III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Bobot benih ikan nila hibrid dari setiap perlakuan yang dipelihara selama 28 hari meningkat setiap minggunya. Bobot akhir benih ikan nila hibrid pada setiap padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter masing-masing sebesar 9,62 g, 7,47 g dan 6,88 g (Tabel 1). Perbedaan bobot tersebut terjadi karena adanya perbedaan laju pertumbuhan. Tabel 1 Bobot rata-rata (g) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat tebar 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari. Padat Tebar Hari ke0 7 14 21 28
2 ekor/l
4 ekor/l
6 ekor/l
1,51 ± 0,28 2,76 ± 0,92 3,70 ± 1,25 7,02 ± 1,04 9,62 ± 1,48
1,51 ± 0,30 2,36 ± 0,76 3,56 ± 1,15 6,07 ± 1,33 7,47 ± 1,61
1,52 ± 0.31 2,26 ± 0,85 3,35 ± 0,95 5,34 ± 1,04 6,88 ± 1,39
Laju pertumbuhan bobot harian menurun dengan makin meningkatnya padat penebaran. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot harian (p<0,05). Setelah uji lanjut Tukey, nilai laju pertumbuhan bobot harian pada setiap padat penebaran berbeda nyata satu sama lain (Gambar 3, Lampiran 3). Laju pertumbuhan bobot tertinggi dicapai oleh perlakuan 2 ekor/l dengan nilai 6,85% dan perlakuan 6 ekor/liter
Laju Pertumbuhan Bobot Harian (%)
mempunyai laju pertumbuhan terendah dengan nilai 5,53%. 8,0 6.85 6,0 4,0
5.89 a
b
5.53 c
2,0 0,0 2 ekor/l
4 ekor/l Padat Tebar
6 ekor/l
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Gambar 3. Histogram laju pertumbuhan bobot harian (%/hari) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari. 10
3.1.2 Pertumbuhan Panjang Mutlak Pertumbuhan panjang mutlak rata-rata benih ikan nila hibrid setiap minggunya dapat dilihat pada Tabel 2. Pertumbuhan panjang mutlak dari semua perlakuan meningkat setiap minggunya. Pertumbuhan panjang mutlak benih ikan nila hibrid pada akhir pemeliharaan berkisar antara 3,02 cm hingga 3,98 cm. Pertumbuhan panjang mutlak ikan nila hibrid tertinggi yaitu pada perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter 3,98 cm. Sedangkan pertumbuhan panjang mutlak terendah yaitu pada perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter 3,02 cm. Tabel 2 Pertumbuhan panjang mutlak rata-rata (cm) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat tebar 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari. Padat Tebar
Hari ke2 ekor/l
4 ekor/l
6 ekor/l
7
0,92 ± 0,03
0,71 ± 0,01
0,61 ± 0,03
14
1,53 ± 0,02
1,48 ± 0,03
1,38 ± 0,04
21
2,88 ± 0,54
2,72 ± 0,02
2,41 ± 0,03
28
3,98 ± 0,01
3,19 ± 0,09
3,02 ± 0,06
Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran antar perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak (p<0.05). Setelah uji lanjut Tukey,
masing-masing perlakuan padat penebaran berbeda
Pertumbuhan Panjang Mutlak (cm)
nyata satu dengan yang lainnya (Gambar 4, Lampiran 4). 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0
3.98 3.19
a
2 ekor/l
b
4 ekor/l Padat Tebar
3.02
c
6 ekor/l
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Gambar 4. Histogram pertumbuhan panjang mutlak (cm) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari.
11
3.1.3 Koefisien Keragaman Panjang Nilai koefisien keragaman panjang benih ikan nila hibrid pada akhir masa pemeliharaan berkisar antara 4,79 – 6,70% pada Tabel 3. Tabel 3 Koefisien keragaman panjang mutlak rata-rata (%) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat tebar 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari. Perlakuan 2 ekor/l
4 ekor/l
6 ekor/l
Ulangan
KK (%)
KK rata-rata (%)
1
4,86
2
4,76
3
4,75
1 2
7,07 6,67
3
6,35
1
5,53
2
5,69
3
6,00
4,79 ± 0,06
6,70 ± 0,36
5,74 ± 0,24
Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran berpengaruh nyata terhadap koefisien keragaman panjang (p<0.05, Gambar 5). Setelah uji lanjut Tukey, nilai koefisien keragaman dari masing-masing perlakuan padat penebaran berbeda nyata satu dengan yang lainnya (Lampiran 5).
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Gambar 5. Histogram koefisien keragaman panjang (%) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari.
12
3.1.4 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup benih ikan nila hibrid yang dipelihara dengan padat penebaran berbeda yaitu 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari mengalami penurunan mulai dari minggu pertama masa pemeliharaan. Derajat kelangsungan hidup tertinggi yaitu pada perlakuan padat penebaran 2 ekor/L dengan nilai 87,31%, sedangkan derajat kelangsungan hidup terendah yaitu pada perlakuan padat penebaran 6 ekor/L dengan nilai 71,6%. Tabel 4 Kelangsungan hidup rata-rata (%) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat tebar 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari. Padat Tebar
Hari ke0 7 14 21 28
2 ekor/l
4 ekor/l
6 ekor/l
100 ± 0,00 97,57 ± 0,63 95,02 ± 1,57 91,86 ± 1,04 87,31 ± 0,67
100 ± 0,00 95,72 ± 0,79 91,07 ± 1,97 81,89 ± 1,79 75,63 ± 2,05
100 ± 0,00 94,69 ± 0,12 86,82 ± 1,68 76,98 ± 2,63 71,60 ± 2,24
Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran berpengaruh nyata terhadap derajat kelangsungan hidup benih nila hibrid (p<0.05, Lampiran 6). Setelah uji lanjut Tukey, nilai derajat kelangsungan hidup perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/l berbeda nyata dengan padat tebar 4, dan 6 ekor/liter, sedangkan pada perlakuan dengan padat penebaran 4 ekor/l tidak berbeda nyata
Derajat Kelangsungan Hidup (%)
terhadap padat penebaran 6 ekor/liter (Gambar 6). 100 87.31 75.63
80
71.60
60
40
a
b
b
2 ekor/l
4 ekor/l
6 ekor/l
20
0 Padat Tebar
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Gambar 6. Histogram derajat kelangsungan hidup (%) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari. 13
3.1.5 Efisiensi Pakan Efisiensi pemberian pakan benih ikan nila hibrid pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 7. Efisiensi pemberian pakan menurun dengan meningkatnya padat penebaran. Pada akhir pemeliharaan efisiensi pakan berkisar antara 86,05% - 98,05%. Tabel 5 Efisiensi pakan rata-rata (%) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat tebar 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari. Padat Tebar Hari ke-
2 ekor/liter
4 ekor/liter
6 ekor/liter
7
87,69 ± 0,59
73,24 ± 1,33
74,15 ± 5,17
14
72,02 ± 0,91
90,95 ± 0,74
84,85 ± 5,20
21
93,85 ± 0,98
86,12 ± 1,44
79,26 ± 3,29
28
75,57 ± 0,15
74,07 ± 3,39
87,19 ± 1,93
82,28 ± 10,22
81,10 ± 8.82
79,40± 3,86
EP rata-rata
Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran berpengaruh nyata terhadap efisiensi pakan (p<0.05, Lampiran 7). Setelah uji lanjut Tukey, padat tebar 2 ekor/liter tidak berbeda nyata dengan padat tebar 4 ekor/liter namun,
Efisiensi Pakan (%)
berbeda nyata dengan padat tebar 6 ekor/liter. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
82.28
a
2 ekor/l
81.10
a
4 ekor/l
79.40
b
6 ekor/l
Padat Tebar Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Gambar 7. Histogram efisiensi pakan (%) benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. yang dipelihara dengan padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter selama 28 hari.
14
3.1.6 Kualitas Air Hasil pengukuran parameter kualitas air (DO, suhu, ammonia, pH, dan alkalinitas) selama penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai parameter kualitas air pemeliharaan benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. selama 28 hari. Kisaran Optimal
Parameter
Waktu Pengamatan (pukul)
Nilai Kualitas Air
Suhu
07.00
Nilai
Sumber
24-25
25-30
DO
12.00 15.00 06.00 11.00 15.00
27-28 27-29 3,47-3,73 ppm 5-6 ppm 9-10 ppm
Chakraborty and Samir, 2010
> 5 ppm
Chakraborty and Samir, 2010
pH
06.00
8-8,24
6,5-8,5
Alkalinitas
11.00 15.00 10.00 10.00
50-200 mg/l CaCO3 <0.02 mg/l
Effendie, 2003
Amonia
10-10.24 12-12.24 136-144 mg/L CaCO3 0.008-0.021 mg/L
Chakraborty and Samir, 2010
Suhu air diamati setiap hari pada pukul 07.00, 12.00, dan 15.00 WIB. Oksigen terlarut arau DO diamati pada awal, tengah dan akhir masa pemeliharaan,
sedangkan
alkalinitas
dan
ammonia
diukur
pada
akhir
pemeliharaan. Dari Tabel 6 dapat dilihat, suhu air kolam selama pemeliharaan berkisar 24-29 0C, kandungan oksigen yang terlarut berkisar antara 3,47-10 ppm, nilai pH berkisar antara 8-12,24, dan alkalinitas berkisar antara 136-144 mg/L. 3.1.7 Efisiensi Ekonomi Nilai efisiensi ekonomi pendederan benih ikan nila hibrid dengan perlakuan padat penebaran 2 ekor/liter (A), perlakuan 4 ekor/liter (B), dan 6 ekor/liter (C) selama 28 hari dihitung dalam jangka waktu 1 tahun .Analisis usaha pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 7. Asumsi yang digunakan dalam analisis usaha adalah sebagai berikut : 1. Harga faktor produksi dianggap tetap, selama siklus produksi. 2. Hasil perhitungan kapasitas jumlah hapa dalam 1 kolam, maka jumlah hapa yang dianalisis dalam pendederan ikan nila hibrid dengan padat penebaran 2, 4
15
dan 6 ekor/liter adalah 144 unit hapa (Lampiran 8). Hapa yang digunakan berukuran 1,2 m x 0,6 m x 0,6 m. Volume air hapa tersebut adalah 288 liter. 3. Siklus pertama produksi memerlukan waktu
56
hari. Dengan 14 hari
persiapan, 14 hari aklimatisasi, dan 28 hari pemeliharaan (Wahyu 2010). Siklus kedua dan selanjutnya terdiri dari 42 hari, dengan 14 hari aklimatisasi dan 28 hari pemeliharaan (Lampiran 9). 4. Satu tahun dilakukan 8 siklus produksi. 5. Jumlah ikan yang ditebar pada perlakuan A adalah 576 ekor/hapa, jumlah ikan pada perlakuan B adalah 1.152 ekor/hapa, dan jumlah ikan pada perlakuan C adalah 1.728 ekor/hapa. 6. Kelangsungan hidup dari benih ikan nila dengan perlakuan A, B, dan C secara berturut-turut 87,31%, 75,63%, dan 71,60%. 7. Penyusutan investasi dihitung dengan cara menggunakan metode garis lurus dapat dilihat pada Lampiran 10. 8. Efisiensi pakan pada perlakuan A, B, dan C berturut-turut 82,28%, 81,10% dan 79,40%. 9. Jumlah tenaga kerja pengelola pada usaha pendederan ini adalah 1 orang. Biaya tenaga kerja pengelola diberikan sesuai Upah Minimum Regional tahun 2012 di Kabupaten Sumedang Rp 1.007.500/bln (Anonim 2012). 10. Harga benih ikan nila ukuran 2-3 cm Rp 50/ekor 11. Harga jual benih ikan nila ukuran 7-9 cm Rp 250/ekor 12. Upah tenaga kerja pada saat panen dihitung berdasarkan jumlah kantong ikan yang dipanen Rp 5.000/kantong. 13. Upah tenaga kerja pada saat masa persiapan adalah Rp 50.000/hari. 14. Setiap 3 kg ikan dikemas dalam satu kantong plastik, biaya kantong plastik Rp 500 dan oksigen sebesar Rp 1.000 Tabel 7 menunjukkan analisis usaha pendederan benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. dengan padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter per tahun, yang meliputi biaya investasi, biaya tetap,biaya variabel, penerimaan, keuntungan, R/C ratio, BEP, PP, dan biaya produksi per ekor.
16
Tabel 7 Analisis usaha pendederan benih ikan nila hibrid Oreochromis sp. dengan padat penebaran 2, 4, dan 6 ekor/liter per tahun. Padat Tebar
Uraian Investasi (Rp) Biaya tetap (Rp) Biaya variabel (Rp) Biaya total (Rp) Penerimaan (Rp) Keuntungan (Rp) R/C ratio BEP (Rp) BEP ekor PP (tahun) Biaya produksi/ekor (Rp)
2 ekor/l
4 ekor/l
6 ekor/l
4.414.500 15.653.850 74.896.060 90.549.910 144.836.813 54.286.903 1,60 32416776,31 62745,18 0,08 156
4.414.500 15.653.850 117.753.660 133.407.510 250.922.189 117.514.679 1,88 29495694,95 62733,16 0,04 133
4.414.500 15.653.850 167.095.260 182.749.110 356.327.424 173.578.314 1,95 29476469,16 62733,07 0,03 128
Berdasarkan Tabel 7. dapat dilihat bahwa dengan biaya investasi yang sama perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter memiliki nilai R/C ratio yang tertinggi 1,95. Selain itu, perlakuan dengan padat tebar 6 ekor/liter memiliki nilai BEP ekor, BEP harga dan biaya produksi/ekor terendah jika dibandingkan dengan padat tebar 2 dan 4 ekor/liter. Perlakuan dengan padat tebar 6 ekor memiliki nilai PP yang lebih singkat 3 kali lipat jika dibandingkan dengan perlakuan padat tebar 2 dan lebih singkat satu kali lipat dari perlakuan padat tebar 4 ekor/liter yaitu selama 0,03 tahun atau 11 hari. Perhitungan R/C ratio, BEP (Rp), BEP ekor, PP, dan biaya produksi/ekor dapat dilihat pada Lampiran 18.
3.2
Pembahasan Dalam budidaya ikan terutama pada tahap pendederan, jumlah ikan atau
biomassa ikan saat panen sangat penting. Salah satu cara untuk meningkatkan hasil panen yaitu dengan melakukan peningkatan padat tebar. Dari sisi produksi, padat tebar ikan yang dipelihara dalam hapa berkaitan dengan volume air atau luas permukaan per ekor. Peningkatan kepadatan tebar mengakibatkan terjadinya peningkatan stres, yang mengarah pada kebutuhan energi yang lebih tinggi, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan tingkat pertumbuhan dan pemanfaatan makanan. Sebaliknya pada tingkat kepadatan rendah
ikan
tidak dapat
membentuk gerombolan dan tidak merasa nyaman. Sehingga, mengidentifikasi tingkat kepadatan tebar optimum untuk sebuah spesies adalah faktor penting 17
dalam mendesain sebuah sistem budidaya yang efisien (Leatherland dan Cho, 1985), dan untuk praktek pembudidayaan yang optimal. Menurut Hepher dan Pruginin (1981), selama kebutuhan makanan dan lingkungan terpenuhi peningkatan kepadatan tidak mempengaruhi pertumbuhan individu. Namun, pada penelitian ini peningkatan kepadatan ikan dari 2 ekor/liter hingga 6 ekor/liter diikuti dengan penurunan pertumbuhan bobot maupun panjang, yaitu menurunkan laju pertumbuhan bobot harian dari 6,85% hingga 5,53% dan menurunkan pertumbuhan panjang mutlak dari 3,98 cm hingga 3,02 cm. Hal yang sama didapatkan Adriani (1988) peningkatan padat penebaran ikan nila merah dengan ukuran 4-5 cm dengan padat penebaran dari 0,75 hingga 1,3 ekor/liter menurunkan laju pertumbuhan bobot harian dari 3,14% hingga 2,71% dan pertumbuhan panjang mutlak dari 4,33 cm hingga 3,74 cm. Menurut Likongwe et al. (1996) laju pertumbuhan bobot harian pada benih ikan nila dengan bobot rata-rata benih 4,6 g yang dipelihara pada suhu 24 0C dan salinitas 0 ppt adalah 2,64%, sedangkan pada suhu 28 0C laju pertumbuhan bobot hariannya adalah 2,68%. Menurut Yuliati (2003) pemeliharaan ikan nila gift dengan ukuran 5-6 cm di dalam jaring selama delapan minggu menurunkan laju pertumbuhan bobot dari 4,6% hingga 2,87%. Semakin tinggi padat penebaran maka laju pertumbuhan semakin menurun. Seperti yang diungkapkan oleh Holm et al. 1990; Haylor 1991; Bjørnsson 1994; Huang and Chiu 1997; Irwin et al. 1999; Ma et al. 2006 dalam Aksungur et al (2007) dalam beberapa spesies ikan budidaya, pertumbuhan berhubungan terbalik dengan tingkat kepadatan dan ini dikaitkan dengan interkasi sosial. Interaksi sosial tersebut yaitu persaingan makanan dan tempat yang dapat mempengaruhi ikan secara negatif. Hasil analisis ragam untuk laju pertumbuhan bobot harian dan pertumbuhan panjang mutlak menunjukkan bahwa peningkatan padat penebaran memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pertumbuhan bobot harian dan panjang mutlak (p<0.05, Gambar 3 dan 4). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dilihat bahwa benih ikan nila hibrid memiliki laju pertumbuhan bobot harian yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan benih ikan nila strain lain. Perbedaan laju pertumbuhan yang terjadi karena penurunan laju pertumbuhan seiring dengan ditingkatkannya kepadatan yang mengakibatkan
18
adanya keragaman panjang. Koefisien keragaman panjang menunjukkan seberapa besar variasi ukuran ikan selama pemeliharaan. Nilai koefisien keragaman panjang ikan nila hibrid yang dipelihara selama 28 hari berkisar antara 4,79 % hingga 6,70% (Gambar 5). Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai koefisien keragaman panjang (p<0.05). Dalam penelitian ini, kepadatan 4 ekor/l yang memiliki tingkat keragaman panjang tertinggi 6,70%. Pada umumnya tingkat keragaman tertinggi yaitu perlakuan dengan padat penebaran tertinggi. Padat penebaran tertingi dalam penelitian ini yaitu 6 ekor/liter. Adanya perbedaan hasil diduga disebabkan adanya dominasi dari ikan yang berukuran lebih besar, terhadap ikan yang berukuran lebih kecil. Dominasi ini terjadi terutama dalam memperebutkan pakan. Ikan yang lebih besar biasanya lebih agresif terhadap pakan, sehingga menurunkan nilai efisiensi pemberian pakan. Terganggunya kesehatan ikan akibat interaksi antar ikan seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya lama kelamaan dapat menyebabkan kematian. Terjadinya kematian berpengaruh terhadap derajat kelangsungan hidup ikan. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa padat penebaran memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap derajat kelangsungan hidup ikan nila hibrid yang dipelihara (p<0.05, Gambar 6). Derajat kelangsungan hidup terendah yaitu 71,60%. Menurut Aksungur et al (2007) semakin tinggi kepadatan nilai derajat kelangsungan hidup semakin menurun. Derajat kelangsungan hidup pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Likongwe et al (1966) yaitu 73,0% - 82,20% pada suhu 24-28 0 C dan salinitas 0 ppt. Namun lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Yuliati et al. (2003) yang memiliki nilai kelangsungan hidup terendah yaitu pada kepadatan 0,2 ekor/liter sebesar 94,83% selama empat minggu masa pemeliharaan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat kepadatan yang digunakan oleh Yuliati et al. (2003) jika dibandingkan dengan tingkat padat penebaran pada penelitian ini. Efisiensi pakan pada akhir penelitian berkisar antara 79,40-82,28%. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa peningkatan padat penebaran 2 ekor/liter dengan 4 ekor/liter tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap efisiensi pakan (p>0.05), namun berbeda dengan padat penebaran 6
19
ekor/liter. Efisiensi pakan cenderung menurun dengan semakin meningkatnya padat penebaran. Hal ini diduga, ikan pada kepadatan yang lebih rendah mampu memanfaatkan pakan yang tersedia dengan lebih baik, karena tidak perlu bersaing dengan ikan yang lain untuk memperebutkan pakan. Menurut Adriani (1988) ikan pada kepadatan tinggi akan menggunakan energi yang lebih banyak daripada ikan yang dipelihara pada kepadatan rendah, yaitu untuk bersaing dalam mendapatkan makanan, ruang dan mengimbangi kondisi lingkungan. Dilihat dari segi teknis perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter merupakan perlakuan yang paling efisien, karena memiliki laju pertumbuhan pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, derajat kelangsungan hidup dan efisiensi pakan lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 4 dan 6 ekor/liter serta memiliki koefisien keragaman panjang terendah dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 4 dan 6 ekor/liter. Kondisi kualitas air selama pemeliharaan yaitu suhu 24-30 0C, oksigen yaitu 3-10 ppm, nilai pH 8-12, alkalinitas berkisar antara 136-144 mg/l dan ammonia 0,008-0,021 mg/L. Menurut Chakraborty (2010) suhu optimal untuk pertumbuhan ikan nila yaitu 25-30 0C, kadar oksigen terlarut optimal dalam air > 5 ppm, dan pH optimal berkisar antara 6,5-8,5. Menurut Effendie (2003) alkalinitas optimal untuk ikan nila 50-200 mg/L CaCO3 setara dan amonia < 0,02 mg/L. Tingginya nilai oksigen terlarut pada sore hari karena pada waktu tersebut merupakan puncak dari proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Persamaan reaksi kimia dari proses fotosintesis adalah sebagai berikut (Goddard 1996) : 6CO2 Karbon dioksida
+ 6H2O
C6H12O6
Air
Glukosa
+ 6O2 Oksigen
Tingginya nilai oksigen didukung oleh tingginya nilai pH air pada sore hari selama pemeliharaan yaitu mencapai 12. Kadar amonia yang rendah diakibatkan karena adanya pergantian air terus-menerus, sehingga buangan metabolik tidak berpengaruh pada penurunan pertumbuhan ikan nila hibrid. Hasil perhitungan analisis usaha 144 unit hapa pada kegiatan pendederan ikan nila hibrid yang dipelihara dengan padat penebaran 2, 4 dan 6 ekor/liter (Tabel 7), dapat dilihat bahwa pada padat penebaran 6 ekor/liter
memiliki
20
keuntungan tertinggi karena memproduksi ikan nila hibrid dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan padat penebaran 2 dan 4 ekor/liter. Padat penebaran 6 ekor per liter memiliki R/C rasio tertinggi mencapai 1,95. Hal ini, disebabkan oleh jumlah ikan yang diproduksi tinggi sehingga penerimaan yang diperoleh padat penebaran 6 ekor/liter lebih tinggi dibandingkan dengan padat penebaran 2 dan 4 ekor/liter. Menurut Soekartawi (1995) R/C rasio merupakan analisis yang membagi antara penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Selain itu, perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter memiliki nilai BEP ekor dan harga paling rendah, artinya perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter dapat memperoleh keuntungan lebih cepat dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 2 dan 4 ekor/liter. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah penerimaan yang didapatkan dan tingginya jumlah ikan yang diproduksi. Nilai BEP ekor pada perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter adalah 62.733,07 ekor, artinya agar usaha pendederan benih ikan nila hibrid ini mencapai titik impas maka harus memproduksi benih ikan nila hibrid sebanyak 62.733,07 ekor. Nilai BEP harga pada perlakuan dengan padat tebar 6 ekor/liter adalah Rp 29.476.469,16, artinya agar usaha pendederan benih ikan nila hibrid ini mencapai titik impas maka harus memperoleh penerimaan Rp 29.476.469,16. Padat penebaran 6 ekor/liter juga memiliki PP paling singkat karena memperoleh keuntungan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 4 ekor/liter. Biaya produksi/ekor pada perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rendahnya biaya produksi per ekor dikarenakan jumlah produksi yang dihasilkan pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 4 ekor/liter. Dilihat dari semua aspek efisiensi ekonomi, maka perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter merupakan perlakuan yang paling efisien yang secara ekonomi. Pendederan ikan nila hibrid dengan padat penebaran 6 ekor/liter lebih efisien untuk tujuan produksi, meskipun secara teknis perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter lebih baik dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter. Perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter memiliki laju pertumbuhan bobot harian yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter, namun pada tahap pendederan besarnya bobot tidak
21
diperhitungkan. Pada tahap pendederan faktor yang diperhitungkan adalah jumlah ikan, karena pada tahap ini ikan dijual per ekor bukan per bobot ikan. Pertumbuhan panjang perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter lebih rendah dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter, namun harga jual dipasar untuk ikan nila hibrid ukuran yang dicapai perlakuan dengan padat penebaran 2 dan 6 ekor/liter adalah sama yaitu Rp 250/ekor. Derajat kelangsungan hidup perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter, namun karena tingginya jumlah ikan yang diproduksi pada perlakuan dengan padat penebaran 6 ekor/liter maka jumlah ikan akhir pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan padat penebaran 2 ekor/liter. Tujuan produksi bisa tercapai dengan melakukan pengontrolan parameter kualitas air yang lebih baik lagi. Salah satunya dengan cara meningkatkan frekuensi debit air yang masuk dan ke luar, agar kandungan oksigen dalam air tetap tinggi dan dapat memenuhi kebutuhan ikan. Selain itu, untuk membuang limbah metabolik yang berupa sisa pakan yang tidak termakan maupun feses ikan dari wadah budidaya. Hal tersebut sesuai dengan Effendi (2003) aliran air yang relatif deras kaya akan oksigen, penting untuk menyuplai oksigen dalam respirasi ikan dan membuang limbah metabolisme, terutama amonia.
22