III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5 - 50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan karena pada gonadnya menghasilkan spermatosit. Data hasil identifikasi 60 sampel belut dari pembedahan yang telah dilakukan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 2.
Tabel 3 Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran panjang. Seksualitas 20,5 - 30 15 0 0
Betina Interseks Jantan
Panjang (cm) 30,5 - 40 40,5 - 50 13 2 2 9 0 4
50,5 - 60 2 1 12
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini adalah hasil pengamatan gonad belut secara mikroskopis dan makroskopis.
Betina
Interseks Gambar 4 Gonad belut secara mikroskopis.
Jantan
Betina
Jantan
Gambar 5 Gonad belut secara makroskopis. 3.1.2 Kematangan Gonad Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa belut memiliki keragaman tingkat kematangan gonadnya. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki
8
ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, ciri-ciri pada belut jantan dan betina tidak lengkap ditemukan pada seluruh sampel belut yang memiliki TKG IV (12 sampel betina dan 3 sampel jantan). Rincian hasil penentuan tingkat kematangan gonad belut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4 Sebaran tingkat kematangan gonad belut. TKG
Seksualitas Jantan
Betina 5 7 8 12 0
TKG I TKG II TKG III TKG IV Interseks
Interseks
4 6 3 3 0
0 0 0 0 12
3.1.3 Pemijahan Alami Pengamatan lubang dilakukan setelah 1,5 bulan pemeliharaan hasilnya yaitu lubang belut yang digunakan sebagai tempat perlindungan dan pemijahan secara umum memiliki bentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah kemudian mendatar. Namun, sarang penyimpanan telur maupun ciri-ciri adanya pemijahan dengan ditandai busa di sekeliling lubang tidak terlihat pada saat diamati. Gambar 6 berikut ini merupakan lubang persembunyian belut yang ditemukan pada bak pemijahan alami.
(a)
(b)
(c)
keterangan: (a) lubang di atas pematang, (b) lubang di dekat pematang, (c) lubang di antara pematang. Gambar 6 Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan alami. Suhu harian pada bak pemijahan berkisar antara 25 - 31 0C sedangkan pH harian seluruh bak cenderung stabil pada nilai pH 6. Secara umum, kualitas air antara setiap bak tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik pH ataupun suhu.
9
Jumlah lubang pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 sebanyak 32 lubang, bak 2 sebanyak 40 lubang, bak 3 sebanyak 32 lubang sedangkan bak 4 sebanyak 35 lubang (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta pH selama pemeliharaan pada bak pemijahan alami.
Parameter Jumlah lubang belut Kisaran suhu harian (oC) Kisaran pH harian
1 32 25 - 31 6
2 40 25 - 31 6
Bak
3 32 26 - 30 6
4 35 26 - 30 6
Seluruh bak dilakukan pemanenan setelah 2 bulan masa pemeliharaan, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang. Rasio yang digunakan dalam pemijahan untuk bak 1, bak 4, bak 3, dan bak 2 antara jantan:betina yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5. Namun, dari keempat rasio tersebut hanya rasio 1:4 saja yang berhasil, yaitu pada bak 3 dengan jumlah induk belut sebanyak 20 ekor pada kepadatan 3 ekor/m2 dengan jumlah benih sebanyak 3 ekor (Tabel 6). Perbandingan induk betina dan benih belut hasil pemanenan bak 3 dapat dilihat pada Gambar 7. Induk yang ditebar pada setiap bak dapat dilihat pada Lampiran 3 - 6 dan benih yang dipanen dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 6 Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami. Awal Penelitian (ekor) Akhir Penelitian (ekor) Bak Rasio jantan:betina Betina Jantan Betina Jantan
1 4 3 2
1:2 1:3 1:4 1:5
16 15 16 20
8 5 4 4
7 2 7 8
Benih 5 1 4 -
- - 3 -
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
keterangan: Induk belut betina: (a) 34,7 cm, (b) 30,2 cm, (c) 30 cm dan benih belut: (d) 25,4 cm, (e) 24,5 cm, dan (f) 17 cm. Gambar 7 Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil pemanenan pada bak ke 3.
10
3.1.4 Pemijahan dengan Perangsangan Hormon Perangsangan ovulasi induk betina menggunakan ovaprim yang dilakukan selama 24 jam menunjukkan hasil bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk memberikan peningkatan bobot setiap pengamatannya, namun peningkatan tersebut kurang dari 10% bobot awal dan keberhasilan ovulasi tidak terjadi. Suhu yang diamati pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 berkisar antara 25 - 32 0C (Tabel 7).
Tabel 7 Hasil penyuntikan induk belut betina matang gonad menggunakan ovaprim.
Parameter Dosis penyuntikan (mL) Bobot awal (g) Bobot akhir (g) ΔW (g) Suhu (oC) Keberhasilan ovulasi
Induk 1 Induk 2 Induk 3 Induk 4 Jam ke- (0,5 mL/kg) (0,5 mL/kg) (0,7 mL/kg) (0,7 mL/kg) - 0,009 0,014 0,022 0,016 - 17,60 27,48 31,61 23,42 8 18,51 28,15 31,98 23,93 16 18,60 28,45 32,03 24,12 20 18,72 28,56 32,15 24,30 24 18,76 28,68 33,38 24,50 - 1,16 1,20 1,77 1,08 8 25 25 25 25 16 32 31 32 32 20 28 27 27 27 24 29 27,5 27 29 - tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil
3.2 Pembahasan Penelitian diawali dengan penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Penentuan betina dan jantan, berdasarkan Tabel 3 hasilnya adalah pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut masih berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya berkembang sel telur atau menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5 - 50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan. Chan dan Philip (1969) dalam Gong et al (2011) menyatakan bahwa perubahan kelamin belut sawah biasanya terjadi setelah pemijahan atau setelah belut mencapai ukuran panjang 35 - 45 cm dan secara umum belut betina memiliki ukuran panjang total kurang dari 40 cm. Khanh dan Ngan (2010) menambahkan bahwa belut jantan umumnya memiliki panjang total di atas 50 cm.
11
Belut sawah dapat dikategorikan sebagai hermaprodit protogini karena mengalami perubahan kelamin dari betina menjadi jantan dan mengalami fase perubahan kelamin yang disebut sebagai fase interseks. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shi (2005), yaitu belut sawah merupakan hermaprodit protogini karena mengalami perubahan kelamin secara alami, pada fase juvenil adalah betina selanjutnya memasuki fase interseks dimana kedua organ kelamin betina dan jantan dengan spermatosit dan oosit berkembang, kemudian pada fase akhir berubah menjadi jantan. Tang et al. (1974) menambahkan bahwa belut mengalami perubahan kelamin atau bersifat hermaprodit protogini yang mengalami perubahan fungsional dari betina, interseks, dan fase jantan fungsional selama siklus hidupnya. Belut pada tingkat kematangan gonad (TKG) IV adalah kondisi yang diinginkan untuk dilakukan pemijahan karena gonad sudah mencapai tingkat kematangan gonad akhir atau sudah matang gonad sehingga memiliki peluang keberhasilan pemijahan yang lebih besar daripada tingkat kematangan gonad I, II ataupun III. Hasil identifikasi kematangan gonad menunjukkan bahwa belut memiliki tingkat kematangan gonad yang beragam (Tabel 4), dari 60 sampel yang diamati hanya 15 ekor yang mencapai TKG IV yaitu terdiri dari 12 ekor betina dan 3 ekor jantan. Bahri (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penentuan TKG jantan sulit dilakukan secara visual ataupun menggunakan asetokarmin karena secara umum gonad terdiri dari sperma dan telur yang ada di dalam tubuhnya dan tidak diketahui apakah sperma yang ada mampu membuahi atau tidak. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, dari 12 ekor belut betina dan 3 ekor belut jantan TKG IV tidak lengkap ditemukannya ciri-ciri umum pada sampel yang diamati. Selain itu, bobot dan ukuran panjang belut tidak dapat dijadikan sebagai ciri-ciri dalam menentukan tingkat kematangan gonad walaupun umumnya pada ikan akan terjadi perkembangan gonad dan mencapai maksimal
12
sesaat akan memijah kemudian akan menurun cepat setelah selesainya pemijahan. Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) (Effendie 1979 dalam Bahri 2000). Namun, pada penelitian Elis (2003) menyatakan bahwa indeks kematangan gonad belut tidak dipengaruhi oleh panjang dan berat tubuh. Oleh karena itu, belut betina dan jantan TKG IV belum dapat dicirikan secara khusus baik berdasarkan ciri-ciri morfologi, bobot ataupun ukuran. Upaya pemijahan alami dilakukan pada bak terpal yang telah dibuat seperti habitat alami belut yaitu mengisi bak dengan lumpur setinggi 30 cm dan membuat pematang setinggi 20 cm. Hal ini didasarkan pada pernyataan Gong et al. (2011) bahwa habitat alami belut adalah lingkungan seperti sawah, kolam berlumpur, rawa, dan kanal. Belut memiliki kemampuan hidup di daerah berlumpur karena mempunyai alat pernafasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat pada rongga mulut yang berfungsi menyerap oksigen langsung dari udara (Sarwono 1999 dalam Bahri 2000). Liem (1980) dalam Straight et al. (2005) menyatakan bahwa belut dapat diberikan pakan berupa ikan kecil, udang, siput, larva, serangga-serangga, katak, telur katak, dan berudu. Oleh karena itu, pakan yang diberikan untuk belut selama pengupayaan pemijahan adalah pakan hidup berupa ikan seribu yang diberikan secara ad libitum. Suhu harian bak pemijahan berkisar antara 25 - 31 0C (Tabel 5). Suhu tersebut memiliki kisaran yang berbeda dengan Sterba dan Habil (1962) dalam Elis (2003), suhu yang disukai belut berkisar antara 25 - 28 0C. Nilai pH harian cenderung stabil pada pH 6 (Tabel 5), nilai pH ini masih dalam kisaran normal yang dinyatakan oleh Asmawi (1983) dalam Bahri (2000), yaitu perairan yang baik untuk kehidupan ikan adalah perairan dengan pH 6 - 8,7. Pemeriksaan dan pengamatan lubang pada pematang dilakukan setelah 1,5 bulan masa pemeliharaan untuk mengetahui adanya sarang di dalam lubang yang diduga sebagai tempat menyimpan telur serta mengetahui bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Berdasarkan Tabel 5, jumlah lubang belut pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 berjumlah 32 lubang, bak 2 berjumlah 40 lubang, bak 3 berjumlah 32 lubang, dan bak 4 berjumlah 35 lubang.
13
Lubang belut secara umum berbentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah kemudian mendatar. Hal ini sesuai dengan Handojo (1986) dalam Elis (2003), belut sawah hidup di tanah lumpur sampai kedalaman lebih dari 10 cm dengan cara menggali lubang seperti sebuah terowongan yang berliku-liku, arah lubang awalnya vertikal mengarah ke bawah kemudian mendatar. Pemanenan belut dilakukan pada seluruh bak setelah 2 bulan masa pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 6, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang setelah dilakukannya pemanenan, baik untuk jumlah betina ataupun jantan. Hal ini diduga adanya kemungkinan belut yang mati di dalam lubang dan belut yang saling memakan. Bak 3 menunjukkan bahwa pemijahan belut secara alami berhasil terjadi walaupun hanya 3 ekor benih yang didapatkan. Rasio penebaran antara jantan:betina pada bak 3 yaitu 1:4 dengan kepadatan 3 ekor/m2. Jumlah benih yang sedikit (3 ekor) diduga karena belut betina melakukan pemijahan sebagian-sebagian (partial spawner) karena dari hasil identifikasi gonad yang telah dilakukan terlihat bahwa telur belut tidak seluruhnya memiliki diameter telur yang sama besar. Penelitian Elis (2003) dan Bahri (2000) membenarkan bahwa belut betina dalam memijah, telur dikeluarkan sebagian-sebagian atau bertahap (partial spawner). Selain itu, telur belut memiliki ukuran yang lebih besar daripada ikan lainnya, secara umumnya ikan yang memiliki ukuran telur besar memiliki fekunditas yang kecil dibandingkan dengan ikan yang memiliki ukuran telur kecil sehingga menyebabkan benih yang dihasilkan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumantadinata (1981) bahwa hubungan ukuran butir telur dengan fekunditas terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran butir telur maka fekunditasnya semakin tinggi. Bahri (2000) menambahkan bahwa fekunditas belut berkisar antara 54 - 585 butir dengan diameter telur berkisar antara 0,75 - 3,23 mm. Belut jantan juga memiliki kematangan gonad yang tidak bersamaan dengan betina karena jarang ditemukannya gonad jantan yang memiliki tingkat kematangan gonad IV saat pengidentifikasian kematangan gonad sehingga belut jantan yang mampu membuahi belut betina untuk terjadinya pemijahan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tao et al (1993) bahwa faktor kendala dalam budidaya belut yaitu sulitnya ketersediaan seksual jantan yang matang gonad.
14
Seluruh belut yang telah dipijahkan secara alami selanjutnya dipindahkan ke wadah akuarium. Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan menggunakan 4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang telah digunakan pada pemijahan alami. Induk belut betina selanjutnya disuntik menggunakan ovaprim dengan tujuan untuk perangsangan ovulasi. Ovaprim digunakan sebagai perangsangan ovulasi karena ovaprim merupakan campuran antara analog dari salmon gonadotropin releasing hormon (sGnRH)-LHRH dan domperidone (Permana 2009), hormon sGnRH berperan dalam pengeluaran gonadotropin pada ikan untuk proses ovulasi maupun vitelogenesis sedangkan domperidone merupakan anti dopamin yang berperan untuk menghentikan peran dopamin yaitu menghambat sekresi gonadotropin dan membantu peningkatan sekresi 2 gonadotropin. Kedua bahan tersebut digunakan untuk membuat ikan cepat berovulasi (Nandeesha et al. 1990). Sumantri (2006) menambahkan bahwa beberapa kegunaan ovaprim yaitu menekan musim pemijahan, merangsang pematangan gonad sebelum musim pemijahan normal, memaksimalkan potensi reproduksi, dan mempersingkat periode pemijahan. Permana (2009) dalam penelitiannya menggunakan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg bobot induk yang disuntikkan pada ikan Sumatra dengan keberhasilan mencapai 90%. Nandeesha et al. (1990) juga melaporkan bahwa ovaprim yang disuntikkan secara intramuscular dengan dosis 0,5 mL/kg telah mampu menginduksi pembenihan pada Indian major carp. Syndel Laboratories Ltd. (2012) menambahkan bahwa dosis ovaprim secara umum untuk ikan adalah 0,5 mL/kg berat badan. Dosis ini dapat bervariasi di antara spesies dan lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk digunakan sebagai dasar penentuan dosis untuk percobaan penyuntikan belut menggunakan ovaprim secara intramuscular. Penentuan jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan untuk dilakukan pengamatan keberhasilan ovulasi atau percobaan stripping didasarkan pada penelitian Permana (2009), stripping pertama dilakukan pada jam ke 8 setelah penyuntikan. Jika rentang waktu belum mengalami ovulasi maka dilanjutkan pengamatan setiap 3 jam selama 24 jam. Setelah rentang waktu tersebut ikan dianggap tidak memijah dan dimasukan ke dalam akuarium pemulihan.
15
Penentuan waktu ditentukan secara lebih umum oleh Syndel Laboratories Ltd. (2012) bahwa ikan golongan Carp dan Catfish umumnya memijah dalam rentang waktu 8 - 24 jam setelah penyuntikan. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui suhu lingkungan saat terjadinya ovulasi, suhu yang diukur berkisar antara 25 - 32 0C. Suhu tersebut masih dalam kondisi normal untuk pemijahan belut karena menurut Sarwono (1999) dalam Bahri (2000) perkawinan belut umumnya terjadi pada malam hari yang panas hingga suhu air naik menjadi 28 0C lebih. Berdasarkan Tabel 7, penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg memberikan peningkatan bobot kurang dari 10% bobot awal, artinya respons perangsangan tidak berlangsung karena penyerapan air untuk final maturation tidak terjadi sehingga tidak ada pengaruh untuk terjadinya ovulasi dan belut tidak dapat di stripping. Kenaikan bobot diduga karena organ tubuh menyerap zat cair yang diterima akibat penyuntikan yang dilakukan tetapi tidak memberikan pengaruh perangsangan ke otak untuk ovulasi, artinya pada penyuntikan terjadi proses pematangan akhir yang hanya berlangsung secara alami tanpa adanya pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Menurut Woynarovich dan Hovart (1980) dalam Arfah et al. (2006), efek pertama dari gonadotropin pada telur adalah pergerakan nukleus ke arah mikrofil yang diikuti oleh hidrasi yaitu telur akan menyerap air dan disempurnakan selama tahap preovulasi. Hal ini terlihat dari pengukuran lebar perut ikan sebelum dan sesudah penyuntikan pertama. Respon positif dari ikan terhadap penyuntikan ditandai dengan bertambahnya lebar perut akibat pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Selain pengukuran lebar perut, untuk mengetahui adanya perkembangan telur dilakukan penimbangan bobot ikan sebelum dan sesudah pemberian ovaprim akan tetapi perkembangan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak memberikan perbedaan yang berarti terhadap berat tubuh ikan artinya penyuntikan tidak memberi pengaruh terhadap sampel yang disuntikan. Basuki (2007) menambahkan bahwa lambatnya reaksi hormonal juga diduga menjadi penyebab tidak terjadinya ovulasi karena tidak sampainya rangsangan menuju otak. Selain itu, menurut Mittelmark dan Kapuscinski (2008) bahwa faktor kesiapan induk juga diduga sebagai penyebab tidak terjadinya ovulasi.
16