q), sehingga secara tahunan tumbuh 35,15% (y-o-y). pembiayaan yang disalurkan tercatat sebesar Rp1,59 triliun, tumbuh 11,92% dibandingkan triwulan sebelumnya, sehingga secara tahunan pembiayaan tumbuh signifikan 51,30%.
6
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
•
Ringkasan Eksekutif
Laba usaha yang dibukukan perbankan syariah Riau pada tahun 2010 tercatat sebesar Rp98,21 miliar, meningkat sebesar Rp13,88 miliar (17,65%) dibandingkan tahun 2009 yang sebesar Rp78,63 miliar.
V.
PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH •
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2011 relatif moderat
Pertumbuhan ekonomi (yoy) Riau pada triwulan I-2011 diperkirakan masih relatif moderat dengan kisaran 5%.Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau diperkirakan akan lebih tinggi yaitu pada kisaran 7,7% - 8,2%.
• Pembangunan infrastruktur dan tren penguatan harga komoditas energi diperkirakan masih menjadi pemciu utama
Dari sisi permintaan, masih berlangsungnya berbagai pembangunan proyek besar seperti pembangunan pembangkit listrik 2X100 MW di tenayan raya, perluasan bandara Sultan Syarif Kasim II, pembangunan jembatan Siak III serta
pembangunan
fly
over
diperkirakan
akan
mengakibatkan
pertumbuhan investasi cukup tinggi. Peningkatan harga komoditas CPO di pasar
dunia
diindikasikan
akan
memberikan
pengaruh
terhadap
meningkatnya penghasilan masyarakat secara umum mengingat sebagian besar jumlah pekerja di Riau berada pada sektor pertanian Sektor tradables khususnya sektor pertanian diperkirakan masih menjadi motor penggerak
•
Sementara itu, dari sisi sektoral, daya dorong pertumbuhan diperkirakan akan berasal dari sektor tradables khususnya sektor pertanian. Berdasarkan informasi Dinas Perkebunan Riau, hingga paruh pertama 2011 produksi tanaman kelapa sawit masih akan cukup tinggi terkait dengan adanya peningkatan produksi yang berasal dari Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dengan kisaran 10%-25%.
Sumber tekanan inflasi triwulan I-2011 berasal inflasi bahan pangan
•
Pergerakan tingkat harga di Kota Pekanbaru pada triwulan I-2011 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan laporan. Sumber tekanan inflasi diperkirakan akan berasal dari kenaikan harga bahan pangan dan administered price terutama Tarif Dasar Listrik dan pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
7
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Inflasi tahunan diperkirakan berkisar 8,5% – 8,93%
•
Ringkasan Eksekutif
Dengan memperhatikan beberapa faktor tersebut, inflasi (yoy) Kota Pekanbaru pada triwulan I-2011 diproyeksikan akan berada pada kisaran 8,5 – 8,9,3%. Sementara itu, inflasi triwulanan (qtq) diperkirakan akan berada pada kisaran 2,20% - 2,61%.
8
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Bab 1 KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL
1. KONDISI UMUM Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan IV-2010 secara umum menunjukkan hal yang menggembirakan. Pada triwulan laporan, pertumbuhan ekonomi mencatat pertumbuhan tertinggi selama tahun 2010 yaitu sebesar 5,22%, bahkan jauh diatas pertumbuhan selama tahun 2009 serta melebihi perkiraan semula yang berkisar 3%. Dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau juga cukup tinggi yaitu mencapai 7,84%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan nasional meskipun sedikit melambat dibanding triwulan III.-2010 yang mencapai 7,95% (Grafik 1).
9
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Pada sisi penggunaan, permintaan domestik masih menjadi penopang utama pertumbuhan triwulan IV-10, khususnya konsumsi rumah tangga dan investasi non migas. Relatif tingginya peran kedua komponen tersebut diperkirakan terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur fisik pendukung PON yang masih berlangsung sehingga turut memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat Riau. Selain itu, meningkatnya harga komoditas energi di pasar dunia diperkirakan juga turut memberikan dorongan yang cukup signifikan bagi kinerja perdagangan eksternal Riau. Pada sisi sektoral, berbeda dibanding triwulan-triwulan sebelumnya, sektor tradables terutama sektor pertambangan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan dengan sumbangan sebesar 1,30%.
Adanya
peningkatan
pertumbuhan
pada
sektor
pertambangan
diindikasikan berkaitan erat dengan optimalisasi produksi sumur minyak yang telah ada khususnya di wilayah Bengkalis yang merupakan penghasil minyak terbesar di Provinsi Riau. Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional (yoy,%) 10,00 9,00
yoy (%)
8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 I
II
III
2008**
IV
I
II
III
2009***
IV
I
II
III
IV
2010***
Riau
3,45 6,97 6,78 5,37 5,17 2,18 1,60 3,03 2,90 3,77 4,76 5,22
Nasional
6,21 6,30 6,25 5,27 4,53 4,08 4,16 5,43 5,69 6,19 5,82 6,90
Riau (Tanpa Migas)
7,98 8,35 8,54 7,38 6,67 6,55 5,70 7,33 6,01 6,75 7,95 7,84
Nasional (Tanpa Migas) 6,70 6,72 6,73 5,70 4,93 4,46 4,51 5,85 6,20 6,59 6,24 7,40
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Selain sektor pertambangan, sektor lain yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap pertumbuhan triwulan laporan adalah sektor perdagangan dan industri pengolahan dengan angka masing-masing mencapai 1,06% dan 0,91%. Hal ini
10
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
tentunya memberikan implikasi penting bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan IV-10 relatif lebih baik mengingat sumber pertumbuhan yang berasal dari sektor industri semakin meningkat yang diikuti dengan menurunnya sumbangan sektor non-tradables utama (sektor perdagangan).
2. PDRB SISI PENGGUNAAN Kinerja perekonomian Riau pada triwulan IV-2010 mengalami perkembangan yang mengesankan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, meskipun konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan dengan sumbangan sebesar 3,10%, sumbangan investasi dan ekspor mengalami kenaikan yang lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh adanya percepatan pembangunan infrastruktur fisik pendukung PON yang masih berlangsung dalam triwulan laporan serta tren kenaikan harga komoditas di pasar dunia seperti minyak bumi, CPO dan karet alam. Kondisi tersebut secara umum mengindikasikan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Riau dari sisi penggunaan pada triwulan IV-10 relatif lebih baik. Grafik 1.2. Sumbangan Pertumbuhan (Dengan Migas) Menurut Penggunaan
Grafik 1.3. Sumbangan Pertumbuhan (Tanpa Unsur Migas) Menurut Penggunaan
100%
8.00
100%
80%
7.00
80%
6.00
60%
5.00
40%
9.00 8.00 7.00
60%
6.00
40%
5.00
20%
4.00
4.00 20%
3.00
0% I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
-20% 2008
2009 Investasi
Impor
PDRB (kanan)
3.00
0% I
1.00
-20%
-
-40%
II
III
2008
2010
-40% Konsumsi
IV
2.00
Ekspor
IV
I
II
III
IV
2009
I
II
III
2010
IV
2.00 1.00 -
Konsumsi
Investasi
Impor
PDRB (kanan)
Ekspor
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Pada sisi penggunaan, pertumbuhan tertinggi pada triwulan IV-10 terjadi pada komponen impor yaitu sebesar 8,84%, diikuti oleh konsumsi yang tercatat tumbuh sebesar 7,30%. Tingginya pertumbuhan impor pada triwulan laporan diindikasikan sejalan dengan pesatnya kegiatan ekonomi yang terjadi serta adanya trend penguatan nilai tukar Rupiah di pasaran.
11
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Sementara itu, ekspor Riau yang mencerminkan kinerja perdagangan eksternal juga menunjukkan angka pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu sebesar 5,18%, mengalami akselerasi dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini diperkirakan sejalan dengan adanya tren kenaikan harga minyak dunia terkait dengan fenomena badai salju di wilayah eropa yang mengkibatkan permintaan minyak bumi meningkat cukup tinggi.
1
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) 2008**
Indikator Konsumsi
2009**
2010***
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
6,23
7,36
8,01
10,38
8,88
8,38
8,62
8,28
7,22
7,21
7,53
7,30 5,93
Investasi
2,55
5,54
1,81
2,69
11,80
11,08
15,85
15,12
7,90
3,48
3,42
Ekspor
4,62
8,57
9,14
4,48
-1,57
-2,47
-5,85
-5,04
2,93
3,10
3,79
5,18
Impor
8,91
9,60
8,48
7,59
2,42
9,22
8,70
4,40
14,57
6,84
5,35
8,84
3,45
6,97
6,78
5,37
5,17
2,18
1,60
3,03
2,90
3,77
4,76
5,22
Total
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan tertinggi dari sisi penggunaan terjadi pada komponen investasi yaitu sebesar 18,04% atau naik 7,81% dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi dibandingkan komponen lainnya. Sebagaimana diperkirakan pada triwulan
sebelumnya,
kondisi
ini
dipengaruhi
oleh
adanya
percepatan
pembangunan infrastruktur menjelang PON 2012 seperti jembatan, gedung olahraga, perluasan Bandara Sultan Syarif Kasim II, pelebaran jalan dan pembangunan tempat penginapan yang masih berlangsung dalam triwulan laporan. Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau (Tanpa Unsur Migas) Sisi Penggunaan (yoy) 2008**
Indikator
2009**
2010***
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Konsumsi
6,23
7,36
8,01
10,38
8,88
8,38
8,62
8,28
7,22
7,21
7,53
7,30
Investasi
16,66
18,59
18,16
21,47
6,20
4,72
6,19
-8,50
19,35
12,23
10,23
18,04
Ekspor
5,50
7,17
8,15
3,44
-1,76
5,36
-1,76
5,31
7,66
2,01
3,46
3,29
Impor
7,16
10,34
11,74
14,42
2,70
7,29
3,97
-0,31
15,65
6,09
5,06
7,73
7,98
8,35
8,54
7,38
6,67
6,55
5,70
7,33
6,01
6,75
7,95
7,84
Tanpa Migas
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
1
Harga minyak dunia jenis WTI pada triwulan IV-10 mencapai USD89,89/barel atau naik 19,59% (yoy), lebih tinggi dibandingkan kenaikan triwulan III-10 yang mencapai 8,48% (yoy).
12
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Pada triwulan laporan, kinerja perdagangan eksternal sebagaimana terlihat pada komponen ekspor juga mencatat angka pertumbuhan yang relatif tinggi pada kisaran 3% meskipun sedikit melambat. Relatif tingginya pertumbuhan ekspor ini tidak terlepas dari membaiknya kondisi ekonomi negara mitra dagang utama serta adanya kebutuhan yang cukup tinggi pada negara konsumen utama CPO dunia.
2.1. Konsumsi Pertumbuhan konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan laporan secara umum relatif melambat baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun periode yang sama tahun sebelumnya. Secara umum, hal ini didorong oleh belanja/konsumsi pemerintah yang pada triwulan laporan tercatat mengalami kontraksi sebesar 2,52% (yoy). Adapun faktor yang diperkirakan mengakibatkan penurunan tersebut adalah menurunnya anggaran belanja pemerintah daerah sebesar 0,05% dibandingkan tahun sebelumnya. Tabel 1.3. Pertumbuhan Komponen Konsumsi di Provinsi Riau (yoy) Indikator
2008**
2009**
2010***
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
- Rumah Tangga
5,65
7,31
7,98
10,92
10,14
8,38
8,66
6,57
7,52
8,06
8,51
9,08
- Swasta Nirlaba
7,53
7,75
7,06
8,61
23,86
25,08
19,35
13,09
-4,95
-5,20
0,65
4,55
- Pemerintah
9,78
7,68
8,23
7,25
0,65
7,65
7,88
18,69
5,96
2,55
1,82
-2,52
6,23
7,36
8,01
10,38
8,88
8,38
8,62
8,28
7,22
7,21
7,53
7,30
Konsumsi
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Meskipun demikian, konsumsi rumah tangga yang menguasai pangsa terbesar dalam komponen konsumsi tercatat mengalami akselerasi pertumbuhan pada triwulan IV-10. Hal ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh menguatnya ekspektasi konsumen terhadap perekonomian Riau triwulan laporan yang tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKES) triwulan IV-10.
13
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.4.Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau
Grafik1.5 Komponen IKES 160
110
140 100
120 100
90
80 80
60 40
70
20 60
0 II III IV I
50 II III IV I 2006
II III IV I 2007
II III IV I 2008
II III IV I
II III IV
2006
2010
2009
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV
2007
2008
2009
2010
Penghasilan saat ini Ketepatan waktu beli saat ini Sumber : Survei Konsumen BI
Sumber : Survei Konsumen BI IKK IKES
Jumlah pengangguran saat ini
Dalam triwulan laporan, pergerakan indeks keyakinan konsumen menunjukkan trend yang meningkat dengan magnitude yang lebih tinggi baik dibandingkan dengan triwulan III-10 maupun triwulan IV-09. Dari hasil survei yang dilakukan, hal ini diindikasikan sejalan dengan adanya kenaikan harga CPO dunia yang pada akhirnya berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat Riau. Disamping itu, kondisi tersebut juga diperkirakan turut dipengaruhi oleh meningkatnya lapangan pekerjaan seiring dengan pesatnya berbagai proyek pembangunan yang dilakukan 2
dalam triwulan laporan. Berdasarkan data BPS , diketahui bahwa terjadi jumlah angkatan kerja yang bekerja mengalami kenaikan sebesar 4,8% (yoy) yang utamanya mengalami kenaikan pada pekerja berstatus buruh. Grafik 1.6. Penjualan Kendaraan Bermotor
I
PKB (kiri)
BBN (kanan)
II
I
III
IV
2009
Sumber : Dispenda Provinsi Riau
II
III
80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 IV
410.000 390.000 370.000 Kilo Liter
400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 -
Grafik 1.7. Konsumsi BBM
350.000 330.000 310.000 290.000 270.000
2010
Sumber : PT. Pertamina
Wilayah Riau
2
Data per Agustus 2010, jumlah angkatan kerja yang bekerja mencapai 2,17 juta jiwa sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya mencapai 2,07 juta jiwa.
14
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.9. Perkembangan Kredit Konsumsi 12,00
60
10,00
140
50
8,00
120
40
180
%
Juta KwH
160
100 80
30
60
20
40
Rp triliun
70
200
-
40,0 35,0 30,0 25,0
6,00
20,0
4,00
15,0 10,0
2,00
10
20
45,0
5,0
-
0
%
Grafik 1.8. Konsumsi Listrik
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 2007
Konsumsi Listrik
yoy (kanan)
2008
2009
Konsumsi (kiri)
2010 yoy (kanan)
Sumber : PT. PLN Wilayah Riau
Adanya peningkatan konsumsi pada triwulan laporan juga tercermin dari Jumlah pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan konsumsi bahan bakar minyak yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Disamping itu, konsumsi yang dibiayai dengan menggunakan kredit perbankan juga menunjukkan pertumbuhan yang relatif stabil dalam triwulan laporan
2.2. Investasi Pada triwulan laporan, pertumbuhan komponen investasi mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu dari 3,42% pada triwulan III2010 menjadi 5,93% pada triwulan IV-201. Kenaikan ini utamanya berasal dari peningkatan investasi non migas yang dalam triwulan laporan tercatat tumbuh sebesar 18,04%. Di sisi lain, pertumbuhan investasi migas masih menunjukkan kontraksi yang mencerminkan belum optimalnya realisasi investasi pada sektor tersebut. Tabel 1.4. Pertumbuhan Komponen Investasi di Provinsi Riau (yoy) 2008**
Indikator
2009**
2010***
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
- Migas
-6,65
-3,45
-10,20
-11,86
16,35
16,46
25,20
40,33
-0,61
-3,17
-2,18
-2,50
- Non Migas
16,66
18,59
18,16
21,47
6,20
4,72
6,19
-8,50
19,35
12,23
10,23
18,04
Investasi
2,55
5,54
1,81
2,69
11,80
11,08
15,85
15,12
7,90
3,48
3,42
5,93
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
15
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Perkembangan investasi non migas Riau yang cukup pesat pada triwulan laporan sejalan dengan percepatan pembangunan infrastruktur dalam mendukung pelaksanaan
PON
ke-18
tahun
2012.
Sebagaimana
diketahui,
hingga
triwulan IV-10, Provinsi Riau melakukan penyelesaian beberapa proyek infrastruktur pendukung PON seperti seperti gedung olahraga, jembatan Siak III dan IV, pelebaran jalan, tempat penginapan dan juga perluasan Bandara Sultan Syarif Kasim II yang masih berlangsung hingga saat ini. Beberapa indikator yang mencerminkan pertumbuhan investasi non migas diantaranya
adalah
masih
cukup
tingginya
pengadaan
semen
ke
Riau,
meningkatnya impor barang modal dan meningkatnya kendaraan bermotor seperti truck, pick up serta alat berat. Pertumbuhan jumlah pembelian kendaraan baru yang tercermin dari pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Baru (BBN-KB) menunjukkan peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya (yoy). Grafik 1.10. Pengadaan Semen Provinsi Riau dan Wilayah Sumatera
Grafik 1.11. Penjualan Kendaraan Bermotor Jenis Pick Up/Truck dan Alat Berat/Besar 25.000
3.500
80,00
140.000
60,00
120.000
40,00
100.000
15.000
2.000 1.500
20,00
80.000
10.000
0,00
60.000
2.500
Ton
%
3.000
20.000
1.000 5.000
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 2009
2008
40.000
2010
-
I
-40,00
20.000
-60,00
-
II
III
IV
I
II
2009
g.yoy (kiri)
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
9,00
25,0
7,00
20,0
6,00
10,0
4,00
5,0
3,00 2,00
-
1,00
(5,0)
-
(10,0) 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Investasi
2009
2010
yoy (kanan)
juta USD
5,00
100
45
90
40
80
35
70
15,0 %
Rp triliun
Grafik 1.13. Impor Barang Modal
30,0
8,00
2008
BBN-KB (kanan)
Sumber : Dinas Pendapatan Provinsi Riau
Grafik 1.12. Perkembangan Kredit Investasi
2007
IV
2010
PKB (kiri)
Konsumsi Semen Riau
III
30
60
25
50
20
40
ribu ton
-20,00
15
30
10
20 10
5
-
IV
I
2009
II
III
IV
2010 Nilai (kiri)
Volume (kanan)
16
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
2.3. Ekspor dan Impor 2.3.1. Termasuk Migas Dalam triwulan laporan, total ekspor provinsi Riau tumbuh (yoy) sebesar 5,18% atau merupakan yang tertinggi selama tahun 2010. Kondisi ini diperkirakan sejalan adanya tren kenaikan harga komoditas energi seperti minyak bumi dan CPO pada triwulan laporan serta membaiknya kondisi negara mitra dagang utama. Adanya kenaikan harga minyak bumi secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor musim dingin atau badai salju yang terjadi di belahan eropa pada triwulan laporan. Sementara itu, peningkatan harga CPO dunia secara umum dipengaruhi oleh masih tingginya kebutuhan industri di negara mitra dagang utama serta terjadinya gangguan produksi CPO di negara kompetitor. Komponen impor pada triwulan juga mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi (yoy) sebesar 8,84%. Peningkatan ini utamanya seiring dengan meningkatnya kondisi ekonomi Riau serta adanya tren apresiasi Rupiah yang berlangsung selama tahun 2010. Secara umum, impor provinsi Riau utamanya didominasi oleh impor non migas seperti bahan kimia serta mesin dan peralatan yang diindikasikan dipergunakan untuk tujuan investasi.
2.3.2. Non Migas Ekspor non migas Provinsi Riau pada triwulan laporan mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi yaitu sebesar 3,29%, meskipun sedikit melambat baik dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor triwulan III-10 maupun periode yang sama tahun sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar 3,46% dan 5,31%. Tabel 1.5. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Non Migas Provinsi Riau Komponen
∆ (08-09)
Jan-Des 2008
2009
2010
%
∆ (09-10)
Nilai
%
Nilai
Ekspor Nilai (USD juta ) Volume (ribu Ton)
9,078.05 13,020.97
7,565.74 14,975.14
10,138.33 15,923.83
-16.66 15.01
-1,512.31 1,954.16
34.00 6.34
2,572.59 948.70
Impor Nilai (USD juta ) Volume (ribu Ton)
1,760.13 1,775.84
1,622.89 1,591.76
1,234.60 2,576.04
-7.80 -10.37
-137.24 -184.08
-23.93 61.84
-388.29 984.28
Net Ekspor (USD juta)
7,317.93
5,942.85
8,903.73
-18.79
-1,375.08
49.82
2,960.89
Sumber : DSM BI
17
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Secara kumulatif, ekspor non migas provinsi Riau pada tahun 2010 mencapai USD10.138,33 juta atau naik sebesar 34% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini mendorong net ekspor non migas mengalami kenaikan sebesar 49,82% menjadi USD8.903,73 juta. Volume ekspor non migas selama tahun 2010 juga tercatat mengalami kenaikan sebesar 6,34% menjadi 15.923,83 ribu ton dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 14.975,14 ribu ton. Pertumbuhan volume ekspor tahun 2010 relatif mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 15,01% Sementara itu, nilai kumulatif impor non migas tahun 2010 tercatat mengalami penurunan sebesar 23,93% dibandingkan dengan periode sebelumnya menjadi USD1.234,60 juta. Meskipun demikian, volume impor non migas tercatat mengalami kenaikan yaitu dari 1.591,76 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 2.576,04 ribu ton pada tahun 2010. Kenaikan ini utamanya didorong oleh impor komoditas utama seperti pupuk buatan pabrik serta mesin dan peralatan yang diperkirakan untuk menunjang investasi di Provinsi Riau.
2.3.2.1.
Ekspor Non Migas
Struktur nilai ekspor non migas Provinsi Riau menurut kelompok Standards International Trading Classification (SITC) dalam triwulan laporan relatif tidak berubah, dimana pangsa ekspor masih didominasi oleh kelompok minyak dan lemak nabati, barang manufaktur dan barang mentah. Nilai ekspor kelompok minyak dan lemak nabati tercatat mencapai USD2.627,88 juta dengan pangsa mencapai 74,13% dari total nilai ekspor non migas Riau. Selanjutnya, ekspor kelompok barang manufaktur tercatat sebesar USD341,22 juta dengan pangsa sebesar 9,63% dari total nilai ekspor.
18
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.6. Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas (USD juta) Riau Menurut Kode SITC 2 Digit Kelompok SITC Makanan dan Hewan Bernyawa Tembakau dan Minuman Barang Mentah Bahan Bakar Mineral dan Pelumas Minyak dan Lemak Nabati Bahan Kimia Barang Manufaktur Mesin dan Peralatan Hasil Olahan Manufaktur Koin, bukan mata uang Total
2009
2010
I
II
IIII
29,35 10,12 143,51 16,06 957,10 95,77 210,57 1,87 0,65 1.465,01
31,21 13,63 132,04 14,04 1.202,59 99,07 228,00 50,76 1,18 1.772,53
29,81 12,74 130,15 27,18 1.416,74 81,99 240,74 32,08 0,02 1.971,47
IV 17,28 12,80 225,52 20,31 1.738,10 66,67 267,81 8,01 0,23 2.356,73
I
II
III
38,95 17,96 199,25 40,02 1.275,02 81,06 269,85 5,68 1,60 1.929,39
32,36 13,66 307,24 43,37 1.121,93 143,82 317,13 2,09 0,59 1.982,19
35,64 15,88 316,25 58,18 1.833,47 120,17 301,85 0,03 0,13 2.681,60
IV 45,00 17,12 337,85 47,75 2.627,88 81,51 341,22 46,71 0,09 3.545,15
Share (%) III-10 IV-10 1,33 1,27 0,59 0,48 11,79 9,53 2,17 1,35 68,37 74,13 4,48 2,30 11,26 9,63 0,00 1,32 0,00 0,00 0,00 0,00 100
Sementara itu, menurut volumenya, struktur ekspor juga masih didominasi oleh kelompok minyak dan lemak nabati yaitu mencapai 2.587,38 ribu ton, diikuti kelompok bahan bakar mineral dan pelumas sebesar 666,21 ribu ton atau mengalmai pertumbuhan sebesar 63,98%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 18,62%. Secara umum hal ini mengindikasikan bahwa permintaan batu bara dari Provinsi Riau relatif cukup tinggi dalam triwulan laporan.Volume ekspor barang mentah (pulp, natural rubber, latex) yang juga memiliki pangsa nilai cukup besar pada triwulan laporan mengalami penurunan pangsa dari 13,82% menjadi 12,95%. Tabel 1.7. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) Riau Menurut Kode SITC 2 Digit Kelompok SITC Makanan dan Hewan Bernyawa Tembakau dan Minuman Barang Mentah Bahan Bakar Mineral dan Pelumas Minyak dan Lemak Nabati Bahan Kimia Barang Manufaktur Mesin dan Peralatan Hasil Olahan Manufaktur Koin, bukan mata uang Total
2.3.2.2.
I 319,23 1,04 419,58 283,16 1.899,77 181,01 313,80 1,04 1,08 3.419,71
2009 II IIII 291,91 290,36 1,23 1,15 391,42 334,63 302,66 542,42 1.879,54 2.244,12 168,96 146,81 340,25 342,53 9,97 1,22 2,75 0,02 3.388,69 3.903,25
2010 IV 291,03 1,15 480,61 406,27 2.615,30 115,04 353,76 0,33 0,01 4.263,49
I 262,98 1,57 347,72 706,85 1.738,70 127,83 351,06 1,14 2,05 3.539,91
II 233,44 1,18 479,04 691,76 1.439,45 205,37 360,92 0,02 0,04 3.411,22
III 240,62 1,30 588,17 643,44 2.260,15 166,97 354,36 0,00 0,01 4.255,03
IV 324,22 1,34 611,17 666,21 2.587,38 103,58 412,24 11,52 0,01 4.717,67
Share (%) III-10 IV-10 5,66 6,87 0,03 0,03 13,82 12,95 15,12 14,12 53,12 54,84 3,92 2,20 8,33 8,74 0,00 0,24 0,00 0,00 0,00 0,00 100
Impor Non Migas
Struktur impor non migas provinsi Riau sebagian besar atau lebih dari 60% masih didominasi kelompok bahan kimia serta mesin dan peralatan. Secara spesifik, nilai impor kelompok bahan kimia yang didominasi oleh pupuk kimia memiliki pangsa terbesar yaitu mencapai 38.75%. Nilai impor kelompok tersebut pada triwulan laporan tercatat sebesar USD121,72 juta atau mengalami kenaikan hampir dua kali
19
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
lipat
Kondisi Ekonomi Makro Regional
dari periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi diindikasikan sejalan
adanya upaya peningkatan kapasitas produksi ataupun ekstensifikasi lahan pada industri pengolahan non migas terutama sektor perkebunan di Provinsi Riau. Tabel 1.8. Perkembangan Nilai Impor Non Migas (USD juta) Riau Menurut Kode SITC 2 Digit Kelompok SITC Makanan dan Hewan Bernyawa Tembakau dan Minuman Barang Mentah Bahan Bakar Mineral dan Pelumas Minyak dan Lemak Nabati Bahan Kimia Barang Manufaktur Mesin dan Peralatan Hasil Olahan Manufaktur Koin, bukan mata uang Total
2009 I 7,53 0,03 34,76 62,31 16,13 81,12 3,87 205,75
II 7,72 0,07 49,40 4,49 43,64 110,84 74,67 7,99 0,00 298,82
2010 IIII 8,13 0,34 63,69 6,78 81,60 22,97 650,12 8,25 841,89
IV 9,26 0,30 40,14 69,64 19,70 125,06 12,11 276,22
I 19,50 0,15 41,46 9,49 92,19 25,53 77,98 11,90 278,22
II 17,37 0,38 58,65 24,44 117,46 30,47 66,98 13,87 329,62
III 10,27 0,60 72,12 0,00 123,51 26,09 66,71 13,31 312,62
IV 27,03 0,72 49,51 0,00 121,72 22,40 83,03 9,73 314,14
Share (%) III-10 IV-10 3,28 8,60 0,19 0,23 23,07 15,76 0,00 0,00 0,00 0,00 39,51 38,75 8,35 7,13 21,34 26,43 4,26 3,10 0,00 0,00 100
Sementara itu, nilai impor kelompok mesin dan peralatan tercatat sebesar USD83,03 juta atau turun 33,61% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan nilai impor barang mentah tercatat sebesar USD49,51 juta atau naik 23,34% secara tahunan. Menurut volumenya, komposisi impor non migas Provinsi Riau secara umum juga masih didominasi oleh kelompok bahan kimia (50,86%) dan barang mentah (25,58%). Pertumbuhan impor kedua kelompok tersebut secara tahunan masingmasing
mencapai
66,23%
dan
5,62%.
Kondisi
tersebut
secara
umum
mengindkasikan bahwa sektor industri pengolahan non migas di Provinsi Riau masih berada pada tingkat pertumbuhan yang cukup baik. Tabel 1.9. Perkembangan Volume Impor Non Migas (dalam Ribu Ton) Riau Menurut Kode SITC 2 Digit Kelompok SITC Makanan dan Hewan Bernyawa Tembakau dan Minuman Barang Mentah Bahan Bakar Mineral dan Pelumas Minyak dan Lemak Nabati Bahan Kimia Barang Manufaktur Mesin dan Peralatan Hasil Olahan Manufaktur Koin, bukan mata uang Total
I 14,62 0,06 125,92 85,03 22,72 13,48 1,71 263,55
2009 II 10,55 0,12 171,37 6,00 111,32 24,95 9,65 5,66 0,00 339,62
2010 IIII 12,57 0,60 205,45 10,00 211,25 40,48 43,92 6,43 530,70
IV 16,06 0,52 142,83 180,48 61,64 43,16 12,96 457,65
I 29,45 0,37 168,55 12,20 323,33 63,17 12,82 10,01 619,89
II 23,12 0,65 158,16 30,00 294,11 68,23 10,88 7,41 592,55
III 12,04 0,76 242,77 0,00 426,35 70,20 14,40 7,21 773,73
IV 39,85 1,07 150,86 0,00 300,01 79,80 13,41 4,85 589,86
Share (%) III-10 IV-10 1,56 6,76 0,10 0,18 31,38 25,58 0,00 0,00 0,00 0,00 55,10 50,86 9,07 13,53 1,86 2,27 0,93 0,82 0,00 0,00 100
20
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
3. PDRB SEKTORAL Pertumbuhan ekonomi sektoral Riau pada triwulan IV-10 juga menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan triwulan-triwulan sebelumnya. Secara umum, motor penggerak pertumbuhan ekonomi dari sisi sektoral utamanya berasal dari sektor tradables khususnya sektor pertambangan. Sumbangan sektor pertambangan
tercatat
sebesar 1,30%
atau
naik
dibandingkan
triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar 0,86%. Meningkatnya sumbangan sektor tersebut diindikasikan sejalan dengan adanya optimalisasi dari produksi sumur minyak yang mengakibatkan volume lifting minyak mengalami titik puncaknya selama tahun 2010. Peran sektor tradables lain seperti sektor industri pengolahan dan pertanian juga relatif menunjukkan hal yang sejalan dengan perkembangan ekonomi triwulan laporan. Kondisi ini diperkirakan disebabkan oleh peningkatan produktivitas tanaman sektor pertanian dan kapasitas terpakai pada sektor industri non migas seperti CPO, karet olahan dan pulp and paper. Grafik 1.14. Sumbangan Pertumbuhan Grafik 1.15. Sumbangan Pertumbuhan (Dengan Migas) Menurut Sektoral (Tanpa Unsur Migas) Menurut Sektoral (yoy,%) (yoy,%) 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40% 40%
20% 20%
0% I
-20%
II
III
IV
I
2008**
II
III
2009***
IV
I
II
III
IV
0% I
2010***
-40%
-20%
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Penganggkutan dan Komunikasi Jasa-jasa
Pertambangan Listrik, Gas dan Air Perdagangan, Hotel & Restoran Keuangan dan Jasa Perusahaan
II
III
IV
I
2008** Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Penganggkutan dan Komunikasi Jasa-jasa
II
III
IV
2009***
I
II
III
IV
2010*** Pertambangan Listrik, Gas dan Air Perdagangan, Hotel & Restoran Keuangan dan Jasa Perusahaan
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Pada triwulan laporan, pertumbuhan sektor tradables (pertanian, pertambangan dan industri pengolahan) mencatat pertumbuhan tertinggi selama tahun 2010. Secara khusus, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi didalam sektor tradables dengan angka mencapai 7,92%. Berdasarkan survei kepada beberapa pelaku industri, diketahui bahwa hal ini tidak terlepas dari adanya peningkatan kapasitas produksi terutama pada industri pulp and paper. Di sisi lain, kapasitas produksi sektor industri CPO dan karet olahan
21
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
juga relatif stabil meskipun input bahan baku sedikit terganggu akibat tingginya curah hujan selama periode triwulan laporan. Tabel 1.10. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral (yoy) PDRB Sisi Sektoral 1. Pertanian 2. Pertambangan - Migas - Non Migas 3. Industri Pengolahan - Migas - Non Migas
2008**
2009**
2010***
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
5,56
5,88
5,74
2,09
3,18
3,24
2,32
6,16
2,98
3,08
4,82
IV
4,86
0,03 (0,28) 24,58
6,13 5,95 18,97
5,52 5,39 14,05
4,00 3,81 16,18
4,18 3,99 16,00
(1,40) (1,66) 15,68
(1,87) (2,10) 11,86
(0,75) (0,94) 9,96
0,19 0,02 9,60
1,12 0,97 9,64
1,74 1,56 11,06
2,66 2,54 8,66
5,11 0,92 6,53
7,25 3,33 8,61
7,88 2,83 9,54
8,37 0,08 11,04
5,47 1,08 6,88
5,98 1,25 7,53
3,75 (0,50) 5,05
4,95 0,97 6,11
4,99 1,46 6,07
5,93 2,23 7,07
7,76 4,74 8,64
7,92 4,98 8,73 4,62
4. Listrik, Gas dan Air
6,99
6,33
6,86
7,25
5,76
5,00
(0,77)
2,91
3,82
5,08
8,90
5. Bangunan
9,84
9,45
10,47
14,61
9,50
8,32
8,45
8,87
9,14
9,47
9,07
7,77
10,50
10,46
10,50
7,50
8,14
8,13
9,53
9,64
8,05
9,77
10,50
12,22
6. Perdagangan 7. Pengangkutan 8. Keuangan 9. Jasa-jasa
9,51
9,95
10,21
12,03
10,05
8,80
7,52
6,87
7,98
9,40
11,31
8,97
13,77
12,68
14,22
13,87
12,38
11,89
8,38
8,37
8,94
10,32
10,16
9,03
9,21
9,14
9,30
9,34
9,43
8,78
7,81
8,22
8,07
8,85
8,98
7,89
Total
3,45
6,97
6,78
5,37
5,17
2,18
1,60
3,03
2,90
3,77
4,76
5,22
Tanpa Migas
7,98
8,35
8,54
7,38
6,67
6,55
5,70
7,33
6,01
6,75
7,95
7,84
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Pertumbuhan sektoral tertinggi pada triwulan laporan terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 12,22% atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 10,50%. Hal ini diperkirakan seiring dengan penguatan kondisi ekonomi Riau yang terjadi dalam triwulan laporan serta dipengaruhi oleh faktor musiman berupa hari raya natal dan perisapan menjelang pergantian tahun.
3.1. Sektor Pertanian Dalam triwulan laporan, pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Riau mengalami kenaikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor pertanian tercatat tumbuh sebesar 4,86%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,82%. Peningkatan ini utamanya disebabkan oleh membaiknya kinerja sub sektor kehutanan, sebagaimana terlihat pada Tabel berikut, kontraksi yang terjadi pada sub sektor kehutanan pada triwulan laporan merupakan yang terendah selama tahun 2010. Hal ini juga terkonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan kepada beberapa pelaku usaha, dimana pasokan bahan mentah hasil hutan seperti kayu relatif lebih mudah didapatkan dan mengalami peningkatan.
22
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.11. Pertumbuhan Sub Sektor di Sektor Pertanian Riau (yoy) PDRB Sisi Sektoral
2009**
2008**
2010***
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
a. Tanaman Bahan Makanan
3,21
3,32
3,15
(0,33)
1,36
1,30
0,88
2,45
3,22
3,34
3,98
IV
3,99
b. Tanaman Perkebunan
8,64
8,78
9,14
5,49
5,33
5,55
4,57
8,81
5,45
6,14
8,91
8,85
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
7,59
7,98
7,82
9,35
6,51
6,64
6,40
6,57
4,33
4,81
6,07
6,03
d. K e h u t a n a n
2,43
3,02
2,53
(4,34)
(0,00)
(0,00)
(0,81)
6,34
(0,81)
(1,86)
(0,93)
(0,30)
e. P e r i k a n a n Pertanian
6,78
6,90
6,13
10,74
6,11
5,80
3,77
(0,23)
4,63
5,87
7,74
5,89
5,56
5,88
5,74
2,09
3,18
3,24
2,32
6,16
2,98
3,08
4,82
4,86
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Perkembangan sub sektor perkebunan Riau yang menguasai pangsa terbesar juga relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Berdasarkan informasi dari contact liaison, diketahui bahwa relatif tingginya curah hujan pada akhir tahun 2010 mengakibatkan beberapa petani plasma kesulitan dalam memanen kebunnya, namun hal ini tidak berdampak signifikan terhadap produksi TBS secara umum. Sementara itu, pertumbuhan sub sektor tanaman bahan makanan Riau pada triwulan laporan juga relatif stabil berada pada angka 3,99%. Berdasarkan angka ARAM III 2010, hal ini secara tidak langsung bersumber dari peningkatan produktivitas padi yang pada triwulan laporan diperkirakan mencapai 1,04% atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 0,91%. Tabel 1.12. Pertumbuhan Sub Sektor di Sektor Pertanian Riau (yoy) Keterangan a Luas Panen - Januari - April - Mei - Agustus - September - Desember - Januari - Desember b Produkstivitas (ku/ha) - Januari - April - Mei - Agustus - September - Desember - Januari - Desember c Produksi (ton) - Januari - April - Mei - Agustus - September - Desember - Januari - Desember
2008
Periode 2009 (ATAP)
2010 (ARAM III)
Perkembangan 2008 - 2009 2009-2010 Absolut % Absolut %
79.411 51.000 17.385 147.796
69.943 52.560 26.920 149.423
74.911 45.884 26.674 147.469
(9.468) 1.560 9.535 1.627
(11,92) 3,06 54,85 1,10
4.968 (6.676) (246) (1.954)
7,10 (12,70) (0,91) (1,31)
31,36 37,39 31,40 33,44
32,79 39,37 35,35 35,57
36,21 39,01 35,72 36,99
1,43 1,98 3,95 2,13
4,56 5,30 12,58 6,36
3,42 (0,36) 0,37 1,43
10,43 (0,91) 1,05 4,02
248.995 190.675 54.590 494.260
229.344 206.910 95.175 531.429
271.276 178.980 95.285 545.541
(19.651) 16.235 40.585 37.169
(7,89) 8,51 74,35 7,52
41.932 (27.930) 110 14.112
18,28 (13,50) 0,12 2,66
Keterangan : Bentuk Produksi Padi adalah Gabah Kering Giling (GKG)
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
23
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
3.2. Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan Riau pada triwulan laporan mengalami pertumbuhan tertinggi selama tahun 2010 yaitu sebesar 2,66%. Hal ini berada diluar prakiraan semula mengingat pada awal triwulan laporan terdapat gangguan produksi salah satu KKKS terbesar di wilayah bengkalis yang merupakan penghasil lifting terbesar minyak di Riau. Kerusakan pembangkit listrik tersebut sempat dikhawatirkan berpotensi mengganggu pencapaian lifting minyak bumi di tingkat nasional. Namun demikian, kondisi tersebut tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan mengingat telah dilakukannya optimalisasi produksi sumur minyak lain serta perbaikan secara bertahap pada pembangkit listrik yang mengalami kerusakan. Grafik 1.16. Nilai Lifting Minyak Bumi Menurut Kab./Kota di Provinsi Riau (juta barel)
34,53
33,28
15
35 34
33,10
33,07
32,54
10
3.000,00
2.500
36 34,83
33
32,20
32
31,05
31 5
2.500,00
2.000
Miliar BTU
35,08 35,16
juta barel
35,78
3.500,00 3.113,77
37
1.854,08
1.500
1.644,92 1.589,83
2.000,00
1.595,27
1.456,70
948,25 812,04 755,81 655,23 629,88
30 29
-
1.500,00
1.241,16
1.000
Miliar BTU
36,61
juta barel
3.000
38
25
20
Grafik 1.17. Nilai Lifting Gas Bumi Menurut Kab./Kota di Provinsi Riau (MMBTU/miliar BTU)
1.000,00
500
500,00
28 I
II
III
IV
2008
I
II
III
IV
I
2009
II
III
IV
-
I
2010
Bengkalis
Indragiri Hulu
Kampar
Kep. Meranti
Rokan Hilir
Rokan Hulu
Siak
Total (kanan)
II
III
IV
2008 Pelalawan
Sumber : Dirjen Migas ESDM
I
II
III
IV
2009
I
II
III
IV
2010
Pekanbaru
Total (kanan)
Sumber : Dirjen Migas ESDM
Grafik 1.18. Kapasitas Produksi Sektor Pertambangan dan Penggalian
Adanya
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
peningkatan
ini
juga
tercermin dari hasil survei kepada pelaku
industri
yang
mengkonfirmasi adanya kenaikan kapasitas Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw TW Tw Tw Tw I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2007
2008
2009
pertambangan
produksi
sektor
pada
triwulan
laporan.
2010
Sumber : SKDU
24
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan sektor pertambangan menunjukkan perlambatan bahkan mengalami pertumbuhan terendah dalam tahun 2010. Pertumbuhan sektor tersebut tercatat sebesar 8,66% atau mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 11,06%. Hal ini diperkirakan terjadi akibat tingginya curah hujan yang berlansung pada triwulan laporan sehingga mengakibatkan kegiatan proses penambangan terganggu. Grafik 1.18. Nilai dan Volume Ekspor Batubara Provinsi Riau 60.00
Grafik 1.19. Pergerakan Harga Batubara Dunia (2006=100) 250.0
1,600.00 1,400.00
50.00
200.0
800.00 600.00
20.00
400.00 10.00
150.0
2006=100
USD juta
1,000.00
30.00
ribu Ton
1,200.00 40.00
100.0 50.0
200.00
-
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006
2007
2008
Nilai (kiri)
2009
2010
Vol (kanan)
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006
2007
2008
2009
2010
Batubara
Sumber : Bloomberg, diolah
3.3. Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan Riau dalam triwulan laporan mengalami peningkatan pertumbuhan yaitu dari 7,76% pada triwulan III-10 menjadi 7,92% pada triwulan laporan. Hal ini utamanya didorong oleh kenaikan pertumbuhan sektor industri non migas yang tercatat tumbuh (yoy) sebesar 8,73% atau meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 8,64%. Sebagaimana diketahui, pangsa industri pengolahan non migas mencapai lebih dari 80% terhadap sektor industri pengolahan di Provinsi Riau. Berdasarkan informasi beberapa pelaku industri, diketahui bahwa kenaikan kapasitas produksi yang cukup signifikan terjadi pada industri pengolahan pulp and paper, sedangkan kapasitas produksi industri CPO relatif stabil. Meningkatnya kapasitas produksi industri
pulp and paper sejalan dengan mulai membaiknya
harga jual kertas di tingkat dunia serta kemudahan dalam memperoleh pasokan bahan baku. Kisaran kenaikan produksi pulp pada akhir tahun secara spesifik
25
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
diperkirakan mencapai 50% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di sisi lain, dari hasil survei juga diketahui bahwa kapasitas terpasang tercatat mengalami kenaikan sebesar 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 60%.
700.00
300.00
600.00
250.00
500.00
200.00
400.00
150.00
300.00
100.00
200.00
50.00
100.00
-
-
2007
2008
Nilai (kiri)
2009
2,500
2500
2,000
2000
1,500
1500
1,000
1000 500
0
0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010
2006
Vol (kanan)
2007
2008
Nilai (kiri)
Grafik 1.22. Pergerakan Harga CPO dan Karet Dunia (2004=100)
2009
2010
Vol (kanan)
Grafik 1.23. Nilai dan Volume Ekspor Karet Olahan Provinsi Riau
350.0
30.00
300.0
25.00
8.00 7.00
USD juta
20.00
200.0 150.0
5.00
15.00
4.00 3.00
10.00
100.0
ribu Ton
6.00
250.0
2006=100
3000
500
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006
3,000
ribu Ton
800.00
350.00
USD juta
400.00
Grafik 1.21. Nilai dan Volume Ekspor CPO Provinsi Riau
ribu Ton
USD juta
Grafik 1.20. Nilai dan Volume Ekspor Pulp and Paper Provinsi Riau
2.00 5.00
50.0
1.00
-
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006
2007
Karet
2008
CPO
2009
2010
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2006
2007
Nilai (kiri)
2008
2009
2010
Vol (kanan)
Selain itu, berdasarkan survei kepada beberapa pelaku industri, diketahui bahwa kapasitas produksi industri pengolahan karet pada triwulan laporan mengalami kenaikan sekitar 19% seiring dengan meningkatnya permintaan dari pasar ekspor. Berdasarkan informasi Gapkindo Riau, orientasi penjualan karet olahan atau crumb rubber dari Provinsi Riau seluruhnya ditujuan untuk pasar ekspor. Adanya kenaikan kapasitas produksi pada beberapa industri tersebut tercermin dari tren peningkatan
26
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
komoditas ekspor unggulan serta trend kapasitas produksi industri pengolahan hasil survei. Grafik 1.24. Kapasitas Produksi Sektor Industri Pengolahan 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw TW Tw Tw Tw I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2007
2008
2009
2010
Sumber : SKDU
3.4. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) Sektor PHR pada triwulan laporan tumbuh (yoy) sebesar 12,22%, meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 10,50%. Kondisi ini didorong oleh peningkatan pertumbuhan pada sub sektor
perdagangan
besar
dan
eceran
yaitu
dari
10,55%
(yoy)
pada
triwulan III-2010 menjadi 12,45% pada triwulan IV-2010. Hal ini diperkirakan terjadi seiring dengan menguatnya permintaan domestik yang terjadi pada triwulan laporan khususnya konsumsi atau belanja rumah tangga. Adanya kenaikan pada sub sektor perdagangan besar dan eceran tercermin dari tren peningkatan pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Jenis Sedan dan Jeep di Provinsi Riau yang mencerminkan penjualan kendaraan bermotor roda empat pada triwulan laporan. Tabel 1.13. Pertumbuhan Sektor Perdagangan Riau (yoy) PDRB Sisi Sektoral a. Perdagangan Besar dan Eceran
2008** I
10,57
II
10,45
2009** III
2010***
IV
I
II
III
IV
I
II
10,51
7,36
8,14
8,12
9,60
9,67
8,03
9,78
10,55
III
12,45
IV
b. H o t e l
7,49
9,51
9,87
11,29
7,77
7,70
7,81
9,44
8,25
8,80
8,79
5,90
c. Restoran
9,56
11,93
10,84
12,10
8,45
9,13
7,21
8,31
8,66
10,16
9,43
5,44
10,50
10,46
10,50
7,50
8,14
8,13
9,53
9,64
8,05
9,77
10,50
12,22
Perdagangan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diiolah
27
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
Sementara itu, dalam triwulan laporan diketahui bahwa sub sektor hotel dan restoran mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini diindikasikan seiring dengan rendahnya penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan di hotel. Grafik 1.24. Tingkat Hunian Hotel Berbintang 3,4,5 di Provinsi Riau 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00
Grafik 1.25. Penjualan Kendaraan Jenis Sedan dan Jeep di Riau 40.000
4.000
35.000
3.500
30.000
3.000
25.000
2.500
20.000
2.000
15.000
1.500
10.000
1.000
5.000 40,00
500
-
I
30,00
II
III
IV
I
2009
20,00
III
IV
2010
PKB (kiri)
Sumber : Perhimpuna Hotel Restoran Indonesia
II
BBN-KB (kanan)
Sumber : Dinas Pendapatan Provinsi Riau
3.5. Pengangkutan dan Komunikasi Sektor pengangkutan dalam triwulan laporan tercatat tumbuh sebesar 8,07% atau melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 11,31%. Kondisi ini utamanya disebabkan oleh perlambatan pada sub sektor angkutan darat dan angkutan laut yang masing-masing tumbuh sebesar 6,42% dan 6,43% (yoy). Sebagaimana diketahui, kedua pangsa sub sektor tersebut mencapai lebih dari 81% terhadap sektor pengangkutan di Provinsi Riau. Tabel 1.14. Pertumbuhan Sub Sektor Pengangkutan dan Komunikasi (yoy) PDRB Sisi Sektoral
2009**
II
III
8,68
8,61
8,70
1. Angkutan Darat
8,48
8,28
2. Angkutan Laut
7,08
3. Angkutan Udara 4. Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi
a. Pengangkutan
b.
2008** I
Penganggkutan dan Komunikasi
IV
2010***
I
II
III
IV
I
II
III
IV
10,69
8,41
7,05
5,81
4,90
6,46
7,44
9,05
6,74
8,22
9,27
8,14
6,87
5,81
5,56
6,19
7,09
9,12
6,42
6,97
8,13
12,01
7,73
6,34
4,65
2,34
5,86
7,45
8,61
6,43
12,34
15,07
14,23
17,38
12,09
8,95
7,35
5,37
8,83
9,04
9,67
9,08
10,49
9,01
8,79
13,47
8,69
8,18
6,76
4,51
7,74
8,75
8,78
7,69
14,75
18,42
19,70
20,29
19,85
18,94
17,22
18,02
16,17
19,62
22,91
20,24
9,51
9,95
10,21
12,03
10,05
8,80
7,52
6,87
7,98
9,40
11,31
8,97
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sementara itu, pertumbuhan sub sektor angkutan udara tumbuh cukup tinggi yaitu sebesar 9,08% meskipun mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan
28
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
sebelumnya. Salah satu indikator yang mendukung kondisi tersebut adalah masih tetap tingginya arus kedatangan dan keberangkatan penumpang dan pesawat di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II dalam triwulan IV-2010. Secara umum, hal ini diindikasikan akibat adanya faktor musiman hari raya natal dan menjelang pergantian tahun yang mendorong perpindahan orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Grafik 1.26. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Penumpang di Bandara SSK II 130.000
Grafik 1.27. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat di Bandara SSK II 1.000
120.000
950
110.000 900
100.000 850
90.000 800
70.000
750
60.000
700
50.000
650
Datang (kanan)
Berangkat (kanan)
Jul-10
Nop-10
Mei-10
Sep-10
Jan-10
Mar-10
Jul-09
Nop-09
Mei-09
Sep-09
Jan-09
Datang (kiri)
Mar-09
Jul-08
Nop-08
Mei-08
Sep-08
600 Jan-08
Agt-10
Okt-10
Des-10
Apr-10
Jun-10
Feb-10
Okt-09
Des-09
Apr-09
Jun-09
Agust-09
Okt-08
Feb-09
Des-08
Apr-08
Jun-08
Agust-08
Feb-08
40.000
Mar-08
80.000
Berangkat (kiri)
Sumber : PT. Angkasa Pura II
Selanjutnya, subsektor komunikasi masih mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu sebesar 20,24% pada triwulan laporan, namun relatif melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 22,91%. Semakin maraknya persaingan di subsektor komunikasi telah memunculkan providerprovider baru di provinsi Riau sehingga telah memberikan dorongan yang berarti terhadap pertumbuhan subsektor ini.
29
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Bab 2
PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH
1.
KONDISI UMUM
Dinamika perkembangan harga di Provinsi Riau pada triwulan IV-2010 yang diukur melalui Indeks Harga Konsumen (IHK) Kota Pekanbaru dan Kota Dumai secara tahunan (yoy) menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang cenderung lebih stabil. Pada triwulan, laporan inflasi Riau mencapai 7,37% meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,57%. Berdasarkan kota yang disurvey, tekanan inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai yaitu dari 3,94% menjadi
9,05%.
Sementara
itu,
inflasi
Kota
Pekanbaru
mengalami
peningkatan dari 4,72% menjadi 7,00%.
31
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Namun demikian, jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa, peningkatan yang signifikan hanya terjadi pada kelompok bahan makanan, sementara kelompok barang dan jasa lainnya relatif stabil. Tekanan inflasi pada triwulan laporan utamanya terjadi akibat kenaikan harga komoditas volatile foods pada penghujung tahun 2010 karena berkurangnya pasokan dari sentra-sentra produksi bahan makanan akibat gangguan cuaca, hama, dan masa tanam yang tidak serentak. Sebagai wilayah yang sangat bergantung pada ketersediaan di daerah lain, kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pergerakan tingkat harga di Provinsi Riau.
2.
PERKEMBANGAN INFLASI TAHUNAN (YOY)
Sampai dengan triwulan III-2010, inflasi Riau relatif lebih stabil dibandingkan dengan inflasi Riau pada triwulan IV-2010 yang tercatat mengalami peningkatan signifikan yaitu dari 4,57% menjadi 7,37%. Berbeda dengan triwulan-triwulan sebelumnya, pada triwulan laporan inflasi Riau cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional yang tercatat sebesar 6,96%. Namun demikian, inflasi Riau tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan inflasi Wilayah Sumatera yang mencapai 7,83%. Berdasarkan kawasannya, Sumatera merupakan kawasan dengan kenaikan inflasi tertinggi dibandingkan kawasan lainnya di Indonesia.
%
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera dan Nasional (yoy) 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
1
2
3
4
2008
1
2
3 2009
4
1
2
3
4
2010
P.baru
6,93 9,89 11,34 9,02 6,99 3,68 2,20 1,94 2,26 4,58 4,72 7,00
Dumai
7,33 14,22 16,24 14,30 10,16 2,74 3,22 0,80 1,81 5,27 3,94 9,05
Nasional
8,96 11,03 12,14 11,06 7,92 3,65 2,83 2,78 3,43 5,05 5,80 6,96
Riau
7,89 12,97 14,47 11,62 7,67 3,50 2,39 1,73 2,18 4,71 4,57 7,37
Sumatera 5,81 7,23 12,00 12,34 11,37 3,03 3,36 2,44 3,40 5,96 5,25 7,83
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
32
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Meningkatnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan berasal dari peningkatan yang signifikan pada kelompok bahan makanan, sementara peningkatan harga pada kelompok barang dan jasa lainnya cenderung lebih stabil. Beberapa harga bahan makanan seperti cabe merah dan beras mengalami peningkatan karena terbatasnya pasokan dari beberapa sentra produksi. Terbatasnya pasokam dari sentra-sentra produksi terjadi karena (i)Membaiknya harga jual jagung sehingga terjadi alih tanam padi menjadi jagung, (ii)terjadinya wabah burung dan tikus di Sumatera Barta, (iii)masa tanam yang tidak serentak pada sentar-sentra produksi. Pola distribusi dan hambatan infrastruktur juga telah menyebabkan peningkatan harga yang signifikan pada komoditas tersebut. Selain itu, meningkatnya harga CPO dunia telah mendorong kenaikan harga minyak goreng dalam negeri, tidak terkecuali di Riau. Terkait dengan berbagai permasalah tersebut, berbagai upaya untuk meredam kenaikan harga telah dilakukan melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Riau yang difokuskan untuk memperkuat stok pasokan bahan makanan dengan menggiring ekspektasi masyarakat terhadap ketersediaan stok pangan. Beberapa upaya yang dilakukan TPID Riau sepanjang tahun 2010 antara lain adalah optimalisasi strategi pelaksanaan operasi pasar dan pasar murah, serta meningkatkan komunikasi dengan masyarakat melalui media massa. Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan beras lokal maka pada 2010 Bulog Divre Riau telah melakukan impor beras dari negara Vietnam. Berdasarkan kota yang disurvey, maka inflasi Provinsi Riau diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 2 (dua) kota yaitu Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Pada triwulan laporan, inflasi Kota Pekanbaru mencapai 7,00% mengalami peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (4,72%) yang tercatat cenderung lebih stabil. Meningkatnya inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan IV-2010 didorong oleh peningkatan harga pada kelompok bahan makanan terutama beras, cabe merah dan minyak goreng.
33
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Di sisi lain, sejak awal tahun 2010 inflasi Kota Dumai cenderung lebih fluktuatif dan tercatat lebih tinggi dibandingkan Kota Pekanbaru. Inflasi Kota Dumai pada triwulan IV-2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu dari 3,94% menjadi 9,05%. Seperti pada triwulan sebelumnya, kelompok bahan makanan masih memberikan sumbangan tertinggi dalam pembentukan inflasi Kota Dumai, khususnya pada sub kelompok bumbu-bumbuan. Namun demikian,
jika
dilihat
berdasarkan
sumbangannya,
Kota
Pekanbaru
memberikan andil lebih tingggi dalam pembentukan inflasi Riau, sehingga pergerakan harga di Kota Pekanbaru lebih besar mempengaruhi tingkat harga di Riau.
2.1
Inflasi Kelompok Barang dan Jasa
Berdasarkan kelompok barang dan jasa, pada triwulan laporan terjadi peningkatan pada semua kelompok barang dan jasa dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Namun demikian, peningkatan yang signifikan hanya terjadi pada kelompok bahan makanan, sementara inflasi pada kelompok barang dan jasa lainnya relatif lebih stabil. Selama tahun 2010 (yoy), inflasi pada kelompok bahan makanan cenderung lebih fluktuatif dibandingkan dengan kelompok barang dan jasa lainnya (Grafik 2.2). Grafik 2.2. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa Selama Tahun 2010 (yoy) 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
-4.00 2010 Bahan Makanan Sandang Transportasi
Makanan Jadi Kesehatan RIAU
Perumahan Pendidikan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
34
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Pada triwulan IV-2010, kelompok bahan makanan mengalami inflasi tertinggi dibandingkan kelompok barang dan jasa lainnya yaitu mencapai 14,59%, dan tercatat mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan inflasi pada triwulan sebelumnya (6,88%). Peningkatan yang signifikan pada inflasi kelompok bahan makanan telah mendorong meningkatnya andil kelompok ini dan juga telah mendominasi pembentukan inflasi Riau (±53,11%) (Grafik 2.3). Grafik 2.3. Andil Inflasi Kelompok Barang/Jasa Provinsi Riau (yoy) 1,10%
7,17%
-1,57%
7,49%
38,70%
6,04%
0,87%
4,24%
2,94%
16,86%
Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transpor
24,93%
15,93%
Tw III-10
19,03%
Tw IV-10
53,11%
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah pleh Bank Indonesia
Berdasarkan komoditasnya, inflasi pada triwulan laporan berasal dari kenaikan harga cabe merah, minyak goreng dan beras. Berkurangnya pasokan dari beberapa sentra produksi karena curah hujan yang tinggi menjadi faktor utama tingginya harga cabe merah selama tahun 2010 (Grafik 2.4). Meningkatnya harga CPO di pasaran internasional menjadi faktor utama relatif tingginya harga jual minyak goreng pada triwulan laporan (Grafik 2.5). Kondisi ini diperkirakan menyebabkan pengusaha lebih memilih untuk menjual dalam bentuk CPO daripada mengolah menjadi minyak goreng sehingga pasokan minyak goreng mengalami penurunan. Selain itu, ekspektasi terhadap berkurangnya pasokan beras merupakan faktor pendorong kenaikan harga beras (Grafik 2.4). Pada triwulan IV-2010, Bulog Divre Riau telah melakukan operasi pasar untuk menekan kenaikan harga beras lebih lanjut pada tingkat yang lebih tinggi.
35
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.4. Perkembangan Rata-rata Bulanan Harga Beras dan Cabe Merah (Rp/Kg) 50,000
9,000
45,000 40,000
8,500
35,000 8,000
30,000 25,000
7,500
20,000 15,000 10,000
7,000
5,000 -
6,500 Jan Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Beras (kanan)
Cabe Merah
Sumber : Dinas Perindag Provinsi Riau, diolah
Grafik 2.5. Perkembangan harga CPO dunia (USD/Metric Ton) 1200 1000 800 600 400 200 0 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Bloomberg, diolah
Berdasarkan kota yang disurvey, kelompok bahan makanan di Kota Dumai mengalami inflasi tertinggi yaitu mencapai 19,12%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 10,12%. Meningkatnya inflasi kelompok ini juga telah mendorong peningkatan sumbangan terhadap pembentukan inflasi Dumai (±59,33%) pada triwulan laporan, dan juga telah mendominasi pembentukan inflasi Dumai (Grafik 2.6). Sementara itu, kelompok bahan makanan di Kota Pekanbaru juga mengalami inflasi tertinggi yaitu dari 6,13% menjadi 13,55% pada triwulan laporan. Dominasi kelompok bahan makanan terhadap inflasi Kota Pekanbaru juga merupakan yang tertinggi (±49,09%), dan dominasinya juga mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya inflasi kelompok ini dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik 2.7).
36
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.6. Andil Inflasi Kelompok Barang/Jasa Dumai (yoy) 2,20%
-17,87%
43,45%
0,48%
14,52%
3,94%
0,42%
1,50%
-0,38%
4,48%
Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transpor
11,83% 19,70%
Tw III-10
19,89%
Tw IV-10
59,33%
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
Grafik 2.7. Andil Inflasi Kelompok Barang/Jasa Pekanbaru (yoy)
Tw III-10
Tw IV-10
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah pleh Bank Indonesia
Selanjutnya, kelompok sandang di Riau mengalami inflasi sebesar 6,66% mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,15%. Hari besar keagamaan yaitu Natal dan persiapan Tahun baru yang jatuh pada triwulan laporan diperkirakan tidak banyak memberikan pengaruh pada peningkatan konsumsi barang-barang sandang. Peningkatan harga pada kelompok sandang utamanya berasal dari kenaikan harga emas perhiasan. Trend peningkatan harga emas di pasaran internasional menjadi faktor pendorong meningkatnya harga emas perhiasan di Riau (Grafik 2.8). Namun demikian, peranan kelompok ini relatif kecil, sehingga tidak banyak memberikan tekanan terhadap peningkatan harga di Riau.
37
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.8. Perkembangan Harga Emas Dunia ($/Oz) 1500 1300 1100 900 700 500 300 100 -100 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Bloomberg, diolah
Berdasarkan kota yang disurvey, inflasi kelompok sandang di Kota Pekanbaru mencapai 6,83% lebih tinggi dibandingkan inflasi kelompok sandang di Kota Dumai yaitu sebesar 5,83%. Inflasi kelompok sandang di Kota Pekanbaru dan Kota Dumai tercatat mengalami peningkatan dibandingkan inflasi pada triwulan sebelumnya, namun masih berada dalam tingkat yang relatif stabil. Kelompok pendidikan (pendidikan, rekreasi & olahraga) di Riau mengalami inflasi sebesar 6,32% dan relatif stabil dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya yaitu sebesar 6,44%. Inflasi kelompok pendidikan di Kota Pekanbaru dan Kota Dumai juga tercatat relatif stabil yaitu masing-masing sebesar 6,98% dan 3,26% dari 7,14% dan 3,20% pada triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV-2010 kelompok perumahan (perumahan, air, listrik, gas & bahan
bakar)
mengalami
inflasi
sebesar
6,20%,
juga
relatif
stabil
dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,62%. Namun, jika dilihat dari sumbangannya, kelompok perumahan memberikan andil yang cukup berarti (±16,86%) terhadap inflasi Riau pada triwulan laporan (Grafik 2.3). Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik pada awal triwulan III-2010 dan program konversi minyak ke gas yang tidak diikuti dengan kecukupan pasokan elpiji merupakan penyebab utama inflasi pada kelompok perumahan. Selain itu, penarikan minyak tanah bersubsidi yang digantikan dengan minyak tanah tidak bersubsidi dengan harga yang lebih tinggi yang diikuti dengan menurunnya jumlah pasokan juga menjadi faktor pendorong meningkatnya inflasi pada kelompok perumahan.
38
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Grafik 2.9. Perkembangan Pasokan Minyak Tanah di Riau 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000
Kilo Liter
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
2
2009
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
2010
Sumber : PT. Pertamina, diolah
Berdasarkan kota yang disurvey, kelompok perumahan mengalami inflasi tertinggi di Kota Dumai yaitu mencapai 7,09%, meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,99%. Sementara, di Kota Pekanbaru inflasi kelompok perumahan relatif stabil yaitu dari 5,97% pada triwulan III-2010 menjadi 6,01% pada triwulan laporan. Inflasi pada kelompok makanan jadi (makanan jadi, minuman, rokok & tembakau) mengalami peningkatan yang cukup berarti yaitu dari 4,47% pada triwulan III-2010 menjadi 6,02% pada triwulan IV-2010. Kelompok makanan jadi juga memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan inflasi Riau (±15,93%). Meningkatnya harga pada komoditas nasi, gula dan berbagai jenis rokok menjadi salah satu pendorong meningkatnya harga pada kelompok makanan jadi. Berdasarkan kota yang disurvey, inflasi kelompok makanan jadi tertinggi terjadi di Kota Dumai yaitu sebesar 9,37%, sementara di Kota Pekanbaru kelompok makan jadi mengalami inflasi sebesar 5,28%. Inflasi kelompok makanan jadi pada kedua kota tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Selanjutnya, kelompok transpor (transpor, komunikasi, & jasa keuangan) dan kelompok kesehatan di Riau tercatat mengalami inflasi terendah yaitu masingmasing sebesar 1,45% dan 1,78%. Inflasi pada kelompok transpor tercatat relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 1,37%, dan peranan kelompok transpor juga relatif kecil terhadap inflasi Riau. Di Kota
39
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Dumai
tingkat
harga
Perkembangan Inflasi Daerah
kelompok
transpor
masih
terus
menunjukkan
kecenderungan deflasi. Sementara itu, inflasi pada kelompok kesehatan relatif stabil dibandingkan dengan inflasi pada triwulan sebelumnya, dan peranan kelompok ini juga merupakan yang terkecil terhadap inflasi Riau dibandingkan dengan kelompok barang dan jasa lainnya (±0,87%). Inflasi kelompok kesehatan di Kota Pekanbaru tercatat sebesar 1,90% lebih tinggi dibandingkan inflasi kelompok kesehatan di Kota Dumai yaitu sebesar 1,24%. Tabel 2.1. Perkembangan Inflasi Kelompok Barang dan Jasa di Provinsi Riau (yoy) Kelompok Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transportasi UMUM
Pbr 1,19 5,53 1,77 5,88 4,82 3,19 -3,91 1,94
IV-09 Dumai 0,60 3,20 -0,50 4,02 2,27 2,74 -1,95 0,80
Riau 1,08 5,10 1,36 5,56 4,36 3,11 -3,51 1,73
Pbr 0,30 4,93 3,31 1,54 3,04 2,58 0,45 2,26
I-10 Dumai 3,79 3,48 0,17 1,13 2,57 1,11 -0,77 1,81
Riau 0,93 4,67 2,74 1,47 2,96 2,31 0,20 2,18
Pbr 8,65 4,49 4,19 5,42 0,72 2,90 0,40 4,58
II-10 Dumai 15,60 3,02 1,34 3,60 1,36 1,08 -0,24 5,27
Riau 9,93 4,22 3,69 5,11 0,83 2,57 0,27 4,71
Pbr 6,13 4,03 5,97 5,26 1,46 7,14 1,33 4,72
III-10 Dumai 10,12 6,45 3,99 4,57 0,93 3,20 -7,05 3,94
Riau 6,88 4,47 5,62 5,15 1,37 6,44 -0,47 4,57
Pbr 13,55 5,28 6,01 6,83 1,90 6,98 1,87 7,00
IV-10 Dumai 19,12 9,37 7,09 5,83 1,24 3,26 -0,23 9,05
Riau 14,59 6,02 6,20 6,66 1,78 6,32 1,45 7,37
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
2.2
Disagregasi Inflasi 1
Berdasarkan hasil disagregasi inflasi, pada triwulan laporan peranan inflasi non inti
2
atau non core Riau mengalami peningkatan yang signifikan bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 6,53% menjadi 11,44%. Meningkatnya inflasi non inti pada triwulan laporan utamanya didorong oleh meningkatnya inflasi pada kelompok volatile foods yaitu dari 7,18% pada triwulan III-2010 menjadi 15,30% pada triwulan IV-2010. Peningkatan inflasi yang signifikan pada kelompok bahan makanan selama tahun 2010 terutama pada komoditas beras, dan cabe merah menjadi faktor utama tingginya inflasi pada kelompok volatile foods. Selanjutnya, komponen lainnya yaitu kelompok administered prices juga mengalami peningkatan dari 5,76% menjadi 6,88% pada triwulan laporan. Selama tahun 2010, inflasi kelompok administered prices berasal dari kenaikan
Perhitungan inflasi inti dan non inti yang dilakukan berdasarkan pendekatan subkelompok dengan mengacu pada SBH 2007=100 2 Inflasi Non Inti (Non Core) terdiri dari inflasi volatile foods dan administered price 1
40
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
harga Tarif Dasar Listrik, gas elpiji dan minyak tanah. Di sisi lain, tekanan inflasi inti (core inflation) Riau masih relatif rendah meskipun mengalami sedikit peningkatan yaitu dari 3,05% menjadi 4,23%. Laju inflasi inti Riau masih tetap berada di bawah headline inflation Riau Grafik 2.10. Disagregasi Inflasi Riau (yoy) 25,00 18,00
20,00
15,00
15,00
12,00 %
%
10,00
9,00
5,00
6,00
0,00
3,00
-5,00
1
0,00 -3,00
3
4
1
2
2008 1
2
3
4
1
2008 Core
2
2
3
4
1
2
2009
3
4
3
4
1
2009
2
3
4
2010
Volatile 12,37 21,36 21,27 16,83 10,49 2,72 3,41 1,04 1,01 10,62 7,18 15,30
2010
6,72 7,89 9,61 8,49 7,14 6,09 3,61 2,75 1,93 1,92 3,05 4,23
AP
2,28 11,11 14,28 11,29 5,87 -2,18 -1,95 -0,18 4,16 5,71 5,76 6,88
Core
6,72 7,89 9,61 8,49 7,14 6,09 3,61 2,75 1,93 1,92 3,05 4,23
Headline 7,89 12,97 14,47 11,62 7,67 3,50 2,39 1,73 2,18 4,71 4,57 7,37
Non Core 7,43 16,25 17,87 14,21 8,33 0,39 0,88 0,48 2,44 8,34 6,53 11,44
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
Berdasarkan kota yang disurvey, inflasi kelompok volatile foods di Kota Dumai tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi kelompok volatile foods di Kota Pekanbaru yaitu masing-masing sebesar 19,92% dan 14,34%. Inflasi kelompok volatile foods di Kota Dumai juga cenderung lebih fluktuatif dibandingkan dengan inflasi kelpmpok volatile foods Kota Pekanbaru. Di sisi lain, inflasi inti (core inflation) di Kota Dumai juga tercatat lebih tinggi dibandingkan inflasi inti Kota Pekanbaru. Inflasi inti Kota pekanbaru tercatat sebesar 4,04% sementara inflasi inti Kota Dumai tercatat sebesar 5,33%. Grafik 2.11. Disagregasi Inflasi Kota Pekanbaru dan Dumai (yoy) 35.00 30.00 25.00
Core Pekanbaru
Core Dumai
VF Kota Pekanbaru
VP Kota Dumai
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 -5.00 -10.00
1
2
3 2008
4
1
2
3
4
2009
1
2
3
4
2010
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
41
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
3.
Perkembangan Inflasi Daerah
PERKEMBANGAN INFLASI TRIWULANAN (QTQ)
Perkembangan inflasi triwulanan (qtq) Provinsi Riau pada triwulan laporan mengalami
peningkatan
dibandingkan
dengan
inflasi
pada
triwulan
sebelumnya yaitu dari 1,90% menjadi 2,71%. Setelah pada triwulan sebelumnya tercatat berada di bawah inflasi nasional, maka pada triwulan IV2010 inflasi Riau tercatat berada diatas inflasi nasional yang tercatat sebesar 1,59%. Kelompok bahan makanan memberikan sumbangan tertinggi dalam pembentukan inflasi Riau selama triwulan laporan. Grafik 2.12. Perkembangan Inflasi di Provinsi Riau dan Nasional (qtq) 7,00 6,00 5,00
%
4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
1
2
3 2008
4
1
2
3
4
1
2009
2
3
4
2010
P.baru
2,39 2,64 3,17 0,55 0,48 -0,54 1,70 0,30 0,79 1,72 1,83 2,48
Dumai
3,00 6,39 3,04 1,22 -0,74 -0,77 3,52 -1,14 0,26 2,60 2,21 3,71
Nasional Riau
2,88 0,54 0,36 -0,15 2,07 0,49 0,99 1,41 2,79 1,59 3,94 3,42 3,15 0,68 0,25 -0,58 2,04 0,03 0,69 1,89 1,90 2,71
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
Berdasarkan kota yang disurvey, peningkatan inflasi terjadi pada Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Kota Pekanbaru yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan inflasi Riau pada triwulan laporan mengalami inflasi sebesar 2,48%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 1,83%. Inflasi yang cukup tinggi pada bulan November 2010 dan Desember 2010 setelah mengalami deflasi pada bulan Oktober 2010 tercatat memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan laporan. Kelompok bahan makanan tercatat memberikan sumbangan tertinggi dalam pembentukan inflasi Kota Pekanbaru selama triwulan laporan. Kota Dumai tercatat mengalami inflasi yang lebih tinggi yaitu sebesar 3,71% juga mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 2,21%. Setelah mengalami inflasi yang relatif stabil pada bulan Oktober 2010 dan November 2010, maka pada bulan Desember 2010, inflasi
42
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Kota Dumai mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi ini telah menyebabkan peningkatan yang cukup tinggi pada inflasi Kota Dumai selama triwulan IV-2010. Seperti halnya Kota Pekanbaru, kelompok bahan makanan di Kota Dumai juga tercatat memberikan sumbangan tertinggi dalam pembentukan inflasi Kota Dumai.
3.1
Inflasi kelompok Barang dan Jasa
Secara triwulanan, pada triwulan laporan terjadi inflasi hampir pada semua kelompok barang dan jasa kecuali kelompok transportasi yang tercatat mengalami deflasi. Kondisi yang sama terjadi pada Kota Pekanbaru, yaitu terjadi inflasi pada semua kelompok barang dan jasa kecuali kelompok transportasi yang tercatat mengalami deflasi. Di sisi lain, deflasi pada Kota Dumai hanya terjadi pada kelompok pendidikan, sementara kelompok barang dan jasa lainnya mengalami inflasi. Berdasarkan kelompok barang dan jasa, inflasi tertinggi di Riau terjadi pada kelompok bahan makanan yaitu mencapai 6,72%, mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 1,61%. Kelompok bahan makanan juga tercatat memberikan sumbangan tertinggi dalam pembentukan inflasi Riau (65,63%). Seiring dengan meningkatnya inflasi kelompok bahan makanan, peranan kelompok ini juga mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik 2.13). Grafik 2.13. Andil Inflasi Kelompok Barang/Jasa Provinsi Riau (qtq) 10,97%
22,86%
18,57%
15,55%
6,65%
8,33% 0,57% 0,01%
-0,24% Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan
16,08%
Sandang Kesehatan Pendidikan Transpor
2,60% 6,43% 25,51%
Tw III-10
Tw IV-10
65,63%
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
43
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvey, kelompok bahan makanan mengalami inflasi tertinggi di Kota Dumai yaitu mencapai 7,70% sementara inflasi kelompok bahan makanan di Kota Pekanbaru sebesar 6,49%. Inflasi kelompok bahan makanan pada kedua kota tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan inflasi pada triwulan sebelumnya. Kenaikan harga cabe merah, beras dan minyak goreng telah mendominasi kenaikan inflasi kelompok bahan makanan pada triwulan laporan. Grafik 2.14. Andil Inflasi Kelompok Barang/Jasa Kota Pekanbaru (qtq) 11,49% 22,14%
20,37%
18,68%
4,18% 10,20% 0,84%
0,06%
-0,34% Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transpor
3,39% 7,06%
8,75%
Tw III-10
26,79%
65,71%
Tw IV-10
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
Grafik 2.15. Andil Inflasi Kelompok Barang/Jasa Kota Dumai (qtq) 0,57%
4,19%
6,29%
18,90%
4,56%
4,86%
0,06%
-0,10% 0,07%
15,05% Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transpor 19,65%
22,73%
Tw III-10
42,74%
Tw IV-10
60,22%
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
Kenaikan harga emas perhiasan memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan inflasi kelompok sandang. Pada triwulan laporan inflasi kelompok sandang mengalami peningkatan yaitu dari 1,75% menjadi 3,42%. Berdasarkan kota yang disurvey, Kota Pekanbaru mengalami inflasi tertinggi yaitu sebesar 3,54% sementara Kota Dumai mengalami inflasi sebesar 2,85%. Inflasi kelompok sandang pada kedua kota tersebut tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengnan triwulan sebelumnya.
44
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
Kelompok makanan jadi pada triwulan laporan mengalami inflasi sebesar 2,61%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 1,50%. Inflasi tertinggi pada kelompok makanan jadi terjadi di Kota Dumai yaitu sebesar 3,67%, namun mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,70%. Sementara itu pada Kota Pekanbaru inflasi kelompok makanan jadi tercatat sebesar 2,38% mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,80%. Kelompok makanan jadi juga tercatat memberikan peranan yang cukup tinggi dalam pembentukan inflasi Riau (±18,57%). Kenaikan harga gula pasir, nasi dan berbagai jenis rokok merupakan pendorong utama peningkatan inflasi kelompok makanan jadi pada triwulan laporan. Sementara itu, pada triwulan laporan kelompok perumahan dan kelompok pendidikan masing-masing mengalami inflasi sebesar 0,91% dan 0,01%, namun mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang masing-masing mencapai 2,28% dan 5,53%. Kondisi yang sama juga terjadi di Kota Pekanbaru dan Dumai. Kenaikan harga batu-bata dan bahan bakar rumah tangga merupakan pendorong terjadinya inflasi pada kelompok perumahan. Kelompok transportasi merupakan satu-satunya kelompok yang mengalami deflasi yaitu sebesar 0,04%, mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mengalami inflasi sebesar 1,29%. Berdasarkan kota yang disurvey, Kota Pekanbaru tercatat mengalami deflasi sebesar 0,06% sementara Kota Dumai mengalami inflasi sebesar 0,02%. Menurunnya biaya angkutan antar kota merupakan faktor utama terjadinya deflasi pada triwulan laporan. Tabel 2.2. Perkembangan Inflasi Kelompok Barang dan Jasa di Provinsi Riau (qtq) Kelompok Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan Transportasi UMUM
Pbr -0,47 1,16 0,45 2,02 0,08 0,18 -0,60 0,30
IV-09 Dumai -0,43 0,91 -0,06 1,63 -0,24 -0,14 -6,82 -1,14
Riau -0,47 1,12 0,36 1,96 0,03 0,12 -1,93 0,03
Pbr 0,33 1,75 1,52 -0,88 -0,02 0,08 0,50 0,79
I-10 Dumai -0,16 0,65 0,75 0,06 0,68 0,51 -0,14 0,26
Riau 0,24 1,56 1,38 -0,72 0,10 0,16 0,37 0,69
Pbr 4,57 0,26 1,66 2,26 -0,07 0,54 0,02 1,72
II-10 Dumai 9,17 0,10 0,70 1,25 0,12 0,76 -0,93 2,60
Riau 5,42 0,23 1,49 2,09 -0,04 0,58 -0,17 1,89
Pbr 1,64 0,80 2,22 1,79 1,47 6,30 1,41 1,83
III-10 Dumai 1,48 4,70 2,57 1,56 0,38 2,05 0,83 2,21
Riau 1,61 1,50 2,28 1,75 1,28 5,53 1,29 1,90
Pbr 6,49 2,38 0,49 3,54 0,51 0,02 -0,06 2,48
IV-10 Dumai 7,70 3,67 2,91 2,85 0,06 -0,09 0,02 3,71
Riau 6,72 2,61 0,91 3,42 0,43 0,01 -0,04 2,71
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
45
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
3.2
Perkembangan Inflasi Daerah
Disagregrasi Inflasi
Berdasarkan hasil agregasi secara triwulanan (qtq), inflasi kelompok volatile foods Riau pada triwulan IV-2010 tercatat mengalami peningkatan yang berarti dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Masih berlanjutnya peningkatan harga kelompok bahan makanan terutama komoditas cabe merah yang diikuti dengan peningkatan harga beras dan minyak goreng merupakan faktor utama meningkatnya inflasi kelompok volatile foods hingga mencapai 7,02% dari 1,48%. Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvey, maka inflasi kelompok volatile foods tertinggi dialami oleh Kota Dumai yaitu sebesar 8,03%, sementara inflasi kelompok volatile foods di Kota Pekanbaru tercatat sebesar 6,78%. Inflasi kelompok volatile foods pada Kota Dumai dan Kota Pekanbaru mengalami peningkatan masing-masing dari 1,25% dan 1,50%. Grafik 2.16. Disagregasi Inflasi Riau (qtq) Core Volatile Administered Price Headline
8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 1 -2,00
2
3 2008
4
1
2
3
4
1
2
2009
3
4
2010
-4,00
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
Sementara itu, tekanan yang berasal dari kelompok administered price selama triwulan laporan mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 2,32% menjadi 0,81%. Kenaikan harga pertamax dan angkutan antar kota merupakan komoditas yang memberikan sumbangan terjadinya inflasi kelompok administered prices pada triwulan laporan. Berdasarkan kota yang disurvey, inflasi kelompok administered prices di Kota Dumai tercatat lebih tinggi dibandingkan inflasi kelompok administered prices di Kota Pekanbaru yaitu masing-masing sebesar
2,22% dan 2,18% dari
2,85% dan 0,48%. Di sisi lain, tekanan yang berasal dari inflasi inti mengalami
46
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Inflasi Daerah
penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 1,90% menjadi 1,53%. Grafik 2.17. Disagregasi Inflasi Kota Pekanbaru dan Kota Dumai (qtq) 12,00
10,00
10,00
Core Volatile Administered Price Headline
8,00 6,00
Core Volatile Administered Price Headline
8,00 6,00
4,00 4,00 2,00
2,00
0,00 1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
-2,00 2008
2009
2010
-4,00 -6,00
0,00 -2,00 -4,00
Pekanbaru
-6,00
1
2
3 2008
4
1
2
3 2009
4
1
2
3
4
2010
Dumai
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah oleh Bank Indonesia
Halaman Ini Sengaja Dikosongkan
47
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
1. Kondisi Umum Seiring dengan kondisi perekonomian Riau pada triwulan IV-2010 dimana 1
tumbuh sebesar 7,84% (y-o-y) , perbankan (bank umum dan BPR) Riau juga menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan. Hal ini terlihat pada beberapa indikator yang memperlihatkan peningkatan, seperti total aset, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan penyaluran kredit/pembiayaan, serta terjaganya kualitas kredit/pembiayaan yang disalurkan sebagaimana terlihat pada rendahnya rasio non performing loans (NPL). 1
PDRB Riau Tanpa Migas, sumber : BPS Provinsi Riau 47
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Total aset pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar Rp45,08 triliun, meningkat 1,37% dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp44,47 triliun (q-tq). Peningkatan aset tersebut terutama didorong oleh meningkatnya penghimpunan DPK dari Rp35,89 triliun menjadi Rp37,55 triliun atau tumbuh sebesar
4,62%. Dengan meningkatnya DPK, tentunya telah mendorong
kemampuan
perbankan
Riau
untuk
meningkatan
porsi
penyaluran
kredit/pembiayaannya dimana pada periode yang sama tercatat sebesar Rp29,38 triliun atau meningkat sebesar 5,03%. Meskipun kredit menunjukkan peningkatan, namun kualitas kredit/pembiyaan yang disalurkan tetap terjaga, sebagaimana terlihat pada rasio NPL gross yang tercatat 2,44%, jauh di bawah angka indikatif Bank Indonesia yang sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan debitur di Riau untuk mengembalikan pinjamannya (repayment capacity) cukup tinggi, selain diterapkannya prinsip kehati-hatian oleh bank (Tabel 3.1.). Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (Dalam Miliar Rupiah) Indikator
2009 Trw-IV
2010 Trw-III
Trw-IV
q-t-q
Growth (%) y-t-d
y-o-y
Aset - Bank Umum - BPR
39.515 38.895 621
44.469 43.747 721
45.076 44.218 858
1,37 1,08 18,97
14,07 13,69 38,22
14,07 13,69 38,22
DPK - Bank Umum - BPR
31.311 30.878 432
35.892 35.388 504
37.550 37.013 537
4,62 4,59 6,46
19,93 19,87 24,06
19,93 19,87 24,06
Kredit/Pembiayaan - Bank Umum - BPR
24.477 24.080 397
27.970 27.475 496
29.376 28.861 515
5,03 5,05 3,93
20,01 19,85 29,75
20,01 19,85 29,75
LDR - Bank Umum - BPR
78,18% 77,98% 91,82%
77,93% 77,64% 98,37%
78,23% 77,97% 96,03%
NPL 2,48% - Bank Umum 2,41% - BPR 7,16% Sumber: LBU Bank Umum dan LBBPR
3,28% 3,17% 9,38%
2,44% 2,34% 7,98%
48
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Selain itu keberpihakan perbankan Riau dalam mendorong perkembangan sektor riil juga terus menunjukkan peningkatan, sebagaimana terlihat pada penyaluran kredit UMKM oleh bank umum yang tercatat sebesar Rp21,85 triliun, meningkat 4,15% dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp20,98 triliun. Total penyaluran kredit UMKM tersebut pangsanya telah mencapai 75,71% dari total kredit yang disalurkan oleh bank umum.
2. Perkembangan Bank Umum 2.1. Perkembangan Jaringan Kantor Dalam upaya meningkatkan jasa layanan serta melihat peluang usaha seiring terus tumbuhnya perekonomian Riau, beberapa bank umum nasional telah melakukan ekspansi usaha dengan membuka jaringan kantornya di Riau. Hal ini terlihat pada perkembangan jumlah kantor dimana pada triwulan III-2010 tercatat 531 kantor, sementara pada triwulan IV-2010 sebanyak 552 kantor atau bertambah sebanyak 21 kantor, yang terdiri dari 1 kantor cabang, 18 kantor cabang pembantu, 1 kantor kas dan 1 kantor lainnya (Tabel 3.2). Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di Riau Keterangan Jumlah Bank - Pemerintah - Swasta - Bank Asing/Campuran Jumlah Kantor - Kantor Pusat - Kantor Cabang - Kantor Cabang Pembantu - Kantor Kas - Lainnya *) Jenis Bank - Konvensional - Syariah
2009
2010
Tw-IV 39 6 31 2
Tw-III 41 6 33 2
Tw-IV 41 6 33 2
499 1 73 299 41 85
531 1 79 314 50 87
552 1 80 332 51 88
39 31 8
41 32 9
41 32 9
*) Payment Point, Kantor Fungsional, Kantor Layanan Syariah dan Kas Mobil
Dengan meningkatnya jumlah jaringan kantor diharapkan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap layanan jasa perbankan semakin meningkat, baik untuk keperluan menyimpan dana, akses kredit/pembiayaan maupun pemanfaatan jasa perbankan lainnya. 49
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
2.2. Perkembangan Aset Total
aset bank umum di Riau pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar
Rp44,22 triliun, meningkat 1,08% dibandingkan triwulan sebelumnya (q-t-q), sehingga secara tahunan tumbuh sebesar 13,69% (y-o-y). Peningkatan aset pada triwulan laporan terutama didorong oleh meningkatnya dana pihak ketiga yang dihimpun serta adanya pembukaan jaringan kantor bank. Berdasarkan
kelompok bank, sebagaimana pada
periode
sebelumnya
pembentukan aset bank umum sebagian besar masih didominasi oleh kelompok bank pemerintah dengan pangsa sebesar 64,95%, sementara pangsa aset bank swasta nasional dan bank asing/campuran masing-masing sebesar
34,31%
dan
0,74%
(Grafik
3.1.).
Sementara
itu
dilihat
pertumbuhannya, aset kelompok bank swasta mengalami pertumbuhan sebesar 12,53% dan bank asing/campuran 2,5% sementara kelompok bank pemerintah turun sebesar 4,09% (q-t-q). Grafik 3.1 : Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok Bank 0.74% 34.31%
64.95% Bank Pemerintah
Bank Swasta
Bank Asing/Campuran
Sumber : LBU dan LBBPR
2.3. Perkembangan Penghimpunan DPK Posisi dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun bank umum di Riau pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar Rp37,01 triliun atau meningkat 4,59% dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp35,39 triliun (q-t-q), sehingga secara tahunan meningkat sebesar 19,87%. Peningkatan DPK tersebut disumbangkan oleh meningkatnya tabungan yang cukup signifikan
50
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
sebesar 14,08% (q-t-q), sementara giro dan deposito mengalami penurunan masing-masing sebesar 2,77% dan 3,98%. Penurunan yang terjadi terutama pada giro, antara lain disebabkan oleh berkurangnya dana milik pemerintah daerah yang dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek yang telah selesai pada akhir tahun anggaran, dimana
pada triwulan IV-2010 giro milik
pemerintah daerah turun sebesar 37,41% (q-t-q). Berdasarkan jenis simpanan, DPK yang dihimpun bank umum di Riau sebagian besar berupa tabungan dengan pangsa sebesar 49,74%, diikuti oleh deposito dan giro dengan pangsa masing-masing sebesar 25,41% dan 24,85% (Grafik 3.2). Besarnya pangsa tabungan pada struktur DPK mencerminkan bahwa perilaku sebagian besar masyarakat dalam menempatkan
dananya bukan
untuk tujuan investasi, tetapi untuk berjaga-jaga dalam memenuhi kebutuhan bertransaksi, selain banyaknya kemudahan bertransaksi yang ditawarkan bank kepada nasabah tabungannya. Grafik 3.2. Pangsa DPK menurut Jenis Simpanan
24.85%
25.41%
49.74% Giro
Tabungan
Deposito
Sumber : LBU Bank Umum
Sementara itu berdasarkan golongan pemilik, sebagian besar DPK pada bank umum di Riau dimiliki oleh kelompok perorangan dengan pangsa sebesar 71,04%, diikuti oleh pemerintah daerah dan perusahaan swasta
dengan
pangsa masing-masing sebesar 11,95% dan 11,38%. (Tabel 3.3). Tingginya pangsa dana milik perorangan yang sebagian besar berupa tabungan merupakan dana murah bagi perbankan namun memiliki tingkat volatilitas yang cukup tinggi (Tabel 3.3.).
51
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Tabel 3.3. Perkembangan DPK Berdasarkan Golongan Pemilik (Dalam Miliar Rupiah) Golongan Pemilik -
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Badan/Lembaga Pemerintah Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah Perusahaan Asuransi Perusahaan Swasta Yayasan dan Badan Sosial Koperasi Perorangan Lainnya Total
2009 Tw-IV 335 3.223 123 308 58 240 3.269 274 270 22.336 442 30.878
Tw-I 277 6.858 77 318 297 34 2.670 222 161 22.872 85 33.872
2010 Tw-II Tw-III 618 281 7.032 6.732 58 93 433 559 61 213 44 40 3.095 3.458 276 297 203 204 22.379 23.345 118 165 34.316 35.388
Tw-IV 173 4.213 104 448 589 37 4.422 338 244 26.294 152 37.013
Sumber: LBU Bank Umum
2.4. Perkembangan Penyaluran Kredit/Pembiayaan Posisi kredit/pembiayaan yang disalurkan bank umum Riau pada triwulan IV2010 tercatat sebesar Rp28,86 triliun, meningkat sebesar 5,05% dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp27,47 triliun, sehingga secara tahunan tumbuh sebesar 19,85%. Dari sisi penawaran, peningkatan kredit didorong oleh meningkatnya DPK yang dihimpun sehingga meningkatkan kemampuan bank untuk meningkatkan porsi penyaluran kredit/pembiayaannya, adanya target penyaluran kredit terkait kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta adanya program consumer loan berupa kredit tanpa agunan yang diluncurkan oleh perbankan. Sementara disisi permintaan, peningkatan kredit/pembiayaan antara lain didorong oleh semakin kondusifnya iklim usaha di Riau sehingga mendorong meningkatnya permintaan kredit untuk kegiatan usaha. Kondusifnya iklim usaha dikonfirmasi oleh hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU) yang dilakukan KBI Pekanbaru pada triwulan IV-2010 dimana responden mengatakan bahwa situasi bisnis di Riau lebih baik dibanding triwulan sebelumnya (SB meningkat dari 40,00 menjadi 40,22).
52
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Berdasarkan penggunaannya, baik kredit modal kerja, investasi dan konsumsi pada triwulan laporan mengalami peningkatan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada kredit investasi yakni sebesar 6,77%, sementara kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing meningkat sebesar 5,47% dan 3,36% (q-t-q). Dengan demikian secara tahunan kredit modal kerja meningkat sebesar 21,36%, investasi 16,59% dan konsumsi 20,84%. Sementara itu berdasarkan pangsanya, kredit modal kerja memiliki pangsa terbesar yakni sebesar 37,03%, kredit konsumsi dan investasi memiliki pangsa masing-masing sebesar 36,01% dan 26,96%. Relatif tingginya pertumbuhan dan pangsa kredit produktif yakni modal kerja dan investasi tentunya akan memberikan multiplier effect yang besar terhadap kegiatan perekonomian Riau (Grafik 3.3.) Grafik 3.3. Pangsa Penyaluran Kredit Menurut Penggunaan
37.03%
Modal kerja
36.01%
Investasi Konsumsi
26.96%
Sumber : LBU Bank Umum
Berdasarkan sektor ekonomi, kredit/pembiayaan bank umum di Riau sebagian besar disalurkan ke sektor lainnya dengan pangsa sebesar 40,34%, dikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) dan sektor pertanian dengan pangsa masing-masing sebesar 21,95% dan 16,70%. Tingginya penyaluran kredit ke sektor PHR dan Pertanian sejalan dengan PDRB Riau dimana kontribusi sektor PHR dan Pertanian terhadap pembentukan PDRB Riau cukup dominan yang rata-rata mencapai 17,28% dan 9,29%. Selain sektor-sektor di atas, sekor ekonomi yang juga menyerap kredit cukup besar adalah sektor jasa dunia usaha, sektor industri dan sektor kontruksi dengan pangsa masing-masing sebesar 6,52%, 5,84% dan 3,16% (Grafik 3.4.).
53
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Grafik 3.4. Pangsa Penyaluran Kredit Secara Sektoral 5.84%
3.16% Lainnya
6.52%
Perdagangan 40.34% Pertanian
16.70%
Jasa dunia usaha Industri Konstruksi 21.95%
Sumber : LBU Bank Umum
Dengan semakin meningkatnya penyaluran kredit, loan to deposit ratio (LDR) yang mencerminkan pelaksanaan fungsi intermediasi bank umum Riau sedikit mengalami peningkatan dari 77,64% pada triwulan III-2010 menjadi 77,97% pada triwulan IV-2010.
2.5. Risiko Kredit Meskipun kredit yang disalurkan bank umum Riau terus menunjukkan peningkatan, namun kualitas kredit yang disalurkan relatif terjaga. Hal ini terlihat pada rasio Non Performing Loan (NPL) gross pada triwulan laporan yang tercatat sebesar 2,34% lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 3,17%. Angka tersebut jauh di bawah angka indikatif Bank Indonesia yang
sebesar
5%.
Dalam
upaya
memitigasi
risiko,
bank
telah
memperhitungkan Pembentukan Pencadangan Aktiva Produk (PPAP) sehingga NPL Net hanya sebesar
0,98%. Rendahnya NPL tersebut mencerminkan
bahwa kemampuan membayar kembali (repayment capacity) debitur atas kredit/pembiyaan yang diterimanya relatif
baik. Hal ini tentunya sangat
mendukung upaya menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya perbankan. Berdasarkan jenis penggunaan, NPL tertinggi terjadi pada kredit modal kerja yakni sebesar 3,64%, sementara NPL pada kredit investasi dan konsumsi masing-masing
sebesar
1,49%
dan
1,64%.
Dibandingkan
triwulan
sebelumnya, NPL pada semua jenis kredit menunjukkan penurunan. 54
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Tabel 3.4. Perkembangan NPL Kredit Berdasarkan Penggunaan (Dalam jutaan Rupiah) Kredit Penggunaan Modal Kerja Investasi Konsumsi Total Sumber : LBU Bank Umum
2009 Tw -IV Nominal 291.630 161.245 133.509 586.384
% 3,26 2,40 1,37 2,31
2010 Tw-III Tw-IV Nominal % Nominal % 385.564 3,81 388.443 3,64 265.058 3,64 116.116 1,49 221.355 2,20 170.007 1,64 871.977 3,17 674.566 2,34
Sementara itu berdasarkan sektor ekonomi, sektor yang memiliki NPL relatif besar pada triwulan laporan adalah sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi masing-masing sebesar 7,04%dan 5,25%, sementara sektor-sektor yang lainnya NPLnya masih di bawah 5% (Tabel 3.5). Tabel 3.5. Perkembangan NPL Kredit Berdasarkan Penggunaan (Dalam jutaan Rupiah) 2009 Tw -IV Nominal 112.099 34 63.877 39 24.946 201.086 1.166 45.424 2.187 135.526 586.384
Kredit Sektoral Pertanian Pertambangan Industri LGA Konstruksi Perdagangan Angkutan Jasa Dunia Usaha JasaSosial Lain-Lain Total
% 2,51 0,05 4,18 0,07 2,66 3,45 0,20 2,36 0,81 1,39 2,31
2010 Tw-III Tw-IV Nominal % Nominal % 90.678 2,01 67.448 1,40 910 0,41 1.287 0,90 283.289 17,43 118.647 7,04 0,00 50.731 5,54 47.875 5,25 172.895 2,92 221.865 3,50 8.259 1,20 9.318 1,24 23.593 1,22 16.754 0,89 13.285 2,20 14.543 2,34 228.337 2,08 176.829 1,52 871.977 3,17 674.566 2,34
Sumber : LBU Bank Umum
2.6 Laba Usaha Bank umum di Riau hingga triwulan IV-2010 telah membukukan laba usaha sebesar Rp1.853 miliar, tumbuh sebesar 45,51% dibandingkan perolehan laba tahun 2009 yang sebesar Rp1.273 miliar. Peningkatan laba tersebut terutama didorong
oleh
meningkatnya
pendapatan
operasional
terutama
dari
pendapatan bunga kredit dan efisiensi usaha sebagaimana terlihat pada rasio
55
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang mengalami penurunan. Pendapatan operasional pada tahun 2010 tercatat sebesar Rp6.581 miliar, terdiri dari pendapatan bunga kredit Rp4.319 miliar (65,64%), keuntungan transaksi valas Rp5,71 miliar (0,09%), provisi dan komisi Rp1.491 miliar (11,61%) dan pendapatan operasional lainnya Rp764 miliar (11,61%). Sementara itu rasio BOPO pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar 77,73%, lebih rendah dibandingkan tahun 2009 yang sebesar 78,20%. Tingginya pertumbuhan laba bank umum mencerminkan bahwa kegiatan usaha bank di Riau sangat kondusif. Grafik 3.5: Struktur Pendapatan Operasional Bank Umum di Riau 11.61%
Pendapatan Bunga 22.66%
Keuntungan Valas Komisi dan Provisi Lainnya 65.64% 0.09%
Sumber : LBU Bank Umum
2.7. Perkembangan Kredit UMKM Beberapa studi mengatakan bahwa sektor UMKM memegang peranan penting dalam mendorong perekonomian karena ketahanannya dalam menghadapi goncangan krisis dan menyerap banyak tenaga kerja serta jumlahnya yang besar dan tersebar dalam berbagai sektor ekonomi. Dilandasi alasan tersebut, maka berbagai upaya dilakukan oleh pemangku kepentingan di daerah untuk mendorong perkembangan sektor UMKM. Masalah klasik yang dihadapi dalam pengembangan UMKM antara lain rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya jaringan pemasaran, dan lemahnya permodalan karena terbatasnya akses pembiayaan ke sektor lembaga keuangan khususnya perbankan. Dalam mengatasi masalah tersebut, 56
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Bank Indonesia bersama instansi terkait sesuai kewenangan masing-masing telah melakukan berbagai upaya antara lain dilakukan melalui pemberian bantuan teknis dan atau pelatihan kepada pendamping UMKM melalui Satgasda KKMB, mengikutsertakan pelaku UMKM dalam berbagai kegiatan pameran maupun membantu akses pembiayaan kesektor perbankan. Melihat peran vital UMKM tersebut, telah mendorong perbankan untuk memberikan perhatian kepada sektor UMKM khususnya melalui penyaluran kredit/pembiayaannya. Posisi kredit UMKM yang disalurkan bank umum Riau pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar Rp21,85 triliun meningkat sebesar 4,15% dibandingkan triwulan sebelumnya sehingga pada tahun 2010 pertumbuhan kredit UMKM tercatat sebesar 20,69%. Pangsa kredit UMKM tersebut mencapai 75,71% dari total kredit yang disalurkan bank umum. Berdasarkan jenis penggunaanya, kredit UMKM tersebut sebagian besar terserap untuk kegiatan produktif yakni modal kerja dan investasi yang mencapai Rp11,48 triliun (52,53%) sedangkan untuk konsumsi tercatat sebesar Rp10,37 triliun (47,47%). Pada triwulan laporan, kredit investasi menunjukkan pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 7,83%, sementara kredit konsumsi dan modal kerja masing-masing tumbuh sebesar 3,93% dan 2,93% (Tabel
3.6).
Guna
memberikan
multiplier
effect
dalam
mendorong
perekonomian, penyaluran kredit UMKM oleh perbankan pangsa kredit produktifnya diharapkan dapat lebih ditingkatkan. Tabel 3.6. Perkembangan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Penggunaan (Dalam Miliar Rupiah) Indikator
Tw-IV JENIS PENGGUNAAN - Modal kerja - Investasi - Konsumsi Sumber : LBU Bank Umum
2010
2009
18.106 6.342 3.186 8.578
Tw-I
Tw-II
18.380 6.201 3.368 8.811
20.016 6.707 3.710 9.599
Tw-III 20.982 7.828 3.174 9.980
Tw-IV 21.852 8.058 3.422 10.372
57
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Sementara itu
Perkembangan Perbankan Daerah
berdasarkan sektor ekonomi, selain sektor lainnya sektor
ekonomi yang banyak menyerap kredit UMKM adalah sektor PHR yakni sebesar Rp5.09 triliun (23,30%), diikuti oleh sektor pertanian Rp2,41 triliun (11,04%) dan sektor jasa dunia usaha Rp1,11 trilun (5,09%), sementara sektor-sektor yang lainnya pangsanya masih di bawah 5% (Tabel 3.7). Tabel 3.7. Perkembangan Kredit UMKM Berdasarkan Sektor Ekonomi (Dalam Miliar Rupiah) Indikator SEKTOR EKONOMI - Pertanian - Pertambangan - Industri - Listrik, gas dan air - Konstruksi - Perdagangan - Pengangkutan - Jasa dunia usaha - Jasa sosial - Lainnya Sumber: LBU bank Umum
2010
2009 Tw-IV 18.106 2.328 30 205 7 589 4.789 308 1.171 60 8.620
Tw-I 18.380 2.077 40 244 9 469 4.172 397 816 74 10.082
Tw-II 20.016 2.153 50 275 9 512 4.637 387 901 82 11.011
Tw-III 20.982 2.345 53 287 5 566 5.075 395 1.004 77 11.175
Tw-IV 21.852 2.414 37 302 5 529 5.091 379 1.111 85 11.900
Meskipun kredit/pembiayaan UMKM yang disalurkan terus menunjukkan peningkatan, namun kualitas kredit UMKM tetap baik yang diindikasikan oleh rendahnya rasio NPL dimana pada triwulan IV-2010 tercatat sebesar 2,36% (gross)
lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 2,74%.
Rendahnya NPL tersebut mencerminkan bahwa kemampuan dan kepatuhan debitur UMKM di Riau untuk membayar kembali kewajibannya cukup baik. Hal ini tentunya menjadi perhatian perbankan dalam meningkatkan pangsa penyaluran kredit/pembiyaan ke sektor UMKM.
58
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
2.8. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan oleh 6 (enam) bank pelaksanaan KUR di Riau (BNI, BRI, Mandiri, BTN, Bukopin dan Syariah Mandiri) pada triwulan IV2010 baik dari sisi plafon maupun outstanding/baki debet memperlihatkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Total plafon tercatat sebesar Rp1,04 triliun secara triwulan tumbuh sebesar 27,22% sehingga secara tahunan tumbuh 85,42%. Sementara itu outstanding kredit tercatat sebesar Rp585,47 miliar meningkat 32,12% (q-t-q) dan 61,64% (y-o-y). KUR tersebut tersalurkan kepada 58.401 debitur (Tabel 3.8). Tabel 3.8. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau (Dalam Jutaan Rupiah) Indikator Plafond Outstanding Debitur
2009 Trw-IV 558.430 362.213 33.969
Trw-I 647.182 406.152 37.596
2010 Trw-II Trw-III 769.433 813.902 418.456 443.137 44.183 49.508
Trw-IV 1.035.437 585.465 58.401
q-t-q 27,22 32,12 17,96
Growth (%) y-t-d85,42 61,64 71,92
y-o-y 85,42 61,64 71,92
Sumber: Kantor Menko Perekonomian
Secara nasional, jumlah plafon KUR di Riau pada triwulan IV-2010 pangsanya sebesar 3,01% dari total Rp34,42 triliun atau menempati urutan ke 9 dari 33 provinsi. Sementara dari outstanding kredit pangsanya sebesar 3,61% dari total Rp16,21 triliun, urutan 9 dari 33 provinsi. Adapun rata-rata KUR perdebitur di Riau tercatat sebesar Rp17,73 juta, jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar Rp9,03 juta.
2.9. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sejalan dengan bank umum, kinerja BPR Riau pada triwulan IV-2010 juga menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Hal ini terlihat pada perkembangan aset, DPK dan kredit yang disalurkan maupun perolehan laba usaha. Total aset BPR Riau tercatat sebesar Rp858,04 miliar, secara triwulan meningkat sebesar 18,97 (q-t-q) dan tahunan sebesar 38,22% (y-o-y). Peningkatan aset tersebut masih didorong oleh peningkatan
dana pihak
ketiga (DPK).
59
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Sementara itu DPK yang dihimpun
tercatat sebesar Rp536,52 miliar,
meningkat 6,46% (q-t-q) dan 24,05% (y-o-y). Berdasarkan jenis simpanan, baik
deposito
maupun
tabungan
pada
triwulan
laporan
keduanyan
menunjukkan peningkatan, dimana deposito tumbuh signifikan sebesar 10,72% dan tabungan hanya sebesar 2,15% (q-t-q). Tingginya peningkatan deposito tidak terlepas dari menariknya suku bunga deposito yang ditawarkan oleh BPR (Tabel 3.8). Tabel 3.9. Perkembangan DPK BPR (Dalam Jutaan Rupiah) Indikator DPK - Giro - Tabungan - Deposito
2010
2009 Tw-IV
Tw-III
432.482 244.545 187.937
503.967 250.430 253.536
Tw-IV 536.516 255.808 280.708
q-t-q
Growth (%) y-t-d y-o-y
6,46 2,15 10,72
24,06 4,61 49,36
24,06 4,61 49,36
Sumber: LBU BPR
Posisi kredit/pembiayaan yang disalurkan tercatat sebesar Rp515,23 miliar, meningkat sebesar 3,93% (q-t-q) dan 29,75% (y-o-y). Peningkatan penyaluran kredit tersebut tidak terlepas dari kemampuan bank untuk meningkatan penghimpunan DPKnya yang dipergunakan sebagai sumber pembiayaan. Sama halnya dengan bank umum, kredit yang disalurkan BPR Riau sebagian besar juga tersalurkan untuk tujuan produktif yakni modal kerja dan investasi dimana pada triwulan laporan pangsanya mencapai 66,28%, sementara untuk tujuan konsumtif sebesar 33,72%. Tingginya pangsa kredit produktif tersebut tentunya sangat positif dalam mendorong perkembangan usaha mikro dan kecil yang menjadi segmen pasar utama BPR (Tabel 3.9). Tabel 3.10. Perkembangan Kredit BPR Berdasarkan Penggunaan (Dalam Jutaan Rupiah)
Sumber: LBU BPR
Sementara itu secara sektoral, kredit yang disalurkan BPR Riau pada triwulan IV-2010 sebagian besar tersalurkan ke sektor lainnya dengan nominal sebesar 60
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Rp204,76 miliar (39,74%), diikuti sektor PHR (35,29%), sektor
sebesar Rp189,95 miliar
pertanian sebesar Rp90,86 miliar (17,63%) dan sektor jasa
dunia usaha sebesar Rp29,57 miliar (5,74%), sedangkan untuk sektor-sektor yang lainnya pangsa masih di bawah 5% (Table 3.10). Meskipun kredit yang disalurkan menunjukkan peningkatan, namun kualitas kredit mengalami perbaikan sebagaimana terlihat pada menurunnya NPL dari 9,38% menjadi 7,98%. Tabel 3.11. Perkembangan Kredit BPR Berdasarkan Sektor Ekonomi (Dalam Jutaan Rupiah) 2009 Tw-IV
Indikator Kredit Sektoral - Pertanian - Pertambangan - Industri - Listrik, gas dan air - Konstruksi - Perdagangan - Pengangkutan - Jasa dunia usaha - Jasa sosial - Lainnya
397.101 67.190 2.448 8 141.543 21 38.322 147.567
2010 Tw-III
Tw-IV
495.765 80.767 2.595 6 187.077 130 36.577 188.613
q-t-q
515.234 90.858 3.075 4 186.953 29.588 204.755
Growth (%) y-t-d y-o-y
3,93 12,49
29,75 35,22
29,75 35,22
18,49
25,60
25,60
(19,93) (0,07) (100,00) (19,11) 8,56
(43,10) (43,10) 32,08 32,08 (100,00) (100,00) (22,79) (22,79) 38,75
38,75
Sumber: LBU BPR
Dengan lebih tingginya pertumbuhan DPK dibandingkan kredit pada triwulan laporan, telah mendorong penurunan LDR BPR Riau dari 98,73% pada triwulan III-2010 menjadi 96,03% pada triwulan IV-2010.
2.10. Bank Syariah Jumlah bank syariah yang beroperasi di Riau sampai dengan triwulan IV-2010 tercatat 11 bank yang terdiri dari 9 bank umum syariah dan 2 BPR syariah dengan total
aset Rp2,28 triliun atau
mencapai
5,16%
dari total aset
perbankan Riau, jauh di atas pangsa aset perbankan syariah nasional nasional yang hanya sekitar 3%. Hal ini mencerminkan perkembangan perbankan syariah di Riau cukup pesat. DPK yang dihimpun tercatat sebesar Rp.1,55 triliun, secara triwulanan tumbuh sebesar 19,23% (q-t-q), sehingga secara tahunan tumbuh 35,15% (y-o-y). 61
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Perbankan Daerah
Pertumbuhan DPK pada triwulan laporan didorong oleh pertumbuhan giro yang signifikan yakni sebesar 88,43% sedangkan
tabungan dan deposito
masing-masing tumbuh sebesar 15,89% dan 10,56% (q-t-q). Sementara itu pembiayaan yang disalurkan tercatat sebesar Rp1,59 triliun, tumbuh 11,92% dibandingkan triwulan sebelumnya, sehingga secara tahunan pembiayaan tumbuh signifikan 51,30%. Peningkatan pembiayaan didorong oleh semua jenis pembiayaan, dimana pembiayaan investasi tumbuh paling tinggi yakni sebesar 14,96%, sedangkan konsumsi dan modal kerja masingmasing
sebesar
16,89%
dan
5,61%
(q-t-q).
Meskipun
pembiayaan
menunjukkan peningkatan, namun kualitas pembiayaan yang disalurkan cukup terjaga sebagaimana terlihat pada non performing financing (NPF) gross yang sebesar 2,89%. Dengan lebih tingginya pertumbuhan DPK dibandingkan pembiayaan pada triwulan laporan, telah mendorong penurunan finacing to deposit ratio (FDR) menjadi 103,18% dari triwulan sebelumnya yang sebesar 109,92%. Laba usaha yang dibukukan perbankan syariah Riau pada tahun 2010 tercatat sebesar Rp98,21 miliar, meningkat sebesar Rp13,88 miliar (17,65%) dibandingkan tahun 2009 yang sebesar Rp78,63 miliar. Tabel 3.12. Perkembangan Perbankan Syariah (Dalam Jutaan Rupiah) Indikator Jumlah bank
2009 Tw.IV
2010 Tw.III 10
Tw.IV 11
q-t-q
Growth y-o-y
y-t-d
11
Total asset
1,566,558
2,040,288
2,280,240
11.76%
45.56%
45.6%
Total dana - Giro - Tabungan - Deposito Berjangka
1,143,714 119,469 651,757 372,487
1,296,434 92,667 754,837 448,930
1,545,732 19.23% 174,617 88.43% 874,772 15.89% 496,343 10.56%
35.15% 46.16% 34.22% 33.25%
35.15% 46.16% 34.22% 33.25%
Pembiayaan - Modal Kerja - Investasi - Konsumsi
1,054,175 455,707 327,872 270,596
1,425,009 564,898 366,025 494,086
1,594,931 596,609 420,773 577,549
92.17% 7.07%
109.92% 3.87%
103.18% 2.89%
Financing to Deposit Ratio (FDR) Non Performing Financing (NPF)
11.92% 51.30% 51.30% 5.61% 30.92% 30.92% 14.96% 28.33% 28.33% 16.89% 113.44% 113.44%
62
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Keuangan Daerah
Bab 4
KONDISI KEUANGAN DAERAH
1. Kondisi Umum Anggaran belanja Provinsi Riau pada tahun 2010 tercatat Rp 4,267 triliun, relatif sama dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 4,269 triliun. Adapun berdasarkan realisasi Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), penyerapan anggaran belanja mencapai Rp 3,8 triliun atau 89,05% dari total anggaran. Realisasi belanja terbesar terdapat pada belanja tidak langsung sebesar 90,36% sementara realisasi belanja langsung sebesar 88.23%. Selanjutnya, Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD) dengan persentase penyerapan anggaran belanja tertinggi pada tahun 2010 adalah DPRD yakni sebesar 98,09% sedangkan realisasi anggaran belanja terkecil adalah Dinas Perkebunan yaitu sebesar 51,34%.
63
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Keuangan Daerah
2. Realisasi Belanja Anggaran belanja Provinsi Riau pada tahun 2010 tercatat Rp 4,267 triliun, relatif sama dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Rp 4,269 triliun. Realisasi belanja tercatat mencapai Rp3,8 triliun atau 89,05% dari total anggaran belanja. Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, realisasi belanja Provinsi Riau menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal ini sebagai dampak dari percepatan pembangunan berbagai proyek infrastruktur dan persiapan Riau sebagai tuan rumah PON XVIII di tahun 2012. Grafik 4.1. Realisasi Anggaran Belanja SKPD 2007 – 2010 (Juta Rupiah)
Nominal
Persentase 90.00% 2010
88.00% 86.00%
2009
84.00% 82.00%
2008
80.00% 78.00%
2007
76.00% 74.00% 2007
2008
2009
Persentase
2010
3,000,000
3,200,000
3,400,000
3,600,000
3,800,000
4,000,000
Nominal
Sumber: Biro Keuangan Provinsi Riau, diolah
Jika dilihat dari belanja yang dilakukan oleh masing-masing SKPD, plafon belanja terbesar dialokasikan untuk Dinas Pekerjaan Umum yang mencapai Rp922,82 miliar atau 21,62% dari total belanja daerah. Dari jumlah tersebut, belanja langsung mencapai Rp861,51 miliar (93,36%), dan belanja tidak langsung sebesar Rp61,31 miliar (6,64%). Kondisi ini menunjukkan bahwa peruntukan belanja oleh Dinas Pekerjaan Umum utamanya adalah untuk belanja modal. Selanjutnya PPKD yaitu mencapai Rp893,59 miliar atau 20,94% serta Dinas Pendidikan sebesar Rp449,94 miliar atau 10,54% dari total anggaran belanja daerah. Apabila dibandingkan dengan tahun 2009, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pendidikan juga menjadi SKPD dengan plafond belanja dalam kelompok 3 besar yakni berturut – turut 19,51% dan 9,69% dari total anggaran. Hal ini menunjukkan prioritas alokasi anggaran Provinsi Riau dipergunakan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dan kualitas SDM. Di sisi lain, plafon anggaran belanja terkecil dialokasikan untuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yakni sebesar Rp2,35 miliar atau 0,05% dari total anggaran belanja.
64
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Keuangan Daerah
Berdasarkan komponennya, persentase realisasi belanja tertinggi adalah belanja tidak langsung yaitu sebesar 90,36% atau tercatat Rp1,47 triliun sementara persentase realisasi untuk belanja langsung sebesar 88,23%. Namun demikian, apabila ditinjau berdasarkan nominalnya, realisasi belanja tertinggi adalah belanja langsung yang mencapai Rp2,32 triliun. Tabel 4.1. Realisasi Belanja SKPD di Provinsi Riau Triwulan IV-2010
Komponen Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung Total
Anggaran Belanja (Rp Miliar) 1,633.62 2,633.81 4,267.43
Realisasi SP2D (Rp Miliar) % 1,476.22 90.36% 2,323.89 88.23% 3,800.10 89.05%
Sumber: Biro Keuangan Provinsi Riau, diolah
Sementara itu, SKPD dengan penyerapan anggaran belanja tertinggi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yaitu mencapai Rp21,07 miliar atau 98,09% dari anggaran sebesar Rp21,48 miliar dengan keseluruhan peruntukan dialokasikan pada belanja tidak langsung. Sedangkan tiga SKPD yang tercatat memiliki plafond belanja terbesar yakni Dinas Pekerjaan Umum, PPKD, dan Dinas Pendidikan melakukan realisasi anggaran yang lebih rendah yakni berturut-turut sebesar Rp818,34 miliar (88,68%), Rp843,37 miliar (94,38%), dan Rp398,31 miliar (88,53%). Adapun, realisasi anggaran terkecil dilakukan oleh Dinas Perkebunan dengan pencapaian 51,34% atau tercatat Rp30,43 miliar dari anggaran sebesar Rp59,28 miliar.
2.1.
Realisasi Belanja Tidak Langsung
Anggaran belanja tidak langsung tahun 2010 tercatat Rp1,63 triliun, mengalami penurunan sebesar 9,58% dibandingkan anggaran tahun 2009 yang mencapai Rp1,81 triliun. Hal ini disebabkan sebagian besar komponen belanja langsung mengalami penurunan, kecuali komponen belanja subsidi dan komponen belanja bantuan keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota & Pemerintahan. Dari anggaran ini, alokasi belanja tidak langsung terbesar adalah untuk PPKD yaitu mencapai Rp893,59 miliar atau 54,70% dari total anggaran. Selanjutnya
Dinas
Pendapatan yaitu sebesar Rp71,28 miliar atau 4,36% dan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad sebesar Rp61,92 miliar atau 3,79% dari total belanja tidak langsung.
65
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Keuangan Daerah
Sedangkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki plafon anggaran terkecil yaitu Rp2,35 miliar atau 0,14% dari total anggaran belanja tidak langsung. Tabel 4.2. Realisasi Belanja Tidak Langsung SKPD di Provinsi Riau 2010 (Juta Rupiah) Satuan Kerja Perangkat Daerah
Dinas Pendidikan
Total Anggaran Realisasi SP2D Belanja Tidak Langsung 36,400.53 30,770.53
Satuan Kerja Perangkat Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Total Anggaran Realisasi SP2D Belanja Tidak Langsung 21,479.39 21,069.48
Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi
13,937.98
10,271.46
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
2,345.27
2,043.24
Dinas Kesehatan
36,943.07
29,213.52
Sekretariat Daerah
55,283.99
48,936.69
Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad
61,926.22
59,569.69
Sekretariat DPRD
14,350.11
11,641.41
Rumah Sakit Jiwa Tampan
15,561.29
14,080.29
Badan Penelitian dan Pengembangan
7,893.82
6,583.69
Dinas Pekerjaan Umum
61,307.93
53,111.94
Inspektorat
7,754.41
6,849.81
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
14,049.17
9,989.99
Badan Penghubung
4,438.74
4,042.54
Dinas Perhubungan
23,934.80
18,580.72
Dinas Pendapatan
71,287.23
60,922.80
Badan Lingkungan Hidup
7,232.51
6,483.65
Badan Kepegawaian Daerah
12,153.63
10,165.40
Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Dinas Sosial
6,035.00
4,498.28
Badan Ketahanan Pangan
8,068.92
7,523.76
17,410.11
14,421.87
7,137.90
5,920.33
29,546.19
26,157.84
5,686.00
4,870.07
25,265.11
23,419.75
16,240.15
14,711.63 7,733.81
8,723.08
7,811.71
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Dinas Komunikasi, Informatika dan Pengolahan Data Elektronik Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura
Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah
5,778.83
5,214.55
Dinas Perkebunan
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
5,301.26
4,438.29
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
8,884.33
14,272.52
11,196.80
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan
6,975.09
6,626.46
9,887.57
8,317.40
25,702.32
22,867.61
19,125.09
16,980.14
Dinas Pertambangan dan Energi
9,583.64
9,017.37
9,425.94
8,442.85
Dinas Perikanan dan Kelautan
12,454.57
10,597.04
893,594.60
833,377.31
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Pemuda dan Olah Raga Satuan Polisi Pamong Praja Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat PPKD
Dinas Kehutanan
Dinas Perindustrian dan perdagangan JUMLAH
20,246.20
17,744.93
1,633,624.56
1,476,216.67
Sumber: Biro Keuangan Provinsi Riau, diolah
Jika dilihat dari persentase penyerapan anggaran belanja tidak langsung, realisasi belanja tertinggi dilakukan oleh DPRD yaitu sebesar 98,09% atau tercatat Rp21,07 miliar dari anggaran Rp21,48 miliar dan kemudian diikuti oleh Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad yang tercatat sebesar 96,19% atau Rp59,57 miliar dari anggaran Rp61,93 miliar.
Selanjutnya, untuk dua SKPD dengan plafon belanja
terbesar yakni PPKD dan Dinas Pendapatan, realisasi belanjanya berturut – turut mencapai Rp833,37 miliar atau 93,26% dan Rp60,92 miliar atau 85,46% dari anggaran. Sedangkan, penyerapan anggaran belanja tidak langsung terkecil dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang mencapai 71,11% atau tercatat Rp9,98 miliar dari anggaran Rp14,05 miliar. Secara umum, berdasarkan realisasi SP2D persentase penyerapan anggaran untuk belanja tidak langsung mencapai 90,36% atau tercatat sebesar Rp1,47 triliun. Jumlah nominal realisasi belanja tidak langsung ini mengalami peningkatan sebesar 3,69% dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2009 yang tercatat sebesar Rp1,42 triliun. Secara rata – rata, tingkat penyerapan anggaran SKPD di Riau untuk tahun 2010 adalah sebesar 86,56%.
66
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
2.2.
Kondisi Keuangan Daerah
Realisasi Belanja Langsung
Anggaran belanja langsung tahun 2010 tercatat sebesar Rp2,63 triliun atau naik 6.95% dari anggaran tahun 2009 sebesar Rp2,46 trilliun. Alokasi terbesar adalah untuk Dinas Pekerjaan Umum yakni sebesar Rp 861,51 miliar atau 32,71% dari total anggaran belanja langsung. Selanjutnya adalah Dinas Pendidikan dengan alokasi sebesar 15,70% atau Rp413,54 miliar. Sedangkan, PPKD, DPRD, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tercatat tidak memiliki anggaran untuk belanja langsung pada tahun 2010. Besarnya porsi anggaran untuk Dinas Pekerjaan Umum ini tidak terlepas dari peranannya dalam pembangunan ataupun perbaikan berbagai infrastruktur di Riau. Tabel 4.3. Realisasi Belanja Langsung SKPD di Provinsi Riau 2010 (Juta Rupiah) Satuan Kerja Perangkat Daerah Dinas Pendidikan Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Dinas Kesehatan
Total Anggaran Realisasi SP2D Belanja Langsung 413,543.03
367,544.20
10,019.91
9,017.67
Satuan Kerja Perangkat Daerah
Total Anggaran Realisasi SP2D Belanja Langsung
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
-
-
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
-
130.00
69,008.83
60,704.69
109,626.23
101,654.73
13,419.31
11,937.37
861,513.44
765,233.24
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
25,920.44
22,715.84
Badan Penghubung
10,555.10
9,786.01
Dinas Perhubungan
42,334.81
41,157.57
Dinas Pendapatan
29,189.91
23,416.54
Badan Lingkungan Hidup
9,030.16
7,692.82
Badan Kepegawaian Daerah
14,885.45
11,742.91
Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Dinas Sosial
4,606.17
4,647.12
Badan Ketahanan Pangan
6,540.43
6,195.98
30,567.99
25,430.26
Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Rumah Sakit Jiwa Tampan Dinas Pekerjaan Umum
12,917.62
12,413.95
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
19,760.04
18,894.19
7,690.71
7,385.15
Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah
12,507.13
10,828.58
5,673.27
5,321.52
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Pemuda dan Olah Raga Satuan Polisi Pamong Praja Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat PPKD
44,202.08
34,157.38
335,763.15
324,166.83
12,332.05
10,399.16
5,930.31
5,530.36
-
10,000.00
224,779.57
171,392.78
Sekretariat DPRD
Sekretariat Daerah
89,021.12
84,743.73
Badan Penelitian dan Pengembangan
12,042.88
10,727.98
8,941.88
7,653.40
Inspektorat
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Dinas Komunikasi, Informatika dan Pengolahan Data Elektronik Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura
9,252.10
8,140.11
52,000.38
41,950.62
Dinas Perkebunan
43,039.93
15,721.90
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
18,397.27
17,954.98
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Dinas Kehutanan
4,952.93
4,506.52
13,041.15
10,965.85
Dinas Pertambangan dan Energi
11,834.51
8,629.19
Dinas Perikanan dan Kelautan
28,699.03
25,800.09
Dinas Perindustrian dan perdagangan JUMLAH
10,267.79
7,596.33
2,633,810.15
2,323,887.53
Sumber: Biro Keuangan Provinsi Riau, diolah
Di sisi lain, persentase penyerapan anggaran belanja langsung berdasarkan realisasinya hanya mencapai 88,23% atau sebesar Rp2,32 triliun, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 96,10% atau sebesar Rp2,46 triliun. Penurunan penyerapan anggaran belanja langsung ini didorong oleh turunnya realisasi anggaran dari SKPD yang memiliki pangsa belanja langsung dominan seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pendidikan.
67
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Keuangan Daerah
Untuk Dinas Pekerjaan Umum terrealisasi sebesar 88,82% pada tahun 2010 atau tercatat Rp765,23 miliar, menurun dibandingkan tingkat penyerapan tahun 2009 yang sebesar 90,64% (Rp701,36 miliar). Begitu pula dengan Dinas Pendidikan yang melakukan penyerapan anggaran sebesar Rp367,54 miliar atau 88,88%, menurun tipis dibandingkan tahun 2009 yang sebesar 88,89% (Rp336,39 miliar). Sementara itu, realisasi belanja langsung Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana merupakan yang tertinggi yaitu mencapai Rp4,65 miliar atau 0,89% lebih besar dari total belanja yang dianggarkan yakni sebesar Rp4,61 miliar. Selanjutnya adalah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan penyerapan anggaran sebesar 97,60% atau terrealisasi Rp17,95 miliar dari anggaran Rp18,40 miliar. Sedangkan realisasi anggaran belanja langsung terkecil dilakukan oleh Dinas Perkebunan yaitu tercatat Rp15,72 miliar atau 36,53% dari total belanja yang dianggarkan sebesar Rp43,04 miliar. Sehingga secara rata - rata tingkat penyerapan anggaran belanja langsung oleh SKPD adalah sebesar 87,23%.
3.
Realisasi Pembiayaan
Persentase realisasi anggaran pembiayaan mencapai 99,14% atau tercatat Rp192,34 miliar dari anggaran sebesar Rp194 miliar. Untuk realisasi pembiayaan ini sepenuhnya diserap oleh PPKD yang sebagian besar dipergunakan untuk menambah kepemilikan pemerintah provinsi di empat Badan Usaha Milik Daerah yakni PT Bank Riau, PT Sarana Pembangunan Riau (SPR), PT Riau Air Lines, dan PT Bumi Siak Pusako (BSP). Tabel 4.4 Realisasi Anggaran Pembiayaan di Provinsi Riau 2010 (Juta Rupiah)
Komponen Pembiayaan Total
Anggaran (Rp Miliar) 194.00 194.00
Realisasi SP2D (Rp Miliar) % 192.34 99.14% 192.34 99.14%
Sumber: Biro Keuangan Provinsi Riau, diolah
68
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Sisitem Pembayaran
Bab 5
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
1. Kondisi Umum Sejalan dengan perkembangan perekonomian Riau, dimana pada triwulan IV – 2010 tumbuh positif, aktivitas transaksi tunai yang tercermin pada peredaran uang kartal maupun non tunai (kliring & RTGS) yang dilakukan melalui Kantor Bank Indonesia Pekanbaru juga menunjukkan peningkatan. Perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau selama triwulan laporan tercatat mengalami net outflow. Aliran uang masuk ke Bank Indonesia Pekanbaru tercatat Rp180,2 miliar atau menurun signifikan sebesar 81,53% dari triwulan sebelumnya. Permintaan uang kartal yang tercermin dari uang keluar (outflow) dari Bank Indonesia Pekanbaru juga mengalami penurunan sebesar 3,20% dari triwulan sebelumnya atau tercatat Rp3,65 triliun. Penurunan inflow yang lebih besar dibandingkan penurunan outflow menyebabkan peningkatan net outflow dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 24,13% atau sebesar Rp3,47 triliun. 69
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Sisitem Pembayaran
Sementara itu, dalam hal penggunaan transaksi non tunai, sistem BI-RTGS masih relatif mendominasi transaksi pembayaran non tunai dengan nilai transaksi kumulatif mencapai Rp71,58 triliun atau mengalami kenaikan 8,43% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp66,01 triliun. Nilai nominal kliring dalam triwulan laporan juga mengalami kenaikan yakni 9,55% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu dari Rp6,37 triliun menjadi Rp6,98 triliun.
2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai 2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow – Outflow) Perkembangan peredaran uang kartal pada triwulan laporan baik uang masuk (inflow) maupun uang keluar (outflow) mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan triwulan sebelumnya dimana baik outflow maupun inflow mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada triwulan laporan, inflow menurun dari Rp975,84 miliar pada triwulan sebelumnya menjadi sebesar Rp180,2 miliar atau terjadi penurunan sebesar 81,53%. Sementara, dari sisi outflow mengalami sedikit penurunan yaitu dari Rp3,77 triliun menjadi Rp3,65 triliun atau menurun 3,20%. (Grafik 5.1) Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow 4,550 4,050 3,550 3,050 2,550 2,050
net outflow
1,550
Inflow
1,050
Ouflow
550
Thousands
50 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 2007
2008
2009
2010
Sumber : Bank Indonesia
Penurunan inflow pada triwulan laporan sebesar Rp795,63 miliar mengindikasikan kebutuhan transaksi masyarakat yang tetap tinggi serta persediaan uang kartal layak edar yang masih dapat dipenuhi melalui transaksi antar bank sehingga mendorong turunnya inflow ke Bank Indonesia. Apabila dibandingkan dengan 2009, secara kumulatif pada tahun 2010 terjadi peningkatan inflow sebesar 13.71% dari Rp1,21 triliun menjadi Rp1,38 triliun. Di sisi lain, penurunan outflow yang terjadi pada triwulan laporan tidak setinggi penurunan inflow. Hal ini disebabkan oleh kembali meningkatnya permintaan uang kartal masyarakat di bulan Nopember dan Desember. Outflow tertinggi pada triwulan laporan terjadi pada bulan 70
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Sisitem Pembayaran
Desember yakni sebesar Rp1.964,46 miliar yang didorong oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat akan uang kartal dalam menghadapi hari Natal, tahun baru, dan masa libur yang cukup panjang. Kondisi ini menggambarkan permintaan uang kartal sejalan dengan kegiatan transaksi ekonomi atau permintaan masyarakat akan barang/jasa. Sedangkan, secara kumulatif, apabila dibandingkan dengan tahun 2009 permintaan uang kartal masyarakat tercatat mengalami kenaikan sebesar 12,01% atau meningkat dari Rp8.87 triliun menjadi sebesar Rp9.93 triliun. Hal ini mengindikasikan semakin membaiknya kondisi perekonomian secara keseluruhan. Dengan penurunan inflow yang lebih besar dibandingkan penurunan outflow pada triwulan laporan, maka Net Outflow di Provinsi Riau tetap mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yakni sebesar 24,13% atau tercatat Rp3,47 triliun.
2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar Dalam melaksanakan Clean Money Policy yaitu kebijakan untuk menjaga agar uang yang beredar di masyarakat dalam kondisi layak edar serta jumlah nominal yang cukup menurut jenis pecahannya, Bank Indonesia secara rutin melakukan kegiatan pemusnahan uang, khususnya terhadap uang yang sudah tidak layak edar (UTLE) baik yang berasal dari setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat, dan menggantinya dengan uang yang layak edar. Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) yang menandakan pemusnahan UTLE dalam triwulan laporan mencapai Rp172,27 miliar atau meningkat sebesar 50,21% dibandingkan dengan triwulan III-2010 yang tercatat sebesar Rp114,68 miliar. Namun, apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, terjadi penurunan PTTB sebesar 4,93% dimana pada Triwulan IV-2009 PTTB sebesar Rp181,22 Miliar. (Grafik 5.2) Grafik 5.2. Perkembangan Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) di Bank Indonesia Pekanbaru (Rp Juta) 180,000
200,000 180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 -
160,000 140,000 120,000
bulanan
100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 -
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112 2007
2008
2009
2010
1
2
3
2007
4
1
2
3
2008
4
1
2
3
2009
4
1
2
3
4
2010
Sumber: Bank Indonesia
71
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Sisitem Pembayaran
Dalam rangka memenuhi kebutuhan uang rupiah yang layak edar dan uang rupiah pecahan tertentu bagi masyarakat, Bank Indonesia Pekanbaru juga secara rutin melaksanakan layanan penukaran uang secara langsung untuk uang lusuh (Uang Tidak Layak Edar) atau rusak, maupun layanan penukaran uang pecahan kecil. Disamping itu, Bank Indonesia Pekanbaru juga melakukan kegiatan Kas Keliling atau pelayanan kas di luar Kantor Bank Indonesia, baik di dalam kota maupun diluar kota Pekanbaru.
2.3. Uang Palsu Sepanjang triwulan laporan, jumlah dan nilai nominal uang palsu yang ditemukan di Bank Indonesia Pekanbaru tidak mengalami kenaikan yang signifikan yakni hanya sebanyak 22 lembar dengan nilai nominal Rp1,5 juta. Angka ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan triwulan III-2010 dimana ditemukan jumlah uang palsu sebanyak 17 lembar dengan nominal mencapai Rp1,02 juta. Sebagian besar uang palsu yang masuk dalam triwulan laporan merupakan pecahan Rp50 ribu sebanyak 14 lembar dan Rp100 ribu sebanyak 8 lembar. Penemuan uang palsu tersebut sebagian berdasarkan permintaan klarifikasi dari perbankan kepada Bank Indonesia Pekanbaru dan sebagian dari hasil setoran perbankan. (Grafik 5.3) Grafik 5.3. Perkembangan Peredaran Uang Palsu di Riau 3,000
45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
2,500 2,000 1,500 1,000 500 3
4
Thousands
2
1
2
3
4
2008 Lembar (kanan)
1
2
3
4
1
2009
2
3
4
2010
Nominal (kiri)
Sumber: Bank Indonesia
Untuk menekan peredaran uang palsu, Bank Indonesia Pekanbaru secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada setiap lapisan masyarakat melalui slogan 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang), termasuk bagaimana cara memperlakukan uang secara baik guna memperpanjang usia manfaat fisik dari uang.
72
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Sisitem Pembayaran
3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non Tunai 3.1. Transaksi Kliring Transaksi pembayaran non tunai melalui kliring dalam triwulan laporan tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya baik dari sisi nilai nominal maupun warkat yang digunakan. Nominal transaksi kliring triwulan IV-2010 meningkat sebesar 9,55% dari triwulan sebelumnya yaitu dari Rp6,37 triliun menjadi Rp6,98 triliun. Selanjutnya, jumlah warkat yang dikliringkan juga mengalami peningkatan dari 275.667 lembar menjadi 287.922 lembar atau meningkat 4,45%. Peningkatan pada nilai dan nominal kliring mencerminkan bertambahnya kuantitas transaksi selama triwulan laporan. Selan itu, jika dibandingkan dengan tahun 2009, secara kumulatif terjadi peningkatan yang cukup signifikan baik dari sisi nominal maupun jumlah, yakni masing – masing naik sebesar 16,24% dan 9,46%. (Grafik 5.4) Grafik 5.4. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau Tahun 2007-2010 8,000
350
7,000
300
6,000
250
5,000
200
4,000
150
3,000 2,000
100
1,000
50
-
2
3
2007
4
1
2
3
2008 nominal (kiri)
4
1
2
3
4
1
2009 warkat (kanan)
2
3
2010
4
Thousands
Milions
1
Sumber: Bank Indonesia
Seiring dengan peningkatan aktivitas pembayaran non tunai, peredaran cek dan bilyet giro kosong juga mengalami peningkatan pada triwulan laporan baik dari sisi nominal maupun jumlah warkat. Nilai nominal cek/BG kosong yang ditolak mengalami peningkatan sebesar 13,47% dari Rp102,92 miliar pada triwulan III-2010 menjadi Rp116,78 miliar pada triwulan IV2010. Sedangkan dari sisi jumlah warkat cek/BG kosong yang ditolak mengalami peningkatan sebesar 6,07% yaitu dari 4.315 lembar pada triwulan III-2010 menjadi 4.577 lembar pada triwulan IV-2010. Selanjutnya, secara kumulatif di tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup signifikan untuk penolakan cek/BG kosong baik dari sisi nominal maupun jumlah yakni masing – masing sebesar 24,95% dan 14,43%. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pemberlakuan penerbitan daftar hitam nasional untuk penarik cek/BG kosong dengan kriteria tertentu belum dapat meredam peningkatan cek/BG kosong. (Grafik 5.5)
73
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Sisitem Pembayaran
Grafik 5.5. Perkembangan Penolakan Cek/BG di Provinsi Riau Tahun 2007-2010 140,000
90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 (10,000)
120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 1
2
3
2007
4
1
2
3
4
1
2008 nominal (kiri)
2
3
4
1
2009
2
3
4
2010
warkat (kanan)
Sumber: Bank Indonesia
3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS) Transaksi non tunai melalui sistem Bank Indonesia RTGS (BI-RTGS) pada triwulan IV-2010 tercatat mengalami peningkatan baik dari sisi nilai nominal maupun dari sisi volume. Nilai nominal mengalami peningkatan sebesar 8,43% dari Rp66,02 miliar (triwulan III-2010) menjadi Rp71,58 miliar pada triwulan IV-2010, sementara dari sisi volume meningkat sebesar 11,56% dari 71.094 lembar (triwulan III-2010) menjadi 63.725 lembar dalam triwulan IV-2010. Peningkatan yang terjadi pada nilai nominal BI-RTGS dalam triwulan laporan didorong oleh meningkatnya nilai transaksi yang masuk ke Provinsi Riau sebesar 9,60% yaitu dari Rp28,02 triliun menjadi Rp30,71 triliun. Sementara, nilai transaksi yang keluar provinsi Riau juga meningkat sebesar 7,56% yakni dari Rp37,99 triliun menjadi Rp40,86 triliun. Berdasarkan wilayahnya, persentase peningkatan nilai nominal BI-RTGS triwulan laporan didorong oleh peningkatan pada Kota Dumai sebesar 65,17% dan disusul oleh Kabupaten Pelalawan sebesar 44,65%. Meskipun, persentase peningkatan nilai nominal di Kota Dumai lebih tinggi dibandingkan peningkatan di Kota Pekanbaru, namun Kota Pekanbaru memiliki porsi kontribusi terhadap nilai nominal kumulatif Provinsi Riau yang lebih tinggi yaitu sebesar 93,07% sedangkan Kota Dumai hanya sebesar 3,63%. Sementara itu, dari sisi volume, peningkatan pada volume transaksi BI-RTGS dikontribusikan oleh peningkatan transaksi masuk sebesar 7,93% dan volume transaksi keluar sebesar 16,84%. Walaupun peningkatan volume transaksi keluar lebih besar dari volume transaksi masuk namun porsi volume transaksi keluar terhadap volume kumulatif hanya sebesar 42,7% atau tercatat 30.348 lembar sedangkan volume transaksi masuk sebesar 57,3% atau 40.746 lembar. 74
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Sisitem Pembayaran
Berdasarkan wilayahnya peningkatan utama terjadi pada Kabupaten Rokan Hilir sebesar 1.359,09% disusul oleh Kabupaten Kampar sebesar 86,41%. Namun demikian, peningkatan pada Kabupaten Rokan Hilir tidak memberikan pengaruh yang besar tehadap volume kumulatif. Hal ini dapat dilihat dari porsi Kabupaten Rokan Hilir hanya sebesar 0,45% dari volume kumulatif. Peningkatan volume transaksi BI-RTGS utamanya dikontribusikan oleh Kota Pekanbaru yaitu dari 55.204 lembar menjadi 60.504 lembar atau meningkat sebesar 9,60%. Tabel 5.1. Perkembangan BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan IV 2010 Tw III-2010 Keluar
Wilayah
Bengkalis Dumai Indragiri Hulu Indragiri Hilir Kampar Kuantan Singingi Pekanbaru Pelalawan Rokan Hulu Rokan Hilir Siak JUMLAH
Masuk
Tw IV-2010 Kumulatif
Keluar
Masuk
Kumulatif
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
(Rp Miliar)
(Lembar)
(Rp Miliar)
(Lembar)
(Rp Miliar)
(Lembar)
(Rp Miliar)
(Lembar)
(Rp Miliar)
(Lembar)
(Rp Miliar)
(Lembar)
330 761 2.20 36,742 19.17 140 37,994
1,100 2,557 252.00 21,043 638.00 384 25,974
767 814 2 199.22 242.02 0.05 25,256 4.18 3.00 271.45 465 28,023
522 2,494 15 15.00 57.00 1.00 34,161 23.00 67.00 22.00 374 37,751
1,097 1,574 2 199 244 0 61,998 4 22 271 605 66,018
1,622 5,051 15 15 309 1 55,204 23 705 22 758 63,725
504 1,363 5.00 38,766 16.32 9.18 203 40,866
1,420 3,154 467.00 24,002 473.00 294.00 538 30,348
795 1,237 1 31.53 289.76 0.18 27,858 6.05 1.39 1.31 493 30,714
562 3,028 5 6.00 109.00 4.00 36,502 33.00 28.00 27.00 442 40,746
1,299 2,600 1 32 295 0 66,624 6 18 10 696 71,580
1,982 6,182 5 6 576 4 60,504 33 501 321 980 71,094
Sumber: Bank Indonesia
75
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Bab 6 PERKEMBANGAN PENDUDUK, KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN DAERAH
1. Kondisi Umum Jumlah penduduk Provinsi Riau pada tahun 2010 mencapai 5.543.031 jiwa atau mengalami peningkatan 41,84% dibandingkan dengan tahun 2000. Berdasarkan sebarannya, penduduk Riau hampir tersebar secara merata di setiap kabupaten/kota di Riau, karena hampir semua kabupaten/kota di Riau memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Riau. Dari jumlah penduduk tersebut sebesar 67,38% merupakan penduduk usia kerja dan mengalami peningkatan 2,55% dibandingkan tahun 2009, yang berasal dari peningkatan angkatan kerja (5,16%), sementara bukan angkatan kerja mengalami penurunan
(1,71%)
dibandingkan
dengan
tahun
2009.
Maraknya
pembangunan berbagai proyek infrastruktur menuju PON 2012 di Riau seperti jalan, bangunan, dan lain-lain yang menyerap banyak tenaga kerja telah mendorong
meningkatnya
tenaga
kerja
yang
berprofesi
sebagai
buruh/karyawan terutama di sektor bangunan.
80
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Selama tahun 2010, indikator kesejahteraan petani yaitu Nilai Tukar Petani menujukkan kecenderungan yang terus meningkat. Kontribusi tertinggi berasal dari sub sektor tanaman perkebunan rakyat yang didorong oleh meningkatnya harga karet dan kelapa sawit selama tahun 2010.
2. Kependudukan Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS Provinsi Riau, jumlah penduduk Riau pada tahun 2010 tercatat sebesar 5.543.031 jiwa yang terdiri dari 2.854.989 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 2.688.042 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk Riau tercatat mengalami laju pertumbuhan sebesar 41,84% dalam kurun waktu 10 tahun (2000), yang sebelumnya tercatat sebesar 3.907.763 jiwa. Jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki di setiap kabupaten/kota tercatat lebih banyak dibandingkan dengan penduduk berjenis kelamin perempuan. Grafik 6.1. Penduduk Riau Berdasarkan Jenis Kelamin Kuantan Singingi
Dumai
500.000 400.000
Indragiri Hulu
300.000
Pekanbaru
Indragiri Hilir
200.000
Laki-laki 48,49%
Perempuan
51,51%
100.000 Kepulauan Meranti
-
Pelalawan
Rokan Hilir
Siak
Kampar
Bengkalis Rokan Hulu
Laki-laki Perempuan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Jika dilihat berdasarkan sex rationya, pada tahun 2010 sex ratio penduduk Riau tercatat sebesar 106, yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak 6 orang pada setiap 100 orang penduduk perempuan. Berdasarkan kab/kota, maka sex ratio tertinggi terdapat di Kabupaten Pelalawan yaitu mencapai 111, sementara yang terendah terdapat di Kota Pekanbaru yaitu sebesar 103. Rendahnya sex ratio di Kota Pekanbaru menunjukkan bahwa ratio jumlah lakilaki di Kota Pekanbaru lebih sedikit dibandingkan dengan ratio jumlah laki-laki di kab/kota lainnya di Provinsi Riau.
81
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Grafik 6.2. Sex Ratio Penduduk Riau Berdasarkan Kabupaten/Kota 112 Sex Ratio Kab/Kota
110
Sex Ratio Riau
108 106 104 102 100 98
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Berdasarkan sebarannya, maka penduduk Riau hampir tersebar secara merata di setiap Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau. Kondisi ini terjadi karena hampir semua kabupaten/kota di Riau memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat, karena Riau merupakan Provinsi yang prospektif secara perekonomian. Namun demikian jika dilihat berdasarkan jumlahnya, sebaran penduduk tertinggi terdapat di Kota Pekanbaru yaitu sebanyak 903.902 jiwa atau 16,31% dari jumlah penduduk Riau. Kondisi ini merupakan hal yang wajar mengingat Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau dan juga merupakan pusat bisnis di Riau, sehingga menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk
bekerja
dan
berdomisili
di
Kota
Pekanbaru.
Jika
dilihat
perkembangannya, maka sebaran penduduk di Kota Pekanbaru sejak tahun 1980 terus menunjukkan peningkatan yaitu dari 13,64% menjadi 14,69% pada tahun 1990 dan 15,59% pada tahun 2000, dan terakhir menjadi 16,31% pada tahun 2010. Grafik 6.3. Distribusi Penduduk Riau Tahun 2010 4,59 3,18
16,31
5,25
Kuantan Singingi
6,55 11,95
Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis
5,47 6,81
9,97 8,99
8,57
12,38
Rokan Hilir Kepulauan Meranti Pekanbaru Dumai
Sumber : BPS Provinsi Riau
82
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Selanjutnya, jumlah penduduk di Kabupaten Kampar juga cukup besar yaitu mencapai 686.030 jiwa atau 12,38% dari jumlah penduduk Riau. Sebaran penduduk di Kabupaten Kampar juga mengalami peningkatan sejak tahun 1980 yaitu dari 10,03% menjadi 10,62% pada tahun 1990 dan menjadi 11,91% pada tahun 2000. Sementara itu, sebaran penduduk di Kabupaten Indragiri Hilir terus menunjukkan penurunan sejak tahun 1980. Pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1990, jumlah penduduk di Kabupaten Indragiri Hilir tercatat mendominasi sebaran penduduk di Riau yaitu mencapai 22,85% pada tahun 1980 dan menurun menjadi 17,58% pada tahun 1980. Selanjutnya kembali mengalami penurunan pada tahun 2000 yaitu menjadi 14,79%, dan terakhir di tahun 2010 sebarannya menjadi 11,95% atau sebanyak 662.305 jiwa. Sebaran penduduk terkecil terdapat di Kabupaten Meranti yaitu sebesar 3,18%
atau
sebanyak
176.371
jiwa,
juga
tercatat
menunjukkan
kecenderungan yang terus menurun sejak tahun 1980. Pada tahun 1980 sebarannya tercatat sebesar 7,44% dan menurun menjadi 5,78% pada tahun 1990, selanjutnya menjadi 4,25% pada tahun 2000, dan terakhir menurun menjadi 3,18% pada tahun 2010. Kabupaten Meranti merupakan pemekaran dari Kabupaten Bengkalis yang diresmikan tahun 2009. Laju pertumbuhan penduduk Riau pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2000 tercatat sebesar 3,59%. Berdasarkan Kab/Kota, maka laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Pelalawan yaitu mencapai 6,71% diikuti oleh pertumbuhan di Kabupaten Rokan Hulu yang mencapai 5,61%. Sementara itu, laju pertumbuhan terendah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti yaitu sebesar 0,60%. Di Provinsi Riau terdapat 6 (enam) kab/kota yang mengalami laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Provinsi Riau, dan juga terdapat 6 (enam) kab/kota yang pertumbuhan penduduknya lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk Riau.
83
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Grafik 6.4. Laju Pertumbuhan Penduduk di Riau 8,00 7,00
Kab/Kota
6,00
Riau
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
3. Ketenagakerjaan Dari jumlah penduduk Riau sebesar 5,54 juta jiwa, sekitar 3,73 juta jiwa atau 1
67,38% merupakan penduduk usia kerja . Berdasarkan survey yang dilakukan oleh BPS, pada bulan Agustus 2010 jumlah penduduk usia kerja tersebut mengalami peningkatan 2,55% dibandingkan dengan periode Agustus 2009. Peningkatan terjadi pada penduduk angkatan kerja yaitu sebesar 5,16% menjadi sebesar 2,38 juta jiwa, sementara penduduk bukan angkatan kerja mengalami penurunan sebesar 1,71% sehingga jumlahnya menjadi 1,36 juta jiwa. Tabel 6.1. Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatan Utama (Jiwa) Kegiatan Utama
Angkatan Kerja
- Bekerja - Pengangguran Total
Bukan Angkatan Kerja Penduduk Usia Kerja Setengah Penganggur Terpaksa Setengah Penganggur Sukarela
Total Bekerja Tidak Penuh
Agust-07
Feb-08
Agust-08
Feb-09
Agust-09
Feb-10
Agust-10
2.067.357 193.505
2.178.403 169.164
2.170.247 207.247
1.907.946 207.138 2.115.084 1.265.605 3.380.689 338.595 359.959
2.025.384 208.931 2.234.315 1.341.525 3.575.840 280.299 343.511
2.055.863 183.522 2.239.385 1.324.705 3.564.090 407.415 303.011
2.097.955 206.471 2.304.426 1.294.910 3.599.336 292.393 482.782
698.554
623.810
710.426
775.175
2.260.862
2.347.567
2.377.494
1.381.015
1.335.296
1.357.347
3.641.877
3.682.863
3.734.841
294.143 405.856 699.999
296.631 499.253 795.884
340.445 481.473 821.918
Sumber : BPS Provinsi Riau
2
Jumlah angkatan kerja yang bekerja pada tahun 2010 tercatat mengalami peningkatan sebesar 4,98% sehingga jumlahnya menjadi 2,17 juta jiwa, namun jumlah pengangguran juga mengalami peningkatan menjadi 7,10% sehingga jumlahnya menjadi sebesar 207,25 ribu jiwa. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja telah menyebabkan meningkatnya Tingkat 1 2
Penduduk berusia 15 tahun keatas Penduduk berusia 15 tahun keatas yang merupakan angkatan kerja dan telah bekerja
84
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
3
Pengangguran Terbuka (TPT) dari 8,56% pada tahun 2009 menjadi 8,72% pada tahun 2010, dan angka ini tercatat masih berada pada tingkat yang tinggi. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang diikuti dengan penurunan jumlah bukan angkatan kerja telah mendorong meningkatnya Tingkat 4
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Riau dari 62,08% pada tahun 2009 menjadi 63,66% pada tahun 2010. Peningkatan TPAK diperkirakan didorong oleh meningkatnya pembangunan berbagai proyek-proyek infrastruktur di Provinisi Riau dalam rangka persiapan Riau sebagai tuan rumah PON 2012 seperti jalan, bangunan, dan lain-lain yang pada umumnya banyak menyerap buruh sebagai tenaga kerja. Namun demikian, meningkatnya jumlah tenaga kerja yang berprofesi sebagai buruh diperkirakan hanya bersifat temporer sampai pembangunan berbagai proyek dimaksud selesai. Kondisi tersebut juga diperkirakan menjadi faktor pendorong peningkatan yang signifikan pada jumlah penduduk yang bekerja 5
tidak penuh yaitu mencapai 17,42% yaitu dari 699,99 ribu jiwa menjadi 821,92 ribu jiwa yang berasal dari penduduk setengah menganggur sukarela dan penduduk setengah menganggur terpaksa. Jumlah penduduk setengah penganggur sukarela dan jumlah penduduk setengah penganggur terpaksa mengalami peningkatan yaitu masing-masing sebesar 18,63% dan 15,74% sehingga jumlahnya masing-masing menjadi 481,47 ribu jiwa dan 340,44 ribu jiwa. Grafik 6.5. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran (%) 66,00%
12,00%
64,00%
10,00%
62,00%
8,00%
60,00%
6,00%
58,00%
4,00%
56,00%
2,00%
54,00% 52,00%
0,00% Agst 2006
Feb
Agst
2007
Feb
Agst
2008
TPAK (axis kiri)
Feb
Agst
2009
Feb
Agst
2010
TPT (axis kanan)
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah 3
Ratio antara jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja Ratio antara jumlah angkatan kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja 5 Penduduk yang bekerja di bawah jam normal, yaitu bekerja kurang dari 35 jam /minggu 4
85
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Jika dilihat secara sektoral, terdapat 3 (tiga) sektor yang mendominasi penduduk usia kerja yang bekerja di Provinsi Riau yaitu sektor pertanian (44,6%), sektor perdagangan (18,8%), dan sektor jasa kemasyarakatan (17,1%). Besarnya penduduk yang bekerja pada sektor-sektor tersebut tidak terlepas dari besarnya prospek sektor tersebut di Riau terutama subsektor perkebunan yaitu komoditas kelapa sawit dan karet. Namun pangsa penduduk usia kerja yang bekerja pada sektor pertanian mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2009, sementara pangsa sektor perdagangan dan sektor jasa kemasyarakatan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2009. Di sisi lain, pangsa terkecil berada di sektor listrik, gas, dan air bersih yaitu hanya sebesar 0,3%, dan pangsanya mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2009. Pangsa sektor ini relatif kecil karena terbatasnya jenis perusahaan pada sektor ini di Provinsi Riau dengan jumlah karyawan yang juga relatif terbatas. Tabel 6.2. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian Pertambangan (kanan) Industri (kanan) Listrik, Gas dan Air bersih Bangunan (kanan) Perdagangan Angkutan dan Pergudangan Keuangan dan Jasa perusahaan Jasa Kemasyarakan TOTAL
Agust-07
Feb-08
Agust-08
Feb-09
Agust-09
Feb-10
Agust-10
48,82 2,21 6,47 0,22 5,14 17,48 5,82 0,85 12,99 100
46,67 2,91 5,43 0,19 5,89 17,25 5,90 1,43 14,34 100
49,30 2,36 5,28 0,35 5,18 17,58 5,60 0,86 13,50 100
45,9 3,8 4,9 0,2 6,0 18,2 5,7 1,2 14,0 100
48,4 2,1 5,8 0,5 4,8 18,2 4,8 1,5 13,9 100
43,9 2,6 5,4 0,2 5,5 19,3 4,3 1,7 17,1 100
44,6 1,5 5,8 0,3 5,7 18,8 4,7 1,4 17,1 100
Sumber : BPS Provinsi Riau
Berdasarkan
pekerjaan
utamanya,
38%
penduduk
bekerja
sebagai
buruh/karyawan dan pangsanya mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2009 yang lalu yang pangsanya tercatat sebesar 31,9%. Pembangunan berbagai sarana infrastruktur di Riau menuju PON 2012 yang menyerap banyak
tenaga
kerja
sebagai
buruh
di
sektor
bangunan
dalam
penyelesaiannya, diperkirakan menjadi faktor utama meningkatnya jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan. Selanjutnya, penduduk yang berusaha sendiri juga tercatat cukup besar dengan pangsa sebesar 26,2%, namun pangsanya mengalami penurunan dibandingkan pangsa tahun 2009 yang mencapai 27,6%. Pangsa terendah dari penduduk tersebut adalah pekerja bebas non pertanian, dan pangsanya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009 yang lalu yaitu dari 3% menjadi 2,3%.
86
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Tabel 6.3. Penduduk Usia Kerja Menurut Status Pekerjaan Utama Lapangan Pekerjaan Utama
Agust-07
Feb-08
Agust-08
Feb-09
Agust-09
Feb-10
Agust-10
Berusaha Sendiri Berusaha dibantu dengan buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/buruh tidak dibayar Buruh/Karyawan Pekerja Bebas Pertanian Pekerja Bebas Non Pertanian Pekerja tidak Dibayar TOTAL
25,35
25,60
28,17
28,30
27,6
26,8
26,2
12,63
13,10
14,20
11,70
14,4
11,3
11,7
3,80
3,90
4,73
3,30
4,2
4,3
4,8
37,34 5,53 2,01 13,35 100
34,40 7,90 4,80 10,30 100
33,33 5,82 2,71 11,21 100
38,00 4,80 2,30 11,60 100
31,9 6 3 12,9 100
36 5,5 2,5 13,5 100
38 4,8 2,3 12,2 100
Sumber : BPS Provinsi Riau
Jika dilihat berdasarkan daerahnya, maka penduduk angkatan kerja terbesar berada di Kota Pekanbaru yaitu mencapai 435,60 ribu jiwa (18,32%), dan jumlahnya mengalami peningkatan yang signifikan (34,71%) dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 323,37 ribu jiwa. Dari penduduk angkatan kerja tersebut, jumlah yang bekerja di Kota Pekanbaru juga mengalami peningkatan sebesar 37,47% yaitu dari 284,47 ribu jiwa menjadi 391,05 ribu jiwa. Daya tarik Kota Pekanbaru sebagai pusat perekonomian dan pusat bisnis Riau yang juga diikuti dengan pembangunan berbagai sarana infrastruktur menjadi salah satu faktor penarik tingginya peningkatan jumlah angkatan kerja dan jumlah tenaga kerja yang diserap pada tahun 2010. Meningkatnya jumlah lapangan kerja di Kota Pekanbaru juga ditunjukkan dengan menurunnya tingkat pengangguran dari 12,03% menjadi 10,23% pada tahun 2010. Selanjutnya, jumlah angkatan kerja di Kabupaten Indragiri Hilir juga cukup mendominasi yaitu tercatat memiliki pangsa 13,06%, namun jumlahnya mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2009 yaitu dari 357,36 ribu jiwa menjadi 310,59 ribu jiwa. Jumlah penduduk yang bekerja juga tercatat mengalami penurunan (14,47%) yaitu dari 293,79 ribu jiwa menjadi 343,49 ribu jiwa. Penurunan yang lebih tinggi pada jumlah penduduk yang bekerja dibandingkan dengan penurunan pada jumlah penduduk angkatan kerja telah menyebabkan meningkatnya pengangguran di Kabupaten Indragiri Hilir dari 3,88% menjadi 5,41%.
87
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Tabel 6.4. Penduduk Usia Kerja menurut Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Kepulauan Meranti Pekanbaru Dumai Riau
Angkatan Kerja Agust-09 Agust-10 123.830 120.211 147.057 151.089 357.364 310.586 128.166 124.303 124.350 163.421 263.549 273.859 164.709 184.474 317.975 214.451 210.116 214.016 79.100 323.372 435.603 100.374 106.381 2.260.862 2.377.494
Bekerja Agust-09 Agust-10 115.464 114.363 136.504 138.580 343.491 293.791 119.946 118.478 114.386 148.116 243.226 248.579 153.496 168.591 275.957 190.088 193.555 194.049 73.797 284.463 391.047 86.869 90.768 2.067.357 2.170.247
Pengangguran Agust-09 Agust-10 8.366 5.848 10.553 12.509 13.873 16.795 8.220 5.825 9.964 15.305 20.323 25.280 11.213 15.883 42.018 24.363 16.561 19.967 5.303 38.909 44.556 13.505 15.613 193.505 207.247
Sumber : BPS Provinsi Riau
Pada tahun 2010, tingkat pengangguran tertinggi masih tetap berada di Kota Dumai, dan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2009 yaitu dari 13,45% menjadi 14,68%. Namun demikian, jumlah angkatan kerja di Kota Dumai relatif kecil dengan pangsa 5,98% atau sebesar 106,38 ribu jiwa. Selanjutnya, tingkat pengangguran di Kabupaten Bengkalis juga masih berada pada tingkat yang tinggi yaitu sebesar 11,36%, namun mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2009 yang mencapai 13,21%. Sebaliknya, tingkat pengangguran terendah terdapat di Kabupaten Kuantan Singingi yaitu sebesar 4,86%, dan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2009 yang mencapai 6,76%. Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai daerah yang baru, pada tahun 2010 tercatat memiliki tingkat pengangguran sebesar 6,70%, dengan jumlah angkatan kerja sebesar 79,10 ribu jiwa dan jumlah yang bekerja sebesar 73,80 ribu jiwa. Namun mengingat kecilnya pangsa angkatan kerja pada kabupaten ini dan juga tercatat merupakan yang terkecil dibandingkan dengan kab/kota di Provinsi Riau, sehingga belum banyak memberikan pengaruh terhadap tingkat pengangguran Provinsi Riau secara umum. Berdasarkan daerahnya, terdapat 6 (enam) kab/kota yang memiliki angka tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Riau dan juga 6 (enam) kab/kota yang emiliki angka tingkat pengangguran lebih tinggi dari tingkat pengangguran Provinsi Riau.
88
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Grafik 6.6. Tingkat Pengangguran di Riau Tahun 2010 16,00% 14,00% 12,00%
Riau
Kab/Kota
10,00% 8,00% 6,00% 4,00% 2,00% 0,00%
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
4. Kesejahteraan Daerah Salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan 6
petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP) . Indikator ini dibangun dengan mengukur kemampuan tukar dari produk yang dihasilkan oleh petani dengan produk yang dibutuhkan oleh petani baik untuk proses produksi maupun untuk konsumsi rumah tangga petani. Semakin tinggi NTP mengindikasikan semakin meningkatnya daya tukar (term of trade) petani sehingga tingkat kehidupan petani juga akan mengalami peningkatan. Secara bulanan, NTP di Provinsi Riau sampai dengan akhir tahun 2010 masih terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Peningkatan ini terjadi karena lebih kecilnya biaya yang harus dibayar petani dibandingkan dengan hasil yang diterima oleh petani. Kondisi ini mengindikasikan semakin meningkatnya daya tukar petani dari produk yang dihasilkan terhadap produk yang dibutuhkan. Jika kondisi ini dapat terus berlangsung secara terus menerus akan memberikan dampak pada peningkatan kesehteraan petani.
6
NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani dan dinyatakan dalam bentuk persentase
89
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
Grafik 6.8. Growth (qtq) NTP Riau
Grafik 6.7. Perkembangan (NTP) Riau 135,00 130,00 125,00 120,00 115,00 110,00 105,00 100,00 95,00 90,00
4,00 2,00 0,00 (2,00) (4,00)
3
4
1
2
2008
3
4
1
2
2009
3
4
2010
(6,00)
7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2008
2009 Indeks Diterima
Indeks Dibayar
(8,00) (10,00)
2010
Indeks Diterima
NTP
Indeks Dibayar
NTP
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Dari sisi pertumbuhannya, NTP Riau pada triwulan IV-2010 mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan III-2010 yaitu dari 0,77% menjadi 1,13%. Peningkatan ini terjadi karena lebih tingginya peningkatan pada indeks yang diterima oleh petani dari pada peningkatan pada indeks yang harus dibayar oleh petani pada triwulan IV-2010. Kondisi ini didorong oleh meningkatnya harga-harga komoditas unggulan Riau selama triwulan laporan, meskipun terjadi peningkatan pengeluaran. Berdasarkan sub sektornya, peningkatan utamanya berasal dari subsektor tanaman perkebunan rakyat yang didorong oleh meningkatnya harga karet dan kelapa sawit selama tahun 2010. 6.9. Perkembangan Harga Kelapa Sawit danRata-rata Bokar di Riau
21.500
2010
08/09-11/09
30/08-04/09
23/08-28/08
20.500
11/08-17/08
Usia 9
12/07-17/07
29/12 - 04/01
15/12 - 21/12
01/12 - 07/12
17/11 - 23/11
03/11 - 09/11
20/10 - 26/10
06/10 - 12/10
01/09-07/09
22/09 - 28/09
11/08-17/08
28/07-03/08
14/07-20/07
16/06-22/06
02/06-08/06
19/05-25/05
21/04-27/04
07/04-13/04
24/02 - 30/03
10/02 - 16/02
27/01 - 03/02
13/01 - 19/01
900
22.500
05/07-10/07
Usia 8
14/06-19/06
Usia 7
1100
Rata-rata harga Bokar (Rp/Kg)
23.500
07/06-12/06
1300
24.500
31/05-05/06
Usia 6
10/05-15/05
1500
25.500
8/03 - 23/03
Usia 5
12/04-14/04
Usia 4
27/01 - 3/02
Harga TBS Riau
1700
26.500
17/02 - 23/02
Usia 3
20/01 - 26/01
1900
13/01 - 19/01
2100
2010
Sumber : Dinas Perkebunan Riau dan www.riaubisnis.com
Jika dilihat berdasarkan sub sektornya, maka secara triwulanan peningkatan tertinggi terjadi pada sub sektor perikanan yaitu mencapai 6,44% yang berasal dari meningkatnya harga udang dan ikan bawal. Selanjutnya, subsektor tanaman perkebunan rakyat mengalami peningkatan sebesar 3,67% yang berasal dari peningkatan harga karet dan kelapa sawit. Sub sektor tanaman pangan mengalami peningkatan sebesar 1,14%yang berasal dari peningkatan
90
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Perkembangan Penduduk, Ketenagakerjaan & Kesejahteraan Daerah
harga pada komoditas ketela pohon, jagung pipilan, dan kacang kedelai. Di sisi lain, terjadi penurunan pada sub kelompok holtikultura (-1,30%), dan sub kelompok peternakan (-0,87%). Grafik 6.11. Growth (qtq) NTP Sektoral
Grafik 6.10. Perkembangan (NTP) Sektoral 120,00
13,00
115,00
8,00
110,00 105,00
3,00
100,00
(2,00)
95,00
(7,00)
90,00
3
4
1
2
2008
3
4
1
2
2009
3
4
2010
(12,00)
85,00 80,00
(17,00) 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 (22,00)
2009 NTP Hortikultura Peternakan
2010 Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Rakyat Perikanan
(27,00)
Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Rakyat Perikanan
Hortikultura Peternakan NTP
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
91
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
Bab 7 PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
1. PROSPEK MAKRO REGIONAL
Pertumbuhan ekonomi non migas Riau pada triwulan I-2011 diperkirakan masih akan relatif moderat berada pada kisaran 5%. Dari sisi permintaan, masih berlangsungnya berbagai pembangunan proyek besar seperti pembangunan pembangkit listrik 2X100 MW di tenayan raya, perluasan bandara Sultan Syarif Kasim II, pembangunan jembatan Siak III serta pembangunan fly over diperkirakan akan mengakibatkan pertumbuhan investasi cukup tinggi. Disamping itu, kinerja perdagangan eksternal yang dicerminkan melalui ekspor juga diperkirakan masih menguat seiring dengan adanya trend kenaikan harga minyak bumi dan komoditas subtitusi energi seperti CPO. Peningkatan harga komoditas CPO di pasar dunia diindikasikan akan memberikan pengaruh terhadap meningkatnya penghasilan masyarakat secara umum mengingat sebagian besar jumlah pekerja di Riau berada pada sektor pertanian.
88
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
Sementara itu, pada sisi sektoral, daya dorong pertumbuhan diperkirakan akan berasal dari sektor tradables khususnya sektor pertanian. Berdasarkan informasi Dinas Perkebunan Riau, hingga paruh pertama 2011 produksi tanaman kelapa sawit masih akan cukup tinggi terkait dengan adanya peningkatan produksi yang berasal dari Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dengan kisaran 10%-25%. Meskipun demikian, adanya cuaca ekstrim yang diperkirakan berlangsung pada triwulan I-2011 diindikasikan akan menjadi faktor penghambat meningkatnya pertumbuhan sektor pertanian secara umum. Dengan memperhatikan kondisi tersebut pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan I-2011 diperkirakan akan mengalami peningkatan dan berada pada kisaran 4,7%-5,0%. Sementara, dengan mengeluarkan unsur migas perekonomian Riau diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 7,7%-8,2 atau lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Tabel 7.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2011 Keterangan Total Tanpa Migas
2 6,97 8,35
2008*) 3 6,78 8,54
4 5,37 7,38
1 5,17 6,67
2009**) 2 3 2,18 1,6 6,55 5,70
4 3,03 7,33
1 2,9 6,01
2010**) 2 3 3,77 4,76 6,75 7,95
4 5,22 7,84
2011***) 1 4,7 - 5,0 7,7- 8,2
Keterangan : *) Angka Perbaikan, **) Angka Sementara, ***) Angka Sangat Sementara, ****) Angka Perkiraan Bank Indonesia
2. PERKIRAAN INFLASI Pergerakan tingkat harga di Kota Pekanbaru pada triwulan I-2011 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan laporan. Fenomena ini diperkirakan masih akan didorong oleh masih belum membaiknya pasokan pada kelompok bahan makanan yaitu beras dan minyak goreng yang sudah terjadi pada triwulan IV-2010. Selain itu, risiko cuaca ekstrim yang masih akan berlanjut akan mendorong kenaikan harga pangan dan diperkirakan akan memberikan tekanan terhadap tingkat harga di Provinsi Riau khususnya Kota Pekanbaru. Sementara itu, permasalahan pasokan cabe merah yang berlangsung sepanjang tahun 2010 diperkirakan akan mulai membaik seiring dengan berbagai kebijakan Pemerintah Daerah untuk mengatasi kelangkaan pasokan.
89
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
Tekanan inflasi yang berasal dari kelompok administered price diperkirakan akan mengalami peningkatan karena meningkatnya ekspektasi masyarakat dengan rencana pemerintah untuk memberikan subsidi BBM hanya bagi kendaraan roda dua dan kendaraan plat kuning. Selain itu, isu kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) diperkirakan juga akan memberikan tekanan terhadap peningkatan harga di Provinsi Riau. Berdasarkan survey konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia, sebagian masyarakat menganggap akan terjadi kenaikan harga pada semua kelompok barang dan jasa. Grafik 7.1. Ekspektasi Harga-harga di Provinsi Riau 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 harga umum
bhn makanan
makanan perumahan sandang jadi
3 bln yad
kesehatan
transpor pendidikan
6 bln yad
Sumber : Survey Bank Indonesia
Dengan memperhatikan beberapa faktor tersebut, inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan I-2011 secara tahunan (yoy) diperkirakan akan berada pada kisaran 8,5%8,93%. Sementara, inflasi triwulanan (qtq) diperkirakan akan berada pada kisaran 2,20% - 2,61%. Tabel 7.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Triwulan IV-2010 Keterangan yoy qtq
2 9,89 2,64
2008 3 11,34 3,17
4 9,02 0,56
1 6,99 0,48
2009 2 3 3,68 2,2 1,7 1,7
4 1,94 0,3
1 2,26 0,79
2010 2 3 4,58 4,72 0,79 1,83
4 7,00 2,48
2011 1*) 8,5 - 8,93 2,20 - 2,61
*)Proyeksi Bank Indonesia Pekanbaru
90
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Daftar Istilah
DAFTAR
ISTILAH
Aktiva Produktif Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan. Kualitas Kredit Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Capital Adequacy Ratio (CAR) Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Dana Pihak Ketiga (DPK) Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro, tabungan atau deposito.
xv
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Daftar Istilah
Financing to Deposit Ratio (FDR) Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum konvensional. Inflasi Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent). Inflasi Administered Price Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan bakar). Inflasi Inti Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan ekspektasi masyarakat. Inflasi Volatile Food Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya beras). Kliring Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Kliring Debet Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal) dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia)
untuk diperhitungkan secara
nasional.
xvi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Daftar Istilah
Kliring Kredit Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa menyampaikan fisik warkat (paperless). Loan to Deposit Ratio (LDR) Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang diterima (giro, tabungan dan deposito). Net Interest Income (NII) Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga. Non Core Deposit (NCD) Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan 10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan. Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls) Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan). Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs) Adalah
rasio
kredit/pembiayaan
yang
tergolong
NPLs/Fs
terhadap
total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
xvii
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Daftar Istilah
Rasio Non Performing Loans (NPLs) – Net Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS) Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI) Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
xviii