TUGAS PRINSIP-PRINSI ETIKA KEPERAWATAN Makalah ini Disusun untuk Melengkapi Tugas Sistem Integumen Dosen : Vina Agustina S.Kep.,Ns. M.Kep.
Disusun oleh : Nama
:
Mufti Maulidzar M
Nim
:
2011.c.03a.0249
Tingkat
:
III B
Prodi
:
S1 Keperawatan
YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN 2011/ 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Sistem Integumen” ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami sajikan secara sistematis serta dengan bahasa yang sederhana sehingga lebih mudah dipahami. Adapun makalah ini bersumber dari berbagai macam informasi, juga dari dunia maya. Dari sumber tersebut kami dapat mengembangkannya sehingga menjadi kumpulan informasi yang berguna. Dalam menulis makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan yang disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat dikerjakan dengan baik. Oleh karena itu, jika seandainya dalam makalah ini terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan, kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di lain kesempatan. Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita semua dan berguna bagi siapa pun yang membacanya, amin.
Palangkaraya, Januari 2014 Penulis,
TINJAUAN TEORI 1.1
Otonomi Menghargai otonomi berarti komitmen terhadap klien dalam mengambil semua keputusan tentang semua aspek pelayanan. Persetujuan yang dibaca dan ditandatangani klien sebelum operasi menggambarkkan penghargaan terhadap otonomi. Persetujuan yang ditandatangani merupakan jaminan bahwa tim pelayan kesehatan telah mendapatkan persetujuan dari klien sebelum operasi dilakukan. Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan adalah seseorang melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan tentu saja pasien diyakinkan bahwa
keputusan
yang
diambilnya
dipertimbangkan secara matang. 1.2
Beneficience
adalah
keputusan
yang
telah
Beneficience atau kebaikan adalah tindakan positif untuk membantu orang lain. Melakukan niat baik mendorong untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Setuju untuk melakukan niat baik juga membutuhkan ketertarikan terhadap klien melebihi ketertarikan terhdap diri sendiri. Seorang anak lebih menyukai tablet yang dihaluskan dan dicampur dengan makanan kesukaan mereka meskipun kita mengetahua kalau anak tersebut dapat menelan tablet. Janji untuk melakukan kebaikan terhadap orang lain membantu dalam memenuhi keinginan anak, meskipun sedang sibuk. Beneficience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang dalam situasi pelayanan kesehatan terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi. 1.3
Justice Justice atau keadilan merujuk pada kejujuran. Penyelenggara layanan kesehatan setuju untuk berusaha bersikap adil dalam memberikan pelayanan kesehatan. Istilah ini sering digunakan dalam diskusi tentang sumber daya pelayanan kesehaan. Menentukan apa yang terkait keadilan tidaklah selalu jelas. Sebagai contoh, jumlah kandidat yang menunggu transplantasi hati di Amerika adalah sekitar 93.000, jumlah kandidat lebih banyak dibanding pendonornya (United Network for Organ Sharing [UNOS], 2006). Distribusi yang adil seperti apa yang biasa dilakukan dalam keterbatasan sumber daya ini? Kriteria yang ditentukan oleh komite multidisiplin nasional melakukan upaya untuk melakukan untuk menjamin keadilan dengan mengurutkan resipen berdasarkan kebutuhan. Di Amerika, sistem ini tetap menjadi pilihan yang lebih baik dibandingkan penjualan organ untuk mendapatkan keuntungan dimana yang terpilih adalah resipien yang mempunyai banyak
uang atau pemilihan distribusi dengan undian yang akan menghasilkan distribusi acak tanpa menghargai keadilan. Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tujuan yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. 1.4
Non Maleficience Maleficience merujuk kepada tindakan yang melukai atau berbahaya. Oleh karena itu, nonmaleficience berarti tidak mencederai orang lain. Dalam pelayanan kesehatan, praktik etik tidak hanya melibatkan keinginan untuk melakukan kebaikan tetapi juga janji untuk tidak mencederai. Pelayanan kesehatan yang professional mencoba untuk menyeimbangkan antara resiko dan keuntungan dari rencana pelayanan dengan berusaha melakukan tinadakan
mencederai
sekecil
mungkin.
Sebagai
contoh,
prosedur
transplantasi sumsum tulang memberikan kesempatan untuk sembuh tetapi di dalam prosesnya akan akan melibatkan rasa sakit. Penyelenggara pelayanan perlu mepertimbangkan hubungan dengan rasa tidak nyaman, rasa sakit akibat penyakit itu sendiri atau mungkin akibat pengobatan. Janji untuk sedikit mungkin melakukan intervensi yang melukai menggambarkan sikap nonmaleficience. 1.5
Moral Right Moral right atau kejujuran (veracity), memiliki prinsip berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar
menjadi akurat, komprensensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argumen mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya. 1.6
Nilai dan Norma Masyarakat Nilai adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap sesuatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap / perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Moral hampir sama dengan etika biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional. Sebagai seorang perawat mengetahui nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat agar menjadi perawat yang pancasialis, bermoral dan profesional. Keperawatan merupakan pekerjaan yang penuh dengan hubungan. Praktik keperawatan mengharuskan kita untuk berhubungan dengan klien bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional, psikologis dan spiritual. Pada sebagian besar hubungan dekat, kita menjalin hubungan dengan pihak lain dengan harapan pihak tersebut memiliki nilai-nilai yang sama dengan kita. Tetapi dalam kasus keperawatan, kita setuju untuk melayani klien dengan hanya berdasarkan pada kebutuhan mereka akan bantuan kita. Tidak dapat dielakan bahwa kita akan bekerja dengan klien dan
teman sejawat yang memiliki nilai yang berbeda dengan kita. Untuk mengatasi perbedaan pendapat dan nilai, penting untuk memiliki kejelasan akan nilai nilai kita sendiri : apakah nilai kita, alasannya dan bagaimana kita menghargai nilai nilai kita sendiri pada saat kita sedang berusaha menghargai nilai nilai orang lain yang berbeda dengan kita. Nilai adalah kepercayaan individu tentang kegunaan dari ide, sikap adat istiadat atau objek yang menentukan standar yang mempengaruhi perilaku. Nilai-nilai yang dipegang seseorang mencerminkan pengaruh budaya dan sosial, berbeda antar individu serta terus berkembang dan berubah dari waktu kewaktu. Diskusi masalah etik memerlukan penghargaan kita terhadap pemberian nilai. Sebagai contoh, kita akan menemukan bahwa janji kita akan menghargai otonomi mendapat tantangan dari kecenderungan mengizinkan orang lain membuat keputusan penting tentang pelayanan kesehatan. Ada beberapa budaya, keputusan tentang pelayanan kesehatan bukan berasal dari satu orang melainkan berasal dari kelompok atau keputusan keluarga. Usaha kita untuk mengatasi perbedaan pendapat dan menjaga kompetensi budaya merupakan cirri khas dari sebuah praktik etik. 1. Pembentukan Nilai Perkembangan nilai dimulai sejak masa kanak kanak, dibentuk oleh pengalaman dalam keluarga. Variasi dalam pola pengasuhan anak menimbulkan variasi pada nialai dan perilaku saat anak anak sedang tumbuh. Dorongan dasar untuk mencintai, merawat dan melindungi anak memilki berbagai bentuk ekspresi pada berbagai budaya di dunia. Sekolah, pemerintah, tradisi keagamaan dan institusi sosial lainnya juga berperan dalam membentuk, memperkuat atau terkadang mengganggu nilai nilai keluarga. Peran alamiah tergantung dari dasar institusi. Seiring berjalannya waktu, seseorang mendapatkan nilainya dengan memilih
beberapa dari nilai nilai yang dianut masyarakat dan mungkin yang didapat atau ditransfer dari orang lain. Pada akhirnya pengalaman individu, perubahan dan perkembangan yang tidak diharapakan yang terjadi dalam kehidupan akan mempengaruhi pembentukan nilai. Seseorang yang mengalami proses kehilangan yang besar pada awal kehidupannya akan memiliki nilai yang berbeda dengan individu yang tidak pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya. 2. Klarifikasi Nilai Dilema etik hampir selalu terjadi jika ada perbedaan nilai. Untuk menyelasaikan dilemma etik seseorang perlu mengenali perbedaan antar nilai, fakta dan pendapat, terkadang individu memiliki nilai yang sangat kuat sehingga menganggapnya sebagai fakta. Mereka menjadi terlalu bersemangat sehingga memperlihatkan sikap menuduh saat terhadap konflik. Nilai nilai yang jelas merupakan bagian yang penting dan efektif dari pembicaraan tentang etika. Dalam proses klarifikasi nilai, kita perlu mentoleransi perbedaan yang terkadang (meskipun tidak selalu) menjadi kunci dalam mencari penyelasaian dilema etik. Sebagai contoh bagi beberapa orang, penting untuk tetap diam dan bersabar dalam mengahadapi rasa sakit sedangkan bagi sebagian orang lainnya ingin membicarakannya dengan tujuan untuk memahami dan mengatasinya. Mengenali nilai sebagai hasil yang terpisah dari fakta akan membantu kita bertoleransi walaupun terdapat perbedaan yang sangat besar. 1.7
Isue Etik Dalam Keperawatan. Setiap orang menghadapi isu moral yang sama dalam lingkungan perawatan kesehatan. Hal ini berarti bahwa etika keperawatan adalah istilah yang sah hanya selama sah itu mengacu pada sub kategori dalam etika kedokteran. 1. EUTANASIA
a. Pengertian Eutanasia Eutanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa penderitaan; sedang tanathos = mati. Dengan demikian, eutanasia dapat diartikan
mati
dengan
baik
tanpa
penderitaan.
Ada
yang
menerjemahkannya sebagai mati cepat tanpa derita. Belanda, salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan eutanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat Eutanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda): ‘’Eutanasia adalah dengan gejala tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau gejala melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri’’. 2. Konsep Tentang Kematian Perkembangan eutanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian denagan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam eutanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seorang dinyatakan telah mati. Beberapa konsep tentang mati yang dikenal adalah: a. Mati sebagai berhentinya darah mengalir b. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh c. Hilangnya kekampuan tubuh secara permanent d. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur dalam PP.18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali. Konsep mati terlepasnya roh dri tubuh serinug menimbulkan keraguasalnya pada karena misalnya pada tindakan resusitas yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali. Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan, tetapi secara moral tidak dapat diterima kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi. Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu
yang
kekhususannya,
mempunyai
kepribadian,
kemampuannya
mengingat,
menyadari
kehidupannya,
menentukan
sikap,
dan
mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya, kemampuan untuk melakukan interaksi sosial tersebut makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah mati. Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitas (DNR, do not resuscitation).
Penentuan saat mati itu juga dibahas dan ditetapkan dalam World Medical Asembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklerasi Sydney. Disini dinyatakan bahwa penentuan saat kematian dikebanyakan Negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati dengan menggunakan kriteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus, yang telah diketahui oleh semua dokter. Hal penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian tersebut sudah tidak dapat dibalikan lagi (irreversible), meski menggunakan teknik penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut. Jika penentuan saat mati berhubungan dengan kepentingan trasplantasi organ, keputusan saat mati harus dilakukan oleh 2 orang dokter atau lebih, dan dokter yang menentukan saat mati ini tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan transplantasi tersebut. 3. Jenis Eutanasia Eutanasia bisa ditinjau dari beberapa sudut. Dilihat dari cara dilaksanakan, eutanasia dapat dibedakan atas: a. Eutanasia pasif Eutanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin
sembuh.
Alasan
yang
dikemukakan
dokter
umumnya
adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. b. Eutanasia aktif Eutanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi
aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk
mengakhiri hidup manusia. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Eutanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas: a. Eutanasia aktif langsung (disect) Eutanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis eutanasia juga dikenal sebagai mercy killing. b. Eutanasia aktif tidak langsung (indirest) Eutanasia aktif tidak langsung adalah saat dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindaakan medik untuk meringankan adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Ditinjau dari permintaan, eutanasia dibedakan atas: a. Eutanasia voluntir atau eutanasia sukarela (atas permintaan pasien). Eutanasia atas permintaan pasien adalah eutanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang. b. Eutanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien). Eutanasia tidak atas permintaan pasien adalah eutanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta. 4. Eutanasia dan Hukum Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. Kitab UU Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidanakan atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung denagan eutanasia aktif terdapat pada pasal 334 KHUP.
a. Pasal 334 KHUP
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya denagn nyata dan dengan sungguhsungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien/keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya. Untuk jenis eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui beberapa dokter. 1. Pasal 338 KUHP “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain,dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun”. 2. Pasal 340 KUHP “Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”. 3. Pasal 359 KUHP “Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.
Selanjutnya, dibawah ini dikemukakan sebuah ketentuan yang mengingatkan
kalangan
kesehatanuntuk
berhati-hati
menghadapi
kasus
eutanasia. -
Pasal 345 KUHP “Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk mem,bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”. Pasal ini mengingatkan dokter untuk, jangankan melakukan eutanasia, menolong atau memberi harapan ke arah perbuatan itu saja pun sudah mendapat ancaman pidana.
1.8
ABORSI 1. Pengertian Aborsi Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut: “Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram. ” Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Di Inggris, aborsi didefinisikan sebagai pengeluaran janin atau produk konsepsi secara spontan sebelum usia kehamilan24 minggu. Menurut WHO, aborsi merupakan pengeluaran embrio atau janin yang
berat badannya 500 gram atau kurang, yang setara dengan usia kehamilan sekitar 22 minggu. 2. Jenis Aborsi Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu: a. Aborsi Spontan/ Alamiah atauAbortus Spontaneus Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan di sebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. b. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis Aborsi buatan/ sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). c. Aborsi Terapeutik/ Medis atauAbortus Provocatus Therapeuticum Aborsi terapeutik
atau Abortus Provocatus Therapeuticum adalah
pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat
membahayakan
baik
calon
ibu
maupun
janin
yang
dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
3. Hukum Aborsi
Tindakan aborsi merupakan tindakan kriminal, hal tersebut sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai berikut. a. Pasal 299 KUHP 1. Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seseorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama empat tahun. 2. Apabila yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan, atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya. 3. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabutr haknya melakukan pekerjaan itu.
b. Pasal 346 KUHP Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana penjara selama empat tahun.
c. Pasal 347 KUHP 1. Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama dua belas tahun. 2. Jika perbuatan itu menyebabkan wanita mati, akan dipidana penjara selama lima belas tahun.
d. Pasal 348 KUHP 1. Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan penjara selama lima tahun enam bulan. 2. Jika perbuatan itu menyebabkan wanita mati, akan dipidana penjara selama tujuh tahun. e. Pasal 349 KUHP 1. Bila seorang dokter, bidan atau juru obat membantu kejahatan tersebut dalam pasal 346, atau bersalah me;lakukan atau membantu salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu, dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu.
Wewenang dokter dalam menjalankan praktik aborsi adalah sebagai berikut : 1. Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter terkait dengan kode etik profesi (Kode Etik Kedokteran Indonesia KODEKI). Dalam KODEKI tercakup hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban seorang dokter ketika menjalankan profesi kedokteran yakni kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri. Jadi, KODEKI merupakan pedoman tingkah laku bagi para dokter Indonesia ketika melaksanakan profesinya. 2. Bahwa dalam penjelasan pasal 10 KODEKI antara lain dokter Indonesia harus berusaha mempertahankan hidup insani. Berarti bahwa baik
menurut agama dan UU negara maupun etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan: a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus) b. Mengakhiri
hidup
seorang
penderita,
yang
menurut
ilmu
pengetahuan tidak mungkin sembuh (euthanasia). 3. Bahwa pada bagian lain penjelasan pasal 10 KODEKI ditegaskan antara lain bahwa abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai tindakan pengobatan, apabila merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus therapeuticus). 4. Dikatakan bahwa KODEKI membenarkan aborsi dengan beberapa syarat dan menyelamatkan jiwa ibu dalah indikasi yang diperkenankan menurut KODEKI. 5. Dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 UU Kesehatan disebutkan bahwa “Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alas an apapun dolarang karena bertentangan dengan norma hukum, agama, kesusilaan, dan kesopanan. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis tertentu”. Jadi, satu-satunya indikasi yang diperkenankan menurut UU Kesehatan ialah menyelamatkan jiwa si ibu hamil. 6. Pihak-pihak yang diperbolehkan melakukan aborsi adalah dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan, sesudah meminta pertimbangan dari tim ahli yang terdiri dari perbagai bidang keilmuan. Dengan demikian, menurut UU Kesehatan tidak semua dokter boleh melakukan tindakan aborsi.
1.9 TRANSPLANTASI ORGAN DAN JARINGAN TUBUH 1. Pengertian Secara etimologi, transplantasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “transplantation”, yang berarti mengambil dan menempelkan pada tempat lain atau memindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Secara terminologi kedokteran
transplantasi
berarti
pemindahan
atau
pencangkokkan
jaringan/organ tubuh dari suatu individu ke tempat yang lain pada individu itu sendiri atau ke tubuh individu lain. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Transplantasi adalah terapi pengganti (alternanif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya karena hasilnya lebih memuaskan dibandingan dengan terapi konservatif. Walaupun transplantasi organ dan atau jaringan itu telah lama dikenal dan hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran, namuntindakan medik ini dapat dilakukan begitu saja karena masih harus dipertimbangkan dari segi nonmedik, yaitu dari segi agama, hokum, budaya, etik, dan moral. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplantasi, adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related donor,LRD) dan donasi organ jenazah. Karena itu diperlukan kerja sama yang saling mendukung antara para pakar terkait (hukum, kedokteran,sosiologi,
pemuka
agama,
pemuka
masyarakat),
dengan
pemerintah dan swasta.
2. Jenis-Jenis Transplantasi Hingga waktu ini telah dikenal jenis transplantasi atau pencakokan, baik berupa sel, jaringan maupun organ tubuh, yaitu sebagai berikut.
a. Autograft, yaitu pemindahan dari satu tempat ke tepat lain dalam tubuh itu sendiri. b. Allograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya. c. Isograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yanf identik, misalnya pada kembar identik. d. Xenograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama spesiesnya.
Secara teknik bedah, transplantasi ada 2 yaitu : a. Ortotopik, berasal dari kata “Orthos” yang berarti lurus;sehat. Dan “Topos” yang berarti tempat;pada tempat benar, yaitu organ yang akan dicangkokkan dipasang pada tempat organ aslinya, sementara organ asli yang rusak diambil terlebih dahulu. Misalnya transplantasi jantung (dapat pula dilakukan secara heterotopik, yaitu jantung cangkokkan dijahitkan pada jantung yang sakit), hepar, dan ginjal.
b. Heterotopik, merupakan pencangkokkan pada tempat lain, sementara organ yang rusak tidak dikeluarkan. Misalnya transplantasi sumsum tulang, jantung. Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal (untuk keperluan ini, definisi meninggal adalah mati batang otok). Organ atau jaringan yang dapat diambil dari donor hidup adalah kulit, ginjal, sumsum tulang, dan darah (transfuse darah). Organ atau jaringan yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal,kornea, pancreas, paru, dan sel otak.
Dalam 2 dasa warsa terakhir ini telah pula dikembangkan teknik transplantasi seperti transplanttasi arteria mamaria interna dalam operasi lintas koroner oleh George E. Green, dan transplantasi sel-sel subtansia nigra dari bayi yang meninggal kepada pasien penyakit. Semua upaya dalam bidang transplantasi tubuh, jaringan dan sel manusia itu tentu memerlukan peninjauan dari sudut hukum dan etika kedokteran. 3. Aspek Hukum Transplantasi Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan, dan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiyaan. Namun, karena adanya alasan pengecualiaan hukuman, atau paham melawan hukum secara material, perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan. Dalam PP No.18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia, tercantum pasal-pasal tentang transplantasi sebagai berikut. - Pasal 1 a. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut. b. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan tertentu. c. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
d. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan. e. Meninggal dunia adalah keadaan insasi yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Ayat e diatas mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas. Karena itu, IDI dalam seminar nasionalnya telah mencetuskan fatwa tentang masalah mati yang dituangkan dalam SK PB IDI No.336/PB IDI A.4 tertanggal
15
Maret
1988
yang
disusul
dengan
SK
PB
IDI
No.231/PB/A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati bila fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secra pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak. Selanjutnya dalam PP tersebut di atas terdapat pasal-pasal berikut. -
Pasal 10 Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentun sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf
a dan huruf b, yaitu harus dengan persetujuan tertulis pasien
dan/atau keluarganya yang terdekat setelah pasien meninggal dunia. -
Pasal 11
1. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjukan oleh Menteri Kesehatan. 2. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
-
Pasal 12 Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
-
Pasal 13 Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a, pasal 14 dan pasal 15 dibuat diatas kertas bermaterai dengan 2 orang saksi.
-
Pasal 14 Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau Bank Mata dari korban kecelakaan meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis keluarga yang terdekat.
-
Pasal 15 1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberi tahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter
konsultan
mengenai
operasi,
akibat-akibatnya,
dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. 2. Dokter sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 harus yakin benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut. -
Pasal 16 Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
-
Pasal 17 Dilarang memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh manusia.
-
Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ked an luar negeri. Sebagai penjelasan pasal 17 dan 18, disebutkn bahwa alat dan atau
jaringan tubuh manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Pengiriman alat dan atau jaringan tubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah dibatasi dalam rangka penelitian ilmiah, kerja sama dan saling menolong dalam keadaan tertentu. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut. a. Pasal 33 1. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implant obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastic dan rekonstruksi. 2. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dari tujuan
komersial. b. Pasal 34 1. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga sarana kesehatan tertentu.
2. Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh seorang donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya. 3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat uran 2 dengan Peraturan Apabila diperhatikan kedua pasal diatas, isi dan tujuannya hampir sama dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia. Dalam UU Kesehatan kembali ditegaskan bahwa transplantasi organ atau jaringan tubuh dan transfusi darah hanya dapat dilakukan untuk tujuan kemanusiaan, dilarang untuk dijadikan objek untuk mencari keuntungan,jual beli dan komersialisasi bentuk lain. 4. Aspek Etik Transplantasi Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etika kedokteran,tindakan ini dilakukan jika ada indikasi (kegunaan), berlandaskan beberapa pasal dalam KODEKI, yaitu: 1. Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupa melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. 2. Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup insasi. 3. Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini tidak mampu
melakukan
suatu
pemeriksaan
atau
pengobatan,
maka
taspersetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Bertitik tolak dari pasal-pasal tersebut diatas, para dokter harus menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan iptek transplantasi untuk kemashlahatan pasien dan keluarganya. Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No.18 tahun 1981, pada hakikatnya telah pencakup aspek etik, terutama mengenai larangnya memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi ataupun meminta kompensasi material lainnya. Namun, pernyataan jika tidak boleh diperjualbelikan atau diganti rugi, bagaimana cara meningkatkan jumlah donor. Apakah imbalan nonmaterial dibolehkan? Misalnya, karena narapidana menjadi donor dan kepadanya diberikan pengurangan masa pidana atau remisi sebagai imbalan. Agaknya transaksi ini bukan mustahil dilaksanakan karena tidak ada yang dirugikan, bahkan saling menguntungkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya, yang dilakukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Ini berkaitan dengan keberhasilan transplantasi karena bertambah segar organ atau jaringan bertambah baik hasilnya. Namun, jangan sampai terjadi penyimpangan, yaitu pasien yang hamper meninggal, tetapi belum meninggal telah diambil organ tubuhnya. Penentuan saat meninggal seseorang dirumah sakit modern dewasa ini dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika telah terdapat mati batang otak dan secara pasti tidak terjadi lagi pernapasan dan denyut jantung secara spontan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh para dokter
lain yang bukan pelaksana oleh para dokter
lain yang bukan pelaksana
transplantasi agar benar-benar objektif. Dalam dekade terkhir ini telah
mulai
diteliti
kemungkinan
dilakukannya transplantasi wajah, sesuatu hal yang baru dalam teknologi kedokteran. Transplantasi wajah bukan bertujuan untuk komestikatau kecantikan, melainkan suatu terapi untuk mengubah wajah yang telah rusak berat, misalnya karena trauma, luka bakar, kanker mulut yang melibatkan mata, bibir, dan pipi. Melalui transplantasi wajah dan metode bedah rokonstruksi diharapkan penampilan wajahnya lebih normal. Transplantasi wajah pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Lyon, Perancis Pada tahun 2005 dibawah pimpinan Dr.Jean-Michel-Dubernard pada pasien Adelie yang wajahnya robek akibat anjingnya mengganas, sehingga bagian hidung, dagu dan bibirnya hilang. Donornya adalah seorang pasien yang otaknya sudah tidak berfungsi. Transplantasi berlangsung sukses, Adelie memiliki hidung, dagu, dan bibir baru. Dari segi medis, masalah utama adalah bagaiman belum agar pasien memiliki kekampuan menoleransi terapi imunosupresi agresif yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi reaksi penolakan tubuh terhadap kulit dan organ yang dicangkokkan. Obat-obat ini harus dikonsumsi seumur hidup oleh resipiens, padahal selain harganya mahal, dapat menimbulkan efek samping yang berat seperti gagal ginjal. Hal lain yang mencemaskan adalah jika obatobat tersebut dihentikan pemakaiannya, dapat mengakibatkan komplikasi yang fatal. Masalah medis lainnya adalah bahwa prosedur operasionalnya belum sempurna, terutama mengenai penyembuhan pembuluh darah dan saraf diwajah, yang dapat mengakibatkan ekspresi dan pergerakan wajah tidak sepenuhnya ideal, bahkan terlihat seolah-olah ‘’topeng’’ belaka. Dari segi etik transplantasi wajah telah mengundang kritik dari pakar bioetika, psikolog, psikiater, dll. Bagi yang pro menyatakan bahwa transplantasi
wajah sangat membantu resipiens dalam penampilannya ditengah-tengah masyarakat. Bagi yang kontra, merasa amat berat bagi resipens mengemban pemakaian wajah orang lain yang telah meninggal, dampaknya terhadap keluarga donor dan resipiens dan masalah kepribadian resipiens yang tidak sesuai dengan donor sehingga menyulitkan adaptasi terhadap wajah baru. Penerimaan masyarakat merupakan hal yang penting pula, jangan sampai resipiens dikucilkan bahkan sebaliknya masyarakat harus menunjukan rasa simpati dan menghibur mereka yang mempunyai masalah. Di indonesia, transplantasi wajah (face off) telah dilakukan pertama kali pada seorang wanita bernama Siti Nurjazila (lisa) berusia 22 tahun, di Rs Soetomo Surabaya pada tahun 2006, oleh tim yang dipimpin Dr.M.Syaifuddin Noer,Sp.Bp. wajah lisa menderita cedera berat dan rusak, diduga karena ulah suaminya yang kasar. Pada operasi fece off ini kulit diambil dari punggung pasien sendiri dan memerlukan pembedahan bertahap. Karena rumitnya transplantasi wajah ini, dari segi medis, etik, dan hukum masih memerlukan pembahasan lanjut. 1.10 SUPPORTING Supporting dapat diartikan sebagai kegiatan memberi semangat yang merupakan suatu tindakan yang diberikan untuk memotivasi seseorang yang menderita suatu penyakit agar menjadi lebih baik. Karena semangat yang diberikan dapat membuat klien merasa diperhatikan
dan diperdulikan
sehingga psikis-nya merasa senang dan nyaman. Hal itu dapat membantu mempercepat penyembuhan secara psikis, yang akan berefek pada kesembuhan fisik biologis. Contoh supporting yaitu terhadap penderita HIV/AIDS dan kanker. 1. Prinsip - prinsip Legal dalam Praktik
Praktik yang tidak benar atau mencelakakan, tindakan medis atau pembedahan yang tidak trampil atau keliru. Salah satu bentuk kelalaian dan sering disebut sebagai kelalaian profesional. 2. Malpraktik Pada masa yang akan datang dimana kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat dimana masyarakat akan lebih menyadari akan haknya, dan disisi lain perawat dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Hal ini didukung adanya berbagai produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem pelayanan keperawatan yang semakin jelas menuntut tenaga keperawatan bekerja secara profesional, dan bila terjadi pelanggaran akan berdampak negatif bagi kliennya, maka perawat diperhadapkan pada tuntutan atau gugatan konsumen Malpraktik yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap kaidahkaidah profesi, dimasa yang akan datang merupakan masalah yang cukup menarik untuk didiskusikan khususnya yang terkait dengan malpraktik bidang keperawatan, yang selama ini kurang mendapat perhatian misalnya untuk menangani masalah yang terkait dengan pelanggaran etika bidang keperawatan , PPNI baru membentuk suatu badan yaitu Majelis Kode Etik Keperawatan ( Anggaran Dasar PPNI Bab VIII) pada tanggal 25 Januari 2002 dimana badan ini berkewenangan menyelidiki dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran etik profesi keperawatan sebagaimana pada Anggaran Dasar PPNI pada Pasal 27 yang berbunyi “Majelis Kode Etik berkewenangan menyelidiki dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran etik profesi keperawatan”. Dalam suatu kasus di California tahun 1956 (Guwandi, 1994) mendefinisikan Malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk menterapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama (Malpractice is the neglect of a physician or nuse to apply that degree of skil and learning on treating and nursing a patient which is customarily applied in treating and caring for the sick or wounded similiarly in the same community). Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan kepada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekejaannya. Terhadap malpraktek dalam keperawatan maka malpraktik adalah suatu batasan yang dugunakan untuk menggambarkan kelalaian perawat dalam melakukan kewajibannya. Ada dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan berisko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998). Menurut Hanafiah dan Amir (1999) mengatakan bahwa kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya seorang yang wajar dan hati-hati
akan melakukan di dalam keadaan tersebut , ia merupakan suatu tindakan yang seorang dengan hati-hati yang wajar tidak akan melakukan di dalam keadaan yang sama atau kegagalan untuk melakukan apa yang seorang lain dengan hati-hati yang wajar justru akan melakukan di dalam keadaan yang sama. Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang ditimbulkan memang bukanlah menjadi tujuannya. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya (Hanafiah & Amir, 1999). Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merengut nyawa orang lain, maka ini dklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal. Malpraktik tidaklah sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat spesifik dan terksait dengan status profesional dari pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya dokter dan perawat) melakukan sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki ketrampilan dan pendidikan (Vestal,K.W, 1995). Hal ini bih dipertegas oleh Ellis & Hartley (1998) bahwa malpraktik adalah suatu batasan spesifik dari kelalaian. Ini ditujukan pada kelalaian yang dilakukan oleh yang telah terlatih secara khusus atau seseorang yang berpendidikan yang ditampilkan dalam pekerjaannya. Oleh karena itu batasan malpraktik ditujukan untuk menggambarkan kelaliaian oleh perawat dalam melakukan kewjibannya sebagai tenaga keperawatan.
Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi didalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik lebih luas daripada negligence.Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar Undang-undang. Didalam arti kesengajaan tersirat ada motifnya (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah: 1. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan. 2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence) 3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3.
Malpraktik dalam keperawatan Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan kelalaian atau malpraktik. Perawat dan masyarakat pada umumnya tidak dapat membedakan antara kelalaian dan malpraktik. Walaupun secara nyata jelas perbedaannya sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Malpraktik lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang misalnya perawat, dokter atau penasehat hukum. Menurut Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik ,apabila penggugat dapat menunjukkan dibawah ini :
1. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibanya yaitu kewajiban untuk mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan stadar profesi. Hubungan perawatklien menunjukkan bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan. 2. Breach of the duty--- pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.Pelanggaran yang terjadi terhadap pasien (misalnya kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit. 3. Injury – Seseorang mengalami injury atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum (misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Keluhan nyeri, atau adanya penderitaan atau stress emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera hanya jika terkait dengan cedera fisik). 4. Proximate
caused—pelanggaran
terhadap
kewajibannya
menyebabkan/terkait dengan injury yang dialami (misalnya cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien). Malpraktik adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur oprasional. Untuk malpraktek kedokteran juga dapat dikenai hukum kriminal. Malpraktik kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang
hukum
pidana.
Perbuatan
ini
termasuk
ketidakjujuran,kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obatobatan, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien.
Malpraktik dalam keperawatan, adalah akibat dari pelayanan keperawatan yang dilakukan di bawah standar. Untuk menetapkan suatu tindakan sebagai malparaktik keperawatan digunakan kriteria sebagai berikut : 1) Perawat (terdakwa) memiliki terhadap klien (penuntut) 2) Perawat tidak melaksanakan kewajiban tersebut 3) Klien mengalami cedera, dan 4) Kegagalan perawat dalam melaksanakan kewajibannya menyebabkan cedera. Cara terbaik bagi perawat untuk menghindari kelalaian adalah dengan : 1) Mengikuti standar pelayanan 2) Memberikan pelayanan kesehatan yang kompeten 3) Berkomunikasi dengan penyelenggara layanan kesehatan lain
Malpraktik adalah “kesalahan / kegagalan pelaksana profesional karena keterampilan yang tidak memadai dan tidak beralasan, ketaatan terhadap profesi atau hukum, praktik kejahatan, tindakan melanggar hukum atau tidak bermoral” (creigthon,1986). Salah satu contoh malpraktik yang potensial yang terjadi di lingkungan perioperatif adalah melaksanakan praktik yang melebihi otoritas seseorang. Contohnya adalah pembukaan luka bedah oleh asisten pertama yang belum mendapat mandat dari institusi. Strategi yang efektif bagi perawat perioperatif dalam upaya mengindari perkara malpraktik adalah memberikan perawatan yang aman untuk klien mereka. Klien tidak dapat menjadi penggugat, kecuali dan sampai mereka mengalami cedera. Jika perawat telah melakukan tindakan yang beralasan
dan cermat, ia tidak akan bertanggung jawab atas cedera akibat tindakan atau kelalaiannya. Dalam kasus malpraktik tindakan perawat yang kurang beralasan akan dinilai sebagai bukti yang diperoleh dari saksi ahli, kebijakan dan prosedur institusi, UU dan aturan administrative, standar asosiasi profesional dan literatur profesional. Oleh karena itu, strategi kedua untuk mencegah
malpraktik
adalah
mengetahui
dan
memahami
standar
keperawatan.\ Perkara hukum malpraktik merupakan risiko yang dapat terjadi dalam berbagai praktik perawat perioperatif. Risiko ini tidak perlu ditanggapi dengan rasa takut dan cemas, karena hal ini akan memengaruhi penilaian profesional berdasarkan prinsip disiplin lain. Asuhan keperawatn yang baik bagi klien secara simultan merupakan pelindungan perawat yang terbaik dari perkara hukum malpraktik.
4.
Upaya pencegahan malpraktik Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni: 1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis). b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya. 2. Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan : a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. b. Formal/legal
defence,
yakni
melakukan
pembelaan
dengan
mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa. Berikut beberapa tips agar terhindar dari tuntutan malpraktik : 1) Senantiasa berpedoman pada standar pelayanan medic dan standar prosedur profesional. 2) Bekerjalah secara profesional, berlandaskan etik dan moral yang tinggi. 3) Jangan berhenti belajar, selalu tingkatkan ilmu dan keterampilan dalam bidang yang ditekuni. 4) Tingkatkan rasa kebersamaan, keakraban, dan kekluargaan, sesama perawat. 5) Ikuti peraturan dan perundang – udangan yang berlaku terutama tentang kesehatan. 5.
Mencegah tuntutan malpraktik Sangat perlu bagi seorang perawat beru[aya melakukan sesuatu guna
mencegah
terjadinya
tuntutan
malpraktik
yaitu
upaya
mempertahankan standar pelayanan/asuhan yaqng berkualitas tinggi. Hal ini dilakukan dalam pekerjaan sebagai perawat yaitu meningkatkan kemampuan dalam praktik keperaweatan dan menciptakan iklim yang dapat mendorong peningkatan praktik keperawatan., yaitu :
a.
Kesadaran diri (self-awareness)
Yaitu mengidentifikasi dan memahami pada diri sendiri tentang kekutan
dan
kelamahan
dalam
praktik
keperawatan.
Bila
terindentifikasi akan kelemahan yang dimiliki maka berusahalah untuk mencari penyelesaiannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu melalui pendidikan, pengalaman langsung, atau berdiskusi dengan teman sekerja/kolega. Apabila berhubungan seorang supervisor, sebaiknya bersikap terbuka akan kelemahannnya dan jangan menerima tanggung jawab dimana perawat yang bersangkutan belum siap untuk itu. Jangan menerima suatu jabatan atau pekerjaan kalau menurut kriteria yang ada tidak dapat dipenuhi.
b.
Beradaptasi terhadap tugas yang diemban Tenaga keperawatan yang diberika tugas pada suatu unit perawatan dimana dia merasa kurang berpengalaman dalam merawat pasien yang ada di unit tersebut, maka sebaiknya perawat perlu mengikuti program orientasi/program adaptasi di unit tersebut. Perawat perlu berkonsultasio dengan perawat senior yang ada diunit tersebut.
c.
Mengikuti kebijakan dan prosedur yang ditetapkan Seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya harus sealu mempertimbangkan kebijakan dan prosedur yang berlaku di unit tersebut. Ikuti kebijakan dan prosedur yang berlaku secara cermat, misalnya kebijakan/prosedur yang berhubungan dengan pemberian obat pada pasien.
d.
Mengevaluasi kebijakan dan prosedur yang berlaku Ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan bersifat dinamis artinya berkembang secara terus menerus. Dalam perkembangannya, kemungkinan kebijakan dan prosedur yang ada diperlukan guna menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Oleh krena itu itu ada kebutuhan untuk menyeuaikan kebijakan dan proseudr atau protokol tertentu. Untuk itu merupakan tanggung jawab perawat profesional bekerja guna mempertahankan mutu pelayanan sesuai dengan tuntutan perkembangan.
e.
Pendokumentasian Pencatatan perawat dapat dikatakan sesuatu yang unit dalam tatanan pelayanan kesehatan, karena kegiatan ini dilakukan selama 24 jam. Apa yang dicatat oleh perawat merupakan faktor yang krusial guna menghindari suatu tuntutan. Dokumentasi dalam suatu pencatatan adalah laporan tentang pengamatan yang dilakukan, keputusan yang diambil, kegiatan yang dilakukan, dan penilaian terhadap respon pasien. Oleh karena setiap kasus ditentukan adanya fakta yang mednkung suatu tuntutan, maka diperlukan pencatatan yang jelas dan relevan. Pencatatan diperlukan secara jelas, benar, dan jelas sehingga dapat dipahami.
Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktik, sebagai berikut : 1. Berikan kasih sayang kepada pasien sebagaimana anda mengasihi diri sendiri. Layani pasien dan keluarganya dengan jujur dan penuh rasa hormat. 2. Gunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat dan laksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan.
Perawat
mempunyai
kewajiban
untuk
menyusun
pengkajian dan melaksanakan pengkajian dengan benar. 3. Utamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kurang merespon terhadap perubahan kondisi pasien, diskusikan bersama dengan tim keperawatan guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya. 4. Tanyakan saran/order yang diberikan oleh dokter jika : Perintah tidak jelas,masalah itu ditanyakan oleh pasien atau pasien menolak, tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan dari kondisi kesehatan pasien. Terima perintah dengan jelas dan tertulis. 5. Tingkatkan kemampuan anda secara terus menerus, sehingga pengetahuan/kemampuan yang dimiliki senantiasa up-to-date. Ikuti perkemangan yang terbaru yang terjadi di lapangan pekerjaan dan bekerjalah berdasarkan pedoman yang berlaku. 6. Jangan melakukan tindakan dimana tindakan itu belum anda kuasai. 7. Laksanakan
asuhan
keperawatan
berdasarkan
model
proses
keperawatan. Hindari kekurang hati-hatian dalam memberikan asuhan keperawatan.
8. Catatlah rencana keperawatan dan respon pasien selama dalam asuhan keperawatan. Nyatakanlah secara jelas dan lengkap. Catatlah sesegera mungkin fakta yang anda observasi secara jelas. 9. Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Biasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi/rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku. 10. Pelimpahan tugas secara bijaksana, dan ketahui lingkup tugas masingmasing. Jangan pernah menerima atau meminta orang lain menerima tanggung jawab yang tidak dapat anda tangani. 6.
Beberapa contoh kesalahan perawat a.
Pada pasien usia lanjut, pasien mengalami disorientasi pada saat berada diruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana keperawatan guna memonitoring dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai.
b.
Pada pasien dengan pasca bedah disarankan untuk melakukan ambulasi. Perawat secara drastis menganjurkan pasien melakukan mobilisasi berjalan, pada hal disaat itu pasien mengalami demam, denyut nadi cepat, dan mengeluh nyeri abdomen. Perawat melakukan ambulasi pada pasien sesuai rencana keperawatan yang telah dibuat tanpa mengkaji terlebih dahulu kondisi pasien. Pasien kemudian bangun dan berjalan, pasien mengeluh pusing dan jatuh sehingga pasien mengalami trauma kepala.
1.11 Neglected
Kelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia bertindak tak acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya. Akan tetapi, jika kelalaian itu telah mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak memperdulikan jiwa orang lain maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika sampai merenggut nyawa, maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa lata). Pengabaian adalah kelalaian individu dalam melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat dia lakukan atau melakukan sesuatu yang dihindari orang lain (Creighton, 1986). Undang-undang tentang pengabaian diruang bedah mencakup identifikasi kesalahan terhadap klien atau lokasi yang di bedah, maka akibat tekanan karena kesalahan dalam member posisi, cedera akibat alat yang rusak karena kesalahan pemeriksaan, dan tertinggalnya benda asing. Kompetensi yang kurang dalam penggunaan alat juga dapat diinterprestasikan sebagai pengabaian. Kegagalan penggugat memenuhi salah satu elemen untuk meyakinkan hakim, tuntutan tidak akan berhail dan terggugat terbebas dari tuduhan. Kasus benda asing yang tertinggal ini relatif mudah dibuktikan dengan kasih perhgitungan instrument dan rasa oleh penggugat. Serupa dengan hal tersebut, kasus kesalahan medikasi lebih bersifat langsung. Ada sedikit silang pendapat dikalangan perawat mengenai pemberian medikasi yang tepat dengan dosis dan rute yang tepat, untuk klien yang tepat. Apabila prosedur pemberian obat ini tidak diikuti dan klien cedera, relatif mudah untuk menetapkan apakah pemberian medikasi menyebabkan cedera atau tidak. Luka cedera akibat pemberian posisi juga menjadi kasus yang berisiko menimpa perawat. Kompleksitas bukti bahwa klien mengalami penderitaan akibat tindakan medis pada awal penanganan dan semuanya berlangsung simultan belum tentu merupakan tanggung jawab perawat perioperatif sepenuhnya.
Perawat perioperatif mempunya tanggung jawab hukum untuk memberkan informasi, memastikan pemahaman klien tentang informasi tersebut.
1.12 Pertanggunggugatan (mandiri dan limpahan) dan pertanggungjawaban 1.
Pertanggunggugatan Pertanggunggugatan atau akuntabiliti
dapat diartikan sebagai
bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekuensi, perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya, terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya perawat harus mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya, hal ini bisa dijelaskan dengan mengaju 3 pertanyaan berikut : 1) Kepada siapa tanggung gugat itu ditujukan 2) Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat 3) Dengan kriteria apa saja tanggung gugat perawat diukur dengan baik. (Barbara Kozier, Fundamental of Nursing 1983) Contoh pertanggungugatan ketika dokter memberi instruksi kepada perawat untuk memberikan obat kepada pasien tapi ternyata obat yang diberikan itu salah dan mengakibatkan penyakit pasien menjadi tambah parah dan dapat merenggut nyawanya. Maka pihak keluarga pasien berhak menggugat dokter atau perawat tersebut. 2.
Pertanggungjawaban Kata tanggung jawab merujuk pada keingian untuk melaksanakan kewajiban dan memenuhi janji. Sebagai perawat, kita bertanggung jawab terhadap tindakan kita. Kita berperan aktif dalam membentuk praktik kita.
Kita harus memiliki kompetensi praktik agar mampu melakukan tanggung jawab kita dengan baik. Contohnya jika ada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter dan pihak keluarga pasien tidak terima karena kondisi pasien semakin parah maka, dokter akan bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya 3.
Perlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan Undang-undang pratik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para perawat.PPNI kongres Nasional ke duanya di surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahann perundanganundangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatann. Tidak
adanya
undang-undang
perlindungan
bagi
perawat
menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertangung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukkan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan berapa perawat lulus pendidikan tingi merasa frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran , fungsi dan kewenagannya. Hal ini juaga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang mereka miliki. a.
Undang-undang yang ada di indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan: 1. UUNo. 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan. Bab II (Tugas pemerintahan), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan klesanggupan hukum. 2. UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan.UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 19960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana. Tenaga serjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana
atau tenaga kesehatan dengan pendididkan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter,dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada pendidikan rendah dapat diberikan kewenagan terbatas untuk menjalankan perkerjaannya tanpa pengawas langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum lagi tenaga kesehatan dalammenjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat
ditempatkan pada posisi yang secara
hukum tidak mempunyai tangung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya. 3. UU Kesehatan No.14 tahun 1964 tentang wajib kerja paramedis. Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga klesehatan yang dimaksud pada pasal 2 memilki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan
pegawai
negeri
juga
diberlakukan
terhadapnya.UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuia dengan kemampuan
pemerintah
dalam
mengangkat
pegawai
negeri.Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja dan lain-lain.Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posis perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagoi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh kewenangan tanggung jawab terhadap pelayannya sendiri.
4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979. Memedakan para medis menjadi dua galongan yaitu paramedis keperawatan (termasuk badan) dan para medis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk kategori tenaga keperawatan. 5. permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980. Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmaspuskesmas tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah.Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari kuratif atau pengobatan untuk benarbenar melakukan nursing care. 6.
SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golongan II/a, Pengatur Rawat / Perawat Kesehatan / Bidan, Sarjana
Muda / D III Keperawatan dan Sarjana / S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat /golongan atasannya. 7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992. Merupakan UU yang banyak memberi
kesempatan
bagi perkembangan
termasuk
praktik
keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. Beberapa pernyataan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah : Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya. Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.
1.13 Nursing Advocacy 1.
Konsep advokasi Konsep advokasi berasal dari advocatus bahasa Latin, yang berarti fungsi dari advokat, orang yang dipanggil untuk memberikan bukti, untuk mendukung secara lisan atau membuat argumen untuk penyebab (Iih.Woodrow
1997).Bukti
mungkin
termasuk
informasi
tentang
kebutuhan klinis dan eksistensial atau preferensi pasien, informasi tentang hak-hak pasien, tetapi juga pengetahuan tentang bukti perawatan yang berbasis
kepada
situasi
tertentu.The
advocare
verba,
berarti
‘memanggil’.Dalam sistem hukum, peran dari advokat adalah sebagai seorang konselor, diprakarsai oleh klien (cf. Mallik 1997) atau profesi (kamus Inggris Oxford 2006). Dalam sistem hukum peran advokat didefinisikan sebagai seorang yang berprofesi mengakui penyebab orang yang dalam pengadilan (Evans 1999) untuk berbicara, atau membela atas nama orang
lain
(Consise Oxford Kamus Inggris 2007). Advokasi
menggambarkan tindakan memohon, mendukung, mendesak, dengan argumen dan pendukung aktif (The Random House Kamus satu Bahasa Inggris 1979), atau menaikkan suara untuk mendukung, membela atau merekomendasikan (Kamus Inggris Oxford 2006). Dalam kamus keperawatan, advokasi didefinisikan sebagai bagian integral dari peran praktisi perawatan kesehatan profesional (Oxford Kamus Keperawatan 1998), atau berperan sebagai seorang praktisi, biasanya perawat, yang memanfaatkan perannya untuk mempromosikan dan melindungi kesejahteraan dan kepentingan pasiennya dengan memastikan bahwa mereka sadar akan hak mereka dan memiliki akses ke informasi yang mereka harus dapatkan (Oxford Dictionory of Nursing 1998, Oxford Referensi Online 2007). Dalam definisi, penggagas advokasi bukan pasien tapi seorang perawat, yang membuat pilihan dan aktif untuk mengambil peran advokat.
2.
Aplikasi dari konsep advokasi Dalam literatur keperawatan, konsep advokasi telah mendapat beberapa aplikasi.Advokasi telah didefinisikan dalam literatur dari berbagai berbeda perspektif. Biasanya, advokasi dilihat sebagai hak
manusia atau sebagai hak pasien atau di sisi lain sebagai peran profesional perawat dan moral tugas. Selain Itu, kadang-kadang terlihat sebagai dasar filosofis keperawatan, sebagai pembuatan keputusan etis, sebagai praktek keperawatan, seperti perawatan kompeten, atau sebagaihasil dari perawatan yang bermutu. Namun, advokasi juga telah ditefsirkan sebagai strategi profesionalisasi, atau sebagai peran diluar hubungan pasienperawat, dan dianggap sebagai peran yang tidak cocok untuk perawat. Aplikasi-aplikasi dari konsep advokasi menunjukkan bahwa atributkonsep telah disimpulkan deduktif dari hak-hak hukum dan moral serta indukatif dari praktek keperawatan konsep yang telah matang.Tidak jelas teoritis atau empiris dalam tren pengembangan perspektif advokasi.Namun,
sejak
awal
decade
ini
tampaknya
telah
ada
kecendrungan perwat berperan sebagai advokasi pada pemberdayaan sikap professional. 3.
Dimensi advokasi Sebagian besar penelitian yang ada mengenai advokasi telah dilakukan dari sudut pandang perawat, dengan focus pada pemicu advokasi dan pengalaman advokasi di berbagai konteks keperawatan. Dalam rangka untuk mengekstrak definisi yang memiliki nilai praktis yang benar, konsep advokasi harus diperiksa dari beberapa sudut pandang berbeda, yaitu bahwa pasien dan keluarga mereka, tim kesehatan lain anggota
dari
perawat,
administrator,
organisasi,
dan
pendidik
keperawatan. Namun, perspektif yang berbeda pada advokasi membantu untuk membedakan advokasi sebagai proses, yang didahului oleh anteseden dan diikuti oleh konsekuensi. 4.
Pendahulunya advokasi
Kebanyakan pendahulunya advokasi tampak terkait dengan karakteristik dan keterampilan individu perawat.Dalam rangka untuk dapat mengadvokasi, perawat harus memiliki pelatihan professional, pengalaman klinis dan kompetensi, serta etika dan intraksional keterampilan.Lebih jauh lagi, mereka harus reflektif dan memiliki kekuatan emosional dan kesediaan untuk melayani sebagai advokat pasien. Telah dikemukakan bahwa pengembangan keterampilan advokasi membutuhkan pengakuan dari peran professional, observasi advokasi perawat lain, dan memiliki kepercayaan yang diperlukan (Foley, Minick& Kee 2001). Semua ini membutuhkan pengalaman kerja (Kieffer 2000, Seal 2007) dan umpan balik sistematis. Selanjutnya, perawat memerlukan prinsip-prinsip etika, standard an nilai-nilai (Millette 1993) serta hak pasien sebagai pemicu untuk melakukan advokasi. Beberapa penulis bahkan berpendapat bahwa advokasi seperti sarjana muda (Helton & Evans 2001) atau pendidikan doctoral keperawatan (howell& Coates 1997) Adanya hubungan pasien-perawat dan kualitas hubungan yang juga diambil sebagai anteseden dari advokasi.Untuk menjadi terapi dan memiliki
kesinambungan.Hubungan
ini
harus
didasarkan
pada
‘kehadiran’ perawat (Eriksson 1992), saling memahami dan mempercayai (Donnelly 2000, Hyland 2002). Hal ini diperlukan bagi pasien untuk mampu mengepreksikan kebutuhan dan kepentingannya, untuk secara aktif terlibat dalam pertukaran informasi (Buetow 1998) dan tidak hanya menunggu perawat untuk mengajukan pernyataan. Namun, interaksi pasien-perawat juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik pasien seperti jenis penyakit dan usia. Kerentanan pasien yang paling sering dikutip advokasi, meskipun tidak selalu mendapat perhatian penelitian yang memadai, perlu dianalisis dalam kaitannya dengan semua hak-hak dan kebutuhan pasien. 5.
Kegiatan advokasi
Mengingat berbagai definisi advokasi sebagai kata benda, deskripsi advokasi sebagai suatu kegiatan juga bnyak dan beragam. Terlebih lagi, deskripsi ini dari apa yang terjadi pada advokasi seringkali cukup samarasamar dan ambigu, membuat dokumentasi menjadi sangat sulit. Kegiatan advokasi mungkin terkait dengan kebutuhan pasien, seperti pengumpulan informasi atau mempelajari tentang pribadi pasien (Sellin 1995), atau informasi pasien, digambarkan hanya sebagai informasi (Segesten 1993, Snowball 1996, Schwartz 2002), melanggar informasi (McGrath & Walker 1999), mendidik, mendukung dan pasien kenseling (maher & Myatt 1995), atau sebagai promosi (Schwartz 2002, Baldwin 2003). Deskripsi ini mencakup baik pasien dan advokat. Namun, advokasi juga dapat dilakukan atas nama pasien, berdiri untuk pasien dan haknya, melindungi dan mempertahankan kepentingan pasien, mengambil tindakan langsung (Sellin 1995), mewakili atau berbicara untuk pasien yang tidak mampu atau tudak mau berbicara sendiri, memastikan bahwa keputusan yang diambil dari perspektif menginformasikan, melindungi martabat pasien atau privasi dan membela mereka terhadap intervensi yang dapat menyebabkan kesusahan bagi pasien (Snowball 1996, Schwartz 2002). Dalam kegiatan ini advokat tampaknya sendirian, tanpa seorang pasien tertentu. Kegiatan pembelaan juga dapat digambarkan terjadi di atas hubungan spesifik perawat- pasien, dalam kaitannya dengan organisasi atau masyarakat.
6.
Konsekuensi Advokasi
Memberdayakan konsekuensi bagi pasien seperti rasa kepribadian, harga diri dan martabat, kepuasan dengan hati-hati, rasa kesejahteraan umum, kualita hidup, pembebasan dan relasement, keterlibatan dalam perawatan, informasi pilihan, otonomi. Pemberdayaanklien seperti self-advokasi, penentuan nasib sendiri, kualitas pelayanan, pencegahan komplikasi, penghematan biaya pasien, peningkatan tingkat ketahanan hidup.Melemahkan konsekuensi bagi pasien seperti menjadi disalahgunakan, penderitaan. Memberdayakan
konsekuensi
perawat
seperti
peningkatan
keyakinan diri, peningkatan status profesional, dan kepuasan profesional. Melemahkan konsekuensi perawat seperti frustasi dan kelelahan, profesional pembalasan, pribadi dan profesional risiko. Advokasi dapat dilihat sebagai hak hukum atau moral pasien atau sebagai perawatan profesional atau kewajiban moral, sebagai filsafat, intervensi, indikator atau suatu hasil.Namun, kebanyakan didekati dari sudut pandang perawat. Selanjutnya, advokasi dapat digunakan untuk mensyaratkan pendidikan keperawatan dan pengetahuan klinis dan etika, atau dapat digunakan sebagai ombudsman pasien diluar tim perawatan kesehatan. Pembelaan juga dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa atau sebagai suatu proses, sebagai bagian klinis dan etis dari asuhan keperawatan, atau sebagai peran penasehat dalam suatu situasi konflik etis. Pasien memiliki hak untuk memberikan informasi tentang perawatan rasa sakit dan hak untuk merawat rasa sakit yang efektik bahkan dalam prosedur medis kecil, tetapi menurut literatur meninjau hak-hak ini tidak sepenuhnya di hormati. 1.14 Pengambilan Keputusan Legal Etis
Terdapat beberapa prinsip etik dalam pelayanan kesehatan dan keperawatan yaitu : 1.
Autonomy (Penentu Pilihan) Perawat yang mengikuti prinsip autonomy menghargai hak klien untuk mengambil keputusan sendiri.
2.
Non Maleficience (Do no harm) Berarti tugas yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi kliennya.
3.
Beneficience (do good) Berarti
melakukan
yang
baik
bagi
klien.
Yaitu
mengimplementasikan tindakan yang baik untuk keluarga dan klien. 4.
Justice (Perlakuan adil) Perawat sering mengambil keputusan dengan menggunakan rasa keadilan.
5.
Fidelity (Setia) Setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimiliki seseorang.
6.
veracity (kebenaran) Mengacu kepada mengatakan kebenaran.Sebagian besar anak-anak diajarkan untuk selalu berkata jujur tetapi bagi orang dewasa pilihannya seringkali kurang jelas. Keenam prinsip diatas senantiasa menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan misalnya dengan klien yang skabies : apakah otonomi klien dihargai, bila klien nona T menginginkan perawatan dilakukan oleh
keluarganya, maka kita ijinkan asalkan sebelumnya keluarga klien diberikan pengarahan tentang perawatan klien skabies. Apakah keputusan ini mencegah konsekuensi bahaya, apakah tindakan ini bermanfaat untuk siapa : apakah keputusan ini adil dalam pemberian kepeerawatan, perawat tidak boleh membedakan klien dari status solsialnya tetapi melihat dari penting atau tidaknya pemberian keperawatan. Untuk alsan moral, hak-hak klien harus dihargai
dan
dilindungi.Hak-hak
tersebut
menyangkut
kehidupan,
kebahagiaan, kebebasan, privasi, self-determination, perlakuan adil dan integritas diri.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaidin, Haji. 2001. Dasar-dasar Keperawatan Nasional. Jakarta : Gaffar, La Ode jumadi. 1999. Pengantar KeperawatanNasional. Jakarta : EGC Gaffar, La Ode Jumadi.1999.Keperawatan Profesional.Jakarta:EGC Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Konsep dasar Keperawatan, edisi 2, Jakarta : Salemba Medika Widya Medika Jusuf Hanafiah, M. 2008. Etka Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC Nursalam.2008.Pendidikan Dalam Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika Potter Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia file:///C:/Users/axioo%20pico/Downloads/prinsip-prinsip-legal-dalam-praktik.html file:///G:/MAKALAH%20MALPRAKTIK%20%C2%AB%20Zumrohhasanah%27s %20Blog.htm file:///G:/malpraktek-dalam-keperawatan.html