Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Membangun Politik Hukum Penghapusan Penggunaan Merkuri Pada Pertambangan Emas Skala Kecil di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku Ahmad Sudiro1, Ahmad Redi2, dan Ade Adhari3
ABSTRACT: The use of mercury in gold mining business activities of small scale is a phenomenon that occurs in various parts of the world, including Indonesia. In Indonesia the use of mercury is rife all over the country one of which is on a small scale gold mining activities in Botak Mountain Buru Regency of Maluku province. The use of mercury in gold mining activities have threatened the survival of mankind. These conditions encourage the Indonesian Government to draw up a legal political order to eliminate the use of mercury in mining activities. This study aims to identify and understand the background or reasons people as perpetrators of the business activities of small-scale gold mining using mercury in mining activity at Botak Mountain Buru Regency of Maluku province and the description of the legal political ideal in the management of the elimination of the use of mercury in gold. To achieve these objectives it is used non-doctrinal legal research (non-doctrinal research) with the approach based on socio-legal research, and the paradigm of constructivism and relies on qualitative research with decision/determination by purposive sampling, inductive analysis and grounded theory. The results showed that first, fundamental reasons the use of mercury in gold mining activities of small scale Mount Bald, Kapubaten Province Labor Ambon ie knowledge about the methods of how to mine the gold held by the public as a miner is still modest, the community as a miner does not know that mercury used in stages of mining used harmful to the health of the environment, and because of the abundance / availability of mercury at an affordable price. Second, the political ideal law, the abolition of the use of mercury in the business activities of small scale gold mining in Indonesia should be prepared based on a global perspective (Convention Minamata), national perception (Pancasila, the Constitution, and legislation related), as well as theoretical studies (theory of legal system and the theory of sustainable development). Keywords: Artisanal and Small-Scale Gold Mining, Illegal Mining, Mercury. ABSTRAK: Penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil adalah fenomena yang terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk negara Indonesia. Di Indonesia penggunaan merkuri marak terjadi diseluruh penjuru tanah air salah satunya adalah pada kegiatan pertambangan emas skala kecil di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan emas telah mengancam kelangsungan kehidupan umat manusia. Kondisi ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyusun suatu politik hukum guna menghapuskan penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami latar belakang atau alasan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil menggunakan merkuri dalam kegiatan pertambangan di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku serta gambaran politik hukum ideal penghapusan penggunaan merkuri dalam pengelolaan emas. Untuk mencapai tujuan tersebut maka digunakanlah penelitian hukum non-doktrinal (non-doctrinal research) dengan berbasis pada pendekatan socio-legal research, dan berparadigma konstruktivisme serta mengandalkan penelitian kualitatif dengan pengambilan/penentuan sampel secara purposive, analisis induktif dan grounded theory. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertama,alasan mendasar digunakannya merkuri dalam kegiatan penambangan emas skala kecil di Gunung Botak, Kapubaten Buruh Provinsi Ambon yaitu pengetahuan mengenai metode bagaimana menambang emas yang dimiliki oleh masyarakat sebagai penambang masih 1
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (
[email protected]) 3 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara 2
C-551
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658 sederhana, masyarakat sebagai penambang tidak mengetahui bahwa merkuri yang digunakan dalam tahapan penambangan yang digunakan berbahaya bagi kesehatan lingkungan, dan karena melimpahnya/tersedianya merkuri dengan harga yang terjangkau. Kedua, politik hukum ideal penghapusan penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil di Indonesia harus disusun berdasarkan wawasan global (Konvensi Minamata), wawasan nasional (Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan terkait), serta kajian teoritik (teori sistem hukum dan teori pembangunan berkelanjutan). Kata Kunci: Pertambangan Emas Skala Kecil, Penambangan Tanpa Izin, Merkuri.
Pendahuluan Kesadaran masyarakat global terhadap bahaya penggunaan merkuri bagi kelangsungan kehidupan umat manusia semakin memuncak dengan disepakatinya Konvensi Minamata untuk Merkuri (the Minamata Convention on Mercury) pada Januari 2013 oleh Intergovernmental Negotaiting Committee/INC. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang telah menandatangani konvensi tersebut pada Diplomatic Conference Konvensi Minamata yang diselenggarakan di Jepang pada tanggal 10 Oktober 2013. The Minamata Convention on Mercurydilahirkan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari emisi antropogenik, pelepasan merkuri dan persenyawaan merkuri. Sejauh ini Konvensi Minamata telah ditandatangani oleh 128 (seratus dua puluh delapan) negara dan diratifikasi oleh 8 (delapan) negara. Penggunan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan merupakan salah satu isu global yang hendak ditangani melalui Konvensi Minamata. Isu global tersebut dihadapi oleh banyak negara di dunia dan mengancam keamanan, keselamatan dan kesehatan umat manusia beserta lingkungannya. Secara khusus “Aricle 7 and Annex C” dari Konvensi Minamata ditujukan untuk kegiatan pertambangan emas skala kecil (artisanal and small-scale gold mining (ASGM)/pertambangan emas skala kecil (PESK). Di Indonesia penggunaan merkuri marak terjadi diseluruh penjuru tanah air, salah satunya adalah pada kegiatan pertambangan emas skala kecil di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Pengunaan merkuri dalam kegiatan pertambangan seperti halnya yang terjadi di Gunung Botak tidak sejalan dengan asas pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Keberadaan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan tersebut diakui oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Asas atau prinsip tersebut memberikan panduan agar pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (termasuk di dalamnya emas) harus diselenggarakan secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang. Prinsip adanya keberlanjutan dan keberwawasan lingkungan harusnya menjadi panduan dalam pelaksanaan kegiataan pengelolaan pertambangan emas di Gunung Botak. Namun melihat realitas yang terjadi, terjadi pengingkaran terhadap eksistensi asas tersebut. Dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya tidak terintegrasi secara berimbang, dan bahkan bisa dikatakan kepentingan lingkungan sebagai aspek penting dalam kegiatan pengelolaan pertambangan tidak diakomodir, serta nilai sosial budaya masyarakat adat yang ada di Gunung Botak tidak mendapatkan tempat. Selain itu, penyelenggaraan kegiatan pertambangan dengan menggunakan merkuri yang terjadi di Gunung Botak tidak mempertimbangkan segi penjaminan terhadap kesejahteraan masa
C-552
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
mendatang bagi Bangsa Indonesia, karena masyarakat akan membayar semua dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan merkuri terhadap kesehatan manusia dan lingkungan pada akhirnya. Pertambangan emas skala kecil di Gunung Botak yang dalam pelaksanaannya menggunakan merkuri dengan demikian bertentangan dengan kebijakan nasional pengelolaan pertambangan dan wawasan atau kesepakatan global. Baik dalam perspektif nasional maupun internasional sebetulnya terlihat adanya pemikiran yang senada, dengan meminjam kata-kata Jeff Conant dan Pam Fadempemikiran tersebut yakini by protecting our environment, we protect our health. Ada hubungan yang erat sekali antara kesehatan masyarakat Indonesia selaku pemegang mineral rights dengan kesehatan lingkungan. Kesehatan pada hakikatnya akan dipengaruhi oleh seberapa baik kualitas lingkungan. Dengan memburuknya kualitas lingkungan akibat penambangan emas dengan menggunakan merkuri akan sangat berdampak pada kesehatan rakyat Indonesia di masa kini dan dimasa datang. Pada akhirnya apabila Indonesia tidak menetapkan suatu politik/kebijakan hukum yang ideal dalam mengatasi permasalahan penggunaan merkuri dalam pengolahan pertambangan emas skala kecil maka tujuan negara untuk memberikan kesejahteraan (sosial welfare) mungkin sulit tercapai.Mendasarkan pada alasan-alasan sebagaimana terurai diatas, maka diangkatlah judul penelitian ini adalah “Membangun Politik Hukum Penghapusan Penggunaan Merkuri Dalam Pengelolaan Emas Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Skala Kecil Di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku”. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum non-doktrinal (non-doctrinal research). Penelitian hukum non-doktrinal digunakan ketika peneliti mengkonsepsikan hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan eksis sebagai variable sosial yang empirik atau hukum adalah manifestasi makna-makna simbolis para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio-legal research. Pendekatan sosio-legal menawarkan pendekatan alternatif berupa melihat hukum sebagai persoalan konteks atau bagaimana bekerjanya hukum dalam kegiatan keseharian masyarakat. Pendekatan socio-legal dengan demikian memberikan kesempatan yang luas bagi peneliti untuk melakukan studi terhadap dokumen hukum disertai dengan studi lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, observasi, wawancara mendalam (indepth interview), interpretasi dokumen (teks), serta pengalaman individu sebagai pemegang peran tertentu dalam masyarakat dan kelembagaan (personal experience). Hasil Dan Pembahasan Alasan Masyarakat Sebagai Pelaku Kegiatan Usaha Pertambangan Emas Skala Kecil Menggunakan Merkuri dalam Kegiatan Pertambangan di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam bukan hanya berupa rempah-rempah akan tetapi juga tambang mineral dan batubara. Hal yang demikian pula yang menjadi alasan para penjajah untuk menjadikan Indoensia sebagai sasaran
C-553
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
penjajahan. Pernyataan mengenai Indonesia adalah negara yang kaya bahan tambang mineral dan batubara bukanlah sesuatu yang tidak berdasar melainkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keberadaan sumber daya alam yang melimpah tersebut harus dikelola secara tepat dengan mengutamakan filosofi “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana terejahwantah dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang merupakan sarana guna mencapai tujuan dan fungsi negara, sehingga pada nantinya akan dapat terwujud suatu negara Indonesia yang makmur dan sejahtera, atau dengan meminjam ungkapan yang sangat agung mengenai gambaran negara yang makmur sebagaimana ditampilkan oleh Suteki, “negari ingkang panjang hapunjung, hapasir wukir loh jinawi, gemah ripah karto raharjo”. Terdapatnya sumber daya emas di Gunung Botak telah memunculkan banyaknya masyarakat yang mencari peruntungan dengan menjadi penambang emas. Penambangan emas yang terdapat di Gunung Botak dilakukan secara illegal karena penambang tidak memiliki izin pertambangan rakyat sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Kegiatan pertambangan emas yang terdapat di Gunung Botak telah ada sejak tahun 2011. Pasca meningkatnya aktivitas penambangan emas skala kecil di Gunung Botak setidaknya telah memberikan dampak meningkatnya perekonomian masyarakat sekitar dan juga masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia yang mencoba menjadi penambang pula di Gunung Botak. Mobilisasi penambang emas dari berbagai daerah tersebut tidak dapat di hindari karena diyakini kandungan emas di Gunung Botak melimpah. Setidaknya penambang emas illegal di Gunung Botak antara lain masyarakat adat setempat, masyarakat Pulau Buru, para transmigran yang sudah menetap di pulau buru sejak lama, dan masyarakat yang berasal dari luar Pulau Buru. Manfaat ekonomi dari akitivitas tambang illegal tersebut dengan demikian dirasakan bukan hanya oleh masyarakat Pulau Buru saja melaikan masyarakat di luar Pulau Buru. Setidaknya terdapat ±4000 (empat ribu) penambang yang bergantung pada area tambang Gunung Botak. Secara geografis lokasi penambangan emas illegal terletak di Desa Kayeli. Kegiatan pertambangan rakyat terutama yang diolah secara tradisional menghasilkan limbah yang mengandung unsur logam berat seperti merkuri (Hg) yang dapat mencemari lingkungan, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan biota (organisme). Pencemaran logam berat makin menimbulkan keresahan masyarakat karena dari pertambangan dihasilkan bahan kimia yang tidak dapat didegradasi secara alamiah di perairan laut, sehingga akan mengganggu kehidupan organisme. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bambang Tjahjono Setiabudi, usaha pertambangan, oleh sebagian masyarakat sering dianggap sebagai penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan. sebagai contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih dilakukan dengan proses amalgamasi dimana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk mengikat emas. Begitu pula dengan pertambangan skala kecil yang terdapat di Gunung Botak yang dalam proses penambangannya menggunakan Merkuri. Penggunaan Merkuri oleh penambang emas di Gunung Botak bukanlah hal baru. Para penambang menuturkan dalam proses penambangan untuk memisahkan emas perlu menggunakan Merkuri. Merkuri yang digunakan tersebut telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat. Rusaknya lingkungan dan ekosistem di dalamnya yang disebabkan oleh penggunaan merkuri pada kegiatan pertambangan di
C-554
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Gunung Botak di sadari atau diketahui oleh Pemerintah. Upaya penutupan tambang telah dilakukan oleh pemerintah sebanyak 22 (dua puluh dua) kali. Tindakan penutupan terakhir dilakukan pada tanggal 14 November 2015 yang melibatkan berbagai pihak seperti Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Maluku, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Buruh, Pemda Kabupaten Buru, TNI, Polri, LSM dan lain sebagainya. Penutupan tambang emas di Gunung Botak yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat penggunaan merkuri dapat dibenarkan dengan beberapa landasan yang didasarkan pada tujuan negara, Pancasila, Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan landasan sosiologis berupa menghentikan kerusakan lingkungan dan ekosistem yang disebabkan penggunaan merkuri yang tidak terkontrol dan terkendali. Sehingga pada akhirnya mengancam kehidupan umat manusia. Serta yang tidak kalah penting didasarkan pada kajian teoritik yaitu teori pendekatan kebijakan yang disampaikan oleh Peter deLeon dan Danielle M. Vogenback dan teori Deep Ecology dari Arne Naess. Penggunaan merkuri pada kegiatan penambangan emas skala kecil di Gunung Botak yang ditutup pada November 2015 dengan demikian sebetulnya adalah langkah yang tepat apabila ditinjau dari berbagai landasan yang dipaparkan diatas. Namun hal yang sangat esensial perlu dipaparkan adalah alasan mendasar digunakannya merkuri dalam kegiatan penambangan emas di Gunung Botak: 1. Pengetahuan Metode Penambangan yang Minim Pengetahuan mengenai metode bagaimana menambang emas yang dimiliki oleh masyarakat sebagai penambang masih sederhana. Seperti yang telah disampaikan diatas bahwa penambang di Gunung Botak dikalsifikasikan menjadi beberapa berdasarkan asal penambang yakni masyarakat adat buru, para transmigran yang sudah mendiami pulau buru sejak lama, dan penambang yang berasal dari luar pulau buru. Pertukaran informasi mengenai penambangan didapat melalui para penambang yang berasal dari luar pulau buru yang mana telah mahir dalam menambang. 2. Ketidaktahuan mengenai Bahaya Merkuri Masyarakat sebagai penambang tidak mengetahui bahwa merkuri yang digunakan dalam tahapan penambangan yang digunakan berbahaya bukan saja bagi manusia tetapi lingkungan. Dengan perkataan lain tingkat pengetahuan akan bahaya merkuri belum dimilik oleh para penambang. Hal ini dapat dimaklumi karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. 3. Ketersediaan Bahan Baku Merkuri Merkuri merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam proses amalgamasi penambangan emas di Gunung Botak. Untuk mendapatkan merkuri tidaklah sulit. Bahkan sumber bahan baku untuk membuat Merkuri sangat melimpah. Cinnabar atau Sinabar sebagai batuan untuk membuat merkuri dapat ditemukan di Kapulauan Seram yang letaknya tidak jauh dari Pulau Buru. Kemudahan dalam akses mendapatkan merkuri menjadi faktor pendorong penggunaan merkuri pada kegiatan penambangan emas di Gunung Botak. Melimpahnya sumber daya bahan baku pembuatnya juga menjadikan harga merkuri di pasaran menjadi murah dan dapat dijangkau. Terlebih maraknya masuknya merkuri illegal ke Indonesia. Pada tahun 2010, sekitar 280 ton merkuri illegal diimpor ke
C-555
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Indonesia untuk digunakan pada pertambangan emas skala kecil. Angka ini menjadi dua kali lipatnya pada tahun 2011. Politik Hukum Ideal Penghapusan Penggunaan Merkuri dalam Pengelolaan Emas pada Kegiatan Usaha Pertambangan Skala Kecil di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku Kelvin Telmer dari University of Victoria dalam paparannya yang berjudul “World Emissions of Mercury from Small Scale and Artisanal Gold Mining and the Knowledge Gaps about Them” mengungkapkan secara global merkuri digunakan dalam pertambangan emas skala kecil. Pertambangan emas skala kecil setidaknya dapat ditemukan di 70 (tujuh puluh) negara dan jumlahnya semakin bertambah terus. Konsekuensi dari praktik penambangan tersebut adalah 650-1.350 ton merkuri pertahun digunakan. Sehingga wajar apabila Ia menyebut bahwa “ASGM is the single largest intentional-use source of mercury pollution in the world”. Meningkatnya penggunaan merkuri dalam kegiatan pertambangan emas skala kecil di berbagai penjuru dunia mendorong suatu kesepakatan global bahwa merkuri sebagai isu yang perlu ditangani secara global. Hal ini menjadi logis karena masalah pencemaran lingkungan akibat penggunaan merkuri adalah masalah bersama. Berkenaan dengan hal tersebut Yukari Takamura mengungkapkan: “Mercury is also regarded as an issue that needs to be addressed globally. Since the diffusion of mercury is extensive, even a country where mercury emissions are negligible may be negatively affected by mercury emissions from other countries. Mercury pollution of lakes, rivers and, particularly, oceans is a global issue, raising concerns about its impact on the health of aquatic life and the organisms that consume it. Actually, mercury is detected at high concentrations even in the arctic region, which is distant from the emission sites. Although the amount of mercury used in developed countries is decreasing, a decline in mercury prices due to the decreased demand is leading to mercury use in developing countries for purposes for which alternatives to mercury are already available. International cooperation, including financial support and technological transfer, is necessary for the promotion of antimercury measures in developing countries” Salah satu hal penting dari apa yang disampaikan oleh Yukari Takamura adalah pencemaran lingkungan akibat merkuri yang diderita secara global telah menimbulkan kekhawatiran yang dirasakan oleh seluruh negara di dunia. Ini disebabkan adanya “difusi merkuri”, karena diketahui mobilisasi senyawa merkuri dapat melalui berbagai media, meresap melalui tanah lalu bergerak ke saluran-saluran, sungai-sungai, danaudanau dan samudra serta dapat berpindah mengikuti arus laut dan hewan-hewan yang berimigrasi. Politik hukum ideal penghapusan penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan yang dimaksud setidaknya mempertimbangkan beberapa hal: 1. Wawasan Global Dalam paparan diatas telah disampaikan bahwa telah ada Konvensi Minamata yang disepakati oleh bangsa-bansga beradab di dunia untuk bagaimana mengatasi masalah maraknya pencemaran lingkungan akibat merkuri. Di dalam konvensi tersebut terdapat berbagai standar internasional yang perlu diterapkan
C-556
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
2.
3.
oleh negara-negara yang telah menandatanganinya. Setidaknya standar yang dimaksud adalah mengenai pengaturan beberapa hal: a. Mercury supply source and trade, b. Mercury-added products, c. Manufacturing processes in which mercury or mercury compounds are used, d. Exemptions available to a party upon request, e. artisanal and small-scale gold mining, f. emissions, g. releases, h. environmentally sound interim storage of mercury, other than waste than mercury, i. mercury wastes, j. contaminated sites, k. financial resources and mechanism, l. capacity building, technical assistance and technology transfer, m. implementation and compliance committee, n. health aspects, o. information exchange, public information, awareness and education, p. research, development and monitoring, q. implementation plans, r. reporting, s. effectiveness evaluation, t. conference of the Parties, dan lain sebagainya. Wawasan Nasional Telah disampaikan bahwa dalam konteks Indonesia politik hukum digunakan untuk mewujudkan tujuan dan fungsi negara sebagaimana terejahwantah dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4. Pernyataan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menuntun Bangsa Indonesia pada suatu pemahaman bahwa politik hukum dalam bidang apapun harus dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945.Menurut Kaelan, Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia, atau dengan lain perkataan sebagai sumber tertib hukum Indonesia yang tercantum dalam ketentuan tertib hukum tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Yang pada hakikatnya perlu dikonkritisasikan (dijabarkan) dalam UUD 1945 (pasal-pasal UUD 1945) serta hukum positif yang lainnya. Sementara itu, berkenaan dengan “UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”, Satjipto Rahardjo menyatakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebagai jantung dan jiwa negara. Undang-undang dasar suatu negara memberi tahu kepada kita tentang apa maksud bentuk negara, bagaimana cita-citanya dengan bernegara, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan yang terdapat di dalamnya. Dengan undang-undang dasar, suatu negara sebagai komunitas memiliki tujuan yang jelas dan akan memandu menuju apa yang dicita-citakan. Politik hukum pengelolaan pertambangan yang didalamnya mencakup politik hukum penghapusan penggunaan merkuri pada pertambangan emas skala kecil dengan demikian juga harus diilhami oleh Pancasila dan UUD 1945. Pancasila harus menjadi landasan filosofis penyusunan politik hukum tersebut dan UUD 1945 sebagai sumber tertib hukum yang tertingginya. Keduanya merupakan wawasan nasional bangsa yang akan memandu. Pertimbangan Teoritik Untuk menyusun suatu politik hukum ideal penghapusan penggunaan merkuri dalam kegiatan pertambangan emas skala kecil hal yang menjadi penting untuk dipertimbangkan adalah pertimbangan teori apa yang digunakan sebagai justifikasinya. Sehingga nantinya politik hukum yang diambil mendapatkan justifikasi teoritisnya. Salah satu teori yang dapat sebagai pijakan adalah teori sistem hukum (legal system) dari Lawrence Friedmann.
C-557
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Soetandyo Wignjosoebroto dalam tulisannya berjudul “Hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja Penegakan Hukum di Negeri ini?” menegaskan: “Sungguh benar apa yang dikemukakan Lawrence Friedman (dalam bukunya The Legal System: A Social Science Perspective, 1975) bahwa untuk kepentingan analisis teoretik, demi kedayagunaannya yang praktikal, hukum nasional itu, sebagai suatu sistem institusional, mestilah dikenali dalam tiga gatranya. Disebutkan dan dibentangkan secara agak terurai, ketiga gatra itu ialah substansi perundangundangan, struktur organisasi pengadaan beserta penegakannya, dan yang ketiga ialah kultur yang akan ikut menjadi determinan bermakna-tidaknya hukum dalam kehidupan nasional dari hari ke hari. Adalah suatu kekeliruan apabila upaya mengefektifkan bekerjanya hukum – atau yang diistilahi “menegakkan hukum” dalam perbincangan kali ini – orang yang hanya berkonsentrasi pada kerja memperbaiki atau mengamandemen hukum perundangundangannya saja tanpa membenahi struktur organisasi yang ada pada sistem hukum nasional. Demikian juga permasalahannya, apabila dalam kerja-kerja penegakan hukum orang hanya berkonsentrasi pada intensi kekuatan struktural dan mengabaikan interpretasi kultural para insan pencari keadilan, vise versa” Ketika hukum hendak digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang dalam hal ini “menghapus penggunaan merkuri” maka hendaknya hukum tersebut diperlakukan sebagai suatu sistem, yang sistem tersebut dapat disebut sebagai sistem hukum (legal system). Hukum sebagai suatu sistem terdiri dari tiga sub-sistem mendasar yang masing-masing memiliki peran yang saling mendukung satu sama lain. Sub-sistem tersebut antara lain substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan kultur hukum (legal culture). Dalam pembicaraan menganai politik hukum ideal dengan demikian mencakup reformasi terhadap tiga subsistem hukum tersebut yakni substansi, struktur dan kultur hukum. Politik hukum ideal penghapusan penggunaan merkuri pada kegiatan pertambangan emas skala kecil kedepan dengan demikian meliputi, pertama formulasi ataupun reformasi terhadap substansi hukum atau yang dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang menjadi atau akan menjadi landasan yuridis yang menberikan dasar legalitas segala tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan kegiatan pertambangan emas yang bebas merkuri. Kedua, perlu struktur hukum yang dalam konteks ini berwujud suatu lembaga atau pranata hukum yang memiliki kewenangan dalam hal menangani kegiatan pertambangan emas skala kecil yang menangani masalah penggunaan merkuri. Ketiga, persoalan kultur hukum dapat dipandang sebagai kunci suksesnya hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Kultur hukum ini terdiri atas dua komponen yakni kesadaran hukum (legal consciousness) dan kebiasan hukum (legal habit). Untuk mendapatkan penjelasan terhadap dua komponen tersebut bijak apabila dicermati pernyataan Benny Simon Tabalujan dalam tulisannya yang berjudul “Legal Development in Developing Countries-The Role of Legal Culture”: I propose to identify two separate elements within Friedman’s concept of legal culture. I call the first element ‘legal habit’. By this I mean the actions, attitudes, values and opinions concerning law and legal
C-558
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
institutions which are inherited and thus espoused by an individual or a community through a process of habituation. I call the secondelement ‘legal consciouness’. By this I mean the faculty which reflects upon and evaluates the attitudes and values which make up legal habit. Thus, the legal consciousness of a community refers to that community’s capacity to consider whether some legal habit – a particular attitude, value, opinion or belief about law – is acceptable or not acceptable for that community Penjelasan yang disampaikan oleh Benny Simon Tabalujan tersebut setidaknya memberikan pemahaman bahwa mengapa pada akhirnya para penambang emas di Gunung Botak menggunakan merkuri dalam kegiatan pengolahannya karena memang kebiasaan hukum masyarakat yang demikian. Selama ini sudah terbentuk suatu kebiasaan hukum berupa tindakan, pandangan atau pemahaman masyarakat bahwa merkuri sebagai cara yang mudah dan murah untuk digunakan dalam menambang. Kebiasaan inilah yang perlu direformasi dengan cara meningkatkan kesadaran hukum masyarakat selaku penambang. Peningkatan kesadaran hukum tersebut dilakukan untuk meningkatkankan kapasitas masyarakat selaku penambang untuk mempertimbangkan apakah kebiasaan hukum yang selama ini diyakini masih dapat diterima atau tidak diterima lagi dengan kata lain perlu diubah. Masyarakat selaku penambang perlu diperkaya pemahaman dan pengetahuannya bahwa merkuri berbahaya bagi keberlangsungan lingkungan dan umat manusia dan ada metode lain yang lebih baik yang dapat diterapkan untuk menambang emas. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan sebagaimana disampaikan diatas, maka adapun simpulan yang dapat dikemukakan adalah: 1. Terdapat beberapa alasan mendasar digunakannya merkuri dalam kegiatan penambangan emas skala kecil di Gunung Botak, Kapubaten Buruh Provinsi Ambon yaitu pengetahuan mengenai metode bagaimana menambang emas yang dimiliki oleh masyarakat sebagai penambang masih sederhana, masyarakat sebagai penambang tidak mengetahui bahwa merkuri yang digunakan dalam tahapan penambangan yang digunakan berbahaya bagi kesehatan lingkungan, dan karena melimpahnya/tersedianya merkuri dengan harga yang terjangkau. 2. Politik hukum ideal penghapusan penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil di Indonesia harus disusun berdasarkan pertimbangan atau wawasan global yang tertuang dalam Konvensi Minamata. Konvensi tersebut telah meletaknya standar untuk meminimalisir atau menghindari penggunaan merkuri. Salah satu standar yang telah ditetapkan dalam konvensi tersebut adalah berkenaan dengan langkah-langkah yang perlu diambil oleh negara anggota terkait dengan adanya penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil dimana merkuri digunakan untuk mengektrak emas dari bijih atau yang lebih dikenal dengan cara amalgamasi. Standar tersebut diformulasikan dalam Pasal 7 dan Lampiran C pada konvensi tersebut. Selain mempertimbangkan permikiran global, wawasan nasional pun perlu diperhitungkan. Politik hukum ideal penghapusan penggunaan merkuri harus dibangun berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan berbagai peraturan
C-559
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
perundang-undangan yang terkait. Kedepan juga perlu diperhatikan bahwa dalam hal membangun politik hukum penghapusan penggunaan merkuri perlu dicermati untuk mereformasi bukan hanya persoalan substansi hukum dengan membuat aturan penghapusan atau pelarangan penggunaan merkuri, namun pula juga mereformasi struktur hukum dalam artian memperkuat lembaga yang ada saat ini yang memiliki kewennagan dalam hal pengawasan penggunaan merkuri pada kegiatan usaha pertambangan, dan berikutnya perlu melakukan reformasi kultur hukum para pihak agar tidak melakukan penambangan dengan menggunakan merkuri. Daftar Pustaka Adhari, Ade. (2013). Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Skripsi. FH Undip. Ambrosius, Wendy. (2005). Deep Ecology: A Debate on the Role of Humans in the Environment. UW-L Journal of Undergraduate Research VIII. Bali Fokus dkk. (2013). Titik Rawan Merkuri di Indonesia, Situs PESK: Peboyo dan Sekotong di Indonesia. Laporan Kampanye Bebas Merkuri IPEN, Diterjemahkan oleh Bali Fokus. Halstead, B.W. 1972. Toxicity Of Marine Organisms Caused By Polutanst In Marine Polutanst and Sea Life. FAO. Fising New (Book) Ltd Sureey England. 584-594. Herman Gibb dan Keri Grace O’Leary. (2014). Mercury Exposure and Health Impacts among Indoviduals in the Artisanal and Small-Scall Gold Mining Community: A Comprehensive Review. National Institute of Environmental Health Sciences. Maret. Jeff Conant dan Pam Fadem. (2008). A Community Guide to Environmental Health. First Editition, Hisperian Foundation, Berkeley. California. May. Kaelan, (2013). Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma. Komisi Yudisial Republik Indonesia, (2012). Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia. Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Cetakan Pertama, Juli. Peter deLeon dan Danielle M. Vogenback. The Policy Sciences at Crossroads. dalam Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods. Public Administration and Public Policy/125. Rahardjo, Satjipto. (2009). Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing. Setiabudi, Bambang Tjahjono. (2005). Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas di Daerah Sangon. Kabupaten Kulon Progo. D.I. Yogyakarta. Kolokium Hasil Lapangan-DIM. 61-1. Shidarta. (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing. Tabalujan, Benny Simon. (2001) Legal Development in Developing Countries-the Role of Legal Culture. SSRN Journal, Singapore. Takamura, Yukari. (2014). The Minamata Convention on Mercury: It’s Significance and Challenges. Research on Environmental Disruption. Telmer, Kevin. (2008). World Emissions of Mercury from Small Scale and Artisanal Gold Mining and the Knowledge Gaps about Them. University of Victoria.
C-560
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
World
Health Organization. (2013). Preventing Desease Through Healthy Environments: Mercury Exposure and Health Impacts among Individuals in the Artisanal and Small-Scale Gold Mining (ASGM) Community. Public Health and Environment, WHO. Keputusan Menteri Luar Negeri No. 01/B/RO/IV/2015/01 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Luar Negeri Tahun 2015-2019.
C-561