III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Tahap I : Penentuan Sumber Ion (Flokulan) Flokulan yang berbeda ternyata memberikan efek yang berbeda pula terhadap profil kekeruhan air. Gambar 3 menunjukkan bahwa pada tingkat kekuatan ion yang sama, flokulan kalsium klorida (CaCl2) memberikan efek penurunan turbiditas air yang terbaik, dibandingkan dengan ketiga bahan lainnya,
Tingkat Penurunan Kekeruhan (NTU)
yaitu sodium silikat, kaolin, dan bentonit (Lampiran 4). 40.0 25.0 10.0 -5.0 -20.0 -35.0 -50.0 -65.0 -80.0 -95.0 -110.0 -125.0
20.0
9.6 Kontrol CaCl2 -15.6
-24.40
Kaolin
Silikat Bentonit
-109.6
Gambar 3. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok pada flokulan yang berbeda yaitu kalsium klorida (CaCl2), sodium silikat (Na2SiO3), kaolin (Al2Si2O5(OH)4), bentonit (Al2O3.4SiO2H2 O), dan kontrol. 3.1.2 Tahap II : Penentuan Tingkat Kekuatan Ion Peningkatan kekuatan ion ternyata memberikan efek penurunan tingkat kekeruhan air. Hal tersebut terlihat pada Gambar 4. Perlakuan kekuatan ion 5.10-2 (1,7.10-2 M) memberikan pengaruh yang terbaik terhadap tingkat penurunan kekeruhan air media bioflok sebesar 13,2 NTU (Lampiran 5). Nilai penurunan kekeruhan yang negatif pada perlakuan kekuatan ion 5.10-1 (1,7.10-1 M) yaitu -3,6 NTU, menunjukkan tingkat kekeruhan air yang meningkat.
10
16.0 13.2
Tingkat Penurunan Kekeruhan (NTU)
14.0 12.0
10.0 10.0
Kontrol
10.0
1,7.10-5
8.0
1,7.10-4
6.0 4.0
1,7.10-3
2.7
2.0
1,7.10-2
0.5
1,7.10-1
0.0 -2.0 -4.0
-3.6
-6.0
Gambar 4. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok selama proses pengendapan dua jam pada perlakuan tingkat konsentrasi kekuatan ion yang berbeda menggunakan kalsium klorida (CaCl2) yaitu 1,7.10-5M, 1,7.10-4 M, 1,7.10-3 M, 1,7.10-2 M, 1,7.10-1 M, dan kontrol. 3.1.3 Tahap III : Uji Biologis Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian jumlah CaCl2 dengan dosis konsentrasi 1,85 g/L memberikan efek penurunan kekeruhan air terbaik, selama lima hari perlakuan (Lampiran 6). Tingkat Kekeruhan (NTU)
60.00 50.00 40.00 Kontrol
30.00
0,46 g/L 20.00
0,93 g/L
10.00
1,85 g/L
0.00 0
1
2
3
4
5
Hari keGambar 5. Tingkat kekeruhan pada media bioflok pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan.
11
Hasil yang sama juga diperoleh pada parameter volume flok (Gambar 6). Peningkatan volume flok secara konsisten dihasilkan pada pemberian CaCl2 dengan dosis konsentrasi 1,85 g/L dan 0,93 g/L sejak pemberian pertama hingga kelima kalinya (Lampiran 7). 35.00 Volume Flok (ml/L)
30.00 25.00 20.00
Kontrol
15.00
0,46 g/L
10.00
0,93 g/L
1,85 g/L
5.00 0.00 0
1
2
3
4
5
Hari keGambar 6. Volume flok pada media bioflok pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan. Kenaikan volume flok secara jelas terlihat dari perlakuan penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 1,85 g/L selama lima hari perlakuan. Pengukuran parameter kualitas air yang berupa TAN dan nitrit pada awal dan akhir pemeliharaan, masih dalam rentang aman yang dianjurkan dalam kegiatan budidaya udang vaname. Kadar TAN berkisar 0,5-0,9 mg/L, sedangkan kadar nitrit berada pada kisaran 2-2,5 mg/L. Gambar 7 dan 8 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian flokulan CaCl2 dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap parameter laju pertumbuhan harian. Pertumbuhan spesifik tertinggi terlihat pada perlakuan penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 0,46 g/L dengan nilai 5,34 ± 0,11%/hari (Lampiran 8). Sedangkan sintasan relatif sama untuk semua perlakuan dengan kisaran 93,33-100% (Lampiran 8).
12
SGR (%/hari)
6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
4.89
5.34
4.92 4.74
Kontrol 0,46 g/L 0,93 g/L
1,85 g/L
Gambar 7. Laju pertumbuhan spesifik (%/hari) udang vaname Litopenaeus vannamei pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan). 100
100
92
92
95
Kontrol
SR (%)
80
0,46 g/L
60
0,93 g/L
40
1,85 g/L
20 0
Gambar 8. Sintasan (%) udang vaname Litopenaeus vannamei pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan). Pada pengamatan visual mikroskopik (Gambar 9), bioflok yang diberi flokulan dengan aplikasi kekuatan ion, menghasilkan struktur yang kompak dan menyatu, dibandingkan yang tanpa pemberian flokulan (CaCl2).
(a)
(b)
Gambar 9. Pengamatan mikroskopik (perbesaran 40x) bioflok yang diambil dari media pemeliharaan pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei (hari ke-9): (a) Kontrol, (b) Bioflok setelah pemberian CaCl2 (I = 5 .10-2). 13
3.2 Pembahasan Mekanisme flokulasi dalam pembentukan bioflok ada 3 jenis, tergantung dari kondisi limbah atau media yang akan diberi perlakuan flokulasi, yang meliputi bridging mechanism, charged-patch neutralization, dan network model (Poirier 2001). Charged-patch neutralization merupakan mekanisme penetralan partikel akibat adanya penambahan ion. Flok yang bermuatan negatif, dengan diberi penambahan polimer atau flokulan bermuatan positif, menyebabkan flok bermuatan netral dan polimer menjadi perekat antar partikel, sehingga secara simultan koagulasi dapat terjadi (Poirier 2001). Sedangkan network model adalah proses pelekatan antar partikel akibat penambahan polimer yang membentuk ikatan dengan ikatan hidrogen, ikatan Van der Waals, maupun mekanisme pengikatan partikel yang lain (Poirier 2001). Bridging mechanism merupakan proses alamiah yang umum terjadi pada aplikasi teknologi bioflok. Mekanisme ini merupakan proses ketika rantai polimer yang dihasilkan suspensi partikel saling terkait, sehingga membentuk flok yang dapat mengendap melalui proses sedimentasi (Poirier 2001). Suazo (2006) juga menyatakan bahwa komponen polimer adalah sarana utama dalam agregasi individu sel bakteri dalam membentuk partikel flok. Komponen biopolimer produk sampingan yang dihasilkan dari proses perkembangan maupun lisis sel bakteri (Suazo 2006). Selain keberadaan polimer mekanisme lain yang mungkin berperan dalam pembentukan flok bakteri adalah kondisi eksternal yang melingkupi sel bakteri, konfigurasi bioreaktor, kation, kekuatan ion, serta jumlah partikel (Suazo 2006). Pelekatan sel-sel bakteri merupakan komponen utama dalam flokulasi. Pelekatan ini berlangsung dalam 2 fase yaitu fase I yang bersifat reversible dan fase II yang irreversible (Zita dan Hermansson 1994) Pelekatan fase I merupakan proses yang berdasar pada prinsip teori DLVO (Derjaugin, Landau, Verwey, and Overbeek), sedangkan fase II proses yang terjadi akibat pelekatan polimer maupun flagel bakteri penyusun bioflok (Zita dan Hermansson 1994). Bioflok, pada bagian permukaan memiliki muatan yang bernilai negatif (Gambar 10) (De Schryver et al. 2008). Oleh sebab itu, dengan diketahui muatan flok yang negatif, penerapan penambahan ion bermuatan positif maupun polimer dapat diterapkan dengan dasar ketiga teori yang dijelaskan sebelumnya.
14
Gambar 10. Penampang lapisan permukaan partikel sel dan muatannya serta area potensial elektrik (De Schryver et al. 2008). Ketika partikel berada dalam suatu medium cair, sebagian dari diffuse layer akan terlepas, berikut dengan muatan ion yang terdapat didalamnya. Mekanisme ini mengikuti prinsip dasar dari hukum Van der Waals (De Schryver et al. 2008). Pelepasan inilah yang menyebabkan polarisasi molekul dan meningkatkan induksi antar partikel, yang selanjutnya menciptakan agregasi diantara partikel-partikel tersebut (De Schryver et al. 2008). Pada Tahap I, kekuatan ion diterapkan pada berbagai flokulan yang umumnya sudah dipakai pada aplikasi teknologi bioflok. Tingkat kekuatan ion yang diaplikasikan pada tahap ini merupakan hasil penelitian sebelumnya pada limbah pertanian air tawar yang dilakukan oleh Zita dan Hermansson (1994). Flokulan merupakan bahan yang dapat memberikan efek flokulasi pada partikelpartikel terlarut (Triphaty dan De Ranjan. 2006). Gambar 11 memperlihatkan bahwa pada dosis flokulan yang optimal akan menghasilkan flok yang optimal pula. Pemilihan bahan-bahan uji pada penelitian Tahap I bertujuan untuk menguji keoptimalan pembentukan bioflok dari flokulan yang selama ini dipakai dalam aplikasi teknologi bioflok pada budidaya perairan. Penggunaan kaolin dalam budidaya udang intensif telah diterapkan oleh Central Pertiwi Bahari (Conquest dan Tacon 2006) dengan tujuan untuk memacu pembentukan flok bakteri. Sementara sodium silikat dan bentonit dipilih
15
berdasarkan penelitian sebelumnya pada budidaya ikan sistem bioflok (Rohmana 2009, Avnimelech 2009). Selain itu kedua bahan tersebut merupakan flokulan golongan an-organik, dimana komponen utama yang terkandung adalah alumunium (Triphaty dan De Ranjan 2006). Sedangkan kalsium klorida adalah bahan flokulan yang sudah dikenal dan termasuk dalam jenis polimer kation (Triphaty dan De Ranjan 2006).
Gambar 11. Pengaruh dosis polimer flokulan terhadap flokulasi (Poirier et al. 2001). Hasil Tahap I menunjukkan bahwa pada tingkat kekuatan ion yang sama (5.10-2), flokulan CaCl2 memberikan penurunan kekeruhan air yang paling tinggi dibandingkan ketiga bahan lainnya. Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh De Schryver et al. (2008), bahwa penambahan ion divalen, seperti Ca2+, dapat memberi pengaruh yang signifikan dalam formasi flok. Gambar 12 menunjukkan bahwa keberadaan kation dijadikan sebagai penghubung antara partikel yang bermuatan sama (negatif). Hal tersebut terjadi dan dapat dijelaskan melalui teori DCBT (Divalent Cation Bridging Theory), yang menjelaskan bahwa kation divalen bertindak sebagai ‘jembatan’ penghubung diantara kumpulan partikel yang bermuatan negatif, sehingga menciptakan matriks biopolimer tambahan, yang dapat menstimulasi bioflokulasi (Suazo 2006).
Gambar 12. Mekanisme aktivasi oleh kation divalen pada partikel bermuatan negatif (Poirier et al. 2001).
16
Ketiga bahan lain yang diuji, selain kalsium klorida, justru mengakibatkan peningkatan kekeruhan air. Hal ini disebabkan karena adanya akumulasi dari bahan flokulan yang tidak terlarut yang diduga diakibatkan oleh jenuhnya konsentrasi bahan tersebut dalam air (Gambar 12). Zita dan Hermansson (1994) dan Mogadham et al. (2005) menyatakan hal yang sama bahwa peningkatan kekuatan ion mencapai 0,1 - 0,5 mengakibatkan pendispersian/pelepasan bagianbagian partikel. Tingkat kekuatan ion yang tinggi, menurut Mogadham et al. (2005) dapat menyebabkan deflokulasi. Berdasarkan hasil, konsentrasi bahan sodium silikat, kaolin, bentonit yang digunakan, berturut-turut adalah 1,7.10-2 M, 5.10-3 M, 5.10-3 M. Pasa penelitian Tahap II dilakukan pengujian pengaruh tingkat kekuatan ion terhadap agregasi bakteri. Bakteri yang teragregasi akan membentuk partikel yang lebih besar dan memiliki kemampuan untuk mengendap apabila dilakukan proses sedimentasi (Suazo 2006), sehingga berpengaruh pada tingkat kekeruhan air. Gambar 4 menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan kekuatan ion, penurunan tingkat kekeruhan air juga semakin besar. Penurunan kekeruhan tertinggi diperoleh pada tingkat kekuatan ion 5.10-2 (1,7.10-2 M). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zita dan Hermansson (1994) yang menyatakan bahwa kekuatan ion 5.10-4 - 5.10-2, memberikan efek flokulasi yang paling baik. Ditambahkan pula oleh Mogadham et al. (2005), perubahan kecil dari komponen kekuatan ion maupun komposisi ion di dalam air, secara langsung akan memberikan pengaruh terhadap struktur dari flok. Sedangkan peningkatan nilai kekeruhan yang dihasilkan pada tingkat kekuatan ion 5.10-1 (1,7.10-1 M) disebabkan karena flok yang terdispersi atau membentuk partikel yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Mogadham et al. (2005) bahwa peningkatan kekuatan ion dapat mereduksi ketebalan double layer yang dapat memacu terjadinya flokulasi. Namun pada tingkat kekuatan ion yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan deflokulasi, yaitu pada ambang batas 10-100 mM. Flok yang terdispersi tersebut diakibatkan adanya mekanisme pergantian ion, perubahan interaksi adhesif substrat polimer, serta salting-out effects (DLVO Tahap II) (Zita dan Hermansson 1994).
17
Hasil penelitian Tahap III diperoleh bahwa hasil terbaik diperoleh pada dosis yang sama seperti awal pemberian CaCl2 pada Tahap II yaitu 1,85 g/L. Berdasarkan pengukuran parameter tingkat flokulasi, turbiditas dan volume flok, 1,85 g/L merupakan konsentrasi terbaik dalam menstimulasi pembentukan bioflok. Namun dari sisi biologis terutama pertumbuhan udang, perlakuan penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 0,46 g/L, justru menunjukkan hasil terbaik. Penyebab dari dihasilkannya laju pertumbuhan yang baik namun dalam konsentrasi flokulan yang rendah, diduga karena konsentrasi kalsium yang tinggi menghambat pertumbuhan udang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Abidin (2011) bahwa kadar kalsium yang terlalu tinggi menghambat transfer kalsium dari lingkungan ke dalam tubuh udang. Peningkatan bobot udang akibat pertumbuhan juga meningkatkan kadar kalsium kulit pada tubuh udang (Abidin 2011). Indikasi lain yaitu penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 1,85 g/L menyebabkan pembentukan flok menjadi ukuran yang terlalu besar, sehingga ukurannya tidak sesuai dengan kebutuhan udang yang dipelihara sehingga tidak termanfaatkan secara baik. De Schryver et al. (2008) menyatakan spesies dewasa cenderung memanfaatkan flok yang berukuran besar, sedangkan spesies yang masih stadia juvenil cenderung memilih flok yang berukuran
kecil. Namun, berdasarkan
parameter sintasan, penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 0,46 g/L menghasilkan sintasan yang kecil. Hal ini diduga bahwa pada konsentrasi kalsium yang rendah, molting berlangsung dengan frekuensi sedikit dengan waktu yang lama, sehingga menyebabkan kanibalisme. Dugaan tersebut sesuai dengan penelitian Abidin (2011) yang menyimpulkan bahwa penambahan kalsium memberikan pengaruh terhadap kecepatan dan frekuensi molting udang. Pemberian CaCl2 pada pendederan udang vaname ternyata juga tidak memberikan dampak negatif terhadap spesies budidaya. Hal ini tercermin dari nilai sintasan yang masih tinggi. Pengaruh ion kalsium terhadap spesies Litopenaeus vannamei telah diuji oleh Cheng et al. (2006) melalui pemberian pakan, yang menyatakan bahwa pakan udang yang mengandung kandungan 1% kalsium, dan 2% potassium akan memberikan performa pertumbuhan udang yang baik.
18