IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari komposisi, temperatur dan tekanan pada tempat dimana terjadi akumulasi hidrokarbon didalamnya. Suatu reservoir minyak biasanya mempunyai tiga unsur utama yaitu adanya batuan reservoir, lapisan penutup dan perangkap. Berdasarkan penyusunnya secara umum batuan reservoir terdiri dari batuan sedimen, yang berupa batu pasir dan karbonat (sedimen klastik) serta batuan shale (sedimen non-klastik) atau kadang-kadang vulkanik. Masing-masing batuan tersebut mempunyai komposisi kimia yang berbeda, demikian juga dengan sifat fisiknya. Pada hakekatnya setiap batuan dapat bertindak sebagai batuan reservoir asal mempunyai kemampuan menyimpan dan menyalurkan minyak bumi. Sifat fisik yang mempengaruhi batuan reservoir antara lain porositas, serta permeabilitas. Porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume batuan yang tidak terisi oleh padatan terhadap volume batuan secara keseluruhan. Sedangkan, permeabilitas batuan didefinisikan sebagai kemampuan batuan tersebut untuk melewatkan fluida dalam medium berpori-pori yang saling berhubungan. Permeabilitas didefinisikan sebagai ukuran media berpori untuk meloloskan /melewatkan fluida. (Rachmat, 2009) Penggunaan core/batuan reservoir yang berasal dari dalam lapangan minyak bumi sangat terbatas. Hal ini karena jumlahnya terbatas serta biaya yang dikeluarkan untuk mengambil dan mengangkut core/batuan reservoir tersebut sangat mahal. Untuk memenuhi kebutuhan analisis laboratorium diperlukan pengganti core reservoir lapangan atau core sintetik . Pembuatan core sintetik dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik dari core reservoir lapangan minyak yang diamati. Hal ini dilakukan agar batuan sintetik yang dibuat dapat menyerupai batuan reservoir dari lapangan minyak tersebut. Secara umum, core reservoir lapangan S tersusun dari sebagian pasir (sandstone) dengan porositas lebih dari 20 persen. Proses persiapan core sintetik sampai bisa digunakan untuk simulasi water flooding terdiri dari beberapa tahap yaitu; tahap pembuatan core, tahap pencucian, dan tahap penjenuhan. Pada tahap pembuatan core sintetik bahan utama yang digunakan yaitu pasir kuarsa ukuran 500 mesh serta semen untuk mengikat pasir kuarsa agar lebih kompak. Perbandingan yang digunakan pada proses ini sebesar 5:2 untuk pasir kuarsa dan semen. Perbandingan ini menghasilkan core dengan porositas sebesar 33 – 37 %, serta menghasilkan permeabilitas sebesar 44.4 – 46.6 mdarcy. Ukuran porositas serta kualitas dari core yang dihasilkan menurut Rachmat (2009), dikelompokkan menjadi jelek sekali dengan porositas 0-5 %, jelek dengan porositas 5-10 %, sedang dengan porositas 10-15 %, baik dengan porositas 15-20 % dan sangat baik dengan porositas diatas 20 %. Menurut Koesoemadinata (1978), permeabilitas beberapa reservoir dapat dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 mD, cukup (fair) 5–10 mD, baik (good) 10–100 mD, baik sekali 100–1000 mD dan (very good) >1000 mD. Core yang dihasilkan memiliki nilai porositas diatas 20 % yaitu sebesar 33 – 37 % sehingga dikategorikan kedalam core kualitas sangat baik. Kualitas ini membuat minyak dengan mudah masuk kedalam pori-pori batuan, sehingga semakin banyak yang dapat ditampung kedalam batuan. Sedangkan, nilai permeabilitas yang dihasilkan dari core yang dibuat memiliki kategori baik dengan nilai permeabilitas sebesar 44.4 – 46.6 mdarcy. Kualitas ini membuat
22
laju alir fluida yang melewati batuan semakin baik sehingga dapat mempermudah mengalirnya fluida dalam batuan tersebut. Porositas pada batuan memiliki hubungan dengan permeabilitas pada batuan tersebut. Nilai porositas yang besar mengindikasikan lubang pada pori-pori core besar sehingga fluida dapat mengalir dengan cepat. Sehingga seharusnya nilai permeabilitas pada batuan tersebut pun besar dan sebaliknya. Berdasarkan penelitian Nurwidyanto dan Noviyanti (2005) pada batu pasir (study kasus formasi Kerek, Ledok, dan Selorejo) menyatakan terdapat hubungan yang nyata dan bersifat positif antara variabel porositas dan permeabilitas. Pada core sintetik yang dihasilkan kualitas porositas sangat baik sedangkan kualitas permeabilitas baik, hal ini disebabkan karena adanya semen yang membentuk interpartikel pada core sehingga tidak sepenuhnya berbentuk bola sehingga berdampak pada porositas yang besar tetapi permeabilitas yang kecil atau tidak sebaik dengan nilai porositasnya. Menurut Koesoemadinata (1978), jika bentuk butiran mendekati bentuk bola maka permeabilitas dan porositasnya akan lebih meningkat. Nilai porositas serta permeabilitas dari core yang dihasilkan ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Porositas dan permeabilitas core sintetik Kode Core
Porositas (%)
Permeabilitas (mDarcy)
I
34.0
46.6
II
35.5
45.4
III
33.7
45.6
IV
34.0
46.5
V
36.5
46.5
VI
38.3
47.1
Core sintetik yang telah dibuat kemudian disesuaikan dengan ukuran dari core holder yang terdapat pada alat coreflooding apparatus. Ukuran dari masing-masing core sintetik dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 5. Setelah itu, core tersebut dicuci dengan menggunakan alat destilasi dengan pelarut toluene. Pemilihan pelarut toluene sebagai pelarut didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008) yang menyatakan kemampuan toluene dalam menghilangkan hydrocarbons, termasuk aspal, dan pengotor lainnya sangat baik dan dapat mengembalikan wettability batuan. Setelah itu, toluene yang terdapat dalam core selama proses pencucian harus dihilangkan dengan cara diuapkan dalam oven pada suhu 700C. Penguapan dilakukan sampai toluene didalam batuan dipastikan menguap dengan sempurna. Setelah itu, core kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot kering sebelum dilakukan pemvakuman. Perhitungan bobot kering serta bobot basah sebelum dan setelah pemvakuman digunakan sebagai perhitungan porositas batuan. Adapun penampakan visual core yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Core Sintetik
23
Tahap selanjutnya yaitu pemvakuman core yang telah dicuci. Pemvakuman dilakukan dengan menggunakan 2 langkah dimana pada langkah pertama dilakukan dengan menghisap udara yang ada didalam core. Langkah ini bertujuan agar core benar-benar porous dan tidak ada udara pada poriporinya sehingga air formasi dapat dengan mudah masuk kedalam pori-pori core. Selain itu, menurut Mwangi (2008) proses pemvakuman bertujuan untuk memperbaiki permeabilitas core. Hal ini karena debu-debu serta sisa toluene akan terhisap oleh pompa vakum. Langkah kedua dilakukan dengan meneteskan air formasi lapangan S kedalam pori-pori core. Langkah ini bertujuan untuk menjenuhkan pori-pori core oleh fluida dalam hal ini air formasi. Air formasi yang dijenuhkan kedalam core sebelumnya disaring dengan menggunakan saringan 500 mesh, 21 µm, 0.45 µm, serta 0.22 µm. Proses penyaringan ini dilakukan berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas dengan tujuan agar fluida dapat mudah masuk kedalam pori-pori core. Selanjutnya, core yang telah dijenuhkan direndam selama 1-3 hari atau lebih lama dalam air formasi lapangan S agar diperoleh kondisi core sintetik semirip mungkin dengan core asli pada reservoir lapangan S.
4.2.UJI KOMPATIBILITAS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DENGAN AIR FORMASI LAPANGAN S Uji kompatibilitas merupakan uji kinerja paling awal untuk mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan air injeksi/air formasi dari lapangan minyak. Uji bertujuan apakah suatu surfaktan dapat larut atau tidak dalam air injeksi/air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut secara sempurna dalam air injeksi/air formasi, sedangkan uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut secara sempurna dalam air injeksi/air formasi. Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) komersil yang berasal dari PT. Cognis Indonesia dilarutkan kedalam air formasi lapangan S sebesar 0.3 %. Selanjutnya diamati secara visual kesesuaian beberapa surfaktan APG komersil dengan air formasi. Berdasarkan uji yang dilakukan, ke lima surfaktan APG dengan kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06, dan SK-50 bernilai positif yang artinya seluruh surfaktan larut secara sempurna dalam air formasi lapangan S. Sehingga kelima jenis surfaktan tersebut dapat digunakan untuk formulasi selanjutnya. Penampakan visual serta hasil pengujian kompatibilitas surfaktan APG komersil dapat dilihat pada Gambar 11 dan Tabel 4.
Gambar 11. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S
24
Tabel 4. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S Kode Surfaktan SK – 02 SK – 03 SK – 05 SK – 06 SK – 50
Kelarutan dalam Air Formasi ++++ ++++ ++++ ++++ ++++
Penampakan dalam Air Formasi *** *** ** *** *
Keterangan : Kelarutan dalam air formasi :
Penampakan dalam air formasi :
****
= sangat jernih
++++
= sangat larut
***
= jernih
+++
= larut
**
= sedikit jernih
++
= sedikit larut
*
= keruh
+
= tidak larut
4.3. PEMILIHAN SURFAKTAN Pemilihan surfaktan merupakan tahapan untuk menentukan satu dari beberapa surfaktan APG komersil yang akan digunakan sebagai formula surfaktan untuk aplikasi Enhanced Water Flooding. Pemilihan ini didasarkan pada nilai tegangan antarmuka (IFT) antara minyak dengan larutan surfaktan dalam air formasi lapangan S. Tegangan antarmuka (IFT) antara minyak mentah dan air garam (brine) merupakan variabel penting dalam perpindahan air/minyak yang tergantung pada komponen pH, minyak mentah dan komposisi fase berair. Semakin kecil nilai tegangan antaramuka yang dihasilkan oleh surfaktan, semakin baik surfaktan tersebut untuk digunakan pada tahap formulasi. Surfaktan APG komersil masing-masing dilarutkan sebesar 0.3 % dalam air formasi lapangan S. Hal ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh SBRC-IPB yaitu formula dengan konsentrasi surfaktan 0.3 % menghasilkan nilai IFT terkecil dan lebih feasible untuk diterapkan dilapangan. Allen and Robert (1993) serta Mulyadi (2000) menyatakan, untuk mengatasi masalah minyak tertinggal didalam pori-pori sebagai by passed oil dapat diatasi dengan menginjeksikan 1-3 % surfaktan ke dalam formasi. Air formasi yang digunakan merupakan air yang berasal dari reservoir lapangan S. Pada proses pemilihan serta formulasi, air formasi yang digunakan telah mengalami proses penyaringan secara bertahap mulai dari saringan 500 mesh, kertas saring pori-pori 21 µm, kertas saring membran 0.45 µm, hingga terakhir dengan menggunakan kertas saring membran 0.22 µm. Proses penyaringan ini dilakukan berdasarkan prosedur yang telah dilakukan oleh Lemigas. Prosedur analisis air formasi Lapangan S dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil analisis yang dilakukan pihak SBRC-IPB terhadap Air Formasi Lapangan S dapat dilihat pada Tabel 5.
25
Tabel 5. Hasil analisis air formasi Lapangan S Parameter
Air Formasi Lapangan S
pH
7.65
Viskositas (cP)
1.05
Densitas (g/cm3)
0.9755
Surfaktan APG komersil yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik kelima jenis surfaktan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) SK-50 Karakteristik
SK-02
SK-03
SK-05
SK-06
SK-50
58.0-62.0
48.0-52.0
48.0-52.0
68.0-72.0
48.0-52.0
HLB
13.2
13.1
12.1
13.6
11.6
Densitas (kg.liter)
1.14
1.11
1.08
1.17
1.07
Viskositas (cPs)
2,800
4000
21,500
4,800
17,000
11.5-12.5
7.0-9.5
11.5-12.5
7.0-9.5
11.5 -12.5
0-4
0-7
0-4
0-4
0-3
Bahan Aktif (%)
pH pada larutan
10%
Warna (gardener)
Sumber : PT. Cognis Indonesia
Kandungan bahan aktif surfaktan-surfaktan APG yang digunakan berada pada kisaran 48.0% 72%. Kandungan bahan aktif menandakan banyaknya bahan aktif dalam surfaktan yang berfungsi sebagai penurun tegangan pada bahan. Nilai HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi yang dihasilkan. HLB yang rendah akan membentuk emulsi water- in- oil (w/o). Sedangkan HLB yang tinggi akan membentuk emulsi oil-in-water (o/w) (Suryani, et al.,2002). Masing-masing surfaktan APG yang digunakan memiliki nilai HLB yang tinggi, sehingga emulsi yang akan dihasilkan yaitu emulsi Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Nilai HLB surfaktan APG yang digunakan berada pada kisaran 12.1 sampai 13.6. Nilai HLB pada rentang tersebut berdasarkan konsep Grifin dapat digunakan sebagai detergen, solubilizer, dan dispersant. Penampakan masaing-masing surfaktan dibedakan oleh tingkatan warna. Penampakan visual dari kelima jenis surfaktan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Penampakan visual masing-masing surfaktan alkil poliglikosida
26
Nilai tegangan antar muka yang dihasilkan antara minyak lapangan S dengan masing-masing larutan surfaktan dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 6. Berdasarkan nilai tersebut dapat dilihat perbandingan kinerja dari masing-masing surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. Surfaktan SK-02 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 5.58x10-2 dyne/cm, surfaktan SK-03 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 5.50x10-2 dyne/cm, surfaktan SK-05 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 1.99x10-2 dyne/cm, surfaktan SK-06 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 2.91x10-2 dyne/cm, dan surfaktan SK-50 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 1.92x10-2 dyne/cm. Perbandingan dari masing-masing surfaktan dalam menurunkan nilai tegangan antarmuka dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 13. 6.0E-02 0.0558
0.0550
Nilia IFT (dyne/cm)
5.0E-02
APG SK-02
4.0E-02
APG SK-03 0.0291
3.0E-02
APG SK-05 0.0199
2.0E-02
0.0192
APG SK-06 APG SK-50
1.0E-02
0.0E+00 Kode Surfaktan
Gambar 13. Perbandingan Kinerja Surfaktan terhadap Penurunan Nilai Tegangan Antarmuka
Perbedaan nilai tegangan antarmuka surfaktan APG SK-05 dan APG SK-50 sangat kecil yaitu hanya sekitar 0.0007 dyne/cm atau sebesar 7x10 -4 dyne/cm. Perbedaan yang sangat kecil pada tahap awal formulasi sangat berpengaruh terhadap hasil tahap selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan membandingan nilai tegangan antarmuka masing-masing surfaktan saat dicampurkan dengan NaCl konsentrasi 3000 ppm sampai 9000 ppm. Penggunaan konsentrasi ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari perbedaan tegangan antarmuka kedua surfaktan tersebut. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 14.
Nilai IFT (dyne/cm)
1.5E-02
0.0140
0.0108 1.0E-02
0.0112
0.0091 0.0089
0.0081 0.0082 0.0062
5.0E-03 3000
5000
7000
9000
Konsentrasi NaCl(ppm) APG SK50 APG SK05
Gambar 14. Perbandingan penurunan nilai IFT surfaktan APG SK05 dan APG SK50
27
Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai penurunan tegangan antarmuka surfaktan APG SK-50 lebih rendah dibandingkan dengan surfaktan APG SK-05. Hal ini membuktikan bahwa perbedaan yang kecil pada formulasi awal sangat berpengaruh terhadap formulasi selanjutnya. Sehingga surfaktan yang dipilih untuk formulasi tahap lanjut yaitu surfaktan APG SK-50.
4.4. FORMULASI SURFAKTAN Formulasi surfaktan merupakan tahapan untuk menentukan performa terbaik dari surfaktan yang digunakan. Tahapan ini juga merupakan lanjutan dari tahapan sebelumnya yaitu pemilihan surfaktan. Pada tahap ini, surfaktan yang digunakan diformulasikan untuk mendapatkan formula yang mampu menurunkan tegangan antamuka (IFT) antara minyak-air dan merubah sifat batuan yang suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet). Tahapan formulasi surfaktan dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu dimulai dari optimalisasi salinitas, optimalisasi alkali, sampai optimalisasi co-surfaktan jika belum didapatkan nilai tegangan antarmuka optimal. Menurut BP MIGAS (2009), karakteritik formula surfaktan yang diharapkan untuk tahapan EOR (Enhanced Oil Recovery) harus dapat menurunkan nilai tegangan antar muka/ IFT 10-3–10-6 dyne/cm. Menurut Lemigas (2002), Efektifitas surfaktan dalam menurunkan teganan antarmuka minyak-air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan dan adsorpsi larutan co-surfaktan. Tahapan formulasi surfaktan dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 15.
Surfaktan APG SK-50
Optimalisasi Salinitas Salinitas Optimum
Optimalisasi Alkali
Optimalisasi Co-Surfaktan ≤ IFT 10-3 dyne/cm
Aplikasi Enhanced Water Flooding Gambar 15. Tahapan Formulasi Surfaktan untuk aplikasi EOR
4.4.1. Optimalisasi Salinitas Optimalisasi salinitas bertujuan untuk mengetahui performa terbaik larutan surfaktan APG SK-50 pada kondisi salinitas optimum pada air formasi lapangan S. Nelson dan Pope (1978)
28
mendefinisikan salinitas optimal sebagai kondisi dimana IFT antara minyak, mikroemulsi dan air terendah. Selain itu, mereka juga mengatakan optimal salinitas penting sebagai parameter peningkatan perolehan minyak berbasis surfaktan dan membantu estimasi kinerja surfaktan. Setiap surfaktan memiliki kondisi salinitas yang berbeda-beda untuk dapat bekerja optimal dalam menurunkan tekanan antar permukaan didalam reservoir. Ashrawi (1984) menyatakan, Jenis surfaktan yang digunakan dalam injeksi kimia/surfaktan harus disesuaikan dengan konsidi reservoir terutama kadar garam, suhu dan tekanan karena akan mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk menurunkan tegangan antarmuka (IFT minyak-air). Selain itu, optimalisasi salinitas juga bertujuan untuk mengoptimalkan kadar garam dalam air formasi. Optimalisasi salinitas dilakukan dengan menambahkan bahan kimia Natrium Klorida (NaCl) dalam larutan surfaktan. Untuk mengetahui kondisi optimum tersebut, dilakukan penambahan NaCl dengan konsentrasi yang berbeda taraf mulai dari yang terendah hingga yang terbesar yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, serta 9000 ppm. Selanjutnya, sebanyak 0.3 % surfaktan dicampurkan dengan air formasi pada masing-masing taraf tersebut. Selanjutnya, masing-masing larutan tersebut diuji nilai IFT-nya untuk mengetahui hubungan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan. Nilai IFT pada masing-masing konsentrasi NaCl dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 7. Grafik yang menunjukkan hubungan antara niai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 16. 2.5E-02 2.32E-02 2.0E-02 Nilai IFT (dyne/cm)
1.79E-02 1.5E-02 1.12E-02
9.08E-03
1.0E-02
8.94E-03 6.20E-03
5.0E-03
0.0E+00 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
Konsentrasi NaCl (ppm)
Gambar 16. Perbandingan konsentrasi NaCl dalam larutan surfaktan terhadap penurunan tegangan antar permukaan
Hasil tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan APG SK-50 dalam menurunkan tegangan antar muka memiliki kecenderungan menurun pada konsentrasi 0 ppm sampai konsentrasi 7000 ppm dan memiliki kecenderungan naik pada konsentrasi selanjutnya dengan slope positif. Surfaktan APG SK-50 merupakan surfaktan nonionic, surfaktan ini tidak memiliki muatan atau tidak terionisasi pada bagian hidrofiliknya. Sifat hidrofilik pada surfaktan ini disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Surfaktan ini akan menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone (Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2002). Poppy dan Setiasih (2007) menyatakan berdasarkan pengujian pada kertas lakmus merah dan biru. Garam NaCl tidak mengubah warna lakmus merah menjadi biru atau lakmus biru menjadi merah. Hal ini menunjukkan bahwa NaCl bersifat netral. NaCl bersifat mudah larut dalam air dan membentuk ion Na+ dan Cl-. Ion Na+ akan bereaksi dengan gugus hidroksil pada surfaktan
29
membentuk basa. Basa yang terbentuk dapat melarutkan minyak sehingga tegangan antarmuka minyak dan air akan menurun. Proses reaksi ini mencapai kesetimbangan pada konsentrasi garam optimal yaitu pada konsentrasi NaCl 7000 ppm. Penambahan konsentrasi garam pada titik ini tidak akan berpengaruh terhadap reaksi yang dihasilkan melainkan dapat meningkatkan nilai IFT antara minyak dan air. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ajith et,al. (1994) dan Sampath (1998) menunjukkan bahwa nilai IFT meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas atau kadar garam. Ion Na+ yang tidak bereaksi akan mengikat minyak sehingga menghambat atau menghalangi pengikatan minyak oleh gugus lipofilik surfaktan. Hal ini mengurangi gaya adhesi antara minyak dengan surfaktan sehingga tegangan antarmuka surfaktan dan air akan meningkat. Berdasarkan hal tersebut maka konsentrasi yang dipilih yaitu 7000 ppm NaCl. Pada konsentrasi tersebut, didapatkan nilai IFT yang terkecil atau optimum. Selanjutnya, larutan surfaktan dengan salinitas optimum 7000 ppm diformulasikan lagi dengan menggunakan aditif/alkali untuk melihat kemungkinan penurunan nilai IFT antara larutan surfaktan-minyak lapangan S.
4.4.2. Optimalisasi Alkali Larutan surfaktan dengan konsentrasi salinitas 7000 ppm kemudian dioptimalisasi dengan menggunakan alkali. Optimalisasi alkali merupakan tahap lanjutan dari optimalisasi salinitas. Proses optimalisasi alkali yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka yang telah diperoleh dari formulasi sebelumnya. Menurut Technology Assessment Board (1978) larutan yang diinjeksikan pada umumnya mengandung 95 % air formasi/air injeksi (brine), 4% surfaktan, dan 1% aditif. Aditif biasanya berupa alkali yang ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan. Alkali yang digunakan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Na2CO3 (natrium karbonat). Sugihardjo et al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium karbonat (Na2CO3) dengan batas maksimal penggunaan 1% untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. NaOH merupakan basa kuat sedangkan Na2CO3 merupakan garam basa. Penggunaan dua alkali ini didasarkan pada kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebagai bahan pembersih. NaOH biasa digunakan dalam sabun dan pembersih, sedangkan Na2CO3 biasanya digunakan sebagai bahan alat pembersih. Selain itu Jackson (2006) juga menyatakan bahwa penambahan natrium karbonat/sodium carbonate digunakan karena dapat menurunkan adsorpsi surfaktan anionik pada batuan reservoir. Karenanya, perambatan / aliran surfaktan dapat lebih cepat dan memungkinkan lebih sedikit surfaktan yang diinjeksi. Besarnya nilai pH yang dihasilkan dari penambahan natrium karbonat telah membantu menjaga kestabilan beberapa surfaktan dan dapat pula digunakan dalam memperbaiki hidrasi polimer. Penggunaan dua bahan ini berfungsi sebagai zat aditif dalam menurunkan nilai IFT minyak dan air. Dalam formula, penambahan zat aditif maksimal sebanyak 1% atau 10000 ppm agar formula tetap ekonomis untuk digunakan. Penggunaan masing-masing alkali divariasikan dengan rentang 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, dan 9000 ppm. Kinerja masing-masing alkali dalam menurunkan nilai IFT larutan surfaktan–minyak lapangan S dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 8. Sementara, grafik hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan masing-masing alkali ditunjukkan oleh Gambar 17.
30
1.0E-02
Nilai IFT (dyne/cm)
8.0E-03
6.0E-03
4.0E-03
2.94E-03
2.77E-03
2.0E-03
0.0E+00 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
Konsentrasi Alkali (ppm) NaOH
Na2CO3
Gambar 17. Perbandingan kinerja masing-masing alkali terhadap penurunan nilai IFT
Grafik tersebut menunjukkan nilai IFT yang dihasilkan pada masing-masing alkali. Pada NaOH, penambahan konsentrasi sebesar 1000 ppm dapat menurunkan nilai IFT formula sampai 2,94x10-3 dyne/cm. Pada penambahan konsentrasi NaOH yang lebih besar, memiliki kecenderungan untuk meningkatkan nilai IFT. NaOH merupakan basa kuat, sehingga penambahan sedikit saja pada larutan dapat mempengaruhi pH yang dihasilkan. Minyak lapangan S yang digunakan memiliki pH asam dengan nilai 4.58. Reaksi antara basa kuat dan asam akan menyebabkan terjadinya reaksi penetralan ditandai dengan terbentuknya garam. Selain itu, gugus lipofilik surfaktan berasal dari minyak nabati. Campuran antara NaOH dengan minyak menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi atau penyabunan. Pada penambahan NaOH 1000 ppm, reaksi saponifikasi memiliki reaksi yang lebih besar dibandingkan reaksi penetralan. Sehingga, pada konsentrasi ini terjadi penurunan nilai IFT. Namun, pada penambahan NaOH lebih besar dari 1000 ppm diduga reaksi penetralan lebih besar sehingga garam yang dihasilkan semakin banyak. Garam yang dihasilkan menyebabkan terjadinya peningkatan nilai IFT antara formula dengan minyak. Sedangkan pada Na2CO3 , semakin banyak konsentrasi yang ditambahkan justru semakin menurunkan nilai IFT dengan nilai minimum pada konsentrasi 9000 ppm dengan nilai IFT sebesar 2,77x10-3 dyne/cm. Na2CO3 merupakan senyawa garam yang bersifat basa. Alkali ini dapat bereaksi dengan asam lemak pada gugus lipofil surfaktan membentuk reaksi saponifikasi atau penyabunan. Berbeda dengan NaOH, garam tidak membentuk reaksi penetralan dengan minyak. Sehingga, penambahan Na2CO3 dengan konsentrasi yang semakin meningkat akan meningkatkan reaksi saponifikasi yang dapat menurunkan nilai IFT formula dengan minyak. Penurunan nilai IFT ini berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi Na2CO3. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa Na2CO3 menghasilkan nilai IFT yang lebih kecil daripada NaOH yaitu 2,77x10-3 dyne/cm untuk Na2CO3 dan 2,94x10-3 dyne/cm NaOH. Namun, untuk mencapai nilai optimal alkali tersebut Na2CO3 membutuhkan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan NaOH. Sehingga, alkali yang digunakan sebagai formulasi surfaktan untuk aplikasi Enhanced Water Flooding yaitu NaOH. Hal ini didasarkan kepada nilai ekonomis dari penggunaan alkali NaOH yang lebih besar dibanding Na2CO3 , sementara nilai IFT yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Menurut Allen dan Roberts (1993), untuk memenuhi target yang hendak dicapai dalam penerapan EOR, selain pertimbangan karakteristik minyak dan reservoir, yang juga perlu diperhatikan adalah nilai ekonomis dari proyek EOR tersebut.
31
4.5. UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN 4.5.1. Uji Thermal Stability Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui kestabilan formula larutan surfaktan yang akan digunakan terhadap suhu reservoir lapangan minyak. Suhu pada reservoir lapangan minyak lebih tinggi dibandingkan dengan suhu ruang. Kondisi thermal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap degradasi formula surfaktan. Menurut Sugihardjo (2001), salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan selama mengalir dalam media berpori adalah degradasi formula surfaktan. Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk melihat terjadinya degradasi formula surfaktan terhadap suhu antara lain; tegangan antarmuka (IFT), densitas, nilai pH, dan viskositas. Pengujian dilakukan pada suhu 70 0C selama minimal satu bulan. Nilai IFT, densitas, pH, serta viskositas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengujian Thermal Stability formula surfaktan pada suhu reservoir Waktu pengamatan (Ts) hari
Nilai IFT (dyne/cm)
Densitas (gram/cm3)
Nilai pH
Viskositas (cP)
0
4,74x10-03
0,990
8,50
0,70
7
5,43x10
-03
0,991
9,00
0,69
14
1,01x10-03
0,991
9,00
0,69
21
-03
0,990
8,75
0,69
-03
0,991
8,75
0,69
30
1,87X10 1,79x10
Nilai IFT yang didapat dari pengujian Thermal selama 30 hari menunjukkan hasil yang berfluktuasi. Pada minggu pertama formula surfaktan berada pada nilai IFT tertinggi. Kemudian, pada minggu selanjutnya formula surfaktan berada pada nilai IFT terendah dari minggu sebelumnya. Lama pemanasan terhadap formula surfaktan seharusnya mendegradasi formula surfaktan tersebut sehingga nilai IFT yang dihasilkan mengalami peningkatan. Rosen (2004) menyatakan bahwa degradasi surfaktan menyebabkan surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Menurut Buckley (1996), jumlah bahan aktif permukaan tidak dapat diukur secara langsung. Tapi mereka dapat disimpulkan oleh perubahan sifat antarmuka termasuk mobilitas IFT dan elektroforesis dengan komposisi air garam. Hal ini membuat perubahan terhadap densitas pada larutan tidak bisa dikaitkan dengan jumlah bahan aktif pada larutan surfaktan tersebut. Perbedaan jumlah bahan aktif yang terdapat pada larutan surfaktan pada waktu pengamatan yang berbeda menyebabkan terjadinya fluktuasi nilai IFT dari hari ke-0 hingga kari ke-30. Perbedaan nilai IFT ini selain dipengaruhi oleh lama pemanasan, juga disebabkan oleh berubahnya pH fase larutan. Perbedaan nilai IFT pada hari ke-0 sampai hari ke-30 tidak terlalu signifikan yaitu masih dalam kisaran 10-3 dyne/cm, sehingga dapat dikatakan surfaktan APG SK-50 memiliki stabilitas yang cukup baik terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan terhadap nilai IFT yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 18.
32
Nilai IFT (dyne/cm)
1.5E-02
1.0E-02
5.0E-03
5.43E-03
4.89E-03
1.87E-03
1.01E-03
1.79E-03
0.0E+00 0
5
10
15 Hari ke-
20
25
30
Gambar 18. Grafik hubungan lama pemanasan terhadap nilai IFT Nilai pH (derajat keasaman) digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu bahan. Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas terhadap tingkat keasaman larutan surfaktan. Suatu bahan berada pada kondisi pH netral jika bahan dengan pH 7 sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan pH berkisar antara 0–6 serta suatu bahan bersifat basa jika bahan dengan pH berkisar antara 8–14. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus. Nilai pH formula surfaktan SK-50 sebelum pemanasan bersifat basa dengan pH berkisar antara 8.5. Air formasi lapangan S bersifat basa dengan pH 7.65, surfaktan APG SK-50 bersifat basa dengan pH 11.5 – 12.5 pada 10 % larutan. Selain itu, penambahan NaCl serta NaOH kemungkinan juga mempengaruhi nilai pH pada formula surfaktan ini. Hasil pengujian thermal selama 30 hari menunjukkan peningkatan nilai pH pada minggu pertama dan kedua, sedangkan pada minggu berikutnya mengalami penurunan hingga mencapai pH yang relative stabil dengan nilai 8.75. Surfaktan alkil poliglikosida (APG) merupakan jenis surfaktan nonionik. Pada surfaktan nonionik tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Sifat ini membuat surfaktan APG sangat kompatibel dengan bahan kimia lainnya yang digunakan dalam operasi produksi sumur minyak, serta karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan surfaktan Alkil Poliglikosida (APG). Proses pemanasan dapat mempercepat tumbukan molekul-molekul yang terdapat dalam formula surfaktan. Namun, pada surfaktan APG SK-50 lama pemanasan tidak mempengaruhi nilai pH secara nyata. Hal ini disebabkan karena surfaktan APG bersifat nonionik sehingga suhu tidak menyebabkan molekul surfaktan terionisasi yang dapat merubah nilai pH larutan. Perubahan pH yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh interaksi penyusun formula surfaktan yang lainnya. Hubungan antara lama pemanasan dengan nilai pH ditunjukkan pada Gambar 19.
33
10
Nilai pH
9
9.00
9.00
8.75
8.50
8.75
8
7
6 0
5
10
15 Hari ke-
20
25
30
Gambar 19. Grafik hubungan lama pemanasan dengan nilai pH formula surfaktan
Nilai tegangan antarmuka memiliki hubungan dengan nilai pH. Pada formula surfaktan APG SK-50 optimal, konsentrasi NaOH menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi atau penyabunan. Reaksi ini membentuk surfaktan in-situ saat digunakan dengan minyak lapangan S yang bersifat asam. Surfaktan in-situ yang terbentuk pada reaksi ini dapat menurunkan tegangan antarmuka. Buckley dan Fan (2005) menyatakan bahwa ketika pH fase berair sangat tinggi atau sangat rendah, komposisi kelompok-kelompok fungsional asam dan basa pada minyak mentah dapat bereaksi membentuk surfaktan in-situ. Surfaktan ini lebih lanjut dapat mengubah IFT sebagai fungsi waktu. Degradasi pada formula surfaktan menyebabkan surfaktan tersebut terurai menjadi senyawasenyawa yang memiliki berat molekul lebih kecil. Hal ini menyebabkan densitas yang dihasilkan dari formula surfaktan tersebut semakin kecil. Pada formula surfaktan APG SK-50, perbedaan densitas terhadap lama pemanasan tidak terlalu signifikan yaitu hanya sekitar 10 -4 gram/cm2, sehingga dapat dikatakan bahwa lama pemanasan tidak begitu berpengaruh terhadap struktur molekul surfaktan APG SK-50. Hubungan antara lama pemanasan terhadap densitas formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 20.
Nilai Densitas (gram/cm3)
1.05
1.00
0.991
0.990
0.991
0.990
0.991
0.95 0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
Gambar 20. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan densitas formula surfaktan
Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang menunjukkan cepat atau lambatnya fluida tersebut mengalir. Viskositas dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Satuan viskositas yaitu poise. Satu poise berarti viskositas larutan ketika 1 dyne gaya bekerja pada 1cm2 penampang luas suatu plat dimana untuk jarak 1 cm menyebabkan laju aliran sebesar 1 cm/detik.
34
Berdasarkan definisi tersebut, semakin besar viskositas suatu fluida maka semakin kental/viskos fluida tersebut dan semakin lambat untuk mengalir. Hasil uji thermal formula surfaktan menunjukkan bahwa viskositas formula surfaktan berfluktuasi terhadap lama pemanasan. Pada minggu pertama nilai viskositas menurun. Kemudian pada minggu berikutnya viskositas kembali naik dan terus berfluktuasi pada minggu selanjutnya. Seharusnya lama pemanasan mempengaruhi viskositas suatu fluida. Menurut Holmberg (2003), suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu fluida. Ikatan molekul yang terdegradasi berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Selain itu, Purwantana (2005) menyatakan bahwa viskositas suatu bahan pada umumnya sangat tergantung pada suhu, viskositas turun dengan kenaikan suhu. Degradasi molekul suatu fluida menyebabkan konsentrasi partikel berkurang sehingga menyebabkan penurunan nilai densitas dan viskositas fluida tersebut. Adanya fluktuasi nilai viskositas ini antara lain disebabkan oleh kerusakan serta ketidak homogenan formula surfaktan sehingga hasil pengukuran berfluktuasi. Namun demikian, perbedaan nilai viskositas formula surfakatan APG SK-50 tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa formula surfaktan tersebut tidak mengalami degradasi yang terlalu besar sehingga dapat dikatakan bahwa viskositas formula surfakatan tersebut stabil terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan dengan nilai viskositas dapat dilihat pada Gambar 21.
Nilai Viskositas (cP)
0.80
0.75 0.70
0.70
0.69
0.70
0.70
0.69
0.65
0.60 0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
Gambar 21. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan viskositas formula surfaktan
4.5.2. Uji Phase Behavior Uji phase behavior bertujuan untuk melihat terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui compatibility atau kecocokan antara surfaktan dengan fluida minyak. Terdapat empat tipe kelakuan fasa yaitu emulsi fasa bawah dan terjadi kelebihan fasa minyak (excess oil). Kedua adalah tipe fasa tengah (mikroemulsi), terdiri dari 3 fasa, terjadi kelebihan air dan juga minyak. Ketiga adalah tipe emulsi fasa atas (minyak) dengan kelebihan fasa air (excess water), dan keempat adalah tipe makroemulsi. Menurut Levitt (2006), kelakuan fasa mikroemulsi dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur surfaktan atau equivalent alkane carbon number (EACN) pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas sangat tinggi, tipe II atau mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak
35
dan air terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta terjadi keseimbangan antara kelebihan fasa air dengan kelebihan fasa minyak. Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi surfaktan. Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah (Fase Form III) atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Lemigas, 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Kondisi mikroemulsi dapat dicapai dengan beberapa faktor salah satunya yaitu konsentrasi surfaktan yang digunakan. Mikroemulsi/fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibanding dengan fasa bawah maupun fasa atas. Selain itu, kelakuan fasa tengah/mikroemulsi dipengaruhi juga oleh salinitas air pelarut, suhu, jenis dan konsentrasi alkohol, serta jenis minyak yang digunakan. (Lemigas,2001) Penentuan uji phase behavior dilakukan secara visual dengan membandingkan antara fasa larutan surfaktan terhadap fasa minyak. Pengamatan dilakukan selama minimal 1 bulan pada suhu reservoir 700C. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kelakuan fase yang terbentuk adalah fase bawah dimulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30. Pada hari ke-7 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05 ml. Pada hari ke-14 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.075 ml. Pada hari ke-21 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05-0.075 ml. Sedangkan pada hari ke-30 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05-0.1 ml. Terjadinya kelebihan air ini mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan baik hingga hari ke-30. Hasil pengamatan phase behavior dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 22.
I
II
T0
I
II
T7
I
II
T14
I
II
T21
I
II
T30
Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30.
Terbentuk warna putih susu mulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30 diperkirakan karena terlarutnya molekul minyak kedalam formula surfaktan. Terlarutnya molekul minyak disebabkan oleh perbedaan densitas yang kecil antara minyak lapangan S dan formula surfaktan yaitu sebesar 0.916 untuk densitas minyak dan 0.991 untuk densitas formula surfaktan. Selain itu, adanya NaOH pada formula surfaktan dapat melarutkan minyak sehingga minyak terdispersi dalam formula surfaktan. Untuk mengamati terjadinya pelarutan minyak dalam surfaktan dilakukan uji mikroskop. Hasil pengamatan dengan mikroskop menunjukkan partikel yang mampu ditangkap oleh mikroskop berukuran 2.7 – 21.5 µm (Gambar 23). Partikel tersebut merupakan partikel minyak yang terlarut dalam formula surfaktan.
36
Gambar 23. Hasil pengamatan emulsi phase behavior dengan menggunakan mikroskop
Pada uji ini juga dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan hanya terbentuk dua fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan : Po = Kelarutan minyak Vo = Volume minyak awal Vo’ = Volume minyak selama pengamatan Vs = Volume surfaktan Lain halnya terbentuk tiga fasa dimana dilihat kelarutan air terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan : Pw = Kelarutan air Vw = Volume air awal Vw’= Volume air selama pengamatan Vs = Volume surfaktan Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan :
Vo
Vo’
Vo’
emulsi Vw (a)
Vw’ (b)
Vw’ (c)
Gambar 24. (a) Kelakuan fasa awal; (b) Terbentuk dua fasa; (c) Terbentuk tiga fasa
Selama 30 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa
37
minyak. Oleh karena itu, dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Berikut ini adalah grafik hubungan antara kelarutan minyak (Po) terhadap lama pemanasan : 0.04 0.032
Po
0.03
0.035
0.030
0.02
0.020
0.01
0
0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
Gambar 25. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dengan lama pemanasan Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kelarutan minyak (Po) meningkat seiring dengan lama pemanasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula surfaktan mampu membentuk emulsi.
4.5.3. Uji Filtrasi Uji filtrasi bertujuan untuk mengetahui keberadaan butiran (precipitant) dalam larutan surfaktan. Uji filtrasi dilakukan dengan mengalirkan formula surfaktan yang akan digunakan dengan filtrasi secara bertahap mulai dari filtrasi 500 mesh, filtrasi 21 µm, sampai filtrasi 0.45 µm. Kemudian dibuat grafik hubungan antara volume dan waktu dari filtrasi tersebut. Setelah dilihat hubungan antara volume dan waktu, laju alir / filtration rate (Fr) dari surfaktan juga dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini :
Keterangan:
t100
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 100 ml
t200
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 200 ml
t400
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 400 ml
t500
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 500 ml
Uji ini dilakukan terhadap dua jenis bahan yaitu air formasi dari Lapangan S dan formula larutan surfaktan yang bertujuan untuk membandingkan laju alir dari masing-masing bahan. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan kecepatan aliran fluida yang akan diinjeksikan ke dalam reservoir.
38
Parameter lain yang diukur dari uji ini yaitu nilai IFT dari setiap tahap penyaringan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap nilai IFT dari formula surfaktan. Hasil penyaringan formula surfaktan dan air formasi pada filtrasi 500 mesh menghasilkan Fr sebesar 1.39 dan 10.17. Hasil penyaringan dengan filtrasi 500 mesh dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini menunjukkan bahwa laju alir formula surfaktan yang digunakan lebih cepat dibandingkan dengan laju alir air formasi lapangan S. Namun, hasil ini masih lebih besar dari 1.2 , sehingga bisa dikatakan baik formula maupun air formasi belum memiliki kinerja laju alir yang baik. Grafik perbandingan penyaringan antara air formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 26.
500
Volume (ml)
400 300
AF Lapangan S
200
Formula Surfaktan
100 0 0
50
100 150 Waktu Alir (detik)
200
250
Gambar 26. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtasi 500 mesh
Selanjutnya setelah penyaringan 500 mesh, masing-masing bahan disaring dengan filtrasi 21 µm. Hasil penyaringan menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibanding dengan laju alir formula surfaktan yaitu dengan nilai 2.64 untuk air formasi dan 3.73 untuk larutan surfaktan. Hasil penyaringan dengan filtrasi 21 µm dapat dilihat pada Lampiran 10. Grafik perbandingan antara air formasi lapangan S dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 27.
500
Volume (ml)
400 AF Lapangan S
300
Formula Surfaktan
200 100 0 0
500
1000
1500 2000 2500 Waktu Alir (detik)
3000
3500
Gambar 27. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 21 µm
Setelah melewati filtrasi 21 µm, masing-masing bahan kemudian disaring dengan menggunakan filtasi 0.21 µm. Proses penyaringan dilakukan dengan memberikan tekanan sebesar 1.5 bar. Hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Lemigas. Hasil penyaringan
39
menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibandingkan dengan laju alir formula surfaktan yaitu dengan nilai 9.67 untuk air formasi dan 12.02 untuk formula surfaktan. Hasil penyaringan dengan filtrasi 0.21 µm dapat dilihat pada Lampiran 11. Grafik perbandingan antara air formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 28.
500
Volume (ml)
400 300
AF Lapangan S
200 Formula Surfaktan
100 0 0
1000
2000
3000 4000 5000 Waktu Alir (detik)
6000
7000
8000
Gambar 28. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 0.45 µm
Berdasarkan grafik perbandingan diatas, dapat dilihat bahwa laju alir dari air formasi dan formula surfaktan masih diatas laju alir yang ditetapkan sebesar 1.2. Hal antara lain disebabkan oleh ukuran molekul yang terdapat dalam air formasi maupun formula surfaktan sehingga dapat menghambat laju alir dari surfaktan tersebut. Molekul yang terdapat pada formula surfaktan dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Hasil pengamatan oleh mikroskop dapat dilihat pada Gambar 29.
54.0µm
3.1µm 20.2µm
(a)
(b)
41.9µm
136.4µm
77.2µm
14.3µm
(c)
(d)
Gambar 29. Hasil pengamatan mikroskop molekul pada formula surfaktan. (a) Sebelum penyaringan 500 mesh (28 µm). (b) Sebelum penyaringan 21µm. (c) Sebelum penyaringan 0.45µm. (d) Setelah penyaringan 0.45µm
40
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa molekul formula surfaktan sebelum disaring dengan menggunakan kain saring 500 mesh (28 µm) yang terlihat sebesar 54.0 µm. Ukuran molekul tersebut lebih besar daripada ukuran pori-pori filtrasi. Molekul ini dapat menyumbat pori-pori filtrasi sehingga laju alir surfaktan menjadi terhambat. Setelah disaring dengan menggunakan filtrasi 500 mesh, formula tersebut kemudian disaring dengan menggunakan filtrasi 21 µm. Molekul formula surfaktan yang dapat teramati sebelum penyaringan sebesar 3.1 µm sampai 20.2 µm. Ukuran molekul tersebut dapat melewati filtrasi 500 mesh dengan mudah. Namun, terbentuknya busa pada saat penyaringan menyebabkan laju alir formula surfaktan tersebut terhambat. Terbentuknya busa ini kemungkinan disebabkan adanya udara diantara filtrasi dan permukaan corong. Pembentukan busa dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Pembentukan busa pada saat penyaringan
Formula surfaktan hasil penyaringan filtrasi 21µm memiliki molekul yang dapat teramati sebesar 14.3 µm. Namun, molekul-molekul tersebut bersatu membentuk molekul gel dengan ukuran 136.4 µm. Formula surfaktan tersebut disaring dengan menggunakan filtrasi membran 0.45 µm dengan tekanan dari gas nitrogen sebesar 1.5 bar. Pemberian tekanan bertujuan untuk menghindari terbentuknya busa. Ukuran molekul yang lebih besar daripada pori-pori kertas membran menyebabkan pori-pori kertas membran tersumbat sehingga laju alir formula surfaktan menjadi sangat lambat. Proses penyatuan molekul kecil menjadi molekul yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh reaksi antara ion-ion pada surfaktan dengan garam sehingga molekul-molekul tersebut saling bergabung dan mengendap didasar formula. Untuk melihat hubungan antara filtrasi dengan nilai tegangan antar muka (IFT) dan nilai densitas formula surfaktan dilakukan uji IFT dan densitas pada setiap tahap penyaringan. Hasil uji IFT dan densitas pada uji filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 12. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT dapat dilihat pada Gambar 31.
Nilai IFT (dyne/cm)
2.0E-03
1.5E-03
1.26E-03
1.28E-03 1.06E-03
1.0E-03
7.89E-04
5.0E-04
0.0E+00 tanpa saring
500 mesh
22 µm
0.45 µm
Gambar 31. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT pada formula surfaktan APG SK-50
41
Selain itu, untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap molekul-molekul formula surfaktan dilakukan uji densitas. Hubungan antara filtrasi dengan nilai densitas formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 32.
Nilai densitas (gram/cm)
1.05
1.00
0.99050
0.99030
0.99030
0.99046
tanpa saring
500 mesh
22 µm
0.45 µm
0.95
Gambar 32. Hubungan filtrasi dengan nilai densitas pada formula surfaktan APG SK-50
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa proses filtrasi memiliki pengaruh terhadap peningkatan nilai IFT. Hal ini dapat disebabkan oleh ikut tersaringnya bahan aktif yang terdapat pada surfaktan sehingga kemampuan untuk menurunkan nilai IFT-nya berkurang. Namun, hal ini tidak terjadi pada penyaringan dengan filtrasi 0.45 µm. Hal ini kemungkinan dikarenakan penyaringan dengan filtrasi 0.45 µm merupakan penyaringan terakhir sehingga micelle yang terbentuk tidak tersaring lagi sehingga nilai IFT kembali turun. Sedangkan untuk nilai densitas, berbanding erbalik dengan nilai IFT dimana untuk nilai IFT yang menurun, nilai densitas mengalami peningkatan. Hal ini kemungkinan dikarenakan micelle yang terbentuk ikut tersaring sehingga bobot molekulnya berkurang, nilai densitas pun menurun yang menyebabkan naiknya nilai IFT karena kehilangan bahan aktifnya.
4.6. ENHANCED WATER FLOODING 4.6.1. Karakteristik Minyak Bumi yang digunakan Minyak bumi dari lapangan S yang dipakai dalam penelitian ini secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut.
Tabel 8. Karakteristik minyak bumi lapangan S Parameter
Nilai
Densitas (g/cm3)
0.91576 3
Spesifik grafity (g/cm ) o
Derajat API ( API) Aspaltine
0.91667 22.8635 Positif (+)
Densitas didefinisikan sebagai massa dari satuan volume suatu fluida (minyak) pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu. Spesifik grafiti merupakan perbandingan dari densitas suatu fluida
42
(minyak) terhadap densitas air. Baik densitas air maupun fluida tersebut diukur pada kondisi yang sama (60° F dan 14.7 Psia). Sedangkan, derajat API (API Gravity) merupakan satuan yang digunakan untuk menyatakan berat jenis minyak dan digunakan sebagai dasar klasifikasi minyak bumi yang paling sederhana. Klasifikasi minyak mentah didasarkan pada derajat API atau kerapatan relatif, jika derajat API minyak mentah tinggi atau kerapatan relatif minyak mentah rendah, maka ada kecenderungan bahwa minyak mentah tersebut mengandung fraksi ringan dalam jumlah yang besar. Berdasarkan gravitas API atau kerapatan relatif, minyak mentah dibagi dalam 5 jenis minyak mentah, yaitu: minyak mentah ringan, minyak mentah ringan sedang, minyak mentah berat sedang, minyak mentah berat, minyak mentah sangat berat, seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Klasifikasi Minyak Bumi Berdasarkan Derajat API dan Kerapatan Relatif Jenis Minyak Mentah
Dari
Ringan
>39,0
Medium Ringan
39,0
35,0
0,830
0,850
Medium Berat
35,0
35,0
0,850
0,865
Berat
35,0
24,8
0,865
0,905
Sangat Berat
<24,8
Gravitas API Sampai
Kerapatan Relatif Dari
Sampai
<0,830
>0,905
Sumber: Kontawa (1995)
Penentuan kerapatan relatif dilakukan untuk mengetahui golongan dari minyak mentah yang diuji yang biasanya mengacu kepada harga minyak bumi. Berdasarkan data yang diperoleh, minyak bumi yang dipakai pada penelitian ini termasuk kategori sangat berat dengan derajat API sebesar 22.86 dan kerapatan relatif/densitas 0.91576. minyak dalam kategori ini memiliki kecenderungan bahwa minyak mentah tersebut mengandung banyak fraksi berat. Minyak dengan fraksi berat akan dihargai lebih murah dibanding minyak yang mengandung fraksi ringan karena mengandung banyak pengotor. Selain itu, minyak mentah yang digunakan juga diuji kadar aspaltine untuk melihat komposisi hidrokarbon secara umum. Selain itu, uji ini juga bertujuan untuk mengetahui polar atau tidaknya suatu minyak dari kelarutannya dalam n-heksana. Apabila minyak mentah larut seluruhnya, maka minyak tersebut bisa dikatakan non-polar dan sebaliknya. Hasil pengujian aspaltine minyak lapangan S dapat dilihat pada Gambar 33.
(a)
(b)
Gambar 33. (a) Sebelum uji aspaltine dan (b) Setelah uji aspaltine
43
Hasil tersebut menunjukkan bahwa minyak lapangan S mengandung sedikit aspaltine. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya endapan pada setiap pengenceran. Sehingga dapat dikatakan bahwa minyak lapangan S bersifat polar dan digolongkan ke dalam minyak mentah alkana. Irapati (2008) mengatakan bahwa secara umum komposisi hidrokarbon minyak mentah terdiri dari dua komponen yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah: a. Minyak Mentah Alkana Minyak mentah alkana mempunyai kerapatan relatif yang rendah, susunan hidrokarbonnya bersifat alkana, mengandung kadar wax yang tinggi dan sedikit mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah, menghasilkan kerosine , solar dan wax yang bermutu baik. b. Minyak Mentah Siklo Alkana Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya bersifat siklo alkana, sedikit sekali mengandung kadar lilin dan mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi, menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat ringan-berat sampai kurang baik, dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil. c. Minyak Mentah Campuran Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik, Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik, tipe minyak ini dapat diproses menjadi berbagai jenis produk minyak bergantung dari tipe unit pengolahannya. Hidrokarbon merupakan unsur pokok terbesar dalam minyak bumi dengan konsentrasi antara 50 sampai 95%. Sisanya merupakan senyawa –senyawa non-hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang, oksigen, dan logam. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan hidrogen dan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik. Hidrokarbon alifatik atau disebut juga parafinik adalah senyawa yang mempunyai rantai atom karbon jenuh terbuka. Senyawa parafin yang didapatkan dari minyak bumi mengandung 1 sampai lebih dari 78 atom C. Wujud paraffin dengan jumlah atom C kurang dari 5 adalah bentuk gas. Jumlah atom C dari 5 sampai dengan 16 adalah bentuk cair dan jumlah atom C lebih dari 16 adalah bentuk padat dan semi padat. Hidrokarbon alisiklik atau disebut juga neftenik adalah senyawa yang umumnya berbentuk cincin dan tidak mempunyai ikatan ganda. Senyawa ini bersifat stabil dan tahan terhadap oksidasi. Titik didih senyawa ini 10 oC sampai 20oC lebih tinggi dari senyawa hidrokarbon alifatik dengan jumlah atom yang sama (Speight, 1980). Hidrokarbon aromatik merupakan senyawa yang sangat kompleks, termasuk diantaranya senyawa – senyawa aromatik dengan substitusi mono, di, dan poli alkil maupun tanpa substitusi. Dalam minyak bumi senyawa ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan parafin atau neftena. Senyawa non-hidrokarbon didalam minyak bumi terutama disusun oleh senyawa organik yang mengandung nitrogen, belerang, oksigen, dan logam organik (organometalik). Selama proses penyulingan, komponen nonhidrokarbon terkumpul dalam minyak fraksi berat dan residu, yaitu dengan titikdidih diatas 350 oC – 400oC.
44
4.6.2. Coreflooding Test Coreflooding test merupakan simulasi penginjeksian fluida kedalam reservoir yang bertujuan untuk mengetahui pengambilan minyak bumi dengan melakukan pendesakan pada core sintetik. Pendesakan dilakukan dengan menggunakan air formasi lapangan S dan formula surfaktan. Dalam coreflooding test terdapat parameter-parameter input yang perlu diperhatikan yaitu batuan, sifat fluida yang diinjeksikan serta recovery factor. Batuan yang digunakan adalah batuan yang memiliki kesamaan dengan batuan di lapangan baik porositas maupun permeabilitas. Sedangkan, sifat fluida disesuaikan dengan karakteristik reservoir (berupa suhu dan tekanan) dimana pada lapangan S bersuhu 70oC sehingga selama proses coreflooding test harus berada pada suhu 70oC dan tekanan 10 psi. Sementara itu, recovery factor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya recovery minyak yang diperoleh. Faktor-faktor tersebut adalah jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan dan lama perendaman batuan dalam surfaktan. Alat yang digunakan untuk coreflooding test yaitu core holder. Core holder terdiri dari core holder, tabung injeksi minyak, air formasi, dan surfaktan, gas nitrogen, serta gelas ukur. Gas nitorgen digunakan untuk menginjeksikan fluida berupa minyak bumi, air formasi dan larutan surfaktan dari dalam tabung masing-masing ke core holder. Suhu pada tabung injeksi dan core holder diatur sesuai suhu reservoir yaitu 70oC, kemudian pada core holder diberikan tekanan sampai 10psi, sedangkan pada tabung injeksi diberikan tekanan 1.5 bar. Pemberian tekanan pada core holder bertujuan untuk mengikat core sehingga mencegah kebocoran fluida, sedangkan pemberian tekanan pada tabung injeksi bertujuan untuk menginjeksikan fluida kedalam pori-pori core sintetik. Fluida diinjeksikan melewati pori-pori core sintetik yang berada di dalam core holder. Selanjutnya, fluida yang keluar ditampung pada gelas ukur yang tepat berada di bawah saluran keluar fluida pada core holder. Fluida yang keluar diukur volumenya sebagai hasil coreflooding. Pada tahap pertama, fluida yang diinjeksikan kedalam core sintetik yaitu minyak lapangan S. Minyak ini mendorong fluida berupa air formasi yang telah tersaturasi dalam core. Minyak yang masuk ke dalam core sebanding dengan air formasi yang keluar pada injeksi tersebut. Air formasi lapangan S yang keluar diukur untuk mengetahui porevolume (PV) yang dimiliki oleh core. Pada tahap kedua, fluida yang diinjeksikan berupa air formasi lapangan S untuk mendorong minyak yang telah diinjeksikan sebelumnya. Penggunaan air formasi dikarenakan pada lapangan S belum tersedia WIP/ air injeksi. Injeksi pada tahap kedua ini merupakan simulasi tahap sekunder dalam recovery minyak yang dikenal dengan waterflooding. Proses injeksi ini berhenti jika tidak ada lagi minyak yang keluar. Pada tahap ketiga, fluida yang diinjeksikan berupa formula surfaktan yang telah diuji diawal. Tahapan ini merupakan tahap EOR berupa enhanced waterflooding. Formula surfaktan yang diinjeksikan sebesar 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV dari volume pori-pori core sintetik. Injeksi ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan recovery minyak 10–20 persen. Formula tersebut kemudian disoaking/direndam selama 12 jam. Perendaman selama 12 jam ini didasarkan pada penelitian Mwangi (2008) yang menyatakan bahwa semakin lama periode perendaman, semakin banyak waktu untuk cairan surfaktan mendistribusi/menyebar dalam core yang dapat menurunkan nilai IFT sehingga minyak yang tersisa dalam core dapat terangkat dan meningkatkan recovery minyak. Tahap selanjutnya yaitu injeksi oleh air formasi untuk membilas atau mengeluarkan minyak yang telah direndam/soaking oleh formula surfaktan tersebut. Hasil core flooding test dapat dilihat pada Lampiran 13. Pada penelitian ini digunakan analisis statistik berupa Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor. Analisis statistik bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap respon. Faktor yang
45
dimaksud adalah pore volume formula surfaktan yang diinjeksikan dan respon yang dimaksud adalah recovery minyak setelah injeksi surfaktan. Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa terdapat pengaruh nyata porevolume formula surfaktan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05), porevolume formula surfaktan berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada proses simulasi core flooding dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada proses simulasi core flooding Recovery setelah
Recovery setelah injeksi
Total Recovery
water flooding (%)
surfaktan (%)
minyak (%)
0.1 PV
35.42
8.68
44.10
0.2 PV
29.26
16.91
46.16
0.3 PV
32.58
19.51
51.08
Perlakuan
Selanjutnya hasil analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui porevolume formula surfaktan mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% formula surfaktan 0.1 PV memiliki pengaruh yang berbeda dibanding formula surfaktan 0.2 PV dan 0.3 PV. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008) injeksi formula surfaktan 0.1PV tidak dikatakan berpengaruh. Sehingga, perlu dicari formula surfaktan yang berbeda nyata dari injeksi 0.2PV dan 0.3PV. Berdasarkan grafik perbandingan dan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008) diketahui bahwa injeksi surfaktan 0.2 PV paling berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lainnya. Grafik perbandingan hasil recovery dapat dilihat pada Gambar 34. 19.51%
20% 16.91%
Recovery minyak
15%
10%
8.68%
5%
0% 0.1
0.2 0.3 Injeksi formula surfaktan (PV)
Gambar 34. Recovery minyak setelah injeksi dan soaking formula surfaktan
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa injeksi formula surfaktan 0.2 PV memiliki hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun, terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak formula surfaktan yang diinjeksikan, recovery minyak yang dihasilkan semakin menurun. Berdasarkan kecenderungan tersebut, maka hasil yang diperoleh kemudian di regresikan untuk mengetahui kecenderungan penurunan recovery tersebut. Grafik regresi dari injeksi formula surfaktan dapat dilihat pada gambar 35.
46
25%
y = 0.541x + 0.042 R² = 0.8010.1
Recovery minyak
20% 15% 10% 5% 0% recovery
0.1
0.2
0.3
8.68%
16.90%
19.51%
Injeksi formula surfaktan (PV) Gambar 35. Grafik regresi injeksi formula surfaktan terhadap recovery minyak
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa injeksi formula surfaktan terhadap recovery minyak bumi di regresikan dengan rumus Y = 0.541X +0.042. Dimana Y merupakan recovery minyak yang dihasilkan, dan X merupakan formula surfaktan yang diinjeksikan. Dengan nilai residual sebesar 80.1% yang berarti regresi tersebut mampu menjelaskan data yang dihasilkan sebesar 80.1%. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kinerja surfaktan APG SK-50 dalam meningkatkan nilai recovery minyak bumi.
47