Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
INTERNATIONAL FIELD SCHOOL THEMATIC SERVICE EARNING : MENINGKATKAN KWALITAS HIDUP MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH MELALUI PROGRAM SERVICE – LEARNING INTERNASIONAL 1
Paulus Bawole1 Department of Architecture, Faculty of Architecture and Design Duta Wacana Christian University, Indonesia Email:
[email protected] ABSTRAK
Aktivitas manusia selalu memodifikasi lingkungan alam dan menyebabkan efek positif dan negatif pada lingkungan. Secara umum ada tiga kelompok orang yang tinggal di perkotaan dan pedesaan yaitu masyarakat berpenghasilan Tinggi, Menengah dan Rendah. Masyarakat berpenghasilan menengah sampai ke tinggi tidak mempunyai masalah dengan rumah mereka, tetapi msyarakat berpenghasilan rendah atau orang miskin pada umumnya tidak memiliki cukup uang untuk membeli rumah di pasar formal. Mendengarkan suara rakyat dapat memberikan cara untuk meningkatkan pemahaman tentang sosiobudaya dan memberikan ide-ide cemerlang bagaimana mengembangkan pemukiman mereka. Masyarakat setempat menunjukkan kecerdikan mereka yang besar dalam mengembangkan lingkungan permukiman, mengorganisir ruang terbuka dan membangun rumah mereka. Program International Service–Learning merupakan strategi pembangunan yang melibatkan mahasiswa, dosen, pejabat pemerintah daerah dan LSM serta masyarakat setempat. Program ini juga merupakan metode pengajaran dan strategi pembelajaran yang mengintegrasikan layanan yang sangat berarti bagi masyarakat. Melalui program International Service–Learning siswa termotivasi untuk memecahkan masalah; memahami dan mempertimbangkan apa yang bisa mereka lakukan untuk masyarakat; memperkuat rasa tanggung jawab; menjadi lebih terpercaya dan kredibel serta mampu menggabungkan potensi kepemimpinan dengan kasih sayang.
Kata Kunci : Service – Learning, Desain Teriintegrasi, Masyarakat berpenghasilan rendah ABSTRACT Enhancing the Quality of Life of Low-income Community Through International Service – Learning Program Human activities always modify the natural environment and cause both positive and negative effects in environment. In general there are three groups of people living both in urban and rural areas namely High, Middle and Low-income people. Middle to high income people have no problems with their houses, but the poor mostly don’t have enough money for buying a house in formal market. Listening to the community may provide ways to improve the understanding about the socio-culture of the people and give bright ideas how to develop their settlement. Indigenous poor people demonstrate great ingenuity in developing their residential neighborhood, organizing the open spaces and constructting their housees. International Service – Learning program is a development strategy which involves students, lecturers, local governments officers and other NGO’s as well as communities. It is also a teaching and learning strategy that integrates meaningful community service. Through International Service – Learning program students are motivated to solve the problems; understand and consider what they can do for the community; strengthen their sense of responsibility; become more trusted and credible and combine leadership potential with compassion. Keywords: Service – Learning, Integrated Design, Low-income Settlement.
8
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
1 LATAR BELAKANG Secara umum masyarakat yang tinggal di kota dapat digolongkan menjadi masyarakat yang mempunyai penghasilan tinggi, menengah dan rendah. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah sampai tinggi, mereka tidak mempunyai masalah dengan penyediaan perumahan, karena mereka mempunyai uang yang cukup untuk membeli berbagai jenis rumah yang mereka inginkan. Abad ke-21 adalah abad berkembangnya wilayah perkotaan. Sebagai buktinya setengah dari populasi dunia pada abad ini sudah tinggal di wilayah perkotaan dan pada pertengahan abad ini, sebagian besar wilayah negara berkembang akan didominasi oleh wilayah perkotaan. Pada tahun 2050, penduduk kota dari negara berkembang akan menjadi 5,3 miliar; Asia sendiri akan menjadi tuan rumah 63 persen penduduk perkotaan di dunia, atau 3,3 miliar orang, sementara Afrika, dengan penduduk perkotaan dari 1,2 miliar, akan menjadi tuan rumah hampir seperempat penduduk perkotaan di dunia. (UN-HABITAT, 2008) Masyarakat berpenghasilan rendah adalah orang-orang yang memiliki masalah dengan penyediaan rumah. Mereka mengalami kesulitan dalam menyediakan rumah, karena mereka bekerja stiap hari hanya untuk hidup keluarga dalam satu hari saja. Dengan kata lain merke sama sekali tidak bisa menabung dari penghasilan mereka sehari-hari. Rakyat di negara - negara berkembang seperti Indonesia orang-orang miskin hidup sebagian besar berada di sekitar pusat kota dan menempati kawasan-kawasan kosong yang belum dibangun. (Nierman, 2005)
Gambar 1. Beberapa Strategi Mengatasi permukiman Masyarakjat Berpenghasilan Rendah
Ada banyak strategi dan program yang berusaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin yang tinggal di daerah-daerah tertentu baik di kota maupun di desa seperti Kampung Improvement Program (KIP), Modal Keringat dri Habitat for Humanity, dan beberapa program lain yang didukung institusi Internasional. Salah satu strategi perbaikan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah adalah Program Service – Learning yang biasanya dilaksanakan sebagai satu program pelayanan masyarakat yang dilakukan mahasiswa pada tingkat Universitas. Program Service – Learning merupakan strategi pengembangan masyarakat yang melibatkan mahasiswa, dosen, pemerintah daerah dan LSM serta masyarakat yang akan menjadi kelompok sasaran program. Ini juga merupakan pengajaran dan strategi pembelajaran yang 9
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
mengintegrasikan pelayanan pada masyarakat yang mempunyai arti dengan instruksi dan refleksi mahasiswa untuk memperkaya pengalaman belajar, mengajarkan tanggung jawab secara sipil, dan menguatkan masyarakat. Selain menyediakan pelayanan penting untuk masyarakat, mahasiswa belajar tentang bagaimana orang-orang berpenghasilan rendah dapat berjuang dengan fasilitas perumahan yang terbatas. Setelah itu siswa dapat melayani masyarakat dengan menyediakan rencana untuk mengembangkan daerah perumahan mereka. Baik mahasiswa dan masyarakat harus terlibat dalam pengembangan strategi untuk meningkatkan kwalitas lingkungan pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah. (Bawole, 2010) Melalui Service – Learning mahasiswa mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang realitas dunia; termotivasi untuk memecahkan masalah; memahami dan mempertimbangkan apa yang bisa mereka lakukan untuk masyarakat; belajar bagaimana mereka dapat melayani orang lain; mempertimbangkan tujuan hidup mereka; memperkuat rasa tanggung jawab; menjadi lebih percaya diri; menjadi lebih terpercaya dan kredibel dan menggabungkan potensi kepemimpinan dengan kasih sayang. Service – Learning sebagai pendekatan alternatif desain dapat diterapkan untuk setiap disiplin ilmu atau bidang pekerjaan termasuk arsitektur. Dengan mempelajari karakter pemukiman berpenghasilan rendah baik di kota-kota Indonesia maupun di pedesaan, mereka dapat melayani masyarakat berpenghasilan rendah untuk meningkatkan kwalitas fisik rumah mereka, lingkungan sekitar permukiman, dan meningkatkan standar hidup mereka. Tidak ada program Service – Learning tanpa melibatkan Fakultas, mahasiswa dan masyarakat, karena keterlibatan mereka adalah pra-syarat untuk melaksanakan program Service – Learning yang baik. Dalam pelaksanaannya program Service – Learning memegang 3 prinsip utama yang mutlak harus dilaksanakan masing-masing adalah mempunyai muatan akademik yang proporsional dengan kapabiltas mahasiswa yang mengikuti program, melakukan pelayanan yang sangat berarti bagi masyarakat, dan dapat merefleksilkan pada diri sendiri. [Gambar 2]
FACULTY
STUDENTS
COMMUNITY
Gambar 2. Interaksi yang Saling Menguntungkan Antara Fakultas, Mahasiswa dan Masyarakat Sumber: (Rajan, 2009)
2. Bermukim pada Kawasan Permukiman Marjinal Proses masyarakat miskin menempati lahan yang bukan miliknya tidak pernah berakhir. Tidak hanya rumah yang dibangun dan ditingkatkan secara bertahap dari waktu ke waktu, tetapi rumahrumah baru juga dibangun pada lahan-lahan terbuka yang belum jelas siapa pemiliknya.
10
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Dengan demikian, fasilitas kredit dimobilisasi dan material dibeli, atau komponen bangunan diperbaiki dan ditingkatkan. Bukti dari proses ini adalah keberadaan daerah yang dikonsolidasi, tidak dikonsolidasi dan campuran (konsolidasi dan tidak dikonsolidasi). Daerah-daerah yang dekat dengan jalan utama atau kawasan komersial umumnya yang pertama kali berkembang. Secara bertahap, seiring berjalannya waktu, rumah-rumah di daerah tua yang dikonsolidasikan ditingkatkan dan rumah-rumah baru yang campuran dan yang non-konsolidasi datang di daerah bekangnya di luar jalan utama. Biasanya permukiman informal tidak bisa dilihat dari jalan utama, karena mereka dikembangkan di belakang pusat perbelanjaan atau daerah perumahan formal (Bawole, 2010). Ada banyak istilah tentang permukiman ilegal yang digunakan oleh para ahli permukiman untuk menjelaskan pendekatan khusus yang mereka lakukan guna mengembangkan daerah permukiman masyarakat berpenghasilan rendah di negara-negara mereka. Sebutan lain tentang permukiman ilegal yang kumuh di kota: shanty town, unauthorized settlements, unplanned housing areas, uncontrolled settlements, barriadas, favela, geçekondo, barong-barong, kampong, etc. (Herrle, 1981). Secara umum arti permukiman kumuh dan liar mirip atara satu dan lainnya. Permukiman-permukiman tersebut pada mrinsipnya sama yaitu suatu permukiman yang ditempati oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Yang membedakan diantara keduanya adalah di daerah kumuh (Slum) penduduk memiliki sertifikat resmi untuk lahan dimana mereka mendirikan rumah dan orang-orang di permukiman ilegal (Squatter Settlement) tidak memiliki sertifikat legal (United Nations, 2006). Orang-orang yang tinggal di permukiman informal atau permukiman ilegal adalah masyarakat akar rumput atau orang-orang di kota yang terendah penghasilannya yang sering dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya degradasi kualitas lingkungan kota. Dengan situasi ini orang miskin di permukiman informal menjadi terpinggirkan oleh warga kota. Permukiman Spontan Informal di Mokoko – Nigeria
Permukiman Spontan Informal di Surabaya – Indonesia *
Permukiman Spontan Informal di Sao Paolo Brazil
Permukiman Spontan Informal di New Delhi - India
Permukiman Spontan Informal di Lima - Peru
Informelle Spontansiedlung in Chiang Mai Thailand
sumber: the world bank group .upgrading urban communities: a resource for practitioners. 20 january 2006 (http://web.mit.edu/urbanupgrading/index.html) *) Penelitian Lapangan 2003
Memahami kegiatan masyarakat berpenghasilan rendah di ruang arsitektur dalam permukiman informal sangat menarik, karena mereka harus berjuang dengan fasilitas infrastruktur minimal yang tersedia pada permukiman dimana mereka tinggal. Dengan 11
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
memperhatikan situasi ekonomi rakyat berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah kumuh, dapat dipahami bahwa mereka adalah pekerja keras, yang tekun dalam mencari kebutuhan dasar hidup bagi keluarga mereka. Tidak hanya suami bekerja, tetapi juga istri bekerja untuk membantu suami agar keluarga bisa memiliki pendapatan tambahan. Ketergantungan mereka ke pusat di hiruk pikuk kota sangat kuat, karena di tengah kota mereka bisa mendapatkan penghasilan mereka setiap hari. 2.1 Kreativitas Masyarakat Miskin untuk Tinggal pada Permukiman yang Fasilitas Infrastrukturnya Minim Perkembangan permukiman informal dalam kota umumnya memiliki karakter yang sama, meskipun latar belakang keluarga mereka berasal dari budaya yang berbeda-beda. Penduduk yang tinggal di pemukiman marjinal pada umumnya heterogen. Satu sisi yang menjadi pengikat kebersamaan antara orang-orang yang tinggal di permukiman informal adalah kesamaan dalam hal rendahnya tingkat ekonomi dan mereka menempati lahan kosong di tengah-tengah kota tanpa memiliki hak sah kepemilikan tanah. Berdasarkan pengamatan secara detail di pemukiman marginal, tidak ada permukmian informal yang dibangun secara bersama-sama seperti perumahan formal dikembangkan oleh pemerintah, pengembang swasta atau perorangan. Pemukiman ini tumbuh secara bertahap sedikit demi sedikit dalam periode tertentu (Srinivas, 2005). Sebenarnya pemerintah daerah dapat mengantisipasi perkembangan permukiman informal sebelumnya, ketika permukiman masih dalam awal pertumbuhan mereka. Dengan kata lain, ketika belum banyak rumah yang dibangun masyarakat berpenghasilan rendah secara informal, pemerintah daerah dapat meminta keluarga tersebut untuk pindah ke lokasi yang telah disiapkan untuk menampung para penghuni liar atau imigran miskin. Pada kenyataannya pemerintah daerah tidak meminta penghuni liar untuk pindah ke lokasi yang tepat, melainkan meminta pungutan ilegal untuk para penghuni liar. Dengan demikian, warga yang tinggal di permukiman informal merasa bahwa mereka memiliki hak untuk hidup di daerah informal tersebut. Setelah permukiman informal berkembang menjadi ratusan atau bahkan ribuan rumah, pemerintah dengan segala cara mengimplementasikan program pemukiman kembali (resettlement) dengan menghancurkan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah dan meminta masyarakat miskin untuk pindah dan menyewa rumah di lokasi rumah susun yang menurut pemerintah layak. Untuk memahami karakter permukiman informal masyarakat berpenghasilan rendah, beberapa aspek yang terkait dengan pengembangan permukiman informal akan dibahas sedikit lebih detail. 2.1.1 Masyarakat yang Tinggal di Permukiman Informal Pada umumnya masyarakat yang tinggal di permukiman informal dapat diidentifikasikan sesuai dengan kegiatan mereka dalam pemukiman. Selain itu aktivitas pekerjaan mereka yang biasanya di sektor informal dapat mencerminkan karakter dari masyarakat itu sendiri. Beberapa karakter dari permukiman informal dapat diidentifikasikan sebagai berikut: Penduduk memanfaatkan ruang publik di permukiman informal yang bergantian atau biasa disebut "time sharing". Masyarakat miskin di daerah permukiman masyarakat berpenghasilan rendah adalah pekerja keras terus-menerus untuk mendapatkan penghasilan, sehingga keluarga mereka bisa bertahan hidup. Kebiasaan membuang sampah ke sungai atau lahan kosong di dalam kota dilakukan oleh orang miskin, karena menurut mereka cara seperti itu adalah cara yang termudah dan termurah. 12
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Berpikir tentang kesehatan dan kelestarian lingkungan bukan prioritas utama bagi mereka, karena mereka masih harus memikirkan bagaimana keluarga mereka bisa makan setiap hari. Ibu atau ibu rumah tangga adalah anggota masyarakat yang tinggal sebagian besar di dalam pemukiman dan memanfaatkan ruang luar untuk interaksi sosial dengan masyarakat lainnya. Rasa persatuan dan saling toleransi dan saling membantu di antara penduduk permukiman informal sangat kuat. 2.1.2.
Bentuk dan Pola Permukiman Informal
Permukiman informal yang berkembang di tengah-tengah kota tidak memiliki bentuk tertentu, karena pemukiman tumbuh secara spontan dan sporadis. Dengan demikian pola perumahan pemukiman juga tidak memiliki bentuk tertentu. Karakteristik permukiman informal di tengah kota dapat diidentifikasi sebagai berikut: Kepadatan Bangunan permukiman berpenghasilan rendah sangat tinggi. Lokasi pemukiman berpenghasilan rendah yang tersembunyi di balik bangunan yang ada dibangun secara informal di sepanjang jalan utama. Menurut studi kasus di Surabaya daerah kumuh kota terletak langsung di pinggir jalan. Situasi buruk yang terletak di bagian belakang area perumahan disamarkan dengan bagian depan rumah yang dibangun jauh lebih baik. Pandangan bangunan perumahan dari depan terlihat sangat berbeda, jika dilihat dari belakang rumah atau dari sungai.
Sumur Umum Disamping Talud sebagai tempat untuk bersosial di Jayapura
Pemanfaatan Jalan Sebagai ruang Terbuka Umum yang Dimanfaatkan oleh anak-anak dan ibu-ibu di kampung
Kreativitas Memanfaatkan Ruang Publik sekitar rumah dikampung pada lahan Tepi Pantai Jayapura
Gambar 5. Kreativitas Masyarakat Miskin Dalam Berarsitektur Pada Pemukiman Informal di Tengah Kota Sumber: Dokumentasi Pribadi
2.1.3 Pola Jalan Kampung di Permukiman Informal Permukiman informal jalan kampong biasanya dibagi menjadi jalur kampong utama dan jalur kampong koneksi. Jalur utama biasanya lebih luas dan sangat intensif digunakan oleh penduduk. Sementara jalur koneksi yang lebih sempit menjadi penting bagi masyarakat, karena jalur koneksi biasanya menghubungkan beberapa jalan-jalan utama. Karakteristik sirkulasi di permukiman informal, antara lain: Pola jalur umumnya linear paralel memanjang ke jalan utama, atau sejajar dengan sungai, kecuali dalam kasus kota yang terletak di daerah pegunungan pola yang tegak lurus dengan jalan utama atau sungai karena tanah mempunyai ketinggian dan bentuk kontur yang berbeda. Dalam jalur linear sungai yang melintas di tengah-tengah pemukiman, barisan belakang rumah menghadap tepi sungai dan bagian depan menghadap jalan kampong yang bisanya juga
13
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
berbentuk linear. Situasi ini mempermudah masuarakat untuk membuang sampah ke sungai yang berada di belakang rumah mereka. Jalan kampong yang terletak di tengah-tengah pemukiman dikembangkan oleh mesayarakat berpenghasilan rendah secara sporadis mengikuti pola perumahan dan biasanya memiliki pola yang terbentuk tidak teratur (organic form). Dalam pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah sering terbentuk jalur-jalur kecil dan sempit yang biasanya disebut jalan tikus (mouse pad) sebagai jalur alternatif yang menembus jalan-jalan utama. 2.1.4 Bentuk Arsitektural Permukiman Informal Bentuk Arsitektur rumah di pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah bervariasi tergantung pada tingkat ekonomi warga. Bahan bangunan yang digunakan untuk membangun rumah mereka sebagian besar diambil dari bahan bekas yang dikumpulkan dari reruntuhan bangunan yang telah dibongkar. Beberapa keluarga juga menggunakan bahan bangunan yang baru. Beberapa bentuk khas arsitektur rumah tinggal di pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah dapat diidentifikasi sebagai berikut: Masih banyak rumah-rumah yang dibangun dengan kwalitas bahan bangunan non-permanen, walaupun demikian ada juga bangunan permanen atau semi permanen yang dibangun masyarakat berpenghasilan rendah tetapi dengan kualitas rendah.
Kampung Tanjung Ria Jayapura
Kampung Suryatmajan Yogyakarta
Kampung Makasar Timur Ternate
Gambar 6. Bentuk Arsitektur Permukiman Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Kampung-kampung Kota – Indonesia Sumber: (Private Documentation, 2010)
Rumah-rumah biasanya dibangun dengan konstruksi yang sangat sederhana; hanya orangorang berpenghasilan rendah lapisan yang paling atas yang dapat membangun rumah mereka dengan bahan sedikit lebih baik.\ Bentuk atap rumah didominasi oleh jenis atap "Kampung" atau "Pelana" dan "Panggang Pe" bahan lantai untuk bangunan rumah menggunakan plester semen, tetapi beberapa dari mereka masih menjaga lantai dari tanah. Sebaliknya mreka yang kehidupannya lebih baik mambangun lantai rumah mereka dengan bahan keramik. Hampir semua rumah dilengkapi dengan jendela dan ventilasi untuk ventilasi silang (cross ventilation)
14
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
2.1.5 Ruang Terbuka pada Pola Permukiman Masyarakat Berpenghasilan Rendah Ruang terbuka di permukiman masyarakat berpenghasilan rendah sangat penting bagi mereka yang tinggal di pemukiman tersebut, karena pada fasilitas ruang terbuka tersebut penghuni berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Beberapa karakter ruang terbuka yang ada di permukiman masyarakat berpenghasilan rendah dapat diidentifikasi sebagai berikut: Fasilitas ruang terbuka publik di permukiman masyarakat berpenghasilan rendah relatif sangat kurang, sehingga banyak penduduk menggunakan jalur jalan sebagai fasilitas ruang terbuka umum untuk interaksi sosial mereka. Ruang terbuka yang ada di permukiman masyarakat berpenghasilan rendah diciptakan secara spontan oleh masyarakat dan digunakan sangat intensif untuk kegiatan sehari-hari. Pola ruang terbuka di permukiman masyarakat berpenghasilan rendah tidak teratur tergantung pada bentuk dan ukuran ruang yang tersisa setelah pengembangan rumah mereka. Secara umum ruang terbuka yang dimanfaatkan sebagai orientasi rumah lebih aktif digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan sehari-hari. Ruang terbuka di mana fasilitas seperti pompa air dan sumur umum tersedia di dalamnya sering kali digunakan untuk masyarakat melakukan interaksi sosial. 3.
Program Service-Learning Internasional
Seperti yang disebutkan pada bab-bab sebelumnya bahwa Service-Learning adalah program pelayanan masyarakat yang melibatkan mahasiswa dan dosen sebagai pendamping dari fakultas. Tujuan dari Service-Learning adalah untuk menggabungkan pembelajaran akademik yang formal dengan pelayanan masyarakat secara sukarela. Hal ini memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari di kelas pada komunitas. (Deloitte dan Lingnan University, 2011)
Gambar 7. Proses Pelaksanaan Program Service – Learning Internasional di Jurusan Arstektur Universitas Kristen Duta Wacana
15
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Service-Learning menekankan hubungan yang saling menguntungkan dalam proses pelayananya. Di satu sisi, mahasiswa belajar dari organisasi pelayanan sosial dan pelayanan pada klien; di sisi lain, mahasiswa memberikan layanan klien dengan bantuan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka juga harus memanfaatkan pengetahuan akademis mereka untuk bekerja sama dengan unit yang berbeda untuk merencanakan proyek pengabdian masyarakat. Program Service-Learning dilaksanakan dengan beberapa tahapan: mulai dari tahap persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan. Dalam melaksanakan Service-Learning mahasiswa harus mendapatkan standar pengetahuan yang cukup, sehingga mereka dapat belajar dari masyarakat berpenghasilan rendah tentang kehidupan sehari-hari mereka dan setelah itu untuk mahasiswa akan melayani mereka untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tahapan pelaksanaan Layanan-Learning secara rinci dapat dilihat sebagai berikut: Tahap awal Program Service-Learning adalah untuk mencari dan mengamati lokasi Service Learning dilakukan oleh tim tertentu dikoordinasikan oleh dosen dari Jurusan Arsitektur. Pada tahap ini pendekatan kepada masyarakat terutama kepada tokoh masyarakat harus sudah dilakukan. Setelah memilih lokasi Service-Learning proses selanjutnya adalah proses mengintegrasikan kegiatan fakultas, mahasiswa dan masyarakat setempat agar dapat diimplementasikan. Kegiatan selanjutnya adalah pembinaan yang diberikan kepada mahasiswa oleh dosen tentang beberapa mata pelajaran yang dibutuhkan oleh siswa untuk melakukan program ServiceLearning. Coaching disediakan oleh Jurusan Arsitektur adalah pengenalan Metode Penelitian Aksi, pemahaman tentang strategi pembangunan perumahan khususnya yang berkaitan dengan masyarakat berpenghasilan rendah, pemahaman partisipasi masyarakat dan juga tentang lingkungan yang berkelanjutan. Setelah memiliki pengetahuan yang cukup mahasiswa dikirim ke pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah-langkah awal siswa di pemukiman berpenghasilan rendah yang belajar dari masyarakat setempat tentang kehidupan sehari-hari mereka di pemukiman. Siswa belajar tentang kegiatan sehari-hari mereka tidak hanya dari orang dewasa, tetapi juga dari pemuda dan anak-anak. Pada tahap ini siswa akan mendapatkan informasi tentang potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Mereka mendapatkan informasi tentang bagaimana mereka dapat bertahan hidup tinggal di daerah kumuh, bagaimana hubungan sosial di antara mereka, dll Selain itu, informasi tentang kemampuan dan kualitas dari orang-orang di daerah kumuh dapat dikumpulkan juga. Setelah mengetahui potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat mahasiswa melayani masyarakat lokal dengan metode yang diberikan selama pelatihan sebelumnya. Pada saat siswa melaksanakan program Service-Learning, staf pengajar atau dosen akan memberikan pengawasan dan saran kepada siswa, sehingga pelaksanaan program Service-Learning dapat dilakukan dengan benar. Pada akhir program Service-Learning diharapkan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah di daerah kumuh dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Sebagai tindak lanjut dari Layanan - Program Belajar yang dilakukan oleh mahasiswa, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana atau LPPM UKDW akan melakukan pemantauan pembangunan masyarakat di daerah kumuh yang daerah sasaran layanan Program Belajar.
16
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Gambar 8. Desain Program Service – Learning Internasional yang Diimplementasikan di Universitas Kristen Duta Wacana (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
4. Design Approach for Improving the low-income Settlements Program Service-Learning adalah satu metode mengajar yang progresif yang menghubungkan pelayanan sosial dan studi akademis. Hal itu sangat penting untuk memperkenalkan pendekatan desain yang dapat meningkatkan kwalitas pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah kepada mahasiswa. Pendekatan desain dengan Program Service-Learning dilaksanakan berdasarkan kapabilitas masyarakat termasuk semua kondisi lingkungan yang ada di Permukiman masyarakat berpenghasilan randah. Sebagai konsekuensi dari pengembangan strategi berdasarkan kemampuan society, Program Service-Learning harus dimulai dengan mempelajari dengan seksama karakteristik Permukiman berpenghasilan rendah dan Karakter Penghuni (Bawole, 2011). Metode Penelitian Tindakan yang dilakukan oleh yang tinggal di pemukiman berpenghasilan rendah sangat efektif untuk memahami baik karakteristik lingkungan fisik permukiman dan karakteristik orang yang melakukan kegiatan di dalamnya. Pendekatan desain dilakukan pada program Service-Learning dapat dijelaskan sebagai berikut: Melakukan pengamatan awal dengan mengidentifikasi lingkungan fisik permukiman berpenghasilan rendah secara detail dan melakukan pengukuran langsung, jika perlu. Membuat sketsa arsitektur yang dapat menggambarkan situasi fisik permukiman masyarakat berpenghasilan rendah seperti: bentuk arsitektur rumah tinggal, detail konstruksi, organisasi ruang di dalam rumah, pola ruang terbuka yang terbentuk secara spontan, pola sirkulasi yang ada di pemukiman, rincian drainase, jaringan listrik, dll Membahas sketsa yang sudah dibuat dengan masyarakat setempat dan meminta pendapat mereka tentang situasi fisik pemukiman. Pembahasan dalam tahap ini mencoba untuk mendapatkan opini publik terkait dengan ide-ide pembangunan yang diharapkan oleh mereka. Visualisasi ide-ide masyarakat dengan sketsa komunikatif dan lintas memeriksa ide-ide dengan teori-teori serta standar minimum yang diperlukan untuk merancang daerah permukiman berpenghasilan rendah. Selain mengamati situasi fisik, pengamatan sosial-budaya masyarakat setempat juga harus dilakukan dengan hati-hati, terutama yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat yang dilakukan bersama-sama di pemukiman berpenghasilan rendah.
17
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
kegiatan penting adalah aktivitas mengamati dengan penggunaan fasilitas perumahan fisik seperti: aktivitas di ruang terbuka publik, fasilitas air bersih (sumur umum), di bangunan keagamaan, di fasilitas olahraga resmi, di jalan kampung, dll. Pendekatan desain yang dilakukan pada program Service-Learning harus didasarkan pada lingkungan fisik permukiman masyarakat berpenghasilan rendah bersama-sama dengan karakter masyarakat yang tinggal di dalamnya. Ide-ide pengembangan permukiman diambil dari kreativitas kegiatan masyarakat setempat dalam menangani fasilitas infrastruktur permukiman yang relative minim. Diharapkan bahwa masyarakat yang tinggal di permukiman informal dapat lebih mudah mengimplementasikan ide-ide pengembangan, karena ide-ide yang diambil tersebut barasal dari kegiatan sehari-hari mereka. `5.
KESIMPULAN
Berdasarkan diskusi yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan terkait dengan pelaksanaan Program Service-Learning sebagai alternative pendekatan desain terpadu yang dapat digunakan untuk mengembangkan pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah yang ada di kota. Kesimpulan yang dapat ditarik tersebut antara lain adalah seeprti berikut: Service-Learning merupakan salah satu strategi pembangunan yang melibatkan masyarakat akademis (mahasiswa dan dosen) secara aktif dengan memberikan apresiasi positif dari upaya masyarakat berpenghasilan rendah dalam mengembangkan pemukiman mereka. Proses pelaksanaan Service-Learning yang dimulai dengan mempelajari secara mendalam kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah kumuh dalam kota, merupakan proses pembelajaran yang dapat membuka cakrawala mahasiswa pada kehidupan masyarakat terpinggirkan dengan semua kreativitas mereka dalam menangani fasilitas infrastruktur permukiman yang relatif minim. Pelayanan pada masyarakat berpenghasilan rendah dilakukan setelah mahasiswa belajar dari masyarakat tentang kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut benar-benar sesuai dengan karakter masyarakat dan pemukiman mereka Melalui program Service-Learning, masyarakat berpenghasilan rendah di daerah kumuh dapat dengan mudah mengenali dan memahami potensi dan masalah pemukiman mereka. Oleh karena itu strategi pembangunan yang direkomendasikan oleh mahasiswa dapat dengan mudah diimplementasikan oleh masyarakat setempat, karena strategi yang direkomendasikan disesuaikan dengan kemampuan masyarakat itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Bawole, Paulus,(2008) Proceeding International Symposium-Nusantara Urban Research Institute with the title: “Sustainable Development in Informal Settlement by the Urban Poor”. Bawole, Paulus,(2008 Pengembangan Permukiman Informal di Tepi Sungai yang Melintasi Kota di Indonesia, dalam : Jurnal Matrasein, Volume 4 Nomer 1, Mei 2008 Bawole, Paulus.(2010) Journal Ilmiah Peberdayaan Masyarakat, Vol. 1 Nomor 2, Februari 2010, with the title: Advocacy Development Planning for and with the Poor. Yogyakarta 18
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X
Bawole, Paulus.(2011) Problem atau Potensi ? “Fenomena Informal pada Perkembangan Kota di Indoesia” pada: Arsitektur di tengah-tengah Perubahan Mau Kemanakah ? edited by Henry Feriadi. Penerbit UKDW, Yogyakarta dan Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta. Deloitte and Lingnan University. (2011). A Review of the Village Adoption Project in Yunan, China 2007 – 2010: A manual for Service Learning and China’s Rural Development. Deloitte Touche Tohmatsu and Lingnan University, Honkong: HK-012ENG-11 Herrle, Peter, etc., (1981), Slums und Squatter – Siedlungen: Thesen Zur Stadtwicklung Und Stadtplanung In Der Dritten Welt. Städtebauliches Institut im Fachbereich 1 Architektur und Stadtplanung der Universität Stuttgart, Stuttgart. Nierman, Manfred. (2005) Armutbekämpfung in Städten. Eschborn: GTZ GmbH. Rajan, Sonika. (2009) New Horizons in Education (Journal of Education Honking Teachers, Association), Vol. 57 No.3 (Special Issue) December 2009 with the title: “Human Resources Building- an Approach to Service-Learning” Srinivas, Hari. (2005) “Defining Squatter Settlements.” The Global Development Research Center. 19 Dec. (http://www.gdrc.org/ uem/define-squatter.html) United Nations. UN Millennium Development Goals. 12 January 2006 (http://www.un.org/millenniumgoals/) UN-Habitat. (2008). State of the World’s Cities 2008/2009: Harmonious Cities. London: Earthscan
SESI TANYA JAWAB Nama Pemakalah
Paulus Bawole
Nama Penanya
Asal Institusi
Isi Pertanyaan
Agus Slamet
Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Fenomena saat ini mahasiswa terjun dalam masyarakat dengan bekerja sendirian, naaah bagaimana cara melibatkan mahasiswa bersama masyarakat
Yohanna
UKRIDA Jakarta
Nina
UKRIDA Jakarta
bagaimana apa yg sudah dilakukan servis learning ini sosial marketingnya seperti apa? Apa saran UKDW untuk menjalankan hal ini karena kami pernah megalami pejabat sebelumnya ok, tapi pejabat baru ternyata tidak
19
Jawaban
Fenomena KKN selalu saja dimulai dari persiapan mahasiswa dibekali bermacam-macam ilmu lalu disaat terjun di masyarakat maka masyarakat apatis. Hal seperti itu memang masyarakat harus dilibatkan dan masyarakat yang harus mendrive. Beda kalua kita terjun kedalam masyarakat dan berproses maka pikiran yang muncul. Menyatkan persepsi saja saat ketemu mahasiswa asing mereka sudah mulai rebut bagaimana menghargai, toleransi dan membangun komunikasi. Kebutuhan mendasar adalah bagaimana kita mampu mengimprovisasi ke dalam masyarakat maka akan muncul perhatian mereka Pekerjaan bersama yang tersulit adalah menyamakan persepsi naaah anggota kita anggotanya beragam, sehingga persepsi visi, misinya juga pasti bisa berbeda. Sosio marketing tidak semua orang punya feeling, naaah untuk UKDW kita selalu mulai dengan MoU dengan pemerintah daerah, melalui MoU itu, smua kegiatan dilakukan persiapan dengan bertemu dengan camat kita cari masalah paling besar, kita pegang leadernya baru kita masuk. Kalua belum ada MoU maka kita tembak
Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat ISSN.2541-3805, ISSN 2541-559X menyetujuinya.
Sita Amijaya
UKDW
Satu asek menarik dari pengalaman bapak apakah ada nilai kritik dari program ini, semisal seminggu mahasiswa tdk bs menemukan masalah misalnya, lalu skala ukur keberhasilannya bagaimana?
Siswanto
UKRIDA Jakarta
Standart ukuran biaya kegiatan berapa rupiah per mahasiswanya, lalu bagaimana persiapan bagi dosen dan penghargaannya?
Jonathan
UK PETRA
pertama kita datang ada banyak nilai dan memilah nilai dengan berbagai dari berbagai pemikiran tersebut bagaimana memilahnya?
20
untuk cari jalur. Menyatukan persepsi itulah persoalan besar, jangankan orang Indonesia, orang asing apalagi tentu akan lebih sulit lagi, maka simpanlah semua ilmu yang kita punya, background tidak perlu, maka semua ide, semua kebtuuhan harus selalu muncul dari masyaraat, sehingga semua mahasiswa kita siap memediasi, terjun ke lokasi, lalu untuk membuat presentasi, semua harus tahan konflik, semua itu akan menjerhnihkan suasana sebagai sebuah kesepakatan bersama. Pesan Lao Tse cukup jelas bahwa kita harus selalu belajar kepada siapa saja. Kritik kita adalah soal waktu yang hanya sebulan maka menjadi persoalan. Namun ada kesempatan mereka juga untuk refresh. Seminggu belajar di masyarakat sebenarnya sudah cukup, mereka belajar selalu turun ke lapangan maka mereka butuh mapping satu desa ata satu pedukuhan mencatat maping fisik, sosial, ekonomi dst hari kedua, ketiga mereka presentasi dan dipertajam lalu setelah seminggu munculah program mereka, programnya jangka pendek dan jangka panjang, semisal pelatihan tenun, bamboo, mengorganisir, menempelkan ke program SKPD, sedangkan program jangka pendek sangat mudah diukurnya. Setidaknya untuk tindaklanjut program penyaluran air bisa diketahui setelah pemerintah daerah menindaklanjutinya. Infrastruktur inilah yg mudah diukur. Jaminan program jangka panjang kita tidak berani jamin semua mutlak tergantung pada pemerintah atau SKPD-nya, namun utk jangka pendek tentu sangat mudah. Biaya, fluktuatif semua tergantung ekonomi, 6jt termasuk transport, operasionalisasi disananya justru sdikit sekali, justru kadang masyarakatnya yang marah kalua kita membayar mereka, karena kita datang bekerja untuk mereka maka kita selalu dijamu oleh mereka secara bergantian. Biasanya kita kasih uang juga selama 500 ribu rupiah per orang, walaupun mereka tidak mengharapkan walupun kita tidak kadang kita makan sayur pare digodog, daging rebus tanpa rasa enak dst. Semua kita janji semua yang terlibat harus tampil all out. Ukuran proses dan hasil pelaksanaan harus jelas, semua diukur dalam bentuk laporan bookled kepada pemerintah daerah, manfaat bagi dosen sendiri dipublikasikan diberbagai kesempatan. Kita bisa mendokumentasikan dalam bentuk booklet, buku, bahan seminar, bunga rampai, namun untuk KUM dosen cukup besar kalua kita aktif. Laporan di universitas juga harus ada termasuk laporan keuangannya.