III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Pertumbuhan Bobot, Panjang, dan Biomassa Peningkatan bobot rerata dan biomassa ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang (rElHP) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Nilai bobot rerata dan biomassa ikan sidat ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Bobot rerata, laju pertumbuhan spesifik (SGR), pertumbuhan panjang (PP), dan biomassa, ikan sidat kontrol dan ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rHP dengan dosis berbeda. Perla kuan K 0 3 6 9 12
Bobot rerata ±SD (g) 0,614 ± 0,015 0,577 ± 0,117 0,682 ± 0,035 0,612 ± 0,132 0,531 ± 0,133 0,553 ± 0,093
SGR (%) 3,010 ± 0,108 2,587 ± 0,340 3,043 ± 0,181 2,781 ± 0,425 2,652 ± 0,492 2,558 ± 0,305
PP (cm) 7,220 ± 0,593 7,550 ± 0,295 7,517 ± 0,141 7,147 ± 0,643 7,192 ± 0,477 7,487 ± 0,150
Biomassa (g) 16,140 ± 8,279 7,810 ± 0,715 20,707 ± 8,686 14,880 ± 8,786 12,077 ± 7,070 15,820 ± 5,749
SR (%) 52,67± 27,15 27,33± 3,06 60,67± 24,85 46,67± 18,15 44,67± 23,86 56,00± 10,58
Keterangan : Data tersebut berdasarkan rerata dari 3 ulangan. K = kontrol yang direndam dalam larutan NaCl 0,6% tanpa BSA 0,01% dan rHP, 0 = 0 mg/L, 3 = 3 mg/L, 6 = 6 mg/L, 9 = 9 mg/L, dan 12 = 12 mg/L direndam dalam larutan 0,6% yang ditambah BSA 0,01%
Berdasarkan Tabel 2, ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rElHP dengan dosis 3 mg/L menunjukkan nilai bobot rerata tertinggi (0,682 g) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (0 mg/L: 0,577 g, 6 mg/L: 0,612 g, 9 mg/L: 0,531 g, 12 mg/L: 0,553 g) dan kontrol (0,614 g,). Sama halnya dengan nilai pertumbuhan bobot, nilai biomassa tertinggi ditunjukkan oleh ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rElHP dengan dosis 3 mg/L (biomassa: 20,707 g) dan yang terkecil ditunjukkan oleh ikan perlakuan 0 mg/L dengan nilai biomassa 7,810 g. Peningkatan biomassa ikan sidat perlakuan rElHP 3 mg/L adalah sekitar 28% dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan rHP dengan metode perendaman mampu meningkatkan pertumbuhan ikan sidat. Nilai SGR ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rElHP semakin rendah seiring bertambah besarnya dosis rElHP yang diberikan (Tabel 2). Nilai SGR ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rElHP dengan dosis 3 mg/L
9
(3,043%), 6 mg/L (2,781%), 9 mg/L (2,652%) menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 0 mg/L (2,587%), sedangkan rElHP dengan dosis 12 mg/L (2,558%) menunjukkan nilai SGR yang lebih kecil dibandingkan dengan dosis 0 mg/L. Pertumbuhan panjang ikan menunjukkan nilai yang tidak berbanding lurus dengan bobot rerata ikan. Berdasarkan Tabel 2, bobot rerata terbesar ditunjukkan oleh ikan sidat dengan perlakuan 3 mg/L (bobot rerata: 0,682 g, PP: 7,517 cm), namun untuk pertumbuhan panjang tertinggi (Tabel 2) ditunjukkan oleh ikan sidat dengan perlakuan 0 mg/L (PP: 7,550 cm, bobot rerata: 0,577 g).
Bobot rerata (g)
QMTO j›‹ ‒›
QMOO
O?«£Nk PMTO
R?«£Nk
PMOO
U?«£Nk X?«£Nk
OMTO
PQ?«£Nk
OMOO 0
2
4
6
8
minggu ke-
Gambar 1. Pertumbuhan bobot rerata ikan sidat kontrol dan yang telah direndam dalam larutan rHP ikan kerapu kertang, yang dipelihara selama 8 minggu. Pada Gambar 1 terlihat bahwa bobot rerata ikan sidat untuk semua perlakuan terus meningkat setiap dua minggu sampai akhir pemeliharaan. Namun demikian, pertumbuhan yang signifikan terjadi pada minggu keenam sampai minggu kedelapan dengan bobot rerata 0,50 g meningkat menjadi 1,50-2,00 g, sedangkan pada minggu-minggu sebelumnya penambahan bobot rerata ikan kurang dari 0,50 g.
10
3.1.2 Kelangsungan Hidup Ikan (SR) Perbandingan kelangsungan hidup ikan sidat kontrol dengan ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rElHP dengan dosis berbeda (0, 3, 6, 9, 12 mg/L) ditampilkan pada Gambar 2. Tingkat kelangsungan hidup ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rElHP dengan dosis berbeda ( 3, 6, 9, dan 12 mg/L) menunjukkan tingkat kelangsungan hidup (SR) yang lebih tinggi (rerata >40%) dibandingkan dengan dosis 0 mg/L (27,33%). Nilai SR ikan pada perlakuan perendaman rElHP dengan dosis 3 mg/L (60,67%) dan 12 mg/L (56%) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (52,67%). Nilai SR tertinggi ditunjukkan oleh ikan sidat dengan perlakuan perendaman rElHP dengan dosis 3 mg/L.
Kelangsungan hidup ( %)
XO WO VO UO TO SO RO QO PO O O?«£Nk
R?«£Nk
U?«£Nk
X?«£Nk
PQ?«£Nk
j›‹ ‒›
o¡‒ \¤·\‹
Gambar 2. Tingkat kelangsungan hidup ikan sidat kontrol dan yang direndam dalam larutan rHP ikan kerapu kertang, yang dipelihara selama 8 minggu 3.1.3 Proksimat Ikan Sidat Kandungan gizi (kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, kadar abu, serat kasar, dan BETN) ikan sidat ditampilkan pada Tabel 3. Penggunaan rHP pada ikan sidat dapat menurunkan kadar air, kadar abu, protein, dan serat kasar ikan, sedangkan kadar lemak dan nilai BETN meningkat. Penggunaan rHP pada ikan sidat menunjukkan penurunan kandungan serat kasar sebesar 50% dibandingkan
11
dengan ikan kontrol (K: 0,17%, 3 mg/L: 0,085%), dan peningkatan BETN sebesar 52% dari ikan kontrol (K: 2,13%, 3 mg/L: 3,23%). Tabel 3. Kandungan proksimat ikan perlakuan rElHP terbaik (3 mg/L) dan kontrol Perlakuan Kontrol 3 mg/L
Kadar air
Kadar abu
Kadar protein
Kadar Lemak
71,765 ± 0,035 71,585 ± 0,092
2,345 ± 0,205 2,125 ± 0,120
15,905 ± 0,516 14,855 ± 0,262
7,69 ± 0,021 8,12 ± 0,071
Karbohidrat Serat BETN Kasar 0,165 2,125 ± 0,021 ± 0,728 0,085 3,23 ± 0,007 ± 0,170
Keterangan : Analisis proksimat dilakukan di laboratorium Nutrisi departemen BDP,FPIK,IPB. Sampel yang digunakan 10 g untuk masing-masing analisis.
3.2 Pembahasan Penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang pada ikan sidat dengan dosis 3 mg/L yang menunjukkan pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan biomassa ikan perlakuan dosis 3 mg/L sebesar 28% dari kontrol (Tabel 2). Nilai biomassa ikan dipengaruhi oleh bobot rerata ikan dan jumlah ikan yang hidup. Benih ikan sidat dengan perlakuan 6 dan 9 mg/L menunjukkan nilai biomassa dan SR yang rendah dibandingkan dengan perlakuan rHP lainnya, sehingga hasil yang diperoleh tidak menunjukkan hubungan yang linear antara dosis rHP dan pertumbuhan yang dihasilkan. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah kematian yang terjadi pada masing-masing perlakuan. Pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor internal meliputi umur, genetis, kemampuan memanfaatkan pakan dan kemampuan daya tahan tubuh terhadap penyakit, sedangkan faktor eksternal meliputi kualitas air, pakan dan ruang gerak (Huwoyon dan Kusmini, 2010 dalam Gustiano et al., 2010). Dari faktor internal, benih yang digunakan dalam penelitian merupakan hasil tangkapan liar nelayan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Kemungkinan benih berasal dari induk yang berbeda sangat besar, sehingga daya tahan tubuh benih juga berbeda-beda karena secara genetik berasal dari induk yang berbeda. Dari faktor eksternal, dalam kegiatan pemeliharaan ditemukannya benih yang terserang penyakit. Pada benih yang mati terlihat adanya pendarahan pada bagian sirip ekor dan insang ikan (Gambar 3). Kematian yang terjadi diduga akibat adanya infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Gejala yang ditimbulkan 12
akibat infeksi bakteri ini bervariasi, tetapi umumnya ditandai oleh adanya hemoragik pada kulit, insang, rongga mulut, dan borok pada kulit. Infeksi oleh bakteri A. hydrophila terjadi melalui permukaan badan yang luka, saluran pencernaan makanan atau melalui insang. Kemudian bakteri masuk dalam pembuluh darah dan menyebar pada organ dalam lain yang menyebabkan pendarahan yang disertai haemorrhagic septicaemia (Kabata, 1985 dalam Gardenia et al., 2010).
Gambar 3. Benih ikan sidat yang terkena Aeromonas hydrophila dengan gejala hemoragik pada sirip ekor. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Handoyo, dosis 12 mg/L menunjukkan respons pertumbuhan yang paling baik dengan peningkatan pertumbuhan sebesar 30% dari kontrol. Namun pada penelitian ini, pengunaan dosis rElHP 12 mg/L menunjukkan penurunan biomassa benih sebesar 1.98% dari kontrol. Hal ini disebabkan oleh daya dukung wadah yang digunakan juga berbeda. Handoyo menggunakan akuarium dengan ukuran yang lebih besar (60x45x50 cm3) dan padat tebar yang lebih kecil (5 ekor/L), sehingga daya dukung air yang diperoleh benih ikan sidat lebih besar dibandingkan daya dukung air yang diperoleh benih sidat pada penelitian ini. Daya dukung wadah akan mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup benih terkait dengan ketersedian oksigen yang diterima oleh benih.
Pengaruh padat tebar juga
disampaikan oleh North et al. (2006), bahwa tingkat padat tebar yang tepat akan memberikan kesempatan bagi ikan dalam memanfaatkan pakan, oksigen, dan ruang sehingga pertumbuhan berjalan optimum dan menghasilkan kelangsungan hidup yang tinggi. Menurut Rowland et al. (2006), padat tebar merupakan salah satu variable yang sangat penting dalam bidang budidaya karena berpengaruh 13
langsung terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan, tingkah laku, kesehatan, dan kualitas air. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian pendahuluan Handoyo, diketahui bahwa penggunaan dosis rElHP 3 mg/L menunjukkan peningkatan pertumbuhan yang tidak berbeda jauh dengan dosis 12 mg/L yang dilakukan oleh Handoyo. Dengan demikian, diantara 1,2 sampai 12 mg/L dosis rElHP yang diujicobakan oleh Handoyo terdapat dosis yang lebih efektif untuk digunakan yaitu dosis rElHP 3 mg/L. Peningkatan pertumbuhan pada penelitian ini (28%) dapat dicapai dalam 3 generasi dengan metode seleksi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian rHP dengan metode perendaman dapat meningkatkan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan metode seleksi yang meningkatkan pertumbuhan hanya 10% per generasi. Aplikasi metode seleksi membutuhkan waktu 10 tahun untuk menghasilkan 12 generasi dengan kecepatan tumbuh 12,4% per generasi pada ikan nila (Bolivar et al., 2002).
Kontrol
rElHP dosis 3 mg/L
Gambar 4. Perbandingan ukuran ikan sidat kontrol dengan perlakuan terbaik (dosis perendaman: 3mg/L) pada akhir pemeliharaan selama 8 minggu. Manipulasi pertumbuhan dengan pemberian rHP melalui metode perendaman juga dilakukan oleh Putra (2010). Namun peningkatan pertumbuhan pada penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan Putra (2010). Pada penelitian Putra (2010), ikan gurame yang diberi perlakuan perendaman rHP ikan
14
gurame dengan dosis 20 mg/L dan 30 mg/L berhasil meningkatkan pertumbuhan masing-masing 63,95% dan 75,04% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan hasil tersebut diduga karena perbedaan jenis rHP dan ikan uji yang digunakan. Pada penelitian Putra (2010) rHP yang digunakan yaitu rHP ikan gurame yang diujicobakan kepada ikan gurame, sedangkan pada penelitian ini digunakan rHP ikan kerapu kertang yang diujicobakan kepada ikan sidat. Penggunaan jenis rHP yang merupakan hasil transformasi gen GH dari ikan uji itu sendiri diduga akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan rHP yang berbeda dengan ikan uji. Organ atau jaringan dalam tubuh ikan memiliki reseptor hormon pertumbuhan yang akan mengenali rHP yang diberikan dan kemudian disampaikan ke sel-sel tubuh sehingga terjadi proses pertumbuhan. Kecocokan antara reseptor dan jenis rHP yang digunakan akan mempengaruhi proses pertumbuhan yang akan terjadi. Hal yang sama disampaikan oleh Birzniece et al. (2009) yang menyatakan bahwa perbedaan pengaruh pertumbuhan dikarenakan tidak cocoknya jenis rHP yang diberikan terhadap reseptor hormon pertumbuhan yang terdapat di dalam tubuh ikan target. Acosta et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian rHP pada larva dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan daya tahan terhadap stress dan infeksi penyakit. Penggunaan rHP melalui teknik perendaman menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 0 mg/L. SR benih ikan sidat yang diberi perlakuan rHP dengan dosis 3 mg/L lebih tinggi 15,2% dibandingkan dengan kontrol dan 121,99% lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 0 mg/L. Benih ikan sidat yang diberi dosis 1,2 s.d 12 mg/L pada penelitian pendahuluan Handoyo menunjukkan SR yang tinggi, lebih dari 90%. Pada penelitian ini, dosis yang digunakan berada pada kisaran dosis yang diujicobakan oleh Handoyo. Namun SR yang diperoleh lebih rendah, perlakuan terbaik (3 mg/L) menunjukkan nilai SR yang tidak begitu tinggi yaitu hanya 60,67%. Perbedaan nilai SR yang diperoleh disebabkan padat penebaran dan ukuran wadah/ akuarium yang digunakan berbeda sehingga daya dukung air untuk benih juga berbeda. Pada Tabel 2 terlihat bahwa semakin besar dosis pemberian rHP, bobot rerata ikan cenderung semakin kecil. Pemberian hormon pertumbuhan yang
15
berlebih diduga dapat memberikan feedback negatif bagi pertumbuhan ikan. Wong et al. (2006) menyatakan tentang pengaturan feedback hormon pertumbuhan pada mamalia. Dalam pituitari mamalia, pelepasan hormon pertumbuhan/ Growth Hormon (GH) di somatotrop dikontrol oleh GHRH dan SRIF di mana kedua regulator tersebut dirilis oleh hipotalamus dan akan disampaikan ke pituitari anterior melalui sistem peredaran darah. GH yang dirilis dari pituitari dapat memberikan feedback negatif pada somatotrop melalui tiga jalur. Pertama, long-loop feedback yang merupakan akibat tidak langsung dari aktifitas IGF-I yang diproduksi oleh hati. Kedua, short-loop feedback yang merupakan akibat langsung dari aktifitas GH di hipotalamus. Ketiga, ultra-short feedback yang merupakan akibat langsung dari aktivitas GH yang berada di dalam pituitari (Gambar 5). Jumlah GH atau IGF-I yang berlebih dalam pembuluh darah akan menimbulkan Feedback negatif atau umpan balik negatif tersebut dan akan memberikan impuls pada kelenjar pituitari untuk tidak mensekresikan GH.
Gambar 5. Pengaturan feedback hormon pertumbuhan pada mamalia
Perlakuan 0 mg/L menunjukkan pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Bobot rerata 0 mg/L (0,577 g) lebih 16
rendah dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi rHP dan BSA (0,614 g). Pemberian BSA tanpa diiringi pemberian rHP diduga akan berakibat tidak baik bagi pertumbuhan ikan. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Ratnawati (2012). Ikan gurame diberi perlakuan perendaman (tanpa NaCl 0,9%) dalam larutan BSA+rHP (24 mg/200 ml) dengan waktu perendaman 3 (A), 2 (B), 1 (C), dan 0,5 (D) jam serta perlakuan perendaman dalam lartutan BSA+ NaCl 0,9% tanpa rHP sebagai kontrol (E) dan perendaman dalam larutan BSA+rHP+NaCl 0,9% (F). Benih ikan gurame perlakuan kontrol dengan lama perendaman 1 jam (E) menghasilkan bobot rerata yang lebih kecil (1,93 g ) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (A: 2,30 g, B: 2,22 g, C: 2,30 g, D: 2,54 g, dan E: 2,25 g). Bobot rerata ikan untuk masing-masing perlakuan meningkat secara signifikan pada minggu ke-6 hingga minggu ke-8. Pada minggu ke-0 sampai minggu ke-6, bobot rerata ikan meningkat hanya <0,5 g, sedangkan pada minggu ke-6 sampai minggu ke-8 bobot rerata ikan meningkat >1 g. Pertumbuhan ikan dimulai secara perlahan-lahan, kemudian berlangsung cepat dan akhirnya melambat atau bahkan berhenti sama sekali. Pola tersebut menghasilkan kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid/berbentuk S (Anggorodi, 1994 dalam Satyani et al., 2010). Hal yang sama juga disampaikan oleh Said dan Mayasari (2010) berkaitan dengan bentuk kurva pertumbuhan yang sigmoid, pada awal perkembangannya ikan cenderung untuk tumbuh cepat dan pada waktu tertentu pertumbuhan akan flat/kurva pertumbuhannya mendatar. Pada minggu ke-6 hingga ke -8 terjadi pertumbuhan yang signifikan, diduga bahwa pada minggu tersebut ikan mulai memasuki fase pertumbuhan yang cepat pada kurva sigmoid. Meskipun demikian, belum terlihat perbedaan yang signifikan pada pertumbuhan yang dihasilkan antara perlakuan 3 mg/L dan 0 mg/L atau kontrol. Perbedaan pertumbuhan yang signifikan diduga terjadi setelah 8 minggu pemeliharaan. Hasil yang sama disampaikan oleh Leedom et al. (2002) yang menguji efektivitas pemberian rbGH dengan dosis berbeda pada ikan nila dengan metode penyuntikan. Uji yang pertama dilakukan penyuntikan rbGH pada benih ikan nila (1 g) dengan dosis 0,1 , 1, dan 10 µg/g setiap minggunya dan kontrol, namun tidak ada efek yang signifikan. Uji yang kedua yaitu penyuntikan dengan dosis 1, 10, dan 50 µg/g. Hasilnya menunjukkan bahwa penyuntikan
rbGH (50 µg/g )
17
menunjukkan pertumbuhan yang signifikan setelah minggu ke-14 dan 16. Pada uji yang ketiga, benih disuntik rbGH dengan dosis 100 atau 1000
µg.
Pertumbuhan bobot yang signifikan terjadi setelah minggu ke-2 dan respon ini akan terus meningkat setelah itu. Pertumbuhan yang signifikan dihasilkan pada waktu yang berbeda-beda. Menurut Promdonkoy et al. (2004), respons yang lambat terjadi dikarenakan reseptor membutuhkan waktu atau faktor intermediet untuk mengenali rHP yang diinjeksikan/diberikan. Pada penelitian ini selain parameter pertumbuhan, diamati juga kandungan proksimat daging ikan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pemberian rHP pada kandungan proksimat daging benih ikan sidat. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa ikan yang diberi perlakuan perendaman rHP dengan dosis 3 mg/L menunjukkan nilai kadar protein yang menurun sebesar 6,6% dari kontrol (15,91% menjadi 14,86%)
dan peningkatan kadar lemak sebesar 5,6% dari
kontrol (7,69% menjadi 8,12%). Penurunan kadar protein ikan yang diberi perlakuan diduga karena banyaknya protein yang dikonversi menjadi energi akibat perilaku ikan yang lebih agresif dan nafsu makan yang meningkat, sehingga sedikit protein yang digunakan untuk pertumbuhan.
Ikan yang lebih agresif
melakukan lebih banyak gerakan. Dengan demikian ikan lebih banyak mengeluarkan energi dibandingkan dengan ikan kontrol. Protein merupakan sumber energi utama bagi ikan, protein dalam pakan diharapkan dapat digunakan secara optimum untuk pertumbuhan (Hariyadi et al., 2005). Namun hasil yang berbeda dilaporkan oleh Chatakondi et al. (1995) yang melakukan perbandingan kandungan nutrisi tubuh pada ikan mas transgenik yang mengekspresikan gen hormon pertumbuhan ikan rainbow trout dengan yang bukan transgenik. Kandungan protein ikan transgenik meningkat 7,5% dan kandungan lemaknya menurun 13%. Penyebab perbedaan hasil dan mekanisme regulasi hormon pada ikan sidat yang diberi perlakuan rHP perlu dikaji lebih lanjut. Heinsbroek et al. (2007) menyatakan terjadinya peningkatan kadar lemak seiring bertambahnya ukuran pada ikan sidat Eropa jenis Anguilla anguilla. Pernyataan tersebut mendukung hasil analisis kadar lemak yang diperoleh pada penelitian ini. Benih yang diberi perlakuan rElHP dosis 3 mg/L menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol, sehingga akumulasi
18
lemaknya lebih banyak. Oleh karena itu kadar lemak dosis 3 mg/L lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman menggunakan rHP menunjukkan adanya peningkatan nafsu makan. Pada saat pemberian pakan, ikan yang diberi perlakuan perendaman rHP menunjukkan perilaku yang lebih agresif dibandingkan dengan ikan kontrol. Pengamatan terhadap perilaku dan pola makan ikan dilakukan secara visual (kuantitatif) setiap hari. Hal yang sama juga disampaikan oleh Promkondoy et al. (2004), ikan mas koki yang diberi gcGH menunjukkan peningkatan nafsu makan dan tingkah laku makan yang lebih agresif dan lebih enerjik terhadap pakan yang diberikan. Peningkatan nafsu makan juga ditunjukkan oleh ikan gurame yang diberi perlakuan perendaman rOgHP pada penelitian Putra (2010). Mekanisme penyerapan/masuknya rHP ke dalam tubuh ikan belum diketahui secara pasti. Smith (1982) dalam Moriyama & Kawauchi (1990), mendemonsrasikan radiolabeled-BSA dapat masuk ke insang dan epidermis ikan rainbow trout setelah perendaman dalam larutan dan diduga bahwa sel insang memungkinkan digunakan sebagai jalur masuk. Berdasarkan uraian tersebut, mekanisme masuknya rHP dengan metode perendaman juga diduga melalui insang secara osmoregulasi. Menurut Smith (1982) dalam Setyo (2006), untuk menjaga keseimbangan konsentrasi osmotik antara cairan intrasel dan ektrasel maka ikan atau udang melakukan proses osmoregulasi. Beberapa organ yang berperan dalam proses osmoregulasi ikan antara lain: insang, ginjal, dan usus. Pada metode perendaman yang dilakukan, ikan diberi perlakuan kejutan salinitas selama 2 menit dalam larutan NaCl 3% (berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Handoyo) dan kemudian dipindahkan ke dalam larutan yang berisi rHP. Aplikasi metode perendaman tersebut dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan. Fungsi pemberian kejutan salinitas pada ikan yaitu untuk membuka jalur masuknya rHP melalui insang dengan memanfaatkan mekanisme pertukaran cairan tubuh (Ratnawati, 2012). Pada kondisi alami, cairan dalam tubuh ikan sidat bersifat hipertonik yaitu konsentrasi zat terlarut dalam sel lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi di luar sel sehingga air bergerak keluar. Ketika ikan sidat diberi perlakuan perendaman
19
dalam larutan NaCl 3% maka kondisinya menjadi terbalik, sel pada tubuh ikan sidat bersifat hipotonik (tekanan osmotik dalam tubuh ikan lebih rendah dibandingkan dengan di luar tubuh).
Perubahan kadar salinitas akan
mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan akan melakukan penyesuaian dengan melakukan pengaturan kerja osmotik agar proses fisiologis dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Maka pada kondisi tersebut akan terjadi proses osmoregulasi dimana cairan dari luar tubuh akan masuk ke dalam tubuh ikan, diduga rHP masuk ke dalam tubuh ikan pada proses osmoregulasi tersebut. Pemberian rHP dengan metode perendaman merupakan cara yang mudah dan aplikatif untuk diterapkan pada kegiatan produksi massal. Namun metode ini harus dilakukan tiap proses produksi karena efek penggunaan rHP tidak diturunkan ke generasi selanjutnya. Pada penelitian ini digunakan ikan sidat stadia glass eel yang diberi perlakuan perendaman rHP ikan kerapu kertang (50 ekor dalam 200 mL NaCl 3%) dengan frekuensi perendaman hanya satu kali. Penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan pertumbuhan pada ikan sidat perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Misalnya perendaman ikan sidat dengan beberapa frekuensi atau pada stadia yang berbeda, pembuatan rHP ikan sidat yang kemudian diujicobakan pada ikan sidat sendiri, padat tebar perendaman yang lebih tinggi atau skala lebih besar untuk meningkatkan efisiensi penggunaan protein rHP, dan pemeliharaan lebih lanjut untuk melihat tren peningkatan pertumbuhan ikan sidat.
20