Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 Indra Perdana1, Husaini Ibrahim2 Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unsyiah Email :
[email protected] ABSTRAK Perjalanan reintegrasi Aceh dimulai sejak tahun 2006-2012 melalui sebuah badan sementara (ad hoc) yang dikenal dengan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang melakukan penanganan. Selama BRA dibentuk banyak yang sudah dilakukan , tetapi disisi lain keberadaan badan ini dianggap belum menyelesaikan peran nya secara keseluruhan terhadap tiga komponen yang menerima proses reintegrasi (eks Kombatan GAM, Korban Konflik, dan Tahanan Politik/Narapidana Politik). Tuntutan keberlangsungan proses reintegrasi dengan kembali membentuk suatu badan baru pun di wujudkan dengan membentuk Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A). Kehadiran BP2A pada akhirnya mendapat tanggapan yang cukup beragam dari berbagai masyarakat, harapan dengan kembali dibentuk nya badan ini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi Badan reintegrasi Aceh dibentuk kembali dan sejauh mana pengaruh badan reintegrasi Aceh dalam upaya penyelesaian reintegrasi Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Studi lapangan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan wawancara. Sedangkan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data skunder berdasarkan buku-buku dan bacaan terkait. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa evaluasi dari Badan reintegrasi Aceh yang dibentuk belum menyelesaikan peranan nya secara maksimal terhadap tiga komponen. Keberadaan badan ini juga telah menjadi pemicu konflik horizontal di Aceh karena pengelolaan nya yang tidak transparan, akuntabilitas dan profesional. Seharusnya badan ini bisa memberi harapan besar dalam penanganan permasalahan reintegrasi Aceh yang belum selesai dan menutup keterbatasan badan reintegrasi yang sudah lebih awal dibentuk, dengan fokus pada pemberdayaan korban agar bisa mandiri dengan kemampuan individu dan mandiri secara finansial.
Kata Kunci : Reintegrasi, Perdamaian, Badan Reintegrasi Aceh, Badan Penguatan Perdamaian Aceh
Corresponding Author :
[email protected] JIM FISIP Unsyiah: AGB, Vol. 1. №. 1, Januari 2017: 1-16
1
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip ABSTRACT Aceh reintegration journey began in 2006-2012 throught a temporary agency (ad hoc), know as the Aceh Reintgration Agency (BRA) which make the hadling. During the BRA was established much has been done, but on the other hand the existence of the agency is deemed not yet completed its overall role of the three components that receive reintegration process ( ex-GAM combatants, Innocent Victims in Conflict, and Political Prisoners). Demands sustainability of the reintegration process to reestablish a new institution was embodied by establishing the Agency Strenghening Peace in Aceh (BP2A). Attedance BP2A finally got a response which is quite different from the various communities, the expectation with his re-formed institution can be perceived by society. The purpose of this study was to whether the underlying Aceh reintegration agency was re-established and the extent of influence Aceh reintegration agency in solving the Aceh reintegration. The method used in this research is descriptive qualitative method. Sample collection techniques were used that field research and library research. Field studies to obtain primary sample thought interview. While the library research obtain secondary sample based on the books and related reading. The result of this study explained that the evaluation of the Aceh reintegration agency that set up yet completed its role to the maximum of three components. The existence of this institution also has a trigger horizontal conflicts in Aceh because its management is not transparent, accountability, and professional. Supposedly this body could give great hope in the hadling problems of Aceh reintegration unfinished and perfected limitations reintegration agency had earlier established, with a focus on empowering the victim to be self-sufficient with the ability of individuals and financially independent. Keywords :
Reintegration, Peace, Aceh Reintegration Agency, Agency Strengthening Aceh Reintegration
Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-17
2
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip PENDAHULUAN Reintegrasi adalah suatu proses pemulihan kondisi masyarakat korban konflik yang berada pada suatu wilayah kepada keadaan yang kembali normal secara personal diri dan mandiri dalam ekonomi dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Aceh sebagai salah satu wilayah yang mengalami kondisi fase konflik yang cukup berkepanjangan. Bahkan setelah penetapan status Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1989-1998 telah menjadikan Aceh sebagai lahan peperangan bersenjata antara Republik Indonesia (RI) – Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menimbulkan banyak korban sipil dan turut menghancurkan harta benda dan fasilitas publik. Setelah perdamaian antara RI-GAM mencapai kesepakatan pada suatu peristiwa yang di abadikan oleh sejarah dunia yang dikenal dengan Memorandum of Undestanding (MoU) Helsinki yang disepakati di Finlandia pada 15 Agustus 2005. Sehingga kesepakatan dari perdamaian Aceh adalah pengehentian segala bentuk gencatan senjata antara kedua belah pihak yang bertikai (RI-GAM), yang kemudian menyepakati enam poin utama yang termaktub didalam MoU Helsinki 2005, meliputi : Penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, Pemenuhan Hak Asasi Manusia,, Pemberian Amnesty dan Reintegrasi GAM kedalam masyarakat, Pembentukan Misi Monitoring dan Penyelesaian Perselisihan. Reintegrasi Aceh menjadi suatu proses penting yang harus dilalui untuk kembali memperbaiki kondisi Aceh secara sosial yang di tujukan kepada tiga komponen utama, eks Kombatan GAM, Korban Konflik, dan Tahanan Politik/Narapidana Politik (Tapol/Napol). Proses ini dimulai sejak 2006 melalui suatu badan non pemerintahan yang di mandatkan oleh negara untuk menangani permasalahan ini yang dikenal dengan Badan Rentegrasi Aceh (BRA). Badan yang bersifat sementara (ad hoc) ini dibentuk dan langsung bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia dan Gubernur Aceh. Struktur BRA awalnya diisi oleh perwakilan-perwakilan pemerintah, eks Kombatan GAM, masyarakat sipil, tokoh intelektual, dan juga melibatkan agen-agen donor Internasional. Peranan BRA diatur secara eksplisit dalam penanganan rehabilitas masyarakat yang terkena dampak langsung, pemberian bantuan sosial, dan pembangunan infrastruktur. Proses reintegrasi Aceh pada perjalanan nya juga ternyata menuai cukup banyak persoalan hingga pada tahun 2012. Adanya keterbatasan kewenangan yang dimiliki BRA, pendataan korban, baik yang sudah di tangani maupun belum di tangani. Sehingga pendistribusian bantuan sosial dan program pembangunan rumah Corresponding Author :
[email protected] JIM FISIP Unsyiah: AGB, Vol. 1. №. 1, Januari 2017: 1-16
3
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip dianggap belum merata. Hal ini kemudian yang menjadi dasar inisiatif Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk meneruskan kembali program reintegrasi Aceh sebagai bentuk semangat perawatan kondisi damai dengan membentuk suatu badan non pemerintahan yang diberi nama Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A). Keputusan Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2013 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Penguatan dan Perdamaian Aceh yang merupakan perintah langsung dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Pasal 10 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut Undang-undang ini dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga badan dan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun. Pasal 111 ayat (1) UUPA bahwa dalam pelaksanaan kebijakan yang bersifat spesifik, Pemerintah Aceh dapat membentuk badan atau kantor. (dpra.acehprov.go.id/index.php/hukum/read/35/raqan-aceh-tentang-badan-penguatanperdamaian-aceh-bp2a.html, diakses Tanggal 15 Januari 2016). Hadirnya Badan ini merupakan penyambung dari Badan Reintegrasi yang pernah ada. Pada perjalanan nya ternyata pembentukan badan ini juga menuai prokontra di kalangan masyarakat luas. Lanjutan program bantuan sosial dan pemberian rumah kepada korban konflik juga kerap kali dikritisi oleh berbagai tokoh akademisi karena di anggap relevan dan tidak tepat sasaran. Proses reintegrasi Aceh ditakutkan tidak kembali memberi manfaat kepada masyarakat komponen korban, melainkan bisa menjadi ancaman baru pemicu konflik sesama masyarakat Aceh (horizontal conflicts).
TINJAUAN PUSTAKA Reintegrasi sebagai Resolusi Konflik Aceh Menurut John Galtung ada tiga proses yang harus dilewati sebelum perdamaian dapat dibangun, yaitu peace keeping, peace making, dan peace building. Resolusi konflik merupakan bagian dari suatu rangkaian teori agar melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Resolusi konflik juga berupaya menciptakan suatu mekanisme penyelesaian konflik secara komperehensif dalam tiap-tiap eskalasi konflik. John Galtung mengungkapkan proses peace keeping, peace making, serta peace building yang mana dianggap ketiga pendekatan ini Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
4
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip menjadi bagian fokus dalam upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Setiap konflik yang terjadi di Indonesia memasuki masa paska konflik, daerah-daerah paska konflik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan perdamaian bersumber bukan hanya dari belum teratasinya masalahmasalah konflik di masa lalu tetapi juga masih rentetan kondisi perdamaian disebabkan belum efektifnya dan majunya pembangunan perdamaian karena masih lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam mengatasi berbagai konflik terpendam, ketegangan struktural dan berbagai hambatan perdamaian di hadapi masyarakat paska konflik. Kondisi ini pula terlihat di Aceh yang telah selesai dari konflik yang berkepanjangan dan menuai hasil kesepakatan damai. Meskipun pada akhirnya saat ini konflik Aceh telah berakhir, namun seringkali penyelesaian konflik tersebut masih menghasilkan negative peace, yang mana negative peace ini merupakan suatu keadaan dimana perdamian belum benar-benar tercapai karena masih terdapat beberapa potensi konflik yang dapat timbul dan memunculkan konflik baru yang akan memiliki dampak yang cenderung lebih besar dan berkepanjangan dibandingkan dengan konflik sebelum nya. Oleh karena itu perlu adanya serangkaian resolusi konflik untuk mengubah negative peace menjadi positive peace yang menggambarkan perdamain bukan hanya ketiadaan perang saja namun juga terpenuhinya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang merata. Sehingga proses Reintegrasi Aceh yang memiliki tujuan terhadap kesejahteraan rakyat Aceh dapat menjadi bagian dari solusi positive peace saat ini. Proses penyelesaian Reintegrasi tidak hanya menjadi tugas suatu badan melainkan tanggung jawab semua elemen struktur Pemerintahan Aceh. Menangani kondisi korban di Aceh haruslah benar-benar memahami rangkaian siklus konflik Aceh. . Pendataan kembali dan pengawasan reintegrasi Aceh haruslah dilakukan secara benar. Hal ini penting untuk merumuskan formulasi konsep reintegrasi yang relevan dan sesuai kebutuhan masyarakat korban agar mereka bisa mandiri.
Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
5
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2002: 3) Metode kualitatif menghasilkan data deskriptif, baik berupa kata-kata ungkapan tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji dari pada merincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Alasan digunakannya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dikarenakan : a.
b.
c.
Peneliti secara aktif berinteraksi secara pribadi dengan informan sehingga peneliti dapat melihat individu secara holistik (utuh), sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara, melalui metode ini individu yang teliti dapat diberi kesempatan agar secara sukarela mengajukan gagasan dan persepsinya. Penelitian ini bersifat naturalistik (sebagaimana adanya), artinya data yang diperoleh sesuai dengan fakta (hasil yang diperoleh).
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Banda Aceh yang merupakan pusat pemerintahan Provinsi Aceh dengan memfokuskan pada Lembaga Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A). Alasan utama pemilihan lokasi penelitian adalah karena Lembaga Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) terletak di Kota Banda Aceh. Lembaga BP2A di bentuk sejak 2013 sebagai penganti Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), yang berperan untuk meneruskan upaya penyelesaian reintegrasi Aceh yang belum tuntas. Dalam penelitian kualitatif, subjek penelitian dikenal dengan informan penelitian. Adapun informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dapat memberikan informasi atau data yang terkait dengan masalah penelitian yang akan diteliti agar dapat memberikan informasi selengkap-lengkapnya. Di samping itu, informasi yang dijadikan subjek penelitian juga harus dapat dipertanggung jawabkan. Kriteria informan yang ditentukan ialah pihak-pihak yang terlibat dalam proses reintegrasi masa Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A), Lembaga Sipil Masyarakat (LSM) yang konsen di bidang Perdamaian Aceh, dan Tokoh Akademisi.
Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
6
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip
- Teknik Pengumpulan Data Menurut Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar (2009: 52) teknik pengumpulan data terdiri atas observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Datadata yang diperoleh dilapangan dikumpulkan dengan teknik tertentu yang disebut dengan teknik pengumpulan data. Proses penggalian data dalam penelitian ini guna memperoleh data atau informasi yang akurat menggunakan teknik pengumpulan data yang berupa metode wawancara, dokumentasi dan kepustakaan. Dalam rangka menjawab perumusan masalah yang ditetapkan penulis maka analisis data yang menjadi acuan dalam penelitian ini mengacu pada beberapa tahapan yang dijelaskan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono2010;91) yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu: 1. Pengumpulan informasi melalui wawancara terhadap keyinforman yang compatible terhadap penelitian kemudian observasi langsung di lapangan untuk menunjang penelitian yang dilakukan agar mendapatkan sumber data yang diharapkan. 2. Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan selama meneliti. Tujuan diadakan transkrip data (transformasi data) untuk memilih informasi mana yang dianggap sesuai dengan masalah yang menjadi pusat penelitian dilapangan. 3. Penyajian data (data display) yaitu kegiatan sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif, grafik jaringan, tabel dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman penelitian terhadap informasi yang dipilih kemudian disajikan dalam table ataupun uraian penjelasan. Namun yang akan paling sering digunakan untuk penyajian data penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif. 4. Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi, yang mencari arti pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan dilapangan sehingga data-data teruji validasinya.
Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
7
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -
Latar Belakang dibentuknya Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A)
Badan Penguatan Perdamaian yang dikenal juga dengan BP2A merupakan suatu badan yang peran dan fungsinya dimana merupakan lanjutan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA) lalu yang di anggap masih belum menyelesaikan tupoksi nya secara tuntas, seperti pendataan terhadap jumlah eks kombatan GAM, masyarakat korban konflik yang berhak menerima bantuan dan sudah dibantu pada saat BRA ada. Bahkan sampai saat ini data dari sekitar 42.000 rumah warga yang dibakar/dirusak pada masa konflik, yang terbangun baru sekitar 29.000 unit sampai pada masa dr.Hanif Asmara, MMSc memimpin BRA di tahun 2012. Paska selesainya kepemimpinan M.Nur Djuli, Gubernur Aceh yang masih dipimpin oleh drh.Irwandi Yusuf menunjuk wewenang kepemimpinan BRA kepada dr.Hanif Asmara, MMSc yang dimana beliau merupakan eks Kepala Dinas Sosial Aceh. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibawah kepemimpinan Hanif Asmara juga masih menyisakan cukup banyak persoalan reintegrasi fisik, mental, dan ekonomi yang belum terselesaikan, hal ini dibuktikan kantor BRA dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) beberapa kali didatangi masyarakat dari berbagai kabupaten/kota, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Pidie yang melakukan unjuk rasa. Masyarakat merasa bahwa hak mereka belum mereka dapatkan sebagaimana yang dijanjikan oleh BRA untuk memberikan bantuan rumah kepada korban konflik. Hal ini mengindikasikan masih adanya pekerjaan reintegrasi fisik dan non fisik di Aceh belum selesai. Di sisi lain Pemerintah Aceh, yang dipimpin oleh Zaini Abdullah-Muzakir Manaf menganggap bahwasanya perlu ada nya perawatan perdamaian yang sudah berlangsung di Aceh melalui upaya pemeliharaan dan penguatan perdamaian dengan kembali menghidupkan BRA dalam bentuk nama yang lain yang dikenal dengan Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A). Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) dibentuk kala Pemerintahan dr.Zaini Abdulah-Muzakir Manaf melalui Peraturan Gubernur No.2 Tahun 2013 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Penguatan dan Perdamaian Aceh yang kemudian Gubernur Aceh menunjuk Maimun Ramli, SHI, SE sebagai Ketua BP2A dan struktur kelembagaan nya dibantu oleh sekretaris, penghubung, empat deputi, Deputi Kebijakan dan Kajian Strategis, Deputi Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Reintegrasi Deputi Bidang Perumahan dan Deputi Pemberdayaan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, dan Ketua Satuan Pelaksana Kabupaten/Kota. Pada proses perjalanan aktivitas Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) yang dimulai pada 2013 dibawah koordinasi oleh beberapa dinas terkait sesuai dengan kebutuhan dalam proses penyelesaian reintegrasi seperti, Dinas Sosial Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
8
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip (Dinsos) Aceh, Dinas Cipta Karya dan Instansi Pemerintah lainnya dalam bentuk berbagai jenis program. Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) mencoba melakukan upaya fokus terhadap perbaikan reintegrasi kepada eks kombatan GAM, korban konflik Aceh, eks tapol/napol yang belum terberdayakan secara konferehensif. Sehingga lembaga ini juga coba kembali melakukan pendataan ulang terhadap ketiga penerima manfaat dari program reintegrasi yang akan dijalankan kemudian. Kehadiran lembaga ini ternyata juga cukup menuai pro-kontra dalam kalangan masyarakat Aceh. Bahwa memang pada dasarnya harus diakui dan semua pihak sepakat bahwa reintegrasi Aceh belum lah selesai, sehingga belum tuntas nya upaya reintegrasi di Aceh tidak bisa dijadikan landasan agar lembaga yang menangani reintegrasi di Aceh ini agar dihidupkan dan diteruskan kembali. Konsep reintegrasi tidak tuntas adalah dikarenakan kita sudah menjalankan konsep yang keliru. Sehingga memang paradigma negatif yang muncul terhadap pembentukan kembali badan yang menangani Reintegrasi oleh sebagian kalangan masyarakat sipil (civil society) tak bisa dihindarkan. Keberadaan lembaga ini bisa dianggap cukup politis dan sarat akan kepentingan elite. Pengaksesan informasi publik juga sangat sulit untuk bisa ditemukan pada BP2A, padahal badan peranan nya cukup sentral di masyarakat dalam upaya penyelesaian reintegrasi di Aceh Aktifitas kantor BRA yang berada di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh yang seharusnya bisa digunakan oleh BP2A untuk melaksanakan aktifitas perkantoran pun hampir tidak ada tanda-tanda keberadaan pegawai BP2A, tak ada alasan yang jelas mengapa kantor itu tidak lagi di huni oleh pegawai BP2A sudah sejak tahun 2014.
-
Posisi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Pemerintah Aceh
Perdamaian abadi merupakan cita-cita yang ingin di wujudkan khususnya di Provinsi Aceh, sebagaimana selama ini Aceh selalu mengalami konflik yang berkepanjangan. Badan Penguatan Perdamaian Perdamaian dibentuk kembali atas inisiatif Pemeritah Aceh yang bertujuan dalam perawatan keberlangsungan perdamaian di Aceh dan kemudian diberikan tugas untuk menyusun dan menetapkan rencana strategis penguatan Peramaian Aceh dan melanjutkan program reintegrasi sesuai dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki Aceh. Badan ini dibentuk sebagai suatu badan khusus yang kemudian serupa dengan badan sebelum nya yaitu Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang diarahkan dalam pengharustamaan dan penanganan eks kombatan GAM, tahanan politik yang memperoleh amnesti, dan masyarakat yang terkena dampak konflik. Lembaga ini pula merupakan lembaga non Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
9
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip struktural pemerintah yang kemudian setiap program didalam nya masih bergantung pada dinas-dinas terkait dalam kepemerintahan seperti, Dinas Sosial Aceh, Dinas Cipta Karya, dan Dinas Pendidikan Aceh.
-
Tugas dan Fungsi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A)
Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) dibentuk atas konsensus yang lahir dari MoU Helsinki 2005 yang diperkuat pula oleh Intruksi Presiden RI, yaitu sebagai berikut : 1. 2.
3. 4.
Intruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Direktif Menko Polhutkam Nomor DIR-67/MENKO/POLHUTKAM/12/2005 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor 330/106/2006 Tentang Pembentukan Badan Reintegrasi Aceh, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2011 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Reintegrasi Aceh.
Sebagaimana dipahami bahwa Badan Penguatan Perdamaian ini juga merupakan badan non struktural pemerintahan yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam menuntaskan persoalan reintegrasi di aceh yang terfokus pada 3 komponen utama yaitu, eks kombatan GAM, Korban Konflik Aceh, dan Tahanan Politik (Tapol/Napol) Aceh. Tiga komponen tersebut kemudian akan di upayakan dalam pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan dan bantuan sosial, rehabilitasi kesehatan fisik dan mental serta psikososial, dan penyediaan lahan pertanian dan lapangan pekerjaan. Pemulihan hak politik dan hak budaya.Keberadaan Badan Penguatan Perdamaian Aceh dianggap penting sebagaimana ini dianggap merupakan manifestasi dari perjanjian yang telah ada yang ditentukan sebagai upaya keberlanjutan dalam pemeliharaan kondisi perdamaian di Aceh. Badan ini untuk mendorong segala upaya agar reintegrasi yang belum selesai dapat dituntaskan sesegera mungkin, sehingga ini juga yang menjadi tujuan tatkala BP2A harus diperkuat dengan qanun sebagai upaya pemeliharaan perdamaian.
Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
10
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip
-
Bentuk program yang dilakukan Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) dalam Penyelesaian Proses Reintegrasi Aceh
Berdasarkan pengumpulan data dilapangan, maka dalam penelitian ini ditemukan beberapa tindakan yang dilakukan oleh Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) yang dimulai sejak awal terbentuknya badan ini yang dikenal dengan Badan Reintegrasi Aceh pada era perdamaian dan era transisi demokrasi di Aceh, sebagaimana diketahui BRA dimulai sejak tahun 2006-2012. Fase tersebut juga dimana kondisi Aceh masih dalam tahap darurat. Setelah Aceh dianggap selesai dari kondisi darurat, maka untuk merawat perdamaian yang telah ada BRA dihidupkan kembali dan bertransformasi sebagai badan reintegrasi baru yang diberi nama Badan Penguatan Perdamaian Aceh. Pembentukan kembali Badan Penguatan Perdamaian sebagai lembaga perpanjangan Pemerintah Aceh dalam menuntaskan persoalan reintegrasi Aceh diyakini masih cukup penting. Hal ini mengingat kondisi yang terjadi dilapangan dan tidak bisa dipungkiri bahwa adanya tuntutan sebagian masyarakat yang belum menerima hak mereka. Bahkan fakta yang terjadi dilapangan juga adanya pembagian bantuan, kompensasi dana, rumah korban konflik yang didistribusikan tidak pada tepat sasaran dan juga pengungkapan kebenaran terhadap korban konflik. Disitulah kehadiran Badan Penguatan Perdamaian Aceh dituntut untuk hadir menyelesaikan persoalan yang belum tuntas. Bagaimana pun persoalan Reintegrasi Aceh ini merupakan persoalan yang cukup spesifik dan membutuhkan lembaga khusus dalam penanganan nya. Namun menjadi penting juga bagi semua pihak untuk bisa bersama melakukan pengawasan dan memberikan masukan yang positif nantinya terhadap lembaga ini, karena reintegrasi Aceh bukan hanya kewajiban Pemerintah Aceh semata.
-
Sumber Anggaran Yang Diperoleh Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A)
Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) merupakan suatu badan non struktural pemerintah yang pada dasarnya tidak dibenarkan dalam pengelolaan keuangan secara mandiri. Sehingga setiap program yang dicanangkan BP2A Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
11
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip melakukan koordinasi terhadap dinas-dinas terkait seperti, Badan Perencanaan Pembangunan Daereah (Bapedda), Dinas Sosial Aceh, Dinas Cipta Karya, Dinas Pertanian untuk penganggaran. Adapun sumber anggran badan ini yaitu berasal dari APBA yang diteruskan dalam bentuk anggran hibbah. Bahwa Badan Penguatan Perdamaian Aceh hanya melakukan proses verifikasi dan pendataan kepada penerima bantuan yang berhak lalu data itu diserahkan kepada dinas-dinas terkait sesuai kebutuhan, seperti bantuan sosial, data penerima bantuan akan diserahkan kepada Dinas Sosial Aceh, penerima bantuan rumah diserahkan kepada Dinas Cipta Karya, dan sebagainya. Sehingga kondisi ini yang mendorong harapan agar BP2A segera di qanun kan sehingga badan ini bisa masuk dalam struktural kepemerintahan menjadi dalam Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang sebagaimana dinas agar pengelolaan dan keuangan badan yang mandiri dan tidak tumpang tindih.
-
Memberikan Sosialiasi Kembali Secara Menyeluruh Tentang UUPA
Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) sebagai pelaku utama yang dimandatkan sebagai perpanjangan tangan Pemerintah dalam upaya penyelesaian reintegrasi Aceh dituntut untuk memahami Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai dari turunan MoU Helsinki secara menyeluruh. Pemahaman UUPA harus terus disosialisasikan mulai dari Pemerintah Pusat hingga lapisan masyarakat Aceh, sebagai cerminan penting untuk merumuskan segala kebijakan sentral terkait pembangunan di Aceh.
-
Melakukan Formulasi Konsep Penyelesaian Reintegrasi di Aceh
Penguatan perdamaian adalah suatu upaya sistematis dan berkesinambungan dalam membangun sebuah kondisi aman, nyaman, dan tentram yang diharapkan oleh seluruh masyarakat untuk memenuhi hak dasar mereka, yaitu ekonomi, politik dan sosial budaya. Reintegrasi Aceh adalah upaya pengembalian eks kombatan GAM , tahanan politik yang memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak konflik ke dalam masyarakat melalui perbaikan ekonomi, sosial dan rehabilitasi serta penyediaan lahan pertanian dan lapangan pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja sesuai dalam point MoU Helsinki. Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
12
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Badan Penguatan Perdamain Aceh (BP2A) sebagai suatu badan haruslah merumuskan formulasi konsep yang tepat dan substansi agar pencapaian yang ingin dihasilkan dari wujud reintegrasi terukur dan tercapai. Sehingga setiap program yang dilahikan nanti nya tidaklah berada dalam pengulangan dan pendistribusian bantuan lebih tepat sasaran. Memberikan pemahaman yang utuh bagaimana seharusnya upaya rentegrasi dapat berlangsung secara sistematis dan tidak bertopang hanya pada bantuan ekonomi (ganti rugi, kompensasi) semata. Konsep reintegrasi juga mengatur bagaimana konsep merubah pola pikir (mindset) dan tindakan masyarakat dalam bentuk peningkatan sumber daya manusia melalui konsep-konsep pembinaan dan pemberdayaan, sehingga memunculkan kesadaran bersama atas pentingnya untuk selalu merawat perdamaian .
-
Membentuk BP2A Yang Transparan, Akuntabilitas, dan Professional
Prinsip dasar dalam pengelolaan suatu Pemerintahan, Lembaga, maupun Badan yang baik tidaklah terlepas dari tiga hal, yaitu Transparansi, Akuntabilitas, dan Profesional. Transparansi adalah suatu proses keterbukaan dari para pengelola managemen, terutama managemen public untuk membangun akses nantinya dalam pengelolaan sehingga arus informasi masuk dan keluar secara berimbang. Akuntabilitas adalam mendorong setiap pelaku utama yang terlibat dalam pengelolaan agar bertanggung jawab dan untuk menjamin kinerja pelayanan publik yang baik. Profesional adalah sebuah sikap yang ditunjukkan oleh setiap individu yang berkerja sesuai dengan standar moral dan etika yang ditentukan oleh pekerjaan tersebut. Tiga prinsip dasar tersebut penting diciptakan BP2A agar badan ini keluar dari kesan eksklusif yang berdapak pada citra badan di mata masyarakat, sehingga memunculkan asumsi-asumsi negatif dari masyarakat bahwa telah terjadi korupsi di BP2A. Banyak kasus-kasus yang terjadi dan mencuat ke publik terkait konflik dan bantuan yang kerap kali tidak tepat sasaran yang didistribusikan oleh BP2A selama Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
13
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip ini, sehingga yang seharusnya keberadaan badan ini dirasakan manfaat nya oleh masyarakat namun malah sebaliknya.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan analisa data dalam penelitian tentang Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan BP2A belum mampu menyelesaikan persoalan reintegrasi Aceh di karenakan pengelolaan lembaga yang belum baik. Hal ini bisa dicermati jika melihat bagaimana lemahnya perencanaan program yang dilakukan oleh BP2A, pengawasan dan pendistribusian yang belum merata ke pada masyarakat korban. Kondisi ini kemudian akan menjadi suatu ancaman terhadap Perdamaian Aceh yang sudah 10 tahun di kemudian hari. Apalagi mengingat beberapa peristiwa gerakan bersenjata baru di Aceh, yang muncul dan meresahkan masyarakat. Penting bagi Pemerintah Aceh untuk serius melihat persoalan ini secara konferehensif dan tidak membebankan penyelesaian Reintegrasi Aceh pada satu lembaga, saat upaya yang ditempuh saat ini dengan mendorong BP2A agar segera di Qanun kan.
DAFTAR PUSTAKA Buku Teks Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2009. Metodologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Friendrich Ebert Stiftung. 2010. Transformasi GAM Dari Kotak Peluru Ke Kotak Suara, Sebuah Kisah Sukses Program Transformasi Kombatan Di Aceh. Jakarta Selatan : FES Forum LSM Aceh & The Aceh Institute. 2012. Kekerasan Dalam Bingkai Demokrasi. Banda Aceh : The Aceh Institute dan Forum LSM Aceh Juanda Djamal. Konsorsium Aceh Baru: Evaluasi Terhadap Aceh Meniti Transisi Skenario Aceh Masa Depan (2007-2017). Banda Aceh : ACSTF Hermawan Yulius. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta
Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
14
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Ikhwan,Affandi. 2004. Akar Konflik Sepanjang Zaman. Yogyakarta. PT.Pustaka Pelajar Lukman Age. 2010. GEUNAP ACEH: Perdamaian Bukan Tanda Tangan. Banda Aceh : Aceh Institute Press Fahrul Rizha Yusuf. 2009. Merangkai Kata Damai. Ulee Kareng : katahati institute M.Nur Djuli. 2009. Menapak Jalan Perdamaian Aceh. Banda Aceh : Badan Reintegrasi Aceh (BRA) May Rudy T. 2003. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: PT Refika Aditama. Moleong. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Musahadi HAM. 2007. Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Semarang : Penerbit WMC Muhammad Madya Akbar.2009. Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan. Jakarta Selatan: Lentera Demokrasi-Jyesta Publishing. Prof.Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia Pusaka Utama Trijono, L. 2009. Pembangunan Perdamaian Paska Konflik di Indonesia: Kaitan Perdamian, Pembangunan dan Demokrasi dalam pengembangan kelembagaan paska konflik. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Wirayuda, H. 2007. Kajian Terhadap Dinamika Konflik dan Pilihan Untuk Mendukung Proses Perdamaian. Yusuf,Adnan. 2003. Tamaddun dan Sejarah Etnografi dan Kekerasan di Aceh. Aruzz Media Yayasan KIPPAS. 2007. Meretas Jurnalisme Damai di Aceh, Kisah Reintegrasi Damai dari Lapangan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Peraturan Perundang-Undangan Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
15
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 1, Nomor 1 Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Media Massa/Internet
http://pikiranmerdeka.co/2015/08/24/menuntaskan-reintegrasi/ http://serambiaceh.com/2015/08/31/dpra-inginkan-bra-hidup-lagi http://theglobejournal.com/Sosial/kautsar-program-reintegrasi-belum-menyentuhkorban-konflik/index.php http://ideas-aceh.org/resolusi-reintegrasi-aceh/ dpra.acehprov.go.id/index.php/hukum/read/35/raqan-aceh-tentang-badanpenguatan-perdamaian-aceh-bp2a.html
Evaluasi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Dalam Penyelesaian Reintegrasi Aceh 2015 (Indra Perdana, Husaini Ibrahim) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. №. 1. Januari 2017 1-16
16