III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Pertumbuhan Biomassa Cacing Sutra Pola perkembangan biomassa cacing sutra relatif sama, yaitu biomassa cacing meningkat sejalan dengan masa pemeliharaan membentuk kurva sigmoid (Gambar 2). Pertumbuhan biomassa meningkat sampai hari ke-45 dan menurun setelah itu. Biomassa cacing pada semua perlakuan tidak berbeda nyata pada hari ke-45 dan hari ke-60, sehingga hari ke-45 ditetapkan sebagai puncak populasi. Dengan demikian disimpulkan bahwa biomassa mencapai puncak pada hari ke-45 dan di antara semua perlakuan biomasa tertinggi dicapai pada perlakuan LP yaitu 89,56 g/m2.
Gambar 2. Perkembangan biomassa rata-rata cacing sutra dengan perbedaan substrat dan sumber air (LP=Air budidaya lele+Pasir, LL=Air budidaya lele+lumpur, SP=Air sumur+pasir, SL=Air sumur+lumpur) selama 60 hari pemeliharaan
7
Berdasarkan Tabel 1, hasil analisis ragam biomassa cacing sutra selama pemeliharaan menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan (p<0,05). Biomassa pada LP lebih tinggi daripada SP, SL dan LL, sedangkan biomassa pada perlakuan LL paling rendah biomassa tertinggi dalam pemeliharaan cacing sutra dicapai pada kombinasi sumber air budidaya lele dan substrat pasir (LP) dengan rata-rata biomassa sebesar 89,56 g/m2, kemudian kombinasi air sumur dan substrat lumpur (SL) dengan rata-rata biomassa sebesar 55,63 g/m2, kombinasi air sumur dan substrat pasir (SP)dengan rata-rata biomassa sebesar 55,29 g/m2, kombinasi budidaya lele dan substrat lumpur (LL) dengan rata-rata biomassa sebesar 47,48 g/m2. Tabel 1. Biomassa rata-rata cacing sutra pada hari ke-45 Perlakuan LP LL SP SL
Biomassa rata-rata (g/m2) 89,56±12,90a 47,48±15,90c 55,29±17,15b 55,63±15,19b
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
Selama pemeliharaan, di wadah cacing terlihat tabung-tabung kecil yang terbuat dari substrat dan memenuhi seluruh permukaan media (Gambar 3).
Gambar 3. Permukaan media dengan substrat pasir yang dipenuhi tabung
Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, produktivitas cacing sutra pada penelitian ini terdapat peningkatan. Biomassa pada puncak populasi yang dihasilkan mencapai 12,9 kali lipat dari biomassa awal (Tabel 2).
8
Tabel 2. Perbandingan produktivitas budidaya cacing sutra Findy (2011) Densitas awal (ind/m2) Biomassa awal (g/m2) Jumlah individu panen (ind/m2) Biomassa panen (g/m2) Substrat Sumber Air Peningkatan biomassa Bobot rata-rata (g/ekor) awal Bobot rata-rata (g/ekor) awal
Hasil Penelitian ini
150000
6900
150
6,9
1.346.360
88.890
1.346,36 KS+Pasir Sumur Fakultas
88,89 KAF+Pasir Air BD Lele
9,0
12,9
0,001
0,001
0,001
0,001
3.1.2 Kualitas Air Pada Tabel 3 dinyatakan konsentrasi DO air limbah budidaya lele tertinggi selama masa pemeliharaan adalah 3,25 mg/ℓ yang terjadi pada awal pemeliharaan dan konsentrasi DO terendah adalah 2,27 mg/ℓ, nilai pH berkisar antara 6,00-7,60 dan suhu selama pemeliharaan berkisar antara 25,0-27,0 °C. Konsentrasi DO air sumur tertinggi selama masa pemeliharaan adalah 3,66 mg/ℓ yang terjadi pada awal pemeliharaan dan konsentrasi DO terendah adalah 2,17 mg/ℓ, nilai pH berkisar antara 6,17-7,83, suhu selama pemeliharaan berkisar antara 26,0-27,0 °C. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
9
Tabel 3. Kualitas air pada tandon selama pemeliharaan Hari ke-
Parameter
0
15
30
45
60
Air Limbah Budidaya Lele DO (mg/ℓ)
3,25-3,43±0,15
2,27-3,62±0,60
3,12-3,56±0,15
2,27-3,71±0,60
pH
7,60-7,83±0,09
7,03-7,30±0,09
6,85-6,89±0,05
6,00-7,80±1,84
2,313,66±0,3853 6,76-6,81±0,02
Suhu (°C)
25,9-27,0±0,4
25,0-27,0±0,7
26,3-26,5±0,3
26,0-26,4±0,2
25,0-27,0±0,8
Amoniak (mg/ℓ)
0,049
DO (mg/ℓ)
3,27-3,66±0,17
3,25-3,57±1,14
2,17-3,66±0,62
3,16-3,75±0,40
3,20-3,53±0,21
pH
7,76-7,83±0,03
7,04-7,11±0,04
6,95-6,98±0,05
6,17-7,75±0,40
6,82-6,92±0,04
Suhu ( °C)
26,0-27,2±0,5
26,0-27,0±0,5
26,3-26,5±0,1
26,1-26,4±0,1
26,4-26,8±0,2
0,099 Air Sumur
Amoniak (mg/ℓ)
0,034
0,067
3.1.3 Substrat Berdasarkan Tabel 4, kandungan bahan organik total (TOM) tertinggi diperoleh pada perlakuan kombinasi antara air budidaya lele dengan substrat lumpur (LL), yaitu sebesar 91,63% kemudian kombinasi antara air budidaya lele dengan substrat pasir (LP) sebesar 83,02%, air sumur dengan substrat lumpur (SL) sebesar 74,77%, dan air sumur dengan substrat pasir sebesar 74,77%. Tabel 4. Kandungan bahan organik total (TOM) pada substrat pemeliharaan cacing Perlakuan Ulangan Kadar abu (%) TOM (%) LP
LL
SP
SL
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
4,94 21,53 24,46 7,75 11,45 5,90 21,20 19,07 37,70 20,18 7,86 47,65
Rata-rata
95,06 78,47 83,02±10,53 75,54 92,25 88,55 91,63±2,83 94,10 78,80 80,93 74,01±10,20 62,30 79,82 92,14 74,77±20,37 52,35
LP=Air budidaya lele+Pasir, LL=Air budidaya lele+lumpur, SP=Air sumur+pasir, SL=Air sumur+lumpur
10
3.2 Pembahasan Secara deskriptif, Gambar 2 menunjukkan perbedaan biomassa pada setiap perlakuan. Pola pertumbuhan cacing sutra selama pemeliharaan secara khas dicirikan oleh suatu fungsi pertumbuhan yang disebut kurva sigmoid. Pola ini meliputi beberapa fase, yaitu fase lag, fase logaritma atau eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian. Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu saat individu akan berusaha menyesuaikan diri dengan media tumbuhnya sehingga tidak terjadi kenaikan jumlah individu (Fogg, 1975 dalam Wulandari, 2011). Pada semua perlakuan, cacing sutra mengalami fase lag selama 15 hari. Hal ini menandakan lamanya waktu yang diperlukan oleh cacing sutra untuk beradaptasi terhadap media tumbuhnya. Sesuai dengan pernyataan Fogg (1975) dalam Wulandari (2011), pada fase ini pertumbuhan lambat karena alokasi energi dipusatkan untuk penyesuaian diri terhadap media kultur yang baru dan untuk pemeliharaan sehingga hanya sebagian kecil atau tidak ada energi yang digunakan untuk tumbuh. Fase eksponensial merupakan fase terjadinya peningkatan biomassa yang berlangsung secara cepat. Pada masa pemeliharaan, fase ini terjadi pada hari ke-15 hingga hari ke-45. Pertumbuhan yang signifikan dapat terlihat jelas dari hari ke-30 sampai hari ke-45 dan menurun sampai hari ke-60. Hal ini menandakan bahwa daya dukung lingkungan telah tercapai secara maksimal sehingga puncak pertumbuhan
tercapai pada hari ke-45.
Biomassa tertinggi dihasilkan oleh
perlakuan kombinasi sumber air budidaya lele dengan substrat pasir yaitu sebesar 89,56 g/m2. Menurut Aston (1982) dalam Lietz (1987), pertambahan populasi cacing berkali lipat dalam 11 hari sampai 42 hari (Marian dan Pandian, 1984). Media yang digunakan sebagai sumber bahan makanan cacing sutra berbeda-beda, seperti kotoran sapi segar (Marian dan Pandian, 1984), kotoran ayam yang difermentasi (Fadilah, 2004), kotoran burung puyuh, dedak halus dan limbah ampas tahu (Khairuman et al., 2008). Pertumbuhan biomassa setelah hari ke-45 relatif lambat dan terjadi penurunan bila dibandingkan dengan fase eksponensial dikarenakan adanya faktor pembatas seperti zat nutrisi yang ada di dalam media sudah sangat berkurang. Sementara itu pada puncak biomassa atau fase stasioner, jumlah individu tidak 11
berubah karena penambahan kepadatan populasi seimbang dengan penurunan kepadatan populasi yang diduga akibat kematian, dalam hal ini daya dukung (carrying capacity) telah tercapai. Penggunaan komposisi lumpur dan pasir sebagai substrat bertujuan untuk mengikuti habitat asli dari cacing sutra karena cacing sutra umumnya dijumpai di selokan berlumpur. Habitat asli Tubificidae yaitu liat berlumpur atau liat berpasir (Marchese, 1987). Marian dan Pandian (1984) menyatakan bahwa bila dibandingkan pasir kasar (coarse sand), pasir sedang (medium sand), serabut kelapa (coconut mesocarp), maka pasir halus (fine sand) merupakan jenis terbaik yang dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan dan fekunditas cacing. Penggunaan kotoran ayam fermentasi dapat meningkatkan produktivitas budidaya cacing sutra karena memililki kelebihan berupa tingginya kandungan Corganik dan N-organik yang diperoleh dari proses fermentasi atau pengomposan oleh aktivator (Fadilah, 2004). Menurut Gaur (1983) dalam Fadilah (2004), aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui 2 cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif menghancurkan bahan organik, kedua yaitu meningkatkan kadar N- organik yang merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme. Cacing dari famili tubificidae biasanya memakan bakteri dan partikel-partikel organik hasil perombakan oleh bakteri (Brinkhurst, 1972 dalam Fadilah, 2004). Nilai total kandungan bahan organik tertinggi yaitu pada perlakuan kombinasi antara limbah lele dengan substrat lumpur sebesar 91,63%. Tingginya kandungan bahan organik ini pada umumnya akan meningkatkan aktivitas bakteri yang menguraikan bahan organik. Hal ini akan berakibat pada penurunan konsentrasi DO pada wadah budidaya karena digunakan oleh bakteri dalam menguraikan bahan organik. Tingginya nilai TOM juga berpengaruh pada konsentrasi amoniak pada wadah budidaya, karena semakin tinggi bahan organik pada wadah pemeliharaan maka amoniak yang dihasilkan juga akan tinggi. Ini dibuktikan dengan melihat konsentrasi amoniak pada tandon budidaya lele lebih tinggi dibandingkan air sumur. Manfaat penggunaan substrat pasir ini selain berfungsi sebagai substrat yang baik, juga dapat memperangkap oksigen di dalam 12
pori-porinya (di antara butiran pasir). Penambahan pasir halus ke media meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan fekunditas cacing dengan cara : (1) mempertahankan kandungan oksigen media dengan baik diatas titik kritis sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi dari hasil metabolisme seperti NH3 yang dapat menekan pertumbuhan dan reproduksi, (2) menyediakan substrat yang lebih kokoh dan tebal yang memudahkan pemanfaatan energi lebih kepada pertumbuhan dan reproduksi dengan memperkecil aktivitas (Marian dan Pandian, 1984). Hal tersebut memperkuat alasan tingginya produktivitas biomassa cacing yang dipelihara dengan mengunakan substrat pasir. Selain dari segi komposisi substrat, tingginya produktivitas cacing sutra juga dipengaruhi oleh air. Kebutuhan makanan cacing sutra akan terus meningkat seiring pertumbuhan biomassa cacing sutra. Ketersediaan makanan di dalam wadah budidaya akan mempengaruhi laju pertumbuhan cacing sutra. Dalam hal ini, sistem resirkulasi berperan dalam menjaga ketersediaan makanan. Pada umumnya, dalam setiap penelitian budidaya cacing sutra digunakan sistem sirkulasi sehingga air yang masuk akan terbuang begitu saja. Padahal ada kemungkinan air yang mengalir akan membawa bahan-bahan organik yang merupakan makanan bagi cacing sehingga persediaan makanan pada substrat akan berkurang. Selama pemeliharaan, konsentrasi DO menunjukkan kisaran yang relatif stabil. Kisaran nilai DO pada tandon air limbah lele yaitu 2,27 mg/ℓ - 3,25 mg/ℓ, sedangkan kisaran nilai DO pada tandon air sumur yaitu 2,17 mg/ℓ – 3,66 mg/ℓ. Perkembangan embrio normal terjadi pada kisaran konsentrasi DO 2,5 mg/ℓ – 7 mg/ℓ (Poddubnaya, 1980 dalam Marian dan Pandian, 1984) dan jika konsentrasi DO lebih rendah dari 2 mg/ℓ akan mengurangi nafsu makan (McCall dan Fisher, 1980 dalam Marian dan Pandian, 1984). Menurut Gnaiger et al. (1987) oligochaetes akuatik dikenal dengan kemampuannya untuk bertahan lama dalam keadaan anoksia (kekurangan oksigen). Penurunan oksigen terjadi akibat peningkatan populasi cacing yang menyebabkan adanya kompetisi dalam mendapatkan oksigen. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian debit air yang tinggi sehingga dapat mensuplai kembali kandungan oksigen dan mencuci bahan 13
toksik pada media pemeliharaan. Kisaran nilai pH pada tandon air limbah lele selama penelitian adalah 6,00-7,60, sedangkan kisaran nilai pH pada tandon air sumur adalah 6,17-7,83. Nilai tersebut merupakan nilai pH yang optimum bagi cacing. Menurut Whitley (1968) kisaran pH antara 5,5-7,5 dan 6,0-8,0 ketahanan tubifisid masing-masing sekitar 24-96% dan 77-94%. Suhu pada tandon air limbah lele yaitu 25,0-27,0 °C, sedangkan pada tandon air sumur berkisar 26,0-27,0 °C. Kisaran nilai ini masih berada pada kisaran yang optimum bagi pertumbuhan cacing sutra. Menurut Kaster (1980) kapasitas Tubifex tubifex kuat dipengaruhi oleh suhu. Struktur dari Tubifex tubifex tidak berkembang pada budidaya dengan suhu 5°C, tetapi pada suhu 15°C dan 25°C cacing berkembang menuju kematangan seksual. Kandungan amoniak pada tandon air limbah lele dan air sumur maing-masing yaitu 0,0490,099 mg/ℓ dan 0,034-0,067 mg/ℓ, namun nilai tersebut masih dalam kisaran normal. Jenkis (1971) dalam Chumaidi et al. (1988) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 letal bagi tubifisid adalah 3,6 mg/ℓ. Berdasarkan hasil penelitian, biomassa tertinggi diperoleh dari pelakuan LP, yaitu sebesar 89,56 g/m2 . Nilai kandungan total bahan organik (TOM) pada perlakuan LP yang cukup tinggi, yaitu sebesar 83,02% menyebabkan kebutuhan akan oksigen meningkat akibat tingginya aktivitas bakteri untuk menguraikan bahan organik. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan substrat pasir karena pasir
dapat
mempertahankan
kandungan
oksigen
pada
media
dengan
memperangkapkan oksigen di sela butiran pasir. Selain itu, pasir juga berfungsi sebagai substrat yang kokoh sehingga dapat bertahan menghadapi aliran air sehingga memudahkan pemanfaatan energi lebih kepada pertumbuhan dan reproduksi dengan memperkecil aktivitas. Biomassa tertinggi diperoleh pada hari ke-45. Hal ini menunjukkan bahwa panen dapat dilakukan pada heri ke-45 yaitu pada saat tercapainya biomassa puncak. Setelah membandingkan dengan pustaka yang ada, ternyata tabung pada Gambar 4 merupakan rumah bagi cacing. Pada kondisi oksigen rendah, cacing tubifisid akan menggerakkan bagian ekornya dengan kuat untuk menghasilkan aerasi. Namun, ketika kondisi oksigen sudah cukup banyak, maka cacing akan cenderung diam (Pennak, 1953). Tabung yang terbentuk merupakan ciri dari cacing golongan tubifisid. 14