ISSN : 2085 – 3793
Sri Sudarsih, Pipit Bayu Wijayanti Hubungan Antara Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita Usia 36-60 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kec. Gondang Kabupaten Mojokerto Abdul Muhith Stabilitas Tekanan Darah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto Eka Diah Kartiningrum Analisis Kejadian Obesitas Pada Balita Di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo Sari Priyanti Pengaruh Perilaku Makan Orang Tua Terhadap Kejadian Picky Eater (Pilih-Pilih Makanan Pada Anak Toddler) Di Desa Karang Jeruk Kecamatan Jatirejo Mojokerto Dian Irawati Hubungan Pekerjaan Dan Pengetahuan Dengan Ketepatan Kunjungan Ulang KB Suntik 3 Bulan Di Polindes Anyelir Desa Bendung Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Nurwidji dan Tsalits Fajri Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Pengobatan Pada Pasien TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Mojosari Mojokerto Arief Fardiansyah, dan Eka Diah Wahyu Utami Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Motivasi Dan Kinerja Perawat Dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Di Ruang Airlangga Rumah Sakit Reksa Waluya Mojokerto
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO Jurnal Kesehatan
VOL 5
No. 2
Hlm. 1 -103
Mojokerto Oktober 2013
ISSN 2085 - 3793
MEDICA MAJAPAHIT JURNAL ILMIAH KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO Diterbitkan oleh Bagian Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto sebagai terbitan berkala yang terbit pada bulan Maret dan September menyajikan informasi dan analisis masalah-masalah kesehatan. Kajian ini bersifat ilmiah sebagai hasil pikiran yang empiric dan teoritis. Untuk itu redaksi bersedia menerima karya ilmiah hasil penelitian, atau artikel termasuk ide-ide pengembangan di bidang kesehatan yang dihasilkan oleh dosen-dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto. Redaksi berhak menyuntik, menyingkat dan memperbaiki karangan sejauh tidak mengubah isinya. Dilarang memperbanyak, mengutip dan menerjemahkan isi dalam jurnal ini tanpa seijin redaksi. Pelindung Ketua Yayasan Kesejahteraan Warga Kesehatan (YKWK) Penasehat Ketua Stikes Majapahit Pemimpin Redaksi Sri Sudarsih, S.Kp., M.Kes Penyunting Arief Fardiansyah, ST., M.Kes Anwar Kholil, S.Pd. M.Pd Redaksi Pelaksana Dwi Helynarti, S.Si Tata Usaha/ Sirkulasi/ Iklan Siti Khalimah, SE. Alamat Redaksi: Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto, Jl. Raya Jabon KM 2 Gayaman Mojoanyar Mojokerto Telp/ Fax (0321) 329 915
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
Pengantar Redaksi Pentingnya kesehatan bagi seluruh kelompok masyarakat menjadi kebutuhan utama yang perlu mendapat perhatian bagi semua bidang pembangunan termasuk bidang pendidikan. Munculnya berbagai institusi kesehatan menjadi bagian penting dalam meningkatkan derajat kesehatan khususnya bagi kelompok khusus yang rawan mengalami masalah kesehatan seperti kelompok lanjut usia, ibu hamil dan anak-anak. Jurnal volume 5 no 2 merupakan bentuk publikasi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh seluruh civitas akademik yang senantiasa mencari inovasi dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Artikel yang pertama ditulis oleh Sri Sudarsih dan Pipit Bayu Wijayanti dengan judul Hubungan Antara Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita Usia 36-60 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Mojokerto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa berarti tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita.Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Mojokerto, dapat disimpulkan bahwa dari 17 responden yang pendapatan keluarganya < UMK sebagian besar status gizinya baik sebesar 10 balita (33,4%). Sedangkan dari 13 responden yang pendapatan keluarganya ≥ UMK sebagian besar status gizinya buruk sebesar 5 balita (16,5%). Artikel yang kedua ditulis oleh Abdul Muhith dengan judul Stabilitas Tekanan Darah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesudah melakukan aktifitas fisik rendah paling banyak responden yang mengalami penurunan pada tekanan darah 140159/90-99 mmHg dengan prosentase 40% sebanyak (8 orang), paling sedikit responden yang mengalami penurunan pada tekanan darah <130/<85 mmHg dan tekanan darah 160–179/100-109 mmHg dengan prosentase 5% sebanyak (1 orang) dan sesudah melakukan aktifitas fisik tinggi paling sedikit responden mengalami penurunan pada tekanan darah 140-159/90-99 mmHg dengan prosentase 5% sebanyak (1 orang), sehingga menyebabkan tekanan darah stabil. Artikel ketiga ditulis oleh Eka Diah Kartiningrum dengan judul Analisis Kejadian Obesitas Pada Balita Di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo. Hasil penelitian terhadap 68 reponden di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo didapatkan sebagian besar kejadian obesitas pada balita adalah overweight sebanyak 38% responden dengan sebagian besar berjenis
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
kelamin perempuan sebanyak 54,7% responden dan sebagian besar usia balita adalah 0-1 tahun sebanyak 75% responden. Frekuensi obesitas dapat menurun apabila ibu melakukan penatalaksanaan diet terutama diet tinggi kalori yang bersumber dari karbohidrat dan lemak serta aktifitas fisik yang dilaksanakan secara multi disiplin dengan mengikut sertakan keluarga. Artikel yang keempat ditulis oleh Sari Priyanti dengan judul Pengaruh Perilaku Makan Orang Tua Terhadap Kejadian Picky Eater (Pilih-Pilih Makanan Pada Anak Toddler) Di Desa Karang Jeruk Kecamatan Jatirejo Mojokerto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku makan orang tua yang suka memilihmilih makan, berpengaruh terhadap picky eater dengan p = 0,008 < 0,05 yang berarti kemungkinan pada anak yang perilaku makan orang tuanya memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,1 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai orang tua yang tidak memilih-milih makanan. Artikel yang kelima ditulis oleh Dian Irawati dengan judul Hubungan Pekerjaan Dan Pengetahuan Dengan Ketepatan Kunjungan Ulang KB Suntik 3 Bulan Di Polindes Anyelir Desa Bendung Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan antara pekerjaan dengan ketepatan kunjungan ulang, tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik. Ketepatan kujungan ulang mempunyai andil besar kesuksesan KB. pekerjaan adalah faktor dominan yang menyebabkan ketidaktepatan akseptor, karena pekerjaan menyita waktu untuk melakukan kunjungan ulang KB suntik, sehingga diharapkan akseptor lebih memperhatikan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan. Artikel keenam ditulis oleh Nurwidji dan Tsalits Fajri dengan judul Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Pengobatan Pada Pasien TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Mojosari Mojokerto. Hasil penelitian menjelaskan ada hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan. Keinginan untuk sembuh dan dukungan dari keluarga adalah faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu program pengobatan. Artikel yang ketujuh ditulis oleh Arief Fardiansyah, dan Eka Diah Wahyu Utami dengan judul Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Motivasi Dan Kinerja Perawat Dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Di Ruang Airlangga Rumah Sakit Reksa Waluya Mojokerto. Gaya kepemimpinan bukan
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
merupakan faktor utama yang mendasari motivasi seseorang menjadi rendah atau tinggi. Seorang pimpinan tidak mampu mengarahkan, menyalahkan keadaan bawahan yang kurang baik sehingga tidak muncul koreksi dari pekerjaan bawahan yang nantinya akan mengakibatkan seseorang menjadi statis dalam bekerja tanpa mengharapkan perubahan yang lebih baik.
Redaksi,
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
DAFTAR ISI Hubungan Antara Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita Usia 36-60 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Mojokerto Sri Sudarsih dan Pipit Bayu Wijayanti ........................................................
1
Stabilitas Tekanan Darah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto Abdul Muhith .................................................................................................
17
Analisis Kejadian Obesitas Pada Balita Di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo Eka Diah Kartiningrum.................................................................................
32
Pengaruh Perilaku Makan Orang Tua Terhadap Kejadian Picky Eater (Pilih-Pilih Makanan Pada Anak Toddler Di Desa Karang Jeruk Kecamatan Jatirejo Mojokerto Sari Priyanti ....................................................................................................
43
Hubungan Pekerjaan Dan Pengetahuan Dengan Ketepatan Kunjungan Ulang KB Suntik 3 Bulan Di Polindes Anyelir Desa Bendung Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Dian Irawati ....................................................................................................
56
Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Pengobatan Pada Pasien TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Mojosari Mojokerto Nurwidji dan Tsalits Fajri .............................................................................
68
Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Motivasi Dan Kinerja Perawat Dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Di Ruang Airlangga Rumah Sakit Reksa Waluya Mojokerto Arief Fardiansyah, dan Eka Diah Wahyu Utami ........................................
83
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
HUBUNGAN ANTARA PENDAPATAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI BALITA USIA 36-60 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GONDANG KECAMATAN GONDANG KABUPATEN MOJOKERTO Sri Sudarsih1, Pipit Bayu Wijayanti2 *) Abstrak Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pendapatan keluarga menjadi salah satu faktor penting dalam tercapainya status gizi yang baik, karena ketidakmampuan dalam keuangan menyebabkan kurangnya kemampuan keluarga untuk memenuhi asupan gizi balita sesuai dengan standar kesehatan. Kondisi ini menyebabkan status gizi balita cenderung menurun dan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan balita.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita. Desain penelitian yang digunakan adalah korelasional dengan pendekatan Retrospektif Study. Responden dalam penelitian ini adalah ibu balita dan balita yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto. Teknik sampling yang digunakan purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan lembar kuesioner dan pengukuran status gizi menggunakan timbangan, KMS. Data diolah menggunakan analisis bivariat dengan uji statistik Pearson correlation didapatkan nilai p = 0,187 dan ( p > 0,05) berarti tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita.Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto, dapat disimpulkan bahwa dari 17 responden yang pendapatan keluarganya < UMK sebagian besar status gizinya baik sebesar 10 balita (33,4%). Sedangkan dari 13 responden yang pendapatan keluarganya ≥ UMK sebagian besar status gizinya buruk sebesar 5 balita (16,5%) kata kunci : Pendapatan keluarga, pengetahuan ibu, status gizi balita A. PENDAHULUAN Usia balita merupakan masa pertumbuhan, disini pertumbuhan terjadi dengan cepat terutama pada pertumbuhan otak yang dapat mencapai 80% dari total pertumbuhan, kondisi ini menyebabkan balita memerlukan kebutuhan gizi paling banyak dan status gizi optimal dibandingkan pada masa-masa berikutnya (Supariasa, 2002). Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat–zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat tinggi. Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor ekonomi, pendidikan, sosial budaya, pertanian, kesehatan dan lainlain (Mitayani dan Sartika, 2010). Faktor yang lain adalah pengetahuan, dan lingkungan (Sibagariang, 2010). Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu menjadi salah satu faktor penting dalam tercapainya status gizi yang baik, karena ketidakmampuan dalam keuangan dan ketidaktahuan akan menyebabkan kurangnya kemampuan keluarga untuk memenuhi asupan gizi balita sesuai dengan standar kesehatan. Kondisi ini menyebabkan status gizi balita cenderung menurun dan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan balita (Tarigan, 2009). Menteri Kesehatan RI mengatakan pada tahun 2007, prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4 % dan gizi kurang pada balita adalah 13 %. Keduanya menunjukkan target rencana pembangunan jangka menengah untuk pencapaian perbaikan gizi (20%) maupun target Millenium Develompment Goals pada tahun 2015, (18,5%) telah tercapai pada tahun 2007. Target paling menentukan adalah prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Prevalensi gizi kurang telah menurun secara signifikan, dari 31% pada tahun 1989 menjadi 17,9 % pada tahun 2010. Pada prevalensi itu gizi buruk turun dari 12,8% pada tahun 1995 menjadi 4,9 % pada tahun 2010. Padahal target pencapaian penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk adalah sebesar 15,0 % dan 3,5 % pada tahun 2015 (Depkes RI, 2011). 1) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto 2) Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010, mengatakan bahwa prevalensi gizi buruk di Pulau Jawa tertinggi adalah Banten dan Jatim sebesar 4,8 %. Di kabupaten Mojokerto gizi buruk mengalami peningkatan dari 102 balita pada tahun 2010 menjadi 299 balita pada tahun 2011 (Dinkes Mojokerto, 2011). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto pada bulan juni tahun 2011 terdapat 2.964 balita yang ditimbang diperoleh 4 balita (0,13 %) dengan gizi buruk, 370 balita (12,50 %) dengan gizi kurang, 2529 balita (85,32 %) dengan gizi baik dan 61 balita (2,05 %) dengan gizi lebih. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi diantaranya adalah masalah sosial ekonomi, budaya keluarga, pola asuh keluarga, pendidikan, pengetahuan, kurangnya persediaan pangan dan lingkungan. Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2001). Kurangnya Pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu juga mempengaruhi kemampuan individu atau keluarga untuk membeli atau menyediakan bahan makanan yang akan diolah tidak dapat dipenuhi karena keterbatasan dana (Mitayani dan sartika 2010). Begitu juga dengan pendapatan yang cukup tetapi pengetahuan yang kurang tentang kebutuhan gizi juga akan mempengaruhi kecukupan gizi yang seimbang. Akibatnya dapat menyebabkan merosotnya mutu kehidupan terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan mental anak serta merupakan salah satu sebab dari angka kematian yang tinggi pada anak-anak (Tarigan, 2009). Apabila anak kekurangan zat gizi terutama makanan sumber energi dan protein serta zat besi, maka perkembangan fisik dan kemampuan menyerap rangsangan dari luar juga terhambat. Agar kebutuhan tubuh akan gizi dapat terpenuhi secara lengkap, anak harus dibiasakan makan makanan yang beraneka ragam. Jika makanan anak beraneka ragam, maka zat gizi yang tidak terkandung atau kurang dalam satu jenis makanan akan dilengkapi oleh zat gizi dari makanan jenis yang lainnya. Agar makanan yang dimakan anak itu beraneka ragam, maka harus selalu diingat bahwa makanan yang dimakan oleh anak itu mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Ketiga zat ini dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (Latifah, 2008). Oleh karena itu untuk mencapai status gizi yang optimal dibutuhkan keseimbangan antara pendapatan dan pengetahuan orang tua tentang pemenuhan kebutuhan gizi anak balita. Untuk upaya penanggulangan yang dilakukan adalah dengan Pendidikan (penyuluhan) gizi melalui promosi kadarzi, Revitalisasi posyandu, Pemberian suplementasi gizi, Pemberian MP-ASI bagi balita gakin (Suparyanto, 2010). Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita usia 36-60 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto. B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan rancangan (desain) penelitian korelasional dengan pendekatan Retrospektif Study yaitumerupakan jenis penelitian yang mengungkapkan pada hubungan korelatif antar variabel dengan mengidentifikasi efek pada saat ini, kemudian faktor resiko diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010). Rancangan (desain) penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hubungan antara pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto. Menurut Zainnudin (2000), Rancangan penelitian untuk pendapatan keluarga adalah sebagai berikut : Pendapatan keluarga Causa ≥ UMK < UMK Gizi lebih A balita E balita Gizi baik B balita F balita Status Gizi Gizi kurang C balita G balita Gizi buruk D balita H balita
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan penelitian yang akan dilakukan, meliputi siapa yang akan diteliti (subjek penelitian), variabel yang mempengaruhi dalam penelitian (Hidayat, 2003). kerangka kerja penelitian dalam keperawatan dapat digambarkan sebagai berikut :
Pendapatan keluarga
Status Gizi
Gambar 1. Kerangka kerja hubungan antara pendapatan keluarga tentang gizi balita dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara pendapatan keluarga tentang gizi balita dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto dan variabel yang digunakan adalah variable independen dan variable dependen. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang ditimbang di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto Tahun 2011 sebanyak 2.964 balita. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 30 balita. Penentuan sampel diambil dari teori Gabriel yang menyatakan bahwa untuk penelitian jenis korelasional menggunakan minimal 30 sampel (Silalahi, 2003). Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti, Pertimbangan ilmiah harus menjadi pedoman saat menentukan kriteria inklusi (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Balita usia 36-60 bulan dan bisa berdiri untuk ditimbang 2. Ibu yang mempunyai balita di Wilayah kerja puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto 3. Ibu yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini Kriteria eksklusi merupakan Kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2008). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini sebagai berikut : Balita usia 0-12 bulan dan 13-35 bulan Terdapat keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian Terdapat keadaan atau penyakit yang mengganggu pengukuran maupun interpretasi hasil penelitian 4. Ibu yang menolak untuk dijadikan responden dalam penelitian ini Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling adalah suatu teknik penetapan sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).Teknik Pengolahan Data meliputi editing, coding, scoring dan tabulating setelah itu dilakukan analisa data dengan menggunakan uji korelasi Pearson. 1. 2. 3.
C. HASIL PENELITIAN 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur Tabel 1. Distribusi frekuensi responden (ibu balita) berdasarkan umur di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Umur Prosentase 1. ≤ 28 tahun 53,33 2. > 28 tahun 46,67 Total 100 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (ibu balita) berumur ≤ 28 tahun yaitu 53,33 % dan yang berumur > 28 tahun memiliki proporsi yang paling kecil yaitu 46,67 %.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 2.
MEDICA MAJAPAHIT
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan Tabel 2. Distribusi frekuensi responden (ibu balita) berdasarkan tingkat pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Tingkat Pendidikan Prosentase 1. SD 10,00 2. SMP 46,67 3. SMA 33,33 4. Perguruan Tinggi 10,00 Total 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa responden (ibu balita) yang paling banyak berpendidikan SMP yaitu 46,67% dan responden yang berpendidikan perguruan tinggi dan SD mempunyai proporsi paling kecil yaitu masing-masing 10%.
3.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan Tabel 3. Diagram batang distribusi frekuensi responden (ibu balita) berdasarkan pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Pekerjaan Prosentase 1. Bekerja 66,67 2. Tidak bekerja 33,33 Total 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (ibu balita) adalah bekerja yaitu 66,67% dan responden yang tidak bekerja memiliki proporsi yang paling kecil yaitu 33,33%.
4.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengalaman mengikuti penyuluhan tentang gizi balita Tabel 4. Diagram batang distribusi frekuensi responden (ibu balita) berdasarkan pengalamn yang pernah diikuti di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Pengalaman Prosentase 1. Pernah 50 2. Tidak pernah 50 Total 100 Tabel 4 menunjukkan bahwa responden (ibu balita) yang pernah mengikuti penyuluhan yaitu 50 % dan responden yang tidak pernah mengikuti penyuluhan yaitu 50% .
5.
Distribusi frekuensi ayah balita berdasarkan pendidikan Tabel 5. Distribusi frekuensi ayah balita berdasarkan tingkat pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Pendidikan Prosentase 1. SD 16,7 2. SMP 40,0 3. SMA 33,3 4. Perguruan Tinggi 10,0 Total 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa responden (Ayah balita) yang paling banyak berpendidikan SMP yaitu 40% dan responden yang berpendidikan perguruan tinggi mempunyai proporsi paling kecil yaitu 10%.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 6.
MEDICA MAJAPAHIT
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan Tabel 6. Diagram batang distribusi frekuensi responden (Ayah balita) berdasarkan pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Pekerjaan Prosentase 1. PNS/ ABRI 10 2. Swasta 30 3. Tani/ Buruh Tani 60 Total 100 Tabel 6 menunjukkan bahwa responden (Ayah balita) yang paling banyak bekerja sebagai tani/buruh tani yaitu 60% dan responden yang bekerja sebagai PNS/ABRI memiliki proporsi proporsi paling kecil yaitu 10%.
7.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur Tabel 7. Distribusi frekuensi responden (Balita) berdasarkan umur di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Umur Balita Prosentase 1. 50 ≤ 49,5 bulan 2. 50 > 49,5 bulan Total 100 Tabel 7 Menunjukkan bahwa responden (Balita) berumur ≤ 49,5 bulan dan yang berumur > 49,5 bulan memiliki proporsi yang sama.
8.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 8. Diagram batang distribusi frekuensi responden (Balita) berdasarkan jenis kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Jenis Kelamin Balita Prosentase 1. Laki-laki 40 2. Perempuan 60 Total 100 Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (Balita) berjenis kelamin laki-laki.
9.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pendapatan Keluarga Tabel 9. Diagram batang distribusi frekuensi Pendapatan keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Pendapatan Keluarga Prosentase 1. ≥ UMK 43 2. < UMK 57 Total 100 Tabel 9 Menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden berpendapatan
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
10. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pengetahuan ibu Tabel 10. Diagram batang distribusi pengetahuan ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto No. Pengetahuan Ibu Prosentase 1. Baik 43,3 2. Cukup 30,0 3. Kurang 26,7 Total 100 Tabel 10 Menunjukkan bahwa sebagian responden yang paling banyak memiliki pengetahuan baik yaitu 13 responden (43,3 %), dan yang memiliki proporsi paling kecil pengetahuan kurang yaitu 8 responden (26,7 %). 11. Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi balita Tabel 11. Distribusi status gizi balita di WilayahKerja Kabupaten Mojokerto No. Status gizi balita 1. Baik 2. Kurang 3. Buruk Total
PuskesmasGondang Prosentase 46,7 23,3 30,0 100
Tabel 11 Menunjukkan bahwa sebagian responden paling banyak memiliki status gizi baik yaitu 13 balita (46,7 %), dan yang memiliki proporsi paling kecil status gizi kurang yaitu 7 responden (23,3 %). 12. Tabulasi silang pendapatan keluarga dengan status gizi balita Tabel 12. Tabulasi silang antara pendapatan keluarga dengan status Wilayah Kerja Puskesmas GondangKabupaten Mojokerto Pendapatan Keluarga VARIABEL < UMK ≥ UMK f % f % Gizi buruk 4 13,3 5 16,7 Status Gizi kurang 3 10 4 13,3 Gizi Gizi baik 10 33,4 4 13,3 Balita Gizi lebih 0 0 0 0 Jumlah 17 57 13 43
gizi balita di Total f
%
9 7 14 0 30
30 23,3 46,7 0 100
Berdasarkan tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa responden (balita) yang status gizinya baik sebagian besar pendapatan keluarganya adalah
α) artinya H 0 ditolak. Ini menunjukan bahwa Tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita usia 36-60 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang tahun 2011. D.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Pendapatan keluarga Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden mempunyai pendapatan keluarga yang < UMK yaitu sebanyak 17 responden (57%). Banyaknya responden yang pendapatan keluarganya < UMK ini bisa disebabkan karena dari 17 responden didapatkan mempunyai pekerjaan sebagai buruh tani sebanyak 9 responden
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
(30%) dan 8 responden (27%) bekerja sebagai karyawan swasta dengan mayoritas pendidikan ayah 4 responden SD dan 10 responden SMP. Rendahnya pendidikan yang mereka miliki mempengaruhi keterbatasan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki sehingga kesempatan kerja yang diperoleh masyarakat kurang, selain itu sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian sehingga mayoritas mata pencaharian penduduk setempat adalah petani dan buruh tani dimana pendapatan yang diperoleh tidak tetap dan relatif kurang. Dan sebagian besar mereka yang bekerja swasta bekerja seadanya. Hal tersebut menyebabkan rendahnya usaha tidak dapat mempertinggi pendapatan keluarga mereka. Menurut Emil Salim (dalam Hartomo, 2004) kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan baik jumlah maupun mutu gizinya sangat berpengaruh terhadap status gizi. Tingkat pendapatan keluarga yang tinggi sangat berhubungan dengan ketersediaan dan tercukupnya pangan guna pemenuhan gizi keluarga. Keluarga yang mempunyai pendapatan yang tinggi akan mampu memenuhi semua kebutuhan keluarganya dengan demikian diharapkan status gizi anaknya lebih baik dibanding keluarga yang kurang mampu. Salah satu akibat dari kurangnya kesempatan kerja adalah rendahnya pendidikan masyarakat. Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia tidak lepas dari struktur perekonomian Indonesia yang sebagian besar masih tergantung pada sektor pertanian termasuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar hidup dari hasil pertanian (agraris) dan pekerjaan-pekerjaan yang bukan agraris hanya bersifat sambilan sebagai pengisi waktu luang. 2. Status Gizi Balita Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian balita paling banyak memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 14 balita (46,7%). Hal ini bisa disebabkan karena dari 14 balita tersebut didapatkan pengetahuan ibu baik sebanyak 9 responden dan keaktifan ibu dalam mengikuti penyuluhan sebanyak 11 responden. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Djaeni (2001) yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu sangat berperan terhadap pemberian menu yang baik untuk dikonsumsi anaknya. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi. Pengalaman dalam mengikuti penyuluhan-penyuluhan tentang status gizi juga dapat meningkatkan pengetahuan ibu untuk dapat menyusun menu yang adekuat dengan bahan makanan yang seimbang, zat gizi dan kebutuhan gizi seseorang serta hidangan dan pengolahanya. 3. Analisis hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita usia 36-60 bulan Hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa dari 14 responden (balita) yang status gizinya baik sebanyak 10 keluarga (33,4%) yang pendapatan keluarganya < UMK. Sedangkan dari 9 responden balita (29,9%) yang status gizinya buruk memiliki 5 keluarga (16,7%) yang pendapatan keluarganya ≥ UMK. Dari teori yang ada seharusnya dengan pendapatan keluarga < UMK diperoleh status gizi yang kurang atau buruk tetapi dalam penelitian ini justru sebaliknya yaitu yang mempunyai pendapatan ≥ UMK memiliki status gizi yang buruk. Sedangkan dari hasil analisis uji statistik Pearson correlation dengan taraf signifikasi (α=0,05), didapatkan ρ = 0,187 sehingga (ρ > α ) artinya tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang tahun 2011. Hal ini sesuai dengan pendapat Almatsier (2001) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi diantaranya adalah masalah sosial ekonomi, budaya keluarga, pola asuh keluarga, pendidikan, pengetahuan, kurangnya persediaan pangan dan lingkungan. Namun dalam penelitian ini lebih dari 50% responden yang pendapatannya ≥ UMK memiliki pola asuh yang salah dimana orang tua kurang memperhatikan waktu makan anaknya dan apa yang dimakan oleh anaknya. Perhatian cukup dan pola asuh yang tepat akan memberi pengaruh yang besar dalam memperbaiki status gizi.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 E.
MEDICA MAJAPAHIT
PENUTUP Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pendapatan keluarga balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto sebagian besar adalah lebih rendah dari UMK (pendapatan rendah), Status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto paling banyak adalah memiliki status gizi baik dan tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita usia 36-60 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Kabupaten Mojokerto. Oleh sebab itu diharapkan keluarga yang mempunyai balita agar memberikan makanan yang bergizi bagi anaknya. Makanan yang bergizi tidak harus diperoleh dari makanan yang mahal tetapi bisa dari makanan sederhana dengan prinsip gizi seimbang. Oleh karena itu untuk keluarga yang mempunyai pendapatan keluarga yang lebih besar dari UMK diharapkan lebih mementingkan dan memperhatikan asupan nutrisi anaknya dari pada materi sehingga anaknya bisa mempunyai status gizi yang baik. Selain itu keluarga harus rajin mencari informasi dengan mengikuti penyuluhan-penyuluhan tentang masalah gizi balita. Sedangkan bagi tenaga kesehatan terutama bidan desa setempat diharapkan lebih sering melakukan penyuluhan tentang gizi seimbang pada balita dan memberikan contoh menu seimbang dari bahan makanan yang murah, tapi mengandung gizi yang cukup serta dapat menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal untuk masyarakat. Selain itu tenaga kesehatan harus rajin melakukan pemantauan gizi balita melalui posyandu setiap bulan sehingga dapat mendeteksi secara dini bila terdapat masalah dalam pertumbuhan dan perkembangan balita.
DAFTAR PUSTAKA Anonim.(2009). Pola makan 4 sehat 5 sempurna. http://www.koleksiweb.com .Diakses 2 April 2011. Creasoft. (2008) . Referensi kesehatan status gizi. http://creasoft.wordpress.com. Diakses 2 April 2011 Hidayat, Alimul Aziz.(2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data . Jakarta : Salemba Medika. .(2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I . Jakarta : Salemba Medika. .(2003). Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Intan. (2010). Hubungan pengetahuan, sikap dan persepsi ibu Dengan pemenuhan kecukupan gizi balita. http://digilib.unej.ac.id. . Diakses 16 Maret 2011 Latifah.(2008). Gizi dan Tumbuh kembang anak . http://www.tumbuh-kembang-anak.blogspot.com. Diakses 16 Maret 2011. Mitayani dan Sartika. (2010). Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta : CV Trans Info Media Notoamodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta. . (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika .(2008).Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nurzannah.(2010). Metodologi penelitian. Jakarta : CV.Trans info media Proverawati, A dan S Asfuah.(2009). Gizi Untuk Kebidanan .Jogjakarta : Nuha Medika. Riskesdas. (2010).Badan penelitian dan pengembangan kesehatan departemen kesehatan, republik indonesia desember 2010.http://www.menegpp.go.id/index. Diakses 20 Maret 2011. Sediaoetama, DA. (2010). Ilmu Gizi. Jakarta : Dian Rakyat. Sibagariang, EE. (2010). Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : CV Trans Info Media. Soetjiningsih. (2002). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC. Supariasa, I.D.N, (2002). Penilaian Status Gizi . Jakarta : EGC Suparyanto.(2010).Penanggulangan Gizi Buruk.Dari Error! Hyperlink reference not valid. Diakses 9 Mei 2011. .(2010). Kemiskinan dan pendapatan. http://dr-suparyanto.blogspot.com. Diakses 9 Mei 2011.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Sutomo dan Anggraini. (2010). Sajian Sehat Lezat Makanan Sehat Pendamping Asi.Jakarta : Agromedia Pustaka. Yohana. (2009).Hubungan Sosial ekonomi dengan status gizi balita. http://kuecingitem.wordpress.com. Diakses 2 April 2011. Wikipedia. (2011). Konsep balita. http://Balita.wordpress.com. Diakses 2 April 2011.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
STABILITAS TEKANAN DARAH PADA LANSIA DI PANTI WERDHA MOJOPAHIT KABUPATEN MOJOKERTO Abdul Muhith*) Abstrak Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dengan stabilitas tekanan darah. Penelitian ini dilakukan di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Populasi yang didapat sejumlah 50 responden, sampel yang diteliti sejumlah 20 responden. Data dikumpulkan dengan kuesioner dilakukan secara interview dan observasi terstruktur. Sebelum melakukan aktifitas fisik lebih dari 50% responden memiliki tekanan darah 140-159/90-99 mmHg dengan prosentase 65% sebanyak (13 orang), dan kurang dari 50% responden memiliki tekanan darah < 210/< 120 mmHg dengan prosentase 5% sebanyak (1 orang). Sesudah melakukan aktifitas fisik rendah paling banyak responden yang mengalami penurunan pada tekanan darah 140-159/90-99 mmHg dengan prosentase 40% sebanyak (8 orang), paling sedikit responden yang mengalami penurunan pada tekanan darah <130/<85 mmHg dan tekanan darah 160–179/100-109 mmHg dengan prosentase 5% sebanyak (1 orang) dan sesudah melakukan aktifitas fisik tinggi paling sedikit responden mengalami penurunan pada tekanan darah 140-159/90-99 mmHg dengan prosentase 5% sebanyak (1 orang), sehingga menyebabkan tekanan darah stabil. Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sehingga saran yang dapat peneliti berikan yaitu penting bagi penderita hipertensi untuk selalu melakukan aktifitas fisik dan dijadikan alternative non-farmakologis untuk menstabilkan tekanan darah dan menjadi motivasi untuk melakukan aktifitas fisik secara rutin. Kata Kunci:Stabilitas, Tekanan Darah, Lansia. A. PENDAHULUAN Hipertensi sering disebut silent killer karena gangguan ini pada tahap awal adalah asimptomatis, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, kerusakan ginjal, retinopati, dan kematian (Peni, 2008). Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia (Nissonline, 2007). Bila hipertensi tidak ditangani dengan baik maka akan menimbulkan masalah lain berupa komplikasi berbagai organ penting (Yusuf, 2010).Seseorang baru merasakan dampak gawatnya hipertensi ketika telah terjadi komplikasi dan menyebabkan gangguan organ. Hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri, satu-satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah kita secara teratur. Sebetulnya batas antara tekanan darah normal dan tekanan darah tinggi tidak jelas, sehingga klasifikasi hipertensi dibuat berdasar tingkat tingginya tekanan darah yang mengakibatkan peningkatan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah (Admin,2008). Dari kasus yang ada ternyata 68,4 % termasuk hipertensi ringan, 28,1 % hipertensi sedang dan hanya 3,5 % dengan hipertensi berat. Hipertensi pada penderita penyakit jantung iskemik ialah 16,1 % suatu persentase yang rendah bila dibandingkan dengan prevalensi seluruh populasi (33,3 %). Hipertensi menjadi salah satu faktor resiko paling berpengaruh sebagai penyebab penyakit kardivaskular di derita oleh lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Lebih kurang dari 10-30 persen penduduk di hampir semua negara mengalami hipertensi. Di Indonesia diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi di tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025 (Elokdyah, 2007). Data di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2007 sebesar 1,87% mengalami peningkatan 2,02% pada tahun 2008, dan 3,30% pada tahun 2009 (dinkes provinsi jatim, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 12 Mei 2011 yang dilakukan oleh penelitididapatkan data dari Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto pada bulan Februari sampai April tahun 2011 yang menderita hipertensi sebanyak 70% dari 20 penderita Hipertensi. *) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Hipertensi merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan peningkatan perifer. Hal ini menyebabkan penambahan beban jantung (afterload) sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kiri sebagai proses kompensasi adaptasi. Hipertrofi ventrikel kiri adalah suatu keadaan yang menggambarkan penebalan dinding dan penambahan masa ventrikel kiri (Muttaqin, 2009). Hipertensi sebenarnya dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Jika salah satu orang tua terkena hipertensi, maka kecenderungan anak untuk menderita hipertensi adalah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki orang tua penderita hipertensi (Admin, 2008). Bisa juga hipertensi sebagai salah satu penyakit yang timbul akibat gaya hidup kurang gerak dapat berkembang menjadi masalah kesehatan yang lebih serius dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Gaya hidup duduk terus-menerus dalam bekerja dan kurang aktifitas atau gerak ditambah dengan adanya faktor resiko berupa merokok, pola makan yang tidak sehat dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit tekanan darah tinggi, penyakit jantung, pembuluh darah, kencing manis, berat badan lebih, osteoporosis, kanker usus, depresi dan kecemasan (Mansjoer, 2001). Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang baik dan aktifitas fisik yang cukup. Hindari kebiasaan lainnya seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol diduga berpengaruh dalam meningkatkan resiko hipertensi walaupun mekanisme timbulnya belum diketahui pasti. Kegiatan aktifitas fisik sangat penting untuk mengendalikan tekanan darah tinggi sebab membuat jantung lebih kuat. Jantung mampu memompa lebih banyak darah dengan lebih sedikit usaha. Makin ringan kerja jantung untuk memompa darah, makin sedikit tekanan terhadap arteri. Oleh karena itu, negara Indonesia perlu memperhatikan tindakan mendidik untuk mencegah timbulnya penyakit seperti hipertensi, kardiovaskuler, penyakit degeneratif dan lainlain(Santoso, 2009). Golongan umur 45 tahun ke atas memerlukan tindakan atau program pencegahan terarah seperti melakukan aktifitas minimal 30 menit aktifitas fisik berskala menengah. Bila sejak muda hal ini sudah menjadi gaya hidup, sampai tua pun biasanya akan tetap aktif (Kaskus, 2010). Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengkaji stabilitas tekanan darah lansia yang tinggal di Panti Wreda berdasarkan aktivitas fisik yang dijalani lansia seharihari. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian noneksperimen dengan jenis penelitian analitik observasional karena berdasarkan waktu pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan pengamatan dan pengukuran variabel dalam jangka waktu tertentu (Hidayat, 2007). Kerangka kerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Subyek penelitian penderita hipertensi pada lansia
Menentukan Variabel independen dan dependen
Variabel independen (Aktifitas fisik) Variabel dependen (Stabilitas tekanan darah pada lansia)
Mengelompokkan aktifitas fisik rendah, sedang, tinggi.
Melakukan identifikasi aktifitas fisik
Melakukan pengukuran stabilitas tekanan darah pada lansia
Menganalisis hubungan aktifitas fisik dengan stabilitas tekanan darah pada lansia
Gambar 1. Kerangka Kerja Stabilitas Tekanan Darah Pada Lansia ditinjau dari Aktivitas Fisik
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Populasi pada penelitian ini adalah lansia yang berusia 60 tahun keatas di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto dengan jumlah 50 orang. Sampel pada penelitian ini adalah responden dengan usia 60 tahun keatas dan responden yang menderita hipertensi di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto dengan jumlah 20 orang. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non probability sampling, penentuan sampel berdasarkan kriteria tertentu dan dalam menentukan anggota sampelnya tidak harus secara acak. Pada penelitian ini sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara sampel diantara populasi dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).Pengumpulan data adalah proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008). Kemudian peneliti mengelompokkan aktifitas fisik dengan tingkatan aktifitas fisik rendah seperti, mencuci pakaian, menjemur pakaian, merapikan tempat tidur, mencuci piring. Aktifitas fisik sedang seperti, menyapu, membersihkan jendela, melipat pakaian. Aktifitas fisik tinggi seperti, memindahkan perabotan, membawa air didalam tong, memasak selanjutnya adalah mengukur tekanan darah dengan menggunakan sphygmomanometer air raksa dengan jumlah sampel 20 orang. Kemudian dilanjutkan dengan mengobservasi kegiatan aktifitas fisik yang dilakukan oleh lansia dengan durasi 30 menit. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebanyak5 kali selama 1 minggu dan tempat untuk melakukan penelitian yaitu di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto. Setelah data terkumpul, peneliti menyusun data yang didapat agar lebih mudah dibaca dan lebih ringkas. C. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanJenis Kelamin di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto. No. Jenis kelamin responden Prosentase (%) 1. Laki-laki 20 2. Perempuan 80 Jumlah 100 Tabel 1 menjelaskan bahwa jenis kelamin responden sebagian besar adalah perempuan yang berjumlah 16 responden (80%), dan sebagian kecil adalah laki-laki yang berjumlah 4 responden (20%). 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Responden Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto. No. Umur responden Prosentase (%) 1. 60-65 tahun 30 2. 66-70 tahun 20 3. 71-85 tahun 40 4. > 85 tahun 10 Jumlah 100 10% Tabel 2 menyebutkan bahwa paling banyak responden umur 71-85 tahun yaitu 8 responden (40%), dan paling sedikit responden umur >85 tahun yaitu 2 responden (10%). 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Aktifitas Fisik Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktifitas Fisikdi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto. No. Aktivitas Fisik Prosentase (%) 1. Rendah 75 2. Sedang 20 3. Tinggi 5 Jumlah 100
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang melakukan aktifitas fisik rendah yaitu15 responden (75%) dan sebagian kecil responden yang melakukan aktifitas fisik tinggi yaitu 1 responden (5%). Karakteristik Responden Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktivitas Fisik Sehari-Hari
250 200 150
Tekanan Darah Sistole
100 50 0
Sebelum Sesudah 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121314151617181920
Gambar 2. Pengukuran ke-1 Distribusi Tekanan Darah Sistole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Tekanan Darah Diastole
120 100 80 60
Sebelum
40
Sesudah
20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920
Gambar 3. Pengukuran ke-1 Distribusi Tekanan Darah Diastole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Tekanan Darah Siatole
4.
MEDICA MAJAPAHIT
250 200 150
Sebelum Sesudah
100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Gambar 4. Pengukuran ke-2 Distribusi Tekanan Darah Sistole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
TekananDarah Diastole
140 120 100 80
Sebelum
60
Sesudah
40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920
Gambar 4. Pengukuran ke-2 Distribusi Tekanan Darah Diastole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Tekanan Darah Sistole
250 200 150
Sebelum 100
Sesudah
50 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920
Gambar 5. Pengukuran ke-3 Distribusi Tekanan Darah Sistole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Responden di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Tekanan Darah Diastole
120 100 80 60
Sebelum
40
Sesudah
20 0
Gambar 6.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920
Pengukuran ke-3 Distribusi Tekanan Darah Diastole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Tekanan Darah Sistole
250 200 150
Sebelum Sesudah
100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tekanan Darah Diastole
Gambar 7 Pengukuran ke-4 Distribusi Tekanan Darah Sistole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
120 100 80
Sebelum Sesudah
60 40 20 0 1
Gambar 8.
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pengukuran ke-4 Distribusi Tekanan Darah Diastole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Responden di Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Tekanan Darah Sistole
250 200 150
Sebelum Sesudah
100 50 0 1
Gambar 9.
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pengukuran ke-5 Distribusi Tekanan Darah Sistole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto
Tekanan Darah Diastole
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
140 120 100 80
Sebelum Sesudah
60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Gambar 10. Pengukuran ke-5 Distribusi Tekanan Darah Diastole Sebelum Dan Sesudah Melakukan Aktifitas Fisik Berdasarkan Stabilitas Tekanan Darah Respondendi Panti Werdha Mojopahit Kabupaten Mojokerto D. PEMBAHASAN Penghuni Panti Werdha Mojopahit sebelum melakukan aktifitas fisik tekanan darahnya tidak stabil. Hal ini disebabkan karena tekanan darah dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Dimana faktor internal terdiri dari jenis kelamin, usia, ras, dan stres. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari variasi diurnal (Muttaqin, 2009). Bisa juga dipengaruhi oleh kadar garam tinggi (Natrium membuat retensi air yang menyebabkan volume darah meningkat) dan akan berdampak memperberat kerja ginjal dan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat (Baradero, 2008). Pada penghuni Panti Werdha Mojopahit banyak menderita hipertensi dengan tekanan darah sistole >150 mmHg dan diastole >100 mmHg, hal ini diduga karena pada penghuni Panti Werdha Mojopahit memiliki gaya hidup yang kurang gerak yaitu kurang beraktifitas fisik, pola hidup yang demikian ini yang dilakukan bertahun-tahun akan berdampak pada sistem kardiovaskuler yang muaranya adalah tekanan darah rata-rata penghuni Panti Werdha Mojopahit memiliki tekanan yang lebih dari normal. Gaya hidup penghuni Panti Werdha Mojopahit yang tidak sehat dengan mengkonsumsigaram yang berlebih setiap harinya dapat menyebabkan penjenuhan garam dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan kerusakan pembuluh darahdan meningkatkan tekanan darah. Konsumsi garam yang berlebihan disebabkan karena menggunakan sumber air untuk konsumsi sehari-hari yang berasal dari sumur bor. Semakin banyak garam yang dikonsumsi setiap harinya oleh penghuni Panti Werdha Mojopahit dimungkinkan semakin tinggi tekanan darah penghuni tersebut. Diketahui bahwa pada pengukuran kesatu sampai kelima penghuni Panti Werdha Mojopahit setelah melakukan aktifitas fisik dapat mengalami kestabilan tekanan darah, hal ini disebabkan karena dengan melakukan aktifitas fisikdapat memperlancar kerja jantung untuk memompa keseluruh tubuh dan merangsang saraf yang terdapat di seluruh tubuh sehingga menyebabkan kestabilan tekanan darah. Penurunan tekanan darah setelah melakukan aktifitas fisik disebabkan karena manfaat aktifitas fisik yaitu terhindar dari penyakit jantung, stroke, tekanan darah tinggi, berat badan terkendali, otot lebih lentur dan tulang lebih kuat, lebih bertenaga dan bugar, secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik.Diketahui bahwa setelah melakukan aktifitas fisik, terdapat hubungan dengan stabilitas tekanan darah karena aktifitas fisik dapat merangsang relaksasi pada bagian tubuh yang berhubungan dengan titik syaraf yang digerakkan sehingga terjadi vasodilatasi dan merangsang hipotalamus untuk mengaktifkan saraf parasimpatis, sehingga tekanan darah stabil.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 E.
MEDICA MAJAPAHIT
PENUTUP Hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa Lansia yang melakukan aktifitas fisik rendah, kondisi tekanan darahnya stabil, lansia yang melakukan aktifitas fisik sedang, kondisi tekanan darahnya tidak stabil, lansia yang melakukan aktifitas fisik tinggi, kondisi tekanan darahnya tidak stabil, dan ada hubungan aktifitas fisik dengan stabilitas tekanan darah pada lansia di panti werdha mojopahit kabupaten mojokerto, dimana aktifitas fisik rendah mempunyai hubungan yang paling kuat dalam menstabilkan tekanan darah pada lansia. Berdasarkan simpulan diatas maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut bahwa sangat diharapkan hasil penelitian ini dijadikan dasar atau acuan untuk menetapkan pengendalian hipertensi pada lansia dalam kegiatan Health Teraphy serta dijadikan alternative non-farmakologis untuk menstabilkan tekanan darah dan menjadi motivasi untuk melakukan aktifitas fisik secara rutin dan memberi dorongan kesembuhan pada lansia yang menderita hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Azwar, Saifuddin. 2010. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Pusat Statistik. 2010. Jumlah Penduduk Lansia Tahun 2010. (http://hileud.com/jumlahpenduduk-2010.html. Diakses 14 November 2010) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2010. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Dwidiyanti, 2010. Persepsi Lansia tentang Sikap Caring Perawat. (http://www.perawat.wordpress.com/2010/12/persepsi-lansia-caring.html. Diakses 17 Januari 2011). Erfandi, 2010. Pengelolaan Posyandu Lansia. (http://www.pendidikankesehatan.com/2010/12/pengelolaan-posyandu-lansia.html. Diakses 3 Februari 2011). Hidayat, Alimul Aziz. 2010. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hurlock, Elisabeth. 1998. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Airlangga. Ismawati, Cahyo. 2010. Posyandu dan Desa Siaga. Yogyakarta : Nuha Medika. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, Wahyudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Ratna. 2010. Motivasi Perawat Dalam Memberikan Pelayanan Kepada Lansia. (http://health is kesehatanblogspot.com/2011/03/motivasi-perawat-dalam-memberikan.html.diakses 24 April 2011). Setya. 2010. Perilaku manusia (http://id.wikipedia.org/wiki/perilaku_manusia. diakses 08 Desember 2010). Sobur, Alex. 2009. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia. Stanley dan Bear. 2007. Buku Ajar Gerontik Edisi 2. Alih Bahasa Juniar dan Kurnianingsih. Jakarta: EGC. Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suyanto. 2009. Faktor-faktor yang Mempengarui Pengetahuan. (http://health-iskesehatan.blogspot.com/2009/07/faktor-faktor-mempengarui-pengetahuan.html.diakses 10 Desember 2010). Wahono, Hesthi. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia di Gantungan Makamhaji. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
ANALISIS KEJADIAN OBESITAS PADA BALITA DI POSYANDU PADEMONEGORO KEC. SUKODONO KAB. SIDOARJO Eka Diah Kartiningrum*) Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kejadian obesitas pada balita 1-5 tahun di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab.Sidoarjo. Penelitian dilakukan pada tanggal 7 dan 13 Mei 2013. Jenis penelitian deskriptif. Variabel penelitian ini adalah kejadian obesitas pada balita usia 1-5 tahun. Populasi dan sampel penelitian sebanyak 68 balita. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling dan pengumpulan data menggunakan lembar observasi. Setelah data diperoleh, kemudian dianalisis dan diolah dengan cara editing, coding, scoring, data entri kemudian di tabulating. Hasil penelitian terhadap 68 reponden di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo didapatkan sebagian besar kejadian obesitas pada balita adalah overweight sebanyak 38% responden dengan sebagianbesar berjenis kelamin perempuan sebanyak 54,7% responden dan sebagian besar usia balita adalah 0-1 tahun sebanyak 75% responden.Frekuensi obesitas dapat menurun apabila ibu melakukan penatalaksanaan diet terutama diet tinggi kalori yang bersumber dari karbohidrat dan lemak serta aktifitas fisik yang dilaksanakan secara multi disiplin dengan mengikut sertakan keluarga. Tenaga kesehatan juga diharapkan lebih meningkatkan edukasi serta memberikan peyuluhan tentang bahaya obesitas. Kata kunci : Obesitas, balita A. PENDAHULUAN Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari (Hidayati, 2009). Secara umum obesitas disebabkan oleh tidak seimbangnya energi dari makanan dengan kalori yang dikeluarkan. Masukan makanan, kekurangan energi dan keturunan dianggap mengatur perlemakan tubuh dalam proses terjadinya obesitas. Sementara pada anak-anak usia balita kegemukan dapat terjadi karena konsumsi makanan yang berlebih serta pemberian susu formula yang melebihi kebutuhan anak (Andriani, 2012). Obesitas pada anak meningkat secara nyata. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena obesitas pada usia dini dapat memicu terjadinya berbagai penyakit serius di masa depan. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan tahun 2010, sekitar 43 juta anak balita mengalami kelebihan berat badan. Hampir 35 juta anak yang mengalami kelebihan berat badan tinggal di negara berkembang. Sisanya, sebanyak 8 juta, berada di negara maju (Diana, 2012). Angka kejadian obesitas pada anak di Inggris prevalensi obesitas anak laki-laki tahun 2002-2003 sebesar 6%, sedangkan di Cina pada tahun 2005 sebesar 32,5% (Hendarto, 2009). Prevalensi obesitas meningkat sangat tajam di kawasan Asia Pasifik, 1,5% penduduk Korea Selatan tergolong obesitas, di Thailand 4% mengalami obesitas (Adriani, 2012). Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, 14% balita di Indonesia mengalami obesitas. Tingkat obesitas DKI Jakarta paling tinggi se-Indonesia dengan 19,6 % dan disusul Sumatera Utara dengan 18,3%. Di Jawa Timur sendiri ada 17,1% anak balita mengalami kegemukan (Sjamsul, 2011). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 11 April 2013 di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo diperoleh 7 balita dengan obesitas. Sebanyak 4 balita dikategorikan dalam obesitas 1 yaitu IMT 30-34,9, sebanyak 2 balita dikategorikan dalam obesitas 2 yaitu IMT 35 – 39,9 dan sebayak 1 balita dalam obesitas 3 yaitu IMT > 40. Anggapan orang tua tentang anak yang gemuk menjadi tolak ukur dalam menilai anaknya adalah anak yang sehat, lucu dan menggemaskan. Sebagian besar obesitas diduga disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik atau turunan dari orang tua dan faktor lingkungan, seperti aktivitas fisik, gaya hidup, sosial ekonomi, dan perilaku makan sejak dini (Magiz, 2011). Rata-rata orang tua seringkali menuruti keinginan anak untuk membeli makanan yang umumnya mengandung kalori tinggi namun rendah gizi. Tren pola pemberian makan turut berdampak *) Penulis adalah Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
terhadap kebiasaan makan anak (Wigati, 2012). Memberikan nutrisi yang tepat bukan berarti dengan menggemukkan, anak yang obesitas bisa mengalami berbagai komplikasi kesehatan yang membahayakan seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan kolesterol. Selain itu, berat badan yang berlebihan pun memberikan tekanan yang lebih kepada tulang dan bisa menghambat pertumbuhan yang sehat. Peran orang tua sangatlah berpengaruh terhadap berat badan anaknya. Pola pikir orang tua bahwa anak yang gemuk adalah anak sehat, merupakan pola pikir yang salah. Pemberian ASI secara eksklusif merupakan langkah awal, sebab pemberian ASI tidak akan membuat asupan susu menjadi berlebihan. Sementara itu, jika balita diberi susu formula, orang tua cenderung akan memaksa menghabiskan semua susu yang sudah ada dalam botol. Hendaknya tenaga kesehatan khususnya bidan lebih aktif memberikan informasi edukasi mengenai makanan sehat serta cara membiasakan hidup sehat dengan makan sayur dan buah seperti juga membatasi kebiasaan makan cepat saji, mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi yakni dengan cara pengaturan diet seperti menghindari memberikan es krim setelah makan, peningkatan aktivitas fisik dan merubah pola hidup (Sjamsul, 2011). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis kejadian obesitas pada balita 1-5 tahun di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo”. B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2009) yang pengukuran atau pengamatannya dilakukan secara simultan pada satu saat (sekali waktu) ( Hidayat, 2007). Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan kejadian obesitas pada balita tanpa memberikan perlakukan khusus terhadap kejadian obesitas tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita berusia 1-5 tahun di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. dengan jumlah 68 balita.Sampel dalam penelitian ini adalah balita berusia 1-5 tahun dengan berat badan obesitas di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo sebanyak 68 balita. Dalam penelitian ini digunakan non probability sampling dengan teknik total sampling yaitu cara pengambilan sampel dari seluruh anggota populasi. Penelitian ini jenis pengumpulan datanya menggunakan data primer. Data primer mencakup karakteristik anak (jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan anak). Berat badan anak diukur langsung menggunakan timbangan digital yang telah dikalibrasi dengan ketelitian (0.01) dan pengukuran tinggi badan anak menggunakan microtoise dengan ketelitian (0.1). Hasil pengumpulan data yang bersifat langsung dan selanjutnya akan menjadi dasar hasil penelitian. Jenis instrumen yang digunakan adalah lembar observasi. Lembar observasi adalah suatu daftar pengecek berisi nama subjek dan beberapa gejala atau identitas lainnya dari sarana pengamatan. Pengamat tinggal mengisi atau memberikan tanda check (√) pada daftar tersebut yang menunjukkan adanya gejala atau ciri dari sarana pengamatan. Setelah data dikumpulkan maka akan dilanjutkan pada pengolahan data sebagai berikut : 1. Editing Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran semua data yang telah diperoleh atau dikumpulkan melalui lembar observasi, dengan tujuan mencetak kembali apakah hasilnya sudah sesuai rencana tujuan yang hendak dicapai (Hidayat, 2008). 2. Coding Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka setiap data yang dikelompokkan diberi kode sesuai karakter masing-masing dalam penilaian ini meliputi : a. Data jenis kelamin balita : Laki-laki : kode 1 Perempuan : kode 2 b. Data usia balita :
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
usia 0 - 1 tahun : kode 1 usia 1 - 3 tahun : kode 2 usia 3 - 6 tahun : kode 3 c. Data kejadian obesitas : Underweight : kode 1 Normal : kode 2 Overweight : kode 3 Obesitas 1 : kode 4 Obesitas 2 : kode 5 Obesitas 3 : kode 6 3. Scoring Scoring adalah jumlah skor, kemudian data yang terkumpul dianalisa dengan memberikan skor dari variabel-variabel yang diteliti yaitu : a. Data Kejadian obesitas : Dengan menghitung berat badan balita dengan rumus BMI :
BMI =
mass (kg ) height (m) 2
Skor IMT < 18,54 : Underweight Skor IMT 18,5- 24,.9 : Normal Skor IMT 25,0 – 29,9 : Overweight Skor IMT 30-34,9 : Obesitas 1 Skor IMT 35-39,9 : Obesitas 2 Skor IMT > 40 : Obesitas 3 4. Data entry Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam tabel kemudian membuat distribusi frekuensi (Alimul, 2010).Data yang telah dilakukan pengolahan data, kemudian dianalisa menggunakan tabel distribusi frekuensi dalam bentuk presentase.Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
P=
f × 100% N
Keterangan : P : Persentase f : Jumlah jawaban yang benar N : Jumlah semua kuesioner 5. Tabulating Tabulating adalah melakukan tabulasi hasil data yang diperoleh sesuai dengan lembar pengumpulan data (Setyadi, 2007). Setelah persentasenya diketahui, kemudian menurut (Rofik, 2011) hasilnya ditentukan berdasarkan kriteria : 100% : Seluruhnya 76-96% : Hampir seluruhnya 51-75% : Sebagian besar 50% : Setengahnya 25-48% : Hampir setengahnya 1 -24% : Sebagian kecil 0% : Tidak satupun
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
C. HASIL PENELITIAN 1. Distribusi frekuensi jenis kelamin balita Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin pada Balita di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo (1 Mei – 20 Mei 2013) No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase (%) 1 Laki-laki 24 35 2 Perempuan 44 65 68 100 Jumlah Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 68 responden sebagian besar jenis kelamin balita adalah perempuan yaitu sebanyak 65% responden. 2. Distribusi frekuensi usia balita Tabel 2. Distribusi Usia pada Balita di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo (1 Mei – 20 Mei 2013) No Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 0-1 tahun 51 75 2 1-3 tahun 11 16 3 3-6 tahun 6 9 68 100 Jumlah Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 68 responden sebagian besar usia balita adalah 0-1 tahun yaitu sebanyak 75% responden. 3. Distribusi frekuensi kejadian obesitas Tabel 3. Distribusi Kejadian Obesitas pada Balita di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo (1 Mei – 20 Mei 2013) No Kejadian Obesitas Frekuensi Prosentase (%) 1 Underweight 3 4 2 Normal 22 32 3 Overweight 25 38 4 Obesitas I 11 16 5 Obesitas II 5 7 6 Obesitas III 2 3 68 100 Jumlah Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 68 responden sebagian besar kejadian obesitas pada balita adalah overweight yaitu sebanyak 38% responden. D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menjelaskan bahwa hampir setengahnya kejadian obesitas pada balita adalah overweight yaitu sebanyak 36,8%. Sedangkan untuk balita yang obesitas terjadi pada obesitas I yaitu sebanyak 16,2%. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar jenis kelamin balita adalah perempuan yaitu sebanyak 54,7% responden dan sebagian besar usia balita adalah 0-1 tahun yaitu sebanyak 75% responden Obesitas adalah kelebihan berat badan jauh melebihi berat badan ideal menurut tinggi atau indeks massa tubuh (body mass index) melebihi BMI normal untuk usianya. Obesitas pada anak umumnya disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor. Penyebab yang umum adalah kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang tidak sehat, genetik, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut (Ananta, 2011). Sedangkan overweight (kelebihan berat badan) adalah keadaan dimana adanya kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat badan ideal baik karena adanya penimbunan jaringan lemak atau non lemak (Sofli, 2011). Obesitas dan overweight seringkali dianggap sebagai suatu keadaan yang sama, padahal kedua istilah ini sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Peran nutrisi dimulai sejak masa gestasi dan perilaku makan mulai terkondisi dan terlatih sejak awal kehidupan. Pemberian susu botol pada bayi dan makanan pendamping ASI sebelum usia 6 bulan mempunyai kecenderungan diberikan dalam jumlah yang lebih besar daripada yang dibutuhkan sehingga risiko berat badan menjadi lebih besar daripada pemberian ASI saja. Hal ini
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
mengakibatkan anak akan terbiasa untuk mengkonsumsi makanan melebihi kebutuhan dan berlanjut hingga ke masa tumbuh dan kembang berikutnya. Kadar protein yang lebih tinggi dalam susu formula dapat menyebabkan kejadian berat badan berlebih pada balita. Hal ini sebaiknya perlu dipahami sebelum anak diberikan susu formula, sehingga ibu perlu lebih memperhatikan pemberian susu formula seperti, frekuensi, takaran dan jadual pemberian susu formula. Apalagi bila terdapat faktor genetik yang ikut berperan dalam menyebabkan anak menjadi obesitas. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 54,7% responden berjenis kelamin perempuan dan 75% berusia 0-1 tahun. Hal ini bisa dikarena kebiasaan dalam pemberian susu formula dan makanan pendamping yang melebihi dari takaran yang seharusnya. Selain itu biasanya anak perempuan cenderung kurang dalam melakukan aktivitas fisik mereka lebih suka bermain yang tidak terlaku menguras tenaga. Kurangnya aktivitas fisik (seperti menghabiskan waktu untuk menonton televisi), anak-anak lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Kecenderungan anak pada masa sekarang menjadi kurang aktif sebagai akibat dari kemudahan dalam mengakses manfaat teknologi misalnya bermain games computer maupun media elektronik lain dan menonton televisi. Frekuensi overweight dapat menurun apabila ibu melakukan penatalaksanaan diet terutama diet tinggi kalori yang bersumber dari karbohidrat dan lemak serta aktivitas fisik yang dilaksanakan secara multi disiplin dengan mengikut sertakan keluarga. Metode-metode yang dilakukan untuk menjaga berat badan atau menurunkan berat badan adalah sama yaitu anak harus makan dengan pola makan yang sehat dan meningkatkan aktivitas fisiknya. Kesuksesan metode ini sangat bergantung pada komitmen orang tua untuk membantu anak melakukan perubahan ini mengingat anak masih dalam masa pertumbuhan. E.
PENUTUP Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar kejadian obesitas pada balita di Posyandu Pademonegoro Kec. Sukodono Kab. Sidoarjo adalah overweight yaitu sebanyak 38% responden. Banyaknya kemungkinan terjadinya obesitas pada balita, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih menjaga asupan nutrisi dan aktivitas fisik bagi balitanya. Selain itu tenaga kesehatan hendaknya senantiasa meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan dan pemahaman ibu balita dengan meningkatkan kinerja posyandu serta mengajak kader untuk bekerja sama menanggulangi angka kejadian obesitas pada balita.
DAFTAR PUSTAKA Ananta, Yovita. 2011. Obesitas Pada Anak. Dokter Spesialis Anak RS Pondok Indah Jakarta Andriani, Merryana. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta : Prenada Media Group Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Arora, Anjali. 2008. 5 Langkah Mengendalikan Obesitas. Jakarta : PT. Buana Ilmu Populer Chairi. 2009. Obesitas Pada Anak. www.hudachairi.multiply.com Diakses Tanggal 11 Maret 2013 Diana, Sari. 2012. Anak-anak di Dunia Kian Gemuk. www.health.kompas.com. Diakses tanggal 14 Februari 2013 Hidayat, A. Alimul, Aziz. 2010. Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisi Data. Jakarta : Salemba Medika Hidayati, Nurul. 2009. Obesitas Pada Anak. Divisi Nutrisi Dan Penyakit Metabolik Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Kautsar. 2009. Obesitas Pada Anak-Anak. www.ummukautsar.wordpress.com Diakses tanggal 11 Maret 2013 Lucian, Yanha. 2012. Gejala-gejala Pada Obesitas. www.yanhaluciyan. blogspot.com Diakses tanggal 15 April 2013 Magiz. 2011. 14 Persen Balita Indonesia Alami Obesitas. www.magizzhun.blogspot.com Diakses tanggal 14 Februari 2013 Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nurhayati, Kartika. 2012. Konsep Gizi Pada Balita. www.nersresearcher.com Diakses tanggal 15 April 2013 Nurmalina, Rina. 2011. Mencegah Dan Manajemen Obesitas. Jakarta : Gramedia Oktalia. 2011. Konsep Balita. www.andiwahyudi999.blogspot.com Diakses tanggal 15 April 2013 Putri. 2011. Kegemukan Pada Bayi. www.pakarbayi.com Diakses tanggal 11 Maret 2013 Rully, Impiani. 2010. Bila Anak Mengalami Obesitas Dan Cara Mengatasinya. www.ibudanbalita.com Diakses tanggal 11 Maret 2013 Sjamsul, Arief. 2011. Kegemukan Berdampak Negatif Pada Anak. www.mediabidan.com Diakses tanggal 14 Februari 2013 Sugiyono. 2009.Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta Supartini. 2004. Konsep Balita. www.andiwahyudi999.blogspot.com Diakses tanggal 15 April 2013 Suparyanto. 2011. Konsep Balita. www.dr-suparyanto.blogspot.com Diakses tanggal 11 Maret 2013 Suriani. 2012. Cara Mengatasi Obesitas Pada Anak. www.tipsdietcepat.com Diakses tanggal 15 April 2013 Yunita. 2008. Obesitas. www.yunita3504.wordpress.com Diakses tanggal 15 April 2013
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
PENGARUH PERILAKU MAKAN ORANG TUA TERHADAP KEJADIAN PICKY EATER (PILIH-PILIH MAKANAN PADA ANAK TODDLER DI DESA KARANG JERUK KECAMATAN JATIREJO MOJOKERTO Sari Priyanti*) Abstrak Memilih-milih makanan (picky eater) merupakan masalah pada anak yang perlu diperhatikan baik oleh orang tua maupun praktisi kesehatan, karena picky eater pada anak memiliki efek yang merugikan, baik bagi pengasuh ataupun anak. Efek merugikan dapat berupa penambahan berat badan yang tidak sesuai, defisiensi nutrisi yang penting, serta pengurangan variasi asupan makan. Jika tidak ditangani dengan benar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kegagalan tumbuh serta keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus kontrol. Jumlah sampel pada penelitian ini 106 anak dengan kasus (n=53) dan kontrol (n=53) Populasi dalam penelitian ini semua anak berusia 1-3 tahun di Posyandu Desa karangjeruk pada bulan Oktober 2013 data dianalisis dengan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku makan orang tua yang suka memilih-milih makan, berpengaruh terhadap picky eater dengan p = 0,008 < 0,05 sehingga ada pengaruh perilaku makan orang tua terhadap picky eater, dengan OR= 10,1 (CI 95% = 1,838-55,330) yang berarti kemungkinan pada anak yang perilaku makan orang tuanya memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,1 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai orang tua yang tidak memilih-milih makanan.Orang tua supaya membuat pola pengasuhan berhubungan dengan kualitas konsumsi anak dan penyakit infeksi yang menyertainya, dengan mempromosikan cara pemberian makan dan praktek pengasuhan yang baik kepada masyarakat Kata kunci:Picky eater,makan, orang tua. A. PENDAHULUAN Memilih-milih makanan (picky eater) merupakan masalah pada anak yang perlu diperhatikan baik oleh orang tua maupun praktisi kesehatan, karena picky eater pada anak memiliki efek yang merugikan, baik bagi pengasuh ataupun anak itu sendiri. Picky eater banyak terjadi pada umur 1 sampai 3 tahun dan berisiko dua kali lebih besar untuk mempunyai berat badan rendah pada umur 4,5 tahun dibandingkan anak yang bukan picky eater (Dubois, 2007; Wright, 2008; Judarwanto, 2006). Studi populasi di London, Inggris, anak berumur 3 tahun 17% digambarkan memiliki nafsu makan yang buruk dan 12% picky eater (Shore, Piazza, 1997). Prevalensi picky eater di Indonesia terjadi pada anak sekitar 20%, dari anak picky eater 44,5% mengalami malnutrisi ringan sampai sedang, dan 79,2% dari subjek penelitian telah mengalami picky eater lebih dari 3 bulan (Dewanti, 2012; Lubis, 2005). Masalah pola makan yang sering terjadi pada anak balita seperti picky eater dan penanganan yang salah terhadap perilaku picky eater oleh orang tua merupakan salah satu penyumbang peningkatan status gizi kurang maupun gizi buruk pada anak Indonesia (Kurniasih, 2010). Kejadian kasus anak dengan gizi buruk di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini tidak saja dialami oleh masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah namun juga dialami oleh masyarakat ekonomi atas. Kasus gizi buruk yang semakin meningkat ini dapat pula disebabkan dari perilaku anak dalam memilih-milih makanan, dimana anak-anak tidak mengetahui kandungan gizi yang terdapat di dalam makanan yang dipilihnya itu dapat memenuhi kebutuhan gizinya atau tidak. Kecamatan Jatirejo merupakan daerah di Mojokerto yang mempunyai permasalahan kesehatan yang cukup kompleks, angka gizi buruk terbanyak (7 kasus gizi buruk) di kabupaten Mojokerto yang mendapatkan penanganan dari Dinas Kesehatan Mojokerto pada tahun 2012. Studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jatirejo tepatnya di Desa Karangjeruk, perilaku picky eater yang dialami oleh anak berusia 12-36 bulan yang terdaftar di buku register posyandu sebanyak 33,3%. *) Penulis adalah Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Penyebab utama picky eater pada anak yaitu hilangnya nafsu makan, gangguan proses makan di mulut, dan pengaruh psikologis yaitu kondisi kecemasan, ketakutan, sedih, depresi atau trauma, kondisi fisik karena adanya keterbatasan pada anak terutama organ-organ pencernaan (Dorfmann, 2008; Judarwanto, 2006). Faktor interaksi ibu dan anak, perilaku ibu yang mempunyai variasi asupan sayur yang rendah, kualitas makanan yang rendah, perilaku makan pengasuh dan orang tua, serta suasana keluarga juga dapat menjadi penyebab picky eater (Claude dan Bernard Bonning, 2006; Galloway, et al., 2003; Dubois, 2007; Alarcon et al., 2003). Ditemukan pula bahwa ibu yang anaknya picky eater mempunyai pendapatan rendah dan pendidikan rendah, serta tidak memberikan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI (MPASI) diberikan terlalu dini (<6 bulan) atau bahkan terlambat dalam memberikan MP-ASI (>6 bulan) (Dubois, 2007; Chatoor, Jaclyn Surles, Jodi Ganiban et al, 2004; Galloway et al, 2003). Orang tua di Indonesia masih mempunyai anggapan bahwa anak yang sehat adalah anak yang gemuk, sehingga banyak orang tua salah dalam mengambil langkah, seperti memberikan susu formula di samping ASI bahkan memberikan makanan pada anak yang masih berumur dibawah 3 bulan (Einsenberg et al, 2002). Perilaku positif dari menyusui tersebut dapat megurangi terjadinya picky eater pada anak (Traveras, 2004). Selain itu pola asuh makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi (Suhardjo, 2003). Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin melakukan penelitian mengenai pengaruh pola asuh terhadap kejadian picky eater pada anak usia 1-3 tahun di Desa karangjeruk Kecamatan Jatirejo Mojokerto. B.
METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Rancang Bangun Penelitian Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi observasional yang bersifat analitik karena data diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran terhadap gejala dan fenomena dari subyek penelitian. Desain penelitian menggunakan pendekatan Case Control (kasus kontrol) yaitu rancangan epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Karamgjeruk Kecamatan Jatirejo Mojokerto. bulan Oktober 2013 3. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak berumur 1-3 tahun di posyandu Desa Karangjeruk Oktober 2013. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yang terdiri dari sampel kasus dan kontrol, yaitu anak berusia 1-3 tahun di Posyandu dengan kriteria sebagai berikut: a. Tidak mengalami kelainan anatomi; b. Tidak mempunyai alergi terhadap makanan tertentu; c. Mempunyai Kartu Menuju Sehat (KMS); d. Ibu bersedia menjadi responden. Perbandingan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol menggunakan perbandingan 1:1. Sehingga besar sampel adalah 53 untuk kelompok kasus dan 53 untuk kelompok kontrol. Jadi total sampel pada penelitian ini adalah 106 anak berumur 1-3 tahun di Posyandu Desa karangjeruk 4. Variabel Penelitian a. Variabel dependen: picky eater. b. Variabel independen: perilaku makan orang tua.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 5.
6.
MEDICA MAJAPAHIT
Instrumen Penelitian dan Prosedur Pengumpulan Data Instrumen penelitian yaitu data sekunder, laporan rutin, register posyandu, Kartu Menuju Sehat (KMS) dan kuesioner. Prosedur pengumpulan data melalui observasi, pencatatan statistik rutin sumber data sekunder, dan wawancara. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari: a. Data tentang karakteristik anak, karakteristik orang tua, picky eater pada anak, perilaku makan orang tua, diambil dengan cara wawancara secara langsung dengan responden menggunakan panduan kuesioner oleh peneliti pada hari kerja. b. Data tentang jumlah anak umur 1-3 tahun, desa dan posyandu yang ada di Desa Karangjeruk diambil dengan cara mengambil data dengan menggunakan lembar observasi oleh peneliti. Analisis Data Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat untuk mengetahui gambaran deskriptif. Analisis data berikutnya dilanjutkan menggunakan uji chi square a dengan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
C. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Anak dan orang tua Sebagian besar anak berada pada rentang usia >24-36 bulan. Sementara umur ibu sebagian besar berusia ≥20 tahun. Untuk pendidikan, sebagian besar ibu berpendidikan terakhir tamat SMA. Untuk pendapatan keluarga, sebagian besar berpenghasilan ≥Rp.1.720.000 juta per bulan. 2. Pengaruh perilaku makan orang tua terhadap picky eater Pada penelitian didapat bahwa dari 53 anak picky eater terdapat orang tua yang memilih-milih makan sebanyak 20 anak (37,7%) dan orang tua yang tidak memilih-milih makan sebanyak 33 anak (62,3%), sedangkan pada kelompok anak non picky eater terdapat orang tua yang memilih-milih makan sebanyak 7 anak (13,2%) dan orang tua yang tidak memilih-milih makan sebanyak 46 anak (86,8%). Hasil ini dapat disimpulkan bahwa proporsi anak picky eater lebih banyak yang orang tuanya tidak memilih-milih makan (62,3%) dibandingkan yang memilh-milih makan (27,7%), sedangkan anak yang orang tuanya memilih-milih makan lebih banyak pada kelompok anak picky eater (37,7%) dibanding pada kelompok anak non picky eater (13,2%). Tabel 1.
Distribusi perilaku makan orang tua di Desa Karangjeruk tahun 2013 Picky eater Nonpicky eater Perilaku makan orang tua Nilai p n (%) n (%) Memilih-milih makan 20 (37,7) 7 (13,2) 0,008 Tidak memilih-milih makan 33 (62,3) 46 (86,8) Jumlah 53 (100) 53 (100) Hasil uji chi square dengan α = 0,05 menunjukkan p = 0,008 < 0,05, sehingga ada pengaruh perilaku makan orang tua terhadap picky eater, dengan OR= 10,084 (CI 95% = 1,838-55,330) yang berarti kemungkinan pada anak yang perilaku makan orang tuanya memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,084 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai orang tua yang tidak memilih-milih makanan dengan nilai OR bermakna karena nilai 95% CI tidak melewati angka 1
D.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Umur anak Berdasarkan hasil penelitian didapatkan baik kelompok anak picky eater maupun kelompok anak nonpicky eater sebagian besar berusia 24-36 bulan dengan usia terendah 24 bulan untuk kelompok anak picky eater dan 36 bulan untuk kelompok anak non picky eater. Hal ini dikarenakan berdasarkan fasenya, anak usia 1-3 tahun mempunyai perilaku makan
1.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
2.
3.
MEDICA MAJAPAHIT
yang rewel, suka memasukkan makanan ke dalam mulut tanpa menelannya, makan makanan yang sama berkali-kali dan menutup mulut yang biasa dikenal dengan istilah gerakan tutup mulut (GTM) (Judarwanto, 2006). Penelitian Lubis (2005) menjelaskan, picky eater banyak terjadi pada umur 1 sampai 3 tahun dan berisiko dua kali lebih besar untuk mempunyai berat badan rendah pada umur 4,5 tahun dibandingkan anak yang bukan picky eater. Studi populasi di London-Inggris, pada anak berumur 3 tahun sebanyak 17% digambarkan memiliki nafsu makan yang buruk dan 12% picky eater (Shore, Piazza, 1997). Sedangkan di Indonesia prevalensi picky eater terjadi pada anak berusia 1-3 tahun sekitar 20%, dari anak picky eater 44,5% mengalami malnutrisi ringan sampai sedang, dan 79,2% dari subjek penelitian telah mengalami picky eater lebih dari 3 bulan (Dewanti, 2012). Umur ibu Umur ibu menentukan pola pengasuhan dan penentuan makanan yang sesuai bagi anak karena semakin bertambahnya umur ibu maka makin bertambah pula pengalaman dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak. Hal ini dapat dimengerti karena semakin tua umur ibu maka dia akan belajar untuk semakin bertanggung jawab terhadap anak dan keluarganya. Umur yang semakin tua juga menyebabkan semakin banyak pengalaman dan informasi mengenai kesehatan dan gizi keluarga (Hariski, 2003; Ratri, 2005; Sihombing, 2005). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pada kelompok anak picky eater usia ibu lebih banyak berusia <20 tahun, sedangkan pada kelompok anak nonpicky eater ibu lebih banyak berusia 20-35 tahun. Saat ini banyak perempuan yang menikah pada umur dibawah 20 tahun. Secara fisik dan mental mereka belum siap untuk hamil dan melahirkan. Rahim belum siap menerima kehamilan dan ibu muda tersebut belum siap untuk merawat, mengasuh serta membesarkan bayinya. Hal ini juga mempengaruhi kesiapan ibu dalam mendidik dan mengasuh anak. Orang tua yang sudah siap dalam mendidik anak serta mengalami pengalaman yang baik akan mempunyai banyak cara dalam menghadapi anakanak yang susah makan dan mempunyai beragam variasi makanan yang dapat disajikan untuk anak sehingga anak dapat terhindar dari kebiasaan pilih-pilih makan (picky eater) yang disebabkan rasa bosan karena menu yang kurang bervariatif (Markum, 2007). Pendidikan ibu Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok anak picky eater lebih banyak mempunyai ibu berpendidikan terakhir tamat SMP, sedangkan pada kelompok anak non picky eater lebih banyak ibu berpendidikan terakhir tamat SMA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chatoor (2009), diketahui bahwa ibu dari anak picky eater ditemukan mempunyai pendidikan yang rendah. Pendidikan merupakan suatu proses yang menumbuhkan sikap lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan atau ide-ide baru. Pada satu sisi pendidikan seorang ibu penting, artinya untuk kesejahteraan anak, namun pada sisi lain tidak dapat diingkari bahwa di beberapa bagian dunia ini wanita tertinggal jauh dalam hal pendidikan. Padahal bekal pendidikan bagi wanita sebagai seorang ibu sangat besar artinya bagi kesejahteraan suatu bangsa. Pendidikan sangat diperlukan agar seorang ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan cepat (Sudiyanto dan Sekartini, 2005). Pendidikan dapat dikaitkan dengan pengetahuan, berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Seorang yang berpendidikan rendah biasanya akan berprinsip ‘yang penting mengenyangkan’, sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lainnya. Sebaliknya kelompok orang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan dapat merencanakan menu makanan yang sehat, bergizi dan bervariasi bagi dirinya dan keluarganya sehingga dapat terhindar
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
4.
MEDICA MAJAPAHIT
dari rasa bosan dan dapat mengurangi perilaku terlalu memilih-milih makanan pada anak (Adriani dan Wirjatmadi, 2012; Chatoor, 2009). Pengaruh Perilaku Makan Orang Tua Terhadap Picky Eater Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa baik pada kelompok anak picky eater maupun non picky eater lebih banyak mempunyai orang tua yang berprilaku tidak memilihmilih makanan, namun distribusi orang tua dari kelompok anak picky eater yang orang tuanya memilih-milih makanan lebih banyak dibandingkan kelompok non picky eater. Dari hasil uji Regresi Logistik Ganda menunjukkan bahwa perilaku makan orang tua berpengaruh terhadap picky eater dengan OR= 10,1 yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai orang tua berperilaku memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,1 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai orang tua tidak memilih-milih makanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Judarwanto (2006), bahwa anak picky eater merupakan hasil dari meniru pola makan orang tuannya. Hal tersebut dapat dimulai dari meniru pola makan lingkungan terdekatnya yang juga pilih-pilih makanan. Pada anak sulit makan mengalami gangguan oral motor yang mengakibatkan gangguan mengunyah dan menelan sehingga mereka akan pilih-pilih atau menolak makanan dengan tekstur tertentu terutama yang berserat seperti sayur, daging sapi atau nasi. Anak seperti ini hanya mau makanan yang tidak berserat dan yang crispy seperti telor, mie, nugget, biskuit, kerupuk dan sejenisnya. Gangguan oral motor biasanya sering disebabkan karena gangguan fungsi saluran cerna seperti alergi atau intoleransi makanan lainnya. Alergi atau gangguan genetik lainnya seringkali diturunkan oleh salah satu orang tuanya. Jadi bila salah satu orang tua mempunyai masalah kesulitan makan maka hal tersebut dapat diturunkan pada anak bukan karena anak meniru pola makan orang tua tetapi karena masalah itu diturunkan secara genetik. Perilaku dan kebiasaan orang tua dalam hal makan yang dipengaruhi oleh faktor budaya akan mempengaruhi sikap suka dan tidak suka seorang anak terhadap makanan. Orang tua memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku anak yang berhubungan dengan makanan dan pilihan makanan pada anak. Orang tua masih tetap memegang peranan penting sebagai model atau contoh bagi anak-anaknya dalam hal perilaku makan yang sehat. Orang tua bertanggungjawab terhadap masalah makanan di rumah, jenis-jenis makanan yang tersedia dan kapan makanan tersebut disajikan juga harus memberikan petunjuk mengenai hal-hal yang penting kepada anak-anak sehingga mereka mampu menentukan makanan yang sehat di saat mereka jauh dari rumah. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang malas makan (diet), akan mengembangkan perilaku malas makan juga (Sulistyoningsih, 2012). Penelitian ini mendukung penelitian Dubois et al (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara perilaku makan orang tua dengan picky eater. Banyak penelitian mengenai pola makan dan pilih-pilih makanan pada anak-anak membahas pengaruh keluarga, khususnya orang tua. Konsep orang tua sebagai model peran tidak dapat diabaikan dalam diskusi fenomena pilih-pilih makanan. Sebuah kuantitatif metaanalisis yang mengamati temuan penelitian awal menemukan bahwa perilaku makanan orang tua berkorelasi positif dengan perilaku makanan anak-anak (Carruth dan Skinner, 2000). Carruth dan Skinner (2000) melaporkan bahwa ibu yang memilih-milih makanan mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anak-anak mereka. Seorang anak mungkin akan kurang bersedia untuk mencoba makanan baru yang ibunya nya belum pernah merasakannya. Anak-anak akan kurang menerima makanan asing jika mereka mengamati perilaku orang tua mereka juga memilih-milih makan. Perilaku ibu akan terus mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anak. Sedangkan Daniel dan Jacob (2012) menyatakan anak-anak dengan riwayat keluarga pilih-pilih makanan secara signifikan lebih cenderung menjadi picky eater.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 E.
MEDICA MAJAPAHIT
PENUTUP 1. Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tepatnya di dusun Balong Tani dan Dukuh Sari pada tahun 2013 diperoleh simpulan sebagai berikut: a. Sebagian besar anak berusia >24-36 tahun, sebagian besar besar mempunyai ibu berusia ≥20 tahun, sebagian besar ibu berpendidikan terakhir tamat SMA, sebagian besar keluarga berpendapatan tinggi, b. Ada pengaruh perilaku makan orang tua, terhadap picky eater. 2. Saran a Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan referensi untuk menambah wawasan ilmiah baik bagi praktisi kesehatan maupun orang tua khususnya ibu/pengasuh mengenai picky eater pada anak, cara menangani picky eater dengan benar dan dapat menghindari berbagai faktor yang dapat menyebabkan anak menjadi picky eater. b Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi data dasar untuk melanjutkan penelitian yang bersifat eksperimental. c Orang tua supaya membuat pola pengasuhan berhubungan dengan kualitas konsumsi anak dan penyakit infeksi yang menyertainya, dengan mempromosikan cara pemberian makan dan praktek pengasuhan yang baik kepada masyarakat
DAFTAR PUSTAKA Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.Jakarta: Kencana. Antolis, Patricia Vanessa. 2012. Proporsi dan status Gizi Anak Usia 6-24 bulan yang Mengalami Kesulitan Makan di Semarang. Karya Tulis Ilmiah. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro. Chatoor, Irene. 2009. Diagnosis and Treatment of Feeding Disorders in Infants, Toddlers, and Young Children. Washington DC. Zero To Three. 141 pp. Available from http://www. Zerotothree.org/reprints Claude, Anne & Bernard Bonning. 2006. Fedding problem of infats and toddlers. Canadian Family Physician, Vol. 52, No. 6, p. 1247-1251. Dariyo, Agoes. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: Refika Aditama. Depkes RI. 2005. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Bandung: PT. Enka Parahiyangan. Dewanti. 2012. Dalam seminar “Solutions for Toddler Feeding Problems”. Malang: Brawijaya University. Eisenberg. 2002. Bayi Pada Tahun Pertama: Apa yang Ibu/pengasuh Hadapi per Bulan. Jakarta: Arcan. Galloway, Amy T, Yoona Lee & Leann L Birch. 2003. Predictor and consequences of food neophobia and pickiness in young girls. Journal of the American Dietetic Association, Vol. 10, No. 6, p. 692-701. Judarwanto, Widodo. 2006. Alergi makanan dan autisme. Children allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta. Available from http://www.pdpersi.coi.id Kurniawan. 2001. Chilhood Malnutrition in Indonesia, it’s Current Situation, Joint Symposium Between Departement of Nutrition. Makalah. Departement of Pediatrics. Surakarta: Sebelas Maret University, February, 19-21th, 2001. Lemeshow S, DW Hosmer Jr, J Klar, SK Lwanga, 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. WHO. John Wiley & Sons. Manikam, R, dan Pesrman, J. A. 2000. Pediatric feeding disorders. Journal of Clinical Gastroenterology, Vol. 30, No. 1, p.34-46. Mayes, L.C & Volkmar, F.R. 1993. Nosology of eating growth disorder in early childhood. Child and adolecent psychiatric clinics of north America, Vol. 1, No. 2, p.15-35. Mexitalia M. Kesulitan makan pada anak: Diagnosis dan tatalaksana. Dalam: Mexitalia M, Kusumawati NR, Sareharto TP, Rini AE, penyunting. Simposium sehari tentang mengelola
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
pasien anak dalam praktek sehari-hari; Semarang, Juni 11, 2011. Makalah. Semarang: Universitas Diponegoro; 2011:25-40. Nasar, Sri S. 2010. Indonesia Menyusui. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Santoso, S., Ranti, L.A. 1995. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Suhardjo. 2003. Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Taveras, Elsie M. 2004. Association of brestfeeding with maternal control of infant feeding at age 1 years. Pediatrics. Vol. 114, No. 5. Winters NC. Feeding problems in infancy and early childhood. Primary Psychiatry. 2003;10(6):30-4.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
HUBUNGAN PEKERJAAN DAN PENGETAHUAN DENGAN KETEPATAN KUNJUNGAN ULANG KB SUNTIK 3 BULAN DI POLINDES ANYELIR DESA BENDUNG KECAMATAN JETIS KABUPATEN MOJOKERTO Dian Irawati*) Abstrak Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah faktor pekerjaan dan pengetahuan berhubungan dengan ketepatan kunjunganulang KB sunti 3 bulan di Polindes Anyelir Desa Bendung Kecamatan Jetis Mojokerto. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain Cross Sectional.Jumlah sampel sebanyak 65 akseptor yang diambil dengan teknik Simple Random Sampling. Variabel independen adalah pekerjaan dan pengetahuan akseptor, variabel dependen adalah ketepatan kunjungan ulang. Data di perolaeh dengan menyebarkan kuesioner. Hasil penelitian ini berdasarkan pekerjan sebagian besar akseptor bekerja tidak tepat kunjungan ulang sebanyak 34 akseptor (52%) dan rata-rata pengetahuan repsonden yang tepat melakukan kunjungan KB suntik adalah sebesar 60,83.Penelitian ini menggunakan uji statistik chi-square untuk melihat hungan pekerjaan dengan ketepatan kunjungan KB suntik dan Mann Whitney untuk melihat hubungan antara pengetahuan dengan ketepatan kunjungan KB suntik 3 bulan. Hasil uji chi square menunjukkan ρ=0,00, artinya ada hubungan antara pekerjaan dengan ketepatan kunjungan ulang, sedangkan untuk pengetahuan di dapatkan hasil uji Mann-Whitney dengannilai ρ=0,106 yang artinya tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik. Ketepatan kujungan ulang mempunyai andil besar kesuksesan KB. pekerjaan adalah faktor dominan yang menyebabkan ketidaktepatan akseptor, karena pekerjaan menyita waktu untuk melakukan kunjungan ulang KB suntik, sehingga diharapkan akseptor lebih memperhatikan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan. Kata kunci : Pekerjaan, Pengetahuan, KB 3 bulan . A. PENDAHULUAN Kontrasepsi merupakan suatu cara atau metode yang bertujuan untuk mencegah pembuahan sehingga tidak terjadi kehamilan (Sulistyawati, 2011). Penduduk yang terus bertambah banyak semakin menambah beban pembangunan nasional, antara lain dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan pangan, kesehatan, lingkungan, dan kesempatan kerja (BKKBN, 2013). Untuk menekan laju pertumbuhan penduduk pemerintah telah menerapkan program Keluarga Berencana Nasional, pada saat ini visi misi program Keluarga Berencana (KB) adalah Keluarga Berkualitas 2015 yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (BKKBN, 2011) Kenyataan di lapangan (BPS) menunjuknan masih banyak akseptor yang tidak tepat waktu kunjungan ulang suntik Kb 3 bulan. Berdasarkan data BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) hasil pelayanan KB baru secara nasional pada bulan Oktober 2013 sebanyak 723.456 peserta yang terdiri dari IUD 53.435 (7,39%), MOW 10.160 (1,40%), Implan 81.000 (11,20% ), Suntikan 334.011 (46,17%), Pil 195.761 (27,06%), MOP 2.174 (0,30%), Kondom 46.915 (6,48%). Mayoritas peserta KB baru bulan Oktober 2013, didominasi oleh peserta KB yang menggunakan Non metode kontrasepsi jangka panjang (Non MKJP), yaitu sebesar 79,71% dari seluruh peserta KB baru. Sedangkan peserta KB baru yang menggunakan metode jangka panjang seperti IUD, MOW, MOP dan Implant hanya sebesar 20,29% (BKKBN, 2013). Menurut Wendy (2013), pemakaian alat kontrasepsi jangka pendek akan berisiko gagal lebih besar dari pada IUD yang berjangka panjang. Sebab, akseptor bisa saja lupa melakukan suntik KB yang dilakukan setiap bulan sekali. Angka kegagalan metode suntik juga cukup tinggi mencapai 6/100. Artinya 6 dari 100 penggunanya hamil setelah menggunakan suntik (Inung, 2013). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 24 Febuari s/d 28 Febuari 2014 di Polindes Anyelir Desa Bendung Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto akseptor KB pada bulan Januari sampai Febuari sebanyak 357 akseptor antara lain menggunakan KB suntik 3 bulan sebanyak 193 akseptor, KB suntik 1 *) Penulis adalah Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
bulan sebanyak 87 akseptor, implan 10 akseptor, IUD 10 akseptor, kondom 4 akseptor, pil 53 akseptor. Dalam studi pendahuluan dilakukan penyebaran kuesioner kepada 10 akseptor KB suntik 3 bulan didapatkan hasil tidak tepat waktu kunjungan 6 (60%) akseptor, dan 4 (40%) akseptor tepat waktu kunjungan. Salah satu jenis kontrasepsi yang sering dipakai adalah kontrasepsi hormonal jenis suntik karena alasan praktis yaitu sederhana, kontrasepsi suntik memiliki efektifitas yang tinggi bila penyuntikannya dilakukan secara teratur dan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Menurut jurnal Ida Rafidah dan Arief Wibowo Tahun (2012) Departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM UNAIR, Salah satu kegagalan kontrasepsi KB suntik 3 bulan di pengaruhi oleh ketidaktepatan kunjungan ulang untuk suntik kembali, faktor - faktor tersebut antara lain: dari segi pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan, sikap, jumlah anak, fasilitas kesehatan, dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami. Jenis kontrasepsi hormonal salah satunya adalah KB suntik DMPA yaitu KB suntik yang mengandung 150 mg Depo Medroxy Progesteron Acetat dan di berikan tiap 3 bulan sekali secara IM (Saifuddin, 2007). Dampak dari pemakaian alat kontrasepsi suntik KB yang tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan akan dapat menimbulkan terjadinya kehamilan, dan untuk menyikapi hal tersebut, maka akseptor KB perlu diberikan informasi tentang kontrasepsi yang tepat dan baik digunakan akseptor KB, dan begitu pula khususnya kepada calon akseptor KB suntik sebaiknya diberikan penjelasan tentang keuntungan dan kerugian tentang kontrasepsi suntik 3 bulan. Kontrasepsi suntik 3 bulan memiliki efektifitas yang tinggi bila penyuntikannya dilakukan dengan secara teratur dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan untuk suntik kembali (Saifuddin, 2007). Sehingga yang diharapkan dapat memperkecil terjadinya kehamilan serta akseptor mengerti tentang efek samping dari alat kontrasepsi tersebut (Saifuddin, 2007). Dari data di atas peneliti perlu melakuakan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Kunjungan Ulang KB Suntik 3 Bulan. B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah analaitik observasional dengan menggunakan desain Cross Sectional. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan variabel tergantungnya adalah ketepatan kunjungan ulang KB suntik. Populasi penelitian ini adalah seluruh akseptor KB suntik 3 bulan di Polindes Anyelir Desa Bendung Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto pada bulan Mei 2014. Sampel diambil secara simple random sampling dengan besar sampel sebanyak 67 responden.Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan diolah dengan cara editing, coding, scoring, dan tabulating. Kemudian data dianalisa dengan menggunakan uji chi square dan uji Mann-Whitney. Tabel 1. Definisi OperasionalHubungan Pekerjaan Dan Pengetahuan Dengan Ketepatan Kunjungan Ulang KB Suntik 3 Bulan Di Polindes Anyelir Desa Bendung Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Skala
Bekerja Tidak bekerja
Nominal
Independen: Pekerjaan
Kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh akseptor
Pengetahuan
Pengetahuan adalah nilai yang didapat oleh responden dari hasil pengisian kuesioner yang berisi pemahaman kontrasepsi suntik baik tentang pengertian, maanfaat,indikasi/kontraindikasi dan efek samping dari kontrasepsi
Interval
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
Dependen : Ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan.
Ketepatan kunjungan ulang adalah waktu dimana akseptor KB datang kembali untuk melakukan suntik ulang diukur dengan menggunakan kuesioner.
MEDICA MAJAPAHIT
Tepat Tidak tepat
Nominal
C. HASIL PENELITIAN 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Akseptor Suntik 3 bulan Tabel 2. Pekerjaan Akseptor KB Suntik 3 Bulan di Polindes Anyelir Tahun 2014 No Pekerjaan Frekuensi Prosentase 1 Bekerja 48 74% 2 Tidak Bekerja 17 26% Total 65 100% Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar akseptor adalah bekerja, yaitu 48 Akseptor (74%). 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Akseptor Suntik 3 bulan Di Polindes Anyelir Tabel 3. Pengetahuan Akseptor KB Suntik 3 Bulan di Polindes Anyelir Tahun 2014 N Minimum Maksimum Median Rata-rata Standar Deviasi Pengetahuan 65 30,00 100,00 65 64,8462 18,95655 Valid N 65 (listwise) Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata pengetahuan reponden adalah 64,85 dengan median sebesar 65 dan standar deviasi sebesar 18,96. 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Ketepatan Kunjungan Ulang Akseptor Suntik 3 bulan Di Polindes Anyelir Tabel 4. Ketepatan Kunjungan Ulang Akseptor KB Suntik 3 Bulan di Polindes Anyelir Tahun 2014 No Ketepatan Kunjungan Ulang frekuensi Prosentase 1 Tepat 29 45% 2 Tidak Tepat 36 55% 3 Total 65 100% Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar akseptor tidak tepat dalam melakukan kunjungan KB suntik 3 bulan, yaitu sebesar 74 akseptor (59%). 4. Hubungan antara Pekerjaan dan Ketepatan Kunjungan Ulang Akseptor KB Suntik 3 Bulan Tabel 5. Tabulasi Silang antara Pekerjaan dan Ketepatan Kunjungan Ulang Akseptor KB Suntik 3 Bulan Ketepatan kunjungan ulang Total Pekerjan Tepat Tidak tepat No N % Akseptor N % N % 1 Bekerja 14 22% 34 52% 48 74% 2 Tidak Bekerja 15 23% 2 3% 17 26% Total 29 45% 36 55% 65 100%
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan sebagian besar akseptor yang bekerja tidak tepat dalam melakukan kunjungan ulang KB suntik sebanyak 34 akseptor (52%.), dan akseptor yang tepat pada kunjungan ulang sebagian besar akseptor yang tidak bekerja sebanyak 15 orang (23%). Hasil uji chi square didapatkan nilai ρ sebesar 0,00. Karena nilai ρ ≤ 0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara pekerjaan dan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan. Tabel 6. Statistik Pengetahuan Berdasarkan Ketepatan Kunjungan Ulang KB Suntik 3 Bulan di BPS Anyelir Tahun 2014 Ketepatan N Minimum Maksimum Median Mean Standar Deviasi Tidak 35 30 100 80 68,29 19,48 Pengetahuan Tepat Tepat 30 30 30 60 60,83 17,82 Total 65 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang tidak tepat melakukan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan mempunyai nilai rata-rata pengetahuan sebesar 68,29 dengan median sebesar 80. Sedangkan reponden yang tepat melakukan kunjungan ulang KB mempunyai nilai rata-rata pengetahuan sebesar 60,83 dengan median sebesar 60. Hasil uji Mann-Whitney didapatkan hasil ρ sebesar 0,106. Karena nilai ρ ≥ 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan. A.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Pekerjaan Responden Berdasarkan hasil penelitian, dari 65 responden sebagian besar akseptor bekerja sebanyak 48 orang (74%), dan sebanyak 34 responden yang bekerja tidak tepat melakukan kunjungan KB suntik. Pekerjaan memerlukan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan berbagai jenis pekerjaan masing-masing dianggap penting dan memerlukan perhatian dan waktu. (Notoatmojo,2010). Pekerjan dapat berpengaruh terhadap ketidaktepatan akseptor untuk melakukan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan. Data menunjukan bahwa akseptor yang bekerja cenderung tidak tepat dalam kunjungan ulang KB suntik 3 bulan karena faktor kesibukan, terikat dengan jam kerja dan pekerjaan banyak. Ada kesesuaian antara teori dan hasil penelitian, bahwa pekerjaan memerlukan waktu yang banyak sehingga mengganggu waktu untuk kembali. 2. Pengetahuan Responden Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pengetahuan reponden adalah 64,85 dengan median sebesar 65 dan standar deviasi sebesar 18,96. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu“ dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia dipengaruhi oleh mata dan telingga (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan yang baik akan memudahkan seorang wanita dalam menerima segala informasi terutama tentang KB suntik 3 bulan. Kontrasepsi suntik 3 bulan memiliki efektifitas tinggi, pencegahan kehamilan jangka panjang dan mereka juga telah mempertimbangkan adanya efek samping, keuntungan dan kerugiannya, sehingga ibu lebih tertarik memilih KB suntik 3 bulan (Saifudin,2011). Menurut Notoadmodjo (2010) seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi belum menjamin seseorang tersebut bersikap sesuai dengan pengetahuan yang tinggi yang dimiliki, perbedaan disebabkan oleh adanya sistem
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
5.
6.
E.
MEDICA MAJAPAHIT
kepribadian, pengalaman, dan adat istiadat yang dipegang oleh individu tersebut. Kurangnya pengetahuan pada akseptor sangat berpengaruh terhadap ketepatan kunjungan ulang. Tetapi pada penelitian ini akseptor yang berpengetahuan baik lebih banyak atau dominan tidak tepat dalam melakukan kunjungan ulang KB suntik. Ketepatan Kunjungan Ulang KB suntik 3 Bulan. Berdasarkan hasil penelitian, dari 65 responden sebagian besar akseptor tidak tepat kunjungan ulang KB suntik 3 bulan sebanyak 36 akseptor (55%), dan yang tepat kunjungan sebanyak 29 akseptor (45%), Ketidaktepatan kunjungan ulang KB suntik dapat penyebabkan kehamilan (Saifudin,2007). Hal ini disebabkan karena sebagian besar akseptor bekerja sehingga akseptor lupa kapan untuk melakukan kunjungan ulang KB suntik, sebagian besar pula akseptor yang berpengetahuan baik tidak tepat dalam melakukan kunjungan ulang KB suntik dan faktor yang mempengaruhi pengetahuan responden mengenai KB suntik diantaranya faktor pendidikan, informasi dan pengalaman. Analisa hubungan pekerjaan dan pengetahuan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan Berdasarkan hasil uji statistik chi-square dengan bantuan SPSS for Window 19 dengan menggunakan taraf signifikan α=0,05 didapatkan hasil ρ=0,000 untuk faktor pekerjaan yang berarti H 0 ditolak H 1 diterima yang berarti ada pengaruh faktor pekerjaan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan. Sedangkan untuk faktor pengetahuan, dengan uji Mann-Whitney didapatkan hasil ρ=0,106, yang berarti H 0 di terima H 1 ditolak sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan. Hasil analisia data menunjukan bahwa ketepatan akseptor dipengaruhi oleh pekerjaan akseptor, dimana pekerjaan seorang akseptor KB sangat berpengaruh terhadap ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan karena faktor kesibukan, terikat dengan jam kerja dan pekerjaan yang banyak, pekerjaan memerlukan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan berbagai jenis pekerjaan masing-masing pekerjaan dianggap penting dan memerlukan perhatian dan waktu (Notoatmojo,2007). Ada kesesuaian antara teori dan hasil penelitian, bahwa pekerjaan memerlukan waktu yang banyak sehingga mengganggu ketepatan waktu untuk kunjungan ulang KB suntik. Sedangkan untuk faktor pengetahuan akseptor yang berpengetahuan baik sebagian besar tidak tepat dalam melakukan kunjungan ulang KB suntik, menurut Notoatmojo (2011) faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah dari faktor internal yaitu pendidikan, minat, pengalaman dan usia. Sedangkan eksternal yaitu ekonomi, informasi, kebudayaan/lingkungan. Sehingga pengetahuan yang baik belum menjamin seseorang tersebut bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang tinggi yang dimiliki.
PENUTUP 1. Simpulan a Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden bekerja sebanyak 48 orang (74%), dan hampir setengah akseptor yang tidak bekerja sebanyak 17 akseptor (26%). b Berdasarkan hasil penelitian rata-rata pengetahuan responden adalah 64,85 dengan median sebesar 65 dan standar deviasi sebesar 18,96. c Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar akseptor tidak tepat dalam kunjungan KB suntik 3 bulan sebesar 36 akseptor (55%) dan hampir setengah responden tepat dalam melakukan kunjungan ulang sebanyak 29 akseptor (45%). d Ada hubungan antara pekerjaan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan dengan nilai ρ uji chi square sebesar 0,00. e Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan dengan nilai ρ uji Mann-Whitney sebesar 0,106. 2. Saran a Bagi Peneliti Selanjutnya
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
b
c
MEDICA MAJAPAHIT
Hasil penelitian ini hendaknya dapat digunakan sebagai bahan bagi peneliti yang lain, peneliti berikutnya perlu mengkaji faktor-faktor yang lain yang ada kaitannya dengan ketepatan kunjungan ulang KB suntik 3 Bulan. Bagi Tenaga Kesehatan Diharapkan lebih meningkatkan dalam pemberian informasi kesehatan terutama tentang kontrasepsi, efek samping, keuntungan, kerugian, dan lain-lain. Dan selalu mengingatkan kembali kapan harus kembali untuk melakukan suntik kembali ketika akseptor mau pulang. Bagi Masyakat atau Akseptor KB suntik Hendaknya akseptor KB dapat meningkatkan pengetahuan tenang alat kontrasepsi yang dipakai, melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan yang dilaksanakn di posyandu atau sarana kesehatan yang lainnya seperti polindes dan puskesmas, dan hendaknya Akseptor lebih memperhatikan jadwal suntik ulang yang sudah tercantum dalam buku KB suntik agar tidak terjadi keterlambatan dalam melakukan kunjungan ulang KB suntik 3 bulan.
DAFTAR PUSTAKA Albar, E. (2010). Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. jakarta: PT Rineka Cipta. BKKBN. (2011). Evaluasi Hasil Pencapaian Program Keluarga Berencana Nasional Januari – Desember 2011 Provinsi Jawa Timur. Surabaya: BBKN. Diane M . Fraser, Margaret A, Cooper. (2009). Myles textbook for midwives. Jakarta: EGC. Handayani, S. (2011). Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama. Hartanto, H. (2004). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hidayat, A. A. (2010). Metode Penelitian Kesehatan; Paragdima Kuantitatif. jakarta: Salemba Medika. Inung. (2013, September 20). http://poskotanews.com/2013/09/20/alkon-kb-jangka-panjang-kurangdiminati/. Dipetik Januari 11, 2013, dari Alkon KB Jangka Panjang Kurang Diminati: http://poskotanews.com/2013/09/20/alkon-kb-jangka-panjang-kurang-diminati/ Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Saifuddin, A. B. (2011). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Stright, B. R. (2004). Panduan Belajar Keperawatan Ibu- Bayi Baru Lahir. Jakarta : EGC. Sulistyawati, A. (2011). Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Salemba Medika. Suratun, Sri Maryani, Tien Hartini, Rusmiati, Saroha Pinem. (2008). Pelayanan Keluarga Berencana & Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Trans Info Media. Wawan. (2010). Teori Dan Pengukura Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
HUBUNGAN MOTIVASI KESEMBUHAN DENGAN KEPATUHANPENATALAKSANAAN PENGOBATAN PADA PASIEN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MOJOSARIMOJOKERTO Nurwidji 1, Tsalits Fajri2*) Abstrak TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat hidup berbulan-bulan walaupun sudah terkena antibiotik. Untuk sembuh dari penyakit ini dibutuhkan waktu yang lama dan kepatuhan dalam penatalaksanaan pengobatannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. Desain yang digunakan adalah cross sectional study. Populasinya adalah pasien TB paru yang berobat di Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. Besar sampel 18. Teknik sampling adalah purposive sampling. Variabel independen adalah motivasi kesembuhan, variabel dependen adalah kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner tertutup.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang yang motivasinya kuat ada 12 orang (67%), motivasinya sedang ada 6 orang (33%). Responden yang patuh ada 10 orang (56%), tidak patuh ada 8 orang (44%).Data dianalisa menggunakan Fisher Probability Exact Test yang hasilnya p value sebesar 0,032. Jadi ada hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan. Keinginan untuk sembuh dan dukungan dari keluarga adalah faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu program pengobatan. Oleh karena itu hendaknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada pasien serta keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan dan motivasi kesembuhan mereka sehingga meningkatkan pula kepatuhan mereka terhadap penatalaksanaan pengobatan. Kata kunci : pengetahuan, motivasi, kesembuhan, kepatuhan, tuberculosis
A. PENDAHULUAN Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, 2001). Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara (Suyono dkk, 2001). Di Indonesia TB paru kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan (Anon, 2007). Pengobatan penderita TB paru bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Indikatornya dengan cara memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (Joniyansah, 2009). Pengobatan TB paru membutuhkan waktu yang lama, sehingga dimungkinkan pasien tidak patuh dalam menelan obat (Depkes RI, 2010). Menurut Subijakto (2011), banyaknya macam obat TB paru membuat penderita menjadi jenuh untuk berobat, dengan kurangnya pengetahuan atau motivasi maka semakin besar kemungkinan akan putus obat. Berhasil atau tidaknya pengobatan TB paru tergantung pada pengetahuan pasien, keadaan sosial ekonomi serta dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat. Kurangnya kepatuhan penderita penyakit TB paru dalam minum obat menyebabkan angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan meningkat serta yang lebih fatal adalah terjadinya resisten kuman terhadap beberapa obat anti tuberkulosis atau Multi Drug Resistance, sehingga penyakit TB paru sangat sulit disembuhkan (Depkes RI, 2008). Oleh karena itu peranan pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat sangat penting (Joniyansah, 2009). Laporan WHO pada tahun 2009, Indonesia merupakan penyumbang TB paru peringkat 5 di dunia setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria, dengan jumlah estimasi kasus sebesar 528.000 (Hidayat, 2011). 3) Penulis adalah Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto 4) Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Strategi Nasional Pengendalian TB paru di Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014 menyebutkan bahwa target Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang disembuhkan adalah 88% namun keadaan saat ini (2011) masih menunjukkan pencapaian sebesar 85% (Menkes RI, 2011). Provinsi Jawa Timur mencatat kasus TB paru pada tahun 2010 sebanyak 37.236 kasus atau naik sekitar 30% dari kasus penyakit itu pada tahun 2009 yang tercatat sebanyak 36.352 kasus, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur mengatakan bahwa Pemprov Jatim berupaya dengan penuh inovasi mengobati penderita TB paru dengan angka kesembuhan minimal 85%. Menurut data status pencapaian MDGs tahun 2010, pada tahun 2009 angka kesembuhan kasus baru TB paru BTA (+) di Jawa timur adalah 82,8%, angka ini masih belum memenuhi target pencapaian sebesar 85%. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Mojokerto tahun 2010 tercatat jumlah kasus TB paru sebanyak 696 kasus atau naik sekitar 11,8% dari jumlah kasus pada tahun 2009 yang tercatat 622 kasus. Puskesmas di Wilayah Kabupaten Mojokerto yang memiliki angka kesembuhan paling tinggi pada tahun 2009 adalah Puskesmas Kedungsari dengan persentase sebesar 144,44% sedangkan puskesmas yang memiliki angka kesembuhan paling rendah adalah Puskesmas Mojosari dengan persentase sebesar 76,92%. Pencapaian 76,92% ini masih belum memenuhi target pencapaian sebesar 85% (Dinkes Mojokerto, 2010). Di Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto jumlah pasien TB paru yang berobat di Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto pada tahun 2011 ada 20 pasien (2 pasien kasus lama dan 18 pasien kasus baru) dari 20 pasien tersebut 4 pasien menjalani pengobatan tahap intensif dan 16 pasien menjalani pengobatan tahap lanjutan. Pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh penderita TB paru adalah kurangnya pengetahuan, motivasi atau keinginan dan kepatuhan dari pasien sendiri untuk minum obat (Kurniawati, 2007). Pengetahuan yang kurang mempunyai pengaruh yang besar dalam progam penanggulangan suatu penyakit, termasuk juga rendahnya pengetahuan penderita TB paru (Nugroho, 2011). Semakin tinggi motivasi seseorang untuk mencapai sesuatu, maka semakin tinggi pulalah usaha yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Mamik, 2010). Saat ini TB paru dapat disembuhkan (Depkes RI, 2010). Kesembuhan atau keberhasilan pengobatan ini ditentukan oleh beberapa faktor, terutama adalah faktor perilaku dan lingkungan dimana penderita tersebut tinggal, kepatuhan dalam minum obat, pengetahuan, serta dukungan orang-orang sekitar juga merupakan faktor penting (Joniyansah, 2009). Bila penderita TB paru tidak mengkonsumsi obat secara teratur, maka hal ini akan menyebabkan tidak tuntasnya penyembuhan, sehingga dikhawatirkan akan timbul resistensi bakteri TB paru terhadap antibiotika sehingga pengobatan akan semakin sulit dan mahal (Anon, 2010). Selain itu TB paru masih menjadi penyebab utama kematian yang berkaitan dengan infeksi tunggal (Unjianto, 2011). Apabila TB paru ini tidak diobati maka akan menyebabkan kematian bagi penderita dan berdampak negatif juga bagi keluarga serta lingkungan sekitar, karena bisa menularkan bakteri TB paru kepada anggota keluarga dan masyarakat yang lain (Iendira, 2011). Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan penderita merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan (Masniari dkk, 2007). Pengobatan yang tidak tuntas berbahaya bagi penderita dan masyarakat sekitarnya , dapat menimbulkan resistensi (kekebalan kuman) terhadap obat yang sedang diberikan, juga dapat menularkan kuman yang sudah resisten dan sulit disembuhkan kepada orang lain. Menghadapi permasalahan ini dan sesuai rekomendasi WHO, pemerintah menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) untuk menanggulangi penyakit TB paru di masyarakat (Iendira, 2011). Tujuan pengobatan pada penderita TB paru bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan pengetahuan tentang TB paru juga merupakan hal penting untuk dilakukan, oleh karena itu hendaknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar mereka lebih mengetahui risikorisiko dan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas (Subijakto, 2011). Merujuk dari fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 B.
MEDICA MAJAPAHIT
METODE PENELITIAN Rancang bangun yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasional antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Kerangka kerja merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian yang ditulis dalam bentuk kerangka atau alur penelitian (Hidayat, 2003)
Variabel independen Predisposing factor : 1. Pengetahuan 2. 3. 4. 5. 6.
Motivasi Sikap Kepercayaan Keyakinan Nilai-nilai
Variabel dependen Perilaku (kepatuhan pengobatan TB paru)
Gambar 1. Kerangka kerja hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru diwilayah kerja Puskesmas Mojosari Kec. Mojosari Kab. Mojokerto Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah Ha: Ada hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB Paru. Sedangkan variabel dependen penelitian ini yaitu kepatuhan pengobatan. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien TB paru yang mengikuti program pengobatan TB paru di Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto pada tahun 2011, yang berjumlah 18 orang dan pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling yaitu sampel diambil dari seluruh jumlah populasi yang ada. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. Analisa data adalah merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok penelitian, yaitu menjawab pertanyaan- pertanyaan penelitian yang mengungkapkan fenomena (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Editing Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah: 1. Lengkap : Semua pertanyaan sudah terisi jawabanya 2. Jelas : Jawaban pertanyaan apakah tulisannya cukup jelas terbaca 3. Relevan : Jawaban yang tertulis apakah relevan dengan pertanyan 4. Konsisten :.Apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan isi jawabannya konsisten 2. Coding Memberikan kode numeric (angka) terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori sehingga memudahkan melihat arti suatu kodedari suatu variable. a. Motivasi 1) Motivasi kuat : diberi kode 3 2) Motivasi sedang : diberi kode 2 3) Motivasi lemah : diberi kode 1 b. Kepatuhan 1) Patuh : diberi kode 1 2) Tidak patuh : diberi kode 0 3. Tabulasi Data Tabulasi adalah proses penyusunan data keadaan bentuk tabel.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Data yang telah selesai ditabulasi kemudian diuji statistik untuk menganalisis hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan, dilakukan analisis bivariat, yaitu dengan menggunakan uji Fisher Probability Exact Test, dengan hasil H 0 ditolak apabila nilai P < α (0,05). C. HASIL PENELITIAN 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. No Jenis kelamin Prosentase 1. Laki-laki 56 2. Perempuan 44 Total 100 Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berjenis kelamin lakilaki yaitu 10 orang (56%). 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan umur di Wilayah Kerja Puskesmas Mojoasari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. No Umur Prosentase 1. 17-21 tahun 11 2. 22-39 tahun 56 3. 40-60 tahun 33 Total 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa paling banyak responden adalah berumur 22-39 tahun yaitu 10 orang (56%) dan paling sedikit responden adalah berumur 17-21 tahun yaitu 2 orang (11%). 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Mojoasari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. No Pendidikan Prosentase 1. SD 28 2. SMP/ SLTP 33 3. SMA/SLTA 39 Total 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa paling banyak pendidikan responden adalah SMA/SLTA yaitu 7 orang (37%) dan paling sedikit pendidikan responden adalah SD yaitu 5 orang (28%). 4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Mojoasari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. No Pekerjaan Prosentase 1. Wiraswasta 28 2. Petani 39 3. IRT 33 Total 100 Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa paling banyak pekerjaan responden adalah petani yaitu 7 orang (39%) dan paling sedikit pekerjaan responden adalah wiraswasta yaitu 5 orang (28%).
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 5.
6.
7.
MEDICA MAJAPAHIT
Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Pasien TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mojoasari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. No Motivasi Prosentase 1. Kuat 67 2. Sedang 33 3. Lemah 0 Total 100 Tabel 5 diatas menunjukkan sebagian besar responden memiliki motivasi kuat yaitu 12 orang (67%). Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penatalaksanaan Pengobatan Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mojoasari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. No Kepatuhan Penatalaksanaan Pengobatan Prosentase 1. Patuh 56 2. Tidak Patuh 44 Total 100 Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan TB paru yaitu 10 orang (56%). Analisis hubungan antara motivasi kesembuhan pasien TB paru dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru Tabel 7. Tabulasi silang hubungan antara motivasi kesembuhan pasien TB paru dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. Motivasi Total Kuat Sedang Lemah Kepatuhan ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % Patuh 9 50 1 6 0 0 10 56 Tidak Patuh 3 17 5 28 0 0 8 45 12 67 6 33 0 0 18 100 P = 0.032 Dari 12 orang yang motivasi kesembuhannya kuat, didapatkan 9 orang patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan, dan dari 6 orang yang motivasi kesembuhannya sedang, didapatkan 5 orang tidak patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan. Sedangkan dari 10 orang yang patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan, didapatkan 9 orang mempunyai motivasi kuat, dan dari 8 orang yang tidak patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan, didapatkan 5 orang mempunyai motivasi sedang. Sesuai dengan uji statistik Fisher Probability Exact Test didapatkan nilai koefisien p = 0,032. Hal ini menunjukkan nilai p < 0,05, dengan demikian H 0 ditolak. Artinya ada hubungan antara motivasi dengan kepatuhan.
D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Motivasi Kesembuhan Pasien TB paru Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki motivasi kesembuhan yang kuat yaitu 12 orang (67%). Menurut George Terry (dalam Mamik, 2010) Motivasi adalah keinginan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sejumlah tindakan. Sesuai dengan teori Peterson dan Plowman (dalam Hasibuan, 2008), yang mengatakan bahwa faktor penggerak motivasi seseorang adalah keinginan untuk hidup. Keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang, manusia bekerja untuk dapat makan dan makan dapat melanjutkan hidupannya. Dalam penelitian ini
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
2.
MEDICA MAJAPAHIT
responden yang mempunyai motivasi kesembuhan kuat, sebagian besar adalah responden yang mempunyai keinginan hidup dan keinginan sembuh yang tinggi. Menurut Widyatun (dikutip janah, 2009), cara meningkatkan motivasi ada lima diantaranya yaitu dengan teknik verbal (berbicara untuk membangkitkan semangat) dan teknik tingkah laku. Dalam penelitian ini seluruh responden yang mempunyai motivasi kesembuhan kuat adalah responden yang mendapat dukungan dari keluarga, baik dukungan secara verbal (keluarga selalu mengingatkan jika sudah saatnya minum obat, keluarga selalu memotivasi pasien agar teratur minum obat supaya cepat sembuh dan lain-lain) maupun dukungan secara tingkah laku (selalu mengantarkan pasien berobat ke Puskesmas, ikut berperan sebagai PMO dan lain-lain). Sedangkan responden yang motivasi kesembuhannya sedang, sebagian besar adalah responden yang dukungan keluarganya tidak adekuat. Selain teori diatas menurut Kurniawati (2007) menjelaskan bahwa semakin dewasa seseorang maka akan semakin tinggi motivasi orang tersebut memenuhi kebutuhannya untuk sembuh dan hidup sehat. Dalam penelitian ini lebih dari 50% responden yang mempunyai motivasi kesembuhan kuat adalah responden yang berumur 22-39 tahun. Hal ini sesuai dengan teori Haditono (2006), yang mengatakan bahwa pada tahap dewasa muda (22-39 tahun) seseorang akan berusaha membentuk struktur kehidupan yang stabil dan berusaha memajukan karier sebaik-baiknya, sehingga impian yang ada pada fase sebelumnya mulai mencapai kenyataan. Jadi tahap dewasa muda merupakan tahap dimana seseorang memiliki motivasi paling kuat dalam kehidupannya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya keinginan hidup atau keinginan untuk sembuh yang tinggi dari dalam diri seseorang, maka akan dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk sembuh dari penyakitnya. Dukungan dari keluarga dan orang-orang sekitar yang adekuat, juga memiliki peran yang penting dalam meningkatkan motivasi kesembuhan seseorang, selain itu faktor umur juga dapat mempengaruhi tingkat motivasi seseorang. Kepatuhan Pasien TB paru Hasil penelitian menjelaskan bahwa lebih dari 50% responden patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan TB paru yaitu 10 orang (56%). Menurut Niven (2002), salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah pendidikan. Sedangkan menurut Joniyansah (2009), menyebutkan bahwa usia dan pengawasan merupakan faktor penting dalam menunjuang kepatuhan seseorang terhadap penatalaksanaan pengobatan. Sesuai dengan teori menurut YB Mantra yang dikutip Notoatmodjo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup. Dalam penelitian ini, dari 10 orang yang patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan, didapatkan lebih dari 50% responden yang berpendidikan SMA/SLTA. Menurut Joniyansah (2009), Dalam beberapa penelitian telah disebutkan bahwa pada beberapa tingkatan umur menentukan kepatuhan terhadap sesuatu yang harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Dalam hal ini kepatuhan minum obat pun dapat dikaitkan dengan umur, sebagai contoh untuk umur yang kurang dari 5 tahun kepatuhan minum obat untuk suatu penyakit akan lebih sulit dibandingkan dengan orang yang lebih dewasa. Begitu pun pada seseorang yang berumur lanjut akan mempunyai kesulitan dalam kepatuhan meminum obat. Dalam penelitian ini sebagian besar dari responden yang patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan adalah responden yang berumur 22-39 tahun dan lebih dari 50 % responden yang tidak patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan adalah responden yang berumur 40-60 tahun Pengawasan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan, yaitu dengan memperhatikan dan melihat bagaimana suatu peraturan yang berlaku tersebut dijalankan atau tidak. Pengawasan tersebut dapat berupa peringatan atau anjuran untuk selalu mematuhi waktu dan dosis yang telah dianjurkan untuk meminum obat tersebut. Dilihat dari hasil jawaban kuesioner bahwa seluruh dari responden yang patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan adalah responden yang mendapat pengawasan minum obat dari keluarganya. Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mempengaruhi pola pikir seseorang, ini akan berpengaruh juga terhadap perilaku mereka.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
3.
E.
MEDICA MAJAPAHIT
Dalam hal ini yang dimaksud adalah perilaku patuh atau tidak patuh seorang pasien TB paru dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, selain itu umur dan pengawasan juga merupakan faktor pendukung untuk meningkatakan kepatuhan seseorang terhadap suatu program pengobatan. Analisis hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa ada hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. pernyataan tersebut didukung dengan data pada tabel yang menyatakan adanya hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan. Hal ini sesuai dengan teori Niven (2002), yang mengatakan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman dapat membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan. Selain itu menurut Masniari (2010), motivasi individu yang ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya. Menurut Hasibuan (2008), salah satu tujuan motivasi adalah meningkatkan kedisiplinan seseorang. Dengan adanya tujuan motivasi tersebut maka muncul cara untuk meningkatkan motivasi. Salah satu cara untuk meningkatkan motivasi adalah dengan teknik verbal yaitu berbicara untuk membangkitkan semangat (Widyatun dikutip janah, 2009). Dalam penelitian ini mayoritas responden yang patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan adalah responden yang memiliki motivasi kesembuhan yang kuat. Selain itu dapat dilihat dari hasil jawaban kuesioner, yang membedakan antara responden yang memiliki motivasi kesembuhan kuat dan responden yang memiliki motivasi kesembuhan sedang adalah dukungan dari keluarga. Dimana responden yang motivasi kesembuhannya kuat adalah responden yang dukungan keluarganya baik. Sedangkan responden yang motivasi kesembuhannya sedang adalah responden yang dukungan keluarganya tidak adekuat. Jadi selain motivasi dari dalam diri individu sendiri, dukungan atau motivasi dari keluarga juga mempengaruhi kepatuhan seseorang. Maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kesembuhan, baik dari dalam diri individu sendiri atau motivasi dari orang lain mempunyai hubungan dengan kepatuhan seseorang terhadap suatu program atau penatalaksanaan pengobatan.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Sebagian besar pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto mempunyai motivasi kesembuhan yang kuat yaitu 12 orang (67%). Lebih dari 50% pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan TB paru yaitu 10 orang (56%). Ada hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Mojosari Kec.Mojosari Kab.Mojokerto. Oleh sebab itu dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat, maka perawat harus dapat meningkatkan pengetahuannya tentang TB paru serta melaksanakan pendidikan yang berkelanjutan guna untuk meningkatkan pengetahuan dan motivasi kesembuhan pasien TB paru sehingga mendorong pasien TB paru untuk patuh terhadap penatalaksanaan pengobatan TB paru.
DAFTAR PUSTAKA Alsagaff, Hood & Mukty, Abdul. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Depkes, RI. (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. . (2010). B3 Bukan Batuk Biasa (pegangan untuk kader dan petugas kesehatan). Jakarta. Hasibuan, Malayu. (2008). Manajemen Sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Hastono, Sutanto Priyo. (2007). Analisis Data Kesehatan. Depok: FKMUI.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Hidayat, Aziz Alimul. (2003). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. . (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Iendira. (2011). “Pengobatan Dan Penanganan TBC Paru”. (online). (http://iendirasblog.blogspot.com, diakses 27 April 2011). Janah, Lailatul. (2009a). “Teori Motivasi”. (online). (http://bidanlia.blogspot.com, diakses 14 Maret 2011). . (2009b). “Teori Pengetahuan”. (online). (http://bidanlia.blogspot.com, diakses 14 Maret 2011) Joniyansah. (2009). “Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru”, (online). (http://syopian.net, diakses 11 Maret 2011). Mamik. (2010). Organisasi & Manajemen Pelayanan Kesehatan dan Kebidanan. Surabaya: Prins Media Publishing. Masniari, Linda, dkk. (2010). “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru”, (online). (http://ludi-indramayu.blogspot.com, diakses 11 Maret 2011). Mintardja. (2009). “ Penderita Tak Perlu Malu, Minum Obat Teratur Kunci Penyembuhan TBC”, (online). (http://www.kr.co.id/web/detail, diakses 21 Maret 2011). Niven, Neil. (2002). Psikologi Kesehatan. Jakarta : Notoatmodjo, S.(2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku.Jakarta: Renika Cipta. . (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nugroho, aditya. (2011). “ Taukah Kamu TBC Bisa Menimbulkan Kematian”, (online). (http://kesehatan.kompasiana.com, diakses 20 Maret). Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Pramana, Basuki. (2009). “Kepatuhan Minum Obat” (online). (http://basukipramana.blogspot.com, diakses 15 Maret 2011). Sardiman. (2011). Interaksi & motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Smeltzer,S & Bare, B.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta: EGC. Subijakto. (2011). “Proposal Skripsi Tuberkulosis Paru”, (online). (http://subijakto25.blog.com/, diakses 2 Mei 2011). Suparyanto. (2010). “Konsep Motivasi”, (online). (http://dr-suparyanto.blogspot.com, diakses 2 Mei 2011). Suyono, dkk. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Yulianto, Arie. (2007).“TBC Paru: Penyebab Kematian Ke-2 Di Indonesia”, (online).(http://media.tanyadokteranda.com, diakses 11 Maret 2011).
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA RUANGAN TERHADAP MOTIVASI DAN KINERJA PERAWAT DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG AIRLANGGA RUMAH SAKIT REKSA WALUYA MOJOKERTO Arief Fardiansyah1, Eka Diah Wahyu Utami2 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi dan kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.Rancang bangun yang digunakan pada penelitian ini menggunakan cara potong lintang (cross sectional). Penelitian ini populasinya seluruh perawat di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto sebanyak 23 perawat pelaksana. Sampelnya menggunakan simple random sampling dan didapatkan hasil sebanyak 19 orang menjadi sampel. Penelitian dilaksanakan di Ruang Airlangga rumah sakit Reksa Waluya Mojokerto tanggal 6 sampai 20 Juli 2012.Responden yang menilai gaya kepemimpinan kepala ruangan missionary sebanyak 6 orang. Hampir setengahnya memiliki motivasi tinggi yaitu 3 orang dan motivasi rendah 3 orang, serta memiliki penilaian kinerja baik sekali yaitu 2 orang dan yang kinerjanya baik berjumlah 4 orang.Gaya kepemimpinan bukan merupakan faktor utama yang mendasari motivasi seseorang menjadi rendah atau tinggi. Seorang pimpinan tidak mampu mengarahkan, menyalahkan keadaan bawahan yang kurang baik sehingga tidak muncul koreksi dari pekerjaan bawahan yang nantinya akan mengakibatkan seseorang menjadi statis dalam bekerja tanpa mengharapkan perubahan yang lebih baik. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan referensi terhadap manajemen keperawatan khususnya tentang gaya kepemimpinan kepala ruangan, motivasi dan kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Kata kunci : gaya kepemimpinan, motivasi, kinerja A. PENDAHULUAN Gaya kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap iklim kerja. Kondisi iklim kerja akan mempengaruhi kondisi motivasi dan semangat kerja karyawan. Jika gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi yang dihadapi dalam organisasi atau unit kerja, maka akan membuat iklim kerja menjadi kondusif, dan pada akhirnya akan memberi motivasi yang tinggi dan meningkatkan kinerja karyawan dalam mencapai target kerja (Siboro,2010). Kepala ruangan membutuhkan orang lain yaitu perawat untuk melaksanakan tugas-tugas secara langsung serta sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas tersebut. Cara kepala ruangan dalam memimpin stafnya dapat dilihat dari gaya kepemimpinan. Keberhasilan kepala ruangan dalam memimpin stafnya juga bisa dipengaruhi gaya kepemimpinan yang diterapkan (Nursalam, 2002). Gaya kepemimpinan dibagi menjadi empat yaitu gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, partisipatif dan bebas tindak (laissez-faire). Dari keempat gaya tersebut tidak dapat dikatakan mana yang paling baik untuk dilakukan oleh seorang pemimpin dan mana yang terjelek untuk ditinggalkan oleh seorang pemimpin. Implementasi gaya kepemimpinan lebih didasarkan pada situasi dan kondisi serta kemampuan dari seluruh anggota (Kuntoro,2010). Hasil penelitian Teguh 2010, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan kinerja perawat di RSUD Dr.R Sosodoro Djatikoesoemo (Teguh,2010), dan hasil penelitian Indah di Instansi Rawat Darurat RS Dr.Sardjito Yogyakarta, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara gaya kepeminpinan kepala ruangan dengan motivasi kerja perawat. Hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa gaya kepemimpinan yang efektif adalah yang sesuai dengan kematangan bawahannya (Indah,2003). Kinerja perawat sangat mempengaruhi citra pelayanan suatu rumah sakit di masyarakat. Pelayanan keperawatan yang buruk menimbulkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan rumah sakit (Saputra,2010). Hubungan yang baik antara kepala ruangan dengan staf akan mempengaruhi kepuasan kerja perawat. Faktor utama dalam motivasi pekerjaan adalah evaluasi individu atau penghargaan yang diterima. Perawat akan termotivasi kalau mereka mengalami atau menerima kepuasan dari usaha mereka sendiri (Kuntoro,2010). Berdasarkan hasil studi pendahuluan tanggal 11 Maret 2012 tentang persepsi perawat sehubungan dengan pengaruh
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi dan kinerja perawat di Rumah Sakit Reksa Waluya didapatkan data dari 23 perawat di Ruang Airlangga, 7 orang (30,43%) menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan kepala ruangan adalah demokratis, 9 orang (39,13%) menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan partisipatif, 7 orang (30,43%) menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan bebas tindak, dan tidak ada yang memilih gaya kepemimpinan otoriter. Selain itu bila dilihat dari gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan didapatkan data dari perawat di Ruang Airlangga, 7 orang (30,44%) motivasi dan kinerjanya menurun dan 16 orang (69,56%) motivasi dan kinerjanya meningkat. Persepsi individu terhadap kepemimpinan akan berpengaruh pada perilaku mereka dalam bekerja. Persepsi dari para bawahan digunakan untuk mengevaluasi kemampuan dari para pimpinan dan untuk menunjukkan kelemahan serta area-area perbaikan. Disisi lain, kemampuan memimpin dalam meggerakkan dan memberdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja. Lodge dan Derek (2001) menyebutkan, perilaku pemimpin memiliki dampak signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai. Efektifitas pemimpin dipengaruhi karakteristik bawahannya dan terkait dengan proses komunikasi yang terjadi antara pemimpin dan bawahanya. Pimpinan di katakan tidak berhasil apabila tidak dapat memotivasi, menggerakkan dan memuaskan pegawai pada suatu pekerjaan dan lingkungan tertentu. Tugas pimpinan adalah mendorong bawahan supaya memiliki kompetensi dan kesempatan berkembang dalam mengantisipasi setiap tantangan dan peluang dalam bekerja. Pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk memahami bahwa seseorang memiliki motivasi yang berbeda-beda. Dalam hal tersebut, gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan diharapkan mampu membangkitkan motivasi perawat yang selanjutnya dapat meningkatkan kinerja perawat (Andi,2009). Berdasarkan uraian diatas tersebut peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi dan kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan di Ruang Airlangga Rumah Sakit Reksa Waluya Mojokerto. B. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah analitik yaitu terdiri atas variabel bebas dan terikat, membutuhkan jawaban mengapa dan bagaimana, penelitian biasanya menggunakan analisis inferensial. Rancang bangun yang digunakan pada penelitian ini menggunakan cara potong lintang (cross sectional) yaitu dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) antara faktor resiko atau paparan dengan penyakit. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah motivasi dan kinerja perawat. Tabel Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional
Independen, Gaya kepemimpinan kepala ruangan
Cara seorang pemimpin di ruangan dalam mengatur bawahannya untuk melaksanakan tugas yang diberikan, diukur dengan kuesioner.
Dependen, Motivasi perawat
Sesuatu yang dapat memberikan dorongan atau semangat kepada perawat dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya, yang diukur dengan kuesioner.
Kriteria 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Executive Developer Benevolent autocratic Bureaucratic Compromiser Missionary Autocrat Deserter (Hardiyanti,2012) 1. Motivasi perawat dianggap tinggi jika skor T ≥ mean 2. Motivasi perawat dianggap rendah jika skor T < mean (Azwar,2009)
Skala Nominal
Nominal
Vol 5. No. 2, Oktober 2013 Variabel Dependen, kinerja perawat
Definisi Operasional Hasil kerja perawat baik secara kuantitas maupun kualitas dalam memberikan pelayanan kepada pasien yang mengacu pada tahap proses keperawatan dilihat dengan lembar observasi.
MEDICA MAJAPAHIT Kriteria
Skala
1. Baik sekali : rentang Ordinal skor 1001 – 1120 2. Baik : rentang skor 841 – 1000 3. Cukup : rentang skor 671 – 840 4. Jelek : < 670
(Pedoman penilaian kinerja RS Reksa Waluya Mojokerto, 2011) Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh perawat di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto sebanyak 23 perawat pelaksana. Pengambilan sampel menggunakan simple random sampling yaitu untuk mendapatkan sampel setiap elemen diseleksi secara acak (random). Jadi, jumlah sampel yang diambil adalah 19 perawat pelaksana.Untuk kinerja perawat tehnik pengumpulan data dengan pengamatan (observasi) kegiatan kerja perawat dalam bentuk lembaran penilaian kinerja sesuai dengan pedoman penilaian kinerja dari rumah sakit Reksa Waluya Mojokerto, dalam hal ini peneliti akan dibantu oleh kepala ruangan dalam menilai kinerja perawat. Penggunaan kuesioner bertujuan untuk menggali informasi yang bersifat rahasia dan dapat digunakan untuk responden yang banyak dan tidak buta huruf, sedangkan untuk metode pengamatan (observasi) bertujuan untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti. Instrumen yang digunakan untuk menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan kepala ruangan menggunakan lembar kuesioner yang berisi beberapa pernyataan situasi yang diisi oleh kepala ruangan dan perawat pelaksana.Instrumen yang digunakan untuk motivasi adalah lembar kuesioner yang terdiri dari beberapa pernyataan yang akan diisi oleh perawat pelaksana. Data yang telah selesai ditabulasi kemudian diuji statistik secara komputerisasi atau perangkat lunak dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. C. HASIL PENELITIAN Penyajian hasil penelitian terdiri dari data umum meliputi : gambaran lokasi penelitian dan karakteristik responden, serta data khusus. 1. Data Umum a. Gambaran Lokasi Penelitian Rumah Sakit Reksa Waluya berdiri mulai tanggal 16 Mei 1946 yang dulunya bernama Rumah Bersalin (RB) Rekso Wanito dengan mengambil tempat di rumah kediaman keluarga Noeroso di Jl. Kediri 488 (sekarang Jl. Mojopahit) Mojokerto. Rumah Bersalin Rekso Wanito diresmikan oleh Ibu Rahaju Sumukti, ketua KOWANI (Korps Wanita Indonesia) yang selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi Rumah Sakit Reksa Waluya. Pada tanggal 5 Februari 1954 Rumah Bersalin Rekso Wanito berubah nama menjadi Rumah Sakit Bersalin (RSB) Rekso Wanito di bawah Yayasan Rumah Sakit Bersalin Rekso Wanito. Pada saat Yayasan Rumah Sakit Bersalin Rekso Wanito mengalami kesulitan dalam mengelola Rumah Sakit Bersalin Rekso Wanito, pengurus menyerahkan Yayasan dan Rumah Sakit Bersalin Rekso Wanito kepada Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Pasamuan Mojokerto setelah tidak ada gereja di Mojokerto yang bersedia mengambil alih pengelolaan Rumah Sakit Bersalin Rekso Wanito. Yayasan Rumah Sakit Bersalin Rekso Wanito berubah menjadi Yayasan Rumah Sakit Bersalin atau Kanak-Kanak Rekso Wanito berdasarkan akta notaris Nomor 1 tanggal 11 April 1972. Dewan pengurus Yayasan dibentuk oleh Gereja Kristen Jawi Wetan Pasamuan Mojokerto serta bertanggung jawab kepada Majelis Gereja Kristen Jawi Wetan Pasamuan Mojokerto. Pada tanggal 4 Maret 1974 RS Bersalin atau Kanak-Kanak Rekso Wanito
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
merubah nama dan sifat pelayanannya menjadi Rumah Sakit Reksa Waluya, dan merubah nama Yayasan Rumah Sakit Bersalin atau Kanak-Kanak Rekso Wanito menjadi Yayasan Rumah Sakit Reksa Waluya, berdasarkan akta notaris nomor 6 tanggal 4 maret 1974 yang dibuat oleh notaris Soembono Tjiptowidjojo. Berdasarkan Rapat Majelis Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan Pasamuan Mojokerto Nomor 57/RW/1975 tanggal 13 juli 1975 diputuskan untuk menggabungkan Yayasan Rumah Sakit Reksa Waluya ke dalam Yayasan Kesehatan Gereja Kristen Jawi Wetan. Dengan Motto “Kami Memberi Pelayanan Terbaik”. Batas – batas Rumah Sakit Reksa Waluya adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Swalayan Keraton Sebelah Selatan : Gang Sinoman Sebelah Timur : Jalan mojopahit Sebelah Barat : Jalan Brawijaya Rumah Sakit Reksa Waluya memiliki fasilitas poli umum dan spesialis, unit gawat darurat, radiologi (X-foto, USG, CT Scan), ECG, pelayanan pastoral, kamar operasi, serta 3 unit ruang rawat inap yaitu Ruang Pavilyun Tribuana, Ruang Pavilyun Airlangga, dan unit rawat intensif (ICU). Pavilyun Airlangga RS Reksa Waluya memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 47 tempat tidur yang terbagi menjadi ruang VIP sebanyak 3 tempat tidur, Kelas 1 sebanyak 5 tempat tidur, Kelas 2 sebanyak 6 tempat tidur dan Kelas 3 sebanyak 33. Untuk tenaga kesehatan yang ada di ruang ini sendiri terdiri dari 24 tenaga keperawatan yaitu 1 kepala ruangan atau kepala unit dan 23 perawat pelaksana. b. Karakteristik Responden Data ini menggambarkan karakteristik responden yang berada di Ruang Airlangga Rumah Sakit Reksa Waluya Mojokerto yang meliputi : 1) Karakteristik responden berdasarkan umur. Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur yang berada di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto tanggal 6 Juli-20 Juli 2012. Umur (tahun) Frekuensi (orang) Prosentase (%) 23-27 5 26 28-32 1 5 33-37 5 26 38-42 1 5 43-47 5 26 48-52 2 11 Jumlah 19 100 Tabel 1 diatas, menunjukkan sebagian besar responden yang berada di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto berdasarkan umur hampir setengah responden (26%) berusia 23-27 tahun, 33-37 tahun dan 43-47 tahun. 2) Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan. Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto. Tingkat Pendidikan Frekuensi (orang) Prosentase (%) SPK 0 0 D3 Keperawatan 19 100 S1 Keperawatan 0 0 S2 Keperawatan 0 0 Jumlah 19 100 Tabel 2 diatas, menunjukkan bahwa seluruh responden (100%) telah menempuh pendidikan D3 Keperawatan.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
3) Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja. Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama bekerja di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto. Lama Kerja (tahun) Frekuensi (orang) Prosentase (%) 1-5 5 26 6-10 3 16 11-15 4 21 16-20 4 21 21-25 2 11 26-30 1 5 Jumlah 19 100 Tabel 3 diatas, menunjukkan bahwa lama kerja responden yang paling tinggi sebanyak 5 responden (26%), lama kerja 1 sampai 5 tahun. 4) Karakteristik responden berdasarkan status perkawinan. Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan status perkawinan di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto. Status Perkawinan Frekuensi (orang) Prosentase (%) Belum Kawin 2 11 Kawin 17 89 Cerai Hidup 0 0 Cerai Mati 0 0 Jumlah 19 100 Tabel 4 diatas, menunjukkan bahwa hampir seluruh responden yaitu sebanyak 17 responden (89%) sudah menikah (kawin). 2. Data Khusus Data ini menggambarkan hasil penelitian yang diperoleh dari responden di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto yang meliputi: a. Identifikasi gaya kepemimpinan kepala ruangan Tabel 5. Identifikasi gaya kepemimpinan kepala ruangan berdasarkan persepsi responden. Gaya Kepemimpinan Frekuensi (orang) Prosentase (%) Executive 0 0 Developer 0 0 Benevolent autocratic 4 21 Bureaucratic 5 26 Compromiser 0 0 Missionary 6 32 Autocrat 0 0 Deserter 4 21 Jumlah 19 100 Tabel 5 dapat diketahui bahwa hampir setengah responden menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan kepala ruangan yaitu missionary sebanyak 6 responden (32%). b. Identifikasi motivasi perawat Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan motivasi. Motivasi Frekuensi (orang) Prosentase (%) Tinggi 8 42 Rendah 11 58 Jumlah 19 100 Tabel 6 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden motivasinya rendah yaitu sebanyak 11 responden (58%).
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
c. Identifikasi kinerja perawat Tabel 7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan kinerja. Kinerja Frekuensi (orang) Prosentase (%) Baik Sekali 4 21 Baik 10 53 Cukup 5 26 Jelek 0 0 Jumlah 19 100 Tabel 7 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden kinerjanya baik yaitu sebanyak 10 responden (53%). d. Pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi perawat. Tabel 8. Tabulasi silang pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi perawat di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto tanggal 6-20 Juli 2012. Motivasi Jumlah Tinggi Rendah Executive 0 0 0 Developer 0 0 0 Benevolent autocratic 1 3 4 Bureaucratic 3 2 5 Gaya Kepemimpinan Compromiser 0 0 0 Missionary 3 3 6 Autocrat 0 0 0 Deserter 1 3 4 Jumlah 8 11 19 Nominal regression (regresi logistik ganda) 0,611 Analisis uji Tabel 8 diatas, dapat diketahui bahwa hampir setengah responden menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan adalah missionary yaitu sebanyak 6 orang (32%), dimana setengah dari responden tersebut memiliki motivasi tinggi dan responen lainnya memiliki motivasi rendah, masing-masing berjumlah 3 orang. Hasil analisis uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda menunjukkan nilai p = 0,611 dengan α = 0,05 (p ˃ α) maka H0 d disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi perawat. e. Pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap kinerja perawat. Tabel 9. Tabulasi silang pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap kinerja perawat di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto tanggal 6-20 Juli 2012. Kinerja Jumlah Baik Sekali Baik Cukup Jelek Executive 0 0 0 0 0 Developer 0 0 0 0 0 Benevolent 1 2 1 0 4 autocratic Gaya Bureaucratic 1 2 2 0 5 Kepemimpinan Compromiser 0 0 0 0 0 Missionary 2 4 0 0 6 Autocrat 0 0 0 0 0 Deserter 0 2 2 0 4 Jumlah 4 10 5 0 19 Nominal regression (regresi logistik ganda) 0,359 Analisis uji
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Tabel 9 dapat diketahui bahwa hampir setengah responden menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan adalah missionary yaitu sebanyak 6 orang (32%),dimana hasil penilaian kinerja dari responden tersebut memiliki nilai kinerja baik sekali yaitu sebanyak 2 orang (33%) dan sebagian besar lainnya memiliki nilai kinerja baik yaitu sebanyak 4 orang (67%). Hasil analisis uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda menunjukkan nilai p = 0,359 dengan α = 0,05 (p ˃ α) maka H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap kinerja perawat. D. PEMBAHASAN 1. Identifikasi gaya kepemimpinan kepala ruangan Hasil penelitian dapat diketahui bahwa hampir setengah responden menilai gaya kepemimpinan missionary sebanyak 6 responden (32%) dan sebagian kecil responden menilai gaya kepemimpinan benevolent autocratis sebanyak4 responden (21%) dan deserter sebanyak 4 responden (21%). Gaya kepemimpinan missionary merupakan suatu keadaan dimana pemimpin mengutamakan orientasi atau hubungan dengan anggota organisasi. Perilaku ini didasari atas asumsi bahwa hubungan manusiawi yang efektif sangat penting. Maksudnya pemimpin mencegah pertentangan atau konflik baik itu dengan orang lain atau anggota organisasi, dengan tujuan untuk memberi kesan bahwa pimpinan menaruh perhatian pada anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan, instruksi dan kebijakan. Gaya kepemimpinan benevolen autocratis adalah pemimpin yang mengetahui secara tepat apa yang ia inginkan dan bagaimana memperoleh yang diinginkan tersebut, maksudnya dalam hal ini pemimpin malah mengarahkan bawahannya dalam mencapai tujuan organisasi yaitu pemimpin memberikan tugas kepada bawahan untuk dikerjakan oleh karyawan kemudian diperiksa kembali oleh kepala ruangan dan pemimpin juga melakukan kontrol terhadap ruangan dan hasil kerja karyawan tapi pemimpin kadang timbul rasa tidak percaya terhadap bawahannya, sikap tenggang rasa juga kurang kepada karyawan. Gaya kepemimpinan deserter yaitu pemimpin yang hanya mau memberikan dukungan atau tanggung jawab pada waktu dibutuhkan saja, maksudnya pemimpin tidak mau mengarahkan bawahannya, bawahan dibiarkan bertindak semaunya sendiri dan pemimpin terkesan membiarkan dan tidak mau terlibat dalam pekerjaannya (Sugeng,2011). Menurut penilaian gaya kepemimpinan dari kepala ruangan Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto, gaya kepemimpinan kepala ruangan Airlangga RS Reksa Waluya adalah missionary. Kepala ruangan di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya menerapkan gaya kepemimpinan missionary ketika terjadi konflik atau muncul masalah antar anggota, dalam hal ini perawat pelaksana. Kepala ruangan di Airlangga sepenuhnya mempercayai kinerja perawat pelaksana tanpa memeriksa kembali hasil kerja dikarenakan kepala ruangan berasumsi bahwa hubungan manusiawi yang efektif sangat penting. Munculnya gaya kepemimpinan kepala ruangan dari hasil penilaian perawat pelaksana membuktikan bahwa gaya kepemimpinan lebih dipengaruhi oleh situasi pekerjaan daripada karakteristik personel menejer (Retnowati,2009). Kepala ruangan Airlangga memang membiarkan sepenuhnya perawat pelaksana bekerja sesuai dengan keinginannya masing-masing, kepala ruangan sepenuhnya percaya terhadap hasil kerja bawahan, karena lebih menjaga perasaan bawahan. Gaya kepemimpinan yang diterapkan di Ruang Airlangga lebih menyeimbangkan antara keharmonisan, kepentingan kerja dan kepuasan bersama. 2. Identifikasi motivasi perawat Hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang motivasinya rendah sebanyak 11 responden (58%) dan hampir setengah responden motivasinya tinggi sebanyak 8 responden (42%). Pada responden yang memiliki motivasi rendah, terdapat 1 responden yang tidak menyukai adanya supervisor yang menilai kinerja. Namun secara
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
keseluruhan mereka menyatakan ingin melanjutkan studi pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Uno 2007 (dalam Nursalam & Efendi, 2008) motivasi dapat diartikan sebagai dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan dengan adanya hasrat, minat, dorongan dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan, harapan dan citacita, serta penghargaan dan penghormatan atas diri. Motivasi yang tinggi akan memberi sumbangan besar terhadap efektifitas kerja kelompok dan aktivitas organisasi. Motivasi yang tinggi cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi dan motivasi yang rendah cenderung menghasilkan prestasi yang rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi adalah kebijakan perusahaan atau administrasi, supervisi, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, gaji, keamanan kerja, prestasi, lingkungan, pertumbuhan, kerja, kemajuan dan tanggung jawab (Nimran, 2009). Seseorang bekerja karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dimana kebutuhan dasar manusia itu banyak ragamnya. Abraham Maslow memandang kebutuhan manusia berdasarkan suatu hirarki kebutuhan dari yang paling rendah hingga kebutuhan yang paling tinggi yaitu kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, papan, kesehatan), kebutuhan rasa aman (keamanan, perlindungan, kemerdekaan), kebutuhan sosial (cinta dan berkawan), kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri (Nimran,2009). Secara umum dapat dikatakan tujuan motivasi adalah untuk mengubah perilaku bawahan sesuai dengan keinginan pimpinan, meningkatkan kegairahan kerja pegawai, meningkatkan disiplin pegawai, meningkatkan kesejahteraan pegawai dan meningkatkan moral dan loyalitas pegawai (Satrianegara & Saleha,2009). Motivasi kerja perawat di Ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto menunjukkan lebih dari 50% motivasinya rendah, hal ini dikarenakan motivasi perawat tergantung dari faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor intrinsiknya adalah tanggung jawab yang tak begitu besar, sedangkan faktor ekstrinsik adalah gaji yang tidak mencukupi kebutuhan, hubungan antar teman kerja yang kadang memiliki sifat iri satu dengan yang lain. Hal lain yang terlihat adalah kurang mendapat informasi (umpan balik) tentang hasil pekerjaannya baik dari atasan maupun rekan kerja sehingga perawat tidak mengetahuihasil pekerjaanya sudah cukup baik atau tidak. 3. Identifikasi kinerja perawat Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang kinerjanya baik sebanyak 10 responden (53%) dan sebagian kecil yang kinerjanya sangat baik sebanyak 4 orang (21%). Menurut Sedarmayanti (2007), kinerja merupakan sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahuiseorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya secara keseluruhan, atau merupakan perpaduan dari hasil kerja (apa yang harus dicapai seseorang) dan kompetensi (bagaimana seseorang mencapainya). Kinerja seseorang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor kemampuan yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan, serta faktor motivasi yang terdiri dari kondisi sosial, kebutuhan individu, dan kondisi fisik (Mangkunegara,2001). Berdasarkan dari tabel menunjukkan bahwa lama kerja responden yang paling tinggi sebanyak 5 responden (26%), lama kerja 1 sampai 5 tahun. Karakteristik perseorangan menyangkut senioritas dan yunioritas. Asumsi yang sering berlaku dan diyakini adalah pegawai yang cukup senior dipandang telah memiliki kinerja yang tinggi, sedangkan yang yunior masih perlu dikembangkan dan dibina lagi (Faizin & Winarsih,2008). Perbedaan kinerja perawat dapat ditentukan oleh lama bekerja. Perawat yang baru bekerja masih butuh penyesuaian terlebih dahulu terhadap lingkungan tempat ia bekerja, 1 tahun masih belum cukup untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja, maka dari itu perlu faktor pendukung dari lingkungan kerja agar perawat yang baru bekerja bisa cepat dalam penyesuaian diri antara lain gaji yang mencukupi, penghargaan bagi perawat.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
4. Pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi perawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan adalah missionary yaitu sebanyak 6 orang (32%), dimana setengah dari responden tersebut memiliki motivasi tinggi dan responen lainnya memiliki motivasi rendah, masing-masing berjumlah 3 orang. Hasil analisis uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi logistic ganda menunjukkan nilai p = 0,611 dengan α = 0,05 (p < α) maka H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi perawat. Menurut Tannenbau dan Schmitdt (dalam Muninjaya,2004), Gaya yang dikembangkan oleh seorang pemimpin dipengaruhi oleh tiga faktor (kekuatan) utama. Ketiganya akan menentukan sejauh mana ia akan melakukan pengawasan terhadap kelompok yang dipimpin. Faktor-faktor kekuatan tersebut yaitu bersumber pada dirinya sendiri sebagai pemimpin, Bersumber pada kelompok yang dipimpin, dan pada situasi. Kepemimpinan dan motivasi merupakan dua hal yang berbeda meski memiliki konteks kerja dan interaksi antar manusia dalam organisasional. Motivasi karyawan tidak hanya dipengaruhi gaya kepemimpinan tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu penghasilan, status, hubungan kerja, kondisi lingkungan kerja, kebijaksanaan, prestasi, penghargaan, promosi dan kondisi pekerjaan. Sikap atasan yang senantiasa ramah dan dekat dengan bawahan mengakibatkan perbedaan jabatan antara atasan dan bawahan tidak berpengaruh terhadap motivasi perawat pelaksana (Indah, 2003). Sebagian besar responden yang berada di ruang Airlangga RS Reksa Waluya Mojokerto berdasarkan umur hampir setengah responden (26%) berusia 23-27 tahun, 33-37 tahun, dan 43-47 tahun. Rata-rata usia perawat yang bekerja di Ruang Airlangga adalah 36 tahun, sedangkan usia dari kepala ruangan sendiri adalah 37 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa gaya kepemimpinan yang baik adalah sesuai dengan kematangan bawahan, maksudnya adalah bawahan yang merasa lebih tua dari kepala ruang akan cenderung tidak peduli terhadap perintah pimpinan (Indah, 2003). Gaya kepemimpinan bukan faktor utama yang mempengaruhi motivasi masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi motivasi antara lain penghasilan, status, hubungan kerja, lingkungan kerja, kebijaksanaan, prestasi, penghargaan, promosi dan kondisi pekerjaan. 5. Pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap kinerja perawat Hampir setengah responden menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala ruangan adalah missionary yaitu sebanyak 6 orang (32%),dimana hasil penilaian kinerja dari responden tersebut memiliki nilai kinerja baik sekali yaitu sebanyak 2 orang (33%) dan sebagian besar lainnya memiliki nilai kinerja baik yaitu sebanyak 4 orang (67%).Hasil analisis uji yang dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda menunjukkan nilai p = 0,359 dengan α = 0,05 (p < α) maka H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap kinerja perawat. Kinerja sumber daya manusia yang baik merupakan hal penting bagi kelangsungan hidup organisasi. Kinerja karyawan yang tinggi akan membuat karyawan semakin loyal terhadap organisasi, semakin termotivasi untuk bekerja, bekerja dengan rasa senang dan yang lebih penting kepuasan kerja tinggi akan memperbesar kemungkinan tercapainya produktivitas dan kinerja yang tinggi pula (Wulandari,2009). Dalam meningkatkan kinerja perawat yang selanjutnya dapat meningkatkan mutu keperawatan, dibutuhkan berbagai upaya. Peningkatan pengetahuan melalui pendidikan berkelanjutan dan peningkatan keterampilan keperawatan sangat mutlak diperlukan. Penataan lingkungan kerja yang kondusif perlu diciptakan agar perawat dapat bekerja secara efektif dan efesien. Jika dalam penciptaan suasana kerja pemimpinnya tidak memperdulikan hasil kerja dari perawat, tentunya motivasi perawat akan turun meskipun mereka bekerja dengan baik demi kepuasan individu (Grahacendikia,2009). Adapun faktor paling kritikal yang dipandang mempengaruhi kinerja karyawan adalah budaya organisasi. Budaya organisasi dikenal luas sebagai fondasi sistem dan aktivitas manajemen dalam setiap organisasi. Hubungan antara Pimpinan dan bawahan yang baik akan menimbulkan lingkungan kerja yang kondusif sehingga kinerja karyawan
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
akan semakin tinggi seiring dengan Kepemimpindan dan Budaya Organisasi yang diterapkan semakin baik (Nugroho, 2006). Gaya kepemimpinan bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi kinerja yaitu faktor kemampuan yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan, serta faktor motivasi yang terdiri dari kondisi sosial, kebutuhan individu, dan kondisi fisik. Hal ini diperjelas dari hasil penelitian Ogbonna dan Harris (dalam Nugroho,2006) melakukan penelitian mengenai gaya kepemimpinan, budaya organisasi dan kinerja pada perusahaan-perusahaan di United Kingdom. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa gaya kepemimpinan tidak berhubungan secara langsung dengan kinerja. E. PENUTUP Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian dan pembahasan yaitu : hampir setengah responden memilih gaya kepemimpinan kepala ruangan yang diterapkan kepala ruangan yaitu missionary, sebagian besar responden motivasinya rendah, sebagian besar responden kinerjanya baik, tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi perawat, tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala ruangan terhadap kinerja perawat. Hasil penelitian dapat sebagai masukan bagi rumah sakit khususnya dalam meningkatkan motivasi dan kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan melalui perspektif gaya kepemimpinan kepala ruang. DAFTAR PUSTAKA Ali, Zaidin. (2001). Dasar - Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika. Andi, Wirawan. (2009). Evaluasi Kinerja dan Motivasi Sumberdaya Manusia. Jakarta : Salemba Empat. Anoraga, Pandji,S.E.,M.M. (2006). Psikologi Kerja. Jakarta : PT. Rineka Cipta. As’ad, Mohammad. (2003). Psikologi Industri. Yogyakarta: Libery Azwar,Saifuddin. (2009). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Danim, Sudarwan. (2004). Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta : PT. Rineka cipta. Hasanuddin, Teguh (2010). Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kepemimpinan Terhadap Motivasi Kerja Serta Dampaknya Pada Kinerja Organisasi. (http://akhihasanuddin.wordpress.com). Diakses tanggal 1 April 2012. Hendarsih, Serdamayanti, dkk. (2009). Hubungan Motivasi Perawat Dengan Kinerja Perawat Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Bantul (Online). (http://isjd.pdii.lipi.go.id). Diakses pada tanggal 7 Agustus 2012. Hidayat, A.Aziz Alimul. (2004). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Hidayat, A.Aziz Alimul. (2008). Metode Penelitian Keperawatan & Tehnik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. Indah, Santy Kristianawati. (2003). Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Perawat Terhadap Motivasi Kerja Perawat di instalasi Rawat Darurat RS Dr.Sardjito Yogyakarta, (http://www.fkm.undip.co.id). Diakses tanggal 15 januari 2012. Kuntoro, Agus. (2010). Buku Ajar Manajemen Keperawatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Mangkunegara. (2001). Pengantar Manajemen (Konseptual dan Perilaku). Yogyakarta : Fitramaya Muninjaya,A.A.Gde. (2004). Manajemen kesehatan. Jakarta : EGC. M. Fais Satria Negara & Sitti Saleha. (2009). Buku Ajar Organisasi & Manajemen Pelayanan Kesehatan Serta Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika. Nimran, Umar,MA. (2009). Perilaku Organisasi. Sidoarjo : Laros. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nugroho, Rachmat. (2006). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan. Tesis Magister Manajemen Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro Semarang. Nursalam,M.Nurs. (2002). Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : Salemba Medika.
Vol 5. No. 2, Oktober 2013
MEDICA MAJAPAHIT
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nursalam,M.Nurs. (2007). Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika. Nursalam, dan Ferry Effendi. (2008). Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba medika. Resti, Hardiyanti. (2012). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Peningkatan Kinerja Karyawan Pada PT. Mustika Ratu. (http://library.gunadarma.ac.id). Diakses tanggal 20 januari 2012. Pedoman Penilaian Kinerja Rumah Sakit Reksa Waluya Mojokerto. (2011) Saputra. (2010). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Motivasi Kerja Karyawan.(http://www.portalhr.com). Diakses tanggal 22 Januari 2012 Sarwono, Sarlito Wirawan. (2005). Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok, & Psikologi Terapan. Jakarta : Balai Pustaka. Saryono. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra cendikia Sedarmayanti. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Refika Aditama. Sibagariang. (2010). Buku Saku Metodologi Penelitian Untuk Mahasiswa Diploma Kesehatan. Jakarta : CV. Trans Info Media, Siboro, Christian. (2010). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Semangat Kerja Karyawan.(http://www.portalhr.com). Diakses tanggal 21 Januari 2012. Siregar, Syahrial. (2009). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Kemampuan Berkomunikasi Kepala Bidang Terhadap Kinerja Pegawai Pelayanan Keperawatan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis Pascasarjan Tidak Dipublikasikan. Universitas Sumatera Utara. Sugeng. (2011). Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan motivasi perawat, (http://eprints.ums.ac.id). Bandung : CV. Alfabeta Suhendar, Retnowati. (2009). Motivasi Kerja Perawat Dengan Pendokumentasian.(http://novafaletehan.blogspot.com). Diakses tanggal 20 Maret 2012. Winarsih, Achmad Faizin. (2008). Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Lama Kerja Perawat Dengan Kinerja Perawat Di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali(Online), (http://eprints.ums.ac.id). Diakses pada tanggal 7 Agustus 2012 Wulandari. (2009). Perencanaan Sumberdaya Manusia. Bandung : CV. Alfabeta Yasril dan Heru Subaris K. (2009). Analisis Multivariat Untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendekia
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL Format 1. Artikel diketik dengan dengan spasi ganda pada kertas A4 (210x297). 2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan huruf Courier atau Times New Roman font 11 atau sebanyak 15 – 20 halaman. 3. Margin atas, bawah, samping kanan, dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi. 4. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta sumber kutipan. 5. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu, contoh : a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Maziyah, 2005), jika disertai dengan halaman (Maziyah, 2005:19). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (Tiagarajan dan Semmel, 1981). c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari dua penulis (Anderson dkk, 1982). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (Anderson, 1988, 1989), jika tahun publikasi sama (Anderson, 1988a, 1988b). e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang bersangkutan (BPN, 2007:BPS, 2008). Penyerahan Artikel Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar yang tercetak, kepada Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Raya Jabon KM 2 Gayaman Mojoanyar Mojokerto Telp/Fax (0321) 329915