perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PERSIAPAN, PELAKSANAAN, DESKRIPSI HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan beberapa tahap untuk mempersiapkan penelitian ini. Tahap-tahap yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut: 1. Tahap persiapan penyusunan alat pengumpulan data Peneliti menggunakan alat pengumpulan data yang telah disesuaikan dengan metode pengumpulan data yang ditetapkan sebelumnya, yaitu riwayat hidup, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Alat pengumpulan data tersebut adalah blanko riwayat hidup, panduan/guidance wawancara, panduan/guidance observasi, dan dokumentasi. Melalui alat pengumpulan data tersebut diharapkan peneliti akan memperoleh berbagai informasi secara jelas dan tepat sesuai dengan tujuan penelitian. a. Blanko riwayat hidup Blanko riwayat hidup digunakan untuk memperoleh informasi awal dan mendasar mengenai latar belakang kehidupan subjek penelitian secara umum. Peneliti menyusun blanko riwayat hidup untuk subjek utama, yakni untuk janda yang telah menikah lagi. Informasi yang diungkapkan dalam blanko riwayat hidup subjek utama penelitian mencakup riwayat keluarga,
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, dan riwayat berkeluarga terdahulu yang akan diperdalam melalui sesi wawancara. Blanko riwayat hidup diserahkan kepada subjek penelitian di awal pertemuan dan diisi sendiri oleh subjek, namun didahului dengan penjelasan oleh peneliti tentang masing-masing poin yang perlu untuk diisi. b. Panduan/guidanceinterview Panduan interview disusun sebagai pedoman bagi peneliti dalam menyampaikan pertanyaan, alur, urutan, dan penggunaan kata selama proses wawancara agar peneliti tetap pada fokus penelitian. Panduan interview yang disusun oleh peneliti akan mengungkap informasi dengan pengkhususan mengenai pengambilan keputusan untuk menikah lagi. Selain itu, untuk memperdalam penggalian data, peneliti ingin mengungkap juga aspek lain mengenai riwayat kehidupan pernikahan terdahulunya dan riwayat pengalaman saat subjek dalam masa menjanda. Mengingat cukup banyak secara kompleks hal yang perlu diteliti, maka peneliti membuat daftar pertanyaan operasional yang bersifat umum dan kemudian akan diperdalam dengan pertanyaan yang lebih spesifik. Secara khusus, peneliti menggunakan bentuk wawancara semiterstruktur, yakitu bentuk wawancara yang menggunakan pedoman untuk mencapai tujuan wawancara namun dilakukan secara lebih fleksibel, sehingga peneliti dapat mengembangkan pertanyaan sesuai dengan kondisi subjek namun tetap sesuai dengan panduan wawancara. Peneiti lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
banyak menggunakan jenis pertanyaan terbuka agar subjek bebas memberikran informasi dalam wawancara dan memudahkan peneliti untuk memperoleh data yang mendalam dan luas. Selama proses wawancara, peneliti menggunakan alat rekam/recorder dengan seijin subjek penelitian. Penggunaan alat rekam ini bertujuan untuk mempermudah
peneliti
dalam
meminimalkan
kemungkinan
menyimpan hilangnya
data
informasi
secara penting
lengkap, dalam
waawancara, dan memudahkan peneliti dalam mengolah data. c. Panduan/guidance observasi Peneliti menyusun panduan observasi unmtuk mempermudah dalam proses pengumpulan data mengenai ekspresi non verbal yang ditunjukkan oleh subjek penelitian dan
mungkin memiliki makna yang berkaitan
dengan data informasi yang disampaikan secara verbal. Kemampuan untuk membaca reaksi verbal ataupun non verbal yang ditunjukkan oleh subjek penelitian sangat diperlukan untuk menunjang data dan hasil penelitian. Selama proses wawancara, peneliti melakukan observasi terhadap aspek non verbal dan verbal subjek. Aspek nonverbal yang diobservasi meliputi penampilan fisik, ekspresi, perilaku khas yang muncul, rentang perhatian, inteligenesi, dan interaksi. Sedangkan aspek verbal yang diobservasi meliputi artikulasi, keluasan penggunaan kosa kata, kejelasan pengucapan kata, intonasi, penekanan kalimat, dan penggunaan bahasa. Selain dalam proses wawancara, peneliti juga merencanakan akan melakukan observasi dalam keseharian subjek, meliputi keadaan di sekitar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
tempat tinggal subjek, interaksi dengan suami, hubungan dengan lingkungan sekitar, dan sebagainya. Hal tersebut dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. 2. Rencana pengkodingan untuk reduksi data Koding adalah pemberian kode pada satuan-satuan yang telah direduksi. Pemberian kode meliputi: a. Penandaan sumber asal satuan, dalam penelitian ini adalah keseluruhan data yang berasal dari wawancara. b. Penandaan jenis subjek, pada penelitian ini kode SU = subjek utama dan SO = significant others. Untuk penelitian, responden dibedakan dengan pemberian kode I untuk Subjek Utama I dan significant others I. Kemudian kode II untuk Subjek Utama
II dansignificant others II.
Contoh: SU.I untuk subjek utama penelitian I. Bila dalam penelitian nanti terdapat lebih dari satu significant others dari satu Subjek Utama, maka pemberian kode untuk significant others ini menjadi I-1 untuk significant others pertama dari Subjek Utama I dan I-2 untuk significant others kedua dari Subjek Utama I. Begitu juga dengan pemberian kode untuk significant others dari Subjek Utama II. c. Penandaan waktu wawancara, pada penelitian ini wawancara dilakukan sebanyak minimal dua kali untuk subjek utama, dan satu kali untuk significant others. Pemberian kode waktu wawancara adalah dengan menggunakan kode 1 dan 2 untuk membedakan wawancara pertama, kedua, dan seterusnya. Contoh W1 untuk wawancara pertama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
d. Penandaan letak baris dalam verbatim, penandaan dilakukan dengan menggunakan angka Arab untuk menunjukkan letak baris di dalam verbatim. Contoh: W1.SU.I.100-105 berarti ini merupakan wawancara terhadap subjek utama, pada pertemuan yang pertama, dan kutipan diambil dari baris 100-105 dari verbatim tersebut. Sedangkan contoh untuk pengkodingan data untuk significant others adalah: W.SO.I. berarti ini merupakan wawancara terhadap significant others pertama. Satuan yang telah dikoding dimasukkan ke dalam kategori-kategori tertentu. Kategori adalah kelompok satuan yang disusun berdasarkan pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu (Moleong, 2000). Penafsiran data dilakukan dengan menemukan hubungan antar kategori dan memberinya label dengan pernyataan sederhana berupa proposisi yang menunjukkan hubungan. Proses ini diteruskan hingga memperoleh hubungan yang cukup padat, yaitu sampai menemukan petunjuk metafora atau kerangka berpikir umum (Moleong, 2000).
B. Pelaksanaan Penelitian 1. Prapertemuan dengan subjek Penelitian ini berlangsung selama bulan April 2014 di kota Bojonegoro. Proses penelitian diawali dengan penelusuran subjek dengan kriteria yang telah di tentukan di awal dalam kawasan daerah Bojonegoro dengan mencari data melalui catatan pernikahan kecamatan. Dari penelusuran tersebut, akhirnya didapatkan calon-calon subjek penelitian. Akan tetapi, setelah mencari alamat yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
dimaksud, peneliti mengalami kesusahan dalam pencarian subjek utama dikarenakan tidak berhasil bertemu dengan subjek dengan alasan sudah tidak tinggal lagi di daerah itu, dan juga beberapa ada yang menolak untuk dijadikan subjek penelitian karena topik permasalahan yang diangkat terlalu mengungkap masalah pribadi mereka. Sebelum bertemu dengan calon subjek penelitian, peneliti terlebih dahulu mendapatkan informasi tambahan mengenai calon subjek dari pihak ketiga untuk menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. Informasi mengenai subjek yang akan diteliti bertepatan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dari hasil informasi tersebut, peneliti akhirnya menemukan dua subjek utama penelitian, yakni wanita dewasa madya yang telah melakukan pernikahan lebih dari satu kali. 2. Pengalaman peneliti dengan subjek Pertemuan pertama yang diadakan peneliti dengan Subjek I dilakukan secara spontan. Maksudnya, pertemuan pertama yang dilakukan peneliti dan subjek dengan tujuan ingin memberikan gambaran besar alur penelitian tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pertemuan yang diadakan pada tanggal 1 April 2014 ini langsung menjadikan subjek bercerita mengenai proses perjalanan pernikahan keduanya ini. Akhirnya, tanpa diawali dengan pengarahan dari peneliti mengenai gambaran alur penelitian dan wawancara yang akan dilakukan, subjek dengan serta-merta menceritakan perjalanan kehidupan pernikahan keduanya mulai dari awal bertemu dengan suami kedua subjek. Pertemuan pertama yang berarti merupakan pertemuan dalam rangka prapenelitian antara peneliti dengan calon Subjek II dilakukan di rumah Subjek II
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
pada tanggal 12 September 2013 didampingi oleh pihak ketiga yang memberikan informasi tadi. Perbincangan awal banyak dilakukan oleh pihak ketiga yang menyampaikan berbagai pengantar mengenai maksud dan tujuan peneliti bertemu dengan calon subjek pertama penelitian. Di rumah itu juga terdapat suami kedua subjek.
Setelah calon
subjek
memperoleh
sedikit
gambaran
mengenai
keterlibatannya dalam penelitian, peneliti kemudian secara langsung menjelaskan alur penelitian ini dan memohon kesediaan untuk menjadi subjek utama penelitian. Tidak membutuhkan waktu lama, wanita dewasa madya tersebut menyatakan kesediaannya. Selama peneliti menyampaikan perihal penelitian ini, subjek mendengarkan dan memperhatikan dengan seksama penjelasan yang disampaikan yang disertai dengan anggukan kepala. Awalnya subjek terlihat bingung karena ia tidak pernah sebelumnya dimintai tolong untuk membantu penelitian semacam ini. Peneliti juga meyakinkan bahwa data yang diberikan dalam penelitian ini akan terjaga kerahasiaannya. Di akhir pertemuan prapenelitian ini, peneliti dan subjek membuat kesepakatan untuk bertemu kembali untuk keperluan wawancara yang akan disepakati bersama. Untuk pertemuan dengan tujuan melakukan penelitian, peneliti dan subjek penelitian keduabertemu juga di rumah suaminya pada tanggal 8 April 2014. Awal perbincangan peneliti dan subjek penelitian adalah mengenai maksud dan tujuan penelitian yang dijelaskan kembali oleh peneliti agar subjek penelitian tidak merasa kebingungan. Berikut merupakan table subjek yang digunakan dalam penelitian:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
Tabel 1. Data Subjek Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Data Umum Subjek I Jenis kelamin Perempuan Suku Bangsa Jawa Agama Islam Pendidikan SMP (tidak tamat) Pekerjaan PRT Urutan dalam keluarga Ke-3 dari 5 bersaudara Usia saat wawancara 47 tahun Usia saat pernikahan 21 tahun pertama 9. Usia saat berpisah dengan 34 tahun suami 10. Alasan berpisah Bercerai 11. Usia saat menikah kedua 42 tahun kalinya
Subjek II Perempuan Jawa Islam S1 Guru Anak tunggal 50 tahun 19 tahun 41 tahun Suami meninggal 46 tahun
Pengambilan data berlangsung pada bulan April 2014. Pada awal pertemuan, peneliti belum sampai menjelaskan kepada Subjek I mengenai significant others yang juga akan ditemui peneliti. Hal ini dikarenakan Subjek I secara otodidak bercerita terlebih dahulu tanpa dapat peneliti interupsi. Maka, saat di akhir pertemuan pertama, Subjek I terlihat bingung mengenai significant others yang ia rasa dapat memberikan data berkenaan dengan pernikahan keduanya ini. Namun kemudian Subjek I memberikan sebuah nama yang ia rasa dapat diwawancarai oleh peneliti. Tidak jauh berbeda dengan Subjek II, ia juga agak merasa bingung untuk memberikan siapa orang lain yang memahami kondisi saat itu dan mengerti mengenai dirinya. Namun, setelah wawancara pertama selesai, kedua subjek akhirnya memberikan arahan seseorang untuk dijadikan significant othersnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
Peneliti bertemu dengan kedua subjek sebanyak dua kali dalam proses wawancara untuk pengambilan data. Berikut ini adalah tabel jadwal waktu pengambilan data pada subjek utama penelitian: Tabel 2. Jadwal pengambilan data Subjek Utama Subjek Subjek I SubjekII
Pengambilan Data 1 1 April 2014 8 April 2014
2 2 April 2014 12 April 2014
Pada mulanya significant others yang digunakan pada Subjek I adalah teman subjek yang menjadi penghubung antara subjek dan suami baru subjek. Pemilihan significant others pada Subjek I ini atas dasar rekomendasi subjek yang memahami bagaimana proses hingga berlangsungnya pernikahan kedua subjek ini. DariSubjek II, peneliti memperoleh rekomendasi significant others yang mengenal subjek cukup dekat, yakni anak kedua subjek. Akan tetapi, setelah wawancara dengan significant others dari masing-masing subjek, peneliti berusaha mencari significant others lainnya guna untuk semakin melengkapi data yang dicari. Significant others berikutnya untuk masing-masing subjek utama ini diperoleh melalui cerita dari significant others awal. Setelah memperoleh informasi tambahan tersebut, sebelumnya peneliti terlebih dahulu telah meminta dan mendapatkan ijin masing-masing subjek penelitian untuk mewawancarai significant others berikutnya itu. Untuk masing-masing significant others, peneliti hanya melakukan wawancara sebanyak satu kali. Berikut merupakan tabel jadwal waktu pengambilan data pada significant others penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
Tabel 3. Jadwal pengambilan data significant others Significant others Significant others I-1 Significant others I-2 Significant others II-1 Significant others II-2
Waktu pengambilan data 7 April 2014 19 April 2014 18 April 2014 21 April 2014
C. Analisis Data Penelitian Berikut ini pemaparan analisis data penelitian secara umum. Untuk masingmasing subjek penelitian, akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-topik deskripsi hasil penelitian. 1. Mencatat dan mereduksi fenomena yang penting. Pengolahan analisis data kualitatif dimulai dengan mengorganisasikan data yang sudah diperoleh peneliti secara menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan. Pengorganisasian ini dibagi atas dua cara, yakni: a. Deskripsi Riwayat hidup. b. Pereduksian data dengan cara memilah-milah data yang penting dan data yang tidak penting. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan. Data hasil wawancara yang dianggap penting dan relevan dengan tujuan penelitian dipisahkan dan dianalisis lebih lanjut, kemudian diberi makna psikologis untuk mengungkapkan hal yang ingin diteliti. Pereduksian data ini ditampilkan pada halaman lampiran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
2. Menggambarkan unit makna dan deskripsi Setelah
melakukan
pereduksian
data
pada
berkas,
maka
peneliti
mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menekkan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada subjek penelitian), dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi) yang merupakan interpretasi peneliti berdasarkan pernyataan orisinal subjek. Pada tahap ini, peneliti memaparkan data dengan menjelaskan mengenai deskripsi hasil wawancara dan observasi penelitian. 3. Mengelompokkan unit makna untuk membentuk tema Unit makna yang ada kemudian dikelompokkan lagi sesuai dengan tema yang ada. Pada tahap ini, pengelompokan unit makna telah dikelompokkan sesuai dengan tema yang ada pada tahap deskripsi hasil wawancara dan observasi penelitian. 4. Merangkum setiap wawancara. Rangkuman setiap wawancara ditampilkan ke dalam transkrip wawancara pada halaman lampiran. 5. Menggali tema yang umum dan khusus dari setiap wawancara dan membuat ringkasan gabungan. Untuk mendapatkan paparan hasil ringkasan yang lebih dalam, tahap ini peneliti memaparkan deskripsi analisisnya pada subbab pembahasan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
D. Deskripsi Hasil Penelitian Sebelum menjelaskan hasil penelitian secara deskriptif, berikut ini ditampilkan kerangka susunan data hasil penelitian. DATA HASIL PENELITIAN
RIWAYAT HIDUP
WAWANCARA DAN OBSERVASI Latar belakang gambaran kehidupan masa lalu sebelum pernikahan
Gambaran Personal subjek penelitian
Latar belakang gambaran kehidupan pernikahan sebelumnya Gambaran kehidupan saat menjanda Interaksi dengan pasangan Proses pengambilan keputusan menikah lagi Gambaran pernikahan baru
Bagan 2. Bagan Kerangka Susunan Data Hasil Penelitian Berdasarkan bagan di atas, peneliti akan mengolah data observasi dan riwayat hidup untuk membuat gambaran personal mengenai subjek penelitian. Selanjutnya, data wawancara akan diolah untuk mengungkapkan gambaran kehidupan masa lalu, gambaran kehidupan pernikahan sebelumnya, gambaran kehidupan saat menjanda, interaksi subjek dengan pasangan, proses pengambilan keputusan untuk menikah lagi, dan gambaran pernikahan baru dari subjek. Berikut ini dijelaskan mengenai deskripsi hasil penelitian dari subjek utama yang terlibat dalam penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
1. SubjekI Gambaran observasi 1) Pertemuan pertama Pertemuan I: Selasa, 01 April 2014 pukul 10.00-12.30 bertempat di rumah majikan SY. Pertemuan peneliti dengan Subjek I dilakukan di rumah majikan subjek, rumah yang dahulunya juga merupakan tempat tinggal subjek saat belum menikah dengan suami barunya. Peneliti disambut datang dengan baik dan terbuka oleh subjek. Wawancara dilakukan di rumah majikan subjek saat mereka tidak ada di rumah. Awalnya, pada pertemuan ini peneliti hendak menyampaikan maksud dan tujuan mengadakan penelitian dan menjadikan SY sebagai subjek utama. Namun karena sebelum pertemuan ini peneliti sudah mengenal pribadi subjek secara sebelum peneliti selesai memberikan penjelasan dan meminta ijin, subjek tanpa diminta spontan memberikan penjelasan awal mula proses pernikahannya yang kedua ini. Tidak memerlukan waktu lama untuk mengadakan pendekatan awal dengan subjek. Subjek menceritakan dengan lancar mengenai dirinya yang sekarang sudah menikah lagi dengan berbagai permasalahan dalam rumah tangganya saat ini juga tidak lupa ia utarakan. Maka dari itu, karena subjek mengawali cerita dan peneliti tidak diperkenankan untuk menginterupsi, maka jalannya wawancara tidak urut sesuai dengan panduan yang sudah tersedia. Selama proses wawancara, subjek meminta ijin untuk menjawab pertanyaan diselingi dengan melakukan pekerjaan yang sudah menjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
kewajibannya. Maka, proses jalannya wawancara dilakukan di dapur saat subjek melakukan pekerjaannya. Mulanya subjek meminta maaf berkali-kali tidak dapat sepenuhnya fokus pada wawancara dikarenakan pekerjaan subjek yang harus ditangani. Namun, ketika peneliti memberikan opsi wawancara di lain tempat, subjek malah merasa keberatan karena pada waktu sore hari setelah bekerja pasti langsung pulang ke rumahnya. Subjek merasa tidak enak bila wawancara dengannya harus diketahui oleh orang lain. SY saat ini tinggal di rumah suami keduanya yang tidak jauh dari rumah majikannya. Namun, karena alasan tidak ingin diketahui oleh orang lain, peneliti tidak diperkenankan untuk bertamu di rumahnya. Akhirnya, di dapur rumah majikannya proses wawancara selama dua kali ini berlangsung. Rumah majikannya di tepi jalan akses desa, berdekatan dengan pasar. Jala raya aspal di depan rumahnya itu ramai oleh suara motor yang berlalu lalang. Antara lahan rumah dan jalan dibatasi oleh pagar besi hitam dengan pintu pagar yang terbuka. Ruang tamu yang mungil, dilanjutkan dengan ruang tengah yang satu bagian dengan meja makan, dan di sebelah kanan ruangan itu terdapat 3 kamar tidur. Di dapur tempat wawancara itu, subjek berpindah-pindah tempat antara tempat cuci piring dan kompor. Peneliti diberikan sebuah kursi yang terletak di samping tempat cuci, sedang subjek sendiri ia menjawab pertanyaan dengan berdiri.Di ujung dapur yang letaknya memanjang terdapat kamar mandi yang berseberangan dengan pintu keluar menuju ke tempat jemuran baju dan pagar depan rumah. Rumah sudah terlihat bersih saat peneliti datang. Menurut subjek, ia sudah mengerjakan pekerjaan rumah secara garis besar sebelum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
peneliti datang, dan saat wawancara SY hanya berkutat pada pekerjaan dapurnya. SY memiliki tubuh pendek dengan berat badan sekitar 50 kg dan tinggi badan kira-kira 155 cm. Rambutnya hitam berombak dikuncir karet dengan panjang sebahu. Terdapat beberapa tahi lalat di wajahnya yang sedikit kusam berminyak. Alisnya tipis dengan bentuk wajah oval, hidung kecil, serta kulit berwarna sawo matang. Saat itu subjek mengenakan baju daster batik berwarna ungu. Dalam menjawab pertanyaan, SY kebanyakan menggunakan bahasa Jawa dengan intonasi cepat. Seringkali subjek menjelaskan dengan melakukan pekerjaannya, namun tidak jarang juga subjek menjawab dengan menoleh kepada peneliti. SY menjawab pertanyaan dengan lancar, dan terkadang memotong pertanyaan dari peneliti untuk mengira-ngira pertanyaan itu lalu menjelaskan. Penjelasan mengenai alur wawancara dijelaskan peneliti dengan menyisipkannya disela-sela wawancara melalui lisan karena kondisi tidak memungkinkan untuk peneliti membacakannya secara detil dan subjek memahami dengan baik dan bersedia untuk dijadikan subjek utama. Pertemuan pertama ini berakhir saat anak majikannya pulang sekolah pada waktu dhuhur. Pada akhir sesi wawancara pertama ini, peneliti meminta subjek untuk mengisi daftar riwayat hidup, namun subjek meminta agar peneliti saja yang menuliskannya. Akhirnya, karena peneliti tidak dapat memaksa subjek untuk menulis sendiri, daftar riwayat hidup tersebut diisikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121
oleh peneliti dengan menanyakan poin-poinnya. Karena ada beberapa ketimpangan dalam salah pengertian mengartikan jawaban subjek untuk daftar riwayat hidupnya, dalam lembaran itu terdapat beberapa coretan, dan mengganti dengan yang seharusnya. Setelah benar, peneliti memperlihatkan kepada subjek apakah ada kesalahan lagi dan setelah daftar riwayat hidup lengkap dan terisi dengan benar, subjek menandatanganinya. Demikian juga dengan lembar persetujuan untuk menjadi subjek utama penelitian. 2) Pertemuan kedua Pertemuan II: Rabu, 02 April 2014 pukul 09.30-11.50 bertempat di rumah majikan subjek. Pada pertemuan kedua ini peneliti datang lebih awal dengan harapan akan lebih banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan SY. Saat peneliti datang, subjek menoleh ke arah peneliti dan memberikan senyuman. Peneliti dipersilahkan masuk langsung menuju ke dapur saat SY sedang memasak dan disodorkan kursi kecil untuk duduk. Seperti kegiatan kemarin, wawancara berlangsung ketika SY sedang memasak. SY memakai baju daster batik warna coklat dengan penutup kepala ciput (dalaman kerudung) berwarna biru laut. Seperti kemarin, di rumah majikannya itu tidak ada siapa pun selain dirinya. Meskipun pada pertemuan kedua ini membahas mengenai masa lalu subjek, subjek tidak keberatan menjawab. Semua diceritakan subjek dengan lancar sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Namun, saat ini wajah subjek lebih terlihat serius dibandingkan dengan saat pertemuan pertama. Namun, semua tidak menjadi halangan yang berarti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
karena subjek tidak menunjukkan tanda-tanda verbal atau non-verbal berupa penolakan. Proses wawancara berjalan dengan lancar hingga akhir sesi. Ganjalan baru ditemui saat sudah selesai sesi wawancara. Sewaktu peneliti menanyakan siapakah significant others yang mengerti mengenai proses yang mengarah kepada pernikahan keduanya, SY terlihat kaku dengan memperlihatkan wajahnya yang tegang. Ia mengatakan tidak enak jika harus melibatkan orang lain karena ini merupakan masalahnya sendiri. Ia merasa tidak enak kalau orang lain menceritakan hal ini, terlebih lagi keluarga besarnya di kampong dan majikannya. Satu orang yang diperkenankan SY untuk diwawancarai peneliti adalah orang yang menghubungkan ia dengan suami barunya. Setelah bertemu dengan orang yang dimaksud, peneliti merasa belum begitu puas dengan data yang diperoleh dari significant othersnya itu. Peneliti menawarkan diri untuk berkunjung ke kampong halamannya untuk bertemu dengan ibu subjek yang dalam cerita mempunyai andil dalam proses pernikahan keduanya ini. Namun, lagi-lagi subjek berkeberatan dan mengambil jalan pintas bila peneliti masih ingin menemui keluarga subjek, maka peneliti dipersilahkan mencari subjek lain. Karena sangat disayangkan sekali bila data utama yang diceritakan oleh subjek cukup kaya, maka peneliti dan subjek membuat kesepakatan. Akhirnya, setelah terjadi kesepakatan, peneliti dapat mewawancarai anak kedua subjek sebagai significant others berikutnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
Analisis Data Subjek I. 1) Mencatat dan mereduksi fenomena yang penting. Deskripsi Riwayat Hidup SY merupakan janda cerai oleh suami pertamanya yang kini telah menikah lagi di usia dewasa madya. Ia merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara, beragama islam dan bersuku Jawa. Keluarganya berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan ekonomi menengah ke bawah yang mana pekerjaan orang tuanya adalah sebagai buruh tani. SY sendiri lulusan SD dan tidak tamat pada jenjang SMP. Hal ini dikarenakan orang tuanya tidak mampu untuk membiayai sekolahnya. Bukan hanya dirinya, saudara-saudaranya yang lain pun begitu. Baru adiknya yang terakhirlah yang menamatkan hingga SMA. Sebelum menikah, untuk mencukupi kehidupannya, SY bekerja dengan membantu orang tuanya di sawah, atau di ladang tembakau milik orang lain. Pernikahan pertamanya pada tahun 1989 dengan seorang laki-laki berinisial DM berawal ketika DM berkunjung ke rumahnya dan melihat SYkemudian suka kepadanya dan meminta keluarga SY agar SY menjadi istrinya. Dengan pertimbangan melihat sifat dan karakter DM yang baik, orang tua SY setuju dan merestui hubungan mereka. Awalnya SY dan DM terlebih dahulu bertunangan, berada dalam ikatan pra-nikah. Orang tua DM saat itu juga bersilaturahmi dan bertemu dengan orang tua SY. Hampir 3 tahun lamanya ikatan tunangan itu terjalin. Hal ini dikarenakan DM masih bekerja di Kalimantan sebagai buruh bangunan di sebuah usaha kontraktor. Komunikasi antara SY dan DM dengan cara berkirim surat. Sesekali juga DM memberikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
hadiah barang dari Kalimantan dan dikirimkan melalui paket ke rumah SY. Setelah masa kontraknya di Kalimantan habis, DM kembali ke kampung halaman dan ditawari kerja oleh adik DM di Jakarta. Setelah DM mendapatkan pekerjaan barunya itu, akhirnya SY dan DM menikah. Awal mula pernikahan, SY tidak dapat ikut bersama DM di Jakarta. Ia ditinggal di rumah karena DM belum menjadi karyawan tetap di pabrik tempat ia bekerja, seebuah pabrik pembuatan baja. Baru setelah 3 bulan bekerja dan diangkat menjadi pekerja tetap, DM berani membawa SY hidup di tempat perantauan. Di sana SY dan DM menempati sebuah rumah kontrakan yang cukup untuk tinggal mereka berdua. Saat di Jakarta, DM tidak mengijinkan SY untuk bekerja juga. Saat itu pernah SY ditawari bekerja di pabrik pembuatan sepatu. Namun DM melarang karena khawatir pekerjaan SY di rumah tidak terurusi dengan baik. SY menurut saja perintah dari DM karena ia pun mengerti rumah tangga dan anak-anaknya di rumah juga harus mendapatkan perhatiannya. Selama hidup di perantauan, DM adalah orang yang baik menurut SY. DM tidak pernah melakukan tindakan kasar apabila ada pertengkaran dalam rumah tangganya, hanya ucapan-ucapan yang digunakan DM yang menurut SY menyinggung dirinya. Di mata SY, DM adalah suami yang baik. DM selalu memberikan seluruh gaji yang didapatkannya kepada SY. DM juga seorang yang pekerja keras. DM menangkap peluang apa saja yang datang asalkan itu dapat mendatangkan rejeki dalam keluarga mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125
Setelah beberapa lama bekerja sebagai karyawan pabrik, DM memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya itu untuk beralih kepada usaha bengkel miliknya sendiri. Modal awalnya ia dapat dengan menyewa alat-alat bengkel dari teman kenalannya. Usaha yang terus dilakukan DM dengan ketekunan membuat bengkelnya semakin berkembang maju. SY sendiri lebih sering berada di rumah. Hingga suatu saat DM meminta SY agar suaminya itu dapat menikah lagi. DM masih ingin memiliki SY sebagai istri, namun ia ingin menikah lagi dengan perempuan lain, dengan kata lain ingin memadu SY. Karena SY tidak ingin DM mempunyai istri lagi selain dirinya, SY meminta DM untuk membuat keputusan antara dua pilihan, dia dan anakanaknya atau perempuan itu. Akhirnya tahun 1996 DM akhirnya memulangkan SY ke rumah orang tuanya. Perpisahan itu terjadi ketika 2 anaknya masih kecil dan semua dibawa SY. Perpisahan yang terjadi antara SY dan DM waktu itu tidak memunculkan kata perceraian. Namun, sejak saat itu SY tidak lagi diberikan nafkah oleh DM. Pada awal mula berpisah, DM hanya berkunjung untuk menemui anak-anaknya dalam selang waktu 3-4 bulan sekali. Saat itulah DM memberikan uang yang menurut SY tidak mungkin dapat mencukupi kebutuhannya. Awalnya SY berharap bila DM akan berubah pikiran dan lebih memilih dia dan anak-anaknya untuk tinggal bersama lagi. Akan tetapi, setelah SY menunggu lama, itikad itu tidak ada dalam diri DM. Saat berita ini diketahui oleh orang tua DM, orang tua DM marah dan tidak setuju apabila harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
berpisah dengan SY. Orang tuanya menyarankan agar DM dan SY rujuk kembali karena sudah lama berpisah. Namun setelah DM kembali lagi ke Jakarta, sifatnya dirasa tidak berubah. Hal ini yang menyebabkan orang tua DM mengikhlaskan SY untuk mencari orang lain saja daripada harus menunggu DM yang tidak bisa diharapkan. Dalam masa perpisahan itu, SY mencari pekerjaan apa saja yang dapat menghasilkan uang. Ia bekerja dengan membantu orang tuanya di sawah. Semua uang dikumpulkannya untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Bantuan datang juga dari adik DM yang sesekali mengirimkan uang untuk SY dan anak-anaknya. Pernah sekali SY berniat ingin bekerja di Jakarta dengan kerjaan yang ditawari oleh adik DM. Keinginan itu muncul dengan harapan akan mengubah nasibnya dan keluarganya. Akan tetapi karena orang tua SY tidak setuju SY mencari nafkah di tempat yang jauh SY akhirnya lebih memilih menurut kepada orang tua dan tidak bekerja di Jakarta. Setelah itu, kebetulan SY mendapatkan tawaran untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dari anak seseorang yang dikenalnya. Karena ia membutuhkan uang untuk hidupnya dan anak-anaknya, akhirnya ia memutuskan untuk bekerja di sana. SY merasa sudah menunggu sangat lama untuk sebuah kejelasan. Selama kurang lebih 6 tahun SY digantung tidak mendapatkan kepastian dari status pernikahannya dengan DM. Oleh karena itu, SY memutuskan untuk bercerai dengan DM tahun 2002.Selama masa status SY digantung dan menjanda, SY terlatih untuk hidup mandiri. Anaknya yang dibawa ikut dengannya awalnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
adalah anaknya yang pertama saat ia mulai masuk SMA. Selama itu, anak kedua SY tetap sekolah di kampungnya. Tentu saja hal ini sudah atas ijin dari majikan SY. Kemudian setelah anak pertama SY lulus SMA, ganti anak keduanya saat masuk SMA dibawanya untuk tinggal di tempat ia bekerja. Saat dalam masa menjanda, SY dua kali bertemu dengan laki-laki yang menyukainya dan ingin menjadikannya sebagai istri. Namun karena saat itu SY belum berkeinginan untuk menjalin pernikahan kembali, ia memutuskan untuk sendiri dahulu. Satu orang yang datang menanyakan SY kepada kakak laki-lakinya, ia menolaknya dengan perantara kakaknya itu dengan alasan belum ingin menjalin rumah tangga, seorang lagi setelah itu ditolaknya dengan alasan keluarga dan SY sendiri tidak yakin dengan orang itu. Majikannya pindah rumah dan SY pun ikut serta. Saat itulah ada orang yang bertanya lagi mengenai dirinya, bahwa ada seorang duda yang ingin menjadikannya sebagai istri. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan SY memutuskan untuk menerima ajakan menikah dengan orang tersebut. 2) Menggambarkan unit makna dan deskripsi Deskripsi hasil wawancara dan observasi (a) Latar belakang gambaran kehidupan masa lalu sebelum pernikahan pertama. Subjek dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Subjek terbiasa dengan kondisi keluarga yang serba kekurangan. Akan tetapi subjek dan saudara-saudaranya memahami kondisi perekonomian keluarga yang sulit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
Yo nelongso jaman semono. Tapi yo kene yo sadar keadaan wong tuwo lagi koyok ngono.(W1.SU.I.896-898) Kan bapakku cuma buruh tani tho Mbak. Wis tani thok. Gak nganggo dagang gak opo ngono.(W1.SU.I.880-882) Subjek dibesarkan dalam asuhan ayah yang tegas.Ayahsubjek juga mengajari dalam kesehariannya untuk menerima apapun yang dihadapi dan melatih untuk bersabar. Yo dikon sekolah, dikon ngaji. Wayah ngaji yo ndang ngaji. Ngono kuwi wis biasa. (W1.SU.I.885-886) Nek pas kuwi kan durung panen, saiki di nggo mangan wae sik paceklik. Bapak ngono kuwi ngomong “Sabar nduk yo, gak usah tuku klambi disik. Bapake sawahe rung metu”, maksude durung iso diunduh, “Gak usah iri, kancane klambine anyar yo uwis”.(W1.SU.I.892-896) Subjek juga memandang ibu subjek sama dengan bapak subjek. Hasilnya dari asuhan kedua orang tuanya menjadikan subjek seseorang yang keras dan melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya. He-em. Pokoke iki mau, kowe kudu nglakoni mbuh mengko mbuh saiki, tetep kudu nglakoni. Nek nurune ibuk kuwi yo mau. Keras. Kudu dilakoni opo sing wajib. (W1.SU.I.966-969) Dahulu subjek pernah berkeinginan merantau ke Surabaya. Namun kedua orang tua subjek melarangnya pergi dan mengharuskan subjek untuk di rumah saja membantu pekerjaan orang tua. Saat itu subjek menurut saja apa perkataan orang tua. Subjek masih memikirkan mengenai restu orang tuanya saat ia melakukan suatu hal. Yo munggohno aku meh mergawe ning Suroboyo, ngono kuwi gak entuk, Mbak. Ngopo mergawe adoh-adoh? “Ngrewangi ning sawah kono” (cerita dialog ibu subjek). Kon mergawe ning sawah. “Nek sawahe wis meh tandur ngono kuwi yo diewangi, nek pas nandur mbako yo diewangi nyiram”. Ngono. Ngono thok tho Mbak. Marai kan gak sekolah dhuwur. Ning SMP thok tho Mbak.(W1.SU.I.903-910)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129
Lha nek saiki lho Mbak, meh berontak, lha nek berontak trus wong tuwo gak ngijini ngono kuwi gak sengsoro? Jarene agomo nek wong tuwo gak ridha, piye, Mbak? Lha kuwi tho Mbak. Mbak Ti kuwi yo mikir tekan kono juga. Mengko aku malah di ngene-ngene wong, mengko nek malah aku keno musibah opo piye ngono, yo wis akhire aku nurut.(W1.SU.I.1024-1030) Saat dipikir-pikir sekarang, apa yang dilakukan subjek di masa lalu dengan perintah orang tuanya itu adalah cara mendidik yang baik. Ia diajarkan untuk berdisiplin. Tapi yo tenan tho Mbak, ndidik apik tho, wong tuwo mergawe, anak ning omah dikon ngisi jambangan nggo adus karo sholat kok ya jambangane kosong. Ngono kuwi kan ya nek angen-angen pas saiki wis sadar kan yo ndidik apik tho, Mbak.(W1.SU.I.969-974) Subjek mendefinisikan pernikahan adalah sesuatu yang jika bisa dilakukan hanya sekali. Subjek memandang bahwa pernikahan adalah suci dihadapan tuhannya. Karena ada kehadiran tuhannya dalam pernikahan, subjek merasa takut apabila ia mempermainkan hakikat pernikahan itu sendiri. Dalam pernikahan, subjek menginginkan peran suami yang bertanggung jawab dan dapat mengayomi keluarga. Disamping itu perannya sebagai istri menurutnya adalah mempersiapkan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dalam rumah tangga. Menurut subjek, untuk menjalankan sebuah rumah tangga peran suami-istri adalah melengkapi yang menjadi kebutuhan yang lain. Yo nek iso cukup pisan iki wae, ojo sampe bolak-balik maneh. Dihadapan Allah. Kan yo wedi tho Mbak. (W1.SU.I.1049-1051) Perane yo koyok biasa. Tanggung jawab, kudune yo ngono, ngayomi keluargane. (W1.SU.I.1059-1060) Perane yo koyok biasa ibu rumah tangga ngono tho Mbak. Koyok nyiapno sarapan. (W1.SU.I.1054-1056)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130
Yo wis ngene iki biasa yo, nek meh budhal, nek wong lanang meh ning ndi ngono yo disiapne klambine. Ngono wae, biasa ngono tho, Mbak. Nek aku gak nduwe duwit trus butuh blonjo yo “Pak, nyuwun duwit blonjo” yo diparingi duwit. Lha nek aku sik nduwe duwit yo gak takon duwit. (W1.SU.I.1066-1071) (b) Latar belakang gambaran pernikahan sebelumnya. Perkenalan subjek dengan suami pertama subjek bermula saat suami pertama subjek yang ketika itu berkunjung ke rumah subjek dan melihat subjek. Karena suami pertama subjek merasa tertarik, akhirnya subjek diminta. Kedua orang tua saling bertemu, dan melakukan perhitungan jodoh cara Jawa dengan hari lahir masing-masing. Kan bapake Dini kuwi dolan ning omahe Pak Lik-ku, ngerti aku. Wis. Takon, “Kuwi sopo e Lik? Tak pek’e dewe wae Lik”. Ngono.(W2.SU.I. 10-12). Ditakoni tirone opo, intine tironku opo tirone dekne opo, gathuk, kan wong jowo kan ngono kuwi kan itungan tho Mbak, trus dijaluk. Wong tuwane dekne ning omahku, wong tuwaku mrono.(W2.SU.I. 12-16). Wis omong-podho omong wong tuwo ngono yo wis, gampangane nglamar lah.(W2.SU.I. 24-25). Subjek menurut saja dengan kesepakatan dua orang tua. Dengan pertimbangan subjek sendiri juga, ia menerima pinangan dari suami pertamanya dahulu. Subjek memilih lelaki yang menjadi suami pertamanya itu dengan alasan kelakuan dan sifat suami pertamanya dirasa tidak pernah berbuat macam-macam. Selain itu, silsilah keluarganya juga dipandang baik. Kan ditakoni wong, bocahe yo nggenah, wong tuwane yo karuan iki, bener ngono lho Mbak, gak turunane wong mblarah, ora wong sing gak sholat utowo ngombe to kopek ngono lho Mbak, gampangane kasarane ngono kenopo kok gak gelem. Yo kan bocahe kan yo ndunung. Ngono lho Mbak.(W2.SU.I. 40-46).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131
Aku kan yo ditakoni pisanan wong sing tenanan kok yo karo bocah sing apik kelakuane, dinoku –tironku karo tirone dekne– kok apik. Yo wes. Lakoni. Nek aku yo nurut karo wong tuwo. Kuwi yo nurut.(W2.SU.I. 46-50) Mengenai komunikasi subjek dan suami pertamanya sebelum menikah, subjek tidak pernah bertemu hanya berdua dengan suami pertamanya itu. Karena suami pertama subjek sebelum menikah bekerja di Kalimantan, komunikasi mereka berdua adalah melalui berkirim surat. Gampangane wis ono ikatan lamaran kuwi. Cuma surat-suratan jaman mbiyen kirim-kiriman surat ngono kuwi iyo. Wis. Begitu teko, golek dino, nikah. Wis. Gak tau jenenge pacaran, malem mingguan, wong loro berduaan ngono kuwi yo ora tau, Mbak.(W2.SU.I.54-59) Dadi yo gak tau Mbak sing jenenge pacaran to apel ngono kuwi yo gak ngerti Mbak. Gak weruh jawane ngono kuwi Mbak. (W2.SU.I. 50-52). Begitu teko, golek dino, nikah. Wis.(W2.SU.I. 57). Setelah subjek menikah dengan suami pertamanya, ia dan suaminya itu berpisah tempat untuk sementara karena suaminya belum menjadi karyawan tetap di pabrik di Jakarta. Setelah suaminya menjadi karyawan tetap, barulah subjek diboyong ke Jakarta dan tinggal bersama suaminya di sebuah rumah kontrakan. Dekne kan ning Jakarta kono kan wong anyar tho Mbak. Kerjaan anyar, durung karyawan tetap, dekne rung mampu ngajak aku mrono. Tiga bulan, masa training, trus diangkat dadi karyawan tetap, aku dijak mrono. Diparani karo adikne. Kon ning kono. Munggohno kos trus nggowo bojo ngono yo wis wani ngono lho, Mbak. Lha nek biyen pas sik gajine mingguan yo sik rung wani tho Mbak. Munggohno ngono pas kuwi nggo mangan dewe wae rung wadahi kok ngajak bojo? Trus aku ditinggal 3 wulan, bar diangkat dadi karyawan tetap kuwi aku diboyong ning Jakarta.(W1.SU.I.1150-1161)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
Saat hidup di Jakarta, subjek sebenarnya ingin bekerja juga, akan tetapi oleh suami pertamanya tidak diijinkan. Suami subjek khawatir jika subjek bekerja, maka ia akan lalai terhadap pekerjaan rumah tangganya sebagai istri dan ibu untuk anaknya. Iyo, pengene sih kerjo. Lha kan Jakarta kan kawasan industri ngono tho Mbak. Pengene, cuma gak entuk.(W2.SU.I. 82-84). Mergawe? Kerjo? Gak, gak entuk Mbak. Gak entuk karo bapake Dini. “Kowe nek kesel, nyaprut ae”, ngono alasane. Kan lha nek ning pabrik ditarget tho Mbak. Koyok tho munggohno njait klambi tho sepatu ngono kuwi kan ditarget ngono tho Mbak. “Kuwi mengko kowe ora ngentukne targete kuwi, rung ngrampungno targetane, kesel awakmu, ning omah yo rung nyapu, rung umbahumbah, mrengut ae. Wis ora usah. Wis, sing mergawe ben aku wae”. Ngono.(W2.SU.I. 71-80). Sewaktu berumah tangga dengan suami pertamanya dahulu, pernah juga terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil. Terkadang saat bertengkar subjek dan suami saling diam selama beberapa hari. Namun pertengkaran dalam rumah tangganya itu dapat diselesaikan dengan baik oleh keduanya. Munggohno kan aku umbah-umbah, pas kuwi Iim mbrangkangmbrangkang ning kasur. Lha kasure kan ora ning ngisor, ning dipan ngono kan, getihen. Serengen dekne, Mbak. Matane dekne yo mecicil ngono kuwi. Wis ngono kuwi. Yo salah paham ngono kuwi thok.(W2.SU.I.89-94) Trus Mbak Ti yo sadar “Sepurane tho, ngono wae kok serengen”(W2.SU.I.106-107) Ngono kuwi yo munggohno sedino-rong-ndino ngono kuwi yo manyun, gak takonan.(W2.SU.I.128-129) Subjek merasa bahwa suami pertamanya adalah seorang yang baik dan memelihara keluarganya, tidak pernah main tangan ketika bertengkar dengan subjek, dan subjek dipercaya dapat memegang uang suami sepenuhnya. Selain itu subjek memandang suami dahulunya itu sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
suami yang ulet dan tidak kenal lelah untuk mencari uang. Nek gemati yo gemati Mbak. Gak pernah moro tangan ngono yo gak tau. Duwit piro-piro wae yo diwenehne aku. Apike ning kono kuwi.(W2.SU.I.186-189) Wonge kan ulet. Kan gak gelem meneng wonge. Munggohno bar kerjo, kan pas malem minggu kan rame. Motor diseleh ngarep omah, ngarep kontrakan omah kan ratan gede rame tho Mbak, ngono kuwi nek ono wong njaluk ojek yo dekne ngojek. Munggohno awake gelem kangelan ngono lho Mbak. Kok mulih kerjo awake pegel kok gelem narik.(W2.SU.I.154-161) Subjek dan suami pertamanya mempertahankan pernikahan mereka dengan cara saling percaya. Tidak ada rasa curiga dalam diri subjek kepada suaminya. Gak ono rasa curiga ngono kuwi yo gak ono, Mbak. Yo biasa-biasa wae Mbak.(W1.SU.I.1180-1181) (c) Gambaran kehidupan saat menjanda. Saat itu memang subjek belum resmi bercerai dari suami pertamanya. Hingga saat pertengkaran awal mula penyebab perceraian terjadi. Suami pertama subjek meminta ijin untuk menikah lagi dan memadu subjek. Namun, karena subjek tidak ingin dimadu, ia tidak setuju dan meminta suami subjek untuk memilih antara perempuan yang hadir dalam rumah tangga mereka atau pernikahan yang sudah dibangun. Subjek memberikan pilihan bila suami memilih subjek dan anak-anaknya, maka subjek meminta suami pertamanya meninggalkan perempuan itu; namun bila suami subjek tetap memilih untuk bersama perempuan itu, subjek meminta cerai dan anak-anak subjek ikut dirinya. Berhubung dekne mungkin pas kuwi nyekel duwit, kakehan tilah, pengen nyewek. Wis, intine cuma ngono kuwi Mbak. Trus akhire cerai karo Mbak Ti.(W1.SU.I.1088-1090)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134
Bapake Dini kuwi seneng ngono karo cah wedok, langsung ngomong terus terang karo aku, “Mak, kowe gelem tak madu?” kono kan nyeluke aku kan Mamak. “Emoh”, aku ngono. “Nek awakmu abot niatmu, yo terusne. Anak tapi melu aku. Lha nek abot anak-bojo yo mandeg-o. Ojo mbok lakoni maneh”.(W1.SU.I.11061112) Mbak Ti nantang, ngene “Nek abotmu ngene, nek kowe meh pengen poligami, aku emoh. Sak umpomo aku dimadu, aku emoh. Lha nek seumpomo kowe seneng karo wong kuwi, anak melu aku, trus aku pegaten. Tapi anak melu aku”. Ngono thok. Wis. Mbak Ti gak neko-neko. (W1.SU.I.1091-1096) Saat itu suami subjek bertanya bagaimana bisa subjek tidak bergeming sebelum suami subjek memintanya untuk menikah lagi.Mertua subjek mencari alasan mengapa suami subjek sampai mempunyai perempuan lain, dan didapatkan hasil bahwa ada ilmu magis yang membuat suami subjek berpaling. Anehe ngene, mungkin soko pihak wedoke mau kuwi ndukun aku mbuh piye ngonokan aku yo ra ngerti. Iki dekne ngomong dewe lho ya Mbak, wong pancen dekne faktane ngono. “Mamak, sampeyan nduwe amalan opo tho?”, “Lho, amalan opo? aku iki yakin karo Gusti Allah. Perintahe Gusti Allah insya Allah tak turuti, larangane insya Allah tak adohi. Mergo yo sholat-poso-zakat, nek nduwe yo shodaqoh, nek gak nduwe yo shodaqoh lisan karo tenogo, nek mampu aku. Gak, gak nduwe amalan opoopo”.(W1.SU.I.1222-1233) Wong tuwane kono kan nggolek-nggolek alasane kenopo bapake Dini koyo ngono. “Memang digawe wong kono” ngono. Wong Banten kan terkenal. Jarene lho Mbak, aku kan yo gak ngerti. Jarene dukune kuwi soko Banten. Ceweke kuwi kan pengen bapake Dini, supoyo aku pisah karo bapake Dini.(W2.SU.I.192-198) Perasaan hati subjek sakit kala suaminya menginginkan untuk menikah lagi dan memadunya. Subjek merasa apabila suaminya menikah lagi maka ia akan menderita. Subjek membayangkan bila suaminya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135
mempunyai istri baru maka hidupnya akantidak enak. Maka dari itu, subjek memutuskan lebih baik hidup sendiri. Subjek juga merenungkan dengan perasaan sesama perempuan, mengapa perempuan lain tega mengambil suaminya. Yo sakit Mbak. Ngawasi anak itu lho yo kasihan. Ya Allah, becik’o bapake gak polah-polah, anakku lak kopenan. (W2.SU.I.222-224) Daripada saya menderita. Gak mungkin Mbak nek bayanganku enak ngono kan gak mungkin. Namane bojo lho Mbak, lha wong jejer wong loro wae sik ono gelo kok ati, opo maneh turu kono kumpul lho. Wis, luwih apik urip dewe.(W2.SU.I.207-211) Sing nyenengi bapake Dini kuwi lho kan wedok. Aku wedok, podho wedoke. Seumpama bojone disenengi opo gak yo loro atine? Kenopo dekne tego sama saya? Ngono lho Mbak.(W2.SU.I.479482) Setelah suami pertama subjek berkata seperti itu, setelah beberapa bulan tidak ada perubahan sedang subjek sudah merasa bertahan, akhirnya suami subjek memutuskan untuk memulangkan subjek saja. Anak subjek juga ikut dengan subjek. Trus pas ono masalah kuwi mau, aku ngomong emoh ngono. Trus akhire aku kan ning kono, ning Borno kono. “Yo wis, nek kowe gak gelem nuruti aku, ayo mulih, tak mulihno omahmu”. Kuwi yo wis beberapa bulan ngono kuwi, Mbak.(W1.SU.I.1181-1186) Alasane, Dini, suk mben nek Dini sekolah ning kene pergaulane wedi terganggu. Diterne ning ndeso. Siji kuwi. Trus ping pindone tak nteni kok gak ono perubahan. Yowes. Kan disamping ngono siji aku wis dipasrahno ning wong tuwoku.(W2.SU.I.303-307) Saat subjek berpisah dari suami, subjek berkeyakinan bahwa ia akan dapat melanjutkan hidupnya. Ia yakin bahwa masih ada tuhan yang akan menolongnya. Saya yakin, rejeki yang ngasih Allah. Mati, rejeki, Allah yang ngatur. Wis ngono. Pikire Mbak Ti kuwi mung ngono. Pokoke kuwi eling karo Gusti Allah wae kuwi mau. Aku urip iki mesti diuripne
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
Gusti Allah. Mesti aku diparingi rejeki. Carane mbuh piye pokoke ono wae. Pokoke aku mergawe. Dene diparingi akeh utowo sakithik kuwi ganjarane wallahu a’lam. Sing penting metu kringetku, tak nggo mangan karo anakku, barokah, halal.(W2.SU.I.212-220) Iaberpisah selama bertahun-tahun tidak ada kejelasan status. Awalnya subjek merahasiakan tujuan kepulangannya ke kampung halaman dari orang tuanya. Ia tidak bercerita apapun kepada orang tuanya mengenai permasalahannya itu. Tak empet sik ngono awale aku. Ojo sampe masalahe anak ndek mau kuwi sampe ngerti wong tuwo. Dadine pas aku dolan ning omahe emakku yo aku meneng wae. Ora kandha nek ono masalah ngono kuwi yo ora.(W1.SU.I.1186-1191) Subjek
akhirnya
memberitahukan
permasalahan
itu
kepada
mertuanya. Suami pertama subjek juga mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi dan memadu subjek. Mertua subjek marah kepada suami pertama subjek itu. Mertua subjek tidak ingin jika subjek tidak menjadi menantunya lagi. Oleh karena itu, mertua subjek berkeinginan untuk menikahkan lagi subjek dengan suaminya itu. Akan tetapi, setelah suami subjek kembali ke Jakarta, perilakunya tidak berubah. “Pokoke aku gak iso ngeculke Dini karo Yati. Sik abot”. Mergo ngerti watakku, bener aku cerewet, tapi nek karo wong tuwo iso menghargai ngono lho Mbak gampangane. Piye ngono lho. Piye lah istilahe tapi wong tuwo iso ngrasakke ngono. Karo dulur yo apik, yo gemati. Karo wong tuwo yo gemati. “Aku wis cocok nduwe mantu Yati”, wong tuwane kuwi ngomong ngono. “Kowe iso golek ayune ngluwihi ayune Yati, kowe iso golek nungkuli Yati rupane. Tapi kelakuane mbuh-mbuhan”. Ngono. (W2.SU.I.316-326) Trus gang pirang wulan kuwi bapake Dini ngomong “Aku meh wayoh. Yati meh tak madu”. Yo terus terang ning wong tuwane kuwi yo ngomong ngono. Trus mbahe Dini Trucuk kuwi srengen, yo wis gedor-gedor, Mbak. Maksude srengen tenanan. Lanang wedok wong tuwane bapake Dini kuwi yo serengen “Iblis ngendi setan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137
ngendi sing ngrasuki kowe? Iso kowe golek wong sing ayune ngluwihi Yati, iso. Tapi kelakuane mbuh-mbuhan”. Ngono. Trus akhire jenenge musyawarah karo dulure karo bapake Dini yo mbuh piye gak ngerti yo, ning Trucuk kono kuwi, “Wis, Yat, kowe tak nikahno maneh. Bapake Dini kok omongane kok wis ngono. Ee, sopo ngerti mandeg kelakuane. Ngono. Trus nek dekne mulih trus kowe dikumpuli lak ora zina”.Trus akhire mulih, kuwi wis gang suwi Mbak, mbalik ning Jakarta, kok ngono maneh, ngono maneh. Gak ono perubahan.(W1.SU.I.349-367) Saat subjek sudah dipulangkan ke rumah orang tuanya, suami pertama subjek menjenguk dan memberikan uang yang tidak cukup untuk kebutuhannya. Oleh karena itu, subjek ingin bercerai saja dengan suaminya. Sudah berapa tahun tak tunggu, mbok menowo berubah sikape, tapi kok kenyataane gak berubah. Gampangane garing yo gak garing, teles yo gak teles. Digantung ngono lho Mbak aku iki. Lha gak diwenehi sandang-pangan. Gak dikirimi.(W1.SU.I.1252-1255) Diwenehi duwit ngono kuwi lho Mbak, nek dekne kangen anake, jare kangen alasane, wenehi duwit 150 nggo 3 wulan 4 wulan ngono kuwi yo opo cukup tho Mbak? Kuwi. Anak loro. Ora kok mesti sak wulan semono ngono kuwi yo ora. (W1.SU.I.1125-1129) Selama masa digantung itu, subjek menghidupi dirinya dan anakanaknya sendiri. Suaminya tidak memberikan kecukupan nafkah untuk subjek dan anak-anaknya. Ia bekerja apa saja demi mendapatkan uang. Ia merasa sudah terbiasa hidup menderita. Wis munggohno ngono wis biasa menderita ngono lho Mbak. Kan nggolekno sandang pangan anak, buruh ning sawah. Ngono kuwi yo wis biasa tho Mbak. Nek entuk duwit ngono yo tak nggo nyekolahne anakku. Wis ngono kuwi yo wis biasa Mbak, ora ono kesulitan.(W2.SU.I.405-410) Jenenge urip gak nduwe tumpangan penghasilan, Mbak. Ibuk kan sing golek duwit dewe sak bare gak karo bapak.(W1.SO.I-2.39-42) Tapi aku yo bangga, yo tak syukuri Mbak. Tak syukuri tenan Mbak. Wong aku iki mung buruh, iso nyekolahno anak sampe SMA, iki yo
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138
sampe SMA maneh. Kuwi. Tak syukuri Mbak. Lha mulai Dini kelas siji lho cawu terakhir nganti saiki.(W2.SU.I.238-244) Aku ki ndisik sering banget diwanti-wanti nek sekolah ki sing temenan. Ibuk nek golek duwik iki ora gampang. (W1.SO.I-2.119121) Selama dalam kondisi berpisah dari suami, subjek merasa membutuhkan adanya ayah yang hadir untuk anak-anaknya. Akan tetapi karena keadaan yang harus dihadapi demikian menjadikan subjek harus menguatkan hatinya sendiri dan anak-anaknya. Munggohno nek meh maem ayam, metu-metu, bar gajian beli ayam ning warung opo makan bareng-bareng, ngono kuwi yo ono rasa kasihan karo anak ngono kuwi yo ono, Mbak. Sedihku kuwi ning kono. Ya Allah bocah sak anakku podho metu karo bapake, podho seneng-seneng, tapi anakku? Wis rapopo. Aku kuwi kadang yo ngono Mbak. Tak muduno tak unggahno maneh. Munggah-mudun maneh, ngono pikiranku Mbak. Kuwi. Mungkin belum saatnya. Mungkin Gusti Allah maringi, mesti diterno mrene. Mungkin minulyo mburi kuwi yo gak ngerti. Sekarang istilahe ngono poso disik, tirakat sik. (W1.SU.I.225-237) Saat dalam kondisi digantung tidak diberikan kejelasan dan nafkah oleh suaminya, subjek tidak mempersoalkan pengelolaan harta selama bersama dengan suami pertamanya itu. Asal anak-anak subjek ikut dengan subjek, ia tidak lagi memikirkan mengenai harta bersama itu. Saya sing penting anak melu aku. Gono-gini opo tho Mbak? Yo maune yo nduwe Mbak. Tanah kaplingan. Kan tanah kaplingan kan dek biyen ngono kan ngredit, angger wulan. Sampeyan ngerti tho Mbak tanah kaplingane kuwi, tuku tanah pirang meter ngono nggo omah. Dek biyen aku njupuk, cicilane 115 jaman semono Mbak. Kari 9 wulan. Trus aku kan wis mulih mrene. Jarene adikku utangan wis dinego. Wis didol. Mbuh ditutupi wong wedok kuwi mbuh piye aku yo gak ngerti, Mbak. Sepeda motor loro. Sijine kredit, sing anyar kuwi kredit, sing di nggo bapake mbendino kuwi setengah pakai, cash tapi setengah pakai. Wong jenenge wong gak nduwe, setengah pakai siklah. Trus pengen anyar trus kredit kuwi mau. Berati Mbak Ti mau gak ngerti jawane piye antarane sepeda motor kreditan mau piye buntute, trus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139
sing setengah pakai mau piye, trus kaplingan ndek mau piye Mbak Ti gak ngerti. Mbak Ti kan wis dimulihne mrene.(W2.SU.I.279299) Saat dalam kondisi berpisah dengan pasangan, subjek pernah mempunyai keinginan untuk merubah nasib mencari uang di Jakarta. Akan tetapi, niatan itu ditentang oleh orang tuanya. Akhirnya, subjek menurut perkataan orang tua karena tidak ingin orang tuanya tidak ridha kepada subjek. Pikire Mbak Ti iki tak niati urip ning Jakarta, maksude mergawe ngono lho Mbak. Mengko nek bayaran dikirimke anake. Pikire gak buruh sawah ngono wae. Pikire Mbak Ti kuwi ngono. Tapi wong tuwo gak entuk adoh.(W1.SU.I.1017-1021) Nang omah, Mbak. Wis ndisiiiik ngono kuwi. Melu ning sawah ngono. Nek pas nandur yo ngewangi nandur, matun, ngedos. Ngono-ngonowi lah Mbak. Opo wae sing iso dilakoni yo dilakoni. (W1.SO.I-2.73-77) Yo nurut. Nganti saiki iki kan yo ning nggone Mas Im. Lha nek saiki lho Mbak, meh berontak, lha nek berontak trus wong tuwo gak ngijini ngono kuwi gak sengsoro? Jarene agomo nek wong tuwo gak ridha, piye, Mbak? Lha kuwi tho Mbak. Mbak Ti kuwi yo mikir tekan kono juga. Mengko aku malah di ngene-ngene wong, mengko nek malah aku keno musibah opo piye ngono, yo wis akhire aku nurut. Wis, bismillah, yo mugo-mugo ono rejeki. Gusti Allah maringi rejeki aku, sing halal barokah, tak nggo mangan aku karo anak-anakku.(W1.SU.I.1023-1033) Selama dalam masa sendiri setelah berpisah dari suami, pihak keluarga dekatnya juga membantu subjek dalam mencari uang juga penguatan diri. Cuma yo kala-kala mangan yo kadang yo sik melu mbah-e. Gak tego tho Mbak, munggohno ngono paribasane lha aku bayaran sak mene, trus sing tak wenehno emak yo sak mono. Yo mesti emak yo sik urun mangane lah. Tapi nek koyok segi seragam, sepatu, biaya sekolah ngono kuwi wis aku ngono Mbak. Kuwi. Tapi emakku tetep tak jatah. Nggo tuku uyah lah, nggo tuku lombok.(W2.SU.I.248255)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140
Nek soal biaya, biaya hidup ning Borno kono yo dibantu karo keluarga Mbak. Maem sik nyuwun Mbah. Lha wong ibuk kan yo entuke duwit gak sepiro.(W1.SO.I-2.31-34) Yowis, “Yo iki mungkin garismu, yo wis iki dilakoni. Wis ora opoopo. kowe saiki mergawe kangelan yo sopo ngerti anakmu mbok sekolahne duwur sopo ngerti iso ngenakne kowe?”. Kadang yo malah ono sing nakoni “Sesuk kowe ning ndi? Kene lho, kowe gelem tho piye ngewangi aku? Paklikmu ewangi ning sawah. Masak, adangno”. Yo Alhamdulillah mengko diwenehi beras 2 kilo, trus diwenehi duwit limang ewu. Mengko kuwi masakane mbuh sayur opo wae yo entuk ngono lho Mbak, mulih sik digawani. Yo ngono kuwi wis Alhamdulillah tho Mbak, berase keno tak nggo mangan sesuk anakku, duwite keno nggo sangu sekolah. Wis ngono wae Mbak. Yo Alhamdulillah ono wae rejeki.(W2.SU.I.450-464) Nek biasane cilikane Dini, Dini sekolah ning SMK kae, dikirimno, diweselno karo adike bapake Dini kuwi. Saiki wis gak tau.(W1.SU.I.1299-1302) Saat subjek merasa lelah, subjek hanya mengeluh kepada tuhannya. Ia tidak bercerita kepada siapapun mengenai permasalahannya. Subjek merasa tidak aman apabila ia bercerita masalah itu kepada orang lain. Yo sambat “Ya Allah aku paring sehat, ya Allah”. Kadang ngono kuwi kan yo pegel tho Mbak bar ning sawah. Kadang ngono kuwi yo tak rasakno “Aku iki yo pegel, ya Allah. Paring sehat ya Allah. Tak nggo ngibadah, ya Allah”. Sambatku ngono, curhatku yo mung ning nggone Gusti Allah ngono kuwi Mbak. Yo Alhamdulillah kok nganti saiki diparingi sehat ngono. Nggo nyekolahno anak sampe SMA. Ngono.(W2.SU.I.431-439) Tapi nek Mbak Ti sambat ngono kuwi aku gak tau ning ngarepe anak. Mengko ndak anak nelongso.(W2.SU.I.423-424) Nggo opo tho Mbak? Iyo nek sing dicurhati kuwi seneng, nek ora? Mengko gak malah disukurno? Salahe sopo? Pikire Mbak Ti yo wis ngono, Mbak.(W2.SU.I.441-444) Setelah
menunggu
sekian
lama,
subjek
masih
saja
tidak
mendapatkan kejelasan dari suami pertamanya itu. Baik orang tuanya maupun mertuanya sudah menyarankan bila subjek berpisah saja dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141
suaminya. Trus atine Mbak Ti wis yo pengen cerai wae ngono. Kok diareparep kok yo gak keno diarepno.(W1.SU.I.1129-1131) Trus akhire kok ngono-ngono wae sing tak rasa-rasani, trus akhire aku nduwe kesimpulan ngono karo bapakku, “Arep ngono wae? Wis, pegaten!”. Kuwi wis tahun-tahunan, Mbak. Wis ngono wae ngentenine.(W1.SU.I.1191-1195) Dadi wong tuwane wejange “Yo wis tho Yat, bapake Dini wis gak keno diandalno. Wong sing salah kuwi yo bapake Dini. Nek ono sing nyenengi, bener-bener seneng kowe seneng anakmu, lakonono. Aku ngrumangsani anakku sing salah”. Dulur-dulure kabeh kuwi yo wis ndukung, terbuka tangane. (W2.SU.I.336-342) Setelah menunggu sekian tahun tidak ada kejelasan, subjek juga sudah terbiasa dengan kesendiriannya tanpa suami, akhirnya subjek mengambil keputusan untuk bercerai. Subjek menyatakan bahwa ia sudah siap menjadi janda. Pada saat itu juga subjek sudah tidak ingin menikah lagi karena trauma dengan pernikahannya itu. Saat itu subjek tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi dan mempunyai pendamping. Yo wis biasa wae Mbak. Atine wis siap ngono Mbak.Siap janda. Ngrumat anak, ngono, wis. Mergawe karo anakku. Iso nggedekne anakku, nyekolahne anakku.(W1.SU.I.1261-1265) Biasa wae i mbak. Kan yo wis biasa ora ono bapak sak durunge ngono kuwi.(W1.SO.I-2.87-88) Gak, gak ono. Gak ono bayangan opo-opo ngono yo ora. Atine Mbak Ti koyok wis ketutup ngono wisan.(W1.SU.I.1320-1321) Bar kuwi wis gak, Mbak. Wis gak nduwe ngono kuwi mau wis gak ono. Munggohno koyok wis trauma ngono.(W1.SU.I.1315-1317) Munggohno. “Aku sejak digelakne bapake Dini iku koyo-koyo trauma tho Pak Yadi”, ngoten. Waktu di perumahan BTN niku sanjange.(W1.SO.I-1.323-326) Suwi tho Mbak munggohno aku rondo kuwi suwi. Nggantung suwi, rondo yo suwi. Ati iki wis gak ono niatan rabi maneh. (W2.SU.I.502-504) Berpisah dengan suami subjek tidak menjadikan subjek dendam dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142
sakit hati kepada suami pertama subjek. Akan tetapi setelah berpisah itu subjek tidak pernah lagi hubungan kontak dengan suami pertamanya. Yo wis ra ono dendam aku gregeten karo bapake Dini ngono kuwi yo ora. Pikiranku iki ngene, nggo opo koyok mungsuhan, dendam ngono kuwi manfaate opo,mudharate opo. akeh manfaate to mudharate.(W1.SU.I.1339-1343) Gak, wis gak ono kontak. Wis gak kontak-kontakan. Gak, gak blas karo bapake Dini kuwi.(W2.SU.I.382-386) Setelah sudah lama berpisah dengan suami pertama, subjek tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. Apabila subjek merasa benar dan tidak berbuat macam-macam, subjek merasa biasa saja berinteraksi dengan lawan jenis. Biasa-biasa wae. Yo maksude nek karo wong lanang ngene yo ora. Selama saya benar yo takon ngono wae.(W1.SU.I.1332-1334) Saat hidup menjanda, sebelum bertemu dengan suami keduanya ini, subjek pernah diminta untuk menjadi istri dari dua laki-laki dalam tempo waktu yang berbeda. Akan tetapi saat itu subjek belum ada keinginan untuk membina rumah tangga lagi. Kaji Tuban. Ndisik yo nyenengi ngono lho Mbak. Anggite pengen karo aku, aku emoh. Atiku wis gak iso. Sing sijine maneh iki Kiyai Sumberjo, Sumberjo ngidul. Emakku gak seneng.(W2.SU.I.501510) Setelah berjalan sekian lama, subjek akhirnya mempunyai gambaran baru mengenai pernikahan kedua. Gambaran itu terbentuk atas dasar perenungan yang lama. Perenungannya ini terbentuk ketika ia bertemu dengan suami barunya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143
Yo ndek mau iku tho Mbak. Mungkin kuwi yo wis suwe, butuh pirang taun ngono, trus direnungno. Kan didasari yo wonge iki gak wong biasa, lingkungane yo ngono.(W1.SU.I.1324-1326) (d) Interaksi dengan pasangan. Awal mula cerita mengenai subjek dengan suami keduanya bermula ketika subjek diberitahu bahwa ada seseorang yang ingin menjadikan subjek sebagai istrinya. Ceritane awale ki kan Pak Yadi, pas kuwi aku kan biasa sholat jamaah maghrib ning langgar wetan iku lho. Lha pas bar sholat kuwi Pak Yadi ngomong-ngomong karo aku “Mbak Ti, sampeyan dikarepno karo wong. Gelem opo ora?”. Lha tak kiro kuwi yo guyon ngono tho Mbak awale iki. Wong yo nek ngomong pas kuwi yo ngomong, ngobrol biasa ngono. Ning ngarep langgar. Tak sauri wae “Lha opo ono wong sing gelem karo aku?”. Aku yo nyaurine karo guyon ngono tho Mbak. “Ono Mbak Ti. Wong Ngumpak kene kok. Omahe kulon kono lho. Wonge apik Mbak Ti. Aku nek milihno sampeyan yo gak angger wong. Iki Pak Yai. Agomone yo apik. Sering ngulang ngaji ning langgare, ngimami sholat. Piye?”. Ngono, Mbak. “Halah-halah Pak Yadi, sampeyan iku kok guyon wae lho”. Yo aku tak anggepe ndek mau iku sik guyon. Wis, awale ngono thok pikire Mbak Ti. Gur ditawani karo Pak Yadi ono sing gelem meh nikah karo Mbak Ti.(W1.SU.I.10-29) Kemudian tetangga depan rumah majikan subjek mengatakan bahwa ada yang ingin bertemu dengan subjek. Akhirnya suami kedua subjek dan subjek sendiri saling melihat dalam jarak yang cukup jauh. Setelah subjek dan suami kedua subjek saling melihat, suami kedua subjek ditemani teman subjek yang menjadi penghubung bertamu di rumah majikan subjek untuk meminta ijin majikan subjek. Lha bar kuwi tho, gang pirang ndino ngono, pas awan-awan aku sik ewuh masak, aku diceluk Mbak Sri, wong sing nduwe omah ngarep iki lho, dikon metu. Ono sing pengen ketemu karo aku jarene. Yowes, tak tinggal ndisik masakku. Aku metu, tapi yo gur ning pager ngarep iki. Gak sampe ketemu langsung adep-adepan karo wonge ngono yo ora.(W1.SU.I.51-57)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144
Bar kuwi, gang pirang ndino ngono, wonge ndek mau kuwi, Pak Yai kuwi, teko ning omah iki. Dolan ngono ceritane. Yo karo Pak Yadi, nemoni Mas Im. Cara jawane yo kulonuwun ngono lah Mbak, kan soale sing nduwe omah iki Mas Im. (W1.SU.I.60-64) Setelah pertemuan di rumah majikannya, subjek diminta anak suami keduanya saat itu untuk bertamu ke rumah pihak laki-laki. Akhirnya subjek pun memenuhi undangan itu untuk bersilaturahmi ke kediaman suami kedua. Bar kuwi aku dikon ning omahe kono. Anake wedok Pak Yai kuwi mau teko, ngajak aku. Gak mung ping pisan. Nek gak ping loro yo telu ngono, bar kuwi aku lagi gelem ning omahe. “Wis tho Bu, nek sampeyan gelem dolan ngulon ning omahe bapak, berati sampeyan nrimo bapak. Nek sampeyan gak gelem dolan, otomatis berati sampeyan nolak bapak”. Ngono Mbak. Yo wes, akhire aku teko ning omahe, aku dipapak nganggo sepeda motor, diboncengno anake sing wedok mau kuwi, trus dolan ning omahe Pak Yai kono.(W1.SU.I.72-82) Intine iki mung silaturahmi, ngono thok. Yo gak ngomongne soal nikah, yo gak opo. intine iki yo mung ngomong-ngomong biasa ngono.(W1.SU.I.84-87) Dari interaksi antara subjek dan suami keduanya, subjek merasa bahwa suami keduanya ini bukan orang yang macam-macam. Dengan jalan bertemu dengan suami keduanya ini, subjek berharap dapat dituntun menjadi pribadi yang mempunyai pemahaman agama yang lebih baik. Selain itu, subjek mempertimbangkan suami subjek karena dari interaksi yang terjalin antara keduanya, subjek dan suami kedua bersepakat untuk saling menerima keadaan masing-masing apa adanya. Juga dalam interaksi dengan suami keduanya itu, subjek mengutarakan dengan jujur yang menjadi kekurangan dalam dirinya, dan saat itu suami keduanya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145
menanggapi dengan cara membantunya untuk mengarahkan dan membimbing subjek. Kok gak ono neko-nekone. Mungkin wonge luwih mendalami agomo. Sopo ngerti aku iso melu tambah apik, agamaku. (W2.SU.I.517-520) Pertimbangane kuwi gak macem-macem ngono lho Mbak. Nompo aku opo onone, aku yo nompo dekne opo onone.(W1.SU.I.606-608) Aku yo terus terang “Aku iki gak wetonan wong pondok, Pak. Gak iso ngaji”. “Ngaji kuwi yo gampang. Suwe-suwe nek diwarahi kan yo iso” ngono jawabane. “Mungkin sampeyan yo kecewa garagara aku gak iso ngaji”, aku ngono Mbak. (W1.SU.I.609-613) Setelah pertemuannya itu, suami keduanya menanyakan perihal silaturahmi ke pihak keluarga subjek untuk memperkenalkan diri. Sebelum suami kedua subjek berkunjung, subjek terlebih dahulu menanyakan ijin dari ibu subjek yang awalnya merespon tidak setuju. Trus bar kuwi, bar mulih soko kono mau, dekne dolan maneh mrene. Nakoni “Aku oleh dolan ning omahmu kapan?” ngono. (W1.SU.I.88-90) Aku takon emakku ndisik, piye-piyene ngono. Emakku ngomong nek emang kuwi pengenku yo lakonono, tapi nek ono masalah suk ojo nggowo-nggowo dulur-dulurku, ojo nyalahne emakku. Ngono. (W1.SU.I.91-95) Setelah ada ijin dari ibu subjek, subjek dan suami keduanya berkunjung ke keluarga besar subjek.Satu minggu kemudian setelah pertemuan dengan keluarga subjek, akhirnya subjek dan suami kedua subjek melangsungkan pernikahan. Subjek juga mengutarakan bahwa karena pernikahannya ini adalah pernikahan kedua yang berlangsung dalam usia yang sudah tidak muda lagi, maka fokus subjek kepada pengesahan secara agama dan negara. Kuwi ngomonge yo wis, ancang-ancange ngomong pas kuwi wis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146
dino– insya Allah jumadil akhir, tanggal 27. Kuwi. Pas kuwi jarake seminggu, malem kamis, kawinan Mbak Ti. Kuwi.(W1.SU.I.531534) Aku diparingi duwit 500, kanggo eee seumpomo aku bancakan, minongko nganggo bancakan, seumpomo sak tampah opo sak lengser, sak nampan, ngono. Istilahe kuwi mung ngono thok. Meneng-menengan ngono lho Mbak. Nganten tuwek wae. Sing penting sah agomo, sah negoro. Wis.(W1.SU.I.535-540) (e) Proses pengambilan keputusan menikah lagi. (1) Menaksir tantangan atau resiko Awal mulanya subjek bertanya kepada dirinya sendiri mengenai keinginannya selama ini yang tidak ingin menikah lagi namun ada beberapa orang yang menanyakan kepadanya ingin berumah tangga lagi dengannya. Pikirane Mbak Ti. Kenopo kok selama ini dalam hati saya iki gak pengen kawin, tapi kok ono wong nakoni.(W1.SU.I.592-594) Saat ada orang yang menanyakan kepada subjek bahwa ada seorang laki-laki yang ingin menjadikannya istri, subjek malah menanyakan kembali
kepada
orang
itu
mengenai
kebersediaan
laki-laki
itu
menerimanya. Seseorang yang menghubungkan subjek dengan suami keduanya itu mengatakan bahwa suami keduanya pada saat itu serius menjalin hubungan dengan subjek. Trus aku ngomonge ngene “Lha opo gelem wong kuwi karo aku? Aku iki gur buruh rewang”, Halah, nek sampeyan gelem, dekne yo gelem kok Mbak. Wonge serius iki nek sampeyan gelem”.(W1.SU.I.47-50) Lha nggih. Mung tanglete nggih ngeten “Serius to ora?”(W1.SO.I1.436-437)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147
Subjek tidak serta-merta langsung menyetujui tentang keberlanjutan memilih satu pilihan karena ia belum mengetahui sosok suami kedua subjek. Aku kan yo gak ngomong iyo pas kuwi, wong aku yo durung weruh wonge koyok piye bentukane tho, Mbak.(W1.SU.I.38-40) Waktu niku nggih kulo sanjangi “Dipikir-pikir dhisik tho Mbak. Sampeyan ojo kesusu emoh tapi yo ojo kesusu gelem”.(W1.SO.I1.338-340) Sewaktu dihadapkan pada pilihan untuk menikah lagi atau hidup menjanda, subjek mengaku tidak memiliki gambaran apa-apa tentang dua pilihan yang sedang ia hadapi itu. Yang subjek rasakan adalah kemungkinan yang merujuk pada keyakinan bahwa yang subjek hadapi saat itu adalah jalan yang terbaik dari tuhannya dan menganggap situasi ini adalah sebuah anugerah. Gak e Mbak. Gak ono. Yo paling mung iki mungkin jalan yang terbaik dari Allah, ngono.(W1.SU.I.591-592) Saya anggap itu anugerah ngono lho Mbak. Kok Kiai, ngono. Mungkin iki dalanku. Sreg-ku kuwi mung soko kono kuwi lho Mbak.(W1.SU.I.597-599) Saat berdiskusi dengan subjek, teman subjek itu memberikan nasihat mengenai masa depan diri subjek dan anak-anaknya apabila ia tidak menikah lagi. Lha nggih bentene niku istilahe “Mosok sampeyan arep ngono terus? Lha sing mbok jak nggedekne anak kuwi sopo? Mosok yo sampeyan arep betah ning kene terus?” kulo ngoten. “Yo sing bener iki yo ngene, Mbak, sampeyan golek bojo maneh, keno di jak nggo nggedekne anak”.Lha akhire kok nggih Mbak Ti ne manut niku. Lha pas niku kok Pak Yai Moh kokngomong ngoten. Akhire kulo gathukne.(W1.SO.I-1.329-337)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148
Saat ada seseorang yang menanyakan dirinya untuk dijadikan istri, subjek menjelaskan saat itu pula ia melakukan sholat istikhoroh untuk meminta agar diberikan jodoh yang terbaik. Mbak Ti istikhoroh. Tetep istikhoroh. “Ya Allah, masalah jodho yang terbaik, kulo paring jodho ingkang terbaik”.(W1.SU.I.546549) Mengenai berbagai kemungkinan resiko yang mungkin muncul saat subjek berhadapan dengan dua pilihan tersebut, subjek cenderung untuk menjalani hubungan dengan suami kedua terlebih dahulu. Bila di tengah jalan nanti terdapat suatu halangan, subjek tidak segan-segan mengatakan untuk meminta cerai. Cuma pikiranku, seumpomo ono masalah sing sekirane aku gak kuat, aku minta cerai. Ngono.(W1.SU.I.640-641) (2) Meninjau alternatif Informasi yang diperoleh subjek mengenai seputar pernikahan keduanya ini adalah berasal dari teman kerja subjek. “Ono Mbak Ti. Wong Ngumpak kene kok. Omahe kulon kono lho. Wonge apik Mbak Ti. Aku nek milihno sampeyan yo gak angger wong. Iki Pak Yai. Agomone yo apik. Sering ngulang ngaji ning langgare, ngimami sholat. Piye?”. Ngono, Mbak.(W1.SU.I.20-25) Gang pirang ndino ngono Pak Yadi takon maneh soal ono wong sing gelem karo Mbak Ti. Berati sing ndek wingi iku ora gur guyon thok. “Aku nek ngenalno sampeyan kuwi yo ora angger sak kabehe wong ngono, Mbak. Iki wonge insya Allah apik. Wis koyok dulurku dewe. Aku yo kenal karo wonge. Anake loro, wedok karo lanang. Sing wedok wis omah-omah dewe. Sing lanang sik joko.(W1.SU.I.30-37) Keberadaan teman kerja subjek sebagai penghubung dan sumber informasi subjek mengenai suami keduanya ini cukup berpengaruh terhadap kemantapan subjek dalam memilih.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149
Nek didelok wong yo keluargane yo apik, Mbak. Wong soko keluarga pondokan kabeh. Dulure kuwi yo ngono kabeh. Sekolahe yo ning sekolah agomo kabeh, disambi karo mondok kabeh. Ngono thok. Trus jare Pak Yadi kuwi kan “Ora-ora nek bakal tak jluntrungno angger wong lanang”. Kuwi aku yo wis ngerti ngono yo wis mantep, Mbak. “Podo ae karo nek sampeyan nduwe anak bujangan, kono yo nduwe anak bujangan, mosok yo meh ngenengene, kan yo wis gemati tho, dianggep anake dewe. Opo kono seumpomo Ima diperlakukan koyok anak kewalon, gak gemati, opo dekne gak yo wedi, dekne yo nduwe anak dewe, mbok perlakukan koyok anak kewalon. Munggohno ngono yo dekne banyak pertimbangan, gak mungkin, wis dianggep koyok anake dewe”. Sarane Pak Yadi kuwi opo yo wis ngono.(W1.SU.I.796-812) Kados niku wau. “Nek umpomo wong lanang kuwi akeh, Mbak Ti. Cuma nek Pak Yai Moh kuwi umpomo dipandang masyarakat yo terhormat, pandangan lingkungan juga terhormat. Nek wong lanang kuwi akeh, Mbak. Tapi mosok tho aku nggolekno sampeyan kok wong sing awuran?”(W1.SO.I-1.138-143) Saat subjek dihadapkan pada pilihan untuk menikah lagi atau hidup menjanda, subjek berfokus pada permasalahan ke depannya. Ia bermusyawarah dengan suami keduanya saat itu untuk mengutarakan resiko yang telah ia pikirkan. Pada akhirnya antara subjek dan suami kedua
subjek
terjadi
penerimaan
masing-masing.Saat
subjek
mengutarakan kekurangannya, suami kedua subjek menanggapi dengan jalan bersedia membantu subjek untuk diarahkan dan dibimbing. Resiko mengenai kemungkinan terjadi perceraian pada pernikahan keduanya ini juga diungkapkan sebelum menikah kepada suami keduanya. Cuma aku nanting, “sampeyan gelem aku yo kudu gelem anakku, gelem keluargaku” ngono thok (dialog dengan suami baru). “Iyo insya Allah,” jawabane dekne. “Sebalike, sampeyan yo gelem aku, yo gelem anakku, keluargaku”. Wis. Pertimbangane kuwi gak macem-macem ngono lho Mbak. Nompo aku opo onone, aku yo nompo dekne opo onone. Aku yo terus terang “Aku iki gak wetonan wong pondok, Pak. Gak iso ngaji”. “Ngaji kuwi yo gampang. Suwe-suwe nek diwarahi kan yo iso” ngono jawabane. “Mungkin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150
sampeyan yo kecewa gara-gara aku gak iso ngaji”, aku ngono Mbak.(W1.SU.I.601-613) Lho, aku yo ngomong, sak durunge nikah, “Seumpama, ono masalah aku mundur, Pak”. Ngono. (W1.SU.I.656-659) (3) Menimbang alternatif Berkali-kali subjek menjelaskan bahwa caranya mempertimbangkan pilihan terbaik menurutnya adalah dengan meyakini dalam hatinya. Meskipun tidak hadir perasaan cinta kasih dan sayang, subjek tetap merasa bahwa situasi ada orang yang memintanya untuk berumah tangga kembali adalah jalannya.Dalam menentukan pilihan terbaik menurutnya, subjek juga terus melakukan sholat istikhoroh. Ia tetap berkeyakinan bahwa situasi yang dihadapi ini adalah jalan hidupnya. Selain itu, subjek merasa mantap dengan pernikahan yang akan dijalankannya itu adalah karena agama, pengetahuan agama yang dimiliki oleh suami kedua subjek. Mungkin iki dalanku. Sreg-ku kuwi mung soko kono kuwi lho Mbak. Dadi rasa cinta rasa sayang kuwi gak ono.(W1.SU.I.596600) Mungkin ini jalan hidup saya, wis saya jalani. Gak ono pikiran ngene-ngene ngono, mergone kan Mbak Ti wis istikhoroh kuwi mau “Ya Allah ini mungkin yang terbaik”.(W1.SU.I.623-626) Mantepe mau yo mergone agomone dek mau, Mbak.(W1.SU.I.814) Selain dengan berkeyakinan mengenai permasalahan-permasalahan yang kemungkinan akan terjadi di depan, subjek fokus kepada kebaikan pernikahan apabila ia berada di dalamnya kembali. Trus pikirane Mbak Ti, disamping kuwi ngono maneh, “Ya Allah, kok iki keluarga pondok. Mungkin luwih ngerti agamane daripada keluarga saya. Mungkin bisa mbimbing saya”. Ngono pikirane Mbak Ti kuwi yo cuma ngono. Gak ono pikiran elek ngono yo gak ono, Mbak. (W1.SU.I.778-783)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151
Dengan adanya situasi yang menghadapkan subjek pada dua pilihan, subjek memilih untuk menjalaninya terlebih dahulu. Dan bila ada sesuatu yang menjadikan subjek berpisah lagi dengan suami keduanya ini, subjek memutuskan tidak ingin menikah lagi. Wis sekarang saya jalani dulu. Bismillah. Niat saya ibadah. Seandainya mengko ono luwih akeh mudharate daripada manfaate, saya, uripku ning keluargane dekne, saya mundur. Saya hidup karo anakku dewe. Trus dalam hati saya tidak pengen menikah lagi.(W1.SU.I.646-651) Subjek mengatakan bahwa selama proses mengambil keputusan ini tidak ada kesulitan-kesulitan yang ia temui. Subjek menjelaskan tidak ada kesulitan yang ditemuinya adalah karena sejak awal sudah terbentuk komitmen perjanjian dengan suami kedua subjek. Gak e Mbak. Yo kan sak durunge mau kan wis ono komitmen mau. “Sampeyan nompo aku opo onone, keluargaku wong gak nduwe. Seumpomo aku ning kono ono masalah, aku mundur”. Wis ngono thok Mbak. Gak ono kesulitan opo-opo ngono.(W1.SU.I.745-749) (4) Merundingkan komitmen Proses perjalanan kemantapan untuk menikah lagi baru subjeksadari setelah semua prosesi pernikahan keduanya ini selesai. Subjekmenilik ke masa lalu mengenang perihal rentang waktu perkenalan hingga pernikahan yang relatif sangat singkat dan tidak ditemuinya kendala yang berarti. Sekali
lagi
subjek
menyatakan
kondisi
yang
dialaminya
ini
direnungkannya dalam hati bahwa mungkin pernikahan untuk yang kedua adalah jalan yang terbaik yang diberikan tuhan untuknya. Trus dalam hatine Mbak Ti, mungkin ini yang terbaik. Kenopo? Kok dilamar seminggu kok langsung dadi. Kok ndilalah juga Mbak Ti iki wong kene. Renungane Mbak Ti iki mung ngono thok. Opo iki
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152
wis dimodalno Gusti Allah ya? Aku mung ngono. Padahal kan ngurusi surat-surat kan yo biasane lambat. Tapi kan jangka waktune satu minggu. Pendak rabu, nikah. Bar dilamar kan, trus dolan ning omahku, gampangane kan yo nglamar ning omahku ngono tho ya, trus malem kemise, pendak rabu malem kamise nikah. Mungkin iki, renungane Mbak Ti, “jalan yang terbaik Gusti Allah maringi jalan iki to piye?”. Ngono pikirane Mbak Ti. Gak ono pikiran ngene-ngene kuwi wis gak. (W1.SU.I.762-775) Teman kerja subjek yang bertindak sebagai penghubung subjek dan suami kedua subjek menanyakan tentang keputusan subjek. Subjek menjawab akan mencoba untuk menjalani niat niat untuk menikah lagi. Trus Mbak Ti kulo tangleti “Yo wis Pak, tak coba tak jalani”, “Lha ojo dicoba Mbak, kuwi marai pernikahan kuwi kanggo selawase, Mbak. Ojo dicoba”, “Yowis tak niati. Wis bismillah aku niat ingsun pokoke tak nikah lah”. Trus akhire terjadi nikah niku.(W1.SO.I-1.17-22) Setelah subjek menegaskan bahwa ia memilih untuk melanjutkan rencana pernikahan keduanya, suami kedua subjek bertanya tentang kapan ia dapat berkunjung ke rumah orang tua subjek. Sebelum suami kedua subjek berkunjung, subjek terlebih dahulu bertanya kepada keluarganya. Trus bar kuwi, bar mulih soko kono mau, dekne dolan maneh mrene. Nakoni “Aku oleh dolan ning omahmu kapan?” ngono.Aku takon emakku ndisik, piye-piyene ngono. (W1.SU.I.88-91) Subjek bercerita perihal pernikahan keduanya ini kepada orang tuanya dan keluarga besarnya. Untuk memperoleh restu dari orang tua, subjek juga dibantu oleh keluarga besarnya untuk merundingkan situasi yang dialami subjek kala itu. Trus nek iki, ditakoni iki. “Lha nek iki piye?” aku takon ngono. “Yo terserah. Kowe sing nglakoni. nek ono opo-opo yo aku gak melu tanggung jawab. Sangganen dewe”.(W2.SU.I.510-514) Paling yo wis gur ngene tho, kan karo dulure emakku kan podho ngomong-ngomong “Lha iyo tho Yu, wong ono sing nyenengi, ora
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153
mung wong biasa, dek winginane kok yo kaji, iki kiyai, iki maneh kok yo ditakoni kiyai, mosok mungkin uripe Ti iki memang dadi bojone kiyai to piye?” yo gur guyon-guyon biasa ngono lho Mbak. Lik-Lik Yu kumpul-kumpul ngono lho Mbak.(W2.SU.I.551-558) Bar kuwi gang pirang ndino ngono aku ditakoni ibuk. Ditakoni “Piye nek ibuk nikah neh?”. Ngono mbak.(W1.SO.I-2.207-209) (5) Bertahan dengan umpan balik Sewaktu subjek sudah memantapkan pilihan untuk menikah lagi, ia meminta pendapat dari anaknya. Dari anaknya, subjek sudah mendapatkan persetujuan. Lha yo banyak pertimbangan. Soko anak kuwi mau, “yo nek wis diparingi ngono, yo nek wis diparingi yang terbaik yo monggo kerso. Kari ibuk sing nglakoni. Ibuk seneng aku melu seneng”. (W1.SU.I.822-825) Pernyataan yang tidak setuju apabila subjek menikah lagi datang dari orang tua subjek. Sewaktu subjek memberitahu tentang keputusannya untuk menikah lagi, ibu subjek tidak mengijinkan subjek menikah lagi karena khawatir suami keduanya ini memperlakukan cucunya yang merupakan anak subjek secara tidak baik. Subjek bercerita bahwa ibunya akhirnya mengijinkan subjek untuk menikah lagi asal apabila nanti ada berbagai permasalahan dalam rumah tangga subjek, semua harus ditanggung sendiri oleh subjek. Subjek tidak dibolehkan untuk melibatkan keluarga subjek dalam permasalahan rumah tangga subjek. Nek tau kan tak kandani, Mbak. “Lha yo nek menurut kowe apik, yo karepmu, lakonono. Tapi ngomongno anakmu. Trus nek ono masalah opo ngono, masalah sekecil apapun, ojo nyalahne Makmu, dulurmu. Songgo dewe”, ngono, Mbak, “Mergo kuwi wis pilihanmu. Nek anggitku ngono kowe tak penging omah-omah”. Emakku ngomong ngono. “Tak penging omah-omah, eee, mengko ndang nyengit karo Ima, putuku, nek putuku di-anu, mengko loro atiku. Kuwi mergo putuku”. (W1.SU.I.826-836)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154
Sewaktu ibu subjek tidak setuju dengan rencana pernikahan kedua subjek, subjek kemudian meyakinkan bahwa kekhawatiran ibunya itu tidak akan terjadi. “Ora, Mak, ora”. Aku yo ngomong ngono.(W1.SU.I.836-837) Setelah mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan subjek, ia merasa telah mantap untuk menikah dan tidak ada pemikiran macam-macam lagi. Wis gak, Mbak. Gak ono pikiran opo-opo. Wis pokoke mantep ngono(W1.SU.I.844-845) (f) Gambaran pernikahan baru. Permasalahan yang subjek temui dalam pernikahan barunya saat ini tentulah ada. Bukan permasalahan mengenai rumah tangganya dengan suami kedua, melainkan dengan anak sulung suaminya yang menunjukkan sikap permusuhan kepada subjek. Mengenai hal ini, suami kedua subjek menghimbau agar tidak terpancing emosi dan mengatakan kepada subjek agar menganggap anak sulung suami keduanya itu adalah orang lain saja. Begitu pula dengan subjek. Ia berusaha untuk tidak menanggapi permasalahan tersebut. Kenyataane saiki yo ngono kuwi Mbak. Karo anake Pak Yai yo gak iso rukun. Sing anake wedok kuwi. Tapi nek karo sing lanang yo apik, Mbak. (W1.SU.I.419-421) Tapi aku yo, ealah bodo amaatt, aku wis tuwo.(W1.SU.I.341-342) “Urusan opo. Masalah ngono, lah opo nggatekne Nurul?”, ‘anggepen wong liyo’, gampangane kuwi yo ngono. (W1.SU.I.279281) Permasalahan lain yang dihadapi subjek masih seputar permasalahan ekonomi. Dalam pernikahan keduanya ini, subjek belum dapat berhenti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155
dari pekerjaan di rumah majikannya. Hal ini disebabkan ia masih harus membantu memenuhi kebutuhan perekonomian rumah tangganya. Kadang jenenge wong, dek winginane kuwi lho Mbak, mungkin Pak Yai keselen. Aku yo sadar, Mbak. Podho sadare, ngomong sik podho sadare. “Lha iyo, ngene iki aku wis tambah tuwo, mergawe keselen gak ono sing ngewangi, Azis gak ngewangi, dadi beras, sak omah melu mangan”. Ngono kuwi kan atiku melu piye ngono kan Mbak. Mergane kan aku ngrumangsani koyok panen kuwi yo gak melu mepe gabah, gak melu ngopeni, cuma ngopeni wong tandur wenehi mangan adang peteng, ono wong nge-dos yo ngadangne peteng, bar dadi gabah ning omah yo gak ruh jawane, mbuh wis di pepe to mbuh ora kuwi kari dekne. Aku kan mergawe. Kuwi yo dekne sambat, Mbak. Sedangkan bar kuwi kan yo ngopeni sawah meh tandur, jenenge sawah kan yo ngono kuwi tho Mbak. Dekne mungkin kesel. “Yo wis tho Pak, aku tak leren, gak mergawe ning omahe Mbak Susi, tapi aku cukupi, Pak, kebutuhanku. Koyok arisanku, koyok Ima sekolah, SPP. Seumpomo Ima kondho urun sepuluh ewu, rongpuluh ewu. Wenehono. Wenehono. Ojo sampe gak sampeyan wenehi. Nggo nge-net, nggo ngeprint, opo fotokopi, wenehono. Aku tak leren, Pak. Sampeyan tak rewangi ning sawah. Tak rewangi. Selama aku sehat ojo kuatir nek ora tak rewangi, Pak”(cerita dialog dengan suaminya), “Lha aku duwit opo? nek nduwe duwit yo tak wenehi, lha tapi nek gak nduwe yo opo sing tak wenehno? Mosok yo meh tak wenehno tonggo?”, “Lho, ojo ngono. Cah sekolah mbok semayani ngono. Yo nangis ra metu eluhe kuwi mengko”. Gak yo bener tho Mbak?(W1.SU.I.687-717) Setelah
melangsungkan
pernikahan,
subjek
berharap
rumah
tangganya saat ini berjalan dengan baik. Ia tidak berharap yang tinggi. Subjek ingin keluarganya sakinah mawaddah warahmah dengan anak-anak yang shalih-shalihah, istiqomah, serta meninggal dalam keadaan yang khusnul khotimah. Dari harapannya itu, subjek memilih untuk bersyukur ketika ia mendapatkan rejeki. Yo nek pengen yo sing sakinah mawaddah warahmah. Anak-anak yo sing sholeh-sholihah. Istiqomah. Mati yo khusnul khotimah. Wis, harapane yo wis gak muluk-muluk. Dene sugih-mlarat kuwi takdir.(W1.SU.I.1356-1360)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156
Wallahu a’lam. Mbuh. Nek disyukuri.(W1.SU.I.1364-1365)
ono
rejeki
luwih
yo
2. Subjek II Gambaran observasi 1) Pertemuan pertama Pertemuan I: Selasa, 08 April 2014 pukul 19.00-21.30 bertempat di rumah DH. Pertemuan pertama peneliti dengan Subjek II dilakukan di rumah DH sehabis sholat isya. Peneliti datang pada saat DH selesai makan malam dengan suami keduanya. Peneliti disambut hangat dan terbuka oleh subjek. Subjek menyambut peneliti di depan rumahnya dan diperkenankan untuk masuk ke ruang tamu. Wawancara dilakukan di ruang tamu itu.Di ruang tamu yang berukuran 3x4 m itu berlantai keramik dengan cat tembok warna putih dan penerangan lampu ruang tamu yang cukup terang. Terdapat satu setel kursi dan meja yang diatasnya terdapat makanan kecil. Di ruang tamu itu juga terdapat TV yang menyala dengan suara yang cukup keras dan kipas angin yang terus berputar. Di sekitar rumahnya sepi karena suasana malam hari. Saat peneliti datang, di rumah subjek juga ada suami keduanya. Subjek dan suaminya itu menanyakan apakah perlu mengadakan wawancara empat mata dengan subjek saja. Karena suami subjek mengetahui bahwa wawancara ini membutuhkan privasi, sebelum peneliti meminta suami subjek akhirnya keluar dari rumah. Subjek menjelaskan bahwa suaminya itu ikut tergabung dalam panitia TPS besok, jadi malam ini suami subjek ada agenda rapat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157
Pada awal pertemuan, peneliti menyampaikan maksud dan tujuan mengadakan penelitian seperti yang sudah dijelaskan pada pra-pertemuan dahulu. DH mendengarkan penjelasan dari peneliti secara seksama dan sesekali menganggukkan kepala tanda bahwa ia mengerti yang dijelaskan oleh peneliti. Peneliti juga menjelaskan mengenai jaminan kerahasiaan data yang akan dijawab oleh subjek. Tidak memerlukan waktu lama untuk pendekatan awal, akhirnya subjek mengisi daftar riwayat hidup dan lembar persetujuan menjadi subjek penelitian. Lembar persetujuan diisi sendiri oleh DH. Saat mengisi daftar riwayat hidup, DH merasa kesulitan apabila harus menulisnya pada waktu malam hari dengan pertimbangan penglihatan yang sudah tidak cukup baik. Sama seperti Subjek I, akhirnya peneliti membantu Subjek II untuk mengisikan poin-poin yang ada dalam daftar riwayat hidup dengan menanyakannya kepada DH. Karena ada beberapa salah pengertian antara pemahaman peneliti dengan jawaban dari subjek, maka dalam lembar riwayat hidup itu terdapat beberapa coretan, dan peneliti menulis dengan yang seharusnya. Setelah benar, peneliti memperlihatkan kepada subjek apakah masih terdapat kesalahan penulisan. Setelah daftar riwayat hidup lengkap dan terisi dengan benar, subjek menandatanganinya. Proses wawancara dilakukan di ruang tamu dengan posisi peneliti dan DH duduk di kursi panjang yang sama. Pada wawancara pertama ini DH menggunakan baju gamis warna merah muda dengan setelan kerudung langsung menutup dada. Subjek juga mengenakan sandal rumah. Di tangannya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158
juga terdapat beberapa gelang emas yang melingkar. Tidak ada aktivitas lain yang dilakukan DH kecuali proses wawancara dengan peneliti. Beberapa kali DH membetulkan posisi duduknya agar tetap nyaman saat berhadapan dengan peneliti. DH memiliki postur tubuh cukup tinggi dengan berat badan sekitar 55 kg dan tinggi badan kira-kira 160 cm. DH berkulit kuning langsat dengan satu tahi lalat di ujung mata kirinya yang sipit. Alisnya tipis dengan bentuk wajah oval. Dalam menjawab pertanyaan, DH sering menggunakan bahasa Indonesia dengan intonasi kecepatan normal. Hampir seluruh jawaban DH jelaskan dengan mendengarkan terlebih dahulu apa yang ditanyakan oleh peneliti. Dengan hampir selalu mengadakan kontak mata saat berhadapan dengan peneliti, DH cukup nyaman saat menjawab. Pertemuan pertama ini berakhir saat jam sudah menunjukkan lebih dari jam 9 malam. Peneliti pamit setelah menyudahi sesi pertama wawancara dan membuat agenda pertemuan berikutnya yang disepakati bersama dengan DH. 2) Pertemuan kedua Pertemuan II: Sabtu, 12 April 2014 pukul 19.30-21.15 bertempat di rumah subjek. Pertemuan kedua ini juga diadakan di rumah subjek. Peneliti datang lebih awal atas permintaan dari DH agar wawancara tidak berakhir sampai terlalu malam. Saat peneliti datang, DH belum ada di rumah. Ia sholat isya terlebih dahulu di masjid bersama suaminya. Sewaktu DH dan suaminya datang,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159
iamenyambut peneliti dengan ramah dan tersenyum. Peneliti dipersilahkan masuk ke dalam ruang tamu. Tidak ada yang jauh berbeda dibandingkan dengan pertemuan pertama. Televisi dan kipas angin di ruangan tersebut tetap menyala. Saat itu suami DH mempersilahkan DH dan peneliti untuk berbicara hanya berdua saja. Awalnya DH berpenampilan tanpa mengenakan jilbab. Rambutnya panjang sepinggang berwarna hitam dengan beberapa helai sudah terlihat putih yang dirapikan dengan tali rambut. DH memakai alas kaki juga saat pertemuan kedua ini. DH mengenakan gamis yang dipakainya sama seperti yang dipakai saat wawancara pertama. Lalu DH mengambil jilbab langsungnya itu yang tergeletak di kursi ruang tamu dan memakainya sebelum wawancara dimulai. Posisi DH dan peneliti juga sama seperti waktu wawancara pertama. DH dan peneliti duduk di kursi panjang dengan posisi duduk berhadapan. Meskipun pada pertemuan kedua ini membahas mengenai masa lalunya, DH tidak berkeberatan menjawab. Semua diceritakan dengan lancar sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Saat itu yang berbeda adalah DH lebih sering terlihat tegang dan mimik muka serius. Akan tetapi semua itu tidak menjadi halangan yang berarti karena DH tidak menunjukkan tanda-tanda verbal maupun non-verbal yang mengisyaratkan penolakan terhadap isi pertanyaan wawancara. Proses wawancara berjalan lancar hingga akhir sesi. Ganjalan baru ditemui saat sudah selesai sesi wawancara. Saat peneliti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160
menanyakan significant others dari DH yang mengerti tentang proses yang mengarah pada pernikahan keduanya, DH terlihat bingung dan tegang. Awalnya DH memberikan significant others yaitu anak pertamanya yang sering menanyakan subjek mengenai pernikahan keduanya ini. Namun DH sendiri ragu apakah anak pertamanya ini dapat ditemui karena saat itu ia sedang dalam situasi sibuk dan padat kegiatan. Akhirnya DH mengarahkan peneliti agar bertemu dengan anak keduanya untuk menjadi significant others. Akan tetapi setelah peneliti bertemu dengan anak kedua DH, peneliti merasa kurang mendapatkan informasi yang cukup mengenai pernikahan kedua DH karena anak keduanya ini cenderung tertutup dan sering menjawab dengan jawabab tidak tahu. Maka, dari informasi yang diperoleh peneliti dari anak kedua DH, peneliti mendapatkan satu nama lagi untuk diwawancarai yakni saudara DH yang lebih dekat dengan DH. Setelah memperoleh ijin dari DH, akhirnya peneliti dapat menemui saudara DH sebagai significant others berikutnya.
Analisis Data Subjek II 1) Mencatat dan mereduksi fenomena yang penting. Deskripsi Riwayat Hidup DH merupakan janda yang ditinggal mati oleh suami pertamanya dan kini telah menikah lagi di usia dewasa madya. Ia merupakan anak tunggal dari keluarganya. Sebenarnya DH mempunyai kakak laki-laki, namun DH tidak pernah bertemu karena kakak laki-lakinya itu meninggal sejak bayi. Keluarga DH berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan ekonomi berkecukupan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161
dengan pekerjaan orang tuanya sebagai pedagang di pasar desanya. Dahulunya ayah DH adalah seorang guru, namun saat terjadi peristiwa G 30-S ayahnya keluar dari pekerjaannya itu dan memulai berdagang. Dahulunya orang tua kandung DH bercerai ketika DH kelas 2 SD. Penyebab orang tuanya bercerai adalah ibu DH tidak berkenan untuk tinggal bersama mertuanya di kampung halaman. Akhirnya setelah orang tua DH bercerai, DH hidup dengan ayah dan neneknya sampai ayah DH menikah lagi dengan wanita di kampung halamannya. Semenjak kecil ibu kandung DH adalah seseorang yang berwatak keras. Pengalaman DH bersama dengan ibunya sebelum orang tuanya bercerai adalah misal jika DH berbuat nakal maka ibu DH akan menghukum DH dengan hukuman fisik. Sedang ayah DH cenderung berkarakter diam. DH memandang ayahnya adalah seorang yang tidak kenal lelah. Lebih memilih untuk mengalah untuk kebaikan bersama. Sejak perceraian orang tua DH, ayahnya menikah dengan seorang wanita yang tinggal satu desa dengannya. Kegiatan orang tuanya yang berdagang membuat DH terlatih untuk mandiri sejak kecil. DH lulus sekolah SPG dan menjadi guru. Dari profesinya sebagai guru itulah DH mencukupi kebutuhan ekonominya. Pernikahan pertamanya dengan seorang laki-laki berinisial BM sebenarnya tidak disetujui oleh orang tuanya. Hal ini dikarenakan BM dan DH masih merupakan saudara jauh. Berawal dari kedekatannya sebagai saudara, BM dan DH awalnya tidak timbul perasaan suka. Namun setelah sekian lama dekat, DH dan BM saling suka dan memutuskan untuk menikah saat DH telah mempunyai pekerjaannya sendiri. Rencana pernikahan mereka ditentang oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162
ayah DH. Akan tetapi karena DH bersikukuh dengan pendiriannya untuk menikah dengan BM, akhirnya pada tahun 1982 mereka dibolehkan menikah tanpa wali ayah DH melainkan wali hakim. Setelah berjalannya waktu, akhirnya keluarga besar DH menerima pernikahan mereka. Rumah tangga DH dan BM berjalan baik-baik saja. DH dan BM tinggal bersama orang tua BM. DH mengenal BM sebagai suami yang baik, dan santai –tidak pernah berpikir yang berat-berat, dan lebih cenderung memilih untuk diam sewaktu terjadi pertengkaran. Sewaktu terjadi pertengkaran kecil, dalam hati DH timbul bermacam pertanyaan mengenai permasalahannya dengan suaminya. Namun DH dan BM tidak membiarkan pertengkaran mereka berlarut-larut. Setelah diam tidak lebih dari sehari, DH dan BM sudah berbaikan lagi. DH dan BM mempertahankan rumah tangga mereka dengan cara saling percaya, ada yang mengalah bila terjadi pertengkaran, dan saling mengerti. Dari pernikahannya dengan BM, DH dikaruniai dua orang anak. BM adalah suami yang sengaja untuk tidak merasakan rasa sakit yang dideritanya. Tekanan darah yang tinggi sudah biasa dirasakannya. Walaupun begitu BM tetap saja beraktivitas dan jarang mengontrol penyakitnya itu. Hal ini berlanjut hingga saat-saat BM menjemput ajalnya pada tahun 2004. Sewaktu itu BM meminta DH untuk memeriksakannya. Di rumah sakit daerah BM diberikan pertolongan beberapa hari namun kemudian tidak sadarkan diri. Akhirnya DH membawa BM ke rumah sakit provinsi. Tidak sampai satu hari di rumah sakit provinsi akhirnya BM meninggal. Dalam masa perpisahan meninggalnya BM, DH merasa tidak dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163
berpikir apapun. Selama berhari-hari ia hanya diam berduka di rumah. Setelah beberapa hari dalam kondisi berduka, DH mulai bangkit kembali dengan memikirkan masa depannya dan anak-anaknya. Menjadi orang tua tunggal membuat DH berfokus pada karirnya. Ia tidak mempunyai niatan untuk menikah lagi. Saat dalam masa menjanda, DH pernah beberapa kali disukai oleh lakilaki. Namun karena DH saat itu masih belum mempunyai keinginan untuk menjalin rumah tangga kembali, ia tidak menganggap hal tersebut secara benar-benar. Sewaktu dalam kondisi kesendirian sedang anak-anaknya sudah berkeluarga, DH tinggal di rumahnya dengan ditemani oleh ibu kandungnya. Sejak hidup menjanda dan merasa telah sukses mengantarkan anakanaknya sampai pada pernikahan, lambat laun ia merasa sendiri. Sejak itulah ada laki-laki yang tidak sengaja berkenalan dengannya melalui SMS. Hingga melalui berbagai pertimbangan, DH akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan lelaki itu di tahun 2009. 2) Menggambarkan unit makna dan deskripsi Deskripsi hasil wawancara dan observasi (a) Latar belakang gambaran kehidupan masa lalu sebelum pernikahan pertama. Subjek adalah anak tunggal yang dibesarkan dengan kondisi perceraian oleh kedua orang tuanya sewaktu subjek masih kecil. Ayah dan ibu kandungnya bercerai lantaran ibu subjek tidak berkenan untuk tinggal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164
bersama mertuanya. Subjek ikut tinggal bersama ayahnya. Ayah subjek akhirnya menikah lagi dengan wanita yang tinggal satu daerah dengannya. Karena ada gerakan G 30-S, ayah subjek berhenti mengajar dan mulai berdagang. Ngajar SD. Trus kecanthol orang Kanor, ya ibu saya itu. Pada waktu saya masih kecil, seumur kelas 2 atau kelas 4 kalau ndak salah. Itu ibu saya ndak mau diajak ke Pungpungan rumah sekarang itu ndak mau. Diajak ikut mertuanya, nenek saya dari pihak bapak, ndak kerasan. Jadi akhirnya cerai. Lha cerai akhirnya saya diajak bapak saya, ibu sendirian. Trus kawin lagi, sini juga kawin lagi. Trus tugas di Sumbang sana, guru Sumbang, Pungpungan ke utara. Trus kecanthol sama ibu tiri. (W2.SU.II.516) Kan saat itu ndak jadi gurunya kan karena ada kasus G 30-S. Semua guru kan banyak yang mundur, banyak yang keluar. Termasuk bapak saya. Trus habis itu dagang. Dagang polowijo. Saya waktu itu juga ikut, ikut kerja di pasar Pungpungan. (W2.SU.II.37-42) Awalnya dahulu saat orang tua subjek bercerai, subjek menjadi rebutan antara ayah dan ibunya. Akhirnya subjek ikut bersama ayahnya. Sosok ayah dimata subjek adalah ayah yang pendiam, tidak pernah marah, cenderung mengalah untuk kebaikan bersama, tapi juga pekerja keras tidak mengenal lelah. Subjek merasa ayahnya itu sangat menyayangi dirinya. Dari ayah, subjek diajarkan untuk mandiri. Karena keluarganya dahulu adalah seorang pedagang, subjek terbiasa untuk mengurus dirinya sendiri sembari orang tuanya berdagang di pasar. Kalau bapak saya ini ya sebagai bapak juga sebagai ibu saya, karena sangat-sangat menyayangi saya. Dulu saya dibuat oyokoyokan gitu sama bapak dan ibu saya. Kan saya kan anak tunggal, jadi ya yang disayang. Tapi kan bapak itu orangnya kan pendiam. Ndak banyak omong, ndak banyak bicara. To the point saja. Ndak pernah marah. Wis, orangnya bagus sekali. Di mata saya ya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165
sangat saya cintai, sangat saya kagumi. Trus kerjanya itu lho, ndak kenal lelah. (W2.SU.II.25-34) Saya itu diajarkan mandiri. Kan bapak ibu saya kan sibuk kerja. Dari pagi kan sudah di toko. Jadi saya berangkat sekolah ya sendiri. Misalnya sarapan itu ya ndak pernah menyiapi. Beli sendiri di kantin. Soalnya kan sudah sibuk dagang kan mulainya pagi. (W2.SU.II.60-65) Piye yo Mbak? Ya orangnya baik. Ya gitu lho. apa-apa ya dilakukan sendiri.(W1.SO.II-1.20-21) Pengalaman subjek dengan ibu kandungnya dalam waktu yang cukup singkat. Ia hidup bersama ibunya hanya sampai sebelum perceraian kedua orang tuanya itu. Subjek merasa cara pengasuhan ibu terhadap dirinya dengan cara yang keras. Akan tetapi perceraian kedua orang tuanya tidak membuat subjek memutuskan komunikasi dengan ibu kandungnya. Mengasuhnya kan hanya sebentar. Masih anak kelas 2 SD sudah pisah. Memang agak keras mengasuhnya itu. Pokoknya kalo ndak cocok itu dipukuli. Ibu saya yang kandung itu memang keras. (W2.SU.II.79-84) Meskipun ndak diasuh sama ibu kandung tapi sayangnya kan ya tetap ndak ngalahi. Tetap baik, sayang begitu. Kan rumahnya Kanor, jadi saya yang ngopeni. Membelikan pakaian. Kalo dulu kan biasa kebaya, jarik. Tak belikan itu. Ya kadang dibelikan perhiasan. Ya pokoke gimana kasih sayang anak kepada seorang ibu. (W2.SU.II.70-76) Subjek memandang ibu tirinya itu adalah wanita yang banyak bicara dan egois. Namun meskipun demikian saat subjek tinggal dengan ibu tirinya, subjek merasa ibu tirinya sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ibu tirinya itu juga sayang kepada dirinya. Ia juga merasa bahwa ibu tirinya itu lebih sayang dan perhatian kepada subjek daripada kepada anaknya sendiri. Ibu tiri saya kan orangnya kan egois gitu, banyak bicara. Omongnya buanyak. (W2.SU.II.104-106)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166
Baik sekali ibu tiri saya itu. Udah kayak ibu kandung. Sayang sekali. Malah saya itu di anak-emaskan. Daripada putrane sendiri kan, ibuk tiri saya kan juga punya putra satu dari suaminya yang terdahulu. Malah sama anaknya sendiri itu, malah masih sayang sama saya. Karena mungkin dianggap anak yang pertama, yang bisa membantu, yang bisa diajak musyawarah, mungkin begitu anak pertama. (W2.SU.II.48-56) Subjek merasa karakternya yang sekarang ini terlebih bawaan ibu kandungnya yang keras. Subjek ingin mencontoh ayahnya yang menerima apa adanya dan mengalah kepada orang lain namun subjek belum bisa. Subjek merasa tidak mau dikalahkan oleh orang lain. Bila subjek menginginkan sesuatu maka harus tercapai. Subjek mengakui bahwa ia sulit diberikan nasihat. Ya itu. Kadang sama ibu saya itu lho, paling yang nurun. Ndak mau dikalahkan. Ingin sesuatu ya harus tercapai. Kalau dinasehati itu lho ya angel. Karena memang keinginan itu harus terpenuhi. Kan keras. (W2.SU.II.130-134) Tegas. Kalau sudah ada mendapatkan.(W1.SO.II-2.12-14)
maunya,
ya
harus
Bila terdapat pertengkaran antara subjek dan ayahnya, maka ayah subjek akan memilih untuk menanggapi dengan diam. Namun bila subjek bertengkar dengan ibunya, maka ibu subjek akan keras memukul subjek. Kalau pertengkaran dengan saya itu paling-paling ya pertengkaran bocah cilik gitu tho Mbak. Kalo bapak nanggepinya ya diem gitu saya sudah menyadari. Kalau saya bertengkar dengan ibu, ya kayak itu tadi, ibu yang menghajar saya pakai papah gedhang. (W2.SU.II.154-159) Subjek menginginkan idealnya seorang ayah adalah tidak selalu mengalah. Sedangkan idealnya seorang ibu menurut subjek adalah tidak berat sebelah antara kasih sayang untuk suami dan anak-anaknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167
Bagi saya nek orang ngalah terus gitu ya ndak setuju. (W2.SU.II.164-166) Kalo dulu kan endak. Biasane kan kalo dulu itu, orang tua dulu itu, yang diutamakan itu kan suaminya. Anaknya itu ndak diawalkan. Misalnya kalau soal makan, makan itu untuk suaminya. Anaknya dikasih setelah suaminya selesai. Cara orang dulu kan gitu. (W2.SU.II.178-183) Subjek mengartikan pernikahan itu sebagai perasaan cinta dan kasih sayang. Arti pernikahan menurut subjek adalah karena ingin membangun rumah tangga dan ingin mempunyai keturunan. Subjek mengatakan ada perasaan bahagia bila pernikahannya tersebut dikaruniai anak. Selain itu, subjek beranggapan bahwa pernikahan adalah untuk semua umat, merupakan sunnah rasul. Menurut subjek saat menikah bernilai pahala yang lebih baik daripada yang belum mempunyai suami. Arti pernikahan itu ya, kan rasa sayang rasa cinta.(W1.SU.II.218219) Yaa ingin membangun rumah tangga. Pertama ya kepingin punya keturunan. Karena setelah nikah trus punya anak itu terasa bahagia gitu dengan pernikahan. Lha pernikahan itu kan memang untuk semua umat. Kan juga merupakan sunat rasul dengan menikah. Disamping itu, kalau kita beribadah pahalanya, nilainya itu kan bagus yang sudah menikah daripada yang belum. (W2.SU.II.239-246) Subjek memandang bahwa peran sebagai istri adalah untuk menyenangkan suami. Bila subjek sudah berhasil menyenangkan hati suaminya, ia pun merasa bahagia. Sedangkan subjek mengatakan bahwa peran sebagai suami dalam rumah tangga adalah dapat memimpin keluarga. Suami berperan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Dari peran masing-masing, dalam rumah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168
tangga suami istri menjalankannya dengan cara saling menghargai, saling mengerti, dan harus percaya kepada pasangan. Kalau dulu itu ya saya itu jadi istri ingin selalu menyenangkan suami. Jadi kalau suaminya sudah senang saya merasa bahagia. Misalnya kalau punya tanggung jawab itu sudah terpenuhi. (W2.SU.II.249-252) Kalau peran sebagai suami itu memimpin keluarga, menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. (W2.SU.II.260-262) Kalau menurut saya sebagai suami istri itu saling menghargai, saling mengerti. Maksude mengerti karakter suami itu kita harus tau, harus mengerti, dan percaya sing penting. Harus percaya kepada suami (W2.SU.II.263-267) (b) Latar belakang gambaran pernikahan sebelumnya. Subjek dan suami pertamanya memang sudah berteman semenjak mereka masih kecil. Karena mereka masih ada hubungan keluarga, pertemanan mereka awalnya biasa-biasa saja. Suami pertama subjek biasa bermain di rumah subjek. Setiap hari bermain di rumah subjek, akhirnya saat subjek sudah lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG), perasaan suka terhadap suami pertama subjek itu muncul, dan keduanya saling jatuh hati. Saat subjek sudah bekerja dan mempunyai pendapatan sendiri, subjek dan suami pertama subjek memutuskan untuk menikah meski ditentang oleh orang tua subjek karena masih ada hubungan keluarga. Bapaknya anak-anak, suami saya yang dulu itu kan, pertamanya dulu itu juga kan wong masih famili itu kan ndak punya rasa cinta itu ndak punya. Tiap hari dia di rumah saya. Jadi tiap hari ketemu, akhirnya seneng. Pas senenge itu pas saya sudah keluar dari SPG. Mas Bambang, namanya kan Bambang. Sering main di rumah, ya biasa sama bapak sama ibu kan sudah biasa. Lha wong memang masih saudara. Lha itu lama-lama ndak tau kok bisa saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Karena saya sudah keluar SPG, sudah kerja itu saya, baru diangkat jadi CPNS. Perasaan saya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169
kansudah kerja ya nikah. Akhirnya mungkin karena sudah punya uang sendiri, mereka ndak setuju, ndak mbolehin saya nikah dengan Mas Bambang kok ya saya nekat. Gitu. Masih nekat akhirnya kawin. (W2.SU.II.219-236) Lha itu jadinya geger kan itu satu keluarga. Wong sik dulur kok meh nikah, gitu. Lha tapi mau gimana lagi gitu kan, wong mereka ya sudah gede saat itu.(W1.SO.II.2.58-61) Saat masa baru memasuki kehidupan rumah tangga bersama suami pertamanya, subjek mengatakan bahwa ia sering merasa cemburu. Karena subjek pernah tidak percaya kepada suami sendiri, subjeklah yang merasa rugi sendiri. Dengan cemburu itu membuat badan subjek semakin kurus. Saat subjek telah menyadari bila tidak percaya kepada suami itu menyebabkan dirinya kurus, setelah itu subjek akhirnya menyadari bahwa bila subjek sudah memilih, maka kepercayaan adalah jalan untuk dapat melanjutkan pernikahan. Itu pernah terjadi pada pernikahan baru, pas itu kan anak-anak kan masih kecil. Kalau kita ndak percaya pada suami, kita sendiri yang kena batunya. Kita sendiri yang merasakan sakitnya. Diri kita sendiri yang ndak untung kalau ndak percaya pada suami. Saya itu kan dulu selalu cemburu. Akhirnya saya sendiri yang kurus. Lha iyo, kok ya dipikir. Mikirnya itu mikir yang ndak bener dengan cemburu. (W2.SU.II.268-276) Itu akibat saya tidak percaya pada suami. Jadi yang penting itu harus percaya. Kalau itu sudah jadi pilihannya ya harus percaya. (W2.SU.II.285-287) Subjek mengatakan bahwa suami pertama subjek adalah seorang yang santai, tidak mau berpikir yang berat-berat. Subjek pun mengakui karena ia suka pada suaminya, maka yang dilihat darinya adalah hal-hal baik dari suami. Mas Bambang itu orangnya kan nyantai. Ndak pernah ada beban atau apa gitu. (W2.SU.II.358-359)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170
Lha wong saya karena suka, jadi yang saya nilai ya yang baik-baik semua. (W2.SU.II.365-366) Subjek menggambarkan pernikahan pertamanya berlangsung baikbaik saja dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sewaktu terjadi pertengkaran dalam rumah tangganya, yang biasa dilakukan sebagai jalan untuk meredakan pertengkaran adalah dengan cara diam. Suami subjek cenderung memilih diam selama beberapa saat. Saat terjadi pertengkaran dengan suami pertamanya, dalam hati subjek timbul pertanyaan yang macam-macam. Namun semua pertanyaan itu tidak muncul lagi ketika permasalahan mereka terselesaikan. Ya baik, Mbak. Ndak ada masalah. Ya baik sesuai rumah tangga gitu tho Mbak. Ndak ada permasalahan. Ya kalo ada misale kan ya biasa tho rumah tangga itu. Tapi kan masih bisa diatasi. (W2.SU.II.339-343) Kalau yang saya tahu itu mereka harmonis. Dua-duanya punya penghasilan sendiri. Yaa setahu saya selama ini ya ndak ada masalah.(W1.SO.II-2.104-107) Kalau namanya pertengkaran dalam pernikahan itu kan sudah wajar. Tapi diam satu hari paling. Kan tidurnya kan jadi satu, jadi kan ya ndak mungkin lama-lama terus berlangsung. Paling satu malam gitu ya sudah baikan lagi. Jadi ndak pernah sampai berlarut-larut gitu ya ndak pernah. (W2.SU.II.373-378) Yang saya rasakan ketika ada konflik itu timbul pertanyaan macem-macem. Padahal suami saya itu ndak punya perasaan macam itu. Lha perasaan saya sendiri itu “Nduwe bojo kok yo ngene? Kok ya tukaran”. Tapi kan kalo sudah baikan kan ndak ada masalah lagi. (W2.SU.II.382-387) Untuk mengatasi permasalahan subjek dan suami terdapat paling tidak satu pihak yang mengalah. Diam untuk beberapa saat hingga akhirnya nanti baikan kembali. Ya itu tadi. Ada yang ngalah itu tadi. Saya ngalah gitu misalnya. Diem, nanti trus baik lagi. (W2.SU.II.406-407)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171
(c) Gambaran kehidupan saat menjanda. Awal proses meninggalnya suami pertama subjek disebabkan karena suami pertama subjek mempunyai penyakit hipertensi namun enggan untuk kontrol periksa. Mempunyai tensi tinggi sudah terbiasa bagi suami pertama subjek dan suami pertama subjek tetap beraktivitas seperti biasa. Saat dirawat di rumah sakit, subjek berusaha melakukan yang terbaik yang dapat ia lakukan. Akan tetapi, saat subjek sudah melakukan upaya yang dapat ditempuhnya, suami subjek akhirnya meninggal. Meninggalnya itu kan karena tensinya itu kan tinggi. Ndak pernah mau kontrol. Nek mau kontrol kan mungkin ndak sampai segitu. Jadi dia itu punya sakit tapi ndak dirasa. Punya darah tinggi itu rasane sudah biasa. Tensinya tinggi terus itu sudah biasa gitu. Masih aktivitas gitu. Ndak dirasakan. Akhirnya sampai meninggal itu. (W2.SU.II.410-416) Dia itu tiba-tiba keringat keluar. Trus gatel-gatel. Minta diperiksakan. Kalo manggil saya kan ‘Bu’. “Bu, saya minta periksakan”. Pas itu ya masih mbuka garasi sendiri. Saya manggil supir trus tak suruh ngantar ke rumah sakit. Masuk rumah sakit itu tensinya 230. Sampai malem itu, sampai pagi, diobati tho ya. Akhirnya sembuh. Satu hari itu. Trus sampai malem, saya tunggui sama anak saya. Pas itu puasa pertama. Saya pas itu ya ikut sahur. Lha yang hari kedua, katane anak saya itu kan denger bapaknya manggil-manggil saya. Lha saya itu kok pas ndak denger blas. Lha anak saya mau mbangunin saya itu dia takut gitu katane. Lha sampai pagi, pas subuh, saya lihat itu kok kayak ndak sadar gitu lho. Trus tak kasih obat kok ndak bisa nelen. Trus saya panggil perawatnya kok katane koma. Trus tak bawa ke rumah sakit Surabaya. Tak bawa ke Surabaya. Satu malem itu kan ya. Malem sampai sana jam 6 sudah ndak ada. Sudah cuci darah, lha kan saya dimintai persetujuan cuci darah. Ya saya ya setuju saja wong jalan satu-satunya kalau Allah masih menghendaki kan bisa berobat. Akhirnya jam 6 sudah ndak ada. Cuci darah belum selesai sudah ndak ada. (W2.SU.II.423-448) Saat ditinggal mati suami pertamanya, subjek merasa tidak bisa berpikir apa-apa, pikiran subjek melayang. Subjek masih merasakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172
bahwa suami pertama subjek seolah-olah masih hidup. Subjek merasakan bahwa saat ditinggal suaminya itu ia tak dapat melanjutkan kehidupannya. Pikirane suami saya saat itu masih hidup gitu saja. Pikirane masih hidup kok tapi sudah ndak ada. Seandainya bisa diminta kembali ya jangan diambil dulu. Dikembalikan lagi, seandainya bisa. (W2.SU.II.545-548) Sampai saya itu ndak bisa mikir. Pikirannya itu melayang. Ya seolah-olah itu masih hidup terus. Tapi kok ndak ada. Kayak mimpi. Nek mimpi itu sik mbalik. Seolah-olah pada waktu itu ndak bisa meneruskan kehidupan gitu. (W2.SU.II.464-469) Kondisinya saat dulu bapak ditinggal.(W1.SO.II-1.3-4)
ndak
ada
itu
ya
sedih
Sewaktu dalam kondisi berduka, subjek juga dihadapkan pada kenyataan mertua yang semakin sakit setelah meninggalnya suami subjek. Pada waktu itu kan mertua saya masih, mertua kan juga sakitsakitan. Beberapa tahun itu mertua saya sakit.(W2.SU.II.483-485) Setelah dalam masa berduka, akhirnya subjek dapat kembali bangkit. Ia kemudian memikirkan tentang masa depan dia dan anak-anaknya. 100 harinya itu baru keluar dari rumah. Lha pada waktu itu yang dipikirkan ya anak-anak. Siapa lagi yang dipikirkan, lha wong masih kuliah. (W2.SU.II.476-479) Pada waktu setelah meninggal itu lho, pada waktu meninggalnya suamiku, itu yang saya pikirkan itu hanya masa depannya anak saya dan rumah tangga kelangsungan hidup saya. (W1.SU.II.3437) Tapi kan lama-kelamaan ya ikhlas menerima, ya berjalan seperti biasa. Ya sendiri gitu.(W1.SO.II-1.4-6) Sebelumnya itu ya ndak kepengen nikah. Ingin menuntaskan kewajiban saya sebagai orang tua pada anak-anak saya hingga berhasil semua, hingga selesai kewajiban saya selesai. Ya ada orang yang seneng sama saya begitu ya ada. Tapi saya ndak kepingin nikah dulu sebelum saya menuntaskan kewajiban saya itu. Ndak kepingin gitu, ndak punya keinginan nikah itu. (W1.SU.II.338-345)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173
Karena sejak awal subjek sudah mempunyai pendapatan sendiri, subjek merasa tidak terdapat masalah apabila tidak ada suami. Permasalahan-permasalahan
yang
dihadapi
subjek
saat
ditinggal
meninggal suami pertamanya terlebih pada stigma negatif yang dilabelkan orang lain untuknya. Subjek merasa sakit hati sewaktu diberikan label “janda”. Ditambah lagi dengan keluarga yang selalu mengawasi setiap gerak subjek waktu keluar rumah. Selain itu, dalam usianya saat ini subjek masih membutuhkan pemenuhan kebutuhan rohani berupa hubungan suami istri yang tidak subjek dapatkan sewaktu dalam keadaan tanpa pasangan. Tanggung jawab subjek terhadap ibu mertua yang sakit-sakitan juga menjadi permasalahan tersendiri untuk subjek dalam menghadapi masa kesendiriannya. Kadang waktu kumpulan misale sama ibu-ibu “Kae lho ono janda”. Saya tuh, hati saya tuh sakit. Misale dikatakan misal bagian berkat misalnya contohnya ini Mbak, “Kae wenehno rondo”. Kadang saya itu sakit. “Kenopo yo nek rondo kok disiasiakan?”. Seolah-olah itu disisihkan, diejek. Bahwa janda itu jelek. Gitu. Perasaan saya tuh gitu. Kenapa janda itu digitukan? Wong biar janda kan ya punya nafkah sendiri. Ketoke kok direndahkan gitu lho. Umpama ndak ikut syukuran gitu “Kae rondone dibagi”. Saya pernah ada orang yang bilang gitu, trus saya bilang gini “Orang janda itu saya mosok minta tho? Wong itu kan dari takdir Allah”. Misal janda yang ditinggal suaminya nikah lagi kan kalo gitu kan jandanya janda sendiri. (W1.SU.II.167-181) Cuma ya ada keluarga yang selalu memonitor, ngawasi misale kok pas keluar-keluar itu ditanyai darimana gitu. (W2.SU..II.566-569) Pada waktu itu kan mertua saya masih, mertua kan juga sakitsakitan. Beberapa tahun itu mertua saya sakit.(W2.SU.II.483-485) Yaa paling-paling ya soal gimana caranya membesarkan anak sendirian gitu aja sih. Sama gimana caranya merawat mertua yang sudah sakit-sakitan itu. Ya itu semuane ditangani sendiri Mbak.(W1.SO.II-2.189-194)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174
Jadi, punya suami dan tidak itu sama saja kalo masalah ekonomi. Tapi kalo masalah rumah tangga atau masalah kebutuhan rohani tetep ada. (W1.SU.II.223-226) Kebutuhan rohani itu ya misalnya seperti hubungan suami-istri begitu tho ya. Tetep, ya masih membutuhkan. Kalau sendiri mungkin ndak seperti kalau punya suami. (W1.SU.II.228-231) Sewaktu subjek menjalani kehidupannya setelah ditinggal suami pertama, subjek merasa tidak ada orang lain yang membantunya. Hanya anak-anaknya yang memberikan penguatan padanya. Ndak ada yang ndukung tho malahan. Wis biasa itu malah. (W2.SU.II.583-584) Ya pada waktu itu, setelah meninggalnya itutho, saya diberi penguatan oleh anak-anak saya malahan. (W2.SU.II.588-590) Dalam rentang masa menjanda, subjek pernah disukai oleh seseorang. Namun karena saat itu subjek belum ada keinginan untuk menikah lagi, subjek memilih untuk tidak menanggapinya. Saat ada orang yang menyukai dirinya, subjek bermimpi didatangi suaminya yang tidak menyetujui. Godaannya kan ya itu, lawan jenis begitu. Cuma ya kan dulu itu ya sms, sok-sok ya telpon begitu.(W1.SO.II-1.82-83) Yaa dulu itu pernah Mbak ada yang seneng gitu sama saya pas dulu masih janda. Tapi saat itu ndak punya keinginan untuk menikah dengan orang itu. Maksude ndak ada. Memang belum ada niat untuk menikah. Meskipun orang itu seneng gitu ya ndak saya tanggapi. Gitu. Karena saya belum punya keinginan nikah. (W1.SU.II.329-335) Ternyata pada waktu dulu itu saya pernah mimpi. Kadang misal kalo saya disenengi orang gitu ya, suami saya datang ke kamar saya seolah-olah datang tiba-tiba itu kayak datang. Kelihatan bayangannya. Kadang-kadang kayak didatangi. Saya ndak tau itu bener atau endak, tapi perasaan saya begitu itu pada waktu saya disukai orang. Lha itu saya didatangi suami saya. Pernah satu kali didekati orang suka gitu lho. Tapi kan saya ndak punya keinginan untuk menikah sama orang itu. Saya sendiri entah kenapa saat itu belum ingin menikah. (W1.SU.II.346-357)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175
Setelah sekian lama hidup tanpa suami, pandangan subjek mengenai pernikahan kedua adalah melanjutkan kehidupan yang baru, daripada hidup menjanda lebih baik mempunyai suami. Selain itu menurut subjek dengan menikah lagi maka ia tidak akan sendirian. Disamping melanjutkan kehidupan yang baru daripada hidup menjanda ya lebih baik punya suami. (W2.SU.II.600-602) Setelah tujuh tahun kan sudah selesai semua. Anak saya sudah menikah semua, sudah berkeluarga semua. Akhirnya saya sendirian di rumah. Saya kadang sedih gini, saya kok ditinggal sendiri. Anak saya itu dirumahe istrinya, anak saya yang pertama. Yang kedua juga dirumahe suaminya. Saya dirumah sendirian kadang kesepian. Anak saya keduanya juga kesepian. Saya kok disuruh tunggu rumah terus. Kalau menikah kan ada temannya. (W1.SU.II.150-158) (d) Interaksi dengan pasangan. Awal mula subjek dapat berkenalan dengan suami keduanya adalah karena salah menghubungi nomor telepon genggam. Dari perkenalan lewat telepon genggam itulah akhirnya subjek menanggapi komunikasi dengan suami keduanya lebih lanjut melalui SMS, telepon, hingga akhirnya suami kedua subjek bertamu ke rumah subjek. Pertama kali kan saya punya teman. Nah, nomor saya kan ada di tempat teman saya. Saya dulu juga ndak tau kalo nomer itu nyampe ke Pak Nardi itu kan ndak tau. Lha teman saya kan iseng, iseng dikasihkan orang. Lha orang itu ngasih nomer saya ini ke Pak Nardi. Gitu. Pak Nardi sendiri juga ndak tau kalo nyampe ke saya. Akhirnya, Pak Nardi kenalan sama saya, lewat HP, smsan. Trus kenalan. Akhirnya dia telpon, lha saya juga saya tanggapi, telpon gitu. Akhirnya dia main ke rumah saya, akhirnya kan ketemuan. (W1.SU.II.3-13) Setelah sekian lama berinteraksi dengan suami keduanya saat itu, saat dalam pertemuan untuk membicarakan masalah pernikahan suami kedua subjek tiba-tiba memberikan cincin kepada subjek. Dari sana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176
tanggapan subjek tidak berani untuk menolak lamaran suami keduanya itu. Sering, ya ndak sering, misalnya kalau ingin ketemu membicarakan masalah pernikahan itu dulunya diajak ke Klothok. Pak Nardi kan punya teman namanya Pak Agus itu. Diajak ke Klothok itu. Akhirnya dia memberikan kejutan, memberikan cincin. Lha tapi saya juga sama teman-teman, satu mobil. Trus dia satu mobil, jadi dua mobil, diajak ke Klothok, bareng-bareng gitu makan di sana. Lha ternyata di sana itu kejutan, saya dikasih cincin, katanya tunangan. “Udah tua kok tunangan”, kata saya. (W1.SU.II93-103) Tapi kalau sudah janda, ndak berani nolak itu ndak berani. (W1.SU.II.111-112) Karena suami kedua subjek beberapa kali datang bertemu dengan subjek, anak subjek juga ikut menanyakan mengenai kelanjutan hubungan subjek dan suami kedua subjek saat itu. Trus beberapa kali akhirnya anak saya yang gini “Bu, kalau seneng ya bagaimana kelanjutannya? Jangan kok main di sini terus”. Trus yang anak saya kan begitu. Lha saya kan saat itu mau berangkat haji, Mbak. Saya begini sama anak saya “Ya besokbesok saja kalau sudah naik haji baru nikah”. Lha anak saya yang nomer satu kan orangnya kan disiplin “Nikah dulu sama sekarang kan juga sama saja tho Bu”. Katanya gitu. (W1.SU.II.13-22) Karena yaa cepet-cepet karena anak saya tadi. Tapi ya sudah direstui ya gimana lagi, karena sudah direstui sama anak saya, trus saya akhirnya jadian sama Pak Nardi itu. Sampe tanggal 29 Juli 2009. Akhirnya menikah. (W1.SU.II.50-54) (e) Proses pengambilan keputusan menikah lagi. (1) Menaksir tantangan atau resiko Saat subjek berhadapan pada pilihan untuk terus hidup sendiri atau pilihan untuk menikah lagi, subjek berkaca pada pengalamannya selama ia hidup menjanda. Ia merasakan bahwa predikat janda yang dibawanya itu dicap negatif di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Subjek merasa kebebasannya untuk keluar rumah terbatasi oleh karena adanya predikat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177
status janda yang melekat padanya. Ia berpandangan bahwa kebebasannya untuk pergi keluar rumah lebih bebas bila ia mempunyai suami. Seolah-olah itu disisihkan, diejek. Bahwa janda itu jelek. Gitu. Perasaan saya tuh gitu. Kenapa janda itu digitukan? Wong biar janda kan ya punya nafkah sendiri. Ketoke kok direndahkan gitu lho. (W1.SU.II.170-175) Lain tho Mbak sama janda yang ditinggal mati suaminya. Kalau ditinggal mati kan jandanya siapa yang mau? Kenapa seolah-olah disisihkan gitu lho. Apa-apanya dianggap negatif. Mau keluar malah bebas kalau masih punya suami. (W1.SU.II.182-187) Trus akhirnya untuk menghindari hal-hal yang demikian, trus akhirnya saya juga memutuskan untuk menikah lagi. Ya njagani fitnah gitu lah. (W1.SU.II.201-204) Gambaran subjek mengenai hidup dalam kondisi tanpa suami tidak terdapat masalah dalam segi pendapatan. Akan tetapi subjek merasa terdapat kebutuhan-kebutuhan lain yang hanya dapat didapatkannya melalui pernikahan, yakni kebutuhan akan rasa aman, cinta kasih, dan hubungan intim dengan pasangan. Kalau masalah ekonomi memang saya ndak begitu mempersoalkan hidup sendiri dan hidup punya suami. Karena sudah sejak dulu, sejak suami pertama masih ada, masalah ekonomi itu ndak tergantung pada suami. Begitu. Jadi, punya suami dan tidak itu sama saja kalo masalah ekonomi. Tapi kalo masalah rumah tangga atau masalah kebutuhan rohani tetep ada. (W1.SU.II.219-226) Kebutuhan rohani itu ya misalnya seperti hubungan suami-istri begitu tho ya. Tetep, ya masih membutuhkan. Kalau sendiri mungkin ndak seperti kalau punya suami. (W1.SU.II.228-231) Kalo yang kedua ini, karena sudah tua, adanya hanya kasih sayang suami untuk melindungi istri, yang saya butuhkan ya kasih sayang. (W1.SU.II.240-243) Namun subjek juga memikirkan resiko apabila ia berada dalam pernikahan kembali. Subjek masih trauma ditinggal mati suami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178
pertamanya. Ia takut apabila kejadian ditinggalkan itu terjadi lagi dalam hidupnya apabila ia menikah lagi. Resikonya begini. Karena kita kan sudah tua ya, saya sendiri juga masih trauma dengan suami saya, Pak Nardi. Masih trauma dulu setelah ditinggal dulu. Begini. Putranya Pak Nardi kan masih tiga belum mapan semua. Masih kuliah semua. Saya angan-angan begini. Apalagi kalau Pak Nardi sambat. Saya itu takut. Takutnya jangan-jangan ada sesuatu sehingga saya ditinggal lagi. (W1.SU.II.271-278) Kadang saya ketakutan. Nek masalah kematian itu saya masih trauma sampai sekarang. (W1.SU.II287-288) Namun bila subjek tetap meneruskan untuk hidup menjanda, subjek takut fitnah bermunculan. Ia mengaku mudah goyah apabila terdapat godaan yang datang kepadanya. Ia takut apabila tergoda oleh nafsu-nafsu yang tidak baik. Seumpama saya sekarang masih menjanda begitu ya? Resikonya ya takut fitnah. Misalnya kalo saya jangan-jangan wong imannya seseorang kan kadang diatas kadang dibawah. Saya takutnya tegoda oleh nafsu-nafsu yang ndak baik, begitu. Nek janda. Saya sendiri juga pikiran saya begitu, ketakutan. Karena memang saya akui karakter saya begitu. Karakter saya itu sejak dulu kan mudah goyah, misalnya kena godaan sedikit gitu gampang goyah. Takutnya begitu. (W1.SU.II.292-301) (2) Meninjau alternatif Subjek tidak memikirkan secara mendalam lebih lanjut lagi mengenai gambaran-gambaran seputar kehidupan menjanda atau menikah lagi. Subjek cenderung pasrah dan tidak terlalu berpikir mengenai bagaimana nanti kehidupan akan dijalaninya. Apabila terdapat kesulitan mengenai pilihan apakah subjek akan memilih untuk menikah lagi atau hidup menjanda, subjek lebih mencari jalan dengan berdoa kepada tuhan saat malam hari, membaca kitab suci Al-Qur’an, dan sholat tahajud.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
179
Kalau itu saya ndak mikir, Mbak. Saya pasrah saja sama Allah dan selalu berdoa. Mudah-mudahan diberi kesehatan, bisa merawat atau melaksanakan kewajiban saya sebagai istri sebagai ibu, bisa menuntaskan anak-anak semua. (W1.SU.II.307-311) Misalnya ada kesulitan dulu itu, saya selalu minta kepada Allah pada malam hari. Saya tenang saat membaca al-Qur’an, sholat tahajud. (W1.SU.II.316-318) Mengenai cara subjek untuk meyakinkan diri memilih satu pilihan apakah subjek akan menikah lagi atau tetap hidup menjanda adalah dengan melakukan sholat istikhoroh. Selain itu, subjek merasa suami keduanya ini dapat membaur dan menjadi orang tua yang baik untuk anak dan cucu subjek. Setelah subjek mengetahui hal itu, kemudian subjek memasrahkan diri. Caranya ya cuma yakin, mungkin jodoh saya ya itu. Dengan istikharoh. Karena dulu itu disukai orang kok ya ndak kepingin nikah. Disamping itu Pak Nardi itu bisa ngemong sama anak cucu saya juga baik. Disukai anak-anak dan cucu-cucu juga semua sayang pada Pak Nardi. Jadi saya ya pasrahlah gitu. (W1.SU.II.369-374) (3) Menimbang alternatif Dengan adanya situasi yang menghadapkan subjek pada dua pilihan, untuk mempertimbangkan pilihan terbaik menurutnya, subjek memilih untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan keduanya ini dengan pertimbangan segala yang baik diberikan Tuhan untuknya dan baik bagi subjek serta bagi anak-anak dan cucu-cucu subjek. Subjek merasa yang diberikan Tuhan untuknya saat ini adalah memang jodoh untuk dia. Ya yang baik dari Allah dan baik bagi saya, anak-anak saya. Cucucucu saya juga sudah cocok semua. (W1.SU.II.376-377) Yang dikasihkan saya dari Allah ya memang itu mungkin jodoh saya. (W1.SU.II.365-366)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
180
Subjek menimbang bahwa peluang ia cenderung untuk memilih menikah lagi adalah karena sudah mendapat dorongan dari anak untuk menikah lagi dan juga subjek merasa tidak nyaman bila statusnya sebagai janda tersebut menimbulkan fitnah padanya. Saya itu menikah disamping anak-anak saya yang mendorong, juga sebagai janda, maksudnya kok jadi janda terus gitu kan juga ndak enak, timbul fitnah timbul apa gitu lho Mbak.(W1.SU.II.59-62) Mengenai informasi yang diperoleh dan datang kepada subjek adalah dari suami kedua subjek sendiri. Subjek tidak mencari tahu mengenai sosok suami keduanya. subjek mengenal suami keduanya ini melalui komunikasi yang berlangsung saat suami kedua subjek bertamu ke rumahnya. Subjek merasa aneh karena ia merasa percaya saja dengan suami keduanya waktu sebelum menikah dahulu. Endak. Saya endak nyari tahu tentang Pak Nardi, karakternya Pak Nardi. Endak blas Mbak. Anehnya itu. Ya saya ya kok percaya gitu aja. Tahunya ya dari saat kenalan dengan Pak Nardi saat maen ke rumah saat itu saja. (W1.SU.II.322-326) (4) Merundingkan komitmen Sebelum memutuskan untuk menikah, subjek pernah bermusyawarah dengan anaknya mengenai kemantapan dirinya. Anak subjek meyakinkan kepada subjek sekali lagi mengenai hal-hal ke depan yang akan menjadi tantangan subjek dalam menjalankan rumah tangga kembali. Dulu juga pernah ditanya anak saya “Kalau memang Ibu sudah mantap sungguh, dan dipikir masa depannya, kedepannya, bahwa bapak yang baru ini, punya anak tiga bagaimana?” Anak saya yang bilang gitu. Justru saya yang ndak mikir. Masa depannya bagaimana kalo misalnya ada kejadian yang tidak diinginkan, kan putra-putranya kan menjadi beban. (W1.SU.II.404-411) Pertanyaan dari anaknya itu juga sebenarnya dipikirkan oleh subjek.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181
Hingga saat subjek sudah dalam pernikahan dengan suami keduanya ini pertanyaan dari anak subjek itu sesekali sempat timbul. Subjek mengaku takut apabila pertanyaan itu kemudian di hari nanti benar-benar terjadi. Saya juga sempat timbul pertanyaan seperti itu. Sampai sekarang juga dengan pertanyaan takut seperti itu. (W1.SU.II.412-414) Pertanyaan yang muncul mengenai masa depan subjek apabila subjek memasuki gerbang pernikahan kembali tidak subjek pikirkan terlalu mendalam. Ia tetap memikirkan pertanyaan itu namun subjek memilih untuk memikirkan segala sesuatunya dengan santai. Subjek cenderung untuk memilih menjalani segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya mengalir saja seperti air. Tapi saya di sini ndak saya pikirkan. Saya akan menjalani sesuai seperti air mengalir saja. Dijalani terus bagaimana nanti kejadiannya. Kita itu kan ndak tau takdirnya bagaimana gitu kan ndak tau. Saya dulu itu juga kan ndak tau kalau jodohnya itu sama Pak Nardi. Kita jalani saja seperti air mengalir. Dipikir secara enjoy, santai. Iya tho? (W1.SU.II.419-426) Mengenai upaya yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa subjek telah mantap memilih untuk menjalani ikatan pernikahan keduanya ini subjek dan suami kedua subjek tunjukkan dari sikap mereka kepada orang lain. Suami subjek menunjukkan bahwa ia baik kepada keluarga subjek, sedang subjek sendiri lebih cenderung tidak memperlihatkan bahwa ia masih ada ketakutan akan ditinggal lagi untuk yang kedua kali. Ya dari sikap. Sikap, terutama sikapnya Pak Nardi kepada saya kan bagus, baik. Kan orangnya memang baik Pak Nardi itu. Nah, kebetulan kan cocok dengan hati saya. Saya pun begitu. Saya ngasih tau kalau saya yakin itu ya dengan sikap saya yang santai tadi. Saya tidak memperlihatkan soal ketakutan tentang pertanyaan anak saya yang tadi. Sama keluarga, sikapnya Pak Nardi juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182
baik. Sama anak-anak juga baik. Sama cucu juga baik. Mungkin anak saya juga merasakan kebaikannya itu. Jadi akhirnya juga bisa menerima keadaannya Pak Nardi dengan saya. (W1.SU.II.456-467) (5) Bertahan dengan umpan balik Saat subjek telah menetapkan pilihannya untuk menikah lagi, meskipun masih terdapat ketakutan yang belum tentu terjadi, subjek memilih untuk tidak memikirkannya terlalu serius. Yang berat-berat ndak usah dipikir. Ya kadang sepintas juga dipikir. Tapi kalo mikir begitu terus kan ndak bisa. Saya sendiri juga kalau mikir yang berat-berat juga ndak mampu. Dijalani saja yang terbaik. Jadi kalo ada misale perasaan takut, ya ada perasaan seperti itu. Tapi kalo dipikir secara serius kan ya saya ndak bisa jalan. Ndak bisa enjoy. Ya dipikir, ya endak. Gitu. (W1.SU.II.427-434) Sewaktu proses menuju pernikahan subjek dengan suami keduanya, sebenarnya ada pihak dari suami pertama yang tidak setuju dengan pernikahan kedua subjek. Akan tetapi, subjek berpendapat bahwa walaupun ada hubungan keluarga orang lain itu tetaplah orang lain. Yang merestui hubungan subjek dan dapat menjadi walinya bukanlah pihak tersebut. Jadi subjek tidak memikirkan hal itu. Yang terpenting dirasakan subjek dari sepanjang perjalanan proses menuju pernikahan itu adalah kecocokan antara subjek dan suami keduanya. Kalo saya malah ndak mikir. Saya sudah ada kecocokan sama Pak Nardi dan hati saya sudah pas gitu. Trus anak-anak saya juga sudah mendukung. Kalo menurut saya orang lain, walaupun keluarga, saya ndak memikirkan. Yang menikahkan kan bukan dia. (W1.SU.II.504-509) Proses untuk mencapai kemantapan menjalin pernikahan kedua dilalui subjek dengan jalan bahwa ia tidak ingin berpikir macam-macam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183
Karena subjek merasa dirinya sudah berusia tua, maka yang diinginkan adalah yang baik-baik saja. Subjek menyatakan bahwa bila ia memang diberikan jalan untuk menikah lagi, maka ia harus menjalaninya. Endak. Endak ada. Maksude getun atau gimana gitu endak ada. Ya mantep begitu. Udah mantep gitu. (W1.SU.II.516-517) Ya memang itu, sudah tua itu mungkin. Sudah tua mungkin keinginannya pengen yang baik-baik saja. Gak pingin mikir renoreno. Lha untuk apa hidup kalo mosok pengen hidup menjanda terus tho? Memang harus menjalani hidup punya suami kedua itu memang harus kita jalani. Pikirannya mungkin juga sudah berubah tho Mbak. Orang kalo sudah tua dan yang masih muda itu sudah berubah. Yang diinginkan itu yang baik-baik terus gitu. Kalo saya ya begitu. Salah satunya kalo pengen keluar dari hidup menjanda kan harus kawin. Untuk mencari kebaikan itu sendiri kan salah satunya dari itu. Katanya kalo kawin kan melaksanakan sunnah rasul. Kan orang beribadah juga kan yang baik kan yang punya suami daripada yang tidak punya suami (W1.SU.II.519-533) (f) Gambaran pernikahan baru. Setelah subjek berada dalam pernikahan keduanya ini, subjek merasa pernikahan keduanya berbeda dengan pernikahan pertamanya. Subjek masih
ingat
kepada
suami
pertamanya
setiap
hari
dan
selalu
mendoakannya. Perasaan cinta kasih dan gairah hubungan yang terjalin berbeda dengan pernikahan pertamanya. Tapi memang kalau menurut saya, memang pernikahan itu dari yang awal sama yang kedua ini ya tetep ada bedanya. Kalau pertama, bahkan sampai sekarang pun sama suami saya yang dulu itu ya masih inget terus setiap hari. Selalu mendoakan terus. Memang ya ndak kayak yang pertama. Kalo yang kedua ini, karena ketemunya pas sudah tua, rasa cinta, itu ya tidak kayak suamiku yang pertama. Tetep cinta pertama itu yang paling berkesan. Kalo yang kedua ini, karena sudah tua, adanya hanya kasih sayang suami untuk melindungi istri, yang saya butuhkan ya kasih sayang. Seperti saudara lah. Ya ndak kayak yang dulu gitu ya endak. Sekarang ini ya kayak saudaranya sendiri. (W1.SU.II.232-245) Masa romantis itu ya seperti hubungan suami-istri itu. Itu kadang,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
184
kalo sudah tua begini yang saya rasakan, kadang hanya sekejap gitu saja. Jadi hari-hari seperti gini ya hanya sekejap untuk saling mengasihi. Lainnya ya biasa-biasa. (W1.SU.II.251-255) Akan tetapi, meskipun subjek merasakan adanya perbedaan antara pernikahan pertama dan keduanya, subjek merasa rasa saling menyayangi itu tetap hadir sebagai suami-istri. Subjek merasa suami keduanya ini dapat memberikan perlindungan sehingga menjadikan subjek merasa nyaman, tenang, daripada yang dirasakannya sewaktu hidup menjanda dahulu. Tapi yang jelas rasa sayang itu ya tetap ada sebagai istri kepada suami, saling menyayangi. Bahkan kalau sama Pak Nardi ini karena mungkin bisa melindungi, akhirnya saya jadi merasa nyaman gitu. Merasa tenang lah dalam keluarga, merasa tenang, nyaman, daripada janda dahulu. (W1.SU.II.257-263) Subjek merasa ada kendala dengan pernikahannya saat ini. Subjek dan keluarganya belum dapat berkumpul satu rumah dengan anakanaknya. Karena subjek masih mempunyai tanggungan untuk merawat ibunya, juga anak-anak dari suami keduanya masih tinggal di rumah nenek mereka sambil menungguinya. Cuma ada satu kendalanya ini belum bisa kumpul jadi satu dengan anak-anak. Itu kendalanya. Ya ini masih belum pas gitu. Belum pas nya itu belum kumpul sama anak-anak, saya juga masih punya tanggungan merawat ibu, yang anak-anak masih ikut neneknya juga menunggui neneknya mungkin. Yang jadi ganjalan itu ya masih belum bisa berkumpul satu keluarga gitu. (W1.SU.II.540547) Dengan keberadaan subjek di dalam pernikahannya kini, subjek berharap ia dapat menjadi istri yang sholihah, mempunyai suami yang juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
185
baik kepadanya, subjek juga dapat mengabdi kepada suami, serta menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Berharap dapat diberikan usia yang panjang, dan hingga tua nanti dapat bersama-sama. Dengan harapan yang seperti itu, subjek akan mencapainya dengan menjalankan perannya sebagai istri yang selalu menaati suami dan bisa menyenangkan suami. Harapannya ya saya mudah-mudahan bisa menjadi istri yang sholihah, yang suami saya juga baik kepada saya, saya juga bisa mengabdi pada suami, jadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, sampai kakek-nenek, sampai tua nanti bisa berjalan baik, dan diberi umur panjang. (W1.SU.II.556-561) Pertama ya itu, selalu menaati suami. Bisa menyenangkan suami. (W1.SU.II.565-566)
E. Pembahasan Pada tahap ini peneliti menganalisis dan menerjemahkan hasil wawancara penelitian. Peneliti memasukkan hasil wawancara ke dalam kategori-kategori. Proses penafsiran dan penerjemahan ini akan peneliti lakukan dengan membandingkan, mencari hubungan sebab akibat, mencari keterkaitan antara satu kategori dengan kategori yang lain untuk mendapatkan pola hubungan antar kategori untuk kemudian mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang peneliti ajukan. Peneliti juga akan menggunakan proses membandingkan dengan teori yang tertulis dalam beberapa referensi, dan data yang terdapat dalam dokumen-dokumen pribadi yang peneliti miliki.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
186
1. Latar belakang gambaran kehidupan masa lalu sebelum pernikahan Tabel 4. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Latar Belakang Gambaran Kehidupan Masa Lalu Sebelum Pernikahan Subjek I
Subjek II
Subjek dibesarkan dalam lingkungan Orang tua subjek bercerai saat subjek keluarga berekonomi sulit. Walaupun masih kelas 2 SD. Subjek dibersarkan begitu
subjek
kekurangan
terbiasa
materi
dengan di
tersebut.
lingkungan
pedagang
yang
Ia melatihnya untuk mandiri sejak kecil.
memahami kondisi keluarganya yang Meskipun pengalaman subjek dengan seperti itu.
ibunya
hanya
sebentar
selama
Subjek dibesarkan dalam asuhan ayah sebelum kedua orang tuanya bercerai, yang tegas. Ayah subjek mengajarkan subjek memandang bahwa ibunya untuk
menerima
apa
saja
yang adalah seorang yang keras. Bila
dihadapi dan melatih subjek untuk terjadi
konflik
dengan
ibu
bersabar. Ibu subjek menerapkan kandungnya dan bila tidak sejalan asuhan disiplin. Ia diajarkan untuk dengan
aturan
mengerjakan segala sesuatu yang subjek
diberikan
memang
menjadi
ibu
kandungnya,
hukuman
fisik.
kewajibannya. Hukuman ini diberikan saat subjek
Kedisiplinan ini sering dilanggar pada melakukan kesalahan. waktu subjek masih kanak-kanak. Sementara itu ayah subjek cenderung Akan tetapi meskipun awalnya tidak pendiam dan nrimo. Begitu pula berkenan untuk mengerjakan, pada dengan ibu tiri subjek yang dirasa akhirnya subjek harus melakukan sama seperti ibu kandungnya sendiri,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
187
yang menjadi kewajibannya. Subjek oleh
karena
dibesarkan
dalam
mengakui bahwa sifat yang ada pada lingkungan seorang pedagang, subjek dirinya sekarang ini menurun dari terlatih untuk mandiri sejak kecil. sifat ibunya yang keras.Saat terjadi Untuk saat ini sifat yang menurun konflik dengan orang tuanya, subjek kepada subjek adalah dominan sifat memilih
untuk
menuruti
yang dari
ibunya
yang
tidak
mau
diarahkan oleh orang tua. Hal tersebut terkalahkan. dirasakan sebagai asuhan yang baik menurut subjek.
Meskipun latar belakang masa lalu dari masing-masing subjek berasal dari lingkungan keluarga dengan ekonomi yang berbeda, namun kedua subjek memiliki pengasuhan yang hampir sama. Pengasuhan dari ibu yang cenderung keras dan ayah yang cenderung mengajarkan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan menghasilkan trait yang disiplin dan mandiri sejak dini. Wade dan Tavris (2007) mendefinisikan trait merupakan suatu karakteristik seseorang yang menggambarkan perilaku, pemikiran, dan perasaan yang telah menjadi kebiasaan. Dalamkultur masyarakat Jawa, pengajaran untuk ikhlas menerima segala sesuatu yang didapatkannya telah ada dalam sikap “narima ing pandum” (Santosa, 2010). Pengajaran ini telah didapatkan kedua subjek dari ayah yang bersikap menerima segala sesuatu yang ada.Pernyataan Hurlock (1980) yang sejalan dilakukan kedua subjek, bahwa pelanggaran yang paling umum dilakukan anak-anak antara lain adalah malas melakukan kegiatan rutin dan melalaikan tanggung jawab. Kedua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
188
subjek mempunyai tanggung jawab terhadap tugas yang harus dilakukannya. Di dalam masyarakat Jawa, seluruh kegiatan yang terjadi dalam satu keluarga diharapkan untuk saling mengerti keadaan, yakni “susah padha susah, seneng padha seneng, eling padha eling” (Santosa, 2010). Ajaran ini juga sejalan dengan rutinitas dan tugas yang harus dilakukan kedua subjek terkait dengan aktivitas seluruh anggota keluarga. Saat seluruh anggota keluarga melakukan aktivitas kegiatan yang menjadi tugas mereka, kedua subjek juga diarahkan untuk terbiasa menjalankan kewajibannya. Kewajiban yang harus dilakukan oleh Subjek I dan hukuman yang diberikan ibu kepada subjek apabila ia bersalah diberikan secara konsisten. Konsistensi, seperti yang dijelaskan oleh Hurlock (1980) merupakan kedisiplinan yang dapat dibiasakan pada anak – yang benar hari ini maka besok juga benar, sedang perbuatan yang salah harus mendapatkan hukuman yang sama bila perbuatan itu setiap kali diulang. Keketatan pengaturan yang mengharuskan subjek mematuhi aturan yang diterapkan orang tua membuat kedua subjek terbiasa dengan aturan-aturan itu dan mengintegrasikannya ke dalam perilaku mereka yang dapat mengatur dirinya sendiri. Pengasuhan orang tua kedua subjek inilah yang mendorong subjek untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial di masa berikutnya (Hurlock, 1980). Pengakuan kedua subjek yang mengutarakan bahwa pengajaran yang diberikan oleh kedua orang tua mereka merupakan ajaran yang baik sejalan dengan nasihat kehidupan dalam masyarakat Jawa, yakni “mikul dhuwur mendem jero” (Santosa, 2010). Nasihat ini mengajarkan bahwa setiap anak diharapkan dapat menghormati orang tua setinggi-tingginya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
189
dan mengubur dalam-dalam kesalahan orang tuanya. Meskipun kedua subjek merasa perlakuan dari ibu mereka dirasakan keras, namun mereka tetap mengatakan bahwa asuhan orang tua baik untuk kehidupannya di masa mendatang. 2. Arti pernikahan Tabel 5. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Arti Pernikahan Subjek I Subjek
memandang
Subjek II arti
dari Subjek memandang arti pernikahan
pernikahan adalah sesuatu yang sakral menurutnya
adalah
untuk
semua
dihadapan tuhan. Bila ia dapat untuk umat. Arti pernikahan menurut subjek melakukannya, subjek berharap ia adalah adanya rasa kasih sayang dan hanya melakukan pernikahan sekali rasa cinta. Dengan pernikahan dapat saja seumur hidupnya karena takut membangun dengan
adanya
kehadiran
rumah
tangga.
Tuhan Kebahagiaan akan menjadi semakin
dalam pernikahannya.
lengkap apabila dalam pernikahan dikaruniai keturunan.
Subjek I memandang pernikahan sebagai sesuatu yang sakral di hadapan Tuhannya. Dengan adanya pandangan seperti itu, ia berharap menjalinpernikahan untuk sekali dalam hidupnya. Pandangan Subjek I mengenai
keberlangsungan
dengan
adanya
kehadiran
Tuhan
dalam
pernikahannya sejalan dengan nasihat Jawa “eling sangkan paraning dumadi” (Santosa, 2010). Nasihat Jawa ini memaknai bahwa setiap tindakan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
190
dilakukan oleh manusia terdapat tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Subjek menggambarkan sebuah pernikahan adalah sesuatu yang
agung karena ada kehadiran Tuhan di dalamnya. Maka dari itu, Subjek I berharap ia dapat menjalani pernikahan hanya sekali dalam hidupnya dan mampu mempertahankannya.Berbeda dengan Subjek I, Subjek II memandang arti pernikahan adalah hadirnya perasaan cinta dan kasih sayang untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Pernyataan dari kedua subjek ini terangkum dalam definisi pernikahan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1, yakni perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Subjek I menggambarkan pernikahan adalah sesuatu yang sakral karena ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa subjek menginginkan pernikahannya kekal dengan adanya kehadiran Tuhan. Sedangkan definisi pernikahan menurut Subjek II memfokuskan pada aspek kebahagiaan yang diperoleh karena terbentuknya perasaan cinta dan kasih sayang. Pemahaman dari Subjek II ini hampir serupa dengan filosofi ajaran Jawa “rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” (Santosa, 2010). Kerukunan yang disebut dalam istilah Jawa tersebut diartikan Subjek II dengan adanya perasaan cinta kasih yang dipupuk terus-menerus; sedang kebahagiaan merupakan hal yang akan diperoleh apabila perasaan cinta kasih itu dilakukan secara kontinyu dan dapat melanggengkan biduk rumah tangga yang akan ia bina bersama suaminya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
191
Meskipun terdapat perbedaan pemahaman mengenai pernikahan, kedua subjek terlihat menggunakan konsep berpikir kognitif orang dewasa lainnya. Labouvie-Vief (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa cara berpikir kognitif orang dewasa memasuki fase pragmatis dimana sesuatu yang dipikirkan bersifat praktis dan berguna bagi umum. Definisi pernikahan menurut kedua subjek digeneralisasikan kegunaannya secara umum. Nilai kepraktisan itu terlihat dari pernyataan Subjek I yang mengutarakan bahwa definisi pernikahan adalah untuk sekali seumur hidup, sedangkan menurut Subjek II dengan jalan pernikahanlah maka seseorang dapat membangun rumah tangganya.
3. Pandangan tentang peran suami dan istri dalam rumah tangga. Tabel 6. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Pandangan Tentang Peran Suami Dan Istri Dalam Rumah Tangga Subjek I
Subjek II
Dalam menjalankan perannya sebagai Peran istri menurut subjek adalah istri, subjek memandang peran istri subjek
berupaya
untuk
adalah mempersiapkan segala sesuatu menyenangkan hati suami. Sedang yang menjadi kebutuhan dalam rumah peran suami menurut subjek adalah tangga. Sedangkan menurutnya peran untuk sebagai suami adalah bertanggung menjadi jawab
dan
mengayomi
memimpin kepala
keluarga. bertanggung
keluarga, keluarga
jawab.
dan yang
Dalam
Untuk menjalankan sebuah rumah menjalankan pernikahan, suami-istri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
192
tangga, suami istri harus saling harus
saling
menghargai,
saling
melengkapi kebutuhan satu dengan mengerti, dan percaya. yang lain.
Dari pengertian yang diutarakan kedua subjek, masing-masing mempunyai gambaran mengenai bagaimana peran suami dan istri dalam menjalankan pernikahan. Subjek I menggambarkan peran istri adalah untuk melayani suami. Begitu pula dengan peran suami menurut Subjek I adalah bertanggung
jawab
dan
mengayomi
keluarganya.
Dengan
demikian
keharmonisan suatu rumah tangga terlihat dari kewajiban seseorang yang dapat melengkapi pasangannya. Pemahaman pandangan Subjek I ini seperti istilah dalam kebudayaan Jawa “rumangsa melu handarbeni, wajib hangrungkebi” (Santosa, 2010). Istilah tersebut berarti suami istri harus saling merasa memiliki dan wajib untuk membela untuk mempertahankan pernikahannya. Dari sinilah Subjek I memiliki pandangan bahwasanya suami harus mempunyai andil untuk menjadi pemimpin yang mengayomi dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Istilah “mengayomi” di sini ialah bersedia
untuk
mendengarkan
dan
mempersilahkan
subjek
untuk
mengutarakan pendapatnya. Subjek I berpandangan bahwa suami dan istri harus saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Pendapat ini sesuai dengan istilah dalam budaya Jawa “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga” (Santosa, 2010). Istilah ini mengacu pada suatu keharmonisan sesuai dengan tugas dan kewajiban masing-masing. Sedikit berbeda dengan Subjek I, Subjek II mengedepankan peran istri yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
193
memberikan pandangan secara tak terlihat. Bila Subjek I memfokuskan pandangannya pada tindakan yang dapat diaplikasikan secara langsung, Subjek II berfokus pada peran istri yang detil untuk memperoleh kebahagiaan dia dan pasangan. Bila melihat penerapannya pada peran suami dan istri dalam kultur budaya Jawa, Subjek II memfokuskan diri pada tindakan ber-“tepa selira” (Santosa, 2010). Tindakan tepa selira ini mengacu pada perbuatan tenggang rasa untuk memahami yang dilakukan oleh orang lain. Dengan adanya perbuatan tepa selira ini, Subjek II berharap ia dan suami dapat menjalankan peran masing-masing dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan perkembangan kognitif kedua subjek mengenai peran suami istri yang sejalan dengan pemikiran teori kognitif dari Schaie. Schaie (dalam Santrock, 2002) menjelaskan pada masa dewasa terdapat sebuah fase yang melibatkan tanggung jawab sosial. Fase tanggung jawab merupakan fase yang terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan keturunan. Pada gambaran mereka mengenai peran suami istri dalam rumah tangga, fase tanggung jawab ini sudah terlihat. Berkaitan dengan fase tanggung jawab dari Schaie tersebut, Subjek I memaparkan gambaran perannya sebagai istri yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga yang dilakukannya, sedang peran suami adalah membantunya dalam memperlancar pekerjaan istri. Hal ini sependapat dengan Szinovacz (dalam Santrock, 2002), yakni sebagian besar perempuan dan laki-laki setuju bahwa perempuan seharusnya bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan laki-laki seharusnya membantu. Subjek I yang mempunyai kebutuhan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
194
didengar dan menyampaikan pendapatnya membutuhkan tanggapan dan kesediaan suami untuk memberikan ruang untuknya.
4. Latar belakang gambaran pernikahan sebelumnya Tabel 7. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Latar Belakang Gambaran Pernikahan Sebelumnya Subjek I
Subjek II
Berawal dari ketertarikan dan muncul Subjek dan suami pertama masih perasaan suka pada masing-masing, mempunyai hubungan keluarga jauh. pernikahan subjek dengan suami Walaupun
tidak
disetujui
oleh
pertama direstui kedua orang tua dan keluarga, oleh karena subjek dan terjalinnya ikatan lamaran. Setelah suami pertama subjek sama-sama lamaran,
suami
pertama
subjek jatuh hati dan subjek juga telah
merantau ke Kalimantan. Komunikasi mempunyai antarpasangan saat itu adalah melalui subjek berkirim surat.
menikah.
dan
pendapatan,
akhirnya
suami
pertamanya
Apabila
terdapat
Setelah menikah subjek dan suami permasalahan, keduanya mengatasi pertama merantau ke kota besar dengan cara meredam permasalahan karena pekerjaan suami.
terlebih dahulu dengan diam dan
Meskipun subjek berkeinginan untuk setelah itu akhirnya mereka dapat bekerja
setelah
menikah,
suami berdamai kembali.
pertama subjek tidak mengijinkan Subjek memandang suaminya adalah subjek untuk bekerja dan subjek orang yang santai, dan tidak ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
195
akhirnya
menurut.
memandang
Subjek beban. Karena subjek suka kepada
dahulu
suami suaminya,
subjek
menilai
suami
pertamanya adalah seorang yang baik pertamanya itu dari sisi baik semua. dan memelihara keluarganya, serta Pada awal pernikahan baru memang tidak pernah main tangan apabila subjek merasa muncul kecemburuan terjadi
konflik
dengan
subjek. terhadap suami pertamanya. Akan
Sewaktu terjadi konflik, subjek dan tetapi setelah ia menyadari bahwa suami
pertama
cenderung
merenungkan
kesalahan
masing
tidak
meminta
dan
maaf
masing- sendiri,
segan
ketika
untuk cemburu tidak baik untuk dirinya
untuk memberikan
juga
belajar
untuk
kepercayaan
kepada
menyadari pasangan.
kesalahannya. Subjek
subjek
Kunci
mereka
mempertahankan pernikahan adalah memandang
suami dengan adanya saling percaya dan
sebagai seorang yang ulet dan tidak saling mengalah. kenal lelah untuk mencari uang. Dalam
menjalankan
pernikahan,
subjek
memberikan
kepercayaan
kepada suami dan tidak ada perasaan curiga sedikitpun.
Pernikahan pertama Subjek I didasarkan atas perasaan saling menyukai dan berlangsung dengan persetujuan dari pihak kedua orang tua pasangan. Meskipun Subjek II tidak mendapatkan persetujuan orang tua pada awalnya, Subjek II dan suami pertamanya menikah atas dasar saling menyukai. Ellen
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
196
Berscheid (dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa cinta yang bergairah adalah alasan utama seseorang untuk menikah. Cinta semacam ini berawal dari sebuah perasaan ketika orang mengatakan “jatuh cinta”. Pendapat Berscheid tersebut sejalan dengan proses awal mula pernikahan masingmasing subjek. Dalam istilah Jawa, kebiasaan berkomunikasi yang menumbuhkan perasaan cinta antara subjek dan suami sebelum menikah diistilahkan dalam kata “witing tresno jalaran soko kulino”, yakni asal mula dari perasaan suka bersumber dari kebiasaan (Santosa, 2010). Keadaan ini dialami oleh kedua subjek: Subjek I menjalin komunikasi dengan intens berkirim surat, sedang Subjek II dan suami sudah terbiasa bertemu dan berinteraksi. Dalam menjalankan rumah tangganya, meskipun Subjek I memiliki keinginan untuk bekerja, namun ia memutuskan untuk tidak bekerja atas dasar menuruti perintah suami untuk mengurusi rumah tangganya. Istilah Jawa yang tepat untuk menggambarkan keadaan ini adalah bahwa Subjek I merupakan “kanca wingking” bagi suaminya. Artinya, istri adalah teman yang berada di belakang suaminya, yang mengekor di belakang suami dan mendukung segala usaha suami dari belakang. Janis dan Mann (1977) mengungkapkan jenis konsekuensi
yang
dipertimbangkannya
merupakan
jenis
konsekuensi
utilitarian gains for others. Konsekuensi yang dipilih Subjek I ini cenderung mengabaikan keinginan pribadi untuk kesejahteraan keluarga yang lebih dipentingkannya. Dari keputusannya untuk menjadi ibu rumah tangga, pernikahan Subjek I dengan suami pertama merujuk pada konsep pernikahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
197
tradisional. Hurlock (2002) menjelaskan bahwa konsep peran istri tradisional adalah peran sebagai pengatur rumah tangga. Konsep ini menekankan suatu pola perilaku tertentu yang tidak memperhitungkan minat dan kemampuan individual. Peran-peran semacam ini menekankan superioritas maskulin. Subjek tidak diharapkan bekerja di luar rumah, kecuali bilamana keadaan finansial memaksanya. Kondisi yang dihadapi oleh Subjek I ini dalam istilah Jawa dikatakan dalam istilah “macak, manak, masak”, yakni tugas perempuan setelah menikah adalah seputar bersolek untuk menyenangkan suami, melahirkan dan merawat anak, dan menyediakan hidangan untuk keluarga. Sebaliknya, Subjek II terlihat menerapkan konsep pernikahan egalitarian. Hurlock (2002) menjelaskan bahwa konsep ini menerapkan persamaan derajat antara suami dan istri. Di rumah ataupun di luar rumah subjek mendapatkan kesempatan mengaktualisasikan potensinya dengan bekerja. Meskipun terdapat istilah “kanca wingking” yang tepat untuk menggambarkan Subjek I, pada Subjek II juga terdapat istilah Jawa yang dianutnya, yakni “Sapa ubet bakal ngliwet” (Santosa, 2010). Maknanya bahwa orang-orang yang berusaha dan bekerjalah yang dapat mencapai kesuksesannya dan dapat menikmati hasil usahanya. Sewaktu terjadi pertengkaran dengan pasangan, Subjek I dan II mengatasi pertengkaran yang terjadi dengan diam. Setelah beberapa lama tidak saling bicara, konflik dalam rumah tangga dapat terselesaikan dengan sendirinya. Buruknya komunikasi ini dijelaskan oleh DeVito (1997) sebagai aktivitas menarik diri dari situasi konflik yang ada. DeVito menjelaskan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
198
penarikan diri secara verbal dapat dilihat dari keengganan tiap-tiap pihak untuk saling berbicara dan mendengarkan dan komunikasi hanya dilakukan seperlunya saja. Selanjutnya dari munculnya konflik yang ada, manajemen konflik yang digunakan pasangan kurang produktif, salah satunya yakni penghindaran (DeVito, 1997). Dalam penghindaran, seseorang yang berada dalam situasi konflik cenderung untuk meninggalkan tempat konflik. Salahsatu istilah Jawa yang mirip dengan situasi konflik seperti kedua subjek adalah bahwa “Wong Jawa nggone semu” (Sarosa, 2010). Maksudnya adalah bahwa orang Jawa lebih sering melakukan tindakan secara terselubung atau samar. Ketika mereka berkonflik, hanya pihak yang terlibatlah yang mengetahui adanya konflik, sedangkan orang lain cenderung tidak sampai mengetahui. Kepribadian masyarakat Jawa yang lebih samar dalam mengungkapkan sesuatu membuat konflik yang terjadi menjadi peredam konflik agar tidak timbul ke permukaan namun juga kurang baik untuk diterapkan secara keseluruhan karena akan menjadikan situasi konflik semakin lama terselesaikan. Yang menjadi lain adalah saat Subjek I menyadari kesalahannya, ia kemudian meminta maaf terlebih dahulu, sedang Subjek II cenderung untuk diam dan tidak mau mengalah terlebih dahulu.Subjek I mengatasi konflik dengan pasangan menggunakan strategi manajemen konflik “Langsung dan Spesifik” (DeVito, 1997). Strategi manajemen konflik ini berpusat pada permasalahan yang terlihat dan menurunkan konflik dengan langsung meminta maaf.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
199
Untuk menjaga agar rumah tangga tetap berlangsung, masing-masing subjek menerapkan prinsip kepercayaan kepada pasangan. Hurlock (1980) menjelaskan masalah penyesuaian keluarga baru yang paling pokok adalah penyesuaian diri dengan pasangan. Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara suami dan istri yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian wawasan sosial yang telah mereka kembangkan, dan semakin besar kemauan mereka untuk bekerja sama dengan sesamanya, serta semakin baik mereka menyesuaikan diri satu sama lain dalam perkawinan. Penyesuaian semacam ini telah timbul pada Subjek I karena pengalaman membina komunikasi di masa lalu sebelum pernikahan. Hubungan jarak jauh dan
kelancaran
komunikasi
merupakan
awal
subjek
menyingkirkan
kecurigaan kepada suami pertama. Begitu pula dengan Subjek II yang pada akhirnya dapat menyesuaikan diri untuk memberikan kepercayaan kepada suami. Pengalaman mengenai permasalahan kecemburuan yang menyebabkan kerugian pada dirinya sendiri membuat subjek belajar menyesuaikan diri dengan pola hubungan yang baru yakni memberikan kepercayaan. Selain itu, perlahan seiring berjalannya pernikahan pertamanya, Subjek II memperoleh sebuah kesimpulan yang dianutnya dari nasihat orang Jawa jaman dahulu, bahwa “suami bila di rumah adalah milik istri, namun saat di luar adalah lelaki
yang
bebas”.
Dengan
terbentuknya
pengertian
ini
dalam
pemahamannya, Subjek II berhasil membentuk sikap pasrah dan mampu mengurangi rasa cemburunya terhadap suami. Dari serangkaian pengalaman yang didapatkan Subjek II bersama suami pertamanya, ia merasa bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
200
kebutuhan akan rasa cinta yang dimiliki terus dapat dirasakan oleh subjek selama dalam pernikahannya. Esensi dalam cinta itu sendiri terdapat komponen-komponen yang membentuknya, yakni: trust (saling percaya), fillin (saling mengisi), appreciate (mengapresiasi), sacrifice (pengorbanan). Pada Subjek II, seluruh komponen cinta ini berhasil dimaknai untuk tetap dapat mempertahankan rumah tangga dengan terpenuhinya kebutuhan saling mencintai itu dengan pasangan.
5. Gambaran kehidupan saat menjanda Tabel 8. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Gambaran Kehidupan Saat Menjanda Subjek I
Subjek II
Saat itu subjek memang belum resmi Suami subjek sejak dulu mempunyai bercerai dan menjadi janda. Bermula penyakit tekanan darah tinggi akan saat suami pertama subjek meminta tetapi suami pertamanya itu tidak ijin kepada subjek untuk menikah lagi pernah memeriksakan penyakitnya itu dan
memadu
subjek
dengan ke
dokter.
Suami
subjek
tetap
perempuan lain. Akan tetapi karena menjalankan aktivitas seperti biasa. tidak ingin suaminya menikah lagi, Sewaktu subjek meminta suami pertamanya dirawat
suami di
pertama
rumah
sakit,
subjek subjek
untuk memilih antara dirinya dan berusaha melakukan yang terbaik anak-anaknya atau perempuan lain yang dapat ia lakukan. Akan tetapi itu. Hingga akhirnya subjek dan anak- saat subjek telah berupaya segala
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
201
anaknya dipulangkan ke kampung sesuatunya, suami pertama subjek halaman. Subjek merasa sakit hati akhirnya meninggal. kala suaminya menginginkan untuk Saat ditinggal mati suami pertama, menikah lagi. Subjek membayangkan subjek merasa tidak dapat berpikir hidupnya tidak akan bahagia apabila apa-apa. Subjek masih merasakan ada perempuan lain di dalam rumah bahwa suaminya seolah-olah masih tangganya. Maka dari itu subjek hidup. Subjek merasa bahwa ia tak memutuskan untuk hidup sendiri.
dapat lagi melanjutkan kehidupannya.
Di kampung halamannya, subjek Kondisi subjek lemah saat dalam tidak
diberikan
kejelasan
status masa berduka itu. ditambah lagi
selama bertahun-tahun. Status subjek kondisi mertua saat sebelum suami digantung suaminya. Suami subjek subjek meninggal sudah sakit-sakitan tidak terlihat perubahan hingga subjek yang menjadi tanggungan subjek. berinisiatif
untuk
memproses Sesudah melewati masa berduka,
perceraian mereka.
subjek
kembali
bangkit
dan
Dalam masa digantung itu, subjek memikirkan tentang masa depannya mencari nafkah untuk dia dan anak- dan anak-anaknya. Karena subjek anaknya sendiri. Oleh karena orang memiliki
pendapatan
sendiri,
tua subjek tidak merestui subjek permasalahan ekonomi tidak menjadi untuk bekerja di kota besar, subjek beban. akhirnya
bekerja
seadanya
Akan
tetapi
di mendapatkan stigma
subjek
negatif dari
kampung halamannya hingga ia dapat lingkungan sekitar. Subjek diberikan pekerjaan
dari
saudagar
kenalan label “janda” yang membuat subjek
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
202
keluarganya sebagai PRT di rumah sakit hati saat mendengarnya. Subjek anak saudagar tersebut.
merasa tidak bebas keluar rumah
Dukungan dari keluarganya tetap karena diperolehnya
dengan
membesarkan
hati
mencarikan
subjek
juga
dimonitor
cara keluarganya. Perawatan orang tua
subjek
dan yang sakit dan sudah lanjut usia juga
beberapa menjadi
pekerjaan di sawah.
untuk
permasalahan subjek.
Selain
Saat subjek mengeluh, ia mengeluh mengaku
masih
kepada tuhannya saja karena ia tidak pemenuhan
hubungan
ingin
anak-anaknya
oleh
tersendiri itu
subjek
membutuhkan seks
yang
merasakan hanya bisa ia dapatkan ketika dalam
kesedihannya dan tidak percaya orang pernikahan. lain sebagai tempatnya bercerita. Sewaktu ditinggal mati suaminya, Subjek membutuhkan adanya sosok subjek merasa tidak ada orang lain suami yang dapat berperan sebagai yang membantunya. Hanya anakayah untuk anak-anaknya. Subjek anaknya yang memberikan penguatan merasa kasihan apabila melihat anak- kepadanya. anaknya yang tidak mempunyai ayah. Setelah tujuh tahun hidup tanpa Akan tetapi hingga saat ini subjek pasangan, akhirnya subjek merasa tetap mempunyai perasaan bangga kesepian karena ditinggal oleh anakkarena
telah
mampu
untuk anaknya yang telah berumah tangga
menyekolahkan anak-anaknya dengan sendiri. usahanya sendiri.
subjek
berpikir
bila
ia
menikah tentunya akan mempunyai teman lagi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
203
Perpisahan Subjek I dengan suami pertama disebabkan oleh perceraian. Subjek yang tidak rela untuk dimadu kemudian memberikan pilihan kepada suaminya untuk memilih antara dirinya atau perempuan yang hadir dalam rumah tangganya. Dalam budaya masyarakat Jawa, situasi yang dialami oleh Subjek I tepat dengan istilah “Rila lamun ketaman, kelangan nora gegetun” (Santosa, 2010). Maksud istilah tersebut adalah bahwa Subjek I rela untuk berhadapan dan menjalani perpisahan dengan suami dengan pertimbangan yang telah ia pikirkan, juga menghadapi situasi kehilangan sosok peran suami namun tidak ada penyesalan ketika konflik yang ia hadapi seperti itu. Konsekuensi yang digunakan untuk memberikan suaminya pilihan merupakan bentuk konsekuensi utilitarian gains and losses for self, (Janis dan Mann, 1977) yang mana pilihan yang diberikan setidaknya memberikan keuntungan untuk diri subjek dan anak-anaknya meskipun selanjutnya akan ada kesulitankesulitan setelah terjadinya perpisahan. Oleh karena subjek tidak mempunyai pekerjaan setelah berpisah dari suami pertama, permasalahan ekonomi menjadi masalah utama yang dihadapi Subjek I. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi seorang janda setelah menikah adalah masalah ekonomi. Hurlock (1980) mengutarakan apabila wanita tidak mempunyai keterampilan, mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil. Pendapat Hurlock tersebut nampaknya yang dialami oleh Subjek I. Setelah ia berpisah dari suaminya, Subjek I kembali ke rumah orang tuanya dan memulai hidup di sana kembali. Subjek I bersungguh-sungguh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
204
dalam bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dalam masyarakat Jawa, perjuangan Subjek I untuk mencari penghasilan diibaratkan dengan istilah “Suku jaja teken janggut” (Sarosa, 2010). Ia bekerja keras apa saja karena tidak mempunyai pilihan lain juga karena tidak mempunyai keterampilan apapun. Perjuangan hidup untuk mencari nafkah yang dilakukan Subjek I terkait dengan istilah Jawa di atas yakni bahwasanya Subjek I bekerja keras sampai-sampai tidak memperhatikan kondisinya sendiri. Dalam budaya masyarakat Jawa, Subjek I mempercayai bahwa “Gusti Allah mboten sare” (Santosa, 2010). Keyakinan bahwa ada tuhan yang akan selalu membantunya asal ia bekerja dengan giat dan cara yang halal tidak akan diabaikan oleh tuhannya. Fokus subjek untuk mencari uang dan penguatan diri memperoleh dukungan dari keluarganya yakni dibantunya subjek dalam pekerjaan dan penguatan mentalnya. Berbeda dengan Subjek I, kehilangan pasangan karena kematian pada Subjek II mengakibatkan munculnya perasaan berduka yang mendalam. Hal ini sependapat dengan Hurlock (1980) bahwa kematian pasangan karena kematian menyebabkan rasa duka cita yang amat selama jangka waktu tertentu. Subjek merasa lemah dan mengandai bila ia dapat meminta suaminya hidup kembali. Yang dilakukan subjek ini merupakan mekanisme pertahanan diri jenis denial, yakni suatu keadaan dengan menolak kenyataan, menolak stimulus/persepsi realistik yang tidak menyenangkan dengan menghilangkan atau mengganti persepsi itu dengan fantasi atau halusinasi. Lebih lanjut Covey (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan bahwa periode duka pada masa ini dibagi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
205
menjadi 4 tahap, yakni: hilangnya semangat hidup apabila seseorang tidak sanggup menerima kenyataan atas kematian satu-satunya yang dicintai; kemudian hidup merana yang ditandai dengan usaha untuk terus mengenang masa silam dan ingin sekali untuk melanjutkannya; kondisi depresi karena kesadaran bahwa suaminya telah tiada; hingga beralih pada tahap bangkit kembali ke masa biasa ia telah menerima dengan rela kematian suami yang dicintai dan mencoba membangun pola hidup baru dengan berbagai minat dan aktivitas untuk mengisi kekosongan. Pada tahap terakhir ini diperoleh subjek setelah 100 hari kematian suami pertama, bahwa subjek harus memikirkan tentang masa depannya dan anak-anaknya. Subjek
I
mengatakan
bahwa
ia
hanya
mengeluhkan
segala
permasalahan yang menimpa dirinya kepada Tuhannya saja.Subjek I tidak mempercayai orang lain untuk berbagi mengenai permasalahan pribadinya. Orang Jawa memakai istilah “Kayu watu bisa krungu, suket godhong nduwe mata” (Sarosa, 2010). Istilah ini bermakna bahwa setiap hal disekitarnya dapat mengetahui apapun yang dialaminya. Permasalahan yang merupakan aib bagi dirinya Subjek I rasakan sendiri tanpa berbagi agar dapat mengurangi rasa beban hidupnya. Ia bertindak dan berkata dengan hati-hati. Hal yang dilakukan Subjek I ini merupakan bagian daricoping stress. Lazarus (dalam Sarafino, 1997) mendefinisikan coping sebagai suatu cara individu untuk mengatasi situasi atau masalah yang dialami baik sebagai ancaman atau suatu tantangan yang menyakitkan. Coping yang dilakukan Subjek I ini adalah emotion-focused coping, yakni ketika seseorang melibatkan usaha-usaha untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
206
mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Subjek I melakukan coping berfokus emosi ini dengan religi, dimana subjek meluapkan emosi yang ada dalam hatinya kepada tuhannya. Pencapaian hal yang dapat membuat bangga diri Subjek I ialah mengenai dirinya yang dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SMA. Jerih usaha yang dia lakukan tanpa dukungan dari suami mencapai suatu keberhasilan yang membanggakannya. Baron dan Byrne (2004) menjelaskan bahwa harga diri merupakan sebuah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, yakni sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi negatif-positif. Evaluasi yang dilakukan Subjek I terhadap pencapaiannya ini membuat subjek mempunyai harga diri yang positif terhadap dirinya. Pandangan peran suami menurut Subjek I yang berkewajiban untuk mengayomi dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya membuat subjek merasa bahwa suami sudah selayaknya berbuat demikian tanpa diminta atau dituntut oleh istri. Maka, ketika pengharapan akan peran suami yang demikian tidak didapatkannya yang tercermin ketika ia merasa kurang cukup diberi nafkah selama masa perpisahan itu, Subjek I tidak merasa harus berjuang agar tetap dinafkahi secara cukup. Selain permasalahan keuangan yang biasa dialami oleh seorang janda, permasalahan lain yang biasa ditemukan adalah adanya kebutuhan untuk mempunyai pasangan kembali dengan berbagai sebab yang mendasarinya. Meskipun keinginan untuk menikah lagi belum dirasakan Subjek I sewaktu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
207
itu, namun ia menginginkan adanya sosok pasangan yang dapat menjadi ayah untuk anak-anaknya. Ia mempertimbangkan kebutuhan anak-anaknya. Permasalahan seputar kebutuhan untuk mempunyai pasangan juga dialami oleh Subjek II yang merasa kesepian karena ditinggal anak-anaknya berumah tangga sendiri. perasaan kesepian itu disebabkan oleh kebutuhan Subjek II akan adanya rasa cinta dari suami yang menemaninya hilang ketika suaminya tiada. Keadaan Subjek II ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1980), yakni hilangnya pasangan karena kematian atau perceraian menyebabkan sebagian besar orang cenderung merasa kesepian dan merasa bahwa status kesendiriannya tidak menyenangkan. 6. Hubungan dengan lawan jenis Tabel 9. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Hubungan Dengan Lawan Jenis Subjek I
Subjek II
Mengenai hubungan dengan lawan Dalam
rentang
masa
menjanda,
jenis, subjek berpendapat bahwa bila subjek pernah disukai oleh seseorang. ia benar, subjek dapat berkomunikasi Tapi secara bebas dengan lawan jenis. Sebelum
bertemu
dengan
karena
subjek
belum
ada
keinginan untuk menikah lagi, subjek
suami memilih untuk tidak menanggapinya.
kedua, dalam rentang waktu yang Sewaktu
ada
seseorang
yang
berbeda subjek pernah diminta dua menyukai dirinya, subjek bermimpi laki-laki untuk menjadi istrinya. Akan suaminya datang melalui mimpi yang tetapi
karena
subjek
belum seolah nyata bertemu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
208
mempunyai keinginan untuk menikah lagi karena trauma dengan pernikahan pertama dan tidak ada persetujuan dari ibu subjek, maka ia menolak ajakan dua laki-laki itu.
Kedua subjek mengutarakan bahwa awalnya masing-masing subjek tidak berkeinginan untuk menikah lagi karena trauma sebab perpisahan dengan pasangan. Hurlock (1980) menjelaskan bahwa efek traumatik dari perceraian menimbulkan rasa sakit dan tekanan emosional. Hal ini yang dialami oleh Subjek I sehingga menyebabkan keengganan untuk menikah lagi. Sedang pada Subjek II bahwa 3 tahap periode duka yang dipaparkan Covey (dalam Hurlock, 1980) diatas menyebabkan wanita janda yang ditinggal mati suaminya merasa belum mempunyai keinginan untuk menjalin pernikahan lagi. Lebih lanjut, Subjek II yang merasa belum ingin menikah lagi ini mengarahkan dirinya kepada satu mekanisme pertahanan diri yang mana dirinya merasa sang suami mendatangi dia lewat mimpi. Mekanisme pertahanan diri ini dijelaskan Freud (dalam Alwisol, 2008) sebagai mekanisme pertahanan substitusi berupa keadaan keengganan dirinya untuk menikah lagi merasa didukung oleh perasaan hadirnya suami pertama lewat mimpi. Sehingga penolakan untuk menikah lagi pada Subjek II dikuatkan oleh adanya mimpinya itu. Pengalaman yang berujung trauma yang dialami oleh kedua subjek
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
209
dijelaskan dalam pemaparan William dan Yule (dalam Joseph dan Linley, 2008) bahwa: a. Siklus posttraumatic stress bermula dari kehadiran kejadian traumatis yang merupakan dasar dari event cognition, yakni representasi mengenai kejadian traumatis baik secara disadari dan tidak disadari. Subjek yang mengalami
perpisahan
karena
perselingkuhan
suami
selanjutnya
mengalami perjalanan hidup yang berat dengan bekerja ekstra untuk membiayai dirinya dan anak-anaknya. Hal yang mungkin tidak disadari oleh Subjek I adalah bahwa dalam perpisahan itu ia tak mendapatkan lagi sosok suami dengan peran ideal menurutnya. Pada Subjek II, event cognition yang menjadi penyebab timbulnya stres ialah kematian suami yang tidak ia duga sebelumnya. Setelah kepergian sang suami, Subjek II kehilangan peran suami yang mencintai dan memilikinya. b. Berdasarkan event cognition, mekanisme penilaian berjalan. Mekanisme penilaian dapat terbentuk berupa pemrosesan kognitif yang terkontrol dengan sadar atau berupa pemrosesan otomatis yang menunjukkan kebutuhan untuk pemrosesan kognitif-emosi. Kecepatan dan kedalaman pemrosesan
kognitif-emosi
juga
dipengaruhi
oleh
kepribadian,
representasi memori, serta lingkungan sosialnya. Setelah memasuki masa bangkit, kedua subjek kembali melanjutkan kehidupannya dengan dibarengi logika agar hidup mereka harus tetap berjalan tanpa adanya peran suami. Pengalaman yang tidak mengenakkan dimasa lalu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
210
berhubungan dengan pasangan menjadikan kedua subjek tidak ada keinginan untuk menikah lagi. c. Proses penilaian akan selalu dipengaruhi oleh kondisi emosi yang tertekan, sehingga proses akan mengarahkan individu untuk terlibat ke dalam coping guna mengelola kondisi emosi dan memahami pengalaman traumatis yang terjadi. Coping stress yang akhirnya mereka lakukan adalah dengan berdoa kepada Tuhan agar kedua subjek diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan. Selain itu, pada Subjek I karena dirinya masih terjebak pada pemenuhan finansial untuk menjalani kehidupan, ia memfokuskan diri untuk bekerja sebisa mungkin. Sedangkan Subjek II memfokuskan diri untuk membiayai sekolah anak-anaknya hingga selesai, serta dengan melakukan coping menghadirkan sosok suami yang dicintainya sewaktu ia menghadapi situasi yang berkenaan dengan pasangan hidup sewaktu dirinya belum mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan kembali setelah kepergian suaminya. Kaplan dan Sadock (2007) menjelaskan kriteria diagnostik untuk ganguan stres pascatraumatik: a. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian trauatik dimana kedua dari berikut ini terdapat: 1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
211
2) Respon orang terseebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror. b. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut: 1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. 2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. 3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali. 4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. c. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. 2) Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. 3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
212
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna. 5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain. 6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta). 7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan yang normal). d. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut ini: 1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur 2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan 3) Sulit berkonsentrasi 4) Kewaspadaan berlebihan 5) Respon kejut yang berlebihan e. Lama gangguan (gejalan dalam kriteria B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan. f. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Meskipun tidak semua kriteria ini terlihat pada diri kedua subjek, namun dari kriteria tersebut terlihat bahwa kedua subjek mempunyai kecenderungan perilaku untuk mengarah pada gangguan stress pascatraumatik tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
213
7. Interaksi dengan pasangan Tabel 10. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Interaksi Dengan Pasangan Subjek I
Subjek II
Bermula dari teman kerja subjek Berawal dari salah menghubungi memberitahu
subjek
bahwa
ada nomor
telepon,
akhirnya
subjek
seorang lelaki yang ingin menjadikan berkomunikasi dengan suami kedua subjek sebagai istrinya. Di lain hari melalui telepon genggam dengan subjek dan suami kedua subjek berbalas SMS yang berlanjut dengan bertemu dalam jarak yang cukup jauh mengobrol
melalui
telepon
dan
karena suami kedua subjek saat itu berkenalan langsung saat suami kedua ingin melihat sosok subjek. Saat itu subjek berkunjung untuk bertamu ke pula subjek baru mengetahui sosok rumah subjek. Sikap suami kedua suami kedua subjek. Setelah itu suami dirasa subjek dapat menjadi orang tua kedua subjek dan teman kerja subjek yang dapat mengayomi anak dan itu menemui majikan subjek untuk cucu-cucunya. meminta
ijin
agar
subjek Hingga ketika akhirnya subjek dan
diperkenankan untuk berumah tangga suami kedua pergi ke rumah makan, lagi. Setelah
suami kedua subjek subjek dengan pertemuan
itu,
subjek memberikan cincin yang tidak dapat
diundang untuk berkunjung ke rumah ditolak oleh subjek. suami kedua subjek. Pada pertemuan Karena suami kedua subjek saat itu ini, interaksi subjek dengan suami beberapa kali bertemu dengan subjek
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
214
keduanya
secara
langsung
untuk di rumahnya, akhirnya anak subjek
mengutarakan hal seputar kekurangan menanyakan yang
subjek
berterus
ungkapkan
terang.
dengan hubungan
Kekurangan
mengenai subjek
kelanjutan
dan
suami
itu keduanya. Karena telah mendapat
ditanggapi secara positif oleh karena restu dari anaknya, akhirnya subjek suami kedua subjek berkenan untuk dan suami kedua subjek menikah. membantu dalam
membimbing
subjek
kekurangan-kekurangannya.
Subjek juga mengutarakan mengenai penerimaan
masing-masing
apa
adanya terhadap kondisi diri pasangan beserta yang mengikuti. Interaksi pertemuan
antara
subjek
dengan
suami keduanya lebih cenderung untuk mengutarakan komitmen. Ketika berinteraksi dengan suami keduanya,
subjek
merasa
bahwa
suami keduanya ini adalah orang yang
tidak
macam-macam.
Ada
pengharapan bahwa hidup subjek akan menjadi lebih baik bila ia menjadi
istri
seseorang
yang
mempunyai pemahaman agama baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
215
Setelah subjek dan suami kedua subjek bertemu, akhirnya subjek dan suami keduanya berkunjung ke rumah orang tua subjek untuk meminta ijin dan akhirnya menikah.
Setelah
kedua
subjek
mengalami
berbagai
pengalaman
yang
menjadikan subjek enggan untuk menikah, dalam periode waktu tertentu dengan berbagai pertimbangan pada akhirnya kedua subjek memutuskan untuk menikah kembali. Hurlock (1980) memaparkan bahwa bagi seseorang janda yang kehilangan pasangannya baik karena kematian ataupun perceraian, setelah beberapa periode waktu ia mempunyai alasan yang dapat diterima untuk tetap hidup sendiri ataupun menikah kembali. Interaksi dengan pasangan sebelum pernikahan menjadi kunci untuk saling mengenal. Interaksi untuk memilih pasangan yang dilakukan kedua subjek ini menurut Lamanna dan Riedmann (1991) adalah karena adanya informasi yang cukup baik diperoleh kedua subjek dari suami kedua mereka. Interaksi pemilihan ini oleh Lamanna dan Riedmann disebut sebagai pemilihan karena adanya pengetahuan
atau
informasi
yang
didapatkan
subjek
(Choosing
Knowledgeably). Kecukupan untuk memperoleh informasi dan adanya ketertarikan masing-masing untuk melanjutkan hubungan dalam interaksi kedua subjek merupakan bagian yang penting dalam menentukan kelanjutan hubungan (Lamanna dan Riedmann, 1991). Informasi mengenai latar belakang suami kedua subjek I ditunjang dengan cara suami kedua menanggapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
216
keterbatasan subjek dengan ketersediaannya untuk membimbing, harapan akan kehidupan yang lebih baik karena subjek I melihat suami keduanya ini dapat dijadikan panutan, membuat subjek I merasa kebutuhannya akan peran suami dalam hidupnya ia temukan pada suami keduanya. Ketertarikan ini juga dirasakan Subjek II yang telah menemukan rasa nyaman dalam berinteraksi dengan pasangan. Komunikasi yang secara intens terus saling ditanggapi menunjukkan bahwa kenyamanan ini dirasakan oleh Subjek II terhadap suami keduanya. 8. Proses pengambilan keputusan untuk menikah lagi Sebelum membahas mengenai proses pengambilan keputusan, dalam proses ini juga dipadukan dengan proses pengambilan keputusan yang diungkapkan oleh Talman (dalam Sadarjoen, 2005), yakni: 1) Mendefinisikan isu yang harus diputuskan. 2) Mengumpulkan informasi yang relevan dan mendiskusikan fakta-fakta. 3) Menggali alternatif pengambilan keputusan dan memilih satu dari alternatif itu. 4) Mengungkapkan
dengan
jelas
aksi
yang
dibutuhkan
untuk
mengimplementasikan keputusan yang diambil. Selanjutnya dalam proses pengambilan keputusan yang digunakan untuk melihat tahapan-tahapan proses yang dilalui kedua subjek ialah menggunakan tahapan proses pengambilan keputusan dari Janis dan Mann (1977), yakni:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
217
a) Menaksir tantangan atau resiko Tabel 11. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Menaksir Tantangan atau Resiko Subjek I
Subjek II
Awal mula ketika teman kerja Berawal
ketika
subjek dan suami kedua subjek lingkungan
ia
sekitar
hidup
di
menyisihkan
menjelaskan kepada subjek bahwa dirinya dengan stigma janda yang suami kedua subjek menginginkan melekat padanya dan merasa tidak subjek
berumah
dengannya,
subjek
tangga
lagi bebas apabila keluar rumah. Subjek
menanyakan juga
masih
merasakan
adanya
kepada dirinya sendiri mengapa saat kebutuhan hubungan seksual yang hatinya tidak ingin menikah lagi hanya bisa ia dapatkan ketika malah ada orang yang berniat menikah. menikah
dengannya.
Selain
itu
subjek
Subjek mengaku bahwa ia mudah tergoda
kemudian menganggap kondisi ini oleh nafsu yang tidak baik. Sifatnya merupakan anugerah dari Tuhan yang mengapa
beberapa
diinginkan
menjadi
kali istri
mudah
goyah
membuat
ia keimanannya tidak selalu di taraf dari tinggi.
seorang yang dihormati. Subjek Akan tetapi terdapat trauma yang tidak berpikir apa-apa lagi selain masih
terus
dipikirkannya
istikhoroh meminta jodoh yang mengenai ia yang ditinggal mati terbaik. Tidak terdapat gambaran suami
tercinta.
detil mengenai akan seperti apa keduanya
commit to user
Apalagi
masih
suami
mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
218
kehidupannya nanti. Saat itu subjek tanggungan hanya memikirkan mengenai hari “mentas” depannya:
subjek
dan
anak semua.
yang Subjek
belum ada
suami perasaan takut ditinggal lagi.
keduanya harus saling menerima kondisi
masing-masing,
juga
apabila dalam pernikahan keduanya nanti subjek bertemu masalah yang tidak dapat diselesaikannya, subjek memilih untuk bercerai.
Meskipun saat dihadapkan pada pilihan untuk menikah lagi atau hidup menjanda kedua subjek belum mempunyai keinginan untuk menikah lagi, Subjek I dan II merenungkan resiko-resiko yang mungkin muncul terhadap kehidupan mereka selanjutnya. Talman (dalam Sadarjoen, 2005) menyebutkan bahwa hal pertama yang dilakukan oleh pengambil keputusan adalah mendefinisikan isu yang harus diputuskan. Berdasarkan pendapat Talman tersebut terlihat bahwa kedua subjek menyadari terdapat sebuah permasalahan yang harus segera diputuskan, yakni keputusan untuk menikah kembali dan mempunyai hubungan dengan pasangan baru. Menurut Janis dan Mann (1991) pada tahap menaksir tantangan atau resiko pengambil keputusan menilai tantangan atau resiko-resiko yang mungkin muncul. Hal tersebut oleh Subjek I diawali dengan perenungan diri mengenai adanya situasi yang sama beberapa kali dialaminya. Dengan adanya keadaan seperti ini Subjek I kemudian membuat perkiraan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
219
gambaran resiko yang dialami hanya resiko saat dirinya nanti telah berada dalam pernikahan keduanya. Gambaran resiko dan kemungkinan untuk memilih bercerai kembali apabila terdapat masalah yang tidak dapat Subjek I atasi sejalan dengan pendapat dari Booth dan Edwards (dalam Papalia, 2008) bahwa setelah pernah mengalami perceraian, seseorang cenderung memandang perceraian dalam permasalahan rumah tangga sebagai solusi masalah pernikahan mereka.Sementara itu, Subjek II menaksir resiko mengenai positif dan negatifnya suatu kondisi apabila ia meneruskan kehidupan menjandanya dan apabila subjek menikah lagi. b) Meninjau alternatif Tabel 12. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Meninjau Alternatif Subjek I
Subjek II
Teman kerja subjek menjadi sumber Subjek tidak memikirkan secara informasi tentang bagaimana sosok mendalam suami kedua subjek. Informasi yang mengenai
lebih
lanjut
lagi
gambaran-gambaran
diperoleh subjek dari teman subjek seputar kehidupan menjanda atau ini memberikan pengaruh terhadap menikah lagi. Ia cenderung pasrah keputusan
yang
kemudian.
Subjek
berpikir mengenai
dan
dibuatnya dan
kemudian bagaimana
meninjau informasi
tidak
terlalu
memikirkan
kehidupan
akan
ulang dijalaninya. Saat dihadapkan pada yang kesulitan, subjek mencari jalan
didapatkannya. Fokus perhatiannya dengan berdoa, membaca kitab
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
220
saat itu adalah masa depan subjek. suci, dan sholat tahajud. Ia
kemudian
merundingkan Cara subjek untuk meyakinkan diri
mengenai komitmen awal pra-nikah memilih satu pilihan apakah ia akan antara subjek dan suami kedua. melanjutkan hidup dengan menikah Resiko akan
mengenai terjadi
kemungkinan lagi
perceraian
atau
tetap
hidup
sendiri
pada menjanda adalah dengan sholat
pernikahan subjek yang kedua ini istikhoroh. Disamping itu suami juga diungkapkan sebelum menikah keduanya itu dirasa subjek dapat dengan mengenai
suami
keduanya,
kesepakatan
juga mengayomi dan menjadi orang tua untuk yang baik untuk anak-anak dan
menerima kondisi masing-masing cucu-cucunya. beserta keluarganya.
Pada tahap ini Janis dan Mann (1991) menjelaskan bahwa pengambil keputusan selanjutnya meninjau beberapa alternatif yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian ia mencari informasi yang berhubungan dengan tantangan itu dan memfokuskan diri memperhatikan satu atau beberapa alternatif yang ada. Karena ia telah menyadari dan menerima tantangan yang ada, pengambil keputusan memulai mencari metode dan mencari saran dan informasi dari orang lain tentang cara menghadapi tantangan atau ancaman yang ada.Pendapat Janis dan Mann ini sejalan dengan tahapan kedua dalam pengambilan keputusan yang disampaikan oleh Talman (dalam Sadarjoen, 2005), yakni mengumpulkan informasi yang relevan dan mendiskusikan fakta-fakta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
221
Oleh karena awalnya Subjek I telah mendapatkan informasi dari teman subjek sebagai penghubung antara dia dan suami keduanya, kemudian kemungkinan resiko yang telah dipikirkan subjek pada tahap sebelumnya diutarakan kepada suami kedua subjek. Metode yang dilakukannya ini untuk meyakinkan diri mengenai tantangan menikah lagi bahwa persyaratan resiko seperti itu disetujui oleh pihak suami keduanya. Keyakinan akan pilihannya juga dikuatkan oleh cara suami kedua subjek I yang menanggapi permasalahan dengan mendengarkan terlebih dahulu kekurangan-kekurangan subjek dan suami keduanya bersedia untuk membimbing. Kebutuhan akan pengayoman dari peran suami menurutnya dirasakan subjek ada dalam diri suami keduanya. Berbeda dengan Subjek I, Subjek II cenderung tidak memikirkan terlalu mendalam mengenai bagaimana selanjutnya gambaran resiko yang ia pikirkan akan mempengaruhi pilihan yang akan diambilnya. Cara yang dilakukan subjek ini merupakan mekanisme pertahanan diri dengan cara isolasi, yakni mempertentangkan komponen afektif dengan kognitif, dimana dorongan yang tidak dapat diterima ego bertahan di kesadaran tetapi tanpa perasaan senang/puas, maka salah satu komponennya itu teroisolasi/tidak berfungsi. Subjek cenderung meniadakan aktivitas berpikirnya untuk menghindari terjadinya stres. Subjek melakukan coping stressberfokus emosi dengan mengungkapkan isi hatinya melalui ibadah. Selain itu, informasi yang dilihatnya tentang suami keduanya ini yang mempunyai karakter baik menjadi alternatif solusinya untuk melanjutkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
222
pilihan untuk menikah lagi. c) Menimbang alternatif Tabel 13. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Menimbang Alternatif Subjek I
Subjek II
Untuk menentukan pilihan terbaik Saat subjek dihadapkan pada situasi menurutnya,
subjek
melakukan
terus memilih antara dua pilihan, subjek
sholat
istikhoroh. mempertimbangkan pilihan terbaik
ia
kemudian untuk melanjutkan hubungan ke
Pertimbangan
memutuskan untuk menikah lagi arah
pernikahan
keduanya
ini
dengan suami keduanya ini adalah karena telah didorong anak-anaknya karena pengetahuan agama yang untuk melanjutkan pilihan untuk dimiliki oleh suami kedua subjek menikah sehingga subjek
lagi,
juga
statusnya
merasa bahwa sebagai janda dirasakan subjek
pernikahan inilah yang terbaik yang menimbulkan fitnah.Subjek merasa digariskan
Tuhan
untuknya.
Ia bahwa
berharap
akan
mendapatkan untuknya saat ini adalah memang
bimbingan
untuk
kehidupannya jodoh untuknya, baik untuk dirinya,
yang
diberikan
yang lebih baik bersama suami yang anak-anak
dan
mengerti agama. Dengan adanya Informasi
yang
situasi yang menghadapkan subjek subjek pada
dua
memilih
pilihan untuk
itu,
subjek keduanya
cucu-cucunya. datang
mengenai beserta
Tuhan
kepada
pernikahan sosok
suami
menjalaninya keduanya diperoleh subjek hanya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
223
terlebih dahulu. Dalam hal ini dari suami kedua. Ia tidak mencari subjek tidak menemui kesulitan tahu lagi tentang apapun yang untuk mempertimbangkan pilihan berhubungan
dengan
pernikahan
terbaiknya karena diawal sudah dan suami keduanya. Saat itu subjek terbentuk komitmen perjanjian yang merasa percaya saja dengan suami sudah disepakati bersama. Subjek keduanya itu. hanya
berpegang
pada
pertimbangan hari depan apabila suatu saat nanti subjek bercerai, subjek memutuskan untuk tidak ingin menikah lagi.
Pada tahap menimbang alternatif ini Janis dan Mann (1991) menjelaskan pengambil keputusan telah menimbang alternatif-alternatif yang telah dipilih sebelumnya, kira-kira alternatif mana yang paling baik diantara yang lain, dan apakah alternatif terbaik itu dapat memberikan solusi terbaik pula.proses ini sejalan dengan tahapan ketiga yang dijelaskan oleh Talman (dalam Sadarjoen, 2005), yakni menggali alternatif pengambilan keputusan dan memilih satu dari alternatif itu. Oleh karena Subjek Isebelumnya telah mengutarakan perjanjian dengan suami keduanya, ia merasa bahwa alternatif untuk melanjutkan pilihannya untuk menikah lagi dengan adanya persyaratan tersebut merupakan alternatif terbaik menurutnya. Pertimbangan pilihan terbaik menurut subjek yakni dengan melihat adanya keuntungan yang diperolehnya apabila ia menikah,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
224
yakni keuntungan akan mendapatkan bimbingan untuk mendalami agama yang dianutnya lebih baik lagi. Sosok suami kedua yang dirasa subjek dapat ia harapkan menjadi panutannya, juga mengenai ketersediaan suami kedua
untuk
bersama-sama
membimbing
subjek
menguatkan
kemungkinan keuntungan yang nantinya akan diperoleh. Keuntungan ini disebutkan Janis dan Mann (1991) sebagai konsekuensi utilitarian gains for self, yakni konsekuensi keuntungan yang didapatkan untuk dirinya. Meskipun tidak terbentuk perasaan cinta, Subjek Imelanjutkan pilihannya dengan memegang komitmen yang telah dibuatnya. Komitmen yang dimaksud dalam pengertian Subjek I ini seperti yang dijelaskan oleh Santrock (2002), yakni penilaian kognitif atas hubungan dan niatan untuk mempertahankan hubungan bahkan ketika menghadapi masalah. Perasaan Subjek I yang merasa bahwa pernikahan kedua yang dihadapkan kepadanya adalah yang terbaik merupakan alternatif yang memberikan solusi terbaik baginya. Kepercayaan yang dirasakan Subjek II terhadap sosok karakter suami keduanya ini menjadikan ia tidak lagi mencari informasi lebih lanjut mengenai suami keduanya. komunikasi yang intens dan terus berlanjut membuat Subjek II merasa nyaman dan memperkirakan bahwa kebutuhan akan rasa cinta dan kasih sayang dapat diperolehnya melalui sosok suami keduanya. Pertimbangan Subjek II memilih untuk menikah lagi dengan suami keduanya berangkat dari keyakinan bahwa suami keduanya itu merupakan jodoh terbaik yang diberikan tuhan untuknya. Dari keyakinan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
225
itulah Subjek II memilih alternatif terbaik untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan dengan dasar yang terbaik diberikan oleh tuhan untuknya juga terbaik untuk anak dan cucu-cucunya. Keyakinan tersebut menurut Janis dan Mann (1991) merupakan bentuk dari konsekuensi pertimbangan keuntungan yang diperoleh untuk dirinya sendiri dan orang lain (utilitarian gains for self and others). d) Merundingkan komitmen Tabel 14. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Merundingkan Komitmen Subjek I Subjek
merasa
Subjek II
bahwa
jalan Sebelum
memutuskan
untuk
pernikahan inilah yang terbaik yang menikah, subjek bermusyawarah harus subjek lalui. Kemantapan terlebih
dahulu
tersebut muncul karena sepanjang ia mengenai
degan
anaknya
kemantapan
dirinya.
berproses sejak mendapat informasi Anak subjek meyakinkan kepada bahwa ada seseorang yang ingin subjek sekali lagi mengenai hal-hal menjadikan dirinya sebagai istri yang akan menjadi tantangan ke hingga sampai pada pernikahan depan dalam menjalankan rumah tidak ada halangan yang berarti, tangga
kembali
semua lancar dalam waktu yang keduanya
ini.
dengan
suami
Pertanyaan
itu
singkat. Ia berniat untuk membina sebenarnya juga ada dalam diri pernikahan lagi.
subjek mengenai ketakutan yang
Setelah terbentuk niatan itu, suami dari awal muncul apabila suami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
226
kedua subjek menanyakan kapan keduanya
ini
meninggal
sama
mereka akan meminta ijin dari seperti suami pertamanya. Namun orang
tua
subjek.
Subjek subjek tidak terlalu memikirkan hal
mengatakan sebelumnya bahwa ia itu secara mendalam, ia lebih terlebih
dahulu
sendiri
menanyakannya memilih
langsung
kepada secara
untuk ringan
memikirkannya dan
santai.
Ia
keluarganya sebelum suami subjek cenderung memilih untuk menjalani bertemu dengan keluarga subjek. segala sesuatu secara mengalir saja. Subjek
kemudian
mengutarakan Untuk
menunjukkan
maksud
dengan jelas maksud niatannya kemantapannya untuk menikah lagi, untuk menikah lagi kepada anak subjek menggunakan cara implisit. dan ibunya.
Ia dan suami kedua menunjukkan sikap siap untuk hidup dalam pernikahan yang membuat anakanaknya dapat menerima keadaan itu.
Setelah tahap ketiga dilalui, Janis dan Mann (1991) menjelaskan tahap perundingan komitmen, yakni setelah pengambil keputusan menetapkan secara diam-diam dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia akan memakai rencana tindakan yang baru, ia mulai merundingkan implementasi (penerapan) dari rencananya itu dan memberitahukan maksudnya itu pada orang lain.Tahapan pengambilan keputusan ini satu pandangan lagi dengan tahapan terakhir yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
227
diutarakan oleh Talman (dalam Sadarjoen, 2005) yakni mengungkapkan dengan jelas aksi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan keputusan yang diambil. Tahap ini sejalan dengan proses pengambilan yang dilalui Subjek I. Subjek I telah menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ia telah memilih alternatif pernikahan keduanya, ia kemudian memberitahukan maksudnya itu secara langsung tanpa ada makna implisit kepada keluarganya, yakni meminta restu dari anak dan ibu subjek. Perundingan komitmen yang dilakukan oleh Subjek II berasal dari inisiatif anaknya. Anak Subjek II meyakinkan sekali lagi mengenai kemantapan subjek untuk menghadapi hal-hal yang menjadi tantangan subjek saat nanti telah menikah dengan suami keduanya. Oleh karena subjek telah yakin kepada keputusannya untuk menikah lagi, subjek memilih cara
menunjukkan itikadnya untuk membina hubungan
pernikahan melalui sikap yakin dari dirinya dan suami keduanya. Sikap ini kemudian yang dapat meyakinkan anak-anaknya. Meskipun subjek masih mempunyai ketakutan yang sama ditemuinya pada tahap sebelum ini, subjek tidak terlalu memikirkannya. Mekanisme pertahanan diri berupa isolasi rupanya masih digunakan oleh Subjek II.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
228
e) Bertahan dengan umpan balik Tabel 15. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Bertahan Dengan Umpan Balik Subjek I Saat
subjek
kepada
meminta
anaknya,
mendapatkan
Subjek II pendapat Setelah subjek menetapkan pilihan
subjek
persetujuan
menikah lagi.
telah untuk
menikah
lagi,
untuk masih
terdapat
ketakutan
meskipun yang
belum terjadi subjek memilih untuk
Permasalahan terjadi saat orang tua tidak memikirkannya terlalu serius. subjek tidak menyetujui bila subjek Subjek
lebih
berfokus
pada
menikah lagi. Orang tua subjek kecocokan yang ada pada dia dan menginginkan agar subjek tidak suami keduanya, serta hati subjek usah lagi menjalin pernikahan. Saat yang menghadapi
pihak
yang
merasa
pas
dengan
tidak keberadaan suami keduanya. Selain
setuju, subjek meyakinkan pihak itu subjek juga telah mendapat tersebut
dengan
perjanjian
bila dukungan
dari
anak-anaknya.
terdapat permasalahan yang ditemui Perkara bila masih ada yang tidak subjek dalam pernikahan keduanya setuju,
maka
subjek
ini, subjek akan menghadapinya menganggapnya sebagai orang lain sendiri dan tidak mengikutsertakan yang tidak berhak bersuara. keluarga besarnya.
Setelah
Setelah itu, subjek tidak mempunyai dalam pikiran apapun dan sudah mantap perasaan
commit to user
semua diri
pihak
subjek menyesal
merestui, tidak
ada
dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
229
dengan keputusannya.
pilihannya.
Dirinya
menyadari
bahwa ia sudah tua jadi sudah tidak berpikir macam-macam.
Setelah suami kedua Subjek I menanyakan kapan ia dapat bertemu dengan ibu subjek, Subjek I kemudian meminta restu dari ibunya. Ibu Subjek I awalnya tidak mengijinkan rencana Subjek I untuk menikah lagi, namun setelah subjek bersedia memenuhi permintaan ibunya untuk tidak melibatkan keluarga subjek ke dalam rumah tangga barunya jika suatu saat nanti muncul permasalahan, akhirnya subjek diijinkan untuk menikah. Kebertahanan Subjek I dalam menghadapi umpan balik yang negatif berupa ketidaksetujuan ibunya untuk menikah lagi mengakhiri proses pengambilan keputusan yang terakhir. Janis dan Mann (1991) menjelaskan bahwa setelah pengambil keputusan memberitahukan putusannya kepada orang lain, maka dapat dimungkinkan ia akan mendapatkan umpan balik berupa kendala atau kesempatan baru.Kondisi kendala yang ringan dan komunikasi, cenderung segera direduksi dalam suatu cara yang memungkinkan pengambil keputusan dapat menjalani kepatuhan aturan tanpa masalah sedang keputusannya tetap tidak berubah.Subjek I yang bersedia untuk mematuhi syarat yang diberikan ibunya membuat subjek dapat bertahan dengan keputusannya untuk menikah lagi. Kendala yang muncul berupa ketidaksetujuan dari ibu Subjek I ini tidak menjadikan penghalang bagi subjek untuk melaksanakan keputusannya. Hal ini dikarenakan Subjek I sudah yakin bahwa kebutuhannya untuk didengarkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
230
dan diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat mampu ia peroleh dari respon suaminya ketika berinteraksi. Berlainan dengan Subjek I, kendala yang dihadapi Subjek II dalam meyakinkan keputusannya berasal dari dirinya sendiri. Rasa takut akan kehilangan pasangan hidup sekali lagi tetap ada dalam pikirannya. Untuk bertahan dengan keputusan yang telah dibuatnya, Subjek II memilih untuk tidak memikirkan ketakutannya itu secara serius. Ia bertahan dengan keputusannya untuk menikah lagi dengan jalan adanya rasa kecocokan antara diri subjek dan suami keduanya. Perasaan cocok ini menjadikan Subjek II perlahan dapat memenuhi kebutuhan dirinya akan cinta dan kasih sayang dari pasangan. Selain itu, anak-anak subjek yang telah merestuinya menjadi penguatannya untuk bertahan.
9. Gambaran pernikahan baru. Tabel 16. Tabel Perbandingan Gagasan Dan Identifikasi Mengenai Gambaran Pernikahan Baru Subjek I Setelah
berada
dalam
Subjek II pernikahan, Setelah
berada
subjek memandang suami keduanya ini pernikahan adalah
orang
yang
kedua,
dalam
wadah
subjek
merasa
dapat pernikahannya yang sekarang tetap
mengendalikan emosinya untuk tidak berbeda
dari
pernikahannya
yang
cepat marah. Subjek merasa suami terdahulu. Subjek masih mengingat keduanya
ini
benar-benar suami
commit to user
pertamanya
dan
selalu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
231
mempertahankannya sebagai istrinya.
mendoakannya. Perasaan cinta kasih
Pernikahan baru yang dijalani subjek yang terjalin antara dirinya dan suami saat ini bukannya tanpa hambatan. keduanya ini terasa berbeda dengan Subjek
masih
menemui
beberapa suami pertamanya. Yang ia butuhkan
permasalahan kecil dalam hidupnya. saat ini adalah kasih sayang, dan itu ia Hal ini tidak berhubungan dengan dapatkan oleh suami kedua seperti suaminya,
melainkan
dengan
anak saudara sendiri. Hubungan suami istri
tirinya yang pertama yang tidak ada yang disebut subjek sebagai waktukecocokan
dengan
dirinya
yang waktu romantisnya dirasa sekejap saja
ditunjukkan dengan sikap permusuhan untuk saling mengasihi. dari anak tiri kepada subjek. Tidak Akan
tetapi
meskipun
subjek
adanya kecocokan ini muncul setelah merasakan adanya perbedaan, subjek subjek dan suami keduanya menikah.
merasa
perasaan
untuk
saling
Untuk mengurangi ketegangan, suami menyayangi itu tetap hadir sebagai kedua subjek menghimbau agar tidak suami-istri. terpancing
emosi
dan
mengatakan nyaman
dan
Subjek tenang
merasa
lebih
dibandingkan
kepada subjek agar menganggap anak dengan saat masa hidup menjanda sulungnya itu sebagai orang lain saja. dahulu. Subjek merasa mendapatkan Selain
itu,
subjek
tidak
begitu perlindungan.
menanggapi permasalahan dengan anak Permasalahan yang muncul ketika ia tirinya itu. Selain
permasalahan
sudah memasuki pernikahannya kini dengan
anak, adalah karena ia dan anak-anaknya
subjek juga masih merasa ada kendala belum dapat tinggal dalam satu rumah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
232
pada kondisi keuangannya dimana ia Subjek berharap agar ia dapat menjadi masih
harus
membantu
mencari
kerja
perekonomian
untuk istri yang sholihah, mempunyai suami
keluarga yang baik kepadanya, menjadi keluarga
baru. Setelah
yang sakinah mawaddah warahmah, dalam
wadah
pernikahan, hingga tua tetap diberi umur panjang.
subjek berharap rumah tangganya saat Dalam perannya sebagai istri kini ini berjalan dengan baik. Ia tidak subjek
akan
mencapai
berharap macam-macam. Subjek ingin dengan
cara
menaati
keluarganya
sakinah
harapannya suami
dan
mawaddah menyenangkan suaminya.
warahmah dengan anak-anak yang shalih-shalihah, selalu istiqomah, dan meninggal dalam keadaan yang khusnul khotimah.
Dengan
harapannya
itu,
subjek memilih untuk bersyukur ketika ia mendapatkan limpahan rejeki.
Sebuah pernikahan baru setelah masa menjanda memang mengatasi beberapa hal. Meski permasalahan hidup menyendiri mungkin dapat teratasi dan para janda menjadi bahagia karena dapat menikah kembali, namun permasalahan seputar pernikahan keduanya juga ikut menyertai (Lamanna dan Riedmann, 1991). Permasalahan utama yang terjadi oleh seseorang dalam rumah tangga pernikahan keduanya menurut Lamanna dan Riedmann (1991) adalah seputar masalah finansial dan kehadiran anak tiri dalam rumah tangga, baik anak yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
233
dibawa oleh janda yang menikah lagi dari pernikahan yang terdahulu, maupun dari pihak suami barunya. Munculnya anak tiri ini menjadi permasalahan ketika ia atau dari keluarga tirinya tidak menyukai kehadiran orang baru dalam keluarganya. Hal inilah yang sekiranya dialami oleh Subjek I dalam membina rumah tangga barunya. Akan tetapi dukungan sosial dari suaminya menjadi coping stress berfokus emosi tersendiri. Dukungan sosial dari suami kepada Subjek I sejalan dengan pendapat Cohen (dalam Feldman, 2012) yang menjelaskan bahwa interaksi bersama dengan orang lain yang menyayangi dan peduli membuat seseorang mengalami tingkat stress yang lebih rendah dan lebih dapat mengatasi stress yang dihadapinya. Permasalahan yang dialami Subjek I tidak terlihat dalam rumah tangga baru dari Subjek II. Subjek II cenderung mengeluhkan permasalahan mengenai perbedaan gairah hubungan antara pernikahan pertama dan keduanya ini yang mana subjek merasa pernikahan keduanya ini tidak semenyenangkan pernikahan pertama. Hal ini menurut pendapat Santrock (2002) bahwa perasaan cinta yang penih kasih sayang atau sebagai teman dan kesetiaan yang lemah lembut lebih penting dalam hubungan cinta pada kehidupan dewasa madya. Subjek II dalam usianya kini merasakan suami keduanya ini dapat memberikan hubungan yang saling menyayangi layaknya seperti teman. Subjek merasakan perasaan tenang dan aman saat telah dalam pernikahan kembali. Perbedaan permasalahan dalam kehidupan pernikahan baru kedua subjek ini dimungkinkan karena adanya perbedaan kebutuhan masing-masing.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
234
Subjek I sejak dari awal masih terus berfokus pada kebutuhan finansial yang belum mencukupi. Maslow (dalam Sobur, 2003) dengan teori hirarki kebutuhannya menjelaskan bahwa terdapat beberapa tingkatan kebutuhan yang apabila satu tingkat kebutuhan telah terpuaskan barulah muncul tingkat kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada Subjek I, ia merasa belum tercukupi akan finansial yang dibutuhkannya. Maka dari itu, Subjek I belum menjumpai adanya kebutuhan yang lebih tinggi dalam pernikahannya, yakni perasaan saling mencintai dan memiliki. Sedangkan pada Subjek II, karena telah merasa kebutuhan dasarnya tercukupi, ia menjumpai kebutuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan dasar fisiologisnya, yakni kebutuhan akan rasa aman untuk tetap bersama dengan suami keduanya. Keamanan jiwa yang dikhawatirkannya akan terancam apabila suami keduanya ini juga pergi meninggalkannya seperti suami pertamanya. Pada akhirnya kedua subjek mempunyai kesimpulan mengenai pengambilan keputusan untuk menikah lagi yang telah dipilih dan dijalaninya. Pada Subjek I, setelah menjumpai permasalahan seputar perilaku permusuhan yang ditunjukkan oleh anak tirinya, Subjek I merasa salah dalam mengambil keputusan. Ia menyesal memutuskan untuk menikah setelah ia merasakan adanya permasalahan yang terjadi setelah menikah kembali. Oleh sebab permasalahannya dengan anak tiri, Subjek I pernah
mengutarakan
keinginannya bercerai lagi. Berbeda cerita dengan Subjek II yang menurutnya akan menjalani setiap liku kehidupan yang terjadi seperti air mengalir. Meskipun terlihat kepasrahan akan jalan hidupnya, Subjek II merasakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
235
adanya ketakutan untuk kehilangan yang kedua kalinya. Kesimpulan yang kedua subjek dapatkan ketika mereka telah berada dalam pernikahan kembali bukan kesimpulan tentang kebahagiaan yang cukup diperoleh sebenarnya. Hal ini dikarenakan dalam proses pengambilan keputusan, keduanya cenderung untuk menjalani yang akan dilaluinya terlebih dahulu tanpa mempertimbangkan dan siap lagi berada dalam biduk pernikahan kembali. Mereka berdua belum benar-benar meninggalkan permasalahan yang mereka alami saat pernikahan terdahulu sehingga dalam pernikahan keduanya ini masih membawa permasalahan masa lalu.
F. Dinamika Meskipun dua subjek dibesarkan dalam lingkungan ekonomi yang berbeda, pengasuhan orang tua pada kedua subjek relatif hampir sama. Pengasuhan orang tua yang dialami subjek yakni ibu yang cenderung mengasuh dengan perlakuan keras terhadap aturan dan ayah yang mempunyai sifat nrimo. Pengasuhan orang tua kedua subjek inilah yang mendorong subjek untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial di masa kehidupan selanjutnya. Perbedaan hasil penerapan pola asuh yang demikian terlihat dari Subjek I yang dapat nrimo dengan berbagai kondisi yang dihadapinya dapat fleksibel dengan kecenderungannya untuk menurut kepada perintah, sedangkan Subjek II berkarakter keras, tidak mau terkalahkan, dan setiap keinginannya harus tercapai. Subjek I memandang arti pernikahan menurut dirinya adalah hal yang benar-benar harus dijaga keutuhannya. Ia memandang perannya sebagai istri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
236
adalah untuk mempersiapkan kebutuhan dalam rumah tangga. Sedangkan peran suami menurut subjek adalah untuk mengayomi keluarganya dan bertanggung jawab. Dalam menjalankan perannya, sepasang suami istri menurut subjek I harus saling melengkapi kebutuhan pasangan. Karakter yang dimiliki kedua subjek ini berpengaruh ke dalam pernikahan pertamanya. Subjek I yang menikah dengan suami pertamanya lebih dapat fleksibel
menuruti
arahan
suami
untuk
tidak
bekerja
meskipun
ia
menginginkannya. Saat berumah tangga dengan suami pertamanya, subjek melihat sang suami adalah orang yang baik dan pekerja keras. Peran sebagai ibu rumah tangga dirasakannya tanpa ada kendala berarti dengan menerapkan sikap tidak adanya rasa curiga terhadap suaminya sebagai tulang punggung keluarga satu-satunya. Dengan demikian keharmonisan dalam rumah tangga Subjek I terlihat dari kewajiban peranan masing-masing untuk melengkapi pasangannya. Dalam menjalankan rumah tangganya, kehidupan subjek I tidak terlepas dari konflik dengan suaminya. Konflik yang terjadi dengan suami adalah seputar permasalahan pengelolaan keuangan dan pengasuhan anak. Suami subjek cenderung mengarahkan agar subjek benar-benar mengatur rumah tangga sesuai dengan
arahannya.
Namun
subjek
I
seringkali
membantah
dengan
mempertahankan pendapatnya saat berkonflik adu mulut dengan suaminya. Tidak jarang pula sewaktu subjek mempunyai keinginan dan suami tidak membolehkan, subjek tidak mendengarkan himbauan suaminya dan tetap ingin menuruti keinginan dirinya. Secara tidak sadar, dengan dikuatkan oleh pengalaman masa lalu subjek yang lebih sering untuk menurut, dalam diri subjek terbentuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
237
kebutuhan untuk didengarkan dan diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya. Akan tetapi, dalam beberapa kondisi, suami subjek I belum memberikan kebutuhan itu kepada subjek. Pandangan Subjek I tidak sama dengan Subjek II. Subjek II lebih memfokuskan arti pernikahan menurutnya adalah pada kebahagian dirinya dan pasangan. Subjek II memandang bahwa peran istri yang harus dilakukannya dalam rumah tangga adalah untuk membahagiakan suaminya, sedang peran suami adalah memimpin keluarga dan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab. Keakraban yang telah terjalin lama antara subjek II dan suami pertamanya sebelum menikah menjadikan subjek merasakan adanya kenyamanan interaksi dengan suaminya itu. Oleh karena ia menikah dengan suami pertama atas dasar saling mencintai, ia melihat sosok suami dari sisi baiknya. Subjek II memandang bahwa untuk menjalankan pernikahan pasangan harus saling menghargai, mengerti, dan saling percaya. Konflik pada awal-awal pernikahan subjek II dengan suami adalah seputar permasalahan pengelolaan emosi cemburu dari diri subjek sendiri. Karena subjek merasa rugi akibat perasaan cemburunya sendiri, subjek
merekonstruksi
pengelolaan
emosinya
dengan
memberikan
rasa
kepercayaan kepada suaminya. Dengan memberikan kepercayaan itu, subjek perlahan menemukan kenyamanannya dalam menjalankan rumah tangga bersama suaminya. Perpisahan dengan suami pertama Subjek I disebabkan karena subjek tidak ingin dimadu oleh suaminya yang ingin menikah lagi. Meskipun mertua subjek sudah turut membantu membenahi rumah tangga subjek I, tetapi suami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
238
pertamanya tidak terlihat perubahan. Subjek juga ingin mempertahankan pernikahan dengan caranya menunggu suami pertamanya dapat kembali seperti sedia kala. Namun hal itu sia-sia dilakukannya karena tetap tidak ada perubahan dari suami pertamanya. Dalam pemberian nafkah finansial selama dalam masa perpisahan itu, suami pertama subjek hanya memberikan nafkah yang menurut subjek tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Meskipun begitu, subjek tidak menuntut untuk diberikan nafkah yang cukup karena ia merasa bahwa hal itu sudah menjadi kewajiban suami yang pada kenyataannya tidak didapatkan oleh subjek I. Peran sebagai suami yang mengayomi dan bertanggung jawab kepada keluarga dimata subjek sudah tidak dapat ia rasakan dari suami pertamanya itu. Setelah ia menunggu bertahun-tahun dan tidak ada perubahan sedang ia sudah dipulangkan ke rumah orang tuanya, akhirnya Subjek I berniat untuk bercerai dengan suaminya. Oleh karena saat dalam pernikahan Subjek I tidak diijinkan untuk bekerja, dalam masa perpisahan itu subjek mengalami kesulitan finansial. Meskipun orang tua Subjek I tidak mengijinkannya bekerja di luar kota, beruntunglah ia mendapat dukungan dari keluarga untuk membantu mencarikan pekerjaan agar ia dapat menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Subjek I juga pernah mengalami masa-masa membutuhkan pasangan kembali. Kebutuhannya itu atas dasar subjek yang tidak ingin anak-anaknya tidak mempunyai sosok ayah dalam kehidupan mereka. Akan tetapi perpisahan itu juga menimbulkan adanya perasaan trauma untuk membina pernikahan kembali. Karena itu Subjek I cenderung tidak ingin menikah lagi dan mempunyai hubungan dengan pasangan. Dua kali sebelum bertemu dengan suami keduanya, Subjek I menolak orang yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
239
ingin menjadikan dirinya sebagai istri. Berbeda dengan Subjek I, Subjek II mengalami perpisahan dengan pasangan sebab ditinggal mati oleh suami pertama. Kehilangan pasangan karena kematian mengakibatkan Subjek II timbul perasaan duka yang mendalam hingga terasa tidak dapat melanjutkan kehidupannya lagi. Ia tak dapat menghadapi kehidupan
sesaat
setelah
kepergian
suami
pertamanya.
Ditambah
lagi
kesedihannya juga karena harus merawat mertua yang sakit dan semakin sakit hingga tidak dapat bangun dari tempat tidur setelah ditinggal mati suami pertama subjek II. Dukungan berupa penguatan diperoleh Subjek II dari anak-anaknya. Baru setelah beberapa lama, Subjek II akhirnya dapat bangkit kembali meneruskan kehidupannya demi masa depan dirinya dan anak-anaknya. Saat dalam keadaan menjanda itulah subjek mendapatkan label dari lingkungan sebagai “seorang janda”. Kenyamanan yang diperoleh karena adanya keberadaan sosok suami dalam masa menjanda tidak dapat lagi dirasakan oleh subjek II. Awalnya Subjek II tidak mempunyai keinginan untuk menikah. Pernah suatu kali subjek disukai seseorang, akan tetapi karena belum mempunyai keinginan untuk menikah, subjek tidak menghiraukan orang lain yang menyukainya. Pertemuan Subjek I dengan suami keduanya ini lantaran ada seseorang yang meminta ia menjadi istrinya. Karena beberapa kali dilamar oleh seseorang dari seseorang yang memiliki pengetahuan agama luas, akhirnya Subjek I merenungkan diri bahwa mungkin inilah jalannya untuk membangun rumah tangga kembali. Dari suami keduanya saat berinteraksi sebelum menikah, subjek I merasa bahwa ada kemungkinan dapat terpenuhi kebutuhannya. Hal ini karena
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
240
suami kedua subjek I cenderung menanggapi kebutuhannya itu dengan cara membantunya. Hal ini yang dirasa subjek dapat memenuhi kebutuhannya untuk didengarkan dan menemukan kembali sosok pemimpin keluarga yang dapat mengayomi dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan rumah tangganya. Ditambah lagi kebutuhan akan adanya rasa pengayoman itu dikuatkan dengan status sosial suami kedua subjek yang merupakan orang yang dihormati dilingkungannya sebagai pemuka agama. Subjek merasa bahwa kebutuhan akan pengayoman dan tanggung jawab dari diri suami kedua juga terlihat dari keberadaan suami kedua yang dapat menjadi panutan di lingkungannya. Berbeda cerita dengan Subjek I, awal perkenalan Subjek II dengan suami keduanya lantaran salah nomor HP. Sesudah beberapa tahun lamanya ia hidup sendiri dan anak-anaknya meninggalkan ia untuk membangun rumah tangga mereka sendiri, subjek merasa kesepian berada di rumahnya sendiri. Komunikasi yang berawal dari kesalahan itu akhirnya berlanjut hingga pertemuan langsung keduanya. Adanya kecenderungan untuk saling menanggapi untuk menjaga kelancaran komunikasi menandakan hadirnya rasa nyaman dalam berinteraksi antara subjek II dengan suami keduanya sebelum pernikahan. Hal inilah yang mungkin tidak ditemukan subjek II dalam hubungan dengan lawan jenis sebelumnya. Sebenarnya saat Subjek II bertemu dengan suami keduanya itu belum ada keinginan Subjek II untuk menikah lagi. Namun atas desakan dari anaknya, Subjek II kemudian mempertimbangkan hubungannya dengan suami keduanya. Tidak cepat bagi kedua subjek untuk segera merasakan mempunyai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
241
keinginan menjalin hubungan pernikahan kembali. Meskipun demikian, saat dihadapkan pada pilihan untuk menikah lagi subjek merenungkan resiko-resiko yang muncul terhadap kehidupan mereka selanjutnya. Subjek I menaksir resiko secara praktis pada kemungkinan resiko yang akan terjadi pada kehidupan pernikahan keduanya. Subjek I memikirkan resiko dipilihnya perceraian kembali saat ia tidak mampu mengatasi permasalahan dalam pernikahan keduanya nanti. taksiran resiko yang digambarkan oleh Subjek II berbeda dengan Subjek I. Subjek II menggambarkan resiko-resiko yang akan ditemuinya pada dua pilihan yang dihadapkan kepadanya. Perasaan tidak nyaman dengan stigma janda yang melekat padanya dan merasa tidak bebas bila ia keluar rumah, juga masih terdapat kebutuhan seksual yang hanya akan didapatkan bila Subjek II berada dalam pernikahan kembali, juga pendirian subjek yang mudah goyah akan godaan yang mendatanginya membuat subjek ingin keluar dari status jandanya itu. Namun gambaran takut akan ditinggalkan kembali juga terbayang-bayang dipikirannya. Subjek I menyadari adanya dua pilihan, yakni untuk menikah lagi atau hidup menjanda. Oleh karena itu, untuk meyakinkan diri bahwa harus ada satu diantara dua pilihan yang akan dijalaninya,Subjek I menggunakan metode dengan mengutarakan gambaran resiko yang telah dipikirkannya pada tahap sebelumnya langsung kepada suami keduanya. Persyaratan resiko yang diajukan subjek mengenai permintaan subjek untuk bercerai apabila terdapat suatu permasalahan yang tidak dapat diatasinya merupakan komitmen awal antara subjek I dan suami keduanya. Dalam interaksi itu, suami kedua subjek I juga bersedia untuk membantu subjek untuk mengatasi kekurangan subjek. Hal inilah yang mungkin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
242
dirasakan subjek bahwa suami keduanya ini dimungkinkan bersedia untuk mendengarkan. Selain itu, dukungan dari teman kerja Subjek I agar ia memilih menikah lagi dengan cara meyakinkan diri subjek mengenai kebaikan suami kedua cukup mempengaruhi pilihan Subjek I untuk memfokuskan diri pada pilihannya untuk menikah lagi. Berbeda proses dengan Subjek I, Subjek II mengambil cara tidak memikirkan terlalu dalam mengenai gambaran resiko yang telah ia taksir sebelumnya. Pada tahap meninjau alternatif ini Subjek II meyakinkan diri memilih pada satu pilihan untuk menikah lagi dengan jalan beribadah. Selain itu subjek merasa bahwa suami keduanya dapat mengayomi dan menjadi orang tua yang baik untuk keluarganya. Dari cara inilah subjek memilih alternatif solusinya untuk melanjutkan pilihan untuk menikah lagi. Meskipun tidak hadir perasaan cinta kasih dan sayang dalam diri subjek, Subjek I tidak menemui kesulitan-kesulitan karena sebelumnya ia telah mempunyai kesepakatan komitmen dengan suami keduanya. Pertimbangan terbaik bahwa jalan pernikahan adalah hal yang harus dilaluinya adalah karena subjek I melihat suami keduanya memiliki pengetahuan agama yang diharapkan dapat menuntun subjek untuk menjadi lebih baik. Dari pengetahuan agama dan keberadaan suami keduanya di masyarakat yang terlihat dapat menjadi panutan, inilah yang dirasa subjek dapat memenuhi pandangannya mengenai peran suami yang dapat menjadi pengayom dan bertanggung jawab. Dan bila ia gagal membina rumah tangga untuk kedua kalinya ini, subjek I nantinya menetapkan diri untuk selanjutnya tidak menikah lagi. Berbeda dengan Subjek I, Subjek II hanya mempertimbangkan segala sesuatunya dengan jalan yakin. Subjek II
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
243
merasa yakin dan percaya bahwa suami keduanya ini adalah jodoh untuknya. Ia tidak mencari tahu lagi tentang apapun yang berhubungan dengan pernikahan kedua dan suaminya itu. Selain karena dorongan anak-anaknya untuk melanjutkan pilihan subjek II untuk menikah lagi, juga karena ketidaknyamanan subjek mengenai fitnah yang diperoleh dari statusnya sebagai seorang janda, sedang pada saat yang sama terdapat seseorang yang berinteraksi dan membentuk sebuah kenyamanan hubungandengannya, akhirnya Subjek II menetapkan pilihan terbaiknya untuk meneruskan hubungan ke arah pernikahan. Setelah Subjek I yakin bahwa pernikahan kedua adalah jalan hidupnya, Subjek I kemudian memberitahukan maksudnya secara langsung kepada keluarganya, yakni meminta restu dari anak dan ibu subjek. Berbeda dengan Subjek I, tahap perundingan komitmen ini didahului oleh inisiatif anak Subjek II yang menanyakan tentang kemantapan subjek dalam menghadapi tantangantantangan dalam pernikahan keduanya. karenaSubjek II telah yakin kepada pilihannya untuk menikah lagi, subjek menunjukkan maksudnya itu dengan sikapnya yang yakin dan tanpa keraguan untuk membina hubungan lagi. Demikian pula dengan sikap yang ditunjukkan oleh suami kedua Subjek II yang membuat anak-anak subjek dapat menerima keadaan itu. Sesungguhnya kekhawatiran akan tantangan gambaran resiko bila berumah tangga lagi masih ada dalam diri subjek. Akan tetapi subjek memilih untuk tidak memikirkan hal tersebut terlalu serius dan menjalani kehidupannya seperti mengalir saja. Umpan balik yang negatif mengenai halangan untuk menikah lagi ditemui kedua subjek. Subjek I menemui kendala saat merundingkan niatnya untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
244
menikah lagi kepada orang tua subjek yang tidak setuju dengan pernikahan kedua subjek. Saat Subjek I mendapatkan tanggapan negatif itu, subjek meyakinkan orang tuanya dengan perjanjian tidak akan melibatkan keluarga besarnya dalam permasalahan rumah tangga keduanya ini. Berlawanan dengan Subjek I, Subjek II menghadapi kendala dari dalam dirinya sendiri. Di saat anak-anaknya sudah memberikan restu, rasa takut akan kehilangan pasangan hidup sekali lagi tetap ada dalam pikiran Subjek II. Akan tetapi Subjek II bertahan dengan keputusannya untuk menikah lagi dengan lebih memfokuskan diri pada rasa kecocokan yang muncul antara subjek dan suami keduanya. Pada akhirnya yang terpenting dari semua proses pengambilan keputusan yang telah dilalui kedua subjek, masing-masing harus menjalankan pernikahan mereka dengan komitmen yang telah mereka ambil untuk membina rumah tangga sekali lagi. Pernikahan kedua meskipun merupakan jalan yang terbaik yang mereka ambil, namun tidak selamanya berjalan dengan mulus. Subjek I menemui permasalahan seputar kebutuhan finansial yang harus dicukupinya melalui tetap bekerja, juga permasalahan dengan anak tiri sulungnya, yakni sikap permusuhan yang
ditunjukkan
anak
tirinya
setelah
pernikahan
subjek.
Sedangkan
permasalahan yang ditemui oleh Subjek II adalah perasaan gairah hubungan suami-istri yang berbeda saat menjalani pernikahan pertama dan keduanya ini. Kebutuhan akan perasaan kasih sayang didapatkan Subjek II seperti saudara sendiri meskipun perasaan saling menyayangi sebagai suami-istri tetap hadir. Subjek II mendapatkan kembali rasa kenyamanan dan perlindungan dengan hadirnya suami keduanya ini. Keinginannya untuk tinggal satu rumah dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
245
anak-anak tirinya yang belum berkeluarga belum dapat ia rasakan saat ini. Dalam kehidupan berumah tangga kembali, tentunya kedua subjek mempunyai pengharapan atas pernikahan keduanya itu. Keinginanakan kehidupan pernikahan yang baik menjadi harapan dari setiap subjek. Rasa bersyukur dipilih Subjek I untuk menjalankan kembali perannya sebagai istri. Sedang untuk mencapai pengharapan akan rumah tangga yang dapat ia lalui bersama suami selama mungkin Subjek II jalankan dengan perannya untuk menyenangkan suami dan menaatinya. Penyesalan menjalani pernikahan karena adanya permasalahan tertentu sehingga dengan mudah meminta untuk berpisah pada Subjek I dan ketakutan untuk kehilangan yang kedua kali yang dirasakan Subjek II menunjukkan bahwa mereka masih belum menyelesaikan permasalahan yang mereka alami terkait dengan kehidupan bersama pasangan pada pernikahan pertamanya sehingga pada pernikahan selanjutnya menyisakan sebuah masalah pribadi yang mereka bawa pada kehidupan pernikahan kedua.
commit to user
247
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
248
G. Kelemahan Penelitian Selama proses penelitian, peneliti berusaha melaksanakan penelitian ini secara ilmiah dan sistematis. Selama proses persiapan dan pelaksanaan penelitian, terdapat beberapa kelemahan yang menjadi hambatan penelitian, yakni : 1. Sulitnya menemukan responden yang bersedia sesuai dengan kriteria menjadi subjek penelitian. Peneliti mencoba untuk mencari responden yang sesuai dengan kriteria untuk dijadikan subjek penelitian. Beberapa pencarian sebelum menemukan subjek penelitian tidak membuahkan hasil karena berbagai kendala, yakni keengganan calon subjek penelitian untuk digali pengalamannya sesuai dengan topik, juga tidak bertemunya peneliti dengan calon subjek penelitian karena pindahnya alamat rumah calon subjek penelitian yang tidak dapat dicari oleh peneliti. 2. Keterbatasan skill peneliti untuk meyakinkan subjek mengenai urgensi tema yang dikupas. Saat pembangunan rapport dengan subjek cukup berhasil dilakukan di awal, kendala terjadi saat proses pengambilan datakarena subjek merasa belum sepenuhnya nyaman terlibat dalam penelitian. Ketidak nyamanan itu karena subjek penelitian merasa tema yang diangkat dalam penelitian ini adalah suatu hal yang tidak begitu penting untuk dikupas. Peneliti melakukan proses pendekatan kembali dengan subjek di pertengahan prosesuntuk menanggulangi hal inidengan jalan ingin menyerap ilmu dan pengalaman dari subjek penelitian sebagai bahan pembelajaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
249
3. Sulitnya menemui significant others yang disetujui oleh subjek penelitian Karena tema yang diangkat dalam penelitian ini adalah berfokus pada proses internal yang terjadi dalam diri subjek, subjek merasa bahwa masalah ini tidak perlu melibatkan orang lain untuk ditanyai lebih lanjut. Subjek keberatan untuk memberikan alternatif orang-orang yang berkaitan dengan dirinya dalam permasalahan seputar tema penelitian karena merasa ini adalah aib diri yang tidak perlu orang lain untuk mengetahuinya. Oleh karena itu, peneliti meminta kepada subjek penelitian agar diberikan alternatif significant others yang diperkenankan. 4. Keterbatasan peneliti sebagai instrumen penelitian Peneliti yang belum berpengalaman dan sedang berada dalam tahap belajar menjalankan penelitian kualitatif membuat peneliti belum menjalankan proses penelitian ini secara optimal. Peneliti belum sepenuhnya mampu menggali dan menekuni data secara optimal sehingga data yang diungkapkan belum sepenuhnya mengungkapkan pengalaman subjek secara mendalam.
H. Keunggulan Penelitian Penelitian ini mengambil bahasan tentang proses pengambilan keputusan sebagai fokus utama. Proses pengambilan keputusan dipandang menjadi sebuah hal yang penting untuk dikupas terlebih lagi untuk permasalahan-permasalahan besar yang memerlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam mengambil keputusan, khususnya untuk mengambil keputusan untuk menikah lagi pada wanita dewasa madya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
250
Penelitian ini mampu menjaring informasi detil mengenai tantangan pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang untuk menikah lagi di usia dewasa madya. Informasi detil ini telah digali mulai dari latar belakang individu sebelum pernikahan pertama, pandangan terhadap arti pernikahan dan peran suami istri dalam rumah tangga, serta serangkaian pengalaman yang dialami untuk memahami kebutuhan manusia yang pada dasarnya ingin terpenuhi. Temuan dalam penelitian ini mampu memperlihatkan benang merah bahwa kebutuhan dasar yang telah dimiliki manusia sebelum pernikahanlah yang kemungkinan besar menjadi landasan untuk menyikapi tantangan pernikahan kembali, dalam penelitian ini kebutuhan dasar tersebut adalah kebutuhan untuk diayomi, didengarkan, dihargai pendapatnya, serta rasa cinta dan kasih sayang. Bahasan mengenai proses pengambilan keputusan untuk menikah lagi pada wanita dewasa madya relatif masih sedikit diangkat dalam sebuah penelitian, khususnya penelitian kualitatif yang memfokuskan pada keunikan masing-masing individu. Sehingga penelitian ini memiliki potensi untuk dikembangkan yang hasilnya bermanfaat dan dapat diaplikasikan oleh pembaca.
commit to user