ISSN : 1979-9128 Vol.03, No.X, Des 2011
SURYA Jurnal Media Komunikasi Ilmu Kesehatan
Diterbitkan Oleh : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Lamongan i
SURYA JURNAL MEDIA KOMUNIKASI ILMU KESEHATAN Diterbitkan Oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)Muhammadiyah Lamongan Jl. Raya Plalangan Plosowahyu Lamongan Telp/Fax (0322) 321843 Terbit tiga kali setahun (April, Agustus dan Desember): ISSN : : 1979-9128, berisi tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, resensi buku dan tulisan praktis dalam bidang Ilmu Kesehatan. Pelindung/Penasehat Drs.H. Mutholib Sukandar (Ketua BPH PT Muhammadiyah Lamongan) Drs. H. Budi Utomo,Amd.kep.,Mkes (Ketua STIKES Muhammadiyah Lamongan) Ketua Pengarah : M. Bakri PDA SKp,MKep (Ketua I) Dr. H. Masram, MM., M.Pd., MMkes (Ketua II) Alifin SKP.,M.MKes (Ketua III) Ketua Penyuting : Cucuk Rahmadi, SKp., M.Kes. Penyuting Pelaksana: Drs. Arfian Mudayan, SE., M.Kes Arifal Aris, S.Kep., Ns., M.MKes Hj. Ws Tarmi, S.Sti., M.MKes Drs. Sugeng Utomo., M.Pd Hj. Mu’ah,MM., M.Mkes Dadang Kusbiantoro, S.Kep.,Ns. M.MKes Lilin Turlina, SST.,M.MKes Faizatul Ummah, SST.,M.MKes
Siti Sholikhah, S.Kep, Ns Andri Tri K, SSiT, M. Kes Amirul Amalia, S.SiT, M. Kes Atiul Impartina, SsiT, M. Kes Sulistyowati, SSTi, M. Kes M. Ali Basyah, SH., M.Mkes Heny Ekawati,s.Kep.Ns, M. Kes Ilkafah, S.Kep.,Ns. M. Kes
Penyuting Ahli/Mitra Bestari : Dr. Supriyanto, MM (Dosen FE-Universitas Negeri Malang) Dr. Anang Kistyanto, MM (Dosen FE-Universitas Negeri Surabaya) Alamat Penyuting Pelaksana dan Tata Usaha : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Lamongan JL. Raya Plalangan Plosowahyu Lamongan, Telp/Fax. (0322) 321843 Jurnal ini diterbitkan di bawah pembinaan Ketua BPH PT Muhammadiyah Lamongan (Drs. H. Muntholib Sukandar) dan Ketua STIKES Muhammadiyah Lamongan (Drs. H. Budi Utomo, AMd. Kep,M.Kes)
SURYA
ii
Vol.03, No.X, Des 2011
DAFTAR ISI
Isni Lailatul Maghfiroh, Diah : Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Eko Martini, Amirul Amalia Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan Tahun 2011….. 1 Ati’ul Impartina
: Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang TahapTahap Perkembangan Dengan Praktik Stimulasi Motorik Halus Pada Bayi Usia 0-12 Bulan Di RS Muhammadiyah Surabaya……………………………... 10
Alfiyah Ardhyah Yunita, Virgianti Nur F, Mu’ah
: Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) Di Puskesmas Mantup Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan………………………………….. 14
Dian Hidayatul C, Dian Nur Afifah, Arifal Aris
: Hubungan Pengetahuan Pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (Dhf) Dengan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (Psn) Di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban........................... 25
Anti Ningsih, Sulistiyowati, Cucuk Rahmadi P
: Hubungan Aktivitas Fisik (Olahraga) Dengan Tingkat Nyeri Disminore Pada Remaja Putri Kelas Xi Di Smk Nu 1 Kedungpring Lamongan Tahun 201…………...… 32
Anis Nur Aini, Nur Hidayati, Moh.Saifudin
: Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester Ii-Iii Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) Di Bps Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro …………………………………………….... 39
Wiwik Utami
: Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kemandirian Toilet Training Anak Usia Toddler…………………………… 48
SURYA
iii
Vol.03, No.X, Des 2011
HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN KEJADIAN OLIGOMENORRHEA PADA SANTRIWATI PONDOK PESANTREN AL-MIZAN MUHAMMADIYAH LAMONGAN TAHUN 2011 Isni Lailatul Maghfiroh, Diah Eko Martini, Amirul Amalia
…………......……….…… ……
. .….ABSTRAK…… … ......………. ……
…… . .….
Wanita dalam kehidupannya tidak luput dari gangguan siklus haid. Salah satunya adalah oligomenorrhea yaitu siklus haid yang lebih dari 35 hari. Gangguan tersebut dipengaruhi oleh psikologis wanita seperti beban kehidupan yang biasanya disebut stres. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan. Penelitian ini menggunakan desain analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel penelitian sebanyak 57 santriwati yang diambil menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS), kemudian ditabulasi dan dianalisa dengan menggunakan uji kontingensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar santriwati mengalami stres dengan jumlah santriwati yang mempunyai tingkat stres normal dan stres ringan masih cukup tinggi (59.65%) dan sebagian besar responden tidak mengalami oligomenorrhea (54.39%). Hasil analisa didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 0.002 dan nilai kontigensi (C) sebesar 0.485. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan. Melihat hasil penelitian ini, maka perlu dilakukan manajemen stres yang tepat dan mengendalikan faktor penyebab stres agar kejadian oligomenorrhea dapat dikendalikan.
Kata kunci : tingkat stres, oligomenorrhea
PENDAHULUAN. …… .
kehidupan. Remaja sangat rentan mengalami stres, karena pada tahap berkembangan ini seringkali masih belum mempunyai adaptasi yang baik terhadap stressor, sehingga remaja sulit untuk berkonsentrasi dan berpikir di sekolah. Stres yang dialami remaja dapat menimbulkan gangguan hormonal yang berdampak pada gangguan haid diantaranya oligomenorrhea yang merupakan suatu keadaan dimana siklus menstruasi memanjang lebih dari 35 hari, sehingga mereka mengalami menstruasi yang lebih jarang daripada biasanya. (Pramudita, Dissi. 2009). Dalam Majalah Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia tahun 2009 dikemukakan bahwa pada penelitian oleh
… …. Wanita dalam kehidupannya tidak luput dari adanya siklus haid normal yang terjadi secara siklik. Dia akan merasa terganggu bila hidupnya mengalami perubahan, terutama bila haid menjadi lebih lama (oligomenorrhea) dan atau banyak (hipermenorrhea), tidak teratur, lebih sering (polimenorea) atau bahkan tidak haid sama sekali (amenorrhe). Perubahan yang terjadi pada haid tersebut, seringkali terjadi pada remaja yang salah satu penyebabnya adalah stres. (Lusa, 2010). Menurut Dadang Hawari (2001) dalam Sunaryo (2002) bahwa yang dimaksud stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial tekanan mental atau beban SURYA
1
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Bieniasz J et al. didapatkan prevalensi oligomenorea pada wanita usia subur sebesar 50%. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Astutik pada tahun 2009 di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XII di Jombang, ditemukan bahwa 65 siswi sekolah tersebut, mengalami oligomenorrhea. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2010 terhadap 10 santriwati Pondok Pesantren AlMizan Lamongan ditemukan 4 santriwati (40%) dalam 3 bulan terakhir mengalami oligomenorrhea dan 6 santriwati (60%) tidak mengalami oligomenorrhea. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan masih tinggi. Siklus menstruasi dipengaruhi oleh usia wanita, status fisik, status psikologis wanita dan lingkungan. (Bobak, Lowdrmilk. 2004). Status fisik wanita dapat mempengaruhi siklus menstruasi seperti pada wanita dengan akifitas fisik yang berat, pada wanita yang memiliki nutrisi yang buruk dan wanita dengan penyakit-penyakit tertentu dan mengkonsumsi obat-obatan tertentu merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadan Oligomenorrhea. (Goldman, Marlene B. 2000) Oligomenorrhea yang tidak mendapatkan penanganan dapat mengakibatkan terganggunya fertilitas dan stres emosional pada penderita sehingga dapat meperburuk terjadinya kelainan haid lebih lanjut. Salah satu teknik penatalaksanaan stres adalah dengan cara promosi kesehatan yang dapat mengurangi dampak stres pada kesehatan fisik dan mental. Teknik ini sering menjadi pendekatan masuk akal yang membei dasar untuk hidup dalam situasi stres. (Potter dan Perry, 2005)
Berdasarkan pemikiran dan uraian fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati pondok pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan.
METODOLOGI .PENELITIAN Desain penelitian adalah hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti dengan mempertimbangkan beberapa keputusan sehubungan dengan metode yang akan dipergunakan dalam upaya untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang mungkin timbul (Nursalam. 2008). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi korelasi yang mengkaji hubungan antara variabel dengan menggunakan pendekatan penelitian Cross Sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi dari variable independent dan dependent hanya satu kali pada satu saat (Nursalam. 2008). Dalam hal ini peneliti mengkaji antara hubungan antara status gizi dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan.
HASIL .PENELITIAN … 1. Data Umum 1) Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan yang berada di Kelurahan Banjar Mendalan Lamongan. Adapun batas wilayah Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan, sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sidorejo Kecamatan Deket, sebelah selatan berbatasan dengan taman kota Patung Kadet Suwoko dan jalan raya Panglima Sudirman, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sidomulyo Kecamatan Lamongan dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Deket Kulon Kecamatan Deket. Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan merupakan salah satu lembaga amal usaha milik organisasi Islam Muhammadiyah yang mempunyai
Selain itu juga stres juga dapat ditanggulangi dengan olahraga teratur, humor, perbaikan nutrisi dan diet, istirahat, teknik relaksasi dan spiritualisme. (Potter dan Perry, 2005). Dengan penerapan manajemen stres diatas, diharapkan stres dapat ditanggulangi sehingga dapat mengurangi kejadian terjadinya oligomenorrhea.
SURYA
2
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan tujuan untuk menciptakan kader Islam yang berakhlak mulia dan berilmu, sehingga lembaga ini mengutamakan keseimbangan antara ilmu umum dan ilmu Islam. Hal tersebut bisa dilihat dari adanya SMP Muhammadiyah dan SMA Muhammadiyah yang juga berlokasi di kompleks pondok pesantren. SMP dan SMA tersebut merupakan tempat para santri untuk menimba ilmu umum yang setara dengan sekolah negeri lainnya. Sedangkan untuk memperdalam ilmu keislaman para santri, kegiatan mengaji diadakan diluar jam sekolah. Para santri pondok pesantren ini setelah proses belajar di sekolah, akan beraktifitas di lingkungan asrama. Lembaga ini mempunyai dua asrama yaitu asrama santri putra dan untuk santriwati. Kedua asrama ini berada dalam satu komplek pondok pesantren, namu lokasinya terpisah. Asrama putra berada di komplek pondok pesantren bagian depan dan asrama putri berada di bagian belakang pondok pesantren. Keduanya juga memiliki pembina atau ustadz/ustadzah yang selalu mengawasi di lingkungan pondok tersebut.
3) Umur Responden Tabel 2
No 1. 2. 3. 4.
Distribusi Umur Responden yang Sudah Mengalami Menstruasi di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan April 2011.
Umur Responden 11-12 tahun 13-14 tahun 15-16 tahun 17-18 tahun Jumlah
Jumlah 1 14 37 5 57
Persentase (%) 1.8 24.6 64.9 8.8 100
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa dari seluruh responden yang memenuhi kriteria penelitian di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan pada April 2011, sebagian besar (64.9%) berumur 15-16 tahun dan sebagian kecil (1.8%) berumur 11-12 tahun.
2) Pendidikan Responden Tabel 1
No 1. 2.
4) Umur Responden Saat Menarch
Distribusi Pendidikan Responden yang Sudah Mengalami Menstruasi di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan April 2011.
Pendidikan Responden Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Jumlah
29 28
Persent (%) 50.9 49.1
57
100
Jumlah
Tabel 3
No 1. 2. 3.
Umur Saat Menarch 10-11 tahun 12-13 tahun 14-15 tahun Jumlah
20 30 7
Persentase (%) 35.1 52.6 12.3
57
100
Jumlah
Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa dari seluruh responden yang memenuhi kriteria penelitian, sebagian besar (52.6%) responden mengalami menarch pada umur 12-13 tahun dan sebagian kecil (12.3%) mengalami menarch saat berumur 14-15 tahun.
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa dari seluruh responden yang memenuhi kriteria penelitian di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan pada April 2011, sebagian besar (50.9%) responden masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sebagian kecil (49.1%) responden duduk dibangku Sekolah Menengah Atas.
SURYA
Distribusi Umur Responden Saat Menarch di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan April 2011.
3
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan oligomenorrhea atau memiliki siklus menstruasi yang memanjang lebih dari 35 hari dalam tiga bulan terakhir.
2. Data Khusus 1) Distribusi Tingkat Stres Tabel 4
No 1. 2. 3. 4. 5.
Distribusi Tingkat Stres pada Santriwati di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan April 2011.
Tingkat Stres
Rentang Skor Stres 0-14 15-18 19-25 26-33 >34
Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat Jumlah Total
Jumlah
Persentase (%)
22 11 14 4 3
38.6 19.3 29.8 7.0 5.3
57
100
3) Tabel Silang Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Tabel 7 Tabulasi Silang Tingkat Stres dengan Kejadian Oligomenorrhea pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan April 2011
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa dari seluruh responden di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan pada April 2011, sebagian besar (38.6%) tidak mengalami stres dan sebagian kecil (5.3%) mengalami stres sangat berat. Namun, disisi lain tingkat stres normal dan stres ringan apabila dijumlahkan memiliki nilai yang cukup tinggi (57.9%) jika dibandingkan dengan jumlah seluruh responden yang mengalami stres sedang sampai stres sangat berat. Secara umum, apabila responden antara yang mengalami stres ringan sampai dengan yang mengalami stres sangat berat dijumlah, maka dapat disimpulkan kejadian stres di Pondok pesantren Al-Mizan muhammadiyah Lamongan masih cukup tinggi (61.4%).
Tabel 6 Distribusi Kejadian Oligomenorrhea pada Santriwati di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan April 2011. 1. 2.
Gangguan Siklus Menstruasi Oligomenorrhea Tidak Oligomenorrhea Jumlah Total
Jumlah 25 32 57
Persentase (%) 43.9 56.1 100
Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (56.1%) tidak mengalami oligomenorrhea dan sebagian kecil (43.9%) mengalami SURYA
Tingkat Stres
1. 2. 3. 4. 5.
Normal Ringan Sedang Berat Sngt Berat Jumlah
Oligomenorrhe Ya Tidak Jml % Jml % 4 18.2 18 81.8 5 45.5 6 54.5 9 52.9 8 47.1 4 100 0 0 3 100 0 0 25 43.9 32 56.1 Nilai p=0.004 dan nilai C=0.462
Jumlah Tot 22 11 17 4 3 57
Berdasarkan Tabel 7 tabulasi silang tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan pada April 2011, didapatkan bahwa nilai terbesar (81.8%) dari responden yang tidak mengalami oligomenorrhea mempunyai tingkat stres yang normal. Sedangkan yang mempunyai nilai terbesar (100%) dari responden yang mengalami oligomenorrhea, mengalami stres berat dan stres sangat. Dengan demikian bias diambil kesimpulan bahwa apabila semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi pula kejadian oligomenorrhea pada santriwati. Setelah dilakukan pengujian dengan SPSS 16.0 dengan korelasi uji koefisien kontingensi didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 0.004. Dengan demikian nilai p kurang dari 0.05, hal ini berarti H0 ditolak yaitu terdapat hubungan antara tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan. Selain itu, keeratan hubungan antara variabel dependen dan independen dapat dilihat dari nilai uji kontingensi (C) sebesar 0.462. Nilai C tersebut, menunjukkan bahwa antara tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah
2) Distribusi Kejadian Oligomenorrhea
No
N o
4
Vol.03, No.X, Des 2011
% 100 100 100 100 100 100
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Lamongan April 2011 mempunyai hubungan yang cukup erat.
PEMBAHASAN .…
yang dirasakan mengancam atau beresiko yang akan menghasilkan perasaan tegang. Hal inilah yang disebut dengan stressor. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, lingkungan pondok pesantren mempunyai beberapa kebijakan yang mengatur aktifitas santri yang ada di dalamnya. Seperi aktifitas santriwati diijinkan beraktifitas di sekitar lingkungan asrama putri saat di luar jam sekolah dan santri diwajibkan ijin ke pembina pondok apabila akan meninggalkan komplek asrama putri. Perijinanan tersebut, hanya berlaku untuk santriwati yang benar-benar mempunyai keperluan di luar lingkungan asrama. Aabila kebijakan yang terkait tidak dilaksanakan, maka sanksi akan diberlakukan. Hal ini secara langsung atau tidak langsung akan menimbulkan stres pada santriwati pondok pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan. Beberapa kebijakan di atas, bisa dianggap stresor bagi penghuni yang ada di dalamnya, namun setiap individu memiliki tingkat persepsi dan penerimaan yang berbeda terhadap stresor yang ada. Hal inilah yang akan membedakan tingkat stres antara santriwati satu dengan santriwati lainya. Pendapat di atas sesuai dengan pendapat Zimring dalam Prawitasari (2010) bahwa stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha meperoleh kesesuian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhankebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara-cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam.
.…
1.
Tingkat Stres Berdasarkan tabulasi data dari Tabel 4 didapatkan sebagian besar (38.6%) santriwati di Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan pada April 2011 tidak mengalami stres atau normal dan sebagian kecil (5.3%) santriwati mengalami stress sangat berat. Namun, dari jumlah keseluruhan antara jumlah responden yang mengalami stres ringan sampai stress sangat berat, maka kejadian stres pada santriwati masih cukup tinggi (61.4%). Hal di atas, dipengaruhi oleh tingkat perkembangan santriwati yang masih remaja. Menurut Monks J.F (2004), batasan usia remaja yaitu antara 12-21 tahun dengan rincian 12-15 tahun remaja awal, 15-16 tahun remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Dan berdasarkan hasil dari data umum responden, didapatkan bahwa usia responden sebagian besar (64.9%) adalah antara 15-16 tahun. Pada saat remaja terjadi perubahanperubahan psikologis seperti emosi yang tidak stabil sehingga dapat mempengaruhi remaja dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang sedang dialami. Keadaan emosi yang selalu berubah-ubah akan menyebabkan remaja sulit memahami diri sendiri dan akan mendapatkan jalan yang buntu. Apabila masalah tidak ditangani secara benar, maka akan menimbulkan stres pada remaja. Hal tersebut di atas, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Iyus Yosep (2009) bahwa perkembangan fisik maupun mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause dan lanjut usia merupakan perubahan fase-fase yang untuk sebagian individu dapat menyebabkan depresi dan kecemasan. Stres pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan juga bisa disebabkan oleh lingkungan sekitar asrama pondok pesantren yang tidak sesuai dengan harapan penghuninya atau keadaan dan peristiwa
SURYA
2.
Kejadian Oligomenorrhea
Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (56.1%) tidak mengalami oligomenorrhea dan sebagian kecil (43.9%) mengalami oligomenorrhea atau memiliki siklus menstruasi yang memanjang lebih dari 35 hari dalam tiga bulan terakhir.
5
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan 3.
Hal tersebut disebabkan karena tingkat stres normal dan stres ringan apabila dijumlahkan memiliki nilai yang cukup tinggi (57.9%). Apabila seseorang dalam kondisi psikologis yang normal atau tidak mengalami stres, maka kondisi hormonal akan cenderung normal, sehingga tidak terjadi gangguan dalam siklus haidnya. Tingkat stres yang masih ringan juga seringkali tidak mengganggu kerja neurohormonal seseorang. Oleh sebab itulah tingkat stres ringan tidak terlalu banyak menimbulkan gangguan fisik wanita, salah satunya gangguan siklus haid yang memanjang atau oligomenorrhea. Pendapat di atas sesuai dengan teori Kline-Leidy (1990) dalam Potter dan Perry (2005) bahwa situasi stress ringan biasanya tidak mengakibatkan kerusakan fisiologis kronis, tetapi stress sedang dan berat dapat menimbulkan resiko penyakit medis atau memburuknya penyakit kronis. Holmes dan Rahe (1976) dalam Potter dan Perry (2005) juga menyebutkan bahwa situasi stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur dan berlangsung hanya beberapa menit atau beberapa jam. Bagi mereka yang mendapati stres yang ringan ini, bukan resiko signifikan untuk timbulnya gejala. Namun demikian, stressor ringan yang banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan resiko penyakit. Stres dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, salah satunya yaitu gangguan pada siklus menstruasi yang memanjang lebih dari 35 hari atau disebut dengan oligomenorrhea. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lowdrmilk Bobak (2004) bahwa siklus menstruasi dipengaruhi oleh usia wanita, status fisik, status psikologis dan lingkungan. Status psikologis seorang wanita mempengaruhi sistem neuroendokrin dan menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yang berdampak pada gangguan siklus menstruasi. Bahkan Stres yang ringan berguna dan dapat memacu seseorang untuk berpikir dan untuk berusaha lebih lagi sehingga bisa menjawab segala tantangan yang terjadi.
SURYA
Hubungan Tingkat Stres Kejadian Oligomenorrea
dengan
Berdasarkan Tabel 7 tabulasi silang tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea, didapatkan bahwa nilai terbesar (81.8%) dari responden yang tidak mengalami oligomenorrhea mempunyai tingkat stres yang normal. Sedangkan yang mempunyai nilai terbesar (100%) dari responden yang mengalami oligomenorrhea, mengalami stres berat dan stres sangat. Dengan demikian bias diambil kesimpulan bahwa apabila semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi pula kejadian oligomenorrhea pada santriwati. Setelah dilakukan pengujian dengan SPSS 16.0 dengan korelasi uji koefisien kontingensi dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres sengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan. Selain itu, dari nilai uji kontingensi (C) menunjukkan bahwa antara variabel dependen dan independen mempunyai hubungan yang cukup erat. Siklus haid wanita tidak seringkali berubah setiap bulannya. Perbedaan siklus ini ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia, status psikologik, status fisik, dan sebagainya. Pada masa remaja biasanya mempunyai siklus yang tidak teratur. Menurut Williams J kraemer (2005) pada masa dua tahun pertama setelah menarch, remaja seringkali terjadi gangguan siklus menstruasi seperti oligomenorrhea, namun hal tersebut masih dianggap normal karena pada saat itu koordinasi sistem neuroendokrin masih belum teratur. Status psikologis wanita sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian oligomenorrhea, karena apabila keadaan psikologis seseorang mengalami gangguan, misalnya stres, akan dapat mempengaruhi gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan siklus haid. Status psikologis dapat berubah sejalan dengan siklus menstruasi dan pengaruh emosional juga dapat mengubah siklus tersebut. Hal ini didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Suyono (2000), bahwa siklus menstruasi dapat terjadi pada wanita yang mengalami stress psikologik
6
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan (emosional). Pada saat stres, sistem neurendokrin tubuh menjadi terganggu. Oleh sebab itu, gangguan keseimbangan hormonal pada aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium, juga mengalami gangguan. Pada keadaan stres terjadi pengaktifan amygdala pada sistem limbic dan sistem ini akan menstimulasi pelepasan corticotropic realeasing hormone (CRH) dan menstimulasi peningkatan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Hormon tersebut dapat mempengaruhi perpanjangan stadium folikular atau stadium luteal pada fase menstruasi sehingga oligomenorrhea terjadi. Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat dan baru dirasakan apabila tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Maka untuk mengendalikan stres kita dapat mengubah persepsi pribadi mengenai sebuah keadaan untuk mengatasi keadaan tersebut, yaitu sikap, keyakinan, dan pikiran kita harus positif, fleksibel, rasional dan adaptif terhadap orang lain serta mengendalikan faktor-faktor penyebab stres lainnya.
dikendalikannya salah satu sebab oligomenorrhea yaitu stres, diharapkan kejadian oligomenorrhea dapat menurun. Diharapkan kepada pengurus pondok pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan untuk menanggulangi stres yang terjadi pada santriwatinya dengan mengajarkan manajemen stres yang tepat terhadap santriwati dan mengendalikan factor-faktor penyebab stres seperti lingkungan pondok pesantren. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mempertahankan peran kesehatan khususnya perawat dengan tetap memberikan edukasi dan manajemen stres pada remaja putri khususnya pada santriwati di pondok pesantren, sehingga dapat menurunkan kejadian stres dan kejadian oligomenorrhea. Selain itu juga sebagai sarana pembanding bagi dunia ilmu pengetahuan dalam memperkaya informasi tentang kejadian oligomenorrhea pada remaja putri. Untuk mengatasi kejadian oligomenorrhea, maka perlu dilakukan program perencanaan dalam penanganan bebrapa hal yang dapat mengakibatkan kejadian oligomenorrhea meningkat. Salah satunya yaitu dengan menanggulangi masalah stres dengan menggunakan beberapa cara menejemen stres khususnya pada santriwati. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai studi pendahuluan untuk mengembangkan penelitian lainnya terutama dalam mencegah terjadinya kejadian oligomenorrhea pada remaja putrid. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memperluas variable yang diduga dapat mempengaruhi kejadian oligomenorrhea seperti status gizi, penyakit tertentu, gangguan pada rahim, aktifitas fisik yang berat dan lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN. 1.
… Kesimpulan 1) Sebagian besar santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan mengalami stres. 2) Sebagian besar santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan tidak mengalami oligomenorrhea. 3) Ada hubungan antara tingkat stres dengan kejadian oligomenorrhea pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan.
. . Saran Diharapkan kepada santriwati agar dapat mengelola emosi dengan cara yang tepat dan dapat melakukan manajemen stres dengan tepat sesuai dengan metode yang diajarkan sebelumnya. Dengan
.DAFTAR PUSTAKA
.
. .
2.
SURYA
Arikunto, Suharsimni. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineke Cipta.
7
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UNPAD. 1997. Amenore dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RSUP dr. Hasan Sadikin, bagian II Ginekologi. Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUNPAD.
Lusa. 2010. Gangguan dan Masalah Haid dalam Sistem Reproduksi. http://situs kebidanan.blogspot.com. Diakses pada tanggal 2 Desember 2010 pukul 19.00 WIB. Maramis, Willy F. 2005. Catatan Ilmu Kesehatan Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Bobak, Lowdrmilk. 2004. Buku Ajar Kperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Monks, JF. 2004. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta : Gajah Mada University Press.
Chomaria, Nurul. 2009. Tips Jitu dan Praktis Mengusir Stress. Jogjakarta: Diva Press.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Goldman, Marlene B; Mauren Hatch. 2000. Women and Health. London: Gulf Professional Publishing. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Metodologi Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik; Alih Bahasa: Yasmin Asih et al. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Pramudita, Dissi. 2009. Oligomenore. www.kesehatanreproduksi.blogspot.co m Diakses pada tanggal 6 November 2010 pukul 16.00 WIB.
Ikatan Dokter Indonesia. 2009. Gangguan Siklus Menstruasi. Jakarta: Majalah Kedokteran IDI.
Prawitasari. 2010. Stress, Stress Lingkungan Dan Coping Behavior. Jakarta: Universitas Gunadharma.
Istiqomah, Puji. 2009. Keefektifan Senam Dismenore dalam Mengurangi Dismenore pada Remaja Putri di SMU Negeri 5 Semarang. http://eprints.undip. ac.id.pdf. Diakses pada tanggal 18 Januari 2010 pukul 16.00 WIB.
Sriati, Aat. 2007. Tinjauan Tentang Stress. http://www.akademik.unsri.ac.id.pdf. Diakses pada tanggal 25 Desember 2010 pukul 19.00 WIB. Sunaryo. 2002. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Kraemer, William J. 2005. The Endocrine System In Sport and Exercise. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins inc.
Suyono. 2002. Stress sebagai Salah satu Sebab Gangguan Menstruasi. Dalam: Seminar kelainan menstruasi. Semarang: Bag/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi.
Lumsden, Ann Marie; McGavigan, Jay. 2003. Menstruation and Menstrual Disorder in Gynecology. 3rd edition. China: Elsevier Science Limited.
SURYA
8
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Oligomenorrhea Pada Santriwati Pondok Pesantren Al-Mizan Swedan, Nadya. 2001. Women’s Sports Medicine and Rehabilitation. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins inc.
Windarti, Surya Ika. 2010. Hubungan Tingkat Stres Waktu Praktek Klinik Kebidanan dengan Keteraturan Siklus Menstruasi pada Mahasiswi D III KebidananSemester IV (PKK Gelombang 1 di RSM Lamongan dan RSUD Soegiri Lamongan) Tahun 2010. Karya Ilmiah STIKES Muhammadiyah Lamongan. Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa : Cetakan 2. Bandung : PT. Refika Aditama.
Widyanarko, Oky. 2009. Mengelola Stres Di Tempat Kerja. Surabaya: Redaksi Buletin Perpustakaan Surabaya. William, Lippincott; Wilkins. 2003. Disfunctional Uterine Bleeding in Novack Gynecology. Philladelphia: Lippincot & William.inc.
SURYA
9
Vol.03, No.X, Des 2011
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN DENGAN PRAKTIK STIMULASI MOTORIK HALUS PADA BAYI USIA 0-12 BULAN DI RS MUHAMMADIYAH SURABAYA Ati’ul Impartina
…………......……….…… …… . .….ABSTRAK…… … ......………. …… …… . .…. Stimulasi motorik halus merupakan perangsangan dari lingkungan yang melibatkan bagian tubuh tertentu saja. Dengan stimulasi, perkembangan bisa mencapai optimal. Dari hasil pengamatan di RS Muhammadiyah Surabaya didapatkan ibu yang tidak melakukan stimulasi motorik halus sebesar 65 %. Untuk itu ingin diketahui sejauhmana hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus. Desain penelitian yang digunakan analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah semua ibu yang membawa bayinya untuk imunisasi di RS Muhammadiyah Surabaya yang berjumlah 40 orang, dengan simple random sampling diperoleh 36 responden. Variabel independen adalah tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan motorik halus. Variabel dependen praktik stimulasi motorik halus. Pengumpulan data dengan angket dan disajikan dalam table frekuensi dan tabulasi silang kemudian dilakukan uji Chi square. Berdasarkan hasil analisis uji Chi Square tidak memenuhi syarat, maka menggunakan uji Eksak Fisher didapatkan p = 0,10 (p > 0,05) artinya tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus pada bayi usia 0-12 bulan. Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak hanya pengetahuan yang mempengaruhi praktik stimulasi motorik halus tapi juga factor pendidikan, sikap, pekerjaan, jumlah anak, sarana dan prasarana, gizi. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut tentang faktor tersebut dengan sampel yang lebih banyak. Kata Kunci : Tingkat pengetahuan, praktik stimulasi motorik halus
PENDAHULUAN. …… . … …. Kualitas anak masa kini merupakan penentu kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Pembangunan manusia masa depan dimulai dengan pembinaan anak masa sekarang untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang maka anak perlu dipersiapkan agar anak bisa tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya (Narendra, 2002). Menurut Indiarti (2006) anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang
SURYA
atau tidak mendapat stimulasi. Stimulasi yang diberikan sejak masa bayi membawa manfaat untuk mengarahkan perkembangannya. Berdasarkan survey awal yang dilakukan di RS Muhammadiyah Surabaya dari 20 ibu didapatkan 13 (65%) orang tidak melakukan praktik stimulasi motorik halus, sedangkan 7 (35%) orang melakukannya. Dari data tersebut masih banyak ditemukan ibu yang tidak melakukan praktik stimulasi motorik halus pada bayinya. Beberapa faktor yang mempengaruhi praktik stimulasi motorik halus yaitu pengetahuan, pendidikan, sikap,
10
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Tahap-Tahap Perkembangan Dengan Praktik Stimulasi Motorik Halus
HASIL .PENELITIAN … 1) Deskripsi data penelitian (1) Deskripsi data tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan motorik halus pada bayi usia 0-12 bulan di RS Muhammadiyah Surabaya.
pekerjaan, paritas, sarana dan prasarana, gizi. Bila anak tidak cukup mendapat rangsangan untuk menggunakan kemampuannya, dia akan cepat merasa bosan dan perkembangannya bisa terhambat karena ia sedikit menerima tantangan dan kesempatan untuk belajar (Sunartyo, 2005). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk membantu tumbuh kembang balita yang optimal dengan kegiatan deteksi dini tumbuh kembang balita di TK, posyandu dan puskesmas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan
Tabel
Distribusi data tingkat pengetahuan ibu tentang tahaptahap perkembangan motorik halus di RS Muhammadiyah Surabaya.
No Pengetahuan 1 Baik 2 Kurang Total
ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus.
Jumlah 14 22 36
% 38,89 61,11 100
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan ibu kurang sebanyak 22 (61,11%) orang.
METODOLOGI .PENELITIAN Desain Penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional dengan pendekatan Cross sectional. Penelitian ini mencoba menggali data mengenai
(2) Deskripsi data praktik stimulasi motorik halus di RS Muhammadiyah Surabaya
hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus.
No Praktik Ibu 1 Melakukan 2 Tidak Melakukan Total
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang membawa bayinya untuk imunisasi di RS Muhammadiyah Surabaya yang berjumlah 40 orang.
Jumlah 8 28 36
% 22,22 77,78 100
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak melakukan praktik stimulasi motorik halus yaitu sebanyak 28 (77,78%) orang.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari ibu yang membawa bayinya untuk imunisasi di RS Muhammadiyah Surabaya yang berjumlah 36 responden. Variabel independen adalah tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan motorik halus. Variabel dependen praktik stimulasi motorik halus. Pengumpulan data dengan angket dan disajikan dalam table frekuensi dan tabulasi silang kemudian dilakukan uji Chi square.
SURYA
1
2) Uji Analisis Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus di RS Muhammadiyah Surabaya
11
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Tahap-Tahap Perkembangan Dengan Praktik Stimulasi Motorik Halus (2001) bahwa bekerja merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
Tabel 3 Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus di RS Muhammadiyah Surabaya N Pengetah Praktik ibu o uan M TM 1 Baik 5(35,71%) 9(64,29%) 2 Kurang 3(13,64%) 19(86,36%) Total 8 28 Eksak Fisher tes p = 0,10 , α = 0,05
3) Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus di RS Muhammadiyah Surabaya Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus pada bayi 012 bulan. Hal ini mungkin disebabkan pengetahuan yang kurang maupun baik bukan penyebab langsung dari perubahan perilaku. Selain faktor pengetahuan masih banyak faktor lain yang mempengaruhi praktik stimulasi motorik halus antara lain sarana dan prasarana, gizi. Lingkungan yang penuh dengan mainan dan barang-barang yang tidak berbahaya yang bisa dicapai oleh bayi akan merangsang perkembangan motorik anak. Dengan sarana yang mendukung, stimulasi bisa dilakukan dengan baik (Sunartyo,2005). Gizi merupakan komponen yang penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Dengan gizi yang terpenuhi, pertumbuhan dan perkembangan bisa berlangsung dengan baik dan anak lebih mudah menerima stimulasi motorik halus (Hidayat, 2005).
% 14(100%) 22(100%) 36
Dari uji Chi Square tidak bisa dilakukan karena terdapat dua sel dengan frekuensi harapan < 5 dan sebanyak 50% dari total sel, maka dilakukan ujin Eksak Fisher. Dari uji Eksak Fisher didapat p = 0,10 lebih besar dari 0,05, maka Ho diterima artinya tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap – tahap perkembangan dengan praktik stimulasi motorik halus.
PEMBAHASAN .…
.… 1) Tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan motorik halus Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan ibu kurang. Hal ini kemungkinan disebabkan umur dan pendidikan, semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir, sehingga lebih mudah menerima informasi. Makin tinggi tigkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki (Nursalam, 2001).
KESIMPULAN DAN SARAN.
1) Kesimpulan (1)Sebagian besar pengetahuan ibu kurang tentang tahap-tahap perkembangan motorik halus pada bayi usia 0-12 bulan
(2)Sebagian besar ibu tidak melakukan praktik stimulasi motorik halus pada bayi 0-12 bulan. (3)Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tahap-tahap perkembangan dengan stimulasi motorik halus pada bayi 0-12 bulan.
2) Praktik stimulasi motorik halus Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak melakukan praktik stimulasi motorik halus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ibu sibuk bekerja di luar rumah. Ibu yang sibuk bekerja di luar rumah akan merasa lelah atau capek fisik maupun psikis sehingga perhatian pada anak berkurang, kesempatan untuk mengasuh dan melakukan stimulasi motorik halus pun berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Markum yang dikutip Nursalam SURYA
…
12
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Tahap-Tahap Perkembangan Dengan Praktik Stimulasi Motorik Halus Kartini Kartono, 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar Maju
2) Saran (1) Bagi Akademis Hendaknya lebih memperkaya materi pengajaran tentang perkembangan anak (2) Bagi Profesi Kebidanan Hendaknya lebih meningkatkan pelayanan tentang deteksi tumbuh kembang (3) Bagi peneliti lain Hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor lain yang mempengaruhi praktik stimulasi motorik pada bayi. . . Ali
.DAFTAR PUSTAKA
.
Latipun, 2001. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press Moersintowati B, Narendra, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto Nano Sunartyo, 2005. Panduan Merawat Bayi dan Balita agar Tumbuh Sehat dan Cerdas. Yogyakarta: Diva Press
. .
Nursalam dan S. Pariani, 2001. Pendekatan Praktis Manusia Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto
Nugraha, 2004. Kiat Merangsang Kecerdasan Anak. Jakarta: Puspa Swara
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Azis Alimul Hidayat, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Depkes RI, 2005. Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita. Jakarta: Depkes
Rini Sekartini, 2006. Perkembangan Motorik Halus Bayi 0-12 bulan. www.nainggolanrecipe.blogspot.com
Depkes RI, 2005. Petunjuk Pelaksana Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita Bayi pada Petugas Puskesmas. Jakarta: Depkes
Soekidjo Notoatmodjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Evi Sopacua, 2004. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Surabaya: PPPTK
Soekidjo Notoatmodjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Indiarti, 2006. Panduan Lengkap Kehamilan, Persalinan, dan Perawatan Bayi. Yogyakarta: Diglosa Medis
Soetjiningsih, 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC Wong, Donna L,2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC
SURYA
13
Vol.03, No.X, Des 2011
PENGARUH SENAM KAKI TERHADAP PENINGKATAN SIRKULASI DARAH KAKI PADA PASIEN DIABETES MELITUS (DM) DI PUSKESMAS MANTUP KECAMATAN MANTUP KABUPATEN LAMONGAN Alfiyah Ardhyah Yunita, Virgianti Nur F, Mu’ah
…………......……….…… …… . .….ABSTRAK…… … ......………. …… …… . .…. Diabetes Mellitus merupakan penyakit degeneratif yang paling banyak diderita di Indonesia saat ini. Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Neuropati Perifer (gangguan syaraf pada kaki) merupakan komplikasi serius dari penyakit Diabetes Melitus. Untuk penatalaksanaan Neuropati Perifer tersebut perlu dilakukan senam kaki yang bertujuan untuk mencegah luka gangren pada pasien Diabetes Melitus. Desain penelitian ini menggunakan metode one-group pra-post test design. Metode sampling yang digunakan adalah Simple Random Sampling. Sampel yang diambil sebanyak 30 responden yaitu penderita Diabetes Mellitus yang menjadi anggota DM club di puskesmas Mantup Lamongan selama bulan Januari sampai November 2010. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan alat sphygmomanometer, stetoskop, dan alroji untuk pre dan post intervensi. Setelah ditabulasi, data dianalisis dengan uji Paired t Test dengan tingkat kemaknaan 0,000. Hasil penelitian menunjukkan sebelum diberi perlakuan senam kaki pada pasien Diabetes Melitus nilai ABPI yaitu lebih dari sebagian besar mengalami penyakit arteri ringan yaitu 18 orang (60%) dan nadi yaitu lebih dari sebagian besar mengalami bradikhardi yaitu 16 orang (53,3%) dan setelah diberikan perlakuan senam kaki mengalami peningkatan yaitu untuk nilai ABPI sebagian besar mengalami sirkulasi darah normal 15 orang (50%) dan nadi lebih dari sebagian besar mengalami nadi normal sebanyak 19 orang (63,3%). Sedangkan dari pengujian statistik diperoleh hasil ada pengaruh senam kkai terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pada pasien Diabetes Melitus dengan nilai signifikansi untuk nilai ABPI -4,958 dan nadi -4,397 (p<0,000). Melihat hasil penelitian di atas, perlu suatu sosialisasi program pelaksanaan senam kaki yang dilakukan setiap perkumpulan pasien Diabetes Melitus yang dibina oleh tenaga kesehatan. Kata Kunci : Senam Kaki, Sirkulasi Darah kaki (Nilai ABPI dan Karakteristik Nadi), Diabetes Melitus
PENDAHULUAN. …… .
Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Sedangkan menurut WHO, Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Peter Cavanagh pakar kaki diabetik dari Claveland US, menyoroti problem kaki di masa yang akan datang, dimana pada tahun 2032 seiring dengan peningkatan jumlah penyandang Diabetes Melitus di dunia akan terjadi pula lonjakan masalah kaki diabetik.
… …. Sejalan dengan perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, maka semakin banyak pula penyakit infeksi dan menular yang mampu diteliti dan diatasi. Namun tidak demikian dengan penyakit-penyakit degeneratif, penyakit degeneratif sudah ada di negaranegara besar seperti Amerika serikat, Eropa, Rusia, atau Jepang dan sekarang telah merambah ke negara yang sedang berkembang di dunia termasuk India, Afrika dan Indonesia. Adapun penyakit degeneratif contohnya Diabetes Melitus (DM). Menurut Smeltzer, Suzanne C (2002), Diabetes SURYA
14
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), saat ini Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar jumlah penderita Diabetes Melitus di dunia. Jumlah penderita Diabetes Melitus di Indonesia meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun dan pada 2010 mencapai 21,3 juta orang. Sedangkan penderita Diabetes Melitus di wilayah Surabaya terus meningkat, bisa dikatakan pengidap DM saat ini mencapai 180.000 orang. Menurut Syaifudin dalam Febrianto (2008), sekitar 200.000 atau 12 persen dari penduduk Lamongan diduga terkena penyakit DM. Hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 22-25 Desember 2010 di Puskesmas Mantup Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan, pada tahun 2010 total pasien DM Club mencapai 51 pasien. Neuropati perifer (gangguan saraf pada kaki) merupakan komplikasi serius dari diabetes. Dari data survey awal menunjukkan bahwa 3 dari 5 orang dengan diabetes (60%) mengalami gangguan neuropati perifer. Resiko neuropati perifer adalah sekitar 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang tanpa diabetes. Apabila neuropati perifer tidak dilakukan perawatan dengan baik maka dapat berkembang menjadi gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan tindakan amputasi. Menurut Sidartawan, Soegondo (2004), para ahli diabetes memperkirakan ¼ sampai ½ kejadian amputasi dapat dihindari dengan perawatan kaki yang baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masih banyaknya pasien diabetes yang mengalami gangguan pada kaki seperti neuropati perifer, yang disebabkan karena sirkulasi darah kaki yang menurun. Komplikasi Diabetes Melitus antara lain gangguan mata (retinopati), gangguan ginjal (nefropati), gangguan pembuluh darah (vaskulopati), dan kelainan pada kaki. Kaki adalah anggota gerak tubuh yang kurang memperoleh perhatian karena letaknya jauh dari pandangan dan pengamatan mata. Menurut Akhtyo (2009), komplikasi yang paling sering dialami pengidap diabetes adalah komplikasi pada kaki yang kini disebut kaki diabetes. Adanya masalah kaki
SURYA
pada pasien Diabetes Mellitus karena pasien DM kurang mengontrol kadar glukosa darahnya, sehingga glukosa banyak menumpuk dipembuluh darah, hal tersebut yang menyebabkan sirkulasi darah di jaringan kurang termasuk di kaki, tanda dan gejala lainnya mencakup berkurangnya denyut nadi perifer dan neuropati perifer (pasien merasakan kebas atau kesemutan pada kaki). Dengan melakukan Senam kaki pada pasien DM yang melibatkan kelompok otot-otot utamanya (otot kaki), sehingga otot kaki berkontraksi secara teratur maka akan terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol maupun kapiler, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga akan terjadi peningkatan sirkulasi darah kaki dan penarikan glukosa ke dalam sel. Melihat kondisi tersebut penanganan Diabetes Melitus perlu segera diatasi setelah dideteksi secara dini untuk mengurangi komplikasi selanjutnya dari Diabetes Mellitus seperti gangren. Selama ini penatalaksanaan pencegahan komplikasi pada pasien Diabetes Mellitus hanya sebatas pada hal-hal yang biasa. Salah satu contohnya penyuluhan. Oleh karena itu, disini peneliti ingin memberikan satu solusi dalam penatalaksanaan pencegahan komplikasi yaitu intervensi secara langsung berupa senam kaki kepada pasien DM yang mengalami neuropati perifer yang bertujuan untuk pencegahan terjadinya gangren. Dari sudut ilmu kesehatan, tidak diragukan lagi bahwa olahraga apabila dilakukan sebagaimana mestinya menguntungkan bagi kesehatan. Selain itu telah lama pula olahraga digunakan sebagai bagian pengobatan Diabetes Melitus namun tidak semua olahraga dianjurkan bagi pengidap Diabetes Melitus karena dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan. Olahraga dilakukan secara teratur dan berkesinambungan dengan frekuensi 3-5 kali perminggu dan Intensitas 40-70% (ringan sampai sedang). Salah satu jenis olahraga ringan yang bisa dilakukan pada penderita DM adalah senam kaki. Menurut S, Sumosardjuno (1986), senam kaki adalah kegiatan atau
15
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm)
HASIL .PENELITIAN … 1. Data Khusus 1. Distribusi penilaian ABPI (An ankle Brachial Pressure Index) sebelum dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus Tabel 1 Distribusi Nilai ABPI sebelum dilakukan Senam Kaki pada pasien Diabetes Mellitus
latihan yang dilakukan oleh pasien Diabetes Melitus untuk mencegah terjadinya luka gangren dan membantu melancarkan sirkulasi darah bagian kaki. Menurut Wibisono (2009), senam kaki ini bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga nutrisi ke jaringan lebih lancar, memperkuat otot-otot kecil, otot betis, dan paha, serta mengatasi keterbatasan gerak sendi yang sering dialami oleh penderita Diabetes Melitus. Senam kaki ini dapat diberikan kepada seluruh penderita Diabetes Melitus dengan tipe 1 maupun 2. Namun sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosa menderita Diabetes Melitus sebagai tindakan pencegahan dini terjadinya gangren. Dari latar belakang di atas serta banyaknya tujuan dari dilaksanakan senam kaki, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “ Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (DM) Di Puskesmas Mantup Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan Tahun 2011 “.
No. 1 2 3 4 5
Arteri tidak dapat terkompresi, pengerasan PVD Penyakit arteri sedang Penyakit arteri ringan Sirkulasi arteri normal Penyakit arteri berat atau iskemik kaki Total
Sebelum %
Ʃ 0
0
7 18 5 0
23,3 60 16,7 0
30
100
Berdasarkan Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sebelum diberi perlakuan senam kaki lebih dari sebagian pasien DM mengalami penyakit arteri ringan sebanyak 18 orang (60%) dan sebagian kecil pasien DM mengalami sirkulasi arteri normal sebanyak 5 orang (16,7%).
METODOLOGI PENELITIAN Menurut Nursalam (2008), desain penelitian merupakan strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian. Menurut Nursalam (2008), desain penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan metode pra-eksperimental yaitu mencari keterkaitan antara dua variabel atau lebih, pendekatannya dengan cara onegroup pra-post test design yaitu jenis penelitian yang mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah diintervensi.
SURYA
Nilai ABPI
2. Distribusi penilaian ABPI (An ankle Brachial Pressure Index) sesudah dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus Tabel 2 Distribusi Nilai ABPI sesudah dilakukan Senam Kaki pada pasien Diabetes Mellitus No. 1 2 3 4 5
16
Nilai ABPI Arteri tidak dapat terkompresi, pengerasan PVD Penyakit arteri sedang Penyakit arteri ringan Sirkulasi arteri normal Penyakit arteri berat atau iskemik kaki Total
Sesudah %
Ʃ 0
0
5 10 15 0
16,7 33,3 50 0
30
100
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) Berdasarkan Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sesudah diberi perlakuan senam kaki sebagian pasien DM mengalami sirkulasi arteri normal sebanyak 15 orang (50%) dan sebagian kecil mengalami penyakit arteri sedang sebanyak 5 orang (16,7%). 3.
4. Distribusi karakteristik denyut nadi dorsalis pedis sesudah dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus Tabel 4 Distribusi karakteristik nadi dorsalis pedis sesudah dilakukan Senam Kaki pada pasien Diabetes Mellitus
Distribusi karakteristik denyut nadi dorsalis pedis sebelum dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus Tabel 3 Distribusi karakteristik nadi dorsalis pedis sebelum dilakukan Senam Kaki pada pasien Diabetes Mellitus No. 1 2 3
Karakteristik Nadi dorsalis pedis
No
Sesudah
Karakteristik Nadi dorsalis pedis
%
1
Bradikardi
Ʃ 11
2 3
Normal Takhikardi
19 0
63,3 0
Total
30
100
Sebelum
36,7
%
Bradikhardi Normal Takhikardi
Ʃ 16 14 0
53,3 46,7 0
Total
30
100
Berdasarkan Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sesudah diberi perlakuan senam kaki lebih dari sebagian pasien DM mengalami nadi normal sebanyak 19 orang (63,3%) dan hampir sebagian mengalami bradikhardi sebanyak 11 orang (36,7%).
Berdasarkan Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sebelum diberi perlakuan senam kaki lebih dari sebagian pasien DM mengalami bradikhardi sebanyak 16 orang (53,3%) dan hampir sebagian yang mengalami nadi normal sebanyak 14 orang (46,7%).
5. Tabel silang pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (nilai ABPI) pada pasien Diabetes Mellitus
Tabel 5 Tabel silang pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (nilai ABPI) pada pasien Diabetes Mellitus No.
Senam Kaki
Nilai ABPI (An ankle Brachial Pressure Index) Arteri tidak dapat terkompresi, pengerasan PVD % Ʃ
Penyakit arteri sedang
1.
Sebelum
0
0
Ʃ 7
2.
Sesudah
0
0
5
%
Penyakit arteri ringan
23,3
Ʃ 18
16,7
10
Berdasarkan Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sebelum diberi perlakuan senam kaki yang mengalami penyakit arteri sedang sebanyak 7 orang (23,3%) dan setelah diberi perlakuan senam kaki menjadi 5 orang (16,7%), pasien DM yang mengalami penyakit arteri ringan
SURYA
%
Sirkulasi arteri normal %
Penyakit arteri berat atau iskemik kaki % Ʃ
60
Ʃ 5
16,7
0
33,3
15
50
0
Total
%
0
Ʃ 30
100
0
30
100
sebelum diberi perlakuan senam kaki sebanyak 18 orang (60%) dan setelah diberi perlakuan senam kaki mengalami perubahan menjadi 10 orang (33,3%), dan pasien DM yang mengalami sirkulasi arteri normal sebelum diberi perlakuan senam kaki sebanyak 5 orang (16,7%) dan sesudah diberi
17
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) perlakuan senam kaki mengalami peningkatan sebanyak 15 orang (50%). Dari hasil uji SPSS menggunakan uji Paired t Test dengan hasil nilai p sig = 000 dimana p ≤ 0,05 maka Hı diterima, artinya terdapat pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (nilai ABPI).
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sebelum diberi perlakuan senam kaki lebih dari sebagian pasien DM yang mengalami penyakit arteri ringan sebanyak 18 orang (60%) dan sebagian kecil pasien DM yang mengalami sirkulasi arteri normal yaitu sebanyak 5 orang (16,7%). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui di Puskesmas Mantup Lamongan pada pasien DM yang mengikuti Club DM sebelum diberi perlakuan senam kaki lebih dari sebagian besar masih mengalami penyakit arteri ringan yaitu sebanyak 18 orang (60%). Secara subyektif pasien DM menyatakan merasakan kebas atau kesemutan pada kaki, dan biasanya pasien DM mengatasi kesemutannya dengan melakukan olahraga biasa seperti jalan kaki pada saat pagi hari. Kategori nilai ABPI dikatakan penyakit arteri ringan apabila secara obyektif nilai ABPI menunjukkan skala 0,8 - 0,9, setelah dilakukan pemeriksaan tekanan darah nadi dorsalis pedis dibagi nadi brachialis. Menurut Vowden (2001), The Ankle Brachial Tekanan Indeks (ABPI) lebih sering dikenal sebagai ABI adalah rasio dari tekanan darah di kaki yang lebih rendah dibagi tekanan darah di lengan. Tekanan darah kaki yang rendah merupakan indikasi dari penyumbatan pembuluh darah (penyakit pembuluh darah perifer). ABI dihitung dengan membagi sistolik tekanan darah dalam dorsalis pedis arteri dengan tekanan darah sistolik di lengan. Menurut Soegondo Sidartawan, (2004) Penyebab terjadinya penyakit arteri perifer pada pasien DM tersebut pada umumnya karena adanya gangguan sirkulasi darah kaki yang disebabkan oleh keadaan hiperglikemia yang terus-menerus akan berdampak pada kemampuan pembuluh darah tidak berkontraksi dan relaksasi berkurang yang biasanya disebut dengan kaki diabetes. Hampir semua pasien DM mengalami penyakit arteri perifer ditandai dengan neuropati perifer atau rasa kesemutan pada kaki. Hal tersebut merupakan indikasi dari penyumbatan pada pembuluh darah (penyakit pembuluh darah perifer). Terjadinya penyakit arteri perifer selain disebabkan oleh faktor penyakit DM,
6. Tabel silang pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (karakteristik nadi dorsalis pedis) pada pasien Diabetes Mellitus Tabel 6 Tabel silang pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (karakteristik nadi dorsalis pedis) pada pasien Diabetes Mellitus
No.
Senam Kaki
1
Sebelum
2
Sesudah
Karakteristik Nadi Dorsalis Pedis Bradikh Norma Takhik Total ardi l ardi % % % % 16 53 1 4 0 0 3 1 ,3 4 6, 0 0 7 0 11 36 1 6 0 0 3 1 ,7 9 3, 0 0 3 0
Berdasarkan Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sebelum diberi perlakuan senam kaki yang mengalami bradikhardi sebanyak 16 orang (53,3%) dan sesudah diberi perlakuan senam kaki menurun menjadi 11 orang (36,7%), pasien DM yang mengalami nadi normal sebanyak 14 orang (46,7%) sebelum diberi perlakuan senam kaki dan mengalami peningkatan sesudah diberi perlakuan senam kaki sebanyak 19 orang (63,3%). Dari hasil SPSS menggunakan uji Paired t Test dengan hasil nilai p sig = 000 dimana p ≤ 0,05 maka Hı diterima, artinya terdapat pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (karakteristik nadi dorsalis pedis).
PEMBAHASAN .… .… 1. Nilai ABPI (An ankle Brachial Pressure Index) sebelum dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus
SURYA
18
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) faktor usia juga mempengaruhi status sirkulasi darah kaki pada pasien Diabetes Mellitus, semakin usia meningkat (menua) secara perlahan tubuh akan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ, sehingga keadaan sirkulasi darah kaki menurun selain karena penumpukan glukosa dalam pembuluh darah, faktor usia juga berperan. Di samping faktor usia, faktor lamanya responden menderita penyakit Diabetes Mellitus dan faktor GDA yang tidak terkendali atau hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia yang terus-menerus akan mempunyai dampak pada kemampuan pembuluh darah tidak berkontraksi dan relaksasi berkurang. Hal ini mengakibatkan sirkulasi darah dalam tubuh menurun, terutama pada kaki. Sehingga glukosa darah tidak lancar masuk ke dalam jaringan atau sel-sel dalam tubuh, sehingga terjadi penyumbatan pada pembuluh darah terutama pada kaki atau sirkulasi darah kaki menjadi tidak lancar dan terjadi penyakit pembuluh darah perifer dengan gejala kesemutan pada kaki, yang ditandai dengan tekanan darah pada kaki yang menurun. Pada prinsipnya senam kaki dilakukan secara teratur oleh pasien Diabetes Mellitus karena senam kaki mempunyai tujuan untuk memperlancar sirkulasi darah terutama pada kaki, dan mengurangi rasa kesemutan pada kaki karena sirkulasi darah akan meningkat karena adanya penarikan glukosa secara teratur terhadap penumpukan glukosa di dalam pembuluh darah. Pasien DM yang merasakan kesemutan pada kaki biasanya berupaya untuk menghilangkan atau mengurangi rasa kesemutannya tersebut dengan melakukan olahraga jalan kaki biasa setiap pagi hari. Untuk itu perlu adanya suatu solusi cara olahraga yang tepat untuk pasien DM yang mengalami penyakit arteri perifer yaitu senam kaki.
mengalami sirkulasi arteri normal sebanyak 15 orang (50%) dan sebagian kecil pasien DM mengalami penyakit arteri sedang yaitu sebanyak 5 orang (16,7%). Dari hasil penelitian tersebut bahwa di Puskesmas Mantup Lamongan pada pasien DM sesudah diberi perlakuan senam kaki sebagian besar pasien DM mengalami peningkatan tekanan darah arteri dorsalis pedis yang dinyatakan dalam penilaian ABPI dalam kategori penyakit arteri normal yaitu sebanyak 15 orang (50%). Menurut S, Sumosardjuno (1986), senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien Diabetes Melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran (sirkulasi) darah bagian kaki. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki. Kategori nilai ABPI pada pasien DM bisa normal dengan melakukan senam kaki. Kategori nilai ABPI dikatakan sirkulasi arteri normal apabila secara obyektif nilai ABPI menunjukkan skala 1,0-1,2, setelah dilakukan pemeriksaan tekanan darah nadi dorsalis pedis dibagi nadi brachialis. Hal ini disebabkan karena senam kaki melibatkan kelompok otot-otot utamanya sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol maupun kapiler, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga akan terjadi peningkatan sirkulasi darah kaki dan penarikan glukosa ke dalam sel. Sehingga aliran darah normal pada kaki seperti aliran darah di jaringan lain pada tubuh. Secara bertahap dan teratur pasien DM melakukan senam kaki dalam keseharianya disaat santai dan tetap aktif beraktifitas dengan pekerjaannya. Maka dari hal tersebut lebih dari sebagian besar pasien DM mengalami peningkatan sirkulasi darah. Dari data di atas yang menunjukkan peningkatan sirkulasi darah kaki sebagian besar dialami oleh pasien yang berumur 4555 tahun, karena usia juga merupakan faktor yang mempengaruhi status sirkulasi darah. Selain itu pekerjaan dan lamanya pasien menderita penyakit DM. Dari data sebagian
2. Nilai ABPI (An ankle Brachial Pressure Index) sesudah dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 30 orang pasien DM sesudah dilakukan senam kaki sebagian pasien DM
SURYA
19
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) besar pasien DM bekerja sebagai petani, yang aktif beraktifitas, hali itu merupakan faktor lain yang mendukung peningkatan sirkulasi darah kaki disamping melakukan senam kaki. Pekerjaan yang sering melibatkan otot-otot secara aktif untuk beraktifitas maka sirkulasi darah akan lebih lancar dibandingkan dengan seseorang yang lebih sering santai. Lamanya DM juga mampengaruhi peningkatan sirkulasi darah kaki, dari data di atas, sebagian besar pasien menderita penyakit DM kira-kira selama 2 tahun, hal itu disebabkan karena semakin lamanya menderita DM maka keaadaan hiperglikemia akan berdampak pada pembuluh darah dan sebaliknya jika menderita DM dalam waktu yang belum lama, dan bisa mengendalikan glukosa darah maka sirkulasi darah kakipun dalam sirkulasi yang normal. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa senam kaki adalah salah satu latihan fisik dalam penatalaksanaan DM yang bertujuan untuk memperlancar sirkulasi darah kaki.
merupakan alat melalui apa sel menerima nutrien dan membuang sampah yang dihasilkan dari metabolisme. Menurut Smeltzer, Suzanne C. (2002), tanda-tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer mencakup berkurangnya denyut nadi perifer klaudikasio intermiten, hal ini disebabkan karena sirkulasi darah yang buruk atau tidak lancar, terkadang disertai dengan neuropati perifer atau rasa kebas atau kesemutan. Jadi apabila sirkulasi darah mengalami gangguan atau terjadi penyumbatan pada pembuluh darah seperti tekanan darah pada arteri dorsalis pedis menurun maka juga akan mempengaruhi frekuensi denyut nadi yang menurun atau bradikhardi. Hal ini disebabkan karena nadi merupakan indikator dari status sirkulasi darah dalam pembuluh darah. 4. Karakteristik nadi dorsalis pedis sesudah dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM lebih dari sebagian pasien DM mengalami nadi normal sebanyak 19 orang (63,3%) dan hampir sebagian mengalami bradikhardi sebanyak 11 orang (36,7%). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui di Puskesmas Mantup Lamongan pada pasien DM yang mengikuti Club DM sesudah diberi perlakuan senam kaki lebih dari sebagian besar pasien mengalami peningkatan menjadi nadi normal sebanyak 19 orang (63,3%). Nadi dalam batas normal adalah frekuensi nadi 60-100 kali per menit. Sel akan berfungsi secara normal, harus ada sirkulasi darah yang kontinu dengan volume sesuai yang didistribusikan darah ke sel-sel atau jaringan yang membutuhkan nutrient. Maka dapat dijelaskan dengan senam kaki yang melibatkan otot-otot terutama pada kaki yang bertujuan memperbaiki sirkulasi darah kaki, maka apabila sirkulasi darah kaki normal maka denyut nadi akan berdenyut normal juga karena nadi merupakan indikator dari status sirkulasi darah dalam pembuluh darah. Setelah responden melakukan atau mengaplikasikan sendiri senam kaki dalam
3. Karakteristik nadi dorsalis pedis sebelum dilakukan senam kaki pada pasien Diabetes Mellitus Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM lebih dari sebagian pasien DM sebelum diberi perlakuan senam kaki mengalami bradikhardi sebanyak 16 orang (53,3%) dan hampir sebagian mengalami nadi normal sebanyak 14 orang (46,7%). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui di Puskesmas Mantup Lamongan pada pasien DM yang mengikuti Club DM sebelum diberi perlakuan senam kaki lebih dari sebagian besar masih mengalami bradikhardi sebanyak 16 orang (53,3%). Menurut Potter and Perry (2005), nadi adalah aliran darah yang menonjol dan dapat diraba di berbagai tempat pada tubuh. Bradikhardi adalah frekuensi nadi yang lambat, dibawah 60 denyut per menit pada dewasa. Arteri dorsalis pedis yang terletak disepanjang bagian atas kaki, diantara tendon ekstensi dari jari kaki pertama dan besar, yang digunakan untuk mengkaji status sirkulasi darah ke kaki. Nadi merupakan indikator status sirkulasi darah. Sirkulasi
SURYA
20
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) sehari-hari maka sirkulasi darah akan normal dan rasa kesemutan semakin berkurang dan nadipun dalam frekuensi normal. Secara subyektif responden menyatakan bahwa responden melakukan senam kaki pada saat istirahat secara teratur, dan secara obyektif pemeriksaan nadi responden dalam frekuensi normal.
(otot kaki), sehingga otot kaki berkontraksi secara teratur maka akan terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol maupun kapiler, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga akan terjadi peningkatan sirkulasi darah kaki dan penarikan glukosa ke dalam sel. Sehingga aliran darah normal pada kaki seperti aliran darah di jaringan lain pada tubuh (Soegondo Sidartawan, 2004). Dengan demikian, dapat peneliti simpulkan bahwa gangguan sirkulasi darah kaki dapat diatasi dengan tindakan seperti senam kaki. Karena Latihan fisik merupakan salah satu prinsip dalam penatalaksanaan penyakit Diabetes Melitus. Senam kaki sendiri merupakan penatalaksanaa DM dengan pendekatan non farmakologi dalam mengatasi gejala kesemutan yang disebabkan karena gangguan sirkulasi darah kaki dan dapat memperlancar sirkulasi darah kaki. Hal ini disebabkan karena efek dari senam kaki yang dapat meningkatkan sirkulasi darah kaki. Dengan efek senam kaki dan faktor lain yang mempengaruhi, maka nilai ABPI dapat menjadi normal. Hal ini dapat dipertegas dengan uji SPSS menggunakan uji Paired t Test dengan hasil nilai p sig = 000 dimana p ≤ 0,05 maka Hı diterima, artinya terdapat pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pada pasien Diabetes Mellitus.
5. Pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (nilai ABPI) pada pasien Diabetes Mellitus Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM yang sebelum diberi perlakuan senam kaki yang mengalami penyakit arteri sedang sebanyak 7 orang (23,3%) dan setelah diberi perlakuan senam kaki menjadi 5 orang (16,7%), pasien DM yang mengalami penyakit arteri ringan sebelum diberi perlakuan senam kaki sebanyak 18 orang (60%) dan setelah diberi perlakuan senam kaki mengalami perubahan menjadi 10 orang (33,3%), dan pasien DM yang mengalami sirkulasi arteri normal sebelum diberi perlakuan senam kaki sebanyak 5 orang (16,7%) dan sesudah diberi perlakuan senam kaki mengalami peningkatan sebanyak 15 orang (50%). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui di Puskesmas Mantup Lamongan pada pasien DM yang mengikuti Club DM sesudah diberi perlakuan senam kaki dapat disimpulkan bahwa dari data di menunjukkan lebih dari sebagian besar pasien DM mengalami peningkatan sirkulasi arteri normal sebanyak 15 orang (50%). Dari hasil penelitian diatas dapat menunjukkan hampir seluruh responden nilai ABPI dalam batas normal atau sirkulasi arteri normal ini disebabkan karena mekanisme sirkulasi arteri normal akibat dilakukan senam kaki karena rangsangan dari aktifitas gerakan otot-otot yang aktif pada saat melakukan gerakan senam kaki ataupun aktifitas dalam sehari-hari, sehingga rangsangan dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat melancarkan sirkulasi darah di dalam jaringan atau sel di tubuh terutama di bagian kaki. Dengan melakukan senam kaki pada pasien DM yang melibatkan kelompok otot-otot utamanya
SURYA
6. Pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki (karakteristik nadi dorsalis pedis) pada pasien Diabetes Mellitus Berdasarkan Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa dari 30 pasien DM sebelum diberi perlakuan senam kaki yang mengalami bradikhardi sebanyak 16 orang (53,3%) dan sesudah diberi perlakuan senam kaki menurun menjadi 11 orang (36,7%), pasien DM yang mengalami nadi normal sebanyak 14 orang (46,7%) sebelum diberi perlakuan senam kaki dan mengalami peningkatan sesudah diberi perlakuan senam kaki sebanyak 19 orang (63,3%). Dari hasil
21
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) penelitian tersebut dapat diketahui di Puskesmas Mantup Lamongan pada pasien DM yang mengikuti Club DM sesudah diberi perlakuan senam kaki dapat disimpulkan bahwa dari data di atas menunjukkan lebih dari sebagian besar pasien DM mengalami peningkatan sirkulasi arteri normal sebanyak 15 orang (50%). Jantung manusia terletak di rongga dada tepatnya di atas diafragma. Jantung terdiri dari dari empat ruang yaitu 2 serambi dan dua bilik. Setiap kali jantung berdenyut terdapat gelombang darah baru yang mengisi arteri. Bila tidak ada distensibilitas sistem arteri, semua darah tersebut akan segera mengalir melalui pembuluh darah perifer hanya selama periode sistol, dan tidak akan ada darah yang mengalir selama diastole. Perbedaan kedua tekanan sistol dan diastole disebut tekanan nadi. Dua faktor utama yang mempengaruhi tekanan nadi yaitu Curah isi sekuncup dari jantung dan komplians (distensibilitas total) dari percabangan arteri, faktor ketiga tetapi kurang penting berperan adalah sifat ejeksi dari jantung selam periode sistol. Pada umumnya makin besar curah isi sekuncup, makin besar pula jumlah darah yang harus di tampung di percabangan arteri pada setiap denyut jantung, dan karena itu, makin besar peningkatan dan penurunan tekanan selama sistol dan diastole akan menyebabkan makin besarnya tekanan nadi. Sebaliknya, semakin kecil komplians sistem arteri, makin besar kenaikan tekanan yang akan terjadi akibat isi sekuncup darah yang dipompa ke dalam arteri. Maka sebenarnya tekanan nadi kira-kira ditentukan oleh perbandingan isi sekuncup dengan komplians dari percabangan arteri. Oleh karena itu, setiap keadaan sirkulasi yang mempengaruhi salah satu dari faktor ini akan mempengaruhi pula tekanan nadi. Jantung juga membutuhkan makanan agar kerjanya maksimal. Makanan itu diperoleh dari nadi tajuk (arteria koronaria). Darah yang dipompa keluar jantung memiliki kekuatan dan kecepatan mengalir tertentu. Kekuatan ini dilanjutkan oleh pembuluh nadi. Karena kekuatan otot pembuluh nadi bersifat elastis, maka nadi ikut berdenyut.
SURYA
Dari hasil penelitian diatas menunjukkan lebih dari sebagian besar responden karakteristik nadinya dalam frekuensi normal hal ini disebabkan karena senam kaki merupakan suatu latihan fisik dengan cara menggerakkan bagian kaki secara aktif sesuai dengan gerakan senam kaki yang akan mempengaruhi sistem sirkulasi darah kaki dan meningkatkan frekuensi nadi. Dengan senam kaki yang melibatkan otot-otot terutama pada kaki yang bertujuan memperbaiki sirkulasi darah kaki, maka apabila sirkulasi darah kaki normal maka denyut nadi akan berdenyut normal juga karena nadi merupakan indikator dari status sirkulasi darah dalam pembuluh darah. Frekuensi nadi ditentukan oleh peningkatan dan penurunan sistol dan diastole setiap denyut jantung. Sehingga apabila keadaan sistol dan diastol terjadi penurunan atau peningkatan, maka denyut nadi juga akan terjadi penurunan atau peningkatan juga. Dalam penelitian ini untuk menentukan peningkatan sirkulasi darah kaki selain dengan menilai ABPI juga ditentukan dari frekuensi nadi. Dapat disimpulkan bahwa sirkulasi darah kaki ditentukan oleh nilai ABPI dan frekuensi nadi. Hal ini dapat dipertegas dengan hasil uji SPSS menggunakan uji Paired t Test dengan hasil nilai p sig = 000 dimana p ≤ 0,05 maka Hı diterima, artinya terdapat pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pada pasien Diabetes Mellitus.
KESIMPULAN DAN SARAN. … 1. Kesimpulan Setelah dilakukan analisa data dan melihat hasil analisa maka peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Lebih dari sebagian nilai ABPI (An ankle Brachial Pressure Index) responden pada pasien Diabetes Mellitus sebelum dilakukan senam kaki mengalami penyakit arteri ringan 2) Sebagian nilai ABPI (An ankle Brachial Pressure Index) responden pada pasien Diabetees Mellitus 22
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) setelah dilakukan senam kaki mengalami sirkulasi arteri normal 3) Lebih dari sebagian karakteristik responden pada pasien Diabetes Mellitus sebelum dilakukan senam kaki mengalami karakteristik bradikhardi 4) Lebih dari sebagian karakteristik nadi responden pada pasien Diabetees Mellitus setelah dilakukan senam kaki mengalami karakteristik nadi normal 5) Ada pengaruh senam kaki terhadap peningkatan sirkulasi darah kaki pada pasien Diabetees Mellitus di Puskesmas Mantup Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan 2. Saran Diharapkan masyarakat khususnya pasien Diabetes Mellitus lebih aktif dalam menerapkan senam kaki setelah mendapatkan pengetahuan tentang senam kaki Diabetes Mellitus. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan senam kaki terhadap pasien Diabetes Mellitus. Diharapkan sebagai salah satu masukan untuk pengembangan rencana asuhan keperawatan khususnya pada pasien Diabetes Mellitus untuk selalu menjaga kesehatan kakinya guna mencegah terjadinya luka gangren pada pasien Diabetes Mellitus. Perlunya peneliti lebih lanjut dengan menggunakan jumlah responden yang lebih besar dan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur sirkulasi darah. . .
.DAFTAR PUSTAKA
.
Arikunto,
Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineke Cipta. Aru W. Sudoyo. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Budiarto, Eko. (2001). Biostatistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC. Febrianto. (2008). Melihat Aktivitas Pengidap Diabetes Mellitus di Lamongan. www.jawapos.com tanggal 28 Desember 2010. Guyton, Arthur C. (1992). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi III. Jakarta : EGC. Guyton, Arthur C. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; Edisi 9. Jakarta: EGC. Hayens, B. dkk. (2003). Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta: Ladang Pustaka. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Karim. (2002). Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. http://pbprimaciptautama.blogspot. Diakses tanggal 01 Desember 2010 pukul 12.00. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). (2002). Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : CV.Aksara Buana. Potter and Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.
. .
Akhtyo. (2009). Senam Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus. http://www.kuliah-keperawatan.co diakses tanggal 01 Desember 2010 pukul 12:00. Arief, Mansjoer (1999). Diabetes Mellitus? Apa shi? http: //drarief.com/ diakses tanggal 03 Desember 2010.
SURYA
23
Vol.03, No.X, Des 2011
Pengaruh Senam Kaki Terhadap Peningkatan Sirkulasi Darah Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus (Dm) Prabowo. (2007). Mengenal dan Merawat Kaki Diabetik. http://www.pikiran-rakyat.com diakses tanggal 02 Desember 2010 pukul 11.00. Probosuseno. (2007). Agar Olahraga Bermanfaat Untuk Kesehatan. http://www.republika.co.id diakses tanggal 02 Desember 2010 pukul 12.00. S, Sumosardjuno. (1986). Manfaat dan Macam Olahraga bagi Penderita Diabetes Melitus. Bandung. Sidartawan, Soegondo. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8. Jakarta : EGC. Soekidjo, Notoatmodjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Soewondo, Pradana. (2007). Hidup Sehat dengan Diabetes. Jakarta:
SURYA
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Syaifuddin. (2002). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan edisi 3. EGC: Jakarta. Vowden,P. (2001). Doppler Assessement and ABPI: Interpretation in the management of leg ulceration. www.worldwidewounds.com diakses tanggal 03 Desember 2010 pukul 13.00. Wajan Juni Udjianti. (2007). Ankle brachial pressure index (ABPI) dan compression bandage.Surabaya. http:// APBI.com diakses tanggal 04 Desember 2010 pukul 11.00. Wibisono. (2009). Senam Khusus Untuk Penderita Diabetes. http://senamkaki.com 01 Desember 2010 pukul 13.00. Word Health Organization. (2000). Pencegahan Diabetes Mellitus. Jakarta: Hipokrates.
24
Vol.03, No.X, Des 2011
HUBUNGAN PENGETAHUAN PENCEGAHAN DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF) DENGAN TINDAKAN PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) DI DESA KUJUNG KECAMATAN WIDANG KABUPATEN TUBAN Dian Hidayatul C, Dian Nur Afifah, Arifal Aris
…………......……….…… …… . .….ABSTRAK…… … ......………. …… …… . .…. Pengetahuan pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) dan tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) penting bagi masyarakat khususnya bagi keluarga karena sangat berpengaruh pada kesehatan keluarga maupun masyarakat. Dari survey awal menunjukan bahwa 60% keluarga yang tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan pengetahuan pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) dengan tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi korelasi dengan pendekatan cross sectional, populasinya adalah 100 keluarga di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban tahun 2011, dengan besar sampel 80 keluarga, mengunakan simple random sampling. Pada penelitian ini variabel independen adalah pengetahuan pencegahan Dengue Haemarrhagic Fever (DHF) dan variabel dependen adalah tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Instrument yang digunakan adalah lembar kuesioner, kemudian di uji dengan mengunakan uji koefisien kontingensi, α = 0,05 Hasil penelitian menunjukan dari sebagian keluarga yang berpengetahuan kurang sebanyak 55,0% dan yang tidak melakukan PSN yaitu sebanyak 53,8% sedangkan dengan pengujian statistik dengan tingkat signifikasi α = 0.05 dengan uji koefisien kontingensi diperoleh hasil p = 0.031 (p < 0.05). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah H0 ditolak artinya ada hubungan pengetahuan pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) dengan tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban. Melihat hasil penelitian ini maka perlu bagi petugas kesehatan melakukan penyuluhan tentang pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) dan pentingnya tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kata Kunci : Pengetahuan Pencegahan DHF, Tindakan PSN
PENDAHULUAN. …… .
Dengue (DBD). Nyamuk ini berkembang biak di tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dan barang bekas yang dapat menampung air hujan di rumah dan tempat umum. Untuk mencegah berjangkitnya penyakit ini, nyamuk Aedes Aegypti perlu diberantas. Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam pengendalian penyakit DBD yaitu menemukan kasus secepatnya dan mengobati sesuai protap, memutuskan suatu mata rantai penularan dengan pemberantasan vector (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kemitraan dalam wadah POKJANAL DBD (kelompok kerja oprasional DBD),
… …. Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan perilaku seseorang menyangkut kebersihan yang dapat mempengaruhi kesehatannya. Salah satu faktor yang mendukung perilaku hidup bersih dan sehat adalah kesehatan lingkungan. Kesehatan dari suatu komunitas bergantung pada integritas lingkungan fisik, nilai kemanusiaan dalam hubungan sosial, ketersediaan sumber yang diperlukan dalam mempertahankan hidup dan penanggulangan penyakit. Setiap wilayah yang terdapat nyamuk Aedes Aegypti mempunyai resiko untuk kejangkitan penyakit Demam Berdarah
SURYA
25
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN 3M Plus) dan peningkatan profesionalisme pelaksanaan program. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu diantaranya dan yang paling utama adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur). Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M Plus yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan dan mencegah gigitan nyamuk. Sampai saat ini upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diinginkan karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kematian. Dari suatu penelitian terhadap 1.457 rumah warga yang dilakukan selama tahun 2008 di kota Surabaya sebanyak 1.040 (71,3%) rumah yang belum melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Dan data dari Dinas Kabupaten Tuban mencatat dari Desa/Kelurahan endemis DBD yang melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk hanya 43% sedangkan sasarannya 100%. (Dinkes Kab Tuban). Berdasarkan hasil survey awal di Desa Kujung Kecamatan Widang Tuban didapatkan dari 20 keluarga hanya 8 (40%) yang sudah melakukan pemberantasan sarang nyamuk, 12 (60%) keluarga di Desa Kujung yang belum melakukan pemberantasan sarang nyamuk. Dari data tersebut di dapatkan masih banyaknya (60%) keluarga yang belum melakukan pemberantasan sarang nyamuk. Maka masalah penelitian dari data diatas adalah masih tingginya keluarga yang belum melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan baik. Faktor yang dapat mempengaruhi pencegahan DHF adalah lingkungan, biologis dan kimiawi. Faktor pertama lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhnya dapat mempengaruhui perkembangan dan perilaku orang atan kelompok. Lingkunngan adalah input kedalam diri seseorang sebagai system adatif yang melibatkan baik faktor internal
SURYA
maupun factor eksternal. Semakin tinggi tingkat kebersihan lingkungan maka semakin rendah terjadinya penyakit DBD. Faktor kedua biologis Pengendalian secara bioligis merupakan pengendalian perkembangan nyamuk dan jentiknya dengan menggunakan hewan atau tumbuhan. Seperti pemeliharaan ikan cupang pada kola/ sumur yang sudah tak terpakai atau menggunakan dengan bakteri Bt H-14. Faktor ketiga kimiawi Pengendalian secara kimiawi adalah cara pengendalian serta pembasmian nyamuk dan jentik dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Diantaranya adalah : Pengasapan/togging dengan menggunakan malathion dan fenthion yang berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan aides aegypti dengan batas tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat yang sering menjadi tempat penampungan air. Apabila faktor tersebut diatas mendukung maka tindakan PSN akan berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan dan sebaliknya jika faktor tersebut tidak mendukung maka akan timbul penyulit sehingga hal tersebut akan membawa dampak pada keluarga atau masyarakat. Cara memberantas nyamuk Aedes Aegypti yang tepat guna ialah melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yaitu kegiatan untuk memberantas jentik di tempat berkembang biaknya. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara 3 M plus (menguras, menutup, mengubur, serta menghindari gigitan nyamuk) tempat berkembang biak nyamuk penular penyakit Demam Berdarah Dengue atau usaha lain untuk memberantas jentik seperti abatisasi, memelihara ikan, dll.(Depkes RI, 2005) Pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembang biakannya. (Depkes RI, 2005). Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan suatu metode untuk mencegah penyakit DHF, yang dalam pelaksanaanya memerlukan peran serta penyakit agar hasil yang diperoleh maksimal, karena yang melakukan pemberantasan
26
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum)
HASIL .PENELITIAN … 1. Data Umum 1) Pekerjaan Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan
sarang nyamuk ini adalah masyarakat. Tapi dalam kenyataanya masih banyak masyarakat yang belum melakukan pencegahan ini. Untuk meningkatkan perilaku atau tindakan keluarga dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), kita perlu meningkatkan rasa kepedulian masyarakat khususnnya keluarga terhadap kesehatan lingkungan dengan memberikan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan. Khususnya tentang Pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Dari uraian diatas peneliti ingin mengangkat penelitian tentang hubungan pengetahuan pencegahan dengue haemorrhagic fevere (DHF) dengan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Tujuan penelitian di atas adalah Untuk mengatahui Hubungan Pengetahuan Pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Dengan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban.
No
Pekerjaan
1 2 3 4
Petani Pegawai Pedagang Tidak bekerja Jumlah
Jumlah responden 36 10 29 5
Presentase (%) 45,0 12,5 36,2 6,2
80
100
Dari Tabel 1 diatas diperoleh hasil bahwa lebih dari sebagian responden bekerja petani yaitu 36 keluarga (45,0%) dan sebagian kecil yaitu 5 keluarga (6,2%) tidak bekerja. 2) Umur Tabel 2 No
Umur
1 2 3
< 20 th 20-35th > 35 th
Distribusi responden berdasarkan umur Jumlah responden 4 51 25
Presentase (%) 5,0 63,8 31,2
METODOLOGI PENELITIAN Jumlah
Jenis penelitian ini adalah analitik korelasional dengan menggunakan metode simple random sampling. Populasi penelitian ini adalah Seluruh keluarga yang tinggal di Desa Kujung Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban sedangkan sampelnya Sebagian keluarga yang tinggal di Desa Kujung Kematan Widang Kabupaten Tuban selama bulan Maret sampai September tahun 2011. Dengan besar sampel 80 responden dari 100 populasi. Variabel independen yakni pengetahuan pencegahan DHF dan variabel dependen yakni tindakan PSN. Pengumpulan data dengan menggunakan lembar kuesioner. Pengolahan data menggunakan Editing, Coding, Scoring, Tabulating. Analisa data menggunakan uji koefisien kontingensi dengan taraf signifikansi 0,05.
100
Dari Tabel 2 diatas diperoleh hasil bahwa lebih dari sebagian responden berumur 20-35 tahun yaitu 51 keluarga (63,8%) dan sebagian kecil yaitu 4 keluarga (5,0%) berumur < 20 tahun. 2. Data Khusus 1) Pengetahuan Pencegahan DHF Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan pencegahan DHF di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban Tahun 2011. Pengetahuan No Pencegahan DHF 1 Kurang 2 Cukup 3 Baik Jumlah
SURYA
80
27
Frekuensi
Presentase (%)
44 20 16
55,0 25,0 20,0
80
100
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum)
PEMBAHASAN .…
Dari Tabel 3 diatas diperoleh hasil bahwa hampir sebagian responden berpengetahuan kurang yaitu 44 keluarga (55,0%) dan sebagian kecil respoden berpengetahuan baik yaitu 16 keluarga (20,0%).
.… Pengetahuan Pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Berdasarkan pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar yaitu 44 keluarga (55,0%) berpengetahuan kurang, Menurut Wash, Linda V (2007), disebabkan oleh faktor umur. Faktor umur sangatlah berpengaruh pada seseorang dalam berpengetahuan baik. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas keluarga berumur 20-35 tahun. Menurut Wash, Linda V (2007) dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), pada aspek tersebut taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa sehingga keluarga sadar akan pentingnya pengetahuan tentang pencegahan DHF. Berdasarkan uraian diatas terdapat kesenjangan antara fakta dan teori. Pada umumnya taraf berfikir keluarga yang berumur 20-35 tahun semakin matang dan dewasa sehingga keluarga sadar akan pentingnya pengetahuan pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF). Namun dari hasil penelitian mayoritas keluarga yang berumur 20-35 tahun berpengetahuan kurang hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi tentang pengetahuan pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), serta kurangnya motifasi petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan pada masyarakat mengenai pengetahuan pencegahan DHF. 1)
2) Tindakan PSN Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan tindakan PSN No 1 2
Tindakan PSN
Frekuensi
Melakukan tindakan PSN Tidak melakukan tindakan PSN Jumlah
37 43
Presentase (%) 46,2 53,8
80
100
Dari Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa lebih dari sebagian responden tidak melakukan tindakan PSN yaitu sebanyak 43 keluarga (53,8%). 3) Hubungan Pengetahuan Pencegahan DHF Dengan Tindakan PSN Di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban Tahun 2011 Tabel 5 Tabel silang hubungan pengetahuan pencegahan DHF dengan tindakan PSN Pengetahuan Pencegahan DHF
Tindakan PSN Tidak Melakukan Melakukan ∑ % ∑ %
∑
%
Kurang Cukup Baik
23 15 5
44 20 16
100 100 100
Jumlah
43
52,3 75,0 31,2 52,5
21 5 11 37
Koefisien kotingensi = 0,282
47,7 25,0 68,8 46,2
Jumlah
80
2) Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Berdasarkan hasil penelitian yang dikumpulkan melalui kuesioner pada Tabel 4 bahwa sebagian besar keluarga (53,8 %) tidak melakukan tindakan PSN. Kepatuhan keluarga dalam tindakan PSN dipengaruhi oleh umur dan pekerjaan. Faktor umur sangatlah berpengaruh bagi seseoarang dalam tindakan PSN. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas keluarga berumur 20-35 tahun. Menurut Wash, Linda V (2007) dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), pada aspek tersebut taraf berfikir
100
p = 0,005
Dari Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa keluarga yang tidak melakukan tindakan PSN sebanyak (53,2%) karena pengetahuan pencegahan DHF yang kurang dan keluarga yang melakukan tindakan PSN sebanyak (47,7%) karena pengetahuan pencegahan DHF yang kurang.
SURYA
28
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) seseorang semakin matang dan dewasa sehingga keluarga sadar akan pentingnya tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Berdasarkan uraian diatas terdapat kesenjangan antara fakta dan teori. Pada umumnya taraf berfikir keluarga yang berumur 20-35 tahun semakin matang dan dewasa sehingga keluarga sadar akan pentingnya tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Namun dari hasil penelitian mayoritas keluarga yang berumur 20-35 tahun tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) hal ini disebabkan oleh pengetahuan keluarga yang kurang, pengetahuan tentang dengue haemorhagic fever (DHF) kurang, kurangnya motifasi petugas kesehatan dan masyarakat serta keluarga mengakibatkan efek samping dari tindakan PSN. Selain itu faktor pekerjaan mempengaruhi keluarga dalam tindakan PSN. Dari Tabel 1 menujukkan bahwa sebagian keluarga sebagai petani. Menurut mollad (2010) seseorang yang bekerja memilik kecenderungan sulit dalam membagi waktunya. Kebanyakan seorang petani lebih menutup diri terhadap informasi tentang kesehatan terutama pada pencegahan DHF sehingga memunculkan tindakan yang negatif, seperti tidak melakukan tindakan PSN dengan baik dan benar sesuai anjuran yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
Berdasarkan penjelasan diatas keluarga yang berpengetahuan kurang tidak melakukan tindakan PSN hal ini disebakan karena tingkat pendidikan atau pengetahuan keluarga kurang bisa memahami dan mengaplikasikan informasi. hal ini yang mendukung sikap negatif dalam diri keluarga keluarga tidak patuh dalam melakukan tindakan PSN sesuai dengan anjuran tenaga kesehatan, meskipun demikian ada sebagian kecil keluarga yang patuh dalam melakukan tindakan PSN. Hal ini disebabkan karena peran pendidik atau petugas kesehatan, masyarakat dalam memberikan dukungan pada keluarga dalam melakukan tindakan PSN. Keluarga yang berpengetahuan baik memiliki perilaku yang baik pula dalam melakukan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) mayoritas keluarga dalam melakukan tindakan PSN akan lebih mampu memahami dan mengaplikasikan informasi yang dimiliki. Keadaan tersebut membuat keluarga akan bersikap positif dan akan melakukan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sesuai dengan anjuran yang diberaikan tenaga kesehatan. Dari beberapa urain diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi kepatuhan keluarga dalam melakukan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) semakin baik pengetahuan keluarga maka semakin baik pula kepatuhan keluarga dalam melakukan tindakan PSN dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan teori Soekidjo Notoatmodjo (2003), bahwa seseorang yang berpengetahuan atau berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Oleh karena itu perlu memberikan wawasan dan bimbingan tentang pengetahuan pencegahan DHF dan tindakan PSN sehingga tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dapat terlaksana dengan baik dan maksimal.
3) Hubungan Pengetahuan Pencegahan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Dengan Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 5 terdapat hubungan pengetahuan pencegahan DHF dengan tindakan PSN, bahwa keluarga yang berpengetahuan kurang sebagian besar tidak melakukan tindakan PSN. Sedangkan keluarga yang tingkat pengetahuannya baik sebagian kecil melakukan tindakan PSN. Dari uji analisis SPSS 16.0 menggunakan uji koefisien kontingensi yaitu terdapat hubungan antara pengetahuan pencegahan DHF dengan Tindakan PSN di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban Tahun 2011.
SURYA
29
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum)
KESIMPULAN DAN SARAN. … 1. Kesimpulan 1) Lebih dari sebagian keluarga di Desa Kujung Kecamatan Widang Tuban memiliki pengetahuan kurang. 2) Lebih dari sebagian keluarga di Desa Kujung Kecamatan Widang Tuban tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3) Ada hubungan pengetahuan pencegahan dengue haemorrhagic fever (DHF) dengan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di Desa Kujung Kecamatan Widang Kabupaten Tuban.
Depkes
RI, (2005). Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Dirjen PP & PL
Effendi,
Nasrul, (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
Mardalis, (2004). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara Nursalam
dan Siti Pariani, (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Nursalam, (2003). Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba Utama. Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba medika
. . .DAFTAR PUSTAKA . . . A. Azis Alimul Hidayat, (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
SURYA
RI, (1992). Petunjuk Teknis Penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Demam Beradarah Dengeu. Jakarta: Dirjen PP & PL.
Depkes RI, (2007). Pelatihan Bagi Pelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Demam Berdarah Dengue Dengan Pendekatan Komunikasi Perubahan Perilaku. Jakarta : Dirjen PP & PL
2. Saran Diharapkan supaya lebih dikembangkan lagi untuk menambah ilmu khususnya tentang pengetahuan pencegahan DHF sehingga dapat dijadikan sebagai acuan bagi pihak lain dalam mengembangkan wacana tentang pengetahuan pencegahan DHF. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai membangun bagi ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya. Diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi dalam program dan sebagai sumber data dan masukan. Bidan perlu meningkatkan penyuluhan pada keluarga atau masyarakat tentang pengetahuan pencegahan DHF agar masyarakat lebih mengerti bagaimana melakukan tindakan PSN yang benar. Diharapkan bias menambah jumlah responden, jumlah sampel dan observasi lebih lanjut pada responden.
Budiman
Depkes
Praktiknya, Ahmad Watik, (2010). Dasardasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers Soekidjo Notoatmodjo, (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Chandra, (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : EGC
30
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) Soekidjo Notoatmodjo, (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta
Suharsini
Soekidjo Notoatmodjo, (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
Wahid Iqbal Mubarok, (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC
Soekidjo Notoatmodjo, (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Wahid,
SURYA
Arikunto, (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta
Iqbal dkk, (2007). Promosi Kesehatan. Jakarta : Graha Ilmu http://abahjack.com/rmah-sehat-dalamlingkungan-yang-sehat.html#more-13
31
Vol.03, No.X, Des 2011
HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK (OLAHRAGA) DENGAN TINGKAT NYERI DISMINORE PADA REMAJA PUTRI KELAS XI DI SMK NU 1 KEDUNGPRING LAMONGAN TAHUN 2011 Anti Ningsih, Sulistiyowati, Cucuk Rahmadi P
…………......……….…… …… . .….ABSTRAK…… … ......………. …… …… . .…. Aktivitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat nyeri disminore pada remaja putri. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian Survei analitik dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional. Populasinya adalah remaja putri kelas XI yang mengalami disminore di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan Tahun 2011 yaitu sebanyak 57 orang kemudian dengan menggunakan teknik sampling simple random sampling didapatkan sampel sebanyak 50 orang. Data diambil dengan menggunakan lembar skala nyeri dan lembar kuisioner. Setelah di tabulasi kemudian dianalisis dengan menggunakan uji spearman rho dengan α 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian remaja putri mengalami nyeri sedang yaitu (42%) dan sebagian kecil yaitu (4%) mengalami nyeri berat. Dari hasil uji spearman rho didapatkan rs hitung = -0,042 dan p = 0,774 dimana p > 0,05 maka H0 diterima, artinya tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat nyeri disminore. Kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat nyeri disminore remaja putri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kebudayaan, makna nyeri perhatian, ansietas, pengalaman terdahulu, keluarga dan dukungan social. Kata kunci: aktivitas fisik (olah raga), tingkat nyeri disminore
PENDAHULUAN. …… .
memproduksi estrogen siklik yang adekuat untuk mematangkan ovum (Bobak, 2004). Banyak wanita yang mengalami ketidaknyamanan pada awitan menstruasi salah satunya yaitu disminore, tetapi tingkat ketidaknyamanan disminore jauh lebih tinggi, dengan nyeri yang sering kali dirasakan di punggung bawah menjalar kebawah hingga kebagian atas tungkai (Andrew, Gilly, 2009). Disminore mungkin merupakan keluhan pasien ginekologi yang paling umum terjadi, menyerang 75 % dari seluruh wanita. Dari semua wanita yang terkena, 50 % melaporkan gejala-gejala ringan (yaitu tidak ada gejala sistemik, obat-obatan jarang diperlukan dan pekerjaan jarang terganggu), 30% mengalami gejala-gejala sedang (yaitu ada beberapa gejala sistemik, memerlukan obat, pekerjaan cukup terganggu) dan 20% mempunyai gejala-gejala 1 berat (yaitu banyak
… …. Masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa meliputi perubahan penampilan fisik dan karakteristik fisiologis yang sangat besar, masa ini disebut sebagai masa remaja. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduksi menuju kematangan seksual (Hendriati Agustiani, 2006). Hal ini ditandai dengan menarce yaitu menstruasi pertama yang merupakan tanda permulaan pemasakan seksual dan terjadi sekitar usia 13 tahun (Siti Rahayu Haditono, 2002). Pada sebagian besar anak perempuan, menstruasi tidak regular, tidak dapat diprediksi, tidak nyeri dan tidak mengandung telur. Setelah satu tahun atau lebih, berkembang suatu irama hipofisis hipotalamus, dan ovarium
SURYA
32
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Aktivitas Fisik (Olahraga) Dengan Tingkat Nyeri Disminore Pada Remaja Putri respon terhadap obat buruk dan pekerjaan terhambat) (Benson, Ralph C, 2008). Survei awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 22 Januari 2011 di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan, dari 20 siswi yang sudah menstruasi yaitu terdapat 17 siswi atau 85% siswi mengalami disminore saat haid dan 3 siswi atau 15% siswi tidak mengalami disminore. Dari data tersebut maka masalah penelitian adalah masih banyaknya remaja putri yang mengalami disminore. Akibat yang sering ditimbulkan karena Disminore yaitu mual, muntah, lemas, sakit kepala atau migraine, gangguan usus (Andrew, Gilly, 2009). Selain itu bisa terjadi diare, dan kram, sakit seperti kolik di perut beberapa wanita bahkan pingsan dan mabuk, keadaan ini muncul cukup hebat sehingga menyebabkan penderita mengalami kelumpuhan aktivitas untuk sementara (Youngson, 2002). Menurut Potter, Patricia A. (2005) disminore pada remaja dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : Usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, pengalaman terdahulu, gaya koping, keluarga dan dukungan sosial. Upaya yang dapat digunakan untuk meringankan nyeri disminore adalah dengan metode farmakologi dan non farmakologi. Pada metode farmakologi dilakukan dengan pemberian terapi hormonal dan terapi obat NSAID, sedangkan pada metode non farmakologi dapat menggunakan metode aktivitas fisik (olahraga), homeopati, akupuntur, biofeedback, teknik relaksasi, masase, aroma terapi, penggunaan herba tertentu serta makanan sehat (Potter, Patricia A., 2005). Dari berbagai teknik diatas, remaja bisa meringankan nyeri yang dialami dengan melakukan aktivitas fisik. Dengan melakukan aktivitas fisik atau olahraga tubuh akan menghasilkan endorphin. Endorphin dihasilkan di otak dan susunan syaraf tulang belakang. Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak sehingga menimbulkan rasa nyaman sehingga nyeri yang dialami tidak begitu dirasakan dan menstruasi dapat berjalan dengan lancar serta teratur tanpa disertai nyeri disminore. Karena banyaknya metode
SURYA
yang dapat digunakan untuk meringankan nyeri disminore maka peneliti tertarik untuk mengetahui “Hubungan aktivitas fisik (olah raga) dengan tingkat nyeri dismenorea pada remaja putri kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan tahun 2011”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik (olah raga) dengan tingkat nyeri dismenorea pada remaja putri kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan tahun 2011.
METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi yang digunakan adalah seluruh remaja putri kelas XI yang mengalami disminore di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan pada bulan Juli sampai Agustus 2011 yaitu sebesar 57 orang. Metode sampling simple random sampling. Sampel pada penelitian ini adalah sebagian remaja putri kelas XI yang mengalami disminore di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan Tahun 2011 yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 50 orang. Variabel independen aktivitas fisik (olahraga) dan variabel dependen tingkat nyeri disminore. Penelitian dilakukan menggunakan kuesioner tertutup dan lembar skala nyeri. Data ditabulasi dan dianalisis dengan uji spearman rho dengan α = 0,05.
HASIL .PENELITIAN … 1. Data Umum 1) Karakteristik responden berdasarkan umur Tabel 1 Distribusi umur responden kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan bulan Juli sampai Agustus tahun 2011 No
Umur
Jumlah
Persentase
1 2
16 tahun
6
12 %
17 tahun
42
84 %
3
18 tahun
2
4%
Total
50
100 %
Berdasarkan data diatas menunjukkan hampir seluruh responden berumur 17 tahun yaitu sebesar 42 orang
33
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Aktivitas Fisik (Olahraga) Dengan Tingkat Nyeri Disminore Pada Remaja Putri (84%) dan hanya sebagian kecil yang berumur 18 tahun yaitu sebesar 2 orang (4%). 2)
Karakteristik responden berdasarkan lama menarche Tabel 2 Distribusi lama menarche responden kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan bulan Juli sampai Agustus tahun 2011 No. 1 2 3 4 5
Lama menarche 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun Total
Jumlah
Persentase
5 7 20 14 4 50
10 % 14 % 40 % 28% 8% 100 %
3
Total
Jumlah 26 10
Prosentase 52% 20%
14
28%
50%
100%
Prosentase
1 2 3
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang
12 15 21
24 % 30 % 42 %
4
Nyeri berat Nyeri sangat berat Total
2
4%
0
0
50
100 %
3) Hubungan aktivitas fisik (olah raga) dengan tingkat nyeri disminore pada remaja putri Tabel 5 Tabel silang aktivitas fisik (olah raga) dengan tingkat nyeri disminore remaja putri kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan tahun 2011 Aktivita s fisik
Tidak nyeri
Tidak Melakuk an Melakuk an tidak teratur Melakuk an teratur Jumlah
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa lebih dari sebagian responden tidak melakukan aktivitas fisik (olah raga) yaitu sebesar 26 orang (52%) dan sebagian kecil melakukan aktivitas fisik (olah raga) tidak teratur yaitu sebesar 10 orang (20%). 2) Tingkat nyeri disminore remaja putri Tabel 4 Distribusi tingkat nyeri disminore responden kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan tahun 2011
SURYA
Jumlah
Berdasarkan data diatas menunjukkan hampir sebagian responden mengalami nyeri sedang yaitu sebesar 21 orang (42%) dan sebagian kecil mengalami nyeri berat sebesar 2 orang (4%).
2. Data Khusus 1) Aktivitas fisik remaja putri Tabel 3 Distribusi aktivitas fisik (olah raga) responden kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan tahun 2011 Aktivitas fisik Tidak melakukan Melakukan tidak teratur Melakukan teratur
Tingkat nyeri
5
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa hampir sebagian responden sudah mengalami menstruasi selama 4 tahun yaitu sebesar 20 orang (40 %) dan sebagian kecil sudah mengalami menstruasi selama 6 tahun yaitu sebesar 4 orang (8 %).
No 1 2
No.
%
Tingkat Nyeri Nye Nyeri ri Nyeri ringan seda berat ng % % %
Nyeri sangat berat
Jumlah
%
8
30% 8
30%
8 30% 2
10% 0
0%
26
100%
0
0%
2
20%
8 80% 0
0%
0
0%
10
100%
4
28% 5
36%
5 36% 0
0%
0
0%
14
100%
12 24% 15 30% 21 42% 2 4% 0 rs = - 0,042 = 0,774
0%
50
100%
Dari Tabel 5 diatas menunjukan bahwa hampir sebagian (30%) responden yang tidak melakukan aktivitas fisik (olah raga) mengalami nyeri sedang dan hampir seluruhnya (80%) responden yang melakukan aktivitas fisik (olah raga) tidak teratur juga mengalami nyeri sedang. Sedangkan responden yang melakukan aktivitas fisik (olahraga) teratur nyeri sedang terjadi pada hampir sebagian (36%) remaja tersebut. Dengan menggunakan uji spearman rho hasil analisis data dengan bantuan SPSS versi 16,0
34
%
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Aktivitas Fisik (Olahraga) Dengan Tingkat Nyeri Disminore Pada Remaja Putri didapatkan rs hitung = -0,042 dan p = 0,774 dengan taraf signifikan (α) 0,05 sehingga p > 0,05 maka Ho diterima yaitu tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik (olah raga) dengan tingkat nyeri disminore.
menarce pada usia 9 tahun (Andrews, Gilly. 2009). Puberitas premature dapat menandakan adanya gangguan endokrin. Aktivitas fisik intensif pada remaja putri dikaitkan dengan resiko yang lebih rendah dalam mencapai menarce yang lebih awal (Varney, Helen. 2006).
PEMBAHASAN .… .… 1. Aktivitas Fisik Remaja Dari Tabel 3 menunjukan bahwa lebih dari sebagian remaja putri kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan tidak melakukan aktivitas fisik (olah raga) yaitu sebesar 52%. Banyaknya remaja putri yang tidak mengikuti olah raga disebabkan karena masalah keamanan, desakan waktu, dan ketidakmampuan mengukur efek aktivitas sehari-hari pada keseluruhan tingkat aktivitas sehari-hari remaja putri (Varney, Helen. 2006). Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor usia dan menarce. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan hampir seluruh remaja putri berumur 17 tahun yaitu sebesar 84%. Perbedaan usia juga mempengaruhi kemampuan aktivitas fisik seseorang. Seiring dengan bertambahnya usia maka kemampuan dan kematangan fungsi alat gerak juga akan semakin berkembang. Pada saat remaja fungsi alat tubuh sudah matang dan cukup mampu untuk melakukan aktivitas fisik (olah raga) yang akan berguna bagi tubuhnya. Dengan bertambahnya umur seseorang maka akan terjadi perubahan pada fisik, psikologi dan mental, sehingga pada kondisi ini remaja banyak mengetahui informasi tentang kesehatan reproduksi, karena mereka mampu mengatasi masa transisi ini dengan baik dan dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi (Bobak, 2004). Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir sebagian remaja putri sudah mengalami menstruasi selama 4 tahun yaitu sebesar 40%. Usia menarce mempengaruhi kesiapan seorang wanita dalam menghadapi segala hal tentang menstruasi dan gangguannya. Semakin lama remaja telah mengalami menstruasi maka remaja akan memiliki banyak pengalaman dalam mengatasi masalah yang dialami. Usia terjadinya menarce (awitan menstruasi) semakin dini. Rentang normal usia menarce adalah 10-16 tahun, tetapi beberapa gadis SURYA
2. Tingkat Nyeri Disminore Dari Tabel 4 menunjukan hampir sebagian remaja putri mengalami nyeri sedang yaitu sebesar 42%. Tingkatan nyeri dikatakan sedang apabila remaja putrid secara subyektif mengatakan mengalami nyeri sedang dan secara obyektif remaja putri mendesis, menyeringai dapat menunjukan lokasi nyeri dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Dari Tabel 1 menunjukkan hampir seluruh remaja putri berumur 17 tahun yaitu sebesar 84%. Semakin berusia maka nyeri yang dirasakan semakin berat pula, remaja yang belum cukup usianya biasanya akan mengalami kesulitan dalam memahami nyeri yang dialami dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi nyeri terebut. Namun remaja yang usianya cukup akan lebih bisa beradaptasi dengan keadaan nyeri tersebut. Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bereaksi terhadap nyeri (Potter, Patricia A. 2005). Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir sebagian remaja putri sudah mengalami menstruasi selama 4 tahun yaitu sebesar 40 %. Usia menarce mempengaruhi kesiapan seorang wanita dalam menghadapi segala hal tentang menstruasi dan gangguannya. Semakin lama remaja telah mengalami menstruasi maka remaja akan memiliki banyak pengalaman dalam mengatasi masalah yang dialami. Apabila seseorang sejak lama sering mengalami nyeri dan tidak mampu mengatasinya, maka ansietas atau rasa takut dapat muncul tetapi apabila individu tersebut mampu mengatasi nyeri yang di alaminya akan lebih mudah individu tersebut mendeskripsikan sensasi nyeri tersebut. Akibatnya, klien akan lebih
35
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Aktivitas Fisik (Olahraga) Dengan Tingkat Nyeri Disminore Pada Remaja Putri siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Usia terjadinya menarce (awitan menstruasi) semakin dini. Rentang normal usia menarce adalah 10-16 tahun, tetapi beberapa gadis menarce pada usia 9 tahun (Andrews, Gilly. 2009).
Perhatian individu pada nyeri mempengaruhi persepsi nyeri. Hal ini merupakan salah satu konsep yang diterapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, distraksi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase. Fokus perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain akan menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer sehingga toleransi nyeri individu meningkat. Upaya pengalihan nyeri menyebabkan respon terhadap nyeri menurun. Ansietas sering kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Individu yang memiliki emosional yang sehat biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri tingkat sedang hingga berat dari pada individu yang memiliki emosional yang kurang stabil. nyeri yang tidak kunjung hilang sering kali menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian. Keletihan juga mempengaruhi nyeri. Persepsi nyeri akan meningkat jika individu keletihan. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. nyeri sering berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada saat kelelahan. Pengalaman terhadap nyeri yang dialami individu akan menyebabkan timbulnya rasa takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu dengan pengalaman nyeri akan mengalami ketakutan terhadap peningkatan nyeri dan pengobatannya yang tidak adekuat. Pasien yang tidak pernah mengalami nyeri yang nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Dukungan keluarga dan dukungan sosial atau orang terdekat dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa mengurangi rasa nyeri pasien, namun ada juga yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri. Kehadiran orang-orang terdekat merupakan tempat klien menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri.
3. Hubungan aktivitas fisik dengan tingkat nyeri disminore pada remaja putri di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan Dari Tabel 5 menunjukan bahwa hampir sebagian (30%) remaja putri yang tidak melakukan aktivitas fisik (olah raga) mengalami nyeri sedang dan hampir seluruhnya (80%) remaja yang melakukan aktivitas fisik (olah raga) tidak teratur juga mengalami nyeri sedang. Sedangkan remaja putri yang melakukan aktivitas fisik (olahraga) teratur nyeri sedang terjadi pada hampir sebagian (36%) remaja tersebut. Dari hasil uji spearmen rho didapatkan rs hitung = -0,042 dan = 0,774 dimana p > 0,05 maka Ho diterima, artinya tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat nyeri disminore. Hal ini kemungkinan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti usia, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, pengalaman terdahulu, gaya koping, keluarga dan dukungan sosial yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat nyeri seseorang (Potter, Patricia A., 2005). Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anakanak dan lansia. Hubungan perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Kebudayaan berkaitan dengan keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Makna nyeri berpengaruh dengan derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.
SURYA
36
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Aktivitas Fisik (Olahraga) Dengan Tingkat Nyeri Disminore Pada Remaja Putri Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap dirasakan, kehadiran orang yang dicintai akan mengurangi kesepian dan ketakutan. Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-anak yang sedang mengalami nyeri. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan, yaitu hampir sebagian remaja putri yang tidak melakukan aktivitas fisik (olah raga) tidak mengalami nyeri dan sebagian kecil remaja yang melakukan aktivitas fisik tidak teratur mengalami nyeri ringan. Hal ini kemungkinan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti usia, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, pengalaman terdahulu, keluarga dan dukungan sosial.
kesehatan siswi, terutama mengurangi ketidak hadiran disekolah karena disminore. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor lain yang ada hubungan dengan tingkat nyeri disminore pada remaja dengan sampel dan teknik yang lebih tepat. . .
.
. .
Andrew, Gilly. (2009). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : EGC Benson, Ralph C. (2008). Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC Bobak. (2004). Buku ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC Danim,
KESIMPULAN DAN SARAN. … 1. Kesimpulan Tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan tingkat nyeri disminore pada remaja kelas XI di SMK NU 1 Kedungpring Lamongan.
Sudarwan. (2003). Metodologi Penelitian Kebidanan. Jakarta : EGC
Gil. (1990). Dampak Disminore (2002). http//www. disminore. blogspot. com.Diakses tanggal 10 Februari 2011 Giriwijoyo, S, Ali, M. (2005). Ilmu Faal Olahraga Untuk Kesehatan Dan Untuk Prestasi. Fakultas Pendidikan Surabaya Dan Kesehatan UPI, Bandung
2. Saran Dari hasil penelitian diharapkan memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal pengetahuan tentang disminore. Dan sebagai sarana pembanding bagi dunia ilmu pengetahuan dalam memperkaya informasi tentang cara mengatasi disminore. Diharapkan responden lebih aktif dalam mengikuti ekstrakulikuler olahraga yang ada disekolahnya sehingga bisa bermanfaat bagi dirinya. Untuk lebih membudayakan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi terutama remaja sehingga remaja bisa mengatasi masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi secara benar. Dengan adanya penelitian tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi dalam program dan sebagai data serta masukan yang dapat dipergunakan untuk mengetahui dan meningkatkan status
SURYA
.DAFTAR PUSTAKA
Hendriati,
Agustin. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Rafika Aditama
Hanifa
Winkjosastro. (2005). Ilmu Kandungan. Jakarta: YBP-SP
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika Hidayat,
37
A.Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Aktivitas Fisik (Olahraga) Dengan Tingkat Nyeri Disminore Pada Remaja Putri Hidayat, Musrifatul. (2008). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Keperawatan. Medika.
Jakarta:
Salemba
Pangkalan ide. (2008). Dark Chocolate. Jakarta : Elex Media
Harry. Mekanisme endorphin dalam tubuh. 2007. Available at Http:/klikharry.files.wordpress.co m/2007/02/1.doc endorphin dalam tubuh. Diposkan tanggal 10 february 2011
Posted. (2008). Dampak Disminore (2002). http//www. disminore. blogspot. com.Diakses tanggal 10 Februari 2011 Potter,
Kasman, D. (2002). Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: FKUI
Patricia A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC
Soekidjo,
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Notoadmojo. (2010). Penelitian Kesehatan. Renika Cipta.
Metode Jakrta:
Siti Rahayu Haditono. (2002). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : UGM Press
Moh. Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor : 2005 Ninik dwi A. (2005). Disminore Alias Nyeri Haid. http//www. nex klaten. blogspot. com diakses tanggal 2 februari 2011
Sugiyono. (2006). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Suharsimi, Arikunto. (2009). Manajemen Penelitian. Jakarta: Renika Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Varney, Helen. (2006). Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC
Nursalam. (2003). Konsep Dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu
Youngson. Dampak Disminore (2002). http//www. disminore. blogspot. com.Diakses tanggal 10 Februari 2011
SURYA
38
Vol.03, No.X, Des 2011
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN KONSEP DIRI (BODY IMAGE) IBU PRIMIGRAVIDA TRIMESTER II-III YANG MENGALAMI PERUBAHAN FISISOLOGIS (CHLOASMA GRAVIDARUM) DI BPS RINI DWI ASTUTIK DESA MUDUNG KECAMATAN KEPOHBARU KABUPATEN BOJONEGORO Anis Nur Aini, Nur Hidayati, Moh.Saifudin …………......……….…… …… . .….ABSTRAK…… … ......………. …… …… . .…. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar. Pendidikan ibu akan mempengaruhi pengetahuan ibu tentang perubahan fisiologis saat hamil yang akan berdampak pada body image ibu primigravida saat tejadi perubahan fisiologis. Body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum). Desain peneilitian ini menggunakan metode cross sectional, dengan teknik sampling consecutive sampling, sampel yang diambil adalah sebagian ibu primigravida Trimester II-III yang periksa di BPS Rini Dwi Astutik yaitu sebanyak 28 responden. Data diambil dengan menggunakan koesioner tertutup. Setelah ditabulasi, data dianalisis menggunakan uji spearman rho dengan tingkat signifikasi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu primigravida yaitu 60,7% berpendidikan menengah SMA dan sebagian kecil yaitu 14,3% berpendidikan PT. Frekuensi kejadian Body image ibu primigravida adalah sebagian besar yaitu 85,7% ibu primigravida mempunyai body image positif dengan latar belakang pendidikan rendah dan tidak satupun tingkat pendidikan tinggi mempunyai body image positif. Dari pengujian statistik diperoleh p = 0,009 (p<0,005). Sehingga H1 diterima artinya ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida trimester II-III yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum). Melihat hasil penelitian ini maka perlu adanya health education pada setiap ibu primigravida untuk meningkatkan pengetahuan tentang perubahan fisiologis pada saat periksa ANC ke BPS. Kata Kunci : Tingkat Pendidikan, Konsep Diri (Body Image), Perubahan Fisiologis (Chloasma Gravidarum)
PENDAHULUAN. …… .
sistem respirasi, traktus digestifus, traktus urinarius dan perubahan pada kulit. Perubahan pada kulit terjadi karena pengaruh hormon esterogen dan progesteron, seperti puting susu dan areola mammae primer dan sekunder menjadi gelap, pada daerah wajah disebut dengan chloasma, pada abdomen terjadi linea nigra dan striae disebut striae gravidarum, pada area dahi, hidung, pipi dan leher juga terjadi perubahan warna menjadi gelap. Semua perubahan ini terjadi sekitar trimester II dan III awal (Varney, Helen, 2006). Perubahan fisiologis yang terjadi pada fisik akan menyebabkan perubahan psikis yang menyebabkan terjadinya body image. Menurut Roberta Honiman dan david J.
… …. Kehamilan merupakan proses pembuahan antara sperma dan sel telur yang membentuk zigot sampai terbentuk janin yang aterm yang lamanya 38-42 minggu. Kehamilan di bagi dalam tiga triwulan (Trimester) yaitu triwulan pertama dari 0 sampai 12 minggu, triwulan ke dua dari 13 sampai 28 minggu, triwulan ke tiga dari 29 sampai 42 minggu (Manuaba, Ida Bagus Gde, 2010). Pada wanita hamil timbul beberapa perubahan anatomi fisiologis yaitu perubahan fisik, psikis dan emosional. Perubahan fisik yang terjadi pada alat kandungan seperti perubahan pada uterus, vagina dan vulva, servik, ovarium, payudara, sirkulasi darah,
SURYA
39
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) Castle, body image adalah penilaian mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya. Body image ada dua yaitu body image positif dan negatif. Body image positif adalah ibu merasa bahwa dirinya dalam keadaan yang biasa ibu dapat menerima perubahan yang terjadi pada dirinya. Body image yang negatif adalah ibu menolak dan merasa tidak nyaman akibat perubahan yang terjadi pada tubuhnya yang di tandai dengan ibu hamil merasa gelisah dan malu karena perubahan bentuk tubuhnya. Hal ini cenderung terjadi pada ibu primigravida yaitu ibu hamil pertama kali (Da Pietro dalam Rubin, 2005). Chloasma dapat di jumpai pada hampir 50-70% wanita hamil khususnya pada tipe kulit coklat/gelap. Menurut penelitian di indonesia body image memberikan sumbangan efektif sebesar 19,5% (Muswita Widya, 2010). Hasil penelitian fox dan yamaguci yang melakukan penelitian terhadap 76 wanita sedang hamil pada Trimester II dan III untuk mengetahui perasaan mereka terhadap penampilan dan bentuk tubuh mereka. Hasilnya 67% dari sampel yang sebelum hamil memiliki bentuk tubuh dan wajah yang ideal menyatakan adanya perubahan negatif pada body image mereka selama hamil (Robertson-frey, 2005). Berdasarkan survey awal yang di lakukan peneliti pada bulan maret di bidan pragtek swasta (BPS) Rini Dwi Astutik. Dari 20 responden ibu primigravida trimester II dan III yang mengalami perubahan kulit hiperpigmentasi areola mamae, puting susu dan chloasma gravidarum adalah 14 (70%) dan yang tidak mengalami hiperpigmentasi 6 (30%) dan yang mengalami body image positif sebanyak 10 (71%) body image negatif 4 (29%). Dari data diatas menunjukan bahwa hampir sebagian ibu hamil mengalami body image negatif untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Faktor yang dapat mempengaruhi body image ibu primigravida adalah: usia, lingkungan sosial, sosial okonomi dan tingkat pendidikan. Usia ibu primigravida yang lebih dewasa akan mempengaruhi pola pikir yang positif sehingga mudah menerima informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan ibu
SURYA
primigravida terutama tentang perubahan fisiologis saat hamil yang membuat ibu primigravida dapat menerima perubahan fisiologis yang terjadi, lingkungan sosial dan pergaulan yang baik akan dapat memudahkan ibu hamil mendapatkan informasi tentang perubahan fisiologis saat hamil yang membuat ibu hamil lebih tenang dan menerima perubahan yang terjadi pada saat hamil sehingga body image negatif tidak terjadi, sosial ekonomi ibu primigravida akan dapat memudahkan ibu primigravida untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sehingga ibu primigravida mempunyai pengetahuan tentang perubahan fisiologis yang baik sehingga ibu mempunyai body image yang positif (Sayful, 2008). Pendidikan adalah suatu peroses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok dan masyarakat (Notoadmodjo, Soekidjo, dikutip oleh Iqbal Mubarak, 2003). Faktor yang mempengaruhi pendidikan ibu primigravida adalah sosial budaya, sosial ekonomi, kurangnya tingkat kesadaran orang tua, letak geografis. Sosial budaya ibu primigravida mempengaruhi pendidikan karena dalam masyarakat wanita dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga sehingga cenderung tidak perlu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sosial ekonomi ibu primigravida yang rendah menyebabkan ibu primigravida tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena kurangnya biaya pendidikan, faktor kesadaran orang tua ibu hamil yang lahir dari orang tua yang berpendidikan akan lebih memiliki tingkat pendidikan yang tinggi karena orang tua sadar akan pentingnya pendidikan untuk anaknya, letak geografis ibu primigravida yang tinggal didaerah desa terpencil akan lebih mempunyai pendidikan yang rendah dikarenakan faktor kurangnya informasi (Dalyono, 2008). Dampak dari body image negatif pada ibu primigravida adalah ibu menjadi sangat sensitif dan cenderung bereaksi berlebihan,
40
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum)
HASIL .PENELITIAN … 1. Data Umum 1) Umur ibu primigravida Tabel 1 Distribusi karakteristik responden berdasarkan umur ibu primigravida Trimester IIIII di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Juni – Juli Tahun 2011.
mudah marah, selalu merasa bersalah dan menghindari kontak sosial, sehingga dapat mengakibatkan ibu merasa tidak berdaya, perasaan negatif pada tubuhnya dan menarik diri dari lingkungan sosial dan pergaulan, yang dapat mengakibatkan stresor pada ibu hamil jika dibiarkan berlarut maka akan menjadikan depresi dan syok psikologis pada ibu yang berdampak keguguran, ibu malnutrisi, sehingga berdampak negatif pada bayi adalah bayi malnutrisi sehingga dapat menjadikan IUGR (intra uterine growth retardation) pertumbuhan bayi yang telambat, lahir prematur, BBLR (berat bayi lahir rendah) dan bayi lahir mati (Stuart and Sundeen, 2004). Peran tenaga kesehatan khususnya bidan adalah: Memberikan ibu HE tentang perubahan fisiologis pada tubuh terutama hyperpigmentasi pada kulit ibu ini hal yang wajar dan akan hilang setelah ibu melahirkan. Memberikan pelayanan bio, pesiko, sosial dan spiritual yang paripurna sehingga ibu merasa di perhatikan dan ibu akan dapat menerima perubahan fisiologis yang terjadi saat hamil. Menganjurkan ibu ANC teratur untuk deteksi dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi. Menganjurkan keluarga untuk berperan serta dalam memberikan motivasi terutama pada suami dengan selalu menemani ibu waktu ANC dan memberikan perhatian dan kasih sayang sehingga ibu merasa nyaman dan tidak terbebani dengan kehamilanya.
Umur
1
< 20
2
21-30
3
31-40
4
>41 Jumlah
Jumlah
Frekuensi
2
6,9
18
62,1
8
27,6
0
0
28
96,6
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu primigravida Trimester II-III yaitu 62,1% berumur antara 21-30 tahun. Dan sebagian kecil yaitu 6,9% berumur < 20 tahun. 2) Pekerjaan ibu primigravida Tabel 2 Distribusi karakteristik responden berdasarkan pekerjaan orang tua ibu primigravida Trimester II-III di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Juni – Juli Tahun 2011.
Bardasarkan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ” Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisiologis (Chaloasma Gravidarum)” di BPS Rini Dwi Astutik, Mudung, Kepohbaru, Bojonegoro Bulan Juni sampai Juli Tahun 2011.
METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian menggunakan consecutive sampling, jumlah populasi 30 responden dan sampel sejumlah 28 responden.
SURYA
No
No
Pekerjaan
1
IRT
2
PNS
3
Pedagang Total
Jumlah
Presentase (%)
16
57,1
10
35,7
2
7,1
28
100,0
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu primigravida
41
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) Trimester II-III yaitu 57,1% sebagai IRT dan sebagian kecil yaitu 7,1% bekerja sebagai pedagang.
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu primigravida trimester II-III yaitu 60,7 memiliki body image positif, dan hampir sebagian yaitu 39,3 memiliki body image negatif .
2. Data Khusus 1) Pendidikan ibu primigravida Trimester II-III Tabel 3 Distribusi karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu primigravida Trimester II-III di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni – Juli Tahun 2011. No
Pendidikan
Jumlah
1
SD-SMP
7
25,0
2
SMA
17
60,7
3
PT
4
14,3
28
100,0
Total
3)
Hubungan tingkat pendidikan dengan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida Trimester IIIII yang mengalami perubahan fisiologis chloasma gravidarum
Tabel 5
Presentase (%)
Tabulasi silang hubungan tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida Trimester II-III yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum) di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni – Juli Tahun 2011.
Body image ibu primigravida yang mengalami No Pendidikan ibu prubahan fisiologis primigravida Body Body image image Positif Negatif
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu primigravida Trimester II-III yaitu 60,7 berpendidikan SMA dan sebagian kecil ibu primigravida 14,3 berpendidikan PT.
∑
2)
Body image ibu primigravida Trimester II-III Tabel 4 Distribusi karakteristik responden berdasarkan body image ibu primigravida Trimester II-III di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni – Juli Tahun 2011. No
Body Image
1
Positif
2
Negatif jumlah
SURYA
Jumlah
Prosentase (%)
17
60,7
11
39,3
28
100,0
%
∑
Total
%
∑
%
1
SD-SMP
6
85,7 1
14,3
7
100,0
2
SMA
11
64,7 6
35,3
17
100,0
3
PT
0
4
100,0
4
100,0
Jumlah
17
60,7 11
39,3
28
100,0
0
rs = 0,483 dan p = 0,009
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa seluruh ibu primigravida Trimester IIIII yaitu 100% yang berpendidikan tinggi (PT) mempunyai body image negatif, hampir keseluruhan ibu primigravida Trimester II-III yaitu 85,7% yang berpendidikan rendah (SDSMP) mempunyai body image positif dan sebagian besar ibu primigravida Trimester IIIII yaitu 64,7% yang berpendidikan
42
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) menengah (SMA) mempunyai body image positif. Dengan menggunakan uji spearman (rs) hasil analisis data dengan bantuan SPSS versi 11,5 didapatkan nilai rs = 0,483 dan p= 0,009 dengan taraf signifikan (α) 0,05 sehingga p<0,05 maka H1 diterima yaitu terdapat hubungan yang sedang antara tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida Trimester II-III yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum) di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni – Juli Tahun 2011.
mempengaruhi pengetahuan ibu primigravida tentang perubahan fisiologis saat hamil khususnya chloasma gravidarum. Pekerjaan orang tua berpengaruh terhadap tingkat pendidikan seorang anak, orang tua yang bekerja dan berpenghasilan cukup akan lebih dapat membiayai anaknya untuk menuntaskan pendidikan. Pemerintah sudah mewajibkan minimal pendidikan 9 tahun tetapi kenyataanya masih banyak orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya karena alasan faktor ekonomi yang kurang baik (Dalyono, 2008). Sosial ekonomi ibu primigravida yang rendah menyebabkan ibu primigravida tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak adanya biaya pendidikan sehingga ibu primigravida hanya dapat melanjutkan pendidikan sampai jenjang SMA hal ini akan mempengaruhi pengetahuan ibu primigravida tentang perubahan fisiologis saat hamil kurang. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga (Hasbullah, 2007). Dari sini dapat disimpulkan bahwa ibu primigravida yang lahir dari orang tua yang berpendidikan akan lebih mempunyai kesadaran akan pentingnya pendidikan dan ibu primigravida yang lahir dari orang tua yang berpendidikan rendah akan mengabaikan masalah pendidikan. Letak geografis adalah letak suatu negara dilihat dari kenyataan di permukaan bumi (Wikipedia Geografis, 2010). Letak geografis ibu primigravida yang tinggal didaerah desa terpencil akan lebih mempunyai pendidikan yang rendah dikarenakan faktor kurangnya informasi dan sulitnya transportasi untuk menuju ke tempat pendidikan karena tempatnya yang jauh dan sulit dijangkau sehingga ibu enggan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan hanya melanjutkan sampai SMA saja yang dapat mengakibatkan kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan terutama tentang perubahan fisiologis saat hamil. Pendidikan ibu primigravida yang hanya SMA juga dapat mempengaruhi pekerjaan ibu primigravida.
PEMBAHASAN .… .… 1. Pendidikan ibu primigravida di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni sampai Juli Tahun 2011. Berdasarkah hasil penelitian pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu primigravida yaitu 60,7% berpendidikan menengah (SMA) yaitu pendidikan menengah dasar yang merupakan pendidikan umum dengan mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik Indonesia, 2010). Faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan adalah sosial budaya, sosial ekonomi, kurangnya tingkat kesadaran orang tua dan letak geografis (Dalyono, 2008). Sosial budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi (Dalyono, 2008). Sosial budaya dapat mempengaruhi pendidikan ibu primigravida karena dalam masyarakat mudung wanita dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga saja hal ini akan mempengaruhi minat ibu primigravida untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga membuat ibu primigravida hanya akan melanjutkan pendidikan sampai SMA saja dan itu
SURYA
43
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar pekerjaan ibu primigravida yang berkunjung di BPS Rini Dwi Astutik yaitu 57,1% bekerja sebagai ibu rumah tangga. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Iqbal Mubarak, W, 2007). ibu primigravida didaerah mudung yang berpendidikan menengah (SMA) lebih banyak menjadi ibu rumah tangga saja, karena dengan pendidikan yang hanya tamat SMA membuat ibu primigravida kurang akan pengetahuan dan pengalaman sehingga ibu primigravida mempunyai kemampuan yang kurang dalam kerja dan hanya bisa bekerja sebagai penunggu toko atau menjadi pembantu rumah tangga hal ini yang mengakibatkan ibu primigravida tidak mau bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja.
primigravida sehingga ibu primigravida lebih mempunyai wawasan yang baik tentang perubahan fisiologis saat hamil yang akan meningkatkan pengetahuan ibu primigravida sehingga ibu memiliki body image positif. Lingkungan sosial merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin, 2002). Dengan lingkungan sosial yang baik akan lebih memudahkan ibu primigravida untuk menerima informasi tentang perubahan fisiologis saat hamil sehingga mengurangi perasaan negatif dalam diri ibu. Penghasilan seseorang dapat membantu dalam memenuhi kehidupan yang berupa harta benda yang dapat di pergunakan untuk memenuhi kehidupan baik sekarang dan akan datang (Wahid Iqbal Mubarak, 2003). Dengan penghasilan yang cukup akan memudahkan ibu primigravida untuk mengakses informasi melalui berbagai media sehingga meningkatkan wawasan dan pengetahuan ibu primigravida tentang kesehatan khususnya tentang perubahan fisiologis (chloasma garvidarum) saat hamil sehingga ibu memiliki body image positif. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik Indonesia, 2010). Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan pengetahuan ibu primigravida tentang perubahan fisiologis saat hamil sehingga ibu memiliki body image positif, akan tetapi ibu primigravida yang berpendidikan tinggi bisa memiliki body image negatif hal ini karena faktor lingkungan pergaulan, dimana ibu primigravida dengan pendidikan tinggi akan sering berinteraksi dengan orang lain dan ini membuat ibu merasa terganggu dengan penampilanya saat terjadi perubahan
2. Body Image ibu primigravida di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni – Juli Tahun 2011. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu primigravida yaitu 85,7% mempunyai body image positif. Faktor yang mempengaruhi body image yaitu usia, lingkungan sosial, sosial ekonomi dan pendidikan (Syaiful, 2008). Berdasarkan hasil penelitian yang tercantum pada Tabel 1 didapatkan bahwa sebagian besar ibu primigravida yaitu 62,1% berumur antara 21-25 tahun. Umur tersebut termasuk dalam kategori dewasa muda dengan pola pikir yang koknitif dimana dalam umur ini seorang sudah bisa berfikir matang bahwa hal yang dilakukan sekarang akan berdampak pada masa depan (Papalia and Olds, 2001). Umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2009). Dengan demikian semakin bertambah usia ibu primigravida akan semakin berkembang pola pikir ibu
SURYA
44
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) fisiologis (chloasma gravidarum) saat hamil, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah mereka tidak memperdulikan penampilanya dan tidak menghawatirkanya sehingga ibu primigravida memiliki body image positif. 4.2.3 Hubungan tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum) di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni – Juli Tahun 2011. Dari hasil penelitian tabulasi silang pada Tabel 5 menunjukkan bahwa seluruh ibu primigravida Trimester II-III yaitu 100% yang berpendidikan tinggi (PT) mempunyai body image negatif, hampir keseluruhan ibu primigravida Trimester II-III yaitu 85,7% yang berpendidikan rendah (SD-SMP) mempunyai body image positif.
dipengaruhi oleh lingkungan ibu primigravida yang sulit menerima keadaan ibu primigravida saat terjadi perubahan fisiologis seperti chloasma gravidarum yang membuat ibu primigravida malu, kecewa dan tidak bisa menerima perubahan fisiologis yang terjadi pada dirinya sehingga terjadi body image negatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak selalu tingkat pendidikan tinggi memiliki body image yang positif hal ini karena pendidikan buka faktor utama yang bisa mempengaruhi body image. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya body image yang negatif pada ibu primigravida saat mengalami perubahan fisiologis chloasma gravidarum dengan cara memberikan HE tentang perubahan fisiologis yang terjadi pada kulit ibu adalah hal yang wajar dan akan hilang setelah melahirkan. Memberikan pelayanan bio, psiko, sosial dan spiritual yang paripurna sehingga ibu merasa diperhatikan dan ibu akan dapat menerima perubahan fisiologis yang terjadi saat hamil. Menganjurkan ibu primigravida untuk ANC teratur untuk deteksi dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi. Menganjurkan keluarga untuk berperan serta dalam memberikan motivasi terutama pada suami dengan selalu menemani ibu waktu ANC dan memberikan perhatian dan kasih sayang sehingga ibu merasa nyaman dan tidak terbebani dengan kehamilanya sehingga ibu dapat berfikiran positif dan tidak terjadi body image negatif.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji spearman rho hasil analisi data dengan bantuan SPSS versi 11,5 didapatkan nilai koefisien korelasi spearman (rs) = 0,483 dan p = 0,009 dengan taraf signifikan (α) 0,05 maka H1 diterima yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum) di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro Bulan Juni - Juli Tahun 2011. Sesuai dengan soekidjo notoatmodjo (2003) tujuan pendidikan adalah mengubah pengetahuan atau pengertian, pendapat dan konsep, mengubah sikap dan persepsi, menanamkan tingkah laku atau kebiasaan baru. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang dalam membentuk suatu prilaku seseorang yang berupa perilaku positif dan negatif, seorang dengan pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang baik dan dapat berfikir positif sehingga saat terjadi perubahan fisiologis ibu tidak merasakan cemas dan khawatir dan akan memiliki body image positif. Tetapi dalam kenyataanya ibu primigravida yang berpendidikan tinggi mempunyai body image negatif ini dapat
SURYA
KESIMPULAN DAN SARAN. … 1. Kesimpulan 1) Sebagian besar ibu primigravida di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro berpendidikan menengah (SMA). 2) Sebagian besar ibu primigravida di BPS Rini Dwi Astutik Desa Mudung Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegoro mempunyai body image positif saat mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum) saat hamil.
45
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) 3) Ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum).
. .
.
. .
A. Azis Alimul Hidayat, (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
2. Saran Institusi pendidikan sebagai tempat dalam menempuh ilmu pendidikan, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk tambahan materi kesehatan khususnya tentang perubahan fisiologis (chloasma gravidarum) saat hamil. Bagi ibu hamil hendaknya lebih aktif mencari informasi baik melalui tenaga kesehatan ataupun melalui media cetak dan media elektronik. Sehingga ibu hamil memperoleh pengetahuan tambahan tentang perubahan fisiologis saat hamil. Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan lebih intensif baik kualitas maupun kuantitas dalam memberikan penyuluhan/KIE kepada ibu hamil khusunya ibu primigravida tentang perubahan fisiologis saat hamil. Perlunya mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dalam praktek lapangan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, serta perlu melakukan penelitian lanjutan dengan variabel yang berbeda berkaitan dengan perubahan fisiologis. Peneliti berharap untuk para peneliti yang akan datang hendaknya melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida yang mengalami perubahan fisiologis (chloasma gravidarum) saat hamil dengan menggunakan variabel yang berbeda berkaitan dengan perubahan fisiologis saat hamil. Merupakan masukan bagi profesi kebidanan dalam mengembangkan perencanaan kebidanan yang akan dilakukan tentang hubungan tingkat pendidikan dengan konsep diri (body image) ibu primigravida Trimester II-III yang mengalami perubahan fisiologis (chaloasma gravidarum).
SURYA
.DAFTAR PUSTAKA
Alex sobur, M.Si, (2003). Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah. Bandung: pustaka setia Arianto, (2009). Citra Diri, http://www.blogspot.com. Diakses :15 Maret 2011 Dalyono, (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Danim, S, (2010). http://ayurai.wordpress.com.pen didikanindonesia. Diakses: 15 Juli 2011. Dapietro dalam rubin,(2005). http://www.nationaleatingdisord ers.org/nedaDir/ files/ BodyImage.pdf. Diakses 14 maret 2011 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik Indonesia, (2010). Diakses : 13 agustus 2011. Dyah K, (2006). Masalah Ibu Dalam Kehamilan. http://www.blogspot.com Diakses 18 mei 2011. Ida Bagus Gde Manuaba, (2010). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC. Iqbal Mubarak, Wahid, (2003). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Mengajar dalam Pendidikan. Jakarta: Graha Ilmu. Muswita widya, (2010). Artikel Pengaruh Body Image Terhadap Penyesuaian Diri Wanita Pada Kehamilan Pertama. Diakses : 15 maret 2011. Notoadmodjo, Soekidjo, (2002). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC.
46
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Konsep Diri (Body Image) Ibu Primigravida Trimester II-III Yang Mengalami Perubahan Fisisologis (Chloasma Gravidarum) Nursalam, (2003). Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba Utama. Papalia
Roberta,
Sugiyono, (2006). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Al Fabeta. Suharsimi
and Olds, (2001). Psikologi Perkembangan, Jakarta : Rineka Cipta.
Suririnah, (2004). Perubahan Fisiologis Ibu Hamil. http://www. infoibu.com Diakses 18 mei 2011
Honigman, (2010) http://www.nationaleatingdisord ers.org/nedaDir/files/ BodyImage.pdf. Diakses 14 maret 2011.
Tirtarahardja, Umar dan La. Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Robertson-frey, (2005). Penelitian Body Image. Diakses : 14 maret 2011 Saifuddin,
Varney, Helen, (2005). Buku Ajar Asuhan Kebidanan; Volume 1. Jakarta: EGC.
Abdul Bari, (2010). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; Ed.1, Cet.11, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wasis, (2002). Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat/oleh, Wasis: editor, Pamilih Eko Karyuni, Monica Ester, Jakarta: EGC.
Sairin, (2002) http://wikipedia.com hubungan pendidikan dan budaya. Diakses 13 Agustus 2011. Sayful,
Winkjosastro, Hanifa, (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
(2008). http://www.artikelbodyimage.pd f. Diakses :15 maret 2011
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, (2010). Diakses: 13 Agustus 2011
Stuart and Sundeen, dalam Kelliat, (2004). Body Image Dalam Kehamilan http://www.e-psikologi.com. Di akses tanggal 18 maret 2011
SURYA
Arikunto, (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik; Cet.13. Jakarta: Rineka Cipta.
Wikipedia
47
geografis indonesia, (2010). Diakses: 13 Agustus 2011.
Vol.03, No.X, Des 2011
HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN KEMANDIRIAN TOILET TRAINING ANAK USIA TODDLER (Suatu Studi Di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Desa Jetak Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro Tahun 2011) Wiwik Utami, Akes Rajekwesi Bojonegoro
…………......……….…… …… . .….ABSTRAK…… … ......………. …… …… . .…. Pola asuh yang diberikan orang tua (ibu) atau pendidik terhadap anak adalah mengasuh dan mendidiknya dengan penuh pengertian. Memasuki tahap anal (toddler), anak mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru dengan tingkah laku dan mengikuti perintah, untuk itu tugas seorang ibu dalam tahap ini adalah mengajarkan toilet training.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetaui hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro. Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler dengan signifikannya 0.002 yang berarti < ρ = 0.05 dan dari hasil analisis contingency coeffisient didapatkan nilai r : 0,581. Sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler. Seorang ibu harus tahu kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan toilet training, agar anak dapat menerima dan melaksanakannya secara mandiri. Kata Kunci : Pola asuh, Kemandirian, toilet training, toddler
PENDAHULUAN. …… .
Di Indonesia selama 2006 setidaknya 30% orang tua dapat memenuhi kebutuhan dasar anak, sedangkan lebih dari 50% anak mengalami penelantaran dan lebih dari 10% mengalami kekerasan fisik (Hani Iskandarwati, 2009 : ). Sedangkan untuk kasus toilet training, di Indonesia terdapat beberapa penelitian dan literature tahun 2007 yang menyebutkan kira-kira 50% dari anak umur 3 tahun masih mengompol. Bahkan beberapa ahli menganggap bahwa anak umur 6 tahun masih mengompol itu wajar, walaupun itu hanya dilakukan sekitar 12% anak umur 6 tahun (Sunarti, 2010). Berdasarkan hasil survey pendahuluan peneliti di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro. Dari 5 orang ibu yang mempunyai anak yang berumur di atas toddler 3,5 tahun di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro, 3 orang ibu menjalankan tipe pola asuh autoritatif dengan kemandirian toilet training anak, 2 sedang dan 1 tinggi, dan 1 orang ibu menjalankan tipe pola asuh otoriter dengan kemandirian
… …. Pola asuh merupakan suatu system atau cara pendidikan dan pembinaan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Dalam hal ini pola asuh yang diberikan orang tua atau pendidik terhadap anak adalah mengasuh dan mendidiknya dengan penuh pengertian (Maimunah Hasan, 2009 : 24). Peran seorang ibu sangat penting untuk menjalankan pola asuh sesuai perkembangan anak. Menurut perkembangan psikoseksual anak yang dikemukakan oleh Sigmun Freud anak akan melalui fase sebagai berikut : fase oral umur 0-1 tahun, fase anal umur 1-3 tahun, fase falik umur 3-5 tahun, fase laten umur 5-12 tahun dan fase pubertas umur 1220 tahun (Rifa Hidayat, 2009 : 5). Memasuki tahap anal (toddler), anak mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru dengan tingkah laku dan mengikuti perintah, untuk itu tugas seorang ibu dalam tahap ini adalah mengajarkan toilet training, yaitu merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol hajatnya.
SURYA
48
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kemandirian Toilet Training Anak Usia Toddler toilet training anak sedang dan 1 orang ibu lainnya menjalankan tipe pola asuh penyabar dengan toilet training anak sedang. Semua orang tua (khususnya ibu) akan merasa senang ketika si kecil sudah mulai belajar menggunakan toilet. Sayangnya, kita tidak bisa memilih waktu yang sama dengan yang dipilih oleh si kecil untuk mulai melakukannya (Rebecca, 2010 : 61). Hal ini yang menjadikan seorang ibu terlalu memaksakan atau malah acuh dalam mengajarkan toilet training pada anak. Akibatnya anak akan mengalami kemunduran karena pola asuh yang kurang baik. Padahal pola asuh berperan dalam pembentukan kepribadian anak yang mandiri. Orang tua (khususnya ibu) hendaknya harus memiliki kesabaran dan memiliki pengendalian yang tinggi dalam memberikan pola asuh untuk mengajarkan praktik toilet training kepada anak, selain itu seorang ibu harus paham tentang perkembangan atau waktu anak untuk perlu BAB atau BAK. Sehingga anak juga akan mudah menerima dan mengikuti apa yang diajarkan kepadanya. Orang tua (khususnya ibu) juga harus selalu mengamati perkembangan anak sesuai tahap perkembangannya, jangan sampai orang tua (khususnya ibu) lalai dalam memberikan pendidikan yang sesuai untuk perkembangan anak, karena hal itu dapat mengakibatkan kemunduran perkembangan anak.
penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai anak sekolah di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Desa Jetak Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro sebanyak 25 orang. Pada penelitian ini jumlah sampel sebanyak 24 responden. Sampel yang digunakan penelitian adalah semua obyek yang memenuhi kriteria inklusi. Dalam penelitian ini cara pengambilan sampel dengan menggunakan “Simple Random Sampling” yaitu cara pengambilan sampel dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Sugiono, 2009 : 84). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kemandirian toilet training anak usia toddler. Pengumpulan data pada penelitian ini di kumpulkan melalui kuesioner pada responden yang di teliti. Kuesioner (wawancara terstruktur). Setelah itu diuji dengan uji Chi Square, untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan dependen dengan kemaknaan α < 0,05, H0 ditolak bila P < α, yang berarti ada hubungan yang bermakna antar variabel.
HASIL .PENELITIAN … Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan pola asuh ibu di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro pada tahun 2011.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan jenis desain penelitian yang dipergunakan adalah Studi Korelasional atau hubungan atau asosiasi dengan pendekatan Cross Sectional adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali, pada satu saat. Pada jenis ini variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada satu saat, jadi tidak ada follow up (Nursalam, 2003 : 85). Dalam penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan pola asuh ibu yang merupakan variabel penyebab terhadap kemandirian toilet training anak usia toddler tanpa adanya campur tangan peneliti terhadap variabel bebas.. Populasi pada
SURYA
No
Pola Asuh Ibu
Responden
Prosentase
1.
Demokratis
17
70,8 %
2. 3. 4.
Otoriter Permisif Penelantar Jumlah
7 0 0 24
29,2 % 0% 0% 100 %
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan lebih dari sebagian ibu menerapkan pola asuh demokratis yaitu 17 responden (70,8 %).
49
Vol.03, No.X, Des 2011
Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan kemandirian Bhayangkari 96 Bojonegoro pada tahun 2011. Kemandirian Toilet Training Anak
No 1. 2. 3.
anak
di
PAUD
Responden
Prosentase
15 6 3 24
62,5 % 25 % 12,5 % 100 %
Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Kemala
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan lebih dari sebagian anak mempunyai kemandirian toilet training tinggi yaitu 15 responden (62,5 %). Tabel 3 Tabulasi silang antara pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro pada tahun 2011. Kemandirian Toilet Training Anak Pola asuh
Sedang Σ %
Σ
%
Σ
%
Otoriter
3
12,5
3
12,5
1
4,2
7
29,2
Demokratis
0
0
3
12,5
14
58,3
17
70,8
Permisif
0
0
0
0
0
0
0
0
Penelantar
0
0
0
0
0
0
0
0
Total
3
12,3
6
25,0
15
62,5
24
100,0
Tinggi
PEMBAHASAN .… .… Pola Asuh Ibu Berdasarkan tabel 3 menunjukkan lebih dari sebagian ibu menerapkan pola asuh Demokratis yaitu 17 responden. Ibu yang mempunyai anak di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro lebih dari sebagian menerapkan pola asuh demokratis, hal ini kemungkinan disebabkan karena lebih dari sebagian ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga banyak meluangkan waktu dengan anak dan selalu melibatkan anak sepenuhnya tanpa terganggu pekerjaan di luar rumah. Pola asuh demokratis dilakukan seorang ibu kepada anaknya supaya mereka menjadi anak yang mandiri, tegas terhadap diri sendiri, ramah dengan teman sebayanya, dan mau bekerja sama dengan orang tua. Pola asuh adalah suatu sistem atau cara pendidikan dan pembinaan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (Maimunah Hasan, 2009 : 24). Ada beberapa tipe pola asuh, di antaranya adalah : tipe demokratis,
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan lebih dari sebagian dengan pola asuh demokratis dan kemandirian toilet training anak tinggi 14 responden (58,3 %). Hal tersebut dibuktikan oleh analisis Chi Square menunjukkan nilai ρ < 0,05 yaitu sebesar 0,002 dan dari hasil analisis Contingency Coeffisient didapatkan nilai r : 0,581 yang berarti bahwa variabel pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler mempunyai nilai yang signifikan dan berarti H0 ditolak atau berarti ada hubungan antara pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro dengan hubungan searah agak rendah.
SURYA
Total
Rendah Σ %
50
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kemandirian Toilet Training Anak Usia Toddler tipe otoriter, tipe penyabar (permisif), dan tipe penelantar. Dari keempat tipe pola asuh tersebut, pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang cocok atau bagus untuk di terapkan kepada anak, sebab pola asuh ini dapat menciptakan anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain (Suparyanto, 2010)
dalam menjalankan toilet training sesuai usianya. Hubungan pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler Berdasarkan tabel 3 menunjukkan lebih dari sebagian dengan pola asuh demokratis den kemandirian toilet training anak tinggi yaitu 14 responden. Dan hasil analisis Chi Square menunjukkan nilai ρ < 0,05 yaitu sebesar 0,002 dan dari hasil analisis Contingency Coeffisient didapatkan nilai r : 0,581 yang berarti bahwa variabel pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler mempunyai nilai yang signifikan dan berarti H0 di tolak atau berarti ada hubungan antara pola asuh ibu dengan kemandirian toilet training anak usia toddler di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro dengan hubungan searah agak rendah. Pola asuh demokratis yang di terapkan oleh ibu kepada anaknya di PAUD Kemala Bhayangkari 96 membuat anak–anak mereka menjadi mandiri. Hasil dari gaya pengasuhan yang demokratis : menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal–hal baru dan kooperatif terhadap orang lain. Di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojoneogoro, tidak ada ibu yang menerapkan pola asuh penyebar dan penelantar, hal ini disebabkan karena lebih dari sebagian ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. Untuk itu seorang ibu akan selalu dekat dengan anaknya untuk membimbing sesuai dengan tahap perkembangannya.
Kemandirian toilet training Berdasarkan tabel 3 menunjukkan lebih dari sebagian anak mempunyai kemandirian toilet training tinggi yaitu 15 responden. Kemandirian toilet training dapat tergantung oleh usia anak tersebut. Pada anak-anak di PAUD Kemala Bhayangkari 96 lebih dari sebagian anak mempunyai kemandirian toilet training diri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh usia mereka yang rata-rata sama, maka mempunyai tingkat kemandirian yang sama pula. Toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol hajatnya apakah itu saat ia ingin buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) (Maria Suryabudhi, 2001 : 33). Supaya anak berhasil dalam menjalankan toilet training, seharusnya seorang ibu dapat mengetahui kapan/usia yang tepat untuk mengajarkan toilet training pada anak. Karena usia yang tepat dapat berpengaruh pada kesiapan anak secara fisik dan mental. Kemandirian merupakan kesiapan atau kemampuan individu untuk berdiri sendiri yang ditandai dengan keberanian mengambil inisiatif, mencoba mengatasi masalah tanpa meminta bantuan orang lain, memperoleh kekuatan dari usaha-usaha, berusaha dan mengarahkan tingkah laku menuju kesempurnaan (Habib, 2010). Oleh karena itu faktor usia lebih dominan untuk menentukan anak tersebut siap secara fisik dan mental alam menjalankan toilet training, selain itu para ilmuan juga telah mengidentifikasikan beberapa tahapan yang dapat dilakukan anak
SURYA
KESIMPULAN DAN SARAN. … 1. Kesimpulan Ibu yang mempunyai anak di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro lebih dari sebagian menerapkan pola asuh demokratis dan mempunyai kemandirian toilet training tinggi sehingga pola asuh ibu berhubungan dengan kemandirian toilet training anak usia toddler di PAUD Kemala Bhayangkari 96 Bojonegoro. 51
Vol.03, No.X, Des 2011
Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kemandirian Toilet Training Anak Usia Toddler
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta.
2. Saran Bagi Orang Tua (Ibu) yang menerapkan pola asuh otoriter agar dapat merubah atau menerapkan pola asuh yang tepat kepada anaknya, para guru di PAUD Kemala Bhayangkari 96 dapat mengerti tentang kebutuhan toilet training anak. Agar para guru juga dapat melatih anak didiknya dalam menjalankan toilet training. . .
.DAFTAR PUSTAKA
.
Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan metodologi penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. Nursalam & Siti Pariani. 2001. Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta : CV. Infomedika.
. .
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Rifa. 2009. Psikologi Pengasuhan Anak. Malang: UIN-Malang Press.
Aziz, Alimul. 2002. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Surabaya: Salemba Medika.
Rebecca, Rutledge. 2010. Pengasuhan Batita Jakarta : PT Indeks.
Arikunto. 2000. Prosedur Penelitian Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
SK. L Wanga & S. Leme Show. 2007. Simple Side Determination In Healt Studies A Practical Manual. Genewa. WHO.
Gilbert, Jane. 2003. Latihan Toilet. Jakarta: Erlangga.
Smart, Aqila dan Supardi. 2010. Ide-Ide Kreatif Mendidik Anak bagi Orang Tua Sibuk. Jogjakarta: Katahati.
Iskandarwati, Hani. 2009. Lindungi Anak Kita dari Kekerasan. http://wrm.indonesia.com. Diakses tanggal 27 Mei 2011.
Srikandi, K. 1997. Pengantar Statistik. Surabaya: Citra Medika. Sugiyono. 2009. Stastitika untuk penelitian. Bandung : CV. Alfabeta.
Hasan, Maimunah. 2009. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Jogjakarta: DIVA Press.
Sunarti. 2010. Ajarkan Toilet Training Sejak Dini. http://www.kaskus.com. Diakses 27 Mei 2011.
Muaris Hindah, 2006. Lauk Bergizi untuk Anak Balita. http://www.bookoopedia.com. Diakses 8 Maret 2011.
Suparyanto, 2010. Konsep Pola Asuh Anak. http://dr-suparyanto.blogspot.com. Diakses 6 Maret 2011.
Ngastiyah. 2003. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
SURYA
Panduan (Toddler).
52
Vol.03, No.X, Des 2011