KontraS
SALAM DARI BOROBUDUR Salam redaksi
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
Memasuki tahun 2008, berita meninggalnya mantan Presiden kedua RI, Soeharto, menjadi sebuah catatan panjang yang kami kupas menjadi berita utama. Diusianya yang sudah senja, Soeharto (86 thn), wafat dengan membawa segudang kasus pelanggaran hukum dan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum sempat ia pertanggungjawabkan.
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang
Belasungkawa pantasnya kita sampaikan pada keluarga yang ditinggalkan. Namun, kita tetap harus menyadari bahwa Soeharto pergi membawa setumpuk kasus hukum sekalipun negara juga menunjukkan keengganan untuk mengadili hingga ajal menjemputnya. Sehingga rasanya tidak sepantasnya negara memberi penghormatan kepada Alm. Soeharto secara berlebihan, apalagi menggunakan simbol-simbol negara, seperti pengibaran bendera setengah tiang. Mengingat di masa berkuasanya Soeharto banyak pula melahirkan kepedihan kepada rakyat yang seharusnya dilayani.
Di tahun 2008 ini, persoalan kekerasan terutama yang menyangkut hak asasi manusia masih tetap memprihatinkan kita. Di sejumlah daerah tindak kekerasan masih terus Papua maupun secara horizontal terjadi. Begitu juga dengan kekerasan yang terjadi atas keyakinan beragama masih seperti di Maluku, Sambas, Sampit menjadi berita hitam dalam perjalanan bangsa ini. Yang lebih memprihatinkan bentrokan dan kekerasan Polri dan TNI kembali terulang (di Maluku), hingga dan Poso. Selanjutnya, ia menewaskan tiga orang serta mengakibatkan lainnya luka dan kerugian fisik yang berkembang menjadi organisasi yang tidak terkira. terjadi baik secara vertikal di Aceh dan
independen dan banyak berpartisipasi
Mungkin, bila boleh dikatakan kita sedikit terhibur dengan vonis 20 tahun yang dijatuhkan majelis hakim untuk Pollycarpus dalam PK kasus Munir. Meski kita kecewa kekerasan dan pelanggaran hak asasi karena Indra Setiawan (diganjar hanya satu tahun), dan Rohainil Aini diputus bebas. manusia sebagai akibat dari Padahal, kasus Munir jelas merupakan kasus konspirasi yang melibatkan banyak pihak. penyalahgunaan kekuasaan. dalam membongkar praktek
KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Penting untuk mengingat dan terus menuntut keadilan juga juga disuarakan oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat Talangsari Lampung 1989 pada peringatan 19 tahun tragedi itu. Waktu terus berjalan, kita tak tahu kapan langkah terhenti. Tapi selagi masih bisa berbuat untuk negri dan kemanusiaan, tentu tidak ada yang sia-sia. Selamat tahun baru 2008
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Abu, Victor, Sinung , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Oslan P dan
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri Suparyati. Design layout: BHOR_14 Production
Bustami. Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua).
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org
Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita
KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 021-3926983 atau
[email protected]
KontraS
2
Berita Kontras No.01/I-II/2008
BERITA UTAMA
Kematian Soeharto Tidak Matikan Tuntutan Awal tahun ini tepatnya (4/01) mantan penguasa Orde Baru, Soeharto, kembali dilarikan ke rumah sakit. Presiden Kedua RI ini kembali kritis dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan. Selama hampir sebulan sang jenderal besar ini dirawat oleh lebih 40 orang dokter spesialis berbagai bidang. Tim dokter ini bekerja keras tak henti siang malam, mengobati dan memberikan pengobatan terbaik bagi Soeharto.
mengajarkan kita untuk bersimpati pada siapapun yang sakit, termasuk terhadap Soeharto. Namun, kemanusiaan bukanlah ruang untuk menutup kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan di muka bumi ini. Kemanusian mengajarkan kita untuk mencari kebenaran dan keadilan atas segala kesakitan, luka dan derita yang korban terima.
Politisasi sakit
Dan ketika akhirnya Soeharto meninggal dunia kita patut kecewa kepada pemerintah. Hingga akhir hayat Soeharto, pemerintah belum juga mampu menyelesaikan berbagai warisan masa lalu, yakni korupsi massif dan pelanggaranpelanggaran HAM.
Bangsa ini mempunyai sejarah kelam. Dan sejarah kelam itu terjadi selama Soeharto berkuasa. Ada begitu banyak Diusianya yang sudah senja, pelanggaran hak asasi manusia yang Soeharto (86 thn) berjuang hampir terjadi. Mulai dari peristiwa 1965, sebulan melawan berbagai penyakit penembakan misterius 19981/1985, kronis yang dideritanya. Dan pada tragedi TanjungPriok 1984, kasus (27/01), presiden pada masa orde Talangsari 1989, DOM Aceh 1989-1998, baru ini menghembuskan napas Papua 1963-2003, kasus 27 Juli 1996, terakhirnya. Soeharto pun pergi penculikan para aktivis pro demokrasi dengan tetap menyisakan segala 1997/1998, tragedi Mei dan Trisakti dan kontroversial terkait dengan harta masih banyak peristiwa pelanggaran Dok. Kontras yang dimilikinya maupun jumlah Aksi korban menuntut pengadilan untuk Soeharto HAM lainya. Semuanya terjadi akibat kasus pelanggaran berat HAM yang dari praktek orde baru yang dipimpin terjadi ketika ia berkuasa. oleh Soeharto yang dijalankan bersama kroninya. Semua tragedi tersebut telah Sebagai sesama mahluk Tuhan sudah sepantasnya kita memporakporandakan arti kemanusian menyampaikan belasungkawa pada keluarga yang ditinggalkan. Namun begitu, kita harus terus ingat dan Anak, ayah, suami, isteri, adik, kakak, saudara, teman kita menyadari bahwa Soeharto pergi membawa setumpuk kasus dihilangkan. Dipenjarakan dengan segala penyiksaan, hukum atas dirinya yang tak pernah dipertanggung jawabkan didiskriminasikan dengan segala cara oleh tangan kekuasaan hingga akhir hayatnya, lantaran Soeharto memang tak pernah Orde Baru Soeharto. Dan sampai hari ini tak satupun kebenaran diadili. dan keadilan dalam peristiwa pelanggaaran HAM ditegakkan di negeri ini. Termasuk pula kasus dugaan Korupsi, Kolusi dan Siapapun pasti akan kembali padaNya. Namun, pemerintah Nepostisme (KKN) Soeharto. Sementara di tengah kesakitan dan bangsa Indonesia harus jalan terus. Dan yang perlu Soeharto tersebut, banyak pihak yang tidak pernah merasakan diingat, Indonesia harus menyelesaikan warisan masa lalu luka dan derita kemanusiaan yang para korban alami, meminta dari Pemerintahan Soeharto. Mengapa? Karena kita tak bisa proses hukum Soeharto dihentikan. Pendapat tersebut jelas melupakan masa lalu. Kita harus terus mengingatnya dan adalah pendapat yang lebih mencerminkan kepentingan politis, secara bersama menyelesaikan berbagai warisan masa lalu ketimbang arti kemanusiaan yang hakiki. itu secara bermartabat, yaitu lewat proses hukum dan keadilan yang layak. Keengganan dan pembiaran
Sebelumnya, setiap Soeharto masuk rumah sakit, maka para pendukung Orde Baru terutama mereka kroni-kroni Soeharto, selalu mengeluarkan tuntutan agar nama Soeharto dicuci bersih, dari semua tuntutan atas kejahatan yang dilakukannya selama berkuasa selama 32 tahun. Bahkan, satu lapisan elit politik nasional yang dipelopori Partai Golkar, mendesak pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, untuk dapat segera menutup proses hukum terhadap Soeharto. Kita tentu amat menyayangkan, karena ada begitu banyak pihak memberi pernyataan dengan mengatasnamakan “kemanusiaan” meminta proses hukum terhadap Soeharto dihentikan. Padahal jelas, jati diri kemanusiaan adalah kebenaran dan keadilan. Tidak bisa kemanusiaan menutupi dirinya dari kebenaran dan keadilan. Kemanusiaan memang
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Belum tuntasnya kasus hukum Soeharto menurut Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, menunjukkan keengganan dan pembiaran yang sengaja dilakukan pemerintah. “Lima tahun reformasi pemerintah seharusnya mampu menyelesaikan kasus hukum Soeharto, sehingga ketika Soeharto meninggal kita tidak perlu membicarakan kasusnya, “ ujar Ifdhal. Ifdhal menilai kelambanan pemerintah menyelesaikan kasus hukum Soeharto menunjukkan pelanggaran HAM pemerintah pada diri Soeharto. Lebih jauh Ifdhal melihat bahwa kasus hukum Soeharto akan selesai jika pemerintah memiliki
3
BERITA UTAMA kemauan. Ifdhal mengusulkan pemerintah membentuk komisi klarifikasi yang bertugas melakukan klarifikasi, penelaahan, dan pemeriksaan terhadap tuduhan pelanggaran HAM Orde Baru. Dengan demikian identifikasi pertanggung jawaban menjadi jelas dan tidak terkesan balas dendam. Hal senada diungkapkan oleh aktivis M.Fadjroel Rachman. Menurutnya, sekalipun mantan Presiden Soeharto sudah meninggal, negara tetap harus melanjutkan proses hukum terhadap keluarga, kroni, dan loyalisnya. “Ini untuk menunjukkan kepada publik bahwa ini negara hukum, bukan negara halalbihalal, “ ujarnya.
Soeharto semasa ia berkuasa terepresentasi dalam kebijakan negara yang represif. Direktur Eksekutif Agung Putri Astrid Kartika mengatakan, meskipun Soeharto meninggal dunia, masih banyak persoalan yang tertinggal. Menurut dia, kontruksi mesin kekuasaan Soeharto perlu dibongkar. Pembongkaran itu akan menampakkan siapa kroni-kroni Soeharto. Dengan demikian, mereka dapat dimintai pertanggung jawaban atas berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Bagi para pejuang HAM dan korban, kematian Soeharto tidak memupuskan upaya mereka untuk mencari keadilan. Seperti yang diungkapkan oleh Sumarsih, Ibu BR Norma Irmawan, Sementara muncul pula pandangan lain, korban tragedi Semanggi, melihat upaya komunitas HAM internasional dapat mengenang peradilan masih dapat ditempuh untuk itu. Soeharto sebagai diktator lantaran hingga “Kalau bicara Meskipun hukum di Indonesia belum sepenuhnya Soeharto meninggal dunia, pemerintah gagal korban, sudah menjamin keadilan. “Anak saya ditembak dari menyelesaikan berbagai kasus dugaan banyak. Tapi kalau jarak dekat. Soal itu salah atau benar, itu harus pelanggaran HAM yang diduga melibatkannya. bicara pelaku, yang diputuskan di pengadilan. Maaf-memaafkan pun mana? Mereka harus dilakukan setelah ada proses pengadilan, “ “Karena tidak ada proses hukum untuk tidak ada yang ujar Sumarsih. mengklarifikasi sejumlah kasus pelanggaran HAM ngaku, “ ujar yang diduga melibatkannya, Soeharto dapat Sumarsih berharap pemerintah tetap membawa Sumarsih. dilihat seperti mantan orang kuat Cile, Jenderal pelanggaran hak asasi manusia tersebut ke Augusto Pinochet, atau PW Botha, Presiden Afrika pengadilan. “Orang-orang yang harus Selatan, “ kata Rafendi Djamin dari Human Rights bertanggung jawab pada peristiwa berdarah itu harus diadili, Working Group. “ ujarnya. Jika ada proses hukum saat Soeharto masih hidup, lanjut Rafendi, kemungkinan munculnya kenangan sebagai diktator dapat Demi perjuangan tersebut, meski pemerintah menetapkan hilang. Sebab, duduk perkara dari kasus-kasus itu sudah jelas hari berkabung nasional selama tujuh hari setelah wafatnya Soeharto, korban dan keluarga korban menggelar demo tujuh dan para korban akan berhenti menuntut. hari berturut-turut di depan Istana Merdeka, sebagai cara Penilaian negatif komunitas HAM internasional kepada Soeharto, untuk menandai meninggalnya Soeharto. “Ini kami lakukan menurut Rafendi, mulai muncul setelah peristiwa Santa Cruz di karena kematian Soeharto tidak diikuti dengan pemenuhan Dili Timor Timur, 12 November 1991. Peristiwa itu memancing hak korban dan pelurusan sejarah, “ ujar Sumarsih. dipersoalkannya kembali kasus lain, seperti peristiwa Tanjung Priuk, Talangsari, dan gerakan yang terjadi 30 September 1965. Langkah tersebut perlu ditempuh untuk mengingatkan “Kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah dengan pemerintahan Presiden SBY bahwa keadilan belum mereka menyelesaikan sejumlah kasus secepat mungkin, termasuk kasus dapatkan pasca wafatnya Soeharto. “Kalau bicara korban, sudah banyak. Tapi kalau bicara pelaku, yang mana? Mereka yang diduga melibatkannya, “ kata Rafendi. tidak ada yang ngaku, “ ujar Sumarsih. Sedangkan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Nasional Aktivis 98 Adian Napitupulu menambahkan, proses hukum terhadap Namun aksi tujuh hari ini digelar tanpa suara, apalagi caci kroni Soeharto harus dilanjutkan. Sebab, proses hukum punya maki. Korban dan kleuarga korban hanya berdiri, empat tujuan, yaitu memberi efek jera kepada para pelaku, membentangkan poster dan mengenakan pakaian dan memulihkan hak-hak korban, mencegah terulangnya peristiwa payung berwarna hitam. serupa, dan mencari kebenaran tentang yang sebenarnya terjadi. “Jika sekarang Soeharto sudah meninggal, berarti masih ada tiga Kasus perdata dan gelar pahlawan tujuan lain dari proses hukum atas kasus-kasus yang diduga Di sisi lain, kematian Soeharto juga masih menyisakan kasus melibatkannya, “ ujar Adian. hukum lainnya disamping sejumlah kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi selama 32 tahun Soeharto berkuasa. Tidak surut Sementara kematian Soeharto juga tidak menyurutkan perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Mereka tetap yakin kejahatan HAM selama Soeharto berkuasa adalah kejahatan rezim dan bukan semata-mata kesalahan Soeharto sebagai individu. Meskipun demikian, kebijakan
4
Saat ini pemerintah tengah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar Rp 11,5 triliun. Meski Soeharto telah meninggal Jaksa Agung, Hendarman Supandji, menegaskan, kasus perdata Soeharto tetap akan diteruskan. Senada dengan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asfinawati mendesak Kejaksaan Agung segera dan
Berita Kontras No.01/I-II/2008
BERITA UTAMA tetap melanjutkan gugatan perdata terhadap sejumlah kasus korupsi yang dilakukan Soeharto. Dalam gugatan perdata itu, Kejagung, sebagai pengacara negara, harus mengajukan permohonan sita jaminan terhadap semua harta Soeharto yang diduga berasal dari hasil korupsi. “Kalau tidak segera dilakukan penyitaan jaminan, bisa saja harta-harta itu diklaim oleh anak-anak serta kroni-kroninya, “ ujarnya. Asfin menyayangkan Kejagung yang tidak dari dulu menyita harta Soeharto. Menurutnya, Kejagung akan berani menggugat dan menuntut Soeharto secara perdata, serta menuntut anak-anak serta kroni-kroninya secara pidana dan perdata, kalau ada dukungan penuh dari Presiden. Ironisnya ditengah persoalan hukum yang belum selesai dituntaskan, muncul wacana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto. Wacana yang digulirkan oleh sekelompok orang (terutama kroni-kroni) Soeharto sangatlah tidak tepat. Mengapa? Karena wacana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto seharusnya digulirkan setelah ada kepastian hukum terhadap kasus Soeharto. Pemerintah juga harus terlebih dulu melaksanakan Ketetapan (Tap) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari KKN, Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Percepatan Kebijakan Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, serta Tap MPR Nomor I/2003. Menurut Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, jika pemberian gelar pahlawan nasional dilakukan sebelum ada kepastian hukum, tidak sesuai dengan amanat Tap MPR tersebut. Semangat Tap MPR adalah menghadirkan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN. Persoalannya, sampai saat ini belum ada pernyataan hukum yang menyatakan Soeharto bersalah atau tidak. Di negara demokrasi memang tidak dilarang orang memunculkan usulan atau wacana apalagi untuk menghormati jasa-jasanya. “Kalau bertentangan (dengan Tap MPR), itu sesuatu yang belum kita bahas. Kalau ternyata Soeharto terbukti secara hukum, sesudah menghormati asas praduga tak bersalah, ternyata terbukti melakukan kesalahan, saya kira pemerintah akan sangat berhati-hati memberikan gelar kepahlawanan kepada pihak yang dinyatakan bersalah itu, “ ujarnya. Hidayat sangat menyayangkan wacana itu muncul tidak lama setelah Soeharto wafat karena dinilai justru menimbulkan kontroversi. Pasalnya, wacana itu dimunculkan saat kasus Soeharto masih berlanjut di persidangan dan belum ada kepastian hukum. Apalagi, saat ini kasus perdata tentang Yayasan Supersemar masih digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hidayat juga menegaskan, semua Tap MPR yang dikeluarkan terkait penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN, semuanya masih berlaku kendati Soeharto sudah wafat. “Tentu Tap ini tidak menjadi luluh, apalagi tercabut, dengan wafatnya Soeharto. Tap MPR ini tidak secara khusus hanya mengatur Soeharto. Beliau hanya satu dari sekian hal yang diatur dalam Tap itu sehingga harus dijalankan, “ tegasnya.
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Pengadilan rakyat Kegagalan negara untuk menuntut pertanggungjawaban Soeharto terhadap tindak pidana korupsi maupun pelanggaran HAM, tidak menyurutkan inisiatif dikalangan masyarakat sipil untuk membuat mekanisme alternatif. Salah satu cara yang bisa digunakan oleh masyarakat sipil adalah dengan melakukan pengadilan rakyat. Istilah pengadilan rakyat memang bisa dirasa asing. Kadang istilah pengadilan rakyat disamakan dengan istilah main hakim sendiri yang merupakan tindakan penghukuman masyarakat terhadap pelaku tindak pidana. Istilah pengadilan rakyat ini mengambil dari people tribunal yang pernah digelar oleh masyarakat sipil di Jepang maupun di Eropa Timur terhadap kejahatan rejim. Seperti di Burma, membentuk Mahkamah atau Pengadilan Rakyat yang menyelediki kasus kelangkaan pangan dan militerisme. Armenia, membentuk Pengadilan Rakyat untuk menyidangkan kasus pembunuhan massal atas penduduk sipil Armenia oleh pemerintah Turki. Dan di Jepang, mengadakan Mahkamah untuk mengadili kasus kejahatan perang mengenai perbudakan sexual yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Gerakan serupa juga dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil di Indonesia tatkala sistem pengadilan saat ini enggan menguak berbagai peristiwa kejahatan masa lalau yang kian dilupakan. Tujuan diadakannya pengadilan rakyat ini untuk memberi kesempatan kepada korban/keluarga korban menyampaikan testimoni dihadapa publik terhadap peristiwa yang dialaminya. Testimoni dan keterangan saksi ahli terhadap peristiwa pelanggaran HAM itu diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua orang bahwa kejahatan yang pernah terjadi tidak dapat dilupakan begitu saja tanpa penghukuman. Dan peristiwa itu jangan kembali terulang dimasa datang. Sejak tanggal 12-13 Februari para aktivis yang tergabung dalam gerakan masyarakat Kesatuan Rakyat adili Soeharto (KERAS) melakukan pengadilan rakyat di Tugu Poklamasi. Dengan sistem yang menyerupai pengadilan di Indonesia, ada jaksa, majelis hakim dan sejumlah saksi pun dihadirkan. Dibawah patung Soekarno-Hatta, saksi-saksi yang dihadirkan korban pelanggaran HAM yang terjadi di era Orde baru: mulai peristiwa 65, Tanjung Priok 1984, Penembakan Misterius 1983, Talangsari 1989, Marsinah tahun 1993, penculikan aktivis 97-98, hingga peristiwa Trisakti dan Semanggi, digelar secara terbuka. Layaknya pengadilan pidana biasa, syarat-syasat formil dan materil hukum acaranya mengikuti sistem hukum acara yang berlaku. Dengan majelis hakim berjumlah tiga orang dan tiga jaksa penuntut umum, sidang diawali dengan pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut. Dalam dakwaanya, Soeharto beserta kroninya , selama menjabat sebagai presiden sejak tahun 1966-1998, telah melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan dan melanggar Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Hari pertama sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan dan dilanjutkan kesaksian. Saksi-saksi yang dimintai keterangan
5
BERITA UTAMA diantaranya: Tjasman (korban 65), Budi Mulyono (korban Penembakan Misterius 1983), Wanma Yety (keluarga korban Tanjung Priok 1984 ), Ruminah dan Darwin (keluarga korban Tragedi Mei 98), Sumarsih (keluarga korban Semanggi). Para korban menerangkan berbagai penderitaan, peristiwa yang dialami selama masa orde baru berkuasa Hari kedua dilanjutkan dengan kesaksian para ahli: Sri Bintang Pamungkas, Fadjroel Rahman, Muchtar Pakpahan, dan saksi ahli yang lain. Saksi-saksi ini menceritakan bagaimana parahnya kondisi politik, sosial, hukum, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia pada saat Soeharto berkuasa sehingga bangsa ini mengalami krisis multidimensi. Selain keluarga korban dan mahasiswa yang menghadiri acara tersebut, seribu nisan disusun mengelilingi tempat pengadilan. Tenda-tenda keprihatinan sebagai tempat menginap para aktivis memanjang mengitari nisan. Kuburan manusia bertuliskan kasus-kasus yang terjadi selama Orde Baru berkuasa menyimbulkan banyaknya peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
Akhir dari impunitas Kontras yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) melihat bahwa kematian Soeharto, sekali lagi tidaklah dilihat sebagai akhir dari sebuah impunitas. Artinya, bukan akhir dari kewajiban pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM dan Korupsi.
Kematian Soeharto harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk terus bekerja keras mengungkap kebenaran dan mengadili pelaku-pelakunya Upaya mengungkap kebenaran dan mengadili pelaku (dalam hal ini Soeharto dan kroni-kroninya), tidak semata-mata merupakan kewajiban pemerintah, akan tetapi juga merupakan prasyarat perbaikan bangsa. Bangsa yang besar harus berani menghadapi kebenaran atas kesalahannya dimasa lalu. Karena dengan kesalahan tersebut sebuah bangsa bisa menghindari kesalahan yang sama, seperti kediktatoran pemerintah. Kematian Soeharto hanya menggugurkan kesempatan bagi almarhum untuk membela diri dan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahannya secara individual. Lebih jauh, kematian tersebut tidak berimplikasi pada penghapusan pertanggung jawaban terhadap pejabatpejabat lain (kroni-kroni) yang terlibat dalam kejahatankejahatan yang sistematis. Karenanya, pengampunan atau pemaafan merupakan hak dari para korban dan keluarga korban. Pemaafan dan pengampunan hanya dapat diberikan kepada mereka yang dideritakan dan dirugikan oleh kebijakan dan perilaku orde baru. Pengampunan dan pemaafan kepada Soeharto tidak bisa diberikan oleh pemerintah karena kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Pemerintah (dimasa lalu). Jika pemaafan dan pengampunan diberikan maka akan terjadi pemaafan dan pengampunan bagi diri sendiri oleh pemerintah (self amnesty).***
Keadilan Korban Harus Dikedepankan
Keluarga Korban Peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari Lampung 1989, Mei 1998, penembakan mahasiswa Trisakti 1998, penembakan mahasiswa Semanggi 1998-1999, penculikan aktivis pro demokrasi 1997/1998, peristiwa 1965, menyatakan turut belasungkawa atas meninggalnya mantan Presiden Soeharto. Namun, kami lebih prihatin dengan rendahnya ketegasan sikap Pemerintah dan DPR RI apalagi ditambah berkembangnya ide “memaafkan Soeharto” dari berbagai kalangan tanpa pertimbangan-pertimbangan yang seimbang antara kemanusiaan bagi Soeharto dan keadilan bagi korban. Pada dasarnya, jika memang Pemerintah berniat sungguh-sungguh ingin menghadirkan keadilan pada korban, maka bukanlah hal yang sulit pula bagi keluarga korban untuk memaafkan Soeharto. Persoalan yang menjadi perhatian korban adalah penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang menimpa pada korban, anak-anak & sanak keluarga korban. Penuntasan itu adalah pengungkapan kebenaran atas apa yang sesungguhnya terjadi pada korban sebagai rangkaian kekerasan politik Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Keadilan harus lebih dimaknai lebih dari sekadar menghukum pelaku, baik di tingkat penanggungjawab maupun di tingkat lapangan. Keadilan juga penting mengembalikan hak-hak korban seoptimal mungkin seperti sediakala. Dan kewajiban menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu seperti digambarkan di atas menjadi tanggung jawab negara. Kita menyesalkan pula hingga saat ini tidak ada tindakan yang layak dari negara, terutama pemerintahan paska Soeharto, untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Padahal, hal inilah yang mengakibatkan perdebatan memaafkan Soeharto menjadi sulit diterima secara baik karena negara tak pernah secara resmi menjelaskan “dimaafkan atas kesalahan yang mana?”. Karenanya, dalam momentum ini korban menuntut Pemerintahan SBY-JK memberikan pengakuan secara resmi dan terbuka atas kekeliruan-kekeliruan negara di masa lalu. Pengakuan negara menjadi penting sebagai niat awalan untuk menunjukkan keberpihakan pemerintahan saat ini pada persoalan kemanusiaan. Korban akan merasa semakin teraniaya, terdiskriminasi dan terjauhkan dari rasa keadilan jika kemanusiaan hanya ditujukan untuk Soeharto.***
6
Berita Kontras No.01/I-II/2008
SUARA KORBAN
In Memoriam Almarhum Jenderal Besar Soeharto Abdullah Bawi Korban Tragedi 1965
Ketika kesalahan sulit dimaafkan dan dosa-dosa tak terampuni Segala kejahatan tidak dapat dihukum dan kemanusiaan terabaikan Walaupun para korban mencari keadilan Kau senyum di atas tahta dan singgasana Kau biarkan kroni dan penjahat menjarah negeri Kau lantunkan lagu Tentang sorga dan pembangunan tanpa makna Di atas derita dan derai air mata jutaan anak bangsa Kau ulurkan tangan persahabatan hampa Ketika berkuasa Kau biarkan tangan-tangan durjana merampas kemerdekaan Kau tindas mereka yang teraniaya Kau jebloskan mereka ke penjara tanpa dosa Dengan dalih demi keamanan dan ketertiban Tangan besi mendera Mereka yang disiksa Karena kau penguasa Ketika kau wafat Jutaan orang mengantar jasadmu Sebagai pahlawan pembangunan tanpa arti Di atas bayang-bayang surgawi Kau tinggalkan dunia yang fana ini Dengan kehancuran dan tangisan pilu Dengan rintihan pencari keadilan fatamargona jauh disana Ketika jasadmu terbukur kaku di Astana Giribangun Tinggallah kami Meniti lorong-lorong sempit keadilan dalam kegelapan Tanpa henti Banjarbaru, 1 Januari 2008
Berita Kontras No.01/I-II/2008
7
Penurunan Bendera Setengah Tiang Oleh : Usman Hamid Suatu hari saya dikirimi surat elektronik oleh seorang sahabat yang bertanya mengapa KontraS menolak menurunkan bendera setengah tiang selama 7 hari berkabung atas perginya mantan Presiden Soeharto. Pengibaran bendera 1/2 tiang selama 7 hari memang dilakukan dengan merujuk Pasal 125 ayat (4) PP No.62/ 1990 yang ditetapkan 26 Desember 1990. Namun jika kita menelusuri area-area pemukiman penduduk di sekitar kita, ada begitu banyak warga masyarakat yang tak menurunkan bendera setengah tiang sebagaimana diinstruksikan pemerintah. Apakah ini sebuah tanda ketidakpatuhan warga sipil atas kebijakan pemerintah (civil disobedience)? Apapun jawabannya, instruksi pemerintah tersebut malah mencerminkan kepribadian ganda Negara. Di satu sisi menempatkan Soeharto sebagai terdakwa korupsi tujuh yayasan, tapi pada saat yang sama ingin menempatkannya sebagai prajurit terbaik dan negarawan sejati, lalu menempatkan kejahatan korupsi yang dituduhkan kepadanya dalam ruang lingkup kekhilafan di ranah privat. Ada dua alasan. Pertama, penurunan bendera sebagai act of obedience. Pengibaran bendera sebagai tindakan kepatuhan dalam sudut pandang legal institusional atau positivisme (formalisme hukum) meminta kita mematuhi instruksi Presiden/ pemerintah atas kematian mantan penguasan rejim Orde Baru Soeharto.
anggap sama dengan menolak untuk mempertahankan negara/negeri/republik? Jawaban atas dua pertanyaan ini adalah satu, tidak. Mempertahankan tanah air tempat kita dilahirkan adalah hak sekaligus kewajiban moral/etis. Tapi itu bisa lewat beragam cara. Wamil hanyalah satu di antara banyak cara. Mereka yang berkeyakinan untuk memegang teguh keyakinan ahimsa atau nir-kekerasan tentu menolak untuk mengikuti wamil karena dinilai mengandung unsur kekerasan. Mereka yakin bahwa hidup bersama dalam perdamaian bisa ditempuh dengan cara yang beradab/tanpa kekerasan. Jalan militer/perang terbukti memakan ongkos besar, persenjataan, uang hingga biaya kemanusiaan yang kerap menimbulkan kesedihan, derita dan kertelukaan. Adalah sah bila seorang warga menolak untuk ikut wamil demi mempertahankan negara. Sikap ini merupakan bagian dari hak seseorang atas kemerdekaannya dalam berpikir dan berkeyakinan. Hukum internasional/nasional tentang Hakhak Sipil dan Politik menjamin hak setiap orang yang menolak memenuhi panggilan wajib militer (consentious objectors). Komisi HAM PBB meminta tiap negara menyediakan alternatif bela negara selain wamil, seperti pemadam kebakaran, ahli teknologi dst. Di sini paham pertahanan tak sekadar dipahami sebagai military based defence tapi juga civilian based defence. Sebagian besar negara-negara kini telah menghapus wajib militer. Ada banyak ilustrasi yang dapat dikemukakan untuk melihat peraturan sebagai peraturan, perintah sebagai perintah. Misalnya, pandangan realisme hukum yang meyakini bahwa keputusan hakim boleh berbeda dengan teks hukum atau peraturan. Ini karena definisi hukum kerap menjadi kabur saat disandingkan dengan kenyataan. Demi kebenaran, demi keadilan, hakim bisa menembus normatifitas hukum di atas kertas.
Instruksi negara perlu dipisahkan dari otonomi personal dan kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan cara bersikap warganya. Sebagai warga demokratik, kita berusaha tak terjebak ke dalam Aksi menuntut pengadilan terhadap Soeharto cara berpikir “Befehl is befehl” Dok.Kontras (instruksi adalah instruksi), Saya tak hendak apalagi menafsirkan peraturan sebagaimana pihak yang kuat (pemerintah yang berkuasa saat menyamakan sikap dan cara kita memandang peraturan, ini) menafsirkannya begitu saja. melainkan hendak meminta pemerintah memperlakukan mereka yang sama dengan cara yang sama, dan dengan cara Sebagai ilustrasi, andai pemerintah mengesahkan peraturan berbeda untuk mereka yang berbeda. Itu agar adil/fair. Dan wajib militer bagi setiap warga berusia 18-45 tahun untuk kita yakin, pemerintah tak sedang memaksakan kehendaknya, mempertahankan negara, apakah itu berarti semua warga harus dan karena itu pula saya bisa mengerti dan tetap patuh? Apakah jika ada yang menolak kewajiban itu lalu kita menghormati mereka yang mengibarkan bendera setengah
8
Berita Kontras No.01/I-II/2008
tiang atas dasar hati sanubari sendiri ketimbang melakukannya sebagai sebuah kepatuhan belaka. Kedua, bendera sebagai act of recognition. Bendera adalah sebuah lambang tindakan pengakuan, bisa kepada kedaulatan sebuah bangsa atau lambang penghormatan kepada sesuatu yang mulia, seperti penghormatan pada orang terhormat yang mati dalam perjuangan. Benar bahwa Jenderal Soeharto telah diakui telah menduduki jabatan Presiden Republik Indonesia selama tiga dekade. Pengakuan itu tak lagi punya arti yang sama ketika proses perolehan jabatannya dulu ditempuh lewat kudetamerangkak atas kekuasaan Presiden RI Soekarno; terlebih lagi karena status terakhirnya sebagai seorang terdakwa perkara kejahatan serius, yaitu korupsi tujuh yayasan. Presiden Chile Michelle Bachelet menolak upacara kenegaraan untuk kematian mantan Presiden Chile Jenderal Augusto Pinochet. Alasannya sederhana, status hukum Pinochet
Siaran Pers mengenai status Soeharto paska kematiannya
sebagai terdakwa kejahatan korupsi serta skandal Pinochet menggulingkan pemerintahan sipil Salvador Allende lewat kudeta militer, mengepung dan membom istana Allende. Penolakan ini bukan tanpa kebijaksanaan. Meski menolak upacara kenegaraan, ia kemudian menyetujui upacara militer bagi kematian Pinochet. Selanjutnya, proses hukum atas dugaan korupsi yang dilakukan keluarga dan kroni-kroninya Pinochet tidak dihentikan. Lalu bagaimana menempatkan Soeharto dalam perjalanan sejarah? Apakah benar ada jasanya atau sebaliknya, merusak cita-cita republik Indonesia? Di sini, kita mungkin bisa berbeda. Selain hal di atas, penolakan aktivis HAM atas penurunan bendera ½ tiang lebih didasari pada sebuah bentuk solidaritas pada korban politik kekerasan Orde Baru. Sikap ini tentu “bukan sebuah kepercayaan filosofis dan agama …(melainkan) kepekaan memahami perasaan orang lain yang mampu membuat kita bersikap solider kepada orang lain (Richard Rorty).
Aksi korban menuntut pengadilan atas Soeharto
Koalisi melakukan kunjungan ke Gedung DPR/MPR, mereka diterima oleh Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid, terkait dengan kasus Soeharto Dok. Kontras Berita Kontras No.01/I-II/2008
9
JEJAK SANG PEJUANG
Pollycarpus Diganjar Hukuman 20 Tahun Penjara Akhir Januari (25/1), majelis hakim mengabulkan permohonan PK kasus Munir. Polly mantan pilot Garuda itu terbukti bersalah dan divonis penjara 20 tahun. Sedang Indra Setiawan diganjar satu tahun penjara. Sayang, Rohainil Aini divonis bebas karena tak terbukti bersalah. Polisi berjanji akan menyidik kembali nama-nama (penjabat BIN), yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan ini, berdasarkan fakta yang ada di persidangan. Memasuki 2008, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) menilai keseriusan Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan Pengadilan khususnya Mahkamah Agung (MA) untuk mengungkap kasus konspirasi pembunuhan pejuang HAM, Munir mengendur. Sehingga beberapa perkembangan pengungkapan fakta yang cukup menjanjikan di tahun 2007 tereduksi. Berdasarkan perkembangan persidangan untuk tersangka Indra Setiawan (mantan Dirut Garuda) dan Rohainil Aini (Secretary Chief of Pilot Garuda), Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan Pengadilan belum sanggup menghadirkan saksi-saksi, yakni Agen BIN Budi Santoso, Mantan Deputi V BIN Muchdi Purwopranjono, Wakil Ketua BIN As’ad Ali Said, Mantan Ketua BIN Hendropriyono. Di sisi lain, dalam persidangan dengan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, MA tak kunjung mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali (PK). KASUM juga menilai, hal penting yang harus segera dilakukan MA di awal 2008 adalah segera memutuskan PK bagi Polly. Putusan PK ini tidak hanya memutuskan Polly bersalah dengan membatalkan putusan majelis hakim MA sebelumnya, namun juga harus menggambarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan yang memberikan gambaran dan bukti bahwa pembunuhan ini tidak hanya melibatkan Polly, namun juga beberapa pejabat penting yang ada dalam BIN. Demikian pula MA harus berani mengambil fakta persidangan yang muncul dalam sidang Indra Setiawan dan Rohainil Aini, terutama fakta yang berkaitan dengan para pejabat BIN. Sedangkan Jaksa Agung dengan timnya harus segera menghadirkan Budi Santoso di persidangan dan meminta Kepala BIN bekerjasama dalam proses hukum ini. Usaha ini merupakan bentuk dari keseriusan pihak kejaksaan untuk mengungkap konpirasi pembunuhan ini. Disamping kedua hal diatas, pemeriksaan oleh kepolisian terhadap As’ad Ali Said, Hendropriyono dan Muchdi PR menjadi penting. Terutama, setelah proses persidangan pada 2007 lalu berhasil mengungkap adanya benang merah upaya sistematis yang dilakukan oleh para pejabat BIN dalam menghilangkan nyawa Munir. Sekadar mengingatkan, pada proses persidangan 2007 tercatat beberapa fakta penting peranan Polly dan Muchdi PR yang tidak ditolak dan tidak terungkap pada sidang-sidang sebelumnya, yaitu bahwa penerbangan Polly (6 September 2004) dengan GA 974 adalah kemauannya sendiri. Hal ini terungkap dalam sidang Indra Setiawan dengan agenda konfrontasi yang dihadiri oleh Rohainil Aini, Karmel Sembiring dan Ramelgia Anwar. Dengan demikian telah terjadi penyalahgunaan prosedur yang ada.
10
Terungkap pula keterkaitan Polly dengan BIN dengan pengakuan bahwa penugasan Polly menjadi Aviation Security atas permintaan BIN. Terungkap pula keterkaitan Polly dengan Muchdi PR selaku Deputi V BIN serta keterlibatan beberapa pejabat dan agen BIN lainnya dalam pembunuhan ini. Berdasarkan evaluasi KASUM, di tahun 2007 lalu tim kepolisian yang baru telah menunjukkan kerja yang lebih baik dari tim sebelumnya, walaupun sampai saat ini belum ditunjukkan bukti konkret akan upaya penegakan hukum yang serius kepada pejabat BIN yang diduga kuat terlibat dalam pembunuhan ini. Tahun lalu juga membuktikan bahwa BIN yang dikepalai oleh Syamsir Siregar belum menunjukkan langkah yang kooperatif dalam penegakan hukum. Hal ini dibuktikan dengan “tidak bersedianya” anggota BIN Budi Santoso dipanggil kejaksaan untuk bersaksi. Atas dasar kemajuan dan hambatan di tahun 2007, KASUM mendesak Presiden SBY untuk memerintahkan Kepala BIN agar bekerjasama dalam penegakan hukum pengungkapan pembunuhan Munir dan memerintahkan Kejagung serta Kepolisian agar bersungguh-sungguh menggungkap fakta dan menghadirkan dalam persidangan. KASUM berharap Pengadilan dapat bekerja atas dasar keadilan dan kebenaran yang tidak hanya dilahirkan dalam dokument formal namun juga fakta yang berkembang di masyarakat dan publik luas.
BIN harus umumkan Mengamati perkembangan tersebut, pengamat intelijen Suripto mengatakan bahwa BIN harus mengumumkan secara terbuka mengenai siapa orang atau pihak yang patut diduga membunuh Munir. “Di polisi kan ada intelijennya. Ya, harus mengumumkan secara terbuka, “ ujar Suripto. Yang dimaksudkan diumumkan secara terbuka adalah sejumlah bukti yang mengarah kepada terbunuhnya Munir, katanya. Suripto memberi contoh, kontak telepon yang intensif antara Polly dengan penjabat BIN Muchdi PR adalah bukti kunci untuk menguak tabir siapa yang bertanggung jawab di balik kematian Munir. “Isi percakapan tersebut adalah bukti kunci adanya konspirasi di balik kematian Munir, “ ujar Suripto. Kontak intensif antara Muchdi dan Polly tertuang dalam putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat (20/12/2005). Kontak ini berlangsung selama 41 kali sambungan telepon antara telepon seluler milik Muchdi dan nomor telepon rumah dan telepon seluler Polly.
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG Sedang isu keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir mencuat lagi berdasarkan pengakuan agen BIN Budi Santoso dalam BAP (berita acara pemeriksaan) kepolisian. Dalam BAPnya, Budi Santoso menyatakan adanya hubungan dekat antara Polly dan Muchdi PR. Suripto menyatakan, meski Polri dan Kejagung mengaku tidak bisa melacak rekaman pembicaraan Muchdi dan Polly karena keterbatasan teknologi informasi, namun seharusnya keterbatasan teknologi informasi tidak menghalangi pengungkapan secara tuntas kasus Munir.
Muchdi beri uang Polly
“ Budi Santoso sangat menyesal tidak dapat menghadiri persidangan. Yang bersangkutan sedang melaksanakan tugas negara tertutup di luar negeri,” Keterangan Kepala BIN
Pernyataan senada juga meluncur dari pengamat intelijen Wawan H Purwanto. Menurut Wawan, FBI (Biro Penyidik Federasi) sudah dilibatkan untuk menggusut kasus pembunuhan Munir termasuk meneliti isi percakapan Muchdi PR dan Polly. Wawan mengungkapkan sudah lebih dari enam bulan rekaman pembicaraan Polly dan Muchdh PR sudah ditangani FBI. “FBI harus terbuka, bukanlah peralatannya sudah sedemikian canggih? Apa pun hasilnya harus diungkapkan ke publik yang sudah menunggu sedemikian lama, “ desaknya. Ia menegaskan bahwa persidangan kasus Munir selama ini memang berputar-putar pada asumsi karena ketiadaan bukti.
Budi Santoso kembali absen Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan kesempatan sekali lagi kepada jaksa penuntut umum untuk memanggil ulang Budi Santoso, anggota BIN. Meski kesempatan menghadirkan saksi fakta sudah habis dan terbatasnya waktu untuk memeriksa perkara itu, hakim merasa perlu memberikan kesempatan lagi kepada jaksa mengingat pentingnya saksi Budi. “Kalau yang bersangkutan memang tidak bisa hadir, kita akan memikirkan bersama, “ ujar Ketua Majelis Hakim Heru Pramono, Selasa (8/1). Budi Santoso telah dipanggil ke persidangan untuk kedua kalinya. Jaksa pernah memanggil Budi Santoso pada 18 Desember 2007. Namun, Kepala BIN Syamsir Siregar menyampaikan, Budi tidak dapat hadir karena melakukan tugas ke luar negeri. “Keterangan surat dari Kepala BIN Syamsir Siregar menyatakan anggota BIN Budi Santoso sangat menyesal tidak dapat menghadiri persidangan. Yang bersangkutan sedang melaksanakan tugas negara tertutup di luar negeri,” jelas Heru Pramono. Panggilan kedua pun dilayangkan. Budi Santoso diminta hadir pada 8 Januari kemarin. Namun, yang bersangkutan tetap tidak hadir. Jaksa pun siap melayangkan panggilan ketiga. Meski Budi tidak datang, JPU tidak serta merta membacakan BAP-nya. Namun, JPU minta kesempatan sekali lagi untuk menghadirkan agen madya BIN yang berdinas di Direktorat 5.1 itu. Menurut JPU Didik Farkhan, keterangan Budi Santoso sangat penting. Jika Budi Santoso tidak hadir juga, Didik mengungkapkan pihaknya akan membacakan kesaksiannya
Berita Kontras No.01/I-II/2008
dalam BAP. “Keterangannya di bawah sumpah, itu nilainya sama dengan ketika dia datang ke persidangan. Tapi, baiknya memang saksi datang langsung, “ tambahnya.
Keterkaitan Polly dan Muchdi pada akhirnya terkuak juga. Keduanya diakui berteman. Fakta itu terungkap saat JPU Didik Farhan, membacakan BAP Budi Santoso, di PN Jakpus (15/ 1). BAP Budi ini dibacakan setelah jaksa gagal menghadirkan Budi sebagai saksi meski tiga kali melayangkan panggilan. Jaksa kembali menerima surat dari Kepala BIN Syamsir Siregar, yang menerangkan, Budi masih berada di luar negeri menjalankan tugas negara secara tertutup.
Pembacaan BAP disetujui baik oleh hakim maupun penasehat hukum terdakwa Indra Setiawan. Keterangan itu diambil di bawah sumpah. Dalam BAP itu, Budi mengaku mengenal Polly pada pertengahan 2004. Polly datang ke ruang kerjanya dan memperkenalkan diri sebagai pilot. Agen madya di bawah kendali Deputi I Urusan Luar Negeri BIN itu mengungkapkan bahwa Polly tidak memiliki jabatan struktural di BIN, namun merupakan anggota jaringan BIN. Polly menemui Budi atas referensi Muchdi dan meminta tolong agar Budi mengoreksi surat yang dikonsep dan diketiknya.
Menurut Budi, surat itu berisi rekomendasi agar Polly ditempatkan pada bagian corporate security. Ia mengaku mengoreksi beberapa hal, seperti tata letak dan kalimat yang janggal atau tidak sesuai dengan bahasa yang sering digunakan BIN. Surat itu dalam BAP juga menyediakan kolom untuk ditandatangani Wakil Kepala BIN M As’ad. Setelah dikoreksi, surat itu dikembalikan kepada Polly. Selanjutnya, Budi mengaku tak mengetahui bagaimana surat itu dinomori dan distempel. Hal itu bisa dilakukan Biro Umum BIN atau dengan cara bon nomor dan meminjam stempel. Budi dalam BAP juga menyebutkan, ia pernah diminta menyerahkan uang Rp 10 juta kepada Polly pada 14 Juni 2004. Penyerahan uang dilakukan di ruang tamu Muchdi. Ia juga diperintahkan Muchdi agar memberikan uang antara Rp 3 juta dan Rp 4 juta beberapa minggu setelah Polly mulai menjalankan pemeriksaan di kepolisian terkait dengan kematian Munir. Budi mengaku tidak mengetahui pemakaian uang itu. Anggota BIN itu juga mengaku pernah beberapa kali menerima telepon dari Polly, baik dari telepon rumah maupun telepon genggam, misalnya pada 23 Agustus 2004, 7 September 2004, atau 9 September 2004. telepon terus berlanjut pada bulan September (15 kali), Oktober dan November 2004. Polly kebanyakan menanyakan keberadaan Muchdi. Budi juga menerangkan dalam BAP, bahwa ia juga diminta Muchdi untuk mengecek keberadaan Polly. “Jadi, semacam penghubung antara keduanya, “ ujar jaksa. Namun, semua keterangan itu dibantah Polly, yang juga diperiksa sebagai saksi. Ia mengaku tak mengenal Budi, tak mengonsep surat BIN, tidak mengenal dekat Muchdi, tidak
11
JEJAK SANG PEJUANG menerima uang dan tak pernah menelepon Budi. Ia justru menduga Budi Santoso merupakan tokoh fiktif yang diciptakan jaksa.
Muchdi PR patut dijadikan tersangka Mencermati proses sidang yang memaparkan pengakuan Budi Santoso dalam BAP yang dibacakan oleh JPU diatas, jelas bahwa Polly dan Muchdi memang berteman. Padahal, dalam persidangan terdahulu, Polly dan Muchdi selalu membantah saling kenal. Bahkan saat ditanyakan langsung, Polly tetap membantah. Untuk itu KASUM dalam siaran persnya mengatakan bahwa keterangan yang diungkapkan Budi Santoso dapat memperkuat fakta sidang terdahulu, di mana hubungan Polly dan Muchdi juga teridentifikasi melalui hubungan nomor telepon genggam yang digunakan keduanya. Selain telepon genggam, hubungan keduanya telah terekam dalam komunikasi telepon dari telepon rumah Polly dan kantor Muchdi. Semula, KASUM sebenarnya mengharapkan Jaksa Penuntut Umum dapat menghadirkan saksi Budi Santoso secara fisik. Kehadiran saksi tersebut dapat digunakan majelis hakim, penuntut umum, maupun juga pengacara terdakwa Indra Setiawan untuk menggali fakta lebih dalam yang tak dibatasi oleh keterangan tertulis dalam BAP. Penggalian ini sudah barang tentu dapat menyempurnakan keterangan dalam BAP yang baru merupakan hasil penggalian pihak penyidik. Namun demikian, KASUM tetap menghormati JPU yang membacakan BAP yang berisi keterangan Budi Santoso. KASUM berpegang pada ketentuan hukum Pasal 162 ayat (2) KUHAP yang menyatakan, “jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.” Selanjutnya, KASUM berpendapat bahwa keterangan saksi Budi Santoso sebaiknya dapat mendorong pihak Penyidik Polri untuk menjadikan Muchdi PR sebagai tersangka. Guna menghindari kemungkinan terjadinya kejahatan lain yang ditimbulkan atas status baru bagi Muchdi PR, pihak penyidik juga diharapkan melakukan penahanan. Ini sesuai dengan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 106 yang mewajibkan pada penyidik untuk mengambil tindakan penyidikan yang diperlukan. Kewajiban hukum penyidik untuk menjadikan mantan Deputi V BIN Muchdi PR sebagai tersangka bahkan sebenarnya dapat dilakukan secara hukum sejak awal, tanpa menunggu pembacaan BAP Budi Santoso dalam sidang yang lalu. Hal ini dikarenakan penyidik telah mengetahui fakta tentang peran Muchdi PR dalam konspirasi pembunuhan Munir, setelah mendapat kesaksian di bawah sumpah oleh Budi Santoso. Langkah penyidik Polisi untuk menjadikan Muchdi sebagai tersangka adalah langkah yang amat penting untuk mengungkapkan lebih jauh pihak-pihak yang terlibat sebagai konspirator pembunuhan Munir. Hal ini tidak hanya mengungkapkan siapa dalang pelaku pembunuhan tapi juga siapa yang secara tidak langsung harus bertanggungjawab, karena paling memiliki kepentingan atas pembunuhan ini.
12
Selain menetapkan status tersangka dan melakukan penahanan terhadap Muchdi, kesaksian Budi Santoso dibawah sumpah dapat menjadi pijakan bagi penyidik untuk mulai melakukan penyidikan terhadap mantan Kepala BIN Hendropriono. Ada beberapa alasan yang patut dipertimbangkan. Yakni, fakta sidang mengungkap bahwa perencanaan kejahatan berada di dalam kantor BIN, termasuk menggunakan fasilitas yang ada. Lalu, fakta sidang mengungkap bahwa ada wewenang institusional atau kelembagaan BIN juga disalahgunakan, dengan terungkapnya dokumen surat yang memakai identitas BIN dan ditandatangani oleh pejabat BIN untuk meminta Presiden Direktur Garuda agar mengangkat Polly di luar prosedur normal Garuda. Dan pada akhirnya fakta sidang semakin mengungkap benang merah pembunuhan, bagaimana pola dan sistematika perencanaannya.
Indra yakin Polly orang BIN Sementara itu, mantan Direktur Garuda Indra Setiawan yakin bahwa Polly adalah orang BIN. Keyakinan itu muncul ketika Indra menerima surat dari BIN yang dibawa sendiri oleh Polly dan kemampuan mengatur pertemuan antara dirinya dengan Wakil Kepala BIN M As’ad. Hal tersebut dikemukakan Indra dalam sidang (18/01). Indra menjelaskan, surat itu diberikan sekitar Juni atau Juli 2004 langsung oleh Polly. “Saya kaget waktu pertama kali menerima surat itu. Surat itu surat resmi yang ditandatangani Wakil Kepala BIN, “ ujarnya. Ditanya apakah ia mengorfirmasikan isi surat kepada pejabat yang bersangkutan, Indra mengaku tidak melakukannya. Ia juga tidak menanyakan untuk kepentingan apa atau misi intelijen apa yang dilaksanakan BIN di perusahaan yang dipimpinnya. Saat itu, ia hanya berpikir bahwa surat tersebut berasal dari institusi negara yang wajib dilaksanakan. “Saya punya kewajiban untuk melaksanakannya. Ini surat resmi, ada nomornya,” ujar Indra. Indra mengaku minta dipertemukan dengan pemberi surat atau M As’ad pada sekitar Oktober atau November 2004, atau setelah peristiwa kematian Munir di pesawat. Ia meminta Polly memfasilitasi pertemuan tersebut. “Ternyata dia bisa menelepon. Kemudian Polly katakan, Bapak (Indra) bisa diterima. Dia oke, “ ujar Indra. Akhirnya pertemuan itupun terjadi di kantor BIN. Menurut Indra, dalam pertemuan itu tidak dibicarakan surat BIN atau kematian Munir. Mereka membicarakan tentang hal-hal yang bersifat umum. Dalam pertemuan itu pula, Indra mengaku pertama kali bertemu dengan Muchdi PR. Indra juga dicerca mengapa keterangannya tidak diungkap sejak awal ketika menjadi saksi dalam perkara Polly. Indra mengaku tidak pernah berpikir bahwa surat itu ada hubungannya dengan kematian Munir. Sementara itu, Rizal Ramli yang hadir sebagai saksi meringankan untuk Indra mengatakan, permintaan untuk menempatkan orang di posisi tertentu merupakan hal yang lazim dilakukan oleh instansi negara seperti BIN.
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG Menurutnya, BIN sebagai agen intelijen sering meminta bantuan untuk menempatkan orang demi kepentingan intelijen dan keamanan. Tidak tertutup kemungkinan juga penjabat direkrut menjadi agen BIN dan sering melaporkan hal-hal yang dianggap penting.
Polly dihukum 20 tahun Pada akhirnya setelah proses persidangan yang cukup panjang, MA menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara karena terbukti secara sah melakukan pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM Munir (25/1). Dalam putusan tersebut, MA menduga ada muatan politis dalam kasus pembunuhan Munir tersebut. “Tidak bisa dipastikan. Tapi diduga bermuatan politik. Munir itu kan orangnya banyak melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah dan mungkin dianggap berbahaya bagi kepentingan pemerintah, “ ujar Djoko Sarwoko, anggota Majelis Hakim PK MA.
digenggamnya sambil berteriak, “Merdeka. Demi Merah-Putih, demi negara.” Sambil mengatakan bahwa dirinya tak bersalah, Polly juga akan memastikan menempuh upaya hukum yang masih tersedia. “PK milik saya, “ ujarnya sedikit berteriak.
Tangkap Muchdi PR Menanggapi putusan tersebut, KASUM kembali mendesak Pemerintah khususnya aparat kepolisian untuk segera menangkap eks Deputi V BIN Muchdi Pr dan mengusut peran tersangka lainnya menyusul putusan MA (25/1). KASUM menilai, putusan MA adalah produk nyata dari kerja keras Polri dan Jaksa Agung dalam menemukan bukti-bukti baru. Meski belum puas, KASUM mengapresiasi kemajuan-kemajuan positif selama ini. Bagi KASUM, proses hukum tak boleh berhenti dengan dihukumnya kembali Polly. Proses hukum harus terus berjalan sampai tuntas dengan menyeret dan menghukum dalangnya.
Putusan MA memperkuat kesimpulan Putusan yang dibuat secara aklamasi Tim Pencari Fakta pimpinan Brigjen Pol. oleh Majelis Hakim PK yang diketuai Marsudhi Hanafi yang dibentuk Presiden Bagir Manan tertuang dalam putusan SBY pada Desember 2004. TPF menegaskan bahwa pembunuhan Munir bernomor 109/PK/PID/2007, Dok.Kontras mengabulkan permohonan PK yang adalah pembunuhan konspirasi atau Persidangan terdakwa Indra Setiawan diajukan kejaksaan. “Pollycarpus persekongkolan jahat dari orang-orang terbukti secara sah melakukan tindak yang ada di lingkungan Garuda Indonesia pidana melakukan pembunuhan dan BIN. Searah dengan temuan TPF, MA berencana dan pemalsuan surat. Menghukum terpidana menegaskan motif politik di balik pembunuhan Munir. dengan pidana penjara selama 20 tahun dikurangi masa tahanan yang sudah dijalani,” kata Kepala Biro Hukum dan Karena itu KASUM meminta agar putusan MA segera dijadikan fakta hukum baru untuk menyidik aktor-aktor lainnya, seperti Humas Nurhadi membacakan putusan PK itu. Muchdi PR dan Hendropriono. Rujukannya adalah beberapa Dalam pertimbangannya, MA berpendapat alasan pengajuan bukti baru (novum) yang menjadi dasar pertimbangan PK. Antara PK oleh kejaksaan dapat dibenarkan. “Pertama, terjadi lain adalah keterangan Indra Setiawan (eks Dirut Garuda), Raden kekeliruan yang nyata dari hakim dalam memutus dan kedua Padma Anwar alias Ucok (agen BIN) dan eks Direktur 51 BIN adanya novum (bukti baru)” kata Djoko lagi. Ia juga Budi Santoso. menjelaskan pembunuhan terhadap Munir tidak dilakukan dalam penerbangan Jakarta-Singapura, tetapi di Bandara Indra Setiawan mengakui adanya permintaan As’ad Said Ali yang menjabat Wakil Kepala BIN saat itu dalam pengangkatan Changi, Singapura. Polly sebagai Aviation Security. Indra Setiawan juga mengakui Putusan PK tersebut jauh berbeda dengan putusan kasasi MA adanya arahan Muchdi Purwopranjono (eks Deputi V BIN). yang diputus 3 Oktober 2006. Dalam putusan kasasi, MA menyatakan Pollycarpus tidak terbukti membunuh Munir, Dari keterangan Ucok terungkap perencanaan membunuh Munir tetapi hanya memalsukan surat tugas dan hanya divonis dua yang melibatkan Sentot Waluyo (Agen BIN), Johanes Wahyu tahun penjara. Kasasi itu menggugurkan putusan PT DKI Saronto (Deputi IV BIN) dan Manunggal Maladi (Deputi II BIN). Jakarta yang menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. PT DKI Dan yang paling jelas adalah terungkapnya peran eks Deputi V Jakarta pada 27 Maret 2006 memvonis Pollycarpus 14 tahun BIN Muchdi PR berdasarkan keterangan Budi Santoso, Indra Setiawan maupun hubungan telepon Muchdi Pr dengan Polly. penjara. Atas putusan tersebut, Pollycarpus, malam harinya dijemput paksa aparat kejaksaan dan langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Polly dibawa dari rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang. Sesaat sebelum memasuki mobil Toyota Kijang warna perak milik kejaksaan, di depan puluhan wartawan yang mengerumuninya, Polly sempat mengibas-ngibaskan bendera Merah-Putih yang
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Tuntutan tidak maksimal Di luar putusan MA, KASUM menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum untuk terdakwa Indra Setiawan (1,6 thn) dan Rohanil Aini (1 thn) pada sidang PN Jakarta Pusat (25/1) tidak optimal. Dari sisi keluarga Munir sebagai korban, tuntutan pidana ini tak mencerminkan rasa keadilan dan keseriusan JPU sebagai
13
JEJAK SANG PEJUANG wakil kepentingan umum dan wakil kepentingan korban. Suciwati merasa, tanpa peran Indra Setiawan, maka pembunuhan terhadap suaminya hampir mustahil bisa terjadi. Bahkan secara yuridis, tuntutan JPU di bawah standar minimal. KASUM juga berharap Presiden SBY segera mengambil tindakan-tindakan lebih lanjut agar Polri terus bekerjasama dengan BIN, untuk membongkar konspirasi pembunuhan Munir dengan menghukum semua orang yang terlibat di dalam kejahatan ini, dan membuktikan kelulusan pemerintah dalam a test of our history yang pernah dikatakan oleh Presiden.
Ungkap perencana Sementara itu, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menilai Pollycarpus hanya pelaku yang dikorbankan dalam perkara pembunuhan Munir. Adapun perencana pembunuhannya malah tidak diungkap. “Pemerintah sudah biasa bohong kepada rakyatnya. Yang kasihan Polly dihukum 20 tahun, tapi yang sesungguhnya merencanakan pembunuhan Munir malah bebas lepas dan bahkan menjadi menteri. Lha, terus piye, “ tutur Gus Dur. Menurut Gus Dur, kunci satu-satunya dan saksi paling utama, yakni personel BIN Budi Santoso, malah tidak dilepas untuk bersaksi dengan dalih sedang bertugas di luar negeri. “Semestinya masalah diungkap tuntas. Dengan demikian, bisa dilakukan perbaikan ke depan, “ ujar Gus Dur. Sedangkan Brigjen Marsudi Hanafi (Wakapolda Sumsel), mengatakan bahwa dijatuhkannya hukuman penjara 20 tahun atas Polly menunjukkan bahwa supremasi hukum dan keadilan di Indonesia belum mati. Hal ini tentunya sangat membesarkan hati karena hasil kerja TPF kasus Munir yang ketika itu menjadi perpanjangan tangan dari Presiden SBY telah membuahkan hasil. Lebih dari itu, karena kasus ini merupakan kasus konspirasi, maka Hanafi meyakini proses hukum akan dilanjutkan. Bentuknya adalah pemberian sanksi terhadap para pelaku lainnya. Tanggapan lainnya diutarakan oleh Asmara Nababan (Mantan Wakil Ketua TPF Munir), mengatakan putusan atas PK yang diajukan Kejaksaan Agung ke MA merupakan hal yang penting. Hal itu berarti penerimaan MA atas novum yang diajukan. Diantaranya bahwa Polly memiliki hubungan dengan BIN dalam kapasitasnya sebagai agen serta adanya rapat-rapat di BIN yang terkait dengan rencana eksekusi Munir. Itu semua sudah menjadi bukti hukum, sehingga sekarang jugalah waktunya bagi polisi untuk meningkatkan penyelidikan terhadap orang-orang yang menjadi pimpinan BIN ketika peristiwa terjadi. Sedangkan ihwal tidak disebutkannya keterlibatan BIN secara institusional dalam perencanaan pembunuhan Munir, hal itu sangatlah bisa dipahami. Tapi itu seharusnya menjadi tugas kepolisian untuk segera menemukan bukti hukum bahwa keterlibatan BIN bukan sebatas individu, tapi institusional. Terlebih mengingat banyaknya individu di BIN yang terkait dengan kasus ini. Suciwati, isteri Munir, juga menegaskan, putusan MA harus segera ditindaklanjuti dengan menyelidiki sejumlah pihak yang
14
juga diduga terlibat dalam kasus ini. “Kasus (Munir) ini harus diusut sampai tuntas, jangan berhenti hanya pada aktor lapangan. Sebab, kasus ini sudah menjadi salah satu ukuran penegakan HAM di Indonesia. Kasus ini menjadi bagian dari ukuran, sejauh mana kebenaran dan keadilan ditegakkan di negara ini, “ ujar Suciwati. Suciwati juga menghargai sikap Kepala BIN Syamsir Siregar yang telah membantu mengungkap pembunuhan Munir dengan mengizinkan anak buahnya memberi kesaksian kepada polisi. Sementara Usman Hamid menambahkan, apresiasi juga diberikan kepada polisi, kejaksaan, serta MA. “Saya agak suprised dengan MA karena putusan mereka di atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis Polly 14 tahun penjara. Namun MA memang punya kewenangan untuk melakukan hal itu, “ ujarnya. Sampai sekarang memang belum ada bukti bahwa Pollycarpus yang memasukkan racun ke dalam minuman Munir. Meski demikian, Usman tidak melihat adanya nuansa politik dalam putusan MA tersebut.
Polri usut dalang pembunuhan Polri akan segera memeriksa kembali Polly untuk mengungkap dalang pembunuhan Munir. Kadiv Humas Polri Irjen Sisno Adiwinoto menegaskan dalam berkas pemeriksaan baru itu Polly akan diperiksa penyidik Polri dengan status sebagai saksi. Selain memeriksa Pollycarpus, penyidik Bareskrim juga akan memeriksa nama-nama yang terungkap di pengadilan dan mendalami petunjuk yang terungkap di persidangan. Namun, Sisno enggan menyebutkan namanama yang akan diperiksa itu. “Yang jelas, kita akan mendalami hasil di persidangan sebagai petunjuk untuk menggali informasi yang menjurus kepada kasus, adakah pihak lain yang membantu pembunuhan Munir atau bahkan ada pihak yang menyuruh Polly membunuh Munir, “ ujarnya. Soal adanya dua nama agen BIN yang terungkap dalam pengadilan sebagai orang yang pernah berencana membunuh Munir, sebelum terjadinya pembunuhan Munir di Changi Singapura, Sisno enggan berkomentar. “Saya tidak menyebut nama. Yang jelas, semua saksi dan petunjuk yang terungkap di persidangan akan disidik dan diperiksa polisi, “ tegasnya. Sedangkan salah satu pengacara Polly, M Assegaf memastikan akan mengajukan PK. “PK itu hak saya. Saya kan belum pernah mengajukan, “ kata Assegaf menirukan kata-kata kliennya setelah bertemu sekitar satu jam di LP Cipinang (26/1).
Indra bantah terlibat Indra Setiawan menolak dituding terlibat dalam tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Munir. Meskipun Indra menindaklanjuti surat Wakil Kepala BIN untuk menempatkan Pollycarpus di Bagian Corporate Security, hal itu
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG tidak berarti Indra telah membantu melaksanakan operasi intelijen.
transparan dan berani mempertanggung jawabkan operasinya pada lembaga yang ditunjuk.
Demikian rangkuman pleidoi yang diajukan Indra Setiawan dan pengacaranya, Antarwirya, dalam persidangan (1/2). Dalam pembelaannya yang dibacakan sendiri, Indra mengaku tidak tahu apakah surat BIN yang diterimanya pada Juni atau Juli 2004 itu bagian dari rencana pembunuhan atau bukan. Yang ia pahami adalah bahwa surat tersebut merupakan surat resmi dari lembaga negara yang salah satunya bertugas mencegah ancaman teror.
“Jika Polly bukan orang BIN mungkin dia dibayar sebagai agen lepas, maka investigasi lanjutan penting untuk pembuktian,” ujar Peter. Proses itu bisa terhambat karena kepentingan politik dan kekuasaan yang saling melindungi. Dia mencontohkan pengalaman Argentina yang masih berdebat soal pengawasan lembaga intelijen sejak tahun 1983.
Lagi pula, ujar Indra, memenuhi permintaan BIN menempatkan Pollycarpus tidak bertentangan dengan hukum dan prosedur yang berlaku di PT Garuda. Pollycarpus selaku penerbang senior sudah layak diperbantukan di Bagian Corporate Security. Menurutnya, adanya surat tugas dari direktur utama tidak lantas membuat Polly bisa berlaku seenaknya. “Jadi, di dalam surat tersebut kekuasaan Polly juga dibatasi,” ujar Indra. Ia menambahkan, “Kalau ada yang dilanggar, itu adalah salah Polly, bukan yang membuat surat.” Sementara itu, Senin (4/2), sejumlah mantan anggota TPF pembunuhan Munir bertemu dengan Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Bekas anggota TPF itu adalah Hendardi, Asmara Nababan, Usman Hamid dan Kamala Chandra Kirana. Seusai pertemuan itu, Usman mengatakan, pihaknya sangat menghargai dan mengapresiasi upaya Polri dalam membongkar kasus itu, khususnya dalam perkara PK putusan MA terhadap Pollycarpus. Ketika ditanya apakah perkembangan yang dijanjikan polisi akan muncul sebelum bulan Juni yaitu adanya tersangka baru, Usman membenarkan, “Ya, dalam waktu dekat. Tidak akan lama.” Ia menegaskan bahwa polisi berjanji akan menindaklanjuti fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan PK terhadap Pollycarpus. Fakta-fakta tersebut kini menjadi sasaran dalam kelanjutan penyidikan membongkar pelaku utama pembunuh Munir. “Nama-nama yang muncul di persidangan pasti akan dipertimbangkan Bareskrim untuk pemeriksaan lebih jauh. Mudah-mudahan kita bisa segera menyaksikan hasil yang lebih konkret,” kata Usman.
Awasi BIN Tuntutan agar BIN diselidiki tak hanya disuarakan oleh aktivis dalam negeri. Peneliti asing juga ikut “berteriak”. Pengusutan kasus kematian Munir dianggap sebagai momentum terbaik untuk melakukan reformasi lembaga intelijen di Indonesia. “Selama ini tidak ada budaya demokrasi di tubuh intelijen. Mereka berprinsip melakukan tugas negara, jadi lebih mudah jika tetap tidak diketahui oleh siapapun, “ Prof Dr Peter Gill, peneliti Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF). Padahal, kata professor spesialis ilmu pertahanan dan intelijen di Salford University, Inggris itu, seorang agen tetap harus tunduk pada konstitusi negara. Jika sebuah negara berfaham demokrasi, maka mata-mata juga harus siap
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Menurut Peter, mengawasi lembaga intelijen perlu aturan hukum yang tegas dan spesifik. “LSM dan unsur masyarakat sipil harus bekrejasama dengan parlemen untuk segera mewujudkan undang-undang pengawasan itu,” katanya. Dia mencontohkan, di negara-negara maju, seseorang yang merasa menjadi korban operasi intelijen dapat melapor pada parlemen. Misalnya, seorang yang diculik, ditangkap atau diinterogasi paksa. “Nanti ada komite atau surat dari para anggota parlemen yang memverifikasi laporan itu dengan memanggil pihak terkait,” katanya. Di Indonesia, praktek itu belum terjadi. Selama ini, pertanggung jawaban BIN hanya dilakukan dalam rapat dengar pendapat secara tertutup di Komisi I DPR.
Polisi sita surat penugasan BIN Polri menyita surat penugasan BIN untuk Pollycarpus. Dalam surat itu, BIN meminta Polly diberi kesempatan berada dalam penerbangan bersama Munir. Penyitaan surat itu diungkapkan seorang pejabat di lingkungan kepolisian. “Dalam surat itu, dia meminta agar Polly diberikan kesempatan terbang sesuai tanggal yang diminta Polly, “ ujarnya. Surat itu dalam sejumlah persidangan kasus pembunuhan Munir, diakui Indra Setiawan hilang sejak Desember 2004. Walau demikian, Indra, , mengakui bahwa surat itu diterimanya langsung dari Pollycarpus pada pertengahan 2004. Saat menanggapi penyitaan surat itu, Kepala Bareskrim Komjen Bambang Hendarso menolak berkomentar. “Kita lihat ke depan saja. Yang jelas kalau ada bukti yang perlu ditindaklanjuti akan kita tindaklanjuti, “ ujarnya. Sementara itu, Asmara Nababan mengatakan lewat surat yang kini telah berada di tangan polisi itu terlihat bagaimana BIN mengatur agar Polly dapat naik pesawat yang sama dengan Munir. “Surat itu memperkuat bukti Polly bekerja untuk BIN dan BIN juga telah membuka peluang Polly untuk melakukan pembunuhan, “ tegasnya. Terkait dengan pernyataan pengacara Pollycarpus yang menampik keberadaan surat itu, Asmara menyatakan penyitaan dan temuan Polri itu menunjukkan rontoknya kebohongan yang dibuat selama ini. “Ini menjadi harapan baru untuk mengungkap tuntas siapa dalang dan otak pembunuhan Munir, “ katanya.
Indra divonis setahun PN Jakarta, pada sidang Senin (12/2), majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun terhadap Indra Setiawan. Apabila hukuman tersebut masa penahanan yang
15
JEJAK SANG PEJUANG sudah dijalani (301 hari), Indra akan bebas sekitar dua bulan lagi. Meskipun demikian, Indra tidak puas dengan putusan itu. Ia menyatakan akan mengajukan banding atas putusan tersebut. “Saya banding. Insya Allah, saya tidak bersalah, “ ujar Indra. Majelis hakim yang dipimpin Heru Pramono dengan hakim anggota Makassau dan Iva Sudewi menyatakan Indra terbukti bersalah membantu pembunuhan berencana. Ia membantu dengan menerbitkan surat penempatan Polly ke Bagian Corporate Security. Penempatan Polly ke Bagian Corporate Security dilakukan setelah Indra menerima surat resmi dari BIN yang ditandatangani Wakil Kepala BIN. Meski surat tersebut hilang, keberadaannya diperkuat oleh keterangan saksi Budi Santoso, personel BIN yang diminta mengoreksi konsep surat yang dibuat Pollycarpus. Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, Indra seharusnya mengonfirmasikan isi surat tersebut ke BIN dan meminta penjelasan kepada BIN sebelum memenuhi permintaan tersebut, tetapi hal itu tidak dilakukan. Hakim juga menilai langkah Indra tidak tepat karena tidak membicarakan hal itu dengan atasan langsung Pollycarpus, Kapten Kamal F Sembiring, dan Manajer Corporate Security Ramelgia Anwar. “Terdakwa dianggap telah mengetahui maksud penempatan Polly ke Bagian Corporate Security. Apalagi, juga diakui di dalam pembelaan terdakwa bahwa ia memperkirakan BIN memiliki misi intelijen, “ ujarnya. Indra Setiawan, seharusnya mempertimbangkan perlu atau tidaknya permintaan tersebut dikabulkan. Dengan demikian, surat tugas yang dikeluarkannya pada 11 Agustus 2004 itu tidak digunakan untuk melakukan kejahatan. Dalam putusannya, majelis hakim juga mempertimbangkan posisi terdakwa yang berada di simpang jalan, yakni di satu sisi terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pembantuan, tetapi sisi lain Indra adalah korban konspirasi tingkat tinggi. “Meskipun terdakwa mengetahui, tetapi tidak tergapai oleh daya apalagi pemikiran terdakwa yang sederhana dan lugu, “ kata Heru. Seusai persidangan, pengacara Indra, Antawirya, mengatakan pihaknya tidak dapat menerima putusan tersebut. Ia menilai dakwaan jaksa tidak terbukti. “Bagaimana dia tahu bahwa itu tugas dari BIN. Yang ia tahu kan bahwa surat BIN itu untuk melindungi demi menjalankan tugas keamanan. Ya dijalankan. Kenapa waktu menjalankan tugas dari BIN dalam rangka keamanan ia harus dipersalahkan membantu melakukan pembunuhan. Ini kontradiksi, “ujarnya.
Rohainil Aini bebas PN Jakarta pada (12/2) juga memutuskan Rochainil Aini, Secretary Chief Pilot Airbus 330 Garuda Indonesia, bebas dari tuntutan hukum. Ketua majelis hakim Makasau menyatakan Rohainil tak terbukti membantu membunuh Munir seperti dakwaan jaksa. Rohainil juga tak terbukti memalsukan surat tugas yang memungkinkan Polly berada satu pesawat dengan Munir.
16
Dari fakta persidangan, kata Makasau, Rohainil mengeluarkan surat nota perubahan pada 6 September 2004 atas permintaan Polly. Nota itu berisi perubahan tugas penerbangan Polly dari Cina ke Singapura. Hakim menilai surat yang dikeluarkan Rohainil sudah sesuai dengan job description, sebagai sekretaris kepala pilot. Rohainil juga dianggap tak memiliki wewenang mengklarifikasi permintaan Polly itu. “Tidak ada sarana dari terdakwa untuk membunuh Munir, “ kata Eli Maryani, salah satu anggota majelis hakim. Pembuatan surat oleh terdakwa, kata Eli, tidak dapat dikategorikan pemalsuan surat. “Itu sudah sesuai dengan tugas yang diatur oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Garuda, “ ujarnya. Sebelumnya, jaksa menuntut Rohainil hukuman satu tahun penjara. Dia dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 340 jo Pasal 56 ayat 2 KUHP tentang membantu pembunuhan berencana dan Pasal 263 ayat 1 KUHP tentang pembuatan surat palsu. Ketua LBH Jakarta, Asfinawati, menyesalkan putusan bebas ini. Dia menilai hakim tidak mempertimbangkan kesaksian Karmel Fauza Sembiring, Chief Pilot Airbus 330 Garuda Indonesia. “Karmel bilang Rohainil tidak berwenang mengeluarkan surat itu.” Sementara Jaksa Penuntut Umum, akan mengajukan kasasi atas putusan tersebut. “Sesuai dengan aturan, kami akan pelajari dulu putusan hakim. Tapi yang jelas kami akan kasasi, “ ujar JPU Edy Saputra.
Segera sidik Muchdi PR Berakhirnya sidang eks Dirut Garuda, Indra Setiawan (11/2) dan Secretary Chief of Pilot, Rohainil Aini (12/2) dalam konspirasi pembunuhan berencana terhadap Munir di PN Jakarta Pusat serta putusan PK terhadap Pollycarpus (25/1), menjadi titik awal penyidikan kepolisian ke struktur konspirasi yang lebih tinggi. Fakta-fakta persidangan ketiga pelaku tersebut dapat dijadikan jendela bagi aparat kepolisian untuk mengembangkan penyidikannya ke pejabat BIN yang disebut-sebut terkait seperti eks Deputi V BIN Muchdi PR, Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali dan eks Kepala BIN Hendropriyono. Khusus yang menyangkut keterlibatan Muchdi, KASUM mencatat, bahwa dalam persidangan yang digelar beberapa waktu lalu telah membuka mata publik bahwa ia terlibat dalam perencanaan. Fakta itu terungkap dari berbagai kesaksian baik itu Indra Setiawan, Direktur 5.1. BIN Budi Santoso dan kesaksian agen BIN Raden Padma Anwar alias Ucok alias Empe. (lihat tabel). Atas dasar fakta-fakta yang terungkap diatas maka KASUM menilai bahwa sudah saatnya eks Deputi V BIN, Muchdi ditangkap, ditahan dan dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Munir. Selain karena ia terlibat turut serta
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG melakukan pembunuhan yang dilakukan oleh terpidana Pollycarpus BP. Muchdi juga banyak memberikan keterangan yang palsu dan menyesatkan. Berdasarkan hasil monitoring proses persidangan dengan terdakwa Pollycarpus, Indra Setiawan dan Rohainil Aini, KASUM mencatat ada beberapa hal penting antara lain; baik Pollycarpus BP, Indra setiawan, Rohainil Aini, ketiganya terlibat (dengan peran yang berbeda) dalam kasus
Keterangan Muchdi PR Mengakui nomor handphone yang tertera dalam print out tapi membantah berhubungan telepon dan kenal dengan Pollycarpus BP
1.
3.
4.
5.
6.
1.
Pengakuan Indra Setiawan bahwa ada surat permintaan dari BIN yang diantar langsung oleh Pollycarpus sekitar bulan Juni/Juli untuk pengangkatan Polly sebagai Aviation Security dan surat yang bersifat rahasia tersebut hilang dicuri orang di pelataran Hotel Sahid. Pengakuan Indra bahwa pernah bertemu Muchdi saat pertama kali ketemu As’ad di kantor BIN untuk mengetahui pemberi surat tersebut dan pertemuan difasilitasi oleh Polly. Pengakuan Indra Setiawan bahwa orang BIN yang dikenal oleh Polly adalah As’ad dan Muchdi. Dalam rekaman pembicaraan Indra dengan Polly disebutkan nama sandi Bu Asmini (untuk As’ad), Bu Avi (Muchdi PR) dan Joker (Hendropriyono). Kesaksian Direktur 51 BIN, Budi Santoso yang mengatakan bahwa kenal Pollycarpus BP pertama kali di ruangan Muchdi PR, saat diperintah untuk membawa uang Rp.10 juta untuk tamunya. Kesaksian Budi Santoso yang mengatakan bahwa posisi dia sebagai penghubung antara Polly dan Muchdi. Muchdi pernah memintanya untuk mengecek keberadaan Polly, begitupun Polly sering menyakan apakah Muchdi ada di kantor, sebelum Polly datang ke kantor BIN.
Kesaksian Raden Padma Anwar alias Ucok (agen BIN) yang mengatakan adanya perencanaan pembunuhan Munir yang melibatkan Sentot Waluyo (Agen BIN), Johanes Wahyu Saronto (Deputi IV BIN) dan Manunggal Maladi (Deputi II BIN).
Sementara itu, Suciwati yang tak pernah lelah berjuang atas kebenaran dan keadilan bagi suaminya ini, kembali
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Selanjutnya, misteri konspirasi pembunuhan Munir dengan melibatkan BIN sudah mulai gamblang, dengan tergambarnya alur inter-relasi dan komunikasi, baik antar pelaku maupun antara lembaga BIN dengan Garuda. Temuan fakta penting yang patut menjadi petunjuk untuk beranjak kepada tersangka lain, khususnya Muchdi, antara lain seperti tergambar di bawah ini:
Keterangan Pihak lain
2.
Mengatakan bahwa Munir bukan orang yang membahayakan, walaupun termasuk orang yang vokal terhadap pemerintah
pembunuhan Munir, oleh karenanya sudah selayaknya bertanggungjawab secara hukum.
menegaskan dan mendesak Persiden SBY untuk segera menetapkan status Muchdi sebagai tersangka. “Saya secara
17
JEJAK SANG PEJUANG pribadi mendorong Presiden untuk memerintahkan adanya penyelidikan terhadap Muchdi, kalau perlu langsung menangkapnya, “ ujar Suciwati Menurut Suciwati, misteri kasus pembunuhan suaminya yang diracun dengan arsenik pada 2004 itu kini semakin gablang. Keterangan dari tersangka mantan Dirut Garuda Indra Setiawan dan Budi Santoso sebagai saksi di persidangan kasus Munir semakin menguatkan keterlibatan Muchdi. “Dukungan Presiden bisa memperkuat kekuatan Polri untuk bisa memeriksa dia,” tegas Suciwati. Choirul Anam dari divisi hukum KASUM menambahkan, penyelidikan terhadap Muchdi harus segera dilakukan. Sebagai seorang mantan perwira tinggi, tidak tertutup kemungkinan bahwa Muchdi akan melakkan lobi-lobi tingkat elite untuk menghambat penetapan dirinya sebagai tersangka. “Persoalan disini adalah koneksi Muchdi yang kuat bisa menghentikan aturan hukum yang ada di tingkat lapangan, “ ujar Choirul.
Sidang Dewan HAM PBB Selanjutnya, Anam juga mengatakan bahwa kasus Munir akan menjadi salah satu materi laporan tahunan penegakan HAM di Indonesia ke sidang Dewan HAM PBB di Genewa, Swiss, April 2008. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mempercepat penyelesaian kasus tersebut. Anam menuturkan pula, Dewan HAM PBB akan membahas laporan tahunan dari Indonesia pada 15 April. Selain laporan
pemerintah, saat itu Dewan HAM juga akan melihat laporan dari sejumlah LSM sebagai pembanding. “Untuk laporan dari LSM, kami akan memasukkan perkembangan kasus pembunuhan Munir sebagai salah satu laporan utama, “ ujar Choirul Anam. Kasus Munir ini, lanjut Anam, juga akan menjadi bagian dari isi laporan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Pembela HAM Hina Jilani yang datang ke Indonesia pada Juni 2007. Ketika ada di Indonesia, Hina pernah mengatakan, selama pembunuhan Munir belum terungkap, pembela HAM di Indonesia tak akan pernah merasa aman. Kasus ini juga telah menjadi perhatian masyarakat internasional sehingga dia menyarankan pemerintah Indonesia dapat memastikan hukum diberlakukan sebagaimana mestinya dalam kasus ini. Sedang Suciwati menambahkan, dia dan anggota Parlemen Eropa, Ana Maria Gomes, juga sedang menggalang tandatangan dukungan penyelesaian kasus pembunuhan Munir diParlemen Eropa. “Saya masih mengumpulkan sejumlah fakta. Diharapkan, setidaknya ada 200 tanda tangan untuk Munir, “ ujarnya. Sementara itu, Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto, mengatakan, penyidikan lanjutan mengenai kasus Munir terus dilakukan. Setelah Pollycarpus, Susanto mengatakan akan lebih gencar membuka kemungkinan pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Iamenolak jika dikatakan membedakan pemeriksaan pada orang-orang tertentu yang diduga terlibat.***
Novum (bukti baru) kasus pembunuhan Munir 1.
Saksi Ongen melihat Pollycarpus berjalan dari gerai pemesanan minuman membawa dua gelas, selanjutnya Polly dan Munir terlihat berbincang-bincang sambil minum.
2.
Agen BIN bernama Sentot dan M Patma Anwar mendapat tugas membunuh Munir menggunakan santet maupun racun
3.
Sekitar minggu pertama Agustus 2004 Agen BIN M Patma Anwar pernah ditelepon Sentot yang menyatakan bahwa dia memiliki cairan yang bisa digunakan untuk membunuh Munir
4.
Agen BIN Patma Anwar pernah melihat Polly di parkiran BIN sebelum kematian Munir
5.
Sekitar Juni/Juli 2004 Indra Setiawan, Dirut Garuda, menerbitkan surat penugasan Polly sebagai staf perbantuan (aviation security) atas permintaan tertulis M.As’sd, Wakil Kepala BIN
6.
4 September 2004 Polly menelepon HP Munir yang diterima Suciwati untuk memastikan keberangkatan Munir ke Amsterdam
7.
6 September 2004 Polly meminta Rohainil Aini via telepon untuk mengubah jadwal terbang Polly agar dapat terbang bersama Munir
8.
Ketika pesawat transit di Bandara Changi, Polly tidak langsung ke hotel seperti kru lainnya. Bahkan Polly terlihat membawa dua gelas minuman masing-masing untuk Munir dan dirinya
9.
Delapan hingga sembilan jam sebelum Munir meninggal, posisi Munir berada di Bandara Changi sehingga dipastikan Munir diracun dengan menggunakan arsenik
10. Orang yang meracun Munir adalah Polly, mengingat orang yang paling dekat dengan Munir saat itu dan yang memberi minum kepada Munir adalah Polly. Sumber : PK Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat
18
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DAERAH
Kekerasan Meningkat, Kontrol Perdamaian Melemah KontraS Aceh mencatat sepanjang tahun 2007 telah terjadi peningkatan angka kekerasan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 51 kasus tindak kekerasan. Diantaranya 12 kasus diduga kuat dilakukan oleh anggota polisi, 4 kasus diduga kuat dilakukan oleh anggota TNI, 2 kasus diduga kuat dilakukan oleh mantan GAM dan 33 kasus tidak teridentifikasi pelakunya. Sementara jumlah korban jiwa keseluruhan sebanyak 79 orang, yaitu 10 korban pembunuhan, 9 korban penembakan yang tidak mengakibatkan kematian dan 60 korban penyiksaan. Di luar itu, 9 kasus pembakaran dan 12 kasus peledakan/teror bom dan atau granat yang pelakunya sama sekali tidak terungkap. Tercatat juga aksi kriminalitas dengan menggunakan senjata api sebanyak 31 kali dengan korban penembakan sebanyak 2 tewas dan 4 luka tembak, kemudian penembakan misterius terjadi sebanyak 5 kali dengan korban 3 tewas dan 7 luka tembak. Ada lima penyebab yang mengakibatkan kekerasan meningkat, mulai dari melemahnya kontrol para pihak dalam menjaga perdamaian, tidak adanya early warning system (sistem peringatan dini) untuk mencegah konflik berulang, proses penegakkan hukum yang tidak fair dan masih diskriminatif, dan desain konsep reintegrasi yang sudah salah sejak awal, terakhir lemahnya peran kepolisian. Kemudian FKK (Forum Komunikasi dan Koordinasi) yang dibentuk dibawah Menkopolkam sebagai pengganti mandat CoSA dalam AMM, tidak berfungsi efektif dalam mencegah terjadinya konflik di Aceh setelah AMM meninggalkan Aceh. FKK terkesan hanya menjadi pemadam kebakaran yang bekerja ketika terjadi suatu peristiwa kekerasan dan tidak mampu menghentikan meluasnya kekerasan. Mandat FKK yang sangat luas juga dikhawatirkan bisa memperlemah peran dan fungsi pemerintahan Aceh dan mengancam kemandirian masyarakat Aceh dalam melanggengkan perdamaian.
Kepastian penegakkan hukum Dalam penegakkan HAM, tahun 2007 merupakan tahun yang masih mempertanyakan kepastian penegakkan hukum dan pemenuhan HAM. Tidak kunjung dibentuknya KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan Pengadilan HAM yang merupakan mandat perdamaian, menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada jaminan terwujudnya keadilan dan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM di Aceh. Padahal, desakan korban konflik dan korban pelanggaran HAM atas proses hukum dan keadilan semakin gencar dan
menguat. Desakan ini kian diperkuat dengan adanya sejumlah peringatan-peringatan tragedi pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada masa lalu, untuk mengingatkan kembali pemerintah bahwa kejahatan masa lalu tidak bisa dilupakan begitu saja dan harus segera diselesaikan. Dukungan nyata dari pemerintah, dalam hal ini baru sebatas retorika dan terkesan saling lempar handuk antara otoritas pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, di luar keberhasilan polisi dalam mengungkap sejumlah aksi-aksi kriminalitas bersenjata, polisi juga masih belum mampu meninggalkan cara-cara kekerasan dalam menjalankan tugasnya, seperti yang terjadi pada kasus pemukulan di Tanjong Beuridi dan penembakan di Lhoksukon dan Tiro. Demikian halnya dengan TNI yang masih mencampuri urusan sosial politik di Aceh dengan mengeluarkan pernyataanpernyataan politik dan di luar koridor kerangka pertahanan, seperti pernyataan tentang penyerahan senjata illegal, pen-DPOan pelaku kasus Alue Dua, tentang simbol partai GAM dan perlu tidaknya partai lokal. Dalam kasus Alue Dua terlihat jelas intervensi TNI terhadap penegakan hukum sehingga polisi tidak bisa bekerja secara independen. Sementara itu, keterbukaan pemerintah dalam menerima kunjungan Hina Jilani, Utusan Khusus PBB untuk Para Pembela HAM dan Louis Arbour, Kepala Komisi HAM PBB merupakan nilai tersendiri bagi pemerintah. Sayangnya, keterbukaan itu dijadikan pemerintah hanya sebatas tanggung jawab formalitas belaka. Karena pada prakteknya pemerintah masih tidak sensitif dengan persoalan HAM yang terjadi. Tuduhan kriminalisasi terhadap delapan pekerja LBH Banda Aceh yang sedang mengadvokasi kasus penyerobotan tanah rakyat oleh PT Bumi Flora di Aceh Timur, menunjukkan inkonsistensi jajaran pemerintah terhadap penghormatan HAM dan perlindungan terhadap para pembela HAM yang dijamin dalam perundang-undangan atau pemerintah hanya menjalankan fungsinya karena ada tekanan PBB. Pada tahun 2008, komitmen penegakan HAM pemerintah akan diuji dalam menghadirkan institusi KKR dan Pengadilan HAM di Aceh. Ancaman kekerasan juga masih potensial terjadi apabila komitmen para pihak dalam menjaga perdamaian hanya menjadi inisiatif-inisiatif parsial, yang tidak disertai dengan desain proses reintegrasi yang matang dan pemanfaatan early warning system berikut penegakan hukum dan kepastian pemecahan masalah secara fair dan terbuka. Karena reintegrasi dan juga pemecahan masalah merupakan sebuah tuntutan sekaligus tantangan bagi terciptanya kondisi Aceh yang lebih kondusif di masa mendatang. ***
Desak DPR Bentuk KKR Aceh Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan penegakan HAM di Aceh mendesak DPR agar segera pemerintah mengkonkritkan agenda penuntasan penegakkan HAM di Aceh. Hal ini merupakan mandat Yuridiksi dari UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006.
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Perjanjian damai antara Indonesia dengan GAM pada 15 Agustus 2005 merupakan perjanjian damai dengan semanga menghentikan kekerasan di Aceh yang telah berjalan bertahun-tahun dan mengakibatkan penderitaan yang Bersambung ke hal 20
19
KABAR DAERAH Peringatan 19 Tahun Peristiwa Talangsari Lampung 1989
Perjuangan Menggapai Keadilan yang Tak Kunjung Berkeadilan Sudah 19 tahun dusun Talangsari tetap tidak tersentuh pembangunan dan terkesan dibiarkan terbengkalai. Tidak ada listrik, fasilitas kesehatan, akses jalan desa sangat buruk dan sulit mendapatkan air bersih. Setiap kami mengajukan ke kepala Desa tidak pernah mendapat tanggapan serius. Kami sering mendapat jawaban akan dibantu kalau tidak mengungkit lagi kasus Talangsari. Sementara dusun-dusun yang lain kondisinya sudah jauh lebih baik dari dusun kami. Kami jadi bingung apa hubungannya peningkatan kesejahteraan warga dusun dengan kasus Talangsari? Demikian disampaikan oleh Suroso salah satu korban tentang kondisi dusun Talangsari III disela-sela peringatan 19 tahun peristiwa Talangsari tepat dilokasi terjadinya peristiwa. Sebuah situasi yang sangat sulit bagi keluarga korban ditengah himpitan persoalan ekonomi dan penantian panjang yang melelahkan untuk menggapai keadilan.
AJI Bandar Lampung. Dalam siaran pers tersebut korban menolak rencana pemerintah memberikan maaf kepada Alm HM Soeharto.
Salah satu keluarga korban Azwar Kaili menyampaikani “ketika Soeharto meninggal kami menolak ajakan pemerintah memasang bendera setengah tiang dan mendesak pemerintah mencabut gelar pahlawan yang Peristiwa Talangsari terjadi diberikan kepadanya, tidak Peringatan 19 tahun tragedi Talangsari Lampung akibat dari penyerbuan pantas menjadi pahlawan”. pasukan gabungan dibawah Dok. Kontras Kemudian malamnya komando Korem 043 Garuda keluarga korban bersama Hitam Lampung pada masyarakat sekitar tanggal 7 februari 1989 kepada Jama’ah pengajian di dusun menggelar Tahlilan dan doa bersama di lokasi untuk Talangsari III kelurahan Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara mengucap syukur atas segala nikmat dan karunia yang Lampung Timur. Penyerbuan tersebut dipimpin oleh Komandan diberikan oleh Allah SWT. Mereka pun memohon agar Tuhan Korem Kolonel AM Hendropriyono. Akibat dari penyerangan memudahkan langkah mereka memperjuangkan keadilan tersebut jatuh banyak korban. Dari data sementara yang kami atas peristiwa Talangsari. kumpulkan korban meninggal 47 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan Pada tanggal 6 Maret 2008 keluarga korban menggelar rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang- pengajian dengan penceramah Drs. Ratono, Mag yang juga wenang 175 orang. Hingga sekarang kasus ini masih dalam menjadi korban dalam peristiwa Tanjung Priok. Pengajian proses penyelidikan proyustisia Komnas HAM sesuai Undang- ini diikuti oleh masyarakat dari sekitar dusun Talangsari III Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. diantaranya Kelahang, Pakuan Aji dan dusun-dusun sekitarnya. Tahun yang ke-19 ini sekaligus untuk pertama kalinya peringatan kasus Talangsari digelar tepat dilokasi. Hal ini memberi arti Pada tanggal 7 Maret 2008 digelar pengajian dan penyuluhan penting bagi keluarga korban dan masyarakat sekitar yang lama hukum dengan penceramah Kabul Supriyadi. Acara terkurung dalam dusun terpencil dan jauh dari kesejahteraan. berlangsung cukup meriah, warga yang hadir cukup beragam Spirit peringatan 19 tahun kasus Talangsari tidak hanya bersifat dan antusias. Dalam ceramahnya Kabul menyatakan seremonial belaka, keluarga korban menjadikan momentum ini “seharusnya aparat kampung, kecamatan dan kabupaten tidak lagi untuk terus membangun ingatan kolektif bahkan pada entitas melakukan diskriminasi terhadap warga Talangsari serta harus yang paling dekat dengan mereka. memperlakukan mereka sama seperti warga masyarakat lainnya.”
Rangkaian acara Tanggal 5 Februari 2008 keluarga korban Talangsari, besama pendamping yang terdiri dari KontraS, Tehnokra UNILA dan AJI Bandar Lampung melakukan siaran pers bersama di kantor
20
Kemudian sore harinya dilanjutkan dengan pemutaran film tepat di lokasi pembantaian Jema’ah Talangsari. Nampak antusiasme warga dari sekitar dusun Talangsari III hadir memenuhi lokasi. Didahului dengan film Munir berjudul “Bunga Dibakar” setelah itu di selingi dengan orasi dari
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DAERAH Suciwati dan Usman Hamid. Warga berdesak-desakkan ingin menyaksikan mbak Suci. Dalam orasinya mbak Suci meminta keluarga korban Talangsari dan segenap warga tetap besatu dan gigih berjuang menggapai keadilan. Ditambahkan juga oleh Usman Hamid bahwa kegiatan seperti ini penting untuk memberikan informasi yang jelas tentang kasus Talangsari. Pada tanggal 8 Februari 2008 menggelar aksi disertai pembagian 2000 stiker bertuliskan “Penuntasan Kasus Talangsari Dijamin UUD 1945” di Bundaran Gajah Bandar Lampung dan kantor DPRD TK I Propinsi Lampung. Peserta aksi sekitar 200 orang terdiri dari Paguyuban Keluarga Korban Talangsari (PKTL), KontraS, IKOHI, JSKK, FMN Lampung, LMND Lampung, Tehnokra Unila dan AJI Bandar Lampung. Aksi ini sebagai medium untuk sosialisasi ke publik di Lampung dan mendesak perhatian pemerintah daerah terhadap kondisi keluarga korban.
Intimidasi Persiapan untuk menggelar peringatan 19 tahun kasus Talangsari ternyata tidak berjalan lancar. Acara yang digagas dan dikerjakan sendiri oleh keluarga korban ini ternyata tidak mendapat ijin dari kepala Desa Raja Basa Lama yang bernama Rahmad. Hal ini terbukti ketika Suroto selaku ketua panitia akan mengajukan ijin pemberitahuan dikantor desa mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan. Dia justru mendapat hujanan kata-kata kasar dari Kepala Desa Rahmad yang tidak sepantasnya dilontarkan. Suroto akhirnya pulang tanpa hasil dan diperintahkan oleh Kades Rahmad untuk membawa 10 orang perwakilan keluarga korban ke kantor desa.
Mengharap penuntasan
Sembilan belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi perjalanan keluarga korban. Sudah banyak upaya yang dilakukan namun belum mampu menghadirkan kado indah bagi pemenuhan keadilan dan hak-hak korban. Lebih dari lima tahun kasus ini terkatung-katung di Komnas HAM akibat ketidakjelasan proses pemantauan dan pengkajian sesuai “Kalau acara tetap Undang-Undang Nomot 39 tahun 1999 dilanjutkan, maka akan tentang HAM. Dari hasil pemantauan dan ada kelompok yang tidak pengkajian tersebut akhirnya Komnas HAM melalui rapat pleno memutuskan terdapat suka kasus Talangsari pelanggaran HAM berat dalam kasus diungkit-ungkit lagi akan Talangsari.
membubarkan acara tersebut.”kata Kepala Desa Rahmad di depan 10 orang perwakilan korban Talangsari.
Keesokan harinya tanggal 2 Februari 2008 hadir menghadap ke kantor desa 10 orang perwakilan dari keluarga korban Talangsari. Namun ijin pemberitahuan yang hendak disampaikan juga tidak digubris oleh Kades Rahmad. Dia justru mempertanyakan maksud, tujuan dari acara tersebut dan siapa tamu dari Jakarta yang akan hadir. Kades Rahmad dengan suara keras sembari kacak pinggang didepan 10 perwakilan keluarga korban menyatakan “kalian lagi kalian lagi, bagaimana saya mau bantu untuk memajukan dusun kalian kalau sedikitsedikit masuk TV dan sedikit-sedikit demo ke Jakarta”. Pernyataan kades tersebut sempat dijawab oleh salah satu perwakilan keluarga korban dengan menyatakan “apa hubungannya masuk TV dan ke Jakarta dengan pembangunan dusun?” bukankah pembangunan adalah tanggungjawab pemerintah?” Mendengar jawaban seperti itu Kades Rahmad semakin marah dan memaki-maki ke 10 perwakilan tersebut sambil mengancam “Kalau acara tetap dilanjutkan, maka akan ada kelompok
Berita Kontras No.01/I-II/2008
yang tidak suka kasus Talangsari diungkit-ungkit lagi akan membubarkan acara tersebut.” Akhirnya mereka pulang tanpa hasil apapun. Karena tidak ada titik temu maka pada tanggal 4 Februari 2008 perwakilan keluarga korban didampingi KontraS datang ke Polsek Labuhan Ratu dan Polres Lampung Timur. Di polres rombongan diterima oleh kasat Intelkam pak Gusti dan hasilnya polres akan mengawal rangkaian acara dan memberikan jaminan keamanan. Setelah itu kami teruskan hasil tersebut ke Polsek Labuhan Ratu, diterima langsung oleh Kapolsek. Sepanjang pelaksanaan acara peringatan nampak petugas polsek dan polres memberikan penjagaan dan pengamanan ditempat berlangsungnya kegiatan, sehingga tidak terjadi halhal yang tidak diinginkan.
Baru pada bulan Juni tahun 2006 berdasarkan SK Ketua Komnas HAM Nomor 15/KOMNAS HAM/ V/2007 kemudian diperpanjang dengan SK ketua Komnas HAM Nomor 28/ Komnas HAM/IX/2007 Komnas HAM membentuk tim penyelidik proyustisia untuk kasus Talangsari. Capaian tersebut hanyalah sedikit kemajuan dari sekian rangkaian waktu yang sudah dilalui korban. Namun mampukah penyelidikan proyustisia Komnas HAM membuka fakta peristiwa dan kebenaran dibalik kasus ini? Hal ini menjadi pertanyaan yang sering menghantui keluarga korban ditengah stagnasi beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Kematian Soeharto seharusnya menjadi lonceng pengingat bagi semua pihak bahwa penting untuk segera membongkar tentang peran Soeharto dimasa lalu dan bagaimana mesin birokrasi, militer dan modal bekerja untuk mempertahankan kekuasan dengan segala cara termasuk memakan korban rakyat sendiri. Kasus Talangsari menjadi sebuah hutang yang harus dibongkar bagi siapapun yang memimpin bangsa ini. Menutupi kasus ini sama dengan menjerumuskan bangsa ini ke dalam kegelapan dalam menatap masa depan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak mengubur masa lalunya. Masa depan bisa diraih hanya dengan menyelesaikan persoalan dimasa lalu yang masih gelap. Jangan ada lagi kediktaktoran yang mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. (Cris B)
21
KABAR DAERAH
Menentang Pemberian Bonus Pada Aparat Keamanan di Aceh Barat Kita patut memberikan apresiasi pada aparat Kepolisian Aceh Barat yang telah berhasil menangkap pelaku perampokan bersenjata api, yang terjadi pada (06/2), di Desa Putim, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Namun, KontraS Aceh, GeRAK Aceh dan LBH Banda Aceh menentang keras sikap Pemerintah Kabupaten dan DPR Kabupaten Aceh Barat, yang menyatakan apresiasi tersebut dengan memberikan bonus berupa uang sebesar Rp. 40 juta pada pihak Kepolisian dan TNI. Bonus ini diberikan sebagai bentuk dukungan Pemkab dan DPRK setempat terhadap aparat keamanan, dalam membantu menindak pelaku tidak kriminal di wilayah tersebut. Pembiayaan bonus itu bersumber dari APBD Kabupaten Aceh Barat. Kita jelas menentang pemberian bonus ini. Karena, pemberian bonus pada aparat Kepolisian dan TNI telah mencederai profesionalisme aparat keamanan itu sendiri. Tindakan tersebut seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat, menindak segala kejahatan kriminal yang terjadi di Aceh sudah menjadi fungsi dan tugas pokok Kepolisian sesuai dengan UU No. 02/2002 tentang Polri, walaupun tanpa dukungan berupa bonus dari Pemerintah setempat. Sementara itu, upaya memotivasi masyarakat dalam menindak segala kejahatan merupakan tantangan tersendiri bagi pihak kepolisian yang bisa dilakukan dengan strategi Perpolisian Masyarakat (Polmas), demi menciptakan dukungan yang kuat dari masyarakat. Dimana, tindakan tersebut bertentangan dengan UU No. 02/2002 tentang Polri dan UU No. 34/2004, tentang TNI yang dengan tegas menyebutkan sumber pendanaan kedua instansi vertikal tersebut bersumber dari APBN.
Mengejar material semata Dampak lainnya dari pemberian bonus tersebut adalah kekhawatiran akan penegakan hukum ke depan tidak lagi dilakukan atas dasar kesadaran dan tanggungjawab, tapi atas
dasar mengejar material semata. Padahal, kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sedangkan, dari sisi anggaran tindakan pemberian bonus ini juga mengakibatkan terbebaninya anggaran untuk hal-hal yang bukan merupakan kebutuhan prioritas masyarakat Aceh Barat. Terlebih pula pemberian bonus tersebut tidak sesuai dengan peruntukkan yang telah ditetapkan oleh APBD. Hal lainnya adalah pemberian bonus ini berdampak pada Pemkab dan DPRK Aceh Barat telah mengembalikan polisi pada perpolisian konvensional (perpolisian tradisional) yang menekankan pada perpolisian yang bersifat reaktif (reactive policing) dalam rangka pencapaian kondisi keamanan dan ketertiban. Ini bertolak belakang dengan strategi perpolisian masyarakat saat ini, yaitu perpolisian modern yang mempraktekkan gaya perpolisian yang berorientasi atau menekankan pada penuntasan masalah (problem solving policing,) dan kegiatan yang sepenuhnya berorientasi pada pada pelayanan atau jasa-jasa publik (public service policing). Karena itu bentuk dukungan atau apresiasi terhadap keberhasilan kepolisian tidak seharusnya diberikan dalam bentuk bonus. Pemerintah Kabupaten dan DPRK Aceh Barat bisa memperjuangkan kebutuhan Kepolisian dan TNI dengan mendorong pemenuhan anggaran yang layak melalui DPRRI, misalnya dengan meningkatkan gaji dan biaya operasional yang mencukupi. Sehingga APBD Aceh Barat dapat difokuskan pada otoritas daerah untuk menjawab keuangan dan otoritas Aceh Barat. Selain itu semua pihak juga seharusnya menghargai upaya reformasi dalam sistem keamanan dan pertahanan yang sedang dilakukan oleh Polri dan TNI, sehinggga tidak mencederai profesionalisme Polri dan TNI itu sendiri.***
Sambungan dari hal 19 meluas di kalangan masyarakat sipil, maka penuntasan kasuskasus pelanggaran HAM di Aceh menjadi penting untuk segera diupayakan. Hingga saat ini upaya pemerintah belum menunjukkan usaha penuntasan pelanggaran HAM di Aceh. Termasuk belum ada upaya optimal untuk mencegah berulangnya kekerasn yang meluas di Aceh. Padahal perjanjian Helsinki dan UUPA memandatkan pembentukan pengadilan HAM di Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Bahkan batas akhirnya pun telah dilewati. DPR memiliki peran strategis dalam mendorong penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu dan pencegahan kekerasan di Aceh. Hal ini mengingat DPR merupakan pihak yang merumuskan UUPA bersama sejumlah kalangan. DPR pula
22
yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah, sebagaimana yang diatur dalam UUPA. Selain latar belakang historis dan peran konstusionalnya, DPR harus pula berpihak pada usaha membongkar kebenaran atas apa yang terjadi di Aceh terutama di masa konflik, memperbaiki kondisi para korban seoptimal mungkin dan mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan serius yang merusak harkat dan martabat kemanusiaan. Karenanya, DPR, melalui Komisi III, segera mempertanyakan ke pemerintah perihal usaha penuntasan pelanggaran berat HAM di Aceh. Secara substansial dan adil bagi korban masyarakat sipil, terutama perempuan dan anak-anak. Penundaan penuntasan merupakan tindakan yang memperpanjang penderitaan dan membiarkan pelaku kejahatan berkeliaran.***
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DAERAH Pasca Meninggalnya Husaini
Mempertanyakan Keabsahan Analisa Dokter dan Polisi Kembali jatuh korban akibat penyiksaan oleh aparat kepolisian. Meski jelas terdapat sejumlah bekas luka akibat penyiksaan, aparat menyatakan korban meninggal karena sakit. Selama ditahanpun korban tidak boleh dikunjungi keluarga. Penyiksaan demi penyiksaan nyatanya terus terjadi Keabsahan hasil analisa dokter dan pernyataan polisi yang menyatakan bahwa Husaini meninggal karena mengalami sakit paru-paru, kiranya patut dipertanyakan. Mengapa? Hasil tersebut jelas bertolak belakang dengan kesaksian keluarga dan warga yang turut mengurus jasad Husaini sebelum dikebumikan. Dimana pada jasadnya ditemukan beberapa bekas penyiksaan. KontraS Aceh sendiri juga memiliki rekaman audio visual jasad Husaini yang gambarnya diambil beberapa saat sebelum jenazah dikebumikan. Pada jasad tersebut terlihat jelas bekas memar dan bekas luka akibat pemukulan di badan, kaki dan bagian mukanya. Kita juga menyayangkan proses pemeriksaan Husaini oleh Kepolisian yang tidak menyertai pengacara atau penasehat hukum sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan. Keluarga Husaini juga mengakui bahwa selama dalam tahanan kepolisian mereka tidak diizinkan untuk menjenguk Husaini. Dari beberapa fakta tersebut, maka patut diduga bahwa kepolisian telah melanggar prosedur hukum yang berlaku dalam proses pemeriksaan atau penyidikan terhadap Husaini. Pihak kepolisian juga diduga telah melakukan tindakan penyiksaan terhadap Husaini dalam proses pemeriksaan.
Tanjong Beuridi, Indra Makmur, dll), dapat dikatakan bahwa telah terjadi kegagalan pihak kepolisian dalam menjalankan fungsinya, dan patut diduga polisi telah melakukan tindak pelanggaran berat HAM kategori penyiksaan. Kita juga masih mengingat kesaksian Utusan Khusus PBB untuk Penghapusan Penyiksaan, Manfred Nowak ketika melakukan kunjungan di Indonesia pada bulan November 2007. Sebuah media massa memberitakan bahwa Nowak tiba di kantor polisi ketika pemukulan sedang berlangsung. Dia mengaku prihatin dengan adanya beberapa bentuk intimidasi yang terjadi di tempat penahanan. Beberapa jenis penganiayaan yang dilaporkan kepada Nowak dan dikuatkan analisis dari ahli medis pun variatif. Antara lain, pemukulan dengan tangan kosong, tongkat rotan atau tongkat kayu, kabel, batang besi, dan palu Berdasarkan hal di atas, KontraS Aceh mendesak Komnas HAM sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan terhadap semua temuan kasus-kasus penyiksaan yang terjadi selama ini, terutama untuk kasus Husaini. Penyelidikan melalui mekanisme biasa tidak akan efektif karena selama ini kepolisian cenderung menutupi dan melindungi pelaku.***
Kategori penyiksaan Mengingat kejadian serupa telah terjadi berulangkali sejak masa konflik sampai dengan dua tahun perdamaian berlangsung (kasus
Sidang Lanjutan Delapan Staf LBH Pengadilan Negeri Langsa kembali melanjutkan persidangan delapan staf LBH Banda Aceh (pada 9/1) di Langsa, dengan agenda pembacaan putusan sela oleh majelis hakim. Persidangan tersebut terkait perkara tindak pidana menyiarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan yang isinya menghasut di muka umum dengan lisan atau tulisan, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 160 Jo 161 Jo 55 Jo 56 KUHPidana. Sebelumnya, 12 Desember 2007, persidangan telah dilakukan dengan agenda pembacaan eksepsi oleh kuasa hukum LBH Banda Aceh terhadap seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Imum Kejaksaan Negeri Kota Langsa. Dan pada 19 Desember persidangan dilanjutkan dengan jawaban Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi kuasa hukum LBH Banda Aceh. Atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum, kuasa hukum LBH Banda Aceh dan delapan staf LBH Banda Aceh yang dijadikan terdakwa membacakan eksepsi yang pada pokoknya mengajukan keberatan atas dakwaan tersebut, yakni dakwaan dianggap kabur (Obcuur Libel) karena tidak memuat uraian yang cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan, dakwaan mengandung pertentangan hukum satu sama lainnya dan dakwaaan jaksa penuntut umum sangat bertentangan dengan semangat hukum dan penegakan hak asasi manusia, keadilan, perdamaian dan demokrasi yang selama ini dicita-citakan. Eksepsi juga menyatakan unsur penghasutan yang diatur dalam pasal 160 KUHP adalah ajakan untuk mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan kekuasaan umum
Berita Kontras No.01/I-II/2008
dengan kekerasan atau jangan mau menurut peraturan undangundang atau jangan mau mengikuti perintah yang sah menurut undang-undang. Unsur ini sama sekali tidak terlihat dalam uraian tindakan pidana yang didakwakan. Sedangkan, dakwaan jaksa justru berisikan ajakan para terdakwa agar siapapun yang membaca selebaran itu memperjuangkan hakhak rakyat dengan mengedepankan cara-cara jalur hukum dan tetap menjaga komitmen menjaga perdamaian. Tindakan para terdakwa merupakan upaya penegakan hukum dalam mengangkat kembali kasus penyerobotan tanah rakyat oleh PT Bumi Flora yang terjadi pada tahun 1991 yang selama ini tenggelam akibat konflik yang mendera Aceh. Karenanya, Aliansi Peduli Korban Bumi Flora (APKBF), meminta majelis hakim PN Langsa dapat melihat kasus ini secara objektif, mengingat tindakan yang dilakukan para terdakwa dalam kasus tersebut dengan semangat untuk menyelesaikan persoalan rakyat dalam rangka menjaga perdamaian di Aceh. Sebelumnya PT. Bumi Flora telah menunjukkan itikad baiknya dengan mencabut pengaduannya ke POLRES Langsa sehingga Pasal 335 (Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan) yang merupakan delik aduan telah dicabut, namun oleh pihak Polres Langsa masih terus menindak lanjuti perkara tersebut terkait tindak pidana yang dimuat dalam pasal 160 dan 161. Ke delapan oranng staf LBH Banda Aceh tersebut adalah M. Jully Fuady SH, Kamaruddin SH, Mustiqal Syahputra SH, Mardiati SH, Sugiono, Juanda, Mukhsalmina SH, dan Yulisa Fitri SH.***
23
KABAR DAERAH
Lagi TNI-POLRI Bentrok ! Tiga Orang Tewas Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), terasa mencekam sepanjang Sabtu (2/ 2). Situasi itu menyeruak menyusul insiden berdarah yang menewaskan dua anggota Polres setempat dan seorang anggota TNI. Lagi-lagi bentrokan ini hanya dipicu oleh masalah sepele dan salah paham. Sejumlah anggota Yonif 731/Karebosi Maluku Tengah menyerbu Mapolres Malteng lantaran mengira seorang temannya ditahan di polres tersebut Insiden tersebut terjadi pada Sabtu dini hari sekitar pukul 03.00 Wib ketika sekelompok anggota Batalyon Infanteri (Yonif) 731/ Kabaressy menyerang Markas Polres Malteng. Tiga korban adalah Bripka Michael Wattimena, Bripda Musri Siomlibona serta Prada Raymond Runtho dari Yonif 731. Bentrokan ini mengakibatkan rumah dinas Kapolres Malteng AKBP Jacub Parjogo terbakar. Sedang kantor Mapolres Malteng juga rusak. Bentrokan ini tidak hanya mengakibatkan rusaknya fasilitas negara, namun yang lebih disayangkan lumpuhnya perekonomian di Masohi akibat trauma masyarakat setempat paska kejadian ini. Penyerbuan tentara terhadap markas polisi di Masohi tersebut tidak hanya patut kita sesalkan. Tapi, itu juga merupakan tindakan yang naif. Ironi dan tragis. Mengapa? Sebab, peristiwa semacam itu bukan kali pertama terjadi di daerah Maluku, meski bukan di Masohi.
“Mortir dan senjata api kan aset negara, mengapa dipakai untuk melakukan perusakan. Saya tidak mau menyebut apakah itu polisi, TNI, atau aparat lain. Yang jelas penggunaan aset negara itu tidak dibenarkan. Siapapun yang melakukannya harus ditindak tegas, “ ujar Kadiv Humas Polri , Irjen Pol Sisno Adiwinoto
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto, membenarkan adanya insiden itu. Ia menyesalkan digunakannya mortir dan senjata api dalam insiden itu. “Mortir dan senjata api kan aset negara, mengapa dipakai untuk melakukan perusakan. Saya tidak mau menyebut apakah itu polisi, TNI, atau aparat lain. Yang jelas penggunaan aset negara itu tidak dibenarkan. Siapapun yang melakukannya harus ditindak tegas, “ ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi Pertahanan DPR, Andreas Pareira, mengingatkan, saat ini rakyat sudah bosan dengan bentrokan anggota TNI dan Polri, yang kerap terjadi. Bentrokan itu, kata dia, justru menganggu rasa keamanan dan kenyamanan masyarakat. “Itu juga bisa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap dua institusi negara ini, “ katanya. Sedang anggota Komisi Pertahanan lainnya, Arief Mudatsir Mandan, meminta dua institusi ini memiliki political will untuk mencegah terjadinya bentrokan. “Keduanya perlu mendapat pembinaan gratis, “ kataya.
Belum terimplementasikan Bentrokan yang dilatarbelakangi oleh masalah pribadi ini menjadi cerminan bagaimana reformasi di tubuh TNI dan Polri yang diamanatkan oleh Tap MPR No.VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polisi serta Tap MPR No.VII/ 2000 tentang peran TNI
24
dan Polisi belum diimplementasikan secara komprehensif. Sedangkan Penempatan TNI di tengah-tengah masyarakat kontraproduktif dengan agenda reformasi TNI tentang penghapusan komando teritorial (Koter). Karena seringkali simpul-simpul kekuatan TNI yang berada di tengah kota ini menjadi pemicu bentrokan antara TNI dengan Polri maupun dengan masyarakat sipil. Sesuai dengan fungsinya sebagai pertahanan keamanan, TNI seharusnya ditempatkan dalam barak khusus atau di pulau-pulau terluar untuk menjaga kedaulatan NKRI. Di sisi lain pemerintah juga harus segera menertibkan bisnis militer di kalangan TNI yang rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM. Sementara polisi sebagai jargon utama keamanan masyarakat pun tidak seharusnya menampilkan perilaku yang mengedepankan kekerasan. Jika masyarakat sering dipertontonkan adegan kekerasan maka akhirnya budaya kekerasanlah yang tumbuh di tengah masyarakat.
Bentrokan ini jelas mencerminkan bahwa budaya kekerasan masih sangat melekat dalam keseharian TNI/Polri. Pemahaman menyelesaikan masalah dengan kekuatan senjata masih terdoktrinasi dalam pola pendidikan TNI/Polri yang akhirnya menghambat proses reformasi sektor keamanan (RSK) yang sedang berjalan. Maka tak ada kata lain, pelaku harus dituntut agar perilaku arogansi dan premanisme seperti ini harus segera dihentikan dan tidak boleh dibiarkan, apalagi ditoleransi. Karena dalam setiap perkelahian yang terjadi, masyarakat sipil selalu menjadi korban. Selain itu, Kontras juga meminta Kapolri dan Panglima TNI agar terus menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan tugasnya di lapangan. Kapolri dan Panglima TNI juga harus segera menidak tegas anggota TNI/Polri yang terlibat bentrokan dengan memecat dan menghukum pelaku sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Ukuran reformasi TNI/Polri yang paling mudah ialah berkurangnya penyalahgunaan senjata dan tindak kekerasan aparat, penegakan hukum pidana dan sanksi keprajuritan yang tegas bagi setiap pelanggaran. Termasuk berkonsentrasi hanya pada tugas pokok masing-masing. Pertanyaannya adakah hal tersebut telah menjadi komitmen dari TNI/Polri kita. ***
Berita Kontras No.01/I-II/2008
REMPAH-REMPAHH Menyelamatkan Martarbat Bangsa :
Menjaga Kebebasan Beragama & Bekeyakinan Tahun 2007 berakhir dengan catatan kelam dan duka mendalam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekerasan atas nama agama merebak luas. Stasiun televisi berlomba menayangkan dengan gegap gempita mesjid dan tempat ibadah lain yang dibakar sekelompok orang. Dan seperti biasa, polisi bersiaga tanpa berbuat banyak Dengan jelas terlihat (di berbagai stasiun televisi), kelompok AI-Qiyadah digelandang ke kantor polisi, untuk kemudian ditobatkan dan sebagian lainnya dikriminalisasi. Masih jelas dalam ingatan, kasus kekerasan termuktahir terhadap kaum Ahmadiyah dan pembakaran masjid di Kuningan (18/12), dan Majalengka (23/12), Jawa Barat, menjadi bukti malangnya nasib mereka yang menjadi pengikut Ahmadiyah di Indonesia.
Dikendalikan kelompok Karenanya, tak berlebihan bila kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia akan dikendalikan oleh kekerasan segolongan kelompok yang merasa dirinya paling benar. Hukum-pun bisa jadi kian kehilangan wibawa dan kekuatannya. Dan peradaban serta demokrasi akan tinggal kenangan.
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menyatakan dukungan kepada Presiden RI untuk menjaga keutuhan dan martabat bangsa dengan berpegang teguh pada amanat UUD 1945 dan Pancasila serta tidak tunduk kepada intervensi kelompok-kelompok agama tertentu yang menyatakan kelompok lain sesat dan melegitimasi tindak kekerasan atas “Negara dapat nama agama.
Sebelumnya terekam pula bagaimana, sekitar seribu orang menyerbu perkampungan Ahmadiyah di Neglasari, Cianjur (19/9), malam hingga Selasa (20/9) dini hari. Penyerbuan mengakibatkan sedikitnya 70 rumah dan enam masjid rusak berat. Massa yang meneriakkan takbir saat menyerbu juga membakar satu rumah, dua mobil dan tiga motor. Sementara itu, atas nama “keamanan & agama” sejumlah gereja disatroni dan umatnya dipaksa menghentikan segala aktivitas keagamaannya. Ironinya, tindakan anarki yang dilakukan oleh sekelompok orang ini terus saja terjadi dan “dibenarkan”. Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI), malah terus mendaftar kelompok-kelompok minoritas dan mengidentifikasi mereka sebagai aliran sesat. Kata sesat-pun diproduksi dan dijadikan dasar pembenaran untuk menghilangkan keberagaman.
memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada setiap warga negara, sesuai dengan mandat hukum HAM internasional yaitu melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fullfil) hak-hak dasar warga”.
Padahal kita tahu dan sadar bahwa menafikan keberagaman dalam konteks Indonesia adalah suatu pengkhianatan terhadap cita-cita dan dasar negara. Pancasila dan UUD 1945 dibentuk dengan kesadaran Indonesia sebagai wadah kesatuan bagi segala perbedaan dari Sabang hingga Merauke. Indonesia dibangun dengan kesepakatan tiadanya dominasi satu agama terhadap agama lain, lantaran dominasi tersebut jelas hanya akan menghancurkan kesatuan itu sendiri. Sejumlah fakta yang ada dan terjadi di berbagai daerah itu, tentunya tidak saja memprihatinkan. Mengapa? Karena dengan jelas menunjukkan betapa kekerasan menjadi jalan keluar bagi masyarakat dan betapa toleransi beragama kian menipis. Celakanya, aparat keamanan terkesan tidak berdaya. Tak hukum yang berjalan ada sejumlah tindakan anarkis ini. Pada titik inilah, kita seakan “diarahkan” untuk melihat bagaimana polisi dan Jaksa telah bertindak tidak berdasarkan konstitusi dan hukum, namun “bertindak” atas desakan sekelompok lainnya.
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Sementara itu, negara dapat memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada setiap warga negara, sesuai dengan mandat hukum HAM internasional yaitu melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fullfil) hak-hak dasar warga. Sedangkan Kejaksaan Agung juga dapat memainkan perannya, untuk berpegang teguh pada prinsip penegakan hukum dan tidak mengkriminalkan, membekukan, dan melarang suatu aliran agama/kepercayaan tertentu berdasarkan Fatwa MUI.
Termasuk pula tidak melanggar hak-hak konstitusioanal warga negara (hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan), yang berakibat pada merosotnya harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan masyarakat internasional. Sementara itu, pihak keamanan khususnya kepolisian mampu memberikan perlindungan kepada warga negara dengan melakukan pencegahan terjadinya tindak kekerasan, pelarangan menjalankan agama dan keyakinannya oleh kelompok kelompok agama tertentu/kelompok milisi.termasuk menindak tegas pelaku tindak kriminal atas nama agama sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada akhirnya kita berharap agar semua lapisan masyarakat dapat menghargai perbedaan agama dan keyakinan sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dan menghindari tindak kekerasan dan mengedepankan dialog jika menganggap ada perbedaan paham keagamaan dan keyakinan.***
25
REMPAH-REMPAHH
Proyeksi Reformasi Sektor Keamanan 2008 Reformasi sektor keamanan di Indonesia telah memasuki satu dasawarsa. Sayang, tetap belum terjadi perubahan signifikan di tingkat legislasi, institusi dan perilaku aktor-aktor di sektor keamanan. Hingga 2007 Otoritas Politik Sipil terkesan “cari aman” dalam membina relasi dan penataan sektor keamanan. Dampaknya kebijakan sektor keamanan berhenti pada pembentukan aturan semata-mata Menilik hal tersebut, maka ada beberapa capaian yang perlu diapresiasi dalam sektor keamanan seperti, dikeluarkannya TNI dan Polri dari lembaga legislatif, pemisahan secara kelembagaan TNI dan Polri, penetapan APBN sebagai satu-satunya sumber anggaran pertahanan dan penetapan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang berwenang melakukan audit, terakhir adalah penentuan batas waktu pengambialihan bisnis militer Sayangnya capaian-capaian tersebut, masih banyak yang berhenti pada tataran akomodasi dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan, dan miskin implementasi. Terbukti tenggat waktu yang diberikan undang-undang No 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 76 untuk pengambilalihan bisnis militer kian dekat, namun peraturan presiden yang akan menjadi panduan belum juga diterbitkan. Sedangkan APBN sebagai satu-satunya sumber anggaran pertahanan, belum direalisasikan. APBD-APBD dan BRR masih mengalokasikan dana untuk sektor keamanan. Hal ini termasuk masih berguritanya bisnis-bisnis militer, formal maupun non formal. Kemudian masalah penempatan Mabes TNI di bawah Dephan di counter dengan wacana penempatan Polri di bawah departemen dan tidak langsung di bawah presiden. Padahal, keterbatasan anggaran masih jadi kendala serius yang belum dapat komitmen penyelesaian. Karenanya ketika kesejahteraan prajurit komponen utama belum memadai, pemerintah sudah melirik pembentukan komponen cadangan yang notabene pasti akan membutuhkan alokasi sumberdaya yang sangat besar. Masaah lain, tidak kunjung dibentuknya Strategic Defense Review (SDR) dan Dewan Pertahanan Nasional, ketiadaan kemauan politik menyusun kebijakan intelijen negara dan masih tingginya kekerasan dan angka kriminal termasuk bentrok TNI-Polri. Kondisi geografis Seharusnya pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Angkatan Laut yang kuat mampu menjadi ciri Indonesia sebagai negara kepulauan itu. Sayang, hingga kini orientasi pembangunan kapabilitas pertahanan yang demikian belum terlihat dengan jelas. Dengan dalih keterbatasan anggaran, orientasi pengembangan matra darat masih lebih kental. Beberapa komando teritorial baru di Papua dan di Ende Flores justru dibentuk kembali. Selain itu, dilanjutkannya tradisi pengangkatan menteri pertahanan dari tokoh sipil sejak jaman Presiden Gus Dur dan Presiden Megawati yang menjadi salah satu parameter diterapkannya prinsip supremasi sipil. Hal ini perlu ditingkat
26
dengan integrasi Departemen Pertahanan dan Mabes TNI sebagaimana di tentukan dalam pasal 3 ayat (2) UU No 34 tahun 2004 yang berbunyi: “Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.” Proyeksi 2008 Berangkat dari setumpuk permasalah yang diungkapkan diatas, Kontras dan sejumlah LSM (INFID, Imparsial, HRWG, IDSPS, YLBHI, DEMOS, LBH Pers, ITP, JATAM, WALHI, ICW, Lespersi, Praxis, ELSAM , dan LBH Jakarta), menyampaikan sejumlah proyeksi sektor keamanan untuk tahun 2008, diantaranya, pertama, reformasi sektor keamanan harus menciptakan aktor aktor keamanan yang profesional, sesuai dengan tata nilai demokrasi dan berdasarkan pada prinsip good governance. Harapannya sistem keamanan dapat menjaga kemanan negara (state security) dan mampu memberikan rasa aman kepada warga negara (human security). Kedua, netralitas aktor keamanan ditengah upaya merebut dan atau mempertahankan kekuasaan oleh elit-elit politik mutlak harus ditegakkan. Ketiga, pemerintah harus segera menyusun grand strategi pertahanan Indonesia, sehingga proses pembangunan pertahanan dapat dilakukan secara terencana, terukur, berdasarkan prioritas dan kemampuan. Pembangunan Kapabilitas pertahanan yang tambal sulam menunjukkan pemerintah setengah dalam melakukan reformasi. Keempat, peningkatan bertahap anggaran pertahanan harus disertai dengan komitmen untuk mengurangi kebutuhan pertahanan yang tidak effektif dan tidak efisien secara sistematis. Pengurangan kebutuhan pertahanan ini bisa dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya perawatan persenjataan terutama dengan melakukan pemusnahan sistem persenjataan (arms disposal) yang sudah tidak layak pakai atau yang tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi militer terkini. Kelima, lembaga yang memiliki otoritas untuk melakukan audit terhadap TNI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus memperluas lingkup wilayah auditnya, seperti dalam pengadaan alat utama system persenjataan yang kerapkali membutuhkan anggaran sangat besar. Kami juga mendesak agar Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit pada kegiatan TNI di wilayah konflik, untuk mengetahui adanya penyimpangan penggunaan dana APBN sektor pertahanan untuk tindak pelanggaran HAM. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut korupsi dan
Berita Kontras No.01/I-II/2008
REMPAH-REMPAHH
kejahatan ekonomi yang melibatkan kalangan anggota TNI aktif juga hendaknya bisa muncul. Keenam, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja kepolisian paska pemisahan dan konsistensi dalam formulasi kepolisian yang profesional dan bersifat adalah kemutlakan. Kedepan, sebaiknya polisi meninggalkan pengembangan yang berorientasi pada pemanfaatan proyek dan isu internasional dan kecenderungan berkompetisi dengan Polri. Ketujuh, penyusunan Regulasi untuk perbaikan kerja-kerja intelejen, melalui pembuatan payung hukum untuk Badan Intelijen Negara dan Mekanisme Koordinasi Unit-unit kerja intelijen tampaknya menjadi kebutuhan mendesak, untuk memutus mata rantai penyalahgunaan kewenangan intelejen dan peningkatan kemampuan dalam mengantisipasi kejahatan dan ancaman trans-nasional seperti dalam kasuskasus terorisme.
Kedelapan, DPR hendaknya memaksimalisasi fungsi-fungsi pengawasannya(parliament oversight), terutama terkait dengan legislasi-legislasi dan penggunaan anggaran di sektor keamanan, terutama terkait sejauhmana keduanya secara efektif mempengaruhi profesionalitas dan perbaikan kinerja aktoraktor keamanan. Terakhir, penempatan aspirasi publik dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis sektor keamanan hendaknya menjadi corak dari prosedur pebuatan kebijakan di sektor keamanan kedepan. Terlebih bahwa dimensi persoalan sektor keamanan tidak melulu terkait dengan isu-isu militer, kepolisian dan intelejen semata-mata, namun juga mencakup soal-soal lain seperti kemiskinan, ketahanan pangan, perubahan iklim dan bencana alam, dan lain-lain. ***
Bila anda tertarik soal kasus kasus pelanggaran HAM termasuk perkembangan kasus pembunuhan Munir anda dapat mengunjungi www.kontras.org anda juga dapat mendownload terbitan kami seperti buletin, buku-buku, serta sejumlah data dan peraturan nasional, internasional terkait dengan Hak Asasi Manusia Website ini juga bisa dimanfaatkan untuk para Peneliti yang tengah mendalami issue seputar HAM dan demokrasi di Indonesia Bagi mereka yang suka “nakal” atau memantau kami melalui web ini akan memudahkan anda mengenal Lebih dalam tentang KontraS Selamat Berkunjung !!!
Berita Kontras No.01/I-II/2008
27
REMPAH-REMPAHH
Seleksi Hakim MK Dilakukan Bertahap Tiga orang hakim konstitusi akan mendekati usia pensiun. Mereka adalah Achmad Roestandi (pensiun Maret), serta Laica Marzuki (pensiun April) dan Soedarsono (yang akan pensiun Juni). Disamping itu, pada bulan Agustus 2008 para hakim konstitusi akan berakhir masa jabatan lima tahun pertama, dan kondisi ini mengharuskan pemilihan kembali seluruh hakim MK. DPR bersama Presiden dan Mahkamah Agung (MA), sebagai lembaga yang mempunyai wewenang konstitusional untuk mengajukan tiga orang hakim konstitusi, tengah bersiap melakukan proses seleksi. Dalam hal ini, DPR telah melakukan pembahasan apakah proses seleksi itu nantinya akan dilakukan sekaligus untuk memilih tiga orang hakim konstitusi, atau hanya difokuskan untuk mengganti hakim yang pensiun. Konstitusi UUD 1945 dan UU Mahkamah Konstitusi telah memberikan ketentuan penting, bahwa syarat hakim konstitusi harus seorang negarawan dan bukan anggota partai politik. Sedangkan tata cara seleksinya, diserahkan kepada masingmasing lembaga yang harus selesai dalam waktu 30 hari sejak hakim konstitusi berhenti (karena pensiun atau habis masa jabatannya). Mencermati perkembangan dan kebutuhan dalam proses seleksi hakim konstitusi, maka seleksi hakim konstitusi hendaknya dilakukan bertahap, dan terlebih dahulu difokuskan untuk keperluan mengisi hakim konstitusi yang sudah pensiun. Kehendak untuk melakukan seleksi hakim konstitusi sekaligus, seperti yang akan dilakukan oleh DPR, jelas akan mengebiri hak dan kewenangan hakim yang belum selesai masa jabatannya. Lebih dari itu, proses penanganan perkara akan terganggu dan hak keadilan masyarakat menjadi terabaikan.
Bukan anggota parpol Sementara, seleksi hakim konstitusi sudah semestinya diletakkan dalam semangat untuk terus membangun dan memperkuat kemandirian dan ‘kewibawaan’ Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kualifikasi syarat hakim konstitusi, terutama syarat negarawan dan bukan anggota partai politik, menjadi faktor
yang sangat significant untuk dijabarkan dan ditegaskan lebih lanjut dalam proses seleksi. Selanjutnya, seorang calon hakim konstitusi sudah harus mampu melampui interest dan kepentingan politik (beyond politics). Dalam hal ini, seorang calon hakim konstitusi yang telah lama (3-5 tahun) tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik, serta telah berusia diatas 50 tahun, dapat lebih mendekati kualifikasi persyaratan tersebut. Masing-masing lembaga DPR, Presiden dan Mahkamah Agung, dalam melakukan seleksi hakim MK, diharapkan dapat lebih menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabel. Untuk itu seorang calon hakim MK, tidaklah mesti berasal dari bagian atau unsur lembaga-lembaga tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka ruang dan akses bagi masyarakat untuk ikut terlibat mengusulkan calon dan menilai proses seleksi hakim MK. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan kualifikasi persyaratan dan proses/tahapan seleksi yang lebih baik, sebaiknya seleksi hakim konstitusi, khususnya bagi hakim konstitusi yang telah selesai masa jabatannya, dilakukan setelah revisi UU Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimungkinkan, mengingat adanya kebutuhan yang mendesak dan pengalaman dari penyusunan UU MK dan UU Otonomi Khusus Pemerintahan Daerah Aceh, dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat. Berdasarkan hal-hal tersebut, Aliansi Masyarakat Untuk Mahkamah Konstitusi meminta agar seleksi hakim konstitusi, khususnya yang akan dilakukan DPR, difokuskan terlebih dahulu untuk mengganti satu hakim MK yang akan pensiun. Dan, segera dilakukan revisi UU MK untuk menjamin proses seleksi dapat dilakukan secara transparan, partisipatif dan akuntabel.***
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; c. negarawan yang menguasai konstitusi dan kenegaraaan. (Pasal 15 Undang-Undang No 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi)
Hakim Konstitusi dilarang merangkap menjadi: a. pejabat negaran lainnya; b anggota partai politik; c. pengusaha; d. advokat; atau e. pegawai negeri
(Pasal 17 Undang-Undang No 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi)
28
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DARI SEBERANG
Presiden Timor Leste, Ramos Horta, Ditembak Dunia mengecam keras serangan terhadap Presiden Timur Leste Jose Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao (10/2). Serangan pemberontakan itu juga menunjukkan situasi keamanan di Timor Leste masih rawan. Sang komandan penyerang, Mayor Alfredo tewas dalam insiden tersebut Horta sendiri sempat kritis setelah mengalami tiga luka tembak bawah hujan peluru yang menerjang mobilnya. Dia menerjang di bagian dada dan perut. Horta ditembak saat sedang berolah mobilnya. Dia menyebut serangan atas Horta dan dirinya raga pagi bersama pengawalnya. Dua mobil datang dengan sebagai “upaya kedeta yang gagal”. kecepatan tinggi dan menghujaninya dengan sederetan peluru. Horta ambruk setelah ditembus tiga peluru, satu di perut dan “Insiden ini adalah operasi yang direncanakan dengan baik dan dimaksudkan untuk melumpuhkan dua di dada. Horta-pun sempat sekarat pemerintahan dan menciptakan hingga menjalani operasi dan dirawat di ketidakstabilan. Pemerintah tidak akan Royal Darwin Hospital, Australia. Sedang “Insiden ini adalah jatuh karena (insiden) ini, “ kata Xanana. di tempat terpisah, hanya berselang satu operasi yang jam setelah penyerangan Horta, mobil direncanakan dengan baik Xanana menyerukan agar rakyat Timor Perdana Menteri Timor Leste Xanana Leste tetap bersatu untuk mengatasi dan dan dimaksudkan untuk Gusmao juga dihujani peluru. Beruntung melewati masa berat ini. “Saya secara khusus Xanana selamat dari hujanan peluru ini, melumpuhkan berbicara kepada kaum muda, karena saya meski dua orang pengawalnya dikabarkan pemerintahan dan paham banyak di antara Anda yang masih hilang. menciptakan memiliki dorongan untuk memberontak, “ ketidakstabilan. ujarnya. Sehari setelah penembakan tesebut, Pemerintah tidak akan pemerintah Timor Leste, menetapkan Mulai saat ini, kata Xanana, negara tidak tersangka utama percobaan pembunuhan jatuh karena (insiden) ini, akan menoleransi organisasi bersenjata apa terhadap Presiden Jose Ramos Horta dan “ kata Xanana. pun atau kelompok yang akan PM Xanana Gusmao. Penembakan ini menghancurkan Timor Leste. Sejumlah saksi didalangi oleh Mayor Alfredo Alves mengatakan, jalan-jalan di kota Dili tampak Rainardo dan anak buahnya. Dalam peristiwa tersebut Alfredo sendiri tewas akibat tembakan tenang. Tentara pemerintah telah ditempatkan di berbagai titik balik dari para pengawal Presiden Horta. Sementara Jaksa untuk mengawasi tempat-tempat yang mungkin digunakan Agung Timor Leste Longinus Monteiro mengeluarkan surat untuk membahayakan negara. Pemerintah dan parlemen Timor perintah penangkapan terhadap 18 nama anak buah Alfredo Leste telah bertemu untuk membicarakan langkah-langkah yang akan diambil. yang kini berkeliaran di hutan. Reinardo memimpin lebih dari 500 tentara yang dipecat setelah menggelar demonstrasi menentang pemerintahan mantan PM Mari Alkatiri tahun 2006. Kelompok itu kemudian terlibat bentrok dengan pasukan pemerintah dan menyebabkan 37 orang tewas.
Keadaan darurat
Dunia mengecam Di markas besar PBB di New York, Sekretaris PBB Jenderal Ban Ki-moon mengeluarkan pernyataan yang mengecam keras serangan terhadap pemimpin Timor Leste. Ban meminta agar rakyat Timor Leste tetap tenang dan tidak terpancing menggunakan kekerasan.
“Jam malam ini melarang orang-orang bergerak bergerak bebas, artinya, rakyat dilarang berjalan-jalan dan semua orang harus tetap tenang di rumah sejak pukul 20.00, “ kata Xanana.
PM Australia Kevin Rudd sangat prihatin dengan terjadinya serangan yang dikoordinasi untuk membunuh pemimpin yang terpilih secara demokratis. Sedang dari Brussel, Uni Eropa juga mengecam serangan terhadap pemimpin Timor Leste. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso menyebut serangan itu penghinaan atas demokrasi di Timor Leste. “Saya lega karena Presiden Ramos Horta selamat dalam serangan brutal terhadap dirinya dan terhadap demokrasi yang masih muda, “ kata Barroso. Uni Eropa juga menyatakan solidaritas terhadap rakyat dan Pemerintah Timor Leste.
Xanana juga menjadi sasaran serangan kelompok pemberontak yang dipimpin Gustao Salsinha saat hendak berangkat menuju kantornya. Namun, dia berhasil selamat di
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, Pemerintah Indonesia menyatakan prihatin atas penyerangan kelompok bersenjata di kediaman Horta dan
Setelah persitiwa itu, di Dili, PM Xanana Gusmao menyatakan negara dalam keadaan darurat dan memberlakukan jam malam selama 48 jam ke depan di seluruh wilayah Timor Leste. Jam malam mulai berlaku pukul 20.00 waktu setempat hingga subuh.
Berita Kontras No.01/I-II/2008
29
KABAR DARI SEBERANG Xanana yang menyebabkan Horta menderita luka. “Hal itu menunjukkan masih ada kerawanan situasi keamanan Presiden dan PM Timor Leste meski ada kehadiran pasukan internasional di sana, “ kata Hasan. Sedangkan hal senada diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kongres Nasional Rekonstruksi Timor Leste (CNRT) Dionisio Babo yang dihubungi per telepon dari Jakarta mengatakan, situasi di Timor Leste masih terkendali. Pasukan keamanan telah disiagakan di berbagai daerah. Babo mengkritik longgarnya pengamanan pemimpin Timor Leste sehingga memberi kesempatan kepada pemberontak melakukan serangan. Terjadinya serangan itu, kata Babo, membuktikan keamanan dalam menjaga stabilitas Timor Leste. Menurut dia, evaluasi keamanan dan restrukturisasi militer sangat diperlukan untuk mengantisipasi insiden serupa di masa depan. Menurut dia, tindakan kelompok pemberoontak itu bukan upaya kudeta. “Barangkali bisa dikategorikan makar dan tindakan subvensif, tetapi tujuannya bukan pemberontakan. Mereka hanya menghendaki agar tuntutan mereka dikabulkan, dan tuntunan itu masih proposional, “ kata Babo. Sebelumnya, pasukan pemberontak pimpinan Mayor Reinado menuntut keluarnya pasukan keamanan internasional dari Timor Leste dan memperbolehkan mereka kembali. “Tewasnya Alfredo tidak begitu saja menyelesaikan persoalan. Kemungkinan bisa timbul masalah lain. Pemerintah telah berusaha mengakomodasi tuntutan mereka. Kami hanya ingin persoalan ini diselesaikan secara damai, “ ujar Babo.
Alfredo untuk membunuh Horta dan Xanana. Sekjen Partai Fretelin Mari Alkatiri membantah keras tuduhan itu. “Ini sudah menjadi budaya di Timor Leste, kalau ada masalah, orang selalu menuduh Mari Al Katiri, tetapi itu tidak apaapa. Makanya, saya tuntut supaya dibentuk suatu komisi investigasi internasional, “ tegas Lakatiri. Alkatiri juga menuntut United Nation Mission Integration in East Timor (UNMIT) dan pasukan stabilitas internasional yang bertugas di Timor Leste harus memberikan klarifikasi tentang lemahnya kapasitas mereka selama bertugas di Timor Leste, sehingga tidak mendeteksi akan adanya penyerangan tersebut. Versi lainnya, anak buah Alfredo, Sersan Satu Eduarde Jorge, mengatakan bahwa komandannya (Alfredo), datang ke kediaman Ramos Horta atas undangan tuan rumah. “Ia ditelepon oleh Presiden Horta sekitar pukul 10 malam, “ kata Jorge. Setelah itu, Alfredo berangkat dari tempat persembunyiannya di Same, Matufahi, bersama empat anak buahnya. Ia justru heran bagaimana penembakan bisa terjadi. Ia juga membantah jika dikatakan kelompoknya pulalah yang menyergap rombongan Xanana. Sersan Satu Brata, anak buah Alfredo yang lain, mengatakan kelompoknya tak pernah berniat meyerang Horta atau Xanana. “Kalau kami mau, sudah kami serang saat pemilu pemilu presiden. Kami ingin negara kami aman dan sejahtera, “ ujarnya. Tak lama setelah terjadinya insiden berdarah ini, Xanana sendiri membantah kabar bahwa Horta mengundang datang Alfedo datang ke rumahnya.
Skenario penculikan Sementara itu, penyidik dari polisi PBB menemukan fakta baru gerakan kelompok bersenjata yang dipimpin Mayor Alfredo (11/ 2) pagi itu. Salah satu tim investigator polisi PBB soal makar berdarah itu mengungkapkan, kelompok Alfredo sebetulnya berencana menculik, bukan membunuh dua pucuk pimpinan pemerintahan Timor Leste tersebut. Investigator yang keberatan disebut identitasnya itu, mengatakan, “Tujuh tentara dikirim ke rumah Xanana dengan tujuan menculik, bukan membunuh, “ ujarnya. Sama persis dengan kelompok bersenjata lain, yang mendatangi kediaman Persiden Horta, untuk menculik sang presiden. Namun, rencana yang telah disusun matang ini menjadi berantakan dan malah menyebabkan kematian Mayor Alfredo. Kondisi lainnya, beredar pula dokumen bahwa pimpinan Partai Fretilin menawarkan hadiah USD 10 juta (Rp 93 miliar) kepada
Tantangan negara baru adalah tumbuhnya kelompokkelompok yang tidak puas dengan kebijakan pihak berkuasa. Memberi ruang untuk terjadi dialog dalam membahas perbedaan pandangan tersebut tetap merupakan langkah terbaik. Karena pilihan mengambil jalan kekerasan hanya makin mempersulit rakyat yang menjadi alas dari masingmasing pihak pada keyakinan politiknya. Timor Leste yang pernah menjadi bagian dari negara Indonesia, membuat pemerintah Indonesia tidak bisa berdiam diri. Indonesia yang memiliki posisi strategis di ASEAN tentu harus mengambil peran untuk penciptaan situasi kondusif di Timor Leste. Karena ketidakstabilan politik di Timor Leste sedikit banyak akan berpengaruh kepada Indonesia. Indonesia punya pengalaman dalam mediasi konflik di Kamboja tahun 1988-1989, tentu peran yang dimainkan Indonesia pada situasi perbaikan politik di Timor Leste tetap harus mempertimbangkan situasi psikologis terkait dengan sejarah kedua negara. ***
Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat: hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. (Pasal 19 (ayat2) Konvensi Hak Sipil dan Politik)
30
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DARI SEBERANG
Bantuan Militer AS Pada Militer Indonesia Komitmen politik pemerintah Amerika Serikat terhadap Reformasi Sektor Keamanan dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia kiranya wajib kita pertanyakan. Hal ini terkait dengan permintaan Presiden George W. Bush untuk meningkatkan Anggara Bantuan Bilateral tahun 2009 menjadi 186 Juta Dolar, dimana 16 juta Dolar diperuntukkan untuk pembiayaan militer Indonesia. Sebagaimana dikutip AP, pada tahun 2008, pemerintahan Bush telah meminta dana sebesar 15,7 juta untuk militer Indonesia yang dialokasikan membiayai “promosi reformasi militer dan peningkatan keamanan maritim, kontra-terorisme, mobilitas dan peningkatan kapasitas penanganan bencana alam.” Pernyataan ini disampaikan Kontras dan LSM lain (Imparsial, IDSPS, INFID, Elsam,Praxis, Pacivis), yang mempertanyakan dasar permintaan kembali peningkatan anggaran tahun 2009. Mengingat bahwa sepanjang Tahun 2007, sejumlah agenda reformasi sektor keamanan dan penegakan HAM masih dipertanyakan publik terkait kemajuan dan keberhasilannya. Dimana, laporan akhir tahun perbagai lembaga pemantau dan organisasi masyarakat sipil masih menyatakan euphoria pemerintah, parlemen dan aktor keamanan pada capaian normatif di tingkat legislasi, sementara pada tataran implementasi maupun perubahan fundamental pada struktur dan kultur cenderung stagnan, menyimpang bahkan masih tidak mampu mengatasi pelbagai pelanggaran yang terus terjadi. Salah contoh nyata adalah praktik bisnis militer yang masih terus berlangsung.
Di sisi lain, kepentingan-kepentingan politik-ekonomi yang kian menjadi faktor dominan kebijakan kerjasama bilateral ASIndonesia cenderung bertumpu pada kepentingan AS sematamata, dengan mengabaikan implikasi serius terhadap dinamika politik dan perlindungan HAM yang masih jauh dari prinsip-prinsip Pada tahun 2008, Negara Demokratis. Indikasi ini semakin kuat dengan adanya pemerintahan Bush telah permintaan anggaran kerjasama meminta dana sebesar 15,7 bilateral AS-Myanmar 2009 dengan juta untuk militer Indonesia alokasi anggaran pembiayaan militer yang sama nilainya dengan yang dialokasikan Indonesia.
membiayai “promosi reformasi militer dan peningkatan keamanan maritim, kontra-terorisme, mobilitas dan peningkatan kapasitas penanganan bencana alam.” Sebagaimana yang dikutip AP
Sementara, Pemerintah AS belum memberikan assessment terbuka atas capaian strategis, sistemik serta administratif melalui audit penggunaan dana dari reformasi sektor keamanan dan penegakan HAM paska pencabutan embargo militer pada 2005 lalu. Assessment ini menjadi penting untuk menilai relevansi dari kelanjutan kerjasama militer, proporsionalitas prioritas, dan agendaagenda pendukung untuk memastikan bahwa perbagai kerjasama tersebut memang didasarkan untuk mendukung reformasi dan transisi demokrasi di Indonesia.
Semakin diabaikan Sedangkan dalam pengamatan yang ada, kondisi HAM dan penyelesaian kasus-kasus kejahatan masa lalu atau yang
Berita Kontras No.01/I-II/2008
terjadi paska 1998 cenderung semakin diabaikan dalam rancangan dan agenda kerjasama AS-Indonesia. Padahal komitmen tersebut penting bagi masyarakat sipil Indonesia, untuk memastikan bahwa perbagai kepentingan internasional yang masuk tidak akan kontra-produktif dengan upaya-upaya masyarakat sipil yang mendorong reformasi dan penegakan hukum serta memberikan efek positif perbaikan pendekatan politik pemerintah kepada masyarakat sipil yang tidak lagi bersifat represif dalam bentuk apapun.
Berangkat dari kondisi tersebut itulah, kita patut mempertanyakan komitmen pemerintah AS terhadap transisi demokrasi di Indonesia, khususnya terkait dengan dukungan AS terhadap reformasi sektor keamanan dan penegakan HAM. Kita juga berharap Kongres AS mempertimbangkan kembali perbagai rancangan kebijakan kerjasama biliateral pemerintah AS-Indonesia dengan memperhatikan persyaratan penting terkait demokratisasi, profesionalitas aktor keamanan dan penegakan HAM di Indonesia. Kita jelas tidak ingin pemerintah AS justru menjadi kontributor bagi kemunduran transisi demokrasi dan arus balik reformasi di Indonesia. Pada akhirnya, kita berharap elemen-elemen masyarakat sipil dan pemerintah AS-Indonesia tidak pernah melupakan dosa sejarah masa lalu sebagai impact dari perbagai kerjasama bilateral yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik-ekonomi semata-mata sehingga mengabaikan prinsipprinsip demokrasi dan HAM. Cukuplah pengalaman pada masa Orde Baru menjadi ruang terkelam dari kehidupan rakyat Indonesia dan pengalaman terburuk relasi-relasi bilateral yang pragmatis, korup dan membahayakan kehidupan jutaan rakyat dunia ketiga.***
31