9
HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari pelacakan (dan penarikan garis) pada igir pembatas DAS pada saat melakukan interpretasi terhadap garis kontur secara visual (RBI). Adapun secara digital wilayah DAS dapat diperoleh melalui komputer, yakni melalui perintah pembentukan DAS pada piranti lunak Global Mapper v12 (tools: “create watershed”). Dari hasil analisis secara manual atau visual Peta RBI (cetak) skala 1:25.000 didapatkan bahwa luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.207,64 Ha, sedangkan dari hasil analisis Peta RBI digital (dengan software Global Mapper v12) didapatkan bahwa luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.279,56 Ha. Dari hasil analisis data SRTM dengan software yang sama didapatkan luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.163,07 Ha. Dari ketiga hasil pengukuran tersebut di atas terlihat bahwa hasil luasan DAS berbeda-beda, meskipun tidak berbeda jauh. Perbedaan luasan tersebut jika dilihat dari masing-masing peta tampak bersumber pada geometri batas DAS (Gambar 4). Perbedaan terlihat terutama pada wilayah hulu bagian ujung (selatan) dan bagian hilir (utara) serta pada bagian barat. Perbedaan tampak lebih menyolok terutama dari DAS hasil analisis secara manual dengan hasil analisis secara digital (RBI), sedangkan dua DAS dari hasil analisis secara digital (RBI dan SRTM) perbedaan tampak lebih kecil dan hanya terdapat pada hulu bagian ujung dan di bagian hilir DAS. Perbedaan seperti ini wajar terjadi disebabkan data yang digunakan untuk analisis secara manual dan secara digital berbeda. Untuk yang pertama berasal dari data vektor, sedangkan yang kedua berasal dari data raster. Data raster dari Peta RBI ini diperoleh dari hasil konversi data vektor RBI, sedangkan untuk data SRTM tidak dilakukan konversi (karena data aslinya sudah berupa data raster). Berdasarkan sumber data ini, maka cukup wajar jika hasil pemetaan DAS dari analisis secara digital (antara Peta RBI dengan data SRTM) tidak jauh berbeda. Adanya sedikit perbedaan yang muncul mungkin lebih disebabkan oleh asal data yang berbeda, yaitu Peta RBI berasal dari proses fotogrametri (foto udara), sedangkan data SRTM berasal dari sistem Radar.
10
(a) Peta DAS Cileungsi dipetakan secara visual dari Peta RBI cetak skala 1:25.000
(b) Peta DAS Cileungsi dipetakan dari peta RBI digital melaui Global Mapper v12
(c) Peta DAS Cileungsi dipetakan dari data SRTM melalui Global Mapper v12 Gambar 4 DAS Cileungsi dari Tiga Sumber Data yang Berbeda. Titik-titik yang Secara Menonjol Berbeda ditunjukkan oleh Tanda Lingkaran
11 Kelas Lereng dari Peta RBI (Cetak & Digital) dan SRTM Berdasarkan hasil analisis secara visual dari Peta RBI cetak didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas di daerah penelitian adalah kelas B (8%-15%) yaitu seluas 2.303,2 Ha, sedangkan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) yaitu seluas 82,4 Ha. Adapun hasil dari analisis secara digital dari Peta RBI didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas adalah kelas A (0%8%) seluas 3.012,5 Ha dan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) seluas 26,5 Ha. Hasil analisis dari data SRTM secara digital didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas adalah kelas C (15%-30%) seluas 2.495,96 Ha dan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) seluas 289,06 Ha (Gambar 5, Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4). Dari angka-angka tersebut tampak bahwa kelas kemiringan lereng yang dominan dari ketiga analisis di atas tampak berbeda. Perbedaan ini bisa dikarenakan oleh sumber data yang berbeda, yaitu peta RBI cetak berasal dari data vektor sedangkan RBI digital dan SRTM berasal dari data raster. Tabel 2 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Visual Peta RBI Cetak Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%) 1202,79 16,69 A (0%-8%) 2303,24 31,96 B (8%-15%) 1897,19 26,32 C ( 15%-30%) 1721,97 23,89 D (30%-45%) 82,44 1,14 E (>45%) Total 7207,64 Tabel 3 Persebaran Kelas KemiringanLereng dari Metode Digital Peta RBI Digital Kelas Lereng A (0%-8%) B (8%-15%) C ( 15%-30%) D (30%-45%) E (>45%) Total
Luas (Ha) 3012,46 2409,72 1501,35 329,53 26,51 7279,56
Luas (%)
41,38 33,1 20,62 4,53 0,36
Tabel 4 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Digital Data SRTM Kelas Lereng A (0%-8%) B (8%-15%) C ( 15%-30%) D (30%-45%) E (>45%) Total
Luas (Ha) 1481,43 2093,22 2495,96 803,40 289,06 7279,56
Luas (%)
20,68 29,22 34,84 11,22 4,04
12
(a) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis dari Peta RBI Cetak
13
(b) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis dari Peta RBI Digital
14
(c) Peta Kemirigan Lereng Hasil Analisis dari Data SRTM Gambar 5 Peta Perbandingan (a) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Secara Visual Peta RBI Cetak Skala 1: 25.000 (Lembar Peta : Cileungsi, Tajur, Cisarua), (b) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Peta RBI Digital Skala 1:25.000, (c) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Data SRTM Digital Resolusi 30 Meter
15
Perbandingan Kelas Lereng dari data RBI (Cetak dan Digital) Seperti telah diungkapkan dalam metode penelitian bahwa pengukuran kemiringan lereng dari Peta RBI dilakukan dengan dua metode, yaitu secara cetak dan secara digital dengan software SIG. Mengingat bahwa geometri DAS hasil dari kedua metode ini sedikit berbeda (termasuk luasannya), maka hasil dan pembahasan terhadap perbandingan dua metode ini hanya dilakukan pada daerah yang tercakup oleh keduanya (overlap). Luas wilayah yang overlap di dalam DAS ini didapatkan seluas 6.978,5 Ha. Untuk membandingkan pola persebaran spasial masing-masing kelas lereng dari kedua metode tersebut maka dilakukan proses tumpang-tindih (overlay) (Gambar 5a dan 5b). Dengan cara demikian maka dapat dilihat bagaimana persebaran poligon-poligon kelas-kelas lereng yang sama dari kedua peta. Melalui proses tumpang-tindih ini dapat diketahui persebaran kelas lereng yang sama dan menempati lokasi yang sama (overlap) atau menempati lokasi yang berbeda (tidak overlap). Luasan dari hasil proses tumpang-tindih tersebut disajikan pada Tabel 6. Tabel 5 Hasil Overlay Peta RBI Cetak dan RBI Digital Kelas Lereng A (0%-8%) B ( 8%-15%) C (15%-30%) D (30%-45%) E (>45%) Jumlah Nilai Rata-rata
Luas Total (Cetak & Digital) (Ha) 1127,7 2247,7 1848,8 1678,5 75,9 6978,5
Luasan overlap (%) 95,6 36,5 18,8 15,6 21,7 37,64
Luasan tidak overlap (%) 4,4 63,5 81,2 84,4 78,3 62,36
Dari Tabel 5 di atas terlihat bahwa nilai persentase overlap yang terbesar adalah pada kelas kemiringan lereng A (95,6%), disusul dengan kelas B (36,5%), sedangkan untuk kelas C, D, dan E relatif hampir sama (± 20 %). Hal ini mengindikasikan bahwa untuk daerah yang mempunyai kemiringan lereng datar hingga landai (0-8%) kedua metode mempunyai akurasi yang relatif sama. Namun jika kemiringan lereng semakin besar (> 8%), maka akurasi dari kedua metode tersebut sudah tidak sama lagi. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai persentasi dari luasan yang tidak overlap. Adapun nilai rata-rata luas area yang overlap adalah 37,64%. Perbandingan Lereng dari Data RBI (Digital) dan SRTM (Digital) Luas daerah penelitian yang terliput oleh kedua sumber data yang berbeda ini (Peta RBI Digital dan SRTM) adalah sebesar 7.107,1 Ha. Luasan dari hasil proses tumpang-tindih dari kedua data disajikan pada Tabel 6. Untuk kedua sumber data ini semuanya berasal dari jenis data yang sama (raster) dan metode analisis yang digunakan adalah sama, yaitu secara digital dengan software SIG. Data raster RBI dibuat dengan resolusi 30m agar memiliki resolusi yang sama dengan data SRTM (=30m).
16 Tabel 6 Hasil Overlay Peta RBI Digital dan Peta SRTM Digital Kelas Lereng A (0%-8%)
Luas Total (RBI & SRTM) (Ha) 2876,0
Luasan overlap (%) 44,7
Luasan tidak overlap (%) 55,3
B ( 8%-15%)
2385,9
29,3
70,7
C (15%-30%)
1490,6
47,8
52,2
D (30%-45%)
328,0
40,1
59,9
E (>45%)
26,5
88,3
11,7
7107,1
50,04
49,96
Total Nilai Rata-rata
Bila dilihat dari persebarannya (Gambar 5b dan 5c) terlihat bahwa kelas lereng A dari data RBI digital lebih mendominasi, sedangkan dari data SRTM cenderung lebih mirip dengan data RBI hasil analisis visual. Untuk membandingkan pola persebaran spasial dari masing-masing kelas lereng dari dua sumber data yang berbeda ini maka dilakukan proses tumpang-tindih (overlay). Dari hasil proses tumpang-tindih ini dapat diketahui persebaran kelas-kelas lereng yang sama yang menempati lokasi yang sama (overlap) dan yang tidak menempati lokasi yang sama (tidak overlap). Tabel 6 menyajikan hasil dari proses tersebut dan terlihat bahwa persentase terbesar dari kelas lereng yang overlap terdapat pada kelas E (>45%) yaitu sebesar 88,3%, sedangkan persentase luasan terbesar yang tidak overlap terdapat pada kelas B (8%-15%) sebesar 70,7%. Untuk nilai rata-rata luas area yang overlap adalah sebesar 50,04%. Jika melihat Tabel 6, maka tampak bahwa meskipun jenis data adalah sama (raster) dengan resolusi yang sama (30m) namun hasilnya tetap saja berbeda. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab terjadinya perbedaan ini adalah asal sumber data. Asal data raster dari RBI berbeda dengan data raster dari SRTM, dimana yang pertama berasal dari hasil konversi data vektor, sedangkan yang kedua masih asli dari sensornya berupa data raster. Perbandingan Kelas Lereng dari Data RBI Cetak dan SRTM Digital Dari perbandingan antara peta kemiringan lereng hasil analisis RBI cetak secara visual dengan SRTM digital didapatkan bahwa secara umum antara kedua peta tersebut tampak lebih banyak memiliki kesamaan (Tabel 7). Nilai persentase overlap yang terbesar adalah kelas lereng A (74,4%), sedangkan untuk kelas lereng B, C, dan E relatif hampir sama (± 60 %) dan luasan overlap terkecil adalah kelas lereng D (37,1%). Tabel 7 Hasil Overlay Peta RBI Manual dan Peta SRTM Digital Kelas Lereng A (0%-8%) B ( 8%-15%) C (15%-30%) D (30%-45%) E (>45%) Total Nilai Rata-rata
Luas Total (RBI & SRTM) (Ha) 1108,3 2236,8 1836,2 1666,2 75,3 6922,7
Luasan overlap (%) 74,4 56,0 62,0 37,1 65,1
Luasan tidak overlap (%) 25,6 44,0 38,0 62,9 34,9
58,92
41,08
17 Dari hasil proses overlap pada Tabel 7, angka-angka persentase overlap antara peta-peta kemiringan lereng dari RBI cetak dan SRTM digital ini tampak lebih baik dari perbandingan-perbandingan lainnya (Tabel 5 dan 6) artinya nilai overlapnya lebih besar. Hal ini mungkin dikarenakan kedua data yang digunakan dalam analisis masih asli atau tidak mengalami konversi sebelumnya, sehingga data tidak mengalami perubahan sifat dasar geometrik. Data dari RBI cetak merupakan data kontur yang langsung dianalisis di atas peta, sedangkan data dari SRTM berupa data raster yang juga langsung dilakukan analisis di dalam piranti lunak tanpa adanya proses konversi. Untuk nilai rata-rata luas area yang overlap dari perbandingan ini adalah 58,92%. Perbandingan Pemetaan Kemiringan Lereng dan Pengukuran di Lapangan Dari ketiga metode yang telah dihasilkan dan telah dibahas, selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan. Hasil perbandingan ini secara visual disajikan pada Gambar 6 (menunjukkan titik-titik sampel) dan Tabel 8 (yang menunjukkan secara detil titik-titik sampel yang dimaksud pada Gambar 8). Pada Tabel 8 hanya menunjukan 6 titik perbandingan antara peta lereng hasil analisis RBI cetak, RBI digital, dan SRTM. Berdasarkan pengukuran dan verifikasi lapang dengan titik sampel yang lebih banyak lagi terlihat bahwa metode digital dari data SRTM memiliki persamaan dengan pengukuran lapangan yang lebih baik, yaitu 80,9% (Tabel 9 ). Adapun metode digital dari data RBI = 76,2%, dan metode visual dari data RBI cetak = 66,7%. Rendahnya nilai RBI digital mungkin lebih disebabkan oleh adanya proses konversi data (vektor ke raster) dalam persiapan sebelum di analisis, sedangkan rendahnya nilai RBI cetak hasil disebabkan oleh kesalahan penafsir (interpreter) dalam melakukan analisis secara visual. Dalam hal ini pengalaman, ketekunan, dan ketelitian dalam mengukur jarak antar kontur oleh penafsir merupakan bagian terpenting dari hasil analisis yang diperoleh. Dengan kata lain pengalaman, ketekunan, dan ketelitian penafsir untuk kasus ini dapat dikategorikan sedang. Dalam penelitian ini jumlah titik pengukuran lapangan hanya mencapai 42 titik (Gambar 7), sehingga untuk penelitian lanjutan mungkin perlu ditambah agar dapat diperoleh perbandingan nilai yang lebih baik.
D
C
F
A A
A
B
A
A E
A
A F
A A B
A
A E
A
A
Gambar 6 Peta Lokasi Contoh Titik Sampel
D
C
A
D
C
F
A A
A
B
A
A E
A
A
18
B
Terklasifikasi sebagai lereng kelas A
Terklasifikasi sebagai lereng kelas B
Terklasifikasi sebagai lereng kelas B
Terklasifikasi sebagai lereng kelas A
Peta Kemiringan Lereng dari SRTM
Terklasifikasi sebagai lereng kelas B
Terklasifikasi di lapang lereng kelas A
Kemiringan Lereng Di Lapang
Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang
Terklasifikasi sebagai lereng kelas A
Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital
Terklasifikasi sebagai lereng kelas A
Nama Peta Kemiringan Lereng dari Titik RBI Cetak A
Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang
19
D
Terklasifikasi sebagai lereng kelasB
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Terklasifikasi sebagai lereng kelas D
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Terklasifikasi sebagai lereng kelas D
Nama Peta Kemiringan Lereng dari Peta Kemiringan Lereng dari Peta Kemiringan Lereng dari KemiringanLereng Titik RBI Cetak RBI Digital SRTM Di Lapang C
17
20
F
Nama Titik E
Terklasifikasi sebagai lereng kelas A
Terklasifikasi sebagai lereng kelas B
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital
Terklasifikasi sebagai lereng kelas B
Peta Kemiringan Lereng dari RBI Cetak
18
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Terklasifikasi sebagai lereng kelas A
Peta Kemiringan Lereng dari SRTM
Terklasifikasi sebagai lereng kelas C
Terklasifikasi sebagai lereng kelas B
Kemiringan Lereng Di Lapang
21
22 Tabel 9 Perbandingan Nilai Kelas Lereng dari Hasil Analisis Visual-Digital (RBI), SRTM, dan Hasil Verfikasi Lapang
Titik Observasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Metode Analisis RBI Visual A A A A A A A A A A A A B B B B B B B B B B B C C C C C C C C C C D D D D D D D D D
RBI Digital A A A A A A A A A A A A A A A A B B B B B B B C B B B B B B B B B B C C C C C C C C
SRTM
A A A A A A A A A A A B B B B B B B B B B B C C C C C C C C C C C C C C C C C D D D Jumlah Jumlah %
Kelas yang Sama Lapangan A A A A A A A A A A A A A A A A B B B B B B B C C B C C C C C C C C C C C C C C C C
RBI Manual
28 66,7%
RBI Digital
32 76,2%
Kelas yang Berbeda
SRTM
RBI Manual
RBI Digital
34 80,9%
14 33,3%
10 23,8%
SRTM
8 19,1%
23
Gambar 7 Titik Observasi Lapang Profil Melintang Selain melakukan pengukuran terhadap kemiringan lereng pada saat kerja lapang, dilakukan pula pembuatan transek untuk membuat profil permukaan lahan. Lokasi pengukuran ditunjukan pada Gambar 8 yaitu terdiri atas 3 lokasi, sedangkan hasil pengukuran ditunjukan pada Tabel 10. Profil melintang (toposkuen) yang dihasilkan disajikan pada Gambar 9 Berdasarkan pada Gambar 8 dan 9 dapat dilihat bahwa Profil 1 (dari titik A hingga B) menggambarkan suatu profil lereng yang melintas dari permukaan lahan dengan kemiringan lereng “datar” atau kelas A (0-8%) ke kemiringan lereng “sangat miring” atau kelas D (30% - 45%). Peta kemiringan lereng pada Gambar 8 diambil contoh dari peta lereng (RBI cetak), sedangkan Gambar 9 memperlihatkan profil melintang dari hasil
24 pengukuran lapangan. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa di dalam kelas lereng A ternyata kemiringan lereng di lapangan masih cukup bervariasi seperti yang dapat dilihat dari Tititk A-1 ke titik 4 pada Profil 1 (A-B). Dari transek ini terdapat 3 kemiringan lereng yang berbeda, yaitu 9%, 15%, dan 10% (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa kelas lereng di dalam peta sesungguhnya merupakan hasil penyederhanaan atau generalisasi dari fenomena sebenarnya di lapangan. Penyederhanaan terjadi karena adanya skala yang membatasi kerincian data yang dapat ditampilkan. Dalam kasus ini hasil pengukuran lapangan yang mempunyai skala 1:1 disederhanakan menjadi skala 1:25.000, sehingga generalisasi di sini terjadi lebih disebabkan oleh adanya interval kontur sebesar 12,5 m yang ditetapkan di dalam peta RBI. Dengan demikian nilai dari kemiringan lereng di lapangan yang cukup beragam tidak dapat dipetakan satu per satu di dalam peta skala 1:25.000. Tabel 10 Kemiringan Lereng dari setiap Profil Melintang Titik 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7 7-8 8-9
Profil 1 (A – B) kemiringan lereng (%) 9 15 10 9 11 12 11 25
Profil 2 (C – D) Profil 3 (E – F) kemiringan lereng kemiringan (%) lereng (%) 1 9 9 12 9 16 12 20 11 20 23
Menurut proses generalisasi ini, maka yang seharusnya termasuk ke dalam kemiringan lereng Kelas B pada profil 1 adalah mulai dari titik pertama (titik A-1) hingga ke titik 8, sedangkan dari titik 8 ke titik 9 (titik B) masuk ke dalam kemiringan lereng Kelas C (Tabel 10). Dengan kata lain kesalahan pada peta lereng tidak dapat di hindari akibat proses generalisasi. Untuk Profil 2, dari titik C-1 ke titik 2 mempunyai kemiringan lereng 1% (kelas A), sedangkan dari titik 2 hingga titik 6 mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi namun berdekatan, yaitu antara 9% hingga 12% (kelas B) adapun, dari titik 6 hingga ke titik 8 masuk ke dalam kemiringan lereng kelas C (kemiringan 20% dan 23%). Berdasarkan profil ini maka seharusnya kelas lereng hanya dapat dipilah menjadi Kelas A, B dan C (pengukuran lapang), namun pada peta lereng dibedakan menjadi 4 kelas, yaitu kelas A, B, C, dan D. Untuk Profil 3, dari Titik E-1 ke titik 2 mempunyai kemiringan lereng 9%, dari titik 2 ke titik keempat berturut-turut mempunyai kemiringan lereng 12% dan 16%, dan dari titik 4 ke titik 5 mempunyai kemiringan lereng 20% (Tabel 10). Menurut profil ini, kelas lereng seharusnya hanya dibedakan menjadi 2, yaitu kelas lereng B dan C atau sesuai dengan peta lereng yang dibuat namun terjadi kesalahan dalam persebarannya. Ketepatan dalam interpretasi kemiringan lereng untuk kasus yang terakhir ini mungkin lebih disebabkan oleh adanya dua kelas kemiringan lereng yang kontras dan berdampingan, sehingga lebih mudah untuk dibedakan secara visual.
Gambar 8 Tiga Titik Pengamatan untuk Pembuatan Profil Melintang (Profil 1, 2 dan 3) dengan Latar Belakang Peta Kemiringan Lereng (RBI Cetak)
Profil 3
Profil 2
Profil 1
25
ELEVASI (m)
26
300 290 280 270 260 250 240 230 220 210 200
PROFIL 1 B
A 0
138
215.7
259.7
321.2
345.7
405
481.9
539.4
JARAK (m)
ELEVASI (m)
PROFIL 2 250 240 230 220 210 200 190 180 170 160 150
D
C
0
46.8
101.9
156.6
217.1
227.8
311
323.2
JARAK (m)
PROFIL 3 ELEVASI (m)
530
F
510 490 470
E
450 0
9.1
35.5
JARAK (m)
103.5
126
Gambar 9 Profil Melintang ( Profil 1, 2, dan 3 dari Gambar 6)
27 Bentuklahan (landform) Geomorfologi daerah penelitian dapat digambarkan dari keragaman bentuklahannya. Dengan mempelajari atau memetakan bentuklahan maka akan dapat diketahui sifat fisik lingkungan dari daerah penelitian. Manfaat dari pemetaan bentuklahan antara lain adalah dapat mengetahui sifat bentanglahan melalui keterkaitan antara persebaran bentuklahan dengan pola spasial proses geomorfik (Goudie, 2004). Secara mikro kemiringan lereng adalah salah satu sifat dari bentuklahan hasil dari proses geomorfik yang dapat mencirikan karakteristik bentanglahan dimaksud. Berdasarkan hasil interpretasi dari citra SRTM (resolusi spasial 30 meter) yang dibantu dengan peta kontur untuk melihat kondisi umum relief, peta geologis untuk melihat litologi serta struktur dan proses, dan peta jaringan sungai untuk melihat pola dan kerapatan torehan, didapatkan 17 bentuklahan untuk daerah penelitian. Nama-nama bentuklahan disajikan pada Tabel 11 termasuk kode dan luasannya, sedangkan persebaran spasial bentuklahan ditampilkan pada Gambar 10. Beberapa foto bentuklahan yang diambil di lapangan disajikan pada Gambar 11. Menurut peta geologis (skala 1:100.000) daerah penelitian tersusun oleh material batuan sedimen berumur Miosen, batuan vulkanik berumur Pleistosen, dan alluvium berumur Pleistosen, Jenis-jenis batuan yang menyusun bentuklahan di daerah penelitian tercantum di dalam Tabel 11. Berdasarkan tabel tersebut, bentuklahan perbukitan denudasional-berbatu liat tertoreh sedang (D3) merupakan bentuklahan terluas di daerah penelitian, yaitu seluas 1302,08 hektar atau 18,18% dari total luasan daerah penelitian, sebaliknya bentuklahan yang terkecil adalah dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping (K3) dengan luasan 29,47 hektar (0,29%). Untuk dataran- fluvio vulkanik (FV) yang dibentuk oleh proses deposisi aliran sungai serperti tampak pada Gambar 10 tersebar memanjang di bagian selatan daerah penelitian (hilir), yaitu mengikuti lembah sungai di bagian hilir, sedangkan bentuklahan Lembah Sungai Lereng Atas (F1) persebarannya juga mengikuti aliran sungai namun berada pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan (hulu). Bentuklahan lain yang berupa tebing berada di perbukitan bagian selatan yang mudah dikenali di lapangan tersusun dari batugamping, sehingga dinamakan Tebing Karst (K2). Bentuklahan perbukitan yang lain cukup bervariasi, sebagian besar berada pada elevasi < 400 m, terdiri dari perbukitan karst (K1), perbukitan denudasional berbatuan sedimen (batupasir, batuliat) (D2, D4), dan perbukitan denudasional vulkanik. Untuk bentuklahan pegunungan sebagian besar persebarannya berada pada elevasi > 400 m, yaitu pegunungan denudasioanl vulkanik (DV1, DV2), yang terletak di bagian hulu hingga pada ketinggian 1.300 m.
28 Tabel 11 Nama Bentuklahan dan Luasannya di DAS Cileungsi No KODE
Nama Bentuklahan
Luas (Ha) 64,68
luas (%) 0,90
1
FV
Dataran fluvio vulkanik
2
D2
Perbukitan denudasional berbatu liat,tertoreh ringan
95,78
1,34
3
D3
Perbukitan denudasional,berbatu liat tertoreh sedang
1302,08
18,18
4
D4
Perbukitan, denudasional, berbatu liat, tertoreh kuat
577,71
8,07
5
F1
Lembah sungai lereng atas bermaterial alluvium
283,89
3,96
6
F2
Lembah sungai dataran banjir dan teras alluvial bermaterial alluvium
141,05
6,58
7
K1
Perbukitan karst berbatu gamping tertoreh sedang
631,28
8,81
8
K2
Tebing karst berbatu gamping
134,73
1,88
9
K3
Dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping
20,47
0,29
10
DV1
332,70
4,65
11
DV2
489,87
6,84
12
DV3
33,22
0,46
11
DV4
321,25
4,49
14
DV5
Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sangat ringan Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh kuat Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang Total Luas
471,01
1,97
166,18
2,32
1042,96
14,56
624,90
8,72
7162,32
100,00
15 DV6 16
DV7
17
DV8
Kode
FV
D2
D3
D4
F1
F2
K1
K2
K3
DV1
DV2
DV3
DV4
DV5
DV6
DV7
DV8
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Pegunungan
Kerucut
Kerucut
Kerucut
Perbukitan
Kerucut
Kerucut
Dataran puncak perbukitan Perbukitan
Kerucut
Perbukitan
Dataran bergelombang
Dataran
Perbukitan
Kerucut
Perbukitan
Dataran
Morfologi
Denudasional, vulkanik Denudasional, vulkanik Denudasional, vulkanik Denudasional, vulkanik Denudasional, vulkanik Denudasional, vulkanik
Denudasional, vulkanik
Denudasional, vulkanik
Karst
Karst
Karts
Fluvial
Fluvial
Denudasional
Denudasional
Denudasional
Denudasional
Morfogenesis
Miosen
Pleistosen
Pleistosen
Pleistosen
Pleistosen
Pleistosen
Miosen
Miosen
Miosen
Miosen
Miosen
Misosen
Pleistosen
Miosen
Miosen
Miosen
Miosen
Morfo kronologi
Andesit, alluviumvulkan Andesit, alluviumvulkan Andesit, alluviumvulkan Andesit, alluviumvulkan Andesit, alluviumvulkan Batu kapur, batu pasir
Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur
Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur
Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur
Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur
Batu kapur, batu liat, tuff
Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur
Andesit, alluviumvulkan
Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur
Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur
Batu liat, batu kapur, batu lumpur, tuff
Endapan kipas aluvium
Litologi
Tabel 12 Deskripsi dan Nama Bentuklahan DAS Cileungsi
Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang
Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh kuat
Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang
Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan
Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sangat ringan Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan
Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang
Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan
Dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping
Tebing karst berbatu gamping
Perbukitan karst berbatu gamping tertoreh sedang
Lembah sungai dataran banjir dan teras alluvial bermaterial alluvium
Lembah sungai lereng atas bermaterial alluvium
Perbukitan, denudasional, berbatu liat, tertoreh kuat
Perbukitan denudasional,berbatu liat tertoreh sedang
Perbukitan denudasional berbatu liat,tertoreh ringan
Dataran fluvio vulkanik
Nama Bentuklahan
624,90
1042,96
166,18
141,05
321,25
33,22
489,87
332,70
20,47
134,73
631,28
471,01
283,89
577,71
1302,08
95,78
64,68
Luas (Ha)
8,72
14,56
2,32
1,97
4,49
0,46
6,84
4,65
0,29
1,88
8,81
6,58
3,96
8,07
18,18
1,34
0,90
Luas (%)
29
30
Gambar 10 Peta Bentuklahan diatas Citra SRTM
31
Perbukitan Denudasional Berbatu Liat (D3) Lembah Sungai Alluvium (F2)
Sungai Cileungsi
(a) Lembah Sungai Dataran Banjir & Teras Alluvial (F2)
Batu Gamping Yang Tersingkap
(b) Perbukitan Kasrt (K1)
32 Tebing Karts
(c) Tebing Karst (K2)
(d) Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV2)
(e) Dataran Puncak Perbukitan Karst (K3) Gambar 11 Gambaran Bentuklahan di Lokasi Penelitian
33 Hubungan bentuklahan dan kemiringan lereng Kemiringan lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yang mencerminkan ukuran derajat kemiringan permukaan lahan terhadap bidang horisontal. Kemiringan ini dilahirkan oleh proses geomorfik, baik endogen maupun eksogen, yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh faktor litologi dan struktur material penyusun bentuklahan. Oleh karena itu karakter bentuklahan seharusnya dapat dihubungkan dengan pola kemiringan lereng yang dimilikinya. Hubungan antara bentuklahan (landform) dengan kemiringan lereng dalam penelitian ini dihasilkan dari proses tumpang-tindih (overlay) antara peta bentuklahan dengan peta lereng. Dalam hal ini peta lereng hasil analisis dari peta RBI secara manual diambil contoh untuk overlay karena pada peta ini tidak memerlukan proses filterisasi guna mendapatkan kelas lereng yang bersih (tanpa poligon berukuran kecil) karena keduanya dihasilkan dari interpretasi dan analisis manual. Gambaran hasil overlay disajikan pada Gambar 12, sedangkan besarnya persentase dari luas kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan disajikan pada Gambar 13.
Gambar 12 Tumpang Tindih Antara Peta Bentuklahan dengan Peta Kelas Lereng
34
LUAS KELAS LERENG (ha)
120
LEMBAH
100 A
80
B
60
C
40
D
20
E
0 Lembah sungai lereng atas
Lembah sungai dataran banjir dan teras aluvial
(a)
DATARAN LUAS KELAS LERENG (ha)
120 100 A
80
B
60
C 40
D
20
E
0 Dataran puncak perbukitan, karst
Dataran Bergelombang
LUAS KELAS LERENG (ha)
(b) 120
PERBUKITAN
100 80
A B C D E
60 40 20 0
(c)
LUAS KELAS LERENG (ha)
35 120 100
(d) PEGUNUNGAN
80
35 A B C D E
60 40 20 0
(d) Gambar 13 Diagram Hubungan Kelas Lereng dengan Bentuklahan (dikelompokan berdasarkan morfografi) Pada Gambar 12 dapat dilihat hubungan antara bentuklahan dengan kelas kemiringan lereng yang dikelompokkan berdasarkan morfografi dalam hal ini adalah hubungan luasan kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan. Secara tabular persebaran luas kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan dapat dilihat pada Tabel 11 dan berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 13 tersebut terlihat bahwa pada bentuklahan dengan morfografi Lembah, kelas lereng C dan D mendominasi bentuklahan Lembah Sungai Lereng Atas, sedangkan pada bentuklahan Lembah Sungai Dataran Banjir dan Teras Alluvial lebih didominasi oleh kelas lereng A. Hal ini tampak logis karena bentuklahan yang pertama persebarannya berada di daerah perbukitan dan pegunungan atau di daerah erosional (hulu), sedangkan bentuklahan yang kedua berada di daerah hilir atau di daerah deposisional. Oleh sebab itu lembah sungai yang berada pada daerah perbukitan dan pegunungan di bagian selatan memiliki kelas lereng yang lebih curam di bandingkan dengan di daerah dataran bagian utara. Untuk bentuklahan dengan morfografi Dataran, sesuai dengan namanya maka kelas lereng A dan B lebih mendominasi bentuklahan ini. Dalam hal ini bentuklahan Dataran Puncak Perbukitan Karst lebih didominasi oleh kelas lereng B, sedangkan pada bentuklahan Dataran fluvio vulkanik lebih didominasi oleh kelas lereng A. Hal ini juga terkait dengan elevasi, dimana yang pertama mempunyai elevasi ± 140m, sedangkan yang kedua berada pada elevasi ± 500m. Elevasi berkaitan pula dengan proses geomorfik, dimana pada elevasi yang lebih tinggi umumnya terjadi proses denudasional, sedangkan pada elevasi yang lebih rendah terjadi proses deposisional yang umumnya menghasilkan lereng dengan kemiringan kelas A. Pada bentuklahan dengan morfografi perbukitan, kelas lereng yang mendominasi bentuklahan tampak lebih bervariasi tergantung pada jenis bentuklahannya. Di grup perbukitan ini terdapat 7 jenis bentuklahan dimana morfografi tebing dimasukkan di dalamnya. Pada bentuklahan Tebing Karst (K2) kelas kemiringan lereng yang mendominasi adalah kelas D, sedangkan pada bentuklahan Perbukitan Karst Tertoreh Sedang (K1) lebih didominasi oleh kelas lereng B dan C. Hal ini cukup relevan dikarenakan tebing karst merupakan bagian ujung atau tepi dari bentuklahan berbatugamping yang umumnya mempunyai batas lereng yang tegas. Untuk bentuklahan Perbukitan Denudasional Berbatu Liat, baik yang tertoreh ringan, sedang, maupun kuat (D2, D3, D4), kelas kemiringan lereng yang mendominasi adalah kelas kemiringan lereng B, C, dan D. Dalam hal ini
36 bentuklahan D2 dan D4 (tertoreh ringan dan berat) lebih didominasi oleh kelas lereng C dan D, sedangkan bentuklahan D3 (tertoreh sedang) didominasi oleh kelas kemiringan lereng B dan C. Torehan tampaknya mempuyai hubungan yang erat dengan dominasi kelas lereng (bentuklahan D4 dan D3), kecuali untuk bentuklahan D2. Hal ini mungkin disebabkan oleh posisi bentuklahan D2 yang berada pada elevasi paling rendah (140-200m) dibandingkan dengan bentuklahan D3 (162-387m) dan D4 (275-462m) dengan demikian bentuklahan D2 mempunyai tingkat torehan paling ringan. Tingkat kemiringan perlapisan batuan (dip) batuliat yang menyusun perbukitan ini, yang mungkin juga mempengaruhi kemiringan lereng, tidak diamati dalam penelitian ini (di lapangan). Untuk bentuklahan Perbukitan Denudasional Vulkanik baik yang teroreh ringan dan sedang (DV1 dan DV2) didominasi oleh kelas kemiringan lereng B dan C berturut-turut. Dalam hal ini tingkat torehan juga tampak berpengaruh terhadap dominasi kelas kemiringan lereng, dimana tingkat torehan yang lebih tinggi lebih didominasi oleh kelas kemiringan lereng yang lebih besar. Pada bentuklahan dari grup morfografi pegunungan, terdapat 6 jenis bentuklahan yang kesemuanya tersusun dari material vulkanik sehingga diklasifikasikan sesuai dengan posisi topografinya, yaitu yang berada pada lereng bawah, lereng atas, dan lainnya. Untuk bentuklahan Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Vulkanik Tertoreh Ringan (DV4) lereng yang mendominasi adalah kelas kemiringan C, D, dan B yang ketiganya tidak mempunyai perbedaan luasan yang sangat menyolok, sedangkan untuk yang berada pada lereng atas, baik yang tertoreh ringan, sedang, maupun kuat (DV5, DV6, DV7), lereng yang mendominasi berturut-turut adalah kelas kemiringan B-C, C-D, dan D. Pada bentuklahan ini juga tampak ada hubungan erat antara tingkat torehan dengan dominasi kelas lereng. Adapun untuk bagian yang lain, yaitu pada bentuklahan Pegunungan Denudasional Vulkanik Tertoreh Sedang dan Kuat (DV7 dan DV8) hubungan antara tingkat torehan dengan dominasi lereng juga tampak jelas, dimana untuk yang tertoreh sedang didominasi oleh kemiringan lereng kelas B-C, dan untuk yang tertoreh kuat didominasi oleh kelas kemiringan lereng D. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa selain proses geomorfik dan material penyusun bentuklahan, maka tingkat torehan juga mengindikasikan dominasi kelas lereng pada setiap bentuklahan di wilayah hulu.
KODE
A,B,C,D,E
pegunungan denudasional vulkanik tertoreh kuat
Pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sedang
17 DV8
A,B,C,D
B,C,D
A,B,C,D,E
Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh ringan
lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sedang
B,C,D
A,B,C,D
Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sangat ringan
Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik tertoreh ringan
A,B,C,D,E
A,B,C,D
perbukitan denudasional vulkanik tertoreh ringan
perbukitan denudasional vulkanik tertoreh sedang
A,B,C
A,B,C,D,E
Tebing karst
Dataran puncak perbukitan, karst
A, B, C,D
A,B,C,D
Lembah sungai, dataran banjir dan teras alluvial
Perbukitan karst tertoreh sedang
A,B,C,D,E
A,B,C,D
Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh kuat
Lembah sungai
A,B,C,D
A, B, C,D
Kelas Kemiringan Lereng A,B,C
Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh sedang
Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh ringan
Dataran fluvio vulkanik
Nama Bentuklahan
15 DV6 16 DV7
13 DV4 14 DV5
11 DV2 12 DV3
9 K3 10 DV1
7 K1 8 K2
5 F1 6 F2
3 D3 4 D4
1 FV 2 D2
No
Tabel 13 Nama Bentuklahan dan Luas Persebaran Kelas Lereng di DAS Cileungsi
A(3,39%) B(65,74%) C(21,18%) D(9,69%)
A(0,04%) B(1,8%) C(16,92%) D(75,46%) E(5,78%)
B(12,94%) C(46,32%) D(40,75%)
A(4,95%) B(42,72%) C(30,64%) D(20,13%) E(1,56%)
B(38,38%) C(44,41%) D(17,20%)
A(12,74%) B(59,65%) C(12,8%) D(15,26%)
A(0,77%) B(27,07%) C(43,08%) D(28,55%) E(0,54%)
A(19,51%) B(47,67%) C(24,75%) D(8,07%)
A(26,30%) B(71,20%) C (2,50%)
A(0,3%) B(7,6%) C(27,4%) D(52,4%) E(12,3%)
A(20,6%) B(43,3%) C(30,5%) D(4,3%) E(0,04%)
A(78,65%) B(18,3%) C(2,5%) D(0,6%)
A(26,59%) B(2,12%) C (35,56%) D(39,53%) E(0,39%)
A(3,78%) B(13,63%) C(43,24%) D(39,35%)
A(10,01%) B(51,56%) C(31,61%) D(6,73%)
A(7,71%) B(22,02%) C(38%%) D(32,25%)
A(87,30%) B(3,50) C (9,20%)
Luas (%)
37