KontraS
Salam dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Salam redaksi Saat bangsa Indonesia merayakan HUT kemerdekaanya yang ke 61 pada tanggal 17 Agustus lalu, dua hari sebelumnya, yakni pada tanggal 15 Agustus, masyarakat Aceh memperingati Satu Tahun perjanjian damai pemerintahan RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Peringatan yang tidak lagi dengan sorak sorai, tetapi lagu sumbang kekecewaan terhadap UU Pemerintahan Aceh yang jauh dari memuaskan. Setahun sudah perjanjian tersebut berjalan. Meski ada banyak hal yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan tersebut, mulai dari penarikan pasukan TNI/Polri di Aceh, Pemusnahan senjata GAM, pembebasan para tahanan politik GAM, termasuk disahkannya Undang-undang Pemerintah Aceh pada 11 Juli 2006. Akan tetapi, DAMAI yang hakiki sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat Aceh masih menjadi sebuah penantian panjang. Teror dan kekerasan masih menjadi bagian dari kehidupan warga. Bahkan terjadi beberapa hari sebelum setahun peringatan damai itu. Tragedi tsunami yang begitu hebat dua tahun yang lalu, membuat masih sebagian besar warga berada dalam tenda-tenda pengungsian, meski pemerintahan telah membentuk Badan Rekontrusi Rehabilitasi Aceh. Persoalan ini masih ditambah beberapa pasal dalam UU-PA yang tidak sesuai dengan harapan rakyat Aceh. Entah mengapa, tapi pemerintahan pusat agaknya masih setengah hati memberikan penyelesaian terbaik Aceh membangun wilayahnya. Termasuk pula masalah penegakan hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang terasa masih jauh di awan. Setahun Aceh paska Mou Helsinki, kami jadikan berita utama dalam edisi ini. Berita lain menghiasi rubrik kabar daerah; diantaranya, mulai dari Poso termasuk Mutasi Kapolda Sulteg, sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan oleh preman di berbagai wilayah. Rubrik rempah-rempah menampilkan persoalan hukuman mati, Soeharto, kasus Koesmayadi. Rubrik kabar dari seberang, diantaranya menyangkut penyerangan Israel atas Lebanon.
KontraS diprakarsai oleh beberapa LSM dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIPHAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja:
Khusus untuk rubrik jejak kasus kasus sang pejuang, Kampanye Tiga Negara serta kedatangan Khun Angkhana (isteri dari Somchai, aktivis hak asasi manusia yang hilang di Thailand), ke Jakarta, menjadi bahasan penting yang harus anda ketahui terkait dengan upaya untuk terus mendesak pemerintahan SBY-JK menuntaskan konspirasi politik atas kasus pembunuhan Munir. Selamat Ulang Tahun Kemerdekaan!
Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Gian, Nining, Abu, Victor, Sinung, Ori, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras Mouvty dan Bustami.
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar,Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits dan Mufti Makaarim. Design layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org
Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia
KontraS sebuah lembaga Advokasi, yang berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
2
BERITA UTAMA
DAMAI? Setahun Aceh Paska MoU Helsinki 15 Agustus 2005, hari dan tanggal yang paling bersejarah bagi seluruh rakyat Aceh. Pada hari dan tanggal ini, sebuah penjanjian kesepakatan telah ditandatangani. Sebuah perjanjian damai antara rakyat Aceh, yang diwakili oleh pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hari itu menjadi sebuah harapan yang begitu besar agar semua darah, luka, kekerasan dan airmata dapat dihapus dari Aceh. Setahun berlalu, dan pada saat menyambut satu tahun perjanjian damai tersebut ditandatangani, ribuan rakyat Aceh dari segenap pelosok wilayah memadati Kota Banda Aceh. Sejak pagi masyarakat datang untuk bersama dan bersatu menyambut peringatan setahun Aceh, paska perjanjian penandatanganan yang dilakukan di Helsinki, Filandia. Teriakan dan spanduk-spanduk yang bertuliskan kalimat agar Aceh tetap damai menjadi keinginan dan suara yang disampaikan oleh sebagian besar peserta aksi. Tetapi, diantara segenap rasa syukur yang ada, kegelisahan agar pemerintah jangan lagi “menipu rakyat Aceh” tercermin dari untaian kalimat dalam spanduk-spanduk yang dibawa peserta aksi. Lihat saja spanduk yang bertuliskan “Bangsa Aceh cinta perdamaian, tapi tidak mau ditipu lagi” menunjukkan bukti bahwa kegelisahan dan kekhawatiran akan perdamaian yang hakiki jangan hanya menjadi slogan belaka. Sebuah janji kosong yang dulunya kerap “dijual” oleh pemerintah pusat.Keinginan untuk menjaga perdamaian adalah keinginan rakyat Aceh. Masyarakat juga meminta agar pemerintah (pusat-red) peka terhadap aspirasi rakyat. Inilah salah satu harapan lain yang disuarakan dalam peringatan tersebut. Menjelang siang, sebuah Petisi Rakyat Aceh dibacakan dalam puncak peringatan ini. Petisi yang terdiri dari enam hal tersebut, mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap sejumlah hal dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA). Masyarakat meminta agar pemerintah menyempurnakan UU-PA yang telah disyahkan tersebut. Petisi itu juga meminta agar Aceh Monitoring Mission (AMM) terus mengawasi proses perdamaian. Petisi juga mendesak pembebasan para tahanan politik GAM yang masih ditahan. Beberapa UU-PA yang bagi mereka mereka harus disempurnakan adalah pengadilan HAM, dan kewenangan pemerintahan Aceh. Penyempurnaan pasal-pasal UU-PA Setelah perjanjian MoU Helsinki dilakukan, tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua kesepakatan dalam butir nota kesepahaman di Helsinki telah diwujudkan. Mulai dari penarikan sebagian besar pasukan TNI dari Aceh, pemberian amnesti kepada para tahanan poltik GAM serta dibentuknya Badan Registrasi Damai Aceh untuk menyalurkan bantuan kepada seribu orang bekas tentara GAM. Dan yang terakhir,
3
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
adalah disahkannya UU-PA pada tanggal 11 Juli 2006, dimana proses dari pembentukan dan pembahasan UU ini memakan waktu yang sangat lama (awalnya pengesahan UU-PA direncanakan pada tanggal 1 Juli). Kita patut menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada DPR khususnya anggota Dewan yang telah bersama Pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU-PA. Namun, jauh hari sebelum pengesahan UU-PA tersebut, KontraS telah mengirim surat kepada para anggota Dewan di DPR menyangkut memorandum Publik untuk pengesahan UU-PA. KontraS meminta DPRRI agar sebelumnya mengumumkan hasil rumusan akhir RUUPA kepada publik. Hal ini penting agar masyarakat di Aceh dapat mengetahui dan menyampaikan pendapatnya atas rumusan akhir RUU. Salah satu pasal yang menjadi sorotan penting oleh KontraS adalah menyangkut pasal-pasal yang berkenaan dengan pengadilan atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh. Dimana, Pasal 215 (ayat 1) berbunyi : Untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sesudah Undang-undang ini diundangkan, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. (ayat 2) berbunyi : Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (ayat 1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Kita sadar bahwa ketentuan ini diperlukan untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM di masa depan. Namun, ketentuan diatas belum menjawab kekhawatiran adanya penolakan upaya mengungkap pelanggaran HAM masa lalu. Karenanya, masih diperlukan ketegasan sikap tentang apa yang akan dilakukan untuk dapat memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu tersebut. Ingat, selama ini sebagian besar rakyat Aceh berharap lahirnya satu UU baru untuk Aceh, yang secara tegas menyatakan akan mengadili kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di Aceh. Karena itu, menyoroti ketentuan pasal 215 ayat 1 dan 2 diatas, pada surat Memorandum yang dikirimkan
BERITA UTAMA anggota DPR RI, KontraS telah mengusulkan bahwa seharusnya terdapat rumusan ayat tambahan bagi pasal 215 dengan bunyi : “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum undang-undang ini dundangkan, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dengan mengacu pada Undang-Undang No.26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM. Selanjutnya “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum UU No.26/ 200 diundangkan, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usul legislatif Aceh berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.” Sisi lain, terlihat jelas bahwa pasal-pasal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ternyata “isinya” lebih mundur dari UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU no.27 tahun 2004 tentang KKR dan bertentangan dengan MoU Helsinki, karena draf RUU PA hasil Timus menjadi tidak jelas mekanismenya, termasuk tidak mencantumkan waktu akan dilaksanakannya pengadilan HAM di Aceh (agar tidak mengulangi kesalahan dalam pembentukan KKR Nasional).
Memperlemah kewenangan Aceh Hal lainnya yang menjadi sorotan KontraS adanya pasalpasal dalam UU-PA yang akan memperlemah kewenangan Aceh. Hal ini terlihat jelas pada pada pasal 8 Ayat (1); Rencana persetujuan yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Ayat (2) Rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Ayat (3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur. Bila rumusan ini disahkan, maka esensi pemberian wewenang otonom kepada Aceh menjadi hilang. Otoritas politik Aceh tidak akan efektif dalam memenuhi tuntutan rakyat Aceh. Karena itu, meski fraksi-fraksi sudah menyetujui rumusan Timus RUU PA, seharusnya kata “persetujuan” dikembalikan lagi karena kata pertimbangan tidak mengikat secara hukum. Karena persetujuan dari DPRA ini sangat penting karena DPRAlah yang memahami konteks ekonomi, politik, sosial, dan budaya di Aceh. Mengenai penetapan standar norma dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, Kabupaten dan Kota bertentangan dengan MOU Helsinki, bahkan ketentuan ini lebih mundur dari UU 21/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh yang memuat pembagian kewenangan
secara tegas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.
Eskalasi kekerasan Sementara itu, selain menyoroti beberapa pasal-pasal yang masih harus disempurnakan yang tertuang dalam UU-PA, rasa kecewa yang dalam kita rasakan karena insiden kekerasan masih sangat sering terjadi di wilayah paling barat Indonesia ini. Sejumlah insiden kekerasan ini menjadi bukti dan menunjukkan belum tertatanya manejemen keamanan kepolisian dengan baik, dan masih ada tumpang tindih peran keamanan antar militer dan Kepolisian. Hal ini dapat dilihat dari empat insiden yang terjadi berbarengan pada 3 dan 4 Juli 2006. termasuk insiden kekerasan penembakan terhadap rombongan mobil AMM di depan markas Kompi E Batalyon Infanteri 111 di kec. Paya Bakong, Aceh Utara (3/07). Akibat peristiwa penembakan tersebut, satu orang tewas (Muslem, 35 thn), dua orang mengalami luka tembak dan satu orang luka-luka akibat pukulan. . Seyogyanya insiden tersebut disikapi melalui jalur hukum yang independent, fair dan akuntabel, supaya tidak mempengaruhi jalannya proses perdamian yang telah berlangsung selama ini. Hal ini perlu dalam rangka proses perubahan yang signifikan di Aceh dalam konteks rule of law, yang selama ini menjadi batu ganjalan dalam penyelesaian konflik Aceh. Sejumlah langkah-langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan Insiden itu antara lain, dengan membetuk Tim Independen professional guna penyidikan insiden beruntun tersebut, dapat juga di bawah koordinasi kepolisian dan AMM. Pentingnya penyidikan independent ini untuk membantu fairness kepolisian dalam usaha penyidikan, sebab dalam kasus yang terjadi pada 4 Juli di daerah Sigli diduga pelakunya adalah kepolisian. Termasuk, menjauhkan keterlibatan institusi militer dalam usaha Penyidikan secara Independen dan penegakan hukum. Kondisi ini menjadi penting, karena, intitusi militer bukan institusi penegakan hukum sehingga menjauhkan militer dari usaha penegakan hukum adalah pelaksanaan dari UU dan ini sangat baik bagi penyelesaian konflik Aceh yang pada dasamya harus diselesaikan melalui Hukum, bukan kekerasan. Karena, banyak pengalaman Insiden yang melibatkan militer dan institusi militer terlibat dalam upaya penegakan hukumnya malah menghasilkan impunity. Untuk itu, semua langkah-langkah diatas menjadi begitu penting, agar semua penyelesaian insiden ini dapat dilakukan berdasarkan prinsip rule of law yang ditopang oleh Tim Penyidik Independent dan berasaskan Fairness. Setahun sudah perjanjian itu ditandatangani. Tapi, setahun juga, masih begitu banyak hal yang seakan tak jua terselesaikan. Begitu banyak warga Aceh yang masih berada
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
4
BERITA UTAMA dalam tenda-tenda pengungsian akibat bencana tsunami setahun lalu. Padahal, telah begitu banyak program dan dana dikeluarkan untuk upaya mempercepat rekonstruksi Aceh. Ironisnya, sejumlah dana untuk membangun Aceh malah dikorupsi oleh mereka-mereka yang ada di Badan Rekontruksi Rehabilitasi Aceh (BRR). Sementara itu, UU-PA yang diharapkan menjadi barometer Aceh membangun kembali wilayah dan membangun kembali
perdamaian yang sejati, menuai banyak kritikan, protes dan kecewa sebagian besar rakyat Aceh. Masih begitu banyak pasal-pasal yang tidak menyentuh keinginan dan harapan rakyat Aceh, bahkan beberapa pasal yang ada dalam UU-PA bertentangan dengan isi MoU Helsinki. Pertanyaannya, benarkah Aceh telah DAMAI paska Mou Helsinki? ***
Solusi alternatif atas penolakan UU-PA Sejumlah organisasi HAM, meminta Pemerintah memperhatikan penolakan rakyat Aceh terhadap Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA). Sikap ini diperlukan untuk semakin memperkuat kondisi Aceh setahun setelah penandatangan MoU Helsinki yang jauh lebih kondusif. Bila revisi UU-PA belum memungkinkan, pemerintah harus mampu mencarikan solusi altematif dari sekian persoalan. Dalam situasi ini DPR harus bertanggungjawab dan tidak boleh lepas tangan. Pemerintah bersama Aceh Monitoring Mission (AMM) harus memaksimalkan waktu tersisa dari keberadaan AMM dengan merumuskan setidaknya tiga kebijakan utama, mengenai penambahan wewenang Aceh dan pengurangan kontrol pusat, keterwakilan perempuan sebagai syarat pelembagaan sosial dan politik di Aceh. Dan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ketiga langkah strategis ini diperlukan untuk sebisa mungkin menutupi kelemahan UUPA yang membuat kecewa sebagian rakyat Aceh. Tiga langkah ini juga harus memperhatikan beberapa catatan evaluasi terhadap setahun perdamaian Aceh (15 Agustus 2005 -15 Agustus 2006). Pertama , perangkat hukum belum mampu menangani kasus-kasus kekerasan dan pelangaran HAM yang terjadi dalam satu tahun pertama paska MoU Helsinki. Meski tindak kekerasan menurun, tercatat TNI masih terlibat dalam tindak kekerasan (18 kali), diantaranya penembakan terhadap anggota AMM, mantan anggota GAM dan penduduk sipil. Sementara Polisi terlibat tindak kekerasan sebanyak 13 kali, antara lain penggunaan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil paska pembakaran Mapolsek Bandar Meriah. Peristiwa-peristiwa itu mengakibatkan 76 laki- laki, 3 perempuan, 7 anak-anak, dan 4 mantan anggota GAM menjadi korban kekerasan yang terjadi.
Kedua , pemerintah tidak tegas terhadap keberadaan milisi. Pemerintah dan TNI tidak mengakui keberadaan milisi, namun eksistensi milisi diakomodir dalam struktur keanggotaan BRA (unsur Pembela Tanah Air-PETA).
5
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
Pemerintah membiarkan milisi secara terbuka menyerang kantor SIRA di Blang Pidie, pada 17 Februari 2006. Di sisi lain, wakil Pemerintah di AMM dan Pangdam IM malah mempersoalkan keberadaan SIRA dan WALHI yang dituduhnya ilegal. Ketiga , rendahnya perhatian pemerintah terhadap nasib korban pelanggaran HAM, membuat masyarakat mengambil inisiatif menggali sejumlah lokasi yang diduga sebagai kuburan massal. Penggalian dilakukan di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan pos-pos militer non organik yang ditarik paska MoU Helsinki. Masyarakat berhasil menemukan 37 kerangka mayat dari 22 lokasi. Seharusnya pemerintah memberi perhatian dengan mendorong keterlibatan tim forensik, penyidik dan Kornnas HAM bagi kepentingan projusticia. Kerangka korban yang ditemukan adalah barang bukti (physical evidence) yang penting bagi pengusutan HAM. Keempat , rendahnya kinerja BRA dalam hal Reintegrasi mantan GAM dan korban konflik. AMM sendiri menilai BRA tidak bekerja secara maksimal. Konsep reintegrasi yang dimiliki BRA masih lemah dan struktur organisasi yang gemuk karena mengakomodir banyak kepentinga1i termasuk keberadaan Milisi atau PETA dan 80% diantaranya kepala dinas wilayah pemda Aceh. Proposal yang masuk belum dikelola dengan baik, khususnya transparansi dan akuntabilatas pengelolaan dana reintegrasi sebesar 800 milyar rupiah. Kelima , belum maksimalnya BRR dalam merehabilitasi dan rekontruksi Aceh paska Tsunami Salah satunya ditunjukkan dengan kebijakan BRR yang mengalokasikan sekitar 809 milyar rupiah untuk anggaran keamanan, pertahanan termasuk operasi intelejen. Kebijakan BRR dalam hal ini tak sejalan dengan mekanisme anggaran Pertahanan yang telah diatur UU 34/2004 tentang TNI dan UU 3/2003 tentang Pertahanan. Penganggaran bagi kepentingan operasi intelejen malah menunjukkan rendahnya sensitifitas lembaga ini di tengah proses damai.***
BERITA UTAMA Penggalian kuburan Periode November 2005 - Januari 2006
Sumber: Hasil Investigasi dan Monitoring Kontras Aceh
Bila anda tertarik ingin tahu soal kasus kasus pelanggaran HAM termasuk kasus munir anda dapat mengunjungi www.kontras.org Anda juga dapat mendownload terbitan kami seperti buletin, buku-buku, serta sejumlah data dan peraturan nasional, internasional berkaitan dengan Hak Asasi Manusia Web ini juga bisa dimanfaatkan untuk para peneliti yang tengah mendalami hal-hal yang berkaitan dengan HAM bagi mereka yang suka "nakal" atau memantau kami melalui web ini akan memudahkan anda mengenal lebih dalam tentang kontras Selamat berkunjung!
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
6
OPINI
UU Pemerintahan Aceh, Menapik Keadilan Bagi Korban Oleh : Edwin Partogi Pada 11 Juli lalu rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh akhirnya disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR RI. Anehnya, pengesahan UU ini disambut ‘dingin’ oleh rakyat Aceh yang malah melakukan aksi mogok massal menyambut pengesahannya. Besar harapan yang disandingkan pada keberadaan UU ini seolah kandas. UU ini diawal dianggap sebagai obat mujarab yang akan membawa wajah baru Aceh, bahkan menjadi cermin bagi pembentukan pemerintahan daerah di Indonesia yang lebih mandiri, dengan meminimalisir intervensi politik dan eksplotasi ekonomi oleh pemerintah pusat,. Kekecewaan juga meliputi para korban pelanggaran HAM yang telah lama tak berdaya mengahadapi kekerasan dan memimpikan keadilan.
selama soal keadilan dan kesejahteraan tidak selesai, perdamaian tidak akan bertahan lama.
Politik ‘menghitung harga’ keadilan
Tidak sejelas PG yang cenderung tidak memberi dukungan terhadap soal HAM terutama terkait dengan Pengadilan HAM dan KKR. FPBR malah tidak menunjukkan sikap yang tidak bertanggungjawab dan siap mengikuti arus dengan mengatakan “Usulan kami DIM 1327 kalau disetujui ok, tapi kalu tidak pun tidak apa-apa.”
Sejak dalam pembahasan di Tingkat Panitia Khusus (Pansus), keengganan pemerintah maupun sebagian besar fraksi-fraksi DPR terhadap penyelesaian pelanggaran HAM jelas terlihat. Realiatas ini jelas menunjukkan kepentingan politik ‘jauh panggang dari api’ dengan kepentingan korban akan keadilan dan penegakan hukum. Para politisi hanya berhitung dari dalam konteks ‘kepentingan’ dan alasan ‘stabilitas’ palsu yang bungkus dengan kalimat demi masa depan. Sejumlah pendapat yang berkembang dalam proses pembahasan ketika dalam Pansus terlihat diuraian berikut, FPDIP mengusulkan penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh sebaiknya diselesaikan lewat jalur KKR dan menolak peradilan HAM dengan asas retrokatif. Tetapi pembentukan KKR di Aceh hanya dapat dilakukan setelah KKR Nasional terbentuk. Oleh karena itu FPDIP mendesak pemerintah segera merealisasikan KKR nasional agar UU PA kelak bisa terimplementasi dengan sempurna. Sesi rapat Pansus yang berlangsung pada 17 Mei 2006 membahas mengenai point-point HAM dalam RUU PA. Rapat ini dipimpin oleh Ferry Mursyidan Baldan. Turut diundang dari wakil pemerintah yaitu Menkominfo Sofyan Djalil dan wakil dari Departemen Dalam Negeri. Dalam sikapnya Fraksi PDIP menyatakan supaya TNI/Polri juga tidak adili terkait dengan pelanggaran HAM sebagaimana GAM telah mendapat pengampunan. Partai pimpinan Megawati ini meminta agar pemerintah tidak hanya memberi amnesti terhadap GAM tetapi termasuk kepada TNI/Polri yang melakukan pelanggaran HAM. Tetapi mereka menyatakan persetujuannya terhadap pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh, kalau perlu menurutnya 6 bulan setelah UU ini berlaku. Namun disisi lain partai berlambang sapi moncong putih ini menyatakan bahwa
7
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
Berbeda dengan FPDIP partai Golkar meminta pelaksanaan HAM tidak berlebihan yang menurutnya dapat mengganggu tatanan. Dengan mengutip Prof. Soemantri, Fraksi Partai Golkar (FPG) menolak beberapa pasal soal HAM yang sudah diatur dalam UUD. Namun secara normatif FPG mengatakan, pasal-pasal yang yang sudah dirumuskan perlu dikembangkan agar mencapai keadilan dan kesejahteraan. Dengan sikap mengambangankan, FPG mengatakan menyerahkan permasalahan ini kepada masyarakat Aceh sendiri.
Sikap yang terang disampaikan oleh Fraksi PAN yang mengatakan UU ini harus menggarisbawahi terbentuknya Pengadilan HAM (sesuai UU 26/2000), bukan membentuk Pengadilan HAM sendiri. Lebih lanjut menurut PAN, soal retroaktif atau tidak, itu bukan kewenangan UU ini. Sementara itu dalam penjelasannya Menkominfo Sofyan Djalil mengatakan retroaktif atau tidak ini yang menyebabkan Helsinki nyaris gagal. Menurut Sofyan Pengadilan HAM sudah ada di Medan, mereka minta di Aceh, pemerintah tidak keberatan untuk dibuat extension. Senada dengan FPG, Sofyan menjelaskan pemerintah berharap akan penyelesaian melalui kearifan lokal (islah.red). Kearifan lokal dimaksud dengan tambahkan oleh Sofyan yaitu tidak membawa ini dalam proses formal (hukum. Red). Pembahasan mengenai isue HAM ini tidak menemui kata sepakat, sehingga Ferry selaku pimpinan sidang mengatakan akan dilakukan pendalaman tingkat Panja dengan catatan 3 isue: penyelarasan tentang norma atau nilai-nilai HAM yang diatur, memajukan hak-hak perempuan dan anak, dan soal pembentukan Pengadilan HAM dan KKR. Lebih jauh, anggota Pansus dari Fraksi PDIP, Sidharto Danusubroto (mantan Kapolda Jawa Barat dan mantan ajudan Soekarno) juga menganggap tidak perlu ada pengadilan HAM ad hoc di Aceh. Menurutnya, pelanggaran
HAM yang terjadi di Aceh tidak hanya dilakukan oleh TNI tapi juga oleh GAM. “GAM sudah mendapat Amnesti, bagaimana dengan nasib TNI/Polri?” Tidak ada yang istimewa Rumusan tentang akses keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh terasa tidak ada yang istimewa, bahkan UU No.11/2006 ini malah mengaburkan tanggungjawab negara pada penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi para periode sebelum UU Pemerintahan Aceh ini disahkan sampai dengan setelah UU tentang Pengadilan HAM tahun 2000 disahkan.
Golkar. Fraksi PAN berpendapat bahwa Pengadilan HAM di Aceh memang tidak diberi beban untuk mengadili perkara pelanggaran HAM masa lalu. Tetapi dengan tegas FPAN mengatakan tidak benar bila dikatakan pelanggaran HAM masa lalu tidak dapat diadili karena secara nasional sudah ada UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang berlaku retrokatif. Berbeda dengan fraksi Golkar yang menyatakan masa lalu adalah kurun waktu yang telah kita lalui untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk mengungkit peristiwa yang sudah terjadi.
Dalam rumusan akhir UU Pemerintahan Aceh yang mengatur tentang pengadilan HAM tertuang dalam pasal 215 menyatakan: (1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. (2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi dan/ atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Perbedaan kedua pandangan diatas akan menjadi beban berat bagi korban yang memimpikan keadilan dan penegakan hukum. Karena dalam proses peradilan bagi kasus pelanggaran berat HAM masa lalu DPR RI masih memiliki posisi strategis untuk merekomendasi dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Presiden.
Rumusan pasal tentang pengadilan HAM ini sama sekali tidak memberi terobosan hukum dan keberpihakan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh. Karena pasal tentang pembentukan pengadilan HAM di Aceh ini hanya upaya untuk menjawab persoalan di masa datang, tidak untuk kasus-kasus yang telah banyak terjadi di masa lalu.
Pentingnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sudah disuarakan oleh pihak GAM ketika proses perundingan informal di Helsinki. Namun, perlawanan dari Pemerintah untuk meniadakan tuntutan soal ini juga sama kuatnya. Sehingga menurut Sofyan Djalil pembahasan tentang pengadilan HAM ini lebih dalam terkait dengan kewenangan rektroaktif nyaris membuat perundingan ini menjadi gagal. Hingga akhirnya point yang disepakati dalam soal ini dirumuskan didalam kalimat sederhana point 2.2 menyatakan “Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh”. Kalimat ini lahir dari pertarungan untuk menghukum dan pihak pembela impunity.
Sekalipun pasal ini telah memastikan dibentuknya pengadilan HAM di Aceh, namun pasal ini juga membuka peluang terjadinya impunity. Hal ini dapat dilihat tidak disebutkannya mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU PA ini disahkan (10 Juli 2006-2000). Pasal ini dapat ditafsirkan secara negatif bahwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU ini disahkan tidak dapat diajukan ke pengadilan HAM di Aceh. Namun, dapat juga ditafsirkan lain, bahwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU disahkan tetap mengacu pada UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Multitafsir yang dimunculkan oleh pasal tentang pengadilan HAM ini dikuatirkan akan menjadi batu sandungan bagi penyelesaian pelanggaran-pelangaran HAM yang pernah terjadi di Aceh pra UU ini disahkan. Bila menengok kembali pendapat akhir dari masingmasing Fraksi, hanya ada dua Fraksi yang memberi sikap jelas dengan tujuan berbeda terkait dengan penyelesaian pelanggaran berat HAM, yaitu fraksi PAN dan fraksi
Politisasi atas upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM ini dalam prakteknya telah memakan ‘korban’. Mandegnya proses penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran HAM seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II serta Tragedi Mei 1998 tidak terlepas dari rendahnya komitmen para politisi di Senayan bagi kepentingan korban dan kemanusiaan.
Mengenai pengaturan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh juga bagai setali tiga uang. Tidak ada pembuatan mekanisme tersendiri bagi pembentuk KKR di Aceh yang masih digantungkan pada keberadaan KKR di tingkat nasional. Sementara itu KKR ditingkat nasional hingga saat ini masih tersandera oleh Presiden SBY yang tanpa alasan yang jelas tidak juga menetapkan para Komisioner dari komisi ini. Perdamaian yang melahirkan regulasi ini kemudian hilang tanpa makna tanpa keadilan. Penguasa negeri ini masih menggunakan statistik menghitung korban. Karena korban bagi penguasa negeri ini adalah ‘mereka’ bukan ‘kita’. Keadilan memang harus direbut! Not Justice, Not Peace!
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
8
TUTUR
Chairul: dari Dituduh GAM Hingga Disuruh Menangkap GAM Chairul
Harifin, lelaki kelahiran Medan, 3 Juli 1958, hanya petani biasa yang ingin mengubah kehidupannya. Ia datang dari Medan menuju Aceh. Namun, tanpa kesalahan yang tak pernah ada, Chairul berulang kali harus menerima kekerasan, penyiksaan atas semua hal yang tak pernah dilakukannya. Kekerasan yang meninggalkan trauma serta cedera fisik yang membuatnya tidak mampu lagi untuk bekerja. Chairul menjadi salah satu potret derita warga saat Aceh mengalami konflik kekerasan. Awalnya dituduh mencuri 28 Januari 2001, sore hari, entah bagaimana mulanya, Chairul difitnah mencuri kelambu. Berita ini disampaikan oleh Bakhri, yang juga menjadi korban fitnahan. Kemudian, Bakhri mengajak Chairul ke tempat kepala desa untuk mencari orang yang telah memfitnah mereka berdua. “ Saya dan Bakhri ke rumah Kepala Desa. Disana lalu terjadi ribut. Bakhri dipukul oleh orang-orang dari Kepala Desa. Saya pun hendak dipukul pula oleh Suratman, alias Win, ipar Kepala Desa. Tak lama kira-kira satu jam kemudian datang pasukan Brimob, Bakhri dan saya dinaikkan ke atsa motor (mobil-red). Diatas motor, saya ditendang, diinjak, dihantam Broti. Lalu saya dibawa ke kantor Kapolsek. Kami berdua dimasukkan kedalam penjara. Kata pasukan Brimob saya anggota GAM dan juga mata-mata GAM. Saya dituduh punya senjata dan HT. Pokoknya saya telah difitnah sebagai anggota GAM dan dituduh mencuri,” ungkap Chairul. Kemudian Chairul dipaksa duduk, dimana satu orang memegangi tangan kirinya, dan satu orang lainnya memegangi tangan kanannya. “Dua orang di depan saya memukul bergantian, sasaran yang dipukul tulang rusuk, dada, berulang kali. Pemukulan itu dilakukan oleh teman lainnya secara bergiliri. Sasarannya tulang rusuk dada. Dilihat saya tidak apa-apa, Brimob yang lain menendang kepala saya bertubi-tubi dengan sepatu dinasnya. Setelah itu saya tak sadarkan diri, “ tutur Chairul. Setelah sadar, Chairul dibawa oleh empat orang pasukan Brimob ke dalam penjara. Ia dipaksa membuka baju serta celananya (mereka memeriksa apakah Chairul mempunyai jimat). Celana dikembalikan, tapi uang sebesar 93 ribu rupiah raib dari kantong celananya. Tengah malam, empat orang petugas membuka pintu penjara. Tangannya diikat kebelakang, sedang matanya ditutup. Chairul dibawa keluar penjara. Sesampainya di suatu tempat ia disuruh duduk. “Kau anggota GAM dan mata-matanya, punya senjata dan HT. Ayo cepat serahkan senjata dan HT-mu, kalau tidak kutembak kau.” Saat itu Chairul membantah dan
9
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
menjelaskan bahwa ia datang dari Medan datang ke Aceh hanya untuk bertani. Dirinya bukan anggota GAM dan bukan pula mata-mata GAM. Ia pun tidak punya senjata dan HT. Chairul pun mengaku tidak mengenal orangorang GAM bersenjata. “Kutembak kau nanti, kau bersiap-siap dan berdoa,” Ujar salah seorang diantara mereka. Chairul kembali menjawab ia bukan anggota GAM, ia bukan mata-mata GAM, tidak punya senjata dan HT. Jawabannya tak didengarkan. Terdengar suara tembakan meski tidak mengenainya. Meski bersyukur tapi ia merasa ketakutan setengah mati. Chairul kembali dimasukkan ke dalam penjara. Pagi hari mulutnya tak bisa dibuka, urat-urat syarafnya sakit. Kepalanya membengkak, bola mata memerah. Setelah tiga hari ia menderita semua rasa sakit itu, barulah Chairul diperiksa oleh seseorang dokter dari Polsek. Enam hari berada di penjara, akhirnya Chairul dibebaskan, namun ia dipaksa membayar lima puluh ribu rupiah sebagai ganti rugi selama dipenjara. “Kalau nggak ada pinjam sama temanmu, “ ujar Polsek yang bernama Mugiono. Setelah berada di rumah, dua minggu kemudian Chairul merasa tulang rusuk, dada dan kepala sakit sekali semuanya. Ia pun lalu berniat hendak berobat di Medan. Tapi di perjalanan ia dicegat pasukan BKO. “Mau mengadu kau sama familimu,” ujar mereka. Saat itu Chairul berkata bahwa ia hanya ingin berobat ke Medan. “Tidak bisa. Kembali kau ketempat. Kau berobat di Puskesmas Penarun ini saja. Setiap masyarakat tidak boleh keluar dari Aceh, “ ujar anggota BKO.
Kembali dituduh GAM Lima bulan kemudian, 24 Juni 2001. pasukan TNI BKO Sriwijaya dan Koramil Pasukan Organik melintasi ladang Chairul. Kemudian dua orang dari mereka menjemput
TUTUR Chairul secara paksa, dari ladang dan dibawa ke hutan. Sesampainya di hutan, Chairul dipukul oleh Teguh, Komandan pasukan Sriwijaya ini. “Kau anggota GAM, mata-mata GAM, punya senjata dan HT. Cepat kau serahkan.” Chairul membantah semua tuduhan ini. “Kalau kau bukan anggota GAM, kau harus menangkap GAM bersenjata, pakai senjatamu parang.” Saat itu Chairul menjawab bahwa tugas menangkap GAM dilakukan oleh TNI yang bersenjata. Mendengar jawabannya, Wakil Komanda BKO Sriwijaya, Armansyah marah, ia lalu memukul tulang rusuk Chairul bertubitubi. “Sudah capek Armansyah memukul saya, lalu dilanjutkan kembali oleh anggota lainnya Rantimin. Saya dipukul di dada, di tulang rusuk. Lalu setelah itu saya digiring ke rumah penduduk namanya Suwodak. Disana saya kembali dipukul berulang-ulang. Mereka memukuli saya secara berganti hingga saya tak sadarkan diri, “ ungkap Chairul.
ribu rupiah. Entah kemana dana lainnya. Begitu juga bantuan kain sarung tidak dibagikan pada mereka. November 2001 Chairul kembali mengalami kekerasan hanya karena ia tidak bisa menangkap GAM. Saat itu Chairul kembali berkata bahwa tugas menangkap GAM adalah tugas TNI. Akibat jawabannya, Chairul harus menerima tindak kekerasan pemukulan dari Komandan Sriwijaya BKO. Tiga hari kemudian ia jatuh sakit. Ia pun ingin berobat di Medan tapi kembali ia dilarang berobat ke Medan.
Keesokkan harinya, datang Mantri dari pasukan Sriwijaya. Ia disuntik, diberi obat, tapi hanya sembuh tiga hari. Setelah itu ia sakit dan tak kunjung sembuh. Warga menyarankan agar ia pergi ke familinya “Kutembak kau nanti, kau di Langsa (ibukota Aceh Timur-red). bersiap-siap dan berdoa,” Tapi, meski sudah berobat berulang kali ujar salah seorang diantara ke Langsa, penyakit Chairul tak jua mereka. Chairul kembali sembuh.
menjawab ia bukan anggota GAM, ia bukan mata-mata GAM, tidak punya senjata dan HT. Jawabannya tak didengarkan. Terdengar suara tembakan meski tidak mengenainya. Meski bersyukur tapi ia merasa ketakutan setengah mati.
Saat sadar, Chairul melihat bajunya penuh darah. Mulutnya berdarah, gusi gigi pecah dan dua gigi copot. Lalu ia digiring ke rumah kepala desa Kasidih. Disana Rantimin bertanya pada Kasidih. “Mana surat-surat pindahan rutin dari Medan dan mana bukti surat tanahnya Chairul.” Kasidih menjawab bahwa bukti ganti rugi memang melalui kepala desa. Tapi, Surat pindahan dari Medan melalui wakil kepala desa.
Mendengar hal ini Rantimin bertanya pada Chairul. “Mana surat-surat tanahmu kalau memang ada ganti rugi.”. Chairul menjawab bahwa surat tanah itu disimpannya di Medan. Akhirnya ia dikenakan wajib lapor, dimana lima hari sehari harus lapor. Empat bulan kemudian, Oktober 2001. orang-orang bersenjata tidak dikenal membakar rumah-rumah penduduk di kampung Rawah Fakis termasuk rumah yang Chairul tempati. Ia lalu mengungsi dengan warga lainnya ke dataran Indah DK/I. Banyak bantuan pakaian dan bahan pangan yang ia tahu diberikan oleh penduduk kampung lain. Bupati pun memberikan bantuan sebesar satu juta rupiah dan beras satu ton pada Kepala Desa Kasidih untuk dibagikan pada 31 keluarga yang ada dalam pengungsian ini. Nyatanya, tiap kepala keluarga hanya mendapat beras lima kilogram dan uang sepuluh
Lantaran penyakit yang dideritanya ini tak jua pulih, Chairul lalu meminta surat keterangan untuk berobat pada kepala desa Kasidih. Ia sudah tak punya biaya lagi untuk meneruskan pengobatannya ini. Ia kemudian mendapatkan surat keterangan ekonomi lemah, tidak mampu/miskin, dan keterangan yang menyatakan bahwa ia korban kekerasan, saat konflik masa Darurat Sipil. Surat yang bertanda tangan kepala desa Kasidih serta camat itu dibawanya untuk digunakan berobat di Langsa. Tapi sayang sekali surat ini tak bisa digunakan untuk membantu biaya
pengobatannya. Kini Aceh telah reda dari konflik bersenjata. Tapi kondisi ini tak berarti apapun bagi Chairul, bahkan ia hanya bisa pasrah atas semua derita serta trauma berat yang pernah dialaminya. Akibat siksaan yang pernah ia terima, kedua bola matanya kabur. Dadanya sering terasa sakit, tulang rusuknya-pun patah. Akibatnya Chairul tak mampu lagi bekerja. Ia pun tak mampu lagi merawat kebun kopi serta membangun kembali lahannya yang rusak. Bahkan ia tak mampu lagi melakukan tugas sebagai suami pada isterinya. Ia pun tidak bisa membayar surat tanahnya yang di tahan oleh aparat. Kini hidup Chairul kian tak menentu. Ia merasa tak mempunyai masa depan. Semua telah hancur lantaran ia harus menerima sejumlah tindak kekerasan semasa berlaku Darurat Sipil. Kini Chairul hanya bisa berharap sambil terus mencari. Chairul berharap dirinya mendapat keadilan, agar ia mampu melanjutkan kehidupannya dan masa depan keluarganya.***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
10
JEJAK SANG PEJUANG
Polri Tolak Tawaran Penyidikan Bersama dari Polisi Belanda Hingga akhir bulan Agustus ini, kasus pembunuhan pejuang hak asasi manusia Munir tak menunjukkan perkembangan yang berarti. Ironisnya, saat pemerintah Indonesia terkesan tak ingin menuntaskan kasus tersebut, pemerintah dan parlemen Belanda malah terus menyoroti perkembangannya. Bahkan jelang akhir tahun ini, delegasi Parlemen dan Pemerintah Belanda akan datang ke Indonesia untuk mempertanyakan pengungkapan kasus ini kepada pemerintah Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Koordinator Kontras Usman Hamid, yang juga dipercaya sebagai Sekretaris Komite Solidaritas Untuk Munir (KASUM), seusai lawatan perjalanannya mendampingi Suciwati, berkunjung ke Belanda dan Belgia, 28 Juni-5 Juli atas undangan Parlemen Uni Eropa. Pada kunjungan ini, Pemerintah Indonesia kembali diminta bersikap serius dan bersungguh-sungguh dalam mengungkap kasus serta dalang di balik pembunuhan Munir. “Saat di Den Haag, Parlemen dan Pemerintah Belanda bahkan menyampaikan keseriusan dan keinginan mereka untuk bisa menggelar kerjasama penyelidikan bersama pihak berwenang Indonesia. Jadi bukan sekedar tukar-menukar dokumen. Selain itu, mereka juga siap memberi bantuan hukum,” ujar Usman. Selain bertemu perwakilan Pemerintah dan Parlemen Belanda, dalam lawatan itu keduanya juga bertemu dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, perwakilan Indonesia, dan juga Perhimpunan Pelajar Indonesia. Mereka mengaku sangat kecewa dengan ketidakseriusan Pemerintah Indonesia. “Secara umum masyarakat internasional kecewa pada upaya penuntasan kasus Munir, yang berjalan lamban dan melemah. Salah satu kekecewaannya, karena surat bersama Perwakilan Khusus Sekjen PBB untuk urusan Pembela HAM Hina Jilani dan Pelapor Khusus untuk Independensi Peradilan PBB Leandro Despouy yang dikirim 23 November tahun lalu tidak juga ditanggapi pemerintah, “ kata Usman. Untuk itu kedatangan Parlemen dan Pemerintah Belanda yang direncanakan pada September, akan menemui DPR, Presiden SBY, dan Komnas HAM. Mereka akan bertanya secara langsung seberapa jauh perkembangan penuntasan kasus pembunuhan Munir. Usman sendiri berharap, dengan dukungan internasional ini, pemerintah Indonesia cepat menuntaskan kasus Munir. “Saya yakin SBY mampu melakukan langkah-langkah kongkret untuk penyelesaian kasus ini, karena bagi kami ini kewajiban dan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum di mata internasional dan akan terus menjadi sorotan, “ jelas Usman.
11
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
Olah TKP Pada kesempatan itu Usman juga menegaskan bahwa ada temuan baru terkait dengan kasus Munir. Otoritas Belanda mengaku tidak pernah melakukan olah TKP di pesawat Garuda yang membawa Munir dari Jakarta ke Amsterdam. “Pemerintah Belanda membantah telah melakukan olah TKP. Mereka (Belanda) juga mengatakan pihaknya tidak mungkin melakukan olah TKP tanpa seizin pemerintah Indonesia karena itu adalah wewenang pemerintah Indoensia,” ujar Usman. Bantahan ini terkait dengan pernyataan jajaran kepolisian Indonesia, yang mengatakan bahwa olah TKP dilakukan oleh aparat penegak hukum Belanda.
Polri tolak penyidikan bersama Selang beberapa waktu kemudian, sebuah koran harian di Jakarta menginformasikan bahwa Mabes Polri menolak keterlibatan Kepolisian Belanda dalam penyidikan ulang kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Alasannya, hal tersebut tidak diatur dalam KUHAP. Namun, Polri mengaku bersedia bekerja sama dengan Kepolisian Belanda bila hanya sebatas membantu Polri dalam pengungkapan. Penegasan ini dikatakan Wakadiv Humas Mabes Polri Bridjen Pol Anton Bachrul Alam di Mabes Polri (14/07). “Kalau dikatakan sama-sama melakukan penyidikan, tentu kami keberatan. Sebab itu tidak diatur dalam KUHAP,” tegas Bachrul. Penyataan tersebut terkait karena sebelumnya, Kepolisian Belanda dan Uni Eropa meminta agar penyidikan kasus Munir dimulai dari awal. Alasannya, Indonesia sampai saat ini belum berhasil mengungkap pembunuhan tersebut sampai tuntas. Selain itu, Belanda juga meminta agar pihaknya dilibatkan dalam penyidkan Munir. Permintaan ini didasarkan karena tempat kejadian perkara (TKP) terbunuhnya Munir berada dalam wilayah internasional. Dengan dalih bahwa penyidik Polri terus berupaya mengungkap siapa pelaku pembunuh Munir, Polri menegaskan, karena itu tidak ada alasan bagi pihak lain mengatakan bahwa penyeidikan tersebut berhenti. Sedang anggota Komisi III Gayus Lumbun mengatakan, penyidikan bersama Indonesia-Belanda atas kematian
JEJAK SANG PEJUANG Munir bisa dilakukan. Gayus merujuk pada UndangUndang HAM yang telah diratifikasi, begitu pun pada locus delicti (lokasi terjadinya perkara). “Munir meninggal saat di atas pesawat wilayah Eropa. Jadi bukan di Belanda atau di Indonesia. Karena itu TKPnya ada di wialyah teritorial internasional. Kasus Munir sudah masuk kejahatan lintas negara. Untuk itu, kasus Munir bisa disamakan dengan kasus teroris. Ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat,” tukasnya.
Isteri Polly ajak kerjasama Sementara itu, entah mengapa dan entah karena apa, isteri Pollycarpus BP, Yosepha Hera Iswandari, mengajak Suciwati bersama-sama menyelesaikan kasus pembunuhan Munir(12/07). Hera mengungkapkan keinginan kerjasama ini dengan alasan, penetapan suaminya (Polly) sebagai tersangka dalam kasus kematian Munir merupakan korban konspirasi politik pemerintah. Karenanya, Hera berharap dengan adanya kerjasama tersebut kasus ini menjadi jelas, sekaligus untuk membuktikan bahwa Polly bukan pembunuh Munir. Menanggapi ajakan kerjasama ini, Suciwati menyarahkan semuanya ke tim KASUM. “Pada intinya, saya terbuka bagi siapa saja untuk bekerja sama dalam pengusutan tuntas kasus suami saya. Tetapi, kita terlebih dulu melihat dan mempelajari duduk persoalan dan siapa-siapa yang ingin bekerja sama,” ujar Suciwati.
Bukti rusaknya Rule of Law Setelah tekanan yang datang dari Pemerintah dan Parlemen Belanda, Komisi HAM Asia (Asian Human Rights Commission-AHRC) juga mempertanyakan penuntasan kasus pembunuhan pejuang HAM Munir. AHRC meminta Pemerintah Indonesia lebih serius membongkar kospirasi di balik pembunuhan itu. AHRC yang berbasis di Hongkong menyampaikan dukungan kepada Pemerintahan SBY untuk mengadili aktor utama pembunuhan Munir. AHRC percaya, langkah ini dapat memperbaiki kerusakan rule of law di Indonesia. “Kasus Munir penting bagi dunia dan menjadi perhatian gerakan hak asasi manusia di dunia, “ ungkap Basil Fernando, Direktur AHRC di kantor KontraS (14/07). Lebih jauh, AHRC juga mendukung upaya negara-negara Asia dalam mendorong pembentukan kesepakatan HAM regional (Piagam Asia). Menurut Basil, masalah itu perlu dipecahkan bersama. Apalagi umumnya di negara Asia persoalan lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu kendala dalam pengungkapan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Masalah yang lazim terjadi di kawasan Asia, termasuk Indonesia adalah rusaknya rule of law, yaitu
terletak pada system kerja konstitusi penegak hukumnya seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Ia juga mengungkapkan bahwa sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan hukum, efektifitas dan efisiensi dari penyelidikan kriminal yang dilakukan polisi jauh dari professional. Sementara Jaksa sebagai pembawa kepentingan publik sekaligus penentu penuntutan orang-orang yang melanggar hukum, masih bersikap resisten pada tuntutan tegaknya rule of law dan terkesan selektif. Meski ada sejumlah hakim yang berintegritas banyak putusan pengadilan yang kurang memuaskan. Di sisi lain rusaknya sistem penegakan hukum juga melahirkan praktek akut dari aparatur penegak hukum. Dimana faktor Ini disebabkan minimnya infrastruktur penopang institusi, bahkan tekanan politik yang masih tinggi dari lingkungan luar/eksternal. Karena itu, masalahnya bukan lagi semata-mata masalah moral, tetapi menjadi masalah sistemik yang meluas dan strategis. “Mengingat lazimnya masalah rule of law di kawasan Asia, masalah ini perlu di pecahkan bersama. Masalah ini memerlukan solusi regional. Sebab setiap problem rusaknya sistem aturan main hukum satu negara segera menjadi urusan regional. Satu persoalan besar di Indonesia yang hingga menjadi diskusi publik regional adalah penanganan kasus Munir. Secara khusus, kami meminta Mahkamah Agung terbuka dan menghadirkan istri serta kerabat Munir dalam proses kasasi kasus Munir di Mahkamah Agung (MA), “ ujar Basil. Pada kesempatan itu Suciwati mengingatkan bahwa dukungan dari AHRC menunjukkan bahwa komunitas internasional tidak berdiam diri melepaskan perhatian terhadap kasus Munir. Dunia, menurut Suciwati, sangat menyoroti masalah tersebut dan memonitor perkembangan penanganannya. “Indonesia masih menjadi indikator perkembangan HAM di tingkat regional Asia dan apa yang terjadi di Indonesia masih menjadi parameter untuk mengukur negara lain. Pengungkapan pembunuhan Munir bisa menjadi parameter yang menentukan sejauh apa kemajuan penanganan HAM di negeri ini, “ tutur Suciwati.
Desak perhatian pemimpin negara di ASEAN Komite Aksi Solidantas untuk Munir (KASUM ) bersama sejumlah korban pelanggaran HAM serta aktivis pro demokrasi Indonesia meminta pemerintah untuk menegaskan kembali pentingnya perlindungan pembela HAM dan ancaman kematian dan segala bentuk kekerasan. KASUM juga mendesak para pemimpin negara di Asia Tenggara yang saat ini tengah bertemu dalam Asian Ministerial Meeting (AMM) di Kuala Lumpur, agar lebih serius dalam menuntaskan kasus pembunuhan, penghilangan dan
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
12
JEJAK SANG PEJUANG kekerasan terhadap pembela HAM di kawasan. Desakan ini juga didukung oleh Aung San Suu Kyi , aktifis sekaligus tokoh demokrasi Myanmar yang hingga kini masih dipenjara di bawah junta mi1iter Burma (1990-1995 dan 2000-sekarang). Desakan ini disampaikan bersamaan dengan Kampanye Perjuangan Tanpa Batas : yang melibatkan pembela HAM dari tiga negara di Asia, yaitu Suciwati (Indonesia), Angkhana (Thailand) dan Aung San Suu Kyi (Myanrnar). Suciwati adalah istri Munir, pembela HAM yang dibunuh pada 7 September 2004. Angkhana adalah istri aktifis Thailand Somchai Neelaphaijit yang hilang sejak 12 Maret 2004. Sementara Aung San Suu Kyi merupakan tokoh pro demokrasi Myanmar yang ditahan selama periode 1990-1995 dan 2000 hingga sekarang. Atas ketiga kasus tersebut, KASUM mendesak DPR RI mendorong pemerintah RI agar menuntaskan kasus pembunuhan terhadap Munir, menekan pemerintah Thailand agar menuntaskan kasus penghilangan paksa atas Somchai Neelaphaichit dan menekan pemerintah Burma agar segera membebaskan Aung San Suu Kyi. Pemyataan keras PM Malaysia Badawi (23/07/06) mengenai Myanmar harus ditanggapi serius oleh pemerintah RI. Dalam hal ini, DPR RI seharusnya mampu memaksimalkan Kaukus Myanmar.
Secara keseluruhan, DPR RI juga harus mengoptimalkan ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) untuk menciptakan mekanisme di tingkat ASEAN dalam penegakkan HAM dan per1indungan bagi para pembelanya. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan memberdayakan Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI agar menginisiasi agenda per1indungan pembela HAM di Asia T enggara. Seperti diketahui bersama, ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Cambodia, Laos, Myanmar, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand dan Vietnam) telah menyatakan komitmen untuk menghormati pemajuan demokrasi dan HAM dalam ASEAN Summit ke-11 di bulan Desember 2005. Bahkan, Indonesia bersama Malaysia dan Filipina, telah terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB pada 9 Mei 2006. Oleh karena itu, kehadiran Angkhana dan dukungan Aung San Suu Kyi adalah investasi kepercayaan kepada pemerintah RI dalam mempelopori penegakan HAM di ASEAN. ***
Kampanye Bersama Perjuangan Tanpa Batas (Borderless Struggle) Isteri dari almarhum Somchai Neelaphaijit, Khun Angkhana yang tiba di Jakarta pada (24/07), bersama Suciwati dan korban pelanggaran HAM melakukan audiensi dengan DPR, Komnas HAM, Komnas perempuan, media massa, kalangan diplomat, dan organisasi massa Nahdlatul Ulama. Serangkaian kegiatan ini dilakukan dalam rangka Kampanye bersama Perjuangan Tanpa Batas. Dalam diskusi dengan korban, keluarga korban, media massa dan masyarakat umum, baik Angkhana dan Suciwati bertekad untuk sama-sama tidak pernah merasa lelah untuk terus mencari keadilan. Meski kedua perempuan ini, harus menyeberangi lautan dan memakan tenaga, mereka berdua bertekad tak kenal lelah. Angkhana adalah isteri dari aktivis Thailand Somchai Neelaphaijit, yang dilaporkan hilang (dihilangkan) tanpa kabar kabar sejak 12 Maret 2004. Dimana hingga kini, keberadaan Somchai belum diketahui jelas. Entah sudah meninggal atau masih hidup? Somchai menghilang pada saat memobilisasi petisi dari masyarakat Thailand Selatan untuk menolak pemberlakuan keadaan darurat. Menurut Suciwati, dirinya sangat kecewa terhadap sikap pemerintah Indonesia dalam mengungkap pembunuhan
13
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
Munir. Selama ini, pemerintah seolah tidak menunjukkan upaya serius dalam mengungkap dalang pembunuhan Munir. “Tidak ada keinginan politik (political will) dari pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini. Sementara kedatangan Angkhana ke Indonesia telah membuka mata kita bahwa siapapun bernasib sama dengan kami. Siapapun bisa menjadi korban, “ ujar Suci. Sedang Angkhana sendiri bercerita bahwa meski kasus penghilangan Somchai telah dibawa ke pengadilan, dimana lima polisi telah divonis penjara, namun proses pengadilan yang dilakukan sama sekali tidak mengungkapkan apa-apa, termasuk dalang dan motivasi sehingga Somchai harus dihilangkan. Hal itu menunjukkan bahwa kalau sistem peradilan di Thailand tidak berjalan dengan baik. “Sejauh ini rakyat Thalaind belum memiliki kekuatan untuk mendorong suatu proses peradilan yang transparan. Rakyat harus bersatu untuk melawan ketidakadilan. Tapi, saya sadar kalau untuk mencapai itu dibutuhkan waktu, “ ujar Angkhana. Angkhana sadar perjuangannya akan menjadi jalan panjang penuh onak duri, malah mungkin tidak akan pernah berhasil. Tapi, ia tidak akan berhenti karena ia
JEJAK SANG PEJUANG
percaya keadilan akan tetap ada di dunia ini dan akan muncul dari tengah masyarakat. “Kalau anda bertanya apakah saya berharap akan mendapatkan kembali Somchai atau tidak, harapan itu sudah hampir tidak ada. Tapi, kenapa saya terus berjuang meski saya tahu itu akan kalah? Itu karena saya percaya bahwa masyarakat akan memperoleh sesuatu dari perjuangan ini. Masyarakat akan menunjukkan kekuatannya untuk tidak membiarkan hal serupa terulang kembali, “ kata Angkhana.
selalu kritis terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Tidak jarang teriakannya yang lantang menyinggung orangorang tertentu. Diyakini kemudian kalau dibalik kasus ini saling terkait pula kepentingan-kepentingan politik. Hal inilah yang membuat masa depan pengungkapan kasus ini semakin gelap. Sama seperti kasus Somchai, pengadilan kasus Munir pun telah digelar. Pilot Garuda bernama Polycarpus Budiharjo Prihanto diajukan sebagai terdakwa. Pengadilan menyatakan ia terlibat dalam konspirasi pembunuhan dan diganjar hukuman penjara 14 tahun.
Sehari setelah putusan pengadilan yang digelar untuk Somchai, Perdana Tapi, ini belum Menteri Thailand menjawab misteri di kala itu, Thaksin Dok.Kontras balik tewasnya S h i n a w a t r a , Munir. Motif mengeluarkan pembunuhan belum sebuah pernyataan terungkap. Dalang yang mengejutkan. pembunuhan juga Menurutnya, masih berkeliaran. Somchai dipastikan Seperti halnya telah meninggal. Somchai, kasusnya Pembunuhan pun mandeg. terhadap dirinya Padahal, Presiden diduga melibatkan SBY pernah empat pejabat mengatakan bahwa pemerintah. Thasin kasus Munir is the test membentuk tim of our history. penyidik khusus g u n a M e n g h a d a p i mengungkapkan kenyataan ini Diskusi Angkhana - Suci dengan Korban dan keluarga korban kasus ini. Hasilnya? Suciwati tidak Mandeg hingga mengenal lelah. sekarang. Motif Sebab, baginya, pembunuhan dan siapa yang paling bertanggungjawab kasus ini bukan semata-mata karena korbanya adalah dalam kasus ini masih gelap. suaminya. Lebih besar dari itu, perjuangan Suciwati adalah memutus rantai impunitas di negeri ini. Itu juga “Sudah tidak ada lagi airmata. Saya tidak marah. Saya perjuangan almarhum Munir semasa hidupnya. Di juga tidak sedih sebab saya melihat begitu banyak Indonesia sederet kasus pelanggaran HAM masa lalu kehidupan. Kekuatan saya tidak pada dendam atau dengan saksi korban masih hidup. Tidak ada pelakunya. kemarahan di dalam hati. Hal-hal itu hanya akan menyakitimu. Kalau anda bertanya apakah saya “Ini bukan sekedar kasus Munir, tapi soal kondisi HAM di berjuang karena saya marah, Tidak. Saya tidak marah. negeri ini. Kekebalan hukum tidak boleh terus-menerus Saya hanya perlu melaksanakan kewajiban saya. Kalau terjadi. Maling ayam saja bia ditembak, ini pembunuhan mereka (terdakwa) dinyatakan tidak bersalah, saya politik didiamkan saja. Apa karena pelakunya orang tidak akan menangis. Saya hanya akan terus berpangkat? Punya jabatan?,” gugatnya. menanyakan hal yang sama, apa yang terjadi dengan suami saya?, “ ujar Angkhana menanggapi putusan Kalau kekebalan hukum terhadap kejahatan terus berlanjut, menurut Suciwati, kejahatan yang sama bisa pengadilan. terjadi pada siapa saja. “Perjuangan ini bukan karena yang Seperti Angkhana, Suciwati paham betul bahwa kami yang perjuangkan adalah bagian dari keluarga kami, keadilan di Indonesia akan selalu jauh panggang dari suami kami, ayah dari anak-anak kami. Perjuangan ini kita api. Pembunuhan Munir bukan peristiwa biasa. Munir lakukan untuk masyarakat demi sebuah kesadaran kolektif diracun melalui konspirasi jahat yang rapi dan rumit. di dalam masyarakat bahwa kasus ini tidak boleh terjadi Kalangan aktivis HAM di Indonesia menyakini pada siapapun, tidak hanya kepada Munir atau Somchai,” pembunuhan ini terkait dengan aktivitas Munir yang tegas Suciwati.
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
14
JEJAK SANG PEJUANG Dukungan dari NU Agar penuntasan/penyelidikan kasus Munir terus dilakukan mendapat dukungan dari kalangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). “Kita terus terang prihatin masih terjadi kasus seperti Munir setelah reformasi yang kita harapkan. PBNU akan mendukung semua usaha mengungkap kebenaran, “ kata dua pimpinan PBNU, Endang Turmuzi dan Rozi Munir, saat menerima kunjungan Suciwati (25/7). Pada kesempatan tersebut, Suciwati mengatakan untuk meneruskan penyidikan yang ada, pihak kepolisian harusnya sudah menindaklanjuti temuan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir, dimana temuan-temuan tersebut hampir sama dengan berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan. Bahkan, fakta tersebut telah dijadikan analisis yuridis bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman pada Pollycarpus.
Suciwati juga mengatakan, penuntasan kasus Munir dapat digunakan sebagai barometer penegakan hukum. Dengan membawa para pihak yang bertanggungjawab ke pengadilan akan membuktikan bahwa penegak hukum tidak memberikan impunitas para pelaku. Selain itu, pihak-pihak tertentu dengan alasan kepentingan politik, tidak dengan mudah melakukan kekerasan dan penghilangan. Sedangkan saat bertemu dengan Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR/RI, Jakarta (25/7), Suciwati yang datang bersama Khun Angkhana dan rombongan, meminta pihak DPR mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan aktivis (pembela) hak asasi manusia. Keberadaan dari UU tentang perlindungan aktivis HAM merupakan kebutuhan mendesak agar kasus yang dialami Munir tidak terulang lagi.***
Bongkar Korupsi Garuda Diancam di Munir-kan Pada Rabu, 12 Juli, Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) mendatangi Bareskrim Mabes Polri, di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Kedatangan mereka untuk melaporkan ancaman pembunuhan yang dialami oleh Ketua Bidang Humas Sekarga, Tomy Tampatty.
mengungkapkan kata-kata “meMunirkan” untuk mengancam jiwa Tomy. Apapun itu, si penulis (pengirim) tahu bahwa Munir telah dibunuh di dalam pesawat Garuda saat penerbangannya menuju ke Belanda hampir dua tahun yang lalu.
Ancaman itu berupa fax surat yang dikirim kepada Tomy Senin (10/07) pukul 12.45 WIB. Isinya, si pengirim mengancam akan menghabisi nyawa Tommy seperti yang dialami Munir, yakni diracun. Bahkan, si pengirim akan menyakini anggota keluarga Tommy bila terus membongkar dugaan korupsi di tubuh Garuda.
Kepada Yth Bpk Tomy Tampatty SH di Jakarta. Hal :PERINGATAN TEGAS !!! Bpk Tomy Tampatty SH yang TERHORMAT! Kiranya Bpk Tomy harus berhati-hati dalam bersikap! Khususnya dalam hal counter statement tentang kasus-kasus KORUPSI di tubuh PT GARUDA INDONESIA.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tengah memanggil beberapa direksi PT Garuda Indonesia terkait dugaan korupsi di BUMN ini. Direktur Penjualan dan Pemasaran Agus Priyanto merupakan salah satu direksi yang dipanggil KPK. Diduga, telah terjadi korupsi miliar rupiah akibat penyalagunaan pengelolaan penjualan tiket domestik BUMN sejak lima tahun lalu. Sedangkan, Tomy Tampatty adalah salah satu karyawan yang bersuara lantang soal kebobrokan di satu-satunya maskapai penerbangan milik pemerintah ini. Di bawah adalah salinan redaksional surat ancaman yang diterima Tomy. Namun, entah mengapa si pengirim
15
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
Saya TIDAK BERKENAN atas tingkah laku Bpk Tomy. JANGAN COBA-COBA Bpk Tomy mengungkap lebih jauh tentang KORUPSI di tubuh PT GARUDA INDONESIA. Kalau tetap dilakukan dan diteruskan apa yang sudah Bpk Tomy kerjakan sekarang, maka saya tidak segan-segan akan meMUNIRkan (membunuh secara sadis) Bpk Tomy. Tidak saja Bpk Tomy pribadi yang saya habisi, kalau perlu keluarga dan keturunan Bpk Tomy tidak dapat hidup tenang dan lebih lama menghirup udara dunia. Ini PERINGATAN TERAKHIR!!! Karena yang sudah Bpk Tomy lakukan sekarang jelas-jelas membuat saya tidak dapat tidur dengan tenang.
BERITA DAERAH
Mutasi Kapolda Sulteng Penuh Tanya Kapolri Jenderal Pol Susanto kembali melakukan mutasi di tubuh Polri. Termasuk pula melakukan mutasi Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol. Oegroseno, menjadi Kepala Pusat Informasi dan Pengolahan Data Mabes Polri (29/08). Oegroseno digantikan oleh Kombes pol Badrodin Haiti yang sebelumnya berdinas di Seslemdiklat Polri. Mutasi Oegroseno ini agaknya berkaitan dengan tarik ulurnya penundaan eksekusi Fabianus Tibo, Marinus Da Silva dan Marinus Riwu. Ketiganya terdakwa yang divonis mati untuk kasus kerusuhan Poso. Tidak berlebihan kiranya bila KontraS menduga bila mutasi ini berkaitan langsung karena Bridjen Pol Oegroseno termasuk pihak yang setuju menunda eksekusi mati terhadap Tibo dan kawan-kawan. Tapi, penundaan ini juga masuk akal, mengingat Polda Sulawesi Tengah sedang melakukan investigasi mendalam terhadap 16 nama yang disebutkan Tibo dalam persidangan. Investigasi ini diyakini bisa mengungkap rangkaian kekerasan di Poso. Bahkan, di berbagai media, pernyataan Kapolda Sulteng juga menunjukkan sikap yang tegas untuk mengungkap Konflik Poso yang sebenarnya. Harusnya ini jadi langkah maju yang harus didukung oleh masyarakat luas. Kita menghormati bahwa mutasi adalah kewenangan Kapolri. Namun langkah yang mendadak ini merupakan cara yang tak lazim. Untuk itu, sebaiknya, Kapolri memberi kesempatan kepada pejabat yang dimutasi untuk menjelaskan alasan mengapa Ia belum melaksanakan eksekusi hukuman mati terhadap Tibo, dan dua rekannya.
masa tugasnya yang terbilang singkat, hampir satu tahun, Kapolda Sulteng ini berhasil mengungkap beberapa kasus besar yang terjadi diKabupaten Poso. Kasus-kasus yang cukup menarik perhatian masyarakat luas, seperti kasus Korupsi Dana Kemanusiaan dimana telah ditetapkannya beberapa orang tersangka, seperti Azikin Suyuti termasuk mantan Sulteng, Aminuddin Ponulele, menunjukkan kinerja Polda Sulteng yang terus meningkat walaupun belum dapat dikatakan berhasil.
Sementara, dimasa Kapolda Sulteng sebelumnya, berbagai kasus besar seperti kasus ilegal logging dan Kasus Korupsi Dana Kemanusiaan Poso, tak kunjung menunjukkan kinerja yang meningkat secara kwalitas maupun kwantitasnya, baru saat kepemimpinan Brigjend Oegroseno ada koruptor Dana Kemanusiaan Poso yang diproses Berbagai kasus besar secara hukum. seperti kasus ilegal
logging dan Kasus Korupsi Dana Kemanusiaan Poso, tak kunjung menunjukkan kinerja yang meningkat secara kwalitas maupun kwantitasnya, baru saat kepemimpinan Brigjend Oegroseno ada koruptor Dana Kemanusiaan Poso yang diproses secara hukum
Masalah eksekusi Tibo adalah tanggungjawab otoritas politik pemerintah, yaitu Presiden, Jaksa Agung. Apalagi persoalan ini menyangkut pro dan kontra penerapan hukuman mati. Sehingga masalah ini tak bisa dibebankan kepada Polri semata, apalagi kepada seorang Kapolda.
Beberapa kasus besar Mutasi Kapolda Sulteng kali ini jelas pula menarik perhatian masyarakat luas, bukan saja karena dalam
Komitmen Kapolda Sulteng untuk mengungkap lebih komprehensif Konflik Kemanusiaan yang terjadi di Poso, patut kita hargai. Ini dapat dilihat dari masa kerja yang singkat, namun telah menunjukkan kemajuan, seperti yang disebutkan diatas seperti kasus Korupsi Dana Kemanusiaan, penembakan Siswi SMK Poso dan kasus lainnya.
Beralasan bila KontraS meminta Mabes Polri bisa menjelaskan secara terbuka alasan Mutasi Kapolda Sulteng. Karena persoalan ini juga berkaitan erat dengan agenda penyelesaian Konflik Kemanusiaan di Poso yang harus diselesaikan secara menyeluruh. Agenda-agenda ini dapat terganggu dengan adanya mutasi, perpindahan pucuk pimpinan institusi yang bertanggungjawab atas keamanan di Sulteng. Selanjutnya, Mabes Polri harus terus meningkatkan kinerja yang telah dibangun Kapolda Sulteng selama ini, terutama agenda pengungkapan Konflik Kemanusiaan yang terjadi di Poso secara menyeluruh.***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
16
BERITA DAERAH
Dipersoalkan Pemusnahan Alat Bukti Kasus Kekerasan Poso Tindakan pemusnahan senjata api yang dilakukan Kepolisian melalui Koopskam dan Polda Sulawesi Tengah (2-3 Juli) di Palu dapat dikatakan sebagai tindakan yang patut disesalkan. Mengapa? Lantaran tindakan ini dapat menjadi suatu rangkaian, dari upaya pengaburan penyelesaian sederetan kasus kekerasan yag terjadi di Poso Dalam tahun 2006, tercatat bahwa lima kali ditemukan senjata api, baik yang rakitan maupun organik. Dari lima kali temuan tersebut, ditemukan pula sebanyak 206 senjata rakitan, senjata standar organik 13 buah, amunisi sebanyak 1.353, bom rakitan sebanyak 65 buah dan 5 buah granat. Ironisnya, temuan-temuan ini tidak menunjukkan signifikansi penghentian kekerasan di Poso. Padahal semestinya, penemuan alat-alat bukti ini dapat dijadikan petunjuk awal bagi berbagai kekerasan yang terus berlangsung. Sementara dengan pemusnahan alat bukti ini, kembali menunjukkan bahwa pihak Polri tidak melakukan tugas penyelidikannya secara optimal, guna mencari siapa pemasok dan pengguna senjata-senjata tersebut. Seharusnya, penemuan senjata-senjata yang digunakan sebagai alat kekerasan di Poso bisa ditempatkan sebagai penemuan alat bukti. Yang kemudian alat bukti ini selanjutnya dijadikan acuan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan kelak. Maka, tindakan pemusnahan terhadap senjata-senjata temuan tersebut sangat bertentangan dengan semangat penegakan
hukum. Tindakan ini patut disebut sebagai penghilangan alat bukti kekerasan di Poso. KontraS menduga bahwa pemusnahan barang bukti ini merupakan upaya dari pengaburan penyelesaian kekerasan dan konflik di Poso yang terus berlanjut. Tindakan ini sangat berrelasi dengan upaya mendorong penyelesaian atau rencana pemberian amnesti (pengampunan hukum) secara sepihak yang diagendakan oleh Pemerintah Daerah Sulteng. Padahal perdamaian yang otentik tidak mungkin terlaksana tanpa penegakan hukum. Sementara itu, berkaitan dengan rencana pembubaran Koopskam dan Satgas di Poso, jelas terlihat bahwa hal ini tidak signifikan bagi penegakan hukum di Poso. Sepatutnya tindakan penyelesaian kekerasan dan konflik di Poso harus dilakukan dalam kerangka akuntabiltas hukum yang tinggi. Karenanya menjadi satu hal yang sangat penting bagi pihak DPR untuk melakukan evaluasi kepada pihak Kepolisian, dalam rangka pengamanan dan penegakkan hukum di Poso. Dan untuk selanjutnya segera pula melakukan audit terhadap otoritas distributor dan pengguna senjata api.***
Tabel Penemuan, Penyitaan Senjata Api dan Bom di Poso, Januari – Juli 2006
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, Kontras 2006
17
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
BERITA DAERAH
Vonis untuk Sepuluh Mahasiswa Papua Sepuluh mahasiswa asal Papua yang menjadi terdakwa kasus perusakan Gedung Plaza 89, Kuningan, Jakarta Selatan (23/02), dijatuhi pidana penjara selama empat bulan 18 hari. Dengan vonis ini, sepuluh mahasiswa tersebut, yaitu, Yang Matuan, Medy Pagaye, Danny Wenda, Itius Wenda, Lamberth Kogaya, Paul Wolom, Martheus Pagawak, Gomer Kogaya, Berthenus Magayang, dan Aluas Magayang, langsung bebas (12/7). Hal ini, terjadi karena, seperti disampaikan majelis hakim yang di ketuai oleh Achmad Sobari serta hakim anggota Efran Basyuning dan Eddy Jonarso, lama hukuman itu sama dengan lama penahanan yang dijalani terdakwa. Bahkan, Dalam amar putusannya majelis hakim memerintahkan jaksa penuntut segera mengeluarkan para terdakwa dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kesepuluh mahasisswa ini telah ditahan di rutan Polda Metro Jaya dan LP Cipinang sejak 24 Februari lalu. Hukuman sepuluh mahasiswa asal Papua ini diputuskan dalam sidang yang berlangsung mulai pukul 15.20 hingga 19.00 WIB. Persidangan awalnya diisi dengan pembacaan tuntutan. Saat itu, jaksa menuntut para terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara potong masa tahanan. Sebab, para mahasiswa ini terbukti telah melakukan perusakan sebagaimana diatur Pasal 170 Ayat (1) KUHP. Pengetahuan obyektif tentang Papua Seusai pembacaan tuntutan, tim penasehat hukum terdakwa yaitu David O Sitorus, Abusaid Pelu, Pungky Indarti, Jansen Sihaloho dan Ali Imron menyampaikan pembelaan yang berjudul “Lihat, Rasakan, dan Dukung
Perjuangan Kami.” Dalam pembelaannya, penasehat hukum terdakwa menyampaikan bahwa penyerangan terhadap Plaza 89 akan dapat dipahami jika ada pengetahuan yang obyektif tentang Papua, terutama berkaitan dengan kegiatan PT Freeport di propinsi itu. Lebih lanjut dalam pembelaannya juga disampaikan bahwa, perusakan dilakukan karena sebagai putra daerah mereka (10 mahasiswa ini), merasa terpanggil untuk membela warga BERITA DAERAH Timika, yang ditembak oleh tentara saat mendulang emas di pembuangan limbah PT Freeport Indonesia sehingga mengakibatkan tiga orang tewas. Kondisi inilah yang memicu para mahasiswa tersebut melakukan aksi ke kantor pusat Freeport, yang pada akhirnya menyebabkan mereka ditahan. Aksi ini merupakan perlawanan atas sikap-sikap apatis yang ditunjukkan selama ini oleh PT Freeport terhadap kondisi dan aspirasi masyarakat sekitar. Aksi mendatangi kantor pusat PT Freeport dipicu setelah Yan Mantuan dan kawan-kawan mahasiswa lainnya menyaksikan tayangan berita headline news Metro TV (22/ 02), tentang penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan Brimob terhadap tiga masyarakat sipil Papua yang sedang melakukan pendulangan di daerah tailing tempat penambangan PT Freeport. Aksi pengrusakan yang dilakukan oleh Yan Matuan dan mahasiswa lainnya, adalah suatu tindakan yang dilakukan secara spotan dan tidak terencana. Akibat tidak dapatnya para terdakwa bertemu dengan pimpinan PT.Freepot sehingga menimbulkan kemarahan, kekesalan dan emosi dari para terdakwa.***
Sejak meninggalnya Munir, yang kemudian diumumkan sebagai alkibat adanya kandungan racun arsen di dalam tubuhnya, kejadian ini menjadi misteri yang mengundang perhatian luas, di dalam maupun di luar negeri. Sayang hingga setahun lebih kasus ini hanya berhasil menyeret satu pelaku, seorang pilot Garuda ke pengadilan.
Dapatkan di Kontras dan Gramedia
Buku putih yang disusun Kontras ini merupakan upaya petunjuk pada publik luas, pengungkapan Kasus pembunuhan Munir, tidak terletak pada Masalah tekhnis, namun, lebih pada masalah politik.
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
18
BERITA DAERAH
Mobilisasi Gerakan Anti Premanisme Saat ini mobilisasi dan aksi premanisme yang dilakukan organisasi/kelompok massa berbasis sentimen kedaerahan, agama, politik dan kepentingan ekonomi telah mendapat perhatian masyarakat dan juga pemerintah. Korban yang merupakan tokoh masyarakat, entertainer dan budayawan telah turut memperkuat perhatian tersebut. Sayangnya, kaum miskin perkotaan, kelompok perempuan, mendasar menyangkut desain politik (political design) kelompok minoritas, serikat buruh dan masyarakat marginal kelompok tertentu dalam hal ini militer dan Orde baru. lainnya yang sehari-harinya menjadi korban aktivitas ormas yang didukung negara, sama sekali luput dari pemberitaan Setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu dipersoalkan media, perhatian pemerintah dan masyarakat pada berkaitan dengan muncul dan merebaknya tindakan umumnya. Padahal, mereka seringkali hadir dan terlibat premanisme yang dilakukan kelompok-kelompok organisasi massa radikal berbasis dalam setiap penggusuran komunitas kedaerahan, agama, politik dan miskin kota, pemberangusan gerakan kepentingan eekonomi. Diantaranya, perempuan, mematikan gerakan buruh, Ironisnya, dalam keterlibatan kegagalan lembaga-lembaga politik melawan demonstrasi mahasiswa dan itu, negara bukannya absen, dan hukum untuk menyediakan menindas kelompok minoritas. tetapi justru hadir sebagai perangkat/aturan bagi penyelesaian Sementara, ruang lingkup kasus yang konflik maupun mengatasi keluhanpihak yang mendesain, melibatkan kelompok-kelompok massa keluhan. sengaja membiarkan dan yang mengusung aksi premanisme telah menjalin hubungan saling Hal lainnya menyangkut meluas, contoh, penyerangan pada menguntungkan dengan ketimpangan ekonomi dan kelompok minoritas, penutupan paksa kelompok-kelompok tersebut. konsolidasi (penguatan) identitastempat ibadah, intimidasi dalam identitas komunal dimana sengketa hukum, pungutan liar di ruangkelompok-kelompok bersaing ruang publik, kekerasan dan intmidasi mendapatkan akses untuk atau dalam penggusuran, penyerangan kelompok minoritas, termasuk mafia peradilan. Ironisnya, kendali atas sumber-sumber ekonomi. Tak kalah dalam keterlibatan itu, negara bukannya absen, tetapi justru pentingnya adalah, penggunaan kekerasan yang hadir sebagai pihak yang mendesain, sengaja membiarkan dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk dan menjalin hubungan saling menguntungkan dengan menghasut atau menekan konflik. kelompok-kelompok tersebut. Untuk itu aksi-aksi premanisme dalam penggusuran rakyat miskin kota, penyerangan kelompok perempuan Premanismen berbaju SARA dan kaum minoritas, penyerangan terhadap buruh dan Menguatnya tuntutan pembubaran kelompok-kelompok kelompok masyarakat marginal lainnya, yangdilakukan tersebut telah mendapat respon balik dari kelompok- oleh perorangan atau kelompok-kelompok massa harus kelompok massa tersebut dengan menuduh organisasi non- segera dihentikan. Sedangkan aparat penegak hukum pemerintah sebagai komprador Asing. Respon ini dikaitkan khususnya pihak kepolisian dapat pula menindak segala pula dengan Islamophobia dan tuduhan upaya bentuk aksi-aksi tersebut, tanpa diskriminasi apapun. menghancurkan umat Islam. Hal ini menyebabkan isu premanisme telah bergeser dari konflik vertikal (masyarakat- Sementara Komnas HAM supaya berperan aktif dalam negara) menjadi konflik horisontal antar anggota masyarakat mendesak negara agar segera menghentikan dukungan sipil, dan tentunya merugikan dan melemahkan gerakan atas tumbuh dan berkembangnya kelompok–kelompok masyarakat sipil. Padahal, tindakan Premanisme yang yang mengusung aksi premanisme. Yang terpenting, dilakukan organisasi massa berbasis kedaerahan, agama, pemerintahan SBY-JK dapat segera melakukan politik dan kepentingan ekonomi merupakan produk dari pembenahan dan penataan kembali tatanan sosial, politik kebijakan yang gagal, pemerintahan yang buruk, korupsi dan ekonomi yang berkeadilan sosial dan menjunjung akut, peraturan yang tidak sesuai, ketimpangan struktural, tinggi prinsip-prinsip universal Hak Asasi Manusia.*** sistem keuangan yang tidak responsif, dan suatu hal yang
19
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
BERITA DAERAH
Tembakan untuk Dadang dari Kapten Batara Aksi penembakan yang dilakukan oleh aparat TNI terhadap warga sipil disesalkan oleh KontraS dan LBH Jakarta. Peristiwa yang terjadi pada 21 Juli lalu, di jalan tol Cengkareng Kapuk, Jakarta Barat, dilakukan oleh Kapten Batara terhadap Dadang Suhendar. Akibatnya, korban Dadang Suhendar mengalami luka serius dan masih menjalani perawatan intensif. Peristiwa penembakan ini berawal saat kendaraan operasional FIN Logistics, melaju di jalan tol CengkarengKapuk, yang dikendarai oleh Eko Kurniawan. Eko ditemani oleh dua orang temannya, Dede Priyadi dan Dadang Suhendar. Eko yang mengemudikan mobil dengan lambat di jalan tol, memancing kemarahan Batara yang merasa dihalangi laju kendaraannya (saat itu Batara mengemudikan sedan Mercedes Bezs). Entah mengapa, Batara pun merasa tersinggung dan langsung mengejar kendaraan yang dikemudikan Eko ini. Lalu terjadilah kejar-kejaran. Batara terus mengejar sambil berteriak dan mengumpat. Eko yang merasa tak bersalah balas mengumpat. Cerita selanjutnya bak koboi di televisi. Batara mengeluarkan pistolnya dan menembak bagian tengah kendaraan. Peluru ini ternyata mengenai Dadang yang duduk di kursi tengah. Dadang tertembak di perut bagian kanan dan menembus ke perut sebelah kiri. Dengan masih memegang pistol, Batara memaksa Eko menghentikan kendaraannya dengan cara berhenti di depan kendaraannya. Batara lalu mengarahkan pistol ke arah kepala Eko. Hal ini tentu membuat Eko sangat ketakutan, dan Eko langsung berteriak memohon ampun. Saat itulah Batara melihat bahwa Dadang tertembak oleh pelurunya. Setelah itu perwira menengah ini langsung melarikan diri. Penembakan ini mengakibatkan Dadang mengalami luka yang cukup parah, dan masih terus dirawat di RS MMC Jakarta. Peristiwa penembakan ini telah dilaporkan kepada Polsek Metro Penjaringan Jakarta Utara.
Terlibat tindak pidana lain
pada serangkaian peristiwa tindak pidana lainnya. Diantaranya, dua tahun lalu, Batara yang saat itu masih berpangkat Letnan Satu bersama dua saudara kandungnya (warga sipil) mengeroyok Philipus Montolalu hingga lukaIuka (10/11/2004). Pada kasus pengeroyokan terhadap Philipus Montolalu, Pengadilan Militer II-08 Jakarta telah memanggil para pihak untuk menghadiri persidangan (13/6/ 2006). Namun, ternyata pada hari yang telah ditentukan, pengadilan batal digelar. Alasannya, pelaku Batara telah naik pangkat dari Letnan Satu menjadi Kapten. Dua orang saudara Batara yang juga terlibat, diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Batara juga sebelumnya terlibat kasus kriminalitas lain berupa aksi penodongan senjata api terhadap Wehelmina Rompas (5/8/2004). Penodongan senjata api juga terjadi kepada Teddy Masinambow (13/8/2004). Pengadilan atas Batara menjadi kian sulit karena menurut penelusuran Pomdam Jaya, yang bersangkutan sedang mengikuti pendidikan di Pusat Pendidikan Bahasa TNI di Pondok Labu, dalam rangka mengikuti pendidikan militer di Inggris. Keluarga korban penembakan aparat TNI di Cengkareng meminta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto serta Kepala Staf TNI membawa aparat TNI yang terlibat mendapatkan hukuman yang setimpal dan memberi keadilan pada korban dan keluarga korban. Dari apa yang telah dilakukan oleh Batara serta bagaimana ia tidak “tersentuh” hukum menjadi suatu bukti bahwa peradilan militer tidak serius untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan personilnya. Hal ini mencerminkan bahwa pengadilan militer tidak mampu menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan menempatkan setiap orang pada posisi setara (equality before the law.) Padahal, Panglima TNI bisa mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan mekanisme disiplin inernal TNI sekaligus mengajukan masalah ini dalam kerangka pertanggungjawaban pidana dari Batara terhadap serangkaian perbuatan pidana lainnya yang telah ia lakukan.***
Dari informasi yang diperoleh, Kapten Batara adalah personil TNI Kodam Brawijaya yang ternyata juga terlibat
“Semua orang yang sudah dirampas kebebasannya harus dilepaskan dengan cara memungkinkan dilakukannya verifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka benar-benar telah sudah dibebaskan, dan selanjutnya, telah dilepaskan dalam kondisi dimana adanya integritas fisik dan kemampuan mereka secara penuh untuk melaksanakan hak mereka bisa dipastikan” (Pasal 11 Konvensi Penghilangan orang secara paksa)
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
20
BERITA DAERAH
Pembiaran Polisi: Aksi Premanisme Terhadap Falun Gong Tiga bulan lebih puluhan praktisi Falun Gong dari Jakarta mengadakan kegiatan aksi damai di Jalan Pancoran, Glodok, Jakarta. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh rejim komunis China terhadap aktifis Falun Gong. Selama ini pemerintah China telah melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan dengan cara mendirikan kamp konsetrasi dan penjara-penjara, guna menjebloskan para aktivis kedalam kamp tersebut. Di sejumlah kamp tersebut, para aktivisi ini mengalami siksaan luar biasa dan bahkan menjadi sasaran pembunuhan oleh aparat keamanan China. Lebih dari itu, dari hasil penyelidikan yang ada, pemerintah China juga menjadikan sejumlah rumah sakit yang diduga kuat digunakan sebagai tempat transplantasi pengambilan organ aktifis Falun Gong dalam keadaan hidup, untuk tujuan Genosida dan memenuhi bisnis transplantasi organ yang kian meningkat. Selama ini pemerintah China dan rumah sakit pusat transplantasi beralasan bahwa organ itu berasal dari terpidana mati. Dalam kenyataannya, hasil investigasi Organisasi Dunia untuk penyelidikan penganiayaan terhadap Galun Gong (CIPFG) menunjukkan bahwa organ itu diambil dari aktifis Falun Gong di China secara ilegal.
Namun, aksi solidaritas dan keprihatinan oleh para aktifis Falun Gong di Indonesia ini disikapi dengan cara-cara kekerasan. Sejumlah peserta aksi menjadi korban penganiayaan seperti yang dialami oleh Mohammda Bachitijar (28/04), dilakukan oleh sekelompok orang yang menolak kegiatan yang dilakukan oleh Falun Gong. Sejumlah warga dengan gaya premanisme telah memukul, merusak serta menghina para praktisi.
Ironisnya, sejumlah aparat yang bertugas mengamankan aksi tersebut tidak melakukan tindakan berarti dalam kejadian ini. Aparat malah terkesan sengaja melakukan pembiaran Semestinya mereka atas sejumlah tindakan kekerasan yang mendapatkan dilakukan warga lainnya terhadap para aktifis Falun Gong tersebut. perlindungan penuh
untuk bisa menyalurkan hak kebebasan menyampaikan pendapatnya di muka umum, sesuai dengan prosedur yang ada. Nyatanya, aparat malah tidak mampu menjalankan fungsi sebagai pengaman serta pelindung.
Kondisi inilah yang membuat para aktifis Falun Gong di Indonesia menyuarakan rasa solidaritas, keprihatinan yang dalam atas nasib yang dialami oleh ratusan ribu aktifis Falun Gong di China lewat aksi damai menentang kekerasan kemanusiaan ini. Aksi ini dilakukan agar masyarakat Indonesia, khususnya warga suku Tionghoa, mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi di daratan China. Aksi damai ini dilakukan di depan Kedutaan Besar China maupun di tempat lain. Para peserta aksi selalu mematuhi aturan yang ada, dengan mengirimkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian.
21
Pembiaran oleh polisi
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
Padahal, dalam UU No.9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum telah menegaskan fungsi polisi menjaga keamanan dari unjuk rasa yang dilakukan oleh warga negara. Bukan sebaliknya malah ‘membantu’ para preman untuk membubarkan aksi damai ini. Sementara, aktifis Falun Gong sendiri telah dengan taat mengajukan pemberitahuan aksi ke polisi sebelumnya. Artinya, prosedur yang sudah dijalani oleh para aktifis Falun Gong tidaklah dihargai. Semestinya mereka mendapatkan perlindungan penuh untuk bisa menyalurkan hak kebebasan menyampaikan pendapatnya di muka umum, sesuai dengan prosedur yang ada. Nyatanya, aparat malah tidak mampu menjalankan fungsi sebagai pengaman serta pelindung. Atas kondisi tersebut, KontraS dan LBH Jakarta, meminta Kapolri untuk segera melakukan proses hukum terhadap para preman yang melakukan tindakan brutal terhadap aktifis Falun Gong. Menindak tegas aparat POLRI yang membiarkan bahkan membantu para preman membubarkan aksi tersebut. Termasuk pula, segera menindaklanjuti sejumlah laporan yang hingga saat ini masih terkatung-katung di meja para penyidik.***
BERITA DAERAH Tragedi Berdarah IKIP Mataram;
Mahasiswa Menjadi Korban Premanisme KontraS sangat menyesalkan terjadinya kembali tindak kekerasan di kampus IKIP Mataram (22/08), yang menyebabkan satu orang mahasiswa, Ridwan, meninggal dunia dan beberapa mahasiswa lainnya luka-luka akibat ditikam oleh preman yang menjaga kampus. Insiden kekerasan terjadi ketika puluhan mahasiswa melakukan aksi damai di depan kampus IKIP Mataram menolak SK rektor yang melibatkan preman untuk mengamankan kampus. Sebelumnya (4/08), telah terjadi tindak kekerasan terhadap mahasiswa IKIP Mataram oleh satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkot Mataram sebagai pengaman kampus, yang menyebabkan dua orang mahasiswa terluka dan tak sadarkan diri. Huru-hara di Kampus IKIP Mataram itu sangat ironis. Kejadian tersebut berawal dari aksi damai mahasiswa IKIP yang menuntut dicabutnya surat keputusan (SK) tentang penunjukan para preman untuk pengamanan kampus. Ketika itu mahasiswa meminta berdialog dengan pihak rektorat. Sayangnya, permintaan mahasiswa itu tidak bersambut. Akibatnya, para mahasiswa mendesak untuk masuk ke kampus. Aksi tersebut sontak dihalang-halangi pihak keamanan kampus. Maka, terjadilah dorong-mendorong. Cekcok pun tidak dapat dihindari. Lalu, entah darimana awalnya, tiba-tiba terjadi tindak kekerasan, mulai pemukulan hingga penusukan. Bahkan, terjadi kejar-kejaran antara mahasiswa dan pihak keamanan
kampus. Aksi kejar-kejaran tersebut berlangsung hingga ke gang kecil di depan Balai Diklat NTB. Disitulah, Ridwan babak belur dan bersimbah darah. Korban yang sudah tidak berdaya dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil yang kebetulan parkir di depan Balai Diklat NTB. Ridwan mengalami luka bacok di beberapa bagian tubuhnya, termasuk ulu hati, sehingga mau tidak mau tim medis RSU Mataram harus melakukan operasi. Sayang, nyawa Ridwan tidak dapat diselamatkan. Selain Ridwan, mahasiswa lain yang menjadi korban yaitu Zainul Mutaqqin luka pada paha dan jari kelingking nyaris putus dan Aswani mengalami luka pukulan kepala bagian belakang. KontraS menilai tindakan Rektorat IKIP Mataram yang mengeluarkan kebijakan pelibatan elemen-elemen kekerasan seperti Satpol PP dan Preman untuk menjaga kampus tidak sesuai dengan lingkungan akademik Perguruan Tinggi. Dan atas insiden kekerasan yang terjadi di kampus IKIP Mataram tersebut, maka pihak Rektorat adalah salah satu pihak yang harus bertanggungjawab secara hukum. Untuk itu, KontraS mendesak Kapolda NTB untuk melakukan penyelidikan hukum yang menyeluruh dan segera menangkap pelaku maupun aktor intelektual dalam kasus ini. Langkah ini harus diikuti dengan memberikan pengamanan yang cukup agar tidak terjadi tindak kekerasan lanjutan. Lebih jauh, kepolisian harus melakukan langkah-langkah preventif agar tindakantindakan premanisme tidak berkembang di masyarakat dengan meningkatkan profesionalisme keamanan dan perlindungan masyarakat.***
Kekerasan Satpam BIN pada Mahasiswa UKI Tidak jelas kesalahan yang telah dilakukannya, Untung Suropati, Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), serta Lukman (tukang ojek), harus menerima tindak kekerasan berupa pemukulan jagoan oleh satpam BIN. Peristiwa kekerasan ini terjadi pada (6/07), dimana dilakukan oleh tiga orang satpam Badan Intelijen Negara tepat di dalam kantor BIN, Pejaten-Jakarta Selatan. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh tiga orang satpam BIN sangatlah memalukan dan patut dikecam, lantaran peristiwa dimulai dari hal yang paling sepele. Saat itu, sepeda motor yang ditumpangi oleh Untung melintas di depan Kantor BIN. Tiba-tiba motor dihentikan oleh petugas satpam BIN karena ada mobil pejabat BIN yang hendak keluar kantor. Tanpa sengaja satpam yang berjalan mundur itu, dtabrak oleh motor yang dikemudikan oleh Lukman. Saat mobil pejabat BIN telah berlalu, satpam pun memaki mereka. Tak berhenti disitu, Untung dipaksa masuk ke kantor serta dimintai KTP-nya secara kasar. Selanjutnya, seperti dapat ditebak, di dalam kantor BIN ini, para satpam tersebut melakukan pemukulan pada wajah dan kepala korban hingga korban mengeluarkan darah di wajahnya. Tak berhenti disitu, satpam ini juga menunjukkan pistol serta melakukan
intimidasi pada mereka berdua. Bahkan, paska peristiwa tersebut tiga orang tak dikenal mencari Untung di lingkungan sekitar rumahnya. Didampingi LBH Jakarta, Untung melaporkan kekerasan yang dialaminya ke Polda Metro Jaya. Beberapa hari kemudian aparat BIN menulis surat klarifikasi kepada LBH Jakarta selaku pendamping korban. Surat tersebut menyatakan bahwa pengendara sepeda motor telah melanggar lalu lintas dan aparat BIN telah melakukan perdamaian dengan korban. KontraS memandang bahwa tindak kekerasan yang dilakukan aparat BIN diatas, menunjukkan sikap arogansi intelijen dalam menghadapi permasalahan yang timbul. Karenanya, KontraS meminta aparat kepolisian segera melakukan proses hukum dengan membawa pelakunya ke pengadilan. Pengusutan hukum ini penting untuk tetap dilanjutkan walaupun telah dilakukan perdamaian antara kedua belah pihak. Sementara, Asian Human Rights Commission, sebuah lembaga advokasi yang berdomisili di Hong Kong juga mendesak kepolisian menyelidiki kasus ini serta memastikan jaminan keamanan bagi Untung dan Lukman. AHRC juga melaporkan kasus ini kepada Special Rapporteur on the Question of Torture di PBB, Prof. Manfred Nowak.***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
22
BERITA DAERAH
Derita Rakyat Sidoarjo oleh Lumpur Panas Lapindo Senin, 29 Mei 2006, lumpur panas di area pengeboran eksplorasi gas Banjar Panji I di Desa Siring, Kec. Porong pertama kali menyembur pada pukul 05.30 WIB. Material lumpur panas itu keluar melalui titik-titik baru pada celah batuan atau tanah yang diperkirakan terletak lebih kurang 50 meter dari titik bor yang sedang diekplorasi oleh PT. Lapindo Brantas Inc. Lumpur panas ini meluap dan dipastikan akibat kesalahan pengeboran oleh PT. Lapindo Brantas Inc.
masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal dan bekerja di sekitar wilayah tersebut, mereka pun terpaksa harus hijrah meninggalkan tempat tinggalnya selama ini.
Sungguh tak pernah dibayangkan sebelumnya, semburan lumpur panas yang bersuhu 60 derajat celsius itu menyembur tanpa pandang bulu dan meluas sebegitu cepat mengenangi sawah, perkebunan, tambak, permukiman, sekolah, rumah ibadah, pabrik dan industri manufaktur lainnya. Yang paling dirugikan dari semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas ini adalah ribuan masyarakat kelas bawah terdiri dari petani, buruh, pedagang kecil serta
Sementara itu, Presiden RI harus segera menginstruksikan kepada Kapolri untuk memeriksa dan menangkap komisaris dan direksi PT. Lapindo Brantas Inc. Termasuk BP Migas dan Menteri ESDM. Memaksa seluruh pemegang saham Lapindo Brantas memberikan pemulihan terhadap hak-hak korban. Dan mendesak KOMNAS HAM untuk melakukan penyelidikan pro-justicia terhadap berbagai pelanggaran HAM dan Kejahatan Ekologis.***
Kebohongan publik
PT. Lapindo Brantas yang seharusnya bertanggungjawab terhadap dampak yang ditimbulkan, justru sering kali melakukan kebohongan-kebohongan publik, manuvermanuver politik, serta upaya penekanan-penekanan dan Kamis, (1/6), semburan disusul lagi oleh dua titik semburan pemecah belahan terhadap warga yang mengungsi lumpur panas, terjadi pada pukul 19.30 WIB. Satu lokasi di (Internally displaced persons) antara lain dengan menekan wilayah pemukiman penduduk dan satu lokasi di wilayah pengungsi agar tidak melakukan upaya hukum secara persawahan. pidana maupun perdata jika ingin mendapatkan ganti rugi dari PT. Di minggu-minggu pertama pihak PT. Lapindo Brantas, yang Di sisi lain, negara yang sesungguhnya tidak sebanding Lapindo berkelit bahwa tiga titik semburan lumpur panas itu dengan kejahatan yang telah seharusnya diakaibatkan oleh faktor alam atau di dilakukan. memberikan jaminan, pengaruhi oleh gempa yang terjadi di Yogyakarta (27/5). Spekulasi PT. Lapindo perlindungan dan Di sisi lain, negara yang seharusnya ini ternyata mendapat kecaman dari memberikan jaminan, perlindungan pemenuhan terhadap berbagai pihak sebagaimana yang dan pemenuhan terhadap Hak Asasi Hak Asasi Manusia dipelopori oleh para ahli dari Insitut Manusia cenderung melakukan Tehnologi Surabaya (ITS), belakangan pengabaian bahkan turut serta cenderung melakukan diketahui bahwa PT. Lapindo Brantas melakukan kejahatan tersebut. pengabaian bahkan melakukan kesalahan karena tidak Bentuk kejahatan yang dilakukan memasang casing pada kedalaman turut serta melakukan oleh negara antara lain dengan tidak pengeboran 9000 kaki. adanya politicall will untuk menyeret kejahatan tersebut. pemilik dan komisaris PT. Lapindo Hingga memasuki hari ke-72, banjir Brantas dengan kejahatan lumpur panas Sidoarjo tidak bisa lingkungan dan berbagai bentuk diatasi oleh PT. Lapindo Brantas. pelanggaran HAM yang dilakukan. Bahkan, pihak Lapindo Brantas, tidak sungguh-sungguh ingin menyelesaikan masalah lumpur panas ini dan Melihat perkembangan dari kasus ini yang sudah sangat diindikasikan kuat ingin melimpahkan tanggungjawab ini mengkhawatirkan dan menghancurkan kehidupan rakyat kepada negara. Sidoarjo, maka Tim Advokasi korban lumpur panas Sidoarjo mendesak agar pemegang Saham, Komisaris dan Kasus luapan banjir lumpur panas yang disebabkan oleh Direksi PT. Lapindo Brantas harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan PT. Lapindo Brantas bukan hanya tindak kejahatan ekologis dan Pelanggaran HAM yang terkait dengan pengabaian terhadap hak -hak lingkungan, terjadi di Sidoarjo. Selanjutnya, negara merealisasaikan tetapi juga terkait dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi bentuk tanggung jawabnya dengan cara memastikan Manusia (HAM) baik yang menyangkut hak ekonomi, sosial bahwa PT. Lapindo Brantas harus berhenti beroperasi dan budaya (Ekosob) maupun hak sipil dan politik (Sipol). tanpa melepaskan tanggung jawabnya.
23
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
BERITA DAERAH
Penggusuran untuk Kepentingan Swasta di Bantaran Sungai Deli Atas nama pembangunan hak-hak rakyat dirampas. Atas nama pembangunan, rakyat di sepanjang bantaran sungai Deli, Sumatera Utara, dipaksa meninggalkan tanah tempat mereka dilahirkan. Atas nama pembangunan pula, rakyat harus menerima segala bentuk teror dan intimidasi. Masyarakat kembali dikorbankan atas nama pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan developer di sepanjang bantaran Sungai Deli, Sumatera Utara ternyata dilakukan tanpa mengkaji dahulu dampak positif dan negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Akibatnya, seperti yang sudah kerap terjadi, pembangunan yang dilaksanakan tersebut, pada akhirnya hanya memberikan penderitaan dan kerugian bagi masyarakat sekitar.
manfaat sama sekali dari pembangunan tersebut. Padahal seharusnya pembangunan dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat yang berada di sekitar proyek pembangunan. Tetapi yang terjadi di bantaran Sungai Deli malah sebaliknya, kesengsaraan dan penderitaan yang harus di terima masyarakat. Untuk itu pembangunan di banteran Sungai Deli harus segera di hentikan, agar masyarakat yang menjadi korban akibat dari pembangunan tersebut tidak semakin meluas.
Akibat dari pembangunan di bantaran Sungai Deli ini, masyarakat harus kehilangan rumah mereka. Masyarakat dipaksa untuk meninggalkan tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Ini artinya, masyarakat juga harus kehilangan mata pencaharian mereka, akses mereka terhadap jaminan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, serta rusaknya struktur sosial yang telah ada di masyarakat.
Dengan demikian Pemda dan Pemkot harus segera mengambil tindakan tegas untuk menghentikan segala bentuk kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh developer karena jelas-jelas sangat merugikan masyarakat. Mengingat juga Menteri Lingkungan Hidup telah melarang kegiatan pelurusan sungai Sei Deli. Jika pemerintah tidak mengindahkannya, masyarakat yang tertindas akan semakin marah sehingga menimbulkan dampak keamanan yang tidak di inginkan bersama.
Disisi lain, pembangunan tersebut juga mengakibatkan meningkatnya frekwensi terjadinya banjir di sekitar bantaran sungai akibat adanya penimbunan dan penembokan yang dilakukan developer. Sehingga pemukiman warga saat ini seperti berada di dalam kuali yang sangat potensial terjadi banjir, karena wilayah di sekitarnya lebih tinggi akibat ditimbun. Kondisi ini kian parah karena masyarakat juga harus kehilangan fasilitasfasilitas umum yang ada di lingkungan mereka seperti sekolah, mesjid, kuburan dan lain sebagainya. Selain itu, masyarakat juga sering sekali mendapat terror dan intimidasi bahkan di penjarakan karena di anggap menghalangi pembangunan. Semua kerugian dan penderitaan yang dialami oleh masyarkat akibat pembangunan di bantaran Sungai Deli membuktikan bahwa pembangunan tersebut tidak berpihak kepada masyarakat. Pembangunan tanpa hati nurani Pembangunan ini jelas adalah pembangunan tanpa hati nurani, yang hanya mengutamakan kepentingan developer, sementara masyakarakat tidak memperoleh
Pembangunan di Bantaran Sungai Deli ini telah melanggar Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Budaya) serta Hak Sipol (Sipil dan Politik) masyarakat yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak Ekosob masyarakat yang dilanggar adalah hak masyarakat untuk mendapatkan perumahan dan penghidupan yang layak, seperti yang tercantum dalam pasal 24 konvenan Ekosob. Juga pasal 11 ayat 1 konvenan Ekosob tentang pelarangan pengusiran paksa. Hak Sipol masyarakat yang dilanggar adalah hak masyarakat untuk tidak dikenakan penahanan secara sewenang-wenang seperti yang tertera dalam pasal 9 Konvenan Sipol. Dari uraian di atas, Gerakan Masyarakat Medan Maimun Bersatu (GM3B), bersama dengan KontraS Sumatera Utara menuntut dan mendesak,Pemda dan Pemko untuk menghentikan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh developer. Mendesak developer untuk mengganti kerugian yang dialami masyarakat akibat penggusuran semena-mena, resiko banjir, dan hilangnya fasilitas umum. Meruntuhkan jembatan dan tembok yang telah di bangun oleh developer. Serta mendesak Polda sumatera utara untuk mengusut aparat yang menjadi backing PT. Kastil dan PT. Kusuma Wijaya.***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
24
BERITA DAERAH
Dari Peringatan Hari Orang Hilang Internasional
Tuntaskan Semua Kasus Penghilangan Paksa! Sudah bertahun-tahun Negara ini gagal memberikan keadilan bagi rakyatnya. Rentetan kasus pelanggaran HAM yang menuntut pertanggungjawaban Negara lebih sering dilupakan atau dimaafkan dengan pemberian impunitas pada pelakunya ketimbang menegakkan keadilan bagi korban dan keluarga korban. Penghilangan paksa adalah salah satu kejahatan terhadap Ketidakseriusan, keengganan bekerja sama dari institusi kemanusiaan. Dimensi kekejaman delik penghilangan orang militer dan rendahnya komitmen Pemerintah telah secara paksa dapat menjadi kendala digambarkan sebagai utama dalam suatu bentuk penyelesaian Dok.Kontras pelumpuhan ganda k a s u s bagi korban. Seringkali pelanggaran korban disiksa, HAM. Kondisi ini dihilangkan dan tidak s e m a k i n diketahui keberadaan diperparah selanjutnya. Bagi dengan adanya keluarga korban, mekanisme penghilangan paksa hukum yang adalah teror yang tak masih longgar berakhir. Ketakutan, dan menjelma ketidaktahuan akan m e n j a d i nasib korban impunitas. bercampur dengan Pihak TNI yang harapan dan putus asa selama ini menunggu nasib orangmengagungorang yang telah a g u n g k a n dihilangkan. Aksi Hari Orang Hilang Internasional di depan Mabes AD reformasi di Di Indonesia, praktik tubuh TNI dan penghilangan paksa d i t a m b a h telah lama berlangsung sejak berdirinya Orde baru hingga pernyataan Panglima TNI pada saat fit and proper test di sekarang ini. Kasus penghilangan paksa terus terjadi bersama DPR yang menyatakan TNI akan bersedia bekerjasama bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Kasus-kasus ini belum untuk menuntaskan kasus HAM tetaplah merupakan banyak yang terungkap. Untuk kasus terkahir, seperti kasus janji-janji kosong. Hingga hari ini pihak TNI masih penculikan aktivis 1997/1998, telah hampir dua tahun menolak dan melindungi jajaran perwiranya dari ditangani oleh Komnas HAM. panggilan pemeriksaan oleh Tim Ad Hoc Projustisia Komnas HAM. Tim yang dibentuk berlandaskan SK Komnas No. 23/Komnas/ X/2005 pada dasarnya memiliki mandat: meminta Kejaksaan Agung juga mengambil sikap serupa. Penolakan keterangan korban, memanggil saksi, mengumpulkan barang terhadap permohonan Tim Projustisia untuk melakukan bukti, meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kunjungan ke tempat-tempat dan institusi yang diduga kejadian, memanggil pihak terkait untuk memberikan menjadi tempat penyekapan korban untuk tujuan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang rekonstruksi menunjukkan sikap Kejaksaan Agung yang diperlukan. Selain mandat tersebut, mandat lain yang harus menghindari penuntasan kasus Penghilangan Paksa 1997/ dipenuhi adalah menemukan informasi mengenai 1998. keberadaan orang yang belum kembali. Mandat ini yang nampaknya masih belum terpenuhi dan menjadi hutang tim Pidato presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal Komnas HAM pada keluarga korban yang masih belum 16 Agustus 2006 yang menyatakan bahwa pemerintahannya cukup baik karena tidak ada kembali.
25
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
REMPAH-REMPAH
pelanggaran HAM berat justru menunjukkan bahwa pemahaman Pemerintah mengenai penegakan HAM hanya bersifat menjaga namun mengabaikan tanggungjawab Pemerintahan yang lain berupa penuntasan kasus pelanggaran HAM dimasa lalu, yang juga merupakan kewajiban Pemerintahan sekarang.
Peringatan aksi Sementara itu dalam rangka memperingati Hari Orang Hilang Internasional (30/8), puluhan orang, korban dan keluarga korban penghilangan paksa, mahasiswa dan aktivis, melakukan aksi mendatangi Mabes TNI AD Jakarta. Aksi ini ditujukan agar kasus penculikan terhadap orang-orang yang mereka cintai dituntaskan. Beberapa diantara peserta aksi menggelar orasi yang mengecam keterlibatan keterlibatan TNI dalam sejumlah kasus penculikan, periode 1965 sampai 1998. “Kami ingin mendorong TNI untuk menuntaskan kasus penculikan. Selama ini TNI tidak pernah memenuhi panggilan Komnas HAM, “ demikian bunyi salah satu kalimat orasi. Aksi kemudian dilanjutkan ke Istana Negara dan Bundaran Hotel Internasional. Selain membawa beberapa poster mantan Jenderal Besar TNI masa Orde Baru termasuk poster Soeharto, para peserta aksi juga membagikan selebaran pada masyarakat umum. Selebaran ini khusus diberikan, agar masyarakat umum
memberikan dukungannya terhadap penuntaskan kasus penghilangan paksa yang telah terjadi di Indonesia. Sementara itu, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia kembali menuntut pembuktian komitmen pihak TNI untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM dengan menghadiri pemanggilan Tim Projustisia Komnas HAM. Pembuktian komitmen Lembaga Peradilan untuk melakukan upaya pemanggilan paksa TNI dan pihak lain yang terkait dengan kasus. Dan pembuktian komitmen pihak Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, khususnya kasus Penghilangan Paksa 1997/1998, dengan memberikan ijin pemeriksaan untuk rekonstruksi. Termasuk pembuktian komitmen Pemerintah, dalam hal ini Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, khususnya kasus Penghilangan Paksa 1997/1998, dengan memberikan dukungan politik dan instruksi kepada setiap institusi yang berhubungan dengan penuntasan kasus agar bekerjasama. Seiring dengan peringatan Hari Orang Hilang Internasional tersebut mereka juga menyerukan Pemerintah RI untuk mendukung disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa pada Sidang Majelis Umum bulan November 2006 nanti, dan segera meratifikasinya sebagai bukti komitmen untuk menuntaskan dan melindungi seluruh warga Negara Indonesia dari tindakan penghilangan paksa.***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
26
REMPAH-REMPAH
Konferda IKOHI Jabodetabek : Institusi Negara masih Mengambat Penuntasan Kasus 12 Agustus lalu, Panitia Konferensi Daerah IKOHI Jabodetabek (Orda IKOHI Jabodetabek) menyelenggarakan dua acara sebagai rangkaian dari Konferda IKOHI Jabodetabek, Diskusi publik “Pendidikan untuk Pengembangan dan Penguatan Organisasi Korban Pelanggaran HAM dalam Merebut Keadilan dan Kebenaran serta Melawan Impunitas”. Konferda IKOHI Jabodetabek juga memilih kepengurusan dan pembentukan struktur organisasi. Acara ini yang dihadiri oleh 60 peserta digelar di Gedung Joang, Jl Menteng 31, Jakarta Pusat.
Kejaksaan Agung, Pengadilan atau Mabes TNI yang kurang mendukung. “Karena itu kadang-kadang Komnas Ham terjebak pada situasi yang sulit, di satu sisi para korban mempunyai harapan besar atas Komnas HAM, di sisi lain peraturan perundangan dan lembaga negara yang lain justru tidak mendukung, malahan ada kesan menghambat. Proses seperti inilah yang kadang kurang dipahami oleh banyak orang, “ujar Zoemrotin.
Dok. IKOHI
Pelaku berlindung dibalik UU Acara dilanjutkan dengan diskusi publik yang menghadirkan tiga orang narasumber Ita F Nadia ( K o m n a s Perempuan), Zoemrotin (Wakil Ketua Komnas HAM) dan Mugiyanto (Ketua Umum IKOHI). Acara dipandu oleh Agung Yudha dari ELSAM.
Para peserta datang dari berbagai komunitas dan perwakilan korban pelanggaran Ham di Jabodetabek, mulai dari Keluarga dan korban; Tanjung Priok, 1965, Mei, Semanggi I dan II, korban penculikan aktivis, Tapol/Napol gerakan Demokrasi, korban TPST Bojong, korban Acara Konferda IKOHI Jabodetabek di gedung Juang pelanggaran Hak M u g i y a n t o Ekosob seperti menyatakan pengusuran dan bahwa setelah buruh yang di PHK. Suciwati (isteri almarhum Munir) juga reformasi terdapat kondisi obyektif yang menguntungkan hadir dalam acara ini. bagi gerakan demokrasi dan korban pelanggaran HAM, di mana kebebasan politik, bersuara dan berekspresi dan Hadir pula peninjau (observer) dari KontraS, Elsam, FPPI berorganisasi mendapatkan ruang lebih luas. Sehinga Jakarta, Walhi Jakarta , FMN Jakarta , AJI Jakarta, Komnas para korban dapat berkumpul, membuat organisasi/ Ham, Yappika, ICMC, Peace Brigade International (PBI); wadah, berdemonstrasi dan melakukan proses hukum Peneliti KKR dari Prancis; Yayasan Pulih, Yayasan Sekar, PRP ke pengadilan atau MA seperti yang dilakukan para Jabodetabek, Praxis, KASBI Jabodetabek, UNDP, Komnas korban tragedi 1965. Perempuan; Formappi; Blackbox Media Syndication; Voice of Human Rights (VHR). Dari gerakan sipil yangtumbuh dalam era reformasi, Mugi melihat terdapat dua kecenderungan utama, munculnya Wakil Ketua Komnas HAM, Zoemrotin dalam kata gerakan masyarakat sipil yang konservatif dengan sambutannya menyatakan pentingya organisasi seperti mengusung isu suku, agama, ras, berbagai politik IKOHI yang selalu “mendemo” dan menuntut Komnas Ham identitas dan aksi-aksi teror/kekerasan organisasi milisi agar menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM yang sipil/kepemudaan yang bertentangan dengan nilai-nilai terjadi. Namun Zoemrotin mengakui, Komnas HAM demokrasi, kemanusiaan (HAM) dan pluralisme. mempunyai keterbatasan dan berbagai kendala, seperti Ironisnya, gerakan sipil konservatif ini jauh lebih penafsiran UU yang berbeda, sikap lembaga lain seperti teroganisir, hingga mampu mendominasi ruang
27
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
REMPAH-REMPAH
demokrasi dan membangun opini, selain tentu saja dukungan dari elit politik dan organisasi politik Orde Baru baik secara politik maupun logistik.
kearah pro justisia. Karena itu untuk mengatasi semua hambatan ini, Komnas HAM sedang mengajukan revisi UU 26 dan UU 39 guna mengatasi berbagai kendala prosedural dalam proses pemeriksaan/kesaksian kearah pro justisia. Untuk itu ia menganggap perlu agar Komnas Ham bersonsultasi dan mendapatkan dukungan dari LSM, intelektual dan berbagai gerakan korban.
Sementara itu ada pula gerakan masyarakat sipil yang menuntut penegakan HAM, demokrasi dan pluralisme diantara warga-bangsa Indonesia. Gerakan ini berjasa besar, bahkan menjadi korban utama dalam proses menuju era reformasi. Namun setelah reformasi tercipta kekuatan ini terserak dan muncul dalam berbagai organisasi, kegiatan dan aktivitas, baik yang bersifat politik praktis, LSM, maupun Maraknya ornganisasi dalam berbagai gerakan sosial masyarakat sipil ini memang yang ada. Maraknya patut dihargai, sebagai buah ornganisasi masyarakat sipil ini reformasi, namun bila memang patut dihargai, sebagai ‘kemarakan’ menghasilkan buah reformasi, namun bila ‘kemarakan’ menghasilkan gerakan yang kecil-kecil dan gerakan yang kecil-kecil dan berserakan, maka dampaknya berserakan, maka dampaknya adalah tidak mempunyai adalah tidak mempunyai kekuatan tawar dan daya tekan kekuatan tawar dan daya tekan yang kuat, baik atas negara/ yang kuat, baik atas negara/ pemerintah, maupun ketika pemerintah, maupun ketika berhadapan dengan gerakan berhadapan dengan gerakan masyarakat sipil yang masyarakat sipil yang konservatif.
konservatif.
Sedang, Ita F, Nadia menyoroti pentingnya memahami peta politik HAM ditingkat global, nasional dan lokal. Sebab ketiganya saling kait-mengkait dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Contoh, kasus tragedi 1965, maka yang harus dituntut tanggung jawab bukan hanya negara Indonesia, tapi juga pemerintah Amerika Serikat yang mendukung dan terlibat di dalamnya dengan aktif. Karena itu wajar bila proses penegakan HAM kasus 1965 juga akan berhadapan dengan politik konservatif Amerika serikat. Sementara itu Zoemrotin menyampaikan rasa kecewanya, mengingatkan posisi Komnas HAM yang kurang mendapatkan dukungan dari perundangan yang ada (UU 26 dan UU 39), sehingga melahirkan insterprestasi dan celah-celah yang tetap dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran HAM untuk menolak memberikan kesaksian di Komnas HAM. Contohnya, pada institusi TNI yang tetap melindungi para jenderal baik yang pensiunan atau aktif untuk memberikan kesaksian dalam kasus pelanggaran HAM yang melibatkan personil TNI. Hambatan lain juga dari intitusi negara terkait seperti pengadilan dan Kejaksaan yang justru menjadi penghambat untuk pemeriksaan
Korban kecewa Dalam sesi ini para korban Tanjung Priok menyatakan sangat kecewa dengan hasil pengadilan HAM yang membebaskan semua tersangka. Sedang, korban Kerusuhan Mei 1998 terus menuntut tanggung jawab negara sebagai bagian dari upaya untuk menolak cap versi negara yang menganggap keluarga mereka sebagai perusuh. Ibunda korban Semanggi I, Arif, menyatakan kecewa dengan proses hukum yang terjadi atas pengusutan tragedi Semanggi I. Awalnya dia mencari dukungan politik di DPR agar proses pengusutan dapat dijalankan. Namun yang terjadi, pansus di DPR justru menjadi alat politik untuk menghentikan pengusutan dengan mengeluarkan rekomendasi tidak terjadi pelanggran Ham berat dalam kasus Semanggi I dan II. Akibatnya pengusutan atas korban Semanggi I
dan II dihentikan. Suciwati, istri almarhum Munir menjelaskan bahwa proses hukum seperti berlari di tempat sebab ada konspirasi politik dibelakangnya yang menghalangi. Menurutnya institusi dan pelakunya sudah cukup jelas, tapi ia heran kenapa pihak kepolisian tidak sanggup melanjutkan proses penyidikan. Ibu Nur mewakili korban penculikan aktivis mengatakan, selama 8 tahun berbagai lembaga tinggi negara, berbagai demonstrasi dan pertemuan gerakan korban sudah ia ikuti namun hasilnya belum ada kemajuan berarti. Meskipun begitu ia akan terus berjuang untuk menemukan anaknya, entah sampai kapan. Budi korban penggusuran menyampaikan tentang hak-hak ekosob rakyat miskin kota yang tidak dipenuhi oleh pemerintah, bahkan digusur dan dianiyaya. Acara diakhiri dengan pemilihan Ketua Ikohi Jabodetabek selama periode 2006-2009. termasuk pula pemilihan ketua Orda IKOHI Jabodetabek, dimana terpilih Wanma Yety (korban Tanjung Priok), untuk ketua. ***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
28
REMPAH-REMPAH
60 Tahun POLRI : POLRI Masih Menjadi Bagian dari Masalah Institusi kepolisian merupakan salah satu agensi negara yang sangat signifikan dalam penghormatan, perlindungan, penegakan hukum dan HAM. Adalah tugas polisi untuk memastikan bahwa semua warga negara hak-haknya terjamin sesuai dengan hukum, dan bila ada pelanggaran terhadap hukum, tugas polisilah untuk menyelidik, menangkap dan menahan tersangka pelaku, tanpa diskriminasi dan pandang bulu. Oleh karenanya prinsip profesionalitas merupakan syarat utama bagi kepolisian agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Khususnya yang menyangkut penggunaan kewenangan secara represif. Untuk itu, Peringatan Hari Bhayangkara, satu Juli, adalah salah satu kesempatan yang baik untuk melakukan evaluasi kritis terhadap Polri. Lepas dari masa otoritarian yang delapan tahun telah berlalu, konsepsi ideal bagi Polri masih jauh dari harapan. Evaluasi satu tahun terakhir terhadap Polri, menunjukkan bahwa Polri justru menjadi bagian dari terciptanya kekerasan, korupsi dan ancaman bagi keamanan masyarakat. Hal ini kontradiktif dengan perkembangan legislasi, terutama di bidang HAM. Indonesia sejauh ini sudah memiliki perangkat penjaminan dan penegakan HAM. Dari Konstitusi, UU khusus mengenai penegakan HAM, ratifikasi kovenan dan konvensi di bidang HAM, serta perubahan UU di bidang kepolisian. Terlebih dengan terpilihnya Indonesia sebagai salah satu anggota Dewan HAM PBB.
Perilaku semena-mena Akan tetapi, semua produk legislasi ini tidak kontributif bagi perubahan kebijakan di institusi Polri dan perubahan perilaku aparat Polri. Dalam catatan KontraS, beberapa hal yang menjadi indikator kontradiktif tersebut diantaranya, brutalitas aparat polisi seperti penembakan, penggunaan senjata api secara semena-mena, penggunaan metode penyiksaan selama proses investigasi serta penangkapan/ penahanan sewenang-wenang. Dimana, perilaku semenamena polisi kerap kali terjadi saat mengahadapi pelaku kriminal, khususnya untuk kasus-kasus narkoba dan pelaku terorisme, juga di daerah konflik seperti Aceh, Papua dan Poso. Pola lain yang meresahkan adalah pembiaran atas suatu aksi kekerasan/massal dari kalangan kelompok sipil terhadap individu atau kelompok sipil lainnya. Polisi kerap gagap dan gagal dalam melakukan tindakan preventif atas sebuah kekerasan. Hampir semua kasus pembiaran tersebut
29
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
merupakan kasus-kasus yang mengancam hak-hak asasi manusia yang fundamental; kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadat, dan hak untuk bebas dari rasa takut dan ancaman. Pola pembiaran lainnya adalah ketiadaan penegak hukum atas kasus-kasus kejahatan hingga tuntas. Hal ini bisa dilihat dari kasus Munir –kasus yang dianggap jadi indikator kinerja kepolisian– pasca putusan sidang Pollycarpus. Sampai saat ini belum juga ditetapkan tersangka baru. Polisi juga terlibat dalam korupsi, yang tampak pada kasus korupsi BNI dan pengadaan jaringan komunikasi. Mekanisme sidang etik, juga merupakan persoalan yang kerap menjadi lembaga impunitas. Sidang etik sering menjadi rujukan bagi aparat polisi yang terbukti melakukan kriminalitas atau pelanggaran HAM. Melalui mekanisme ini para pelaku kriminalitas dan kejahatan hanya dikenakan sanksi administratif dan indisipliner. Hukumannya pun sangat ringan, maksimal 3 minggu. Berangkat dari kondisi yang telah diungkapkan diatas, KontraS mendesak beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendorong profesionalitas Polri sebagai aparatur penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat, yakni Presiden dengan supporting Komisi Kepolisian harus melakukan kontrol efektif atas perilaku brutal Polri, lemahnya kinerja penegakan hukum, dan menghapuskan praktek korupsi di tubuh Polri. Sementara Kapolri harus segera melakukan adjustment atau adopsi prinsip-prinsip perilaku aparat penegak hukum dan prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata oleh aparat penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials dan Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials). Tindakan ini penting untuk mencapai pemenuhan hak warga negara Indonesia, sebagaimana yang dijamin dalam Konstitusi; UUD 1945, terutama yang berkaiatan dengan jaminan keamanan dan penegakan hukum tanpa diskrimasi. Sedangkan para DPR harus membuat mekanisme kontrol yang lebih efektif, mendorong profesional polisi dan menghapus mekanis impunity internal di instansi Polri. Karena mekanisme internal Polri maupun mekanisme pidana umum tetap akan melibatkan Polisi sebagai penyelidik maupun sebagai penyidiknya. Selamat Ulang Tahun Kepolisian Indonesia!
REMPAH-REMPAH
Tabulasi masalah Polisi di bidang Penegakan Hukum yang tidak ada proses hukum yang maksimal Periode Juli 2005 - Juni 2006
Brutalitas Polisi Periode Juli 2005 - Juni 2006
Sumber: Litbang Kontras 2006
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
30
REMPAH-REMPAH
Putusan Pengadilan Tinggi, Soeharto Masih Kebal Hukum Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pada 1 Agustus 2006 secara tidak masuk akal telah mengabulkan permohonan banding yang dimohonkan oleh Kejaksaan, mengenai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan penghentian penuntutan atas nama terdakwa Soeharto tidak sah. Dalam putusan PT DKI Jakarta menyatakan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 11 Mei 2006 lalu sah menurut hukum. Majelis hakim banding yang diketuai Basoeki dan beranggotakan Sukidjan dan Sri Hertati juga membatalkan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 12 Juni 2006 lalu yang dipimpin hakim tunggal Andi Samsan Nganro. Dalam Putusan itu, majelis hakim banding mengatakan, Soeharto yang bersetatus tersangka tindak pidana korupsi di tujuh yayasan menderita aphasia confluent campuran yang menghambat komunikasi verbal dan tulisan. Kejari Jakarta Selatan sudah berulang kali berusaha melakukan pengobatan terdakwa, untuk mengakhiri keadaan itu serta mendapatkan kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan, keadaan aphasia confluent campuran merupakan alasan hapusnya kewenangan menuntut. Atas pengabulan permohonan ini, Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GMAS) menyatakan akan melakukan upaya peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Tentang SKP3 Soeharto. Langkah ini ditempuh GMAS karena pertimbangan hakim dalam putusan banding tersebut merupakan error in jurist. Untuk melanjutkan pengusutan harta kekayaan negara yang dirugikan akibat praktik KKN dari Presiden Soeharto dan Kroni-kroninya, GMAS juga meminta KPK untuk mengambil alih kasus-kasus korupsi Soeharto yang dihentikan oleh pihak kejaksaan . Selain itu, jika Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh serius dalam menegakan hukum, maka GMAS juga meminta Jaksa Agung untuk menyidik berkas-berkas penyidikan pelanggaran HAM Berat di masa pemerintahan Soeharto yang telah diserahkan Komnas HAM, GMAS juga mendesak Komnas HAM untuk melanjutkan penyidikan secara pro justicia atas kejahatan berat semasa Soeharto berkuasa dan menyerahkannya kepada Jaksa Agung.
SKP3 bersifat prematur Terhadap putusan PT DKI tersebut GMAS melihat ada beberapa hal tidak masuk akal baik dari sisi subtansi maupun dari waktu pemeriksaan perkara pada tingkat banding.
31
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
Pertimbangan Hakim Tinggi yang menyatakan Kejari Jakarta Selatan sudah berulang kali berusaha melakukan pengobatan terdakwa, tetapi Soeharto tetap sakit, adalah pertimbangan yang tidak berdasarkan fakta. Karena kenyataannya yang dilakukan oleh Kejari Jakarta selatan adalah melakukan pemeriksaan dan bukan melakukan pengobatan hingga sembuh. SKP3 yang dilaksanakan oleh Kejari Jaksel juga bersifat prematur karena pihak Kejaksaan belum melakukan upaya optimal dalam menyebuhkan Soeharto sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui, MA telah memerintahkan Kejaksaan melakukan upaya pengobatan terhadap Soeharto agar yang bersangkutan sembuh dan proses peradilan terhadap dirinya dapat diteruskan. Majelis Hakim juga tidak melihat lebih jeli bahwa dasar hukum pemberian SKP3 yang dikeluarkan oleh Kejari adalah cacat hukum. Menghentikan perkara demi hukum hanya dapat didasarkan pada alasan nebis in idem (perkara tidak dituntut dua kali), terdakwa meninggal dunia, dan kadaluarsa. Alasan-alasan tersebut tercantum dalam Pasal 76, 77, dan 78 KUHP. Dalam memutuskan apakah penuntutan perkara dapat dihentikan dengan dasar ketiga alasan tersebut atau tidak, jaksa penuntut umum (JPU) harus merujuk pada kondisi nyata tanpa melakukan penafsiran atau interprestasi. Dari sisi waktu penyelesaian putusan PT DKI juga ajaib dan terlalu cepat. Perkara SKP3 Soeharto sendiri hanya diperiksa kurang lebih 2 bulan. Bandingkan dengan upaya Banding dalam perkara praperadilan antara ICW melawan Kejaksaan Agung mengenai SP3 Perkara korupsi sejak tahun 2003 hingga saat ini perkaranya belum diputus di PT DKI. Sepertinya memang ada upaya-upaya tertentu untuk mempercepat proses perkara banding pra peradilan dan menguntungkan Soeharto. Putusan PT DKI ini juga menunjukkan bahwa mantan penguasa orde baru baru ini memang sulit sekali tersentuh oleh hukum. Ironisnya, hukum kembali mati untuk Soeharto di masa reformasi terus diteriakan. ***
REMPAH-REMPAH
Gaya “Politisasi” DPR dalam Kasus Trisakti-Semanggi Keluarga korban Tragedi penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II kian mengkhawatirkan keseriusan para anggota dewan untuk menyelesaikan secara tuntas kasus tersebut. Syahrir (orangtua Hery Hertanto, mahasiswa Trisakti), Hiratetty Yoga (orang tua Elang Lesmana, mahasiswa Trisakti), Sumarsih (orangtua Wawan, Dok.Kontras mahasiswa Atmajaya), Indah Mardiana (orang tua Tedy Mardani, mahasiswa ITI), mewakili keluarga korban sangat kecewa dan prihatin, atas keseriusan DPR untuk menuntaskan kasus ini, termasuk untuk mencabut rekomendasi DPR RI periode 1999-2004.
Sementara itu muncul pula pernyataan sepihak dari para pimpinan DPR RI tanpa melalui mekanisme pengambilan keputusan yang tersedia di DPR (27/01/06). Terlebih-lebih pernyataan penolakan pencabutan rekomendasi hanya didasari oleh alasan etis semata. Kondisi ini kian memprihatinkan, lantaran penolakan dari Pimpinan DPR dan Komisi III menerima delegasi keluarga korban dan para mahasiswa dari berbagai daerah, saat mereka ingin menyerahkan Kartu Pos dukungan masyarakat. Kartu pos ini berisi desakan agar DPR segera m e n g e l u a r k a n rekomendasi ke Presiden Tidak berlebihan kiranya untuk membuat bila para orang tua korban Pengadilan HAM Adhoc menyimpan kekhawatiran untuk TSS. Sementara yang dalam serta itu, pada momentum kekecewaan yang terus sewindu peristiwa memuncak. Lihat saja, Aksi menuntut penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I dan II Trisakti (12/05/06) lalu, dengan adanya saling Komisi III dan Pimpinan lempar mandat dalam DPR kembali menolak upaya pencabutan rekomendasi tersebut antara Komisi menemui perwakilan mahasiswa. III dengan BAMUS (Badan Musyawarah) DPR. Perilaku ini muncul sejak Komisi III DPR RI menyepakati Sengaja mempolitisasi pembatalan rekomendasi tersebut (30/06/05). Namun, (19/ 01/2006), rapat BAMUS tidak mengagendakan hal Semua perilaku ini mengindikasikan adanya penelantaran tersebut. Malah pada rapat pimpinan DPR (27/01/06), yang dilakukan oleh DPR atas kasus TSS. Lebih jauh, keluarga Ketua DPR keberatan untuk langsung membatalkan korban juga mengkhawatirkan penelantaran ini bukan rekomendasi bermasalah itu. sesuatu yang tidak sengaja, akan tetapi merupakan politisasi dari oknum anggota DPR, yang tidak menginginkan agar kasus Setelah itu, pembahasan yang diajukan kembali pada TSS ini diselesaikan melalui sebuah proses yang akuntabel. rapat BAMUS (16/02/06) gagal dilakukan. Malah (23/02/ 2006), BAMUS telah memutuskan Komisi III untuk kembali Karenanya, harus dilakukan peninjauan ulang kasus TSS di mempertajam laporan tentang perlunya kasus TSS dibuka DPR selaras dengan upaya penyelidikan yang telah dilakukan kembali. BAMUS kembali menugaskan Komisi III (20/06), Komnas HAM (22/04/02) dan turut mendorong Jaksa Agung untuk mengkaji lebih dalam dan menindaklanjuti surat untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM. serta berkas penyelidikan Komnas HAM sesuai Pihak DPR seharusnya tidak lagi membentuk Panitia Khusus perundang-undangan yang berlaku. (Pansus) atau semacamnya. Upaya ini selain bertentangan dengan Pasal 43 Ayat 2 Undang-Undang No. 26/2000 tentang Hal lainnya yang kian membuat kondisi ini tak kunjung Pengadilan HAM juga melampaui prosedur dan rentan jelas adalah dengan adanya pengurangan (reduksi) praktek politisasi. Rekomendasi DPR baru diperlukan setelah substansi tentang apa yang harus dilakukan. Awalnya proses penyidikan oleh Kejaksaan Agung selesai dan bersifat ‘’sepakat untuk membatalkan’’, kemudian ‘’mempertajam administratif sebagai upaya pemenuhan syarat yuridis urgensi kasus TSS dibuka kembali’’ dan terakhir formal. Keluarga korban sepakat, bahwa seharusnya ‘’mendalami dan menindaklanjuti berkas penyelidikan Presiden dan DPR bersikap jujur menegakkan keadilan.*** Komnas HAM’’. Hal tersebut jelas menunjukan kemunduran langkah penyelidikan.
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
32
KABAR DARI SEBERANG
Pembantaian Sipil oleh Israel Serangan bombardir dan membabi buta Israel Defence Forces ke kota Qana, wilayah Selatan Libanon, menjadi saksi kekejian atas pembantaian warga sipil yang tak berdosa. Kekejaman ini kian terasa karena sebagian besar korban adalah anak-anak. Aksi kejahatan ini menjadi aksi pembantaian sipil diluar batas kemanusiaan.
Serangan terhadap Qana adalah lanjutan dari kebijakan Israel yang menyatakan wilayah Selatan Libanon sebagai wilayah perang ( free fire zone). Padahal puluhan ribu penduduk tidak bisa mengevakuasi diri akibat rusaknya jalan-jalan, dan alat transportasi.
hukum intemasional HAM dan Humaniter khususnya konvensi-konvensi Jenewa 1949. Dalam situasi sekarang, bukan saatnya lagi bagi para pemimpin dunia untuk bermain kata-kata dan seolah telah berbuat banyak.
Sebagai badan tertinggi dunia, PBB seharusnya bisa Apa yang telah menemukan solusi dilakukan oleh yang terbaik bagi pemerintah Israel pengakhiran konflik merupakan bentuk ini baik dalam terorisme yang amat jangka pendek berbahaya. Sebab maupun jangka serangan tersebut panjang, termasuk berlindung dibalik mengirim tim pembelaan diri yang investigasi atas aksi jauh dari sikap -aksi kejahatan proporsional. Hal ini kemanusiaan untuk bukan hanya dibawa kepada mengancam atas M a h k a m a h keselamatan rakyat Intemasional. Tak sipil di Lebanon dan boleh ada kata Palestina, tapi juga kompromi bagi aksi Israel sendiri. Bahkan Dok.Kontras Aksi menentang Agresi Israel ke Palestina militer Israel yang juga telah mengancam mengakibatkan perdamaian dan korban sipil. Sebab, peradaban dunia. mengkompromikan kejahatan kemanusiaan adalah Serangan atas Qana dan kota-kota lainnya di Lebanon dan kejahatan itu sendiri. Palestina merupakan tindakan keji yang lebih pantas disebut dengan pembantaian warga sipil, bukan lagi perang. Sedang, Mencabut Hak Veto AS kebijakan Israel untuk menghentikan pemboman selama 2 x 24 jam (setelah 20 hari serangan dilancarakan), sangat tidak Sedangkan pemerintah Amerika Serikat juga harus segera cukup bagi puluhan ribu warga, yang sulit mengevakuasi mencabut dukungannya kepada kejahatan yang dilakukan dirinya termasuk untuk penyaluran bantuan kemanusiaan Israel. Karena, serangan Israel adalah tragedi kemanusiaan PBB. Ironisnya, janji inipun kembali diingkari sendiri oleh yang juga telah menjadi musuh semua manusia (hostis Israel. Dengan biadabnya, Israel kembali melncarkan humanis generis). Amerika Serikat juga harus mencabut hak veto AS demi keluarnya resolusi Dewan Keamanan PBB, sejumlah serangannya. yang mampu menyelamatkan rakyat sipil dan Dalam 20 hari aksi Israel ini, telah mengakibatkan jatuhnya menghentikan perang Israel-Hezbollah. Kebijakan luar korban tak kurang dari 750 warga di Libanon yang umumnya negeri AS mendukung Isreal bisa kian menimbulkan bibit anak-anak, perempuan, orang tua dan penduduk sipil yang perlawanan radikal yang meluas diberbagai negara, seharusnya dilindungi. termasuk AS. Perlawanan, yang jelas bukan sebuah keterbelakangan sosial negara-negara berkembang atau Untuk itu, PBB harus segera membentuk penyelidik negara-negara Islam. Melainkan sebuah upaya koreksi intemasional terhadap aksi rniliter Israel yang melanggar
33
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
KABAR DARI SEBERANG atas kesalahan politik AS yang dinilai memaksakan klaim kebenaran diri dan sekutunya untuk tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Sementara itu, kita juga patut menyesalkan sikap negaranegara di Timur Tengah yang gagal bersatu untuk menghentikan serangan Israel. Padahal, seharusnya semua negara khususnya Timur Tengah tidak terpengaruh pada tekanan AS, apalagi terjebak pada politik aliran di negara-negara Arab diatas problem kemanusiaan. Untuk kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh Israel ini, sekali lagi, memang tak ada kata lain bahwa pemerintah Amerika Serikat segera mencabut Hak Veto AS dalam resolusi DK PBB untuk menghentikan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan tersebut. Bila serangan ini tetap tak digubris, hendaknya semua pihak sepakat memboikot segala kepentingan politik dan ekonomi AS dimana pun berada.
Sedangkan PBB juga segera menghapus Hak Veto dalam Dewan Keamanan PBB, segera mengirimkan pasukan perdamaian untuk menghentikan serangan Israel dan memberi sanksi kepada Israel. Dewan HAM PBB harus melakukan tindakan lebih konkrit termasuk segera mendesak dibentuk Mahkamah Internasional bagi kejahatan perang agresi militer Israel. Untuk semua negara anggota PBB khususnya yang sudah menjadi negara pihak Konvensi Anti Penyiksaan (Convensi Anti Torture/CAT) dapat menangkap para pimpinan Israel sebagai pelaku penyiksaan bila berada di negara yang telah meratifikasi CAT. Terakhir, bagi pemerintah Indonesia segera pula melindungi buruh migran di daerah konflik Timur Tengah khususnya di Lebanon. Dan, mempercepat ratifikasi statuta pengadilan Kejahatan internasional (International Criminal Court).***
KADO 4 Tahun ICC : Tanggung Jawab Internasional Menghentikan Occupasi Israel terhadap Palestina Agresi Israel kepada Palestina yang terjadi saat ini menjadi Kado 4 Tahun International Criminal Court / Statuta Roma, setelah disahkan pada 17 Juli 2002, dan menjadi bagian penting dalam penegakan HAM serta pencapaian perdamian Dunia. Tantangan bagi komunitas internasional adalah menegakkan keadilan dengan menyeret penjahat kemanusian/perang/agresi ke pengadilan pidana dan menjamin perdamain untuk Palestina serta kawasan Timur Tengah pada umumnya. Namun realitas yang berlangsung di international dalam penegakan keadilan dan menjamin perdamian masih diliputi oleh konstelasi politik yang tidak menguntungkan. Peristiwa penyerangan brutal yang dilakukan oleh Israel yang saat ini sedang berlangsung menjadi bukti. Apalagi korban sipil yang seharusnya dijamin oleh international melalui kekuatan instrument hukum dan kewenangan yang diberikan, menjadi sasaran. Peristiwa brutal tersebut seharusnya menjadikan komunitas international terutama negara-negara yang tergabung dalam PBB mengambil sikap tegas dengan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Statuta Roma. Walaupun Israel dan Palestina belum ikut meratifikasi ICC.
Dalam menghadapi konflik Israel-Palestina yang telah terjadi begitu lama serta kontinyu( 1967) , dan respon terhadap apa yang berkembang saat ini. Seharusnya Komunitas International tidak hanya mengirimkan Tim Pencari Fakta seperti apa yang disepakati dalam resolusi Dewan HAM ( special session S-1/Res.1.Human Rights Situation in the occupied Palestine territory ) namun juga mulai memikirkan penerapan prinsip dalam Statuta Roma dengan rule of law yang tegas. Secara principle dalam Statuta Roma diatur bahwa ketika terjadi kejahatan serius di dunia adalah tanggung jawab komunitas International tanpa terkecuali ( the most serius crime concern to the International community as whole , paragraph ke 9 pembukaan ICC ). Sehingga sekali lagi tantangan komunitas International setelah 4 thn ICC adalah secara berani menjamin keadilan dan perdamain dunia. Untuk itu KontraS dan Human Right Watch Group menyerukan pada komunitas International terutama Negara dan lembaga yang berwenang untuk secara serius berupaya menghentikan ooccupasi Israel terhadap Palestina dengan menjamin keadilan dan perdamian. Menjamin terlaksananya ICC dengan tanpa terkontaminasi oleh kepentingan politik negara-negara yang tidak setuju akan keadilan dan perdamain dunia. Terakhir, mengecam dan mengambil tindakan tegas berdasarkan ICC terhadap setiap kejahatan serius yang terjadi di dunia. ***
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
34
KABAR DARI SEBERANG
Indonesia Menjadi Anggota Dewan HAM PBB Indonesia telah terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB (9/5) dalam sidang Majelis Umum PBB di New York. Indonesia terpilih pada putaran pertama dengan dukungan 165 suara dari 191 negara anggota PBB, selama periode 3 tahun. Majelis Umum PBB menggelar sidang untuk memilih 47 anggota Dewan Hak Asasi Manusia yang baru terbentuk berdasarkan resolusi 60/251 dan disahkan Majelis Umum pada tanggal 15 Maret 2006. Kontras, HRWG, Infid, Imparsial, PBHI dan Walhi melihat, terpilihnya Indonesia menjadi anggota Dewan HAM tidak boleh dipandang sebagai kebanggaan semata, namun merupakan tanggung jawab Indonesia untuk mempromosikan dan menegakan Hak Asasi Manusia, baik di nasional mapun Internasional. Sebagaimana tercermin pada pengakuan ikrar dan komitment yang menjadi syarat pendaftaran pencalonan Dewan HAM tersebut. Selain itu, terpilihnya Indonesia memberikan mandat dan kepercayaan masyarakat internasional yang cukup besar terhadap Indonesia, untuk memperbaiki kondisi HAM di nasional dan kontribusi positif terhadap dunia International. Mandat dan kepercayaan ini merupakan tantangan sekaligus tanggung jawab dalam promosi, perlindungan dan penegakan HAM. Paling tidak sebagai anggota Dewan HAM Indonesia memiliki setumpuk kewajiban, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, secara umum, Indonesia harus mengintegrasikan berbagai konvenan Internasional yang telah diratifikasi dan menjamin implementasi atas konvenan tersebut. Indonesia juga harus memperbaiki kebijakan tentang Hak asasi Manusia, terutama kebijakan hukum, institusional aparatus Negara dan politik ekonomi dan sosial yang selama ini belum
menunjukkan satu kondisi kebijakan yang mencerminkan prinsip dasar HAM. Secara khusus, Indonesia memiliki kewajiban melakukan perlawanan terhadap Impunity, seperti perbaikan institusi peradilan dan aparat penegak hukum Begitu juga kewajiban terhadap harmonisasi instrument hukum nasional dengan Instrument HAM international, serta jaminan terhadap penegakan HAM di nasional, misalkan saja penyelesaan berbagai kasus di Papua, Aceh dan Poso. Di tingkat Internasional, secara umum Indonesia berkewajiban mendukung pembaharuan dan penguatan institusi PBB sebagai instrument menegakkan HAM. Mendukung berbagai bentuk koreksi kebijakan internasional untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan serta penghormatan HAM oleh dan bagi Negara~negara anggotanya mematuhi dan menjalankan prinsip dan norma hukum HAM International dan kooperatif terhadap semua mekanisme Dewan HAM termasuk membuka diri dan aktif terhadap prosedur khusus HAM. Secara khusus, Indonesia harus sesegera mungkin, tanpa melakukan upaya pelanggaran terhadap hukum HAM International merespon basil COE dan menghentikan CTF dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat Timor Leste 1999. Jika Indonesia tidak mampu menjaIankan tanggung jawab / kewajiban yang digariskan oleh Dewan HAM, maka keanggotaan Indonesia hanya akan menjadi formalitas dan mempermalukan Indonesia sendiri serta tidak memberikan manfaat bagi kehidupan yang lebih baik dan demokratis bagi negeri ini.**
Dewan HAM, Pilar Reformasi PBB Dewan HAM (Human Rights Council) merupakan salah satu mandat dari 3 pilar reformasi PBB di bidang keamanan, sosial ekonomi dan Hak Asasi Manusia yang disepakati dalam World Summit Outcome). Mekanisme terdahulu, Komisi HAM (Human Rights Commission) dianggap memiliki banyak kelemahan efisiensi dalam menjalankan fungsi standard berupa monitoring dan kerjasama internasional, politisasi atas isu HAM, double standard, serta kelemahan pada mekanisme prosedur khusus. Perubahan mekanisme ini diharapkan dapat lebih mempertanggungjawabkan berbagai kasus kejahatan Negara, berupa Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity), Genocide dan Kejahatan Perang (War Crimes). Dewan HAM merupakan badan subsider Majelis Umum PBB yang berkedudukan di Jenewa – Swiss. Mekanisme Dewan HAM memiliki isu utama : (1). Review atas Mandat, mekanisme, fungsi, responsibility, (2). Modalitas Universal Periodic review (UPR) (3). Efektifitas Mekanisme Prosedur khusus (special procedures). (4). Peran NGO dalam Dewan HAM. Dewan HAM beranggotakan 47 negara yang dipilih berdasarkan kapasitas masing-masing calon dan mempertimbangkan
35
Berita KontraS No. 04/VII-VIII/2006
distribusi keterwakilan kawasan secara adil, yaitu 13 negara dari Afrika, 13 negara dari Asia, 6 negara dari Eropa Timur, 8 negara dari Amerika Latin dan Karibia serta 7 negara dari Eropa Barat dan kawasan lainnya. Setiap tahunnya, Dewan HAM akan bersidang paling tidak dalam 3 sesi persidangan untuk tidak kurang dari 10 minggu.
Sidang Perdana Sidang pertama Dewan HAM dimulai pada 19 Juni 2006-30 Juni 2006. Dalam agenda High Level Segment, Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda memberikan pidato berkaitan dengan pentingnya proteksi non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun), termasuk Penghilangan Paksa serta memberikan dukungan pada proses adopsi Deklarasi Anti Penghilangan Paksa. Sidang pertama Dewan HAM menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain mengadopsi 2 instrumen penting, yaitu Konvensi Anti Penghilangan Paksa dan Deklarasi Hak Masyarakat Adat (Indigenous People).