It. PENDEKATAN TEORITIS Bab II ini berisi pendekatan teoritis yang digunakan mencakup penjelasan teori-teori dan hasil-hasil penelitian sebelurnnya yang berkaitan dengan kajian, kerangka pemikiran yang dibangun berdasarkan teori
yang digunakan,
proposisi sementara dan definisi operasional.
2.1. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini akan dikemukakan rnengenai konsepsi keluarga, konsepsi kesejahteraan orang Jawa, dan konsepsi gerakan sosial.
2.1.1. Orang Jawa, Keluarga dan Stratifikasi Sosial
Pada'umumnya orang Jawa diartikan sebagai orang yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya. Namun diantara pernakai bahasa Jawa dapat dibedakan rnenurut agama rnaupun menurut orientasi budaya. Orang Jawa yang dimaksud penulis adalah orang Jawa yang rnasih mendukung kebudayaan Jawa yang berorientasi kraton. Oleh karena itu penulis memilih lokasi peneliian di bekas wilayah kekuasaan kraton Surakarta. Pemahaman
rnengenai
keluarga
sering
dibedakan
rnenurut
pendekatannya. Pendekatan stwktural fungsional memandang keluarga sebagai group kecil yang memiliki ciri urnum tertentu yang sama dengan semua group kecil. Seperti dikemukakan oleh Cooley (1982). keluarga me~pakan group primer yang memiliki kejasama erat, mernpunyai kesamaan tujuan dirnana tujuan individu menjadi tujuan kelompok, hubungan antar anggota benifat pribadi, spontan, sentimentil, dan inklusif terlepas dari unsur kontrak, ekonomi, politik maupun hubungan kerja. Sedangkan Murdodc (1954) lebih mencirikan keluarga sebagai group sosial berdasarkan tempat Cnggal bersama, kerjasama ekonomi dan reproduksi. Murdock membedakan dua tipe keluarga, yaitu:
'
keluarga inti (nuclear family), terdiri dari pasangan suarni-ishi dan keturunannya; keluargal kerabat luas (extended family), terdiri dari dua atau lebih keluarga inti yang benatu melalui perluasan hubungan orangtua-anak. Di Indonesia, keluarga lebih dilihat sebagai sistem sosial terkecil dalarn rnasyarakat. Secara sederhana, keluarga adalah kelompok yang terdiri dari suami-istri sebagai orangtua dengan anak-anak kandung atau anak angkat yang pembinaannya rnenjadi tanggung jawabnya (Soernardjan, 1993). Lebih lanjut, dalarn UU No 10 tahun 1992 dinyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam rnasyarakat yang terdiri dari suarni-istri, atau suarni-istri dengan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya (BKKBN, 1996). Sebagai sebuah sistem, menurut penulis, keluarga rnerniliki struktur dan fungsi guna memelihara kelangsungan hidupnya. Struktur keluarga adalah hubungan terpota antara posisi tertentu (ayah, ibu dan anak) dalam suatu unit keluarga. Struktur keluarga di Indonesia telah berkembang menjadi 3 pola : keluarga tunggal (single headed family), keluarga batih (2 generasi, suami-istri dengan anak), dan keluarga luas (3 generasi, suarni-istri dengan anak, orangtua, rnenantu, cucu). Fungsi keluarga dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan atau aktivitas antar anggota dalarn memenuhi kebutuhan hidup, seperti fungsi ekonorni, pemberian status, pendidikan, perlindungan, religius, rekreasi dan kasih sayang. Pendekatan antmpologi memandang keluarga memiliki arti yang berbeda sesuai adat istiadat atau tradisi setempat Secara keseluruhan, meskipun rnerniliki arti yang berbeda-beda di setiap daerah, keluarga rnerniliki ciri yang relatif sarna sebagai berikut :' Keluarga terbentuk dari suatu ikatan perkawinan yang diakui dalarn masyarakat
1
Mac lver dan Page. Burgess dan Locke dalam Beftrand (1958)
'
r
Keluarga terdiri dari orang-orang yang terikat oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi sesuai dengan adat istiadat.
r
Keluarga merupakan unit orang-orang yang berinteraksi. Masing-masing individu memainkan peranan sesuai dengan yang telah ditentukan oleh masyarakat luas dan diperkuat oleh pengalaman. Anggota keluarga biasanya hidup dalam satu atap. Anggota keluarga diidentifikasikan sebagai suatu sistem penamaan yang didasarkan pads rnetode susunan urutan kekerabatan dan ketu~nan. Dalam konsepsi keluarga Jawa, sornah atau keluarga inti merupakan
kelompok pertalian keluarga yang terpenting. Di dalam keluarga somah tersebut kebutuhan pribadi, ekonomi, sosial dan psikologis anggota terpenuhi, dan nilainilai sosial diwariskan dan dikukuhkan serta jarninan sosial kesejahteraan diberikan 'kepada anggota keluarga yang menderita. Terkadang, sornah diperkukuh oleh kehadiran sanak saudara yang bertindak selaku simbol pernersatu dalarn hubungan dengan sornah sanak saudara lainnya.
2
Secara
struktural, dalam hubungan dengan kornunitas, suarni atau istri bertindak selaku wakil somah secara keseluruhan (sebagai suatu unit sosial). Sedangkan dalam hubungan dengan anggota keluarga lain, individu anggota keluarga dipandang sebagai pribadi tunggal dan ditentukan oleh faktor : seks, umur, posisi kelas (kedudukan, kekayaan), ideologi keagamaan, perasaan pribadi, dan pertalian kekeluargaan. Hubungan sosial yang terpola di dalam keluarga Jawa dalam rangka rnemelihara kelangsungan hidup keluarga tidak hanya bedangsung diantara suami-istri, anak dan kerabat tetapi juga di dalam hubungan dengan lingkungan tetangga, komunitas, dan pemerintah. Hubungan sosial inilah yang menjamin pernbentukan dan perturnbuhan keluarga dalarn upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. 3 Hildred Geerh. Keluarga Jawa. 1985, memusatkan kajian pada p e n g a ~ hfaktor internal keluarga (pemenuhan kebutuhan dan fungsi sosialisasi) bagi kesinambungan masyarakat Jawa. Robert R. Jay , J a ~ n e ~Villagers, e 1968, memusatbn mjian pada p ~ g a faMor ~ h hubungan sosial keluarga dengan lingkungannya (kerabat, komunitas, pemerintah) terhadap kehidupan keluarga.
Dalam kaitan dengan kesejahteraan, penulis berpendirian bahwa unit sosial keluarga lebih merupakan kesatuan sosial budaya. Dengan demikian proses interaksi sosial (jaringan sosial) diantara anggota keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak yang betum menikah) merupakan ha1 terpenting, karena merupakan sal'uran sosialisasi nilai-nilai kesejahteraan yang dilakukan melalui pertukaran (komunikasi) cerita pengalaman hidup. Bahkan jaringan sosial ini Disa meluas sampai tingkatan kerabat luas dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup keluarganya. Penulis sependapat dengan Jay (1968)
bahwa hubungan sosial yang terpola yang berlangsung diantara anggoia Keluarga,
tetangga, komunitas dan
pemerintah inilah yang menjamin
kesejahteraan hidup keluarga. Oleh karena itu, penulis mendefinisikan keluarga sebagai satu unit pelakupelaku (suami
-
istri, orangtua
-
anak) yang berinteraksi dan membentuk
hubungan personal. Mengacu pemikiran Schwaneveldt (1967:102) pendekatan interaksional terpusat pada hubungan dinamis antara suami-istri yang berkaitan dengan kasih-sayang, interaksi emosional, interaksi latar belakang budaya, kepentingan bersama, harapan, pengambilan keputusan dan kemampuan beradaptasi. lmplikasi dari konsep tersebut adalah bahwa keluarga mempakan jaringan interaksi sosial yang dikonstwksikan pelakunya dan direfleksikan melalui pemakaian bahasa, norma-norma, keyakinan, dongeng dan upacara. Memahami kemiskinan (ketidaksejahteraan) . dengan bertumpu pada analisis mengenai keluarga sangat penting untuk membantu mewmuskan kebijakan mengenai
keluarga
sejahtera.
Dalam analisis
indikator
kesejahteraan keluarga, keluarga tidak hanya dipandang sebagai output (variabel terpengaruh), tetapi juga proses ( ~ r i a b e penekan) l bahkan bisa juga dipandang sebagai input (variabel pengawh) dari kondisi kesejahteraan. Berdasarkan penggolongan paradigmanya, beberapa pendekatan atau kerangka konseptual) seperti yang disajikan dalam buku suntingan Nye dan Berardo (1967), yaitu (1) pendekatan antropologi, pendekatan strukturalfungsional, dan kerangka acuan institusional (termasuk paradigma fakta sosial);
'
(2) kerangka interaksionis (termasuk paradigma definisi sosial); (3) kerangka ekonorni (termasuk paradigma perilaku sosial). Penjelasan masing-masing pendekatan mengikuti sistematika sebagai berikut : (1) fokus studi; (2) konsep; (3) asurnsi dasar; (4) hasill dampak pada studi keluarga dan orientasi nilai penganutnya;'(5) kerangka pernikiran. Tabel 2.1. Studi Keluarga Dengan Paradigrna Fakta Sosial
sosial komunitas.
b. manusia sosial pada dasamya adalah bagian reaksi dari sistem sosial. c. unit otonomi mendasar adalah sistem sosial yang tersusun dari subsistem yang saling lergantung. d. adalah mungkin mernpe lajari setiap sub unit dari sistern dasar tersebut. e. sistem sosial cende rung homeostatii.
fungsional untuk memenuhi prasyarat tsb. c. di dlm setiap masy, kelu arga menampilkan min. satu dr fungsi dasar itu. d. kel adalah stm sos dg prasyarat fungsional yg komparabel pd prasyarat fungsional stmsos lbh luas e. kel adalah grup kecil yg memiliki ciri generik 111 yg sama dg semua grup kedl
kebutuhan. b. lembaga penting untuk kontml sosial. c. lembaga overlap, saling terkait dan berubah sbg hasil perub insitusi lain. d. Mk lembaga beragam dlm masy yg berbeda dan ditentukan budaya, relatif thd kehidupan sosial. e. utk memaharni perub & kead.saat ini, lemb. Harus
Felu M. Beardo. 1967. The Anthropdcgiil Appoach To The Study Of The Family. M e Mclntyre. 1967.The Structure Functional Appmach To Fanw SIuciy. D a d J. Knenii and Alan E. Bayer, 1967. The I n s t i W i Frame of Reference in Family Study.
(4) Hasil studi & masalah 'bebas nilai' : sumbangan penting bagi studi keluarga dalam ma syarakat kompleks adalah : metode dan pendekatan yg dibangun dalam mem pelajari perilaku keluarga pada masyarakat yang berbeda yang beradaptasi dengan p e ~ b a h a nsitua si, dan munculnya dii organisasi sosial. Peng guna pendekatan ini sela lu berupaya mengungkap kan pertimbangan nilai, impliieksplisit dalam kerangka pemikirannya. (5) Kerangka Pemikiran : Masyarakal dipandang se bagai susunan beragam subsistem1 instiiusi yang saling berhubungan dan berfungsi. Keluarga diana lisa dalam interaksinya dengan sub sistern lain, dan tempatnya (fung sinya) dalam masyarakat.
Ketiga
pendekatan
f. stm sosial menampilkan diuji berdsr kesejarahan. fungsi pelayanan individu & f. kel ad. lemb. yg paling fungsi pelayanan masy mendasar dlm masy. g. fgs kel ada terulama bg kelIINnaflnya. (4) Hasil studi & masalah (4) Hasil studi & masalah 'bebas nilai' : "bebas nilai" : sumbangan penting ada lah sumbangan penting ada lah membuat studi kelu arga mempelajari perkemb. Kel. menjadi bagian inte gral dr sbg variabel depen den yg studi masy yg lebih luas. dipenga~hi ling Pengguna pendekatan ini kungan,sosial dan biologi. dalam studi keluarga selalu Nilai secara eksplisit di berupaya "bebas nilai". lstilah nyatakan, yaitu : 'ikatan peme liharaan' dan a. kehidupan kel adalah lebih -ekuilibrium" adalah alh siti kehiiupan baik drpd netral, tiiak menunjuk pada indiiidulsingle person. upaya mempertahankan b. anak sgt diinginkan dlm -status quo". perkawinan. c. stabilitas kel lebih pen ting drpd kebahagiaan. d. masy dan lemb. Sosial lebih penting drpd individu (5) Kerangka Pemikiran : (5) Kerangka Pemikiran : Analisis makro fungsional: unit a n a l i i ad. lembaga, yi keluarga sbg st dr bebera pa st sistem norma dan nilai yg subsistem dlm masy. temrganisasi, status dan Prasyarat fungsional : peranan, hak dan kewajiban (a) dg melihat sbg daftar yg ber pusat sekiar kegiatan kegiatan spy masy survive penting dlm masyarakat. subsistem analitis familial, Lembaga berkembang sbg ekonomi, politik, sojlali sasi- respon kebutuhan manusia dan sosial yg mendasar dan edukasi, religius. (b) dg melihat 'fungsi' sbg perub benluk lembaga sbg 'konsekuensi' yg dihslkan hasil perub pengaruh kondisi 'aktiitas' ffl : adaptasi sosial, lingkungan dan (subsistem fungsional eko biologi, dan pengaruh pendahulunya. nomi); pemenuhan tujuan sejarah (sf. politik); integrasi (sf. Lembaga keluarga ad yang mendasar dan kornunitas); pemeliharaan paling pola (sf. sistem nilai) beragam di masy dan Analisis mikro fungsional : budaya. Keluarga mrpkan hub. antara kel sbg stm sos alat kontml sosial dan hrngsi 8 subsisternnya. Prasyarat utama adalah repmduksi dan struktural : sosialisasi keturunannya. diierensiasi peranan, alo kasi soliaritas. alokasi ekonomi, poliik, alokasi alokasi integrasi- ekspresi. (antropologi
sosial,
struktural
fungsional
dan
kelembagaan) yang mewakili paradigma fakta sosial memandang keluarga sebagai variabel dependen yang perkembangan dan perubahannya sangat
ditentukan oleh penganrh faktor
ekstemal. Perbedaannya, pendekatan
struktural fungsional memandang struktur dan fungsi keluarga ditentukan oleh luar keluarga, atau ada perubahan fungsi secara resiprokal antara keluarga dan subsistem lainnya. Dalam ha1 hubungan internal dalam keluarga diiekankan pembagian k e j a antara jenis kelamin dan fungsinya untuk memelihara keluarga. Dalam pendekatan institusional, unit analisanya adalah lembaga dan perilaku dilihat sebagai manifestasi kebutuhan dan nilai manusia. Sedangkan unit analisa struktural fungsional adalah sistem sosial, dan perilaku dilihat sebagai respon yang diharapkan dari posisi atau peranan dalam suatu sistem. Studi
keluarga
berparadigma definisi
sosial
diwakili
pendekatan
interaksionis (Schvaneveldt 1967), dan paradigma perilaku sosial d i k i l i pendekatan ekonomi (Rice. 1967). Tabel 2.2. Studi Keluarga Paradigma Definisi Sosial & Perilaku Sosial Pendekatan lnteraksionis (1) Fokus Studi : a. pada bekejanya dinamika hub. in temal dlrn keluarga : peraturan dan keserasian perkawinan, hub. orang tua-anak, keserasian keluarga. b. Hub. interpersonal suami-istri dlm parkawinan : kasih sayang, sex, inter aksi Ib.budaya. harapan, pengambil an keputusan 8 menyesuaikandin. c. definisi dan konsep peranan dim hub, dlm kel. yg dipengaruhi oleh ekspansi kel., perbedaan klas swial. d. fungsi hub. keluarga pd waktu seng gang & peraturan ortua dlm kel. (2) Konsep dasar : interaksi, tindakan sosial. definisi siluasi, status, peranan, integrasi keluarga, komunikasi, adapt&, kesadaran din. (3) Asumsi dasar : a. man. hiiup dlm Lingk.simbolik & fsik yg distimuli dlm situasi sosial untuk beriindak. simbol tsb dilihat sbg makna dan nilai bersama. b. mel. Simbol, manusia berkapasitas utk menstimuli yg lain dg cam sama. c. man. berkapasitas utk mempelajari makna & nilai me1 kornun. simbolik.
Pendekatan Ekonomi (1) Fokus Studi : pd kesejahteraan kel. dg pendekatan ke rangka ekonomi Igkp, yi menganalisa penga~h variabel ekonomi thd keluarga: a. standar hidup, yg tergantung kpd adat. kebiasaan, selera, dan cam utk membiayai konsumsi : pendapatan dan pekejaan. b. status sosial ekonomi. dg indikator : pekejaan, sumber pendapatan, pen didikan. perumahan, barang dan jasa c. perilaku konsumen 8 motivasi: ke inginan, kebutuhan, kegunaan & nilai d. kondisi ekonomi masyarakat (2) Konsep dasar : kesejahteraan, dinamika, slandar hidup, kerniskinan, deprivasi, pendapatan, kon sumsi, kebutuhan, nilai, status. (3) Asumsi dasar : a. keinginan manusia utk rnemelihara & memperbaiki kondiinya ad. pokok. b. keinginan beragam menurut waktu, tempat, kond. ekonomi, klas sos, dan tdk sm pentingnya berdsr persaingan c. manusia dpt mengkontml lingkungan hidupnya, man. ad rnahluk ekonomi d. pengukuran status sosio ekonomi ter
.
sbg enliias tensolasi. e. interaksi hrs dipandang dlrn konleks bgmn partisipan mendefinisikan satu sama lain dlrn situasi stimulus sosial.
struktur diientu kan bolik, karakter istik skala atau kombinasi
Tindakan scr individu ad. unit otonomi dsr dlm seting sosial. barang ek dan kegiatan man. lainnya
lnteraksl rnenunjuk pd hub yg khas yg terjadi antar ang kel. Kekhasan pd fakia
sayang dan keserasian antar ang kel, berorientasi pd hub interpersonal antar ang
bg unit ekonomi yg terdiri dr dg sekumpulan hak & b ekonomi bersama
ng & jasa yg diperlukan, yg diientukan kebutuhan, keinginan, sikap, adat dan
menangkap pm&es intelpretasi dimana ghasilkan standar hidup, status sosial anggota mengartikan peranan anggota yang ekonomi, tk hiiup dan perilaku konsumen, berperilaku tersebut. Keluarga me~pakan dan dg memperhitungkan kondisi ekonomi kerangka dmn tindakan sosial berlangsung; rnasyarakatnya. Tk kesejahteraan keluarga organisasi dan perubahan dalam keluarga secara kontinurn : kerniskinan. deprivasi, adalah hasil kegiatan unit-unit tindakan. orang biasa (kecukupan), kaya, mewah.
Perbedaan pendekatan interaksionis (paradigma definisi sosial) dengan pendekatan institusional dan struktur fungsional (paradigma fakta sosial) adalah
bahwa kontrot sosial terdapat pada kasih sayang dan kecocokan antar anggota keluarga, bukan pada struktur sosial di luar keluarga. lnteraksi keluarga mempakan tindakan kolektif anggota-anggotanya. Kehidupan sosial dalam keluarga diasumsikan berada dalam proses, dan seluiuh objek sosial diinterpretasikan oleh individu anggota keluarga dan memiliki makna khusus
(definisi situasi). Sedangkan dalam struktur fungsional
tindakan sosial ada
dalarn kaitannya dengan tindakan masyarakat, kehidupan sosial dalarn keluarga ada dalam keseirnbangan. Penelitian Sajogyo (1983:305) dengan pendekatan struktural fungsional menunjukkan peranan (tindakan sosial) wanita terintegrasi dengan ciri rnasyarakat dan sesuai dengan keadaan rurnahtangganya. Penggolongan keluarga secara hirarkis dalarn suatu sistem stratifikasi sosial dapat dilakukan berdasarkan pendekatan ekonomi, politik dan budaya. ~erdasarkanstratifikasi ekonorni, baik Manc rnaupun Weber sependapat bahwa posisi kelas ditentukan oleh kriteria obyektif yang bemubungan dengan peluang hidup di bidang ekonomi (pernilikan alat produksi, benda atau kekayaan). Masyarakat desa di Indonesia sering disebut juga sebagai masyarakat petani karena sebagian besar penduduknya petani. Selanjutnya, berdasar klasifikasi sosial ekonomi, rnasyarakat petani tersebut digolongkan berdasarkan pemilikan dan penguasaan tanah menjadi lapisan atas, rnenengah, bawah dan buruh tani. Selain stratifikasi ekonorni, Weber juga mengembangkan stratifikasi sosial berdasar pendekatan politik dan budaya yang berbeda secara anallis. Stratifikasi poliik rnenunjuk pada kekuasaan, sedangkan stratifikasi budaya rnenunjuk pada penggolongan berdasarkan kehonnatan atau prestise yang dinyatakan dalam gaya hidup bersarna, nilai dan kebiasaan yang sama. Dalarn ha1 stratifikasi budaya, pendapat serupa dikemukakan oleh Redfield, bahwa dalarn k a i i n intensitas hubungan dengan masyarakat kota, masyarakat desa digolongkan menjadi dua: rnasyarakat petani pendukung 'tradisi kecil' dan pendukung 'tradisi agung' (masyarakat kota). Selanjutnya Scott, yang mengkaji rnasuknya intervensi pemerintah dalam ekonomi petani, membedakan rnasyarakat desa: 'masyarakat petani' dan golongan 'elitel penguasa desa'. Dalam ha1 masyarakat desa di Jawa, penelitian Geertz (1960). Jay (1968), Palmier (1969) rnenghasilkan penggolongan yang harnpir serupa. Geertz rnernbagi masyarakat Jawa di Mojokuto atas tiga golongan sosial: abangan (yang berinti di pedesaan), santri (yang berinti di pasar), dan priyayi (yang berinti di kantor pernerintahan, kota). Sesungguhnya ketiga golongan sosial
'
tersebut juga mencirikan tiga subkebudayaan Jawa, menurut Lombard (1996) menjadi subbudaya yang kuat mendapat pengaruh unsur budaya India (kerajaan), unsur budaya Islam dan unsur budaya modem (pembaratan). Jay secara lebih rinci menggolongkan masyarakat desa
berdasarkan tingkatan
sosial individu (pangkat, kekayaan) dan tingkatan sosial situasional (bahasa dan pertukaran sosial), rnenjadi 'wong sing ora duwel ora tetep' dan 'wong sing duwe cukup'. Peneliti Indonesia, seperti Soemardjan (19861, Kartodirdjo (1987) dan Suhartono (1991), yang meneliti masyarakat desa di sekiiar pusat kraton (Yogyakarta dan Surakarta), menggolongkan masyarakat menjadi dua bagian besar: golongan bangsawan dan priyayi (berinti di pemerintahan dan kerajaan), dan golongan 'wong cilik' yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin (berinti di pedesaan). Kedua golongan tersebut berbeda secara budaya. Di pedesaan, penduduk yang sudah berhasil rneraih pendidikan dan bekeja di pemerintahan disebut juga priyayi 'cilik'. (1987:25)
golongan
priyayi
(pangrehpraja
Meskipun menurut Kartodirdjo dan
intelektual)
mengalami
keruntuhan pada tahun 1942, tetapi proses modernisasi telah mernunculkan priyayi modem yang berusaha melestarikan gaya hidup kepriyayian demi statusnya. Orientasi status masih sangat kuat. berdasarkan asal-usul dan status keluarga maupun pendidikan dan jenis pekerjaan. Dalam kaitan dengan kesejahteraan, penulis cenderung mernbagi golongan masyarakat desa di Jawa menjadi dua: golongan priyayi dan golongan kong cilik' yang memiliki subbudaya berbeda. Penulis berpendapat bahwa kesejahteraan bukan merupakan fenomena ekonomi semata, tetapi lebih merupakan fenomena sosio budaya, dimana nilai-nilai dan interaksi sosial yang berlangsung lebih menentukan dalam upaya mencapai kesejahteraan hidup. Mengaw pernikiran Redfield, masyarakat desa memiliki 'tradisi kecir dan sebagian memiliki 'tradisi agung' masyarakat kota. Meskipun demikian, penulis berpendapat akan muncul beberapa varian dari golongan 'priyayi cilik' yang berorientasi kraton maupun varian dari golongan 'wong cilik' karena perubahan
'
lingkungan sosial ekonomi desa. Dengan kata lain, tejadi pula diierensiasi sosial karena spesialisasi kerja dalarn masyarakat, rnisalnya dikalangan tvong cilik' selain petani, ada pedagang, perajin, tukang, buruh non tani, yang rnernbuka peluang mobilitas sosial. Selanjutnya, dalam hubungan antara stratifikasi dan diierensiasi sosial dengan penepsi kesejahteraan, penulis berpendapat bahwa persepsi kesejahteraan merupakan hasil konstruksi sosial. Perbedaan status sosial budaya dan spesialisasi keja akan menghasilkan persepsi kesejahteraan yang berbeda. Hal ini karena para pelaku yang merniliki tingkatan sosial berbeda akan
mengembangkan proses interaksi
sosial
yang
berbeda
dalarn
hubungannya dengan lingkungan keluarga dan kornunitas. Dengan dernikian, pelaku tenebut juga akan menghasilkan pengalaman hiiup yang berbeda dalarn upaya mencapai kesejahteraan hidupnya.
2.1 -2. Persepsi Kesejahteraan Secara urnurn, penepsi dapat diarbikan sebagai pandangan seseorang terhadap obyek atau peristiwa sosial yang diarnati. Bedasarkan pendekatan psikologis, penepsi merupakan penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau proses-proses yang rnenghasilkan penghayatan langsung tersebut.' Sedangkan berdasarkan pendekatan sosiologis, persepsi merupakan hasil pengalarnan sekelornpok manusia dalarn hubungannya dengan obyek atau peristiwa sosial yang diamati. Persepsi tentang kesejahteraan hidup manusia terbangun rnelalui pengalarnan dan berbagai macam proses dalam usaha rnanusia rnenjalin hubungan dengan lingkungan mereka (Twikrorno dkk, 7995) Jika kesejahteraan rne~pakanhasil dari proses pernbelajaran manusia dalarn hidupnya, rnaka menurut penulis. persepsi tentang kesejahteraan tenebut
akan
terbentuk
rnelalui
pengalaman hidup
manusia
dalarn
hubungannya dengan lingkungannya (keluarga, kelornpok dan rnasyarakat) 7
Mencakup proses 'attention, constancy, depthmwernent perception, plasticity. mdives. errwtions, and expedations' (Noemadi. 1982).
,
dalarn
rangka
mencapai kesejahteraan hidup.
Terbentuknya persepsi
kesejahteraan tersebut selanjutnya akan rnendorong manusia dalam usahanya rnencapai kesejahteraan sesuai dengan konsepsi yang rnereka miliki dan terwujud dalarn perilaku kehidupan sehari-hari mereka. Dengan kata lain, kesejahteraan adalah wujud kebudayaan dan persepsi kesejahteraan yang terbentuk dalarn proses interaksi sosial perwujudan kebudayaan tersebut. Sebaliknya persepsi yang terbentuk tersebut pada akhinya mempengaruhi perilaku dalam proses pewjudan kesejahteraan. Selanjutnya, berdasarkan sifatnya, persepsi kebudayaan perlu dibedakan atas persepsi tentang hal-ha1 yang sifatnya teraga dan tidak teraga. Persepsi r e a l i yaitu persepsi kebudayaan masyarakat awarn, merupakan persepsi teraga karena berdasarkan pengalarnan atau tingkah laku yang terpola. Hal ini berbeda dengan persepsi para cendekiawan yang mengenal berbagai konsep kebudayaan, sehingga sampai pada hasil perpaduan persepsi konseptual atau berbagai fenomena yang dianggap tercakup oleh konsep tadi. Persepsi kebudayaan cendekiawan disebut persepsi utopia.Qecara
sosiologis, ha1 ini
rnencerminkan adanya diferensiasi sosial, yaitu golongan rnasyarakat awarn dan golongan cendekiawan yang rnemiliki persepsi yang berbeda. Mengaw pemikiran tersebut, penulis berpendirian bahwa persepsi kesejahteraan rnasyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan menurut pemerintah. Dernikian pula masyarakat desa memiliki persepsi yang berbeda, karena rnerniliki pengalaman hidup di lingkungan yang berbeda. Ada golongan elite desa yang rnenjadi pendukung budaya kota dan ada pula golongan miskin desa yang rnemiliki ciri kebudayaan berbeda (subkebudayaan) karena rnenyesuaikan diri pada depriwsi (lingkungan yang rnernbuatnya rniskin).
Utopi dapat dilihat sebagai cita-cita. suatu keadaan yang belum tercapai tetapi ingin d i j u d b n . hasil dari keinginan yang menunttit dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang membuat utopi ini bernilai sesuai dengan seperangkat nilai yang dicitacitakan (Noefhadi, 1982).
Pengalaman seseorang terhadap obyek atau peristiwa sosial yang dialami menjadi dasar bagi seseorang dalam memberikan pemahaman atau pandangan terhadap obyek atau peristiwa sosial tersebut. Persepsi atas realita tersebut mengandung artj bahwa nilai-nilai subyek persepsi ikut menentukan hasil persepsi. Dengan demikian persepsi sekaligus sudah mewpakan suatu penilaian. Hubungan antara nilai-nilai, persepsi dan perilaku dapat dijelaskan sebagai berikut: persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku konkrit, dan bahwa nilai-nilai lewat. emosi, motivasi dan ekspektasi mempengaruhi persepsi ini (Noerhadi, 1982). Dalam ha1 persepsi kesejahteraan, menurut penulis, baik persepsi yang dimiliki pelaku masyarakat desa maupun pelaku pemerintah dipengaruhi oleh nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupnya dan juga oleh pengalaman hidupnya dalam mewujudkan kesejahteraan. Nilai-nilai kesejahteraan merupakan suatu 'tipe ideal', sedangkan persepsi kesejahteraan merupakan kenyataan yang diperoleh dari pengalaman hidup sehari-hari. Dari sisi masyarakat desa, nilainilai kesejahteraan asli (lokal) tersebut merupakan hasil sosialisasi dari nilainilai budaya lokal dan nilai agama. Sedangkan nilai-nilai kesejahteraan dari sisi pemerintah merupakan kebijakan yang sudah terumuskan secara baku yaitu dalam konsep 'keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera'. Penulis sependapat dengan lhromi (1993:2-3) dan Saifuddin (1993:36), bahwa rumusan baku tersebut tidak secara langsung menjadi realiis yang terwujud dalam kehidupan masyarakat desa yang memiliki keragaman budaya. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat desa memahami dan mewujudkan perilaku untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Untuk dapat menangkap persepsi kesejahteraan dari suatu kebudayaan tertentu, dapat ditentukan terlebih dulu indikator kebudayaan atau fokus-fokus persepsi, yang mencakup (Noerhadi, 1982) : Segi komunikasi sebagai aspek sosial kebudayaan, dimana kelangsungan komunikasi itu berhasil atau tidak berhasil disebabkan oleh beberapa kesenjangan tertentu.
r
Sebagai sistem tanda atau serniologi, diperhatikan hakekat kaitan makna dan bunyi aksara sehingga terdapat hubungan antara tiga unsur (signsignifier dan signified). Sebagai perbendaharaan di masa lalu dan untuk perbendaharaan di masa datang, ada kesinambungan derni generasi-generasi mendatang. Peristiwa-peristi konkrit dalam kehidupan kebudayaan erat hubungannya dengan kreativitas pelaku-pelaku sebagai pendukung pencipta budayanya. Mengacu pada pernikiran tersebut, rnaka indikator atau fokus-fokus
persepsi kesejahteraan dapat dirumuskan sebagai berikut: Kornunikasi: apa dan bagairnana tejadi kelangsungan kornunikasi persepsi kesejahteraan antar beragam lapisanl golongan dalam masyarakat desa? Sistem tandal serniologi: apakah kata kesejahteraan antar beragam lapisanl golongan dalam rnasyarakat desa merniliki makna yang sama? Perbendaharaan: bagaimana kesinambungan penepsi kesejahteraan pada generasi mendatang? Peristiwa konkrit: p e r i s t i i apa dan siapa pelaku peristiwa budaya yang berkaitan erat dengan persepsi kesejahteraan? Di Indonesia, istilah ketuarga sejahtera baru dimunculkan oleh pemerintah sejak dikeluarkannya UU No 10 tahun 1992 tentang
Perkernbangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Sedangkan konsep yang muncul sebelumnya adalah konsep kemiskinan yang telah dikembangkan oleh berbagai dinad instansi/ lembaga terkait dalam upaya peningkatan penanggulangan kemiskinan. Namun kedua konsep tersebut tetap mengaw kepada pemikiran yang sama, berdasar pada UUD 45 pasal27 ayat 2 dan pasal 34, adalah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rnasyarakat.
Perbedaan mendasar antara definisi tidak sejahtera (pra sejahtera dan sejahtera 1) dengan definisi rniskin, adalah pada pendekatan analiisnya. Secara urnurn kedua definisi tersebut menunjuk pada kondisi ketidakmarnpuan untuk rnernenuhi kebutuhan dasar seseorangl ~mahtangga(rniskin) atau keluarga (tidak sejahtera). Namun definisi miskin, dengan menggunakan pendekatan
,
ekonomi, menunjuk pada cara bagaimana keluarga memenuhi kebutuhan hidup berdasarkan surnberdaya yang dimiliki, sehingga ukurannya adalah mata pencaharian dan penghasilan atau pengeluaran seseorangl rurnahtangga. Sedangkan definisi tidak sejahtera b e ~ p a y amenggunakan pendekatan sosial, yaitu bahwa pernenuhan kebutuhan hidup berhubungan dengan posisi keluarga di masyarakat, sehingga ukurannya adalah kebutuhan dasar itu sendiri (materi dan non materi). Dengan kata lain keluarga tidak sejahtera ditentukan oleh posisinya dalam masyarakat yang dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tabel 2.3. Beragam indikator kemiskinan dari dinasl instansi terkait BPS
Dep. Sosial
Dep. Pertanian
berdasar tingkat kecukup an kebutuhan fisik minim um pangan mmahtangga : 2100 kalori per orang per hari. Dan kebutuhan fisik minimum bukan pangan : pengeluaran sebesar Rp. 13.295 per kapitalbulan untuk pedeyan (garis kemiskinan)n
ldentifikasi keluatga miskin : tidak memiliki mata pencaharian atau memiliki mata pencaharian dengan penghasilan rendah; penghasilan sangat rendah; k o n d i rumah dan lingkungan tak memenuhi syarat kesehatan; pendidikan terbatas.
Petani-nelayan kecil : petani nelayan betsetla keluarganya yg pendapatannya di bawah garis kemiskinan (yi dibawah 320 kg setara berasllhlkapita Sayogyo), mata pencaharian, pemilikan lahan, mmah, penerimaan kredii, pendapatan dan pengeluaran keluatga setahun"
Dalam ha1 konsep kerniskinan, ada indikator kemiskinan yang berbeda dari behagai dinaslinstansillembaga dalam upaya menentukan golongan sasaran yang perlu dibantu dalam masing-masing program kegiatannya, yang mencerrninkan kepentingan masing-masing sektoral. Narnun secara urnum ada kesesuaian yang rnenunjuk konsep kemiskinan pada ha1 atau keadaan miskin secara rnateri yang diukur dengan penghasilan atau pengeluaran seseorangl rumahtangga."
'
Said Rusli dkk, 1995. Metodologi Identitihi Golongan dan Daerah Miskin Suatu linjauan dan Aiternatii. lo Tim Peneliti IPB, 1993. Studi PeningkatanSistem dan Mekanisme Pendataan Depsos RI 11 Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian Departemen Pertanian. 1991. '' Bambang Sudibyo. 1995. Kerniskinan adalah kcmdisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan dan pendidikan dasar.
.
Konsep kesejahteraan mengacu pada UU No 10 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (BKKBN, 1996:5). Konsep keluarga sejahtera rnenurut pemerintah ini memiliki kesesuaian dengan konsep ideal kesejahteraan rnenurut sistem nilai atau ideologi Islam, yang bersumber pada Al-Quran.
Masyarakat berkesejahteraan adalah masyarakat yang
terpenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papannya, hidup dalarn suasana damai dan harmonis, dan tehindar dari rasa takut terhadap kesengsaraan (penindasan, kelaparan, penyakit, kebodohan, dan masa depan din, keluarga dan lingkungan)." Untuk mengukur keberadaan keluarga rnenurut tingkat kesejahteraannya tersebut,
BKKBN telah rnengernbangkan 23 indikator operasional yang
menggambarkan tingkat pernenuhan kebutuhan dasar keluarga (fungsi keagamaan, fungsi ekonorni, fungsi reproduksi), kebutuhan sosial psikologis (fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi cinta kasih), dan kebutuhan pengembangan (fungsi perlindungan atau pmteksi, fungsi sosial budaya), serta kepedulian sosial (fungsi pembinaan lingkungan) sebagai berikut (Haryanto dan Tomagola, 1997:41-42) : a. Keluarga Pra Sejahtera Yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasamya (basic needs) secara minimal, seperti kebutuhan akan dasar spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan KB. Pada keluarga Pra Sejahtera kebutuhan dasar belum S e l ~ ~ h n y a terpenuhi, yaitu
''
Shihab (1998:127). Masyarakat yang berkesejahteraan adalah masyarakat yang rnewujudkan bayang-bayang kesejaMeraan surgawi, dilukiskan ctalarn S. Thaha (M):117-119 dan S. ACWaqi'ah (56):2526.
Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota
(1)
keluarga.
(2) Pada umumnya seluruh anggota keluarga rnakan dua kali sehari atau lebih.
(3) Seluruh anggota keluargarnerniliki pakaian berbeda di rurnah, bekeja, sekolah, dan bepergian.
(4)
Bagian yang terluas dari lantai rurnah bukan dari tanah.
(5) Bila anak sakh dan atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke sarana kesehatan. b. Keluarga Sejahtera I Yaitu keluarga-keluarga yang tetah dapat memenuhi kebutuhan dasamya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. Pada keluarga Sejahtera I, kebutuhan dasar (1 sld 5) telah terpenuhi, narnun kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi, yaitu : (6)
Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
(7)
Paling kurang sekali seminggu, keluarga rnenyediakan dagingl ikanltelur.
(8)
Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru pertahun.
(9) Luas lantai rurnah paling kurang 8 M penegi untuk tiap penghuni
rumah. (10) Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat (11) Paling kurang satu anggota keluarga usia
15 tahun ke atas
berpenghasilan tetap. (12) Seluruh anggota keluarga yang berurnur 10-60 tahun bisa baca tulis huruf latin. (13) Seluruh anak berusia 515 tahun benekolah pada saat ini.
(14) Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil).
c. Keluarga Sejahtera II Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasamya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan untuk rnenabung dan rnernpemleh informasi. Pada keluarga Sejahtera 11, kebutuhan fisik dan sosial psikologis telah terpenuhi (1 sld 14), narnun kebutuhan pengembangan belum sepenuhnya terpenuhi antara lain : (15) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. (16) Sebagian dari penghasilan dapat disisihkan untuk tabungan keluarga. makan a bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan (17) ~ i a s a n ~ itu dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga. (18) lkut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. (19) Mengadakan rekreasi bersama di luar ~ m a paling h kurang 1 kali 1 6 bulan. (20) Dapat memperoleh berita dari surat kabarlradiorrVlmajalah.
(21) Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi sesuai
kondisi daerah. d. Keluarga Sejahtera Ill
Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis,dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan
.
materi, dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Pada keluarga Sejahtera Ill, kebutuhan fsik, sosial psikologis dan pengembangan telah terpenuhi (1 sld 21) namun kepedulian sosial belum terpenuhi. yaitu :
,
(22) Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela rnernberikan surnbangan bagi kegiatan sosial rnasyarakat dalarn bentuk rnateriil. (23) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
e. Keluarga Sejahtera Ill plus Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengernbangannya serta telah dapat mernberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalarn kegiatan kemasyarakatan. Pada keluarga Sejahtera Ill plus, kebutuhan fisik, sosial psikologis dan pengembangannya telah terpenuhi serta memiriki kepedulian sosial yang tinggi (1 sld 23 terpenuhi).
lndikator kesejahteraan tersebut, menunjukkan kondisi ketidaksejahteraan yang diteituican oleh posisi keluarga dalam rnasyarakat (struktural). Di rnasyarakat, kemampuan untuk mernenuhi kebutuhan dasar berbeda rnenurut posisi keluarga dalarn rnasyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Kleden (1987) bahwa kerniskinan haws dipahami sebagai proses dan akibat struktur :
deprivasi, yaitu keadaan dimana sekelompok orang kehilangan akses untuk rnenggunakan surnberdaya yang diperiukan, baik surnberdaya ekonorni. politik maupun
budaya.
Namun
pemerintah
{BKKBN)
tidak
secara
jelas
rnengernukakan apa dasar-dasar penstratifikasian kesejahteraan keluarga tersebut Hal ini rnenjadi penting karena apa yang dipandang tinggi atau rendah dalam masyarakat berbeda, rnenurut ekonomi (pernilikan alat produksi, benda atau kekayaan), budaya (kehormatan, prestise), maupun politik (kekuasaan). Di sisi lain, indikator keberadaan keluarga menurut tingkat kesejahteraan yang digunakan oleh pemerintah merupakan indikator yang bersifat 'rnakro obyektif", artinya ' berlaku seragam (baku) secara nasional". Dalam penerapan indikator itu di lapang, petugas pendata disebut "bertindak secara obyektif, yaitu rnenilai sendiri tingkat kesejahteraan sebuah keluarga berdasarkan indikator baku tersebut. Dengan demikian indikator ini telah meniadakan (tidak rnernpehiiungkan) keragaman konteks sosial budaya masyarakat Indonesia.
Berdasarkan indikator tersebut, pemerintah dapat rnenernukan "siapa golongan keluarga miskin (pra sejahtera dan sejahtera I)", akan tetapi belum tentu sesuai dengan realitas atau pandangan subyektif rnasyarakat berdasarkan sosial budaya ~eternpat.'~ Seperti dikemukakan sebelumnya. penulis rnemandang kesejahteraan sebagai wujud kebudayaan yang dihasilkan rnelalui proses pengalaman hidup sekelompok manusia dalarn hubungannya dengan lingkungannya. Oleh karena itu penulis' berpendapat bahwa konsep kesejahteraan haruslah didefinisikan menurut pandangan subyektif (lokat) masyarakat itu sendiri, mencakup baik kesejahteraan materi maupun non rnateri (kebiasaan, tata cam, pola-pola organisasi sosial). Sebagai hasil konstruksi sosial, menurut penulis, maka kesejahteraan ditentukan oleh status sosial. Perbedaan status sosial akan menghasilkan kesejahteraan yang berbeda pula. Seperti dikernukakan sebelurnnya, orang Jawa dapat dibedakan menjadi dua golongan sosial: priyayi (termasuk pegawai dan intelektual) dan w n g cilik (sebagian besar massa petani, pedagang, pengrajin dan tukang). Menurut Geertz (1960:305), Kartodirdjo (1987:9) priyayi yang juga merupakan elite birokrasi merupakan model dari
tradisi yang
benrientasi pada kraton. Tingkahlaku dan pandangan hidup priyayi rnenjadi ukuran tingkahlaku dan pandangan hidup yang baik dan ideal. Walau sudah merupakan gejala umum anggota kelas masyarakat cenderung
meniru
kelas
yang
lebih
tinggi,
Soemardjan
(1986:26)
mengernukakan ha1 yang berbeda dalarn ha1 wong cilik, meskipun bertumpu pada kebudayaan Jawa dan mempakan kelas yang terpisah secara sosial, tetapi tidak rneniru pola perilaku keias priyayi. Diantara penduduk tani, kepala desa dan pembantunya mempunyai prestise sosial yang tertinggi. Di luar kelompok parnong desa, stratifikasi sosial didasarkan pernilikan tanah: kuli kenceng (memiliki tanah sawah dan tanah kering), kuli karangkopek (hanya 14
Di program IDT siapa yang disebut 'miskin" dan layak menerima hibah dana IDT, diserahkan pada musyawarah rnasayarakat desa sendiri. (Sajogyo. 1996).lni merupakan sisi 'gerakan myarakat' yang memakai ukuran subyek-tif.
'
rnemiliki tanah pekarangan), kuli indunglgandok (punya rumah pada tanah orang lain), indung tlosor (menumpang pada keluarga lain dan bekeja untuk rnereka sebagai imbalannya). Untuk memberi wadah bagi pandangan mikro subyektif, ada upaya dari pemerintah untuk menemukan golongan keluarga Pra sejahtera dan Sejahtera I dengan menggunakan indikator yang tejemahan operasional-nya didasarkan atas persepsi rnasyarakat setempat (Anonirn, 19937). Penoalannya adalah bagaimana menyarnbungkan pandangan "rnakro obyektif" pemerintah dengan pandangan "rnikm subyektii di tingkat lokal ? siapa pelaku (aktor) di tingkat lokal yang berfungsi rnenjembatani indikator "baku nasional* dengan "beragam lokal" indikator? lnilah sisi gerakan sosial dalam pernbangunan keluarga sejahtera, dengan menyesuaikan indiitor yang digunakan program (rnelalui proses belajar) dengan indikator lokal. Dengan dernikian tujuan utarna penanggulangan keluarga miskin (Pra Sejahtera dan Sejahtera 1)
dapat
dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat
2.1.3.
Beragam
Faktor
Penyebab
Ketidaksejahteraan dan
Upaya
Penanggulangannya Beragam faktor penyebab kerniskinan (kurangl tidak sejahtera) dapat digolongkan
ke
dalarn
dua
kategori,
berdasar
lingkungan
yang
mernpengaruhinya, yaitu : (1) buatan alam (disebut kerniskinan alamiah); dan (2) buatan manusia (lingkungan sosial ekonomi dan budaya). Kemiskinan buatan rnanusia ini ada yang disebut kemiskinan struktural dan karena "budaya rniskin".15 Dalarn kaitan itu, seperti ditunjukkan tabel 2.4.. maka beragam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
''
Sapgyo. 1991. Nasoetion, 1996. Kerniskinan alarniah adalah kerniskinan yang disebabkan deh kualitas surnberdaya alarn, surnberdaya rnanusia dan tekndogi sehingga pduang pmduksi relatii kecil. Kemiskinan struktural adalah kerniskinan yang disebabkan Wanan kelembagaan. Ada struktur sosial yang rnenjadikan sebagian rniskin dan sebagian lain serba wkup. 'budaya rniskin' adalah miskn karena ma&, f a i s t i k , capat menyarah kalah.
menggunakan
pendekatan
teknologi
dan
Pendekatan teknologi merupakan cara
pendekatan
pendekatan
kelembagaan."
individualistik
dan
rnekanistik, yang rnengartikan kerniskinan sebagai karakteristik hubungan orang dengan komodiis. Sedangkan pendekatan kelembagaan yang rnenentukan siapa
memperoleh apa dalam suatu
rnasyarakat. Kerniskinan adalah
karakteristik hubungan orang dengan orang terhadap sesuatu, yang diatur oleh tatanan kelembagaan yang ada. Masyarakat memiliki sistem nilai yang sudah rnelernbaga dan energi sosial yang dapat dirnanfaatkan untuk rnengatasi kesulitan hidup dan rnenumbuhkan solidaritas sosial antar sesarna." Dalam rangka memaharni kemiskinan, BKKBN secara khusus telah mengernbangkan pendekatan keluarga sebagai unit pengarnatan. Masalah ketidaksejahteraan ada pada kondisi tidak sejahtera di tingkat keluarga (keluarga pra sejahtera atau sejahtera I) yaitu keluarga yang belum dapat rnemenuhi fungsi-fungsi keluarga. Surnber atau faktor penyebab masalah ketidaksejahteraan tenebut ada di tingkat individu (internal) : kesakitan, kebodohan,
ketidaktahuan,
ketidaktrarnpilan,
ketertinggalan
teknologi,
ketidakpunyaan modal; dan di tingkat struktural (ekstemal) : struktur sosial ekonomi yang rnengharnbat peluang untuk berusaha dan meningkatkan pendapatan, nil*-nilai clan unsur-unsur budaya yang kurang rnendukung upaya peningkatan kualitas keluarga, kurangnya akses untuk dapat rnernanfaatkan fasilitas pembangunan (BKKBN, 1996:13). Faktor eksternal tersebut dapat dirinci berdasarkan perubahan yang terjadi sebagai akibat modemisasi, seperti
(BKKBN, 199493) peralihan dari sistem agraris ke industri, kependudukan, pendidikan, perubahan peranan wanita.
''
Agus Pakpahan. 1996. Penanggulangan Kemiskinan : Prinsip Oasar, Metodologi dan Upaya Penanggulangannya.
l7
Tim IPB, Hasil Prosiding Semiloka Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 1991.
Tabel 2.4. Faktor penyebab kemiskinan dan upaya penanggulangannya Faktor Penyebab Kerniskinan
Upaya Penanggulangannya
I
Kemiskinan Alamiah :
1
sumberdaya alam kurang subur, rendahnya penerapan teknologi, pmduktivitas dan tgkt pendidikan sumberdaya manusia rendah"
insenti untuk investasi pengembangan sum berdaya, resiko & ketidaktentuan yg besar. Insenti mendorong swasta berpartisipasi. lg
Keterpencilan lokasi, keterbatasan berdaya alam. fisik, m a n ~ s i a . ~ ~
Penyusunan tata ruang agroindustri : pe nyusunan perwilayah komoditi. 21
sum
Kemiskinan Stwktural : faktor ekstemal: Pemberian bantuan modal dan transformasi ketidaksempurnaan pasar, pembangunan di struktural kegiatan sosial ekonomi bawah standar, ketertlelakangan; faktor masyarakat (pemberdayaan) internal: kurangnya modal pelaku pembang~nan.~~ adanya kesenjangan hrngsi pruduksi, Pengembangan struktur perekonomian keadilan distribusi nilai tambah, kegmah an nasional, inovasi kelembagaan, per baikan t e r n of trade komoditi pertanian tingkat monetisasi dlm masyarakal. kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, Peningkatan kualitas hiiup; pelayanan keterasi an, kerentanan dan ketidakber kesehatan, gizi dan KB moralitas dan dayaan. pendekatan kelembagaan A
3 '
ketiadaan kesempatan keja, upah gaji di bawah standar minimum, produktivitas kerja rendah, ketiadaan aset, diirimina si seks,tekanan harga, penjualan tanahX
mobilitas non permanen, peluang bekeja dan berusaha luar pertanian, reforrnasi agraria
''
Budava miskin : kemiskinan merupakan Pendekatan kultural melalui kelembagaan budaya yg tejadi km penderitaan ekonomi atau organisasi ye menumbuhkan harapan yg lama, berciri inferior, dependen, impulsif. dan menghanarrkan ciri tsb. Diberi peluang berpartisipasi dlm kegiatan.=
'' ''
Hadiwigeno dan Agus Pakpahan. 1993. ldenfifikasiWilayah Miskin di Indonesia. Lutfi Nasoetion. 1996. Taksonomi Kemiskinandi Indonesia :Suatu mian Eksploratii.
20
Abdullah Syarwani dan Ariwibowo Prijaksono, 1994. Keswadayaan Pembangunan Masyaralwt.
21
Lutfi Nasoetiin. 1996.
22
Gunawan Sumodiningrat, 1997. Pembangunan Daerah &n Pemberdayaan Masyarakat Barnbang Sudibyo. 1995. Substansi Kemiskinan dan Kesenjangan.
23 24
Lukman Soetrisno. 1995. Kemiskinan, Ketirnpangan dan Pemberdayaan.
25
Faisal Kasryno 8 Achmad Sutyana, 1996; Darwin Karyadi 8 Djoko Susanto, 1996, Agus Pakpahan, 1996.
26
Dawam M. Rahajo, 1995. Keswadayaan dalam Pembangunan Sosiil Ekonomi.
27
I& Bagus Mantra, 1996; Wariso RAM. 1996; Soegijanto Padmo, 1996.
28
Djamaludin Pnmk, 1995. PemanfaatanOrganisasi Lokal Untuk Mengentaskan Kemiskinan.
penanggulangan keluarga miskin (tidaW kurang sejahtera) yang dilakukan BKKBN rnencerrninkan masih kuainya paradigma rnodemisasi sebagai suatu ideologi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah kerniskinan. Disarnping ada juga upaya untuk memahaminya sebagai masalah struktural.
29
Dengan
demikian penyelesaian masalah kemiskinan adalah dengan rnengubah mentalitas tradisional dengan mengacu pada nilai-nilai dan perilaku masyarakat negara maju. Disarnping itu juga berupaya memperbaiki sistem yang ada rnelalui kelernbagaan. Pendefinisian kesejahteraan berdasarkan pandangan subyehf (lokal) rnasyarakat akan terus berkembang mengikuti perkernbangan proses interaksi sosial
masyarakatnya.
Oleh
karena
itu,
menurut
penulis.
definisi
ketidaksejahteraan rnenunjuk pada kondisi keluarga yang tidak sesuai dengan persepsi kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian faktor penyebab ketidaksejahteraan menurut penulis disebabkan oleh ketidakmampuan keluarga rnengernbangkan proses interaksi sosial dalarn mevvujudkan kesejahteraan hidupnya.
2.1.4. Beberapa Peneliian Tentang Kesejahteraan Orang Jawa Beberapa penelitian tentang masyarakat Jawa di desa sekiar pusat kraton (Yogyakarta dan Surakarta) yang dilakukan Soernardjan (IS%), Kartodirdjo (1987) dan Suhartono (1991) tidak secara spesifik menunjukkan kesejahteraan orang Jawa, tetapi daripadanya dapat diambil beberapa kesirnpulan tentang arti kesejahteraan bagi orang Jawa. Di dalam rnasyarakat tradisional Jawa berlaku anggapan bahwa pernbedaan golongan sosial ditentukan menurut keturunan, pangkat atau jabatan, dan kekayaan. Menutut Kartodirdjo (1987:78) di dalam orde sosial
ia
Pendebtan modemisasi menganggap bahbva faktw mental, sistem nilai atau kebudayaanlah yang menghambat atau rnendormg pembangunan swtu masyarakat (tercermin dari faMor internal). Pendekatan struktural menganggap kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat disebabkan deh struktur sosial masyarakatnya, sehingga b k dapat menggunakan sumber-surnber pendapatan yang sebenamya tersedia bagi mereka (tercermin dari faktor eksternal).
dimana suatu golongan selama beberapa generasi telah rnempunyai kedudukan terkemuka - lengkap dengan status, kekuasaan dan kekayaan - menjadi wajar bila persepsi rakyat sendiri terbentuk oleh penggolongan priyayi dan wong cilik. Priyayi yang dicirikan oleh status dengan gaya hidupnya, kekuasaan yang menempatkan mereka pada bagian atas hirarkhi, dan manifestasi kekayaannya
-
membuat perbedaan kedudukan priyayi lebih menyolok daripada kedudukan
wong cilik. Setelah proses modemisasi. status berdasar keturunan mengalami ~perubahanorientasi pada status berdasar pendidikan dan jenis pekejaan. Simbol status dari golongan priyayi adalah bentuk rumah, pakaian dan gelamya, serta gaya hidupnya. Keadaan sosial ekonomi (kekayaan) yang lebih baik dan posisi politiknya (kekuasaan) t u ~ menunjang t statusnya. Menurut Kartodirdjo (1987) simbol status sebagai nilai temyata sangat esensial bagi gaya hidup priyayi, hidup priyayi membawa kewajiban menjaga praja (gengsi) dan pertimbangan ekonomis dibelakangkan. Dalam kaitan itu, upacara (ritualisme) yang diadakan sebuah keluarga dapat menjadi indikator drajat dan status '(kekayaan dan kewibawaan) keluarga tersebut. Selanjutnya, dalam proses modernisasi, ada kelompok priyayi (yang dominan pada struktur kekuasaan dan birokrasi) yang mengembangkan nilai lama, dan ada kelompok lain yang menerima identitas b a dan ~ simbolnya. Kelompok lain tersebut, menurut Kartodirdjo (1987). adalah mereka yang mampu membudayakan kewiraswastaanbaik di bidang ekonomi, sosial, politik yaitu orang yang marginal kedudukan kulturalnya, dan mengalami alienasi karena pendidikan. Sedangkan status wong cilik, menurut Soemardjan (1986), karena sepenuhnya bergantung pada tanah untuk dapat hidup menarik garis pemisah tajam antara kelas pemilik tanah dan kaum tani tak bertanah. Tanah merupakan kekayaan paling tinggi nilai sosialnya (prestise). Dalam kaitan dengan proses rnodemisasi, untuk menuju tingkat kehidupan spiritual dan matenil yang lebih tinggi, dilakukan dengan melepaskan masyarakat desa dari ikatan terhadap tanah. Selain tanah, temak (lembu dan kerbau) juga merupakan simbol kekayaan di desa dan rnenaikkan prestise sosial pemiliknya. Namun kekuatan
'
ekonomi dalam proses modernisasi memaksa ternak menjadi sarana ekonomi sernata. Simbol kekayaan dan prestise sosial masyarakat selain tanah adalah bentuk dan kualitas rumahnya, pendidikan anaknya, dan sepeda. Dari kedua pendapat tersebut, penulis berpendirian bahwa simbol status dari golongan priyayi dan wong cilik menunjukkan 'indikator kesejahteraan masingmasing golongan tersebut, karena rnerupakan kondisi ideal yang ingin dicapai agar dapat meningkatkan prestisenya dan memberikan kegembiraan dalam hidup. Dengan kata lain, kesejahteraan merupakan simbol status. Selanjutnya, mengacu pemikiran Geertz (1960:305), jika terdapat suatu elite budaya (priyayi), yang basis kekuasaan terakhimya pada pengawasan atas pusat-pusat sumber sirnbolis masyarakat, di sisi lain ada petani, yang basis kekuasaan terakhir adalah pengawasan etas sumber bahan pokok masyarakat (penediaan pangan). Dengan demikian, meskipun priyayi menjadi model ideal bagi petani, tetapi indikator utarna kesejahteraannya berbeda sesuai dengan simbol status masing-masing golongan. Priyayi merupakan pemirnpin budaya dan poliik, yang disimbolkan oleh bentuk rurnah, pakaian, gaya hiiup dan kedudukan tinggi, sedangkan petani memiliki tanah sebagai sirnbol statusnya. Dengan demikian jika kesejahteraan merupakan fenomena sosiobudaya yang ditunjukkan melalui simbol-simbol status berdasarkan penggolongan sosial dalam masyamkat, maka menurut penulis kondisi ketidaksejahteraan haruslah dijelaskan
melalui pemahaman tentang pandangan hidup masyarakat.
Kepercayaan Jawa memandang kehidupan manusia selalu terpaut dalam kosrnos alam raya, dengan dernikian hidup manusia merupakan pengalaman religius dan wajib menjaga keselarasan dengan tata tertib masyarakat.
30
lmplikasi dari konsep tersebut menurut penulis adalah bahwa tidak mungkin memisahkan kesejahteraan rnateri dan non-materi. Kesejahteraan materi dicapai melalui kesejahteraan non-materi. kesejahteraan materi merupakan wujud fisik sedangkan kesejahteraannon-rnateri merupakanwujud kelakuan.
"
Tidak mungkin memisahkan yang sakral dari yang prdan, yag benifat kodrati dari yang adikodrati. yang berakar dalam dunia sini dan kini dari yang berakar &lam abrn sana dan lepas dari waktu (Mulder. 1986)
.
Selanjutnya Mulder (1986) rnengatakan bahwa dalam masyarakat Jawa orde kemasyarakatan dan orde kosmis dalarn hakekatnya adalah teratur dan tersusun secara bertingkat (hierarkhis), mencakup keselumhan dan dapat dikenal. Penyesuaian dan ketaatan kepada orde adalah suatu perintah dan kebajikan dan hams rnendatangkan kebahagiaan.
Dengan kata lain
kemasyarakatan merupakan sumber kebahagiaan dan penghargaan, lepas dari obyektivitas dan individualiis. lmplikasi dari konsep tersebut rnenurut penulis adalah bahwa ketidaksejahteraan merupakan kondisi yang disebabkan oleh penyimpangan terhadap keselarasan masyarakat. Konsekuensi dari manusia Jawa sebagai makhluk sosial (Mulder, 1986) adalah bahwa tujuan material, keselamatan dan untung lain dapat dicapai dalarn rangka sosial melalui hubungan baik dengan atasan. Untung dan keselamatan bukan hasil kegiatan dalam alam material maupun hasil manipulasl obyek-obyek, tetapi manipulasi orang dan kekuatan yang lebih tinggi (sosial maupun ha~us).~' Kernajuan berarti kemajuan sosial (naik pangkat) dengan mendapatkan kekuasaan dan kehormatan sedangkan benda (kekayaan) akan mengikutinya. lmplikasi dari konsep tersebut menurut penulis adalah bahwa upaya untuk mencapai kesejahteraan dilakukan dengan rnengembangkan hubungan yang tepat dengan kekuasaan sosial dan alam simbolis. Berbeda dengan Mulder, Suseno (1987) menggambarkan orang Jawa berdasar penggolongan wong cilik dan kaum priyayi. Menurut Suseno (1987), pandangan dunia Jawa merupakan penghayatan yang terungkap dalam lapisan rnasyarakat dalam wujud dan nada yang berbeda.=
Dalam pandangan petani,
keselamatan orang Jawa tergantung apakah ia menemukan ternpat yang tepat
31
a
Dengan dernikian sangat rasional rnencari perlindungan dalarn group patronage, rnenjadi anak buah dari bapak yang berkuasa; bagi yang tak mampu, rnencari untung rnelalui hubungandengan k & w n halus ( k w ~ n a nanak , buah mhaniawan). Terdapat empat tiik berat (lingkaran bermakna) dalam pandangan dunia Jawa: (1) sikap terhadap dunia luar s e m i kesatuan nurninus alam, masyarakat dan adikodrati, dilaksanakan dalam ritus tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri (wujud desal petani); (2) penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkspan alarn numinus; (3) pengalaman keakuan sebagai jalan penatuan dengan nurninus (wujud priyayi); (4) penentuan pengalaman oleh takdir.
dalam
keselarasan
lingkungannya,
dimana
daripadanya
tergantung
keberhasilan usaha, pemenuhan keinginan dan pemuasan kepentingannya. Tanda tempat yang tepat adalah tidak adanya kekacauan masyarakat (secara sosial) dan bebas dari ketegangan emosional (secara psikologis). Pencapaian tempat yang tepat itu dilakukan dengan menerapkan prinsip rukun (mencegah konflik) dan hormat (mengakui tempat yang tepat bagi setiap orang) dalam interaksiu Selanjutnya menurut Suseno (1987), dalam pandangan priyayi kenyataan alam batinlah realitas yang paling nyata, sedang alam lahir hanya ungkapan alam batin. Makna usaha manusia dalam kehidupannya diukur pada ketentraman batin, kecocokan semua unsur satu sama lain, pengalaman selamat dan selaras dengan alam semesta. Hal itu dapat dicapai melalui hubungan yang tepat terhadap alam lahir (rnengatur emosi, mengambil silcap tepat dalam masyarakat, mengolah alarn (menghaluskannya), dan semakin menyelami batinnya. lmplikasi dari konsep yang dikemukakan Suseno (1987) dalam ha1 kesejahteraan adalah bahwa ukuran kesejaMeraan non rnateri (wujud kelakuan) bagi petani (wong cilik) adalah pengalaman slamet, ketentraman batin yang tenang, tiada ancaman konilik dan kekacauan. Sedangkan bagi priyayi, ukuran tersebut terletak pada ketentraman hati tercapai dalarn rasa yang tenang. Selanjutnya kesejahteraan materi diwjudkan melalui kesejahteraan non materi dalam bentuk simbol-sirnbol dari statusnya. Untuk mencapai kesejahteraan tersebut petani berupaya mengusahakan keterlindungan dalam lingkungannya (kesatuan dengan
kelornpoknya) sedangkan
priyayi
berupaya belajar
mengontrol segala segi eksistensinya sendiri. Modernisasi telah membawa perubahan sosial ekonomi bagi masyarakat desa. Dalam kaitan dengan pandangan hidup, modemisasi berarti progress,
"
Prinsip kerukuanan rnengatur semua bentuk pengambitan keputusan antara pihak yang sama kedudukannya. prinsip hormat menentukan hubungan hierarkhis dan kerangka bagi interaksi, dimana setiip pihak rnempunyai tempat yang diakui, dan dapat diientukan keputusan yang diambil: hierarkhts atau kemkunan.
'
yaitu proses dimana orang makin menguasai alam kebendaan.
" Selanjuhya
menurut Mulder (1986). hubungan modem rnerupakan penyimpangan dari pola umum. Dalam hubungan modem, satu komponen hidup akan disekularisasikan dan menjadi tanggungjawab manusia yaitu alam kasar (kebendaan). Dengan demikian orang tak hanya mahluk sosial, mereka kridentitas terhadap alam kebendaan juga. lmplikasinya adalah selain penggolongan secara sosial, orang juga akan digolongkan sesuai kemampuannya menguasai kebendaan. Sehubungan dengan ha1 itu, menurut penulis, modemisasi juga telah membawa perubahan dalam ukuran kesejahteraan. Kesejahteraan tidak semata behubungan dengan posisi atau status seseorang dalam masyarakat, tetapi bemubungan dengan kernampuan individu seseorang. Dengan demikian ukuran kesejahteraan materi juga rnencakup pendidikan (ketrampilan), penguasaan terhadap sumberdaya ekonorni (tanah, modal dan tenaga kerja), sosial (pekejaan, kedudukan budaya dan politik). Sedangkan ukuran kesejahteraan non-materi (wujud kelakuan) tidak lagi dipahami dalam hubungannya dengan kekuasaan masyarakat dan alam gaib, tetapi dipahami berdasarkan kondisi obyektif s+eorang.
Dalam proses modemisasi tersebut kesejahteraan rnateri
semakin dapat dipisahkan dari kesejahteraan non-rnateri. Selanjutnya konsekuensi dari proses modemisasi yang membawa perubahan
dalam
ukuran
kesejahteraan
adalah
bahwa
kondisi
ketidaksejahteraan tidak lagi dipahami sebagai kondisi yang disebabkan oleh penyimpangan terhadap keselarasan
masyarakat, tetapi lebih merupakan
kondisi yang disebabkan oleh ketidakmampuan individu dan kehilangan akses untuk menggunakan sumberdaya ekonomi, budaya dan politik. Dengan dernikian upaya untuk mencapai kesejahteraan tidak lagi dilakukan dengan rnengusahakan keteflindungan dalam lingkungannya tetapi melalui usaha peningkatan kemampuan individu dan perubahan struktural.
31
Modemisasi berarti kekuasaan atas lingkungan fisik. kekuasaan rasional obyekt~patas lingkungan sosial, orang dapal rnenguasal waktu. (Mulder. 1086)
Dalam modemisasi, menurut Mulder (1986:58), masyarakat Jawa adalah "post traditional society", dimana ide tradisonal merintangi pembaharuan mental, sedang bentuk modem dijiplak dengan asyik sebagai lambang kemajuan dan modemitas. Dalam kebudayaan tradisional lambang sering dianggap sebagai intisari kenyataan, maka golongan elite dan rakyat tidak sadar bahwa mereka hanya mengatur bentuk dan bukan isinya. Dalam mencapai modemitas, ketiga lapisan masyarakat (petani, pegawai negeri dan eli) menunjukkan orientasi "ke luar" dan "ke atas", menjauhi kelompoknya sendiri. Mobilitas sosial atau modemisasi dengan simbol-simbolnya mengacu pada lapisan yang lebih atas atau di luar negeri. Orientasi berkiblat ke atas, sedang arah komunikasi dari atas ke bawah. Mengacu pandangan tersebut. menurut penulis, masyarakat Jawa sudah mengembangkan simbol-simbol modem bagi kesejahteraan, namun dalam proses mencapai kesejahteraan tersebut masih berorientasi "ke atas" dan "ke luar baik dalam ha1 simbol kesejahteraan maupun dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Prinsip bahwa kesejahteraan hanya dapat dicapai dengan mengembangkan hubungan yang baik dengan kekuasaan sosial dan alam simbolis yang halus berdasarkan prinsip mkun dan honnat masih berlaku pada masyarakat Jawa. Dengan kata lain, untuk mencapai kesejahteraan maka orang Jawa akan mengusahakan keterlindungan dalam lingkungannya, belum berdasar upaya meningkatkan kemampuan individunya.
2.1.5. Gerakan Sosial dan Ciricirinya Heberle (1970) mendefinisikan gerakan sosial sebagai beragam upayaupaya
kolektif
untuk
menghasilkan suatu
perubahan dalam
institusi
(kelembagaan) sosial tertentu atau untuk menciptakan suatu tatanan bani yang menyeluruh. Gerakan sosial bisa pula didefinisikan sebagai pennintaan bersama secara sosial akan pembahan dalam beberapa aspek tatanan sosial (Gusfield, 1970:445). Sejalan dengan itu Tumer dan Killian (Horton, 1975:105) mengemukakan bahwa gerakan sosial menunjuk pada suatu tindakan kolektif
'
yang bersifat kontinyu untuk rnengadakan pembahan dalam masyarakat atau group yang menjadi bagian dari masyarakat. Dan ketiga definisi tersebut, menurut penulis ada ciri yang sama yaitu menekankan gerakan sosial sebagai bagian (berperan) dalam perubahan sosial, untuk menghasilkan perubahan baik di tingkat sistern sosial (group, masyarakat) rnaupun institusi (kelernbagaan) tertentu bahkan menciptakan tatanan b a yang ~ menyeluruh. Gerakan sosial tersebut rnerupakan tindakan kolektif dan:oendemngbersifat konflik. Di berbagai waktu dan kondisi, legitimasi kelembagaan atau nilai-nilai yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat bisa diserang (tidak sesuai lagi) oleh bagian (subsistem) lain dalam masyarakat Hal ini mengakibatkan groupgroup sosial menghadapi konflik satu sama lain. Pada akhirnya ideologi gerakan sosial rnenunjuk pada ketidakpuasan, pemecahan tertentu, ddn membenarkan pembahan. lmplikasi dari konsep tersebut menurut penulis adalah bahwa gerakan sosial kesejahteraan orang Jawa nIe~pakanberagam upaya-upaya kolektif (tindakan bersama) yang dilakukan oleh groupgroup (keluarga, kelornpok, organisasi) untuk rnenanggulangi ketidaksejahteraan. Gerakan tersebut rnembawa perubahan dalam kelembagaan keluarga, yaitu dari golongan keluarga tidakl kurang sejahtera rnenjadi keluarga sejahtera. Gerakan sosial kesejahteraan ini rnuncul dari kondisi modernisasi yang telah membawa perubahan dalam pandangan (arti) kesejahteraan dan ukuran-ukurannya dan mengakibatkan segolongan keluarga semakin berada dalam posisi tidak sejahtera karena ketidakmampuan sumberdaya manusianya dan kehilangan akses untuk menggunakan sumberdaya ekonomi, budaya dan poliik. Keadaan tersebut telah mernunculkan kesadaran gdongan keluarga tidak sejahtera untuk memperbaiki hidupnya. Ciri-ciri tindakan kolektif sebagai suatu gerakan sosial dapat digolongkan kedalam 3 ha\, yaitu memiliki (1) tujuan dan ide (gagasan), (2) organisasi dan struktur, serta (3) karakteristik anggota yang tertentu.
'
yaitu prases dimana orang makin menguasai alam kebendaan.
" Selanjutnya
rnenurut Mulder (1986). hubungan modem me~pakanpenyimpangan dari pola urnurn. Dalarn hubungan modem, satu komponen hidup akan disekularisasikan dan menjadi tanggungjawab manusia yaitu alarn kasar (kebendaan). Dengan demikian orang tak hanya mahluk sosial, mereka beridentitas terhadap alam kebendaanjuga. lmplikasinya adalah selain penggolongan secara sosial, orang juga akan digolongkan sesuai kemampuannya menguasai kebendaan. Sehubungan dengan ha1 itu, menurut penulis, rnodemisasi juga telah rnernbawa perubahan dalam ukuran kesejahteraan. Kesejahteraan tidak semata berhubungan dengan posisi atau status seseorang dalam masyarakat, tetapi bemubungan dengan kemarnpuan i n d i d u seseorang. Dengan demikian ukuran kesejahteraan materi juga mencakup pendidikan (ketrampilan), penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi (tanah, modal dan tenaga kerja), sosial (pekerjaan, kedudukan budaya dan polik). Sedangkan ukuran kesejahteraan non-materi (wujud kelakuan) tidak lagi dipahami dalam hubungannya dengan kekuasaan masyarakat dan alam gaib, tetapi dipaharni berdasarkan kondisi obyektif seseorang. Dalarn proses modernisasi tersebut kesejahteraan rnateri semakin dapat dipisahkan dari kesejahteraan non-materi. Selanjutnya konsekuensi dari proses modernisasi yang membawa pe~bahan dalarn
ukuran
kesejahteraan
adalah
bahwa
kondisi
ketidaksejahteraan tidak lagi dipahami sebagai kondisi yang disebabkan ofeh penyimpangan terhadap keselarasan
masyarakat, tetapi lebih me~pakan
kondisi yang disebabkan oleh ketidakmampuan individu dan kehilangan akses untuk menggunakan sumberdaya ekonorni, budaya dan politik. Dengan demikian upaya untuk rnencapai kesejahteraan tidak lagi dilakukan dengan mengusahakan keterlindungan dalam lingkungannya tetapi melalui usaha peningkatan kemampuan individu dan perubahan st~ktural.
"
Modernisasi beratti kekuasaan atas lingkungan fisik, kekuasaan rasional obyeldip atas lingkungan sosial, orang dapat menguasai waktu. (Mulder. 1986).
Dalam modemisasi, menurut Mulder (1986:58),masyarakat Jawa adalah "post traditional society", dimana ide tradisonal merintangi pembaharuan mental, sedang bentuk modem duiplak dengan asyik sebagai lambang kemajuan dan modemitas. Dalam kebudayaan tradisional lambang senng dianggap sebagai intisari kenyataan, maka golongan elite dan rakyat tidak sadar bahwa mereka hanya mengatur bentuk dan bukan isinya. Dalam mencapai modemitas, ketiga lapisan masyarakat (petani, pegawai negeri dan elii) menunjukkan orientasi "ke luat" dan "ke atas", menjauhi kelompoknya sendiri. Mobilitas sosial atau modemisasi dengan simbol-simbolnya mengaw pada lapisan yang lebih atas atau di luar negeri. Orientasi berkiblat ke atas, sedang arah komunikasi dari atas ke bawah. Mengaw pandangan tersebut, menurut penulis, masyarakat Jawa sudah mengernbangkan simbol-simbol modem bagi kesejahteraan, namun dalam proses mencapai kesejahteraan tersebut masih berorientasi 'ke atas" dan "ke luar" baik dalam ha1 simbol kesejahteraan maupun dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Prinsip bahwa kesejahteraan hanya dapat dicapai dengan ,mengembangkan hubungan yang baik dengan kekuasaan sosial dan alam simbolis yang halus berdasarkan prinsip rukun dan honnat masih berlaku pada masyarakat Jawa. Dengan kata lain, untuk rnencapai kesejahteraan maka orang Jawa akan rnengusahakan keterlindungan dalam lingkungannya, belum berdasar upaya meningkatkan kemampuan individunya.
2.1.5. Gerakan Sosial dan Ciri-cirinya Heberle (1970) mendefinisikan gerakan sosial sebagai beragam upayaupaya
kolektif
untuk
menghasilkan suatu
perubahan dalam
institusi
(kelembagaan) sosial tertentu atau untuk menciptakan suatu tatanan b a yang ~ menyeluruh. Gerakan sosial bisa pula didefinisikan sebagai permintaan bersama secara sosial akan perubahan dalam beberapa aspek tatanan sosial (Gusfield. 1970:445). Sejalan dengan itu Turner dan Killian (Horton, 1975:105) mengemukakan bahwa gerakan sosial menunjuk pada suatu tindakan kolektif
'
yang bersifat kontinyu untuk mengadakan perubahan datam masyarakat atau group yang menjadi bagian dari masyarakat. Dari ketiga definisi tersebut, menurut penulis ada ciri yang sama yaitu menekankan gerakan sosial sebagai bagian (betperan) dalam perubahan sosial, untuk inenghasilkan perubahan baik di tingkat sistem sosial (group, masyarakat) maupun institusi (kelembagaan) tertentu bahkan menciptakan tatanan baru yang menyeluruh. Gerakan sosial tersebut merupakan tindakan koiektif dan cenderung bersifat konflik Di berbagai waktu dan kondisi, legitimasi kelembagaan atau nilai-nilai yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat bisa diserang (tidak sesuai lagi) oteh bagian (subsistem) fain dalam masyarakat Hal ini mengakibatkan group-group sosial rnenghadapi konflik satu sama lain. Pada akhirnya ideologi gerakan sosial menunjuk pada ketidakpuasan, pemecahan tertentu, dan membenarkan perubahan. lmplikasi dari konsep tersebut menurut penulis adalah bahwa gerakan sosial kesejahteraan orang Jawa merupakan beragam upaya-upaya kolektif (tindakan bersama) yang dilakukan oleh groupgmup (keluarga, kelompok, organisasi) untuk rnenanggulangi ketidaksejahteraan. Gerakan tersebut membawa perubahan dalam kelembagaan keluarga, yaitu dari golongan keluarga tidaW kurang sejahtera menjadi keluarga sejahtera. Gerakan sosial kesejahteraan ini munwl dari kondisi modernisasi yang telah membawa perubahan dalam pandangan (arti) kesejahteraan dan ukuran-ukurannya dan
.-
mengakibatkan segolongan keluarga semakin berada dalam posisi tidak sejahtera karena ketidakmampuan sumberdaya manusianya dan kehilangan akses untuk menggunakan sumberdaya ekonomi, budaya dan poliik. Keadaan tersebut telah memunculkan kesadaran golongan keluarga tidak sejahtera untuk mempecbaiki hidupnya. Ciri-uri tindakan kolektif sebagai suatu gerakan sosial dapat digolongkan kedalam 3 hal, yaitu memiliki (1) iujuan dan ide (gagasan), (2) organisasi dan struktur, serta (3) karakteristik anggota yang tertentu.
2.1.5.1. Gerakan Sosial Berdasarkan Tujuan dan Ide (gagasan) nya : Heberle (1970) mengemukakan bahwa gerakan sosial memiliki tujuan tertentu, yang bisa dibedakan menjadi dua : Gerakan yang memiliki tujuan terbatas dan berlangsung pada groupgroup kecil. Gerakan ini merupakan gerakan protest, rnisalnya melawan perubahan sosial atau politik. Gerakan yang berrnaksud rnengadakan pembahan fundamental dan komprehensif terhadap tatanan sosial, sehingga menjadi gerakan besarbesaran yang memiliki arti historis. Gerakan ini menunjuk pada gerakan sosial dalam arti klasik. Lebih lanjut, Heberle (1970) juga mengemukakan bahwa gerakan sosial
-
muncul karena ide (gagasan) tertentu, yang dibedakan menjadi tiga: Gerakan radikal, yang dilakukan secara sadar untuk mernbentuk suatu tatanan sosial yang berbeda secara radikal, suatu "perubahan dari akaf nya. Gerakan radikal cenderung mengasumsikan ciri keagamaan, atau pada wilayah yang transisinya ke masyarakat modem bejatan lambat. Gerakan sosial modem berdasarkan ide kemerdekaan dan kesetaraan. Gerakan ini mengabstraksikan prinsip-prinsip berkaitan dengan ciri-ciri rnanusianya, cita-citanya, dan hak asasinya dikombinasikan dengan kritik tehadap kelembagaan budaya, politik. Gerakan membentuk masyarakat baru. Gerakan berdasar kepercayaan bahwa perubahan dalam kelembagaan sosial akan membawa solusi baru untuk seluruh masalah manusia. Harper (1989:127) menggabungkan syarat tujuan dan ide (gagasan)
gerakan sosial sekaligus, sebagai berikut : Gerakan umum dan gerakan spesifik : gerakan umum bersifat rnenyebar dan rnemliki tujuan yang didefinisikan secara tegas; gerakan spesifik memiliki tujuan, ideologi dan organisasi yang lebih terbatas.
'
Gerakan radikal dan reforrnasi : gerakan radikal rnenuntut perubahan fundamental
suatu sistem;
sedangkan
gerakan reformasi mencari
perubahan sedemana dalam sistern yang ada. Gerakan instrumental dan ekspresif: gerakan instrumental rnenuntut perubahan struktur rnasyarakat;
sedangkan gerakan ekpresif rnenuntut
perubahan karakter individu dan perilakunya. Berdasarkan tujuan dan ide gerakan sosial, penulis berpendapat bahwa tindakan kolektif sebagai gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan sosial (di tingkat group, kelembagaan, atau masyarakat secara rnendasar) dan memiliki ideologi kesadaran atau kepercayaan bersama, keagamaan, kemerdekaan dan kesetaraan. lmplikasi
dar~ konsep
tersebut,
adalah
bahwa
gerakan
sosial
kesejahteraan pada orang Jawa rnerupakan suatu tindakan kolektif yang bertujuan untuk mengadakan perubahan kondisi keluarga tidak sejahtera menjadi
sejaMera.
Perubahan
tersebut
dilakukan
melalui
redefinisi
(pendefinisian kembali) persepsi kesejahteraan dalam masyarakat Jawa, bahwa kesejahteraan bukanlah kondisi yang ditunjukkan oleh status seseorang dalam masyarakat tetapi me~pakan kondisi berdasarkan kernampuan individu seseorang. Selain itu simbol-simbol modem kesejahteraan berdasarkan kemampuan individu bukanlah diukur menurut pandangan obyektif pernerintah (berorientasi ke atas) melainkan diukur menurut pandangan
subyektif
masyarakat (berorientasi ke bawah). Analisis gerakan sosial melalui redefinisi kesejahteraan ini dengan mengasumsikan kenyataan sosial ada di tingkat budaya. Dengan kata lain pandangan kesejahteraan masyarakat Jawa rnerupakan kenyataan sosial yang dapat dilihat melalui penggunaan simbolsimbol kesejahteraan materi dan non-materi.
2.1.5.2. Gerakan Sosial Berdasarkan Organisasi dan Struktumya : Perkembangan suatu gerakan sosial dapat pula dilihat dari tindakannya sebagai organisasi. Gerakan sosial rnerupakan suatu group yang terorganisasi
tetapi tidak memiliki organisasi formal (misal gerakan buruh) (Holtzrnan, 1964; Heberle, 1970). Kesadaran group, yaitu suatu rasa rnerniliki dan menjadi dasar solidaritas antar anggota group, merupakan ciri-ciri penting bagi suatu gerakan sosial rneski secara ernpirik rnemiliki beberapa tingkatan. Kesadaran ini ditunjukkan melalui partisipasiaktif pendukungnya. Dalam bertindak sebagai suatu organisasi, gerakan sosial rnemiliki segmen tertentu, yaitu : Segrnen langsung gerakan, melalui group yang tersbuktur dan terorganisasi dengan program khusus, struktur kepernirnpinan formal, ideologi yang sudah tertentu, dan tujuan yang dinyatakan. Pengikutnya adalah anggota organisasi. Studi atas segmen langsung ini berupaya rnenganalisa cara-cara dimana ketidakpuasan munwl, karena ketidaksesuaian terhadap tatanan sosial yang ada, dalarn bentuk program-program untuk struktur institusionat yang baru (Rude's, 1959). Segrnen tak langsung gerakan, melalui pernbentukan kernbali perspektif, norma dan nilai, yang tejadi karena interaksi orang-orang, yaitu pengikutnya yang partisipan tetapi bukan anggota perkumpulan. Studi atas segmen tak langsung gerakan berupaya rnenganalisa awal perkernbangan gerakan sosial. Gerornbolan, tindakan massal, perlawanan urnurn, komibnen pribadi yang terstruktur rnerupakan awal perkernbangan gerakan sosial (Centril, 1941). Gerakan sosial rnerniliki beberapa ciri yang berbeda dari organisasi dan struktur yang lebih terintegrasi (Gerlach dan Hine seperti dikutip Harper, 1989:126) sebagai berikut : Merniliki organisasi yang bersifat segmental yang sesuai bagi loyalitas pendukungnya, yang disebut 'lapangan multiorganisasi". Dicirikan oleh rekruitment face to face dalam group kecil. Partisipasi lebih dimotivasi oleh komitrnen personal yang Cnggi dibanding oleh penghargaan ekstemal.
Gerakan membangun ideologi yang mengartikulasi rasionalitas. tujuan dan kondisi perkernbangan. Mernbutuhkan
oposisi
sebagai
tekanan
ekstemal dan
membantu
menciptakan solidaritas. Berdasarkan pernaharnan mengenai gerakan sosial sebagai organisasi tindakan penulis berpendapat bahwa tindakan kolektif sebagai gerakan sosial berbentuk
group
kecil
yang
anggota-anggotanya
memiliki
solidaritas
berdasarkan kesadaran kolektif, yang' ditunjukkan rnelalui partisipasi aktif anggotanya. Tindakan kolektif dalarn bentuk group kecil dimana anggotanya saling mengenal satu sarna lain dapat rnenggerakkan partisipasi anggotanya. Dengan kata lain bentuk group kecil dapat merupakan sarana efektif untuk rnengorganisir tindakan kolektif. Hal ini sesuai dengan pendekatan Olson
(1980:53), yang mengemukakan bahwa kelompok kecil lebih efektif dibanding kelompok besar dalarn mengontrol perilaku anggota satu sama lain. Selain itu, solidaritas antar anggota didalam tindakan kolektif yang berbentuk group kecil tersebut haruslah berdasarkan kornitrnen moral yang sama. Hal ini mengaw pada Durkheirn. rnerupakan solidaritas mekanik, dirnana dasar pokok integrasi sosial dan ikatan yang mempersatukan individu dalarn organisasi adalah kepercayaan bersarna, cita-cita dan komitmen moral. Selanjutnya, penulis berpendapat bahwa kornitmen moral tersebut berdasarkan moral yang mengutamakan kemarnpuan individu anggotanya, bukan moral berdasarkan tindakan sosial (seseorang sebagai mahluk sosial) dalarn masyarakat. Peneli seperti Boeke, Geertz dan Scott berpendapat bahwa tindakan kolektif berdasarkan motif moral (disebut moral subsistensi petani) cenderung menghasilkan pewbahan atau perkembangan ekonorni dan sosial yang lamban. Menurut Scott, ketika tejadi penetrasi kapitalisrne maka prinsip ~N perlawanan petani. Tetapi prinsip moral subsistensi petani ~ u s memunwlkan
perlawanan tersebut bukan rne~pakangerakan untuk rnelawan kernapanan sistem tetapi gerakan dalarn rangka mernpertahankan din dari ancarnan kapitalisme, supaya kelangsungan subsistensi mereka tetap terjamin.
'
Selain mengembangkan tindakan kolektif berbentuk group kecil dan solidaritas antar anggota, partisipasi aktif anggota dalam gerakan sosial dapat terwujud dengan menempatkan anggota sebagai pelaku utama. Mendudukkan anggota sebagai pelaku utama ini sesuai dengan prinsip gerakan sosial dimana gerakan tenebut dibangun dari bawah (dari datam masyarakat sendiri), muncul diantara massa dan rnendapat respon dari elite politik dan sosial. Dalam masyarakat Jawa, rnenurut Mulder (1986), partisipasi ini hanya dapat dicapai bila elite di atas dan massa rakyat bekejasama dalam' satu kerangka kebudayaan untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat Jawa masih menunjukkan orientasi "ke atas" dan "ke luar" yang berirnplikasi pada pencapaian target oleh perenmna tanpa melihat partisipasi aktif masyarakat. lmplikasi dari konsep tersebut
, adalah bahwa gerakan sosial
kesejahteraan orang Jawa merupakan tindakan kolektif berbentuk group kecil dan memiliki solidaritas antar anggota, yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif anggotanya dalam beragam upaya kesejahteraan. Peningkatan partisipasi aktif anggota sebagai pelaku utama dalam gerakan sosial kesejahteraan dilandasi oleh kesadaran bersama yang mengutamakan kemampuan individu seseorang dan keberpihakan pada golongan keluarga tidak sejahtera itu sendiri. Analisis gerakan sosial melalui peningkatan partisipasi aktif ini dengan mengasumsikan bahwa kenyataan sosial ada di tingkat struktur sosial. Dengan kata lain sistem kesejahteraan masyarakat Jawa yang terintegrasi dengan perencanaan nasional dapat menjadi kenyataan sosial yang dapat dilihat melalui jaringan-jaringan interaksi dan pola pengambilan keputusan dalam sistem tenebut.
2.1 S.3. Gerakan Sosial Berdasarkan Karakteristik Anggotanya : Salah satu ciri gerakan sosial adalah anggota-anggotanya memiliki karakteristik tertentu. Salah satu karakteristiknya adalah memiliki motivasi tertentu, yang bisa dibedakan berdasar keyakinan rasional terhadap tujuan
'
gerakan atau berdasar oportunisme murni. Heberle (1970) mengemukakan motivasi anggota gerakan sebagai berikut : Rasionalitas nilai keyakinan dari 'komunitas spiritual" atau "pengikut" terhadap kebenaran ide-ide yang mendasar dan terhadap tujuan praktis gerakan. "Pengikut" yang dipengaruhi secara emosional kepada seorang pemimpin kharismatik. Perkumputan yang bertujuan rasional at& bermanfaat untuk mendukung kepentingan individu. Selain motivasi, karakteristik orang-orang yang dengan mudah mengikuti atau terlibat dalam gerakan sosial adalah (Horton, 1975:105106) : Mobilitas : orang-orang yang sering bergerak,
kurang mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang tetap dan ikatan group yang stabil. Marginalitas : orang-orang yang tidak diterirna secara penuh dalam lokalitasnya, pekejaan atau groupnya. lsolasi sosial : orang-orang yang terisolasi, baik oleh geography maupun struktur sosial, dari kontak dan perkumpulan komunitas adatnya. Mobilitas status : orang-orang yang rnerasa pada posisi terisolasi, marginalitas dan frustasi. Perasaan adanya diskrepansi status dan kehilangan status rnendorong untuk bergabung dalam gerakan. Lemahnya ikatan group primer. Orang-orang yang tak rnemiliki ikatan group primer yang kuat, khususnya ikatan keluarga. Alienasi (pengucilan) : orang-orang yang merasa terkucil, yaitu tak bernorma, tak punya harapan, ada dalam keadaan anomie, merasa terisolasi dan terpisah secara emosional dari masyarakat. Ketidakmampuan menyesuaikan diri : orang-orang yang untuk beragam alasan merasa frustasi dan tak bahagia. Berdasarkan karakteristik anggotanya, menurut penulis gerakan sosial rnerupakan tindakan kolektif yang anggota-anggotanya memiliki motivasi yang
'
sama yaitu agar mendapat manfaat untuk mendukung kepentingan individu. Anggota.anggota gerakan sosial tersebut berada dalarn posisi (status) yang kehilangan status dalam masyarakat. Proses modernisasi dalarn masyarakat Jawa, menurut Mulder (1986), Tjiptoherijanto (1983) dan Suhartono (1991), telah rnelemahkan dernokrasi desa. Hal ini berarti rnakin sedikii orang yang ikut serta dalarn menentukan arah dan keadaan hidup rnereka sendiri, rakyat berada di luar struktur "decision making". Selain itu, dasar moral masyarakat Jawa menghasilkan intoleransi terhadap anggota golongan sendiri dan kepemimpinan yang kharismatis (Mulder,
1986; Soemardjan,
1986). Narnun menurut
Soemardjan, bapakisme bertahan hanya jika tujuan pribadi anggota sejalan dengan'tujuan kelompok itu sendiri, sehingga pencapaian tujuan kelompok memuaskan setiap anggota. Dalam kaitan dengan motivasi anggota untuk melakukan tindakan kolektif, ada dua pendekatan yang menganalisis pergerakan petani dan tindakan Pendekatan moral kolektif, yaitu pendekatan moral dan pendekatan rasiona~.~ memandang bahwa protes petani merupakan tindakan kolektif dalarn kepentingan kolektif petani dalam rangka restoratif1 pemulihan atas hilangnya subsistensi, kearnanan dan kesejahteraan petani. Dengan dernikian seseorang atau individu akan melakukan tindakan kolektif apabila memiliki dorongan moral bersama untuk kepentingan bersama. Sedangkan pendekatan rasional memandang bahwa protes petani merupakan tindakan koleaf yang didasarkan pada konsensus dan kondisi kepentingan individu dalam rangka investasi untuk keuntungan atau kesejahteraan individu. Hal ini berarti bahwa seseorang atau individu akan melakukan tindakan kolektif hanya bila memiliki keuntungan akhir pada individu itu sendiri. Pendekatan ketiga yang diajukan merupakan sintesis dari dua pendekatan sebelumnya, dikemukakan oleh Etzioni (1992) sebagai paradigma 'Aku dan Kita'. Pendekatan ini memandang individu sebagai mampu bertindak sendiri
SS
Ekonmi Moral dipelopori deh Wolf, Scott dan Migdal; sdanghn Ekonmi Poliik dipelopori oleh Popkin.
'
secara rasional, rnendahulukan 'Aku' mereka, tetapi kernampuan mereka untuk berbuat demikian sangat dipengaruhi oleh sejauhmana mereka tertanam dalam komunitas yang sehat dan didukung oleh moral yang teguh dan fondasi personal yang emotif. Kornunitas yang dipersepsi mereka sebagai milik mereka, sebagai 'kita', bukan sebagai 'mereka' yang rnengendalikan. Dengan demikian implikasi bagi tindakan kolektif adalah bahwa seseorang atau individu akan rnelakukan tindakan kolektif lebih didasarkan oleh nilai-nilai emosi daripada rasionalitas pribadi dan diarahkan untuk tujuan keuntungan pribadi dan menaati komitmen moral bersama. Selanjutnya asumsi inti yang dikembangkan dalarn paradigma 'Aku dan K i i adalah: Aktor-aktor mengejar dua atau lebih tujuan (utilitas); rnencari kesenangan (kepentingan sendiri) dan berupaya untuk mematuhi komitmen moral mereka: Pemilihan sarana oleh aktor sebagian besar didasarkan atas nilai-nilai emosi. Sejauh rnereka rnenggunakan logika dan bukti, kemampuan intelektual rnereka yang terbatas menyebabkan aktor menghasilkan keputusan yang secara khas subrasional. Aktor adalah individu yang bertindak di dalam kolektivitas, bukan orang yang berdiri sendiri. lmplikasi
dari
konsep
tersebut,
adalah
bahwa
gerakan
sosial
kesejahteraan orang Jawa merupakan tindakan kolektif yang anggotaanggotanya memiliki motivasi yang sama dengan tujuan kelornpok yaw peningkatan
kesejahteraan
atau
pencapaian
posisi
sejahtera
dalam
masyarakat. Motivasi tersebut dilandasi komitmen moral yang sama yaitu mengutamakan kernampuan indiidu anggotanya, selain bertujuan untuk mendapatkan manfaat pribadi. Anggota gerakan adalah golongan keluarga tidak sejahtera yang b e ~ s a h amemperbaiki hidupnya dengan meningkatkan posisinya dalam pengambilan keputusan kelompok dan dalam menentukan pemimpinnya. Analisis gerakan sosial melalui peningkatan status ini dengan mengasumsikan bahwa kenyataan sosial ada di tingkat hubungan antar pribadi.
'
2.1.6.
Beberapa Penelitian Tentang Gerakan Sosial di Indonesia dan Syarat-syarat Perkembangan Gerakan Sosial : Menurut Harper (1989:129) ada beragarn perspektif untuk menjelaskan
faktor penentu perkernbangan gerakan sosial mencakup psikologi. psikologi sosial dan struktural. Pendekatan psikologi rnemusatkan studinya pada karakteristik individu pendukung sebagai faktor penentu berkembangnya gerakan sosial. Sedangkan pendekatan psikologi sosial rnernusatkan studinya pada hubungan antara kondisi sosial, disposisi psikologi dan rnunculnya gerakan sosial. Terdapat dua perspektif untuk menjelaskan hubungan tersebut : deprivasi relatif dan hambatan (ancaman) status. Pendekatan psikologi sosial rnenekankan perhatian pada interaksi antara individu dan sbuktur sosial, terutarna untuk rnemahami sumber ketidakpuasan. Untuk mernahami surnber ketidakpuasan (kondisi sosial) yang rnenjadi dasar rnotivasi individu dalarn mengernbangkan gerakan sosial, dikaji melalui 3 aspek (1) kondisi struktural yang lebih luas dalarn perkernbangan ketidakpuasan rnassa; (2) kemampuan sumberdaya yang berbeda - baik material dan ideologi untuk perkernbangan gerakan; (3) inte,raksi yang berlangsung antara gerakan sosial dengan gerakan lain dan tatanan sosial yang ada. Sedangkan berdasarkan pendekatan struktural. terdapat tiga perspektif untuk mengkaji faktor penentu berkembangnya suatu gerakan sosial, yaitu : Perspektif pelilaku kolektif yang rnenekankan pada kondisi hancumya pola tatanan dan kontrol sosial tradisional sehingga rnenghasilkan bentuk elementer perilaku kolektif. Perilaku kolektif tersebut dapat rnengkristal kedalarn bentuk gerakan sosial yang sedang berlangsung dalarn upaya untuk mengadakan atau mencegah perubahan sosial lebih lanjut Gerakan sosial tersebut dipandang sebagai respon adaptif terhadap kondisi disorganisasi sosial. Lebih lanjut Smelser (sebagairnana dikutip Harper, 1989:135) rnenekankan pada enarn kondisi penting (disebut nilai tambah) dalam perkembangan suatu gerakan sosial yaitu : (1) keadaan struktur yang kondusif; (2) hambatan struktural; (3) turnbuhnya sistern keyakinan umum;
'
(4) kejadian dramatis; (5) mobilisasi partisipan; dan (6) pelaksanaan kontrol
sosial. Perspektif mobilisasi sumberdaya menekankan pada kondisi perubahan ketersediaan sumberdaya, organisasi dan peluang bagi tindakan benama (Jenkins, seperti dikutip Harper, 1989:138). Pendekatan ini mernandang gerakan sosial sebagai periuasan organisasi berdasar kepentingan bersama, yang berupaya untuk rnengadakan reformasi sosial dan memperoleh kesempatan untuk masuk ke dalam struktur masyarakat yang sudah mapan. Pendekatan ini rnenekankan pada peranan kekuasaan dan pejuangan kekuasaan dalam memobilisasi orang untuk melakukan tindakan kolektif. Kritik terhadap perspektif ini adalah adanya bias klas sosial yang lebih mengutarnakan peranan organisasi gerakan sosial profesional dan meminimalkan peranan massa yang merupakan dasar struktural bagi ketidapuasan massa. Perspektif NeMarxian menekankan pada kondisi (surnber) struktural bagi gerakan sosial. Kondisi struktural yang dimaksud bukanlah keadaan struktural yang kondusif rnaupun disorganisasi atau stress psikis, melainkan lebih disebabkan oleh kondisi perpecahan dalam struktur kelembagaan masyarakat - terutama dalam hubungan kekuasaan. Berdasarkan perubahan sosial yang berlangsung dan faktor penentu yang mernunculkan gerakan, menurut Heberle (1970) hipotesa utama dalam studi gerakan sosial adalah bahwa gerakan sosial merupakan hasil perubahan sosial, yang rnenyebabkan munculnya ketegangan antara tatanan lama dan baru dan rnenghasilkan ketidakpuasan. Analisa utama gerakan sosial adalah dalam mengidentifikasi aspek
(kondisi) perubahan sosial yang
mernunculkan
ketidakpuasan dan menghasilkan gerakan sosial. Perubahan sosial yang tejadi juga harus rnemperhatikan deprivasi relatif pada suatu group dan aspek struktural yang menentukan perkembangan tindakan kolektif tersebut. Perubahan sosial yang tejadi jarang berlangsung seragarn pada seluruh masyarakat, dengan demikian perkembangan suatu gerakan sosial biasanya
'
rnenunjuk pada segmen tertentu dari rnasyarakat. Dengan kata lain, perkembangan gerakan sosial rnerniliki lokasi dalam struktur sosial yang rnenjadi kondisi (dasar) sosial gemkan. Segmen sosial yang rnenjadi dasar sosial gerakan merniliki keyakinan bersarna yang rnerefleksikan situasi unik rnereka. Keyakinan bersarna ini dapat dipandang sebagai suatu paradiga pengalaman dimana ideologi dan program gerakan memunculkan hak, keadilan, dan pemilikan hanya untuk segmen tertentu. Beberapa penelitian tentang gerakan sosial di Indonesia, rnenunjukkan
.
terjadinya gerakan mdikal maupun gerakan protes baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelornpok (Kartodirdjo, 1984; Brewer dan Dove, 1985; Kuntowijoyo,
1993;
Scott,
1993).
Ketidakpuasan
terhadap
peraturan
penguasaan dan penggunaan tanah, perbedaan taraf kekuasaan dan kepentingan yang tidak sarna antar kelompok. ketersediaan surnberdaya yang terbatas, serta p e ~ b a h a nyang datang dari luar masyarakat me~pakan sumber ketidakpuasan dan rnenjadi dasar motivasi individu untuk melakukan tindakantindakan protest secara perreorangan atau berkelornpok, tidak terorganisir atau terorganisir, berlatar belakang ekonomi, agarna, ideologi atau politik. sejalan dengan apa yang
Hal ini
dikemukakan oleh Mahasin (1989:3) dan
Suryochondm (1996:290) yaitu bahwa gerakan masyarakat t-ne~pakanreaksi kolektif atas keadaan yang dirasakan tidak adil. Atau dengan kata lain gerakan untuk mengadakan perubahan dalam rnasyarakat yang didasari keyakinan kuat dan bersedia berjuang untuk mencapai suatu keadaan yang lebih adil dapat disebut dengan gerakan sosial. M ~ I I u NKartodirjo ~ (1973) ada 5 aspek yang dapat digunakan sebagai alat analisa faktor-faktor yang menentukan perkernbangan gerakan sosial yaitu : (1) struktur politik ekonomi; (2) basis rnassa gerakan sosial; (3) kepemirnpinan
gerakan sosial; (4) ideologi gerakan sosial; (5) kebudayaan masyarakat dimana gerakan sosial berlangsung. Beberapa peneliian tentang gerakan sosial di Indonesia berdasarkan kondisi yang memunculkan gerakan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
,
58 Tabel 2.5.Kondisi yang Mernunculkan Gerakan Sosial di Indonesia Gerakan Protest di Desa
"
Radikalisasi Petani
Perlawanan Kaum Tani
Struktur politikekonomi :
Struktur politik-ekonomi :
Strukutr politik ekonomi :
penetrasi ekonomi kolonial yang menetapkan peraturan baru dalam ha1 pertanian & hubungan kerja telah me munculkan gerakan radikal isme agraris
kondisi poliik telah meng guncang dikotomi tradisional antara desa-supra desa dan antara petani dan priyayi dan melahirkan gerakan
perub.st~kt~rsosial.ek~n~mi ditandai meningkatnya d i e rensiasi sosial 8 kesenjang an pernilikanl penguasaan lahan 8 melemahnya ikatan patronclient menyebabkan munailnya perlawanan kaum tani
Basis massa gerakan sosial:
Basis rnassa gerakan sosial:
Basis rnassa gerakan sosial:
pada masyarakat Petani di petani. ped. Jawa, basis massa ad. pe tani yg merasa task puas dengan kondii yang ada & muncul-kan gerakan protest yang merupakan inisiatif lokal.
kaum tani (petani gurern dan bumh tani).
Kepemimpinan gerakan sw : Kepemirnpinan gerakan sos : Kepemimpinan gerakan 50s: elite agama (haji, kyai, gum agama) merupakan faktor utama perkembangan gersos. tradiional. Elite tersebut simbol utama tatanan tra diional & menempati posisi sosial tertinggi diiesa.
elite kota (bangsawan) maupun dari elite desa sendiri (ulama pedesaan atau gum). Pola kepernim pinan tradisional (elit pe desaan dan ulama) masih efektif.
perlawanan kaum tani di sebut perlawanan tanpa protes dan tanpa organisasi, karena itu tidak ada pemimpin. Setiap petani m e lakukan perfawanan dan berciri anonimitas.
ldeologi gerakan sosial:
ldeologi gerakan sosial:
ldeologi gerakan sosial:
ada empat a n ideologis : dengan ideologi ratu adil. millenananisme, mesianisme, nativisme dan keper cayaan pada perang suci. Unsur-unsur ideologis ini tidak dapat dibedakan dengan tegas dalam radikalisme agraria di Jawa abad 19 B 20.
38
'' ''
adanya kepercayaanl ke sadaran akan tradii kedl yang berlawanan dengan besar. Yang tradisi menempatkan kaum tani & kebudnya pada status yg rendah selamanya. Kaum tani inginkan keadilan, masyarakat Ideal.
Sartono Kartodirdp. 1973. F'rotest Movement in Rural Java; 1984. Ratu Adil.
Kuntowipyo. 1993. Radikalisasi Petani. James C. Scott,1993. Perlawanan Kaum Tani.
Gerakan Protest di Desa
"
Radikalisasi Petani
"
Perlawanan Kaum Tani "
Keburiayaan masyarakat:
Kebudayaan masyarakat:
Kebudayaan rnasyarakat:
kebudayaan Jawa. adanya harapan masyarakat ideal, zaman keemasan, rnenghidupkan nilai lradisional dan percaya pada kekuatan gaib (keramat, wahyu, sakti) pernimpin agama atau JUN selarnat.
komunitas agraris yg ter tutup di desa Jawa, berbu daya hornogen, didominasi ikatan tradisional dg struktur supra desa yg bersifat feodal (petani dan kelas atasan) dan kolonial (priyayi dan wong cilik).
ada tradisi kecjl dan tradisi besar. Buruh tani yang rnasih dusun berakar pada rnengenal ikatan guyub swakarsa dimana daya secara penrangan atau mampu rnem kolektif pertahankan ketahanan mereka.
Berdasarkan faktor penentu perkembangan gerakan sosial, menurut penulis, dapat dikernukakan bahwa kondisi struktur politik ekonorni yang rnemunculkan gerakan sosial di pedesaan Jawa didominasi oleh ikatan tradisional dengan struktur supra-desa yang bersifat feodal (petani dan kelas atasan) dan kolonial (priyayi dan wong alik), serta hubungan antam pnbumi dan asing. Menurut Lockwood (Soekanto, 1988) beragarn penyebab konflik yang pada akhimya bermuara pada tindakan-tindakan protest disebabkan oleh : perbedaan taraf kekuasaan yang dipegang
pelbagai kelompok dalam
rnasyarakat; tersedianya sumberdaya yang serba terbatas; kepentingan yang tidak selalu sarna dan serasi dalarn kelompok masyarakat. Selanjutnya, dalam ha1 basis massa gerakan sosial, menurut penulis karakteristik sosi-budaya,
polik, ekonomi, dan geografi komunitas petani
tradisional merupakan kondisi yang mudah rnendukung konflik dan cenderung rnemunculkan gerakan protest Sedangkan dalam ha1 kepernirnpinan gerakan sosial, mengacu pada pemikiran Mahasin (1989). anggapan bahwa gerakan rakyat rnesti dipirnpin oleh rnereka yang berasal dari lapisan bawah rupanya lebih merupakan mitos belaka. Golongan menengah jelas banyak terlibat dalarn rnemprakarsai gerakan rakyat dafam lingkungan mereka sebelurn melebar ke
Sartono Kartodirdjo. 1973. Protest Movement in Rural Java; 1984. Ratu Adil.
" 41
KuntcnNipyo, 1993. Radikalisasi Petani. James C. Scott, 1993. Perlawanan Kaurn Tani.
golongan lain dalam masyarakat. Kesadaran kelas sering digembar-gemborkan, tetapi agaknya formasi sosial kita belum rnencapai tingkat dimana orang bisa mengacu pada kesadaran kelas atau mendasarkan gerakan pada solidaritas kelas. Disamping itu tingkat diferensiasi yang rendah (wong gede dan wong cilik) mengakibatkan ikatan solidaritas yang terbentuk lebih didasarkan atas ikatan perkauman, aliran, dan akhimya berkembang ke ikatan profesi yang terbatas pada lapisan menengah. ldeologi sebagai salah satu faktor penentu berkembangnya gerakan sosial, menurut Mahasin (1989:5) sering memperlihatkan romantisme dan kerinduan yang kuat terhadap tradisi dan kejayaan masa lampau, misalnya gerakan keagamaan dan gerakan nasionalis. Sedangkan unsur-unsur yang bersifat memandang kedepan biasanya datang dari ideologi modem, seperti keadilan sosial, nasionalisme, demokras~dan komunisme. Selain itu, pada saat ini muncul tema hak asasi manusia, pembangunan altematif, dan ramuan antara tema keagamaan, demokrasi dan keadilan sosial.
2.1.7.
Upaya Penanggulangan Ketidaksejahteraan Keluarga Dari Sisi Pemerintah: Pengintegrasian dengan Gerakan Sosial Upaya BKKBN untuk menanggulanggi masalah keluarga rniskin
(keluarga pra sejahtera dan sejahtera I) diijudkan dalam bentuk "Gerakan Bangga Suka Desa", y a k geiakan yang mengarah pada upaya pengembangan keluarga modem datam suasana kota di desa.
Program-program dan
kegiatannya berorientasi pada pernberdayaan kelwrga dan anggotanya (BKKBN, 1996:14-16) sebagai berikut : (1) Pengembangan
komitmen.
Upaya
ini
merupakan
usaha
untuk
menumbuhkan komitmen yang tinggi dari para Pimpinan dan lembaga lembaga yang ada, khususnya mereka yang mempunyai perhatian terhadap pembangunan keluarga di pedesaan. Dalam upaya ini tenasuk pula kegiatan untuk memberikan dukungan terhadap keluarga yang
tertinggal sehingga mereka bisa berpartisipasi dalam pembangunan dengan mengembangkan kemitraan antar keluarga di desa.
(2) Pengembangan kesadaran. Upaya ini diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran dan semangat setiap keluarga agar -mau dan mampu membangun
dirinya
dari
ketertinggalan
sosial
ekonomi
dengan
rnemanfaatkan potensi yang ada pada keluarga dan masyarakat lingkungannya rnelalui berbagai pendidikan dan penyuluhan. (3) Pengembangan pendidikan. Upaya ini diarahkan untuk memberdayakan
keluarga dengan memberikan informasi, menambah pengetahuan dan ketrampilan serta kesernpatan pengunaan teknologi tepat guna untuk mengembangkan usaha ekonomi keluarga yang produktif. (4) Pengembangan proyek contoh. Memberikan bimbingan kewirausahaan melalui' kegiatan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) dengan rnengembangkan kegiatan ekonomi produktif yang b e m a s a n bisnis, yaitu kegiatan Petik, Olah, dan Jual (Pelaju) keluarga untuk kegiatan pertanian dan Proses, Kemas dan Jual (Pemaju) keluarga untuk kegiatan non pertanian.
(5) Pengembangan modal. Mengusahakan bantuan modal usaha untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi pmdukfif melalui Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra), dan Kredit Usaha Ketuarga Sejahtera (Kukesra), Lelang Kepedulian dan sumber-sumber lain. (6). Pemasaran. Membantu rnengembangkan peluang usaha dan pemasaran
hasil usaha melalui kegiatan kemitra-usahaan.
(7). Konsultasi pemecahan masalah. Membantu keluarga untuk mengatasi masalah rnasalah yang menyebabkan rnereka masuk dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I, misalnya lantainisasi, pemberian ayoman sosial, beasiswa, pemberantasan buta aksara, dan lain lain. Dalam upaya mewujudkan Gerakan Bangga Suka Desa melalui beragarn program dan kegiatan tersebut, menurut penulis persoalan yang muncul adalah sampai mana program pemerintah Vdari atas")
tersebut bersambung
(menemukan kesesuaian) dengan kebutuhan lokal sesuai dengan kondisi sosiobudaya masyarakat setempat? lnilah yang penulis maksudkan dengan sisi gerakan masyarakat dari program tersebut. dengan menyesuaikan program dengan kondisi sosial budaya dan kebutuhan lokal masyarakat Siapakah pelaku (aktor) di tingkat lokal yang dapat berperan (berfungsi) menjembatani antara program dan gerakan masyarakat dalam membentuk keluarga sejahtera? Dalam ha1 ini, ada upaya pemerintah untuk meningkatkan peran keluarga dan institusi masyarakat (BKKBN, 1996:16-19) sebagai berikut : (1) Peran keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Setiap keluarga sesuai dengan potensinya dan peluang yang ada disekitarnya diupayakan menjadi unit usaha ekonomi yang makin mandiri. Pengembangan potensi keluarga terutama diarahkan pada anggota yang dianggap paling lemah, yaitu ibu. (2) Peran keluarga yang lebih maju sebagai dinamisator (yang berasal dan
lingkungannya) bagi keluarga tertinggal. Oteh karena itu,
mereka
dirangsang untuk membina hubungan kemitraan dalam usaha yang saling menguntungkan, misalnya melalui UPPKS. (3) Peran institusi masyarakat lnstitusi masyarakat berperan dalam menggali,
menggalang, dan menggerakkan peran serta masyarakat guna membantu keluarga pra sejahtera dan sejahtera I,sexta sebagai wadah pembinaan kewirausahaan dan kemitrausahaan. Ada lima institusi masyarakat yang dikembangkan sebagai berikut : Di tingkat desa terdapat PKK, dan Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD). Di tingkat dusun1RW terdapat Sub PPKBD. Di tingkat RT, terdapat kelompok KBIKS. Di bawah RT, terdapat kelompok Dasa Wisma. lnstitusi terendah adalah keluarga itu sendiri. (4) Peran institusi dan keluarga yang tinggal di rantau. Lembaga persaudaraan keluarga yang ada dirantau dan keluarga yang tinggal di rantau diharapkan menjadi penghubung dengan sumber-sumber pembangunan yang ada di
luar
desanya,
menjadi
pemikir,
pernrakarsa
pembangunan
serta
mengirimkan remitan sebagai altematif sumber pendanaan pembangunan keluarga di desa masing-masing.
2.2. Kerangka Pemikiran
Keluarga rnerupakan unit sosial budaya dirnana anggota-anggotanya berinteraksi dan membentuk hubungan personal (antara suarni-istri dan orangtua-anak). Proses interaksi sosial diantara anggota keluarga inti merupakan ha1 terpenting, karena rnerupakan saluran sosialisasi nilai-nilai kesejahteraan yang direfleksikan rnelalui upacara, dan cerita pengalaman hidup. Bahkan jaringan sosial ini bisa meluas sarnpai tingkatan kerabat luas dan komunitas dalarn upaya untuk rnencapai kesejahteraan hidup keluarga. Kesejahteraan bukan merupakan fenornena ekonorn~semata, tetapi lebih merupakan fenornena sosial budaya, dirnana nilai-nilai dan interaksi sosial yang berlangsung lebih menentukan dalam upaya rnencapai kesejahteraan hidup. Berdasarkan stratifikasi sosial budaya, masyarakat desa di Jawa digolongkan menjadi dua: golongan priyayi dan golongan 'wong cilik' yang memiliki subbudaya berbeda. Dalam proses modemisasi, diirensiasi sosial karena spesialisasi kerja dalam rnasyarakat telah memunculkan beberapa varian dari golongan 'priyayi cilik' yang bemrientasi kraton dan varian dari golongan 'wong cilik'. Persepsi kesejahteraan orang Jawa merupakan hasil konst~ksisosial, dimana perbedaan status sosial budaya dan spesialisasi keja akan menghasilkan persepsi kesejahteraan yang berbeda. Persepsi kesejahteraan tersebut terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (alarn, manusia dan adikodrati), yang selanjutnya akan rnendomng manusia dalarn usahanya rnencapai kesejahteraan dan terwujud dalam perilakunya. Persepsi kesejahteraan yang dimiliki masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraanyang dimiliki pernerintah, karena masing-masing
memiliki pengalaman hidup di lingkungan yang berbeda dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupnya. Dari sisi masyarakat desa, nilai-nilai kesejahteraan asli (lokal) tersebut merupakan hasil sosialisasi dari nilai-nilai budaya lokal dan nilai agama. Sedangkan nilai-nilai kesejahteraan dari sisi pernerintah merupakan kebijakan yang sudah terumuskan secara baku yaitu dalam konsep 'keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera'. Untuk dapat menangkap persepsi kesejahteraan asli (lokal), maka indikator atau fokusfokusnya adalah: Komunikasi: apa dan bagaimana tejadi kelangsungan komunikasi persepsi kesejahteraan antar golongan dalam masyarakat desa? Sistem tandalsemiologi: apakah penepsi kesejahteraan antar golongan tersebut memiliki makna yang sama? ~erben'daharaan: bagaimana kesinambungan persepsi kesejahteraan kepada generasi mendatang? Peristiwa konkrit: dalam peristiwa apa dan bagaimana, serta siapa para pelaku peristiwa yang berkaitan erat dengan perrepsi kesejahteraan? Pendefinisian kesejahteraan berdasarkan pandangan subyektif (lokal) masyarakat akan terus berkembang mengikuti perkembangan proses interaksi sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, definisi ketidaksejahteraan menunjuk
pada kondisi keluarga yang tiiak sesuai dengan persepsi kesejahteraan masyarakatnya.
Kondisi
ketidaksejahteraan tersebut
disebabkan
oleh
ketidakmampuan keluarga mengembangkan proses interaksi sosial dalam mewujudkan
kesejahteraan
hidupnya,
dimana
dengan
menggunakan
pendekatan interaksionis, dapat dianalisis rnelalui peraturan dan keserasian hubungan antara suami-istri, orangtua-anak, interaksi latar belakang budaya, pengambilan keputusan, dan definisi peranan anggota keluarga. Dalam pandangan orang Jawa, simbol status dari golongan priyayi dan h n g alik' menunjukkan indikator kesejahteraan masing-masing golongan tersebut, karena merupakan kondisi ideal yang ingin dicapai agar dapat rneningkatkan prestisenya dan memberikan kegembiraan dalam hidup. Priyayi
rne~pakanpemimpin budaya dan politik, yang disimbolkan oleh bentuk ~ m a h , pakaian, gaya hidup dan kedudukan tinggi, sedangkan petani merniliki tanah sebagai simbol statusnya. Orang Jawa memandang kehidupan rnanusia selalu terpaut dalarn kosrnos alarn raya, dengan dernikian hidup manusia rnempakan pengalaman religius dan wajib menjaga keselarasan dengan tata tertlb rnasyarakat. Oleh karena itu tidak mungkin rnemisahkan kesejahteraan rnateri dan non-materi. Kesejahteraan materi dicapai rnelalui kesejahteraan non-materi, kesejahteraan rnateri merupakan wujud fisik sedangkan kesejahteraan non-rnateri rne~pakan wujud kelakuan. Ukuran kesejahteraan non-materi (wujud kelakuan) bagi petani adalah pengalaman slamet. ketentraman batin. tiada ancarnan konflik dan kekacauan. Sedangkan bagi priyayi, ukuran tersebut terietak pada ketenh-arnan hati (rasa yang tenang). Ketidaksejahteraan
mempakan
kondisi
yang
disebabkan
oleh
penyimpangan terhadap keselarasan masyarakat Upaya untuk mencapai kesejahteraan dilakukan dengan rnengernbangkan hubungan yang tepat dengan kekuasaan sosial dan alam sirnbolis, dimana petani berupaya rnengusahakan keterlindungan dalam lingkungannya (kesatuan dengan kelompoknya), sedangkan priyayi berupaya belajar mengontrol segala segi eksistensinya sendiri. Pencapaian tempat yang tepat dalam hubungan tersebut dilakukan dengan menerapkan prinsip ~ k u n (mencegah konflik) dan hormat (mengakui tempat yang tepat bagi setiap orang) dalarn interaksi. Modemisasi telah membawa perubahan sosial ekonorni bagi masyarakat desa. Dalam kaitan dengan pandangan hidup, modemisasi berarti progress, yaitu proses dimana orang makin menguasai alam kebendaan. Oleh karena itu rnodemisasi juga telah membawa pembahan dalam ukuran kesejahteraan. Kesejahteraan tidak semata berhubungan dengan status seseorang dalam rnasyarakat, tetapi berhubungan dengan kemampuan individu seseorang. Dengan dernikian ukuran kesejahteraan materi juga rnencakup pendidikan (ketrarnpilan), penguasaan terhadap surnberdaya ekonomi (tanah, modal dan
tenaga keja), status sosial (pekerjaan, kedudukan budaya dan politik). Sedangkan ukuran kesejahteraan non-materi (wujud kelakuan) tidak lagi dipahami dalam hubungannya dengan kekuasaan masyarakat dan alam gaib, tetapi dipahami berdasarkan kondisi obyektip seseorang. Dalam proses tersebut
modemisasi
kesejahteraan
materi
semakin
dipisahkan
dari
kesejahteraan non-materi. Selanjutnya, konsekuensi dari perubahan ukuran kesejahteraan adalah bahwa kondisi ketidaksejahteraan tidak lagi dipaharni sebagai kondisi yang disebabkan oleh penyirnpangan terhadap keselarasan masyarakat, tetapi lebih rne~pakankondisi yang disebabkan oleh ketidakmampuan individu dan kehilangan akses untuk rnenggunakan sumberdaya ekonomi, budaya dan politik. Dengan demikian upaya untuk mencapai kesejahteraan tidak lagi dilakukan dengan mengusahakan keterlindungan dalam lingkungannya tetapi rnelalui usaha peningkatan kemampuan individu dan perubahan struktural. Dalam proses rnodemisasi, orang Jawa sudah mengembangkan simbolsimbol modem bagi kesejahteraan, namun masih berorientasi 'ke atas" dan "ke luaP baik dalam ha1 penentuan ukumn (simbol) kesejahteraan maupun dalarn upaya untuk mencapai kesejahteraan tersebut Prinsip bahwa kesejahteraan hanya dapat dicapai dengan mengembangkan hubungan yang baik dengan dan honnat kekuasaan sosial dan alam simbolis berdasarkan prinsip ~ k u n masih berlaku pada orang Jawa. Dengan kata lain, untuk mencapai kesejahteraan rnaka orang Jawa akan mengusahakan keterlindungan dalarn lingkungannya, belurn berdasar upaya meningkatkan kemarnpuan ind~dunya. Berdasarkan tujuannya, gerakan sosial kesejahteraan orang Jawa rnerupakan suatu tindakan kolektif yang bertujuan untuk mengadakan perubahan keluarga, yaitu dari golongan keluarga tidak sejahtera menjadi keluarga
sejahtera.
(pendefinisian
Perubahan
kembalif
persepsi
tersebut
dilakukan
kesejahteraan
melalui
orang
Jawa,
redefinisi bahwa
kesejahteraan bukanlah kondisi yang didasarkan oleh status sosialbudaya seseorang
dalam
masyarakat tetapi
rnerupakan
kondisi
berdasarkan
kemampuan individu
seseorang.
Simbol-simbol
modem
kesejahteraan
berdasarkan kemampuan individu bukanlah diukur menurut pandangan obyektif pemerintah (berorientasi ke atas) melainkan diukur menurut pandangan subyektif masyarakat (berorientasi ke bawah). Analisis gerakan sosial melalui redefinisi
kesejahteraan ini
dilakukan
dengan
memahami pandangan
kesejahteraan orang Jawa yang dapat dilihat melalui penggunaan simbol-simbol kesejahteraan yang diwujudkan dalam proses interaksi sosial. Berdasarkan organisasi dan strukturnya, gerakan sosial kesejahteraan orang Jawa merupakan tindakan kolektif berbentuk group kecil dan memiliki solidaritas antar anggota, yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif anggotanya dalam beragam upaya kesejahteraan. Peningkatan partisipasi aktif anggota sebagai pelaku utama dilandasi oleh kesadaran (moral) bersama yang msngutamakan kemampuan individu seseorang dan keberpihakan pada golongan keluarga tidak sejahtera itu sendiri. Analisis gerakan sosial melalui peningkatan partisipasi aktif
ini dilakukan dengan memahami sistem
kesejahteraan masyarakat Jawa dan perencanaan nasional yang dapat dilihat melalui jaringan-jaringan interaksi dan pola pengam*lan keputusan dalam sistem tersebut. Berdasarkan karakterititk anggotanya, gerakan sosial kesejahteraan orang Jawa merupakan tindakan kolektif yang anggota-anggotanya memiliki motivasi yang sama dengan tujuan kelompok yaitu peningkatan kesejahteraan atau pencapaian posisi sejahtera dalam masyarakat (untuk mendapatkan manfaat pribadi). Motivasi tersebut dilandasi oleh komitmen moral yang sama yaitu mengutamakan kemampuan individu anggotanya. Anggota group adalah golongan keluarga tidak sejahtera yang berusaha memperbaiki hidupnya dengan meningkatkan posisinya dalam pengambilan keputusan kelompok dan dalam menentukan pemimpinnya. Analisis gerakan sosial melalui peningkatan status ini dilakukan dengan memahami proses interaksi sosial antar anggota di dalam group.
Faktor penentu perkernbangan gerakan sosial adalah kondisi struktur politik ekonomi, basis massa dan kepemimpinan. Kondisi struktur politik ekonomi yang rnernunculkan gerakan sosial di pedesaan Jawa didorninasi oleh ikatan
tradisional
dengan
struktur
supradesa
yang
bersifat
feodal
(mmembedakan petani dan kelas atasan) dan kolonial (rnernbedakan priyayi dan wong cilik). Perbedaan taraf kekuasaan yang dipegang pelbagai kelompok dalam masyarakaf
tersedianya surnberdaya yang serba terbatas, dan
kepentingan yang tidak selau sama dalarn kelornpok rnasyarakat' telah rnenyebabkan ketidaksejahteraan pada segolongan keluarga dan rnernunculkan gerakan.
Karakteristik sosickbudaya, politik, ekonorni dan geografi dari
komunitas petani tradisional m e ~ p a k a nkondisi yang mendukung gerakan. Sedangkan dalam ha1 kepemimpinan gerakan sosial, anggapan bahwa gerakan rnesti dipimpin oleh rnereka yang berasal dari lapisan bawah lebih merupakan rnitos belaka. Programpmgrarn
dan
kegiatan
kesejahteraan
yang
dilakukan
pernerintah ("dari atas") akan dapat bersarnbung dengan sisi gerakan sosial kesejahteraan orang Jawa jika apa yang,menjadi tujuan, bentuk organisasi dan pilihan golongan sasaran (peserta) program kesejahteraan dari pernerintah sesuai dengan tujuan, bentuk - organisasi dan karakteristik anggota tindakan kolektif kesejahteraan orang Jawa. Hal ini hanya dapat dicapai bila elite di atas dan massa rakyat bekejasama dalam satu kerangka kebudayaan untuk rnencapai tujuan bersarna, dengan menempatkan golongan keluarga Cdak sejahtera sebagai pelaku utarna. Partisipasi aktif golongan keluarga tidak sejahtera dapat dilakukan bila ada
pengertian. saling menghormati dan
pengidentifikasian kondisi ketidak-sejahteraan berdasarkan keadaan hidup rakyat itu sendiri.
2.3. Proposisi :
Proposisi-proposisi yang diajukan dalam penelian ini merupakan suatu usaha untuk menentukan karakteristik kesejahteraan orang Jawa dan upaya
upaya kolektif penanggulangan ketidaksejahteraan sebagai suatu gerakan sosial:
2.3.1. Perbedaan status sosial budaya dan spesialisasi kerja akan menghasilkan persepsi kesejahteraan yang berbeda r
terdapat elite desa yang ukuran kesejahteraannya bersurnber pada sirnbol kekuasaan budaya-poiitik, dan wong dlik yang ukuran kesejahterannya bersumber pada simbol kekuasaan ekonomi. kecenderungan untuk menggunakan ukuran kesejahteraan tradisional akan kuat, terutama bila tidak wkup ruang gerak bagi kewiraswastaan dan kreativitas
r
kelornpok yang mampu membudayakan kewiraswastaan baik bidang ekonomi, sosial, politik adalah orang yang marginal kedudukan kulturalnya, dan rnengalarni alienasi karena pendidikan.
2.3.2. Semakin kuat monetisasi ekonomi, semakin kuat kecenderungan keluarga menggunakan ukuran modem kesejahteraan r
penggunaan sirnbol-simbol modem kesejahteraan tidak diikuti dengan pentbahan cam-cara pencapaian kesejahteraan. ukuran modem kesejahteraan yang berorientasi 'ke atas' dan 'ke luar' sernakin menempatkan keluarga yang berorientasi kesejahteraan tradisionai pada lapisan bawah.
r
kondisi
ketidaksejahteraan
keluarga
bemubungan
erat
dengan
ketidakrnampuan keluarga rnengernbangkan proses interaksi sosial di dalam keluarga rnaupun di luar keluarga.
2.3.3.Semakin kuat usaha kolektif pencapaian status kesejahteraan jika motivasi anggota sama dengan tujuan kelompok kondisi ketidaksejahteraan dalam struktur yang ada dan pemimpin yang berasal dari rnereka mempakan penggerak utama tindakan kolektif.
keputusan pelaku melakukan tindakan kolektif lebih didasarkan atas kepentingan investasi individu daripada didasarkan atas moral bersarna. tindakan kolektif dapat berfangsung jika ada pemimpin yang mampu rnengarahkan norma kelompok berdasarkan kepentingan individu anggota kelompok
2.3.4. Organisasi tindakan kolektif berbentuk group kecil dilandasi solidaritas
berdasar
moral
bersama
cenderung
menguatkan
partisipasi aktif anggota solidaritas yang dilandasi kesadaran (moral)
bersarna berdasarkan
kemampuan individu anggota dan keberpihakan pada anggota cenderung menguatkan partisipasi aktif anggota
2.3.5. Program semakin terintegrasi jika berlangsung dalam konteks sosial yang mengembangkan tujuan, pilihan peserta dan bentuk organisasi berciri gerakan menempatkan anggota sebagai pelaku utama dalam kerjasama dengan elite desa cenderung menguatkan partisipasi aktif anggota. Kelirna proposisi utama tersebut memerfukan verifikasi yang akan dijelaskan metodanya pada bab Ill.