Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
QUOVADIS? PEMBINAAN ANAK BINAAN LEMBAGA KHUSUS PEMBINAAN ANAK DI INDONESIA: PENGAMALAN “LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING” DALAM MEMPERSIAPKAN ANAK SEBAGAI CALON TENAGA KERJA DI MASA MENDATANG Yohanes Hermanto Sirait & Pan, Lindawaty Suherman Sewu Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung Email:
[email protected]
ABSTRAK Konsep pembinaan masyarakat di Lembaga Pemasyarakatan termasuk Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) merupakan sebuah keharusan karena hukum harus selalu memandang pemidanaan dilakukan terhadap perbuatan, bukan terhadap orang atau pelakunya semata. Pembinaan yang baik harus berakar dari pemahaman “demi kepentingan terbaik anak” (for the best interest of the Childs). Artikel ini didasarkan pada kegiatan pengabdian yang dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Sukamiskin Bandung yang merupakah role model LPKA yang akan dibangun di seluruh Indonesia. Proses pengabdian mengidentifikasi bahwa pembinaan yang dilakukan sekarang sudah cukup baik namun belum sepenuhnya memenuhi kompetensi yang dibutuhkan anak. Salah satu sebabnya adalah keterbatasan dalam pemenuhan sumber daya pengajar di tiap tingkat pendidikan dan fasilitas pembinaan yang tersedia. Untuk itu, penulis mengharapkan peran serta pemerintah, masyarakat dan pemerhati anak khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengembangkan program pembinaan yang utuh, menyeluruh dan berorientasi pada anak. Kata kunci: Pembinaan, anak binaan, konsep kepentingan terbaik anak, ketenagakerjaan.
ABSTRACT Concept in society development in Correctional Facility including for juvenile is necessary because law should see that criminalization was given to the criminal action not the persons themselves. A good development must be rooted from perception “for the best interest of the childs”. This article based on community services that have been carried in juvenile correctional institution (LPKA Sukamiskin Bandung) which is a role model for all juvenile facility in Indonesia. It was identified that the coaching activity in LPKA is good enough but not fully provide enough competency needed by child caused by lack of human resources of trainer in every level of education and lack of facility. This article encourage government, society and stakeholders specially Ministry of Education and Culture, Ministry of Manpower, and Ministry of Woman Empowerments and Child Protection to develop a more integrated, holistic and child oriented programs. Keywords: Develop, Juvenile, concept of for the best interest of the childs, manpower
LATAR BELAKANG Anak merupakan hadiah dari Tuhan. Sepenggal kalimat ini tentunya sudah dipahami dan dimengerti oleh setiap orang di seluruh belahan dunia. Konvensi Hak Anak (KHA) menegaskan bahwa anak baik secara fisik dan mental membutuhkan perlindungan, dukungan sebelum dan 191
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
sesudah dilahirkan. KHA mengkategorikan seseorang dianggap sebagai anak ketika orang tersebut masih berusia di bawah 18 tahun. Namun demikian, dalam kenyataannya, batasan maksimal disebut sebagai anak sangat bervariasi dari satu Negara ke Negara lain, maupun dari satu maksud ke maksud yang lain.1 Meskipun batasan tersebut berbeda-beda, namun Negara-negara baik peserta maupun non-peserta KHA, wajib melindungi dan menjamin masa depan anak. Pada praktiknya, perlindungan anak tidak selalu dilakukan secara holistik atau utuh dalam artian, perlindungan anak melihat pada status si anak. Status anak disini bukan karena adanya diskriminasi agama, kesukuan, adat atau ras namun lebih kepada status anak di hadapan hukum. Sejarah perkembangan pengaturan mengenai anak yang berkonflik dengan hukum mencatat bahwa UU. No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang kemudian direvisi berdasarkan Putusan MahkamahKonstitusi No. 1/PUU-VIII Tahun 2010, yang dimaksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 tahun dan belum mencapai 18 tahun atau belum pernah menikah.2 Sementara batas umur anak untuk dapat diajukan ke pengadilan ditetapkan antara 12 sampai 18 tahun, dan selanjutnya untuk dapat dipidana minimal berumur 12 tahun. Batasan usia tersebut tidak berubah dan masih diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU. No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang merupakan UU yang menggantikan UU. No. 3 Tahun 1997. Perubahan batasan usia dari 8 tahun menjadi 12 tahun untuk dapat diproses secara hukum merupkan perkembangan dari sisi hak asasi anak oleh karena anak yang berusia 12 tahun kebawah tentu saja memiliki ketahanan fisik dan mental yang berbeda dengan anak berusian 12 tahun keatas. Namun “pekerjaan rumah” bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan tidak hanya soal penanganan anak yang berkonflik dengan hukum tetapi juga anak yang dalam proses pembinaan sampai dengan pembinaan selesai. Patut disadari bahwa masyarakat Indonesia cenderung sulit untuk menerima kembali anak binaan sebagai pribadi baru dalam masyarakat bahkan pemberi kerja sekalipun tidak sedikit yang menghindari rekrutmen terhadap pelamar kerja dengan latar belakang Lembaga Pemasyarakatan. Alasannya tentu saja ketakutan akan masa lalu si anak terlebih kurangnya keyakinan bahwa si anak layak untuk diberikan pekerjaan oleh karena anggapan anak binaan sebagai orang tidak terdidik dan tanpa keahlian apapun. Kegiatan pengabdian yang penulis lakukan diawali dengan tujuan untuk melihat konsep pembinaan di LPKA. Namun seiring perjalanan pengabdian dilakukan, penulis menyadari pentingnya perhatian tidak hanya pada saat pembinaan tetapi juga setelah pembinaan selesai. Penulis berharap selama pembinaan, anak dapat dibekali pendidikan dan pelatihan keahlian tertentu dan setelah pembinaan, baik LPKA, pemerintah maupun pemangku kepentingan lain bersedia memberi jaminan kepada pemberi kerja terkait karakter dan kompetensi dari anak sehingga masa depan anak tidak terancam. Penulis ingin semua orang percaya bahwa masa depan itu sungguh ada dan harapan itu tidak pernah hilang untuk anak binaan. Terhadap kegiatan yang sama, penulis sudah pernah membuat dalam karya tulis ilmiah yang dipresentasikan di acara Seminar Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (SNaPP) yang diselenggarakan di Universitas Islam Bandung pada tanggal 22-23 Oktober 2015 di The Trans Luxury Hotel, Jl. Gatot Subroto 289, Bandung, Indonesia dan tulisan tersebut telah diterbitkan dalam bentuk Prosiding Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, Vol.5, No.1, Tahun 2015. Meskipun 1.
Yohanes Hermanto Sirait dan Gerald Alditya Bunga, “Pengaturan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana untuk Mewujudkan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia”, http://www.academia.edu/, diakses pada tanggal 7 September 2016, Pukul 10.30 WIB. 2. Ibid.
192
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
demikian, terdapat beberapa perbedaan kajian antara tulisan tersebut dengan tulisan ini dimana tulisan tersebut mengkaji Pendidikan Kemandirian dan Keterampilan bagi Anak Binaan secara umum selama proses binaan berlangsung sedangkan tulisan ini lebih dalam mengjaki aspek penyiapan anak semasa dan setalah pembinaan selesai sehingga terdapat aspek hukum ketenagakerjaan yang juga dibahas dalam tulisan ini.
MASALAH LPKA di Indonesia saat ini sedang menuju pada konsep pembinaan, bukan lagi pemidanaan semata. Hal ini terwujud dalam setiap kegiatan di LPKA Sukamiskin yang lebih berorientasi pada pendidikan dan pelatihan tanpa mengurangi waktu bermain atau berinteraksi dari anak binaan. Di LPKA Sukamiskin sendiri, kamar-kamar dari anak sudah didesain layaknya kamar anak biasanya dengan meninggalkan pandangan bahwa di Lembaga Pemasyarakatan layaknya penjara dengan sel-sel besi dan penjagaan yang sangat ketat. Namun, pembinaan tidak selesai hanya dengan memberikan kesan yang lebih baik daripada konsep pemidanaan. Pemerintah sudah bekerja untuk hal tersebut, namun masih memiliki kendala dalam hal sumber daya manusia yang mampu mengembangkan potensi anak binaan serta fasilitas anak binaan tidak hanya sebagai peserta didik dan pencari kerja setelah anak binaan menyelesaikan masa pembinaan. Penting bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya pemerintah memasukkan aspek ketenagakerjaan dalam model pembinaan anak di LPKA guna menyiapkan anak binaan yang siap kerja di masa yang akan dating setelah masa pembinaan di LPKA selesai dijalani.
METODE PELAKSANAAN Adapun metode yang digunakan adalah: 1. Diskusi Interaktif. Metode ini dipilih untuk menyampaikan konsep-konsep yang penting untuk dimengerti dan dikuasai oleh peserta pelatihan. Penggunaan metode ini dengan pertimbangan bahwa metode diskusi yang dikombinasikan dengan gambar-gambar, animasi dan display dapat memberikan materi yang relatif banyak secara padat, cepat dan mudah. Metode diskusi dimaksudkan agar anak-anak binaan bisa lebih santai dan rileks dan diharapkan anak-anak binaan mau terbuka terkait pengalaman hidup, rencana di masa depan dan hal-hal yang dibutuhkan sebaelum dan sesudah anak binaan menyelesaikan pembinaan di LPKA Sukamiskin. 2. Demonstrasi Metode ini dipilih untuk menunjukkan suatu proses kerja yaitu tahap-tahap dalam kegiatan hard skill misalnya pembuatan aksesoris dari kulit (leather crafting) dan pembuatan sabun dari limbah buah dan sayur. Demonstrasi dilakukan oleh instruktur di hadapan peserta sehingga peserta dapat mengamati secara langsung metode dan teknik pembuatan. 3. Manajemen Metode ini dipilih untuk melengkapi pelatihan hard skill yang diperoleh oleh anak binaan. Anak binaan diajari manajemen oleh setiap instruktur mulai dari pengajuan pinjaman ke pihak pemberi pinjaman, manajemen keuangan, laporan dan lain-lain sehingga anak binaan dapat menjalankan usaha secara professional dan bertanggung jawab.3 193
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Teknik Pengumpulan Data Dikarenakan penelitian ini bersifat normatif, maka pengumpulan data dilakukan dengan Studi Kepustakaan yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku, literatur, perundang-undangan, majalah serta makalah yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Bahan hukum dalam penelitian ini dibagi atas 3 (tiga) yaitu bahan hukum primer yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan peraturan hukum terkait termasuk bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal dan tulisan mengenai anak. Sebagai pelengkap, penulis menggunakan bahan hukum tersier yakni kamus (cetak dan online).4 Adapun teknik lain dalam pengumpulan data dilakukan dengan membagikan angket untuk dapat diisi oleh anak binaan. Angket tersebut berisi beberapa pertanyaan terkait dengan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penulis. Meskipun anak binaan tidak mengisi identitas diri oleh karena adanya himbauan dari pihak LPKA karena alasan keamanan dan kenyamanan anak binaan, penulis dan tim tetap mendapatkan informasi yang dibutuhkan guna memaksimalkan program pelatihan dan pembinaan yang dilakukan. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan pihak LPKA terutama Kepala LPKA yaitu Ibu Catur Budi Fatayatin. Infromasi yang diberikan pihak LPKA sangat membantu penulis karena didaptkan langsung dari pihak-pihak yang sehari-hari mendampingi anak binaan sehingga didasarkan pada fakta di lapangan. Data dalam penelitian kualitatif kebanyakan diperoleh dari pihak LPKA, melalui observasi dan wawancara. Sumber lain yang bukan dari manusia (non-human resources) diperoleh dalam bentuk dokumen, foto dan bahan statistik. Dokumen terdiri jadwal kegiatan anak binaan, peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Pengambilan foto diperbolehkan sepanjang dilakukan pengeditan terlebih dahulu dengan menyamarkan wajah anak binaan sehingga tidak merugikan anak binaan di kemudian hari. 3
Yohanes Hermanto Sirait, Pan Lindawaty S. Sewu, “Pendidikan Kemandirian dan Keterampilan bagi Anak Binaan di Lembaga Khusus Pembinaan Sukamiskin”, Prosiding Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, Vol.5, No.1, Tahun 2015, hlm. 301-308. 4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 1314.
Teknik Analisis Data Data dianalisa secara kualitatif dengan tujuan agar penulis mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif berdasarkan disiplin ilmu hukum untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Lokasi, Waktu dan Durasi Kegiatan Kegiatan pengabdian dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Sukamiskin, Bandung, beralamat di Jl. Arcamanik No. 3A Bandung. Kegiatan dilakukan sejak April 2015 – Oktober 2015. Kegiatan dibagi atas beberapa jenis yakni kegiatan bersifat hard skill dan soft skill. Kegiatan tidak dilakukan secara rutin setiap hari karena dari pihak LPKA sendiri memiliki agenda dan terdapat beberapa pelaksana kegiatan dari entitas berbeda yang melakukan kegiatan pengabdian di LPKA Sukamiskin.
194
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan ini diikuti oleh seluruh anak binaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Sukamiskin (Jenis Kelamin Seluruh Anak Binaan adalah Laki-laki) yang berjumlah sekitar 100 orang.5 Sampai dengan tulisan ini dibuat, penulis mendapati bahwa jumlah anak binaan saat ini berkisar 145 orang, berdasarkan data yang diperoleh dari mahasiswa magang Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha di LPKA Sukamiskin Bandung yang merupkan bagian dari kesepakatan dalam bentuk kerjasama antara Fakultas Hukum Univesitas Kristen Maranatha dengan LPKA Sukamiskin Bandung. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa target awal yang ingin dicapai dengan adanya kegiatan ini adalah menjadi bagian dari proses pembinaan oleh LPKA dalam menuntun anak binaan untuk menemukan masa depan yang lebih baik.6 Oleh sebab itu dilakukan kegiatan yang bersifat hard skill (keterampilan wirausaha dan pembuatan kulit) yang diharapkan dapat membekali anak binaan dengan keahlian dan kemahiran tertentu untuk dapat melanjutkan kehidupan setelah menyelesaikan pembinaan di LPKA Anak dan bersifat soft skill melalui penyuluhan hukum mengenai Hak Konstitusional Anak (Anak Binaan LPKA) dan kegiatan pelatihan public speaking dengan mengundang pembicara dari Ganesha Public School Bandung dengan materi pengembangan diri.7 Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan menjalin kerjasama dalam bentuk Memorandum of Understanding No. 03/FH-UKM/MOU/X/2015 yang memuat tentang ruang lingkup kerja sama yang dilakukan yaitu Penelitian, pelatihan, penempatan magang bagi mahasiswa dan bantuan hukum. Adapun kegiatan yang sudah dilakukan selama ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian - Penelitian mengenai Pendidikan Kemandirian dan Keterampilan bagi Anak Binaan di LPKA Sukamiskin 2. Pendidikan - Penyuluhan hukum tetang hak konstitusional anak binaan LPKA - Public Speaking dalam rangka pengembangan diri 3. Penempatan Magang - Telah dilakukan magang oleh mahasiswa fakultas hukum di LPKA sejak MoU ditandatangani Adapun kegiatan yang belum dilaksanakan adalah terkait bantuan hukum. Namun Fakultas Hukum sudah berkoordinasi dengan Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) sebagai salah satu stake holders yang selama ini telah berperan penting dalam memberikan bantuan hukum kepada anak yang bermasalah dengan hukum, memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum. Rencana kerja sama sedang dilakukan terlebih mahasiswa yang magang di LPKA juga dilibatkan dalam kegiatan yang dilakukan oleh LAHA dalam proses pemberian bantuan hukum di pengadilan. LAHA banyak memberikan kontribusi dalam hal pembelajaran mengenai implementasi diversi8 terkait tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
5
Data diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan Pembina LPKA Sukamiskin Bandung pada tanggal 8 September 2015.
195
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Berdasarkan observasi yang dilakukan, LPKA sudah menyediakan beberapa fasilitas yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh anak binaan. Adapun fasilitas tersebut terdiri dari: 1. Sekolah Pendidikan Khusus Sekolah ini ditujukan bagi anak binaan dengan tindkat pendidikan Sekolah Dasar. Di sekolah ini disediakan program Paket A yang dilakukan melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dengan murid kurang lebih 33 (tiga puluh tiga) anak. 2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka SMP Terbuka di LPKA bekerja sama dengan SMP Negeri 08 Bandung. Kerja sama ini diinisiasi dengan bantuan Dinas Pendidikan Kota Bandung sebagai bentuk implementasi dari telah ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Kementerian Hukum dan HAM RI dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor: M.HH-08.HM.05.02 Tahun 2015, No. 02/IV/NK/2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Penempatan Anak Sementara, Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. (3) Sekolah Layanan Khusus Sekolah Layanan Khusus di LPKA diperuntukan bagi anak binaan dengan jenjang pendidikan setara Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan tingkat yang dipersamakan. Sekolah ini juga bekerja sama dengan SMK Negeri PU Bandung (Jurusan Otomotif dan Perbengkelan) dan SMK Negeri Tanjungsari Bandung (Jurusan Petanian, Pertanaman dan Perikanan). Kerja sama ini juga terlaksana berkat bantuan dari Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawab Barat sebagai bentuk implementasi dari adanya Peraturan Gubernur Jawa Barat tentang Pedoman Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak yang berhadapan dengan hukum di LPKA. Jika dilihat pada program pendidikannya yang bersifat praktik, pendidikan dalam program ini adalah yang paling mendekat dan berpotensi menyediakan anak binaan yang siap kerja atau calon tenaga kerja. Dikatakan calon tenaga kerja karena usia anak setingkat SMA dan SMK adalah berkisar 14 – 18 tahun. Meskipun terdapat juga anak yang sudah berusia lebih dari 18 tahun di LPKA namun oleh karena anak binaan tersebut pertama kali mengikuti pembinaan pada saat usia belum menginjak 18 tahun, anak binaan tersebut masih tetap ditempatkan di LPKA sampai dengan usia 21 tahun atau sampai dengan anak tersebut menyelesaikan masa pembinaan di LPKA.9 Pada dasarnya terdapat beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mencoba memberikan batasan minimun usia untuk dapat dikelompokkan sebagai anak. Meskipun demikian memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian member batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.
6
Yohanes Hermanto Sirait, Op. Cit, hlm. 8.
7 Ibid, hlm.8- 9
8
Diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang. Intinya diversi dimungkinkan untuk mengalihkan perkara anak dari sistem peradilan pidana di pengadilan ke penyelesaian di luar jalur pengadilan sepanjang tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana dibawah 7 tahun dan bukan merupkan pengulangan tindak pidan. Lihat, Setya wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm.14, lihat juga Sofian Parerungan, “Penerapan Diversi dalam Sidang Anak”, http://pn-bangil.go.id/data/?p=207, diakses pada tanggal 4 Oktober 2016, pukul 14. 35 WIB.
197
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Pasal 1 angka (5) UU. No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 47 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara konsisten menyatakan bahwa Anak adalah yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Kemudian, Pasal 1 angka (26) UU Ketenagakerjaan juga menyatakan bahwa Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya sehingga jika dilakukan penafsiran secara gramatikal, orang yang belum mencapai usia 21 tahun dikategorikan sebagai anak dalam hal keperdataan. Namun oleh karena tulisan ini berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan anak binaan, maka batas usia yang digunakan adalah yang merujuk pada UU Ketenagakerjaan yaitu 18 tahun. Berdasarkan Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), pada prinsipnya pengusaha (pemberi kerja) dilarang mempekerjakan seseorang dalam kategori anak meskipun terdapat pengecualian-pengecualian tertentu untuk dapat mempekerjakan anak. Pasal 69 UU Ketenagakerjaan memungkinkan anak yang berumur antara 13 - 15 tahun dapat dipekerjakan untuk pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan kesehatan, fisik, dan mental serta hubungan sosial anak. Hal ini penting karena beberapa kasus menunjukan bahwa pekerja dalam kategori anak sering mengalami gangguan psikologis. Untuk mempekerjakan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang ringan tersebut, harus memenuhi beberapa syarat, sebagai berikut : ada izin (tertulis) dari orang tua/walinya; dibuat perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan orang tua/wali si anak, sehingga jelas hubungan kerjanya; waktu kerjanya maksimum 3 (tiga) jam perhari; hanya boleh dipekerjakan pada siang hari, sepanjang tidak mengganggu waktu sekolah; harus dijaga keselamatan dan kesehatan kerjanya (K3); upahnya dibayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Persyaratan-persyaratan mengenai izin dari orang tua/wali, adanya perjanjian kerja dan hubungan kerja serta keharusan membayar upah kerja, dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarga (huisvlijt atau home industry). Lebih lanjut untuk anak yang berumur antara 15 - 18 tahun sudah dapat dipekerjakan sebagaimana umumnya akan tetapi tidak boleh dieksploitasi untuk bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan (the worst forms) baik ancaman/bahaya bagi kesehatan maupun keselamatan atau moral si anak. Pada usia ini, anak sudah dianggap cakap (bekwaam) untuk melakukan hubungan kerja tanpa kuasa/wali (vide pasal 2 ayat [3] Kepmenakertrans No. Kep-235/Men/2003 dan Konvensi ILO No. 138 serta Konvensi ILO No. 182).10 Dalam hak anak telah berusia 18 tahun, berdasarkan UU Ketenagakerjaan ia sudah dapat bekerja secara umum dan normal sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi kerja atau profesi yang ia miliki.
9
Data diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua LPKA Sukamiskin Bandung pada tanggal 8 September 2015.
198
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Berdasarkan penjelasan diatas, penting sebenarnya dilakukan pemetaan di LPKA terkait dengan situasi anak. Pemetaan dilakukan untuk mencari informasi tentang anak binaan yang akan melanjutkan pendidikannya atau tidak melanjutkan pendidikannya setelah masa pembinaan selesai. Bagi anak yang melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, harus diberikan suatu jaminan dari LPKA bahwa yang bersangkutan sudah dinyatakan lulus pembinaan dan dapat hidup normal layaknya peserta didik pada umumnya di tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, terdapat jaminan bahwa pendidikan tinggi misalnya akan tetap menerima anak binaan untuk melanjutkan pendidikannya di lembaga pendidikan yang diinginkan. Sementara bagi anak binaan yang tidak melanjutkan pendidikannya dapat diarahkan untuk menjadi calon tenaga kerja karena usianya mendekati atau sudah usia kerja. Dengan demikian, peran LPKA akan semakin besar tidak hanya sampai pada pembinaan tetapi juga mempersiapkan anak binaan dalam memperoleh pekerjaan di masyarakat. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami tentunya bahwa peranan hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat adalah suatu hal yang krusial. Dalam kaitannya dengan pembinaan anak di LPKA, LPKA sebagai lembaga hukum, aturan ketenagakerjaan dan sertifikasi ketenagakerjaan bagi anak binaan merupakan alat untuk merekayasa anak binaan menjadi calon tenaga kerja yang kompeten. Fungsi pembinaan LPKA sejauh ini sudah memenuhi kriteria merekayasa oleh karena pembinaan dilakukan tanpa menghilangkan suasana pendidikan anak pada umumnya oleh karena ketersediaan beberapa fasilitas pendidikan dan kegiatan ekstra kulikuler.11 Namun upaya merekaya tidak selesai hanya dengan mengubah prilaku anak binaan agar dapat diterima dalam masyarakat tetapi juga harus lebih jauh lagi mempertimbangkan kemungkinan anak binaan diterima dalam dunia pekerjaan. Untuk itu, pemerintah harus mampu menjadi jembatan antara pemberi kerja dengan anak binaan LPKA. Berdasarkan observasi dan evaluasi yang telah dilakukan dapat diajukan beberapa peningkatan dalam hal memperkuat aspek ketenagakerjaan bagi anak binaan sebagai berikut: 1. Pembinaan harus dilakukan secara terintegrasi antara pelaksana kegiatan satu dengan pelaksana kegiatan lainnya di LPKA. Hal ini didasarkan pada keterangan Pembina LPKA yang menyatakan bahwa terdapat beberapa Universitas dan Pelaksana Kegiatan lainnya yang melakukan kegiatan yang kurang lebih sama sehingga ada tumpang tindih kegiatan dan sasaran yang ingin dicapai tidak maksimal. 2. LPKA harus berkoordinasi dengan setiap pemangku kepentingan termasuk pelaksana kegiatan di LPKA agar dapat dipetakan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan sehingga mengurangi kemungkinan tumpang tindih kegiatan. 3. Dalam hal aspek ketenagakerjaan, LPKA dan pelaksana kegiatan dapat berkoordinasi dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) atau entitas serupa guna meningkatkan dan menjamin kompetensi calon tenaga kerja yang berlatar belakang anak binaan di LPKA. 4. Pemerintah melalui LPKA dapat menjalin kerjasama dengan pemberi kerja terkait kesediaan pemberi kerja untuk berperan dalam memberikan pelatihan bagi anak binaan sesuai komptensi usaha dan memberikan kesempatan bagi anak binaan untuk dapat diterima sebagai tenaga kerja. j
Lihat http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5600/usia-minimum-kerja, diakses pada tanggal 4 Oktober 2016, Pukul 16.20 WIB. k
Berdasarkan observasi yang dilakukan di LPKA, ditemukan bahwa anak binaan juga dalam menikmati fasilitas Pesantren Miftakhul Jannah, olahraga (lapangan dan alat pendukung olahraga), perpustakaan), bengkel pelatihan termasuk pelatikan salon atau barbershop dan fasilitas lainnya. Bahkan kondisi LPKA tidak seperti gambaran penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) pada umumnya yang terdiri dari sel-sel oleh karena konsep sel sudah ditinggalkan dan diberikan suasana layaknya kamar pada umumnya.
199
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
KESIMPULAN DAN SARAN Pada dasarnya kegiatan pengabdian pada masyarakat terlaksana sesuai dengan tujuan dan rencana meskipun masih banyak hal yang bisa dikembangkan dalam kegiatan pengabdian di LPKA. Aspek ketenagakerjaan adalah salah satu aspek yang paling penting selain mengurangi potensi anak binaan kembali mengulangi tindak pidana atau bahkan melakukan tindak pidana yang lebih berat, peningkatan aspek ketenagakerjaan akan melengkapi konsep pembinaan yang diharapkan oleh hukum selama ini. Hukum sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering) juga tidak lagi mejadi retorika semata. Peran pembinaan di LPKA dan setelahnya dapat menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik. Secara garis besar, kegiatan ini mendapat sambutan yang baik dari para anak binaan dan tidak terkecuali pihak LPKA terutama bagian pembinaan LPKA meskipun terdapat kendala dalam hal sumber daya manusia, fasilitas dan optimisme anak binaan. Namun apabila kendala ini dapat diatasi, maka cita-cita negara kesejahteraan (welfare states) bagi seluruh warga negara Indonesia dapat terwujud. Penulis menyarankan untuk kegiatan pengabdian lainnya dan selanjutnya untuk memberikan perhatian lebih dalam hal aspek ketenagakerjaan. Anak binaan harus dilengkapi dengan kemampuan yang dapat berguna sebagai tenaga kerja dan diberikan jaminan adanya penerimaan dari pemberi kerja yang mana dapat diwujudkan melalui kerjasama antara seluruh pemangku kepentingan baik LPKA, LAHA, pelaksana kegiatan, Universitas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Ketenagakerjaan, BNSP dan entitas pemerhati anak binaan LPKA lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Setya wahyudi, Implementasi Ide. (2011). Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2002). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sofian Parerungan, “Penerapan Diversi dalam Sidang Anak”, http://pn-bangil.go.id/data/?p=207. Yohanes Hermanto Sirait, Pan Lindawaty S. Sewu. (2015). “Pendidikan Kemandirian dan Keterampilan bagi Anak Binaan di Lembaga Khusus Pembinaan Sukamiskin”, Prosiding Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, Vol.5, No.1. Yohanes Hermanto Sirait dan Gerald Alditya Bunga, “Pengaturan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana untuk Mewujudkan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia”, http://www.academia.edu/. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5600/usia-minimum-kerja
200
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
SESI TANYA JAWAB Nama Pemakalah
Nama Penanya
Yohanes Hermanto Sirait
Jonathan Pramono
Bambang Siswanto
Wahyu Setya Ratri
Anugrah K.P
Asal Institusi Universitas Kristen Petra Surabaya
Universitas Kristen Krida Wacana
Universitas Sarjanawiyat a Tamansiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Isi Pertanyaan
Jawaban
Apa yang menyebabkan anak-anak melakukan pelanggaran hukum? Apakah karena pengaruh lingkungan, kurangnya kesadaran hukum, atau memang karena emosi & logika anak yang belum stabil? Bagaimana solusi untuk mencegahnya?
Ada 3 kasus yang sering terjadi pada anak-anak. Narkoba (ada beberapa aspek untuk faktor narkotika) seperti diiming-imingi uang dengan mengantarkan paket, dll. Kasus pencurian karena faktor ekonomi. Kasus pembunuhan karena background bercanda, tidak sengaja tertusuk, latar belakang penganiayaan orang tua, dsb. Dan kemudian adalah kasus pelecehan seksual. Anak-anak diberikan pemahaman agar jangan melakukan pelanggaran hukum, disadarkan bahwa masih memiliki masa depan yang cerah.
Berapa rasio/persentas kasus pembunuhan yang dilakukan anak di bawah umur? Dan bagaimana meyakinkan masyarakat untuk menerima kembali seorang pembunuh? Apakah ada perbedaan perlakuan terhadap anak binaan laki-laki dan perempuan?
Level penerimaan masyarakat memang tidak mudah, karena masuk ke LPKA saja juga cukup takut. Hampir 50% adalah kasus pembunuhan dengan background bercanda, tidak sengaja tertusuk, membunuh ayah kandung sendiri karena penganiayaan orang tua. Ada tantangan tersendiri bagi pemakalah. LPKA hanya untuk laki-laki. Sedangkan tahanan anak perempuan dijadikan satu dengan dewasa. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kasus pelecehan seksual. Walaupun begitu, kerap menjadi perbincangan juga, bahwa tidak menutup kemungkinan ada pelecehan antar sesama jenis. Selama ini pemakalah hanya menangani LPKA (laki-laki), belum pernah menangani tahanan anak perempuan. Ya, juga diperhatikan masalah mental psikologis dari anak-anak binaan LPKA. Ada kuesioner dulu yang diisi oleh anak-anak. Setelah itu, dilakukan pemetaan dengan anakanak, yang cenderung suka cari gara2, dll. Level penerimaan masyarakat memang tidak mudah. Namun tetap memberikan bekal kepada anak-anak, bahwa anak-anak masih bisa memiliki masa depan yang cerah untuk meraih cita-cita, bekerja, dll.
Apakah masalah mental psikologi anak-anak binaan LPKA juga diperhatikan? Bagaimana caranya? Bagaimana level penerimaan masyarakat setelah program pembinaan di LPKA ini dijalankan?
201