JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
GENDER DAN MEDIA FILM Ahmad Toni Mahasiswa Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana Staf Pengajar Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika Abstract Long history of women by the media into cooptation binary opposition is basically defined as the struggle for gender representation on them. Women show weaknesses and that excess dekonstruction through various media publication. Film is a tool to encourage the role of feminist struggle for equality can live with the man through the stories and themes that are tailored cultural context. Theme of gender is a theme worthy of sale by the mass media. Ke words : gender and media
I. PENDAHULUAN Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan, gender menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyaraktan di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Perempuan menggugat ilmu pengetahuan, agama yang dibangun atas dasar prinsip subjektivitas ilmu itu sendiri. Menurut pandangan mereka, ilmu pengetahuan bisa dan telah menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan terhadap kaum yang diopresikan oleh kaum laki-laki. Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin yang belum pernah disinggung sebelumnya. Sebagaimana teori sosial lainnya, gender mencoba menganalisis kelas, kultur, untuk memahami realitas sosial yang
memposisikan kaum perempuan di posisi yang selalu menjadi pelengkap kaum laki-laki. Hegemoni kaum laki-laki menjadikan landasan industralisasi, menjadikan alat penjajahan kaum perempuan. Terlebih lagi media massa, mulai dari media cetak, media elektronik dan lainnya. Semisal dikonstruk oleh media audio visual menjadikan boomerang bagi kaum perempuan. Perpanjangan kaum kapitalis atas media menjadikan sebagai instrument untuk menjajah kaum perempuan atas keterkungkungan kaum laki-laki yang sengaja dibangun dengan segala macam instrument sosial yang telah dikuasainya. Media menjadi alat yang paling ampuh untuk menciptakan budaya penjajahan terhadap perempuan dan untuk menciptakan wacana yang dilontarkan, sengaja diciptakan untuk diperdebatkan oleh perempuan sebagai konstruksi semu. Perempuan menjadi makhluk di dunia yang unik dan untuk selalu diperdebatkan menjadi wacana yang terselubung dengan wajah semu yang kemudian diperbincangkan oleh semua kalangan baik akademisi maupun kelas-kelas sosial terjalin di masyarakat.
II. PEMBAHASAN 1. Sejarah Feminisme Pada abad ke-18 dimana mula-mula proses industrialisasi bergerak cepat dan meninggalkan dampak yang paling besar pada perempuan borjuis terutama yang sudah menikah. Perempuan dalam kelompok ini ialah para perempuan yang merasakan tinggal di rumah dan tidak mempunyai pekerjaan poduktif dikarenakan mereka menikahi para kaum laki-laki professional dan pengusaha
yang berkecukupan. Wollstonecraft menyebut perempuan golongan ini sebagai perempuanperempuan “beruntung” yang diharapkan dapat terinspirasi untuk mencapai cara bereksistensi yang lebih manusiawi. (Tong, 2008). Perempuan kelas menengah yang selanjutnya disebut sebagai perempuan “peliharaan” jika dapat mengorbankan kesehatan, kebebasan dan moralitas untuk prestise, kenikmatan dan kekuasaan yang telah disediakan suaminya. Karena perempuan kelas
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
menengah ini tidak diizinkan untuk berolahraga di luar rumah, dikawathirkan hal ini akan menggelapkan kulitnya yang putih seperti bungan lili, menjadi tubuh mereka tidak sehat. Dan karena mereka dihambat untuk mengembangkan kemampuan nalarnya dengan alasan hal yang terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan memanjakan diri dan menyenangkan orang lain, terutama laki-laki (suami) dan anak-anak. Konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun secara kultural (Fakih, 1996). Semisal, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sejarah perbedaan gender antara jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang dan terbentuknya konsep gender dibentuk, diasosiasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan cultural. Konsep gender kemudian melahirkan marginalisasi yang kemudian mengakibatkan kemiskinan, dibanyak studi yang dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan. Dari pola yang dibentuk oleh legilitas negara dan laki-laki tersebut ialah pandangan gender yang ternyata menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Pandangan semacam ini yang menempatkan kaum perempuan sebagai kaum yang irassional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa memimpin yang kemudian berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Selanjutnya terjadi pelabelan atau stereotype yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan yang ditandakan sebagai kaum pinggiran dan lemah tidak mampu menggunakan logika untuk memandang memandang dunia. Karena diabaikan kesempatannya untuk mengembangkan diri dan kekuatan nalarnya, untuk menjadi manusia yang bermoral dan perhatian, motif dan komitmen yang jauh lebih besar dari sekedar kenikmatan pribadi, laki-laki juga seperti perempuan, akan menjadi sangat emosional. Para pemerhati
feminimisme mengistilahkan hal tersebut sebagai hipersensitivitas, narsisme yang ekstrim dan pemanjaan yang berlebihan. Feminsme membutuhkan suatu gerakan aksi sebagai perluasan wacana dalam masyarakat. Ketidakadilan gender secara kongkret kita hadapi bersama dalam segala lini kehidupan. Keadaan hidup ini merupakan akibat dari ketimpangan gender yang berawal dari ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dalam sejarahnya kajian feminis yang banyak digunakan ialah dalam ruang konfigurasi sejarah dan budaya untuk penyadaran tentang kedudukan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. (Wiratmoko, 2006) Sementara John Stuart Mill dan Harriet Taylor Mill dalam Rosemarie (2008) menyatakan perkembangan feminisme pada abad ke-19 “perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat setara dengan laki-laki”. Di dalam posisi tidak saja untuk mengekspresikan pandangan politik personal seseorang, tetapi juga untuk mengganti sistem, struktur dan sikap yang dapat memberikan kontribusi terhadap opresi terhadap orang lain, atau opresi terhadap dirinya. Agela Devis menunjukkan bahwa gerakan-gerakan hak-hak perempuan abad ke19 “pada dasarnya merupakan urusan perempuan terdidik, kelas menengah dan (kulit) putih”. (Rosmerie, 2008). Perempuan dapat berpartisipasi secara setara dengan lakilaki dalam berbagai perdagangan, profesi dan juga bisnis dan bahkan politik. Sejauh perkembangnya dalam memperjuangkan hakhak perempuan kajian utamanya hanya pada perempuan kulit putih. Pembicaraan persamaan hak perempuan kulit hitam hanya sebatas wacana dan masih mengkaji kontribusi perempuan kulit hitam untuk perjuangan kesetaraan peran dalam masyarakat. Selanjutnya pada abad ke-20 untuk mendapaatkan kebebasannya perempuan membutuhkan kesempatan ekonomi dan juga kebebasan sipil. Semangat yang mereka miliki ialah semangat revolusioner kiri, yang tujuannya bukan untuk mereformasi apa yang dianggap mereka sebagai sistem elitis, kapitalis, kompetitif dan individual, melainkan untuk segera menggantikannya dengan sistem yang egaliter, sosialistik, koorporatif, komuniter dan berdasarkan pada gagasan sisterhood-is-powerful (persaudaraan
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
perempuan adalah kuat), yang kemudian dikenal dengan feminis radikal.(Rosmerie, 2003). Friedan menegaskan dalam The Second Stage adalah perbedaan antara seorang feminis yang percaya bahwa perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki jika masyarakat menghargai yang “feminism” dan “maskulin” secara keseluruhan. Penegasan berikutnya ketika feminimine mystique ialah jika perempuan menjadi laki-laki, ia tidak akan terbebaskan. Artinya manusia yang utuh, secara ringkas, ialah berpikir dan bertindak layaknya seperti laki-laki. Perkembangan selanjutnya penggembaran The Second Stage ialah sebagai penggambaran sebagai gaya pemikiran dan tindakan beta yang menekankan pada “fluiditas, fleksibelitas dan sensitivitas 2. Sistem Gender Stanton menyatakan bahwa “secara tegas doktrin, kode, kitab suci dan hukum (Kristen) semuanya berdasarkan gagasan ideal patrialkal, bahwa perempuan diciptakan dengan mencontoh laki-laki (laki-laki yang utama diciptakan), dari laki-laki (tulang rusuk) dan untuk laki-laki, makhluk yang inferior, yang tunduk pada laki-laki” (Rosmerie, 2008). Kemudian bagaimana sistem seks atau gender mengopresi perempuan, tetapi karena kebanyakan perempuan pada masanya termasuk mereka yang aktif dalam gerakan perempuan tidak mampu untuk melihat realitas yang sebenarnya. Perempuan radikal yang menggabungkan diri dengan program liberal hanya untuk alasan pragmatis. Adalah sebuah kebenaran jika banyak kaum feminis dalam pembebasan perempuan tidak rela berada dalam jalur filosofis feminism akan tetapi untuk tujuan praktis, politik praktis. Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg klaim sistem seks atau gender dapat diinterpretasikan sebagai berikut: a. Bahwa perempuan adalah, secara historis, kelompok teropresi yang pertama. b. Opresi terhadap perempuan adalah paling menyebar dan ada di dalam setiap masyarakat yang diketahui. c. Opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti sulit dihapuskan atau dihilangkan dalam perubahan social. d. Opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling buruk korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
interpersonal” sebagai feminism secara budaya, dan menggambarkan gaya pemikiran dan tindakan alfa yang menekankan pada “hirarki, otoritas, kepemimpinan yang secara tegas berorientasi tugas berdasarkan rasionalistas instrumental dan teknologi sebagai feminis yang maskulin secara budaya. Freidan menyimpukan bahwa “hukum yang spesifik terhadap gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin”. (Rosmerie, 2008:45). Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara berarti memperlakukan keduanya dengan cara yang sama. Jika laki-laki tidak seharusnya menerima perlakuan khusus karena jenis kelaminnya, maka perempuan pun tidak seharusnya menerima perlakuan khusus. Penderitaan tersebut muncul akibat prasangka seksis, baik dari opresor maupun pihak yang diopresikan. e. Opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual untuk memahami bentuk opresi yang lain, (yang berkaitan dengan lingkup perempuan). Feminisme radikal-kultural dan radikal liberal, Gayle Rubin memaknai sistem seks atau gender adalah suatu rangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk mentransformasikan seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia. Masyarakat patriarkal menggunakan fakta mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan. Konstruksi budaya telah jelas secara alamiah dan karena itu normalitas seseorang bergantung pada kemampuannya, untuk menunjukkan identitas gender secara kultural yang dihubungkan atas dasar jenis kelamin biologis seseorang. Aliran pertama mengklaim bahwa gender terpisah dari jenis kelamin, dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif “penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik dan ramah” dan menampilkan laki-laki sebagai makhluk yang aktif “kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab dan kompetitif”. Karena itu cara untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
layak terhadap perempuan ialah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif dan kemudian mengembangkan kombinasi apa pun sifat feminisme dan sifat maskulin yang baik untuk dapat merefleksikan kepribadian unik yang dimilkinya masing-masing. Kate Millet berpendapat bahwa “seks adalah politis” bahwa seks ditujukan pada paradigma kekuasaan. Kasta sosial mendahului bentuk inegaliterianisme diantaranya ras, politik, ekonomi dan jika penerimaan terhadap laki-laki sebagai hak sejak lahir. Karena kendali laki-laki di dunia publik dan private terutama status, peran dan temperamen seksual (Rosmerie, 2008) Munculnya feminisme sebagai bentuk apresiasi heterogenitas dunia maupun sebagai refleksi posisi subjek yang berbeda, tuntutan gender terus berusaha menghapus batas-batas kodrati yang harus dilewati (Ben, 2005). Dalam konteks yang nyata dalam realitas keseharian perempuan menuntut adanya hak yang sama dengan laki-laki. Representasi kultural perempuan secara erat terkait dengan eksploitasi ekonomis dan politis pada perempuan itu sendiri. Semakin jauh dalam perkembangannya perempuan selalu menjadi objek dan sekaligus juga menjadi subjek yang prosentasinya kurang seimbang dengan dominasi kaum laki-laki dalam ranah kehidupan, baik kegiatan ekonomi, politik, struktural, lembaga dan di dalam rumah. Tujuan urtamanya ialah perempuan memegang peranan penting dalam bingkai kehidupan. Peran tersebut berupaya memberikan nuansa untuk memunculkan suatu pandangan tentang perannya di dalam masyarakat. Ideologi laki-laki yang menekkankan peran maskulin yang dominan sedangkan perempuan mempunyai peran subordinat (menerima). Hal ini dikonstruksi dari institusi akademi, agama dan peran keluarga. Seksualitas bagi ideologi laki-laki ialah lokus kekuasaan laki-laki yang merupakan tempat gender dan hubungan gender dikonstruksikan. Ideologi laki-laki yang kemudian menciptakan pandangan terhadap perempuan tertuang dalam aktivitas seksual, mendorong laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua, bukan saja di dalam dunia pribadi di dalam kamar tidur, melainkan juga di dalam dunia publik di tempat kerja dan
lingkungan, bersosial dan bernegara. Aliran kedua mengkritisnya dengan menyatakan bahwa feminis bukan hanya mengkaji perlakuan perempuan sebatas erotika dan thantika (publik). Hubungan seksual yang baik ialah lembut, menyentuh, bersisian (bukan satu di atas satu di bawah) yang kesemuannya menghasilkan hubungan seksual yang indah. Begitu pun peran dalam wilayah publik perempuan biasa memposisikan diri sebagai alur utama atau subjek bagi dirinya sendiri. Pemikiran Marxis tentang feminis “cenderung menunjukkan identifikasi klasisme dan bukan pada seksime” (Rosmerie, 2008). Marx percaya bahwa modus produksi suatu masyarakat yaitu dorongan-dorongan produksinya bahan baku, alat dan pekerja yang secara aktual menghasilkan produk, ditambah hubungan produksinya yang kemudian menghasilkan suprastruktural: lapisan gagasan hukum, politik dan sosial atau klasis. Adapun teori-teori yang menopang landasan feminimisme Marx antara lain: a. Teori Ekonomi Marxis Pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan membentuk pula sifat alamiah. Kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan dan juga hubungan pertukaran. Kapitalisme dipandang sebagai suatu sistem pertukaran, dipandang juga sebagai masyarakat komoditi atau pasar yang di dalamnya segala sesuatu, termasuk kekuatan kerja seseorang, mempunyai harga. Jika kapitalisme dipandang sebagai suatu masyarakat yang di dalamnya ialah transasksional, pada dasarnya adalah eksploitatif. b.
Teori Kemasyarakatan Marxis Di dalam masyarakat kapitalisme ada cukup banyak kontradiksi yang dapat mengakibat mengakibatkan pembagian kelas berdasarkan penghasilan yang diterimanya. Sifat yang tersegmentasi serta terspesialisasi kemudian struktur masyarakat kapitalis memaksa pekerja untuk saling bersaing dengan tanpa memandang jenis kelaminnya.
c.
Teori Politik Marxis Teori politik Marxis menawarkan bagi feminis suatu analisis kelas yang
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengopresinya. Manusia sebagian besar dibebaskan untuk melakukan apa yang ingin dilakukan di dalam batasan sistem (politik). d.
Teori Pembangunan Mansour Fakih (1996) menyatakan tidak ada konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang serumit dan sesamar teori pembangunan karena kemudian berkembang menjadi subteori-subteori yang saling berkaitan yang kemudian memposisikan kaum perempuan sebagai kaum termarginalkan dalam pembangunan. Selanjutnya uraian secara kritis difokuskan kepada diskursus pembangunan dan tentang bagaimana ketidakmampuan pembangunan merubah posisi ideologis kaum perempuan di masyarakat. Berikut teori-teori yang terkait di bawah teori pembangunan: 1). Teori Evolusi 2). Teori fungsionalisme structural 3). Teori modernisasi 4).Teori sumber daya manusia 5). Teori konflik 7). Teori ketergantungan 8). Teori kekuasaan dan perubahan sosial. Feminimime sosialis yang diwakili tokonya Louis Althusser dan Jurgen Habermas “menegaskan penyebab fundamental opresi Prinsip operasi dan teoritis yang menjadi ciri khas feminisme ialah hasil persimpangan feminisme dengan wacana metanarasimodernitas, contohnya Marxisme, ataupun wacana posmodernis dan postrukturalis tentang posmodernitas. Metanarasi adalah “sebuah cerita raksasa yang membantu kita untuk menyusun orientasi kita di dalam dunia yang memberikan kepada kita arah dan menjelaskah tentang narasi (gambaran masa depan) tentang kita”. (Eaglestone, 2003). Metanarasi juga menekankan kepada “whig” atau kemajuan (modernitas) pada gagasan bahwa ras manusia menjadi semakin baik dengan melewati momen dan pada akhirnya ras manusia akan menjadi sempurna. Persoalan moderinitas kemudian dikritis menjadi pandangan postmodern melalui tahapan-tahapan. Pertama, karena permasalahan harus berhubungan dengan fakta bahwa sejarah berbeda dengan memori
terhadap perempuan bukan klasisme atau seksisme melainkan suatu keterikatan yang sangat rumit antara kapilaisme dan patriarkal”. (Rosmerie, 2008). Adalah sesuatu yang dikhawatirkan oleh Jaggar bahwa feminis pada pendekatan pekerja yang tereksploitasi tidak menderita dengan cara yang sama, seperti istri dan pelacur yang teropresikan oleh keadaan patriarkal. Bagi aliran sosialis ketidaksetaraan kekayaan adalah penyeban pelacuran, sebagaimana hal yang sama terjadi pada kaum buruh. Selama masih ada kaum perempuan yang membutuhkan uang dan tanpa keahlian yang dapat dipasarkan, perempuaanperempuan ini sangat mungkin akan memilih untuk menjual tubuhnya untuk menghidupi anak-anaknya. Karena itu, melawan kapitalisme adalah juga melawan pelacuran dalam bentuk apapun termasuk dalam bentuk “perkawinan”. Feminism sosialis kontemporer menekan bahwa cara kapitalisme berinteraksi dengan patriarki secara jauh lebih buruk dengan laki-laki. Pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan kapitalisme, kapitalisme dapat dihancurkan jika patriarki juga dihancurkan dan bahwa hubungan material dan ekonomi manusia tidak dapat berubah, kecuali jika ideologi mereka juga diubah. 3. Modernitas dan Feminisme (narasi), bukanlah masa silam yang dikonstruksi dengan objektif, melainkan merupakan teks-teks yang dibangun oleh aturan umum yang mengklaim sebagai representasi dari masa silam tersebut. Kedua, sebagai konseksuensi dari penjelasan pertama, karena dengan pemikiran tersebut dan mengakui bahwa penulisan sejarah (narasi) berkembang dari metodologi dan cara pandang tertentu terhadap dunia dan bukan merupakan karya “objektif” (Eaglestone, 2003). Pertautan bingkai posmoderinisme kemudian menjadikan feminisme berkaitan dengan antifondasionalisme lainnya, diantaranya postrukturalisme dan psikolonialisme. Tahapan evolusi ini kemudian dikenal dengan posfeminisme. (Ann Brooks, 2006). Sementara Brenda Polan dalam Ann Brooks (2000) menyatakan bahwa “penggunaan konsep posfeminisme tergolong problematik karena dua alasan, pertama,
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
penyebaran yang luas berkonsepsi popular mengenai posfeminisme sebagai sumbangan istilah oleh media, kedua ialah perkembangan posfeminisme yang tidak seimbang sebagai suatu gerakan yang mengekspresikan perubahan dan hasil pembedaan kronologis dan geografis yang dapat dibuat. 4.
Gender dan Media Film Sentimen pertama kali muncul ketika pers pada sekitar tahun 1920-an mengadakan serangan kata-kata melalui media terhadap peran gender. Dengan cepat organisasiorganisasi feminis mulai terjungkal, dan kelompok perempuan yang tersisa dengan serta merta mencela amandemen persamaan hak atau dengan sederhananya mengubah diri menjadi klub-klub sosial. Bagi Faludi dalam Ann Brooks (2006) bahwa “agenda gerakan kaum feminis jelaslah disetting oleh media dan dirancang untuk meruntuhkan tujuan dan pencapaian kaum feminis. Media pada masa itu merancang dan mendeklarasikan bahwa feminisme adalah cita rasa dan posfeminisme adalah cerita baru”. Peran media sangat berpengaruh terhadap membingkai pemahaman umum yang negatif dan popular mengenai segala aspek perempuan. Pada tahun 1980-an penerbit di Amerika dari New York Time, Vanity Fair hingga The Nation telah mengeluarkan dan mengkonstruk tuduhan yang senantiasa melawan gerakan perempuan dengan kepala berita “Ketika Feminisme Gagal”, “Kebenaran yang Mengerikan Tentang Pembebasan Perempuan”. Mereka menganggap kampanye untuk persamaan hak perempuan bertanggung jawab pada semua kesengsaraan yang telah mengkungkung perempuan, dari depresi sampai kekurangan tabungan, dari bunuh diri remaja ke penyakit ketidakberaturan makan sampai corak kulit yang buruk”.(Brooks, 2006). Selanjutnya Hidayat (1999) menyimpulakan bahwa dalam budaya kontemporer media massa dalam laporanlaporan feminisme ditulis kembali, dipolitisasi dengan bingkai feminisme tidak perlu antifeminis. Kontruksi perempuan terus berkembang seiring perkembangan kajian ilmu komunikasi terlebih lagi komunikasi yang sudah memakai visualisasi digital. Sebagai contoh konstruksi perempuan dalam bingkai konstruktivisme. Dalam paradigma
komunikasi dimana konstruksivitas realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dimana kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.. Penjelasan secara ontologis realita sosial yang dikonstruksi berlaku sesuai dengan konteks yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Seperti yang dinyatakan oleh Burhan Bungin (2008) bahwa “tidak sedikit orang mengangumi keindahan perempuan sebagai “karya seni” terindah di dunia”. Kekuatan keindahan perempuan mengalahkan apapun di dunia ini, karena itulah dalam keindahan itulah tersimpan kehidupan yang menjadi pusat perhatian interaktif antara objek keindahan dan subjeknya”. Keindahan perempuan menjadi stereotip perempuan dan memebawa mereka ke alam sifat keindahan, seperti perempuan harus selalu tampil menawan, cantik, wangi, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima di setiap kesempatan, bersuara merdu, menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas serta sumber pengetahuan untuk keluarga. Sebenarnya dominasi perempuan dalam media massa audio visual bukan sekadar persoalan yang kompleks di atas, kemudian mempengaruhi laki-laki menyukai tontonan yang informasinya di dominasi dengan informasi perempuan. Akan tetapi, karena lazimnya penonton tayangan audio visual adalah lebih banyak perempuan dan yang harus disuguhkan konten mengenai masalah perempuan. Dalam tayangan iklan di televisi stereotip perempuan menjadi wacana dalam rancangan iklan televisi, sekaligus menempatkan stereotip tersebut dalam konteks sentral iklan televisi. Dalam berbagai iklan televisi stereotip perempuan digambarkan secara bebas, dimana ia menjadi penindas, perempuan juga harus tampil cantik dan awet muda bila ingin menjadi sukses, mampu mengurus semua keperluan rumah tangga dan anggota keluarga, sebagai objek seks dan iklan juga menghidupkan stereotip lama tentang perempuan, bahwa sejauh-jauh perempuan pergi akhirnya kembali juga ke dapur. Kemudian ilkan juga menghadirkan selera lama tentang perempuan berambut panjang. Pengkajian perempuan dengan persoalan yang berkaitan dengan perempuan ialah bagaimana perempuan dikonstruk menjadi alat menyenangkan orang lain,
35
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
terutama kaum laki-laki. Sedangkan perempuan sendiri sebagai subjek dan bagian dari upaya menyenangkan. Dalam sisi yang lain perempuan dijadikan kaum pinggiran dan alat legitimasi dari realitas kehidupan. Kehadiran perempuan sebagai legitimasi pencitraan produk yang diiklankan. Sebagai contoh di hampir di setiap iklan otomotif, sepeda motor, mobil selalu menggunakan legitimasi keberadaan perempuan yang dimetaforakan sebagai keindahan bodi produk tersebut. Legitimasi perempuan diperparah dengan iklan yang menempatkan perempuan sebagai pemuas seks laki-laki. Ketika iklan Extra Joss, peran utama iklan adalah laki-laki yang gagah, kuat, perkasa dan tampan, sedangkan perempuan hanya tokoh yang hadir untuk mengagumi sifat laki-laki tersebut sebagai legitimasi semu dan kaum pinggiran. Seks yang digambarkan dalam iklan tersebut ialah seks yang dipahami dalam masyarakat, selalu digambarkan sebagai kekuasaan lakilaki terhadap perempuan. Sifat dan kecenderungan iklan ialah kecenderungan yang mendekati logika pembohong. (Bungin, 2008). Berbohong dalam dunia iklan tidak ada hubungannya dengan maksud merugikan pemirsa, namun semata-mata sebagai pelajaran semiotika. Di sisi lain iklan juga dikonstruk untuk menembus dimensi waktu dan tempat. Sebagai sebuah bahasa komunikasi untuk mengkonstruk masyarakat iklan mempunyai struktur bahasanya sendiri. Pembohongan dan penipuan yang sering dituduhkan pada iklan, bagaimanapun harus disampaikan lewat “bahasa” (Piliang, 2005). Kekuatan iklan untuk mengkonstruk masyarakat didasari atas sistem teknologi yang mempengaruhi jalan pikiran masyarakat. Penciptaan realitas tersebut menggunakan satu model produksi yang disebut sebagai simulasi, yakni penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau tanpa realitas awal (Piliang, 2005). Kemudian penciptaan model melahirkan proses penciptaan citra terhadap perempuan. Pada kenyataanya iklan media cetak dan disusul iklan media siar diproduksi atau diciptakan untuk maksud pencitraan. Pada umumnya pencitraan iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan yang diiklankan, pencitraan itu antara lain:
a. b. c. d. e. f. g. h.
Pencitraan perempuan Pencitraan maskulin Pencitraan kemewahan dan ekslusif Pencitraan kelas social Pencitraan kenikmatan Pencitraan manfaat Pencitraan persahabatan Pencitraan seksisme dan seksualitas Sebuah iklan biasanya menawarkan sebuah citra yang dalam konteks bahasa iklan dapat dijelaskan sebagai gambaran mental dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Citra digunakan untuk mengorganisir relasi konsumsi, serta relasi sosial yang terbentuk. Citra akhirnya menjadi instrument utama dalam menguasi jiwa, membentuk dan mengubah tingkah laku setiap orang yang dipengaruhinya. Landasan citra kemudian menjadi unsur dasar dalam memilih sebuah produk. Media massa berikutnya yang berkaitan dengan feminisme ialah film. Mayne dalam Ann Brooks (2008) menyatakan bahwa “perkembangan simultan dari sinema dan psikoanalisis, secara obsesif lewat sinema yang diteorikan oleh psikoanalisis bagi sinema sebagai suatu manifestasi penjelasan Frued mengenai aparat psikis. Bagi feminis, kegunaan potensial dari psikoanalisis ialah merefleksikan penanaman yang bergairah dalam mengambil dan menegaskan perempuan sebagai subjek di dunia representasi, kepenontonan, kesarjanaan dan produksi”. Salah satu kesulitan yang dihadapi feminis adalah kecenderungan psikoanalisis untuk mengambil wacana film ke dalam suatu orbit phalosentris dan menganggapnya berasal dari identitas sebagai permasalahan yang universal dan keterpaksaan yang kemudian menjadi suatu pandangan esensialis tentang kajian gender. Di dalam kajian film feminis bukanlah seperti keterikatan antara dimensidimensi kesejarahan dan ideologis, namun fakta kontemporer yakni hubungan imajiner dan simbolik yang menjadikan perbedaan seksual merupakan daya tarik penentu yang sentral. Hubungan yang telah diciptakan film feminis antara sinema klasik dan evaluasi terhadap suatu sinema perempuan alternatif merupakan corak dan nuansa feminis dalam film, yakni merepresentasikan dualisme yang ada antara sinema klasik dan sinema perempuan alternatif. Konsep dan teori film
36
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
yang utama termasuk semiologi, teori psikoanalisis, realisme dan tatapan laki-laki (male gaze). Tujuan tersebut untuk mengembangkan kritik film feminis, khususnya masalah penyimpangan feminisme dan strukturalisme, psikoanalisis dan juga semiologi. Kaplan menyatakan dalam Ann Brooks (2008) bahwa “konsep psikoanalisis berguna untuk mencari konstruksi perempuan dalam sinema Holywood klasik”. Di mana psikoanalisis dan semiologi memungkinkan perempuan untuk membuka kunci budaya patriarkal seperti ekspresi dalam representasi dominan yang dilakukan oleh laki-laki melalui kuasa sosial, politik, ekonomi dan seksual terhadap perempuan. Film merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagian besar pada tingkat mitos. Tanda beroperasi melalui dua tingkat, yakni denotatif dan konotatif. Poligami masih menjadi pro-kontra di tengah kehidupan masyarakat di Indonesia yang sebagian besar adalah umat muslim, konsep dan perilaku kaum laki-laki didasari dengan teks-teks agamis untuk kemudian menafsirkannya dari sudut pandang mereka sebagai kaum dominan, baik dominan terhadap penafsiran teks agama maupun penafsiran terhadap kontekstualisasinya. Sebagian dari kaum laki-laki dalam pandangan poligami ada yang menyetujui dan sebagian menolak. Kaum laki-laki yang berkuasa pada perempuan atas kekuasaan yang meletakan ideologi dan hegomoninya. Prinsip kaum laki-laki terhadap poligami memiliki argumentasi, alasan poligami karena mengikuti sunnah Rasul. Selain itu fenomena kaum perempuan terjadi ketika perempuan harus merasa pasrah (ikhlas) untuk dijadikan istri dan merelakan suaminya berpoligami berdasarkan agama dan mendapat pahala. Di sisi lain mereka yang menolak, berpandangan bahwa berpoligami sama saja dengan menyakiti perasaan diri sendiri. Fenomena poligami ini, kemudian diangakat ke media film oleh rumah produksi Kalyana Shira Film sebagai repsentasi kehidupan masyarakat terutama masyarakat di wilayah perkotaan, seperti Jakarta. Nia Dinata mengangkat fenomena poligami sebagai kepedualian sutradara wanita yang cukup disegani oleh kalangan insan perfilman Asia. Nia kemudian menghadirakan tiga repsentasi poligami dari tiga unsure sosial masyarakat dengan latar budaya yang berbeda-beda pula
Denotatif merefleksikan suatu penanda dan makna yang spesifik dan konotatif ialah sebuah refleksi atas proses memberikan makna dalam konteks kebudayaan atau ideologis tertentu. Dalam bahasanya Yasraf Piliang (2005) mengungkapkan kedua tanda tersebut disebut sebagai “proper sign dan pseudo sign”. Proper sign ialah tanda yang sebanarnya, tanda yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan konsep atau realitas yang direpresentasikannya. Sedangkan pseudo sign disebut sebagai tanda palsu, suatu tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan berpretensi, gadungan yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas. 5.
Analisis Gender terhadap Film Berbagi Suami
untuk mengungkapkan keterwakilan inferior kaum perempuan di Indonesia. Nia Dinata tampaknya berupaya membuat sensitifis terhadap persamaan hak dan kewajiban kaum laki-laki dan perempuan atas perlakuan di segala dimensi kehidupan. Ruang-ruang masyarakat yang membelenggu kaum perempuan terhadap karir, budaya, pendidikan, bencana, ekonomi, sosial, agama dan lain-lain menjadi fokus deskripsi nyata tentang budaya media yang menjadi simulacrum atas kehadiran budaya itu sendiri. Kesejajaran perempuan kemudian menjadi suatu gerakan yang datang dari kaum perempuan itu sendiri yang kemudian dikenal dengan feminism. Suatu gerakan yang menginginkan kemerdekaan atas persahaan hak dan kewajiban dan mendobrak hukumhukum yang membelenggu mereka selama ini. Feminism berusaha untuk mendobrak kultur-kultrul masyarakat atas kehadiran kaum dominan terhadap perempuan sebagai upaya pembantahan terhadap kaum dominan tersebut. Fenomena pembantahan kaum perempuan sebagai landasan dan topangan kehidupan menjadi nyata ketika gerakan perempuan mengkrtik poligami yang sering menjadi sisi jurang bagi kaum perempuan, poligami bagi gerakan feminism menjadi suatu ancaman, penjajahan dan penindasan tersistem yang membelenggunya. Karena poligami bila dilandasi dari perspektif subjektivitas ialah pemahaman atau penafsiran atas poligami ialah dipahami dari pihak pemaham (decoder)
37
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
bukan dari pihak yang meletakan atau pihak yang telah menyatakan penafsiran sebelumnya (encoder) dan menjadi ruang penelitian yang dimungkinkan menjadi penelitian dalam perspektif feminisme. 6.
Analisis Gender Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban. Konstruksi perempuan yang dipresentasikan dengan karakter Annisa sebagai seorang anak kiai dilambangkan sebagai perlawanan ketidakadilan sistem, budaya dan pemahaman ayat-ayat agama yang kurang memberikan ruang bagi perempuan. Pada awal cerita, terjadi opresi perempuan dengan memunculkan stigma budaya dan pemahaman masyarakat tentang ketidakpantasan seorang perempuan menunggang kuda, protes dilakukan oleh Annisa terhadap kedua kakak laki-lakinya yang selalu diberikan kebebasan menunggang kuda dengan mencontohkan kebesaran dan kegagahan Aisyah isteri Nabi Muhmmad yang memimpin pasukannya. Protes demikian memojokkan logika ayahnya yang memaksakan kehendak dan setiap apa yang diucapkannya didengarkan dan untuk selalu ditaati, walaupun terdapat kekeliruan yang disebabkan salah penafsiran. Kedua, perempuan diposisikan sebagai kaum penurut dengan segala keputusan yang dinyatakan oleh seorang ayah dalam hal perkawinan. Pernikahan dalam Islam merupakan penyatuan bathin kedua manusia untuk menentukan masa depan secara dunia dan akhirat, kekuasaan seorang ayah atas kehidupan anak perempuan membuktikan perempuan tidak berada pada sebuah kebebasan menentukan kehidupannya, bahkan untuk memutuskan belajar pun tokoh Annisa harus menerima pukulan dan caci maki seorang ayah dengan alasan penjagaan kodrat. Kodrat perempuan yang diungkapkan sebagai seorang yang meluruskan jalan Surga dengan berbakti pada suaminya. Logika bakti pada suami ialah menentukan segala macam keputusan dengan melibatkan perempuan pada dataran perannya membangun keluarga. Ketertindasan Tokoh Annisa dengan karakter pemberontaknya mulai memunculkan kesedihan, hinaan, cacian bahkan pemukulan dari suaminya. Realitas budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki menempatkan seorang isteri berdiam diri di
rumah untuk menunggu suaminya pulang, pulang dari pengembaraan atas gadis-gadis lain. Pertentangan antara peran laki-laki yang dominan dan peran perempuan yang teropresikan dengan segala kemampuannya. Ketiga, persoalan penjatuhan talak dan perceraian yang mengakibatkan tokoh Annisa memutuskan untuk keluar dari perkawinan dikarenakan terus mengalami kekerasan seksualitas dari suaminya. Suami Annisa selalu memberikan tekanan-tekanan jiwa, kekerasan fisik ketika menjalani hubungan intim suami isteri. Hubungan seksual dalam islam diwajibkan dilakukan dengan kelembutan dan penuh perasaan kasih sayang, hubungan seksual menjadi suatu hubungan sakral yang dilakukan untuk memperjuangkan dan meneruskan keturunan keduanya. Depresi psikologis tokoh perempuan yang selalu ditekan suaminya memberikan ruang-ruang perlawanan. Sebuah perlawanan untuk menceraikan diri dari kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Sebuah rumah tangga dan keadaan yang memungkinkan tokoh Annisa di poligami dengan perempuan lain yang dikawini oleh suaminya setelah mengandung benih suaminya. Pada awalnya Annisa meminta cerai dari suaminya karena penerapan poligami, namun dengan desakan ibunya sendiri, Annisa harus dan rela menjalani kehidupan rumah tangganya. Sutradara film ini sebenarnya ingin memunculkan kehidupan masyarakat religius (Islami) pada tahun 80-an yang terjadi pada lingkungan pesantren sebagai sentral dan barometer kehidupan dan perkembangan Islam di Jawa Timur, sebuah kisah perlawanan seorang perempuan yang muncul akibat ketertindasan dan ketidakadilan yang dirasakannya. Sebuah perlawanan ketidakadilan perempuan yang justeru muncul dari keluarga seorang kiai untuk meluruskan penafsiran ayat-ayat suci yang diyakininya sebagai pedoman hidup. Pada dasarnya film ini memunculkan kebaruan tema dan keberanian protes terhadap kedudukan lakilaki selama ini. Kedudukan laki-laki yang tersistem oleh budaya keraton dan hegemoni pemerintahannya selama berabad-abad di Jawa. Islam sebagai agama yang muncul bersamaan peralihan Hindu-budha di Jawa memunculkan penegakan ajaran yang setengah-setengah hingga memunculkan
38
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
pemahaman yang membingungkan terutama bagi kaum yang termarjinalkan di dalamnya, yakni kaum perempuan. Perempuan yang diposisikan pada kasta dan sistem secara budaya dan ketidakmampuan pemuka agama yang tidak sama sekali meluruskan persoalan agama dan budaya. 8.
Analisis Gender Terhadap Film Jamila dan Sang Presiden Keberadaan perempuan dalam film ini ialah sosok pendendam, Jamila terlahir cantik, membuat banyak lelaki tertarik. Ia bertahan hidup, mencoba untuk menepi keluhan dan menerima keadaan ekonomi, sosial serta budayanya. Perempuan yang hidup di tengah masyarakat dimana tradisi menggadaikan anak sudah dianggap sebagai suatu kewajaran yang didasarkan pada alasan kemiskinan, pendidikan yang minim. Sebuah alasan klasik sosial yang sampai kapan pun tidak dapat terselelsaikan. Persoalan pelacuran menjadi momok untuk hidup pada strata sosial di masyarakat hingga membuat trauma berkepanjangan. Sosok Jamila ialah wanita tegar, ia berniat untuk mengumpulkan materi demi masa depan dan pendidikan sang adik tercinta, Fatimah. Jamila benar-benar terjerumus dalam buaian rayu laki-laki hingga satu persatu seluruh laki-laki yang dekat denganya dan Pada dasarnya konsep gender yang dinyatakan kaum feminisme menekankan kesetaraan hak dan kewajiban dalam segala aspek kehidupan. Kaum laki-laki yang dilatarbelakangi kultur, sistem dan stereotip agama memandang perempuan sebagai kaum yang subordinat bukan memandang mereka sebagai kaum yang sejajar dengan mereka. Terkadang kaum feminisme sendiri terjebak pada persoalan yang membelenggunyaa sendiri, terlebih lagi ketika hegemoni kaum laki-laki direpresentasikan pada dataran industrialisasi media. Media kemudian mengkonstruk kaum perempuan di dua sisi. Sisi yang memberikan kenikamatan untuk dirasai dan untuk menjual kenikmatan terhadap kaum perempuan dan kaum inferior yang menjajah kaum perempuan di lini paling mendasar. Media kemudian menjadi semacam
yang pernah menidurinya ia butuh dengan tanganya sendiri. Seorang anggota kabinet juga ia bunuh dan akhirnya ditemukan tewas di suatu kamar hotel. seluruh perjalanan Jamila sejak dijual ayahnya hingga benar-benar terjerumus ke dunia pelacuran menggambarkan betapa seluruh nilai dan norma saling bertarung. Jamila melebur dalam kilasan luka yang menggurat kisah hidupnya. Sehari sebelum Jamila menyerahkan dirinya, Jamila menolak dibela di pengadilan ia pun menolak tawaran untuk meminta grasi dari sang Presiden. Wanita itu lebih memilih menunggu hari kebebasannya sendiri. Bebas dari segala beban yang menghimpitnya selama ini. Bebas dengan caranya sendiri. Film Jamila Dan Sang Presiden memainkan peran sutradara yang begitu kuat menjunjung tinggi perjuangan perempuan untuk bisa membuktikan diri pada keluarga, harkat, sosial, ekonomi dan budaya yang telah membelenggu dirinya. Sutradara mencoba mengangkat tema berat dan persoalan perempuan yang tidak pernah terselelsaikan dan sering kali dianggap sebagai sebuah kemunafikan sosial dan terus dilecehkan. Sutradara perempuan yang mengusung tema perempuan dan menelisik persoalan perempuan dari perspektif perempuan.
III. KESIMPULAN simulasi budaya yang tidak berujung dan tidak berpangkal dan perempuan terjebak pada konstruk media tersebut. Feminisme pada dasarnya gerakan yang menjebak perempuan atas wacanawacana yang sengaja ditujukan pada perempuan sebagai wacana semu untuk diperjuangkan, diperdebatkan, dan untuk memerdekaan perempuan di ruang yang selalu dibatasi oleh kaum yang menjajahnya, yakni kaum laki-laki. Perempuan sebagai sebuah keindahan mampu mengekstasi siapapun dan untuk diposisikan sebagai posisi utama atau posisi pelengkap yang kemudian perempuan hanya memperjuangkan oposisi biner pada budaya simulacrum.
39
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
DAFTAR PUSTAKA Ann Brooks. 2008. Posfeminisme dan Cultural Studies, Yogyakarta: Jalasutera. Angger Ben. 2005. Teori Sosial Kritis, Penerapan dan Implikasinya, Ab. Nurhadi. Critical Social Theories: An Introduction. Burhan Bungin. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Deny
Hidayat. 1999. Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi, Jakarta: IKSI dan Rosda.
Dheny Wiratmoko dkk. 2006. Feminis Muda Membuat Perubahan, Yogyakarta: Kinasih Mansour Fakih. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Robert Eaglestone. 2003. Posmodernisme dan Penolakan Holocaust, Yogyakarta: Jendela. Rosemarie Putnam Tong. 2008. Feminist Thought, Yogyakarta: Jalasutera. Yasraf Amir Piliang. 2005. Hipersemiotika, Tafsir Cultural studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutera. Yasraf Amir Piliang. 2005. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutera.
40
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
41