III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Amplifikasi DNA pada 3 populasi dapat dilihat pada Gambar 3-5. Profil DNA teramplifikasi dengan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
1
2
3
1
2
3
1
2
3
M
3000 bp 1000 bp 500 bp
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Gambar 3. Amplifikasi OPA-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan
4
5
6
4
5
6
4
5
6
M
3000 bp 1000 bp 500 bp
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Gambar 4. Amplifikasi OPC-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
8
1
2
3
1
2
3
1
2
3
M
3000 bp
1000 bp 500 bp
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Gambar 5. Amplifikasi OPC-05 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Tabel 3. Jumlah fragmen dan ukuran fragmen 3 populasi ikan betok Populasi Betok Jawa Sumatera Kalimantan
Jumlah Fragmen 24-26 23-27 18-20
Kisaran Ukuran Fragmen (bp) 100-2000 100-2000 275-1750
Jumlah fragmen teramplifikasi berkisar antara 18-27 pada kisaran 100-2000 bp. Jumlah fragmen terbanyak adalah populasi ikan betok Sumatera dengan kisaran 100-2000 bp. Sedangkan kisaran terendah adalah populasi ikan betok Kalimantan yaitu 275-1750 bp.
3.1.2. Polimorfisme Tingkat keragaman genetik populasi meliputi derajat polimorfisme dan heterozigositas (Lampiran 2). Polimorfisme memberikan gambaran mengenai tingkat keragaman suatu populasi (Yuwono, 2006). Perbedaan jumlah dan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan setiap primer menggambarkan keunikan genom yang diamati. Pita DNA hasil amplifikasi merupakan pasangan antara nukleotida primer dengan nukleotida sampel. Panjang ukuran fragmen pita DNA yang dihasilkan setelah amplifikasi berkisar 100 sampai 2000 bp (base pairs).
9
Tabel 4. Persentase polimorfisme 3 populasi ikan betok Populasi Betok Jawa Sumatera Kalimantan
Polimorfisme (%) 18.52 22.22 25.93
Persentase polimorfisme berkisar antara 18,52% sampai 25,93%. Persentase polimorfisme tertinggi adalah populasi ikan betok Kalimantan yaitu sebesar 25,93%, sedangkan polimorfisme terendah adalah populasi ikan betok Jawa yaitu sebesar 18,52%.
3.1.3. Heterozigositas Heterozigositas tiap populasi disajikan dalam Tabel 5 berikut: Tabel 5. Nilai heterozigositas 3 populasi ikan betok Populasi Betok
Heterozigositas
Jawa
0,088
Sumatera
0,095
Kalimantan
0,109
Nilai rata rata heterozigositas terendah dimiliki ikan betok dari populasi Jawa yaitu sebesar 0,088, sedangkan heterozigositas ikan betok tertinggi adalah populasi ikan betok dari Kalimantan yaitu sebesar 0,109.
3.1.4. Uji perbandingan Fst Secara statistik dengan menggunakan uji perbandingan Fst, menunjukkan ada perbedaan genetik secara nyata antara populasi ikan betok Kalimantan terhadap populasi betok Jawa dan Sumatera. Tabel 6. Nilai uji perbandingan berpasangan Fst 3 populasi ikan betok Populasi Betok
Jawa
Jawa
*****
Sumatera
Sumatera
0,9986ns
*****
Kalimantan
0,0000
0,0000
Keterangan : F ≤ 0,05 = berbeda nyata
Kalimantan
*****
F > 0,05 = tidak berbeda nyatans
10
Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa antara populasi ikan betok Kalimantan dengan Jawa dan Sumatera berbeda nyata. Sedangkan ikan betok Jawa dan Sumatera tidak berbeda nyata.
3.1.5. Jarak genetik Pada Tabel 7 di bawah ini disajikan jarak genetik masing masing populasi ikan betok dari tiap tiap populasi. Tabel 7. Jarak genetik 3 populasi ikan betok Populasi Betok
Jawa
Sumatera
Jawa
*****
Sumatera
0,279
*****
Kalimantan
0,551
0,398
Kalimantan
*****
Jarak genetik 3 populasi berkisar antara 0,279 sampai 0,551. Hubungan kekerabatan interpopulasi 3 populasi ikan betok dapat digambarkan dalam bentuk dendrogram. Dendrogram yang ditampilkan merupakan hasil analisis dengan menggunakan program TFPGA pada analisis UPGMA.
Jawa Sumatera Kalimantan Gambar 6. Dendrogram hubungan genetik 3 populasi ikan betok
Berdasarkan dendrogram (Gambar 6) digambarkan bahwa hubungan kekerabatan genetik paling dekat adalah populasi ikan betok Jawa dengan
11
populasi ikan betok Sumatera, yaitu sebesar 0,279 dan yang paling jauh adalah populasi ikan betok Kalimantan dengan populasi ikan betok Jawa.
3.1.6. Karakter morfometrik Pengukuran karakter morfometrik dilakukan terhadap 21 karakter pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan (Lampiran 3). Rata rata karakter morfometrik disajikan dalam Tabel 8 berikut. Tabel 8. Rata rata 21 karakter morfometrik (cm) 3 populasi ikan betok Karakter yang diukur A1-2 A1-4 A2-3 A1-5 A1-3 A4-5 A2-5 A3-5 A3-4 A2-4 B10-4 B6-4 B5-7 B5-6 B10-6 C10-9 C10-7 C7-8 C8-9 C10-8 C7-9
Jawa 0,18±0,04 0,33±0,02 0,23±0,05 0,28±0,05 0,17±0,04 0,30±0,03 0,30±0,05 0,17±0,19 0,30±0,04 0,20±0,06 0,56±0,05 0,35±0,04 0,51±0,08 0,19±0,03 0,40±0,03 0,06±0,01 0,16±0,02 0,07±0,04 0,16±0,03 0,16±0,02 0,17±0,03
Sumatera 0,20±0,03 0,30±0,08 0,23±0,04 0,25±0,05 0,15±0,05 0,29±0,03 0,28±0,01 0,13±0,04 0,28±0,03 0,16±0,06 0,58±0,01 0,36±0,01 0,56±0,03 0,20±0,02 0,42±0,02 0,15±0,18 0,15±0,03 0,09±0,04 0,17±0,02 0,16±0,03 0,18±0,02
Kalimantan 0,16±0,02 0,28±0,03 0,21±0,04 0,29±0,07 0,14±0,02 0,29±0,06 0,30±0,05 0,14±0,05 0,25±0,04 0,15±0,04 0,55±0,04 0,37±0,06 0,48±0,04 0,18±0,03 0,36±0,05 0,09±0,01 0,14±0,02 0,09±0,01 0,14±0,01 0,18±0,01 0,17±0,02
12
3.1.7. Uji signifikansi Uji signifikansi dilakukan untuk mengetahui karakter yang dapat digunakan sebagai penciri dari suatu jenis ikan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa 21 karakter yang diuji, 18 karakter tidak berbeda nyata (P>0,05) dan 3 karakter berbeda nyata (P<0,05) yaitu karakter B5-7 (awal sirip perut-akhir sirip anal), B10-6 (akhir sirip punggung-awal sirip anal) dan C8-9 (awal sirip ekor atas-awal sirip ekor bawah) Tabel 9. Uji signifikansi 21 karakter morfometrik 3 populasi ikan betok Karakter yang diuji A1-2 A1-4 A2-3 A1-5 A1-3 A4-5 A2-5 A3-5 A3-4 A2-4 B10-4 B6-4 B5-7 B5-6 B10-6 C10-9 C10-7 C7-8 C8-9 C10-8 C7-9
Wilks' Lambda
F
df1
df2
Sig.
0,832 0,846 0,963 0,912 0,897 0,990 0,917 0,972 0,821 0,853 0,914 0,982 0,781 0,925 0,706 0,874 0,942 0,974 0,761 0,893 0,937
2,732 2,457 0,514 1,309 1,554 0,132 1,219 0,387 2,946 2,322 1,277 0,248 3,786 1,093 5,635 1,941 0,837 0,353 4,232 1,613 0,908
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27 27
0,083 0,105 0,604 0,287 0,230 0,877 0,311 0,683 0,070 0,117 0,295 0,782 0,036* 0,350 0,009* 0,163 0,444 0,706 0,025* 0,218 0,415
13
3.1.8. Canonical discriminant function
Kuadran 2
Kuadran 3
Kuadran 1
Kuadran 4
Gambar 7. Peta kanonikal 3 populasi ikan betok Hasil analisis fungsi kanonikal (Gambar 7) memperlihatkan bahwa karakter morfologi ikan betok Jawa dan ikan betok Sumatera tidak bersinggungan dengan ikan betok Kalimantan. Karakter morfometrik ikan betok Jawa berada di kuadran 1. Sedangkan karakter morfometrik ikan betok Sumatera dan betok Kalimantan berada di kuadran 3 dan 4. Persinggungan yang terjadi antara ikan betok Jawa dan Sumatera menunjukkan adanya pencampuran diantara kedua populasi tersebut. Karakter ikan betok Jawa dan Sumatera hanya sedikit yang bersinggungan, sedangkan ikan betok Kalimantan sama sekali tidak bersinggungan dengan ikan betok Jawa dan betok Sumatera
14
3.1.9. Indeks kemiripan Analisis kemiripan populasi berdasarkan karakter morfometrik (Tabel 10) menunjukkan tingkat homogenitas 100% pada populasi Sumatera dan Kalimantan, sedangkan karakter morfometrik populasi ikan betok Jawa memiliki indeks kemiripan dengan populasi ikan betok Sumatera sebesar 10% . Tabel 10. Indeks kemiripan (sharing components) morfometrik (%) Jawa Sumatera Kalimantan
Jawa 90,0 0,0 0,0
Sumatera 10,0 100,0 0,0
Kalimantan 0,0 0,0 100,0
Total 100,0 100,0 100,0
3.2.0. Dendrogram penyebaran morfometrik Analisis dendrogram karakter morfometrik ketiga populasi ikan betok menunjukkan kemiripan antara populasi Jawa dan Sumatera (Gambar 8).
Gambar 8. Dendrogram hubungan morfometrik 3 populasi ikan betok
15
3.2. Pembahasan Profil RAPD setiap populasi ikan betok menunjukkan keragaman yang berbeda berdasarkan panjang dan ukuran fragmen DNA teramplifikasi pada lokus OPA-2, OPC-2, dan OPC-5. Perbedaan tingkat keragaman genetik suatu populasi menggambarkan keunikan komposisi alelik menyusun genom. Pita DNA hasil amplifikasi merupakan pasangan antara nukleotida primer dengan nukleotida sampel (Soewardi, 2007). Panjang fragmen pita DNA yang teramplifikasi pada ikan betok berkisar antara 100 sampai 2000 bp. Tingkat polimorfisme tertinggi terdapat pada populasi betok Kalimantan yaitu sebesar 25,93% dan yang terendah adalah populasi betok Jawa (18,52%). Secara teoritis polimorfisme dipengaruhi oleh
perubahan aliran materi genetik yang dibawa oleh gamet dalam
pembentukan generasi baru melalui proses reproduksi. Selain itu, dinamika perubahan susunan materi genetik dapat berlangsung melalui proses inversi, delesi, substitusi, dan insersi basa nukleotida penyusun gen. Dalam pemetaan genotip, inversi DNA yang berukuran besar pada dua situs penempelan primer bisa menyebabkan ukuran basa atau jarak amplifikasi menjadi terlalu besar sehingga berakibat hilangnya fragmen, sedangkan delesi pada bagian genom yang membawa dua situs penempelan primer bisa mengakibatkan tidak ada fragmen yang teramplifikasi. Sementara, substitusi nukleotida dapat mengubah homolog antara primer dengan DNA genom yang mengakibatkan hilangnya polimorfisme atau mengubah ukuran fragmen. Sebaliknya, insersi atau delesi fragmen kecil DNA dapat mengubah ukuran fragmen yang diamplifikasi (Weising et al, dalam Kurniawirawan, 2007). Polimorfisme genetik pada ikan budidaya lebih rendah dibandingkan dengan populasi di perairan umum. Hal ini karena aktifitas seleksi induk yang tidak terkontrol dan kemungkinan terjadinya inbreeding akibat jumlah induk yang semakin terbatas pada sistem budidaya bisa mereduksi tingkat keragaman genetik populasi. Nilai heterozigotas rata-rata pada ikan betok dari populasi Jawa adalah paling rendah 0,088 dibandingkan dengan populasi ikan betok dari Sumatera (0,095) dan Kalimantan (0,109). Kecenderungan ada peningkatan keseragaman populasi pada ikan betok di Jawa dan Sumatera diduga terkait dengan pola distribusinya yang terbatas sehingga pertukaran materi genetik tidak meningkatkan variasi. Sedangkan heterozigositas yang semakin tereduksi
16
sesuai dengan kondisi alami populasi ikan betok di Kalimantan diduga menjadi penyebab terjadinya genetic drift karena beberapa populasi diduga terperangkap dalam area yang tertutup (sistem budidaya) sehingga mengakibatkan rendahnya variasi gen. Pengujian Fst keragaman genetik antar populasi menunjukkan perbedaan yang nyata antara populasi ikan betok Kalimantan dengan Sumatera dan Jawa. Sedangkan antara populasi ikan betok Sumatera dan ikan betok Jawa menunjukkan kesamaan populasi atau mencerminkan distribusi unsur genetik yang sama. Keragaman genetik mempengaruhi kemampuan spesies untuk merespon perubahan lingkungan baik buatan maupun alami dalam proses adaptasi agar bertahan hidup. Setiap kombinasi gen memiliki respons yang berbeda terhadap perubahan lingkungan, dalam hal ini keberagaman gen memberikan peluang yang lebih baik untuk dapat merespon perubahan lingkungan tersebut. Reduksi variasi genetik yang berlangsung dalam waktu lama dapat mengarah pada penurunan produktifitas populasi yang berdampak pada penurunan profit. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan revitalisasi stok induk dengan mengintroduksi ragam genetik di lingkungan budidaya maupun restocking di perairan umum (Tave, 1983) Hubungan kekerabatan antar populasi yang digambarkan menurut jarak genetik menunjukkan bahwa semakin kecil jarak genetik maka semakin tinggi kemiripan populasi tersebut, dan sebaliknya. Jarak genetik antara ketiga populasi ikan betok berkisar antara 0,279-0,551 yang menunjukkan bahwa ikan betok Jawa dengan Sumatera memiliki kemiripan yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi dari Kalimantan. Selain itu, lingkungan perairan rawa di Kalimantan diduga mempengaruhi perbedaan variasi genetik tersebut terkait dengan parameter kualitas air, terutama alkalinitas dan pH yang lebih rendah dibandingkan dengan perairan lingkungan budidaya di Jawa dan Sumatera (Pellokila, 2009) Tingkah laku migrasi pada ikan betok, biasanya setelah hujan lebat ikan ini terlihat bergerak di daratan menuju kawasan perairan lain. Migrasi umumnya terjadi pada malam hari dan setelah hujan. Saat berpindah tempat mereka menggunakan ekor dan tutup insangnya yang berduri. Tujuan migrasi yang paling utama adalah karena faktor kelaparan dan untuk memijah. Ikan betok bersifat
17
ovipar, memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahannya pada musim penghujan (musim banjir) di tepi tumbuhan air. Puncak pemijahan terjadi pada bulan Oktober-Desember, dengan telur telur mengapung bebas (egg layer). Suhu air yang cocok untuk pemijahan ikan betok adalah 28°C dengan pH 7. Pada musim kemarau, ikan ini membenamkan diri ke dalam lumpur dan muncul kembali saat musim penghujan (Pellokila, 2009). Selain itu, di perairan rawa, fluktuasi air tinggi dalam setahun sangat besar, hal ini terkait dengan siklus hidrologi. Akibat adanya peningkatan kedalaman dan penggenangan daratan, habitat berkembang sangat luas. Semakin luas habitat, semakin beragam pula sebaran makhluk hidup yang hidup di dalamnya karena semakin beragam pula ketersediaan makanan yang terdapat di sana. Hal ini sesuai dengan tangkapan ikan betok yang diperoleh (Setiadi dan Dewi 1989). Hasil tangkapan terbanyak terdapat pada bulan Desember saat kedalaman air tinggi. Pada populasi ikan betok dari Kalimantan, perubahan kondisi lingkungan diduga juga dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan, penebangan hutan bakau dan pencemaran lingkungan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas air yang berdampak pada semakin kritisnya peluang hidup ikan betok, dan memperkecil adanya migrasi maupun interaksi dengan populasi ikan betok dari tempat lain (Christanty, 2009) Pada penelitian ini, populasi ikan betok Kalimantan menunjukkan perbedaan yang paling besar terhadap populasi Jawa dan Sumatera. Kombinasi gen yang dimiliki populasi Kalimantan diduga menunjukkan kemampuan adaptif yang berbeda bila populasi berada dalam lingkungan yang baru. Organisme yang sejak semula menduduki suatu area geografi tertentu dan merupakan suatu populasi diduga tetap mewakili golongan tempat asalnya meski muncul dan hilangnya variasi gen diantara berbagai frekuensi gen yang sudah ada sejak permulaan (Stansfield, 1991). Populasi ikan betok yang baru terbentuk bisa saja tereduksi menjadi populasi yang lebih kecil pada berbagai waktu sehingga mekanisme “leher botol” (bottle neck) bisa mempengaruhi perubahan frekuensi gen baru (fiksasi gen) dan membentuk populasi lain anggota populasi satu dengan lainnya tidak lagi dapat kawin (Stansfield, 1991). Selain itu, jika suatu spesies terpapar dalam lingkungan yang berfluktuasi dalam periode waktu yang cukup
18
lama, maka kemampuannya untuk bertahan hidup menjadi bergantung pada kelengkapan keragaman genetiknya dengan munculnya genotip-genotip baru yang memiliki toleransi baru sehingga memungkinkan spesies tersebut untuk bertahan hidup dan mengembangkan jenisnya (Stansfield, 1991) Keragaman morfometrik ikan betok Kalimantan lebih rendah dibandingkan dengan populasi betok Jawa dan Sumatera. Berdasarkan uji signifikansi karakter morfometrik diketahui 3 fenotip, yaitu karakter B5-7 (awal sirip perut-akhir sirip anal), B10-6 (akhir sirip punggung-awal sirip anal) dan C8-9 (awal sirip ekor atasawal sirip ekor bawah), menunjukkan perbedaan populasi betok Kalimantan dengan populasi Jawa dan Sumatera. Dalam hal ini, 18 karakter yang tidak berbeda nyata dapat digunakan sebagai penciri jenis ikan betok. Perbedaan habitat masing masing populasi dapat menjadi penyebab adanya perbedaan pada ketiga karakter tersebut. Selain perbedaan habitat, faktor ragam lingkungan seperti pakan, kepadatan populasi, ukuran dan umur induk, ukuran telur, dan teknik pendederan juga dapat mempengaruhi (Alawi et al, 2006). Hasil analisis fungsi kanonikal (Gambar 7) memperlihatkan bahwa karakter morfologi ikan betok dari Jawa dan Sumatera tidak bersinggungan dengan ikan betok Kalimantan. Karakter morfometrik ikan betok Jawa berada di kuadran 1. Sedangkan karakter morfometrik ikan betok Sumatera dan betok Kalimantan berada di kuadran 3 dan 4. Persinggungan yang terjadi antara ikan betok Jawa dan Sumatera menunjukkan adanya kemiripan diantara kedua populasi tersebut. Karakter ikan betok Jawa dan Sumatera hanya sedikit yang bersinggungan, sedangkan ikan betok Kalimantan sama sekali tidak bersinggungan dengan ikan betok Jawa dan betok Sumatera. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan morfometrik antara ikan betok Kalimantan dengan betok Jawa dan Sumatera.
19