TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Agribisnis Pengertian agribisnis, menurut Soeharjo (Hernanto,1996), mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian sampai pada tata niaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya. Berdasarkan konsep ini agribisnis digambarkan sebagai sistem yang terdiri dari berbagai sub sistem, yaitu (a) subsistem pembuatan dan penyaluran sarana produksi pertanian (farm supplies), (b) subsistem kegiatan produksi dalam usahtani yang menghasilkan bermacam-macam produk pertanian, dan (c) subsistem pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan dan penyaluran produk
pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya ke konsumen. Dalam perkembangannya konsep agribisnis di atas kemudian disempurnakan menjadi suatu konsep yang utuh, yang mengintegrasikan beberapa subsistem dalam satu kesatuan, yaitu : (1) Subsistem agribisnis hulu (u p-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar pertanian (off-farm),seperti bioteknologi; industri agrokimia (pupuk, pestisida); alat-alat pertanian; dan pakan ternak. (2) Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), seperti pembibitan pembenihan, budidaya perikanan; peternakan; perkebunan; pertanian.
(3)
Subsistem agribisnis hilir (down -stream agribusiness), yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis berupa industri terkait makanan dan industri bukan makanan. (4) Subsistem jasa-jasa penunjang, yang meliputi kegiatan -kegiatan
yang
menunjang
kegiatan
sektor
agribisnis,
seperti
agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/ keuangan. Kaitan antar satu subsistem dengan subsistem lainnya sangat erat dan penting, sehingga gangguan pada salah satu subsistem dapat menyebabkan keseluruhan sistem itu terganggu. Oleh karena itu, memahami kaitan-kaitan ini dan peranan lembaga-lembaga penunjangnya (seperti bank, koperasi, peraturan pemerintah, angkutan, pasar dan lainnya)merupakan salah satu tujuan penting dalam agribisnis. Demikian pula mengenai pelaku setiap subsistem dan teknologi yang digunakan. Dalam kegiatan agribisnis yang masih sederhana bentuknya, kegiatan ketiga subsistem ini dilakukan oleh seorang pelaku (one person agribusiness). Sarana produksi yang digunakan berasal dari hasil-hasil pertanian (kompos, kotoran ternak), sedangkan proses pengolahan hasil usahataninya masih
9
sederhana dan penjualannya masih terbatas ke pasar sekitarnya. Dalam agribisnis yang telah berkembang mencapai tahap yang maju, terdapat pembagian tugas yang mendasar antara berbagai fungsi karena corak dan sifat pertanian yang semakin kompleks. Pembagian tugas ini sejalan dengan penemuan dan penerapan teknologi baru serta meningkatnya pendapatan konsumen.
Perkembangan Bisnis Sayuran Di Jawa Barat Paparan tentang perkembangan bisnis sayuran di Jawa Barat akan diawali dengan gambaran umum komoditas unggulan dan penggunaan lahan di Jawa Barat. Penjelasan pada bab ini didasarkan pada data sekunder berupa Jawa Barat Dalam Angka, data Profil Desa-desa kasus, serta referensi lain yang relevan. Jawa Barat merupakan daerah beriklim tropis dengan curah hujan tinggi dan banyak jumlah hari hujan. Keadaan tersebut didukung oleh adanya lahan subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga menyebabkan sebagian besar dari luas penggunaan tanahn ya untuk pertanian. Kondisi topografi daerah utara Jawa Barat merupakan dataran rendah sedangkan daerah selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung -gunung di sebelah tengah. Letak geografis dan batas-batas Propinsi Jawa Barat dan lokasi studi dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1 . Produk pertanian di Jawa Barat antara lain meliputi jenis tanaman pangan, sayur-sayuran dan buah -buahan. Tanaman pangan terdiri dari jenis padi-padian, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, sedangkan beberapa jenis sayuran yang dominan antara lain: kentang, kubis, bawang daun, bawang merah, petsai, dan kacang panjang. Secara umum di tahun 2003 areal tanaman pangan di Propinsi Jawa Barat menurun, terutama untuk tanaman ubi, kedelai, kacang hijau dan padi, sedangkan lahan untuk sayuran mengalami peningkatan, terutama untuk kentang, kubis, kembang kol, cabe rawit, dan jamur. Penggunaan lahan untuk pertanian di Jawa Barat tahun 1993 dan 2003 dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum tanpa melihat per jenis tanaman, penggunaan lahan untuk tanaman pangan di tahun 2003 mengalami penurunan sebesar 92,6 persen dibanding tahun 1993, sedangkan luas lahan untuk sayuran mengalami kenaikan delapan kali lebih besar. Secara khusus dengan melihat
10
jenis tanaman sayuran kenaikan luas lahan hanya terjadi pada beberapa komoditas yaitu bawang daun (Allium fistulosum), bawang merah (Allium cepa), kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea), wortel (Daucus carota L.) dan jamur yang paling besar. Tabel 1 Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 1993 dan Tahun 2003 No.
Penggunaan Lahan
1
Tanaman Pangan
2
Sayuran
Luas (Ha)
Luas (Ha)
Persen
Tahun 1993
Tahun 2003
Perubahan
48526643
3576639
- 92,6
208 878
1 966 240
841,3
Sumber : Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003
Pada lingkup Indonesia, Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi penghasil
sayuran
terbesar di Indonesia selain Sumatera Selatan,
Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hampir semua wilayah di Propinsi Jawa Barat ini merupakan wilayah yang sangat baik dan potensial untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian, termasuk sayur-sayuran. Dari 16 kabupaten dan 9 kotamadya yang terdapat di wilayah administratif daerah Jawa Barat, semuanya dapat menghasilkan komoditas pertanian, khususnya komoditas sayuran. Jenis sayuran yang banyak dikembangkan secara komersial di wilayah tersebut antara lain: bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), bawang daun (Allium fistulosum), kubis (Brassica oleracea), kentang (Solanum tuberosum), petsai (Brassica rapa L.), wortel (Daucus carota L.), kacang merah (Phaseolus vulgaris) , kacang panjang (Vigna unguiculata), cabai (Capsicum annum L.), tomat (Lycopersion esculentum Miller), terung, buncis (Phaseolus vulgaris), ketimun (Cucumis sativus L.), labu siam ( Sechium edule (Jack) sw.), dan bayam ( Amaranthus tricolor L.). Produksi sayuran di Jawa Barat di tahun 2003 meningkat, sedangkan produksi pertanian untu k tanaman pangan mengalami penurunan.
Tabel 2
menyajikan total produksi sayuran Jawa Barat pada tahun 2003 adalah sebesar 2,84 juta ton atau mengalami kenaikan sebesar 38,3 persen dari tahun 1993. Sentra penghasil sayuran terbesar di Jawa Barat yaitu, Kabupaten Bandung (34.70%), dan Kabupaten Garut (22.68%), Kabupaten Cianjur (10.54%) dan Kabupaten Bogor (3.47%) dari produksi total Jawa Barat.
11
Tabel 2 Jumlah Produksi Sayuran dan Tanaman Pangan (dalam Ton) Tahun 1993 dan Tahun 2003 No
Lokasi
Sayuran Tahun 1993
1.
Jawa Barat
2.
Tahun 2003
Tanaman Pangan Persen Perubahan
Tahun 1993
Tahun 2003
Persen Perubahan
2060488
2849300
38,3
14100104
10818162
- 23,3
Bandung
518691
988758
90,6
861913
830383
-3,7
3.
Bogor
100887
98771
-2,1
755808
590402
-21,9
4.
Cianjur
254538
300296
18,0
671073
688762
2,6
5.
Garut
337416
646238
91,5
1060264
1255485
18,4
Sumber: Jawa Barat dalam Angka, Tahun 1993 dan 2003
Kecuali Kabupaten Bogor ketiga kabupaten tersebut di tahun 2003 mengalami kenaikan dalam produksi sayuran di Jawa Barat. Komoditas utama Jawa Barat dan sangat berpengaruh pada produksi total sayuran adalah kubis, kentang, tomat, dan wortel. Kenaikan produksi sayuran Jawa Barat disisi lain diiringi dengan penurunan jumlah pekerja sektor pertanian, dan penurunan areal tanam pada sebagia n besar jenis sayuran, kecuali bawang daun (Allium fistulosum), bawang merah (Allium cepa), kentang (Solanum tuberosum), kubis (Brassica oleracea),, wortel (Daucus carota L.) dan jamur (). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi proses intensifikasi pada usahatani sayuran di Jawa Barat selama sepuluh tahun terakhir. Tabel 3 Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertanian Tahun 1993 dan Tahun 2003
No.
Lokasi
Tahun 1993 (Persen)
Tahun 2003 (persen)
1.
Jawa Barat
37.71
34.87
2.
Bandung
32.51
24.37
3.
Bogor
20.59
19.09
4.
Cianjur
59.48
60.63
5.
Garut
59.03
46.30
Sumber Susenas, 1993 dan Jawa Barat dalam Angka, 2003
12
Pada tahun 1993 penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 37.71% dan pada tahun 2003 terjadi penurunan menjadi 34.87%. Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa Kabupaten Garut adalah wilayah yang paling banyak terjadi penurunan jumlah pekerja pertanian sekitar 13 persen, sedangkan Cianjur justru mengalami kenaikan sekitar 1 persen. Perkembangan bisnis sayuran Jawa Barat ditelusuri dari perubahan jenis komoditas pertanian yang diusahakan petani, yaitu dari tana man pangan ke tanaman sayuran. Tanaman pangan dinilai sebagai tanaman yang menghasilkan bahan makanan pokok, sehingga bertani dapat dikatakan sebagai cara hidup atau cara memenuhi kebutuhan hidup. Berbeda dengan tanaman sayuran, apalagi sayuran dengan nilai ekonomi tinggi, bertani dipandang sebagai cara memperolah keuntungan sebesar-besarnya yang kemudian disebut sebagai bisnis sayuran. Secara umum petani sayuran Jawa Barat, memulai bisnis sayuran dengan mencoba menanam sayuran lokal sebagai diversifikasi tanaman pangan. Tanaman pangan belum bisa ditinggalkan selagi petani masih merasa tidak aman bila tidak mempunyai persediaan beras, atau palawija. Seiring dengan kemudahan transportasi, maka bahan pangan utama seperti beras dapat dengan mudah dibeli di pasar atau warung. Pada saat itulah petani kemudian mengganti semua tanaman pangan dengan sayuran lokal, seperti wortel, bawang daun, seledri, lobak, kol/kubis, kentang, labu siam, buncis, tomat, kapri, sawi, timun, dll. Sayuran dinilai mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding padi dan palawija, karena selain itu siklus tanamnya bervariasi dari yang sangat cepat misalnya 2 minggu sampai 6 atau 8 bulan seperti cabe, juga karena harga jualnya lebih menguntungkan. Kemajuan di bidang teknologi budidaya dan kemudahan dalam transportasi dan telekomunikasi, mempermudah masuk benih-benih sayuran impor
sekaligus
merupakan
menguntungkan sekaligus
awal
bagi
bisnis
sayuran
yang
sangat
juga beresiko tinggi karena membutuhkan modal
yang besar. Meskipun ada perbedaan waktu dari satu lokasi ke lokasi yang lain, namun secara umum dapat diperkirakan bahwa perubahan dari tanaman pangan ke sayuran lokal terjadi sekitar tahun 80 -an, sedangkan masuknya benih impor sekitar tahun 90 -an.
Bisnis sayuran menjadi semakin banyak diminati oleh
13
masyarakat sejak akhir tahun 90 hingga sekarang, sebagai alternatif sumber pendapatan bagi para pengangguran korban PHK, pensiunan, dan pemilik modal. Komoditas unggulan di tiap lokasi berbeda -beda, na mun secara umum untuk wilayah Barat dapat diwakili oleh komoditas unggulan enam kabupaten sentra produksi sayuran dan dapat dilihat pada Tabel 4. Wilayah Bogor yang topografinya berbukit-bukit, dataran tingginya terdapat di sekitar lokasi “wisata puncak” sehingga jenis sayuran yang diproduksi juga bervariasi. Kacang -panjang (Vigna unguiculata) dan ketimun (Cucumis sativus L) .merupakan jenis sayuran dataran rendah sedangkan wortel (Daucus carota L.) dan bawang daun (Allium fistulosum) merupakan sayuran . Kacang panjang dan ketimun merupakan sayuran yang ditanam sebagai upaya diversivikasi jenis tanaman selain menggantikan padi. Tabel 4 Jenis Komoditas Unggulan untuk Sayuran Di Jawa Barat No.
Wilayah
Komoditas Unggulan Tahun 1993
Komoditas Unggulan Tahun 2003
1.
Bogor
Ketimun,Wortel, Kacang panjang, Bawang Daun
Kacang Panjang, Ketimun, Bawang daun
2.
Cianjur
Sawi, Bawang daun, Cabe, Wortel
Sawi, Wortel, Bawang Daun, Tomat
3.
Bandung
Kubis, Tomat
Kubis, Kentang, Tomat
4.
Garut
Kentang, cabe, kubis, tomat, dan wortel
Kentang, Tomat, Kubis
5.
Sukabumi
Petsai/sawi, Ketimun, Tomat, Kubis
Petsai/sawi, Ketimun, Kacang panjang, Tomat
6.
Kuningan
Bawang Merah, Bawang Daun, Kentang, Tomat
Bawang Daun, Bawang Merah, Kacang Merah, Cabe Rawit
Sumber: Jawa Barat dalam Angka, 1993 dan 2003
Kacang panjang dan ketimun merupakan jenis sayuran yang diminati masyarakat sebagai bagian dari menu sehari-hari, sehingga potensi pasarnya cukup b aik. Kabupaten Cianjur terkenal dengan sawi dan wortelnya, bahkan banyak petani di wilayah Cianjur dapat hidup berkecukupan dari hasil menanam wortel. Kabupaten Garut dan Bandung terkenal
dengan produksi kentang
dan
14
kubisnya, Kabupaten Sukabumi terkenal dengan sawi/petsai, serta Kabupaten Kuningan dengan produksi bawang merah dan bawang daunnya.
Keenam
kabupaten tersebut merupakan penghasil terbesar sayuran di propinsi Jawa Barat. Lahan yang diusahakan untuk usahatani sayuran sebagian besar merupakan lahan sawah tadah hujan, pekarangan, dan kebun atau ladang. Secara umum, lahan pertanian di Jawa Barat dapat dibagi menjadi dua macam penggunaan lahan yaitu, lahan sawah dan lahan darat. Lahan sawah secara rinci dapat dibedakan menurut jenis pengaira n, terdiri dari lahan irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, bukan PU, dan lainnya. Lahan darat dibagi lagi menjadi pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, hutan rakyat, hutan negara, rawa-rawa, tambak, kolam dan lain -lain. Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bogor. Bogor merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Komoditas unggulan untuk Kabupaten Bogor antara lain timun, wortel, kacang panjang, bawang daun. Beberapa Perusahaan Agrisnis di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perusahaan Agribisnis di Bogor No.
Perusahaan
Tahun Berdiri
Komoditas
Pasar yang Dituju
1.
Bina Sarana Bakti
1994
Sayuran lokal seperti: wortel, timun, oyong, buncis, kacang merah, bawang daun dll
Rumah Sakit, Gereja dan orang -orang yang mengkonsumsi sayuran organic.
2.
SM
1984
Bunga potong, Edamame, okra, zukini, nazubi dll
Supermarket dan restaurant.
3.
Joro
1992
Perusahaan penyedia sarana produksi pertanian
Perusahaan dan komuditas.
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.
Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini. Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh
15
berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan agribisnis tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap eksis sampai saat ini. Kehadiran perusahaan agribisnis sangat berpengaruh terhadap perkembangan komoditas sayuran di Kabupaten Bogor. Komoditas yang diusahakan tidak jauh berbeda, tetapi mutu produk sangat diperhatikan setelah masuknya perusahaan agribisnis tersebut. Masing -masing perusahaan tersebut punya kekhasan dalam kegiatan usahanya. Perusahaan Bina Sarana Bakti (BSB) merupakan perusahaan yang membudidayakan sayuran lokal dengan teknik pertanian organik. PT. Saung Mirwan (SM) memperkenalkan komoditas baru seperti, okra (Abelmoschus esculantus), edamame (Glycine max L.), zu chini (Cucumis sativus), nazubi, buncis mini, cisito, dll.
PT Joro merupakan perusahaan yang menyediakan
sarana produksi pertanian, khususnya untuk Green House. Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Cianjur. Cianjur merupakan sentra produksi sayuran di Jawa Barat.
Dari total penduduk
Kabupaten Cianjur yang bekerja di sektor pertanian sebesar 60,6%. Produk unggulan Kabupaten Cianjur adalah sawi, wortel, bawang daun, tomat. Saat ini petani sudah membudidayakan komoditas eksklusif diantaranya tangho, horinso, dan brokoli. Beberapa perusahaan agribisnis di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Cianjur No.
Perusahaan
Tahun Berdiri
Komoditas
Pasar yang dituju
1.
Pacet Segar
1975
Bayam, kangkung, buncis mini, wortel, selada keriting, kyuri, zukini, okra
Supermarket, restoran, hotel, pasar lokal
2.
Kem Farm
1987
Paprika, zukini, selada, brokoli, tomat, wortel, kol, kentang
Supermarket dan restoran
3.
PT Agro Wisesa Abadi
2000
Gherkin (timun Jepang) , buncis, jagung.
Ekspor ke Jepang
4.
Bumi Insan Cibodas
2003
Sayuran Jepang dan sayuran lokal
Swalayan dan restoran.
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.
16
Komoditas unggulan untuk sayuran di Kabupaten Cianjur sawi, wortel, bawang daun, tomat.
Kehadiran perusahaan-perusahaan Agribisnis di Kabupaten
Cianjur sangat bermanfaat bagi kemajuan usaha tani sayuran di daerah tersebut. Perusahaan yang ada di daerah tersebut sebagian menjalin kemitraan dengan petani dan pedagang pengumpul. Dengan kerjasama tersebut petani menanam komoditas yang dibutuhkan perusahaan mitranya, dengan komoditas yang tergolong masih baru, seperti tangho, brokoli, harinso, kyuri, nazubi dan lain-lain. Karena komoditas ini masih baru dan kurangnya informasi yang diterima petani banyak petani yang mengalami kegagalan tetapi ada juga yang bertahan dan berhasil mengembangkannya sampai sekarang. Petani yang tetap bertahan menanam produk-produk eksklusif adalah petani yang memiliki kepastian pasar biasanya bermitra dengan pedagan g pengumpul yang bermitra dengan perusahaan. Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Bandung. Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang paling besar menghasilkan hampir semua jenis sayuran dan Jawa Barat.
penyumbang terbesar terhadap total produksi sayuran di
Sebagian besar penduduknya (24.37 %) bermata pencaharian
sebagai petani, dengan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan hortikultura khususnya tanaman sayuran. Bisnis sayuran di Kabupaten Bandung mulai ditekuni oleh petani setelah masuknya perusahaan-perusahaan suplier sayuran yang membantu petani dalam pemasaran produknya. Perusahaan-perusahaan agribisnis di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Tabel 7. Banyaknya perusahaan suplier di Kabupaten Bandung sangat menguntungkan bagi petani dalam hal pemasaran, karena ada kemudahan dala m pemasaran maka banyak petani yang beralih dari tanaman pangan ke tanaman sayuran. Jenis
sayuran
yang
dibudidayakan
petani
juga
mengalami
perkembangan. Komoditas yang dibudidayakan petani tidak lagi hanya tanaman sayuran lokal tetapi tanaman yang mempunyai nilai bisnis yang tinggi. Petani mulai menanam tanaman-tanaman eksklusif sesuai dengan permintaan pasar.
17
Tabel 7 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Bandung No.
Nama Perusahaan
Tahun Berdiri
Komoditas
Pasar yang Dituju
1.
PD Hikmah
1970
Kentang, Kubis, Jagung, Teh
Pasar tradisional dan supermarket
2.
PT Bimandiri (perusahaan penyalur)
Sesuai dengan pesanan pasar
Supermarket
3.
PT Joro
1992
Penyedia sarana produksi tanaman hortikultura, Penyedia jasa pelatihan budidaya tanaman hortikultura
Supermarket dan petani
4.
PT Putri Segar
1993
Baby corn, baby kaelan, baby lettuce, baby kyuri, beetroot, brokoli,buncis, chuciwis, daun gingseng, paprika, kabocha,
Supermarket, Jakarta, Bandung, Surabaya
5.
Koperasi Mitra Suka Maju
1999
Paprika
Supermarket dan restoran, ekspor
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.
Komoditas baru yang dikembangkan petani diantarannya adalah, paprika (Capsicum annum L.), baby corn (Zea mays), baby kaelan (), baby lettuce, baby kyuri, beetroot, brokoli (Brasica oleracea), buncis (Phaseolus vulgaris L), chuciwis, daun gingseng, dan kabocha. Dengan bertambahnya jenis komoditas baru
ini sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi tanaman sayuran.
Meskipun kubis, tomat dan kentang dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini masih menjadi tanaman yang menjadi primadona petani tetapi produksinya mengalami penurunan sebesar 10 %. Teknik budidaya untuk membutuhkan modal yang besar.
komoditas baru tersebut lebih rumit, dan Bimbingan teknis dan kredit saprodi dari
perusahaan agribisnis tersebut menjadi hal yang menentukan keberhasilan petani dalam berproduksi. Keberadaan PT Joro dalam sejarah pengembangan agribisnis sangat penting terutama untuk sayuran yang membutuhkan biaya tinggi seperti paprika. Keberhasilan para petani yang tergabung dalam Koperasi Mitra Sukamaju adalah salah satu bukti tentang pentingnya peran perusahaan dalam membantu petani mengembangkan bisnis sayuran.
18
Perkembangan Bisnis Sayuran di Wilayah Garut. Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten penyumbang terbesar untuk sektor pertanian Propinsi Jawa Barat.
Selama kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 1993
sampai 2003 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 59.03% (tahun 1993) menjadi 46.30 % pada tahun 2003. Sejak tahun 1970 telah ada satu perusahaan agribisnis yang mengembangkan kubis dan kentang, namun bisnis sayuran di Kabupaten Garut mulai berkembang sejak tahun 1994. Pada tahun tersebut PT Sartindo Utama melakukan budidaya, pengolahan dan memasarkannya timun Jepang ke pasar lokal dan ke Jepang Perusahaan tersebut melakukan inovasi dalam bisnis sayuran baik dari jenis produk maupun dari pemasarannya, pada saat petani lain menjalankan usaha secara tradional dengan ko moditas dan pasar lokal. Komoditas unggulan Kabupaten Garut antara lain Kentang (Solanum tuberosum), cabe (Capsicum annum L.), kubis (Brassica oleracea), tomat (Lycopersion esculentum Miller) dan wortel (Daucus carota L.),. Beberapa perusahan agribisnis sayuran
yang
mempengaruhi perkembangan bisnis sayuran di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Perusahaan Agribisnis di Kabupaten Garut No.
Nama Perusahaan
Tahun Berdiri
Komoditas
Pasar yang di Tuju
1.
PD Sukatani
1970
Kentang dan Kubis
Pasar tradisional (Pasar Cibitung, Pasar Caringin, Pasar Tanggerang)
2.
PD Sinar Pusaka
1982
Kentang dan Kubis
Pasar tradisonal dan pasar induk Jakarta, Bogor, Bandung, Tanggerang
3.
PT Sartindo Utama
1994
Mentimun Jepang
Pasar Ekspor (Jepang)
4.
PT Saung Mirwan
1998
Lettuce, Okra, Zukini, Nazubi, Kyuri Edamame
Supermarket
Keterangan: Disarikan dari berbagai sumber.
Bisnis sayuran yang dijalankan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka masih sederhana dan milik perorangan. Komoditas yang dihasilkan kedua perusahan
19
tersebut adalah komoditas lokal yaitu kentang dan kubis. Modal dan lahan yang digunakan untuk budidaya kentang dan kubis adalah milik pribadi,
dan
pekerjanya diambil dari wilayah di sekitarnya dengan system upah harian. PT Sartindo Utama merupakan perusahaan yang sudah cukup maju dan dikelola dengan sistem yang modern.
Ada pembagian kerja yang cukup jelas untuk
karyawannya. Berbeda dengan PD Sukatani dan PD Sinar Pusaka, PT Sartindo Utama melakukan kerjasama dengan petani sekitar dalam memperoleh komoditas selain dari hasil perusahaan sendiri.
Petani mitra perusahaan ini
adalah para karyawan perusahaan dan pengawas kebun yang memiliki lahan dan bersedia untuk membudidayakan timun Jepang. Tetapi PT Sartindo Utama saat ini tidak mampu bertahan sehingga petani yang dulu bermitra kini bermitra dengan perusahaan lain, karena saat penelitian dilakukan perusahaan ini tidak lagi beroperasi. Keanekaragaman komoditas sayuran di Kabupaten Garut bertambah setelah PT Saung Mirwan masuk ke Kabupaten Garut. PT Saung Mirwan mulai mengadakan kemitraan dengan petani pada tahun 1998, tetapi kemitraan ini sempat terhenti selama satu tahun yaitu tahun 1999. Pada tahun 2000 PT Saung Miwan kembali melanjutkan kemitraannya sampai sekarang. Melalui PT Saung Mirwan petani yang menjadi mitranya belajar menanam tanaman yang baru dan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman -tanaman jenis baru ini sangat diminati petani di Kabupaten Garut, karena ada kepastian pasar dan harganya relatif lebih tinggi. Meskipun tanaman kentang tetap menempati urutan pertama dari daftar sayuran yang diproduksi Kabupaten Garut tetapi jumlah produksi mengalami penurunan sebesar 76.6 persen.
Proses Pengambilan Keputusan Petani Sayuran Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang harus dilakukan secara tepat oleh petani sayuran dalam memasarkan hasil pertaniannya, apakah akan membawa keuntungan atau kerugian. Oleh karena itu, dalam proses pengambilan keputusan petani harus dapat berfikir secara cepat dan tepat antara lain dalam menentukan komoditas yang akan ditanam, penggunaan pestisida, dan tujuan memasarkan hasil pertaniannya. Rakhmat (2001), mengemukakan bahwa salah satu fungsi berfikir ialah menetapkan keputusan. Setiap keputusan yang diambil akan disusul oleh keputusan -keputusan lainnya yang berkaitan.
20
Keputusan yang diambil seseorang beraneka ragam. dan umumnya memiliki ciri-ciri : (1) Keputusan merupakan hasil berfikir, hasil usaha intelektual, (2) Keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif, (3) Keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan. Pada proses pengambilan keputusan bagi kebanyakan petani kecil yang sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia menurut Soekartawi (1988), adalah bagaimana petani dapat meningkatkan pendapatannya. Petani sering dihadapkan pada berbagai aspek yang mempengaruhi, antara lain: (1) harga, kondisi
infrastruktur,
teknologi,
tersedianya
masukan
produksi,
dan
kebijaksanaan pajak; (2) tersedianya fasilitas petugas pendampingan pertanian, pemasaran, dan sebagainya. Kedua aspek tersebut mempengaruhi perubahan atau penetapan dalam proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh petani. Petani akan berupaya meningkatkan usahanya karena merasa didukung oleh situasi yang menguntungkan dan sebaliknya akan menghindar dari suatu resiko bila situasinya tidak menguntungkan. Interaksi antara petani dengan perusahaan mitra dalam konteks pola kemitraan melibatkan
proses mental dan tindakan petani, yaitu (1) proses
pengambilan keputusan dalam setiap kegiatan, (2) aktivitas fisik atau tindakan petani dalam proses produksi yang diarahkan oleh aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan mitra, dan (3) pengalaman baru petani sebagai hasil interaksi tersebut. Semua proses yang berlangsung dalam d iri petani baik mental maupun tindakan tercakup da lam konsep perilaku petani. dikemukakan
Bagian berikut
ini akan
tinjauan literature yang dikelompokkan dalam subbab-subbab
mengenai perilaku petani dan tinjauan literatur mengenai proses belajar serta keterlibatan petani dalam program kemitraan.
Petani dan Permasalahannya Petani adalah golongan masyarakat yang mencari nafkah dan menentukan cara hidup dengan cara mengolah tanah.
Bertani adalah suatu
mata pencaharian dan suatu cara kehidupan, bukan suatu kegiatan usaha untuk mencari keuntungan. Sebaliknya petani-petani yang mengerjakan pertanian untuk penanaman modal kembali dan usaha, melihat tanahnya sebagai modal dan komoditas, bukanlah petani akan tetapi pengusaha pertanian (Redfield, 1982). Petani selain sebagai individu yang tujuan produksinya terutama untuk
21
memenuhi kebutuhan -kebutuhan konsumsi keluarga, petani juga merupakan bagian dari suatu masyarakat yang lebih luas dalam hal ini termasuk golongan elit bukan-petani dan negara (Scott, 1983) Aturan-aturan sosial dan lembaga-lembaga kapitalisme modern menurut Scott menyebabkan munculnya perhitungan untung rugi, dan ekonomi uang menyebabkan orang-orang menjadi individualistis sehingga golongan elit petani dan bukan petani serta
lembaga-lembaga desa kurang memperhatikan
kesejahteraan petani. Hal ini berbeda pada masa pra-kapitalis dimana elit petani dan bukan petani serta lembaga -lembaga desa yang lebih bermoral dalam membantu petani lain. Berdasarkan dua definisi petani yang dikemukakan oleh Scott dan Redfield maka petani adalah seseorang yang melakukan kegiatan bercocok tanam (pertanian) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta menjadikan kegiatan tersebut sebagai cara hidup.
Sejalan dengan itu
Wolf (1983)
mendefinisikan petani sebagai orang yang mengelola usaha tani untuk kepentingan keluarganya dan bukan mencari keuntungan dalam arti ekonomi. Dari definisi tersebut terlihat bahwa petani menghadapi dua jenis lingkungan dalam kehidupannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Seperti yang dikemukakan Wolf (1983) bahwa petani harus menghadapi tekanan ekotipe petani, tekanan dari sistem sosial kaum tani dan tekanan dari masyarakat di luar komunitasnya. Selain itu, masalah abadi petani adalah mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan dari dunia luar dengan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya. “Peasants” adalah petani yang memiliki lahan yang sempit dengan memanfaatkan sebagian terbesar dari hasil produksi pertaniannya untuk kepentingan mereka sendiri sedangkan “farmers” menjual bagian terbanyak dari hasil pertanian mereka. Dari data luas lahan yang dimiliki petani di Indonesia, petani Indonesia dapat digolongkan sebagai “peasants” atau “subsistence farmers” dan bukan “farmers” seperti petani di Amerika dan Eropa Barat (Soetrisno, 1999). Akan tetapi, kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi komunitas petani yang terisolasi maka perilaku petani Indonesia akan sangat beragam. Perilaku individu petani dalam mengelola lahan yang beragam dapat menjadi pendukung maupun penghambat penerapan teknologi dalam pola kemitraan. Konsep pola kemitraan, beberapa landasan teknisnya mengadopsi
22
teknik pertanian modern, memiliki tantangan dalam penerapannya baik pada petani subsisten maupun petani komersial.
Hubungan Sosial Petani, Keluarganya, dan Komunitasnya Bahasan ini merujuk pada tulisan Wolf (1983), tentang aspek sosial petani. Keluarga petani ada yang merupakan keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak mereka, sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga inti. Pada keluarga petani bentuk keluarga yang dianut adalah keluarga luas dan kelompok-kelompok yang lebih luas dari keluarga inti. Hal ini be rkaitan dengan penyediaan tenaga kerja untuk bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam memungkinkan jumlah pekerja yang cukup banyak. Kalau kebutuhan tenaga kerja tersebut tidak terpenuhi maka akan didatangkan dari luar keluarga yang akan ikut menetap (p ekerja permanen) atau pekerjaan tersebut akan dikerjakan oleh pekerja musiman (pekerja tidak tetap) atau dengan pola gotong royong antar rumah tangga. Semua kebutuhan pekerja permanen akan dipenuhi oleh petani pemilik. Petani pemilik merupakan petani yang menguasai sumberdaya alam, tanah. Dalam sistem ini sudah ada pembagian kerja yang jelas.
Keluarga luas
berfungsi sebagai suatu organisasi untuk memusatkan sumberdaya alam dan tenaga kerja. Keluarga luas juga berfungsi untuk mempertahankan keutuhan tanah dan untuk menambah modal anggota keluarga.
Agar modal terus
bertambah diperoleh dengan cara sebagian anggota keluarga bekerja di luar sektor pertanian dan bertindak sebagai migran musiman. Keluarga luas juga berfungsi sebagai jaminan keamanan sosial yang fleksibel dibandingkan dengan keluarga inti. Karena pada keluarga inti daya hidupnya hanya tergantung pada kemampuan satu orang saja sedangkan pada keluarga luas daya hidupnya di tanggung oleh banyak individu. Keluarga petani merupakan keluarga yang mempunyai kemampuan tinggi untuk mengumpulkan sumberdaya.
Pola sosialisasi yang dianut adalah
membuat anggota-anggotanya untuk tetap tergantung pada kelompoknya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaannya. Keluarga luas merupakan keluarga yang mempunyai tanah yang luas jika dibandingkan dengan keluarga
23
inti. Pada keluarga luas tanah tidak dibagi-bagikan kepada anggota keluarga sedangkan pada keluarga inti tanah akan habis dibagi-bagikan kepada anggotanya. Keluarga luas mempunyai lebih banyak proses produksi bersama antar anggota keluarga di tanah yang mereka miliki bersama, dan akan menghasilkan produksi yang beraneka ragam. Keluarga inti tidak memiliki tanah yang cukup luas untuk kegiatan bercocok tanam, untuk memenuhi kebutuhan pangannya mereka menjual tenaga kerja yang mereka miliki (sebagai tenaga upahan). Adanya industrialisasi di pedesaan menyebabkan pembagian kerja menjadi meningkat.
Dengan adanya industrialisasi tenaga kerja yang tidak
mendapatkan pekerjaan di bidang pertanian akan berpindah ke sektor industri. Fenomena ini menyebabkan kenaikan areal lahan pertanian dan jumlah modal perkapita di pedesaan. Modal yang ada digunakan untuk memperbaiki teknik pertanian modern yang menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin. Apabila keluarga petani mendapatkan tekanan permasalahan akan diselesaikan dengan cara membagi-bagikan sumberdaya keluarga yang mereka miliki.
Sistem saling berbagi
di antara keluarga petani menghasilkan pola
tanam dengan menanam tanaman berumur pendek. Pada petani yang telah menggunakan teknik-teknik baru (modern) dalam menghadapi permasalahan dengan cara membiarkan masalah -masalah itu memilih sendiri sasarannya. Orang yang berhasil dengan pertaniannya akan semakin berhasil sedangkan yang tersisih akan semakin tersisih. Untuk menjamin kelangsungan hid upnya dan untuk mengatasi berbagai masalah petani biasanya hidup saling membantu dengan orang-orang di sekitarnya. Upaya saling membantu ini muncul atas dasar pertimbangan praktis yaitu suatu bentuk asuransi terhadap kesulitan yang akan dihadapi pada satu waktu. Selain petani bekerjasama dengan petani lain, petani juga bekerja sama dengan pemerintah atau pedagang. Bentuk kerja sama ini berupa kelompok, organisasi atau koalisi-koalisi petani. Koalisi petani adalah suatu kombinasi atau persekutuan terutama yang bersifat sementara antara orang, golongan , negara, terutama apabila menghadapi masalah atau tekanan dari atas-orang yang mempunyai kekuasaan ekonomi, politik atau militer. Misalnya minta bantuan untuk memasarkan produknya, menghadapi pejabat-pejabat pemerintah, dll.
24
Perkumpulan dibentuk antara orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Hubungan yang dibentuk atas kepentingan yang beranekaragam akan memberikan rasa aman dalam banyak konteks yang berlainan.
Tetapi
ketika ada kepentingan ya ng satu berusaha untuk mengalahkan kepentingan yang lain maka akan terjadi konflik. Bentuk kelompok ini akan bertahan lama apabila kepentingan -kepentingan tersebut dapat diikat menjadi satu. Kelompok yang terdiri dari satu kepentingan akan lebih supel ka rena kelompok tersebut dapat digerakkan dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan yang sama. Bentuk hubungan yang lebih umum adalah hubungan patron-klien di mana kelompok yang berkuasa
akan mendominasi hubungan ini.
kekuasaan akan terpusat pada pihak penguasa.
Segala
Orang yang mempunyai
kekuasaan akan bertindak sebagai patron sedangkan klien adalah orang yang dikuasai. Patron merupakan orang yang menguasai sumberdaya dalam proses produksi. Di dalam kegiatannya petani akan lebih mengutamakan kepentingankepentingan jangka pendek yang lebih sempit daripada kepentingan-kepentingan jangka panjang yang lebih besar.
Kaum tani mempunyai kekuatan yang
potensial untuk digerakkan dan untuk melakukan aksi bersama akan tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk tetap mengorganisasi. Tipe koalisi petani sangat mudah disesuaikan dengan perubahan -perubahan ekonomi dan sosial kearah suatu tatanan neo teknik.
Jadi apabila kita menginginkan petani untuk
mengubah cara berproduksi maka harus mengubah koalisi yang diikuti oleh para petani. Karena petani akan mengikuti apa yang diajurkan apabila petani lain juga mengikutinya. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan merupakan
upaya petani
mengatasi masalah produksi dan pemasaran hasil dengan bekerja sama dengan pihak lain yang dinilainya mempunyai sumberdaya yang lebih baik.
Perilaku Petani Perilaku yang dimaksud di sini adalah tindakan petani dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Petani melakukan adaptasi ekologis
(pemanfaatan lahannya), serta adaptasi sosial melalui pembentukan ikatan. Pilihan perilaku atau tindakan petani sangat dipengaruhi oleh pertimbangan-
25
pertimbangan yang berasal dari status petani sebagai makhuk sosial dan petani sebagai individu Beberapa ahli, yaitu Scott (1983) dan Redfield (1983) memandang perilaku petani yang sesuai dengan aturan sosial yang ada sebagai perilaku moral. Ahli lain, yaitu Popkin (1986) dan Harjono (1987) memandang perilaku petani yang komersiil mempertimbangkan secara rasional faktor-faktor yang dapat menin gkatkan usahataninya sebagai perilaku rasional.
Kedua kategori
perilaku tersebut bukan dimaksudkan untuk secara ekstrim membedakan antara moral dan rasional, misalnya muncul pertanyaan apakah petani rasional itu tidak bermoral atau petani moral itu tidak rasional, bukan demikian. Konsep perilaku moral dan perilaku rasional muncul dari cara pandang yang berbeda tentang perilaku petani, dimana yang satu melihat dari sisi moral petani, dan yang lain melihat dari sisi rasionalitas petani. Konsep rasionalitas dikemukakan Weber (Johnson, 1988) untuk menganalisis secara obyektif mengenai makna subyektif tindakan individu, dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda.
Weber menggolongkan rasionalitas tindakan individu sebagai: (1)
rasionalitas instrumental, (2) rasionalitas yang berorientasi nilai, (3) tindakan tradisional dan (4) tindakan afektif. Berikut akan dikemukakan pilihan perilaku petani /individu menurut beberapa ahli di atas.
Subsisten. Karena usaha tani bukanlah usaha komersil melainkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup saja, maka petani tidak mengejar keuntungan maksimal dari kerjanya. Subsistensi petani terlihat pada kecenderungannya untuk lebih memilih tanaman pokok daripada tanaman pe rdagangan. Adaptasi petani dengan lingkungan fisiknya tidak bersifat eksploitatif. Pernyataan Robert L Neiro yang dikutip Wolf (1983) menyatakan bahwa seorang petani mungkin akan menghentikan usaha-usaha produktifnya di ladang ketika kebutuhan minimum kalorinya serta dana penggantiannya sudah terjamin. Petani tidak memiliki alasan-alasan teknis ataupun sosial untuk menambah jam kerja melebihi anggaran kerja harian mereka. Usaha produksi untuk memenuhi tingkat minimum kalori dan untuk tingkat dana penggantian akan tergantung pada rangsangan-rangsangan
dan
tuntutan-tuntutan
sosial.
Artinya
standar
terpenuhinya kebutuhan petani mendapat pengaruh dari lingkungan sosialnya. Bila individu -individu lain di lingkungan sosialnya berkembang kebutuhannya,
26
maka standar kebutuhan petani juga akan meningkat. Kegiatan
usahatani
subsisten
berimplikasi
bahwa
petani
juga
menerapkan sistem “pemberaaan” pada tanah (tanah dibiarkan tidak ditanami selama beberapa waktu) karena tidak dikejar oleh produksi besar-besaran dari tanah. Kegiatan usahatani subsisten juga menerapkan diversifikasi pertanian yaitu petani berupaya mengurangi dan meratakan resiko kegagalan panen melalui penanaman beberapa jenis tanaman.
Kedua metode ini yaitu
pemberaan dan diversifikasi tanaman berguna untuk menjaga kesuburan dan kelestarian tanah. Perilaku subsisten ini tidak berarti menolak semua inovasi. Inovasi yang ditolak oleh petani subsisten adalah yang mempunyai resiko tinggi. Menolak Inovasi. Penolakan inovasi dilakukan karena kondisi krisis subsistensi yang dihadapinya.
Petani tidak berani mengambil resiko untuk
mencoba suatu inovasi karena akan mengancam kelanjutan hidup diri dan keluarganya.
Petani lebih memilih teknik pertanian yang selama ini mereka
lakukan dan dapat menjamin subsistensi mereka dari pada mencoba hal baru yang belum dapat dipastikan hasilnya.
Terikat Tradisi. Penolakan inovasi juga terkait dengan keterikatan petani pada tradisi yang selama ini mereka pegang.
Keterikatan pada tradisi juga
mencirikan adanya ketergantungan petani pada komunitasnya. Terdapat kecenderungan bahwa perilaku petani banyak ditentukan oleh kesepakatan komunitas atau masyarakat di sekitar petani tersebut.
Hal ini berarti juga
penetapan jenis tanaman dapat dilakukan dengan kesepakatan dalam komunitas walaupun tidak secara eksplisit ditetapkan dalam komunitas namun ada dorongan bagi petani untuk seragam dengan petani lainnya dalam komunitas tersebut. Petani berusaha menjaga hubungan baik dengan tetap berpegang pada nilai tradisional untuk menjamin kebutuhan hidupnya (Wolf, 1983). Menurut Scott (1983), petani memilih untuk menciptakan lembaga -lembaga yang dalam keadaan normal menjamin orang-orang paling lemah agar terhindar dari kehancuran
ketika
menghadapi
masalah.
Petani
lebih
memilih
untuk
mempertahankan ketergantungan pada patron untuk menjamin subsistensi. Artinya kegiatan usaha tani juga dipengaruhi oleh patron tempat petani bergantung.
27
Dari tiga jenis pilihan perilaku tersebut diatas, apabila seseorang bertindak subsisten, dan menolak inovasi, karena terikat tradisi maka Weber menggolongkannya menjadi tindakan yang tradisional.
Tindakan tradisional
merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non rasional.
Kalau seorang
individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional. Pembenaran atas tindakan ini hanya karena merupakan kebiasaan. Apabila kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini maka kebia saan dan institusi mereka didukung oleh kebiasaan dan tradisi yang sudah lama mapan sebagai kerangka acuan, yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Weber mengatakan bahwa tipe tindakan ini akan menghilang karena meningkatnya rasionalitas instrumental. Rasional (Komersial). Selalu ada perilaku ekonomi yang rasional dari masyarakat, yang berarti tidak menolak pasar sebagai model alokasi sumber ekonomi (Ismail, 1994 ). Artinya petani juga akan selalu bertindak rasional dalam mengelola usaha taninya. Pemikiran Scott (1983) dan Popkins (1986) tidak berbeda yaitu bahwa petani berpikir rasional. Karena walaupun Scott (1983) berpendapat bahwa petani gurem yang sering tidak dapat mengusahakan maksimalisasi dalam usahataninya,
tidak
menambah
resikopun
adalah
pemikiran
rasional.
Konservatisme petani menurut persepsi Scott artinya juga rasional. Pemikiran rasional petani adalah menghindari biaya beban yang lebih besar daripada yang dipikulnya. Menurut Scott petani termiskin merasa dirinya aman selama masih hidup dalam naungan desa dan komunitasnya yang akan membantunya pada saat terkena musibah. Bagi petani sistem sosial dengan gotong-royong, gugur gunung dan kelembagaan tradisional lainnya dirasakan tidak akan menambah beban resiko yang harus ditanggungnya. Hal yang paling dikhawatirkan petani adalah apabila keseimbangan yang menjamin ketenangan hidup walaupun dalam keadaan miskin dikacaukan, karena perubahan keseimbangan mungkin sekali akan memperbesar resiko hidupnya.
Inilah yang menyebabkan petani
miskin kerap curiga terhadap pembaharuan, termasuk teknologi. Cenderung bersifat konservatif dan berhati-hati, menunggu bukti yang meyakinkan dahulu, baru bila perubahan itu ternyata menguntungkan akan diikuti petani. Pembuktian seperti ini makan waktu dan meminta kesabaran. (Wiradi , 2000)
28
Menginggat sikap petani yang demikian kita yang menginginkan perbaikan nasib hidupnya harus mengerti dahulu bahwa sikap kehati-hatian petani diakibatkan oleh ketidakpastian
tentang resiko.
Setiap usaha atau
pendekatan kepada petani miskin yang akan meningkatkan resiko pada akhirnya akan mencapai titik yang akan membuat petani miskin memberontak. Popkin (1986) berpendapat bahwa kaum ekonomi moral (seperti Scott, 1983; Wolf, 1983; Redfeild, 1983) terlalu lunak dalam memandang desa dan ikatan patron -klien, dan terlalu keras pada potensi pasar, tidak melihat dimana pasar-pasar dapat menguntungkan petani, dan tidak melihat faktor struktural yang menentukan impak pasar (teknologi) terhadap petani. Perilaku rasional individu adalah bagaimana orang-orang berbuat dalam situasi-situasi yang memberikan alternatif-alternatif tertentu, dan bahwa mereka mengejar tujuan-tujuan mereka secara rasional.
Popkin (1986) kemudian
menyebutkan bahwa rasionalitas yang dimaksudkan adalah bahwa individuindividu menilai hasil-hasil yang mungkin diperoleh yang berkaitan dengan pilihan-pilihan mereka yang sesuai dengan kesukaan-kesukaan dan nilai-nilai mereka. Evaluasi dilakukan menurut estimasi subyektif mereka. Kemudian melakukan pilihan yang mereka yakini akan dapat memaksimumkan kegunaan (utility) yang diharapkan. Menurut Todaro (1980) rasionalitas adalah perlunya dilakukan subtitusi metode -metode modern dalam bidang pemikiran, pelaksanaan kegiatan -kegiatan produksi, distribusi, dan persiapan konsumsi di hari tua serta segenap praktek tradisional lainnya. Menurut perdana menteri India Jawaharlal Nehru (Todaro, 1980) yang diperlukan oleh negara-negara berkembang adalah suatu masyarakat yang gandrung akan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Yang
diperlukan bukan hanya teknik-teknik baru di bidang pertanian, pendirian pabrikpabrik maupun penyediaan sarana transportasi, melainkan juga berpikir masyarakat modern.
Teknik modern itu bukan hanya menyangkut soal
memperoleh ala t dan menggunakannya, melainkan juga sangat berkaitan dengan proses-proses pemikiran modern yang melahirkannya. Seseorang tidak akan menguasai peralatan modern dengan pemikiran kuno.
Bila demikian
halnya maka negara -negara berkembang tidak akan berhasil menggapai kemajuan yang berarti.
Rasionalitas itu menghendaki adanya pemikiran-
pemikiran yang logis dalam perumusan berbagai macam strategi dan kebijakan
29
ekonomi dan aneka rupa kesimpulan yang masuk akal serta yang berakar sedalam mungkin pada ilmu pengetahuan dan fakta -fakta yang relevan. Weber (Johnson, 1988) mengemukakan tentang tindakan rasional, yang terbagi menjadi rasionalitas instrumental dan rasionalitas yang berorientasi nilai. Rasionalitas instrumental adalah tingkat rasionalitas yang paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar dan berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya yang mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya.
Dalam melakukan
tindakan ini individu mengumpulkan informasi, mencatat kemungkinankemungkinan
serta
hambatan -hambatan,
dan
mencoba
meramalkan
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu. Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai. Tujuan-tujuan sudah ada dalam individu sehubungan dengan nilai-nilai akhir yang ingin dicapai.
Alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan
perhitungan yang sadar. Misalnya orang yang punya pengalaman merasa damai karena kehadiran Tuhan bersamanya memilih alat seperti meditasi, berdoa, menghadiri upacara di gereja untuk memperoleh pengalaman religius itu. Apakah pengalaman itu dapat dicapai secara efektif, tidak dapat dibuktikan secara obyektif.
Terbuka pada Inovasi. Kenyataan bahwa tidak ada masyarakat petani yang terisolasi menyebabkan petani tidaklah merupakan komunitas yang berdiri sendiri dan secara murni berperilaku yang terlalu bergantung pada tradisi. Menurut L. Reynold seperti yang dikutip Ismail (199 4) petani bereaksi secara positif terhadap peluang-peluang yang dapat meningkatkan pendapatan. Perekonomian negara berkembang jauh dari perekonomian subsisten murni. Rasio antara produksi dan konsumsi rumah tangga tidak pernah sama dengan 100%. Bisnis lokal tetap penting melalui perdagangan antar individu dan keluarga. Masyarakat miskin dan buta aksara dapat melakukan perhitungan yang tidak keliru mengenai keuntungan ekonomi. Mereka sangat tanggap terhadap inovasi. Selain itu, terdapat bukti bahwa petani mengalami perubahan, yaitu berani menghadapi resiko, dari petani subsisten menjadi petani komersial dengan mutu bervariasi (Jarmie, 1994).
Keterbukaan pada inovasi ini sesuai
dengan pernyataan Popkin (1986) bahwa apabila petani sudah merasa kondisinya aman artinya tidak terancam tingkat subsistensinya maka petani akan
30
berani bertaruh untuk melakukan investasi demi meningkatkan kondisi kehidupannya bukan hanya untuk mempertahankan hidup.
Pilihan
Perilaku
Sebagai
Suatu
Konsep
Kontinum.
Pilihan
perilaku/tindakan petani bergerak antara subsisten dan komersial, atau antara menolak inovasi dan terbuka terhadap inovasi. Petani melakukan pertimbanganpertimbangan tertentu agar dapat mempertahankan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pertimbangan tersebut adalah tingkat keuntungan yang akan diterima dan norma atau nilai yang berlaku. Petani akan berusaha bertahan dengan aturan lama sejauh aturan tersebut masih lebih menguntungkan (Harjono, 1999). Harjono menunjukkan perubahan yang terlihat secara implisit adalah perubahan tata nilai petani menjadi individualis. Sifat individualis yang tampak pada keikutsertaan dalam usaha perbaikan fasilitas umum apabila fasilitas tersebut dapat memberikan manfaat secara langsung terhadap dirinya. Sifat individualitas juga terlihat pada diutamakannya ikatan kekerabatan dalam pengelolaan usaha tani. Pemilik merasa tidak perlu memberi kerja pada orang lain melalui bagi hasil. Perubahan lainnya adalah petani menjadi lebih komersial melalui diterimanya sistem sewa pada pola hubungan pengelolaan lahan. Strategi adaptasi yang dilakukan (perubahan yang terjadi): Intensifikasi dan diversifikasi usaha pertanian (perubahan dalam strategi pemanfaatan lahan), peralihan sistem bagi hasil menuju sistem sewa (perubahan dalam kontrol terhadap lahan), peralihan ke sektor non pertanian, individualistik (perubahan hubungan kerja).
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani Petani memiliki dua strategi berlawanan untuk mengatasi dilema antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial yaitu dengan memperbesar produksi atau mengurangi konsumsi. Pemilihan strategi akan tergantung pada tatanan sosial dan konteks tertentu. Setiap saat selalu akan ada sejumlah orang yang akan mengambil resiko dikucilkan oleh masyarakatnya dengan tidak menaati norma dan tradisi, sementara orang-orang lain akan memilih aman dengan sikap mentaati norma-norma yang dianggap benar. Kenyataan variasi pemilihan strategi tersebut sekaligus menyanggah bahwa kehidupan petani bersifat statis (Wolf, 1983).
31
Dalam kaitannya dengan adopsi inovasi, Rogers (1995) mengemukakan lima faktor yang mempengaruhi laju adopsi suatu sistem sosial yaitu: (1) ciri-ciri inovasi, (2) tipe keputusan inovasi, (3) ciri sistem sosial, (4) sifat saluran komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan inovasi dalam proses keputusan inovasi, (5) gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi. Penelitan Eko Setyanto
(1993) menunjukkan bahwa pelaksanaan
program Supra Insus di desa dapat dikatakan kurang dapat berjalan seperti yang diharapkan (gagal). Program Supra Insus yang tidak dilaksanakan oleh petani adalah pemakaian ZPT (Zat Perangsang Tumbuh) pola tanam, dan pergiliran varietas.
Pada umumnya petani tidak menggunakan ZPT dikarenakan
membutuhkan biaya yang mahal.
Disamping itu petani kurang merasakan
secara langsung manfaat dari ZPT tersebut. Sedang tidak berjalannya pergiliran varietas dan pola tanam disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar kelompok tani itu sendiri. Di samping itu tidak dapat berhasilnya secara maksimum pelaksanaan program Supra Insus, dapat pula disebabkan oleh faktor penyuluhan yang kurang intensif. Tidak dilaksanakannya pola tanam di desa berkaitan dengan beberapa faktor terutama adalah kebiasaan petani yang sudah turun temurun. Petani tidak mau menanggung resiko kegagalan disebabkan menanam tanaman baru yang sulit untuk dipasarkan natinya sedangkan petani memerlukan uang yang cepat. Sebaliknya penelitian Yudisiani (1999) menunjukkan bahwa kegiatan SLPHT berhasil karena : (1) materi SLPHT lebih menekankan pada aspek kognitif. Materi ajaran merupakan materi yang sudah tidak asing lagi bagi petani. Kurikulum
belajar
disesuaikan
dengn
kebutuhan
petani.
Petani
bisa
mengaktualisasikan diri berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. (2) lokasi belajar di tempat petani bekerja sehingga tidak menganggu pekerjaan mereka Penelitian Yufrizal (1999) menunjukkan bahwa proyek penerapan SAPTA Usaha Perikanan dikatakan berhasil ditandai dengan profil perilaku petani yang menerapkan teknologi baru dan meninggalkan teknologi lama, teknologi baru tersebut dalam penerapannya tidak memerlukan biaya yang mahal dan cara penggunaannya mudah. Tindakan sosial dibentuk bersama oleh sejumlah kekuatan (dorongan) sosial dan membentuk (proses) interaksi sosial. Sejumlah kekuatan sosial mencakup: (1) tindakan diatur melalui harapan yang didefinisikan secara sosial
32
(budaya); (2) tindakan ditentukan oleh karakteristik setiap orang yang berinteraksi; (3) tarakteristik tersebut merupakan bagian posisi yang mereka tempati dalam struktur sosial; (4) hubungan interpersonal, jaringan sosial juga membentuk tindakan sosial; dan (5) interaksi mengambil tempat dalam konteks struktur sosial yang lebih luas, integrasi fungsional (Soekanto, 1990). Terdapat perbedaan pandangan Scott (1983) dan Popkin (1986) dalam menilai
individualitas petani. Menurut Popkin (1986), petani itu terutama
memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarga mereka. Minat pribadi petani akan atau tidak akan berkontribusi pada tingkat kolektif tergantung pada keuntungan pribadi yang akan diperoleh bukan pertimbangan keuntungan kolektif. Sementara Scott (1983) melihat kekuatan sosial yang mempengaruhi perilaku petani. Perbedaan perilaku petani baik secara moral maupun rasional dipengaruhi oleh perbedaan dalam tingkat subsistensi petani, perbedaan struktur komunitas petani serta perbedaan tingkat pengaruh kolonialisasi. Faktor lainnya adalah bahwa petani mendapat pengaruh juga dari luar komunitas, di mana petani menjaga integritas tradisinya dengan membuat kompromi-kompromi (Redfield, 1983). Oleh karena itu berikut adalah beberapa faktor yang akan mempengaruhi perilaku petani yang kemudian akan dikaitkan dengan pengambilan keputusan dalam pola kemitraan.
Karakteristik Petani Petani memiliki karekteristik yang beragam. Karakteristik tersebut dapat berupa karakter demografis petani, karakter sosial petani serta karakteristik kondisi ekonomi petani itu sendiri. Di mana karaktersitik tersebutlah yang membedakan tiap perilaku petani pada situasi tertentu. Tingkat Subsistensi.
Menurut Redfield (1983), tidak semua petani
merasakan hal yang sama terhadap pekerjaannya, tergantung pada: kepemilikan tanah, kondisi ekonomi, kondisi ekologi (histories and ecological-economies). Petani juga mengalami tekanan-tekanan kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga secara kritis perlu mencermati ciri-ciri khas petani dan nilai-nilai yang dianutnya spesifik menurut waktu dan lokasi (Wolf, 1983).
33
Scott (1983) juga menyebutkan bahwa pola pengambilan keputusan petani tergantung pada kondisi subsistensi petani, di mana petani diasumsikan berada dalam kondisi yang rawan terhadap krisis subsistensi. Sehingga sedikit saja kegagalan akan sangat membahayakan kelangsungan hidup petani, p etani akan memilih menolak resiko dengan prinsip dahulukan selamat, dan melakukan strategi
pembentukan
pengaturan
bersama
dalam
bentuk
desa
serta
kecenderungan untuk mempertahankan ikatan patron-klien. Wahono (1994) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar merupakan hal penting yang diperjuangan oleh petani miskin dibandingkan kebutuhan
sosialnya.
Petani
miskin
cenderung
anggarannya terlalu banyak pada kebutuhan sosial.
tidak
mengalokasikan
Upaya -upaya menjalin
hubungan dengan petani lain, elit desa, atau pedagang, dan kegiatan sosial lainnya lebih banyak didasarkan pada alasan ekonomi yaitu selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Umur Petan i. Karakteristik lain yang mungkin mempengaruhi adalah umur petani. Sebagian besar petani Indonesia (76,2%) berusia sekitar 25 sampai 54 tahun, dan sebagian kecil (21,46%) berusia di atas 55 tahun (P3PK, 1998 dalam Soetrisno, 1999). Umur rata-rata petani Indonesia yang cenderung tua dan hal itu sangat berpengaruh pada produktivitasnya. Lagi pula petani yang berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif dalam menerima inovasi teknologi. Modal Dan Tingkat Pendidikan Petani.
Petani Indonesia pada
umumnya adalah petani gurem dengan modal uang dan barang terbatas serta dan kepemilikan lahan yang sempit.
Dengan modal terbatas dan tingkat
pendidikan yang masih rendah, berhadapan dengan lingkungan tropika yang penuh risiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan sebagainya, membuat para petani harus lebih berhati-hati dalam menerima inovasi atau upaya-upaya pembaharuan. Karena apabila mereka gagal memanfaatkan inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita. Di Indonesia belum ada perlindungan atau asuransi yang dapat melindungi kegagalan para petani. Hal-hal tersebut akan menempatkan para petani Indonesia dalam kondisi yang dilematis. Untuk bisa “survive” pada abad yang akan datang para petani Indonesia harus berani mengambil resiko untuk berinovasi, karena akan menjamin peningkatan produktivitas mereka yang akan
34
mempengaruhi tingkat “survival” mereka dalam bersaing dengan petani-petani dari negara lain. Posisi Petani dalam Sistem Pelapisan Masyarakatnya . Perbedaan status petani sebagai karakteriatik sosial ternyata mempengaruhi perilaku petani. Petani lapisan atas dengan karakter khususnya telah memelopori penggunaan teknologi modern. Karakter khusus tersebut antara lain kemampuan tenggang rasa, dorongan keberhasilan serta semangat untuk menguasai masa depan. Umumnya, karakter petani lapisan atas terbentuk dari peran yang dipegangnya dalam lembaga-lembaga nasional serta hubungan langsung yang dimilikinya dengan penyuluh pertanian (Soewardi, 1982). Selain itu, petani lapisan atas cenderung menunjukkan kedinamisan petani yang lebih tinggi dibanding petani lapisan bawah (Su mardjo, 1999). Aksesibilitas Petani terhadap Fasililitas Kredit.
Menurut Fembriarti
(1999), faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap penerapan intensifikasi petani (menerapkan benih dan pupuk lebih dari 90%) adalah luas lahan garapan, pengalaman dan pendapatan. Petani yang mendapatkan fasilitas kredit tingkat intensifikasinya lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan fasilitas kredit.
Ciri Komunitas Petani Pengaruh ciri komunitas petani adalah pengaruh kekuatan nilai sosial dalam komunitas petani terhadap perilaku petani. Ada dua hal yang diduga berpengaruh terhadap perilaku petani, yaitu: keketatan struktur komunitas petani dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam komunitas tersebut. James Scott (1983) mempunyai pandangan positif terhadap kekuatan sosial dalam mengatur perilaku seseorang. Kewajiban-kewajiban serta kondisi perbedaan stratifikasi tidak dianggap sebagai eksploitasi, sejauh masih sesuai dengan norma. Proses historis akan sangat berpengaruh pada pembentukan pola pikir dan sikap seseorang (petani) pada saat ini Struktur Komunitas. Scott (1983), Popkin (1986), Hayami dan Kikuchi (1987)
mengemukakan
adanya
pengaruh
struktur
masyarakat
dala m
menentukan perilaku ekonomi petani. Keketatan struktur komunitas tempat petani itu berada sangat mempengaruhi seberapa kuat ikatan moral dan tradisional mengarahkan perilaku petani tersebut. Ikatan dalam struktur yang kuat tersebut memungkinkan diterapka nnya sanksi bagi tiap pelanggaran selain
35
memperkuat kontrol sosial bagi pelaksanaan aturan adat. Kekuatan sosial dari etika subsistensi pada umumnya paling kuat di daerah-daerah di mana bentukbentuk desa tradisional telah berkembang baik, yaitu desa otono m dan kohesif (petani dapat mengatur sendiri urusan setempat). Kekuatan sosial dari etika subsistensi paling lemah di daerah -daerah pemukiman baru. Nilai-nilai Budaya. Orang dapat menarik inti dari gagasan vital dari tingkah laku yang berpola sebagai pegangan. Di samping itu orang dapat memperolah keyakinan dengan memahami sistem sosial yang membaku. Nilainilai, gagasan vital dan keyakinan sebagai abstraksi dari sistem sosial yang berlaku itulah yang diartikan sebagai kebudayaan yang kemudian menjadi pedoman bagi pola tingkah laku masyarakat pendukungnya. Kebudayaan adalah sistem nilai, gagasan dan keyakinan yang mendominasi cara pendukungnya melihat,
memahami
dan
memilah -milah
gejala
yang
dilihatnya
dan
merencanakan serta menentukan sikap dan perbuatan selanjutnya (Soerjani, 1987). Pada dasarnya kebudayaan diciptakan menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia. Dan karena kebudayaan dikonstruksikan secara sosial maka tidak terlepas dari kepentingan -kepentingan agen terlibat. Setiap kebudayaan mempunyai sifat-sifat hakikat sebagai berikut (Soekanto, 1990): (1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia; (2) Kebudayaan telah ada lebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan; (3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya; (4) Kebudayaan mencakup aturan -aturan yang berisikan kewajiban, tindakan -tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan. Oleh karena itu, nilai-nilai udaya yang ada dalam komunitas petani dapat mempengaruhi perilaku petani, karena pada umumnya petani selalu ingin seragam dalam masyarakatnya. Pemahaman terhadap budaya lokal petani menjadi prasarat penerapan teknologi dalam pembangunan pertanian. Kepekaan terhadap pengetahuan dan budaya lokal penting agar pembangunan pertanian proses yang berkelanjutan (Soetrisno 1999).
dapat dilakukan dengan
36
Pengaruh dari Luar Komunitas Petani Koentjaraningrat (1984) mengemukakan bahwa tidak ada desa yang benar-benar terisolasi, komunitas desa selalu berhubungan dengan komunitas di luar desanya, Hubungan ini berpengaruh terhadap perubahan kebudayaan, baik nilai budaya maupun struktur sosialnya. Redfield (1983) mengemukakan bahwa masyarakat petani bahwa merupakan bagian fungsional dari sistem yang lebih luas. Masyarakat petani merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagiannya mencakup kebudayaan, tradisi dan struktur sosial yang terkait dengan kehidupan seharihari. Bagian-bagian tersebut saling terkait dan mandiri. Redfield (1983) menyebutkan bahwa terdapat tradisi besar dan tradisi kecil. Pengertian tradisi kecil adalah berorientasi pada budaya desa, sedangkan tradisi besar berotientasi pada budaya kota atau ”atas desa”. Kedua tradisi saling terkait dimana yang satu mempengaruhi yang lain, hal ini terlihat dari adanya pola perkembangan atau perubahan yang terjadi pada kedua tradisi tersebut. Keterkaitan dari kedua tradisi juga terlihat dari pola stratifikasi masyarakat desa dimana terdapat perbedaan tingkat pengetahuan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang keduanya saling mempengaruhi dalam interaksi mereka. Hal inilah yang memungkinkan masyarakat petani mendapat pengaruh dari kolonialisasi, komersialisasi, dan modernisasi. Hasil penelitian Fembriarti bahwa petani yang mengikuti penyuluhan pertanian juga mempunyai peluang untuk menggunakan benih maupun pupuk sesuai anjuran (Fembriarti, 2000). Penelitian ini menunjukkan pengaruh penyuluh sebagai anggota di luar komunitas petani mempengaruhi perilaku petani.
Pola Kemitraan Sejarah Pola Kemitraan Pola kemitraan dalam agribisnis dalam sejarahnya berawal sejak awal Pelita I di mana pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat/petani dengan mengembangkan perkebunan rakyat-peninggalan pemerintah Belanda. Pada tahun 1973 misalnya dikenal sebuah lembaga terpadu yang disebut sebagai UPP (Unit Pelaksana Proyek) untuk mengemb angkan kebun -kebun rakyat di beberapa lokasi seperti Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara, Proyek Pengembangan Cengkeh di Lampung, dan Proyek
37
Pengembangan The Rakyat Swasta Nasional di Jawa Barat. Beberapa masalah yang muncul pada saat itu antara lain: (1) Tidak mudah mengajak atau menggugah minat petani pemilik kebun untuk ikut dalam program tersebut, (2) Masalah internal keluarga petani pemilik kebun untuk menetapkan siapa yang berhak memutuskan segala sesuatu atas kebunnya, (3) Lokasi kebun yang terpencar-pencar, (4) Aparat atau pejabat yang berurusan dengan UPP tidak semuanya berpengalaman mengelola kebun berdasarkan kaidah -kaidah bisnis yang sehat dan menguntungkan. (Yayasan Agrimedia, 1994) Berdasakan hasil evaluasi UPP dinilai tidak efektif, maka kemudian muncul Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau Nucleas Estate Small-holder (NES). PIR merupakan pola yang diterapkan pada tahun 1977 di mana kebun -kebun baru dibuka dan keluarga-keluarga baru dalam suatu pemukiman baru dibentuk (enklaf), di sana ada perusahaan negara sebagai inti dan kebun -kebun rakyat sebagi plasma. PIR mula-mula dikembangkan di Sumatera Selatan, kemudian Aceh dan Riau. Masalah yang muncul dalam perkembangan PIR antara lain kurangnya jumlah pemin at, maka kemudian lahirlah PIR-Tramsmigrasi.
PIR-
Trasmigrasi dinilai lebih berhasil dibandingkan dengan PIR lain karena dalam Pola PIR-Transmigrasi ada dua areal yang dikelola oleh rakyat, yaitu kebun milik perusahaan dan kebun milik rakyat yang diperoleh dari program transmigrasi. Perusahaan inti memperoleh tambahan areal dan suplai bahan baku dan rakyat juga lebih diuntungkan karena lebih jelas dalam berproduksi dan memasarkan hasil. (Yayasan Agrimedia, 1994) Pengembangan perkebunan pola PIR secara mendasar diarahkan kepada daerah bukaan baru atau remote area dengan tujuan antara lain: (1) Meningkatkan pendapatan dan tarap hidup serta kesejahteraan petani dan keluarganya, (2) Meningkatkan produksi komoditi perkebunan, baik kualitas maupun kuantitas sebagai penghasil devisa, (3) Membuka kesempatan baik sebagai petani, buruh mapun induksi tenaga kerja sector lain, dan (4) Mempercepat proses alih teknologi, pengetahuan dan ketrampilan dari perkebunan besar ke petani kebun. Namun demikian dalam perkembangannya dari tahun
1977 sampai dengan 1994 terdapat beberapa catatan tentang
tantangan dan kendala yang perlu mendapat perhatian dari pola PIR antara lain: (1) Aspek kemitraan: diterapkannya prinsip yang kuat membantu yang lemah untuk meningkatkan efisiensi, saling membutuhkan, ke bersamaan; petani
38
plasma tidak saja berpartisipasi dalam menghasilkan bahan baku tetapi harus juga diarahkan untuk dapat memiliki dan berperan dalam pengolahan dan pemasaran produksi secara bertahap. (2) Aspek produktivitas: aturan -aturan dalam pemeliharaan tanaman belum dapat diterapkan dengan baik sehingga terjadi penurunan produktivitas yang berpengaruh terhadap, pendapatan petani-tingkat hidup petani, pelunasan kredit dan reinvestasi. (3) Aspek pemasaran: Mekanisme penetapan harga belum transparan, termasuk komponen biaya , sumber informasi harga dan lain -lain, yang berakibat pada timbulnya kecurigaan dan potensi konflik.
Penetapan harga hendaknya
didasarkan pada prinsip saling menguntungkan antara Inti dan Plasma. (4) Aspek kelembagaan: kelembagaan petani meliputi kelompok tani dan KUD perlu terus didorong dan dikembangkan peranannya. Tantangan bagi KUD adalah masalah kualitas SDM (petani, pengurus, manajer, pembina , dan inti) serta permodalan(Sitorus dalam Yayasan Agrimedia, 1994) Dalam rangka memasuki era perdagangan bebas baik regional maupun internaisonal
(AFTA,
APEC
dan
WTO),
maka
masing-masing negara
mempersiapkan diri melalui penataan kerjasama di berbagai bidang yang dilandasi oleh kemitraan. Kemitraan sekarang ini merupakan landasan bentuk kerjasama yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perubahan lingkungan dalam era teknologi dan globalisasi.
Pola Kemitraan untuk Agribisnis Konsep
agribisnis
merupakan
suatu
konsep
yang
utuh,
yang
mengintegrasikan beberapa subsistem dalam satu kesatuan, yaitu : subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), dan subsistem jasa -jasa penunjang. Pelaku usaha agribisnis di tingkat masyarakat petani banyak berada di subsistem
on-farm atau kegiatan produksi.
Bila dibandingkan dengan
penguasaha agribisnis yang mempunyai kapasitas usaha besar dan modal cukup baik, usaha masyarakat tani pada umumnya masih terbatas baik dari dukungan pendanaan maupun teknologi.
39
Kegiatan on-farm (produksi) cenderung berada di daerah yang jauh dari pusat kegiatan pasar maupun dari pusat kegiatan pengolahan dan jasa penunjang lainnya. Akibatnya, petani sering dirugikan karena harga jual produknya rendah. Keuntungan yang lebih besar diterima oleh pihak lain seperti pedagang.
Pembagian keuntungan yang tidak adil tersebut antara lain
disebabkan oleh faktor jarak distribusi yang jauh, tingginya struktur biaya, serta posisi petani yang lemah dibandingkan pemilik modal. Alternatif yang dapat diambil untuk membantu petani mengatasi masalah di atas adalah melalui pola kemitraan. Pola kemitraan yang mengaitkan antara perusahaan inti dan petani plasma mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup tinggi, karena di samping pola kemitraan ini dapat mengatasi kendala pendanaan maupun kualitas di tingkat petani, kemitraan juga dapat menjamin pemasaran maupun tingkat harga hasil produksi petani. Perusahaan inti juga memperoleh manfaat yang besar antara lain mereka dapat memasarkan produknya kepada plasma mitra mereka, atau mereka akan mendapat jaminan pasokan bahan baku dari mitranya. Pola kemitraan dapat diterapkan di hampir semua kegiatan usaha agribisnis. Kemitraan ini diharapkan pula dapat mengatasi kendala yang selama ini menjadi penghambat pengembangan pelaku usaha agribisnis, baik dalam hal teknis budidaya; produksi; pemasaran; maupun pendanaannya. Yang terpenting, pola kemitraan menjanjikan dihasilkannya kemajuan egiatan usaha yang sejajar antara perusahaan inti dengan plasma. Bagi perbankan, pola kemitraan ini juga relatif cukup aman untuk diberikan kredit. Dari sisi manajemen usaha, kemitraan menjanjikan keamanan pasokan bahan baku maupun pemasaran. Kemitraan juga dapat mengatasi kendala agunan bagi plasma, melalui mekanisme adanya jaminan avalis dari perusahaan inti. Pola kemitraan ini juga memberikan peluang bagi perbankan untuk dapat lebih meningkatkan penyaluran kreditnya, karena dalam kemitraan, kredit perbankan dapat diberikan baik kepada inti saja, atau plasma saja, atau kepada inti dan plasma secara bersama -sama. (PT. Cakrawala Pengembangan Agro Sejahtera: 2003) Selain melalui perbankan, sejak tahun 2000 mulai bermunculan usahanya dengan cara menghimpun dana masyarakat untuk diinvestasikan di bidang agribisnis dengan sistem bagi hasil. Bidang usaha yang di tawarkan sangat
40
beragam, dari yang bersifat musiman seperti budidaya sayuran, ikan hias, ikan konsumsi (mujair/mas), hingga yang berumur tahunan seperti potong, kambing/domba, budidaya jati, dll.
ternak sapi
Pada prinsipnya usaha dengan pola
bagi hasil dengan menghimpun dana dari masyarakat tidak ada bedanya dengan perusahaan publik (perusahaan e t rbuka/tbk) yang menjual sahamnya kepada masyarakat. Tetapi usaha dengan sistem bagi hasil tersebut pada umumnya menawarkan investasi menurut siklus produksi (musim) yang berumur kurang dari satu tahun.
Departemen Pertanian akan melakukan pemantauan kine rja
perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis dengan sistem bagi hasil. Untuk memudahkan pemantauan dan pembinaan, Departemen Pertanian akan berusaha memfasilitasi percepatan pembentukan asosiasi perusahaan agribisnis bagi hasil. (Warsidi, 2003). Landasan pengembangan kemitraan di bidang pertanian dalam Undangundang No. 12 Tahun 1992 telah menetapkan : (a) Pasal 47 (ayat 3); ”Badan Usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melakukan usaha budidaya tanaman”; (b) Pasal 47 (ayat 4),”Pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk pengembangan kerjasama dengan petani”; (c) Pasal 49 “Pemerintah membina usaha lemah serta mendorong dan membina terciptanya kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan antara Pengusaha lemah dan Pengusaha kuat di bidang budidaya tanaman”. Dalam bidang pembangunan perkebunan, maka kemitraan dapat diimplementasikan dalam beberapa bentuk seperti Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Bangun Operasi Transfer (BOT), Kerjasama Operasional (KSO), Kontrak Faring (KF) dan Dagang Umum (DU). Perusahaan mitra bisa bervariasi, baik dari jenis produk yang di hasilkan maupun skala usaha. Komoditas yang merupakan tanaman pangan seperti padi, ubijalar,
jagung,
kedelai,
kacang
tanah,
perbenihan
(produksi
dan
pemasarannya) dll; tanaman hortikultura seperti sayuran dan bunga dll; tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, tembakau, tebu, lada, dll; tanaman obat. Di bidang peternakan antara lain meliputi ayam broiler, pedaging, penggemukan sapi potong, dan lain -lain. Bentuk/pola perkebunan inti rakyat (PIR), kontrak farming, Tebu Inti Rakyat, dll. Penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, serta pemasaran hasil. Ada perusahaan yang mempunyai aturan-aturan yang ketat dalam bekerja
41
sama, tapi ada juga yang sangat fleksibel. Masalah -masalah yang dihadapi, dalam pola kemitraan antara lain: (1) Keberpihakan pada perusahaan mitra bukan pada petani kecil, (2) Tidak semua petani punya akses, hanya yang memenuhi syarat tertentu saja Informasi kerjasama tidak tersebar luas, hanya golongan tertentu saja, (3) Pengetahuan petani tentang perbankan terbatas, keengganan untuk terlibat dengan kredit perbankan, memilih pedagang pengumpul sebagai sumber dana pada keadaan mendesak dan (4) Upah atau harga ditentukan oleh pihak perusahaan mitra
Contoh Program Kemitraan Terpadu Program ini ditawarkan oleh Bank Indonesia dengan nama Kemitraan
Terpadu,
informasi
ini
diperoleh
dari
Sistem
Pembiayaan/Lending Modal Usaha Kecil-SI LMUK) Bank Indonesia.
Proyek Informasi Berikut
akan dijelaskan secara ringkas, penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Kemitraan Terpadu adalah suatu program kemitraan yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan program ini antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Dalam melakukan kemitraan hubungan kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.
Pihak-pihak yang Terlibat Tiga unsur yang terlibat kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi Kredit. Petani Plasma. Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek
42
ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan men ggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani/usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal. Koperasi.
Para petani/usaha ke cil plasma sebagai peserta suatu
program kemitraan, sebaiknya menjadi anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas Kredit hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir. Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan untuk bisa melakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Di samping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma/usaha kecil. Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan teknis usaha, program kemitraan tetap akan bisa dikembangkan
dengan
sekurang-kurangnya
pihak
Inti
memiliki
fasilitas
pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau plasma . Bank. antara
pihak
Ban k berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan Petani
Plasma
dengan
Perusahaan
Perkebunan
dan
Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun.
Pola Kerjasama Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu : Pertama, petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Pengolahan Eksportir.
Perkebunan/
43
Gambar 1. Kerjasama antara Petani, Koperasi dan Perusahaan inti dalam Kemitraan Terpadu dengan Koperasi sebagai Channeling Agent Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra. Kedua, petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaan perkebunan/pengolahan/eksportir.
Gambar 2. Kerjasama antara Petani, Koperasi dan Perusahaan inti dalam Kemitraan Terpadu dengan Koperasi sebagai Executing Agent
Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian kredit kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi.
Mekanisme Program Kemitraan Terpadu Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsipprinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban ma sing-masing pihak yang be rmitra.
44
Gambar 3 Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana
produksi
pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih.
Model Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi Menurut Panel (Suwarsono dan Alvin, 2000), teori adopsi dan difusi inovasi pada dasarnya menyandar pada teori modernisasi. Salah satu asumsi implisit teori modernisasi adalah bahwa modernisasi merupakan proses transformatif di mana dalam rangka mencapai status modern, struktur dan nilainilai tradisional harus diganti total dengan struktur dan nilai-nilai modern. Dalam hal ini perubahan struktur juga dapat dilakukan dengan introduksi ide-ide baru ke dalam suatu masyarakat. Dalam kaitan dengan introduksi teknologi baru, Rogers (1995) memandang pembangunan (modernisasi) sebagai: “Jenis perubahan sosial dimana gagasan baru diintroduksikan ke dalam sistem sosial dalam rangka menghasilkan pendapatan per kapita dan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi melalui metode produksi dan organisasi sosial.”Rogers juga memperkenalkan model aliran dua tahap dalam keputusan inovasi (lihat Gambar 4.), dengan proses difusi dan adopsi teknologi baru. Model tersebut menjelaskan bagaimana di dalam diri seorang individu berlangsung proses komunikasi internal - suatu bentuk komunikasi dengan diri sendiri, sampai ia pada keputusan untuk menerima atau menolak suatu gagasan baru. Komunikasi internal tersebut melalui tahapan : pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi. dipengaruhi oleh
Dalam proses tersebut individu
saluran atau sumber informasi, kondisi awal sebelum
masuknya inovasi, karakteristik dari unit pembuat keputusan dan persepsi terhadap ciri inovasi itu sendiri. SALURAN KOMUNIKASI Kondisi Awal • Praktek/ Tindakan Sebelum nya • Kebutuhan yang Dirasakan • Keinovativan • Norma/nilai
PENGETAHUAN
Karakteristik dari Unit Pembuat Keputusan: 1. Sosial Ekonomi 2. Kepribadian 3. Perilaku Umum
PERSUASI
KEPUTUSAN
Persepsi terhadap Ciri Inovasi: 1. Keuntungan Relatif 2. Kompatibilitas 3. Kompleksitas 4. triabilitas 5. observabilitas
KONFIRMASI
IMPLEMENTASI
1. Adopsi
Terus Mengadopsi Terlambat Mengadopsi
2. Menolak
Berhenti Mengadopsi Terus Menolak
Gambar 4. Model Tahapan Proses Keputusan-Adopsi (Rogers, 1995)
46
Pada model tersebut, terdapat empat tahap penting:
pertama
pengetahuan inovasi itu sendiri, dan gagasan apapun yang dipandang baru oleh khalayak sasaran. Pada tahap ini, melalui saluran komunikasi tertentu sasaran mengetahui bahwa ada sesuatu yang baru. Tahapan kedua adalah saluran komunikasi
tertentu
mengadopsinya.
(media)
Ketiga,
mempengaruhi
adalah
proses
(persuasi)
pembuatan
sasaran
untuk
keputusan
untuk
mengadopsi atau menolak inovasi oleh sasaran/penerima. Banyak penelitian mendapatkan betapa penting jaringan sosial informal dalam proses pembuatan keputusan oleh petani. Setelah tahap memutuskan kemudian penerima akan meng -implementasi-kan dalam kegiatan nyata. dan akhirnya konfirmasi inovasi oleh penerima. Peranan media massa dalam proses ini sangatlah krusial karena karakteristik inovasi sebagaimana dipahami penerima mempengaruhi peluang dan tingkat adopsi. Menurut Rogers (1995), aliran dua tahap ini berjalan sebagai berikut: tahap pertama , dari sumber media kepada opinion leaders umumnya adalah transfer informasi, sedang tahap kedua, dari opinion leaders kepada orang yang berada di bawah berpengaruhnya. Peran komunikasi sangatlah penting pada proses adopsi dan difusi inovasi, dan untuk bidang pertanian secara ringkas, adopsi inovasi akan mengikuti beberapa tahapan (Pannell, 1999 dalam Suwarsono, 2000).
Menurut Pannel (1999), petani tidak akan mengadopsi
inovasi secara radikal dengan skeptisme, ketidakpastian, prasangka, dan berbagai konsepsi awal. Teknologi yang diadopsi biasanya telah pernah dicoba sebelumnya, dan petani menyimpulkan bahwa teknologi itu masih dalam ambang toleransi mereka.
Bagian berikut akan menggambarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi pertanian.
Faktor-Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pertanian Proses adopsi adalah proses yang dimulai dari saat seorang sadar akan adanya sesuatu yang baru (inovasi) sampai menerima atau menolak inovasi tersebut. Dalam konteks ini “sadar” tidak sekedar bermakna petani tahu adanya inovasi baru, akan tetapi lebih ke sadaran atas relevansi praktis untuk dipraktekkan.
Mencapai kesadaran hingga taraf ini merupakan pemicu bagi
petani untuk
mengumpulkan informasi tentang inovasi itu, untuk membantu
keputusan mereka atas apakah akan mencoba inovasi itu atau menolaknya.
47
Banyak penelitian yang menganalisis hubungan antara karakteristik inovasi
dengan tingkat adopsi.
Petani menilai (persepsi) terhadap invoasi
tersebut apakah memungkinkan untuk diterapkan dan dapat membantu petani mencapai tujuan.
Lima karakteristik inovasi berikut adalah sangat penting
mendasari penilaian petani, yang ditemukan melalui studi-studi tentang adopsi inovasi (van den Ban dan Hawkins, 1999): Keuntungan Relatif. Petani menilai keuntungan secara ekonomi bila menggunakan inovasi itu dibandingkan dengan teknologi yang dipakai sebelumnya.
Misalnya Apakah suatu jenis sayuran dinilai lebih murah bibit atau
benihnya, lebih banyak menghasilkan, dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, dll. Keuntungan tersebut mungkin akan memacu petani untuk men coba inovasi itu.
Tapi, kadang sangat sulit bagi petani untuk menyadari adanya
keuntungan relatif yang diakibatnya perubahan dalam peluang.
Misalnya
penggunaan benih/bibit unggul akan mengurangi kemungkinan tanaman sayuran petani terserang penyakit. Kompleksitas/Kerumitan. Inovasi sering gagal karena tidak diimplementasikan dengan tepat.
Banyak di antaranya yang membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan mendalam. Misalnya, mungkin saja perlu untuk mengitroduksikan beberapa inovasi sederhana, tetapi banyak dan saling berkaitan. Jika dilihat satu per satu sebenarnya sederhana, tetapi hubungan antara inovasi itu, bisa jadi, sangat rumit dipahami. Kompatibilitas/Kesesuaian. Kompatibel atau kesesuaian antara inovasi yang ditawarkan dengan nilai sosio budaya dan kepercayaan, atau dengan gagasan yang telah diperkenalkan sebelumnya atau dengan kebutuhan yang dirasakan petani adalah sangat penting. Bila petani memang sudah mengetahui adanya peningkatan hasil atas suatu varietas padi tertentu, maka jika kepada mereka dintroduksikan varietas itu tampaknya mereka akan sangat gembira dan akan menerimanya. Namun, sangat sulit bagi petani untuk menerima sebuah inovasi yang sebelumnya telah pernah gagal terdifusi. Triabilitas/Kemungkinan Dicoba.
Petani akan leb ih terpicu untuk
mengadopsi suatu teknologi baru di mana mereka dapat mencobanya terlebih dahulu dalam skala kecil di kebunnya, dan membuktikan bahwa memang berproduksi lebih tinggi, dan tidak akan segera mengadopsi dalam skala besar. Pilihan terakhir akan sangat beresiko bagi petani. Triability kadang berkaitan
48
dengan divisibility, seperti halnya pupuk. Meski mekanisasi tidak dapat dipecahpecah, tetapi dapat disewa sehingga lebih terjangkau oleh petani sebelum pada akhirnya petani membelinya.
Program pembangunan pertanian juga dapat
ditingkatkan triabilitas-nya. Misalnya, sebelum membangun dam, terlebih dulu dibuat tangki penyimpanan air, untuk mengubah pola tanam petani dari tadah hujan menjadi sistem pertanian beririgasi.
Memang, ini adalah biaya ekstra,
tetapi mungkin saja ini akan terbayar dengan cepatnya adopsi pertanian beririgasi. Observability/Kemungkinan
Dilihat
Hasilnya.
Petani
dapat
menyaksikan rekannya yang mengubah pakan sapinya dari rumput menjadi jagung dalam jangkauan mata memandang.
Namun, mereka mungkin ingin
mengetahui pembukuan yang berkaitan dengan perubahan pakan itu. Petani juga mungkin tidak ingin perubahan dalam praktek pertaniannya diketahui tetangganya -jangan -jangan ada yang berniat jahat! Petani belajar banyak dari menyaksikan dan berbincang tentang pengalaman dengan rekan-rekannya, pengamatan sering menjadi alasan untuk memulai sebuah diskusi.
Konsep Difusi Difusi mengacu pada penyebaran “sesuatu” di dalam sistem sosial. Kata kuncinya adalah “menyebar”, dan ini seha rusnya dipahami secara mendalam sejauh konstruktifisme seseorang memungkinkan-untuk menggambarkan aliran “praktek” dari sumber ke adopter, secara pragmatis melalui komunikasi dan pengaruh. Sengaja digunakan kata “praktek” untuk melambangkan item difusi, yang mungkin saja berupa perilaku, strategi, kepercayaan, teknologi, struktur, dan sejenisnya. Difusi merupakan konsep paling umum dan paling abstrak yang kita punyai untuk melambangkan berbagai jenis proses berikut: penularan, pembelajaran sosial, diseminasi terorganisir, dan istilah lain sejenisnya. Sementara itu Rogers (1995) menyatakan: “Difusi adalah proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu kepada anggota suatu sistem sosial. Dalam hal ini merupakan jenis komunikasi yang khusus dimana pesan merupakan ide-ide baru. Komunikasi merupakan proses dimana partisipan membuat dan membagi informasi dengan yang lain untuk mencapai pengertian bersama (mutual understanding)”. (Rogers, 1995). Empat element penting dari proses difusi dapat dikemukakan di sini,
49
yakni: (1) inovasi, (2), komunikasi melalui saluran, (3) waktu, dan (4) anggota sistem sosial.
Teori difusi inovasi dipilih mengingat telah mapan dan telah
digunakan secara meluas dalam bidang pertanian.
Apalagi teori difusi juga
mempertimbangkan proses di mana difusi dan perubahan terjadi serta konteks sosial. Sistem sosial di sini adalah serangkaian unit yang saling berkaitan yang sama -sama terlibat dalam masalah yang sama untuk menyelesaikan masalah bersama (Rogers, 1995).
Difusi dipengaruhi oleh sifat sistem sosial, norma-
norma yang berlaku, peran pemuka masyarakat, agen perubahan, serta sifat keputusan inovasi. Menurut Rogers (1995) transfer gagasan dalam proses difusi lebih sering terjadi manakala individu yang saling berkomunikasi itu homophilou s, yakni individu yang memiliki kesamaan atribut seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan semacamnya. Hal penting lainnya yang terkait dengan system sosial adalah kemungkinan adanya konsekuensi yang tidak diharapkan dan tidak terantisipasi yang justru merusak sistem sosial. Kata “difusi” kadang digunakan untuk menggambarkan pertambahan kejadian: sesuatu dikatakan terdifusi saat semakin lama dan semakin banyak orang melakukannya.
Tapi, memperlakukan difusi sebagai sebuah hasil,
membuatnya menjadi tidak menarik, karena praktek patah tumbuh hilang berganti dengan berbagai alasan yang memang memungkinkan. difusi sebagai suatu jenis proses sebab akibat
Memahami
dan berupaya memetakan
berbagai aliran argumen adalah suatu hal yang menarik.
Perilaku Kewirausahaan Konsep yang terkandung dalam “perilaku kewirausahaan” adalah: wirausaha, kewirausahaan, dan perilaku kewirausahaan. Konsep “wirausaha” merupakan terjemahan kata “entrepreneur”.
Entrepreneur berasal dari bahasa
Perancis, yaitu: “entre” dan “prendre”, yang artinya mengusahakan.
Konsep
tersebut dipakai pertama kali antara abad 16 dan 17, yang merujuk pada pengertian kontraktor pemerintah (orang atau pihak yang melakukan pekerja an proyek militer atau untuk umum). Kemudian seorang ahli ekonomi Richard Cantillon mengkhususkan
(specified) fungsi penting dari “entrepreneurship’
yaitu “ membawa resiko ekonomi” Contoh klasik seorang entrepreneur adalah petani yang mengusahaan tanaman tanpa kepastian cuaca, tanpa kepastian
50
akan memanen, dan tanpa kepastian harga. Dalam hal tersebut petani akan mengalami kerugian berupa hilangnya modal, tenaga, dan waktu bila usahanya gagal.
Petani dikatakan “membawa resiko ekonomi” pada saat melakukan
kegiatan usahanya (Bird, 1989 ). Menurut Kamus Webster (1967) Pengertian “kewirausahaan” mengacu pada konsep “Entrepreneurship” yang diartikan sebagai one who organizes, manages, and assumed the risks of business or enterprise atau seseorang yang mengorganisasikan, mengelola, dan juga mengambil risiko atas suatu bisnis atau perusahaan.
Pengertian entrepreneurship mencakup jiwa mengambil risiko
dalam pengorganisasian dan pengelolaan suatu bisnis yang berarti juga suatu keberanian untuk membuka bisnis baru. Meredith et al (1995) mengemukakan bahwa entrepreneurship adalah sikap mental individu -individu keuntungan, mereka
yang berorientasi pada tindakan memperoleh
bermotivasi tinggi dalam mengejar tujuannya melalui
pengambilan resiko yang sudah dipertimbangkan dengan baik. Konsep perilaku kewirausahaan merupakan terjemahan dari kata “ entrepreneurial behavior” yang didefinisikan sebagai sikap mencari keuntungan (opportunistic), mendasarkan pada nilai (Value -driven), nilai tambah, penerimaan resiko, dan melakukan kegiatan yang kreatif, melalui
lahir,
tumbuh dan
berkembangnya suatu organisasi. Dimensi perilaku kewirausahaan dan kaitannya dengan munculnya usaha baru (new venture creation/ NVC), inovasi, dan nilai-nilai sosial ekonomi adalah: Pertama: Individu-individu (individuals: characteristics & motivation). Ketika kita berfikir tentang entrepreneurship, kita berfikir tentang individu -individu (The entrepreneur), yaitu orang yang mendisain proses dan memulai suatu usaha baru. Beberapa pertanyaan yang mungkin muncul, misalnya:
(1) Siapa yang
menjadi entrepreneur ? (2) Mengapa ?, (3) Apa substansi dari kewirausahaannya ?, (4) Apa ciri-ciri dan motivasi penentu keberhasilannya ? Kedua: Proses entrepreneur itu sendiri, yaitu: menemukan ide (conceiving)
mengembangkan
ide
(creating),
mengorganisasikan
ide
(organizing), melaksanakan ide itu (implementing) pada sebuah organisasi yang baru. Ketiga: Organisasi (outcome) yang akan diperoleh
dari proses itu.
Setelah munculnya organisasi baru, maka hal ini berkaitan erat dengan karir, pekerjaan,
kesejahteraan,
produk,
dll.
Keempat
adalah
lingkungan
51
(enviroment/contex) yang mengacu pada kekuatan sosial, ekonomi, politik yang lebih besar yang mendukung kewirausahaan.
Lingkungan mencakup “property
right”, keleluasaan dalam sistem perdagangan bebas, teknologi yang merupakan sumberdaya lokal seperti “incubator”, dukungan
keluarga.
Keempat
jaringan, pertemanan,
elemen
tersebut
mitra, dan
membentuk
perilaku
kewirausa haan Menurut Bird (1989), studi tentang perilaku kewirausahaan memfokuskan pada aktivitas, interaksi, kompetensi, perasaan, dan hubungan dari wirausaha dengan timnya.
Perilaku kewirausahaan diidentifikasi berdasarkan interaksi
antar individu -individu dengan ciri-ciri dan konteks sosial tertentu. Perilaku kewirausahaan membutuhkan kompetensi di banyak area yang berbeda -beda, seperti: pemasaran, keuangan, pencarian informasi, keputusan, membangun tim, dll.
pembuat
Wirausaha yang sukses adalah orang -orang
yang mampu melakukan banyak aktivitas dan peran dalam waktu yang sama (Generalis, bukan spesialis). Berdasarkan pada
deskripsi tentang aktivitas
wirausaha kita dapat menyimpulkan bahwa perilaku kewirausahaan adalah: komples, membutuhkan kompetensi yang luas/tinggi. Meskipun daftar aktivitas entrepreneur tersebut diatas tidak memperlihatkan nada emosional dan perilaku kewirausahaan, namun aktivitas tersebut dilakukan dengan penuh gairah (passionate), penuh energi, dorongan (drive), dan spirit. Hal ini dapat dilihat dari perilaku yang lalu atau dalam sikap yang “ persistence” dan “tenacy”
Sifat-sifat Kewirausahaan Beberapa penelitian menemukan ciri personal yang penting untuk seorang wirausaha antara lain: kreatif da inovatif (Bird, 1992) Kreativitas dalam memecahkan masalah dan keinovatifan untuk selalu menjadi yang terbaik. Hambatan untu k menjadi kreatif antara lain : takut gagal, kurang toleransi pada ketidak pastian, kurang tertantang, ingin cepat sukses, kurang imajinatif. Menurut Meredith (2000), ciri dari jiwa atau sifat kewirausahaan adalah sejumlah ciri-ciri atau karakteristik yang dimiliki oleh seseorang yang tampak dari beberapa indikato r antara lain: percaya diri, orientasi pada pada tugas dan hasil, pengambil resiko, kepemimpinan, keorisinilan, dan orientasi ke depan. Beberapa indikator dari ciri-ciri tersebut dapat dilihat pada matrik berikut.
52
Tabel 9 Ciri-ciri dan Jiwa Kewirausahaan ( Meredith ,2000) Ciri-ciri
Watak/Jiwa Kewirausahaan
Percaya diri
Keyakinan, Ketidaktergantungan, individualistis, optimisme
Berorientasi pada tugas dan hasil
Kebutuhan akan prestasi, Berorientasi keuntungan, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan yang kuat, energitic, inisiatif
Pengambil resiko
Kemampuan mengambil resiko, suka tantangan
Kepemimpinan
Bertingkah laku sebagai pemimpin, mudah bergaul dengan orang lain, Menanggapi saran dan kritik
Keorisinilan
Inovatif dan kreatif, fleksibel, punya banyak sumber, serba bisa
Berorientasi ke masa depan
Pandangan ke depan, perspektif.
Analisis Regresi Persamaan
matematik
yang
menggambarkan
hubungan
antara
peubahbebas dan peubah terikat sering disebut persamaan regresi, di mana peubahbebas (independence variabel) bersifat mempengaruhi peubah terikatnya (dependence variabel). Persamaan regresi dapat terdiri dari satu peubah bebas dan satu peubah terikat atau beberapa peubah bebas dan satu peubah terikat. Persamaan yang pertama disebut regresi sederhana, misalnya persamaan yang menggambarkan hubungan antara peubah bebas tingkat pendidikan dengan peubah terikat tingkat penggunaan produksi. Persamaan kedua disebut regresi berganda, misalkan persamaan yang menggambarkan hubungan antara peubahbebas tingkat pendidikan, luas lahan usahatani, ketersediaan sarana kredit dengan peubah terikat tingkat pendapatan.
Regresi Linier Berganda Persamaan regresi berganda adalah persamaan regresi dengan satu peubah tak terikat (Y) dengan lebih dari satu peubahbebas (X1, X2, ..., Xp). Hubungan antara peubah-peubah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk
53
umum persamaan:
Yi = ß0 + ß1X1i+ ß2X2i + ... + ßpX2i +ei Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan dengan contoh, misalnya: Yi adalah prestasi belajar seseorang seorang mahasiswa, kemudian X1 adalah jumlah jam belajar dan X2 adalah jumlah jam berkunjung ke perpustakaan setiap minggu.
Parameter ß1memberikan informasi rata -rata perubahan prestasi
belajar akibat perubahan jumlah jam belajar dengan asumsi jumlah jam berkunjung ke perpustakaan setiap minggu adalah tetap. Parameter ß2 memberikan informasi rata -rata perubahan prestasi belajar akibat perubahan jumlah jam berkunjung ke perpustakaan setiap minggu dengan asumsi jumlah jam belajar adalah tetap. Autokorelasi.
Dalam suatu analisa regresi dimungkinkan terjadinya
hubungan antara peubah-peubah bebas itu sendiri atau berkorelasi sendiri. Pendeteksian ada tidaknya autokorelasi dilakukan dengan pengujian Durbin Watson. Bila nilai pengujian Durbin Watson lebih besar dari D alpha maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi dan model yang diperoleh sesuai. Hubungan Linier. Pengujian hipotesis tentang nyata tidaknya model regresi linier dilakukan dengan menghitung nilai F, dan nilai signifikansinya. Bila dalam pengijan nilai F diperoleh nilai signifikansi yang sangat nyata, jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan antara peubahbebas dan terikat bersifat linier. Multikolinieritas. Multikolinieritas adalah konsep tentang kejadian yang menginformasikan adanya hubungan yang cukup besar antara peubah-peubah bebas Xi.
Multikolinieritas akan menyebabkan perkiraan koefesien regresi
menjadi tidak berarti.
Bila dalam pengujian diperoleh nilai korelasi antara
peubahbebas Xi relatif kecil ( dalam ilmu sosial kurang dari 0,5 misalnya) dapat disimpulkan bahwa efek dari multikolinieritas bukan merupakan suatu masalah yang berarti, karena relatif kecil.
Model Regresi Logistik Model regresi linier yang sudah dipelajari sejauh ini berasumsi bahwa varisbel terikatnya
adalah skala interval.
Pada model regresi logistik,
peubah terikatnya bisa dalam skala interval maupun data kategori (skala ordinal atau nominal). Untuk mempermudah penjelasan model, maka peubahterikatnya (Y) merupakan salah satu dari dua kemungkinan.
Misalnya model digunakan
54
memprediksi respon seseorang dalam pemilihan presiden (memilih calon dari partai Demokrat atau Republik), berdasarkan peubahpendapatan per tahun, tingkat pendidikan, agama, dan jenis kelamin.
Kita mungkin memodelkan
apakah suatu seseorang mempunyai potensi sakit mental tertentu (ya atau tidak) dalam kaitan dengan faktor seperti indeks mutu hidup dan status sosial ekonominya. (Agresti, 1986) Suatu respon seseorang yang diwakili oleh peubahYi, hanya bernilai satu dari dua kemungkinan nilai (1 atau 0). Dalam penelitian ini misalnya, bila seorang memilih bermitra maka dinotasikan dengan 1, dan bila memilih untuik tidak bermitra dinotasikan 0. Jenis data pada respon tersebut disebut data biner. Apabila ? i adalah peluang bermitra bagi peubahacak Yi, maka :
P(Yi=1) = ? i; (P(Yi=0) = 1 - ? i Untuk n = 2 dan saling bebas, Yi mengikuti pola sebaran Binomial (ni, ?i), yaitu:
Yi ~ n i
? i y (1- ? i) ni- y ; y=0,1,...,ni
Dalam suatu penelitian, peubah respon Yi biasanya akan dihubungkan dengan sejumlah peubahpenjelas, misalnya Xi1, Xi2, ..., Xip. Variabel-peubahpenjelas ini dapat berupa hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif atai bersifat pengelompokan/kategori. Dalam penelitian ini peubahrespon Yi (bermitra =1 atau tidak bermitra=0) akan dihubungkan dengan peubahpenjelas Xi, yaitu: Umur (X1), Tingkat Pendidikan (X2) Luas Lahan (X3.1), Lama Berusaha Tani (X3.2), Kepastian Pasar (X3.3), Tingkat Kebutuhan Usaha (X4), Ciri Kewirausahaan (X5), Ketersediaan Sarana Transportasi Dan Telekomunikasi(X6.2), Ketersediaan Sarana Pembelajaran (X6.3), Ketersediaan Sarana Kredit(X6.4), Pengetahuan Tentang
Pola
Kemitraan
(X7),
Persepsi
tentang
Tingkat
Keuntungan
Relatif(X8.1), Persepsi tentang Tingkat Kerumitan (X8.2), Persepsi tentang tingkat Kesesuaian (X8.3), Persepsi tentang Kemungkinan dicoba (X8.4), dan Persepsi tentang Kemudahan Dilihat Hasilnya (X8.5).
Sebagian besar
peubahpenjelas tersebut sebagian merupakan data dengan skala interval karena merupakan indeks dari sejumlah pertanyaan dengan skala ordinal, kecuali
55
peubah kepastian pasar dengan skala ordinal. Analisis statistik dengan data tersebut di atas dilakukan dengan diarahkan untuk mencari hubungan antara peluang respon (?) dengan peubah penjelas. Model yang dibentuk untuk hal tersebut adalah ? = ß0 + ß1 X1 + ...+ ßp Xp . Tetapi model tersebut tidak akan sah untuk digunakan karena hal-hal berikut: (1) Model kemungkinan akan menghasilkan penduga peluang respon di luar interval (0,1) dan hal ini bertentangan dengan sifat peluang. (2) Ragam ? besar kemungkinan tidak konstan sehingga metode OLS tidak layak digunakan. Untuk
mengatasi
masalah
tersebut
pertama
dapat
dilakukan
dengan
transformasi terhadap ? sehingga interval (0,1) akan dipetakan pada interval (- 8 , 8 ) dengan fungsi transformasi g (? ) =log ? 1 -? Model ini yang dikenal dengan model regresi logistik. Adalapun masalah kedua dapat diatasi dengan menggunakan maksimum likelihood sebagai pengganti metode OLS. (Jurusan Statistika, 2001)