JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO
HOSPITAL MAJAPAHIT Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris Pembina Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit Nurwidji Pelindung Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit Sarmini Moedjiarto, S.Pd., MM.Pd. Ketua Penyunting Eka Diah Kartiningrum, SKM. Wakil Ketua Penyunting Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. Penyunting Pelaksana Tri Peni, M.Kes. Anwar Holil, M.Pd. Penyunting Ahli Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc. dr. Rahmi, S.A. dr. Mohammad Husin Sri Sudarsih, S.Kp., M.Kes. Henry Sudyanto, S.Kp., M.Kes. Abdul Muhith, MM.Kes. Lilis Majidah, MM.Kes. Distribusi Lina Resfenti, S.Pd. Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected] BIAYA BERLANGGANAN Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 2, Nopember 2010
ISSN : 2085 - 0204
HOSPITAL MAJAPAHIT
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 2, Nopember 2010
ISSN : 2085 - 0204
Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel Kebijakan Editorial Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian, artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto. Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya. Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis. Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya mengikuti pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal Hospital Majapahit dengan alamat :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 2, Nopember 2010
ISSN : 2085 - 0204
Pedoman Penulisan Artikel. Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi pertimbangan penulis. Format. 1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm). 2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 – 12 atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman. 3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi. 4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut. 5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta sumber kutipan. 6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu. Contoh : a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan halaman (Rahman, 2003:36). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989). c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun publikasi sama (David, 1989a, 1989b). e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006). Isi Tulisan. Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut : Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris). Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel. Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian. Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian. Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi Dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan. Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel. Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori – teori yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian. Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.
HOSPITAL MAJAPAHIT Jurnal : Berry, L. 1995. “Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective”. Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 – 245. Buku : Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol. Yogyakarta : Graha Ilmu. Artikel dari Publikasi Elekronik : Orr. 2002. “Leader Should do more than reduce turnover”. Canadian HR Reporter. 15, 18, ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04]. Majalah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Pedoman : Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : User’s Reference Guide, Chicago, SSI International. Simposium : Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia. Paper : Martinez and De Chernatony L. 2002. “The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand Image”. Working Paper. UK : The University of Birmingham. Undang-Undang & Peraturan Pemerintah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Skripsi, Thesis, Disertasi : Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia. Surat Kabar : Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5). Penyerahan Artikel : Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 2, Nopember 2010
ISSN : 2085 - 0204
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email :
[email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA TENTANG JAMBAN SEHAT DI DESA GAYAMAN RT 1 RW 2 MOJOANYAR MOJOKERTO Eka Diah Kartiningrum ABSTRACT The health latrine is the room has facilitation to throw human dirty. The increasing of growth residents and the decreasing earning of society get caused by too difficult in latrine problem. There is also factor that causes society doesn’t understand about latrine problem, because there is assumtion all of sanitation problem accord to government’s matter. The aim of this research is to know about realtionship with family attitude about the healthy latrine in RT 1 RW 2 desa Gayaman Mojoanyar of Mojokerto. This research used by correlation design. Population research is all of families RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar of Mojokerto that amount of 44 “KK”, and research sample is 38 “KK” that are taken by simple random sampling. There are two variables in this research. They are independet variable and dependent variable. The first explain about knowledge of the health “jamban” dan the second explains family attitude to the healthy latrine”. The result of this research anaylized uses chi square examination, where X2 counting > X2 table with α =0.05 where X2 counting=7.56 dan X2 table = 5.591 so Ho refused (H1 accepted) means that there is relationship between knowledge with family attitude for the health “jamban in RT1 RW2 Desa Gayaman of Mojokerto. The good knowledge will effects attitude, so the whole understanding in attitude, knowledge, confidence and emotion are very important in this problem. The conclusion is the most responder has good knowledge dan positive attitude hopely the family keep more health member of their family by keeping their environment and one of the attitude is to clean and keep latrine. Key words: knowledge, attitude, latrine. A.
PENDAHULUAN. Jamban merupakan fasilitas sanitasi dasar, terdapat 160 rumah yang memiliki jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan di kelurahan Bloto Mojokerto. Banyak juga jamban keluarga yang dibangun berdekatan dengan sumur yang selama ini dikonsumsi rumah tangga bersangkutan. Penampung jamban dapat merembes sampai ke dasar sumur sehingga air sumur terkontaminasi berbagai kotoran dan bakteri (Wulandari, 2009). Di wilayah perkotaan atau pedesaan dengan tata kelola ruang yang kurang tertata, masalah jamban masih merupakan permasalahan yang pelik dan belum seluruhnya dapat diatasi. Penyakit yang timbul akibat kondisi jamban yang kotor yaitu diare, disentri, kolera, tipus, cacingan, malaria. Jamban sendiri merupakan tempat penampungan kotoran manusia yang sengaja dibuat untuk mengamankannya (Koordinator Program Kartunagari, 2008). Di Jakarta diperkirakan 35% jamban yang tidak memiliki fasilitas air yang memadai, tidak memiliki atap, tidak tersambung ke septik tank. Sedangkan menurut survei EHRA tentang kondisi jamban di kota Tegal sekitar 6,9% jamban yang memiliki tinja yang terlihat, 3,7% terlihat terdapat lalat beterbangan, dan hanya sekitar 0,4% terlihat ada pembalut wanita di dalamnya. Hal tersebut menyebabkan kerugian yang tidak sedikit karena dapat menyebabkan tingginya bakteri patogen, jamur, cacing parasit (Prasetyo, 2003). Tingginya angka pertumbuhan penduduk dan rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan semakin rumitnya masalah jamban. Disamping itu ada faktor yang menyebabkan masyarakat belum tahu tentang masalah jamban, karena ada anggapan bahwa semua urusan sanitasi merupakan urusan pemerintah. Masalah kesehatan lingkungan dapat muncul sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Sedangkan menurut studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 4 Mei 2009 diantara 42 KK, 5 KK yang diamati mengetahui tentang jamban namun kurang memahami cara
1
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
memeliharanya sehingga kondisi jamban yang mereka miliki kotor. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan mengenai suatu obyek yang baru akan menjadi sikap lebih baik apabila sikap tersebut di dasari pengetahuan (Purwanto, 1999). Masyarakat itu tidak tahu cara memelihara jamban dan tidak mau membersihkan sehingga masyarakat lupa bahwa kondisi jamban yang kotor dapat mengakibatkan segala macam penyakit (Mujianto, 2009). Upaya-upaya pendekatan melalui penyuluhan kepada masyarakat, keluarga perlu dilakukan dengan melibatkan peran keluarga, masyarakat sebagai aktor penyelenggara dengan di dukung pemerintah sebagai fasilitatornya. Pemerintah terus mendukung masyarakat, keluarga dalam upaya meningkatkan sanitasi dasar sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan (Wulandari, 2009). Berdasarkan fenomena diatas, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul masalah “Hubungan pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat di Desa Gayaman RT 1 RW 2 Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto”. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Pengetahuan. a. Pengertian. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003). Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa pengetahuan merupakan hasil pengenalan panca indra terhadap suatu obyek tertentu. b. Proses Pengambilan Pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi pengetahuan di dalam dirinya ada proses berurutan yakni : 1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek). 2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut. Disini sikap subyek sudah mulai timbul. 3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4) Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5) Adoption, di mana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. c. Tingkat Pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2003) tingkatan pengetahuan yang tercakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni : 1) Tahu (know). Tahu diartikan mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya termasuk ke dalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh karena itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah kata kerja yang mewakili adalah menyebutkan, menjodohkan, memilih. 2) Memahami (comprehension). Memahami diartikan kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Kata
2
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
kerja operasional yang mewakili adalah menjelaskan, menguraikan, menyimpulkan dan lain-lain. 3) Aplikasi (aplication). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus-rumus statistika dalam perhitungan hasil penelitian, prinsip dan sebagainya. Kata kerja operasional yang mewakili adalah mendemonstrasikan, menghubungkan, membuktikan, dan lain-lain. 4) Analisis (analisys). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyebarkan suatu obyek atau materi atau materi-materi ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain. Kata kerja operasional yang mewakili adalah memisahkan, mempertentangkan, dan lainlain. 5) Sintesis (sinthesis). Sintesis merupakan kemampuan untuk menyusun permulaan baru dari formulasi-formulasi yang ada. Kata kerja operasional yang mewakili adalah mengkategorikan, mengkombinasikan, menyusun, merangkaikan dan lain-lain. 6) Evaluasi (evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Kata kerja operasional yang mewakili adalah memperbandingkan, membahas, memberikan argumentasi dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan : Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah : 1) Pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarrak, 2007). 2) Pekerjaan. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Mubarrak, 2007). 3) Umur. Elizabet B, H (1995) mengatakan bahwa makin tua umur seseorang, maka proses perkembangan akan bertambah baik, akan tetapi pada umur-umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Dewasa penuh merupakan masa penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan dan harapan sosial yang baru. Ini menunjukkan bahwa pada masa dewasa penuh sangat banyak problematika dan tuntutan yang harus dikerjakan oleh kaum dewasa, sehinggga secara tidak langsung hal ini akan menurunkan konsentrasi. Usia dewasa penuh, dimana pada usia ini merupakan kelanjutan dari masa remaja, dimana ciri yang menonjol nampak dalam adanya peletakan dasar dalam banyak aspek kehidupan (settling down age), usia yang banyak masalah (problem age), merupakan usia tegang dalam hal emosi (Mappiare, 1983).
3
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
4) Minat. Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam (Mubarrak, 2007). 5) Pengalaman. Suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula membentuk sikap positif dalam kehidupannya (Mubarrak, 2007). 6) Kebudayaan lingkungan sekitar. Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitar mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang (Mubarrak, 2007). 7) Informasi. Kemudahan unutk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarrak, 2007). Cara memperoleh pengetahuan. Berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu cara tradisonal (non ilmiah) dan cara modern (ilmiah). 1) Cara tradisional (non ilmiah). Cara tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematis dan logis. Cara-cara penemuan pengetahuan secara tradisional antara lain : a) Coba dan salah (trial and error). Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah. Apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil maka akan di coba dengan kemungkinan yang lain (Notoatmodjo, 2005). b) Cara kekuasaan (otoritas). Prinsip dalam cara ini adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai aktivitas tanpa menguji atau membuktikan kebenaran terlebih dahulu, baik berdasarkan fakta empiris atau berdasarkan penalaran sendiri (Notoatmodjo, 2005). c) Berdasarkan pengalaman pribadi. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Dilakukan dengan cara pengulangan kembali pengalaman pribadi, dapat menuntut seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar. Untuk menarik kesimpilan dari pengalaman dengan benar diperlukan berpikir secara logis (Notoatmodjo, 2005). d) Cara jalan pikir. Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya baik melalui induksi maupun deduksi (Notoatmodjo, 2005).
4
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
2) Cara modern (ilmiah). Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada saat ini, lebih sistematis, logis dan ilmiah untuk memperoleh kesimpulan dilakukan dengan jalan mengadakan observasi langsung dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan obyek penelitian (Notoatmodjo, 2005). 2.
Konsep Dasar Sikap. a. Pengertian Sikap. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmodjo, 2003). Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavorable) pada obyek tersebut (Azwar, 2005). Menurut Purwanto (1999), sikap merupakan pandangan tetapi dalam satu hal itu masih berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan suatu obyek tidak sama dengan sikap terhadap obyek itu. Pengetahuan saja belum bisa menjadi penggerak, seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu obyek yang baru akan menjadi sikap lebih baik apabila sikap tersebut di dasari pengetahuan. Jadi pengetahuan seseorang juga bisa berhubungan dengan sikap seseorang dengan berpengetahuan baik maka kecenderungan sikap orang tersebut baik juga atau positif. b. Pembentukan Sikap. Sikap sosial terbentuk adanya interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat (Azwar, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan sikap adalah : 1) Pengalaman pribadi. Pengalaman yang dialami setiap individu akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap situasi sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis akan mempunyai penghayatan itu membentuk sikap positif atau sikap negatif, akan tergantung pada setiap faktor lain (Azwar, 2005). 2) Pengaruh orang lain. Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting akan banyak mempenagruhi sikap kita terhadap sesuatu (Azwar, 2005). 3) Pengaruh kebudayaan. Kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement (penguatan dan ganjaran) dari masyarkat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain (Azwar, 2005). 4) Media massa. Media massa sebagai sarana komunikasi mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang (Azwar, 2005). 5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama. Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu (Azwar, 2005). c. Komponen Sikap. Allport dalam Notoatmojo (2003) menyatakan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu :
5
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
3.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu obyek. 2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek. 3) Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Tingkatan Sikap. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu: 1) Menerima (receiving). Menerima diartikan orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). 2) Merespon (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas dan diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. 3) Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi. 4) Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Konsep Dasar Keluarga. a. Pengertian. Menurut Departemen Kesehatan dalam Danang (2008) Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga, dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan, sedangkan menurut Friedman dalam Suprajitno (2004) Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. b. Fungsi Keluarga, menurut Effendy 1998 dalam Danang (2008) ada 5 yaitu : 1) Fungsi Biologis. a) Untuk meneruskan keturunan. b) Memelihara dan membesarkan anak. c) Memenuhi kebutuhan gizi keluarga. d) Memelihara dan merawat anggota keluarga. 2) Fungsi Ekonomi. a) Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. b) Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. c) Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga dimasa yang akan datang misalnya pendidikan anak, jaminan hari tua dan sebagainya. 3) Fungsi Pendidikan. a) Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya. b) Mempersiapkan anak untuk hidup dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa. c) Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
6
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
4.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
4) Fungsi Psikologis. a) Memberi kasih sayang dan rasa aman. b) Memberikan perhatian diantara anggota keluarga. c) Membina pendewasaan kepribadiaan anggota keluarga. 5) Memberikan identitas keluarga. Fungsi Sosialisasi a) Membina sosialisasi pada anak. b) Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak. c) Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. Ada 5 tugas keluarga dibidang kesehatan menurut Suprayitno (2004) dalam Danang (2008) keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan meliputi : 1) Mengenal masalah kesehatan keluarga. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialalmi anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian orang tua atau keluarga. 2) Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan diatasi. 3) Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. 4) Memodifikasi lingkungan yang nyaman untuk jaminan kesehatan keluarga. 5) Memanfaatkan fasilitas kesehatan. Menurut Friedman (1981) dalam Yenichrist (2008) untuk dapat mencapai tujuan asuhan keperawatan kesehatan keluarga, keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara, antara lain : 1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga. 2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. 3) Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. 4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. 5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
Konsep Jamban. a. Pengertian. Jamban sehat adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (DepKes RI, 2007). b. Jenis Jamban. 1) Jamban cemplung adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang berfungsi menyimpan dan meresapkan cairan kotoran atau tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung diharuskan ada penutup agar tidak berbau. 2) Jamban tangki septik atau leher angsa adalah jamban berbentuk lehar angsa yang penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah
7
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
e.
5.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
proses penguraian atau dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya (DepKes RI,2007). Syarat jamban sehat menurut DepKes RI (2007) adalah sebagai berikut : 1) Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampung minimal 10 meter). 2) Tidak berbau. 3) Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus. 4) Tidak mencemari tanah disekitarnya. 5) Mudah dibersihkan dan aman digunakan. 6) Dilengkapi dinding dan atap pelindung. 7) Penerangan dan ventilasi cukup. 8) Lantai kedap air dan luas ruangan memadai. 9) Tersedia air, sabun, dan alat pembersih. Cara memelihara jamban sehat menurut DepKes RI (2007) adalah sebagai berikut : 1) Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air. 2) Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih. 3) Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat. 4) Tidak ada serangga, (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran. 5) Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan alat pembersih). 6) Bila ada kerusakan segera perbaiki. Manfaat jamban. 1) Menjaga lingkungan bersih, sehat, dan tidak bau. 2) Tidak mencemari sumber air yang ada disekitarnya. 3) Tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit diare, disentri, typus, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracunan (Depkes RI, 2007).
Kerangka Konseptual. Genetik Perilaku Pengetahuan Sikap
Jamban Sehat
Pelayanan Kesehatan
Praktek Lingkungan
Gambar 1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terwujudnya Jamban Sehat C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian korelasional yaitu penelitian yang digunakan untuk mengkaji hubungan antara variabel, peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang ada (Nursalam, 2003).
8
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
KERANGKA KERJA
Keluarga
Variabel Independen Pengetahuan keluarga tentang jamban sehat : 1. Tahu 2. Memahami 3. Aplikasi 4. Analisis 5. Sintesis 6. Evaluasi
Keterangan :
Variabel Dependen Sikap keluarga tentang jamban sehat : 1. Menerima 2. Merespon 3. Menghargai 4. Bertanggung jawab
Variabel Perancu : 1. Pendidikan 2. Umur
: Diteliti : Tidak Diteliti
Gambar 2. Kerangka Kerja Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Keluarga Tentang Jamban Sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto 2.
Hipotesis. H1 : Ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat. Ho : Tidak ada hubungan antara penegtahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat.
3.
Populasi, Sampel, Variabel, Instrumen Penelitian, dan Definisi Operaisonal. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto, yaitu sebanyak 42 KK. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan dipilih secara acak yang berjumlah 38 KK, yaitu yang memenuhi kriteria inklusi : a. Warga RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto yang bersedia menjadi responden. b. Warga RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto yang tidak buta huruf dan bisa baca tulis. c. Warga RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto yang sudah menikah. Penelitian ini menggunakan teknik probability sampling yaitu pengambilan sampel secara acak, prosedur pengambilan sampel menggunakan simple random sampling adalah pengambilan sampel secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi. Cara ini dilakukan bila anggota populasi dianggap homogen (Hidayat, 2003). Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang jamban sehat, sedangkan variabel dependennya yaitu sikap keluarga tentang jamban sehat.
9
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Tabel 1. Definisi Operasional Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Keluarga Tentang Jamban Sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Pengetahuan keluarga tentang jamban sehat
Mengingat kembali terhadap sesuatu rangsangan yang telah diterima tentang jamban sehat : 1. Pengertian jamban sehat 2. Jenis jamban 3. Syarat jamban sehat 4. Cara memelihara jamban sehat 5. Manfaat jamban Evaluasi atau reaksi perasaan keluarga disertai dengan tindakan mau dan memberikan jawaban apabila ditanya, menyelesaikan dan mengerjakan tugas yang diberikan.
Pengetahuan keluarga tentang jamban sehat : Baik : 76 - 100% Cukup : 56 - 75% Kurang : <56% (Nursalam, 2003)
Ordinal
Positif jika T > 50 Negatif jika T ≤ 50 (Azwar, 2005)
Nominal
Sikap keluarga tentang jamban sehat
4.
Skala
Teknik Analisis Data. Penelitian ini menggunakan analisa bivariant. Data yang di dapat kemudian di uji chi square, dengan rumus chi square : X2= ∑ (fo - fe)2 fe Keterangan :
X2 = chi square fo = frekuensi yang diobservasi fe = frekuensi yang diharapkan
mencari nilai X2 tabel dengan rumus : dk = (k-1) (b-1) Keterangan :
k b
= banyaknya kolom = banyaknya baris (Hidayat, 2007).
Jika X2 hitung > X2 tabel dengan α = 0,05 dan dk =(b-1)(k-1) dengan nilai X2 tabel adalah 5,591 maka Ho ditolak (H1 diterima) sehingga terdapat hubungan dan sebaliknya apabila X2 hitung < X2 tabel maka Ho diterima (H1 ditolak) sehingga tidak terdapat hubungan. D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur. Tabel 2. Karakteristik Umur Responden di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto No. Karakteristik Umur Frekuensi Prosentase (%) 1 20-24 tahun 1 2,6 2 25-60 tahun 37 97,4 Total 38 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur 25–60 tahun dan sisanya berumur 20-24 tahun.
10
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
2.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan. Tabel 3. Karakteristik Pendidikan Responden di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi Prosentase (%) 1 SD 12 31,6 2 SMP 12 31,6 3 SMA 14 36,8 Total 38 100 Tabel 3 diketahui bahwa paling banyak responden berpendidikan SMA sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP mempunyai proporsi yang paling kecil.
Data Khusus. a. Pengetahuan Keluarga Tentang Jamban Sehat. Tabel 4. Pengetahuan Keluarga Tentang Jamban Sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto No. Pengetahun Frekuensi Prosentase (%) 1 Baik 14 36,8 2 Cukup 12 31,6 3 Kurang 12 31,6 Total 38 100 Tabel 4 menujukkan bahwa paling banyak responden memiliki pengetahuan baik sedangkan responden yang memiliki pengetahuan yang cukup dan kurang tentang jamban sehat mempunyai proposi yang sama kecil. Tabel 5. Tabulasi Silang Antara Umur Dan Pengetahuan di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto Pengetahuan TOTAL No. Umur Baik Cukup Kurang F (%) F (%) F (%) F (%) 1 20-24 tahun 1 7,7 0 0 0 0 1 2,6 2 25-60 tahun 12 92,3 13 100 12 100 37 97,4 Jumlah 13 100 13 100 12 100 38 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur 25–60 tahun sedangkan responden yang mempunyai umur 20-24tahun mempunyai proporsi yang paling kecil. Tabel 6. Tabulasi Silang Antara Pendidikan Dan Pengetahuan di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto Pengetahuan TOTAL No. Pendidikan Baik Cukup Kurang F (%) F (%) F (%) F (%) 1 SD 0 0 0 0 12 100 12 31,6 2 SMP 3 21,4 9 75 0 0 12 31,6 3 SMA 11 78,6 3 25 0 0 14 36,8 Jumlah 13 100 13 100 12 100 38 100 Tabel 6 menunjukkan bahwa semua responden yang berpendidikan SD mempunyai pengetahuan yang kurang tentang jamban sehat sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA tidak ada yang mempunyai pengetahuan yang kurang tentang jamban sehat.
11
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Sikap Keluarga Tentang Jamban Sehat. Tabel 7. Sikap Keluarga Tentang Jamban Sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto No. Sikap Frekuensi Prosentase (%) 1 Positif 21 55,3 2 Negatif 17 44,7 Total 38 100 Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden memiliki sikap negatif terhadap jamban sehat sedangkan sisanya mempunyai sikap yang positif terhadap jamban sehat. Tabel 8. Tabulasi Silang Antara Pendidikan Dan Sikap di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto Sikap TOTAL No. Pendidikan Positif Negatif F (%) F (%) F (%) 1 SD 3 14,3 9 53 12 31,6 2 SMP 6 28,6 6 35,3 12 31,6 3 SMA 12 57,1 2 11,7 14 36,8 Jumlah 21 100 17 100 38 100 Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari 50 % responden yang memiliki pendidikan pada tingkat SD mempunayi sikap yang negatif terhadap jamban sehat sedangkan responden dengan pendidikan SMA lebih dari 50% memiliki sikap yang positif terhadap jamban sehat.
c.
E. 1.
Tabulasi Silang Antara Pegetahuan Dan Sikap. Tabel 9. Tabulasi Silang Antara Pengetahuan Dan Sikap di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto Sikap TOTAL No. Pengetahuan Positif Negatif F (%) F (%) F (%) 1 Baik 11 52,4 3 17,6 14 36,8 2 Cukup 7 33,3 5 29,4 12 31,6 3 Kurang 3 14,3 9 53 12 31,6 Jumlah 21 100 17 100 38 100 Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden dengan pengetahuan yang baik tentang jamban sehat, mempunyai sikap yang positif terhadap jamban sehat, sedagkan responden dengan pengetahuan yang kurang tentang jamban sehat, mempunyai sikap yang negatif tentang jamban sehat. Berdasarkan hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto, dimana X2 hitung > X2 tabel dengan α = 0,05, dimana X2 hitung=7,56 dan X2 tabel = 5,591 sehingga Ho ditolak (H1 diterima) berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto.
PEMBAHASAN. Pengetahuan Keluarga Tentang Jamban Sehat. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar, informasi. Hal ini ditunjang dengan data yang diperoleh dari tabel 5 diketahui bahwa mayoritas responden pendidikan
12
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
SD sebanyak 12 orang (100%) mempunyai pengetahuan kurang. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarrak, 2007). Hal ini mencerminkan dengan tingginya tingkat pendidikan seseorang maka proses penerimaan informasi akan mudah. Dari tabel 5 diketahui bahwa mayoritas responden berumur 25–60 tahun yaitu 13 orang (100%) mempunyai pengetahuan cukup. Makin tua umur seseorang, maka proses perkembangan akan bertambah baik, akan tetapi pada umur-umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun (Elizabet, 1995). Ini menunjukkan pada masa dewasa awal sangat banyak problematika dan tuntutan yang harus dikerjakan oleh para kaum dewasa sehingga secara tidak langsung hal ini akan menurunkan daya konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 38 responden yang telah diberi kuesioner dan checklist bahwa sebagian besar 84% responden menjawab benar tentang pengertian jamban. Menurut Dep Kes RI (2007) pengertian jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya. Oleh karena itu sesuai dengan tugas keluarga dibidang kesehatan menurut Suprayitno (2004) dalam Danang (2008) diharapkan keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang nyaman untuk jaminan kesehatan keluarga. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarrak, 2007). Sebagian besar 71% responden menjawab benar tentang jenis jamban. Jenis Jamban yaitu a) jamban cemplung adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang berfungsi menyimpan dan meresapkan cairan kotoran atau tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung diharuskan ada penutup agar tidak berbau, b) jamban tangki septik atau leher angsa adalah jamban berbentuk lehar angsa yang penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses penguraian atau dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya (DepKes RI,2007). Menurut Friedman (1981) dalam Yenichrist (2008) keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotamya dan saling memelihara yaitu salah satunya adalah mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Sebagian besar 66% responden menjawab benar tentang syarat jamban. Syarat jamban sehat a) Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampung minimal 10 meter), b) Tidak berbau, c) Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus, d) Tidak mencemari tanah disekitarnya, e) Mudah dibersihkan dan aman digunakan, f) Dilengkapi dinding dan atap pelindung, g) Penerangan dan ventilasi cukup, h) Lantai kedap air dan luas ruangan memadai, i) Tersedia air, sabun, dan alat pembersih (DepKes RI, 2007). Menurut Friedman (1981) dalam Yenichrist (2008) keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara salah astu diantara tugas itu adalah mempertahankan hubungan timbal balik antar keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada. Oleh sebab itu fungsi keluarga sangat berperan dalam memelihara kesehatan setap anggota keluarganya.
13
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Lebih dari 50% menjawab dengan benar pertanyaan tentang cara memelihara jamban. Cara memelihara jamban a). Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air, b) Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih, c) Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat, c) Tidak ada serangga, (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran, d) Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan alat pembersih), e) Bila ada kerusakan segera perbaiki (DepKes RI, 2007). Oeh sebab itu tugas keluarga dibidang kesehatan sangat diperlukan menurut Friedman (1981) dalam Yenichirst (2008) diharapkan keluarga dapat mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. 2.
Sikap Keluarga Tentang Jamban Sehat. Menurut Azwar (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan sikap adalah lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar konsep moral dalam individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmodjo, 2003). Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavorable) pada obyek tersebut (Azwar, 2005). Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas dan diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. Sikap responden pada saat penelitian, responden tidak ada yang menolak untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini dan juga responden dapat menjawab semua pertanyaan. Dari 18 pertanyaan tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab semua pertanyaan dapat dijawab oleh responden.
3.
Tabulasi Silang Antara Pengetahuan Dan Sikap. Pada tabel 9 diketahui bahwa paling banyak responden berpengetahuan baik sebanyak 11 orang (52,4%) memiliki sikap positif tentang jamban sehat. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto, dimana X2 hitung > X2 tabel dengan α = 0,05, dimana X2 hitung=7,56 dan X2 tabel = 5,591 sehingga Ho ditolak (H1 diterima) berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Pengetahuan mengenai suatu obyek yang baru akan menjadi sikap baik apabila sikap tersebut didasari pengetahuan. Jadi pengetahuan seseorang juga bisa berhubungan dengan sikap seseorang, dengan berpengetahuan baik maka kecenderungan sikap orang tersebut baik atau positif (Purwanto, 1999). Komponen Sikap, dalam bagian lain, menurut Alport bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu: 1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu obyek, 2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek, 3) Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo,2003). Hubungan pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban berawal dari tingkat pendidikan dan umur. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka informasi yang didapatkan pun semakin banyak (informasi tentang jamban sehat). Informasi yang didapatkan pun juga dipengaruhi oleh usia, semakin tua usia seseorang maka pengalaman dan pengetahuannya pun semakin luas, apabila pengetahuan seseorang baik, maka orang tersebut mengerti tentang efek samping dari penggunaan jamban yang tidak sehat. Dari
14
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
pengetahuan tentang efek samping penggunaan jamban yang tidak sehat itu maka seseorang tersebut memiliki motivasi untuk penggunaan jamban yang sehat. Dari uraian diatas dapat diilustrasikan hubungan antara pengetahuan dengan sikap tentang jamban sehat. F.
PENUTUP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik tentang jamban sehat yaitu sebanyak 14 orang (36,8%). Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar, informasi, sedangkan mayoritas responden memiliki sikap negatif terhadap jamban sehat yaitu sebanyak 17 orang (44,7%). Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto, dimana X2 hitung > X2 tabel dengan α = 0,05, dimana X2 hitung=7,56 dan X2 tabel = 5,591 sehingga Ho ditolak (H1 diterima) berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga tentang jamban sehat di RT 1 RW 2 Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto.
DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, Saifuddin. (2005). Sikap manusia teori dan cara pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiarto, Eko. (2001). Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Danang, (2008). Konsep Dasar Keluarga (Online). (http//www.google.com. Diakses 1Maret 2009). Departemen Kesehatan RI, (2007). Rumah tangga sehat dengan PHBS. Surabaya: Dinas Kesehatan Jatim. Hidayat. (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, 2007. Metode Penelitian dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Koordinator Program Kartunagari. (2008). Kesehatan Lingkungan (Online). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009). Mubarrak, dkk. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mujiyanto. (2009). Masalah Sanitasi di Indonesia (Online). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009). Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, 2003. Konsep dan penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Prasetyo, Sulung. (2008). Visi Kuratif Hambat Perbaikan (Onlline). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009). Purwanto, Heri. (1999). Pengantar Perilaku Manusia . Jakarta: EGC. Wulandari, Catur Ratna. (2009). Bangun Jamban Ubah Kebiasaan (Online). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009).
15
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
KEMAMPUAN FUNGSIONAL LANSIA DI UPT PANTI WERDHA “MAJAPAHIT” MOJOKERTO Abdul Muhith ABSTRACT By progressing someone’s age, they will get dcreasing especially in function abiliy that causes decreasing in their role of social. This why it also raises some troubles in their lifes until they can need other’s helping because of depending on them. The aim of this research is to know function the old in UPT Panti Werda Mojopahit of Mojokerto. The method design of this research is descriptive by population of all the old who stay at UPT Panti Werdha and its sample is who stays at UPT Panti Werdha by sampling Purposive technic. Collecting data by observation, interview and instrument uses checklish according to Index Barthel modificated. The variable of this research is the old’s ability function. Anaylising data technic is used by frequency distribution. The result of this research, from 41 respondences, they get modern depending on daily activities in Index Barthel is 10 self the old (24,4%), 9 the old (21,9%) have less depending, 15 the old (36,6%) have modern depending, 5 the old (12,2%) have the excess depending or very dependending and the least 2 the old have full depending (4,9%). The estimated is the woman 2 times often fallen than the man.The conclusion above is the most respondence have modern depending of 15 the old (35%) dan more than 50% have depending is the woman. they are 25 the old (60%), more than 50% the old who stay at Panti Werdha Mojopahit of Mojokerto are elderly that is 60-74 old get 25 respondences (71%). Key words: funtion ability, the old. A.
PENDAHULUAN. Menua merupakan proses terus menerus (berkelanjutan) secara alamiah, dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Berdasarkan pernyataan ini, lanjut usia dianggap sebagai penyakit, hal ini tidak benar. Gerontologi berpendapat lain, sebab lanjut usia bukan suatu penyakit melainkan masa atau tahap hidup manusia yaitu: bayi, anak, remaja, dewasa, tua kemudian lansia (Nugroho, 2000). Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik – biologis, mental maupun sosial ekonomi. Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fungsional yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan – peranan sosialnya. Hal ini menyebabkan pula timbulnya gangguan didalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain (Pudjiastuti, 2003). Bila seseorang bertambah tua, kemampuan fisik dan mentalnya perlahan-lahan pasti akan mengalami penurunan. Akibatnya aktivitas hidupnyapun akan terpengaruh yang pada akhirnya akan mengurangi kesigapan seseorang (Nugroho, 2000). Secara umum menjadi tua atau proses menua di tandai dengan kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala – gejala kemunduran fisik, antara lain : kulit mulai mengendur, rambut kepala mulai memutih, gigi mulai ompong, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran, mudah lelah dan mudah jatuh (Pudjiastuti, 2003). Gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah dan kerusakan sendi adalah perubahan morfologi dari otot. Perubahan morfologi dari otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibelitas otot. Kecepatan waktu reaksi, rileksasi dan kerja fungsional. Selanjutnya penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan atau kemunduran kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh. Hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, peningkatan resiko jatuh, perubahan postur. Berbagai kemunduran fisik mengakibatkan kemunduran kemampuan mobilitas. Kemunduran fungsi mobilitas
16
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
meliputi penurunan kemampuan mobilitas di tempat tidur, berpindah, jalan/ambulasi, dan mobilitas dengan alat adaptasi (Pudjiastuti, 2003). Ketergantungan pada orang atau benda di sekelilingnya adalah wujud dari penurunan kemampuan yang dialami oleh lansia (Nugroho, 2000). Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan cara observasi yang dilakukan oleh peneliti di UPT panti werdha “Majapahit”, tanggal 7 April 2009, dari 48 lansia tercatat 21 orang (43,7%) lansia dapat malakukan aktivitas secara mandiri dan 27 orang (56,2%) lansia mengalami ganguan kemampuan fungsional. Dari 27 lansia yang mengalami gangguan kemampuan fungsional, dilihat dari cara berpindahnya antara lain 11 orang (40,7%) yang menggunakan alat bantu tongkat, 13 orang (48,1%) dengan menelusuri tembok dan 3 orang (11,1%) yang tidak dapat melakukan aktivitas (lumpuh total). Dari data diatas lansia yang mengalami gangguan fungsional sebagian besar pada usia 60–90 tahun (elderly - old). Peningkatan fakta ilmiah yang menunjukkan bahwa pilihan gaya hidup mempengaruhi status kesehatan dan kemampuan. Meskipun saat perubahan telah dibuat pada kehidupan sebelumya (Potter & Perry, 2002). Bila klien mengalami penurunan kemampuan fungsional. maka, peran perawat adalah meningkatkan mobiltas yang optimal, kenyamanan dan kemampuan dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dengan mengompensasi perubahan fungsi. Tingkat bantuan yang dibutuhkan tergantung pada derajat keterbatasan, namun perawat harus hati-hati untuk tidak melakukan tindakan yang berlebihan dari kondisi yang diperlukan klien. Mempertahankan kemampuan penting sekali terhadap harga diri klien (Potter & Perry, 2002). B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep kemampuan. a. Pengertian. Menurut Mangkunegara (2009), “ability adalah kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan”. “Kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek”. Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, kemampuan (abilty) adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya (Davis, 2008). b. Klasifikasi Kemampuan. Lebih lanjut Davis (2008) menyatakan bahwa kemampuan terdiri dari dua faktor, yaitu : 1) Kemampuan intelektual (Intelectual ability). Merupakan kemampuan melakukan aktivitas secara mental. 2) Kemampuan fisik (Physical ability). Merupakan kemampuan melakukan aktivitas berdasarkan stamina kekuatan dan karakteristik fisik. Menurut Keith Davis (2008), “secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill), artinya seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapaikinerja maksimal”. c. Kriteria Kemampuan/Ketergantungan (Watson, 2002). 1) Mandiri. Hubungan sosial yang cukup memuaskan dan adekuat, sekurang–kurangnya satu orang akan merawat klien dalam waktu yang tidak terbatas/hubungan sosial sangat memuaskan dan meluas, serta bantuan hanya diberikan dalam waktu singkat.
17
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
2) Ringan. Hubungan sosial yang tidak memuaskan, kurang kualitas dan sedikit, tapi sekurangnya satu orang akan merawat klien dalam waktu yang tidak terbatas atau hubungan sosial cukup memuaskan dan adekuat, bantuan hanya diberikan dalam waktu singkat. 3) Moderat. Hubungan sosial yang tidak memuaskan, kurang kualitas dan sedikit, perawatan hanya diberikan dalam waktu yang singkat atau hubungan sosial sekurang– kurangnya adekuat atau memuaskan, tapi bantuan hany sementara. 4) Berat/Sangat Tergantung. Hubungan sosial yang tidak memuaskan, kurang berkualitas dan bantuan hanya sementara atau hubungan sosial sekurang–kurangnya adekuat atau memuaskan, tapi bantuan tidak ada. 5) Tidak Mampu. Hubungan sosial tidak memuaskan, kurang berkualitas dan sedikit, bantuan tidak ada. Kemampuan Fungsional. Kemampuan fungsional adalah suatu ukuran kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri (Leuckkenotte, 1999). 1) Indeks Katz dari Aks. Indeks kemandirian dari aktivitas kehidupan sehari-hari berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau ketergantungan dari klien dalam mandi, berpakaian, pergi ke kamar mandi, berpindah, kontinen dan makan (Pudjiastuti, 2003). 2) Sistem penilaian dalam pemeriksaan kemampuan fungsional. Ada beberapa system penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan kemampuan fungsional antara lain : a) Indeks Barthel yang di modifikasi. Penilaian didasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam meningkatkan aktivitas fungsional. Pengukuran meliputi sepuluh kemampuan sebagai berikut : Tabel 10. Sistem Penilaian Kemampuan Fungsional Menurut Indeks Barthel (Shah, 1999) Nilai No. Aktifitas Bantuan Mandiri 1. Makan. 5 10 2. Berpindah dari kursi roda ketempat tidur 5 – 10 15 dan sebaliknya termasuk duduk di tempat tidur. 3. Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir, 0 5 mencukur dan menggosok gigi. 4. Ativitas di toilet. 5 10 5. Mandi. 0 5 6. Berjalan diatas jalan yang datar (jika tidak 10 15 mampu berjalan lakukan dengan kursi roda). 7. Naik turun tangga. 5 10 8. Berpakaian termasuk menggunakan sepatu. 5 10 9. Mengontrol defekasi. 5 10 10. Mengontrol berkemih. 5 10 Jumlah 100
18
HOSPITAL MAJAPAHIT Penilaian 0 – 50 51 – 61 62 – 90 91 – 99 100
: : : : : :
Vol 2. No. 2, Nopember 2010 Ketergantungan Penuh Ketergantungan Berat/Sangat Tergantung Ketergantungan Moderat Ketergantungan Ringan Mandiri
b) Indeks Katz. Indeks Katz untuk mengukur aktivitas fungsional yang mencakup 6 kemampuan aktivitas yaitu mandi, berpakaian, pergi ke toilet, berpindah, mengontrol defeksi dan berkemih serta makan. Tabel 11. Sistem Penilaian Kemampuan Fungsional Menurut Indeks Karz (Pudjiastuti, 2003) Mandi ( ) Dapat mengerjakan ( ) Sebagian/ pada ( ) Sebagian besar/ sendiri bagian tertentu seluruhnya dibantu Berpakaian ( ) Seluruhnya tanpa ( ) Dapat ( ) Seluruhnya bantuan mengerjakan dengan bantuan sendiri, kecuali mengikat sepatu Pergi ke toilet ( ) Dapat pergi ke wc ( ) Dapat pergi ke ( ) Tidak dapat dan dapat wc, tetapi pergi ke wc mengerjakan memerlukan sendiri bantuan Berindah ( ) Tanpa bantuan ( ) Dapat melakukan ( ) Tidak dapat bantuan melakukan Eliminasi (Continance) ( ) Dapat mengontrol ( ) Kadang-kadang ( ) Dibantu ngompol/ defeksi seluruhya ditempat tidur dengan kateter atau manual Makan (Feeding) ( ) Dapat melakukan ( ) Dapat makan ( ) Seluruhnya tanpa bantuan sendiri kecuali dibantu hal-hal tertentu Skala penilaian : A. Mandiri, untuk 6 fungsi. B. Mandiri, untuk 5 fungsi. C. Mandiri, kecuali untuk mandi dan 1 fungsi lain. D. Mandiri, kecuali untuk mandi, berpakaian dan 1 fungsi lain. E. Mandiri, kecuali untuk mandi, berpakaian, pergi ke toilet dan 1 fungsi lain. F. Mandiri, kecuali untuk mandi, berpakaian, pergi ke toilet, transfer dan 1 fungsi lain. G. Tergantung untuk 6 fungsi.
19
HOSPITAL MAJAPAHIT c)
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Indeks Kenny Self Care. Gugus tugas pada evaluasi Kenny Self Care merupakan pertimbangan untuk menilai syarat minimal kemandirian dirumah atau ditempat lain di lingkungan terbatas. Hal-hal yang akan dinilai meliputi tujuan kategori yaitu aktivitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi, berpakaian, hygiene, defekasi atau berkemih dan makan. Tabel 12. Sistem Penilaian Fungsional Menurut Indeks Kenny Self Care (Pudjiastuti, 2003). No. 1.
Kategori Aktivitas
2.
Berpindah
3.
Ambulasi
4.
Berpakaian
5.
Hygiene
6. 7. 8.
Defekasi Berkemih Makan
Jenis Aktfitas 1. Bergeser ditempat tidur 2. Bangun dan duduk 1. Duduk 2. Berdiri 3. Penggunaan toilet 1. Berjalan 2. Naik/turun tangga 3. Penggunaan kursi roda 1. Anggota atas dan trunk bagian atas 2. Anggota bawah dan trunk bagain bawah 1. Wajah, Rambut, Anggota Atas 2. Trunk 3. Anggota bawah
Skala penilaian : 0. ketergantungan penuh. 1. perlu bantuan banyak. 2. perlu bantuan sedang. 3. perlu bentuan minimal/pengawasan. 4. mandiri.
e.
d) Indeks Aktivity Daily Living. Indeks adalah menilai aktivitas fungsional dalam 16 bidang kemampuan, yaitu berpindah dari lantai ke kursi, berpindah dari kursi ketempat tidur, berjalan dalam ruangan, berjalan di luar, naik turun tangga, berpakaian, mencuci, mandi, menggunakan gigi, menyiapkan minuman teh/Kopi menggunakan kran dan makan. Skala penilaian adalah 1 (dapat melakukan tanpa bantuan), nilai 2 (dapat melakukan dengan bantuan), nilai 3 (tidak dapat melakukan) (Pudjiastuti, 2003). Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Fungsional. 1) Umur. Merupakan lamanya seseorang hidup dan lahir sampai ulang tahunnya, semakin banyak usia semakin tinggi pula tingkat ketergantungannya. 2) Jenis kelamin. Jenis kelamin dapat membedakan dua mahluk sebagai laki – laki maupun sebagai perempuan, jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami ketergantungan dari pada jenis kelamin laki – laki.
20
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
3) Penyakit. Penyakit merupakan sesuatu yang menyebabkan sakit. Bertambahnya usia yang semakin lanjut, rentan terhadap penyakit sehingga lansia tersebut akan mengalami ketergantungan yang disebabkan oleh daya tahan tubuh yang menurun (Watson, 2002). 2.
Teori Lansia. a. Pengertian Lansia. Menjadi tua adalah suatu proses yang tidak dapat dihindari oleh kita semua, namun tidak ada pengaruh antara penilaian ciri menjadi tua itu dengan kesehatan (Stanley, 2006). Menua merupakan proses terus menerus (berkelanjutan) secara alamiah, dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Berdasarkan pernyataan ini, lanjut usia dianggap sebagai penyakit, hal ini tidak benar. Gerontologi berpendapat lain, sebab lanjut usia bukan suatu penyakit melainkan masa/tahap hidup manusia yaitu : bayi, anak, remaja, dewasa, tua kemudian lansia (Nugroho, 2000). Sampai saat ini banyak sekali teori yang menerangkan “proses menua” mulai dari teori degeneratif yang didasari oleh habisnya daya cadangan vital, teori terjadinya atrofi, yaitu: teori yang mengatakan bahwa proses menua adalah proses evolusi, dan teori imunologik, yaitu : teori adanya proses sampah/waste product dari tubuh sendiri yang makin bertumpuk. Tetapi seperti yang diketahui, lanjut usia akan selalu bergandengan dengan perubahan fisiologik maupun psikologik. Yang penting untuk diketahui bahwa aktivitas fisik dapat menghambat atau memperlambat kemunduran fungsi alat tubuh yang disebabkan bertambahnya umur (Nugroho, 2000). b. Batasan – Batasan Lanjut Usia. a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi : a) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun. b) Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun. c) Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun. d) Usia sangat tua (very old) = di atas 90 tahun. b. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro. Pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut : a) Usia dewasa muda (elderly adulhood): 18 atau 20 – 25 tahun. b) Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas:20 – 60 atau 65 tahun. c) Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur : a) 70 – 95 tahun (young old). b) 75 – 80 tahun (old). c) Lebih dari 80 tahun (Very old). c. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1965. Bantuan penghidupan orang jompo/lanjut usia yang termuat dalam Pasal 1 dinyatakan sebagai berikut: “seorang dapat dinyatakan sebagai orang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari–hari dan menerima nafkah dari oang lain”. Saat ini berlaku Undang-Undang No. 13/Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia yang berbunyi sebagai berikut: BAB I Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (Nugroho, 2000). b. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia. 1) Perubahan-perubahan fisik. a) Sel. (1) Jumlahnya.
21
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
(2) Lebih besar ukurannya. (3) Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraselular. (4) Menurunnya proporsi protein diotak, ginjal, darah dan hati. (5) Jumlah sel otak menurun Lebih sedikit. (6) Terganggunya mekanisme perbaikan sel Otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%. b) Sistem Persarafan. (1) Berat otak menurun 10-20% (2) Ceratnya menurun hubungan persarafan. (3) Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya dengan stress. (4) Mengecilnya saraf panca indra. (5) Kurang sensitive terhadap sentuhan. c) Sistem Pendengaran. (1) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) hilangnya kemampuan (daya) Pendengaran pada telinga dalam, terutama pada bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti katakata, 50% terjadi pada usia diatas 65 tahun. (2) Membarana timfani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis. (3) Terjadinya pengumpulan cerumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin. (4) Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau stress. d) Sistem Penglihatan. (1) Sfingter pupil timbul sclerosis dan hilangnya respon terhadap sinar. (2) Kornea lebih berbentuk sferis (bola). (3) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan. (4) Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, dan susah melihat dalam cahaya gelap. (5) Hilangnya akomodasi. (6) Menurunnya lapangan pandang : berkurang luas pandangannya. (7) Menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau pada skala. e) Sistem Kardiovaskuler. (1) Elastisitas, dinding aorta menurun. (2) Katup jantung menebal dan menjadi kaku. (3) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. (4) Kehilangan elastisitas pembuluh darah. (5) Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer : Sistolis normal ± 170mmHg. (6) Diastolis ± 90 mmHg. f) Sistem pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu termoskat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya yang sering di temui antara lain : (1) Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik ± 35ºC, ini akibat metabolisme yang menurun. (2) Keterbatasan refleks menggigil dantidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga sehingga terjadi rendahnya aktifitas otot.
22
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
g)
Sistem Respirasi. (1) Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku. (2) Menurunnya aktifitas dari silia. (3) Paru-paru kehilangan elstisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun. (4) Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang. (5) O2 pada arteri menurun menjadi 75 mmHg. h) Sistem Gastrointestinal. (1) Kehilangan gigi, penyebab utma adanya periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk. (2) Indera pengecap menurun adanya iritasi yang kronis dari selaput lender. Atropi indera pengecap (± 80%) hilangnya sensifitas dari saraf pengecap dilidah terutama rasa manis dan asin. (3) Esofagus melebar. (4) Lambung, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun. (5) Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. i) Sistem Genitourinaria. (1) Ginjal. (2) Vesika urinaria. (3) Pembesaran prostate ± 75 % dialami oleh pria usia diats 65 tahun. (4) Atrofi vulva. (5) Vagina. j) Sistem Endokrin. (1) Produksi dari hampir semua hormron menurun. (2) Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah. (3) Pituitari. (4) Menurunnya aktifitas tiroid. (5) Menurunnya produksi oldosteron. (6) Menurunnya sekresi hormone kelamin. k) Sistem Kulit. (1) Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak. (2) Permukaan kulit kasar dan bersisik. (3) Menurunnya respon terhadap trauma. (4) Mekanisme proteksi kulit menurun. (5) Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu. l) Sistem Muskuloskeletal. (1) Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh. (2) Kifosis. (3) Pinggang lutut dan jari-jari pergelangan terbatas. (4) Discus intervertebralis menipis dan menjadi kaku. (5) Tendon mengerut dan mengalami skelerosis. (6) Atrofit serabut otot mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-otot keram dan menjadi tremor. (7) Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh. 2) Perubahan-perubahan Mental. Faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan mental : a) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa. b) Kesehatan umum. c) Tingkat pendidikan.
23
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
d) Keturunan. e) Lingkungan. Perubahan-perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekuatan mungkin karena faktor lain seperti penyakit-panyakit, kenangan (memory) : a) Kenangan jangka panjang : Berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup beberapa perbahan b) Kenangan jangka pendek atau seketika : 0 – 10 menit, kenangan buruk. IQ (Intellegentia Quantion) c) Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. d) Berkurangnya penampilan persepsi dan penampilan psikomotor : terjadi perubahan pada daya membahayakan karena tekanan dan faktor waktu. 3) Perubahan-perubahan Psikososial. a) Pensiun. Nilai seseorang sering diukur oleh produktufitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pension, ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain : (1) Kehilangan finansial. (2) Kehilangan status. (3) Kehilangan teman. (4) Kehilangan pekerjaan. b) Merasakan atau sadar akan kematian. c) Perubahan dalam cara hidup. d) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. e) Penyakit kronis dan ketidakmampuan. f) Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian. g) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan. h) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan family. i) Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik : perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. (Nugroho, 2000) Kemunduran Lanjut Usia. Untuk beberapa lansia, proses penuaan menjadi sebuah beban. Mereka kehilangan kemampuan baik secara fisik, contohnya keterbatasan gerak, maupun psikologis, contohnya depresi atau kerusakan kognitif (Pudjiastuti, 2003). Kondisi kemampuan fisik dan mentalnya perlahan-lahan pasti akan mengalami penurunan. Akibatnya aktivitas hidupnyapun akan terpengaruh yang pada akhirnya akan mengurangi kesigapan seseorang (Nugroho, 2000). Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik–biologis, mental maupun sosial ekonomi. Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fungsional yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan– peranan sosialnya. Hal ini menyebabkan pula timbulnya gangguan didalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain (Pudjiastuti, 2003). Masalah Fisik Sehari–Hari Yang Sering Ditemukan Pada Lansia. 1) Mudah jatuh. Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian., yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
24
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
atau luka (Nugroho, 2002). Masalah yang nyata dari ketidakstabilan lansia adalah jatuh, dan sayangnya kejadian ini sering dialami oleh lansia. Diperkirakan bahwa 30 % lansia pernah jatuh dan wanita yang jatuh, dua kali lebih sering dibandingkan pria. Penyebabnya multifaktor, banyak faktor yang berperan didalamnya. Baik faktor intrinsik (dari dalam lajut usia), maupun ekstrinsik (dari luar). Lihat gambar 3 di bawah ini. Faktor Intrinsik
Faktor Ekstrinsik
Kondisi Fisik dan Neuropsiatrik
Obat-Obatan Yang Diminum
Penurunan Visus Dan Pendengaran
FALLS (JATUH)
Perubahan Neuromuskuler Gaya Berjalan, Dan Reflek Postural Karena Proses
Alat – Alat Bantu Berjalan Lingkungan Yang Tidak Mendukung
Gambar 3. Faktor–faktor yang mempengaruhi lansia terhadap resiko jatuh (Nugroho, 2000) 2) Mudah lelah. Di sebabkan oleh : a) Faktor psikologis (perasan bosan, keletihan, atau perasan depresi). b) Gangguan organis, misalnya ; Anemia, kekurangan vitamin, perubahan pada tulang (osteomalasia), gangguan pencernaan, kelainan metabolisme, gangguan ginjal, ganggaun sistem peredaran darah dan jantung. c) Pengaruh obat – obatan, misalnya : Obat penenang, obat jantung dan obat yang melelahkan daya kerja otot. 3) Kekacauan mental akut. Disebabkan oleh : a) Keracunan. b) Penyakit infeksi dengan demam tinggi. c) Alkohol. d) Penyakit metabolism. e) Dehidrasi atau kekurangan cairan. f) Gangguan fungsi otak. g) Gangguan fungsi had. h) Radang selaput otak (meningitis). 4) Nyeri dada. Disebabkan oleh : a) Penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan iskemia jantung (berkurangnya aliran darah ke jantung). b) Aneurisme aorta. c) Radang selaput jantung (Perikarditis). d) Gangguan pada sistem alat pernafasan, misalnya pleurop-neumonia/emboli paru-paru dan gangguan pada saluran alat pencernaan bagian atas. 5) Sesak nafas saat beraktivitas. Disebabkan oleh : a) Kelemahan jantung. b) Gangguan sistem saluran nafas. c) Karena berat badan berlebihan (overweight). d) Anemia.
25
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
6) Berdebar–debar (Palpitasi). Disebabkan oleh : a) Gangguan irama jantung. b) Keadaan umum badan yang lemah karena penyakit kronis. c) Faktor-faktor psikologis. Bila ketiga gejala yang disebut akhir ini, yakni : nyeri dada, sesak nafas dan berdebar-debar terjadi bersamaan dalam waktu yang sama kemungkinan besar adalah disebabkan gangguan pada jantung. 7) Pembengkakan kaki bagian bawah. Disebabkan oleh : a) Kaki yang lama diganrung (edema gravitasi). b) Gagal jantung. c) Bendungan pada vena bagian bawah. d) Kekurangan vitamin b1. e) Gangguan penyakit hati. f) Penyakit ginjal. g) Kelumpuhan pada kaki (kaki yang tidak aktif). 8) Nyeri penggang dan punggung. Disebabkan oleh: a) Gangguan sendi-sendi atau susunan sendi pada susunan tulang belakang (osteomalasia, osteoporosis, osteoartrosis). b) Gangguan pankreas. c) Kelainan ginjal (batu ginjal). d) Gangguan pada rahim. e) Gangguan pada kelenjar prostat. f) Gangguan pada otot-otot badan. 9) Nyeri sendi panggul. Disebabkan oleh : a) Gangguan sendi pinggul, misalnya: radang sendi (artritis) dan sendi tulang yang keropos (osteoporosis). b) Kelainan tulang-tulang sendi, misalnya : patah tulang (fraktur) dan dislokasi. c) Akibat kelainan pada saraf dari punggung bagian bawah yang terjepit. 10) Sukar menahan buang air seni (sering ngompol). Disebabkan oleh : a) Obat-obat yang mengakibatkan sering berkemih atau obat-obat penenang terlalu banyak. b) Radang kandung kemih. c) Radang saluran kemih. d) Kelainan kontrol pada kandung kemih. e) Kelainan persarafan pada kandung kemih. f) Faktorpsikologis. Mengompol tidak hanya menimbulkan problem higiene seperti penyakit kulit, dekubitus, dan bau tak sedap, namun lebih dari itu dapat pula mengakibatkan perasaan rendah diri dan isolasi. 11) Sukar menahan buang air besar. Disebabkan oleh : a) Obat-obat pencahar perut. b) Keadaan diare. c) Kelainan pada usus besar. d) Kelainan pada ujung saluran pencernaan (pada rektum usus). 12) Gangguan penglihatan. Disebabkan oleh : a) Presbiop. b) Kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang). c) Kekeruhan pada lensa (katarak). d) Tekanan dalam mata yang meninggi (glaukoma). e) Radang saraf mata. 13) Gangguan pendengaran. Disebabkan oleh : a) Kelainan degeneratif (otosklerusis).
26
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
b) Ketulian pada lanjut usia seringkali dapat menyebabkan kekacauan mental. 14) Gangguan tidur. Irwin Feinberg mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan tidur seseorang menjadi relatif tetap. Luce dan Segal mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Telah dikatakan bahwa keluhan terhadap kualitas tidur seiring dengan bertambahnya usia. Gangguan tidur tidak saja menunjukkan indikasi akan adanya kelainan jiwa yang dini tetapi merupakan keluhan dari hampir 30% penderita yang berobat ke dokter. Disebabkan oleh : a) Faktor ekstrinsik (luar) , misalnya: lingkungan yang kurang tenang. b) Faktor intrinsik, ini bisa organik (nyeri, gatal-gatal, dan penyakit tertentu yang membuat gelisah) dan psikogenik (depresi kecemasan dan iritabilitas). 15) Keluhan pusing-pusing. Disebabkan oleh : a) Gangguan lokal, misalnya: vaskuler, migren (sakit kepala sebelah), mata, glaukoma (tekanan dalam bola mata yang meninggi), kepala, sinusitis, furunkel, dan sakit gigi. b) Penyakit sistematis yang menimbulkan hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang tinggi). c) Psikologik: perasaan cemas, depresi, kurang tidur, dan kekacauan pikiran. 16) Mudah gatal – gatal. Disebabkan oleh : a) Kelainan kulit : kering, degeneratif (eksema kulit). b) Penyakit sistemik : diabetes militus, gagal ginjal, hepatitis. (Nugroho, 2000) Penyakit–Penyakit Lanjut Usia Di Indonesia. 1) Paru–paru (gangguan pernafasan). Fungsi paru–paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru – paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernafasan dapat berkurang sehingga sulit bernafas. 2) Kardiovaskuler. Pada lanjut usia, umumnya besar jantung akan sedikit mengecil. Yang paling banyak mengalami penurunan adalah rongga bilik kiri, akibat semakin berkurangnya aktivitas. Yang juga mengalami penurunan adalah besarnya sel–sel otot hingga menyebabkan menurunannya kekuatan otot jantung. Setelah berumur 20 tahun, kekuatan otot jantung berkurang sesuai dengan bertambahnya usia. Dengan bertambahnya umur, denyut jantung maksimal dan fungsi lain dari jantungan juga berangsur–angsur menurun. 3) Hipertensi. Dari banyak penelitian epidemiologi didapatkan bahwa dengan meningkatnya umur dan tekanan darah meninggi. Hipertensi menjadi masalah pada lanjut usia karena sering ditemukan dan menjadi faktor utama stroke, payah jantung, dan penyakit jantung koroner. Lebih dari separoh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantun dan cerebrovaskuler. 4) Pencernaan (Gastritis). Gastritis adalah penyakit pencernaan yang menyerang lambung. Yang disebabkan oleh inflansi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Insiden gastritis meningkat dengan lanjutnya proses menua. Namun seringkali asimtomatik atau hanya dianggap sebagai akibat naormal proses menua. 5) Reumatik. Penyakit pada sendi ini adalah akibat dari degenerasi atau kerusakan pada permukaan sendi – sendi tulang yang banyak dijumpai pada lanjut usia, terutama yang berat badan berlebih.
27
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Hampir 8% orang–orang berusia 50 tahun keatas mempunyai keluhan pada sendi–sendinya, misalnya: linu–linu, pegal, dan kadang– kadang terasa seperti nyeri. Biasanya yang terserang adalah persendian pada jari–jari, tulang punggung, sendi-sendi penahanberat tubuh (lutut dan penggul). Biasanya nyeri akut pada persendian itu disebabkan oler gout (pirai atau jicht). Hal ini disebabkan gangguan metabolism asam urat dalam tubuh. 6) Penyakit lain. Penyakit syaraf yang terpenting adalah akibat pembuluh darah otak yang mengakibatkan perdarahan otak atau menimbulkan kepikunan (senilis) (Nugroho, 2000). C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membantu gambaran deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif (Notoadmodjo, 2005). KERANGKA KERJA 1. Perubahan fisik 2. Perubahan mental 3. Perubahan psikososial
LANSIA a) b) c) d)
Usia pertengahan (middle age) Lanjut usia (elderly) Lanjut usia tua (old) Usia sangat tua (very old)
KEMAMPUAN FUNGSIONAL 1. Kemampuan intelektual 2. Kemampuan fisik
1. Ketergantungan penuh 2. Ketergantungan berat/
sangat tergantung 3. Ketergantungan moderat 4. Ketergantungan ringan 5. Mandiri
Keterangan :
Indeks Barthel 1. Makan 2. Berpindah dari kursi – tempat tidur 3. Kebersihan diri 4. Aktivitas di toilet 5. Mandi 6. Berjalan di atas jalan yang datar 7. Naik/turun tangga 8. Berpakaian 9. Mengontrol defekasi 10. Mengontrol berkemih
: Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 4. Kerangka Kerja Kemampuan Fungsional Pada Lansia Di UPT Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto (dimodifikasi dari teori Nugroho (2000), Pudjiastuti (2003) dan Davis (2008))
28
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Terdapat Tiga macam perubahan yang dialami oleh lanjut usia yaitu perubahan fisik, mental, dan perubahan psikososial. Perubahan fisik meliputi kemunduran– kemunduran fungsi organ, perubahan mental mencakup kenangan/memori sedangkan perubahan psikososial meliputi pensiun, sadar akan menghadapi kematian. Ada klasifikasi khusus bagi lansia menurut WHO yaitu usia pertengahan 45–59 tahun, lanjut usia antara 60–75 tahun, lanjut usia tua antara 75–90 tahun, lebih dari 90 tahun tergolong usia sangat tua. Klasifikasi tersebut akan diambil usia 60–90 tahun (elderly–old) untuk di nilai kemampuan fungsional. Kemampuan fungsional dibagi menjadi dua kemempuan yaitu kemampuan intelektual (Mental) dan kemampuan fisik. Peneliti mengambil salah satu yaitu kemampuan fisik untuk dilakukan penelitian beberapa aspek yang dapat di nilai dalam kemampuan fisik yaitu makan. kebersihan diri, ativitas di toilet, mandi, mengontrol berkemih, berjalan diatas jalan yang datar, Berpakaian, Mengontrol defekasi, Naik turun tangga.yang kemudian akan dinilai berdasarkan kriteria tingkat ketergantungan dari mandiri sampai ketergantungan penuh. 2.
Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Lansia yang tinggal di UPT Panti Werdha “Mojopahit” Mojokerto. Jumlah Sampel penelitian ini adalah 41 orang yang dipilih menggunakan teknik non probabality sampling dengan teknik Purposive Sampling, yaitu yang memenuhi kriteria inklusi : a. Lansia yang bersedia untuk diteliti. b. Ada ditempat pada saat penelitian. c. Lansia yang berusia Elderly dan Old. Dalam penelitian ini variabelnya adalah kemampuan fungsional lansia. Tabel 13. Definisi Operasional Gambaran Kemampuan Fungsional Pada Lansia Di UPT Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto. Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Skala
Kemampuan fungsional lansia.
Kesigapan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri ataupun dibantu berdasarkan Indeks Barthel, data diambil dengan wawancara dan observasi. Dengan parameter : 1. Makan. 2. Berpindah. 3. Kebersihan diri. 4. Aktivitas diri. 5. Mandi. 6. Berjalan. 7. Naik turun tangga. 8. Berpakaian. 9. Mengontrol BAB. 10.Mengontrol BAK.
Mandiri : 100 Ketergantungan ringan : 91-99 Ketergantungan moderat : 62-90 Ketergantungan berat : 51-61 Ketergantungan penuh : 0-50 (Shah, 1999)
Ordinal
29
1.
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Gambaran Lokasi Penelitian. Penelitian dilaksanakan di UPT Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto dengan lokasi di Jl. Raya Brangkal No. 862 Sooko Mojokerto dengan batas wilayah sebelah timur berbatasan dengan Pusat perbelanjaan (Pasar) Brangkal, sebelah selatan berbatasan dengan KAPOLSEK SOOKO, sebelah barat SPBU Brangkal. Luas tanah yang dimiliki 3.537 m2 dengan dua sertifikat. Sertifikat pertama seluas 1.147 m2 dan sertifikat ke dua seluas 2.390 m2, sedangkan yang terpakai untuk bangunan hanya sebesar 789 m2. Bangunan panti merupakan bangunan permanen dengan dinding tembok dan sebagian lan tai berkramik, atap genteng dengan pencahayaan cukup. Panti ini terdiri 1 kantor, 1 mushola, 1 ruangan poliklinik, 6 wisma (2 wisma digunakan untuk perawatan isolasi), 1 kantin, 1 pos penjagaan, 3 gudang, 2 dapur umum, 1 peternakan ayam dan 1 ruangan untuk menyimpan alat olah raga.
3.
b.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin. Tabel 14. Karakteristik Jenis Kelamin Responden di Di UPT Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto Bulan Mei 2009. No. Karakteristik Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase (%) 1 Laki-Laki 17 41 2 Perempuan 24 59 Total 41 100 Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berjenis kelamin perempuan dan sisanya berjenis kelamin laki-laki.
c.
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia. Tabel 15. Karakteristik Usia Responden di Di UPT Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto Bulan Mei 2009. No. Karakteristik Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 60 – 74 26 63,41 2 75 – 90 15 36,59 Total 41 100 Tabel 15 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berusia 60-74 tahun sedangkan sisanya berusia 75-90 tahun.
Data Khusus. a. Karakteristik Tingkat Ketergantungan Responden. Tabel 16. Karakteristik Tingkat Ketergantungan Responden di UPT Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto Bulan Mei 2009. No. Ketergantungan Frekuensi Prosentase (%) 1 Mandiri 10 24,4 2 Ringan 9 21,9 3 Moderat 15 36,6 4 Berat/Tidak Mampu 5 12,2 5 Penuh 2 4,9 Total 38 100 Tabel 16 menunjukkan bahwa paling banyak responden memiliki tingkat Ketergantungan moderat sedangkan yang paling sedikit adalah responden yang memilki tingkat ketergantungan penuh.
30
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
E.
PEMBAHASAN. Berdasarkan pengelompokan data diatas menunjukkan paling banyak dari jumlah responden mengalami ketergantungan moderat yaitu sebanyak 15 orang (36,6%), dan paling sedikit yang mengalami tingkat ketergantungan penuh yaitu sebanyak 2 orang (4,9%). Penurunan kemampuan fisik pada lansia diperkuat dengan teori Pudjiastuti (2003) mengatakan bahwa lansia mengalami masalah dalam kemampuan motoriknya, yaitu penurunan kekuatan dan tenaga. Gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah dan kerusakan sendi adalah perubahan morfologi dari otot. Perubahan morfologi dari otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibelitas otot. Kecepatan waktu reaksi, rileksasi dan kerja fungsional. Selanjutnya penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan atau kemunduran kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh. Hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, peningkatan resiko jatuh, perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi, berhubungan erat dengan kekuatan otot yang sifatnya individual pada lansia (Poedjiastuti, 2003). Kemampuan (abilty) adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya (Davis, 2008). Ketergantungan pada orang atau benda di sekelilingnya adalah wujud dari penurunan kemampuan yang dialami oleh lansia (Nugroho, 2000). Faktor–faktor yang mempengaruhi kemampuan fungsional salah satunya adalah umur. Umur merupakan lamanya seseorang hidup dan lahir sampai ulang tahunnya. Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fungsional yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan–peranan sosialnya. Hal ini menyebabkan pula timbulnya gangguan didalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain (Pudjiastuti, 2003).
F.
PENUTUP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan lansia dalam aktivitas hidup sehari – hari di UPT Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto sesuai dengan penilaian kemampuan fungsional yang dimodifikasi dari Indeks Barthel, menunjukkan paling banyak dari jumlah responden mengalami ketergantungan moderat yaitu sebanyak 15 Orang (36,6%), dan paling sedikit yang mengalami tingkat ketergantungan penuh yaitu sebanyak 2 Orang atau (4,9%). Berdasarkan hasil penelitian diatas, diharapkan bagi panti Werdha agar berupaya mempertahankan kemandirian lansia terutama dalam aktivitas sehari–hari, khususnya memberikan latihan aktif dalam meningkatkan kesehatan dan produktivitas sehingga dapat hidup sehat dan berguna.
DAFTAR PUSTAKA. Arikunto S. (2002). Prosedur Suatu Pendekatan Penelitian Praktek Edisi Refisi V. Jakarta: EKG. Chumbley Jane, (2003). Menyusui ; Seri Panduan Praktis Keluarga. Jakarta: Erlangga. DepKes. RI. (2000). Konsep Penerapan ASI Eksklusif. www /http. Google. Com. Net.id Depkes RI. (2001). Cara Meneteki Yang Benar. Jakarta: Depkes RI. Mucthadi, Deddy. (1996). Gizi Untuk Bayi Edisi Revisi. Jakarta: Pustaka Bina Harapan. Nursalam dan Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Info Medika. Notoatmojo,S. (2002). Ilmu Kesehatan Mayarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Nototmojo,S. (2002). Metode Penelitin Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Rusli, Utami, (2000).Asi Eksklusif. Jakarta: EGC. Soetjiningsih. (2001). ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan, Jakarta: EGC.
31
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Srikandi. (1997). Pengantar Statistik.. Surabaya: CitraMedia. Tilar.N.A.R. (1999). Menejemen Pendidian Nasional. Bandung: Remaja Rusda Karya. Verrals.S. (1997).Anatomi Dan Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan. Jakarta: EGC. WHO UNICEF. (1996).Melindungi Meningktkan Dan Mendukung Menyusui. Jakarta: Bina Rupa Aksara. …….,(2002),Menejemen Laktasi,www /htp Google.com.net.i. ……..,laporan nasional PP-AS. www. Gizi Net/lain /GKLI Nis/laporan syaihit.
32
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
PENGETAHUAN PERSEPSI IBU DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP FREKUENSI PELAKSANAAN ANC PADA IBU PRIMIGRAVIDA DI BPS DESA SAWOO KECAMATAN KUTOREJO MOJOKERTO Nina Primasari ABSTRACT Antenatal care is observation to pregnant mother by preparing her the best physically or mentally in pregnancy, bearing and child bed in good condition and normal. This interconnected by mortally mother in Indonesia is very high. In year 2002, it gets 343/100.000 bith of life. The mortally mother is one indications of mother healthy. Based on description above, the researcher supposes to know level preseption of knowledge mother and housband’s support to frequency of ANC action. This research is descriptive, technique taking the sample uses non probability smpling by puposive sampling. This research is done on 2005 september 13th – 14th, by amopunt 42 responders. Data are collected by using questioner and getting obeservation. After data gotten, they are crossed tabulation and anaylized by drawing them that gotten in narrative and percentage. The result of level distribution knowledge in action ANC 80,96% well is suitable with standard in acton 41,76 isn’t suitable. Perception to frequency ANC 88,10% is good perception. Husband’s support to frequency ANC 88,10% is good husband’s support. Key words : knowledge, support, ANC. A.
PENDAHULUAN. ANC merupakan komponen pelayanan kesehatan Ibu hamil terpenting untuk menurunkan angka kematian Ibu dan bayi. Hal ini penting karena bila terjadi kelainan atau penyimpangan dari keadaan normal dapat dideteksi sedini mungkin dan diberikan penanganan yang mendasar (Depkes, RI, 1994:14). Keteraturan ANC ditujukkan melalui frekuensi kunjungan, ternyata hal ini menjadi masalah karena tidak semua Ibu hamil memeriksakan kehamilannya secara rutin terutama Ibu hamil normal. Untuk itu diperlukan pemahaman dan pengertian dari ibu hamil itu sendiri. Angka Kematian Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan Ibu saat ini masih sangat tinggi dan jauh di atas AKI Negara ASEAN. Menurut SKRT 1992 AKI tersebut 421/100.000 kelahiran hidup yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Diperkirakan bahwa selama ini AKI belum turun secara bermakna, di mana pada tahun 2002 343/100.000 dibanding Malaysia 40/100.000 kelahiran hidup, Singapura 5/100.000 kelahiran hidup (POGI, 2002:1). Sedangkan di Indonesia terdapat 85/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 (www.rahima.com. Mei 20, 2005). Adapun penyebab kematian Ibu di maksud menunjukkan 94,4% merupakan akibat langsung komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas dengan penyebab utama pendarahan 40%, infeksi 30% dan toximea grafidarum 20% sedangkan 5,6% disebabkan oleh penyakit lain yang diperburuk dengan terjadinya kehamilan, persalinan dan nifas (SKRT, 1992:12). Upaya pemerintah dalam meningkatkan cakupan ANC adalah dengan pendataan dan pencatatan yang akurat, penentuan target frekuensi kunjungan Ibu hamil 80%, cakupan kunjungan ke empat 70% dan evaluasi dan pemantauan dengan menggunakan standart K1 dan K4 serta angka kematian Ibu hamil (Depkes RI, 1994:18). Hal ini sesuai dengan konsep four pillars of save motherhood dari WHO yang terdiri atas (1). Keluarga berencana (2). Asuhan antenatal (3). Pelayanan bersih dan aman, (4). Pelayanan Obstetrik Esesensial.
33
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Ibu primigravida sebanyak 59 orang melaksanakan jadwal anjuran 4 kali pada trimester I ada 14 orang (23,7%) dan trimester II dan III ada 45 orang. Keberhasilan tersebut selain tergantung pada petugas kesehatan juga partisipasi Ibu hamil itu sendiri (Pusdiknakes, 2001:23). Keberhasilan upaya tersebut selain tergantung pada petugas kesehatan juga perlu partisipasi ibu hamil itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang perawatan kehamilannya. Dengan demikian diharapkan dengan memperbaiki tingkat pengetahuan persepsi ibu dan dukungan suami terhadap perawatan kehamilannya, sehingga ibu akan termotivasi untuk menjaga diri dan kehamilannya. Dukungan keluarga sangat diperlukan agar selalu memotivasi ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilannya secara teratur (Rustam Mochtar, 1997:14). Berdasarkan uraian di atas peneliti bermaksud meneliti tentang bagaimana tingkat pengetahuan, persepsi Ibu dan dukungan suami terhadap frekuensi pelaksanaan ANC pada Ibu primigravida. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Ante Natal Care (ANC). a. Pengertian. ANC adalah pelayanan kesehatan atau perawatan kepada Ibu selama kehamilan (Depkes RI, 1995:26). ANC adalah pengawasan terhadap Ibu hamil dengan mempersiapkan sebaik-baiknya fisik dan mental Ibu terhadap kehamilan, persalinan dan nifas dalam keadaan sehat dan normal (Rustam Mochtar, 1998:45). b. Tujuan. ANC bertujuan untuk menjaga agar Ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat serta menghasilkan bayi yang sehat (Depkes RI, 1995:48). Tujuan ANC melindungi dan menjaga kesehatan serta kehidupan Ibu dan janin selama kehamilan dengan mempertimbangkan sosial cultural keluarga (meliputi : status ekonomi, tingkat pendidikan dan support system) (Peeder S.J, 1997:111). Sedangkan tujuan utama pelayanan antenatal care adalah : 1) Mengenal dan menangani sedini mungkin penyulit yang terdapat saat kehamilan, persalinan dan nifas dalam keadaan sehat dan normal. 2) Mengenal dan menangani penyakit yang menyertai kehamilan, persalinan, laktasi dan keluarga berencana. 3) Memberikan nasihat dan petunjuk yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, laktasi dan keluarga berencana. 4) Menurunkan angka kesakitan dan kematian Ibu perinatal (Rustam Mochtar, 1998:186). c. Pelaksana. Sebagai pelaksana pelayanan ANC terdiri atas : 1) Tenaga medis meliputi dokter umum dan dokter spesialis obstetric ginekologi. 2) Tenaga perawat meliputi bidan, perawat yang telah mendapatkan pelatihan ANC (Depkes RI, 1994:16). d. Lokasi Pelayanan. Menurut Depkes RI (1994:16), terdapat pemberian pelayanan ANC dapat bersifat statis dan aktif meliputi : 1) Puskesmas/puskesmas pembantu. 2) Pondok persalinan desa. 3) Posyandu. 4) Rumah penduduk (pada kunjungan rumah). 5) Rumah sakit pemerintah/swasta. 6) Rumah sakit bersalin.
34
HOSPITAL MAJAPAHIT e.
2.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
7) Tempat praktek swasta (bidan atau dokter). Pelaksanaan Pelayanan. Pelayanan ANC selengkapnya menyangkut anamnesa, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium umum atas indikasi dasar dan intervensi khusus sesuai tingkat resiko. Dengan penerapan operasional dikenal standart menimal “ 5T ”. untuk pelayanan ANC yang terdiri : 1) Timbang berat badan. 2) Ukuran tekanan darah, diukur setiap kunjungan. 3) Ukuran tingkat fundus uteri, dilakukan setiap kunjungan di mana fundus uteri mulai teraba setelah usia kehamilan > 12 minggu. 4) Pemberian imunisasi tetanus toxoid atau TT lengkap, mulai diberikan pada usia kehamilan 16 minggu dengan interval pemberian selanjutnya 4 minggu. 5) Pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama hamil mulai diberikan pada usia kehamilan 20 minggu diminum 1 tablet 1 hari. Dengan demikian maka secara operasional pelayanan ANC yang tidak memenuhi standart minimal “5T” tersebut belum dianggap suatu pelayanan Ante Natal Care (Depkes RI, 1995:18).
Frekuensi Kunjungan ANC. Kunjungan Ibu hamil adalah kontak antara Ibu hamil dan petugas kesehatan yang memberikan pelayanan ANC untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Istilah kunjungan tidak mengandung arti bahwa selalu Ibu hamil yang datang ke fasilitas tetapi dapat juga sebaliknya yaitu Ibu hamil yang dikunjungi petugas kesehatan di rumahnya. Selama kehamilan keadaan Ibu dan janin harus selalu dipantau jika terjadi penyimpangan dari keadaan normal dapat dideteksi secara dini dan berikan penanganan yang tepat. Oleh karena itu Ibu hamil diharuskan dini secara berkala selama kehamilannya. Menurut Manuaba (2000:129) berdasarkan standart pemeriksaan kehamilan dilakukan berulang dengan ketentuan sebagai berikut : a. Pemeriksaan pertama dilakukan segera setelah diketahui terlambat haid. b. Satu kali dalam sebelum kehamilan 7 bulan. c. Dua kali sebulan sampai umur kehamilan 8 bulan sampai dengan bersalin. Dalam pelaksanaan ANC kesepakatan adanya standart minimal yaitu dengann pemeriksaan ANC 4 kali selama kehamilan dengan distribusi sebagai berikut : a. Minimal 1 kali pada trimester I. b. Minimal 1 kali pada trimester II. c. Minimal 2 kali pada trimester III. (Depkes RI, 1994:24) Frekuensi dan pelaksanaan ini dapat terjadi bila segalanya normal tanpa adanya resiko dan frekuensi lebih sering dilakukan pada triwulan III untuk mendeteksi dini terhadap kelainan. Menurut Depkes RI (1992:49) faktor resiko Ibu hamil seperti yang tercantum dalam KMS Ibu hamil adalah sebagai berikut : a. Anemia berat (HB < 8 gr %) b. Tekanan darah sistole > 90 mmHg. c. Perdarahan selama kehamilan. d. Kelainan pada persalinan terdahulu. e. Jarak kehamilan terakhir kurang dari 2 tahun. f. Tinggi badan kurang dari 140 cm. g. Umur Ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 36 tahun. h. Pernah sakit kronis.
35
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Tabel 17. Penilaian Resiko Kehamilan. (Depkes RI, 1992:85) No.
Resiko
Jumlah Nilai
1
Kematian neonatal Riwayat preferm Riwayat preeklamsi Penyakit paru Anemia 8 - 10 gr % Tinggi badan < 145 cm
BB < 40 atau > 70 kg Primira < 20 th dan > 36 th Multipara > 40 th Parifas > 3 Tan,pa ante natal
1
2
Abortus Riwayat persalinan Placenta previa Diabetus mellitus
Gemeli Sunsang Partus percobaan Hipertiroidism
2
3
Riwayat lahir mati Penyakit ginjal Partus 32-36 minggu Post > 42v minggu Penyakit hepar Preeklamsi berat
Sunsang (primi para) Ketuban pecah > 6 jam Partus > 24 jam Placenta > 24 jam Placenta previa SC
3
4
Diabetus mellitus Fitrium cordis KMK
Djj ireguler (120/) 180 x/menit
4
5
Eklamsi Hidramnion Infeksi intra parfum KPD > 24 jam
Inconfagilitas RH Solusio placenta Letak lintang Prolapsus tali pusat
5
Keterangan : 1. Jika jumlah nilai responnya ≥ 3 Ibu hamil perlu dirujuk ke puskesmas untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang lebih teliti dari dokter. 2. Bila jumlah nilai resiko ≥ Ibu hamil harus dirujuk ke rumah sakit. Ibu hamil yang boleh di tolong perawat/ bidan hanya pasien dengan resiko rendah dengan nilai < 3. 3.
Keluhan Pada Masa Kehamilan. Keluhan pada masa hamil menurut Depkes RI (1994:84) adalah suatu kondisi bersifat subjektif, dimana pada individu yang hamil terjadi proses adaptasi terhadap kehamilannya. Keluhan-keluhan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Keluhan Pada Triwulan I Usia Kehamilan 1 - 3 Bulan. Pada triwulan ini keluhan yang timbul adalah : 1) Mual dan muntah. Terutama terjadi pada pagi hari dan akan menghilang menjelang pagi hari (morning sicknes). Hal ini terjadi bila mencium bau yang menyengat penciuman, misalnya bawang goreng, minyak rambut. 2) Pusing terutama bila akan bangun dari tidur. Hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan, perut kosong. 3) Sering kencing. Sering kencing terjadi karena tekanan uterus yang membesar dan menekan pada kandung kencing. 4) Keputihan (leokorhoe). Pengaruh peningkatan hormon kehamilan (estrogen dan progesteron) yang mempengaruhi mukosa serviks dan vagina.
36
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
5) Pengeluaran darah pervaginam. Bila terjadi pendarahan lebih besar dari usia kehamilan. 6) Perut membesar dari usia kehamilan. Bila terjadi pembesaran uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan diwaspadai kemungkinan terjadi mola hidatidosa. Perasaan gembira dengan menerima kehamilan akan mempengaruhi penerimaan Ibu terhadap kelainan-kelainan yang timbul. Sebaliknya karena menolak kehamilan, keluhan tersebut menimbulkan antisipasi terhadap kehamilannya. Pada masa ini sering timbul konflik karena pengalaman baru, sehingga Ibu hamil perlu mendapat perhatian dan dukungan suami. Keluhan Pada Triwulan II Usia Kehamilan 4 - 6 Bulan. Pada triwulan ini keluhan bersifat subjektif sudah berakhir, sehingga bila ada Ibu hamil masih mendapat keluhan seperti pada triwulan I yang menyangkut faktorfaktor subjektif, perlu diwaspadai kemungkinan adanya faktor psikologis. Pada triwulan ini sering ditandai adanya adaptasi Ibu terhadap kehamilannya, perasaan Ibu lebih stabil, karena keluhan yang terjadi pada triwulan I sudah terlewati. Ibu merasakan pengalaman lucu, mulai merasakan gerakan janin, terdengar Detak Jantung Janin (DJJ) melalui adanya Daptone atau melihat gambar/posisi melalui pemeriksaan USG. Triwulan II juga dikatakan fase aman untuk kehamilan, sehingga aktivitas Ibu juga dapat berjalan tanpa ada gangguan yang berarti. Keluhan Pada Triwulan III Usia Kehamilan 7 - 9 Bulan. Pada triwulan ini keluhan yang sering muncul akan mencerminkan prognose kehamilan. Keluhan yang bersifat subjektif perlu mendapatkan perhatian karena hal ini menunjukkan kepada kondisi patologis. Kejadian yang sering timbul antara lain : 1) Pusing disertai pandangan berkunang-kunang. Menunjukkan kemungkinan terjadi anemia dengan Hb kurang dari 10%. 2) Pandangan mata kabur disertai pusing. Hal ini dapat digunakan rujukan kemungkinan adanya hipertensi. 3) Kaki Oedem. Oedem pada kaki perlu dicurigai karena sebagai salah satu gejala dari trias klasik aklamsi, yaitu hipertensi, oedem pada kaki dan protein uri. Sesak nafas pada triwulan III perlu dicurigai kemungkinan adanya kelainan letak (sunsang) kelainan posisi bayi. 4) Pendarahan. Pada triwulan III bisa terjadi pendarahan pervaginam perlu dicurigai adanya placenta previa atau solusio plesenta. 5) Keluar cairan di tempat tidur pada siang atau malam hari. Cairan jernih bukan pada saat kencing perlu dicurigai adanya ketuban pecah dini. 6) Sering kencing. Pada triwulan III karena kepala bayi akan masuk ke pintu panggul (PAP) pada usia kehamilan 36 minggu. Sering kencing disebabkan kepala bayi pada kandung kemih. Apabila Ibu hamil mendapat keluhan di atas, perlu segera diperiksa ke fasilitas kesehatan, untuk itu penyuluhan pada triwulan III diarahkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan antisipasi dari keluhan di atas pada triwulan III ditandai dengan adanya kegembiraan emosional karena akan lahirnya seorang bayi. Reaksi calon Ibu terhadap persalinan secara umum tergantung pada persiapan dan persepsinya terhadap kejadian ini. Untuk itu kerjasama dan komunikasi yang baik selama ANC perlu dibina sehingga Ibu dapat melalui masa kehamilan dan persalinan dengan perasaan gembira (Hamilton, 1998:163).
37
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Tabel 18. Imunisasi TT.
4.
Antigen
Interval
Lama Perlindungan
(%) Perlindungan
TT I TT II TT III TT IV TT V
Pada kunjungan I 4 minggu setelah TT I 6 minggu setelah TT II 1 tahun setelah TT III 1 tahun setelah TT IV
3 tahun 5 tahun 10 tahun 25 tahun / seumur hidup
80 % 95 % 99 % 99 %
Faktor Yang Mempengaruhi ANC. Beberapa faktor yang berhubungan dengan frekuensi pelaksanaan ANC (Prawirohardjo S, 1994:3) adalah : a. Tingkat Pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek (Notoatmodjo, 1997:95). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior), karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku didasari oleh pengetahuan. Penelitian Roger, 1994 dalam Notoatmodjo, 1997:95) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu : 1) Awarenes (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui lebih dahulu terdapat stimulus. 2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus, di sini sikap tertarik mulai timbul. 3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik. 4) Trial (mencoba) dimana subjek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki stimulus. 5) Adaptation (adaptasi) dimana subjek mulai berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. b. Umur. Faktor fisiologis seseorang, berkaitan dengan ini adalah faktor umur yang mana akan ikut menentukan sikap seseorang. Pada umunya orang muda sikapnya lebih radikal dari pada sikap orang lebih tua, sedangkan orang dewasa sikapnya lebih moderat. Seseorang mempersepsi terhadap obyek sikap berhubungan dengan pengetahuan dan pandangan yang dimiliki (Walgito, 1991:21). Semakin cukup umur, tingkat pematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orag yang belum cukup tinggi kedewasaannya (Siti Pariani, 2001:134). c. Pendidikan. Tingkat pendidikan yang terlalu rendah, akan sulit mencerna pesan atau informasi yang disampaikan (Effendy, Nasrul, 1998:248). Pendidikan dapat mempengaruhi seseoarang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan (Nursalam&Siti Pariani, 2001:133). Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseoarng terhadap nilai-nilai yang diperkenalkan.
38
HOSPITAL MAJAPAHIT d.
e.
f.
g.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Penghasilan. Penghasilan yang rendah akan mengurangi kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan keluarga terhadap gizi, pendidikan dan kebutuhankebutuhan lainnya (Effendy, Nasrul, 1998:40). Pengalaman. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh karena itu pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 2002:13). Persepsi Ibu. Persepsi merupakan perilaku yang tidak tampak yang merupakan proses pembentukan dan perubahan. Perilaku dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dari luar maupun dari dalam individu. Karena disamping dipengaruhi oleh sistem susunan pengontrol reaksi individu terhadap segala rangsangan, aspek-aspek dari dalam individu juga berpengaruh dalam pembentukan perilaku seseorang. Persepsi juga diartikan sebagai kombinasi pengamatan, pendengaran, penciuman serta pengalaman masa lalu. Akibat penafsiran masing-masing indera tersebut, suatu objek yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang (Sarwono S, 1993:63). Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan untuk memilih menafsirkan, mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan dan proses tersebut mempengaruhi perilaku (Mulyana D, 2000:167). Persepsi manusia ada dua macam yaitu persepsi terhadap lingkungan fisik/objek dan persepsi terhadap menusia yang sering disebut sebagai persepsi sosial. Perbedaan dari kedua jenis persepsi tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut : 1) Persepsi terhadap objek melalui lambang-lambang fisik. Sedangkan persepsi terhadap orang melalui lambang-lambang verbal dan non verbal, orang lebih aktif daripada kebanyakan objek dan lebih sulit diramalkan. 2) Persepsi terhadap objek menanggapi sifat-sifat luar sedangkan persepsi menghadapi sifat luar dan dalam menyangkut perasaan, motif dan harapan. Kebanyakan objek tidak mempersepsi/merespon tetapi mempersepsi/merespon pada saat saling memberikan stimulus dengan kata lain terhadap manusia lebih interaktif. 3) Objek tidak bereaksi sedang manusia bereaksi. Dengan kata lain objek bersifat dinamis, oleh karena itu persepsi terhadap manusia dapat berubah dari waktu ke waktu, lebih cepat daripada persepsi terhadap objek. Menurut Mulyana D (2000:168), semakin tinggi derajat kesamaan antara individu semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok identitas. Dukungan Suami. Golieab (dalam Smet, 1993:133), dukungan sosial dari informasi antara nasihat verbal dan non verbal bantuan nyata antara tindakan yang diberikan karena hubungan sosial yang akrab dan karena kehadiran orang lain yang memberikan emosional antara efek perilaku bagi yang menerima. Dukungan sosial sangat diperlukan terutama dalam mengahadapi masalah yang pelik/sulit. Dukungan sosial termasuk pasangan, orang tua, anak, sanak saudara, teman, tim kesehatan dan lain-lain. Bentuk-bentuk dukungan sosial yang masuk dalam instrument penelitian menurut Hause (dalam Smet, 1994:136) adalah sebagai berikut :
39
HOSPITAL MAJAPAHIT
h.
5.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
1) Dukungan emosional, yang ditujukan melalui rasa suka, simpati, kepercayaan, didengarkan, rasa aman, bahwa dirinya diterima apa adanya. 2) Dukungan instrumental, yaitu berupa saran untuk mempermudah perilaku, membantu individu yang menghadapi masalah, biasanya berupa kongkrit yaitu bantuan benda, pinjaman uang atau peluang waktu. 3) Dukungan informasi, cara menolong agar dapat mengidentifikasi suatu informasi untuk mengatasi masalah yang meliputi nasehat, petunjuk atau umpan balik. 4) Penilaian positif yaitu penilaian yang mendukung pekerjaan, dan perilaku atau kerja yang meliputi umpan balik dan pembanding sosial. Lingkungan Sosial. Lingkungan sosial yang dimaksu disini adalah lingkungan yang mencakup keadaan atau peristiwa yang dapat berpengaruh terhadap profesi keperawatan, baik yang sedang terjadi atau yang akan terjadi. Ada 4 skenario masa depan yang diprekdisikan akan terjadi dan harus diantisipasi dengan baik oleh profesi keperawatan Indonesia (Nursalam, 2002), di antaranya : 1) Masyarakat yang berkembang. 2) Rentang masalah kesehatan yang makin melebar. 3) Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. 4) Tuntutan profesi yang terus meningkat.
Kerangka Konseptual. IBU PRIMIPerubahan Psikologis - Mudah tersinggung YANG FAKTOR-FAKTOR 1.BERHUBUNGAN - Tertekan DENGAN ANC 2. - Gugup FAKTOR INTERNAL 3. - Kesepian FAKTOR EKSTERNAL 4. - Tidak sabar PENGETAHUAN DUKUNGAN SUAMI Usia Lingkungan Sosial - Perasaan panas Pendidikan Penghasilan - Kekeringan vagina Pengalaman - Perubahan kulit PERSEPSI - Keringat di malam hari Objek melalui lambang-lambang fisik Sulit tidur Objek menanggapi sifat-sifat luar Objek tidak bereaksi - Perubahan pada mulut Keterangan : : Diteliti
-- Kerapuhan tulang PELAKSANAAN ANC - Badan menjadi gemuk
: Tidak Diteliti Gambar 5. Kerangka Konseptual Pengetahuan persepsi ibu dan dukungan suami terhadap frekuensi Pelaksanaan ANC pada ibu primigravida
40
5. Tegang 6. - Cemas 7. - Depresi GRAVIDA
HOSPITAL MAJAPAHIT C. 1.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membantu gambaran deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif (Notoadmodjo, 2005). KERANGKA KERJA Variabel Independen
Variabel Dependen
1. Tingkat pengetahuan 2. Persepsi 3. Dukungan suami
PELAKSANAAN ANC
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 6. Kerangka Kerja Tingkat Pengetahuan Persepsi Ibu Dan Dukungan Suami Terhadap Frekuensi Pelaksanaan ANC Pada Ibu Primigravida. 2.
Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Ibu hamil primigravida yang memeriksakan kehamilannya di BPS di Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto. Pengambilan sampel menggunakan teknik non probabality sampling dengan purpose sampling yaitu teknik memilih sampel di antara populasi yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang sudah dikenal sebelumnya (Nursalam, 200: 68). Sampel diambil dari seluruh Ibu primigravida triwulan I, II, III yang memeriksakan kehamilan di BPS di Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto yang dilakukan pada tanggal 13 – 20 September 2005 yang memenuhi kriteria inklusi : a. Ibu primigravida. b. Usia kehamilan pada trimester I, II, III. c. Bersedia diteliti. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan berupa kuesioner atau angket dan observasi yang diberikan kepada responden. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan persepsi ibu dan dukungan suami terhadap frekuensi pelaksanaan ANC pada ibu primigravida. Tabel 19. Definisi Operasional Tingkat Pengetahuan Persepsi Ibu Dan Dukungan Suami Terhadap Frekuensi Pelaksanaan ANC Pada Ibu Primigravida. No. Variabel Definisi Alat Ukur Skala Skor 1 Pengetahuan Pengetahuan merupakan Kuesioner Ordinal Pernyataan positif kemampuan seseorang Ya =1 untuk menjelaskan Tidak = 0 tentang pengertian, Pernyataan negatif tujuan ANC, manfaat Ya =0 tanda kehamilan, resiko Tidak = 1 perubahan keyakinan, Kurang baik 40–55% keuhan upaya Cukup 56–75% pengobatan gizi. Baik 76–100%
41
HOSPITAL MAJAPAHIT No. 2
3
Variabel Persepsi
Dukungan suami
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Definisi Penafsiran seseorang tentang : a. Perawatan kehamilan b. Pelayanan c. Memeriksakan kehamilan d. Petugas e. Penampilan petugas f. Pelaksanaan Bantuan nyata yang diberikan karena hubungan sosial yang akrab dan karena kehadiran orang lain, memberikan efek emosional atau perilaku baru bagi penerima antara lain: Dukungan emosional : a. Rasa suka b. Empati c. Cinta
Alat Ukur Skala Skor Kuesioner Ordinal Pernyataan positif Ya =1 Tidak = 0 Baik bila 51% Kurang bila ≤ 50%
Kuesioner Nominal Pernyataan mendukung Ya =1 Tidak = 0 Pernyataan tidak mendukung Item No.7, 8, 9, 10 Ya = 0 Tidak = 1 Baik bila 51% Kurang bila ≤ 50%
Dukungan instrumental : a. Sarana mempermudah b. Perilaku ganda c. Pinjaman uang d. Peluang waktu Dukungan informasi : a. Nasehat b. Petunjuk Umpan balik B 1
Pelaksanaan Frekuensi pemeriksaan ANC kehamilan yang dilakukan ibu hamil di pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan kesadaran dan kepercayaan, dengan aturan: a. Triwulan I - 1 x b. Triwulan II - 1 x c. Triwulan III - 2 x
42
Kuesioner Nominal Kuesioner 5 untuk mengetahui usia kehamilan. Kategori : a. Standar (minimal 4 x) b. Tidak standar (kurang dari 4x)
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Teknik Analisis Data. Analisa data pada penelitian ini diperoleh dari hasil pengisian kuesioner oleh responden dengan cara deskriptif korelasional bentuk presentasi dengan narasi. Dalam penelitian ini pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat. Peneliti menggunakan kuesioner dari distribusi frekuensi dengan ketentuan sebagai berikut : Untuk jawaban benar diberi skor 1, untuk jawaban salah diberi skor 0. Hasil jawaban responden yang telah diberi pembobotan, kemudian dijumlahkan dan dibandingkan dengan jumlah skor tertinggi diberikan 100%. Rumus yang digunakan : N=
Sp x100% Sm
Keterangan : N : Nilai yang didapat. Sp : Skor yang didapat. Sm : Skor tertinggi (Arikunto, 1998: 99) Kemudian hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dimasukkan dalam kriteria standart penelitian serta dapat dikategorikan dengan pengetahan baik, cukup, kurang, tidak baik, dengan kriteria kualitatif : a. Pengetahuan baik jika diperoleh hasil (76 – 100%) b. Pengetahuan cukup jika diperoleh hasil (56 – 75%) c. Pengetahuan kurang jika diperoleh hasil (45 – 55%) d. Pengetahuan tidak baik jika diperoleh hasil (< 40%) D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Gambaran Lokasi Penelitian. BPS di Desa Sawoo, Kecamatan Kutorejo, Mojokerto dikelola oleh Eka Hari Reksi Harnanik Amd. Keb. Fasilitas yang tersedia terdiri 4 tempat tidur untuk persalinan dan 4 boks bayi. Kegiatan yang dilaksanakan, yaitu : 1) ANC, dilaksanakan setiap hari dengan jumlah kunjungan rata-rata 5–10 orang. 2) Pemeriksaan bayi dan anak sehat, dilaksanakan 1 bulan 6 kali ; tanggal 5, 9, 13, 17, 21, 23. 3) Pertolongan persalinan normal rata-rata 8–10 partus/bulan. 4) Perawatan bayi baru lahir, dilaksanakan secara partial rooming in. b.
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia. Tabel 20. Karakteristik Usia Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Karakteristik Usia Frekuensi Prosentase (%) 1 15 – 20 Tahun 7 16,7 2 21 – 25 Tahun 24 57,1 3 26 – 30 Tahun 10 23,8 4 31 – 35 Tahun 1 2,4 Total 42 100 Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berusia 21–25 tahun sedangkan responden yang berusia 31-35 tahun memiliki prosentasi yang paling kecil.
43
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
c.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan. Tabel 21. Karakteristik Pendidikan Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi Prosentase (%) 1 SD 11 26,2 2 SMP 2 4,8 3 SMA 25 59,5 4 PT/Akademi 4 9,5 Total 42 100 Tabel 21 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berpendidikan SD sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SMP mempunyai proporsi yang paling kecil.
d.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 22. Karakteristik Pekerjaan Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Karakteristik Pekerjaan Frekuensi Prosentase (%) 1 Ibu Rumah Tangga 23 54,8 2 Pedangang 6 14,3 3 Swasta 3 19,0 4 PNS 5 11,9 Total 42 100 Tabel 22 menunjukkan bahwa responden sebagai ibu rumah tangga mempunyai proporsi yang terbesar sedangkan responden yang bekerja swasta mempunyai proporsi yang paling kecil.
e.
Lama Perkawinan Responden. Tabel 23. Lama Perkawinan Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Lama Perkawinan Frekuensi Prosentase (%) 1 < 1 Tahun 29 73,8 2 1 – 3 Tahun 9 21,4 3 4 – 6 Tahun 4 4,8 Total 42 100 Tabel 23 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai lama perkawinan <1 tahun sedangkan responden dengan lama perkawinan 4-6 tahun mempunyai proporsi yang paling kecil.
f.
Usia Kehamilan Responden. Tabel 24. Usia Kehamilan Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Usia Kehamilan Frekuensi Prosentase (%) 1 1 – 3 Bulan 3 7,1 2 4 – 6 Bulan 20 47,6 3 7 – 9 Bulan 15 45,20 Total 42 100 Tabel 24 menunjukkan bahwa paling banyak responden mempunyai usia kehamilan 4-6 bulan sedangkan dengan usia 1-3 bulan mempunyai proporsi yang paling kecil.
44
HOSPITAL MAJAPAHIT 2.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Data Khusus. a. Karakteristik Tingkat Pengetahuan Responden. Tabel 25. Karakteristik Tingkat Pengetahuan Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Tingkat Pengetahuan Frekuensi Prosentase (%) 1 Kurang 6 14,2 2 Cukup 0 0 3 Baik 36 65,7 Total 42 100 Tabel 25 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai pengetahuan pada tingkat baik dan tidak ada responden yang mempunyai pengetahuan pada tingkat cukup. b.
Karakteristik Persepsi Ibu. Tabel 26. Karakteristik Persepsi Ibu di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Persepsi Ibu Frekuensi Prosentase (%) 1 Kurang 0 0 2 Baik 42 100 Total 42 100 Tabel 26 menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki persepsi baik.
c.
Karakteristik Dukungan Suami Responden. Tabel 27. Karakteristik Dukungan Suami Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Dukungan Suami Frekuensi Prosentase (%) 1 Kurang 0 0 2 Baik 42 100 Total 42 100 Tabel 27 menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki dukungan suami baik.
d.
Frekuensi Pelaksanaan ANC. Tabel 28. Frekuensi Pelaksanaan ANC Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. No. Frekuensi Pelaksanaan ANC Frekuensi Prosentase (%) 1 Tidak Standar 5 11,9 2 Standar 37 88,1 Total 42 100 Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai Frekuensi Pelaksanaan ANC yang standar dan sisanya tidak standar.
e.
Tabulasi Silang Tingkat Pengetahuan Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC. Tabel 29. Tabulasi Silang Tingkat Pengetahuan Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. Frekuensi Pelaksanaan ANC TOTAL Tingkat No. Tidak Standar Standar Pengetahuan F (%) F (%) F (%) 1 Kurang 3 7,14 3 7,14 6 14,29 2 Cukup 0 0 0 0 0 0 3 Baik 2 4,76 34 80,96 36 85,71 Jumlah 5 100 37 100 42 100
45
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Tabel 29 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan tingkat pengetahuan yang baik mempunyai frekuensi pelaksanaan ANC yang sesuai dengan standar.
E. 1.
f.
Tabulasi Silang Persepsi Ibu Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC. Tabel 30. Tabulasi Silang Persepsi Ibu Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. Frekuensi Pelaksanaan ANC TOTAL No. Persepsi Ibu Tidak Standar Standar F (%) F (%) F (%) 1 Kurang 0 0 0 0 0 0 2 Baik 5 11.90 37 88,10 42 100 Jumlah 5 100 37 100 42 100 Tabel 30 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang mempunyai persepsi yang baik tentang ANC mempunyai pelaksanaan ANC yang sesuai dengan standar.
g.
Tabulasi Silang Dukungan Suami Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC. Tabel 31. Tabulasi Silang Dukungan Suami Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC Responden di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto. Frekuensi Pelaksanaan ANC TOTAL No. Dukungan Suami Tidak Standar Standar F (%) F (%) F (%) 1 Kurang 0 0 0 0 0 0 2 Baik 5 11.90 37 88,10 42 100 Jumlah 5 100 37 100 42 100 Tabel 31 menunjukkan bahwa responden dengan dukungan suami baik sebagian besar mempunyai frekuensi pelaksanaan ANC yang standar.
PEMBAHASAN. Tingkat Pengetahuan Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC. Gambaran secara umum dari tingkat pengetahuan ibu terhadap frekuensi pelaksanaan ANC di BPS Desa Sawoo Kecamatan Kutorejo Mojokerto tahun 2005, diketahui responden dengan tingkat pengetahuan baik dan frekuensi pelaksanaan ANC standar sebanyak 34 orang (80,96%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 2 orang (4,76%). Responden dengan tingkat pengetahuan kurang dan frekuensi pelaksanaan ANC standar sebanyak 3 orang (7,14%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 3 orang (7,14%). Berdasarkan tabel 29 sebagian besar responden dengan pengetahuan baik. Hal ini menggambarkan bahwa responden telah banyak mengerti dan memahami tentang perawatan kehamilan. Sesuai dengan pendapat Ida Bagus Mantra (1985), bahwa salah satu yang dibutuhkan individu dan kelompok untuk berbuat sesutu adalah pengetahuan dan pengertian tentang apa yang akan dilakukan. Berkaitan dengan hasil penelitian dan pendapat diatas jelas sekali bahwa tingkat pengetahuan sangat menentukan tindakan seseorang. Ibu hamil dengan pengetahuan baik akan lebih mudah menerima informasi baru dan memiliki kemampuan untuk menghubungkan suatu kejadian dengan akibat yang ditimbulkan sehingga dikatakan ibu hamil dengan pengetahuan baik akan melakukan ANC dengan frekuensi baik pula. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra S. Taat (Sutrisno Hadi, 2000:22), pengetahuan dari sejumlah orang yang didapatkan secara harmoni dalam suatu struktur bangunan nyata yang teratur.
46
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
2.
Persepsi Ibu Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC. Berdasarkan tabel 30, Persepsi ibu dengan frekuensi pelaksanaan ANC baik. Menurut Sarwono S (1990:122) proses adopsi meliputi 5 tahap yaitu : 1. Pernah mendengar bahaya penyakit. 2. Percaya bahwa masalah tidak terjadi pada orang lain. 3. Pengetahuan tentang kerentanan terhadap penyakit. 4. Memutuskan untuk menghadapi tindakan pencegahan. 5. Tindakan pencegahan. Jika dikaitkan dengan pendapat diatas menunjukkan bahwa proses adopsi semua responden telah mencapai tahap keempat dimana responden telah memtuskan bahwa perawatan kehamilan adalah penting. Sarwono S (1990:122), mengemukakan bahwa perilaku antara lain dipengaruhi oleh persepsi individu. Persepsi individu dalam hal ini adalah persepsi terhadap pentingnya pemeriksaan kehamilan. Sedangkan perilaku ibu hamil adalah tindakan ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya atau kunjungan ANC. Ibu hamil dengan persepsi baik terhadap pentingnya perawatan kehamilan, tenaga dan prasarana di Bidan praktek swasta Desa Sawoo, Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto ternyata tidak menjamin bahwa ibu hamil tersebut melaksanakan ANC dengan frekuensi sesuai standar. Persepsi ibu dengan frekuensi pelaksanaan ANC baik standar sebanyak 37 orang (88,10%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 5 orang (11,90%). hal ini disebabkan karena persepsi pada manusia/sosial bersifat dinamis dan interaktif dari kesatuan perasaan, motivasi dan harapan yang dapat berubah setiap saat sehingga sulit diramalkan.
3.
Dukungan Suami Dengan Frekuensi Pelaksanaan ANC. Berdasarkan tabel 31 diketahui bahwa sebagian besar responden mendapat dukungan suami yang tinggi dan pelaksanaan ANC sebanyak 42 orang (88,10%) menyebar dari frekuensi sesuai sampai dengan frekuensi tidak sesuai standart. Hal ini disebabkan tidak semua orang mempunyai perhatian yang sama terhadap kehamilan demikian pula terhadap permasalahan yang dihadapi ibu hamil. Dukungan suami yang tinggi pada responden ternyata tidak diikuti dengan pelaksanaan ANC dengan frekuensi yang baik. Sesuai dengan hasil penelitian terdapat responden dengan dukungan suami baik dan frekuensi pelaksanaan ANC standar sebanyak 37 orang (88,10%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 5 orang (11,90%). Hal ini disebabkan karena setia bentuk dukungan di persepsikan berbeda-beda sesuai situasi, kondisi dan lingkungan internal/eksternal dari setiap individu yang dinamis. Dapat terjadi dukungan yang diberikan belum memenuhi keinginan sehingga di perlukan perhatian yang lebih sungguh-sungguh. (Cassel, 1997:171). Menurut teori Lawrence Green (dalam Notoatmodjo, 1993:102) menganalisa bahwa tingkat kesehatan seseorang/masyarakat dipengaruhi oleh perilaku khususnya faktor predisposisi.
F.
PENUTUP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu terhadap frekuensi standar pelaksanaan ANC sebanyak 34 orang (80,96%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 2 orang (4,76%). Responden dengan tingkat pengetahuan kurang dan frekuensi pelaksanaan ANC standar sebanyak 3 orang (7,14%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 3 orang (7,14%). persepsi ibu baik dan frekuensi pelaksanaan ANC standar sebanyak 37 orang (88,10%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 5 orang (11,90%), dan dukungan suami baik dan frekuensi pelaksanaan ANC standar sebanyak 37 orang (88,10%), sedangkan yang tidak standar sebanyak 5 orang (11,90%).
47
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Berdasarkan hasil penelitian diatas, diharapkan untuk mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan dengan pelaksanaan ANC ibu perlu membaca berbagai macam buku, leaflet, dan media lainnya yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi ibu hamil. DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S., 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rhineka Cipta. Dep Kes RI, 1992. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil. Jakarta : Dep. Kes. RI. Manuaba, 2000. Ilmu Kebidanan dan Keluarga Berencana. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset. Nursalam, 2001. Pendekatan Praktek Metodelogi Riset Keperawatan, Jakarta : CV. Sagung Seto. Rustam Mocthar, 1998. Sinopsis Obstetri, Jakarta : EGC. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Sastroasmoro. 1995. Dasar-dasar Metode Penelitian Klinis. Jakarta : Bhina Rupa Angkasa. Sudjana, N., 1999. Dasar-dasar Metode Penelitian Klinis, Jakarta : Bina Rupa Angkasa. World Health Organization (1998). Education for Health, a Manual on Health Education in Health Care. Geneva, WHO. Dep Kes. RI (1994). Semiloka Save Montherhood Dalam Rangka Menurunkan MMR dan IMR di Indonesia, Puslifbang, Jakarta : Dep. Kes. RI. Dep. Kes. RI (1995). Keperawatan Ibu dan Anak di Rumah Sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat, Biro Hukum dan Humas. Jakarta : Dep. Kes. RI. Prawiryohardjo, S (1994). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. SKRT (1995). Studi Follow Up Bumil, Jakarta : Dep. Kes. RI, Smet (1994). Psikologi Kesehatan, Jakarta : PT. Grasindo. Rochyati Puji (1996), Konsep Pendekatan Resiko Kehamilan. Jawa Timur. : Tim Pengembangan KIA.
48
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
SIKAP WANITA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN FISIK PADA MASA PREMENOPAUSE DI DESA KAJARHARJO KALIBARU BANYUWANGI Vonny Nurmalya Megawati ABSTRACT At this time, premenopause is the matter that women are afraid of it. Because some rumours tell us that the women get some problems in this case that they are’nt happy and will be in 40 years old. The aim of this research is to know “the women’s attitude face physic changing in premenopause case”. The research is done by descriptive design with approach quantitative. Spreading questionnarie is given to 96 premenopause women. Subject is drawn from population by simple random sampling. Spreading questionnarie is done to know the deepest knowledge about reasearche and make tabulation on august 24th 2009. The result of research premenopause women shows us 71 responder of positive attitude(73,96%) and 25 respondent of negative attitude (17,99%). The anaylisis has just removed data from questionnarie to the next table and getting presentation is divided between right answers amount and questions amount, the next it is times 100% and the data is intrepreted by attitude criteria. The conlusion is the woman’s attitude takes effects to physic changing and emotional changing in premenopause time. Hopely, the women’s premenopause improve their good knowledge from electronic media and mass media. The next, the health officer has still an important role to keep in giving information. Key words: premenopause, attitude, physic changing. A.
PENDAHULUAN. Premenopause menjadi hal yang ditakutkan oleh wanita, karena banyak rumor yang mengatakan bahwa menuju kemasa ini wanita akan mengalami berbagai macam gejala yang tidak menyenangkan. Secara medis istilah premenopause adalah suatu kondisi fisiologis pada wanita yang telah memasuki masa penuaan yang ditandai dengan menurunnya kadar hormon estrogen ovarium yang sangat berperan dalam hal reproduksi dan seksualitas (Siswono, 2008). Perubahan premenopause yang terjadi sebelum berlangsungnya masa menopause yaitu sejak fungsi reproduksinya mulai menurun sampai timbulnya keluhan atau tanda-tanda menopause. Pada masa premenopause hormon progesteron dan estrogen masih tinggi, tetapi semakin rendah ketika memasuki masa premenopause dan post menopause. Keadaan ini berhubungan dengan fungsi indung telur yang terus menurun. Penurunan kadar estrogen tersebut sering menimbulkan gejala yang sangat mengganggu aktifitas kehidupan para wanita bahkan mengancam kebahagiaan rumah tangga (Siswono, 2008). Purwatyastuti (2008) mengemukakan bahwa sindroma premenopause dan menopause dialami oleh banyak perempuan hampir di seluruh dunia, sekitar70-80% wanita Eropa, 60% di Amerika, 57% di Malaysia, 18% di Cina dan 10% di Jepang dan Indonesia. Menurut data salah satu peneliti gejala yang paling banyak dilaporkan adalah 40% merasakan hot flashes, 38% mengalami sulit tidur, 37% merasa cepat lelah dalam bekerja, 35% sering lupa, 33% mudah tersinggung, 26% mengalami nyeri pada sendi dan merasa sakit kepala yang berlebihan 21% dari seluruh jumlah wanita premenopause. Perubahan yang dialami seorang wanita menjelang premenopause adalah perubahan fisik dan psikologis. Perubahan fisik yang terjadi meliputi vasomotor hot flashes, perubahan pada kulit, kekeringan vagina berkeringat dimalam hari, sulit tidur, perubahan pada mulut, kerapuhan tulang, badan menjadi gemuk dan perubahan psikologis pada masa premenopause meliputi mudah tersinggung, tertekan, gugup, kesepian, tidak sabar, tegang, lemas dan depresi, ada juga wanita yang merasa kehilangan harga dirinya karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka juga merasa tidak
49
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
dibutuhkan lagi oleh suami dan anak-anak mereka serta merasa kehilangan feminitas karena fungsi reproduksi yang hilang (Hurlock, 2008). Untuk mengatasi gejala-gejala premenopause dan menghilangkan kecemasan dan kekhawatiran pada saat memasuki masa premenopause dan menopause adalah dengan kenali gejala-gejalanya dan atasi dengan bijak serta penting bagi wanita untuk sering berfikir positif bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang sifatnya alami. Tentunya sikap positif ini bisa muncul jika diimbangi oleh informasi atau pengetahuan yang cukup serta kesiapan fisik, mental dan spiritual yang dilakukan pada masa sebelumnya, “Masa lalu adalah masa kini dan masa yang akan datang” ketika masa ini datang keluhankeluhan ketidaknyamanan maupun yang menyakitkan dapat dikurangi bahkan ditiadakan (Purwatyastuti, 2008). B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Kerangka Konsep Sikap. a. Arti Sikap. 1) Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau obyek (Notoatmodjo, 2003:130). 2) Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan (Azwar, 2008). b. Komponen Sikap. Ada tiga komponen yang secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh yaitu : 1) Komponen kongnitif. Komponen kongnitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. 2) Komponen afektif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional obyek seseorang terhadap suatu obyek sikap. 3) Komponen prilaku. Komponen prilaku merupakan aspek kecenderungan berprilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. (Notoatmodjo, 2003:131) c. Tingkatan Sikap. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu : 1) Menerima (receiving) yang diartikan bahwa orang (subyek) dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (obyek). 2) Merespon (responding) memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3) Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan sesuatu, suatu indikasi dari sikap tingkat tiga. 4) Bertanggung jawab (responsible) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko, merupakan sikap yang paling tinggi. (Notoatmodjo, 2003:130) d. Pengukuran Sikap. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung yang dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat di lakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudian dinyatakan dengan pendapat responden (Notoatmodjo, 2003:130). Skala sikap ini menggunakan data kuantitatif yang berbentuk angka-angka yang menggunakan alternatif jawaban yang menggunakan peningkat yaitu setiap kolom menunjukkan letak nilai. Maka sebagai konsekuensinya setiap centangan pada kolom jawaban menunjukkan nilai tertentu. Dengan demikian, maka analisa
50
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
data dilakukan dengan mencermati banyaknya centangan dalam setiap kolom yang berbeda nilainya, lalu mengalihkan frekuensi pada masing-masing kolom yang bersangkutan. Disini peneliti hanya menggunakan 2 pilihan yaitu : 1) Setuju (S) 2) Tidak Setuju (TS) Kemudian data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis dan disajikan dalam bentuk presentase menggunakan rumus. Untuk menilai sikap wanita terhadap perubahan fisik yang menyertai gangguan premenopause adalah sebagai berikut :
P = nf x100% Keterangan : P = Presentase f = Nilai yang diperoleh n = Jumlah skor maksimal jika dijawab baik Selanjutnya dimasukkan pada kriteria obyektif untuk menilai sikap wanita dalam menghadapi perubahan fisik pada masa premenopause yaitu: Positif : 50-100% Negatif : < 49% (Arikunto, 2006) 2.
Kerangka Konsep Premenopause dan Menopause. a. Arti Premenopause dan Menopause. 1) Premenopause adalah sebagai permulaan transisi klimakterium yang dimulai 25 tahun sebelum menopause. 2) Premenopause adalah kondisi fisiologis pada wanita yang telah memasuki proses penuaan yang ditandai dengan menurunya kadar hormon estrogen ovarium yang sangat berperan dalam hal seksual, premenopause ini sering menimpa wanita yang berusia menjelang 40 tahun (Purnomobasuki, 2008). 3) Menopause adalah Periode berhentinya haid dan 1 tahun berikutnya tidak pernah haid lagi serta hormon-hormon kelamin wanita menghilang cepat dan hampir tidak ada (Kamus Istilah Kebidanan, 2005:115). 5) Menopause adalah waktu dari kehidupan seorang wanita saat masa haidnya berakhir. Ini terjadi Karena dia tidak lagi menghasilkan estrogen yang cukup untuk mempertahankan jaringan yang responsif dan suatu cara yang fisiologik aktif. Pada sebagian besar wanita, menopause terjadi antara umur 50 dan 55 tahun dan rata-rata pada umur 51 tahun. Tetapi sebagian wanita mencapai menopausenya pada dasawarsa keempat. Sementara sebagian kecil mungkin masih mengalami haid hingga mereka berumur 60 tahun (Hacker/Moore, 2001:589). b. Perubahan dan Keluhan Pada Masa Premenopause Dan Menopause. 1) Perubahan Fisik. a) Gejolak Rasa Panas. Munculnya hot flashes ini sering diawali pada daerah dada, leher atau wajah dan menjalar ke beberapa daerah tubuh yang lain. Hal ini berlangsung selama 2-3 menit yang disertai pula oleh keringat yang banyak. Ketika terjadi pada malam hari, keringat ini dapat mengganggu tidur dan bila hal ini sering terjadi akan menimbulkan rasa letih yang serius bahkan menjadi depresi. . b) Kekeringan Vagina. Kekeringan vagina terjadi karena leher rahim sedikit sekali mensekresikan lendir. Penyebabnya adalah kekurangan estrogen yang menyebabkan liang
51
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
vagina menjadi lebih tipis, lebih kering dan kurang elastis. Alat kelamin mulai mengerut, liang senggama kering sehingga menimbulkan nyeri pada saat senggama, keputihan, rasa sakit pada saat kencing. Keadaan ini membuat hubungan seksual akan terasa sakit. keadaan ini sering kali menimbulkan keluhan pada wanita bahwa frekuensi buang air kecilnya meningkat dan tidak dapat menahan kencing terutama pada saat batuk, bersin, tertawa atau orgasme. c) Perubahan Kulit. Estrogen berperan dalam menjaga elastisitas kulit, ketika menstruasi berhenti maka kulit akan terasa lebih tipis, kurang elastis terutama pada daerah sekitar wajah, leher dan lengan. Kulit di bagian bawah mata menjadi mengembung seperti kantong, dan lingkaran hitam dibagian ini menjadi lebih permanen dan jelas dan terjadi pigmentasi pada wajah. d) Keringat di Malam Hari. e) Sulit tidur Insomnia. lazim terjadi pada waktu menopause, tetapi hal ini mungkin ada kaitannya dengan rasa tegang akibat berkeringat di malam hari, wajah memerah dan perubahan yang lain. f) Perubahan Pada Mulut. Pada saat ini kemampuan mengecap pada wanita berubah menjadi kurang peka, sementara yang lain mengalami gangguan gusi dan gigi menjadi lebih mudah tanggal. g) Kerapuhan Tulang. Rendahnya kadar estrogen merupakan penyebab proses osteoporosis (kerapuhan tulang). Osteoporosis merupakan penyakit kerangka yang paling umum dan merupakan persoalan bagi yang telah berumur. h) Badan Menjadi Gemuk. Banyak wanita yang menjadi gemuk selama menopause. Rasa letih yang biasanya dialami pada masa menopause, diperburuk dengan perilaku makan yang sembarangan dan kurang berolahraga. 2) Perubahan Psikologis. Beberapa gejala psikologis yang menonjol ketika premenopause dan menopause adalah mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup, kesepian, tidak sabar, tegang, cemas dan depresi. Ada juga wanita yang kehilangan harga diri karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka merasa tidak dibutuhkan oleh suami dan anak-anak mereka, serta merasa kehilangan femininitas karena fungsi reproduksi yang hilang. Dalam menyikapi perubahan-perubahan diatas para wanita mempunyai pandangan masing-masing dan peran suami juga sangat dibutuhkan disini yaitu : a) Pandangan Positif Atau Negatif. Dalam segi kehidupan apapun tanggapan sesuatu baik atau buruk sifatnya bisa sangat unifersal atau individual, dalam menyikapi dirinya yang akan memasuki masa premenopause beberapa wanita menyambutnya dengan biasa. b) Peran Suami. Bagaimana caranya agar masa transisi ini dapat berjalan mulus, bagaimana teman hidup atau anggota keluarga yang lain dapat memberi dukungan pada masa transisi dalam kehidupan seorang wanita (Hurlock, 2008). Pengobatan Yang Tersedia. 1) Dixarit. Untuk muka kemerahan dan sakit kepala yang ringan yang menyebapkan kemungkinan terjadinya kemerahan itu.
52
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
2) Ky jelly. Untuk kekeringan vagina, jelly ini dapat dibeli ditoko obat tanpa resep. 3) Obat Penenang. Anti depresi (yang diberikan untuk mengangkat depresi) dan obat tidur, Obatobat tersebut disaat mereka mengalami hari-hari kelabu dan memerlukan alat untuk menolong mereka mengatasinya kadang anti depresi dapat membantu untuk sementara tetapi tidak membantu menghilangkan gejala-gejala menopause. 4) Vitamin. Beberapa mengatakan bahwa vitamin telah membantu mereka salama menopause. (Hurlock, 2008) 3.
Kerangka Konseptual. Wanita Premenopause
Perubahan Masa Premenopause
Perubahan fisik : Perasaan panas Kekeringan vagina Perubahan kulit Keringat di malam hari Sulit tidur Perubahan pada mulut Kerapuhan tulang Badan menjadi gemuk
Perubahan Psikologis : Mudah tersinggung Tertekan Gugup Kesepian Tidak sabar Tegang Cemas Depresi
Sikap Kognitif Afektif Prilaku/Konatif
Pengaruh Sikap Pengetahuan Berfikir Keyakinan Emosi
Sikap positif dan negatif terhadap masa premenopause Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 7. Kerangka Konseptual Sikap Wanita Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Pada Masa Premenopause .
53
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain deskriptif yaitu peneliti ingin mengetahui sikap wanita dalam menghadapi perubahan fisik pada masa premenopause yang dilaksanakan di Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi.
2.
Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita premenopause di Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi sebanyak 955 wanita premenopause. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling yaitu suatu pemilihan sampel yang paling sederhana yang merupakan jenis probability sampling bahwa setiap anggota dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih (Notoatmodjo, 2005:85). Besarnya sampel yang diambil dari populasi adalah jika populasi berjumlah 955 wanita premenopause maka di ambil 10% dari jumlah populasi yaitu 96 wanita premenopause di Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi yang dilakukan pada bulan juli – Agustus 2009 yang memenuhi kriteria inklusi : a. Wanita premenopause usia 40 - 49 tahun. b. Wanita yang bersuami atau tidak bersuami. c. Wanita sehat atau sakit. d. Bersedia menjadi responden. e. Bisa baca tulis. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan dikumpulkan dengan cara menyebar kuesioner pada responden sesuai dengan kriteria yang digunakan, yang sebelumnya diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian, dijelaskan tentang cara pengisian kuesioner, setelah mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh peneliti, kemudian responden dipersilahkan untuk mengisi kuesioner, setelah kuesioner selesai dikerjakan, dikumpulkan kembali pada peneliti untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data dari uji coba alat pengumpulan data (check list) yang dilakukan responden, kemudian dihitung validitas dan realibilitasnya (Arikunto, 2006:222) Dalam penelitian deskriptif variabel yang digunakan adalah tunggal. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah yaitu sikap wanita dalam menghadapi perubahan fisik pada masa premenopause. Tabel 32. Sikap Wanita Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Premenopause Di Desa Kajarharjo Kalibaru Banyuwangi No.
Variabel
1.
Sikap wanita dalam menghadapi perubahan fisik pada masa premenopause
Definisi Operasional Respon atau reaksi wanita dalam menghadapi perubahan fisik yang menyertai gangguan premenopause, diukur dengan menanyakan langsung dengan panduan kuesioner (Notoatmodjo, 2003:130).
54
Kriteria Positif 50-100% Negatif < 49% (Arikunto, 2006)
Pada
Masa
Skala Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT 3.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Teknik Analisis Data. Untuk menilai sikap wanita terhadap perubahan fisik yang menyertai gangguan premenopause adalah sebagai berikut:
P = nf x100% Keterangan: P = Presentase f = Nilai yang diperoleh n = Jumlah skor maksimal jika dijawab baik Selanjutnya dimasukkan pada kriteria obyektif untuk menilai sikap wanita dalam menghadapi perubahan pada masa premenopause yaitu: Positif = 50 - 100% Negatif = < 49% D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Gambaran Lokasi Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi yang bertujuan untuk mengetahui sikap wanita dalam menghadapi perubahan fisik pada masa premenopause. Data diambil pada bulan Juli–Agustus 2009 dengan jumlah responden sebanyak 96 wanita premenopause yang berusia antara 40-49 tahun. Dengan batasan wilayah : 1) Sebalah utara berbatasan dengan hutan Gunung Raung. 2) Sebelah selatan berbatasan dengan sungai Kalibaru dan perkebunan Glenfalog Glenmore. Sebelah barat berbatasan dengan Kaibaru Wetan. 3) Sebelah timur berbatasan dengan desa Tegalharjo dan Krikilan. 4) Desa Kajarharjo dipimpin oleh 1 orang kepala desa, terdiri dari 6 dusun 74 RT dan 18 RW, sarana dan prasarana yang ada didesa ini antara lain ada 6 masjid, 5 bangunan sekolah dasar, 6 bangunan TK, 2 pondok bersalin dan terdapat 2 bidan desa. b.
Sikap Wanita Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Pada Masa Premenopause. Tabel 33. Penilaian Sikap Wanita Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Pada Masa Premenopause Di Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru Tahun 2009. No. Penilaian Sikap Wanita Frekuensi Prosentase (%) Dalam Menghadapi Perubahan Fisik 1 Positif 71 73,96 2 Negatif 25 26,04 Total 96 100 Tabel 33 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menunjukkan sikap positif dalam menghadapi perubahan fisik masa premenopause sedangkan sisanya menunjukkan sikap yang negatif.
55
HOSPITAL MAJAPAHIT c.
E.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Sikap Wanita Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Pada Masa Premenopause. Tabel 34. Komponen Sikap Wanita Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Pada Masa Premenoause Di Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru Tahun 2009. Jumlah No. Aspek sikap Indikator Frekuensi Prosentase (%) Responden 1 Kognitif Pengertian 96 77 80,20 Penyebab 96 50 52,08 Gejala klinis 96 43 44,80 2 Afektif Perubahan 96 59 61,46 Masalah 96 45 46,88 Tanda bahaya 96 96 100 3 Konatif Penanganan 96 71 73,96 Tabel 34 menunjukkan bahwa komponen kognitif dengan indikator pengertian sebanyak 77 orang (80,20%), indikator penyebab 50 orang (52,08%), gejala klinis 43 orang (44,80%), perubahan 59 orang (61,46%), yang menunjukkan komponen afektif dengan indikator masalah sebanyak 45 orang (46,88%), tanda bahaya 96 orang (100%) dan yang menunjukan kmponen konatif dengan indikator penanganan sebanyak 71 orang (73,96%).
PEMBAHASAN. Terdapat 10% wanita premenopause sebagai responden dari jumlah populasi yaitu 955 wanita premenopause yang diantaranya termasuk dalam kriteria eklusi yaitu para wanita premenopause yang tidak bersedia untuk diteliti dan para wanita premenopause yang tidak ada pada saat pengambilan sampel. Sehingga pada penelitian ini jumlah sampel yang diteliti atau yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 96 wanita premenopause. Berdasarkan table 33 didapatkan 71 wanita premenopause (73,96%) yang menunjukkan sikap positif dalam menghadapi perubahan fisik pada masa premenoause dan 25 wanita premenopause (26,04%) yang menunjukkan sikap negatif. Dari data diatas dapat dilihat bahwa wanita premenopause yang sikapnya dalam kategori positif lebih banyak dibandingkan dengan kategori negatif. Ini terbukti dari hasil jawaban pertanyaan kuesioner yang dijawab dengan benar sehingga berdampak pada sikap wanita itu sendiri. Sikap wanita tentang perubahan fisik pada masa premenopause berbeda-beda, hal ini dapat mempengaruhi para wanita untuk berfikir positif atau negatif dalam menanggapi perubahan fisik pada masa premenopause. Lebih dari separuh jumlah responden yaitu 71 wanita premenopause (73,96%) menunjukkan sikap positif. Dari jumlah kuesioner yaitu 20 pernyataan yang paling bayak menunjukkan sikap positif adalah pernyataan tentang terjadinya perubahan fisik dan emosi pada masa premenopause, mengalami peningkatan berat badan, cemas jika darah yang keluar melebihi 6 pembalut perhari sebanyak 96 orang (100%), yang tidak memakai sabun untuk memperlicin daerah kemaluan 94 orang (97,92%), mengerti premenopause menimpa wanita yang berusia menjelang usia 40 tahun keatas 77 orang (80,21%), mengalami kerutan dan pigmentasi pada wajah 66 orang (68,75%), merasakan hot flashes, keputihan, kesakitan saat berhubungan 64 orang (66,67%), yang mengerti tentang ketakutan yang dialami saat premenopause disebapkan kurangnya pemahaman tentang premenopause 61 orang (63,54%), yang beranggapan rekreasi bukan cara yang baik menghindari stres dan yang menggunakan terapi alternatif seperti konsultasi dengan dokter sebanyak 59 orang (61,46%), yang mengalami perubahan pada daerah kemaluan 53 orang (55,21%) dan yang mengerti tentang perubahan fisik dan emosi dapat memperparah keadaannya sebanyak 52 orang (54,17%). Purwatyastuti, 2008
56
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
menyatakan ini dikarenakan bahwa mereka mengerti bahwa perubahan-perubahan atau gejala-gejala pada masa premenopause akan terjadi, oleh karena itu para wanita mengatasinya dengan bijak dan berusaha untuk berfikir positif karena mereka tahu bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang sifatnya alami dan akan menimpa setiap wanita yang menjelang usia 40 tahun keatas dan para wanita yang menunjukkan sikap positif berarti mereka mempunyai kemampuan untuk lebih mudah menerima informasi yang didapatkan atau penyuluhan yang telah diberikan. Sedangkan para wanita yang menunjukkan sikap negatif yaitu sebanyak 25 wanita premenopause (26,04%), dan dari jumlah kuesioner yaitu 20 pernyataan yang paling bayak menunjukkan sikap negatif adalah pernyataan tentang perubahan yang paling terlihat pada masa premenopause yaitu perut lebih gendut dan payudara yang membesar sebanyak 21 orang (21,88%), merasa tidak takut kehilangan pasangan karena tidak menarik lagi hanya 23 orang (23,96%), merasa tidak takut dengan keluhan yang menyertai premenopause hanya 33 orang (34,37%), merasa tidak takut atau khawatir saat merasakan daerah kemaluannya kering hanya 34 orang (35,41%), yang menyatakan bahwa perubahan yang paling utama dirasakan adalah gigi banyak tanggal 35 orang (36,46%), stres yang disebapkan oleh proses penuaan atau kerutan pada wajah 36 orang (37,5%), merasa gairah seksual meningkat dan berat bada menurun 41 orang (42,71%), dan yang merasa sering kesemutan dan ngilu-ngilu pada persendian hanya 44 orang (45,83%), ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan, cara berfikir, keyakinan dan emosi yang dimiliki oleh masing-masing wanita yang menjelang usia 40 tahun keatas, sehingga para wanita ini sulit untuk menerima hal-hal yang baru diperkenalkan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi wanita khususnya tentang premenopause. Hal ini juga dapat terjadi karena kurangnya informasi yang didapat. Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai sumber misalnya media masa, media elektronik, buku petunjuk, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berprilaku atau adopsi prilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka pengetahuan tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya jika tidak didasari oleh pengetahuan tersebut tidak akan berlangsung lama. (Notoatmodjo, 2003:122) Mailina, 2009 menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba atau mengejutkan yang meninggalkan kesan paling mendalam pada jiwa seseorang merupakan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap akan diserap kedalam individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap. Berdasarkan tabel 34, ada 77 orang (80,20%) yang menunjukkan komponen kognitif dengan indikator pengertian, indikator penyebab sebanyak 50 orang (52,08%), gejala klinis 43 orang (44,80%), perubahan sebanyak 59 orang (61,46%), karena merupakan reprosentase apa yang dipercayai seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu sudah terbentuk maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu. Tentu saja kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan kurangnya atau tidak adanya informasi yang benar mengenai obyek yang dihadapi. (Cahyonoputro, 2009). Wanita premenopause yang menunjukkan komponen afektif dengan indikator masalah sebanyak 45 orang (46,88%), indikator perubahan sebanyak 96 orang (100%), karena secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu dan pada umumnya reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai sehingga benar dan berlaku bagi objek tersebut, dan yang menunjukkan komponen konatif dengan indikator penanganan sebanyak 71 orang (73,96%), ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi prilaku bagaiman orang berprilaku dalam situasi tertentu akan banyak ditentukan oleh
57
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
bagaimana kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap seseorang akan dicerminkan dalam bentuk tendensi prilaku terhadap objek. (Cahyonoputro, 2009) Keterbatasan dan hambatan peneliti yaitu alat ukur dibuat oleh peneliti sendiri dan belum diuji coba sehingga hasilnya belum atau kurang valid dan Jawaban pada kuesioner kurang valid, karena dalam menjawab dipengaruhi oleh orang lain. F.
PENUTUP. Hasil penelitian menunjukkan gambaran dari 96 responden mengenai sikap wanita dalam menghadapi perubahan fisik pada masa premenopause di Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Hal ini nampak pada tabulasi data dengan menggunakan tabel yang dikonfirmasikan dalam bentuk prosentase dan narasi, didapat kesimpulan bahwa Para wanita di Desa Kajarharjo sebagian besar menunjukkan sikap positif atau mempunyai pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi wanita khususnya tentang premenopause yaitu sebanyak (73,96%). Berdasarkan hasil penelitian diatas, untuk lebih meyakinkan para wanita premenopause untuk selalu berfikir positif dan menganggap perubahan-perubahan tersebut sifatnya alami maka diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam lagi tentang Sikap Wanita Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Pada Masa Premenopause untuk mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan dengan pelaksanaan ANC ibu perlu membaca berbagai macam buku, leaflet, dan media lainnya yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi ibu hamil. Diharapkan masyarakat (wanita premenopause) untuk berusaha menambah pengetahuan dan informasi melalui berbagai media masa maupun media elektronik ( majalah, Koran, TV dll) sehingga ketika masamasa itu datang keluhan-keluhan ketidaknyamanan maupun yang menyakitkan dapat dikurangi bahkan ditiadakan. Informasi tentang perubahan–perubahan atau gejala–gejala pada masa premenopause harus tetap disosialisasikan lebih luas dan lebih optimal dan Tenaga Kesehatan hendaknya mempertahankan dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat khususnya para wanita baik yang usianya mau menjelang 40 tahun atau para wanita yang sudah berusia 40 tahun keatas.
DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktik).Jakarta: PT Rineka Cipta. Azwar, A. (2004). Ilmu Kesehatan Masyarakat. (http://creasoft files wordpress.com, diakses 20 Agustus 2006) Cahyonoputro. (2009). Konsep Sikap dan Teknologi. (http://cahyonoputro.blogspot.com, diakses 02 Agustus 2009) Hacker, N.F. & Moore, J.G. (2001). Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates. Hurlock. (2007). Menopause. (http://bima.ipb.ac.id/~anita/menopause.htm, diakses 11 april 2008 ). Mailina. (2009). Sikap. (http:// Mailina.deviper.blog.plasa.com, diakses 21 Agustus 2009) Maimunah, S. (2005). Kamus Istilah Kebidanan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat (prinsip dasar). Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Purnobasuki. (2007). Premenopause. (http://luluvikar.wardpress.com, diakses 27 Oktober 2008). Purwatyastuti. (2007). Premenopause. (http://luluvikar.wardpress.com, diakses 27 Oktober 2008). Siswono. (2004). Menopause. (http://sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan. diakses 11 Mei 2008). Suyanto dan Salamah. (2009). Riset Kebidanan. Yogyakarta: Mitra Cendekia.
58
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
EFEK SAMPING PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI HORMONAL PADA AKSEPTOR KB HORMONAL AKTIF DI DESA JATIROWO DAWAR BLANDONG MOJOKERTO Sri Wardini ABSTRACT The side effect is a result of an action or an even that isn’t wanted by someone. Hormone contraception is one of contraceptive method that inside there is esteregon and progesteron. The kinds of contraception are pill, injection and implant. Hormone contraception has some side effects, they are menstrual pattern trouble, white depression, acne, libido changing, and weight excessed changing, hematoma, asphyxia, headace, infection or abses, nausea, confused, cloasma. The aim of this researh identifies the side effect of using hormone contraseption (pill, injection, and implant) to “KB” acceptor of active hormone in Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto in year 2006. The design of this research is descriptive by survey method; sample is used by 64 “KB” acceptor of hormone that get side effect rising after one year using it and has stil got side effect in this researching by causative technic sampling. Only one variable in this research is side effect of using hormone contraception to “KB” acceptor actively. Collecting data is done by giving questioner with observation and interview. The result of this research show us that side effect of using injection contraception majority risely is 35,7% of weight excess, side effect of using contracetion pill is 40% of weight excess, and side effect of using contraception implant is 42,9% amenorhea.The conclusion of this research is the side effect of using hormone contraseption majority risely to “KB” acceptor actively in Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong tahun 2006 is weight excess. The researcher’s suggestion is improving quality service and getting hormone “KB” program by crossed subsidy to “KB” acceptor actively. Key words: side effect, contraception, hormone. A.
PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia dewasa ini semakin cepat, tidak merata dan tidak seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan hasil produksi sehingga akan memberikan dampak dan beban berat bagi penduduk itu sendiri seperti pangan, perumahan, lapangan kerja dan kebutuhan pokok lainnya. Apabila hal ini tidak cepat ditanggulangi akan membawa malapetaka. Untuk itu pemerintah merencanakan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengatur angka kelahiran penduduk. Salah satu program tersebut adalah program Keluarga Berencana (Saifuddin, 2003). Program Keluarga Berencana Nasional saat ini baru melaksanakan salah satu dari usaha Keluarga Berencana yakni penjarangan kehamilan dengan pemberian alat kontrasepsi yang bertujuan untuk menurunkan angka kelahiran yang bermakna, sehingga pada saat ini pertumbuhan penduduk rata-rata telah mampu ditekan menjadi 2% per tahun. Jumlah rata-rata anggota keluarga pada saat ini menjadi lebih kecil yaitu catur warga atau mengalami zero population growth atau pertumbuhan seimbang (Manuaba, 1998). Perkembangan ilmu dan teknologi telah membuat masyarakat mulai dapat menerima hampir semua metode kontrasepsi KB yang dicanangkan oleh pemerintah (Manuaba, 1998). Salah satunya adalah alat kontrasepsi hormonal diantaranya kontrasepsi pil, suntik dan implant. Kontrasepsi ini dikenal dan dipergunakan oleh masyarakat untuk mencegah timbulnya kehamilan. Walaupun demikian, pada kenyataannya jumlah peminat atau Akseptor KB hormonal yang ditemukan di lapangan khususnya di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto meningkat.
59
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Tingginya kuantitas dari akseptor KB hormonal ternyata tidak diiringi dengan meningkatnya pengetahuan akseptor tentang efek samping pemakaian kontrasepsi hormonal, sebab faktor yang paling menentukan keputusan akseptor untuk pemakaian akseptor tertentu adalah faktor subyektifitas (sikap dan minat akseptor). Menurut teori Green, kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3 faktor, faktor predisposisi (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas, atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat kontrasepsi, dan sebagainya. Faktor pendorong (renforcing factor)yang terwujud dalam sikap dan perilaku kesehatan, atau petugas yang lain yang merupakan kelompok refrensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2005). Pemakaian alat kontrasepsi hormonal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pendidikan masyarakat yang rendah, pengetahuan yang kurang tentang efek samping kontrasepsi hormonal, tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah, faktor subyektifitas (sikap dan minat akseptor) dalam penelitian alat kontrasepsi tertentu (predisposing factor), ekonomi dan tersedianya fasilitas dan sarana kesehatan (enabling factor), sikap atau perilaku petugas kesehatan dan pelayanan petugas yang kurang memuaskan (reinforcing factor). Faktor-faktor tersebut dapat menjadi penyebab tingginya efek samping pemakaian efek tertentu pula. Efek yang ditimbulkan akibat pemakaian KB hormonal antara lain: gangguan haid (amenorhea, spotting, methrorhorgia, menorogia), perubahan berat badan, nyeri kepala, nyeri payudara, mual muntah, timbulnya jerawat, dermatitis, depresi, keputihan, kloasma, perubahan libido, hematoma, infeksi dan abses pada daerah pemasangan/pencabutan implant (Saifuddin, 1996). Data yang diperoleh dari dinas KB dan KS Kabupaten Mojokerto mulai bulan Januari sampai Desember tahun 2005, akseptor KB terbanyak adalah kontrasepsi hormonal dengan rincian sebagai berikut : Akseptor KB suntik sebanyak 115.450 orang (60,1%), Akseptor KB pil sebanyak 33. 268 orang (17,3%), Akseptor KB Implant sebanyak 8550 orang (4,45%), Akseptor kontrasepsi IUD sebanyak 18.571 orang (9,67%), Akseptor kontrasepsi mantap yaitu MOW sebanyak 14.636 orang (1,62%), MOP sebanyak 199 orang (0,1%) sedangkan Akseptor kontrasepsi kondom sebanyak 1443 orang (0,75%). Hasil study pendahuluan pada tanggal 17 April 2006 di Puskesmas Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto dari 90 % akseptor KB hormonal yang ada (target KB tahun 2005) hampir seluruhnya tercapai. Akseptor KB pil sebanyak 1.493 orang (21,64%) dengan target sebesar 11.839 orang. Akseptor KB suntik sebanyak 4.512 orang (65,40%) dengan target sebesar 11,839 orang. Akseptor KB implant sebanyak 894 orang (12,96%) dengan target sebesar 11.839 orang. Sedangkan di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2005, Akseptor KB pil sebanyak 61 orang (23,28%) dengan target sebesar 449 orang. Akseptor KB suntik sebanyak 188 orang (71,76%). Akseptor KB implant sebanyak 13 orang (4,96%) dengan target sebesar 449 orang. Wawancara yang dilakukan peneliti dengan bidan Siti Uma’iyah Polindes Jatirowo pada tanggal 1 April 2006 didapatkan bahwa dari 201 orang akseptor KB aktif (26 akseptor pil, 165 akseptor suntik dan 10 akseptor implant) pelayanan swasta di Desa Jatirowo wilayah kerja Puskesmas Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto, terdapat 120 orang (59,70%) menyatakan tidak tahu tentang efek samping KB hormonal sebenarnya dan 81 (40,29%) tahu tentang efek samping KB hormonal. Dari data di atas ditemukan bahwa minat masyarakat untuk pemakaian alat kontrasepsi hormonal semakin tinggi. Tingginya minat masyarakat terhadap pemakaian KB hormonal juga didukung oleh pendidikan masyarakat yang rendah, pengetahuan yang kurang tentang efek samping
60
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
pemakaian kontrasepsi hormonal dan faktor subyektifitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari hasil study pendahuluan dijumpai kurangnya kesadaran masyarakat terhadap efek samping pemakaian KB hormonal. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Efek Samping. a. Pengertian. Efek (efect) adalah hasil suatu tindakan peristiwa sedangkan efek samping (side efect) adalah hasil pengiring yang tidak diingini (Ramali, 2000). Jadi kesimpulannya efek samping adalah hasil dari suatu tindakan atau peristiwa yang tidak yang tidak dinginkan.
2.
Keluarga Berencana. Keluarga adalah salah satu di antara kelima matra kependudukan yang sangat mempengaruhi perwujudan penduduk yang berkualitas (Saifuddin, 2003). Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan kelurga kecil, bahagia dan sejahtera (BKKBN, 1997). Paradigma baru program KB Nasional telah di ubah visinya dari mewujudkan NKKBS menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas tahun 2015 “Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam paradigma baru program Keluarga Berencana ini, misinya sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Visi tersebut dijabarkan dalam enam misi, yaitu : 1) memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas, 2) menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteran, kemandirian, dan ketahanan keluarga, 3) meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, 4) meningkatan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi, 5) meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender melalui program Keluarga Berencana, dan 6) mempersiapkan Sumber Daya Manusia berkulitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan lanjut usia (Saifuddin, 2003). Tujuan umum KB adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara mengatur kelahiran anak, agar di peroleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Mochtar, 1998).
3.
Metode Kontrasepsi. a. Pengertian. Kontrasepsi adalah alat untuk mencegah terjadinya kehamilan yang dapat bersifat sementara atau permanen (Winkjosastro, 2002). Menurut WHO (1990) kontrasepsi adalah alat untuk menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang telah matang dengan sel sperma (Mansjoer, 2001). Secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal sebagai berikut: 1) aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan, 2) berdaya guna, dalam arti bila digunakan sesuai dengan peraturan akan dapat mencegah terjadinya kehamilan, 3) dapat diterima, bukan hanya untuk klien tetapi juga oleh lingkungan budaya di masyarakat, 4) terjangkau harganya oleh masyarakat, 5) bila metode tersebut dihentikan penggunaanya, klien akan kembali kesuburanya, kecuali untuk kontrasepsi mantap (Saifuddin, 2003).
61
HOSPITAL MAJAPAHIT b.
4.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Macam-Macam Konrasepsi. Metode kontrasepsi yang dapat digunakan antara lain : 1) metode sederhana (kondom, spermeside, senggama terputus, pantang berkala, suhu basal, Metode Amenorhea Laktasi/MAL) 2) metode efektif, hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk/implan KB), mekanis (alat kontrasepsi dibawah rahim dan metode KB darurat, 3) metode permanen (Medis Operasi Wanita/MOW, Medis Operasi Pria/MOP (Manuaba, 1998).
Kontrasepsi Hormonal. Kontrasepsi hormonal adalah salah satu metode kontrasepsi yang di dalamnya terkandung hormon estrogen dan progesteron. Macam-macam kontrasepsi hormonal ada berbagai macam, yaitu pil KB (pil oral kombinasi, mini pil, morning after pil), suntikan KB (depoprovera, cyclofem, norigest) dan susuk /implant KB/alat kontrasepsi bawah kulit. a. Pil KB. Pil KB adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk pil/ tablet. Di dalam strip yang berisi gabungan hormon estrogen dan hormon progesteron atau hanya terdiri dari hormon progesteron saja (BKKBN, 2001). Beberapa jenis pil menurut kandungan hormon estrogennya adalah pil dosis tinggi dan pil dosis rendah. Pil dosis tinggi (high dose) berisi 50 mg adalah pil yang mengandung estrogen 50-150 mg dan progesteron 1-10 mg. Yang termasuk jenis ini adalah pil KB Noriday (dari Population Council), pil KB Kimia farma, pil KB Ovostat (PT Organo). Sedangkan pil dosis rendah (low dose) berisi 30 mg adalah pil yang mengandung 30-50 mg estrogen dan kurang dari 1 mg progesteron. Yang termasuk jenis ini adalah pil microgynon 30 (PT Schering) dan pil KB Marvelon (PT Organon). Adapun menurut Hartanto (2003) macam pil antara lain tipe kombinasi (POK) dan tipe non kombinasi (mini pil). tipe pil kombinasi (Pil oral kombinasi) antara lain : 1) tiap tablet berisi estrogen dan progesteron dalam dosis tertentu, biasanya di dalam satu rangkaian terdapat 20-21 atau 22 tablet, contoh: gugynol dan lindiol. 2) tipe urutan (sequential) biasanya terdiri dari 21 tablet. Di dalam rangkaian tersebut no 12,13,14 dan 15 berisi estogen, tablet no 16 dan 17 berisi campuran estrogen dan progesteron, 3) tipe berangkai (serial) hampir sama dengan tipe kombinasi atau tipe kombinasi atau tipe urutan di tambah beberapa tablet (biasanya 7 buah) yang berisi vitamin atau mineral, contoh : ovulen FE 28, eugynon ED 20, eugynon ED 50, micogynon. Sedangkan type non kombinasi/mini pil hanya mengandung hormon progesteron, sehingga bila digunakan oleh akseptor yang meneteki tidak akan mengganggu produksi ASI. Ada beberapa cara kerja pil antara lain : menekan ovulasi, mencegah implantasi, lendir serviks mengental sehingga sulit dilalui sperma, pergerakan tuba terganggu sehingga transportasi telur dengan sendirinya akan terganggu pula. Efektifitas pemakaian sangat tinggi tetapi ia tergantung pada si pemakainya. Kegagalan teoritis lebih 0,35% tetapi dalam pratek berkisar 1-8 % untuk pil kombinasi, 3-10%. untuk mini pil. Setiap alat kontrasepsi mempunyai keuntungan dan kerugian. Adapun keuntungan penggunaan pil KB adalah sebagai berikut: kontrasepsi sangat efektif, tidak terganggu dalam bersenggama, reversibilitas (pemulihan kesuburan) tinggi, mudah menggunakanya, mengurangi rasa sakit pada menstruasi, mencegah anemia defensiasi zat besi, mengurangi kemungkinan infeksi panggul dan kehamilan ektopik, mengurangi resiko kanker ovarium, cocok sekali digunakan untuk menunda kehamilan pertama dari pus muda, tidak mempengaruhi produksi ASI pada yang mengandung progesteron antara lain: exluton/ mini pil. Sedangkan kerugian dari penggunaan pil KB adalah sebagai berikut: memerlukan disiplin dari pemakai, dapat mengurangi ASI pada pil yang mengandung
62
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
esterogen, dapat menigkatkan resiko infeksi klamida, external enital warts, kembalinya kesuburan agak lambat, tidak dianjurkan pada wanita yang berumur di atas 30 tahun karena akan mempengaruhi keseimbangan fungsi hati dan ginjal, payudara bisa menjadi tegang, mual, pusing, dermatitis, jerawat, resiko kehamilan ektopik cukup tinggi (4 dari 100 kehamilan) tetapi resiko ini lebih rendah jika dibandingkan dengan perempuan yang menggunakan mini pil, efektifitas menjadi rendah bila di gunakan secara bersamaan dengan obat tubercolosis atau epilepsi, hampir dari 30-60% mengalami gangguan pola haid (amenorhea, spotting) dan peningkatan/penurunan BB, kloasma/hiperpigmentasi pada wajah (Manuaba, 1998). Indikasi pil KB dapat diberikan kepada semua wanita yang sedang tidak hamil. Sedangkan kontraindikasi pil KB tidak boleh diberikan pad wanita yang menderita : 1) kanker payudara dan organ reproduksi, 2) penyakit kuning, 3) penyakit pembuluh darah, 4)tekanan darah tinggi, 5) gangguan jantung, 6) perdarahan abnormal, 7) variaces, 8) sakit kepala yang hebat, 9) penyakit kencing manis yang hebat, 10) strauma, 11) ashma, 12) eksema (Saifuddin, 1996). Efek samping pemakaian kontrasepsi pil yang tampak adalah sebagai berikut: timbulnya jerawat, amenorhea, spotting, payudara tegang, kloasma, mual, pusing, kenaikan/penurunan berat badan. Efek samping tersebut akan timbul setelah 3 bulan sejak pemakaian alat kontrasepsi pil dan kadang juga akan timbul 1 bulan setelah pemakaian ( Saifuddin, 1996). Suntikan KB. Suntikan KB adalah suntik yang hanya berisi progestin untuk wanita sebagai kontrasepsi (BKKBN, 1998). Beberapa jenis sutikan KB yaitu: 1) depoprovera, depoprogestin, depogestin adalah Depo Medroksi Progestin Asetat (DMPA) yang mengandung progesterone sebanyak 150 mg dalam bentuk partikel kecil, 2) Noristerat (Norigest) adalah nor etisteran cenanthate yang merupakan derivat tetos teron, 3) Cyclofem. Ada beberapa cara kerja suntikan KB antara lain: 1) menghalangi ovulasi dengan jalan menekan pembentukan LHRF (luitenizing hormone releasing faktor) dan FSHRH (folicle stimulating releasing factore), 2) merubah lendir seviks menjadi kental sehingga menghambat penetrasi sperma, 3) implantasi ovum dalam endometrium dihalangi, 4) merubah kecepatan transportasi ovum melalui tuba, 5) mencegah lepasnya sel telur dari indung telur wanita, 6) menipisnya endometrium sehingga tidak siap untuk kehamilan. Efektifitas dari pemakaian suntikan KB tinggi, cara pemberianya sederhana, cukup aman, kesuburan dapat pulih kembali setelah beberapa lama, cocok bagi ibu-ibu yang menyusui bayinya dan angka kegagalan adalah 0-0,8%. Keuntungan dari pemakaian suntikan KB antara lain : praktis, efektif, aman, tidak mempengaruhi ASI pada DMPA, tidak ada efek samping dari estrogen pada DMPA, tidak banyak di pengaruhi oleh kelainan akseptor, dapat menurunkan anemia, kesalahan penggunan obat seperti kontrasepsi oral dapat dihindarkan. Adapun kerugian dari suntikan KB antara lain : terjadi pola gangguan haid (amenorhea, spotting) pada suntikan haid, mual, sakit kepala, nyeri payudara ringan, penambahan berat badan, ketergantungan klien terhadap pelayanan kesehatan (klien harus kembali mendapatkan suntikan), kemungkinan keterlambatan pemulihan kesuburan setelah penghentian pemakaian. (Saifuddin,2003). Indikasi pemberian suntik KB dapat diberikan pada semua wanita yang sedang tidak hamil, sedangkan kontraindikasi suntik KB tidak boleh diberikan pada wanita yang menderita: 1) Diabetes Mellitus, 2) tekanan darah tinggi, 3) kanker payudara, 4) sakit kepala yang hebat, 5) epilepsi, 6) depresi mental, 7) penyakit hati aktif, 8) tromboflebitis aktif. Efek samping yang tampak setelah pemakaian alat kontrasepsi suntik adalah sebagai berikut: amenorhea, spotting, mual, pusing, meningkatnya berat badan/menurunnya
63
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
5.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
berat badan, payudara tegang, timbulnya jerawat. Efek tersebut akan timbul setelah 3 bulan pemakaian alat kontrasepsi pil atau 3 siklus pertama (Saifuddin, 1996). Implant atau susuk KB atau AKBK. Alat kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) atsu implant adalah kontrasepsi yang disusupkan bawah kulit. Preparat yang terdapat saat ini adalah implant dengan nama dagang norplant. Norplant atau implant adalah suatu alat yang mengandung levonorgestril yang dibungkus dalam kapsul silastik–silicone (polidimethy isilokane) dan disusukkan di bawah kulit (Heny, 2006). Ada beberapa macam implant yaitu : 1) Non biodegradable implant, terdiri dari norplant (6 kapsul) berisi hormon levornogestril, daya kerja 5 tahun, implant 2 (2 batang), 1 dim daya kerja 3 tahun, satu batang berisi hormon ST – 1435 daya kerja 2 tahun (rencana siap pakai tahun 2000), satu batang berisi hormon 3 keto disogestrol daya kerja 2,5- 4th), 2) Bio degradable implant yang sedang diuji coba saat ini adalah capranor seperti kapsul polimer berisi hormon levanorgestril dengan daya kerja 18 bulan, pellets berisi norethindrone dan sejumlah kecil daya kerja 1 tahun. Ada beberapa cara kerja KB Implan antara lain : 1) mengentalkan lendir serviks uteri sehingga menyulitkan penetrasi sperma, 2) menimbulkan perubahanperubahan endometrium sehingga tidak cocok untuk implantasi zygote, 3) pada sebagian kasus dapat pula menghalangi terjadinya ovulasi. Efektifitas pemakaian kontrasepsi merupakan gabungan dari ketiga mekanisme kerja tersebut diatas. Daya guna norplant cukup tinggi, kepustakaan melaporkan kegagalan norplant antara 0,3 – 0,5 per 100 tahun wanita. Keuntungan pemakaian implant antara lain : 1) tidak menekan produksi ASI, 2) praktis dan efektif, 3) tidak ada faktor lupa, 4) masa pakai jangka panjang (5 tahun), 5) membantu mencegah anemia, 6) khasiat kontrasepsi susuk berakhir setelah pengangkatan, 7) dapat digunakan oleh ibu yang tidak cocok pada hormon estrogen. Adapula kerugian implant antara lain: 1) implant harus dipasang dan diangkat oleh petugas kesehatan yang terlatih, 2) petugas kesehatan perlu dilatih khusus dan praktek pemasangan dan pengangkatan implant, 3) implant lebih mahal daripada KB pil dan suntik, 4) Implant sering mengubah pola haid (amenorhea, spotting), 5) wanita tidak dapat menghentikan pemakaiannya sendiri, 6) beberapa wanita mungkin enggan menggunakan cara yang belum dikenalnya, 7) susuk mungkin dapat terlihat dibawah kulit, 8) ekspulsi, infeksi/abses pada daerah insersi, hematoma 9) kenaikan berat badan. Indikasi pemakaian implant yaitu : wanita-wanita yang tidak boleh menggunakan pil KB, yang mengandung estrogen, wanita yang ingin memakai kontrasepsi untuk jangka waktu yang lama tetapi tidak bersedia menjalani/menggunakan AKDR, setiap ibu yang sehat dan tidak ingin hamil dalam waktu sampai 5 tahun. Sedangkan kontraindikasi pemakaian implant adalah kehamilan atau disangka hamil, penderita penyakit hati, kanker payudara, kelainan jiwa (psikosis), Diabetes Melitus, kelainan kardiovaskuler. Efek samping yang tampak setelah pemakaian alat kontrasepsi implant adalah sebagai berikut: amenorhea, spotting, ekspulsi, infeksi, mual, pusing, nyeri payudara, berat badan naik/turun. Efek samping tersebut akan timbul ± 1 tahun setelah pemakaian alat kontrasepsi implant (Saifuddin, 1996).
Efek Samping dan Cara Penanggulangan Dari Pemakaian Kontrasepsi Hormonal. Efek samping dan cara penanggulangan dari pemakaian kontrasepsi hormonal menurut Saifuddin (1996) adalah sebagai berikut: Efek yang pertama adalah gangguan haid, meliputi : gejala dan keluhan dapat berupa: 1) amenorhea adalah tidak datangnya haid setiap bulan selama akseptor mengikuti KB, 2) spotting adalah bercak-bercak
64
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
perdarahan diluar haid yang terjadi selama akseptor mengikuti KB, 3) methorhorgia adalah perdarahan yang berlebihan di luas masa haid, 4) menorgia adalah datangnya darah haid yang berlebihan jumlahnya. Penanggulangan dan pengobatan terdiri dari yang pertama adalah konseling yaitu memberikan penjelasan kepada calon akseptor KB hormonal bahwa pada pemakaian inplan dapat menyebabkan gejala-gejala akibat pengaruh hormon. Biasanya gejala-gejala perdarahan tidak berlangsung lama. Cara yang kedua dengan pengobatan medis yaitu bila pasien ingin haid, dapat dilaksanakan pemberian pil KB hari pertama sampai hari kedua masing-masing 3 tablet. Selanjutnya dari ke-4 1 x 1 selama 4 – 5 hari. Bila perdarahan, dapat pula diberikan preparat estrogent. Setelah perdarahan berhenti, dapat dilaksanakan tapering off (1x1 tablet) selama beberapa hari. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu. Efek ke-2 yang timbul pada pemakaian kontrasepsi hormonal adalah depresi, meliputi gejala dan keluhan rasa lesu, tak bersemangat dalam kerja atau kehidupan. Penanggulangan dan pengobatan yang pertama adalah konseling yaitu menjelaskan kepada calon akseptor guna menghindari perasaan bersalah dari calon akseptor. Pengobatan yang kedua dengan pengobatan medis yaitu terapi psikologis bagi yang menderita depresi. Pemberian vitamin seperti B6 50 mg. Efek ke-3 yang timbul pada pemakaian kontrasepsi hormonal adalah keputihan, meliputi gejala dan keluhan adanya cairan putih yang berlebihan yang keluar dari liang senggama dan terasa mengganggu. Hal ini jarang terjadi pada akseptor kontrasepsi hormonal dan bila terjadi pasti ada penyebab lain. Tidak berbahaya kecuali bila berbau, panas, atau terasa gatal. Penanggulangan dan pengobatan yang pertama adalah konseling yaitu menjelaskan bahwa pada akseptor KB hormonal jarang terjadi keputihan. Bila hal ini terjadi juga harus dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan. Cara yang kedua dengan tindakan medis yaitu konseling sebelum peserta ikut KB dengan menggunakan hormonal. Pengobatan medin biasanya tidak diperlukan. Pada kasus dimana cairan berlebihan, dapat diberikan preparot anti kolinergik seperti Ekstrat Belladona 10 mg 2x1 tablet untuk mengurangi cairan tersebut. Efek ke-4 yang timbul dalam pemakaian konrasepasi hormonal yaitu jerawat dengan gejala dan keluhan timbulnya jerawat di wajah atau badan dapat disertai infeksi atau tidak. Pengobatan medis dengan pemberian vitamin A dan vitamin E dosis tinggi. Bila disertai infeksi dapat diberikan Preparat Tetrasiklin 250 mg 2x1 kapsul selama 1 atau 2 minggu. Efek ke-5 yaitu perubahan libido dengan gejala dan keluhan menurunnya atau meningkatnya libido akseptor. Hal ini bersifat subyektif dan sulit dinilai. Penanggulangan dan pengobatan yang pertama adalah konseling yaitu menjelaskan pada pasien kemungkinan hal ini dan sifatnya subyektif. Pengobatan medis tidak dianjurkan. Efek ke-6 yaitu perubahan berat badan, gejala dan keluhan berat badan bertambah beberapa kg ( 5 kg) dalam beberapa bulan setelah pemakaian KB hormonal. Peningkatan berat badan pada akseptor kontrasepsi suntik disebabkan karena meningkatnya hormon progesteron dan estrogen. Hormon progesteron akan menekan pusat syaraf pengendali makan lrbih banyak. Progesteron juga mempermudah perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak sehingga di bawah kulit bertambah. Dengan peningkatan nafsu makan dan pertambahan lemak dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan berat badan. Selain itu, peningkatan berat badan juga dapat disebabkan oleh hormon estrogen yang dapat mengakibatkan bertambahnya lemak bawah kulit terutama pada pinggul, paha, payudara serta meningkatnya retensi cairan tubuh karena kurangnya pengeluaran urine dan natrium (Hartanto, 2003). Penanggulangan dan pengobatan yang pertama adalah konseling yaitu menjelaskan kepada akseptor KB hormonal bahwa kenaikan berat badan adalah salah satu efek samping dari pemakaian KB hormonal. Kenaikan berat badan dapat disebabkan hal-hal lain. Dapat pula terjadi penurunan berat badan, hal inipun tidak selalu disebabkan oleh KB hormonal dan perlu dilihat kembali. Cara yang kedua adalah dengan
65
HOSPITAL MAJAPAHIT
6.
C. 1.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
tindakan medis yaitu pemberian anti prostaglandin untuk mengurangi, misalnya acetasol 500 mg 3x1 tablet perhari atau paracetamol 500 mg 3x1 sehari. Pengobatan diet merupakan pilihan utama. Dianjurka untuk melaksanakan diet rendah kalori disertai olah raga seperti senam. Bila tidak berhasil dianjurkan untuk mengganti cara kontrasepsi. Efek ke-7 yaitu hematoma dengan gejala dan keluhan warna biru dan rasa nyeri pada daerah pemasangan atau pencabutan akibat peredaran bawah kulit. Penanggulangan dan pengobatan yang pertama dengan konseling dengan menjelaskan kepada akseptor mengenai kemungkinan hal ini. Pengobatan dengan memberikan kompres dingin pada daerah yang membiru selama 2 hari. Setelah itu dirubah menjadi kompres panas hingga warna biru atau kuning hilang. Efek ke-8 yaitu nyeri dengan gejala dan keluhan resa nyeri pada payudara, kepala, dan juga bisa pada daerah pemasangan akibat iritasi syaraf setempat. Penanggulangan dan pengobatan yang pertama dengan konseling dengan menjelaskan fisiologi dan cara pemasangan pada akseptor hingga jelas. Yang kedua dengan tindakan medis dengan pemberian preparat analgetik atau anti prostaglandin, misalnya acetosol / parasetamol 500 mg 3x1 sehari. Efek ke-9 yaitu infeksi dan abses yang diakibatkan pemakaian alat-alat yang tidak suci hama. Gejala dan keluhan rasa sakit dan panas di daerah tindakan. Bila terdapat abses, teraba adanya benjolan yang nyeri di daerah pemasangan / pencabutan / penyuntikan. Penanggulangan dan pengobatan dengan pemberian antibiotik dosis tinggi, misalnya Ampicilin 500 mg 3x1 sehari satu kapsul per tablet. Pada abses : berikan kompres permanganas kalikus atau rivanol. Bila kelak ada fluktuasi pada abses dapat dilakukan insisi. Setelah itu berikan tampon dan drain. Jangan lupa berikan antibiotik seperti pada perlakuan infeksi. Efek yang ke-10 yaitu kloasma dengan gejala hiperpigmentasi pada kulit khususnya wajah. Penanggulannya yang pertama adalah konseling dengan menjelaskan bahwa efek dari pemakaian alat kontrasepsi hormonal adalah kloasma, yang kedua adalah menganjurkan untuk menghentikan krim dan hindari matahari jika penyebabnya adalah penggunaan krim kulit yang mengandung merkuri atau terbakar sinar matahari. Bila baru hamil, nasehatkan untuk tunggu 3 bulan dan lihat perbaikan. Jika klien menganggap masalah yang serius pindah ke pil yang lebih androgenik progestin (seperti levonorgestril atau norgestrel) atau pindah pil dengan dosis 50 mcg estrogen. Efek yang ke-11 yaitu mual dan pusing. Penanggulangannya yang pertama adalah konseling dan tanyakan apakah pil diminum pada pagi hari atau pada keadaan perut kosong, dan sebaiknya minum pil pada saat makan malam dan sebelum tidur. Mual dan pusing bisa juga dapat disebabkan oleh hal-hal lain yaitu rendahnya kadar hemoglobin dalam darah dan rendahnya tekanan darah Akseptor kontrasepsi. Bila hamil minum pil dihentikan dan segera dibawa ke klinik antenatal untuk pemeriksaan lebih lanjut. Cara yang kedua adalah mengganti pil dosis rendah estrogen atau mini pil. Tempat Pelayanan Kontrosepsi Hormonal. Untuk pemberian kontrosepsi hormonal dapat dilakukan di Puskesmas, Balai Kesehatan Masyarakat/Poli Klinik Swasta/Poli Klinik Pemerintah, Dokter/Bidan Swasta, Rumah Sakit/Rumah Sakit Bersalin/Rumah Bersalin, TKBK/Puskesmas Keliling. METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Jenis penelitin yang dilaksanakan adalah deskriptif yang bertujuan untuk memaparkan peristiwa-peristiwa yang urgen terjadi pada masa kini (Nursallam, 2001). Pendekatan yang digunakan adalah metode survei yaitu peneliti melakukan observasi pada sekumpulan objek yang biasanya cukup banyak dalam jangka waktu tertentu. Survey mengumpulkan informasi dari tindakan seseorang, pengetahuan, kemauan, pendapat, perilaku dan nilai (Nursallam, 2003).
66
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
KERANGKA KERJA Faktor Predisposisi 1. Pendidikan 2. Pengetahuan 3. Persepsi 4. Subyektifitas
Faktor Pendukung 1. Ekonomi 2. Tersedianya fasilitas dan sarana kesehatan
Faktor Pendorong 1. Sikap dan perilaku petugas 2. Pelayanan petugas
Pemakaian Alat Kontrasepsi Hormonal
Efek samping : 1. Gangguan pola haid 2. ( amenorhea, spotting ) 3. Depresi 4. Keputihan 5. Jerawat 6. Perubahan libido 7. Perubahan berat badan 8. Hematoma 9. Nyeri payudara, kepala 10. Infeksi dan abses 11. Mual pusing 12. Kloasma
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 8.
2.
Kerangka Kerja Studi Tentang Efek Samping Pemakaian Alat Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Hormonal Aktif Di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto
Populasi, Sampel, Variabel, Instrumen Penelitian, dan Definisi Operaisonal. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh akseptor KB hormonal (26 akseptor KB pil, 165 akseptor KB suntik, dan 10 akseptor KB implant) yang ada di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto sebanyak 201 orang periode Januari sampai dengan Desember 2005 yang dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2006 sampai dengan 22 Juni 2006. Pada penelitian pengambilan sampil secara “Non Random/Non Probability Sampling” yaitu pengambilan sampel yang tidak didasarkan atas kemungkinan yang dapat diperhitungkan, tetapi semata-mata hanya berdasarkan kepada segi-segi kepraktisan belaka (Notoatmodjo, 2005). Sampel yang digunakan adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi : akseptor yang bersedia untuk diteliti, bisa baca dan tulis serta akseptor KB Hormonal yang pemakaiannya lebih dari 1 tahun dan efek samping yang masih tampak pada saat penelitian dilakukan. Penelitian ini menggunakan teknik “consecutive sampling” dengan menetapkan subyek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2003).
67
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Dalam penelitian ini hanya terdapat satu variabel, yaitu “Efek samping pemakaian kontrasepsi hormonal pada akseptor KB hormonal aktif”. Tabel 35. Definisi Operasional Studi Tentang Efek Samping Pemakaian Alat Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Hormonal Aktif Di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto Definisi Variabel Kriteria Alat Ukur Skala Operasional Efek samping Hasil dari suatu 1. Mengalami efek Kuesioner Nominal pemakaian peristiwa samping hormonal yang kontrasepsi tindakan yang timbul setelah 1 tahun hormonal tidak diinginkan. pemakaian dan masih pada mengalami efek akseptor KB samping pada saat hormonal penelitian dilakukan. aktif 2. Tidak mengalami efek samping hormonal setelah 1 tahun pemakaian dan efek samping sudah tidak ada pada saat penelitian dilakukan. 3.
Teknik Analisis Data. Setelah semua data terkumpul diperiksa kelengkapannya dan kemudian peneliti melakukan analisa data menggunakan teknik analisa deskriptif yaitu melakukan perhitungan proporsi (%). Rumus :
p
a x100% c
Keterangan : p : proporsi (%). : jumlah subjek dengan karakteristik tertentu yang diteliti. c : total subjek yang diteliti. D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan. Tabel 2. Karakteristik Pendidikan akseptor KB Hormonal aktif di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006 No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi Prosentase (%) 1 Pendidikan Rendah (SD) 34 53,1 2 Pendidikan Menengah 25 39,1 (SMP/SMA) 3 Pendidikan Tinggi (PT) 5 7,8 Total 64 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 50% akseptor KB hormonal aktif berpendidikan rendah (SD) sedangkan akseptor yang berpendidikan tinggi (PT) mempunyai proporsi yang paling kecil.
68
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
b.
Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas. Tabel 3. Karakteristik Paritas akseptor KB Hormonal aktif di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006 No. Karakteristik Paritas Frekuensi Prosentase (%) 1 Paritas rendah ( 1-2 anak) 42 65,6 2 Paritas tinggi ( > 2 anak ) 22 34,4 Total 64 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari 50% akseptor KB Hormonal aktif yang mempunyai paritas rendah (1-2 anak)sedangkan sisanya merupakan responden yang memiliki paritas tinggi (> 2 anak)
c.
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur. Tabel 4. Karakteristik Umur akseptor KB Hormonal aktif di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006 No. Karakteristik Umur Frekuensi Prosentase (%) 1 < 20 Tahun 5 7.8 2 20 – 35 Tahun 39 61 3 > 35 Tahun 20 31,2 Total 64 100 Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari 50% akseptor KB hormonal aktif berumur 2035 tahun sedangkan responden yang berumur < 20 tahun mempunyai proporsi yang paling kecil.
d.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 5. Karakteristik Pekerjaan akseptor KB Hormonal aktif di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006 No. Karakteristik Pekerjaan Frekuensi Prosentase (%) 1 Bekerja 34 53,1 2 Tidak Bekerja 30 46,9 Total 64 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa lebih dari 50% akseptor KB hormonal aktif bekerja sedangkan sisanya tidak bekerja.
Data Khusus. a. Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Suntik. Tabel 6. Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Suntik di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006 No. 1 2 3 4 5 6
Kriteria Kenaikan berat badan Amenorhea Spotting Timbul jerawat Mual/pusing Kloasma Total
Frekuensi 15 9 7 5 3 3 42
Prosentase (%) 35,7 21,4 16,7 11,9 7,1 7,1 100
Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami efek samping yang timbul pada pemakaian kontrasepsi suntik berupa kenaikan berat badan sedangkan yang mengalami mual/pusing dan kloasma mempunyai proporsi yang paling kecil. b.
Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Pil.
69
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Tabel 7. Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Pil di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006 No. Kriteria Frekuensi Prosentase (%) 1 Kenaikan berat badan 6 40 2 Amenorhea 3 20 3 Spotting 2 13,3 4 Timbul jerawat 2 13,3 5 Mual/pusing 1 6,7 6 Kloasma 1 6,7 Total 15 100 Berdasarkan tabel 7 dapat dijelaskan bahwa paling banyak efek samping yang timbul pada pemakaian kontrasepsi pil adalah kenaikan berat badan sedangkan sebagian kecil efek samping yang timbul adalah mual/pusing dan kloasma. c.
E. 1.
Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Implan. Tabel 8. Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Implan di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006 No. Kriteria Frekuensi Prosentase (%) 1 Amenorhea 3 42,9 2 Spotting 2 28,6 3 Kenaikan berat badan 1 14,3 4 Timbul jerawat 1 14,3 Total 7 100 Berdasarkan tabel 8 dapat dijelaskan bahwa paling banyak efek samping yang timbul pada pemakaian kontrasepsi implan adalah amenorhea sedangkan sebagian kecil efek samping yang timbul adalah kenaikan berat badan dan timbul jerawat.
PEMBAHASAN. Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Suntik. Berdasarkan tabel 6 dapat dijelaskan bahwa mayoritas efek samping yang timbul pada pemakaian kontrasepsi suntik adalah kenaikan berat badan sebanyak 15 orang (35,7%) sedangkan sebagian kecil efek samping yang timbul adalah mual/pusing dan kloasma sebanyak 3 orang (7,1%). Peningkatan berat badan akseptor kontrasepsi suntik disebabkan karena meningkatnya hormon progesteron dan estrogen. Hormon progesteron akan menekan pusat syaraf pengendali makan lebih banyak. Progesteron juga mempermudah perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak sehingga dibawah kulit bertambah. Dengan peningkatan nafsu makan dan pertambahan lemak dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan berat badan. Selain itu, peningkatan berat badan juga dapat disebabkan oleh hormon estrogen yang dapat mengakibatkan bertambahnya lemak bawah kulit terutama pada pinggul, paha, payudara serta meningkatnya retensi cairan tubuh karena kurangnya pengeluaran urine dan natrium (Hartanto,2003). Dari tabel 2 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB suntik berpendidikan rendah (SD) mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 19%. Dalam penelitian ini akseptor KB suntik mayoritas berpendidikan rendah maka akan lebih sulit menerima dan memahami tentang efek samping pemakaian kontrasepsi suntik. Maka dalam pemberian konseling yang dilakukan harus sesuai dengan tingkat pendidikan akseptor. Pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap penerimaan informasi baru, tergantung dari berbagai termasuk tentang efek samping pemakaian kontrasepsi suntik. Pendidikan yang rendah akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap
70
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
nilai-nilai yang baru diperkenalkan (BKKBN, 1997). Sesuai dengan pernyataan Nursallam (2003), bahwa pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang menuju kearah suatu cita-cita tertentu. Dari tabel 3 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB suntik yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 26,2%. Dengan pemakaian kontrasepsi pengaturan jumlah dan jarak anak dapat terencana dengan baik. Pada paritas rendah akseptor lebih banyak menggunakan kontrasepsi hormonal, dalam pemakaian jangka panjang menimbulkan efek samping salah satunya adalah kenaikan berat badan. Dari tabel 4 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB suntik yang berumur 20-35 tahun mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 26,2%. Hal ini menunjukkan bahwa banyak akseptor yang mengalami efek samping kenaikan berat badan pada usia reproduktif . Menurut Pariani (2001) bahwa semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan atau kemampuan seseorang akan lebih matang dalam berfikir. Pada usia reproduktif wanita telah siap secara fisik dan mental untuk menginginkan dan mengambil keputusan dalam memilih kontrasepsi. Perencanaan dan pemikiran yang matang sangat diperlukan dan disesuaikan dengan usia kesehatan ibu untuk mencegah dan menghindari resiko yang berkaitan dengan kesehatan ibu karena sebagian masalah kesehatan timbul berkaitan dengan usia dan semakin meningkat sejalan dengan penambahan usia. Dari tabel 5 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB suntik yang bekerja mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 19%. Hal ini menunjukkan bahwa kesibukan dalam pekerjaan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan keluarga, sehingga kebanyakan dari akseptor tidak memperdulikan kenaikan berat badannya dan akseptor tidak tahu kenaikan berat badannya dipengaruhi oleh pemakaian kontrasepsi yang lama atau karena faktor lain. Dengan adanya pekerjaan seseorang memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang sibuk akan memiliki waktu yang sedikit untuk memperoleh informasi sehingga pengetahuan yang mereka miliki menjadi berkurang (Notoatmodjo, 2005). Amenorhea adalah tidak datangnya haid setiap bulan selama akseptor mengikuti KB dari tabel 6 didapat 9 orang (21,4 %). Tidak datangnya haid karena pengaruh dari hormon progesteron dan estrogen. Hormon estrogen dan progesteron menghambat ovulasi melalui efek dari hipotalamus yang kemudian mengakibatkan suppresi pada FSH dan LH kelenjar hipofise. Ovulasi pun tidak selalu dihambat oleh estrogen dalam suntikan kombinasi karena estrogenmungkin hanya efektif 95-98% dalam menghambat ovulasi dan keadaan efektivitas hampir 100% disebabkan efek kuat oleh hormon progesteron sebagai tambahan dalam menghambat ovulasi oleh estrogen. Menghambat ovulasi sehingga ovum tidak diproduksi secara teratur maka akan menekan endometrium sehingga mengurangi perdarahan dan kebanyakan wanita tidak terjadi perdarahan sama sekali (BKKBN, 1997). Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB suntik berpendidikan menengah (SMP/SMA) mengalami efek samping amenorhea sebanyak 11,9%, akseptor KB suntik yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) mengalami efek samping amenorhea sebanyak 14,3%, akseptor KB suntik yang berumur 20-35 tahun dan bekerja mengalami efek samping amenorhea masing-masing sebanyak 16,7%. Dari tabel 6 didapat efek lain yang timbul adalah spotting (bercak-bercak perdarahan diluar haid yang terjadi selama akseptor mengikuti KB) sebanyak 7 orang (16,7%). Spotting terjadi karena pengaruh dari hormon progesteron dan estrogen sehingga terjadi ketidakseimbangan pola haid. Yakinkan klien bahwa perdarahan yang ringan diantara haid adalah hal yang tidak serius dan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Perubahan pola perdarahan tersebut akan menjadi lebih teratur setelah pemakaian ≥ 1 tahun karena tubuh klien sudah dapat beradaptasi.
71
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB suntik berpendidikan rendah (SD) dan bekerja mengalami efek samping spotting masing-masing sebanyak 9,5%, akseptor KB suntik yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) mengalami efek samping spotting sebanyak 11,9%, akseptor KB suntik yang berumur 20-35 tahun mengalami efek samping spotting sebanyak 7,1%. Efek yang lain timbul dalam pemakaian kontrasepsi suntik adalah timbunya jerawat 5 orang (11,9%). Timbulnya jerawat di wajah/badan disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen. Berdasarkan hasil penelitian akseptor KB suntik berpendidikan menengah (SMP/SMA), berumur 20-35 tahun dan bekerja yang mengalami efek samping timbul jerawat masing-masing sebanyak 7,1%, akseptor KB suntik yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) mengalami efek samping sebanyak 9,5%. Mual/pusing dari tabel 6 sebanyak 3 orang (7,1 %) efek lain dari pemakaian kontrasepsi suntik. Mual/pusing dipengaruhi oleh hormon progesteron dan estrogen. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB suntik berpendidikan rendah (SD), paritas rendah (1-2 anak) dan berumur 20-35 tahun yang mengalami efek samping mual/pusing masing-masing sebanyak 4,8%, akseptor KB suntik yang bekerja mengalami efek samping mual/pusing sebanyak 4,7%. Pada tabel 6 didapat efek lain yaitu kloasma sebanyak 3 orang (7,1%). Kloasma degan gejala hiperpigmentasi pada kulit khususnya wajah karena akibat dari hormon estrogen dan progesteron. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB suntik berpendidikan rendah (SD) mengalami efek samping kloasma sebanyak 4,8%, paritas rendah (1-2 anak)dan yang berumur 20-35 tahun mengalami efek samping kloasma masing-masing sebanyak 4,8%, akseptor KB suntik yang bekerja mengalami efek samping kloasma sebanyak 4,7%. 2.
Efek Samping Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Pil. Berdasarkan tabel 7 dapat dijelaskan bahwa paling banyak efek samping yang timbul pada pemakaian kontrasepsi pil adalah kenaikan berat badan sebanyak 6 orang (40%) sedangkan sebagian kecil efek samping yang timbul adalah mual/pusing dan kloasma sebanyak 1 orang (6,7%). Peningkatan berat badan akseptor kontrasepsi pil disebabkan karena meningkatnya hormon progesteron dan estrogen. Hormon progesteron akan menekan pusat syaraf pengendali makan lebih banyak. Progesteron juga mempermudah perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak sehingga dibawah kulit bertambah. Dengan peningkatan nafsu makan dan pertambahan lemak dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan berat badan. Selain itu, peningkatan berat badan juga dapat disebabkan oleh hormon estrogen yang dapat mengakibatkan bertambahnya lemak bawah kulit terutama pada pinggul, paha, payudara serta meningkatnya retensi cairan tubuh karena kurangnya pengeluaran urine dan natrium (Hartanto,2003). Dari tabel 2 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB pil berpendidikan rendah (SD) mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 26,6%. Dalam penelitian ini akseptor KB pil mayoritas berpendidikan rendah maka akan lebih sulit menerima dan memahami tentang efek samping pemakaian kontrasepsi pil. Maka dalam pemberian konseling yang dilakukan harus sesuai dengan tingkat pendidikan akseptor. Pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap penerimaan informasi baru, tergantung dari berbagai termasuk tentang efek samping pemakaian kontrasepsi pil. Pendidikan yang rendah akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (BKKBN, 1997). Sesuai dengan pernyataan Nursalam (2003), bahwa pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang menuju kearah suatu cita-cita tertentu.
72
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Dari tabel 3 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB pil yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 26,7%. Dengan pemakaian kontrasepsi pengaturan jumlah dan jarak anak dapat terencana dengan baik. Pada paritas rendah akseptor lebih banyak menggunakan kontrasepsi hormonal, dalam pemakaian jangka panjang menimbulkan efek samping salah satunya adalah kenaikan berat badan. Dari tabel 7 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB pil yang berumur 2035 tahun mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 26,7%. Hal ini menunjukkan bahwa banyak akseptor yang mengalami efek samping kenaikan berat badan pada usia reproduktif . Menurut Pariani (2001) bahwa semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan atau kemampuan seseorang akan lebih matang dalam berfikir. Pada usia reproduktif wanita telah siap secara fisik dan mental untuk menginginkan dan mengambil keputusan dalam memilih kontrasepsi. Perencanaan dan pemikiran yang matang sangat diperlukan dan disesuaikan dengan usia kesehatan ibu untuk mencegah dan menghindari resiko yang berkaitan dengan kesehatan ibu karena sebagian masalah kesehatan timbul berkaitan dengan usia dan semakin meningkat sejalan dengan penambahan usia (Hinchiff editor Yasmin, 2000). Dari tabel 8.2 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB pil yang bekerja mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 26,6%. Hal ini menunjukkan bahwa kesibukan dalam pekerjaan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan keluarga, sehingga kebanyakan dari akseptor tidak memperdulikan kenaikan berat badannya dan akseptor tidak tahu kenaikan berat badannya dipengaruhi oleh pemakaian kontrasepsi yang lama atau karena faktor lain. Dengan adanya pekerjaan seseorang memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang sibuk akan memiliki waktu yang sedikit untuk memperoleh informasi sehingga pengetahuan yang mereka miliki menjadi berkurang (Notoatmodjo, 2005). Amenorhea adalah tidak datangnya haid setiap bulan selama akseptor mengikuti KB pil dari tabel 4.6 didapat 3 orang (20 %). Tidak datangnya haid karena pengaruh dari hormon progesteron dan estrogen. Hormon estrogen dan progesteron menghambat ovulasi melalui efek dari hipotalamus yang kemudian mengakibatkan suppresi pada FSH dan LH kelenjar hipofise. Ovulasi pun tidak selalu dihambat oleh estrogen dalam pil kombinasi karena estrogen mungkin hanya efektif 95-98% dalam menghambat ovulasi dan keadaan efektivitas hampir 100% disebabkan efek kuat oleh hormon progesteron sebagai tambahan dalam menghambat ovulasi oleh estrogen. Menghambat ovulasi sehingga ovum tidak diproduksi secara teratur maka akan menekan endometrium sehingga mengurangi perdarahan dan kebanyakan wanita tidak terjadi perdarahan sama sekali (BKKBN, 1997). Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB pil yang berpendidikan rendah, menengah dan tinggi yang mengalami efek samping amenorhea masing-masing 6,7%, akseptor KB pil yang memiliki paritas rendah (1-2 anak), berumur 20-35 tahun dan bekerja yang mengalami efek samping amenorhea masing-masing sebanyak 13,3%. Dari tabel 4.6 didapat efek lain yang timbul adalah spotting (bercak-bercak perdarahan diluar haid yang terjadi selama akseptor mengikuti KB) sebanyak 2 orang (13,3 %). Spotting terjadi karena pengaruh dari hormon progesteron dan estrogen sehingga terjadi ketidakseimbangan pola haid. Yakinkan klien bahwa perdarahan yang ringan diantara haid adalah hal yang tidak serius dan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Perubahan pola perdarahan tersebut akan menjadi lebih teratur setelah pemakaian ≥ 1 tahun karena tubuh klien sudah dapat beradaptasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB pil berpendidikan rendah, menengah dan tidak bekerja mengalami efek samping spotting
73
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
masing-masing 6,7%, akseptor KB pil yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) dan yang berumur 20-35 tahun mengalami efek samping spotting sebanyak 13,3% Mual/pusing dari tabel 4.6 sebanyak 2 orang (13,3 %) efek lain dari pemakaian kontrasepsi pil. Mual/pusing dapat terjadi bersifat sementara. Menjelaskan pada akseptor bahwa kemungkinan terjadi efek tersebut ada. Konseling dan tanyakan apakah pil diminum pada pagi hari atau pada keadaaan perut kosong dan sebaiknya minum pil pada saat makan malam dan sebelum tidur. Mual/pusing bisa juga dapat disebabkan oleh halhal lain yaitu rendahnya kadar hemoglobin dalam darah dan rendahnya tekanan darah akseptor kontrasepsi pil. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB pil berpendidikan rendah dan menengah mengalami efek samping mual/pusing masingmasing sebanyak 6,7%, akseptor KB pil yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) dan tinggi (>2 anak) mengalami efek samping mual/pusing masing-masing 6,7 %, akseptor KB pil yang berumur 20-35 tahun mengalami efek samping mual/pusing sebanyak 6,7%, akseptor KB pil yang bekerja mengalami efek samping mual/pusing sebanyak 13,3%. Pada tabel 4.6 didapat efek lain yaitu kloasma sebanyak 1 orang (6,7%). Kloasma degan gejala hiperpigmentasi pada kulit khususnya wajah karena akibat dari hormon estrogen dan progesteron. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB pil berpendidikan rendah (SD), memiliki paritas tinggi (>2 anak), yang berumur 20-35 tahun dan bekerja mengalami efek samping kloasma masing-masing sebanyak 6,7%. 3.
Efek samping pemakaian kontrasepsi hormonal pada akseptor KB implant di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto 2006. Amenorhea adalah tidak datangnya haid setiap bulan selama akseptor mengikuti KB pil dari tabel 4.7 didapat 3 orang (42,9 %). Tidak datangnya haid karena pengaruh dari hormon progesteron. Hormon progesteron menghambat ovulasi melalui efek dari hipotalamus yang kemudian mengakibatkan suppresi pada FSH dan LH kelenjar hipofise. Menghambat ovulasi sehingga ovum tidak diproduksi secara teratur maka akan menekan endometrium sehingga mengurangi perdarahan dan kebanyakan wanita tidak terjadi perdarahan sama sekali (BKKBN, 1997). Dari tabel 5.3 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB implant berpendidikan rendah (SD) mengalami efek samping amenorhea sebanyak 28,5%. Dalam penelitian ini akseptor KB implant mayoritas berpendidikan rendah maka akan lebih sulit menerima dan memahami tentang efek samping pemakaian kontrasepsi suntik. Maka dalam pemberian konseling yang dilakukan harus sesuai dengan tingkat pendidikan akseptor. Pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap penerimaan informasi baru, tergantung dari berbagai termasuk tentang efek samping pemakaian kontrasepsi implant. Pendidikan yang rendah akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (BKKBN, 1997). Sesuai dengan pernyataan Nursallam (2003), bahwa pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang menuju kearah suatu cita-cita tertentu. Dari tabel 6.3 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB implant yang memiliki paritas tinggi (>2 anak) mengalami efek samping amenorhea sebanyak 28,6% dari 7 responden. Dari tabel 7.3 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB implant yang berumur 20-35 tahun mengalami efek samping kenaikan berat badan sebanyak 28,6%. Hal ini menunjukkan bahwa banyak akseptor yang mengalami efek samping amenorhea pada usia reproduktif . Menurut Pariani (2001) bahwa semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan atau kemampuan seseorang akan lebih matang dalam berfikir. Pada usia reproduktif wanita telah siap secara fisik dan mental untuk menginginkan dan mengambil keputusan dalam memilih kontrasepsi. Perencanaan dan pemikiran yang matang sangat diperlukan dan disesuaikan dengan usia kesehatan ibu untuk mencegah dan menghindari resiko yang berkaitan dengan kesehatan ibu karena sebagian masalah
74
HOSPITAL MAJAPAHIT
4.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
kesehatan timbul berkaitan dengan usia dan semakin meningkat sejalan dengan penambahan usia (Hinchiff editor Yasmin, 2000). Dari tabel 8.3 dapat dijelaskan bahwa mayoritas akseptor KB implant yang bekerja mengalami efek samping amenorhea sebanyak 28,5%. Hal ini menunjukkan bahwa kesebukan dalam pekerjaan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan keluarga, sehingga kebanyakan dari akseptor tidak memperdulikan kenaikan berat badannya dan akseptor tidak tahu kenaikan berat badannya dipengaruhi oleh pemakaian kontrasepsi yang lama atau karena faktor lain. Dengan adanya pekerjaan seseorang memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang sibuk akan memiliki waktu yang sedikit untuk memperoleh informasi sehingga pengetahuan yang mereka miliki menjadi berkurang (Notoatmodjo, 2005). Dari tabel 4.7 didapat efek lain yang timbul adalah spotting (bercak-bercak perdarahan diluar haid yang terjadi selama akseptor mengikuti KB) sebanyak 2 orang (28,6 %). Spotting terjadi karena pengaruh dari hormon progesteron sehingga terjadi ketidakseimbangan pola haid. Yakinkan klien bahwa perdarahan yang ringan diantara haid adalah hal yang tidak serius dan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Perubahan pola perdarahan tersebut akan menjadi lebih teratur setelah pemakaian ≥ 1 tahun karena tubuh klien sudah dapat beradaptasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB implant berpendidikan rendah dan menengah mengalami efek samping spotting masing-masing 14,3%, akseptor KB implant yang memiliki paritas rendah (1-2 anak) dan tinggi mengalami efek samping spotting masing-masing 14,3%, akseptor KB implant yang berumur 20-35 tahun dan >35 tahun mengalami efek samping spotting masing-masing 14,3%, akseptor KB implant yang bekerja dan tidak bekerja mengalami efek samping spotting masing-masing 14,3%. Dari tabel 4.7 didapat 1 orang (14,3%) mengalami efek samping kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan akseptor kontrasepsi implant disebabkan karena meningkatnya hormon progesteron. Hormon progesteron akan menekan pusat syaraf pengendali makan lebih banyak. Progesteron juga mempermudah perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak sehingga dibawah kulit bertambah. Dengan peningkatan nafsu makan dan pertambahan lemakdapat mengakibatkan terjadinya peningkatan berat badan (Hartanto,2003). Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB implant berpendidikan rendah (SD), memiliki paritas tinggi (>2 anak), berumur 20-35 tahun dan tidak bekerja mengalami efek samping kenaikan berat badan masing-masing sebanyak 14,3%. Efek yang lain timbul dalam pemakaian kontrasepsi implant adalah timbulnya jerawat 1 orang (6,7%). Timbulnya jerawat di wajah/badan disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon progesteron. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa akseptor KB implant berpendidikan menengah (SMP/SMA), paritas rendah (1-2 anak), berumur 20-35 tahun dan bekerja mengalami efek samping timbul jerawat masing-masing sebanyak 14,3%. Efek samping pemakaian kontrasepsi hormonal pada akseptor KB aktif Desa Jatirowo Kecamatan Blandong Kabupaten Mojokerto tahun 2006. Dari hasil penelitian yang dilakukan efek samping secara umum yang timbul pada pemakaian kontrasepsi hormonal pada akseptor KB aktif di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto tahun 2006 adalah kenaikan berat badan, amenorhea, spotting, timbulnya jerawat, mual/pusing dan kloasma. Sedangkan, efek samping yang mayoritas timbul pada pemakai kontrasepsi hormonal dari 64 akseptor KB aktif di Desa Jatirowo Kecamatan Dawar Blandong Kabupaten Mojokerto tahun 2006 adalah kenaikan berat badan.
F. Penutup Efek samping pemakaian kontrasepsi suntik pada KB hormonal aktif yang mayoritas timbul adalah kenaikan berat badan sebanyak 35,7% dari 42 responden. Efek samping pemakaian kontrasepsi pil pada KB Hormonal aktif yang mayoritas timbul adalah kenaikan berat badan
75
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
sebanyak 40% dari 15 responden. Efek samping pemakaian kontrasepsi Implant pada KB Hormonal aktif yang mayoritas timbul adalah amenorhea sebanyak 42,9% dari 7 responden. Dengan bertitik tolak dari proses dan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran yang bisa peneliti berikan sebagai berikut : Pengelola Program KB hendaknya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan dan dalam rangka pencapaian program KB khususnya KB hormonal dengan subsidi akseptor KB aktif, Bagi 52 Masyarakat, diharapkan muncul kesadaran dan peran serta masyarakat yang lebih baik dalam mengikuti kontrasepsi hormonal. DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, (2005). Sikap manusia teori dan cara pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiarto, Eko. (2001). Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Danang, (2008). Konsep Dasar Keluarga (Online). (http//www.google.com. Diakses 1Maret 2009). Departemen Kesehatan RI, (2007). Rumah tangga sehat dengan PHBS. Surabaya: Dinas Kesehatan Jatim. Hidayat. (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, 2007. Metode Penelitian dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Koordinator Program Kartunagari. (2008). Kesehatan Lingkungan (Online). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009). Mubarrak, dkk. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mujiyanto. (2009). Masalah Sanitasi di Indonesia (Online). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009). Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, 2003. Konsep dan penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Prasetyo, Sulung. (2008). Visi Kuratif Hambat Perbaikan (Onlline). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009). Purwanto, Heri. (1999). Pengantar Perilaku Manusia . Jakarta: EGC. Wulandari, Catur Ratna. (2009). Bangun Jamban Ubah Kebiasaan (Online). (http//www.google.com Diakses 4 Mei 2009).
76
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN CARA MENYUSUI YANG BENAR DI BPS BU YUNI LESPADANGAN MOJOKERTO Sri Sudarsih ABSTRACT The way of good breast fed is the important for mother who breast feeds her baby. Because it influences to fluency and expending ASI until the baby doesn’t get it exclusively. The factors make lactation down is surrounded about knowledge, educational, proper behavior and the values of conviction. So, the reasons are explained before that researcher gets research about the relationship about level education of mother breast feeding and her right way of breast feed. The purpose is to know the relationship about level education and the right way breast feed. The desighn of this research is used by analitic with correlation study, its population in this reasearch are mother of childbirth physiologically who breast feeds by amount of 33 respondents. Getting sampling is done by accidental sampling and collecting data is got by observation, then the data are collected by examination by chi-square with level 0.05. From examination of chi-square is got X2 adding (6.50) > X2 table (3.84) so, H1 accepted that means the level education for mother that makes good attitude and the next, there is giving ASI with good breast feeding. Key words: education, mother who breast feeds. A.
PENDAHULUAN. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 dan Program Pembangunan Nasional (propanas) mengamatkan bahwa pembangunan diarahkan pada sumberdaya manusia berkualitas sejak bayi dalam kandungan disertai dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI eksklusif (DepKes. RI, 2001). Manfaat optimal dari pemberian ASI harus mengerti dua syarat utama. Syarat pertama cara pemberian ASI harus dilakukan dengan baik sehingga terjadi keberhasilan menyusui. Kedua pemberian ASI harus dilakukan secara eksklusif. Dalam menyusui kecepatan waktu saja tidak cukup tak jarang kegagalan dalam menyusui masih terjadi, biasanya disebabkan tehnik dan posisi menyusui yang kurang tepat, bukan karena produksi ASI nya yang kurang sedikit. Akibat dari kesalahan cara menyusui menyebabkan puting susu nyeri dan lecet. Karena bayi tidak menyusu, jika ia menyusui hanya pada puting susu, maka bayi akan mendapat ASI sedikit karena gusi bayi tidak menekan laktiferus. Sedangkan ibunya akan mereasa nyeri karena merasa lecet/nyeri pada puting susunya (Soetiningsih, 1997). Faktor yang mempengaruhi penurunan laktasi meliputi pengetahuan, sikap, tradisi/budaya dan nilai keyakinan. Pengetahuan dipengaruhi oleh usia, umur, pendidikan, intelegensi dan status ekonomi pendidikan dan pengetahuan akan mempengaruhi sikapsikap dan penampilan mereka dalam kaitannya dengan menyusui dikemudian hari (WHO, UNICEF, 1996). Sedangkan pada tradisi atau budaya dipengaruhi oleh prilaku, dimana pengertian dari prilaku sendiri adalah hasil dari proses yang berlangsung selama masa perkembangan. Untuk mewujudkan keberhasilan penggunaan ASI, petugas kesehatan dalam melaksanakan manajemen laktasi. Sensus Demografi Kependudukan Indonesia (SDKI) 1995, memperlihatkan bahwa ada 52% ibu menyusui anaknya. Saat ini, sebagian besar ibu menyusui anaknya selama rata-rata 1,7 bulan saja. Pada penelitian Unicef melaporkan hanya 14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah melahirkan (WHO,UNICEF,1996). Pendidikan adalah suatu proses belajar berarti proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok masyarakat (Tilar, 1999). Pendidikan ibu merupakan persiapan yang baik dibandingkan latihan fisik lainnya. Di mana jika ibu memahami bagaimana sebenarnya ASI diproduksi
77
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
dan ibu memahami bagaimana bayi maka ibu akan berhasil dalam memberikan ASI, selain pendidikan dan pengalaman ibu pada saat menjelang persalinan dan melahirkan juga mempengaruhi untuk mulai menyusui bayinya 2000. Dari data yang didapatkan di BPS Bu Yuni Hera. P. Lespadangan, jumlah ibu melahirkan dalam 1 tahun sebanyak 61 orang. Dari 61 orang ibu yang post partum, yang mau menyusui bayinya sebanyak 17 orang (31,14%) dan yang tidak mau menyusui bayinya atau langsung memberi susu formula sebanyak 42 orang (68,85%). Ibu yang tidak mau menyusui bayinya lebih banyak. Hal ini disebabkan karena ibu tidak mau menyusui dengan alasan, karena ASInya tidak keluar, bayinya tidak mau. Dengan memperhatikan masalah yang timbul di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap “Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Cara Menyusui Yang Benar”. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Dasar pendidikan. a. Definisi. Pendidikan adalah suatu proses belajar berarti proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kea rah dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai makhluk social dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai, hidup didalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya) (Notoadmodjo, 2000). Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melaui upaya pengajaran dan pelatihan proses, perubahan, cara mendidik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998). Pada umumnya semaikin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Pengetahuan sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, sumber, prosedur, teknik dan teori (Notoadmodjo, 1997). b. Tujuan. Tujuan pendidikan yaitu kebijaksanaan perkembangan, sektor pendidikan dianjurkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, berdisiplin, beretos kerja proposional, bertanggung jawab, produktif dan sehat jasmani dan rohani (GBHN, 1999). c. Macam Pendidikan. Menurut Wens Tantain (2000) pendidikan menurut pola pengelolahannya meliputi : 1) Pendidikan Informal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar, sejak seseorang lahir sampai mati, didalam keluarga, dalam pekerjaan atau pergaulan sehari-hari. Poroses pendidikan ini berlangsung seumur hidup dan secara wajar. 2) Pendidikan Formal. Pendidikan formal yang kita kenal dengan pendidikan disekolah merupakan proses strategis bagi pemerintah dan masyarakat untuk membina warga Negara yang baik, masa depan kaum muda, bangsa dan Negara. 3) Pendidikan Non Formal. Pendidikan non formal sering di sebut pendidikan luar sekolah ialah pendidikan yang di peroleh seseorang secara teratur, terarah, disengaja, tetapi tidak mengikuti peraturan ketat. Pendidikan nonformal bersifat fungsional dan praktis
78
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
2.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
dan bertujuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja peserta didik yang berguna bagi usaha perbaikan taraf hidup mereka. Klasifikasi Pendidikan : Klasifikasi pendidikan menurut H.A.R Tilaar meliputi : 1) Lembaga Pra Sekolah. Bertujuan memberikan bekal pada peserta didik dalam menghadapi dunia baru yang belumnya sebagai pribadi menjadi hidup bermasyarakat, misalnya TK. 2) Lembaga Pendidikan Dasar. Bertujuan memberi bekal kemampuan dasar pada peserta didik yang merubah kehidupan sebagai pribadi dan anggota masyarakat, missal SD, SMP. 3) Lembaga Pendidikan Menengah. Bertujuan mengembangkan sejalan sengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta meningkatkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitarnya, misal: SLTA. 4) Lembaga Pendidikan Tinggi. Bertujuan menerapkan dan mengembangkan peradaban ilmu dan teknologi, misalnya : D3, Perguruan Tinggi.
Konsep Dasar Menyusui. a. Definisi. Laktasi atau menyusui mempunyai pengertian yaitu nproses pembentukan ASI yang melibatkan hormone prolaktin dan proses pengeluaran yang melibatkan hormone oxytocin (DepKes RI,1994). b. Faktor Yang Mempengaruhi Cara Menyusui. Menurut Notoadmodjo, 2000 & Soetjiningsih, 2001 faktor predisposisi yang mempengaruhi cara ibu menyusui : 1) Pengetahuan. Pengetahuan dipengaruhi oleh usia, umur, pendidikan, intelegensi dan status ekonomi. Pendidikan dan pengetahuan akan mempengaruhi sikap-sikap dan penampilan mereka dalam kaitannya dengan menyusui dikemudian hari (WHO, UNICEF, 1999). 2) Pendidikan. Pengalaman dan pendidikan yang diperoleh wanita sejak kecil, mempengaruhi sikap dan juga keterampilannya, dalam kaitannya dengan menyusui dikemudian hari, dimana pendidikan ibu merupakan persiapan yang baik dibandingkan latihan fisik yang lainnya (WHO, 1994). 3) Sikap. Pengertian dari sikap adalah suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup satu stimulus atau obyek. 4) Tradisi budaya. Pada faktor budaya dipengaruhi oleh perilaku. Dimana pengertian dari perilaku adalah hasil dari proses yang berlangsung selama masa perkembangan. Setiap orang selalu terpapar dan tersentuh oleh kebiasaan dilingkungannya serta mendapat pengaruh dari masyarakat (Raulina, 2004). c. Anatomi Payudara. Payudara wanita disebut juga grandula mamalia yang merupakan alat reproduksi tambahan (Verrals, 1997). Dimana secara vertikal payudara terletak diantara kosta II dan VI. Secara horizontal mulai pinggir sternum sampai linea aksilaris medialis. Kelenjar susu berada dijaringan subkutan superficial dan profundus, yang menutupi muskulus pektoralis mayor, sebagian kecil seratus anterior dan obliqus eksterna.
79
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Payudara bagian luar terdiri dari sepasang buah dada yang terletak di dada, puting susu, daerah kecoklatan di sekitar puting susu (aerola mammae). Payudara bagian dalam terdiri dari 4 jaringan yaitu kelenjar susu (Mamary Alveoly) yang merupakan pabrik susu, gudang susu (Sinus Lactivcerous) yang berfungsi menampung ASI yang terletak didaerahAreola Mammae, saluran susu (Duktus Lactiferous) yang mengalirkan susu dari pabrik susu ke gudang susu, jaringan penunjang dan pelindung seperti jaringan ikat dan sel lemak yang melindungi (Roesli, 2000). Fisiologi Laktasi. 1) Pembentukan air susu. Selama masa kehamilan payudara membesar dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya, dan sluran-saluran air susu serta alveoli dipersiapkan untuk masa laktasi (Muchtadi, 1994). Menjelang akhir kehamilan hormone prolaktin memegang peranan untuk membuat kolostrum, namun jumlahnya terbatas sebab dihambat oleh estrogen dan progesterone (Soetjiningsih, 2001). Setelah bayi lahir segera bayi di susukan, dimana isapan bayi akan merangsang hipofise posterior yang mengeluarkan hormone exitosin untuk memompa ASI keluar. Isapan bayi juga merangsang hormone prolaktin agar teap tinggi kadarnya, tetapi hormone prolaktin akan turun jika plasenta sudah keluar (Chumbley, 2003). 2) Pengeluaran air susu. Seorang ibu yang menyusui terdapat 2 reflek dimana masing-masing berperan dalam pengeluaran dan pembentukan air susu, dimana reflek tersebut adalah reflek prolaktin dan reflek “let down” (Soetjiningsih, 2001). Menjelang akhir kehamilan terutama hormone prolaktin memegang peranan penting untuk memproduksi kolostrum, tapi dengan jumlah yang terbatas. Sebab prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesterone. Setelah placenta lepas, korpus letium kurang berfungsi (estrogen dan progesterone sangat berkurang), ditambah dengan isapan bayi yang merangsang puting susu dan kalang payudara, maka akan merangsang saraf sensoris sebagai reseptor mekanik. Dilanjutkan rangsangannya melalui modula spinalis dan mesensephalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor-faktor yang menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang faktor-faktor yang mengacu sekresi prolaktin kemudian merangsang hipofise (hipofise anterior) sehingga keluiar prolaktin (Soetjiningsih, 1997). Hormone prolaktin akan mengatur agar sel-sel dalam elveoli memproduksi air susu (Deddy Muchtadi, 1994). Bersamaan dengan pembentuan prolaktin oleh adenopipofise, rangsangan akan dilanjutkan kehipofise (hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan oksitosin melalui aliran darah (Soetjiningsih, 19997) oksitosin akan melaluyi puting payudara (Deddy Muchtadi), 1994). Mekanisme menyusui. Bayi yang sehat mempunyai 3 reflek intrinsik yang diperlukan berhasilnya menyusui seperti : 1) Reflek mencari (rootingf reflex). Payudara ibu yang menempel pada pipi atau daerah sekeliling mulut merupakan rangsangan yang menimbulkan reflek mencari pada bayi. Ini menyebabkan kepala bayi berputar menuju puting susu yang menempel tadi diikuti dengan membuka mulut dan kemudian puting susu ditarik masuk kedalam mulut. 2) Reflek menghisap (sucking reflex). Cara menyusui yang benar adalah apabila kalang payudara sedapt mungkin semuanya masuk kedalam mulut bayi. Bila rahang bayi hanya menekan puting susu saja karena bayi hanya menghisap susu sedikit dan puting susu ibu akan
80
HOSPITAL MAJAPAHIT
f.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
lecet. Puting susu yang sudah masuk kedalam mulut dengan bantuan lidah, dimana lidah dijulurkan diatas gusi bawah. Puting susu ditarik lebih jauh sampai pada orofaring dan rahang menekan kalang payudara dibelakang puting susu yang pada saat itu terletak pada langit-langit keras dengan tekanan bibir dan gerakan rahang secara berirama, sehingga air susu akan mengalir keputing susu. 3) Reflek menelan (swallowing reflex). Saat keluar dari puting susu, akan disusul dengan gerakan menghisap (tekanan negatif) yang ditimbulkan oleh otot-otot pipi, sehingga pengeluaran ASI akan bertambah dan diteruskan dengan mekanisme menelan masuk kelambung (Soetjiningsih, 1997). Tehnik menyusui. 1) Posisi menyusui. Saat ibu menyusui bayinya, ibu bisa ambil posisi duduk, berdiri atau bisa juga dengan berbaring. Menyusui pada bayi kembar dapat dilakukan dengan cara memegang bola, dimana kedua bayi disusu bersamaan kanan dan kiri (Soetjiningsih, 1997). 2) Cara menyusui yang benar. Cara menyusui bayi yang benar dapat mewujutkan keberhasilan penggunaan ASI (Soetjiningsih, 1997). a) Sebelum ibu menyusui bayinya pilihlah posisi yang paling nyaman untuk menyusui. Siap peralatan, seperti kapas, air hangat, handuk kecil yang bersih atau tisu, bantal untuk penopang bayi, selimut kecil dan penopang kaki ibu. Siap semua sesuai dengan kebutuhan ibu. b) Baringkan bayi diatas bantal dengan baik sehingga posisi bayi saling berhadapan dengan ibu. Perut ibu berhadapan dan bersentuhan dengan perut bayi. Perhatikan kepala agar tidak terjadi pemuntiran leher dan punggung bayi harus lurus (tidak membungkuk). c) Mula-mula masase payudara dan keluarkan sedikit ASI untuk membasahi puting susu, tujuannya adalah menjaga kelembapan puting, kemudian oleskan puting susu ibu kebibir bayi untuk merangsang reflek isap bayi (Rooting Reflex). d) Topang payudara dengan tangan kiri atau tangan kanan dengan empat jari menahan bagian areola mammae sampai bayi membuka mulutnya. e) Setelah bayi siap menyusui, masukkan puting susu sampai daerah areola mammae masuk kemulut bayi. Pastikan bayi mengisap dengan benar dan biarkan bayi bersandar pada ibu. Jaga agar posisi kepala agar tidak menggantung, karena akan menyebabkan bayi sulit untuk menyusui dengan benar. Saat menghisap akan sering terlepas karena tidak ada tahanan pada kepala. f) pertahankan posisi bayi yang tepat dan nyaman sehingga memungkinkan bayi dapat menghisap dengan benar. Asi keluar dengan lancar dan puting susu ibu tidak lecet. g) Susui bayi selama dia mau dan berikan ASI secara bergantian pada kedua payudara sehingga mempertahankan ASI tetap diproduksi seimbang pada kedua payudara. h) Setelah bayi selesai menyusui, sebaiknya puting susu dan sekitarnya dibasahi oleh ASI dan biarkan kering sendiri untuk menjaga kelembapan. i) Setelah menyusui, bila bayi tidak tidur, sendawakan dengan meletakkan bayi telungkup kemudian punggungnya di tepuk-tepuk secara perlahan atau bayi ditidurkan telungkup dipangkuan dan tepuk punggung bayi (Chumbley, 2001).
81
HOSPITAL MAJAPAHIT g.
3.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Mengamati cara menyusui yang benar. Teknik menyusui yang tidak benar dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet. ASI tidak keluar optimal sehingga memnpengaruhi produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan menyusu. Untuk mengetahui bayi telah menyusu dengan teknik yang benar, dapat dilihat : 1) bayi tampak tenang. 2) badan bayi menempel pada perut ibu. 3) mulut bayi terbuka lebar. 4) dagu menempel pada payudara ibu. 5) sebagian besar areola mammae masuk kedalam mulut bayi. 6) bayi tampak menghisap kuat dengan irama perlahan. 7) puting susu ibu tidak terasa nyeri. 8) telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus. 9) kepala tidak menengadah.
Konsep Perilaku. Perilaku dari pandamgan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari pada manusia itu sendiri. Skiner 1998 seorang ahli perilaku mengungkapkan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respon menyebabkan adanya dua respon yakni : a. Responden respon atau reflekxive respon, ialah respon ditimbulkan oleh rangsanganrangsangan tertentu. b. Operant respon atau instrumental respon adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Prosedur Pembentukan Perilaku dan operant conditioning ini menurut skiner adalah sebagai berikut : a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau b. reinforcer berupa hadiah-hadiah bagi prilaku yang akan dibentuk. c. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. d. Dengan menggunakan secara urut komponen-komkponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. e. Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Selanjutnya Lewrence Green menjelaskan bahwa perilaku dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : faktor-faktor predisposisi (predispocing Factors); pengetahuan, pendidikan, sikap, kepercayaan, tradisi. Faktor-faktor yang mendukung (enabling factors); kesediaan sumber/fasilitas dan faktor-faktor yang memperkuat dan yang mendorong (reinforcing factors); sikap dan perilaku petugas oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada tiga faktor pokok tersebut. Skema dari Blum dan Green tersebut dapat dimodifikasi sebagai berikut : (teori Leurence Green. Notoadmodjo, 1997)
82
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010 Keturunan Status Kesehatan
Pelayanan Kesehatan
Lingkungan
Perilaku
Predispocing factors (pengetahuan, Pendidikan, Sikap, Kepercayaan, tradisi)
Enabling factors Kesehatan Sumbersumber fasilitas
Reinforcing factors Sikap dan perilaku petugas
Pendidikan Kesehatan Gambar 1. Hubungan Status Kesehatan, perilaku, dan pendidikan kesehatan. 4.
Kerangka Konseptual. Perilaku
Predisposisi factors Pengetahuan, sikap Pendidikan : Rendah : SD, SMP, Tinggi : Tamat SLTA, Akademik, PT Kepercayaan, tradisi budaya
Enabling Factors (Ketersedian sumbersumber /fasilitas)
Indikator : 1. Bayi tampak tenang 2. Badan bayi menempel pada perut ibu 3. Mulut bayi terbuka lebar 4. Dagu menempel pada payudara ibu 5. Sebagian aerola mamae masuk pada mulut bayi 6. Bayi tampak menghisap kuat dengan irama perlahan 7. Puting susu ibu tidak nyeri 8. Telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus 9. Kepala tidak menengadah
Cara Menyusui yang benar
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 1.
Reinforcing Factors (Sikap dan perilaku petugas)
Kerangka konseptual Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Cara Menyusui Yang Benar Di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto.
83
HOSPITAL MAJAPAHIT C. 1.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan analitik adalah penelitian untuk mencoba untuk menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi (Notoatmodjo, 2002). Sedangkan desain yang digunakan yaitu studi korelasional yang bertujuan mengungkapkan hubungan korelasi antara variabel. Hubungan korelasi mengacu pada kecenderungan bahwa variasi suatu variabel diikuti oleh variabel yang lain. KERANGKA KERJA Populasi Ibu post partum di BPS Bu Yuni dalam jangka waktu masa penelitian tangal 1 september – 8 september 2006 Sampel Teknik Sampling : Accidental sampling
Lokasi Waktu Penelitian BPS Bu Yuni Desa Lengkong Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto Teknik Instrumen dan pengumpulan data Data Primer : Observasi ibu yang sedang menyusui bayinya
Teknik analisa data Uji Chi-Square
Hasil penelitian Hubungan tingkat pendidikan ibu dengan cara menyusui yang benar Gambar 1. Kerangka Kerja Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Cara Menyusui Yang Benar Di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto B.
Hipotesis. H1 : Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan cara menyusui yang benar.
C.
Populasi, Sampel, Variabel, Instrumen Penelitian, dan Definisi Operaisonal. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang post partum normal yang dirawat di BPS ibu Yuni Jl. Lengkong kecamatan Lespadangan mulai tanggal 1–8 september 2006 dengan jumlah responden sebanyak 33 orang. Penelitian ini menggunakan teknik Acccidental Sampling yakni teknik yang dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan, sedangkan variabel dependennya adalah cara menyusui yang benar.
84
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Sedangkan untuk teknik pengumpulan data, menggunakan data primer yang diperoleh dari observasi pada ibu yang sedang menyusui bayinya, dengan instrumen pada penelitian ini adalah checlist. Tabel 1. Definisi Operasional Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Cara Menyusui Yang Benar Di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto Definisi No. Variabel Kriteria Skala Operasional 1. Variabel Pendidikan terakhir 1. Pendidikan rendah Ordinal independen : yang ditempouh (tidak tamat SD,SLTP) tingkat oleh ibu nifas. (kode 1) pendidikan ibu. 2. Pendidikan menengah (tamat SLTA) (kode 2) 3. Pendidikan tinggi (tamat Akademi, perguruan tinggi) (kode 3) Variabel Perilaku ibu dalam 1. Cara yang benar Nominal dependen : menyusui bayinya bila skor > 50% (kode 1) cara menyusui dengan benar yaitu 2. Cara yang tidak benar yang benar. mulut bayi terbuka bila score <50% (kode 2) lebar, bahu menempel pada payudara ibu, sebagian aerola mammae masuk kemulut bayi, bayi tampak menghisap kuat dari irama perlahan. Sumber : (Arikunto, 2002). D. Teknik Analisis Data. Data yang terkumpul yang didapatkan dari hasil observasi pada responden segera di editing, di beri kode, di tabulasi kemudian di analisa secara kuantitatif, di lanjutkan uji chi square untuk mengetahu apakah ada pengaruh ada tidaknya pengaruh antara variabel dependen terhadap variabel independen dengan variabel dependen Ho ditolak bila uji statistik > 0,05 berarti Ho variabel yang diukur. Rumus Uji Chi –Square : X2= ∑ (fo - fe)2 fe Keterangan :
X2 fo fe
= chi square = frekuensi yang diobservasi = frekuensi yang diharapkan
Untuk menilai pendidikan tinggi dan pendidikan rendah maka bisa menggunakan skala likert. Dimana dalam menentukan nilai skor pendidiakn responden menggunakan rumus standar deviasi yaitu : SD = √
( X-X )2 n-1
85
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Keterangan :
SD = Standar Deviasi n = Jumlah responden X = Nilai skor responden X = Nilai rata-rata skor Pendidikan tinggi jika nilai skor responden memenuhi syarat > X – SD dan nilai pendidikan rendah jika nilai skor hasilnya < x - SD Pada variabel pendidikan untuk masing-masing pertanyan diberi kode sebagai berikut : Pendidikan rendah (Tidak tamat, SD, SLTP) : kode 1 Pendidikan tinggi (Tamat SLTA, Akademi, Perguruan Tinggi) : kode 2 Ini dilakukan secara observasi masing-masing di beri nilai, skor dan kode sebagai berikut : Cara menyusui yang benar nilai 2 Cara menyusui yang kurang benar nilai 1 Cara menyusui yang benar skor = > 13, kode 1 Cara menyusui yang salah skor = < 13, kode 2 (Eko Budiarto, 2002:162) D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur. Tabel 2. Karakteristik Umur Responden di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto. No. Karakteristik Umur Frekuensi Prosentase (%) 1 15 – 20 tahun 7 21,2 2 21 – 30 tahun 18 54,4 3 31 – 40 tahun 6 18,2 4 > 40 tahun 2 6,1 Total 33 100 Dari tabel 2 diketahui bahwa paling banyak responden berumur 21-30 tahun yaitu 18 orang (54,4%) dan paling sedikit berumur >40 tahun yaitu 2 orang (6,1%). b.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 3. Karakteristik Pekerjaan Responden di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto. No. Karakteristik Pekerjaan Frekuensi Prosentase (%) 1 Ibu Rumah Tangga 16 48,5 2 Karyawan 3 9,1 3 Wiraswasta 8 24,2 4 PNS 6 18,2 Total 33 100 Dari tabel 3 diketahui bahwa paling banyak responden sebagai ibu rumah tangga yaitu 16 orang (48,5%) dan paling sedikit bekerja sebagai karyawan yaitu 3 orang (9,1%).
c.
Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas. Tabel 4. Karakteristik Paritas Responden di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto. No. Karakteristik Paritas Frekuensi Prosentase (%) 1 Pertama 16 48,5 2 Kedua 12 36,4 3 > dua 5 15,1 Total 33 100
86
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Dari tabel 4 diketahui bahwa paling banyak responden paritas pertama yaitu 16 orang (48,5%) dan paling sedikit paritas lebih dari dua yaitu 5 orang (15,1%). 2.
E. 1.
Data Khusus. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu. Tabel 5. Karakteristik pendidikan Responden di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto. No. Karakteristik Frekuensi Prosentase (%) Pendidikan Ibu 1 Rendah (SD,SLTP) 15 45,5 2 Tinggi (SLTA, Akademi, PT) 18 54,5 Total 33 100 Dari tabel 5 diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan tinggi yaitu 18 orang (54,5%) sedangkan responden yang berpendidikan rendah yaitu 15 orang (45,5%). b.
Karakteristik Responden Berdasarkan Cara menyusui. Tabel 6. Karakteristik Cara menyusui Responden di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto. No. Karakteristik Cara Frekuensi Prosentase (%) Menyusui 1 Benar 19 57,6 2 Kurang benar 14 42,4 Total 33 100 Dari tabel 6 diketahui bahwa mayoritas responden cara menyusuinya benar yaitu 19 orang (57,6%) sedangkan responden yang cara menyusuinya kurang benar yaitu 14 orang (42,4%).
c.
Tabulasi Silang Antara Pendidikan Ibu dengan Cara menyusui. Tabel 7. Tabulasi Silang Antara Pendidikan Ibu dengan Cara menyusui Responden di BPS Bu Yuni Kecamatan Lespadangan Kabupaten Mojokerto. Cara menyusui TOTAL No. Pendidikan Ibu Benar Kurang Benar F (%) F (%) F (%) 1 Rendah (SD,SLTP) 14 42,4 4 12,2 18 45,5 Tinggi 5 15,2 10 30,2 15 54,5 2 (SLTA, Akademi, PT) Jumlah 19 57,6 14 42,4 33 100 Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa dari 18 responden yang berpendidikan tinggi dan cara menyusui yang benar sebanyak 14 orang (42,4%) sedangkan cara menyusui yang kurang benar sebanyak 4 orang (12,2%). Dari 15 responden yang berpendidikan rendah sebanyak 5 orang (15,2%) sedangkan cara menyusui yang kurang benar sebanyak 10 orang (30,2%). Setelah dilakukan uji X2 (uji chi square) dari data diatas, diadaptkan X2 hitung 6,50 dan X2 tabel 3,84. sehingga X2 hitung > X2 tabel, maka Ho di tolak (H1 diterima) yang artinya ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan cara menyusui yang benar.
PEMBAHASAN. Pendidikan Ibu. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 5 diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan tinggi yaitu 18 orang (54,5%) sedangkan responden yang
87
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
berpendidikan rendah yaitu 15 orang (45,5%), dari data tersebut dapat diketahui bahwa di BPS tersebut sebagian besar pendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduknya rata–rata Tamatan SLTA dan sebagian besar pendatang dan waktu penelitian banyak ibu-ibu muda yang baru tamat SLTA. Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dana pelatihan proses, pembuatan, cara mendidik (kamus besar Bahasa Indonesia 1998). Ilmu pengetahuan merupakan suatu wahana untuk mendasari seseorang berfikir, tingkatannya tergantung dari ilmu pengetahuan atau dasar pendidikan orang tersebut diamana dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: usia, sosial ekonomi, sosial budaya (Notoadmodjo, 2003). Menurut Notoadmodjo (1997) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah menerima informasi sehingga makin pula pengetahuan yang dimiliki sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perilaku seseorang terhadap nilai-nilai yang baru di dengar. 2.
Cara Menyusui. Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa mayoritas responden cara menyusuinya benar yaitu 19 orang (57,6%) sedangkan responden yang cara menyusuinya kurang benar yaitu 14 orang (42,4%). Dari data diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu cara menyusui sudah benar. Hal ini disebabkan karena pengetahuan ibu yang luas. Karena ibu banyak membaca dan mengikuti penyuluhan, pendidikan ibu yang tinggi sehingga ibu lebih mudah menerima sesuatu yang bersifat positif dan juga ditunjang oleh pengalaman yang dimiliki ibu dalam menyusui sebelumnya. Menurut Dr. Rulina Suradi (1997) keberhasilan dalam menyusui harus dipersiapkan sejak masa kehamilan. Sikap ibu terhadap pemberian ASI dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya pengetahuan, pendidikan, sikap atau budaya. Pengalaman menyusui pada kelahiran anak sebelumnya,kebiasa nmenyusui dalam atau dikalangan kerabat pengetahuan ibu dan keluarga tenteng manfaat ASI, juga sikap ibu terhadap kehamilan berpengaruh atau penyebaran informasi melalui siaran radio, televisi, vidio, artikel, di majalah, tabloid, surat kabar dapat meningkatkan pengetahuan ibu.
3.
Tabulasi Silang Antara Pendidikan Ibu dengan Cara menyusui. Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa dari 18 responden yang berpendidikan tinggi dan cara menyusui yang benar sebanyak 14 orang (42,4%) sedangkan cara menyusui yang kurang benar sebanyak 4 orang (12,2%). Dari 15 responden yang berpendidikan rendah sebanyak 5 orang (15,2%) sedangkan cara menyusui yang kurang benar sebanyak 10 orang (30,2%). Setelah dilakukan uji X2 (uji chi square) dari data diatas, diadaptkan X2 hitung 6,50 dan X2 tabel 3,84. sehingga X2 hitung > X2 tabel, maka Ho di tolak (H1 diterima) yang artinya ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan cara menyusui yang benar. Uji statistik korelasi chi square (X2) Hubungan tingkat pendidikan ibu dengan cara menyusui yang benar Rumus tabel kontingen silang A B Total O1.1 O2.1 I ∑ E 1.1 E 2.1 O1.2 O2.2 II ∑ E 1.2 E 2.2 Total
∑
∑
N
88
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Hasil pengamatan Pendidikan Ibu Tinggi Rendah
Cara menyusui Benar kurang benar 14 4 10,4 8,1 5 10 8,6 6,4 a+c b+d 19 14
Total Keterangan : X2 tabel (df = 1, = 0,05 = 3,85 ) a = 14, b = 4, c = 5, d = 10, N = 33
Total a+b
18
c+d
15 33
fE1.1 = (a+b) x (a+c) = 18x19 = 10,4 N 33 fE1.2 = (a+b) x (b+d) = 19x14 = 8,1 N 33 fE2..1 = (a+c) x (c+d) = 19x15 = 8,6 N 33 fE2.2 = (b+d) x (c+d) = 14x15 = 6,4 N 33 X2 hitung = (fo – fE 1.1)2 + (fo – fE 2.1)2 + (fo – fE 1.1)2 + (fo – fE 2.2)2 fE 1.1 fE 2.1 fE 1.1 fE 2.2 = (14 – 10,4)2 + (4 – 7,6)2 + (5-8,6)2 + (10 – 6,4)2 10, 4 7,6 8,6 6,4 = 1,25 + 1,71 + 1,51 + 2,03 = 6,50 Jadi X2 hitung ( 6,50) > X2 tabel (3,84) berarti Ho ditolak dan H1 diterima artinya ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan cara menyusui yang benar. Dari penelitian diatas yang dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu, dapat mempengaruhi cara menyusui ibu pada bayinya. Ibu yang berpendidikan tinggi cenderung mengerti bagaimana cara menyusui bayinya dengan benar. Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu tentang kesehatan khususnya cara menyusui yang benar sudah pernah dilihat di TV, CD dan majalah-majalah tentang cara menyusui yang sekarang sudah banyak beredar. Pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Pengetahuan itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, simbul, prosedur teknik dan teori (Notoatmodjo, 2002). Pengalaman dan pendidikan yang diperoleh wanita sejak kecil, mempengaruhi sikap dan keterampilannya dalam kaitannya menyusui dikemudian hari, dimana pendidikan ibu merupakan persiapan yang baik dibandingkan latihan fisik yang lainnya (WHO, 1996). Dengan demikian responden yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung lebih memahami dan mengerti tentang cara menyusui yang benar. Sedangkan responden yang berpendidikan rendah cenderung kurang mengerti tentang cara menyusui yang benar. Dari kenyataannya diatas bahwa pendidikan secara langsung akan mempengaruhi seseorang dalam perilaku cara menyusui yang benar. Disini jelas bahwa faktor yang
89
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
mempengaruhi cara menyusui bayinya supaya benar bukan pendidikan saja, akan tetapi masih banyak faktor lain dan itu memerlukan penelitian lebih lanjut. F.
PENUTUP. Hasil penelitian Ibu yang berpendidikan tinggi cenderung mengerti bagaimana cara menyusui bayinya dengan benar. Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu tentang kesehatan khususnya cara mernyusui yang benar sudah pernah dilihat di TV, CD dan majalah-majalah tentang cara menyusui yang sekarang sudah banyak beredar. Responden yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung lebih memahami dan mengerti tentang cara menyusui yang benar. Sedangkan responden yang berpendidikan rendah cenderung kurang mengerti tentang cara menyusui yang benar. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan promosi kesehatan kepada masyarakat khususnya cara menyusui yang benar di berbagai tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, Puskesmas, BPS. Petugas kesehatan sebaiknya selalu memberikan informasi atau langsung mendemonstrasikan tentang cara menyusui yang benar pada ibu post partum sehingga ibu mengerti dan tahu bagaimana cara menyusui yang benar, serta tidak ada alasan bagi ibu jika ASI nya tidak lancar.
DAFTAR PUSTAKA. Arikunto S. (2002). Prosedur Suatu Pendekatan Penelitian Praktek Edisi Refisi V. Jakarta: EGC. Chumbley Jane, (2003). Menyusui ; Seri Panduan Praktis Keluarga. Jakarta: Erlangga. DepKes. RI. (2000). Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI. (2001). Cara Meneteki Yang Benar. Jakarta: Depkes RI. Mucthadi, Deddy. (1996). Gizi Untuk Bayi Edisi Revisi. Jakarta: Pustaka Bina Harapan. Nursalam dan Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Info Medika. Notoatmodjo,S. (2002). Ilmu Kesehatan Mayarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Nototmodjo,S. (2002) . Metode Penelitin Kesehatan. Jakarta: Rineka cipta. Rusli, Utami, (2000). Asi Eksklusif. Jakarta: EGC. Soetjiningsih. (2001). ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC. Srikandi. (1997). Pengantar Statistik. Surabaya: CitraMedia. Tilar.N.A.R. (1999). Menejemen Pendidian Nasional. Bandung: Remaja Rosda Karya. Verrals.S. (1997). Anatomi Dan Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan. Jakarta: EGC. WHO UNICEF. (1996). Melindungi Meningktkan Dan Mendukung Menyusui. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
90
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
PERAN ORANG TUA MENGHADAPI SCHOOL PHOBIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH (4-6 TAHUN) DI TK. NURUL HUDA JABON MOJOKERTO Ika Suhartanti ABSTRACT Every the first education year, it has problem of school phobia that gets on pra student. This case is emerged, because of inability for children are far from their parents. This research is done to know the roles of parents facing school phobila in pre age school in TK NURUL HUDA Jabon Mojokerto, their roles are as decision maker, social developer, giving safety, role mode, team member with teachers. The method of this research is used descriptive by simple random sampling technique. The amount of sampling is 37 respondents and the collecting data is by closed quistionnaire.the result from quistionnarie data is got tabulation and given score then intrepreted in table. This research is found that some respondents whose negative roler (59,45%) and positive roler (40,54%) are their background education of elementary and their job in ungovernmental. This research can be concluded that the role of parents in facing school phobia are negative or missunderstanding about the problem of scholl phobia that get in pre student of school.however, they need information spared about the solving ways of school phobia to children with giving time intensively in facing some problems about children inside. Key words: the role of parents, school phobia, pre age school. A.
PENDAHULUAN. Periode pra sekolah biasanya didefinisikan usia 4 – 6 tahun. Berbagai perasaan yang sering timbul pada anak pra-sekolah yaitu : cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dihadapi sebelumnya (Supartini, 2004). Taman Kanak-Kanak (TK) adalah jembatan antara rumah dan sekolah. TK merupakan transisi dalam proses pendidikan anak. Di TK anak dibimbing untuk melepaskan dirinya dari kebiasaan di rumah, banyak aturan yang harus ditaati, tidak seperti kebiasaan di rumah. Anak yang pertama kali masuk TK awalnya takut beradaptasi dan bersosialisasi dengan guru dan temantemannya. Jika sejak kecil anak selalu takut dan tidak ada dorongan dari orang tua untuk mengatasi takut tersebut, ketakutan bisa berkembang menjadi fobia atau takut berlebihan. Kalau tidak bisa diatasi akan mempengaruhi dan menghambat jiwanya. Penolakan terhadap sekolah dan penghindaran mengakibatkan keadaan sulit dalam keluarga, menurunnya nilai akademik/kurangnya pengetahuan (Hurlock E. 2000). School phobia merupakan kecemasan umum akibat rasa takut berpisah dengan orang tua, School phobia atau ketakutan terhadap sekolah sangat mempengaruhi 5% dari anak SD dan 2% dari anak SMA, (Hurlock E. 2000). School phobia adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat, atau hari minggu/libur. School phobia dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru ataupun ketika ia menghadapi suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya (Jacinta, 2007). Pada dasarnya seorang anak kecil tidak mampu mentolerir terpisah dengan orang tua, bila orang tua itu sendiri tidak dapat mentolerir perpisahannya dengan anak sehingga sering dilihat hanya orang tua yang ikut sekolah dengan anaknya. Jika ini berlanjut, akan menyisakan rasa takut sampai dewasa. Orang tua sebagai pemberi perawatan langsung pada anak, memegang peranan penting dalam upaya mengembalikan anak pada sekolah karena orang tuanyalah yang memberikan efek secara langsung maupun tidak langsung
91
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
dalam mengurangi/memperberat kecemasan si anak. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mengatasi School Phobia sangat berpengaruh pada terbentuknya kemandirian anak. Banyak orang tua bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, bagi orang tua yang mempunyai anak masih kecil, pemogokan bikin pusing dengan alasan tersebut benar apa salah. Kalau memaksa anak untuk tetap bersekolah, takut nanti anaknya menjadi stress. Menghadapi kenyataan dan kondisi tersebut, apa yang sebaiknya dilakukan orang tua agar kendala pendidikan anak tidak merugikan perkembangan fisik dan mental anak dimasa yang akan datang. Berdasarkan studi pendahuluan melalui wawancara dengan kepala TK Nurul Huda Jabon Mojokerto hampir setiap awal tahun ajaran baru anak yang masuk sekolah masih ditunggui orang tuanya dari awal sampai pulang sekolah, selain itu juga anak sering rewel di kelas, menangis jika tidak ditunggui ibunya. Setelah melakukan wawancara dengan 10 orang tua, terdapat 6 siswa yang ditunggui orang tuanya dari awal sampai pulang sekolah. Dari jumlah tersebut sebagian besar sampai pulang sekolah dari jumlah tersebut sebagian besar anak menangis, rewel ketika akan berangkat ke sekolah dan hanya mau sekolah jika ditunggui sampai pulang sekolah. Selain itu juga anak sering rewel di kelas, menangis dan lari jika tidak melihat ibuya, bahkan ada yang mogok berhari-hari tanpa alasan yang jelas. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana peran orang tua mengahadapi School Phobia pada anak usia pra sekolah (4-6 tahun) di TK Nurul Huda Jabon Mojokerto. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Peran. a. Pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran adalah perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkebudayaan di masyarakat. Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal (Supartini, 2004). b. Macam-Macam Peran. 1) Peran ayah. Sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anak, berperan mencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman sebagai kepala keluarga. Sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2) Peran Ibu. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, mempunyai peranan penting mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai kelompok sosial, anggota masyarakat dari lingkungannya juga sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga (Efendy, 1998). 3) Peranan teman pada masa kanak-kanak. Kawan adalah orang yang memuaskan kebutuhan anak akan teman melalui keberadaannya di lingkungan si anak. Anak dapat mengamati dan mendengarkan mereka tetapi tidak memiliki interaksi langsung dengan mereka. Mereka bisa terdiri atas berbagai usia dan jenis kelamin. Teman bermain adalah orang yang melakukan aktivitas yang menyenangkan dengan si anak, mereka bisa terdiri atas berbagai usia dan jenis kelamin yang sama, serta mempunyai minat yang sama. Sahabat adalah orang yang dengannya anak tidak hanya dapat bermain, tetapi juga berkomunikasi melalui pertukaran ide dan rasa percaya, permintaan
92
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
2.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
nasehat, dan kritik anak yang mempunyai usia, jenis kelamin dan taraf perkembangan sama lebih dipilih sebagai sahabat. 4) Peran guru. a) Guru sebagai pendidik. Para guru mempunyai hubungan baik dengan murid, dengan menggunakan disiplin yang demokatis mendorong sikap yang lebih positif pada murid dibanding mereka yang memgajar secara membosankan dan terlalu otoriter dalam mengendalikan situasi di kelas. b) Guru sebagai tim kerjasama dengan orang tua. Pada umumnya guru sudah bisa menangani masalah School phobia, tetapi lebih baiknya guru bekerjsama dengan orang tua dalam menyelesaikan masalah pada anak-anaknya, mengadakan pertemuan dengan orang tua untuk membicarakan perkembangan dan masalah yang terjadi (Jasinta, 2007). 5) Peran sekolah. a) Sekolah sebagai tempat bermain dan belajar. TK merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah, untuk itu TK perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan. TK merupakan tempat bermain dan belajar, bahkan membuat keputusan yang terlalu berat dan mengikat anak (Patmodewo, 2003). b) Sekolah sebagai penyedia sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan bagi pendidikan. Sarana dan prasarana sangat besar pengaruhnya bagi suasana belajar yang kondusif, bila membuat anak betah kerasan di sekolah. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran orang tua : 1) Pendidikan. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pengetahuan yang dimiliki. Seperti yang kita kenal pendidikan merupakan domain penting terbentuknya tindakan (Notoatmodjo, 2002). 2) Usia Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dalam mengambil suatu keputusan (Nursalam. 2001). 3) Pekerjaan Orang tua yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) cenderung lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengurusi anak.
Konsep School Phobia. a. Definisi School Phobia/takut sekolah. “School phobia atau phobia sekolah” adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disetai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul ataupun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat atau hari Minggu/libur. Phobia sekolah dapat dialami setiap anak hingga usia anak 14–15 tahun saat dirinya ataupun ketika ia menghadapi suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya (Jacinta, 2007). b. Tingkatan School phobia. 1) Initial School refusal behavior. Adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan. 2) Subtantial School refusal behavior. Adalah sikap penolakan yang berlangsung selama 2 Minggu.
93
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
d.
e.
f.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
3) Accute School refusal behavior. Adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu. Faktor penyebab School phobia. 1) Faktor keturunan, lingkungan dan budaya. Perubahan–perubahan yang terjadi di berbagai bidang seperti tidak seiring dengan laju perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti dinamika dan mobilisasi sosial yang sangat cepat naiknya antara lain pengaruh pembangunan dalam segala bidang dan pengaruh modernisasi, globalisasi, serta kemajuan dalam era informasi (Jacinta, 2007). 2) Separation anxiety. Pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18–24 bulan) dialami anakanak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orang tua dan bisa muncul juga kalau anak selesai masa liburan panjang ataupun mengalami sakit serius sehingga tidak masuk sekolah dalam jangka waktu yang sangat panjang. 3) Pengalaman negatif di sekolah dan lingkungan. Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapt cemoohan, ejekan ataupun diganggu teman-temannya di sekolah, atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolahnya. 4) Problem dalam keluarga. Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orang tua ataupun keluarga secara keseluruhan. Misalnya anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa dan mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar anak. Tanda dan gejala School phobia. 1) Menolak untuk berangkat kesekolah 2) Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang. 3) Pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama atau papa, pengasuhnya atau menunjukkan “Tantrum” nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anaknya (memukul, menggigit, dan sebagainya) ataupun menunjukkan sikap-sikap melawan atau menentang gurunya. 4) Menunjukkan depresi/raut wajah sedemikan rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang dan ini berlangsung selama periode tertentu. 5) Tidak masuk sekolah selama beberapa hari. 6) Keluhan fisik yang dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah, diare, gatal-gatal, gemetar, keringatan atau keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah. 7) Mengemukakan keluhan lainnya (diluar tingkah fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah. Waktu berlangsungnya School phobia. Amat tergantung pada penanganan yang dilakukan orang tua, makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah (tidak mendapatkan penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai dan makin sering/intens keluhan yang dilontarkan anak, namun makin cepat ditangani problem, biasanya akan berangsur-angsur puluh dalam waktu sekitar 1 – 2 minggu. Dampak School phobia. 1) Mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan jiwa. 2) Mengganggu proses bermain dan belajar.
94
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
3) Merosotnya nilai akademik, kurangnya pergaulan. 4) Perselisihan dalam keluarga (Hilmansyah, H, 2000). 3.
Konsep Anak Pra Sekolah. a. Definisi anak pra sekolah adalah usia 4–6 tahun. Pada masa ini, inisiatif anak mulai berkembang dan ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai hal-hal sekitarnya. b. Perkembangan psikososial anak pra sekolah merupakan perkembangananak yang ditinjau dari aspek psikososial, perkembangan ini ditemukan oleh Eriksan bahwa anak dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan untuk mencapai kemantapan kepribadian anak. Terjadi beberapa tahapan perkembangan psikososial anak pada umur 4–6 tahun (usia pra sekolah) (Hidayat. A, 2005).
4.
Konsep Peran Orang Tua Dalam Mengatasi School Phobia. a. Orang tua sebagai peran model/role model. Anak-anak mulai meniru orang lain pda tahap kedua. Dia akan meniru tindakan yang dilakukan orang lain, disini pran orang tua hanya sebagai pengamat, untuk tindakan berat/salah. Dalam lingkungan kita banyak terdapat perbedaan perilaku, pengamatan orang tua tidak cukup, mereka perlu strategi dalam penggunaan model misalnya sikap setuju atau tidak setuju, beri gambaran positif tentang sekolah, misalnya memberi penjelasa bahwa guru adalah sosok yang ramah, pintar, baik hati dan sekolah adalah menyenangkan. b. Tetap menekankan pentingnya bersekolah. Terapi terbaik untuk anak yang mengalami phobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari, karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah phobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan berkurang hari demi hari, makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya ke sekolah. Dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat, selain itu dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya. Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orang tua untuk menguji ketegasan dan konsistensi orang tua. Jika ternyata pada suatu hari orang tua akhirnya “luluh” maka keesokan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sembil menerangan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah. c. Orang tua sebagai pembuat keputusan. Berusaha untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau rayuan anak yang tidak mau sekolah. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar, jika ketika bangun pagi anaksegarr bugar dan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok, maka sebaiknya orang tua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarkannya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orang tua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orang tua harus tegas dan bekerjasama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orang tua hendaknya sabar, ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan
95
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
f.
g.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
dan ketakutannya berkurang/hilang dan sesudah itu bawalah kembali anak ke kelasnya, situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orang tua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Konsultasikan masalah kesehaan anak pada dokter. Jika orang tua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang anak atau setidaknya problem kesehatan anak, orang tua tentu lebih peka terhadap keadaan keadaan anaknya setiap hari, perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orang tua, jadi ketika anak mengeluh sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dan sebagainya) orang tua dapat membawanya ke dokter yang bukan praktek di pagi hari agar setelah itu anak dapat kembali kesekolah, selain itu dokterpun dapat membantu orang tua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, ataukah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama. Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah. Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orang tuanya atau bahkan minta pulang, orang tua bisa minta bantuan guru ataupun asisten lain di sekolah untuk menangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ektra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi yang membuatnya cemas, gelisah dan takut, selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dan sebagainya). Adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari. Orang tua sebagai pemberi rasa aman. Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi kesekolah, hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak, cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orang tua hingga masalah tidak bisa terbuka dan tuntas, orang tua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orang tua perlu interospeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga. Orang tua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya, lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak akan makin tergantung pada orang tua, makin tidak percaya diri, makin penakut dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Lepaskan anak secara bertahap. Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena harus berada dilingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagai mana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis, sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus ini orang tua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, pada beberapa sekolah orang tua/pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1–2 minggu atau sampai batas waktu yang ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orang tua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit demi sedikit keluar kelas, namun masih dalam jangkauan penghlihatan anak. Jika anak sudah merasa nyaman, dengan
96
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
lingkungan baru dan tampak “Happy” dengan teman-temannya, maka sudah waktunya bagi orang tua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orang tua untuk tidak lagi bersikap overprotective demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandiriannya.
C. 1.
METODE PENELITIAN. Desain Penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif. Metode deskriptif itu sendiri adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif untuk mengetahui peran orang tua dalam menghadapi School Phobia usia 4 – 6 tahun pada anak pra sekolah.
2.
Populasi, Sampel, Variabel, Instrumen Penelitian, dan Definisi Operaisonal. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua yang memiliki anak pra sekolah (4-6 tahun) di TK Nurul Huda Jabon Mojokerto yaitu sebanyak 76 responden dilaksanakan pada tanggal 16 – 17 Juli 2008. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang kehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pengambilan sampelnya dengan menggunakan rumus : n = = = = =
N.22.p.q d(N-1)+2.p.q 76(1,96)2.0,5.0,5 (0,05)(76-1)+(1,96)2.0,5.0,5 76(3,8416).1 (0,05)(75)+(3,8416).1 291,96 (3,75)+(3,8416) 279,96 = 36,8 = 37 7,59
Variabel dalam penelitian ini adalah peran orang tua dalam menghadapi School Phobia usia 4–6 tahun pada anak pra sekolah. Instrumen pada penelitian ini menggunakan kuesioner, yang terdiri dari 14 pertanyaan, kuesioner ini bersifat tertutup, artinya semua jawaban sudah tersedia, responden tinggal memilih jawaban yang ada. Teknik pengumpulan data diperoleh dari data primer yaitu dari responden. Teknik pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner kepada orang tua yang memiliki anak pra sekolah di TK Nurul Huda Jabon Mojokerto. Tabel 1. Definisi Operasional Peran Orang Tuamenghadapi School Phobia Pada Anak Usia Pra Sekolah (4-6 Tahun) Di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Definisi Variabel Parameter Alat Ukur Kriteria Skala Operasional
97
HOSPITAL MAJAPAHIT Peran orang tua dalam menghadapi School Phobia usia 4 – 6 tahun pada anak pra sekolah.
3.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Perilaku orang 1. Orang tua Quesioner 1. Peran tua yang mampu sebagai positif diharapkan pengambil jika skor oleh anak pra keputusan. T > 50% sekolah dalam 2. Orang tua menghadapi mampu sebagai 2. Peran ketakutan pengembang negatif bersekolah. sosial. jika skor 3. Orang tua T < 50% mampu sebagai role model. 4. Orang tua mampu sebagai pemberi rasa aman. 5. Orang tua mampu bekerja sama dengan guru.
Nominal
Teknik Analisis Data. a. Editing. Melakukan pengecekan terhadap kemungkinan kesalahan pengisian daftar pertanyaan dan ketidak serasian informasi, memeriksa kembali semua data yang telah terkumpul melalui pembagian angket dengan tujuan mengadakan pengecekan kembali apakah hasilnya sudah sesuai dengan rencana. b. Coding. Cara menyederhanakan jawaban yang dilakukan dalam bentuk simbol-simbol (kode) tertentu untuk setiap jawaban yaitu jawaban responden diberi skor dengan menggunakan skala Likert dan pengolahannya dengan menggunakan scoring sebagai berikut : 1) Pernyataan positif : Sangat setuju (SS) diberi nilai 5, Setuju (S) diberi nilai 4, Tidak tahu (TT) diberi nilai 3, Tidak setuju (TS) diberi nilai 2, Sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 1. 2) Pernyataan negatif mempunyai skor sebaliknya, Sangat setuju (SS) diberi nilai 1, Setuju (S) diberi nilai 2, Tidak tahu (TT) diberi nilai 3, Tidak setuju (TS) diberi nilai 4, Sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 5.
c.
Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisis data. Tabulating. Pengelompokan jawaban-jawaban yang serupa dan menjumlahkannya dengan cara teliti dan teratur. Kemudian data disusun sedemikian rupa dengan membuat tabel dan disesuaikan kriteria masing-masing. Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif dengan prosentase. Analisis data dengan menggunakan rumus : T = 50 + 10 x – x sd
98
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Keterangan : x : skor responden yang hendak dirubah menjadi skot T. x : skor rata-rata responden dalam kelompok. sd : standar deviasi skor kelompok. hasil penelitian data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi, peran responden dikatakan positif atau favorable jika skor T > 50% dan dikatakan cenderung negatif bila skor T < 50%. (Azwar, 2002). D. HASIL PENELITIAN. 1. Data Umum. a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Orang Tua. Tabel 2. Karakteristik Umur Orang Tua di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Tahun 2008. No. Karakteristik Frekuensi Prosentase (%) Umur Orang Tua 1 25 – 30 tahun 8 21,62 2 31 – 40 tahun 21 56,75 3 41 – 50 tahun 8 21,62 Total 37 100 Dari tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar umur orang tua 31-40 tahun yaitu 21 orang (56,75%) dan sebagian kecil responden berumur 25-30 tahun dan 41-50 tahun yaitu 8 orang (21,62%) (Nursalam, 2003). b.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua. Tabel 3. Karakteristik Pendidikan Orang Tua di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Tahun 2008. No. Karakteristik Frekuensi Prosentase (%) Pendidikan Orang Tua 1 SD 16 43,24 2 SMP 4 10,81 3 SMA 16 43,24 4 PT 1 2,70 Total 37 100 Dari tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar pendidikan orang tua SD dan SMA yaitu 16 orang (43,24%) dan sebagian kecil pendidikan orang tua responden PT yaitu 1 orang (2,70%) (Nursalam, 2003).
c.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua. Tabel 4. Karakteristik Pekerjaan Orang Tua di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Tahun 2008. No. Karakteristik Frekuensi Prosentase (%) Pekerjaan Orang Tua 1 Wiraswasta 6 16,21 2 Swasta 20 54,05 3 PNS 1 2,70 4 IRT 10 27,02 Total 37 100 Dari tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar pekerjaan orang tua swasta yaitu 20 orang (54,05%) dan sebagian kecil pekerjaan orang tua responden PNS yaitu 1 orang (2,70%) (Nursalam, 2003).
99
HOSPITAL MAJAPAHIT 2.
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Data Khusus. a. Peran Orang Tua. Tabel 5. Peran Orang Tua di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Tahun 2008. No. Peran Orang Tua Frekuensi Prosentase (%) 1 Negatif 22 59,4 2 Positif 15 40,5 Total 37 100 Dari tabel 5 diketahui bahwa mayoritas peran orang tua negatif yaitu 22 orang (59,4%) dan sebagian kecil peran orang positif yaitu 15 orang (40,5%). b.
Tabulasi Silang Antara Umur Dan Peran Orang Tua. Tabel 6. Tabulasi Silang Antara Umur Dan Peran Orang Tua di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Tahun 2008. Peran Orang Tua TOTAL No. Umur Orang Tua Positif Negatif F (%) F (%) F (%) 1 25 – 30 tahun 3 37,5 5 62,5 8 21,6 2 31 – 40 tahun 11 52,4 10 47,6 21 56,8 3 41 – 50 tahun 1 12,5 7 87,5 8 21,6 Jumlah 15 40,5 22 59,5 37 100 Dari tabel 6 didapatkan bahwa orang tua yang berumur 31-40 tahun sebanyak 21 orang (56,7%) sebagian besar mempunyai peran positif yaitu sebanyak 11 orang, sedangkan dari orang tua yang berumur 25–30 tahun dan 41–50 tahun sebanyak 8 orang (21,6%) sebagian besar mempunyai peran negatif. (Nursalam, 2003).
c.
Tabulasi Silang Antara Pendidikan Dan Peran Orang Tua. Tabel 7. Tabulasi Silang Antara Pendidikan Dan Peran Orang Tua di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Tahun 2008. Peran Orang Tua TOTAL No. Pendidikan Orang Tua Positif Negatif F (%) F (%) F (%) 1 SD 5 31,3 11 68,8 16 27,0 2 SMP 1 25,0 3 75,0 4 2,7 3 SMA 9 56,3 7 43,8 16 54,1 4 PT 0 0 1 100 1 16,2 Jumlah 15 40,5 22 59,5 37 100 Dari tabel 7 didapatkan bahwa sebagian besar responden yang berpendidikan SD mempunyai peran negatif yaitu sebanyak 11 orang (68,8%) dan yang berpendidikan SMA sebagian besar mempunyai peran negatif yaitu sebanyak 7 orang (43,8%) (Nursalam, 2003).
d.
Tabulasi Silang Antara Pekerjaan Dan Peran Orang Tua. Tabel 8. Tabulasi Silang Antara Pekerjaan Dan Peran Orang Tua di TK. Nurul Huda Jabon Mojokerto Tahun 2008. Peran Orang Tua TOTAL No. Pekerjaan Orang Tua Positif Negatif F (%) F (%) F (%) 1 Wiraswasta 3 50,0 3 50,0 6 16,2 2 Swasta 7 35,0 13 65,0 20 54,1 3 PNS 0 0 1 100,0 1 2,7 4 IRT 5 50,0 5 50,0 10 27,0
100
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
Peran Orang Tua TOTAL Positif Negatif F (%) F (%) F (%) Jumlah 15 40,5 22 59,5 37 100 Dari tabel 8 didapatkan bahwa sebagian besar responden yang mempunyai jenis pekerjaan swasta mempunyai peran negatif yaitu sebanyak 13 orang (65%) (Nursalam, 2003). No.
E.
Pekerjaan Orang Tua
PEMBAHASAN. Sebagian besar peran orang tua secara umum berperan negatif (59,4%) dan sebagaian berperan positif (40,5%). Dapat disimpulkan bahwa orang tua kurang mengerti tentang penyebab School Phobia yang terjadi pada anak pra sekolah. Berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua yang mayoritas lulusan SD dan pekerja swasta orang tua kurang memperhatikan penyebab anak tidak mau sekolah dan orang tua belum mengetahui penyebab dari School Phobia. Kebanyakan orang tua mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak karena cara ini akan membuat anak makin tertutup sehingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas, orang tua sebaiknya menghindari sikap membuat malu apabila anak melakukan tingkah laku yang tidak disetujui orang tua. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijawab dari 37 responden menunjukkan bahwa 28 responden dari peran positif mengerti pentingnya sekolah, sedangkan dari peran negatif 15 responden masih kurang mampu tentang pentingnya sekolah anak yaitu dengan tetap mengharuskan anak masuk sekolah meskipun anak sudah menolak. Tetapi masih ada sebagian orang tua yang belum bisa bersikap tegas terhadap anak. Hal ini disebabkan masih bisa menerima sikap negosiasi anak misalnya dengan rayuan, rengekan, dan orang tua juga masih sering menjanjikan hadiah jika anaknya mau berangkat ke sekolah. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar orang tua kurang mampu sebagai pengambil keputusan dengan baik (tetap mengharuskan bersekolah) meskipun berdasarkan usia responden yang sudah matang, yaitu usia 31 – 40 tahun, dimana dalam usia tersebut akan mempunyai pengetahuan yang lebih banyak daripada usia sebelumnya. Peran orang tua sebagai pengembang sosial pada anak dengan peran positif ada 15 orang (40,54%), sedangkan pada peran negatif ada 14 orang (37,83%). Banyak orang tua yang membatasi pergaulan anak, ini dikarenakan usia anak yang masih memerlukan pengawasan orang tua, karena dalam usia tersebut sangat rentan terhadap sikap meniru anak terhadap perilaku orang lain. Didapatkan peran orang tua sebagai pemberi rasa aman dengan peran positif 13 orang (35,15%) sedangkan pada peran negatifnya hampir sama. Menurut Hurlock yang dikutip Nursalam (2001) orang tua yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) cenderung lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengasuh anak, ibu yang bekerja hanya menyita waktu sehingga pola pengasuhan pun berkurang untuk pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Dari sebagian orang tua telah bisa menilai tindakan yang dilakukan anaknya. Sesuai hasil penelitian secara umum sebagian besar orang tua mempu berperan sebagai role model, dari peran positif 17 orang (45,94%) sedangkan dari peran negatif 21 orang (56,75%) kurang mampu sebagai role model yang baik buat anaknya, hal ini didasari dari pendidikan orang tua yang mayoritas SD dan SMA yang mana sudah mendapatkan pengetahuan melalui pendidikan formal di jenjang sekolah maupun informal melalui pendidikan diluar sekolah, mereka mempunyai pengetahuan yang cukup baik. Menurut Hilmansyah (2002) dengan memberi gambaran positif tentang sekolah, misalnya memberi penjelasan bahwa guru adalah sosok yang ramah, pintar, baik hari dan sekolah adalah menyenangkan. Dari segi pekerjaan orang tua yang dominan swasta, mereka bisa mengawasi tindakan anak-anaknya setiap hari. Sebagian besar orang tua telah menyadari bahwa guru adalah pengganti orang tua anaknya di sekolah, sesuai hasil pengisian kuesioner yaitu banyak orang tua yang sangat
101
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
memerlukan bantuan guru untuk mengatasi masalah phobia pada anak. Keterbelakangan mental, merosotnya nilai akademik, sebagian besar orang tua mampu berperan sebagai anggota tim kersama dengan guru yang berperan positif 17 orang (45,94%) sedangkan yang berperan negatif 22 orang (59,45%). Guru yang bijaksana, bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok sekolah, mengembalikan kestabilan emosi dan membantu anak mengatasi perasaan yang dihadapi. (Jacinta. F. Rini, 2002). Latar belakang orang tua yang berpendidikan SD dan SMA mendasari para orang tua untuk selalu peduli terhadap pendidikan anak di sekolah yang nantinya akan berpengaruh positif terhadap perkembangan atau prestasi anak di sekolah bahkan kerjasama orang tua dengan guru, dibuktikan dengan partisipasi orang tua sebagai relawan dalam dewan pengurus dalam sekolah, juga ditunjang dari segi pekerjaan orang tua sebagian bekerja swasta diamana orang tua tidak sepenuhnya berpatisipasi dalam pendidikan anaknya di sekolah, termasuk bekerjasama dengan guru untuk mengatasi phobia sekolah. F.
PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Sebagian besar orang tua mempunyai peran yang negatif dalam menghadapi School Phobia yaitu sebanyak 22 orang (59,4%). Khususnya perawat hendaknya lebih memberikan perhatian terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak usia pra sekolah. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya mengembangkan penelitian ini dengan metodologi dan variabel yang lebih luas sehingga diperoleh hasil yang lebih signifikan dan menyebarkan informasi tentang caracara mengatasi School Phobia pada anak pra sekolah. Dari hasil penelitian hendaknya orang tua menggunakannya sebagai acuan untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Para guru/pengajar diharapkan lebih aktif bekerjasama dengan orang tua guna mengatasi masalah phobia sekolah. Memberikan pendidikan pada siswa lebih variasi agar anak tidak jenuh dan takut dengan keadaan di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. (2002). Sikap Manusia, Teori dan Penanganannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Effendy, N. (1998). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Hidayat A. Aziz Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika. Hilmansyah. (2000). “Fobia Sekolah Pada Anak TK”. http://www.e.psikology.com (diakses 24 April 2007). Hurlock, E. (1999). Perkembangan Anak. Surabaya: Erlangga. Hurlock, E, (2000). Perkembangan Anak Jilid 2. Surabaya: Erlangga. Jacinta. (2007). “Fobia Sekolah Pada Anak TK”.http://www.e.psikology.com/anak/101002.htm. (diakses 24 April 2007). Notoatmodjo, S. (2002). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, (2001). Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Patmonodewo, S. (2003). Pendidikan Anak Pra Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Purwodarminto. (1998). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Supartini, Y. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
102