JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO
HOSPITAL MAJAPAHIT Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris Pembina Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit Nurwidji Pelindung Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit Sarmini Moedjiarto, S.Pd., MM.Pd. Ketua Penyunting Eka Diah Kartiningrum, SKM. Wakil Ketua Penyunting Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. Penyunting Pelaksana Tri Peni, M.Kes. Anwar Holil, M.Pd. Penyunting Ahli Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc. dr. Rahmi, S.A. dr. Mohammad Husin Sri Sudarsih, S.Kp., M.Kes. Henry Sudyanto, S.Kp., M.Kes. Abdul Muhith, MM.Kes. Lilis Majidah, MM.Kes. Distribusi Lina Resfenti, S.Pd. Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected] BIAYA BERLANGGANAN Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim
PENGANTAR REDAKSI Tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi semua merupakan visi kesehatan Indonesia yang rencananya akan dicapai pada tahun 2015 menimbulkan implikasi yang kuat bagi masyarakat semua golongan. Sehingga diperlukan upaya pengembangan status kesehatan bagi semua golongan, diawali dengan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan derajat kesehatan bagi semua. Jurnal ini disusun untuk mengungkap artikel yang berdasarkan pada semua penelitian dasar bidang kesehatan yang dilaksanakan pada semua golongan umur di Indonesia khususnya wilayah Jawa Timur. Artikel yang pertama adalah tulisan dari Dwi Harini Puspitaningsih, dosen Poltekkes Majapahit yang mengungkap tentang Pengaruh Senam Otak Terhadap Perubahan Perilaku Anak Attention Deficit And Hyperactivity (ADHD) Penelitian Quasi Eksperimental Di Sekolah Anak Bermasalah (SAB) Harapan Aisyiyah Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa terjadi perbedaan perubahan perilaku anak ADHD pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan setelah diberikan senam otak. Hal ini terjadi karena pada kelompok kontrol tetap diberikan terapi lain yang biasa digunakan, sedangkan pada kelompok perlakuan diberikan tambahan senam otak sehingga perubahan perilaku yang didapatkan pada kelompok perlakuan lebih besar. Perubahan perilaku anak ADHD terjadi setelah diberikan senam otak pada kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan senam otak merupakan gerakan integrative yang mengoptimalkan kerja otak dan keseimbangan otak kanan maupun otak kiri sehingga emosi dan perilaku anak ADHD menjadi lebih stabil dan terkontrol. Senam otak mempengaruhi perubahan perilaku anak ADHD dengan mengaktifkan jembatan hemisfer otak kanan dan kiri, merangsang arus informasi dalam otak dan system syaraf sehingga koordinasi otak kanan dan kiri menjadi efektif dan efisien. Artikel yang kedua ditulis oleh Tri Peni dengan judul Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Perilaku Ibu Dalam Pencarian Pengobatan Balita Pneumonia Di Kabupaten Purworejo. Artikel ini menjelaskan bahwa pendidikan ibu secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di kabupaten Purworejo, sedangkan variabel lain yang secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di kabupaten purworejo adalah status ekonomi dan penyuluhan. Sehingga perlu adanya pendidikan non formal pada masyarakat khususnya pada ibu yang berpendidikan rendah yaitu dengan mengadakan penyuluhan tentang tanda dan gejala pneumonia dengan bahan dan bentuk penyuluhan yang lebih inovatif. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama pada media cetak (Koran, majalah) atau media elektronik (radio, televisi, internet). Untuk lebih menambah daya tarik bisa disertakan gambar. Lebih memperhatikan Askeskin bagi masyarakat tidak mampu (ekonomi rendah), dengan melakukan seleksi sasaran secara tepat dan bagi petugas kesehatan tidak boleh membedakan antara pasien Askeskin dan yang bukan Askeskin. Artikel yang ketiga ditulis oleh dr. Achmad Husein yang membahas tentag faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Sumberrejo Situbondo. Artikel ini menjelaskan bahwa ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan umur, tidak ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan jenis kelamin, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan pendidikan, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan tingkat pengetahuan, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan personal hygiene, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan kepadatan penghuni kamar. Para santri harus membiasakan diri untuk berperilaku sehat dan selalu menjaga kebersihan dan meningkatkan personal hygiene sedangkan pengasuh pondok pesantren seharusnya memperhatikan kebersihan dan tingkat kepadatan kamar santri. Artikel yang keempat ditulis oleh dr. Rahmi Syarifatun Abidah yang membahas tentang tingkat kecemasan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di Poli kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa sebagian besar responden mengalami kecemasan ringan dengan prosentase 6,6% sedangkan yang mengalami kecemasan sedang dengan prosentase 73,3% dan 20% mengalami kecemasan berat. Oleh sebab itu tenaga kesehatan seharusnya memberikan dukungan secara psikologis pada klien agar tingkat kecemasan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan bisa berkurang.
Artikel yang kelima ditulis oleh Yudha Laga Hadi Kusuma yang membahas tentang Tingkat Ketergantungan Lansia Dalam Aktivitas Hidup Sehari-hari di Panti Sosia Tresna Wreda (PSTW) Jombang. Artikel ini menjelaskan bahwa sebanyak 22 lansia dengan prosentase 45,8 %, lansia mengalami ketergantungan moderat. Hal ini sesuai dengan kriteria penilaian kemampuan fungsional yang telah dimodifikasi dari indeks barthel, sedangkan 7 lansia termasuk dalam ketergantungan berat atau sangat tergantung dengan prosentase 14,6%, 8 lansia termasuk dalam ketergantungan ringan dengan prosentase 16,7%, dan 11 lansia termasuk mandiri 22,9%. Sehingga perlu diupayakan untuk melatih kemampuan secara fisik dan memberi motivasi pada lansia bahwa mereka mampu melakukan segala aktivitasnya tanpa tergantung orang lain. Artikel yang keenam ditulis oleh Nati yang membahas tentang Faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Pada Bayi Usia 0-6 bulan di desa Simongagrok Dawar Blandong Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI adalah kurang sebanyak 57,143%, pendidikan umumnya SMP/ MTs sebesar 47,619%, penghasilan umumnya < 500 ribu rupiah sebanyak 61,905%. Selain itu faktor-faktor yang melatarbelakangi tidak diberikannya ASI eksklusif adalah karena ASI tidak cukup dan ibu bekerja dengan prosentase 66,667% sedangkan alasan yang melatarbelakangi dalam pemberian MP–ASI terlalu dini adalah karena para ibu menginginkan bayinya cepat sehat sebanyak 47,619%. Pemberian MP–ASI yang terlalu dini pada bayi masih banyak ditemukan di masyarakat seperti pemberian makanan berupa pisang, madu, air tajin, air gula, susu formula dan makanan lainnya. Padahal MP-ASI baru boleh mulai diperkenalkan sejak bayi berusia 6 bulan. Karena jika pemberian MP – ASI diberikan terlalu dini akan berdampak pada timbulnya penyakit pada bayi seperti Diare dan Malnutrisi. Artikel yang ketujuh ditulis oleh Nurul Aini, yang membahas tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja di SMK “ Raden Patah” Kecamatan Mojosari Mojokerto. Artikel ini menjelaskan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku merokok di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto antara lain: faktor pengetahuan responden sebagian besar pada kategori pengetahuan kurang sebanyak 91 orang dengan prosentase 94,8% dan tidak ada responden pada kategori pengetahuan baik, faktor psikologi responden sebagian besar pada kategori mendukung sebanyak 72 orang dengan prosentase 75% dan sebagian kecil pada kategori tidak mendukung sebanyak 24 orang dengan prosentase 25%, faktor lingkungan responden sebagian besar pada kategori tidak mendukung sebanyak 52 orang dengan prosentase 54,2% dan sebagian kecil pada kategori mendukung sebanyak 44 orang dengan prosentase 45,8%. Oleh karena itu petugas kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting untuk dapat memberikan penyuluhan tentang bahaya perilaku merokok sehingga remaja dapat lebih waspada terhadap bahaya perilaku merokok.
Mojokerto, Februari 2010 Redaksi
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU ANAK ATTENTION DEFFICIT AND HYPERACTIVITY (ADHD) PENELITIAN QUASY-EXPERIMENTAL DI SEKOLAH ANAK BERMASALAH (SAB) HARAPAN AISYIYAH MOJOKERTO Dwi Harini, S. Kep. Ners Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) represents disparity which is marked by 3 main symptoms of emotion; that is inattention, hyperactivity, and impulse behavior. Brain gym plays a part in the balance of left and right brain so that the balance of emotion also will be reached. However, the influence of brain gym on behavioral changes in children with ADHD has not known yet clearly. The goal of this research is to analyze the influence of brain gym on behavioral changes in ADHD children. Quasy experimental pre-post test design was used in this study. 14 respondents (ADHD children) in SAB Harapan Aisyiyah Mojokerto were selected and divided into 2 groups of 7 experiment and control group. The intervention was brain gym for a month (3 times a week). There are two variables used here; they were brain gym as independent variable and behavioral changes of ADHD as dependent variable was. Data were taken from questionnaire and observation of respondents. Then, the data were presented as descriptive statistics and statistical analysis was carried by using Wilcoxon Signed Rank Test with significance level = 0,05 and Mann-Whitney Test with significance level = 0,05 and analyzed by using software SPSS 12.0. Finally, the results showed that there was influence of brain gym to behavioral changes of ADHD children (p=0,007). In conclusion, routine barin gym can cause behavioral changes in ADHD children as marked by better attention, more controlled activity, and decrease of impulsive behaviour. Further research is required by involving larger number of respondents, longer than a month and better measurement so that the result will be more accurate. Key words: brain gym, behavioral changes, children with ADHD. A.
PENDAHULUAN. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku/perkembangan mental yang tidak sesuai yang disebabkan disfungsi neurobiologik dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian (inatensi), hiperaktivitas, dan impulsivitas (Landover, 2005). Anak ADHD biasanya sulit berkonsentrasi dan kurang memusatkan perhatian karena fungsi otak kiri dan kanan mereka kurang terkoordinasi (Olivia&Satya, 2004). 50-60% anak dengan ADHD gejalanya akan terus berlanjut hingga saat dewasa (Wed, 2002). Bila tidak dapat diidentifikasi dan dilakukan perawatan yang sesuai, ADHD akan bedampak serius baik di lingkungan rumah, akademik, sosial maupun lingkungan kerja. Sekolah Anak Bermasalah (SAB) Harapan Aisyiyah Mojokerto menggunakan terapi modifikasi perilaku dan intervensi khusus komunitas saja. Padahal, senam otak merupakan alternative lain untuk terapi ADHD karena senam otak memungkinkan orang menguasai bagian otak yang semula tidak dikuasainya (Kartini, 2003). Gerakan-gerakan senam otak dapat mengaktifkan neurotransmitter yang ada di dalamnya yang berfungsi sebagai pengendalian terhadap perilaku agresif, impulsive, serta sulit berkonsentrasi (Dennison&Dennison, 2002) sehingga senam ini sangat cocok untuk anak yang kesulitan belajar, dan susah berkonsentrasi. Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian guna mengetahui keefektifan senam otak sebagai alternative terapi untuk anak penderita hiperaktif sehingga dapat
1
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
memberi masukan bagi perawat khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan. Penelitian ini akan mencari jawaban atas rumusan permasalahan, yaitu: bagaimana perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan senam otak, bagaimana perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan senam otak, dan bagaimana pengaruh senam otak terhadap perubahan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Senam Otak. a. Pengertian. Senam otak atau brain gym adalah serangkaian latihan berbasis gerakan tubuh sederhana. Gerakan itu dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan (dimensi lateralitas); meringankan atau merelaksasi belakang otak dan bagian depan otak (dimensi pemfokusan); merangsang sistem yang terkait dengan perasaan/emosional, yakni otak tengah (limbis) serta otak besar (dimensi pemusatan) (Anonim, 2008). Menurut Paul E. Denisson, Ph.D., ahli senam otak dari lembaga Educational Kinesiology, Amerika Serikat, meski sederhana, brain gym mampu memudahkan kegiatan belajar dan melakukan penyesuaian terhadap ketegangan, tantangan, dan tuntutan hidup sehari-hari (Paul E. Denisson Ph.D, 2008). b. Gerakan senam otak. Senam otak dilakukan melalui tiga dimensi, yakni lateralitas komunikasi, pemfokusan pemahaman, dan pemusatan pengaturan. Lateralitas komunikasi (dimensi kiri-kanan) Bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan belajar. Gerakannya menyangkut mendengar, melihat, menulis, bergerak, dan sikap positif. Gerakangerakan itu menyerap kemampuan komunikasi yang lebih cepat. Pemfokusan pemahaman (dimensi muka-belakang) Bermanfaat membantu kesiapan dan konsentrasi untuk menerima hal-hal baru dan mengekspresikan apa yang sudah diketahui. Gerakan berupa latihan meregangkan otot menyangkut konsentrasi, pengertian, dan pemahaman. Misalnya dengan melipat lutut dan sikut bayi berulang kali atau mengangkat tangan ke atas lalu digerakkan ke muka ke belakang. Pemusatan pengaturan (dimensi atas-bawah) membantu meningkatkan energi yang menyangkut berjalan, mengorganisasi, tes atau ujian. Hal ini bermanfaat untuk membantu seluruh potensi dan keterampilan yang dimiliki serta mengontrol emosi, seperti menggerakkan kepala ke atas ke bawah, mengangkat beban ringan atau benda lainnya, kemudian digerakkan ke atas ke bawah.Senam otak ini bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja termasuk bayi. Porsi latihan yang tepat adalah sekitar 10-15 menit, sebanyak 2-3 kali dalam sehari. Latihan terdiri dari 26 gerakan yang sederhana dan bisa dilakukan siapa saja. Berikut enam di antara gerakan dasar senam otak untuk anda latih kapan dan dimana saja (Febrian, 2008). 1) Gerakan Silang. Cara: Kaki dan tangan digerakkan secara berlawanan. Bisa ke depan, samping atau belakang. Agar lebih ceria anda bisa menyelaraskan dengan irama musik. Manfaat: Merangsang bagian otak yang menerima informasi dan bagian yang mengungkapkan informasi, sehingga memudahkan proses mempelajari hal-hal baru dan meningkatkan daya ingat. 2) Olengan Pinggul. Cara: Duduk dilantai. Posisi tangan dibelakang, menumpi ke lantai dengan siku di tekuk. Angkat kaki sedikit lalu olengkan pinggul ke kiri dan ke kanan dengan rileks. Manfaat: Mengaktifkan otak untuk kemampuan belajar, melihat dari kiri ke kanan, kemampuan memperhatikan dan memahami.
2
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
3) Pengisi Energi. Cara : Duduk nyaman di kursi, kedua lengan bawah dan dahi diletakkan di atas meja. Tangan ditempatkan di depan bahu dengan jari-jari menghadap sedikit ke dalam. Ketika menarik napas rasakan napas mengalir ke garis tengah seperti pancuran energi, mengangkat dahi, kemudian tengkuk dan terakhir punggung atas. Diafragma dan dada tetap terbuka dan bahu tetap rileks. Manfaat: Mengembalikan vitalitas otak setelah serangkaian aktivitas yang melelahkan, mengusir stres, meningkatkan konsentrasi dan perhatian serta meningkatkan kemampuan memahami dan berpikir rasional. 4) Menguap Berenergi. Cara : Bukalah mulut seperti hendak menguap lalu pijatlah otot-otot di sekitar persendian rahang. Lalu melemaskan otot-otot tersebut. Manfaat: Mengaktifkan otak untuk peningkatan oksigen agar otak berfungsi secara efisien dan rileks, meningkatkan perhatian dan daya penglihatan, memperbaiki komunikasi lisan dan ekspresif serta meningkatkan kemampuan untuk memilah informasi. 5) Luncuran Gravitasi. Cara : Duduk di kurasi dan silangkan kali. Tundukkan badan dengan lengan ke dapan bawah. Buang napas ketika turun dan ambil napas ketika naik. Lakukan dengan posisi kaki berganti-ganti. Manfaat: Mengaktifkan otak untuk rasa keseimbangan dan koordinasi, meningkatkan kemampuan mengorganisasi dan meningkatkan energi. 6) Tombol Imbang. Cara : Sentuhkan 2 jari ke belakang telinga, pada lekukan di belakang telinga sementara tangan satunya menyentuh pusar selama kurang lebih 30 detik. Lalukan secara bergantian. Selama melakukan gerakan itu dagu rileks dan kepala dalam posisi normal menghadap ke depan. Manfaat: Mengaktifkan otak untuk kesiapsiagaan dan memusatkan perhatian, mengambil keputusan, berkonsentrasi dan pemikiran asosiatif (Buku: Brain Gym, Paul E. Dennison PhD, Gail E. Dennison, Penerbit PT. Grasindo). Senam otak pada anak sebenarnya sangat sederhana. Contohnya, menggerakkan anggota badan secara menyilang dengan perantara mainan. Bisa berbentuk robot, boneka, bola, balon, atau apa saja yang sesuai dengan usia anak. Hal yang penting, gerakan yang dilakukan anak melewati garis tengah antara tubuh bagian kanan dan tubuh bagian kiri. 2.
Konsep Usia Prasekolah (4-5 tahun). a. Pengertian usia prasekolah. Anak usia prasekolah adalah anak dengan usia 3-5 tahun (Markum, 1991). Anak usia prasekolah adalah masa kanak-kanak dini (prasekolah) yang berusaha mengembalikan lingkungan dan mulai belajar menyesuaikan diri secara sosial (Hurlock, 1998). Bila dikaitkan dengan lembaga pendidikan prasekolah, usia prasekolah dapat diartikan sebagai usia antara tiga sampai enam tahun dimana dalam jalur pendidikan TK mereka dimasukkan dalam pengelompokkan sebagai berikut (Depdikbud, 1990a): 1) Kelompok A, untuk anak tiga sampai empat tahun. 2) Kelompok B, untuk anak umur empat sampai lima tahun. 3) Kelompok C, untuk anak usia lima sampai enam tahun. Pada usia prasekolah anak memang tidak diwajibkan untuk mengikuti kegiatan dalam suatu lembaga pendidikan prasekolah yang ada. Bila kebutuhan anak akan suasana bermain bersama dalam kelompok di lingkungan tempat tinggalnya sudah terpenuhi maka anak tidak perlu masuk dalam lembaga pendidikan prasekolah. Namun di lain pihak lembaga prasekolah juga dapat dikatakan membantu mempersiapkan
3
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
anak memasuki dunia sekolah baik secara sosial, intelektual maupun emosional sehingga dapat berpengaruh baik bagi penyesuaian diri anak dengan lingkungannya. Sesuai dengan tahap perkembangannya maka usia prasekolah juga memliki ciriciri perkembangannya sendiri. Ciri perkembangan anak usia prasekolah. Terdapat beberapa tahap dalam perkembangan pemikiran anak, yaitu: 1) Senso-motorik (dari lahir sampai dua tahun). 2) Praoperasional (dari dua sampai tujuh tahun). 3) Operasi konkret (dari tujuh sampai sebelas tahun). 4) Operasi formal (dari sebelas sampai enambelas tahun). Mengacu pada batasan di atas berkembangnya kemampuan bahasa, anak menjadi lebih mampu merepresentasikan dunianya melalui kesan mental dan simbol. Namun pada tahap ini simbol sangat tergantung pada persepsi dan intuisinya sendiri. Hal ini lebih dikenal sebagai semiotic function. Anak mulai dapat membuat sesuatu seperti simbol mental, kata, atau obyek yang mewakili berbagai sesuatu yang saat itu tidak ada di hadapannya. Anak pada tahap ini sangat egosentris. Ia mulai menaruh minat pada hal-hal di luar dirinya namun ia hanya melihat dari sudut pandangnya sendiri. Bila disimpulkan secara sederhana ciri-ciri kognisi anak di tahap praoperasional adalah sebagai berikut : 1) Concreteness atau berpikir secara konkret, dimana anak baru dapat berpikir mengenai hal-hal nyata di sekelilingnya. 2) Realisme yaitu kecenderungan kuat untuk menanggapi sesuatu sebagai hal yang riel atau nyata. 3) Egosentrisme yaitu melihat segala sesuatu dengan kacamata sendiri. Semua hal berpusat pada si anak. 4) Animisme ialah kecenderungan untuk berpikir bahwa obyek di lingkungannya memiliki kualitas kemanusiaan seperti yang dimiliki anak. Batu, pohon, dan lainlainnya akan dianggap memiliki perasaan dan pikiran yang sama dengan dirinya sendiri. 5) Centration adalah kecenderungan untuk mengkonsentrasikan diri pada hanya satu aspek dari suatu situasi. Hal ini bisa saja bersifat fisik misalnya memperhatikan hanya untuk satu jangka waktu tertentu. 6) Dominasi perseptual. Pemikiran anak usia prasekolah didominasi oleh persepsi mereka sendiri atas sebuah situasi dan mereka tidak mampu merefleksikan persepsi tersebut. 7) Perhatian pada keadaan dan bukan pada perubahan. Anak prasekolah lebih memikirkan tentang bagaimana keadaan suatu hal sekarang ini atau hingga taraf tertentu, akan menjadi apa nantinya. Namun ia tidak memusatkan pemikiran pada bagaimana perubahan terjadi dari keadaan sekarang menuju keadaan nanti. 8) Irreversibility ialah kemampuan untuk berpikir tentang apa yang terjadi sekarang dan yang mungkin terjadi dan bagaimana mencapai tujuan selanjtnya. 9) Konsep yang simplistic yaitu kecenderungan untuk berpikir secara sederhana. Misalnya konsep ‘paman’ adalah pria setengah baya yang sering datang kepertemuan keluarga. 10) Idiosinkrotik, yaitu kecenderungan untuk menggunakan konsep-konsep yang hanya dapat dipahami dirinya sendiri. 11) Konsep yang tidak reliable atau tidak dapat diandalkan. Hal tersebut terjadi karena konsep yang mereka gunakan dan ciri-ciri yang mendefinisikannya dapat berubahubah dengan cepat dari waktu ke waktu.
4
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
12) Kecenderungan berpikir secara absolut adalah kecenderungan untuk tidak dapat mengubah konsep berpikir yang sedauh digunakan untuk suatu hal. Misalnya, dalam konsep besar atau kecil, anak akan menanggapi benda yang kecil sebagai kecil yang absolut atau besar yang absolut dan tidak dapat menerima hal-hal yang ada diantaranya. 13) Dasar berpikir sering tidak dapat dipahami. Mereka dapat bertindak seakan-akan tindakan mereka diarahkan oleh suatu konsep namun tidak mungkin menjelaskan konsep yang digunakan atau menggunakan konsep tersebut bila diminta. Melihat pada ciri-ciri kognisi anak usia prasekolah tersebut di atas, maka diperlukan pemahaman dan upaya pendekatan khusus. Artinya, pemberian rangsangan-rangsangan mental terhadap mereka harus dilakukan secara sederhana dan konkret, tidak melalui konsep-konsep yang abstrak, serta mempertimbangkan keterbatasan-keterbatasan mereka dengan upaya pemdekatan yang penuh pengertian. Perkembangan anak. 1) Tanda-tanda Tumbuh Kembang. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang terjadi pada setiap makhluk manusia. Pertumbuhan yang terjadi pada anak tidak hanya meliputi hal yang terlihat seperti perubahan fisik, tetapi juga perubahan dan perkembangan dalam segi lain seperti berpikir, berperasaan, bertingkah laku, bahkan dalam berbahasa atau berkomunikasi (Soegeng, 2004). Dalam proses perkembangan, terjadi perubahan-perubahan perilaku sosial, bahasa dan komunikasi, maupun kognisi. Perkembangan yang terjadi pada setiap anak dapat berlangsung dengan kecepatan berbeda untuk bidang yang berbeda. Seorang anak yang maju dalam perkembangan motorik. Mungkin kurang maju dalam perkembangan bahasa (Mussen, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa proses tumbuh kembang tersebut mengikuti suatu pola tertentu yang unik untuk setiap anak, baik dalam tumbuh kembang bagian-bagian tubuh, organ-organ, dan jaringan maupun secara psikologis. 2) Aspek Tumbuh Kembang Anak. Ada empat aspek tumbuh kembang, yaitu : a) Perkembangan Kemampuan Gerak Kasar, adalah gerakan yang mungkin dilakukan oleh seluruh tubuh, yang melibatkan sebagian dari bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar. b) Perkembangan Kemampuan Gerak Halus, yaitu hanya melibatkan bagianbagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tidak memerlukan banyak tenaga. c) Perkembangan Kemampuan Bicara, Bahasa dan Kecerdasan adalah komunikasi aktif (menyanyi, berbicara) dan komunikasi pasif (mengerti dan melakukan yang diperintahkan) perlu dikembangkan secara bertahap melalui berbagai indra anak. d) Perkembangan Kemampuan Bergaul dan Mandiri. Jika dalam kehidupannya seorang anak bergantung pada orang lain dalam hal pemenuhan kebutuhannya, maka dengan mempunyai teman seorang anak akan terpacu untuk melakukan gerakan motorik secara lebih. Anak terdorong untuk melakukan sendiri berbagai hal secara lebih. Anak terdorong untuk melakukan sendiri berbagai hal dan bergaul dengan orang lain. Dengan bertambahnya usia kemampuan ini akan lebih ditingkatkan dan anak diajar tentang aturan-aturan, disiplin, sopan santun dan sebagainya (Depkes, 1993 dalam Soegeng, 2004).
5
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Menurut Soegeng (2004), ada dua faktor yang mempengaruhi proses tumbuh kembang optimal seorang anak, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. a) Faktor dari Dalam. Merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri, baik faktor bawaan maupun faktor yang diperoleh termasuk di sini adalah : (1) Hal-hal yang diturunkan dari orang tua maupun generasi sebelumnya yaitu warna rambut, bentuk tubuh. (2) Unsur berfikir dan kemampuan intelektual yaitu kecepatan dalam berfikir. (3) Keadaan kelenjar zat-zat dalam tubuh yaitu kekurangan hormon yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. (4) Emosi dan sifat-sifat (temperamen) tertentu yaitu pemalu, pemarah, tertutup dan lainnya. b) Faktor dari Luar. Yaitu faktor-faktor yang ada diluar atau berasal dari luar diri anak, mencakup lingkungan fisik dan sosial serta kebutuhan fisik anak. (1) Keluarga. Pengaruh keluarga pada sikap dan kebiasaan keluarga dalam mengasuh dan mendidik anak, hubungan orang tua dengan anak, hubungan antara saudara dan lainnya, keluarga hendaknya menunjang proses pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Termasuk dalam hal ini adalah usia muda ibu, jumlah anak di bawah tiga tahun yang lebih dari satu. Ibu atau pengasuh yang tidak kompeten dalam mengasuh anak, lingkungan hidup yang kotor dan tidak teratur. Anggota keluarga yang tidak harmonis, kemiskinan dan ketidak cukupan, perilaku anggota keluarga yang tidak baik. (2) Gizi. Keadaan gizi tergantung dari tingkat konsumsi yaitu kualitas hidangan yang mengandung semua kebutuhan tubuh. Ada tingkatan kesehatan gizi lebih dan gizi kurang. Akibat dari gizi yang tidak baik, maka timbul yang biasa disebut kurang gizi (malnutrisi) yang menonjol adalah kurang kalori dan protein, vitamin A, yodium, zat besi dan lainnya. (3) Budaya. Faktor lingkungan masyarakat dalam hal ini asuhan dan kebiasaan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Misalnya hal kebersihan, kesehatan dan pendidikan. Tata cara dan kebiasaan yang diberlakukan masyarakat tidak selalu sesuai dengan syarat-syarat kebersihan dan kesehatan. Demikian juga sikap dan pandangan atau cara berfikir suatu masyarakat belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat yang lebih luas. (4) Teman Bermain dan Sekolah. Lingkungan sosial seperti teman sebaya, tempat dan alat bermain, kesempatan pendidikan yang diperoleh yaitu bersekolah akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan desain penelitian tipe quasy eksperimen, dimana desain berusaha mengungkap hubungan sebab akibat dari senam otak terhadap perilaku anak ADHD dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental.
6
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
KERANGKA KERJA ADHD Inatensi Hiperaktivitas impulsivitas Terapi Kombinasi 1. Obat 2. Diit 3. Modifikasi perilaku 4. Senam Otak
Gerakan senam otak Aktifkan jembatan emas otak Informasi neuron hemisfer otak Koordinasi peralihan fungsi hemisfer kanan&kiri
1. 2. 3. Gambar 1.
Atensi baik Aktivitas terkontrol Impuls terkontrol
Kerangka Kerja Pengaruh Senam Otak Terhadap Perubahan Perilaku Anak Attention Defficit And Hyperactivity (ADHD)
2.
Hipotesis. a. Ha : Ada perbedaan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan senam otak pada kelompok eksperimen b. Ha : Ada perbedaan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan senam otak c. Ha : Ada pengaruh senam otak terhadap perubahan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) anak ADHD.
3.
Populasi, Sampel, Variabel Dan Instrumen Penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah anak ADHD plus (disertai gangguan perilaku lain) di Sekolah Anak Bermasalah Aisyiyah Mojokerto, yaitu berjumlah 22 orang. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan adalah populasi yang berjumlah 14 orang, yaitu yang memenuhi kriteria inklusi : a. Anak dengan gangguan perilaku ADHD murni (tanpa gangguan perilaku lain). b. Anak usia di bawah 8 tahun. c. Anak bersedia diajak senam otak otak (kooperatif) d. Bersedia menjadi responden (diwakili oleh orang tua).
7
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu dengan cara memilih sampel sesuai dengan yang dikehendali peneliti. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu: terapi senam otak sebagai variabel bebas dan perubahan perilaku anak ADHD sebagai variabel tergantung. Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen: untuk variabel dependen menggunakan lembar observasi rating scale bentuk skor yang terdiri dari 18 pertanyaan sesuai dengan gejala ADHD pada DSM-IV berdasarkan SNAP-IV Rating Scale, dan untuk variabel independen menggunakan instrumen panduan dan keterangan senam otak serta kaset yang digunakan sebagai iringan musik untuk senam otak. Pengumpulan data dilakukan dengan mengacu pada kriteria inklusidengan responden kelonpok perlakuan dan kelompok kontrol yang diberi pre-test dan post-test. Penurunan nilai dari pre-test ke post-test menunjukkan adanya perubahan perilaku ADHD yang lebih baik sehingga dapat diketahui progresivitas dari sampel dan efektivitas terapi. 4.
Teknik Analisis Data. Data tersebut diolah dan diuji dengan menggunakan uji statistic Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat kemaknaan p 0,05 (program window SPSS) dengan skala data ordinal. Dan untuk mengetahui adanya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Mann-Whitney Test dengan tingkat kemaknaan p 0,05.
D. HASIL PENELITIAN. Tabel 1. Distribusi pre-test dan post-test serta perubahan perilaku anak ADHD sebelum dan sesudah diberi senam otak di SAB Harapan Aisyah Mojokerto tanggal 13 Juni– 7 Juli 2005 Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol No. Perubahan No. Perubahan Pretest Postest Pretest Postest Nilai Nilai 1 26 21 5 1 33 33 0 2 23 21 2 2 38 37 1 3 23 20 3 3 35 35 0 4 40 37 3 4 31 30 1 5 32 26 6 5 31 29 2 6 38 35 3 6 36 33 3 7 39 36 3 7 37 35 2 X = 31,57 X= 28,00 X = 34,43 X= 33,14 SD=0,591 SD=7,746 SD=2,820 SD=2,854 Nilai p value = 0,016 pada tingkat Nilai p value = 0,041 pada tingkat signifikansi 5%. signifikansi 5%. Dalam uji statistic Wilcoxon Signed Rank Test kelompok kontrol diperoleh hasil perubahan perilaku yang bermakna sebesar p = 0,041 pada level p 0,05. hal ini berarti ada perubahan perilaku pada kelompok kontrol. Sedangkan uji statistic Wilcoxon Signed Rank Test kelompok perlakuan diperoleh hasil perubahan pre-test dan post-test yang bermakna sebesar p = 0,016 pada level p hal ini berarti ada perubahan perilaku yang bermakna dan signifikan pada kelompok perlakuan.
8
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tabel 2. Tabulasi silang Pengaruh pemberian senam TAK terhadap perubahan perilaku anak ADHD di SAB Harapan Aisyiyah Mojokerto pada tanggal 13 Juni–7 Juli 2005 Perubahan perilaku ADHD Kelompok Total Kurang baik Cukup baik Baik Kontrol 6 (86%) 1 (14%) 0 7 (100%) Perlakuan 1(14%) 5 (72%) 1 (14%) 7 (100%) Nilai Signifikan p = 0,007 pada level p 0,05 Tabel di atas menunjukkan perbandingan tingkatan perubahan perilaku antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Dari 7 responden kelompok kontrol didapatkan 6 responden (86%) menunjukkan perubahan perilaku yang kurang baik dan 1 responden (14%) menunjukkan perubahan perilaku yang cukup baik. Sedangkan 7 responden kelompok perlakuan didapatkan 1 responden (14%) menunjukkan perilaku kurang baik, 5 responden (72%) dengan perubahan perilaku cukup baik, dan 1 responden (14%) dengan perubahan perilaku yang baik. E. 1.
PEMBAHASAN. Perilaku anak ADHD yang tidak mendapat senam otak (kelompok kontrol) sebelum dan sesudah diberikan senam otak. Dari 7 responden yang tidak diberi senam otak, 5 diantaranya mengalami perubahan nilai sedangkan 2 responden yang lain tidak mengalami perubahan nilai. Dalam penelitian ini, kelompok kontrol tetap mendapatkan terapi seperti sebelumnya, yaitu terapi obat dan terapi komunitas (perilaku) yang juga sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku anak ADHD.
2.
Perilaku anak ADHD yang mendapat senam otak (kelompok perlakuan) sebelum dan sesudah diberikan senam otak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden pada kelompok perlakuan mengalami perubahan nilai (penurunan) yang artinya terjadi perubahan perilaku (atensi, aktivitas, impulsivitas) yang lebih baik. Hasil uji statistic Wilcoxon Signed Rank Test menunjukkan adanya perubahan yang bermakna dan signifikan, yaitu p=0,016 pada level p 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa senam otak dapat mempengaruhi perubahan perilaku pada anak ADHD, antara lain seperti atensinya menjadi lebih baik, aktivitasnya lebih terkontrol, dan perilaku impulsifnya berkurang.
3.
Pengaruh senam otak terhadap perubahan perilaku anak ADHD. Perilaku pada anak ADHD dalam hal ini meliputi perhatian (atensi), aktivitas, dan impulsivitas mengalami gangguan dalam pengendaliannya. Gerakan-gerakan dalam senam otak yang berprinsip pada gerakan cross the midline berpengaruh terhadap pengendalian perilaku dan emosi anak ADHD. Perubahan perilaku yang paling tampak selama proses penelitian adalah anak ADHD makin hari makin mau diajak senam otak, bahkan mengajak untuk melakukan senam otak dengan gerakan yang benar dan dapat mengingat gerakan senam otak dengan benar.di kelas, anak ADHD lebih mau memperhatikan gurunya dan mau mengerjakan tugas sesuai dengan instruksi gurunya, mereka juga tidak terlalu banyak beranjak dari tempatnya dan dapat duduk dnegan tenang pada saat pelajaran berlangsung. Hal tersebut terjadi karena gerakan pada senam otak merangsang arus informasi dalam otak dan system saraf membebaskan kemampuan belajar dari dalam dan berfungsi sangat efesien (Tri, 2001). Dengan melakukan gerakan senam otak, neurotransmitter dalam otak mengatur keseimbangan emosi sehingga dapat terkontrol produksinya. Dengan gerakan tersbeut pula, kemampuan otak anak-anak ADHD juga dapat diperbaiki dalam hal kerusakan otak, sulit konsentrasi, dan depresi.
9
HOSPITAL MAJAPAHIT F.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
PENUTUP. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perubahan perilaku anak ADHD pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hal ini terjadi karena pada kelompok kontrol tetap diberikan terapi lain yang biasa digunakan, sedangkan pada kelompok perlakuan diberikan tambahan senam otak sehingga perubahan perilaku yang didapatkan pada kelompok perlakuan lebih besar. Perubahan perilaku anak ADHD terjadi setelah diberikan senam otak pada kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan senam otak merupakan gerakan integrative yang mengoptimalkan kerja otak dan keseimbangan otak kanan maupun otak kiri sehingga emosi dan perilaku anak ADHD menjadi lebih stabil dan terkontrol. Senam otak mempengaruhi perubahan perilaku anak ADHD dengan mengaktifkan jembatan hemisfer otak kanan dan kiri, merangsang arus informasi dalam otak dan system syaraf sehingga koordinasi otak kanan dan kiri menjadi efektif dan efisien.Pemberian senam pada anak ADHD sebagai terapi penunjang perlu dilaksanakan lebih intensif dan rutin baik di institusi maupun di rumah untuk mendpatkan hasil yang lebih optimal. Pemberian senam otak juga dapat digunakan sebagai salah satu bentuk asuhan keperawatan sebagai upaya dalam pengembangan Ilmu Keperawatan Jiwa Anak terutama dalam aktivitas fisik yang terintegrasi agar dapat lebih meningkatkan peran dan eksistensi perawat. Oleh sebab itu perlu penelitian lebih lanjut tentang pengaruh senam otak terhadap perilaku anak ADHD khususnya dalam aspek biomolekuler dan neurotransmitter pada kerja otak anak ADHD.
DAFTAR PUSTAKA. Accardo, PJ., Whitman, B.Y., Blondis, T.A., Stein. A.M. (2000). Attention Deficits And Hyperactivityin children and adult, Diagnosis, treatment and management, second edition. New York: Marcell Dekker. Inc: hal 3. Akhmad (2004). Optimalkan Kemampuan Anak Lewat Senam Otak. http://www.kompas.com tanggal 10 Februari 2005 jam 10.20. Denison PE, Dennison GE. 2002. Brain Gym,Senam Otak. Jakarta: Grasindo. Ida Fitria. 2002. Manfaat Brain Gym. http://www.beritapenabur.org/200206/laporanutama/ braingym.htm tanggal 8 Desember 2004 jam 13.10. Joseph Sergeant. 2002. ADHD/ HKD Diagnosis and Management, Amsterdam: Department of clinical neuripsychology, Vrije Universiteit, hal 13-18. Kartini.2003. Senam Otak. www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat.id tanggal 11 Mei 2005 jam 09.30. Landouver, MD.2005. Children and Adults with Attention deficits Hyperactivity Disorder. http://www.chad.org tanggal 28 Februari 2005 jan 10.27 Maramis WF. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Notoatmojo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (prinsip-prinsip dasar). Jakarta: Rineka Cipta. 10 .Novartis Cooperation.2003. Anak Hyperaktif . http://www.nimh.nih.gov tanggal 28 Februari 2005 jam 10.27.
10
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
HUBUNGAN PENDIDIKAN IBU DENGAN PERILAKU IBU DALAM PENCARIAN PENGOBATAN BALITA PNEUMONIA DI KABUPATEN PURWOREJO Tri Peni, M.Kes. Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Pneumonia remains a serious problem as it is one of major causes in under-five children’s morbidity and mortality worldwide; however, it gets little concern, including in Indonesia. In Purworejo District, the finding coverage of this disease in community health centers is still low (3.7%), due to the fact that it may be caused by inappropriate care seeking behavior. This study was conducted to know the relationship between mother’s educational level and care seeking behavior for under-five children’s pneumonia. This was an observational study with cross sectional design. The study was conducted in community health centers and hospital in Purworejo District. The subjects were 126 mothers with pneumonia under-five children brought to appointed community health centers and hospital fulfilling inclusion criteria. Independent variable was mothers’ education and dependent variable was mothers’ care seeking behavior for pneumonia under-five children. The study used primary data analyzed by univariable analysis, bivariable with chi-square, and multivariable with logistic regression. Prevalence of bad behavior respondents was 59.52%. Mothers with lower educational level had risk of 2,38 times higher in bad care seeking behavior than those with higher educational level with 95%CI=1,02-5,51. Confounding variable contributing significant influence was economic status and dissemination of information. Mothers’ education is related to care seeking behavior for pneumonia under-five children. Another Factors related to mothers’ care seeking behavior in Purworejo District are economic status and dissemination of information. Keywords: care seeking behavior, mothers’ education, pneumonia under-five children. A.
PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terutama pneumonia merupakan penyakit yang dapat mengancam jiwa dan perlu mendapat perhatian. Pneumonia menjadi masalah serius yang merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian balita di seluruh dunia. Pneumonia bahkan disebut sebagai wabah raya yang terlupakan (The Forgotten Pandemic), karena begitu banyak korban yang meninggal karena pneumonia tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap masalah pneumonia.1 Di Indonesia pneumonia merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat. Pada tahun 2004 kejadian pneumonia pada balita sebanyak 625.611 penderita, dan pada tahun 2005 terjadi penurunan yaitu sebanyak 600.720 penderita. Sedangkan angka kematian pada balita karena pneumonia pada tahun 2005 mencapai 204 balita, yang terdiri dari 155 pasien usia kurang dari 1 tahun dan 49 pasien usia 1–4 tahun.2 Secara teoritis diperkirakan bahwa penderita pneumonia akan meninggal bila tidak diberikan pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat pneumonia setiap tahunnya.3 Berdasarkan laporan hasil rekapitulasi P2ISPA Kabupaten Purworejo pada tahun 2005 cakupan pneumonia di seluruh Puskesmas Kabupaten Purworejo mencapai (3,7%).4 Hal ini dimungkinkan karena perilaku pencarian pengobatan yang tidak tepat. Bila penyakit pneumonia dapat dideteksi lebih dini dan diobati secara tepat, maka dari berbagai pengalaman negara-negara didunia kematian akibat ISPA terutama pneumonia dapat diturunkan secara dratis.1
11
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Keterlambatan pencarian pengobatan atau bahkan tidak ada upaya sama sekali untuk berobat merupakan penyebab tingginya angka kematian anak.5 Tindakan atau intervensi yang dilaksanakan dengan benar dan pada waktu yang tepat bisa mencegah tingginya angka kematian anak.6 Memperbaiki perilaku keluarga untuk mencari pertolongan secepat mungkin, bisa sangat membantu dalam menurunkan angka kematian anak di Negara berkembang.7 Pendidikan ibu yang rendah berhubungan dengan rendahnya utilisasi pelayanan kesehatan. Pendidikan ibu merupakan faktor predisposisi sebagai prediktor penggunaan pelayanan kesehatan. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan dalam rumah tangganya dan memahami pentingnya pencegahan atau perawatan pada fasilitas kesehatan.7,8 Pendidikan berhubungan positif dengan kelangsungan hidup anak dinegara sedang berkembang.9 Ibu merupakan orang yang paling dekat dengan anak dan ibu mempunyai perhatian yang lebih terutama mengenal gejala penyakit yang diderita anaknya, sebagai langkah awal dalam pencarian pengobatan.10 Pendidikan yang tinggi sangat diperlukan oleh ibu untuk mengatasi dan melawan hambatan budaya dan norma sosial yang merugikan. Kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional atau mengobati sendiri jika sakit merupakan penyebab yang kuat tingginya angka kematian anak.9 Di Kabupaten Purworejo, tingkat pendidikan ibu yang tamat Akademi dan Perguruan tinggi sebanyak (3%), tamat SMU atau SMK (13%), tamat SLTP (17,4%), tamat SD (34,8%), tidak tamat SD (15,4%) dan tidak sekolah (16,3%).11 Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”apakah terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di Kabupaten Purworejo?“. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di Kabupaten Purworejo dan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di Kabupaten Purworejo. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Penyakit Pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan bagian bawah (alveoli) pada paru-paru, biasanya disebabkan oleh invansi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut bronkopneumonia (Depkes R.I., 2005). Batasan lain menurut Amin dkk. (1990), pneumonia adalah radang pada parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang kedalam dinding alveoli dan rongga interstisium. Menurut Putra dkk. (1997) Pneumonia merupakan radang parenkim paru dan juga merupakan salah satu dari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Infeksi paru bisa terjadi apabila mekanisme pertahanan tubuh terganggu dan organisme mencapai saluran pernapasan bagian bawah secara aspirasi atau melalui penyebaran hematogen. Infeksi pada saluran pernapasan yang diakibatkan oleh bakteri dapat melalui berbagai cara yaitu: a) terjadinya peningkatan sekresi yang dapat mempermudah terjadinya aspirasi cairan yang mengandung bakteri masuk ke dalam paru; b) terjadinya penurunan aktivitas dari silia sehingga mengurangi pembersihan bakteri; c) terganggunya respon imun lokal dan aktivitas dari bakterisidal makrofag alveoli. Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia.
12
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Hanya biakan dari aspirat paru serta pemeriksaan specimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu penetapan etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan specimen aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita tetapi punksi paru merupakan prosedur yang beresiko dan bertentangan dengan etika jika hanya dimaksudkan untuk penelitian (Depkes, R.I., 2005). Menurut publikasi WHO, hasil penelitian diberbagai negara menyatakan bahwa dinegara berkembang streptococcus pneumoniae dan Haemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua per tiga dari hasil isolasi sebanyak (73,9%) aspirat paru dan (69,1%) dari specimen darah. Sedangkan di negara maju pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus. Di Indonesia, penelitian di Pulau Lombok tahun 19972003 memperlihatkan pada usap tenggorok pada anak usia <2 tahun ditemukan streptococcus pneumoniae (48%) dan haemophylus influenzae B (8%) (Depkes R.I., 2005). Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok umur 2 bulan -<5 tahun dan kelompok umur <2 bulan. Untuk kelompok umur 2 bulan -<5 tahun klasifikasi dibagi atas: Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan pneumonia. Untuk kelompok umur <2 bulan klasifikasi dibagi atas Pneumoni berat dan bukan pneumoni. Dalam pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) klasifikasi pneumonia berat pada kelompok umur <2 bulan adalah gangguan napas dan mungkin infeksi bakteri sistemik. Klasifikasi Pneumonia berat berdasarkan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai napas sesak dan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) dan adanya stridor. Klasifikasi Pneumonia berdasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur. Batas napas cepat (fast breathing) pada anak usia 2 bulan -<1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak usia 1-<5 tahun adalah 40 kali atau lebih per menit. Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsillitis, otitis) (Depkes R.I., 2004) Gordis (2000) menggambarkan riwayat alamiah penyakit dibagi pada fase preklinis dan fase klinis. Pada fase preklinis meliputi: a) biologic onset of disease, pada tahap ini tidak bisa diidentifikasi terjadinya penyakit; b) pathologic evidence of disease if sought, tahap ini menunjukkan terjadinya kemajuan proses penyakit secara patologik, c) signs and symptoms of disease, pada tahap ini tanda dan gejala penyakit berkembang pada penderita. Sedangkan pada fase klinis terdiri dari: a) medical care sought, pada tahap ini penderita mulai mencari pengobatan; b) diagnosis, pada tahap ini telah diketahui diagnosa penyakit; c) treatment, pada tahap ini penderita mendapat pengobatan. Di Indonesia Infeksi Saluran Pernapasan Akut terutama pneumonia masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan masyarakat. Pada tahun 1988 WHO mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita ISPA. Dalam pola baru tersebut disamping digunakan cara diagnosis yang praktis dan sederhana dengan teknologi tepat guna, juga dipisahkan antara tatalaksana penyakit pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorok. Sejak tahun 1990 pemberantasan ISPA dititikberatkan dan difokuskan pada penanggulangan pneumonia balita. Hal ini dikarenakan penyebab kematian tertinggi pada anak usia dibawah 5 tahun adalah penyakit pernapasan dan sebagian besar disebabkan oleh pneumonia. Dalam upaya meningkatkan cakupan penemuan dan meningkatkan tatalaksana terhadap penderita pneumonia balita, Depkes telah menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (Depkes, 2005).
13
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
2.
Pendidikan dan Kesehatan Anak. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan (Depkes, R.I., 2005). Menurut Page et al. (1970), pendidikan adalah semua proses pengembangan kemampuan dan perilaku manusia, agar dapat memilih dan mengontrol kehidupan yang diperoleh disekolah atau lembaga pendidikan lain. Djojonegoro dan Suryadi (1995) mengemukakan bahwa pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Sumber daya manusia dapat dianggap bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan. Buor (2003) mengemukakan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan kesehatan anak di negara sedang berkembang. Hal ini dikarenakan ibu merupakan orang yang paling dekat dengan anak dan ibu mempunyai perhatian yang lebih terutama mengenal gejala penyakit yang diderita anaknya, sebagai langkah awal dalam pencarian pengobatan (Sa’adudin, 1999). Pendidikan ibu merupakan faktor predisposisi sebagai prediktor penggunaan pelayanan kesehatan. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekuatan dan lebih percaya diri untuk mengambil keputusan dalam menghadapi permasalahan kesehatan anaknya yaitu dengan melakukan perawatan pada fasilitas kesehatan (Thind and Cruz, 2003). Sreeramareddy et al. (2006) pada hasil penelitiannya di Nepal Barat mengemukakan bahwa pendidikan ibu yang rendah berhubungan dengan rendahnya utilisasi pelayanan kesehatan. Kecenderungan menggunakan pelayanan tradisional atau mengobati sendiri jika sakit merupakan penyebab yang kuat tingginya angka kematian anak. Hambatan yang besar dalam penggunaan pelayanan kesehatan karena takhayul yang kuat. Pendidikan formal yang tinggi sangat diperlukan oleh ibu untuk mengatasi dan melawan hambatan budaya dan norma sosial yang merugikan (Buor, 2003). Pendidikan berhubungan dengan kemampuan baca tulis dan kesempatan seseorang menerima serta menyerap berbagai informasi, termasuk informasi kesehatan. Informasi yang diterima akan meningkatkan pengetahuan sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku hidup sehat, termasuk upaya pencarian pengobatan anak sakit secara tepat (Hayati, 2005). Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi dan nalar seseorang, karena dengan pendidikan tinggi seseorang akan lebih mudah menerima dan memilih suatu perubahan yang lebih baik (Suprapto, dkk., 2004).
3.
Perilaku Pencarian Pengobatan. Perilaku (manusia) merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan (Sarwono, 1997). Menurut Azwar (1995) untuk dapat memprediksi perilaku adalah mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri) berdasarkan asumsi adalah sebagai berikut; a) bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara–cara masuk akal; b) manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada; c) secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakannya. Green (2000) mengungkapkan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu perilaku dan faktor lingkungan. Perilaku itu sendiri dibentuk oleh tiga faktor yaitu ; a) faktor predisposisi (predisposing factor) mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan tradisi, faktor ini merupakan faktor pendorong terhadap perilaku yang menjadi dasar bagi perilaku, b) faktor pendukung (enabling factor) merupakan faktor pendorong terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi/aspirasi terlaksana, faktor ini mencakup potensi dan sumber daya yang ada di masyarakat dalam wujud lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas sarana kesehatan, c) faktor penguat atau
14
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
pendorong (reinforcing factor) merupakan faktor penyerta, terwujud dalam sikap dan perilaku petugas, keluarga, teman atau kelompok dari masyarakat. Andersen (1995) mengemukakan model perilaku keluarga dalam menggunakan pelayanan kesehatan (behavior model of families use of health services) dipengaruhi oleh 3 komponen pokok yaitu: 1) predisposing component, yang menggambarkan ciri individu atau masyarakat yang melekat pada dirinya sebelum mengalami sakit yang menyebabkan perbedaan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Komponen ini terdiri dari: a) faktor demografi (usia, jenis kelamin dan status perkawinan); b) faktor struktur sosial (tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan dan ras); c) faktor keyakinan terhadap kesehatan (pengetahuan, kepercayaan, dan persepsi terhadap pelayanan kesehatan); 2) enabling component, merupakan kemampuan untuk mencari pelayanan kesehatan, meliputi: a) sumber daya keluarga (pendapatan dan jangkauan asuransi kesehatan); b) sumber daya masyarakat (jumlah sarana kesehatan yang ada, jarak ke fasilitas, ketersediaan fasilitas kesehatan, obat dan sarana yang mendukung; 3) need component, merupakan kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang diwujudkan berupa tindakan. Kebutuhan (need) dibagi dalam dua kategori: dirasa (perceived) dan dievaluasi berdasarkan prosedur diagnostik. Kebutuhan merupakan dasar stimulus langsung apabila ada faktor predisposisi dan enabling. Beberapa studi menyatakan bahwa perilaku pencarian pertolongan ditentukan oleh besarnya keluarga, usia ibu dan pendidikan ibu. Kurangnya akses kesehatan karena faktor biaya merupakan masalah penting yang menghambat pencarian pelayanan kesehatan pada masyarakat kota dan desa (Thind and Cruz, 2003; Sreeramareddy et.al., 2006). Studi lain juga melaporkan bahwa keparahan penyakit yang dirasakan dan pengenalan ibu pada tanda dan gejala tertentu anak sakit merupakan faktor penting untuk menentukan perilaku pencarian pelayanan kesehatan (Yoder and Hornik, 1996; D’Souza, 1999 cit Taffa and Chepngeno, 2005). Goldman and Heuveline (2000) dalam studinya di Guatemala mengemukakan bahwa perilaku pencarian pengobatan pada anak sakit dipengaruhi oleh keseriusan penyakit, usia anak, dan urutan kelahiran anak. Sementara hasil penelitian Thind and Andersen (2003), melaporkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan pada balita dengan ISPA di Republik Dominika adalah jenis kelamin balita, lokasi tempat tinggal, dan status ekonomi keluarga. Penelitian Sreeramareddy et al. (2006) di Nepal Barat melaporkan pendapatan keluarga, jumlah gejala penyakit, pendidikan ibu dan keseriusan penyakit merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan anak sakit di Nepal barat. Taffa and Chepngeno (2005), mengemukakan bahwa determinan perilaku pencarian pengobatan pada anak sakit adalah persepsi sakit, usia anak, pendapatan keluarga, dan faktor finansial, sedangkan penelitian Djaja (2001) berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengemukakan bahwa perilaku pencarian pengobatan anak balita dengan ISPA dipengaruhi oleh pendidikan ibu, sosial ekonomi keluarga, usia balita dan jumlah balita dalam rumah tangga. 4.
Landasan Teori. Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka tersebut maka kerangka teori yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan anak balita pneumonia sebagai berikut :
15
HOSPITAL MAJAPAHIT
Sistem pelayanan kesehatan
Lingkungan eksternal
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Predisposing Characteristic : 1. Demografi : usia, jenis kelamin, status perkawinan. 2. Struktur sosial : pendidikan, status ekonomi, pekerjaan, suku, ras. 3. Health beliefs : pengetahuan, kepercayaan, persepsi.
Enabling Resources : 1. Sumber daya keluarga : pendapatan, asuransi kesehatan. 2. Sumber daya masyarakat : Jumlah sarana kesehatan, jarak, obat, sarana pendukung, petugas kesehatan, penyuluhan.
Praktik kesehatan pribadi
Status kesehatan yang dirasa Evaluasi status kesehatan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan
Kepuasan konsumen
Need : 1. Di rasa 2. Di evaluasi
Gambar 1 : Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen, 1995)
C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Jenis penelitian ini adalah observasional, dengan menggunakan rancangan cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Purworejo.
2.
Kerangka Konsep. Berdasarkan landasan teori tersebut, maka dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
16
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
KERANGKA KONSEPTUAL Variabel Bebas
Variabel Terikat
Pendidikan Ibu
Perilaku Pencarian Pengobatan
Variabel Luar 1. 2. 3. 4. 5.
Usia ibu Usia anak Jarak Status ekonomi keluarga Penyuluhan
Gambar 2. Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Perilaku Ibu Dalam Pencarian Pengobatan Balita Pneumonia Di Kabupaten Purworejo 3.
Hipotesis. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi mempunyai resiko lebih kecil untuk berperilaku kurang baik dalam pencarian pengobatan balita pneumonia dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah.
4.
Populasi, Sampel, Dan Sampling. Penentuan lokasi penelitian menggunakan purposive sampling dimana peneliti menetapkan 8 Puskesmas pada wilayah perkotaan dan pedesaan dengan melihat kasus pneumonia terbanyak pada tahun 2005 yaitu Puskesmas Purworejo, Puskesmas Mranti, Puskesmas Butuh, Puskesmas Pituruh, Puskesmas Purwodadi, Puskesmas Banyuasin, Puskesmas Sruwohrejo dan Puskesmas Grabag, serta dua buah Rumah Sakit pemerintah dan swasta yaitu Rumah Sakit PKU Muhammadiyah dan Rumah Sakit Umum Saras Husada Purworejo. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu (responden) yang mempunyai balita yang mengalami gejala pneumonia berdasarkan hasil pengamatan petugas medis yaitu di Puskesmas oleh paramedis dan di Rumah Sakit oleh dokter. Kriteria eksklusi adalah ibu dengan anak balita yang mengalami gejala penyakit lain seperti ISPA non pneumonia, ibu (responden) bukan penduduk yang bermukim/tinggal di wilayah Kabupaten Purworejo.
5.
Analisis Data. Analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini menggunakan program komputer dengan analisis univariabel untuk mengetahui distribusi frekuensi, analisis bivariabel menggunakan Chi-sguare dan multivariabel menggunakan regresi logistik.
D. HASIL PENELITIAN. 1. Analisis Univariabel. Analisis univariabel digunakan untuk menghitung distribusi frekuensi dan proporsi variabel penelitian. Hasil analisis univariabel dari 126 ibu (responden) yang membawa anak balitanya ke Puskesmas/Rumah Sakit adalah sebagai berikut :
17
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tabel 1. Hasil Analisis Univariabel Berdasarkan Variabel Penelitian. Variabel n % Perilaku pencarian pengobatan 75 59,52 Kurang baik 51 40,48 Baik Pendidikan ibu Rendah Tinggi
74 52
58,73 41,27
Usia ibu ≥ 35 tahun <35 tahun
55 71
43,65 56,35
Usia anak 25-59 bulan 0-24 bulan
62 63
49,60 50,40
Jarak Jauh Dekat
56 70
44,44 55,56
Status ekonomi Rendah Tinggi
66 60
52,38 47,62
Penyuluhan Tidak pernah Pernah
92 34
73,02 26,98
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar responden berperilaku kurang baik yaitu (59,52%). Pendidikan responden dikelompokkan berdasarkan pendidikan formal tertinggi yang diikuti ibu, diperoleh proporsi responden yang berpendidikan rendah (58,73%) dan yang berpendidikan tinggi (41,27%). Responden sebagian besar berusia <35 tahun (56,35%), sedangkan proporsi balita pneumonia yang berusia 0-24 bulan jumlahnya hampir sama dengan yang berusia 25-59 bulan yaitu (50,40%) dan (49,60%). Jarak lokasi tempat tinggal responden dengan fasilitas kesehatan sebagian besar ≤2 kilometer (55,56%). Status ekonomi keluarga di hitung dari rata-rata total pengeluaran keluarga dalam satu bulan. Berdasarkan Susenas tahun 2004 total pengeluaran Kabupaten Purworejo Rp. 536.512. Status ekonomi dalam analisis dibagi dalam kelompok ekonomi tinggi (≥ Rp 536.512) dan rendah (< Rp 536.512). Hasil analisis menunjukkan proporsi responden yang berstatus ekonomi tinggi sebanyak (47,62%) dan rendah (52,38%). Proporsi responden yang pernah mendapatkan peyuluhan lebih sedikit dari yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan (26,98%) dan (73,02%). 2.
Analisis Bivariabel. Analisis bivariabel dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel luar dengan variabel terikat menggunakan uji chi-sguare (X2) dan rasio prevalens (RP).
18
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tabel 2. Analisis bivariabel antara variabel terikat dengan variabel luar. Perilaku Pencarian Pengobatan CI Variabel x² P RP Kurang baik Baik 95% n (%) n (%) Pendidikan ibu 53(71,62%) 21(28,38%) 10,89 0,001* 1,71 1,198-2,457 Rendah 22(42,31%) 30(57,69%) Tinggi Usia ibu ≥ 35 tahun < 35 tahun
36(65,45%) 39(54,93%)
19(34,55%) 32(45,07%)
1,42
0,232
1,28
0,840-1,974
Usia balita 25-59 bln 0 -24 bln
43(69,35%) 31(49,21%)
19(30,65%) 32(50,79%)
5,25
0,021*
1,56
1,039-2,339
Jarak Jauh Dekat
31(55,36%) 44(62,86%)
25(44,64%) 26(37,14%)
0,84
0,394
0,84
0,571-1,243
Status ekonomi Rendah Tinggi
52(78,79%) 23(38,33%)
14(21,21%) 37(61,67%)
21,35
0,000*
2.52
1.577-4,044
Penyuluhan Tidak pernah 60(65,22%) 15(44,12%) Pernah Keterangan *= signifikan <0,05
32(34,78%) 19(55,88%)
4,59
0,032*
1.27
1,003-1,620
Hasil uji statistik pada tabel 2 menunjukkan bahwa ibu yang berpendidikan rendah terdapat 74 orang, yang berperilaku kurang baik (71,62%) dan berperilaku baik (28,38%), sedangkan ibu yang perpendidikan tinggi sebanyak 52 orang yang berperilaku kurang baik (42,31%) dan baik (57,69%). Hasil uji statistik terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia p=0,001. Variabel pendidikan yang merupakan variabel utama dalam penelitian ini mempunyai nilai RP=1,71 (95%CI=1,198-2,457), sehingga dapat dikatakan bahwa ibu yang mempunyai pendidikan rendah berisiko untuk mempunyai perilaku kurang baik dalam pencarian pengobatan balita pneumonia 1,71 kali lebih besar dari pada ibu yang tingkat pendidikannya tinggi. Variabel usia ibu dalam analisis ini dibagi dalam kelompok usia <35 tahun dan ≥35 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara usia ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia, p=0,232 dan RP=1,28 (95%CI=0,840-1,974). Hasil uji statistik antara usia balita dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan diperoleh p=0,021 dan RP =1,56 (95%CI=1,039-2,339). Hasil tersebut menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia balita dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia. Ibu yang mempunyai anak usia 25-59 bulan berisiko untuk berperilaku kurang baik 1,56 kali lebih besar dari pada ibu yang mempunyai anak usia 0-24 bulan. Jarak lokasi tempat tinggal responden ke fasilitas kesehatan dalam analisis dibagi dalam kelompok dekat (≤2 kolometer) dan jauh (>2 kilometer) diperoleh nilai RP=0,84 (95%CI=0,571-1,243) dan p=0,394 X2=0,73. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jarak dengan perilaku ibu dalam
19
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
pencarian pengobatan balita pneumonia, ditunjukkan dengan 95%CI dari RP memuat angka 1 dan p>0,05. Hasil uji statistik pada variabel status ekonomi diperoleh X2=21,35 dan p value sebasar 0,000, nilai RP=2,52 dengan rentang CI=1,577-4,044. Hasil ini menggambarkan bahwa ibu yang berstatus ekonomi rendah berisiko mempunyai perilaku kurang baik dalam pencarian pengobatan balita pneumonia 2,49 kali lebih besar dari pada ibu yang berstatus ekonomi tinggi. Hubungan tersebut juga bermakna secara statistik yang terlihat dari nilai p<0,05(0,000). Uji statistik antara ibu yang pernah mendapatkan penyuluhan dan ibu yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan di peroleh nilai RP=1,27 (95%CI=1,003-1,620) dan p=0,032 X2=4,59. Hasil tersebut menunjukkan hubungan yang bermakna antara penyuluhan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia. Ibu yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan berisiko mempunyai perilaku kurang baik dalam pencarian pengobatan sebesar 1,27 kali dari pada ibu yang pernah mendapatkan penyuluhan. 3.
Analisis Multivariabel. Analisis multivariabel dengan melakukan analisis regresi logistik. Teknik yang digunakan adalah Backward selection dengan memasukkan semua variabel hasil analisis univariabel kedalam model, kemudian dikeluarkan satu persatu berdasarkan kriteria p<0,05. Tabel 3. Model regresi logistik pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia. Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Variabel OR(CI 95%) OR(CI 95%) OR(CI 95%) OR(CI 95%) Pendidikan ibu 3,44 (1,63-7,26)* 2,04 (0,84-4,98) 2,02 (0,84-4,85) 2,38 (1,02-5,51)* Rendah 1 1 1 1 Tinggi Usia ibu ≥ 35 tahun < 35 tahun
0,97 (0,37-2,51) 1
-
-
Usia balita 25-59 bln 0 -24 bln
1,74 (0,69-4,35) 1
1,71 (0,72-4,08) 1
-
Jarak Jauh Dekat
1,31 (0,55-3,14) 1
-
-
Status ekonomi Rendah Tinggi
8,01 (3,05-21,16)* 7,5 (2,94-19,46)* 8,05 (3,14-20,61)* 1 1 1
Penyuluhan Tidak pernah Pernah
4,72 (1,58-14,07)* 4,42 (1,54-12,69)* 4,06 (1,44-11,43)* 1 1 1
-2 Log likehood 159,12 2 X hitung Df 1 Keterangan : 1= referensi *= Signifikansi p<0,05
130,86 28,26* 6
20
131,26 27,86* 4
159,12 25,64* 3
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Analisis model 1, untuk melihat hubungan pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ibu yang mempunyai tingkat pendidikan rendah mempunyai kemungkinan 3,44 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan ibu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi. Analisis model 2 dengan memasukkan semua variabel menunjukkan terjadinya perubahan pada variabel pendidikan ibu menjadi tidak bermakna p>0,05; OR=2,04; CI95%(0,84-4,98). Jika dibandingkan dengan model 1, maka terlihat adanya perubahan nilai OR dan nilai -2log likelihood. Perubahan nilai -2log likelihood (x2) model 1 dan model 2 adalah sebesar 28,26 sedangkan nilai x2 tabel dengan derajat bebas 5 adalah 11,07. Karena perbedaan x2 hitung lebih besar dari nilai x2 tabel maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan OR variabel pendidikan pada model 1 dan model 2 bermakna. Analisis model 3 setelah variabel usia ibu dan jarak tidak diikutkan, hasilnya tidak jauh beda dengan model 2. Variabel ekonomi dan penyuluhan tetap menunjukkan hubungan yang bermakna dan variabel pendidikan tetap menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Pada model 3 ini -2log likelihood juga mengalami perubahan. Karena nilai x2 hitung=27,86 lebih besar dari nilai x2 tabel dengan derajat bebas 3 adalah 7,81, sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan OR variabel pendidikan ibu pada model 1 dan model 3 tersebut bermakna. Analisis model 4 dengan mengikutsertakan variabel status ekonomi dan penyuluhan menunjukkan terjadinya perubahan pada variabel pendidikan yaitu menjadi bermakna (p<0,05);OR=2,38;(95%CI=1,02-5,51). Variabel pendidikan ibu mengalami perubahan OR jika dibandingkan dengan OR variabel pendidikan pada model 1. Pada model ini -2log likelihood juga mengalami perubahan, yaitu sebesar 25,64 lebih besar dari nilai x2 pada tabel dengan derajat bebas 2 yaitu sebesar 5,99. Karena x2 hitung tersebut lebih besar dari nilai x2 tabel, maka perbedaan OR variabel pendidikan ibu pada model 4 dan model 1 bermakna. Berdasarkan ke empat model tersebut, setelah memperhitungkan variabel status ekonomi dan penyuluhan, maka dapat disimpulkan bahwa ibu yang mempunyai tingkat pendidikan rendah mempunyai kemungkinan 2,38 kali lebih besar untuk berperilaku kurang baik dibandingkan dengan ibu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi. E.
PEMBAHASAN. Upaya pencarian pengobatan merupakan tindakan yang dilakukan individu/keluarga yang mengalami sakit atau membutuhkan perawatan untuk segera mencari pertolongan dengan memilih pengobatan profesional atau tidak dalam penyembuhan penyakitnya.12 Model perilaku keluarga dalam menggunakan pelayanan kesehatan (behavior model of families use of health services) dipengaruhi oleh 3 komponen pokok yaitu: 1) predisposing component, yang menggambarkan ciri individu atau masyarakat yang melekat pada dirinya sebelum mengalami sakit yang menyebabkan perbedaan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Komponen ini terdiri dari: a) faktor demografi (usia, jenis kelamin dan status perkawinan); b) faktor struktur sosial (tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan dan ras); c) faktor keyakinan terhadap kesehatan (pengetahuan, kepercayaan, dan persepsi terhadap pelayanan kesehatan); 2) enabling component, merupakan kemampuan untuk mencari pelayanan kesehatan, meliputi: a) sumber daya keluarga (pendapatan dan jangkauan asuransi kesehatan); b) sumber daya masyarakat (jumlah sarana kesehatan yang ada, jarak ke fasilitas, ketersediaan fasilitas kesehatan, obat dan sarana yang mendukung; 3) need component, merupakan kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang diwujudkan berupa tindakan.13 Hasil analisis persentase perilaku pencarian pengobatan balita pneumonia yang berperilaku baik (40,48%) dan kurang baik (59,52%). Pada tahap analisis bivariabel
21
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
maupun multivariabel menunjukkan bahwa pendidikan ibu secara signifikan berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia. Pendidikan orang tua khususnya ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam kelangsungan hidup anak. Karena dengan pendidikan yang tinggi, maka seseorang dapat menerima berbagai informasi dari luar. Pendidikan ibu merupakan faktor predisposisi sebagai prediktor penggunaan pelayanan kesehatan. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kekuatan dan lebih percaya diri untuk mengambil keputusan dalam menghadapi permasalahan kesehatan anaknya yaitu dengan melakukan perawatan pada fasilitas kesehatan.8 Hasil temuan ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pendidikan dan pekerjaan sebagai faktor predisposisi yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan baik.13 Pada analisis multivariabel nilai RP=2,38 yang berarti bahwa ibu yang berpendidikan rendah mempunyai resiko berperilaku kurang baik sebesar 2,38 kali dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi. Sreeramareddy et al. (2006) pada hasil penelitiannya di Nepal Barat mengemukakan bahwa pendidikan ibu yang rendah berhubungan dengan rendahnya utilisasi pelayanan kesehatan.7 Kecenderungan menggunakan pelayanan tradisional atau mengobati sendiri jika sakit merupakan penyebab yang kuat tingginya angka kematian anak. Hambatan yang besar dalam penggunaan pelayanan kesehatan karena takhayul yang kuat. Pendidikan formal yang tinggi sangat diperlukan oleh ibu untuk mengatasi dan melawan hambatan budaya dan norma sosial yang merugikan.9 Namun hasil temuan ini berbeda dengan hasil penelitian di Bangladesh yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita ISPA.14 Taffa and Chepngeno pada penelitiannya di Nairobi juga menyampaikan hal yang sama bahwa pendidikan ibu tidak berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan pada anak sakit.15 Hasil analisis univariabel menunjukkan bahwa alasan responden bersedia untuk pergi ke Puskesmas/Rumah Sakit adalah karena faktor jarak yang dekat dengan tempat tinggal mereka, yaitu sebesar 70 responden (55,56%), jika dibandingkan dengan jumlah responden yang jaraknya jauh lebih sedikit yaitu 56 responden (44,44%). Namun pada analisis statistik menunjukkan hubungan yag tidak bermakna antara jarak tempat tinggal responden dari fasilitas kesehatan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di Kabupaten Purworejo (p>0,05). Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Lapau (1978) yang disitasi oleh Ijami (2004) yang menyatakan bahwa semakin dekat tempat tinggal dengan puskesmas maka dalam pencarian pengobatannya akan cenderung ke puskesmas.16 Tidak adanya hubungan antara jarak dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan dimungkinkan adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor finansial atau juga karena akses yang tidak sulit dan tersedianya sarana transportasi. Analisis usia ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia menunjukkan hubungan yang tidak bermakna (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara tingkat usia ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Hasil temuan ini berbeda dengan penelitian di Nairobi, yang menyatakan bahwa usia ibu sangat mempengaruhi kebijakan untuk mencari pelayanan kesehatan diluar rumah. 15 Hasil analisis usia anak dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia juga menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada hubungan atau pengaruh antara tingkat usia anak dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Kerala, India dan di Republik Dominika yang melaporkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara usia anak dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan.17,18 Berbeda dengan hasil penelitian di Guatemala, yang melaporkan bahwa anak usia ≤ 1 tahun cenderung dibawa kepelayanan kesehatan dari pada anak usia 13-59 bulan.19 Hasil analisis status ekonomi dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna (p<0,05), baik pada tahap
22
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
bivariabel maupun pada tahap multivariabel. Hal ini sesuai dengan temuan di Republik Dominika yang melaporkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Republik Dominika adalah status ekonomi keluarga.18 Hasil penelitian di daerah kumuh Nairobi melaporkan bahwa ibu-ibu dengan tingkat sosial ekonomi rendah biasanya menunggu dan mengamati anaknya dalam beberapa waktu sebelum mereka mengunjungi ke pusat pelayanan kesehatan, sehingga kondisi anaknya bisa semakin parah pada saat dibawa ke pelayanan kesehatan.15 Analisis variabel penyuluhan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan menunjukkan hubungan yang siknifikan (p<0,05). Petugas kesehatan merupakan sumber informasi yang dipercaya oleh para ibu, sehingga informasi yang diperoleh ibu dari petugas kesehatan akan mempengaruhi perilaku ibu. Green mengungkapkan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu perilaku dan faktor lingkungan. Perilaku itu sendiri dibentuk oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, faktor penguat atau pendorong. Peranan penyuluhan kesehatan dapat berperan dalam ketiga faktor tersebut untuk mengubah perilaku dengan cara memberikan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi kebiasaan, pengetahuan, kepercayaan, sikap, tradisi dan nilai norma dalam masyarakat.20 F.
PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tentang perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di Kabupaten Purworejo, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pendidikan ibu secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di Kabupaten purworejo. 2. Variabel lain yang secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di kabupaten purworejo adalah status ekonomi dan penyuluhan. Setelah mempertimbangkan kesimpulan hasil penelitian, maka peneliti menyampaikan saran sebagai berikut : 1. Perlu adanya pendidikan non formal pada masyarakat khususnya pada ibu yang berpendidikan rendah yaitu dengan mengadakan penyuluhan tentang tanda dan gejala pneumonia dengan bahan dan bentuk penyuluhan yang lebih inovatif. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama pada media cetak (Koran, majalah) atau media elektronik (radio, televisi, internet). Untuk lebih menambah daya tarik bisa disertakan gambar. 2. Lebih memperhatikan Askeskin bagi masyarakat tidak mampu (ekonomi rendah), dengan melakukan seleksi sasaran secara tepat dan bagi petugas kesehatan tidak boleh membedakan antara pasien Askeskin dan yang bukan Askeskin.
DAFTAR PUSTAKA. 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005) Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional: Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, Jakarta. 2. Profil Kesehatan Indonesia, (2005) Menuju Indonesia sehat 2010. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Tersedia dalam:
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2004) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Jakarta. 4. Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, (2005) Hasil Rekapitulasi P2ISPA Kabupaten Purworejo tahun 2005. 5. Amarasiri de Silva, M.W., Wijekoon, A., Hornik, R., Martines, J. (2001) Care seeking in Sri Lanka: one possible explanation for low childhood mortality. Available from: [Accessed 9 Maret 2007]
23
HOSPITAL MAJAPAHIT 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16. 17. 18. 19. 20.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Jones, G., Steketee, R.W., Black, R.E., Bhutta, Z.A., Morris, S.S. and the Bellagio Child Survival Study Group (2003) How many child deaths can we prevent this year? Available from: <www.thelancet.com> (juli) vol 362, pp. 65-71 Sreeramareddy, C.T., Shankar, R.P., Sreekumaran, B.V., Subba, S.H., Joshi, H.S. Ramachandran, U. (2006) Care Seeking behavior for Chilhood illness-questionaire Survey in Western Nepal. Available from: [Accessed 22 Desember 2006]. Thind, A., Cruz, A.M. (2003) Determinants of Children’s Health Services Utilization in the Philippines. Journal of Tropical Pediatrics, vol. 49, no. 5, pp. 269-273. Buor, D. (2003) Mother’s education and childhood mortality in Ghana. Available from: [Accessed 9 Maret 2007] Sa’adudin, I., (1999) Mengupayakan Perubahan Perilaku Ibu Balita dalam Menurunkan Kasus Pneumonia, Bulletin Epidemiologi, vol.6, no.4, pp.28-31. Badan Pusat Statistik Kabupaten Purworejo, (2005) Kabupaten Purworejo Dalam Angka tahun 2005, Kabupaten Purworejo. Waldman, R., Bartlett,. Campell, C.C., Steketee, R.W., (1996) Overcoming Remaining Barriers: The Pathway to Survival, Arlington, VA, BASICS (Basic Support Institutional Chidl Survival), pp. 1-12. Andersen, R.M. (1995) Revisiting the Behavioral Model and Access to Medical Care: . Does it Matter?, Journal of health and Social Behavior, vol.36, no 3, pp. 1-10. Zaman, K., Zeitlyn, S., Chakraborty, J., Francisco, A., Yunus, M., (1997) Acute lower Respiratory Infections in Rural Bangladesh Children: Patterns of Treatment and Identification of Barriers, Southeast Asia Journal of Tropical Medicine and Public Health, vol 28, no.1, pp.99-106. Taffa, N., Chepngeno, G., ( 2005) Determinants of health care seeking for childhood illnesses in Nairobi slums. Tropical Medicine and International Health, vol. 10, no. 3, pp. 240-245. Ijami,R., (2004) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Ibu dalam Pencarian Pengobatan Anak Tersangka Menderita Demam Berdarah Ke Fasilitas Kesehatan Di Banjarbaru, Tesis Program Pasca Sarjana, UGM. Yogyakarta. Pillai, R.K., Williams, S.V., Glick, H.A., Polsky, D., Berlin, J.A., and Lowe, R.A., (2003) Faktors Affecting Decisions to Seek Treatment for Sick Children in Kerala India, Social Science and Medicine, vol 1, no. 3, pp. 1-8. Thind, A., Andersen, R., (2003) Respiratory Illness in The Dominican Republic: what are The Predictors for health Services Utilization of Young Children? Social Science & mediine 56, pp. 1173-1182. Goldman, N., Heuveline, P. (2000) Health Seeking Behavior for Child Illness in Guatemala. Tropical Medicine and Internasional Health, vol 5, no 2, pp.145-155. Green, L., (2000) Health Promotion planning Education and Environmental Approach, Boston, MeyfieldPublising Co Johns Hopkins University.
24
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PENYAKIT KULIT SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI’IYAH SUKOREJO SUMBEREJO SITUBONDO dr. Achmad Husein Ketua Quality Assurance Poltekkes Majapahit ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren Salafiyah – Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo. Rancang bangun penelitian ini adalah cross sectional, obyek penelitian ini adalah semua santri yang tinggal di pondok pesantren Salafiyah – Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo. Jumlah sampel sebanyak 100 santri yang dipilih secara sistematik random sampling, uji statistik yang digunakan adalah chi–square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan umur, tidak ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan jenis kelamin, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan pendidikan, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan tingkat pengetahuan, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan personal hygiene, ada pengaruh antara penyakit kulit skabies dengan kepadatan penghuni kamar. Kepada para santri disarankan agar membiasakan diri untuk berperilaku sehat dan selalu menjaga kebersihan dan meningkatkan personal hygiene sedangkan pengasuh pondok pesantren diharapkan lebih memperhatikan kebersihan dan tingkat kepadatan kamar santri. Kata kunci : skabies, santri. A.
PENDAHULUAN. H. L Bloom (1994) menyatakan bahwa keadaan kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu : faktor lingkungan, perilaku kesehatan, pelayanan kesehatan dan yang terakhir adalah keturunan. Begitu juga dengan munculnya penyakit kulit scabies. Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes. Sarcoptes Scabiei termasuk filum antropoda, ordo askarima, super familly sarcoptes (Djuanda, 1999). Scabiei yang mengadakan iritasi kulit oleh karena parasit ini menggali parit-parit di dalam epidermis sehingga menimbulkan gatal-gatal dan merusakkan kulit penderita (Soedarto, 1996). Penyakit kulit skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa negara berkembang prevalensi skabies 6%-7% dari populasi umum dan cenderung tinggi terutama pada anak-anak dan dewasa. Menurut Dep. Kes. RI prevalensi skabies seluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6%-12,95%. Prevalensi skabies sangat tinggi, misalnya Pondok Pesantren yang padat penghuninya, mencapai 72,2% dan prevalensi tertinggi pada anak usia 11 – 15 tahun (Sungkar, 1994). Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat, dapat mengenal semua ras, golongan dan umur di seluruh dunia. Banyak dijumpai pada anak dan dewasa muda, dapat mengenai semua umur, insiden sama pria dan wanita (Harahap. M 2000). Cara penularan atau transmisi penyakit ini melalui 2 cara yaitu : Kontak langsung dengan kulit, misalnya : berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual dan Kontak tak langsung (melalui benda) misalnya : pakaian, handuk seprei, bantal dan lain-lain. Studi pendahuluan yang dilakukan di Salafiyah - Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo menunjukkan bahwa penghuni Pondok Pesantren di wilayah tersebut yang terpapar penyakit kulit skabies pada enam bulan terakhir yaitu pada tanggal 2 Mei 2005 terdapat: 50 santri putra dan 45 santri putri dari 3000 santri. Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan non formal yang memberikan pengaruh cukup besar di masyarakat karena dianggap sebagai panutan masyarakat. Di Pondok Pesantren dikenal dengan padat penghuninya padahal perjalanan penyakit kulit
25
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
scabies erat hubungannya dengan kebersihan perorangan dan lingkungan, personal hygiene meliputi; mandi, ganti pakaian, gunting kuku, keramas, dan lain-lain (Djuanda, 1999). Berdasarkan uraian diatas peneliti bermaksud meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di Pondek Peantren Salafiyah syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo. Berdasarkan uraian di atas maka muncul pertanyaan masalah, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Skabies. a. Definisi. Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes. Scabiei yang mengadakan iritasi kulit oleh karena parasit ini menggali parit-parit di dalam epidermis sehingga menimbulkan gatal-gatal dan merusakkan kulit penderita (Soedarto, 1996). b. Epidemiologi. Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat, dapat mengenal semua ras, golongan dan umur di seluruh dunia. Banyak dijumpai pada anak dan dewasa muda, dapat mengenai semua umur, insiden sama pria dan wanita (Harahap. M 2000). Cara penularan (transmisi): 1) Kontak langsung (kontak langsung dengan kulit), misalnya : berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. 2) Kontak tak langsung (melalui benda) misalnya : pakaian, handuk seprei, bantal dan lain-lain. Penularan biasanya oleh sarcoptes skabies betina yang sudah dibuahi atau kadang-kadang dalam bentuk larva. Dikenal pula sarcoptes scabies var animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada hewan peliharaan misalnya anjing (Djuanda, 1999). c. Etiologi. Sarkoptes skabies termasuk filum Arthropoda, kelas Arac honida, ordo Ackarima, super familly Sarcoptes. Pada manusia disebut sarcoptes scabies var horminis. Kecuali itu terdapat sarcoptes scabies yang lain, misalnya pada kambing dan babi (Djuanda, 1999). Secara marfologi sarcoptes merupakan tungau kecil yang berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau intranslusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata, ukurannya yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang didepan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki belakang pada bentuk berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan pasangan kaki kanan 3 berakhir pada rambut dan ke 4 berakhir dengan alat pelekat. Siklus hidup tungau ini sebagai berikut, setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi diatas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh betina. Tungau betina yang dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2–3 mili meter sehari dan sambil melekat telurnya 2–4 butir sehari mencapai 40 atau 50, bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas biasanya dalam waktu 3– 5 hari dan menjadi larva yang mempunayi 2 pasang kaki. Larva ini tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2–3 hari larva akan menjadi neiya yang mempunyai 2 betuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8–12 hari. Tungau dapat
26
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
f.
g.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
hidup diluar kulit hanya 2–3 hari dan pada suhu kamar 21oC dengan kelembaban relatif 40% - 80 % (Djuanda, 1999). Patogenese. Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sektreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infeksi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya popula, vesikula, ekskoreasi, krusta dan infeksi skander. Gejala klinis. Ada 4 tanda gejala kardinal : 1) Pruritas rukturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu lembab panas. 2) Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu juga pada sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, dimana penderita mengalami infeksi tungau, tetapi tidak memberikan gejala walaupun seluruh anggota keluarga terserang skabies, penderita ini bersifat sebagai pembawa (carries) 3) Adanya terowongan (kurikulus) pada tempat-tempat predileksi berwarna putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelole, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan paula atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruang kulitnya menjadi polimaf (pustula, eksroreasi, dan lain-lain). Tempatnya predileksi tersebut biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan , bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna (pria) dan bagian perut bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki. 4) Menemukan tungau dengan cara biopsi kulit ini merupakan hal yang diagnostik, dapat ditemukan satu atau lebih stadium tungau hidup ini. Diagnosis. Cara menemukan tungau skabies : 1) Carilah mula-mula terowongan kemudian pada ujung yang terlihat papula atau vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakkan di atas sebuah kaca obyek, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dengan mikroskop cahaya. 2) Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung diatas selembar kertas putih dan dilihat di kaca pembesar. 3) Dengan membuat scratch test, caranya : lesi dijepit dengan 2 jari, kemudian dibuat irisan tipis dengan pisau dan diperiksa dengan mikroskop cahaya dan pewarnaan H.E. Pengobatan. 1) Syarat obat yang ideal adalah : a) Harus efektif terhadap semua stadium tungau. b) Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksin. c) Tidak berbau, kotor, serta tidak merusak atau mewarnai pakaian. d) Mudah diperoleh dan harganya murah. 2) Jenis obat yang topical : a) Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20 % bentuk salep atau krim. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium telor, maka penggunaannya tidak boleh lebih dari 3 hari. Kekurangannya yang lain adalah berbau atau mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.
27
HOSPITAL MAJAPAHIT
h.
2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
b) Emulsi benzil, benzoat (20-25%) efektif terhadap semua stadium diberikan setiap malam selama 3 kali. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi dan kadang-kadang gatal setelah dipakai. c) Gamma benzena heksa klorida (gameksan = gamexane) kadar 1 % dalam krim atau losio termasuk obat pilihan karena efektf terhadap semua stadium, mudah digunakan dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 6 tahun dan waktu hamil, karena terhadap toksin susunan saraf pusat, pemberian cukup sekali, kecuali masih ada gejala diulang seminggu kemudian. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulang seminggu kemudian. d) Krotamiton 10% dalam krim atau lasio yang merupakan obat pilihan mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal, harus dijauhkan dari mata, mulut dan uretra. Pencegahan. Menghindari kontak langsung dan dapat juga melalui alat-alat : tempat tidur, handuk dan pakaian, perjalanan penyakit ini erat hubungannya dengan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan.
Konsep Personal Hygiene. Kebersihan adalah yang terpenting. Kebersihan mengandung pengertian yang luas yang mempunyai kaitan baik dengan kebersihan pribadi atau kebersihan lingkungan, yaitu wilayah sekitar kita bertempat tinggal dan bekerja (Gunawan, R, 1997). Kata hygiene berasal dari mitologi purba yaitu hygiene, dewi kesehatan dari Yunani. Adapun arti dari hygiene berarti sehat, personal hygiene berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan dan psikisnya (Wolf dkk, 1994). Personal hygiene mempunyai arti yang besar dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan seseorang. Setiap orang mempunyai tuntunan dan pandangan yang berbeda mengenai kebutuhan personal hygiene, menurut Wolf, dkk (1994) antara lain sebagai berikut : a. Mandi. Maksud terpenting dari mandi adalah membersihkan kulit, air untuk mandi disesuaikan dengan keinginan seseorang, sebaiknya memakai sabun dengan kandungan anti septik kemudian dikeringkan dengan handuk, menggosok dengan handuk jangan terlalu keras takut iritasi, setelah itu bisa ditaburkan bedak/deodoran sesuai dengan keinginan, yang perlu diperhatikan adalah lipatan-lipatan kulit untuk diperhatikan dengan seksama. Mandi yang dianjurkan minimal 2x sehari. b. Pakaian. Harus sering diganti serta dibersihkan. Kebersihan pakaian juga merupakan hal yang perlu diperhatikan (minimal 2x sehari). c. Kuku. Harus digunting pendek dan tidak mempunyai ujung yang runcing. Ujung kuku yang tajam dapat menimbulkan kerusakan kulit. d. Tangan. Dicuci di bawah kran yang mengalir dengan menggunakan sabun dan juga setelah dari toilet. Dianjurkan mengeringkan dengan handuk kecil yang terbuat dari kain. e. Rambut. Dapat menyimpan banyak kuman penyakit, oleh karena itu dapat menjadi sumber infeksi, sehingga menggantung sampai kebahu, maka rambut dapat kesentuh dengan bantal, selimut serta diri sendiri. Oleh karena itu dianjurkan untuk mempertahankan rambut tetap pendek dan mencucinya dengan teratur (2 hari sekali).
28
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
3.
Pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil tahu dari persitiwa yang sekedar menjawab pertanyaan “what”. Pengetahuan bertujuan untuk menjawab segala permasalahan kehidupan seharihari yang dihadapi manusia dan digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan baginya. Dan dapat juga digunakan sebagai alat yang dapat memecahkan masalah. (Notoatmodjo, 2000). Pengetahuan sebagai suatu kemampuan indra dalam memahami fakta, pengalaman, realita dunia dan kemampuan untuk mengulang kembali informasi, mengatakan bahwa pengetahuan (kognetif) merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena perilaku yang didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan menurut Bloom yang dikutif oleh Notoatmodjo mencakup enam tingkat yaitu : a. Tahu (Know), diartikan sebagai kemampuan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari untuk rancangan yang diterima. b. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat mengiterprestasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (Aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu situasi atau kondisi nyata atau sebenarnya. d. Analisis (Analysis), yaitu suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu obyek kedalam komponen-komponen tetapi masih ada kaitan satu sama lain. e. Sintesis (Synthesis), yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (Evaluation), yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi obyek.
4.
Karakteristik Individu. Karakteristik individu merupakan ciri dasar yang membedakan individu satu dengan individu yang lain, yang didapatkan dari herideter atau keturunan, sosial, dan lingkungan. Adapun yang termasuk karakteristik individu menurut Kusmiati (1997 : 38) yaitu: a. Usia. Usia juga mempengaruhi pengetahuan seseorang karena dengan bertambahnya usia biasanya lebih dewasa pula intelektual. b. Pendidikan. Sampai saat ini pendidikan memegang peranan penting pada setiap perubahan perilaku untuk mencapai tujuan yang diharapkan, dengan tingginya pendidikan yang ditempuh diharapkan tingkat pengetahuan seseorang bertambah. Sehingga mudah dalam menerima atau mengadopsi perilaku yang baru. c. Jenis kelamin. Jenis kelamin mempengaruhi tingkat kekuatan dan keterpaparan, kebersihan pada individu.
5.
Pondok Pesantren. Pengertian Pondok Pesatren sebagaimana yang telah ditulis oleh Zamaksyari, D (1998) adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar berasama dibawah bimbingan seseorang atau lebih dikenal sebutan Kyai. Pengertian Pondok Pesantren berasal dari Bahasa Arab yakni fondug yang artinya adalah asrama. Asrama adalah suatu tempat (perumahan) yang terdiri dari beberapa
29
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
banyak kamar yang disesuaikan untuk tempat tinggal segala masyarakat tertentu. Pondok asrama bagi santri, menurut Zamaksyari, D (1998) merupakan ciri khas tradisioal pesantren yang membedakan dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang dikembangkan dikebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain. Keadaan kamar-kamar pondok biasanya sangat sederhana, mereka tidur dilantai tanpa kasur, papan dipasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang lain. Fungsi Pondok Pesantren tidak jauh beda dengan fungsi pokok perumahan menurut The American Public Health Association seperti yang dikutip oleh (Azwar, 1995) : a. Rumah dibangun agar dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar dari penghuni. b. Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan kejiwaan dasar dari penghuni. c. Rumah berfungsi untuk dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit/berhubungan dengan zat-zat yang membahayakan kesehatan. d. Rumah yang dibangun juga harus dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. 6.
Sanitasi Pondok Pesantren. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat menitik beratkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Jadi lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan sehingga munculnya penyakit dapat dihindari (Zamaksyari D, 1998). Usaha situasi adalah suatu usaha untuk menurunkan jumlah bibit penyakit yang terdapat dalam bahan-bahan yang terdapat dalam lingkungan fisik manusia sehingga derajat manusia dapat terpelihara dengan sempurna. Untuk mencapai hal tersebut maka persyaratan lingkungan Pondok Pesantren harus memenuhi persyaratan (Azwar, 1995). a. Persyaratan umum : 1) Lingkungan Pondok Pesantren selalu dalam keadaan bersih dan tersedia sarana sanitasi yang memadai. 2) Lingkungan dan bangun Pondok Pesantren tidak memungkinkan sebagai tempat bersarang dan berkembang biaknya serangga, binatang pengerat dan binatang pengganggu lainnya. 3) Bangunan Pondok harus kuat, utuh terpelihara, mudah dibersihkan, dan dapat mencegah penularan penyakit dan kecelakaan (Azwar, 1995). b. Persyaratan khusus data ruang. Syarat-syarat tat ruang yang harus dipenuhi menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Djasio Sanropie berikut : 1) Pencahayaan. Pencahayaan alam atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat mengurangi seluruh ruangan maupun didalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan cahaya alam dan cahaya buatan. a) Cahaya alam. Pencahayaan alam diperoleh oleh masuknya sinar matahari kedalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka dan genting kaca. Sinar ini lebih baiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohonpohon maupun timbuk pagar yang tinggi, selain untuk penerangan hal ini berfungsi juga untuk membunuh kuman-kuman penyakit tertentu. Dianjurkan kebutuhan standart cahaya alam yang memenuhi syarat untuk standart cahaya, menurut WHO (1979) adalah sebagai berikut :
30
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
(1) Kamar keluarga dan kamar tidur 60 – 120 watt (2) Kamar administrasi 60 – 120 watt (3) Pabrik untuk pekerja keras 120 – 250 watt (4) Pabrik untuk pekerja halus 600-1000 watt (5) Hotel 120-125 watt (6) Sekolah 120-250 watt b) Pencahayaan buatan. Pencahayaan buatan yang baik dan standart dapat dipengaruhi oleh : (1) Cara pemasangan sumber cahaya pada dinding-dinding dan langit-langit. (2) Kontruksi sumber cahaya dalam ornamen yang digunakan. (3) Luas dan bentuk ruangan. (4) Penyebaran sinar dari sumber cahaya. 2) Ventilasi. Luas penghalang atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai (Permen Kes RI. No. 829/Men Kes/SK/VII/1999). Hawa segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang sudah dipakai udara segar diperlukan untuk temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan, sebaiknya 40 dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umunya temperatur kamar 22oC–30oC sudah cukup segar. Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat-syarat berikut : a) Lubang penghawaan dapat menjamin penggantian udara didalam kamar/ruangan dengan baik, luas penghawaan antara 5% - 15% dari luas lantai dan berada dalam ketinggian 2,10 meter dari lantai (RI Dep Kes, 1993). b) Udara yang masuk harus bersih dari asap, debu dan lain-lain. c) Aliran udara jangan menyebabkan masuk angin. d) Aliran udara diusahakan ”Cross Ventilation” dengan menempatkan lobang udara yang berhadapan. 3) Kelembaban udara. Secara umum kelembaban udara ruangan yang ideal adalah antara 40% - 70% untuk memperoleh kenyamanan udara kelembaban 90% dan suhu 30oC masih diperbolehkan asal selalu dipertahankan udara yang seimbang didalam ruangan tersebut, misalnya : dengan bantuan Fan (kipas angin)hal ini berkaitan dengan ventilasi yang baik. 4) Kepadatan penghuni kamar. Kepadatan penghuni adalah luas lantai dalam rumah dibagi jumlah anggota keluarga penghuni rumah tersebut sesuai dengan standart perbandingan luas kamar minimal dengan jumlah penghuni maksimal. Menurut Dep Kes RI, 1993 maka kepadatan penghuni dibagi dua yaitu : a) Kategori kepadatan penghuni yang memenuhi standart adalah 2 orang per 8 m2. b) Kategori kepadatan penghuni tinggi adalah bila lebih dari 2 orang per 8 m2 dengan ketentuan anak-anak kurang dari satu tahun tidak diperhitungkan dan umur 1–10 tahun dihitung setengah. C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Ditinjau dari segi waktu penelitian ini bersifat cross sectional, karena pengambilan data berdasarkan wawancara, pemeriksaan dan pengukuran dilakukan dalam waktu tertentu dan pada saat yang bersamaan. Sedangkan ditinjau dari segi cara pengambilan datanya, maka penelitian ini bersifat deskriptif observasional, karena tidak memberikan perlakuan dalam penelitian ini.
31
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
KERANGKA KERJA Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit skabies 1. 2. 3. 4. 5.
Umur Jenis kelamin Pendidikan Pengetahuan tentang skabies Kepadatan penghuni
Personal Hygiene
Terjadinya penyakit kulit skabies di Pondok Pesantren Syalafiyah-Syafi’iya Sukorejo Sumberrejo Situbondo.
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 1.
Kerangka Kerja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Penyakit Kulit Skabies di Pondok Pesantren Salafiyah – Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo
2.
Hipotesis. Dari teori-teori yang telah diulas pada penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut : a. Ha : ada pengaruh umur terhadap terjadinya penyakit kulit scabies pada santri di pondok pesantren. b. Ha : ada pengaruh jenis kelamin terhadap penyakit kulit scabies pada santri di pondok pesantren. c. Ha : ada pengaruh antara personal hygiene terhadap terjadinya penyakit kulit scabies pada santri di pondok pesantren. d. Ha : ada pengaruh antara pendidikan terhadap penyakit kulit scabies pada santri di pondok pesantren. e. Ha : ada pengaruh antara pengetahuan santri terhadap penyakit kulit scabies pada santri di pondok pesantren. f. Ha : ada pengaruh kepadatan penghuni kamar terhadap penyakit kulit scabies pada santri di pondok pesantren.
3.
Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua santri yang tinggal di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Situbondo yaitu sebanyak +3000 santri. Sampel dalam penelitian ini diseleksi menggunakan stratified random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang. Variabel Bebas (Independent) dalam penelitian ini antara lain: Faktor santri yang terdiri dari Umur santri; Jenis kelamin santri; Pendidikan santri; Pengetahuan scabies; Personal hygiene santri sedangkan Sanitasi pondok (Kepadatan penghuni pondok pesantren). Variabel Terikat (Dependent) dalam penelitian ini yaitu penyakit kulit scabies pada santri yang mondok di pondok pesantren di Pondok Pesantren Salafiyah - Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Kabupaten Situbondo.
32
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Bebas dan Terikat Nama variabel
Skala
Skor
Umur
Nilai dimana tahun penelitian Nominal dikurangi tahun kelahiran responden dan ditanyakan dalam tahun
Jenis kelamin
Pembagian jenis reproduksi berdasarkan alat reproduksi.
Pendidikan
Tingkat pendidikan yang dicapai Ordinal responden
Pengetahuan tentang scabies
Tingkat pengetahuan yang Nominal dimiliki respondent yang diukur dengan menggunakan lembar kuesioner kemudian dilakukan skoring yang meliputi pengetahuan responden tentang Cara penularan; Cara pencegahan; dan Cara pengobatan.
Kepadatan penghuni pondok pesantren
Diukur berdasarkan luas Nominal ruangan dibagi jumlah anggota penghuni kamar tersebut, tidak padat sama dengan luas ruangan tidur minimal 8m2 dan tidak digunakan lebih dari 2 orang tidur dengan ketentuan anakanak kurang 1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1–10 tahun dihitung setengah.
Padat = luas kamar 4 m x 4 m dihuni 5-10 orang
Personal Higiene
Kondisi kebersihan badan santri Nominal yang meliputi mandi, kebersihan rambut, kuku, tangan dan tangan serta pakaian untuk mengetahui dengan menggunakan lembar observasi berupa kuesioner kemudian dilakukan skoring. Kejadian scabies yang terjadi Nominal pada santri yang ditentukan oleh hasil diagnosa medis.
Kurang = 20 - 25 Baik = 26 - 40
penyakit kulit scabies
4.
Definisi Operasional
Nominal
1. 11 – 15 th 2. > 15 th 1. Laki-laki 2. Perempuan 1. MTs 2. MA 1. Baik 2. Kurang
Tidak padat = luas kamar 7,5 m x 6 m dihuni 11-20 orang
1. Scabies 2. Tidak scabies
Analisis Data. Setelah data terkumpul kemudian dianalisa secara diskriptif dengan menggunakan tabel distribusi (data kuantitatif) yang dikonfirmasikan dalam bentuk prosentase dan narasi dengan melakukan “Probability” (data kualitatif) untuk mengetahui ada pengaruh atau hubungan antara variabel dependent dan independent dilakukan uji statistic “chi-square” dengan derajat kemaknaan 95 %.
33
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Gambaran lokasi penelitian. Pondok Pesantren yang diberi nama Salafiyah–Syafi’iyah terletak di Desa Sukorejo Kec. Sumberejo Kab. Situbondo yang dipimpin oleh K. H. R. Ach. Fawaid As’ad, beliau adalah penerus ketiga sejak berdirinya Pondok Pesantren tersebut. Sampai tahun 2005 ini jumlah santri di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo mencapai 3000 santri, 1450 santri putra dan 1550 santri putri. Santri yang tinggal di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo selain mencari ilmu agama, juga menuntut ilmu umum. Santri di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo berusia mulai 7 tahun hingga 25 tahun dengan jenjang pendidikan MI (Madrasah Ibtidaiyah) hingga PT (Perguruan Tinggi). Selain itu para santri yang tinggal di Pondok Pesantren Salafiyah– Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo kebanyakan berasal dari luar Situbondo. b. Karakteristik responden berdasarkan umur. Tabel 2. Umur Responden di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo Pada Tanggal 22 September Tahun 2005 No. Karakteristik Umur Frekuensi Prosentase (%) 1 11 – 15 tahun 66 66 2 > 15 tahun 34 34 Total 100 100 Dari tabel 2 diketahui bahwa dari 100 responden, didapatkan lebih dari 50% responden berumur 11– 15 tahun dan sisanya berumur > 15 tahun. c. Karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin. Tabel 3. Jenis Kelamin Responden di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo Pada Tanggal 22 September Tahun 2005 No. Karakteristik Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase (%) 1 Laki-laki 41 41 2 Perempuan 59 59 Total 100 100 Dari tabel 3 diketahui bahwa dari 100 responden, didapatkan lebih dari 50% responden berjenis kelamin perempuan dan sisanya berjenis kelamin laki-laki. d. Karakteristik responden berdasarkan Pendidikan. Tabel 4. Pendidikan Responden di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo Pada Tanggal 22 September Tahun 2005 No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi Prosentase (%) 1 MTs (setara SMP) 70 70 2 MA (setara SMA) 30 30 Total 100 100 Dari tabel 4 diketahui bahwa dari 100 responden, didapatkan lebih dari 50% responden pendidikan MTs dan sisanya pendidikan MA. e. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan tentang skabies. Tabel 5. Pengetahuan Tentang Skabies Responden di Pondok Pesantren Salafiyah– Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo Pada Tanggal 22 September Tahun 2005 No. Tingkat Pengetahuan Frekuensi Prosentase (%) 1 Kurang 65 65 2 Baik 35 35 Total 100 100
34
HOSPITAL MAJAPAHIT
f.
g.
h.
2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Dari tabel 5 diketahui bahwa dari 100 responden, didapatkan lebih dari 50% responden mempunyai pengetahuan kurang tentang skabies dan sisanya mempunyai pengetahuan baik tentang skabies. Karakteristik responden berdasarkan personal hygiene. Tabel 6. Personal Hygiene Responden di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo Pada Tanggal 22 September Tahun 2005 No. Personal Hygiene Frekuensi Prosentase (%) 1 Kurang 46 46 2 Baik 54 54 Total 100 100 Dari tabel 6 diketahui bahwa dari 100 responden, didapatkan lebih dari 50% responden mempunyai personal hygiene baik dan sisanya mempunyai personal hygiene kurang. Karakteristik responden berdasarkan kepadatan penghuni kamar. Tabel 7. Kepadatan Penghuni Kamar Responden di Pondok Pesantren Salafiyah– Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo Pada Tanggal 22 September Tahun 2005 No. Kepadatan Penghuni Kamar Frekuensi Prosentase (%) 1 Padat 68 68 2 Tidak Padat 32 32 Total 100 100 Dari tabel 7 diketahui bahwa secara umum responden yang menempati kamar padat yaitu sebanyak 68 responden (68%). Karakteristik responden berdasarkan penyakit kulit skabies. Tabel 8. Penyakit Kulit Skabies Yang Diderita Responden di Pondok Pesantren Salafiyah–Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo Pada Tanggal 22 September Tahun 2005 No. Keadaan Santri Frekuensi Prosentase (%) 1 Menderita Skabies 45 45 2 Tidak Menderita Skabies 55 55 Total 100 100 Dari tabel 8 diketahui bahwa diketahui bahwa dari 100 responden, didapatkan lebih dari 50% responden tidak menderita skabies dan sisanya menderita skabies.
Data khusus. a. Hubungan antara umur dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Tabel 9. Tabulasi Silang Berdasarkan Hubungan Antara Umur Dengan Terjadinya Penyakit Kulit Skabies. Keadaan Santri Total Menderita Tidak Menderita No. Umur Skabies Skabies % % % F F F 36 36 30 30 66 66 1 11 – 15 tahun 9 9 25 25 34 34 2 > 15 tahun Total 45 45 55 55 100 100 Dari tabel 9 diketahui dari jumlah 66 santri yang berumur 11 – 15 tahun didapatkan 36 responden menderita kulit skabies. Hasil uji statistik Chi-Square didapatkan = 0.014 yang berarti < , H0 ditolak yang artinya ada hubungan antara umur dengan terjadinya penyakit kulit skabies.
35
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
d.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Tabel 10. Tabulasi Silang Berdasarkan Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Terjadinya Penyakit Kulit Skabies. Keadaan Santri Total Menderita Tidak Menderita No. Jenis kelamin Skabies Skabies % % % F F F 20 20 21 21 41 41 1 Laki-laki 25 25 34 34 59 59 2 Perempuan Total 45 45 55 55 100 100 Dari tabel 10 diketahui dari bahwa dari 59 santri berjenis kelamin perempuan yang menderita penyakit kulit skabies sebanyak 25 santri. Hasil uji statistik chi-square didapatkan > , H0 diterima yang berarti tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Hubungan antara pendidikan dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Tabel 11. Tabulasi Silang Berdasarkan Hubungan Antara Pendidikan Dengan Terjadinya Penyakit Kulit Skabies. Keadaan Santri Total Menderita Tidak Menderita No. Pendidikan Skabies Skabies % % % F F F MTs (setara SMP) 39 39 31 31 70 70 1 MA (setara SMA) 6 6 24 24 30 30 2 Total 45 45 55 55 100 100 Dari tabel 11 didapatkan bahwa dari 70 santri dengan tingkat pendidikan MTs yang menderita penyakit kulit skabies sebanyak 39 santri. Hasil uji statistik chi-square < , H0 ditolak yang berarti ada hubungan antara pendidikan dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Hubungan antara pengetahuan dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Tabel 12. Tabulasi Silang Berdasarkan Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Terjadinya Penyakit Kulit Skabies. Keadaan Santri Total Menderita Tidak Menderita No. Pengetahuan Skabies Skabies % % % F F F Kurang 35 35 40 40 75 75 1 Baik 10 10 15 15 25 25 2 Total 45 45 55 55 100 100 Dari tabel 12 didapatkan bahwa dari 75 santri dengan pengetahuan kurang, sebanyak 35 santri yang menderita penyakit kulit skabies. Hasil uji statistik chi-square < , H0 ditolak yang berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan terjadinya penyakit kulit skabies.
36
HOSPITAL MAJAPAHIT e.
f.
E.
1.
2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Hubungan antara personal hygiene dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Tabel 13. Tabulasi Silang Berdasarkan Hubungan Antara Personal Hygiene Dengan Terjadinya Penyakit Kulit Skabies. Keadaan Santri Total Menderita Tidak Menderita No. Personal Hygiene Skabies Skabies % % % F F F Kurang 33 33 13 13 46 46 1 Baik 12 12 42 42 54 54 2 Total 45 45 55 55 100 100 Dari tabel 13 didapatkan bahwa dari 46 santri dengan personal hygiene kurang yang menderita penyakit skabies sebanyak 33 santri. Hasil uji statistik chi-square < H0 ditolak yang berarti ada hubungan antara personal hygiene dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Hubungan antara kepadatan penghuni hamar dengan terjadinya penyakit kulit skabies. Tabel 14. Tabulasi Silang Berdasarkan Hubungan Antara Kepadatan Penghuni Kamar Dengan Terjadinya Penyakit Kulit Skabies. Keadaan Santri Total Kepadatan Menderita Tidak Menderita No. penghuni Kamar Skabies Skabies % % % F F F Padat 37 37 31 31 68 68 1 Tidak Padat 8 8 24 24 32 32 2 Total 45 45 55 55 100 100 Dari tabel 14 didapatkan bahwa dari 68 santri yang menempati kamar dengan kategori padat diketahui terdapat 37 santri yang menderita penyakit skabies. Hasil uji chisquare < , H0 ditolak yang berarti ada hubungan antara kepadatan penghuni kamar dengan terjadinya penyakit kulit skabies.
PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian pada 100 santri di Pondok Pesantren Salafiyah– Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo, setelah dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner didapatkan 45 santri (45%) yang menderita penyakit kulit skabies. Adapun faktor-faktor yang diteliti yang dianggap mempengaruhi terjadinya penyakit kulit skabies adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, personal hygiene, dan kepadatan penghuni kamar. Berdasarkan Umur Santri. Setelah dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square dengan hasil < maka H0 ditolak, yang mempunyai arti ada pengaruh secara signifikan antara umur dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren, hal ini sesuai dengan tinjauan kepustakaan bahwa penyakit kulit skabies ini sering terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia dengan prevalensi tertinggi pada anak usia 11–15 tahun (Soleha Sungkar, 1994). Berdasarkan Jenis Kelamin Santri. Setelah dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square dengan hasil > maka H0 diterima, yang mempunyai arti tidak ada pengaruh secara signifikan antara jenis kelamin dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren, hal ini sesuai dengan tinjauan kepustakaan bahwa setiap orang dapat terinfeksi oleh skabies tanpa memandang jenis kelamin (Muslimin, 1998).
37
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
4.
5.
6.
F.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Berdasarkan Pendidikan Santri. Setelah dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square dengan hasil < maka H0 ditolak, yang mempunyai arti ada pengaruh secara signifikan antara tingkat pendidikan dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren, hal ini sesuai dengan tinjauan kepustakaan bahwa dengan tingkat pendidikan yang tinggi individu akan mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi pula dan lebih mudah untuk menerima informasi terutama dalam hal yang berhubungan dengan kesehatan dan hal ini akan berpengaruh pada perilaku individu tersebut (Kusmiati, 1997). Berdasarkan Pengetahuan Santri. Setelah dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square di dapatkan < maka H0 ditolak, yang mempunyai arti ada pengaruh secara signifikan antara pengetahuan dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren, hal ini sesuai dengan tinjauan kepustakaan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu di antaranya; pengetahuan (knowledge), keyakinan sarana yang diperlukan dan dorongan atau motivasi (Mantra, 1995). Berdasarkan Personal Hygiene Santri. Setelah dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square di dapatkan < maka H0 ditolak, yang mempunyai arti ada pengaruh secara signifikan antara personal hygiene dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren, hal ini sesuai dengan tinjauan kepustakaan bahwa faktor yang menunjang terjadinya penyakit kulit skabies salah satunya adalah personal hygiene yang buruk (Djuanda, 1999). Berdasarkan Tingkat Kepadatan Penghuni Kamar. Setelah dianalisa dengan menggunakan uji statistik chi square di dapatkan < maka H0 ditolak, yang mempunyai arti ada pengaruh secara signifikan antara kepadatan penghuni kamar dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren, hal ini sesuai dengan tinjauan kepustakaan bahwa prevelensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dan kepadatan penghuni yang tinggi (Soleha Sungkar, 1994). PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 100 responden atau terhadap santri yang mondok di Pondok Pesantren Salafiyah – Syafi’iyah Sukorejo Sumberejo Situbondo, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh secara signifikan antara umur dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren 2. Tidak ada pengaruh secara signifikan antara jenis kelamin dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren 3. Ada pengaruh secara signifikan antara pendidikan dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren 4. Ada pengaruh secara signifikan antara tingkat pengetahuan dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren 5. Ada pengaruh secara signifikan antara personal hygiene dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren 6. Ada pengaruh secara signifikan antara kepadatan penghuni kamar dengan terjadinya penyakit kulit skabies pada santri di pondok pesantren. Agar para santri terhindar dari penyakit kulit skabies, yang mana penyakit ini sebenarnya dapat dicegah para santri diharapkan untuk meningkatkan personal hygiene dengan membiasakan diri untuk berperilaku hidup sehat dan selalu menjaga kebersihan terutama kebersihan : kamar, tempat tidur, selimut dan juga pakaian jangan dibiasakan untuk berganti-ganti antar teman. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa : Kebersihan itu adalah sebagian dari iman. Untuk sementara para santri yang sehat atau yang tidak menderita penyakit kulit skabies agar menghindari baik secara langsung maupun kontak
38
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
tidak langsung dengan penderita penyakit kulit skabies, dan bagi santri yang sedang menderita penyakit kulit skabies hendaknya mempunyai kesadaran yang tinggi untuk berobat baik ke puskesmas ataupun tempat-tempat pelayanan kesehatan yang lain sampai penyakitnya sembuh. Institusi Pondok Pesantren hendaknya selalu memotivasi pada santri untuk meningkatkan personal hygiene dan berperilaku hidup sehat dengan memberi penyuluhan tentang pemeliharaan personal hygiene yaitu melalui kegiatan-kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah yang ada, serta agar diusahakan luas kamar hunian santri disesuaikan dengan syarat-syarat pemukiman yang sehat, menurut Permankes nomor 829/Menkes/SK/VII/1999. Tentang persyaratan kesehatan perumahan. Jika hal itu tidak memungkinkan maka jalan alternatif lain yaitu dengan memperbaiki sanitasi kamar misalnya : ventilasi atau jendela kamar yang selalu terbuka sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik, serta bisa ditambahkan Exhaust fan dan lubang angin yang menambah sirkulasi semakin baik. Pengurus pondok agar bekerjasama dengan pelayanan kesehatan yang ada untuk mengadakan pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk diagnosa dan pengobatan dini, serta menyediakan lembar petunjuk tentang pencegahan dan gejala dini skabies sehingga bisa diambil tindakan penanganan lebih dini dan kesembuhan lebih cepat pula. DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S . 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta Azwar, Asrul . 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya. Brotowijoyo, D Mukayat. 1991. Metodologi Penelitian dan Penulisan Karangan Ilmiah. Yogyajarkta : Liberti. Depkes RI. 1993. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Tempat-Tempat Umum. Surabaya : Dirjen PPM dan PLP. Depkes RI. 1999. Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta : Keputusan Mentri Kesehatan. Djuanda, Adhi (dkk). 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ke-3. Jakarta : FKUI. Gunawan, Rudi. 1997. Pedoman Perencanaan Rumah Sehat. Jakarta : Yayasan Sarana Cipta. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit, Edisi Ke-1. Jakarta : Gunung Agung. Ismail Sofyan, Sastroasmoro Sudigdo. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinik. Jakarta : Binarupa Aksara. Kabag. Kesehatan Pondok Pesantren Salafiyah – Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, 2005 Kusmiati . 1997. Dasar-Dasar Perilaku, Jakarta: Depkes RI. Mantra, IB. 1995. Buku Pedoman Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Sub Dinas Penyuluhan Kesehatan Tingkat I Jatim, Surabaya Muslim. 1998. Kesehatan Lingkungan, Jakarta: FKM UI Notoatmodjo, S, 2000. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S, 2002. Metodogi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta Nursalam & Siti Pariani. 2000. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Surabaya : PSIK FK UNAIR. Nursalam & Siti Pariani. 2001. Pendekatan Praktis Metodlogi Penelitian, Jakarta Permen Kes RI No. 829/Menkes/SK/1999. Persyaratan Perumahan, Jakarta: Depkes RI Pudjiraharjo, Widodo J. 1993. Metodologi Penelitian dan Statistik Tempat. Surabaya : Airlangga Universitas Press. Soedarto. 1996. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia, Jakarta: Widya Medika Sungkar, Saleha. 1994. Tujuan Secara Umum Tentang Penyakit-Penyakit Kulit Yang Disebabkan Oleh Jamur, Surabaya: FK Unair Wolf, Weizel. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Edisi Ke-2 Gunung Agung. Zamaksyari, D. 1998. Tradisi Pesantren Ditinjau Dari Kehidupan Kyai. Yogyakarta : LPP dan PE.
39
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
TINGKAT KECEMASAN PADA IBU HAMIL PRIMIGRAVIDA TRIMESTER III DALAM MENGHADAPI PERSALINAN DI RSUD PROF. Dr. SOEKANDAR MOJOSARI MOJOKERTO Dr. Rahmi Syarifatun Abidah Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di Poli kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif serta pengambilan sampel dengan cara concecutive sampling sebanyak 15 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner tentang tingkat kecemasan. Data yang terkumpul kemudian diolah dan diuji, didapatkan sebagian besar responden mengalami kecemasan ringan dengan prosentase 6,6% sedangkan yang mengalami kecemasan sedang dengan prosentase 73,3% dan 20% mengalami kecemasan berat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian ibu hamil primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan mengalami kecemasan sedang dengan prosentase 73,3% dan sebagian kecil mengalami kecemasan ringan dengan prosentase 6,6%. Melihat hasil tersebut maka diharapkan bagi tenaga kesehatan untuk memberikan dukungan secara psikologis pada klien agar tingkat kecemasan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan bisa berkurang. Kata kunci : ibu primigravida, cemas. A.
PENDAHULUAN. Kecemasan dapat dialami oleh seseorang dan pada situasi apapun diantaranya pada ibu yang akan menghadapi persalinan. Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri). (Manuaba, 1998). Kita menganggap bahwa persalinan sebagai tugas yang sangat berat atau beban penderitaan dan juga tidak bebas dari resiko baik ibu maupun bayi (Ferrer, 1999). Persalinan merupakan hal yang fisiologi bagi ibu primigravida, namun banyak ibu-ibu tidak tenang, merasa khawatir. Sehingga banyak ibu primigravida yang kurang siap. Dalam menghadapi persalinan diperlukan suatu kesiapan fisik dan mental. Kecemasan yang dialami setiap ibu berbeda tergantung mekanisme koping yang digunakan. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses persalinan meliputi : power, pessenger, passageway, posisi ibu dan psikis (Manuaba, 2002). Jika ibu primigravida tidak mempunyai kesiapan psikis akan menyebabkan timbulnya kecemasan dan ketakutan. perasaan ibu biasa terjadi pada ibu yang akan melahirkan pertama kali, yang disebabkan oleh kurang adanya informasi dalam persalinan, tidak ada dukungan dari keluarga dan suami. Adanya penyakit penyerta, jarangnya ibu ikut ANC (Ante Natal Care), pendidikan ibu, usia ibu yang terlalu muda dan sering mendengar cerita-cerita yang menakutkan dari persalinan orang-orang sekitarnya (Herawati, Netty, 1999). Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, dari hasil observasi yang sudah dilakukan pada ibu hamil primigravida trimester III pada tanggal 18–20 Agustus 2007, menunjukkan bahwa 14 dari 20 ibu hamil primigravida trimester III merasa cemas, sedangkan ibu hamil primigravida yang lain tidak merasa cemas. Menurut Ahli psiko analisa Harry Stock Sullivan, bahwa terjadi kecemasan pada ibu hamil sekitar 80% - 90% kelahiran pertama. Melihat dari teori ini tidak menutup kemungkinan kecemasan akan terjadi pada ibu primigravida. Hingga saat ini belum diketahui berapa besar kecemasan yang dialami ibu
40
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
primigravida dalam mengalami persalinan. Diperlukan banyak cara untuk mengurangi kecemasan, misalnya relaksasi dengan cara tarik nafas dalam, adanya dukungan dari suami, rumah sakit dan pemeriksaan secara rutin. Untuk itu diperlukan adanya peningkatan dalam memberikan asuhan keperawatan untuk membantu ibu primigravida dalam mengatasi dan mengurangi kecemasan. Sebagai petugas pelayanan kesehatan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu menghadapi kecemasan dan diharapkan meminimalkan kecemasan dengan memberikan penyuluhan atau informasi tentang persiapan mental dalam menghadapi persalinan. Sehingga rumusan masalah yang terbentuk dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat kecemasan Ibu Primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto ?. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Cemas dan Primigravida. a. Pengertian cemas. Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi system saraf autonom dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas atau non spesifik (Carpenito, 2001). Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian akan situasi yang mengganggu kemampuan seseorang dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melaui perubahan fisiologi dan perilaku ataupun tidak secara langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan kecemasan, sedangkan menurut pada suatu benda atau keadaan akan tetapi mengembang bebas (Soesilo Wiradhini, 2000). Kecemasan pada individu, yaitu perasaan, kekhawatiran karena keinginan, tuntutan internal tidak dapat terpenuhi dengan sebaiknya, khawatir, tidak mampu mengatasi / menekan keinginan primitifnya (Latipun, 2004). Kecemasan adalah sebagai emosi yang ditandai oleh perasaan akan bahaya yang diantisipasi, termasuk juga ketegangan dan stres menghadang (Davidoff, 2004). b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan. 1) Faktor Predisposisi. Menurut (Stuart dan Sundeen, 1998) teori yang dikembangkan untuk menjelaskan penyebab kecemasan adalah : a) Teori Psikoanalitik. Kecemasan adalah konflik emosi yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan super ego. Id mewakili dorongan insting impuls primitif seseorang sedangkan super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikembangkan oleh norma-norma budaya seseorang ego atau aku berfungsi untuk menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan untuk mengingkatkan ego bahwa adanya bahaya. b) Teori Interpersonal. Kecemasan timbul dari rasa takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan cemas yang berat. c) Teori Perilaku. Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan, pakar perilaku menganggap cemas merupakan suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.
41
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
d) Teori Keluarga. Kecemasan merupakan hal yang bias ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan cemas dan antara gangguan cemas dengan depresi. e) Teori Biologis. Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazeping. Respon ini mungkin membantu mengatur cemas. Selain itu telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap cemas (Stuart and Sundeen, 1998). 2) Faktor Presipitasi. Stressor presipitasi mungkin muncul atau berasal dari internal dan eksternal. Stressor presipitasi dadikelompokkan dalam dua kategori, yaitu : a) Ancaman terhadap integritas seseorang. Meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan dating atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. b) Ancaman terhadap sistem dari seseorang. Dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang terintegrasi seseorang. 3) Tingkat Kecemasan. a) Kecemasan Ringan. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan seharihari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Cemas dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Respon fisiologi : (1) sesekali nafas pendek, (2) nadi dan tekanan darah meningkat, (3) gejala ringan pada lambung, (4) muka berkerut dan bibir bergetar. Respon Kognitif : (1) lapang-persepsi meluas, (2) mampu menerima rangsangan yang kompleks, (3) konsentrasi pada masalah. b) Kecemasan Sedang. Memungkinkan seseorang memutuskan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologis : (1) napas pendek, (2) nadi dan tekanan darah meningkat, (3) mulut kering, (4) anorexia. Respon perilaku : (1) gerakan tersentak-sentak, (2) susah tidur, (3) perasaan tidak aman. c) Kecemasan Berat. Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung memusatkan pada sesuatau yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain, semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut banyak membutuhkan pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian, dengan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsinya yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Respon fisiologi : (1) nafas pendek, (2) nadi dan tekanan darah, (3) berkeringat, (4) ketegangan, (5) penglihatan kabur. Respon perilaku : (1) perasaan ancaman meningkat, (2) vertilitas cepat, (3) blocking.
42
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
d) Tingkat Panik. Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian dari proporsinya. Karena kehilangan kendali, orang tersebut banyak membutuhkan pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi keppribadian, dengan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsinya yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. c. Manifestasi perilaku individu yang mengalami kecemasan. 1) Aspek Fisik. Banyak berkeringat, meningkatnya denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tidak nafsu makan atau minum yang lebih sulit, sulit tidur, dingin pada ekstremitas, dilatasi pada pupil. 2) Aspek Emosional. Timbul rasa malu, tidak mau bergaul, merasa tidak berguna, sedih, memendam rasa marah, sedih dan benci. 3) Aspek Intelektual. Kesulitan dalam berkomunikasi dan belajar, mudah lupa, ketidakmampuan menggunakan pikiran/akal sehat. 4) Aspek Sosial. Ingin mendapatkan perhatian dari orang, lebih banyak menuntut, merasa takut sesuatu akan terjadi, mengisolasi, menarik. d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan. 1) Pendidikan. Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan, mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok/masyarakat sehingga merupakan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoadmodjo, 2003). Pendidikan adalah usaha sadar dan terancam dan terancam untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, kepribadian, kecerdasan akhlak serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Tunggal Setia, 2003). Pendidikan seseorang mempengaruhi cara pandangnya terhadap diri dan lingkungannya, karena itu akan berbeda sikap klien yang berpendidikan tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah dalam menyikapi proses dan berinteraksi selama konseling berlangsung (Latipun, 2004). 2) Jenis Kelamin. Perempuan mempunyai kecemasan lebih tinggi daripada laki-laki (Fortinash, 1996). Wanita mempunyai tingkat kecemasan lebih tinggi daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1 (Hawari, 2001). 3) Usia. Usia adalah individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun (Nursalam, 2001). Makin tua umur seseorang makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi, makin mudah umur seseorang yang akan melahirkan, maka akan sangat mempengaruhi tingkat kecemasan (Long, 1996). 4) Pekerjaan. Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan dan kehidupan keluarganya (Nursalam, 2001). Dalam suatu pekerjaan
43
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
tidak menutup kemungkinan seseorang mengalami kecemasan diantaranya : jenis pekerjaan, penghasilan, dan lain-lain. Cara Penilaian (Test Kecemasan). Menurut Hawari (2001) untuk mengetahui sejauhmana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau panik, orang menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale Anxiety (HRS-A) terdiri dari 14 kelompok. 1) Perasaan Cemas. Cemas, firasat buruk, takut perasaan sendiri, mudah tersinggung. 2) Ketegangan. Merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah. 3) Ketakutan. Pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang besar, ada keramaian lalu lintas, pada kerumunan orang banyak. 4) Gangguan Tidur. Sukar tidur, terbangun malam hari, tidur nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi-mimpi, mimpi buruk, mimpi menakutkan. 5) Gangguan Kecerdasan. Sukar konsentrasi, daya ingat menurun, daya ingat buruk. 6) Perasaan Depresi (Murung). Hilangnya minat, berkurangnya minat pada hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-ubah sepanjang hari. 7) Gejala Somatik. Sakit dan nyeri di otot-otot, kaku otot, kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil. 8) Gejala Sensorik. Tinitus (telinga berdenging), pengelihatan kabur, muka merah/pucat, merasa lemas, perasaan ditusuk-tusuk. 9) Gejala Kardiovaskuler (jantung) Takikardi (denyut jantung cepat) berdebar-debar, nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa lesu, lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang (berhenti sekejap). 10) Gejala Respiratory. Rasa tertekan/sempit di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek/sesak. 11) Gejala Gastrointestinal (Pencernaan). Sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar perut, rasa penuh dan kembung, mual, muntah, buang air besar lembek, sukar buang air besar (konstipasi), kehilangan berat badan. 12) Gejala Urogenital (Perkemihan dan Kelamin). Sering buang air kecil, tidak dapat menahan air seni, menjadi dingin. 13) Gejala Autonom. Mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit, bulu-bulu berdiri. 14) Tingkat takut (sikap) pada wawancara Gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kerut kering, muka tegang, otot tegang/mengeras, nafas pendek cepat, muka merah. Dari 14 item cara penilaiannya sebagai berikut : Skor 0 : Tidak ada gejala sama sekali Skor 1 : Satu gejala dari pilihan yang ada
44
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Skor 2 : Separuh dari pilihan yang ada Skor 3 : Lebih dari separuh gejala yang ada Skor 4 : Semua gejala yang ada Penentuan derajat kecemasan menjumlah nilai skor dari 1-14 item dan hasilnya : Skor kurang dari 14 : Tidak ada kecemasan 14-20 : Kecemasan ringan 21-27 : Kecemasan sedang 28-41 : Kecemasan berat 42-56 : Panik 2.
Pengertian Primigravida. Primigravida adalah wanita yang pertama kali hamil dan belum pernah punya anak atau belum pernah kegugaran (Manuaba, 1997). Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan dan telah dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir/melalui jalan lain, dengan bantuan/tanpa bantuan/kekuatan sendiri (Manuaba, 2000). a. Konsep-konsep pada Timester III. Tanda-tanda awal awal yang sering muncul adalah : 1) Kepala Bayi Turun. Inilah tanda yang dirasakan ibu di bagian tulang punggung tengah. Bayi yang tadinya masih diam di atas tulang tersebut, sekarang mulai turun dan kepalanya “masuk” ke lingkaran tulang. Hal ini akan terasa “mengganjal”. Khususnya buat para ibu yang hamil untuk pertama kalinya. Memang kejadian ini jarang dirasakan berkurangya tekanan pada bagian perut, kejadian berlangsung antara 2 – 4 minggu sebelum kelahiran. 2) Nyeri Punggung Bawah. Akibat bayi semakin turun, 8 tingkat pergerakannya, tekanan pun berpindah kebagian penyambung tulang kelangkang dan tulang usus. Hal ini menyebabkan rasa nyeri di punggung bagian bawah yang menyebabkan ibu tidak nyaman duduk, berdiri, ataupun anda akan berbaring. Tampaknya rasa tidak nyaman merupakan yang paling penting sebagai tanda bahwa kelahiran sudah dekat. Maklum bayilah penyebabnya karena dia turun ke tulang belakang dan tiap keluar. 3) Meningkatnya Frekuensi Kencing. Turunnya bayi ke tulang panggul juga berarti tekanan ke kandung kemih. Kalau sudah begitu, ibu sering buang air kecil. Pada akhir ini juga akan terjadi perubahan hormonal yang mempersiapkan ibu menuju kelahiran, yaitu berupa meningkatnya dan aktivitas perut. Hal ini mendorong sering buang air besar. 4) Bercak Darah di Vagina. Turunnya bayi juga menekan cervix yang tadinya berfungsi semacam tutup botol antara bayi & ibunya di dalam dan di luar vagina. Tutup botol berupa cairan mucus akan dimulai keluar bersamaan dengan darah dari cervix yang mulai terbuka dan ini akan diketahui oleh wanita hamil setiap ada cairan mucus warna coklat yang keluar dari vaginanya. Ada beberapa variasi : beberapa lama kejadian melahirkan terjadi setelah keluarnya mucus coklat tadi (3 hari 2 minggu). Yang jelas kalau ada mucus coklat keluar, itu tanda jelas kelahiran sudah menjelang. b. Tanda-tanda persalinan. Kekuatan HIS semakin sering terjadi & teratur dengan jarak kontaksi yang semakin pendek. Dapat terjadi pengeluaran pembawa tanda, yaitu : 1) Pengeluaran Lendir. 2) Lendir Campur Darah.
45
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
e.
f.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Keluarnya bercak darah bukan petunjuk akibat bagi ibu yang akan segera melahirkan. Namun ibu perlu waspada terhadap hal tersebut, jika perdarahan banyak ibu perlu segera ke RS tanpa perlu menunggu kontraksi yang terjadi mulai teratur dan bertambah kekuatannya. 3) Keluarnya Cairan Ketuban. Berwarna kekuningan dari jalan lahir jika belum ada tanda-tanda melahirkan tetapi ketuban sudah pecah atau keluar segeralah mintalah pertolongan ke Bidan/Dokter (Manuaba, 1999). Faktor-faktor dalam persalinan. 1) Power. His (Kontraksi otot rahim). Kontraksi otot dinding perut. Kontraksi diafragma pelvis/kekuatan mengejang. Ketegangan dan kontraksi ligumentum retudum. 2) Passanger (Janin & Plasenta). 3) Passage (jalan lahir lunak & jalan lahir tulang) (Sarwono 1999). Bentuk-bentuk persalinan. 1) Persalinan Spontan. Bila persalinan berlangsung dengan tenaga sendiri. 2) Persalinan Buatan. Bila persalinan dengan rangsangan sehingga terdapat kelakuan untuk persalinan. 3) Persalinan Anjuran. Yang paling ideal sudah tentu persalinan spontan karena tidak memerlukan bantuan apapun dan mempunyai trauma persalinan yang paling ringan sehingga kualitas sumber daya dapat terjamin (Manuaba, 1999). Faktor-faktor eksternal yang berperan dalam persalinan. 1) Dukungan Situasional. Dukungan ini merupakan orang-orang dan sumber yang tersedia untuk memberi dukungan, bantuan dan perawatan. Selama kehamilan, keluarga atau pasangannya seringkali memenuhi peranan yang penting (Hamilton, 1999). 2) Kelengkapan Fasilitas Pelayanan. Perawatan rumah sakit merupakan satu-satunya pilihan untuk kelahiran anak dengan berbagai fasilitas yang lengkap bagi persalinan. Rumah sakit memiliki fasilitas bagi penanganan berbagai keadaan serta komplikasi antenatal, tindakan yang segera atau emergency (Helen Farrer, 1999). 3) Tenaga Penolong. Tenaga penolong terdiri dari bidan, dokter-dokter spesialis, obstetrik, dimana tenaga penolong tersebut sangat beperan penting dalam persalinan (Hellen Farrer, 1999). Mekanisme Koping. Ketika mengalami kecemasan individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Kecemasan tingkat ringat sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang serius. Tingkat keceamasan sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping, yaitu : 1) Reaksi yang Berorientasi pada Tugas. Yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi stres yang terdiri dari : a) Perilaku menyerang (agresif) digunakan untuk mengatasi hambatan atau rintangan untuk kepuasan.
46
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
b) Perilaku menarik dari digunakan baik secara fisik maupun psikologis untuk memindahkan atau menghilangkan dari sumber stres. c) Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang. 2) Mekanisme Pertahanan Ego. Membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan distursi realitas, maka mekanisme ini dapat merespon mal adaptive terhadap srtres (Stuart and Suden, 1999). C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membantu gambaran deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif (Notoadmodjo, 2005). KERANGKA KERJA Faktor yang mempengaruhi kecemasan : a. Umur b. Pendidikan c. Pekerjaan KERJA d.KERANGKA Pengetahuan
Ibu Primigravida Trimester III
Faktor Predisposisi Kecemasan a. Teori Psikoanalitik b. Teori Interpersonal c. Teori Perilaku
Skala HRS-A
Kecemasan
a. b. c. d. e.
Faktor Presipitasi Kecamasan a. Ancaman Integritas Diri b. Ancaman Sistem Diri
Tidak ada Kecemasan Kecemasan Ringan Kecemasan Sedang Kecemasan Berat Kecemasan Panik
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti
Gambar 1.
Kerangka Kerja Tingkat Kecemasan Ibu Primigravida Trimester III Dalam Menghadapi Persalinan Di Poli Kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto
47
HOSPITAL MAJAPAHIT 2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional. Pada penelitian ini populasinya adalah ibu hamil primigravida trimester III di RSUD Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto. Pada penelitian ini sampelnya adalah ibu hamil primigravida trimester III yang berada di poli kandungan yang berjumlah 15 orang yang diseleksi menggunakan consecutive sampling. Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan ibu hamil primigravida trimester III yang didefinisikan sebagai berikut : Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Tingkat Kecemasan Ibu Primigravida Trimester III Dalam Menghadapi Persalinan Di Poli Kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto Definisi Alat Variabel Parameter Kriteria Skala Operasional ukur Tingkat Respon 1. Perasaan cemas H < dari 14 Tidak ada Ordinal Kecemasan psikologis 2. Ketegangan A gejala ibu hamil terhadap stress 3. Ketakutan R primigravida yang 4. Gangguan tidur S 14–20 : trimester III mengandung 5. Gangguan Kecemasan ringan komponen kecerdasan Q respon 6. Perasaan depresi U 21–27 : fisiologis dan 7. Gejala somatik E Kecemasan sedang psikologis 8. Gejala sensorik S perasaan takut 9. Gejala I 28–41 : yang dialami kardiovaskuler O Kecemasan berat ibu 10. Gejala N primigravida respiratory E 42–56 : dalam 11. Gejala urogenital R Kecemasan berat menghadapi 12. Gejala sekali persalinan gastrointestinal 13. Gejala otonom 14. Tingkat takut
3.
Analisis Data. Data yang telah dikumpulkan dianalisa dengan menggunakan deskriptif tipe distribusi frekuensi digunakan untuk menjabarkan dan mensintesis data untuk mengorganisir data secara siatematis dalam bentuk angka-angka mulai dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Cara pengambilan dengan menggunakan ketepatan HARS dan dengan skor yang sudah ditetapkan yaitu : 1. < 14 tidak ada kecemasan. 2. 14 – 20 Kecemasan ringan. 3. 21 – 27 Kecemasan sedang. 4. 28 – 41 Kecemasan berat. 5. 45 – 56 Kecemasan berat sekali (panik).
48
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Karakteristik responden berdasarkan umur. Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Di poli kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto pada tanggal 20–21 September 2007. No. Karakteristik Umur Frekuensi Prosentase (%) 1 < 20 tahun 2 13,3 2 20 – 30 tahun 10 67 3 31 – 40 tahun 3 20 Total 15 100 Dari tabel diatas diketahui lebih dari 50% responden berusia 20 – 30 tahun sebanyak 10 orang (67%). b. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan. Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Di poli kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto pada tanggal 20–21 September 2007. No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi Prosentase (%) 1 SD 0 0 2 SMP 12 80 3 SMU 3 20 4 PT 0 0 Total 15 100 Dari tabel diatas diketahui sebagian besar responden pendidikan SMP sebanyak 12 orang (80%). 2.
Data Khusus. a. Karakteristik responden berdasarkan tingkat kecemasan. Tabel 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan Di poli kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto pada tanggal 20–21 September 2007. No. Tingkat Kecemasan Frekuensi Prosentase (%) 1 Tidak Ada Kecemasan 0 0 2 Kecemasan Ringan 1 6,6 3 Kecemasan Sedang 11 73,3 4 Kecemasan Berat 3 20 5 Kecemasan Panik 0 0 Total 15 100 Dari tabel diatas diketahui sebagian besar responden mengalami kecemasan pada tingkat sebanyak 11 orang (73,3%).
E.
PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di RSUD. Prof. Dr. Sorkandar Mojosari Mojokerto pada tanggal 20-21 September 2007 terdapat 15 responden, didapatkan bahwa tingkat kecemasan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan sebagian besar pada kecemasan sedang dengan jumlah 11 orang (73,3%), sedangkan pada kecemasan ringan dengan jumlah 1 orang (6,6%), kecemasan berat dengan jumlah 3 orang (20%). Berdasarkan karakteristik responden menurut umur. Umur responden lebih dari 50% berusia 20-30 tahun dengan jumlah 10 orang (67%), pendapat ini sesuai seperti yang dikutip oleh Nursalam (2001) makin tua umur seseorang makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi.
49
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Semakin cukup tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja, karena seseorang dengan umur semakin cukup mampu mengatasi atau beradaptasi terhadap kecemasannya saat menghadapi kelahiran anak pertamanya sehingga umur dapat mempengaruhi kecemasan. Menurut karakteristik responden sesuai dengan tingkat pendidikannya didapatkan sebagian besar pada pendidikan SMP dengan jumlah 12 orang (80%). Dengan tingkat pendidikan tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan responden adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan memperberat tingkat kecemasan seseorang. Pernyataan tentang pendidikan di atas sesuai dengan yang dikutip oleh Nursalam (2001) bahwa faktor pendidikan seseorang sangat menentukan kecemasan klien dengan pendidikan tinggi akan lebih mampu mengatasi dengan menggunakan koping yang efektif dan konstruktif dari pada seseorang dengan pendidikan rendah. Adapun salah satu stressor pencetus kecemasan adalah ancaman terhadap integritas dari meliputi ketidakmampuan fisiologi yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Stuart and Sundeen, 1998). Hasil dari tabulasi silang menunjukkan bahwa 33,3% responden yang berpendidikan SMU memiliki kecemasan pada tingkat ringan, sedangkan responden yang berpendidikan SMP tidak ada yang mengalami kecemasan ringan. Sedangkan pada hasil dari tabulasi silang berdasarkan umur dengan kecemasan responden yang berumur 20–30 tahun memiliki kecemasan pada tingkat berat, sedangkan pada usia 31–40 tahun tidak ada yang memiliki kecemasan pada tingkat berat. Dalam pembahasan hasil tabulasi silang bahwa menurut Broewer oleh Nursalam dan Siti Pariani faktor pendidikan sangat menentukan kecemasan. Klien dengan pendidikan tinggi akan lebih mampu mengatasi menggunakan koping yang efektif dan konstuktif daripada seseorang dengan pendidikan rendah. Adapun salah satu stressor pencetus kecemasan adalah ancaman terhadap integritas diri meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Stuart and Sundeen, 1998). Sedangkan setinggi apapun pendidikan seseorang akan tetapi jika ada hal yang dianggap mengancam terhadap diri orang tersebut dan ancaman tersebut belum pernah terjadi pada dirinya, maka akan bisa timbul kecemasan pada diri orang tersebut. Sedangkan menurut (Nursalam, 2001) dimana usia adalah individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Makin tua umur seseorang makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi, makin muda umur seseorang yang akan mengalami proses persalinan, maka akan sangat mempengaruhi tingkat kecemasan. F.
PENUTUP. Berdasarkan permasalahan dan tujuan dari penelitian yang dibahas dari beberapa bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Tingkat kecemasan ringan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto prosentasenya 6,6 %. 2. Tingkat kecemasan sedang ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto prosentasenya 73,3 %. 3. Tingkat kecemasan berat ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto prosentasenya 20 %. 4. Tingkat kecemasan panik ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan di RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto prosentasenya 0 %. Sehingga diharapkan pada perawat di poli kandungan RSUD. Prof. Dr. Soekandar untuk memberikan health education pada ibu yang akan menghadapi persalinan sehingga dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan ibu dan hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kecemasan ibu primigravida trimester III dalam menghadapi persalinan,
50
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
pengadaan biaya serta kecemasan mengenai kondisi bayinya dengan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga hasil penelitian lebih representatif/penelitian lain memberi suatu perlakukan untuk menurunkan kecemasan klien dalam menghadapi persalinan. Karena sebagian besar pada klien dalam menghadapi persalinan mengalami kecemasan, maka seharusnya institusi dapat menciptakan suatu kerja yang kondusif untuk mendukung psikologis klien. DAFTAR PUSTAKA. Carpenito, (2001). Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC. Farrer, Helen, (1999). Perawatan Maternitas.Jakarta : EGC Hamilton, (1995). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Dadang, Hawari, (2001). Manajemen Stres, Cemas & Depresi. Jakarta VI / Press Latipun, (2004). Psikologi Konseling, Edisi 3. Malang Linda L. Davidoff, (1991). Suatu Pengantar Psikologi Edisi 2. Jakarta. Barbara, C. Long, (1996). Perawatan Medikel Bedah Universitas Padjajaran. Bandung Manuaba, IBE, (1998). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta : EGC Manuaba, IBE, (1998). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri, Ginekologi dan KB. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoadmojo, (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam, (2001). Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Nursalam & Pariani, S. 2001. pendekatan praktis metodologi riset keperawatan. Jakarta : PT. Rineaka Cipta Pamela. (2000). Langkah Dasar dalam Perencanaan Riset Keperawatan. Jakarta : EGC Sarwono Pravirohardjo, (2002). Ilmu Kebidanan Edisi III. Jakarta : YBP. Silalahi. (2003). Metodologi Penelitian dan Studi Kasus. Sidoarjo : Citra Media Stuart And Sudeen, (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC. Tunggal, Hadi Setia, (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Harvarindo. Prawiroharjo, Surwono, 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Smeltzer SC (2001), Perawatan Medikal Bedah, volume 1. Jakarta : EGC. Sastroasmoro, sudigdo (2002), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, edisi II. Jakarta : EGC. Rustam Mochtar, MPH, (1998), Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi dan Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta : EGC. Koplan dan Sadock (1998), Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Jakarta : Widya Medika. Herawati, Netty (1999) Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Keperawatan Jiwa. Jakarta : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
51
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
TINGKAT KETERGANTUNGAN LANSIA DALAM AKTIVITAS HIDUP SEHARI-HARI DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDA (PSTW) JOMBANG Yudha Laga Hadi Kusuma Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran serta mengidentifikasi tingkat ketergantungan lansia dalam aktivitas hidup sehari-hari di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Populasi diajukan pada semua lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang, yang berjumlah 48 lansia, dengan menggunakan total sampling. Variabel yang diteliti adalah gambaran tingkat ketergantungan lansia dalam aktivitas hidup sehari-hari. Pengumpulan data menggunakan observasi berupa check list tentang indeks barthel yang dimodifikasi, untuk mengobservasi tingkat ketergantungan lansia dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari, sedangkan analisa data diinterpretasikan dalam bentuk tabel distribusi Frekuensi. Hasil dari penelitian ini didapatkan dari 48 responden hampir setengahnya mengalami ketergantungan Moderat. Sesuai dengan kriteria penilaian kemampuan fungsional yang telah dimodifikasi dari indeks barthel yaitu sebanyak 22 lansia dengan prosentase 45,8 %, sedangkan 7 lansia termasuk dalam ketergantungan berat atau sangat tergantung dengan prosentase 14,6%, 8 lansia termasuk dalam ketergantungan ringan dengan prosentase 16,7%, dan 11 lansia termasuk mandiri 22,9%. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketergantungan. Kesimpulan penelitian ini adalah lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang teridentifikasi dalam ketrgantungan moderat. Maka perlu diupayakan untuk melatih kemampuan secara fisik dan memberi motivasi pada lansia bahwa mereka mampu melakukan segala aktivitasnya tanpa tergantung orang lain. Kata Kunci: Lansia, Ketergantungan, Aktivitas. A.
PENDAHULUAN. Menua merupakan proses alami yang terjadi pada manusia. Hal ini seiring dengan proses degenerasi pada sel-sel tubuh dan perubahan sistem tubuh lainnya (Nugroho, 2000). Menurut Sri Kontjoro (2005) proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologi maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Kontjoro, 2005). Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Penurunan kemampuan berbagai organ, fungsi & sistem tubuh yang bersifat alamiah/fisiologis. Penurunan tersebut disebabkan berkurangnya jumlah dan kemampuan sel tubuh (Pudjiastuti, 2003). Pada umumnya tanda proses menua mulai tampak sejak usia 45 tahun dan akan menimbulkan masalah pada usia disekitar 60 tahun (Pudjiastuti, 2003). Adanya kemunduran–kemunduran yang dialami lansia akan mempengaruhi aktivitas hidupnya terutama dalam hal kemandirian. Ketergantungan pada orang atau benda disekelilingnya atau salah satu wujud dari kemunduran yang dialami oleh lansia (Nugroho, 2000). Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi ketergantungan antara lain : umur, Jenis kelamin, penyakit dan ekonomi. Selain itu akibat kemunduran juga berdampak pada psikologis seperti depresi atau kerusakan kognitif, kondisi fisik dan mental yang menurun dapat dipersulit oleh adanya kemiskinan, penolakan oleh teman dan keluarga serta ketidakmampuan (Watson, 2003). Sejalan dengan kemajuan di segala bidang diantaranya kemajuan di bidang ekonomi, perbaikan lingkungan hidup dan ilmu pengetahuan khususnya dengan kemajuan ilmu kedokteran mampu meningkatkan umur harapan hidup (Life Expectancy) sehingga
52
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
berdampak pada pertambahan lanjut usia dan ada kecenderungan meningkat lebih cepat (Nugroho, 2000). Saat ini diseluruh dunia jumlah lanjut usia diperkirakan 500 juta jiwa dengan usia rata–rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 Milyar (Nugroho, 2000). Di Indonesia pada tahun 2015 jumlah lansia diperkirakan mencapai 24,5 juta orang dan akan melewati jumlah balita yang ada pada saat itu diperkirakan mencapai 18,8 juta orang. Tahun 2020 jumlah lansia di indonesia diperkirakan akan menempati urutan ke 6 terbanyak di dunia dan melebihi jumlah lansia di Brasil, Meksiko dan Negara Eropa (Pudjiastuti, 2003). Angka pertumbuhan lansia mencapai 2,5 % per tahun, lebih besar dari angka pertumbuhan populasi dunia yang hanya mencapai 17,1 % per tahun. Hingga 30 tahun mendatang di perkirakan akan terjadi ledakan penduduk usia lanjut mencapai 200–400% (Adatau, 2006). Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang pada 5 lansia dengan menggunakan Indeks Barthel. Sehingga diperoleh hasil 1 lansia mengalami ketergantungan berat, 1 lansia mengalami ketergantungan moderat dan 3 lansia mengalami ketergantungan ringan. Ketergantungan lansia terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari harus mendapat perhatian lebih. Hal ini terkait dengan kelangsungan hidupnya dalam menikmati masa tua dimana menjadi tua yang aktif dan produktif adalah harapan semua orang (Wirakusuma, 2000). Berdasarkan permasalahan diatas, perawat mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu lansia menghadapi ketergantungan dalam memenuhi kebutuhanya untuk mengatasi dampak dan masalah yang di alami lansia. Untuk mempertahankan kualitas hidup tetap aktif dan produktif lansia membutuhkan kemudahan dalam beraktifitas, pemahaman tentang lingkungan aktifitas dan pelayanan kesehatan yang memadai. Kemudahan dalam beraktifitas akan membantu lansia melakukan kegiatanya tanpa hambatan, menggunakan energi minimal dan menghindari cedera (Pudjiastuti, 2003). Menurut WHO pendekatan penyelesaian masalah pada lansia harus mampu mengungkapkan tiga hal diantaranya disabilities atau impairment yaitu ada tidaknya kelainan atau penyakit yang diderita. Disabilities atau kecacatan yaitu hambatan anatomis atau fungsional obyektif yang diakibatkan oleh penyakit yang diderita. Handicap atau hambatan yaitu hambatan subyektif yang dirasakan lansia untuk melakukan aktifitas sehari– hari. Selain itu fisioterapi lebih berperan untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan gangguan gerak fungsional, aktifitas sehari–hari, dan adaptasi dengan lingkungan (Pudjiastuti, 2003). Sesuai dengan latar belakang diatas timbul pertanyaan dari peneliti : “Bagaimanakah tingkat ketergantungan lansia dalam aktivitas hidup sehari–hari di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang ?” B. 1
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Ketergantungan. a. Pengertian Ketergantungan. Ketergantungan adalah meletakkan kepercayaan kepada orang lain atau benda lain untuk bantuan yang terus-menerus, penentraman serta pemenuhan kebutuhan (Nugroho, 2000). Ketergantungan adalah perihal hubungan sosial seseorang yang tergantung kepada orang lain atau masyarakat (Tim Penyusun Kamus Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, 1997). Ketergantungan adalah keadaan seseorang yang belum dapat memikul tanggung jawabnya sendiri (Tim Penyusun Kamus Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, 1997). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Ketergantungan adalah keadaan seseorang yang belum bisa memikul tanggung jawabnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga masih memerlukan bantuan orang lain atau masyarakat.
53
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
d.
e.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tingkat Ketergantungan. Tiga tingkatan ketergantungan menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003) yaitu : 1) Mandiri. Yaitu lansia mampu melaksanakan tugas tanpa bantuan orang lain (bisa saja lansia membutuhkan alat adaptasi seperti alat bantu jalan alat kerja, dan Iain-lain). 2) Bergantung Sebagian. Yaitu lansia mampu melaksanakan tugas dengan beberapa bagian memerlukan bantuan orang lain. 3) Bergantung Sepenuhnya/Total. Yaitu lansia tidak dapat melakukan tugas tanpa bantuan orang lain. Sedangkan menurut Scheuder ketergantungan lansia secara praktis di bagi menjadi 3 tingkatan sebagai berikut: a) Ketergantungan mengurus diri pribadi merupakan ketergantungan yang paling berat. b) Ketergantungan domestik, golongan ini masih dapat melakukan perawatan diri, tetapi untuk memasak, belanja atau pekerjaan rumah lainnya harus di bantu. c) Ketrampilan sosial dan finansial, golongan ini masih. dapat aktif bekerja dan pergi ke luar rumah, mereka hanya memerlukan bantuan secara keuangan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketergantungan. 1) Menurunnya kekuatan dan tenaga. 2) Kekakuan pada persendian. 3) Perubahan fisik. 4) Bertambahnya usia. 5) Menurunnya kekerasan otot. Gejala Umum Ketergantungan. 1) Menolak untuk ikut serta dalam perawatan diri sendiri. 2) Terus-menerus minta staf perawat untuk melakukan apa yang sanggup dilakukan sendiri. 3) Sering meminta staf untuk masuk kamarnya. 4) Terus-menerus menyatakan dengan kata-kata dan kelakuan bahwa ia tidak berdaya dan tak mampu melakukan sendiri. 5) Menolak untuk mempelajari cara-cara baru dalam merawat diri sendiri yang telah berbeda. 6) Menolak atau tak mampu untuk mengambil keputusan. 7) Minta supaya tidak dipindahkan dari bagian-bagian khusus ke bagian lain Faktor-faktor yang mempengaruhi ketergantungan. 1) Umur. Umur merupakan lamanya seseorang hidup dari lahir sampai dengan ulang tahunnya (Abraham C, 1997), semakin banyak usia seseorang semakin tinggi pula tingkat ketergantungannya. 2) Jenis Kelamin. Jenis kelamin merupakan suatu sifat jasmani atau rohani yang dapat membedakan dua mahluk sebagai laki-laki maupun perempuan. Jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami ketergantungan daripada jenis kelamin lakilaki. 3) Penyakit. Penyakit merupakan sesuatu yang menyebabkan sakit (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pada usia tua sangatlah rentan terhadap penyakit disebabkan oleh menurunnya daya tahan tubuh (Nugroho, 2000).
54
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
4) Ekonomi. Ekonomi sangatlah penting bagi manusia. Di usia yang sudah tua kebanyakan lansia sudah mengalami masa pensiun sehingga mereka tidak mempunyai pekerjaan dan hanya berdiam diri di rumah dan hanya bisa meminta pada anakanaknya yang dekat (Nugroho, 2000). Semakin rendah ekonomi semakin tinggi tingkat ketergantungan lansia. 2
Konsep Proses Menua. a. Pengertian Proses Menua. Menua atau menjadi tua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap termasuk infeksi dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Nugroho, 2000) dikutip dari Constantinides (1994). Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dimulai pada semua makhluk hidup. Proses menua (Aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologi maupun sosial yang berinteraksi satu sama lain (Kontjoro, 2005). Dari beragam pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Proses Menua merupakan suatu proses yang terjadi secara alami dengan disertai adanya penurunan struktur dan fungsi jaringan yang terjadi secara perlahan. b. Teori-Teori Proses Menua. Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003) secara umum teori penuaan di bagi menjadi 2 kelompok besar yaitu genetik dan teori non genetik. 1) Teori Genetik. Teori genetik memfokuskan mekanisme penuaan yang terjadi pada nukleus sel. Penjelasan teori berdasarkan genetik sebagai berikut : a) Teori Hay flick. Menurut studi Hayflick dan Moorehead penuaan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain perubahan fungsi sel. Efek kumulatif dan tidak normalnya sel dan kemunduran sel dalam organ dan jaringan. b) Teori Kesalahan. Dalam teori ini dinyatakan bahwa kesalahan dalam proses atau mekanisme pembuatan protein akan rnengakibatkan beberapa efek. Penurunan ketetapan sintesis protein secara spesifik, telah dihipotesiskan penyebabnya antara lain ketidaktetapan dalam penyiapan pasangan kadar MRNA dan antikodon TRNA. Namun, penelitian terakhir bertentangan dengan teori kesalahan yang menerangkan bahwa tidak semua penuaan sel menghimpun molekul non spesifik dan penuaan itu tidak selamanya dipercepat ketika non spesifik ditemukan. c) Teori DNA Lewah ( Kelebihan DNA). Medvedev mengemukakan teori yang berhubungan dengan kesalahan. Ia percaya bahwa perubahan usia biologis merupakan hasil akumulasi kesalahan dalam memfungsikan gen (plasma pembawa sifat). Perbedaan usia mahkluk hidup mungkin merupakan suatu fungsi dan tingkat urutan genetik berulang (repeated genetic sequeences). Jika kesalahan muncul dan urutan genetik tidak berulang (non reperatedgenetic sequences) kesempatan untuk menjaga hasil akhir reproduksi gen selama evolusi atau selama hidup akan berkurang. d) Teori Rekaman. Rekaman (Transcription) merupakan tahap awal dalam pemindahan informasi dari DNA ke sintesis protein.
55
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
2) Teori Non Genetik. Teori non genetik memfokuskan lokasi di luar nukleus sel, di antara teori yang berdasarkan non genetik antara lain : a) Teori radikal bebas. Pada dasamya radikal bebas adalah ion bermuatan listrik yang berada di luar orbit dan berisi ion tak berpasangan. Radikal bebas mampu merusak membran sel lisosom mokondria, inti membran melalui reaksi kimia yang disebut paroksidasi lemak. Perubahan hormon pada penuaan menunjang reaksi radikal bebas dan akan menimbulkan efek patologis seperti kanker dan arterosklerosis. b) Teori Autoimun. Penuaan menurut teori autoimun diakibatkan oleh antibodi yang bereaksi terhadap sel normal dan merusaknya. Reaksi terjadi karena tubuh gagal mengenai sel normal dan memproduksi antibodi yang salah. Akibatnya antibodi bereaksi terhadap sel normal, di samping sel abnormal yang menstimulasi pembentukannya. Teori ini mendapat dukungan dari kenyataan bahwa jumlah antibodi autoimun meningkat pada lansia dan terdapat persamaan antara penyakit imun (artritis reumatoid, diabetes melitus, tiroiditis dan amiloidosis) dan fenomena menua. c) Teori Hormonal. Donner Denckle percaya bahwa pusat penuaan terletak pada otak, pernyataan ini di dasarkan pada studi hipotiroidisme berakibat fatal bila tidak di obati dengan tiroksin, sebab seluruh manitestasi penuaan akan tampak seperti penurunan sisten kekebalan, kulit keriput dan penurunan proses metabolisme secara perlahan. d) Teori Pembatasan Energi. Roy Walford penganut kuat diet yang didasarkan pada pembatasan kalori, yang dikenal sebagai penurunan energi diet nutrisi tinggi yang rendah kalori berguna untuk meningkatkan fungsi tubuh agar tidak cepat tua. Pembatasan energi yang bertujuan untuk mengurangi berat badan secara bertahap dalam beberapa tahun sampai efisiensi metabolisme tercapai untuk hidup sehat dan panjang usia. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketuaan. 1) Fisiologis meliputi : Genetik, sirkulasi darah, regulasi hormonal dan neuronal. 2) Gaya hidup meliputi : Nutrisi, stres, aktivitas fisik 3) Lingkungan meliputi : Kimia, obat, radiasi, mikroorganisme 4) Proses menua pada sel meliputi : Hilangnya sel, penurunan fungsi. 5) Proses menua pada makro molekul meliputi : Protein, DNA, RNA, Lipid (Nugroho, 2000) Batasan-batasan Lanjut Usia. 1) Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) lansia meliputi : a) Usia pertengahan (Middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun. b) Usia lanjut (elderly) antara 60 dan 74 tahun c) Lanjut usia (Old) di atas 75 dan 90 tahun d) Usia sangat tua (Very Old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2000) 2) Menurut Depkes RI. a) Kelompok menjelang usia lanjut (masa vibrilitas) 45-54 tahun. b) Kelompok usia lanjut (pra senium) 55-64 tahun. c) Kelompok usia lanjut (masa senium) > 65 tahun (Nugroho, 2000)
56
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
3) Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro, Pengelompokan lanjut usia sebagai
e.
berikut : a) Usia dewasa muda (elderly adulthood) 20-60 tahun atau 65 tahun b) Usia dewasa penuh (middle years) atau mataritas 25-65 tahun c) Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 75 tahun d) Young Old umur70-75 tahun e) Old umur 75-80 tahun f) Very old > 80 tahun (Nugroho, 2000) 4) Menurut Dra. Ny. Jos Masdani psikologi dari UI. Mengemukakan lansia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibedakan menjadi 4 bagian, pertama adalah fase luventus antara 25-40 tahun, kedua adalah fase venilitas antara 40-50 tahun, ketiga adalah fase prasenium antara 55-65 tahun dan keempat fase senium antara 65-tutup usia (Nugroho, 2000). 5) Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad. Seorang guru besar Universitas Gajah Mada pada fakultas kedokteran, membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut : 0-1 tahun : Masa bayi 1-6 tahun : Masa prasekolah 6-10 tahun : Masa sekolah 10-20 tahun : Masa pubertas 40-65 tahun : Masa setengah umur (prasenium) 65 tahun keatas : Masa lanjut usia (senium) Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang lebih berumur 65 tahun keatas. (Nugroho, 2000). Perubahan-perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia. Menurut Wahyudi Nugroho (2000) lansia mengalami perubahan meliputi : 1) Perubahan Fisik. a) Pada sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel dan menjadi atrofi. b) Sistem persyarafan, mengecilnya saraf panca indera, cepat menurunnya hubungan persyarafan, lambatnya respon terhadap stress dan kurang sensitif terhadap sentuhan. c) Sistem pendengaran, terjadi prebiakusis (gangguan pada pendengaran), terjadinya penggumpalan serumen. d) Sistem penglihatan, menurunnya lapangan pandang atau berkurang lapang pandangan. e) Sistem kardiovaskuler, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer kehilangan elastisitas pembuluh darah, otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku. f) Sistem respirasi pada lansia, paru-parunya akan kehilangan elastisitas, O2 pada arteri menurun, kemamuan untuk batuk berkurang. g) Sistem gastrointestinal, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esophagus melebar, fungsi absorbsi melemah, rasa lapar menurun. h) Sistem genito urinaria, ginjal akan mengecil, pembesaran prostate, atrofi
57
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
vulva. Sistem endokrin, produksi dari hampir semua hormon menurun Sistem kulit mengkerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit menjadi kasar dan bersisik, mekanisme proteksi kulit menurun, kelenjar kerigat berkurang jumlah dan fungsinya. k) Sistem muskuluskeletal tulang kehilangan density ( cairan ) dan makin rapuh, persendian membesar dan kaku, artrofi serabut otot. 2) Perubahan Mental : a) Pertama–tama perubahan fisik , khususnya organ perasa. b) Kesehatan umum. c) Tingkat pendidikan. d) Keturunan (Hereditas). e) Lingkungan. 3) Perubahan psiko : a) Pada lansia akan terjadi reaksi yang lambat, kesigapan dan kecepatan bertindak dan berfikir yang menurun. b) Daya ingat (memori) banyak yang menurun dan lupa sampai pikun dan dimensia. c) Terdapat stereotipe konstruksi lansia pada waktu bertambahnya usia, yakni stereotipe konstuktif (dapat menikmati hidupnya), tipe ketergantungan, tipe defensif (menolak bantuan), bermusuhan, membenci/menyalahkan diri. d) Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik yaitu perubahan terhadap gambaran dan perubahan konsep diri. 4) Perubahan-perubahan sosial : a) Merasakan atau sadar akan kematian. b) Perubahan dalam cara hidup yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit. c) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. d) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial. e) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan. f) Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan famili. Sistem Penilaian Kemampuan Fungsional. Kemampuan fungsional adalah suatu ukuran kemampuan individu untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL) secara mandiri (Lueckenotte, 1997). Pemeriksaan kemampuan fungsional merupakan proses untuk mengetahui kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau waktu senggangnya yang terintegrasi dengan lingkungan aktifitasnya. Tujuan pemeriksaan kemampuan fungsional pada lansia : 1) Menunjukkan kepada lansia tentang kemampuan fungsi nyata yang dimiliki. 2) Membantu lansia berpikir konstruktif tentang kemampuannya dan memotivasi untuk mencapai derajat kemandirian yang lebih tinggi. 3) Salah satu parameter penilaian sebelum dan sesudah tindakan fisioterapi atau tindakan medis lainnya. 4) Menentukan tujuan pengembalian dan peningkatan fungsi yang realistis. 5) Dasar untuk menentukan tindak lanjut program. 6) Acuan untuk merencanakan kebutuhan masa yang akan datang, seperti kebutuhan alat adaptasi, modifikasi tempat tinggal, dan tempat kerja agar hidupnya lebih aman dan mudah. Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003), ada beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan kemampuan fungsional salah satunya Indeks i) j)
f.
58
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
barthel yang dimodifikasi. Penilaian berdasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam meningkatkan aktivitas fungsional pengukuran meliputi sepuluh kemampuan sebagai berikut :
No. 1.
2.
Tabel 1. Sistem penilaian kemampuan fungsional menurut indeks barthel (Sri Surini Pudji Astuti 2003). Nilai Aktivitas Keterangan Bantuan Mandiri Makan 5 10 - Frekuensi - Jumlah - Jenis
9.
Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebaliknya termasuk duduk di tempat tidur Kebersihan diri: mencuci muka, mencukur dan menggosok gigi Aktivitas di toilet Mandi Berjalan di jalan datar Mencuci pakaian Berpakaian termasuk mengenakan sepatu Mengontrol defekasi
10.
Mengontrol berkemih
3. 4. 5. 6. 7. 8.
5- 10
15
0
5
5 0 10 5 5
10 5 15 10 10
5
10
-
5
10
- Frekuensi - Warna
JUMLAH Penilaian: 0 - 50 : Ketergantungan penuh 51 - 61 : Ketergantungan berat atau sangat tergantung 62 - 90 : Ketergantungan moderat 91 - 99 : Ketergantungan ringan 100 : Mandiri C. 1.
- Frekuensi
- Frekuensi - Frekuensi
Frekuensi Jenis Jenis Frekuensi Warna
100 - Jenis - Frekuensi - Warna
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif yaitu suatu keadaan penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran, diskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode penelitian diskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi (Notoatmodjo, 2002).
59
HOSPITAL MAJAPAHIT 2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Kerangka Konsep. Berdasarkan teori diatas, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut : Proses Menua Faktor-faktor mempengaruhi ketergantungan 1. Usia 2. Penyakit 3. Jenis kelamin 4. Ekonomi
Lansia
a. Perubahan fisik : 1. Penurunan/degenerasi 2. Sistem organ tubuh b. Perubahan sosial: 1. Ekonomi 2. Lingkungan. c. Perubahan psiko : 1. Daya ingat menurun 2. Kecepatan berfikir 3. menurun
Tingkat ketergantungan dalam aktifitas hidup sehari-hari (ADL): 1. Makan dan minum 2. Berpindah 3. Kebersihan diri 4. Aktivitas 5. Mandi 6. Berjalan 7. Mencuci pakaian 8. Berpakaian 9. Mengontrol BAB 10. Mengontrol BAK
1. 2. 3. 4. 5.
Ketergantungan penuh Ketergantungan berat Ketergantungan moderat Ketergantungan ringan Mandiri
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 1. Kerangka Konseptual Gambaran Pengetahuan Tingkat Ketergantungan Lansia Dalam Aktivitas Hidup Sehari-hari di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang.
60
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional. Pada penelitian ini populasinya adalah lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang sedangkan sampel yang digunakan sebanyak 48 orang yang diseleksi menggunakan total sampling atau yang biasa disebut sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilalakukan bila jumlah populasi relatif kecil. Istilah lain dari sampling jenuh ini adalah penelitian sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan subyek penelitian (Amin, 2003). Konsep yang digunakan dalam penelitian dapat konkrit dan secara langsung dapat diukur dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah tingkat ketergantungan lansia. Tabel 1. Definisi Operasional Tentang Ketergantungan Lansia Dalam Aktivitas Hidup Sehari - Hari Di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. Definisi Alat Variabel Indikator Skala Skore Operasional Ukur Tingkat Ketidakmampuan Ketergantungan Indeks Ordinal Ketergantungan ketergantungan lansia dalam dalam ADL : Barthel Penuh : 0-50 lansia melakukan 1. Makan dan Berat : 51-61 aktivitas sehariMinum Moderat : 62-90 hari. 2. Berpindah Ringan : 91-99 3. Kebersihan diri Mandiri : 100 4. Aktivitas di toilet 5. Mandi 6. Berjalan di jalan datar 7. Mencuci pakaian 8. Berpakaian 9. Mengontrol BAB 10. Mengontrol BAK
4.
Analisis Data. Data yang dikumpulkan dianalisa dengan menggunakan deskriptif statistic type frequency distribution, digunakan untuk menjalankan dan mensintesa data untuk mengorganisasi data secara sistematis bersamaan dengan perhitungan prosentase dan angka yang muncul setiap saat (Nursalam dan Pariani, 2001). Setelah data terkumpul maka data diinterpretasikan menurut indikator sebagai berikut : a. Makan. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 5 dan mandiri nilainya 10. b. Berpindah diri. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 5-10 dan mandiri nilainya 15. c. Kebersihan diri. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 0 dan mandiri nilainya 5. d. Aktivitas ditoilet. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 5 dan mandiri nilainya 10. e. Mandiri. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 0 dan mandiri nilainya 5. f. Berjalan. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 10 dan mandiri nilainya 15. g. Mencuci pakaian. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 5 dan mandiri nilainya 10.
61
HOSPITAL MAJAPAHIT h. i. j.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Berpakaian. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 5 dan mandiri nilainya 10. Mengontrol defekasi. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 5 dan mandiri nilainya 10. Mengontrol berkemih. Pada indikator ini jika memerlukan bantuan nilainya 5 dan mandiri nilainya 10. Kemudian hasilnya dihitung secara keseluruhan. Dan hasil penghitungan tersebut kita dapat menginterpretasikan sebagai berikut : 0 - 50 : Ketergantungan penuh 51 - 61 : Ketergantungan berat 62 - 90 : Ketergantungan moderat 91 - 99 : Ketergantungan ringan 100 : Mandiri
D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. Penelitian dilakukan pada lanjut usia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang dengan jumlah responden sebanyak 48 orang. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin. Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. No. Karakteristik Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase (%) 1 Laki-laki 13 27,1 2 Perempuan 35 72,9 Total 48 100 Dari tabel 2 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden berjenis kelamin perempuan. b. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia. Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. No. Karakteristik Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 45 – 59 tahun 0 0 2 60 – 74 tahun 34 70,83 3 75 – 90 tahun 14 29,17 4 ≥ 90 tahun 0 0 Total 48 100 Berdasarkan batasan usia lanjut menurut WHO, dari tabel 3 di peroleh data bahwa sebagian besar dari responden yang berusia 60 - 74 tahun. c. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan. Tabel 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. No. Karakteristik Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 Menikah 8 16,7 2 Tidak menikah 2 4,1 3 Janda 30 62,5 4 Duda 8 17,7 Total 48 100 Data yang di peroleh dari tabel 4 di atas menunjukkan sebagian besar dari responden berstatus duda sebanyak 30 orang (62,5%) dan sebagian kecil dari responden dengan sebanyak 2 orang (4,1%) berstatus tidak menikah.
62
HOSPITAL MAJAPAHIT d.
e.
2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik Responden Berdasarkan Agama. Tabel 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. No. Karakteristik Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 Agama 48 100 Total 48 100 Seluruh responden di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang beragama Islam. Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Penyakit. Tabel 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Penyakit di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. No. Karakteristik Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 Gout Artritis 20 41,7 2 Hipertensi 12 25 3 Stroke 6 12,5 4 Gastritis 7 14,7 5 Gangguan Pernapasan 3 6,2 Total 48 100 Dari tabel 6 diatas di peroleh data bahwa hampir setengah dari responden sebanyak 20 orang (41,7%) mempunyai penyakit gout artritis dan sebagian kecil mempunyai penyakit gangguan pernapasan sebanyak 3 orang (6,2%).
Data Khusus. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Identifikasi Tingkat Ketergantungan. Tabel 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Identifikasi Tingkat Ketergantungan Menurut Kriteria Penilaian Kemampuan Fungsional dimodifikasi dari Indeks Barthel di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang. No. Tingkat Ketergantungan Frekuensi Prosentase (%) 1 Ketergantungan Penuh 0 0 2 Ketergantungan Berat 7 14,6 3 Ketergantungan Moderat 22 45,8 4 Ketergantungan Ringan 8 16,7 5 Mandiri 11 22,9 Total 48 100 Berdasarkan identifikasi tingkat ketergantungan, dari tabel 7 diatas menunjukkan bahwa hampir setengah dari responden mengalami ketergantungan moderat dan sebagian kecil dari responden mengalami ketergantungan berat atau sangat tergantung. Tabel 8 Identifikasi Tingkat Ketergantungan Berat atau Sangat Tergantung Bantuan Mandiri No. Tingkat Ketergantungan Frekuensi 1 Makan 0 7 2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebalikmya 0 7 termasuk duduk ditempat tidur 3 Kebersihan diri : Mencuci muka, mencukur dan 7 0 menggosok gigi 4 Aktivitas di toilet 7 0
63
HOSPITAL MAJAPAHIT No.
Vol 2. No. 1, Februari 2010 Bantuan
Tingkat Ketergantungan
Mandiri Frekuensi
5 6 7 8
Mandi 7 0 Berjalan di jalan datar 7 0 Mencuci pakaian 7 0 Berpakaian termasuk 7 0 mengenakan sandal 9 Mengontrol BAB 7 0 10 Mengontrol BAK 7 0 Berdasarkan tabel 8 diatas terdapat 7 responden yang mengalami ketergantungan berat atau sangat tergantung, hal ini ditunjukkan bahwa dari 10 kriteria kemampuan fungsional 2 kriteria dilakukan tanpa bantuan 8 kriteria dilakukan dengan bantuan adalah dalam hal kebersihan diri, aktivitas di toilet, mandi, berjalan dijalan datar, mencuci pakaian, berpakaian, mengontrol BAB dan BAK. Tabel 9 Identifikasi Tingkat Ketergantungan Moderat Bantuan Mandiri No. Tingkat Ketergantungan Frekuensi 1 Makan 0 22 2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebalikmya 0 22 termasuk duduk ditempat tidur 3 Kebersihan diri : Mencuci muka, mencukur dan 17 5 menggosok gigi 4 Aktivitas di toilet 22 0 5 Mandi 3 19 6 Berjalan di jalan datar 0 22 7 Mencuci pakaian 22 0 8 Berpakaian termasuk 7 15 mengenakan sandal 9 Mengontrol BAB 1 21 10 Mengontrol BAK 12 10 Terdapat 22 responden yang mengalami ketergantungan moderat, berdasarkan tabel 9 di atas menunjukkan bahwa dari 10 kriteria kemampuan fungsional 8 kriteria dilakukan tanpa bantuan dan 2 kriteria yang dilakukan dengan bantuan dalam hal aktivitas di toilet dan mencuci pakaian. Tabel 10 Identifikasi Tingkat Ketergantungan Ringan Bantuan No. Tingkat Ketergantungan 1 2
3
Makan Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebalikmya termasuk duduk ditempat tidur Kebersihan diri : Mencuci muka, mencukur dan menggosok gigi
64
Mandiri Frekuensi
0
8
0
8
0
8
HOSPITAL MAJAPAHIT No.
Vol 2. No. 1, Februari 2010 Bantuan
Tingkat Ketergantungan
Mandiri Frekuensi
4 5 6 7 8
Aktivitas di toilet 0 8 Mandi 0 8 Berjalan di jalan datar 0 0 Mencuci pakaian 8 8 Berpakaian termasuk 0 8 mengenakan sandal 9 Mengontrol BAB 0 8 10 Mengontrol BAK 0 8 Dari tabel 10 di atas terdapat 8 responden yang mengalami ketergantungan ringan, hal ini ditunjukkan bahwa dari 10 kriteria kemampuan fungsional 9 kriteria dilakukan tanpa bantuan 1 kriteria dilakukan dengan bantuan yaitu dalam hal mencuci pakaian. Tabel 11 Identifikasi Mandiri No.
Bantuan
Tingkat Ketergantungan
Mandiri
Frekuensi Makan 0 11 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebalikmya 0 11 termasuk duduk ditempat tidur 3 Kebersihan diri : Mencuci muka, mencukur dan 0 11 menggosok gigi 4 Aktivitas di toilet 0 11 5 Mandi 0 11 6 Berjalan di jalan datar 0 11 7 Mencuci pakaian 0 11 8 Berpakaian termasuk 0 11 mengenakan sandal 9 Mengontrol BAB 0 11 10 Mengontrol BAK 0 11 Data yang diperoleh dari tabel 11 ada 11 responden yang masih dapat melakukan aktivitas secara mandiri, hal ini ditunjukkan bahwa dari 10 kriteria kemampuan fungsional semuanya dapat dilakukan tanpa bantuan. 1 2
E.
PEMBAHASAN. Pada data diatas menunjukkan dari 48 responden setengahnya mengalami ketergantungan moderat, dalam aktivitas hidup sehari-hari sesuai kriteria penilaian kemampuan fungsional yang telah dimodifikasi dari indeks barthel yaitu sebanyak 22 lansia dengan prosentase 45,8 %, sedangkan 7 lansia termasuk dalam ketergantungan berat atau sangat tergantung dengan prosentase 14,6 %, 8 lansia termasuk dalam ketergantungan ringan dengan prosentase 16,7 % dan 11 lansia termasuk mandiri dengan prosentase 22,9 %. Hal ini dimungkinkan karena responden mengalami masalah dalam kemampuan motoriknya yaitu penurunan kekuatan dan tenaga. Akibat perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan relaksasi, dan kinerja fungsional. Selanjutnya, penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, hambatan
65
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
dalam bergerak duduk ke berdiri, peningkatan resiko jatuh, penurunan kekuatan otot dasar panggul, dan perubahan postur tubuh. Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi berhubungan erat dengan kekuatan otot yang sifatnya individual yang terjadi pada lansia (Pudjiastuti, 2003). Sehingga berdampak pada aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya. Penurunan kekuatan dan tenaga memberikan pengaruh pada orang yang berusia lanjut, lebih cepat capek dan memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan diri dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini diperkuat oleh Elizabeth B. Hurlock bahwa penurunan kekuatan dan tenaga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketergantungan lansia dalam aktivitasnya. Ketergantungan adalah meletakkan kepercayaan kepada orang lain atau benda lain untuk bantuan yang terus-menerus, penentraman serta pemenuhan kebutuhan. Ketergantungan pada orang atau benda disekelilingnya adalah salah satu wujud dari kemunduran yang dialami oleh lansia (Nogroho, 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketergantungan terdiri dari : 1) Umur, merupakan berapa lama individu hidup dari lahir sampai berulang tahun (Abraham C, 1997). Dari penelitian diatas didapatkan sebagian besar responden lansia berada pada usia elderly yaitu 60-74 tahun, semakin bertambah usia seseorang maka semakin tinggi pula tingkat ketergantungannya (Nugroho, 2000). Hal ini disebabkan karena proses degenerasi pada sel-sel tubuh dan perubahan pada sistem tubuh, kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan akan mengalami penurunan. Selain itu, ditambah dengan adanya kemunduran-kemunduran yang dialami lansia akan mempengaruhi aktivitas hidupnya terutama dalam hal kemandirian. 2) Jenis kelamin, merupakan suatu sifat jasmani atau rohani yang dapat membedakan dua makhluk hidup sebagai laki-laki atau perempuan. Dari hasil penelitian diatas didapatkan dari 48 responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 35 orang dengan prosentase 75,9 %. Jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami ketergantungan dibanding laki-laki (Nugroho, 2000). Hal ini disebabkan karena pada wanita mengalami masa menopouse sehingga mengalami ketergantungan, 3) Penyakit, merupakan sesuatu yang menyebabkan sakit. Penyebab penyakit pada lansia agak sulit didiagnosis. Umumnya, penyebabnya tersembunyi (occult), memerlukan observasi agak lama, dan pengamatan yang cermat terhadap tanda dan gejala penyakitnya, yang kadang-kadang tidak terlihat nyata. Misalnya harus memperhatikan riwayat penyakit yang pernah dialami penderita maupun keluarga. Pada lansia umumnya penyebab penyakit bersifat ganda dan kumulatif, bisa terlepas satu sama lain atau saling mempengaruhi. Selain itu, penyakit pada lansia bisa saja telah lama diderita, tetapi belum menimbulkan keluhan maupun tanda-tanda penyakit dan baru terasa setelah memasuki masa lansia (Wirakusuma, 2000). Hal ini diperkuat oleh Wahyudi Nugroho bahwa bertambahnya usia semakin rentan terhadap penyakit sehingga lansia tersebut akan mengalami ketergantungan yang disebabkan oleh karena daya tahan tubuh telah menurun. Dari penelitian diatas didapatkan 20 lansia dengan prosentase 41,7 % mempunyai penyakit gout artritis (linu pada persendian). Hal ini dimungkinkan karena adanya gangguan metabolisme asam urat dalam tubuh. Yang mengakibatkan degenerasi atau kerusakan pada permukaan sendi-sendi tulang yang banyak dijumpai pada lanjut usia, terutama yang gemuk. Hampir 8 % orang-orang berusia 50 tahun keatas mempunyai keluhan pada sendisendinya, misalnya : linu-linu, pegal dan kadang-kadang terasa seperti nyeri. Biasanya yang terkena ialah persendian pada jari-jari, tulang punggung, sendi-sendi penahan berat tubuh (lutut dan panggul) (Nugroho, 2000). Selain disebabkan oleh gangguan metabolisme asam urat, penyakit gout artritis juga bisa disebabkan oleh pengapuran tulang. Pengapuran menyebabkan tulang rawan pada sendi menipis sehingga timbul tulang muda (spur) sebagai kompensasi menggantikan tulang yang menipis tadi. Kondisi inilah yang menyebabkan rasa nyeri yang umum terjadi didaerah sendi lutut, pinggul, dan pinggang bawah (Wirakusuma, 2000). Sedangkan 12 lansia dengan prosentase 25 % dan mempunyai penyakit Hipertensi. Dari banyak penelitian epidemiologi didapatkan bahwa dengan meningkatnya umur dan
66
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
tekanan darah meninggi. Hipertensi menjadi masalah pada lansia karena sering ditemukan dan menjadi faktor utama stroke, payah jantung, dan penyakit jantung koroner. Lebih dari separuh kamatian diatas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler (Nugroho, 2000). Ada beberapa faktor yang menyebabkan hipertensi, yaitu faktor keturunan, konsumsi garam dapur melebihi 5 gram per hari (gemar makanan asin), berat badan berlebih, kurang aktivitas fisik, serta faktor mental (stress). Penggunaan obatobat tertentu juga dapat meningkatkan tekanan darah seperti pemakaian pil kontrasepsi dan obat-obat bebas termasuk decongestant (obat yang menghilangkan rasa sesak atau hidung tersumbat), obat penahan nafsu makan, dan obat anti peradangan (Wirakusuma, 2000). F.
PENUTUP. Berdasarkan permasalahan dan tujuan dari penelitian yang dibahas dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan : 1. Bahwa tingkat ketergantungan lansia dalam aktivitas hidup sehari-hari di Panti Sosial Tresna Werdha Jombang sesuai dengan penilaian kemampuan fungsional yang dimodifikasi dari Indeks Barthel bahwa hampir setengah dari responden mengalami ketergantungan moderat sebanyak 22 lansia dengan prosentase 45, 8 %. 2. Identifikasi tingkat ketergantungan berat atau sangat tergantung bahwa dari, 10 kriteria kemampuan fungsional 2 kriteria dilakukan tanpa bantuan dan 8 kriteria yang dilakukan dengan bantuan adalah dalam hal kebersihan diri, aktivitas di toilet, mandi, berjalan dijalan datar, mencuci pakaian, berpakaian, mengontrol BAB dan BAK. 3. Identifikasi tingkat ketergantungan moderat bahwa dari, 10 kriteria kemampuan fungsional 8 kriteria dilakukan tanpa bantuan dan 2 kriteria yang dilakukan dengan bantuan dalam hal aktivitas di toilet dan mencuci pakaian. 4. Identifikasi tingkat ketergantungan ringan bahwa, dari 10 kriteria kemampuan fungsional 9 kriteria dilakukan tanpa bantuan dan 1 kriteria yang dilakukan dengan bantuan adalah dalam hal mencuci pakaian. 5. Identifikasi mandiri bahwa, dari 10 kriteria kemampuan semuanya dapat dilakukan tanpa bantuan. Diharapkan Panti berupaya mempertahankan kemandirian lansia terutama dalam aktivitas hidup sehari-hari. Khususnya memberikan latihan aktif dalam meningkatkan kesehatan dan produktivitasnya sehingga dapat hidup sehat dan berguna, serta mempertahankan program-program atau kegaitan yang sudah ada di panti, misalnya kegiatan kerohanian yang telah ada perlu ditambah dengan adanya TAKS (Terapi Aktivitas Kelompok Sosial) sehingga kebersamaan dan rasa kekeluargaan terbina dan memodifikasi fasilitas yang sudah ada dengan pengaman (pagar untuk pegangan) agar lansia terhindar dari bahaya terjatuh. Lansia hendaknya mempertahankan kemandirian dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari tanpa tergantung orang lain dengan cara : 1. Menggunakan sarana rekreasi misalnya berjalan santai, memainkan gamelan atau alat kesenian yang lain agar lansia tetap rileks dan terhibur. 2. Menggunakan sarana olah raga untuk berolahraga sehingga dapat melatih otot-otot yang kaku dan dapat melatih lansia mempertahankan kemandirian dalam beraktivitas.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. 1998. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta Candra, A Datau. 2006 Introduction To Anti Aging Medicion. http: //www.eulis.kalbe.co.id/files/cdk/148-18 pdt.html (sitasi 29 Maret 2007) Lueckenotte. 1997. Pengkajian Gerontologi. edisi 11. EGC. Jakarta Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi offset. Yogyakarta.
67
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Nugroho, Wahyudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC. Jakarta. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Riset Keperawatan. Edisi pertama. Salemba Medika. Jakarta. Nursalam, Pariani Siti. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Edisi pertama. Info Medika. Jakarta. Pudji Astuti, Sri Surini. 2003. Fisioterapi Pada Lansia. EGC. Jakarta. Ridwan, Tika Lestari. 2001. Dasar – dasar Statistik. Altaber. Bandung. Silalahi, Gabriel Amin. 2003. Metodelogi Penelitian dan Studi Kasus. Citramedia. Jakarta. Kontjoro, Sri. 2005. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.depkominto.go.id/?actionview&pid=new-aceh&id=1067. (Sitasi, 2 April 2007) Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. EGC. Jakarta. Wirakusuma, E. S. 2000. Tetap Bugar di Usia Lanjut. Trubus Agriwidya. Jakarta
68
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
FAKTOR – FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP - ASI) PADA BAYI USIA 0 – 6 BULAN DI DESA SIMONGAGROK DAWARBLANDONG MOJOKERTO Nati Mahasiswa Poltekkes Majapahit ABSTRAK Pemberian MP–ASI yang terlalu dini pada bayi masih ditemukan di masyarakat seperti pemberian makanan berupa pisang, madu, air tajin, air gula, susu formula dan makanan lainnya. Padahal MP-ASI mulai diperkenalkan sejak bayi berusia 6 bulan. Karena jika pemberian MP – ASI diberikan terlalu dini akan berdampak pada timbulnya penyakit pada bayi seperti Diare dan Malnutrisi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian MP-ASI pada bayi usia 0-6 bulan . Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif dengan pendekatan survey dimana teknik sampling yang digunakan adalah Nonprobability Sampling dengan total sampling/sampling jenuh dengan jumlah sampel sebanyak 21 responden. Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada ibu-ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan yang sudah memberikan MP–ASI pada bayinya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI adalah kurang sebanyak 57,143%, pendidikan umumnya SMP/ MTs sebesar 47,619%, penghasilan umumnya < 500 ribu rupiah sebanyak 61,905%. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi memberian ASI eksklusif adalah karena ASI tidak cukup dan ibu bekerja dengan prosentase 66,667% sedangkan alasan yang melatarbelakangi dalam pemberian MP–ASI karena para ibu menginginkan bayinya cepat sehat sebanyak 47,619%. Dari hasil penelitian yang ada diharapkan para ibu dapat memberikan MP–ASI sesuai dengan umur dan tahap pertumbuhan bayinya serta nilai gizi yang terkandung dalam makanan yang diberikan pada bayinya. Kata Kunci : MP–ASI. Bayi, Ibu. A.
PENDAHULUAN. Salah satu kekaguman kita tentang cinta Tuhan kepada umatnya dapat kita rasakan ketika ibu mulai menyusui bayinya dengan ASI (Air Susu Ibu). Proses ini merupakan mukjizat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan seoptimal mungkin (Purwanti, 2004) ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi dan harus diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai 4 bulan dan jika mungkin sampai 6 bulan (WHO, 2003). Menurut WHO (1998) bayi sampai umur 6 bulan tetap tumbuh normal dan sehat hanya dengan diberi ASI (Karmini dkk, 2005). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada makanan didunia ini yang sesempurna ASI (Hubertin, 2003). Namun dalam kenyataannya pemberian MP-ASI yang terlalu dini kepada bayi sering ditemukan dalam kehidupan di masyarakat kita seperti pemberian makanan berupa pisang, madu, air tajin, air gula, susu formula, dan makanan lain sebelum bayi berusia 4 bulan (Azwar, 2003). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini pada bayi masih banyak ditemukan di negaranegara berkembang, di negara berkembang sendiri angka kematian bayi akibat pemberian makanan tambahan yang terlalu dini pada usia 9–11 bulan lebih tinggi 40% dari bayi yang diberikan ASI, sedangkan bayi yang berusia kurang dari 2 bulan lebih dari 48% lebih tinggi dari yang diberi ASI. Sedangkan di Indonesia akibat pemberian ASI dan makanan pendamping ASI yang salah maka sekitar 6,7 balita atau 27,3 persen dari seluruh balita di Indonesia menderita kurang gizi. Sebanyak 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk (Swasono, 2005). Sedangkan jumlah balita di Kabupaten Mojokerto berdasarkan data dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto tahun 2005 sebanyak 269.989 balita, diantaranya yang mengalami gizi buruk sebanyak 21.357 balita. Di Dawarblandong jumlah balita
69
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
sebanyak 7.723 balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 2.112 balita. Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap status gizi antara lain Ketahanan pangan tingkat rumah tangga, morbiditas, kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat, pola asuh, kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar, pendidikan, dan kemiskinan. Pada pola asuh analisis yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak (Depkes RI, 2004). Selama ini kita tahu bahwa makanan bayi yang alamiah adalah ASI (Air Susu Ibu) tidak benar jika ada yang mengadvertasikan susu kaleng cair maupun bubuk sama baiknya dengan ASI. Salah satu sifat yang tidak pernah terdapat pada susu kaleng adalah adanya kandungan imunoglobulin yang memberi daya tahan (pertahanan tubuh) kepada bayi (Sediaoetama, 2000). Sejak kelahiran hingga usia 4 bulan atau 5 bulan semua pola makanan adalah dalam bentuk menghisap dan menelan oleh itu makanan harus dalam bentuk cair (Elizabeth Hurlock, 1980). Baru setelah 6 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai bayi berumur 2 tahun, karena dari hasil penelitian menyebutkan bahwa ASI masih cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi apabila ASI diberikan secara tepat dan benar sampai bayi berumur 6 bulan. Pada saat berumur 6 bulan, sistem pencernaan mulai matur.Jaringan usus halus bayi pada umumnya seperti jaringan pasir, pori-porinya berongga sehingga memungkinkan bentuk protein ataupun kuman akan masuk dalam sistem peredaran darah dan dapat menimbulkan alergi. Pori-pori dalam usus ini akan menutup rapat saat bayi berusia 6 bulan (Purwanti, 2004). Sekarang ini banyak ibu yang tidak lagi menyusi anaknya secara eksklusif dan memberikan makanan tambahan sebelum waktunya. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan diantaranya ASI tidak cukup, ibu bekerja dengan cuti hamil 3 bulan, takut ditinggal suami, tidak diberi ASI tetap berhasil “jadi orang”, bayi akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja, susu formula lebih praktis, dan takut badan tetap gemuk (Roesli, 2000). Soetjiningsih (1997) menambahkan selain dari alasan diatas ada faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI yaitu faktor fisik ibu, kurangnya petugas kesehatan sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI ,dan meningkatnya promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI. Padahal pemberian MP-ASI yang terlalu dini dapat mengakibatkan diare, kurangnya kalori dan protein pada bayi, meningkatnya resiko infeksi dan kematian, juga dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Karmini , 2005). Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) secara dini pada bayi semua dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas, namun faktor-faktor tersebut juga didukung oleh perilaku ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI atau MP-ASI pada bayinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah faktor predisposisi (predisposing factor) mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya; faktor pemungkin (enambling factor) mencakup : ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat; faktor penguat (reinforcing factor) meliputi : sikap dan perilaku tokoh masyarakat (Toma), tokoh agama (Toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk para petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Survey awal yang dilakukan di Desa Simongagrok pada tanggal 27 Mei 2006 terhadap 3 orang ibu didapatkan data bahwa dari 3 orang ibu terdapat 2 orang ibu yang memberikan MP – ASI pada bayinya sejak lahir. Dan satu diantaranya memberikan MP-ASI setelah bayi berusia 4 bulan, hal ini dikarenakan ibu takut ASI yang diberikan pada bayinya tidak cukup. Dari uraian tersebut maka dapat diangkat suatu permasalahan yang berjudul “Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 0 – 6 bulan di Desa Simongagrok Dawarblandong Mojokerto”.
70
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Perilaku. Dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan, sedangkan perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Menurut Purwanto 1998, perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Becker (1979) mengajukan klarifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Health related behavior) sebagai berikut : a. Perilaku kesehatan (Health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. b. Perilaku sakit (illnes behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya. c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. (Notoatmodjo, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi 2, yaitu : a. Faktor intern, mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. b. Faktor ekstern, mencakup lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2003). Menurut Lowrence Green perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu : a. Faktor predisposisi (predisposing factor). Faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. b. Faktor pemungkin (enambling factor). Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya : air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. c. Faktor penguat (reinforcing factor). Faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. (Notoatmodjo, 2003).
2.
Konsep Bayi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia bayi adalah anak yang baru lahir. Bayi baru lahir harus memenuhi sejumlah tugas perkembangan untuk memperoleh dan mempertahankan eksistensi fisik secara terpisah dari ibunya. Perubahan biologis besar yang terjadi disaat bayi baru lahir memungkinkan transisi dari lingkungan intrauterin ke ekstrauterin. Perubahan ini menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan di kemudian hari (Bobak, 2004). a. Tahap perkembangan bayi. 1) Bayi umur 0 – 3 bulan.
71
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
3.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Dapat menggerakkan kedua tangan dan kaki, bereaksi dengan melihat kearah sumber cahaya, mengoceh dan bereaksi terhada suara, bereaksi senyum terhadap ajakan (Suherman, 2000). 2) Bayi umur 3 – 6 bulan. Mengangkat kepala 90o dan mengangkat dada dengan bertopang tangan,mulai belajar meraih benda-benda yang ada dalam jangkauannya atau di luar jangkauannya, menaruh benda di mulutnya, berusaha memperluas lapang pandangan, tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain, mulai berusaha mencari benda-benda yang hilang (Markun, 1991). Sistem pencernaan bayi baru lahir. Bayi baru lahir cukup bulan mampu menelan, mencerna, metabolisme, dan mengabsorbsi protein dan karbohidrat sederhana serta mengemulsi lemak, kecuali amilase pankreas. Karakteristik enzim dan cairan pencernaan bahkan sudah ditemukan pada bayi yang berat badan lahirnya rendah. Suatu mekanisme khusus yang terdapat pada bayi baru lahir normal dengan berat lebih dari 1500 gram adalah mampu mengkoordinasi refleks pernapasan, refleks menghisap dan reflek menelan yang diperlukan pada pemberian makanan pada bayi. Bayi baru lahir belum mampu memindahkan makanan dari bibir ke faring sehingga putting susu harus diletakkan cukup dalam di dalam mulut bayi. Bayi baru lahir tidak terdapat bakteri dalam saluran cernanya. Segera setelah lahir, orifisium oral dan anal memungkinkan bakteri dan udara masuk biasanya konsentrasi tertinggi terdapat dibagian bawah usus halus terutama di usus besar. Flora normal usus membantu sintesis vitamin K, asam folat, dan biotin. Kapasitas lambung bervariasi dari 30 sampai 90 ml tergantung ukuran bayi. Regurgitasi dapat dilihat pada periode neonatal, spigter kardia dan kontrol syaraf lambung masih belum matur. Kemampuan bayi baru lahir untuk mencerna karbohidrat, lemak dan protein diatur oleh beberapa enzim tertentu kebanyakan enzim itu telah berfungsi saat bayi baru lahir. Kecuali enzim amilase yang diproduksi oleh kelenjar saliva setelah 3 bulan dan oleh pankreas pada usia sekitar 6 bulan enzim ini diperlukan untuk mengubah karbohidrat menjadi maltosa pengecualian adalah lipase. Lipase yang disekresi pankreas dan diperlukan untuk mencerna lemak, oleh karena itu bayi baru lahir yang normal mampu mencerna karbohidrat sederhana dan protein, tetapi terbatas dalam mencerna lemak. (Bobak, 2004).
Konsep ASI. Menurut Dr. Derrick B. Jelliffe air susu manusia dianggap sebagai “Pemberian hadiah cinta kasih dan sumber alamiah secara unik”, ia mengatakan bahwa ASI adalah salah satu zat yang terbaik yang dimiliki manusia sebagai makanan bayi. Jika memungkinkan harus diberi ASI paling tidak selama tiga bulan pertama dan lebih baik lagi selama 6 bulan pertama hidupnya. (Gupte, 2004). Dalam konsep ASI akan dibahas mengenai pengertian ASI, faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI, keuntungan pemberian ASI, kandungan gizi dalam ASI, faktor-faktor kekebalan ASI, kolustrum, dan jenis-jenis ASI. a. Pengertian ASI. ASI adalah suatu nutrisi lemak dan larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu sebagai makanan utama bayi (Soetjiningsih, 1997). Sedangkan ASI Eksklusif atau yang lebih tepat ASI saja tanpa tambahan cairan seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi tim (Roesli, 2000).
72
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
d.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Alasan ibu tidak menyusui terutama secara eksklusif menurut Roesli (2000) adalah sebagai berikut : 1) ASI tidak cukup. 2) Ibu bekerja dengan cuti hamil 3 bulan. 3) Takut ditinggal suami. 4) Tidak diberi ASI tetap jadi orang. 5) Bayi akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja. 6) Susu formula lebih praktis. 7) Takut badan tetap gemuk (Roesli. 2000). Sedangkan Soetjiningsih (1997), menambahkan bahwa selain dari alasan diatas ada faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI yaitu: 1) Faktor fisik ibu. Ibu sakit misalnya mastitis, panas dan sebagainya. 2) Kurangnya petugas kesehatan sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI. 3) Meningkatkan promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI penerangan yang salah justru datangnya dari petugas kesehatan sendiri yang mengajurkan penggantian ASI dengan susu kaleng (Soetjiningsih, 1997). Keuntungan pemberian ASI. “Cow’s milk is the best for calves, mother’s milk is the best of babies”. Bahwa susu sapi baik untuk anak sapi, sedangkan Air Susu Ibu baik untuk bayi, tidaklah perlu disangsikan lagi. pemberian ASI mempunyai beberapa keuntungan menurut soetjiningsih (1997) adalah : 1) Steril, aman dari pencemaran kuman. 2) Selalu tersedia dengan suhu optimal. 3) Produksi disesuaikan dengan kebutuhan bayi. 4) Mengandung anti bodi yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh kuman atau virus. 5) Bahaya alergi tidak ada. Sedangkan Krisnatuti (2000), menambahkan keuntungan pemberian ASI adalah : 1) kandungan gizi sesuai dengan kebutuhan bayi. 2) menunjang aspek psikososial. 3) mudah dicerna dan diserap. 4) mengandung anti bodi yang dapat menghambat pertumbuhan dan membunuh kuman atau virus. 5) bahaya alergi tidak ada. Kandungan gizi dalam ASI. 1) Hidrat arang. Zat hidrat arang dalam ASI dalam bentuk laktosa, produk dari laktosa adalah galaktosa dan glukosamin. Galaktosa merupakan nutrisi vital untuk pertumbuhan jaringan otak dan nutrisi medula spinalis yaitu untuk pembentukan mielin selaput pembungkus sel syaraf. Laktosa meningkatkan penyerapan kalsium, fosfor dan magnesium yang sangat penting untuk pertumbuhan tulang terutama pada masa bayi untuk proses pertumbuhan gigi dan perkembangan tulang. Laktosa oleh fermentasi dalam usus akan diubah menjadi asam laktat yang membuat suasana di usus menjadi lebih asam. Kondisi ini sangat menguntungkan karena akan menghambat pertumbuhan bakteri yang berbahaya dan menjadikan tempat yang subur bagi bakteri yang berbahaya dan menjadikan tempat yang subur bagi bateri usus yang baik yaitu lactobacillus bifidus.
73
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
2) Protein. Protein dalam ASI jumlahnya lebih rendah dibanding protein dalam ASS. a) Alfalaktobumin. Protein ini sangat cocok untuk pencernaan bayi sedangkan ASS mengandung gugus betalaktoglobulin dan bovine serum albumin yang sering menyebabkan alergi, diare. b) Taurin. Merupakan bahan baku untuk pertumbuhan sel otak, retina, dan konjugasi billirubin artinya ASI dapat mengurangi atau menurunkan kadar billirubin yang tinggi dalam tubuh bayi. c) Sistin. Merupakan asam amino yang penting untuk pertumbuhan otak. d) Tirosin dan Finilatorin. Kadar tirosin dan finilatorin pada bayi prematur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan otak. e) Lactoferin. Mengangkut zat besi dari ASI ke sistem peredaran darah bayi sehingga zat besi akan lebih mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi. Selain zat besi, B12 dan asam folat, lactoferin juga merupakan pelindung karena membiarkan bakteri dalam sistem pencernaan bayi tumbuh dan akan menghancurkan bacteri yang jahat. f) Poliamin dan Nukleotid. Sangat penting untuk sintesis protein. g) Lisozim. Merupakan salah satu kelompok anti bodi alami khusus menghancurkan bakteri berbahaya. 3) Lemak. Lemak dalam ASI mengandung lemak rantai panjang yang merupakan lemak kebutuhan sel jaringan otak dan mudah dicerna. Dalam bentuk Omega 3, Omega 6, DHA (dosoco hexaconic Acid) dan Achachidonid Acid. Lemak diperlukan dalam jumlah sedikit sebagai energi juga digunakan oleh otak untuk membuat mielin yang mengililingi sel saraf otak dan akson agar tidak mudah rusak bila terkena rangsangan. 4) Mineral. Zat besi dan kalsium merupakan mineral dalam ASI yang sangat stabil dan keseluruhan dapat diserap oleh usus bayi. Kadar mineral yang tidak diserap akan memperberat kerja usus bayi untuk mengeluarkan, mengganggu keseimbangan (ekologi) dalam usus bayi dan meningkatkan kontraksi usus bayi tidak normal sehingga bayi kembung, gelisah karena obstipasi atau gangguan metabolisme. 5) Vitamin. ASI mengandung vitamin yang lengkap. Vitamin cukup untuk 6 bulan sehingga tidak perlu ditambah kecuali vitamin K karena bayi baru lahir ususnya belum mampu membentuk vitamin K. (Purwanti, 2004). Faktor-Faktor Kekebalan ASI (zat anti virus dan anti bakteri) 1) Lisozym, yaitu enzim yang sangat aktif disaluran cerna yang jumlahnya ribuan kali dibandingkan lisozim yang ada pada susu formula. Tugasnya menghancurkan dinding sel bakteri patologis sekaligus melindungi saluran cerna bayi. 2) Bifido bakteri bertugas mengasamkan sehingga bakteri patogen dan parasit tidak mampu bertahan hidup. 3) Lactoferin bertugas mengikat zat besi sehingga bakteri patogen yang membutuhkan zat besi diboikot, tidak mendapatkan zat besi hingga mati.
74
HOSPITAL MAJAPAHIT
f.
g.
4.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
4) Lactoperoksidase bersama unsur lainnya berperang melawan serangan bakteri Streptococcus, Pseudomonas dan Eschericia coli. 5) Makrofag yang terkandung di dalam sel-sel susu ASI berfungsi melindungi kelenjar susu ibu dan saluran pencernaan bayi. (Widjaja, 2002). 6) Imunoglobulin Imonuglobulin G dapat menembus plasenta dan memberi perlindungan terhadap peyakit Difteri, Tetanus, Salmonela flagella, dan anti bodi Stafilakokus. Imunoglobulin A dalam ASI setelah diisap bayi akan menempel pada lumen usus, juga mengaktifkan sistem komplemen Imunoglobin A mempunyai peran menghambat Prifikasi. Kolostrum. Kolostrum adalah cairan pertama yang disekresi oleh kelenjar payudara dari hari ke satu sampai hari keempat (Purwanti, 2004). Menurut Soetjiningsih 1997, kolostrum adalah cairan yang pertama kali disekresi oleh kalenjer payudara yang mengandung tissue debris dan residual material yang terdapat dalam alveoli dan ductus dari kalenjer payudara sebelum dan sesudah masa puerpurium. Jenis-jenis ASI. 1) Colustrum diproduksi pada beberapa hari pertama. Air susu ini sangat kaya protein dan anti bodi serta sangat kental. Pada awal menyusui colostrum yang keluar mungkin hanya 1 sendok saja. Colostrum melapisi usus bayi dan melindungi bayi dari bakteri. Produksinya berkurang perlahan saat air susu keluar pada hari ke tiga sampai hari ke lima. 2) Foremilk. Disimpan dalam saluran penyimpanan dan keluar pada awal menyusui yang dihasilkan sangat banyak dan cocok untuk menghilangkan rasa haus bayi. 3) Hindmilk. Keluar setelah Foremilk habis saat menyusui hampir selesai. Sangat mirip dengan hidangan utama setelah sup pembuka, bayi memerlukan Foremilk dan Hindmilk.(Chumble ,2003)
Konsep MP–ASI. a. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Zat gizi yaitu zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi, mempunyai nilai yang sangat penting (Sapoetra, 2003). Gizi (nutrisi) adalah keseluruhan berbagai proses dalam tubuh makhluk hidup untuk menerima bahan-bahan dari lingkungan hidupnya dan menggunakan bahan-bahan tersebut agar menghasilkan pelbagai aktifitas penting dalam tubuhnya sendiri (Beck, 2000). Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. (Depkes dan Kessos. RI, 2000). Sedangkan menurut Krisnatuti 2000, makanan pendamping ASI adalah makanan tambahan yang diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 4-6 bulan sampai berusia 24 bulan. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi ikut berperan penting dalam menghasilkan manusia yang berkualitas. Dengan bertambahnya usia bayi bertambah pula kebutuhan akan zat-zat gizi oleh karena itu, mulai umur 6 bulan selain ASI bayi perlu diberi makanan lain. Makanan ini disebut makanan pendamping ASI. b. Penyusunan Makanan Pendamping ASI. Dalam penyusunan standart MP-ASI sebaiknya berpedoman kepada konsep umum MPASI dengan mempertimbangkan syarat mutu antara lain : 1) Padat gizi seimbang yaitu kaya energi, cukup protein dengan mutu tinggi, perbandingan karbohidrat dan lemak berimbang, kandungan lemak mampu mencukupi kebutuhan asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Cukup vitamin dan
75
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
mineral, batasi kandungan serat kasar, gula dan garam cukup untuk memberi rasa serta bersifat penambahan gizi ASI, dan tercapai kebutuhan gizi sehari. 2) Dapat diterima dengan baik yaitu disukai, dibutuhkan dan terjangkau, memenuhi nilai sosial, budaya dan agama serta berakar pada tradisi yang baik. 3) Aman dikonsumsi yaitu bebas dari gangguan organisme patogen, bebas dari racun dan bahan-bahan berbahaya. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang diperlukan bayi akan meningkat, sesuai dengan pertambahan usianya. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang merupakan makanan padat pertama yang diperkenalkan kepada bayi adalah makanan berupa cairan lembut dan agak cair misalnya bubur buah atau bubur susu tepung, beras yang dicampur ASI atau susu formula lanjutan. Baru setelah itu meningkat dari bubur ke beras yang disaring, ditim, dan akhirnya makanan keluarga yang dapat memancing unutk diraih dan dipegang oleh anak. (Muaris, 2005). Menurut Purwanti (2004) pengenalan makanan tambahan dimulai saat bayi berusia 6 bulan bukan 4 bulan karena : 1) Dari hasil penelitian jumlah komposisi ASI masih cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi apabila ASI diberikan secara tepat dan benar sampai bayi berumur 6 bulan. Namun pada kenyataannya 60% bayi belum berumur 4 bulan sudah mendapat tambahan susu sapi. 2) Bayi pada saat berumur 6 bulan sistem pencernaannya mulai matur. Jaringan pada usus halus bayi pada umumnya seperti saringan pasir, pori-porinya berongga sehingga memungkinkan bentuk protein ataupun kuman akan masuk dalam sistem peredaran darah dan dapat menimbulkan alergi. Pori-pori dalam usus bayi ini akan tertutup rapat setelah bayi berumur 6 bulan. Dengan demikian usus bayi setelah berumur 6 bulan mampu menolak faktor alergi atau kuman yang masuk. Makanan bayi pada umur 0-24 bulan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Makanan bayi umur 0-6 bulan. a) Hanya ASI saja (ASI Ekslusif). Kontak fisik dan hisapan bayi akan merangsang produksi ASI terutama 30 menit pertama setelah lahir pada periode ini ASI saja sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Perlu diingat bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. Menyusui sangat baik untuk bayi dan ibu, karena dengan menyusui akan terbina hubungan kasih sayang antara ibu dan anak. b) Berikan kolostrum. Kolostrum adalah ASI yang keluar pada hari-hari pertama, kental dan berwarna kekuning-kuningan. Kolostrum mengandung zat-zat gizi dan zat kekebalan yang dibutuhkan oleh bayi. c) Berikan ASI dari kedua payudara. Berikan ASI dari satu payudara sampai kosong, kemudian pindah ke payudara lainnya. Pemberian ASI dilakukan 8-10 kali setiap hari. 2) Makanan bayi umur 6-9 bulan. a) ASI tetap diteruskan. b) Makanan bayi usia 6 bulan : bubur susu. c) Makanan bayi usia 7 bulan : bubur buah. Pada usia 7 bulan bayi sudah dapat dengan mudah menerima bubur susu yang merupakan kombinasi antara ASI dan bahan yang mengandung zat tepung (pati), maka pemberian makanan pendamping ASI dapat digunakan bahan dasar buah-buahan. Buah yang diberikan pada bayi usia 7 bulan antara lain anggur, pisang, pir, melon, semangka, apokat, apel, dan pepaya. Sedangkan buah-buahan seperti tomat dan jeruk sebaiknya jangan terlalu dini diberikan
76
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
5.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
karena kedua jenis buah ini disinyalir sering menyebabkan reaksi samping. (Muaris, 2005). d) Makanan bayi usia 8 bulan : bubur saring. e) Makanan bayi usia 9 bulan : nasi tim. (Gramedia, 2005). 3) Makanan anak umur 9-12 bulan. a) ASI tetap diteruskan. b) Pada umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara bertahap bentuk dan kepadatan nasi tim bayi harus diatur secara berangsur mendekati bentuk dan kepadatan makanan keluarga. c) Bayi perlu diperkenalkan dengan beraneka ragam bahan makanan. 4) Makanan anak umur 12-24 bulan. a) Pemberian ASI diteruskan. b) Pemberian MP–ASI atau makanan keluarga sekurang-kurangnya 3 x sehari dengan porsi separuh makanan orang dewasa setiap kali makan. c) Variasi makanan diperhatikan dengan menggunakan padanan bahan makanan. d) Menyapih anak harus bertahap, jangan dilakukan secara tiba-tiba. Bahaya pemberian MP–ASI yang terlalu dini. Memberi makanan tambahan terlalu cepat berbahaya karena : 1) Seorang anak belum memerlukan makanan tambahan saat ini, dan makanan tersebut dapat menggantikan ASI. Jika makanan diberikan anak akan minum ASI lebih sedikit dan ibu pun memproduksinya lebih sedikit. 2) Anak mendapat faktor pelindung dari ASI lebih sedikit sehingga resiko infeksi meningkat. 3) Resiko diare jga mengingat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI. 4) Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer, buburnya berkuah atau berupa sup karena mudah dimakan oleh bayi. Makanan ini memang membuat lambung penuh, tetapi memberi nutrien lebih sedikit daripada ASI.
Konsep Diare dan Malnutrisi. a. Diare. Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer dan cair. (Suriadi dkk, 2001) Diare adalah Defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam tinja. (Mansjoer, 2000) Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja (Ngastiyah, 1997). Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor : 1) Faktor Infeksi. a) Infeksi enternal adalah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut : (1) Infeksi bakteri : vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb. (2) Infeksi virus : Entero Virus, (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomylitis) Adenovirus, rotavirus, Astrovirus, dll. (3) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, trichuris Oxyuris, Strongiloides) protozoa (entamoeba histolytica, giardia lamglia, Tricomonas hominis) jamur (candida albicans).
77
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
b) Infeksi parental ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), tonsilitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. 2) Faktor Malabsorbsi. a) Malabsorbsi karbohidrat : disakarida (Intoleransi lactosa, Maltosa dan Sukrosa) monosakarida (Intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa) pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering intoleransi laktosa. b) Malabsorbsi lemak. c) Malabsorbsi protein. 3) Faktor makanan. Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. 4) Faktor psikologis. Rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar). Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare. 1) Gangguan osmotik. Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. 2) Gangguan sekresik. Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus. 3) Gangguan motilitas usus. Hiperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare. Kekurangan Energi Protein (KEP). 1) Kwasiorkor. Kwasiorkor adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kekurangan protein dalam makanan akan mengakibatkan kekurangan asam amino esensial dalam serum yang diperlukan untuk sintesis dan metabolisme terutama sebagai pertumbuhan dan perbaikan sel, makin berkurangnya asam amino dalam serum menyebabkan berkurangnya produksi albumin oleh hati sehingga dapat terjadi oedema. 2) Marasmus. Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori dan protein pada marasmus ditandai dengan antropi jaringan, terutama lapisan sub kutan dan badan tampak kurus seperti orang tua. Kelainan yang sering menyertai kurang gizi. 1) Kekurangan vitamin A akan menderita defisiensi vitamin A (Xeroftalmia). Vitamin A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata terkena cahaya). 2) Defisiensi vitamin B1 (Tiamin) disebut Atiaminosis. Tiamin berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin B1 menyebabkan penyakit beri-beri dan kelainan saraf, mental dan jantung. 3) Defisiensi vitamin B2 (ariboflavinosis) yang berfungsi sebagai ko-enzim pernapasan. Defisiensi vitamin B2 dapat menyebabkan Angularis (retak-retak pada sudut mulut), glasitis, kelainan kulit dan mata. 4) Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi syaraf.
78
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
5) Defisiensi vitamin B12 yang dianggap sebagai komponen antinemia dalam faktor ekstrinsik, kekurangan vitamin B12 akan timbul anemia pernisiosa. 6) Defisiensi asam folat akan mengakibatkan granulositopenia, trombositopenia anemia makrositik, megaloblastik. 7) Defisiensi vitamin C dapat terjadi skorbut. Vitamin C diperlukan untuk pembentukan jaringan kolagen dan fibroblas karena merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel. 8) Defisiensi mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium, besi dengan segala akibatnya yang mengakibatkan gondok (Goiter) yang merugikan tumbuh kembang anak. (Ngastiyah, 1997). C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan desain Penelitian Deskriptif dengan pendekatan survey. KERANGKA KERJA Faktor Predisposisi : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tradisi dan kepercayaan 4. Sistem nilai 5. Tingkat pendidikan 6. Tingkat sosial ekonomi Perilaku Manusia Faktor Pemungkin : Sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan Faktor Penguat : Sikap dan Perilaku Tokoh Masyarakat Lawrence Green dalam Notoatmojdo 2003 Gambar 1. Keterangan :
Kerangka Kerja Faktor – Faktor Yang Melatarbelakangi Pemberian Makanan Pendamping Asi (MP - ASI) Pada Bayi Usia 0 – 6 Bulan
: Diteliti : Tidak Diteliti 2.
Populasi, Sampel, Variabel dan Definisi Operasional. Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 Bulan di Desa Simongagrok Dawarblandong Mojokerto yang berjumlah 21 orang pada tanggal 16 Agustus 2006 sampai 20 Agustus 2006, sedangkan sampel ditentukan dengan menggunakan sampling jenuh yaitu cara pengambilan sampel dengan mengambil anggota populasi semua menjadi sampel (Hidayat, 2003). Definisi operasional untuk setiap variabel adalah sebagai berikut :
79
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tabel 1 . Definisi Operasional Faktor – Faktor Yang Melatarbelakangi Pemberian Makanan Pendamping Asi (MP - ASI) Pada Bayi Usia 0 – 6 Bulan Di Desa Simongagrok Dawarblandong Mojokerto Definisi Variabel Parameter Skala Skoring Alat ukur operasional Pengetahuan Hasil tahu dan Pengetahuan tentang : Ordinal 1. Baik Kuesioner ini terjadi 1. ASI eksklusif 76-100% setelah orang 2. Makanan 2. Cukup melakukan Pendamping ASI 56-76% penginderaan 3. Jenis makanan 3. Kurang terhadap pendamping ASI < 56% suatu objek 4. Waktu pemberian (Nursalam, 2003) tertentu makanan pendamping ASI Tingkat Kemampuan Pendidikan formal : Ordinal 1. Tamat SD Kuesioner pendidikan seseorang 1. SD/MI 2. Tamat SMP dalam 2. SMP/MTs 3. Tamat SMA menyelesaikan 3. SMA/MA 4. Tamat PT/AK pendidikan 4. PT/AK formal Tingkat sosial Pendapatan Berdasarkan UMR : Nominal 1. < 500 ribu ekonomi yang diterima 1. < UMR 2. > 500 ribu (penghasilan) seseorang tiap 2. > UMR bulan 3.
Teknik Analisis Data. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan tabel distribusi frekuensi. Rumus yang dipakai adalah sebagai berikut : Sp N 100% Sm Keterangan : N = Prosentase. Sp = Nilai yang didapat responden. Sm = Nilai tertinggi yang diharapkan. Dimana jawaban responden akan diprosentase, dan digolongkan sebagai berikut : ≤ 56 % = Kurang 57 – 75 % = Cukup 76 – 100 % = Baik (Nursalam ,2003)
D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Karakteristik responden berdasarkan umur. No. Karakteristik Umur Frekuensi Prosentase (%) 1 < 20 tahun 4 19,048 2 20 -35 tahun 12 57,143 3 > 35 tahun 5 23,809 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berumur 20–35 tahun dan responden yang berumur <20 tahun mempunyai proporsi yang paling kecil.
80
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
c.
d.
e.
f.
g.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan. No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi Prosentase (%) 1 SD/MI 6 28,571 2 SMP/MTs 10 47,619 3 SMA/MA/SMK 5 23,809 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden berpendidikan SMP/MTs sedangkan responden yang berpendidikan SMA/MA/SMK mempunyai proporsi yang paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan. No. Karakteristik Pekerjaan Frekuensi Prosentase (%) 1 Ibu Rumah Tangga 13 61,905 2 Tani 2 09,524 3 Wiraswasta 6 28,571 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden sebagai ibu rumah tangga sedangkan responden yang bertani mempunyai proporsi yang paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan tingkat penghasilan. No. Karakteristik Penghasilan Frekuensi Prosentase (%) Per Bulan 1 < 500 ribu rupiah 12 57,143 2 > 500 ribu rupiah 9 42,857 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berpenghasilan < 500 ribu rupiah sisanya > 500 ribu rupiah. Karakteristik responden berdasarkan usia bayi. No. Karakteristik Usia Bayi Frekuensi Prosentase (%) 1 0–2 bulan 7 33,333 2 2–4 bulan 6 28,571 3 4–6 bulan 8 38,095 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak bayi berusia 4–6 bulan sedangkan bayi yang berusia 2–4 bulan mempunyai proporsi paling kecil. Usia bayi sejak diberikan MP-ASI. No. Usia Bayi diberikan MP-ASI Frekuensi Prosentase (%) 1 Sejak lahir 5 23,809 2 1–3 bulan 6 28,571 3 3–5 bulan 10 47,619 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak usia bayi sejak diberikan MP-ASI adalah usia 3–5 bulan sedangkan usia sejak lahir mempunyai proporsi paling kecil. Jenis MP-ASI yang sudah diberikan. No. Jenis MP-ASI Frekuensi Prosentase (%) 1 Air Gula 4 19,048 2 Pisang 7 33,333 3 Pisang + Nasi 2 09,524 4 Bubur Beras 8 38,095 Total 21 100
81
HOSPITAL MAJAPAHIT
h.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak jenis MP-ASI yang sudah diberikan pada bayi adalah Bubur Beras sedangkan jenis MP-ASI Pisang+Nasi mempunyai proporsi paling kecil. Jenis penyakit sering diderita oleh bayi. No. Jenis Penyakit Frekuensi Prosentase (%) 1 Diare 4 19,048 2 Panas 5 23,809 3 Batuk Pilek 5 23,809 4 Tidak Ada 7 33,333 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak tidak ada jenis penyakit yang sering diderita oleh bayi sedangkan jenis penyakit diare mempunyai proporsi paling kecil.
2. Data Khusus. a. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pengetahuan terhadap pemberian MP-ASI. No. Tingkat Pengetahuan Frekuensi Prosentase (%) 1 Kurang (≤ 56 %) 12 57,143 2 Cukup (56 – 75%) 7 33,333 3 Baik (76 – 100%) 2 09,524 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai pengetahuan kurang terhadap pemberian MP-ASI dan responden dengan pengetahuan baik mempunyai proporsi paling kecil. b. Faktor - faktor yang mempengaruhi ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif. No. Faktor – Faktor Tidak Frekuensi Prosentase (%) Memberikan ASI Eksklusif 1 ASI tidak cukup 14 66,667 2 Ibu bekerja 14 66,667 3 Takut gemuk 1 04,762 4 Takut ditinggal suami 2 09,524 5 Ibu sakit 7 33,333 6 Susu formula lebih praktis 6 28,571 7 Kurangnya petugas kesehatan 3 14,286 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa ASI tidak cukup dan ibu bekerja merupakan faktor paling banyak yang mempengaruhi ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif sedangkan takut gemuk mempunyai proporsi paling kecil. c. Alasan memberikan MP-ASI secara dini. No. Alasan Memberikan MP-ASI Frekuensi Prosentase (%) 1 Bayi Sehat 10 47, 619 2 Bayi Gemuk 7 33, 333 3 Tidak Rewel 4 19, 048 Total 21 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak alasan memberikan MP-ASI secara dini adalah agar bayi sehat sedangkan agar bayi tidak rewel mempunyai proporsi paling kecil. E.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Desa Simongagrok, Dawarblandong, Mojokerto pada tanggal 16 sampai 20 Agustus 2006. Didapatkan data bahwa sebagian besar responden
82
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
berumur 20–35 tahun yaitu sebanyak 12 orang (23,809%) dan responden yang berumur <20 tahun yaitu sebanyak 4 orang (19,048%) mempunyai proporsi yang paling kecil. Pada umumnya pekerjaan responden adalah sebagai ibu rumah tangga sebanyak 13 orang (61,905%), dengan pendidikan responden SMP/MTs sebanyak 10 orang (47,619%), responden yang berpendidikan SMA/MA/SMK sebanyak 5 orang (23,809%), pendidikan SD/MI sebanyak 6 orang (28,571%), sedangkan yang berpendidikan Perguruan Tinggi tidak ada. Dari tingkat pendidikan responden yang hanya sampai SMP/MTs akan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan reponden tentang pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Dan dari tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap perilaku responden terhadap pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan kurang terhadap pemberian MP-ASI yaitu sebanyak 12 orang (57,143%) dan sebagian kecil saja responden yang berpengetahuan baik yaitu sebanyak 2 orang (09,524%). Selain itu dari tingkat penghasilan yang diperoleh responden selama 1 bulan sebagian besar berpenghasilan < 500 ribu rupiah sebanyak 12 orang (57,143%) dan sisanya berpenghasilan > 500 ribu rupiah sebanyak 9 orang (42,857%). Menurut Lawrence Green bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 3 faktor utama salah satu diantaranya adalah faktor predisposisi (predisposing factor) yang meliputi pengetahuan, pendidikan, dan sosial ekonomi (Notoatmojdo, 2003). Jenis Makanan Pendamping ASI (MP–ASI) yang diberikan paling banyak adalah bubur beras yaitu sebanyak 8 orang (38,095%), pisang sebanyak 7 orang (33,333%), air gula sebanyak 4 orang (19,048%) dan yang paling kecil adalah pisang+nasi sebanyak 2 orang (09,524%). Dan paling banyak makanan pendamping ASI (MP–ASI) tersebut diberikan saat usia bayi 3–5 bulan yaitu sebanyak 10 orang (47,619%), usia 1–3 bulan sebanyak 6 orang (28,571%) dan diberikan sejak lahir sebanyak 5 responden (23,809%). Padahal pemberian makanan pendamping ASI (MP–ASI) seharusnya mulai diperkenalkan saat bayi berusia 6 bulan. Karena dari hasil penelitian menyebutkan bahwa ASI masih cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi apabila ASI diberikan secara tepat dan benar sampai bayi berumur 6 bulan (Purwanti, 2004). Makanan Pendamping ASI (MP–ASI) merupakan makanan padat pertama yang diperkenalkan kepada bayi. Pemberiannya juga bertahap mulai dari bubur susu, bubur buah, bubur saring, nasi tim, dan yang terakhir adalah makanan keluarga (Muaris, 2005). Pemberian makanan pendamping ASI (MP–ASI) yang terlalu dini akan berakibat diare, kurangnya kalori dan protein pada bayi, meningkatnya resiko infeksi dan kematian juga dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan. (Karmini, 2005). Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa penyakit yang sering diderita bayi adalah panas sebanyak 5 bayi (23, 809%), batuk pilek 5 bayi (23,809%), dan diare 4 bayi (19,048 %) serta ada 7 bayi (33,333 %) yang tidak mengalami gangguan kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi responden tidak memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan adalah karena ASI tidak cukup dan ibu bekerja sebanyak 14 orang (66,667%). Responden juga mengungkapkan anggapan/persepsi mengapa mereka memberikan MP–ASI yang terlalu dini pada bayinya. Sebagian besar alasan tersebut adalah agar bayinya cepat sehat sebanyak 10 orang (47,619 %), bayi gemuk 7 orang (33,333%), tidak rewel 4 orang (19,048%). Padahal pemberian MP–ASI yang terlalu dini akan berdampak pada bayi karena dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada makanan di dunia ini yang sesempurna ASI (Hubertin, 2003). ASI banyak mengandung zat-zat yang diperlukan oleh bayi diantaranya adalah Hidrat Arang, Protein, Lemak, Mineral, dan Vitamin. (Purwanti, 2004). Serta faktor-faktor kekebalan dalam ASI yaitu Lisozym, Bifido bakteri, Laktoferin, Lactoperoksidase, Makrofag serta Imunoglobulin. (Wijaya, 2002).
83
HOSPITAL MAJAPAHIT F.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
PENUTUP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor–faktor yang melatarbelakangi Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI adalah kurang sebanyak 57,143%, pendidikan umumnya SMP/MTs sebesar 47,619%, penghasilan umumnya <500 ribu rupiah sebanyak 61,905%. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi memberian ASI eksklusif adalah karena ASI tidak cukup dan ibu bekerja dengan prosentase 66,667% sedangkan alasan yang melatarbelakangi dalam pemberian MP–ASI karena para ibu menginginkan bayinya cepat sehat sebanyak 47,619%. Dari hasil penelitian diharapkan para ibu dapat memberikan MP–ASI sesuai dengan umur dan tahap pertumbuhan bayinya serta nilai gizi yang terkandung dalam makanan yang diberikan pada bayinya. Bagi pelayanan kesehatan yang ada seperti Puskesmas dapat diharapkan dapat memberikan penyuluhan kesehatan tentang pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sesuai dengan tahap pertumbuhan bayi serta perlu diadakan suatu pelatihan dan penerangan terhadap kader–kader Posyandu tentang pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA. Alimul, A. Azis. 2003. Reset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Azwar, Azrul. 2003. Peningkatan Gizi Balita Melalui Mutu MP-ASI. www.bsn.or.id/berita/detailnews.cfm?news.id=10_11.html (tanggal siatasi, 20 Mei 2006). Beck, Mary. G. 2000. Ilmu Gizi dan Diet. Yogyakarta : Esentia Medica. Bobak, dkk. 2004. Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Chumbley, Jane. 2003. Menyusui. Jakarta : Erlangga. Depkes &Kessos RI. 2000. Makanan Pendamping ASI. Jakarta : Depkes RI. Dempsey, Patricia Ann. 2002.Riset Keperawatan. Jakarta : EGC. Gupte, Suraj. 2004. Jakarta : Pustaka Popular Obor. Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Anak. Jakarta : Erlangga. Saputra,karta & Marsetyo. 2003. Ilmu gizi. Jakarta : Rineka Cipta. Karmini, Mien, Dkk. MP ASI. www.dinkespurworejo.go.id/indeks2.php? (tanggal 5 Mei 2006) Krisnatuti dan Yenrina. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta : Puspa Swara. Markun. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK – UI. Muaris, Hindah.2005 Bubur Buah Makanan Pendamping ASI untuk Bayi Mulai usia 7 Bulan. Jakarta : Gramedia Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Muaris, Hindah. 2005. Makanan Pendamping ASI Untuk Bayi Mulai Usia 7 Bulan. http://www.google.co.id/search?hl=id&=makanan+pendamping+asi+untuk+bayi+mulai +usia+7+bulan&btn.html (sitasi tanggal 12 Mei 2006). Poerwanti, Sri Hubertin. 2004. Konsep Penerapan ASI Ekslusif. Jakarta : EGC. Purwanto, Heri. 1998. Pengantar Perilaku Manusia. Jakarta : EGC. Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidya. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2000. Ilmu Gizi. Jakarta : Dian Rakyat. Silalahi, Gabries Amin. 2003. Metodologi Penelitian dan Studi Kasus. Sidoarjo : Cipta Medika. Suherman. 2000. Perkembangan Anak. Jakarta : EGC. Suradi & Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : PT. Fajar Interpratama. Wijaya. 2002. Gizi Tepat untuk Perkembangan Otak dan Kesehatan Balita. Jakarta : Kawan Pustaka.
84
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
FAKTOR- FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA DI SMK “RADEN PATAH” KECAMATAN MOJOSARI KABUPATEN MOJOKERTO Nurul Aini Mahasiswa Poltekkes Majapahit ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada pembaca tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan teknik non probability yaitu consequtive sampling. Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa yang bersekolah di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto, dengan jumlah sampel 96 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 9-16 Agustus 2007 di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku merokok di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. antara lain: faktor pengetahuan responden sebagian besar pada kategori pengetahuan kurang sebanyak 91 orang dengan prosentase 94,8% dan tidak ada responden pada kategori pengetahuan baik, faktor psikologi responden sebagian besar pada kategori mendukung sebanyak 72 orang dengan prosentase 75% dan sebagian kecil pada kategori tidak mendukung sebanyak 24 orang dengan prosentase 25%, faktor lingkungan responden sebagian besar pada kategori tidak mendukung sebanyak 52 orang dengan prosentase 54,2% dan sebagian kecil pada kategori mendukung sebanyak 44 orang dengan prosentase 45,8%. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa faktor yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. adalah faktor psikologi. Oleh karena itu petugas kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting untuk dapat memberikan penyuluhan tentang bahaya perilaku merokok sehingga remaja dapat lebih waspada terhadap bahaya perilaku merokok. Kata kunci : faktor perilaku, merokok, remaja. A.
PENDAHULUAN. Merokok dapat menjadi cara bagi remaja agar tampak bebas dan dewasa. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat–sifat masa transisi atau peralihan. Suatu sifat yang khas dari remaja adalah bahwa mereka tidak menentang orang dewasa, melainkan justru meniru perilaku orang dewasa (Haditono, 2002). Kebimbangan identitas (identity confusion) berdampak kurang baik bagi remaja, hal ini akan menyebabkan penarikan diri individu, mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga atau meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Yusuf, 2005). Berdasarkan penelitian oleh Prof. Soesmalijah Soewondo dari fakultas psikologi UI yang bertanya pada sejumlah orang yang tidak berhenti merokok dengan alasan untuk kenikmatan, terkesan “keren”, menghilangkan stres (depresi) dan apabila tidak merokok akan susah berkonsentrasi dan gelisah. Itu disebabkan karena dalam rokok terdapat 4000 zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan, dua diantaranya nikotin yang yang bersifat adiktif dan Tar yang bersifat karsiogenik. Zat kimia yang berbahaya tersebut dapat memicu timbulnya kanker dan meningkatkan serotonin yang dapat menimbulkan rangsangan senang untuk mencari rokok lagi. Hal ini menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok karena sudah ketergantungan pada nikotin (Firdaus, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Escobedo, jumlah remaja yang mulai merokok meningkat tajam setelah usia 10 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 13–14
85
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
tahun. Ketika siswa duduk dikelas 2 SMP, 15% remaja mengatakan bahwa mereka sudah merokok gambaran ini meningkat menjadi 28% pada siswa kelas 3 SLTA. Siswa yang mulai merokok pada usia 12 tahun atau lebih muda, lebih cenderung menjadi perokok berat dan merokok secara teratur dari pada siswa yang mulai merokok pada usia yang lebih tua (Santrock, 2003). Padahal efek merugikan dari merokok adalah kematian sebesar 25%, kanker paru- paru sebesar 80%, kanker mulut dan tenggorokan sebesar 60%, jantung dan stroke 16% (Jaken, 2002). Komisi Nasional perlindungan anak mengatakan bahwa tiap tahun jumlah perokok pada remaja meningkat hingga 20% (Seto Mulyadi, 2006). Menurut perkiraan WHO, kenaikan perokok di Indonesia khususnya anak usia muda diantaranya karena pengaruh ingin mencoba–coba, pengaruh teman sebaya, pengaruh iklan rokok melalui berbagai media atau karena mempunyai orang tua perokok (Burhan, 2003). Merokok pada remaja dapat dipengaruhi juga oleh beberapa faktor diantaranya : 1. faktor psikologik, yaitu a) faktor perkembangan sosial, b) faktor pskiatrik ; 2. faktor biologik, yaitu : a) faktor kognitif, b) faktor jenis kelamin, c) faktor etnik, d) faktor genetik ; 3. faktor lingkungan (Soetjiningsih, 2004). Upaya untuk mengurangi perilaku merokok pada remaja saat ini telah dilaksanakan program anti merokok yang dilakukan di sekolah, terutama memfokuskan pemberian informasi tentang bahaya merokok. Program ini efektif dalam meningkatkan pengetahuan tentang akibat negatif merokok dan kadang-kadang efektif dalam merubah sikap terhadap merokok tetapi kenyataanya punya manfaat yang sedikit dalam merubah perilaku merokok (Soetjiningsih, 2004). Pada intinya, pencegahan merokok adalah upaya pendidikan dan politis yang lebih kuat untuk mencegah anak–anak dan remaja mulai mencoba rokok (Santrock, 2003). Berdasarkan penelitian diatas maka petugas kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting untuk mencegah perilaku merokok pada remaja. Petugas kesehatan dapat memberikan penyuluhan dengan cara membekali remaja dengan informasi yang memadai sehingga remaja dapat lebih waspada terhadap bahaya perilaku merokok. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SMK “Raden Patah“ Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto selama dua minggu di mulai tanggal 15–27 Juni 2007 dengan cara observasi, didapatkan bahwa sebanyak 15 siswa SMK “Raden Patah“ Kecamaan Mojosari Kabupaten Mojokerto yang merokok didepan sekolah pada saat masuk sekolah dan pulang sekolah. Berdasarkan hasil observasi didapatkan bahwa sebanyak 12 siswa mengatakan mereka merokok karena diajak teman dan sebanyak 3 siswa mengatakan mereka merokok karena ingin mencoba-coba. Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui faktor– faktor apa yang melatarbelakangi perilaku meokok pada remaja di SMK “Raden Patah“ Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. B.
TINJAUAN PUSTAKA. 1. Konsep Perilaku. a. Pengertian perilaku. Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme baik yang dapat diamati langsung ataupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2002) atau merupakan respon dari reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dalam dirinya (Sarwono, 1997). Menurut Purwanto (1998) perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. b. Faktor terbentuknya perilaku dibedakan menjadi 2, yaitu : 1) Faktor intern, mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. 2) Faktor ekstern, mencakup lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial–ekonomi, kedudayaan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
86
HOSPITAL MAJAPAHIT c.
d.
e.
f.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Faktor – faktor yang melatarbelakangi perilaku : Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) faktor yang melatarbelakangi perilaku adalah : 1) Faktor predisposisi (Predisposition Factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan dan sebagainya. 2) Faktor pendukung (Enabling Factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas–fasilitas ataupun sarana-sarana kesehatan. 3) Faktor pendorong (Reinforcing Factor) yang terwujud dalam perilaku petugas kesehatan maupun keluarga yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Respon perilaku. Skiner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respon. Menurut Skiner ada 2 macam respon yaitu : 1) Respondent respon atau reflexive respon ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan–rangsangan tertentu. Perangsangan–perangangan yang semacam ini disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respon–respon yang relatif tetap. 2) Respondent respon (respondent behavior) ini mencakup juga emosi atau emotional behavior. Emotional respon ini timbul karena hal yang kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan. 3) Operant respons atau instrumental respons adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku yang telah dilakukan. 4) Didalam kehidupan sehari–hari, respons jenis pertama (respondent respons atau respons behavior) sangat terbatas keberadaanya pada manusia. Hal ini disebabkan karena hubungan yang pasti diantara stimulus dan respons kemungkinan untuk memodifikasikannya adalah sangat kecil. Sebaliknya operant respons atau instrumental respons merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia, dan kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar (Notoatmodjo, 2003). Bentuk perilaku. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 : 1) Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2) Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2007). Proses perubahan perilaku. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : 1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
87
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul. 3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap–tahap tersebut di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopasi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003). Bentuk – bentuk perubahan perilaku. Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO, perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi 3, yakni : 1) Perubahan alamiah (natural change). Perubahan perilaku manusia selalu berubah, dimana sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan. 2) Perubahan rencana (planned change). Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. 3) Kesediaan untuk berubah (readiness to change). Setiap orang di dalam suatu masyarakat mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda–beda (Notoatmodjo, 2003).
Konsep Merokok. a. Pengertian rokok. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiona tabacuni, nicotiana rustica dan spesies lain atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan (Anonim, 2006). b. Pengertian merokok. 1) Merokok termasuk salah satu perbuatan yang mengarah pada pekerjaan membinasahkan. 2) Merokok adalah simbol persahabatan dan keakraban. 3) Merokok adalah bagian dari sisi hidup dan kehidupan buat para perokok. 4) Merokok adalah perbuatan mubazir, maka hal tersebut dilarang dalam agama islam (Anonim, 2006). c. Faktor–faktor resiko bagi remaja untuk merokok. Seperti penggunaan zat-zat (suntances) lainnya, terdapat beberapa faktor risiko bagi remaja sehingga mereka menjadi perokok. Faktor–faktor tersebut antara lain faktor psikologik, faktor biologik, dan faktor lingkungan serta regulasi atau peraturan penjualan rokok. 1) Faktor psikologik. a) Faktor perkembangan sosial. Aspek perkembangan pada remaja antara lain : (1) Menetapkan kebebasan otonomi,
88
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
(2) Membentuk identitas diri, (3) Penyesuaian perubahan psikososial berhubungan dengan maturasi fisik. Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi remaja agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang merokok. Istirahat atau santai dan kesenangan, tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat ingin tahu, stres, bosan, ingin kelihatan gagah dan sifat ingin menentang merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan mulainya merokok. Sedangkan faktor resiko lainnya adalah rendah diri, hubungan antar perorangan yang jelek, kurang mampu menghadapi stres, putus sekolah, serta tahun-tahun transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah (usia 11-16 tahun). Merokok sering dihubungkan dengan remaja yang nilai sekolahnya jelek, aspirasi rendah, penggunaan alkohol serta obat - obat lain, absen sekolah, kemungkinan putus sekolah, rendah diri dan pengetahuan tentang merokok yang rendah. tingkah laku individu juga dipengaruhi oleh pengetahuan, pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah individu melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Mencoba – coba merupakan keputusan seseorang untuk melakukan sesuatu akibat tertarik terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2003). Teman sebaya (peer) adalah individu yang tingkat dan kematangannya dan umurnya kurang lebih sama. Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Besarnya peranan teman sebaya dalam kehidupan sosial remaja mendorong remaja untuk membentuk kelompok – kelompok (Soetjiningsih, 2004). Kelompok remaja dapat memenuhi kebutuhan pribadi remaja, memberi penghargaan kepada mereka, memberikan informasi, menaikkan harga diri dan memberikan remaja identitas. Hubungan teman sebaya yang baik mungkin perlu bagi perkembangan sosial yang normal pada masa remaja. Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk masuk kedalam suatu jaringan sosial, berkaitan dengan berbagai bentuk masalah dan gangguan, dimulai dari kenakalan dan masalah minum alkohol, obat–obatan hingga depresi. Jadi pengaruh teman sebaya dapat positif maupun negatif (Santrock, 2003). b) Faktor psikiatrik. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak–kanak dan masa dewasa. Remaja tidak memiliki tempat yang jelas, yaitu bahwa mereka tidak termasuk golongan anak–anak tetapi tidak juga termasuk pada golongan dewasa. Erikson mengatakan bahwa untuk menemukan jati dirinya peran remaja harus mempunyai dalam kehidupan sosialnya sehingga dapat mengembangkan dirinya (Soetjiningsih, 2004). Sumber–sumber yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri adalah lingkungan sosial, dimana remaja tumbuh dan berkembang, seperti keluarga dan tetangga yang merupakan lingkungan masa kecil. Dalam proses perkembangan identitas diri, sering dijumpai bahwa remaja mempunyai seseorang yang sangat berarti, seperti sahabat, guru, kakak, bintang olah raga atau bintang film yang dikagumi. Orang–orang tersebut menjadi tokoh idola karena memiliki nilai–nilai ideal bagi remaja dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan identitas diri. Sehingga remaja sering berperilaku seperti idolanya dengan meniru sikap maupun perilakunya dan seolah-olah menjadi seperti mereka. Status dalam pembentukan identitas diri tersebut sangat berpengaruh terhadap harapan–harapan, pandangan
89
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
terhadap diri maupun reaksi terhadap stres. Kecemasan adalah perasaan yang paling dominan dialami remaja karena persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Maka remaja cenderung akan melakukan hal–hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, seperti mabuk–mabukan, penyalahgunaan obat atau zat sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab (Santrock, 2003). Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikitri seperti skizofrenia, depresi, cemas dan penyalahgunaan zat tertentu. Pada remaja didapatkan asosiasi antara merokok dengan depresi dan cemas. Gejala lebih sering pada remaja perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan penyalahgunaan zat tertentu. Remaja yang memperlihatkan gejala depresi dan cemas mempunyai risiko lebih tinggi untuk memulai rokok dari pada remaja yang asimtomatik. Remaja dengan gangguan cemas bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan dan stres yang mereka alami (Soetjiningsih, 2004). Stress adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres, yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menaganinya (coping). Status dalam pembentukan identitas tersebut sangat berpengaruh terhadap harapan–harapan, pandangan terhadap diri maupun reaksi terhadap stres dan kecemasan (Santrock, 2003). Sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang hubungan antara merokok dengan penyakit psikiatrik. Gejala psikiatrik dapat muncul selama gejala putus nikotin (nikotin withdrawal) seperti cemas, depresi, bingung (Soetjiningsih, 2004). 9) Faktor biologik. a) Faktor kognitif. Menurut David Wechsler (1958) kognitif didefinisikan sebagai “keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”. Jadi, kognitif memang mengandung unsur pikiran atau rasio. Semakin banyak unsur rasio yang harus digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, semakin baik tingkah laku tersebut (Sarwono, 2005). Pada masa remaja belum menyadari adanya bermacam – macam penyebab penyakit pada kesehatan remaja. Remaja lebih cenderung menggambarkan kesehatan dengan menggunakan faktor psikologi, emosional dan sosial serta menganggap bahwa perilaku mereka adalah hal yang penting bagi mereka sendiri (Santrock, 2003). Faktor lain yang menyebabkan perkembangan kecanduan nikotin adalah merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin. Sebagai contoh, beberapa dewasa perokok melaporkan bahwa Merokok memperbaiki konsentrasi. Telah dibuktikan bahwa nikotin mengganggu perhatian dan kemampuan kognitif, tetapi hal ini akan berkurang bila mereka diberi nikotin atau rokok. Studi yang dilakukan pada dewasa perokok dan tidak merokok memperlihatkan bahwa nikotin dapat meningkatkan “fingertapping rate”, respon motorik dalam tes fokus perhatian, perhatian terusmenerus dan pengenalan memori. b) Faktor jenis kelamin. Patut diperhatikan bahwa belakangan ini kejadian merokok meningkat pada remaja wanita. Remaja wanita perokok melaporkan bahwa dengan merokok mereka menjadi lebih percaya diri, suka menentang, dan secara sosial cakap. Keadaan ini berbeda dengan laki-laki perokok yang secara sosial tidak aman. c) Faktor etnik. Di AS, angka kejadian merokok tertinggi pada orang kulit putih dan penduduk asli amerika, serta terendah pada orang – orang amerika keturunan afrika dan
90
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
asia. Laporan tersebut memberi kesan bahwa perbedaan asupan nikotin dan tembakau serta waktu paruh kotinin antara perokok dewasa AS keturunan afrika dengan orang kulit adalah substansial. Ini dapat membedakan risiko pada beberapa etnik dalam hal penyakit yang berhubungan dengan merokok. d) Faktor genetik. Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang memetabolisme nikotin. Konsekuensinya adalah meningkatnya risiko kecanduan nikotin pada beberapa individu. Variasi efek nikotin dapat diperantarai oleh polimorfisme gen reseptor dopamin yang mengakibatkan lebih besar atau lebih kecilnya ganjaran (reward) dan mudah kecaduan obat. Kecanduan nikotin melibatkan faktor lingkungan dan genetik yang multipel. Faktor genetik dapat menjelaskan banyaknya variasi penggunaan tembakau pada remaja, serta tampak mempengaruhi reaksi farmakologik terhadap nikotin, beberapa darinya tampak berkaitan dengan gen yang mempengaruhi ekspresi alkoholisme. 10) Faktor lingkungan. Lingkungan menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu baik fisik, biologi dan sosial. Lingkungan sangat mempengaruhi terhadap perilaku individu dan dari faktor lingkungan dapat menyebabkan seseorang memiliki perilaku merokok. Pada umumnya remaja membentuk kelompok ketika mereka memasuki masa remaja dan mereka akan menjadi anggota kelompok usia sebaya. Kelompok itu disebut reference group dan melalui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh nilai dan peran yang dapat menjadi acuan bagi dirinya, sehingga remaja menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh adalah kehidupan sosial remaja. Keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, yang meletakkan dasar–dasar kepribadian remaja. Pengaruh kelompok teman sebaya juga sangatlah besar dalam melakukan penyimpangan perilaku merokok. Faktor - faktor yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain: orang tua, saudara kandung, teman sebaya yang merokok, terpapar reklame tembakau, artis pada reklame di media. Orang tua memegang peranan terpenting. Dari remaja yang merokok, didapatkan 75%. Salah satu atau kedua orang tuanya merokok. Sebuah studi kohort pada anak – anak SMU mendapatkan bahwa penyebab yang bermakna dalam peralihan dari kadang – kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orang tua merokok dan konflik keluarga. Reklame tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh orang tua atau teman sebaya, mungkin karena mempengaruhi persepsi remaja terhadap penampilan manfaat rokok. Memulai menggunakan tembakau lebih erat hubungannya dengan faktor lingkungan, sedangkan peningkatan dari merokok pertama ke kecanduan rokok tampaknya dipengaruhi oleh faktor pesonal dan farmakologik. Selain itu peningkatan harga jual atau diberlakukan cukai yang tinggi akan menurunkan pembelian dan konsumsi rokok. Pembatasan fasilitas untuk merokok dengan menetapkan ruang atau daerah bebas rokok diharapkan dapat mengurangi konsumsi rokok. Tetapi kenyataannya terdapat peningkatan kejadian memulai merokok pada remaja, walaupun telah dibuat usaha–usaha untuk mencegahnya (Soetjiningsih, 2004).
91
HOSPITAL MAJAPAHIT d.
e.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Jenis–jenis rokok. Secara garis besar, rokok terbagi atas 4 jenis yaitu : 1) Rokok putih. Rokok putih adalah rokok yang tembakaunya berasal dari luar indonesia. Rokok jenis ini rasanya pahit dan tidak padat. Contoh rokok untuk jenis ini antara lain Marlboro, Lucky Strike, 555, Ardath, dll. 2) Rokok kretek. Ini adalah rokok produksi dalam negeri. Istilah kretek kemungkinan besar diambil dari bunyinya yang kretek – kretek jika dibakar. Rokok jenis ini tembakuanya sudah dicampur dengan cengkeh dan rempah – rempah lain sehingga ada rasa manisnya. Karakteristik lainnya adalah tembakau yang padat. Konon, beberapa rokok kretek jika disimpan lebih lama cita rasanya akan semakin baik. Rokok jenis ini antara lain Sampoerna Mild, Dji Sam Soe, Gudang Garan Filter, dll. 3) Cerutu. Yang membedakan cerutu dengan rokok adalah ukurannya. Ukuran cerutu pada umumnya lebih besar dari rokok yang dibalut tembakau juga, bukan kertas seperti rokok.Cerutu memiliki kandungan tembakau yang sangat padat sehingga biasanya satu batang cerutu bisa dihisap secara bertahap. 4) Rokok rasta. Rokok ini juga merupakan campuran antara tembakau dan sayur–sayuran dari hutan di aceh yang sudah dikeringkan. Bau rokok ini sangat menusuk hidung dan membuat mulut kering. Rokok jenis ini juga mengeluarkan suara kretek–kretek jika dibakar. Biasanya dibalut dengan papir (Wahyutan, 2003). Zat kimia yang terkandung dalam rokok. Menurut R. A. Nainggolan ada 15 zat kimia, yaitu : 1) Aerolin. Merupakan zat cair yang tidak berwarna seperti Adechdte. Zat ini diperoleh dengan mengambil cairan Glyseril atau dengan mengeringkannya. Zat ini juga mengandung akohol dengan kata lain heroin adalah alkohol. 2) Karbonmonoksida (CO). Merupakan gas beracun yang mampu mengakibatkan kemampuan darah membawa oksigen berkurang. 3) Nikotin. Merupakan cairan minyak yang tidak berwarna dan dapat menyebabkan rasa perih, zat ini bersifat adiktif dan karsinogen yang mempengaruhi saraf dan peredaran darah. 4) Tar. Zat ini sejenis cairan yang berwarna kental yang berwarna coklat tua atau hitam. Tar mengandung bahan kimia beracun yang dapat merusak sel paru-paru dan menyebabkan kanker, dalam Tar mengandung Benzopyreme yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket pada paru- paru. 5) Amonia. Merupakan gas berwarna terdiri dari Nitrogen dan Melrogen. Zat ini berbau sangat tajam dan merangsang amonia dapat memasuki sel-sel tubuh. 6) Fermid Acid. Sejenis cairan tidak berwarna dapat menyebabkan kelumpuhan dan dalam peredaran darah dapat meningkatkan kecepatan pernapasan. 7) Hidrogen Cyanide. Sejenis gas tidak beracun dan tidak berbau. Zat ini sangat efektif dalam menghalangi masuknya oksigen, Cyanid juga mengandung racun yang sangat berbahaya dan menyebabkan kematian.
92
HOSPITAL MAJAPAHIT
f.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
8) Nifraus Oxide. Merupakan zat berwarna, bila dihisap dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan, Zat ini biasa digunakan sebagai obat anastesi. 9) Formal Dehyde. Merupakan sejenis gas tidak berwarna dan berbau tajam. Gas ini tergolong zat pengawet dan pembasmi hama. 10) Phenol. Merupakan zat beracun yang dapat membahayakan dan mampu berikatan serta menghalangi kerja enzim. 11) Achetol. Sejenis zat tidak berwarna, tidak berbau dan dapat bergerak bebas serta mudah menguap dengan alkohol. 12) Hydrogen Sulfide. Sejenis gas beracun yang mudah terbakar. Zat ini menghalangi kerja enzim. 13) Pyridine. Sejenis cairan berwarna yang berbau tajam. Zat ini biasa digunakan untuk pembunuh hama. 14) Methyl Cloride. Zat ini merupakan zat yang sangat beracun biasanya digunakan sebagai obat anastesi. 15) Methanol. Adalah campuran bahan yang dapat menguap dan terbakar. Zat ini bila dihirup akan mengakibatkan kematian (Tjandra, 1998). 16) Ada 2 macam asap rokok yang mengganggu kesehatan : a) Asap rokok utama (mainstream), adalah asap yang dihisap oleh si perokok. b) Asap sampingan (sidestream), adalah asap yang merupakan pembakaran dari ujung rokok, kemudian menyebar ke udara. Asap sampingan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi, karena tidak melalui proses penyaringan yang cukup. Dengan demikian penghisap asap sampingan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan kesehatan. Perokok pasif adalah orang – orang yang tidak merokok, namun korban perokok karena turut menghisap asap sampingan (Pramana, 2006). Dampak merokok. 1) Menyebabkan mata mengeluarkan air tangis dan rambut berbau 2) Mininggikan tekanan darah dan menyebabkan denyut nadi semakin cepat 3) Meningkatkan risiko kelemahan karena sirkulasi darah kurang baik 4) Mengurangi upaya mengecap dan menghidu 5) Mewarnai gigi dan jari 6) Dapat menyebabkan kulit semakin tua secara prematur, kulit kering dan berkerut 7) Meningkatkan risiko serangan jantung dan otak 8) Dapat menimbulkan serangan asma dan menyebabkan asma lebih parah lagi 9) Menyebabkan sesak napas, batuk, pilek, radang paru – paru, bronkitis kronis. 10) Mungkin menyebabkan kanker paru – paru, kerongkongan. Laring dan tenggorokan. 11) Pada wanita dapat menyebabkan nyeri haid, menopause lebih awal dan infertilisasai. 12) Pada pria dapat menyebabkan impotensi, infertilisasai, dan gangguan sperma. 13) Pada wanita hamil rokok atau asap rokok dapat meningkatkan resiko pada janin, yaitu keguguran, pertumbuhan terhambat, komplikasi selama pertumbuhan, lahir prematur, berat badan rendah, kesulitan bernapas saat lahir, sakit dalam hari–hari pertama setelah lahir dan meninggal (Aditama, 1997).
93
HOSPITAL MAJAPAHIT g.
d.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Bahaya penggunaan tembakau dan terpapar asap tembakau. Terpapar rokok selama 8 jam sebanding dengan merokok sebanyak 20 batang perhari. Konsekuensi dari merokok antara lain meningkatnya kejadian infeksi saluran napas bagian atas, batuk, asma, sinisitus, penyakit kardiovaskuler, kanker, mengganggu fertilisasi, lahir kurang bulan, kematian maupun absen dari kerja atau sekolah. Anak dan kaum muda yang merokok, pertumbuhan dan perkembangan parunya segera akan terpengaruh oleh asap rokok tersebut. Pada dewasa maupun remaja, merokok secara statistik berhubungan dengan depresi, cemas, ADHD, dan kelainan psikistrik lainnya. Anak–anak umur belasan dengan gangguan ini secara bermakna lebih mungkin memulai merokok dari pada teman sebayanya yang tanpa gangguan ini. Sebaliknya, anak umur belasan yang merokok lebih mungkin berkembang depresi dari pada bukan perokok, menandakan adanya mata rantai atau hubungan kausal atau kepekaan. Wanita hamil yang merokok akan meningkatkan risiko abortus spontan, BBLR (bayi berat lahir rendah), SIDS (suddent infant death syndrome), dan jangka panjang mengenai masalah kognitif atau perilaku seperti gangguan pemusatan perhatian dengan atau hiperaktivitas. Laki–laki perokok hendaknya waspada tehadap impotensi dan tramsmisi kelainan genetik. Asap rokok diklasifikasikan sebagai karsinogen kelas A. Terpaparnya anak dengan asap rokok akan meningkatkan risiko asma, SIDS, penyakit telinga tengah, pnemonia, batuk, infeksi saluran napas bagian atas, menurunkan kadar kolesterol HDL, dan penyakit jantung koroner. Bila terpapar rokok mulai pada usia sebelum 10 tahun akan meningkatkan resiko leukemia dan limfoma (Soetjiningsih, 2004). Penatalaksanaan remaja perokok. Program penghentian merokok pada remaja kurang berhasil. Beberapa tipe intervensi pengobatan melalui beberapa studi disebarkan untuk remaja. Kelemahan utama studi tersebut adalah dalam hal desain dan laporan yang kurang terhadap penurunan penggunaan tembakau. 1) Riwayat remaja perokok. Beberapa remaja ada dalam proses perkembangan kecanduan tembakau, sebaliknya mayoritas dewasa telah kecanduan selama beberapa tahun. Pada remaja, pola merokok juga lebih bervariasi dalam jumlah maupun frekuensinya dibanding dewasa. Sebuah studi kohort yang dilakukan di sekolah pada 276 perokok dengan umur 12 sampai 18 tahun, angka kejadian penghentian merokok adalah 46% pada perokok jarang, 12% pada perokok 1- 9 batang perhari, dan 6,8% pada perokok 10 batang perhari. Kaum muda tidak merasa kebutuhan menurunkan mata rantai yang membahayakan terhadap paparan tembakau. Beberapa remaja, kecanduan nikotinnya ada dalam tahap bulan madu (hooney moon phase). Keberhasilan pengobatan tergantung pada penyesuaian secara individu dan cara yang tepat yang dapat meningkatkan motivasi. Pada remaja, sekali penghentian merokok dimulai, sedikit diketahui alasan untuk merokok kembali. Godaan untuk merokok kembali dihubungkan dengan keadaan afektif dan gejala putus nikotin. Untuk membantu program penghentian merokok pada kaum muda, telah diperiksa beberapa faktor yang dapat memfasilitasi berhenti. pada sebuah studi kohort (n=321) remaja usia 18 tahun, alasan untuk meninggalkan rokok antara lain masalah harga (52%), kebugaran (27%), penampilan gang jelek (16%), tekanan sosial (11%), meninggalkan kebiasaan (10%), dan tanpa alasan (5%). 2) Intervensi psikososial. Anak–anak yang dalam kesehariannya terpapar rokok lebih sedikit dapat memelihara penurunan merokok sampai 1 bulan setelah melengkapi program, tidak dilaporkan adanya efikasi jangka panjang. Keberhasilan Penghentian
94
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
merokok dapat dihindari oleh faktor-faktor sosial seperti adanya perokok lain di dalam rumah tangga. Tingkah laku remaja mengikuti pola yang kompleks dari teman sebaya, pemimpin gang atau kelompok, orang tua dan model–model lain yang berperanan. 3) Pendekatan farmakologi. Remaja yang kecanduan tembakau mengalami derajat dan bermacam – macam gejala putus obat. Terapi pengganti nikotin seperti tempelan kulit dan permen telah menghasilkan penurunan kejadian dari 9–44% pada dewasa perokok. Keamanan dan kecenderungan penyalahgunaan yang rendah dari permen nikotin telah dibuktikan pada dewasa tetapi tidak pada remaja. Sebuah studi terapi pengganti nikotin pada remaja baru–baru ini melaporkan bahwa efek samping nikotin yang ditempel serupa orang dewasa mendapatkan penurunan kecil gejala–gejala putus obat dengan penggunaan niotin yang ditempel selama 8 minggu, dan hanya 1 dari 22 remaja yang tetap pantang selama 6 bulan. Fleksibilitas dari dosis permen, kemiripan yang dekat sekali dengan pemberian nikotin sendiri lewat rokok, memberi kesan bahwa ini mungkin cocok untuk remaja–remaja perokok. Penelitian akhir–akhir ini memberi kesan bahwa farmakoterapi bermanfaat dan aman pada remaja pengguna tembakau. 4) Pendekatan kombinasi Kombinasi intervensi biopsikososial dan farmakoterapi yang telah sukses pada dewasa, bisa juga dilakukan pada remaja. Pencegahan merokok. Program anti merokok yang dilakukan disekolah terutama memfokuskan pemberian informasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan. Program tesebut berdasarkan asumsi bahwa jika kaum muda tahu mengapa merokok itu tidak sehat, maka mereka tidak akan memilih menjadi perokok. Program ini efektif dalam meningkatkan pengetahuan tentang akibat negatif merokok dan kadang–kadang efektif dalam merubah sikap terhadap merokok, tetapi kenyataannya punya pengaruh yang sedikit pada perilaku merokok. Akhir–akhir ini kebanyakan program pencegahan merokok berdasarkan satu dari dua pendekatan psikososial, yaitu : (1) pendekatan pengaruh sosial dan (2) pendekatan melatih cara menghadapi kehidupan. Pendekatan pengaruh sosial didasarkan pada asumsi bahwa model tersebut adalah faktor utama dalam memulai perilaku merokok. Kebanyakan tekanan sosial terhadap merokok datang dari orang tua, saudara kandung, teman dan media. Pendekatan melatih cara menghadapi kehidupan didasarkan pada asumsi bahwa yang menyebabkan merokok dan bentuk lain penggunaan zat–zat tertentu adalah kurangnya intelegensi personal dan sosial. Program berdasarkan pendekatan ini biasanya memberikan pelatihan pada bidang : peningkatan rasa rendah diri, ketegasan, cara berkomunikasi, interaksi sosial, santai dalam mengatasi stres, pemecahan masalah dan membuat keputusan. Program pencegahan yang akan datang perlu lebih komprehensif serta memasukkan dalam pendekatan mereka untuk mencegah bukan hanya individu tersebut, tetapi juga keluarga, sekolah, masyarakat dan media. Letak pelayanan kesehatan adalah tempat penting lainnya untuk pencegahan merokok. Pendidikan perindividu dan intervensi berkelompok oleh dokter, perawat, pekerja sosial dan tema sebaya (Soetjiningsih, 2004). Peran tenaga kesehatan di masyarakat. Dokter atau tenaga medis lainnya hendaknya mempersiapkan diskusi persoalan penghentian tembakau pada setiap kesempatan. Dengan cara melakukan identifikasi penggunaan tembakau selama kontrol kesehatan rutin atau penyembuhan penyakit yang disebabkan penggunaan tembakau, terpapar tembakau, nasehat penghentian, pengobatan dan rujukan.
95
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
C. 1.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Lebih rendahnya angka penggunaan tembakau terutama pada kaum muda tergantung pada usaha yang komprehensif, tersebar luas dan terus–menerus untuk mengurangi ketersediaan produk. Usaha tersebut antara lain : 1) Menaikkan bea cukai tembakau. 2) Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya menggunakan tembakau dan terpapar tembakau. 3) Kurangi reklame dan promosi produk tembakau dan mendorong perkembangan reklame anti tembakau. 4) Meningkatkan kewaspadaan dari kenyataan bahwa kebanyakan masyarakat (75% populasi) tidak menggunakan produk tembakau. 5) Memperbaiki pelaksanaan hukuman yang mengakses kaum remaja. 6) Mempromosikan media yang memberitakan tentang bahaya tembakau (Soetjiningsih, 2004). Cara berhenti merokok. Pikirkan alasan–alasan kenapa kita mau berhenti merokok. Misalnya, karena dengan tidak merokok kita bisa : 1) Berpenampilan lebih rapi dan wangi. 2) Menu makanan sehat dan seimbang. 3) Menghemat uang jajan. 4) Mengurangi resiko terkena kanker, sakit jantung dan stroke. 5) Hidup lebih lama dari pada teman yang merokok. 6) Kenali hal – hal yang menjadi pemicu membuat kita ingin merokok. 7) Minta dukungan keluarga dan teman. 8) Mulai berolahraga atau melakukan aktivitas yang menyenangkan untuk menghilangkan stres dan meningkatkan kesehatan. 9) Cukup istirahat (Guntoro Utamadi, 2002).
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan desain Penelitian Deskriptif dengan pendekatan survey. KERANGKA KERJA Faktor Predisposisi : 1. Faktor Psikologik a. Faktor perkembangan sosial b. Fakor psikiatrik 2. Faktor biologik a. Faktor jenis kelamin b. Faktor kognitif c. Faktor etnik d. Faktor genetika 3. Faktor lingkungan Faktor regulatori
Faktor Pendukung Sarana/Informasi
Faktor Pendorong 1. Teman Sebaya 2. Keluarga 3. Media Iklan
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti
Perilaku Merokok Pada Remaja
Gambar 1. Kerangka Kerja Faktor- Faktor Yang Melatarbelakangi Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto
96
HOSPITAL MAJAPAHIT 2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Populasi, Sampel, Variabel dan Definisi Operasional. Pada penelitian ini populasinya adalah semua siswa yang bersekolah di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto pada tanggal 09 – 15 Agustus 2007 yang berjumlah 1319 siswa, dengan teknik pengambilan sampel non probability yaitu consequtive sampling. Teknik consequtive sampling adalah suatu cara pengambilan sampel dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Alimul, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto dengan jumlah sampel 96 orang yang memenuhi kriteria : a. Kriteria Inklusi. Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah : 1) Semua siswa yang bersekolah di SMK “Raden Patah” Mojosari Mojokerto kelas 1 , 2 dan 3. 2) Bersedia menjadi responden. 3) Siswa yang merokok. b. Kriteria Eksklusi. Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini adalah : 1) Bukan siswa yang bersekolah di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. 2) Menolak untuk menjadi responden. 3) Siswa yang tidak merokok. Tabel 1. Definisi Operasional Faktor- Faktor Yang Melatarbelakangi Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto Definisi Variabel Parameter Skala Skoring Alat ukur operasional Pengetahuan Sesuatu yang Kemampuan Ordinal benar = 1 Kuesioner diketahui oleh respoden menjawab : salah = 0 responden 1. Zat-zat yang keriteria tentang terkandung Baik : 76-100% perilaku pada merokok. cukup : 56-75% merokok 2. Bahaya merokok. Kurang : ≤ 56% 3. Jenis-jenis rokok. (Arikunto, 1998) Psikologis Sesuatu dalam Kemampuan Ordinal SS = 4, S = 3, Kuesioner diri seseorang responden dalam KS = 2, TS = 1 yang melatar- menyesuaikan Kriteria belakangi diri meliputi : Mendukung : untuk 1. Identitas diri ≥ 50% melakukan 2. Menghilangkan Tidak perilaku stres mendukung : merokok 3. Percaya diri < 50% Lingkungan Sesuatu dari Faktor yang Ordinal SS = 4, S = 3, Kuesioner luar diri mendukung perilaku KS = 2, TS = 1 seseorang merokok meliputi : Kriteria yang melatar- 1. Teman sebaya Mendukung : belakangi 2. Anggota keluarga ≥ 50% untuk 3. Media Tidak melakukan mendukung : perilaku < 50% merokok (Arikunto, 2002)
97
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Teknik Analisis Data. Analisa data dilakukan dengan teknik analisis kulalitatif, teknik ini digunakan untuk pengolahan data yang berbentuk kategorisasi, karakteristik atau sifat variabel (Notoatmodjo, 2002). Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan tabel distribusi frekuensi. Rumus yang dipakai adalah sebagai berikut :
N
Sp 100% Sm
Keterangan : N = Prosentase. Sp = Nilai yang didapat responden. Sm = Nilai tertinggi yang diharapkan. Dimana jawaban responden akan diprosentase, dan digolongkan sebagai berikut : 1) Pengetahuan Baik : 76 – 100 % Cukup : 56 – 75 % Kurang : ≤ 56 % (Arikunto, 1998). 2) Psikologi Mendukung : ≥ 50 % Tidak Mendukung : < 50 % 3) Lingkungan Mendukung : ≥ 50 % Tidak Mendukung : < 50 % (Arikunto, 2002). D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Karakteristik responden berdasarkan usia. No. Karakteristik Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 15 – 16 tahun 34 35,4 2 17 – 18 tahun 56 58,3 3 19 – 20 tahun 6 6,3 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berumur 17–18 tahun dan responden yang berumur 19-20 tahun mempunyai proporsi yang paling kecil. b. Karakteristik responden berdasarkan kelas. No. Karakteristik Kelas Frekuensi Prosentase (%) 1 1 28 29,2 2 2 30 31,3 3 3 38 39,6 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden berada dikelas 3 dan responden yang berada di kelas 1 mempunyai proporsi yang paling kecil. 2.
Data Khusus. a. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pengetahuan. No. Tingkat Pengetahuan Frekuensi Prosentase (%) 1 Baik 0 0 2 Cukup 5 5,2 3 Kurang 91 94,8 Total 96 100
98
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai pengetahuan kurang dan tidak ada responden yang mempunyai pengetahuan baik. Karakteristik responden berdasarkan faktor psikologi. No. Faktor Psikologi Frekuensi Prosentase (%) 1 Mendukung 72 75 2 Tidak Mendukung 24 25 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendukung dalam faktor psikologi untuk melakukan merokok dan sisanya tidak mendukung. Berikut ini adalah uraian data tentang faktor psikologi yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja. a. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok karena ingin mencoba - coba atau ingin tahu. Ingin Mencoba-Coba Atau No. Frekuensi Prosentase (%) Ingin Tahu 1 Sangat setuju 18 18,18 2 Setuju 39 40,6 3 Kurang setuju 28 29,2 4 Tidak setuju 11 11,5 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju ingin coba-coba atau ingin tahu untuk melakukan perilaku merokok dan tidak setuju mempunyai proporsi paling kecil. b. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok agar tampil lebih dewasa dan keren. Tampil Lebih Dewasa Dan No. Frekuensi Prosentase (%) Keren 1 Sangat setuju 17 17,7 2 Setuju 24 25 3 Kurang setuju 27 28,1 4 Tidak setuju 28 29,2 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju bahwa perilaku merokok agar tampil lebih dewasa dan keren sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil. c. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok agar lebih percaya diri. No. Lebih Percaya Diri Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 22 22,9 2 Setuju 27 28,1 3 Kurang setuju 27 28,1 4 Tidak setuju 20 20,8 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju dan kurang setuju melakukan perilaku merokok agar lebih percaya diri sedangkan tidak setuju mempunyai proporsi paling kecil.
99
HOSPITAL MAJAPAHIT d.
e.
f.
g.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, jika tidak merokok akan sulit konsentrasi. No. Sulit Konsentrasi Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 15 15,6 2 Setuju 21 21,9 3 Kurang setuju 30 31,3 4 Tidak setuju 29 30,2 5 Absen 1 1 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju jika tidak melakukan perilaku merokok akan sulit konsentrasi sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok dapat menghilangkan stres. No. Menghilangkan Stres Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 24 25 2 Setuju 45 46,9 3 Kurang setuju 15 15,6 4 Tidak setuju 12 12,5 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju jika melakukan perilaku merokok dapat menghilangkan stres sedangkan tidak setuju mempunyai proporsi paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok dapat memiliki banyak teman. No. Memiliki Banyak Teman Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 22 22,9 2 Setuju 27 28,1 3 Kurang setuju 23 24 4 Tidak setuju 23 24 5 Absen 1 1 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju jika melakukan perilaku merokok dapat memiliki banyak teman sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok akan menjadi nyaman. No. Merokok Lebih Nyaman Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 15 15,6 2 Setuju 39 40,6 3 Kurang setuju 23 24 4 Tidak setuju 19 19,8 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju jika melakukan perilaku merokok akan menjadi nyaman sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil.
100
HOSPITAL MAJAPAHIT h.
b.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, jika tidak melakukan perilaku merokok merasa sulit bergaul. No. Sulit Bergaul Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 10 10,4 2 Setuju 19 19,8 3 Kurang setuju 32 33,3 4 Tidak setuju 35 36,5 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju jika tidak melakukan perilaku merokok merasa sulit bergaul sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil.
Karakteristik responden berdasarkan faktor lingkungan. No. Faktor Lingkungan Frekuensi Prosentase (%) 1 Mendukung 44 45,8 2 Tidak Mendukung 52 54,2 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden tidak mendukung dalam faktor lingkungan untuk melakukan merokok dan sisanya mendukung. Berikut ini adalah uraian data tentang faktor lingkungan yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja. a. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok karena ajakan teman di sekolah. No. Ajakan Teman di Sekolah Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 12 12,5 2 Setuju 27 28,1 3 Kurang setuju 30 31,3 4 Tidak setuju 27 28,1 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju ingin melakukan perilaku merokok karena ajakan teman disekolah dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil. b. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok karena ajakan teman di rumah. No. Ajakan Teman di Rumah Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 10 10,4 2 Setuju 44 45,8 3 Kurang setuju 18 18,8 4 Tidak setuju 24 25 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju ingin melakukan perilaku merokok karena ajakan teman dirumah dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil.
101
HOSPITAL MAJAPAHIT c.
d.
e.
f.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok karena orang tua juga merokok. No. Orang Tua Merokok Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 12 12,5 2 Setuju 11 11,5 3 Kurang setuju 28 29,2 4 Tidak setuju 43 44,8 5 Absen 2 2,1 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju melakukan perilaku merokok karena orang tua juga merokok dan setuju mempunyai proporsi paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok karena terpengaruh iklan rokok. No. Terpengaruh Iklan Rokok Frekuensi Prosentase (%) 1 Sangat setuju 7 7,3 2 Setuju 12 12,5 3 Kurang setuju 28 29,2 4 Tidak setuju 49 51 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju melakukan perilaku merokok karena terpengaruh iklan rokok dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok disekolah merupakan tempat yang nyaman. Sekolah Tempat Yang No. Frekuensi Prosentase (%) Nyaman 1 Sangat setuju 5 5,2 2 Setuju 13 13,5 3 Kurang setuju 29 30,2 4 Tidak setuju 47 49 5 Absen 2 2,1 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju bahwa merokok disekolah merupakan tempat yang nyaman dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil. Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, merokok merupakan simbol persahabatan dan keakraban. Simbol Persahabatan Dan No. Frekuensi Prosentase (%) Keakraban 1 Sangat setuju 17 17,7 2 Setuju 21 21,9 3 Kurang setuju 38 39,6 4 Tidak setuju 20 20,8 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju bahwa merokok merupakan simbol persahabatan dan keakraban dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil.
102
HOSPITAL MAJAPAHIT g.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik responden berdasarkan berdasarkan item pertanyaan, lebih memilih teman yang merokok. Lebih Memilih Teman Yang No. Frekuensi Prosentase (%) Merokok 1 Sangat setuju 11 11,5 2 Setuju 12 12,5 3 Kurang setuju 43 44,8 4 Tidak setuju 30 31,3 Total 96 100 Tabel diatas menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju lebih memilih teman yang merokok dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil.
c.
Kesimpulan uraian item pertanyaan pada faktor psikologi. Sangat Kurang Tidak Setuju Total Setuju Setuju Setuju No. Pertanyaan F % F % F % F % F % 1. Ingin mencoba – coba atau ingin 18 18,8 39 40,6 28 29,2 11 11,5 96 100 tahu 2. Agar tampak 17 17,7 24 25 27 28,1 28 29,2 96 100 dewasa dan keren 3. Agar lebih percaya 22 22,9 27 28,1 27 28,1 20 20,8 96 100 diri 4. Jika tidak merokok 15 15,6 21 21,9 30 31,3 29 30,2 96 100 sulit konsentrasi 5. Merokok dapat menghilangkan 24 25 45 46,9 15 15,6 12 12,5 96 100 stres 6. Jika merokok akan memiliki banyak 22 22,9 27 28,1 23 24 23 24 96 100 teman 7. Jika merokok akan merasa lebih 15 15,6 39 40,6 23 24 19 19,8 96 100 nyaman 8. Jika tidak merokok 10 10,4 19 19,8 32 33,3 35 36,5 96 100 akan sulit bergaul Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui sebagian besar uraian item pertanyaan faktor psikologi yang melatarbelakangi perilaku merokok remaja, merokok dapat menghilangkan stres dengan kategori setuju sebanyak 45 orang (46,9%) dan sebagian kecil pada item pertanyaan, jika tidak merokok akan sulit bergaul dengan kategori sangat setuju sebanyak 10 orang (10,4%).
d.
Kesimpulan uraian item pertanyaan pada faktor lingkungan. Sangat Kurang Setuju Setuju Setuju No. Pertanyaan F % F % F % 1. Merokok karena diajak teman di 12 12,5 27 28,1 30 31,3 sekolah
103
Tidak Setuju F %
F
%
27
96
100
28,1
Total
HOSPITAL MAJAPAHIT No.
Pertanyaan
Vol 2. No. 1, Februari 2010 Sangat Setuju F %
Setuju F
%
Kurang Setuju F %
Tidak Setuju F %
Total F
%
2.
Merokok karena diajak teman di 10 10,4 44 45,8 18 18,8 24 25 96 100 sekitar rumah 3. Merokok karena orang tua juga 12 12,5 11 11,5 28 29,2 43 44,8 96 100 merokok 4. Merokok karena terpengaruh iklan 7 7,3 12 12,5 28 29,2 49 51 96 100 rokok 5. Sekolah tempat merokok yang 5 5,2 13 13,5 29 30,2 47 49 96 100 nyaman 6. Merokok merupakan simbol 17 17,7 21 21,9 38 39,6 20 20,8 96 100 persahabatan 7. Lebih memilih teman yang 11 11,5 12 12,5 43 44,8 30 31,3 96 100 merokok Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui sebagian besar uraian item pertanyaan faktor lingkungan yang melatarbelakangi perilaku merokok remaja, merokok karena terpengaruh iklan rokok dengan kategori tidak setuju sebanyak 49 orang (51%) dan sebagian kecil pada item pertanyaan, sekolah merupakan tempat merokok yang nyaman dengan kategori sangat setuju sebanyak 5 orang (5,2%). E. 1.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan kurang sebanyak 91 orang (94,8%) dan tidak ada responden yang mempunyai pengetahuan baik.Menurut David Wechsler (1958) kognitif didefinisikan sebagai “keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”. Jadi, kognitif memang mengandung unsur pikiran atau rasio. Semakin banyak unsur rasio yang harus digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, semakin baik tingkah laku tersebut (Sarwono, 2005). Pada masa remaja belum menyadari adanya bermacam–macam penyebab penyakit pada kesehatan remaja. Remaja lebih cenderung menggambarkan kesehatan dengan menggunakan faktor psikologi, emosional dan sosial serta menganggap bahwa perilaku mereka adalah hal yang penting bagi mereka sendiri (Santrock, 2003). Program pencegahan merokok adalah upaya pendidikan dan politis yang lebih kuat untuk mencegah remaja mulai mencoba rokok. Program anti merokok yang dilakukan di sekolah terutama memfokuskan pemberian informasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan. Program tersebut berdasarkan asumsi bahwa jika kaum muda tahu mengapa merokok itu tidak sehat, maka mereka tidak akan memilih menjadi perokok. Program ini efektif dalam meningkatkan pengetahuan tentang akibat negatif merokok dan kadang – kadang efektif dalam merubah perilaku terhadap merokok, tetapi pada kenyataannya punya pengaruh yang sedikit pada perilaku merokok. Telah dibuktikan pula bahwa nikotin dapat mengganggu perhatian dan kemampuan kognitif (Soetjiningsih, 2004).
104
HOSPITAL MAJAPAHIT 2.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik responden berdasarkan faktor psikologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendukung sebanyak 72 orang (75%) dalam faktor psikologi untuk melakukan merokok dan sisanya tidak mendukung sebanyak 24 orang (25%). Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak–kanak dan masa dewasa. Remaja tidak memiliki tempat yang jelas, yaitu bahwa mereka tidak termasuk golongan anak–anak tetapi tidak juga termasuk pada golongan dewasa. Erikson mengatakan bahwa untuk menemukan jati dirinya peran remaja harus mempunyai dalam kehidupan sosialnya sehingga dapat mengembangkan dirinya (Soetjiningsih, 2004). Sumber–sumber yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri adalah lingkungan sosial, dimana remaja tumbuh dan berkembang, seperti keluarga dan tetangga yang merupakan lingkungan masa kecil. Dalam proses perkembangan identitas diri, sering dijumpai bahwa remaja mempunyai seseorang yang sangat berarti, seperti sahabat, guru, kakak, bintang olah raga atau bintang film yang dikagumi. Orang–orang tersebut menjadi tokoh idola karena memiliki nilai–nilai ideal bagi remaja dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan identitas diri. Sehingga remaja sering berperilaku seperti idolanya dengan meniru sikap maupun perilakunya dan seolah-olah menjadi seperti mereka (Santrock, 2003). Status dalam pembentukan identitas diri tersebut sangat berpengaruh terhadap harapan–harapan, pandangan terhadap diri maupun reaksi terhadap stres. Kecemasan adalah perasaan yang paling dominan dialami remaja karena persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Maka remaja cenderung akan melakukan hal – hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, seperti mabuk–mabukan, penyalahgunaan obat atau zat sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab (Santrock, 2003). Untuk itu merokok dapat menjadi sebuah cara bagi remaja agar mereka tampak bebas dan dewasa saat menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang merokok, dengan merokok remaja akan tampak lebih keren dan percaya diri serta merokok juga dapat menghilangkan stres. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi dan cemas. Remaja yang memperlihatkan gejala cemas dan depresi mempunyai resiko lebih tinggi untuk memulai merokok (Soetjiningsih, 2004). Berdasarkan jawaban setiap item pertanyaan pada faktor psikologi maka dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju ingin coba-coba atau ingin tahu untuk melakukan perilaku merokok sebanyak 39 orang (40,6%) dan tidak setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 11 orang (11,5%). Hal ini disebabkan karena tingkah laku individu juga dipengaruhi oleh pengetahuan, pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah individu melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Mencoba – coba merupakan keputusan seseorang untuk melakukan sesuatu akibat tertarik terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2003). b. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden bahwa paling banyak responden tidak setuju bahwa perilaku merokok agar tampil lebih dewasa dan keren sebanyak 28 orang (29,2%) sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 17 orang (17,7%). Pada masa remaja, remaja berusaha melepaskan diri dari lingkungan dan ikatan dengan keluarga karena mereka ingin mencari identitas diri. Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi remaja agar mereka tampak bebas dan dewasa saat menyesuaikan diri dengan teman sebaya (Soetjiningsih, 2004). c. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju dan kurang setuju melakukan perilaku merokok agar lebih percaya diri 27 orang (28%) sedangkan tidak setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 20 orang (20,8%). Dua sumber penting dukungan sosial yang berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja adalah hubungan dengan orang tua dan hubungan dengan teman sebaya. Suatu penelitian
105
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
menunjukkan bahwa dukungan dari teman sebaya lebih berpengaruh terhadap tingkat rasa percaya diri. Ada 4 cara untuk meningkatkan rasa percaya diri pada remaja, yaitu (1) mengidentifikasi penyebab dari rendahnya percaya diri dan dominan kompetensi diri yang penting, (2) dukungan emosional dan penerimaan sosial, (3) prestasi, (4) cara mengatasi masalah (Soetjiningsih, 2004). d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju jika tidak melakukan perilaku merokok akan sulit konsentrasi sebanyak 30 orang (31,3%) sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil 15 orang (15,6%). Faktor yang mungkin mempengaruhi perkembangan kecanduan nikotin adalah merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin. Beberapa orang melaporkan bahwa merokok dapat memperbaiki konsentrasi (Soetjiningsih, 2004). e. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden setuju jika melakukan perilaku merokok dapat menghilangkan stres sebanyak 45 orang (46,9%) sedangkan tidak setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 12 orang (12,5%). Stress adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres, yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping) (Santrock, 2003). Status dalam pembentukan identitas tersebut sangat berpengaruh terhadap harapan–harapan, pandangan terhadap diri maupun reaksi terhadap stres dan kecemasan. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi dan penyalahgunaan zat–zat tertentu. Remaja yang memperlihatkan gejala depresi dan cemas mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk memulai merokok. Remaja dengan gangguan cemas dan depresi bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan cemas dan depresi yang mereka alami hal ini dapat mempengaruhi perkembangan remaja dalam menghadapi stres dan dalam mengambil keputusan yang bertanggung jawab (Soetjiningsih, 2004). f. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju jika melakukan perilaku merokok dapat memiliki banyak teman sebanyak 27 orang dengan prosentase 28,1% sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil 22 orang (22,9%). Teman adalah kawan, sahabat, orang–orang yang sama–sama bekerja (Kamus besar bahasa Indonesia). Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman–temannya adalah perokok juga. Dari fakta tersebut ada 2 kemungkinan yang terjadi, (1) remaja tersebut terpengaruh oleh teman – temannya, (2) remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka menjadi perokok (Atkitson, 1999).Pengaruh teman sangatlah besar dalam melakukan penyimpangan perilaku merokok. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran dari dalam diri individu itu sendiri untuk menghentikan perilaku merokok (Santrock, 2003). g. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden setuju jika melakukan perilaku merokok akan menjadi nyaman 39 orang (40,6%) sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil 15 orang (15,6%). Merokok, minum–minuman keras dan mengkonsumsi obat terlarang dapat mengurangi ketegangan dan frustasi, menghilangkan kebosanan dan rasa lelah. Merokok dapat membantu remaja untuk menyesuaikan diri yang lebih baik dengan teman dan lingkungan. Merokok juga dikonsumsi dengan alasan sosial, memungkinkan remaja untuk menjadi lebih nyaman dan menikmati pertemanannya dengan orang lain (Santrock, 2003). h. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju jika tidak melakukan perilaku merokok merasa sulit bergaul 35 orang (36,5%) sedangkan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 10 orang (10,4%). Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi remaja agar tampak bebas dan dewasa saat menyesuaikan diri dengan teman sebaya. Banyak remaja menganggap bahwa dengan merokok mereka akan mudah untuk bergaul dengan orang lain (Soetjiningsih, 2004).
106
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
Karakteristik responden berdasarkan faktor lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mendukung sebanyak 52 orang (54,2%) dalam faktor lingkungan untuk melakukan merokok dan sisanya mendukung sebanyak 44 orang (45,8%). Lingkungan menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu baik fisik, biologi dan sosial. Lingkungan sangat mempengaruhi terhadap perilaku individu dan dari faktor lingkungan dapat menyebabkan seseorang memiliki perilaku merokok. Pada penelitian ini sebagian besar responden faktor lingkungan pada kategori tidak mendukung. Hal ini sesuai sesuai dengan teori Erikson yang disebut dengan krisis identitas, Apabila remaja memperoleh peran dalam masyarakat maka remaja tersebut akan mencapai sense of identity yaitu menemukan identitas diri. Sebaliknya apabila remaja tidak dapat menyelesaikan krisis identitas maka akan remaja tersebut mencapai identity confusion. Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (Soetjiningsih, 2004). Pada umumnya remaja membentuk kelompok ketika mereka memasuki masa remaja dan mereka akan menjadi anggota kelompok usia sebaya. Kelompok itu disebut reference group dan melalui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh nilai dan peran yang dapat menjadi acuan bagi dirinya, sehingga remaja menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh adalah kehidupan sosial remaja. Pengaruh kelompok teman sebaya sangatlah besar dalam melakukan penyimpangan perilaku merokok. Faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain: orang tua, saudara kandung, teman sebaya yang merokok, terpapar reklame tembakau, artis pada reklame di media. Orang tua memegang peranan terpenting. Dari remaja yang merokok, didapatkan 75% salah satu atau kedua orang tuanya merokok. Reklame tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh orang tua atau teman sebaya, mungkin karena mempengaruhi persepsi remaja terhadap penampilan manfaat rokok. Memulai menggunakan tembakau lebih erat hubungannya dengan faktor lingkungan, sedangkan peningkatan dari merokok pertama ke kecanduan rokok tampaknya dipengaruhi oleh faktor pesonal dan farmakologik (Soetjiningsih, 2004). Berdasarkan jawaban setiap item pertanyaan pada faktor lingkungan maka dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju ingin melakukan perilaku merokok karena ajakan teman di sekolah sebanyak 30 orang (31,3%) dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 12 orang (12,5%). Sedangkan setuju ingin melakukan perilaku merokok karena ajakan teman dirumah sebanyak 44 orang (45,8%) dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 10 orang (10,4%). Teman sebaya (peer) adalah individu yang tingkat kematangannya dan umurnya kurang lebih sama. Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Besarnya peranan teman sebaya dalam kehidupan sosial remaja mendorong remaja untuk membentuk kelompok – kelompok (Soetjiningsih, 2004). Kelompok remaja dapat memenuhi kebutuhan pribadi remaja, memberi penghargaan kepada mereka, memberikan informasi, menaikkan harga diri dan memberikan remaja identitas. Hubungan teman sebaya yang baik mungkin perlu bagi perkembangan sosial yang normal pada masa remaja. Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk masuk kedalam suatu jaringan sosial, berkaitan dengan berbagai bentuk masalah dan gangguan,
107
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 1, Februari 2010
dimulai dari kenakalan dan masalah minum alkohol, obat – obatan hingga depresi. Jadi pengaruh teman sebaya dapat positif maupun negatif (Santrock, 2003). b.
c.
d.
e.
f.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju melakukan perilaku merokok karena orang tua juga merokok sebanyak 43 orang (44,8) dan setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 11 orang (11,5%). Keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, yang meletakkan dasar–dasar kepribadian remaja. Faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orang tua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Orang tua memegang peranan terpenting. Dari remaja yang merokok, didapatkan 75 % salah satu atau kedua orang tuanya merokok. Studi kohort pada anak – anak SMU mendapatkan bahwa penyebab yang bermakna dalam peralihan dari kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orang tua merokok dan konflik keluarga (Soetjiningsih, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju melakukan perilaku merokok karena terpengaruh iklan rokok sebanyak 49 orang (51%) dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 7 orang (7,3%). Fungsi media bagi remaja mencakup hiburan, informasi, sensasi, membantu menanggulangi kesulitan, sebagai model peran berdasarkan jenis kelamin, sebagai jati diri budaya remaja. Media dapat mendidik remaja menjadi pasif dan mengadopsi gaya hidup yang pasif. Reklame atau iklan diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari pada orang tua atau teman sebaya. Pengaruh media pada perilaku remaja sangat berbeda – beda, sebagian tergantung pada kebutuhan, kemampuan, ketertarikan dan kedewasaan remaja (Santrock, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden tidak setuju bahwa merokok disekolah merupakan tempat yang nyaman sebanyak 47 orang (49%) dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 5 orang (5,2%). Siswa pada sekolah lanjutan biasanya menyadari bahwa sekolah merupakan suatu sistem sosial dan siswa pun dapat termotivasi untuk menyesuaikan diri dengan sistem tersebut ataupun menentangnya (Santrock, 2003). Pada penelitian ini remaja kurang menyadari bahwa sekolah merupakan suatu tempat sosial sehingga mereka dapat melakukan perilaku merokok di sembarang tempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju bahwa merokok merupakan simbol persahabatan dan keakraban sebanyak 38 orang (39,6%) dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 17 orang (17,7%). Persahabatan diartikan secara sempit sebagai pengungkapan diri atau membagi hal– hal yang pribadi. Persahabatan remaja memiliki 6 fungsi : stimulasi, dukungan fisik, dukungan ego, perbandingan sosial, keakraban dan perhatian. Menurut Sullivan (1963) ada peningkatan kepentingan secara psikologi dan keakraban antar teman dekat pada masa awal remaja (Santrock, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling banyak responden kurang setuju lebih memilih teman yang merokok sebanyak 43 orang (44,8%) dan sangat setuju mempunyai proporsi paling kecil sebanyak 11 orang (11,5%). Teman sebaya dan teman lainnya juga memainkan peranan penting dalam tingkah laku sehat remaja. Perhatian khusus dalam tingkah laku remaja diberikan pada tekanan dari teman sebaya contoh, remaja bisa saja memilih teman yang mendukung tingkah laku yang tidak sehat. Remaja yang memiliki kemampuan terbatas untuk menahan diri dari tantangan sering kali akhirnya melakukan tingkah laku beresiko karena desakan teman – teman sebayanya (Santrock, 2003).
108
HOSPITAL MAJAPAHIT F.
Vol 2. No. 1, Februari 2010
PENUTUP. Hasil penelitian menunjukkan Faktor- Faktor Yang Melatarbelakangi Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto adalah Sebagian besar faktor pengetahuan responden pada kategori pengetahuan kurang sebanyak 91 orang (94,8%) dan tidak ada responden pada kategori pengetahuan baik. Sebagian besar faktor psikologi responden pada kategori mendukung untuk melakukan perilaku merokok pada remaja sebanyak 72 orang (75%) dan sebagian kecil responden pada kategori tidak mendukung untuk melakukan perilaku merokok pada remaja sebanyak 24 orang (25%). Sebagian besar faktor lingkungan responden pada kategori tidak mendukung untuk melakukan perilaku merokok pada remaja sebanyak 52 orang (54,2%) dan sebagian kecil responden pada kategori mendukung perilaku merokok pada remaja sebanyak 44 orang (45,8%). Dari hasil penelitian diharapkan bagi para remaja untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang bahaya perilaku merokok bagi kesehatan dengan baik dengan cara banyak membaca buku, mencari informasi dan mengikuti seminar tentang bahaya merokok. Bagi sekolah diharapkan agar pengetahuan tentang bahaya merokok dapat dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sehingga dapat menambah wawasan siswa tentang bahaya merokok dan sekolah dapat memberikan perhatian khusus atau melakukan interpersonal secara terbuka kepada siswa yang merokok melalui BP sekolah. Diharapkan pelayanan kesehatan yang ada seperti Puskesmas dapat memberikan penyuluhan kesehatan tentang bahaya perilaku merokok bagi kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA. Aditama, Tjandro Yoga. 1997. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Alimul, A. Azis. 2003. Reset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Anonim, 2006. http://www.antirokok.com. (Sitasi 5 September 2006). Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Atkinson. 1999. http://www.bahayamerokok.com (Sitasi 15 Juli 2006). Dayan Pramana. 2006. http://www.dayanpramana.com (Sitasi 25 Mei 2006). Fauzi. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Medika. Firdaus, Alif. 2005. Detak-detak Generasi Merah Jambu Cetakan I. Jakarta : SMART Media. Guntoro Utamadi. 2002. http://www.kompas.com (Sitasi 25 Mei 2006). Hans Tjandra. 2003. www.kompas.com (Sitasi 30 Juni 2003). Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Anak. Jakarta : Erlangga. Jaken. 2002. Bye-bye Smoke. Jakarta : Media MC. John, W. Santrock, 2003. adolescence. Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga. Kaplan, Hanold I. 1997. Sinopsis Psikiatri Edisi Tujuh Jilid I. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nursalam & Pariani. 2001. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : CV. Infomedika. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Mansjoer, Arif .2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. Purwanto, Heri. 1998. Pengantar Perilaku Manusia. Jakarta : EGC. Ruslani, Burhan. 2003. http://www.kompas.com. Sarwono, Sarlito Wirawan 2005. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Silalahi, Gabries Amin. 2003. Metodologi Penelitian dan Studi Kasus. Sidoarjo : Cipta Medika. Soetjiningsih. 1997. ASI : Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta : EGC. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto. Wahyutan. 2003. http://www.wahyutan.com (Sitasi 5 Mei 2003).
109