ISSN : 2085 – 3793
Dyah Siwi Hety Model Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Bersalin Di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto Arief Fardiansyah, dan Ifa Rohmatul Ayuningsih Hubungan Stimulasi Pendidikan Tk Dengan Indeks Prestasi Di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Dwi Helynarti Syurandari Efektifitas Pendidikan Kesehatan Terhadap PHBS Di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto Sri Sudarsih Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Status Gizi Balita Di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Farida Yuliani Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Asi Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulan Di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Eka Diah Kartiningrum Kesehatan Gigi Ibu Hamil Di Di Puskesmas Kedungsari Mojokerto Abdul Muhith dan Angga Novida Yasma Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO Jurnal Kesehatan
VOL 6
No. 1
Hlm. 1 - 127
Mojokerto Maret 2014
ISSN 2085 - 3793
MEDICA MAJAPAHIT JURNAL ILMIAH KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO Diterbitkan oleh Bagian Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto sebagai terbitan berkala yang terbit pada bulan Maret dan September menyajikan informasi dan analisis masalah-masalah kesehatan. Kajian ini bersifat ilmiah sebagai hasil pikiran yang empiric dan teoritis. Untuk itu redaksi bersedia menerima karya ilmiah hasil penelitian, atau artikel termasuk ide-ide pengembangan di bidang kesehatan yang dihasilkan oleh dosen-dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto. Redaksi berhak menyuntik, menyingkat dan memperbaiki karangan sejauh tidak mengubah isinya. Dilarang memperbanyak, mengutip dan menerjemahkan isi dalam jurnal ini tanpa seijin redaksi. Pelindung Ketua Yayasan Kesejahteraan Warga Kesehatan (YKWK) Penasehat Ketua Stikes Majapahit Pemimpin Redaksi Sri Sudarsih, S.Kp., M.Kes Penyunting Arief Fardiansyah, ST., M.Kes Anwar Kholil, S.Pd. M.Pd Redaksi Pelaksana Dwi Helynarti, S.Si Tata Usaha/ Sirkulasi/ Iklan Siti Khalimah, SE. Alamat Redaksi: Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto, Jl. Raya Jabon KM 2 Gayaman Mojoanyar Mojokerto Telp/ Fax (0321) 329 915
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 6. No. 1, Maret 2014
Pengantar Redaksi Jurnal Medica Majapahit merupakan bentuk jurnal yang didedikasikan untuk mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh civitas akademik Stikes Majapahit yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Artikel yang pertama ditulis oleh Dyah Siwi Hety dengan judul Model Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Bersalin Di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto. Pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)di RSUD pada umumnya tidak sesuai dengan SOP (Standard Operational Procedure) yang ada di rumah sakit. Hambatan yang terjadi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yaitu, pada ibu bersalin antara lain: kecapekan, rasa lapar serta ketidaktahuan ibu tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Hambatan juga terjadi pada petugas kesehatan atau bidan yaitu, kurangnya tenaga bidan sehingga pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tidak maksimal. Pengembangan model pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) pada ibu bersalin yaitu dari 6 langkah IMD yang ada di rumah sakit menjadi 11 langkah model modifikasi IMD. Artikel kedua ditulis oleh Arief Fardiansyah, dan Ifa Rohmatul Ayuningsih dengan judul Hubungan Stimulasi Pendidikan Tk Dengan Indeks Prestasi Di SD
Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara stimulasi keikutsertaan pendidikan TK dengan indeks prestasi siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang sudah pernah mengikuti pendidikan di Taman Kanak – Kanak akan memperoleh berbagai pengalaman dan bekal dalam menghadapi pembelajaran disekolah dasar sehingga mereka dapat menerapkan hal tersebut dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dasar. Hendaknya bagi para guru atau tenaga pengajar agar lebih meningkatkan kompetensi yang dimiliki dalam memberikan stimulasi dalam merangsang motivasi belajar anak sehingga anak akan mempunyai motivasi yang lebih baik dalam belajar dan dapat meningkatkan prestasi belajar mereka. Artikel yang ketiga ditulis oleh Dwi Helynarti Syurandari dengan judul Efektifitas
Pendidikan Kesehatan Terhadap PHBS Di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar dikategorikan anak sehat III, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sesudah diberi pendidikan kesehatan sebagian besar responden dikategorikan anak sehat IV. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap PHBS anak kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Hal ini berdasarkan hasil uji statistic Wilcoxon didapatkan hasil ρ : 0,000 < α : 0,05 (5%) dengan demikian H1 diterima dan Ho di tolak. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan bagai anak-anak mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Sehingga dapat membiasakan diri untuk berperilaku hidup secara bersih dan sehat di lingkungan sekolah, rumah maupun masyarakat. Sebagai bahan tambahan untuk memberikan penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat baik disekolah-sekolah maupun masyarakat. Artikel yang keempat ditulis oleh Sri Sudarsih dengan judul Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Status Gizi Balita Di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Pengetahuan dan sikap merupakan faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku ibu dalam memberikan asupan gizi pada balita yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita. Tenaga kesehatan khususnya perawat dapat meningkatkan program kerja dalam peningkatan gizi balita dengan memberikan contoh menu yang seimbang pada ibu balita, mengadakan lomba balita sehat, mengadakan lomba memasak makanan balita yang menarik dan bervariasi, serta memberikan tips cara mengatasi kesulitan makan pada balita Artikel yang kelima ditulis oleh Farida Yuliani dengan judul Hubungan
Pengetahuan Ibu Tentang Asi Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulan Di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Pengetahuan tentang ASI eksklusif mempengaruhi pemberian MP ASI dini, pada pengetahuan baik akan mendorong ibu tidak memberikan MP ASI dini. Sebaliknya jika pengetahuan cukup dan kurang akan mendorong ibu memberikan MP ASI dini. Artikel yang keenam ditulis oleh Eka Diah Kartiningrum dengan judul Kesehatan
Gigi Ibu Hamil Di Di Puskesmas Kedungsari Mojokerto. Hasil penelitian menunjukkan sejumlah 25 responden, sebagian besar responden mempunyai DMFT rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 responden(60 %). Semakin kurang pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi kalsium maka kesehatan giginya semakin kurang. Faktor utama yang mempengaruhi kurangnnya pengetahuan adalah kurang pemahaman responden terhadap objek tertentu Oleh karena itu, diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan konseling tentang konsumsi kalsium guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan selama kehamilan. Artikel yang ketujuh ditulis oleh Abdul Muhith dan Angga Novida Yasma dengan judul Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto. Hasil
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
penelitian membuktikan bahwa ada perubahan intensitas nyeri yang dirasakan responden sesudah terapi karena terjadi penurunan ketegangan otot terutama otot bagian lumbo sacral spine. Maka dari itu terapi latihan william flexion exercise dapat digunakan sebagai salah satu terapi alternatif dan tidak hanya berfokus pada terapi farmakologis dalam menangani nyeri khususnya nyeri punggung bawah.
Redaksi,
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 6. No. 1, Maret 2014
DAFTAR ISI Model Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Bersalin Di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto Dyah Siwi Hety..................................................................................................
1
Hubungan Stimulasi Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi Di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Arief Fardiansyah, dan Ifa Rohmatul Ayuningsih .........................................
29
Efektifitas Pendidikan Kesehatan Terhadap PHBS Di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto Dwi Helynarti Syurandari. ...............................................................................
42
Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Status Gizi Balita Di Desa
Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Sri Sudarsih ......................................................................................................
57
Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ASI Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulan Di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Farida Yuliani .................................................................................................
83
Kesehatan Gigi Ibu Hamil Di Puskesmas Kedungsari Mojokerto Eka Diah Kartiningrum ....................................................................................
98
Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto Abdul Muhith dan Angga Novida Yasma ....................................................
111
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
MODEL PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD) PADA IBU BERSALIN DI RSUD PROF.DR.SOEKANDAR MOJOSARI MOJOKERTO Dyah Siwi Hety *) Abstract
In this study aims to analyze the implementation of Early Initiation of Breastfeeding, analyze implementation constraints and develop models of the implementation of Early Initiation of Breastfeeding on maternal. This research uses a qualitative study, future research on starting December 2012 until July 2013.Informan research midwives and maternal. The research method uses observation, in-depth interviews and focus group disscusion. Researcher's own research instrument, checklist, interview guide and focus group guide disscusion. Descriptive analysis of the description, which includes the step of data collection, reduction and presentation of data. The results of observations on the direct maternal midwife directly by the command to hold her baby. Barriers that happens is tiredness and hunger. Results of in-depth interviews saying only pregnant women information about nutrition, information about the initiation of early breastfeeding mother knows only partially. Focus Group Results disscusion maternal expect information about early breastfeeding initiation given time pregnancy check and families may wait time of delivery. The observation of the midwife, seem hasty and not in accordance with the Standard Operational Procedure is in the hospital. Results of in-depth interviews, all midwives could explain the steps to implement correctly. Barriers that happens is, a shortage of midwives. Focus Group Results disscusion all midwives said to be realized additional midwives. Early Initiation of Breastfeeding Early implementation is not in accordance with the Standard Operational Procedure. Bottleneck that occurs in the maternal fatigue, hunger and ignorance about Early Initiation of Breastfeeding mom. Barriers on the midwife, a shortage of midwives so that the implementation of Early Initiation of Breastfeeding was not optimal. Model development by involving husbands or families. Socialize hospital guidelines contained in the Standard Operational Procedure and facilities have used standard. Supervision and reminded all midwives to record activities Early Initiation of Breastfeeding. Keywords: models, early initiation of breastfeeding, maternal. A. PENDAHULUAN Pemberian ASI esklusif yang diberikan untuk bayi selama 6 bulan pertama sangat penting dan bermanfaat. Pemberian ASI eksklusif ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan otak balita. Berdasarkan data WHO, cakupan ASI eksklusif masih rendah untuk negara berkembang dan negara miskin termasuk Indonesia. Berdasarkan penelitian, bayi dibawah usia 6 bulan yang tidak diberikan ASI mempunyai risiko lima kali lipat terhadap kesakitan dan kematian akibat diare dan pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Dinartiana, 2011). Pemberian ASI eksklusif secara baik, sekitar 6 bulan pertama kelahiran akan berdampak sangat positip bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi baik secara emosional maupun fisik. Bayi akan tumbuh lebih sehat dengan sistem imun yang sempurna dari air susu ibu (ASI), karena ASI mampu memberikan perlindungan yang sempurna bagi bayi yang baru lahir. Menurut data SDKI tahun 2012 angka kematian bayi di Indonesia mengalami penurunan, pada tahun 2012 tercatat 32 per 1000 kelahiran hidup menurun dibandingkan pada tahun 2007 yang tercatat sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Indonesia ini masih jauh dari harapan target MDGs pada tahun 2015 yaitu sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu solusi dalam mengurangi penyebab kematian pada bayi adalah melalui pemberian ASI dalam 1 jam pertama yang dinamakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), dan dilanjutkan pemberian secara eksklusif selama 6 bulan, kemudian diteruskan selama 2 tahun pertama atau lebih. Program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini harus terus disosialisasikan ke *) Penulis adalah DosenPoliteknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
masyarakat, karena banyak hal positip yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Secara naluriah, bayi akan memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan ibu melalui kontak pertama setelah kelahirannya melalui inisiasi menyusu dini. The World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) tahun 2007, memperkirakan 1 juta bayi dapat diselamatkan setiap tahunnya bila diberikan ASI pada 1 jam pertama kelahiran, kemudian dilanjutkan ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan. Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dipercaya akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh bayi terhadap penyakitpenyakit yang berisiko kematian tinggi (misalnya kanker syaraf, leukemia, dan beberapa penyakit lainnya). Menurut penelitian Dr.Karen Edmond tahun 2006 di Ghana, jika bayi diberi kesempatan menyusu dalam satu jam pertama dengan dibiarkan kontak kulit ke kulit ibu maka 22 persen nyawa bayi dibawah usia 28 hari terhindar dari kematian (Utami Roesli, 2012). IMD (Inisiasi Menyusu Dini) berdampak pada penurunan angka kematian balita, yang banyak dipengaruhi oleh penerapan pemberian ASI Eksklusif, hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan WHO pada tahun 2000 di enam negara berkembang. Hasil penelitian diketahui bahwa risiko kematian bayi antara usia 9 sampai 12 bulan dapat meningkat 40 persen pada bayi yang tidak disusui, sehingga alasan untuk melakukan inisiasi menyusui dini sebagai awal suksesnya penerapan ASI eksklusif secara optimal. IMD (Inisiasi Menyusu Dini), dapat mengurangi angka kematian balita sebesar 8,8 persen (Biro Humas Pemprov Jatim, 2013). Infant Mortality Rate atau angka kematian bayi di Jawa Timur dalam beberapa tahun ini mengalami tingkat penurunan yang signifikan, bahkan pada tahun 2012 tercatat 30 per 1.000 kelahiran hidup menurun dibandingkan pencapaian pada tahun 2007 yang tercatat sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). Menurut data SDKI 2002-2003 dan SKRT 2001 proporsi kematian balita yang terbanyak adalah pada usia 0 – 7 hari sebesar 35 persen. Pada tahun 2012, IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dan ASI Eksklusif di Jawa Timur sudah mencapai 64,5 persen, hal ini merupakan suatu program yang luar biasa dan signifikan dibanding tahun 2010 yang hanya mencapai 37 persen. Di wilayah Jawa Timur masih ada dua kabupaten yang cakupannya rendah dalam hal IMD, yakni Lamongan dan Trenggalek (Biro Humas Pemprov Jatim, 2013). Selama ini masih banyak ibu yang mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya, hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk menghisap ASI kurang sempurna sehingga secara keseluruhan proses menyusu terganggu. Keadaan ini ternyata disebabkan terganggunya proses alami dari bayi untuk menyusu sejak dilahirkan. Penolong persalinan selalu memisahkan bayi dari ibunya segera setelah lahir, untuk dibersihkan, ditimbang, ditandai dan diberi pakaian. Ternyata proses ini sangat menggangu alami bayi untuk menyusu (Utami Roesli, 2012). WHO dan UNICEF merekomendasikan inisiasi menyusu dini sebagai tindakan penyelamatan kehidupan, karena inisiasi menyusu dini dapat menyelamatkan 22 persen bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan. Menyusui satu jam pertama kehidupan yang diawali dengan kontak kulit antara ibu dan bayi dinyatakan sebagai indikator global, ini merupakan hal yang baru bagi Indonesia, dan merupakan program pemerintah. Semua tenaga kesehatan di semua tingkat pelayanan kesehatan maupun masyarakat diharapkan dapat mensosialisasikan dan melaksanakan serta mendukung suksesnya program ini, sehingga diharapkan akan tercapai sumber daya Indonesia yang berkualitas. Pengetahuan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) belum banyak diketahui masyarakat bahkan juga petugas kesehatan. Masalah ini wajar, karena IMD (Inisiasi Menyusu Dini) adalah ilmu pengetahuan baru bagi masyarakat Indonesia. Kebanyakan ibu tidak tahu bahwa membiarkan bayi menyusu sendiri segera setelah kelahiran atau yang biasa disebut proses IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sangat bermanfaat. Proses IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini hanya membutuhkan waktu sekitar 60 menit sangat berpengaruh pada kehidupan bayi untuk seumur hidup. Melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bayi akan belajar beradaptasi dengan dunia luar, selain itu kedekatan antara ibu dan bayi akan terbentuk selama proses tersebut. Kurangnya pengetahuan dari orang tua, pihak medis maupun keengganan untuk melakukannya, membuat IMD (Inisiasi Menyusu Dini) masih jarang dilaksanakan.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Faktor keberhasilan dalam menyusui adalah menyusui secara dini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif. Pengetahuan ibu, baik melalui kader kesehatan maupun petugas kesehatan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) masih kurang, bahkan hanya ada beberapa rumah sakit saja yang memberikan layanan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) untuk ibu melahirkan. Program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto sudah dilaksanakan sejak tahun 2010, tetapi dalam pelaksanaannya belum maksimal yang dikarenakan tidak ada dukungan dari pihak yang terkait. Rumah Sakit ini merupakan satusatunya rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto yang sudah melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Data Inisiasi Menyusu Dini (IMD) di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto pada tahun 2012, yang melahirkan secara normal sebanyak 926 ibu, dengan perincian persalinan normal tanpa komplikasi 212 ibu dan persalinan normal dengan komplikasi (KPP, Pre eklamsi, di oksitosin drip dan lain-lain) sebanyak 714 orang ibu. Tetapi yang dilaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) hanya 194 ibu dari jumlah persalinan normal tanpa komplikasi, hal ini disebabkan pertimbangan kondisi kesehatan ibu maupun bayinya. Pada persalinan dengan tindakan dan secara operasi caesar belum dilaksanakan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin mengetahui model pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada ibu bersalin di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto. B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, yang menggambarkan model pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di RSUDProf.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto. Rancang bangun penelitian menggunakan uraian deskriptif. Pengambilan data dilaksanakan dengan mengobservasi langkah, waktu, hambatan serta setiap kejadian yang ada pada pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) untuk mendapatkan data dari informan. Observer dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, apakah hasil observasi dapat dipercaya atau tidak, peneliti melakukan wawancara mendalam. Sarana yang digunakan adalah panduan wawancara mendalam, buku catatan, alat tulis, dan alat rekaman. Setelah observasi dan wawancara mendalam dapat diketahui bagaimana pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) saat ini yang ada serta hambatannya. Hasil dari observasi dan wawancara mendalam dibahas dalam FGD (Focus Group Discussion). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang memiliki data dari hasil observasi yang dilakukan peneliti, wawancara mendalam serta FGD(Focus Group Discussion). Cara menganalisis data menggunakan uraian diskriptif dengan menganalisis setiap data yang terdapat dalam penelitian ini. Informasi yang terkumpul dari observasi, wawancara mendalam dan FGD(Focus Group Discussion) merupakan data mentah. Tugas peneliti adalah mempersiapkan pernyataan menyangkut data yang terkumpul.. Definisi Operasional Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ASI Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulandi Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala Pengetahuan ibu Semua bentuk pemahaman dan Baik = > 75% Ordinal tentang ASI pengertian ibu yang berhubungan Cukup = 60-75% eksklusif dengan ASI eksklusif yang berisikan Kurang= < 60% mengenai : (Arikunto, 2006) - Pengertian ASI eksklusif - Alasan pemberian ASI eksklusif - Faktor yang terkait pemberian ASI eksklusif - Komposisi ASI - Manfaat ASI eksklusif
Tabel 1.
Vol 6. No. 1, Maret 2014 Variabel
Pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan
MEDICA MAJAPAHIT
Definisi Operasional Kriteria - 12 keunggulan ASI eksklusif - Pemberian ASI - Tips sukses pemberian ASI eksklusif Instrumen yang dipergunakan adalah lembar kuesioner Makanan pendamping ASI yang Diberikan : 0 diberikan sebelum usia 6 bulan Tidak diberikan : 1 Instrumen yang dipergunakan adalah lembar observasi
Skala
Nominal
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Ibu bayi sebelum usia 6 bulan, sebanyak 48 responden, terhitung sampai tanggal 7-19 Juni 2013. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan sebanyak 48 responden. Peneliti menggunakan sampel jenuh yaitu cara pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel (Aziz Alimul, 2009:76).Penelitian ini dilakukan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada bulan Agustus-September 2013. Teknik Pengumpulan Data setelah mendapatkan ijin dari Dinkes Kabupaten Mojokerto dan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Peneliti mengadakan pendekatan kepada ibu bayi untuk mendapatkan persetujuan sebagai responden. Setelah mendapat persetujuan menjadi responden, peneliti mulai melakukan pengambilan data dengan teknik observasi. Instrumen Pengumpulan Data yang digunakan yaitu lembar kuesioner dan lembar cheklist. Teknik Analisis Data menggunakan distribusi frekwensi dan diuji dengan wicoxon sign rank test. A. HASILPENELITIAN 1. Hasil observasi dan wawancara mendalam ibu bersalin. Hasil wawacara mendalam tentang informasi yang didapat waktu ANC(Ante Natal Care) kebanyakan mengatakan hanya informasi mengenai nutrisi ibu hamil saja. Seperti petikan wawancara peneliti dengan informan Ny.”E” berikut ini. ”..........Ibu hamil harus memperbanyak makan sayur dan buah supaya bayinya sehat dan air susunya lancar. Bayinya nanti harus disusui sendiri ndak boleh diberi susu botol”. Penjelasan yang rinci mengenai faktor yang mempengaruhi produksi dan pengeluaran ASI (Air Susu Ibu) tidak diberikan saat ANC(Ante Natal Care). Hasil wawancara mendalam tentang cara perawatan payudara semua informan mengatakan hanya dibersihkan dengan sabun waktu mandi. Perawatan payudara pada waktu hamil merupakan hal yang penting untuk membantu pengeluaran ASI (Air Susu Ibu). Berikut wawancara peneliti dengan informan Ny.”M”. “..........Cara merawat payudara ya dengan membersihkannya setiap mandi dengan menggunakan sabun, biar bersih. Saya tidak pernah mendengar cara merawat payudara yang lain”. Sedangkan penjelasan tentang ASI eksklusif rata-rata ibu bersalin sudah mengetahui sejak sebelum hamil dari orang tuanya, tetangga, teman dan media massa ataupun media elektronik. Waktu ANC(Ante Natal Care) bidan tidak memberikan informasi mengenai ASI eksklusif secara jelas, hanya mengatakan bayinya harus disusui. Berikut petikan wawancara peneliti dengan informan Ny.”P”. “..........Kalau informasi tentang ASI eksklusif saya sudah tahu dari ibu saya, teman dan tetangga yang sudah pernah punya anak. Di iklan televisi, gambar di puskesmas juga ada, waktu periksa hamil bu bidan ndak pernah memberitahu, hanya mengatakan bayinya harus disusui”.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
2.
MEDICA MAJAPAHIT
Informasi mengenai IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya sebagian kecil ibu saja yang mengatakan pernah mendapat informasi waktu ANC(Ante Natal Care) dari bidan dan majalah. Pada waktu ANC(Ante Natal Care) bidan sudah harus memberikan pengetahuan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sebagai persiapan untuk masa meneteki. Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan informan Ny.”M”. ”..........Waktu periksa hamil di bidan saya diberitahu kalau waktu melahirkan bayinya ditaruh di atas perut untuk mencari puting susu saya. Kata bu bidan bayinya belajar menyusu sendiri”. Ada beberapa orang ibu yang tidak mengetahui arti IMD (Inisiasi Menyusu Dini), waktu wawancara mendalam tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tampak kebingungan dan menjawab tidak tahu. Hasil yang didapatkan dari observasi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini), ibu bersalin langsung menurut perintah bidan untuk memegang bayinya tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu bahwa akan dilaksanakan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Ekspresi wajah ibu bersalin tampak bergembira bisa memeluk bayinya, seperti petikan wawancara mendalam peneliti dengan informan Ny.”R”. ”..........Ya senang sekali bisa memeluk dan melihat anak saya mencari puting susu, lucu sekali. Masih bayi kok sudah tahu susu saya”. Hasil wawancara mendalam semua ibu bersalin mengeluh lapar dan capek, sehingga pada waktu bidan menyuruh memegang bayinya saat berada diatas perut kadang dilepaskan. Masalah ini disebabkan keluarga tidak mendampingi saat persalinan berlangsung. Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan informan Ny.”P”. ”.......... Setelah melahirkan ya lapar, ya capek sekali, khan habis mengeden. Suami dan ibu saya ndak boleh masuk nunggu di sini”. Jadi hasil dari observasi dan wawancara mendalam rata-rata ibu bersalin aktif dan mau memegang bayinya tetapi kadang dilepaskan karena lapar dan capek. Keinginan dan harapan ibu bersalin tentang peningkatan pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yaitu, berharap informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini diberikan oleh bidan kepada semua ibu hamil supaya mengetahuinya sehingga bisa meneteki bayinya dengan benar. Berikut ini adalah petikan hasil wawancara peneliti dengan informan Ny.”M”. ”..........Bu bidan harus memberikan informasi IMD waktu periksa hamil, sehingga semua ibu mengetahui dan bisa meneteki dengan benar”. Informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ini memang harus dimulai sejak ibu hamil, sehingga pada waktu pelaksanaan bisa berjalan sesuai harapan. Informasi yang di dapat ibu bersalin waktu ANC (Ante Natal Care) hanya tentang nutrisi waktu hamil saja, informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya sedikit. Informasi yang di dapat pada waktu hamil akan mempengaruhi pengetahuan ibu, semakin banyak informasi semakin baik pula pengetahuannya. Pendidikan ibu bersalin yang terbanyak adalah pendidikan dasar, yaitu 2 orang ibu pendidikan akhir SD, 3 orang ibu pendidikan akhir SMP, pendidikan akhir SMA 1 orang ibu dan 2 orang pendidikan akhir sarjana. Ditinjau dari karakteristik pendidikan ibu sangat rendah, sehingga mempengaruhi pengetahuannya tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Faktor usia ibu sebagian besar berusia antara 25 tahun – 30 tahun yaitu 4 orang ibu, yang berusia antara 30 tahun – 35 tahun hanya 2 orang ibu, usia lebih 35 tahun 1 orang ibu, dan usia antara 20 tahun – 25 tahun juga hanya 1 orang ibu. Sebagian besar ibu mempunyai 2 orang anak (paritas 2), yaitu 5 orang ibu. Sedangkan yang paritas 1 hanya 3 orang ibu. Semakin banyak paritas, semakin baik pula pengetahuan dan pengalaman ibu tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dan meneteki pada anak pertama dulu. Hasil observasi dan wawancara mendalam bidan. Hasil observasi waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bidan terkesan tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan SOP(Standard Operational Procedure) yang ada. Hasil wawancara mendalam tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini), semua bidan
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
bisa menjelaskan langkah pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) secara benar. Berikut wawancara peneliti dengan informan bidan “L”. ............”Ya setelah bayinya lahir langsung diletakkan di atas perut ibu, kemudian dibersihkan. Tali pusat diklem, dipotong terus diikat, setelah itu bayi diletakkan tengkurap di dada ibu sambil diberi selimut untuk memulai IMD”. Hasil wawancara tentang beban kerja waktu melaksanakan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) semua bidan mengatakan tidak ada beban, hal ini berbanding terbalik dengan hasil observasi yang terkesan tergesa-gesa untuk segera memindahkan bayi ke ruang neonatus. Seperti petikan wawancara peneliti dengan informan bidan “D” berikut ini. ”..........Ya tidak ada beban kerja, karena sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang bidan, jadi harus dilaksanakan”. Hasil yang di dapatkan dari wawancara mendalam tentang hambatan pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) semua informan menjawab yaitu tenaga bidan yang terbatas tidak sesuai dengan jumlah pasien yang ada serta kondisi ibu bersalin dan bayi saat persalinan berlangsung. Hambatan ini yang membuat pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tidak bisa berjalan maksimal. Berikut adalah petikan wawancara peneliti dengan informan bidan “T”. ”..........Kalau pas pasiennya banyak tenaga terbatas sehingga pelaksanaan IMD tidak bisa maksimal. Belum lagi kalau keadaan pasiennya jelek”. Waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bidan tidak memerlukan persiapan khusus, dengan alasan karena ibu bersalin sudah membawa perlengkapan bayi dari rumah. Seharusnya semua fasilitas atau perlengkapan termasuk selimut, topi bayi dilengkapi oleh pihak rumah sakit. Pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bidan meminta perlengkapan yang dibutuhkan kepada keluarga ibu bersalin. Hasil observasi terhadap semua bidan perlengkapan yang dipakai waktu IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya kain bersih dan kering 2 potong saja, tanpa memakai selimut ibu dan topi bayi. Berikut petikan wawancara peneliti dengan informan bidan “I”. ”..........Tidak perlu persiapan khusus, karena ibu bersalin khan sudah membawa perlengkapan bayi dari rumah, kita tinggal meminta kepada keluarganya saja”. Hasil wawancara mendalam terhadap semua informan mengatakan program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sudah tepat dilaksanakan di rumah sakit ini, karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit sayang ibu dan bayi. Selain sudah menjadi rumah sakit sayang ibu dan bayi, rumah sakit tersebut juga menjadi lahan praktek mahasiswa keperawatan dan kebidanan. Seperti petikan wawancara peneliti dengan informan bidan “P” berikut ini: ”..........Pelaksanaan IMD sudah tepat dilaksanakan di rumah sakit ini, karena rumah sakit ini sudah merupakan rumah sakit sayang ibu dan bayi. Selain itu rumah sakit ini juga banyak mahasiswa keperawatan dan kebidanan yang praktek”. Semua bidan berharap pihak rumah sakit segera membuat kebijakan peraturan tentang penerapan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dan ada penambahan tenaga bidan supaya pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bisa berjalan maksimal. Selama ini sudah ada SOP (Standard Operational Procedure) tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini), tetapi hasil observasi pelaksanaannya belum semua bidan melaksanakan dengan benar. Hasil wawancara terhadap semua bidan mereka mengatakan bahwa promosi susu formula sudah dilarang masuk rumah sakit. Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan informan bidan “D”. ”..........Saya tidak setuju sekali kalau ada promosi susu formula masuk rumah sakit, karena yang terbaik untuk bayi adalah ASI”.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
3.
MEDICA MAJAPAHIT
Hasil yang didapat waktu observasi memang tidak ditemukan susu formula, baik itu diruang neonatus maupun di ruang nifas. Setelah bayi mendapat perawatan di ruang neonatus untuk pemberian salep mata, injeksi vitamin K, pemberian identitas, penimbangan serta pengukuran dan bayi dibedong, kemudian bayi diberikan ke ibunya untuk rawat gabung. Indikasi untuk rawat gabung adalah kalau kondisi kesehatan ibu dan bayi memungkinkan. Faktor pengetahuan bidan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) adalah cukup baik, yaitu bisa menjelaskan semua langkah yang ada dalam tahap pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Faktor kepatuhan bidan terhadap pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sangat kurang karena tidak sesuai SOP(Standard Operational Procedure) yang ada di rumah sakit. Dengan adanya ketidakpatuhan bidan dalam melaksanakan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) membuat komitmen bidan menjadi rendah, sehingga tidak ada tanggung jawab dalam pelaksanaannya. Ditinjau dari pengalaman kerja sudah cukup, karena sebgian besar bekerja antara 5 – 10 tahun sebanyak 4 orang bidan, antara 11 – 20 tahun 2 orang bidan dan 1 orang bidan bekerja lebih 21 tahun, sedangkan hanya 1 orang bidan saja yang lama kerja kurang dari 5 tahun. Fasilitas rumah sakit yang digunakan untuk pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) memang tidak tersedia, yang dipergunakan adalah perlengkapan dari ibu bersalin sendiri. Kebijakan dari rumah sakit tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sudah ada SOP (Standard Operational Procedure), tetapi pelaksanaannya belum maksimal. Hasil FGD(Focus Group Discussion) bidan. FGD pada tahap pertama ini di ikuti oleh 8 orang bidan, yaitu 4 orang pendidikan terakhir D4 Kebidanan, dan 4 orang pendidikan terakhir D3 Kebidanan. Waktu lama bekerja bidan yaitu 1 orang bidan bekerja kurang dari 5 tahun, 4 orang bidan bekerja antara 5 - 10 tahun, 2 orang bidan bekerja antara 11 – 20 tahun dan 1 orang bidan bekerja antara 21 - 30 tahun. FGD dilaksanakan selama 60 menit di kantor kepala ruangan bersalin. Ringkasan hasil dari observasi adalah semua bidan waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) terkesan tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan SOP(Standard Operational Procedure),padahal pada waktu wawancara mendalam tentang langkah pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bisa menjelaskan secara benar. Hasil wawancara mendalam tentang masalah beban kerja, semua bidan menjawab tidak ada beban kerja karena merupakan suatu kewajiban. Masalah ini tidak sesuai dengan hasil observasi, katanya tidak ada beban kerja tetapi pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tergesa-gesa dan bayi segera di pindah ke ruang neonatus. Berikut petikan hasil FGD yang didapatkan dari bidan “H”. “..........Hambatan pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yaitu tentang tenaga bidan yang kurang jumlahnya, sehingga pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tidak bisa berjalan maksimal. Satu kali rotasi dinas hanya 2 - 3 orang bidan saja yang berdinas. Padahal dalam ruang bersalin ada 4 bagian ruangan (ruang PONEK, ruang nifas fisiologi, ruang nifas patologi, dan ruang ginekologi), belum lagi kalau jumlah pasien banyak sekali”. Perbandingan jumlah bidan dan jumlah pasien tidak seimbang, hal ini yang membuat pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tidak bisa berjalan maksimal. SOP(Standard Operational Procedure) tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) selama ini sudah ada di Rumah Sakit, tetapi kebijakan untuk pelaksanaan belum sepenuhnya dilaksanakan. Kenyataan selama ini pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di rumah sakit hanya melibatkan bidan dan ibu bersalin saja. Saran dan harapan para peserta FGD adalah segera direalisasikan untuk penambahan tenaga bidan. Berikut petikan hasil FGD dengan bidan “P”.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
4.
5.
MEDICA MAJAPAHIT
“..........Semoga pihak rumah sakit segera menambah tenaga bidan, sehingga kami tidak pontang panting antar ruangan dan IMD bisa berjalan sesuai dengan SOP”. Jadi semua peserta FGD berharap pihak rumah sakit segera merealisasikan penambahan tenaga bidan sehingga pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bisa berjalan maksimal. Hasil FGD(Focus Group Discussion) ibu bersalin. FGD pada tahap kedua ini di ikuti oleh 8 orang ibu bersalin, dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. 2 orang ibu pendidikan akhir Sarjana, 1 orang ibu pendidikan akhir SMA, 3 orang ibu berpendidikan SMP dan 2 orang ibu berpendidikan SD. FGD ini dilaksanakan di ruang nifas fisiologi selama 60 menit. Hasil yang didapatkan dari observasi pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini), ibu bersalin mau dan aktif waktu di suruh memegang bayinya saat berada di atas perut. Hasil observasi pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ibu bersalin kadang melepaskan peganggannya, sehingga bayi mau terjatuh. Hasil wawancara mendalam tentang hambatan apa ketika harus disuruh memegang bayinya, semua ibu menjawab capek dan lapar karena habis mengedan. Kebanyakan ibu bersalin tidak mengerti maksud dan tujuan sewaktu di suruh memegang bayinya, karena bidan tidak menjelaskan terlebih dahulu. Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny.”E”. “..........Saya bingung eh tiba-tiba bu bidan nyuruh memegang bayi saya, terus saya menurut saja. Tetapi lama-lama kok capek, karena tangan saya yang satu ada infusnya”. Berikut ini juga ada petikan hasil FGD dengan informan Ny.”R”. “..........Waktu setelah melahirkan bayi saya, bidan hanya memberitahu kalau bayinya belajar menyusu sendiri dan tolong bayinya dipegang biar tidak terjatuh”. Hasil wawancara mendalam tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya sebagian kecil ibu saja yang mengetahuinya. Informasi yang didapatkan dari bidan saat periksa hamil hanya tentang nutrisi ibu hamil, untuk informasi yang lain tidak diberikan. Harapan dan saran para ibu bersalin adalah bidan memberikan penjelasan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) saat periksa hamil, dengan adanya informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini), ibu hamil bisa mempersiapkan untuk meneteki bayinya nanti. Seperti petikan hasil FGD dengan informan Ny.”W” berikut ini. “.........Saat periksa hamil bidan harus memberi penjelasan tentang IMD, jadi saya bisa mempersiapkan untuk menyusui nanti”. Ibu bersalin juga berharap saat persalinan berlangsung, suami atau keluarga di perbolehkan menunggu di dalam ruang bersalin. Waktu menjelang persalinan ibu perlu semangat dan dukungan dari suami atau keluarga serta bantuan untuk melayani keperluan makan minum dan lain-lain. Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny.”P”. “..........Waktu mau melahirkan suami atau ibu saya boleh masuk ruang bersalin untuk menunggu saya, karena saya takut di dalam sendirian. Kepingin minum dan ke kamar mandi ndak ada yang membantu”. Hasil FGD(Focus Group Discussion) bidan, staf pelayanan medik dan ibu bersalin. FGD pada tahap ketiga ini di ikuti oleh 4 orang bidan, 4 orang ibu bersalin dan 2 orang staf pelayanan medik. Pelaksanaan FGD di dalam kantor kepala ruangan bersalin dan dilaksanakan selama 60 menit. Hasil FGD bidan adalah memberikan pendapat bahwa ada penambahan tenaga bidan pada setiap rotasi dinas. Berikut hasil FGD dengan bidan “T”. “.........Dengan adanya penambahan tenaga bidan pelaksanaaan IMD bisa berjalan dengan maksimal. Selama ini bidan yang berdinas setiap
Vol 6. No. 1, Maret 2014
6.
7.
MEDICA MAJAPAHIT
satu shif hanya sekitar 2 – 3 orang bidan saja, sedangkan ruangannya ada 4. Jumlah bidan yang berdinas tidak seimbang dengan jumlah pasien yang ada, sehingga dalam tugasnya bidan menjadi repot dan sibuk”. Ibu bersalin berpendapat bahwa harus ada pendamping saat persalinan, suami atau keluarga yang lain karena waktu persalinan terasa lelah dan lapar dan perlu bantuan. Berikut hasil FGD dengan informan Ny.”S”. “..........Saat menjelang persalinan ibu perlu semangat dan dukungan dari suami atau keluarga, serta bantuan untuk melayani keperluan makan minum dan lain-lain. Seharusnya suami atau keluarga diperbolehkan masuk ruang bersalin untuk bantu-bantu”. Staf pelayanan medik hanya memberikan pendapat tenaga bidan harus menambah pengetahuan dan ketrampilan tentang menolong persalinan, karena IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sudah termasuk 58 langkah APN (Asuhan Persalinan Normal). Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny. “H”. “..........Semua bidan diharapkan menambah pengetahuan dan ketrampilan tentang APN, karena IMD sudah termasuk di dalamnya. Semua bidan yang ada di rumah sakit ini khan hampir semuanya sudah pelatihan APN”. Berikut ini juga ada pendapat dari staf Pelayanan Medik Ny.”E”. “..........Setiap jadwal pertemuan siang klinik diharapkan semua tenaga medis atau paramedis selalu mengikutinya. Pada pertemuan siang klinik selalu diberikan penambahan pengetahuan dan ketrampilan tentang teori yang terbaru termasuk teori tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini)”. Kesimpulan hasil observasi, wawancara mendalam dan FGD pada ibu bersalin. Hasil yang didapatkan dari observasi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini), ibu bersalin langsung menurut perintah bidan untuk memegang bayinya tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu bahwa akan dilaksanakan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Tampak ekspresi wajah ibu bersalin menjadi kebingungan. Hambatan yang terjadi waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) adalah rasa capek dan lapar, sehingga pada waktu bidan menyuruh memegang bayinya kadang terlepas. Hasil wawancara mendalam pada ibu bersalin tentang informasi yang didapat waktu ANC(Ante Natal Care) kebanyakan mengatakan hanya informasi mengenai nutrisi ibu hamil saja. Informasi mengenai IMD (Inisiasi Menyusu Dini) hanya beberapa ibu saja yang mengatakan pernah mendapat informasi waktu ANC(Ante Natal Care) dari bidan dan dari majalah. Hasil FGD ibu bersalin mengatakan bahwa bidan harus memberikan informasi tentang IMD pada waktu periksa hamil, sehingga ibu bersalin bisa mempersiapkan untuk masa meneteki. Ibu bersalin juga berharap saat persalinan berlangsung suami atau keluarga di perbolehkan menunggu di dalam ruang bersalin untuk membantu semua keperluan ibu bersalin. Kesimpulan hasil observasi, wawancara mendalam dan FGD pada bidan. Hasil observasi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) bidan terkesan tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan SOP yang ada di rumah sakit. Hasil wawancara mendalam tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini), semua bidan bisa menjelaskan langkah pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) secara benar. Hasil wawancara mendalam tentang masalah beban kerja, semua bidan menjawab tidak ada beban kerja karena merupakan suatu kewajiban dan harus dilaksanakan. Masalah ini tidak sesuai dengan hasil observasi pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
8.
9.
MEDICA MAJAPAHIT
Untuk hambatan yang terjadi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini), yaitu tentang kekurangan jumlah bidan sehingga pelaksanaan tidak bisa berjalan maksimal. Hasil FGD semua bidan mengatakan bahwa segera direalisasikan untuk penambahan tenaga bidan. Perbedaan IMD yang sudah terlaksana di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto dengan draf yang di buat oleh peneliti. IMD yang sudah ada di RSUD
Usulan modifikasi IMD
1. Bayi lahir langsung letakkan di atas perut ibu yang sudah di beri alas kain yang bersih dan kering. 2. Keringkan seluruh tubuh bayi termasuk kepala secepatnya, kecuali kedua tangannya. 3. Tali pusat di klem, di potong lalu di ikat. 4. Hindari membersihkan vernix (lemak putih) yang melekat di tubuh bayi karena zat ini yang membuat nyaman tubuh bayi. 5. Tanpa dibedong, bayi langsung di tengkurapkan di atas dada ibu, dengan kontak kulit bayi dan kulit ibu. 6. Bayi dan ibu di selimuti bersama-sama dan di beri topi bayi untuk menghindari pengeluaran panas dari kepala.
1. Memenuhi syarat pelaksanaan IMD, (tidak ada kontraindikasi ibu dan bayi). 2. Menolong persalinan dan melihat jam untuk memulai IMD. 3. Melakukan penilaian pada bayi (apgar score harus > 7) 4. Mengeringkan tubuh bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh yang lain kecuali kedua tangannya. 5. Meletakkan bayi tengkurap di dada ibu, luruskan bahu bayi sehingga bayi menempel di dada ibu. 6. Kemudian selimuti ibu beserta bayi dengan kain yang bersih kering dan pasang topi di kepala bayi. 7. Mempersilahkan suami atau keluarga untuk mengadzani bayi. 8. Menganjurkan suami atau keluarga untuk membantu ibu dalam memegang bayinya. 9. Biarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di dada ibu paling sedikit selama satu jam. 10. Melanjutkan prosedur penanganan bayi sehat sesuai dengan asuhan bayi baru lahir normal setelah satu jam pertama bayi berhasil menyusu. 11. Bila dalam waktu satu jam belum berhasil menyusu, lanjutkan IMD di ruang rawat gabung.
Tanggapan peserta FGD setelah dipaparkan hasil usulan modifikasi IMD. 9.1 Tanggapan ibu bersalin. Semua ibu bersalin memberikan pendapat bahwa kalau IMD suami atau keluarga yang lain boleh masuk ke dalam ruang bersalin. Seperti petikan hasil FGD pada Ny.”E”. “..........Ya enak seperti itu, suami atau keluarganya boleh masuk untuk bantu-bantu, terus kita merasa tenang ada yang menunggu di dalam ruang bersalin”.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
9.2 Tanggapan bidan. Bidan juga berharap keluarga pasien boleh membantu dan masuk ke dalam ruang bersalin untuk menunggu, tetapi di batasi hanya satu orang saja. Berikut petikan hasil FGD dengan bidan “D”. “..........Wah saya senang sekali kalau IMD dengan melibatkan suami atau keluarga, bisa meringankan beban kerja saya. Tetapi yang boleh masuk membantu di ruang bersalin hanya satu orang saja, biar tidak ribut di dalam ruangan”. 9.3 Tanggapan staf Pelayanan Medik. Tanggapan dari staf Pelayanan Medik adalah setuju dengan draf IMD modifikasi ini, tetapi harus di bicarakan dulu ke dalam rapat rutin rumah sakit. Berikut petikan hasil FGD dengan informan Ny.”H”. “..........Pada intinya saya setuju sekali dengan usulan IMD ini, tetapi harus di bahas dulu dalam forum rapat rutin rumah sakit”. E.
PEMBAHASAN Hasil dari penelitian bahwa dalam pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di ruang bersalin RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto, pada beberapa ibu bersalin banyak yang mengatakan tidak pernah mendapatkan informasi tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sebelumnya. Informasi yang di dapat pada waktu hamil hanya tentang nutrisi ibu hamil saja, sedangkan untuk informasi yang lain seperti: perawatan payudara, IMD (Inisiasi Menyusu Dini), faktor yang mempengaruhi produksi dan pengeluaran ASI serta ASI eksklusif tidak diberikan. Seharusnya IMD (Inisiasi Menyusu Dini) disosialisasikan pada waktu ANC(Ante Natal Care) dengan menggunakan brosur, pamflet dan video, sehingga ibu memperoleh pengetahuan tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sebagai persiapan untuk masa meneteki. IMD (Inisiasi Menyusu Dini) merupakan langkah awal menuju kesuksesan ASI eksklusif, dan sebaiknya IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dilaksanakan sejak lahir sebagai awal dari hubungan menyusui yang berkelanjutan. Hasil penelitian Amalia dan Ni luh Sumini pada tahun 2011, menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) terhadap keberhasilan pemberian ASI Eksklusif pada ibu yang mempunyai bayi usia 7 – 12 bulan. Hal ini berdasarkan pada uji korelasi Rank Spearman yang diperoleh p value 0,000(p<0,05). Meningkatnya pengetahuan ibu bisa diperoleh dari media massa dan penyuluhan (informasi) sehingga bisa mempermudah dalam menerima pesan. Dengan demikian akan mempengaruhi pengetahuan ibu bersalin tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Karena pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Pada aspek pendidikan ibu bersalin rata-rata berpendidikan akhir SMP, semakin tinggi pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan. Pendidikan seseorang mempengaruhi cara pandang terhadap diri dan lingkungannya. Sehingga akan berbeda sikap orang yang berpendidikan tinggi dan yang berpendidikan rendah. Dengan tingginya pendidikan yang ditempuh diharapkan tingkat pengetahuan seseorang bertambah sehingga memudahkan dalam menerima atau mengadopsi perilaku yang positif (Latipun, 2005). Faktor usia ibu bersalin pada masa usia produktif yaitu lebih dari 20 tahun dan kurang dari 35 tahun, pada masa ini bukan merupakan faktor resiko untuk hamil. Ibu yang sudah masuk pada usia produktif berarti telah memasuki masa kedewasaan, semakin dewasa ibu semakin baik pula pola pemikirannya. Menurut Notoatmodjo (2003), usia juga mempengaruhi pengetahuan seseorang karena dengan bertambahnya usia biasanya akan lebih dewasa pula intelektualnya. Pada aspek paritas rata-rata mempunyai 2 orang anak, berarti ibu sudah memiliki banyak pengalaman tentang meneteki dan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Karena pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran dari pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu (Notoatmodjo, 2003). Promosi susu formula sudah dilarang masuk Rumah Sakit, jadi tidak mempengaruhi bidan atau petugas dalam melaksanakan program IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Pelarangan
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
masuknya promosi susu formula ini sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.237/Menkes/SK/IV/1997 tentang pemasaran pengganti ASI. Pada aspek pengetahuan bidan sudah cukup baik, karena rata-rata sudah berpendidikan tinggi. Semakin tinggi pendidikan bidan maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Pengetahuan bidan ini ditunjang dengan kualifikasi pendidikan yang sudah cukup, yaitu dengan rata-rata pendidikan minimal D3 Kebidanan dan D4 Kebidanan. Tetapi waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) banyak ditemukan beberapa kendala dalam kualitas tenaga SDM (Sumber Daya Manusia) yaitu kemampuan dan ketrampilan bidan belum cukup baik dan terkesan tergesa-gesa. Sumber daya manusia bertugas merespon tuntutan publik dalam rangka meningkatkan pemberdayaan para pelaksana program sehingga tercipta sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam memberikan pelayanan. Sebetulnya setiap bulan diadakan pertemuan yang namanya siang klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para tenaga medis maupun paramedis. Kepatuhan bidan dalam melaksanakan SOP(Standard Operational Procedure) belum cukup baik dan sering pada waktu pelaksanaannya tidak sesuai dengan tahapan yang ada di dalam SOP (Standard Operational Procedure). Menurut teori Obedience yang dikembangkan oleh Milgram, menyatakan bahwa kunci untuk patuh tidak bergantung pada perilaku atau gaya otoritas. Tetapi seseorang mau patuh terhadap perintah otoritas dikarenakan adanya legitimasi otoritas tersebut. Ketidakpatuhan bidan dalam melaksanakan SOP(Standard Operational Procedur) membuat komitmen menjadi rendah. Menurut Richard M. Steers (dalam Sri Kuntjoro, 2002) rendahnya komitmen mencerminkan kurangnya tanggung jawab seseorang dalam menjalankan tugasnya. Pada aspek pengalaman kerja, sebagian bidan lama kerja kurang dari 10 tahun. Pengalaman kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen seseorang. Menurut Minner (dalam Sopiah, 2008) bahwa pengalaman kerja seseorang sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen pegawai atau karyawan. Pegawai atau karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan pegawai atau karyawan yang sudah lama bekerja dalam organisasi akan memiliki tingkat komitmen yang berlainan. Sarana atau fasilitas yang ada di Rumah Sakit belum tersedia, seperti: topi bayi dan selimut. Fasilitas hendaknya tersedia dalam jumlah serta jenis yang memadai dan selalu dalam keadaan siap pakai. Pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) harus ditunjang fasilitas yang lengkap dan sebelumnya sudah harus disiapkan sehingga dapat meningkatkan kualitas mutu pelayanan. Pada pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dukungan dari seorang pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program agar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari pimpinan ini adalah menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, disamping itu juga tersedia dana yang cukup untuk kegiatan pelaksanaan program agar mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan program atau kebijakan. Teori yang digunakan dalam pemecahan masalah ini adalah menggunakan konsep teori perilaku yang dikembangkan oleh Green yang dikenal dengan teori model PRECEDEPROCEED. PRECEDE-PROCEED merupakan kepanjangan dari Predisposing, reinforcing, Enabling Constructs in Educational/Environmental Diagnosis dan Evaluation - Policy, Organization Construc In Education, Environment Development. Kerangka kerja PRECEDEPROCEED yaitu, memberikan struktur penerapan teori dan konsep secara sistematis dalam perencanaan dan evaluasi program untuk perubahan perilaku kesehatan. Pada prinsipnya PRECEDE-PROCEED adalah fundamental partisipasi, yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam mencapai perubahan ditingkatkan dengan partisipasi aktif dari audience dalam mendefinisikan prioritas masalah yang tertinggi dan tujuan dalam mengembangkan dan menerapkan solusi. Perencanaan pemecahan masalah yang digunakan untuk pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di ruang bersalin RSUD Prof.Dr.Soekandar adalah dengan model rencana PRECEDE-PROCEED yang terdiri dari berbagai tahap, yaitu:
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Tahap 1 : Social Diagnosis Temuan masalah kesehatan yaitu hambatan pelaksanaan program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) pada ibu bersalin. Hambatan dari faktor ibu adalah kelelahan, sedangkan dari faktor bidan adalah keterbatasan tenaga bidan. Perubahan perilaku kesehatan untuk mencapai masalah kesehatan adalah: perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan (petugas kesehatan atau bidan, respon ibu bersalin terhadap pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Tahap 2 : Diagnosis Epidemiologi. Data Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada tahun 2012 dari 926 ibu bersalin normal (714 bersalin normal dengan komplikasi dan 212 bersalin normal tanpa komplikasi) hanya 194 yang dilaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) belum sesuai SOP(Standard Operational Procedure). Tahap 3 : Diagnosis Perilaku dan Lingkungan (behavioral and environmental diagnosis). Lingkungan internal: yaitu ibu bersalin. Lingkungan eksternal: yaitu petugas kesehatan atau bidan sebagai pelaksana program IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Tahap 4 : Diagnosis pendidikan dan organisasi. Rencana program penanganan masalah kesehatan diklasifikasikan pada tiga bidang yaitu: Predisposing factors, reinforcing factors, enabling factors. Faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu petugas kesehatan atau bidan (pengetahuan, kepatuhan, komitmen, pengalaman, lama kerja) tentang pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu dukungan suami atau keluarga dan lingkungan kerja bidan. Faktor pendukung (enabling factors) yaitu fasilitas dan anggaran keuangan RSUD, dalam hal ini penyediaan fasilitas untuk pelaksanaan IMD (selimut dan topi bayi). Serta kebijakan yang ada di RSUD tentang pelaksanaan IMD. Tahap 5 : Diagnosis Administrasi dan Kebijakan. Pihak RSUD dalam menangani masalah ini telah mengeluarkan peraturan tentang sanksi atau teguran apabila bidan tidak melaksanakan program IMD sesuai dengan SOP. Dengan adanya peraturan ini bisa meningkatkan tingkat kepatuhan bidan dalam melaksanakan IMD, sehingga program bisa tercapai dengan maksimal. Kegiatan yang terprogram bisa berupa pelatihan bagi tenaga bidan tentang pelaksanaan IMD, yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Kegiatan juga berupa siang klinik yang di adakan setiap bulan sekali oleh pihak rumah sakit sebagai forum pertemuan tenaga medis dan paramedis. Organisasi yang ditunjuk secara fungsional adalah bidang pelayanan medik untuk menangani dan memantau program IMD ini. Tahap 6 : Implementasi. Tahap ini merupakan awal dari kegiatan model PROCEED. Pelaksanaan program IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dalam hal ini adalah RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto telah memprogramkan penanganan masalah pelaksanaan IMD dengan cara menerapkan SOP IMD yang ada dan persalinan dengan pendampingan suami atau keluarga. Pelaksanaan IMD harus sesuai dengan SOP yang ada di ruang bersalin. Kegiatan dilaksanakan berdasarkan temuan-temuan pada tahap sebelumnya. Untuk meningkatkan pengetahuan ibu bersalin adalah dengan pemutaran video tentang IMD di ruang tunggu poli hamil, pembagian brosur, leaflet tentang IMD. Sedangkan untuk meningkatkan pengetahuan bidan adalah dengan pelatihan tentang IMD serta penambahan tenaga bidan. Rumah sakit juga harus melengkapi fasilitas atau saran prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan IMD, seperti selimut dan topi bayi.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Tahap 7 : Evaluasi proses. Evaluasi dilakukan dengan menyediakan komponen evaluasi pada pelaksanaan program, yang berupa pencatatan pelaporan kegiatan IMD pada buku laporan persalinan dan buku laporan bayi yang di IMD. Evaluasi juga dilakukan pada ketiga faktor (faktor predisposisi, pendukung dan pendorong) dengan kegiatan yang telah dilakukan apakah ada perkembangan ke arah positif dari ketiga faktor tersebut. Tahap 8 : Evaluasi dampak. Evaluasi ini ditujukan untuk mengevaluasi efektifitas program tentang kemampuan dan pengetahuan bidan dalam melaksanakan program IMD, apakah sudah ada kepatuhan bidan terhadap SOP IMD. Tahap 9 : Evaluasi outcome. Dari kegiatan yang sudah dilaksanakan apakah bisa mengoptimalkan pelaksanaan IMD. Untuk jangka panjang apakah program IMD bisa dilanjutkan lagi. Dukungan anggaran keuangan rumah sakit apakah masih relevan bisa mengoptimalkan program IMD. F.
PENUTUP Pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yang ada di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto yaitu dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan SOP (Standard Operational Procedure) yang ada di rumah sakit.Hambatan yang terjadi pada waktu pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) yaitu, pada ibu bersalin antara lain: kecapekan, rasa lapar serta ketidaktahuan ibu tentang IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Hambatan juga terjadi pada petugas kesehatan atau bidan yaitu, kurangnya tenaga bidan sehingga pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) tidak maksimal.Pengembangan model pelaksanaan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) pada ibu bersalin yaitu dari 6 langkah IMD yang ada di rumah sakit menjadi 11 langkah model modifikasi IMD.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Bari Saifudin. (2008). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (edisi revisi). JNPKKR-POGI. Jakarta. Afifuddin. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. CV.Pustaka Setia. Bandung. Anonim. (2007).infant child feeding-early initation. http//www.google.co.id/Oslo Norwegia breastfeeding initation.php.htm (sitasi 2 Maret 2013). Biro Humas Pemprov Jatim. (2012). imd di Jatim.http://www.google.com/imd jatim.htm (sitasi 3 Maret 2013). Dinartiana A dan Sumini. (2011). Hubungan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini dengan Keberhasilan ASI Eksklusif Pada Ibu Yang Mempunyai Bayi Usia 7-12 Bulan. Dinamika Kesehatan, Vol 1, No 2, Agustus 2011. Hal 1-12. Gulardi Wiknjosastro. (2008). Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif. JNPK-KR/POGI dan IDAI-USAID Indonesia. Jakarta. JNPK-KR/POGI (2007). Buku Acuan Pelatihan Asuhan Persalinan Normal (edisi revisi 3). JNPKKR/POGI dan JHPIEGO Corporation. Jakarta. Jones L. (2008). Principles to promote the initiation and establishment of lactation in the mother of a preterm or sick infant [artikel online]. Mei 2008 [cited Maret 2012]. Available from:http: www.breastfeeding.com. Karen Glanz, BarbaraK.Rimer. (2008). Behavior and Health Education ,JosseyBassAWileyImprint989 Market Street, San Francisco, CA 94103-1741www.josseybass.com. Latipun. (2005). Psikologi Konseling. UMM Press. Malang. Milgram, Stanley. (1974). Obedience to Authority an experimental view.First Published in the U.S.A in 1974 by Harper & Row, Publishers, Inc. Moleong L.(2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi Revisi), Remaja Rosdakarya. Bandung. Nawawi Martini. (2005). Penelitian Terapan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Notoatmodjo, Soekidjo.(2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT.Rineka Cipta. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo.(2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Paramita R. (2008). Manfaat inisiasi menyusu dini [online]. 2008 [cited Maret 2008]. Availablefrom: http://www.asipasti.co.cc/2008/02/manfaat-inisiasi- menyusui-dini-imd.html. Robbins SP, dan Judge. (2007). Perilaku Organisasi, Salemba Empat. Jakarta. Roesli Utami. (2012). Panduan Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif (cetakan ke V), Pustaka Bunda. Jakarta. Sopiah. (2008). Perilaku Organisasi, Andi Offset.Yogyakarta. Sugiyono, (2012). Memahami Penelitian Kualitatif, CV.Alfabeta. Bandung. Unicef India. (2007). World Breastfeeding Week. Available from:http://www.google.co.id/world breastfeeding week-early initation.htm (sitasi 2 Maret 2013).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
HUBUNGAN STIMULASI PENDIDIKAN TK DENGAN INDEKS PRESTASI DI SD JURANG SAPI 3 KECAMATAN TAPEN KABUPATEN BONDOWOSO Arief Fardiansyah1, Ifa Rohmatul Ayuningsih2*) Abstrak Ada perbedaan anak yang sudah masuk TK. Anak yang sudah masuk TK mempunyai kemampuan membaca dan berhitung yang baik dan mempunyai kemampuan motorik dan ketangkasan yang lebih baik dibandingkan anak lain yang tidak masuk TK. Namun, sampai saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan melalui TK masih sangat terbatas dan tidak merata. Tujuan penelitian ini untuk hubungan Stimulasi Keikusertaan Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso.Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan korelasional. Stimulasi keikutsertaan pendidikan TK sebagai variabel independen dan indeks prestasi sebagai variabel dependen. Populasi penelitian yaitu Semua siswa Kelas SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso sejumlah 30 orang. Sampel diambil dengan teknik total sampling. Data dikumpulkan dengan instrumen wawancara pada orang tua dan diuji dengan uji spearman rho. Kemudianhasil disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil uji spearman rho diperoleh data ρ = 0,00, α = 0,05 maka ρ < α sehingga ada hubungan antara stimulasi keikutsertaan pendidikan TK dengan indeks prestasi siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang sudah pernah mengikuti pendidikan di Taman Kanak – Kanak akan memperoleh berbagai pengalaman dan bekal dalam menghadapi pembelajaran disekolah dasar sehingga mereka dapat menerapkan hal tersebut dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dasar.Hendaknya bagi para guru atau tenaga pengajar agar lebih meningkatkan kompetensi yang dimiliki dalam memberikan stimulasi dalam merangsang motivasi belajar anak sehingga anak akan mempunyai motivasi yang lebih baik dalam belajar dan dapat meningkatkan prestasi belajar mereka. Kata Kunci : Pendidikan TK, Indeks Prestasi A. PENDAHULUAN Pendidikan prasekolah diselenggarakan untuk membantu meletakkan dasar sikap,pengetahuan, keterampilan dan daya cipta di luar lingkungan keluarga bagi anak usia sebelum memasuki pendidikan dasar. Usia tersebut merupakan masa yang sangat menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam masa ini, anak berada pada “usia peka“ untuk menerima rangsangan yang cukup baik, terarah dan didorong ke tingkat pertumbuhan dan perkembangannya sehingga diharapakan kemampuan dasar anak didik dapat berkembang dan tumbuh secara baik dan benar. Selain itu, anak yang memperoleh pendidikan di lingkungan prasekolah dapat mempersiapkan diri memasuki pendidikan dasar sehingga menentukan masa depan anak lebih baik. Salah satu pendidikan bagi anak prasekolah adalah TK (Taman KanakKanak). Tujuan program ini mengembangkan seluruh aspek fisik, mental, emosi, sosial dan bahasa anak. Anak yang mengikuti pendidikan prasekolah akan dapat belajar dengan cepat untuk mengembangkan kemampuan, terutama dalam beradaptasi dengan lingkungan dan juga mencapai indeks prestasi belajar yang baik (Rahman, 2009). Anak sekolah dasar di Indonesia pada tahun 2010 lebih dari 100 juta jiwa,sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 30-50% anak mempunyai indeks prestasi belajar yang kurang karena bimbingan dari orang tua (Darmaji, 2010). Dari sekitar 28,2 juta anak usia 4-6 tahun baru 7,2 juta (25,3%) yang memperoleh layanan TK. Sementara itu menurut data Balitbang Depdiknas, anak usia 5-6 tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta anak (atau sekitar 32,36%) yang memperoleh layanan pendidikan di TK (Hutabarat, 2009). Hasil survey di Indonesia tahun 2009 oleh Wiliem dari 12.356 anak sekolah dasar di dapatkan 63,5% anak sekolah mempunyai presentasi belajar yang kurang (Wanda,2009). Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 24 April 2013 pada siswa kelas 1 di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan *) 1 Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto 2 Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Tapen Kabupaten Bondowoso dengan observasi nilai ujian tengah semester di dapatkan 8 murid (26,7%) yang pernah mengikuti pendidikan TK memiliki indeks prestasi nilai yang baik, 12 murid (40%) yang pernah mengikuti pendidikan TK juga memiliki indeks prestasi nilai yang cukup dan 10 murid (33,3%) yang tidak pernah mengikuti pendidikan TK memiliki indeks prestasi ujian tengah semester dengan nilai yang kurang baik. Menurut Dui (2008) menyatakan ada perbedaan anak yang sudah masuk TK. Anak yang sudah masuk TK mempunyai kemampuan membaca dan berhitung yang baik dan mempunyai kemampuan motorik dan ketangkasan yang lebih baik dibandingkan anak lain yang tidak masuk TK. Namun, sampai saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan melalui TK masih sangat terbatas dan tidak merata. Salah satunya disebabkan oleh status ekonomi menengah ke bawah, anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak pedesaan belum memperoleh kesempatan pendidikan secara proposional. Kendala berikutnya adalah kurangnya pengetahuan orang tua. Sebagian besar orang tua tidak memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki anak-anak usia 4-6 tahun. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang di miliki orang tua menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang (Berlian,2009). B.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, yaitu suatu studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat dan hasil penelitian diolah dengan menggunakan uji statistik. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah Case Control yaitu rancang bangun dengan melihat kebelakang dari suatu kejadian yang berhubungan dengan kejadian kesakitan yang diteliti Dengan rancangan membandingkan 2 kelompok kasus dengan kelompok control untuk mengetahui proporsi kejadian berdasarkan riwayat ada tidaknya paparan (Hidayat,2008). Pengaruh Stimulasi
Indeks Prestasi
Confounding Faktor : Psikologis, Mereproduksi, Jasmani, Rohani, Prinsip gestalt, Pengesahan yang kuat, Teknik belajar kelompok, Perbedaan perorangan, Motivaasi, Faktor fisiologi, Faktor eksogen Gambar 1. Frame WorkHubungan Stimulasi Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Hipotesis dalam penelitian ini adalah : H1 : Ada pengaruh stimulasi terhadap indeks prestasi di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. Tabel 1. Definisi Operasional Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto Variabel Variabel Independen Stimulasi Pendidikan TK
Definisi Operasional
Kriteria
Pemberian rangsangan dalam suatu Baik : 76-100% aktivitas yang membedakan tingkat Cukup : 56-75% pendidikan yang tidak sekolah TK Kurang : < 56% dengan anak yang sekolah TK
Skala
Ordinal
Vol 6. No. 1, Maret 2014 Variabel Variabel Dependen Indeks Prestasi
Definisi Operasional
MEDICA MAJAPAHIT Kriteria
Hasil baik yang dicapai seseorang a. Istimewa (100%) apabila bahan pelajaran dapat setelah melakukan kegiatan Nilai dikuasai siswa. harian siswa (Cheklist) b. Baik optimal 76-99% apabila sebagian besar (7699%)bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai. c. Baik minimal bahan pelajaran yang dikuasai hanya 60-75% yang dikuasai siswa. d. Kurang apabila pelajaran diajarkan kurang dari 60% dikuasai oleh siswa (Dzamara, 2010)
Skala
Ordinal
Pada peneltian ini populasinya semua anak kelas 1 di SD Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso sejumlah 30 orang.Sampel penelitian adalah seluruh murid kelas 1 di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso sejumlah 30 orang dengan kriteria jumlah anak yang tidak masuk TK sebelum masuk SD sebanyak 10 orang dan anak yang masuk TK terlebih dahulu sebanyak 20 anak.Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Total Sampling yaitu pengambilan sampel secara kebetulan yang ditemui oleh peneliti pada saat penelitian (Hidayat,2008). Penelitian ini dilakukan di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso pada bulan Juni 2013. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioener. Data diperoleh kemudian ditabulasi dan dilakukan uji statistik yaitu Uji Korelasi Spearman Rank dengan tingkat signifikan 0,05 untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel independent terhadap variabel dependen. Jika p< 0,05 maka Ho (hipotesa nol) ditolak, artinya ada pengaruh stimulasi terhadap indeks prestasi di SD Jurang Sapi 3 Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. C. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum a. Jenis Kelamin Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal 16 Juli – 22 Juli 2013 No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase 1 Laki-Laki 12 60 2 Perempuan 8 40 Jumlah 20 100 Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa setengahnya responden berjenis kelamin laki – laki sebanyak 12 responden (60%).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 b.
Umur Tabel 3.
No. 1 2
MEDICA MAJAPAHIT
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal 16 Juli – 22 Juli 2013 Umur Frekuensi Persentase 6 Tahun 6 30 7 tahun 14 70 Jumlah 20 100
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berusia 7 tahun sebanyak 14 responden (70%). 2.
Data Khusus a. Stimulasi Keikutsertaan Pendidikan TK Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Stimulasi Keikutsertaan Pendidikan TK di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal 16 Juli – 22 Juli 2013 No. Latar Belakang Pendidikan Frekuensi Persentase 1 Mengikuti Pendidikan TK 20 100 Jumlah 20 100 Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa terdapat 20 responden (100%) mengikuti pendidikan TK. b.
Indeks Prestasi Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indeks Prestasidi SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal 16 Juli – 22 Juli 2013 No. Indeks Prestasi Frekuensi Persentase 1 Baik Sekali (86-100) 0 0 2 Baik (71-85) 7 35 3 Cukup (56-70) 13 65 Jumlah 20 100 Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa hampir setengahnya responden memperoleh indeks prestasi dengan kriteria cukup sebanyak 13 responden (65%).
c.
Indeks Prestasi Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indeks Prestasidi SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso Pada Tanggal 16 Juli – 22 Juli 2013 Keikutsertaan Indeks Prestasi Siswa Pendidikan Sangat Baik Cukup Kurang Total TK Baik f % f % f % f % f % 0 7 35 13 65 0 0 20 100 Mengikuti TK 0 0 0 7 35 13 65 0 0 20 100 Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 20 responden yang mengikuti pendidikan TK diperoleh data 7 responden indeks prestasinya baik, 13 responden indeks prestasinya cukup.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Hasil uji spearman rho diperoleh data ρ = 0,00, α = 0,05 maka ρ < α sehingga ada hubungan antara stimulasi keikutsertaan pendidikan TK dengan indeks prestasi siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Stimulasi Keikutsertaan Pendidikan TK Berdasarkan tabel 4diperoleh data bahwa terdapat 20 responden (100%) yang mengikuti pendidikan TK.Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar (Patmonodewo, 2003).Sedangkan fungsi Taman Kanak – kanak adalah Fungsi pendidikan taman kanak-kanak adalah membina, menumbuhkan, mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya (Mudjito, 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan anak yang pernah mengikuti pendidikan TK mereka akan banyak memperoleh bimbingan dan pengarahan dari pengajarnya di TK sehingga anak – anak akan mempunyai persiapan dan bekal dalam menjalani pembelajaran di tingkat pendidikan sesudahnya, sehingga mereka akan lebih siap dalamdaripada anak yang tidak mengikuti pembelajaran pendidikan di Taman Kanak – kanak. Adanya perbedaan pada hasil penelitian tersebut bisa disebabkan faktor usia Orangtua, Faktor latar pendidikan Orangtua. Faktor Pertama adalah berdasarkan usia orang tua responden Menurut Marsidi (2007) dalam Soedriman (2009), pada usia dewasa awalseseorang memasuki situasiantara rasa kebersamaan sambil mengalahkan rasakehilangan identitas danmemasuki taraf memelihara danmempertahankan apa yang telah ia miliki yang akan berpengaruh pada pola pengasuhan kepada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia orang tua responden pada penelitian ini tergolong pada usia dewasa akhir dimana pada usia ini orang tua sudah mempunyai pengalaman yang cukup tentang model pendidikan yang baik untuk anak mereka sehingga banyak siswa yang mengikuti pendidikan di Taman Kanak-kanak karena orang tua mengharapkan mereka dapat lebih siap dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dasar nantinya. Faktor kedua berdasarkan latar belakang pendidikan orang tua Shalahuddin (1990) dalam Soedirman (2009) menjelaskan bahwa, jenjang pendidikan juga mempengaruhi pola pikir, sehingga dimungkinkan mempunyai pola pikir yang terbuka untuk menerima informasi baru serta mampu untuk mempelajari hal-hal yang dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anaknya. Sedangkan menurut Eka (2004) yang menyatakan bahwa, tingkat pendidikan orang tua tidak mempengaruhi dalam keputusan orang tua untuk menerapkan pola asuh. Walaupun pendidikan menengah kebawah tidak menghalangi keputusan untuk menerapkan pola asuh yang cocok dan sesuai bagi anak-anaknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar dari orang tua responden tidak mengenyam pendidikan yang tinggi atau mereka hanya sampai pada level pendidikan dasar, akan tetapi karena keinginan dan motivasi yang kuat dari orang tua agar anak memperoleh pendidikan yang baik sehingga banyak orang tua yang mengirim anaknya untuk mengikuti pendidikan mulati dari taman kanak – kanak,karena orang tua beranggapan pada pendidikan di TK anak akan mulai proses belajar secara dini sehingga mereka akan lebih siap dalam mengikuti pembelajaran pada tingkat pendidikan diatasnya. 2. Indeks Prestasi Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar responden memperoleh indeks prestasi dengan kriteria cukup sebanyak 14 responden (65%). Sedangkan sebagian kecil mempunyai indeks prestasi yang baik sebanyak 7 responden (35%). Belajar adalah suatu proses dan bukan suatu hasil, oleh karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai tujuan. Demikian juga menurut Whittaker, bahwa belajar dapat
Vol 6. No. 1, Maret 2014
3.
MEDICA MAJAPAHIT
didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui pengalaman(Wasty,2008).Prestasi belajar menurut kamus bahasa Indonesia adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru (Depkes,2006).Adanya perbedaan hasil indeks prestasi pada siswa disekolah disebabkan oleh Motivasi, Usia responden dan Jenis kelamin.Faktor pertama adalah Motivasi. Dengan adanya motivasi, siswa akan belajar lebih keras, ulet, tekun dan memiliki dan memiliki konsentrasi penuh dalam proses belajar pembelajaran. Dorongan motivasi dalam belajar merupakan salah satu hal yang perlu dibangkitkan dalam upaya pembelajaran di sekolah (Hamdu, 2012). Pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses yang sadar tujuan. Tujuan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan siswa setelah melaksanakan pengalaman belajar. Tercapai tidaknya tujuan pengajaran salah satunya adalah terlihat dari prestasi belajar yang diraih siswa. Dengan prestasi yang tinggi, para siswa mempunyai indikasi berpengetahuan yang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso mempunyai prestasi belajar yang cukup baik,hal ini disebabkan mereka mempunyai keinginan dan motivasi yang baik dalam meningkatkan prestasi mereka dalam belajar. Keinginan tersebut timbul kemungkinan karena dorongan dari orang tua atau juga karena kemauan untuk menjadi yang terbaik serta bimbingan dan arahan yang diberikan oleh guru di kelas. Faktor yang kedua adalah Usia responden. Berdasarkan tabel 3 diperoleh data bahwa sebagian besar responden berusia 7 tahun sebanyak 20 responden (66,7%). Menurut Hurlock dalam Soedirman (2009) menyatakan bahwa Semakin bertambahnya usia anak maka akan berpengaruh juga pada perkembangan kognitif danperkembangan interpersonal anak, anak tidak hanya berhubungan denganorang tua saja, namun menuju pada hubungan sosial di luar rumah seperti saudara dan anak tetangga, anak mulaiterlibat dalam permainan dengan teman sebaya sehingga anak mulai berbagi rasa dan perhatian dengan temannya. Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah mampu untuk bersosialisasi denga lingkungan sekitarnya terutama dengan guru dan teman sekolahnysa sehingga dengan kemampuan sosialisasi yang baik ini responden dapat memperoleh banyak pengetahuan tentang cara belajar atau materi pembelajaran yang disampaikan, dimana hal ini akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa baik secara akademis maupun nonakademis. Faktor yang ketiga adalah Jenis kelamin Responden. Berdasarkan tabel 3 diperoleh data bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki – laki sebanyak 12 responden (65%). Menurut Hurlock (1997) yang dikutip oleh Soedirman (2009) menyatakan bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan dan pengaruh hormonal adalah faktor yang penting yang mempengaruhi perbedaan perkembangan anak laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada usia sekolah anak perempuan akan lebih mampu menyesuaikandiri dibandingkandengan anak laki-laki. Anak perempuan mempunyai sikap sosial yang lebihbaik, penuh kehangatan, dan mampumenyesuaikan tingkah laku, sikap, dan nilainya sesuai dengan tuntutankelompok dengan kemampuan tersebut dapat meningkatkan motivasi belajar anak karena mereka tidak ingin tersaingi dengan temannya. Hubungan Stimulasi Keikutsertaan Pendidikan TK Dengan Indeks Prestasi Berdasarkan tabel 6dari 20 responden yang mengikuti pendidikan TK diperoleh data 7 responden indeks prestasinya baik, 13 responden indeks prestasinya cukup. Hasil uji spearman rho diperoleh data ρ = 0,00, α = 0,05 maka ρ < α sehingga ada hubungan antara stimulasi keikutsertaan pendidikan TK dengan indeks prestasi siswa di SDN 3 Jurang Sapi Kecamatan Tapen Kabupaten Bondowoso. Belajar dikatakan sebagai proses perubahan dan belum mampu menjadi mampu, dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Perubahan yang terjadi ini harus relative bersifat
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
menetap dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini Nampak, tetapi juga pada perilaku yang mungkin terjadi di masa dating, perubahan-perubahan tersbut terjadi karena adanya pengalaman (Irwanto,2008). Sedangkan prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasiinformasiyangdiperolehdalam prosesbelajarmengajar.Prestasibelajarseseorangsesuaidengan tingkatkeberhasilan sesuatudalammempelajari materipelajaranyangdinyatakan dalambentuk nilaiatauraportsetiapbidangstudisetelahmengalami prosesbelajarmengajar.Prestasibelajar siswadapatdiketahuisetelahdiadakanevaluasi.Hasildari evaluasidapatmemperlihatkantentang tinggiataurendahnyaprestasibelajarsiswa (Hamdu, 2012). Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang sudah pernah mengikuti pendidikan di Taman Kanak – Kanak akan memperoleh berbagai pengalaman dan bekal dalam menghadapi pembelajaran disekolah dasar sehingga mereka dapat menerapkan hal tersebut dalam mengikuti pembelajaran di sekolah dasar. Berbeda dengan anak yang tidak pernah mengikuti pendidikan di Taman Kanak – kanak mereka tidak memperoleh bekal yang cukup dalam mengikuti pembelajaran di Sekolah Dasar dimana bekal yang diperoleh hanya dari pengajaran disampaikan oleh orang tua. E.
PENUTUP Para guru atau tenaga pengajar agar lebih meningkatkan kompetensi yang dimiliki dalam memberikan stimulasi dalam merangsang motivasi belajar anak sehingga anak akan mempunyai motivasi yang lebih baik dalam belajar dan dapat meningkatkan prestasi belajar mereka, bagi orang tua diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang stimulasi dalam merangsang pembelajaran anak sehingga mereka dapat merangsang motivasi dan kemauan belajar anak yang semakin lebih baik dan aktif lagi sehingga anak akan lebih mampu untuk meningkatkan motivasi mereka dalam belajar.
DAFTAR PUSTAKA. Agustin, Lisa dan GhullamHamdu. (2012) Jurnal Penelitian. Jakarta(http://pdfpenting.blogspot.com/2012/03/pengaruh-motivasi-belajarsiswa.html. diakses tanggal 6 Agustus 2012). Dini.(2010). Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI. DimyatidanMudjiono.(2006).BelajardanPembelajran.Jakarta:PTRajagrafindoPersada. Djamarah,Syaiful Bahri. (2011). Psikologi Belajar.Jakarta: Rineka Cipta. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hurlock, E. (2005). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. Mudjito. (2010). Pedoman Pengembangan Program Pembelajaran Di Taman Kanak-Kanak.Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional. Narendra, MB, dkk. (2002). Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto (http://seputarduniaanak.blogspot.com/2009/11/stimulasi-perkembangan-anak.html, diakses tanggal 23 Mei 2012). Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika. Patmonodewo, Soemantri. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta. Poerwanto,Ngalim.(2007).PsikologiPendidikan.Bandung:PTRosdaKarya. SDN 3 Jurang Sapi. (2012). Pedoman Penilaian Raport. Bondowoso: Depdiknas. Setiadi. (2007). Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Soemanto, Wasty. (2010). Psikologi Pendidikan.Jakarta: Rineka Cipta. Syah, Muhibbin. (2011). Psikologi Belajar. Jakarta : PT Rajawali Pers. -------------. (2005). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi,Deteksi Dini dan Intervensi. Sadirman.(2004).InteraksidanMotivasiBelajar.Jakarta:PTRinekaCipta.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
EFEKTIFITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PHBS DI MTS MIFTAHUL ULUM KECAMATAN KEMLAGI KABUPATEN MOJOKERTO Dwi Helynarti Syurandari*) Abstrak Perilaku Hidup bersih dan Sehat merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak anak-anak khususnya tingkat sekolah dasar tidak melakukan hidup bersih dan sehat seperti adanya anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan, memotong kuku, membuang sampah sebarangan dan bermain di tempat-tempat yang tidak bersih tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan perilaku hidup bersih dan sehat sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah pra eksperimen dengan rancang bangun pra-pasca test dalam satu kelompok dengan populasi semua anak sekolah dasar kelas 5 di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto sebanyak 29 anak, dengan sampel sebanyak 29 anak. Melalui non probability sampling dengan teknik total sampling dengan uji statistik Rank Spearman dengan tingkat signifikan 0,05. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar dikategorikan anak sehat III, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sesudah diberi pendidikan kesehatan sebagian besar responden dikategorikan anak sehat IV. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap PHBS anak kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Hal ini berdasarkan hasil uji statistic Wilcoxon didapatkan hasil ρ : 0,000 <α : 0,05 (5%) dengan demikian H1 diterima dan Ho di tolak. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan bagai anak-anak mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Sehingga dapat membiasakan diri untuk berperilaku hidup secara bersih dan sehat dilingkungan sekolah, rumah maupun masyarakat. Sebagai bahan tambahan untuk memberikan penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat baik disekolah-sekolah maupun masyarakat. Kata Kunci : Pendidikan Kesehatan, PHBS A. PENDAHULUAN Perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS) di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat (Depkes, 2008). Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak anak khususnya tingkat sekolah dasar tidak melakukan hidup bersih dan sehat seperti adanya anak yang tidak mencuci tangan sebelum makan, memotong kuku, membuang sampah sebarangan dan bermain di tempat yang tidak bersih. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai penyakit diantaranya adalah diare, batuk, dan penyakit kulit (Depkes, 2009). Pendidikan kesehatan perlu diberikan pada peserta didik untuk meningkatkan pengetahuannya tentang hidup bersih dan sehat karena melalui pendidikan kesehatan anak didik akan lebih tahu bagaimana pentingnya kesehatan sehingga mereka akan termotivasi untuk menerapkan hidup bersih dan sehat (Depkes, 2008). Salah satu dampak perilaku hidup bersih dan sehat secara umum adalah diare. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization setiap tahun 40% anak di dunia meninggal akibat diare, sementara data Departemen Kesehatan menunjukkan diantara 1000 penduduk terdapat 300 orang (30%) yang terjangkit penyakit diare sepanjang tahun (Dinkes Jatim, 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2011, menunjukkan perilaku hidup bersih dan sehat di Indonesia masih rendah, yaitu 38,7%, dibandingkan dengan target Nasional sampai tahun 2013 sebesar 65,0%. Hasil Riskesdas juga menghasilkan peta masalah kesehatan yang terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat, yaitu 50 balita yang ditimbang lebih kurang empat kali selama enam bulan terakhir adalah sebanyak 23 anak (45,4%), kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur kurang dari 10 tahun adalah 93,6%, *) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
pemakaian air bersih dalam rumah tangga per orang setiap hari <20 liter adalah 14,4%, yang menggunakan jamban sendiri adalah 60%, rumah tangga yang tidak ada penampungan sampah dalam rumah adalah 72,9% (Riskesdas, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto kelas 5 pada tanggal 03 Agustus 2012, dengan menggunakan kuesioner pada 10 anak didapatkan hasil bahwa sebagian besar yaitu sebanyak 6 anak (60%) anak sehat 1, dan 3 anak (30%) pada kategori anak sehat 3, serta 1 anak (10%) termasuk sehat 4 dilakukan menggunakan kuesioner perilaku hidup bersih dan sehat. Munculnya berbagai penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (usia 6-12 tahun) di atas, ternyata umumnya berkaitan dengan PHBS. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai PHBS disekolah merupakan kebutuhan mutlak dan dapat dilakukan melalui pendekatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). PHBS disekolah adalah upaya untuk memberdayakan siswa, guru, dan masyarakat lingkungan sekolah agar tahu, mau dan mampu mempraktikan PHBS, dan berperan aktif dalam mewujudkan sekolah sehat. Bentuk PHBS yang seringkali terlupakan oleh anak adalah berkaitan dengan kebersihan tangan, buang sampah sebarangan. Banyak orang tidak pernah membayangkan bahwa masalah kebersihan diri anak dapat menyebabkan munculnya penyakit kulit, penyakit yang berhubungan dengan pencernaan disebabkan makan makanan yang mengandung zat berbahaya (Heryaman, 2009).Untuk mengatasi masalah ketidaktahuan anak akan perilaku hidup bersih dan sehat dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Dengan pendidikan kesehatan diharapkan anak didik tidak mengalami masalah-masalah kesehatan yang dapat dicegah sedini mungkin dengan membiasakan berperilaku hidup bersih dan sehat. Upaya tersebut antara lain melakukan pemberian informasi tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat sesuai dengan 8 indikator PHBS meliputi; Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun, Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah, Menggunakan jamban yang bersih dan sehat, Olahraga yang teratur dan terukur, Memberantas jentik nyamuk, Tidak merokok di sekolah, Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan, Membuang sampah pada tempatnya. Upaya pencegahan berupa pemberian penyuluhan oleh Tenaga kesehatan tentang PHBS dapat dimulai dari lingkungan keluarga, untuk mengatasi ketidak tahuan peserta didik tentang perilaku hidup bersih dan sehat dapat dilakukan dengan memberikan informasi tentang kesehatan baik melalui kurikulum ataupun penyuluhan oleh tenaga kesehatan Hal ini dilakukan agar peserta didik dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah. Misalnya dengan membiasakan cuci tangan sebelum dan sesudah makan, bermain ditempat yang bersih dan memiih jajanan disekolah yang sehat. Dengan memasukkan pendidikan kesehatan dalam kurikulum sekolah maka dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang berperilaku hidup bersih dan sehat dengan benar. (Yulianto Wisnu A. 2004). Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perilaku hidup bersih dan sehat dengan judul “Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah para eksperimen dengan rancang bangun prapasca test dalam satu kelompok (The One Group Pra-test-Posttest Design). Ciri dari tipe ini adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah diintervensi (Nursalam, 2011).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT Anak sehat I : bila < 25 %
Pendidikan Kesehatan
a. Predisposing factors - Pengetahuan, - Sikap, - Kepercayaan, - Tradisi, - Nilai dan sebagainya. b. Enabling factors - Ketersediaan sumbersumber/fasilitas c. Rainforcing factors - Sikap dan perilaku petugas
Anak sehat II : bila 25%-49%
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Anak Sekolah
Anak sehat III: bila 50%-74% Anak sehat IV : bila ≥75 %
Gambar 1. Frame Work Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto Hipotesis adalah jawaban sementara atau dugaan sementara, sebagai kesimpulan dari tinjauan teori untuk menjawab pertanyaan yang ditulis dalam rumusan masalah. Hipotesis dalam penelitian ini adalah : H1 : Ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Tabel 1. Definisi Operasional Efektifitas Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto Variabel Variabel independen: Pendidikan Kesehatan
Definisi Operasional
Proses meningkatkan pengetahuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan pada anak sekolah dasar dengan cara memberikan pendidikan kesehatan pada anak sekolah dasar kelas 5 diberikan 3 kali dalam 1 minggu selama 2 minggu. Setiap pertemuan durasi waktu 1 jam Variabel Berubahnya Perilaku/ tindakan anak sekolah dependen: dasar terhadap hidup bersih dan sehat meliputi : perubahan a. Mencuci tangan dengan air yang mengalir perilaku dan menggunakan sabun hidup bersih b. Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin dan sehat sekolah pada anak c. Menggunakan jamban yang bersih dan sehat sekolah d. Olahraga yang teratur dan terukur dasar e. Memberantas jentik nyamuk f. Tidak merokok di sekolah g. Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan h. Membuang sampah pada tempatnya Diukur dengan menggunakan kuesioner
Kriteria
Skala
-
-
Benar : 1 Ordinal Salah : 0 Penilaian Perilaku : 1. Anak Sehat I : bila < 25 % 2. Anak Sehat II : bila 25 % - 49 % 3. Anak Sehat III : bila 50 % - 74 % 4. Anak Sehat IV : bila ≥75 %
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Penelitian dilaksanakan di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto pada bulan Juli sampai bulan Nopember 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto sebanyak 29 anak. Pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan teknik total sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan menggunakan semua anggota populasi sebagai sampel (Sugiyono, 2007). Teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan instrumen kuesioner. Mengadakan pendekatan responden dengan menggunakan kuesioner, dengan tahapan awal membagikan kuesioner pre tes tentang perilaku hidup bersih dan sehat pada saat pertemuan pertama. Memberikan pendidikan tentang Prilaku Hidup Bersih Dan Sehat 3 kali dalam satu minggu selama 2 minggu. Setiap pertemuan durasi waktu selama 1 jam dengan cara menyampaikan materi tentang PHBS. Terakhir adalah membagikan Kuesioner post test tentang perilaku hidup bersih dan sehat pada saat pertemuan keenam. Pada tahapan analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon dengan tingkat signifikan 0,05 menggunakan SPSS 16 Jika ρ < 0,05 maka H o (hipotesa nol) ditolak, artinya Ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap PHBS di MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. C. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum a. Umur Orang Tua Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Orang Tua Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto, No. Umur Orang Tua Frekuensi Persentase 1 < 20 tahun 7 24 2 20-35 tahun 12 41 3 > 35 tahun 10 35 Jumlah 29 100 Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa umur orang tua responden paling banyak berusia 20-35 tahun yaitu 12 orang (41%) dan paling sedikit berusia < 20 tahun yaitu 7 orang (24%). b. Pekerjaan Orang Tua Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. No. Pekerjaan Orang Tua Frekuensi Persentase 1 Petani 11 38 2 PNS 7 24 3 Swasta 8 28 4 Wiraswasta 3 10 Jumlah 29 100 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa pekerjaan orang tua responden paling banyak petaniyaitu 11 orang (38%) dan paling sedikit wiraswasta yaitu3 orang (10%).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
c. Pendidikan Orang Tua Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. No. Pendidikan Orang Tua Frekuensi Persentase 1 SD 8 28 2 SMP 11 38 3 SMA 7 24 4 Perguruan Tinggi 3 10 Jumlah 29 100 Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa pendidikan orang tua responden paling banyak SMP yaitu 11 orang (38%) dan paling sedikit Perguruan Tinggi yaitu3 orang (10%). 2. Data Khusus a. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden Sebelum Diberi Pendidikan Kesehatan Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)Sebelum Diberi Pendidikan Kesehatan Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat No. (PHBS)Sebelum Diberi Frekuensi Persentase Pendidikan Kesehatan 1 Anak sehat I 0 0 2 Anak sehat II 7 24 3 Anak sehat III 15 52 4 Anak sehat IV 7 24 Jumlah 29 100 Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)sebelum diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat III yaitu 15 orang (52%) dan paling sedikit anak sehat II dan IV yaitu 7 orang (24%). b.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat No. (PHBS) Sesudah Diberi Frekuensi Persentase Pendidikan Kesehatan 1 Anak sehat I 0 0 2 Anak sehat II 0 0 3 Anak sehat III 12 41 4 Anak sehat IV 17 59 Jumlah 29 100 Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)Sesudah diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat IV yaitu 17 orang (59%) dan paling sedikit anak sehat III yaitu 12 orang (41%).
Vol 6. No. 1, Maret 2014 c.
MEDICA MAJAPAHIT
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Tabel 7. Tabulasi Silang Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. (PHBS) Sesudah Diberi Pendidikan (PHBS) Kesehatan Sebelum Diberi Total Anak Anak Anak Anak Pendidikan Kesehatan Sehat I Sehat II Sehat III Sehat IV 0 0 0 0 Anak Sehat I 0 0 0 6 1 Anak Sehat II 7 0 0 6 9 Anak Sehat III 15 0 0 0 7 Anak Sehat IV 7 Total 0 0 12 17 29 Hasil Uji Wilcoxon ρ : 0.000 < α : 0.05 Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa terdapat perubahan perilaku hidup bersih dan sehat sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan yaitu sebagian besar responden sebelum diberi pendidikan kesehatan dikategorikan anak sehat III sebanyak 15 anak sedangkan setelah diberi pendidikan kesehatan didapatkan sebagian besar responden dikategorikan anak sehat 4 sebanyak 17 anak. Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan hasil ρ : 0,000 <α : 0,05 (5%) dengan demikian Ho di tolak artinya bahwa terdapat perubahan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan.
D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Sebelum Diberi Pendidikan Kesehatan Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)sebelum diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat III yaitu 15 orang (52%) dan paling sedikit anak sehat II dan IV yaitu 7 orang (24%). PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (socialsupport) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengetahui masalahnya sendiri dalam tatanan rumah tangga agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga dan meningkatkan kesehatannya (Dinkes Jatim, 2010). Perilaku timbul karena dorongan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Perilaku juga bisa dari indvidu tersebut dan dapat pula dipengaruhi dari luar misalnya pengaruh dari budaya, nilai-nilai, ataupun keyakinan yang ada dalam masyarakat. (Suliha, 2001). Perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, Penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, Interaksi dengan petugas yang merekomendasikan perubahan perilaku, Pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa (Notoatmodjo, 2007). Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat pada anak kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto masih kurang. Hal ini dikarenakan setelah peneliti membagikan kuesioner tentang PHBS hasilnya masih banyak yang menjawab salah tentang perilaku hidup bersih dan sehat sehingga peneliti mengkategorikan PHBSnya pada tingkat Anak sehat III Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan dan keluarga.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
2.
3.
MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa pekerjaan orang tua responden hampir setengahnya bekerja sebagai petani sebanyak 11 orang (38%) dan sebagian kecil bekerja sebagai PNS yaitu sebanyak 3 orang (10%). Azwar (2011) menjelaskan pekerjaan adalah serangkaian tugas yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi orang tua akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Dengan bekerja seorang pemimpin rumah tangga akan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Perilaku hidup bersih dan sehat pada anak kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto yang kurang baik, tidak lepas dari tingkat ekonomi keluarga, dan perhatian keluarga terhadap kesehatan anggota keluarganya. Diketahui bahwa hampir setengahnya orang tua responden pekerjaannya sebagai petani, hal ini dapat mempengaruhi pola hidup bersih dan sehat pada keluarganya. Dengan sibuk bekerja di sawah dimungkinkan kurang ada waktu luang untuk memberikan perhatian terhadap kebersihan rumah atauppun perilaku anaknya. Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa hampir setengahnya orang tua responden berpendidikan tingkat SMP sebanyak 11 orang (38%) dan hanya sebagian kecil yang berpendidikan PT yaitu sebanyak 3 orang (10%) Menurut Azwar (2011) mengatakan bahwa pendidikan seseorang akan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin banyak pengetahuan yang dimiliki. Dalam hal ini pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat memberkan arahan pada anak dan keluarganya untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Hampir setengahnya pendidikan orang tua responden hanya pada tingkat SMP, dengan pendidikan setingkat SMP orang tua kurang dapat memberikan arahan pada anaknya tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)Sesudah diberi pendidikan kesehatanresponden anak sehat IV yaitu 17 orang (59%) dan paling sedikit anak sehat III yaitu 12 orang (41%) PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) adalah tindakan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok atau masyarakat yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, menolong dirinya sendiri dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Notoatmodjo, 2007). Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya PHBS; Pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat yang rendah, Status ekonomi rendah, Pendidikan yang rendah, Faktor kesibukan sehingga kurang perhatian terhadap lingkungannya, Kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya, Pola pelayanan kesehatan yang masih menitik beratkan pada pelayanan kuratif(Notoatmodjo, 2007). Setelah dilakukan pendidikan kesehatan terhadap siswa kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto terjadi perubahan yang cukup signifikan, hal ini juga dibuktikan oleh hasil jawaban responden tentang pertanyaan yang sama dan hasilnya menunjukkan bahwa jawaban responden tentang pertanyaan PHBS banyak yang benar sehingga sudah pada tingkat sehat IV. dengan demikian pendiidkan kesehatan juga dapat berperan terhadap perubahan perilaku siswa kelas 5 tentang PHBS. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Sebelum Dan Sesudah Diberi Pendidikan Kesehatan Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa terdapat perubahan perilaku hidup bersih dan sehat sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan yaitu sebagian besar responden sebelum diberi pendidikan kesehatan dikategorikan anak sehat III sebanyak 15 anak sedangkan setelah diberi pendidikan kesehatan didapatkan sebagian besar responden dikategorikan anak sehat 4 sebanyak 17 anak.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan hasil ρ : 0,000 <α : 0,05 (5%) dengan demikian Ho di tolak artinya bahwa terdapat perubahan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)Siswa Kelas 5 MTS Miftahul Ulum Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto sebelum dan sesudah diberi pendidikan kesehatan. PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (socialsupport) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengetahui masalahnya sendiri dalam kehidupan sehari-hari agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga dan meningkatkan kesehatannya (Dinkes Jatim, 2010). F.
PENUTUP Dari hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa pendidikan kesehatan dapat mempengaruhi perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini karena setelah diberi pendidikan kesehatan pengetahuan responden tentang PHBS semakin meningkat, sehingga dalam menerapkan PHBS dapat lebih baik dari sebelum diberikan pendidikan kesehatan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya, tentang perubahan perilaku hidup bersih dan sehat pada anak sekolah dasar. Agar dapat lebih baik dan luas dengan menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi PHBS. Meningkatkan pengetahuan siswa mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Sehingga dapat membiasakan diri untuk berperilaku hidup secara bersih dan sehat dilingkungan sekolah, rumah maupun masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, Saifuddin. (2011). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Depkes.(2008). PHBS di Sekolah. http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/phbs-di-sekolah. (sitasi 12 September 2013). Depkes.(2009). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Untuk Anak Sekolah. Jakarta: Depkes. Dinkes Jatim. (2010). Prevalensi kejadian PHBS. http://www.dinkesjatim.go.id/index.php/prevalensikejadian-phbs. (sitasi 12 September 2013). Heryaman.(2009). Munculnya Berbagai Penyakit Pada Anak Sekolah.http://www.kesehatan.anak.com/munculnya-berbagai-penyakit-pada-anak-sekolah. (sitasi 12 September 2013). Hidayat, Aziz Alimul. (2007).Riset Keperawatan Sebuah Karya Ilmiah.Salemba: Jakarta Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo.(2005). Metode Penelitian Kesehatan, PT. Jakarta : Rineka Cipta. __________ . (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Riskesdas.(2012). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2011. Jakarta. Yulianto, Wisnu A. (2004). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. http://www.ilmu.kesehatan.com/perilaku-hidup-bersih-dan-sehat. (sitasi 12 September 2013).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
HUBUNGAN PENGETAHUANDANSIKAPIBUTENTANGSTATUS GIZIBALITA DI DESA JABON KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATENMOJOKERTO Sri Sudarsih *) Abstrak Balitamerupakansalahsatukelompokumur di masyarakat yang rawangizidanrawanpenyakit.Pemberianmakanbalitasangattergantungpadaibu.Ibudenganpengetahuangi zi yang baik, kemungkinanakanmemberikangizi yang cukupbagianaknya. Selainitusikapibumerupakanhal yang sangatpentingdalampemberianmakanpadaanak.Makadariitupenelitianinibertujuanmengetahuihubunga npengetahuandansikapibutentangstatus gizibalita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto.Jenispenelitiananalitikobservasionaldenganrancangbanguncross sectional. Variabel independennyapengetahuandansikapibudan variabel dependennya status gizibalita. Populasinyaseluruh ibu dan balita sebanyak 53 ibudanbalitadandiambil 41 orang sebagaisampelmenggunakanpurposive sampling.Data diambilmenggunakankuesionerdanlembarobservasi, timbangan sertaKK atau KMS balita.SelanjutnyadianalisismenggunakanSpearman’s rhotestdanChi square test.Hasilpenelitianmenunjukkan sebagian besar memiliki pengetahuan yang kurangtentanggizibalitayaitusebanyak 26 orang (63%), sebagian besar memiliki sikap negatif tentanggizibalita yaitu sebanyak 23 orang (56%), dan sebagian besar status gizibalitanya kurang yaitu sebanyak 26 orang (63%). HasilSpearman’s rho testmenunjukkanadahubunganpengetahuanibutentangstatus gizibalita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto.padanilai p (0,007) < α (0,05) dan hasil Chi square test menunjukkan ada hubungan pengetahuan dansikapibutentang status gizibalita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto.padanilaip(0,000) < α (0,05).Pengetahuan dan sikap merupakan faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku ibu dalam memberikan asupan gizi pada balita yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita. Tenagakesehatankhususnyaperawatdapatmeningkatkan program kerjadalampeningkatangizibalitadenganmemberikancontoh menu yang seimbangpadaibubalita, mengadakanlombabalitasehat, mengadakanlombamemasakmakananbalita yang menarikdanbervariasi, sertamemberikan tips caramengatasikesulitanmakanpadabalita. Kata kunci: pengetahuan, sikap, status gizibalita A. PENDAHULUAN Balita merupakan salah satu kelompok umur di masyarakat yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok umur yang paling banyak menderita akibat kekurangan zat gizi dan jumlahnya dalam populasi besar (Notoatmodjo, 2007). Masa balita merupakan periode perkembangan fisik dan mental yang pesat, sehingga balita memiliki kebutuhan gizi yang berbeda dari orang dewasa (Proverawati, 2009). Penyediaan makanan bagi keluarga pada umumnya merupakan tugas seorang ibu yang bukan seorang ahli gizi, sehingga ibu harus sanggup menyediakan hidangan yang cukup (Sedioetama, 2006). Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh pada perilakunya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik, kemungkinan akan memberikan gizi yang cukup bagi anaknya. Selain itu keadaan lingkungan dan sikap ibu merupakan hal yang sangat penting dalam pemberian makan pada anak (Proverawati, 2009). Permasalahan gizi pada anak usia balita adalah bahwa pada usia ini seorang anak masih merupakan golongan konsumen pasif yaitu belum dapat mengambil dan memilih makanan sendiri. Mereka juga masih sukar diberikan pengertian tentang pentingnya makanan, di samping kemampuan menerima berbagai jenis makanan juga masih terbatas (Santoso, 2004). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2010 menunjukkan prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, gizi buruk 4,9%, gizi kurang 13,0%, gizi baik 76,2% dan gizi lebih 5,8%. Berdasarkan indeks TB/U, sangat pendek 18,5%, pendek 17,1%, dan normal
*) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
64,4%. Berdasarkan indeks BB/TB, sangat kurus 6,0%, kurus 7,3%, normal 72,8% dan gemuk 14,0%. Berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, pendek kurus 2,1%, pendek normal 25,3%, pendek gemuk 7,6%, normal kurus 11,1%, normal normal 49,1%, dan normal gemuk 4,8% (Depkes, 2011). Sedangkan berdasarkan sumber yang sama untuk wilayah Jawa Timur menyumbang prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, gizi buruk 4,8%, gizi kurang 12,3%, gizi baik 75,3% dan gizi lebih 7,6%. Berdasarkan indeks TB/U, sangat pendek 20,9%, pendek 14,9%, dan normal 64,1%. Berdasarkan indeks BB/TB, sangat kurus 7,3%, kurus 6,8%, normal 68,8% dan gemuk 17,1%. Berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, pendek kurus 1,6%, pendek normal 24,2%, pendek gemuk 9,7%, normal kurus 12,4%, normal normal 46,4%, dan normal gemuk 5,7% (Depkes, 2011). Profil Kesehatan Kabupaten Mojokerto tahun 2010 menunjukkan jumlah balita secara keseluruhan adalah 84.214 balita, dengan jumlah balita bawah garis merah (BGM) sebanyak 1.524 balita (1,8%) serta terdapat 152 balita gizi buruk (0,18%) (Dinkes Kabupaten Mojokerto, 2011). Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21-23 Mei 2013 di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto menunjukkan jumlah balita sebanyak 53 balita, ditimbang sebanyak 42 balita (79,2%) dengan BB naik sebanyak 12 balita (28,6%) dan BB tidak naik sebanyak 30 balita (71,4%) dan balita tidak ditimbang sebanyak 11 balita (20,8%). Status BGM sebanyak 5 balita (11,9%), BB kurang sebanyak 13 balita (30,9%), BB normal sebanyak 22 balita (52,4%) dan BB lebih sebanyak 2 balita (4,8%). Hasil wawancara terhadap 8 orang ibu yang memiliki balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto menunjukkan 6 orang ibu (75,0%) kurang mengetahui mengenai gizi balita dan mereka menganggap bahwa makanan empat sehat lima sempurna tidak terlalu penting, yang terpenting adalah balitanya mau makan, meski hanya dipenuhi dari makanan jajanan, sedangkan 2 ibu (25,0%) lainnya cukup mengetahui tentang gizi balita dan menganggap bahwa sangat penting untuk memperhatikan gizi balita karena mempengaruhi masa depannya. Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF meliputi beberapa tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung maupun tidak langsung, Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Kedua, yaitu penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Waryono, 2010). Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberikan makan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya (Masithah, 2005). Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga (Waryono, 2010). Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah kemampuan seorang ibu dalam memahami konsep dan prinsip serta informasi yang berhubungan dengan gizi. Kismoyo(2005) mengatakan tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, faktor pendidikan, lingkungan, sosial, sarana dan prasarana maupun derajat penyuluhan yang diperoleh (Siwi, 2010). Kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit merupakan penyebab langsung malnutrisi anak yang paling penting. Penyakit, terutama penyakit infeksi mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Kurangnya asupan makanan sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah (Masitah, 2005). Gizi kurang ataupun buruk terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berbagai disfungsi yang dialami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi karena jaringan lemaknya yang tipis, hipoglikemia dan kekurangan elektrolit penting serta cairan tubuh. Jika fase akut tertangani namun tidak difollow up dengan baik, akibatnya anak tidak dapat mengejar ketinggalannya dalam jangka panjang. Kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya di kemudian hari (Nency, 2005). Sebaliknya pada kasus gizi lebih seperti obesitas pada anak, bila terus berlanjut sampai dewasa dapat mengakibatkan
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
semakin meningkatnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit hati (Almatsier, 2009). Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Terdapat banyak faktor penyebab timbulnya masalah gizi, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait (Supariasa, 2002). Upaya psikologis untuk mengatasi masalah nutrisi pada anak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Hubungan emosional antara anak dan ibu hendaknya baik. Ibu perlu sabar, tenang dan tekun. Adakan suasana makan yang menyenangkan anak, bersih, dan berikan pujian apabila anak melakukan cara makan dengan baik serta cukup makan. Ibu bisa menggunakan alat makan yang menarik, disukai anak dan sesuai dengan kondisi anak sehingga memudahkan anak untuk makan (Santoso, 2004). Selain itu perlu diupayakan pemberian penyuluhan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan merubah sikap ibu tentang gizi agar status gizi balita dapat terjaga pada tataran status gizi baik. B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah analitik observasional (Setiadi, 2007). Rancang bangun yang digunakan adalah “cross sectional”. Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2008). Pengetahuan ibu tentang gizi balita
Sikap ibu tentang gizi balita
Status gizi balita
Variabel perancu: 1. Status kesehatan 2. Ketahanan pangan 3. Pola asuh Gambar 1. Frame WorkHubunganPengetahuandanSikapIbuTentangStatus GiziBalita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto Hipotesis yang merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut : H 1 = Ada hubunganpengetahuandansikapibutentangstatus gizibalitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto Tabel 1.
Definisi Operasional Hubungan PengetahuandanSikapIbuTentangStatus GiziBalita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala Independen: Segala sesuatu yang diketahui ibu 1. Baik: 76-100% Ordinal Pengetahuan ibu tentang gizi pada balita yang 2. Cukup: 56-75% tentang gizi meliputi: 3. Kurang: ≤55% balita (Nursalam, 2008) 1. Pengertian gizi 2. Manfaat zat gizi 3. Masalah gizi 4. Kebutuhan gizi balita yang diukur menggunakan kuesioner
Vol 6. No. 1, Maret 2014 Variabel Sikap ibu tentang gizi balita
Dependen: Status gizi balita
Definisi Operasional Respon ibu baik secara kognitif, afektif dan konatif mengenai gizi balita yang diukur menggunakan kuesioner
MEDICA MAJAPAHIT
Kriteria 1. Sikap positif: Skor T > 50, 2. Sikap negatif : Skor T < 50, (Azwar, 2008) Perwujudan dari keadaan Kriteria: keseimbangan konsumsi anak usia 1- 1. Status gizi lebih: 5 tahun yang didasarkan pada >+2SD kategori yang digunakan (BB/umur) 2. Status gizi baik: -2SD s/d +2SD 3. Status gizi kurang: Alat ukur menggunakan timbangan -3SD s/d -2SD berat badan dan data umur 3. Status gizi buruk: <-3SD (Susilowati, 2008)
Skala Nominal
Ordinal
Penelitian dilaksanakan di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokertopada tanggal 06-10 Agustus 2013. Populasi dalam penelitian iniadalah seluruh ibu dan balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto sebanyak 53 ibu dan balita, dengan sampel sebagian ibu dan balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 41 orang. 1. Kriteria inklusi a. Ibu yang bersedia menjadi responden beserta balitanya. b. Kooperatif dengan bersedia mengikuti jalannya penelitian. c. Ibu mampu membaca dan menulis. 2. Kriteria eksklusi a. Ibu atau balita yangmengalami sakit hingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pengambilan data. b. Ibu atau balita yang tidak berada di tempat selama pengambilan data. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability samplingtipe purposive sampling dengan teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pengumpulan data pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi balita menggunakan instrumen kuesioner, sedangkan data status gizi balita menggunakan teknik observasi atau pengamatan dengan cara menimbang berat berat badan menggunakan timbangan dan menanyakan data umur melalui kartu keluarga (KK) atau KMS balita. Untuk menganalisis pengetahuan ibu tentang gizi balita dilakukan dilakukan pengolahan data dengan distribusi menggunakan prosentase tingkat pengetahuan, menganalisis sikap ibu tentang gizi balita adalah dengan menggunakan rumus skor T. Pada status gizi balita diukur dengan melakukan penimbangan berat badan dan melihat tinggi badan anak tersebut. Selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Z skor. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto dilakukan uji statistik kuantitatif bivariat. Analisis pada ubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto menggunakan uji korelasi Spearman rho dengan ketentuan p< α (0,05) = H 0 ditolak dan jika p> α (0,05) = H 0 diterima, dan pada hubungan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto dilakukan uji statistik berupa X2 (Chi Square) untuk menguji independensi (kesalingtergantungan). Jika uji Chi Square tidak dapat dilakukan karena tidak memenuhi syarat yang berlaku, maka dilakukan uji Fisher Exact, dengan ketentuan p< α (0,05) = H 0 ditolak dan jika p> α (0,05) = H 0 diterima.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
B.
MEDICA MAJAPAHIT
HASIL PENELITIAN 1. Data Umum a. Karakteristik responden berdasarkan umur Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 No. Umur Frekuensi Persentase 1 < 20 tahun 6 15 2 20-35 tahun 27 66 3 > 35 tahun 8 19 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 2menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 27 orang (66%) dan sebagian kecil berumur <20 tahun sebanyak 6 orang (15%). b.
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaandi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 No. Pekerjaan Frekuensi Persentase 1 Ibu Rumah Tangga 32 78 2 Petani 5 13 3 Wiraswasta 2 5 4 Swasta 1 2 5 PNS 1 2 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 3menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 32 orang (78%) dan sebagian kecil bekerja di sektor swasta dan PNS masing-masing sebanyak 1 orang (2%).
c.
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikandi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 No. Pendidikan Frekuensi Persentase 31 76 1 Dasar (SD dan SMP) 2 Menengah (SMA) 8 19 3 Tinggi (Perguruan Tinggi) 2 5 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 4menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar berpendidikan SD dan SMP yaitu sebanyak 31 orang (76%) dan sebagian kecil berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 2 orang (5%).
d.
Karakteristik responden berdasarkan paritas Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritasdi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013
Vol 6. No. 1, Maret 2014 No. 1 2 3
Paritas 1 anak 2 - 4 anak 5 anak atau lebih Jumlah
MEDICA MAJAPAHIT Frekuensi 12 29 0 41
Persentase 29 71 0 100
Berdasarkan tabel 5menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar memiliki 2-4 anak yaitu sebanyak 29 orang (71%) dan tidak satupun yang mempunyai 5 anak atau lebih.
2.
e.
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin balita Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 No. Jenis Kelamin Balita Frekuensi Persentase 1 Laki-laki 22 54 2 Perempuan 19 46 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 6menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir setengahnya adalah perempuan sebanyak 19 orang (46%).
f.
Karakteristik responden berdasarkan umur balita Tabel 7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 No. Umur Balita Frekuensi Persentase 1 12-35 bulan 19 46 2 36-60 bulan 22 54 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 7menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar berumur 36-60 bulan yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir setengahnya berumur 12-35 bulan sebanyak 19 orang (46%).
Data Khusus a. Pengetahuan ibu tentang gizi balita Tabel 8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan ibu tentang gizi balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 No. Pengetahuan Frekuensi Persentase 1 Baik 4 10 2 Cukup 11 27 3 Kurang 26 63 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 8menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar pengetahuan ibu tentang gizi balita kurang yaitu sebanyak 26 orang (63%) dan sebagian kecil adalah baik sebanyak 4 orang (10%). b.
Sikap ibu tentang gizi balita Tabel 9 Distribusi frekuensi responden berdasarkan sikap ibu tentang gizi balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013
Vol 6. No. 1, Maret 2014 No. 1 2
MEDICA MAJAPAHIT Sikap
Positif Negatif Jumlah
Frekuensi 18 23 41
Persentase 44 56 100
Berdasarkan tabel 9menunjukan bahwa dari 41 responden, sebagian besar memiliki sikap negatif tentang gizi balita yaitu sebanyak 23 orang (56%) dan hampir setengahnya memiliki sikap positif sebanyak 18 orang (44%). c.
Status gizi balita Tabel 10 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 No. Status Gizi Frekuensi Persentase 1 Status gizi lebih 6 15 2 Status gizi baik 13 32 3 Status gizi kurang 19 46 4 Status gizi buruk 3 7 Jumlah 41 100 Berdasarkan tabel 10menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar balita mempunyai status gizi kurang yaitu sebanyak 19 orang (46%) dan sebagian kecil mempunyai status gizi buruk yaitu sebanyak 3 orang (7%).
d.
Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita Tabel 11 Tabulasi silang pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 Status gizi Total Pengetahuan Lebih Baik Kurang Buruk f % F % f % f % f % 1 2,4 3 7,3 0 0 0 0 4 9,8 Baik 1 2,4 9 22,0 4 9,8 1 2,4 15 36,6 Cukup 4 9,8 1 2,4 15 36,6 2 4,9 22 53,7 Kurang 6 14,6 13 31,7 19 46,3 3 7,3 41 100 Total p (0,007) α (0,05) Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir setengahnya memiliki pengetahuan kurang dengan status gizi balitanya kurang sebanyak 15 orang (36,6%).Responden yang memiliki pengetahuan cukup, sebagian kecil status gizi balitanya baik sebanyak 9 orang (22,0%). Responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil status gizi balitanya baiksebanyak 3 orang (7,3%). Selain itu juga diketahui responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil status gizi balitanya lebih sebanyak 1 orang (2,4%), responden yang memiliki pengetahuan cukup, sebagian kecil status gizi balitanya kurang sebanyak 4 orang (9,8%), buruk sebanyak 1 orang (2,4%) dan lebih sebanyak 1 orang (2,4%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil status gizi balitanya lebih sebanyak 4 orang (9,8%), buruk sebanyak 2 orang (4,9%) dan baik sebanyak 1 orang (2,4%). Berdasarkan uji Spearman’s rho didapatkan nilai p (0,007) < α (0,05), artinya H 0 ditolak dan H 1 diterima sehingga ada hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita. Nilai r = 0,416 menunjukkan korelasi searah serta kekuatan
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
hubungan sedang, artinya semakin baik pengetahuan ibu tentang gizi balita maka semakin baik pula status gizi balita dan pengetahuan ibu tersebut termasuk salah satu faktor yang cukup dominan mempengaruhi status gizi balita.
e.
Hubungan sikapibu tentang gizi balita dengan status gizi balita Tabel 12 Tabulasi silang sikapibu tentang gizi balita dengan status gizi balitadi Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar KabupatenMojokerto pada tanggal 06-10 Agustus 2013 Status gizi Total Sikap Lebih Baik Kurang Buruk f % f % f % f % f % 4 9,8 11 26,8 3 7,3 0 0 18 43,9 Positif 2 4,9 2 4,9 16 39,0 3 7,3 23 56,1 Negatif 6 14,6 13 31,7 19 46,3 3 7,3 41 100 Total Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir setengah dari responden memiliki sikap negatif dengan status gizi balita kurang sebanyak 16 orang (39,0%). Responden yang mempunyai sikap positif, hampir setengah status gizi balitanya baik sebanyak 11 orang (26,8%). Selain itu juga diketahui responden yang mempunyai sikap positif, status gizi balitanya sebagian kecil lebih sebanyak 4 orang (9,8%) dan kurang sebanyak 3 orang (7,3%). Sedangkan responden yang mempunyai sikap negatif, status gizi balitanya sebagian kecil buruk sebanyak 3 orang (7,3%), lebih sebanyak 2 orang (4,9%) dan baik sebanyak 2 orang (4,9%). Berdasarkan uji Chi square didapatkan nilai frekuensi harapan <5 sebanyak 4 sel, sehingga dilanjutkan menggunakan uji Fisher exact. Hasil uji Fisher exact didapatkan nilai p (0,000) < α (0,05), artinya H 0 ditolak dan H 1 diterima sehingga ada hubungan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita.
D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Pengetahuan ibu tentang gizi balita Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar pengetahuan ibu tentang gizi balita kurang yaitu sebanyak 26 orang (63%) dan sebagian kecil adalah baik sebanyak 4 orang (10%). Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris, khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo 2004). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Tingkat pengetahuan yang paling rendah adalah tahu (know). Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu(Notoatmodjo, 2010). Menurut Wawan dan Dewi (2010), beberapa faktor melatarbelakangi pengetahuan seseorang, diantaranya umur, pekerjaan, pendidikan, dan paritas. Karena penelitian ini dilakukan pada tingkat tahu, maka menunjukkan bahwa responden kurang mampu untuk mengingat kembali apa yang pernah dipelajari, didengar atau dibacanya dari berbagai sumber informasi, sehingga responden kurang mampu untuk menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan segala sesuatu tentang gizi balita. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi balita juga dapat disebabkan karena waktu ibu yang terbatas karena mengurus rumah tangga sehingga kurang mempunyai waktu untuk mencari informasi mengenai gizi balita.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 27 orang (66%) dan sebagian kecil berumur <20 tahun sebanyak 6 orang (15%). Menurut Hurlock, usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya (Wawan dan Dewi, 2010). Umur responden sudah termasuk dalam kriteria usia dewasa yang seharusnya sudah memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan permasalahan dan kebutuhan. Namun akibat berbagai kesibukan karena kelompok usia ini adalah usia produktif untuk banyak aktifitas seperti bekerja atau aktifitas rumah tangga menyebabkan banyak hal yang harus dipikirkan, sehingga kemampuan responden dalam mengingat masalah gizi balita menjadi terpengaruh dan kurang baik. Kurang kemampuan mengingat kembali bahwa memperhatikan gizi balita adalah penting menyebabkan pengetahuannya tentang gizi balita juga menjadi kurang. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 32 orang (78%) dan sebagian kecil bekerja di sektor swasta dan PNS masing-masing sebanyak 1 orang (2%). Menurut Thomas, pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu (Wawan dan Dewi, 2010). Berbeda dengan teori tersebut, kondisi di masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga. Meski status tidak bekerja relatif masih memiliki lebih banyak waktu luang, namun status tidak bekerja juga membuat responden kurang wawasan akibat kurang pergaulan. Pergaulan responden hanya terjadi di sekitar rumah. Hal ini membuat informasi yang didapat termasuk tentang gizi balita tidak menambah pengetahuan responden. Selain itu status tidak bekerja juga menyebabkan responden memiliki keterbatasan keuangan untuk membeli sumber informasi seperti majalah atau buku yang membahas masalah gizi balita, berkunjung ke tenaga kesehatan untuk berkonsultasi tentang gizi balita, sehingga mempengaruhi kurangnya wawasan tentang gizi balita menyebabkan pengetahuan responden menjadi kurang. Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar berpendidikan SD dan SMP yaitu sebanyak 31 orang (76%) dan sebagian kecil berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 2 orang (5%). Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan non formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Menurut teori WHO (World Health Organization), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri (Notoatmodjo, 2007). Pendidikan sebagian besar responden merupakan pendidikan dasar yang masih kurang mempunyai kemampuan dalam mencari, mengolah dan menyerap informasi yang diperoleh. Akibat keterbatasan tersebut menyebabkan ibu menjadi kurang mengetahui mengenai gizi balita yang benar dan tepat. Sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan baik dapat disebabkan karena pendidikan menengah dan tinggi yang dimiliki, sehingga mempunyai kerangka berpikir yang cukup baik dalam menganalisis kebutuhan gizi anaknya sehingga pengetahuannya menjadi baik tentang gizi balita.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
2.
MEDICA MAJAPAHIT
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar memiliki 2-4 anak yaitu sebanyak 29 orang (71%) dan tidak satupun yang mempunyai 5 anak atau lebih. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang telah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi di masa lalu (Notoatmodjo, 2005). Meski telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengurus anak, namun karena pengalaman perawatan gizi anak sebelumnya juga kurang diperhatikan menyebabkan ibu kurang mempunyai pengalaman yang baik dalam mengurus masalah gizi anak. Kurangnya pengalaman menyebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki mengenai gizi balita. Sikap ibu tentang gizi balita Berdasarkan tabel 9 menunjukan bahwa dari 41 responden, sebagian besar memiliki sikap negatif tentang gizi balita yaitu sebanyak 23 orang (56%) dan hampir setengahnya memiliki sikap positif sebanyak 18 orang (44%). Menurut Ahmadi dalam Sunaryo (2004), sikap merupakan kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap suatu objek atau situasi secara konsisten. Sikap merupakan kecenderungan bertindak dari individu berupa respons tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu. Sikap menunjukan adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Jadi sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan “predisposisi” tindakan atau perilaku atau peran (Notoatmodjo, 2005). Menurut Nursalam dan Pariani (2001), sikap seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor umur, pekerjaan, pendidikan dan paritas. Jika sebagian besar responden memiliki sikap yang negatif cenderung tindakan ataupun perilakunya juga negatif, sehingga masalah gizi pada anak akan tetap terjadi. Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 27 orang (66%) dan sebagian kecil berumur <20 tahun sebanyak 6 orang (15%).Menurut Hurlock yang dikutip dari Nursalam dan Pariani (2001) bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Umur merupakan faktor yang penting dalam pembentukan sikap. Orang yang berusia muda umumnya bersikap kurang perhitungan dengan akal dibandingkan orang tua yang penuh kehati-hatian (Sunaryo, 2004). Sesuai dengan teori diatas faktor usia sangat mempengaruhi sikap seseorang, sikap orang yang sudah berusia lanjut dalam pengalaman belajar mungkin lebih sulit dari orang yang lebih muda. Responden dalam penelitian ini tergolong usia dewasa yang harusnya memiliki sikap yang positif namun kenyataannya lebih besar responden yang memiliki sikap negatif dikarenakan mungkin responden belum cukup paham tentang gizi balita. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 32 orang (78%) dan sebagian kecil bekerja di sektor swasta dan PNS masing-masing sebanyak 1 orang (2%). Menurut Sunaryo (2004), keluarga dengan sosial ekonomi rendah akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga keluarga tersebut akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Demikian pula sebaliknya. Menurut Notoatmodjo (2005) bahwa dengan adanya pekerjaan, seseorang akan membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan yang dianggap penting dan memerlukan perhatian, sehingga masyarakat yang sibuk bekerja memiliki waktu yang sedikit untuk memperoleh informasi. Seharusnya responden yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga memiliki waktu yang cukup untuk mendapatkan informasi namun dikarenakan kurangnya interaksi ataupun sosialisasi dengan lingkungan sekitar menjadi salah satu penyebab kurangnya informasi dan sikapnya menjadi negatif. Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar berpendidikan SD dan SMP yaitu sebanyak 31 orang (76%) dan sebagian kecil berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 2 orang (5%).Pendidikan dapat mempengaruhi
Vol 6. No. 1, Maret 2014
3.
MEDICA MAJAPAHIT
seseorang dalam memotivasikan diri untuk siap berperan serta dalam membangun kesehatan, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang (Notoatmodjo, 2005). Menurut Sunaryo (2004), secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Pendidikan yang rendah cenderung pola berfikirnya juga terbatas berbeda dengan pendidikan yang cukup, sehingga juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sikap atau cara bersikap. Namun didapatkan responden yang berpendidikan SMA masih memiliki sikap negatif. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang didapat dari lingkungan maupun sumber media lainnya. Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa dari 41 responden, sebagian besar memiliki 2-4 anak yaitu sebanyak 29 orang (71%) dan tidak satupun yang mempunyai 5 anak atau lebih. Pengalaman mempersiapkan seseorang untuk mencari orang-orang, hal-hal dan gejala-gejala yang mungkin serupa dengan pengalaman pribadinya (Sobur,2003). Pengalaman yang diperoleh responden sebelumnya seharusnya menjadi pelajaran atau proses pembelajaran untuk selanjutnya. Berbeda dengan hal ini seharusnya responden yang memiliki anak lebih dari satu memiliki pengalaman sebelumnya tentang gizi balitanya. Namun masih kurangnya pemahaman baik dan buruknya tentang gizi balita, sehingga menentukan kepercayaan dalam bersikap yang sesuai. Namun responden yang memiliki 1 anak juga ada yang bersikap positif. Karena responden berusia dewasa dan pendidikan yang bukan tergolong pendidikan rendah. Status gizi balita Berdasarkan tabel 10 menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar balita mempunyai status gizi kurang yaitu sebanyak 19 orang (46%) dan sebagian kecil mempunyai status gizi buruk yaitu sebanyak 3 orang (7%). Status gizi (nutrition status) merupakanekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk.,2002). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009). Status gizi yang kurang pada balita dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang pertama konsumsi makanan yang tidak mencukupi. Hal ini mungkin disebabkan oleh masalah daya beli, ketersediaan makanan, diet, alergi, ketidaksukaan makanan yang dapat menyebabkan kesulitan makan pada anak. Faktor yang kedua yakni peningkatan pengeluaran gizi dari dalam tubuh. Faktor yang ketiga kebutuhan gizi yang meningkatkan pada kondisi tertentu. faktor yang keempat yakni penyerapan makanan dalam sistem pencernaan yang mengalami gangguan. Faktor yang terakhir gangguan penggunaan gizi setelah diserap (Widodo,2009). Kekurangan berat badan yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh merupakan masalah serius yang mencerminkan kebiasaan makan yang buruk (Arisman, 2004). Status gizi kurang yang terjadi disebabkan karena kesulitan makan pada balita karena kurangnya konsumsi makanan atau asupan makanan bergizi sehingga menyebabkan penurunan berat badan atau kekurangan berat badan yang tidak sesuai dengan pertumbuhannya. Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir setengahnya adalah perempuan sebanyak 19 orang (46%).Berbagai penelitian yang telah dilakukan yang mengungkapkan bahwa keadaan gizi dan pertumbuhan anak laki-laki lebih baik daripada keadaan gizi dan pertumbuhan anak perempuan dalam lingkungan yang sama (Proverawati dan Asfuah, 2009). Anak laki-laki membutuhkan asupan nutrisi yang lebih daripada anak perempuan karena anak laki-laki cenderung lebih aktif daripada anak perempuan. Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa dari 41 responden balita, sebagian besar berumur 36-60 bulan yaitu sebanyak 22 orang (54%) dan hampir setengahnya berumur 1235 bulan sebanyak 19 orang (46%).Memasuki usia 2 tahun, kebutuhan makan anak terlihat lebih menurun. Pada usia ini anak akan terlihat lebih sulit makan dibandingkan dengan usia
Vol 6. No. 1, Maret 2014
4.
MEDICA MAJAPAHIT
sebelumnya. Usia 3-5 tahun bagi anak merupakan tahap dasar mengajarkan anak untuk mampu memilih makanan yang bergizi dan bermanfaat (Karyadi dan Kolopaking, 2007). Pada usia ini merupakan masa peralihan makanan pada anak sehingga dapat menyebabkan anak sulit untuk makan karena memerlukan penyesuaian dengan menu yang baru dan tekstur yang baru pula. Jika makanan yang tersedia tidak memenuhi selera anak, dapat menyebabkan anak malas makan yang mempengaruhi status gizinya. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir setengahnya memiliki pengetahuan kurang dengan status gizi balitanya kurang sebanyak 15 orang (36,6%).Responden yang memiliki pengetahuan cukup, sebagian kecil status gizi balitanya baik sebanyak 9 orang (22,0%). Responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil status gizi balitanya baiksebanyak 3 orang (7,3%). Selain itu juga diketahui responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil status gizi balitanya lebih sebanyak 1 orang (2,4%), responden yang memiliki pengetahuan cukup, sebagian kecil status gizi balitanya kurang sebanyak 4 orang (9,8%), buruk sebanyak 1 orang (2,4%) dan lebih sebanyak 1 orang (2,4%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil status gizi balitanya lebih sebanyak 4 orang (9,8%), buruk sebanyak 2 orang (4,9%) dan baik sebanyak 1 orang (2,4%). Berdasarkan uji Spearman’s rho didapatkan nilai p (0,007) < α (0,05), artinya H 0 ditolak dan H 1 diterima sehingga ada hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita. Nilai r = 0,416 menunjukkan korelasi searah serta kekuatan hubungan sedang, artinya semakin baik pengetahuan ibu tentang gizi balita maka semakin baik pula status gizi balita dan pengetahuan ibu tersebut termasuk salah satu faktor yang cukup dominan mempengaruhi status gizi balita. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan non formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Menurut teori WHO (World Health Organization), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan responden yang kurang menunjukkan responden kurang mampu untuk mengingat kembali dan menyebutkan informasi yang pernah diperolehnya mengenai gizi balita, bahkan mungkin belum pernah mencari informasi mengenai gizi balita. Kurangnya pengetahuan tersebut menyebabkan perilakunya dalam mengasuh makan balita juga kurang baik. Akibat kurang baiknya perilaku atau pola asuh makan balita menyebabkan status gizi balita menjadi kurang. Responden yang mempunyai pengetahuan cukup dan baik memiliki kerangka rujukan pemikiran yang memadai sebagai bekal pemahaman mengenai gizi balita, sehingga mereka lebih mudah melakukan recall (mengingat kembali) materi gizi balita yang mempengaruhi perilaku pola asuh makan balitanya juga baik. Selain itu, responden dengan pengetahuan baik atau cukup dan status gizi balitanya lebih dapat disebabkan karena meski ia telah mengetahui bahwa balitanya harus mengkonsumsi asupan makan yang secukupnya sesuai kebutuhan tubuh, namun dapat disebabkan nafsu makan anak yang memang baik atau memang karena anak kurang menjalankan aktifitas, sehingga status gizi balita menjadi lebih. Sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan cukup tentang gizi balita namun status gizi balitanya kurang bahkan buruk dapat disebabkan karena pengetahuan yang memadai ternyata tidak selalu merupakan faktor predisposisi yang tepat untuk menjalankan perilaku yang baik pula. Karena pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang turut mempengaruhi
Vol 6. No. 1, Maret 2014
5.
MEDICA MAJAPAHIT
perilaku, misalnya pengaruh lingkungan yang cukup kuat seperti ibu bekerja yang kurang mempunyai waktu untuk mengurus anak termasuk masalah makannya, sehingga meski ia cukup mempunyai pengetahuan tentang gizi balita namun status gizi balitanya kurang bahkan buruk. Selain itu responden yang memiliki pengetahuan kurang dengan status gizi balitanya lebih dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan menyebabkan responden membiarkan anak mengkonsumsi makanan apa saja bahkan melewati batas kecukupan gizi bagi anak seusianya dengan berbagai alas an, seperti anak gemuk adalah anak sehat. Demikian pula pengetahuan kurang yang dimiliki responden tentang gizi balita namun status gizi balitanya baik dapat disebabkan karena meski responden kurang mempunyai pengetahuan tentang gizi balita namun ia cukup telaten dalam mengurus makan anak, sehingga status gizi balitanya baik. Sedangkan responden dengan pengetahuan kurang dan status gizi balitanya buruk dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan menyebabkan responden kurang memperhatikan kebutuhan gizi anak, sehingga menyebabkan status gizinya buruk. Hubungan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa dari 41 responden,hampir setengah dari responden memiliki sikap negatif dengan status gizi balita kurang sebanyak 16 orang (39,0%). Responden yang mempunyai sikap positif, hampir setengah status gizi balitanya baik sebanyak 11 orang (26,8%). Selain itu juga diketahui responden yang mempunyai sikap positif, status gizi balitanya sebagian kecil lebih sebanyak 4 orang (9,8%) dan kurang sebanyak 3 orang (7,3%). Sedangkan responden yang mempunyai sikap negatif, status gizi balitanya sebagian kecil buruk sebanyak 3 orang (7,3%), lebih sebanyak 2 orang (4,9%) dan baik sebanyak 2 orang (4,9%). Berdasarkan uji Chi square didapatkan nilai frekuensi harapan <5 sebanyak 4 sel, sehingga dilanjutkan menggunakan uji Fisher exact. Hasil uji Fisher exact didapatkan nilai p (0,000) < α (0,05), artinya H 0 ditolak dan H 1 diterima sehingga ada hubungan sikap ibu tentang gizi balita dengan status gizi balita. Tugas orang tua tersebut merupakan cerminan pola asuh yang dijalankan. Pola asuh adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberikan makan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kedekatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat dan sebagainya dari ibu atau pengasuh anak (Soekirman, 2000 dalam Masithah, 2005). Sikap responden ibu yang negatif dengan status gizi balita yang kurang menunjukkan kurangnya kesadaran ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi balita. Responden memiliki sikap negatif dengan memaksakan makan pada anak, sehingga anak semakin menolak makan dan membuat status gizinya menjadi kurang. Sedangkan responden yang mempunyai sikap positif dan hampir setengah status gizi balitanya baik disebabkan karena responden menyedari bahwa balita membutuhkan asupan gizi sesuai kebutuhan pada usianya, sehingga hal ini mempengaruhi perilakunya dalam melakukan pola asuh makan balita dan menjadikan status gizi balitanya baik. Selain itu juga diketahui responden yang mempunyai sikap positif, status gizi balitanya sebagian kecil lebih dapat disebabkan karena ia terlalu berlebihan dalam memberikan asupan gizi balita atau balitanya kurang melakukan aktifitas sehingga status gizinya menjadi lebih. Responden yang mempunyai sikap positif namun status gizi balitanya kurang dapat disebabkan karena berbagai faktor, seperti ibu sudah mengusahakan asupan gizi yang memadai bagi balitanya namun karena faktor kesehatan balitanya yang memang mudah sakit menyebabkan status gizi balita menjadi kurang atau karena balita tersebut memang kurang mempunyai nafsu makan yang baik sehingga meski ibu sudah berusaha namun anak tetap tidak mau makan yang menyebabkan status gizinya menjadi kurang. Sedangkan responden yang mempunyai sikap negatif, status gizi balitanya lebih dapat disebabkan karena kurangnya kesadaran ibu menyebabkan ibu membiarkan anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah berlebih atau beberapa jenis makanan tertentu yang
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
sebenarnya kurang dibutuhkan oleh tubuh anak seperti makanan yang manis, mengandung lemak tinggi, sehingga menyebabkan balita tersebut mempunyai status gizi lebih. Responden yang mempunyai sikap negatif dan status gizi balitanya baik dapat disebabkan karena meski ibu kurang mempunyai kesadaran akan gizi balita, namun pengaruh lingkungan cukup kuat seperti lingkungan rumahnya yang mengharuskan makan tiga kali sehari secara rutin, serta balitanya mempunyai nafsu makan yang cukup baik, sehingga status gizinya tetap terjaga baik. Namun responden yang mempunyai sikap negatif dengan status gizi balita buruk dapat dikarenakan sikap negatif responden menyebabkan perilakunya dalam melakukan pola asuh makan yang buruk sehingga status gizi balitanya menjadi buruk. E.
PENUTUP Penelitianini dapat digunakan sebagai dasar peneliti selanjutnya untuk mengkaji mengenai motivasi ibu dalam upaya pemenuhan gizi balita dengan status gizi balita. Bagi tenaga kesehatan dapat meningkatkan program kerja dalam peningkatan gizi balita khususnya perawat dengan memberikan contoh menu yang seimbang pada ibu balita, mengadakan lomba balita sehat, mengadakan lomba memasak makanan balita yang menarik dan bervariasi, serta memberikan tips cara mengatasi kesulitan makan pada balita.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Almatsier, Sunita, dkk. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Azwar, Syaifudin. (2008). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Cetakan XII. Jakarta: Pustaka Pelajar. Badriah, D.L. (2011). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung: Refika Aditama FKM UI. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika Masithah, Tita, dkk. (2005). Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita di Desa Mulya Harja. Media Gizi dan Keluarga. Bogor: IPB Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Nency, Yetty dan Muhammad Thohar Arifin. (2005). Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang. (Online) (http://io.ppijepang.org diakses tanggal 28 April 2012) Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Paath, Erna Francin, et. al. (2004). Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC Proverawati, Atikah dan Siti Asfuah. (2009). Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika Santoso, Soegeng dan Anne Lies Ranti. (2004). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta Sedyaoetama, Achmad Djaeni. (2006). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu ______. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu Siwi, Satiti Setyo. (2010). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil Di Kecamatan Jebres Surakarta. (Online). (http://e-journal.akbidpurworejo.ac.id diakses tanggal 2 April 2012) Soetjiningsih dan Suandi. (2002). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: IDAI Susilowati. (2008). Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri Gizi (Online) (http://www.pdfqueen.com diakses tanggal 21 April 2012) Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Waryono. (2010). Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama Wawan, A. Dan Dewi M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika Yuniastuti, Ari. (2008). Gizi dan Kesehatan. Jakarta: Graha Ilmu.
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI EKSKLUSIF DENGAN PEMBERIAN MP ASI SEBELUM USIA 6 BULAN DI DESA GAYAMAN KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO Farida Yuliani *) Abstrak ASI eksklusif berperan penting untuk pertumbuhan, perkembangan, serta kesehatan yang optimal bagi bayi. Selain itu ASI dapat pula meningkatkan IQ dan EQ anak. Namun upaya pemerintah dalam penggalakan ASI eksklusif di Indonesia masih menemukan banyak hambatan, diantaranya kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ASI eksklusif. Kurangnya pengetahuan menimbulkan anggapan anaknya akan kelaparan bila hanya diberi ASI, namun sebaliknya mereka beranggapan anaknya akan tidur nyenyak setelah diberi makan. Oleh sebab itu penelitianini bertujuan untukmengetahuihubunganpengetahuanibutentang ASI eksklusifdenganpemberian MPASI sebelum usia 6 bulan.Jenis penelitian adalah analitik korelasional dengan metode cross sectional. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan di Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Terdapat 2 variabel yaitu pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dan pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan. Tekhnik sampling yang digunakan adalah sampel jenuh, dengan 48 responden. Data dikumpulkan tanggal 7-19 Juni 2010 menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dengan uji wilcoxon signed ranks test.Hasil penelitian menunjukkan rata-rata responden berpengetahuan baik yaitu 27 responden (56.3%) dan rata-rata responden tidak memberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan yaitu 28 responden (58.3%).Hasil uji statistik menunjukkan sig. (2 tailed) (0.000) <α (0.05). Maka H 1 diterima, artinya ada hubungan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan di Desa Gayaman kecamatan Mojoanyar Mojokerto.Pengetahuan tentang ASI eksklusif mempengaruhi pemberian MP ASI dini, pada pengetahuan baik akan mendorong ibu tidak memberikan MP ASI dini. Sebaliknya jika pengetahuan cukup dan kurang akan mendorong ibu memberikan MP ASI dini.Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Diharapkan para ibu memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dan meninggalkan tradisi memberikan makanan padat sebelum bayi berusia 6 bulan. Hal ini hendaknya didukung oleh tenaga kesehatan juga anggota keluarga lainnya. Kata kunci :Pengetahuan, ASI eksklusif, Pemberian MP ASI A. PENDAHULUAN Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi terbaik pada awal usia kehidupan bayi. ASI ibarat emas yang diberikan gratis oleh Tuhan karena ASI adalah cairan hidup yang dapat menyesuaikan kandungan zatnya yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi (Suryoprajogo, 2009). ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan (Hubertin, 2004:3). Pada tahun 2001 World Health Organization / Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama hidup bayi adalah yang terbaik. Dengan demikian,ketentuan sebelumnya (bahwa ASI eksklusif itu cukup empat bulan) sudah tidak berlaku lagi. Mengingat pentingnya ASI eksklusif, maka pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) yang terlalu dini sangatlah tidak dianjurkan. Pemberian makanan padat/tambahan atau yang biasa disebut dengan MP ASI yang terlalu dini dapat mengganggu pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu, tidak ditemukan bukti yang mendukung bahwa pemberian makanan padat/tambahan pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi,
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
seperti gangguan pencernaan, konstipasi, diare, obesitas, alergi makanan (Dwi Sunar P, 2009) dan tidak ada dampak positif untuk perkembangan pertumbuhannya(Roesli,Utami. 2009). Penyebab rendahnya penggunaan ASI eksklusif di Indonesia adalah faktor sosial budaya, kurangnya pengetahuan akan pentingnya ASI eksklusif, jajaran kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program pemberian ASI eksklusif, gencarnya promosi susu formula dan *) Penulis adalah DosenPoliteknik Kesehatan Majapahit Mojokerto kurangnya dukungan dari masyarakat termasuk institusi yang mempekerjakan perempuan untuk ibu menyusui. Faktor lainnya adalah tekanan dari lingkungan dan tidak adanya dukungan dari keluarga. (Dinkes Jatim, 2008) Banyak ibu yang mempunyai pengetahuan kurang dan beranggapan anaknya kelaparan dan akan tidur nyenyak jika diberi makan. Meski tidak ada relevansinya banyak yang beranggapan ini benar. Sistem pencernaan bayi belum sempurna, sehingga sistem pencernaan harus bekerja lebih keras untuk mengolah dan memecah makanan. Kadang anak yang menangis terus dianggap sebagai anak tidak kenyang. Padahal menangis bukan semata-mata tanda lapar. Pemberian makanan setelah bayi berumur 6 bulan memberikan perlindungan besar dari berbagai penyakit. Hal ini disebabkan sistem imun bayi < 6 bulan belum sempurna. Pemberian MP ASI dini sama saja dengan membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis kuman (Soraya,Luluk. 2006). Survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition and HealthSurveillance System (NSS) bekerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller International menunjukkan cakupan ASI eksklusif 6 bulan sangat rendah yaitu di perkotaan antara 4-12 %, sedangkan di pedesaan 425 %. Sedangkan 13 % bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Nadhiroh, 2008). Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif dapat menyelamatkan lebih dari 30 ribu balita di Indonesia. Dalam pekan ASI yang dimulai 1 Agustus hingga 7 Agustus 2008, Badan PBB Bidang Anak, UNICEF, bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Klaten mendukung kampanye pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Jumlah bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif terus menurun. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, jumlah bayi di Indonesia, usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif hanya 32,3 %. Persentase ini jauh dari rata-rata dunia yaitu 38 %. Pada saat yang sama, jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7 % pada tahun 2002 menjadi 27,9 % pada tahun 2007 (Houston,TX. 2010). Sedangkan cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur pada tahun 2006 sebesar 38,73 %, tahun 2007 sebesar 40,77 % dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 44,52 %. Namun cakupan tersebut masih jauh dari target Indonesia Sehat 2010 sebesar 80% (Dinkes Jatim, 2008). Cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Mojokerto yaitu 28% pada tahun 2008. Studi pendahuluan yang dilakukan dengan tekhnik wawancara di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada tanggal 5 Juli 2013. Didapatkan, dari 10 ibu bayi, 7 ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, namun memberikan makanan tambahan lain seperti bubur, pisang, nasi tim, dan susu formula, sebelum usia bayi 6 bulan. Alasan para ibu memberikan makanan tambahan lain, diantaranya adalah para ibu menganggap anak mereka kurang kenyang, hanya dengan meminum ASI serta adanya dukungan dari keluarga yang mendukung pemberian makanan tambahan kepada bayi sebelum usia 6 bulan. Sesuai dengan pengalaman secara turun-temurun. Dan 3 ibu memberikan ASI eksklusif, tanpa makanan tambahan lain sampai usia bayi 6 bulan, karena para ibu mengetahui manfaat ASI Eksklusif. Mengingat pentingnya pemberian ASI eksklusif, maka penggalakan ASI eksklusif yang dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan kota Surabaya, dengan mendirikan pondok ASI eksklusif di kantor dinas kesehatan, patut diacungi jempol. Namun langkah awal tersebut harus ditindaklanjuti dengan pendirian pondok-pondok ASI eksklusif di instansi lainnya. Setidaknya dimulai dari instansi pemerintah yang berbau kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas. Juga perguruan tinggi yang berbau kesehatan seperti fakultas kedokteran dan prodi keperawatan, fakultas kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran gigi, sekolah tinggi ilmu kesehatan dan akademi kebidanan. Setelah itu seruan pendirian pondok ASI eksklusif ini harus diikuti seluruh
Vol 6. No. 1, Maret 2014
B.
MEDICA MAJAPAHIT
instansi pemerintah lainnya dan perusahaan swasta. Selain itu perlu diberikan penyuluhan dan konseling kepada para ibu tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif (Nadhiroh, 2008). Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengambil “ Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ASI Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulan Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto“. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitiananalitik korelasional,yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengkaji hubungan antar variabel. Sedangkan rancang bangun penelitian yang dipakai adalah cross sectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran / observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008:97). Variabel independent pada penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Variabel dependen adalah pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Definisi Operasional Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ASI Eksklusif Dengan Pemberian MP ASI Sebelum Usia 6 Bulandi Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala Pengetahuan ibu Semua bentuk pemahaman dan Baik = > 75% Ordinal tentang ASI pengertian ibu yang berhubungan Cukup = 60-75% eksklusif dengan ASI eksklusif yang berisikan Kurang= < 60% mengenai : (Arikunto, 2006) - Pengertian ASI eksklusif - Alasan pemberian ASI eksklusif - Faktor yang terkait pemberian ASI eksklusif - Komposisi ASI - Manfaat ASI eksklusif - 12 keunggulan ASI eksklusif - Pemberian ASI - Tips sukses pemberian ASI eksklusif Instrumen yang dipergunakan adalah lembar kuesioner Pemberian MP Makanan pendamping ASI yang Diberikan : 0 Nominal ASI sebelum diberikan sebelum usia 6 bulan Tidak diberikan : 1 usia 6 bulan Instrumen yang dipergunakan adalah lembar observasi
Tabel 1.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Ibu bayi sebelum usia 6 bulan, sebanyak 48 responden, terhitung sampai tanggal 7-19 Juni 2013. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan sebanyak 48 responden. Peneliti menggunakan sampel jenuh yaitu cara pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel (Aziz Alimul, 2009:76).Penelitian ini dilakukan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada bulan Agustus-September 2013. Teknik Pengumpulan Data setelah mendapatkan ijin dari Dinkes Kabupaten Mojokerto dan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Peneliti mengadakan pendekatan kepada ibu bayi untuk mendapatkan persetujuan sebagai responden. Setelah mendapat persetujuan menjadi responden, peneliti mulai melakukan pengambilan data dengan teknik observasi. Instrumen Pengumpulan Data yang digunakan yaitu lembar kuesioner dan lembar cheklist. Teknik Analisis Data menggunakan distribusi frekwensi dan diuji dengan wicoxon sign rank test.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
C. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif Rata-rata responden berpengetahuan baik yaitu 27 responden (56.3%). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian kecil responden berpengetahuan baik tentang pengertian ASI eksklusif yaitu 22 responden (45.83%). Menurut Hubertin (2004) pengertian ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan tambahan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan. Hal ini sesuai dengan apa yang diterapkan oleh para ibu, dengan berbekal pengetahuan baik yang dimilikinya, seorang ibu mampu memberikan ASI eksklusif sampai bayi mereka berusia 6 bulan tanpa makanan tambahan lain. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik tentang faktor yang terkait pemberian ASI eksklusif yaitu 21 responden (43.75%). Menurut Dwi Sunar P (2009), ASI memang benar-benar penting, mengenai hal ini, ibu perlu mengetahui berbagai aspek yang mengharuskannya untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi sejak 6 bulan pertama kelahirannya, diantaranya adalah aspek kecerdasan yang menyimpulkan bahwa pemberian ASI yang lancar memungkinkan asupan gizi yang maksimal. Dengan asupan gizi yang optimal, pemberian ASI eksklusif dapat membantu perkembangan sistem saraf otak yang berperan meningkatkan kecerdasan bayi. Dengan pengetahuan yang baik maka ibu memahami betul berbagai aspek yang mengharuskannya untuk memberikan ASI eksklusif, sehingga ibu termotivasi memberikan yang terbaik kepada bayinya. Dengan tidak memberikan MP ASI dini, namun lebih memilih memberikan ASI sampai bayi berumur 6 bulan demi perkembangan optimal si kecil. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik tentang manfaat ASI eksklusif yaitu 22 responden (45.83%). Dwi Sunar P (2009) mengungkapkan bahwa pemberian ASI eksklusif mempunyai banyak manfaat, diantaranya sebagai makanan utama bayi, karena mengandung lebih dari 60% kebutuhan bayi, dapat mengurangi resiko infeksi lambung dan usus, sembelit, alergi, serta bayi yang diberi ASI lebih kebal terhadap penyakit. Ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang manfaat ASI eksklusif sesuai teori yang dikemukakan oleh Dwi Sunar P (2009). Hal ini mendorong ibu menunda pemberian MP ASI karena ibu telah memahami bahwa dengan hanya diberikan ASI saja akan sudah mencukupi semua kebutuhan bayinya, baik kebutuhan psikologis maupun kebutuhan akan asupan nutrisi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik tentang pemberian ASI yaitu 21 responden (43.75%). Hubertin (2004) mengungkapkan bahwa pola kehidupan bayi untuk 24 jam pertama adalah melakukan adaptasi dengan lingkungan baru dan yang sangat dibutuhkan adalah faktor kehangatan agar perubahan seluruh sistem yang ada pada tubuh bayi dapat dimulai secara optimal. Dalam hal ini ibu berbekal pengetahuan baik tentang pemberian ASI, ibu memahami bahwa dengan memberikan ASI eksklusif, si kecil akan memperoleh kehangatan serta kenyamanan yang dibutuhkan oleh bayi saat terlahir di dunia. Ibu lebih memilih memberikan ASI eksklusif demi kenyamanan bayinya serta bayi dapat tumbuh dengan optimal. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden berpengetahuan baik tentang tips sukses pemberian ASI eksklusif yaitu 20 responden (41.6%). Nadia Yuniardo (2010) mengungkapkan bahwa ada beberapa tips sukses dalam memberikan ASI eksklusif, diantaranya menyusui bayi sesering mungkin, payudara kanan dan kiri tanpa terjadwal, makan-makanan yang bergizi dan minum cairan yang cukup banyak. Sesuai dengan teori di atas, para ibu tahu betul bahwa ada tips khusus yang bisa dilakukan dalam usaha pemberian ASI eksklusif. Sehingga
Vol 6. No. 1, Maret 2014
2.
MEDICA MAJAPAHIT
ibu menerapkan tips tersebut dan hasilnya ibu sukses memberikan ASI eksklusif, karena ASI yang diproduksi akan lebih banyak dan akan mencukupi nutrisi bayinya. Pengetahuan juga dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan, pekerjaan serta pengalaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil responden yang mempunyai pengetahuan baik, berumur 20-40 tahun yaitu 20 responden (41.7%). Hal ini menunjukkan umur seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan. Mubarak (2007) mengemukakan pendapat bahwa dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pada aspek psikologis atau mental taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.Dengan demikian semakin cukup usia seseorang, tingkat kemampuan atau kematangan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan menerima informasi. Dengan mempunyai cukup umur seseorang akan semakin dewasa baik dalam berfikir, berbuat dan mangambil keputusan. Dengan selalu menggunakan pertimbangan baik dan buruk akan sesuatu hal yang disampaikan atau diterimanya, secara tidak langsung seseorang akan mempunyai wawasan dan pada akhirnya pengetahuan seseorang akan bertambah pula. Faktor yang mampengaruhi tingkat pengetahuan adalah pengalaman. Sebagian kecil responden yang berpengetahuan baik mempunyai anak lebih dari satu yaitu sebanyak 17 responden (35.4%). Hendra A.W (2009) mengungkapkan bahwa pengalaman sebagai sumber pengetahuan merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi pada masa lalu. Pengalaman dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata. Sehingga mempengaruhi dalam mengambil keputusan dengan pertimbangan baik dan buruk akan sesuatu hal. Dengan banyaknya pengalaman yang didapatkan seorang ibu, baik dari lingkungan maupun dari pengalaman pribadinya, akan memotivasi seorang ibu untuk bertindak positif akan masalah yang dihadapinya di masa sekarang, yang bercermin dari pengalaman masa lalunya. Dari penelitian yang telah dilakukan, umur, pendidikan, pekerjaan serta pengalaman mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan merupakan hasil dari proses penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan perabaan yang berawal dari keingintahuan seseorang terhadap informasi. Jadi pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia dan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Setelah ibu mengetahui dan mendapatkan informasi tentang ASI eksklusif, selanjutnya ibu akan mengevaluasi terhadap informasi yang di dapat, apakah dapat bermanfaat bagi dirinya atau tidak. Apabila tidak bermanfaat bagi dirinya maka ia akan meninggalkan dan tidak mengadopsi pengetahuan tersebut. Akan tetapi sebaliknya apabila informasi tersebut dianggap menguntungkan, maka selanjutnya ia akan mengadopsi pengetahuan tersebut, sehingga akan timbul perilaku yang positif. pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan Rata-rata responden yang tidak memberikan MPASI sebelum usia 6 bulan yaitu sebanyak 28 responden (58.3%). Hal ini dikarenakan sebagian besar responden mempunyai umur serta pengalaman yang cukup, juga dilatar belakangi oleh sebagian besar responden yang tidak bekerja. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden yang tidak memberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan, berumur 20-40 tahun sebanyak 21 responden (43.8%). Menurut Hendra A.W (2009), usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, dengan semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Dengan mempunyai umur yang cukup, seseorang akan lebih siap menghadapi sesuatu hal karena orang tersebut mampu bertindak dan berpikir secara logis. Pendidikan juga mempengaruhi pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden yang tidak memberikan MP ASI sebelum
Vol 6. No. 1, Maret 2014
3.
MEDICA MAJAPAHIT
usia 6 bulan mempunyai latar belakang pendidikan SMA yaitu sebanyak 23 responden (47.9%). Mubarak (2007) mengemukakan bahwa pendidikan berati bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Dengan mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup, seseorang ibu akan termotivasi untuk melakukan sesuatu hal yang berguna bagi derajat kesehatannya. Pekerjaan juga berpengaruh terhadap pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata responden yang tidak memberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan merupakan responden yang tidak bekerja yaitu sebanyak 31 responden (64.6%). Hal ini sesuai dengan pendapat Markum, yang dikutip dalam Nursalam dan Pariani (2001) yang mengemukakan bahwa, bekerja pada umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupannya sehingga ibu tidak mempunyai banyak waktu. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu, lingkungan pekerjaan memang dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman namun dengan bekerja, seseorang juga akan banyak melewatkan waktu-waktu yang berharga. Dengan tidak bekerja maka seorang ibu mempunyai lebih banyak waktu untuk mengurus semua kebutuhan yang diperlukan oleh bayinya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi. Pengalaman juga mempengaruhi pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil responden yang tidak memberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan mempunyai jumlah anak lebih dari satu yaitu sebanyak 18 responden (37.5%). Hal ini sesuai dengan pendapat Mubarak (2007), pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh seseorang maka semakin membantu seseorang dalam mengambil keputusan. Dengan mempunyai banyak pengalaman, seorang ibu akan tahu kapan waktu yang tepat untuk memberikan MP ASI kepada bayinya. Hubungan pengetahuan dengan pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan Berdasarkan tabel tabulasi silang Hubungan pengetahuan dengan pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan penelitian menunjukkan bahwa sebagiankecil responden berpengetahuan baik dan tidak memberikan MP ASI yaitu sebanyak 25 responden (52,1%). Dari hasil uji statistik wilcoxon signed ranks test dengan tingkat kemaknaan α (0.05) didapatkan nilai signifikansi (ρ) sebesar 0.000 sehingga nilai signifikansi (ρ) <α, dengan demikian hipotesis penelitian H 0 ditolak dan H 1 diterima yang berarti terdapat hubungan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Menurut Suriasumantri (2000) Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk didalamnya adalah ilmu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental ayang secara langsung turut memperkaya hidup kita. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt Behaviour). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif mempengaruhi pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan. Dengan memiliki usia yang cukup, latar belakang pendidikan cukup, sebagian besar responden tidak bekerja serta adanya pengalaman, maka seorang ibu lebih bisa dengan mudah menerima informasi yang didapat. Yang selanjutnya ia akan mengevaluasi terhadap informasi yang didapat, apakah dapat bermanfaat atau tidak. Apabila tidak bermanfaat maka seorang ibu akan meninggalkan dan tidak mengadopsinya. Akan tetapi sebaliknya, apabila informasi tersebut dianggap menguntungkan, maka seorang ibu akan mengadopsi pengetahuan tersebut, sehingga akan timbul perilaku yang positif. Dengan berbekal pengetahuan yang baik maka seorang ibu akan tahu kapan waktu yang tepat untuk pemberian MP ASI kepada bayinya, sehingga pemberian ASI eksklusif dapat dilaksanakan sampai bayi genap berusia 6 bulan demi perkembangan dan pertumbuhan bayinya.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
D. PENUTUP Tenaga kesehatan dapat menggunakan sebagai bahan masukan demi peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Yang dapat diwujudkan dengan mendukung penggalakan ASI eksklusif, melalui penyuluhan dan konseling. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Damayanti, Diana. (2010). Makanan Pendamping ASI. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hendra, A.W. (2009). Pengetahuan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. (http://www.Pro Health.com. diakses 24 April 2010). Hidayat, A.Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A.Aziz Alirnul. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan TeknikAnalisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Houston, Tx. (2010). Menyusui Sebuah Respon yang Sangat Penting dalamSituasi Darurat. (http://www.ASI.blogspot.com. diakses 22 April 2010). Kristiyanasari, Weni, S. Kep. (2009). ASI, Menyusui dan SADARI. Yogyakarta : Nuha Medika. Lituhayu, Rivanda. (2010). A-Z Tentang Makanan Pendamping ASl. Yogyakarta : Genius Publisher. Mubarak, Wahit Iqbal. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Nadhiroh, Siti Rahayu. (2008). Menanti Perda ASI Eksklusif. (http://www.4rss’s Weblog.com. diakses 22 April 2010). Nindya, Arum. (2008). ASI Eksklusif. (http://asuh.wikia.com/wiki/ASI_eksklusif.diakses 22 April 2010) Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatrnodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Prasetyono, Dwi Sunar. (2009). Buku Pintar ASI Eksk1usif.Yogyakarta: Diva Press. Purwanti, Hubertin Sri, S.SiT. (2004). Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta : EGC. Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan.Yogyakarta : Graha Ilmu Yulia, Nanda. (2010). ASI Ekskusif. (http:// www.asuh.wikia.com, diakses 22 April 2010). Yuniardo, Nadia. (2010). 12 Keunggulan ASI. (http://www.menyusui.net. diakses 22 April 2010).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
KESEHATAN GIGI IBU HAMIL DI DI PUSKESMAS KEDUNGSARI KABUPATEN MOJOKERTO Eka Diah Kartiningrum *) Abstrak Kalsium gigi akan diserap oleh calon bayi sehingga menyebabkan gigi ibu rapuh dan akhirnya hilang. Penyakit radang gusi dan gigi bisa mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin salah satu penyebabnya adalah kurangnnya konsumsi makanan yang mengandung kalsium. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan kesehatan gigi ibu hamil di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif. Samplin secara acidental sampling dengan populasi semua ibu hamil di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. pengumpulan menggunakan alat ukur kuesioner dan observasi yang diberikan pada tanggal 06 mei-03 juni 2013. Hasil penelitian menunjukkan sejumlah 25 responden, sebagian besar responden mempunyai DMFT rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 responden(60 %). Semakin kurang pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi kalsium maka kesehatan giginya semakin kurang. Faktor utama yang mempengaruhi kurangnnya pengetahuan adalah kurang pemahaman responden terhadap objek tertentu Oleh karena itu, diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan konseling tentang konsumsi kalsium guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan selama kehamilan Kata kunci :Kesehatan, Gigi, ibu hamil A. PENDAHULUAN Salah satu zat gizi penting pada ibu hamil adalah kalsium (Maulana, 2008). Studi konsumsi kalsium di kota Bandung menunjukkan hasil rata-rata asupan kalsium masih kurang dari angka kecukupan gizi yang di anjurkan (Achadi, 2010). Asupan yang di anjurkan kurang lebih 1200 mg/hari bagi ibu hamil (Lailiyana dkk, 2010). Bila intake kalsium kurang pada ibu hamil, maka kebutuhan kalsium akan di ambil dari gigi dan tulang ibu. Sehingga tak jarang bagi bumil yang kurang asupan kalsium giginya menjadi caries atau pun keropos (Eko, 2010). Pada kehamilan, terjadi peningkatan kadar asam di dalam rongga mulut, belum lagi jika wanita hamil mengalami mual dan muntah yang dapat mengakibatkan paparan asam lambung pada gigi dan gusi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya radang/penyakit gusi dan gigi, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin (Adhi, 2009). Kehamilan mempengaruhi gigi dan gusi dengan menyebabkan peningkatan kebutuhan karbohidrat, meningkatkan resiko karies gigi, gingivitis kehamilan, kondisi gusi membengkak, vaskuler, nyeri tekan, dan mudah berdarah (Sinclair, 2009) Persatuan Dokter Gigi Indonesia mencatat prevalensi radang gusi pada ibu hamil diseluruh dunia mencapai 75-90%. Data tersebut didukung pula dengan temuan riset yang dilakukan Rumah Sakit Gigi Universitas Moestopo Beragama mencatat hanya sekitar 0.44% dari 277 pasien yang diteliti terhitung merawat gigi, sementara 2.69% mengalami pendarahan gigi, 71.37% terkena karang gigi, 22.91% mengalami penurunan gusi (4-5 mm) dan 2.64% mengalami penurunan gusi hingga lebih dari 6 mm (Eman, 2009). Penelitian yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan disebutkan bahwa penduduk Indonesia lebih dari 70% telah karies dan kerusakan gigi (Admin, 2010). Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mencatat radang gusi merupakan masalah mulut dan gigi yang sering menimpa ibu hamil dimana 5%-10% nya mengalami pembengkakan gusi (Eman, 2009).Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007 menunjukkan 72,1 persen penduduk Indonesia mengalami karies pada gigi. Penduduk yang mengalami gangguan kesehatan gigi ini tentu saja termasuk ibu hamil (Tari, 2012) Secara alamiah, kalsium yang ada di dalam tulang akan "diserap" untuk memenuhi kebutuhan janin. Fakta ini menjelaskan terjadinya kekeroposan tulang pada ibu hamil yang kekurangan kalsium . Selain tulang, organ tubuh lain yang mengandung kalsium dalam jumlah tinggi adalah gigi (Gkisuryautama, 2009). Metabolisme kalsium selama hamil berubah mencolok. Kadar kalsium dalam darah ibu hamil turun drastis sebanyak 5% di banding tidak hamil Oleh karena itu, asupan yang optimal perlu dipertimbangkan (Lailiyana, 2010). Saat hamil, *) Penulis adalah Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
kalsium gigi akan diserap oleh calon bayi sehingga menyebabkan gigi ibu rapuh dan akhirnya hilang atau tanggal ( Hudyono, 2008). Penelitian Nizel (1981) di Inggris yang dikutip oleh Kosasih (2007) menguraikan bahwa makanan dapat berpengaruh terhadap kesehatan gigi. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (berg, 1987). Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan pada tanggal 6 maret 2013 di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Setelah di wawancarai dari 5 responden, 3 ibu hamil mengatakan sering mengalami gangguan kesehatan gigi pada saat kehamilannya dan 2 ibu hamil yang lain tidak mengalami gangguan kesehatan gigi. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “kesehatan gigi ibu hamildi Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto”. B.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Pada penelitian ini peneliti melakukan pengambilan data pada variabel kesehatan gigi pada ibu hamil. Populasinya adalah semua ibu hamil yang berkunjung di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto pada bulan Januari-Februari 2013 sebanyak 35 ibu hamil. Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian yang melalui sampling Dalam penelitian ini sampelnya memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Kriteria Inklusi Merupakan kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. (Hidayat, 2007) a. Ibu hamil di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto b. Ibu hamil yang bersedia menjadi responden 2. Kriteria Eksklusi Merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2007) a. Ibu hamil yang tidak bisa baca dan tulis. b. Ibu hamil yang berada di luar Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Jadi sampel dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang berkunjung di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Peneliti menggunakan tehnik Non-probabilitysampling jenis “accidental sampling“ yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.
Tabel 1. Definisi Operasional Kesehatan Gigi Ibu Hamil Variabel Kesehatan gigi ibu hamil
Definisi Operasional Tingkat atau kondisi kesehatan gigi ibu ketika hamil yang dapat diukur dengan menggunakan cheklist
Kriteria 1) Sangat rendah : 0,0-1,1 2) Rendah : 1,2 – 2,6 3) Sedang : 2,7 – 4,4 4) Tinggi : 4,5 – 6,5 5) Sangat tinggi : >6,6 (WHO, 2008)
Skala Ordinal
Penelitian menggumpulkan data mengunakan data primer yang langsung didapat dari responden melalui observasi untuk mengetahui tingkat kesehatan gigi ibu hamil menggunakan DMFT. Rumus yang digunakan untuk menghitung DMF-T :
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Setiap gigi dicatat satu kali, dengan keterangan: D = Decay atau rusak - Ada karies pada gigi. - Mahkota gigi hancur karena karies gigi. M = Missing atau hilang - Gigi yang telah dicabut karena karies gigi. - Karies yang tidak dapat diperbaiki dan indikasi untuk pencabutan. F = Filled atau tambal - Tambalan permanen dan sementara. - Gigi dengan tambalan tidak bagus tapi tanpa karies yang jelas. Kategori DMF-T menurut WHO : Sangat rendah (0,0 – 1,1) : kode 1 Rendah (1,2 – 2,6) : kode 2 Sedang (2,7 – 4,4) : kode 3 Tinggi (4,5 – 6,5) : kode 4 Sangat tinggi (> 6,5) : kode 4 Setelah data terkumpul dilakukan pengecekan pada data dari hasil kuesioner, apakah ada kesalahan dalam pengisian kuesiner yang terkumpul diperiksa ulang untuk mengetahui kelengkapan, data dikelompokan dan ditabulasi berdasarkan variabel yang diteliti kemudian dilakukan perhitungan untuk masing-masing variabel. C. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Lokasi Penelitian. Penelitian ini di lakukan di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto tahun tanggal 6 mei 2013. Luas wilayah puskesmas kedungsari 2097 meter persegi Puskesmas Kedungsari milik Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto yang berdiri sejak tahun 1998 yang di tempatkan di Desa Kedungsari, tepatnya di jalan raya Kedungsari no. 7 Kedungsari Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Adapun sarana yang di miliki puskesmas kedungsari terdiri dari 2 dokter, 9 bidan, 8 perawat, 1 ruang kepala puskesmas, 1 ruang UGD dan BP umum, 1 ruang BP gigi, 1 ruang KIA dan KB, 1 ruang tunggu dan loket, 1 ruang gudang obat dan kamar obat, 1 ruang klinik sanitasi, 1 ruang imunisasi dan laborat, 1 ruang tata usaha, 2 ruang toilet, 1 ruang pertemuan. Data yang diambil terdiri dari data umum dan data khusus pada 25 ibu hamil. Data umum terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, sumber informasi yang di dapat ibu. Data khusus terdiri dari pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi kalsium, kesehatan gigi dan hubungan antara pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi kalsium dengan kesehatan gigi di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto. Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokertomembawai 8 desa terletak di jalan raya kedungsari no.7 kedungsari yang berbatasan dengan: Sebelah Utara : Wilayah Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang 2. Data Umum a. Karakteristik responden berdasarkan umur Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei – 2 Juni 2013. No. Umur Responden Frekuensi Persentase(100 %) 1. <20 3 12 2. 20-35 20 80 3. >35 2 8 Jumlah 25 100 Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hamper seluruh responden berumur 20-35 tahun sejumlah 20 orang (80 %).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
3.
MEDICA MAJAPAHIT
b.
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei – 2 Juni 2013. No. Pendidikan responden Frekuensi Persentase (100 %) 1. SD 16 64 2. SMP 6 24 3. SMA 3 12 4. PERGURUAN TINGGI 0 0 Jumlah 25 100 Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan SD sejumlah 16 orang (64 %).
c.
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei – 2 Juni 2013. No. Pekerjaan Responden Frekuensi Persentase (100%) 1. Bekerja 8 32 2. Tidak bekerja 17 68 Total 25 100 Berdasarkan tabel 4 menunjukkan sebagian besar responden tidak bekerja sejumlah 17 orang (68 %).
d.
Karakteristik responden berdasarkan sumber informasi. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi Di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei – 2 Juni 2013. No. Sumber informasi Frekuensi Persentase (100 %) 1. Media Elektronik 0 0 2. Media Masa 1 4 3. Tenaga kesehatan 8 32 4. Teman/Saudara 16 64 Jumlah 25 100 Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan informasi dari teman/saudara sejumlah 15 orang (60 %).
Data Khusus a. Kesehatan gigi Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesehatan Gigi Ibu Hamil Di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 6 Mei - 2 Juni 2013. No. Kesehatan Gigi Frekuensi Persentase(100 %) 1. DMF-T sangat rendah 10 40 2. DMF-T rendah 15 60 3. DMF-T sedang 0 0 4. DMF-T tinggi 0 0 5. DMF-T sangat tinggi 0 0 Total 25 100 Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai (DMF-T) rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 orang (60 %).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai (DMF-T) rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 orang (60 %). Gigi normal terdiri dari 3 bagian; kepala, leher, dan akar. Kesehatan gigi yaitu berkaitan dengan kesehatan secara keseluruhan dan kesejahteraan dalam berbagai cara. Kemampuan untuk mengunyah dan menelan makanan kita, sangat penting untuk mendapatkan nutrisi yang kita butuhkan untuk kesehatan yang baik. (Potter & Perry, 2005:1367). Karies gigi merupakan masalah gigi paling umum. Perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada akhirnya melalui kekurangan kalsium. Kekurangan kalsium adalah hasil dari akumulasi musin, karbohidrat, basilus asam laktat pada saliva yang secara normal ditemukan pada mulut, yang membentuk lapisan gigi disebut plak(Potter & Perry, 2005:1370) Tanda klinis awal terjadinya karies gigi ditandai dengan bercak putih (white spot). Hal ini disebabkan karena terjadi pelepasan ion calcium dan phosphate dari enamel prisma. Pada keadaan ini, permukaan gigi masih terlihat utuh. Hal ini sering ditemukan pada area yang mudah tertimbun plak seperti area pit dan fissure serta dibawah kontak point diantara gigi geligi. Bila proses berlanjut maka permukaan gigi akan pecah dan terbentuklah karies, dan bila hal ini terjadi gigi tersebut harus dilakukan penambalan (Emid, 2010) Berdasarkan hasil penelitian ini di dapatkan rata-rata responden mempunyai kesehatan gigi kurang, Karies gigi merupakan masalah gigi paling umum. Perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada akhirnya melalui kekurangan kalsium. Kekurangan kalsium adalah hasil dari akumulasi musin, karbohidrat, basilus asam laktat pada saliva yang secara normal ditemukan Karies dijumpai lebih banyak pada responden yang kurang kesadaran akan kebersihan giginya, Sedangkan pada responden yang minat hidup sehatnnya tinggi dan memperhatikan pola makan dan kebersihan giginnya, karies di jumpai lebih rendah. kurangnya informasi akan pentingnnya menjaga kebersihan mulut juga menjadi sebab timbulnya penyakit mulut khususnya pada gigi. Bila intake Ca kurang pada ibu hamil, maka kebutuhan Ca akan diambil dari gigi dan tulang ibu. Sehingga tidak jarang bagi bumil yang kurang asupan Ca giginya menjadi karies ataupun keropos serta diikuti dengan nyeri pada tulang dan persendian (Eko, 2010). Sejak ada pepatah”satu gigi lepas pada setiap kehamilan”, keingintahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut pada ibu hamil semakin meningkat. Namun masalah kesehatan gigi saat hamil sering kali terabaikan (Adhi, 2010). Kalsium bermanfaat untuk pembentukan tulang dan gigi. Pada ibu hamil kalsium berfungsi untuk pertumbuhan janin sekitar 250 mg/hari serta untuk persediaan ibu hamil sendiri agar pembentukan tulang janin tidak mengambil dari persediaan kalsium ibu (Sibagarian 2010). Pada ibu hamil yang tidak mengetahui fungsi kalsium maka ibu hamil akan kekurangan kalsium, untuk memenuhi kebutuhan janin kalsium yang ada dalam tulang dan gigi ibu akan di serap dan menyebabkan terjadinnya kekeroposan pada tulang dan gigi ibu akan rapuh dan akhirnya tanggal. Sumber kalsium terdapat pada susu dan hasil olahannya, ikan/hasil laut, sayuran berwarna hijau dan kacang-kacangan (Achmadi, 2007). Jika ibu hamil tidak mengetahui sumber makanan yang mengandung kalsium maka ibu hamil akan kekurangan kalsium yang berakibat pada pertumbuhan janin. Pada ibu hamil kekurangan kalsium bisa menyebabkan kekeroposan tulang dan kerapuhan gigi, dan kelebihan kalsium juga tidak baik. Kalsium pada ibu hamil dapat mengakibatkan batu ginjal atau gangguan ginjal (Almatsier, 2009) Jumlah konsumsi kalsium yang dianjurkan pada ibu hamil adalah 1200mg/hari bagi ibu hamil yang berusia 25 tahun keatas dan 800mg/hari bagi ibu hamil yang berusia lebih muda (Lailiana, 2010). Jadi kalsium sangat di butuhkan oleh tubuh khususnya pada ibu hamil. Hal ini berarti ibu yang mempunyai pengetahuan kurang dalam mengkonsumsi kalsium tidak diterapkan selama masa kehamilannya, dari pada ibu yang mempunyai pengetahuan baik. Pada saat hamil pengetahuan ibu yang kurang mempengaruhi prilakunya, sehingga banyak ibu hamil yang kurang mengerti dengan nutrisi yang diperlukan pada saat hamil.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Penelitian Nizel (1981) di Inggris yang dikutip oleh Kosasih (2007) menguraikan bahwa makanan dapat berpengaruh terhadap kesehatan gigi. Saat hamil, kalsium gigi akan diserap oleh calon bayi sehingga menyebabkan gigi ibu rapuh dan akhirnya hilang atau tanggal.( Hudyono, 2008). Tanda klinis awal terjadinya karies gigi ditandai dengan bercak putih (white spot). Hal ini disebabkan karena terjadi pelepasan ion kalsium dan fosfat dari enamel gigi. Pada keadaan ini, permukaan gigi masih terlihat utuh. Hal ini sering ditemukan pada area yang mudah tertimbun plak. Bila proses berlanjut maka permukaan gigi akan pecah dan terbentuklah karies, dan bila hal ini terjadi gigi tersebut harus dilakukan penambalan (Emid, 2010). Berdasarkan penelitian menyimpulkan Jika semakin kurang tingkat pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi kalsium maka semakin rendah DMF-T atau semakin kurang pula kesehatan giginya. Menurut penelitian ada kesamaan antara penelitian nizel di inggris (1981) makanan dapat berpengarauh terhadap kesehatan gigi terbukti dari hasil penelitian responden yang kurang makan makanan yang mengandung kalsium mempunyai masalah pada gigi, misalnnya karies gigi, kerapuan pada gigi dan masalah gigi lainnya. E.
PENUTUP Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai (DMF-T) rendah artinya mempunyai kesehatan gigi kurang sejumlah 15 orang (60 %). Oleh sebab itu diharapkan petugas kesehatan di Puskesmas Kedungsari Kabupaten Mojokerto dapat memberikan informasi dan konseling dalam mengkonsumsi kalsium pada ibu hamil selama masa kehamilan terutama yang memiliki pengetahuan kurang dalam mengkonsumsi kalsium.
DAFTAR PUSTAKA. Achmadi, Endang L. 2008. Gizi dan Keehatan masyarakat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Adhi. 2010. Manajemen Kesehatan gigi pada Kehamilan. http://www.slideshare.net. Di Akses 16 Februari 2013 Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Jakarta: PT Rineka Cipta Asrinah dkk. 2010. Asuhan kebidanan. Yogyakarta: Graha ilmu Atiek, S. 2006. Indeks Kebersihan Gigi dan Mulut. http://www.blogspot.com,diakses. Di Akses 10 februari 2013 Constance, Sinclair. 2010. Buku saku kebidanan. Jakarta :EGC Eko. 2010. Gizi Seimbang Ibu Hamil. b57ev.wordpress.com Di akses 1 Maret 2013 Ellya, eva. 2010. Gizi dalam kesehatan reproduksi. Jakarta: Cv. Trans informasi Media Eman. 2009. Gizi. http://www.gizi.net. Di Akses 16 Februari 2013 Emid. 2010. Karies Gigi. http://www.garudasentramedika.co.id. Di Akses 29 Februari 13 Hidayah, A. Azis alimul. 2010. Metode Penelitian Kebidanan Tekhnik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, A. Azis Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan Tekhnik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika Hudyono, Rikko. 2008. Merawat Gigi saat Hamil. http://asnur-kesehatankita.blogspot.com. Di Akses 17 Februari 2010 Imron, moch. 2010. Metodologi penelitian bidang kesehatan. Jakarta : Sugeng seto Kosasi. 2011. Karies gigi. http://repository.usu.ac.id. Di akses 16 Februari 2010 Lailana dkk. 2008.Buku ajar gizi kesehatan reproduksi. Jakarta: EGC Manuaba, dr Ida Ayu Candra. 2009. Mamahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : EGC Manuaba. 2006. Memahami kesehatan reproduksi wanita. Jakarta ; EGC Manuaba. 2010. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan, dan KB. Jakarta ; EGC Maulana, mirza. 2010.Panduan Lengkap Kehamilan. Yogyakarta : Katahati Meilani dkk,2009. Kebidanan komunitas. Jakarta : fitramaya Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. 2005. Metodilogi Penelitia Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Notoatmodjo. 2007. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta : Rineka cipta Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC Prawiroharjo. 2006. Ilmu kebidanan. Jakarta : EGC Prawiroharjo. 2009. Ilmu kebidanan. Jakarta ; EGC. Rohmana, tari.http://health.kompas.com/read/2012/10/17/18530081/6 Utama, Gkisurya. 2009. Gigi Keropos Waktu Hamil. http://www.gkisuryautama.org/artikel.php?id. Diakses 17 Februari 2010 Wawan dan Dewi. 2010. Pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. Yogyakarta: Nuha Medika Wawan dan Dewi. 2010. Teori & pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia Dilengkapi Contoh Kuesioner. Yogyakarta : Nuha Medika
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
PENGARUH TERAPI WILLIAM FLEXION EXERCISE TERHADAP NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA LANSIA DI PANTI WERDHA MOJOPAHIT MOJOKERTO Abdul Muhith1, Angga Novida Yasma2 *) Abstrak Salah satu masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia adalah nyeri punggung bawah. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pada nyeri punggung bawahdapat digunakan Terapi latihan : william flexion exercise. Terapi latihan william flexion exercise digunakan untuk penguluran otot ekstensor daerah punggung dan penguatan otot-otot daerah abdomen. Penelitian ini termasuk jenis penelitian dengan desain pre-experimental dengan menggunakan rancangan theone group pretest-posttest design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto yaitu sejumlah 27 lansia, dan untuk sampel diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditentukan oleh peneliti. Untuk pengumpulan data digunakan lembar observasi skala nyeri Bourbanis. Hasil penelitian didapatkan intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion exercise yaitu sebagian besar responden mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan terdapat hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri berat yaitu 5 orang (45 %). Terjadi penurunan intensitas nyeri sesudah terapi yang ditunjukkan dengan sebagian besar responden mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri ringan yaitu 5 orang (36 %). Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah pada lansia. Simpulan yang dapat ditarik adalah ada perubahan intensitas nyeri yang dirasakan responden sesudah terapi karena terjadi penurunan ketegangan otot terutama otot bagian lumbo sacral spine. Maka dari itu terapi latihan william flexion exercise dapat digunakan sebagai salah satu terapi alternatif dan tidak hanya berfokus pada terapi farmakologis dalam menangani nyeri khususnya nyeri punggung bawah. Kata kunci : lansia, nyeri punggung bawah, william flexion exercise A. PENDAHULUAN Meningkatnya angka harapan hidup bagi penduduk Indonesia berdampak pada meningkatnya masalah lanjut usia (lansia) yang semakin kompleks, dari masalah kesehatan penyakit degeneratif sampai status mental lansia. Hal ini didasari dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fisiologik atas organ-organnya semakin besar (Boedhi, 2006). Perubahan fisiologis bervariasi pada setiap lansia. Beberapa lansia tidak mampu melakukan aktivitas atau aktivitasnya terbatas karena adanya masalah fisik, emosional atau sosial yang membuat lansia merasa sakit. Salah satu masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia adalah nyeri punggung bawah (Bandiyah, 2009). Dengan munculnya rasa nyeri yang dirasakan oleh lansia ini maka akan mengakibatkan lansia tidak produktif terutama dalam hal aktivitas maupun keterbatasan dalam merawat dirinya secara mandiri. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep bahwa selama individu tersebut memiliki semangat untuk hidup serta melakukan kegiatan-kegiatan, maka ia akan tetap produktif dan berbahagia meskipun usianya telah lanjut, sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat (Maryam dkk, 2008). Data epidemiologi mengenai nyeri punggung bawah yang ada yaitu 40% penduduk pulau Jawa berusia diatas 55 tahun pernah menderita nyeri punggung bawah, prevalensi pada laki-laki 57,2% dan pada wanita 42,8%. Insiden berdasarkan kunjungan pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 13-17% dari total penyakit yang dikeluhkan pasien (Sadeli, 2011). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto didapatkan data jumlah lansia sampai bulan Maret 2012 sebanyak 43 orang dan ditemukan 27 lansia (62,8%) mengalami nyeri punggung bawah. Dari hasil wawancara, dalam menangani masalah nyeri punggung bawah tersebut sebanyak 16 lansia 1) Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto 2) Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
(59,26%) mengatakan langsung minum obat saat nyeri dan sebanyak 11 lansia (40,74%) mengatakan hanya membiarkannya saja. Penyebab dari nyeri punggung bawah adalah peregangan dari struktur yang sensitif terhadap nyeri. Hal lain yang dapat mengakibatkan nyeri punggung bawah misalnya batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, atau peregangan dapat menimbulkan nyeri (Lyndon, 2009). Gangguan yang terjadi akibat nyeri punggung bawah adanya nyeri tekan pada regio lumbal, spasme otot-otot punggung, keterbatasan gerak punggung dan penurunan kekuatan otot punggung dan ekstremitas inferior, sehingga dapat menimbulkan keterbatasan fungsi yaitu gangguan saat bangun dari keadaan duduk, saat membungkuk, saat duduk atau berdiri lama dan berjalan (Candra, 2011). Terdapat berbagai tindakan yang dapat dilakukan seorang perawat untuk mengurangi rasa nyeri yang pasien derita. Tindakan-tindakan tersebut mencakup tindakan non farmakologis dan tindakan farmakologis. Dalam beberapa kasus nyeri yang sifatnya ringan, tindakan non farmakologis adalah yang paling utama, sedangkan tindakan farmakologis dipersiapkan untuk mengantisipasi perkembangan nyeri. Sebagai contoh tindakan non farmakologis yang dapat dilakukan adalah distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi kutaneus maupun terapi latihan. Pada kasus nyeri sedang sampai berat, tindakan non farmakologis menjadi suatu pelengkap yang efektif untuk mengatasi nyeri (Prasetyo, 2010). Salah satu tindakan yang dapat dilakukan seorang perawat untuk mengatasi masalah pada nyeri punggung bawahdapat digunakan Terapi latihan : william flexion exercise. Terapi latihan william flexion exercise digunakan untuk penguluran otot ekstensor daerah punggung dan penguatan otot-otot daerah abdomen sehingga ketegangan otot dapat menurun akibatnya nyeri dapat berkurang (Agus, 2009). Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia Di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto. . B. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian dengan desain pre-experimental dengan menggunakan rancangan theone group pretest-posttest design. Ciri tipe penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi. Pengujian sebab akibat dilakukan dengan cara membandingkan hasil pre-tes dengan post tes (Nursalam, 2008). Menentukan Subyek Penelitian Pre-Test
Melakukan pengukuran intensitas nyeri sebelum diberikan terapi Wiliam Flexion Exercise
Memberikan terapi William Flexion Exercise yang dilakukan 4-5 menit, diberikan sebanyak 2 kali per minggu selama 1 bulan
Post-Test
Hasil pengukuran dibandingkan antara sebelum dan sesudah diberikan terapi Wiliam Flexion Exercise
Melakukan pengukuran intensitas nyeri sesudah diberikan terapi Wiliam Flexion Exercise
Gambar 1. Frame WorkPengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia
Vol 6. No. 1, Maret 2014 Tabel 1. No. 1.
2.
MEDICA MAJAPAHIT
Definisi Operasional Pengaruh Terapi William Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia
Variabel Definisi Operasional Terapi William Suatu bentuk terapi yang Flexion diikuti oleh lanjut usia Exercise dengan maksud menurunkan ketegangan otot untuk mengurangi nyeri punggung bawah pada lansia yang dilakukan 4-5 menit, diberikan sebanyak 2 kali per minggu selama 1 bulan pada hari selasa dan kamis. Nyeri Perasaan tidak Punggung menyenangkan yang dialami Bawah seseorang sebagai tanda adanya gangguan yang dirasakan di daerah punggung bagian bawah pada lansia yang dapat diukur dengan menggunakan skala nyeri Bourbanis.
Kriteria
Skala
-
-
Kriteria Rentang nilai antara 0-10, yaitu: 1. Tidak nyeri: 0 2. Nyeri ringan: 1 - 3 3. Nyeri sedang: 4 - 6 4. Nyeri berat:7 - 9 5. Nyeri sangat berat: 10
Ordinal
(Adhyati,2011)
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto yaitu sejumlah 27 lansia. Sampel adalah sebagian obyek yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo,2005). Jumlah sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 11 lansia. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non probability sampling dengan metode purposive sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel. Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau yang layak diteliti, yaitu : a. Responden tidak mengonsumsi obat pereda nyeri. b. Responden berusia 55 sampai dengan 75 tahun. 2. Kriteria eksklusi adalah responden yang tidak layak dijadikan sampel, yaitu:. a. Responden tidak kooperatif. b. Responden tidak mampu melakukan ADL secara mandiri. c. Responden dalam keadaan sakit seperti demam. d. Responden sedang tidak berada di Panti ketika dilakukan penelitian. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi skala nyeri Bourbanis. Lembar observasi dilengkapi dengan karakteristik responden yang berisi: inisial nama, umur, pendidikan terakhir, pekerjaan, tanggal terapi dan intensitas nyeri yang dirasakan. Pemeriksaan skala nyeri menggunakan seperangkat alat tulis dengan menggunakan instrumen berupa lembar observasi intensitas nyeri. Langkah-langkah pengumpulan dimulai dari pemilihan responden sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian peneliti melakukan pendekatan pada responden untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta perlakukan yang akan diberikan pada responden. Langkah selanjutnya peneliti mengukur skala nyeri punggung bawah responden sebelum dilakukan terapi dengan cara responden diminta menunjukkan rasa nyeri antara 0-10, 0 : tidak nyeri, 1-3 : nyeri ringan,4-6 : nyeri sedang,7-9 : nyeri berat,10 : nyeri sangat berat. Kemudian peneliti mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk terapi William flexion exercise, dalam hal ini matras. Kemudian membimbing responden untuk dilakukan terapi
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
selama kurang lebih 4-5 menit, diberikan sebanyak 2 kali per minggu selama 1 bulan pada hari selasa dan kamis. Setelah selesai terapi peneliti kembali mengukur skala nyeri punggung bawah respondenAdapun tahap-tahap analisis data adalah sebagai berikut : a. Analisis univariat Analisis dilakukan terhadap tiap-tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi dan prosentase dari tiap variable, serta meihat apakah semua data masuk dalam entry atau ada data yang hilang (missing). b. Analisis bivariat Analisis untuk melihat dua variabel yang diduga berhubungan atau berpengaruh, yaitu variabel independen (terapi william flexion exercise) dan variabel dependen(nyeri punggung bawah). Dalam analisis hasil penelitian ini digunakan jenis uji Wilcoxon dengan α = 0,05. Bila p ≥ 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak dan Bila p < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima. C. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum Data ini menggambarkan karakteristik responden yang berada di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto yang meliputi : a. Karakteristik responden berdasarkan umur
Gambar 2.
Distribusi frekuensi berdasarkanumur responden yang diberi terapiwilliam flexion exercise di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto pada bulan Juni 2012.
Gambar 2 menjelaskan bahwa sebagian besar responden berusia 55 – 64 tahun, yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya berusia 65 – 74 tahun, yaitu sebanyak 4 orang (36 %). b.
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Gambar 3. Distribusi frekuensi berdasarkantingkat pendidikan responden yang diberi terapiwilliam flexion exercise di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto pada bulan Juni 2012.
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Gambar 3 dapat menjelaskan bahwa sebagian besar responden tidak sekolah yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan sebagian kecil responden menempuh pendidikan SMP yaitu sebanyak 1 orang (9 %). c.
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan.
Gambar 4.
Distribusi frekuensi berdasarkanpekerjaan responden yang diberi terapiwilliam flexion exercise di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto pada bulan Juni 2012. Berdasarkan gambar 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan sebagian kecil responden lainnya bekerja sebagai pedagang dan penjahit masing – masing sebanyak 2 orang (18 %). 2.
Data Khusus Data ini menggambarkan hasil penelitian yang diperoleh dari responden di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto yang meliputi : a. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sebelum diberikan terapi WilliamFlexion Exercise. Tabel 2. Distribusi frekuensi intensitas nyeri punggung bawah sebelum diberikan terapi william flexion exercise No. Intensitas nyeri punggung bawah Frekuensi Prosentase (%) 1. Tidak Nyeri 0 0 2. Nyeri Ringan 0 0 3. Nyeri Sedang 6 55 4. Nyeri Berat 5 45 5. Nyeri Sangat Berat 0 0 11 100 Jumlah Tabel 2 menjelaskan bahwa sebagian besar responden mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri berat yaitu 5 orang (45 %). b.
Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sesudah diberikan terapi william flexion exercise. Tabel 3. Distribusi frekuensi intensitas nyeri punggung sesudah diberikan terapi william flexion exercise No. Intensitas nyeri punggung bawah Frekuensi Prosentase (%) 1. Tidak Nyeri 0 0 2. Nyeri Ringan 4 36 3. Nyeri Sedang 7 64 4. Nyeri Berat 0 0 5. Nyeri Sangat Berat 0 0 11 100 Jumlah
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Tabel 3 menjelaskan bahwa sesudah diberikan terapi william flexion menunjukkan sebagian besar responden mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri ringan yaitu 4 orang (36 %). c.
Pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah pada lansia. Tabel 4. Distribusi frekuensi pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah
e r d a s a r k a n Sebelum terapi t a b e l
B Intensitas nyeri punggung bawah Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Nyeri Sangat Berat Jumlah
Sesudah terapi Tidak Nyeri
Nyeri Ringan
Nyeri Sedang
F
%
F
%
F
%
F
%
Nyeri Sangat Berat F %
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
36
2
19
-
-
-
-
6 (55%)
-
-
-
-
5
4%
-
-
-
-
5 (45%)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
36
7
64
-
-
-
-
11 (100%)
Nyeri Berat
Jumlah
Analisa 4 Wilcoxon Signed Ranks Test 0,003 uji didapatkan hasil pada saat pengukuran intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion exercise responden mengalami nyeri berat sebanyak 5 orang (45 %), sesudah dilakukan terapi dan diukur kembali intensitas nyeri punggung bawah responden menunjukkan responden mengalami penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri sedang. Untuk responden lainnya saat pengukuran intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion exercise responden mengalami nyeri sedang yaitu 6 orang (55 %), sesudah dilakukan terapi dan diukur kembali intensitas nyeri punggung bawah responden menunjukkan responden mengalami penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri ringan sebanyak 4 orang (36 %) dan sisanya tetap mengalami nyeri sedang sebanyak 2 orang (19 %). Hasil analisis uji Wilcoxon Signed Ranks Test diperoleh angka significancy yaitu 0,003. Karena nilai significancy (p) < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti bahwa ada pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah pada lansia. D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sebelum diberikan terapi william flexion exercise. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebelum diberikan terapi william flexion exercise sebagian besar lansia mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 6 orang (55 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri berat yaitu 5 orang (45 %).
Vol 6. No. 1, Maret 2014
2.
3.
MEDICA MAJAPAHIT
Nyeri punggung bawah atau low back pain merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal yang terjadi di daerah punggung bagian bawah. Nyeri punggung bawah bukanlah diagnosis tapi hanya gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam (Sinaga, 2011). Nyeri ini muncul akibat adanya potensi kerusakan ataupun adanya kerusakan jaringan antara lain: dermis pambuluh darah, facia, muskulus, tendon, cartilago, tulang ligament, intra artikuler meniscus, bursa. Tanda dan gejala nyeri punggung bawah adalah onset / waktu timbulnya bertahap, nyeri difus (setempat) sepanjang punggung bawah, tenderness pada otot-otot punggung bawah, lingkup gerak sendi (LGS) terbatas, tanda-tanda gangguan neurologis tidak ada (Agus, 2009). Faktor risiko nyeri punggung bawah meliputi usia, jenis kelamin, status antopometri, pekerjaan, aktivitas, kebiasaaan merokok abnormalitas struktur, dan riwayat episode nyeri punggung bawah sebelumnya. Faktor risiko di tempat kerja yang banyak menyebabkan gangguan otot rangka terutama adalah kerja fisik berat, penanganan dan cara pengangkatan barang, gerakan berulang, posisi atau sikap tubuh selama bekerja, getaran, dan kerja statis (Setyawan, 2011). Nyeri punggung bawah yang dialami responden dapat disebabkan oleh karena faktor pekerjaan. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar responden bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 7 orang (64 %). Bekerja sebagai petani menuntut seseorang untuk seringkali membungkukkan punggungnya pada waktu mencangkul maupun menanam padi. Kegiatan membungkuk yang berulang menyebabkan ketegangan otot yang meningkat sehingga muncul rasa nyeri terutama pada punggung bagian bawah. Nyeri punggung bawah dapat menimbulkan keterbatasan fungsi yaitu gangguan saat bangun dari keadaan duduk, saat membungkuk, saat duduk atau berdiri lama dan berjalan. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sesudah diberikan terapi william flexion exercise. Intensitas nyeri punggung bawah pada lansia sesudah diberikan terapi william flexion exercise menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 7 orang (64 %) dan hampir setengah responden lainnya mengalami nyeri ringan yaitu 4 orang (36 %). Pada dasarnya dikenal dua tahapan terapi nyeri punggung bawah : konservatif dan operatif. Kedua tahapan terapi tadi mempunyai kesamaan tujuan ialah rehabilitasi (Harsono, 2003). Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pada nyeri punggung bawahdapat digunakan Terapi latihan : william flexion exercise. Latihan ini dirancang untuk mengurangi nyeri punggung dengan memperkuat otot-otot yang memfleksikan lumbo sacral spine, terutama otot abdominal dan otot gluteusmaximus dan meregangkan kelompok ekstensor punggung bawah. Latihan ini sebaiknya dilakukan tidak hanya pada waktu terasa sakit saja (Prasetyo, 2010). Pengaruh dari terapi William Flexion Exercise yang mempunyai prinsip memperkuat otot-otot abdominal sebagai otot penggerak fleksi lumbosacral dan meregangkan otot-otot ekstensor punggung bawah, karena semakin otot itu relax dan tidak tegang maka otot tersebut dapat bergerak dengan penuh tanpa adanya rasa nyeri dan spasme. Sehingga responden mengalami penurunan intensitas nyeri terutama nyeri punggung bawah. Pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah pada lansia. Dalam penelitian ini akan dibandingkan antara pengukuran intensitas nyeri sebelum terapi dan sesudah terapi. Berdasarkan tabel 4 didapatkan hasil pada saat pengukuran intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion exercise responden mengalami nyeri berat sebanyak 5 orang (45 %), sesudah dilakukan terapi dan diukur kembali intensitas nyeri punggung bawah responden menunjukkan responden mengalami penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri sedang. Untuk responden lainnya saat pengukuran intensitas nyeri punggung bawah sebelum dilakukan terapi william flexion exercise responden mengalami nyeri sedang yaitu 6 orang (55 %), sesudah dilakukan terapi dan diukur kembali intensitas nyeri punggung bawah responden menunjukkan responden mengalami penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri ringan sebanyak 4 orang (36 %) dan
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
sisanya tetap mengalami nyeri sedang sebanyak 2 orang (19 %). Hasil uji statistik Wilcoxon Signed Ranks Test diperoleh angka significancy yaitu 0,003. Karena nilai significancy (p) < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti bahwa ada pengaruh pemberian terapi william flexion exercise terhadap nyeri punggung bawah pada lansia. Dr. Paul William pertama kali memperkenalkan program latihan william flexion exercise pada tahun 1937 untuk pasien dengan nyeri punggung bawah kronik sebagai respon atas pengamatan klinik dimana kebanyakan pasien yang pernah mengalami nyeri punggung bawah dengan degenerasi vertebra hingga penyakit degeneratif discus. William flexion exercise dirancang untuk mengurangi nyeri punggung bawah dengan memperkuat otot-otot yang memfleksikan lumbosacral spine terutama otot abdominal dan otot gluteus maximus dan meregangkan kelompok otot ekstensor punggung. William Flexion Exercise ini disamping efektif untuk nyeri punggung bawah juga efektif untuk memperbaiki fleksibilias otot-otot punggung dan sirkulasi darah yang membawa nutrisi ke diskus intervertebral (Priyambodo, 2008). Perubahan intensitas nyeri yang dirasakan responden sesudah dilakukan terapi William flexion exercise menunjukkan bahwa ada pengaruh dari terapi yang dilakukan dimana dari 11 responden 9 orang mengalami penurunan intensitas nyeri dan 2 orang tetap merasakan intensitas nyeri yang sama. Respon nyeri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengalaman sebelumnya, ansietas, kebudayaan, usia, makna nyeri, gaya koping, perhatian, keletihan serta dukungan keluarga dan sosial (Potter dan Perry, 2005). Bila ada 2 responden yang tetap mengalami nyeri dengan intensitas yang sama bisa disebabkan oleh karena faktor keletihan, dimana di tempat responden sekarang tinggal responden dituntut untuk hidup secara mandiri meskipun dibantu hanya sebagian oleh perawat jaga. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti responden yang tetap mengalami intensitas nyeri yang sama memang tampak lebih aktif meskipun usia mereka tergolong lebih tua daripada responden yang lain. Bila seseorang terlalu banyak beraktivitas maka akan menyebabkan rasa letih dan juga bila seseorang telah berumur maka kemampuan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang sering akan meningkatkan intensitas nyeri yang dirasakan. Selain itu tingkat kemaknaan nyeri antara individu satu dengan lainnya pun berbeda sehingga tidak semua responden akan mengalami intensitas nyeri yang sama, hal inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan intensitas nyeri saat sebelum terapi maupun sesudah terapi antar individu. DAFTAR PUSTAKA Agus, supriyanto. 2009. Pendekatan Fisioterapi Pada Problem Kapasitas Fisik Dan Kemampuan Fungsional Pada Kondisi Low Back Pain Miogenik (Online). (http://es.scribd.com, diakses pada tanggal 20 Maret 2012) Adhyati,2011. Low back pain (LBP) - USU Repository (Online). (http://repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 29 Mei 2012) Bandiyah. 2009. Lanjut Usia. (http://bandiyahs.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Desember 2011) Boedhi, K. (2006). Asuhan Keperawatan Gerontik (Online). (http://boedhiilmukeperawatan.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Desember 2011) Candra, 2011. Peran Fisioterapi Dalam Penanganan LBP (Online). (http://etd.eprints.ums.ac.id, diakses pada tanggal 17 Maret 2012) Hadian, Agus.2010. Terapi Konservatif untuk Low back Pain (Online). (http://www.jamsostek.co.id, diakses pada tanggal 29 Mei 2012) Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers Hidayat, A. Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, Edisi 1. Jakarta : Salemba medika. Hidayat, A. Aziz. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika
Vol 6. No. 1, Maret 2014
MEDICA MAJAPAHIT
Lyndon, saputra. 2010. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tangerang : Binarupa Aksara Maryam, R Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika Potter, Patricia A & Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik, Edisi 4. Jakarta : EGC Prasetyo, Sigit Nian. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu Priyambodo, Hanung. 2008. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Low Back Pain Miogenik Di RSUD Boyolali. Karya tulis ilmiah diploma tidak dipublikasikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta Setyawan, Aris. 2011. Low Back Pain (Online). (http://setyawan.wordpress.com, diakses pada tanggal 21 Maret 2012) Sinaga. 2009. Nyeri Punggung Bawah/Low Back Pain. (http://sinaga.blogspot.com, diakses pada tanggal 19 Maret 2012) Tamsuri, Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta :EGC Zuyina, Luklukaningsih. 2010. Sinopsis Fisioterapi Untuk Latihan. Yogyakarta : Nuha Medika
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL Format 1. Artikel diketik dengan dengan spasi ganda pada kertas A4 (210x297). 2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan huruf Courier atau Times New Roman font 11 atau sebanyak 15 – 20 halaman. 3. Margin atas, bawah, samping kanan, dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi. 4. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta sumber kutipan. 5. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu, contoh : a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Maziyah, 2005), jika disertai dengan halaman (Maziyah, 2005:19). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (Tiagarajan dan Semmel, 1981). c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari dua penulis (Anderson dkk, 1982). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (Anderson, 1988, 1989), jika tahun publikasi sama (Anderson, 1988a, 1988b). e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang bersangkutan (BPN, 2007:BPS, 2008). Penyerahan Artikel Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar yang tercetak, kepada
Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Raya Jabon KM 2 Gayaman Mojoanyar Mojokerto Telp/Fax (0321) 329915