III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL 3.1.1 Isolasi Vibrio harveyi Sebanyak delapan isolat terpilih dikulturkan pada media TCBS yaitu V-U5, V-U7, V-U8, V-U9, V-U24, V-U27, V-U41NL, dan V-V44.
(a) (b) Gambar 3. Morfologi koloni isolat Vibrio sp. pada media TCBS
Isolat Vibrio sp. yang berpendar akan tumbuh sebagai koloni yang berwarna hijau di media TCBS Gambar (a), sedangkan yang non luminescen cenderung berwarna kekuningan Gambar (b). 3.1.2 Karakterisasi Ekspresi Gen Hemolysin Isolat Vibrio Pada Media Agar Darah. Sebanyak 8 isolat terpilih telah dilakukan uji hemolisis dengan menggunakan media blood agar. Kode isolat, karakter luminesensi dan karakter hemolisisnya tercantum pada Tabel 2dibawah ini. Tabel 2.Karakterisasi /uji hemolisis pada blood agar dari isolat-isolat Vibrio
No
Kode
Karakter Luminous
1 2 3 4 5 6 7 8
V-U5 V-U7 V-U8 V-U9 V-U24 V-U27 V-U41NL V-V44
luminous luminous luminous luminous luminous luminous non luminous luminous
Uji Hemolisis* +++ ++ +++ ++ +++ + +++ ++
11
Tipe Hemolisis β - hemolisis α - hemolisis β - hemolisis α - hemolisis β - hemolisis α - hemolisis β - hemolisis α - hemolisis
Keterangan *: Uji hemolisis dilakukan secara kualitatif yaitu : +++ : Menunjukkan zona lisis yang kuat ++ : Menunjukkan zona lisis yang sedang + : Menunjukkan zona lisis yang lemah/sangat lemah Berdasarkan uji hemolisis yang telah dilakukan dengan menggunakan media blood agar, isolat yang ada menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda. Secara kualitatif bisa dikategorikan lemah/sangat lemah untuk isolat V-U27, kategori hemolisis sedang untuk isolat V-U7,V-U9 dan V-V44, sedangkan untuk kategori zona lisis kuat terlihat pada isolat V-U5, V-U8, V-U24, dan V-U41NL. Sedangkan jenis hemolisis untuk isolat V-U7, V-U9, V-U27, V-V44 adalah jenis α - hemolisis. Sedangkan untuk isolat V-U5, V-U8, V-U24, V-U41NL memiliki tipe β – hemolisis. Dengan melihat ekspresi isolat yang telah dikultur di media blood agar dan menghasilkan zona lisis maka dapat diduga bahwa proses amplifikasi gen hemolysin dari galur bakteri Vibrio dengan teknik PCR, dapat dilakukan. Hasil uji hemolisis pada media blood agar dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Hasil uji hemolisis pada isolat-isolat Vibrio yang ditumbuhkan pada media blood agar.
Keterangan
: Isolat V-U5 (kiri) mengekspresikan kemampuan 12 hemolisis kuat tipeβ – hemolisis, sedangkan V-U27 (kanan) memiliki kemampuan hemolisis lemah tipe α - hemolisis.
3.1.3 Ekstraksi DNA kromosom dan Elektroforesis Ekstraksi DNA genom dari isolat Vibrio sp. telah berhasil dilakukan metode kuantifikasi berdasarkan spektrofotometer (Tabel3) dan kualitas berdasarkan elektroforesis pada gel agarose 1 % (Gambar 5) M
1
2
3
4
5
6
7
8
21 Kbp
5 Kbp
Gambar 5.Elektroforesis genom Vibrio sp.
Keterangan : Lajur 1-8 : V-U5, V-U7, V-U8, V-U9,V-U24, V-U27, V-U41NL dan V-V44, M : marker lamda DNA/EcoRI + HindIII Tabel 3.Kuantifikasi DNA genom isolat Vibrio sp.
Sampel Pengenceran
U5
U24
10 102 103 104 105 10 102 103 104 105
Rasio (λ260/λ280) 1.992 1.845 1.609 1,800 1.076 1,990 1,921 1,811 1,569 1,557
Konsentrasi DNA(ng/µl) 880 80 64 -474,7* -882.7* 720 81,20 59,20 18 -312.4*
Keterangan : * Nilai diperoleh dari hasil regresi Persamaan garis : U5 : Y: -408X + 1157,3 U24 :Y: -212,8X + 751,6 Untuk mengetahui ekuivalensi antara OD sel dengan konsentrasi DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi, maka dilakukan pula tahap pengukuran kepadatan bakteri dengan menggunakan spektrofotometer (Lampiran 4). 13
Tahap log faseoptical density (OD) diukur dari populasi sel yang dikultur selama 18-24 jam. Hasil Pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5 dibawah ini. Tabel 4. Hasil pengukuran Optical Density (OD) bakteri galur V-U5 yang dikultur 18 -24 jam pada media LB (luria bertani).
Pengenceran Bakteri U5 1:1
%T
OD
1,4
1,85
Jumlah Bakteri/ml 5,4 X 108
1:2
4,6
1,34
2,7 X 108
1:4
12,6
0,90
1,4 X 108
1:8
30,8
0,51
6,8 X 107
1:16
47,1
0,33
3,4 X 107
Keterangan : 100 %T pada λ 600 nm Persamaan garis ; Y: 0,8513X + 7,626
Gambar 6. Grafik semi log Optical Density (OD) bakteri galur V-U5.
14
Tabel 5. Hasil pengukuran Optical Density (OD) bakteri galur V-U24 yang dikultur 18-24 jam pada media LB (luria bertani).
Pengenceran Bakteri U24 1:1
%T
OD
1,3
1,89
Jumlah Bakteri/ml 12,3 X 108
1:2
4,0
1,40
6,1 X 108
1:4
12,5
0,90
3,1 X 108
1:8
27,2
0,57
1,5 X 107
1:16
47,6
0,32
7,7 X 107
Keterangan : 100 %T pada λ 600 nm Persamaan garis : Y : 0,7427X + 7,7324
Gambar 7. Grafik Semi log Optical Density (OD) bakteri V-U24
Gambar grafik 6 dan 7 diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai optical density (OD) maka tingkat kepadatan bakteri juga semakin tinggi. Bakteri yang dikultur selama 18-24 jam memiliki kepadatan 12,27 X108sel/ml untuk bakteri V-U24 dan 5,4 X 108sel/ml untuk bakteri V-U5.
3.1.4 Amplifikasi gen hemolysin Myhemo Primer Genom hasil ekstraksi selanjutnya diamplifikasi dengan menggunakan primer Myhemo F1R1 dan kemudian dilakukan visualisasi dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose 0,7% dapat dilihat pada gambar 8 di bawah ini.
15
518b p
sM
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
400b p
Gambar 8.Gambar gel elektroforesis hasil amplifikasi PCR menggunakan primer Myhemo F1R1
Keterangan : Suhu annealing 500C, Lajur1 :V-U5,Laajur 2: V-U7, Lajur 3 :V-U24 Lajur 4 : V-U27, Lajur 5 : V-V44 , Lajur 6 : V-U9, Lajur 7 : V-U8, Lajur 8: V-U41NL, Lajur 9-10: kontrol positif , Lajur 11 : kontrol negatif, M : marker Setelah dilakukan elektroforesis. Dihasilkan dua isolat bakteri yang teramplifikasi yaitu V-U5 dan V-U24. Untuk meyakinkan hasil PCR maka dilakukan kembali PCR II dari produk PCR1 dan ternyata hasil yang didapatkan tetap hanya dua isolat yang teramplifikasi dapat dilihat pada gambar 9 dibawah ini.
M
1
2
3
518b
400b
Gambar 9.Gambar gel elektroforesis hasil amplifikasi PCR dengan menggunakan primer Myhemo F1R1
Keterangan : Suhu annealing 500C, pengenceran 10X, M = marker, Lajur 1 : VU5, Lajur 2 : V-U24, Lajur 3. Kontrol negatif 16
3.1.5 Amplifikasi gen hemolysin Myhemo Primer F1R1 hasil Pengenceran Untuk mengetahui kemampuan primer yang telah dirancang dalam mengamplifikasi DNA dengan konsentrasi paling minimum, dilakukan proses pengenceran pada genom kedua isolat V-U5 dan V-U24 yaitu pengenceran 102, 103, 104 dan 105 sekuen primer Myhemo F1 5-CCCAGTTGTATAGCGGTA-3, R1 5’-GATGGTCAGTGCCTCTCA-3’ dengan target sekitar 518 bp dan hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
M
1
2
3
4
5
6
7
89
518b pKb 400b
Gambar 10. Gambar gel elektroforesis hasil amplifikasi PCR menggunakan
,
Keterangan : Suhu annealing 500C hasil pengenceran 102,103,104 , dan 105M : marker, Lajur 1 : V-U5 (102), Lajur 2 . V-U24 (102), Lajur 3-4 : V-U5 dan V-U24 (103), Lajur 5-6 : V-U5 dan V-U24 (104), Lajur 7-8: V-U5 dan V-U24 (105), Lajur 9 : kontrol negatif.
Hasil visualisasi elektroforesis pada gel agarose 0,7%
menunjukkan
bahwa kombinasi pasangan primer Myhemo F1R1 berhasil mengamplifikasi DNA sampel sampai pada pengenceran 100X dengan konsentrasi DNA untuk VU5 yaitu 80 ng/µl equivalent dengan 3,1 x 107 sel/ml bakteri dan V-U24 81,20 ng/µl equivalent dengan 3,1 x 107 sel/ml bakteri, dimana 2.6 fg DNA, equivalent dengan 1 sel bakteri (Lee et al, 1995b). Sedangkan untuk pengenceran 103,104, dan 105, gen target belum berhasil teramplifikasi.
17
3.2 Pembahasan Untuk melihat kemampuan bakteri Vibrio sp. dalam melisis sel darah merah atau untuk melihat keberadaan gen hemo pada bakteri uji yang dapat diamati secara visual, dilakukan uji dengan menggunakan media agar darah (blood agar). Terbentunya zona bening lisis, menunjukkan bahwa isolat mampu melisiskan sel darah. Proses lisis sempurna terlihat dari zona yang benar-benar jernih (β-hemolisis), proses hemolisis tidak sempurna memperlihatkan media berwarna kehijauan (α-hemolisis), proses lisis yang tidak nyata menyebabkan tidak terjadi perubahan warna media (γ-hemolisis) Suryanto et al., (2007). Berdasarkan uji hemolisis yang telah dilakukan menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda (Gambar 4). Jenis hemolisis untuk isolat V-U7, V-U9, VU27, V-V44 adalah α-hemolisis. Sedangkan untuk isolat V-U5, V-U8, V-U24, V-U41NL memiliki tipe β–hemolisis. Dan dari semua isolat yang terkumpul tidak terjadi jenis γ-hemolisis. Sehingga secara visual kita dapat menyimpulkan bahwa bakteri uji memang memiliki gen hemolysin yang berarti proses PCR untuk mendeteksi keberadaan gen hemolisin tersebut dapat dilakukan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa penerapan prosedur PCR untuk mengetahui keberadaan bakteri Vibrio harveyi
dengan
sekuen primer Myhemo F1R1 telah berhasil dilakukan. Bakteri yang berhasil teramplifikasi yaitu isolat V-U5 dan V-U24 dengan panjang target hasil amplifikasi 518 bp pada Tm 500C sebanyak 35 siklus (Gambar 8). Sedangkan untuk isolat V-U7, V-U8, V-U9, V-U27, V-U41NL, dan V-V44 masih belum berhasil teramplifikasi. Sehingga masih harus dicari suhu annealing yang tepat. Suhu annealing yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan primer atau primer menempel di sembarang tempat. Pada proses annealing, keterkaitan suhu akan berhubungan dengan stabilitas molekul primer yang berikatan pada molekul DNA, dan akan sangat mempengaruhi produk PCR. Suhu yang tinggi telah diketahui akan mengganggu stabilitas ikatan hidrogen antar nukleotida primer terhadap komplemennya pada DNA cetakan.
Ketidakstabilan tersebut, mungkin dapat dianalogikan dengan
dinamika gerak pada tingkatan suhu. Suhu akan mempengaruhi tingkat
18
pergerakan dari untai nukleotida, dan juga berkaitan dengan kekuatan ikatan hidrogen antara nukleotida (primer dengan DNA cetakan). Apabila ditinjau dari aspek fisika, panas diartikan sebagai bentuk dari energi yang dapat dipindahkan dari satu obek pada objek lainnya karena perbedaan dalam suhu (Trefil dan Hazen, 2004). Suhu sebenarnya adalah pengukuran dari besarnya kecepatan rata-rata atom dan molekul, termasuk vibrasinya-yaitu, energi kinetik dari partikel yang membuat zat. Pada suhu yang lebih rendah, molekul material memiliki kinetik yang
lebih rendah dibandingkan pada suhu yang tinggi (suhu lebih rendah,
kecepatan molekular lebih lambat, suhu lebih tinggi, kecepatan molekular lebih cepat). Sehingga penggunaan suhu 500C pada proses annealing yakni di bawah Tm yang seharusnya cukup memberikan alasan dihasilkannya produk PCR. Jika dua material berada pada suhu yang sama, maka atom dan molekulnya memiliki energi kinetik yang sama. Hal yang menjadi penting adalah bahwa semakin tinggi suhu suatu objek maka semakin cepat atom atau molekulnya bergerak (Trefil dan hazen, 2004). DNA maupun primer, juga merupakan molekul yang terdiri dari atomatom karbon (C), oksigen (O), nitrogen (N), fosfat (P). dan hidrogen (H). Pada suhu annealing yang optimal (primer hanya secara tepat berikatan pada komplemennya), pergerakan atom yang tinggi, mengakibatkan pasangan primer yang tidak sepenuhnya komplemen akan cenderung terlepas kembali dan gagal untuk melanjutkan proses eksetensi, sedangkan pasangan primer yang benar-benar sesuai dengan komplemennya akan tetap berkaitan pada DNA cetakan dan melanjutkan proses ekstensi. Suhu annealing yang dibutuhkan akan bergantung pada komposisi dan panjang sekuen primer. Karena pasangan G-C lebih kuat daripada A-T (pasang basa guanine:sitosin (GC) memiliki tiga ikatan hidrogen, sedangkan adenine:timin (AT) hanya memiliki dua ikatan hidrogen), semakin banyak G dan C dalam primer, primer tersebut akan berikatan lebih kuat dengan komplemennya (lebih stabil terhadap peningkatan suhu). Oleh karena itu, suhu annealing yang digunakan menjadi lebih tinggi bila jumlah GC lebih banyak (Dale dan Schantz, 2002).
19
Meskipun tersedia program komputer dan formula untuk mencari suhu annealing yang optimal bagi primer yang telah dirancang, pada prakteknya dibutuhkan sejumlah upaya trial dan error. Biasanya suhu annealing dipilih antara 40 dan 600C, walaupun untuk DNA cetakan dengan kandungan GC yang tinggi, suhu annealing setinggi 720C (sama dengan suhu ekstensi normal) dapat digunakan. Karena primer berukuran kecil, pada konsentrasi molar yang tinggi secara keseluruhan, annealing terjadi dengan cepat hanya dalam hitungan menit atau kurang (Dale dan Schantz, 2002). Dengan melihat Gambar 8 dan 9 di atas, gen hemolysin untuk isolat V-U5 dan V-U24 telah berhasil teramplifikasi. Hasil dari pengoptimalisasian program PCR menunjukkan bahwa penurunan suhu 50C di bawah Tm yaitu 500C, gen hemolysin berhasil teramplifikasi, menghasilkan pita tunggal dengan panjang DNA target 518 bp. Sehingga tahap optimasi untuk kedua isolat ini telah berhasil dilakukan. Pengoptimalisasian amplifikasi PCR dapat ditinjau dari komponen dan tahapan rekasi yang terlibat di dalamnya. Pengoptimalisasian yang menyeluruh membutuhkan beberapa upaya trial dan error. Pengoptimalan tersebut harus mencapai kondisi seperti : (1) Untai ganda DNA cetakan benar-benar terpisah pada suhu denaturasi, (2) pada suhu annealing, masing-masing primer berikatan dengan tepat hanya pada sekuen yang benar-benar komplemen (spesifik), serta (3) kondisi suhu dan durasi waktu sesuai untuk ekstensi produk dengan sempurna. Kegagalan pencapaian kondisi tersebut akan mengakibatkan kegagalan reaksi amplifikasi (Rasmussen dan Reed, 1992). Sehingga untuk isolat V-U7,V-U8, VU9,V-U27,V-U41NL, dan V-V44 masih harus dicari suhu annealing yang tepat. Meskipun formula dalam mencari suhu annealing optimum bagi primer telah tersedia, yaitu Tm = 4(G+C) + 2(A+T). Namun ternyata hasil optimasi menunjukkan bahwa primer Myhemo F1R1 memiliki suhu annealing 500C yaitu 50C di bawah Tm hasil perhitungan yaitu 550C. Hal ini sesuai menurut Muladno (2002) temperature penempelan primer (annealing) yang digunakan dalam proses PCR biasanya 50C di bawah Tm.
20
Selain suhu annealing yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya reaksi amplifikasi, adanya variasi genetik dalam gen penyandi hemolysinpada isolat uji juga dapat mengakibatkan tidak terjadinya proses amplifikasi. Spesifisitas primer dalam bekerja memungkinkan primer tidak menemukan pasangan basa yang cocok untuk melakukan penempelan. Sehingga sifat primer yang bekerja spesifik hanya dapat mengamplifikasi DNA bakteri V. harveyi saja dan tidak memiliki kecocokan dengan DNA bakteri yang secara genetik mirip dengan V. harveyi. Selain itu menurut Saiki et al. (1990), akumulasi dari sisa sel dalam genom juga diketahui menghambat proses amplifikasi DNA. Amplifikasi gen hemolysintelah dilaporkan sebelumnya oleh Zhang., et al (2001) yaitu dari berbagai strain bakteri Vibrio harveyi yang berasal dari lokasi geografi yang berbeda, dan menghasilkan produk amplifikasi 1,3 Kbp menggunakan primer yang disebut IFO 15634. Namun dari sebelas sampel yang diuji hanya sembilan strain yang berhasil teramplifikasi. Berdasarkan analisa oleh Zhang., et al (2001) bahwa untuk dua strain sampel yang tidak berhasil teramplifikasi diduga bakteri uji tidak memiliki gen tersebut atau kemungkinan adanya variasi genetik, sehingga proses annealing tidak berhasil dilakukan karena adanya satu atau lebih basa primer yang ada, tidak cocok dengan sekuen gen target. Untuk melihat kemampuan sensitifitas primer dalam mengamplifikasi gen hemolysin, maka dilakukan pengenceran serial DNA genom untuk isolat yang telah berhasil teramplifikasi yaitu pada isolat V-U5 dan V-U24. Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa primer
Myhemo F1R1 mampu mengamplifikasi
DNA
sampel sampai pada pengenceran 100X dengan konsentrasi DNA untuk V-U5 yaitu 80 ng/µl equivalent dengan 3,1 x 107 sel/ml bakteri dan V-U24 81,20 ng/µl equivalent dengan 3,1 x 107 sel/ml bakteri, dimana 2.6 fg DNA, (equivalent dengan 1 sel bakteri) (Lee et al, 1995b) Pelacak-pelacak DNA untuk identifikasi galur-galur klinis dari bakteri Vibrio terus dilakukan. Seperti pada V. parahaemoliticus telah dikembangkan lebih dari satu dekade karena juga merupakan pathogen gastroenteritis akut pada manusia yang mengkonsumsi sea food yang terkontaminasi bakteri ini (Tada et
21
al., 1992a). Pelacak DNA didesain berdasar atas faktor virulensi yang disebut the thermostable direct hemolysin gene (tdh) dan the thermostable direct hemolysinrelated gene (trh). Kedua gen ini umumnya hanya dijumpai pada galur-galur yang diisolasi dari spesimen klinis, akan tetapi jarang ditemukan pada galur-galur yang diisolasi dari lingkungan. Metode PCR berdasarkan pada sekuen pelacak gen-gen tdh dan trh juga telah digunakan dalam pengujian non isotopik pada piringan mikrotiter yang dapat dibaca secara otomatis (Tada et al., 1992b), akan tetapi, karena proses ini melibatkan pelacak hibridisasi, pengujian tidak dapat bekerja pada galur-galur yang diisolasi dari lingkungan yang tidak mengandung kedua jenis gen tersebut. Rojrosakul et al.,(1998) telah mengembangkan fragmen pVPA7 dari pustaka genom V. parahaemoliticusuntuk mendeteksi keberadaannya
pada organ
hemolimfa udang. Pelacak ini menghasilkan sinyal positif untuk seluruh galur V. parahaemoliticusyang diuji (termasuk 141 galur baik klinis maupun yang bersumber
dari lingkungan) akan tetapi memberikan hasil hibridisasi negatif
terhadap spesies-spesies Vibrio yang lain dan dengan spesies lain yang mewakili dari genera non Vibrio. Fragmen
pVPA7
memiliki
limit
sensitifitas
dari
V.
5
parahaemoliticussebesar 10 cfu/ml dengan hibridisasi dot blot. Hasil sekuensing dari fragmen pVPA7, kemudian digunakan untuk merancang primer-primer PCR yang dinamakan VPAFOR3 dan VPAREV1. Kedua primer ini menunjukkan sensitifitas sebesar 100 fg DNA dan 4x103 cfu/ml. Konsentrasi terendah dalam sel (hemolimfa udang) yang dapat dideteksi adalah sebesar 4x103 cfu/ml. Sedangkan hasil analisa PCR menggunakan pasangan primer Myhemo F1R1 pada bakteri Vibrio harveyimemiliki limit sensitifitas sebesar 80,6 ng/µl equivalent dengan 3,1 x 107 sel/ml bakteri.
.
22