KontraS
Salam dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Salam redaksi
dibentuk untuk menangani persoalan
Memasuki tahun 2007, kita seakan tak pernah berhenti “menangis”. Ada begitu banyak pekerjaan rumah terhadap perjuangan kita, khususnya terhadap pejuangan kasusdengan kegiatan kasus pelanggaran berat hak-hak asasi manusia, yang tak jua tertuntaskan.
penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi
Kita pun kembali terhenyak karena di Januari lalu tepatnya tanggal 22 Januari, Poso kembali berdarah. Peristiwa tragis ini telah menelan korban sebanyak 13 orang. Sebelumnya, pada (11/1) penyerangan yang dilakukan oleh aparat dengan dalih ‘mengejar’ Daftar Pencarian Orang (DPO), telah menewaskan dua orang. Kita memang patut menyesal atas peristiwa tragis ini. Sudah terlalu lama Poso dilanda konflik kekerasan yang berkepanjangan. Sementara senjata dan kekerasan terus dipergunakan untuk mengatasi konflik yang ada. Pada akhirnya, nyawa menjadi harga mahal yang harus dibayar. Peristiwa tragis ini menjadi Berita Utama dalam edisi buletin di tahun 2007. Sementara dalam rubrik Kabar Daerah, kasus kekerasan Rumpin-Bogor, bentrokan antar aparat di Papua. Sedangkan peringatan 18 tahun kasus pelanggaran HAM Talangsari-Lampung, masalah perlindungan saksi, persoalan cabut mandat SBY, menjadi bagian dari rubrik Rempah-Rempah.
organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM,
Artikel lainnya adalah perkembangan dari kasus Munir (Jejak Kasus Sang Pejuang). Kita tentunya sangat gembira dengan adanya keinginan jaksa agung yang akan mengajukan PK kasus Munir. Terlebih setelah satu-satunya tersangka kasus ini, Pollycarpus BP “dibebaskan” akhir Desember lalu. Sementara untuk rubrik Kabar Dari Seberang, kami turunkan berita tentang perkembangan dari Konvensi Anti Penghilangan Paksa dan Kongres Anti Hukuman Mati Sedunia. Selamat tahun baru 2007. Terus Berjuang demi Kebenaran dan Keadilan
YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Gian, Abu, Victor, Sinung, Ori, , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Mouvty dan Bustami. Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri Suparyati dan Mufti Makaarim. Design layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Berita Kontras No.01/I-II/2007
2
BERITA UTAMA
Tragedi Berdarah Di Gebang Rejo, Poso Poso kembali berdarah. Tragedi berdarah ini terjadi saat penggrebekan mereka yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang Hilang (DPO) oleh Polda Sulteng bersama Mabes Polri. Penyelidikan Komnas HAM kembali menemukan terjadinya pelanggaran HAM dari peristiwa membabi-buta yang dilakukan oleh aparat. Dengan dalih demi keamanan, aparat merasa berhak melakukan tindak pelanggaran HAM. Dan darah kembali tertumpah. Kekerasan berdarah yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa di Poso terulang kembali, pada 22 Januari lalu. Peristiwa ini diawali saat Pasukan Datasemen Khusus Antiteror Markas Besar Kepolisian RI, yang dibantu Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah datang ke Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota, untuk menangkap sejumlah orang (DPO) yang telah lama menjadi buron kepolisian. Gerakan pasukan ini dihadang oleh warga di Jalan Irian. Dengan alasan untuk menghalau massa, polisi kemudian melepaskan tembakan. Massa kemudian membalas tembakan ini hingga baku tembakpun terjadi. Kontak senjata yang berlangsung selama lima jam itu telah menewaskan 13 orang, dimana satu diantaranya anggota polisi. Baku tembak ini layaknya “menonton film perang” di televisi. Rentetan tembakan dan ledakan bom menggelegar ini terjadi sejak pukul 08.30 Wita hingga 12.00 Wita. Saat itu polisi berhasil memukul mundur dan masuk wilayah Tanah Runtu. Sementara itu, sebanyak 30 rumah rusak karena dibuka paksa yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Sebelumnya, juga terjadi penyerangan di Jalan Pulau Jawa dan Pulau Irian, Kelurahan Gebangrejo, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Kamis (11/1), sekitar pukul 06.30 Wita. Dalam peryerbuan ini dua orang tewas diterjang peluru polisi. Kedua orang itu adalah Ustad Riansyah (32), Deddy Parsan (28). Keduanya tewas ditempat, sedangkan satu orang lagi, bernama Ibnu, saat ini kondisinya msih kritis dan dirawat di rumah Sakit Umum Poso. Kejadian ini juga melukai seorang warga, Ibnu Sabil (20) yang berada di sekitar lokasi kejadian. Penyerbuan diawali saat tim gabungan melakukan penyergapan dengan sasaran rumah seorang warga yang masuk DPO, bernama Basri. Keesokan harinya saat mengantar jenazah Riansyah ke pekuburan, seorang polisi Brigadir Dua, Deddy Hendra (21) tiba-tiba melintas di jalan menuju pekuburan itu. Warga yang masih diselimuti emosi itu langsung mengeroyok Bripda Dedi. Pengeroyokan ini menyebabkan Bripda Dedi tewas di tempat. Dari dua peristiwa baku tembak diatas, yang hanya berselang 11 hari itu, terlihat jelas bagaimana aparat kepolisian menggunakan kekerasan senjata sebagai satu-satunya cara dalam menangani persoalan konflik yang telah lama berlangsung di Poso ini. Seharusnya dalam penanganan 24 orang yang masuk dalam DPO, pihak Kepolisian tetap menggunakan cara-cara yang persuasif dan menghindari terjadinya kekerasan, sehingga tidak mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, baik dari masyarakat sipil maupun aparat kepolisian.
3
Berita Kontras No.01/I-II/2007
Penyerangan terbuka Semestinya jatuhnya korban ini dapat dihindari bila polisi tidak melakukan penyerangan terbuka di wilayah padat, penduduk Poso kota, serta di waktu dimana masyarakat mulai sibuk beraktivitas. Tindakan ini tidak dapat dilihat hanya sebagai upaya penegakan hukum, namun juga dapat dikategorikan penyerangan terhadap warga sipil yang menjadi elemen penting dari pelanggaran berat HAM. Cara ini tak menunjukkan jati diri Polri yang seharusnya mengedepankan persuasif. Kekerasan bersenjata justru menunjukkan doktrin militerisme masih melekat. Polri memang mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa termasuk penggunaan kekerasan dengan senjata. Namun, penggunaan kekerasan dengan senjata tetap perlu diuji. Apakah upaya paksa termasuk penggunaan kekerasan dengan senjata yang dilakukan oleh Polri telah sesuai prinsip-prinsip penggunaan senjata. Sebab penggunaan kekerasan dengan senjata api tersebut tetap harus tunduk pada persyaratan yang ketat pada kode etik aparatur penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Official) maupun prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api (Basic Principles on the Use of Force and Firearmas by law Enforcement Officials) yang menjamin kekerasan itu terarah dan seimbang pada pihak yang mengancam sesuai dengan tingkat ancamannya baik bagi polisi maupun warga sipil yang seharusnya dilindungi. Sementara itu kita juga dapat melihat lemahnya efektivitas kerja polisi komunitas yang bertugas untuk menegakkan hukum. Polisi komunitas yang semestinya bekerjasama dengan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan sipil tampaknya tidak berlaku efektif. Jangka waktu pengumuman Kapolri untuk menangkap 29 DPO sejak Oktober 2006 tidak dimanfaatkan untuk memaksimalkan fungsi polisi komunitas dengan melakukan pendekatan yang persuasif kepada masyarakat. Kemarahan masyarakat yang menimbulkan tewasnya seorang aparat Polmas justru menunjukkan adanya ketidakpercayaan yag kuat terhadap polisi masyarakat. Sedangkan di sisi lain aparat jelas telah melakukan tindakan berlebihan dengan melakukan penembakan terhadap para pihak yang diduga teroris dan terdaftar dalam pencarian orang (DPO). Semestinya, aparat melakukan langkah-langkah proteksi untuk mengamankan para pihak yang juga merupakan saksi kunci terhadap peristiwa teror yang terus
BERITA UTAMA berlangsung di Poso. Apalagi dalam peristiwa itu, aparat juga melakukan penembakan terhadap masyarakat sipil. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pihak aparat kepolisian telah melakukan kekuasannya secara berlebihan (Excessive use of power). Kekerasan yang terjadi juga diatas tidak lepas dari maklumat tembak ditempat yang dikeluarkan oleh Kapolda Sulteng sebelumnya. Maklumat ini jelas telah menimbulkan masalah, sehingga Mabes Polri harus menganulir bahwa istilah tembak ditempat tidak dikenal di Polri. Sehingga patut dipertanyakan adanya maklumat ini dari sisi dasar hukumnya. Disisi lain adanya maklumat ini justru menstimulus masyarakat (plus DPO) menjadi represif. Dok. AJI Kota Palu Menurut Koordinator KontraS Usman Hamid, ada empat pedoman Polri dalam penggunaan senjata. Pertama, untuk bela diri dari kemungkinan kematian atau luka yang nyata. Kedua, tersangka mengancam keselamatan orang lain. Ketiga, tersangka melakukan perlawanan yang membahayakan polisi. Namun penindakan tidak dengan kekuatan berlebihan. Keempat, untuk mencegah tersangka melarikan diri. “Polisi seharusnya melumpuhkan, bukanlah membunuh seperti tentara, “ tegas Usman.
Penemuan senjata
sejumlah
Pengumpulan senjata Sedangkan dalam operasi tersebut, aparat kepolisian mengaku berhasil mengamankan sejumlah barang bukti yang ditemukan di TKP maupun hasil sweeping yang digelar pasca peristiwa itu, antara lain, lima pucuk senjata api organik (1 buah M16 dengan Magazen 29 peluru, 1 buah SS1, 2 buah SKS dan 1 buah Revolver S&W dengan enam butir peluru), 13 senjata api rakitan (terdiri dari: 12 Senjata Laras Panjang dan Satu Laras Pendek), tiga buah bom aktif, 385 butir peluru berbagai jenis, sebuah pelontar granat, dua buah handy talkie, satu kamera, dua telpon seluler. Akan tetapi meski polisi telah berhasil mengamankan sejumlah barang bukti, penemuan tersebut tetap patut dipertanyakan, mengingat penemuan tidak dilakukan pada saat operasi. Selain itu juga tidak jelas kepemilikan dari senjata yang ditemukan, yang umumnya merupakan senjata yang biasa digunakan oleh aparat TNI Polri. Keadaan ini juga tampak kontradiksi, karena pada saat yang bersamaan Kapolri menginstruksikan adanya penertiban terhadap
senjata api. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya kerja intelejen yang maksimal dalam menanggulangi hal ini.
Isu terorisme Sementara itu isu terorisme yang dikembangkan di Poso, terlalu berlebihan. Karena Poso berbeda dengan terorisme internasional oleh jaringan Al Qaidah. Usman mengatakan bahwa Poso telah dijadikan komoditas untuk memberi hak istimewa bagi Densus 88 Anti Teror unjuk gigi. “Isu terorisme tak perlu. Banyak masalah sosial di Poso yang belum selesai yang perlu pendekatan. Polisi seharusnya bermitra dengan masyarakat, “ lanjut Usman. Ditambah parah lagi dengan lima kasus penyiksaan polisi terhadap para tersangka sepanjang 2002-2005. “Jangan salahkan warga tak mau menyerahkan diri. Masalah mendasar di Poso adalah membangun kepercayaan warga terhadap aparat, “ ujar Usman. Untuk itu, Kontras akan mendesak DPR untuk melakukan klarifikasi atas kasus penembakan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam penangkapan ini.
Jelas ada Pelanggaran HAM Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Poso, Sulawesi tengah. Keimpulan ini didapat setelah Komnas HAM melakukan pemantauan lapangan pada 12 - 25 November 2006 serta pasca baku tembak aparat serta kepolisian dengan warga oleh aparat keamanan Gebangrejo, pada 11 dan 22 Januari 2007. “Penangkapan terbuka yang dilakukan polisi itu sampai sekarang menimbulkan rasa takut warga, “ kata Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin K.Susilo dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi Hukum DPR (06/02). Sebelumnya, Komnas HAM perwakilan Sulawesi Tengah juga telah menemukan adanya pelanggaran HAM oleh polisi saat terjadi bentrokan warga sipil yang bersenjata dengan kepolisian. Sebab, dalam melakukan operasinya, polisi tak memakai asas praduga tak bersalah. “Masak semua warga di wilayah Gebangrejo dianggap buron yang dicari selama ini? Ini kan nggak benar, “ kata Kepala Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah Dedi Askary. Penilaian serupa juga dikemukakan anggota Komisi Hukum DPR, Nursyahbani Katjasungkana. Menurut dia, sebelum melakukan penyerbuan, semestinya polisi sudah memiliki informasi intelijen yang lengkap. “Polisi menyatakan mereka masuk DPO kan sudah tiga bulan. Ya, yang dikejar yang buron saja, “ ujarnya. Nursyahbani berpendapat penyerbuan membabi-buta
Berita Kontras No.01/I-II/2007
4
BERITA UTAMA
oleh polisi adalah akibat ketidakmampuan polisi dalam mendeteksi sumber kekerasan. Pengiriman pasukan tambahan, kata dia, tak efektif. Sejak penyergapan pertama terhadap warga yang masuk dalam DPO (11/01) pagi, situasi Kota Poso, terus memanas. Selama sepekan, sejumlah tempat terdengar letusan senjata api dan bom. Kamis, (18/01), misalnya, ledakan kembali terdengar di dekat pasar sentral. Bom bisa diletakkan begitu saja di tempat-tempat umum atau dilempar pada sasaran tertentu. Meski berupa bom hampa dan tak menimbulkan korban, tetapi suara letusan senjata dan ledakan bom itu menganggu ketenangan masayarakat Poso. Pada malam harinya sering terdengar suara tembakan yang tak diketahui arahnya. Warga menggambarkan suara letusan dan ledakan terjadi di sejumlah tempat di wilayah yang berbeda. Namun tak diketahui siapa pelakunya. Dengan kondisi ini, situasi Poso menjadi lebih cepat sepi.
Bak operasi tempur Indikasi adanya pelanggaran HAM dalam upaya penangkapan DPO memang terlihat jelas. Tim pemantau DPR yang berkunjung ke Poso (3-4 Februari), terkait dengan peristiwa ini menemukan pelanggaran tersebut. Anggota Tim Khusus DPR untuk Poso, Yuddy Chrisnandi, menyatakan selama dua hari kunjungan mereka ia melihat situasi bagaimana masyarakat masih dicekam rasa takut. Antara warga dan aparat keamanan tercipta jarak. Menurut Yuddy, setelah melihat lokasi, bertemu dengan warga, dan bertemu tokoh masyarakat di Poso, indikasi pelanggaran HAM dalam operasi kepolisian itu memang terlihat. Hal ini misalnya terdeteksi dari dipakainya senjata SS1 dalam aksi penangkapan itu oleh aparat keamanan. Selain itu juga melihat dengan banyaknya tembakan yang dilontarkan. “Jadi terlihat itu bukan operasi penangkapan menangkap kriminal, tapi merupakan operasi tempur. Meski yang dihadapi adalah kelompok bersenjata, tidak berarti harus dihadapi laiknya perang. Ini yang harus dijelaskan oleh polisi. Sebab, penjelasan resmi yang ada memang masih meragukan, “ katanya. Kejutan lainnya juga menyambut tim pemantau pada malam harinya. Sekitar sebelas orang yang mengaku menjadi korban salah tangkap polisi, menemui beberapa anggota tim di penginapan. Mereka adalah para tersangka yang ditangkap pada 22 Januari lalu. Pada pertemuan itu mereka melaporkan terjadinya kekerasan fisik selama mereka ditangkap dan ditahan aparat di Polres Poso.
Semua mengaku setelah “kenyang” dipukuli mereka kemudian dilepas kembali tanpa keterangan yang jelas. Menanggapi soal tersebut, Yuddy kembali mengatakan kejadian itu sangat patut disesalkan. Apalagi mereka kemudian dilepas begitu saja setelah dipukuli. “Ini yang aneh. Harus ada kompensasi kepada mereka. Untuk itu, saya mendukung bila para korban kini mulai bersuara dengan mengajukan gugatan. Kami dukung upaya mereka itu, “ ujar Yuddy. Mengenai soal rekomendasi Komnas HAM, Yuddy mengatakan lembaga itu memang harus segera melakukan investigasi yang komprehensif. DPR dipastikan akan memberikan dukungan kepada Komnas HAM di dalam menyibak misteri kasus kekerasan di Poso itu. “Kepada polisi secara internal juga harus melakukan investigasi. Ini penting untuk mengetahui apa yang mereka lakukan itu merupakan bentuk kesalahan perorangan atau kolektif pimpinan. Semua ini harus dijelaskan, “ tandasnya.
Polisi tidak mengenali DPO Sekalipun nama dan wajah para DPO telah disebarluaskan ditempat-tempat umum bahkan di media massa. Namun, dalam prakteknya ternyata aparat polisi tidak sepenuhnya mengenal para DPO. Fakta ini dapat kita lihat dari keterangan salah seorang DPO yang paling dicari bahkan disayembarakan yaitu Basri, yang dengan mudah lolos dari aksi penyergapan pada 11 dan 22 Januari 2007. Bahkan aparat polisi yang bertugas menangkap Basri tidak mengenalnya, bila Basri sendiri tidak memperkenalkan diri. Basri (30 thn), panglima kelompok bersenjata Gebangrejo tertangkap pada (1/02). Pada penyidik kepolisian, Basri akhirnya mengaku sebagai pelaku 17 kasus teror di Poso maupun Palu, dimana lima kasus terjadi di Palu dan 12 kasus di Poso. Kasus teror yang terjadi di Palu, antara lain, adalah penembakan Pedeta Susianti Tinulele, penembakan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Anugerah, serta perampokan dan pembunuhan pemilik toko mas di Jalan Mongonsidi. Adapun kasus di Poso, antara lain, pembunuhan tiga siswi SMA Kristen, pembunuhan Kepala Desa Pinedapa, perampokan Rp 500 juta uang Pemkab Poso, dan tiga kali peledakan bom di GKST Eklesia. Basri mengaku melakukan semua itu karena dendam. Sebanyak 26 orang anggota keluarganya menjadi korban kerusuhan Poso. ***
“ Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.” (Kovenan Hak Sipil Politik, Pasal 6 ayat 1)
“Tidak seorangpun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.” (Kovenan Hak Sipil Politik, Pasal7)
5
Berita Kontras No.01/I-II/2007
TUTUR
“Ibu, Mau Ditembak Kita Ini Ibu....”, Cerita ini merupakan kesaksian seorang guru Taman Kanak-Kanak (TK) Tjokrominoto, Poso, Jl. Bali, Gebang Rejo, Poso Kota, yang menyaksikan secara dekat operasi penyegerapkan oleh polisi. TK tempat ia mengajar dijadikan persinggahan bahkan tameng pasukan polisi dalam melakukan operasi 22 Januari lalu. Dengan alasan keamanan, nama sumber kami rahasiakan. Aparat memang waktu itu, melarang ibu guru dan anak-anak ke luar kelas. Tapi pemberitahuan sebelumnya tidak ada. Seandainya ada pemberitahuan sebelumnya, kami liburkan. Nanti kita tahu pada waktu itu, setelah aparat sudah lewat beberapa mobil, terus masing-masing sudah turun dan mobil berpencar, ada yang ke Pulau Madura, Pulau Alor, ada yang di Kebetulan waktu itu semua anak-anak di dalam ruangan, lingkungan sekolah ini dan itu banyak. Anak-anak pada trauma setelah berdoa seperti biasa kita dengar suara senjata, anak- semua melihat. Barangkali ditembak atau apa. Anak-anak bilang anak kita diamkan di dalam kelas, tapi pada panik. Anak- “Bu, kita mau diapakan ini...” saya bilang “Tidak apa-apa, itu mau tangkap penjahat...., ada anak ada yang menangis, ada yang yang jahat...” Saya arahkan berteriak, panggil papa, panggil seperti itu pada anak-anak. mama. Ada yang berteriak, “Ibu ada Dok.LPS-HAM Sulteng Aparat memang dilihat apa itu ibu..., suara apa itu ibu..., langsung banyak di lingkungan ibu, mau ditembak kita ini ibu....”, sekolah. Kalau memang sudah kami hanya mengingatkan bahwa terjadi di lapangan, aparat di itu di luar nak, ada ibu disini...., kita jalan, tidak jadi masalah. Kita panik semua di dalam kelas. mungkin tidak bisa pantau Sementara kita melihat ada juga waktu itu. Tapi karena masuk anak-anak yang melihat keluar di lingkungan sekolah, terus melalui jendela. Mereka melihat berjejeran di pagar sekolah aparat yang berada di luar. Mereka tempat persembunyian melihat berhadapan saling bakusehingga anak-anak bisa lihat. tembak, posisi aparat di dalam Disini terjadi kontak senjata, sekolah. Kebetulan pagar yang Situasi belajar di tempat darurat pokoknya peluru nyasar, disudut itu ada setengah beton dan peluru kedengaran. Disini setengah besi. Memang anak-anak sepertinya ramai sekali waktu lihat betul, sehingga anak-anak itu. Sepertinya di tempat ini jadi trauma, karena lihat langsung pusatnya. bagaimana aparat itu menembak pada waktu itu. Pada saat kejadian (tembak menembak antara polisi dan warga bersenjata), kita sedang dalam proses belajar mengajar. Kita kaget juga, aparat tiba-tiba datang, sekolah ini dibilang mau dijadikan tameng. Kita takut karena jangan sampai ada bentrokan, bisa anak-anak kita yang jadi sasaran.
Ada balasan dari mana, anak-anak bilang...”Ibu sudah kena dimana itu...., suara apa itu ibu...” ada yang menangis, muntah, ada yang buang air besar. Mungkin pengaruh suarasuara itu semua. Kebetulan panik juga orang tua pada saat itu. Ada orang tua dari rumah setelah mendengat kejadian, mereka datang menjemput anaknya, tapi kita tidak kasih anaknya. Kebetulan juga aparat di luar mengtakan “Ibu jangan dikeluarkan anak-anak dari dalam, bisa kena peluru nyasar nanti....”, tapi orang tuanya juga takut anaknya bagaimana-bagaimana. Pokoknya saat itu kacau, setelah aman nanti sekitar pukul 13.00 WITA, anak-anak waktu itu memang terpukul hati, pikiran, trauma. Sedangkan ibu guru trauma, apalagi anakanak. Tapi kita guru-guru menghibur, berdoa, menyanyi, bahkan anak-anak tidak usah keluar supaya jangan kena, mereka itu lihat bagaiman proses waktu masuk di luar pekarangan sekolah.
Ini anak-anak sudah lihat langsung polisi bagaimana cara menembak, pakaiannya, helmnya. Anak-anak tanyakan “Bu, kenapa itu helmnya pake bagus begitu, kenapa pake pengalas dada...”, kami jelaskan waktu itu. Aparat banyak. Masalahnya turun semua disitu. Ada yang di sudut sana, sudut kiri, ada yang lewat beton di smaping sekolah. Yang dilihat langsung anak-anak itu kontak senjata, kelihatan di anak-anak. Ada yang sedih, trauma, biasa-biasa saja, ada yang menangis, ada yang mau lihat. Dia bilang “Bu saya mau melihat, bagaimana itu polisi...” kayaknya mereka belum tahu apa ada bahayanya atau tidak. Suara pada waktu itu ada suara bom, ada tembakan kecil, tembakan besar, mereka pertanyakan semua kejadian itu. Satu minggu setelah kejadian itu kami tenangkan dulu anak-anak di rumah. Kami liburkan. Saat mulai masuk sekolah lagi. Tidak sampai lima puluh persen yang hadir. Mungkin pengaruh itu. Ada informasi dari orang tua yang kami terima, “Bu anak saya belum masuk sekolah....” disini 156 anakanak.
Berita Kontras No.01/I-II/2007
6
TUTUR
Dulu ada satu anak yang kena peluru nyasar. Bapaknya yang bawa pulang naik sepeda. Itu terjadi pada tanggal 23 Oktober 2006. setelah aman pukul 12.00 Wita, ada yang dijemput. Dok.LPS-HAM Sulteng Sementara kontak senjata ada yang nekat ambil anaknya dengan naik sepeda.
Setelah peristiwa itu, belum ada yang pernah datang disini, barangkali datang tinjau termasuk pihak kepolisian, yang banyak datang disini hanya wartawan. Kalau saya lihat sehari-hari di dalam kelas setelah peristiwa 22 itu, anak-anak cuma main tembak-tembakan, seakanakan mereka meniru, bagaimana polisi itu menembak lawan ataupun musuh. Sering mereka katakan “Kau ini, kau polisi, saya penjahat, ayo tembak dor...dor...”
Waktu kena peluru nyasar, ceritanya begini. Anak itu main, sore harinya anak itu bilang “Ma..ma..sakit saya punya paha ini ma...” Mamanya periksa, ada Akhir-akhir anak-anak sering bekas memar di pahanya. buang air besar dalam kelas. Ada Mungkin itu peluru nyasar tadi yang ambil balok, sapu, atau waktu lewat, tapi dia tidak tahu. mainan apa saja yang dia ambil Setelah dibawa ke rumah sakit, Anak-anak bermain disela waktu belajar kemudian main tembaksetelah dibersihkan baru tembakan dan dijadikan ketahuan. Dokter bilang “Kalau terlambat sedikit, anak ini bisa lumpuh...” anak itu tinggalnya ibaratnya pistol. Ada yang anaknya bertindak sebagai pelaku, di Jalan Pulau Tarakan, kebetulan orang tuanya panik, datang dia itu trauma, takut, menangis. Lihat polisi dia takut, dia bilang “Bu kalau ada polisi masuk sekolah saya takut...” jemput saat itu. Tapi memang akhir-akhir ini kita jarang keliling. Pada saat jalan-jalan ada pos-pos Brimob, mereka sering tegur anakanak kalau jalan. Mereka tegur “Anak-anak kalau besar mau jadi apa....” ada yang jawab “Jadi polisi.” Tapi ada juga yang takut. Bahkan mereka panggil “Halo pak polisi.” Kita kan sering hibur di kelas, jadi anak-anak itu kalau kita ingatkan, pasti mereka ingat kejadian dan trauma. Tapi kalau kita hibur mereka senang dan lupa. Harapan kami semua, mudah-mudahan ke depan, kasihan anak-anak. Mereka ini generasi penerus, kalau begini terus keadaannya anak-anak jadi trauma. Pokoknya kami tidak mau hidup kacau lagi, yang penting ke depan bagaimana supaya aman, itu yang kami idam-idamkan, aman, tenteram, dan damai. Kalau memang toh ada yang terjadi, kami ini diinformasikan atau himbauanlah kepada dinas atau pemerintah setempat. Himbauan bahwa anak-anak mungkin pada waktu penggerebekan atau masalah apa, harus diliburkan. Karena kami di TK ini, masalahnya tanggungjawab kami sebagai guru, orang tua juga di sekolah. Karena kasihan anak-anak ini, tidak sama kalau SMA, itu bisa menyelamatkan diri maing-masing. Tapi di lingkungan TK cuma ada taman bermain. Dan tanggungjawab sepenuhnya guru. Semoga kedepan sudah tidak terjadi apa-apa lagi. Supaya anak-anak tidak trauma dan tetap belajar.***
“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu” (Deklarasi Universal HAM, Pasal 3)
7
Berita Kontras No.01/I-II/2007
OPINI OPINI
Operasi Polisi di Poso :
Membasmi Teror Dengan Teror 0leh : Syamsul Alam Agus Divisi Pembelaan Hukum, Konflik dan Perdamaian Kontras Empat belas orang meninggal dalam baku tembak yang terjadi antara polisi dan sipil bersenjata ketika polisi melakukan aksi penyergapan terhadap para DPO (Daftar Pencarian Orang) pada 22 Januari 2007. salah seorang korban adalah polisi, sementara korban lainnya merupakan masyarakat setempat. Penyergapan DPO oleh polisi yang dilakukan di Kelurahan Gebangrejo, Poso ini berlangsung dari pagi hingga sore hari. Suasana perang yang tercipta dari tembakan senjata dan detuman bom membuat suasana semakin mencekam. Ini bukan yang pertama, sebelumnya pada 11 Januari, polisi juga melakukan operasi serupa di Gebangrejo yang mengakibatkan 3 orang tewas, satu diantaranya yang tewas juga polisi. Polisi ini Bripda Dedi Hendra tewas dikeroyok massa yang emosi terhadap peristiwa penembakan yang dilakukan polisi sebelum terhadap Ustad Riansyah. Semua orang pasti sutuju dengan tujuan kepolisian dalam penciptaan rasa aman dari tindakan teror dan penegakan hukum bagi para pelakunya. Apalagi di Poso khususnya, rasa aman sudah menjadi barang mahal. Namun pilihan caracara represif yang digunakan oleh polisi dalam penciptaan suasana tersebut juga seharusnya memberi jaminan bahwa masyarakat sipil yang tak berdosa tidak menjadi korban. Faktanya, diantara mereka yang menjadi korban adalah orang-orang yang berada ditempat yang salah dalam waktu yang salah. Ustad Riansyah misalnya, dia tertembak dibagian kepala ketika tengah mengamati situasi—mencari tahu apa tengah terjadi pada 11 Januari itu. Berdasarkan keterangan saksi dan penelurusan yang dilakukan oleh KontraS, tuduhan bahwa Rian ditembak karena melakukan pelemparan bom sulit diterima. Karena posisi Rian dengan polisi ketika itu cukup jauh (50 meter). Dan jarak bunyi bom sangat jauh dari posisi Rian. Rian pun baru mengamati situasi ketika tidak lagi terdengar suara bom. Rian tewas tertembak, hal yang sama dialami oleh Dedi Parsan salah seorang DPO. Metode penindakan oleh aparat kepolisian ini dapat dikatakan sebagai tindakan berlebihan dengan melakukan penembakan terhadap para pihak yang diduga teroris dan terdaftar dalam
pencarian orang (DPO). Semestinya, aparat melakukan langkahlangkah proteksi untuk mengamankan para pihak yang juga merupakan saksi kunci terhadap peristiwa teror yang terus berlangsung di Poso. Apalagi dalam peristiwa itu, aparat juga melakukan penembakan terhadap masyarakat sipil. Aparat kepolisian telah melakukan kekuasannya secara berlebihan (Excessive use of power). Demikian halnya pada saat operasi penyergapan 22 Januari 2007 beberapa warga ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polisi. Masyarakat Sipil yang ditangkap, diborgol, dan disiksa. Kemudian baru dilepaskan setelah tidak adanya cukup bukti. Untuk kasus H.Rois dan anaknya serta 4 orang karyawannya dipaksa foto dengan menggunakan senjata. Kejadian salah tangkap menimbulkan rasa tidak simpati ditambah lagi dengan tidak ada permintaan maaf atau pemulihan nama baik yang dilakukan oleh polisi. Pada 22 Januari 2007 penyergapan oleh Polisi terhadap DPO Poso, beberapa warga yang umunya berusia remaja menjadi korban. Mereka disinyalir sebagai anggota kelompok bersenjata. Penyergapan di pagi hari inipun telah memakan korban sipil yang tidak bersalah dan tidak termasuk dalam DPO. Bukan hanya berapa jumlah sipil dan target yang tewas tertembak peluru, namun muncul masalah lain, seperti hilangnya rasa aman yang tercipta dari operasi Polisi di gebang Rejo tersebut. Terjadi kepanikan terhadap anak-anak di Taman Kanak-kanak Cokroaminoto, Jl. Pulau Bali, Kecamatan Gebang Rejo, yang saat penyerangan dilakukan sedang dalam proses belajar mengajar. Karena ketidaktahuan akan adanya operasi, menimbulkan kepanikan dan ketakutan. Seharusnya di wilayah konflik seperti Poso, operasi keamanan yang dilakukan lebih sensitif terhadap kondisi warga yang pernah mengalami peristiwa kekerasan. Dan lebih memikirkan efek senjata bagi anak-anak. Begitu juga yang terjadi di SDN 17 Poso. Penyergapan ini menimbulkan ketakutan dikalangan anak-anak hingga sekolah baru diaktifkan setelah sepekan. Kepanikan warga saat kontak senjata di gebang rejo, belum lagi kerusakan yang ditimbulkan pada saat operasi dilakukan sangat menimbulkan ketakutan dari warga dan kerugian material. Maraknya teror dan berbagai kasus kekerasan—kontra teror— di Poso membuktikan lemahnya penanganan paska konflik dan penegakkan hukum oleh negara. Akibatnya, timbul tafsir yang berbeda-beda atas kasus demi kasus yang belum tuntas secara hukum (buyung Katedo, pondok pesantren walisongo, dll) sesuai
Berita Kontras No.01/I-II/2007
8
OPINI OPINI
dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Yang pasti kelompok yang bisa menguasai pemberitaan dan menguasai legitimasi hukum, seperti Polisi, sangat diuntungkan untuk menuduh kelompok-kelompok lain sebagai penyebab kekerasan di Poso.
menjamin keamanan masyarakat sipil di sekitarnya. Hal ini terbukti pada peristiwa 22 Januari 2007, setelah beberapa jam operasi dilakukan, telah menewaskan 8 korban sipil. Namun, tak satupun dari korban-korban tersebut merupakan target operasi keamanan. Ironisnya, kemudian operasi ini tidak diakui sebagai pelanggaran HAM. Komnas HAM pun menyatakan ini hanya pelanggaran HAM biasa.
Kelemahan penanganan paska konflik, terutama terhadap anakDok.AJI Kota Palu anak, mengakibatkan menumpuknya trauma kekerasan. Hal ini potensial Seharusnya polisi bisa menjadi pemicu kebangkitan melakukan pendekatan di luar amarah disaat mereka cukup pendekatan keamanan (security umur dan fisik untuk melakukan approach) dengan “penegakan keadilan” dengan mengefektifkan anggota caranya sendiri. Paska Konflik, masyarakat untuk membantu anak-anak pengungsian di Poso proses penyelesaian hukum. maupun yang lama tidak Seperti pada kasus Aat, seorang menginjak bangku sekolah tersangka yang masuk dalam melihat dan merasakan bahwa Polisi melakuan kesiagaan di pos list 29 DPO, menyerahkan diri konflik tidak ada penyelesaian ke Polisi dengan dimediasi oleh dan tidak menemukan harapan 2 wartawan. Aat menyerahkan yang lebih baik setelah konflik. Mereka rata-rata saat konflik terjadi masih sekolah di SD dan diri setelah 2 wartawan tersebut membantu melobby SMP. Mereka tidak mengetahui apa sebab terjadinya kekerasan Kapolda dan Kapolres Poso untuk Aat untuk diproses hukum yang berkepanjangan. Kondisi Anak-anak seperti inilah yang tanpa adanya kekerasan fisik yang ditimbulkan. potensial untuk ditanamkan kebencian dan tafsir yang keliru Jika merujuk pada upaya perdamaian di Poso, hampir untuk kepentingan kelompok tertentu di Poso. seluruhnya bernuansa elitis, disamping jumlah operasi Bagi Kepolisian, terutama dalam kasus Poso, seharusnya setiap keamanan yang silih bersandi. Ini membuktikan belum ada operasi keamanan memiliki standar yang ketat dalam upaya yang lebih serius untuk menjalin rekonsiliasi yang meniadakan korban sipil, yang bukan target operasi, dan juga sebenarnya yang menyentuh masyarakat.
“Tidak ada terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.”
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia ( Pasal 2 (2))
9
Berita Kontras No.01/I-II/2007
OPINI
Prioritaskan Soal Freeport di Papua Oleh: Edwin Partogi Pemerintah berencana merevisi UU Otonomi Khusus Papua. Kita berharap, kebijakan ini bukan sekadar tambal sulam kebijakan lalu dalam menyelesaikan problem Papua. Ada banyak problem mendasar yang lebih perlu diprioritaskan. Polemik Freeport salah satunya. Sekadar kilas balik tahun 2006, masalah PT. Freeport Indonesia (FI) menyorot perhatian luar biasa. Bermula dari insiden penembakan warga pendulang tradisional di lokasi pembuangan tailing (Februari). Peristiwa ini memicu sejumlah mahasiswa Papua di Jakarta melakukan ‘serangan fajar’, mendemo dan merusak Gedung Plaza 89, tempat FI berkantor di Jakarta. Sejak itu sejumlah mahasiswa asal Papua, ornop dan ormas Islam kerap melakukan demonstrasi menuntut penutupan FI di Jakarta, Papua, Semarang, Makasar dan Sulawesi Utara. Tuntutan serupa juga dilontarkan oleh mantan Ketua MPR Amien Rais. Amien mengomentari FI telah menguras kekayaan dan membohongi Indonesia. Puncaknya, aksi mahasiswa yang berlangsung di depan kampus Universitas Cenderawasih, Abepura di pertengahan Maret lalu berakhir tragis. Empat orang polisi dan satu anggota TNI AU tewas. Ada beberapa masalah seputar FI. Pertama, keberadaannya dinilai gagal memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Papua. Setidaknya bila merujuk data Litbang Kompas tahun 2005, ada 72 dari 84 desa di Kabupaten Mimika, tempat FI beroperasi, merupakan desa tertinggal (Kompas, 13/10/2006). Kedua, ketika warga sekitar perusahaan ini melakukan pendulangan tailing, mereka dikriminalkan. Ketiga, perusahaan ini telah menyumbangkan kerusakan lingkungan lantaran membuang limbahnya ke Danau Wanagon. Keempat, dana kemitraan yang selama ini dikucurkan FI menyebabkan masalah sosial. Menurut Ketua Badan Musyawarah Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Komoro Andreas Anggaibak, masalah sosial dapat dilihat dengan maraknya perang suku pasca pengucuran dana tahun 1996 (Kompas, 14/10/2006). Kelima, keberadaan TNI/ Polri mengamankan perusahaan ini kerap berimplikasi tindak pelanggaran HAM. Banyak warga setempat pernah mengalami kekerasan militer dan menderita trauma kolektif yang tak mudah disembuhkan.
Sikap Pemegang Saham The New York Times edisi akhir Desember 2005 menjelaskan, FI telah mengeluarkan dana 20 juta dollar AS (200 milyar rupiah) untuk militer dan polisi, dalam kurun waktu 1998 hingga Mei 2005. Dana tersebut dibagi-bagikan pada para anggota TNI dan Polri berpangkat jenderal, kolonel, mayor dan kapten. Kepentingannya, memastikan mereka terus “menjaga” tambang dari gangguan OPM. Sebelumnya, laporan serupa dilansir oleh Global Witness Juli 2005, sebuah ornop internasional berbasis di Washington DC. Laporan ini juga menjelaskan bahwa pemegang saham Freeport McMoRan) telah menyadari adanya problem ini. Pemegang saham yang bernaung dalam dua Yayasan Pensiunan Kota New
York ini mempersoalkan pembayaran jasa keamanan itu yang terjadi pasca insiden penembakan Timika, Agustus 2002. Pengeluaran dana ini dicurigai mengandung unsur pemerasan dan suap. Jika benar, Freeport bisa dituduh melanggar Foreign Corrupt Practices Act, sebuah Undang Undang Praktek Korupsi Luar Negeri Amerika. Dampaknya akan sangat serius bagi reputasi maupun nilai saham perusahaan. Sikap keras juga ditunjukkan oleh Dana Pensiun Pemerintah Norwegia yang pada Juni 2006 mencabut investasinya di Freeport senilai 240 juta dollar. Menteri Keuangan Norwegia, Kristin Halvorsen menyatakan keputusan itu diambil atas rekomendasi Council on Ethics. “Keputusan ini merupakan refleksi penolakan kami terhadap pelanggaran norma etika pada investasi kami,” kata Halvorsen, dengan alasan Freeport telah melakukan pengrusakan lingkungan yang sangat serius.
Posisi Pemerintah Pemerintah Indonesia memang tak tinggal diam. Kementerian Lingkungan Hidup melakukan audit dampak lingkungan hidup di lokasi FI. Hasil itu mengungkapkan FI telah melakukan beberapa pelanggaran serius. Ironisnya, tak ada sanksi yang diberikan pemerintah. Pemerintah hanya meminta FI melakukan pembenahan selama 2-3 tahun. Sementara tim lintas departemen yang dibentuk Pemerintah pada Maret 2006 hanya mengkaji porsi pendapatan negara dari Freeport, tanpa mempersoalkan kontrak karya. Berbeda dengan sikap pemerintah, Executive Vice President PT FI, Armando Mahler, malah mengatakan kesiapannya untuk membicarakan perbaikan dan penyempurnaan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia (April, 2006). Anehnya, pemerintah malah tidak mengambil langkah-langkah bagi revisi kontrak karya ini. Padahal memperbesar sharing bagi pemerintah telah menjadi trend, terutama di Amerika Latin, Bolivia dan Venezuela. Melihat dua posisi diatas, wajar bila kemudian masyarakat mempertanyakan sikap pemerintah. Kepentingan siapa yang sesungguhnya diperjuangkan pemerintah atas FI? Bila kepentingan rakyat Papua lebih utama, saatnya di tahun 2007 ini pemerintah merevisi kontrak karya yang berkeadilan. Termasuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan dan pelanggaran HAM di seputar polemik Freeport. Sebenarnya, peluang untuk merevisi kontrak karya telah ada di era Abdurrahman Wahid. Namun kemudian tertunda karena adanya peralihan kekuasaan politik ke Megawati. Dari perdebatan saat itu, tampaknya ide untuk merevisi kontrak karya bukan sekadar memperbaiki isi kontrak karya khususnya soal profit-sharing. Melainkan kesiapan pemerintah akan konsekuensi-konsekuensi politiknya. Mulai dari bagaimana mengelola dana non budgeter yang mengalir dari Freeport ke kantong instansi pemerintah, pembayaran jasa keamanan lewat pejabat, hingga ketidaksiapan untuk menghadapi orang-orang “kuat” yang menikmati keuntungan di balik pola relasi itu. Sebaiknya pemerintah memprioritaskan soal Freeport di tahun ini. Sebab kian lama menentukan sikap, pemerintah akan kian sulit keluar dari masalah ini. Kelambanan sikap itu bisa memicu ketidakpastian lagi di kalangan orang Papua. Pemerintah harus berani, agar isu Freeport tidak terus menjadi bulan-bulanan politik dan kepentingan elite di Papua dan Jakarta.
Berita Kontras No.01/I-II/2007
10
JEJAK SANG PEJUANG
Menunggu Pengajuan PK Kejaksaan Agung Di awal januari 2007, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) memperingatkan kembali Presiden SBY untuk menuntaskan kasus Munir. KASUM menilai arah penyelesaian kasus Munir sudah semakin tidak jelas pasca vonis MA dan putusan pemerintah me-remisi Pollycarpus. Menurut KASUM, Presiden SBY harusnya menanggapi rekomendasi DPR untuk Kasus Munir pada 7 Desember 2006. Pemenuhan rekomendasi DPR bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi penyelesaian kasus Munir dan dapat mengatasi kendala-kendala pengungkapan kasus sejak 7 September 2004 – saat Munir tewas diracun. Sepanjang 2006 lalu, KASUM menilai upaya pemerintah dalam menuntaskan kasus Munir masih pasif, parsial dan polos. Akibatnya, telah menghilangkan banyak peluang pengungkapan kasus, kerap menimbulkan mis-koordinasi, tidak efektif – jika tak mau dibilang tidak cerdas dan seringkali out of focus. Sikap pasif tersebut misalnya, nampak saat tak mampu mengantisipasi proses banding dan kasasi pasca putusan PN Jakarta Pusat yang telah menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara bagi Pollycarpus Budihari Priyanto (20/12/05). Kejagung dan Polri tidak segera melengkapi novum (bukti baru). Hal tersebut, sekaligus melengkapi buruknya koordinasi Kejagung-Polri. Yang mencolok adalah ketika gagal menghadirkan saksi-saksi kunci seperti Hian Tan (als. Eni) dan Nurhadi Djazuli pada pengadilan tingkat pertama di PN Jakarta Pusat. Sementara, ditengah perhatian internasional yang begitu kuat, Polri terkesan memperlakukan kasus ini layaknya kasus kriminal biasa. Seperti pengakuan Makbul Padmanegara (saat itu Kabareskrim) bahwa tim Polri yang menangani kasus Munir juga dibebankan untuk menangani kasus Poso (3/11/06). Akibatnya penyelidikan menjadi tidak fokus. Keterangan Kapolri seperti: “Kemajuan penuntasan kasus Munir tergantung dari pengakuan Pollycarpus” (4/9/06), justru menunjukkan sikap pasrah dan naïf – yang justru menciptakan krisis kepercayaan publik terhadap kemampuan Polri. Tahun 2007 merupakan tahun ketiga penuntasan kasus Munir. Namun, Presiden belum mengumumkan kepada masyarakat hasil-hasil temuan TPF Kasus Munir. Presiden juga belum membentuk Tim Penyidik Independen yang berada di bawah supervisi Kapolri dan bertanggung jawab penuh kepada Presiden. Padahal, DPR menilai kedua langkah tersebut sangat diperlukan sebagai bagian dari komitmen dan keseriusan Presiden untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang transparan dan akuntabel dalam pengungkapan kasus kematian Alm. Munir. Prinsip-prinsip inilah yang harusnya melandasi perkembangan penuntasan kasus Munir oleh Polri dan Kejaksaan Agung saat ini. Yakni, mempersiapkan novum dengan tujuan PK (Peninjauan Kembali). Dan Presiden sebaiknya memenuhi rekomendasi DPR demi terangnya harapan publik.
11
Berita Kontras No.01/I-II/2007
Karenanya, saat adanya rencana untuk membawa rekaman telepon antara Pollycarpus Budihari Priyanto dengan mantan pejabatan Badan Intelijen Negara (BIN) ke Amerika Serikat untuk diperiksa, Kontras menyambut baik rencana tersebut. Hasil rekaman pemeriksaan tersebut nantinya bakal menjadi novum bagi kejaksaan untuk mengajukan permohonan PK. “Rekaman itu seharusnya dibuka sejak awal, karena itu sangatlah perlu, “ ujar Koordinator Kontras, Usman Hamid. Pollycarpus sempat divonis 14 tahun penjara karena terlibat pembunuhan Munir. Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan Pollycarpus bukan pembunuh Munir. Hakim MA menyatakan Pollycarpus ditahan (sejak Maret 2005), hanya karena melakukan kesalahan admistrasi memalsukan surat tugas. Hukumannya dua tahun penjara. Setelah mendapat remisi (pengurangan masa hukuman), Polly bebas pada tanggal 25 Desember 2006. Dalam putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), disebutkan bahwa hubungan telpon antara telpon yang miliki oleh Pollycarpus dan mantan Deputi V BIN Muchdi Pr, diduga merupakan pembicaraan terkait dengan pembunuhan terhadap aktifis HAM Munir. Namun, saat diperiksa sebagai saksi, Muchdi membantah hal tersebut dengan argumen telepon seluler itu tidak hanya dipakai olehnya. Karenanya, menurut Usman, meski proses hukum sudah sejauh itu, pemeriksaan rekaman telepon tersebut belum terlambat. Usman menambahkan, sudah saatnya polisi melakukan langkah proaktif guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penuntasan kasus ini.
PK Perkara Munir Sementara itu, menanggapi rencana Jaksa Agung yang akan segera mengajukan PK Perkara Munir, menurut Usman Hamid, Jaksa Agung memang memiliki kewenangan untuk mengambil langkah hukum tertentu sesuai dengan undangundang, termasuk melakukan terobosan hukum. Menurut Usman, ada kekhilafan hakim di MA dalam memutuskan perkara pembunuhan Munir dengan terdakwa Pollycarpus. “ Bisa saja dilihat sebagai kekhilafan hakim untuk menerapkan hukum. Ada dugaan kuat, terjadi kekeliruan dalam mengambil keputusan, “ ujar Usman. Usman menambahkan, novum atau bukti baru bisa diupayakan untuk menggantikan dalil ketidakcukupan bukti, seperti menjadi pendapat dua hakim agung dalam perkara
pembunuhan Munir. Upaya PK yang dilakukan Kejaksaan Agung dapat menentukan status Pollycarpus kedepan. Namun upaya Kejaksaan Agung mengajukan PK terhadap putusan tersebut masih terhambat. Hingga pekan pertama Januari 2007, kejaksaan masih menunggu salinan putusan kasus Munir. Meski demikian, kejaksaan telah menyiapkan tim untuk membahas pengajuan PK tersebut. Tim jaksa perlu mengkaji sekali lagi dengan merujuk pada isi salinan putusan. “Tim perlu tahu apa detil amar putusannya. Selain itu, beberapa catatan tim perlu dikaji lagi, “ ujar Jaksa Agung. Dok.Kontras Jaksa Agung menegaskan, untuk mengajukan PK, Kejaksaan tidak mutlak mendasarkan pada novum alias bukti baru, tetapi pada beberapa fakta. Diantaranya, pertimbangan dissenting opinion salah satu hakim yang mengadili kasasi kasus Munir, “Kejaksaan dapat menggunakan kekhilafan hakim, “ jelasnya. Selebihnya, beberapa fakta lain masih dirahasiakan jaksa.
Adi Andojo mengemukakan bahwa upaya dan langkah tersebut harus dibantu seluruh elemen masyarakat, yang bersama-sama membentuk pendapat atau opini secara luas, putusan kasasi MA tadi dapat membahayakan dan mencoreng citra lembaga peradilan. Pernyataan ini disampaikan Adi Andojo, Rabu (10/01), saat berbicara dalam diskusi KASUM di Komunitas Kayu dengan tema “Prospek Penyelesaian Kasus Munir Pasca Remisi Bebas Pollycarpus”. Lebih lanjut Adi mengatakan bahwa opini masyarakat yang mengkristal itu bisa dijadikan sebagai suatu bentuk kebenaran materiil, yang kemudian dapat dimanfaatkan pihak Kejaksaan Agung untuk mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA tersebut. “Secara hukum, putusan kasasi MA itu memang tidak bisa begitu saja ditinjau ulang, “ ujar Adi.
Adi menuturkan, di masa lalu sudah ada yurisprudensi dalam kasus pembatalan putusan bebas Muchtar Pakpahan oleh MA Suciwati di PN Jakarta Pusat berdasarkan permintaan jaksa. “Kalau dibilang Beberapa hari setelah penyataannya untuk kasus Munir tak bisa di-PK, ada mengajukan PK tersebut, Jaksa agung yurisprudensinya dalam kasus Muchtar 10 menegaskan pernyataannya ini dengan membentuk tim untuk tahun lalu. Ya dicoba saja peluang itu, “ ujarnya. mempersiapkan, meneliti, dan menelaah putusan MA tersebut meskipun jaksa belum menerima salinan putusan MA. Turut hadir sebagai pembicara, anggota Komisi II DPR, Lukman Hakim Saifuddin (F-PPP), dan staf pengajar Ilmu Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Salman Kepolisian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Maryadi (18/01), menyampaikan tim tersebut dibentuk Widodo Umar. Selain itu, hadir pula mantan anggota Tim pelaksana harian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Pencari Fakta kasus Munir, Asmara Nababan. Abdul Hakim Ritonga. “PK jaksa dapat dilakukan karena sudah ada yurisprudensi putusan MA yang mengabulkan jaksa Suciwati datangi Kejaksaan Agung melakukan PK, “ katanya. Salman memaparkan, mengacu pada aturan Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, secara normatif yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Menggunakan teori interpretatie a contrario, maka terpidana tidak akan mengajukan PK kalau sudah divonis bebas. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Pasal 263 Ayat 2 KUHAP, pihak yang berkepentingan dengan pemidanaan adalah jaksa. “Maka, yang dimaksud dengan interpretatie a contrario, jaksa dapat mengajukan PK, kalau yang mengajukan PK adalah terpidana yang divonis bebas, menjadi tidak logis, “ kata Salman. Ia menyebutkan, yurisprudensi pengajuan PK oleh jaksa, yakni terhadap putusan bebasnya Ram Gulumal dalam kasus Gandhi Memorial School dan terhadap putusan bebas murni MA atas terdakwa Muchtar Pakpahan. Sebelumnya, pendapat senada juga diungkapkan oleh mantan hakim agung, Adi Andojo Soetjipto. Menurutnya, upaya peninjauan kembali terhadap putusan kasasi MA yang menyatakan Pollycarpus tidak terlibat dalam pembunuhan Munir masih berpeluang untuk bisa diterobos.
Sedangkan pada (22/01), Suciwati yang didampingi oleh Choirul Anam mendatangi Kejaksaan Agung dan menemui Pelaksana Harian Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga dan Ketua PK Pollycarpus, Kemal Sofyan, yang juga merupakan Direktur Eksekusi JAM-Pidum. Pada kesempatan itu, Suciwati meminta Kejaksaan Agung untuk mengumpulkan lebih dari satu bukti baru (novum) untuk mengajukan permohonan PK tersebut. Bukti-bukti baru itu untuk mengungkap lebih jelas terbunuhnya Munir. Choirul menambahkan, mereka meminta kejaksaan agar pengumpulan bukti baru itu tidak hanya terfokus pada Pollycarpus. Sebab Polly hanyalah pelaku lapangan. “Yang mengorder pembunuhan itu ada. Dan ini adalah pembunuhan berencana, “ tegas Choirul. Dalam pertemuan itu, kejaksaan mengatakan akan berhatihati dalam menyiapkan bukti baru. Sehingga dakwaan dengan berdasarkan novum yang sedang disiapkan kejaksaan, akan menghasilkan putusan yang lebih kuat daripada putusan yang dihasilkan dalam putusan kasasi.
Berita Kontras No.01/I-II/2007
12
JEJAK SANG PEJUANG
JEJAK SANG PEJUANG
Menurut Choirul, salah satu bukti baru yang dikejar kejaksaan adalah hubungan komunikasi melalui telepon sebanyak 41 kali antara Pollycarpus dan kantor BIN serta pejabat Garuda Indonesia. Kejaksaan sendiri sampai kini belum menentukan kapan waktu pengajuan PK karena masih harus menunggu novum percakapan tersebut. Untuk novum percakapan telepon, kejaksaan menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian.
lainnya menilai tindakan tergugat lain, Brahmani Hartati selalu purser dan Subur M Taufik selalu pemimpin penerbangan, melanggar Basic Operation Manual (BOM). Mengacu pada BOM, Brahmani dan Subur M Taufik berwenang menghentikan atau menolak keberadaan Pollycarpus meski yang bersangkutan telah mengantongi izin pihak manajemen Garuda. Dalam repliknya, kuasa hukum Suciwati menilai terdapat sejumlah fakta hukum yang mendasari gugatan perdata mereka. Diantaranya adalah PP No 3/2001. BOM, dan Konvensi Warsawa.
Polisi bentuk tim baru Selanjutnya, Markas Besar Kepolisian RI membentuk tim baru untuk mengusut kasus Munir. Tim ini bekerja untuk membuat bahan peninjauan kembali yang akan diajukan oleh Kejaksaan Agung. “Saya yang memimpin langsung, “ kata Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Dahuri (24/ 01) di kantornya.
“PT Garuda Indonesia dinilai telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2001 dan Konvensi Warsawa”
Menurut Bambang, pembentukan tim ini merupakan tindak lanjut pekerjaan tim sebelumnya yang telah meminta bantuan Biro Penyelidik Federal (Federal Bureau of Investigation). Pada November lalu, tim sebelumnya telah datang ke Amerika Serikat, Belanda, dan Perancis untuk keperluan penyidikan kembali kasus itu. Bambang yang menjabat Kabareskrim sejak 27 Desember lalu itu, mengatakan bahwa kebenaran hakiki akan dicoba untuk mengungkap kasus tersebut. “Kita terus berdoa. Mudahmudahan dilindungi Yang di Atas, “ tambahnya. Sedangkan pada pertengahan Januari lalu, Kepala Polri Jenderal Sutanto bersama beberapa pejabat utama Mabes Polri, termasuk Kepala BIN dan Keamanan Inspektur Jenderal Saleh Saaf, berada di Amerika Serikat untuk menjemput hasil yang diminta tim sebelumnya kepada polisi Federal. Termasuk tentang bukti isi percakapan telepon antara Polycarpus dan salah satu mantan p[enjabat BIN. Hasilnya, “Positif, positif, “ kata Bambang. Sayang, Bambang menolak membeberkan hasil itu. “Pokoknya kami berbuat. Kami sedang bekerja keras, “ ujarnya.
PT Garuda langgar PP Sementara itu, dalam perkembangan sidang gugatan terhadap PT Garuda Indonesia, kuasa hukum Suciwati dalam replik yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (11/01), menilai bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2001 dan Konvensi Warsawa (tentang penerbangan sipil). Hal tersebut terlihat dari keberadaan Pollycarpus dalam pesawat GA 974 Jakarta-Singapura yang juga ditumpangi Munir. Pollycarpus menumpang pesawat tersebut secara melawan hukum karena terbukti menggunakan surat palsu. Selain itu, Suciwati melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, KontraS, HRWG, ICW dan
13
Berita Kontras No.01/I-II/2007
PP No 3/2001 menyatakan, sebuah penerbangan harus aman dan atau terbebas dari tindakan melawan hukum. Namun, faktanya di dalam penerbangan GA 974 yang dipimpin oleh Subur M Taufik (tergugat XI) terdapat Pollycarpus (tergugat V) selaku ekstra kru. Pollycarpus mengantongi surat tugas dari manajemen PT Garuda, tetapi MA dalam putusan kasasinya menyatakan surat tersebut diperoleh secara melawan hukum.
Munir meninggal dalam penerbangan Singapura-Belanda. Kematian Munir disebabkan racun arsenik. Suciwati dalam gugatannya, menilai masuknya racun ke tubuh Munir merupakan kelalaian jika tidak dapat dibuktikan sebagai pembunuhan berencana. Garuda seharusnya mengawasi makanan dan minuman untuk penumpang. Dalam sidang sebelumnya, PT Garuda Indonesia, Indra Setiawan, Pollycarpus BP. Yetti Susmiati, dan Oedi Irianto mengajukan gugatan rekonvensi. Mereka merasa dirugikan karena nama baiknya dicemarkan.
Garuda tolak bertanggung jawab PT Garuda Indonesia menolak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Suciwati akibat kematian Munir. Hal itu merupakan konsekuensi logis putusan MA terhadap Pollycarpus, yang dibebaskan dari dakwaan pembunuhan berencana atas Munir. Putusan itu juga membantah asumsi, kematian Munir terjadi akibat kelalaian kru Garuda, Oedi Irianto dan Yetti Susmiarti. Hal itu diungkapkan pada saat duplik yang disampaikan kuasa hukum PT Garuda Indonesia, Mohammad Assegaf, kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/01). Hakim Andriani Nurdin memimpin sidang gugatan perdata Suciwati terhadap PT Garuda Indonesia serta Indra Setiawan, Ramelgia Anwar, Rohainil Aini, Pollycarpus, Yetti, Oedi, Brahmani Hastawati, Pantun Matondang, Madjib Radjab Nasution, dan Sabur M Taufik. Tergugat memakai putusan MA Nomor 1185/K Pid/2006 untuk menyangkal dasar gugatan Suciwati yang menyebut Garuda Indonesia lalai karena membiarkan Pollycarpus berada di pesawat dengan memakai surat palsu, membiarkan terjadi perpindahan tenpat duduk, serta lalai dalam mengawasi makanan dan menangani sakitnya Munir.
JEJAK SANG PEJUANG
Menurut tergugat, putusan MA mengakibatkan penilaian penggugat itu batal. MA menyatakan, Pollycarpus tak terbukti membunuh Munir.
Suciwati ajukan 17 bukti Di awal Februari 2007, Suciwati mengajukan 17 bukti berupa dokumen dan kesaksian yang menunjukkan ketidakprofesionalan PT Garuda Indonesia. Suciwati juga menyerahkan rekaman audiovisual yang menguatkan indikasi “ketidaklaziman” tentang keberadaan Pollycarpus di pesawat yang ditumpangi Munir. Bukti-bukti tersebut diserahkan kuasa hukum Suciwati dari LBH Jakarta kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (1/2). Direktur LBH Jakarta Asfinawati yang juga kuasa hukum Suciwati seusai sidang menjelaskan, bukti-bukti itu dimaksudkan untuk mendukung dalil utama penggugat, yaitu kelalaian PT Garuda dalam hal pengawasan makanan dan minuman, kelalaian dalam penanganan sakitnya Munir, keberadaan Pollycarpus yang menggunakan surat palsu, dan perpindahan tempat duduk.
Organ tubuh Munir berupa hati dan limpa, yang kini ada di Badan Reserse Kriminal Markas Reserse Kriminal Markas Besar Polri, pertama kali diperiksa oleh Netherlands Forensik Belanda, yang mencurigai kematian tak wajar Munir. Dalam tubuh Munir ditemukan arsenik. “Kami mau tahu lebih jelas jenis racun arseniknya, “ ujar Sutanto. Hasil pemeriksaan itu akan digunakan sebagai novum untuk pengajuan PK vonis Pollycarpus yang telah dibebaskan MA. Sebelumnya, laboratorium Lembaga Forensik Belanda yang mengotopsi Munir pada 8 September 2004 belum bisa memastikan kapan dan dari mana racun itu masuk ke tubuh Munir. Mereka hanya memastikan bahwa Munir diracun dengan arsenik akut. Artinya, racun itu masuk hanya dalam satu kesempatan. Menanggapi keinginan mengotopsi ulang ini, Usman Hamid menyatakan bawah proses tersebut sudah tidak relevan. “Proses itu kebutuhan pada awal penyidikan, “ ujarnya. Menurut Usman, yang harus dilakukan pemerintah adalah investigasi pidana, yakni dengan membongkar pembunuhan berencana terhadap Munir, baik otak maupun eksekutornya. Otopsi ulang berarti mengulang keseluruhan proses investigasi dari awal lagi.
Film kasus Munir diputar
Salah satu bukti yang diajukan Asfinawati adalah dokumen hasil investigasi internal PT Garuda. Dalam dokumen tersebut, PT Garuda mengakui adanya kesalahan, di antaranya ketidaklaziman alat medis yang digunakan untuk menangani Munir (tak dibungkus), pilot yang tidak berkomunikasi dengan petugas ground officer untuk mengonsultasikan keadaan Munir, serta ketidak mengertian kru akan aturan internasional.
Sementara pada sidang kasus gugatan Suciwati terhadap Garuda Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, (15/ 02) memutar film dokumenter berjudul Garuda ‘s Deadly Up Grade. Film ini pernah ditayangkan di stasiun televisi swasta Australia. Dokumen video itu menjadi salah satu bukti yang diajukan Suciwati.
Selain itu, Asfinawati juga menyerahkan rekaman adanya ketidaklaziman terkait keluarnya surat penugasan dan surat tugas bertanggal mundur untuk Pollycarpus. Rekaman tersebut merupakan tayangan salah satu televisi swasta pada 5 Maret 2005.
Dalam rekaman video tersebut, Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda, mengakui beberapa hal. Diantaranya, pesawat Garuda kerap dipakai dalam operasi intelijen. Urusan ini, kata Indra, di luar kewenangan manajemen. “Kami lebih banyak banyak mendengar kata pemerintah, “ ujarnya.
Setelah menerima bukti-bukti tersebut, Ketua majelis hakim Andriani Nurdin menunda sidang hingga 8 Februari 2006.
Organ tubuh Munir diperiksa Sementara Suciwati didampingi dengan kuasa hukumnya tanpa kenal lelah mencari keadilan dengan menggugat pihak PT Garuda Indonesia, kabar lain datang dari Biro Penyelidik Federal (FBI), Amerika, yang akan memeriksa organ tubuh Munir. Pemeriksaan ini untuk memastikan jenis racun, waktu racun masuk, dan melalui medium apa racun masuk ke tubuh Munir. “Jadi akan diperiksa lagi dengan teknologi mereka, “ kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto di Jakarta (5/02). Jenderal Sutanto juga memastikan polisi hanya sebatas menguji sampel organ tubuh Munir untuk mencari bukti baru (novum) dalam mengungkap pembunuh Munir. Penegasan ini menjawab keresahan Suciwati, yang khawatir polisi akan menggali kubur Munir untuk mendapat novum.
Menanggapi hal ini, kuasa hukum Suciwati, Choirul Anam, menyatakan film ini membuktikan Garuda telah melalaikan keselamatan penumpang. “Kalau terbukti, Garuda tidak bisa lagi melakukan penerbangan internasional, “ ujarnya.
Rekomendasi DPR dipertanyakan Di akhir Februari, (21/2), dalam siaran presnya, KASUM, bersama keluarga korban pelanggaran HAM, dan perwakilan ormas kembali mempertanyakan tindak lanjut rekomendasi DPR RI kepada Presiden SBY, menyangkut penuntasan kasus Munir. Sejak rekomendasi tersebut disampaikan Tim Kasus Munir DPR (7/12/06) pada Rapat Paripurna, Presiden belum memberikan sikap resmi dan sebaliknya, DPR RI belum berupaya lebih lanjut agar rekomendasi bisa terlaksana. Untuk diketahui, merujuk rekomendasi tersebut RI, Presiden belum mengumumkan kepada masyarakat hasil temuan TPF Kasus Munir. Presiden juga belum membentuk Tim
Berita Kontras No.01/I-II/2007
14
JEJAK SANG PEJUANG
Kepresidenan. Padahal, DPR menilai kedua langkah tersebut sangat diperlukan sebagai bagian dari komitmen dan keseriusan Presiden untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang transparan dan akuntabel dalam pengungkapan kasus kematian Alm. Munir.
Sandyawan juga mengingatkan, jika pemerintah tak bisa memenuhi semua janjinya untuk menuntaskan kasus tersebut, kondisi seperti itu bisa saja dikategorikan sebagai bentuk kebohongan publik.
Sedangkan mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, Dengan demikian, kendala-kendala Asmara Nababan, juga mempertanyakan sikap penyelidikan karena keterbatasan otoritas DPR. DPR dinilai sama sekali tidak bersikap kritis institusi dan luasnya wilayah investigasi dapat dan terkesan mendiamkan saja sejumlah Kepergian Suciwati diatasi segera. Misalnya, kendala rekomendasinya yang tidak ditindaklanjuti oleh ke Australia tidak ada pengungkapan rekaman komunikasi antara pemerintah. Pollycarpus dengan mantan Deputi V BIN, tujuan untuk Muchdi PR melalui telepon di ruang kerja Suciwati ke Australia menjelekkan IndoneMuchdi PR. Pengungkapan ini penting sia di mata Perkembangan ini, membuat masyarakat sebab sistem komunikasi yang berlaku di Internasional internasional, kali ini sejumlah kalangan pegiat BIN adalah Direct Inward Dialing (DID). Yakni, HAM di Australia mempertanyakan kelanjutan tidak memungkinkan orang menghubungi penyelidikan. Atas inisiatif mereka, Suciwati langsung nomor anak yang berada di diundang untuk menjelaskan perkembangan ruang-ruang kerja BIN tanpa melalui nomor induk kecuali diberitahu atau diminta. Apalagi, bukti kasus kepada Parlemen Australia, mengingat beberapa anggota parlemen Australia menaruh perhatian pada kasus ini. Melalui ini tidak dibantah oleh keduanya dalam persidangan. kunjungan tersebut, para pegiat HAM di Australia berharap Atau kendala untuk mendapatkan bukti rekaman CCTV pemerintah Australia aktif mendukung upaya pengungkapan mengenai situasi saat Munir transit di Bandara Changi. Sejak konspirasi yang membunuh Munir pada 7 September 2004 lalu. dua tahun kasus ini terjadi, mestinya kerjasama bantuan hukum (Mutual Legal Assistance/MLA) antara Indonesia- Suciwati juga mengaku tidak merasa kepergian dirinya ke Singapura dapat diselesaikan dengan adanya koordinasi Australia bertujuan menjelekkan Indonesia dengan internasionalisasikan kasus Munir. penyelidikan yang melibatkan Dephukham dan Deplu. “Jangan sampai masyarakat menilai janji atau omongan Presiden Yudhoyono hanya upaya bergenit-genit mengulur waktu supaya masyarakat terkena apa yang disebut amnesia publik. Cara seperti itu sudah tidak laku lagi. Masyarakat sekarang sudah berpikiran kritis, “ ujar Romo Sandyawan, yang juga hadir dalam acara siaran pres ini.
Lepas dari apapun yang dihasilkan dalam kunjungan pada 21 Februari – 1 Maret 2007 tersebut, upaya ini harus dihargai. Hal ini menunjukkan meluasnya perhatian Internasional, setelah sebelumnya masyarakat ASEAN, Uni Eropa, AS dan sejumlah pejabat PBB pada tahun 2006 lalu.***
REKOMENDASI TIM KASUS MUNIR DPR RI
15
1.
Tim Kasus Munir DPR RI menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Presiden yang memiliki komitmen untuk mengungkapkan kasus meninggalnya Munir dengan membentuk TPF Kasus Munir. Dengan pembentukan TPF Kasus Munir diharapkan dapat diketahui motif pembunuhan terhadap Munir dan hasil TPF diharapkandapat menjadi dasar aparat penyidik untuk melakukan proses hukum lebih lanjut.
2.
Tim Kasus Munir DPR RI meminta Presiden untuk mengumumkan kepada masyarakat hasil-hasil temuan TPF Kasus Munir, sebagai bagian dari komitmen dan keseriusan Presiden untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang transparan dan akuntabel dalam pengungkapan kasus kematian almarhum Munir.
3.
Dalam rangka penegakan hukum dan upaya perlindungan terhadap HAM, Tim Kasus Munir DPR RI meminta kepada Presiden RI untuk mengambil langkah-langkah hukum dengan menjadikan hasil temuan TPF sebagai bukti-bukti awal untuk mengungkapkan para pelaku pembunuhan terhadap Munir dan motifnya.
4.
Bahwa untuk memperlihatkan komitmen, kesungguhan, dan keseriusan pemerintah dan penegak hukum mengungkapkan kasus kematian Munir, perlu segera dibentuk Tim Penyidik Independen yang berada di bawah supervisi Kapolri dan bertanggung jawab penuh kepada Presiden.
5.
Bahwa apabila dalam pengungkapan kasus kematian Munir ditemukan hambatanhambatan teknis karena terkait dengan hal-hal yang bersifat internasional, maka Tim Kasus Munir DPR RI meminta Kapolri dengan melakukan koordinasi dengan Menterimenteri terkait meminta bantuan lembaga-lembaga HAM internasional untuk bekerjasama dalam mengungkapkan secara tuntas kasus kematian Munir. Hal ini merupakan bagian dari komitmen Presiden RI untuk memajukan HAM baik pada level nasional maupun internasional.***
Berita Kontras No.01/I-II/2007
BERTIA DAERAH
Kasus Rumpin:
TNI-AU Main Tembak, Warga Mengungsi Tak banyak yang diminta warga kampung Sukamulya, Rumpin, Bogor, Jawa Barat. Mereka hanya ingin mencari nafkah dari tanah tempat mereka bergantung hidup selama ini. Namun, tanah tempat selama ini menjadi tumpuan hidup warga “diserobot” untuk pengerjaan Proyek Water Training, TNI-AU. Ironisnya, penyerobotan atas tanah ini juga diikuti dengan tindak kekerasan yang melampaui batas kemanusiaan. Hingga kini, peristiwa penembakan (22/01), dan tindak kekerasan yang dilakukan aparat TNI-AU terhadap warga kampung Sukamulya, Rumpin, Kabupaten Bogor, meninggalkan trauma dan luka yang dalam. Bahkan, sebagian besar warga masih mengalami ketakutan dan tidak berani pulang ke desanya. Akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI-AU di akhir Januari lalu, satu orang warga mengalami luka tembak di bagian leher, dua orang pingsan dan beberapa orang luka-luka serius sehingga harus dibawa ke RS di Jakarta. Dok.Kontras Penembakan sendiri terjadi sejak pukul 14.00WIB-16.00WIB dan menyebabkan warga lari ketakutan. Aparat TNI-AU juga menyerang warga dan merusak posko yang dibuat oleh warga.
seorang warga. Aksi kekerasan ini juga diikuti dengan penggeledahan rumah-rumah warga, penganiayaan, dan penangkapan secara brutal dan sewenang-wenang. Ironisnya, seolah tidak puas dengan “hasil” yang diraih, keesokkan harinya, pihak TNI-AU kembali mengerahkan personel tambahan. Pada hari itu, paling tidak dua rombongan yang masing-masing terdiri dari tiga truk militer penuh dengan aparat bersenjata lengkap, masuk ke lokasi kejadian. Tidak ada keterangan resmi dari pihak TNI-AU perihal tindakan show of force ini. Meski demikian, sudah bisa dipastikan, teror dan intimidasi adalah maksud paling utama di balik penambahan personel ini.
Setidaknya dua orang warga diseret paksa oleh personel TNI-AU ke lokasi sengketa Konflik antara warga dan TNI-AU ini atau yang oleh warga disebut “lokasi bermula dari rencana Lanud Atang proyek”. Saat melakukan penangkapan, Sandjaja yang hendak mengoperasikan kembali personel TNI-AU melakukan Pertemuan korban Rumpin dengan KSAU proyek Water Training diatas lahan milik penganiayaan. Tangis dari kerabat— masyarakat. Klaim sepihak dari TNI-AU khususnya perempuan dan anak-anak— ini telah menimbulkan keresahan warga dari warga yang diseret paksa itu Sukamulya sejak November tahun lalu. Sejak itu warga secara otomatis meledak. Namun, aparat malah tak mengubris tegas menyatakan penolakannya atas proyek yang tidak jelas sedikitpun tangisan warga ini. peruntukannya, dan telah mengabaikan hak-hak rakyat yang telah mengelola tanah ini secara turun temurun. Terhadap Personel TNI-AU juga melakukan beberapa penangkapan permasalahan ini, warga telah mengadukan persoalannya ke terhadap warga biasa tanpa latar belakang yang jelas. Umumnya, warga biasa yang tertangkap langsung Komnas HAM, BPN dan Departemen Pertahanan. diserahkan ke Mapolsek Rumpin. Sementara warga yang Sementara itu, kasus konflik pengambilalihan tanah antara tergolong tokoh masyarakat—atau “provokator” (versi TNIwarga oleh TNI-AU ini bukanlah yang pertama. Dalam catatan AU), biasanya diseret dulu ke lokasi proyek untuk dianiaya KontraS kasus serupa terjadi di Bojong Kemang-Bogor, Kuala sebelum akhirnya diserahkan ke Mapolsek, diantaranya Cece Namo-Sumut, Pattimura Laha (Ambon) dan terjadi pula di aktifis AGRA, Daryanto warga Perum Sekneg yang selama Papua. ini bersimpati dengan warga, dan H Amir tokoh masyarakat. Beberapa warga juga terus dicari-cari oleh aparat TNI-AU. Akan tetapi, TNI-AU tetap memaksakan untuk membangun Hal ini secara jelas terlihat, khususnya di rumah beberapa proyek ini. Sehari sebelum pasca penembakan (21/01), TNI-AU tokoh masyarakat yang rumahnya dikepung oleh beberapa tetap menurunkan dua truk PHH yang dibantu oleh kepolisian personel TNI-AU sepanjang hari. Sebagian warga kemudian Polres Bogor. Upaya ini digagalkan oleh 500 orang warga yang memilih untuk mencari perlindungan dan mengungsi di melakukan pengusiran terhadap pasukan tersebut. Namun, KontraS. protes warga atas pengambilahan tanah tersebut mendapat respon negatif dari aparat TNI-AU. Sejumlah aparat Situasi mencekam melemparkan batu ke arah warga. Tindakan yang dilakukan pihak TNI-AU di Desa Sukamulya, Tak berhenti hanya disini, personel TNI-AU melakukan Rumpin, Bogor ini tak ubahnya sebuah operasi militer dalam pemblokiran jalan masuk desa dan penyisiran untuk mencari rangka menumpas “musuh negara”. Ironisnya, operasi orang-orang yang dicurigai sebagai “provokator” bentrokan tersebut diarahkan untuk menakut-nakuti warga yang yang disertai dengan penembakan oleh aparat kepada salah sebenarnya merupakan bagian dari warga negara yang sah
Berita Kontras No.01/I-II/2007
16
BERITA DAERAH
dan dilindungi oleh konstitusi yang berlaku di negeri ini. Perampasan terhadap barang-barang berharga dan perusakan terhadap rumah, kendaraan, dan sarana lainnya semakin menunjukkan bobroknya moral personel TNI-AU. Karena situasi mencekam dan tidak menentu ini, sebagian warga terpaksa menyingkir dari rumah-rumahnya masingmasing. Tindakan ini membuka peluang bagi personel TNIAU untuk melakukan penjagaan pada hampir semua rumah yang ada, khususnya di Kampung Cibitung, Desa Sukamulya, Rumpin, Bogor. Sebagian warga yang tidak sempat menyingkir, umumnya perempuan, orang tua, dan anak-anak menjadi sasaran teror dari personel-personel TNI-AU. Menjelang malam hari, situasi menjadi semakin mencekam karena pada saat malam hari itulah personel TNI-AU mengintensifkan pencarian dan penangkapan terhadap warga yang dicurigai. Tindakan tanpa prikemanusiaan dari aparat personel TNIAU ini secara tegas, jelas, dan lugas, menunjukkan masih rendahnya penghargaan dari pimpinan TNI, khususnya TNIAU terhadap hak asasi manusia. Secara sengaja dan terangterangan, TNI AU telah menghina dan menginjak-injak hukum dan konstitusi yang memberikan perlindungan atas hak seluruh warga, termasuk warga yang bermukin di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Sangat jelas terlihat bahwa aparat TNI AU telah melakukan perbuatan melawan hukum serta penggunaan kekerasan secara berlebihan (excessive use of power). Sementara kepolisian telah dengan sengaja membiarkan (by ommission) pelanggaran HAM terjadi.
Hentikan kekerasan Upaya untuk menghentikan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh TNI AU, dilakukan KontraS bersama dengan organisasi pendamping lainnya dengan mendesak Mabes Polri (23/1), Komnas HAM (24/1), Fraksi PKS DPR RI (24/1), Komisi I DPR RI (24/1), FKB DPR (30/1), dan juga ketika bertemu dengan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Herman Prayitno di Mabes TNI AU di Cilangkap (30/1). Pada akhirnya sebuah janji diucapkan oleh KSAU, Marsekal TNI Herman Prayitno. Saat menerima 15 orang perwakilan Desa Sukamulya yang didampingi KontraS dan organisasi pendamping lainnya. KSAU berjanji akan menindak tegas aparatnya yang melakukan kekerasan terhadap warga Desa Sukamulya, Rumpin. “KSAU mengakui adanya tindakan kekerasan yang dlakukan anggotanya. Dia juga mengaku bersalah dan menyesalkan kejadian itu, “ ujar Koordinator KontraS Usman Hamid selesai menghadiri pertemuan itu. KSAU juga mengaku akan mengambil tanggungjawab pengobatan dan kerugian yang menimpa 16 orang yang mengalami penganiayaan, penembakan dan penangkapan. “KSAU juga berjanji akan menindak aparatnya dan menjamin seratus persen tidak akan ada tindakan sweeping oleh aparatnya, “ tambah Usman.
17
Berita Kontras No.01/I-II/2007
Lebih lanjut Usman mengatakan. KSAU juga telah memerintahkan jajaran TNI-AU untuk menghentikan sementara proyek pembangunan tempat pelatihan Detasemen Bravo Pasukan Khas TNI-AU selama penyelesaian sengketa dilakukan bersama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemda Bogor. KSAU juga siap jika kasus ini dibawa ke pengadilan dan siap melepaskan tanah jika kasus itu dimenangkan masyarakat. “Kedua belah pihak mengaku memiliki dasar yang kuat. TNI berhak atas tanah itu berdasarkan surat keputusan Panglima Angkatan Perang tahun 1950 atas tanah bekas pemerintahan Jepang termasuk surat dari Depdagri. Begitu juga versi warga yang memiliki tanah berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria dan Pemda Bogor , “ ujar Usman.
Kejanggalan sikap TNI-AU Sementara itu, Komisi I DPR-RI menemukan sejumlah kejanggalan sikap yang dilakukan TNI-AU. Hal ini diungkapkan oleh Suripto, salah satu dari lima anggota Komisi I DPR yang meninjau lokasi sengketa tanah tersebut, Selasa (30/01). “Kami melihat banyak kejanggalan dan bertentangan dengan keterangan Danlanud Atang Sendjaya, “ Ujar Suripto. Lebih lanjut Suripto menjelaskan, pada kunjungan ke pangkalan udara Atang Sendjaya, Danlanud ATS Marsekal Muda Ignatius Basuki, mengatakan tindakan represif yang dilakukan anggotanya kepada warga pada peristiwa bentrokan (22/01) lalu, didasari kelambanan polisi dalam bertindak. “Tapi setelah kami konfirmasi, ternyata Kapolsek Rumpin, AKP Ipik Kusmana, mengatakan polisi sudah ada di lokasi sejak awal, “ ujar Suripto. Kejanggalan lainnya, tanah yang kini digunakan sebagai tempat untuk pembangunan fasilitas water training jelas-jelas adalah tanah persawahan warga yang memang miliki mereka. “Jadi jelas tanah yang dipakai ini bukan punya TNI-AU, itu tanah garapan rakyat dan AURI telah mengklaimnya secara sepihak, “ tegas Suripto. Suripto mengaku menyimpulkan kepemilikan tanah setelah mendengarkan keterangan dari Camat Rumpin Dace Supriyadi dan Lurah Sukamulya, Suganda HM. “Bukti-bukti cukup kuat untuk memastikan tanah itu milik warga.” Keberadan pasukan bersenjata dengan perkemahan tentara juga merupakan bentuk kejanggalan lainnya yang dilakukan oleh TNI-AU. “Sikap seperti itu menunjukkan mereka siaga dan secara tidak langsung melakukan teror serta intimidasi pada warga, “ tegas Suripto. Sejumlah fakta yang ditemukan di lapangan akan dijadikan bahan masukan dan sumber telaah bagi Komisi I untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan kepada KSAU dalam rapat kerja. Kedatangan Komisi I DPR ke Rumpin merupakan reaksi atas desakan warga Sukamulya bersama KontraS dan organisasi lainnya agar para anggota DPR RI serius memperhatikan kasus sengketa tanah tersebut. Diantaranya yang datang ke lokasi yaitu Suripto, Muhammad Hatta (ketua rombongan), Andreas Pereira, Untung Wahono, dan Krisanti.***
BERITA DAERAH
Penyiksaan oleh Aparat Polisi Indonesia telah meratifikasi UU No. 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, jelas menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik yang dituangkan dalam UU No. 12 tahun 2005. Dalam prinsip-prinsip tersebut, bebas dari penyiksaan merupakan non derogable rights, yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi dan situasi apapun juga. Nyatanya, kondisi yang ada sangatlah bertolak belakang. Sejumlah kasus kekerasan, penganiayaan, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dilakukan dengan berbagai macam alasan. Pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi di sejumlah daerah. Dalam beberapa kasus, dengan dalih untuk mendapatkan informasi, aparat kepolisian merasa “layak” melakukan penyiksaan kepada para orang-orang yang dituduh kriminal. Padahal, semestinya mereka mendapatkan hak yang sama di hadapan hukum dan mendapatkan peradilan yang jujur (fair trial).
Sakit mental Di Medan, kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian telah menghilangkan nyawa seorang pemuda. Adit, seorang penyemir sepatu, tertangkap tangan melarikan sepeda motor yang terletak didalam sebuah showroom (6/12/2006). Setelah dilakukan pemeriksaan oleh kepolisian, Adit dinyatakan mengalami gangguan jiwa dan dirujuk ke dokter ahli jiwa. Keluarga juga meyakini Adit mengalami gangguan jiwa karena ia sering bicara tak jelas dan tampak kehilangan akal sehat setelah mengikuti sebuah aliran agama. Karena orang tua korban tak mampu membiayai pengobatan sendiri, maka pihak kepolisian membawa korban ke rumah sakit Brimob Medan yang biayanya dibebankan pada negara (28/12/2006). Ia dinyatakan harus menjalani 18 kali tahapan pemeriksaan dalam sel tahanan rumah sakit. Pada (11/01/2007), Adit dianiaya Andika, kawan sesama tahanan serta aparat yang menjaganya, bernama Briptu Y Simarmata. Adit dipukul, ditendang, diinjak dengan menggunakan tangan dan sepatu dinas. Ia dipaksa untuk berjalan jongkok dan merayap dalam keadaan telanjang. Ia juga mengalami pelecehan seksual. Akibatnya korban mengalami luka memar di ulu hati, pinggang, sekujur kaki dan tangan kiri, tulang kering kaki sebelah kanan, mata sebelah kiri, pangkal paha kanan dan kepala. Kepada keluarga, pihak kepolisian menyatakan bahwa Adit telah menghantamkan kepalanya ke dinding dan menyakiti tubuhnya sendiri karena “kumat”. Keluarga korban, dengan didampingi oleh Kontras Sumatera Utara telah melaporkan penganiayaan dan tindakan tidak memberikan perlindungan kepada masyarakat ke Propam Polda Sumut dengan No. Pol. STPL.07/01/I/2007/Propam tanggal 15 Januari 2007.
Diskriminasi kaum marjinal Tindak kekerasan dan penganiayaan lain juga menimpa Hartoyo (32 thn), seorang staf Yayasan Matahari, Aceh. Pada Senin (22/01/2006), saat ia dan “teman dekatnya” Bobby (bukan nama sebenarnya) sedang bermesraan di dalam rumah, tiba-tiba pintu kamarnya didobrak dan diikuti dengan suara gaduh. Dua orang masuk ke kamar, dan memukuli, menendang, menampar Hartoyo dan Bobby pada bagian wajah dan badan. Mereka juga merusak barangbarang yang ada di kamar kost. Masyarakat sekitar juga menghujat Hartoyo dan Bobby dengan kata-kata tak senonoh. Tak lama aparat polisi dari Kepolisian Sektor Bandar Raya, Banda Aceh, yang dipanggil masyarakat datang. Febri dan Bobby dibawa ke kantor polisi. Selama proses pemeriksaan, kembali Hartoyo dan Bobby harus menerima segala bentuk kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sejumlah aparat. Bahkan, saat mengakui bahwa mereka gay, bukan kekerasan fisik yang mereka dapatkan, namun juga perlakuan/pelecehan seksual yang sangat keji dan merendahkan martabat kemanusiaan. Bahkan di tengah malam buta setelah puas menghajar mereka berdua, aparat memandikan mereka dengan selang air. Esok harinya, teman-teman Hartoyo dari Yayasan Matahari, Hartoyo datang ke kantor polisi. Lantaran takut dan sangat trauma dengan semua kekerasan yang telah dialaminya selama mereka berada di dalam sel, mereka berdua tidak memperpanjang kasus tersebut. Hartoyo dan Bobby kemudian diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang juga disaksikan oleh Pak Keucik (Pak lurah). Korban didampingi YLBHI melaporkan penyiksaan yang dilakukan aparat Polsek Bandar Raya Aceh ke Mabes Polri.
Siksaan terhadap tahanan Sementara itu di Bali, KontraS menerima surat tembusan dari Law Office Daniar & Associates terkait tindakan penyiksaan terhadap Ni Ketut Suratni (Korban) yang dilakukan oleh Bripka I Made Wiguna dan Brigadir Erwin Suprayoga anggota Kepolisian Sektor Denpasar Timur. Pada (3/01), Ni Ketut Suratni ditangkap oleh anggota Kepolisian Sektor Denpasar Timur, karena diduga melakukan tindak pidana pemalsuan uang. Pada malam harinya, anak tersangka yang bernama Dede Ananta menemui tersangka dan melihat kondisi wajah tersangka menjadi lebam. Tersangka mengatakan bahwa dirinya dipukul pada bagian wajah dan punggungnya juga di injak oleh aparat, yakni Bripka I Made Wiguna dan Brigadir Erwin Suprayoga. Atas kejadian tersebut keluarga berulangkali berusaha untuk menemui Kapolsek Denpasar Timur untuk meminta pertanggungjawaban pelaku.
Berita Kontras No.01/I-II/2007
18
BERITA DAERAH
KontraS menilai bahwa sejumlah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian adalah tindakan pelanggaran HAM berupa penyiksaan (torture) yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang penegak hukum. Dalih apapun yang digunakan oleh aparat, apalagi dengan cara-cara kekerasan untuk mencari keterangan dari tersangka merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum, peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip hak asasi yang universal. Terhadap semua tindak kekerasan yang terjadi itu, KontraS mengirimkan surat kepada Kapolda Bali, Kapolda Aceh dan Kapolda Medan dan meminta untuk melakukan proses hukum dan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku penyiksaan,
mengingat jika hal ini dibiarkan akan menjadi preseden buruk dalam upaya mencari kebenaran. Terlebih terhadap kasus yang menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dialami oleh Adit di Medan. Para pejabat tinggi kepolisian, khususnya Kapolda di daerah masing-masing harus segera melakukan pemeriksaan dan penyelidikan atas pelanggaran HAM yang terjadi. Jika terbukti, aparat kepolisian harus memberikan sanksi pidana kepada pelaku dan tidak hanya sanksi yang bersifat administratif.. Sedang aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat seperti yang terjadi di Banda Aceh, tetap tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Tindakan ini juga mencerminkan rendahnya pemahaman hukum di mata masyarakat***
Refleksi Akhir Tahun 2006 KontraS Sumatera Utara
Politik HAM Pemerintah Sangat Rendah KontraS Sumatera Utara (Sumut), menyatakan bahwa penegakkan HAM sepanjang tahun 2006 sebagai tahun yang kelam bagi penegakkan HAM. Bentuk-bentuk kekerasan dan tindakan represif negara tercermin dalam kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang masih terus dipraktekan. Upaya negara memberikan perlindungan HAM kepada warganya tak mengalami kemajuan dan stagnan. Bahkan, penegakkan HAM semakin mundur ke belakang. Berbagai produk hukum beserta instrument dalam penegakkan HAM yang dikeluarkan negara tidak bisa menjadi jaminan rakyat mendapatkan hak-hak kodrati yang meliputi hak sipol dan ekosob. Dari data yang direkam KontraS Sumut sepanjang tahun 2006, tercatat 103 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara. Ditambah dengan kasus yang menimpa pembela HAM (Human Right Defender) sebanyak 30 kasus. Dari 133 kasus yang terjadi, tindakan penganiayaan menempati urutan teratas pelanggaran HAM disamping juga penembakan, penangkapan, penyiksaan, teror dan intimidasi, pembunuhan, dan perkosaan. Hal ini mengindikasikan negara masih mengabaikan HAM yang menjadi tanggung jawab penuhnya.
Intervensi politik Sementara itu, aparat kepolisian yang seharusnya menjadi pihak penegak hukum malah mendapat urutan tertinggi pelaku pelanggaran HAM. Regulasi yang dibuat negara dalam wujud undang-undang belum sepenuhnya efektif. Instrumen HAM yang dibentuk oleh negara masih mewakili kepentingan pelaku pelanggar HAM seperti Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan KKP. Sebagai badan
19
Berita Kontras No.01/I-II/2007
otonom negara, Komnas HAM tidak bisa menjadi badan yang menyidiki kasus-kasus pelanggaran HAM yang cukup tinggi di daerah. Kewenangan yang diberikan negara kepada Komnas HAM terasa setengah hati, terlihat dari pengajuan kasus pelanggaran HAM untuk sampai ke pengadilan, penuh dengan intervensi politik. Begitu pun Rencana Aksi Nasional HAM atau RANHAM yang telah dibentuk berdasarkan Kepres No. 129 tahun 1998 dan telah diperbaharui melalui Kepres No 61 Tahun 2003 tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menyidiki dugaan kasus pelanggaran HAM dan terkesan menghabiskan anggaran. Karenanya, KontraS Sumut meminta agar pemerintah segera membentuk Komisi Daerah HAM (Komda HAM), khususnya di Sumatera Utara, menyusul telah adanya pengadilan HAM di Medan. Badan ini bersifat independen dan akan bertanggung jawab terhadap pemerintah daerah dan berhak melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus pelanggaran HAM. Dengan adanya komisi ini pelanggaran HAM di Sumut tahun 2007 diharapkan akan dapat diminimalisir dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sedang untuk mendorong jaminan dan penegakkan HAM bagi masyarakat di Sumut yang telah terlalu sering diabaikan oleh pemerintah, KontraS Sumut mendesak agar segera mengamandemen UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan memasukkan pembentukan Komda HAM. Termasuk pula segera mengalokasikan anggaran dana penegakkan HAM dalam APBD Sumatera Utara. Dan, juga mengefektifkan RANHAM Sumatera Utara, meningkatkan profesionalitas Kepolisian secara fungsional. Terakhir, meminta pemerintah juga terus mengawasi secara serius penegakkan HAM di Sumatera Utara.**
REMPAH-REMPAH
Proses Seleksi Bakal Calon Anggota Komnas HAM:
Kualitas dan Integritas Balon Harus Diutamakan Saat ini dibutuhkan reformasi ditubuh Komnas HAM terkait dengan individu maupun kredibilitas organisasi. Pengumuman 70 nama calon anggota Komnas HAM merupakan langkah tepat. Tim seleksi Komnas HAM yang mengumumkan daftar itu didasarkan pada pemeriksaan administratif dan penilaian profil (pengalaman kerja, pengetahuan tentang hak asasi manusia dan sensitivitas tentang kemanusiaan), kiranya patut dipuji. Namun, sangat disayangkan, dari sejumlah nama yang lolos tim seleksi tidak jeli, dengan meloloskan nama calon yang telah melewati dua kali periode kepengurusan Komnas HAM. Padahal, dari evaluasi kinerja Komnas HAM, seleksi anggota baru Komnas HAM merupakan momentum bagi reformasi institusi Komnas HAM sendiri. Kelemahan regulasi UU No.39 tahun 1999 tentang HAM serta pelaksanaannya berpengaruh terhadap efektivitas kinerja Komnas HAM. Hal ini berkenaan dengan kinerja institusi dan komitmen personal, mekanisme internal yang berdampak pada turunnya kepercayaan publik. Komnas HAM juga kurang berhasil membangun sinergi kerjasama dengan institusi lain yang terkait. Berdasarkan catatan KontraS, komitmen personal anggota Komnas HAM menjadi satu permasalahan yang akut. Jumlah anggota yang banyak (23 orang), tidak diiringi dengan meningkatnya efektivitas Komnas HAM dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya. Banyaknya jumlah anggota ini justru menimbulkan pembengkakan anggaran belanja Komnas HAM. Tidak semua anggota Komnas HAM bekerja secara full time. Sementara permasalahan perspektif atas pengetahuan HAM yang tidak dimiliki oleh seluruh anggota telah menjadi penghambat dalam kerja-kerja Komnas HAM yang berakibat pada turunnya kepercayaan publik. Disamping itu UU HAM juga tidak memberikan Komnas HAM kewenangan yang penuh dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Yang diberikan hanya mengeluarkan rekomendasi, tetapi tidak dilengkapi dengan kewenangan memastikan dijalankannya rekomendasi tersebut. Komnas HAM misalnya tidak memiliki hak prosedural seperti legal standing, yang dapat digunakannya ketika rekomendasi yang dikeluarkannya tidak dijalankan. Kewenangan sub poena yang dimiliki Komnas HAM tidak aplikatif, karena harus melalui penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Akibatnya kewenangan tersebut tidak bisa efektif digunakan. Selain itu, Komnas HAM tidak secara proporsional menjalankan seluruh fungsinya. Komnas HAM lebih banyak mengerjakan fungsi penyuluhan yang tentunya berdampak pada alokasi anggaran yang juga besar. Dalam kurun 5 tahun kerja, Komnas HAM hanya menyelesaikan penyelidikan 4 buah kasus pelanggaran HAM berat, yaitu kasus Mei 1998, kasus Wasior, kasus Wamena dan kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Sejumlah kasus besar lainnya justru terhambat dalam mekanisme internal yang dibuat Komnas
HAM sendiri, berupa pemantauan sebelum dilakukannya penyelidikan. Akibatnya kasus-kasus inipun terbengkalai. Untuk itu momentum penentuan/seleksi dari calon anggota Komnas ini, bisa menjadi langkah awal reformasi insitusi Komnas HAM. Setelah berlaku hampir 10 tahun, UU HAM telah menimbulkan kesangsian dan kesimpangsiuran yang serius yang mengakibatkan tidak efektifnya UU ini mencapai tujuannya, dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Berdasarkan evaluasi KontraS, hal-hal yang penting untuk direvisi dari UU HAM ini adalah: (a) Jumlah anggota Komnas HAM : Jumlah 35 orang seperti yang diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tidak mencerminkan prinsip kemandirian institusi. Kinerja Komnas HAM harus dipandang dari integritas personal serta kualitas kerja dan bukan kuantitasnya. Komnas HAM dapat didukung oleh staf penunjang yang memiliki pemahaman dan pengetahuan HAM yang cukup dan kredibel, tanpa intervensi dari institusi negara. Dengan jumlah anggota yang sedikit, maka akan ada penghematan anggaran yang lebih banyak digunakan untuk mendukung pelaksanaan fungsi, peningkatan pelayanan. Kami memandang jumlah ideal anggota Komnas HAM adalah 11 orang, dengan jumlah pimpinan tiga (3) orang ditambah delapan (8) orang yang merepresentasi keempat fungsi Komnas HAM, dimana setiap fungsi diisi oleh dua (2) orang.2.
(b) Keseimbangan gender: Dua per tiga (2/3) dari jumlah anggota Komnas HAM tidak boleh hanya terdiri dari satu (1) gender. (c) Penguatan kewenangan sub poena : Hal ini dimaksudkan agar kerja Komnas HAM tidak digantungkan pada kewenangan Pengadilan Negeri. Sehingga jika ada seseorang yang telah dipanggil secara patut tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan Komnas HAM, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana dan denda. (d) Hak prosedural berupa legal standing: Hal ini berkaitan dengan rekomendasi-rekomendasi yang tidak dijalankan oleh lembaga lain. Demi lancarnya proses peradilan, Komnas HAM harus memiliki legal standing untuk melakukan gugatan perdata dan gugatan tata usaha negara atas pihak-pihak yang tidak menjalankan rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM. (e) Imunitas anggota dan staf Komnas HAM : Dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibanya, sesuai dengan prinsip “itikad baik” (good faith). Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kerja anggota dan staf. (f) Akuntabilitas kinerja: Perlunya aturan berkaitan dengan batas waktu laporan Komnas HAM untuk ditindaklanjuti, keputusan sidang rapat pleno yang harus dipublikasi, akses informasi yang terbuka dan transparan, khususnya kepada
Berita Kontras No.01/I-II/2007
20
REMPAH-REMPAH korban, serta pembentukan dewan etik Komnas HAM (bagi pelanggaran aturan dan mekanisme internal). (g) Sekretaris Jenderal: Untuk menjaga kemandirian dan berdasarkan Prinsip-prinsip Paris, keterlibatan pegawai negeri/pejabat pemerintah dalam sebuah komisi nasional HAM paling jauh adalah sebagai konsultan. Jadi, jabatan Sekretaris Jenderal tidak boleh dijabat oleh pegawai negeri sipil. Kami mengusulkan jabatan Sekretaris Jenderal diisi oleh salah satu pimpinan yang merupakan anggota Komnas HAM. (h) Perwakilan Komnas HAM: Idealnya yang perlu dibentuk adalah Komisi Daerah HAM, berdasarkan asas desentralisasi. Komda HAM dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah dan bersifat independen, memiliki akuntabilitas publik, menghormati dan menjamin pluralisme dan kesetaraan gender, non diskriminatif dan bekerja sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia. Sedangkan Hubungan koordinatif dengan Komnas HAM dapat dituangkan lebih lanjut dalam MoU.Berdasarkan hal tersebut di atas, KontraS meminta tim seleksi Komnas HAM untuk menetapkan 22 nama kandidat anggota Komnas HAM (sesuai butir 1). Termasuk, meminta DPR RI untuk melakukan amandemen terhadap UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia agar institusi Komnas HAM dapat bekerja lebih efektif.
Kurangnya minat tokoh Sementara itu kita mungkin agak sedikit prihatin, karena dari seluruh daftar nama yang masuk, terlihat kurangnya minat
dari tokoh-tokoh nasional yang memiliki pengaruh atau karisma untuk mencalonkan diri menjadi anggota Komnas HAM. Akibatnya para pendaftar lebih banyak didominasi oleh mereka yang sedang mencoba-coba meniti karir melalui Komnas HAM atau mereka yang ingin menjadikan Komnas HAM sebagai tempat bekerja paruh waktu setelah pensiun. Agaknya ada beberapa hal yang menyebabkan tidak tertariknya tokoh-tokoh nasional untuk menjadi anggota Komnas HAM. Hal atau faktor yang pertama, lantaran Komnas HAM dalam lima tahun ini belum mampu menjadikan dirinya pusat gerak atau tumpuan harapan dalam pemenuhan keadilan di bidang hak asasi manusia. Dengan kata lain Komnas HAM dalam lima tahun ini belum mampu berperan secara signifikan mempengaruhi proses politik dan hukum. Hal lainnya, Komnas HAM lima tahun ini juga belum mampu memciptakan citra sebagai lembaga yang memiliki pengaruh dan dihormati oleh institusi lain, bahkan cenderung berperan secara marjinal atau dipinggiran dalam proses kebijakan sosialpolitik. Bahkan, Komnas dalam lima tahun ini gagal pula memanfaatkan ruang demokrasi yang terbuka lebar, untuk lebih berperan dalam mewarnai proses pembuatan kebijakan politik dan hukum dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Dari persoalan tersebut hendaknya Pansel bisa membuka tahap baru, agar ada tokoh-tokoh yang lebih baik mencalonkan diri. Untuk hal ini Pansel bisa menempuh langkah persuasif dengan mendekati beberapa orang yang dianggap pantas menjadi anggota Komnas HAM, dimana orang tersebut nantinya mampu mengangkat citra Komnas di masa datang.***
Harapan Korban dan Keluarga Korban Sementara itu, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM bersama KontraS menyambut baik proses seleksi dan pemilihan calon anggota baru Komnas HAM periode 20072012. Namun berdasarkan pengalaman yang ada, korban dan keluarga korban, melihat bahwa selama ini Komnas HAM belum bekerja secara optimal dalam membela kepentingan korban pelanggaran HAM. Butuh waktu lama untuk mendesak Komnas HAM dapat mengambil keputusan tentang penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat. Itupun tidak semua kasus pelanggaran HAM berat yang akhirnya diselidiki. Proses penyelidikan menjadi tidak optimal karena sejumlah anggota Komnas HAM sibuk untuk melakukan pekerjaan lain di luar tugasnya. Padahal, seharusnya anggota Komnas HAM dapat bekerja penuh agar komitmennya tetap terjaga dalam memajukan HAM. Ironisnya lagi, tidak banyak anggota Komnas HAM yang bersedia menyediakan waktu untuk bertatap muka, mendengarkan harapan korban atau mendiskusikan perkembangan penyelidikan kasus. Padahal dibandingkan Komisi serupa di negara-negara lain, jumlah anggota Komnas HAM sudah cukup banyak.
21
Berita Kontras No.01/I-II/2007
Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, juga menaruh harapan besar kepada tim untuk bisa memulai reformasi internal Komnas HAM, dengan memilih calon yang kredibel, berpengalaman serta berpihak pada penegakan HAM. Sehingga ke depan Komnas HAM bisa bekerja sesuai harapan masyarakat Indonesia. Sementara, upaya pengantian anggota Komnas HAM merupakan momentum penting dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Namun, tidak cukup hanya berharap dari pergantian anggota lama ke anggota baru Komnas HAM. Dibutuhkan pula tindakan serius dari Presiden SBY dalam upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sedangkan Pansel harusnya lebih mengutamakan calon-calon anggota Komnas HAM yang memahami prinsip-prinsip dasar dan standar universal HAM dengan baik serta memiliki pengalaman dalam memperjuangkan HAM. Yang juga penting, calon anggota Komnas HAM tidak boleh berpihak. Keberpihakan ini sering disebabkan karena latarbelakang anggota yang memiliki hubungan dengan sebuah organisasi /institusi ataupun kelompok orang yang terlibat pelanggaran HAM. Rekam jejak setiap masing-masing calon harus dibuka secara transparan dalam persyaratan pemilihan calon anggota. ***
REMPAH-REMPAH
Tabligh Akbar Untuk Peringati 18 Tahun Peristiwa Talangsari Lampung Bulan Februari merupakan momentum bersejarah untuk korban dan keluarga korban peristiwa Talangsari Lampung. Memasuki bulan ini mengingatkan kita pada catatan kelam tragedi kemanusiaan yang terjadi 18 tahun lalu namun masih menyimpan fakta kebenaran yang terbungkam. Korban dan keluarga korban Talangsari belum memperoleh keadilan dan pemulihan dari negara. Hasil verifikasi terakhir disimpulkan, korban yang terdokumentasikan diantaranya; meninggal 47 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang – wenang 173 orang. Mereka yang masih hidup, hingga kini harus menerima berbagai dampak terutama lilitan kemiskinan, dan sebagian lagi harus memulai kehidupan dari nol karena harta bendanya dirampas dan musnah dibakar. Rata-rata dari korban hanya mengandalkan hasil bumi yang tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari- hari. Bahkan tidak sedikit dari mereka, terpaksa keluar dari desa untuk bekerja sebagai kuli kontrak dengan upah sangat rendah dan tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Sentuhan pembangunan nyaris tidak dirasakan warga Talangsari III. Hal ini terlihat dari minimnya sarana dan prasarana, seperti buruknya kondisi jalan masuk desa dan sangat sedikit rumah yang mampu mengakses listrik. Sedang rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka putus sekolah, buta huruf, seakan kian melengkapi derita yang ada diantara korban. Ditengah himpitan beban hidup yang semakin berat dan citacita keadilan yang masih jauh, sejak tahun 1999 hingga saat ini tidak putus-putusnya korban dan keluarga korban, melakukan berbagai upaya untuk mendorong penuntasan kasus ini.
Mempertahankan ingatan Memasuki usia yang ke 18 tahun, kasus ini tak akan lekang dimakan waktu dan senantiasa akan tertulis dalam lembar hitam sejarah Indonesia. Untuk mengenang dan terus menyegarkan ingatan publik, korban dan keluarga korban kembali memperingati kasus ini. Model acara yang diusung adalah Tabligh Akbar bertempat di lapangan Bola Sidoredjo Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Acara ini sekaligus menjadi kegiatan terbuka yang pertama kalinya digelar dimana melibatkan masyarakat di Lampung. Karena kondisi sebelumnya mendapat pengawasan ekstra ketat dari pihak keamanan. Peringatan ini tersusun dalam beberapa rangkaian kegiatan, diantaranya tanggal 5-6 Februari, melakukan road show media cetak dan elektronik di seluruh Lampung dan keesokkan harinya
(07/02) kegiatan dilanjutkan dengan road show mengundang beberapa organisasi masyarakat. Puncak peringatan pada (08/02), digelar Tabligh Akbar dengan penceramah KH. Komaruddin, sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam ceramahnya, KH Komarruddin menyampaikan dukungan dan simpati atas perjuangan korban Talangsari menggapai keadilan. Secara khusus dia mengajak semua umat yang hadir untuk mendoakan para korban yang meninggal agar diterima disisi Allah SWT dan bagi kita yang ditinggalkan agar mengikuti keteladanan nabi Muhammad SAW . Acara ini sendiri bertujuan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama, sekaligus meluaskan solidaritas dukungan pengungkapan kebenaran dan keadilan dibalik peristiwa Talangsari Lampung 1989 yang sudah mulai terlupakan. Perwakilan Pejabat daerah Kabupaten dan Propinsi di Lampung juga turut hadir, bahkan secara khusus pada acara pembuka perwakilan dari Komisi A DPRD TK I Propinsi Lampung Daironi Ali memberikan sambutan dan dukungan terhadap perjuangan korban dan keluarga korban Talangsari. Dia menyatakan “bahwa cerita kasus Talangsari harus sesuai dengan kebenaran”. Setelah Daironi Ali menyampaikan sambutannya, berikutnya Koordinator KontraS Usman Hamid juga diundang warga untuk memberikan sambutan. Secara khusus Usman menyampaikan “ bahwa masyarakat khususnya Lampung harus mengetahui bahwa ditengah-tengah kita ada korban Talangsari yang sampai saat ini masih berjuang memperoleh keadilan. Kita harus mendukung perjuangan mereka”. Usman juga sedikit mengilustrasikan perjalanan perjuangan korban Talangsari yang sudah dilakukan. Respon masyarakat cukup baik, terbukti dari antusiasme peserta yang menghadiri Tabligh Akbar lebih dari empat ribu orang. Karena dari empat ribu bangku yang disediakan oleh panitia, terisi penuh dan banyak juga peserta yang berdiri di belakang. Media cetak dan elektronik ditingkat lokal dan nasional juga hadir dan meliput acara ini.
Warisan paranoid Beberapa hari menjelang peringatan tidak seperti biasanya rumah Azwar Kaili (salah seorang korban Talangsari) mendapat pengawasan lebih dari aparat Polsek Sekampung
Berita Kontras No.01/I-II/2007
22
REMPAH-REMPAH Udik. Dirumah inilah segala persiapan oleh masyarakat setempat dilakukan. Namun pengawasan itu tidaklah sampai mengganggu persiapan bahkan masyarakat sangat kooperatif dan terbuka. Berlanjut pada malam hari menjelang peringatan, sekitar pukul 22.00 Wib beberapa aparat dari Polsek Sekampung Udik, Intelkam Polres Lampung Timur dan Koramil bersama– sama mendatangi kediaman Azwar Kaili yang tengah ramai oleh para tamu dan masyarakat sekitar yang sibuk mempersiapkan acara untuk esok hari. Dari kesimpulan pembicaraan kunjungan bapak-bapak aparat keamanan itu hanya “silaturahmi” dan memberikan saran “jangan ada unsur politis dalam acara Tabligh Akbar nanti”. Setelah pertemuan itu, pagi harinya secara khusus pak Amri mantan Lurah Sidorejo yang kebetulan juga pensiunan TNI, meminta Usman Hamid untuk tidak naik ke mimbar, alasan dia takut mengganggu ke khusukan acara Tabligh Akbar dan supaya tidak membuka kenangan lama tentang kasus Talangsari. Sikap Amri ini tidak terlepas dari tekanan yang Ia dapat dari pihak kepolisian maupun TNI yang tidak menghendaki diungkitnya peristiwa Talangsari itu.
Namun yang mengagetkan, justru seminggu setelah acara Tabligh Akbar digelar (15/02), dalam sebuah acara coffee morning di Hotel Sahid, Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Bambang S Gandhi menyatakan kepada media “Kasus Talangsari sudah ditutup dan siapapun yang membuka kembali kasus ini akan berhadapan dengan saya”. Ucapan dan cara–cara Danrem ini berarti pengingkaran terhadap proses hukum yang sedang dilakukan oleh Komnas HAM sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk oleh undangundang untuk menyelidiki setiap perkara pelanggaran HAM berat. Tidak semestinya ucapan itu keluar dari seorang aparat negara yang seharusnya memberi contoh bagaimana menghormati penegakkan hukum di negara hukum ini. Untuk itu, spirit dan solidaritas yang lahir dari peringatan tragedi kemanusiaan ini hendaknya dapat secepatnya menginspirasi penyelenggara negara agar tidak ragu mengungkap kebenaran dibalik peristiwa tragedi Talangsari Lampung dan memberikan hak-hak korban yang lama terampas.****
Danrem 043 Garuda Hitam Menutupi Kasus Talangsari KontraS sangat menyesalkan pernyataan Danrem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel (inf) Bambang Ghandi S. Karenanya, KontraS meminta Panglima TNI memberi teguran pada Danrem 043 Garuda Hitam Lampung yang telah memberi pernyataan di luar batas kewenangannya sebagai Danrem. Di harian Solo Pos edisi 16 Februari 2007 Bambang mengatakan bahwa “Kasus Talangsari sudah ditutup”. Bambang juga mengatakan “Meski kejadian (Talangsari 1989) bukan era saya, masalah tersebut sudah selesai dan yang mencoba mengungkit lagi akan berhadapan dengan saya” kata Bambang di hadapan peserta Coffee Morning, di Hotel Sahid Bandarlampung, Kamis (15/2).Menurut Kontras, pernyataan ini bernada teror dan ancaman ke saksi, korban, dan siapapun yang berupaya mengusut kasus Talangsari. Apalagi selama ini saksi dan korban kerap diintimidasi. Cara ini mengindikasikan bahwa upaya-upaya menghalang-halangi proses penyelidikan sampai saat ini masih dipertahankan. Pernyataan ini tidak sesuai dengan Keputusan Kepala Staf TNI AD mengenai Pedoman Prajurit TNI AD Dalam Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Skep/214/V/2000 tentang Pengesahan Berlakunya Buku Pedoman Prajurit TNI AD Dalam Penerapan HAM. Pernyataan ini mencerminkan sikap anti terhadap penegakan HAM sebagai bagian dari reformasi TNI.
23
Berita Kontras No.01/I-II/2007
Sekaligus membuktikan bahwa Danrem Garuda Hitam tidak mengerti komitmen Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto berjanji untuk mendukung HAM saat uji kelayakan dan kepatutan sebagai pejabat Panglima TNI di depan Komisi I DPR RI. Pernyataan tersebut jelas mengingkari proses hukum di Komnas HAM yang pada bulan Juni 2006 baru mengeluarkan laporan penyelidikan yang menyimpulkan adanya unsur pelanggaran HAM Berat dalam kasus Talangsari dan saat ini sedang dilakukan kajian hukum sebagai tahap lanjutan. Sementara, dalam proses penyelidikan tersebut, Danrem 043 Garuda Hitam Lampung juga tidak bersikap koorperatif dengan menolak permohonan Komnas HAM untuk memperoleh salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Danrem 043 beberapa kali beralasan bawah pihaknya tidak dapat membantu Komnas HAM karena sistem hukum di Indonesia tidak mengenal asas retroaktif. Karena itu Panglima TNI harus mengambil tindakan, bukan membiarkan. Panglima TNI juga layak memberikan teguran kepada Kolonel (inf) Bambang Ghandi S yang telah memberi pernyataan di luar batas kewenangannya sebagai Darem. Sikap semacam ini juga sangat berpotensi menghambat upaya Pemerintah dan Komnas HAM mengusut kasus Talangsari. Upaya ini penting demi menjaga profesionalitas TNI dalam kerangka supremasi sipil dan supremasi hukum sebagai pijakan utama Negara Kesatuan Republik Indonesia.***
REMPAH-REMPAH
Kelapa Dua Untuk Landung Kali ini kita kembali melihat bagaimana hukum dan keadilan dikendalikan. Seseorang yang telah jelas-jelas bersalah mendapat perlakuan bak layaknya anak emas oleh sang penegak hukum sendiri. Dengan dalil, demi keamanan sang terhukum, ia mendapat perlakuan beda dari para terhukum lainnya. Lalu dimana letak keadilan dan kebenaran itu sendiri ? Rasanya kita memang patut menyesalkan perlakuan “Istimewa” atas terpidana Suyitno Landung, mantan Kabareskrim Polri yang menjalankan vonis penjara di tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok. Mengapa? Karena jelas keputusan ini adalah keputusan yang cacat hukum. Suyitno sendiri terbukti bersalah karena terlibat dalam kasus Bank BNI. Keputusan yang telah diberikan kepada Suyitno Landung adalah jelas sebuah vonis yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana sistem hukum Indonesia menganut sistem pemasyarakatan. Karena itu seharusnya ia harus menjalankan masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan alasan pemenjaraan di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP) tidak dibenarkan dan praktek semacam ini memang pernah ada. Sehingga apa yang diberikan oleh Suyitno Landung selain jelas cacat hukum akan menjadi sebuah preseden buruk bagi masa yang akan datang. Sementara itu, alasan bahwa LP penuh, sulit diterima mengingat ada narapidana dengan kualifikasi kasus serupa yang baru masuk LP. Sedangkan alasan takut dianiaya masih bersifat abstrak, belum menjadi ancaman nyata.
Standar HAM Sebagai negara yang mengklaim punya komitmen besar atas HAM wajib memenuhi hak-hak narapidana sesuai dengan standar universal, Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, Basic Principles for the Treatment of Prisoners, dan Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment.
Kita juga menyesalkan sikap Kapolri, termasuk dengan tidak memberi sanksi administratif yang setimpal terhadap aparatnya yang terbukti bersalah. Seharusnya Kapolri tegas melawan korupsi ditubuhnya
Disisi lain, jika benar ada ancaman nyata berupa penganiayaan terhadap seorang narapidana, hal ini amat memalukan. Siapapun yang menjadi narapidana pasti enggan menjalankan hukuman. Jika itu benar, maka hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah untuk menjamin siapapun bebas dari kekerasan. Ini adalah cermin lemahnya sistim pemenjaraan dan pemasyarakatan. Kontras juga menilai, seorang yang sudah divonis menjadi narapidana, memiliki serangkaian hak-hak yang fundamental. Hak-hak itu wajib dilindungi dan dipenuhi negara, yaitu otoritas yang relevan, dalam hal ini Menhukham. Meski demikian, perlakuan terhadap seorang narapidana tidak boleh merupakan suatu praktek yang diskriminatif. Ini menciderai rasa keadilan publik. Kita juga menyesalkan sikap Kapolri, termasuk dengan tidak memberi sanksi administratif yang setimpal terhadap aparatnya yang terbukti bersalah. Seharusnya Kapolri tegas melawan korupsi ditubuhnya. Karena itulah intisari Pasal 7 Kode Etik Aparatur Penegak Hukum (Resolusi Majelis Umum 34/169 tahun 1979.
Ketiga standar HAM tersebut menyatakan seorang narapidana atau tahanan meski sebagian dari haknya dirampas/dibatasi (kebebasan untuk berpindah tempat/bepergian), namun ia masih memiliki sebagian dari hak-hak sipil-politik (khususnya atas nonderogable rights) dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (dari kesehatan, pakaian, berkomunikasi dengan orang lain, dan sebagainya).
Sementara, perlakuan khusus hanya bisa diterapkan untuk kondisi tertentu, pemisahan laki-laki dengan perempuan, orang dewasa dan anak-anak, pemisahan atas kategori kejahatan, atau pemisahan antara mereka yang sudah divonis dengan yang masih menjalankan proses persidangan. Namun serangkaian standar perlindungan HAM tersebut tidak boleh dijalankan atas dasar suatu praktek yang diskriminatif. Persoalan perlakuan diskriminatif inilah yang masih akut dalam sistem keadilan di Indonesia, yang masih belum bisa mengobati kepercayaan publik. Penundaan penahanan Suyitno Landung ke LP Cipinang hanya mengakumulasi praktek diskriminasi yang juga terjadi pada kasus penahanan dan remisi Tommy Soeharto. Tommy Soeharto –sebelum diberikan remisi- juga mendapat perlakukan istimewa di LP Batu, Nusakambangan. Sementara ingatan publik belum juga luntur membandingkan keistimewaan tersebut dengan perlakuan keji aparat hukum di negeri ini atas Raju, seorang bocah terdakwa kasus penganiayaan ringan di Langkat, Sumatra Utara. Raju yang saat itu berusia 9 tahun ditahan di Rumah Tahanan Pangkalan Brandan, bersama-sama dengan tahanan dewasa lainnya. Satu lagi cermin kotor dari peradilan dan hukum di negeri tercinta ini.***
Berita Kontras No.01/I-II/2007
24
REMPAH-REMPAH
Hakim Menolak Kompensasi Korban Tanjung Priok Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan penetapan eksekusi atas kompensasi korban tragedi Tanjung Priuk (28/02). Menurut hakim tunggal Martini Marjan, permohonan yang diajukan 13 korban dan keluarga korban atas tragedi September 1984 itu telah dibatalkan melalui putusan banding dan kasasi Mahkamah Agung pada (28/02/2006). Karena itu hakim mengatakan, permohonan tersebut tidak beralasan. Dok.Kontras
Putusan ini jelas melukai hati nurani kita. Karena, setelah 22 tahun berlalu, keadilan bagi k o r b a n peristiwa Tanjung Priok Sidang Kompensasi di PN Jak-Pus belum juga dipenuhi. Setelah Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung membebaskan Pranowo, RA Butar-Butar, Sriyanto, dan Sutrisno Mascung CS sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap peristiwa ini, hak-hak korban juga tidak dipenuhi. Putusan Pengadilan HAM Adhoc pada tahun 20 Agustus 2004 yang menetapkan negara harus memberikan kompensasi kepada 13 orang korban Tanjung Priok berupa kompensasi materil sejumlah Rp.658.000.000,- dan imateril sejumlah Rp.357.500.000,- tidak juga dipenuhi. Negara seolah tak peduli terhadap nasib para korban. Padahal, penderitaan tidak hanya menimpa kepada korban saja, tetapi keluarga korban pun terkena dampaknya. Terutama istri dan anak-anak yang harus merelakan suami atau ayahnya dipenjara, dihilangkan sampai saat ini belum kembali, cacat akibat disiksa, serta kehilangan tulang punggung keluarga. Tidak hanya itu, stigmasisasi dan perlakukan diskriminasi diterima oleh keluarga korban hingga saat ini. “Para korban, malah anak-anaknya tidak bisa sekolah, ijazah diambil petugas Kodim Jakarta Pusat. Jadi, mereka tak bisa bekerja. Karenanya, kehidupan mereka sangat sulit dengan ekonomi yang sangat seadanya, “ kata Abdul Basyir, salah satu saksi dalam sidang pertama kompensasi kasus Priuk, di Pengadilan Negeri Jakarta, Rabu (21/2). Menurut Basyir yang kenal dengan semua korban dan keluarganya itu, penilaian diskriminatif terhadap mereka yang terkait diskriminatif terhadap mereka yang terkait peristiwa Tanjungg Priuk. “Mereka malah dicap seperti PKI (Partai Komunis Indonesia-red).” Bahkan, tak hanya kesulitan soal pekerjaan, sekolah, dan kehidupan yang layak, para korban dan ahli warisnya juga tidak mendapatkan jaminan kesehatan bagi orang miskin. Sementara apa yang diajukan oleh korban juga didasarkan pada kewajiban konstitusional negara untuk memenuhi hakhak korban pelanggaran HAM yang juga dijamin oleh prinsipprinsip internasional. Jaminan pemenuhan hak-hak korban ini diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia, Kovenan Hak-
25
Berita Kontras No.01/I-II/2007
hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi tentang Hak Anak, Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasinal, Konvensi Penghilangan Paksa serta Basic Principles and Guidelines on The Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of Ienternational Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law. Terlebih, sejak 2005 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta menjadi anggota Dewan HAM PBB pada 2006. Hal ini menunjukkan bahwa negara terikat secara penuh untuk menjalankan kewajiban asasi dalam penghormatan dan pemenuhan HAM, sesuai janji yang dikumandangkan selama ini.
Mengajukan kasasi Karenanya, putusan menolak pengajuan kompensasi korban Priuk yang telah dikeluarkan oleh hakim tunggal Martini Marja itu jelas membuat korban sangat kecewa. “Tidak punya hati nurani”, ungkapan kekecewaan pun diteriakan para korban. Putusan ini bagi korban menunjukkan pemerintah tidak punya rasa keadilan. Aminatun Najariyah, korban lainnya yang pernah dipenjara karena kasus Priuk, mengatakan kerugian imateriil yang dideritanya sangat besar. Dia mengatakan pernah hampir menjadi gila dan harus membayar semua biaya perawatan sendiri. “Saya dikucilkan oleh masyarakat, kemudian dicap PKI, “ujarnya. Sedangkan kuasa hukum para korban, Haris Azhar, mengatakan putusan tersebut tidak mempertimbangkan faktor kemanusiaan dan kerugian yang diderita korban. “Seharusnya yang dipertimbangkan kerugian ekonomi dan sosial para korban, “ ujar Haris. Untuk itu, mereka akan mengajukan kasasi atas putusan hakim ini. “Tidak menutup kemungkinan kita juga akan mengajukan secara perdata kepada pemerintah karena melakukan perbuatan melawan hukum, “ tambah Haris. Sekali lagi sebuah pengadilan bak dagelan yang melukai hati para korban, dan hati kita semua dipertontonkan. Padahal, tidak ada alasan bagi Negara untuk mengabaikan pemulihan atas hakhak korban Tanjung Priok 1984. Penderitaan yang sudah berkepanjangan harus diakhiri, salah satunya dengan memenuhi kompensasi. Seharusnya, Pengadilan Negeri menetapkan sebuah keputusan yang mewajibkan negara memberikan kompensasi kepada keluarga korban. Namun, sekali lagi kita melihat bagaimana buruknya keadilan dan cermin dari hukum yang menunjukkan bahwa negara memang tidak mau berubah. Negara kembali mematikan keadilan untuk rakyatnya***
REMPAH-REMPAH
Mandegnya Implementasi UU-PSK Meski-pun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU-PSK), yang diundangkan pada 11 Agustus 2006. Namun secara formal, undang-undang inipun juga tidak maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban karena masih bolong disana sini. Jangan heran. Karena, perjalanan lahirnya undangundang ini–pun begitu alot dan terkesan hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ditambah proses pembahasannya yang sempat mandeg di DPR sekitar lima tahun. Sementara itu, UU PSK juga telah mengamanatkan lima produk hukum untuk segera disiapkan Pemerintah dan Presiden. Aturan hukum itu adalah dua Peraturan Presiden (Perpres), yaitu Perpres mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Perpres mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat LPSK. Selain itu, pemerintah dalam hal ini Departemen Hukum HAM, juga harus menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK, PP mengenai kelayakan serta jangka waktu dan besaran biaya, dan PP mengenai pemberian kompensasi dan restitusi. Selain yang diamanatkan oleh UU PSK, hal penting yang juga harus disiapkan oleh pemerintah adalah cetak biru (blue print) tentang kelembagaan LPSK. Adanya blue print ini menjadi penting karena pengaturan mengenai kelembagaan dari LPSK dalam UU PSK sendiri sangat umum. UU PSK hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK, keanggotaan dan proses seleksi LPSK, dan pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak mengatur secara spesifik mengenai organisasi dan dukungan kelembagaan, administrasi, SDM, pengawasan, serta tranparansi dan akuntabilitas dari LPSK. Tidak kalah pentingnya, perlu sosialisasi tentang UU PSK serta LPSK itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, meskipun telah diundangkan, tidak banyak publik maupun kalangan praktisi dan penegak hukum mengetahui subtansi dari UU PSK dan seperti apa lembaga yang akan bertanggung jawab atas pemberian perlindungan saksi dan korban. Padahal, sosialisasi ini penting agar masyarakat, khususnya yang menjadi saksi dan korban suatu perkara, dapat mengetahui hak-hak yang dimiiliki, bentuk perlindungan yang diberikan dan prosedur pelaporannya kepada LPSK.
Tak ada perkembangan Enam bulan sejak diundangkannya UU PSK belum ada tanda, bahwa semua tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah sudah diselesaikan. Upaya pemerintah untuk mensosialisasikan UU PSK dan juga dua Rancangan PP soal PSK atau blue print LPSK nyaris tak terdengar. Padahal, keterlibatan publik akan memberikan pengaruh yang besar bagi berhasil tidaknya program PSK. Selain itu, belum terdapat kejelasan untuk proses seleksi anggota LPSK. Hingga saat ini, Departemen Hukum dan HAM baru sampai pada tahap merekomendasikan lima nama anggota panitia seleksi. Calon anggota pansel tersebut terdiri dari unsur pemerintah (Harkristusti Harkrisnowo, Abdul Wahid) dan
masyarakat (Teten Masduki, Rita Serena Kalibonso dan Indriyanto Seno Adji). Meskipun nama-nama tersebut telah diserahkan kepada Presiden, namun Perpres mengenai Panitia Seleksi hingga saat ini belum juga diterbitkan. Artinya, pemerintah belum menyadari peran vital LPSK dalam pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan korban. Sementara itu, isu krusial lain yang patut untuk dikritisi adanya upaya untuk melakukan pembatasan terhadap saksi dalam Rancangan Undang-Undang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah. Di satu sisi, RUU Tipikor telah memberikan perlindungan (hukum) bagi saksi/pelapor perkara korupsi dengan cara menghapuskan penuntutan atau dapat mengurangi jumlah tuntutan pidana bagi saksi yang membantu mengungkapkan suatu perkara korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 36 (1) Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan Saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut. (2) Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupso dapat dikurangi pidananya. Namun disisi lain, UU Tipikor justru memberikan ancaman bagi saksi dalam perkara korupsi. Dalam Pasal 13 baru, disebutkan bahwa “ Setiap orang yang dengan sengaja membuat laporan palsu tentang seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun”. Pengertian setiap orang disini merujuk kepada saksi atau pelapor perkara korupsi. Meskipun perlu ada ganjaran terhadap pihak-pihak yang memberikan laporan palsu, ketentuan ini akan membuka peluang penyalahgunaan dan menjadi senjata baru bagi koruptor untuk melakukan kriminalisasi terhadap setiap orang (saksi atau pelapor) yang berupaya mengungkapkan suatu tindak pidana korupsi. Lepas dari benar atau tidaknya laporan yang dibuat, koruptor dapat membungkam saksi atau pelapor dengan melakukan serangan balik (corruption fight back). Karenanya, munculnya pasal 13 RUU Tipikor, di khawatirkan juga akan menjadi tekanan secara psikologis (shock) terhadap saksi atau pelapor yang memiliki itikad baik untuk melaporkan suatu tindak pidana korupsi. Padahal dalam prakteknya, tanpa adanya ketentuan Pasal 13 UU Tipokor ini pun, aparat penegak hukum lebih memprioritaskan pemeriksaan pada perkara laporan balik terlapor yang diduga korupsi, daripada melakukan pemeriksaan terhadap dugaan korupsi yang dilaporkan, dengan dalih pasal-pasal dalam KUHP. Celakanya saksi atau pelapor seringkali menjadi pihak yang selalu dikalahkan oleh pengadilan. Sedangkan perkara
Berita Kontras No.01/I-II/2007
26
REMPAH-REMPAH korupsinya terkatung-katung di Kejaksaan atau Kepolisian. Dalam catatan ICW, sedikitnya terdapat 22 kasus dimana saksi/pelapor perkara korupsi telah dikriminalisasi karena diadukan pencemaran nama baik atau pencurian dokumen. Akibat kriminalisasi tersebut, banyak saksi atau pelapor lainnya menjadi enggan atau takut untuk memberikan laporan. Karena itu, sebaiknya pasal 13 dalam RUU Tipikor tersebut di cabut. Karenanya, KPS mendesak kepada negara, dalam hal ini pemerintah untuk serius dalam melindungi saksi dan korban. Koalisi juga meminta Presiden untuk segera mengeluarkan Perpres tentang Pembentukan Panitia seleksi
anggota LPSK, agar lembaga ini bisa terbentuk sesuai amanat UU PSK paling lambat (11/08/2007). Koalisi juga meminta pemerintah untuk melakukan sosialisasi terhadap aparat penegak hukum dan masyarakat luas menegnai keberadaan UU PSK ini. Disamping itu, pemerintah dalam hal ini Tim Penyusun RUU Tipikor dapat menghapus ketentuan mengenai kriminalisasi bagi saksi/pelapor dalam Pasal 13 RUU Tipikor. Selain bertentangan dengan semangat UU PSK dan mematikan peran serta masyarakat, ketentuan yang memberikan pengancaman bagi saksi/korban akan menghambat percepatan pemberantasan korupsi. ***
SBY Kalut Menghadapi Isue Cabut Madat Pemerintahan sekarang, khususnya Presiden SBY-Wapres JK, agaknya belum bisa bersikap “dewasa” menyikapi kritik elit lama militer. Padahal sikap ini diperlukan agar pemerintah tidak semakin kehilangan wibawa, dan untuk mencegah upaya menyesatkan agenda politik negara. Lihat saja, sikap Presiden yang paska aksi unjuk rasa yang mengusung gerakan Cabut Mandat SBY-JK yang terjadi pada 15 Januari lalu. Aksi unjuk rasa yang diikuti ratusan orang ini dipimpin oleh Tokoh Malari Hariman Siregar. Diantara peserta aksi ini terlihat pula budayawan WS Rendra, dan mantan anggota FPDIP DPR Julius Usman. Sehari setelah aksi Cabut Mandat SBY-JK tersebut(16/01), para jenderal purnawirawan TNI berkumpul di Panti Prajurit Balai Sudirman. Dalam acara yang terkesan mendadak itu antara lain dihadiri mantan wapres Try Sutrisno, empat orang mantan KSAD Ryamizard Rycudu, Subaygo HS, Tyasno Sudarto, dan Wismoyo Arismundar. Sedangkan Presiden SBY mengutus Menko PolhukamWidodo AS dan Kepala Badan IntelijenNasional (BIN) Syamsir Siregar menghadiri pertemuan itu. Berbagai kalangan saat itu menyebut SBY melalui dua utusannya itu sengaja ingin mengetahui bagaimana aspirasi para jenderal. Langkah Pemerintah yang mengadakan pertemuan dengan sejumlah purnawirawan di Balai Sudirman (16/1) sangatlah patut untuk disesalkan. Sikap dua petinggi mantan militer itu (Menteri Polhukkam dan Kepala BIN), malah menampilkan kepanikan dan wajah feodal pemerintah di hadapan purnawirawan. Padahal SBY adalah Presiden RI yang bukan lagi reprensentasi TNI. Sementara itu ketidakmampuan pemerintah mengambil jarak dengan elit lama militer, menjebaknya dalam permainan politik elit-elit lama. Padahal, pemerintah seharusnya introspeksi. Kemunculan elit-elit lama militer adalah buah dari pemberian impunity negara atas kasus pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu juga karena jatuhnya prestise pemerintah dan partai politik dalam mengatasi korupsi dan adanya anggapan bahwa pemerintah menjual aset bangsanya kepada asing.
27
Berita Kontras No.01/I-II/2007
Bukan hanya pemerintah dalam arti kabinet SBY -JK, tapi juga akibat dari kegagalan elit-elit baru pasca 1998 menjalankan agenda reformasi dan membuat mereka jadi kompetitor baru. Sisi lain, kondisi ini secara tidak langsung menjadi sebuah petunjuk masih kuatnya libido politik elit-elit militer lama dan ambisi mempertahankan ’keistimewaan’. Petunjuk gagalnya reformasi TNI mengubah watak politik tentara dan belum seriusnya elit-elit militer meninggalkan mentalitas dwifungsi.
Tanpa pandang bulu Saat ini, pemerintah seharusnya segera melakukan langkah konkrit lewat penegakan HAM tanpa pandang bulu guna mengakhiri politik opportunis yang dimainkan para purnawirawan itu. Termasuk pengakhiri persetujuan diamdiam pemerintah selama ini terhadap pembangkangan oleh TNI ketika para perwira dan purnawirawannya hendak diperiksa oleh Komnas HAM. Presiden juga harus memprioritaskan masalah kesenjangan komunikasi dengan rakyat, khususnya para korban pelanggaran HAM yang selama puluhan tahun diabaikan hakhaknya. Elitisme pemerintah, malah membuat jarak antara pemerintah bertanggungjawab atas pelanggaran HAM. Jika tidak, menipisnya kepercayaan rakyat dapat berimplikasi lebih luas. Untuk itu, Presiden SBY sebaiknya segera membuat kebijakan progresif bagi percepatan pemulihan hak-hak korban, mendorong Jaksa Agung bekerja profesional guna menuntaskan pelanggaran HAM yang harus dipertanggungjawab para purnawirawan. Setidaknya kasus tersebut seperti kasus Priok, Timor Timur, Trisakti-Semanggi, peredaran uang palsu, pembunuhan Munir dan senjata illegal tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan para purnawirawan tersebut. Sementara guna mengefektifkan langkah ini, Presiden harus mengkoordinasikan kerja-kerja penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan DPR dan Komnas HAM. Bukan dengan mengirim utusan petinggi pemerintah yang mantan militer. ***
REMPAH-REMPAH Penelitian Human Rights Watch (HRW):
Bisnis Militer Hambat Penegakan HAM Lambatnya langkah Pemerintah, khususnya Presiden SBY menerbitkan Perpres pelaksanaan UU No.34/2004 tentang TNI kian mempersulit upaya penghapusan bisnis militer sesuai target, 2009. Padahal, selain akan menghambat reformasi TNI, kondisi ini menghambat pula upaya penegakan HAM. Di sisi lain lambatnya penghapusan bisnis militer sama saja dengan membiarkan terus terjadinya pelanggaran HAM. Lihat saja hasil laporan HRW yang berjudul “Harga Selangit Hak Asasi Manusia Sebagai Ongkos Kegiatan Ekonomi Pihak Militer Indonesia”, jadi sebuah contoh bagaimana pelanggaran HAM jadi ongkos yang besar bagi keberlangsungan bisnis militer. Contoh lain, investasi militer di Kalimantan Timur yang memperlihatkan kertelibatab militer dalam bisnis di sektor kehutanan, penambangan batu-bara di Kalsel, perebutan kekuasaan di Binjai, Sumut, dan korupsi militer di Aceh. Karenanya, dengan makin lama Pemerintah menerbitkan Perpres, akan semakin sulit menarik militer dari bisnis. Maka, kian sulit juga menariknya dari keterlibatan kasus pelanggaran HAM. Dari catatan KontraS, setidaknya ada lima wilayah pelanggaran HAM selama Orde Baru, pelanggaran HAM yang terjadi karena kebutuhan bisnis militer, pelanggaran HAM yang terjadi sebagai produk dari penjagaan konsep pertumbuhan ekonomi Orde baru, pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah tuntutan kemerdekaan, pelanggaran HAM sebagai produk dari kebutuhan memonopoli sistem nilai lewat ideologi tunggal dan terakhir, pelanggaran HAM sebagai alat pengendalian dan pembungkaman kelompok pro demokrasi.
Gugurnya alasan pembenaran Sementara itu, penelitian HRW juga berhasil menggugurkan alasan pembenar bagi praktek bisnis militer di Indonesia. Bahkan alasan yang ada ternyata hanya mitos belaka. Tidak benarlah bahwa bisnis militer dilakukan karena anggaran resmi pemerintah hanya cukup untuk memenuhi sebagian kecil kebutuhan militer. Tidak benar pula, bisnis militer menciptakan pendapatan yang sebagian besarnya untuk mengisi kesenjangan anggaran. Dan alasa lain yang mengatakan bahwa keuntungankeuntungan dari bisnis-bisnis militer sebagian besar digunakan bagi kesejahteraan pasukan-pasukan tentara. Dijelaskan pula bahwa selama ini pembiayaan yang dialokasikan pemerintah hanya mampu meng-cover sebagian kecil kebutuhan TNI dimana Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI menggambarkan bahwa seluruh pembiayaan yang dibutuhkan TNI tidak pernah dapat dipenuhi negara dengan maksimal. Angka yang ada selalu berkisar 25-30 % dari total budget yang bisa dipenuhi negara, dan dari nilai tersebut sekitar 70 % terserap untuk pembiayaan prajurit dan overhead kantor. Selebihnya habis untuk pembiayaan perawatan peralatan dan fasilitas militer. Karena itulah, TNI berinisiatif memenuhinya dengan mencari sumber-sumber pemasukan lain melalui bisnis.
Namun faktanya, dengan minimnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan TNI dapat dicurigai bahwa statistik yang disampaikan bukanlah angka yang sebenarnya. Disamping tidak pernah pula diungkap sumbersumber pembiayaan pemerintah lainnya di luar anggaran pertahanan. Misalnya dana-dana non-budgeter untuk keamanan (pemilu, even internasional, dan lainnya), danadana operasi militer dan dana-dana penanganan bencana alam, dan dana lainnya. Pembiayaan militer dari sumbersumber alternatif seperti barter dan kredit eksport atau danadana subsidi pemerintah. Sebagai contoh, kredit ekspor yang digunakan untuk pengadaan peralatan militer bernilai total US$ 160 juta pada tahun 2002, US$ 448 juta pada tahun 2003 dan US$ 449 juta pada tahun 2004. Sementara, statistik yang disampaikan pejabat militer, juga tidak menyebutkan sumber-sumber pembiayaan dari perusahaan-perusahaan yang mengunakan jasa keamanan TNI. Bantuan-bantuan militer luar negeri, meskipun berupa gratis, subsidi atau dukungan peralatan patut pula dianggap sebagai sumber pembiayaan TNI diluar budget pertahanan atau income tambahan.
Kesenjangan pembiayaan militer Bisnis militer sangat signifikan mengatasi kesenjangan pembiayaan militer. Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh bisnis militer berjalan dan menguntungkan. Nyatanya, militer malah menjalankan berbagai cara bisnis, legal maupun ilegal. Bahkan, untuk mencari pembiayaan, muncul pula keinginan untuk mencari keuntungan sendiri. Akibatnya, dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi yang diberikan sangat tidak signifikan mengatasi kebutuhan di luar budget. Seringkali tidak diketahui dengan pasti, berapa besar keuntungan yang diperoleh. Sedangkan dalam kolaborasi bisnis militer, misalnya pada bisnis keamanan, biasanya kalangan militer menerima bayaran yang cukup besar. Kerap pula tambahan pembelian pembiayaan kantor juga dikorupsi. Bisnis-bisnis ilegal biasanya menghasilkan keuntungan lebih besar, tapi tidak pernah ada perkiraan keuntungan yang dinyatakan terbuka. Dalam beberapa kasus, prajurit atau perwira militer yang berbisnis juga memberikan setoran kepada rangkaian “posisi penting” di atasnya atau mereka yang “mendukung” kegiatan bisnis tersebut. Disamping itu, bisnis-bisnis militer sebagian besar juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. Prajurit militer sejauh ini memang tidak mendapatkan
Berita Kontras No.01/I-II/2007
28
REMPAH-REMPAH
penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keluarganya. Gaji bulanan yang diterima prajurit dimulai dari Rp. 650.000,- (sekitar US$ 70) untuk level terendah dan Rp. 2 juta (sekitar US$ 220) untuk level senior. Prajurit-prajurit dapat saja menerima tambahan penghasilan, namun harus berjuang untuk mendapatkannya, dengan mendukung pelibatan atasannya dalam berbisnis. Tidak aneh jika ada pandangan bahwa atasan yang sukses adalah yang mampu mensejahterakan unit-unit dan prajurit di bawahnya. Argumen ini jelas sulit untuk dibenarkan meskipun dengan alasan sosial. Mengingat, program semacam ini juga sebuah tindakan korupsi. Dalam kasus-kasus yayasan yang ditujukan memberikan kesejahteraan berupa rupiah,
asuransi kesehatan, pendidikan, dan pensiun untuk janda dan anak-anak yatim TNI, umumnya tidak berjalan. Yang mendapatkan keuntungan justru adalah para pensiunan militer yang terlibat, dan itu pun tidak mengikuti sistem yang formal ditetapkan institusi. Dalam kasus lain, para komandan justru leluasa, menggunakan keputusannya dalam hal penggunaan keuntungan, tanpa pencatatan. Penelitian ini menunjukan bahwa bisnis kalangan bersenjata justru mengakibatkan ongkos ekonomi-politik dan Hak Asasi Manusia yang sangat mahal. Praktek-praktek bisnis militer yang demikian itu berkontribusi terhadap lunturnya profesionalisme, meningkatnya kekerasan militer, dan sulitnya TNI tunduk pada otoritas politik sipil. Penelitian HRW sekali lagi mempertegas, betapa seriusnya masalah bisnis militer di Indonesia sampai dengan hari ini.***
Lagi, Bentrokan Aparat Sejumlah anggota Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Papua terlibat pertikaian dengan prajurit Batalion Infanteri 753 Komando Daerah Militer XVII Trikora di Mulai, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Dalam baku tembak siang itu (13/02), seorang anggota Brimob tewas tertembak.
Sekitar pukul 12.30 WIT, baku tembak berhasil dihentikan. Anggota Brimob dan TNI ditarik ke markas masing-masing. Saat itu Bripda Yoseph Klyombar ditemukan tergeletak bersimbah darah di depan kantor bupati dan akhirnya meninggal di RSUD Mulia.
Insiden yang melibatkan anggota Brimob dan prajurit TNI itu bermula dari antrean di pangkalan minyak tanah di Mulia, pagi hari itu. Dalam antrean itu tiga anggota Brimob mengantre minyak tanah, yang kebetulan dijaga oleh anggota TNI.
Periksa sampai level komandan
Setelah lama antre dan tiba gilirannya, si penjaga mengatakan minyak tanah habis. Namun, tiga polisi itu mendapat informasi bahwa drum minyak tanah yang disebut habis sebenarnya masih berisi. Merasa dipermainkan, anggota Brimob kemudian menegur anggota TNI yang menjaga. Perang mulut tak terhindari hingga akhirnya terjadi baku tembak. Pertikaian itu sempat didamaikan, tetapi sekitar pukul 11.30 WIT kesalahpahaman kembali terjadi. Adu mulut antara personel Brimob dan prajurit TNI terjadi di tiga tempat, antara lain di dekat Pos Keamanan TNI di Mulia dan Kantor Bupati Puncak Jaya. Menurut Penjabat Bupati Puncak Jaya Robert Kristantus, suara tembakan bersahutan terdengar sekitar satu jam. “Selama itu, pengawai kantor yang ketakutan bertahan di kantor. Masyarakat juga bersembunyi menghindari peluru nyasar, “ kata Robert. Sejumlah warga di Mulia menuturkan, dua kelompok personel aparat keamanan itu baku tembak dalam jarak terpisah sekitar 100 meter. Tidak ada bangunan yang rusak akibat insiden itu, namun beberapa peluru mengenai mobil Kepala Bagian Opreasi Polres Puncak Jaya Ajun Komisaris Rudy Beay.
29
Berita Kontras No.01/I-II/2007
KontraS sendiri menilai bahwa bentrok antara oknum TNI dan Polri seperti ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, dalam tempo kurang dari satu setengah bulan pada tahun 2007, sudah tiga kali bentrok berdarah antara kedua korps aparat ini.”Adanya berbagai bentrok dengan motif beragam itu menunjukkan ada masalah dengan moral dan mental, “ kata Kabiro Litbang KontraS, Edwin Partogi. Menurut Edwin, tiga kejadian pada 2007 menabah panjang daftar bentrok TNI-Polri. Pada 2006 terjadi 11 kali bentrok dengan korban tewas empat orang dan 13 terluka. Bentrok pertama pada (28/01/2006) di Manado, Sulawesi Utara. Korbannya Serda Ferly Ahmad, bintara penjinak bahan peledak Denzipur-4 Kodam VII/Wirabuana. Peristiwa itu dipicu serempetan dengan truk dinas UPS Polresta Manado. Lalu disusul peristiwa (8/08/2006). “Untuk memutus kekerasan begini, yang ditindak seharusnya bukan hanya korban, tapi soal penyalahgunaan senjata harus diusut sampai level komandan. Kita juga menyayangkan jika sampai ada petinggi di dua institusi tersebut yang menggampangkan kejadian itu. Ini organisasi negara yang ada rule of law-nya. Bukan kelas hansip, “ tandas Edwin. Karenanya, KontraS melihat salah satu upaya koreksi yang lebih mendasar adalah perlunya uji psikologis reguler anggota TNI-Polri. Bahkan, supaya lebih profesional uji psikologis itu dilakukan pihak luar. ***
KABAR DARI SEBERANG
Perkembangan Baru Konvensi Anti Penghilangan Paksa Perkembangan proses ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua hukum (pidana) suatu negara- menghasilkan jenis Orang dari Penghilangan Paksa maju selangkah lagi. Pada 6 pelanggaran HAM lainnya seperti; tidak diakuinya korban Februari 2007 di Paris, diadakan seremoni pembukaan konvensi sebagai subjek hukum, hilangnya kebebasan dan hak atas ini untuk penandatanganan bagi seluruh negara anggota PBB. rasa aman seseorang, penyiksaan dan perlakuan tidak Penandatanganan –yang merupakan wujud dari komitmen manusiawi, dan sering kali korban kehilangan hak hidupnya. Harapan untuk menghadirkan Konvensi politik- ini merupakan satu langkah final Anti Penghilangan Paksa ini paling tidak sebelum konvensi ini berlaku (entry into force). adalah: membantu negara-negara untuk Sebelumnya, Konvensi Anti Penghilangan Paksa membenahi dan mereformasi sistem ini disahkan lewat resolusi Majelis Umum PBB Berbagai pengalaman hukumnya untuk bisa menangkal dan pada 20 Desember 2006 lalu. menunjukkan bahwa menghukum kejahatan ini; mempertegas praktek penghilangan kewajiban negara untuk memenuhi hak Seremoni di Paris ini ditandai penandatanganan paksa -yang berlindung untuk tahu dari keluarga korban yang oleh 57 perwakilan negara di hadapan berbagai mencari keberadaan kerabatnya; dari lubang-lubang komunitas keluarga korban penghilangan paksa menjamin pelarangan prakek (termasuk kelompok legendaris Madres Plaza de sistem hukum (pidana) penahanan rahasia (clandestine detention); Mayo), NGO, dan aktivis HAM, termasuk pula suatu negarajaminan legal bahwa negara akan dihadiri oleh Mugiyanto, Koordinator IKOHI menghasilkan jenis menuntut dan menghukum para pelaku (Ikatan Keluarga Orang Hilang) dan Presiden pelanggaran HAM yang bertanggung jawab; kewajiban AFAD (Asian Federation against Involuntary negara untuk memberikan reparasi bagi lainnya Disappearances). Jumlah ini cukup (keluarga) korban; menerapkan asas menggembirakan mengingat hanya diperlukan juridiksi universal; dan yang cukup 20 negara meratifikasi instrumen ini sebelum penting adalah dibentuknya badan ia berlaku, menjadi hukum HAM internasional monitoring (komite) yang memiliki kewenangan untuk baru. Dari 57 negara yang menandatangi ini, seluruh regio dunia menerima pengaduan dari keluarga atau kerabat korban dan sudah terwakili. Sayangnya dari 57 negara tersebut, hanya menginvestigasi kasus-kasus penghilangan paksa, dengan terdapat 6 dari Asia (Jepang, Maladewa, India, Lebanon, melakukan kunjungan ke negara-negara yang diduga Mongolia, dan Azerbaijan). Padahal saat ini praktek melakukan pelanggaran. penghilangan paksa banyak terjadi di kawasan ini. Proses penandatangan ini menandai jerih payah dari para keluarga korban dan aktivis HAM di dunia untuk melawan praktek penghilangan paksa sebagai salah satu jenis pelanggaran HAM yang paling keji di masa pasca Perang Dunia II. Penghilangan paksa menjadi salah satu metode teror dan pelanggaran HAM yang paling menakutkan setelah diperkenalkan secara sistematis di kawasan Amerika Latin pada dekade 1970-an –yang dikenal sebagai periode Perang Kotordengan jumlah korban diperkirakan melebih angka 100.000 orang dan kemudian diikuti oleh para rezim despotik di kawasan lainnya. Hingga hari ini praktek ini masih lazim digunakan para penguasa zalim dan para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Di Sri Lanka sampai saat ini nasib puluhan ribu orang masih tidak jelas. Di Indonesia sendiri, praktek ini juga pernah digunakan di hampir semua momentum pelanggaran berat HAM; mulai dari peristiwa 1965, Tanjung Priok (1984), Talangsari-Lampung (1989), juga terjadi di Aceh dan Papua (selama periode operasi militer), Timor Timur (selama pendudukan Indonesia), dan yang terkenal adalah peristiwa penculikan para aktivis pro-demokrasi (1998) sesaat sebelum Soeharto mundur. Hingga kini keberadaan korban tidak juga dipertanggungjawabkan oleh negara dan tidak ada satupun pelakunya bisa dibawa ke muka pengadilan. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa praktek penghilangan paksa -yang berlindung dari lubang-lubang sistem
Pemerintah RI sendiri meski tidak ikut menandatangani Konvensi ini pada seremoni pembukaan di Paris, secara implisit mengakui pentingnya penanganan atas praktek penghilangan paksa. Pada sidang pertama Dewan HAM di bulan Juni 2006, Menlu Hassan Wirajuda menyampaikan pernyataan pada High-Level Segment of the First Session of the Human Rights Council bahwa penghilangan paksa merupakan salah satu isu hak asasi manusia yang paling penting. Sebagai salah satu anggota Dewan HAM PBB, Indonesia memiliki kewajiban moral untuk selalu terdepan dalam hal ratifikasi instrumen HAM.
57 negara yang menandatangani Konvensi Anti Penghilangan Paksa adalah: Prancis, Albania, Aljajair, Argentina, Austria, Brazil, Burkina Faso, Burundi, Kongo, Kroasia, Ghana, Guatemala, Haiti, Jepang, Lithuania, Maladewa, Moldavia, Maroko, Uganda, Senegal, Serbia, Sierra Leone, Macedonia, Chad, Tunisia, Vanuatu, Belgia, Bolivia, Bosnia Herzegovina, Kamerun, Cap Verde, Chilli, Comoros, Kosta Rika, Kuba, Syprus, Finlandia, Grenada, Honduras, India, Kenya, Lebanon, Luxembourg, Madagascar, Malta, Meksiko, Monako, Mongolia, Montenegro, Niger, Paraguay, Portugal, Samoa, Swedia, Uruguay, Mali, Azerbaijan.
Berita Kontras No.01/I-II/2007
30
KABAR DARI SEBERANG
Kongres III Anti Hukuman Mati Sedunia, Paris 1-3 Februari 2007 Pada tanggal 1 hingga 3 Februari 2007 lalu, kota Paris menjadi tuan rumah Kongres Dunia yang ke-3 Anti Hukuman Mati. Kegiatan ini merupakan acara rutin para aktivis gerakan abolisi hukuman mati (mulai dari NGO hingga para pengambil kebijakan) setelah Strasbourg (2001) dan Montreal (2004). Kegiatan ini diorganisir oleh Ensemble Contre la Peine de Mort (ECPM), bekerja sama dengan World Coalition Against the Death Penalty (WCADP), sebuah organisasi anti hukuman mati tingkat global yang kini sudah beranggotakan 50 organisasi (salah satunya KontraS, sejak 2006). Kongres ini seperti biasa membahas dan mendiskusikan strategi terbaru ke depan untuk mencapai tujuan penghapusan hukuman mati di seluruh dunia. Pada Kongres III ini ditandai oleh beberapa kemajuan positif di tingkatan dunia sejak diselenggarakannya Kongres II. Beberapa negara menambah panjang daftar negara abolisionis; Yunani, Kyrgyzstan, Liberia, Meksiko, Filipina, dan Senegal. Sementara itu tidak ada satupun negara abolisionis yang kembali menerapkan hukuman mati. Namun di tengah-tengah kemajuan, terdapat pula kemunduran. Bahrain melakukan eksekusi mati setelah sudah 10 tahun tidak menerapkannya. Hukuman mati juga masih diterapkan secara besar-besaran di China, Iran, Saudi Arabia, Amerika Serikat, dan Vietnam. Kali ini Kongres III secara khusus fokus pada prospek penghapusan hukuman mati di kawasan Afrika Utara, AsiaPasifik, dan Timur Tengah dalam konteks reformasi hukum dan politik. Tema yang paling hangat didiskusikan dan didebat adalah “Islam dan hukuman mati” dan “China, hukuman mati, dan Olimpiade 2008”.
Kongres III juga merumuskan suatu agenda baru bahwa proses abolisi hukuman mati di suatu negara harus diikuti oleh reformasi dan pembenahan sistem pemidanaan dan sistem penjara, dalam konteks agenda keadilan restoratif. Kegiatan dalam Kongres III ini terbagi diberapa forum terpisah; ada kelompok yang merancang kampanye khusus ratifikasi Protokol Tambahan II Kovenan Sipil Politik; ada kelompok yang merancang aksi-kegiatan regional; ada pula presentasi dari beberapa mantan terpidana mati, keluarga terpidana mati, dan keluarga korban dari si terpidana mati. Mereka menyuarakan tujuan yang sama: “Katakan Tidak untuk Hukuman Mati”. Di hari terakhir para partisipan mengeluarkan sebuah deklarasi bersama dan mengadopsi suatu seruan internasional. Deklarasi tersebut mencakup, mengingatkan kembali kepada dunia bahwa tidak ada satu otoritas apapun yang berhak mencabut hidup seseorang. Hukuman mati merupakan suatu perlakuan yang keji, merendahkan martabat, dan tidak manusiawi. Hukuman mati juga tidak pernah terbukti efektif memerangi suatu kejahatan dan selalu merepresentasikan kegagalan keadilan. Menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk meratifikasi Protokol Tambahan II Kovenan Sipil Politik. Menyerukan kepada seluruh negara di dunia dan kepada Majelis Umum PBB untuk melakukan moratorium universal terhadap hukuman mati dan menghentikan seluruh eksekusi mati dengan mempertimbangkan kebijakan komutasi (perubahan) hukuman. Dan meminta seluruh umat manusia untuk menandatangani petisi yang dikeluarkan oleh inisiatif Sant’Egidio Community dan didukung oleh World Coalition against Death Penalty, yang sudah berhasil mengumpulkan 5 juta tanda tangan.
Fakta Soal Hukuman Mati: Kategori Negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan
88
Negara yang menghapus hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa
11
Negara yang melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) praktek hukuman mati
29
Total negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati
128
Negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati
69
Sumber: Amnesty Internasional
31
Jumlah
Berita Kontras No.01/I-II/2007