ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ INSTITUT PENGAJIAN TINGGI AL-ZUHRI DIPLOMA PENGAJIAN AL-QURAN dan AL-SUNNAH ULUM AL-Hadits MINGGU PERTAMA 14 May 2016 / 2.30 PTG – 5.30 PTG
Ust Mohd Ghazali M.Pd.I
TOPIK-TOPIK PEMBAHASAN 1. Kepentingan Mustholah Hadits & Sejarah Perkembangannya a. Kedudukan As-Sunnah & Peranannya b. Pemeliharaan As-Sunnah, Tokoh-Tokohnya & Cabarannya c. Sejarah Perkembangan Mustholah Hadits 2. Pengenalan Istilah-Istilah Asas & Pembahagian Umum Al-Hadits a. Maksud Pengajian Hadits Riwayah & Dirayah, Sanad, Matan, Rawi & Muhaddith b. Maksud Al-Khabar, Al-Hadits, Al-Athar, Perbezaan Antara Al-Hadits & AlAthar c. Pembahagian Hadits Secara Umum 3. Pembahagian Hadits Dari Sudut Derajat Kekuatannya a. Hadits Shahih b. Hadits Hasan c. Hadits Dhoif
TOPIK-TOPIK PEMBAHASAN 4. Pembahagian Hadits Dari Sudut Bilangan Perawi a. Hadits Mutawatir b. Hadits Ahad: Masyhur, Aziz & Gharib c. Kedudukan Mutawatir & Ahad 5. Pengenalan Kitab-Kitab Hadits a. Musnad Imam Ahmad & Muwattho’ Imam Malik b. Al-Kutubus Sittah: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan An- Nasai, Sunan At-Tirmidzi & Sunan Ibn Majah c. Perbezaan Antara Kitab Hadits Dengan Kitab Fiqeh
Kepentingan Mustholah Hadits & Sejarah Perkembangannya
Muqoddimah Mustholah Hadits • Mustholah, secara etimologi ilmu, berarti hal-hal yang terkait dengan istilah-istilah. • Ilmu Mustholah Hadits adalah satu ilmu untuk mengetahui istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu Hadits untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits, dari sisi diterima atau ditolak dan objek pembahasannya adalah hadits Nabawy • Penyusun pertama ilmu ini dalam bentuk satu pembahasan khusus tentang Ilmu Hadits adalah alQodhi Abu Muhammad al-Romahurmuzi (w. 360 H.) dalam kitab al-Muhaddits • Landasan munculnya ilmu Mustholahul hadits berdalilkan
ِ ﺎد ِ َﻳﺎ أَﻳﱡـﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ آﻣﻨُﻮا إِن ﺟﺎء ُﻛﻢ ﻓ ِ َﺼﻴﺒﻮا ﻗَـﻮﻣﺎ ﺑِﺠﻬﺎﻟَ ٍﺔ ﻓَـﺘُﺼﺒِﺤﻮا َﻋﻠَ ٰﻰ ﻣﺎ ﻓَـﻌﻠْﺘُﻢ ﻧ ِ ِ ٍ ﻴﻦ ﻣ ﺗ َن أ ﻮا ﻨ ـ ﻴ ـ ﺒ ﺘ ـ ﻓ ﺈ ﺒ ﻨ ﺑ ﻖ ﺎﺳ ﱠ َ ُ ٌ ُ َ َ ْ ََ ًْ ُ َ َ ُ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ََ َ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat 49: 6) • Dan dalam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
ﻧَ ﱠ ب ُﻣﺒَـﻠﱠ ٍﻎ أ َْو َﻋﻰ ِﻣ ْﻦ َﺳ ِﺎﻣ ٍﻊ ﻀ َﺮ اﻟﻠﱠﻪُ ْاﻣ َﺮأً َﺳ ِﻤ َﻊ ِﻣﻨﱠﺎ َﺷ ْﻴﺌًﺎ ﻓَـﺒَـﻠﱠﻐَﻪُ َﻛ َﻤﺎ َﺳ ِﻤ َﻊ ﻓَـ ُﺮ ﱠ
Semoga Allah mencerahkan (menjadikan bercahaya) wajah seseorang yang telah mendengar sesuatu (hadits) dari kami, kemudian dia menyampaikan itu sebagaimana apa yang dia dengar. Betapa banyak orang yang menyampaikan itu lebih memahami daripada orang yang mendengar.” (HR.Tirimidzi, hasan shahih)
Muqoddimah Mustholah Hadits • Hadits menurut bahasa ialah berita, baru, kejadian atau percakapan. Dalam Al-Quran telah disebutkan dengan membawa makna ‘percakapan’,‘keterangan’,‘mimpi’ atau‘kisah’. • Hadits menurut istilahannya, segala apa yang disandarkan kepada Rasululllah saw baik daripada segi perkataan, percakapan, perbuatan, pengakuan, sifat akhlak dan juga sifat kejadian beliau. • Tiga komponen asas dalam ilmu Mustholah : matan, sanad dan taraf. Matan ialah teks hadits itu sendiri. Sanad ialah rantaian periwayat hadits tersebut setelah ia didengari daripada Rasulullah s.a.w. dan taraf ialah tingkatan atau darjat hadits tersebut. • Pada awal mula kemunculan ilmu ulum hadits, Nama Mustholah al-Hadits belum dikenal. Ia mula dikenal pada perkembangan selanjutnya disiplin ilmu pengetahuan ini • Di antara cabang-cabang ilmu ulum hadits ini ialah, Ilmu Mustholah Al-Hadits, Ilmu Rijal, Ilmu AlJarh Wa Ta’dil, Ilmu ‘Ilal Hadits, Ilmu Gharib Al-Hadits, Ilmu Fiqh Al-Hadits, Ilmu Asbabul Wurud dan yang lain lagi.
SEJARAH PENULISAN HADITS • Ketika Al-Qur’an masih dalam proses penurunan Nabi saw pernah melarang masyarakat umum dari menulis hadits secara umum:
ِ ﻻ ﺗَ ْﻜﺘُﺒـﻮا َﻋﻨﱢﻲ و ﻣﻦ َﻛﺘَﺐ َﻋﻨﱢﻲ ﻏَﻴـﺮ اﻟْ ُﻘﺮ ﱢ ب َﻋﻠَ ﱠﻲ ُﻣﺘَـ َﻌ ﱢﻤ ًﺪا ﻨ ﻋ ا ﻮ ـ ﺛ ﺪ ﺣ و ﻪ ﺤ ﻤ ْﻴ ﻠ ـ ﻓ آن َ ُ َ ُ َ ﱢﻲ َو ﻻ َﺣ َﺮ َج َو َﻣ ْﻦ َﻛ َﺬ ُ ْ َ َ ْ ْ َْ ْ َ ْ َ َ ْ ُْ َ ْ ﻓَـﻠْﻴَﺘَﺒَـ ﱠﻮأْ َﻣ ْﻘ َﻌ َﺪﻩُ ِﻣ ْﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim ) • Nabi saw memberikan izin kepada orang-orang tertentu untuk menulis hadits : Ali bin Abi Tholib, putranya Hasan, Anas, Abdullah bin Amr bin Ash dan Jabir. Qodli Iyad mengatakan bahwa majoriti dari sahabat dan tabi’in memperbolehkan untuk menulis Hadith Nabi saw.
ِا ْﻛﺘﺒـﻮا ﻟ ِ ﻮل اﻟﻠﱠ ِ ﻮل اﻟﻠﱠ ا ْﻛﺘُﺒُـ ْﻮا ﻷَﺑِ ْﻲ َﺷ ٍﺎﻩ: ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻪ ﺳ ر ﺎل ﻘ ـ ﻓ ﻪ ﺳ ر ﺎ ﻳ ﻲ ُ َ َ َ َ َ َُ ُ َ َ ْ ُُ
(…berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata) “Tuliskan untukku, wahai Rasullulloh !” Maka Rasul saw bersabda: “Tuliskan untuk Abi Syah !” ( HR.Al-Bukhari dan Abu Dawud )
SEJARAH PENULISAN HADITS • Hadith dari Abu Daud dan Hakim yang menceritakan bahwa Abdullah bin Amr ingin menulis tentang segala sesuatu yang didengar dari Rasul:
ِ اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أُ ِرﻳ ُﺪ ِ ﺖ أَ ْﻛﺘﺐ ُﻛ ﱠﻞ َﺷﻲ ٍء أَﺳﻤﻌﻪ ِ ِ ِ : ﺶ َوﻗَﺎﻟُﻮا ﻳ ﺮ ـ ﻗ ﻲ ﻨ ﺘ ﻬ ـ ﻨ ـ ﻓ ، ﻪ ﻈ ﻔ ﺣ ﻮل ﺳ ر ﻦ ﻣ َ ُ ْ َ ْ ٌ َْ ََ ُ ُ َ ْ ُُ َ ْ ْ ُ ُ ُ ُﻛ ْﻨ ٍ ِ ِ ﱠ ِ ﺖ ﻜ ﺴ َﻣ ﺄ ﻓ ، ﺎ ﺿ ﺮ اﻟ و ، ﺐ ﻀ ﻐ ْ ﻟ ا ﻲ ﻓ ﻢ ﻠ ﻜ ﺘ ـ ﻳ ﺮ ﺸ ﺑ ﻢ وﺳﻠ ﻋﻠﻴﻪ اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻮل ﺳ ر و ﻪ ﻌ ﻤ ﺴ ﺗ ء ُ ْ َ َ ََ ﱢ ََ ُ َْ ُ َ َ ُ ُ َ ْ َ ﺐ ُﻛ ﱠﻞ َﺷ ْﻲ ُ ُأَﺗَ ْﻜﺘ ُ ََ ٌ َ َ ِﻚ ﻟ ِت َذﻟ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ﺐ ﺘ ﻛ ا : ﺎل ﻘ ـ ﻓ ، ﻴﻪ ﻓ ﻰ ﻟ إ ﻪ ﻌ ﺒ ُﺻ ﺄ ﺑ ﺄ ﻣ َو ﺄ ﻓ ، وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻮل ﺳ ﺮ ﺮ ﻛ ﺬ ﻓ ، ﺎب ﺘ ْﻜ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ُ َ َ َﻋ ِﻦ اﻟ ُْ َ ْ َُ ُْ ْ ِ ِ ﻓَـﻮاﻟﱠ ِﺬي ﻧَـ ْﻔ ِﺴﻲ ﺑِﻴ ج ِﻣ ْﻨﻪُ إِﻻﱠ َﺣ ﱞﻖ ﺮ ﺨ ﻳ ﺎ ﻣ ﻩ ﺪ ْ َ َ َ ُُ َ
Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah karena aku ingin menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku, mereka berkata, “Engkau menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah? Dan Rasulullah adalah seorang manusia, kadang berbicara karena marah, kadang berbicara dalam keadaan lapang”. Mulai dari sejak itu akupun tidak menulis lagi, sampai aku bertemu dengan Rasulullah dan mengadukan masalah ini, kemudian beliau bersabda sambil menunjukkan jarinya ke mulutnya, “Tulislah! Demi yang jiwaku ada di tanganNya, tidak lah keluar dari mulutku ini kecuali kebenaran”. (HR. Adu Dawud, Ahmad, Al Hakim).
TADWIN(KODIFIKASI) ILMU HADITS
• Sejarah perkembangan hadits bermula dari zaman Nabi saw hingga ke periode tadwin. • Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. 1. Periode pertama : Masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam (‘Ashr al-Wahyi wa alTaqwin). Adanya larangan bagi majority sahabat untuk menulis hadits tetapi adanya pengecualian pada sebahgian sahabat yang disuruh menulis, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada al-Qur’an. 2. Periode kedua : Masa pemastian hadits dan menyedikitkan riwayat (‘Ahsr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-Riwayah), usaha-usaha para sahabat dalam membatasi hadits dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. • Umar bin AI-Khatab bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat lain. Sedangkan Ali bin Abi Thalib akan menerima riwayat hadits Nabi setelah perawi mengucapkan sumpah terlebih dahulu, kecuali pada perawi yang telah diyakini kebenarannya. • Di hujung zaman sahabat, pemalsuan hadits bertambah luas dengan munculnya propagandapropaganda politik untuk menumbangkan rejim Bani Umayyah.
TADWIN(KODIFIKASI) ILMU HADITS 3. Periode ketiga : Masa penyebaran hadits ke berbagai wilayah (‘Ahsr intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi’in besar. • Periwayatan hadits pada periode ini tampak semakin semarak Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadits agar terhindar dari kepalsuan, bahkan sering melakukan perjalanan jauh untuk memastikan kebenarannya, kerana mereka tidak memperoleh hadits lansung dari Nabi saw • Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suria), Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadits ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para pemimpin atau menjadi guru pengajar di sana. • Di antara tokoh-tokoh hadits pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin Munabih diYaman.
TADWIN(KODIFIKASI) ILMU HADITS 4. Periode keempat : Masa penulisan dan pembukuan hadits secara resmi (‘Ahsr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai dizaman khalifah Umar bin Abd. Aziz (w.101H) sampai akhir abad ke-8 M. Instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah yang kemudian disempurnakan oleh ibn Syihab az-Zuhri. “Perhatikanlah atau periksalah hadits-hadits Rasulullah saw, kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama dan janganlah engkau terima kecuali hadits Rasulullah saw.”. (Dikutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib) • Faktor pengkodifikasinya dikeranakan, bercampurbaurnya hadits shahih dengan yang palsu, di samping rasa khawatir lenyapnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama di medan perang. • Pentadwinan berlangsung hingga masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadits, seperti Ibn Juraij (w.179 H) di Mekah, Ibn Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi’ Ibin Sabih (w.160 H) di Basrah, Sufyan al-Thauri (161 H) di kufah dan Imam al-Auza’i (w.156 H) di Syam. • Menghasilkan pula sejumlah kitab-kitab karya para ulama, baik berupa ijma’i, al-Musnaf, maupun alMusnad seperti, al-Musnad karya Imam Syafi’i, al-Musnaf karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja’far al-Mansur. • Kitab-kitab hadits periode ini belum terseleksi betul. Isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in, atau hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’di dan juga hadits palsu.
TADWIN(KODIFIKASI) ILMU HADITS 5. Periode kelima: Masa pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (‘Ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Tepatnya, zaman khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada masa ini para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits-hadits, yaitu dengan cara memisahkan hadits marfu’ dari hadits maqthu’. Sehinggan lahirnya kitab-kitab hadits yang sudah terseleksi, seperti kitab Shahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad. • Pada periode ini tersusun enam kitab hadits terkenal yang boleh disebut Kutub al-Sittah: 1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H) 2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H) 3. Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H) 4. Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H) 5. Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H) 6. Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H)
TADWIN(KODIFIKASI) ILMU HADITS 6. Periode keenam: Masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan (‘ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M. • Periode ini tidak jauh beda dengan periode kelima. Gerakan ini menghasilkan sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’: i. Kitab Syarah: Kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadits-hadits tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya. ii. Kitab Mustakhrij: Kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. iii. Kitab Athraf: Kitab hadits yang hanya memuat sebagian matas hadits, tetapi sanadnya ditulis lengkap. iv. Kitab Mustadrak: Kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduanya. v. Kitab Jami’: Kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
TADWIN(KODIFIKASI) ILMU HADITS 7. Periode ketujuh: Masa pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘Ahl al-syarh wa al-jam’u wa al-takhrij wa al-hadits). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits-hadits. Ulama para periode ini mulai mensistemasikan haditshadits menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadits sesuai dengan topik pembicaraan.
PERBINCANGAN
PENGERTIAN SUNNAH • As-Sunnah secara bahasa berasal dari kata: “sanna yasinnu”, dan “yasunnu sannan”, dan “masnuun” yaitu yang disunnahkan. Sedang “sanna amr” artinya menerangkan (menjelaskan) perkara • As-Sunnah juga mempunyai arti “at-Thariqah” (jalan/metode/pandangan hidup) dan “as-Sirah” (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda Rasulullah saw
ِﻟَﺘﺘﱠﺒِﻌ ﱠﻦ ﺳﻨَﻦ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ِﻣﻦ ﻗَـﺒﻠ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ﱠ ﻮﻫ ْﻢ ﻤ ﺘ ﻌ ـ ﺒ ـ ﺗ ﻻ ﺐ ﺿ ﺮ ﺤ ﺟ ﻰ ﻓ ﻮا ﻠ ﺧ د ﻮ ﻟ ﱠﻰ ﺘ ﺣ اع ر ﺬ ﺑ ﺎ اﻋ ر ذ و ﺮ ﺒ ﺸ ﺑ ا ﺮ ـ ﺒ ﺷ ﻢ ﻜ َ ُ ٍ ُ ﱟ َ َ َ َ ً ُ ُ ُْ َ ُْ ْ َ َ َ َ ْ ًْ ْ ْ ْ َ َ َ ُ َ
Sungguh, kalian akan mengikuti jejak langkah orang-orang sebelummu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sehingga jika mereka masuk masuk ke lubang dhob pun, pasti kamu akan mengikuti mereka. (HR Muslim)
ِ اﻹﺳ َﻼِم ﺳﻨﱠ ًﺔ ﺣﺴﻨﺔً ﻓَـﻠَﻪ أَﺟﺮﻫﺎ وأَﺟﺮ ﻣﻦ ﻋ ِﻤﻞ ﺑِﻬﺎ ﺑـﻌ َﺪﻩ ِﻣﻦ ﻏَﻴ ِﺮ أَ ْن ﻳـ ْﻨـ ُﻘﺺ ِ ِ ُﺟﻮِرِﻫ ْﻢ َﺷ ْﻲ ٌء أ ﻦ ﻣ ﻲ َﻣ ْﻦ َﺳ ﱠﻦ ﻓ ْ ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َُ ْ ُ ََ َ ُ ْ ُ ْ َ َ ِ اﻹﺳ َﻼِم ﺳﻨﱠ ًﺔ ﺳﻴﱢﺌﺔً َﻛﺎ َن ﻋﻠَﻴ ِﻪ ِوْزرﻫﺎ و ِوْزر ﻣﻦ ﻋ ِﻤﻞ ﺑِﻬﺎ ِﻣﻦ ﺑـﻌ ِﺪ ِﻩ ِوﻣﻦ ﺳ ﱠﻦ ﻓ ِ ِ َ ﺺ ِﻣ ْﻦ أ َْوَزا ِرِﻫ ْﻢ ﻘ ـ ﻨ ـ ﻳ ن أ ﺮ ﻴ ﻏ ﻦ ﻣ ﻲ ْ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ ْ ْ َ ْ َ َ ْ َ ُ َ َُ ْ َ ُ ْ َ ْ ََ َ َ ٌَﺷ ْﻲء
Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk (sehingga menjadi kebiasaan ummat), maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Bukhari Muslim).
PENGERTIAN SUNNAH 1. Menurut takrif Ulama Fiqh: As-Sunnah sebagai sesuatu perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi saw yang menetapkan hukum yang termasuk dalam ahkam al-khamsah khamsah (hukum yang lima) seperti wajib, sunat, haram, makruh dan harus (Abdullah Hj Ishak). Menurut fuqaha ia adalah perbuatan yang dituntut oleh syarak ke atas mukallaf supaya melakukannya. (Abbas Mutawalli) 2. Menurut takrif Ulama Usul : As-Sunnah sebagai setiap yang datang daripada Rasulullah yang boleh dijadikan sebagai dalil hukum syarak (Wahbah al-Zuhaili) Mereka melihat Nabi sebagai Sahib al-Tashri’ yang menetapkan kaedah-kaedah bagi para mujtahid untuk mengambil hukum yang akan datang sesudahnya dan Baginda juga sebagai seorang yang menerangkan keseluruhan perlembagaan hidup manusia. Ulama usul menumpukan perhatian mereka kepada kata-kata, perbuatan, dan perakuan Rasulullah saw yang dapat dijadikan sebagai dalil-dalil bagi mensabitkan segala hukun syarak (Al-Siba’i ) 3. Menurut takrif Ulama hadits: As-Sunnah adalah setiap yang diriwayatkan daripada Nabi sama ada kata-kata, perbuatan, perakuan, kelakuan, sifat kejadian, sifat akhlak dan setiap yang disandarkan kepada Rasulullah saw sebelum kerasulannya mahupun selepasnya dan sama ada sunnah tersebut mensabitkan hukum syarak atau sebaliknya (Abbas Mutawalli).
PENGERTIAN SUNNAH • Rasul adalah menjadi teladan dan ikutan kepada seluruh umat manusia. Maka ulama hadits telah meriwayatkan setiap perkara yang berkaitan dengan Rasulullah saw sesuai dengan objektif perbincangan mereka. (Al-Siba’i)
ِ ﻟََﻘ ْﺪ َﻛﺎ َن ﻟَ ُﻜﻢ ﻓِﻲ ر ُﺳ ُﺳ َﻮةٌ َﺣ َﺴﻨَﺔٌ ﻟِ َﻤ ْﻦ َﻛﺎ َن ﻳَـ ْﺮ ُﺟﻮ اﷲ َواﻟْﻴَـ ْﻮَم ْاﻵ ِﺧ َﺮ َوذَ َﻛ َﺮ اﷲ َﻛﺜِ ًﻴﺮا ْ ﻮل اﷲ أ َ ْ
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasululloh itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab: 21) • KESIMPULANNYA • Ulama fiqh, ulama usul dan ulama hadits sama-sama mentakrifkan as-Sunnah sebagai setiap perkara yang disandarkan kepada Rasulullah saw sama ada berbentuk percakapan, perbuatan ataupun pengakuan. • Dapat disimpulkan bahawa takrif yang lebih sesuai ialah takrif daripada ulama usul kerana ia amat bertepatan dengan konsep perbincangan. Ia membincangkan aspek kehujahan secara umum dan merangkumi setiap jenis al-Sunnah selain daripada membincangkan syarat-syarat yang mesti ada pada perawi.
NAS AL-QURAN UNTUK MENGIKUTI SUNNAH ِ ﺎك إِﱠﻻ َﻛﺎﻓﱠﺔً ﻟِﻠﻨ ﱠﺎس ﺑَ ِﺸ ًﻴﺮا َوﻧَ ِﺬ ًﻳﺮا َ ََوَﻣﺎ أ َْر َﺳﻠْﻨ
Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Saba’: 28)
ﻚ ُ ﻳَﺎ أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟ ﱠﺮ ُﺳ َ ﻚ ِﻣﻦ ﱠرﺑﱢ َ ﻮل ﺑَـﻠﱢ ْﻎ َﻣﺎ أُﻧ ِﺰ َل إِﻟَْﻴ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu.”(QS.Al-Maidah: 67)
ِ ﻮل ﻓَ ُﺨ ُﺬوﻩُ َوَﻣﺎ ﻧَـ َﻬﺎ ُﻛ ْﻢ َﻋ ْﻨﻪُ ﻓَﺎﻧْـﺘَـ ُﻬﻮا َواﺗﱠـ ُﻘﻮا اﷲ إِ ﱠن اﷲ َﺷ ِﺪﻳ ُﺪ اﻟ ِْﻌ َﻘ ﺎب ُ َوَﻣﺎ آﺗَﺎ ُﻛ ُﻢ اﻟ ﱠﺮ ُﺳ
Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS.Al-Hasyr: 7)
ِ َﻃﻴﻌﻮا اﷲ وأ ِ ﻳﺎ أَﻳﱡـﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ آﻣﻨُﻮا أ ِ ﻮل وأُوﻟِﻲ ْاﻷَ ْﻣ ِﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢ ﻓَِﺈ ْن ﺗَـﻨَ َﺎز ْﻋﺘُﻢ ﻓِﻲ َﺷﻲ ٍء ﻓَـﺮدﱡوﻩُ إِﻟَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ واﻟ ﱠﺮ ُﺳ ...ﻮل ﺳ ﺮ اﻟ ﻮا ﻴﻌ َﻃ َ ﱠ َ َ ُ َ ُ َ َ ْ ْ َ َ ُ ُ ْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)… (QS.An-Nisa’: 59)
TUNTUTAN UNTUK TAAT KEPADA AS-SUNNAH َِﺴ ْﻜﺘُﻢ ﺑِ ِﻬﻤﺎ ﻛ ِ َﺖ ﻓِﻴ ُﻜﻢ أَﻣﺮﻳ ِﻦ ﻟَﻦ ﺗ ﱡ ﺎب اﻟﻠﱠ ِﻪ َو ُﺳﻨﱠﺔَ ﻧَﺒِﻴﱢ ِﻪ ﺘ ﻤ ﺗ ﺎ ﻣ ﻮا ﻠ ﻀ ﱠ َ ُ ﺗَـ َﺮْﻛ َ ْ َْ ْ ْ َ ْ َ َ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, HR. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm.)
ِ ُ أَﻻَ إِﻧﱢﻲ أُوﺗِﻴ …ُﺎب َوِﻣﺜْـﻠَﻪُ َﻣ َﻌﻪ ْْ ْ َ َﺖ اﻟْﻜﺘ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (As-Sunnah) bersamanya…” Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan lainnya
وﻣﺤﻤﺪ )ﺻﻠﻰ( ﻓﺮق ﺑﻴﻦ اﻟﻨﺎس، وﻣﻦ ﻋﺼﻰ ﻣﺤﻤﺪاً )ﺻﻠﻰ( ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ اﷲ،ﻓﻤﻦ أﻃﺎع ﻣﺤﻤﺪاً )ﺻﻠﻰ( ﻓﻘﺪ أﻃﺎع اﷲ Siapa yang mentaati Muhammad saw, maka ia telah mentaati Allah dan siapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Allah. Muhammad saw itu telah memisahkan manusia (antara yang mukmin dengan yang kafir).” (HR. Bukhari dari Jabir bin Abdillah ra)
وﻣﻦ ﻋﺼﺎﻧﻲ ﻓﻘﺪ أﺑﻰ، ﻣﻦ أﻃﺎﻋﻨﻲ دﺧﻞ اﻟﺠﻨﺔ: وﻣﻦ ﻳﺄﺑﻰ؟ ﻗﺎل: ﻗﺎﻟﻮا،ﻛﻞ أﻣﺘﻲ ﻳﺪﺧﻠﻮن اﻟﺠﻨﺔ إﻻ ﻣﻦ أﺑﻰ
“Seluruh umatku akan memasuki jannah, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang enggan itu?” Beliau menjawab: “Siapa yang menaatiku, maka akan masuk jannah dan siapa yang menentangku, maka telah enggan.”(HR. Bukhari dari Abu Huroiroh ra)
WASIAT RASUL SAW TERHADAP SUNNAHNYA
Ê ِ َ ﺴﻤ ِﻊ واﻟﻄﱠ ِ ُوﺻﻴ ُﻜﻢ ﺑِﺘَـ ْﻘﻮى اﻟﻠﱠ ِ أ ﺶ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑَـ ْﻌ ِﺪي ﻓَ َﺴﻴَـ َﺮى ا ْﺧﺘِ َﻼﻓًﺎ َﻛﺜِ ًﻴﺮا اﻟ و ﻪ ﱠ ْ ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ َﻣ ْﻦ ﻳَ ِﻌƢčȈnj َﺎﻋﺔ َوإِ ْن َﻋ ْﺒ ًﺪا َﺣﺒ ْ َ َ َ ْ ِ اﺷ ِ ﱠﺖ وﺳﻨ ِﱠﺔ اﻟْ ُﺨﻠَ َﻔ ِﺎء اﻟْﻤ ْﻬ ِﺪﻳﱢﻴﻦ اﻟ ﱠﺮ ِ َاﺟ ِﺬ وإِﻳﱠﺎ ُﻛﻢ وﻣ ْﺤ َﺪﺛ ِ ﻀﻮا َﻋﻠَْﻴـ َﻬﺎ ﺑِﺎﻟﻨـﱠﻮ ِ ِ ِ ﱡ ﺎت ﻋ و ﺎ ﻬ ﺑ ﻮا ﻜ ﺴ ﻤ ﺗ ﻳﻦ ﺪ ُ ﱠ َ َ َُ ْ َ ُ َ ﺴﻨ َ َ َ َ َ َ َ ُ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﺑ ٍ ٍ ِ ِ َِْاﻷُُﻣﻮِر ﻓ ﱠ ﺔ ﻋ ﺪ ﺑ ﻞ ﻛ و ﺔ ﻋ ﺪ ﺑ ﺔ ﺛ ﺪ ﺤ ﻣ ﻞ ﻛ ن ﺈ ٌﺿ َﻼﻟَﺔ ٌ ُ ُ َ ْ ْ ﱠ ﱠ َ َ َ َ ْ ُ َ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607;Tirmidzi, 2676; ad-Darimi;Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
ِ ﻀﻰ اﷲ ورﺳﻮﻟُﻪُ أَﻣﺮا أَ ْن ﻳ ُﻜﻮ َن ﻟَﻬﻢ اﻟ ٍ َوﻣﺎ َﻛﺎ َن ﻟِﻤ ْﺆِﻣ ٍﻦ وَﻻ ﻣ ْﺆِﻣﻨ ِ ِ ْﺨﻴَـ َﺮةُ ِﻣ ْﻦ أ َْﻣ ِﺮِﻫ ْﻢ َوَﻣ ْﻦ ﻳَـ ْﻌ ﻗ ا ذ إ ﺔ َ َ َ ُﺺ اﷲ َوَر ُﺳﻮﻟَﻪ ُ ْ َ ً ُ ََ ُ َ ُ ََ ُ ﺿ َﻼًﻻ ُﻣﺒِﻴﻨًﺎ َ ﺿ ﱠﻞ َ ﻓَـ َﻘ ْﺪ Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Siapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS.Al-Ahzab 33: 36)
PERANAN AS-SUNNAH DAN PEMBAHGIANNYA • As-Sunnah bertindak sebagai penyokong kepada hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran, penjelas kepada ayat-ayat yang mujmal dan mengkhususkan hukum-hukum yang umum. Ia merupakan sandaran kedua dalam syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, baik dalam perkara aqidah (keyakinan), hukum-hukum agama, politik maupun pendidikan. • Dalam urusan ibadah, tidak diperkenankan untuk menyelisihi sunnah tersebut sedikitpun, baik dengan buah pemikiran, ijtihad ataupun qiyas. • Imam Asy-Syafi’iy rh menulis pada akhir kitab beliau Ar-Risalah: “Qiyas itu tidak diperbolehkan selama khabar (sunnah Nabi) masih ada.” • Ulama ahli ushul fiqh: “Tidak ada ijtihad ketika telah datang nash. Jika datang atsar (hadits), maka batallah pemikiran atau apa jua pendapat yang ada.” • As-Sunnah mencakup perintah-perintah untuk ditaati dan larangan-larangan untuk ditinggalkan dan dijauhi, baik yang bersifat umum maupun khusus, global maupun terperinci. • As-Sunnah dapat dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu Qauliyyah, Fi’liyyah dan Taqririyyah. Sebagian ulama hadits ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan sunnah Hammiyah. Karena dalam diri Nabi saw terdapat sifat-sifat, ahwal (keadaan)serta himmah (hasrat melakukan sesuatu) • Jika dilihat dari aktivitas Nabi saw, maka termasuk juga satu lagi bahgian iaitu Tarkiyyah.
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH A. Sunnah Qauliyyah: Segala bentuk perkataan atau ucapan Nabi saw yang bertujuan memberi penjelasan terhadap sesuatu hukum atau sesuatu tindakan agar umatnya melakukan perbuatan tersebut atau meninggalkannya. Umumnya, asal sesuatu perintah hukumnya adalah wajib untuk dikerjakan selama tidak ada dalil lain yang memalingkan kewajiban tersebut kepada hukum lainnya. Begitu juga suatu larangan pada asalnya adalah haram untuk dikerjakan, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari hukum asal tersebut.
ِ ﻓَﺎﺟﺘﻨِﺒﻮﻩ وﻣﺎ أَﻣﺮﺗُ ُﻜﻢ ﺑِ ِﻪ ﻓَﺎﻓْـﻌﻠُﻮا،ﻣﺎ ﻧَـﻬﻴﺘ ُﻜﻢ ﻋ ْﻨﻪ اﺳﺘَﻄَ ْﻌﺘُ ْﻢ ﺎ ﻣ ﻪ ﻨ ﻣ ْ ْ َُ َ ْ ْ َ َ َ ُ ُ َ ْ ُ َ ْ ُْ َ َ
“Apa yang telah kularang, maka jauhilah dan apa yang telah kuperintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR Bukhari dan Muslim) 1. Contoh perintah beliau yang mustahab (tidak wajib): bersiwak setiap kali berwudhu (HR Ahmad)
ٍ اك ﻣﻊ ُﻛ ﱢﻞ وﺿ ِ ﻮء ﻟَ ْﻮَﻻ أَ ْن أَ ُﺷ ﱠﻖ َﻋﻠَﻰ أُﱠﻣﺘِﻲ َﻷَ َﻣ ْﺮﺗُـ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟ ﱢ ُ ُ َ َ ﺴ َﻮ
“Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu’.” 2. Contoh larangan beliau yang haram dikerjakan: اﻟﻌﺎﻓِ َﯾ َﺔ َ ﺳﻠُوا ﷲ َ َو،اﻟﻌد ﱢُو َ ﺎء َ ﻻَ َﺗ َﺗ َﻣ ﱠﻧ ْوا ﻟِ َﻘ Janganlah kamu berangan-angan untuk bertemu musuh, mintalah kepada Allah keselamatan. (Hr Bukhari Muslim)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH B. Sunnah Fi’liyyah: Segala bentuk perbuatan Nabi saw. sama ada dari segi ibadah, muamalah, pemerintahan seperti solat, berwuduk dan sebagainya. Namun tidaklah semua perbuatan Nabi itu dianggap sebagai al-Sunnah. Ini kerana Sunnah Fi’liyyah terbahagi kepada tiga ( Abd Karim Zaidan) • Pembahgian Sunnah Fi’liyyah kepada TIGA: 1. Perbuatan semula jadi ( )اﻷﻓﻌﺎل اﻟﺠﺒﻠﻴﻪ: Iaitu perbuatan-perbuatan yang lahir daripada Nabi secara semula jadi dan tabiat manusia seperti tidur, makan, minum dan sebagainya. Contohnya: • Contoh tidur : Pada asalnya merupakan perkara tabiat yang tidak mengandung hukum, baik itu wajib maupun mustahab (sunnah). Akan tetapi dianjurkan (disunnahkan) untuk miring ke kanan dan didahului dengan membaca dzikir-dzikir sebelum tidur, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Al-Baro’ bin ‘Azib ra dalam shahih Bukhari dan Muslim • Contoh makan dan minum, termasuk kebutuhan semua manusia secara tabiatnya. Akan tetapi diwajibkan dalam makan ini dengan menggunakan tangan kanan dan membaca bismillah sebelumnya dan dilarang dengan tangan kiri. Hadits Umar bin Abi Salamah ra
ﻴﻚ َ ِ َوُﻛ ْﻞ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﻳَﻠ،ﻚ َ ِ َوُﻛ ْﻞ ﺑِﻴَ ِﻤﻴﻨ، َﺳ ﱢﻢ اﷲ،ﻳَﺎ ﻏُﻼَ ُم
“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan mulailah dengan makanan yang dekat denganmu!” (HR Bukhari dan Muslim)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH 2. Perbuatan yang khusus dilakukan oleh Rasululloh saw, tidak diperbolehkan bagi umat untuk melakukannya. Untuk menentukan jenis perbuatan ini, diperlukan adanya dalil yang jelas dan shahih menunjukkan kalau hal itu merupakan kekhususan beliau. • Kaedah Fiqh : Bahwa asal dari perbuatan Nabi saw itu adalah dalam rangka ibadah selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hal itu sekedar adat-istiadat, tabiat manusia atau kekhususan beliau. Maka ketika ada dalil tentang kekhususan beliau tersebut, maka tidak diperkenankan bagi kita untuk melakukannya, walaupun dengan alasan ittiba’ Rasul. •
Contohnya: Puasa wishol, yaitu menjamak puasa dua hari atau lebih tanpa berbuka sama sekali. Puasa ini merupakan kekhususan beliau saw dan melarang para sahabat untuk melakukannya.
ِ ِ ِ ِ ِأَ ﱠن اﻟﻨﱠﺒ ِ ِ ِ ﱠ ﺻﻠﱠ ِ ﱠ ﱢ ﱢ ِ ُ ُﺳ َﻘﻰ أ و ﻢ ْﻌ ﻃ أ ﻲ ﻧ إ ﻢ ﻜ ﺘ ﺌ ﻴ ﻬ ﻛ ﺖ ﺴ ﻟ ﻲ ﻧ إ : ﺎل ﻗ ، ﻞ اﺻ ﻮ ـ ﺗ ﻚ ﻧ إ : ﻮا ﻟ ﺎ ﻗ ، ﺎل ﺻ ﻮ ْ ﻟ ا ﻦ ﻋ ﻰ ﻬ ـ ﻧ ، ﻢ ﻠ ﺳ و ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ اﷲ ﻰ ﻲ َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ ُ َ ﱠ َ َ َ ْ ْ َ َُ َ َ ُ َ ْ َْ َ ُ ْ َ َ َ ُ
“Rasululloh saw melarang untuk berpuasa wishol. Para sahabat berkata: “Sesungguhnya engkau melakukannya?” Rasululloh menjawab:“Sesungguhnya aku ini tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum (oleh Allah).” (Shahih Bukhari dan Muslim)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH • Contoh lain yang merupakan kekhususan beliau: Nikah dengan hibah, yaitu seorang perempuan mendatangi beliau dan mengatakan: “Aku hibahkan diriku kepadamu.” Jika beliau menerima, maka secara langsung menjadi istri beliau tanpa mahar, wali, akad nikah dan saksi-saksi. Dalilnya
ِ ِ ِ ِ ِ ﻚ ِﻣﻦ ُد ِون اﻟْﻤ ْﺆِﻣﻨ ِ ِ ِ ِ َ ﻴﻦ ﻟ ﺔ ﺼ ﺎﻟ ﺧ ﺎ ﻬ ﺤ ﻜ ﻨ ـ ﺘ ﺴ ﻳ ن أ ﻲ ﺒ ﱠ ﻨ اﻟ اد َر أ ن إ ﻲ ﺒ ﱠ ﻨ ﻠ ﻟ ﺎ ﻬ ﺴ ﻔ ـ ﻧ ﺖ ﺒ ﻫ و ن إ ﺔ ﻨ ﻣ َ ْ ْ ْ ْ ً ً َ َ َ ْ َ َ َ َ َو ْاﻣ َﺮأَ ًة ُﻣ ْﺆ ْ َ َ َ َ َ َْْ َ ﱢ َ َ ﱡ َ ُ
“…dan perempuan mukmin yang menyerahkan (menghibahkan) dirinya kepada Nabi, jikalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS.Al-Ahzab: 50) 3. Perbuatan-perbuatan yang lahir daripada Rasulullah saw yang bertujuan untuk disyariatkan dan dijadikan sebagai rujukan maka menjadi Sunnah untuk diamalkan. Perbuatan beliau yang dilakukan dalam rangka ibadah. Kewajiban atas beliau untuk menyampaikan syariat:
ِ ﱠ ِ ﺖ ِر َﺳﺎﻟَﺘَ ُﻪ ﻐ ﻠ ـ ﺑ ﺎ ﻤ ﻓ ﻞ ﻌ ﻔ ـ ﺗ ﻢ ﻟ ن إ و ﻚ ﺑ ر ﻦ ﻣ ُ ﻳَﺎ أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟ ﱠﺮ ُﺳ َ ْ َ ْ ﱢ ْ َ ﻮل ﺑَـﻠﱢ ْﻎ َﻣﺎ أُﻧْ ِﺰ َل إِﻟَْﻴ َ َ َ َْ َْ َ َ َ ْ ﻚ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu. Jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan itu, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS.Al-Maidah: 67) ِ • Contoh : ُﺻﻠﱢﻲ َ ﺻﻠﱡﻮا َﻛ َﻤﺎ َرأَﻳْـﺘُ ُﻤﻮﻧﻲ أ َ َو “Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH
C. Sunnah Taqririyyah: Perakuan Nabi saw terhadap percakapan, perbuatan atau sesuatu perkara yang dilakukan oleh para sahabatnya sama ada melalui perakuan Rasul saw secara terus terang atau mendiamkan diri yang menunjukkan tidak adanya pengingkaran dan sebagainya yang menunjukkan persetujuan beliau. • Adapun taqrir (persetujuan beliau terhadap sesuatu tersebut) merupakan dalil akan bolehnya hal tersebut sesuai dengan sisi persetujuannya, baik berupa perbuatan atau ucapan, baik itu perkara yang wajib, mustahab ataupun mubah. Contoh hadits Mu’awiyah bin Hakam As-Sullamiy riwayat Muslim:
َ َ ﻗ،ﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ﺖ َر ُﺳ َ َ ﻗ،ﺴ َﻤ ِﺎء ٌ ﻓَِﺈﻧﱠـ َﻬﺎ ُﻣ ْﺆِﻣﻨَﺔ، أَ ْﻋﺘِ ْﻘ َﻬﺎ:ﺎل ﻓِﻲ اﻟ ﱠ:ﺖ ْ َ َﻣ ْﻦ أَﻧَﺎ؟ ﻗَﺎﻟ:ﺎل ْ َأَﻳْ َﻦ اﷲ؟ ﻓَـ َﻘﺎﻟ َ ْ أَﻧ:ﺖ
“Dimanakah Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku ini?” Dia menjawab: “Engkau adalah Rasululloh.” Maka beliau berkata kepada Mu’awiyyah:“Merdekakan dia, sesungguhnya ia seorang mukminah.” • Contoh: Ketika seseorang utusan beliau dalam berperang mengimami pasukannya dan selalu mengakhiri bacaannya dengan surat Al-Ikhlash. Ketika beliau mendengar hal tersebut, lalu berkata kepada para sahabat: • “Katakan kepadanya, mengapa ia lakukan itu?” Maka mereka bertanya kepadanya, lalu ia menjawab: “Karena dalam surat itu terdapat sifat Ar-Rohman dan aku suka membacanya.” Maka Nabi saw bersabda: “Kabarkanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (HR Bukhari dan Muslim)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH D. Sunnah Hammiyah adalah sesuatu yang dikehendaki Nabi lalu disampaikan kepada para sahabat sehingga sahabat itu mengetahui, tetapi beliau belum sempat melaksanakan.. • Himmah (hasrat) Nabi saw misalnya yang belum sempat beliau realisasikan ketika beliau hendak menjalankan puasa pada tanggal 9 ‘Asyura, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra:
ِ ِ ِﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ ﻳـﻮم َﻋﺎ ُﺷﻮراء وأَﻣﺮ ﺑ ﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ إِﻧﱠﻪُ ﻳَـ ْﻮٌم ﺗُـ َﻌﻈﱢ ُﻤ ُﻪ ﺳ ر ﺎم ﺻ ﻴﻦ ﺣ َ ﺼﻴَ ِﺎﻣ ِﻪ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻳَﺎ َر ُﺳ ُ َ َْ َ َ َ َ َُ َ َ َ ََ َ َ َ ِ ِ ِ ﱠ ﱠ ﱠ ﱠ ﻮل اﻟﻠﱠ ِ ِ ﺻ ْﻤﻨَﺎ اﻟْﻴَـ ْﻮَم ﻪ ﻠ اﻟ ﺎء ﺷ ن إ ﻞ ﺒ ﻘ ْﻤ ﻟ ا ﺎم ْﻌ ﻟ ا ن ﺎ ﻛ ا ذ ﺈ ﻓ ﻢ ﻠ ﺳ و ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﻪ ﻠ اﻟ ﻰ ﻠ ﺻ ﻪ ُ ﺎل َر ُﺳ َ ﱠﺼ َﺎرى ﻓَـ َﻘ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ُ اﻟْﻴَـ ُﻬ َ ُ ْ ُ ُ َ ُ َ َ َ ﻮد َواﻟﻨ َ ُ َ َ ُ ِ ﻮل اﻟﻠﱠ ِ ِ ِ ﱢ ْ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻪ ﺳ ر ﻲ ﻓ ﻮ ـ ﺗ ﱠﻰ ﺘ ﺣ ﻞ ﺒ ﻘ ْﻤ ﻟ ا ﺎم ْﻌ ﻟ ا ت ﺄ ﻳ ﻢ ﻠ ـ ﻓ ﺎل ﻗ ﻊ ﱠﺎﺳ ُ َ َ َ ْ َ َ ُ َ َ ُُ َ ُ ُ ُ َ َْ َ اﻟﺘ “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan,“Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim,) • Menurut Imam Syafi’i dan rekan-rekannya hal ini termasuk sunnah hammiyah walaupun masih dalam lintasan hati, namun seandainya Nabi saw ada pada waktu itu, pasti nabi saw akan melaksanakannya sehingga menjadi sunah bagi kita. Sementara menurut Asy Syaukani tidak demikian, karena hamm ini hanya kehendak hati yang tidak termasuk perintah syari’at untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH E. Sunnah Tarkiyyah yaitu amalan-amalan yang sengaja ditinggalkan oleh Nabi saw atau sengaja tidak dilakukannya. Sunnah ini terbagi menjadi dua macam: • Pertama: perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Nabi saw dikarenakan tidak adanya hal-hal yang mendorong untuk dilakukannya hal tersebut pada zaman beliau. Maka meninggalkan yang seperti ini tidak termasuk sunnah dan jika dilakukan tidaklah dikatakan sebagai bid’ah. Contohnya: pembukuan Al-Quran menjadi sebuah mushaf seperti sekarang ini, penulisan kitab-kitab ilmu agama. (Rujukan: Al-Muwafaqot: 2/409, karya Imam Asy-Syathibiy rh) • Kedua: perbuatan-perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasul saw bersamaan dengan adanya faktor pendorong untuk melakukannya (Pen. ditambah tiadanya penghalang untuk dilaksanakan). Meskipun demikian, beliau saw tetap tidak melakukannya. Maka hal ini menunjukkan bahwa secara syariat perbuatan tersebut hendaknya ditinggalkan dan tidak dilakukan. Contohnya: adzan pada solat ‘ied dan ketika menguburkan jenazah, melafadzkan niat dan sebagainya. • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rh telah menerangkan tentang masalah ini, bahwa adzan pada solat ied tersebut termasuk perkara yang diada-adakan oleh beberapa penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin, karena itu merupakan kebid’ahan. Kalaulah bukan karena itu, maka dikatakan bahwa hal ini termasuk berdzikir kepada Allah dan anjuran kepada manusia untuk beribadah kepada Allah, sehingga masuk dalam keumuman dalil-dalil seperti firman Allah: (( )اذْ ُﻛ ُﺮوا اﷲ ِذ ْﻛ ًﺮا َﻛﺜِ ًﻴﺮاQS. Al-Ahzab: 41)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH • Atau hal itu diqiyaskan dengan adzan solat Jum’at (karena Jum’at termasuk hari ied mingguan). Akan tetapi yang benar adalah dikatakan bahwa sikap Rasululloh saw dengan meninggalkannya bersamaan dengan adanya faktor pendorong dan tidak adanya suatu penghalang untuk dilakukannya hal itu, merupakan sunnah (tarkiyyah) untuk ditinggalkan, sebagaimana apa-apa yang beliau lakukan juga merupakan sunnah (fi’liyyah) untuk dikerjakan. Sunnah tarkiyyah ini merupakan sunnah tersendiri yang lebih dikedepankan daripada keumuman dalil-dalil atau qiyas. • Ketika beliau memerintahkan adzan dan iqomah pada solat Jum’at dan bukan pada solat ied, maka hal itu adalah sunnah beliau. penambahan dalam hal itu tidak layak dikatakan bahwa hal itu merupakan bid’ah hasanah. sebagaimana dalam keumuman hadits shahih dari Jabir ra riwayat Imam Ahmad:
ٌﺿ َﻼﻟَﺔ َ َوُﻛ ﱠﻞ ﺑِ ْﺪ َﻋ ٍﺔ،َو َﺷ ﱠﺮ ْاﻷُُﻣﻮِر ُﻣ ْﺤ َﺪﺛَﺎﺗُـ َﻬﺎ
“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap kebid’ahan itu sesat.” • Contoh lain, seperti dikedepankannya khutbah ied sebelum solatnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin. Dengan beralasan bahwa banyak manusia tidak mau mendengarkan khutbah ied, sehingga khutbah dikedepankan. • (Rujukan: Iqtidho’ Shirothol Mustaqim, hal. 279-281, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rh. Irsyadul Fuhul, hal. 42, karya Imam Asy-Syaukaniy rh)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH • Dari sini berlaku sebuah kaedah: bahwa diamnya pembuat syariat (Allah dan Rasul-Nya) pada hukum tertentu atau meninggalkan suatu perkara bersamaan dengan adanya faktor pendorong dilakukannya hal tersebut pada waktu itu tanpa adanya tambahan syariat baru, jika hal tersebut dilakukan, maka ia termasuk perkara bid’ah dalam agama yang tercela, bertentangan dengan maksud Allah dan Rasul-Nya yaitu menuruti apa yang telah digariskan oleh keduanya tanpa menambahi atau mengurangi sedikitpun. (Rujukan: Al-I’tishom: 1/361, karya Imam Asy-Syathibiy rh) • Imam Al-Albaniy rh mengatakan: “Termasuk ketetapan dari para ulama ahli tahqiq (mujtahid), bahwasanya setiap bentuk peribadatan yang tidak disyariatkan oleh Rasululloh saw dan tidak pernah beliau lakukan dalam rangka ibadah, maka hal itu termasuk penyelisihan terhadap sunnah beliau. • Hal itu karena sunnah beliau terbagi menjadi: Sunnah fi’liyyah (perbuatan yang dilakukan) dan sunnah tarkiyah (sesuatu yang ditinggalkan). Apa yang ditinggalkan oleh beliau saw berupa perkara ibadah, maka disunnahkan atau disyariatkan bagi kita untuk meninggalkannya pula. Hal ini telah dipahami oleh para sahabat, sehingga banyak muncul peringatan terhadap kebid’ahan dari mereka, baik secara umum maupun khusus, sampai-sampai Hudzaifah bin Yaman ra berkata: “Setiap ibadah yang tidak diamalkan oleh para sahabat Rasululloh saw, maka janganlah kalian mengamalkannya!” Ibnu Mas’ud ra berkata: “Ikutilah (sunnah Rasul) dan jangan berbuat kebid’ahan, maka hal itu cukuplah bagi kalian. Pegangilah perkara yang telah terdahulu!” - (Rujukan: Hujjatun Nabi saw, hal. 100-101, karya Imam Al-Albaniy rh)
PEMBAHGIAN AS-SUNNAH • Maka termasuk kebid’ahan juga adalah: • Melakukan apa yang belum diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya (dalam peribadatan) untuk mengamalkannya, seperti: sujud syukur di depan penguasa, do’a secara berjama’ah setiap selesai solat dan sebagainya; atau: • Meninggalkan apa yang telah diizinkan untuk diamalkan dalam rangka ibadah, seperti: tidak mau berbicara ketika berpuasa, meninggalkan makanan tertentu dan sebagainya; atau: • Perkara yang keluar dari itu semua, seperti mewajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang mampu memerdekakan budak dan sebagainya. Yang terakhir ini telah jelas penyelisihannya terhadap dalil syar’i dan jelas merupakan bi’dah yang buruk. • (Rujukan: Al-Muwafaqot: 2/410, karya Imam Asy-Syathibiy rh)
KESIMPULAN • Sunnah dapat di bagi kepada 2 Jenis 1. Sunnah Fi’liyah 2. Sunnah Tarkiyyah 1. Sunnah Fi’liyah : Apa saja amalan yang disandarkan kepada nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau, maka ia menjadi Sunnah untuk diamalkan. 2. Sunnah Tarkiyyah : Apa saja amalan ibadah yang ditinggalkan oleh Nabi saw dengan sengaja, walaupun disana tiada penghalang untuk beliau melakukannya sedangkan ada keperluan untuk melaksanakan amalan tersebut, maka ia menjadi Sunnah untuk ditinggalkan amalan tersebut. • Sebagai rumusan, Barometer Sunnah Tarkiyyah dapat di lihat dari 2 faktor ini: 1. Tiada penghalang untuk melakukan tetapi Rasul saw tidak melakukan perbuatan itu 2. Ada dorongan/keperluan untuk melakukan tetapi Rasul saw tetap tidak melakukan perbuatan itu • Jika salah satu factor ini tidak wujud maka ia tidak menjadi Sunnah untuk ditinggalkan.