INFOBPJS Edisi XXV Tahun 2015
Media Internal Resmi BPJS Kesehatan
Kesehatan
PENYESUAIAN IURAN Untuk Keberlangsungan Program
“
Pengarah
Fachmi Idris Penanggung Jawab
Purnawarman Basundoro Pimpinan Umum
Ikhsan
Pimpinan Redaksi
Irfan Humaidi Sekretaris
Rini Rachmitasari Sekretariat
Ni Kadek M. Devi Eko Yulianto Paramitha Suciani Redaktur
Diah Ismawardani Elsa Novelia Ari Dwi Aryani Asyraf Mursalina Budi Setiawan Dwi Surini Tati Haryati Denawati Angga Firdauzie Juliana Ramdhani Distribusi dan Percetakan
Basuki Anton Tri Wibowo Ahmad Tasyrifan Ezza Fauziah Aulatun Nisa Ranggi Larrisa Buletin diterbitkan oleh: BPJS Kesehatan Jln. Letjen Suprapto PO BOX 1391/JKT Jakarta Pusat Tlp. (021) 4246063, Fax. (021) 4212940 Redaksi menerima tulisan artikel/opini berkaitan dengan tema seputar BPJS Kesehatan maupun tema-tema kesehatan lainnya yang relevan dengan pembaca yang ada di Indonesia. Panjang tulisan maksimal 7.000 karakter (termasuk spasi), dikirimkan via email ke alamat: redaksi.
[email protected] dilengkapi identitas lengkap dan foto penulis
SURAT PEMBACA
email :
[email protected]
Fax : (021) 4212940
Yth. Redaksi Saya ingin tahu syarat mendaftarkan calon bayi sebagai peserta BPJS,saat ini saya dan anggota keluarga sudah terdaftar sebagai anggota BPJS Penerima Upah. Terimakasih atas responya.. salam ENI AGUSTINA,PEKANBARU RIAU Jawab : Yth. Ibu Eni Agustina di tempat Pertama kami ucapkan terima kasih atas perhatian Ibu kepada BPJS Kesehatan. Menjawab pertanyaan Ibu, pendaftaran calon bayi peruntukkan bagi Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta perorangan / mandiri. Bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), yang bisa dijamin oleh BPJS Kesehatan secara otomatis adalah anak ke-1 sampai ke-3. Jika anak tersebut adalah anak ke-1 sampai ke-3, maka otomatis dijamin pelayanan kesehatannya oleh BPJS Kesehatan begitu lahir. Begitu bayi dilahirkan, peserta dapat melapor ke Kantor Cabang BPJS Kesehatan setempat dan di sana akan dicetakkan nomor kartu sementara. Selanjutnya, nomor sementara tersebut dapat dibawa ke BPJS Kesehatan Center di RS setempat untuk digunakan menjamin pelayanan kesehatan sang bayi. Demikian kami sampaikan, semoga membantu dan sehat selalu. Redaksi
INFO BPJS
Kesehatan EDISI XXV TAHUN 2015
STRATEGI DULU, BARU KERJA
“
Redaksi
CEO Message
MENCUPLIK tema peringatan kemerdekaan tahun ini, yaitu AYO KERJA, adalah penjabaran yang sejalan dengan semangat KERJA, KERJA, KERJA yang didengungkan pertama kali oleh tokoh nomor satu republik ini saat memberikan arahan perdananya kepada seluruh jajaran Kabinet Kerja.
Kata Kerja didefinisikan sebagai kegiatan melakukan sesuatu, seperti mencari nafkah, mata pencaharian dan memenuhi kehidupan. Dalam konteks keseharian, kerja disamakan maknanya dengan berusaha. Berusaha mencapai keinginan, tujuan dan harapan atau minimal berusaha memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda ketersediannya. Begitu pentingnya “kerja” atau “bekerja” dalam kehidupan manusia, sehingga dalam satu pepatah China kuno dikatakan, “Lebih baik kembali dan menenun jaring, daripada hanya berdiri di tepi kolam sambil berharap mendapatkan ikan.” Tidak ada yang diberikan percuma di dunia, bagaimana pun beruntungnya kita hidup, harus selalu ada usaha. Bagaimana pun kita memiliki istri yang paling pintar,nyatanya ia tak akan dapat memasak bila beras tak tersedia. Sementara beras tak hadir sendiri di periuk, kecuali sebidang lahan selama berbulan lamanya diolah sejak pagi hingga petang, dipelihara dari benih sampai menjadi bulir, dan dikerjakan oleh tubuh berbasuh peluh yang tiada lelah mencangkul, menanam, menyiram, menyiangi, memanen dan sebagainya. Dalam dunia nyata, kisah Sidik pria tanpa kaki di buku HEROES Para Pahlawan Pilihan karya Kick Andy, adalah satu contoh kisah hidup yang menginspirasi bagaimana makna kerja adalah bagian hidup yang paling menentukan apa pun kondisi awal manusia terlahir di dunia. Tersebutlah Sidik, pria asal Bogor yang terlahir setengah badan tanpa kaki. Sehari-hari, untuk menghidupi keluargannya, ia berjualan kerupuk singkong yang ia olah sendiri. Kemandiriannya yang luar biasa, semangat pantang menyerahnya dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna, dan keuletannya dalam bekerja meruntuhkan takdirnya yang layak menjadi manusia papa, justru menjadi makhluk yang hidup bermakna. Dengan kondisinya, ia mampu menghidupi keluarganya, membangun rumah yang terbilang lebih dari sederhana, dan bahkan membuka lapangan kerja bagi para difabel lainnya. Baginya bekerja adalah ibadah sekaligus pembuktian, bahwa kondisi cacatnya bukan karena ketidakadilan Tuhan, melainkan ada misteri dan rencana lain yang harus dipecahkannya melalui usaha dan kerja yang tiada putus bersama doa. Dari kisah Sidik, kita juga pahami bahwa bekerja dan hasil adalah hubungan yang berbanding lurus. Semakin keras berusaha, maka akan semakin baik hasilnya. Namun sebaik-baiknya bekerja menurut Laozi – Filsuf China, adalah bekerja yang menuju kesempurnaan. Bekerja yang tidak asal bekerja, namun bekerja dengan cara dan untuk hasil yang selalu lebih baik dari waktu ke waktu. Laozi mengatakan, “Persegi yang terbesar tidak memiliki sudut, kapal yang terhebat memakan waktu terlama untuk tiba di tujuan, suara yang terhebat hampir tidak terdengar, dan wujud yang terhebat tidak memiliki wujud.” Itu lah makna kesempurnaan, kondisi untuk menjadi semakin baik tahap demi tahap tanpa batas. Sempurna hanyalah kata lain untuk menggambarkan proses perbaikan yang terjadi terus menerus, tanpa henti. Karena batas sempurna adalah keinginan, seperti lautan tanpa tepi atau pun langit tanpa atap bersisi. Untuk dapat bekerja dengan kualitas semakin baik dari masa ke masa, maka bekerja harus dengan cara yang juga sempurna. Ini yang dinamakan bekerja keras, namun juga cerdas. Ada satu kisah untuk menggambarkan bagaimana perbedaan kerja keras dan kerja cerdas. Suatu hari tersebutlah dua orang murid yang diperintah gurunya untuk mencari kayu bakar sebanyak mungkin dihutan. Yang terbanyak mengumpulkan kayu bakar adalah yang akan diwariskan ilmu kanuragan terhebat dari sang guru. Sebagai bekal, sang guru memberi mereka masing-masing sebilah parang. Mereka harus bertanding mengumpulkan kayu sebanyak mungkin pada esok hari mulai pukul 5 pagi hingga 5 petang. Karena akan bekerja keras, murid pertama beristirahat cepat hari ini dengan maksud mengumpulkan tenaga terbaik. Sebaliknya murid kedua, demi mempersiapkan hasil yang optimal esok pagi ia pun mengasah parangnya tajam-tajam malam itu. Ia mengumpulkan tali, pikulan dan bekal secukupnya. Setelah semua selesai, baru ia pergi tidur. Keesokan harinya, keduanya pun pergi ke hutan. Murid pertama karena tidak mengasah parangnya, harus menggunakan waktu dan energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon. Belum waktu yang ia gunakan untuk mencari tali pengikat, membuatnya hilir mudik sambil menenteng kayu yang telah berhasil dikumpulkan. Selain itu caranya membawa kayu di punggung juga membebaninya dan membuat jumlah kayu yang dikumpulkan menjadi terbatas. Semua ini tentu menguras tenaganya sehingga ia memerlukan waktu lebih panjang untuk beristirahat. Sementara murid kedua, dengan cepat dapat mengumpulkan kayu karena berbekal parang yang sangat tajam. Ia pun dapat segera mengikat kayunya pada kedua pikulan yang dibawa. Saat haus dan lapar, ia berhenti untuk minum dan makan sejenak menambah kekuatan. Tepat pukul satu, pekerjaannya pun selesai. Akhirnya, murid kedua pulang lebih awal, dengan hasil kayu lebih banyak, dan kondisi lebih segar daripada murid pertama. Dari cerita di atas, kita pahami bahwa strategi menghadapi pekerjaan jauh lebih penting daripada sekedar menyiapkan stamina saat bekerja. Bekerja dengan otak terbukti lebih unggul daripada sekedar mengandalkan kekuatan otot semata. Slogan KERJA, KERJA dan KERJA semestinya didukung dan dimakanai lebih dalam. Bukan hanya menyingsingkan lengan baju, tetapi yang terutama menyiapkan pola kerja menuju kesempurnaan dengan strategi, ikhtiar dan doa. Bukan lagi zamannya bekerja dengan mengerahkan pasukan bertubuh terkokoh, tetapi justru kita butuh ahli yang mampu memprediksi beberapa langkah ke depan. Apa yang akan kita lakukan sekarang, esok, dan masa mendatang ? Dan apa yang harus segera kita tindaklanjuti seandainya langkah 1, 2 , 3 atau bahkan langkah 4, 5 dan 6 gagal? Ibarat perang harus ada strategi cadangan, bukan pasukan cadangan. Seperti Confusius katakan, “Saya tidak akan membawa orang yang dapat bertarung dengan tangan kosong, atau menyeberangi sungai tanpa perahu. Saya ingin seseorang yang mendekati kesukaran dengan hati-hati dan yang memilih sukses dengan strategi.” Jadi mari kita mulai ber-STRATEGI, STRATEGI dan STRATEGI sebelum akhirnya KERJA, KERJA dan KERJA. Direktur Utama Fachmi Idris
SALAM REDAKSI IURAN PESERTA SUDAH WAJARKAH? Pembaca setia Info BPJS Kesehatan, Wacana soal kenaikan iuran bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) masih bergulir. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyebut iuran baru akan jauh lebih tinggi daripada iuran sebelumnya. Awalnya memang DJSN telah mengusulkan besaran iuran bagi PBI adalah Rp27.500 dan ditetapkan menjadi Rp 19.225 karena keterbatasan anggaran pemerintah. Berbeda dengan kenaikan iuran PBI yang sudah diusulkan di dalam APBN 2016, kenaikan iuran bagi PBPU masih dalam tahap wacana. Meskipun begitu, DJSN dan BPJS Kesehatan sudah mulai membahasnya pada tahun ini. Dalam edisi 25 kali ini, Info BPJS Kesehatan akan membahas lebih dalam mengenai peranan rencana kenaikan iuran peserta khususnya untuk Penerima Bantuan Iuran. Berkaca dari tahun lalu, operasional JKN memang mengalami mismatch. Atau menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, istilah yang lebih tepat pada kejadian tahun lalu adalah adanya ketidakseimbang rasio. Bagaimana idealnya iuran BPJS Kesehatan secara lebih mendalam akan dibahas dalam rubrik FOKUS. Dalam rubrik FOKUS juga akan dibahas pandangan bebeapa tokoh jaminan sosial seperti Ketua DJSN, Chazali Situmurang yang akan memaparkan bagaimana upaya atau solusi terbaik dalam pelaksanaan implementasi jaminan kesehatan. Ahli Asuransi Kesehatan Sosial Prof. Hasbullah Thabrany juga angkat bicara mengenai rencana kenaikan iuran ini, dan lebih lengkap akan kami hadirkan di rubrik FOKUS. Dalam rubrik BINCANG kami juga menghadirkan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Prof. Budi Hidayat, yang akan memaparkan seperti apa kajian mengenai jaminan kesehatan nasional setelah satu tahun berjalan. Seperti apa langkah-langkah strategis khususnya dalam perbaikan dan menyempurnaan program. Seiring dengan penerbitan Info BPJS Kesehatan, kami mengucapkan terima kasih atas berbagai dukungan dan tanggapan atas terbitnya media ini. Semoga kehadiran media ini dapat menjadi jembatan informasi yang efektif bagi BPJS Kesehatan dan stakeholder-stakeholder-nya. Selamat beraktivitas dan Selamat Ulang Tahun, BPJS Kesehatan. Redaksi
DAFTAR ISI Testimoni - Leher Terlilit Tali Pusat, Neneng Bisa Melahirkan Normal di Puskesmas
9
Fokus 1 - Cegah Tekor Dengan Kenaikan Premi Fokus 2 - Tambal Defisit, Dengan Cukai Rokok
3 5
Bincang - Prof.Budi Hidayat Tiga Kunci Jaga Sustainability JKN
6
Benefit - Kalau Bisa Normal,Mengapa Harus Operasi Caesar?
7
Pelanggan - Pelayanan Kebidanan & Neonatal Untuk Selamatkan Ibu & Bayi
8
Sehat - Jangan Diabaikan Stres Harus Dikelola Dengan Benar
10
FOKUS
EDISI 25 TAHUN 2015
PENYESUAIAN IURAN
Untuk Keberlangsungan Program
Peningkatan iur premi PBI yang disetujui oleh Kementerian Keuangan ‘hanya’ Rp23 ribu per orang/bulan. Hal ini sesuai dengan kemampuan fiskal pemerintah
D
i tengah kontroversi rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak berjalan sesuai prinsip syariah, isu perlunya menaikan iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, kembali menyeruak. Usai bertatapmuka dengan MUI di gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di Jakarta, awal bulan lalu, Direktur Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Purnawarman Basundoro menyatakan ada kemungkinan pelaksanaan JKN yang dikelola BPJS Purnawarman Kesehatan bakal kembali mengalami Basundoro defisit pada akhir tahun.
Namun, biaya klaim manfaat (benefit) yang dikeluarkan BPJS Kesehatan lebih besar, yakni mencapai Rp42,6 triliun. Artinya terjadi mismatch rasio klaim sampai 103,88%.
Bila ditambah dengan defisit yang terjadi pada 2014, hingga akhir tahun ini, Purnawarman memprediksi total potensi defisit bisa mencapai Rp6 triliun. Hal ini, lanjut dia, tentu bisa menggerogoti keberlangsungan program JKN yang baru berjalan sejak awal 2014 lalu itu.
Berkaca dari tahun lalu, operasional JKN memang mengalami defisit. Atau menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, istilah yang lebih tepat pada kejadian tahun lalu adalah adanya ketidakseimbang rasio (mitch match) dan bukan defisit. Defisit terjadi karena total iur premi yang didapat dari peserta pada akhir tahun lalu mencapai Rp41,06 triliun.
Potensi terjadinya mismatch rasio klaim ini, menurut Fachmi, sejatinya telah diprediksi oleh BPJS Kesehatan jauh sebelum program JKN dirilis. Untuk itu BPJS Kesehatan sebelumnya telah menyiapkan dana cadangan Rp5,6 triliun yang diambil dari pengalihan aset PT Askes (Persero) sebelum berganti baju menjadi BPJS Kesehatan. “Dengan adanya cadangan dana dari pengalihan PT Askes, sebetulnya tidak ada defisit rasio klaim pada 2014,” ujar Fachmi. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi potensi mismatch rasio klaim pada 2015, pemerintah telah menyuntikan dana tambahan dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun untuk pelaksanaan program JKN pada tahun ini. Dengan adanya tambahan modal PMN pada tahun ini, kata Fachmi, BPJS Kesehatan tidak perlu lagi memotong total iur premi yang diterima sebesar 6,47% bagi operasional BPJS Kesehatan. Pasalnya, dari dana PMN sebesar Rp5 triliun tersebut, Rp3,5 triliun telah dialokasikan untuk digunakan operasional BPJS Kesehatan dan Rp1,5 triliun untuk cadangan pembiayaan untuk Dana Jaminan Sosial Kesehatan.
Info BPJS Kesehatan
Kendati potensi terjadinya mismatch rasio klaim tahun ini telah diantisipasi pemerintah dengan memberikan PMN pada BPJS Kesehatan, Fachmi berpendapat perlu kebijakan yang lebih bersifat jangka panjang agar mitch match rasio klaim tidak terus berulang setiap tahun. Solusi terbaik, menurut dia adalah adanya kenaikan iur premi yang sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dengan demikian BPJS Kesehatan memiliki sistem yang lebih stabil untuk mencegah terjadinya potensi mismatch rasio klaim.
“Kejadian ini mirip dengan yang dialami pada pelaksanaan JKN di 2014 lalu,” sebut Purnawarman.
“Harus ada solusi permanen agar kejadian defisit tidak terulang pada 2016 nanti,” kata dia.
Rasionalisasi premi
Sementara itu, ditemui terpisah, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali H Situmorang mengatakan, untuk memutus mata rantai terjadinya ketidakseimbangan rasio klaim yang terjadi setiap tahun, cara paling mudah dan efektif, kata dia, adalah dengan menaikan iur premi kelompok Penerima Chazali H Bantuan Iuran (PBI). PBI sendiri adalah Situmorang 86,4 juta masyarakat miskin dan rentan, yang iur preminya dibayari dibayari pemerintah.
Menurut Chazali, iur premi PBI terlalu kecil, yakni Rp19.225. Padahal berdasarkan perhitungan aktuaria yang dilakukan oleh DJSN saat merancang kelahiran BPJS Kesehatan, iur premi PBI ideal, minimalnya adalah Rp27.500. Menaikan jumlah iur premi PBI, kata Chazali, sangat krusial bagi keberlangsungan JKN. Pasalnya, mayoritas atau 70% peserta JKN saat ini didominasi oleh peserta PBI. Artinya dengan menaikan iur premi PBI, otomatis akan mendongkrak jumlah pemasukan dana premi BPJS Kesehatan. DJSN sendiri, sambung Chazali, sudah memiliki hitungan ideal terbaru untuk kenaikan iur PBI. DJSN, lanjut dia, mengusulkan pada pemerintah agar premi PBI dinaikan
3
FOKUS
EDISI25 25TAHUN TAHUN2015 2015 EDISI
“Dari semua skema yang ada, keputusan ada di pemerintah. Kita tinggal menjalan saja,” tutur dia.
Premi bertahap Ideal Kendati banyak pihak menyebutkan kenaikan ideal premi adalah Rp36 ribu-an, hal itu nampaknya sulit dipenuhi pemerintah. Hal itu terungkap dari pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F. Moeloek. Menurut dia, peningkatan iur premi PBI yang disetujui oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ‘hanya’ Rp23 ribu per orang/bulan. Hal ini sesuai dengan kemampuan fiskal pemerintah. sebesar 43%, yakni, menjadi Rp36.500 per orang/bulan dari sebelumnya Rp19.225.
“Hitungan kenaikan itu berdasarkan perhitungan DJSN bersama pemangku kepentingan, yakni tim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dan survei ke rumah sakit,” tandas dia.
Diagnosis Related Groups (INA DRGs) yang dipakai untuk membayar layanan peserta BPJS Kesehatan, kurang memadai. Namun, usulan kenaikan pada peserta non-PBI ini ditolak Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ermalena. Menurut dia, kenaikan iur premi pada non-PBI harus melalui kajian mendalam. Pasalnya kenaikan iur pada peserta non-PBI akan sangat memberatkan rakyat. Terlebih, lanjut dia, saat ini beban masyarakat tengah bertambah dengan naiknya harga beberbagai kebutuhan pokok.
Adanya kenaikan tersebut, diyakini dapat menutup defisit pada 2015, sekaligus mencegah defisit hingga 2017.
“Namun, kalau untuk menaikan iur PBI yang dibayar pemerintah, kami pada prinsipnya setuju,” ujar dia.
Perlunya menaikan iuran PBI juga disampaikan oleh Guru Besar Asuransi dan Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Budi Hidayat. Tidak hanya menaikan iur premi PBI menjadi Rp36 ribu, dia bahkan mengusulkan agar iuran peserta mandiri juga dinaikan, agar pelaksanaan JKN tidak besar pasak daripada tiang.
Walau berbagai kajian dan usulan untuk menaikan iur premi telah banyak dilontarkan dan dipublikasikan, Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan, tetap saja keputusan naik atau tidaknya iur berada di tangan pemerintah.
Menurut Budi, kenaikan pada peserta mandiri perlu dipilah menjadi dua. Bagi peserta mandiri dari pekerja penerima upah (PPU) atau pegawai, plafon preminya harus dinaikan dari dua kali Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi enam kali. Kemudian untuk peserta mandiri dari kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau pekerja informal, jumlah
Saat ini, kata Irfan, sudah banyak skema kenaikan premi yang masuk. Mulai dari iur PBI naik dari Rp19.500 menjadi Rp27.500 atau Rp36 ribu, sampai kenaikan tarif Rp10 ribu untuk semua kelas peserta mandiri. Artinya, jika sebelumnya iuran peserta PBPU Rp 25.500 untuk kelas III naik menjadi Rp 35.500, kelas II sebesar Rp 42.500 bertambah menjadi Rp 52.500, dan kelas I yang semula Rp 59.500.
“Skema Rp23 ribu ini nampaknya yang paling kuat. Perlu pembahasan lagi. Tapi mudah-mudahan bisa selesai tahun ini, sehingga bisa diterapkan di 2016,” sebut Menkes. Akan ditetapkannya kenaikan senilai Rp 23 ribu bagi PBI ini pun dikritik oleh Chazali. Menurut dia, jika kenaikannya di bawah Rp27.500, niscaya defisit akan terus terjadi setiap tahunnya. Bila defisit kembali terjadi, walhasil setiap tahun pemerintah harus menambalnya dengan memberikan dana talangan, seperti kebijakan PMN yang diberikan pada tahun ini pada BPJS Kesehatan. "Dana talangan untuk menutupi defisit itu mengacaukan sistem keuangan," kata Chazali. Menurut Chazali, bila alokasi kenaikan premi akhirnya diputuskan menjadi Rp23 ribu, artinya, sambung dia, pemerintah terlalu pelit. Pasalnya, pada 2016 mendatang, alokasi APBN untuk kesehatan mencapai 5%. Artinya, ada sekitar Rp110 triliun yang masuk ke sektor kesehatan pada 2016 mendatang. “Jadi tidak masalah kalau sekitar Rp30 triliun diberikan untuk membayar kenaikan iur premi.”
iur premi yang ideal untuk kelas III menurut dia, Rp36 ribu, kelas II, Rp60 ribu dan kelas I sekitar Rp80 ribu. “Jumlah iur itu masih tergolong murah. Kalau pakai asuransi komersial setidaknya iur premi per bulan mencapai Rp300 ribu,” tandas dia. Menurut Budi, kenaikan iur premi tidak hanya akan menjaga kesinambungan program JKN ke depan. Tetapi juga dapat bermuara pada kenaikan layanan di puskesmas dan rumah sakit (RS). Menurut pengamatannya, besaran tarif Indonesia
4
Info BPJS Kesehatan
FOKUS
Tambal Defisit dengan Cukai Rokok
EDISI 25 TAHUN 2015
Sepanjang 2014 lalu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berhasil meraup Rp41,06 triliun dari iur premi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, untuk tahun itu, BPJS Kesehatan harus mengeluarkan biaya hingga Rp42,6 triliun untuk biaya layanan kesehatan peserta. Hal senada juga disampaikan oleh Hasbullah. Menurut dia, banyak hal yang bisa ditempuh pemerintah untuk membuat ruang fiskal lebih lega. Dia menyebutkan, pada 2016 nanti, alokasi anggara kesehatan dari APBN akan mencapai Rp109 triliun atau 5,05% dari APBN. Artinya, pada 2016 terjadi kenaikan anggaran di bidang kesehatan sebanyak Rp75 triliun dari alokasi di 2015 yang sebanyak Rp74,8 triliun atau 3,7% dari APBN. Artinya, lanjut Hasbullah, sebetulnya jika iur premi PBI dinaikan menjadi Rp40 ribu sehingga dibutuhkan dana APBN sebanyak Rp60 triliun, sejatinya pemerintah juga mampu. Hal lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk menambah alokasi anggaran, agar pelaksanaan JKN bisa memberikan layanan lebih baik, adalah dengan menaikan cukai rokok dan mengalokasikan sebagian bagi pembiyaan kesehatan masyarakat.
Dari paparan di atas, artinya operasional BPJS Kesehatan di 2014 mengalami ketidakseimbangan rasio (mismatch) rasio klaim, lantaran pembiayaan yang keluar lebih besar dibandingkan iur premi yang masuk. mismatch rasio klaim tercatat sampai 103,88%. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris memang mengatakan bahwa potensi defisit pada tahun pertama beroperasinya JKN itu sudah diprediksi. Sebagai antisipasi, pihaknya sudah menyiapkan dana cadangan Rp5,6 triliun yang diambil dari pengalihan Fachmi Idris aset PT Askes (Persero) sebelum berganti baju menjadi BPJS Kesehatan. Pada tahun ini, kemungkinan terjadi mismatch diprediksi juga akan kembali terjadi. Guna mengantisipasi hal itu, pemerintah telah menyuntikan dana tambahan dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun untuk pelaksanaan program JKN pada tahun ini. Namun, semua pihak sadar bahwa kebijakan dana talangan tidak bisa terus-terusan diberikan pada program JKN. Menurut Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali H Situmorang, kebijakan memberikan dana talangan akan merusak sistem keuangan negara. Agar BPJS Kesehatan yang baru seumur jagung itu kehabisan bensin di tengah jalan, semua pihak mengusulkan agar iur premi, khususnya pada kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) dinaikan. PBI adalah kelompok masyarakat miskin dan rentan yang iur preminya dibayari pemerintah.
“Menaikan iur PBI adalah cara paling mudah menambal defisit. Dengan jumlah peserta yang banyak, kenaikan iur premi mereka akan bermakna mendongkrak budget total JKN,” sebut Chazali, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut hitungan Guru Besar Asuransi dan Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Budi Hidayat, iur premi sebesar Rp19.225 sudah tidak lagi memadai. Dia mengusulkan agar iur premi PBI dinaikan menjadi menjadi Rp36 ribu pada 2016 nanti. Dia bahkan mengusulkan agar iuran peserta mandiri juga dinaikan, agar pelaksanaan JKN tidak besar pasak daripada tiang. Sementara itu, Ketua Indonesia Health Economic Association (Ina-HEA) Hasbullah Thabrani bahkan mengusulkan agar iur PBI dinaikan menjadi Rp40 ribu per orang/bulan. Dengan jumlah itu, artinya, pemerintah harus mengalokasikan dana dari APBN sekitar Rp60 triliun.
“Agar BPJS Kesehatan bisa berjalan dan layanan yang diberikan layak, kenaikan iur premi PBI minimal harus Rp40 ribu,” ujar Hasbullah, yang juga merupakan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM-UI.
“Pada 2015, pemerintah menargetkan pendapatan dari cukai sekitar Rp 140 triliun. Dari sisi anggaran, itu adalah potensi keuangan negara yang bisa digunakan untuk kesehatan,” tandas dia. Menurut Hasbullah, sejatinya tidak masalah jika pemerintah menaikan cukai rokok. Penggunaan cukai rokok untuk JKN adalah jalan keluar yang bersifat samasama menang. Pasalnya, dengan menaikan cukai rokok, pemerintah mendapat tambahan pendapatan, program JKN terjamin keberlanjutannya, iuran peserta JKN meningkat, dan kualitas layanan kesehatan peserta JKN juga terjaga. "Toh, cukai dibayar oleh konsumen, bukan oleh produsen rokok," ujarnya. Kenaikan cukai rokok menurut Hasbullah tidak akan berpengaruh besar terhadap pembelian, karena sifat produk rokok yang inelastis. Target pendapatan cukai dinaikkan dua kali lipat saja, maka pemerintah bakal mendapat hampir Rp300 triliun. "Di berbagai negara juga pendapatan cukai dikembalikan untuk kesehatan. Pemerintah jangan seolah-olah takut pada industri rokok," kata Hasbullah.
Pelit
Dalam hasil rapat kabinet kemarin, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek membocorkan, pada 2016 pemerintah hanya sanggup untuk menaikan iur premi sebanyak Rp23 ribu per orang/bulan.
Pada kesempatan itu, Hasbullah menambahkan agar seyogianya pemerintah jangan bersikap kaku dalam menentukan alokasi anggaran kesehatan bagi rakyatnya sendiri.
“Hal ini disesuaikan dengan kemampuan fiskal negara,” ujar Menkes.
Menurut dia, selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang tergolong pelit terhadap dirinya sendiri. Padahal untuk hidup produktif dan mampu bersaing dengan bangsabangsa lain, suatu bangsa harus sehat dan produktif.
Pernyataan Menkes diperkuat dengan komentar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang mengatakan bahwa kenaikan iur PBI harus disesuaikan dengan hitungan kemampuan fiskal negara.
Hal ini setidaknya dapat dilihat pada tetap dipertahankannya konservatisme fiskal pemerintah Indonesia sendiri. Belanja negara pada sektor kesehatan di Indonesia dapat dianggap rendah.
Kemampuan fiskal
Cukai Rokok
Sejumlah pihak, mulai dari BPJS Kesehatan, DJSN, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan sebagainya, sudah menghitung besaran ideal kenaikan iur premi agar BPJS Kesehatan tidak bangkrut dan program JKN yang dikelolanya berhenti di tengah jalan.
Keputusan pemerintah yang hanya menaikan iur premi sebanyak Rp23 ribu mendapat respons negatif dari berbagai pihak. Menurut Chazali, pemerintah terlalu pelit untuk menyediakan layanan kesehatan bagi rakyatnya sendiri.
Pada 2013, kata Hasbullah, Indonesia hanya mengalokasikan 3,7% dari APBN untuk sektor kesehatan. Angka ini lebih rendah dari beberapa negara berpenghasilan rendah seperti Rwanda, Tanzania dan Liberia yang mampu mengalokasikan 11% dari anggaran nasional mereka untuk sektor kesehatan.
Pada saat ini, premi PBI yang dipatok pemerintah berjumlah Rp19.225 per orang/bulan. Dengan jumlah PBI sebanyak 86,4 juta orang, pemerintah secara rutin harus mengalokasikan dana sebesar Rp20 triliun dari APBN.
“Kalau hanya naik Rp23 ribu, hitungan kami tidak cukup. Niscaya pada 2016 akan kembali terjadi defisit rasio klaim serupa, dan pemerintah harus kembali menyediakan dana talangan kembali,” ujar dia.
Negara yang memiliki pendapatan yang mirip dengan Indonesia, seperti Chile bahkan mampu mengalokasikan 16% dari anggaran nasional untuk perawatan kesehatan.
Info BPJS Kesehatan
5
BINCANG
EDISI 25 TAHUN 2015
Tiga Kunci
Prof. Budi Hidayat Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Jaga Sustainibilitas Program JKN Sejak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bergulir, sejumlah isu kritis telah muncul. Misalnya saja apakah pendanaan JKN dapat berkelanjutan, dan mampukan JKN memberikan perlindungan finansial kepada pesertanya. Karena dengan manfaat yang sangat luas, besaran iuran peserta yang berlaku saat ini dinilai sangat “menyedihkan”.
M
enurut hasil kajian Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Prof. Budi Hidayat, BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN berpotensi mengalami defisit setiap tahunnya. Ini dikarenakan pemasukan yang diterima dari iuran peserta lebih rendah daripada pengeluaran untuk membayar klaim ke fasilitas kesehatan (faskes).
Kata kuncinya adalah harga keekonomian, nilai yang wajar. Artinya ketika faskes memproduksi pelayanan kesehatan, kan dia membutuhkan resources, sumber daya, alat, kemudian tenaga, itu semua dihitung yang kemudian menjadi harga yang dia jual. Tapi, harga yang dia jual itu apakah sesuai dengan yang dibayar oleh BPJS Kesehatan? Kalau yang dibayarkan sesuai, harga keekonomian akan terjadi. Problemnya sekarang, apakah pelayanan kesehatan mempunyai harga keekonomian sendiri? Nah, itu yang harus dihitung betul. Apalagi tiap rumah sakit variabilitasnya juga berbeda-beda. Misalnya Rumah Sakit Fatmawati akan berbeda dengan RS Pasar Rebo yang notabene sama-sama di kelas yang sama. Nah, itu tergantung efisiensi yang terjadi rumah sakit. Program JKN sebenarnya ingin mencoba merasionalkan dengan membuat tarif yang relatif standar.
Pada 2014 lalu, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 1,8 triliun. Jika tidak terdapat treatment yang tepat maka di akhir tahun 2015 defisit diperkirakan mencapai Rp 12 triliun. Bahkan Kkondisi ini akan terjadi setiap tahunnya. Konsekuensinya, akan selalu ada pembahasan mengenai dana talangan untuk JKN, bila akar masalahnya tidak diselesaikan. “Yang terjadi pada program JKN saat ini adalah besar pasak daripada tiang. Sehingga butuh intervensi yang mampu mengoreksi akar permasalahan tersebut, yaitu dengan cara merevisi besaran iuran peserta,” kata Prof. Budi.
Isu kritis lainnya adalah mampukan JKN memberikan perlindungan finansial kepada pesertanya? Karena dari hasil kajian yang kami lakukan sejak Januari 2015 sampai Mei 2015 di sejumlah rumah sakit, kami menemukan fakta masih banyaknya rumah sakit yang menarik biaya tambahan kepada pasien. Padahal, seluruh biaya berobat pasien sudah dijamin. Persoalan ini harus disikapi dengan serius, karena pada prinsipnya JKN itu harus mampu memberikan perlindungan finansial kepada pesertanya. Apalagi sekitar 73 persen iuran yang masuk ke BPJS Kesehatan digunakan untuk membayar klaim rumah sakit.
Saat ini besaran iuran yang berlaku untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 19.225 per orang per bulan, sementara untuk peserta mandiri Rp 25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp 42.500 untuk kelas II dan Rp 59.500 untuk kelas I. Lalu, berapa seharusnya besaran iuran peserta agar tidak lagi terjadi defisit? Hal apa lagi yang perlu dilakukan dalam upaya menjaga sustainability program? Berikut ini petikan wawancara dengan Prof. Budi Hidayat. Mengapa besaran iuran peserta program JKN harus dinaikkan? Besaran iuran yang berlaku saat ini tidak cukup untuk mendanai program JKN, baik itu iuran peserta mandiri maupun PBI. Makanya tahun 2014 kemarin, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membayar biaya pelayanan kesehatan lebih besar dari total iuran yang diterima. Kondisi ini tentunya tidak sehat dan bisa mengancam keberlangsungan program. Sehingga menaikkan iuran peserta menurut saya jadi sebuah keharusan, dan butuh kerjasama semua pihak untuk menetapkan besarannya. Ada lima prinsip yang dapat digunakan untuk memformulasi besaran iuran, yaitu harus cukup untuk mendanai semua biaya, kompetitif untuk menghindari agar JKN tidak dianggap sebagai produk inferior, masuk akal atau rasional sehingga mampu membayar faskes dengan wajar, ekuitas, dan juga futuristik. Artinya perlu mengantisipasi kebutuhan minimal dua tahun ke depan. Berapa idealnya? Bila diterapkan di tahun 2016, untuk iuran PBI idealnya sekitar Rp 36.000 per orang per bulan. Untuk peserta mandiri kelas I Rp 88.000, kelas II Rp 65.000, dan kelas III minimal sama dengan besaran iuran PBI. Menurut saya ini cukup adekuat untuk mendanai manfaat yang saat ini diterima peserta, dan secara akumulatif pun nilai ini akan menyelamatkan program. Selain itu, iuran peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) juga harus disesuaikan. Kalau sekarang kan baru lima persen dengan dua kali PTKP (penghasilan tidak kena pajak), untuk selanjutnya kami usulkan enam kali PTKP. Selain merevisi tarif, hal apa lagi yang harus dilakukan untuk menjamin sustainability program? Kunci kedua adalah merasionalisasi tarif pelayanan. Karena
6
besar kecilnya pengeluaran tergantung dari tarif yang diatur dalam Permenkes Nomor 59 Tahun 2014. Dulu di tahun 2014, sebetulnya tarif ini sudah direvisi, tujuannya untuk menyelamatkan program JKN. Kalau tidak direvisi, bisa lebih hancur lagi. Tapi sebenarnya tarif yang kemarin masuk di Permenkes Nomor 59 itu tidak semuanya naik, sebagian besar malah turun. Karena Kementerian Kesehatan saat itu memang sudah khawatir. Tapi kalau diturunin lebih tinggi lagi, nanti akan berbenturan dengan fasilitas kesehatan. Faskes tidak akan mau terima. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana mengakomodir usulan merasionalisasi tarif dengan tetap menjaga kesinambungan pendanaan JKN? Ya, mau nggak mau preminya memang harus dibenahi dulu, baru setelah itu bisa didiskusikan lagi dengan fasilitas kesehatan mengenai besaran tarif. Setelah ini jalan, hal ketiga yang harus dilakukan adalah Cost-containment. Upaya ini harus menjadi agenda utama BPJS Kesehatan.Harus diawasi bener tidaknya rumah sakit melakukan klaim sesuai dengan diagnosa penyakit, dan harus dipastikan sistem rujukan berjenjang berjalan dengan baik. Aspek-aspek inilah yang harus kita kawal. Apa saja yang jadi pertimbangan dalam menentukan besaran tarif pelayanan?
Penarikan biaya tambahan yang dilakukan rumah sakit ini sebagian besar menggunakan alasan untuk pembelian obat yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Jadi, sangat penting bagaimana membuat obat dapat diakses dengan efektif, meningkatkan pengawasan dalam implementas JKN, dan perlunya mendidik peserta maupun provider BPJS Kesehatan untuk memahami hak-hak dan kewajibannya. Usulan sumber dana yang bisa digunakan pemerintah untuk mendanai kenaikan iuran PBI? Di tahun 2016 nanti, pemerintah sebetulnya sudah berencana menaikkan anggaran kesehatan menjadi lima persen dari APBN. Kenaikan ini akan kita dorong untuk dipakai mendanai kenaikan iuran PBI. Tapi dengan anggaran kesehatan lima persen ini, Kementerian Kesehatan hanya bisa men-set kenaikan iuran PBI sebesar Rp 23.000. Karena kan mereka juga butuh pendanan besar untuk infrastruktur kesehatan, SDM Kesehatan, dan lainnya. Kalau usulan kenaikan iuran PBI sebesar Rp 36.000 dibebankan semuanya dari anggaran kesehatan, pasti semuanya akan terserap ke situ. Nah, untuk mendanai selisih angka dari Rp 23.000 ke Rp 36.000, pemerintah sebetulnya bisa menggunakan cukai rokok. Jadi cukainya harus dinaikkan. Selama ini kan rokok memiliki eksternalitas negatif yang berimplikasi pada kesehatan masyarakat. Bukan hanya pada si perokok, tetapi juga masyarakat yang terpapar asap rokok. Jadi sudah seharusnya cukai rokok digunakan untuk mendanai program-program kesehatan. Tahun ini saja target cukai rokok sampai Rp 125 triliun. Kalau cukainya dinaikkan, tentunya akan signifikan sekali untuk membantu program JKN.
Info BPJS Kesehatan
BENEFIT
B
EDISI 25 TAHUN 2015
KALAU BISA NORMAL,
Mengapa Harus Operasi Caesar? Karena takut sakit atau ingin bayinya lahir di tanggal “cantik” yang menurut sebagian orang akan membawa hoki, banyak calon Ibu yang memilih persalinan dengan jalan operasi atau Sectio Caesaria (SC). Padahal proses persalinan tersebut sebetulnya memiliki risiko yang lebih besar daripada persalinan normal pervaginam. Dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun, operasi caesar tanpa adanya indikasi medis seperti contoh tersebut juga tidak menjadi tanggungan BPJS Kesehatan.
D
alam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), benefit yang diberikan oleh BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN sangatlah luas, salah satunya adalah Pelayanan Kebidanan dan Neonatal, di mana layanan persalinan berada di dalamnya. Tidak hanya menanggung biaya persalinan normal atau pervaginam, tetapi juga lewat jalan operasi atau Sectio Caesaria (SC). Namun perlu diketahui bahwa persalinan dengan operasi caesar hanya akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan bila memang telah sesuai dengan ketentuan medis. Tindakan ini hanya boleh diambil apabila kelahiran pervaginam bisa menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin. Sementara bila tidak ada indikasi medis yang mengharuskannya melakukan operasi caesar, proses persalinan harus dilakukan secara normal pervaginam. Seperti layanan kesehatan lainnya dalam program JKN, layanan persalinan juga harus dilakukan secara terstruktur dan berjenjang berdasarkan rujukan. Untuk persalinan normal diutamakan dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau jejaringnya, seperti bidan desa atau bidan praktik mandiri. Sementara untuk persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan rujukan, harus berdasarkan indikasi medis dari FKTP atau dalam kondisi gawat darurat seperti perdarahan, kejang pada kehamilan, ketuban pecah dini, gawat janin, dan kondisi lain yang mengancam jiwa ibu dan bayinya.
Normal VS Caesar Operasi caesar sesunggguhnya merupakan alternatif terakhir untuk melahirkan bila memang proses persalinan pervaginam sudah tidak memungkinkan lagi. Karena memang salah satu kodrat perempuan adalah melahirkan, dan Tuhan pun telah menganugerahkan seorang perempuan organ reproduksi yang begitu sempurna untuk menjalankan kodratnya tersebut. Namun pada kenyataannya memang tidak sedikit para calon Ibu yang memilih jalan operasi caesar, padahal sebetulnya dia masih dapat melakukan persalinan secara normal. Ada yang beralasan karena takut akan rasa sakitnya, membayangkan sesuatu yang menyeramkan dalam proses persalinan, bahkan tidak sedikit yang memilih operasi caesar karena ingin anaknya lahir di tanggal “cantik” yang menurut sebagian orang akan membawa hoki. Dokter spesialis kebidanan dan
kandungan dari Rumah Sakit Jakarta, Nonny Nurul Handayani mengatakan, sebagian besar calon Ibu yang memilih persalinan dengan jalan operasi caesar umumnya menganggap kalau cara tersebut jauh lebih aman dan tidak menyakitkan. Padahal sebagai salah satu operasi besar, menurutnya operasi caesar juga memiliki risiko yang berat. “Namanya juga operasi besar, tentu saja memiliki banyak risiko, mulai dari perdarahan, infeksi, sampai dengan komplikasi. Risiko ke bayi yang dilahirkan juga besar. Misalkan kalau ibunya minta dioperasi pada tanggal “cantik”, padahal sebetulnya bayi tersebut belum cukup bulan untuk dikeluarkan. Tindakan ini bisa membahayakan karena bisa saja kondisi paru-paru si bayi atau organ lainnya belum terbentuk sempurna,” ujar Nonny Nurul Handayani kepada Info BPJS Kesehatan. Pasca operasi, Ibu biasanya juga harus menjalani waktu rawat inap yang lebih lama karena proses penyembuhan akibat pembedahan. Tidak sedikit yang merasakan nyeri hebat setelah beberapa hari operasi, meski pun kadarnya tidak selalu sama pada setiap Ibu. “Untuk bisa kembali pulih setelah operasi caesar, biasanya butuh waktu sampai dua bulan, bahkan ada yang lebih. Harus bolak-balik rumah sakit untuk ganti perban dan kontrol jahitan, jadi sebetulnya proses pemulihannya bisa lebih lama dari persalinan normal,” imbuhnya. Sejumlah literatur juga menyebutkan, operasi caesar bisa meningkatkan risiko bayi mengalami alergi karena tidak melalui jalan lahir yang memiliki banyak bakteri baik. Bahkan seringkali bayi mengalami kesulitan bernapas setelah lahir akibat adanya cairan pada paru-paru. Sementara pada persalinan normal, risiko bayi mengalami kesulitan bernapas lebih kecil. Karena pada saat melalui jalan lahir, janin mengalami tekanan sehingga membantu keluarnya cairan dari paru-paru. Selain itu, penurunan berat badan sesudah melahirkan dengan cara operasi caesar umumnya lebih lama daripada
Info BPJS Kesehatan
persalinan yang normal. Salah satu alasannya karena luka sayatan di perut seringkali membutuhan penanganan yang panjang, sehingga para Ibu tidak bisa langsung melakukan latihan fisik untuk mengembalikan bentuk tubuhnya seperti sebelum hamil. Kekhawatiran organ kewanitaannya akan mengalami perubahan dan tidak kencang lagi bila melakukan persalinan pervaginam sebaiknya juga disingkirkan. Karena secara alamiah organ intim wanita nantinya akan kembali ke bentuk semula. Untuk memperbaiki kekencangan otot vagina, beberapa latihan juga bisa dilakukan, misalnya dengan senam kegel.
Kapan Harus Operasi Caesar? Melahirkan normal merupakan proses alami yang luar biasa. Saran dr. Nonny, bila memang masih dapat melakukan persalinan secara normal dan tidak ada indikasi medis yang mengharuskannya operasi caesar, sebaiknya cara inilah yang dipilih. Bukan hanya lebih aman, pengalaman menjadi seorang Ibu juga akan terasa lebih sempurna ketika bisa merasakan beratnya perjuangan saat melewati proses persalinan normal. Tetapi memang ada kondisi-kondisi khusus yang mengharuskan seorang ibu melakukan operasi caesar karena berisiko mengancam nyawa dia dan bayinya. Seperti kondisi ari-ari yang menutupi jalan lahir si bayi sehingga bayi tidak bisa keluar, kelainan letak, disproporsi cevalo-pelviks atau ketidakseimbangan antara ukuran kepala dan panggul, janin besar, janin dalam posisi sungsang atau melintang, denyut jantung melemah saat proses kelahiran, bayi yang mengalami hidrosefalus, dan lainnya. Apapun proses persalinan yang nantinya akan dilewati, baik itu normal pervaginam maupun operasi caesar, persalinan tetap merupakan hal yang membahagiakan karena merupakan pintu gerbang menuju kehidupan dan harapan baru.
7
PELANGGAN
EDISI25 25TAHUN TAHUN2015 2015 EDISI
Pelayanan Kebidanan & Neonatal
UNTUK SELAMATKAN IBU & BAYI Seperti pelayanan kesehatan lainnya dalam era JKN, Pelayanan Persalinan dan Neonatal juga harus dilakukan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan saat ini juga sudah berjejaring dengan bidan desa atau bidan praktik mandiri, sehingga FKTP yang tidak memiliki sarana penunjang dapat tetap memberikan pelayanan kebidanan.
K
esehatan ibu dan anak merupakan salah satu fokus perhatian pemerintah dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Apalagi setiap tahunnya diperkirakan ada 5 juta wanita hamil di Indonesia yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara komprehensif. Bila tidak ditangani dengan serius, risiko mengalami kematian selama kehamilan dan saat proses persalinan bisa meningkat. Mengutip data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tergolong masih tinggi, yaitu mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup . Sementara Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan adanya program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, diharapkan AKI dan AKB yang masih tinggi tersebut dapat semakin ditekan. Karena masyarakat kini bisa lebih mudah untuk mengakses pelayanan kesehatan tanpa mengganggu sisi finansial mereka.
Pelayanan Kebidanan & Neonatal Dalam upaya menjamin dan melindungi para Ibu dalam menjalani proses kehamilan, persalinan, pasca persalinan, hingga komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, BPJS Kesehatan memberikan pelayanan Kebidanan dan Neonatal bagi pesertanya. Salah satu cakupan pelayanan yang diberikan adalah pemeriksaan kehamilan atau antenatal care (ANC) sebagai upaya untuk menekan angka kematian ibu dan angka kematian bayi dari suatu proses persalinan. Melalui pemeriksaan ini, ibu hamil dapat mengetahui secara dini komplikasi kehamilan yang mungkin saja timbul, serta mengobatinya secara dini komplikasi yang dapat memengaruhi kehamilannya tersebut. Pelayanan ANC juga dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil dalam menghadapi proses persalinan, serta meningkatkan kesehatan ibu setelah persalinan untuk dapat memberikan air susu ibu (ASI) ekslusif. Sedangkan manfaatnya bagi janin adalah memelihara kesehatan ibu sehingga mengurangi
persalinan prematur, berat badan lahir rendah, juga meningkatkan kesehatan bayi sebagai titik awal kualitas sumber daya manusia .
ketentuan medis. Tindakan ini hanya boleh diambil apabila kelahiran normal pervaginam bisa menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin.
Paket ANC paling sedikit diberikan sebanyak empat kali pemeriksaan dalam masa kehamilan, yaitu satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua, dan dua kali pada trimester ketiga kehamilan. Pemeriksaan tersebut dilakukan di tempat yang sama, kecuali dalam keadaan darurat. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama juga dapat merujuk ke tingkat yang lebih tinggi sesuai indikasi medis, dan pemeriksaan kehamilan di Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan dapat dijamin.
Cakupan pelayanan selanjutnya adalah pemeriksaan bayi baru lahir, pemeriksaan pasca persalinan atau postnatal care (PNC), hingga pelayanan Keluarga Berencana (KB). Seluruh pelayanan Kebidanan dan Neonatal ini tidak hanya diberikan di FKTP seperti di Puskesmas, Puskesmas PONED, Klinik, atau Dokter praktik perorangan, melainkan juga bisa didapatkan di jejaringnya seperti Pustu, Polindes, Poskesdes, Bidan desa, atau Bidan praktik Mandiri.
Layanan Persalinan Selain ANC, pelayanan lainnya yang juga diberikan tentu saja adalah persalinan. Untuk persalinan normal diutamakan dilakukan di FKTP atau jejaringnya. Sementara untuk persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan rujukan, harus berdasarkan indikasi medis dari FKTP atau dalam kondisi gawat darurat seperti perdarahan, kejang pada kehamilan, ketuban pecah dini, gawat janin, dan kondisi lain yang mengancam jiwa ibu dan bayinya. Untuk persalinan lewat jalan operasi atau Sectio Caesaria (SC), BPJS Kesehatan hanya akan menanggung apabila memang telah sesuai dengan
8
Penguatan FKTP dan Jejaring Bidan Sebagai garda terdepan yang memberikan Pelayanan Kebidanan dan Neonatal, BPJS Kesehatan terus berkomitmen kuat untuk selalu meningkatkan pelayanan kesehatan di Faskes Primer, atau jejaringnya yang bekerjasama. Pemerintah saat ini juga telah membentuk Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Dasar) dan RS PONEK (Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif). Tujuannya untuk mendekatkan akses masyarakat pada pelayanan kegawatdaruratan, sehingga ibu hamil atau bersalin yang mengalami komplikasi bisa mendapatkan pertolongan dengan tepat waktu dan tepat guna. Program-program penguatan FKTP juga dilakukan oleh BPJS Kesehatan, misalnya dengan memberikan pelatihanpelatihan untuk meningkatkan kompetensi para dokter dan bidan, sampai menggelar kegiatan Jambore Nasional Pelayanan Primer untuk membangun FKTP yang kuat. Selain itu, FKTP yang tidak memiliki sarana penunjang untuk memberikan pelayanan kebidanan juga telah berjejaring dengan bidan desa atau bidan praktek mandiri. Karena dalam upaya menurunkan AKI dan AKB, bidan sebetulnya memiliki peran yang sangat strategis. Tenaga bidan mempunyai kapasitas untuk memudahkan akses pelayanan persalinan, terutama di perdesaan.
Info BPJS Kesehatan
EDISI 25 TAHUN 2015
TESTIMONI Leher Terlilit Tali Pusat, Neneng Bisa Melahirkan Normal di Puskesmas
S
ebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Neneng Choiriyah merasa sangat terbantu. Apalagi ketika menjalani proses persalinan anak pertamanya pada 17 Mei 2015 lalu. Dengan kartu BPJS Kesehatan yang dimilikinya, ibu dari Agra Luthfian Qasthari ini bisa mendapatkan pelayanan kebidanan dan neonatal di puskesmas dan rumah sakit tanpa dipungut biaya. Neneng bercerita, proses persalinan yang dilewatinya ketika itu cukup menegangkan. Dia tetap melewati proses persalinan normal pervaginam, meski pun saat itu leher janin di dalam kandungannya dalam kondisi terlilit tali pusat.
"Kondisi leher janin terlilit tali pusat ini baru terjadi saat usia kandungan memasuki bulan kedelapan. Oleh bidan di Puskesmas Tajur Halang tempat saya biasa kontrol kehamilan, saya kemudian dirujuk ke rumah sakit di Bogor untuk memastikan kondisi kesehatan janin," ungkap Neneng Choiriyah kepada Info BPJS Kesehatan. Oleh dokter di rumah sakit, Neneng disarankan agar nantinya melakukan operasi caesar lantaran ada dua lilitan tali pusat di leher janinnya. Anjuran ini rupanya sempat membuat Neneng bersedih. Karena sejak awal kehamilan, ia mengaku ingin sekali bisa melahirkan secara normal. "Sempat sedih waktu dibilang harus melahirkan caesar. Kata dokternya terlalu berisiko kalau harus melahirkan normal," ujar dia. Namun anjuran dokter ini tidak ditelan mentah-mentah oleh Neneng. Dia banyak mencari tahu lewat internet, buku, hingga bertanya pada teman-temannya yang punya pengalaman serupa. Dari nasihat teman-temannya itulah, Neneng mendapatkan harapan baru.
"Ternyata ada beberapa teman yang juga punya pengalaman seperti saya. Katanya persalinan normal tetap bisa dilakukan kok, tetapi memang akan lebih sulit dan harus ditangani oleh dokter atau bidan yang profesional," ujar Neneng. Dari referensi teman-temannya itu, keberanian Neneng semakin besar untuk tetap menjalani persalinan normal. Dari hasil USG terakhir, salah satu lilitan tali pusat di leher janinnya juga mulai sedikit merenggang, sehingga dokter di rumah sakit berani mempersilahkan Neneng untuk melakukan persalinan normal di Puskesmas. Bayi dalam Kondisi Sehat Tidak jauh berbeda dari tanggal prediksi, anak pertamanya itu akhirnya berhasil dilahirkan secara normal di Puskesmas Tajur Halang dengan bantuan dua orang bidan. Bahkan proses persalinannya saat itu terbilang cepat. Mulai mulasmulas jam 9 pagi dan sudah lahir jam 11 siang. "Karena ada lilitan di leher, sesaat setelah bayi lahir memang tidak langsung menangis. Tapi bidan yang membantu saya itu sangat sigap, dia langsung menggunting tali pusat dan bayi saya langsung bisa menangis," cerita Neneng. Seluruh organ tubuh bayinya juga dalam kondisi baik. Neneng pun sangat bersyukur karena keinginannya untuk bisa merasakan persalinan normal dapat terlaksana dengan bantuan bidan di puskesmas. "Rasanya memang sakit, tetapi setelah itu tidak lagi dan perasaannya lega sekali. Alhamdulillah, saya dan bayi juga dalam kondisi sehat," ucapnya. Neneng juga memuji pelayanan para bidan di puskesmas selama kehamilan hingga persalinan. "Bidan-bidannya juga sangat kooperatif. Kalau ada keluhan-keluhan selama masa kehamilan, saya tinggal telepon mereka saja untuk konsultasi," paparnya.
Neneng Choiriyah Oleh bidan di pusesmas, Neneng juga disarankan untuk langsung mendaftarkan anaknya menjadi peserta BPJS Kesehatan secara mandiri. "Anak saya sudah daftar BPJS Kesehatan saat masih di dalam kandungan. Kalau saya dan suami sudah mulai ikut sejak tahun 2014," ungkap Neneng.
Dikuatkan Dokter di Rumah Sakit untuk Melahirkan Normal
S
ejak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diluncurkan, Chindya Citra Mutiara mengaku langsung tertarik untuk mendaftar jadi peserta. Bersama suaminya di pertengahan tahun 2014, ia mendaftar secara mandiri dan memilih kelas 2. “Kartu ini bisa jadi proteksi saya dan keluarga. Jadi kalau sakit atau membutuhkan tindakan medis, sudah ada yang menanggung,” ujar Chindy kepada Info BPJS Kesehatan.
dokter lain. Oleh dokter umum di klinik dekat rumahnya, ia kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Marzoeki Mahdi di Bogor.
Saat mengandung anak kedua hingga menjalani proses persalinan, Chindy juga memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan yang dimilikinya. Namun kartu tersebut baru digunakan dan mendapatkan pelayanan secara gratis saat usia kandungan memasuki bulan ke-8. Sebelumnya ia memilih kontrol kehamilan dengan biaya sendiri karena sudah terlanjur “sreg” dengan dokter kandungan di salah satu rumah sakit swasta di Bogor.
Lahirkan di Usia Kehamilan 42 Minggu
“Sejak awal kehamilan, sebetulnya ada masalah pada janin saya. Berat badannya sangat rendah kalau dihitung dari usia kehamilan,”cerita ibu dari Qalathea Mutiara Leovisa dan Muhammad Kei Zyandru Leovisa tersebut. Di usia kehamilan 7 bulan, berat janinnya hanya 1,7 kilogram. Padahal ia mengaku tidak punya masalah dengan pola makan. Dokternya pun ketika itu tidak bisa memberikan penjelasan yang memuaskan terkait masalah yang sedang menimpa janinnya. “Waktu itu hanya disuruh makan yang enak-enak supaya nafsu makan saya bertambah. Padahal selama kehamilan, pola makan saya normal-normal saya,” cerita Chindy. Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Chindy mulai memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan yang dimilikinya untuk mendapatkan second opinion dari
Info BPJS Kesehatan
“Di klinik yang saya pilih kebetulan hanya ada dokter umum dan dokter gigi, tidak ada bidannya. Saya lalu di rujuk ke Rumah Sakit Marzoeki Mahdi untuk mendapat pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Chindy.
Dari hasil pemeriksaan di rumah sakit tersebut, akhirnya diketahui kalau ternyata ada penyumbatan pembuluh darah yang membuat nutrisi dari tubuhnya tidak sampai ke janin dengan sempurna. Ia lalu diberi obat untuk membantu gangguan itu, sampai akhirnya berat badan janin berada pada angka normal. Namun persoalan tidak berhenti sampai di situ. Hingga usia kehamilan lebih dari 42 minggu, belum ada tandatanda kalau dirinya akan segera melahirkan. Kekhawatiran harus menjalani operasi caesar juga sempat muncul. Namun dokter yang menanganinya di rumah sakit memberi keyakinan kalau dia masih bisa melahirkan normal. “Dokter di rumah sakit yakin kalau saya bisa melahirkan secara normal. Apalagi waktu melahirkan anak pertama, prosesnya juga normal. Tapi karena sudah lewat 42 minggu, saya kemudian diberi induksi,” cerita Chindy.
Chindy Citra Mutiara
Proses induksi sampai akhirnya melahirkan berlangsung selama 18 jam. Tanggal 24 Desember 2014 tepat pukul 8 pagi, anak keduanya itu berhasil dilahirkan dalam kondisi sehat dibantu empat orang bidan rumah sakit. “Alhamdulillah kondisi bayinya sehat, saya juga sehat,” ucapnya.
Chindy bersyukur karena bisa melahirkan secara normal untuk kedua kalinya, meski pun dalam proses kehamilannya mengalami sejumlah hambatan. “Bersyukur juga karena ditangani oleh dokter dan bidan yang sangat mendukung saya untuk bisa melahirkan normal,” tambahnya lagi.
9
SEHAT SEHAT
EDISI25 25TAHUN TAHUN2015 2015 EDISI
JANGAN DIABAIKAN Stres Harus Dikelola dengan Benar Adanya tekanan atau beban hidup kerap membuat seseorang mengalami gangguan mental emosional berupa stres. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari kalau dirinya telah memasuki fase tersebut. Padahal stres yang tidak dikendalikan dapat mengganggu produktivitas kerja, serta menjadi biang keladi munculnya berbagai masalah kesehatan dan kejiwaan.
P
ekerjaan yang menumpuk, menderita penyakit kronis tertentu, atau adanya masalah dalam kehidupan pribadi paling sering menimbulkan stres. Gejala atau ciri-ciri yang kerap muncul antara lain sensitif dan mudah marah, cemas yang berlebihan, selalu merasa takut tanpa alasan yang jelas, sulit berkonsentrasi, mood mudah berubah-ubah, cenderung berpikir negatif pada diri sendiri, kehilangan energi untuk melakukan sesuatu, sampai kehilangan selera humor. Seringkali gejala tersebut juga disertai keluhan fisik seperti gangguan pencernaan, jantung berdenyut lebih cepat, otot-otot terasa tegang, bahkan tubuh sering berkeringat meskipun tidak sedang melakukan aktivitas fisik. Sejumlah penelitian juga menunjukkan kalau stres yang merupakan salah satu bentuk gangguan mental emosional dapat berakibat pada menurunnya beberapa fungsi organ tubuh. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan daya tahan tubuh jadi menurun, sehingga penyakit lebih mudah menjangkiti tubuh seseorang. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, 6 persen masyarakat Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Prevalensi tertinggi penderita gangguan tersebut ada di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
MENGELOLA STRES Meskipun terkadang sulit dihindari, stres sebetulnya bisa dikelola dan dikendalikan, sehingga tidak sampai menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan juga kejiwaan. Pakar kesehatan jiwa Danardi Sosrosumihardjo mengatakan, setiap manusia sebetulnya memiliki karakter dan mekanisme pertahanan diri masing-masing. Hal ini pada akhirnya akan membentuk pola yang bersangkutan dalam menghadapi stres yang dialami. Bila karakter yang dimilikinya positif dan mekanisme pertahanan diri yang digunakan tepat, maka individu tersebut bisa menghadapi stres dengan baik. Namun apabila terjadi kebalikannya, bisa menimbulkan rasa kecemasan atau ketegangan akibat stres. “Dalam menjalani kehidupan, manusia akan terus bertumbuh, berpindah-pindah dan berinteraksi dengan orang lain. Menghadapi keadaan yang dinamis dalam kehidupan itulah, maka muncul mekanisme pertahanan diri dari tiap manusia. Ada manusia yang memilih menggunakan mekanisme positif seperti menyikapinya dengan humor atau bertindak dengan kasih sayang, namun ada juga yang menyikapinya dengan menyalahkan orang lain atau diri sendiri," ungkap Danardi. Dalam menghadapi stres untuk menjaga kesehatan jiwa, setiap orang perlu mengenali cara mereka menyikapi suatu masalah dan mekanisme yang sering digunakan.
10
Manusia dikatakan sehat jiwanya apabila yang bersangkutan merasa sehat, bahagia, bisa menerima diri sendiri apa adanya, bisa menerima orang lain dan kondisi di sekitarnya apa adanya dan juga bersikap optimis. Namun apabila sudah mulai sering mengeluh, merasa tertekan, sering protes dan mengalami penurunan fungsi kognitif atau emosi, maka manusia tersebut bisa dikatakan sakit secara kejiwaan. Danardi memaparkan, mekanisme defens atau pertahanan diri dapat dikatakan tidak sehat apabila menggunakan undoing (mogok, ngambek), menyalahkan diri sendiri, reaksi formasi (bertindak sebaliknya), isolasi (memisahkan tindakan dengan emosinya), atau regresi (kembali berperilaku seperti masa lalu atau ketika kecil). Mekanisme pertahanan diri ini tak jarang menyebabkan gangguan kesehatan secara fisik karena kebanyakan individu tersebut mengalihkannya kepada sakit fisik. Misalnya apabila seseorang mengungkapkan pusing menghadapi pekerjaan yang menumpuk, maka hal tersebut akan benar-benar terjadi dan membuat dia pusing saat menghadapi pekerjaan tersebut. Sedangkan mekanisme defens yang sehat adalah altruism (bertindak dengan kasih sayang, beribadah), antisipasi (merancang, menyusun alternatif), humor (menyikapi masalah sebagai anekdot), sublimasi (mengganti dengan objek lain), dan supresi (menahan diri, menyembunyikan). "Seluruh mekanisme pertahanan diri ini bisa dipelajari dan bisa diarahkan ke arah karakter positif," ujar dia.
6 Makanan Pereda Stress Selain dari dalam diri sendiri, stres sebetulnya juga bisa diredam dengan mengonsumsi makanan atau minuman tertentu. Apa saja itu?
1 2 3
Teh Hijau Minum teh hijau dipercaya dapat membantu menurunkan stres. Karena selain mengandung antioksidan yang menyehatkan, teh hijau juga mengandung L-theanine yang memberi efek relaksasi pada otak.
Cokelat Saat suasana hati mulai tidak enak, cobalah makan sebatang cokelat manis. Beberapa kandungan cokelat ternyata juga cukup ampuh untuk memperbaiki mood dan bisa digunakan sebagai obat anti-depresi.
Buah-buahan Tidak hanya mengandung serat dan mikro-nutrien yang dibutuhkan tubuh, buah-buahan juga bisa mengurangi produksi hormon stres, sekaligus menguatkan daya tahan tubuh.
4
Asparagus Kandungan asam folat yang tinggi dalam sayuran ini dapat menstabilkan mood seseorang. Asam folat juga membantu menghasilkan hormon serotonin, hormon yang dapat memicu rasa bahagia dan nyaman.
5 6
Gandum Kandungan vitamin B pada gandum dapat menstimulasi produksi hormon serotonin, sehingga bisa menenangkan otak.
Susu Kandungan kalsium di susu dapat mengurangi ketegangan otot dan menenangkan saraf, sehingga sangat baik untuk menenangkan hati. Namun sebaiknya pilihlah susu jenis lowfat agar lemaknya tidak menumpuk di tubuh.
USIR STRES DENGAN YOGA Selain mengelola stres melalui mekanisme pertahanan diri, sebetulnya ada banyak teknik yang bisa dicoba untuk membantu mengusir stres, salah satunya dengan berlatih yoga. Dikatakan Shanti Mendera, guru yoga yang mulai mempelajari yoga sejak tahun 2009, latihan yoga di mana meditasi berada di dalamnya bisa membuat seseorang lebih bersyukur, serta lebih bisa menerima apapun kelebihan dan kekurangan diri sendiri. “Latihan yoga bisa memberikan ketenangan batin. Kalau kita lebih tenang, otomatis akan terjauhkan dari stres atau gampang marah. Sikap tersebut juga bisa menyehatkan secara mental dan spiritual,” kata Shanti. Yoga juga bisa membantu seseorang melatih kesabaran. Karena untuk bisa melakukan gerakan-gerakan yoga, dibutuhkan latihan yang teratur dan penuh kesabaran. Proses inilah yang pada akhirnya bisa membuat seseorang menjadi lebih sabar. Tidak hanya latihan yoga, jenis olahraga lainnya juga bisa membantu mengontrol stres. Syaratnya harus dilakukan dengan teratur minimal tiga kali dalam seminggu. Karena dengan berolahraga, hormon kebahagiaan akan dikeluarkan. Hormon inilah yang dapat membantu mengendalikan stres karena memunculkan perasaan senang dan nyaman.
Info BPJS Kesehatan
Kilas & Peristiwa
EDISI 25 TAHUN 2015
Laporan Site Visit Call Center BPJS Kesehatan 1500400 Tahun 2015, BPJS Kesehatan Layani Ratusan Ribu Penelepon Jakarta – Sebagai badan hukum publik yang berada langsung di bawah naungan Presiden RI untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan memiliki kewajiban memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada masyarakat, seperti informasi tentang hak dan kewajiban peserta BPJS Kesehatan, prosedur pelayanan, program penyakit kronis, konsultasi medis, hingga melakukan penanganan keluhan masyarakat. Untuk itu, dibentuklah call center yang menyediakan sejumlah agen untuk memberikan informasi dan menyelesaikan permasalahan yang dialami peserta. BPJS Kesehatan sendiri sebenarnya telah memiliki layanan pusat informasi call center sejak era PT Askes (Persero), yaitu pada tahun 2010 silam. Keberadaan dan fungsi call center tersebut selanjutnya terus dikembangkan. Mulai Desember 2013,call center dapat dijangkau oleh masyarakat selama 24 jam 7 hari. Sepanjang tahun 2010 sampai dengan 2013, jumlah panggilan yang diterima oleh call center 500400 berkisar antara 8.455 hingga 27.119 panggilan. Jumlah panggilan tersebut meningkat tajam pada tahun 2014, yaitu menjadi 483.215 panggilan. Sementara itu, hingga Juni 2015, jumlah panggilan yang dilakukan masyarakat ke nomor call center BPJS Kesehatan tercatat mencapai 438.311 panggilan. “Lonjakan tersebut terjadi karena adanya perubahan sistem PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan. Itu wajar-wajar saja, karena dari tahun 2014 sampai sekarang, ada banyak masyarakat yang memerlukan informasi mengenai sistem dan prosedur pelayanan yang baru. Sudah menjadi tugas kita untuk menyampaikan informasi,”
jelas Direktur Kepesertaan dan Pemasaran BPJS Kesehatan Sri Endang Tidarwati di sela acara “Site Visit dan Sosialisasi Call Center 1500400”, Rabu (8/7). Berdasarkan data Januari 2015, terdapat 92.064 panggilan yang ditujukan kepada call center BPJS Kesehatan. Setiap bulannya, angka tersebut terus menurun, hingga pada Juni 2015, tercatat jumlah panggilan yang diterima sebanyak 67.500 panggilan. Sementara itu, jumlah permintaan informasi di tahun 2015 pun perlahan menurun, dari jumlah 84.009 pada bulan Januari, menjadi 60.914 pada bulan Juni, yang menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai BPJS Kesehatan kian membaik secara bertahap. Tahun ini, upaya penanganan keluhan oleh BPJS Kesehatan melalui layanan call center pun terus dimaksimalkan. Hasilnya, terjadi penurunan angka jumlah keluhan yang signifikan, dari 3.620 keluhan pada bulan Januari, menjadi 1.730 keluhan pada bulan Juni. Adapun jenis informasi dan keluhan yang paling sering ditanyakan antara lain melibatkan pertanyaan/keluhan seputar pelayanan administrasi, pelayanan medis maupun non medis, biaya di luar ketentuan, serta pelayanan obat. Secara spesifik, terdapat 10 jenis informasi yang sering ditanyakan melalui call center BPJS Kesehatan, yaitu:
1. Proses pendaftaran peserta terkait Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2015 2. Pengisian New E-Dabu 3. Pelayanan yang dijamin di FKTP 4. Asuransi swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan 5. Sosialisasi bagi badan usaha 6. Tata cara pembayaran iuran 7. Koordinasi manfaat (CoB) 8. Jumlah tagihan, baik bagi peserta PPU Swasta maupun PBPU 9. Perubahan data atau mutasi peserta 10. Pelayanan administrasi
Tingkatkan Pelayanan Peserta Pekerja Penerima Upah BPJS Kesehatan Bekerjasama Dengan Faskes Milik PT Freeport JAKARTA : Sejak 1 Januari 2014 implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Keberhasilan implementasi program ini tentu tidak lepas dari peran serta Fasilitas Kesehatan (faskes) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan baik itu faskes tingkat pertama maupun tingkat lanjutan. Namun yang menjadi tantangan terbesar kali ini adalah pemenuhan jumlah fasilitas kesehatan tersebut berikut ketersebarannya seiring dengan pertumbuhan jumlah peserta BPJS Kesehatan dari hari ke hari. Fasilitas kesehatan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan peserta pada setiap wilayah. Khusus Fasilitas kesehatan tingkat pertama diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dengan jumlah peserta terdaftar yakni rasio jumlah dokter dibanding jumlah peserta terdaftar adalah 1 : 4.000 pada tahun 2019. Selain itu, fasilitas kesehatan tingkat pertama diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang optimal, dimana 100% FKTP yang bekerja sama dapat berkinerja sesuai indikator pelayanan primer dan meningkatkan kepuasan peserta BPJS Kesehatan. Tantangan yang saat ini dihadapi yaitu penyebaran FKTP yang belum merata diseluruh wilayah di Indonesia. Data penyebaran FKTP tersebut dapat dilihat dari rasio tenaga medis (dokter) di FKTP berbanding jumlah peserta. Kelengkapan sarana dan prasarana serta kemampuan dalam menangani penyakit pun, sesuai dengan Permenkes Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer di masingmasing fasilitas kesehatan juga masih banyak yang belum merata. Dalam mengatasi permasalahan tersebut, BPJS Kesehatan mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut: 1. Untuk memenuhi kebutuhan jumlah FKTP di seluruh Indonesia, BPJS Kesehatan mengeluarkan surat Direktur Pelayanan Nomor 8991/III.1/1014 tanggal 22 Oktober 2014 perihal Percepatan Kerjasama Klinik BUMN dimana kantor cabang diharapkan secepatnya bekerjasama dengan klinik yang dimiliki oleh BUMN. Kerjasama dapat dil akukan selama kriteria mutlak (perijinan operasional dan SIP) dapat dipenuhi. Pemenuhan kriteria teknis (sarana dan prasarana) dapat dilengkapi selama tahun pertama kerjasama berjalan. 2. Direktur Pelayanan mengeluarkan surat nomor
Info BPJS Kesehatan
3021/III.1/0315 perihal Target FKTP Kerjasama Tahun 2015 dimana fasilitas kesehatan yang selama ini telah melayani peserta Badan Usaha (BU) menjadi prioritas sebagai faskes kerjasama BPJS Kesehatan, apabila terdapat permintaan dari BU/BUMN bahwa FKTP milik BU/BUMN hanya untuk melayani peserta dan keluarga BU/BUMN dalam rangka memberikan pelayanan yang berkualitas, agar dapat dipenuhi selama tahun pertama kerjasama serta kerjasama dapat dilakukan selama kriteria mutlak (perijinan operasional dan SIP) dapat dipenuhi. Pemenuhan kriteria teknis (sarana dan prasarana) dapat dilengkapi selama tahun pertama kerjasama berjalan. 3. Untuk peningkatan kompetensi tenaga medis, BPJS Kesehatan juga mengikutkan FKTP terpilih untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan maupun oleh pihak eksternal.
PT Freeport Siap Bersinergi Demi meningkatkan kebutuhan faskes tersebut, BPJS Kesehatan bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia dalam pemenuhan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di lingkungan PT Freeport Indonesia. Kerjasama ini ditandai dengan Penandatanganan pada 1 Juli 2015 yang dihadiri oleh Direktur Kepesertaan dan Pemasarab BPJS Kesehatan, Sri Endang Tidarwati FKTP berupa klinik-klinik yang merupakan fasilitas kesehatan milik PT Freeport Indonesia yang dikelola oleh PT Alas Emas Abadi (PT AEA) dan berada di area kerja PT Freeport Indonesia yang memberikan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat nonspesialistik (primer) meliputi rawat jalan dan rawat inap. Klinik tersebut ditetapkan sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan bersifat tertutup (closed provider). Klinik-klinik tersebut adalah klinik Kuala Kencana, klinik Portside, klinik Base camp, klinik Mile 38, klinik Ridge camp, klinik GBT (Gunung Bijih Timur), klinik Mile 74, klinik Grasberg dan poliklinik Tembagapura;
Fajriadinur dalam sambutannya mengungkapkan, momen ini sangat baik dalam upaya meningkatkan jumlah jejaring faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan diharapkan Badan Usaha lain yang memiliki Faskes Primer berupa klinik, atau poliklinik yang pesertanya merupakan peserta BPJS Kesehatan dapat pula menjadi mitra BPJS Kesehatan. “BPJS Kesehatan sangat menyambut baik apa yang dilakukan PT Freeport. Ini dapat dijadikan percontohan bahwa FKTP milik Badan Usaha dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Kami juga melakukan upaya credentialing demi memenuhi standar pelayanan di FKTP tersebut, dan diharapkan FKTP-FKTP milik BU dapat mengejar kualitas yang diharapkan mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi peserta BPJS Kesehatan,” ujar Endang. Sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan telah melakukan kerjasama dengan 23.653 Faskes yang terdiri dari 19.304 Faskes Primer, 1.771 Faskes Lanjutan dan 2.578 Faskes Penunjang. Angka ini terus berkembang setiap bulannya. Untuk memperoleh jaringan fasilitas kesehatan yang berkualitas, BPJS Kesehatan juga menerapkan credentialing atau seleksi kualitas provider sebelum bekerja sama.
11
ALUR PENDAFTARAN PESERTA BUKAN PENERIMA UPAH (PBPU) DAN BUKAN PEKERJA (BP)
1 2 3 4 5
1. Mengisi dan menyerahkan Daftar Isian Peserta (DIP) 2. Menyerahkan 1 lembar foto (3x4) 3. Memperlihatkan Asli KTP, KK atau Paspor Surat Ijin Kerja bagi Warga Negara Asing, dan Nomor Rekening Bank 4. Menandatangani persetujuan untuk memenuhi syarat dan ketentuan berlaku
TAHAP PERTAMA Peserta melakukan pendaftaran baik secara langsung di Kantor BPJS Kesehatan (Kantor Cabang/KLOK), melalui Website maupun Bank yang bekerjasama
TAHAP KEDUA BPJS Kesehatan menerbitkan Virtual Account (VA) dan Peserta dapat menyimpan VA tersebut.
TAHAP KETIGA Peserta melakukan pembayaran paling cepat 14 (empat belas) hari setelah VA diterbitkan
TAHAP KEEMPAT Peserta membawa bukti pembayaran ke Kantor BPJS Kesehatan untuk mendapatkan Kartu Peserta
TAHAP KELIMA Peserta dapat menggunakan atau mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur dan indikasi medis.
Pembayaran dilakukan melalui ATM, Setor Tunai, internet banking, EDC atau dengan mekanisme autodebet di Bank yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
PENDAFTARAN KEPESERTAAN BAYI KE BPJS KESEHATAN
1. Bayi dapat didaftarkan sejak terdeteksi adanya denyut jantung bayi dalam kandungan, dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 2. Pendaftaran bayi dilakukan dengan : a. Memilih kelas perawatan yang sama dengan peserta, dalam hal ini ibu kandung bayi ; b. Mencantumkan data sesuai dengan identitas Peserta ; c. Mengisi data NIK dengan data nomor KK orang tuanya ; dan d. Mengisi data tanggal lahir sesuai dengan tanggal pada saat bayi didaftarkan. 3. Pembayaran iuran pertama dilakukan setelah bayi dilahirkan dalam keadaan hidup. 4. Jaminan pelayanan kesehatan bagi bayi berlaku sejak iuran pertama dibayar. 5. Jika bayi tidak didaftarkan selambat-lambatnya 14 hari sebelum dilahirkan, maka berlaku tata cara pendaftaran yang sama dengan peserta Bukan Pekerja Penerima Upah dan Bukan Pekerja. 6. Setelah bayi dilahirkan, Peserta wajib melakukan perubahan data bayi selambat-lambatnya 3(tiga) bulan setelah kelahiran.