46
HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh hewan dalam penelitian ini berhasil mencapai akhir perlakuan selama 12 bulan setelah secara acak mendapatkan salah satu dari ke-empat jenis pakan aterogenik dengan perbedaan pada proteinnya yaitu kasein laktalbumin (KL) atau kedelai (KDL) dan kombinasi dengan hormon yaitu kasein laktalbumin dengan hormon EE dan NETA (KL+EE-NETA) atau kedelai dengan hormon EE dan NETA (KDL+EE-NETA).
Secara rutin, seluruh hewan diobservasi
kesehatannya juga asupan pakannya. Selain itu, sesuai dengan aturan dari ACUC institusi
setempat,
seluruh
hewan
diberi
pengayaan
lingkungan
agar
kesejahteraannya maksimal. Pada akhir bulan ke duabelas, dilakukan tindakan iskemi dan reperfusi kemudian dianalisis pengaruhnya pada luas infark, peubah hemodinamika, aktifitas MPO maupun MDA, ukuran endometrium, kelenjar payudara, lipid darah dan juga bobot badan hewan. Bobot Badan Pengamatan terhadap bobot badan pada hewan coba sangat penting untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan dalam pakan juga untuk melihat kondisi kesehatan secara umum. Bobot badan sejak awal sampai dengan akhir penelitian yaitu pada 0 bulan, bulan ke-empat, ke-delapan dan ke-duabelas reratanya berkisar antara 3105 g sampai dengan 4006 g (Tabel 6). Walaupun tidak tampak suatu perubahan bobot badan yang nyata, berdasarkan hasil keempat perlakuan pakan tersebut terlihat adanya suatu kecenderungan penurunan bobot badan pada kelompok yang mendapatkan protein dari kedelai yaitu pada kelompok KDL dan KDL+EE-NETA. Sebaliknya, kelompok yang memperoleh kasein laktalbumin yaitu kelompok KL dan KL+EE-NETA mempunyai bobot badan yang lebih tinggi terutama pada kelompok KL+EE-NETA. Secara statistik dibuktikan bahwa ada suatu efek utama akibat pemberian jenis protein terhadap bobot badan pada setiap waktu penimbangan (p < 0.05) akan tetapi tidak ada efek oleh pemberian hormon (p > 0.05) (Tabel 6).
Temuan protein kedelai
menurunkan bobot badan dilaporkan oleh Allison et al. (2003) yang melakukan uji klinik pada sukarelawan yang obesitas, ternyata kelompok yang memperoleh
47 protein kedelai mengalami penurunan bobot badan (7.1 kg dibandingkan dengan 2.9 kg, p = 0.0001) yang disertai dengan penurunan massa lemak dan kolesterol LDL secara signifikan dibandingkan kasein. Bila Tabel 6 diamati lebih lanjut, rerata bobot badan kelompok KDL dan KDL+EE-NETA pada bulan ke 0 yaitu sebelum dimulai perlakuan ternyata diawali dengan bobot badan lebih rendah yaitu secara berurutan 3318.57 ± 123.55 g dan 3105.00 ± 191.86 g dibandingkan pada kedua kelompok lainnya, 3728.75 ± 252.41g untuk KL dan 3887.00 ± 307.78 g untuk KL+EE-NETA. Walaupun perbedaan bobot badan pada awal penelitian secara ANOVA satu arah tidak berbeda nyata (P =0.90), analisis lebih lanjut perlu dilakukan. Tabel 6 Rerata bobot badan ke-empat perlakuan pada bulan ke 0, 4, 8, dan 12 Bobot badan (gram) bulan ke KELOMPOK 0
4
8
12
KL (n = 8)
3728.75 ± 252.41
3915.00 ± 307.91
3835.00 ± 298.81
3833,75 ± 334,16
KL+EENETA (n = 10)
3887.00 ± 307.78
4041.00 ± 314.28
4037.00 ± 300.80
4006,00 ± 316,80
KDL (n = 7)
3318.57 ± 123.55
3527.14 ± 163.88
3347.14 ± 146.19
3360,00 ± 165,05
KDL+EENETA (n = 8)
3105.00 ± 191.86
3232.50 ± 186.81
3139.75 ± 186.71
3156.25 ± 206,10
0.04* 0.64
0.01* 0.87
0.02* 0.86
0.39
0.38
0.44
P Efek Utama Protein : Hormon : P Interaksi Protein x Hormon:
Keterangan: KL= Kasein-Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol noretindron asetat, Nilai rerata ± simpang baku adalah hasil analisis data mentah. Nilai P adalah hasil analisis transformasi logaritma. * P bermakna bila <0.05.
Oleh karena itu. dipertimbangkan untuk melakukan analisis penyesuaian bobot badan awal secara statistik terhadap bobot badan pada bulan ke-empat, kedelapan, dan ke-duabelas. Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut, diperoleh bobot badan ke-empat kelompok perlakuan menjadi hampir sama bobotnya. Akan tetapi terjadi sedikit penurunan pada bulan ke-8 pada kelompok KDL dan KDL+EE-NETA kemudian pada bulan terakhir bobot badan hampir sama kembali yaitu 3600.37 ± 95.56 g untuk KL, 3603.92 ± 88.35 g untuk KL+EE-NETA, 3563.89 ± 101.79 g untuk KDL, dan 3587.81 ± 98.43 g untuk KDL+EE-NETA
48 (Gambar 16). Secara ANOVA dua arah, setelah disesuaikan dengan bobot badan awal, tidak ada efek utama dari pemberian jenis protein maupun hormon dan juga tidak ada efek interaksi antara kedua faktor tersebut (P > 0.05). Menurut Wagner et al. (1997a) pemberian protein kedelai maupun kombinasinya dengan hormon estradiol memperbaiki metabolisme karbohidrat tetapi tidak mempengaruhi indeks massa tubuh monyet ekor panjang. Namun demikian belum diperoleh laporan mengenai pengaruh pemberian protein kedelai dengan kombinasi hormon estrogen dan progestogen terhadap bobot badan baik pada manusia maupun hewan coba.
Bo bo t Bad an (g ram)
4000 3800 3600 3400 KL KL+EENETA KDL KDL+EENETA
3200 3000 4
8
12
Bulan
Gambar 16
Rerata bobot badan bulan ke 4, 8 dan 12 setelah disesuaikan dengan bobot badan awal. KL = Kasein-Laktalbumin, EE+NETA = Etinil estradiol dan Noretindron asetat, KDL=Kedelai. Nilai P > 0.05 (hasil analisis tranformasi logaritma).
Dari hasil analisis diatas, ternyata efek penurunan bobot badan oleh protein kedelai tidak jelas terbukti, namun demikian terbukti bahwa pemberian pakan aterogenik dengan
sumber
protein hewani
ataupun nabati
yang juga
dikombinasikan dengan hormon steroid eksogenous, tidak mengubah atau mempengaruhi nafsu makan. Asupan enersi setiap hari harus mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal dan aktifitasnya. Jumlah asupan pakan sebanyak 120 kalori/kg bobot badan per hari sesuai dengan kebutuhan monyet ekor panjang berdasarkan Bennet et al. (1995) ditambah 10% untuk asumsi sisa. Pemberian pakan dilakukan secara akurat dengan ditimbang setiap kali akan
49 diberikan kemudian dilakukan pengamatan rutin untuk melihat adanya sisa yang signifikan. Dalam penelitian ini, hampir tidak pernah dilaporkan terjadinya suatu sisa pakan yang berarti.
Dengan demikian, pemberian pakan yang memadai
dengan formulasi ke-empat jenis pakan yang isokalorik dan ekivalen untuk makronutriennya dapat menjaga kondisi stabil dari bobot badan hewan agar tetap dalam kisaran normal (Fortman et al. 2002). Profil Lipid Darah Konsentrasi lipid plasma dan lipoprotein pada pasca mati haid merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya PJK. Faktor resiko meningkat pada keadaan konsentrasi kolesterol plasma dan kolesterol-LDL meningkat disertai konsentrasi kolesterol-HDL yang menurun sehingga terjadi aterosklerosis yang mengarah pada PJK (Bush et al. 1987). Dalam penelitian ini, hewan coba sudah dikondisikan dengan pakan aterogenik yang mengandung kolesterol tinggi yaitu 35% kalorinya diperoleh dari lemak selama 15 bulan sehingga hewan mengalami hiperkolesterolemia. Sebelum perlakuan
dimulai,
kolesterol
plasma
seluruh
hewan
sudah
menjadi
hiperkolesterolemia yaitu berkisar antara 325.00 mg/dL dan 378.14 mg/dL (Tabel 7) dan tidak berbeda nyata antar kelompok (ANOVA p = 0.79). Berdasarkan penelitian sebelumnya hewan coba monyet ekor panjang (Clarkson et al. 1996 ; Anthony et al. 1997) dengan konsentrasi kolesterol diatas terbukti mengalami aterosklerosis pada arteri koronaria. Selanjutnya, secara acak hewan dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan yang diberikan selama 12 bulan. Pada akhir penelitian, konsentrasi kolesterol plasma tetap diatas konsentrasi normal dengan konsentrasi tertinggi pada kelompok kombinasi KDL dan EE-NETA (386.88 ± 39.99 mg/dl) dan terendah pada kelompok KDL (291.43 ± 49.68 mg/dl). Berdasarkan ANOVA, tidak ada efek protein, hormon, dan interaksi antara proten dengan hormon (p > 0.05) terhadap konsentrasi kolesterol plasma. Temuan bahwa kombinasi hormon EE dan NETA tidak mempengaruhi profil lipid ini sama dengan penelitian sebelumnya pada hewan coba dengan kondisi yang sama tetapi pemberian pakan hanya 12 bulan (Suparto et al. 2003 & 2005). Sebaliknya berbeda dengan hasil penelitian yang memakai protein kedelai maupun kombinasinya dengan estradiol
50 pada monyet ekor panjang ternyata menurunkan konsentrasi kolesterol plasma secara signifikan (Wagner et al. 1997a).
Dalam penelitian ini, ada suatu
kecenderungan konsentrasi kolesterol plasma menurun sampai dengan 14.69 ± 7.28% pada kelompok KL+EE-NETA dan 24.47 ± 6.97% pada kelompok KDL dibandingkan dengan konsentrasi awal, sedangkan sebaliknya yang memperoleh kombinasi protein kedelai dan hormon mengalami kenaikan kolesterol plasma sebanyak 20.63 ± 17.04%, akan tetapi penurunan dan kenaikan tersebut secara ANOVA tidak berbeda nyata (p = 0.08). Tabel 7 Pengaruh perlakuan pakan terhadap profil lipid dalam plasma KL (n = 8)
KL+EENETA (n = 10)
KDL (n = 7)
KDL+EENETA (n = 8)
Kolesterol Plasma (mg/dL) - Awal : - Akhir :
325.00 ± 36.88 335.88 ± 53.51
377.60 ± 36.04 316.00 ± 30.83
378.14 ± 58.87 291.43 ± 49.68
347.25 ± 40.16 386.88 ± 39.99
0.87
0.26
0.18
Kolesterol HDL (mg/dL) - Awal : - Akhir :
36.63 ± 7.65 25.75 ± 4.59
31.70 ± 5.30 23.40 ± 4.68
29.86 ± 4.42 26.86 ± 2.52
25.38 ± 3.36 15.25 ± 0.94
0.63
0.03*
0.20
Trigliserida (mg/dL) - Awal : - Akhir :
16.00 ± 0.82 24.25 ± 3.47
19.20 ± 1.87 48.90 ± 6.39
24.00 ± 2.12 30.57 ± 6.32
22.50 ± 2.38 36.13 ± 6.41
0.61
0.01*
0.10
288.38 ± 40.50 310.13 ± 53.90
345.90 ± 40.04 292.60 ± 34.66
348.29 ± 57.08 264.57 ± 48.44
321.88 ± 37.41 371.63 ± 39.25
0.78
0.24
0.15
12.27 ± 2.80 15.73 ± 3.01
15.95 ± 3.30 20.18 ± 4.21
15.97 ± 4.10 10.97 ± 1.89
13.97 ± 1.03 25.23 ± 1.62
0.67
0.03*
0.09
Parameter
Kolesterol LDL+VLDL (mg/dL) - Awal : - Akhir : Kolesterol/HDL - Awal : - Akhir :
Efek Utama Protein Hormon
Interaksi
Keterangan: KL= Kasein-Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol dan noretindron asetat, HDL= high density lipoprotein; LDL+VLDL= low density lipoprotein and very low density lipoprotein. Nilai rerata ± simpang baku adalah hasil analisis data mentah. Nilai P adalah hasil analisis transformasi logaritma. *P bermakna bila <0.05.
Demikian pula untuk konsentrasi kolesterol HDL diawali dengan konsentrasi yang tidak berbeda nyata (p = 0.70), kemudian pada akhir penelitian tiga kelompok perlakuan mengalami penurunan kecuali pada kelompok KDL tidak ada perubahan. Secara ANOVA dua arah, pemberian hormon memberi efek
51 secara nyata dalam menurunkan kolesterol HDL (p = 0.03) tetapi tidak ada efek dari protein maupun interaksinya. Berbeda dengan hasil penelitian Williams et al. (2001) yang mengkombinasikan kedelai dengan E 2 ternyata dapat menurunkan kolesterol darah dan meningkatkan konsentrasi HDL secara nyata. Konsentrasi TG pada ke empat kelompok diawali dengan konsentrasi yang berbeda nyata (ANOVA p = 0.04) dengan nilai tertinggi pada kelompok KDL yaitu 24.00 ± 2.12 mg/dL. Setelah perlakuan, konsentrasi TG tinggi pada hewan coba yang memperoleh hormon dibandingkan yang tidak memperoleh kombinasi hormon dan dikonfirmasi secara statistik adanya efek dari hormon yaitu p = 0.01. Hasil ini konsisten dengan penelitian pada manusia (Hodis et al. 2003) dan monyet ekor panjang (Wagner et al. 1997b) yang menunjukkan bahwa pemberian terapi estrogen dan progestogen dapat meningkatkan TG walaupun belum diketahui mekansimenya. Untuk konsentrasi LDL+VLDL pada awal penelitian tidak ada perbedaan nyata (p = 0.77) dan setelah 12 bulan perlakuan, konsentrasi paling rendah pada kelompok KDL (264.57 ± 48.44 mg/dl) dan tertinggi pada kelompok dengan kombinasi protein kedelai dan EE-NETA (371.63 ± 39.25 mg/dl). Tetapi tidak ada efek maupun interaksi pemberian protein dan hormon (p > 0.05). Pada hewan coba yang sama, Clarkson et al. (2001) membuktikan bahwa pemberian protein kedelai dapat menurunkan LDL. Hasil rasio kolesterol plasma/HDL menunjukkan hasil terendah pada kelompok KDL (10.97 ± 1.89) dibandingkan ketiga kelompok lainnya. Pemberian hormon ternyata mempengaruhi kenaikan rasio kolesterol/HDL (p = 0.03). Anthony et al. (1996) juga membuktikan bahwa pemberian fitoestrogen kedelai menurunkan rasio kolesterol plasma/HDL secara nyata dibandingkan pemberian hormon CEE. Tetapi belum ada laporan mengenai efek kombinasi protein kedelai dengan EE-NETA. Pemberian pakan aterogenik dengan sumber protein hewani atau nabati menghasilkan perubahan pada konsentrasi lipid dan lipoprotein yang konsisten dengan penelitian sebelumnya (Williams et al. 1995; Clarkson et al. 2001). Secara keseluruhan ada kecenderungan pemberian protein kedelai memperbaiki profil lipid darah sebaliknya kombinasinya dengan hormon EE-NETA kurang
52 baik sehingga dapat mendukung terjadinya suatu progresitas aterosklerosis yang kearah lebih buruk.
Perubahan lipid darah dapat juga disebabkan oleh
penambahan suatu progestin yang dapat menumpulkan manfaat dari estradiol (Adams et al. 1997; Wagner 2000). Luas Infark Miokardium Jumlah hewan yang berhasil melalui prosedur cedera iskemi dan reperfusi miokardium sampai selesai sebanyak 29 ekor dari 33 ekor hewan coba. Kematian terjadi pada kelompok KL sebanyak dua ekor, satu ekor pada kelompok KL+EENETA, dan satu ekor pada kelompok KDL+EE-NETA yang disebabkan oleh ventrikular fibrilasi beberapa saat setelah pengikatan arteri koronaria dan pemasangan kateter.
Usaha resusitasi tidak berhasil menyelamatkan hewan-
hewan tersebut. Oklusi arteri koronaria selama satu jam kemudian dilanjutkan dengan empat jam reperfusi yang menyebabkan iskemia dan diidentifikasi sebagai daerah yang tidak terwarnai atau daerah infark.
Luas/ukuran infark dinyatakan dalam
persentase suatu daerah yang terancam yaitu berat miokardium yang iskemi dibagi total daerah normal. Daerah yang terancam pada bagian ventrikel kiri daerah apeks.
Persentase Infark
75
50
25
0
Gambar 17
KL
KL+EENETA
KDL
n=6
n=9
n=7
KDL+EENETA n=7
Persentase luas infark miokardium setelah cedera iskemia dan reperfusi pada ke empat kelompok hewan. KL = Kasein-Laktalbumin, EE-NETA = etinil estradiol+noretindron asetat.
53 Kelompok dengan luas infark terparah adalah pada kelompok yang mendapatkan kombinasi protein kedelai dan EE-NETA yaitu 52.66 ± 3.69 % dan yang terkecil adalah KL dan EE-NETA (21.59 ± 5.32%). Hasil analisis ANOVA menunjukkan adanya suatu pengaruh dari jenis protein yang diberikan (p = 0.002), tetapi tidak ada efek dari hormon dan ada suatu interaksi antara protein dengan EE-NETA (P = 0.0004) (Tabel 8, Gambar 17). Tabel 8 Pengaruh ke-empat jenis perlakuan pada luas infark PARAMETER
KL (n = 6)
KL+EENETA (n = 9)
KDL (n = 7)
KDL+EENETA (n = 7)
Luas Infark (%)
31.74 ± 2.03
21.59 ± 5.32
28.88 ± 3.20
52.66 ± 3.69
Efek Utama Protein Hormon
0.00*
0.12
Interaksi
0.00*
Keterangan: KL= Kasein-Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol dan noretindron asetat, Nilai rerata ± simpang baku. Nilai P adalah hasil analisis data mentah dan * P bermakna bila < 0.05.
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan pemberian protein kedelai berinteraksi dengan hormon memperluas infark sedangkan pemberian protein kasein laktalbumin mengurangi luas infark. Pemberian protein kedelai saja, luas infark lebih kecil daripada kombinasinya dengan hormon. Temuan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa pemberian fitoestrogen genistein mereduksi cedera I/R miokardium pada kelinci jantan (Ji et al. 2004) dan tikus betina (Deadato et al. 1999 ) melalui reduksi apoptosis miosit jantung dan respon inflamasi. Demikian pula, Delyani et al. (1996) meneliti cedera I/R pada kucing
jantan yang diberi 17β-estradiol secara akut dan membuktikan
bahwa estradiol memberi proteksi terhadap cedera I/R dengan cara mengurangi infiltrasi polimorfonuklear (PMN, polymorphonuclear) dan menghilangkan adherensi PMN pada endotel arteria koronaria. Sedangkan McHugh et al. (1995) meneliti efek estrogen untuk mengurangi luas infark dengan menstabilkan ventrikular aritmia. Akan tetapi belum jelas mengapa protein kedelai berinteraksi dengan hormon EE dan NETA memperburuk cedera I/R. Salah satu kemungkinannya adalah jenis progestin sebagai kombinasi EE yaitu NETA yang mempengaruhi kerja EE. Karena peneliti lain telah melaporkan adanya efek positif dari estrogen
54 pada cedera I/R (Shlipak et al. 2001, Beer et al. 2002). Akan tetapi pengaruh kombinasi dengan progestin pada cedera I/R belum banyak diketahui.
Pada
penelitian sebelumnya telah dibuktikan NETA dikombinasikan dengan EE ternyata menghasilkan luas infark yang secara signifikan jauh lebih kecil dibandingkan dengan MPA maupun kontrol pada monyet ekor panjang yang diovariektomi dan hiperkolesterolemik (Suparto et al. 2005). Walaupun dalam penelitian
diatas
telah
mengindikasikan
bahwa
jenis
progestin
dapat
mempengaruhi efek positif dari estrogen, tetapi tidak dapat menjelaskan efek negatif dari interaksi kedelai dan hormon pada I/R yang ditemukan dalam penelitian ini. Adanya kelompok perlakuan estrogen didalam penelitian ini, akan lebih dapat menjelaskan pengaruhi progestin tersebut. Ada kemungkinan pula, efek interaksi negatif dari kedelai dan kombinasi EE-NETA pada cedera I/R akibat peran isoflavon kedelai sebagai antagonis reseptor estrogen (ER) melalui ERα(Zhai et al. 2000). ERαdan Erβberperan penting dalam proteksi jantung yang dibuktikan pada mencit ERαKO (Knock Out) (Wang et al. 2005) dan ErβKO (Gabel et al. 2005). Wood et al. (2006) juga melaporkan bahwa isoflavon dalam pakan yang melebihi 120 mg/hari bersifat reseptor estrogen antagonis pada kelenjar payudara. Monyet dalam penelitian ini memperoleh 141 mg total isoflavon setiap harinya.
Oleh karena itu, ada
kemungkinan dosis isoflavon dalam penelitian ini dalam jumlah yang cukup untuk dapat berinteraksi dan mengantagonis efek dari EE dan NETA pada cedera I/R miokardium. Perubahan Aliran Darah Selama Tindakan Cedera I/R Untuk dapat melihat perubahan aliran darah dalam miokardium dilakukan pengukuran terhadap aliran darah sebelum diligasi (awal), saat diligasi selama satu jam (iskemi) dan sesudah dibuka ligasinya sampai dengan empat jam reperfusi. Aliran darah dalam miokardium sangat penting sebagai usaha tindakan reperfusi untuk mengembalikan fungsi miokardium dan mengurangi cedera I/R. Aliran darah ditentukan dengan jumlah pembuluh darah/gram jaringan dalam menit. Pengukuran aliran darah dilakukan pada jaringan miokardium normal pada ventrikel kanan dan jaringan iskemik dari ventrikel kiri yang ditentukan pada saat pemilahan untuk daerah infark.
55 Jumlah aliran darah pada jaringan miokardium yang normal pada awal prosedur, pada keadaan iskemik maupun reperfusi, jumlah aliran darah tidak ada efek protein, hormon, maupun interaksinya (p > 0.05, Tabel 9).
Hal ini
menunjukkan bahwa tindakan cedera I/R pada daerah miokardium yang normal tidak dipengaruhi oleh ke-empat perlakuan. Tabel 9 Pengaruh ke-empat jenis perlakuan pada aliran darah miokardium Aliran Darah (ml/menit/100g)
Efek Utama Protein Hormon
KL (n = 4)
KL+EENETA (n = 7)
KDL (n = 6)
KDL+EENETA (n = 6)
- Awal
177.79 ± 31.70
155.94 ± 24.14
142.96 ± 27.11
252.40 ± 58.31
0.76
0.30
0.10
- Iskhemia
133.80 ± 35.20
280.11 ± 51.57
215.71 ± 42.15
197.32 ± 30.54
0.72
0.14
0.28
- Reperfusi
209.53 ± 56.63
283.17 ± 40.90
217.49 ± 22.00
234.84 ± 34.60
0.10
0.13
0.34
- Awal
196.50 ± 31.62
167.96 ± 29.70
132.94 ± 26.87
237.39 ± 42.43
0.74
0.34
0.06
- Iskhemia
138.07 ± 32.50
152.11 ± 64.29
65.01 ± 25.58
84.10 ± 47.53
0.04*
0.95
0.65
- Reperfusi
190.61 ± 47.30
125.69 ± 40.99
62.57 ± 20.46
80.04 ± 40.27
0.02*
0.49
0.45
Interaksi
Jaringan Normal:
Jaringan Infark
Keterangan: KL= Kasein-Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol dan noretindron asetat, Nilai rerata ± simpang baku dan nilai P adalah hasil analisis transformasi logaritma. *P bermakna bila < 0.05.
Hambatan aliran darah pada tahap iskemia terutama terjadi pada kelompok KDL dan KDL+EE-NETA yang mengalami hambatan aliran darah terendah secara berurutan 65.01 ± 25.58 dan 84.10 ± 47.53 ml/menit/100 g. Aliran darah terbesar pada tahap iskemia adalah kelompok KL yaitu 138.07 ± 32.50 ml/menit/100g. Pada tahap reperfusi, aliran darah kelompok KDL, KDL+EENETA, maupun KL+EE-NETA tidak mengalami kenaikan aliran darah yang nyata. Tetapi kelompok KL mengalami kenaikan aliran darah mendekati nilai aliran darah awal dari 196.50 ± 31.62 ml/menit/100g menjadi 190.61 ± 47.30 ml/menit/100g pada tahap reperfusi. Secara ANOVA, pada tahap iskemia dan reperfusi pada jaringan infark miokardium terdapat efek dari jenis protein tetapi tidak ada efek hormon maupun interaksinya.
% Perubahan aliran darah (ml/mnt/100g)
56
210 180 150 120 90 60 30 0 -30 -60
KL
KL+EENETA
KDL
KDL+EENETA
Gambar 18 Persentase perubahan aliran darah dalam jaringan normal miokardium pada saat iskemia dan reperfusi dengan aliran darah awal. KL = Kasein-Laktalbumin, EE-NETA = etinil estradiol dan noretindron asetat. Bar putih = saat iskemia, bar hitam = saat reperfusi
Untuk mengetahui perubahan aliran darah pada saat iskemia dan reperfusi, dinilai persentase perubahan aliran darah sebelum oklusi pada jaringan normal dan jaringan iskemik dari miokardium (Gambar 18 dan 19). Persentase perubahan aliran darah pada saat iskemia, kelompok KL dengan EE-NETA dan KDL mengalami peningkatan aliran darah di bagian miokardium normal (Gambar 18). Sedangkan kelompok KL dan kelompok KDL dengan EE-NETA, tidak mengalami suatu peningkatan aliran darah pada daerah jaringan normal. Secara statistik, ada interaksi antara jenis protein dan hormon pada tahap iskemia (P = 0.01) sedangkan pada tahap reperfusi ada kecenderungan untuk interaksi pula (P = 0.06).
Rendahnya aliran darah yang terdapat pada jaringan normal pada
kelompok yang memperoleh protein kedelai dan hormon dapat memperburuk usaha kompensasi memberi sirkulasi darah ke bagian yang iskemik.
Pada
kelompok KL, aliran darah juga rendah pada jaringan normal, hal ini juga ditunjukkan dengan luas infark kedua terbesar setelah kombinasi protein kedelai dan hormon. Penyebab rendahnya jumlah aliran darah dalam miokardium karena kurangnya kolateral arteri koronaria untuk mengatasi aterosklerosis koronaria
57 terutama
karena
kedua
kelompok
tersebut
mempunyai
faktor
resiko
hiperkolesterolemia kolesterol plasma dan LDL+VLDL yang tinggi (Tabel 7).
% Perubahan aliran darah (ml/mnt/100
50.0 KL
KL+EENETA
KDL
KDL+EENETA
25.0 0.0 -25.0 -50.0 -75.0 -100.0
Gambar 19 Rerata persentase perubahan aliran darah dalam jaringan infark miokardium pada saat iskemia dan 4 jam reperfusi dengan aliran darah awal. KL = Kasein-Laktalbumin, EE-NETA = etinil estradiol dan noretindron asetat. Bar putih = saat iskemia, bar hitam = saat reperfusi
Pada jaringan infark, jumlah aliran darah untuk ke-empat kelompok perlakuan pada tahap iskemia mengalami penurunan tajam walaupun secara statistik tidak ada efek dari jenis protein, hormon maupun interaksinya (p > 0.05). Akan tetapi ada suatu kecenderungan aliran darah pada pemberian kombinasi protein kedelai dengan EE dan NETA paling rendah pemulihan aliran darahnya untuk kembali ke normal (Gambar 19). Hal ini dapat pula menjelaskan efek luas infark terbesar pada pemberian kombinasi protein kedelai dan hormon tidak adanya reperfusi yang baik untuk memberi kebutuhan oksigen pada jaringan yang iskemik sehingga mengalami nekrosis, Penyebab berkurangnya suatu aliran darah bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti meningkatnya vasokonstriksi dan tidak adanya pembuluh darah baru/kolateral. Kemungkinan kecil kedelai mempengaruhi vasokonstriksi karena Honore et al. (1997) telah membuktikan bahwa isoflavon mempromosi vasodilatasi melalui mekanisme endothelial-dependent dan juga endothelialindependent (Liew et al. 2003). Suatu kemungkinan lainnya yaitu kurangnya suatu kolateral yang terbentuk pada arteri koronaria karena Ravindranath et al.
58 (2004) melaporkan bahwa protein kedelai mempunyai efek anti-angiogenesis yang dikaitkan dengan sifatnya sebagai antikanker. Suatu pernyataan yang bertolak belakang dengan pernyataan diatas, disampaikan oleh Lamping et al. (2003) bahwa estrogen mempunyai efek angiogenesis pada sistim kardiovaskuler kemungkinan dengan meningkatkan ekspresi VEGF (vascular endothelial growth factor) dan mempromosi pelepasan sel progenitor endotelial dari sumsum tulang (Strehlow et al. 2003).
Juga
dilaporkan oleh Mirkin et al. (2003) bahwa estrogen mempunyai efek angiogenesis pada jaringan yang sensitif terhadap estrogen misalnya pada endometrium. Sedangkan progestin pada umumnya bersifat kurang anti angiogenesis dibandingkan dengan progesteron. Oleh karena itu, kemungkinan NETA mempengaruhi angiogenesis membentuk neovaskularisasi atau vasodilatasi belum bisa dipastikan. Faktor Hemodinamik pada Cedera I/R Parameter hemodinamik merupakan pengukuran untuk melihat fungsi dari miokardium.
Curah jantung yang menunjukkan kemampuan miokardium
memompa keluar darah oleh masing-masing ventrikel dalam satu menit. Sedangkan volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa oleh masingmasing ventrikel pada tiap denjut jantung. Tabel 10
Pengaruh ke-empat jenis perlakuan pada fungsi hemodinamika miokardium
PARAMETER
Efek Utama Protein Hormon
KL
KL+EENETA
KDL
KDL+EENETA
Interaksi
0.52 ± 0.05 (n = 3)
0.48 ± 0.03 (n = 9)
0.43 ± 0.04 (n = 5)
0.40 ± 0.03 (n = 7)
0.05
0.41
0.96
176.41 ± 6.46 (n = 5)
179.00 ± 5.27 (n = 8)
184.38 ± 6.05 (n = 6)
176.57 ± 5.94 (n = 5)
0.65
0.66
0.39
3.25 ± 0.40 (n = 3)
2.61 ± 0.23 (n = 9)
2.45 ± 0.30 (n =5)
2.41 ± 0.28 (n = 7)
0.15
0.29
0.33
0.52 ± 0.05 (n = 3)
0.49 ± 0.03 (n = 9)
0.43 ± 0.03 (n = 5)
0.36 ± 0.05 (n = 7)
0.02
0.34
0.01
198.55 ± 8.27 (n = 5)
205.17 ± 5.99 (n = 8)
204.11 ± 7.51 (n = 6)
214.57 ± 8.05 (n = 5)
0.34
0.26
0.13
3.02 ± 0.28 (n = 3)
2.47 ± 0.17 (n = 9)
1.87 ± 0.28 (n = 7)
0.01
0.13
0.48
Iskhemia: Curah Jantung (L/mnt) Frekuensi Jantung (dpm) Volume Sekuncup (ml/denyut) 4 Jam Reperfusi: Curah Jantung (L/mnt) Frekuensi Jantung (dpm) Volume Sekuncup (ml/denyut)
2.08 ± 0.21 (n = 5)
Keterangan: KL= Kasein-Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol dan noretindron asetat, Nilai rerata ± simpang baku. P adalah nilai data mentah, bermakna bila P <0.05. dpm =denyut per menit
59 Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa kedelai mempunyai efek negatif terhadap kontraktilitas miokardium dan curah jantung. Kelompok protein kedelai pada saat iskemi dan reperfusi menunjukkan curah jantung dan volume sekuncup yang tidak meningkat.
Frekuensi denyut jantung tidak mengalami
perubahan pula pada saat iskemi. Pemberian hormon tidak berpengaruh terhadap curah jantung, frekuensi denyut jantung maupun volume sekuncup dibandingkan dengan kelompok yang tidak memperoleh hormon. Secara nyata, terdapat efek jenis protein terhadap curah jantung pada saat iskemia (P =0.05) dan reperfusi (P = 0.02), ada efek interaksi protein dan hormon pada saat reperfusi (P =0.01). Volume sekuncup juga dipengaruhi oleh efek protein pada tahap reperfusi yaitu p =0.01 (Tabel 10). Karena frekuensi denyut jantung tidak berubah kemungkinan penurunan curah jantung oleh turunnya volume sekuncup. Turunnya volume sekuncup dapat disebabkan oleh menurunnya aliran darah miokardium atau adanya penurunan fungsi dari miokardiosit. Penelitian-penelitian tentang protein kedelai termasuk genistein pada umumnya memberi hasil positif.
Shilkrut et al. (2003) melaporkan bahwa
inhibitor tirosin kinase, seperti genistein dapat menghambat efek hipoksia pada kardiomiosit.
Ji et al. (2004) juga melaporkan bahwa efek menguntungkan
genistein pada cedera I/R berkaitan dengan efek anti-apoptosis pada kardiomiosit. Tidak adanya efek-efek positif pada penelitian ini baik oleh kedelai maupun estrogen mungkin berkaitan dengan dosis yang mungkin dibawah dosis yang memberi efek penghambat tirosin kinase.
Penurunan fungsi kontraktilitas
miokardium dalam penelitian ini belum dapat dijelaskan . Mieloperoksidase dan Malondialdehida MPO suatu pengukuran untuk aktifitas lekosit berinteraksi dengan sel endotelial dan konsentrasinya meningkat pada miokardium yang iskemik (Jordan et al. 1999; Carden & Granger 2000; Baxter 2002). Sedangkan MDA suatu produk akhir dari peroksidasi sel membran lipid yang disebabkan oleh spesies radikal oksigen dan merupakan indikator stres oksidatif (Rao et al. 1983). Pengukuran MPO dan MDA dilakukan pada jaringan miokardium yang normal maupun mengalami infark.
60 Baik MPO maupun MDA pada jaringan normal dan infark miokardium, tidak mengalami suatu perubahan aktifitas dan secara statistik dibuktikan tidak ada efek protein, atau efek hormon dan tidak ada efek interaksi dari kedua faktor tersebut (p>0.05) (Tabel 11). Tabel 11 Pengaruh ke-empat jenis perlakuan terhadap aktifitas mieloperoksidase dan malondialdehida pada miokardium Efek Utama Protein Hormon
KL (n = 5)
KL+EENETA (n = 7)
KDL (n = 7)
KDL+EENETA (n = 7)
- MPO (U/mg protein/mnt)
0.005 ± 0.001
0.005 ± 0.001
0.006 ± 0.002
0.006 ± 0.001
0.70
0.90
0.92
- MDA (nmol/mg protein)
373.18 ± 90.88
244.40 ± 18.68
218.80 ± 24.36
250.27 ± 18.52
0.07
0.23
0.06
0.008 ± 0.001
0.008 ± 0.002
0.009 ± 0.001
0.009 ± 0.003
0.43
0.95
0.90
397.14 ± 92.89
262.51 ± 29.56
261.74 ± 19.97
272.12 ± 21.30
0.15
0.15
0.10
PARAMETER
Interaksi
Miokardium Normal:
Miokardium Infark: - MPO (U/mg protein/mnt) - MDA (nmol/mg protein)
Keterangan: KL= Kasein -Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol noretindron asetat, Nilai rerata ± simpang baku. MPO=mieloperoksidase, MDA=malondialdehida. P bermakna bila <0.05.
Bila aktifitas MPO dihubungkan dengan hasil luas infark, kelompok KDL dan EE-NETA yang mempunyai luas infark terbesar ternyata aktivitas MPO tidak tinggi. Hal ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Mullane et al. 1985; Delyani et al. 1996; Deadato et al. 1999) yang menunjukkan bahwa MPO berkorelasi positif dengan luas infark. Para peneliti tersebut menggunakan hewan coba tikus dapat membuktikan adanya peningkatan akumulasi PMN pada jaringan infark miokardium yang ditandai dengan tingginya aktivitas MPO dibandingkan kontrol. Hasil untuk MDA juga menunjukkan hal yang sama yaitu tidak adanya pengaruh dari ke-empat perlakuan tersebut baik pada jaringan normal maupun infark. Tidak ada efek dari protein, hormon, maupun interaksinya (P > 0.05). MDA tertinggi pada kelompok yang mendapatkan KL yaitu 397.14 ± 92.89 nmol/mg protein akan tetapi tidak disertai suatu luas infark yang besar.
61 Sebaliknya, kelompok KDL dengan EE dan NETA yang luas infark terbesar, tidak disertai MDA yang meningkat dalam jaringan miokardium. MDA merupakan petanda biokimia untuk peroksidasi lipid yang cukup valid sebagai pendeteksi adanya suatu kerusakan/iskemik jaringan (Lazzarino et al. 1995) dengan menunjukkan suatu peningkatan MDA. Hasil ini berbeda sekali dengan sebagian besar penelitian yang menunjukkan bahwa baik estrogen maupun kedelai mempunyai efek antiinflamasi.
Estrogen telah dibuktikan mengurangi
pembentukan zat pro-inflamasi dan pro-oksidasi (Kim et al. 2000; Xu et al. 2004) dan mereduksi akumulasi lekosit kardiak (Squandrito et al. 1997).
Namun
demikian, Vega-Lopez et al. (2005) melaporkan bahwa diet yang relatif tinggi protein kedelai atau isoflavon dari kedelai pada wanita dan laki-laki umur diatas 50 tahun dengan hiperkolesterolemik kurang mempengaruhi kapasitas plasma antioksidan dan juga petanda stres oksidatif lainnya seperti protein karbonil kecuali untuk MDA terjadi sedikit peningkatan setelah diberi isoflavon. Uterus dan Endometrium Pengukuran uterus dapat merupakan suatu bioassay dari efek hormon estrogen maupun progesteron terhadap jaringan yang hormon sensitif. Demikian pula untuk kedelai yang mengandung fitoestrogen.
Setelah diberi perlakuan
selama 12 bulan, uterus ditimbang dan ketebalan endometrium diukur dengan histomorfometri. Hasil penelitian menunjukkan bobot uterus terendah pada kelompok hewan yang mendapatkan protein kedelai yaitu 0.99 ± 0.06 g dan tertinggi pada kombinasi KDL dan EE-NETA yaitu 1.40 ± 0.10 g. Secara ANOVA dua arah, bobot uterus tidak dipengaruhi oleh jenis protein dan hormon, akan tetapi terdapat pengaruh interaksi protein dengan hormon yang bermakna yaitu p = 0.04.(Tabel 12) Adanya interaksi protein dan hormon dipertegas pada hasil pengukuran ketebalan endometrium maupun rasio bobot uterus dengan bobot badan (p<0.05). Interaksi ini berarti protein kedelai bila dikombinasikan dengan hormon meningkatkan bobot uterus, ketebalan endometrium dan rasio bobot uterus dengan bobot badan. Sebaliknya, protein hewani bila dikombinasikan dengan hormon mengurangi proliferasi tersebut.
62 Tabel 12 Pengaruh ke-empat jenis perlakuan pada uterus dan endometrium Parameter
Efek Utama Protein Hormon
Interaksi
1.40 ± 0.10
0.15
0.23
0.04*
616.51 ± 67.00
1063.67 ±117.39
0.07
0.45
0.00*
0.03 ± 0.002
0.04 ± 0.003
0.76
0.52
0.04*
KL
KL+EENETA
KDL
KDL+EENETA
(n = 8)
(n = 9)
(n = 7)
(n = 8)
1.59 ± 0.34
1.30 ± 0.06
0.99 ± 0.06
1418.92 ± 374.67
880.57 ± 87.46
0.04 ± 0.010
0.03 ± 0.001
Bobot Uterus (gram) Ketebalan Endometrium (mm) Bobot Uterus/ Bobot Badan (%)
Keterangan: KL= Kasein-Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol dan noretindron asetat, Nilai rerata ± simpang baku adalah hasil analisis data mentah. Nilai P hasil transformasi logaritma. Dan * bermakna bila <0.05.
Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Anthony et al. (1996) yang menunjukkan protein kedelai tidak estrogenik pada uterus dan telah dibuktikan fitoestrogen kedelai dapat menghambat proliferasi uterus yang diinduksi estradiol (Foth & Cline 1998). Efek antiproliferatif dari fitoestrogen tersebut tidak diikuti dengan penurunan ekspresi reseptor progesteron, hal ini mendukung suatu mekanisme yang tidak tergantung pada reseptor estrogen. Wood et al. (2002) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa protein kedelai lebih sedikit mempengaruhi proliferasi epitelial uterus dibandingkan dengan CEE pada monyet ekor panjang yang diovariektomi. Akan tetapi protein kedelai berinteraksi dengan EE dan NETA meningkatkan proliferasi endometrium. Hal ini diperkirakan peran dari dosis kedelai yang diberikan cukup tinggi khususnya genistein berinteraksi dengan EE dan NETA sehingga dapat memicu pertumbuhan uterus . Secara in vitro maupun in vivo, fitoestrogen kedelai menginduksi proliferasi sel stroma endometrium pada konsentrasi tinggi tetapi 8-10% lebih rendah daripada hasil induksi estradiol (Wood et al. 2002). Progestogen tidak berikatan dengan reseptor estrogen maka tak mempunyai sifat estrogenik, bila ada sedikit sifat estrogenik karena hasil aromatisasi di hati yang menghasilkan EE (Wiegratz & Khul 2004). Kemungkinan akumulasi
EE dengan EE hasil aromatisasi NETA dan peran
fitoestrogen meningkatkan hiperplasia endometrium.
63 Kelenjar Payudara Secara morfometrik dilakukan pengukuran kelenjar payudara untuk melihat efek perlakuan pemberian protein kedelai dan hormon. Parameter yang dianalisis adalah persentase kelenjar payudara dengan total daerah kelenjar payudara di bawah subdermis dan persentase kelenjar payudara dengan daerah lobuloalveolar payudara pada satu potongan kelenjar payudara di kedua sisi puting susu. Ada suatu kecenderungan terjadi peningkatan persentase kelenjar payudara berbanding total daerah pada kelompok yang mendapatkan protein kedelai dan EE-NETA (4.16 ± 1.08 %) dibandingkan ketiga kelompok lainnya. Sedangkan kelompok kontrol paling kecil persentasenya yaitu 1.99 ± 0.47%. Tetapi secara ANOVA tidak ada perbedaan nyata dan tidak efek protein, hormon maupun interaksinya (p > 0.05) (Tabel 13). Demikian pula untuk persentase kelenjar payudara berbanding daerah lobuloalveolar memberi hasil yang konsisten dengan persentase berbanding total daerah kelenjar payudara. Tabel 13 Pengaruh ke-empat jenis perlakuan pada persentase kelenjar payudara dan area lobuloalveolar
% Kelenjar Susu/Area Lobular
% Kelenjar Susu/Total Area
Efek Utama Protein Hormon
Interaksi
4.16 ± 1.08
0.14
0.11
0.88
2.49 ± 0.74
0.17
0.12
0.97
KL
KL+EENETA
KDL
KDL+EENETA
(n = 8)
(n = 9)
(n = 7)
(n = 8)
1.99 ± 0.47
2.57 ± 0.44
2.93 ± 0.88
1.21 ± 0.24
1.60 ± 0.24
1.73 ± 0.45
Parameter
Keterangan: KL= Kasein-Laktalbumin, EE-NETA= etinil estradiol noretindron asetat, Nilai rerata ± simpang baku adalah hasil analisis data mentah. Nilai P adalah hasil analisis transformasi logaritma. P bermakna bila <0.05.
Dalam menginterpertasikan hasil analisis untuk kelenjar payudara, dapat dinyatakan bahwa tidak ada suatu efek dari pemberian perlakuan selama 12 bulan. Pemberian hormon EE-NETA memberi hasil yang relatif sama dengan penelitian sebelumnya (Suparto et al. 2003) yang melaporkan bahwa EE-NETA tidak menimbulkan peningkatan densitas kelenjar payudara dan tidak berbeda dengan kelompok kontrol.
64 Hasil pada kelenjar payudara walaupun tak berbeda makna tapi ada suatu kecenderungan meningkat dengan pola yang sama pada uterus untuk efek dari pemberian kombinasi protein kedelai dan hormon.
Hal ini berbeda dengan
temuan Foth & Cline (1998) yang menyatakan bahwa penambahan E 2 pada fitoestrogen kedelai menumpulkan atau mengantagonis efek akibat E2.
Oleh
karena itu mereka menyatakan bahwa fitoestrogen kedelai ditambahkan dengan E2 terjadi suatu efek perlindungan dari proliferasi yang diinduksi oleh E2. Wood et al. (2006) melaporkan bahwa pemberian isoflavon kedelai tidak ada efek agonis yang nyata dan efek antagonisnya minimal dalam lingkungan estrogen yang rendah.
Peran progesteron secara signifikan mempengaruhi
perkembangan dan diferensiasi kelenjar payudara.
Progesteron juga dapat
mendukung proliferasi siklik pada masa siklus menstruasi dan kehamilan (Speroff 1999). Pembahasan Umum Pada wanita pascamati haid diharapkan terapi kombinasi hormon estrogen dan progestogen dengan protein kedelai dapat memberi efek protektif terhadap kardiovaskuler dengan efek samping yang minimal pada endometrium dan payudara. Manfaat yang diharapkan pada kardiovaskuler adalah berkurangnya cedera I/R pada miokardium dengan berkurangnya luas infark dan faktor resiko penyakit jantung koroner. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian hormon EE dan NETA atau protein kedelai tidak mengurangi ataupun menambah parah cedera I/R pada miokardium dengan aterosklerosis.
Akan tetapi protein kedelai berinteraksi
dengan hormon EE dan NETA sehingga menambah kerusakan miokardium pascaiskemia dengan ditemukannya luas infark yang besar. Efek negatif dari interaksi ini masih belum dapat dijelaskan karena faktor inflamasi MPO dan pembentukan MDA tidak mengalami peningkatan seperti yang diharapkan dapat menjelaskan mekanisme cedera I/R. Mekanisme lain yang dapat meningkatkan cedera I/R pada penelitian ini, kemungkinan melalui berkurangnya aliran darah miokardium karena kurangnya jumlah pembuluh darah atau kolateral di dalam miokardium. Pada kelompok
65 yang mendapatkan kombinasi protein kedelai dengan hormon, aliran darah dalam miokardium pada pascaiskemia atau selama reperfusi mengalami penurunan jumlah aliran darah.
Pengurangan jumlah pembuluh darah tersebut dapat
disebabkan oleh penghambatan pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis berupa kolateral-kolateral yang biasanya dibentuk bila terdapat aterosklerosis pada arteria koronaria.
Penghambatan angiogenesis dapat
disebabkan oleh sifat dari isoflavon khususnya genistein yang dapat berperan sebagai angiogenesis maupun antiangiogenesis tergantung dosisnya, dengan menghambat faktor pertumbuhan pembuluh darah yaitu VEGF. Fungsi miokardium juga dapat mempengaruhi jumlah darah yang masuk ke daerah iskemia, seperti berkurangnya volume sekuncup berarti dapat mengurangi jumlah aliran darah. Dalam penelitian ini, protein kedelai menurunkan curah jantung maupun volume sekuncup, yang makin berkurang jumlah darahnya setelah berinteraksi dengan hormon EE dan NETA. Apakah penurunan fungsi miokardium berkaitan dengan efek supresi pada kardiomiosit, hal ini perlu dipertimbangkan. Genistein pada dosis tertentu dapat mempengaruhi apoptosis pada miokardiosit, kemungkinan dosis dari genistein yang terkandung dalam protein kedelai mempengaruhi hasil penelitian ini sehingga menghambat pemulihan pada kardiomiosit. Selain itu, kemungkinan berkaitan pula dengan perannya sebagai antagonis reseptor estrogen karena dosis isoflavon yang diterima pada hewan coba dalam penelitian ini 141 mg/hari yang berarti diatas dari dosis isoflavon yang dilaporkan dapat mengantagonis reseptor estrogen di payudara yaitu 120 mg/hari. Akan tetapi, penelitian ini tidak didisain untuk dapat menjawab kemungkinan mekanisme diatas. Tidak adanya analisis untuk ekspresi reseptor estrogen, apoptosis dan VEGF dalam miokardium, mekanismenya belum bisa dijawab. Efek samping yang dikhawatirkan dipicu oleh terapi hormon atau protein kedelai adalah proliferasi endometrium dan kelenjar payudara ke arah keganasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kombinasi terapi hormon dengan protein kedelai menghasilkan suatu interaksi dengan menyebabkan peningkatkan ketebalan endometrium.
Akan tetapi, pemberian hormon atau
66 kedelai tanpa kombinasi hormon tidak menyebabkan penebalan endometrium. Protein kedelai tidak menimbulkan efek estrogenik pada endometrium karena pengaruhnya terhadap ketebalan endometrium adalah yang paling rendah. Sedangkan pada kelenjar payudara, tidak ditemukan suatu efek proliferasi yang disebabkan oleh hormon, protein kedelai, maupun kombinasinya. Hasil penelitian ini diperkuat setelah uji klinik WHI yang melibatkan 161,000 sukarelawan wanita pascamati haid berusia rata-rata 63 tahun dihentikan lebih awal karena pemberian terapi hormon ternyata tidak mengurangi peristiwa penyakit jantung. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai pentingnya umur atau masa dimulainya intervensi pengobatan hormon karena berkaitan dengan keadaan fungsi dan anatomis dari kardiovaskuler. Kelompok yang pertama kali dihentikan dalam uji tersebut adalah yang memperoleh pengobatan kombinasi estrogen dan progestogen karena meningkatnya insiden penyakit jantung koroner, stroke, dan sedikit peningkatan resiko kanker payudara.
Hal ini memberi
informasi bahwa suatu intervensi pengobatan pada individu dengan faktor resiko penyakit jantung koroner tidak akan mendapat efek manfaat dari pemberian intervensi hormon tersebut. Demikian pula pada penelitian ini, temuan bahwa keadaan faktor resiko hiperkolesterolemik yang cukup lama mempengaruhi hasil dari efek manfaat pengobatan hormon maupun protein kedelai.
Sedangkan pemakaian kedelai
sebagai pencegahan penyakit jantung koroner ternyata tidak memberi efek karena tidak berbeda dengan individu yang tidak memperoleh intervensi. Akan tetapi protein kedelai tidak memperparah keadaan cedera I/R dan profil lipid darah serta tidak memberi efek samping terhadap endometrium maupun payudara. Akan tetapi, mekanisme kombinasi hormon dan kedelai dapat memperparah keadaan cedera I/R belum dapat dijawab. Oleh karena itu pemberian kombinasi hormon dan kedelai atau produk alam lainnya yang mengandung isoflavon harus diwaspadai dengan melakukan monitoring kesehatan yang ketat. pemberian
intervensi
berupa
pengobatan
hormon
Sebaiknya
diutamakan
untuk
menghilangkan gejala-gejala yang timbul pascamati haid dan tidak untuk pencegahan terhadap penyakit jantung koroner terutama bila sudah terdapat predisposisi penyakit jantung koroner.