III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Uji In Vitro Campuran meniran-bawang putih menunjukkan zona hambat terbaik pada kombinasi dosis 20+25 g/L yaitu sebesar 12,33 mm (Tabel 2). Berdasarkan analisis statistik, campuran meniran-bawang putih dosis 20+25 g/L menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) dengan dosis lainnya. Tabel 2. Diameter zona hambat (mm) hasil uji in vitro yang dilakukan terhadap Vibrio alginolyticus menggunakan ekstrak meniran-bawang putih dalam beberapa kombinasi dosis Kode A B C D E
Dosis Meniran+ Bawang Putih (g/L) 15+20 15+25 20+20 20+25 25+20
Ulangan keRata-rata
1
2
3
7 8 7 12 10
7 8 7,5 13 11
7,6 8,5 7,8 12 10
7,20a 8,17b 7,43ab 12,33d 10,33c
Keterangan: huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Zona hambat yang dibentuk dari berbagai kombinasi dosis campuran meniran+bawang putih yang diujikan (Tabel 2) menunjukkan zona hambat yang berbeda-beda. Zona hambat terbesar terdapat pada kode D yaitu dosis meniranbawang putih 20+25 g/L (Gambar 2).
5 mm
A
5 mm
5 mm
D
B
5 mm
5 mm
C
E
Gambar 2. Zona hambat hasil uji in vitro yang dilakukan terhadap Vibrio alginolyticus menggunakan ekstrak meniran-bawang putih dalam beberapa kombinasi dosis 14
3.1.2 Uji In Vivo 3.1.2.1 Respon Makan Ikan terhadap Pakan Respon makan ikan terhadap pakan terlihat mengalami peningkatan yang stabil dan cukup seragam pada 14 hari sebelum uji tantang untuk semua perlakuan. Setelah uji tantang, respon makan ikan mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan 14 hari sebelum uji tantang dilakukan. Walaupun demikian, respon makan ikan kembali meningkat untuk semua perlakuan dengan respon makan ikan tertinggi setelah uji tantang terdapat pada kontrol negatif. Sementara itu, perlakuan pencegahan menunjukkan pola respon makan yang sama dengan perlakuan kontrol negatif sedangkan respon makan terendah terdapat pada kontrol positif (Gambar 3).
Sebelum uji tantang
Setelah uji tantang
Keterangan: H0 ikan tidak diberi makan
Gambar 3. Respon makan ikan terhadap pakan selama pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan 3.1.2.2 Laju Pertumbuhan Harian Laju pertumbuhan harian ikan uji terbaik terdapat pada perlakuan kontrol negatif dengan laju pertumbuhan harian sebesar 0,69%. Perlakuan pencegahan menunjukkan laju pertumbuhan harian ikan sebesar 0,66%, sedangkan pada perlakuan pengobatan laju pertumbuhan hariannya sebesar 0,65% dan pada kontrol negatif sebesar 0,64% (Gambar 4). Berdasarkan analisis statistik 15
(Lampiran 7), laju pertumbuhan harian semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). a a
a
a
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 4. Laju pertumbuhan harian selama pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan. 3.1.2.3 Kelangsungan Hidup Grafik pola kelangsungan hidup harian mengalami perubahan yang signifikan setelah uji tantang dilakukan. Pola kelangsungan hidup harian antar perlakuan menunjukkan perubahan yang mulai terjadi pada H2 hingga H5 (Gambar 5). Pada akhir perlakuan H7 kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada kontrol negatif yaitu 100±0%. Pada perlakuan pencegahan kelangsungan hidup ikan mencapai 83,33±16,67%, sedangkan pada perlakuan pengobatan mencapai 61,11±9,62%, sementara pada kontrol positif kelangsungan hidupnya paling rendah yaitu 38,89±9,62% (Gambar 6). Berdasarkan analisis statistik nilai kelangsungan hidup pada H7 (Lampiran 8), kelangsungan hidup perlakuan kontrol negatif dan pencegahan tidak berbeda nyata (P>0,05), kontrol positif dan pengobatan saling berbeda nyata (P<0,05) begitupun keduanya terhadap perlakuan lain.
16
Setelah uji tantang
Sebelum uji tantang
Gambar 5. Pola kelangsungan hidup harian ikan selama pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan.
c
c b a
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 6. Kelangsungan hidup ikan pada akhir pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan. 3.1.2.4 Parameter Hematologi 3.1.2.4.1 Aktifitas Fagositosis Aktifitas fagositosis setelah uji tantang meningkat pada H1 dan H4 untuk perlakuan kontrol positif, pengobatan dan terutama pada perlakuan pencegahan yaitu sebesar 44±1,41% pada H1 menjadi 50±1,41% pada H4. Pada kontrol negatif aktifitas fagositosis cenderung stabil dan pada H7 aktifitas fagositosis mengalami penurunan untuk semua perlakuan (Gambar 7). Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 9), pada H-2 dan H1 aktifitas fagositosis perlakuan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lain, tetapi antara perlakuan 17
kontrol negatif, positif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada H4 dan H7 aktifitas fagositosis perlakuan kontrol positif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi keduanya berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya sedangkan, kontrol negatif dan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dan keduanya juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
c b b a a
a a
a
a
b
b
c
b
c
a
a
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 7. Aktifitas fagositosis dalam darah benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada H-2 sebelum uji tantang dan pada H1, H4 dan H7 setelah uji tantang. 3.1.2.4.2 Sel Darah Putih (Leukosit) Jumlah
leukosit 5
semua
perlakuan
pada
H-2
berkisar
antara
3
(1,22-1,50)x10 sel/mm . Setelah uji tantang terjadi peningkatan jumlah leukosit yang cukup signifikan pada perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan. Pada perlakuan kontrol negatif jumlah leukosit cenderung stabil hingga akhir pemeliharaan. Jumlah leukosit tertinggi terdapat pada H4 dimana nilai
tertinggi
terdapat
pada
perlakuan
pencegahan
sebesar
4,90±0,09 x 105 sel/mm3. Pada H7 jumlah leukosit perlakuan pencegahan dan pengobatan mengalami penurunan, tetapi pada kontrol positif jumlah leukosit masih tinggi yaitu 4,08±0,17 x 105 sel/mm3 (Gambar 8). Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 10), pada H-2 jumlah leukosit perlakuan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lain, tetapi antara perlakuan kontrol negatif, positif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada H1 jumlah leukosit 18
perlakuan kontrol positif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi keduanya berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya sedangkan, kontrol negatif dan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dan keduanya juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada H4 dan H7 semua perlakuan menunjukkan hasil yang saling berbeda nyata (P<0,05).
d b
c d c
c b b a a a
a
b
b a
a
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 8. Jumlah sel darah putih (leukosit) benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada H-2 sebelum uji tantang dan pada H1, H4 dan H7 setelah uji tantang. 3.1.2.4.3 Sel Darah Merah (Eritrosit) Jumlah eritrosit ikan uji sebelum uji tantang pada perlakuan kontrol negatif, positif dan pengobatan hampir sama, tetapi pada perlakuan pencegahan jumlah eritrositnya lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya yaitu 2,74±0,16 x 106 sel/mm3. Setelah uji tantang, jumlah eritrosit kontrol negatif cenderung stabil dibandingkan perlakuan lain yang mengalami penurunan. Penurunan jumlah eritrosit terendah terdapat pada H4 pada perlakuan kontrol positif yaitu 0,70±0,08 x 106 sel/mm3. Pada H7 jumlah eritrosit semua perlakuan mengalami peningkatan kembali (Gambar 9). Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 11), pada H-2 dan H1 jumlah eritrosit perlakuan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lain, tetapi antara perlakuan kontrol negatif, positif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada H4 dan H7 semua perlakuan menunjukkan hasil yang saling berbeda nyata (P<0,05). 19
b a a
b
a a
a
a
d
d
c b
c b a
a
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 9. Jumlah sel darah merah (eritrosit) benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada H-2 sebelum uji tantang dan pada H1, H4 dan H7 setelah uji tantang. 3.1.2.4.4 Kadar Hematokrit Kadar hematokrit perlakuan kontrol negatif cenderung stabil hingga akhir pemeliharaan dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang cenderung mengalami penurunan setelah uji tantang dilakukan terutama pada H4. Kadar hematokrit perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan mengalami penurunan yang cukup signifikan pada H4, dimana nilai terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif yaitu sebesar 20,81±0,03%. Pada H7 kadar hematrokrit perlakuan yang awalnya mengalami penurunan kembali meningkat (Gambar 10). Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 12), pada H-2 kadar hematokrit semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada H1 kadar hematokrit perlakuan kontrol negatif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05) dan keduanya juga tidak berbeda nyata terhadap perlakuan lain, tetapi kontrol positif dan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dan keduanya juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada H4 kadar hematokrit perlakuan kontrol positif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi keduanya berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya sedangkan, kontrol negatif dan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dan keduanya juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada H7 perlakuan kontrol negatif,
20
pencegahan, dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi pada perlakuan kontrol positif berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya.
a a a
a
b ab a
ab
b
b
c b a
a
b
a
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 10. Kadar hematokrit dalam darah benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada H-2 sebelum uji tantang dan pada H1, H4 dan H7 setelah uji tantang. 3.1.2.4.5 Kadar Hemoglobin Kadar hemoglobin perlakuan kontrol negatif cenderung stabil hingga akhir pemeliharaan dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang cenderung mengalami penurunan setelah uji tantang dilakukan terutama pada H4. Kadar hemoglobin perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan mengalami penurunan yang cukup signifikan pada H4, dimana nilai terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif yaitu sebesar 3,7±0,14%. Pada H7 kadar hemoglobin perlakuan yang awalnya mengalami penurunan kembali meningkat (Gambar 11). Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 13), kadar hemoglobin pada H-2 dan H1 perlakuan kontrol negatif, positif dan pengobatan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) sedangkan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol positif dan pengobatan tetapi, tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif. Pada H4 kontrol positif dan pengobatan tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi keduanya berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya sedangkan, kontrol negatif dan pencegahan berbeda nyata (P<0,05) dan keduanya juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada H7 kontrol negatif dan pencegahan tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi keduanya berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya 21
sedangkan, kontrol positif dan pengobatan berbeda nyata (P<0,05) dan keduanya juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. b ab a
a
ab a
b
a
c
c
c
b a
b a
a
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 11. Kadar hemoglobin dalam darah benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada H-2 sebelum uji tantang dan pada H1, H4 dan H7 setelah uji tantang. 3.1.2.5 Pengamatan Organ Dalam Ikan uji setiap perlakuan yang bertahan hidup pada akhir masing-masing perlakuan menunjukkan perubahan morfologi dan warna dari organ dalam. Morfologi dan warna dari organ dalam masing-masing perlakuan ada yang normal dan menunjukkan perubahan seperti ukuran organ yang menjadi kecil dan bengkak serta warna organ yang menjadi pucat (Tabel 3).
22
Tabel
3.
Organ dalam Ginjal (G)
Kondisi organ dalam benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang dibedah pada akhir masa pemeliharaan perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan Perubahan morfologi dan warna Kontrol negatif Kontrol positif Pencegahan Pengobatan Bentuk sedikit Bentuk normal Bentuk normal Bentuk normal bengkak Warna merah Warna pucat Warna merah Warna merah kecoklatan merah muda muda
G
Hati (H)
Bentuk normal Warna merah kecoklatan
G
G G
Bentuk kecil Warna pucat merah muda
Bentuk normal Warna merah kecoklatan
Bentuk melebar dan tipis Warna merah kecoklatan dibagian tepi menghitam
H H
Usus (U)
Bentuk normal Warna merah muda
H
Bentuk kecil Warna pucat terdapat cairan kuning
U
H
Bentuk normal Warna merah muda
U U
U
Gelembung Bentuk normal Renang Warna putih (GR) transparan
Bentuk normal Warna merah muda
Bentuk normal Warna putih transparan
Bentuk normal Warna putih transparan
Bentuk lebih besar Warna putih transparan
GR
GR
GR GR
23
3.1.2.6 Kualitas Air Standar baku mutu kualitas air untuk pemeliharaan ikan kerapu macan pada penelitian ini mengacu pada standar baku yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup dalam Kep. Menneg. Lingkungan Hidup No. 52/2004.
3.1.2.6.1 Oksigen Terlarut Kadar
oksigen
terlarut
pada
awal
perlakuan
berkisar
antara
4,55-4,85 mg/l, tengah 4,45-5 mg/l dan akhir perlakuan 5,05-5,8 mg/l (Gambar 12). Standar baku oksigen terlarut untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu >5 mg/l.
Gambar 12. Kadar oksigen terlarut pada wadah pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada awal, tengah dan akhir perlakuan 3.1.2.6.2 Amoniak Kadar amoniak pada awal perlakuan berkisar antara 0,03-0,09 mg/l, tengah 0,02-0,03 mg/l dan akhir perlakuan 0,03-0,04 mg/l (Gambar 13). Standar baku kadar amoniak untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu <0,3 mg/l.
Gambar 13. Kadar amoniak pada wadah pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada awal, tengah dan akhir perlakuan 24
3.1.2.6.3 pH Kadar pH pada awal perlakuan berkisar antara 7,96-8,27, tengah 7,76-8,07 dan akhir perlakuan 7,93-8,09 (Gambar 14). Standar baku kadar pH untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu 7-8,5.
Gambar 14. Kadar pH pada wadah pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan pada awal, tengah dan akhir perlakuan 3.1.2.6.4 Salinitas Standar baku kadar salinitas untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu 33 mg/l. Pada penelitian ini kadar salinitas pada wadah pemeliharaan mengalami perubahan yang cukup signifikan dari awal hingga akhir perlakuan dengan kadar salinitas tertinggi mencapai 36 mg/l yang terjadi pada H0 perlakuan (Gambar 15).
Gambar 15. Kadar salinitas pada wadah pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan setiap 4 hari sekali selama masa pemeliharaan 3.1.2.6.5 Suhu Standar baku suhu untuk pemeliharaan ikan kerapu macan berkisar antara 28-30 °C. Pada penelitian ini suhu pada wadah pemeliharaan mengalami perubahan yang cukup signifikan antara pagi, siang dan malam. Suhu tertinggi mencapai 34 °C yang terjadi pada H8 saat siang hari perlakuan (Gambar 16). 25
Gambar 16. Suhu pada wadah pemeliharaan benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) perlakuan kontrol negatif, positif, pencegahan dan pengobatan setiap pagi, siang dan malam hari 3.2 Pembahasan Identifikasi ulang terhadap isolat bakteri yang digunakan sebagai bakteri uji dilakukan untuk memastikan tidak adanya kontaminan pada isolat bakteri yang digunakan. Hasil identifikasi bakteri uji menunjukkan karakterisasi fisiologi dan biokimia isolat bakteri yang berasal dari Balai Budidaya Air Payau Situbondo, Jawa Timur yang dijadikan bakteri uji memiliki karakter yang sama dengan Vibrio alginolyticus yaitu sama-sama memiliki sifat Gram negatif yaitu berwarna merah muda dan berbentuk batang tunggal pada hasil pewarnaan Gram, bersifat fermentatif yang ditunjukkan dengan berubahnya warna media dengan dan tanpa parafin dari hijau menjadi kuning dan bersifat motil pada uji motilitas yang ditunjukkan dengan tumbuhnya bakteri pada permukaan media. Selain itu, menunjukkan hasil positif pada uji katalase yang ditunjukkan dengan adanya gelembung udara pada tetesan H2O2 3% dan positif pada uji oksidase ditunjukkan dengan berubahnya warna kertas cakram yang berwarna ungu saat ditetesi p-aminodimethylaniline oxalate menjadi merah saat bakteri dioleskan pada kertas cakram tersebut. Setelah hasil identifikasi menunjukkan persamaan sifat fisiologi dan biokimia dengan V. alginolyticus, bakteri inilah yang akan digunakan pada uji-uji berikutnya dalam penelitian ini. Penentuan nilai LD50 dilakukan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang digunakan pada uji tantang. Setelah pengamatan dengan menghitung jumlah ikan yang masih hidup dan yang mati sampai hari ke-7 dilakukan penghitungan sesuai rumus untuk mengetahui nilai LD50-nya (Lampiran 3). Melalui uji ini diketahui bakteri V. alginolyticus yang menjadi stok dapat menyebabkan kematian sebesar 26
50% dari populasi ikan terdapat pada konsentrasi bakteri 10 4 cfu/ml. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 3 yang menunjukkan jumlah ikan yang mati saat diinfeksi V. alginolyticus dengan konsentrasi 105, 104 dan 103 cfu/ml serta perhitungan nilai LD50 nya sehingga didapatkan V. alginolyticus dengan konsentrasi 104 cfu/ml yang akan digunakan dalam uji tantang selanjutnya. Konsentrasi bakteri 104 pada hasil pengujian LD50 ini juga diperoleh pada penelitian Herfiani (2011) yang menginfeksikan V. alginolyticus pada benih kerapu macan ukuran 9-10 cm. Pengujian in vitro dengan metode Kirby Bauer (Lay, 1994) dilakukan untuk melihat aktifitas antibakteri dari campuran meniran-bawang putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri V. alginolyticus dengan kepadatan 104 cfu/ml yang disebar pada media agar plate SWC. Beberapa dosis campuran meniran+bawang putih yang diujikan antara lain 15+20, 15+25, 20+20, 25+20 dan 20+25 g/L. Kombinasi dosis meniran-bawang putih yang diujikan memberikan zona hambat yang berbeda-beda dan semakin tinggi dosis belum tentu memberikan zona hambat yang besar pula (Tabel 2), diduga pada dosis yang tinggi bahan aktif dari meniran-bawang putih saling menekan fungsi dari masingmasing bahan aktif itu sendiri sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal. Saat dua jenis atau lebih tanaman dicampurkan dapat menimbulkan sifat sinergis atau antagonis dari tanaman itu sendiri (Cotton, 1997 dalam Angka, 2005). Hasil pengujian in vitro ini menunjukkan zona hambat terbaik terdapat pada dosis 20+25 g/L yaitu sebesar 12,33 mm. Zona hambat yang terbentuk karena adanya kepekaan bakteri terhadap bahan yang digunakan (Belguith et al., 2010). Zona hambat yang dibentuk meniran dan bawang putih saat diujikan pada bakteri lain pada beberapa penelitian sebelumnya yang juga menggunakan metode Kirby Bauer menunjukkan hasil yang berbeda-beda (Tabel 4). Perbedaan zona hambat yang terbentuk dikarenakan dosis meniran dan bawang putih yang digunakan juga berbeda-beda. Dosis yang tinggi belum tentu akan memberikan zona hambat yang besar pula. Hal ini dikarenakan masing-masing bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap senyawa antibakteri yang diberikan bergantung pada sifat dan morfologi bakteri itu sendiri, salah satunya adalah struktur dinding sel masing-masing bakteri (Rinawati, 2011).
27
Tabel 4. Perbandingan zona hambat yang dihasilkan ekstrak meniran-bawang putih dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji pada uji in vitro Dosis Meniran+Bawang Putih Bakteri Uji Zona Hambat 5 + 20 g/L Aeromonas hydrophila 15 mm (Ayuningtyas, 2008) 15 + 20 g/L Streptococcus agalactiae 18,3 mm (Fauziah, 2012) 20 + 25 g/L Vibrio alginolyticus 12,33 mm (Penelitian ini) Pada bawang putih terdapat zat antibakteri yang berasal dari senyawa allicin. Menurut Palungkun dan Budiarti (1998) allicin merupakan komponen yang memberi bau khas pada bawang putih dan memiliki aktifitas antibakteri pada bakteri Gram negatif maupun positif. Allicin ini akan terbentuk jika terjadi kerusakan mekanik pada bawang putih yang menyebabkan enzim alliin-lyase mengubah alliin menjadi allicin (Curtis et al., 2004). Durairaj et al. (2009) menyatakan bahwa allicin dapat menghambat sintesis RNA dan lipid. Jika sintesis RNA terhambat maka tidak akan ada messenger RNA, ribosomal RNA dan transfer RNA. Hal ini akan berakibat pada terhambatnya sintesis protein sehingga struktur sel bakteri akan terganggu karena asam amino dan protein tidak terbentuk. Selain itu, terganggunya sintesis lipid menyebabkan phospholipid biolayer pada dinding sel tidak dapat terbentuk sempurna pada bakteri Gram negatif maupun positif. Hal tersebut tentunya akan menghambat pertumbuhan bakteri karena itulah allicin dapat berperan sebagai senyawa antibakteri. Pada daun meniran diduga senyawa potensial yang berperan sebagai antimikroba adalah flavonoid, disamping itu senyawa ini juga berperan sebagai imunostimulan, antioksidan, antikarsinogen, hepatoprotektor dan antialergi (Sabir dan Rocha, 2008). Selain itu, pada meniran juga terdapat senyawa lignan, senyawa terpen, benzoid, alkaloid, steroid, alcanes, tanin dan lainnya (Kardinan dan Kusuma, 2004). Salah satu parameter yang diamati pada pengujian in vivo yang dilakukan pada penelitian ini adalah respon makan ikan terhadap pakan yang diberikan. Respon makan ikan terhadap pakan yang diberikan dihitung setiap hari dengan membandingkan jumlah pakan yang dikonsumsi dengan bobot biomassa ikan sebelum dan sesudah uji tantang dilakukan. Berdasarkan grafik pada Gambar 3 28
respon makan terlihat mengalami peningkatan yang stabil dan cukup seragam pada 14 hari sebelum uji tantang untuk semua perlakuan. Setelah uji tantang, respon makan ikan mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan 14 hari sebelum uji tantang dilakukan. Hal ini juga terjadi pada perlakuan kontrol negatif yang hanya diinjeksikan PBS. Penurunan respon makan pada perlakuan kontrol negatif ini diduga karena ikan mengalami stres akibat penyuntikan. Menurut Ghufran dan Kordi (2004), stres menyebabkan ikan shock, tidak mau makan, kanibalisme dan meningkatkan kepekaan terhadap penyakit. Penurunan respon makan yang terjadi pada perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan diduga karena uji tantang yang dilakukan dengan menginjeksikan bakteri V. alginolyticus pada ikan uji. Menurut Koesharyani et al. (2001) ikan yang terserang bakteri ini memiliki gejala awal yaitu menurunnya nafsu makan. Walaupun begitu, dari grafik tersebut dapat dilihat respon makan ikan yang kembali meningkat untuk semua perlakuan. Namun, respon makan ikan tertinggi setelah uji tantang terdapat pada kontrol negatif dan perlakuan pencegahan yang terlihat dari terbentuknya pola respon makan yang sama, sedangkan respon makan terendah terdapat pada kontrol positif. Pada kontrol positif uji tantang yang dilakukan tidak hanya menurukan nafsu makan saja, tetapi juga menyebabkan ikan
sakit
bahkan
mengalami
kematian.
Penyakit
yang
diakibatkan
V. alginolyticus memperlihatkan gejala klinis seperti borok pada pangkal sirip ekor, sirip yang busuk dan mulut merah serta menyebabkan kematian dengan tingkat mortalitasnya (kematian) dapat mencapai 20-30% (Koesharyani et al., 2001). Pemberian pakan komersil dan pakan uji (pakan pencegahan maupun pengobatan) pada penelitian ini tidak mengganggu laju pertumbuhan harian ikan uji masing-masing perlakuan walaupun dalam pakan pencegahan dan pengobatan terdapat campuran meniran-bawang putih. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Laju pertumbuhan harian pada penelitian ini tergolong lambat hanya berkisar 0,64-0,69%. Namun, nilai ini lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian Abdillah (2010), yaitu laju pertumbuhan harian ikan kerapu macan yang hanya 0,44% dimana ikan dipelihara pada keramba jaring tancap selama 4 minggu. 29
Setelah uji tantang dilakukan, ikan uji pada perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan mulai menunjukkan gejala klinis bahkan kematian. Gejala klinis yang ditunjukkan berupa hemoragi pada rahang mulut bagian bawah, borok pada bagian tubuh, dan sirip yang geripis (Gambar 17). Menurut Koesharyani et al. (2001) V. alginolyticus menyebabkan gejala klinis seperti borok pada pangkal sirip ekor, sirip yang busuk dan mulut merah serta menyebabkan kematian. Pada penelitian Herfiani (2011) ikan yang diinfeksi dengan bakteri ini menunjukkan gejala hemoragi pada rahang bawah dan seluruh tubuh, perut bengkak, hati besar pucat, ginjal bengkak, dan gelembung renang membesar.
a
b
c
d
e Gambar 17. Gejala klinis (diberi tanda lingkaran kuning) yang muncul pada benih ikan kerapu macan setelah diuji tantang dengan bakteri Vibrio alginolyticus ; a. Hemoragi pada sirip pektoral dan rahang bawah mulut, b. Borok pada sirip pektoral, c. Borok pada pangkal sirip caudal dan hemoragi pada rahang bawah mulut, d. Borok pada bagian tubuh dan pangkal sirip caudal, e. Sirip busuk pada dorsal, anal dan caudal. Ikan uji yang sudah mengalami gejala klinis tersebut (Gambar 17) biasanya akan mengalami kematian. Toksin yang dikeluarkan V. alginolyticus 30
sebagai produk ekstraseluler adalah haemolysin yang dapat merusak sel darah merah hingga pecah dan keluar dari pembuluh darah yang membuat jaringan kulit pada mulut dan sirip seperti luka kemerahan (Sudheesh dan Xu, 2001). Hal ini tentunya akan mempengaruhi nilai kelangsungan hidup dari masing-masing perlakuan. Nilai kelangsungan hidup pada semua perlakuan sebelum uji tantang yaitu 100% tetapi setelah uji tantang dilakukan, terjadi perubahan yang cukup signifikan pada H2 hingga H5 pada perlakuan pencegahan dan pengobatan terutama pada perlakuan kontrol positif. Pada akhir perlakuan yaitu H7 nilai kelangsungan hidup terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif yaitu hanya 38,89±9,62%. Pada kontrol positif ikan uji yang mati mengalami gejala klinis seperti pada Gambar 17. Pada kontrol negatif kelangsungan hidupnya yaitu 100±0% dimana ikan uji tidak menunjukkan gejala klinis apapun karena pada kontrol negatif ikan hanya diinjeksi dengan PBS. Pada perlakuan pencegahan kelangsungan hidup ikan mencapai 83,33±16,67%, nilai yang cukup tinggi ini diduga karena pada perlakuan ini ikan diberi pakan yang mengandung campuran meniran+bawang putih dengan dosis 20+25 g/kg pakan (dosis pencegahan) selama 14 hari sebelum uji tantang dilakukan. Sebelumnya telah disebutkan bahwa meniran dan bawang putih ini mengandung senyawa flavonoid dan allicin yang bertindak sebagai zat antibakteri karena itulah nilai kelangsungan hidup perlakuan pencegahan cukup tinggi. Menurut Kardinan dan Kusuma (2004) flavonoid dapat memberikan rangsangan untuk mengaktifkan kerja sel imun agar lebih baik sehingga akan meningkatkan kekebalan tubuh dalam mempertahankan diri dari serangan bakteri. Berbeda dengan perlakuan pencegahan, pada perlakuan pengobatan nilai kelangsungan hidupnya tidak terlalu tinggi hanya 61,11±9,62%, padahal pakan dengan campuran meniran+bawang putih dengan dosis 40+50 g/kg pakan (dosis pengobatan) diberikan pada ikan setelah uji tantang dilakukan. Menurut Angka (2005), dosis pengobatan adalah dua kali lipat dari dosis pencegahan. Pemberian pakan pengobatan ini masih dapat digunakan pada tahap pengobatan ikan yang telah terinfeksi V. alginolyticus jika dilihat dari nilai kelangsungan hidup ikan yang memberikan hasil berbeda nyata terhadap kontrol positif (Gambar 6). Namun, nilai yang tidak terlalu tinggi ini diduga karena nafsu makan ikan yang turun sehingga pakan kurang dimanfaatkan secara maksimal 31
sebagai pengobatan untuk ikan yang telah terinfeksi bakteri V. alginolyticus. Menurunnya nafsu makan ikan merupakan salah satu gejala awal ikan terserang bakteri ini (Koesharyani et al., 2001). Respon pakan pada perlakuan pengobatan ini dapat dilihat pada grafik Gambar 3 yaitu respon pakannya tidak sebaik perlakuan pencegahan sehingga manfaat campuran meniran-bawang putih memberikan hasil yang kurang maksimal dalam hal kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan V. alginolyticus. Namun, apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Setyotomo (2011) yang menggunakan meniran-bawang putih pada
tahap pengobatan pada ikan lele
yang diinfeksi
dengan
Aeromonas hydrophila yang menunjukkan nilai kelangsungan hidup sebesar 46,67%, pengobatan dengan dosis meniran-bawang putih 40+50 gr/kg pakan untuk mengobati infeksi V. alginolyticus ini memberikan hasil yang lebih baik. Parameter hematologi pada ikan uji masing-masing perlakuan diamati untuk melihat kondisi kesehatan ikan. Menurut Stoskopf (1993) hematologi sangat berhubungan dengan kesehatan ikan untuk mengetahui ikan yang sakit dan yang sehat. Parameter hematologi yang diamati pada penelitian ini yaitu aktifitas fagositosis, jumlah leukosit, jumlah eritrosit, kadar hematokrit dan kadar hemoglobin. Aktifitas fagositosis berhubungan dengan proses fagositosis yang dilakukan oleh leukosit ikan. Fagositosis merupakan pertahanan pertama dari respon seluler yang dilakukan monosit (makrofag) dan neutrofil (granulosit) yang merupakan bagian dari leukosit. Proses fagositosis terdiri dari tahap kemotaksis, tahap pelekatan, penelanan dan tahap pencernaan (Tizard, 1988). Aktifitas fagositosis ikan setelah uji tantang meningkat pada H1 dan H4 untuk perlakuan kontrol positif, pengobatan dan terutama pada perlakuan pencegahan yaitu sebesar 44±1,41% pada H1 menjadi 50±1,41% pada H4. Aktifitas fagositosis ini meningkat setelah uji tantang karena berhubungan dengan jumlah leukosit yang juga meningkat (Gambar 7). Jumlah leukosit semua perlakuan pada H-2 berkisar antara (1,22-1,50)x105 sel/mm3. Setelah uji tantang terjadi peningkatan jumlah leukosit yang cukup signifikan pada perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan. Peningkatan jumlah leukosit dan aktifitas fagositosis setelah uji tantang karena proses pertahanan diri ikan dari infeksi bakteri V. alginolyticus. Menurut Martins et al. (2008) jumlah leukosit pada ikan yang diinjeksi bakteri 32
patogen mengalami peningkatan sebagai upaya meningkatkan pertahanan tubuhnya terhadap bakteri tersebut. Selain itu, imunostimulan yang ada pada meniran dan zat antibakteri pada bawang putih juga mempengaruhi parameter ini. Meniran memberikan efek pada respon non-spesifik berupa peningkatan fagositosis, kemotaksis makrofag, kemotaksis neutrofil dan meningkatkan proliferasi sel limfosit T (Barbour et al., 2004). Pada kontrol negatif aktifitas fagositosis cenderung stabil dan pada H7 aktifitas fagositosis mengalami penurunan untuk semua perlakuan. Penurunan aktifitas fagositosis pada H7 ini juga diikuti penurunan jumlah leukosit. Hal ini diduga karena infeksi bakteri V. alginolyticus semakin berkurang akibat banyaknya bakteri yang telah difagosit pada hari sebelumnya oleh sel fagosit. Jumlah eritrosit ikan uji sebelum uji tantang pada perlakuan kontrol negatif, positif dan pengobatan hampir sama, tetapi pada perlakuan pencegahan jumlah eritrositnya lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya yaitu 2,74±0,16 x 106 sel/mm3. Meskipun begitu jumlah eritrositnya masih tergolong normal karena menurut Affandi dan Tang (2002) jumlah eritrosit ikan teleostei berkisar antara (1,05-3,0)x106 sel/mm3. Semakin tinggi jumlah eritrosit dalam darah ikan maka semakin tinggi pula kemampuan darah ikan dalam mengikat oksigen yang merupakan fungsi utama dari eritrosit (Affandi dan Tang, 2002). Hal ini tentunya akan meningkatkan sistem metabolisme pada ikan uji yang akan berdampak pada pemanfaatan campuran meniran-bawang putih yang terdapat pada pakan. Artinya, pemberian pakan dengan campuran meniran-bawang putih ini tidak mengganggu kesehatan ikan uji. Setelah uji tantang, jumlah eritrosit kontrol negatif cenderung stabil dibandingkan perlakuan lain yang mengalami penurunan. Penurunan jumlah eritrosit terendah terdapat pada H4 pada perlakuan kontrol positif yaitu 0,70±0,08 x 106 sel/mm3. Menurunnya jumlah eritrosit pada darah ikan dikarenakan adanya infeksi bakteri pada organ ginjal ikan. Pada penelitian Herfiani (2011) dari beberapa isolat V. alginolyticus yang diuji tantang pada kerapu macan menunjukkan pembengkakan pada organ ginjal. Pada H7 jumlah eritrosit semua perlakuan mengalami peningkatan kembali. Hal ini diduga karena infeksi dari bakteri sudah berkurang dan tubuh ikan mulai memproduksi
33
eritrosit kembali untuk menggantikan eritrosit yang menurun akibat infeksi bakteri. Kadar hematokrit perlakuan kontrol negatif cenderung stabil hingga akhir pemeliharaan dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang cenderung mengalami penurunan setelah uji tantang dilakukan terutama pada H4. Kadar hematokrit perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan mengalami penurunan yang cukup signifikan pada H4 yaitu nilai terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif 20,81±0,03%. Penurunan kadar hematokrit ini dipengaruhi oleh jumlah eritrosit yang juga menurun. Diduga infeksi bakteri V. alginolyticus yang merusak organ ginjal menyebabkan turunnya produksi eritrosit dalam darah ikan sehingga kadar hematrokritnya juga menurun. Selain itu, respon makan ikan yang turun setelah dilakukannya uji tantang juga dapat menjadi penyebab turunnya kadar hematokrit. Menurut Blaxhall (1972) kadar hematokrit dapat digunakan untuk melihat ketercukupan ikan dalam hal protein, vitamin dan tanda ikan terinfeksi bakteri karena menurunnya nafsu makan. Pada H7 kadar hematrokrit perlakuan yang awalnya mengalami penurunan kembali meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah eritrosit. Terdapat korelasi yang kuat antara jumlah eritrosit, kadar hematokrit dan kadar hemoglobin (Fujaya, 2004). Semakin rendah jumlah eritrositnya maka rendah pula kadar hematokrit dan hemoglobin. Kadar hemoglobin perlakuan kontrol negatif cenderung stabil hingga akhir pemeliharaan dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang cenderung mengalami penurunan setelah uji tantang dilakukan terutama pada H4. Kadar hemoglobin perlakuan kontrol positif, pencegahan dan pengobatan mengalami penurunan yang cukup signifikan pada H4 yaitu nilai terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif 3,7±0,14%. Pada H7 kadar hemoglobin perlakuan yang awalnya mengalami penurunan kembali meningkat. Hal ini juga berkaitan dengan jumlah eritrosit dalam darah ikan seperti yang telah disebutkan Fujaya (2004) bahwa naik atau turun kadar hemoglobin ini dikarenakan jumlah eritrosit yang juga naik atau turun. Pengamatan organ dalam pada ikan uji yang bertahan hidup setelah uji tantang dilakukan pada akhir masa pemeliharaan yaitu H7 untuk membedakan kelainan klinis yang terjadi antar perlakuan. Perubahan morfologi dan warna 34
organ dalam pada ikan uji kontrol negatif tidak menunjukkan adanya kelainan klinis pada ikan. Ginjal dan hati berukuran normal dan berwarna merah kecoklatan, usus normal dan berwarna merah muda serta gelembung renang yang normal (Tabel 3). Pada perlakuan kontrol positif organ dalam ikan uji menunjukkan adanya kelainan klinis, yaitu ginjal berwarna merah muda, hati mengecil dengan warna merah muda yang pucat dan terdapat cairan kuning pada usus yang juga pucat. Hal ini diduga karena infeksi V. alginolyticus yang menyerang ginjal mengganggu proses sekresi sisa-sisa metabolisme dalam tubuh ikan sehingga toksik yang seharusnya dikeluarkan dari tubuh lewat feses dan urin mengendap dalam tubuh ikan (Tabel 3). Pada perlakuan pencegahan tidak terdapat kelainan klinis pada organ dalam ikan uji. Hal ini diduga karena sistem imun yang baik pada ikan uji akibat pemberian pakan yang mengandung campuran meniranbawang putih. Meniran-bawang putih yang ditelah disebutkan sebelumnya memiliki peran sebagai imunostimulan dan zat antibakteri sehingga ikan pada perlakuan ini memiliki sistem pertahanan tubuhnya sangat baik. Pada perlakuan pengobatan kondisi organ dalam ikan uji menunjukkan adanya kelainan klinis pada ginjal yang sedikit membengkak dan pucat, terdapat penghitaman pada bagian hati dan gelembung renang yang membesar. Hal ini dikarenakan respon makan ikan yang kurang baik sehingga pemanfaatan campuran meniran-bawang putih tidak bisa maksimal dalam menanggulangi infeksi bakteri V. alginolyticus dan telah disebutkan sebelumnya bakteri ini menyebabkan turunnya nafsu makan ikan. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan untuk memastikan gejala klinis dan kelainan yang terjadi pada ikan uji disebabkan karena adanya infeksi bakteri bukan karena dari faktor lingkungan seperti kualitas air yang buruk pada wadah pemeliharaan. Parameter kualitas air yang diukur adalah oksigen terlarut, Amoniak, pH, salinitas dan suhu. Kualitas air diukur pada awal, tengah dan akhir perlakuan. Khusus untuk suhu diukur setiap hari pada pagi, siang dan malam hari, sedangkan salinitas diukur setiap 4 hari sekali. Jika dibandingkan dengan standar baku mutu kualitas air untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup dalam Kep. Menneg. Lingkungan Hidup No. 52/2004 (BBL Batam, 2010), hasil pengukuran parameter oksigen terlarut, 35
amoniak dan pH pada wadah pemeliharaan tidak terlalu jauh berbeda dengan standar yang telah ditetapkan. Kadar oksigen terlarut pada awal perlakuan berkisar antara 4,55-4,85 mg/l, tengah 4,45-5 mg/l dan akhir perlakuan 5,05-5,8 mg/l (Gambar 12). Standar baku oksigen terlarut untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu >5 mg/l. Kadar amoniak pada awal perlakuan berkisar antara 0,030,09 mg/l, tengah 0,02-0,03 mg/l dan akhir perlakuan 0,03-0,04 mg/l (Gambar 13). Standar baku kadar amoniak untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu <0,3 mg/l. Kadar pH pada awal perlakuan berkisar antara 7,96-8,27, tengah 7,768,07 dan akhir perlakuan 7,93-8,09 (Gambar 14). Standar baku kadar pH untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu 7-8,5. Standar baku kadar salinitas untuk pemeliharaan ikan kerapu macan yaitu 33 mg/l. Pada penelitian ini kadar salinitas pada wadah pemeliharaan mengalami perubahan yang cukup signifikan dari awal hingga akhir perlakuan dengan kadar salinitas tertinggi mencapai 36 mg/l yang terjadi pada H0 perlakuan (Gambar 15). Hal ini dapat terjadi karena penguapan air akibat suhu yang panas di siang hari dan pergerakan air yang terus-menerus mengalir akibat sistem resirkulasi yang digunakan. Namun, ketika salinitas berada diluar kisaran standar baku dilakukan pengenceran dengan menambahkan air tawar pada wadah pemeliharaan hingga salinitas berada pada kisaran standar baku kembali. Standar baku suhu untuk pemeliharaan ikan kerapu macan berkisar antara 28-30 °C. Pada penelitian ini suhu pada wadah pemeliharaan mengalami perubahan yang cukup signifikan antara pagi, siang dan malam. Suhu tertinggi mencapai 34 °C yang terjadi pada H-8 saat siang hari perlakuan (Gambar 16).
36