ISSN : 2085 - 0204
JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT APRILIA ANGGRAENI NURUL HIDAYAH, M.Kep Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala Ii Di Polindes Anyelir Tunggalpager Pungging Mojokerto PRIYANTINI DWIHARINI P, S.Kep, Ns Sikap Lanjut Usia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual Di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo BAKTI WAHYUDIANTO SUNYOTO, S.Kep. Ns. Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid Artritis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia Di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember ASRUL ANAM IKA KHUSNIA, S.Kep. Ns Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto ALIF ISROAINI NUR SAIDAH, M.Kes. Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto ANA AMALIA ELYANA MAFTICHA, S.St Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto AGUS DWI RAHAYU SULISDIANA, M.Kes Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto EKA DIAH KARTININGRUM, M.Kes Penggunaan Zero Inflated Poisson Regression Dalam Pemodelan Pengaruh Penolong Persalinan Dan Pelayanan Nifas Terhadap Angka Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010
HOSPITAL MAJAPAHIT
VOL 4
NO. 2
Hlm. 1 – 161
Mojokerto Nopember 2012
ISSN 2085 - 0204
JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO
HOSPITAL MAJAPAHIT Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris Pembina Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit Nurwidji Pelindung Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit dr. Rahmi, S.A. Ketua Penyunting Eka Diah Kartiningrum, SKM., M.Kes. Wakil Ketua Penyunting Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. M.Kep. Penyunting Pelaksana Dwi Helynarti, S.Si. Anwar Holil, M.Pd. Penyunting Ahli Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc. Sarmini Moedjiarto, S.Pd., MM.Pd. Nursaidah, M.Kes Rifa’atul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin Distribusi Indriyanti. T.W, Amd.Akt Yudha Lagha HK, S.Psi Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736 Email :
[email protected] BIAYA BERLANGGANAN Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4. No. 2, Nopember 2012
ISSN : 2085 - 0204
Pengantar Redaksi, Hari Kesehatan Nasional Indonesia yang diperingati setiap tanggal 12 November memberikan makna yang mendalam bagi seluruh tenaga kesehatan dan instansi pendidikan kesehatan yang terlibat dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang seutuhnya. Tema peringatan HKN Ke-48 Tahun 2012 adalah Indonesia Cinta Sehat diharapkan dapat meningkatkan semangat, kepedulian, komitmen dan gerakan nyata pembangunan kesehatan yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa. Oleh sebab itu dalam jurnal volume 4 no 2 menyajikan 8 artikel hasil penelitian yang dapat menunjang derajat kesehatan untuk seluruh komponen masyarakat khususnya ibu dan balita serta lanjut usia. Artikel yang pertama ditulis oleh Aprilia Anggraeni, dan Nurul Hidayah, M.Kep, yang membahas tentang Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala Ii Di Polindes Anyelir Tunggalpager Pungging Mojokerto. Rangsangan putting susu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan intensitas kontraksi uterus pada saat proses persalinan. Stimulasi atau rangsangan pada puting susu dapat membantu menambah intensitas kontraksi uterus karena rangsangan ini akan merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior sehingga terjadi peningkatan kontraksi uterus dan proses persalinan berjalan lebih cepat setelah dilakukan stimulasi puting susu. Artikel yang kedua ditulis oleh Priyantini, dan Dwiharini P, S.Kep, Ns dengan judul Sikap Lanjut Usia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual Di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo. Proses Menua adalah proses alamiah yang berjalan seiring dengan pemunduran kemampuan fisik dan psikologis seseorang yang dapat berdampak pada kemampuan interaksi sosial. Penelitian deskriptif yang dilaksanakan terhadap 41 responden melalui wawancara ini menjelaskan bahwa lansia tidak terlalu peduli terhadap perubahan aktivitas seksual disebabkan persepsi mereka yang menganggap bahwa kehidupan seksual yang dialami saat lansia masih sama dengan ketika masih muda. Gairah yang dialami juga masih sama sehingga tidak ada yang berubah. Artikel yang ketiga mengenai Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid Artritis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia Di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember yang ditulis oleh Bakti Wahyudianto, dan Sunyoto, S.Kep. Ns. Penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap 81 lansia tersebut menjelaskan bahwa mayoritas lansia yang melakukan senam lansia secara aktif tidak mengalami nyeri artritis yang ringan sedangkan responden yang tidak aktif melakukan senam mayoritas mengalami nyeri kategori sedang. Aktivitas senam lansia dapat menurunkan rasa nyeri yang dialami lansia. Semakin aktif melakukan senam maka semakin menurunkan nyeri yang dirasakan. Artikel yang keempat ditulis oleh Asrul Anam dan Ika Khusnia dengan judul Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto. Penelitian yang menggunakan pendekatan survey pada 35 pasien dan keluarganya di RS DKT Mojokerto menjelaskan bahwa terdapat proporsi yang hampir sama antara kepuasan keluarga dan masyarakat yang menunjukkan persamaan persepsi yang mereka miliki terhadap pelayanan yang diterima. Persepsi pasien dan keluarga sangat mempengaruhi jumlah kunjungan ke RS. Semakin negatif persepsi pasien dan keluarga terhadap pelayanan yang diterima maka motivasi untuk berkunjung ulang juga akan menurun dan pada akhirnya akan berdampak pada kelangsungan hidup RS.
HOSPITAL MAJAPAHIT Artikel yang kelima mengenai Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo Yang ditulis oleh Alif Isroaini, dan Nur Saidah, M.Kes. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia tidak hanya berdampak pada peningkatan infeksi paru-paru dan berbagai jenis kanker namun pengaruh kadar carsinogen dan racun yang terkandung dalam tembakau dapat berdampak pada rendahnya berat badan bayi pada perokok pasif. Hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan case control didapatkan bahwa ada pengaruh kebiasaan merokok dengan berat bayi lahir. Kandungan karsinogen dan racun pada tembakau dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin, sehingga berat badan bayi tidak tumbuh dengan sempurna. Sehingga ibu hamil hendaknya menghindari perokok serta rajin melakukan kunjungan antenatal care untuk memantau pertumbuhan janinnnya. Artikel yang keenam ditulis oleh Ana Amalia dan Elyana Mafticha, S.ST yakni Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Nyeri persalinan merupakan hal yang normal dialami oleh setiap ibu bersalinm namun banyak ibu yang cenderung menghindari nyeri persalinan dengan melakukan operasi caesar. Penelitian yang dilakukan pada populasi sebesar 37 orang menunjukkan hasil bahwa 54,1% responden yang melahirkan dengan cara caesar merasakan sangat nyeri saat involusi namun dapat dikontrol sedangkan responden yang melahirkan secara normal tidak merasakan nyeri saat involusi uterus. Nyeri involusi uterus pada persalinan seksio cesar lebih tinggi daripada persalinan normal,intensitas nyeri involusi uterus pada persalinan seksio cesar menjadi bertambah karena akibat luka sayat pada uterus terjadi setelah klien sadar dari narkose dari 24 jam post operasi. Artikel yang ketujuh ditulis oleh Agus Dwi Rahayu dan Sulisdiana, M.Kes yang berjudul Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa status gizi remaja putri berkaitan erat dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar hipotalamus yang memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid. Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi. Artikel yang terakhir ditulis oleh Eka diah kartiningrum, Mkes yang menjelaskan tentang Penggunaan Zero Inflated Poisson Regression Dalam Pemodelan Pengaruh Penolong Persalinan Dan Pelayanan Nifas Terhadap Angka Kematian Ibu Di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010. Artikel ini membahas bahwa setiap peningkatan 1% cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan rerata kematian ibu sebesar 1 orang. Sedangkan setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang. Sedangkan ditinjau dari fungsi logit didapatkan bahwa peningkatan 1% pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali. Semua artikel diatas merupakan hasil penelitian civitas akademik Poltekkes Majapahit yang diharapkan mampu memberikan masukan dan rekomendasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang pada akhirnya dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh masyarakat Indonesia. Redaksi,
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4. No. 2, Nopember 2012
ISSN : 2085 - 0204
Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel Kebijakan Editorial Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian, artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto. Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya. Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis. Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya mengikuti pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal Hospital Majapahit dengan alamat :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4. No. 2, Nopember 2012
ISSN : 2085 - 0204
Pedoman Penulisan Artikel. Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi pertimbangan penulis. Format. 1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm). 2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 – 12 atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman. 3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi. 4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut. 5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta sumber kutipan. 6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu. Contoh : a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan halaman (Rahman, 2003:36). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989). c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun publikasi sama (David, 1989a, 1989b). e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006). Isi Tulisan. Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut : Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris). Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel. Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian. Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian. Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi Dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan. Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel. Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori – teori yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian.
HOSPITAL MAJAPAHIT Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka. Jurnal : Berry, L. 1995. “Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective”. Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 – 245. Buku : Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol. Yogyakarta : Graha Ilmu. Artikel dari Publikasi Elekronik : Orr. 2002. “Leader Should do more than reduce turnover”. Canadian HR Reporter. 15, 18, ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04]. Majalah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Pedoman : Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : User’s Reference Guide, Chicago, SSI International. Simposium : Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia. Paper : Martinez and De Chernatony L. 2002. “The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand Image”. Working Paper. UK : The University of Birmingham. Undang-Undang & Peraturan Pemerintah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Skripsi, Thesis, Disertasi : Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia. Surat Kabar : Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5). Penyerahan Artikel : Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4. No. 2, Nopember 2012
ISSN : 2085 - 0204
DAFTAR ISI PENGARUH RANGSANGAN PUTING SUSU TERHADAP PENINGKATAN KONTRAKSI UTERUS PADA IBU INPARTU KALA II DI POLINDES ANYELIR TUNGGALPAGER PUNGGING MOJOKERTO ........................................................................................................................................
Aprilia Anggraeni Nurul Hidayah, M.Kep
1
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Malang
SIKAP LANJUT USIA TENTANG PERUBAHAN FISIOLOGIS DARI AKTIFITAS SEKSUAL DI DESA WONOKALANG WONOAYU SIDOARJO ........... Priyantini
19
Dwi Harini P, Skep.Ns Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
TINGKAT NYERI LANSIA DENGAN REMATHOID ARTRITIS YANG AKTIF DAN TIDAK AKTIF MELAKUKAN SENAM LANSIA DI DESA TANGGUL KULON KECAMATAN TANGGUL KABUPATEN JEMBER ................... Bhakti Wahyudianto Sunyoto, Skep Ns
44
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DAN KELUARGA PADA PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT DKT MOJOKERTO ............... Asrul Anam Ika Khusnia, S.Kep.Ns
60
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
HUBUNGAN SUAMI PEROKOK DENGAN TERJADINYA BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSUD SIDOARJO ............................................................................ Alif Isroaini Nursaidah, Mkes.
81
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
JENIS PERSALINAN DENGAN SKALA NYERI INVOLUSI UTERUS MASA NIFAS DI RSUD Prof. Dr. SOEKANDAR MOJOSARI MOJOKERTO ........................... Ana Amalia Elyana Mafticha, SST. Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
102
HOSPITAL MAJAPAHIT HUBUNGAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DENGAN SIKLUS MENSTRUASI DI MTs DARUN NAJAH GADING DUSUN SUMBER KENANGA JATIREJO MOJOKERTO ........................................................................................................................................................... Agus Dwi Rahayu Sulisdiana, MKes.
122
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
PENGGUNAAN ZERO INFLATED POISSON REGRESSION DALAM PEMODELAN PENGARUH PENOLONG PERSALINAN DAN PELAYANAN NIFAS TERHADAP ANGKA KEMATIAN IBU DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010 ................................................................................................................................................................ 153 Eka Diah Kartiningrum, M.Kes Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
PENGARUH RANGSANGAN PUTING SUSU TERHADAP PENINGKATAN KONTRAKSI UTERUS PADA IBU INPARTU KALA II DI POLINDES ANYELIR TUNGGALPAGER PUNGGING MOJOKERTO Aprilia Anggraeni.1 , Nurul Hidayah, M.Kep.2 1 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Malang ABSTRACT Lack of nipple stimulation treatment is a very influential factor. Phenomenon that usually occurs in the second stage the mother is less able to push it firmly, it is more common in primigravid than multigravid mothers. The purpose of this study conducted to determine the effect of nipple stimulation to increase uterine contractions in pregnant inpartu second stage can help to increase the intensity of uterine contractions. This research was conducted in a place Polindes Carnations Tunggalpager Village District Sub Pungging Mojokerto on 23 May to 23 June 2012. This is an observational research with cross sectional design is an analytical research that studies the dynamics of the correlation between the effects of risk factors. Independentnya variable is nipple stimulation and dependentnya variable is the increase in uterine contractions. Its population is 30 persons Samples taken by 22 persons with Consecutive Sampling. Primary data collection techniques using observation sheet. Furthermore, the data analyzed, diinterpresantasikan and presented in the form of a frequency distribution table. Tested using Fisher exact test. These results indicate that almost all the respondents have increased kotraksi uterus after the nipple stimulation (86.3%) while the number of respondents after nipple stimulation did not have increased had the smallest proportion (13.7%). After the Test Fisher Exact Probability Test formula obtained 0.01
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
rangsangan pada puting susu dapat membantu menambah intensitas ko ntraksi uterus karena rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior. (Bobak, 2005 : 245). Jika kehamilan tergolong sehat, dan tidak mengalami komplikasi apapun, stimulasi puting susu aman dilakukan. Teknik ini tidak akan merangsang rahim secara berlebihan, yang mungkin akan berbahaya bagi bayi. Sebaliknya, jika ibu memiliki kehamilan yang berisiko seperti adanya panggul sempit, maka stimulasi ini tidak boleh dilakukan pada ibu yang mempunyai panggul sempit (Anonimity, 2012). Sehingga hasil rangsangan tidak akan membuat janin semakin turun ke bawah malah bagian terendah bayi akan semakin terdesak ke bawah. His yang semakin kuat akibat stimulasi tersebut akan meningkatkan kemungkinan terjadinya rupture uteri dan beresiko pada janin (Sarwono, 2007 : 645). Penelitian Fraser et al (2002) mengatakan bahwa perangsangan puting susu mengakibatkan persalinan lebih pendek dengan 60-120 menit dan penurunan penggunaan oksitosin, terutama pada ibu nulipara. WHO memperkirakan dengan adanya stimulasi puting susu menyebabkan sekitar 70 % mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu. Sedangkan kurangnya penanganan gerakan putar-putar puting susu sekitar 30% yang tidak mengalami peningkatan kontraksi (Anonimity, 2005). Berdasarkan survey demografi dan kesehatan indonesia (SDKI) 2002/2003 disebutkan bahwa proses persalinan yg melalui stimulasi puting susu sebesar 750/1000 ibu bersalin, adapun penyebab tingginya angka kematian pada ibu bersalin yakni tidak adanya rangsangan puting susu pada saat ibu melahirkan yang mencapai 25% di indonesia. Dinas Kesehatan Jawa Timur tahun 2010, melaporkan adanya peningkatan karena rangsangan puting susu sebesar 13 orang atau 280/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008, 19 orang atau 278/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 dan 29 orang atau 380/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Studi pendahuluan yang dilakukan di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto pada tanggal 3-10 April 2012 terdapat 8 ibu bersalin, dan diberi pengamatan awal terlebih dahulu sebelum diberikan stimulasi puting susu. Dari hasil pengamatan terdapat 3 (37,5%) ibu bersalin yang kontraksinya kuat, 4 (50%) ibu bersalin yang kontraksinya sedang, dan 1 (12,5%) ibu bersalin yang kontraksinya lemah. Setelah itu diberikan tindakan stimulasi puting susu kemudian dilakukan pengamatan akhir dan hasilnya terjadi peningkatan lama waktu kontraksi sekitar 75% dan 25% ibu tidak mengalami peningkatan. Kejadian di lapangan membuktikan bahwa kebanyakan stimulasi puting susu dilakukan jika terdapat indikasi seperti cara mengejan ibu bersalin yang kurang kuat dengan adanya kejadian seperti itu rangsangan puting susu baru dilakukan agar dapat menambah intensitas kontraksi uterus sehingga kepala bayi dapat semakin turun ke bawah kemudian persalinan dapat berlangsung lebih cepat dan mengurangi angka kematian ibu. Rangsangan puting susu dapat dilakukan dengan cara mengusap-usap salah satu puting ibu melalui bajunya selama 2 menit atau sampai kontraksi muncul kemudian mengulangi tindakannya setelah 5 menit jika stimulasi puting pertama belum memicu tiga kali kontraksi dalam 10 menit. Setelah itu rangsangan puting susu dilakukan dan hasilnya terjadi peningkatan lama waktu kontraksi. Dari hasil kejadian itu kemudian peneliti 2
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
tertarik mengambil masalah tersebut karena berdasarkan teori, stimulasi puting susu akan menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu akan terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di dasar otak, lalu memicu hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam darah. Hormon prolaktin ini fungsinya untuk meningkatkan produksi susu (Weni, 2009 : 6). Stimulasi ini juga akan merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari hipofisis posterior. Stimulasi Oksitosin membuat sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di dalam kelenjar mamae dan berkontraksi sehingga peningkatan konraksi uterus mulai terbentuk (Bobak, 2005 : 462). Upaya Untuk meningkatkan pengetahuan bagi bidan tentang stimulasi puting susu yang dapat meningkatkan kontraksi uterus dapat dilakukan dengan seminar atau sharing antar sesama tenaga kesehatan kemudian peran bidan sebagai pendidik dapat diberikan melalui penyuluhan-penyuluhan seperti pemberian leaflet dan konseling pada ibu hamil atau ibu bersalin sehingga pada waktu yang akan datang diharapkan ibu tersebut dapat mengetahui fungsi dan kegunaan dari stimulasi puting susu yang berpengaruh pada peningkatan kontraksi sehingga uterus mengalami ketegangan dengan kontraksi yang paling nyeri maka indikasinya efektifitas stimulasi puting susu sangat berperan penting dalam membantu proses kelahiran. Bidan juga dapat termotivasi untuk memahami dan menerapkan pada setiap persalinan yang normal. Begitu juga untuk mengurangi terjadinya kontraksi yang kurang adekuat yang ditimbulkan akibat tidak adanya stimulasi puting susu (IBI, 2006 : 121). Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ―Pengaruh rangsangan puting susu terhadap peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kec. Pungging Kabupaten Mojokerto‖. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep dasar persalinan. a. Definisi persalinan. Persalinan adalah pembukaan serviks yang progresif, dilatasi, atau keduanya akibat kontraksi rahim teratur yang terjadi sekurang-kurangnya setiap 5 menit dan berlangsung sampai 60 detik (Lailiyana, 2011 : 1). Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan juga dapat diartikan sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap (APN, 2008 : 37). Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Sarwono, 2007 : 180). Persalinan adalah proses pergerakan keluar janin, plasenta, dan membran dari dalam rahim melalui jalan lahir. (Bobak, 2005 : 245). Persalinan adalah proses multifaset, kompleks karena kejadian psikologis dan fisiologis saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan (Chapman, 2006 : 88). Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir
3
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan yang dapat diartikan menggunakan kekuatan sendiri. Bentuk persalinan dibagi tiga yaitu : 1) Persalinan spontan : bila persalinan seluruhnya berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri. 2) Persalinan buatan : bila proses persalinan dengan bantuan tenaga dari luar. 3) Persalinan anjuran atau partus presipitatus. (Manuaba, 2010 : 164) Tanda-tanda persalinan semakin dekat. 1) Terjadi lightening. Menjelang minggu ke-36, pada primigravida terjadi penurunan fundus uteri karena kepala bayi sudah masuk pintu atas panggul yang disebabkan oleh kontraksi Braxton Hicks, ketegangan dinding perut, ketegangan ligamentum rotundum, gaya berat janin dimana kepala ke arah bawah. Masuknya kepala bayi ke pintu atas panggul dirasakan ibu hamil sebagai terasa ringan di bagian atas, rasa sesaknya berkurang, di bagian bawah terasa sesak, terjadi kesulitan saat berjalan, dan sering berkemih. Gambaran lightening pada primigravida menunjukkan hubungan normal antara ketiga P yaitu power (kekuatan His), passage (jalan lahir normal), dan passanger (janinnya dan plasenta). Pada multipara gambarannya tidak jelas karena kepala janin baru masuk pintu atas panggul menjelang persalinan. 2) Terjadi His Permulaan. Pada saat hamil muda sering terjadi kontraksi Braxton Hicks. Kontraksi ini dapat dikemukakan sebagai keluhan, karena dirasakan sakit dan mengganggu. Kontraksi Braxton Hicks terjadi karena perubahan keseimbangan estrogen, progesteron, dan memberikan kesempatan rangsangan oksitosin. Dengan makin tua usia kehamilan, pengeluaran estrogen dan progesteron makin berkurang, sehingga oksitosin dapat menimbulkan kontraksi yang lebih sering sebagai his palsu. Sifat his permulaan (palsu) adalah rasa nyeri ringan di bagian bawah, datangnya tidak teratur, tidak ada perubahan pada serviks atau pembawa tanda, durasinya pendek, dan tidak bertambah bila beraktifitas (Manuaba, 2010 : 172). Pembagian kala dalam persalinan. 1) Kala I. Kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan nol sampai pembukaan lengkap. Pada permulaan His, kala pembukaan berlangsung tidak begitu kuat sehingga pasien masih dapat berjalan-jalan. Lamanya kala satu untuk primigravida berlangsung 12 jam sedangkan multigravida sekitar 8 jam. Berdasarkan hasil perhitungan pembukaan primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/jam. Dengan perhitungan tersebut maka waktu pembukaan lengkap dapat diperkirakan (Manuaba, 2010 : 173). Dikarenakan His yang semakin lama semakin bertambah kuat, tindakan yang perlu dilakukan adalah : a) Memperhatikan kesabaran pasien. b) Melakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, temperatur, dan pernapasan berkala sekitar 2 sampai 3 jam. c) Pemeriksaan denyut jantung janin setiap ½ sampai 1 jam. d) Memperhatikan keadaan kandung kemih agar selalu kosong.
4
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
e)
Memperhatikan keadaan patologis (meningkatnya lingkaran Bandle, ketuban pecah sebelum waktu atau disertai bagian ja nin yang menumbung, perubahan denyut jantung janin, pengeluaran mekonium pada letak kepala, keadaan His yang bersifat patologis, perubahan posisi atau penurununan bagian terendah janin). f) Pasien tidak diperkenankan mengejan. (Manuaba, 2010 : 184) 2) Kala II. Gejala utama kala II adalah : a) His semakin sering dan kuat , dengan interval 2 sampai 3 menit, dengan durasi 50 sampai 100 detik. b) Menjelang akhir kala I, ketuban pecah dan ditandai dengan pengeluaran cairan secara mendadak. c) Ketuban pecah pada pembukaan mendekati lengkap diikuti keinginan mengejan. d) Kedua kekuatan, His dan mengejan lebih mendorong kepala bayi sehingga terjadi kepala membuka pintu, sub oksiput bertindak sebagai hipomoglion berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi, hidung, muka dan kepala seluruhnya. e) Kepala lahir seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi luar, yaitu penyesuaian kepala terhadap punggung. f) Setelah putar paksi luar berlangsung, maka persalinan bayi ditolong dengan jalan : kepala dipegang pada os oksiput dan di bawah dagu, ditarik curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan, dan curam ke atas untuk melahirkan bahu belakang, setelah kedua bahu lahir ketika dikait untuk melahirkan sisa badan bayi, bayi lahir diikuti oleh sisa air ketuban. g) Lamanya kala II untuk primigravida 1 - 1 ½ jam, pada multi ½ - 1jam. (Manuaba, 2010 : 173) 3) Kala III. Kala III disini tebagi dalam dua tahap pada kelahiran plasenta yaitu, terlepasnya plasenta dari implantasinya pada dinding uterus dan pengeluaran plasenta dari dalam kavum uteri. Setelah bayi lahir uterus masih mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri tempat implantasi plasenta. Oleh karena tempat implantasi plasenta menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah, maka plasenta akan menekuk, menebal kemudian dilepaskan dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau bagian atas vagina. Lepasnya plasenta sudah dapat diperkirakan dengan memperhatikan tanda-tanda : uterus menjadi bundar, uterus terdorong ke atas karena plasenta dilepas ke segmen bawah rahim, tali pusat bertambah panjang, terjadi perdarahan. Melahirkan plasenta dilakukan dengan dorongan ringan secara Crede pada fundus uteri (Manuaba, 2010 : 174). 4) Kala IV. Kala IV dimaksudkan untuk melakukan observasi karena perdarahan post partum paling sering terjadi pada 2 jam pertama. Oleh sebab itu pemantauan yang cermat selama 2 jam post partum sangat penting. Observasi yang dilakukan meliputi : a) Tekanan Darah. Tekanan darah yang normal adalah <140/90 mmHg. Sebagian wanita mempunyai tekanan darah 90/60 mmHg. Jika denyut 5
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
nadi normal, tekanan darah yang rendah seperti ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi jika tekanan darah <90/60 mmHg dan nadinya adalah >100x/menit mengidentifikasi adanya masalah. b) Suhu. Suhu tubuh yang normal adalah <38°C. Jika suhunya >38°C, maka harus mengumpulkan data-data lain untuk memungkinkan identifikasi masalah. Suhu yang tinggi bisa dikarenakan dehidrasi pada saat persalinan yang lama, tidak cukup minum atau infeksi. c) Kontraksi Uterus dan Tinggi Fundus Uteri. Kontraksi uterus yang baik adalah teraba keras. Tinggi fundus yang normal segera setelah persalinan adalah kira-kira setinggi umbilikus. Tetapi jika ibu tersebut berkali kali melahirkan anak, atau jika anaknya kembar atau bayi besar, maka tinggi fundus yang normal adalah di atas umblikus. d) Perdarahan. Perdarahan yang normal setelah kelahiran sebanyak satu pembalut wanita per jam selama enam jam pertama atau seperti darah haid yang banyak. e) Kandung Kemih. Kandung kemih setelah proses persalinan diusahakan harus kosong karena jika kandung kemih penuh dengan air seni, uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik.jika uterus naik di dalam abdomen dan tergeser ke samping hal ini biasanyamerupakan tanda kandung kemih penuh. (Lailiyana, 2011 : 84) Konsep Dasar Ibu Inpartu. a. Definisi Inpartu. Inpartu adalah seorang wanita yang sedang dalam keadaan persalinan (Sarwono, 2007 : 180). b. Tanda dan gejala inpartu. 1) Kekuatan His makin sering terjadi dan teratur dengan jarak kontraksi yang semakin pendek. His persalinan mempunyai ciri khas pinggang terasa nyeri yang menjalar ke depan, sifatnya teratur, interval makin pendek, dan kekuatannya makin besar, mempunyai pengaruh terhadap perubahan serviks, makin beraktifitas (jalan) kekuatan makin bertambah. 2) Dapat terjadi pengeluaran pembawa tanda (pengeluaran lendir, lendir bercampur darah). Dengan His persalinan terjadi perubahan pada serviks yang menimbulkan pendataran dan pembukaan. Pembukaan menyebabkan lendir yang terdapat pada kanalis servikalis lepas. Terjadi perdarahan karena kapiler pembuluh darah pecah. 3) Pengeluaran cairan. Pada beberapa kasus terjadi ketuban pecah yang menimbulkan pengeluaran cairan. Sebagian besar ketuban baru pecah menjelang pembukaan lengkap. Dengan pecahnya ketuban diharapkan persalinan berlangsung dalam 24 jam. 4) Pada pemeriksaan dalam, dijumpai perubahan serviks seperti perlunakan serviks, pendataran serviks, terjadi pembukaan serviks. (Manuaba, 2010 : 169-173) Konsep Dasar Kontraksi Uterus. a. Definisi Kontraksi. Kontraksi adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks membuka dan mendorong janin kebawah (Sarwono, 2007 : 188). Kontraksi adalah gerakan memendek dan menebal otot-otot rahim yang terjadi untuk sementara (Farer, 2005 : 119).
6
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Kriteria tingkatan kontraksi. Menurut Bobak ( 2005 ) ada 3 tingkatan kontraksi, yaitu: 1) Kontraksi Lemah. Lama kontraksi < 20 detik, itensitas sedikit tegang dan mudah membentuk lekukan jika di tekan dengan ujung jari-jari. 2) Kontraksi Sedang. Lama kontraksi 20-40 detik, intensitas keras dan sulit membentuk lekukan jika di tekan dengan ujung-ujung jari. 3) Kontraksi Kuat. Lama kontraksi > 40 detik, itensitas kaku hampir tidak membentuk lekukan jika di tekan dengan ujung-ujung jari. Faktor-faktor yang berpengaruh pada kontraksi persalinan. Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron menyababkan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofisis posterior, menimbulkan kontraksi yang kekuatannya menjadi dominan saat mulainya persalinan. Tetapi terjadinya persalinan itu sendiri belum di ketahui dengan pasti terjad inya. Sehingga timbul beberapa teori yang berkaitan dengan mulai terjadinya kekuatan kontraksi. 1) Teori Keregangan. Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu. Setelah melewati batas tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat dimulai. Misalnya, pada hamil ganda sering terjadi kontraksi setelah keregangan tertentu, sehingga memicu proses persalinan. 2) Teori Penurunan Progesteron. Proses penuaan plasenta mulai terjadi pada usia kehamilan 28 minggu, ketika terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu. Produksi progesteron mengalami penurunan, sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksitosin. Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah penurunan progesteron pada tingkat tertentu. 3) Teori Oksitosin Internal. Penurunan konsentrasi progesteron akibat usia kehamilan, aktifitas oksitosin dapat meningkat, sehingga persalinan mulai terjadi. 4) Teori Prostaglandin. Pemberian prostaglandin saat kehamilan dapat menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dikeluarkan. 5) Teori Hipotalamus-hipofisis dan Glandula Suprarenalis. Pada percobaan Linggin menunjukan pada kehamilan dengan Anensefalus sering terjadi kelambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus, sehingga disimpulkan ada hubungan antara hipotalamus dengan persalinan. (Lailiyana, 2011 : 1-3) Faktor-faktor Penyebab Kontraksi Uterus Melemah pada Kala II Persalinan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kontraksi melemah pada kala II persalinan Menurut Chapman (2006). 1) Respons Stres. Stres Psikologi memiliki efek fisik kuat pada persalinan. Hormon stres, seperti adrenalin berinteraksi dengan reseptor beta di dalam otot uterus dan menghambat kontraksi, memperlambat persalinan. 2) Faktor Imobilitas. Immobilitas atau posisi terlentang memiliki berbagai efek samping. Oleh karena itu mobilisasi umum atau posisi tegak dan sering berganti posisi dapat membantu kontraksi yng buruk. Berjalan-jalan setiap 20 menit atau lebih merupakan intervensi sederhana. 3) Puasa Ketat. Beberapa klinis merekomendasikan puasa dalam persalinan karena kekhawatiran mengenai bahaya aspirasi lambung. Puasa ketat pada persalinan dapat mengakibatkan persalinan lama, diagnosis distosia, dan sederetan intervensi yang berkulminasi.
7
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
e.
4.
Upaya-upaya meningkatkan kontraksi uterus pada kala II persalinan. 1) Nonfarmakologis. a) Rangsangan Puting Susu. Upaya yang paling sering dilakukan untuk meningkatkan kontraksi pada kala II persalinan adalah rangsangan puting susu, ibu atau pasangannya dapat menggosok satu atau kedua puting susu karena akan meningkatkan kontraksi uterus dengan rangsangan oksitosin alamiah. b) Mobilisasi dan Perubahan Posisi. Mobilisasi meningkatkan kontraktilitas uterus, maupun pemendekan persalinan. Postur tegak menyebabkan perbaikan kesegarisan tulang pelvis, sehingga mengoptimalkan kesempatan ―pas‖ antara bayi dan pelvis. c) Dukungan. Kehadiran kontinyu dan dukungan verbal dari bidan merupakan cara tidak terlihat terhadap sterss dan dapat membantu ibu melakukan coping pada persalinan dan terbukti mengurangi lamanya persalinan. d) Sentuhan Kenyamanan. Menggosok punggung, memegang tangan dan sebagainya dapat meningkatkan produksi oksitosin endogen sehingga menstimulasi kontraksi uterus. Memijat leher dan bahu ibu, kaki atau pinggang atau menasehati pasangan dengan berdekatan dan saling berpegangan. e) Kompres Hangat Pada Fundus. Panas yang diberikan lokal dalam bentuk botol air hangat yang diletakkan pada fundus ternyata dapat meningkatkan aktifitas uterus. Kompres air hangat juga bisa digunakan. f) Hidroterapi. Ibu yang tampak tegang atau cemas dapat memperoleh manfaat dengan beristirahat dalam privasi berendam air hangat yang merelakskan. (Chapman, 2006 : 99-100) 2) Farmakologis. a) Pemberian Oksitosin Intramuscular (IM). Penggunaan Oksitosin Intramuscular sebelum kelahiran terjadi sangat mungkin menjadi begitu sensitif terhadap oksitosin. b) Pemberian Oksitosin Infus/Intravena (IV). Oksitosin hendaknya tidak diberikan secara intravena dalam bolus dengan dosis tinggi tetapi lebih baik sabagai larutan yang jauh lebih encer dengan infus intravena continue. (Kenneth, 2005 : 352) Konsep Dasar Payudara. a. Anatomi Payudara. Payudara dapat disebut juga sebagai alat reproduksi tambahan. Setiap Payudara terletak pada setiap sisi sternum dan meluas setinggi antara costa kedua dan keenam. Payudara terletak pada fascia superficialis dinding rongga dada di atas musculus pectoralis major dan dibuat stabil oleh ligamentum suspensorium. Ukuran payudara untuk masing- masing individu berbeda, juga bergantung pada stadium perkembangan dan umur (Sylvia, 2003 : 1). Ukuran normalnya 10-12 cm dengan beratnya pada wanita hamil adalah 200 gram, pada wanita hamil aterm 400-600 gram dan pada masa laktasi sekitar 600-800 gram. Payudara akan menjadi lebih besar saat hamil dan menyusui dan biasanya mengecil setelah menopause. Pembesaran ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan struma jaringan penyangga dan penimbunan jaringan lemak. Struktur payudara wanita terdiri dari tiga bagian yaitu kulit, jaringan sub cutan 8
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
(jaringan bawah kulit), dan corpus mammae. Bagian-bagian utama payudara yang perlu diketahui dibagi menjadi 3 macam yaitu korpus (badan), areola, papilla atau puting (Weni, 2009 : 2). b. Definisi puting susu. Puting susu merupakan suatu tonjolan dengan panjang kira-kira 6mm, tersusun atas jaringan erektil berpigmen dan merupakan bangunan yang sangat peka. Permukaan papila mamae belubang- lubang berupa ostium papilarre kecilkecil yang merupakan muara ductus lactiferus (Sylvia, 2003 : 1). Puting susu biasanya mempunyai warna dan tekstur yang berbeda dari kulit sekelilingnya., warna yang kegelapan itu disebabkan oleh penipisan dan penimbunan pigmen pada kulitnya. Perubahan warna ini tergantung dari corak kulit dan adanya kehamilan. Pada wanita yang corak kulitnya kuning langsat akan berwarna jingga kemerahan, bila kulitnya kehitaman maka warnanya akan lebih gelap dan kemudian menetap (Weni, 2009 : 2). Konsep Dasar Rangsangan Puting Susu. Ada banyak cara melakukan rangsangan untuk persalinan, salah satunya adalah dengan metode stimulasi puting susu, yaitu perangsangan dengan cara memilin- milin puting susu ibu sesaat menjelang proses persalinan. Stimulasi atau rangsangan pada puting susu dapat menambah intensitas kontraksi uterus karena rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan oks itosin dari hipofisis posterior (Bobak, 2005 : 245). Stimulasi puting susu akan menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu akan terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di dasar otak, lalu memicu hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam darah. Hormon prolaktin ini fungsinya untuk meningkatkan produksi susu (Weni, 2009 : 6). Stimulasi ini juga akan merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari hipofisis posterior. Stimulasi Oksitosin membuat sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di dalam kelenjar mamae dan berkontraksi (Bobak, 2005 : 462). Oleh karena itu lubang- lubang kecil yang berada di sekitar puting susu merupakan muara dari duktus lactiferus, ujung-ujung serat otot polos yang tersusun secara sirkuler sehingga bila ada kontraksi maka duktus laktiferus akan memadat dan menyebabkan puting susu ereksi (Weni, 2009 : 4). Uji Stimulasi puting juga dilakukan oleh wanita dengan mengusap-usap salah satu putingnya melalui bajunya selama 2 menit atau sampai kontraksi muncul kemudian mengulangi tindakannya setelah 5 menit jika stimulasi puting pertama belum memicu 3x kontraksi dalam 10 menit (Kenneth, 2004 : 130).
C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian. Jenis penelitian dan rancang bangun yang digunakan adalah rancangan penelitian eksperimental dan jenisnya pra-eksperimental (pretest-post test design) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara memberikan pre-test (pengamatan awal) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan post-test (pengamatan akhir). Dikumpulkan secara cross sectional yaitu suatu penelitian analitik yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010 : 41).
9
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Kerangka Kerja Rangsangan Puting Susu
a. b. c. d. e.
Peningkatan Kontraksi Uterus
Nonfarmakologis : Mobilisasi dan Perubahan Posisi Dukungan Sentuhan Kenyamanan Kompres Hangat Pada Fundus Hidroterapi
Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 1. Kerangka Kerja Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala II. 2.
3.
Hipotesis Penelitian. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis alternatif (H1) yaitu adanya pengaruh rangsangan puting susu dengan peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II. Variabel dan Definisi Operasional. a. Jenis Variabel Penelitian. Dalam penelitian ini variabel independennya adalah rangsangan puting susu, sedangkan variabel dependennya adalah peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II. b. Definisi Operasional. Tabel 1. Definisi Ope rasional Pengaruh Rangsangan Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala II Variabel Variabel Independen : Rangsangan puting susu
Definisi Operasional Rangsangan puting susu pada ibu inpartu oleh peneliti, diukur dengan menggunakan lembar observasi.
Krite ria Skala 1. Sebelum dilakukan Nominal rangsangan puting susu. 2. Sesudah dilakukan rangsangan puting susu. (Bobak, 2005 : 311)
Variabel Dependen : Peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II
Peningkatan kontraksi uterus karena adanya rangsangan puting susu, diukur dengan menggunakan lembar observasi
1. Meningkat : jika kriteria lemah menjadi sedang dan sedang menjadi kuat ataupun masih tetap dalam kontraksi lemah, sedang, kuat tetapi lama waktu kontraksinya meningkat.
10
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT Variabel
Vol 4 No. 2 Nopember 2012 Definisi Operasional
Krite ria
Skala
2. Tidak Meningkat : tidak mengalami kenaikan kriteria (lemah, sedang, kuat) ataupun tidak meningkatnya lama waktu kontraksi 1. Kontraksi Lemah a. Lama < 20 detik b. Abdomen Intensitas lemah sedikit tegang dan mudah membentuk lekukan jika ditekan dengan ujung- ujung jari. 2. Kontraksi Sedang a. Lama 20-40 detik b. Abdomen Intensitas keras dan sulit membentuk lekukan jika ditekan dengan ujung- ujung jari. 3. Kontraksi Kuat a. Lama > 40 detik b. Abdomen Intensitas kaku hampir tidak membentuk lekukan jika ditekan dengan ujung- ujung jari. (Bobak, 2005 : 311) 4.
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan 23 Mei 2012 – 23 Juni 2012 di di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Populasi dalam penelitian ini adalah 30 ibu inpartu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto, sedangkan sampel yang digunakan yaitu 22 ibu inpartu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto yang seu. Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah teknik non probability sampling yaitu consecutive sampling. Sampel pada penelitian ini diambil dengan memperhatikan : 1. Kriteria inklusi. a. Bersedia menjadi responden. b. Ibu bersalin dengan persalinan normal. c. Ibu yang bersalin dalam kala II. 2. Kriteria Eksklusi. a. Ibu bersalin dengan tindakan. b. Ibu bersalin dalam kala 1,3,4 persalinan. 11
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer sedangkan yang digunakan adalah observasi yaitu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada responden, untuk mencari perubahan suatu alat hal- hal yang diteliti dengan menggunakan instrumen penelitian lembar observasi penelitian (Hidayat, 2007 : 87). Teknik Pengolahan dan Analisis Data. a. Teknik Pengolahan Data. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai berikut : 1) Editing Data Editing data bertujuan untuk meneliti kembali isian kesioner, dan halhal yang harus diperhatikan dalam mengedit adalah kelengkapan jawaban, keterbatasan tulisan, kesesuaian jawaban, keseragaman, satuan ukuran. 2) Coding Coding adalah usaha mengklarifikasi jawaban yang ada menurut macamnya dengan memberi kode angka yaitu : a) Umum Umur < 20 th Kode 1 20 – 35 th Kode 2 > 35 th Kode 3 Paritas Primigravida Kode 1 Multigravida Kode 2 b) Khusus Kontraksi Meningkat Kode 1 Tidak Meningkat Kode 2 3) Tabulating Yaitu dengan menyusun data dalam bentuk tabel-tabel untuk mengetahui pengaruh dihitung dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dalam bentuk prosentase. 100% = Seluruhnya 76-99% = Hampir Seluruhnya 51-75% = Sebagian Besar 50% = Setengahnya 26-49% = Hampir Setengahnya 1-25% = Sebagian Kecil 0% = Tidak Satupun (Arikunto, 2008) b. Analisis Data. 1) Analisis Univariat. a) Analisis Rangsangan puting susu. Sebelum rangsangan puting susu. Sesudah rangsangan puting susu. b) Analisis peningkatan kontraksi uterus pada ibu inpartu kala II. Meningkat : Jika kriteria lemah menjadi sedang dan sedang menjadi kuat ataupun masih tetap dalam kontraksi lemah, sedang, kuat tetapi lama waktu kontraksinya meningkat. Tidak Meningkat : Tidak mengalami kenaikan kriteria (lemah, sedang, kuat) ataupun tidak meningkatnya lama waktu kontraksi.
12
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Analisis Bivariat. Kemudian data tersebut dilanjutkan dengan analisis data antar variabel independent dan variabel dependent dengan menggunakan Fisher Exact Probability Test yang dapat digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai interaksi antara variabel- variabel yang sedang menjadi pusat perhatian dengan membandingkan Pvalue dan signifikansi ( α = 0,05 ) jika : a) 0,01 < p < 0,05 maka Ho ditolak artinya signifikan. b) Pvalue > 0,05 maka Ho diterima artinya tidak signifikan. Rumus Fisher Exact Probability Test : P = (a+b)! (c+d)! (a+c)! (b+d)! N! a! b! c! d! D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kec. Pungging Kabupaten Mojokerto terletak ± 20 km dari pusat kota dan ± 5 km dari puskesmas pungging. Terdiri dari 1 lantai terbagi menjadi beberapa ruangan antara lain : 1 ruang periksa, 1 ruang bersalin, 3 tempat tidur, 1 box bayi, 1 tempat tidur dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan desa Panggreman, sebelah timur berbatasan dengan desa Bedagas, sebelah selatan berbatasan desa Wonogiri, dan sebelah barat desa Pekojo. Daerah tersebut mudah dijangkau dengan roda dua maupun empat. Kegiatan di Polindes Anyelir ini meliputi : Upaya kesehatan keluarga, pemeriksaan ibu hamil, imunisasi, persalinan, KB, ibu nifas, kesehatan reproduksi, dll. 2. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012. No. Umur Frekuensi (f) Persentase (%) 1. < 20 tahun 2 9,1 2. 20-35 tahun 18 81,8 3. > 35 tahun 2 9,1 Jumlah 22 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden berusia 20–35 tahun yaitu (81,8%) sedangkan responden yang berusia lebih dari 35 tahun dan kurang dari 20 tahun mempunyai proporsi sama yaitu (9,1%). b. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Partitas di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupate n Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012. No. Paritas Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Primigravida 12 54,5 2. Multigravida 10 45,5 Jumlah 22 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan paritas primigravida yaitu (54,5%) sedangkan responden dengan paritas multigravida yaitu (45,5%).
13
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Data Khusus. a. Kontraksi Uterus Sebelum Dilakukan Rangsangan Puting Susu. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kontraksi Ute rus Sebelum Dilakukan Rangsangan Puting Susu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012. No. Kontraksi Uterus Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Meningkat 10 45,5 2. Tidak Meningkat 12 54,5 Jumlah 22 100 Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya tidak meningkat yaitu (54,5%) sedangkan responden yang kontraksi uterusnya meningkat sebelum dilakukan stimulasi puting susu yaitu (45,5%). b. Kontraksi Uterus Setelah Dilakukan Rangsangan Puting Susu. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kontraksi Uterus Setelah Dilakukan Rangsangan Puting Susu di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012. No. Kontraksi Uterus Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Meningkat 19 86,3 2. Tidak Meningkat 3 13,7 Jumlah 22 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami peningkatan kotraksi uterus setelah dilakukan rangsangan puting susu yaitu (86,3%) sedangkan responden yang setelah dilakukan rangsangan puting susu tidak mengalami peningkatan mempunyai proporsi paling kecil yaitu (13,7%). c. Tabulasi Silang Antara Stimulasi Puting Susu Terhadap Peningkatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Inpartu Kala II. Tabel 6. Tabulasi Silang Antara Stimulasi Puting Susu Te rhadap Peningkatan Kontraksi Ute rus Pada Ibu Inpartu Kala II di Polindes Anyelir Desa Tunggalpager Kecamatan Pungging Kabupate n Mojokerto 23 Mei-23 Juni 2012. Kontraksi Jumlah No. Stimulasi Meningkat Tidak Meningkat Σ % Σ % Σ % 1. Sebelum Dilakukan RPS 10 45,5 12 54,5 22 100 2. Setelah Dilakukan RPS 19 86,3 3 13,7 22 100 Tabel 6 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden yang mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu yaitu (86,3%) dan yang tidak mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu yaitu (13,7%) sedangkan responden yang sebelum dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya meningkat yaitu (45,5%) dan yang kontraksi uterusnya tidak meningkat sebelum dilakukan stimulasi puting susu yaitu (54,5%).
E. PEMBAHASAN 1. Sebelum Dilakukan Rangsangan Puting Sus u. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 22 ibu bersalin yang diamati sebelum diberikan stimulasi puting susu dan diamati setelah diberikan stimulasi puting susu. 14
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya tidak meningkat yaitu (54,5%) sedangkan responden yang kontraksi uterusnya meningkat sebelum dilakukan stimulasi puting susu yaitu (45,5%). Puting susu merupakan suatu tonjolan dengan panjang kira-kira 6mm, tersusun atas jaringan erektil berpigmen dan merupakan bangunan yang sangat peka (Sylvia, 2003 : 1). Stimulasi atau rangsangan pada puting susu akan menambah intensitas kontraksi uterus karena rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior sehingga bisa membantu proses kelahiran (Bobak, 2005 : 245). Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya tidak meningkat sehingga kepala bayi tidak dapat dengan cepat turun ke bawah karena serviks masih belum semakin menipis dan tidak ada rangsangan yang membuat uterus semakin berkontraksi. Hasil penelitian pada usia berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hampir setengah responden berusia 20-35 tahun kontraksi uterusnya meningkat yaitu (45,4%) sedangkan responden berusia < 20 tahun dan > 35 tahun yang kontraksi uterusnya meningkat mempunyai proporsi paling kecil yaitu (0%). Usia < 20 tahun dan usia > 35 tahun termasuk dalam faktor resiko tinggi yang harus ditapis sejak dini sehingga dapat dilakukan tindakan persiapan melakukan observasi ketat untuk menurunkan kejadian persalinan lama (Manuaba, 2010 : 247). Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa usia 20-35 tahun merupakan usia reproduktif karena organ reproduksi sudah bisa bekerja dengan optimal dibandingkan dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun yang termasuk dalam faktor resiko tinggi. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa hampir setengah responden multigravida yang kontraksi uterusnya meningkat yaitu (27,3%), sedangkan responden primigravida yang kontraksi uterusnya meningkat mempunyai proporsi paling kecil yaitu (18,2%). Menurut Manuaba (2010 : 149) terdapat perbedaan proses pembukaan serviks uteri antara primigravida dan multigravida. Pada primigravida terjadi perlunakan, penipisan, dan selanjutnya diikuti pembukaan serviks uteri. Sedangkan pada multigravida terjadinya pembukaan tidak diikuti oleh perlunakan karena terdapat jaringan ikat akibat persalinan terdahulu. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden multigravida mengalami peningkatan kontraksi uterus. Hal ini dikarenakan serviks semakin tipis dan janin semakin turun ke bawah. Sedangkan pada primigravida serviks juga semakin tipis tetapi karena jaringan ikat di sekitarnya masih belum pernah dilalui oleh bayi maka tingkat stimulasi puting susunya lebih cepat pada multigravida. Setelah Dilakukan Rangsangan Puting Susu. Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh jumlah responden mengalami peningkatan kotraksi uterus setelah dilakukan rangsangan puting susu yaitu (86,3%) sedangkan jumlah responden yang setelah dilakukan rangsangan puting susu tidak mengalami peningkatan mempunyai proporsi paling kecil yaitu (13,7%). Stimulasi puting susu akan menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu akan terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di dasar otak, lalu memicu hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam darah. Stimulasi ini juga akan merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari hipofisis posterior. Stimulasi Oksitosin 15
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
membuat sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di dalam kelenjar mamae dan berkontraksi (Bobak, 2005 : 462). Oleh karena itu lubang- lubang kecil yang berada di sekitar puting susu merupakan muara dari duktus lactiferus, ujung-ujung serat otot polos yang tersusun secara sirkuler sehingga bila ada kontraksi maka duktus laktiferus akan memadat dan menyebabkan puting susu ereksi (Weni, 2009 : 4). Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa stimulasi atau rangsangan pada puting susu dapat membantu menambah intensitas kontraksi uterus karena rangsangan ini akan merangsang pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior sehingga terjadi peningkatan kontraksi uterus dan proses persalinan berjalan lebih cepat setelah dilakukan stimulasi puting susu. Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden berus ia 2035 tahun mengalami peningkatan kontraksi uterus yaitu (81,8%) sedangkan responden yang berusia < 20 tahun mengalami peningkatan kontraksi uterus mempunyai proporsi paling kecil yaitu (0%). Usia antara 20-35 tahun merupakan usia yang subur karena susunan anatomi alat reproduksi wanita pada usia tersebut masih sangat reprduktif untuk memiliki keturunan. Dibandingkan dengan usia < 20 tahun yang alat reproduksinya masih belum matang sehingga dapat menimbulkan terjadinya penyulit pada saat kehamilan ataupun persalinan. Sedangkan usia > 35 tahun organ reproduksinya sudah tidak bisa bekerja optimal lagi. Oleh karena perangsangan stimulasi puting susu dapat lebih cepat mengalami peningkatan kontraksi pada usia 20-35 tahun (Manuaba, 2010 : 61). Berdasarkan Penelitian menunjukkan bahwa usia 20-35 tahun merupakan usia matang, sehingga ibu bisa lebih kooperatif dengan tenaga kesehatan jika di informasikan tentang proses persalinannya dan organ reproduksinya sudah bisa bekerja dengan optimal yang sangat mendukung proses kelahiran ditambah lagi ada stimulasi puting susu yang dapat meningkatkan kontraksi uterus. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian kecil responden primigravida yang tidak mengalami peningkatan kontraksi uterus yaitu (9,1%), sedangkan responden multigravida mempunyai proporsi yang paling kecil yaitu (4,5%). Menurut Sarwono (2007) terdapat perbedaan mekanisme persalinan antara primigravida dengan multigravida. Kontraksi uterus pada multigravida lebih kuat daripada primigravida. Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron menyebabkan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofisis posterior, menimbulkan kontraksi yang kekuatannya menjadi dominan saat mulainya persalinan. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan setelah dilakukan stimulasi puting susu pada multigravida daripada primigravida karena pada multigravida sudah pernah mengalami persalinan masa lampau sehingga bagian ujung serviks semakin tipis serta effacement dan dilatasi terjadi bersamaan sedangkan pada primigravida effacement biasanya terjadi lebih dahulu daripada dilatasi sehingga kontraksi akan semakin meningkat setelah dilakukan stimulasi puting susu. Hubungan antara sebelum dilakukan RPS dan setelah dilakukan RPS. Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden yang mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu yaitu (86,3%) dan yang tidak mengalami peningkatan kontraksi uterus setelah dilakukan stimulasi puting susu yaitu (13,7%) sedangkan responden yang sebelum dilakukan stimulasi puting susu kontraksi uterusnya meningkat yaitu (45,5%) dan yang kontraksi uterusnya tidak meningkat sebelum dilakukan stimulasi puting susu yaitu (54,5%). Setelah dilakukan Uji Fisher Exact Probability Test didapatkan hasil 16
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
0,01<0,022<0,05 sehingga Ho ditolak H1 diterima yang berarti ada pengaruh rangsangan puting susu terhadap peningkatan kontraksi uterus pada kala II persalinan. Rangsangan yang diberikan pada puting susu bisa membantu proses kelahiran. Ibu dapat menggosok satu atau dua puting susu karena akan meningkatkan kontraksi uterus dengan rangsangan alamiah (Chapman, 2006 : 99). Puting susu ini disusun oleh urat- urat otot yang lembut dan merupakan sebuah jaringan tebal berupa urat saraf berada di ujungnya, rangsangan yang diberika n pada puting susu bisa membantu proses kelahiran. Stimulasi puting susu tersebut akan menyebabkan ereksi dan ujung saraf peraba yang terdapat pada puting susu akan terangsang kemudian merangsang hipotalamus untuk melepas oksitosin dari hipofisis posterior sehingga akan menyebabkan kontraksi uterus meningkat (Bobak, 2005 : 462). Berdasarkan Uji Fisher Exact Probability Test tersebut menunjukkan hasil Ho ditolak dan H1 diterima maka peneliti berpendapat bahwa ada hubungan rangsangan puting susu dengan peningkatan kontraksi uterus. Oleh karena itu untuk meningkatkan kontraksi uterus pada kala II persalinan salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan dilakukan rangsangan puting susu karena puting susu ini merupakan jaringan lembut yang sangat peka terhadap rangsangan perabaan karena di dalamnya terdapat saraf-saraf sensorik jika dilakukan stimulasi sehingga dapat melepaskan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofisis posterior kemudian merangsang peningkatan kontraksi uterus dan persalinan bisa berlangsung lebih cepat. F. PENUTUP Setiap masyarakat harus selalu tanggap terhadap informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Pada Setiap Pelayanan Kebidanan sebaiknya perlu diberikan konseling atau penyuluhan bagi ibu hamil, ibu bersalin maupun pasangan usia subur tentang upaya untuk meningkatkan kontraksi uterus dengan cara melakukan stimulasi puting susu. Diharapkan Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan tingkat kesempurnaan lebih baik agar hasil yang dicapai dapat lebih optimal. Setiap Pelayanan Kebidanan sebaiknya diberikan pendidikan pada ibu hamil saat ANC tentang upaya- upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kontraksi uterus pada kala II persalinan, sehingga dapat menurunkan angka kejadian persalinan dengan kontraksi yang lemah. DAFTAR PUSTAKA Baston, Helen, dkk. (2011). Midwifery Essentials Persalinan. Jakarta : EGC. Bobak, dkk. (2005). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Chapman, Vicky. (2008). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. Jakarta : EGC. Hidayat, A. Aziz. (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika. Kristiyansari, Weni. (2009). ASI, Menyusui dan Sadari. Yogyakarta : Nuha Medika. Lailiyana, dkk. (2011). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Jakarta : EGC. Leveno, Kenneth. (2004). Obstetri Williams. Jakarta : EGC. Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. (2010). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta : EGC. Notoatmojo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta : Jakarta. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
17
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Verrals, Sylvia. (2003). Anatomi dan Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan Edisi Tiga. Jakarta : EGC. Wiknjosastro, Gulardi, dkk. (2008). Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusui Dini. Jakarta : JNPK-KR. Wiknjosastro, Hanifa, dkk. (2007). Imu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
18
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
SIKAP LANJUT USIA TENTANG PERUBAHAN FISIOLOGIS DARI AKTIFITAS SEKSUAL DI DESA WONOKALANG WONOAYU SIDOARJO Priyantini.1 , Dwiharini P, S.Kep, Ns.2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit 1
ABSTRACT Aging Process (Aging) is a natural process that accompanied the decline of their physical, psychological and social interact with each other. One problem that often in the elderly complain about the changes of sexual activity. Therefore this study was conducted to determine attitudes about the elderly physiological changes of sexual activity. This reseach uses descriptive study design with a total population of 46 people aged 60-70 years old, the sample totaled 41 respondents using probability sampling technique type cluster random sampling, the instrument used a structured questionnaire through interviews. The variables in the elderly is the attitude about the precise physiological changes of sexual activity, after data analysis of data obtained using the formula T score. The results showed that more than 50% of respondents being negative towards the physiological changes of sexual activity were 21 as many respondents (51.2%). Negative attitudes of respondents toward the physiological changes of sexual actifity is because that according to their desires and their penggairahan of sexual actifity is still the same as when ayoung man, nothing has changed. It is expected that the elderly can comprehend and understand that in old age that there are some changes among the psyiological changes of sexual actifity that involved several steps that desire phase, the phase of araosol, orgasmic phase, post orgasmic phase. In order not to adversely affect both physically and psychologically from the elderly can make healthy sexual actifity, desired and can be enjoyed together. Keywords: Attitude, Advanced age, physiological changes, sexual activity. A. PENDAHULUAN Dengan semakin baiknya keadaan kesehatan masyarakat, maka penduduk kelompok usia lanjut semakin banyak di masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan yang terlihat dari Angka Harapan Hidup (AHH). Pada tahun 1971 usia lansia mencapai 46,6 tahun, sedangkan pada tahun 1999, angka harapan hidup tersebut meningkat sampai 67,5 tahun. Populasi lansia akan meningkat juga, yaitu pada tahun 1990, dengan jumlah penduduk usia 60 tahun ± 10 juta jiwa (5,5%) dari total populasi penduduk. Sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 3x menjadi ± 29 juta jiwa (11,4%) dari total populasi penduduk. Tentunya hal itu tercapai jika lansia mampu untuk menyesuaikan diri secara terus- menerus, dan apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka dapat timbul berbagai masalah (Lembaga demografi FE-UI-1993 dalam Efendy, 2007). Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Salah satu masalah yang kerap kali dikeluhkan lansia yaitu tentang perubahan aktifitas seksual. Seseorang yang mengalami kondisi kronis 19
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
akibat penyakit, depresi, rasa berkabung, atau perubahan gaya hidup, akan beresiko untuk tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya, hal itu dikemukakan oleh Depkes.RI (1992), dalam Arya (2009). Sikap orang lanjut usia terhadap seksualitas berbeda dengan sikap orang muda, dikatakan bahwa ada sebagian lansia yang mengharapkan hubungan intim berakhir dengan kepuasan seks di antara keduanya, meskipun potensi hubungan seks pada lansia tak lagi seperti saat mereka masih berusia muda. Namun, tak sedikit pula yang melakukan keintiman itu bukan semata- mata untuk kepuasan seks, tetapi lebih pada rasa saling memperhatikan, menyayangi dan juga lebih bertujuan membahagiakan pasangannya, bukan lagi mengarah pada kepentingannya sendiri (Anonim 2009). Menurut Marcoen (1990) dalam F.J (2006), penelitian mengenai seksualitas pada usia lanjut dapat dikatakan belum banyak dan sangat dangkal. Di Barat diketemukan bahwa sesudah usia 50 tahun frekuensi hubungan seks menurun baik pada laki- laki maupun pada wanita, meskipun pada laki- laki masih lebih aktif sepanjang hidup. Dalam F.J (2006), Wilson 1975 menemukan bahwa 25 % laki- laki usia 60 tahun ke atas dan 50 % wanita usia 60 tahun ke atas tidak lagi melakukan hubungan seksual. Dari kelompok laki- laki, 27 % melakukan hubungan seks sekali dalam sebulan, sedangkan pada kelompok wanita 12 %. Penurunan frekuensi yang drastis dalam hubungan seks ini diketemukan sekitar usia 75 tahun. Berkurangnya aktifitas seksual disaat usia lanjut, disebabkan adanya penurunan daya seksualitas. Di samping adanya perubahan fisik, faktor psikologis juga seringkali menyebabkan penurunan fungsi dan potensi seksual. Selain itu ada juga fak tor seks di usia lanjut karena adanya rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya. Pasangan hidup yang telah meninggal jaga bisa menjadi penyebab menurunnya aktifitas seksual dan disfungsi seksual, karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun (Ayudea, 2010). Dampak dari perubahan aktifitas seksual adalah lansia sering menahan diri untuk melakukan hubungan seksualnya pada usia tua atau menghindari perkawinan ulang, karena sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap hubungan seksual antara orang berusia lanjut dan keraguan terhadap kemampuan seksual mereka (Bandiyah 2008). Disamping itu juga bisa berupa kehampaan emosi dan bersikap negatif terhadap segala sesuatu yang bersifat seksual. Karena hubungan seksual yang sehat merupakan hubungan seksual yang dikehendaki, dapat dinikmati bersama dan tidak menimbulkan akibat buruk, baik fisik maupun psikis (Aswendoclya 2009). Dari hasil kunjungan awal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 02 November 2010 telah dilakukan wawancara tentang perubahan aktifitas seksual pada lansia, terhadap 6 orang lansia yang mempunyai pasangan berumur 60-70 tahun, didapati 4 orang dari 6 orang lansia di desa tersebut menyatakan sudah tidak pernah melakukan hubungan seksual dikarenakan sudah tua. Sedangkan 2 orang lansia menyatakan bahwa masih melakukan hubungan seksual meskipun tidak serutin waktu muda dulu. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan agar aktifitas seksual tidak menjadi masalah pada lansia antara lain memahami perubahan normal yang berhubungan dengan lansia, saling memberikan perhatian dengan pasangan, melakukan gaya hidup yang sehat, komunikasi, edukasi dan informasi tentang perilaku seksual di masyarakat. Selain itu juga melakukan pemeriksaan berkala dan menjalani sex therapy kepada pasutri lansia yang mengalami masalah (Aufalia, 2008). Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Sikap Lansia Tentang Perubahan fisiologis dari Aktifitas Seksual. 20
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Sikap. a. Definisi Sikap. Pada awalnya, istilah sikap atau attitude digunakan untuk menunjuk status mental individu. Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan respons ataupun perilaku yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004). Menurut Sunaryo (2004), beberapa ahli psikologi mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai pengertian dari sikap itu sendiri, antara lain: 1) Pendapat dari Notoatmodjo S. (1997), bahwasannya sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. 2) Menurut Walgito (2001), sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. 3) Sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap suatu objek atau situasi secara konsisten Ahmadi (1999). 4) Menurut Gerungan (1996), attitude diartikan dengan sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan objek tadi. 5) Sedangkan menurut Secord dan Backman (1964) sebagaimana dikemukakan oleh Saifuddin (1995) adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Dari uraian diatas, dalam bukunya, Sunaryo merumuskan bahwa yang dimaksud sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu. b. Struktur Sikap. Menurut Kothandapani dalam Sunaryo (2004), bahwa struktur sikap terdiri dari komponen kognitif (kepercayaan), komponen emosional (perasaan), dan komponen perilaku (tindakan). Mann menyebutkan bahwa isi dari komponen kognitif adalah persepsi, kepercayaan, dan stereotype (sesuatu yang sudah terpolakan) dari individu. Komponen kognitif sering disamaartikan dengan opini (pandangan), terutama yang menyangkut isu atau masalah yang kontroversial. Selanjutnya komponen afektif yang berisi perasaan individu terhadap objek dan menyangkut masalah emosi. Terakhir, isi dari komponen perilaku berisi kecenderungan untuk bertindak. Menurut Saifuddin (1995) dalam Sunaryo (2004), bahwa sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yang ketiganya saling menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. 1) Komponen Kognitif (Cognitive). Dapat disebut juga komponen perseptual, yang berisi kepercayaan individu. Kepercayaan tersebut berhubungan dengan hal-hal bagaimana individu mempersepsi terhadap objek sikap, dengan apa yang diilihat dan diketahui (pengetahuan), pandangan, keyakinan, pikiran, pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan informasi dari orang lain.
21
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Komponen Afektif (Komponen Emosional). Komponen ini menunjuk pada dimensi emosional subjektif individu, terhadap objek sikap, baik yang positif (rasa senang) maupun negatif (rasa tidak senang). Rasa emosional banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang benar terhadap objek sikap tersebut. 3) Komponen Konatif. Disebut juga komponen perilaku, yaitu komponen sikap yang berkaitan dengan predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya. Menurut Allport (1945), sebagaimana dijelaskan oleh Notoatmodjo (1997) dalam Sunaryo (2004), bahwa struktur sikap terdiri dari 3 pokok, yaitu: 1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2) Kehidupan emosional atau evaluasi individu terhadap suatu objek sikap. 3) Predisposisi atau kesiapan/kecenderungan individu untuk bertindak (tend to behave). Ketiganya membuat total attitude. Dalam hal ini yang menjadi deter minan sikap adalah penegetahuan, berpikir, keyakinan, dan emosi. Tingkatan Sikap. Menurut Saifuddin (2007), menguraikan beberapa tingkatan sikap diantaranya : 1) Menerima (receiving). Menerima, diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap suatu hal dapat dilihat dari kesadaran dan perbuatan terhadap ceramah-ceramah. 2) Merespons (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, karena dengan mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar dan salah adalah berarti orang menerima ide tersebut. 3) Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah. Adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, mialnya : seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke Posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. 4) Bertanggung Jawab (Responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah menunjukkan sikap yang paling tinggi, misalnya : seorang ibu mau menjadi aseptor KB, meskipun mendapatkan tentangan dari mertua atau orang tuanya sendiri. Sikap mungkin terarah pada benda, orang, tetapi juga peristiwa, pandangan, lembaga norma, dan nilai. Determinan Sikap. Menurut Walgito (2001) dalam Sunaryo (2004), ada 4 hal penting yang menjadi determinan (faktor penentu) sikap individu, yaitu: 1) Faktor Fisiologis. Faktor yang penting adalah umur dan kesehatan, yang menentukan sikap individu. 2) Faktor Pengalaman Langsung Terhadap Objek Sikap. Pengalaman langsung yang dialami individu terhadap objek sikap, berpengaruh terhadap sikap individu terhadap objek sikap tersebut. 3) Faktor Kerangka Acuan. Kerangka acuan yang tidak sesuai dengan objek sikap, akan menimbulkan sikap yang negatif terhadap objek sikap tersebut
22
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
4) Faktor Komunikasi Sosial. Informasi yang diterima individu akan dapat menyebabkan perubahan sikap pada diri individu tersebut. Ciri-Ciri Sikap. Ciri- ciri sikap sebagaimana dikemukakan beberapa ahli, seperti Gerungan (1996), Ahmadi ( 1999), Sarwono (2000), Walgito (2001) dalam Sunaryo (2004), pada intinya sama, yaitu : 1) Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari (learnability) dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu dalam hubungan dengan objek. 2) Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu sehingga dapat dipelajari. 3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhungan dengan objek sikap. 4) Sikap dapat tertuju pada satu objek ataupun dapat tertuju pada sekumpulan/banyak objek. 5) Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar. 6) Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi sehingga membedakan dengan pengetahuan. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Pengubahan Sikap. Sebagaimana diketahui bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman individu sepanjang perkembangan selama hidupnya. Pada manusia sebagai makhluk sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari pengaruh interaksi manusia satu dengan yang lain (eksternal). Disamping itu, manusia juga sebagai makhluk individual sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal), juga mempengaruhi pembentukan sikap Sunaryo (2004). 1) Faktor internal. Faktor ini berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini individu menerima, mengolah, dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar, serta menentukan mana yang akan diterima dan mana yang tidak. Hal- hal yang diterima atau tidak berkaiatan erat dengan apa yang ada dalam diri individu. Oleh karena itu, faktor individu merupakan faktor penentu pembentukan sikap, diantaranya : a) Faktor Fisiologis. (1) Umur. Menurut Hurlock (1998) yang dikutip Nursalam dan Pariani (2001), bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Notoatmodjo (2005) berpendapat bahwa semakin cukup usia seseorang, maka semakin baik cara mengekspresikan atau menggapai masalah, jadi semakin matang usia seseorang, maka dalam memahami sesuatu masalah akan lebih mudah. (2) Kesehatan. Orang yang menderita sakit memiliki sikap lebih sensitif dibandingkan orang sehat. Perawatan fisik da n kesehatan secara rutin akan sangat menunjang kemampuan seseorang dalam menanggapi sesuatu masalah. b) Faktor Psikologis. (1) Minat. Minat adalah variabel penting yang berpengaruh terhadap tercapainya prestasi atau cita–cita yang diharapkan, seperti yang dikemukakan Effendi (1995) bahwa belajar dengan minat akan lebih baik dari pada belajar tanpa minat.
23
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
(2) Perhatian. Menurut Santoso (2001), Perhatian adalah sebuah hubungan mental antara seseorang dengan sebuah barang atau informasi yang memasuki kesadaran dan membuat orang tersebut memutuskan untuk bertindak akan sesuatu atau tidak. (3) Motif. Menurut Adi (1994) dalam Uno (2008), motif dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat diinterprestasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. 2) Faktor eksternal. Faktor ini berasal dari luar individu, berupa stimulus untuk membentuk dan merubah sikap. Stimulus tersebut dapat bersifat langsung, misalnya individu dengan individu, individu dengan kelompok. Dapat juga bersifat tidak langsung, yaitu melalui perantara, seperti alat komunikasi dan media masa baik elektronik maupun nonelektronik. a) Informasi Dan Komunikasi. Menurut Azwar (2005), adanya informasi baru mengenai suatu hal member landasan kognitif baru. Pesan–pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat akan member dasar afektif dalam menilai suatu hal. b) Lingkungan Sekitar Individu. Lingkungan menyangkut segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik fisik, biologis, maupun sosial. Menurut Soetjiningsih (2000), lingkungan merupakan faktor biologis, fisik, dan sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya. c) Pendidikan. Menurut Sunaryo (2004), secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan linkungannya, baik secara formal maupun informal. d) Pengalaman Yang Diperoleh Individu. Pengalaman mempersiapkan seseorang untuk mencari orang-orang, hal- hal dan gejala–gejala yang mungkin serupa dengan pengalaman pribadinya. e) Situasi Yang Dihadapi Individu. Hal ini berupa kondisi yang sehari-hari dihadapi oleh individu dalam waktu yang berbeda-beda. f) Norma Dalam Masyarakat. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek ―seharusnya‖ atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang haru dilakukanAnon (2008). g) Hambatan. Menurut Uny (2007), hambatan adalah sebuah tantangan untuk mencari sebuah peluang menuju kesuksesan, dan merupakan sesuatu yang tidak menyerang, tapi mempengaruhi pencapaian tujuan. Pengukuran Sikap. Menurut Sunaryo (2004), secara garis besar, pengukuran sikap dibedakan menjadi dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. 1) Secara Langsung. Dengan cara ini, subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya. Jenis pengukuran sikap secara langsung, yaitu: a) Langsung berstruktur . Cara ini mengukur sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu
24
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
alat yang telah ditentukan dan langsung diberikan kepada subjek yang diteliti. (1) Pengukuran sikap dengan skala Bogardus-Menyusun pernyataan berdasarkan jarak sosial. Seseorang dari sesuatu golongan dihadapkan pada sesuatu golongan tertentu, bagaimana sikapnya terhadap golongan tersebut. (2) Pengukuran sikap dengan skala Thurston-Mengukur sikap juga menggunakan metode Equal-Appearing Intervals. Skala yang telah disusun sedemikian rupa sehingga merupakan range dari yang menyenangkan (favorable) sampai tidak menyenangkan (unfavorable). Nilai skala bergerak dari 0,0 merupakan ekstrem bawah sampai dengan 11,0 sebagai ekstrem atas. (3) Pengukuran sikap dengan skala Likert-Dikenal dengan teknik Summated Ratings. Responden diberikan pernyataan-pernyataan dengan kategori jawaban sebagai berikut. Tabel 7. Skala Like rt Pernyataan Positif Sangat Setuju Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Pernyataan Negatif Sangat Setuju Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Nilai 4 3 2 1 0 Nilai 0 1 2 3 4
(SS) (S) (E) (TS) (STS) (SS) (S) (E) (TS) (STS)
Sumber : Hidayat, A.A (2007) Menurut Azwar (2005), pernyataan–pernyataan positif yaitu berisikan hal –hal yang positif mengenai objek sikap atau dengan kata lain kalimat-kalimatnya bersikap mendukung dan memihak pada objek sikap. Sedangkan pernyataan negatif, yaitu bersifat tidak mendukung atau kontra terhadap objek sikap. Jumlah pernyataan positif dan negatif diusahakan seimbang. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada kesan seakan–akan isi skala yang bersangkutan seluruhnya memihak atau sebaliknya, tidak memihak objek sikap. Menurut Azwar (2005), penghitungan nilai sikap dapat dilakukan dengan rumus berikut : x- x Skor T = 50 + 10 s
]
Keterangan : x = skor yang didapat responden x = mean skor s = deviasi standar skor kelompok
25
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Untuk mengelompokkan sikap responden termasuk dalam sikap positif atau negatif tidak cukup hanya dengan mengetahui skor-T saja. Harus diketahui juga Mean T, yaitu dengan mengetahui jumlah skor-T kelompok kemudian dibagi dengan jumlah responden (n). Dan cara untuk menginterprestasikan skor adalah sebagai berikut : (1) Jika skor T responden > Mean T, maka sikap = positif. (2) Jika skor T responden ≤ Mean T, maka sikap = negatif. b) Langsung tak berstruktur. Cara ini merupakan pengukuran sikap yang sederhana dan tidak diperlukan persiapan yang cukup mendalam, misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas atau free interview, pengamatan langsung atau survei. 2) Secara Tidak langsung. Cara pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Umumnya digunakan skala semantik-diferensial yang terstandar. Cara pengukuran sikap yang banyak digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh Charles E. Osgood. Konsep Dasar Lansia. a. Pengertian. Proses menua (aging) adalah prose salami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.Arya (2008). Definisi orang berusia lanjut (tua, pria, wanita), bisa jadi merujuk pada seseorang yang usianya sangat tua, kalau berjalan sudah tidak tegak lagi hingga memerlukan bantuan tongkat. Rambutnya sudah memutih atau beruban. Usianya bisa 60 tahun atau lebih. Secara fisik, dia sudah tidak kuat mengangkat beban yang berat, susah berlari, jalan pun sebentar-sebentar istirahat.Mangoenprasodjo (2005). Dari beberapa uraian tersebut diatas, ―Menua itu sendiri adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan- lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri untuk mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita‖. b. Teori- Teori Proses Menua. Menurut Stanley (2007), teori- teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan psikososial. Penelitian yang terlibat dengan jalur biologi telah memusatkan perhatian pada indikator yang dapat dilihat dengan jelas pada proses penuaan, banyak pada tingkat seluler, sedangkan pada ahli psikososial mencoba untuk menjelaskan bagaimana proses tersebut dipandang dalam kaitan dengan kepribadian dan perilaku. 1) Teori Biologis. Teori biologi mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Seiring dengan berkembangnya kemampuan kita untuk menyelidiki kompone n-komponen yang kecil dan sangat kecil, suatu pemahaman tentang hubungan hal- hal 26
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
yang mempengaruhi penuaan ataupun tentang penyebab penuaan yang sebelumnya tidak diketahui, sekarang telah mengalami peningkatan. Walaupun bukan merupakan suatu definisi penuaan, tetapi lima karakteristik penuaan telah dapat diidentifikasi oleh para ahli (gambar 2). Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur panjang, perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler. Suatu pemahaman tentang perspektif biologi dapat memberikan pengetahuan tentang faktor resiko spesifik dihubungkan dengan penuaan dan bagaimana orang dapat dibantu untuk meminimalkan atau menghindari resiko dan memaksimalkan kesehatan. a) Teori Genetika. Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain, per ubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan sebelumnya. Toeri genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen. Teori-teori ini menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA menjadi saling bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain sehingga mengubah informasi genetik. Adanya crosslink ini mengakibatkan kesalahan pada tingkat seluler yang akhirnya menyebabkan sistem dan organ tubuh gagal untuk berfungsi. Bukti yang mendukung teori- teori ini termasuk perkembangan radikal bebas, kolagen, dan lipofusin. Selain itu, peningkatan frekuensi kanker dan penyakit autoimun yang dihubungkan dengan bertambahnya umur menyatakan bahwa mutasi atau kesalahan terjadi pada tingkat molekular dan seluler. b) Teori Wear-And-Tear. Teori Wear-And-Tear (Dipakai dan Rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekuler dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Radikal bebas adalah contoh dari produk sampah metabolisme yang menyebabkan kerusakan ketika akumulasi terjadi. Radikal bebas adalah molekul atau atom dengan suatu elektron yang tidak berpasangan. Ini merupakan jenis yang sangat reaktif yang dihasilkan dari reaksi selama metabolisme. Radikal bebas dengan cepat dihancurkan dengan sistem enzim pelindung pada kondisi normal. Beberapa radikal bebas berhasil lolos dari proses perusakan ini dan berakumulasi di dalam struktur biologis yang penting, saat itulah kerusakan organ terjadi. Karena laju metabolisme terkait secara langsung pada pembentukan radikal bebas, sehingga ilmuwan memilki hipotesis bahwa tingkat kecepatan produksi radikal bebas berhubungan dengan penentuan waktu rentang hidup.
27
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
c)
Riwayat Lingkungan. Menurut teori ini, faktor- faktor didalam lingkungan (misalnya karsinogen di dalam industri, cahaya matahari, trauma, dan infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktorfaktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan. d) Teori Imunitas. Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respon autoimun tubuh. Ketika orang mengalami penuaan, mereka mungkin mengalami penyakit autoimun seperti arthritis rheumatoid dan alergi terhadap makanan dan faktor lingkungan yang lain. Penganjur teori ini sering memusatkan pada kelenjar timus. Berat dan ukuran kelenjar timus menyusut seiring dengan bertambahnya umur, seperti halnya kemampuan tubuh untuk diferensiasi sel T. karena hilangnya proses diferensiasi sel T, tubuh salah mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing dan menyerangnya. Selain itu, tubuh kehilangan kemampuannya untuk meningkatkan responsnya terhadap sel asing, terutama bila menghadapi infeksi. e) Teori Neuroendokrin. Pada teori ini, para ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses dan bereaksi terhadap perintah. Dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respon ini kadang-kadang diinterprestasikan sebagai tindakan melawan, ketulian, atau kurangnya pengetahuan. Pada umumnya, sebenarnya yang terjadi bukan satupun dari hal- hal tersebut, tetapi orang lanjut usia sering dibuat untuk merasa seolah-olah mereka tidak kooperatif atau tidak patuh. 2) Teori Psikososiologis Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi pada kerusakan anatomis. Contoh dari teori-teori ini antara lain : a) Teori Kepribadian. Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur dalam tahun-tahun akhir kehidupannya dan telah merangsang penelitian yang pantas dipertimbangkan. Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Jung dalam Stanley (2007), mengembangkan suatu teori pengembangan kepribadian sebagai ekstrovert atau introvert. Ia berteori bahwa keseimbangan antara dua hal tersebut adalah penting bagi kesehatan. Dengan menurunnya tanggung jawab dan tuntutan dari keluarga dan ikatan 28
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
sosial, yang sering terjadi di kalangan lansia, Jung percaya bahwa orang akan menjadi lebih introvert. Didalam konsep inteoritas dari Jung, separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan memiliki tujuannya sendiri, yaitu untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri melalui aktifitas yang dapat merefleksikan dirinya sendiri. Jung melihat tahap akhir kehidupan sebagai waktu ketika orang mengambil suatu inventaris dari hidup mereka, suatu waktu untuk lebih melihat ke belakang dari pada melihat ke depan. Selama proses refleksi ini, lansia harus menghadapi kenyataan hidupnya secara retrospektif. Lansia sering menemukan bahwa hidup telah memberikan satu rangkaian pilihan yang sekali dipilih, akan membawa orang tersebut pada suatu arah yang tidak bisa diubah. Walaupun penyesalan terhadap berbagai aspek kehidupan yang sering terjadi, tetapi banyak lansia menyatakan suatu perasaan kepuasan dengan apa yang telah mereka penuhi. b) Teori Tugas Perkembangan. Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam kehidupannya untuk mencapai penuaan yang sukses. Erickson dalam Stanley (2007), menguraikan tugas utama lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas. Pada kondisi tidak adanya pencapaian bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa. c) Teori Disangagement. Teori disangagement (teori pemutusan hubungan), menggambarkan proses penarikan oleh lansia dari pera bermasyarakat dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini, proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan akan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda. Manfaat pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar ia dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya dan untuk menghadapi harapan yang tidak terpenuhi, sedangkan manfaatnya bagi masyarakat adalah dalam rangka memindahkan kekuasaan generasi tua kepada generasi muda. d) Teori Aktifitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan yang menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Havighurst dalam Stanley (2007), yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat untuk lansia pada tahun 1952. Sejak saat itu, berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Gagasan pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia. 29
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
e)
c.
Teori Kontinuitas. Teori kontinuitas juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan. Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun usianya telah lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas pada saat orang tersebut bertambah tua. Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan. Menurut Sri Surini (2003), penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Perlu hati- hati dalm mengidentifikasi penuaan. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging). Penuaan itu sesuai dengan kronologis usia (penuaan primer), dipengaruhi oleh faktor endogen, perubahan dimulai dari sel jaringan organ sistem pada tubuh. Bila penuaan banyak dipengaruh oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya, gaya hidup disebut penuaan sekunder. Penuaan itu tidak sesuai dengan kronologis usia dan patologis. Faktor eksogen juga dapat mempengaruhi faktor endogen sehingga dikenal dengan faktor resiko. Faktor resiko tersebut yang menyebabkan terjadinya penuaan patologis (pathological aging). Penuaan sekunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh trauma atau penyakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degenaratif yang timbul karena stress yang dialami oleh individu. Stress itu dapat mempercepat proses penuaan dalam waktu tertentu. Degenerasi akan bertambah apabila terjadi penyakit fisik yang berinteraksi dengan lansia. Penuaan Primer Sel Jaringan
Faktor Endogen Organ Sistem Penuaan Sehat
Lingkungan Penuaan Sekunder
Gaya Hidup Faktor Eksogen
Gambar 2. Proses Penuaan Sehat Dengan Faktor Yang Mempengaruhi. Sumber : Pudjiastuti, S.S, 2003 d.
Batasan-Batasan Lanjut Usia. Batasan-batasan lanjut usia menurut beberapa ahli yang dikutip dari Nugroho (2000). 1) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Lanjut usia meliputi: a) Usia Pertengahan (Middle Age) adalah kelompok usia 45-59 tahun. b) Usia lanjut (Elderly) = antara 60-70 tahun. c) Usia lanjut tua (Old) = antara 75-90 tahun. d) Usia sangat tua (Very Old) = diatas 90 tahun. 2) Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad. Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad (Alm.) Guru Besar Universitas Gajah Mada pada Fakultas Kedokteran, membagi periodesasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut: 30
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
a) 0-1 tahun = masa bayi b) 1-6 tahun = masa pra sekolah c) 6-10 tahun = masa sekolah d) 10-20 tahun = masa pubertas e) 20-40 tahun = masa dewasa f) 40-65 tahun = masa setengah umur (Prasenium) g) 65 tahun ke atas = masa lanjut usia (Senium) 3) Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog Dari UI). Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian: a) Fase iuventus, antara 25 sampai 40 tahun. b) Fase vertilitas, antara 40 sampai 50 tahun. c) Fase prasenium, antara 55 sampai 65 tahun. d) Fase senium, 65 tahun hingga tutup usia. 4) Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro. Pengelompokan lanjut usia sebagai berikut: a) Usia dewasa muda (Elderly Adulhood), 18 atau 29-25 tahun. b) Usia dewasa penuh (Middle Years) atau maturitas, 25-60 tahun atau 65 tahun. c) Lanjut usia (Geriatric Age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun. (1) 70-75 tahun (young old). (2) 75-80 tahun (old). (3) Lebih dari 80 (very old). 5) Menurut UU No. 13/Th.1998, Bab 1 Pasal 1 Ayat 2, tentang kesejahteraan lanjut usia, yang berbunyi: bahwa lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Birren and Jenner (1997) dalam Nugroho (2000), membedakan usia menjadi tiga, antara lain : 1) Usia biologis. Yang menunjuk kepada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada dalam keadaan hidup tidak mati. 2) Usia psikologis. Yang menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya. 3) Usia sosial. Yang menunjuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang sebungan dengan usianya. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia. 1) Perubahan-perubahan fisik Dalam Pudjiastuti (2003), bahwasannya pada penuaan, perubahan fisiologis mengenai sistem muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskular-respirasi, indra, dan integument. 2) Perubahan Mental. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental: a) Perubahan fisik, khususnya organ perasa. b) Kesehatan umum. c) Tingkat pendidikan. d) Keturunan (Hereditas). e) Lingkungan. Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mengkin karena faktor lain seperti penyakit-penyakit. a) Kenangan (Memory) 31
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
(1) Kenangan jangka panjang. Berjam-jam sampai berhari- hari yang lalu mencakup berbagai perubahan. (2) Kenangan jangka pendek atau seketika. 0-10 menit, kenangan buruk. b) I.Q. (Intellgentia Quantion) (1) Tidak berubah dengan informasi matematik dan perkataan verbal. (2) Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor; terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanantekanan dari faktor waktu. 3) Perubahan psikososial a) Pensiun: Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun (Purna Tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain: (1) Kehilangan finansial (income berkurang). (2) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya). (3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi. (4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan. b) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality) c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit. d) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation). Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, mengakibatkan bertambahnya biaya pengobatan. e) Penyakit kronis dan ketidakmampuan. f) Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian. g) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan. h) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan temanteman dan keluarga. i) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. Konsep Dasar Seksualitas. a. Pengertian seksualitas. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis. Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks. Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat. Admin (2009). b. Perubahan seksual pada lansia.
32
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Menurut Sijabat (2008) masa berhentinya reproduksi (klimakterik) pada pria datang belakangan dibanding masa menopause pada wanita, dan memerlukan masa yang lebih lama. Pada umumnya ada penurunan potensi seksual selama enam puluhan, kemudian berlanjut sesuai dengan bertambahnya usia. Seperti masa menopause, masa klimakterik disertai menurunnya fungsi gonadal karena gonadal adalah yang bertanggung jawab terhadap berbagai perubahan yang terjadi selama masa klimakterik. Klimakterik pada pria mempunyai dua efek umum, antara lain : 1) Terjadi penurunan atau penyusutan ciri-ciri seks sekunder. Misalnya perubahan suara, titik nada suara tinggi, rambut pada bagian wajah dan badan menjadi berkurang keindahannya dan kekerasan otot secara umum menurun menjadi lembek. Secara umum orang berusia lanjut berkurang vitalitasnya, dibanding pada masa sebelumnya. Begitu juga wanita berkurang keluwesannya setelah masa menopause terjadi. 2) Klimakterik pada pria mempengaruhi fungsi seksual. Walaupun potensi seksual telah berkurang tetapi tidak berarti bahwa keinginan seksua lnya menurun. Terdapat bukti bahwa pengaruh budaya terhadap menurun atau meningkatnya kemampuan dan keinginan untuk melakukan hubungan seksual lebih besar dibanding perubahan fisik. Pengaruh kebudayaan terhadap seseorang atau masyarakat menimbulkan kecemasan yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seksual pria maupun wanita. Pria dan wanita sering menahan diri untuk melakukan hubungan seksualnya pada usia tua dan menghindari perkawinan ulang, karena sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap hubungan seksual antara orang berusia lanjut dan keraguan terhadap kemampuan seksual mereka. Untuk menghindari gangguan terhadap rasa bangga akan kepuasan seksual terutama pria, menahan diri untuk melakukan kegiatan seksual ketika mereka bertambah tua. Kekuatan terhadap keinginan seksual pada usia lanjut sangat tergantung pada kesehatan seseorang secara umum dan cara penyesuaian seksual yang dilakukan pada awal masa kehidupan. Bagi mereka yang penyesuaian seksualnya dimasa remaja buruk, terbukti akan lebih cepat kehilangan kemampuan seksual dibanding mereka melakukan penyesuaian dengan baik. Perbedaan pola seksual antara pria dan wanita. Menurut Bandiyah (2009) perbedaan pola seksual antara pria dan wanita adalah sebagai berikut : 1) Pria. Pada usia 40 tahun, kaum pria pada umumnya mulai mengalami penurunan dalam hal respon psikologi, gairah dan fungsi seksual. Pada usia 50-an, penurunan secara bertahap akan terus berlangsung. Meskipun ada banyak variasi, pada usia ini kapasitas kaum pria untuk aktif dalam hal seks pada umumnya hanya tinggal separuh bila dibandingkan dengan kapasitas mereka ketika berusia akhir belasan atau awal dua puluhan dimana kapasitas mereka berada di puncak. Pada usia akhir 40-an, dorongan seksual akan menurun, ereksi kurang sering terjadi dan semakin sulit untuk bisa bertahan lama, ejakulasi kurang kuat dan masa refraktori semakin lama. Setelah usia 40, banyak kaum pria mulai mengalami ketidakmampuan untuk mencapai ereksi secara periodik dan frekuensi ketidakmampuan ini akan semakin meningkat seiring berjalannya waktu dan menjadi hal yang biasa pada usia 60an. Namun demikian, mekipun perubahan ini terlihat jelas pada pria 33
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
berusia 60-an, kenikmatan yang mereka rasakan karena seks tidak terpengaruh secara signifikan. 2) Wanita. Saat memasuki menopause, wanita dilanda rasa takut karena berhentinya masa subur. Mereka kurang percaya diri dalam berhubungan seks. wanita yang mengalami menopause biasanya mengalami perubahan hormonal dalam tubuhnya. Artinya, kadar hormon dalam tubuhnya menurun. Akibatnya, si wanita menjadi kering kulitnya dan mudah keriput. Selain itu, vagina juga cenderung kering. Menopause adalah kekurangan hormon estrogen. Dan itu kaitannya dengan haid serta berkurangnya produksi cairan yang berfungsi sebagai pelumas saat berhubung. Dalam berhubungan seks dibutuhkan pelumas agar vagina tidak kering. Jika kering, yang terjadi adalah rasa sakit. Salah satu solusinya adalah menggunakan bahan cairan pelumas semacam jeli, berbahan dasar air yang banyak di jual di apotek. Wanita menopause, hasrat seksual menjadi meningkat dan bisa dilakukan kapan saja tanpa terhalang menstruasi. Pembagian tahapan seksual menurut Kaplan. Menurut Montessori (2009) Perubahan fisiologik yang terjadi pada aktifitas seksual pada usia lanjut biasanya berlangsung seca ra bertahap dan menunjukkan status dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya. Untuk suatu pasangan suami istri,bila semasa usia dewasa dan pertengahan aktivitas seksual mereka normal, akan kecil sekali kemungkinan mereka akan mendapatkan masalah dalam hubungan seksualnya. Kaplan membagi siklus tahapan seksual dalam beberapa tahap, yaitu fase desire (hasrat) dimana organ targetnya adalah otak. Fase kedua atau fase arousal (penggairahan) dengan organ targetnya adalah sistem vaskuler dan fase ketiga atau fase orgasmik dengan organ target medula spinalis dan otot dasar perinium yang berkontraksi selama orgasme. Tabel 8. Perubahan Fisiologi Dari Aktivitas Seksual Yang Diakibatkan Oleh Proses Menua Menurut Kaplan. Fase Tahapan Pada Wanita Lansia Pada Pria Lansia Seksual Fase Desire Terutama dipengaruhi oleh Interval untuk penyakit baik dirinya meningkatkan hasrat sendiri atau pasangan, melakukan kontak seksual masalah hubungan antar meningkat;hasrat sangat keduanya, harapan kultural dipengaruhi oleh penyakit; dan hal- hal tentang harga kecemasan akan diri. Desire pada lansia kemampuan seks dan wanita mungkin menurun masalah hubungan antara dengan makin lanjutnya pasangan. Mulai usia 55 usia, tetapi hal ini bisa tahun testosteron menurun bervariasi. bertahap yang akan mempengaruhi libido.
34
HOSPITAL MAJAPAHIT Fase Tahapan Seksual Fase arousal
Fase orgasmik (fase muskular)
Fase pasca orgasmik
e.
f.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012 Pada Wanita Lansia
Pada Pria Lansia
Pembesaran payudara berkurang, semburat panas dikulit menurun; elastisitas dinding vagina menurun; iritasi uretra dan kandung kemih meningkat;otot-otot yang menegang pada fase ini menurun.
Membutuhkan waktu lebih lama untuk ereksi; ereksi kurang begitu kuat; testosteron menurun; produksi sperma menurun bertahap mulai usia 40 th; elevasi testis ke perinium lebih lambat dan sedikit; penguasaan atas ejakulasi biasanya membaik. Kemampuan mengontrol ejakulasi membaik; kekuatan kontraksi otot dirasakan berkurang; jumlah kontraksi menurun; volume ejakulat menurun.
Tanggapan orgasmik mungkin kurang intens disertai sedikit kontraksi; kemampuan untuk mendapatkan orgasme multipel berkurang dengan makin lanjutnya usia. Mungkin terdapat periode refrakter, dimana pembangkitan gairah secara segera lebih sukar.
Periode refrakter memanjang secara fisiologis, dimana ereksi dan orgasme berikutnya lebih sukar terjadi.
Faktor psikologi penyebab penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia. Faktor psikologi juga sering kali menyebabkan penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia seperti : 1) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. 2) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya. 3) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya. 4) Pasangan hidup telah meninggal. 5) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb. Smallcrab (2008). Penatalaksanaan Masalah Seksual pada usia lanjut. Sikap hubungan seksual yang dapat meingkatkan partisipasi seksual pada lansia adalah sebagai berikut: 1) Memahami perubahan normal yang berhubugan dengan lansia. 2) Meningkatkan pada masalah non-seksual sama baiknya dengan komunikasi seksual. 3) Menikmati setiap kejadian, dan kurangi ketakutan. 4) Saling memberikan perhatian, dapat memberikan kenikmatan hubungan seksual pada lansia pria maupun wanita. 5) Lakukan pelukan, ciuman, usapan, rayuan, dan canda. 6) Lakukan gaya hidup yang sehat, yaitu cukup istirahat, olahraga secukupnya, jangan merokok, serta jangan makan dan minum berlebihan.
35
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
7) Ciptakan suasana yang romantis (lampu, pakaian, bunga, lokasi, mus ik, perjalanan, dan pujian) 8) Perhatikan kebersihan diri (mandi, mencukur rambut, kuku, kumis, dll) dan penampilan diri agar pasangan tertarik. (Aufalia, 2008). C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian, Variabel Dan Definisi Operasional. Jenis desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Pada penelitian ini, peneliti akan menggambarkan mengenai Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo. Dalam penelitian ini terdapat satu variabel, yaitu variabel independen (bebas) adalah sikap lansia tentang perubahan fisiologis dari aktifitas seksual. Lansia Proses menua Faktor yang mempengaruhi perubahan seksual lansia: 1. Rasa tabu atau malu 2. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang 3. Kelelahan atau kebosanan 4. Pasangan hidup telah meninggal 5. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal 6. Masalah kesehatan jiwa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Dan Pengubahan Sikap : 1. Faktor Internal 2. Faktor Eksternal Determinan sikap : 1. Faktor fisiologis 2. Faktor pengalaman langsung dengan objek sikap 3. Faktor komunikasi sosial 4. Faktor kerangka acuan
(aging process)dari aktivitas Perubahan fisiologi seksual : 1. Fase desire 2. Fase arousal 3. Fase orgasmik (fase muskular) 4. Fase pasca orgasmik
Sikap : 1. Menerima 2. Merespon 3. Menghargai 4. Bertanggung Jawab
Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 3. Kerangka Konseptual Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual. 36
HOSPITAL MAJAPAHIT Tabel 9.
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Definisi Ope rasional Sikap Lansia Tentang Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual.
Variabel
Definisi Operasional
Sikap lansia tentang perubahan fisiologis dari aktifitas seksual
Reaksi atau respon yang masih tertutup dari orang yang berusia lebih dari 60 tahun, yang dapat diartikan bahwa orang ( subyek ) mau dan memperhatikan stimulus yang di berikan obyek terhadap perubahan fisiologik yang terjadi pada aktifitas seksual pada lansia biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status dasar dari aspek vascular, hormonal dan neurologiknya, dengan parameter : 1. Fase desire 2. Fase aurosol 3. Fase orgasmik 4. Fase pasca orgasmik
Krite ria
Skala
T > 50 = Positif Nominal T < 50 = Negatif (Azwar, 2005)
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Pada penelitian ini, populasinya adalah semua lansia yang tinggal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo yang berjumlah 46 orang. Sampel yang digunakan adalah lansia yang tinggal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo yang memenuhi kriteria inklusi. a. Kriteria inklusi 1) Lansia yang berusia antara 60 – 70 tahun (Elderly). 2) Lansia yang mempunyai pasangan. b. Kriteria eksklusi. 1) Lansia yang tuna wicara dan tuna rungu. 2) Lansia yang mengalami gangguan jiwa. 3) Lansia yang tidak berada ditempat saat dilakukan penelitian. 4) Lansia yang sakit. Penentuan besar sampling dengan menggunakan rumus : n= N . 1 + N ( d² ) Keterangan : n = Besar sampel N = Besar populasi D = Tingkat signifikan α = 0,05 (derajat kebebasan) (Nursalam, 2008) Sehinga diperoleh jumlah 41 responden yang akan diteliti, dan untuk menentukan besar sampel tiap RW maka dimasukkan dalam persemaan sebagai berikut : ni = Ni n N Keterangan : ni = Ukuran sampel pada strata ke I N = Ukuran populasi n = Ukuran sampel keseluruhan (Sumantri, 2006) 37
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Dari populasi : RW I terdiri atas
: 12 x 41 = 11 46 RW II terdiri atas : 16 x 41 = 14 46 RW III terdiri atas : 18 x 41 = 16 46 Penelitian ini menggunakan probability sampling tipe cluster random sampling, yaitu teknik yang digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui dengan pasti, sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat kerangka samplingnya, dan keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster yang berbeda-beda. Teknik dan langkah pengambilan sampel : a. Mendata semua lansia yang tinggal di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo. b. Lansia yang sudah di data dipilih sesuai dengan kriteria inklusi. c. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diambil secara acak untuk menjadi sampel terpilih. Dari jumlah populasi yang ada di Desa Wonokalang Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo (heterogen), akan disaring kembali menurut kriteria inklusi sehingga didapatkan sub populasi (homogen). Dari sub populasi tersebut, kemudian diambil sampel untuk mewakili populasi dalam penelitian, yaitu dengan cara cluster random sampling. Pengambilan sampel ini bisa berupa pencatatan nama-nama lansia ditiap-tiap RW yang termasuk sub populasi pada secarik kertas, kemudian diletakkkan pada kotak, diaduk dan diambil secara acak pada masing- masing RW, sampai tercapai jumlah sampel yang dikehendaki oleh peneliti. Penelitian dilaksanakan di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14 – 20 Februari 2011. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner melalui teknik wawancara terstruktur (structured). Dilakukan wawancara tertutup, di dalam ruang terpisah dari pasangannya. Instrumen ini dipakai oleh peneliti karena subjek dalam penelitian ini adalah orang lanjut usia. Pada jenis pengukuran kuesioner ini, peneliti mengumpulkan data secara formal, melalui subjek yang diberi pertanyaan yang akan dijawab secara terstruktur. Jadi, pertanyaan diajukan secara langsung kepada subjek atau disampaikan secara lisan oleh peneliti dari pertanyaan yang sudah tertulis. Instrumen belum dilakukan uji validitas dan reabilitas sehingga hasilnya belum bisa di generalisasikan. Untuk pengukuran sikap, peneliti memakai Skala Likert (Hidayat, 2007), yaitu dengan kategori jawaban sebagai berikut: Pernyataan Positif Sangat Setuju Setuju Ragu - Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Nilai 4 3 2 1 0
Pernyataan Negatif Sangat setuju Setuju Ragu - Ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
38
Nilai 0 1 2 3 4
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Penghitungan nilai sikap dilakukan dengan rumus menurut Azwar (2005) : Skor T = 50 + 10
x- x s
]
Keterangan : x = skor yang didapat responden x = mean skor s = deviasi standar skor kelompok Dari skala tersebut dapat dirumuskan bahwa jika skor T responden. > Mean T maka sikap = positif terhadap perubahan aktifitas seksual dan jika skor T responden ≤ Mean T, maka sikap = negatif terhadap perubahan aktifitas seksual. 3.
Analisis Data. yang sudah di dapat dari jawaban pertanyaan yang sudah di ajukan melalui kuisioner di ringkas dalam bentuk tabel. Yaitu melalui beberapa proses atau tahap yaitu : a. Editing. Langkah awal adalah editing, bertujuan untuk meneliti kembali data dan diperbaiki jika masih terdapat hal- hal yang salah atau meragukan. Pada penelitian ini ada 4 lansia atau responden yang dlakukan wawancara ulang etelah proses editing. b. Coding. Kemudian dilakukan coding, yaitu membandingkan hasil wawancara dengan karakteristik kode, Dalam penelitian ini yang di beri kode hanya pada nama responden di ganti dengan nomor. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisa data. c. Scoring. Setelah itu, dilakukan skoring dengan cara pemberian skor pada setiap jawaban yang menunjukkan sikap sangat setuju (4), setuju (3), ragu–ragu (2) tidak setuju (1), dan sangat tidak setuju (0). Setelah itu di jumlah dan di masukkan dalam rumus skor T. d. Tabulating. Bila data sudah jelas, akan dilakukan tabulating, dengan cara memasukkan hasil skoring kedalam tabel untuk menentukan hasil dari sikap lansia tersebut positif atau negatif, yaitu dengan menggunakan rumus skor T. Untuk hasil tabulasinya terdapat pada lampiran tabulasi data.
D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Desa Wonokalang merupakan bagian dari kecamatan Wonoayu yang terdiri dari 5 dusun yaitu Dusun Karang Kletak, Dusun Nyamplung, Dusun Wantil, Dusun Cere dan Dusun Plombokan. Batas- batas wilayah Desa Wonokalang adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Persawahan Desa Wonokalang. b. Sebelah Timur : Desa Pager Ngumbuk, Wonoayu. c. Sebelah Selatan : Persawahan Desa Semambung Wonoayu. d. Sebelah Barat : Desa Kalongan Jeruk Gamping. Jumlah penduduk Desa Wonokalang pada tahun 2010 berjumlah 3945 jiwa dengan proporsi laki- laki berjumlah 1984 orang (50,3%) dan perempuan 1961 orang (49,7%) Desa Wonokalang mempunyai luas wilayah 201.635 Ha yang terletak dengan ketinggian 60 m dari permukaan laut. Banyaknya cura h hujan yang ada di Desa 39
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Wonokalang yaitu 558 mm/th dengan jenis topografinya merupakan dataran rendah dengan suhu rata-rata 31-320 C. Fasilitas Pendidikan yang terdapat di Desa Wonkalang yaitu: satu TK, SD/MI 1:1, sedangkan fasilitas Kesehatan yang ada di Desa Wonokalang yaitu; 1 Bidan Desa dan 1 Perawat Poskesdes, namun tidak terdapat posyandu lansia. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia. Dalam penelitian ini responden yang memenuhi kriteria inklusi yaitu responden yang berusia 60 – 74 tahun (Elderly) menurut Organisasi Kesehatan (WHO), yaitu berjumlah 41 responden. b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan. Tabel 10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20 Februari 2011. No. Pendidikan Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Tidak Sekolah 16 39 2. SD/Sederajat 25 61 3. SMP/Sederajat 0 0 4. SMA/Sederajat 0 0 5. Akademi/PT 0 0 Jumlah 41 100 Tabel 10 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berpendidikan SD/Sederajat yaitu sebanyak 25 responden (61%). c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 11. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20 Februari 2011. No. Pekerjaan Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Tidak Bekerja 10 24,4 2. Swasta 4 9,7 3. Wiraswasta 3 7,3 4. Petani 24 58,6 Jumlah 41 100 Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden adalah bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 24 responden (58,6%). Data Khusus. Dalam penelitian ini, didapatkan data mengenai sikap lansia terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual, yang terdapat dalam tabel berikut : Tabel 12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Lansia Terhadap Perubahan Fisiologis Dari Aktifitas Seksual di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada tanggal 14-20 Februari 2011. No. Sikap Lansia Terhadap Perubahan Frekuensi (f) Persentase (%) Fisiologis Dari Aktifitas Seksual 1. Positif 20 48,8 2. Negatif 21 51,2 Jumlah 41 100 Tabel 12 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden bersikap Negatif terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual yaitu sebanyak 21 responden (51,2%). 40
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
E. PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang sikap lansia dalam menghadapi perubahan fisiologis dari aktifitas seksual di Desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo pada bulan Februari 2011 didapatkan lebih dari 50 % responden cenderung bersikap negatif atau tidak mendukung terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual, yaitu sebanyak 21 respo nden (51,2%). Hal ini sesuai dengan pendapat Sijabat (2008) tentang perubahan seksual pada lansia, meskipun potensi seksual telah berkurang tetapi tidak berarti bahwa keinginan/ hasrat seksualnya menurun. Lansia lebih bersikap bahwa hasrat dan penggairaha n mereka masih bisa tercapai atau dengan kata lain, tidak terdapat perubahan fisiologis pada hasrat dan penggairahan mereka. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengelompokan data menurut fase atau tahapan seksual, yaitu fase desire dan fase arousal. Pada fase desire, ada 25 responden dari 41 responden (61%) yang bersikap tidak mendukung terhadap perubahan fisiologis pada aktifitas seksual mereka. Sedangkan pada fase arousal, didapatkan 23 responden dari 41 responden (56%) yang bersikap tidak mendukung. Dalam kaitannya dengan hal itu, sikap adalah reaksi atau respon dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek ,Notoatmodjo S (1997) dalam Sunaryo (2004). Ada juga yang mengartikan bahwa sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap suatu objek atau situasi secara konsisten.Ahmadi (1999) dalam sunaryo (2004). Pada masa lanjut usia, terdapat perubahan yang terjadi secara fisiologis pada aktifitas seksual lansia. Menurut Sijabat (2008), masa berhentinya reproduksi (klimakterik) pada pria datang belakangan dibanding masa menopause pada wanita, dan memerlukan masa yang lebih lama. Dan pada umumnya, penurunan potensi seksual pada usia enam puluhan, kemudian berlanjut sesuai dengan bertambahnya usia. Seperti masa menopause, masa klimakterik disertai menurunnya fungsi gonadal karena gonadal adalah yang bertanggung jawab terhadap berbagai perubahan yang terjadi selama masa klimakterik. Menurut Montessori (2009) Perubahan fisiologik yang terjadi pada aktifitas seksual pada usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya. Hasil penelitian ini bisa ditelaah kembali berdasarkan teori mengenai tahapan seksual menurut Montessori (2009), yaitu : Fase Desire, fase Arousal, Fase Orgasmik, Fase pasca Orgasmik. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari 50% responden bersikap Negatif atau tidak mendukung mengenai perubahan pada fase desire yaitu sebanyak 61% (25 responden). Hal ini menunjukkan bahwa hasrat lansia tentang seksualitas masih ada dan tidak mengalami perubahan. Pada teori dikatakan bahwa pada lansia pria maupun wanita akan mengalami perubahan fisiologis dari aktifitas seksual mereka, yang bisa dipengaruhi oleh keadaan penyakit, kecemasan akan kema mpuan seks, penurunan libido, masalah harga diri, ataupun masalah hubungan antar pasangan. Selama lansia tidak dipengaruhi akan faktor- faktor tersebut diatas, maka fase ini pun akan berjalan dengan semestinya tanpa mengalami perubahan, mengingat tidaklah semua dari individu akan mengalami perubahan yang sama. Sedangkan pada Fase Arousal berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari 50 % responden bersikap negatif atau tidak mendukung mengenai perubahan pada fase arousal yaitu sebanyak 56% (23 responden). Hal ini menunjukkan bahwa sistem vaskuler atau penggairahan pada lansia tidak terlalu mengalami perubahan.Menurut Kaplan Dalam Montessori (2009), perubahan pada fase arousal ini dapat berupa pembesaran payudara yang berkurang, elastisitas dinding vagina menurun, iritasi uretra dan kandung kemih meningkat pada lansia wanita. Sedangkan pada lansia pria, akan membutuhkan waktu lebih lama untuk ereksi, dan ereksi kurang begitu kuat, testosteron menurun, produksi sperma menurun bertahap mulai usia 40 th, serta elevasi testis ke perinium lebih lambat dan sedikit. 41
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Perubahan-perubahan fisiologis yang kemungkinan bisa terjadi pada organ-organ seksual tiap individu tidaklah sama antara lansia satu dengan yang lainnya. Jadi, besar kemungkinan juga pada lansia yang bugar, yang pandai menjaga kondisi tubuhnya tidak mengalami sebagian besar dari perubahan pada organ-organ seksualnya. Pada Fase Orgasmik berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa lebih dari 50 % responden bersikap positif atau menduk ung mengenai perubahan pada fase orgasmik yaitu sebanyak 63 % (26 responden). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau tanggapan orgasmik pada lansia memang mengalami perubahan.Dalam teori Kaplan dijelaskan bahwa pada fase ini, baik lansia pria maupun wanita akan mengalami tanggapan orgasmik yang berkurang intensnya dan disertai penurunan kontraksi, ataupun kemampuan untuk mendapatkan orgasme multipel yang berkurang. Proses degenaratif merupakan hal yang sewajarnya terjadi pada lansia. Hal itu pula yang mendasari perubahan fase orgasmik pada aktifitas seksual lansia. Semakin tua seseorang, bisa jadi semakin menurun pula kualitas dari organ-organ tubuhnya. Pada Fase Pasca Orgasmik berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa lebih dari 50% responden bersikap positif atau mendukung mengenai perubahan pada fase pasca orgasmik yaitu sebanyak 63% (26 responden). Di fase ini, terdapat keterkaitan dengan fase orgasmik. Karena fase ini merupakan kelanjutan dari fase orgasmik. Menurut Kaplan, pada tahap ini, lansia akan mengalami perubahan pada sistem vaskulernya, seperti sukarnya pembangkitan gairah secara segera, baik pada pria lansia maupun wanita.Sekali lagi, proses degeneratiflah yang berperan dalam hal ini. Bisa jadi karena penuruan hormon dan akan berakibat pada penurunan libido. Sikap negatif yang di tunjukan oleh lansia terhadap perubahan fisiologis dari aktifitas seksual ini erat kaitannya dengan tidak adanya posyandu lansia di desa Wonokalang Wonoayu Sidoarjo, sehingga lansia tidak mendapatkan informasi tentang perubahanperubahan yang wajar terjadi pada lansia baik itu perubahan fisik, psikis dan juga perubahan pda aktifitas seksual. F. PENUTUP Diharapkan, lansia bisa mengerti tentang perubahan fisiologis yang terjadi pada diri mereka. Namun disamping itu, tidak seharusnya pula lansia patah arang atau berhenti untuk memperdulikan kebutuhan seksual meraka. Karena bisa jadi pada lansia, bukan hubungan seksual yang sesungguhnyalah yang diharapkan, namun kasih sayang, sikap pengertian, dan saling menghargai pasangan yang akan membuat hidup lansia lebih berarti hinga akhir hayat. Institusi pendidikan pada saat melakukan praktek keperawatan gerontik supaya lebih di tekankan pengetahuan terhadap mahasiswa tentang perubahan- perubahan yang terjadi pada lansia, Khususnya pada aktifitas seksual, bagaimana solusi dan pendekatan yang harus dilakukan terhadap lansia. Sehingga mahasiswa bisa memberikan pelayan kesehatan secara tepat terhadap lansia. DAFTAR PUSTAKA Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Azwar Saifuddin. (2007). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya (Edisi 2). Bandiyah. (2009). Lanjut Usia Dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta. Nuha Medika Beccary. (2008) Disfungsi Seksual Pada Lansia. (http://aufalia.wordpress.com/ 2008/08/02/disfungsi-seksual-pada-lansia, diakses 02 Desember 2010). Budiarto. (2002). Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC. Darmojo. R.Boedhi, Martono hadi. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi 2. Jakarta : FKUI. 42
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Ferry Efendi. (2007). ―Keperawatan Gerontik” Be The Best. (http://ferryefendi.blogspot.com/ 2007/11/keperawatan-gerontik.html, diakses 3 Desember 2010). Hidayat, A.A. (2007). Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Kaplan & Saddock. (2007). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : EGC. Kuntjoro, ZH. (2002). Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. (http://www.epsikologi.com/masalah-kesehatan-jiwa-lansia.html, diakses 3 Desember 2010). Mangoenprasodjo. A.Setiono (2004). Sehat Di Usia Lanjut. Penerbit : Think Fresh Monks.F.J, Knoers.A.M.P, Haditono.S.R.(2006). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Nevid, S jerfry. (2005). Psikologi Abnormal Edisi 5. Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta. Nugroho, Wahjudi. (2000). Keperawatan Gerontik, Edisi 2. Jakarta : EGC. Nursalam. (2003). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika. Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. Pudjiastuti. S.R, Utomo Budi. (2003). Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC. Stanley. M, Beare. P.G. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (Edisi 2). Jakarta : EGC. Stuart. Gail.W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (Edisi 5). Jakarta : EGC Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. Watson Roger. (2003). Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC.
43
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
TINGKAT NYERI LANSIA DENGAN REMATHOID ARTRITIS YANG AKTIF DAN TIDAK AKTIF MELAKUKAN SENAM LANSIA DI DESA TANGGUL KULON KECAMATAN TANGGUL KABUPATEN JEMBER Bhakti Wahyudianto.1 , Sunyoto, S.Kep. Ns.2 1 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Gymnastics seniors is a series of regular motion tone and direction is done by yours elf or a group that aims to improve the functional ability of exercise to achieve that goal. Number of patients with arthritis remathoid in the world today, has exceeded 355 million. The purpose of this study was to determine the level of arthritis pain remathoid elderly with active and inactive elderly Jember do gymnastics. The design study is a descriptive study. The population in this study as many as 81, the sample is divided into two active respondents doing exercise 23 and 58 are not active at the gym by using purposive sampling techniques. The collected data is processed by way of Editing, Coding, Sorting, Data Entry, Tabulating. The results meninjukkan majority of respondents who actively participates in gymnastics experience mild pain which is as many as 14 respondents (60.9%). And most of the respondents who did not actively follow the gymnastics experience severe pain as many as 38 respondents (65.5%). Gymnastics seniors can reduce the pain experienced by the elderly. The less active elderly doing exercise pain experienced by the elderly will increasingly elderly berat.pentingnya exercises to reduce pain remathoid elderly with arthritis should be applied with a charity such as the elderly do gymnastics program once a week. Keywords: remathoid arthritis, gymnastics elderly, pain. A. PENDAHULUAN Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000). Adanya nyeri yang dirasakan lansia menyebabkan ADL nya menurun. Salah satu golongan penyakit yang sering menyertai usia lanjut yang menimbulkan gangguan musculoskeletal terutama adalah rheumatoid atritis. rheumatoid atritis memang lebih sering dialami oleh lansia, untuk itu perlu perawatan dan perhatian khusus bagi lansia dengan rheumatoid arthritis terutama dalam keluarga (Rezi, 2012). Salah satu golongan penyakit yang sering menyertai usia la njut yang menimbulkan gangguan musculoskeletal terutama adalah remathoid artritis. Remathoid artritis memang lebih sering dialami oleh lansia, untuk itu perlu perawatan dan perhatian khusus bagi lansia dengan remathoid artritis terutama dalam keluarga (Rezi, 2012). Salah satu upaya untuk mengurangi penyakit tersebut adalah dengan melakukan senam lansia. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa di tahun 2025, Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4%, yang merupakan sebuah peningkatan tertinggi di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa di tahun 2025 jumlah warga lansia di Indonesia akan mencapai ± 60 juta jiwa. Ini menyebabkan Indonesia berada pada peringkat ke- 4 untuk jumlah penduduk lansia 44
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat. Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (lansia) menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejatraan lansia. Jumlah penderita remathoid arthritis di dunia saat ini, telah melebihi angka 355 juta jiwa. Artinya, satu dari 6 orang penduduk bumi ini menderita penyakit remathoid arthritis (Prayitno, 2012). Di Kabupaten Jember remathoid artritis diperkirakan dialami oleh sekitar 40% lansia (Infokita, 2012). Di Desa Tanggul Kulon Jember masih banyak ditemui lansia yang mengalami remathoid artritis hebat seperti linu dan nyeri sendi. Kebanyakan dari mereka tidak aktif bergerak dan tidak aktif me lakukan senam lansia. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti tanggal 14 Mei 2012 di Desa Tanggul Kulon Jember menunjukkan dari 6 lansia terdapat 2 lansia (33.3%) yang mengalami remathoid artritis ringan aktif melakukan senam lansia tidak sedangkan yang 4 lansia yang tidak aktif melakukan senam lans ia mengalami nyeri remathoid artritis (66.7%) hebat seperti linu dan nyeri sendi. Pada periode selama usia lanjut, kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap (Hurlock, 2009). Pada lansia proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik fisik- biologis, mental maupun social ekonomis. Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik, yang dalam mengakibatkan penurunan peranan – peranan sosialnya (Nugroho, 2000). Salah satu penyakit yang sering diderita lansia adalah remathoid artritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia manusia. remathoid artritis dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot (Rezi, 2012). Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia. Aktifitas dasar sehari – hari yang dilakukan lansia masih membutuhkan bantuan dan sebagian besar lansia membutuhkan perhatian lebih. Kondisi ini akan membawa dampak buruk pada lansia yaitu tingkat ketergantungan lansia. Senam lansia yang dilakukan secara aktif akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian lansia dalam memenuhi aktifitas sehari – hari dan dapat mengurangi rasa nyeri (Anita, 2011). Untuk melakukan pencegahan terhadap remathoid artritis, perawat hendaknya menganjurkan kepada lansia untuk melakukan senam lansia. Senam lansia dilakukan selama 30 menit yang terdiri dari pemanasan dan inti yang terdiri dari aerobik ringan yang berfungsi menguatkan kerja jantung dan paruh. Senam lansia ditutup dengan pernafasan sekaligus sebagai pendingin tubuh. Senam lansia bisa dilakukan dengan berdiri. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Nyeri. a. Definisi Nyeri. Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri. Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri (Stira, 2012). Persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata atau perasaan yang
45
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (Rujito, 2012). Proses Terjadinya Nyeri (Nociceptive Pathway). Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologik yang secara kolektif disebut sebagai nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni ; 1) Proses Transduksi (Transduction), merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) di rubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung- ujung saraf (nerve ending). Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri). 2) Proses Transmisi (Transmison), dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri. 3) Proses Modulasi (Modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tub uh kita dengan imput nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Jadi merupakan proses acendern yang di kontrol oleh otak. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior ini dapat diiabaratkan sebagai pintu yang dapat tertetutup atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif. 4) Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. (Rujito, 2012) Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri. 1) Usia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. 2) Jenis kelamin. Laki- laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki- laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). 3) Kultur. Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. 4) Makna nyeri. Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. 46
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
5) Perhatian. Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi d ihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. 6) Ansietas. Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7) Pengalaman masa lalu. Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8) Pola koping. Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. 9) Support keluarga dan sosial. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan. (Qittun, 2012) Parameter Nyeri dan Pengukurannya.
Keterangan : 0 : Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi. 10 : Nyeri sangat berat :Kx sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. Smeltzer, dkk (2002) Konsep Remathoid Artritis. a. Definisi. Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh (Mansjoer, dkk, 2009). Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas (Doenges, 2000).
47
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Etiologi. Faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus (Burke, 2012). Penyebab artritis rematoid, yaitu: 1) Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non- hemolitikus. 2) Endokrin. 3) Autoimmun. 4) Metabolik. 5) Faktor genetik. Manifestasi Klinis (Prayitno, 2012). 1) Poliartritis simetris (peradangan sendi pada sisi kiri dan kanan) terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan. 2) Deformitas. 3) Nyeri persendian. 4) Terbatasnya pergerakan. 5) Sendi-sendi terasa panas. 6) Anemia. 7) Tampak warna kemerahan di sekitar sendi. 8) Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal. Kriteria Artritis rematoid menurut American Reumatism Association adalah : 1) Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (Morning Stiffness). 2) Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi. 3) Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu. 4) Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain. 5) Pembengkakan sendi yanmg bersifat simetris. 6) Nodul subcutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor. 7) Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid. 8) Uji aglutinnasi faktor rheumatoid. 9) Pengendapan cairan musin yang jelek. 10) Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia. 11) Gambaran histologik yang khas pada nodul. Berdasarkan kriteria ini maka disebut : 1) Klasik : Bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu. 2) Definitif : Bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu. 3) Kemungkinan rheumatoid : Bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 4 minggu. Patofisiologi. Cidera mikro vascular dan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium merupakan lesi paling dini pada sinovisis remotoid. Sifat trauma yang menimbulkan respon ini masih belum diketahui. Kemudian, tampak peningkatan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium bersama sel mononukleus privaskular. Seiring dengan perkembangan proses sinovium edematosa dan menonjol kedalam rongga sendi sebagai tonjolan-tonjolan vilosa.
48
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
g.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Pada penyakit Rematoid Artritis terdapat 3 stadium yaitu : 1) Stadium Sinovisis. Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat maupun saat bergerak, bengkak dan kekakuan. 2) Stadium Destruksi. Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. 3) Stadium Deformitas. Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap. Pemeriksaan Diagnostik (Prayitno, 2012). 1) Faktor Reumatoid : positif pada 80-95% kasus. 2) Fiksasi lateks: Positif pada 75 % dari kasus-kasus khas. 3) Reaksi-reaksi aglutinasi : Positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas. 4) LED : Umumnya meningkat pesat ( 80-100 mm/h) mungkin kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat 5) Protein C-reaktif: positif selama masa eksaserbasi. 6) SDP: Meningkat pada waktu timbul proses inflamasi. 7) JDL : umumnya menunjukkan anemia sedang. 8) Ig (Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebagai penyebab AR. 9) Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan 10) Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium 11) Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi tulang pada sendI 12) Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ). 13) Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas. Komplikasi. 1) Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses granulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule. 2) Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot 3) Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli 4) Terjadi splenomegali. (Prayitno, 2012) Penatalaksanaan. Tujuan penatalaksanaan reumatoid artritis adalah mengurangi nyeri, mengurangi inflamasi, menghentikan kerusakan sendi dan meningka tkan fungsi dan kemampuan mobilisasi penderita (Lemone, 2012). Adapun penatalaksanaan umum pada rheumatoid arthritis antara lain : 1) Pemberian terapi. Pengobatan pada rheumatoid arthritis meliputi pemberian aspirin untuk mengurangi nyeri dan proses inflamasi, NSAIDs untuk mengurangi inflamasi, pemberian corticosteroid sistemik untuk memperlambat destruksi sendi dan imunosupressive terapi untuk menghambat proses autoimun. 49
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Pengaturan aktivitas dan istirahat. Pada kebanyakan penderita, istirahat secara teratur merupakan hal penting untuk mengurangi gejala penyakit. Pembebatan sendi yang terkena dan pembatasan gerak yang tidak perlu akan sangat membantu dalam mengurangi progresivitas inflamasi. Namun istirahat harus diseimbangkan dengan latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan otot dan pergerakan sendi. 3) Kompres panas dan dingin. Kompres panas dan dingin digunakan untuk mendapatkan efek analgesic dan relaksan otot. Dalam hal ini kompres hangat lebih efektive daripada kompres dingin. 4) Diet. Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk mengatur dietnya. Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat dalam minyak ikan. 5) Pembedahan. Pembedahan dilakukan apabila rheumatoid arthritis sudah mencapai tahap akhir. Bentuknya dapat berupa tindakan arhthrodesis untuk menstabilkan sendi, arthoplasty atau total join replacement untuk mengganti sendi. Konsep Lansia. a. Pengertian Lansia. Menurut Maryam (2008) usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Menurut Nugroho (2000) menurut Masdani (Psikolog UI) mengatakan: Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian. Pertama = fase inventus, antara 25 dan 40 tahun, Kedua = fase verilitas, antara 40 dan 50 tahun. Ketiga = fase pra senium antara 55 dan 65 tahun dan keempat fase senium, antara 65 tahun hingga tutup usia. Menurut Setyonegoro, pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut : Usia dewasa muda (elderly adulhood): 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas: 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 70—75 tahun (young old), 7580 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old) (Nugroho, 2000). Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang te lah berumur 65 tahun ke atas. Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak bisa dihindari, berjalan secara terus- menerus, dan berkesambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2008). Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala- gejala kemunduran fisik, antara lain kulit mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan pengelihatan berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul. Kemunduran lain yang terjadi adalah kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal/ide baru (Maryam, 2008).
50
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Proses Menua (Aging Process) (Nugroho, 2000). Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus- menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya. Adakalanya orang belum tergolong lanjut usia (masih muda) tetapi kekurangankekurangan yang menyolok (deskripansi). Berdasarkan pernyataan ini, lanjut usia dianggap sebagai semacam penyakit. Hal ini tidak benar. Gerontologi berpendapat lain, sebab lanjut usia bukan suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahap hidup manusia, yaitu: Bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, dan lanjut usia. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dan dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakt yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh ―mati‖ sedikit demi sedikit. Sebenarnya, tidak ada batas yang tegas. pada usia berapa penampilan seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya. Hal ini juga sangat individu. Namun umumnya, fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada umur antara 20 dan 30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi alat tuhuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur. Sampai saat ini banyak sekali teori yang menerangkan ―proses menua.‖ mulai dari teori degeneratif yang didasari oleh habisnya daya cadangan vital, teori terjadinya atrofi, vaitu: teori yang mengatakan bahwa proses menua adalah proses evolusi, dan teori imunologik, yaitu: teori adanya produk sampah/waste products dari tubuh sendiri yang makin bertump uk. Tetapi seperti diketahui, lanjut usia akan selalu bergandengan dengan perubahan fisiologik maupun psikologik. Yang penting untuk diketahui bahwa aktivitas fisik dapat menghambat atau memperlambat kemunduran fungsi alat tubuh yang disebabkan bertambahnya umur. Klasifikasi Lansia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia Lanjut usia meliputi : 1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun. 2) Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun 3) Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun 4) Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2000). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketuaan (Nugroho, 2000). 1) Hereditas = Keturunan/Genetik. 2) Nutrisi = Makanan. 3) Status Kesehatan. 4) Pengalaman hidup. 5) Lingkungan. 51
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
6) Stres. Batasan - Batasan Lanjut Usia. Menurut Nugroho (2000) pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut: Usia dewasa muda (elderly adulhood) : 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas: 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old). Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjul usia adalah orang yang telah berumur 65 tahun ke atas. f. Tugas Perkembangan Lansia. Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari- hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi bercocok tanam, dan lainlain. Adapun tugas perkembangan lansia Maryam (2008) adalah sebagai berikut : 1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun. 2) Mempersiapkan diri untuk pensiun. 3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya. 4) Mempersiapkan kehidupan baru. 5) Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai. 6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan. Konsep Senam Lansia. a. Definisi Senam Lansia. Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan searah yang dilakukan secara sendiri atau kelompok dengan maksud meningkatkan kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut (Anita, 2011). Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta terencana yang diikuti oleh orang lanjut usia yang dilakukan dengan maksud meningkatkan kemamp meningkatkan kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut (Angloo, 2012). b. Manfaat Senam Lansia. 1) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia. 2) Mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan. 3) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya terhadap bertambahnya tuntutan. 4) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia. 5) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya terhadap bertambahnya tuntutan, misalya sakit (Anita, 2011). 6) Sebagai Rehabilitas. Pada lanjut usia terjadi penurunan masa otot serta kekuatannya, laju denyut jantung maksimal, tolerasnsi latihan, kapasitas aerobik dan terjadinya peningkatan lemak tubuh. Dengan melakukan olahraga seperti senam lansia dapat mencegah atau melambatkan kehilangan e.
4.
52
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
fungsional tersebut. Bahkan dari berbagai penelitian menunjukan bahwa latihan/olah raga seperti senam lansia dapatmengeliminasi berbagai resiko penyakit seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit arteri koroner dan kecelakaan (Angloo, 2012). Langkah – Langkah Senam Lansia. 1) Kepala dan leher. 2) Lihat ke atap kemudian menunduk sampai dagu dan dada. 3) Putar kepala dengan melihat bahu sebelah kanan lalu sebe lah kiri. 4) Miringkan kepala ke bahu sebelah kanan lalu sebelah kiri. Latihan Bahu Dan Lengan. 1) Angkat kedua bahu ke atas mendekati telinga, kemudian turunkan lagi perlahan – lahan. 2) Tepukkan kedua telapak tangan dan renggangkan lengan ke depan lurus dengan bahu. Pertahankan bahu tetap lurus dan kedua tangan bertepuk kemudian angkat lengan ke atas kepala. 3) Satu tangan menyentuh bagian belakang dari leher kemudian raihlah punggung sejauh mungkin yang dapat dicapai, bergantian tangan kanan dan kiri. 4) Letakkan tangan di punggung kemudian coba raih ke atas sedapatnya. Latihan Tangan. 1) Letakkan tangan diatas meja, kemudian lebarkan jari – jarinya kemudian tekan kemeja, balikan telapak tangan. 2) Tariklah ibu jari melintasi telapak tangan untuk menyentuh jari kelingking. 3) Kemudian tarik kembali, kemudian lanjutkan sampai meyentuh tiap – tiap jari dengan ibu jari kepalkan tangan sekuatnya kemudian renggangkan jari – jari seluas mungkin. Latihan Punggung. 1) Dengan tangan di samping, bengkokkan badan ke satu sisi kemudian ke satu sisi lainnya. 2) Letakkan tangan di pinggang dan tekan ke dua kaki, putar tubuh dengan melihat bahu kiri ke kanan. 3) Tepukkan ke dua tangan ke belakang dan renggangkan kedua bahu kebelakang. Latihan Paha. 1) Latihan ini dapat dilakukan dengan berdiri dan memegang sandaran kurse dengan posisi sambil tiduran. 2) Lipat satu lutut sampai pada dada dimana pada kaki yang lain tetap lurus dan tahan beberapa waktu. 3) Duduklah dengan kedua kaki lurus ke depan, tekankan kedua lutut pada tempat tidur hingga bagian lutut menyentuh tempat tidur. 4) Pertahankan kaki lurus tanpa membengkokkan lutut, kemudian tarik telapak kaki ke arah kita d an renggangkan kembali. 5) Tekuk dan renggangkan jari – jari kaki tanpa menggerakkan lutut. 6) Pertahankan lutut tetap lurus, putar telapak kaki ke dalam sehingga permukaannya saling bertemu dan kembalikan lagi. 7) Berdiri dengan kaki lurus dan berpegangan pada bagian belakang kursi, angkat tumit tinggi – tinggi kemudian putarkan. Latihan Pernafasan. 1) Duduklah di kursi dengan punggung bersandar dan bahu relak sasi.
53
HOSPITAL MAJAPAHIT
5.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Letakkan kedua telapak tangan pada kedua rusuk tarik nafas dalam – dalam maka terasa mengambang. 3) Sekarang, keluarkan nafas perlahan dan sedapatnya. i. Kategori Keaktifan Senam Lansia. Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan searah yang dilakukan secara sendiri atau kelompok dengan maksud meningkatkan kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut. Manfaat senam lansia : 1) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia. 2) Mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan. 3) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya terhadap bertambahnya tuntutan. 4) Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia 5) Fungsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya terhadap bertambahnya tuntutan, misalya sakit sebagai rehabilitas. Langkah – langkah senam lansia : 1) Latihan bahu dan lengan. 2) Latihan tangan. 3) Latihan punggung. 4) Latihan paha. Lansia mengikuti senam lansia untuk setiap minggunya, selama tiga bulan Dalam 3 bulan 10 kali senam sehingga dapat dikategorikan : 1) Aktif : 7-10 kali. 2) Cukup Aktif : 4-6 kali. 3) Kurang Aktif : 1-3 kali. 4) tidak aktif : 0. Hubungan Senam Lansia Dalam Menurunkan Nyeri. Senam lansia adalah suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia. Senam lansia yang dilakukan secara aktif akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian lansia ndalam memenuhi aktifitas dasar sehari – hari. Senam lansia yang berdurasi 30 menit ini telah diprogram menjadi olah raga ringan yang terdiri atas latihan pemanasan dan latihan inti yang terdiri aerobik ringan. Manfaat yang bisa diperoleh setelah melakukan senam lansia adalah membuat lebih rileks dan terasa ringan di gerakan (Anita, 2011). Senam lansia sangat berhubungan dengan nyeri rematho id artitis. Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas (Prayitno, 2012). Jenis olahraga yang bisa dilakukan pada Lansia antara lain adalah senam lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh tetap bugar dan segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh. Dapat dikatakan bugar, atau dengan perkataan lain mempunyai kesegaran jasmani yang baik bila jantung dan peredaran darah baik sehingga tubuh seluruhnya dapat menjalankan fungsinya dalam waktu yang cukup lama Senam lansia disamping memiliki dampak positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur (Nursing, 2012). 54
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Hal ini menunjukkan bahwa Artritis Reumatoid sangat memerlukan perhatian yang serius. Meskipun penderita Artritis Reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami penurunan produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup menurun (Sari, 2012). C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian, Variabel Dan Definisi Operasional. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial, ekonomi, pekerjaan, status perkawinan, cara hidup (pola hidup) dan lain – lain. Atau rancangan ini digunakan untuk mendeskripsikan seperangkat peristiwa atau kondisi populasi saat itu. Deskripsi tersebut dapat terjadi pada lingkup individu di suatu daerah tertentu, atau lingkup kelompok pada masyarakat di daerah tertentu (Hidayat, 2009). Tujuan peneliti memilih jenis penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat nyeri lansia dengan remathoid artitis yang aktif dan tidak aktif melakukan senam lansia di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah tingkat nyeri lansia dengan remathoid artitis yang aktif dan tidak aktif melakukan senam lansia. Lansia
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aktifitas lansia : 1. ADL 2. Senam Lansia
Faktor penyebab nyeri : Usia Jenis kelamin Kultur Makna nyeri Perhatian Ansietas Pengalaman masa lalu Pola koping Support keluarga dan sosial
Nyeri ringan
Nyeri
Nyeri
Nyeri sedang
Tidak Nyeri
Nyeri berat
Nyeri sangat berat
Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 4. Kerangka Konseptual Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid Artitis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember. Sumber : Stira (2012), Rujito, (2012), Smeltzer, dkk (2002), (Mansjoer, dkk, 2009).
55
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Tabel 13. Definisi Ope rasional Tingkat Nyeri Lansia Dengan Remathoid Artitis Yang Aktif Dan Tidak Aktif Melakukan Senam Lansia di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember.
2.
Variabel
Definisi Operasional
Tingkat nyeri lansia dengan remathoid artitis yang aktif dan tidak aktif melakukan senam lansia
Sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial yang dialami lansia karena proses menua pada lansia yang ikut senam aktif (7-10 kali) tidak aktif (0) Diukur dengan observasi dan wawancara
Krite ria
Skala
Tidak nyeri : 0 Ordinal Nyeri ringan : 1-3 Nyeri Sedang : 4-6 Nyeri Berat : 7-9 Nyeri tak tertahankan : 10 Smeltzer, dkk (2002)
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember pada tanggal 11-25 Juni 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang bertempat tinggal di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Jember sebanyak 320 responden. Teknik sampling yang dipakai adalah cara purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara mengambil seluruh popupasi dijadikan sampel (Hidayat, 2007). Sampel yang digunakan adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Kriteria inklusi. 1) Bersedia diteliti dan kooperatif. 2) Lansia yang ikut senam Aktif lansia 7-10x. 3) Lansia tidak ikut senam 0x. b. Kriteria eksklusi. 1) Lansia dengan dimensia. 2) Lansia yang aktif mengikuti senam dengan duduk. Sehingga sampel yang di pakai dalam penelitian ini sebanyak 81responden. Pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Kepala Desa, selanjutnya peneliti melakukan penelitian dengan cara meminta data usila ke puskesmas terlebih dahulu kemudian peneliti mendatangi rumah usila untuk meminta persetujuan responden sambil melakukan wawancara tentang nyeri yang dirasakan lansia tersebut. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah pengukuran nyeri skala numerik.
D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember. Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul terletak di wilayah selatan Kabupaten Jember. Luas wilayah desa ini ± 505.890 Ha. Terdiri dari 2 dusun yaitu dusun Tekoan dan dusun Krajan. Jumlah tenaga kesehatan yang ada sebanyak 5 orang, dengan perincian bidan ; 2 orang, perawat kesehatan : 3 orang. Adapun fasilitas kesehatan yang di miliki sebanyak 10 fasilitas dengan perincian klinik kesehatan : 1 buah, Posyandu : 7 buah, Polindes : 2 buah, dan BPS 1 buah Posyandu lansia : 1 buah . Jarak yang harus di tempuh masyarakat untuk ke puskesmas adalah ± 2 km. 56
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember berbatasan dengan sebelah utara berbatasan dengan desa Patemon, Sebelah timur berbatasan dengan desa Tanggul Wetan, Sebelah selatan berbatasan dengan desa Sidomulyo dan Sebelah barat berbatasan dengan desa Pondok dalem. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis kelamin. Tabel 14. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarka n Jenis Kelamin di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember Pada Tanggal 11-25 Juni 2012. No. Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Laki-Laki 34 41,9 2. Perempuan 47 49,1 Jumlah 81 100 Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah perempuan yaitu sebanyak sebanyak 47 responden (49.1%). Data Khusus. a. Tingkat Nyeri Lansia Yang Aktif Mengikuti Senam. Tabel 15. Tingkat Nyeri Lansia Yang Aktif Mengikuti Senam di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember Pada Tanggal 11-25 Juni 2012. No. Nyeri Lansia Yang Aktif Frekuensi (f) Persentase (%) Mengikuti Senam 1. Tidak Nyeri 9 39,1 2. Nyeri Ringan 14 40,9 3. Nyeri Sedang 0 0 4. Nyeri Berat 0 0 5. Nyeri Sangat Berat 0 0 Jumlah 81 100 Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri ringan yaitu sebanyak sebanyak 14 responden (60.9%). b. Tingkat Nyeri Lansia Yang Tidak Aktif Mengikuti Senam. Tabel 16. Tingkat Nyeri Lansia Yang Tidak Aktif Mengikuti Senam di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember Pada Tanggal 11-25 Juni 2012. No. Nyeri Lansia Yang Tidak Frekuensi (f) Persentase (%) Aktif Mengikuti Senam 1. Tidak Nyeri 0 0 2. Nyeri Ringan 0 0 3. Nyeri Sedang 18 31 4. Nyeri Berat 38 65,5 5. Nyeri Sangat Berat 2 3,4 Jumlah 81 100 Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri berat yaitu sebanyak 38 responden (65.5%).
E. PEMBAHASAN a. Tingkat Nyeri Lansia Yang Aktif Mengikuti Senam. Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri ringan yaitu sebanyak sebanyak 14 responden (60.9%). 57
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Salah satu penyakit yang sering diderita lansia adalah remathoid artritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia manusia. remathoid artritis dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot (Rezi, 2012). Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia (Anita, 2011). Senam lansia yang dilakukan secara aktif akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian lansia dalam memenuhi aktifitas sehari – hari dan dapat mengurangi rasa nyeri (Anita, 2011). Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa responden yang mengalami nyeri ringan kebanyakan adalah responden yang aktif melakukan se nam lansia. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa senam lansia berpengaruh terhadap nyeri yang dialami oleh lansia. Keaktifan lansia daam mengikuti senam biasanya dilakukan di rumah setiap 2 hari sekali atau kadang – kadang ikut kegiatan senam lansia yang dilakukan di Puskesmas. Semakin aktif lansia mengikuti senam lansia menyebabkan nyeri yang dialami akan semakin berkurang. Hal ini diperkuat selama dari pengamatan peneliti bahwa lansia yang aktif melakukan senam lansia mengalami nyeri ringan seperti munculnya rasa nyeri masih bisa dikomunikasikan secara obyektif meskipun biasanya lansia juga tampak menyeringai saat menahan nyeri. Akan tetapi secara umum lansia bisa dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah untuk me lakukan aktifitas dengan baikdengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa senam lansia berpengaruh menekan nyeri menjadi ringan sehingga tidak mengaggu aktifitas sehari – hari lansia. Tingkat Nyeri Lansia Yang Tidak Aktif Mengikuti Senam. Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri berat yaitu sebanyak 38 responden (65.5%). Senam lansia merupakan suatu bentuk latihan fisik yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia. Aktifitas dasar sehari – hari yang dilakukan lansia masih membutuhkan bantuan dan sebagian besar lansia membutuhkan perhatian lebih. Lansia yang tidak aktif melakukan senam lansia cenderung mengalami nyeri berat. (Anita, 2011). Nyeri berat didefinisikan sebagai pengakuan secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi (Smeltzer, dkk, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak aktif melakukan senam lansia, mengalami nyeri berat. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa senam lansia berpengaruh terhadap nyeri yang dialami oleh lansia. Hasil kesimpulan ini didukung oleh pengamatan peneliti terhadap responden yang mangalami nyeri berat. Responden tidak lagi menuruti beberapa perintah dan saran karena menahan nyeri yang hebat, responden tidak mampu lagi mendeskripsikan perasaan nyeri dan rasa nyeri yang dialami dianggap sudah sulit diatasi. Semakin tidak aktif lansia mengikuti senam lansia nyeri yang dialami akan semakin berat karena otot atau anggota tubuh yang tidak pernah digerakkan akan mengalami atrofi hal ini juga bisa terjadi pada persendian,selain karena berkurangnya cairan sinovial kekakuan pada sendi bisa disebabkan karena sendi tersebut jarang dilatih untuk bergerak sehingga lama kelamaan sendi tersebut bisa kaku dan akan terasa nyeri pada saat digerakkan.
F. PENUTUP Diharapkan penelitian ini dijadikan bahan masukan bagi profesi dalam pengembangan perencanaan keperawatan mengenai pentingnya senam lansia untuk 58
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
meredam nyeri lansia dengan remathoid artritis. Masukan untuk lebih menggalakkan lagi promosi tentang senam lansia untuk mencegah remathoid artritis serta dimasukkan dalam jadwal posyandu lansia. Memahami tentang pentingnya senam lansia sebagai upaya mengurangi nyeri lansia dengan remathoid artritis dan menyarankan untuk ikut senam lansia. Peneliti selanjutnya hendaknya melakukan penelitian tentang senam lansia dalam upaya penurunan nyeri remathoid arthritis sambil melakukan observasi secara intensif untuk memaksimalkan hasil penelitian DAFTAR PUSTAKA Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Doenges, M.E, dkk. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC. Hidayat, A.A. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Hidayat, A.A. (2009). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika. Hidayat, A.A. (2010). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika. Hurlock, E.B. (2003). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. Mansjoer,A,dkk. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius. Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kdokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius. Maryam, R.S, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nugroho, W. (2000). Keperawatan Genrontik. Jakarta : EGC. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nursing. (2012). Asuhan Keperawatan Rheumatoid Artritis. (http://www.nurse87.wordpress.com/asuhan-keperawatan-rheumatoid-artritis., diakses tanggal 08 Mei 2012). Potter & Perry. ( 2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. Prayitno. (2012). Rematoid Artritis. (www.prayitno-com.blogspot.com/rematiod-artritis., diakses tanggal 08 Mei 2012). Qittun. (2012). Konsep Dasar Nyeri. (www.qittun.blogspot.com/konsep-dasar-nyeri., diakses tanggal 08 Mei 2012). Rezi, F. (2012). Asuha Keperawatan Lansia dengan Reumatroid Artritis. (www.febriyanisyafrian.blogspot.com/asuhan-keperawatan-dengan-reumatroidartritis., diakses tanggal 08 Mei 2012). Rujito. (2012). Konsep Nyeri. (www.binhasyi.wordpress.com/konsep-nyeri., diakses tanggal 08 April 2012. Stira, U. (2012). Kosep Nyeri. (http://www.ruslanpinrang.blogspot.com/konsep-nyeri.html., diakses tanggal 08 Mei 2012). Sugiyono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
59
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DAN KELUARGA PADA PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT DKT M OJOKERTO Asrul Anam.1 , Ika Khusnia, S.Kep. Ns.2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit 1
ABSTRACT Patient satisfaction is the patient's feelings that arise due to the performance of health care that is obtained after comparing with their perceived, so it is necessary to clear efforts from the hospital to provide a conceptual and integrated services to ensure patient satisfaction, but it is not easily earned. One way is to improve the performance of nurses. Resear ch purpose to determine the level of satisfaction of inpatients and their families in nursing care in DKT Mojokerto Hospital. This is a descriptive research design using public opinion survey. The variable in this study is a single variable the level of satisfaction of inpatients and their families in nursing care in DKT Mojokerto Hospital. The population in this study were all patients hospitalized in DKT Mojokerto Hospital. The technique sampling use total sampling technique with a sample of 35 patients and 35patients families. The study was 12 - 28 February 2011 in DKT Mojokerto Hospital. Technique and instrument data collection using questionnaires. Having collected data were analyzed by using the formula linkert scale. The results obtained more than 50% of patients expressed satisfaction on the inpatient nursing service as many as 18 respondents (51.4%), while the rest are not satisfied. More than 50% of the families of inpatients expressed his satisfaction at the nursing service that is as much as 19 respondents (54.3%). Customers and their family have same proportion that they felt satisfaction about nursing services. It means that they got same services from nurse. Customers in nursing services not only patients but also patients' families to consider. Therefore, when the family also felt satisfied, others would follow them, so that the daily coverage in DKT Mojokerto Hospital could increase. Keywords: nursing, satisfaction, patients, families. A. PENDAHULUAN Keperawatan adalah komponen utama dalam sistem pelayanan kesehatan, dan perawat merupakan kelompok pekerja yang paling besar dalam sistem tersebut. Pelayanan keperawatan diperlukan sikap klien yang mencari jenis perawatan yang sesungguhnya yang tercakup pelayanan primer, sekunder dan restorative. Perawat perlu memahami sistem yang ada agar mampu memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas secara efektif dalam sistem tersebut. Setiap perawat yang sedang bekerja perlu menghargai bahwa pelayanan kesehatan bergantung pada partisipasi setiap perawa t dalam menciptakan sistem yang diperlukan untuk memberikan perawatan dengan biaya yang efektif dan menciptakan strategi untuk memastikan bahwa klien akan menerima perawatan yang berkualitas (Potter dan Perry, 2005). Suryawati, dkk. (2008) mengatakan bahwa sebagian besar keluhan pasien dalam suatu survei kepuasan menyangkut tentang keberadaan petugas yang tidak profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan diantaranya masih terdengar keluhan akan petugas yang tidak ramah dan acuh terhadap keluhan pasiennya. Selain itu juga masih sering terdengar tentang sulitnya meminta informasi dari tenaga kesehatan terutama 60
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
dokter dan perawat, sulitnya untuk berkomunikasi dua arah dengan dokter, dan lain sebagainya yang mencerminkan betapa lemahnya posisi pasien sebaga i penerima jasa pelayanan kesehatan (Muhaj, 2010). Penelitian Pardani tahun 2001 di rumah sakit Pemerintah kelas A di Surabaya tahun 2001, dengan menggunakan 100 orang pasien rawat inap menunjukkan bahwa 50% mengatakan puas terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan; 25% cukup puas 25% dan tidak puas sebesar 25%. Penelitian Wirawan tahun 2000 tentang tingkat kepuasan pasien rawat inap terhadap asuhan keperawatan di sebuah rumah sakit di Jawa Timur juga menunjukkan hanya 17% dari seluruh pasien rawat inap yang mengatakan puas terhadap asuhan keperawatan, sedangkan 83% menyatakan tidak puas. Penelitian tersebut juga memberikan informasi bahwa keluhan utama pasien terhadap pelayanan keperawatan adalah kurangnya komunikasi perawat (80%), kurang perhatian (66,7%) dan kurang ramah (33,3%) (Muhaj, 2010). Kemudian penelitian Damayanti tentang harapan dan kepuasan pasien di sebuah rumah sakit pemerintah di Surabaya pada tahun 2000 yaitu dengan mengambil sampel 48 responden di UPF interna dan Paviliun menunjukkan bahwa pasien lebih mengharapkan kesabaran dan perhatian dari kinerja tenaga keperawatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 41% responden mengatakan kurang puas dengan pelayanan rumah sakit dan sebanyak 59% sisanya menyatakan puas. Khusus terhadap kinerja per awat, keluhan terbesar adalah perawat jarang menengok pasien bila tidak diminta dan bila dipanggil tidak segera datang (perawat datang sekitar 10 menit) (Muhaj, 2010). Jumlah pengunjung/pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 terjadi penurunan. Pada tahun 2009, total jumlah pasien rawat inap 760 orang dan hal ini mengalami penurunan dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2008 yang pengunjungnya mencapai 864 orang. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang yang rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto pada tanggal 5 Januari 2011 terdapat 8 orang yang menyatakan kurang puas terhadap pelayanan perawat dan 2 orang menyatakan sangat puas terhadap pelayanan perawat pada saat rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto. Pada saat ini kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan akan terus meningkat, masyarakat akan terus menuntut tersedianya pelayanan kesehatan dan keperawatan dengan kualitas yang profesional dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standart pelayanan keperawatan yang telah diakui sebagai profesi dan telah melaksanakan praktik keperawatan, secara tidak langsung melekat tanggung jawab (responsibilitas) dan tanggung gugat (accountabilitas) di atas segala keputusan dan tindakan di dalam lingkup peran dan fungsinya sebagai perawat (Kusnanto, 2004). Untuk menciptakan kepuasan pasien maka Tenaga kesehatan harus memperhatikan hak pasien termasuk hak menerima informasi secara jelas sehingga pasien dan keluarganya akan merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Selain itu, apabila setiap profesi kesehatan memegang teguh kode etik profesi yang telah dirumuskan oleh masing- masing profesi dan menerapkannya di dalam pemberian pelayanan kepada pasien maka komplain tidak akan terjadi. Disamping itu, setiap profesi kesehatan harus meningkatkan motivasi internalnya untuk menolong sesama manusia. Tidak sekedar motivasi material tapi juga keikhlasan berbuat menolong sesama manusia dalam rangka beribadah kepada-Nya (Khoiriyati, 2010). Oleh sebab itu perawat harus senantiasa menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan berdasarkan pada kode etik profesi dan kebutuhan menolong sesama manusia. Selain itu memperbaiki bentuk komunikasi kepada pasien dapat meningkatkan kepuasan pasien (Muhaj, 2010). 61
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Kepuasan a. Pengertian Menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut : 1) Kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkat kenikmatan. Tingkat pemenuhan ini bisa lebih atau kurang (Richard dalam Irawan, 2003). 2) Kepuasan adalah sebagai persepsi terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Oleh karena itu pelanggan tidak akan puas apabila pelanggan mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi (Irawan, 2003). Jadi kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen yang menunjukkan bahwa pelayanan yang diberiakan telah memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan harapannya. b. Kepuasan Pelanggan (Irawan, 2003) 1) Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan/harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. 2) Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik/lebih efisien dan lebih efektif apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Dalam hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. 3) Beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai suatu pelayanan yaitu: ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan tekhnis, diharapkan, berkualitas dan harga yang sepadan. Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian pelayanan yang memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, perlu mengetahui hal- hal berikut : a) Mengetahui apa pelanggan pikirkan tentang anda, pelayanan anda dan pesaing anda. b) Mengukur dan meningkatkan kinerja anda. c) Memanfaatkan kelemahan anda ke dalam peluang pengembangan, sebelum orang lain memulainya. d) Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap orang tahu apa yang mereka kerjakan. e) Menunjukkan komitmen anda terhadap kualitas dan pelanggan anda. f) Umpan balik dan informasi merupakan elemen yang penting dalam membangun sistem pemberian pelayanan yang efektif. 4) Pelanggan Yang Puas (Irawan, 2003) Definisi pelanggan yang puas dapat diartikan dalam beberapa pengertian, diantaranya : a) Seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa mendapatkan value dari pemasok, produsen dan penyedia jasa. b) Pelanggan akan merasa puas jika puasnya sama atau lebih dari yang diharapkan. c) Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan produsen atau penyedia jasa, bahkan pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain.
62
HOSPITAL MAJAPAHIT c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Dimensi Kepuasan Menurut Azwar (2003) mengatakan bahwa dimensi kepuasan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Kepuasan mengacu hanya pada penerapan standart dan kode etik profesi. Kepuasan pemakai jasa kesehatan terbatas hanya pada kesesuaian dengan standart dan kode etik profesi saja. Suatu pelayanan kesehatan tersebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu apabila penerapan standart dan kode etik profesi dapat memuaskan klien, ukuran yang dimaksud pada dasarnya mencakup penilaian tehadap kepuasan mengenai : a) Hubungan Perawat – Pasien. Terbinanya hubungan perawat-pasien yang baik adalah salah satu memberikan perhatian yang cukup kepada kliennya secara pribadi, menampung dan mendengarkan seruan, keluhan serta menjawab dan memberikan keterangan yang sejelasjelasnya tentang segala hal yang ingin diketahui oleh klien. b) Kenyamanan Pelayanan. Kenyamanan yang dimaksud di sini tidak menyangkut masalah fasilitas yang tersedia, tetapi yang terpenting yang menyangkut sikap serta tindakan para pelaksana ketika menyelenggarakan pelayanan. c) Kebebasan Melakukan Pilihan. Pelayanan kesehatan disebut bermutu bila kebebasan memilih ini dapat diberikan karena itu dapat dilaksanakan oleh setiap penyelenggara pelayanan kese hatan. Oleh karena itu informasi yang lengkap dan jelas sangat diperlukan sebelum pasien menentukan pilihan. d) Pengetahuan dan Kompetensi Teknik. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan tingkat kompetensi tekhnis maka semakin tinggi pula mutu pelayanan. e) Efektifitas Pelayanan. Semakin tinggi pelayanan maka semakin tinggi pula mutu pelayanan. f) Keamanan Tindakan. Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, aspek keamanan tindakan ini harus diperhatikan, pelayanan yang membahayakan pasien adalah pelayanan yang tidak baik dan karena itu tidak boleh dilakukan. 2) Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan yaitu mengenai : a) Tersedianya Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu apabila pelayanan itu tersedia di masyarakat. b) Keseimbangan Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan disebut bermutu apabila pelayanan bersifat wajar dalam arti dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi. c) Kesinambungan Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila pelayanan tersebut bersifat kesinambungan dalam arti tersedia setiap saat baik menurut waktu atau kebutuhan pelayanan kesehatan. d) Penerimaan Pelayanan Kesehatan. Untuk dapat menjamin munculnya kepuasan yang terkait dengan mutu pelayanan kesehatan tersebut harus dapat diupayakan sehingga dapat dinerima oleh pemakai pelayanan kesehatan. e) Ketercapaian Pelayanan Kesehatan. Pelayanan kesehatan yang lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal terutama yang mudah dicapai, apabila keadaan itu terjadi, maka tidak akan memuaskan klien. 63
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
f)
2.
Efisiensi Pelayanan Kesehatan. Azwar mengatakan puas atau tidaknya pemakai jasa pelayanan mempunyai kaitan erat dengan baik atau tidaknya mutu pelayanan, maka pelayanan kesehatan disebut bermutu bila pelayanan diselenggarakan secara efisien. g) Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan. Azwar mengatakan keterjangkauan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan, maka suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan dapat dijangkau oleh pemakai jasa pelayanan. h) Mutu Pelayanan Kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan yang dimaksud di sini adalah menunjukkan pada kesembuhan serta keamanan tindakan yang apabila berhasil pasti akan memuaskan. d. Faktor yang me mpengaruhi Kepuasan Lupiyoadi (2001) yang menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan, terdapat lima faktor yang berpengaruh, yaitu : 1. Faktor Reliability (produk atau jasa dapat disampaikan, diandalkan, dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan atau memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan; 2. Faktor Insurance (dalam penyampaian produk atau jasa disertai rasa hormat, sopan); 3. Faktor Tangiable (tampilan fisik fasilitas, alat dan tenaga yang meliputi kebersihan, penerangan, kebisingan, dari kerapian pakaian, keramahan; 3. Faktor Emphaty (kesediaan pemberi jasa untuk mendengarkan dan adanya perhatian akan keluhan, kebutuhan, keinginan dan harapan pasien); 4. Faktor Responsiveness (kemauan untuk menyediakan pelayanan dengan cepat dan mau membantu pasien). Konsep Pelayanan a. Pengertian Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Tjiptono, 2000). Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang (Tjiptono, 2005). b. Konsep Kualitas Pelayanan (Servqual) Parasuraman et.al (1985) mengatakan ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expective service (pelayanan yang diharapkan), perceived service (pelayanan yang diterima). Karena kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono, 2005). c. Dimensi Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kepe rawatan Menurut Nursalam (2003), ada lima dimensi tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan, yaitu : 1) Dimensi tangiable (kenyataan) Dimensi tangiable (kenyataan) ini mencakup informasi tarif/biaya perawatan, prosedur pelayanan rawat inap, kondisi ruangan yang selalu bersih, kondisi peralatan yang digunakan selalu bersih, kondisi kamar mandi yang bersih. 2) Dimensi reliability (kepercayaan) Dimensi reliability (kepercayaan) ini mencakup rasa kepercayaan pasien terhadap perawat, secara keseluruhan perawat di rumah sakit tersebut 64
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus dipatuhi pasien selama perawatan, perawat mengupayakan agar pasien merasa puas. 3) Dimensi responsivenes (tanggung jawab) Yang termasuk dalam dimensi ini adalah : perawat membantu pasien memperoleh obat, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika pasien sampai di ruangan perawat segera menangani. 4) Dimensi insurance (jaminan) Dimensi Insurance ini mencakup pelayanan perawat membuat keluhan dan kecemasan pasien makin berkurang. 5) Dimensi emphaty (keperdulian) Cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan memuaskan pasien. Konsep Keperawatan a. Pengertian Keperawatan Menurut : 1) Florence Nightingale (1985). Keperawatan adalah suatu proses menciptakan kondisi pasien dalam kondisi yang baik untuk beraktivitas. 2) King (1971). Keperawatan adalah proses aksi dan interaksi untuk membantu individu dalam berbagai kelompok umur dalam memenuhi kebutuhannya dan menangani status kesehatan mereka pada saat tertentu dalam suatu siklus kehidupan. 3) Dorothea Orem (1921). Keperawatan adalah pelayanan yang bersifat manusia berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk merawat dari kesembuhan penyakit dan cidera, penanggulangan komplikasinya sehingga dapat menunjang kehidupan. Jadi keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan spiritual) yang dapat ditujukan kepada individu, keluarga dan atau masyarakat dalam rentang sehat sakit. b. Pengertian Pe rawat 1) International Counsil of Missing (1965). Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawtan, berwenang di Negara yang bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan kepada pasien. 2) V. Handerson (1980). Perawat mempunyai fungsi yang unik, yaitu membantu individu baik yang sehat maupun yang sakit dan lahir sampai meninggal agar dapat melaksanakan aktifitas sehari – hari secara mandiri. 3) Taylor C. Lilis C. Lemon (1989). Perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat dan membantu seseorang dengan melindungi dari sakit, luka-luka dan proses penuaan. Jadi perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawtan dan membantu individu yang sehat maupun yang sakit, proses penuaan dan memberi pelayanan yang bertanggung jawab (Zaidin, 2001). c. Praktek Keperawatan Profesional dan Sasaran Pelayanan Keperawatan 1) Praktek Keperawatan Profesional Praktek keperawatan profesional merupakan perwujudan pelayanan dan asuhan keperawatan yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat 65
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
pelayanan asuhan keperawatan diberikan oleh perawat yang mempunyai kemampuan intelektual, tekhnikal, interpersonal, dan dasar etik yang sehat. Menurut Handerson (1980) pelayanan keperawatan (Nursing Service) adalah upaya untuk membantu individu baik sakit maupun sehat, dari lahir sampai meninggal dunia dalam bentuk peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan sehari- hari secara mandiri. 2) Sasaran Pelayanan Keperawatan Sasaran pelayanan keperawatan adalah individu keluarga, dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit. a) Individu sasaran pelayanan keperawatan Individu yang menjadi sasaran pelayanan keperawatan adalah individu yang dianggap sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual. b) Individu sebagai makhluk biologis Biologis berasal dari bahasa Yunani yang tediri dari bios dan logos. Bios sendiri artinya hidup sehingga dapat dikatakan bahwa individu adalah makhluk yang hidup yang tumbuh dan berkembang sehingga makhluk hidup individu mempunyai ciri-ciri terdiri dari susunan sel – sel hidup yang membentuk suatu kesatuan yang utuh (sistem tubuh) dalam pertumbuhannya sehingga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : (1) Faktor lingkungan meliputi faktor idiologi politik, ekonomi, budaya dan agama. (2) Faktor sosial meliputi sosiologi keluarga, kawan sejawat, pendidikan dan lain- lain. (3) Faktor fisik meliputi geografis, iklim dan cuaca. (4) Faktor fisiologis meliputi genetik, neorologi, kelenjar-kelenjar, kardiovaskuler, alat gerak, maturitas, kemamp uan menyesuaikan diri. (5) Faktor psikodinamik meliputi bentuk pribadi, konsep diri, cita-cita identitas dan lain- lain. c) Individu sebagai makhluk psikologis ciri – cirinya adalah mempunyai struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego, dan super ego, mempunyai daya pikir dan kecerdasan serta mempunyai kebutuhan fisiologis agar kepribadian dapat berkembang dan juga mempunyai suatu pribadi yang begitu unik karena tidak ada dua individu di dunia ini yang sama. d) Individu sebagai makhluk sosial ciri – cirinya adalah rasa, cipta dan karsa. Rasa mencakup suka duka dan cemas, selanjutnya cipta mencakup kesanggupan badan untuk menyentuh sesuatu dan sedangkan karsa mencakup kehendak dan harapan. e) Individu sebagai makhluk spiritual dengan ciri – ciri yang diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang sempurna dibanding makhluk ciptaan lainnya. Selain itu juga memiliki rohani / jiwa yang sempurna contohnya akal pikiran, perasaan dan kemauan. Selanjutnya individu diciptakan sebagai khalifah (penguasa dan pengatur) di muka bumi dan makhluk spiritual juga terdiri dari atas unsur bio, psiko, yang utuh (Zaidin, 2001).
66
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
3) Individu Sebagai Sasaran Unit Pelayanan Keperawatan Keluarga adalah kumpulan individu yang hidup bersama sebagai satu kesatuan dengan atau tanpa ikatan darah sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki ikatan yang kuat diantara anggotanya dan rasa ketergantungan dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul termasuk masalah kesehatan keluarga sebagai unit pelayanan keperawatan. 4) Masyarakat Dengan Sasaran Pelayanan Keperawatan Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut salah satu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dengan demikian masyarakat memiliki unsur sebagai berikut : a) Sejumlah orang yang terkumpul di tempat tertentu. b) Saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama. c) Pada interaksinya menurut sistem adat istiadat. d) Terdapat keterikatan dalam rasa identitas bersama. Pengertian asuhan keperawatan dan model pemberian asuhan keperawatan. 1) Pengertian Asuhan Keperawatan a) Proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien/ pasien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan. b) Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai profesi yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat Humanistik dan berdasarkan pada kebutuhan obyektif klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. c) Merupakan inti pelayanan (praktik keperawatan yang berupaya untuk membantu melayani kebutuhan dasar melalui bentuk-bentuk tindakan keperawatan, menggunakan ilmu kiat keperawatan dalam setiap tindakan, memanfaatkan potensi dari berbagai sumber) (Nursalam, 2002). 2) Model Pemberian Asuhan Keperawatan Model memberikan asuhan keperawatan yang lazim dipakai meliputi metode kasus, metode fungsional, tim keperawatan, keperawatan primer, sistem manajemen kasus. a) Metode kasus merupakan metode client entered, dimana seorang perawat bertanggung jawab untuk memberikan perawatan pada sejumlah pasien dalam waktu 8 atau 12 jam setiap shift. Perawat mengkaji sampai dengan evaluasi pada setiap pasien-pasien dirawat oleh orang yang berbeda pada setiap pergantian shift. b) Metode fungsional : sistem ini berfokus pada tugas/ pekerjaan yang harus diselesaikan. Metode penugasan setiap staf perawat melaksanakan 1-2 fungsi keperawatan pada semua pasien yang ada di ruangan. Misal fungsi suntik dan fungsi keperawatan luka. Metode ini cukup efisien dan ekonomi serta mengarah pemusatan dan pengendalian. Kelemahannya munculnya pragmentasi keperawatan, tidak dapat menerapkan proses keperawatan, tidak memberikan kepuasan. c) Tim Keperawatan : Metode ini mengatasi fragmentasi dari metode pada orientasi tugas. Tim keperawatan merupakan pemberian asuhan keperawatan pada setiap pasien oleh tim keperawatan yang dipimpin oleh perawat profesional. 67
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
d) Perawat ruangan di bagi 2-3 tim yang terdiri dari tenaga profesional, tehnikal dan pembantu dalam satu group kecil yang saling membantu. Ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai teknik kepemimpinan, pentingnya komunikasi yang efektif agar kontinuitas rencana keperawatan terjamin. Anggota harus menghargai kepemimpinan ketua tim. e) Keperawatan Primer : Metode penugasan di mana satu orang perawat bertanggung jawab penuh selama 24 jam terhadap asuhan keperawatan pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit. Metode primer ditandai dengan adanya keterkaitan kuat dan terus menerus antara pasien dan perawat yang tugasnya untuk merencanakan, melakukan dan koordinasi asuhan keperawatan selama pasien dirawat (Nursalam, 2002). f) Kelebihan bertempat kontinuitas dan komprehensif, akuntabilitas tinggi, terhadap hasil dokter merasa puas. Pasien merasa dimanusiakan karena terpenuhinya kebutuhan secara individu, asuhan keperawatan yang diberikan bermutu tinggi, tercapai pelayanan yang efektif pengobatan, dukungan, proteksi, informasi, dan advokasi. Kiat keperawatan (Nursing arts) lebih difokuskan pada kemampuan perawat untuk memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan sentuhan seni dalam arti menggunakan kiat-kiat tertentu di dalam upaya memberikan kepuasan dan kenyamanan pada klien, berikut ini diuraikan kiat-kiat dalam keperawatan : (1) Nursing is caring : perawat berperan memberikan asuhan keperawatan tidak ada kasus pribadi semua diperlakukan sama. (2) Nursing is sharing : selalu melakukan sharing antara semua perawat dengan tim kesehatan. (3) Nursing is laughing : perawat meyakini bahwa senyum merupakan kiat dalam asuhan keperawatan untuk meningkatkan rasa nyaman klien. (4) Nursing is crying : Perawat menerima respon emosional dari orang lain sebagai hal biasa pada situasi senang/ atau duka. (5) Nursing is touching : sentuhan untuk meningkatkan rasa nyaman pada saat melakukan masase atau saat menyatakan ―saya memahami anda‖. (6) Nursing is helping : asuhan keperawatan dilakukan untuk menolong klien sepenuhnya memahami kondisi klien. (7) Nursing is believing in others : meyakini bahwa orang lain memiliki hasrat dan kemampuan meningkatkan status kesehatannya. (8) Nursing is trusting : perawat menjaga kepercayaan orang lain untuk menjaga mutu asuhan keperawatan. (9) Nursing is learning : selalu belajar mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan keperawatan profesional melalui asuhan keperawatan. (10) Nursing is respecting : hormat dan menghargai klien dan keluarganya dengan menjaga kepercayaan dan rahasia klien. (11) Nursing is listening : perawat harus mau menjadi pendengar yang baik ketika klien berbicara atau mengeluh.
68
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
(12) Nursing is doing : perawat melakukan pengkajian dan intervensi keperawatan berdasarkan pengetahuannya, untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta asuhan keperawatan secara komprehensif (13) Nursing is feeling : perawat dapat menerima, merasakan, dan memahami perasaan duka, senang, frustasi dan rasa puas klien. (14) Nursing is accepting : perawat harus menerima diri sendiri sebelum dapat menerima orang (15) Nursing is believing in self: perawat yakin bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan mampu untuk menolong orang lain dalam memelihara kesehatannya (Gaffar, 2003). C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian, Variabel dan definisi Operasional. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif. Rancangan penelitian deskriptif adalah rancangan penelitian yang bertujuan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial, ekonomi, pekerjaan, status perkawinan, cara hidup (pola hidup) dan lain- lain atau dengan kata lain rancangan ini mendeskripsikan seperangkat peristiwa atau kondisi populasi saat itu (Hidayat, 2007). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode publik opinion survey dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang pendapat umum terhadap suatu program pelayanan kesehatan yang sedang berjalan (Nursalam, 2001). Input: SDM: pengetahuan, kesopanan, keramahan, kemampuan diagnosis, ketrampilan dan keahlian, emphati dan respons Fasilitas: Kebersihan, kenyamanan, keamanan, kelengkapan fasilitas
Proses Pelayanan Keperawatan
Output: Kepuasan Pasien : 1. Puas 2. Tidak Puas
Lima dimensi penentu tingkat kepuasan : a. Tangiable (Kenyataan) b. Reliability (Kepercayaan) c. Responsiveness (Tanggung Jawab) d. Insurance (Jaminan) e. Emphaty (Keperdulian)
Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 5. Kerangka Konseptual Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu tingkat kepuasan pasien rawat inap dan keluarga pada pelayanan keperawatan di Rumah Sakit DKT Mojokerto.
69
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Tabel 16. Definisi Operasional Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto. Variabel Kepuasan pasien dan keluarga pada pelayanan keperawatan
2.
Definisi Operasional Kepuasan adalah respon dari konsumen (pasien dan keluarga) yang menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan harapan, dengan parameter lima dimensi kualitas layanan yang menjadi penentu tingkat kepuasan : 1. Reliability 2. Insurance 3. Tangiable 4. Emphaty 5. Responsiveness Yang diukur dengan menggunakan kuesioner.
Krite ria Skala Penilaian tingkat kepuasan : Nominal 1. T≥50 puas, 2. T<50 tidak puas Dengan menggunakan skala likert. (Azwar, 2007)
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Poli Rawat Inap Rumah Sakit DKT Mojokerto. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2011 - 12 Maret 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap yang d i Rumah Sakit DKT Mojokerto pada tahun 2010 sebanyak 804 pasien. Dalam penelitian ini menggunakan Consecutive Sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap dan keluarga pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto yang dijumpai peneliti selama penelitian. a. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : 1) Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto. 2) Pasien yang dirawat dengan lama rawat inap lebih dari 3 hari. 3) Pasien dengan kesadaran penuh. 4) Semua pasien yang ditunggui keluarga. 5) Pasien yang bersedia menjadi responden dan kooperatif. b. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah : 1) Pasien tuli. 2) Pasien dengan gangguan psikologis. Setelah dilakukan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, maka ditentukan jumlah sampel sebanyak 35 responden dari pasien dan 35 responden dari keluarga. Teknik pengumpulan data dari pasien adalah angket (Quesionery), sedangkan kuesioner pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari 25 pertanyaan yang terbagi atas 5 pertanyaan tentang tangiable (kebersihan, kenyamanan, keamanan, kelengkapan fasilitas), 5 pertanyaan tentang reliability (kepercayaan), 5 pertanyaan tentang responsivenes (tanggung jawab), 5 pertanyaan 70
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
tentang insurance (pengetahuan, kesopanan, keramahan, kemampuan diagnosis, ketrampilan dan keahlian), dan 5 pertanyaan tentang emphaty (keperdulian). Responden diminta memberikan penilaian tentang kenyataan dan harapan yang diterima akan layanan rawat inap di Poli Rawat inap Rumah Sakit DKT Mojokerto kemudian kuesioner dibagikan kepada responden, dalam pengisian kuisioner responden ada yang di bantu apabila terdapat kesulitan dalam pengisian. Teknik Pengolahan dan Analisis Data. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data dengan tahap – tahap sebagai berikut. a. Editing. Editing adalah memeriksa kembali semua data yang dikumpulkan melalui kuesioner (Nazir, 2005). Jika terdapat kuesioner yang belum diisi / pengisian tidak sesuai dengan petunjuk maka kuesioner tersebut dikembalikan kepada responden untuk mengisinya kembali dengan disertai penjelasan ke mbali tentang informasi yang dibutuhkan oleh responden. Dalam penelitian, ternyata ada beberapa responden yang kurang lengkap dalam mengisi kuesioner dan itu ditemukan setelah peneliti melakukan editing. Ketika dikonfirmasi ulang, alasan responden tidak mengisi adalah karena kurang konsentrasi. Setelah diberi kesempatan untuk membaca ulang, responden bisa menjawab pertanyaan dengan baik. b. Coding. Coding adalah tahap kedua setelah editing. Dimana penelitian memberi kode pada setiap kategori pada setiap variabel (Nazir, 2005). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh dalam tabulasi dan analisis data pengklasifikasian untuk informasi, meliputi klasifikasi umur responden berdasarkan Hurlock (2001), dimana umur 20 – 29 tahun diberi kode 1, umur 30 – 39 tahun diberi kode 2, 40 – 49 tahun diberi kode 3, umur 50 - 59 diberi kode 4, umur ≥ 60 tahun diberi kode 5. Klasifikasi tingkat pendidikan responden berdasarkan Susenas yang diadakan BPS (2003), dimana tidak / belum tamat SD diberi kode 1, tingkat SD diberi kode 2, SMP diberi kode 3, SLTA diberi kode 4, Diploma diberi kode 5, dan universitas diberi kode 6. Begitu juga untuk klasifikasi pekerjaan responden berdasarkan BPS (2003), dimana Tidak Bekerja diberi kode 1, Wiraswasta diberi kode 2, Swasta diberi kode 3, Tani diberi kode 4, Polri/TNI diberi kode 5, dan PNS diberi kode 6. Klasifikasi penghasilan responden digunakan berdasarkan JPS (2009), dimana Rp. 1.009.150,- diberi kode 1 dan > Rp. 1.009.150,diberi kode 2. Kode yang diberikan dalam proses coding dicantumkan dalam master tabel. Kode yang digunakan dalam kuesioner juga digunakan untuk scoring. Ini dilakukan untuk mempermudah analisa data yang dilakukan peneliti. c. Scoring. Setelah angket dikumpulkan, kemudian pengolahan data dilakukan dengan pemberian skor dan penilaian (Nursalam, 2003). d. Penilaian tingkat kepuasan T ≥ 50 puas dan T < 50 tidak puas, dengan memberi skor pada setiap jawaban : 1) Sangat puas (4) 2) Puas (3) 3) Tidak puas (2) 4) Sangat tidak puas (1) Data yang telah terkumpul melalui kuesioner kemudian dianalisa secara sistematik agar bisa ditabulasi dan dikelompokkan dengan sub variabel yang diteliti dengan menggunakan skor T yaitu :
71
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012 T
e.
f.
g.
h.
50 10
y x SD
Keterangan : y = Skor responden pada skala sikap yang diubah menjadi skor T x = mean skor kelompok SD = Standar deviasi skor kelompok. Data yang telah diolah dibuat distribusi frekuensi (Azwar, 2007). Tabulasi Tabulasi adalah pengelompokan dengan membuat analisis yang dibutuhkan (Nazir, 2005). Cara pembacaan hasil tabulasi yang dimuat dalam tabel berdasarkan Nursalam (2003) yaitu : a. < 50 % = Paling banyak b. 50 – 69 = Lebih dari 50 % c. 70 – 89 = Sebagian besar d. > 90 % = Mayoritas Cleanning Data. Cleanning data adalah proses untuk meyakinkan bahwa data yang telah di entry/dimasukkan betul - betul bersih dari kesalahan. Kesalahan biasa saja terjadi karena si pemasuk data salah ketik (Budijanto, 2007). Pada saat cleaning data peneliti meyakinkan data telah dientry dengan benar. Shorting. Shorting adalah mensortir dengan cara memilah atau mengelompokkan data menurut jenis yang dikehendaki (klasifikasi data) (Budijanto, 2007). Pada saat shorting peneliti sudah mengklasifikasikan data responden. Mengeluarkan informasi yang diinginkan. (Budijanto, 2007). Dengan hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan penilaian tingkat kepuasan pasien rawat inap dan keluarga pada pelayanan keperawatan.
D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Rumah Sakit DKT Mojokerto didirikan oleh BKR pada tahun 1946 dengan pimpinan dr. Hadiono Singgih yang kemudian namanya diabadikan menjadi nama Rumah Sakit sejak tahun 1976 dengan nama Rumah Sakit TK. IV dr. Hadiono Singgih. Pada tahun 1986 berubah status menjadi Poliklinik Induk dan pada tahun 2001 berubah menjadi Rumah Sakit DKT Mojokerto/Rumkitban dr. Hadiono Singgih Mojokerto yang bertugas dibawah naungan Mabes TNI AD dan Kemenhan RI. Visi yang dimiliki Rumah Sakit DKT Mojokerto adalah memberikan pelayanan kesehatan terhadap prajurit, PNS TNI AD dan keluarganya secara tepat, cepat dan profesional, sedangkan misinya adalah melaksanakan pembangunan bidang kesehatan terhadap prajurit, PNS TNI AD dan keluarganya serta bereran aktif mensukseskan pembangunan nasional dibidang kesehatan. Rumah Sakit DKT terletak di Jalan R. Wijaya No. 58 Kelurahan Kranggan Kecamatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto dan menempati bangunan seluas 1.087 m2 pada area seluas 13.599 m2 . Jenis pelayanan yang ada di Rumah Sakit DKT Mojokerto diantaranya adalah UGD, rawat inap (rawat inap pria dan rawat inap wanita), rawat jalan (poli umum, poli gigi dan poli KIA), kamar operasi, laboratorium medis, instalasi farmasi dan BKIA. Kapasitas tempat tidur di Rumah Sakit DKT Mojokerto terdiri dari kelas 1 (10 tempat tidur), kelas 2 (10 tempat tidur) dan kelas 3 (32 tempat tidur) dengan rata-rata penggunaan tempat tidur per tahun (BOR / Bed Occupancy Rate) sebesar 85 %. 72
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Ketenagaan yang ada di Rumah Sakit DKT Mojokerto sebanyak 65 orang, yang terdiri dari : 2 orang dokter umum, 2 orang dokter gigi, 23 orang perawat, 6 orang bidan, 2 orang analis kesehatan dan 1 orang asisten apoteker dan 28 tenaga umum lainnya. Data Umum a. Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Umur. Tabel 17 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Umur Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 – 12 Maret 2011. Pasien Keluarga No. Umur Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (f) (%) (f) (%) 1. 20 – 29 tahun 11 31,4 15 42,9 2. 30 – 39 tahun 14 40 11 31,4 3. 40 – 49 tahun 6 17,1 5 14,3 4. 50 – 59 tahun 4 11,4 4 11,4 5. ≥ 60 tahun 0 0 0 0,0 Jumlah 35 100 35 100 Berdasarkan tabel 17 diatas dapat diketahui bahwa paling banyak pasien berumur 30 - 39 tahun yaitu sebanyak 14 responden (40%), sedangkan keluarga pasien paling banyak berumur 20 - 29 tahun yaitu sebanyak 15 responden (42,9%). b. Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Pendidikan. Tabel 18 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Pendidikan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 – 12 Maret 2011. Pasien Keluarga No. Pendidikan Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (f) (%) (f) (%) Tidak/Belum 1. 0 0 0 0,0 Tamat SD 2. SD 0 0 0 0,0 3. SMP 6 17,1 14 40,0 4. SLTA 20 57,1 14 40,0 5. Diploma 4 11,4 3 8,6 6. Universitas 5 14,3 4 11,4 Jumlah 35 100 35 100 Berdasarkan tabel 18 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 20 responden (57,1%) sedangkan keluarga pasien paling banyak berpendidikan SMP dan SLTA yaitu sebanyak 14 responden (40%).
73
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
c.
3.
Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 19 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Pekerjaan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 – 12 Maret 2011. Pasien Keluarga No. Pekerjaan Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (f) (%) (f) (%) 1. Tidak Bekerja 2 5,7 17 48,6 2. Wiraswasta 4 11,4 5 14,3 3. Swasta 6 17,1 10 28,6 4. Tani 0 0 0 0,0 5. Polri/TNI 18 51,4 2 5,7 6. PNS 5 14,3 1 2,8 Jumlah 35 100 35 100 Berdasarkan tabel 19 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien bekerja sebagai Polri/TNI yaitu sebanyak 18 responden (51,4%) sedangkan pada keluarga paling banyak tidak bekerja yaitu sebanyak 17 responden (48,6%). d. Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Penghasilan. Tabel 20 Distribusi Frekuensi Pasien dan Keluarga Berdasarkan Penghasilan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 – 12 Maret 2011. Pasien Keluarga No. Penghasilan Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase (f) (%) (f) (%) 1. < Rp. 1.009.150,6 17,1 6 17,1 2. > Rp. 1.009.150,29 82,9 29 82,9 Jumlah 35 100 35 100 Berdasarkan tabel 20 diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar pasien dan keluarga berpenghasilan > Rp. 1.009.150,- yaitu sebanyak 29 responden (82,9%). Data Khusus a. Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan. Tabel 21 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 – 12 Maret 2011. No. Tingkat Kepuasan Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Puas 18 51,4 2. Tidak Puas 17 48,6 Jumlah 35 100 Berdasarkan tabel 21 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18 responden (51,4%).
74
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Tingkat Kepuasan Keluarga Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan. Tabel 22 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Keluarga Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Kepe rawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 – 12 Maret 2011. No. Tingkat Kepuasan Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Puas 19 54,3 2. Tidak Puas 16 45,7 Jumlah 35 100 Berdasarkan tabel 22 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% keluarga pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 19 responden (54,3%). Tingkat Kepuasan Pasien Dan Keluarga Tabel 23 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Pasien Dan Keluarga Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Kepe rawatan Di Rumah Sakit DKT Mojokerto Pada Tanggal 16 Februari 2011 – 12 Maret 2011. Keluarga Pasien TOTAL Tingkat Pasien No. Kepuasan f % f % f % 1. Puas 18 51,4 19 54,3 37 52,9 33 2. Tidak Puas 17 48,6 16 45,7 47,1 Jumlah 35 100 35 100 70 100 Berdasarkan tabel 23 diatas dapat diketahui bahwa terdapat proporsi yang hampir sama banyaknya antara pasien dan keluarga yang puas da n demikian juga pada kelompok yang tidak puas. Keduanya menunjukkan proporsi yang hampir sama besar.
E. PEMBAHASAN 1. Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan. Berdasarkan tabel 20 diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18 responden (51,4%). Jika ditinjau dari tabel 17 sampai 20 diatas diketahui bahwa paling banyak pasien berusia 30 - 39 tahun (dewasa muda), berpendidikan SLTA dan bekerja sebagai Polri/TNI serta berpenghasilan > Rp. 1.009.150,-. Seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa mendapatkan value dari pemasok, produsen dan penyedia jasa. Pelanggan akan merasa puas jika puasnya sama atau lebih dari yang diharapkan dan pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan produsen atau penyedia jasa, bahkan pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain (Irawati, 2003). Jadi seorang pasien rawat inap akan menyatakan puas terhadap pelayanan keperawatan yang diterimanya jika pasien merasa mendapatkan nilai dari penyedia jasa dalam hal ini adalah perawat. Pasien merasa mendapatkan manfaat dari pelayanan perawat yang diterimanya baik ditinjau dari segi pemberian pelayanan ataupun dari segi etestika yaitu bagaimana perawat memberikan penanganan yang cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien dan juga keluarga, kenyamanan yang diberikan meliputi keramahan perawat, kebersihan kelengkapan sarana dan prasarana yang ada. Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan, terdapat lima faktor yang berpengaruh, yaitu : 1. Faktor Reliability (produk atau jasa dapat disampaikan, diandalkan, dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan atau 75
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan; 2. Faktor Insurance (dalam penyampaian produk atau jasa disertai rasa hormat, sopan); 3. Faktor Tangiable (tampilan fisik fasilitas, alat dan tenaga yang meliputi kebersihan, penerangan, kebisingan, dari kerapian pakaian, keramahan; 3. Faktor Emphaty (kesediaan pemberi jasa untuk mendengarkan dan adanya perhatian akan keluhan, kebutuhan, keinginan dan harapan pasien); 4. Faktor Responsiveness (kemauan untuk menyediakan pelayanan dengan cepat dan mau membantu pasien). Tingkat kepuasan pasien ditinjau dari dimensi tangible menunjukkan bahwa 54,3% dari responden menyatakan puas sedangkan 45,7% menyatakan tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi tangiable (kenyataan) ini mencakup informasi tarif/biaya perawatan, prosedur pelayanan rawat inap, kondis i ruangan yang selalu bersih, kondisi peralatan yang digunakan selalu bersih, kondisi kamar mandi yang bersih. Sesuai dengan teori tersebut dilihat dari segi penampilan fisik dari fasilitas yang ada, pasien merasa puas karena tidak merasa tertipu oleh tar if yang ditetapkan pihak Rumah Sakit DKT Mojokerto, prosedur pelayanan dianggap baik oleh pasien, serta perawat senantiasa menjaga kebersihan peralatan dan ruang rawat pasien. Dari segi peralatan dan personalia, pasien merasa puas karena peralatan yang digunakan modern ataupun penunjang medis yang lain tersedia dalam 24 jam sehingga diharapkan mampu menangani keluhan pasien sedangkan dari segi personalianya terlihat bagus. Dari segi kerapian dan penampilan karyawan, seluruh karyawan mengenakan seragam kerja yang dilengkapi dengan atribut lengkap serta nama atau identitas. Apabila ditinjau dari segi reability didapatkan bahwa lebih dari 50% responden merasa puas yaitu sebanyak 21 orang (60%) sedangkan sisanya merasa tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi reliability (kepercayaan) ini mencakup rasa kepercayaan pasien terhadap perawat, secara keseluruhan perawat di rumah sakit tersebut baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus dipatuhi pasien selama perawatan, perawat mengupayakan agar pasien merasa puas. Jadi kepuasan responden terbentuk sebab responden merasa bahwa perawat mampu menangani masalah yang dihadapinya dengan baik serta senantiasa memberikan informasi tentang pelayanan yang diberikan terhadap pasien atau dengan kata lain perawat Rumah Sakit DKT Mojokerto dianggap responden sangat mengutamakan kepuasan. Apabila ditinjau dari segi Responsiveness didapatkan hasil bahwa lebih dari 50% responden merasa puas yaitu sebanyak 18 orang (51,4%) sedangkan sisanya merasa tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa yang termasuk dalam dimensi Responsiveness ini adalah : perawat membantu pasien memperoleh obat, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika pasien sampai di ruangan perawat segera menangani. Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto merasa bahwa perawat senantiasa mampu dan cepat dalam memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan serta pelayanan penunjang yakni laboratorium. Perawat tidak pernah menelantarkan pasien. Pasien dengan keluhan apapun yang datang langsung ditangani dengan baik. Apabila ditinjau dari segi Insurance didapatkan bahwa lebih dari 50% responden merasa puas yaitu sebanyak 18 orang (51,4%) sedangkan sisanya merasa tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa dimensi insurance ini mencakup pelayanan perawat membuat keluhan dan kecemasan pasien makin berkurang. Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto merasa bahwa perawat senantiasa memberikan pelayanan keperawatan dengan baik dan sopan serta menjalankan 76
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
prosedur yang ada sehingga keluhan yang berkaitan dengan masalah kesehatan yang dialaminya cenderung dirasakan berkurang. Apabila ditinjau dari segi empaty didapatkan bahwa lebih dari 50% responden atau sebanyak 21 orang merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan memuaskan pasien. Pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto merasa bahwa perawat senantiasa memberikan pelayanan dengan dengan penuh kesabaran dan perhatian yang cukup dalam setiap kebutuhan pasien diantaranya kebutuhan BAB (Buang Air Besar) dan BAK (Buang Air Kecil). Tingkat Kepuasan Keluarga Pasien Rawat Inap Pada Pelayanan Keperawatan. Berdasarkan tabel 22 diatas dapat diketahui bahwa bahwa lebih dari 50% keluarga pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 19 responden (54,3%). Jika ditinjau dari tabel 17 sampai 20 diatas diketahui bahwa paling banyak pasien berusia 20-29 tahun (juga kategori usia dewasa muda), berpendidikan SMP dan SLTA, tidak bekerja serta berpenghasilan > Rp. 1.009.150,-. Menurut Orem (1921) Perawat tidak hanya memberikan pelayanan kepada pasien namun juga pada keluarga. Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan/harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Tingkat kepuasan keluarga pasien bila ditinjau dari dimensi tangible menunjukkan bahwa 54,3% dari keluarga menyatakan puas sedangkan 45,7% menyatakan tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi tangiable (kenyataan) ini mencakup informasi tarif/biaya perawatan, prosedur pelayanan rawat inap, kondisi ruangan yang selalu bersih, kondisi peralatan yang digunakan sela lu bersih, kondisi kamar mandi yang bersih. Keluarga pasien merasa puas karena menurut persepsi keluarga tarif atau biaya perawatan terjangkau serta kondisi kamar untuk menunggu pasien juga selalu bersih. Tingkat kepuasan keluarga pasien bila ditinjau dari dimensi reability menunjukkan bahwa 48,6% keluarga pasien merasa puas sedangkan sisanya merasa tidak puas. Menurut Nursalam (2003), Dimensi reliability (kepercayaan) ini mencakup rasa kepercayaan keluarga pasien terhadap perawat, secara keseluruhan perawat di rumah sakit tersebut baik, perawat memberi tahu tentang hal yang harus dipatuhi keluarga pasien selama perawatan, perawat mengupayakan agar keluarga pasien merasa puas. Dalam pelayanan keperawatan, keluarga pasien akan merasakan kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan pada anggota keluarganya yang menjadi pasien, apabila keluarga juga mendapatkan informasi tentang seluruh pelayanan yang diberikan pada pasien serta keluarga yakin dengan kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan. Sehingga ketidakpuasan keluarga pasien terhadap pelayanan keperawatan pada saat rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto terbentuk karena selama menunggu pasien, keluarga tidak pernah diberi penjelasan tentang pelayanan yang diterima anggota keluarganya. Apabila ditinjau dari responsiveness didapatkan hasil bahwa 15 orang (42,9%) keluarga merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa yang termasuk dalam dimensi Responsiveness ini adalah : perawat membantu pasien memperoleh obat, pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi, ketika pasien sampai di ruangan perawat segera menangani. Kelurga merasa tidak puas karena
77
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
perawat tidak segera menangani pasien yang datang ke Rumah Sakit DKT Mojokerto dengan baik. Apabila ditinjau dari Insurance didapatkan hasil bahwa 18 orang (51,4%) keluarga merasa puas sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa dimensi insurance ini mencakup pelayanan perawat membuat keluhan dan kecemasan pasien makin berkurang. Kepuasan keluarga pasien rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto terbentuk karena keluarga merasa pelayanan yang diberikan perawat dapat menurunkan kecemasan dan keluhan pasien. Jadi keluarga pasien akan merasa puas terhadap pelayanan perawat jika pelayanan yang diberikan perawat dapat menurunkan frekuensi keluhan dari pasien, misalnya pada pasien post operasi, karena pelayanan perawat dianggap tepat, dan pasien tidak merasa nyeri pada luka bekas operasi maka pasien dan keluarga akan merasa puas terhadap pelayanan perawat. Ditinjau dari segi empaty didapatkan bahwa 21 orang (60%) keluarga pasien merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan perawat selama rawat inap di Rumah Sakit DKT Mojokerto sedangkan sisanya tidak puas. Nursalam (2003) menyatakan bahwa cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan memuaskan pasien. Kepuasan keluarga juga terbentuk karena perawat memberikan perhatian terhadap pasien dan keluarganya. Perawat berusaha peduli dengan semua kebutuhan pasien. Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik/lebih efisien dan lebih efektif apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Dalam hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan oleh pelanggan dalam menilai suatu pelayanan yaitu: ketepatan waktu, dapat dipercaya, kemampuan tekhnis, diharapkan, berkualitas dan harga yang sepadan. Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian pelayanan yang memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, perlu mengetahui halhal berikut : Mengetahui apa pelanggan pikirkan tentang anda, pelayanan anda dan pesaing anda, Mengukur dan meningkatkan kinerja anda, Memanfaatkan kelemahan anda ke dalam peluang pengembangan, sebelum orang lain memulainya, Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap orang tahu apa yang mereka kerjakan, Menunjukkan komitmen anda terhadap kualitas dan pelanggan anda, Umpan balik dan informasi merupakan elemen yang penting dalam membangun sistem pemberian pelayanan yang efektif (Irawan, 2003). Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Keluarga Pada Pelayanan Keperawatan. Ditinjau dari hasil tabel 23 tentang tabel kepuasan pasien dan keluarga dalam menerima pelayanan keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit DKT Mojokerto menunjukkan bahwa terdapat proporsi yang hampir sama antara kepuasan dan ketidak puasan pasien dan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan cara pandang pasien dan keluarga terhadap pelayanan keperawatan. Pelayanan yang diterima oleh pasien sama dnegan yang diterima oleh keluarganya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pelayanan yang diberikan oleh perawat Rumah Sakit DKT baik pada pasien maupun pada keluarga pasien. Pelanggan dalam pelayanan keperawatan tidak hanya pasien, namun keluarga pasien juga perlu dipertimbangkan dalam pelayanan keperawatan. Menurut Irawan (2003) Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan 78
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
produsen atau penyedia jasa, bahkan pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman dengan pelanggan lain. Sehingga apabila keluarga juga merasa puas dengan pelayanan keperawatan di Rumah Sakit DKT Mojokerto maka akan menceritakan hal tersebut dengan orang lain sehingga cakupan pelayanan harian di Rumah Sakit DKT Mojokerto bisa meningkat. F. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian tingkat kepuasan pasien rawat inap dan keluarga pada pelayanan keperawatan di Rumah Sakit DKT Mojokerto yang dilakukan pada tanggal 16 Februari – 12 Maret 2011 dapat diambil kesimpulan bahwa lebih dari 50% pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 18 responden (51,4%) sedangkan sisanya merasa tidak puas. Lebih dari 50% keluarga pasien rawat inap menyatakan puas pada pelayanan keperawatan yaitu sebanyak 19 responden (54,3%). Ada persamaan proporsi antara yang puas dan tidak puas antara pasien rawat inap dengan keluarga pasien rawat inap. Rumah Sakit hendaknya membuat kebijakan biaya manajemen rumah sakit yang sesuai dengan jasa yang diberikan, selain itu menetapkan standar penampilan fisik, meningkatkan kebersihan dan kenyaman ruang perawatan serta juga memperhatikan kepuasan dan kebutuhan keluarga. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Azwar, Azrul. (2003). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Azwar, Saifuddin. (2007). Manusia Dan Pengukurannya. Jogjakarta : Pustaka Pelajar. BPS. (2003). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Jakarta : Biro Pencatat Statistik. Effendi, Nasrul, Drs. (2004). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2. Jakarta : EGC. Gaffar, Laode, Jumadi. (2003). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : Rineka Cipta. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Pembahasan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Hurlock, Elizabeth B. (2001). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. Irawan, Handi. (2003). 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta : EGC. JPS. (2009). Tahun 2010 Upah Terendah Surabaya Rp. 1031500 Bulan. (http://www.surya.co.id./2009/11/19/Tahun 2010 Upah Terendah Surabaya Rp. 1031500 Bulan.html, diakses 06 Desember 2010). Kompas. (2009). Tingkat Kepuasan Kerja. (http://www.kompas.com.cetak/0705/ 14 humaniora/3531067.htm, diakses 27 Oktober 2010). Khoiriyati, Azizah. (2010). Komunikasi therapeutik dalam pemberian pelayanan di rumah sakit. (http://azizahkh.wordpress.com/komunikasi-keperawatan/, diakses 06 Desember 2010). Kusnanto, M.Kes, S.Kep. (2004). Pengantar Profesi dan Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC. Muhaj, Khaidir. (2010). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Keperawatan. (http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2010/04/ gambaran-tingkat-kepuasanpasien.html, diakses 27 Nopember 2010). Nazir, Mohammad. (2005). Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. Nursalam, Siti Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : CV. Sagung Seto. Nursalam. (2002). Manajemen Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 79
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Potter dan Perry. (2005). Fundamental Keperawatan, Edisi IV Vol.1. Jakarta : EGC. Sleman, Dinkes. (2007). Tuntutan Masyarakat Terhadap Kepuasan. (http://dinas%20kesehatan%20kabupaten%20sleman.htm, Diakses 27 Oktober 2010). Supranto. (2001). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta : Rineka Cipta. Supriyanto, S. (2003). Manajemen Pemasaran Jasa Pelayanan Kesehatan. Diktat Fakultas Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press. Supriyanto, S. (2005). Manajemen Mutu. Diktat Fakultas Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press. Supriyanto, S. (2002). Faktor Dominan Kepuasan Pasien Sebagai Dasar Penyusunan Upaya Pengembangan Mutu Pelayanan Kesehatan di RSUD Kabupaten Sidoarjo. Surabaya : Penelitian Ilmiah FKM Unair. Wijono, Djoko. (2000). Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Vol. 1. Surabaya : Airlangga University Press. Zaidin, Ali. (2001). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika.
80
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
HUBUNGAN SUAMI PEROKOK DENGAN TERJADINYA BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSUD SIDOARJO Alif Isroaini.1 , Nur Saidah, M.Kes.2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit 1
ABSTRACT Sulawesi in Indonesia, especially in the south most of the 79.2% were low birth weight in term pregnancies. This is caused by misuse of smoking is often done. Cigarette smoke contains over 4000 chemicals in cigarettes by 20 species of which are carcinogenic and toxic ingredients found in tobacco smoke a lot. The purpose of this study to determine the relationship of husband and smokers with low birth weight in Sidoarjo Hospital. This type of research is the use of analytical case-control study design. Independent variable is the husband of smokers and the occurrence of low birth weight is the dependent variable. The study population was all infants born incidence in Sidoarjo District Hospital with a population of 20 and 20 LBW BBLN in a month ie on 23 May-23 June 2012 by using primary and secondary data, the study sample using probability sampling with a purposive sampling, this study used data analysis techniques in a way that the data processing Editing, Coding, Scoring, Tabulating. Chi-square teststatistic (X2 ) with α = 0.05. From the result showed that a minority with a very heavy smoker category husband of 20 respondents (50%). Minority of respondents in the category of LBW by 20 respondents (50%). Based on the results of statistical tests by using a manual with the chi square test (X2 ) with α = 5% with 3 dk X2 table value 7,81 which count 8 > 7,81 then the value dk rejected h1 ho accepted means there is a relationship of husband and smokers LBW in Sidoarjo Hospital. The conclusion of the study is affecting your relationship smokers LBW incidence is caused by toxins found in cigarette smoke that causes damage and is carcinogenic. Need for additional information dangers of smoking and secondhand smoke especially for the mother to the fetus health professions in addition to the need for additional education on the dangers of secondhand smoke to pregnant women during ANC visits. Keywords : Husband Smokers, BBLN, LBW A. PENDAHULUAN Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat rokok, perilaku merokok belum juga surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari–hari di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat disaksikan dan dijumpai orang yang sedang merokok di sebelah ibu yang sedang menggendong bayi sekalipun, orang tersebut tetap tenang menghembuskan asap rokoknya. Selama beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah membuktikan bahwa zatzat kimia yang dikandungnya asap rokok dapat memengaruhi orang–orang yang tidak merokok di sekitarnya. Orang–orang yang tidak merokok, namun menjadi korban perokok karena turut mengisap asap sampingan (di samping asap utama yang di hembuskan baik oleh perokok). Perokok pasif memiliki resiko yang cukup tinggi atas kanker, paru–paru, ibu hamil yang merokok atau perokok pasif, menyalurkan zat–zat beracun dari asap rokok kepada janin yang dikandungnya melalui peredaran darah. Nikotin rokok menyebabkan denyut jantung janin bertambah cepat, sedangkan karbon monoksida menyebabkan berkurangnya oksigen yang diterima janin (Trim, 2006:13). 81
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
BBLR adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan memiliki berat badan kurang dari 2500 gram. American Lung Association di Amerika Serikat, merokok bertanggung jawab terhadap sekitar 30% kejadian bayi dengan berat lahir rendah (Dcirf.2012).Dewasa ini diperkirakan sekitar 17 juta bayi lahir BBLR setiap tahun dan 16% diantaranya lahir di negara berkembang. Dari jumlah tersebut sekitar 80% lahir di Asia. BBLR menjadi masalah kesehatan masyarakat utama berdasarkan rekomendasi internasional pada cut of 15%, (De Onis et al). Dan jumlah BBLR di Indonesia diperkirakan mencapai 350 ribu bayi setiap tahunnya. BBLR menurut propinsi di Indonesia dengan rentang 2,0 % -15,1% terendah di propinsi Sumatera Utara dan tertinggi di Sulawesi Selatan. Berdasarkan umur kehamilan ditemukan 20,8% BBLR yang dilahirkan kurang bulan dan sebagian besar (79,2%) adalah BBLR pada kehamilan cukup bulan dengan proporsi terbesar di daerah pedesaan.(Ridwanaminuddin, 2011). Rokok merupakan bentuk penyalahgunaan yang sering dilakukan. Insidensi perempuan hamil yang merokok sekitar 16,3 – 52%, tergantung populasi yang diteliti (Sarwono, 2008). Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia dalam rokok, dengan 20 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), dimanabahan racun ini lebih banyak didapatkan pada asap rokok (Trim, 2006). Efek ini dapat menyebabkan kerusakan dalam beberapa hal : BBLR, kelahiran prematur, bayi lahir mati (Janet, 2011). Perokok pasif pada ibu hamil memiliki resiko yang cukup tinggi atas perdarahan, lebih sering keguguran, kehamilan prematur (Suryati, 2011:114). Berdasarkan pada hasil Studi pendahuluan pada tanggal 28 April 2012 di RSUD Sidoarjo.diperoleh dari hasil wawancara bahwa ada 12 BBL di ruang neonatus terdapat 6 BBLR dan 5 diantaranya adalah ayahnya perokok dan 6 BBLN 3 diantara ayahnya perokok. Cara pencegahan terjadinya kelahiran BBLR, yakni diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik keluarga, teman – teman kerja dan orang – orang disekitar ibu hamil untuk tidak merokok. Serta membuat peraturan yang lebih jelas mengenai tempat – tempat mana saja yang boleh dan tidak boleh merokok, bila dilingkungan sekitar banyak yang merokok dan tidak bisa dilarang, pakailah masker atau jauhi orang-orang yang merokok (dcirt, 2012). Sebagai bidan berada pada posisi yang unik untuk memberikan informasi dan dukungan kepada ibu yang perokok pasif. Jika ibu mampu berhanti mengisap asap rokok di awal kehamilan maka peluangnya untuk melahirkan seorang bayi yang sehat akan semakin tinggi. Banyak tempat yang kini memiliki seorang bidan yang berdedikasi untuk memberikan dukungan berhenti menjadi perokok pasif (Janet,2011 :52). Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Suami. a. Definisi. Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suami mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga (Chaniago, 2011). b. Suami Sebagai Pemimpin. 1) Menggauli Istri Dengan Sebaik-Baiknya. Menggauli maka suami harus berusaha semaksimal mungkin menghindari melakukan perbuatan yang tidak disukai istri, menghargai pendapat dia, bersikap santun serta penuh 82
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
kasih sayang. Saat konflik terjadi maka harus lebih bijaksana, tidak egois dan tidak terpancing emosi istri, Sebagai wanita yang mempunyai dua mulut pasti lebih cerewet jadi maklumlah, Itulah mungkin Tuhan memberi kuasa hukum talak ada pada suami bukan pada istri yang mudah meluncurkan kata-kata. 2) Sabar. Saat dulu pacaran atau berkenalan pasti yang ada dan terlihat hanya yang indah- indah, tentu saja karena setan sangat berperan disini untuk menghias perempuan agar nafsu kelaki- lakian anda tak terkendali, maka usai menjadi istri dan menemukan kekurangan dalam bentuk apapun baik fisik maupun karakter maka bersabarlah membimbingnya karena istri terbuat dari tulang rusuk paling atas yang paling bengkok maka luruskanlah dengan nasehatmu, jadikan dia sebagai ladang ibadah anda. 3) Nafkah. Status istri yang disandang seorang perempuan maka beralih pula tanggungan hidup dari orang tuanya pada sang suami. seperti memberi makan dan membelikan pakaian serta memberikan kepuasan yang lain. 4) Menyediakan Tempat Tinggal. Kewajiban lain seorang suami menyediakan rumah dan jangan lupa isinya, jika memang belum menjadi milik sendiri bolehlah menyewa, mengontrak atau kost, perabotanpun tidak harus mewah dan komplit. 5) Memimpin Jalannya Roda Rumah Tangga. Mengatur kehidupan sehari- hari, tata cara hidup anak dan istri dan pastinya seorang pemimpin/suami akan dimintai pertanggung jawabannya baik di dunia dan di akhiratatas yang dipimpinnya. 6) Menjaga Keselamatan. tidak diragukan lagi bahwa kekuatan tubuh suami lebih kuat dibanding anggota rumah tangga yang lain maka dia wajib memberikan perlindungan untuk keselamatan keluarganya. 7) Berlaku Jujur. Rasa Takut kepada Allah akan menjauhkan suami dari berbohong pada istri, ingat, satu kebohongan akan terus beranak pinak menjadi kebohongan-kebohongan yang lain. 8) Memberi Teladan. Perkataan kadang tidak cukup untuk meluruskan tulang rusuk yang bengkok (istri) dan anak maka keteladanan sangat berperan. berilah contoh yang baik seperti berbahasa santun, tertib beribadah, bergaul dengan tetangga dan akhlak mulia yang lain (Chaniago, 2011). Suami Yang Memenuhi Kewajiban. 1) Suami Teladan ialah : Suami yang selalu mengerjakan perintah Allah dan menjauhkan larangannya. Selalu menjaga hubungan dengan isterinya serta melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan kemampuannya. Ia selalu berterus te rang dengan isterinya. Jika ia mempunyai kekurangan, ia akan menyatakan kepada isterinya. Suami yang baik, tidak menyembunyikan rahasia yang tidak disenangi isterinya. Apabila berkata-kata dengan isterinya dengan cara lembut dan bersopan santun. Suami yang soleh, selalu membimbing isterinya, menghiburkan isterinya, berbincang-bincang, menghargai pandangan isterinya dan sebagainya. Suami yang menganggap isterinya sebagai kekasih dan sahabat. Tidak mudah cemburu. Mempunyai keyakinan dan menaruh kepercayaan terhadap isterinya.
83
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Suami yang bijaksana, suami yang sanggup menjadi pemimpin rumahtangga. Suami yang layak menjadi pemimpin sekurang-kurangnya mempunyai ciri-ciri berikut yaitu : a) Tubuh badan yang sempurna sanggup melaksanakan tanggugjawabnya dengan kesempurnaan anggotanya. Ini bermaksud selagi mampu memenuhi keperluan zahir dan batin. b) Akal fikiran yang sempurna berfikiran positif c) Pengetahuan agama yang sempurna untuk membimbing ahli keluarganya mengamalkan ajaran agama sebagai panduan hidup. d) Membelanjakan sebahagian harta, mencari nafkah untuk menyara hidup ahli keluarganya. 2) Keperibadian Suami Yang Menjadi Impian Isteri a) Penuh kerinduan dan kasih saying b) Mencintai c) Gagah dan berakhlak mulia d) Kaya dan bijaksana e) Memberikan cahaya kehidupan f) Menegakkan kebenaran g) Mulia di sisi Allah 3) Ciri-ciri Suami Teladan a) suami yang soleh yang sentiasa menjalankan perintah Allah b) suami yang tidak sanggup melihat isterinya meringankan perintah Allah c) suami yang bersikap mau memaafkan dan membetulkan kesalahan isterinya. 4) Ciri-ciri suami yang soleh ialah : a) Mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya dengan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan. b) Mendirikan rumah tangga semata-mata kerana Allah SWT c) Melayani dan menasihati isteri dengan sebaik-baiknya d) Menjaga hati dan perasaan isteri e) Sentiasa bertolak ansur dan tidak meminta sesuatu yang diluar kemampuan isteri. f) Bersabar dan menghin dari pada memukul isteri dengan pukulan yang memudaratkan g) Jangan mengejiisteri di hadapan orang lain atau pun memuji wanita lain di hadapan isteri. h) Bersabar dan menerima kelemahan isteri dengan hati yang terbuka. i) Mengelakkan dari pada terlalu mengikut kemauan isteri kerana ia akan menjelaskan imege dan prestasi suami sebagai pemimpin. j) Memberi nafkah kepada keluarga mengikut kemampuan. k) Menyediakan keperluan dan tempat tinggal yang selera. l) Bertanggung jawab mendidik akhlak keluarganya. m) Senantiasa mengambil berat tentang keselamatan mereka. n) Memberikan kasih saying dan berkorban untuk kepentingan dan kebahagiaan bersama (Alhalmi, 2011). Konsep Dasar Rokok. a. Definisi. Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang sekitar 120 milimeter dengan diameter sekitar 10 milimeter yang berisi daun–daun tembakau yang
84
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain (Trim, 2006:2). Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya (Umar, 2011). Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan (Detik, 2012). Zat kimia berbahaya dalam rokok. 1) Tar. Mengandung kimia beracun yang merusak sel paru-paru dan menyebabkan kanker. Tar bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. 2) Karbon Monoksida (CO). Gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Zat ini mengikat hemoglobin dalam darah sehingga membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. 3) Nikotin. Zat kimia perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah serta membuat pemakaiannya menjadi kecanduan. Zat ini bersifat karsinogen (merusak sel tubuh), dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan.(Trim, 2006:16). Asap rokok Ada dua macam asap rokok yang mengganggu kesehatan : 1) Asap utama (mainstream). Adalah asap yang dihisap oleh siperokok. 2) Asap samping (sidestream), Adalah asap yang merupakan pembakaran dari ujung rokok, kemudian menyebar ke udara. Asap sampingan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi, karena tidak melalui proses penyaringan yang cukup. Dengan demikian pengisapan asap sampingan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan kesehatan akibat rokok. Asap utama merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan asap samping merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas, yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif (Trim, 2006:24). Menurut penelitian yang dilakukan Silvan Tomkins, ada 4 tipe perilaku merokok. Keempat tipe tersebut adalah : 1) Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Artinya dengan merokok ia akan merasakan penambahan rasa positif yang membuat dirinya tenang dan bahagia. Pada umumnya, ada beberapa alasan dari perokok ini, yaitu : a) Relaksasi untuk kesenangan, perilaku merokok hanya untuk menambahkan atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat. Misalnya: merokok setelah minum kopi atau makan. b) Rangsangan untuk meningkatkan kepuasan. Perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. c) Kesenangan memegang rokok. Kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok. Sangat spesifik pada pipa. Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok lebih senang berlama- lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama sebelum ia nyalakan dengan api. 2) Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif. Misalnya: 85
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
jika ia marah, cemas, atau gelisah, rokok dianggap seb agai penyelamat. Mereka menggunakan rokok jika perasaan tidak enak terjadi sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak. 3) Perilaku merokok karena kecanduan psikologis (psychological addiction). Mereka yang sudah kecanduan, akan menambahkan dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang diisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat ia menginginkannya. 4) Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah manjadi kebiasaannya rutin. Dapat diaktakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis, acap kali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah benar-benar habis (Trim, 2006:6). Bahaya yang sangat besar bagi orang yang merokok dan perokok pasif. 1) Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh. Beberapa zat yang sangat berbahaya yaitu tar, nikotin, karbon monoksida, dsb. Ibu hamil yang merokok atau menjadi perokok pasif, menyalurkan zat-zat baracun dari asap rokok kepada janin yang dikandungnya melalui peredaran darah. Nikotin rokok menyebabkan denyut jantung janin bertambah cepat, sedangkan karbon monoksida menyebabkan berkurangnya oksigen yang diterima janin. (Trim, 2006:13). Carbon monoksida dan nikotin adalah 2 bahan kimia yang paling berpengaruh terhadap janin. Co menurunkan kemampuan membawa oksigen yang cukup pada jaringan janin. Nikotin meningkatkan tekanan darah dan menurunkan angka pernafasan, nikotin berefek pada sistem saraf pusat, genetalia, saluran cerna, sistem urinari janin, fetal hypoxemi melalui reduksi darah dari placenta (Ridwannuddin, 2011). Bahaya ibu hamil yang terkena asap rokok antara lain : a) Asap rokok bisa menyebabkan kematian dini (Premature death) pada bayi yang sedang dikandung dan menimbulkan penyakit ketika bayi tersebut lahir. b) Berisiko melahirkan bayi yang berat badan lahir rendah (BBLR) karena racun dalam rokok bisa menghambat aliran darah yang merupakan sumber nutrisi bagi bayi. c) Asap rokok bisa meningkatkan resiko bayi meninggal akibat mengalami SIDS (Sudden Infant Death Syndrome), dibandingkan bayi yang tidak terpapar asap rokok. d) Meningkatkan resiko bayi terkena bronkitis, pneumonia, infeksi telinga dan memperlambat pertumbuhan paru-paru. e) Asap rokok selam hamil bisa menyebabkan perubahan dalam struktur DNA bayi yang nantinya dapat melemahkan sistem kekebalan tubuhnya. f) Mengganggu pertumbuhan otak janin selama di dalam kandungan, serta beresiko mengalami keterbelakangan mental. g) Sering terpapar asap rokok bisa membuat bayi lahir prematur yang umumnya memiliki perkembangan organ tubuh yang belum sempurna. 86
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
h) i)
f.
g.
h.
Meningkatkan resiko bayi yang dikandungnya memiliki asma. Meningkatkan resiko bayi lahir cacat seperti bibir sumbing akibat adanya kelainan pada sperma sang ayah yang merokok. j) Pengaruh asap rokok bisa menyebabkan bayi mengalami penyakit jantung bawaan hingga keguguran (Forum vivanews, 2011). 2) Asap rokok yang baru mati di asbak mengandung 3 kali lipat bahan pemicu kanker di udara dan 50 kali mengandung bahan mengiritasi mata dan pernafasan. Semakin pendek rokok semakin tinggi kadar racun yang disiap melayang ke udara. Suatu tempat yang dipenuhi polusi asap rokok adalah tempat yang lebih berbahaya daripada polusi di jalanan raya yang macet. 3) Seseorang yang mencoba merokok biasanya akan ketagihan karena rokok bersifat candu yang sulit dilepaskan dalam kondisi apapun. Seorang perokok berat akan memilih merokok daripada makan jika uang yang dimilikinya terbatas. 4) Harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang yang tergolong miskin, sehingga dana kesejahteraan dan kesehatan keluarganya sering dialihkan untuk membeli rokok. Rokok dengan merk terkenal biasanya dimiliki oleh perusahaan rokok asing yang berasal dari luar negeri, sehingga uang yang dibelanjakan perokok sebagian akan lari ke luar negeri yang mengurangi devisa negara. Pabrik rokok yang mempekerjakan banyak buruh tidak akan mampu meningkatkan taraf hidup pegawainya, sehingga apabila pabrik rokok ditutup parah buruh dapat dipekerjakan di tempat usaha lain yang lebih kreatif dan mendatangkan devisa. 5) Sebagian perokok biasanya akan mengajak orang lain yang belum merokok untuk merokok agar merasakan penderitaan yang sama dengannya, yaitu terjebak dalam ketagihan asap rokok yang jahat. Sebagian perokok juga ada yang secara sengaja sengaja merokok ditempat umum agar asap yang dihembuskan dapat dihirup orang lain, sehingga orang lain akan terkena penyakit kanker. 6) Kegiatan yang merusak tubuh adalah perbuatan dosa, sehingga rokok dapat dikategorikan sebagai benda atau barang haram yang harus dihindari dan dijahui sejauh mungkin (Umar, 2001). Resiko setiap perokok. 1) 14 kali menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan. 2) 4 kali menderita kanker esophagus 3) 2 kali kanker kandung kemih 4) 2 kali serangan jantung(Windi, 2009). Kategori rokok. Tabel 24. Kategori Rokok Kategori Jumlah Rokok Yang Dihisap Sangat berat 31 batang / hari, selang 5 menit setelah bangun tidur. Berat 21-30 batang / hari selang 6-30 menit sejak bangun tidur. Sedang 11-21 batang / hari selang 31-60 menit setelah bangun tidur. Ringan 10 batang / hari dengan selang waktu 60 menit dari bangun tidur. Makanan dan minuman penetralisir asap rokok. 1) Seafood. Makanan yang kaya akan omega 3 dapat memperbaiki fungsi paruparu. Makanan yang kaya omega 3 diantaranya adalah seafood. Seafood yang kaya omega 3 diantaranya: ikan, salem (salmon), ikan teri, tuna sirip biru, tuna sirip kuning, ikan sarden, ikan forel (trout), kepiting, ikan kerapu (cod), kerang, lobster, ikan nila, dan udang. 87
HOSPITAL MAJAPAHIT
i.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Kedelai. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung banyak kedelai dapat memperbaiki fungsi paru-paru dan mengurangi serangan penyakit sesak nafas kronis. Flavonoid yang terdapat dalam makanan kedelai bertindak sebagai anti-peradangan pada paru-paru serta dapat melindungi paru-paru dari tembakau yang menyebabkan kanker bagi para perokok. 3) Makanan kaya antioksidan. Brokoli, apel, serta sayur dan buah lainnya yang kaya oksidan bisa membantu memperbaiki dan melindungi paru-paru anda. Satu studi telah menunjukkan bahwa paru-paru orang yang mengkonsumsi lebih dari 5 apel dalam seminggu berfungsi lebih baik dari paru-paru mereka yang sama sekali tidak mengkonsumsi apel. 4) Jeruk nipis. Air jeruk nipis mampu menurunkan kadar nikotin hingga 70,65. Namun air jeruk nipis disini hanya alat bantu untuk dapat berhenti merokok. 5) Air putih. Air putih akan membantu untuk mengeluarkan racun dan nikotin yang telah terakumulasi dalam tubuh anda setelah bertahuntahun.(chenkgelate, 2012). Akibat kalau tidak berhenti merokok. 1) Impotensi. Merokok akan mengurangi aliran darah yang diperlukan untuk mencapai suatu keadaan ereksi. Karena hal tersebutlah rokok dapat mempengaruhi days ereksi penis. 2) Wajah keriput. Merokok dapat mengurangi aliran aliran oksigen dan zat gizi yang diperlukan sel kulit anda dengan jalan menyempitkan pembuluh darah disekitar wajah. Sehingga akan menyebabkan keriput. 3) Gigi bebercak dan bau nafas. Partikel dari rokok sigaret dapat memberi bercak kuning hingga cokelat pada gigi anda, dan ini juga akan memerangkap bakteri penghasil bau dimulut anda. Kelainan gusi dan gigi tanggal juga lebih sering terjadi pada perokok. 4) Anda dan sekitanya menjadi bau. Rokok sigaret memiliki bau yang tidak menyenangkan dan menempel pada segala sesuatu, dari kulit dan rambut anda sampai pakaian dan barang-barang di sekitar anda. Dan bau ini sama sekali bukan hal yang membangkitkan selera pasangan maupun temanteman. 5) Tulang rapuh. Sejumlah penelitian menemukan hubungan antara merokok dengan osteoporosis pada pria dan wanita. Sebuah penelitian mengamati kasus patah tulang pinggul pada wanita lansia, dan menyimpulkan bahwa 1 dari 8 kasus patah tulang itu disebabkan oleh kehilangan massa tulang yang disebabkan oleh merokok. 6) Depresi. Sebagian ilmuwan menganggap rokok mengandung zat yang mampu menyebabkan peningkatan mood. Zat inilah yang biasanya kandungannya berkurang saat seseoranmg menderita depresi. Itulah juga penyebabnya mengapa orang yang sedang stres atau depresi cenderung mencari pelarian ke rokok. 7) Panutan yang buruk bagi anak. Setiap hari, diperkirakan 3000 anak di AS yang menjadi ketagihan merokok sigaret, bila mereka terus merokok, 1000 diantaranya akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok. 8) Kebakaran. Jika anda ceroboh, saat merokok clan membuang puntung rokok yang masih menyala ke sembarang tempat dapat menyebabkan kebakaran. 9) Sirkulasi darah yang buruk. Sel darah merah telah dirancang dari sananya untuk mrngangkut oksigen ke seluruh tubuh. Pada perokok, molekul 88
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
oksigen digantikan oleh konponen dari asap rokok, sehingga mengha mbat transportasi oksigen yang penting bagi kehidupan sel. 10) Terkesan bodoh. Jika perokok membela ketergantungannya, ada satu kebenaran yang tak mampu mereka pungkiri, seperti slogan, rokok itu pembunuh jadi, bila masih ada yang meneruskan kebiasaan itu, te ntunya akan terlihat bodoh kan (Windi,2009). Konsep Dasar BBLR a. Definisi. BBLR adalah bayi yang lahir rendah berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan (Atikah Dkk,2011:1) BBLR adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram sampai dengan 1500 gram (Saifudin, 2002). BBLR adalah bayi baru lahir dengan berat antara 1500 – 2500 gram (Prawirohardjo, 2008). Jadi dapat di simpulkan, BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram yang ditimbang pada saat lahir sampai 24 jam pertama setelah lahir. b. Klasifikasi BBLR (Atikah Dkk, 2010:4). 1) Menurut harapan hidupnya : a) Bayi berat lahir rendah (BBLR) berat lahirnya 1500–2500 gram. b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500 gram. c) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) berat lahir <1000 gram. 2) Menurut masa gestasinya : a) Prematuritas murni. Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat atau biasa disebut neonates kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB – SMK). b) Dismaturitas. Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami retardasi pertumbuhan intruterin dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya (KMK). c. Faktor-faktor yang mempengaruhi BBLR. 1) Faktor Ibu. a) Gizi Ibu Hamil. Gizi ibu yang buruk sebelum kehamilan maupun pada wanita sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi BBLR atau lahir mati dan menyebabkan cacat bawaan. Disamping itu, BBLR dapat pula menyebabkan hambatan pertumbuhan otak, anemia pada bayi baru lahir, dan mudah terkena infeksi. Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Kurang gizi dapat terjadi dari beberapa akibat yaitu ketidakseimbangan asupan zat- zat gizi, faktor penyakit pencernaan, absorpsi dan penyakit infeksi (Melinda, 2009). b) Umur Ibu Hamil. Anak perempuan berusia 15 tahun atau kurang, lebih rentan terhadap terjadinya pre eklamsi(suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, protein dalam kemih dan penimbunan cairan selam kehamilan) dan eklamsi (kejang akibat preeklamsi), mereka juga lebih mungkin melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau bayi kurang gizi. Wanita yang berusia 35 tahun atau lebih. Lebih rentan terhadap tekanan darah tinggi, diabetes di dalam rahim serta rentan terhadap gangguan persalinan dan resiko memiliki bayi dengan kelainan 89
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
kromosom(misalnya sindron down) semakinmeningkat (Suryati, 2011). Jarak Kehamilan. Jarak kehamilan terlalu dekat dan kelahiran prematur juga BBLR , disebabkan kekurangan protein yang membantu kehamilan lahir secara normal. Lebih lanjut, interval yang pendek dari jarak kehamilan, mengakibatkan protein ini tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan usia kecukupan kehamilan. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk membuktikan teori ini untuk menafsirkan hubungan antara interval kehamilan dan problem kehamilan (Meiwanto, 2007). Penelitian The Demographic and Health Survey, menyebutkan bahwa anak-anak yang dilahirkan 3-5 tahun setelah kakaknya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggi daripada yang berjarak kelahiran 2,5 tahun.(Ghozali, 2007). d) Tinggi Badan Ibu Hamil. Para ahli dari pusat kesehatan di Universitas Harvard menemukan bahwa terdapat hubungan antara tinggi badan bayi dengan kesehatan bayi. Para ahli ini meyakini bahwa tinggi badan wanita berdampak pada ukuran dari rahim atau uterus mereka. Tubuh wanita yang berukuran lebih kecil akan menyebabkan beberapa komplikasi selama kehamilan mereka dan mempengaruhi perkembangan bayi dalam rahim.Data yang disediakan oleh para peneliti orang Indian, kemudian dibandingkan dan kemudian mereka mencapai pada kesimpulan bahwa tinggi badan sang ibulah yang mempengaruhi beberapa indikator yang berhubungan dengan kesehatan bayi baru lahir, termasuk adanya resiko obesitas, atau sebaliknya kurangnya berat badan bayi, perkembangan anemia dan peluang hidup bayi. (Melinda, 2009). e) Penyakit Ibu Hamil. Penyakit pada ibu hamil dapat menyebabkan bayi lahir mati, keguguran, dan lahir mati. Sekitar 5% dari wanita hamil mengalami preeklamsia, suatu kondisi abnormal kehamilan yang ditandai dengan kenaikan tekanan darah (hipertensi) disertai adanya protein di dalam urin. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi hal ini biasa terjadi pada wanita yang pertama kali mengandung, pernah mengalami preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, atau wanita hamil yang sudah menderita hipertensi. Bayi yang terlahir dari ibu yang mengalami preeklamsia diduga 4-5 kali lebih rentan terhadap masalah di kemudian hari dibanding bayi pada wanita hamil tanpa komplikasi ini. Berat badan si bayi mungkin lebih kecil karena malfungsi plasenta maupun karena kelahiran prematur. Sebanyak 1-3 % wanita menderita diabetes selama masa kehamilan (diabetes gestational). Gangguan ini umumnya terjadi pada wanita kegemukan atau dari kelompok etnik tertentu seperti wanita ras meksiko, amerika dan asia. Diabetes gestational terjadi akibat ketidakmampuan tubuh memproduksi insulin yang kebutuhannya bertambah seiring usia kehamilan (Permata, 2009) f) Kebiasaan ibu. (1) Pekerjaan Ibu. Jenis pekerjaan yang dilakukan ibu hamil akan berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinannya. Beban kerja yang berlebihan menyebabkan ibu hamil kurang beristirahat, yang berakibat produksi sel darah merah tidak terbentuk secara maksimal dan dapat mengakibatkan ibu kurang darah atau disebut sebagai anemia. Hal serupa dikuatkan oleh Koblinsky, et al., bahwa c)
90
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
anemia yang diderita ibu hamil menyebabkan kelemahan, kelelahan, produktivitas yang rendah. (Suryati, 2011). (2) Merokok. Resiko yang dihadapi bayi selama kehamilan, saat ini lebih kecil dibandingkan dengan menghadapi seratus tahun yang lalu. Saat ini, para ibu kekurangan gizi atau bekerja terlalu keras dan perawatan medis masih intensif. Sekarang, lebih banyak hal diketahui tentang penyebab permasalahan pada bayi selama kehamilan. Jadi adalah bijaksana untuk mengurangi atau menghindari resiko-resiko yang memungkinkan. Kehamilan terlihat seperti sebuah daftar panjang berisi halhal yang tidak boleh dilakukan karena calon bayi dalam kandungan. Namun jika gaya hidup kita secara umum sehat dan kita mangambil pendekatan yang bijaksana untuk menghindari resiko tanpa obsesif, kita akan tahu bahwa kita telah mengambil langkah paling jitu. Mengamati gaya hidup secara keseluruhan adalah salah satu cara untuk menjadi bugar selam kehamilan. Berhenti merokok atau menghindari ruangan yang penuh asap rokok adalah merupakan salah satu gaya hidup yang perlu diperhatikan awal yang baik bagi bayi. Merokok selama ha mil berkaitan dengan keguguran, perdarahan vagina, kelahiran prematur, dan BBLR (200 gram lebih ringan dari bayi bukan perokok). Jika usia ibu diatas 35 tahun ada juga kenaikan berarti dalam resiko bayi menderita malformasi minor dan resiko BBLR, dengan segala bahaya yang menyertainya, sebanyak 5 kali lipat dari peroko muda. Bayi-bayi dari perokok 3 bungkus sehari juga mengandung resiko 4 kali lipat mengalami skor apgar yang rendah (standar ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi bayi pada saat lahir), yang berarti bahwa mereka tidak sesaat bayi lain. Sebuah penelitian menunujukkan bahwa pada usia 14 tahun anak-anak dari ibu perokok atau perokok pasif cenderung rentan terhadap penyakit saluran nafas, lebih pendek dari pada anak-anak dari ibu yang bukan perokok atau bukan perokok pasif dan kurang berhasil dalam sekolah (suryati, 2011:112). (3) Minum-Minuman Beralkohol. Penggunaan alkohol oleh wanita hamil membawa resiko yang berat. Penggunaan alkohol dalam jumlah sedang dikaitkan dengan meningkatnya resiko keguguran. Konsumsi alkohol yang berlebihan selam kehamilan seringkali mengakibatkan abnormalitas pada janin. Penggunaan alkohol yang kronis selam kehamilan dapat menimbulkan perkembangan janin abnormal yang disebut sindrom alkohol janin (SAJ). SAJ ditandai dengan keterlambatan pertumbuhan sebelum dan setelah lahir, dan cacat pada anggita gerak, jantung dan wajah yang merupakan criri anak-anak yang lahir dari ibu pecandu alkohol (Suryati, 2011:111). 2) Faktor lingkungan. Mekanisme mengenai terjadinya BBLR dari paparan karbon monoksida ―diduga‖ terjadi karena adanya hipoxia, dan ini ada hubungannya dengan plasenta. Beberapa pokok dalam sirkulasi darah fetus adalah : a) Oleh karena fetus menerima oksigen dan makanan dari plasenta , maka 91
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
f.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
seluruh darah fetus harus melalui plasenta. b) Fungsi paru dijalankan oleh plasenta. In utero (di dalam uterus) fetus tidak mempunyai sirkulasi pulmoner seperti siklus pada orang dewasa.; pemberian darah secara terbatas mencapai paru-paru, cukup hanya untuk makan dan pertumbuhan paru-paru itu sendiri. c) Saluran pencernaan pada fetus juga tidak berfungsi , karena plasenta menyediakan makanan dan menyingkirkan bahan buangan keluar dari fetus. Dampak BBLR. 1) Jangka Pendek. a) Hipotermia. Hipotermia (suhu bayi 37,5°C) dapat meningkatkan metabolisme, dan menyebabkan dehidrasi. b) Hipoglikemia (Kadar Gula darah kurang dari normal). c) Paru belum berkembang (bayi menjadi sesak napas). d) Gangguan Pencernaan (mudah kembung karena fungsi usus belum cukup baik). e) Mudah terkena infeksi (Sistem imunitas bayi belum matang). f) Anemia (bayi kelihatan pucat oleh karena kadar hemoglobin darah rendah). g) Mudah kuning. h) Perdarahan otak. i) Gangguan jantung. 2) Jangka Panjang. a) Gangguan pertumbuhan. b) Gangguan perkembangan. c) Gangguan penglihatan (retinopati akibat prematur). d) Gangguan pendengaran. e) Penyakit paru kronik. Semakin muda usia kehamilan semakin besar resiko jangka pendek dan panjang tersebut terjadi (Atikah,2011:23) Gejala klinis. 1) Sebelum bayi lahir. a) Pada anamnese sering dijumpai adanya riwayatabortus, partus prematurus dan lahir mati. b) Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan. c) Pergerakan janin yang pertama terjadi lebih lambat, gerakan janin lebih lambat walaupun kehamilannya sudah agak lanjut. d) Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut yang seharusnya. e) Sering dijumpai kehamilan dengan oligradramnion gravidarum atau perdarahan anterpartum. 2) Setelah bayi lahir. a) Bayi dengan retadasi pertumbuhan intra uterin. b) Bayi premature yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu. c) Bayi small for date sama dengan bayi dengan retardasi pertumbuhan intrauterine. d) Bayi prematur kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya. Penanganan. 1) Mempertahankan suhu dengan ketat. a) Bayi berat badan dibawah 2 kg 35 c. 92
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
b) Bayi berat badan 2 kg – 2,5 kg 34 c. c) Suhu incubator diturunkan 1 c setiap minggu sampai bayi dapat ditempatkan pada suhu sekitar 24-27 c. 2) Mencegah infeksi dengan ketat. a) Pemberian O2. b) Pemberian O2 untuk bayi ini harus dikendalikan denganseksama konsentrasi yang tinggi dalam masa yang panjang akan menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan pada retina bayi sehingga menimbulkan kebutaan. Bisa diberikan melalui kateter hidung. c) Pengawasan nutrisi / ASI. d) Reflek menelan BBLR belum sempurna. Oleh sebab itu pemberian nutrisi harus dilakukan dengan cermat. Pencegahan BBLR. 1) Mengupayakan agar melakukan antenatal care (ANC) yang baik, segera melakukan konsultasi dan merujuk penderita bila terdapat kelainan. 2) Meningkatkan gizi masyarakat sehingga dapat mencegah terjadinya persalinan dengan berat badan lahir rendah (BBLR). 3) Meningkatkan penerimaan gerakan keluarga berencana (KB). 4) Menganjurkan lebih banyak istirahat, bila kehamilan mendekati aterm atau istirahat baring bila terjadi keadaan yang menyimpang dari kehamilan normal. 5) Meningkatkan kerjasama dengan dukun beranak yang masih mendapat kepercayaan masyarakat (Suryati, 2011).
C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian. Desain penelitian yang digunakan adalah Analitik yang bertujuan untuk mencoba mencari hubungan antara variabel dimana perlu dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, seberapa besar hubungan antar variabel yang ada (Setiadi, 2007:133). Cara pengambilan data pada penelitian ini menggunakan pendekatan pengambilan data secara case control. Penelitian case control adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektive. Dengan kata lain, efek BBLR diidentifikasi pada ini, kemudian faktor resiko rokok diindentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010:43).
93
HOSPITAL MAJAPAHIT 2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Frame Work. Sangat berat Berat Suami perokok
BBLR
Sedang Ringan Sangat berat Berat Suami perokok
Tidak BBLR
Sedang Ringan Gambar 6. Kerangka Kerja Hubungan Suami Perokok Dengan Te rjadinya Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo. 3.
4.
Hipotesis Penelitian. Hipotesis suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan Dalam penelitian (Nursalam, 2011:56). Hipotesis penelitian ini sebagai berikut : Hı : Ada hubungan antara suami perokok dengan terjadinya BBLR. Variabel dan Definisi Operasional. a. Jenis variabel Dalam penelitian ini adalah : 1) Variabel Independen (Bebas) yaitu suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabe l dependen (Nursalam, 2011:97). Dalam penelitian ini variabel independe n adalah terjadinya suami perokok. 2) Variabel Dependen (Terikat) yaitu faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubunganan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2011:98). Dalam penelitian ini variabel dependent adala h BBLR. b. Definisi Operasional. Tabel 24. Definisi Operasional Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya Bayi Berat Badan Lahir Rendah Di RSUD Sidoarjo. Variabel Definisi Operasional Krite ria Skala Dependen Bayi dengan berat lahir 1. BBLR Rendah : Nominal BBLR kurang dari 2500 gram (1500-2500 gram) yang ditimbangkan pada 2. Sangat berat : saat lahir sampai 24 jam (1000-1500 gram) pertam setelah lahir. 3. Ekstrim berat : Alat ukur yang (<1000 gram) digunakan adalah BBLN : (2500-4000 gram) status pasien. (Atikah Dkk, 2010: 4) 94
HOSPITAL MAJAPAHIT Variabel Independen Merokok
Vol 4 No. 2 Nopember 2012 Definisi Operasional Melakukan sesuatu yang dipengaruhi oleh perasaan positif yang membuat dirinya tenang dan bahagia.
Parameter rokok: Jumlah batang dalam 1 hari Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner.
5.
4.
Krite ria Skala Merokok Ordinal 1. Sangat berat : 31 batang/hari, selang 5 menit setelah bangun tidur 2. Berat : 21-30 batang/hari, selang 6-30 menit sejak bangun tidur 3. Sedang : 11-21 batang/hari, selang waktu 31-60 menit setelah bangun tidur 4. Ringan : 2 batang / hari, selang waktu 60 menit setelah bangun tidur (Trim, 2006: 9).
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Populasi penelitian ini adalah semua kejadian bayi lahir yang ada di RSUD Sidoarjo dengan jumlah populasi 20 BBLN dan 20 BBLR 23 Mei – 23 Juni 2012. a. Kriteria Inklusi. Adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010:130). 1) Ibu yang melahirkan bayi dengan BBLN dan BBLR. 2) Ibu yang bisa baca tulis. 3) Ibu mau menjadi responden. b. Kriteria Eksklusi. Adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010:130). 1) Ibu tidak mau menandatangani lembar persetujuan 2) Ibu yang kondisinya masih lemah Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti atau (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008: 94). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data primer dari kuesioner dan data sekunder dari status pasien. Untuk variabel dependen alat yang digunakan adalah kuesioner dengan menggunakan pertanyaan tertutup (closed ended) dan untuk variabel independen menggunakan data sekunder yang dari status pasien. Teknik Pengolahan dan Analisis Data. a. Pengolahan Data. Pengolahan data dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut : 1) Editing. Data yang diperoleh akan diedit terlebih dahulu oleh peneliti. 2) Coding. Pada pengumpulan data penelitian akan diberikan kode untuk mempermudah analisis data yang diperoleh. a) Untuk kode umur : < 20 tahun :1 20-35 tahun : 2 >35 tahun :3 95
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
b) Untuk kode pendidikan : SD :1 SMP :2 SMA :3 PT :4 c) Untuk kode pekerjaan : Ibu rumah tangga :1 Swasta :2 Wiraswasta :3 PNS :4 d) Paritas : Primigravida :1 Multigravida :2 Grandemultigravida : 3 e) Kategori rokok : Rendah :1 Sedang :2 Berat :3 Sangat Berat : 4 f) Kategori BBLR : BBLN :1 BBLR :2 3) Scoring. Diberikan skor atau nilai pada data yang diperoleh kemudian dapat dianalisis secara statistik. a) Rokok : Ringan (10 batang) Sedang (11-21 batang) Berat (21-31 batang) Sangat berat (< 31 batang) b) Klasifikasi berat badan : BBLN : (2500-4000 gram) BBLR : (1500-2500 gram) 4) Tabulating. Menurut Setiadi (2007: 89), ketentuan dari pembacaan tabe l sebagai berikut: a) Jika nilai penelitian : < 56 % maka dikatakan kurang (sebagian kecil). b) Jika nilai penelitian: 56% - 78% maka dikatakan cukup (rata - rata). c) Jika nilai penelitian: 79% - 100% maka dikatakan baik (sebagian besar) Data yang diperoleh kemudian akan ditabulasikan baik pada variabel bebas maupun variabel terikat. Analisa Data. 1) Bivariat. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, sesuai dengan skala pengukuran maka dilakukan uji statistik dengan rumus Chi-Square, yaitu digunakan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan atau tidak yang signifikan pada penelitian menggunakan data nominal. Dengan rumus : X2 = Keterangan : X2 = Chi Kuadrat 96
HOSPITAL MAJAPAHIT f0 fh
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
= Frekuensi yang diobservasi = Frekuensi yang diharapkan
jika chi-square hitung > chi-square table maka h0 ditolak artinya ada hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen dan jika chi square hitung < chi-square table h0 diterims maka artinya tidak ada hubungan antara variabel dependen dan independent. Mencari Nilai X² table dengan rumus: dk = (k-1)(b-1) Keterangan: k = banyaknya kolom b = banyaknya baris D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan di ruang VK yaitu ruangan yang khusus digunakan untuk perawatan dan penangan masalah obstetri dan genekologi. Rungan VK satu unit dengan rungan neonatus yaitu ruangan yang digunakan untuk merawat bayi baru lahir.penelitian dilaksanakan pada 23 Mei – 23 juni 2012dengan jumlah responden 40 orang dibagi menjadi di RSUD Sidoarjo. Batas batas ruangan VK, sebelah timur berbatasan dengan ruangan farmasi, sebelah barat berbatasan dengan mawar putih, sebelah utara berbatasan dengan mawar ungu dan sebelah selatan berbatasan dengan poli. 2. Karakteristik Responden (Data Umum). a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur. Tabel 25. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012. No. Umur Frekuensi (f) Prosentasi (%) 1. < 20 tahun 2 5 2. 20-35 Tahun 32 80 3. >35 tahun 6 15 Jumlah 40 100 Dari tabel dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 20-35 tahun sebanyak 32 orang (80%). b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan. Tabel 26. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 23 Juni 2012. No. Pendidikan Frekuensi (f) Prosentasi (%) 1. SD 6 15 2. SMP 6 15 3. SMA 25 62,5 4. PT 3 7,5 Jumlah 40 100 Berdasarkan tabel 26 dapat diketahui bahwa rata – rata responden berpendidikan SMA yaitu sebanyak 25 responden (62,5%). c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 27. Karakteristk Responden Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012. No. Pekerjaan Frekuensi (f) Prosentasi (%) 1. IRT 25 62,5 97
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2. 3. 4.
3.
Swasta 12 30 Wiraswasta 0 PNS 3 7,5 Jumlah 40 100 Dari tabel dapat diketahui bahwa rata – rata responden tidak bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 25 responden (62,5%). d. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas. Tabel 28. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei - 23 Juni 2012. No. Paritas Frekuensi (f) Prosentasi (%) 1. Primigravida 19 47,5 2. Multigravida 19 47,5 3. Grandemuntigravida 2 5 Jumlah 40 100 Berdasarkan tabel 28 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden primigravida sebanyak 19 responden (47,5%) dan multigravida sebanyak 19 responden (47,5%). Data Khusus. a. Kategori Rokok. Tabel 29. Karakteristik Responden Berdasarkan Kategori Rokok di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 23 Juni 2012. No. Suami Pe rokok Frekuensi (f) Prosentasi (%) 1. Ringan 18 45 2. Sedang 1 2,5 3. Berat 1 2,5 4. Sangat Berat 20 50 Jumlah 40 100 Berdasarkan tabel 29 Dari dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden suaminya perokok sangat berat sebanyak 20 responden (50%). b. Klasifikasi Berat Badan. Tabel 30. Karakteristik Responden Berdasarkan Klasifikasi Berat Badan di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 23 Juni 2012. No. Klasifikasi Berat Badan Frekuensi (f) Prosentasi (%) 1. BBLN 20 50 2. BBLR 20 50 Jumlah 40 100 Berdasarkan tabel 30 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden melahirkan bayi berat lahir rendah sebanyak 20 responden (50%). c. Hubungan Suami Perokok Dengan Terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo. Tabel 31. Tabulasi Silang Hubungan Suami Pe rokok Dengan Terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 23 Juni 2012. Klasifikasi Berat Badan Jumlah No. Suami Rokok BBLN BBLR F % f % f % 1. Ringan 18 45 0 0 18 45 2. Sedang 1 2,5 0 0 1 2,5 3. Berat 1 2,5 0 0 1 2,5 4. Sangat Berat 0 0 20 50 20 50 Jumlah 20 50 20 50 40 100 98
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Dari tabel 31 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden dengan suami perokok sangat berat yang mempunyai bayi dengan berat badan rendah (BBLR) sebanyak 20 responden (50%). Uji statistik yang digunakan adalah Uji Chi Kuadrat pada signifikasi 0,05 dengan jumlah responden 40 didapatkan hasil chi-square (X2 ) hitung = 8 > nilai chi-square (X2 ) tabel = 7,81 maka H0 ditolak dan H1 diterima atau signifikan berarti bahwa terdapat hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo. E. PEMBAHASAN 1. Suami Pe rokok. Berdasarkan tabel 29 dapat diketahui bahwa dari 40 responden sebagian kecil suami perokok responden dikategorikan perokok sangat berat sebanyak 20 responden (50%), dan rata-rata suami merokok 5 menit setelah bangun tidur, perokok ringan sebanyak 18 responden (45%),dan rata – rata suami merokok 60 menit setelah bangun tidur, perokok sedang sebanyak 1 responden (2,5%), perokok berat sebanyak 1 responden (2,5%). Menurut Bambang Trim (2006), rokok termasuk silinder dari kertas berukuran panjang sekitar 120 milimeter dengan diameter sekitar 10 milimeter yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya. Asap rokok dibagi menjadi 2 yaitu asap utama (mainstream). Adalah asap yang dihisap oleh siperokok. Dan asap sampingan (sidestream). Adalah asap yang merupakan pembakaran dari ujung rokok, kemudian menyebar ke udara. Asap sampingan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi, karena tidak melalui proses penyaringan yang cukup. Dengan demikian pengisapan asap sampingan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan kesehatan akibat rokok. Rokok termasuk bahan kimia yang beracun tetapi para suami tidak menyadari bahwa kandungan rokok itu dapat meneyebabkan kanker bagi tubuh.. Hampir seluruh masyarakat Indonesia merokok dengan frekuensi yang berbeda, antara lain perokok ringan, sedang, berat dan sangat berat. Namun para laki- laki tidak menyadari bahaya dan efek samping tersebut. 2. Klasifikasi Berat Badan Berat Rendah. Berdasarkan tabel 30 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden melahirkan bayi dengan berat badan rendah yaitu sebanyak 20 responden (50%) Menurut Atikah, dkk. (2011:1) BBLR adalah bayi yang lahir rendah berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan. Berhenti merokok atau menghindari ruangan yang penuh asap rokok adalah merupakan salah satu gaya hidup yang perlu diperhatikan awal yang baik bagi bayi. Merokok selama hamil berkaitan dengan keguguran, perdarahan vagina, kelahiran prematur, dan BBLR (2000 gram lebih ringan dari bayi bukan perokok). jika usia ibu diatas 35 tahun ada juga kenaikan berarti dalam resiko bayi menderita malformasi minor dan resiko BBLR, dengan segala bahaya yang menyertainya, sebanyak 5 kali lipat dari perokok muda. . Bayi yang lahir dengan berat badan rendah maupun normal tidak semuanya disebabkan oleh asap rokok maupun ibu dengan suami perokok, ada juga yang disebabkan karena gizi ibu hamil, umur ibu hamil, jarak kehamilan, tinggi badan ibu hamil, penyakit ibu hamil, kebiasaan ibu hamil sehari- hari, faktor lingkungan.
99
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Hubungan Suami Pe rokok Dengan Terjadinya BBLR. Dari tabel 31 dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden dengan suami perokok sangat berat yang mempunyai bayi dengan berat badan rendah (BBLR) sebanyak 20 responden (50%). Uji statistik yang digunakan adalah Uji Chi Kuadrat pada signifikasi 0,05 dengan jumlah responden 40 didapatkan hasil chi-square (X2 ) hitung = 8 > nilai chisquare (X2 ) tabel = 7,81 maka H0 ditolak dan H1 diterima atau signifikan berarti bahwa terdapat hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo.. Menurut Suryati (2011), berhenti merokok atau menghindari asap rokok yang penuh asap rokok adalah merupakan salah satu gaya hidup yang perlu diperhatikan awal yang baik bagi bayi. Merokok selama kehamilan ataupun menghisap asap rokok selama kehamilan berkaitan dengan keguguran, perdarahan vagina, kelahiran prematur, dan BBLR (2000 gram lebih ringan dari bukan bayi bukan perokok). Jika usia diatas 35 tahun ada juga kenaikan berarti dalam resiko bayi menderita malformasi minor dan resiko BBLR. Bayi-bayi dari perokok 3 bungkus sehari juga mengandung resiko 4 kali lipat mengalami skor apgar yang rendah (standar ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi bayi pada saat lahir), yang berarti bahwa mereka tidak sesaat bayi lain. Sebuah penelitian menunujukkan bahwa pada usia 14 tahun anak-anak dari ibu perokok atau perokok pasif cenderung rentan terhadap penyakit saluran nafas, lebih pendek dari pada anak-anak dari ibu yang bukan perokok atau bukan perokok pasif dan kurang berhasil dalam sekolah. Gaya hidup yang sehat dan mengambil keputusan yang bijaksana dapat menghindari resiko ibu hamil dengan kelahiran bayi berat rendah. Mengamati gaya hidup secara keseluruhan merupakan salah satu cara untuk menjadi bugar selama kehamilan. Suami yang berhenti merokok atau menghindari asap rokok merupakan awal yang baik bagi bayi maupun ibu hamil dalam menjalankan kehidupan seharihari.
F. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo dapat disimpulkan bahwa berdasarkan 40 responden sebagian kecil suami responden dikategorikan perokok sangat berat sebanyak 20 responden (50%), berdasarkan sebagian kecil Responden yang melahirkan bayi dengan berat lahir rendah yaitu sebanyak 20 responden (50%), Uji statistik yang d igunakan adalah Uji Chi Kuadrat pada signifikasi 0,05 dengan jumlah responden 40 didapatkan hasil chi-square (X2 ) hitung = 8 > nilai chi-square (X2 ) tabel = 7,81 maka H0 ditolak dan H1 diterima atau signifikan berarti bahwa terdapat hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR di RSUD Sidoarjo. Perlu adanya penambahan informasi tentang bahaya rokok maupun asap rokok baik bagi ibu maupun kesehatan janin dan adanya suatu penambahan penyuluhan tentang bahaya asap rokok bagi ibu hamil pada saat melakukan kunjungan antenatal di RSUD Sidoarjo. Perlu diperhatikan bagi pengelola program rumah sakit dalam rangka meningkatkan kegiatan penyuluhan khususnya tentang hubungan suami perokok dengan terjadinya BBLR. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi baru bagi perkembangan pengetahuan khususnya di bidang ilmu kebidanan yang berkaitan dengan bahaya asap rokok dengan terjadinya BBLR. DAFTAR PUSTAKA Alhelmi. (2011). Suami
yang
memenuhi 100
kewajiban.
(http://alhelmi.tripod.com/
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
tip/terbaru/suami1.htm/2011., diakses pada tanggal 16 April 2012). Chaniago. (2011). Pengertian Suami. (http://tutorialkuliah.blogspot.com/2010/04/pengertiansuami.html., diakses pada tanggal 16 April 2012). Dcirf. (2012). Bahaya Rokok bagi janin. (http://doktercare.com/kehamilan-bahaya-rokokbagi-janin.html., diakses pada tanggal 5 April 2012). Detik. (2012). Bahaya perokok pasif. (http://www.chenkgelate.com/2012/02/bahaya-bagiperokok-aktif-dan-perokok.html., diakses pada tanggal 9 April 2012). Ellizabet, Lisa. (2010). Stop merokok. Jogjakarta: Garailmu. Forum. (2011). Bahaya ibu hamil yang kena asap rokok. (http://forum.vivanews.com/ kesehatan/117840-bahaya-ibu-hamil-yang-kena-asap-rokok-html., diakses pada tanggal 9 April 2012). Hidayat, Aziz Alimul. (2010). Metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data. Jakarta: salemba Medika. Medforth, Janet, Dkk. (2011). Kebidanan oxford dari bidan untuk bidan. Jakarta: EGC. Melinda. 2009. Asuhan Kebidanan Pada BBLR. (http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/doc.pdf, diakses pada tanggal 9 April 2012). Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metode penelitian kesehatan. Jakarta: rineka Cipta. Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: salemba Medika. Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Proverawati, Atikah, Dkk. (2010). BBLR berat badan lahir rendah. Yogyakarata: Nuha Medika. Ridwannuddin. (2011). Penanggulangan BBLR. (http://ridwannuddin.com/2011/03/15/ pendekatan-epidemiologi-genetik-dalam-penanggulangan-bblr-bayi-berat-lahirrendah-di-indonesia., diakses pada tanggal 7 April 2012). Romauli, Suryati. (2011). Asuhan kebidanan 1Konsep dasar Asuhan Kehamilan. Yogyakarta: Nuha Medika. Saifuddin. (2002). Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo. Trim, bambang. (2006). Merokok itu konyol. Jakarta: Ganeca Exact. Umar.(2011). Pengertian rokok dan akibat yang ditimbulkan. (http://www.chenkgelate.com/ 2012/02/bahaya-bagi-perokok-aktif-dan-perokok.html., diakses pada tanggal 9 April 2012). Windi. (2009). Bahaya merokok bagi kesehatan. (http://www.google.com/bahaya-merokokbagi-kesehatan., diakses pada tanggal 9 April 2012).
101
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
JENIS PERSALINAN DENGAN SKALA NYERI INVOLUSI UTERUS MASA NIFAS DI RSUD Prof. Dr. SOEKANDAR MOJOSARI MOJOKERTO Ana Amalia.1 , Elyana Mafticha, S.ST.2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit 1
ABSTRACT Pain in childbirth, often makes mothers give to birth normally. Many mothers who decide to do the cesarean section after a normal birth half way through, so this study to identify the type of labor with a pain scale of involution of the uterus during childbirth in hospitals Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Type of the Analytic Observational study with cross sectional design. The population in this study were postpartum mothers at delivery and Caesarean section deliveries in hospitals normally the first day of Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Population of 37 people. Sampling technique with the purposive sampling method. Collecting data using questionnaires. Data processing techniques through Editing, Coding, Tabulating. The research was conducted on May 22 to June 7. The results that are almost entirely in pain with uterine involution category Very Painful but can still be controlled on the type of cesarean section delivery of 20 respondents (54.1%), and none who have pain with uterine involution category Very Painful but can still be controlled in labor normal. Mean values recorded for the type of cesarean section delivery is greater than the normal type of labor (23.56> 6.70). Results Statistical 0.00 <0.05 hence H0 refused and H1 accepted that there is a relationship between type of delivery with a pain scale involution of the uterus during childbirth in hospitals Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Normal type of labor will reduce the pain scale involution of the uterus during childbirth, along with a range of factors that exist, namely age and parity. In this study the uterine involution pain scale on the type of cesarean delivery cesarean delivery is higher than normal. This is because the wound incision in cesarean section deliveries increase the intensity of pain during childbirth uterine involution. Health workers are expected to provide new information on uterine involution pain scale on each type of labor. Keyword: Type of Labor, Pain Scale. A. PENDAHULUAN Nyeri persalinan perlu diatasi supaya memudahkan proses persalinan, mengurangi kesakitan dan kematian ibu maupun bayi serta agar ibu dan bayi terbebas dari rasa depresi (Anon, 2011). Nyeri saat melahirkan, seringkali membuat ibu menyerah untuk melahirkan secara normal. Menurut dr. Irham Suhemi, Sp.OG, banyak ibu yang memutuskan melakukan operasi cesar setelah setengah jalan menjalani kelahiran normal (pervaginam) karena tidak tahan menahan sakit. Tetapi hal terpenting tidak diketahui para wanita bahwa Sectio Caesaria berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat resiko mortalitas ibu dibandingkan pada persalinan Vaginal,dan banyak wanita yang tidak mrngetahui bahwa kelahiran normal mempunyai dampak positif yang akan bisa dirasakan ibu dan anak sepanjang hidup (Mubarok, 2009). Data di indonesia menunjukkan bahwa angka persalinan SC mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data SDKI yang pertama yaitu tahun 1987 hingga yang 102
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
kelima yaitu SDKI 2002-2003, terjadi peningkatan angka persalinan SC secara nasional berjumlah kurang dari 4% dari jumlah total persalinan. Tercatat persalinan dengan SC atas permintaan sendiri sejumla h 60% dan 40% atas indikasi pada tahun 2003. (umy,2007). Pada seminar Nasional teknologi du Yogyakarta Prosentase tingkat nyeri pada masing- masing kelompok pada persalinan yaitu : 46,7% nyeri sedang dan 53,3% nyeri berat pada kelompok eksperimen, sedangkan 3,3% nyeri ringan, 60% nyeri sedang dan 36,7% nyeri berat Hingga saat ini Indonesia tercatat sebagai negara tertinggi di kawasan Asia (SNT, 2007). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa persalinan dengan bedah caesar adalah sekitar 10-15 % dari semua proses persalinan di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri, presentasi operasi caesar sekitar 5%. Menurut data di propinsi jawa timur,tercatat 90% dari proses persalinan adalah persalinan normal walaupun memang akhir-akhir ini angka itu kadang terbalik menjadi 90% persalinan SC atau dengan tindakan(Vacum, Forcep, Epidural atau induksi). Pada 2010 di wilayah daerah mojokerto didapatkan jumlah persalinan 526 orang dengan rincian persalinan fisiologis 8,94 % (47 orang), persalinan SC 23,95 % (126 orang) atas indikasi permintaan sendiri (APS).(Anon,2008). Berdasarkan studi pendahuluan pada 14 April 2012 di RSUD prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto,dari 5 ibu nifas dengan persalinan normal,tercatat 4 orang mengalami nyeri ringan,1 orang mengalami nyeri sedang dan tidak ada yang mengalami nyeri berat.Disamping itu,tercatat pula dari 5 ibu nifas dengan persalinan seksio cesar,tercatat 3 orang mengalami nyeri berat,2 orang mengalami nyeri sedang dan tidak ada yang mengalami nyeri ringan. Pasien Post SC akan mengeluh nyeri pada daerah incisi yang disebabkan oleh robeknya jaringan pada dinding perut dan dinding uterus.Prosedur pembedahan yang menambah rasa nyeri seperti infeksi, distensi,spasmus otot sekitar daerah torehan. Rasa nyeri yang dirasakan post SC lebih meningkat dari pada proses persalinan fisiologis,hal ini akan akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya masalah laktasi. Rasa nyeri tersebut akan menyebabkan pasien menunda pemberian ASI sejak awal pada bayinya, karena rasa tidak nyaman/peningkatan intensitas nyeri setelah operasi (Purwandari, 2009). Lebih dari 90% wanita mengalami nyeri persalinan yang cukup berat, Umumnya dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kultural, nullipara, drip oksitosin, ibu yang berusia muda, berat badan ibu dan janin yang meningkat. Dan sebenarnya Nyeri bukanlah bagian dari proses persalinan itu sendiri, rasa nyeri terjadi pada dasarnya adalah akumulasi dari beberapa faktor pengaruh seperti tingkat psikologis seseorang, rasa panik, rasa takut juga traumaa masa lalu. bahkan karena terlalu takut sampai-sampai banyak calon ibu yang memutuskan untuk melakukan operasi SC hanya gara-gara takut sakit. Dan memang saat pproses operasinya si ibu tidak merasakan sakit sama sekali, namun sayang, > 90% ibu yang mengeluh sakit post operasi dan berlangsung lebih lama pemulihannya (Anon, 2011). Upaya-upaya untuk mengatasi nyeri pada ibu post SC adalah dengan menggunakan farmakologis dan nonfarmakologis. Penalaksanaan nyeri dengan farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obat ananalgesik narkotik baik secara intravena maupun intramuskuler. Pemberian secara intravena maupun intramuskuler misalnya dengan meperidin 75-100 mg atau dengan morfin sulfat 10-15 mg, namun penggunaan analgesik yang secara terus menerus dapat mengakibatkan ketagihan obat (Cunningham et al, 2006). Penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologis antara lain menggunakan sentuhan afektif, sentuhan terapeutik, akupresur, relaksasi dan tehnik imajinasi, distraksi,
103
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
hipnosis,kompres dingin atau kompres hangat,stimulasi/message kutaneus,TENS (transcutaneous eletrical nervestimulation)dan relaksasi Benson (Potter dan Perry, 2006). Nyeri persalinan yang hebat dapat menyebabkan terjadinya stres emosional jangka panjang pada ibu, Selama persalinan, ibu hamil diharapkan dapat melalui proses persalinan dengan nyaman tanpa menimbulkan cacat emosional. Oleh karena itu diperlukan suatu penatalaksanaan nyeri persalinan yang efektif,disamping itu,perlu adanya peningkatan pemantauan pascapersalinan oleh tenaga kesehatan,pemantauan tersebut lebih mengacu pada nyeri involusi uterus beserta tinggi fundus uteri ibu (Anon, 2011). Berdasarkan fenomena diatas,maka peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul ―Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto‖ . B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pe rsalinan. a. Definisi Persalinan. Persalinan adalah proses pergerakan keluar janin, plasenta, dan membran dalam lahir melalui jalan lahir(Bobak, 2004). Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks,dan janin turun kedalam jalan lahir (Prawirohardjo, 2007). Persalinan dianggap ―normal‖ jika : 1) Wanita berada pada atau dekat masa aterm. 2) Tidak terjadi komplikasi. 3) Terdapat satu janin dengan presentasi puncak kepala. 4) Dan persalinan selesai dalam 24 jam (Bobak, 2004). b. Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan. 1) Pessenger (Penumpang). Cara penumpang atau janin bergerak disepanjang jalan lahir merupakan akibat interaksi beberapa faktor, yaitu ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap, dan posisi janin. Pessenger terdiri dari janin dan plasenta. 2) Jalan Lahir (Passegeway). Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang yang padat, dasar panggul, vagina, dan introitus. Tempat jenis panggul dasar dikelompokkan sbb: a) Ginekoid (tipe wanita klasik). b) Android (mirip panggul wanita). c) Antropoid (mirip panggul kena atropoid). d) Platipeloid (panggul pipih). 3) Kekuatan (power). Ibu melakukan kontraksi involunter dan volunter secara bersamaan untuk mengeluarkan janin dan plasenta dari uterus. Kontraksi uterus involunter yang disebut kekuatan primer, menandai dimulainya persalinan. Apabila servik dilatasi usaha volunter dimulai untuk mendorong yang disebut kekuatan sekunder yang memperbesar kekuatan kontraksi involunter. 4) Posisi Ibu. Posisi Ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi persalinan, posisi tegak memberi sejumlah keuntungan. Mengubah posisi membuat rasa letih hilang, memberi rasa nyaman dan memperbaiki sirkulasi 104
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
(Melzack,dkk,1991). Posisi tegak meliputiposisi berdiri, berjalan, duduk, dan jongkok. 5) Psychologi Respon (Respon psikologi). Psikologi ibu merupakan faktor terpenting dalam kelancaran proses persalinan. Apabila ibu yang menghadapi proeses persalinan mengalami stress/cemas, takut, serta kekurangan pengetahuan ibu tentang persalinan, maka proses persalinan ibu tersebut, akan tidak lancar atau terlambat. Karena stress yang dialami ibu akan meningkatkan kadar hormon ACTH, kortisol, dan sebagainya. Sedangkan kadar hormon akan menghambat persalinan (Bobak 2004). Tahap Persalinan. 1) Kala I. Klinis dapat dinyatakan partus dimulai bila timbul his dan wanita tersebut mengeluarkan lendir yang bersemu darah (bloody show). Proses membukanya servik sebagai akibat his di bagi dalam 2 fase a) Fase Laten : berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. b) Fase Aktif dibagi dalam 3 fase lagi, yaitu : (1) Fase akselerasi : dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi, menjadi 4 cm. (2) Fase dilatasi maksimal : dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm. (3) Fase deselerasi : pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam, pembukaan dari 9 cm menjadi 10 cm. (4) Sedangkan menurut skala Fredman, pada ibu primigravida pembukaan 1 cm/jam dan multigravida 2 cm/jam. 2) Kala II. Pada kala II, his menjadi lebih kuat dan lebih cepat kira-kira 2-3 menit sekali. Karena biasanya dalam hal ini kepala janin sudah masuk pintu atas panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita merasa pula tekanan pada rektum dan hendak BAB. Kemudian periniem menonjol dan menjadi lebar dan anus membuka. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian, kepala janin tidak tampak pada vulva pada waktu his. Bila dasar panggul sudah lebih berileksasi, kepala janin tidak masuk lagi diluar his, dan dengan his dan kekuatan mengedan maksimum, kepala janin dilahirkan dengan sub oksiput di bawah simpisisdan dahi mukan dan daya melalui perinium. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan badan, dan anggota bayi. Pada primigravida kala II, berlangsung rata-rata 1,5 jam dan multipara rata-rata 0,5 jam. 3) Kala III. Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dan fundus uteri agak diatas perut. Beberapa menit kemudian, uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6-15 menit setalah bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluran plasenta disertai dengan pengeluaran darah. 4) Kala IV. Mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya 1 jam. Dalam kala ini, perlu untuk mengamati apakah ada perdarahan postpartum (Sulistyawati, 2010).
105
HOSPITAL MAJAPAHIT d.
e.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Sebab-sebab timbulnya persalinan. Bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui dengan pasti sehingga menimbulkan beberapa teori yang berkaitan mulai terjadinya kekuatan his. Perlu dikatahui ada 2 hormon yang dominan saat hamil yaitu : 1) Estrogen. a) Meningkatkan sensitivitas otot rahim. b) Memudahkan penerimaan rangsangan dari luar seperti rangsangan oksitosin, rangsangan prostaglandin, rangsangan mekanis. 2) Progesteron. a) Menurunkan sensitivitas otot rahim. b) Menyulitkan penerimaan rangsangan dari luar seperti rangsangan oksitosin, rangsangan prostaglandin, rangsangan mekanis. c) Menyebabkan otot rahim dan otot polos relaksasi. Estrogen dan progesteron terdapat dalam keseimbangan sehingga kehamilan dapat dipertahankan. Perubahan keseimbangan estro gen dan progesteron menyebabkan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofise parsa posterior dapat menimbulkan kontraksi dalam bentuk Braxton Hicks. Kontraksi Braxton Hicks akan menjadi kekuatan dominan saat mulainya persalinan. Oleh karena itu, makin tua hamil frekuensi kontraksi makin sering (Prawirohardo,2007). Jenis persalinan beserta efeknya. 1) Persalinan normal. Persalinan normal adalah bayi lahir melalui vagina dengan letak belakang kepala/ubun-ubun kecil, tanpa memakai alat bantu, serta tidak melukai ibu maupun bayi (kecuali episiotomi). Proses persalinan normal biasanya berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam. Efek samping : terjadinya robekan vagina pada saat lahir yang disebabkan oleh tindakan episiotomi untuk mempermudah persalinan atau robek dengan sendirinya. 2) Persalinan ekstraksi vacuum. Vakum adalah seatu alat yang menggunakan cup penghisap yang dapat menarik bayi keluar dengan lembut. Persalinan dengan vakum dilakukan bila ada indikasi membahayakan kesehatan serta nyawa ibu atau anak, maupun keduanya. Jika proses persalinan cukup lama sehingga ibu sudah kehilangan banyak tenaga, maka dokter akan melakukan tindakan segera untuk mengeluarkan bayi. Efek samping : terjadi perlukaan yang lebih luas pada jalan lahir, juga pendarahan dijalan lahir. Sedangkan pada bayi, resiko vakum secara umum adalah terjadinya luka atau lecet dikulit kepala. Inipun dapat diobati dengan obat anti septik. Kondisi ini biasanya akan hilang sendiri setelah bayi usia seminggu. Resiko yang lebih berat adalah terjadinya pendarahan diantara tulang-tulang kepala (cephal hematome), juga terjadi pendarahan dalam otak. 3) Persalinan Ekstraksi forcep. Forsep digunakan pada ibu pada keadaan sangat lemah, tidak ada tenaga, atau ibu dengan penyakit hipertensi yang tidak boleh mengejan, forsep dapat menjadi pilihan. Demikian pula jika terjadi gawat janin ketika janin kekurangan oksigen dan harus segera dikeluarkan. Apabila persalinan yang dibantu forsep telah dilakukan dan tetap tidak bisa mengeluarkan bayi, maka operasi caesar harus segera dilakukan.
106
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Efek samping : Pada bayi dapat terjadi kerusakan saraf ketujuh (nervus fasialis), luka pada wajah dan kepala, serta patah tulang wajah dan tengkorak. Jika hal itu terjadi, bayi harus diawasi dengan ketat selama beberapa hari. Tergantung derajat keparahannya, luka tersebut akan sembuh sendiri. Sedangkan pada ibu, dapat terjadi luka pada jalan lahir atau robeknya rahim (ruptur uteri). 4) Persalinan Operasi Caesar. Operasi caesar adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. Efek samping : Komplikasi yang timbul setelah dilakukannya SC pada ibu seperti nyeri pada daerah incisi, potensi terjadinya thrombosis, potensi terjadinya penurunan kemampuan fungsional,penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul, perdarahan, luka kandung kemih, infeksi, bengkak pada extremitas bawah, dan gangguan laktasi (Kurniawati, 2008). Konsep Nyeri. a. Pengertian Nyeri. Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan.sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya,dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang di alaminya (Hidayat, 2008). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. b. Reseptor jaringan kulit (kutaneus). 1) Reseptor A delta. Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan 2) Serabut C. Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. 3) Reseptor visceral. Reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. c. Respon fisiologis terhadap nyeri. 1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial). a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate. b) Peningkatan heart rate. c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP. d) Peningkatan nilai gula darah. e) Diaphoresis. f) Peningkatan kekuatan otot. g) Dilatasi pupil. h) Penurunan motilitas GI. 107
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam). a) Muka pucat. b) Otot mengeras. c) Penurunan HR dan BP. d) Nafas cepat dan irreguler. e) Nausea dan vomitus Kelelahan dan keletihan. Respon tingkah laku terhadap nyeri. 1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: 2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur). 3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir). Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan. 4) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri) (Ittun,2008). Faktor yang mempengaruhi respon nyeri. 1) Usia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. 2) Jenis kelamin. Gill (1990) mengungkapkan laki- laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki- laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). 3) Kultur. Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. 4) Makna nyeri. Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. 5) Perhatian. Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. 6) Ansietas. Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7) Pengalaman masa lalu. Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8) Pola koping. Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. 9) Support keluarga dan sosial. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan. (Hidayat, 2008) 108
HOSPITAL MAJAPAHIT f.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Intensitas Nyeri. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nye ri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). 1) Intensitas nyeri Deskriptif.
2) Intensitas nyeri numerik.
3) Skala analog visual.
g.
4) Skala Nyeri. 0 : Tidak nyeri. 1-3 : Nyeri ringan. 4-6 : Nyeri Sedang. 7-9 : Sangat nyeri, tapi masih dapat di control. 10 : Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol (Smeltzer, 2002) Penyebab Nyeri pasca bersalin. 1) Nyeri perut (rahim). Pada saat hamil, rahim seorang ibu akan membesar sesuai ukuran janin yang dikandung. Begitu bayi lahir maka perlahan- lahan rahim akan menyusut dan mengecil hingga sebesar buah pir kecil. Proses kembalinya ke bentuk semula dari rahim ini disertai dengan rasa seperti kram pada perut.Dalam kebidanan disebut dengan kontraksi rahim. Kontraksi rahim ini diperlukan agar rahim dapat segera mengecil dan pembuluh darah yang terluka saat lepasnya ari-ari dari dinding rahim dapat segera menutup kembali, sehingga tidak terjadi perdarahan. Kadang, sensasi nyeri seperti kram ini semakin terasa saat menyusui, ibu tak perlu cemas karena justru dengan rangsangan hisapan bayi akan membantu keluarnya hormon oksitosin yang membantu proses kontraksi rahim tersebut. Maka, tidak mengherankan bila ibu menyusui akan lebih cepat pulih rahimnya dan terhindar dari risiko perdarahan juga. Gunakan gurita yang nyaman, sering 109
HOSPITAL MAJAPAHIT
2)
3)
4)
5)
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
buang air kecil dan lakukan relaksasi nafas bila nyeri atau kram tersebut muncul. Nyeri payudara. Paska persalinan setelah dua atau tiga hari seorang ibu nifas akan merasakan payudaranya mulai sedikit tegang dan penuh. Sekitar payudara terasa nyeri sedikit dan membengkak. Pada keadaan ini, payudara telah memulai fungsinya memproduksi air susu bagi bayi. Produksi ASI semakin hari akan semakin banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan penghisapan yang teratur dari bayi sejak lahir, yakni dengan inisiasi menyusu dini.Pada beberapa ibu nifas, ada yang mengalami pembesaran kelenjar susu hingga di area sekitar ketiak. Tidak perlu khawatir itu bukan penyakit atau kelainan, namun karena aktivitas hormon yang memproduksi ASI bagi bayi. Bagian puting payudara juga akan sedikit keras dan sensitif. Gunakan bra yang nyaman, lakukan kompres hangat pada sekitar payudara dan sering kosongkan ASI dengan menyusui untuk meredakan keluhan nyeri. Nyeri perineum dan bengkak pada vagina. Pada saat latihan duduk dan berjalan pascabersalin, ibu nifas mungkin akan mengalami keluhan sedikit nyeri pada sekitar jalan lahir baik bekas luka jahitan maupun keluhan bengkak atau lecet pada vagina. Tidak perlu cemas, pada keadaan dimana bagian tubuh mengalami robekan maka saraf di sekitar luka akan menjadi sangat peka dan timbul nyeri, namun semakin aktif bergerak, rasa nyeri akan semakin berkurang. Pada keadaaan bengkak atau lecet pada sekitar vagina mungkin sementara akan sedikit mengganggu kenyamanan ibu, tak perlu cemas hal ini akibat penekanan kepala bayi saat lahir. Keadaan bengkak pada vagina secara perlahan akan mengempis dan kembali ke bentuk semula. Lakukan relaksasi nafas panjang saat latihan duduk atau jalan agar mengurangi nyeri. Yang perlu dilakukan adalah mengenakan pembalut dengan tepat, menjaga kebersihan luka jahitan, bila perlu lakukan rendam air hangat untuk mengurangi keluhan nyeri. Nyeri hemoroid atau ambeien. Pada saat mengejan melahirkan tak jarang menimbulkan hemoroid (ambeien) yang diderita ibu sebelumnya menjadi keluar dari dubur dan terasa nyeri. Dengan penanganan kompres rendam a ir hangat akan sangat membantu mengurangi nyeri. Bila memang diperlukan bidan dan dokter akan membantu menggunakan jelly pelumas untuk memasukkan kembali hemoroid tersebut. Tetap menjaga kebersihan area sekitar dubur dan jangan takut untuk buang air besar atau mengejan. Nyeri pembedahan. Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut : a) Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan ringan akibat operasi tersebut. b) Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari penderita oleh anggota/team pembedahan atau dengan kata lain disebut pelaksanaan perioperatif dan premedikasi. c) Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan. d) Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan. e) Kwalitas dari perawatan pasca bedah. 110
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
f) g) h) i)
3.
Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi. Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal j) Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya. k) Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak walaupun luas yang diangkat sama besar. l) Fisiologik, psychologik dari penderita. Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) adalah sebagai berikut : a) Operasi daerah Thocaro – abdominal. b) Operasi ginjal. c) Operasi Columna vertebralis (spine). d) Operasi Sendi besar. e) Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas. (Iffan, 2010). Konsep Involusi Uterus. Involusi uterus adalah kembalinya uterus pada organ panggul (Bick at al, 2008). Involusi uterus adalah kembalinya uterus keukuran,tonus dan posisi sebelum hamil (Medforth, 2012). Involusi uterus adalah keadaan kembalinya uterus kedalam bentuk semula (Wirahkusuma, 2011). a. Faktor Faktor yang mempengaruhi involusi uterus. 1) Ambulasi 2) Senam nifas 3) Proses laktasi 4) Komplikasi persalinan 5) Anestesi 6) Lamanya persalinan 7) Usia 8) Nutrisi 9) Paritas 10) Pekerjaan (Wirahkusuma, 2011) b. Sub- involusi uterus. Sub involusi uterus adalah uterus gagal mengalami involusi pada kecepatan yang di perkirakan,teraba lebar dan ―menggembung‖ saat di palpasi. 1) Hemoragi pasca partum primer. Hemoragi pasca partum primer adalah perdarahan berat dari saluran genetalia sejak selesainya kala 3 persalinan sampai 24 jam setelah kelahiran. Tanda dan gejala : a) Kehilangan darah pervagina secara mendadak atau berlebihan. b) Uterus dapat teraba membesar,lunak,dan menggembung di palapasi. c) Pucat. d) Peningkatan denyut nadi. e) Penurunan tekanan darah.
111
HOSPITAL MAJAPAHIT
4.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Hemoragi pasca partum sekunder. Hemoragi pasca partum sekunder adalah perdarahan hebat dari genetalia yang terjadi setelah 24 jam pertama sampai 6 minggu setelah kelahiran.perdarahan ini sering terjadi antara 7-14 hari setelah kelahiran. Tanda dan gejala : a) Sering kali di dahului oleh peneluaran darah hebat,yang mungkin berbau tidak sedap dan disertai oleh sub involusi uterus, beberapa bekuan atau potongan membran dapat terlihat. b) Takikardia dan pireksia derajat rendah akan mengindikasikan keberadaan infeksi (Medford, 2012). Konsep Masa Nifas. a. Pengertian. Masa nifas (peurperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (Saifuddin, 2002). Masa nifas atau peurperium dimulai setelah plasenta lahir daan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung kira-kira 6 minggu (Wiknjosastro, 2005). b. Waktu pembagian masa nifas. 1) Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan, dalam agama Islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari. 2) Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia yang lamanya 6-8 minggu. 3) Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mengalami komplikasi, waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu- minggu, bulanan atau tahunan (Bahiyatun, 2009). c. Perubahan fisiologis pada masa nifas. 1) Perubahan fisik. a) Oedema. Selama hamil tubuh mengalami peningkatan sejumlah lemak juga cairan. Itu sebabnya itu mengapa ketika hamil, jari-jari tangan ataupun kaki membengkak (oedema) sampai melahirkan hal ini belum juga pulih. Pembengkaan ini akan selama beberapa hari, dan akan menurun secara bertahap dengan pengeluaran air seni ( Kasdu, 2007). b) Dinding Perut. Perubahan fisik lainnya yang tampak nyata setelah bayi lahir adalah perut menjadi tampak kempis kembali. Sekalipun bentuk perut belum kembali seperti sebelum hamil, terutama dekat pusat masih tampak menonjol agak besar, hal ini karena bentuk rahim yang belum seluruhnya pulih kebentuk semula (Kasdu, 2007). c) Perubahan kulit. Pada waktu hamil terjadi pigmentasi kulit pada beberapa tempat karena proses hormonal. Setelah persalinan hormon berkurang dan hiperpigmentasi menghilang. Pada diding perut akan menjadi putih mengkilat yaitu ― strie albikan‖. d) Sistem Perkemihan. Diuresis dapat terjadi setelah 2-3 hari postpartum. Diureis dapat terjadi karena saluran urinaria mengalami dilatasi. Kondisi ini akan kembali normal setelah 4 minggu post partum. Pada awal post partum, kandung kemih mengalami edema, kongesti, dan hipotonik. Hal ini disebabkan oleh adanya overdistensi pada saat kala II persalinan dan pengeluaran urine yang tertahan selama proses persalinan. Sumbatabn pada ureter disebabkan oleh adanya trauma saat 112
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
persalinan berlangsung dan trauma ini dapat berlangsung setelah 24 jam post partum (Bahiyatun, 2009). Mekanisme tubuh untuk mengurangi kelebihan cairan yang tertimbun selama hamil melalui diaforesis dan diuresis. Trauma jalan lahir, efek anastesi, dan rasa takut berkemih dapat mengakibatkan distensi kandung kemih, menghambat kontraksi uterus dan mengakibatkan perdarahan ( Bobak, 2004). 2) Perubahan normal pada uterus selama nifas. Tabel 32. Tabel Perubahan Uterus Pada Masa Nifas . Involusi Tinggi Fundus Berat Uterus Diameter Palpasi Servik Uteri Uteri Uterus Plasenta Setinggi 1000 gr 12,5 cm Lembut/lunak lahir pusat 7 hari Pertengahan 500 gr 7,5 cm 2 cm (minggu 1) antara pusat dan sympisis 14 hari Tidak teraba 350 gr 5 cm 1 cm (minggu 2) 3 minggu Normal 60 gr 2,5 cm Menyempit Sumber: Ambarwati (2010) 3) Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam masa nifas. Lochea mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus. Lochea mempunyai reaksi basa/alkalis yang dapat membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal. Lochea mempunyai perubahan karena proses involusi (Ambarwati, 2010). Lochea pada masa nifas dibagi menjadi: a) Lochea rubra (cruenta). Lochea ini muncul pada hari 1 sampai hari ke 4 masa postpartum. Cairan yang keluar berwarna merah karena berisi darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi, lanugo (rambut bayi) dan mekonium. b) Lochea sanguinolenta. Cairan yang keluar berwarna merah kecoklatan dan berlendir. Berlangsung dari hari ke 4 sampai hari ke 7 postpartum. c) Lochea serosa. Lochea ini berwarna kuning kecoklatan karena mengandung serum, leukosit dan robekan/laserasi plasenta. Muncul pada hari ke 7 sampai hari ke 14 postpartum. d) Lochea alba. Mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati. Lochea alba bisa berlangsung selama 2 sampai 6 minggu postpartum. e) Servik. Servik mengalami involusi bersama dengan uterus, konsistensinya lunak, kadang terdapat laserasi/perlukaan kecil. Karena robekan kecil yang terjadi selama dilatasi, servik tidak pernah kembali pada keadaan sebelum hamil. Muara servik yang berdilatasi 10 cm pada waktu persalinan menutup bertahap. Setelah bayi lahir, tangan masih bisa masuk rongga rahim, setelah 2 jam dapat dimasuki 2-3 jari, pada minggu keenam nifas, servik menutup (Ambarwati, 2010).
113
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian. Jenis penelitian menggunakan analitik. Selanjutnya peneliti ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu peneliti ini menggunakan observasi satu kali variabel atau pengukuran pada suatu waktu. Pada penelitian ini desain yang di gunakan adalah desain korelasi untuk mengetahui adanya jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. 2. Frame Work. Variabel Independen Jenis persalinan
a. b. c. d. e.
Variabel Dependen Tingkat Nyeri
Variabel Perancu Nyeri perut(rahim) Nyeri payudara Nyeri perineum dan bengkak pada vagina Nyeri hemoroid Nyeri pembedahan
Gambar 7. Kerangka Ke rja Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas. 3. 4.
Hipotesis Penelitian. H1 = Ada pengaruh jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas. Variabel dan Definisi Operasional. a. Jenis Variabel. 1) Variabel Independen/Variabel Bebas. Pada penelitian ini variabel independent atau bebas adalah jenis persalinan. 2) Variabel Dependen/Variabel Terikat. Pada penelitian ini variabel dependent atau tergantung adalah skala nyeri involusi uterus masa nifas. b. Definisi Operasional. Tabel 33. Definisi Operasional Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas. Variabel Definisi Operasional Krite ria Skala Independen : Jenis Peraslinan adalah Seksio cesar (SC) Nominal jenis berbagai macam cara Persalinan normal persalinan yang dapat digunakan (Kurniawati, 2008) dalam persalinan (prawirohardjo, 2007). Alat ukur: Kuesioner Dependen : Nyeri merupakan 0 : Tidak nyeri Ordinal tingkat kondisi berupa perasaan 1-3 : Nyeri ringan nyeri yang tidak 4-6 : Nyeri Sedang menyenangkan 7-9 : Sangat nyeri, tapi (Hidayat, 2008). masih bisa dikontrol Alat ukur: Kuesioner 10 : Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol (smeltzer, 2002) 114
HOSPITAL MAJAPAHIT 5.
6.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua Ibu nifas hari pertama di RSUD Prof. Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto. Populasi pada 22 Mei - 07 Juni 2012 sebanyak 37 responden. Sampel dalam penelitian ini adalah Ibu Nifas pada hari pertama. Penelitian ini menggunakan teknik Non Probability Sampling dengan jenis Purposiive sampling yaitu cara pengambilan sampel dengan tujuan tertentu (Hidayat, 2007). Sehingga ditentukan samplingnya adalah setiap ibu nifas hari pertama yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 37 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. a. Kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti. Yang termasuk kriteria inklusi adalah 1) Ibu nifas hari pertama 2) Ibu nifas yang melakukan persalinan normal dan persalinan seksio cesar. 3) Ibu nifas yang bersedia untuk menjadi responden. b. Kriteria eksklusi. Ibu nifas yang melakukan persalinan dibantu dengan alat. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer dimana data jenis persalinan diambil melalui angket dan data skala nyeri diambil melalui angket pula.Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Survei adalah penelitian yang dilakukan dengan memberikan kuesioner,wawancara langsung atau tidak langsung (Hidayat, 2007). Instrumen pengumpulan data jenis persalinan pada penelitian ini menggunakan kuesioner dengan 1 pertanyaan dan instrumen pengumpulan data skala nyeri menggunakan VAS. VAS adalah jenis pengukuran yang digunakan untuk mengukur pengalaman subyektif dapat digunakan dengan menggunakan suatu gar is yang dimulai dengan garis awal (paling ringan) sampai paling nyeri (paling berat) (Nursalam,2009). Pengukuran VAS pada nyeri biasanya digunakan sebagai garis 0, 1-3, 4-6, 7-9, 10 untuk mengetahui skala nyeri pada involusi uterus masa nifas hari pertama. Teknik Pengolahan dan Analisis Data. a. Teknik Pengolahan Data. 1) Editing. Editing adalah memeriksa kembali data yang telah dikumpulkan, ini berarti pada format pengumpulan data kemudian memindah ke dalam tabel distribusi bantu penelitian sesuai keinginana peneliti. 2) Coding. Coding adalah memberikan kode dengan mengubah kata menjadi angka pada variabel data. a) Data umum : (1) Umur ≤20 : kode 1 20-35 : kode 2 ≥35 : kode 3 (2) Paritas 1 : kode 1 2-4 : kode 2 ≥5 : kode 3
115
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
b) Data khusus : (1) Jenis persalinan SC : kode 1 Normal : kode 2 (2) Skala nyeri Skala nyeri 0 : kode 1 Skala nyeri 1-3 : kode 2 Skala nyeri 4-6 : kode 3 Skala nyeri 7-9 : kode 4 Skala nyeri 10 : kode 5 3) Tabulating. Tabulating adalah memindahkan data menurut data jenisnya ke dalam tabel. Cara membaca bab kesimpulan menggunakan skala sebagai berikut : 100% : Seluruhnya 76-99% : Hampir seluruhnya 51-75% : Sebagian besar 50% : Setengah 26-49% : Hampir setengah 1-25% : Sebagian kecil 0% : Tidak satupun (Arikunto, 2002) Teknik Analisis Data. 1) Analisis Univariat. Jenis persalinan. Untuk kode sub variabel jenis persalinan sebagai berikut: pernyataan: persalinan normal : 1 persalinan SC :2 (Nursalam, 2008) Kemudian jawaban tersebut diubah menjadi persentase dengan rumus: P = f x100% N Keterangan : P : Prosentase F : Jumlah jawaban yang benar N : Jumlah skor maksimal 2) Analisis Bivariat. Dilakukan untuk melihat hubungan antara 2 variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Pada penelitian ini peneliti mengunakan uji Wilcoxon yaitu, dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan : U : Nilai uji Mann-Whitney N1 : sampel 1 N2 : sampel 2 Ri : Ranking ukuran sampel 116
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
E. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Tempat Penelitian. Penelitian ini dilakukan di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto tanggal 22 Mei – 07 Juni 2012 dengan jumlah responden 37 orang. RSUD Prof. Dr. Soekandar terletak di Jl. Hayam Wuruk No. 25 kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. Luas lahan yang dimiliki 10.672 m2 sedangkan luas bangunan yang dimiliki 8854,85 m2 . RSUD Prof. Dr. Soekandar memiliki batas wilayah sebelah Sebelah utara berbatasan dengan Jl. Hayam wuruk, Sebelah timur berbatasan dengan rumah warga, sebelah selatan berbatasan dengan Jl. Kauman dan sebelah barat berbatasan dengan rumah warga. Kapasitas tempat tidur sebanyak 206, dengan Fasilitas yang ada di RSUD Prof. Dr. Soekandar terdiri dari : a. 1 Gedung IRJA, Laborat, Radiologi, & Sekretariat b. 1 Gedung IRD-ODC c. 1 Gedung Pelayanan Obstetri dan Neonatus Komprehensif ( PONEK) d. 7 Gedung IRNA e. 1 Gedung IBS & ICU f. 1 Gedung CSSD g. 1 Gedung Dapur & Gizi h. 1 Gedung IPS i. 1 Gedung Mushola j. 1 Gedung Aula k. 1 Gedung Pemulasaraan jenazah l. 1 Bangunan Parkir m. 4 Bangunan Rumah Dinas Instalasi rawat inap: a. Paviliun Majapahit ( Kelas Utama dan VIP ) b. Paviliun Mataram ( Kelas I ) c. Paviliun Pajajaran ( Kelas II ) d. Paviliun Dhoho ( Penyakit Dalam Kelas I dan III ) e. Paviliun Blambangan ( Anak ) f. Paviliun Kahuripan ( Bedah Kelas III ) g. Paviliun Sriwijaya ( VK dan Bersalin ) h. Paviliun Kutai ( Neonatus ) i. ICU-ICCU/ RR Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Prof. Dr. Soekandar karena jumlah pasiennya dapat mencukupi sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, di samping itu juga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. 2. Data Umum. a. Karakteristik responden berdasarkan umur. Tabel 34. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei – 07 Juni 2012 No. Usia Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. ≤ 20 tahun 6 16,2 2. 20 – 35 tahun 27 73 3. ≥ 35 tahun 4 10,8 Jumlah 37 100
117
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Berdasarkan tabel 34 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 20-35 tahun yaitu 27 orang (73%) dan sebagian kecil responden berumur ≥35 tahun yaitu 4 orang (10,8%). Karakteristik responden berdasarkan paritas. Tabel 35. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Paritas di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei – 07 Juni 2012 No. Paritas Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. 1 15 43,2 2. 2–3 21 56,8 3. ≥5 1 2,7 Jumlah 37 100
Berdasarkan tabel 35 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar paritas responden 2-3 yaitu 20 orang (56,8%) dan sebagian kecil responden dengan paritas ≥ 5 yaitu 1 orang (2,7%). Data Khusus a. Karakteristik responden berdasarkan jenis persalinan. Tabel 36. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Persalinan di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei – 07 Juni 2012 No. Jenis Persalinan Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. SC 27 73 2. Normal 10 27 Jumlah 37 100
b.
Berdasarkan tabel 36 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya adalah jenis persalinan seksio cesar yaitu 27 responden (73%). Karakteristik responden berdasarkan nyeri persalinan. Tabel 37. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nyeri Persalinan di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei – 07 Juni 2012 No. Nyeri Persalinan Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Tidak Nyeri 0 0 2. Nyeri Ringan 2 5,4 3. Nyeri Sedang 11 29,7 4. Sangat nyeri tapi masih 20 54,1 bisa dikontrol 5. Sangat Nyeri dan tidak 4 10,8 bisa dikontrol Jumlah 37 100 Berdasarkan tabel 37 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol yaitu 20 responden (54,1%) dan tidak satupun yang mengalami nyeri dengan kategori Tidak nyeri.
118
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
c.
Jenis Persalinan dan Nyeri Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas. Tabel 38. Tabulasi Silang Jenis Persalinan dan Nyeri Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Pada Tanggal 22 Mei – 07 Juni 2012 Nyeri Persalinan Tidak Nyeri Nyeri Sangat Sangat Jenis nyeri Ringan sedang Nyeri tapi Nyeri tapi Total No. Persalinan masih bisa tidak bisa dikontrol dikontrol f % f % f % f % f % F % 1. SC 0 0 0 0 3 8,1 20 54,1 4 10,8 27 73 2. Normal 0 0 2 5,4 8 21,6 0 0 0 0 10 27 Jumlah 0 0 2 5,4 11 29,7 20 54,1 4 10,8 37 100 Berdasarkan tabel 38 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori Sa ngat Nyeri tapi masih bisa dikontrol pada jenis persalinan seksio cesar yaitu 20 responden (54,1%), dan tidak satupun yang mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori Sangat Nyeri tapi masih bisa dikontrol pada persalinan normal. Sedangkan Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis persalinan seksio cesar lebih besar daripada nilai mean jenis persalinan normal (23,56>6,70).Dari Nilai uji Mann-Whitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -4.660 dan tercatat pula hasil uji signifikan secara statistic adalah 0,00<0,05, dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima yaitu ada hubungan antara jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas. F. PEMBAHASAN 1. Jenis Persalinan. a. Berdasarkan tabel 36 hampir seluruhnya adalah jenis persalinan seksio cesar yaitu 27 responden (73%). Operasi caesar adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. (Kurniawati, 2008).praktis dan singkatnya persalinan seksio sesar membuat para ibu tertarik memilih jenis persalinan ini, dengan hal ini terjadilah peningkatan jumlah persalinan seksio cesar. b. Umur juga mempengaruhi jenis persalinan yaitu berdasarkan tabel tabulasi silang didapatkan bahwa sebagian besar responden berumur 20-35 tahun yatiu sebanyak 22 responden (59,5%) dengan jenis persalinan Seksio Cesar. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari kematangan jiwanya (Hurlock, 1998 dalam Nursalam, 2008). Makin tua usia seseorang, maka makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Sehingga seseorang pada usia dewasa akan semakin mudah dalam menerima informasi yang memberi dampak positif bagi dirinya (Long, 1996 dalam Nursalam, 2008). Semakin banyak umur atau semakin tua seseorang maka semakin bertambah pengetahuannya tentang berbagai macam jenis persalinan. Dengan demikian semakin tua umur responden maka semakin
119
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
bijak mengambil keputusan dalam memilih jenis persalinan yang terbaik bagi dirinya. c. Selain usia, paritas juga mempengaruhi persalinan,hampir seluruhnya pada paritas 2-4 yaitu 16 responden (43,2%) dengan persalinan seksio cesar. Pengalaman masa lalu juga mempengaruhi persepsi terhadap nyeri. Keberhasilan atau kegagalan metode penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap harapan individu terhadap penanganan nyeri saat ini (Smeltzer, 2002). Kemungkinan besar Mereka memilih persalinan seksio cesar pada persalinan ke 2-4 karena mereka telah menjalani persalinan secara normal,persepsi mereka bahwa waktu yang dibutuhkan pada jenis persalinan seksio cesar lebih singkat dan nyeri persalinan seksio cesar lebih ringan dari pada persalinan normal. Nyeri Involusi Uterus. Tercatat bahwa sebagian besar nyeri involusi uterus sebesar 20 Responden(54,1%) yaitu dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol dan tidak ada satupun yang mengalami nyeri dengan kategori tidak nyeri. Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna setelah persalinan bayi, yang merupakan respons untuk segera mengurangi jumlah volume intra uterin. Selama 1 – 2 jam pertama post partum, aktivitas uterin menurun secara progressif dan stabil. Pada waktu pertama keadaan uterin ibu ditingkatkan sehingga fundus menetap dengan tegas. Periode relaksasi dan kontraksi dengan kuat adalah lebih umum pada kehamilan dan mungkin menyebabkan nyeri perut yang tidak nyaman yang disebut after pains dimana terus berlangsung sampai masa puerperium. (pherba, 2010). Nyeri involusi uterus bisa juga disebabkan karena kontraksi uterus yang terlalu kuat,selain itu hal tersebut bisa juga disebabkan karena terjadi perlukaa n pada uterus,hal ini menyebabkan nyeri involusi uterus bertambah. Jenis Persalinan Dengan Nyeri Involusi Ute ri. Berdasarkan tabel 38 tercatat bahwa hampir seluruhnya mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol pada jenis persalinan seksio cesar yaitu 20 responden (54,1%) dan tidak satupun yang mengalami nyeri involusi uterus dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol pada jenis persalinan normal. Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) salah satunya terdapat pada daerah Thocaro – abdominal(iffan,2010). Nyeri involusi uterus pada persalinan seksio cesar lebih tinggi daripada persalinan normal,intensitas nyeri involusi uterus pada persalinan seksio cesar menjadi bertambah karena akibat luka sayat pada uterus terjadi setelah klien sadar dari narkose dari 24 jam post operasi. Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis persalinan seksio cesar lebih besar daripada nilai mean jenis persalinan normal (23,56>6,70).Dari Nilai uji Mann-Whitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -4.660 dan tercatat pula hasil uji signifikan secara statistic adalah 0,00<0,05 , dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima yaitu ada hubungan antara jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas.
G. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang berjudul ‖Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto‖pada tanggal 07 Mei-07 Juni 2012 didapatkan simpulan bahwa: 1. Jumlah jenis persalinan di RSUD Prof. Dr. Soekandar mojosari Mojokerto hampir seluruhnya adalah jenis persalinan seksio cesar yaitu 27 responden(73%).
120
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2.
Sebagian besar responden mengalami nyeri dengan kategori sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol yaitu 20 responden (54,1%) dan tidak satupun yang mengalami nyeri dengan kategori Tidak nyeri. 3. Dari output Rank, tercatat bahwa nilai mean untuk jenis persalinan seksio cesar lebih besar daripada nilai mean jenis persalinan normal (23,56>6,70).Dari Nilai uji MannWhitney U, tercatat dimana nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -4.660 dan tercatat pula hasil uji signifikan secara statistic adalah 0,00<0,05 , dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima yaitu ada hubungan antara jenis persalinan dengan skala nyeri involusi uterus masa nifas. Dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan diharapkan tenaga kesehatan lebih meningkatkan materi yang dapat menunjang, materi yang diperoleh baik melalui penelitian, seminar atau juga dari literatur kepustakaan lainnya sehingga ibu nifas lebih memahami tentang skala nyeri involusi uterus dari masing masing jenis persalinan. Memberikan informasi baru tentang skala nyeri involusi uterus pada masing masing jenis persalinan karena ini bertujuan untuk melaksanakan program asuhan sayang ibu pada masa nifas juga kepada PUS (Pasangan Usia Subur) dan bagi para calon ibu lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anon. (2008). (http://bidan-paramithasarifamuzi.blogspot.com/., diakses 06 April 2012). Anon. (2011). (http://babyorchestra.wordpress.com, diakses 12 April 2012). Anon. (2011). (http://bidankita.com., diakses 10 April 2012). Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Bobak. (2004). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Baston, Helen. (2012). Midwifery Essentials Postnatal. Jakarta: EGC. Cunningham, gary dkk. (2006). Obstetri Williams. Jakarta : EGC. Fraser, Diane. (2009). Buku Ajar Bidan Myles ed 14. Jakarta. EGC. Hidayat, Alimul, A.(2007). Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika. Hidayat, Alimul, A.(2008). Konsep Dasar Asuhan kebidanan. Jakarta. EGC. Medforth, janet dkk. (2012). Kebidanan Oxford. Jakarta. EGC. Mubarok. (2009). (http://ivanmubarok.blogspot.com., diakses 03 April 2012). Prawirohardjo, Sarwono. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP. Smeltzer, suzanne C. (2002). Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC. Sulistiawati, Ari dkk. (2010). Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Jakarta : Salemba Medika. Umy. (2007). (http://publikasi.umy.ac.id, diakses 11 April 2012). Wirakusuma, firman dkk. (2011). Obstetri Fisiologi Ilmu Kesehatan Reproduksi Ed 2. Jakarta : EGC.
121
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
HUBUNGAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DENGAN SIKLUS MENSTRUASI DI MTs DARUN NAJAH GADING DUSUN SUMBER KENANGA JATIREJO MOJOKERTO Agus Dwi Rahayu.1 , Sulisdiana, M.Kes.2 1 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT One of the risk factors of variability of the menstrual cycle is the nutritional status of young adolescents. Because the quality of nutrition and nutrition affect the performance of the hypothalamus gland which has a role to control the smoothness of the menstrual cycle there. The research objective was to determine the relationship with the nutritional status of young women in the menstrual cycle of MTs Darun Najah Gading Jatirejo Mojokerto. Research design is observational analytic study with cross sectional approach. The independent variable was the nutritional status of young adolescents and the dependent variable is the menstrual cycle. The population was all young adolescents class VII and VIII as many as 41 people, then the total sampling technique is taken entirely as a sample. Nutritional status were collected using a meter (meterline) and age data, while menstrual cycle data was taken using a questionnaire on December 4 to 9 June 2012. Furthermore, the data were processed and analyzed using the Chi square test. The results showed almost half of respondents have a short nutritional status of 20 respondents (48.8%) and the majority of respondents had normal menstrual cycles were 22 respondents (53.7%). Chi square statistical test results obtained Sig. (2 tailed) (0.033) <α (0.05) means H0 rejected and H1 accepted, meaning that there is a link the nutritional status of young adolescents with menstrual cycle in MTs Darun Najah Gading Jatirejo Mojokerto. Family socioeconomic status background of the nutritional status of young women to be short, but even under conditions that completely limited, parents are quite capable of maintaining a comfortable home atmosphere for children, so that respondents can experience a normal menstrual cycle. Conclusion of this study is that there is a correlation between nutritional status of young adolescents with the menstrual cycle in MTs Darun Najah Gading Jatirejo Mojokerto. Young adolescents are advised to increase their knowledge about good nutrition and balanced. Health professionals can work with a tutor Business School Health to provide counseling on nutrition and menstruation. Keywords: nutritional status, menstrual cycle, young adolescent A. PENDAHULUAN Karakteristik remaja (adolescence) adalah tumbuh menjadi dewasa. Secara fisik, remaja ditandai dengan ciri perubahan pada penampilan fisik dan fungsi fisiologis, terutama yang terkait dengan kelenjar seksual. Sementara itu, secara psikologis remaja merupakan masa dimana individu mengalami perubahan-perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan moral antara masa anak-anak menuju dewasa (Kusmiran, 2011: 8). Menstruasi pertama (menarche) merupakan peristiwa yang penting pada pubertas anak gadis yang menjadi pertanda biologis dari kematangan seksual (Kartono, 2006: 111). Siklus menstruasi normal terjadi setiap 22-35 hari, dengan lamanya menstruasi selama 27 hari (Kusmiran, 2011: 19). Status gizi remaja sangat mempengaruhi terjadinya menarche baik dari faktor usia terjadinya menarche, adanya keluhan-keluhan selama menarche maupun lamanya hari menarche (Paath, dkk., 2004: 70). Panjang siklus 122
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
menstruasi dipengaruhi oleh usia seseorang dan dukungan gizi (Hanafiah dalam Lusiana dan Dwiriani, 2007: 26). Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk di dunia. Menurut World Health Organization sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar sembilan ratus juta berada di negara sedang berkembang. Data demografi di Asia Pasifik jumlah penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19 tahun (Soetjiningsih, 2007: 1). Menurut sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah remaja di Indonesia usia 10-24 tahun adalah sebesar 64 juta jiwa, artinya 27,6% dari total penduduk Indonesia (237,6 jiwa). Sedangkan jumlah remaja di Jawa Timur usia 10-24 tahun adalah sebesar 8,747 juta jiwa atau 23,35% dari jumlah penduduk Jawa Timur (37.477 juta jiwa) (BKKBN Jawa Timur, 2012). Data Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto tahun 2010 menunjukkan jumlah remaja perempuan (10-14 tahun) di Kabupaten Mojokerto sebanyak 41.914 orang (Dinkes Kabupaten Mojokerto, 2011). Data yang didapat dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia, khususnya hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 diketahui di Indonesia prevalensi status gizi umur 1315 tahun berdasarkan TB/U adalah sangat pendek (13,1%), pendek (22,1%), normal (64,9%). Berdasarkan sumber yang sama diketahui prevalensi untuk Propinsi Jawa Timur adalah sangat pendek (10,5%), pendek (20,2%) dan normal (69,3%) (Depkes, 2010). Studi pendahuluan dilakukan di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto pada tanggal 17 April 2012 dengan teknik wawancara untuk memperoleh data lama siklus menstruasi serta mengukur tinggi badan per umur untuk mengetahui status gizi pada 6 remaja putri. Hasil studi pendahuluan didapatkan 3 remaja putri (50%) mengaku mengalami siklus mentruasi yang tidak teratur, bahkan tiga bulan berturut-turut belum mengalami menstruasi hanya spotting sesekali, sedangkan 2 remaja putri (33%) mengalami lama siklus menstruasi lebih dari 35 hari dan hanya satu remaja putri (17%%) mengalami siklus menstruasi normal yaitu + 28-30 hari. Hasil pengukuran status gizi didapatkan 4 remaja putri (67%) termasuk dalam kategori pendek dan 2 remaja putri (33%) termasuk dalam kategori normal. Faktor risiko dari variabilitas siklus menstruasi adalah pengaruh dari berat badan, aktifitas fisik, serta proses ovulasi dan adekuatnya fungsi luteal. Perhatian khusus saat ini juga ditekankan pada perilaku diet dan stres pada atlet wa nita (Kusmiran, 2011: 110). Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar hipotalamus yang memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid yang ada (Klik Dokter, 2011). Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi. Penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan. Kondisi patologis seperti berat badan yang kurang atau kurus dan anorexia nervosa yang menyebabka n penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan amenorrhea (Kusmiran, 2011: 110). Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi FSH dan LH. Jika terjadi penurunan kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat badan rendah atau diet ketat, maka ovulasi mungkin akan berhenti dan ia menjadi amenorea (Henderson, 2005: 19). Remaja wanita perlu mempertahankan status gizi yang baik, dengan cara mengkonsumsi makanan seimbang karena sangat dibutuhkan pada saat haid, terb ukti pada saat haid tersebut terutama pada fase luteal akan terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi. Apabila hal ini diabaikan, maka dampaknya akan terjadi keluhan-keluhan yang menimbulkan rasa ketidaknyamanan selama siklus haid (Paath, dkk., 2004: 70-71). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
123
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Status Gizi. a. Pengertian status gizi. Idrus, dkk dalam Supariasa, dkk. (2002: 17) menyatakan nutrisi atau yang juga dikenal sebagai gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absobsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi. Gizi berasal dari bahasa Arab ―ghidza‖ yang berarti makanan (Almatsier, 2009: 3). Istilah gizi merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris nutrition. Jadi gizi terkadang disebut pula nutrisi (Yuniastuti, 2008: 1). Zat gizi (nutrient) adalah ikatan kimia yang diperlukan oleh tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2009: 3). Zat gizi atau dikenal sebagai nutrisi adalah bahan dasar yang menyusun bahan makanan. Zat gizi yang dikenal ada lima, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (FKM UI, 2007: 14). Status gizi (nutrition status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk., 2002: 18). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat- zat gizi (Almatsier, 2009: 3). Gibson dalam Waryana (2010: 7) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya. b. Pengelompokan gizi. Menurut Paath, dkk. (2004: 9), secara garis besar zat gizi dibagi dalam dua golongan besar yaitu: 1) Makronutrien (zat gizi makro). Merupakan komponen terbesar dari susunan diet serta berfungsi menyuplai energi dan zat-zat gizi esensial yang berguna untuk keperluan pertumbuhan sel atau jaringan, fungsi pemeliharaan maupun aktifitas tubuh. Kelompok makronutrien terdiri dari karbohidrat (hidrat arang), lemak, protein (zat putih telur), makromineral dan air (ada yang tidak memasukkan air dalam unsur zat gizi). Karbohidrat selanjutnya akan dipecah menjadi glukosa dan monosakarida lain. Lemak diuraikan menjadi asam-asam lemak dan gliserol, sedangkan protein lebih lanjut terurai menjadi peptide dan asam-asam amino. 2) Mikronutrien (zat gizi mikro). Termasuk dalam golongan ini adalah vitamin (baik yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak), dan sejumlah mineral yang hanya dibutuhkan dalam kuantitas yang sangat sedikit. Vitamin larut air yaitu vitamin C dan B kompleks (meliputi vitamin B2 [riboflavin], niasin, vitamin B6 [piridoksin], asam folat, biotin, asam pantotenat dan vitamin B12 [kobalamin]). Berdasarkan fungsi zat gizi, penggolongan bahan makanan dibagi menjadi (FKM UI, 2007: 17) : 124
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
a)
c.
d.
Zat gizi penghasil energi ialah karbohidrat, lemak dan protein. Zat gizi ini sebagian besar dihasilkan dari makanan pokok. b) Zat gizi pembangun sel, terutama diperankan protein. Oleh karena itu, bahan pangan lauk pauk digolongkan makanan sumber zat pembangun. c) Zat gizi pengatur, termasuk di dalamnya vitamin dan mineral. Bahan pangan sumber mineral dan vitamin adalah buah dan sayur. Manfaat gizi. Makanan setelah dikonsumi mengalami proses pencernaan di dalam alat pencernaan. Bahan makanan diuraikan menjadi zat gizi atau nutrien. Zat tersebut selanjutnya diserap melalui dinding usus dan masuk ke dalam cairan tubuh. Manfaat umum zat gizi (FKM UI, 2007: 17) adalah: 1) Sebagai sumber energi atau tenaga. 2) Menyumbang pertumbuhan badan. 3) Memelihara jaringan tubuh, mengganti sel yang rusak atau aus. 4) Mengatur metabolisme dan mengatur keseimbangan air, mineral dan asam basa di dalam cairan tubuh. 5) Berperan dalam mekanime pertahanan tubuh terhadap penyakit sebagai antibodi dan antitoksin. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Menurut Daly, et. al dalam Supariasa, dkk. (2002: 42) bahwa konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Ia membuat faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan (lingkungan, sanitasi, dan sebagainya). Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kemampuan sosial; kemampuan keluarga menggunakan makanan; dan tersedianya bahan makanan dan dapat diperolehnya bahan makanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sistem pangan dan gizi terdiri dari empat komponen, yaitu (1) penyediaan pangan, (2) distribusi pangan, (3) konsumsi makanan dan (4) utilisasi makanan (Almatsier, 2009: 13). Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian dalam menghasilkan bahan makanan pokok, la uk pauk, sayur mayur dan buah-buahan. Agar sampai pada masyarakat dengan baik, distribusi pangan perlu memperhatikan aspek transportasi, penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan pemasaran. Sampai di tingkat keluarga, konsumsi makanan bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Penggunaan makanan oleh tubuh bergantung pada pencernaan dan penyerapan serta metabolisme gizi. Hal ini bergantung pada kebersihan lingkungan dan ada tidaknya penyakit yang berpengaruh terhadap penggunaan zat- zat gizi oleh tubuh (Almatsier, 2009: 13). Anggota keluarga yang menjadi sumber utama keuangan keluarga disebut pencari nafkah dan biasanya dipegang oleh ayah atau suami. Pada waktu ini, pencari nafkah sumber keuangan keluarga banyak yang terdiri atas suami istri, karena keduanya mempunyai pekerjaan. Dalam hal ini kesanggupan keuangan keluarga akan lebih baik, sehingga lebih banyak lagi kebutuhan yang dapat dipenuhi. Namun pola pemakaian sumber keuangan ini sangat dipengaruhi oleh pola atau gaya hidup keluarga. Peningkatan sumber daya uang dan barang akan merangsang sektor kebutuhan keluarga, hingga lambat laun akan meningkat pula. Sebaliknya bila sumber daya ini menyusut, perlahan akan menurun pula tingkat kebutuhan keluarga tersebut (Sediaoetama, 2008: 76). Terdapat 125
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan (FKM UI, 2007: 71). Selain mempunyai tugas untuk reproduksi, seorang wanita terkadang juga memiliki peran sosial yang mengakibatkan beban kerja yang sangat berat dalam kehidupannya. Peran sosial wanita, antara lain bertanggung jawab atas keluarga, seperti merawat anggota keluarga lain, mengelola rumah tangga, menyediakan makanan, melakukan tugas-tugas kebersihan, mendatangi pelayanan kesehatan, melakukan pendidikan, dan mengawasi anak. Selain tugas-tugas tersebut, seorang wanita juga mempunyai peran dalam keluarga besarnya dan masyarakat. Beberapa tugas produktif yang dilakukan oleh wanita adalah di bidang pertanian, pasar, rumah produksi, pabrik, atau lainnya (Noorkasiani, dkk., 2009: 68). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari- hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita dan Fallah, 2004). Pengukuran status gizi. Dapat dilakukan dengan menggunakan indeks antropometri. Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan lingkar lengan atas menurut umur (LiLA/U). Dari berbagai jenis indeks antropometri tersebut, untuk menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi (Supariasa, dkk., 2002: 82). Ambang batas dapat disajikan dalam tiga cara, yaitu: 1) Persen terhadap median. Median adalah nilai tengah dari suatu populasi. Dalam antropometri gizi, median sama dengan persentil 50. Nilai median ini dinyatakan sama dengan 100% (untuk standar). Setelah itu dihitung persentase terhadap nilai median untuk mendapatkan ambang batas. 2) Persentil. Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap median adalah persentil. Para pakar merasa kurang puas dengan persen terhadap median untuk menentukan ambang batas. Akhirnya mereka memilih cara persentil. Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah dari jumlah populasi berada di atasnya dan setengahnya berada di bawahnya. National Center for Health Statistic (NCHS) merekomendasikan persentil ke 50 sebagai batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi baik. 3) Standar deviasi unit. Standar deviasi unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan, dengan hitungan sebagai berikut: 1 SD unit (1 Z-skor) kurang lebih sama dengan 11% dari median BB/U, 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 10% dar i
126
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
median BB/TB, dan 1 SD unit (1 Z-skor) kira-kira 5% dari median TB/U. Cara menghitung status gizi dengan Z-skor: Z-skor = Nilai individu subjek – Nilai median baku rujukan Nilai simpang baku rujukan Tabel 39. Klasifikasi Status Gizi Indeks Status Gizi Ambang Batas BB/U Gizi Lebih > +2 SD Gizi Baik >-2 SD s/d <+2 SD Gizi Kurang >-3 SD s/d <-2 SD Gizi Buruk <-3 SD TB/U Normal >-2 SD Pendek >-3 SD s/d <-2 SD Sangat pendek <-3SD BB/TB Gemuk > +2 SD Normal >-2 SD s/d <+2 SD Kurus >-3 SD s/d <-2 SD Sangat kurus <-3 SD Sumber: Depkes (2010) 2.
Konsep Menstruasi. a. Pengertian menstruasi. Menstruasi atau haid merupakan peristiwa yang penting pada pubertas anak gadis yang menjadi pertanda biologis dari kematangan seksual (Kartono, 2006: 111). Menstruasi adalah proses alamiah yang terjadi pada perempuan. Menstruasi merupakan perdarahan yang teratur dari uterus sebagai tanda bahwa organ kandungan telah berfungsi matang (Kusmiran, 2011: 19). b. Usia menstruasi awal (menarche). Usia saat seorang anak perempuan saat pertama kali mendapatkan menstruasi sangatlah bervariasi. Namun seiring perubahan pola hidup, saat ini ada kecenderungan anak perempuan mendapat menstruasi yang pertama kali usianya makin lebih muda. Hal tersebut merupakan bentuk menstruasi dini (Laurier, 2010). Menarche yaitu haid pertama yang terjadi pada stadium lanjut dari pubertas dan sangat bervariasi pada umur berapa masing- masing individu mengalaminya, rata-rata pada umur 10,5-15,5 tahun (Soetjiningsih, 2007: 14). c. Faktor yang mempengaruhi menarche Usia untuk mencapai fase terjadinya menarche dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: faktor suku, genetik, gizi, sosial, ekonomi, dan lain- lain (Proverawati dan Misaroh, 2009: 64). 1) Faktor internal. a) Faktor genetik. Faktor genetik mempengaruhi usia awitan menarche. Anak dari seorang ibu yang perkembangannya cepat atau lambat biasanya juga akan mengalami hal yang serupa (Henderson, 2005: 19). b) Status gizi. Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi FSH dan LH. Jika terjadi penurunan kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat badan rendah atau diet ketat, maka ovulasi mungkin akan berhenti dan ia menjadi amenorea 127
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
(Henderson, 2005: 19). Tingkat kualitas gizi yang lebih baik pada masyarakat saat ini memicu menstruasi dini (Proverawati dan Misaroh, 2009: 65). c) Kelainan dalam diri anak. Anak wanita yang menderita kelainan tertentu selama dalam kandungan mendapatkan menarche pada usia lebih muda dari usia rata-rata. Sebaliknya anak wanita yang menderita cacat mental dan mongolisme akan mendapat menarche pada usia yang lebih lambat (Proverawati dan Misaroh, 2009: 64). 2) Faktor eksternal. a) Faktor suku. Di Inggris, usia rata-rata untuk mencapai menarche adalah 13,1 tahun, sedangkan suku Bundi di Papua Nugini, menarche dicapai pada usia 18,8 tahun (Proverawati dan Misaroh, 2009: 66). Kultur dan peradaban dapat memperlambat atau mempercepat tempo kematangan seksual anak, termasuk masalah menstruasi (Kartono, 2006: 112). b) Status sosial ekonomi. Rata-rata usia menarche pada remaja putri dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas adalah 11,45 tahun. Sementara itu usia menarche pada kelompok dengan tingkat kesejahteraan menengah ke bawah adalah 12,9 tahun (Pulungan, 2009 dalam Roveny, 2010: 2). Menurut YB Mantra, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan dalam pembangunan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010: 16). c) Faktor iklim. Iklim atau cuaca ini dapat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada musim tertentu, kebutuhan gizi dapat mudah diperoleh. Demikian juga terd apat musim tertentu pula terkadang kesulitan mendapat makanan yang bergizi, seperti saat musim kemarau, penyediaan air bersih atau sumber makanan sangat sulit didapat (Hidayat, 2005: 20). d) Faktor lingkungan. Budaya lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam memahami atau mempersepsikan pola hidup sehat (Hidayat, 2005: 19). Menurut sebuah penelitian menyatakan bahwa lingkungan sosial berpengaruh terhadap waktu terjadinya menarche. Salah satunya yaitu lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang harmonis dan adanya keluarga besar yang baik dapat memperlambat terjadinya menarche dini, sedangkan anak yang tinggal di tengah-tengah keluarga yang tidak harmonis dapat mengakibatkan terjadinya menarche dini. Beberapa aspek struktur dan fungsi keluarga berpengaruh terhadap kejadian menarche dini antara lain ketidakhadiran seorang ayah ketika ia masih kecil, kekerasan seksual pada anak dan adanya konflik dalam keluarga (Proverawati dan Misaroh, 2009: 71). Hormon yang berperan dalam siklus menstruasi. Siklus menstruasi dikontrol oleh lengkung umpan balik yang melibatkan hormon hypothalamus, hipofisis dan ovarium. Hypothalamus mengatur hormon hipofisis melalui hormon pelepas gonadotropin (GnRH) pada awal siklus. GnRH menstimulasi hipofisis untuk melepaskan: 1) FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang menstimulasi perkembangan folikel de Graf dalam ovarium. Dengan maturnya folikel tersebut, estrogen 128
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
dari ovarium dihasilkan dan mempengaruhi hipofisis untuk menekan FSH dan meningkatkan produksi LH (Potter & Perry, 2005: 530). 2) LH (Luteinizing Hormone) menginduksi ovum untuk pecah dari folikel de Graf (kejadian ini disebut ovulasi). Setelah ovulasi, folikel yang pecah disebut dengan korpus luteum yang banyak progesteron (Potter & Perry, 2005: 530-531). Siklus menstruasi. Siklus menstruasi ialah jarak antara hari pertama menstruasi dengan hari pertama menstruasi berikutnya. Panjang siklus menstruasi wanita bervariasi baik antar individu maupun pada individu yang sama. Siklus menstruasi pendek antara 15-23 hari dan siklus panjang antara 35-45 hari. Ada sejumlah perempuan yang siklusnya teratur, sementara adapula yang bervariasi sampai dengan 7 hari. Namun, panjang siklus menstruasi yang dianggap rata-rata normal adalah 28 hari (Indiarti, 2007: 23-24). Siklus haid adalah jarak antara hari pertama haid dengan hari haid berikutnya. Siklus haid normal ialah 15-45 hari. Jadi, misalnya pada bulan April hari pertama haid jatuh pada tanggal 16 dan pada bulan Mei hari pertama haidnya jatuh pada tanggal 12, maka siklus haid yang terjadi adalah 27 hari. Panjang siklus haid yang dianggap rata-rata ialah 28 hari (Suryoprajogo, 2008: 16). Pada umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari selama + 7 hari. Lama perdarahan sekitar 3-5 hari dan tidak terasa nyeri. Jumlah darah yang hilang sekitar 30-40 cc. Puncaknya hari kedua atau ketiga dengan jumlah pemakaian pembalut sekitar 2-3 buah. Diikuti fase proliferasi sekitar 6-8 hari. Ovulasi akan berlangsung sekitar pertengahan menstruasi yaitu hari ke-13, 14 atau 15. Sejak terjadi ovulasi artinya pelepasan ovum disebut dengan ―masa subur‖, dalam arti bila melakukan hubungan seksual dapat terjadi kehamilan. Masa subur hanya berlangsung singkat sekitar 3 hari yaitu hari ke-13, 14 atau 15. Endometrium akan mengalami perubahan dari fase proliferasi menjadi fase sekresi yang merupakan persiapan untuk menerima hasil konsepsi bila terjadi pembuahan. Bila terjadi pembuahan, fase sekresi akan berubah lagi menjadi fase desiduanisasi, yang merupakan kelanjutan fase sekresi dengan gembur dan siap menerima hasil konsepsi. Bila tidak terjadi konsepsi, korpus luteum yang memelihara fase sekresi akan mengalami kemunduran, artinya hormon estrogen dan progesteron yang dikeluarkan makin menurun. Penurunan pengeluaran estrogen dan progesteron korpus luteum yang menyebabkan endometrium tidak dapat mempertahankan diri dan terjadilah menstruasi. Siklus ini akan berulang kembali setiap 28 hari yang menunjukkan bahwa wanita ini mempunyai siklus menstruasi yang normal (Manuaba, 2008: 282-283). Faktor risiko dari variablitas siklus menstruasi Faktor risiko dari variablitas siklus menstruasi adalah pengaruh dari berat badan, aktifitas fisik, serta proses ovulasi dan adekuatnya fungsi luteal. Perhatian khusus saat ini juga ditekankan pada perilaku diet dan stress pada atlet wanita (Kusmiran, 2011: 110). 1) Berat badan. Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi. Penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan. Kondisi patologis seperti berat badan yang kurang atau kurus dan anorexia nervosa yang menyebabkan penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan amenorrhea. 129
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Gangguan menstruasi pada dasarnya berhubungan erat dengan adanya gangguan hormon terutama yang berhubungan dengan hormon seksual pada perempuan yaitu progesteron, estrogen, LH dan FSH. Hormon-hormon seksual tersebut sangat berfungsi pada sistem reproduksi perempuan. Namun pada beberapa kejadian terjadi peningkatan salah satu saja yang menunjukkan ketidakseimbangan sintesis hormon dalam tubuh dan hal ini akan mempengaruhi fungsi kerja hormon lain termasuk kerja organ reproduksi yang mempengaruhi perangsangan terjadinya gangguan menstruasi. Adanya gangguan dari kerja sistem hormonal ini terkait dengan status gizi. Dimana status gizi akan mempengaruhi kerja berupa peningkatan, keseimbangan ataupun penurunan hormon. Status gizi sendiri pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor namun secara umum dipengaruhi oleh adanya infeksi dan asupan makan. Pola makan yang tidak seimbang akan mempengaruhi penurunan dan peningkatan status gizi. Mereka dengan status gizi lebih sudah pada tentunya menerapkan pola makan berlebih terutama lemak, protein dan karbohidrat tubuh sebagai sumber energi utama tubuh. Begitupun sebaliknya pada penerapan pola makan yang rendah energi akan mempengaruhi penurunan status gizi. Secara normal, fungsi organ tubuh akan dipengaruhi oleh perilaku yang diterapkan manusia. Pola makan merupakan wujud perilaku manusia pada makanan. Pola makan yang salah dengan tinggi lemak, karbohidrat dan protein akan meningkatkan berat badan yang lebih dan hal ini secara langsung akan meningkatkan status gizi pada kondisi lebih (obesitas pun dapat terjadi). Penerapan pola makan yang berlebih tentunya akan meningkatkan kerja organ-organ tubuh sebagai bentuk haemodialisa (kemampuan tubuh untuk menetralisir pada keadaan semula) dalam rangka pengeluaran kelebihan tersebut. Dan hal ini tentunya akan berdampak pada fungsi sistem hormonal pada tubuh. Adanya gangguan dari fungsi sistem hormonal dari tubuh tersebut tentunya akan mempengaruhi kerja organ-organ tubuh secara maksimal termasuk organ seksual perempuan baik berupa peningkatan progesteron, estrogen, FSH dan LH sendiri akan berdampak pada gangguan siklus haid yang terlalu cepat maupun siklus haid yang pendek. Sedangkan pada penerapan pola makan yang kurang sendiri (paling banyak diterapkan pada perempuan) akan mempengaruhi kemampuan kerja organ tubuh secara langsung dimana tubuh tidak memiliki kemampuan yang normal karena energi yang sebahagian besar bersumber dari makan tidak mencukupi dan hal ini juga tentunya akan mempengaruhi maksimalisasi kerja organ sendiri (Joeharno, 2007). 2) Umur. Ketidakteraturan siklus haid sering terjadi pada remaja muda yang baru mengalami haid karena masih terjadi penyesuaian dalam tubuh. Selama 2 bulan berturut-turut mungkin mengalami siklus haid 28 hari namun kemudian tidak datang bulan di bulan berikutnya. Setelah 1 atau 2 tahun siklus menstruasi akan lebih teratur (Adhi, 2012). 3) Aktifitas fisik. Tingkat aktifitas fisik yang sedang dan berat dapat membatasi fungsi menstruasi. Atlet wanita seperti pelari, senam balet memiliki risiko untuk mengalami amenorrhea, anovulasi dan defek pada fase luteal. Aktifitas fisik 130
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
yang berat merangsang inhibisi gonadotropin releasing hormone (GnRH) dan aktifitas gonadotropin sehingga menurunkan level dari serum estrogen. 4) Stres. Stres menyebabkan perubahan sistemik dalam tubuh, khususnya system persarafan dalam hipotalamus melalui perubahan prolaktin atau endogenous opiate yang dapat mempengaruhi elevasi kortisol basal dan menurunkan hormon lutein (LH) yang menyebabkan amenorrhea. 5) Diet. Diet dapat mempengaruhi fungsi menstruasi. Vegetarian berhub ungan dengan anovulasi, penurunan respon hormon pituitary, fase folikel pendek, tidak normalnya siklus menstruasi (kurang dari 10 kali/tahun). Diet rendah lemak berhubungan dengan panjangnya siklus menstruasi dan periode perdarahan. Diet rendah kalori seperti daging merah dan rendah lemak berhubungan dengan amenorrhea. 6) Paparan lingkungan dan kondisi kerja. Beban kerja yang berat berhubungan dengan jarak menstruasi yang panjang dibandingkan dengan beban kerja ringan dan sedang. 7) Sinkronisasi proses menstrual (interaksi sosial dan lingkungan). Interaksi manusia dengan lingkungan merupakan siklus yang sinkron/berirama. Proses interaksi tersebut melibatkan fungsi hormonal. Salah satu fungsi hormonal adalah hormon-hormon reproduksi. Adanya pherohormon yang dikeluarkan oleh setiap individu yang dapat mempengaruhi perilaku individu lain melalui persepsi dari penciuman baik melalui interaksi dengan individu jenis kelamin sejenis maupun lawan jenis serta dapat menurunkan variabilitas dari siklus menstruasi dan sinkronisasi dari onset menstruasi (Kusmiran, 2011: 110-111). Fase dalam siklus menstruasi. Uterus dengan lapisan lendirnya (endometrium) merupakan organ akhir proses siklus menstruasi, dimana hormon estrogen dan progesteron mempengaruhi pertumbuhannya. Selama pertumbuhan dan perkembangan, folikel primordial mengeluarkan hormon estrogen yang mempengaruhi endometrium ke dalam proses proliferasi sejak akhir menstruasi sampai terjadi ovulasi. Korpus rubrum yang segera menjadi korpus luteum mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron yang makin lama makin tinggi kadarnya. Hormon estrogen dan progesteron menyebabkan endometrium dalam fase sekresi. Usia korpus luteum sekitar 8-10 hari dan selanjutnya akan mengalami regresi sehingga pengeluaran hormon estrogen dan progesteron makin berkurang sampai berhenti. Akibat pengeluaran estrogen dan progesteron turun dan berhenti, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah dan segera diikuti vasodilatasi. Situasi demikian menyebabkan pelepasan lapisan endometrium dalam bentuk serpihan dan perdarahan yang disebut menstruasi. Menstruasi terjadi dalam empat fase, yaitu stadium menstruasi, stadium regenerasi, stadium proliferasi, dan stadium pramenstruasi (sekresi). 1) Stadium menstruasi. Stadium ini berlangsung sekitar 3 sampai 5 hari. Darah keluar bersama lapisan stratum kompakta dan spongiosa dari endometrium dan menyisakan lapisan stratum basalis setebal 0,5 mm. Jumlah darah menstruasi sekitar 50 ml dan bersifat tidak dapat membeku karena mengandung banyak fermen. Bila terdapat gumpalan darah, menunjukkan perdarahan menstruasi cukup banyak. 131
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Stadium regenerasi. Stadium ini dimulai pada hari keempat menstruasi ketika luka bekas deskuamasi endometrium ditutup kembali oleh epitel selaput lendir endometrium. Sel basalis mulai berkembang mengalami mitosis dan kelenjar endometrium mulai tumbuh kembali. 3) Stadium proliferasi. Pada stadium proliferasi, pertumbuhan kelenjar lapisan endometrium lebih cepat daripada jaringan ikatnya sehingga berkelok-kelok. Lapisan atasnya, tempat saluran kelenjar yang tampak lebih padat disebut stratum kompakta, sedangkan lapisan yang mengandung kelenjar yang berkelok, menjadi lebih longgar disebut ―stratum spongiosa‖. Stadium proliferasi berlangsung sejak hari kelima sampai 14 dan tebal endometrium sekitar 3,5 cm. 4) Stadium pramenstruasi (sekresi). Pada stadium regenerasi sampai stadium proliferasi, endometrium dipengaruhi oleh hormon estrogen dan sejak saat ovulasi korpus luteum mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron yang mempengaruhi stadium sekresi endometrium. Dalam stadium sekresi, tebal endometrium tetap, hanya kelenjarnya lebih berkelok-kelok dan mengeluarkan sekret. Di samping itu, sel endometrium mengandung banyak glikogen, protein, air, dan mineral, sehingga siap untuk menerima implantasi dan memberikan nutrisi pada zigot. Stadium sekresi berlangsung sejak hari ke-14 sampai 28 dan usia korpus luteum hanya berlangsung 8-10 hari. Setelah mencapai usia 8-10 hari korpus luteum mengalami kematian, sehingga tidak mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron dan menimbulkan iskemia stratum kompakta dan stratum spongiosa. Stadium iskemia berlangsung sebentar dan diikuti stadium vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan deskuamasi lapisan endometrium dalam bentuk perdarahan menstruasi. Setelah deskuamasi berlangsung 4 hari, stadium regenerasi dan siklus menstruasi berulang kembali (Manuaba, 2010: 72-73). Menurut Lestari (2011: 100-101), siklus haid di bawah kontrol hormon seks. Untuk lebih memudahkan pemahaman, siklus ini dibagi dalam dua fase, yaitu fase sebelum ovulasi dan fase setelah ovulasi. 1) Fase sebelum ovulasi (dikontrol oleh FSH dan estrogen). Kelenjar pituitary pada dasar otak akan mengeluarkan FSH yang akan merangsang pematangan folikel di ovarium (indung telur). Pematangan folikel ini akan meningkatkan produksi estrogen. Pada saat kenaikan estrogen mendekati ovulasi, terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut: endometrium (selaput lendir rahim) menebal; serviks menjadi panjang dan lunak serta terbuka; lendir serviks yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar pada serviks menjadi lendir yang bersahabat dengan sperma; peningkatan garam, gula, dan asam amino untuk memberikan makanan pada sperma; peningkatan cairan sampai dengan 1 kali peningkatan volume lender; lendir yang subur terdiri dari 98% air, transparan, berkilat, licin dan elastik yang disebut efek spinnbarkeit; struktur lendir yang subur bila dilihat dengan menggunakan nuclear magnetic resonance memperlihatkan jaringan yang jarang, sehingga dapat dilewati oleh sperma; dan suhu menetap pada tingkat yang rendah. Ketika estrogen mencapai tingkat tertentu dalam darah, kelenjar pituitary distimulasi untuk menghasilkan LH yang meningkat cepat
132
HOSPITAL MAJAPAHIT
h.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
yang kemudian akan menimbulkan ovulasi (pecahnya folikel yang matang dan mengeluarkan ovum) dalam 36 jam kemudian. 2) Fase setelah ovulasi (dikontrol oleh progesteron). Setelah ovulasi, LH menyebabkan pecahnya folikel yang kemudian folikel tersebut akan berkembang menjadi korpus luteum, yang memproduksi progesteron. Di bawah pengaruh progesteron, terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut: endometrium melunak guna mempersiapkan diri untuk menerima implantasi (penempelan) telur yang telah dibuahi; serviks memendek, keras, dan tertutup; lendir serviks menjadi tidak bersahabat untuk mencegah penetrasi sperma; setelah ovulasi terdapa t perubahan status kesuburan jaringan filamen- filamen menjadi lebih padat membentuk lendir yang tebal yang mencegah penetrasi sperma. Sperma secara cepat akan dirusak oleh cairan vagina yang bersifat asam; dan suhu akan meningkat sekitar 0,20 C atau lebih. Korpus luteum akan bertahan sekitar 14 hari, kemudian akan kisut dan mati; progesterone akan turun; suhu turun; dan endometrium akan mengalami disintegrasi sehingga terjadilah menstruasi dan lengkaplah satu siklus. Macam- macam gangguan haid 1) Oligomenorrhea (jangka waktu haid terlalu lama). Oligomenorrhea tidak berbahaya, namun perempuan dapat memiliki potensi sulit hamil, karena tidak terjadi ovulasi. Oligomenorrhea biasanya berhubungan dengan anovulasi atau dapat juga disebabkan kelainan endokrin seperti kehamilan, gangguan hipofise-hipotalamus, dan menopouse atau sebab sistemik seperti kehilangan berat badan berlebih. Oligomenorrhea sering terdapat pada wanita astenis. Dapat juga terjadi pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dimana pada keadaan ini dihasilkan androgen yang lebih tinggi dari kadara pada wanita normal. Oligomenorrhea dapat juga terjadi pada stress fisik dan emosional, penyakit kronis, tumor yang mensekresikan estrogen dan nutrisi buruk. Oligomenorrhe dapat juga disebabkan ketidakseimbangan hormonal seperti pada awal pubertas. Oligomenorrhea yang menetap dapat terjadi akibat perpanjangan stadium folikular, perpanjangan stadium luteal, ataupun perpanjang kedua stadium tersebut. Bila siklus tiba-tiba memanjang maka dapat disebabkan oleh pengaruh psikis atau pengaruh penyakit. Oligemenorea adalah panjang siklus haid yang memanjang dari panjang siklus haid klasik, yaitu lebih dari 35 hari per siklusnya. Volume perdarahannya umumnya lebih sedikit dari volume perdarahan haid biasanya. Siklus haid biasanya juga bersifat ovulatoar dengan fase proliferasi yang lebih panjang dibanding fase proliferasi siklus haid klasik (Hendrik, 2006: 122). 2) Polimenorrhea (terlalu sering haid). Polimenorrhea adalah gangguan menstruasi yang berbahaya. Terlalu sering haid, misalnya 2 minggu sekali, dapat menyebabkan anemia. Bila siklus pendek namun teratur ada kemungkinan stadium proliferasi pendek atau stadium sekresi pendek atau kedua stadium memendek. Yang paling sering dijumpai adalah pemendekan stadium proliferasi. Bila siklus lebih pendek dari 21 hari kemungkinan melibatkan stadium sekresi juga dan hal ini menyebabkan infertilitas.
133
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Siklus yang tadinya normal menjadi pendek biasanya disebabkan pemendekan stadium sekresi karena korpus luteum lekas mati. Hal ini sering terjadi pada disfungsi ovarium saat klimakterium, pubertas atau penyakit kronik seperti TBC. Polimenorea adalah panjang siklus haid yang memendek dari panjang siklus haid klasik, yaitu kurang dari 21 hari per siklusnya, sementara volume perdarahannya kurang lebih sama atau lebih banyak dari volume perdarahan haid biasanya (Hendrik, 2006: 122). 3) Menorrhagia (darah haid terlalu banyak). Menorrhagia adalah istilah medis untuk perdarahan menstruasi yang berlebihan. Dalam satu siklus menstruasi normal, peremp uan rata-rata kehilangan sekitar 30 ml darah selama sekitar 7 hari haid. Bila perdarahan melampaui 7 hari atau terlalu deras (melebihi 80 ml), maka dikategorikan menorrhagia. Penyebab utama menorrhagia adalah ketidakseimbangan jumlah estrogen dan progesteron dalam tubuh. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan endometrium terus terbentuk. Ketika tubuh membuang endometrium melalui menstruasi, perdarahan menjadi parah. Menorrhagia juga bisa disebabkan oleh gangguan tiroid, penyakit darah, dan peradangan/infeksi pada vagina atau leher rahim. Menorrhagia biasanya berhubungan dengan nocturrhagia yaitu suatu keadaan dimana menstruasi mempengaruhi pola tidur wanita dimana wanita harus mengganti pembalut pada tengah malam. Menorrhagia juga berhubungan dengan kram selama haid yang tidak bisa dihilangkan dengan obat-obatan. Penderita juga sering merasakan kelemahan, pusing, muntah dan mual berulang selama haid. 4) Hipomenorrhea (darah haid terlalu sedikit). Hipomenorrhea adalah suatu keadan dimana jumlah darah haid sangat sedikit (<30cc), kadang-kadang hanya berupa spotting. Dapat disebabkan oleh stenosis pada himen, servik atau uterus. Pasien dengan obat kontrasepsi kadang memberikan keluhan ini. Hal ini juga dapat terjadi pada hipoplasia uteri dimana jaringan endometrium sedikit 5) Amenorrhea (tidak haid sama sekali). Amenorrhea adalah tidak ada menstruasi. Istilah ini digunakan untuk perempuan yang belum mulai menstruasi setelah usia 15 tahun (amenore primer) dan yang berhenti menstruasi selama 3 bulan, padahal sebelumnya pernah menstruasi (amenore sekunder). Amenore primer biasanya disebabkan oleh gangguan hormon atau masalah pertumbuhan. Amenore sekunder dapat disebabkan oleh rendahnya hormon pelepas gonadotropin (pengatur siklus haid), stres, anoreksia, penurunan berat badan yang ekstrem, gangguan tiroid, olahraga berat, pil KB, dan kista ovarium (Erida, 2011). Amenorea adalah panjang siklus haid yang memanjang dari panjang siklus haid klasik (oligemenorea) atau tidak terjadinya perdarahan haid, minimal 3 bulan berturut-turut. Amenorea dibedakan menjadi dua jenis: a) Amenorea primer. Amenorea primer yaitu tidak terjadinya haid sekalipun pada perempuan yang mengalami amenorea. b) Amenorea sekunder. Amenorea sekunder yaitu tidak terjadinya haid yang diselingi dengan perdarahan haid sesekali pada perempuan yang mengalami amenorea (Hendrik, 2006: 122-123). 134
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Konsep Remaja. a. Pengertian remaja. Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial (Dariyo, 2004: 13). Santrock mengemukakan puberty is a rapid change to phisycal maturation involving hormonal and bodily changes that occur primarily during early adolescence (masa remaja adalah laju perubahan perkembangan fisik ya ng menyebabkan perubahan tubuh dan hormonal, terjadi terutama sejak remaja awal). Menurut WHO (World Health Organization), remaja merupakan individu yang mengalami masa peralihan yang secara berangsur-angsur mencapai kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa kanak-kanak menjadi dewasa dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari ketergantungan menjadi relatif mandiri (Notoatmodjo, 2007: 263). Menurut Soetjiningsih (2007: 1-2), ada beberapa definisi mengenai remaja, diantaranya: 1) Pada buku-buku Pediatric, remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak lakilaki. 2) Menurut Undang- undang No 4 Tahun 1979, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. 3) Menurut Undang- undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal. 4) Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki- laki. 5) Menurut Diknas, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah. 6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan mengalami perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi, sosial dan seksual. b. Tahapan remaja. Menurut Aryani (2010: 5), dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan berikut: 1) Masa remaja awal (10-13 tahun). Pada tahapan ini, remaja mulai berfokus pada pengambilan keputusan, baik di dalam rumah ataupun di sekolah. Remaja mulai menunjukkan cara berpikir logis, sehingga sering menanyakan kewenangan dan standar di masyarakat maupun di sekolah. Remaja juga mulai menggunakan istilah- istilah sendiri dan mempunyai pandangan, seperti olah raga yang lebih baik untuk bermain, memilih kelompok bergaul, pribadi seperti apa yang diinginkan, dan mengenal cara untuk berpenampilan menarik (Aryani, 2010: 5). 2) Masa remaja tengah (14-16 tahun). Pada tahapan ini, terjadi peningkatan interaksi dengan kelompok, sehingga tidak selalu tergantung pada keluarga dan terjadi eksplorasi seksual. Dengan menggunakan pengalaman dan pemikiran yang lebih kompleks, pada tahap ini remaja sering mengajukan pertanyaan, menganalisis secara lebih menyeluruh dan berpikir tentang bagaimana cara mengembangkan identitas ‖siapa saya?‖. Pada masa ini 135
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
remaja juga mulai mempertimbangkan masa depan, tujuan dan membuat rencana sendiri (Aryani, 2010: 5). 3) Masa remaja akhir (17-19 tahun). Pada tahap ini, remaja lebih berkonsentrasi pada rencana yang akan datang dan meningkatkan pergaulan. Selama masa remaja akhir, proses berpikir secara kompleks digunakan untuk memfokuskan diri masalah- masalah idealisme, toleransi, keputusan untuk karier dan pekerjaan, serta peran orang dewasa dalam masyarakat (Aryani, 2010: 6). Perubahan-perubahan selama masa remaja. Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa, tentunya masa remaja identik dengan berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi pada remaja putri antara lain: 1) Perubahan fisik. Perubahan fisik remaja yaitu terjadinya perubahan secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer maupun organ seks sekunder (Dariyo, 2004: 16). Para ahli psikologi perkembangan (Berk, 1993; Papalia, Olds dan Fieldman, 1998; Santrock, 1999 yang dikutip oleh Dariyo, 2004: 17) menyatakan ada 2 karakteristik seks yang dimiliki oleh seorang remaja sebagai tanda perubahan fisik untuk memasuki masa remaja, meliputi karakteristik seks primer dan sekunder remaja putri. Karakteristik primer berupa perubahan fisik yang ditandai dengan menarche (haid pertama) dan perubahan hormonal. Perubahan hormonal merupakan awal dari masa pubertas remaja yang terjadi sekitar usia 11-12 tahun. Perubahan ini erat hubungannya dengan perubahan di dalam otak yakni hypothalamus, suatu bagian organ otak yang berfungsi untuk mengkoordinasi atau mengatur fungsi- fungsi seluruh sistem jaringan organ tubuh. Salah satu diantaranya ialah merangsang hormon Luteinizing Hormone Releasing Hormone (LHRH) dan kelenjar pituitary (pituitary gland) untuk melepaskan hormon gonadotropin. Hormon gonadotropin ini merangsang gonader (testis dan ovaries) untuk memproduksi hormon seksual. Hormon seks pada remaja wanita disebut estrogen atau estradiol. Hormon ini berperan penting dalam perkembangan karakteristik seks sekunder (Dariyo, 2004: 17). Perubahan karakteristik seks sekunder ialah perubahan tanda-tanda identitas seks seseorang yang diketahui melalui penampakan postur fisik akibat kematangan seks primer (Dariyo, 2004: 18). Ciri seks sekunder remaja putri diantaranya: tubuh bertambah besar dan tinggi, lengan dan tungkai kaki bertambah panjang, tangan dan kaki bertambah besar, tumbuh payudara, puting menonjol keluar, pantat berkembang lebih besar, tulang wajah memanjang dan membesar, tumbuh rambut-rambut di ketiak dan kemaluan, vagina mulai mengeluarkan cairan, keringat bertambah banyak, kulit dan rambut mulai berminyak (Okanegara, 2008). 2) Perubahan kognitif. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, kemampuan kognitif remaja berada dalam tahap formal operasional. Remaja harus mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan masalah dan mempertanggungjawabkannya. Berkaitan dengan perkembangan kognitif, umumnya remaja menampilkan tingkah laku sebagai berikut: kritis, rasa ingin tahu yang kuat, jalan pikiran egosentris, imagery audience, personal fables (Kusmiran, 2011: 15). 136
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
3) Perubahan psikologis. Pada masa remaja, labilnya emosi anak kaitannya dengan perubahan hormon dalam tubuh, sering terjadi letusan emosi dalam bentuk amarah, sensitif bahkan perbuatan nekad. Denis dan Hasol menyebutkan sebagai ―time of up heavel and turbulance‖. Ketidakstabilan emosi menyebabkan mereka mempunyai rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencari tahu (Notoatmodjo, 2007: 265). Menurut Mansyur (2009: 108), masalah psikologis pada masa remaja, diantaranya: Pertama, timbul rasa malu. Rasa malu dapat digambarkan seperti semacam perasaan tidak nyaman. Biasanya berkaitan dengan membuka diri kepada orang lain, jadi rasa malu timbul seolah-olah kita sedang disorot (diawasi) dan seolah-olah dinilai rendah oleh orang lain. Orang dikatakan rendah diri jika orang tersebut merasa kurang berharga dibandingkan dengan orang lain, seperti saat kita terlihat selalu kalah. Antara rasa malu dengan rendah diri memiliki keterkaitan. Kedua, emosionalitas. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas. Mudah tidaknya perasaan seseorang terpengaruh oleh kesankesan, hal inilah yang disebut emosionalitas. Perkembangan emosi remaja sangat dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor belajar. Kemurungan, merajuk, ledakan marah, dan kecenderungan untuk menangis karena hasutan yang sangat kecil merupakan ciri-ciri bagian awal masa puber. Pada masa ini anak merasa khawatir, gelisah, dan cepat marah. Beberapa faktor penyebab emosionalitas masa puber antara lain: sedih, mudah marah dan suasana hati yang negatif sangat sering terjadi selama masa pra haid (pre menstrual syndrome) dan awal periode haid; kurangnya kemampuan untuk mengontrol diri atau masih lemahnya kemampuan mengendalikan diri; dan remaja berada di bawah tekanan sosial dan selama masa kanak-kanak, ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu; serta dampak dari penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru. Ketiga, kurang percaya diri. Percaya diri adalah yakin benar atau memastikan akan kemampuan dan kelebihan dirinya sendiri dalam memenuhi semua harapannya. Sikap atau perilaku remaja yang memiliki harga diri rendah atau kurang adalah sebagai berikut: tidak mau mencoba sesuatu hal yang baru, merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan, punya kecenderungan untuk melempar kesalahan pada orang lain, memiliki emosi yang kaku dan disembunyikan, mudah mengalami rasa frustasi dan tertekan, dan meremehkan bakat dan kemampuannya sendiri. 4) Perubahan psikososial. Pencarian identitas diri merupakan tugas utama perkembangan psikososial adolesence. Remaja harus membentuk hubungan sebaya yang dekat atau tetap terisolasi secara sosial (Potter & Perry, 2005: 693). Faktor penyebab masalah remaja. Timbulnya masalah pada remaja disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, yang terjadi pada masa remaja. Secara garis besar, faktorfaktor tersebut dapat dikelompokkkan sebagai berikut: 1) Adanya perubahan-perubahan biologis dan psikologis yang sangat pesat pada masa remaja yang akan memberikan dorongan tertentu yang sifatnya sangat kompleks.
137
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
2) Orang tua dan pendidik kurang siap untuk memberikan informasi yang benar dan tepat waktu, karena ketidaktahuannya. 3) Perbaikan gizi yang menyebabkan menars menjadi lebih dini. Kejadian kawin muda masih banyak, terutama di daerah pedesaan. Sebaliknya di perkotaan kesempatan untiuk bersekolah dan bekerja menjadi lebih terbuka bagi wanita dan usia kawin maskin bertambah. Kesenjangan antara menars dan umur kawin yang makin panjang, apalagi dalam suasana pergaulan yang makin bebas tidak jarang menimbulkan masalah bagi remaja. 4) Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi akibat kemajuan teknologi menyebabkan membanjirnya arus informasi dari luar yang sulit sekali diseleksi. 5) Pembangunan ke arah industrialisasi disertai dengan pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya urbanisasi, berkurangnya sumberdaya alam dan terjadinya perubahan tata nilai. Ketimpangan sosial dan individualisme seringkali memicu konflik perorangan maupun kelompok. Lapangan kerja yang kurang memadai dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi remaja sehingga remaja bisa menderita frustasi dan depresi yang aka n menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan tindakan yang bersifat negatif. 6) Kurangnya pemanfaatan sarana untuk menyalurkan gejolak remaja. Perlu adanya penyaluran sebagai substansi yang bersifat positif ke arah pengembangan ketrampilan yang mengandung unsur kecepatan dan kekuatan misalnya olahraga (IDAI, 2002: 173). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja bersifat dikotomi, yaitu endogen dan eksogen. 1) Faktor endogen (nature). Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orang tuanya, misalnya postur tubuh, bakat, minat, kecerdasan, kepribadian, dan sebagainya. 2) Faktor eksogen (nurture). Pandangan faktor eksogen menyatakan bahwa perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan fasilitas, letak geografis, cuaca, iklim, dan sebagainya. Lingkungan sosial adalah lingkungan dimana seseorang mengadakan relasi atau interaksi dengan individu atau sekelompok individu di dalamnya, berupa keluarga, tetangga, teman, lembaga pendidikan dan sebagainya. 3) Interaksi antara endogen dan eksogen. Faktor endogen dan eksogen saling berpengaruh, sehingga terjadi interaksi antara kedua faktor, yang kemudian muncul faktor ketiga sebagai kombinasi dari kedua faktor tersebut. Para ahli perkembangan (Berk, 1993; Gunarsa dan Gunarsa, 1991; Papalia, Olds dan Feldman, 2001; dan Santrock, 1999 dalam Dariyo, 2004: 14-15) meyakini bahwa kedua faktor internal (endogen) maupun eksternal (eksogen) tersebut mempunyai peran bagi perkembangan dan pertumbuhan individu.
138
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Endogen- internal
Eksogen-eksternal Perkembangan individu
Gambar 8. Skema interaksi endogen-eksogen dalam perke mbangan individu (Dariyo, 2004: 14-15) C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian. Jenis penelitian adalah analitik observasional (Setiadi, 2007: 133). Rancang bangun yang digunakan adalah ―cross sectional‖. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2008: 83). 2. Frame Work. Status gizi remaja putri
1. 2. 3. 4. 5.
Siklus menstruasi
Variabel perancu: Aktifitas fisik Proses ovulasi Adekuatnya fungsi luteal Perilaku diet Stres
Gambar 9. Frame work Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. 3.
4.
Hipotesis Penelitian. Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006: 71). H1 = Ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Variabel dan Definisi Operasional. Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 2). Variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi remaja putri dan variabel dependennya adalah siklus menstruasi.
139
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Tabel 40. Definisi Operasional Hubungan Status Gizi Remaja Putri Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Kenanga Jatire jo Mojokerto. Variabel Definisi Operasional Krite ria Independen: Perwujudan dari keadaan 1. Normal: ≥-2SD Status gizi keseimbangan konsumsi 2. Pendek: ≥-3SD s/d <-2SD remaja putri remaja putri yang 3. Sangat pendek: <-3SD didasarkan pada kategori (Depkes, 2010) yang digunakan, yaitu tinggi badan dan umur.
Dengan Sumbe r Skala
Ordinal
Alat ukur: meteran (meterline) dan data umur remaja dari register sekolah Dependen: Siklus menstruasi
Jarak antara hari pertama 1. Oligomenorea : >35 hari menstruasi dengan hari 2. Polimenorea : <21 hari pertama menstruasi 3. Amenorea : 3 bulan berikutnya yang dibagi berturut-turut tidak dalam oligomenorea, menstruasi polimenorea dan 4. Normal : 28 hari amenorea. (Hendrik, 2006)
Nominal
Alat ukur: lembar kuesioner 5.
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 61). Pada penelitian ini, populasinya adalah seluruh remaja putri kelas VII dan VIII di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto sebanyak 41 orang. Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili populasi (Notoatmodjo, 2005: 79). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian remaja putri di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto sebanyak 41 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis non probability sampling. Non probability sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan tidak memberikan peluang yang sama dari setiap anggota populasi, yang bertujuan tidak untuk generalisasi (Hidayat, 2007: 82). Tipe non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe sampling jenuh atau total sampling. Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Setiawan dan Saryono, 2010: 97). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diantaranya : a. Kuesioner. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang disusun secara tertulis dalam rangka pengumpulan data suatu penelitian. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup. Kuesioner tertutup merupakan bentuk kuesioner dimana 140
HOSPITAL MAJAPAHIT
6.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
responden tinggal memilih jawaban dari pilihan jawaban yang telah tersedia (Nursalam, 2008: 109). b. Meterline dan data umur. Untuk memperoleh data status gizi digunakan meteran (meterline) dan data umur. c. Penelusuran data sekunder. Data sekunder adalah metode untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran dokumen, publikasi dan catatan klinik maupun pribadi. Metode ini mengambil data yang berasal dari dokumen asli (Hidayat, 2007: 100). Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data jumlah remaja putri yang menjadi siswi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan meteran (meterline) dan data umur untuk mengkaji variabel independen yaitu status gizi remaja putri serta kuesioner untuk mengkaji variabel dependen yaitu siklus menstruasi. Teknik Pengolahan dan Analisis Data. a. Pengolahan Data. Menurut Hidayat (2007: 121), dalam melakukan analisis data, terlebih dahulu data harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah- langkah awal yang harus ditempuh, diantaranya: 1) Editing. Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007: 121). 2) Coding. Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting dan biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel (Hidayat, 2007: 121). a) Umur : 10-13 tahun (kode 1) dan 14-17 tahun (kode 2). b) Pekerjaan ayah : tidak bekerja (kode 1), PNS/TNI/Polri (kode 2), wiraswasta (kode 3) dan swasta (kode 4). c) Pekerjaan ibu : ibu rumah tangga (kode 1) dan bekerja (kode 2) d) Status menstruasi : sudah menstruasi (kode 1) dan belum menstruasi (kode 2). e) Status gizi : normal (kode 1), pendek (kode 2) dan sangat pendek (kode 3). f) Siklus menstruasi : oligomenorea (kode 1), polimenorea (kode 2), amenorea (kode 3) dan normal (kode 4). 3) Scoring. Memberikan skor pada item- item yang perlu diberi skor (Arikunto, 2006: 236). Status gizi: a) Normal : ≥-2SD b) Pendek : ≥-3SD s/d <-2SD c) Sangat pendek : <-3SD 141
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
4) Tabulating Merupakan proses data entry, yaitu memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master table (Hidayat, 2007). Pekerjaan tabulasi adalah pekerjaan membuat tabel. Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori dan skor kemudian dimasukkan dalam tabel (Narbuko dan Achmadi, 2002: 155). Analisis Data. 1) Analisis data secara univariat. Untuk variabel independen (status gizi remaja putri) diukur dengan melakukan pengukuran tinggi badan dan umur remaja putri tersebut. Selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Z skor: Z-skor = Nilai individu subjek – Nilai median baku rujukan Nilai simpang baku rujukan Selanjutnya dinilai status gizinya sebagai berikut: a) Normal : >-2SD b) Pendek : >-3SD s/d <-2SD c) Sangat pendek : <-3SD (Depkes, 2010) Bagi variabel dependen (siklus menstruasi) hanya dibedakan saja, yaitu: a) Oligomenorea b) Polimenorea c) Amenorea d) Normal 2) Analisis data secara bivariat. Uji secara bivariat dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara variabel bebas dengan terikat. Pada penelitian ini karena data yang digunakan adalah data kategorik (ordinal dan nominal) yang menggunakan desain analitik observasional berbentuk korelasi, maka dilakukan uji statistik berupa X2 (Chi Square) untuk menguji kesalingtergantungan dengan rumus: (f o - f h ) 2 2 fh Keterangan: 2
= nilai Chi Square. fo = frekuensi yang diperoleh berdasarkan data. fh = frekuensi yang diharapkan (Sugiyono, 2009: 328). Pada penelitian ini menggunakan program SPSS (Statistical Package For The Social Sciences) for Windows seri 17.0. Ketentuan α=0,05 dimana H1 diterima jika Sig. (2-tailed) < α dan H1 ditolak jika Sig. (2-tailed) > α. Jika tidak memenuhi syarat uji chi square, maka uji dapat dilanjutkan dengan menggunakan uji fisher exact. Syarat uji Chi Square: a) Bila jumlah subjek total >40, tanpa melihat nilai expected, yaitu nilai yang dihitung bila hipotesis 0 benar. b) Bila jumlah subjek antara 20-40, dan semua nilai expected >5. 142
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
c)
Apabila: 1) jumlah subjek total n<20 atau 2) jumlah subjek antara 20-40 dengan nilai expected ada yang <5, maka dipakai uji mutlak Fisher (Sastroasmoro, 2008: 293). Menurut Arikunto (2002) dalam Cideres (2009) dalam membaca kesimpulan menggunakan skala sebagai berikut: 100% : seluruhnya. 76-99% : hampir seluruhnya. 51-75% : sebagian besar. 50% : setengah. 26-49% : hampir setengah. 1-25% : sebagian kecil. 0% : tidak satupun. D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto pada tanggal 4-9 Juni 2012. MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto berbatasan dengan: a. Sebelah utara : perkampungan penduduk b. Sebelah selatan : perkampungan penduduk c. Sebelah barat : lapangan desa d. Sebelah timur : jalan raya Fasilitas yang dimiliki diantaranya gedung sekolah berlantai 1 dan terdiri dari ruang kelas sejumlah 6 buah, 1 ruang perpustakaan yang digabung dengan UKS, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang BP/BK, 1 ruang Tata Usaha, kamar mandi guru dan kamar mandi murid. 2. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur. Tabel 41. Distribusi Frekuensi Umur Responden di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumbe r Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012. No. Umur Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. 10-13 tahun 16 39,0 2. 14-16 tahun 25 61,0 Jumlah 41 100
b.
Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%). Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ayah. Tabel 42. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ayah Responden di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012. No. Pekerjaan Ayah Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Tidak bekerja 0 0 2. PNS/TNI/Polri 4 9,8 3. Wiraswasta 19 46,3 4. Swasta 6 14,6 5. Petani 12 29,3 Jumlah 41 100
143
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan ayah responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%). Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu. Tabel 43. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu Responden di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012. No. Pekerjaan ibu Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Tidak bekerja 23 56,1 2. Bekerja 18 43,9 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 43 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden tidak bekerja sebanyak 23 responden (56,1%). Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu. Tabel 44. Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu Responden di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012. No. Pendidikan Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Tidak sekolah 0 0 2. Pendidikan dasar 21 51,2 (SD dan SMP) 3. Pendidikan menengah 17 41,5 (SMA) 4. Pendidikan tinggi 3 7,3 (Akademi/PT) Jumlah 41 100
Berdasarkan tabel 44 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 21 responden (51,2%). Data Khusus. a. Status Gizi Remaja Putri di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Tabel 45. Distribusi Frekuensi Status Gizi Remaja Putri di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012. No. Status Gizi Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Normal 15 36,6 2. Pendek 20 48,8 3. Sangat pendek 6 14,6 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 45 dapat diketahui bahwa hampir setengah dari responden mempunyai status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%).
144
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Tabel 46. Distribusi Frekuensi Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumbe r Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012. No. Siklus Menstruasi Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Oligomenorea 10 24,4 2. Polimenorea 5 12,2 3. Amenorea 4 9,8 4. Normal 22 53,7 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 46 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%). Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Tabel 47. Tabulasi Silang Antara Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto Pada Tanggal 4-9 Juni 2012 Siklus menstruasi Total Status Oligome norea Polimenorea Amenorea Normal gizi f % f % f % f % f % Normal 2 4,9 2 4,9 1 2,4 10 24,4 15 36,6 Pendek 6 14,6 3 7,3 0 0 11 26,8 20 48,8 Sangat 2 4,9 0 0 3 7,3 1 2,4 6 14,6 pendek Total 10 24,4 5 12,2 4 9,8 22 53,7 41 100 Berdasarkan tabel 47 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai status gizi normal, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 10 responden (24,4%), responden yang mempunyai status gizi pendek, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak sebanyak 11 responden (26,8%) dan responden yang mengalami status gizi sangat pendek, sebagian besar mengalami siklus menstruasi amenorea sebanyak 3 responden (7,3%). Berdasarkan uji statistik dengan bantuan SPSS versi 17.0 didapatkan 10 sel yang memiliki nilai frekuensi harapan <5, sehingga dilanjutkan menggunakan uji Fisher Exact hingga didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,033. Ketentuan menyatakan H0 ditolak dan H1 diterima jika Sig. (2 tailed) < α (0,05). Karena Sig. (2 tailed) (0,033) < α (0,05) artinya H0 ditolak dan H1 diterima, yang artinya ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto.
E. PEMBAHASAN 1. Status Gizi Remaja Putri Di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojokerto. Berdasarkan tabel 45 dapat diketahui bahwa hampir setengah dari responden mempunyai status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009: 3). Gibson menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh 145
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya (Waryana, 2010: 7). Status gizi menunjukkan keseimbangan antara asupan makanan yang dikonsumsi dengan aktifitas remaja yang makin meningkat seiring bertambahnya usia. Usia remaja memiliki karakteristik keingintahuan yang tinggi serta kesibukan belajar yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan aktifitas hariannya juga relatif semakin meningkat. Saat terjadi peningkatan aktifitas, di sisi lain remaja putri rentan mengalami kurang asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh dari lingkungan pergaulan (misalkan ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak dapat mencapai status gizi yang optimal (kurus, pendek dan pertumbuhan tulang tidak proporsional). Mereka juga biasanya mengalami kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh kembang serta sering sakit-sakitan. Hal ini menyebabkan status gizi remaja putrid menjadi pendek. Status gizi remaja putri dipengaruhi oleh umur, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu dan pendidikan ibu. Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar berumur 14-16 tahun sebanyak 14 responden (56,0%). Pada tahapan remaja pertengahan, terjadi peningkatan interaksi dengan kelompok, sehingga tidak selalu tergantung pada keluarga dan terjadi eksplorasi seksual. Dengan menggunakan pengalaman dan pemikiran yang lebih kompleks, pada tahap ini remaja sering mengajukan pertanyaan, menganalisis secara lebih menyeluruh dan berpikir tentang ba gaimana cara mengembangkan identitas ‖siapa saya?‖. Pada masa ini remaja juga mulai mempertimbangkan masa depan, tujuan dan membuat rencana sendiri (Aryani, 2010: 5). Ciri remaja pada usia ini adalah adanya peningkatan aktifitas dan eksplorasi terhadap lingkungan sekitar. Tingginya aktifitas berakibat pada kebutuhan asupan gizi yang cukup memadai. Namun yang terjadi, responden kurang mendapatkan asupan gizi yang memadai, sehingga ia mengalami status gizi pendek. Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan ayah responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar ayahnya bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 9 responden (47,4%0 dan sebagai petani sebanyak 8 responden (66,7%). Anggota keluarga yang menjadi sumber utama keuangan keluarga disebut pencari nafkah dan biasanya dipegang oleh ayah atau suami. Dalam hal ini kesanggupan keuangan keluarga akan lebih baik, sehingga lebih banyak lagi kebutuhan yang dapat dipenuhi. Namun pola pemakaian sumber keuangan ini sangat dipengaruhi oleh pola atau gaya hidup keluarga (Sediaoetama, 2008: 76). Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan (FKM UI, 2007: 71). Pekerjaan sebagai wiraswastawan dan petani khususnya petani penggarap cukup memiliki keterbatasan sosial ekonomi. Sebab jenis pekerjaan tersebut sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menghasilkan pendapatan. Keterbatasan pendapatan menyebabkan keterbatasan dalam mengalokasikan uang untuk kebutuhan konsumsi sehari- hari, sehingga mempengaruhi pula status gizi responden menjadi pendek. 146
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Berdasarkan tabel 43 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden tidak bekerja sebanyak 23 responden (56,1%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar ibu tidak bekerja sebanyak 11 responden (47,8%). Selain mempunyai tugas untuk reproduksi, seorang wanita terkadang juga memiliki peran sosial yang mengakibatkan beban kerja yang sangat berat dalam kehidupannya. Peran sosial wanita, antara lain bertanggung jawab atas keluarga, seperti merawat anggota keluarga lain, mengelola rumah tangga, menyediakan makanan, melakukan tugas-tugas kebersihan, mendatangi pelayanan kesehatan, melakukan pendidikan, dan mengawasi anak. Selain tugas-tugas tersebut, seorang wanita juga mempunyai peran dalam keluarga besarnya dan masyarakat. Beberapa tugas produktif yang dilakukan oleh wanita adalah di bidang pertanian, pasar, rumah produksi, pabrik, atau lainnya (Noorkasiani, dkk., 2009: 68). Kondisi ibu responden sebagian besar berperan pada sektor domestik sebagai ibu rumah tangga. Peran sebagai ibu rumah tangga membutuhkan tanggung jawab besar untuk merawat keluarga, termasuk memberikan pola asuh makan yang baik. Namun dapat disebabkan karena keterbatasan ekonomi keluarga, menyebabkan ibu responden juga mengalami keterbatasan dalam mengalokasikan keuangan yang dimiliki untuk mencukupi kebutuhan makan setiap hari, sehingga mempengaruhi pula status gizi responden menjadi pendek. Berdasarkan tabel 44 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 21 responden (51,2%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang memiliki status gizi pendek sebagian besar ibunya berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 11 responden (52,4%). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari- hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kese hatan (Atmarita dan Fallah, 2004). Pendidikan dasar (SD dan SMP) menunjukkan keterbatasan kemampuan dalam memahami masalah dan kebutuhan termasuk kebutuhan anak akan zat gizi yang baik. Hal ini menyebabkan ibu kurang mampu memberikan asupan gizi sesuai kebutuhan anak, sehingga menyebabkan anak mengalami status gizi pendek. Siklus Menstruasi Di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumbe r Kenanga Jatirejo Mojokerto. Berdasarkan tabel 46 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%). Siklus menstruasi ialah jarak antara hari pertama menstruasi dengan hari pertama menstruasi berikutnya. Panjang siklus menstruasi wanita bervariasi baik antar individu maupun pada individu yang sama. Siklus menstruasi pendek antara 15-23 hari dan siklus panjang antara 35-45 hari. Ada sejumlah perempuan yang siklusnya teratur, sementara adapula yang bervariasi sampai dengan 7 hari. Namun, panjang siklus menstruasi yang dianggap rata-rata normal adalah 28 hari (Indiarti, 2007: 2324). Data tiga siklus terakhir menunjukkan sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal yaitu kurang lebih 28 hari atau 4 minggu. Siklus menstruasi yang normal, secara fisiologis menggambarkan organ reproduksi cenderung sehat dan tidak bermasalah. Sistem hormonalnya baik yang ditunjukkan dengan sel telur yang terus diproduksi dan siklus menstruasinya teratur. Meski keteraturan tersebut tidaklah sama pada setiap responden, ada yang menyatakan setiap 4 minggu sekali 147
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
atau yang menyatakan 4 minggu lebih dua hari dan sebagainya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya umur responden, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu dan tingkat pendidikan ibu. Berdasarkan tabel 41 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 14-16 tahun sebanyak 25 responden (61,0%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar berumur 14-16 tahun sebanyak 12 responden (48,0%). Ketidakteraturan siklus haid sering terjadi pada remaja muda yang baru mengalami haid karena masih terjadi penyesuaian dalam tubuh. Selama 2 bulan berturut-turut mungkin mengalami siklus haid 28 hari namun kemudian tidak datang bulan di bulan berikutnya. Setelah 1 atau 2 tahun siklus menstruasi akan lebih teratur (Adhi, 2012). Sebagian besar responden telah mengalami menstruasi selama kurang lebih 1 atau 2 tahun sebelumnya. Lamanya responden mengalami menstruasi membuat tubuhnya telah beradaptasi secara fisiologis dan hal ini membuat siklus menstruasinya menjadi normal. Berdasarkan tabel 42 dapat diketahui bahwa hampir setengah pekerjaan ayah responden adalah wiraswasta sebanyak 19 responden (46,3%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar ayahnya bekerja sebagai wiraswastawan dan petani masing- masing sebanyak 8 responden (42,1% dan 66,7%). Berdasarkan tabel 43 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden tidak bekerja sebanyak 23 responden (56,1%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar ibu tidak bekerja sebanyak 14 responden (60,9%). Faktor sosial ekonomi dan juga mempunyai pengaruh terhadap keteraturan siklus menstruasi. Faktor sosial ekonomi mempengaruhi seseorang dalam kehidupannya, misalnya dalam menentukan jenis asupan makanan yang akan mempengaruhi nilai gizi seseorang. Tidak hanya gaya hidup yang positif saja yang dapat mempengaruhi keteraturan siklus menstruasi, namun juga ditambah dengan gizi dan suplemen nutrisi yang dapat membuat keseimbangan hormonal tubuh secara alami (Hutomo, 2012). Siklus menstruasi normal sebagian besar dialami oleh responden yang ayahnya bekerja sebagai wiraswastawan dan petani. Hal ini disebabkan orang tua sanggup mendidik anak hidup dalam pola hidup yang sehat dan iklim keluar ga yang harmonis, sehingga mempengaruhi keseimbangan hormonal dalam diri anak dan menjadikannya mengalami siklus menstruasi normal. Berdasarkan tabel 44 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 21 responden (51,2%). Hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang mengalami siklus menstruasi normal sebagian besar ibunya berpendidikan menengah (SMA) sebanyak 11 responden (64,7%). Menurut YB Mantra, pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan dalam pembangunan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010: 16). Meski sebagian besar pendidikan ibu adalah pendidikan dasar, namun yang mengalami siklus menstruasi normal adalah yang ibunya berpendidikan SMA. Pendidikan SMA cukup memberikan bekal pada ibu untuk merawat anaknya dengan lebih baik, misalnya ibu lebih mampu mengatur pola makan anak, membuat suasana rumah lebih nyaman, mengupayakan pola hidup sehat sehingga mempengaruhi kenyamanan pada diri anak dan membuat siklus menstruasinya berjalan normal.
148
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Hubungan Status Gizi Remaja Putri Dengan Siklus Menstruasi Di Mts Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatire jo Mojoke rto. Berdasarkan tabel 47 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai status gizi normal, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 10 responden (24,4%), responden yang mempunyai status gizi pendek, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak sebanyak 11 responden (26,8%) dan responden yang mengalami status gizi sangat pendek, sebagian besar mengalami siklus menstruasi amenorea sebanyak 3 responden (7,3%). Berdasarkan uji statistik dengan bantuan SPSS versi 17.0 didapatkan 10 sel yang memiliki nilai frekuensi harapan <5, sehingga dilanjutkan menggunakan uji Fisher Exact hingga didapatkan hasil sig. (2 tailed) = 0,033. Ketentuan menyatakan H0 ditolak dan H1 diterima jika Sig. (2 tailed) < α (0,05). Karena Sig. (2 tailed) (0,033) < α (0,05) artinya H0 ditolak dan H1 diterima, yang artinya ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Kualitas asupan nutrisi dan gizi mempengaruhi kinerja kelenjar hipotalamus yang memiliki peran mengendalikan kelancaran siklus haid yang ada (Klik Dokter, 2011). Berat badan dan perubahan berat badan mempengaruhi fungsi menstruasi. Penurunan berat badan akut dan sedang menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan. Kondisi patologis seperti berat badan yang kurang atau kurus dan anorexia nervosa yang menyebabkan penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan amenorrhea (Kusmiran, 2011: 110). Nutrisi yang baik akan mempengaruhi sekresi FSH dan LH. Jika terjadi penurunan kalori kronis akan menurunkan sekresi FSH dan LH, hingga jika terjadi malnutrisi, berat badan rendah atau diet ketat, maka ovulasi mungkin akan berhenti dan ia menjadi amenorea (Henderson, 2005: 19). Responden dengan status gizi normal biasanya menerapkan pola makan yang sesuai dengan kebutuhan maupun berlebih terutama lemak, protein dan karbohidrat tubuh sebagai sumber energi utama tubuh. Pola makan yang salah dengan tinggi lemak, karbohidrat dan protein akan meningkatkan berat badan yang lebih sehingga akan meningkatkan kerja organ-organ tubuh yang tentunya akan berdampak pada fungsi sistem hormonal pada tubuh. Hal ini menjelaskan alasan responden dengan status gizi normal sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal, namun ada pula yang mengalami polimenorea. Sedangkan responden yang memiliki status gizi normal namun mengalami oligomenorea bahkan amenorea khususnya amenore sekunder dapat disebabkan karena aktifitas yang terlalu berat ataupun tekanan kejiwaan seperti stres. Hal tersebut terjadi karena aktifitas berlebihan dan stres dapat mengganggu kerja hipotalamus dalam mengendalikan kerja berbagai hormon termasuk hormon yang berperan dalam siklus menstruasi. Begitupun sebaliknya pada responden dengan pola makan kurang mempengaruhi penurunan status gizi. Status gizi pendek namun masih memiliki siklus menstruasi yang normal dapat disebabkan karena responden memiliki keseimbangan hormonal yang cukup baik karena faktor stabilitas emosi, sehingga tidak mengganggu kerja hipotalamus meski dari sisi status gizi pendek bahkan sangat pendek. Namun bagi responden dengan status gizi pendek namun mengalami siklus polimenorea dapat disebabkan karena gangguan keseimbangan hormonal karena berada pada masa-masa awal menstruasi. Faktor lain yang memungkinkan adalah penyakit di dalam organ reproduksi, seperti tumor rahim maupun karena faktor lainnya seperti stress dan kelelahan.
149
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Jadi adanya gangguan pada fungsi sistem hormonal dari tubuh tersebut yang salah satunya karena faktor asupan gizi akan menyebabkan gangguan siklus haid yang terlalu cepat maupun siklus haid yang pendek. F. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto, maka dapat disimpulkan bahwa Status gizi remaja putri di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto, hampir setengahnya mempunyai status gizi pendek sebanyak 20 responden (48,8%), siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto, sebagian besar mengalami siklus menstruasi normal sebanyak 22 responden (53,7%) dan Hasil uji statistik Fisher Exact Test didapatkan sig. (2 tailed) = 0,033 < α = 0,05 artinya H0 ditolak dan H1 diterima, yang artinya ada hubungan status gizi remaja putri dengan siklus menstruasi di MTs Darun Najah Gading Dusun Sumber Kenanga Jatirejo Mojokerto. Remaja putri disarankan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang asupan gizi yang baik dan seimbang sesuai dengan usianya agar ia tidak mengalami gangguan pada siklus menstruasinya. Bagi responden yang mengalami gangguan siklus menstruasi sebaiknya segera memeriksakan diri lebih lanjut pada tenaga kesehatan setempat. Bidan disarankan untuk memberikan penyuluhan gizi bagi para remaja putri khususnya berkaitan dengan menu harian yang menarik dan bergizi, sehingga memotivasi remaja putri untuk mengkonsumsi makanan bergizi bagi pertumbuhannya. Bidan juga dapat memberikan informasi pada ibu- ibu yang mempunyai anak usia remaja awal untuk lebih memperhatikan asupan gizi yang baik dan lebih memperhatikan siklus menstruasi anaknya, jika mengalami masalah segera dikonsultasikan pada tenaga kesehatan. Masyarakat khususnya ibu yang mempunyai remaja putri agar selalu menjaga asupan gizi anaknya, sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak khususnya siklus menstruasinya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status sosial ekonomi memiliki pengaruh terhadap status gizi remaja putri, namun belum dibuktikan secara ilmiah. Maka dari itu disarankan peneliti selanjutnya meneliti mengenai pengaruh status sosial ekonomi terhadap status gizi remaja putri. DAFTAR PUSTAKA Adhi (2012). Penyebab Siklus Haid Tidak Teratur. (http://tipskesehatan.web.id, diakses tanggal 18 April 2012). Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Aryani. (2010). Kesehatan Remaja, Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika. Atmarita dan Tatang S. Fallah. (2004). Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. (http://www.gizi.net/kep/download/makalah-wnpg8.doc, diakses tanggal 18 April 2012). BKKBN Jawa Timur. (2012). Sambut Jambore Nasional, BKKBN Gelar Sosialisasi PIK di UMM. (http://www.umm.ac.id/id, diakses tanggal 12 April 2012). Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia. Departemen Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Depkes RI. Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto. (2011). Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto Tahun 2010. Mojokerto: Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto.
150
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Erida. (2011). Macam-macam Gangguan Menstruasi. (http://duniaerida.blogspot.com, diakses tanggal 14 April 2012). FKM UI. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa. Henderson, C. (2005). Buku Ajar Keperawatan Kebidanan. Jakarta: EGC. Hendrik. (2006). Problema Haid: Tinjauan Syariat Islam dan Media. Solo: Tiga Serangkai. Hidayat, A.A.A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: EGC Salemba Medika. ______________. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Hutomo. (2012). Hubungan antara Tingkat Depresi Remaja dengan Keteraturan Siklus Menstruasi Mahasiswi Pendidikan Dokter FKIK UMY. (http://digilib.fk.umy.ac.id, diakses tanggal 21 April 2012). Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2002). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jilid 1. Jakarta: IDAI. Indiarti, M.T. (2007). Kalender Seksual Anda. Jakarta Plamatera Publishing. Kartono, Kartini. (2006). Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa. Bandung: Mandar Maju. Klik Dokter. (2011). Telat Haid. (http://www.klikdokter.com, diakses tanggal 2 Mei 2012). Kusmiran, E. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika. Lestari, N. (2011). Tips Praktis Mengetahui Masa Subur. Jakarta: Kata Hati. Lusiana dan Dwiriani. (2007). Usia Menarche, Konsumsi Pangan, dan Status Gizi Anak Perempuan Sekolah Dasar di Bogor. (http://repository.ipb.ac.id, diakses tanggal 14 April 2012). Mansyur, H. (2009). Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Manuaba, I.A.C. (2008). Gawat Darurat Obstetri Ginekologi dan Obstetri Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC. _____________. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta: EGC. Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Noorkasiani, dkk. (2009). Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ___________________. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Okanegara. (2008). Remaja dan Perubahan Biopsikososial. (http://okanegara.wordpress.com, diakses tanggal 12 April 2012). Paath, Erna Francin, et. al. (2004). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC. Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan. Volume I. Jakarta: EGC. Proverawati, A dan Misaroh, S. (2009). Menarche, Menstruasi Pertama Penuh Makna. Yogyakarta: Nuha Medika. Riduwan dan Akdon. (2007). Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung: Alfabeta. Roveny. (2010). Hubungan Status Nutrisi dengan Usia Menarche pada Siswi SMP dan SMA Ahmad Yani Binjai Tahun Ajaran 2010-2011. (http://repository.usu.ac.id, diakses tanggal 15 April 2012) Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. (2008). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto. Sedyaoetama, Achmad Djaeni. (2008). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid II. Jakarta: Dian Rakyat. Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
151
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Soetjiningsih. (2007). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto. Sugiyono. (2009). Statistik Non Parametris untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sunarto dan Mayasari. (2010). Hubungan Kelebihan Berat Badan dan Menarche Dini. Jakarta: Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes. Vol. 1 No. 4 Oktober 2010. Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suryoprajogo, N. (2008). Kamasutra for Pregnancy. Yogyakarta: Golden Books. Waryana. (2010). Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama. Wawan, A. dan Dewi M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. Yuniastuti, Ari. (2008). Gizi dan Kesehatan. Jakarta: Graha Ilmu.
152
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
PENGGUNAAN ZERO INFLATED POISSON REGRESSION DALAM PEMODELAN PENGARUH PENOLONG PERSALINAN DAN PELAYANAN NIFAS TERHADAP ANGKA KEMATIAN IBU DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010 Eka Diah Kartiningrum Dosen Poltekkes Majapahit ABSTRACT The objective of this research was to model the factors that affecting maternal mortality rate in East Java in 2010 using ZIP. This was a non reactive research with profile of East Java Provincial Health Office in 2010 as the secondary data. The profile data were the results of health centers routine recapitulation from information and Research and Development Section on the whole regencies/cities in East Java. The unit analysis in this research was 950 health centers in the regions of East Java. The estimated results of ZIP log model parameter showed that childbirth assistance by health practitioners (β7 = -0.050655), postnatal care (β8 = 0.004500), while the estimated parameter logit model showed that occurrence probability of maternal mortality in East Java in 2010 was determined by the delivery helped by health practitioners (β7 = -0.0662297) and care during postnatal period (β7 = 0.012563). Each increase in birth numbers helped by health practitioners would reduce maternal mortality by 0.9506 times. Postnatal services would influence about 1.0045 times on the increased risk of maternal death, the increased pregnancy complications, and also the increased of maternal mortality probability by 1.0045 times. The conclusion is that ZIP estimates the incidence of maternal mortality far better than other forms of discrete data with many 0 values on the dependent variable. Keyword: Maternal Mortality, ZIP,delivery, postnatal. A. PENDAHULUAN Analisis regresi merupakan metode statistika yang populer untuk mengkaji hubungan antara variabel respon Y dengan variabel prediktor X, sedangkan regresi Poisson merupakan salah satu analisis regresi yang dapat menggambarkan hubungan antara variabel respon (Y) dimana variabel respon berdistribusi Poisson dengan variabel prediktor (X). Model Poisson banyak digunakan dalam berbagai bidang termasuk kesehatan masyarakat, epidemiologi, sosiologi, psikologi, teknik, pertanian dan lainnya (Bohning, Dietz, Schlattmann , 2012). Khoshgoftaar, Gao, Szabo (2004) dalam Andres (2011) menyatakan bahwa metode regresi Poisson mensyaratkan adanya equidispersi yaitu kondisi dimana nilai mean dan varians dari variabel respon bernilai sama. Namun adakalanya terjadi fenomena overdispersi dalam data yang dimodelkan dengan distribusi Poisson. Overdispersi berarti data memiliki varians yang lebih besar daripada mean. Bohning, dkk (2012) menyatakan bahwa overdispersi terjadi karena parameter tunggal dalam distribusi Poisson yaitu µ seringkali tidak cukup berarti untuk mendeskripsikan populasi. Overdispersi menunjukkan bahwa terdapat heterogenitas populasi atau dengan kata lain populasi terdiri dari berbagai sub populasi, dimana sub populasi tersebut tidak terobservasi dalam sampel. Akibatnya estimasi parameter pada data dengan kondisi yang demikian menjadi tidak tepat. Jansakul dan Hinde (2001) dalam Andres (2011) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya overdispersi adalah lebih banyak observasi yang bernilai nol. Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A, (2012) menyatakan bahwa dalam regresi Poisson, banyaknya nilai nol pada hasil observasi akan melampaui nilai prediksi (terjadi inflasi). Untuk mengatasi hal ini maka banyak metode
153
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
yang dikembangkan. Salah satu metode untuk menganalisa observasi dengan nilai nol yang lebih banyak adalah dengan model Zero Inflated Poisson Regression. Analisis faktor yang mempengaruhi jumlah kematian ibu hamil dan nifas yang dilakukan pada data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan ciri-ciri terjadinya overdispersi akibat banyaknya hasil observasi yang bernilai nol, sehingga ZIP merupakan pilihan yang paling baik untuk memodelkan angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010. Angka kematian ibu dipengaruhi oleh 3 faktor utama menurut Mc Charty & Maine dalam Arulita (2007) diantaranya determinan dekat (komplika si kehamilan, komplikasi persalinan dan nifas), determinan antara ( Status kesehatan ibu yang terdiri dari anemia, status gizi, penyakit yang diderita ibu, riwayat komplikasi kehamilan dan persalinan sebelumnya; Status reproduksi yang terdiri dari usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan, dan status perkawinan ibu; Akses terhadap pelayanan kesehatan; Perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari perilaku ber KB, perilaku pemeriksaan kehamilan / antenatal care yang mencakup K1, K4, Fe1, Fe3 dan TT1 sampai TT5, penolong persalinan dan tempat persalinan), sedangkan determinan jauh meliputi faktor sosiokultural, ekonomi, agama, tingkat pendidikan ibu serta pengetahuan ibu tentang tanda bahaya kehamilan. Salah satu indikator kematian maternal yang lain adalah persalinan oleh tenaga kesehatan. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pertolongan persalinan oleh tenaga ahli yang profesional (dengan kompetensi kebidanan) dimulai dari lahirnya bayi, pemotongan tali pusat sampai keluarnya plasenta. Komplikasi dan kematian maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi dimasa persalinan. Hal ini disebabkan persalinan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (profesional) (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2010). Tenaga penolong persalinan yang tidak profesional akan menyebabkan timbulnya bahaya pada ibu bersalin yang pada akhirnya berdampak pada terjadinya kematian pada ibu nifas akibat kurang tepat dalam pengendalian perdarahan yang terjadi pada masa nifas. Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi akibat trauma pada persalinan (Arulita, 2007). Menurut Varney, Kriebs, dan Gegor (2002), komplikasi yang terjadi pada masa nifas antara lain infeksi puerperium, mastitis, tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi pascapartum hebat, sub involusi dan depresi pasca partum. Selama masa nifas pelayanan kesehatan yang diterima ibu nifas antara lain pemeriksaan kondisi umum (tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu), pemeriksaan lokhia, dan pengeluaran per vaginam lainnya, pemeriksaan pa yudara, dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan, pemberian kapsul vitamin A 200.000 IU sebanyak 2 kali ( 2 x 24 jam) dan pelayanan KB pasca persalinan. Perawatan ibu nifas yang tepat akan memperkecil resiko kelainan atau bahkan kematian pada ibu nifas. Cakupan pelayanan nifas merupakan salah satu indikator kesehatan. Cakupan pelayanan nifas yang meningkat menunjukkan bahwa petugas kesehatan semakin proaktif dalam melakukan pelayanan pada ibu nifas dalam rangka memperkecil resiko kelainan bahkan kematian pada ib u nifas (Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010). Analisis kematian ibu Tahun 2010 di Indonesia telah dilakukan oleh Depkes RI dan dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Kesehatan Ibu di Bandung tahun 2011 oleh Direktur Bina Kesehatan Ibu, dr. Ina Hernawati, MPH. Analisis kematian ibu di Indonesia dilakukan menggunakan Regresi Linier dengan variabel prediktor antara lain: cakupan antenatal care (K1-K4), cakupan penolong persalinan, rasio bidan/ 1000 kelahiran, rasio bidan desa yang tinggal di desa, persalinan di fasilitas kesehatan, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa untuk mencapai target MDGs maka 7.187 kematian ibu harus dicegah, dan persalinan oleh tenaga kesehatan 95% hanya dapat mencegah 3.138 kematian (Depkes RI, 2011). 154
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Dampak ketidaktepatan pemilihan penggunaan regresi adalah ketidaktepatan dalam estimasi parameter sehingga pada akhirnya berdampak pada pengambilan kesimpulan dan keputusan pada program, sehingga perencanaan program pencegahan kematian ibu menggunakan parameter yang sesuai dengan regresi linier menjadi tidak tepat. Regresi ZIP mampu mengendalikan overdispersi dalam distribusi Poisson dan inflasi nilai 0 sehingga akurasi estimasi parameter dapat terjamin. Secara umum model regresi ZIP masih jarang digunakan untuk data count yang menunjukkan adanya inflasi akibat nilai 0 dan overdispersi. Sehingga peneliti tertarik untuk mengaplikasikan regresi ZIP dalam menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2010. B. METODE Penelitian ini merupakan penelitian non reaktif atau unobstrusif measures karena pada pengukuran variable penelitian yang akan digunakan peneliti menggunakan data sekunder. Unit analisis dalam penelitian ini adalah data ibu tiap puskesmas baik pustu maupun puskesmas pembina di seluruh Propinsi Jawa Timur yang terdapat di Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 yang terdiri dari data tentang jumlah kematian ibu (Y), Persalinan oleh Nakes (X7), dan Pelayanan Nifas (X8). Langkah awal dalam penelitian ini adalah dimulai dengan pengujian distribusi data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov 1 sampel. Pengujian dilakukan untuk membuktikan bahwa bentuk distribusi variabel angka kematian ibu (Y) mengikuti distribusi Poisson. Apabila data berdistribusi Poisson maka dilanjutkan dengan analisis regresi Poisson. Dalam analisis regresi Poisson dilakukan penaksiran parameter model regresi Poisson dan ditentukan model yang paling fit terhadap data. Kemudian menghitung nilai Devians untuk mengidentifikasi overdispersi. Jika terjadi overdispersi maka dilanjutkan dengan estimasi parameter model log dan logit, menguji kesesuaian model serta menguji parameter secara parsial menggunakan regresi ZIP. Langkah selanjutnya adalah pengujian model terbaik yang dilakukan dengan menggunakan AIC. C. HASIL Uji distribusi Poisson dilakukan dengan menggunakan histogram sebagai berikut:
Gambar 1 Diagram Batang Angka Kematian Ibu Gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 mendominasi data angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010. Pada data tersebut juga tidak terdapat data yang memiliki nilai dibawah 0. Bentuk frekuensi diatas sama dengan bentuk distribusi Poisson dengan nilai 0 155
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
melebihi 63,7 % dari total data. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov menghasilkan p value (0,562) > α (0,05), nilai D ekstrim sebesar 0,026 lebih kecil daripada nilai D tabel sebesar 0,0529 sehingga dapat disimpulkan bahwa distribusi kematian ibu di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 mengikuti bentuk distribusi Poisson. Perhitungan Hasil Koefisien Dispersi menjelaskan bahwa Nilai Devians/ db lebih dari 1 sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi overdispersi pada data tersebut. Pengujian kesesuaian model angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 dapat dilakukan dengan berbagai jenis analisis regresi diantaranya regresi linier, regresi Poisson dan ZIP. Tabel 1 Hasil Analisa Regresi Linier Dalam Pemodelan Angka Kematian Ibu di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 Parameter Estimasi SE t-value Pr(>|t|) Intercept 0.7528273 0.5708559 1.319 0.1876 Linakes (X7) - 0.0110654 0.0049171 - 2.250 0.0247 Pelayanan Nifas (X8) 0.0063417 0.0035045 1.810 0.0707 SE Residual : 1.984 DF = 937 2 R : 0.01375 Adj R2 : 0.00428 F-statistic : 1.452 P value : 0.1615 Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 Hasil analisa pada tabel 1 dengan menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa F hitung sama dengan 1.452 dengan nilai p (0,1615) > α (0,05). Sehingga disimpulkan bahwa model tidak signifikan. Selain itu dilihat dari nilai R squared juga menghasilkan nilai yang sangat kecil yakni sebesar 0,01375. Nilai tersebut berarti bahwa hanya 1,375 % angka kematian ibu dapat dijelaskan oleh linakes, pelayanan nifas dan komplikasi persalinan. Sehingga dengan demikian menggunakan regresi linier sederhana tidak mampu menjelaskan pengaruh variabel prediktor terhadap variabel respons. Penggunaan regresi linier juga tidak tepat pada model faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur sebab dalam uji asumsi regresi model tersebut tidak terpenuhi syarat homoscedatisitas pada residual, dan tidak linier serta mengikuti bentuk distribusi Poisson. Tabel 2 Hasil Analisa Regresi Poisson Dalam Pemodelan Angka Ke matian Ibu di Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 Parameter Estimasi SE z-value Pr(>|z|) Linakes (X7) - 0.0161938 0.0036319 - 4.459 8.24e-06 *** Pelayanan Nifas (X8) 0.0020245 0.0012797 1.582 0.113637 Null Deviance : 1564.7 df: 946 Residual Deviance : 1495.3 df: 937 Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai null deviance yang menunjukkan sebesar 1564,7 dibandingkan dengan X2 tabel pada α sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan 946 sebesar 1018.6630. Nilai p (2.91554E-33) jauh lebih kecil dibandingkan dengan α (0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tanpa melibatkan variabel prediktor, model tersebut signifikan. Demikian pula dengan Nilai Residual Deviance menunjukkan 1495.3 dibandingkan dengan nilai X2 tabel pada α sama dengan 5% dan derajat bebas sama dengan 937 adalah sebesar 1009.3188. Nilai p (2.25521E-28) jauh lebih kecil dari α (0.05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa dengan melibatkan semua variabel prediktor maka model tersebut signifikan. Hasil dari análisis regresi Poisson didapatkan variabel prediktor yang valid yaitu cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sedangkan pelayanan nifas 156
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
tidak mempengaruhi angka kematian ibu. Namun hasil analisa regresi Poisson tidak mungkin digunakan akibat terjadinya overdispersi dan inflasi dari nilai 0. Estimasi menggunakan Poisson akan berdampak pada ketidaktepatan hasil estimasi karena dua indikasi tersebut. Sehingga dilanjutkan pada estimasi menggunakan Zero Inflated Poisson Regression (ZIP Regression). Tabel 3 Pengujian Parameter Model Log pada Model 1 Parameter Estimasi SE z-value Pr(>|z|) Intercept 4.329987 0.340693 12.709 <2e-16 *** Linakes (X7) - 0.050904 0.003584 - 14.201 <2e-16 *** Pelayanan Nifas (X8) 0.004237 0.001455 2.912 0.0036 ** Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 Tabel 4 Pengujian Parameter Model Logit pada Model 1 Parameter Estimasi SE z-value Pr(>|z|) Intercept 7.178526 1.166170 6.156 7.48e-10 *** Linakes (X7) - 0.072675 0.012057 - 6.027 1.67e-09 *** Pelayanan Nifas (X8) - 0.014185 0.005327 - 2.663 0.00775 ** Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 Hasil pengujian parameter model log pada tabel 3 menghasilkan 2 variabel yang signifikan yaitu cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (X7) dan cakupan pelayanan nifas (X8) demikian juga pada pengujian parameter model logit pada tabel 4. Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut. log( i ) 4.329987 0,050904 X 7 0,004237 X 8 log( i ) 4.329987 0,050904 Linakes 0,004237cakupan _ pelayanan _ nifas log it( pi ) 7,178526 0,072675 X 7 0,014185 X 8 log it( pi ) 7,178526 0,072675 Linakes 0,014185cakupan _ pelayanan _ nifas Pemilihan model terbaik análisis regresi menggunakan AIC (Akaike Information Criterion). Jika nilai AIC mendekati nol maka semakin baik model yang digunakan (Hall & Shen, 2009). Perbandingan model yang terbaik antara hasil analisa regresi linier, Poisson dan ZIP dapat dilihat dalam Tabel 5 Tabel 5 Perbandingan Nilai AIC pada Regresi Linier, Poisson dan ZIP Model AIC Model Regresi Linier 3996.563 Model Regresi Poisson 2392.636 Model Regresi ZIP 2199.391 Sumber: Data Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2010 Nilai AIC pada ZIP dalam tabel 5 jauh lebih rendah dibandingkan kedua jenis regresi lainnya pada pengujian model secara lengkap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika dibandingkan dengan bentuk regresi linier dan Poisson, ZIP jauh lebih baik dalam mengendalikan inflasi dari nilai 0 dan overdispersi, sebab model yang terbaik dalam menggambarkan faktor yang mempengaruhi kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 adalah ZIP. Perhitungan besarnya pengaruh setiap parameter terhadap kematian ibu berdasarkan model ke 2 dapat dijelaskan bahwa Jika variabel yang lain adalah konstan maka peranan cakupan penolong persalinan dapat dihitung sebesar exp (-0,050904)= 0,95 ~ 1. Maka setiap peningkatan 1% cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan rerata kematian ibu sebes ar 1 orang. Sedangkan peranan cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan dapat dijelaskan berdasarkan exp (0,004237) 157
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
= 1,004 ~ 1. Maka setiap peningkatan 1% cakupan pelayanan masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada peningkatan rerata kematian ibu sebesar 1 orang. Hasil parameter model logit didapatkan bahwa jika parameter lain dianggap konstan maka peningkatan 1% pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali dan peningkatan 1% pelayanan masa nifas oleh tenaga kesehatan maka akan berdampak pada penurunan probabilitas kematian ibu sebanyak 0,5 kali. Model ke 1 menghasilkan nilai rerata jumlah kematian ibu (µ) sebesar 1,36 dan varian sebesar 0,92 serta rerata peluang tidak terjadi kematian ibu di puskesmas sebesar 0,5021. Jika dibandingkan dengan nilai µ dan varian sebelum menggunakan model maka disimpulkan model ZIP mampu menekan varian sehingga mengendalikan overdispersi yang terjadi pada data kematian ibu. Pada pengujian koefisien overdispersi terjadi penurunan koefisien overdispersi sebelum menggunakan ZIP sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih kecil. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP merupakan salah satu metode yang dapat mengatasi masalah overdispersi pada data yang mengalami banyak inflasi akibat nilai 0 melebihi 63,7% dari total data. D. PEMBAHASAN Regresi Zero Inflated Poisson digunakan pada data dengan variable dependen (Y) yang berdistribusi Poisson. Distribusi Poisson diaplikasikan pada kejadian dalam bentuk count (jumlah). Angka kematian ibu dalam profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur merupakan data yang berbentuk jumlah (count). Distribusi Poisson merupakan distribusi variabel random diskrit namun untuk suatu peristiwa yang jarang terjadi. Kematian ibu merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi. Hal ini terbukti bahwa pada banyak unit pengamatan terdapat banyak nilai 0 (tidak terjadi kematian ibu). Distribusi Poisson merupakan distribusi diskrit. Untuk nilai μ yang kecil maka distribusinya sangat menceng dan untuk nilai μ yang besar akan lebih mendekati distribusi normal. Untuk kasus yang jarang terjadi maka nilai μ akan kecil. Hal ini juga terjadi pada data angka kematian ibu dengan nilai rata-rata kurang dari 1 namun standar deviasi lebih dari 1. Angka ini terjadi karena kasus memang sangat jarang terjadi serta heterogen pada setiap puskesmas. Nilai pengamatan dalam distribusi Poisson selalu positif dan tidak pernah negatif. Masalah yang sering terjadi dalam distribusi Poisson adalah inflasi dari nilai 0. Kasus yang gagal terjadi atau kegagalan suatu pengamatan mengakibatkan munculnya nilai 0 pada data. Nilai 0 pada data mengakibatkan ketidaktepatan dalam melakukan estimasi. Histogram pada gambar 1 menjelaskan bahwa nilai 0 terdapat pada lebih dari 63,7 % data. Dua metode yang bisa diaplikasikan untuk inflasi nilai 0 antara lain model Zero Inflated Poisson (ZIP) dan Zero Inflated Binomial Negatif (ZINB). Tetapi penggunaan ZINB tidak memungkinkan karena data tidak mengikuti bentuk distrib usi binomial negatif. Keberadaan inflasi dari nilai 0 adalah menjelaskan bahwa kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur adalah suatu kasus yang sangat jarang terjadi di setiap puskesmas. Angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 mempunyai indikasi mengalami overdispersi. Multikolinieritas merupakan pendorong terjadinya overdispersi. Hasil analisa asumsi regresi menunjukkan bahwa nilai VIF (Variance Inflation Factor) menunjukkan nilai < 10. Sehingga pada semua variabel prediktor menunjukkan tidak terjadi multikolinieritas. Jadi overdispersi dalam kasus di Propinsi Jawa Timur murni terjadi karena kegagalan terjadinya suatu kasus atau akibat nilai 0 yang berjumlah terlalu banyak pada variabel kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010. Kejadian overdispersi dalam distribusi Poisson mengakibatkan ketidaktepatan model yang dibentuk, selain itu overdispersi mengakibatkan estimasi yang kurang tepat terhadap parameter model regresi. Implikasi dari tidak terpenuhinya equidispersion adalah regresi Poisson tidak sesuai lagi untuk memodelkan data. Selain itu, model yang terbentuk 158
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
akan menghasilkan estimasi parameter yang bias. Overdispersion juga akan membawa konsekuensi pada nilai penduga bagi kesalahan baku yang lebih kecil (underestimate) yang selanjutnya dapat mengakibatkan kesalahan (misleading) pada inferensia bagi parameternya (Istiana, 2011). Salah satu alternatif metode yang dapat menyelesaikan masalah over ataupun underdispersi dalam regresi Poisson adalah ZIP. Penelitian Raihana (2009), menjelaskan bahwa overdispersi pada regresi Poisson menyebabkan underestimate standar error yang menyebabkan inferensi yang salah sebagai konsekuensinya. Regresi Poisson paling sesuai untuk data yang tidak mengalami overdispersi, sedangkan untuk data yang mengalami overdispersi paling baik menggunakan ZIP dan ZINB. Pamungkas (2003) menjelaskan bahwa pada data yang mengalami overdispersi dan dimodelkan dengan Poisson memiliki nilai kesalahan mutlak yang besar dan mendekati 1, sedangkan pada data yang tidak mengalami overdispersi dan dimodelkan menggunakan regresi Poisson memiliki kesalahan mutlak yang kecil dan mendekati nol. Pada jumlah data (n) yang kecil, estimator yang dihasilkan data overdispersi cenderung membesar sedangkan pada data yang tidak overdispersi cenderung mendekati nilai yang sesungguhnya (kesalahan mutlak kecil). Pemilihan model terbaik ditentukan menggunakan Akaike’s Information Criterion (AIC). Bila dibandingkan antara penggunaan Regresi linier, Poisson dengan ZIP, dapat disimpulkan bahwa penggunaan ZIP jauh lebih bagus dibandingkan linier dan Poisson. Penggunaan regresi linier tidak dimungkinkan sebab asumsi regresi yang tidak terpenuhi. Asumsi yang tidak terpenuhi menyebabkan ketidaktepatan pada estimasi yang dihasilkan. Regresi linier adalah metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan antara variabel terikat (dependen; respon; Y) dengan satu atau lebih variabel bebas (independen, prediktor, X). Apabila banyaknya variabel bebas hanya ada satu, disebut sebagai regresi linier sederhana, sedangkan apabila terdapat lebih dari 1 variabel bebas, disebut sebagai regresi linier berganda. Analisis regresi linier memiliki 3 kegunaan, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol, serta untuk tujuan prediksi. Regresi linier mampu mendeskripsikan fenomena data melalui terbentuknya suatu model hubungan yang bersifatnya numerik. Regresi juga dapat digunakan untuk melakukan pengendalian (kontrol) terhadap suatu kasus atau ha l- hal yang sedang diamati melalui penggunaan model regresi yang diperoleh. Selain itu, model regresi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan prediksi untuk variabel terikat. Namun yang perlu diingat, prediksi di dalam konsep regresi hanya boleh dilakukan pada data berskala kontinu, bukan diskrit seperti jumlah kematian ibu. Sebelum menggunakan ZIP, data angka kematian ibu dipastikan telah mengalami overdispersi. Koefisien overdispersi pada hasil analisa regresi Poisson lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil analisa menggunakan ZIP. Walaupun masih ada indikasi terjadi overdispersi karena nilai χ2 / db (1,636) masih lebih besar daripada 1 namun angka ini jauh lebih menurun dibandingkan nilai χ2 / db pada Poisson yaitu 5,913. Nilai deviance perhitungan model regresi Poisson dengan ZIP juga relatif berbeda. Deviance pada model yang dihasilkan oleh ZIP jauh lebih besar bila dibandingkan dengan model yang dihasilkan Poisson. Koefisien overdispersi juga telah mengalami penurunan dibandingkan sebelum menggunakan ZIP yaitu sebesar 1,59 menjadi 0.000767 menjadi jauh lebih kecil. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ZIP lebih mampu mengendalikan overdispersi pada regresi Poisson, walaupun kurang maksimal. Hasil penelitian Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A (2011) dalam British Journal of Mathematical and Statistical Psychology tentang perbandingan ZIP dengan berbagai analisis data count yang mengandung nilai 0 menjelaskan bahwa ZIP memiliki angka AIC yang lebih rendah dibandingkan Poisson, sehingga ZIP jauh lebih baik dibandingkan dengan Poisson dalam mengestimasi data yang banyak mengandung nilai 0. 159
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
Namun bila dibandingkan dengan hasil penelitian dari Ridout, Hinde, Demétrio, (2001) tentang perbandingan model antara regresi ZIP dengan ZINB (Zero Inflated Binomial Negatif ) dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien dispersi pada ZIP masih diatas 1 sedangkan penggunaan ZINB sudah mampu menurunkan nilai koefisien dispersi sampai sedikit dibawah atau sama dengan 1. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ZIP masih kurang baik dalam mengendalikan koefisien dispersi pada data skor dengan angka nol yang banyak. Artikel yang ditulis oleh Xue, D.C., Ying, X.F., (2010) tentang model regresi zero inflated yang digunakan pada missing covariate dengan jumlah nilai missing berkisar antara 12 sampai 27 % menunjukkan bahwa ZIP mempunyai AIC yang relative lebih bagus dibandingkan dengan Poisson, ZINB, dan Negatif Binomial. Hal ini menegaskan bahwa ZIP hanya mampu mengendalikan nilai 0 namun belum sepenuhnya mengendalikan overdispersi. Hal ini bertentangan dengan artikel tentang Zero-Inflated Count Models and their Applications in Public Health and Social Science yang ditulis Bohning, D., Dietz, E., Schlattmann, P., (2012) yang menjelaskan bahwa pada data dengan jumlah nol sebesar kurang lebih 40%, ZIP dapat menurunkan koefisien overdispersi sebesar 77% (semula sebesar 21.65 menjadi 1,36) pada data prospective study of caries in Belo Horisonte (Brasilian ). Namun pada hasil tersebut tetap terjadi overdispersi walaupun telah diturunkan. Model log dan logit pada model 1 berdasarkan AIC disimpulkan sebagai model yang paling baik dalam menjelaskan angka kematian ibu. Besarnya efek dari cakupan persalinan adalah -0,050655 terhadap log rata-rata kematian ibu, atau efeknya sama dengan e0,050655 = 0,9506 terhadap rata-rata kematian ibu. Hal tersebut berarti tiap kenaikan jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan akan menurunkan angka kematian ibu sebesar 0,9506 kali atau (1-0,9504)*100% sama dengan 4,94%. Sedangkan peningkatan satu unit pelayanan masa nifas akan mempunyai efek sebesar 1,0045 kali terhadap peningkatan angka kematian ibu. Peningkatan satu unit komplikasi kehamilan juga berdampak pada peningkatan angka kematian ibu sebesar 1,0045 kali. Pada model logit hanya terdapat 2 variabel yang sangat menentukan penurunan probabilitas kejadian kematian ibu yaitu cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan masa nifas. Kunjungan nifas minimal 3 kali dengan distribusi waktu : 1). Kunjungan nifas pertama pada 6 jam setelah persalinan sampai 3 hari; 2). Kunjungan nifas yang kedua dilakukan pada minggu ke-2 setelah persalinan; 3). Kunjungan nifas yang ketiga dilakukan pada minggu ke-6 setelah persalinan. Diupayakan kunjungan nifas ini dilakukan bersamaan dengan kunjungan neonatus di posyandu ( Kemkes RI, 2009 dalam Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2010). Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan set elah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi akibat trauma pada persalinan (Arulita, 2007). Menurut Varney, Kriebs, dan Gegor (2002), komplikasi yang terjadi pada masa nifas antara lain infeksi puerperium, mastitis, tromboplebitis dan emboli paru, hematoma, hemoragi pascapartum hebat, sub involusi dan depresi pasca partum. Pertolongan persalinan menurunkan resiko terjadinya komplikasi akibat persalinan dan masa nifas, sehingga kematian ibu dapat dicegah. Pelayanan masa nifas yang tepat mampu mengatasi komplikasi yang terjadi akibat persalinan dan kelainan yang muncul setelah proses persalinan. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang profesional dapat menurunkan angka kematian ibu. E. KESIMPULAN Rerata kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 sebesar 1,36 dengan varian sebesar 0,92. Rerata probabilitas tidak terjadi kematian ibu di setiap puskesmas tahun 2010 adalah sebesar 0,5021. Data angka kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 mengikuti bentuk distribusi Poisson dan mengalami overdispersi. Estimasi parameter model log menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan nifas, 160
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 2 Nopember 2012
mempengaruhi jumlah kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010, sedangkan estimasi parameter model logit menunjukkan bahwa probabilitas kejadian kematian ibu di Propinsi Jawa Timur tahun 2010 dipengaruhi oleh persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan masa nifas. DAFTAR PUSTAKA Andres, N. D. 2011. Pemodelan Penyakit Malaria Di Provinsi Jawa Barat Dengan Regresi Zero-Inflated Poisson. http://repository.upi.edu (sitasi tanggal 20 Maret 2012. pukul 20.09 WIB)) Arulita. 2007. Faktor-faktor Resiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal (Studi Kasus di Kabupaten Cilacap). Tesis. FKM-Universitas Diponegoro Semarang. Bohning, D., Dietz, E., Schlattmann, P. 2012. Zero Inflated Count Model and Their Applications in Public Health and Social Science. Paper dalam http://www.ipn.unikiel.de (sitasi tanggal 06 Maret 2012 pukul 08.03 WIB). Dinkes Propinsi Jawa Timur. 2011. Profil Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010. Surabaya: Dinkes Propinsi Jatim Fauziah dan Sutejo. 2012. Keperawatan Maternitas Kehamilan. Vol 1. Jakarta: Kencana. Famoye, F., & Singh, K.P. 2006, Zero-Inflated Generalized Poisson Regression Model with an Application to Domestic Violence Data. Journal of Data Science 4 (2006) 117-130 Hall, BB & Shen J. 2009. Robust Estimation For Zero Inflated Poisson Regression. Scandinavian Journal of Statistic, Blackwell Publishing Ltd. Istiana, Nofita. 2011. Overdispersion (overdispersi) pada Regresi Poisson. Dalam http://www.nofitaistiana.wordpress.com (sitasi tanggal 18 Juni 2012 pukul 9.50 am). Jansakul N dan Hinde, JP. 2001. Score Test For Zero Inflated Poisson Models. Journal Computational Statistics & Data Analysis. 40. 75-96. Khoshgoftaar,T.M.,Gao.K, dan Szabo,R.M. 2004. Comparing Software Fault Prediciton Of Pure and Zero Inflated Poisson Regression Models. International Journal Of System Science. 36.(11). 705-715 Loeys, T., Moerkerke, B., De Smet, O., and Buysse, A. 2012. The Analysis of Zero Inflated Count Data: Beyond Zero-Inflated Poisson Regression. British Journal of Mathematical and Statistical Psychology, Vol 65. 163-180 Pamungkas, Dimas Haryo. 2003. Kajian Pengaruh Overdispersi dalam Regresi Poisson. Skripsi. Departemen Statistika, FMIPA. IPB. Ridout, et all. 2001. A Score Test for Testing a Zero-Inflated Poisson Regression Model Against Zero-Inflated Negative Binomial Alternatives. Article first published online: 24 MAY 2004. Jurnal Biometrics. Volume 57, Issue 1, pages 219–223, March 2001. Varney, H., Kriebs, J..M., Gegor, C.L. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC. Widarjono, A. 2010. Analisis Statistika Multivariate Terapan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Xue, D.C., Ying, X.F. 2010. Model selection for zero-inflated regression with missing covariates. Computational Statistics and Data Analysis Journal Vol 55. p.765-773. Tahun 2011.
161