III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, pH, NH3, CO2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas high-blow (E).
3.1.1 Kestabilan Sumber Energi Kestabilan sumber energi yang berbeda dilihat dari kestabilan daya listrik. Daya listrik didapatkan dari perkalian antara voltase (Volt) dan arus listrik (Ampere).
Gambar 1. Grafik kestabilan daya listrik harian pada high-blow menggunakan sumber energi yang berbeda selama penelitian. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap harinya daya listrik pada perlakuan SES relatif stabil dengan nilai berkisar antara 129,09 s.d. 149,85 watt; sedangkan daya listrik pada perlakuan SEP lebih tidak stabil dengan nilai berkisar antara 80,80 s.d. 174,80 watt. Terjadi mati listrik (daya 0 watt) pada SEP pada hari ke-4, 7, dan ke-19 (Gambar 1).
11
Gambar 2. Grafik daya listrik rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda. Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa SES memiliki daya listrik yang lebih stabil. Sedangkan pada SEP, daya listrik mengalami penurunan dari 166,30±11,29 watt menjadi 128,00±2,50 watt pada minggu ke-1, kemudian stabil pada minggu ke-2, dan turun lagi hingga 110,83±10,77 watt pada minggu ke-3. 3.1.2 Parameter Kualitas Air 3.1.2.1 Dissolved Oxygen (DO) Kelarutan oksigen merupakan parameter kualitas air utama yang diamati pada penelitian ini, Berikut ini ditampilkan grafik pengukuran DO setiap harinya.
Gambar 3. Grafik DO harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian. Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa nilai DO harian pada kedua perlakuan hampir sama. DO harian pada high-blow yang menggunakan
12
SES berkisar antara 7 s.d. 8 mg/Liter sedangkan DO pada high-blow yang menggunakan SEP berkisar antara 6,8 s.d. 8 mg/Liter.
Gambar 4. Grafik DO rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda. Berdasarkan Gambar 4. dapat diketahui bahwa DO yang menggunakan SES maupun SEP mengalami penurunan pada minggu ke-1 berturut-turut dari 7,7±0,28 mg/Liter menjadi 7,1±0,18 mg/Liter dan dari 7,7±0,26 mg/Liter menjadi 7,1±0,14 mg/Liter. Pada minggu ke-2, DO dari perlakuan SES naik menjadi 7,6±0,04
mg/Liter, sedangkan pada perlakuan SEP
DO naik
menjadi
7,5±0,03 mg/Liter. Pada minggu ke-3, DO perlakuan SES hanya turun hingga 7,5±0,05 mg/Liter, sedangkan pada perlakuan SEP turun hingga menjadi 7,1±0,25 mg/Liter. 3.1.2.2 Suhu
Gambar 5. Grafik suhu harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian.
13
Berdasarkan grafik suhu harian media pemeliharaan dapat diketahui bahwa nilai suhu harian dari kedua perlakuan relatif sama. Setiap harinya suhu media dengan perlakuan SES berkisar 26,0 s.d. 27,3 oC; sedangkan suhu harian media dengan perlakuan SEP berkisar antara 26,0 oC s.d. 27,3 oC.
Gambar 6. Grafik suhu rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda. Berdasarkan pengamatan suhu harian rata-rata, dapat diketahui bahwa suhu pada kedua perlakuan mengalami kenaikan pada minggu ke-1 kemudian mengalami penururunan sampai minggu ke-3. 3.1.2.3 pH, CO2, salinitas, dan NH3 Pengukuran kualitas air berupa parameter CO2 dan salinitas dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan pengukuran pH dan NH3 dapat dilihat pada Gambar7. dan Gambar 8. Tabel 2 Parameter kualitas air (CO2 dan salinitas) Minggu ke-
CO2 (mg/Liter)
Salinitas (ppt)
A1
A2
B1
B2
A1
A2
B1
B2
0
0
0
0
0
30
30
30
30
1
0
0
0
0
29
30
29
29
2
0
0
0
0
30
30
30
30
3
0
0
0
0
30
30
30
30
Berdasarkan pengukuran kualitas air yang dilakukan setiap 7 hari, dapat diketahui bahwa semua parameter kualitas air tidak jauh berbeda. CO2 dengan
14
perlakuan SES maupun SEP adalah 0 mg/Liter. Salinitas pada semua perlakuan berkisar antara 29 s.d. 30 ppt.
Gambar 7. Grafik pH media pemeliharaan udang vaname pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda. Berdasarkan Gambar 7. Dapat diketahui secara umum pH pada kedua perlakuan mengalami penurunan. Meskipun demikian, kedua pH masih di atas nilai 8. pH dengan SES turun hingga 8,13±0,028 sedangkan pH dengan SEP turun hingga 8,25±0,071.
Gambar 8. Grafik amoniak (NH3) media pemeliharaan udang vaname pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda. Berdasarkan Gambar 8. dapat diketahui bahwa NH3 mengalami kenaikan pada minggu pertama. Kemudian NH3 yang menggunakan SES terus mengalami penurunan hingga akhir penelitian. Sedangkan NH3 yang menggunakan SEP mengalami penurunan pada minggu ke-2, dan kembali naik pada minggu ke-3.
15
3.1.3 Oxygen Transfer Rate (OTR) dan Efektivitas High-Blow (E) Tabel 3 Oxygen transfer rate (OTR) dan efektivitas high-blow (E) A (E. Surya) OTR (kg O2/jam) E (%)
9,6 x 10 60,6
-4
B (PLN) 8,7 x 10-4 57,3
Berdasarkan pengukuran OTR dan E dapat diketahui bahwa OTR yang dihasilkan high-blow pada perlakuan SES dan SEP memiliki nilai yang hampir sama yakni sebesar 9,6 x 10-4 kg O2/jam dan 8,7 x 10-4 kg O2/jam. E pada perlakuan energi surya dan PLN juga memiliki nilai yang hampir sama yakni 60,6% dan 57,3%. 3.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR)
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 9. Grafik kelangsungan hidup (SR) udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.
Hasil kegiatan penelitian menunjukkan bahwa SR udang vaname selama pemeliharaan 20 hari tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 90±0,00% dan 96±5,60%.
16
3.1.5 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate, SGR)
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 10. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) bobot udang vaname selama 20 hari pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SGR bobot udang vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 18,69±0,04% dan 19,49±0,09%.
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 11. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) panjang udang vaname selama 20 hari pemeliharaan. Hasil kegiatan penelitian menunjukan bahwa laju pertumbuhan spesifik (SGR) panjang udang vaname vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 5,26±0,37% dan 4,9±0,60%.
17
3.2
Pembahasan Pada kegiatan budidaya perairan khususnya di hatchery, listrik sangat
diperlukan untuk menghidupkan high-blow yang berfungsi untuk aerasi. Penyediaan oksigen pada media pemeliharaan sangat penting. Jika ikan atau udang
tidak
mendapatkan
oksigen
dalam
jumlah
yang
cukup,
akan
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian massal (Garno 2004). Energi surya merupakan salah satu energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan karena suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sebenarnya sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan panel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini. Hal ini sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis (Adiyana 2011). Panel surya/ solar cells menghasilkan energi listrik tanpa biaya dengan mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik. Sel silikon (disebut juga solar cells) yang disinari matahari/ surya, membuat photon yang menghasilkan arus listrik. Sebuah panel surya rnenghasilkan kurang lebih tegangan 0.5 Volt. Jadi sebuah panel surya l2 Volt terdiri dari kurang lebih 36 sel (untuk menghasilkan l7 Volt tegangan maksimum) (Adiyana 2011). Pada penelitian ini panel disusun secara parallel. Rangkaian parallel digunakan pada panel-panel dengan tegangan output yang sama untuk memperoleh penjumlahan arus keluaran. Charge controller digunakan untuk mengatur pengisian baterai. Inverter adalah perangkat elektrik yang mengkonversikan tegangan searah (DC - direct current) menjadi tegangan bolak balik (AC - alternating current) alat ini penting dipasang karena alat penelitian yang digunakan adalah high-blow yang hanya bisa memanfaatkan arus AC. Baterai adalah perangkat kimia untuk menyimpan tenaga listrik dari tenaga surya. Tanpa baterai energi surya hanya dapat digunakan pada saat ada sinar matahari. Berdasarkan analisa statistik daya listrik (Lampiran 4.) daya listrik dengan sumber energi yang berbeda menunjukkan bahwa daya listrik pada minggu ke-0, 2, dan 3 menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-1 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pengamatan terhadap daya listrik
18
harian, menunjukkan bahwa daya listrik yang dihasilkan oleh SES cukup stabil pada 132,73±2,46 s.d. 140,03±9,78 watt. Kestabilan ini terjadi karena ada charge controller yang dapat mengatur kestabilan arus listrik yang masuk ke baterai. Selain itu, SES relatif lebih kontinyu dibanding SEP, sebab sumber energi surya terus-menerus menyuplai energi listrik ke high-blow. Daya listrik pada SEP tidak stabil yakni daya yang diamati setiap 6 jam sekali range-nya agak jauh berkisar 110,83±10,77 s.d. 166,30±11,29 watt, selain itu SEP sering mengalami mati listrik yang menyebabkan high-blow tidak hidup (daya 0 watt) dan akhirnya suplai oksigen terhenti. Mati listrik selama masa pemeliharaan terjadi pada hari ke-4 pada pukul 08.40 s.d. 08.41 WIB, hari ke-8 pukul 13.5 s.d. 14.30 WIB, hari ke-11 pada pukul 15.23 s.d. 15.24 WIB, pada hari ke-12 pada pukul 18.28 s.d. 18.54 WIB, hari ke-18 pada pukul 19.00 s.d. 21.21 WIB, dan pukul 21.22 s.d. 19.45 WIB (hari ke-19). Dari besarnya kapasitas energi yang dapat disuplai sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa kemampuan kedua sumber energi hampir sama dalam memenuhi kebutuhan minimum energi listrik yang diperlukan high-blow. Daya minimum yang digunakan high-blow sebesar 80,8 watt. SES dapat mensuplai energi listrik sebesar 135,082 watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 167,2% sedangkan SEP dapat mensuplai 127,263 watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 157,5%. Kelarutan oksigen/dissolved oxygen (DO) merupakan faktor kritis dalam kegiatan budidaya perairan menurut Hardjojo (2005) DO merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air, DO yang terlalu rendah akan menyebabkan kematian pada ikan. DO berperan penting dalam pengkondisian lingkungan perairan yang baik, karena parameter kimia ini akan mempengaruhi parameter kimia fisika perairan yang lainnya. Menurut Boyd (1991) kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Pada keadaan saturasi di suhu 26 oC dan salinitas 32 ppt, DO yang terlarut dapat sebesar 6,98 mg/Liter (Toonen 2006) namun pada penelitian yang dilakukan pada perlakuan SES maupun SEP, DO media pemeliharaan mengalami supersaturasi yakni memiliki kisaran DO 7 s.d. 8 mg/Liter dan 6,8 s.d. 8 mg/Liter. Hal ini berarti padat tebar juvenil udang masih berpeluang besar ditambah karena DO tersedia sangat banyak. Penurunan DO yang terjadi pada hari ke-19 hingga menjadi 6,8 disebabkan oleh daya yang diterima high-blow tidak ada (0 watt), high-blow tidak dapat menyuplai oksigen karena mati listrik, hanya pada hari tersebut DO mengalami penurunan kelarutan yang drastis
19
sebab pada mati listrik sebelumnya, DO tidak banyak terpengaruh sebab mati listrik terjadi tidak lama. Berdasarkan analisa statistik DO (Lampiran 5.), dapat diketahui bahwa DO yang dihasilkan high-blow menggunakan SES dengan highblow menggunakan SEP tidak berbeda nyata . DO dalam air bersumber dari difusi oksigen yang terkandung di udara ke dalam air, baik secara alami maupun karena proses aerasi, serta hasil fotosintesis biota nabati berklorofil (Batara 2004). Namun budidaya intensif tidak dapat mengandalkan oksigen dari difusi alami saja apalagi jika lingkungannya sudah sangat dikontrol seperti hatchery, maka salah satu cara untuk mempertahankan
tingkat
kelarutan
oksigen
dalam
air
adalah
dengan
pengaerasian, yaitu penambahan oksigen secara mekanik ke dalam air hingga konsentrasinya meningkat (Boyd 1982). Pada Gambar 3. mengenai DO harian, dapat diketahui bahwa DO lebih rendah pada awal pemeliharaan, sewaktu udang masih kecil hal ini dapat terjadi karena konsumsi oksigen udang kecil lebih besar dibanding udang besar sebab organisme berukuran kecil laju metabolisme tubuhnya lebih tinggi daripada yang berukuran besar (Spotte 1970). Selain itu, pakan yang terbuang pasti lebih banyak (pakan diberikan 2 ppm dari awal hingga akhir pemeliharaan) maka bahan buangan ini akan membutuhkan banyak oksigen
untuk
oksidasinya,
menurut
Hardjojo
(2005)
penyebab
utama
berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah bahan-bahan buangan yang mengkosumsi oksigen. Oksigen terlarut sangat berhubungan erat dengan suhu, semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan oksigen dalam air dan proses biologi serta kimia akan meningkat, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat pula (Boyd 1982). Pada grafik suhu harian rata-rata (Gambar 2.) dan grafik oksigen harian rata-rata (Gambar 4.) dapat diamati bahwa pernyataan Boyd ini benar. Di saat suhu naik di minggu ke-1, di saat yang sama DO turun. Pada minggu ke-2 suhu mengalami penurunan sedangkan disaat yang sama, DO meningkat. Pada minggu ke-3 suhu tetap mengalami penurunan, sedangkan DO cukup stabil kecuali DO pada perlakuan SEP. DO mengalami penurunan disebabkan oleh high-blow yang berhenti mensuplai oksigen ke media pemeliharaan. High-blow berhenti bergerak disebabkan karena listrik dari SEP mati. Berdasarkan analisa statistik suhu media pemeliharaan (Lampiran 6.) menunjukkan bahwa sumber energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap suhu. Hal
20
ini menjelaskan bahwa aerasi yang juga berfungsi sebagai pengaduk media pemeliharaan pada penelitian ini berlangsung baik (Boyd 1982). Secara umum semua parameter kualitas air yang diukur berada pada kisaran optimum kebutuhan udang vaname untuk hidup dan tumbuh. Parameter kualitas air pada perlakuan SES dengan perlakuan SEP hampir sama. Air pemeliharaan udang selalu berada pada pH >8, kisaran pH yang optimum bagi udang adalah 7,5-8,5 (Law 1988, Chien 1992 dalam Budiardi 2008). Berdasarkan analisa statistik (Lampiran 7.), pH media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. CO2 pada media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang berbeda seluruhnya bernilai 0 mg/Liter, menurut Hardjojo (2005) pada pH 8 ke atas dengan KH bernilai 1, CO2 bernilai 0 mg/Liter. Salinitas juga berada pada kisaran optimum untuk udang yakni 29 s.d. 30 ppt, menurut Boyd (1991) kisaran salinitas optimum udang vaname adalah 15 ppt - 25 ppt, namun udang vaname juga berhasil dibudidayakan di salinitas yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kisaran tersebut. Berdasarkan analisa statistik NH3 (Lampiran 8.) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada minggu ke-0, 2, dan 3, sedangkan pada minggu ke-1 menunjukkan haasil yang berbeda nyata. NH3 pada perlakuan energi surya berkisar antara 0,003 s.d. 0,021 mg/Liter sedangkan pada perlakuan PLN berkisar antara 0,004 s.d. 0,021 mg/Liter. Menurut Wickins 1976 dan Liu 1989 dalam Budiardi 2008, amoniak untuk pemeliharaan udang yang optimum adalah <0,10 mg/Liter. NH3 diperngaruhi oleh suhu dan pH. Semakin tinggi suhu, NH3 semakin banyak (Boyd 1990). Hal ini dibuktikan dengan Gambar 6. tentang suhu harian rata-rata serta Gambar. 8 tentang NH3. Pada saat minggu ke-1 suhu mengalami kenaikan begitu pula dengan NH3, ketika minggu ke-2 maupun ke-3 suhu turun, begitu pula dengan NH3. Semakin rendah pH, maka NH3 semakin sedikit (Boyd 1982). Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 7. dan Gambar 8. Pada minggu ke-2 hingga minggu ke-3 perlakuan SES pH mengalami penurunan, disaat yang sama NH3 semakin sedikit. Adapun ketika di minggu ke-2 dan ke-3 pH perlakuan SEP turun, sedangkan NH3 mengalami kenaikan. Hal ini dapat disebabkan karena terjadi mati listrik pada minggu ke-3, sehingga pasokan oksigen terhenti. Juvenil udang dapat menjadi stress jika aerasi mati/DO drastis turun, jika stress biasanya nafsu makan juvenil udang menurun, kemudian sisa pakan menjadi lebih banyak. Sisa pakan dapat menambah konsentrasi NH3 dalam perairan (Boyd 1982). pH
21
pada perlakuan memiliki kedenderungan turun. Hal ini disebabkan karena bahan organik yang terakumulasi menyebabkan penurunan pH (Boyd 1990). Pada penelitian ini juga diuji berapa nilai oxygen transfer rate (OTR) serta efektivitas high-blow (E). Besar kecilnya nilai kelajuan transfer oksigen dipengaruhi oleh: kekurangan oksigen dalam air, luas permukaan air yang menyentuh udara, dan derajat turbulensi. Kelajuan transfer oksigen sangat penting diketahui karena berhubungan dengan kelangsungan ketersediaan DO. OTR harus memenuhi DO yang telah dikonsumsi. Berdasarkan tabel OTR dan E dapat diketahui bahwa OTR yang dihasilkan high-blow pada perlakuan SES sebesar 9,6 x 10-4 kg O2/jam sedangkan pada perlakuan SEP adalah sebesar 8,7 x 10-4 kg O2/jam. Efektivitas high-blow pada perlakuan SES dan SEP juga memiliki nilai yang hampir sama yakni 60,6% dan 57,3%. Kedua nilai ini tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kedua high-blow baik yang diberi perlakuan SES maupun SEP memiliki kemampuan yang hampir sama dalam transfer oksigen. Tingkat kelangsungan hidup (SR) udang vaname dari perlakuan energi surya tidak berbeda nyata. SR pada perlakuan sumber energi surya adalah 90±0,04%, sedangkan SR udang dari perlakuan PLN adalah 96±0,09%, Mati listrik yang menyebabkan DO turun hingga 6,9 tidak menyebabkan udang menjadi mati sebab DO 6,9 masih sangat cukup dalam memenuhi kebutuhan oksigen oleh udang. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap tngkat kelangsungan hidup juvenil udang vaname. Laju pertumbuhan spesifik (SGR) bobot dan panjang juvenil udang vaname yang menggunakan sumber energi yang berbeda, tidak berbeda nyata. SGR bobot perlakuan SES adalah 18,69±0,04% sedangkan pada perlakuan SEP adalah 19,49±0,09%. SGR panjang juvenil udang vaname menggunakan perlakuan SES adalah 5,26±0,37% sedangkan pada perlakuan SEP adalah 4,9±0,60%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan juvenil udang vaname.
22