Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Kondisi Dan Kelembagaan Rumah Tangga Petani Miskin Dalam Perspektif Pembangunan Sosial Lokal Pertisipatoris Di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan Syafiuddin Saleh1 dan Abdul mahsyar 2
ABSTRACT: This study aimed to examine the condition and the institutional of rural farming community, especially poor households. The objective is related to issues like the tendency of rural development at the local level that has not been able to improve the institutional ability and formation for rural community.The research method applied is descriptive qualitative method and the type of relevant research like case study combined with triangulation technique.The results show that (1) poor farmer households in Jeneponto generally farm on dryland, according to the condition of the surrounding nature, by growing corn and rice.Corn is planted twice a year while rice is planted only once a year.Generally, poor farmers are tenant farmers while some own a slight piece of land. (2) Institutional among poor farmer community (households) is formed naturally in the form of patron-client relationship with profit-sharing system, generally set by the patron. There is an institutional formation, initiated through empowerment; yet still searches for the appropriate form and has not shown its independence. The poor households still nevertheless feel the benefit of government programs for a short term. Poor people rely on the aid in the form of training or provision of certain knowledge and skill related to the world of agriculture as well as other skills. Keywords: Institutional, household, poor farmer, condition ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan mengkaji kondisi dan kelembagaan masyarakat tani pedesaan khususnya rumah tangga miskin. Tujuan tersebut terkait dengan permasalahan seperti kecenderungan pembangunan di tingkat lokal pedesaan belum mampu meningkatkan kemampuan ril dan bentukan kelembagaan yang kuat bagi masyarakat pedesaan. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan jenis penelitian yang relevan seperti studi kasus yang dipadukan dengan teknik triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan (1) rumah tangga petani miskin di Jeneponto umumnya mengelola lahan kering sesuai karunia alam di sekitarnya, dengan membudidayakan jagung dan padi. Jagung ditanam 2 kali setahun sedangkan padi hanya 1 kali setahun. Kebanyakan petani miskin adalah penggarap dan sebahagian memiliki lahan sendiri yang sangat sempit. (2) Kelembagaan di kalangan masyarakat (rumah tangga) tani miskin, terbentuk alamiah berupa hubungan patron-klien dengan aturan bagi hasil yang diatur umumnya oleh patron. Ada bentukan kelembagaan yang diinisiasi melalui pemberdayaan tetapi masih mencari bentuk dan belum menampakkan keswadayaannya, disebabkan oleh berbagai sebab. Namun demikian, program pemerintah dirasakan manfaatnya oleh rumah tangga miskin, walaupun masih bersifat jangka pendek.Warga miskin berharap ada bantuan berupa pelatihan atau pemberian pengetahuan dan ketrampilan tertentu baik yang berhubungan dengan dunia pertanian maupun ketrampilan lainnya. Katakunci: Kelembagaan, rumah tangga, petani miskin, kondisi
Pendahuluan Penerapan modernisasi sebagai paradigma pembangunan di segala bidang termasuk di Indonesia selama 32 tahun, disatu sisi telah membawa kemajuan. Tetapi disisi lain menimbulkan berbagai keprihatinan seperti timbulnya kertergantungan antar bangsa, antar kawasan dan antar kelompok masyarakat. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak 1 2
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Makassar (
[email protected]) Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Makassar (
[email protected])
B-320
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
mempertimbangakan aspek kelestraian dan keberlanjutan telah menimbulkan kerusakan lingkungan, pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai upaya distribusi pendapatan secara merata menyebabkan kesenjangan, di mana kelompok kaya menikmati nisbah pembangunan dengan lebih baik tetapi kelompok miskin semakin terpuruk dan tenggelam dengan rasa ketidak berdayaannya. Secara nasional fokus pembangunan dititik beratkan pada pembangunan sarana dan prasarana pendukung besar diperkotaan, dengan harapan akan memberi akibat terhadap gairah pelaku pasar. Bersamaan dengan diterapkan kebijakan efek menetes ke bawah dalam menghantar sumberdaya pembangunan yang akibatnya sampai pada kurun waktu sejak tahun 60 an keadaan tersebut membawa kelemahan pada tidak berkembangnya aktifitas di wilayah lokal terutama lemahnya aktifitas ekonomi di pasar lokal. Kelemahan lain adalah pada kemampuan sistem administrasi lokal memberi pelayanan kepada masyarakatnya. Kedua kelemahan tersebut menyebabkan adanya kelemahan pada masyarakat lokal termasuk rumah tangga miskin lokal (Ohama,2001). Semangat otonomi daerah di Indonesia tercermin dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004, yang memberi penekanan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk mengatur, mengelola dan mengembangkan dirinya. Menurut Undang-Undang tersebut sebagian kewajiban dari daerah adalah meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, mewujudkan keadilan dan pemerataan, dan meningkatkan pelayanan dasar. Semangat tersebut terwujud dalam berbagai program dan upaya penggulangan kemiskinan, yang telah berlangsung setiap tahun. Proses pembangunan masyarakat atau disebut pemberdayaan telah dilakukan dalam berbagai cara, namun demikian upaya yang dilakukan belum memenuhi apa yang diharapkan. Namun demikian pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan seyogianya mengandung arti bahwa di tempatkannya manusia pada posisi pelaku dan tidak sekedar sebagai penerima manfaat dari proses pembangunan tatapi manusia yang mencari solusi dan meraih hasil yang lebih baik, sehingga masyarakat mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapi. Upaya pemberdayaan masyarakat seharusnya mampu berperan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama dalam membentuk dan mengubah perilaku masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas. Perubahan perilaku tersebut baik dalam dimensi sektoral maupun dimensi kemasyarakatan seharusnya menjangkau seluruh strata masyarakat terutama masyarakat miskin (Karsidi, 2000). Hasil studi yang dilakukan Murjana Yasa (2008) upaya penaggulangan kemiskinan perlu melibatkan masyarakat sendiri dalam bentuk yang lebih partisipatif agar lebih memungkinkan adanya proses pembelajaran masyarakat sekaligus proses perubahan perilaku untuk hidup yang lebih bermartabat. Temuan Syafiuddin (2013) menggambarkan bahwa kebahagian dalam sebuah keluarga miskin mempunyai hubungan dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan dalam sebuah keluarga terkait beberapa dimensi seperti: pendididikan, kesehatan, materi dll. Oleh karena itu keberhasilan suatu program pemberdayaan merupakan resultan interaksi elemen-elemen pembangunan dengan strategi pemberdayaan yang diterapkan. Upaya dan strategi pemberdayaan merupakan suatu pendulum antara paradigma evolusi dan paradigma revolusi yang saling mengisi dalam proporsi yang sesuai dengan kondisi dan kelembagaan petani (Suradisastra, 2008). Apabila pemberdayaan sebagai model strategis pengentasan kemiskinan maka ia harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang mampu memobilisasi berbagai aspek atau unsur sumberdaya serta kapasitas dan B-321
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
potensi masyarakat yang bersangkutan dan perlu adanya kerjasama mutualisme antara semua elemen yang ada untuk bisa mendorong ekonomi mikro lokal. (Ekoprasetyo dan Maisyaroh, 2009). Upaya pemberdayaan seharusnya dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengorganisir diri, dalam arti mampu mengatur, mengelola masalah dan potensi yang ada guna beradaptasi menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi (Sharma dan Ohama, 2007). Belakangan ini terdapat indikasi menguatnya permasalahan atau melemahnya penanggulangan kemikinan di Indonesia. Menurut World Bank dalam Rusastra dan Napitupulu (2007) indikasi tersebut ditunjukkan oleh melemahnya indikator kemiskinan bukan hanya dari pendapatan tetapi juga pada keadaan seperti tingkat pendidikan, kesehatan, angka kematian bayi dan lain-lain dan semakin timpangnya kinerja dan pemanfaatan hasil pembangunan. Di pedesaan penduduk miskin meningkat dari 19,5 persen menjadi 21,29 persen bila dibandingkan wilayah perkotaan yang meningkat dari 11, 4 persen menjadi 13,4 persen. Kedaan ini diperparah pula oleh keadaan disparitas pertumbuhan dan pemerataan antar wilayah, kelompok dan individu. Masalah pokok yang akan dijawab oleh penelitian ini adalah adanya kecenderungan pembangunan di tingkat lokal pedesaan belum mampu meningkatkan kemampuan dan bentukan kelembagaan yang kuat bagi masyarakat pedesaan terutama di kalangan rumah tangga miskin atau prasejahtera. Penelitian ini mencoba mengkaji secara khusus kondisi dan kelembagaan rumah tangga miskin guna memahami langkah-langkah yang tepat dalam melakukan penguatannya di masa datang. Metode Penelitian Penelitan ini dilakukan di Kabupaten Jeneponto sebagai daerah yang memiliki komunitas petani lahan kering. Pada daerah tersebut sesuai dengan tujuan penelitian, maka pilihan lokasi penelitian lebih khusus pada wilayah pedesaan yang memiliki konsentrasi penduduk (rumah tangga) miskin terbanyak, dan pernah disentuh oleh program pemberdayaan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh stakeholder lain seperti LSM dan swasta. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus yang dipadukan dengan teknik triangulasi. Pada tahap awal penelitian ini melakukan pencacahan terhadap penduduk miskin yang dijadikan subyek penelitian. Prosedur kerja penelitian selanjutnya berupa: (1) Pengumpulan data dasar tentang kondisi dan karakteristik rumahtangga miskin, dan memetakannya berdasarkan indikator kemiskinan seperti; ketidak cukupan (insufficiensi) elemen rumah tangga seperti, ketidak cukupan aset produksi, aset konsumsi serta aset manajerial (2). Wawancara mendalam (indepth) tentang kondisi kelembagaan rumah tangga miskin baik yang terbentuk alamiah maupun yang terbentuk melalui program pemberdayaan. Program pemeberdayaan dimaksud yakni yang dilakukan pemerintah, atau berkolaborasi dengan stakeholder lain seperti (LSM, Swasta, Perguruan Tinggi dan atau Lembaga internasional)
B-322
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Hasil Dan Pembahasan Kabupaten Jeneponto adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di bagian selatan Kota Makassar. Daerah ini memiliki luas wilayah 749,79 km persegi, dan secara administratif meliputi 11 kecamatan. Pengelolaan pemerintahan daerah ini berpusat di Kota Bontosunggu di Kecamatan Binamu. Kecamatan lain adalah kecamatan Bangkala Barat sebagai kecamatan yang paling jauh dari pusat pemerintahan yakni 41 km dari ibu kota kabupaten. Setelah itu menyusul kecamatan Bangkala, Kecamatan Rumbia, Kecamatan Tamalatea, Kecamatan Kelara, Kecamatan Taroang, Kecamatan Bontoramba, Kecamatan Batang Kecamatan Arungkeke dan Kecamatan Turatea. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi jumlah desa dan kelurahan yang menyebar di seluruh kecamatan adalah 83 desa dan 30 kelurahan yang terdiri dari Bangkala 10 desa dan 4 Kelurahan, Bangkala Barat 7 desa dan 1 Kelurahan, Tamalatea 6 Desa dan 6 kelurahan, Bontoramba 11 desa dan 1 kelurahan, Binamu 2 desa dan 11 kelurahan, Turatea 11 desa, Batang 4 desa dan 2 kelurahan, Arungkeke 7 desa, Tarowang 8 desa, kelara 5 desa 5 kelurahan dan terakhir Rumbia yang seluruhnya terdiri dari 12 desa. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 361.000 jiwa, dengan keadaan wilayah yang terdiri dari dataran tinggi di bahagian utara dengan ketinggian 500-1400 di atas permukaan laut, selanjutnya dataran rendah berada di bagian selatan dan sisanya wilayah laut. Daerah ini di dominasi oleh wilayah pertanian lahan kering. Potensi sawah tadah hujan dan tegalan atau kebun rakyat dengan jumlah yang luas. Keadaan ini menyebabkan daerah ini di katagorikan sebagai wilayah yang kurang produktif dengan penduduk sebahagian besar berada pada kondisi miskin. Secara umum klasifikasi Rumah Tangga miskin di Kabupaten Jeneponto adalah terdiri Rumah Tangga sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan miskin. Data terakhir yang ada adalah data tahun 2011 dan digunakan dalam pendataan ulang sekarang ini. Jumlah penduduk miskin tersebut tersebar diselutuh kecamatan. Secara keseluruhan jumlah rumah tangga miskin tersebut dapat digambarkan pada Tabel 1 Tabel 1: Jumlah Rumah Tangga (KK) berdasarkan klasifikasi kemiskinan per kecamatan Kabupaten Jeneponto tahun 2014 No
Kecamatan
Sangat Miskin miskin 1 Bangkala 704 2078 2 Bangkala Barat 295 1186 3 Tamalate 948 1966 4 Bontoramba 544 1454 5 Binamu 737 1649 6 Turatea 623 1642 7 Batang 299 926 8 Arungkeke 317 842 9 Taroang 525 1414 10 Kelara 472 1193 11 Rumbia 271 932 Jeneponto 5729 15282 (Sumber: BPS Kabupaten Jeneponto 2014)
Hampir Rentan miskin miskin 2001 3506 1078 2468 1317 1865 1203 1789 1276 2450 1307 1484 703 986 753 1170 1038 1257 988 1244 1061 2117 12725 20336
Jumlah 8289 5027 6090 4990 6112 5056 2914 3082 1234 3897 4381 54 072
B-323
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Tabel 1 tersebut menjelaskan bahwa sebaran Rumah Tangga miskin sesuai klasifikasi per kecamatan, Kecamatan Bangkala termasuk yang memiliki jumlah rumah tangga paling banyak, menyusul Kecamatan Binamu, dan Kecamatan Tamalate sedangkan yang paling sedikit adalah di wilayah kecamatan Arungkeke dan Kecamatan Batang. Sebaran tersebut menjadi petunjuk pada studi ini untuk memfokuskan pengamatan rumah tangga miskin pada kecamatan yang memiliki jumlah rumah tangga miskin terbanyak. Sehingga piilihan fokus studi di tentukan di kecamatan Bangkala. Selanjutnya di Wilayah Kecamatan Bangkala terdapat 14 desa. Data Rumah Tangga miskin pada 14 desa tersebut seperti pada Tabel 2. Tabel 2:
Jumlah Rumah Tangga Berdasarkan Klasifikasi Kemiskinan Per Kecamatan Kabupaten Jeneponto Tahun 2014 No Kecamatan Sangat Miskin Hampir Rentan Jumlah miskin miskin Miskin 1 Malasoro 92 223 205 336 856 2 Punagaya 70 193 139 188 590 3 Bontomaranu 80 210 172 268 730 4 Pantai Bahari 46 105 95 165 411 5 Pallengu 56 147 117 253 575 6 Tombo-tombolo 51 118 110 136 415 7 Jenetalasa 65 185 182 194 626 8 Kalimporo 41 135 144 267 587 9 Benteng 37 85 82 119 232 10 Pallantikang 59 199 166 229 653 11 Gunung Silamu 58 152 120 187 517 12 Kapita 26 166 217 510 919 13 Marayoka 12 110 160 322 604 14 Bontorannu 11 48 92 332 483 Bangkala 704 2078 2001 3506 8289 (Sumber: BPS Kabupaten Jeneponto, 2014) Tabel 2 menunjukkan bahwa sebaran rumah tangga miskin di Kecamatan Bangkala terbanyak adalah di Desa Kapita, Malasoro dan Bontomaranu. Pada studi ini penelusuran lebih lanjut guna memahami secara mendalam mengenai rumah tangga miskin, pengamatan di fokuskan di Desa Kapita dengan menitik beratkan perhatian pada petanimiskin dan sangat miskin. Untuk mencapai Desa Kapita dilakukan dengan waktu tempuh 30 menit sampai satu setengan jam dari Allu sebagai ibu kota Kecamatan Bangkala. Desa kapita merupakan salah satu desa pertanian yang relatif luas di Kecamatan Bangkala yang tersebar di sepuluh dusun. Secara umum kondisi lingkungan dan infrastruktur di wilayah ini dikemukakan berupa keadaan umum lingkungan kesehatan masyarakat, mata pencaharian, aksesibilitas penduduk pada sarana jalan yang ada, serta fasilitas listrik dan sarana komunikasi.
B-324
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Mata Pencaharian penduduk umumnya adalah petani. Menurut pengakuan Dg Gassing, salah seorang penduduk yang termasuk msikin, menceritakan bahwa ia telah bertani selama 40 tahun. Dengan umur yang sekarang sudah lima puluh tahun, kebiasaan bertani sudah ia lakoni sejak kecil di desa ini. Dg Gassing tidak punya pekerjaan lain selain bertani. Setiap hari ia memanfaatkan waktu selama 5 jam. Selanjutnya waktu lain di luar dari waktu tersebut, hanya digunakan untuk istirahat. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Lima (35 tahun), Daeng Pana (65 tahun), Daeng Bakkara 69 tahun serta Kamaludin (48 tahun) yang menilai bahwa sebagai petani miskin belum ada upaya yang memungkinkan untuk berkembang lebih maju. Sumberdaya alam yang menjadi tumpuan hidup masyarakat adalah lahan pertanian. Desa ini memiliki topografi berbukit dan berada pada kemiringan landai sampai terjal. Ada beberapa penduduk beternak terutama sapi, kuda dan kerbau serta ternak kecil. Terakhir ini melalui program Dinas Sosial setempat, penduduk berternak kambing melalui kelompok, sebahagian warga miskin/sangat miskin direkrut menjadi anggota kelompok. Walaupun di sekitar rumahnya ada lahan yang dapat digunakan untuk beternak kecil seperti ayam dan itik tetapi kebanyakan rumah tangga yang sangat miskin tidak melakukan karena berbagai alasan. Belum ada upaya memanfaatkan pekarangan atau sekitar pemukiman secara optimal. Di sekitar kampung terdapat pegunungan dengan hutan yang sudah berubah menjadi ladang penduduk. Tanaman kayu yang tersisa kebanyakan sebagai batas pagar dari setiap kebun atau ladang penduduk. Walaupun ada tanaman jangka panjang diladang namun demikian, lahan terbuka dilereng bukit tetap menonjol sebagai bentuk kerusakan lingkungan yang telah berlangsung menahun. Ada sungai besar membelah desa tetapi pada musim kering, keadaannya kering pula. Sarana jalan dari kota kecamatan menuju Desa Kapita masih sebahagian berupa jalan pengerasan, dan terdapat beberapa tanjakan. Jalan tersebut pernah di aspal tetapi saat sekarang ini sebahagian sudah mulai rusak, berlubang dan sebahagian lagi merupakan jalan pengerasan. Secara umum, kesan penduduk aksesibilitas melalui jalan yang ada, terasa lambat dan kurang nyaman dengan waktu tempuh 45 menit sampai satu setengah jam. Kondisi Penerangan di desa ini sudah menggunakan listrik atas fasilitas PLN. Tidak semua penduduk mampu memasang listrik dirumahnya. Terutama bagi mereka yang miskin seperti Daeng Gassing, cara mendapatkan penerangan adalah dengan menyambung listrik dari tetangga yang mampu, dengan membayar Rp 20.000 setiap bulan. Di desa Kapita belum memiliki jaringan telepon. Ada beberapa penduduk yang sudah menggunakan telepon seluler, tetapi baru beberapa orang. Seperti telah dijelaskan bahwa mata pencaharian penduduk di Desa Kapita umumnya adalah petani. Sumberdaya utama yang dimiliki adalah lahan dan peralatan pertanian. Petani miskin diliputi oleh berbagai keterbatasan. Dg Gassing dan Dg Bakkara misalnya tidak memiliki lahan sendiri, ia bertani dengan menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil. Kalaupun ia memiliki lahan jumlahnya sangat sempit yakni sekitar 2 are. Berbeda Dg Gassing dan Dg Panna, Lima (35) tahun dan Kamaluddin masih memilki lahan sendiri sekitar 50 are. Pak Lima memiliki 2 anak, salah satunya sudah tammat SMP dan sering membantu pada saat dibutuhkan di sawah. Ia menggunakan modal sendiri. Untuk membiayai pertaniannya sekitar 1,5 juta. Dan setiap panen dapat menghasilkan 3-5 juta rupiah. Selama ini lahan garapannya, ditanami padi dan jagung. Ada pula diantaranya sewaktu-waktu menanam kacang-kacangan. Jagung kadang-kadang B-325
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
bisa dipanen 2 kali sedangkan padi hanya satu kali. Peralatan bertani atau aset fisik yang dimiliki selain cangkul dan sabit, yang agak mewah hanya alat penyemprot hama. Selama padi dan jagung diproduksi petani penggarap menanggung seluruh biaya. Pada saat nanti padi dan jagung telah panen, hasilnya dibagi dua dengan pemiliknya. Selama padi atau jagung dipelihara seringkali pula petani dibantu orang lain terutama pada saat menyemprot hama. Misalnya seperti menantu. Istri juga bekerja, seperti menyabit rumput untuk ternak orang lain. Dari mana modalnya? Sebahagian besar dipinjam dari orang lain; pinjaman tersebut dengan syarat hasil panen padi dijual ke pemilik modal. Jumlah modal umumnya berkisar 1,5 sampai 2 juta rupiah. Jumlah tersebut dapat menghasilkan produksi senilai 3-5 juta rupiah bila panen berlangsung sukses.Tetapi bila keadaan sebaliknya yakni jika kondisi musim tidak mendukung makahasil panen lebih rendah. Untuk kelangsungan hidup, setiap rumah tangga petani miskin memiliki peralatan produksi yang terbatas. Peralatan yang umum adalah cangkul, sabit dan parang.Selain itu juga memiliki perlengkapan penunjang kelangsungan hidup. Umumnya di setiap rumah tangga miskin masih memiliki peralatan makan minum seperti alat masak-memasak dan makan minum sederhana, seperti piring dan jirigen penampung air. Petani miskin rata-rata memiliki rumah sendiri dengan perabot rumah tangga seadanya. Berdasarkan data yang telah terkumpul, belum ada petani miskin yang memiliki peralatan rumah tangga seperti motor atau kulkas yang dapat dioperasikan untuk mendapat pendapatan tambahan misalnya dengan membuat es atau mejadikan motor sebagai sebagai ojek. Hanya Dg Panna yang memiliki bentor (becak motor) yang digunakannya pada saat bukan musim bertani dengan mengoperasikannya di daerah lain (Tana Toraja). Kegiatan tersebut untuk mendapat tambahan penghasilan. Aspek manajerial dalam mengelola rumah tangga pada petani miskin belum berjalan. Hampir semua petani miskin yang menjadi informan mengakui bahwa memiliki pendapatan dari pertaniannya masih sekedar untuk menyambung hidup. Mereka mengakui bahwa dari seluruh pendapatan yang diperoleh, tidak/belum pernah melakukan upaya menabung untuk waktu yang lama. Kalaupun ada tabungan mereka gunakan lagi untuk keperluan sehari-hari. Gambaran tersebut dapat dilihat pada matriks sembilan elemen rumah tangga pada Tabel 3. Tabel 3: Matrik 9 Elemen Rumah Tangga Petani Miskin di Jeneponto
Sumberdaya Aktifitas Produksi
Konsumsi
Manajerial
B-326
Pisik
Manusia
Finansial
Lahan (terbatas) Sabit,cangkul, parang dan alat lain yang juga terbatas
1 tenaga produktif Sisanya tidak berkerja
Perlengkapan dapur (piring,gelas), jirigen air, perabot seadanya, rumah berdinding dan lantai bambu, listrik dari tetangga Tidak ada asset fisik yang dapat dikelola untuk tujuan lain
3-4 orang tanggungan
Dana, modal terbatas Modal usaha kebanyakan berupa pinjaman Tidak ada tabungan, Dana pendidikan terbatas
Tenaga lain yang ada tidak diupayakan untuk membantu RT
Upaya investasi pada kegiatan lain tidak memungkinkan karena dana terbatas
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Matriks tersebut menggambarkan berbagai keterbatasan rumah tangga petani miskin dari sisi sumberdaya pisik, manusia (tenaga) produktif yang menunjang keberlangsungan rumah tangga yang terbatas seperti yang dikemukakan Suman, A. (2007). Demikian pula halnya kecukupan finansial baik untuk produksi, konsumsi serta manajerial yang tidak memadai. Kemampuan rumah tangga memanfaatkan, memobilisasi serta mengelola sumberdaya untuk berbagai macam tujuan dalam rangka mereproduksi kembali asset rumah tangga masih diliputi berbagai keterbatasan. Akibatnya, aktifitas rumah tangga masih berkisar pada rutinitas keseharian dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Berdasarkan pengakuan informan yang di wawancarai, proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat selama ini berjalan dengan baik oleh pemerintah. Bentuk pemberdayaan yang sudah ada, bagi warga miskin dan sangat miskin sebahagian, masih bersifat karikatif. Program pemerintah yakni melalui bantuan BBM, bantuan berupa uang 300 ribu rupiah dalam waktu 4 bulan untuk warga miskin. Selain itu ada pula pembagian beras miskin (raskin) berupa 4-5 liter beras serta pemberian kartu jamkesmas untuk kesehatan. Menurut pengakuan mereka, kegiatan tersebut belum mengarah kepada peningkatan kapasitas. Warga miskin berharapada bantuan berupa pelatihan atau pemberian pengetahuan dan ketrampilan tertentu baik yang berhubungan dengan dunia pertanian maupun ketrampilanlainnya. Dikalangan petani miskin, walaupun program pemberdayaan tersebut dirasakan masih jauh dari harapan, tetapi penduduk miskin mengakui bahwa setiap program dirasakan manfaatnya walaupun dalam jangka pendek. Sekurang-kurangnya dapat meringankan beban hidup keluarga. Tetapi mereka tetap memberi saran kiranya program pemberdayaan tersebut selalu mengalami peningkatan dan diupayakan senantiasa lebih merata, dalam arti semua rumah tangga miskin terjangkau oleh setiap program. Kelembagaan produksi di kalangan masyarakat (rumah tangga) petani miskin untuk sebahagian besar usaha yang bertujuan ekonomi atau menghasilkan pendapatan, terbentuk alamiah berupa hubungan kelembagaan patron-klien dengan aturan bagi hasil yang diatur umumnya oleh patron.Jika petani miskin memiliki lahan sendiri, kebanyakan di antara mereka kekurangan modal. Modal usaha umumnya dipinjam. Syarat pinjaman diatur sepenuhnya oleh pemilik modal. Demikian pula jika petani miskin menjadi penggarap atau buruh tani. Upah ditentukan oleh pemilik lahan. Pola interaksi, tata hubungan dan kesepakatan yang terbentuk, memposisikan petani miskin dalam keadaan tidak berdaya. Di kalangan masyarakat tani kegiatan kolektif seperti berkelompok telah belangsung lama baik dalam aksi kolektif tradisonal seperti gotong royong, arisan dan mengurus aset milik bersama seperti mesjid dan kuburan. Ibu-ibu sering mengadakan arisan terutama di pasar tradisional. Ada pula arisan tenaga yang dilakukan laki-laki pada kegiatan pertanian dengan sebutan arera atau aroroseng, tetapi umumnya berfungsi sosial dan berbentuk saling dukung. Kelembagaan seperti ini memperlihatkan bentuk interaksi, tata hubungan dan kesepakatan yang lebih mengutamakan, persamaan dan keadilan antara anggota yang satu dengan anggota yang lain.Sebenarnya telah berkembang lama di kalangan masyarakat prinsip kebersamaan seperti diharapkan terwujud dalam dunia pemberdayaan. Pada masyarakat bugis makassar termasuk di Jeneponto, salah satu prinsip kebersamaan yang lama dikenal adalah prinsip a bulo sibatang, acera sitongka-tongka, yakni prinsip yang berarti kebersamaan masyarakat haruslah menyatu seperti sebatang bambu, saling membantu dan senantiasa merasa senasib dan sepenanggungan, seperti halnya konsep gotongroyong (Notoatmojo dalam Mubyarto, 1989). B-327
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Namun demikian prinsip ini dalam prakteknya mulai terkikis. Kelompok formal yang ada di desa juga ada seperti kelompok tani dan kelompok peternak. Kelompok usaha tersebut ada juga yang berwujud Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Kube terbentuk dan berkembang melalui program pemberdayaan yang di lakukan beberapa Dinas Kabupaten setempat seperti mengelola traktor, menanam tanaman hutan, pompa air, mengelola mebel, dan beternak kambing. Pada kelompok usaha ini ada warga petani miskin yang terlibat, tetapi perannya masih kecil karena umumnya mereka pendidikan rendah. Katagori kegiatan kolektif masyarakat dari segi kemampuannya melembaga dapat dilihat pada (Tabel 4) Tabel 4: No
Katagori
1
Katagori kelembagaan masyarakat tani di Desa Kapita Jeneponto Kepentingan
Norma /aturan
Interaksi individu
Saling dukung
Bentuk Pengorganisa sian Gotong royong
Kegiatan daur hidup
Kesepakatan yang melembaga
2
Pengumpulan sumber
Arisan tenaga (aroroseng)
Tabungan individu
Kesepakatan yang melembaga
3
Pengelolaan asset milik bersama Kelompok usaha
Pengelolaan sarana ibadah
Tempat ibadah bersama Usaha kambing, Membuat mebel
Kesepakatan pengurus
Intens ketika ada kegiatan, ad hock Intens ketika ada kegiatan, ad hock JarangRutin
4
KUBE kambing, kelompok hutan, kelompok pompa air, kelompok traktor, KUBE mebel dll
Kesepakatan anggota yang relative lemah
JarangRutin
Struktur (Tata hubungan) kesepakatan
kesepakatan
Kesepakatan
Kesepakatan
Pada kelompok usaha bersama yang mengelola ternak kambing, selama tiga tahun terakhir ini, kiprahnya mulai terlihat menghasilkan, tetapi wujud keswadayaan pada beberapa aktifitasnya belum nampak. Secara umum kelembagaan kelompok ternak tersebut sudah berjalan rutin, tetapi belum merupakan wadah yang mandiri, bahkan ada di antara kelompok yang masih sekedar sebagai wadah memperoleh bantuan sarana produksi. Pada setiap kelompok masih harus ditelusuri mekanisme konsultasi bersama diantara mereka, sebagai bentukan norma dalam mengelola aktifitasnya, sehingga kelompok tersebut dapat dikatakan melembaga dan berkelanjutan dalam jangka panjang sebagaimana dikemukakan (Ohama 2001, Karsidi 2001). Selanjutnya dari sisi penguatan kelembagaan, pada beberapa kelompok petani miskin memiliki tata hubungan yang hampir sama yakni tata hubungan yang terstruktur akibat adanya kesepakatan dan atas inisiatif atau rangsangan pihak luar komunitas. Keadaannya dibedakan oleh jenis komoditas yang dikelola dan kemmampuan mereka mengorganisasikan dirinya. Bentuk kelompok alamiah seperti gotong royong dan arisan tetap ada pada masing-masing komunitas tersebut. Awalnya kegiatan ini lebih bersifat mempererat hubungan sosial, tetapi bersamaan dengan adanya pembangunan dan permberdayaan keadaan tersebut sudah mulai bergeser kepada tujuan ekonomi seperti yang B-328
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
terjadi pada KUBE dan program pemberdayaan lain. Namun demikian pada kenyataannya kelompok atau bentukan kolektif tersebut kebanyakan tidak mampu berlanjut akibat berbagai macam sebab. Posisi kebanyakan kelembagaan tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Sistem Administrasi lokal
Rumah Tangga
Sistem pasar lokal
Sistem komunitas
Gambar 1:
Posisi kelembagaan petani dan nelayan pada sistem kemasyarakatan lokal
Pada Gambar 1 diperlihatkan dua lingkaran kecil. Lingkaran yang satu masih berada disekitar aktifitas pada system komunitas tetapi lambat laun bergeser ketengah mendekati ke administrasi lokal. Namun demikian posisi tersebut pada saat dilakukan pemberdayaan dan pendampingan masih bergantung pada pendanaan dari pemerintah, walaupun ada kelompok yang mulai memiliki kesadaran, dan lambat laun menimbulkan perubahan perilaku. Hal tersebut akibat adanya keuntungan relative yang diperoleh secara bersama didalam kelompok. Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa kelompok yang berbasis pada hubungan social alamiah seperti arisan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan dan mampu bertahan lebih lama dibandingkan dengan kelompok yang dibentuk dari luar komunitas. Kelompok-kelompok tersebut dalam perspektif jangka panjang diharapkan berubah mendekati sistem pasar, dan menjadi kelompok atau kelembagaan mandiri. Posisiposisi tersebut membawa banyak konsekuensi dari sudut pandang kelembagaan. Selanjutnya hal-hal tersebut menjadi pengamatan pada penelitian selanjutnya. Simpulan 1. Rumah tangga petani miskin di Jeneponto umumnya mengelola lahan kering sesuai karunia alam di sekitarnya, dengan membudidayakan jagung dan padi. Jagung ditanam 2 kali setahun sedangkan padi hanya 1 kali setahun. Umumnya petani adalah penggarap dan sebahagian di antararnya memiliki lahan sendiri yang sangat sempit. Modal usaha dari setiap rumah tangga miskin umumnya milik pihak lain, diperoleh dengan di pinjam dan pengembaliannya berupa penyetoran hasil produksi dan selanjutnya bagi hasil yang seluruhnya diatur oleh pemilik modal. Dikalangan petani miskin budaya
B-329
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
menabung belum tercipta. Hal itu disebabkan karena pendapatan yang terbatas, juga disebabkan karena kebutuhan hidup keluarga yang mendesak. 2. Kelembagaan di kalangan masyarakat (rumah tangga) tani miskin, terbentuk alamiah berupa hubungan kelembagaan patron-klien dengan aturan bagi hasil yang diatur umumnya oleh patron. Ada bentukan kelembagaan yang diinisiasi melalui pemberdayaan tetapi masih mencari bentuk dan belum menampakkan keswadayaannya. Namun demikian, program yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat, dirasakan manfaatnya oleh rumah tangga miskin, walaupun masih bersifat jangka pendek. Warga miskin berharap ada bantuan berupa pelatihan atau pemberian pengetahuan dan ketrampilan tertentu baik yang berhubungan dengan dunia pertanian maupun ketrampilan lainnya. Daftar Pustaka Ekoprasetyo, P., Maisyaroh. (2009). Model Strategi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Trikonomi Vol 8 No 2 Desember 2009, p 103-125. Karsidi, R. (2000). Pemberdayaan Masyarakat Petani dan Nelayan Kecil, Makalah Semiloka Pemberdayaan Masyarakat. Semarang: Badan Pemberdayaan Masyarakat Jawa Tengah, 4-6 juni 2002. Karsidi, R. (2001). Paradigma baru penyuluhan pembangunan dalam perspektif pemberdayaan masyarakat. Jurnal Mediator Vol. 2 No 1, 2001. p. 115-125. Mubyarto. (1989). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Murjanayasa, I.G.W. (2008). Penanggulangan Kemiskinan berbasis Masyarakat. Jurnal Ekonomi dan Sosial Vol 1 No 2, tahun 2008, p. 86-91 Ohama, Y. (2001). The Participatory Local Social Development (PLSD) Concept and Frame Work., Nagoya: Nihon Fukushi University-The Government of Japan. Rusastra, I.W.,T.A. Napitupulu. (2007). Karakeristik Nelayan dan Keluarga Miskin di Pedesaan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan. Rusastra I.W. (2011). Reorientasi Pandangan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi Global. Jurnal Inovasi Pertanian, Vol 4 no 2, 2011 , p.87-102. Sharma, P.N,Y. Ohama. (2007). Participatory Local Development, An Emerging Discipline. Delhi: Bharat Book Centre. Sudaryanto, T , I. W. Rusastra. (2006). Kebijakan Strategis Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Jurnal Litbang Pertanian Vol 25 no 4, 2006, p. 115-122. Suman, A. (2007). Pemberdayaan Perempuan dan Kemiskinan; sebuah Studi Empiris. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol 9 no 1, Maret 2007 , p.62-72. Suradisastra, K. (2008). Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian Agroekonomi Vol 26 No 2, tanggal 2 Desember 2008, p. 82-91 Syafiuddin. (2013). Optimalisasi Penaggulangan kemiskinan dengan menggunakan Pendekatan Participatory Assesment and Monitoring (PPAM) di Kota Makassar. Laporan Hasil Penelitian Bappeda Kota Makassar-Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Makassar.
B-330