TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)
LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT/RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria) -------------------------------------------------------------------------------------------------Tahun Sidang : 2011-2012 Masa Persidangan : IV Rapat Ke : -Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat/Rapat Dengar Pendapat Umum Sifat Rapat : Terbuka Hari/Tanggal : Kamis, 5 Juli 2012 Waktu : 15.00 WIB - Selesai Tempat : Ruang Rapat Komisi II DPR RI (Gd. Nusantara / KK III) Acara : Mendapatkan Masukan terkait dengan Rancangan UndangUndang Tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Ketua Rapat : Drs. Agun Gunandjar Sudarsa,Bc.IP,M.Si/Ketua Komisi II DPR RI Sekretaris Rapat : Dra. Hani Yuliasih/Kabag.Set Komisi II DPR RI Hadir : 27 dari jumlah 50 Anggota Komisi II DPR RI Hadir Tamu : Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI), Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI).
a. PENDAHULUAN 1. Rapat Dengar Pendapat/Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI pada hari Kamis tanggal 5 Juli 2012 dibuka pukul 15.00 WIB yang dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR RI, Yth. Drs. Agun Gunandjar Sudarsa,Bc.IP,M.Si dan dinyatakan terbuka untuk umum. 2. Ketua Rapat menyampaikan agenda Rapat Dengar Pendapat/Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI), Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) pada hari ini yakni untuk mendapatkan masukan terkait dengan Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). 3. Pada tamu undangan telah menyampaikan masukannya terkait dengan Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) kecuali Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) yang tidak menyampaikan paparannya karena Asosiasi tersebut tidak dapat menghadiri undangan tersebut.
4. APKASI (ASOSIASI PEMERINTAH KABUPATEN SELURUH INDONESIA) menyampaikan: a. Terkait hubungan antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah Secara formal tidak ada alasan terjadi ketidakharmonisan antara kepala daerah dengan wakilnya, berada pada satu kotak kepemimpinan dan dipilih sebagai pasangan, jika terjadi gangguan komunikasi lebih disebabkan karena faktor kepribadian, konflik kepentingan atau ketidakterbukaan salah satu pihak untuk membicarakan masalah yang dihadapi. Dan akan mengemukan pada saat menjelang pilkada ketika kepala daerah dan wakilnya ingin maju lagi dengan paket yang terpisah. b. Hubungan Gubernur dengan Bupati /Walikota serta gagasan Pemilihan Gubernur oleh DPRD Konsep pemilihan Gubernur oleh anggota DPRD Provinsi (pasal 2 RUU Pilkada) menurut persepsi APKASI boleh saja. Selain versi pemilihan oleh DPRD tidak bertentangan dengan UUD 1945, APKASI juga memahami bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memang berbeda dibanding bupati/walikota yang murni sebagai kepala daerah otonom. Karena perbedaan peran tersebut bisa saja gubernur dipilih oleh DPRD sementara bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat. c. Legitimasi politik wakil kepala daerah Untuk kesetaraan hubungan politik dan legitimasi kepala daerah, agar format yang ada sekarang dipertahankan, jika adanya potensi konflik yang mungkin timbul hal ini bisa dinetralisir jika keduanya saling membuka diri untuk membicarakan kepentingan secara proporsional. Penempatan seorang wakil kepala daerah dari PNS atau profesional sekalipun tanpa melalui pemilihan secara paket dengan kepala daerah akan memunculkan masalah legitimasi politik bagi wakil kepala daerah, karena wakil kepala daerah tidak bisa secara serta merta menggantikan kepala daerah jika sewaktu-waktu kepala daerah berhalangan tetap atau diberhentikan ditengah perjalanan. Jika hal ini terjadi maka harus dilakukan pemilihan kepala daerah, bukan untuk melanjutkan masa jabatan dari yang akan digantikan, tetapi untuk masa jabatan 5 tahun yang baru. d. Tugas Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah Tugas Kepala Daerah dan wakil KDH sudah jelas, juga tugas Sekda. Pembagian tugas diantara mereka tidak ada masalah, wakil Kepala Daerah adalah pejabat politik yang bersama Kepala Daerah membuat kebijakan, sementara Sekda adalah pejabat Administrasi berwenang mengatur secara teknis segala kebijakan yang diputuskan oleh Kepala Daerah dan atau wakil Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah tidak secara langsung mengatur SKPD tetapi melalui Sekda. e. Pembatasan biaya Pilkada Mengenai pembatasan biaya pilkada akan diatur melalui Undang-undang, masalahnya adalah bagaimana mengukur suatu besaran pembiayaan mahal atau murah. f. APBD dan Pemilihan Kepala Daerah Politisasi APBD untuk memperkuat posisi politik Incumbent dalam pilkada sebagaimana diwacanakan dalam media-massa dapat dicegah melalui upayaupaya yakni peningkatan pengawasan oleh DPRD, intensifikasi pengawasan oleh Panwaslu, penegakan hukum secara konsisten atas penyimpangan APBD untuk
kepentingan politik, audit dana kampanye oleh KPUD baik pada masa awal kampanye maupun masa akhir kampanye. g. Penggunaan fasilitas Negara dan mobilisasi aparat sipil dalam kampanye Pilkada perlu pengaturan yang lebih ketat, APKASI setuju jika metode dialogis diutamakan. h. Pengajuan keberatan hasil calon gubernur kepada Mahkamah Agung. Pengajuan keberatan atas hasil penetapan hasil calon gubernur disampaikan kepada Mahkamah Agung, artinya sengketa pemilihan gubernur tidak lagi diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi yang dinilai akan mengundang timbulnya sejumlah permasalahan. Sejak berlakunya UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, Mahkamah Konstitusi sudah berhasil menyelesaikan perkara-perkara perselisihan hasil pemilihan umum termasuk Pilkada tanpa manimbulkan masalah-masalah baru kecuali dalam 2-3 perkara perselisihan Hasil Pemilihan Umum, maka tidak ada alasan untuk mengalihkan kewenangan penyelesaian hukum atas sengketa pilkada dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung. Dan sesuai dengan SE Mahkamah Agung No. 7 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Sengketa mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah yang mengacu pada UU No.51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung menegaskan hanya membatasi kewenangan PTUN dalam mengadili keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan pilkada, bukan hasil pemilihan umum atau hasil pilkada. i. Syarat calon gubernur serta Bupati/ Walikota Persyaratan calon Gubernur bahwa tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan Gubernur, kecuali ada selang waktu, minimal satu masa jabatan (Pasal 12 huruf p RUU Pilkada) serta syarat calon bupati/walikota tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan Gubernur dan Bupati/walikota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan (pasal 70 huruf p, RUU Pilkada) jelas bertentangan dengan hak konstitusional untuk memilih dan dipilih serta persamaan dimuka hukum yang dijamin oleh UUD 1945, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik. Perlu pencegahan atas penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang Gubernur atau Bupati/walikota untuk mendukung anggota keluarga yang akan dicalonkan sebagai kepala daerah. Syarat lain yang perlu ditiadakan adalah “berhenti sementara dari jabatannya bagi Gubernur /wakil gubernur petahana” serta berhenti sementara sementara dari jabatannya sebagai Bupati/wakil Bupati atau walikota/wakil walikota petahana”. Petanahan seyogyanya harus mengajukan cuti saat menjalankan agenda kampanye. 5. APEKSI (ASOSIASI PEMERINTAH KOTA SELURUH INDONESIA) a. Hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung tahun 2005, berbagai persoalan ketidakharmonisan muncul, yang disebabkan karena Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terkadang diusung oleh partai yang berbeda dan dijadikan satu paket dalam pencalonan kepala daerah sehingga setelah menjabat masingmasing merasa mewakili dan memperjuangkan kepentingan dari partai yang mengusung dan kurang tegasnya dan tidak jelasnya pembagian tugas antara
b.
c.
d.
e.
f.
Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah (dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) sehingga terkesan Kepala Daerah lebih dominan daripada wakil. Hubungan Kepala Daerah di tingkat Walikota/kabupaten dnegan Provinsi/Gubernur Adanya anggapan tentang kurang “patuhnya” para walikota/bupati terhadpa Gubernur, APEKSI berpendapat hal tersebut dipengaruhi oleh dualisme fungsi Gubernur dalam UU Nomor 32 tahun 2004, dimana Gubernur berfungsi sebagai kepala daerah sekaligus juga sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah. Adanya pembagian urusan yang “nyaris” sama antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota /kabupaten baik urusan wajib maupun urusan pilihan yang terkadang saling bersentuhan sama sama lain, padahal fungsi Gubernur lebih bersifat koordinatif daripada eksekutor. Gagasan pemilihan Gubernur dilakukan oleh DPRD dan Metode Kampanye Dialogis Jika titik berat otonomi di kota/kabupaten dengan tujuan peningkatan efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang tetap menjamin demokrasi, maka pemilihan kepala daerah untuk Gubernur secara langsung ditiadakan. Terkait dengan Metode kampanye dialogis lebih relevan untuk mencegah terjadinya konflik horizontal diantara para pendukung calon kepala daerah. Pola pemilihan Wakil Kepala Daerah berasal dari Partai Politik atau Non Jalur Politik (termasuk PNS) Secara formal pasal 18 ayat 4 UUD 1945, mengamanatkan pemilihan Kepala Daerah saja tanpa menyebut jabatan wakil kepala daerah, artinya GUbernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan tunggal, dan Konstitusi Indonesia pada dasarnya bersifat litterlijk sehingga apa yang tertulis merupakan norma. Bisa saja Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, terutama untuk daerah-daerah tertentu yang cakupan wilayahnya relative lebih kecil perlu dipertimbangkan adanya jabatan wakil kepala daerah. Berkenaan dengan wakil kepala daerah yang berasal dari non parpol termasuk PNS, jika posisi wakil sebagai chief of administrative maka sangat dimungkinkan pengisian oleh jabatan karer dari PNS dan dapat diharapkan pengisian jabatan ini oleh nonparpol atau PNS dapat dijamin terbebas dari kepentingan-kepentingan dinamika politis. Mekanisme Pembagian Tugas antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah Mekanisme dilakukan dnegan berpedoman pada peraturan perundng-undangan yang berlaku dan secara teknis pembagian dapat dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah atau dapat dituangkan dalam keputusan/peraturan kepala daerah tentang pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Koordinasi baik Sekda maupun Kepala SKPD dilakukan dengan mekanisme sesuai peraturan perundangundangan (artinya bisa langsung dilakukan oleh Kepala Daerah/wakil kepala daerah dengan Kepala SKPD atau melalui Sekda). Pengaturan tentang Pembatasan Pengeluaran Dana PILKADA Jika memungkinkan, pendanaan PILKADA yang sangat membebani APBD terutama biaya pengamanan, dibebankan kepada APBN sebab kewenangan melekat pada pemerintah pusat.
g. Pengaturan tentang Anggaran Bantuan Sosial Bahwa Bantuan Sosial atau Hibah sebenarnya merupakan dana yang dipersiapkan oleh APBD untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sosial masyarakat yang benar-benar tidak tercover oleh kegiatan-kegiatan SKPD. Penganggaran Bantuan Sosial atau Hibah tunduk pada Permendagri Nomor 32 tahun 2011 jo Permendagri Nomor 39 Tahun 2012. h. Potensi penggunaan Fasilitas Negara (Daerah) termasuk Mobilisasi Aparat Sipil yang digunakan untuk Kampanye Terutama oleh Calon Petahana. APEKSI berpandangan bahwa sebenarnya posisi aparat sipil dalam pemilu/pemilukada harus dipertegas dengan pemberian sanksi yang tegas terhadap aparat yang terlibat dalam mendukung calon kepala daerah tertentu. i. Kewenangan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan Sengketa Pilkada. Bahwa sesuai Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama, dan terakhir yang putusannya bersfita final untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan jika pemilukada merupakan bagian dari rezim pemilu maka penyelesaian sengketa pemilukada tetap oleh MK. Perlu dipertimbangkan aspek demografis sebab Mahkamah Agung memiliki subordinat (struktur hierarkis) didaerah yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, sehingga masalah pilkada yang terjadi didaerah bisa diselesaikan efektif dan efisien. j. Calon yang terikat dengan atau terdapat ikatan perkawinan dengan Kepala Daerah Petahana Mengenai syarat dimaksud, hendaknya dilakukan tidak hanya mempertimbangkan aspek normative saja tetapi juga aspek sosiologis, psikologis, dan etika birokrasi, untuk mengindari ada kesan terjadi pemerintahan dinasti di daerah. 6. ASOSIASI DPRD PROVINSI SE-INDONESIA (ADPSI) menyampaikan a. Terkait dengan praktek pemilihan Gubernur secara langsung yang berlangsung saat ini, ADPSI melihat popularitas dan dukungan finansial calon Anggota dan Wakil Gubernur lebih menonjol dibandingkan dengan kualitas calon, sehingga pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh rakyat tidak menjamin bahwa akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Pemilihan langsung cenderung terjadi money politic, bahwa adanya pandangan dari sebagian masyarakat terutama LSM bahwa money politic ini hanya dipindahkan dari rakyat ke ruang DPRD. Ini sangat keliru karena dalam mengawasi jumlah pemilih langsung yang dilakukan oleh rakyat lebih sulit daripada mengawasi DPRD yang berjumlah 35 sampai 100 orang itu lebih mudah, sehingga kecenderungan terjadi money politic dapat dicegah bila pemilihan itu dilaksanakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah. b. Biaya politik yang ditanggung oleh Pemerintah maupun ditanggung oleh para calon pada pemilihan secara langsung oleh rakyat, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemilihan yang dilakukan oleh Lembaga DPRD. Kemudian pemilihan secara langsung oleh rakyat memerlukan siklus yang lebih panjang dibanding oleh DPRD. c. Peran DPRD dalam rangka untuk melakukan pengawasan pembangunan akan semakin maksimal. d. Untuk petahana atau incumbent kalau pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung atau dipilih langsung oleh rakyat, maka terdapat celah
penyalahgunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan eksploitasi serta mobilisasi Pegawai Negeri Sipil oleh incumbent. e. Akibat kampanye, terjadi resistensi sehingga menimbulkan konflik horizontal yang cukup lama baik sejak pelaksanaan pendaftaran calon saat pelaksanaan kampanye sampai pada pasca pemilihan Kepala Daerah konflik horizontal terjadi di tengah-tengah masyarakat. 7. ASOSIASI DPRD KABUPATEN SELURUH INDONESIA (ADKASI) menyampaikan a. Hubungan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Hubungan ini dianggap tidak harmonis karena dari tinjauan ADKASI bahwa persoalan ketidakharmonisan keduanya tidak dapat digeneralisasi terhadap yang terjadi di semua daerah. Hal ini dianggap sebagai persoalan yang sangat darurat untuk diselesaikan, pembagian peran diantara keduanya pun telah diatur oleh ketentuan perundang-undangan, meski tidak secara rinci mengatur tentang hal tersebut. Perlu pembagian rinci peran, fungsi dan resolusi atas munculnya permasalahan di daerah otonom. b. Koordinasi dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah pada semua tingkatan khususnya terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan harus dijalankan sebagaimana mestinya. Khususnya menyangkut isu-isu penting dan mendasar dan bukan semata-mata untuk mempertunjukkan pengaruh maupun sekedar adu kewenangan, karena ADKASI tetap berpedoman secara kuat bahwa lokus otonomi daerah yang sesungguhnya adalah di wilayah kabupaten kota bukan di provinsi. c. Tentang eksistensi Wakil Kepala Daerah dalam draft Rancangan Undang-Undang Pemilukada. Bahwa ADKASI tetap berpegang pada pandangan atas eksistensi Wakil Kepala Daerah sebagai satu paket dengan Kepala Daerah dan proses pemilihannya. Bahwa keberadaan Wakil Kepala Daerah yang berasal dari Partai Politik yang berbeda bukan menjadi persoalan utama. ADKASI memandang keberadaan Wakil Kepala Daerah di luar jalur Partai Politik termasuk Pegawai Negeri Sipil belum dianggap lebih baik. Sebagai ilusterasi bahwa apabila Wakil Kepala Daerah dari latar belakang Pegawai Negeri Sipil dianggap lebih memahami persoalan birokrasi daerah, bagaimana dengan pola hubungan dengan keberadaan Sekretaris Daerah. d. Terkait dengan Dana Pemilukada, bahwa pembatasan dana Pemilukada disesuaikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dengan memaksimalkan fungsi pengawasan DPRD terhadap pelaksana anggaran Pemilukada atau KPU Kabupaten Kota. Dan penggunaan anggaran bantuan sosial dan hibah. Opini terhadap dugaan penggunaan dua mata anggaran tersebut oleh calon petahana atau incumbent perlu ditelusuri secara cermat agar tidak menimbulkan fitnah yang berakibat munculnya potensi konflik horizontal antar pendukung. Dalam praktek pembahasan APBD Bansos maupun hibah, petahana beserta SKPD menyampaikan RAPBD kepada DRPD untuk bersama-sama dibahas melalui kaidah dan ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan Kementerian Dalam Negeri dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. e. Terkait dengan Penggunaan fasilitas daerah dan mobilisasi aparat sipil negara atau Pegawai Negeri Sipil, meski agak sulit dibuktikan, yang diperlukan adalah penegakkan aturan yang sudah mengatur kedua hal tersebut dan yang juga perlu mendapat perhatian adalah partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses
pengawasan atas tindakan dimaksud, karena hanya dengan peran serta masyarakat secara maksimal, proses Pemilukada dapat berjalan sesuai harapan semua pihak. f. Tentang sengketa Pemilukada, ADKASI tetap menganggap bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai sarana yang paling tepat dalam proses penyelesaian atas sengketa yang terjadi. g. Mengenai Calon Kepala Daerah dalam hubungan perkawinan maupun daerah, ADKASI beranggapan bahwa apabila gagasan tentang pembatasan berlaku untuk petahana Kepala Daerah, maka tidak menutup kemungkinan hal ini perlu diberlakukan untuk kandidat Presiden atau Wakil Presiden RI, kandidat legislatif di DPR RI, DPRD Provinsi Kabupaten Kota hingga kandidat Kepala Desa, yang semua kedudukan instrumen-instrumen politik tersebut dipilih melalui mekanisme pemilihan secara langsung. 8. ASOSIASI DPRD KOTA SELURUH INDONESIA (ADEKSI) menyampaikan: a. Pemerintah perlu mempertimbangkan pelaksanaan pemilih terhadap Kepala Daerah oleh DPRD, hal ini dikarenanakan kondisi ekonomi masyarakat yang lemah, politik uang yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung cenderung rentan merusak moral bangsa. Jika dimungkinkan bisa mempertimbangkan untuk mengembalikan pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD baik Provinsi, maupun kab/kota. b. Agar pemilihan walikota dan wakil walikota tetap dalam satu paket. Masalah utama dari konflik yang seringkali timbul yakni karena undang-undang belum memuat pembagian kerja yang kongkrit atas kedua posisi tersebut, sehingga menimbulkan gesekan-gesekan dalam jalannya pemerintah. Jika wakil walikota berasal dari elemen birokrasi akan muncul persoalan jika kepala daerah berhalangan tetap dan wakilnya naik menggantikannya, padahal wakil adalah birokrat yang harus netral sementara jabatan kepala daerah jabatan politis. c. Agar tidak ada pelarangan keluarga incumbent ikut dalam pemilihan kepala daerah. Pelarangan ini memiliki alasan dan tujuan yang baik, tetapi bertentangan dengan hak asasi setiap warga Negara untuk berpastisipasi aktif dalam seluruh aktivitas termasuk mencalonkan diri sebagaimana dijamin undang-undang. Perlu dilakukan penegakan hukum secara terhadap setiap penyalahgunaan wewenang dan bukan pelarangan. d. Agar pembahasan RUU Kepala Daerah tidak hanya terfokus pada ketiga hal tersebut, pembahasan harus lebih luas dan memungkinkan peningkatan kapasitas demokrasi bisa terjadi melalui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Misal pembatasan pendanaan kampanye harus dibahas secara serius untuk mengurangi peluang money politics, dan perlu dibicarakan peluang munculnya calon-calon pemimpin daerah yang memiliki komitmen dan visi kerakyatan tanpa harus terhambat oleh soal sedikitnya pendanaan.
II. KESIMPULAN Setelah Ketua Rapat menyampaikan pengantar rapat dan memberikan kesempatan kepada Pimpinan dan Anggota Komisi II DPR RI untuk menyampaikan pendapat/pandangannya serta saran dapat disimpulkan bahwa masukan-masukan dari Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI), Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) akan dijadikan masukan-masukan yang sangat berarti dalam rangka pembahasan Rancangan UndangUndang Tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang akan dilaksanakan Komisi II DPR RI. III. PENUTUP Rapat ditutup Pukul 17.00 WIB. KETUA RAPAT,
Drs. AGUN GUNANDJAR SUDARSA, Bc.IP,M.Si A-219