KontraS KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Salam dari Borobudur Salam redaksi
dibentuk untuk menangani persoalan Mei adalah “Bulan Besar”. Besar karena begitu banyak peristiwa besar yang terjadi penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
sembilan tahun yang lalu. Kerusuhan Mei 98, Tragedi Trisakti dan lengsernya Soeharto. Entah seperti sebuah ritual rutin di Bulan Mei, Soeharto kembali jatuh sakit. Kali ini penyakit Soeharto cukup serius.
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh
Lantaran usianya yang cukup renta, atau keinginan untuk membalas “budi baik” pada Soeharto, beberapa elit politik meminta agar kasus hukum Soeharto (yang tak pernah terselesaikan hingga kini), ditutup. Mereka-pun berkata, Soeharto harus dihormati karena begitu banyak jasa yang diberikannya selama 32 tahun pemerintahannya.
masyarakat korban untuk menangani
Buntutnya Presiden SBY-pun mengatakan kasus ini akan diendapkan. Yang lebih paling parah saat Jaksa Agung mengeluarkan SKP3 bagi kasus Soeharto. Maka inilah terjadi baik secara vertikal di Aceh dan cermin betapa hukum telah mati untuk sang penguasa rezim orde baru. Dan keberpihakan NEGARA yang selalu jelas bagi para pelaku kejahatan yang berada Papua maupun secara horizontal dilingkarannya dengan menafikkan keberadaan korban yang nestapa. berbagai bentuk kekerasan yang
seperti di Maluku, Sambas, Sampit
Masalah panjang seputar Soeharto menjadi berita utama kali ini. Sedang perkembangan RUU PA, bentrokan di Tanah Awuk, Poso, Aceh, menjadi beberapa berkembang menjadi organisasi yang dari kabar daerah yang kami turutkan. Sedang, kekerasan yang masih setia dihadapi independen dan banyak berpartisipasi oleh pembela HAM (HRD), pengangkatan Bagir Manan, KKR, peringatan Tragedi Trisakti, hingga persoalan RUU Rahasia Negara menjadi beberapa berita di rubrik dalam membongkar praktek Rempah-Rempah. dan Poso. Selanjutnya, ia
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa
Ada pula tiga buah kabar dari Seberang, Tim-tim, kasus Pengadilan mantan Presiden Liberia dan Dewan HAM. Sedangkan perkembangan kasus jejak sang pejuang, adalah rubrik penting yang punya fokus perhatian tersendiri.
LSM dan satu organisasi mahasiswa, Pada akhirnya, Mei tetap menjadi catatan hitam perjalanan kehidupan kemanusiaan yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIPHAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
di Indonesia. Perjalanan yang tak mungkin dilupakan dan akan selalu menjadi pengalaman mahal bagi kita, atau siapapun yang mau mengambil pelajaran dari sebuah perjuangan.
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Gian, Nining, Abu, Victor, Sinung, Ori, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras Mouvty dan Bustami.
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar,Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits dan Mufti Makaarim. Design layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected],
[email protected]. website: www.kontras.org
Asiyah (Aceh), Oslan (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia
KontraS sebuah lembaga Advokasi, yang berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
2
BERITA UTAMA
Adili Soeharto! Mei, 2006. Untuk kesekian kalinya mantan orang nomor satu di Indonesia dan penguasa rezim orde baru, Soeharto, kembali sakit dan menjalani serangkaian pengobatan. Bahkan, Mei tahun ini, Soeharto harus menjalani operasi pemotongan usus. Operasi ini dilakukan lantaran dalam beberapa waktu Soeharto didera masalah pencernaan. Selain itu, fungsi beberapa organ vital seperti jantung, paru-paru, dan ginjal, Jenderal Bintang Empat ini terganggu. Soeharto memang sudah tua, (84 thn), dan diusia rentanya ini, Soeharto harus berteman dengan sejumlah penyakit. Penyakit yang kerap kambuh saat bulan Mei menjelang. Lihat saja, nyaris setiap memasuki bulan Mei ada ritual yang sama. Dimana, saat Kejaksaan berniat memeriksa Soeharto, kembali yang bersangkutan sakit dan dirawat lagi. Maka, proses hukum pun lalu berhenti. Entah lantaran sakitnya ini, entah lantaran ‘jasa’ yang diberikan pada sebagian besar kroni-kroninyanya, tiba-tiba muncul ide untuk memaafkan Soeharto, mengampuni Soeharto, dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum yang hingga kini belum tuntas dilaksanakan. Sejumlah elit petinggi dan mantan pejabat orde baru meminta Jaksa Agung membebaskan Soeharto dari segala tuntutan. Seperti yang dikatakan oleh Gubernur DKI, Sutiyoso, setiap orang pasti tak luput dari kekeliruan dan tak ada salahnya memaafkan Soeharto. Maaf dan pengampunan. Seperti sebuah pukulan telak, tibatiba saja kita merasa bahwa hukum memang benar-benar telah mati. Tak perlu susah-susah mengatakannya, tapi lihatlah kenyataan yang ada, karena sejak berstatus terdakwa sejak 31 Agustus 2000 dalam kasus korupsi penggunaan dana tujuh yayasan, ternyata untuk menghadapkan Soeharto ke pengadilan sangat sulit dilakukan. Ironis memang. Karena ketika status hukum Soeharto yang selalu diambangkan, muncul pernyataan-pernyataan yang mengungkit-ungkit dan mengatasnamakan jasa Soeharto. Padahal, setelah lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan tahun 1998, mahasiswa dalam tuntutan reformasinya tegas menginginkan proses hukum bagi Soeharto. Dan, proses hukum itu tidak hanya soal kasus-kasus korupsi dan kronikroninya, tetapi juga desakan untuk mengadili Soeharto atas segudang pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang telah dilakukannya selama tiga dasawarsa tampuk pemerintahannya. “Jangan lupa, jutaan manusia tidak bersalah, tewas dibunuh pada masa kepemimpinan Soeharto, “ujar Direktur LBH Jakarta, Uli Parulian Sihombing. Soerhato, memang jelas harus mempertanggungjawabkan perbuatannya atas sejumlah besar pelanggaran HAM berat yang ada. Mulai dari pembunuhan orang terkait Gerakan 30 September 1965
3
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
(mereka yang mendapat stigma PKI), peristiwa Malari (1974), penembakan misterius (Petrus, 1983-1985), Kasus Tanjung Priok (1984), Kasus Talangsari, Lampung (1989), santa Cruz, Timtim (1991), Kebijakan DOM, Aceh (19891998), Papua (1963-2003), Peristiwa 27 Juli (1996), Tragedi Mei (1998), penghilangan orang secara paksa (1998), dan Tragedi Trisakti. Atas alasan kemanusiaan dan jasa Soeharto, para elit politik (dan kroni-kroninya) berusaha memanipulasi fakta dan menggunakan topeng moralitas. Namun, selama ini mereka tidak pemah mendengung-dengungkan alasan kemanusiaan bagi para korban pelanggaran HAM berat yang dilakukan rejim Soeharto. Dakwaan Soeharto baru soal tujuh yayasan Sementara ini Soeharto dijadikan tersangka untuk kasus korupsi penggunaan dana di tujuh yayasan dengan kerugian negara Rp.1,379 triliun dan 419,636 juta dollar AS, belum termasuk kasus korupsi penerbitan Keppres 20 tahun 1992 dan Inpres I tahun 1992 yang memberikan kemudahan memonopili pembelian cengkeh oleh Badan Penyangga dan Pemasaran (BPPC) yang diketuai putranya sendiri. Dan bila kita melihat, perjalanan kasus Soeharto sangat panjang. Kejaksaan Agung mulai memeriksa kasus Soeharto sejak 9 Desember 1998. Pemeriksaan ini terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional, kekayaan di luar negeri, perkebunan, dan perternakan Tapos. Namun pada 11 Oktober 1999 Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penyidikan Perkara (SKP3) terhadap Soeharto. Kemudian pada tanggal 6 Desember 1999 Jaksa Agung Marzuki Darussalam mencabut SP3 kasus Soerharto. Pemeriksaan Soerharto dilanjutkan dengan fokus Soeharto sebagai pemimpin tujuh yayasan. Dalam kasus itu, Soerharto dijadikan tersangka pada 31 Maret 2000. pada 31 Agustus 2000 sidang pertama kasus Soeharto digelar di aula milik Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan. Tetapi Soeharto mangkir (tidak datang) dengan alasan sakit. Dan sejak saat itu kasus Soeharto tidak pernah dilanjutkan. Keluarnya SKP3 Namun, di tengah gencarnya suara untuk mengadili Soeharto, pemerintahan SBY turut pula menunjukkan betapa hukum dan keadilan itu benar-benar telah “mati”. Di malam tanggal 10 Mei 2006, Presiden sengaja mengundang sejumlah petinggi negara, mulai dari unsur eksekutif, legeslatif, dan yudikatif, untuk membahas nasib Soeharto. Pertemuan malam itu menghasilkan empat opsi
BERITA UTAMA
yang akan ditempuh pemerintah, yakni amnesti, abolisi, deponering, dan penutupan kasus karena kesehatan.
No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas KKN.
Dan, keesokkan harinya, (11/05), Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara atau SKP3 kasus Soeharto. Dengan diterbitnya SKP3 ini maka Jaksa Agung atau pemerintah dengan sendirinya telah melukai hukum, rasa keadilan dan semangat reformasi. Maka, SKP3 ini langsung menuai protes dari sejumlah besar elemen masyarakat.
Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GMAS)
“SKP3 itu ‘hadiah terindah’ Kejagung terhadap korban Mei . Kita juga kehilangan kesempatan emas untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kita negara hukum dan bertekad memberantas korupsi,” sindir Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Nursyahbani Katjasungkana. Menurut Nursyahbani, Pasal 140 KUHAP yang didasarkan dukum oleh Jaksa Agung tidak tepat karena aturan itu hanya mengatur penghentian penuntutan kalau tidak cukup bukti, peristiwa itu bukan tindak pidana, atau perkara itu ditutup demi hukum. Sementara Dindin S Maolani, anggota dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengingatkan, peradilan terhadap mantan Presiden Soeharto harus tetap dilanjutkan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat serta penegakan hukum di negara ini, dan dimata internasional. Di Makassar, demokrasi penolakan terhadap SKP3 dilakukan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Eksekutif Komisariat Universitas Indonesia Timur serta Jaringan Rakyat Miskin Kota. Sementara di Semarang, unjuk rasa dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro. Mereka menentang dihentikannya perkara hukum dan pemerintahan dinilai tidak mempunyai nyali untuk membongkar kasus korupsi besar. Aksi demokrasi serupa juga dilakukan oleh dua kelompok, Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) dan Reuni 98 mendatangi gedung Kejaksaan Agung (17/05), Jakarta. Mereka meminta pengadilan segera dilakukan terhadap Soeharto. Aksi serupa juga terjadi di Lampung. Jaringan Rakyat Miskin Kota, Persatuan Tukang Becak Candra Teluk Betung, dan Forum Komunikasi Masyarakat Lampung mengusung keranda yang melambangkan matinya demokrasi dan hukum. Seusai bertemu Presiden, Ketua KPK Taufiequrahman Ruki mengatakan, KPK meminta Presiden agar tidak menyelesaikan kasus mantan Soeharto secara politik, tetapi tetap menempuh jalur hukum. Penyelesaian melalui jalur hukum itu sesuai dengan isi Ketetapan MPR
Gelombang protes terus bergulir sejak Kejaksaan Agung mengeluarkan SKP3 Kasus Soeharto. Sejumlah praktisi hukum, aktivis, dan intelektual yang bergerak dalam penegakan hukum, HAM, dan demokrasi mendeklarasikan Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS), pada Selasa (16/05), bertempat di kantor KontraS. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi jika pemerintah bersikeras menghentikan peradilan terhadap mantan orang nomor satu ini. Asmara Nababan, salah satu anggota pendeklarasian membacakan Tiga Resolusi Bangsa. Pertama, menolak dihentikannya proses hukum terhadap Soeharto, serta menuntut agar Soeharto beserta kroni-kroninya diadili sampai tuntas. Kedua, menuntut negara menyita seluruh harta kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya yang diperoleh dari hasil kejahatan. Ketiga, mengajak masyarakat untuk siap mengambil tindakan-tindakan bersama agar negara tidak gagal mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Dalam kesempatan itu, Mochtar Pabottinggi mengatakan bahwa alasan kemanusiaan dan jasa-jasa yang melatari penghentian peradilan terhadap Soeharto tidak masuk akal. “Kalau alasan sakit itu hanya untuk seorang Soeharto, bagaimana dengan ratusan atau ribuan korban dan keluarganya yang jadi korban Soeharto. Soal jasa ini akan dinilai setelah seorang pejabat selesai memangku amanah. Tapi untuk Soeharto lebih banyak menimbulkan kerusakan masif selama menjabat presiden, “ ujar Mochtar. Sedangkan Todung Mulya Lubis mengecam Jaksa Agung, yang menggunakan pasal 140 KUHAP sebagai landasan hukum penerbitan SKP3 terhadap Soeharto. Karena, surat tidak memiliki landasan hukum dan melanggar kewenangan kekuasaan yudikatif MA. Gemas juga mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan melakukan empat langkah strategis. Pertama, mempraperadilankan SKP3 yang akan dilakukan Senin (22/ 5). Kedua, menggalang dan menyerukan kepada masyarakat agar turut dalam aksi menolak pengampunan Soeharto dan ketiga mengajukan gugatan melawan hukum dalam bentuk legal standing. Sedang di hari yang sama (sore harinya), sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Tolak Pengampunan Soeharto (APTPS) juga menyerukan agar Soeharto tetap diadili. APTPS ini terdiri dari sejumlah elemen organisasi perempuan seperti, Senjata Kartini, Jaringan Nasional Perempuan Mahadirka, AJI-Divisi Perempuan, MGP Perempuan, Arus Pelangi, Truk, Kalyanamitra, LBH APIK, Solidaritas Perempuan, Rahima dan Koalisi Perempuan untuk Keadilan dan Demokrasi.
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
4
BERITA UTAMA
Suara Korban Sementara itu terkait dengan keluarnya SKP3 ini, korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM yang terjadi selama Soeharto berkuasa seperti korban Tanjung Priuk, Penculikan, Talangsari, Trisakti, Semanggi, Kerusuhan Mei dan korban lainnya menyampaikan suara mereka dan menuntut serta meminta Soeharto diadili sesuai hukum yang berlaku. Saat Soeharto sedang menjalani perawatan kritis di rumah sakit Pertamina para korban ini datang membezuk dengan membawa karangan bunga, agar Soeharto cepat sembuh dan segera dapat diadili. Namun, kehadiran mereka tidak diterima oleh pihak keluarga Soeharto. Sedang saat persidangan yang digelar pada tanggal (08/6) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bertepatan dengan ulang tahun ke-85 Soeharto, sejumlah aktivis dari berbagai organisasi dan elemen mahasiswa menyiapkan kue tart dan lagu ulang tahun yang diciptakan khusus untuk mantan Presiden RI ini. Perayaan dan doa dilakukan agar Soeharto selamat dan tetap bisa diadili. Tak berhenti pada dua aktivitas diatas, pada (18/6), para korban dan keluarga korban mengeluarkan pernyataan sikapnya lewat “Resolusi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Indonesia Atas Kejahatan Rezim Soeharto”. Pada resolusi yang dibacakan secara bersama-sama itu mereka menuntut negara untuk mengungkapkan secara formal atas kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Rezim Soeharto, termasuk penuntutan dan penghukuman bagi Soeharto dan para pelaku lain yang bertanggung jawab, dan ganti rugi material dan immaterial terhadap seluruh korban rezim Soeharto. Korban dan keluarga korban juga mengajak seluruh rakyat Indonesia secara damai untuk menuntut negara agar Soeharto dan kroni-kroninya tunduk di bawah hukum. Kejahatan kemanusiaan hilang Sebagai lembaga yang aktif melakukan advokasi dengan sejumlah kasus peristiwa pelanggaran berat diatas, KontraS menuntut agar Soeharto tetap diadili. Soeharto wajib mempertanggungjawabkan semua kesalahannya. Karena bila Soeharto dibebaskan/diampuni, akan membuat seluruh kejahatan kemanusiaan di masa lalu menjadi tanpa arti, hilang dan tak terdefinisikan. Dan bila itu terjadi, maka nilainilai dan arah reformasi menjadi tak jelas. Dengan kata lain, pembebasan Soeharto akan menihilkan seluruh nilai moral dan politik dari reformasi mahasiswa. Seharusnya pemerintah bisa bercermin dan belajar bagaimana hukum tetap ditegakkan di beberapa negara lain untuk para pemimpin mereka yang melakukan kesalahan besar, disamping kesalahan korupsi juga kesalahan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia. Mereka diantaranya, Videla dari Argentina yang dihukum seumur hidup untuk akhirnya dipenjara rumah dengan alasan kesehatan. Hideki Tojo, yang berasal dari Jepang, dalam kasus sebagai penjahat
5
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
perang yang menewaskan berjuta-juta orang-orang Tionghoa, divonis mati pada 12 November 1948 (menerima hukuman gantung), Chun Doo Hwan dari Korea Selatan, dituntut untuk kejahatan kasus suap 297 juta dollar AS selama berkuasa pada tahun 1981-1988 dan bertanggungjawab atas pembantaian sekitar 200 demonstran prodemokrasi ketika masih masih menjadi panglima militer tahun 1979. Ia divonis hukuman mati pada tahun 1996, dan dibebaskan pada Desember 1997. Pemimpin Israel Ariel Sharon divonis hukuman mati September 2005, atas pembantaian terhadap pengungsi Palestina tahun 1982 di Sabra Shatila. Sedang pemimpin diktator Cile, Augusto Pinochet sempat ditahan selama 503 hari di London Clinic, Inggris, atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Termasuk mantan Presiden Fhilipina, Ferdinand Marcos, yang sepertiga hartanya disita oleh negara dan simpanan sebesar 540 juta dollar AS di Bank Swiss juga disita oleh Presidential Commission on Good Government (PCGG). Kasus terbaru adalah Saddam Hussein dari Irak, yang kini sedang dalam proses pengadilan, atas pembunuhan yang menewaskan lebih dari 300.000 rakyat Irak termasuk ribuan orang Suku Kurdi dalam serangan gas beracun (1974-1991). Diantara lainnya termasuk, Charles Taylor dari Liberia yang sejak Maret 2006 ditahan di Sierra Leone. Ia dituntun atas kejahatan perang saudara di Sierra Leone 1991-2002. Selanjutnya, KontraS juga menilai pembebasan terhadap Soeharto akan memberikan beban sejarah, tidak hanya bagi rejim pemerintahan hari ini. Tapi bagi seluruh kepolitikan Indonesia di masa depan. Pengadilan terhadap Soeharto juga menjadi kehendak nurani rakyat dan menjadi agenda reformasi pada tahun 1998 (TAP MPR XI/MPR/1998). Dari ketetapan ini, maka perkara Soeharto bukan masalah personal Soeharto, melainkan rejim politik Orde Baru yang telah mewariskan problem-problem kebangsaan di berbagai sektor. Untuk menghentikan perkara Soeharto, keputusan tidak bisa hanya ditentukan Jaksa Agung melainkan semua kelembagaan negara yang berkuasa saat ini, termsuk parlemen dan lembaga peradilan. Keputusan itu harus dilandasi kedewasaan politik semua pihak. Tindakan membebaskan Soeharto tanpa memperhatikan kebutuhan memeriksa masa lalu dengan kewibawaan hukum bisa jadi kesalahan politik yang fatal. Karena itu, apapun keputusan terhadap Soeharto harus didasarkan pada penilaian yang seobjektif mungkin. Karenanya, Jaksa Agung harus tetap melanjutkan perkara dan membawa perkara ini ke pengadilan. Pengadilan secara in absentia bisa menjadi alternatif dari persoalan ini. Pemerintah termasuk Jaksa Agung seharusnya mengakui ketidakbecusannya selama ini dalam memproses kasus hukum Soeharto.
BERITA UTAMA
Harus ada pendefinisian politik terhadap kasus Soeharto, bahwa Soeharto bermasalah dan rejim pemerintahan dibawah kepemimpinannya harus bertanggungjawab. Langkah ini bisa dilakukan lewat pembangunan kosensus politik nasional atau melalui pengusutan yang adil dan tuntas. Yakni memeriksa seluruh dugaan-dugaan penyimpangan kekuasaan di masa lalu baik perkara korupsi maupun kemanusiaan. Sementara itu, bila kasus dari Soeharto ini terus digelar maka hal ini menjadi salah satu bukti bahwa negara telah konsisten dengan melakukan penegakan hukum tanpa
pandang bulu. Hal lainnya, juga sebagai bagian pengakhiran impunitas yang selama ini terus dinikmati oleh pejabat, mantan pejabat, dan TNI/Polri. Yang terpenting bila kasus ini dituntaskan akan jadi sebuah pembelajaran pada setiap pemimpin bangsa agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahwa mereka tidak hanya akan dimintai pertanggungjawaban politik, tetapi juga akan menghadapi penjara bila mencederai amanah rakyatnya. Pada akhirnya, hal ini akan bisa mengakhiri krisis sosial akibat ketidak percayaan rakyat terhadap negara, hingga bisa menatap dengan terang masa depan bangsa.***
Dari Praperadilan Soeharto; Penuntutan Soerharto Dilanjutkan Tuntutan agar Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mencabut SKP3 kasus Soeharto yang dikeluarkannya pada (11/05) terus bergulir gencar. Sebagian besar para staf hukum dan praktisi hukum menilai bahwa keputusan ini adalah sebuah keputusan yang salah. “SKP3 yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung untuk kasus Soeharto sangat melanggar hukum,” ujar Denny, ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada. Menurut Denny, ada tiga hal yang dilanggar. Pertama, SKP3 itu ahistoris. Status soeharto sudah menjadi terdakwa, jadi untuk menghentikan perkaranya adalah wewenang presiden, yakni melalui amnesti atau abolisi. Kedua, SKP3 itu melanggar Ketetapan MPR No.IX Tahun 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), antara lain mengamatkan pengusutan terhadap dugaan KKN yang dilakukan Soeharto selama menjalani kekuasaan di Indonesia. Ketiga, SKP3 itu melanggar keputusan Mahkamah Agung (MA), yang menugaskan Kejaksaan Agung agar merawat Soeharto sampai sembuh. Sementara itu, dengan gencarnya protes atas SKP3 ini dan melihat bahwa pihak pemerintah terlebih Jaksa agung tetap konsisten dengan keputusan pada SKP3 yang dikeluarkan tersebut, sejumlah lembaga/organisasi megajukan gugatan praperadilan atas SKP3. Pada Senin (5/6) sidang tersebut mulai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang ini dipimpin oleh hakim tunggal Andi Samsan Nganro. Dalam sidang pertama, tiga pemohon secara bergantian membacakan tuntutannya. Mereka adalah Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI), Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS), dan Aktivis 98 atau Komite Tanpa Nama. Pihak termohon atau yang digugat adalah pemerintah, yang diwakili Kejaksaan Agung dalam kasus ini Kejaksaaan Negeri Jakarta Selatan, yang mengeluarkan SKP3 pada (11/05).
Bertentangan dengan putusan MA Dalam gugatannya, tim advokasi Gemas menyebutkan, perbuatan kejaksaan mengeluarkan SKP3 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung, yang justru memerintahkan Jaksa melakukan pengobatan Soeharto sampai sembuh atas biaya negara, selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan. Tindakan kejaksaan mengeluarkan SKP3 itu dinilai cacat hukum karena bertentangan dengan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998. Dengan, SKP3 itu kejaksaan justru menghambat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sementara itu, gugatan APHI maupun aktivis 98 menyebutkan, SKP3 bersifat prematur. Pasalnya, tidak ada upaya maksimal dan optimal kejaksaan untuk melaksanakan putusan MA agar mengobati Soeharto sampai sembuh. Selainitu, keluarnya SKP3 ini juga berarti menyebabkan upaya pengembalian keuangan negara yang telah dikorupsi menjadi tidak dapat dilakukan, sehingga membebani keuangan negara. Selanjutnya, pada persidangan selanjutnya para penggugat mengatakan bahwa kejaksaan dinilai tidak melaksanakan putusan kasasi MA yang memerintahkan Jaksa mengobati Soeharto sampai sembuh untuk dapat dihadapkan di persidangan. Dalam kurun waktu 2001-2006, upaya pengobatan yang dilakukan Jaksa tidak optimal, yaitu hanya satu kali pengobatan dan dua kali pemeriksaan. Pengobatan dan pemeriksaan dilakukan tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Diungkapkan selanjutnya, Jaksa baru melakukan satu kali pengobatan oleh tim dokter RSCM yang diketuai oleh dr Ichransyah A Rachman Sp OG KFEK pada 2001. Selain itu, tim dokter RSCM yang diketuai Dr dr Akmal Taher Spu juga melakukan dua kali pemeriksaan pada Juni dan Juli 2002. Mengingat penyakit Soeharto yang dikatakan terpusat pada hambatan kemampuan berkomunikasi verbal dan tulisan,
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
6
BERITA UTAMA
maka upaya termohon menyembuhkan Soeharto jauh dari optimal. Seharusnya, penyembuhan Soeharto dilakukan secara berkesinambungan dan tidak konsisten. Sedang APHI juga mempertanyakan perbedaan perlakuan terhadap Soeharto yang tidak pernah ditahan di rumah tahanan. Ketika mendakwa Abu Bakar Ba’asyir dan Mochtar Pakpahan, Kejaksaan Agung tetap menahan mereka meski mereka dalam keadaan sakit. APHI juga menilai penerbitan SKP3 yang berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu tidak menyebutkan alasan medis atau sakit sebagai dasar penghentian penuntutan.
Cacat hukum dan tidak relevan Sidang marathon yang terus digelar, pada akhirnya menampilkan saksi ahli dari pemohon praperadilan (9/6), Anna Erlyana, Dosen pengajar Fakultas Hukum universitas Indonesia. Menurut Anna, SKP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dinilai cacat hukum karena landasan hukumnya salah. Pasal yang digunakan sebagai landasan penerbitan SKP3 itu tidak relevan dijadikan alasan penghentian penuntutan. Dengan demikian, SKP3 tersebut dapat dibatalkan demi hukum. Anna juga mengatakan, penerbitan SKP3 itu salah prosedur karena memuat dasar hukum yang salah. Kesalahan tersebut terjadi akibat adanya suatu kebiasaan di lingkungan birokrasi untuk melakukan copy paste tanpa melihat kembali substansial persoalan. Kesalahan yang dimaksud adalah pencantuman Pasal 75, 76, 77, dan 78 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam konsideran ‘mengingat’ SKP3. Pasal itu tidak dapat dijadikan dasar penghentian penuntutan karena pasal itu menjelaskan tentang berita acara (Pasal 75), masalah sumpah atau janji (Pasal 76), dan praperadilan (Pasal 77 dan 78). Pasal 77 dan 78 memang agak relevan, tetapi juga tidak cocok karena pasal itu justru menerangkan penghentian penuntutan dapat menjadi satu alasan pengajuan praperadilan.
SKP3 Soeharto tidak sah Majelis Hakim Tunggal Sidang pemohonan praperadilan atas SKP3 Soeharto, Andi Samsan Nganro, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (12/6), menyatakan SKP3 atas nama terdakwa Soeharto tidak sah. Penuntutan perkara atas nama terdakwa Soeharto terbuka dan dilanjutkan. Hakim menilai penerbitan SKP3 yang ditandatangani pada (11/5), tidak tepat dan prematur. Alsan penghentian penuntutan perkara juga tidak sah menurut hukum.
7
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
Penghentian penuntutan perkara yang dilakukan kejaksaan tidak berdasarkan tiga kondisi yang diisyaratkan ketentuan Pasal 140 Ayat (2) Huruf a Kitab KUHAP. Kejaksaan menggunakan dasar kondisi kesehatan terdakwa yang tidak layak disidangkan. Padahal, alasan penghentian penuntutan perkara demi hukum adalah karena terdakwa meninggal, nebis in nidem (terdakwa disidangkan dua kali dalam perkara yang sama), serta kadaluwarsa. Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum selayaknya hati-hati untuk tidak leluasa melakukan interprestasi atau penafsiran undangundang. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebutkan, perkara pidana atas nama terdakwa Soeharto sudah pernah dilimpahkan oleh termohon ke PN Jakarta Selatan, bahkan sudah sampai tingkat kasasi. Namun, proses hukumnya terhambat karena terdakwa sakit sehingga tidak dapat hadir dalam sidang. Putusan MA Nomor 1864K/Pid/2000 tanggal 2 Februari 2001, memerintahkan Jaksa melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan. Penerbitan SKP3 kriterianya tidak sesuai dengan yang diperintahkan dalam putusan MA tersebut yang menyatakan Kejaksaan harus melakukan pengobatan sampai terdakwa sembuh dan setelah itu disidangkan. “SKP3 itu tidak tepat dan bersifat prematur. Soeharto seharusnya dituntut dimuka sidang,”tegasnya. Andi mengakui, penuntut umum berwenang dalam penghentian penuntutan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti, peristiwa bukan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum. Sedangkan dalil yang diajukan pemohon, sudah cukup bukti dalam perkara Soeharto. Selama ini, tutur Andi, tindakan yang dilakukan termohon dalam hal ini Kejaksaan Agung dalam upaya menjalankan putusan MA, yakni mengobati Soeharto hingga sembuh dan menghadirkannya di persidangan, tidak cukup. Sebab Jaksa hanya melakukannya dalam surat-menyurat di luar persidangan. Seharusnya itu dilakukan di persidangan. Atas putusan tersebut, anggota tim kuasa hukum kejaksaan, Marwan Effendi, mengatakan mereka akan meminta banding. Kejaksaan menurutnya, akan mengajukan banding berdasarkan Pasal 83 kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Namun, tim kuasa belum menjelaskan alasan yang nantinya akan dipakai untuk banding tersebut.***
BERITA UTAMA
Masa Depan Pengadilan Soeharto Oleh: Usman Hamid
Putusan PN Jakarta Selatan dalam kasus SKP3 Soeharto menyegarkan kembali nilai-nilai dan arah reformasi 1998. Selain menganulir perintah Jaksa Agung menghentikan perkara pidana korupsi tujuh yayasan Soeharto, putusan ini juga meminta penuntutan dilanjutkan. Dalam tulisannya Melacak Jejak Pro-Kontra SKP3 Soeharto (Kompas, 5/06) Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengakui penyelesaian kasus korupsi Soeharto bisa menjadi simbol keseriusan pemerintah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hanya sayangnya, penjelasan Jaksa Agung kurang lengkap. Jaksa Agung memerintahkan Kepala Kejaksaan Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) untuk Soeharto dengan alasan; 1) tak mungkin memaksa menghadirkan terdakwa yang sakit dan tidak mampu menjawab atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat panjang lebih dari empat kata; 2) pertimbangan standar internasional HAM dan nurani aktifisme HAM Jaksa Agung. Jaksa Agung menilai SKP3 sebagai kebijakan paling tepat sesuai 140 Ayat (2) huruf a yang memberi tiga pilihan; “....tidak terdapat cukup bukti atau ...bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum..” Jaksa Agung memakai pilihan ketiga, perkara ditutup demi hukum, karena Jaksa Agung yakin pengajuan terdakwa Soeharto didasarkan pada bukti yang cukup sebagai perkara korupsi. Dalam amar putusannya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SK3) Soeharto yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tidak sah menurut hukum (12/6). Menurut hakim, alasan perkara ditutup demi hukum menurut KUHP adalah ne bis in idem (Pasal 76), terdakwa meninggal dunia (Pasal 77); daluarsa (Pasal 78). Tak satupun dari pasal-pasal ini menyebut alasan sakit atau sakit jiwa seperti didalilkan jaksa. Hakim tunggal Andi Samsan Nganro menegaskan, SKP3 bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung pada 2 Februari 2001 yang memerintahkan jaksa untuk mengobati Soeharto hingga sembuh. Kejaksaan, termasuk selama dipimpin Abdul Rahman Saleh belum mengobati
Soeharto secara maksimal hingga sembuh. SKP3, dinilai prematur. Bila putusan ini diterima atau diperkuat pengadilan lebih tinggi, kejaksaan wajib mengobati Soeharto hingga sembuh, lalu menghadapkannya ke persidangan. Bila ternyata Soeharto enggan menghadap ke persidangan, mungkinkah pengadilan in absentia? Pasal 38 UU No.31/1999 yang telah diperbaharui dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, jika terdakwa dalam perkara korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (in absentia). Biasanya, “tidak dapat dihadirkan” diartikan terdakwanya melarikan diri atau tak jelas keberadaannya. Dalam kasus luar biasa, apalagi dimandatkan oleh Ketetapan MPR No.11/1998, maka alasan terdakwa tidak dapat dihadirkan bisa ditafsirkan secara luas (verbreiden van het recht) demi kepentingan umum. Tentu bukan ditafsirkan oleh jaksa penuntut, melainkan hakim yang memeriksa perkara secara terbuka, disaksikan masyarakat, dihadiri jaksa dan pengacara terdakwa yang tidak hadir untuk didengar sikap dan pendapat hukumnya, sehingga objektif. Sebenarnya, tak ada yang meminta Jaksa Agung memaksa menghadirkan terdakwa yang sakit dan tidak mampu menjawab atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat panjang lebih dari empat kata. Itu makanya pengadilan in absentia diusulkan. Tak ada pula yang memaksa Jaksa Agung melanggar standar internasional HAM. Bila mau belajar dari kasus Chile, Jaksa Agung harus segera melanjutkan putusan PN Jakarta Selatan dengan menggelar sidang perkara tindak pidana korupsi Soeharto. Mengapa? Jaksa Agung sendiri menyebutkan bahwa yang memutuskan Pinochet layak atau tidak diadili karena kesehatannya adalah hakim (Mahkamah Agung), bukan Jaksa Penuntut. Di Chile, pada 4 Januari 2004 Mahkamah Agung Chile menyatakan Pinochet cukup sehat untuk menghadapi peradilan. Lalu pada 26 Agustus 2004, Mahkamah Agung Chile mencabut kekebalan Pinochet yang diberikan pemerintahan Chile. Bahkan 23 November 2005 lalu, Pinochet dikenakan tahanan rumah atas tuduhan kasus penghindaran pajak. Dalam hitungan jam, pada 24 November 2005, Pinochet dikenai tuduhan dan ditahan atas tuduhan penghilangan orang tidak secara paksa 1975. Rentetan peristiwa ini semestinya jadi
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
8
OPINI rujukan Jaksa Agung dalam tulisannya sehingga aktual, bukan merujuk pada putusan Mahkamah Agung Chile pada 1 Juli 2002. Memang, Jaksa Agung bermaksud menjelaskan petikan putusan Mahkamah Agung Chile Hakim Alberto Chaigneau del Compo dkk yang berbunyi; “.. In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality... To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing;..” Petikan ini diambil dari pasal 14 (3) huruf d dari Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia. Disini, Jaksa Agung ingin mengatakan bahwa seseorang harus diadili dengan kehadirannya, tidak bisa in absentia. Penggunaan ICCPR sebagai rujukan oleh penegak hukum adalah kemajuan positif. Tapi supaya pemahamannya lengkap, membaca teks pasal ICCPR harus dengan dokumen General Comments. Teks pasal yang dirujuk memang
mensyaratkan kehadiran seseorang saat diadili. Namun jika dibaca lengkap General Comments 13 Equality before the courts and the right to a fair and public hearing by an independent court established by law, maka syarat kehadiran di pengadilan bagi seseorang yang didakwa kejahatan, bukan syarat mutlak. Simak petikannya “... when exceptionally for justified reasons trials in absentia are held, strict observance of the rights of the defence is all the more necessary...” Kehadiran terdakwa harus diletakkan sebagai upaya menjamin hak-hak lain terdakwa termasuk hak-haknya atas pemeriksaan di pengadilan tidak terlanggar. Tapi jika terdakwa gagal hadir, karena alasan yang layak, bisa menunjuk dan diwakili kuasa hukumnya yang dipilih secara bebas. Kemudian kuasa hukumnya harus dijamin agar hak-hak terdakwa dan hak untuk melakukan pembelaannya dijamin oleh pengadilan. Jadi, dengan alasan yang bisa dijustifikasi, pengadilan in absentia dimungkinkan.***
DEKLARASI GERAKAN MASYARAKAT ADILI SOEHARTO Bahwa keadilan adalah amanah konstitusi yang menjadi dasar pembentukan masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia. Kekuasaan negara berdasarkan konstitusi itu harus dijalankan secara tegas, konsisten dan ditujukan untuk kemaslahatan publik, bukan untuk kepentingan perseorangan atau kelompok. Bahwa tak seorang pun yang melanggar hukum, boleh diperlakukan istimewa atau menikmati hak-hak istimewa. Semua orang adalah setara di depan hukum. Hukum harus ditegakkan secara imparsial untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak satupun kejahatan dan pelaku kejahatan dapat lepas dari hukuman. Bahwa rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto telah melakukan berbagai tindak kejahatan, antara lain kejahatan-kejahatan korupsi, pemberangusan kebebasan sipil, kejahatan terhadap kemanusiaan, penindasan terhadap perempuan dan perusakan lingkungan. Kejahatan-kejahatan itu telah mengakibatkan jatuhnya korban manusia, kemerosotan moral, pembodohan dan kebangkrutan ekonomi. Bahwa rakyat yang menjadi korban dari setiap tindak kejahatan rezim Orde Baru amat berhak memperoleh dan menikmati keadilan yang telah lama tertunda. Di samping itu, adalah hak korban untuk memaafkan Soeharto, bukan di tangan negara. Demi mewujudkan masa depan yang tanpa beban sekaligus membangun sejarah baru penegakan keadilan dan hukum, maka kami sebagai bagian dari korban, warganegara dan pelaku perubahan mengemukakan Tiga Resolusi Bangsa : 1.
Menolak dihentikannya proses hukum terhadap Soeharto, serta menuntut agar Soeharto beserta kronikroninya diadili sampai tuntas.
2.
Menuntut negara menyita seluruh kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya yang diperoleh dari hasil kejahatan.
3.
Mengajak masyarakat untuk siap mengambil tindakan-tindakan bersama agar negara tidak gagal mengadili Soeharto dan kroni-kroninya
Jakarta, 16 Mei 2006 Tertanda : Ade R Sitompul (SHMI), Albert Hasibuan (MARA), Asmara Nababan (DEMOS), Asvi Warman Adam, Bambang Widodo Umar (PTIK), Benny Susetyo (KWI), Binny Buchori (PRAKARSA), Chalid Muhammad (WALHI), Hendardi, Hilmar Farid, Ibrahim Zakir, Indra Jaya Piliang, Ita F Nadia, Isnu Handoko (JRK), John Muhammad, Johson Pandjaitan (PBHI), MM Billah, Mochtar Pabotinggi, Rachland Nashidik/Rusdi Marpaung (IMPARSIAL), Ray Rangkuti (EKSPONEN 1998), Rena Herdiani (Kelompok Perempuan), Stanley (ISAI), Trisno (MADIA), Tamrin Tomagola (Sosiolog), Teten Masduki (ICW), Todung Mulya Lubis (P2D), Uli Parulian (LBH Jakarta), Usman Hamid (KontraS).
9
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
TUTUR Resolusi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Indonesia atas Kejahatan Rezim Soeharto Mengingat ketentuan-ketentuan yang menyediakan hak- Menegaskan kembali bahwa, pemaafan terhadap Soeharto hak kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia hanya mutlak dimiliki oleh para korban dan atas persetujuan yang ditemukan di banyak instrumen internasional yang setiap korbannya dan tidak seorang pun di negeri ini yang sebagian besar telah diratifikasi oleh pemerintah Republik boleh kebal hukum atas dasar apapun, Indonesia, secara khusus Deklarasi Universal Hak Asasi Menyakini bahwa, berdasarkan perspektif kemanusiaan Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil berorientasi-korban, para korban rezim Soeharto akan dan Politik, Konvensi Internasional tentang Penghapusan menguatkan solidaritas kemanusiaanya dengan komunitas Segala Bentuk diskriminasi Sipil dan Politik, Konvensi korban lainnya, kaum mahasiswa, kaum buruh, kaum Menentang Penyiksaan petani, dan para Hukuman Lainnya yang Kejam, kelompok proHukuman yang Tidak demokrasi lainnya yang Manusiawi atau Perlakuan yang konsisten menuntut Merendahkan Martabat, Soeharto dan kroniKonvensi tentang Hak Atas kroninya untuk tetap Anak, Serangkaian Prinsip bisa diadili. Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia melalui Menyatakan hal-hal Tindakan Memerangi Impunitas, sebagai berikut : dan Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan atas Keadilan Tentang 1. Menuntut negara Hak Atas Pemulihan dan untuk mengungkapkan Reparasi Kepada Korban secara formal atas Dok. Kontras Pelanggaran Berat Hukum Hak kejahatan-kejahatan Asasi Manusia Internasional dan terhadap kemanusiaan Aksi korban pelanggaran HAM menuntut Soeharto di adili Pelanggaran Serius terhadap yang dilakukan oleh Hukum-Hukum Humaniter Rezim Soeharto seperti Internasional. yang disebut di atas, penuntutan dan penghukuman bagi Soeharto dan para pelaku lain yang bertanggung Mengakui bahwa Indonesia merupakan negara hukum jawab, dan ganti rugi material dan immaterial sesuai dengan cita-cita bangsa dan harapan pendiri negeri terhadap seluruh korban rezim Soeharto. ini, dan merupakan tugas dan kewajiban negara untuk 2. Bersama-sama dengan prinsip solidaritas terhdap melaksanakan keadilan dan penegakan hukum, kelompok pro-demokrasi lain yang masih percaya pada pentingnya cita-cita reformasi berjuang dan Mengingat ketentuan-ketentuan hukum positif nasional bergerak menuntut keadilan terwujud di negeri ini. yang secara khusus mengakui jaminan akan pemenuhan 3. Mengajak seluruh rakyat Indonesia secara damai hak-hak asasi manusia, secara khusus Amandemen II untuk menuntut negara agar Soeharto dan kroniUUD 1945 pasal 28A-J, TAP MPR XVII Tahun 1998 Tentang kroninya tunduk di bawah hukum. Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No.40 Jakarta, 18 Mei 2006 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Tahun 2004-2009. Korban pelanggaran hak asasi manusia Indonesia atas Mencatat bahwa mulai dari akan berkuasa hingga kejahatan rezim Soeharto mundurnya Soeharto begitu banyak terjadi peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia, mulai dari Syaiful Hadi, Ishaka, Wahyudi, Mei Nur, Marsim, Umar, Irma, peristiwa pembantaian ’65, Timor Timur, Kasus Tanjung Ho Kim Ngo, Siti Patimah, Siti Rohaya, Kartiya, Suryati, Priok, Kasus Petrus, perskusi terhadap aktivis Muslim, Marlis, Maemunah, Maryati, hariyati, durai, Supriyadi, diskriminasi rasial, operasi militer di Aceh dan Papua, Ruminah, Mamat, Sumarsih, Neneng, Marjuki, Syamsu, Kasus Talangsari-Lampung, penculikan aktivis 1998, Mugiyanto, Ruyati Darwin, Sumiyati, Pasiyem, Kiki, Lia, Ibu penembakan mahasiswa di Trisakti, Semanggi I dan II, Yani, Ibu Imas, Ibu Mimin, Amang, Ibu Kus, Ibu Lestari, hingga peristiwa Mei,98, yang semuanya itu melahirkan Hendardi, M.Fadjroel Rachman, Suciwati, Edwin P, Ratono, piramida korban yang luar biasa. Victor da Costa, Nur Halimah, M.Musar, Karsiah.
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
10
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
“Judex Factie Kasasi Kasus Munir Harus!” Meski dalam dua bulan terakhir ini (Mei-Juni) perkembangan kasus Munir seakan “tak terdengar kabarnya”, namun perjuangan dan cara agar kasus ini terus dituntaskan tak pernah henti dilakukan. Pada hari Rabu (26/4), Suciwati dan Usman Hamid mengadakan kunjungan ke Kedutaan Besar Austria. Dalam kunjungan ini mereka bertemu dengan Duta Besar Austria untuk Indonesia, Benhard Zimburg. Dalam kesempatan itu pula disampaikan bahwa Uni Eropa tetap memegang komitmennya untuk membawa kasus Munir dalam forum-forum internasional. Misalnya pada konferensi negara-negara Uni Eropa dan sidang-sidang parlemen. “Uni Eropa akan terus menanyakan perkembangan kasus Munir sepanjang belum selesai, “ ujar Usman Hamid. Terlebih saat ini Austria sendiri memegang presidency Dewan Uni Eropa. Rencana ke Belanda dan Belgia Sementara itu Usman Hamid kembali menegaskan dan mendesak Mabes Polri agar mengusut tuntas kasus terbunuhnya Munir, secara tuntas. Dimana usman juga menyerukan agar Mabes Polri harus menangkap dalang pembunuh sebenarnya. Usman menilai kerja Polri mengusut kasus tersebut sangat lamban, bahkan terkesan Polri justru tidak menginginkan dalang tersebut dihadapkan ke muka hukum. Usman mengungkapkan, bahwa sejak awal baik TFP telah memberi dukungan penuh berupa data dan informasi . “Namun kelihatannya Polri ogah-ogahan. Entah ada apa dengan polri sebenarnya?” ujar Usman. Karena hingga kini, pemerintah Indonesia dinilai tidak mempunyai komitmen dalam menuntaskan kasus Munir, maka, Usman dan Suciwati (isteri almarhum Munir), akan mendatangi negara-negara anggota Dewan HAM PBB, seperti Belanda dan Belgia. Lebih lanjut, Usman mengatakan kalau Polri serius menangani kasus Munir, pertimbangan putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat terhadap Pollycarpus, yang mengatakan, Pollycarpus tidak sendirian menghilangkan nyawa Munir, dapat dijadikan dasar untuk kembali memeriksa Mantan deputi V BIN, Muchdi PR dan sejumlah nama lain yang telah disodorkan oleh Tim Pencari Fakta Kasus Munir.
11
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
Polly Ajukan Memori Kasasi Sementara itu Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus Pembunuhan Munir, mengajukan berkas memori kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi ini diajukan merespon putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang tetap memvonis Pollycarpus 14 tahun penjara. Mohammad Assegaf, pengacara Polly mengatakan berkas memori kasasi telah diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (8/5). Menurut Assegaf kliennya (Pollycarpus) menolak putusan pengadilan tinggi dan yakin tidak bersalah dalam kasus pembunuhan Munir. Sebagaimana diketahui, Pollycarpus dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh Majelis hakim PN Jakrta Pusat, dari tuntutan hukuman penjara seumur hidup yang diajukan oleh JPU. Sedangkan PT DKI Jakarta memperkuat putusan PN Jakarta Pusat tersebut dengan tetap menghukum Pollycarpus 14 tahun penjara. Atas putusan PN Jakarta Pusat dan PT DKI Jakarta tersebut, JPU juga mengajukan kasasi. Periksa saksi baru Sementara itu, Penyidik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI telah memeriksa sejumlah saksi baru dalam kasus pembunuhan Munir. “Ada saksi-saksi baru. Ada beberapa yang signifikan, ada yang tidak., “ujar Hendardi, mantan anggota Tim Pencari Fakta Kasus Munir, setelah Suciwati menemui Kepala Badan reserse Kriminal Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara (19/ 5). Meski ada kesulitan dalam proses penyidikan, Hendardi dan Suciwati mendapat komitmen dari Makbul bahwa kasus tersebut akan terus ditindaklanjuti. Sedang Wakil kapolri, Komjen Pol Adang Darajatun mengatakan, Mabes Polri tidak akan menghentikan (mempetieskan) pengusutan dan penyidikan kasus terbunuhnya Munir. Karenanya itu, menurutnya, Mabes Polri masih mengumpulkan bukti termasuk meminta keterangan sejumlah pihak terkait. Sementara Wakil Kepala Divisi Humas Polri Bridjen Pol Anton Bachrul Alam menyatakan kepada wartawan di Mabes Polri pertengahan Juni lalu bahwa penyidikan terhadap dua karyawan maskapai penerbangan Garuda
JEJAK SANG PEJUANG
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
“Penyelidikan terhadap tersangka terus berjalan dan dilakukan secara intensif. Polisi juga terus mencari dokumen dan saksi lain,” ujar Anton. Namun, Polri tidak bisa menyebutkan hasil penyelidikan kepada publik dengan alasan masih dalam rangka mencari barang bukti dan demi efektivitas penyidikan, tambah Anton. Hal ini dikemukakan oleh Anton, menanggapi tudingan lambatnya penyidikan tiga tersangka pembunuhan Munir yang belum selesai, dimana dua orang tersangka lainnya, yakni pramugari dan pramugara Garuda, Yetty dan Oedi belum jelas statusnya hingga kini, sedang pilot Garuda Pollycarpus telah diganjal hukuman 14 tahun penjara.
MA harus gunakan judex factie Momentum kasasi di Mahkamah Agung sesungguhnya merupakan muara dari harapan keadilan. Sementara, penyelidikan Polri dan Kejaksaan adalah mata air dan sungainya. Sehingga, tuntutan agar Mahkamah Agung (MA) menggunakan sebagai judex factie dalam kasasi kasus Munir adalah keharusan. Juga, tuntutan agar Polri dan Kejaksaan untuk segera menangkap dan menjerat para pelaku lain. Desakan inilah yang disampaikan oleh Komite Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Kamis (15/6). Ditegaskan KASUM, semestinya untuk mengungkap konspirasi pembunuhan Munir, MA harus menggunakan wewenang judex factienya. Karena, hal ini sesuai dengan dengan Pasal 253 ayat 3 KUHAP dan UU RI No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung :Pasal 50 ayat 1 dan 2, dan Pasal 52. MA memiliki kemampuan untuk memeriksa ulang Indra Setiawan, Ramelgia Anwar, Muchdi PR bahkan Hendropriyono sekalipun berikut saksi-saksi lainnya. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali menegaskan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 14 tahun penjara bagi Pollycarpus. Putusan yang ada dalam berkas 16/Pid/2006/PT. DKI tertanggal 27 Maret 2006. Saat itu PT DKI Jakarta tidak menggunakan momentum banding untuk memperdalam Putusan PN Jakarta Pusat melalui wewenang judix factie-nya. Padahal, berdasarkan Pasal 238 ayat 4 KUHAP, jika dipandang perlu PT dapat mendengar sendiri. Artinya, PT dapat memeriksa ulang, tetapi dalam kasus ini PT hanya melakukan pemeriksaan berkas. Malah, beberapa hakim, termasuk Ketua Hakim PT DKI Jakarta justru menggunakan kekuarangan Putusan PN Jakarta Pusat sebagai materi dissenting opinion. Padahal, wewenang judex factie sangat dibutuhkan mengingat pembunuhan Munir dilakukan secara berkelompot dan adalah satu tujuan pengadilan mengungkap seluruh pelakunya.
Di sisi lain, KASUM menilai Indonesia sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB sudah seharusnya memperbaiki kondisi HAM di Indonesia. Di mana, hal ini dapat ditunjukkan dengan mengungkap tuntas kelompok yang berkonspirasi membunuh Munir. KASUM juga menyadari bahwa upaya untuk mengungkap konspirasi pembunuhan Munir memerlukan keberanian dan inovasi. Kedua hal inilah yang dapat mengukur kesungguhan pemerintah SBY dalam agenda penegakan hukum nasional. Keberanian dibutuhkan untuk melawan jaringan konspirasi yang meluas dan menguat, mulai dari perencana, pelaku, hingga pada kelompok yang menghambat jalannya proses hukum. Sementara, inovasi dibutuhkan untuk mengatsi keterbatasan dalam menjangkau para pelaku.
Desak MA Dewan Pembina YLBHI Adnan Buyung Nasution, Suciwati dan anggota KASUM, menemui Ketua MA Bagir Manan di gedung MA (27/6). Dalam kunjungan tersebut, mereka meminta MA kembali memeriksa perkara pembunuhan Munir. Buyung juga mengatakan, bila MA menemukan kekurangan pada proses pemeriksaan di tingkat pertama dan kedua, pemeriksaan kembali terhadap suatu perkara di tingkat kasasi dimungkinkan. Meski demikian, Buyung mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut sama sekali tidak disinggung soal substansial perkara. Sebab, menurut Buyung, mereka tidak ingin mempengaruhi proses pemeriksaan di MA. Pendapat sama dikemukakan oleh Muji (KASUM). Menurutnya, dalam Pasal 253 ayat (3) KUHAP disebutkan, MA dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa, saksi, atau penuntut umum. MA juga bisa memerintahkan pengadilan dibawahnya mendesak keterangan terdakwa, saksi, atau penuntut umum dengan cara sama. Muji menambahkan, kekurangan dalam proses peradilan kasus pembunuhan Munir di tingkat Pengadilan Negeri (PN) adalah penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang perbuatan secara bersama-sama di dalam dakwaan Pollycarpus. Pasalnya, dakwaan itu di tingkat PN tidak terbukti. Kesalahan juga terjadi di tingkat Pengadilan Tinggi. Sebab majelis hakim tinggi menggunakan Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat dalam putusan banding. “Padahal yang disebutkan oleh jaksa penuntut umum dalam dakwaaan adalah Pasal 263 ayat (2) KUHP. Secara hukum ini tidak boleh, karena aturannya majelis hakim tidak bisa memutus di luar dakwaan, “ tegas Muji.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
12
BERITA DAERAH
Bentrok Lagi Di Tanah Awu Petani Versus Polisi Bentrokan kembali lagi terjadi antara warga Desa Awu, Kabupaten Lombok Tengah dengan aparat keamanan (21/6). Bentrokan berawal saat aparat Pemda Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, datang ke desa Tanah Awu. Mereka melakukan pengukuran dan pematokan diatas tanah pertanian sengketa antara petani Tanah Awu dengan pihak yang akan membangun bandara di atas tanah tersebut, PT Angkasa Pura II. Kedatangan aparat Pemda dikawal oleh kurang lebih 10 truk pasukan Brimob dan ratusan pasukan perintis kepolisian. Menurut penuturan warga setempat, dalam barisan pengawal Pemda terdapat 50 orang preman Pamswakarsa. Di lokasi kejadian terlihat juga satu helikopter, satu panser dan satu water canon. Keberadaan aparat kepolisian sebenarnya sudah terlihat sejak 17 Juni hingga terjadinya peristiwa bentrokan tersebut. Mereka bahkan sempat menginap di kantor kepala desa, dengan alasan persiapan menyambut ulang tahun POLRI. Kegiatan tersebut diumumkan kepala desa melalui masjid pada Rabu (21/6) malam, bahwa akan ada aksi bersih kampung oleh aparat kepolisian. Aparat ternyata melakukan pengukuran di lahan konflik petani, yang saat ini terkena musibah banjir akibat hujan yang lebat. Ratusan hektar tanaman semangka mengalami gagal panen. Ditengah musibah tersebut masyarakat petani malah diteror dan diserang. Merasa diperlakukan sewenang-wenang petani melakukan pertahanan untuk melindungi tanah pertaniannya, melempari aparat polisi dengan batu. Menurut saksi mata dari Serikat Tani (Serta) NTB, bentrok ini membuat polisi menembakkan gas air mata. Dalam kejadian ini satu petani akhirnya ditangkap, dipukuli dan ditembak ditempat hingga pingsan sementara kaki kanannya mengeluarkan banyak darah. Sebelumnya, pihak pemerintah daerah dan PT Angkasa Pura II berencana membangun bandara di atas tanah seluas kurang lebih 800 hektar yang meliputi desa Tanah Awu. Namun, dalam prosesnya terjadi ketidaksepakatan antara warga dengan pemerintah. Selama ini pemerintah mencoba mengusir warga yang tetap bertahan sejak tahun 1997.
Teror yang terus berlangsung Para petani Tanah awu telah lama mengalami tindakan teror, intimidasi dari berbagai pihak. Puncaknya terjadi pada
13
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
tanggal 18 September 2005. dimana polisi seetempat membubarkan secara paksa rapat umum petani yang rencananya akan diselenggarakan di Tanah Awu. Dalam peristiwa tersebut aparat kepolisian menembaki petani, yang mengakibatkan 27 orang terkena luka tembak dan 6 lainnya terkena pukulan. Setelah kejadian itu, aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap para petani yang berujung pada usaha kriminalisasi terhadap mereka. Alasanya beragam, mulai dari pencemaran nama baik sampai melakukan tindakan yang kurang menyenangkan. Petani tentunya meminta untuk segera menghentikan tindakan intimidasi semacam ini yang mengancam hakhak asasi petani di Tanah Awu, Lombok Tengah. “Kami hanya ingin bertani dengan tenang tanpa diganggu oleh aparat kepolisian dan preman-preman yang selalu menyisir perkampungan dan menangkapi para petani,” ungkap Murana, seorang petani Tanah Awu. Keinginan Murana bukannya tanpa alasan, karena bulan Februari lalu pihak militer pernah mengadakan “latihan” di perkampungan mereka. Tindakan militer yang mengatasnamakan aksi sosial ini mencemaskan warga Tanah Awu. Mereka merasa terganggu dengan kehadiran aparat keamanan bersenjata lengkap di desanya. Sekjen FSPI Henry Saraguh, menilai pemerintah menggunakan cara-cara orde baru untuk mengintimidasi warga yang enggan menyerahkan tanahnya. Pemerintah menangkapi para pimpinan petani agar warga Tanah Awu mau melepaskan tanah pertaniannya. Pemerintah juga selalu mengawasi setiap rapat-rapat yang diadakan petani. Bahkan rapat umum petani yang dlakukan pada bulan September tahun lalu dibubarkan secara brutal. Merkipun korban di pihak petani banyak berjatuhan, tak ada satupun aparat kepolisian yang diproses secara hukum. Bahkan, sebaliknya polisi malah menangkapi petani dengan alasan melakukan perbuatan tidak menyernangkan. “ Tindakan semacam ini sangat melukai hari rakyat dan melanggar HAM. Petani sudah dikebiri kebebasan politiknya dan hak –hak ekonomi, sosial dan budaya pertani pun dipinggirkan,” tandas Henry. Sementara Asian Human Rights Commission (AHRC), sebuah lembaga HAM yang berbasis di Hongkong memandang bahwa kepolisian RI telah menunjukkan tindakan-tindakan melawan hukum dan tidak menghormati HAM. AHRC mendesak adanya penyelidikan untuk kasus ini dengan membawa pelakunya ke pengadilan umum, dan tidak hanya terbatas pada pidana yang bersifat administratif.***
BERITA DAERAH
Buruknya Kinerja BRA “Mengancam Perdamaian” Kinerja Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang belum maksimal menjadi ancaman cukup serius terhadap proses perdamain Aceh. Kinerja yang tidak maksimal ini diakibatkan oleh setting awal BRA dan sistem kerja yang tidak sesuai dengan mandat kerja reintegrasi dalam MOU. Kondisi ini yang memberikan hambatan terhadap tercapainya reintegrasi dalam proses perdamaian. Hal inilah yang menjadi sorotan oleh KontraS, HRWG dan AWG. Menurut ketiga LSM di atas, kinerja yang kurang maksimal ini diakibatkan BRA di setting menjadi bagian dari agenda politik. Padahal, seharusnya BRA lebih memfokuskan diri pada tugas serta peran awalnya, seperti yang diamanatkan pada butir 3.2. Nota Kesepahaman Helsinki tentang tahap reintegrasi. BRA sebagai lembaga yang mengurusi reintregrasi harus terbebas dari agenda politik/masuk dalam pertarungan politik, agar kerja-kerja reintregrasi yang antara lain berupa pemberian dana bagi mantan anggota GAM dan warga korban konflik dapat terlaksana tanpa ada hambatan-hambatan politik. KontraS menilai kesulitan BRA dalam melakukan kerjanya karena BRA masuk dalam setting politik, ini tercermin dari aktor-aktor yang masuk di dalam kepengurusan BRA, yang dipaksakan akomodatif terhadap elemen yang ada, terutama elemen pelaku. Penunjukkan kepengurusan berdasarkan “perwakilan” kelompok inilah yang akhirnya menyulitkan BRA menjadi lembaga yang independen. Dalam konteks ini, pengunduran diri GAM dalam keanggotaan BRA merupakan peluang untuk mengembalikan BRA menjadi Independen dan tidak terjebak pada agenda politik yang ada. Sebelumnya GAM menyatakan keluar dari BRA karena akibat persoalan yang terjadi di dalamnya. “Kami khawatir masalah muncul lebih karena perbedaan persepsi internal. Belum lagi tidak adanya transparansi dalam pengelolaan dana reintergrasi sebesar Rp 800 miliar itu sudah dipakai apa saja, berapa sisa yang ada, dan bagaimana pertanggungjawabannya, “ ujar Usman Hamid. Hal itu senada dengan apa yang dikatakan oleh Wakil Juru Bicara GAM Munawar Liza Zein di salah satu media cetak nasional, bahwa lima tokoh GAM, Minggu (11/6), mengundurkan diri dari Badan Reintegrasi damai Aceh, antara lain karena pengelolaan dana di lembaga BRA yang tidak transparan.
Munawar juga menambahkan, program BRA tidak jelas dan cara kerjanya terlalu birokrasi. Alasan lain, karena selain kehadiran mereka tidak efektif, kepengurusan BRA juga terlalu gemuk dan perlu perampingan. Sementara itu KontraS menilai bahwa persoalan internal yang ada semakin diperumit dengan adanya struktur Politik Hukum dan HAM (Polhukam) di BRA yang justru malah menyeret BRA ke dalam wilayah politik, sehingga berdampak menghambat kinerja BRA. Semestinya struktur POLHUKAM tersebut tidak perlu ada, sebab rincian tugas reintegrasi dalam konteks MOU secara jelas dibatasi hanya berkaitan dengan reintegrasi saja.
Proses jadi campur-aduk Sebagai akibat tidak fokusnya BRA dalam menjalankan tugasnya dan akomodatif terhadap elemen pelaku (TNI, Polri, GAM dan Milisi) dalam struktur BRA, mengakibatkan proses kerja BRA menjadi campur aduk. Akibatnya kemudian adalah tersendatnya proses pemberian dana reintegrasi, baik kepada mantan GAM maupun kepada masyarakat korban konflik. Hingga kini masyarakat korban pelanggaran hak asasi manusia pada masa konflik yang diminta BRA untuk mengajukan proposal untuk menerima dana kompensasi, telah mengajukan proposalnya. Tercatat hingga bulan April 2006, sebanyak 40.000 proposal sudah masuk ke BRA, dan baru sekitar 700 proposal dinyatakan layak secara administratif, “ ujar Usman. Menurut KontraS, dalam pemberian dana reintegrasi, BRA harus mempertegas batasan mandat dan kewenangannya, terutama kejelasan antara program reintegrasi yang memberi dana kompensasi bagi eks GAM (combatant maupun tahanan politik) dan warga yang terkena konflik, dengan dana kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat yang menjadi wilayah kerja Pengadilan HAM dan KKR. Oleh karena itu, KontraS, HRWG, dan AWG, mendesak Pemerintah untuk memperbaiki kinerja BRA dengan menjadikan badan tersebut independen dan bekerja sesuai dengan mandat dan batasan MoU. Kemudian, sesegera mungkin merombak stuktur dan kewenangan BRA yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip MoU. Selanjutnya adalah segera pula merealisasikan program reintregrasi, karena dana reintegrasi adalah kewajiban pemerintah yang harus diberikan secepatnya paska pelucutan senjata, penarikan pasukan dan Amnesti. Dan terakhir, meminta kepada semua elemen Aceh untuk menghormati proses perbaikan BRA menjadi badan yang independen.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
14
BERITA DAERAH
Kasus Holil: Penyalahgunaan Senjata Dan Brutalitas Polisi Atas nama penegakan hukum dan untuk menangkap seseorang yang diduga bersalah, kembali aparat hukum kita mempertontonkan brutalitas dengan memuntahkan peluru. Dan kini giliran Holil Bin Satu (35 thn), yang mengalami luka tembakan sebanyak 7 peluru, 6 peluru menembus kaki kiri dan satu tembakan paha menembus betis kanan.
pokok kepolisian untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Melanggar Aturan
Aksi penembakan terhadap Holil yang dilakukan oleh aparat Tindakan tersebut sangat jelas melanggar etika, dan bertentangan dengan UU No. 39 Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta tahun 1999 tentang HAM. Polri harus Utara terjadi pada (19/5). Peristiwa ini mengutamakan ketentuan KUHAP terjadi di perempatan jalan Perintis dimana pelaksanaan tugas Kemerdekaan, Kelapa Gading Jakarta Seharusnya penindakan menangkap harus memperlihatkan Utara. Holil ditembak karena dituduh terhadap seseorang yang surat tugas, perintah penangkapan terlibat dalam perampokan sebuah yang mencantumkan identitas bank di Jakarta Utara. diduga terlibat tindak pidana tersangka dan alasan penangkapan mengikuti aturan yang Akibat penembakan Holil mengalami serta uraian singkat perkara berlaku, sebagaimana tugas cacat permanen dengan tulang kering kejahatan yang dipersangkakan. pokok kepolisian untuk patah. Satu tembakan lain melukai Tindakan aparat kepolisian terhadap kaki kanan yakni pada bagian paha memelihara keamanan dan Holil juga merupakan tindakan hingga menembus betis dengan cara ketertiban masyarakat, pidana, karena melanggar Pasal 354 tembak tempel. “Penembakan menegakkan hukum dan ayat 1 KUHP; “Barangsiapa sengaja dilakukan dengan jarak tembak yang memberikan perlindungan, melukai berat orang lain, diancam karena dekat, kurang dari satu meter. pengayoman dan pelayanan melakukan penganiayaan berat diancam Kemudian, meski lima peluru pidana penjara paling lama delapan tahun”. diantaranya, bersarang di tubuh Holil kepada masyarakat. saat itu, polisi tidak segera Sedangkan pada (27/6), Pengadilan membawanya ke rumah sakit,” ujar M Negeri Jakarta Utara menolak Solihin MD, kuasa hukum Ny. Berah permohonan keluarga Holil, yang (isteri korban). mempraperadilankan Kepolisian Resor Jakarta Utara, Bahkan, setelah itu, polisi malah menjebloskan Holil ke dalam dengan argumen bahwa penangkapan yang dilakukan sel tahanan di Markas Polres Metro Jakarta Utara selama oleh Polres Jakarta Utara terhadap Holil adalah sah. Meski lebih kurang lima hari, sebelum akhirnya dibawa ke rumah putusan tersebut diterima, pihak keluarga dan kuasa hukum Holil tetap merasa kecewa. “Inti gugatan kami, sakit. surat penangkapan baru diterima enam hari setelah Holil KontraS sendiri, kembali meminta dan mendesak Kapolri ditangkap, “ujar Solihin. menindak tegas aparat yang melakukan tindakan penembakan terhadap Holil. KontraS juga meminta agar Apapun kesalahan yang telah dilakukan oleh Holil, Kapolri harus lebih proaktif, jangan hanya membiarkan namun aksi main tembak tidaklah dapat dibenarkan. Oleh penyelesaian kasus dengan tindakan disiplin dan karenanya, Kontras mendesak dilakukannya proses membiarkan korban bersusah payah menempuh jalur hukum yang jujur dan terbuka terhadap aparat yang melakukan penembakan. Langkah ini harus diikuti hukum. dengan tindakan medis yang memadai sampai korban Hal lainnya pada saat penangkapan, polisi tidak sembuh serta memberikan ganti rugi yang layak akibat memperlihatkan surat tugas dan perintah penangkapan. dari perbuatan pelaku. Dalam jangka panjang, POLRI Karenanya, KontraS menilai tindakan aparat kepolisian perlu terus memperkuat pendidikan serta pemahaman terhadap Holil amat jauh dari profesionalitas. Seharusnya etika kerja kepolisian agar menghormati harkat dan penindakan terhadap seseorang yang diduga terlibat tindak martabat manusia. Jadi jangan lagi ada aksi brutal oleh pidana mengikuti aturan yang berlaku, sebagaimana tugas penegak hukum***
15
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
BERITA DAERAH
Keberadaan Koopskam Harus Segera Dievaluasi! Hingga saat ini, pemerintah tetap tidak pernah memperlihatkan keseriusannya dalam upaya untuk menegakan hukum di Poso. Adanya Komando Operasi Keamanan (Koopskam), yang telah berjalan enam bulan (January-Juni 2006) belum membawa kemajuan konkret dalam membongkar otak kejahatan di Poso. Hal ini, terlihat jelas dengan tidak adanya kemajuan penanganan aksi kekerasan yang terjadi di wilayah konflik itu. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi Koopskam guna mengetahui masalah dan kendalakendala yang dihadapi, termasuk mengumumkan laporan hasil kerja dari Koopskam kepada masyarakat. Lihat saja, selama tahun 2006, telah terjadi 21 peristiwa kekerasan yang menimbulkan tiga orang korban (tabel terlampir). KontraS sendiri mencatat langkah Koopskam dalam upaya penegakan hukum atas peristiwa itu, termasuk yang terjadi di 2005, belum mendapat hasil maksimal. Malah kerap membuat masyarakat merasa kurang nyaman. Berbagai kasus salah tangkap yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror dengan dalih memberantas terorisme, telah ikut menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum. Misalnya, pada kasus Sahal Alamri, ditangkap 9 Februari, lalu dilepas pada 15 Februari. Termasuk beredarnya surat-surat kepolisian seperti kasus penangkapan Taufik Bulaga pada 8 Mei 2006. Menurut Usman Hamid hal ini jelas menunjukan indikasi lemahnya koordinasi dan profesionalitas di jajaran aparat keamanan, intelijen dan penegak hukum. Kondisi ini ditambah runyam dengan penempatan pasukan sebanyak dua ribuan personel yang tersebar di berbagai kecamatan di Poso, seperti Poso Pesisir, Pamona dan Lage. Aparat yang kerap membawa senjata secara terbuka, telah membuat situasi jauh dari kondusif, ditambah lagi dengan pertikaian aparat keamanan pada 10 Januari 2006.
Ketidakseriusan penegakan hukum juga terlihat jelas pada saat penggalian kuburan dan upaya rekonstruksi atas beberapa kejadian di masa lalu memicu pro kontra di tengah masyarakat, seperti kasus penggalian kuburan mendadak pada 10 Mei 2006. “Ada kesan ini dilakukan tanpa perencanaan strategis, serta tanpa melibatkan Komnas HAM dan ahli-ahli independen, serta mekanime yang benar dan sesuai standar internasional. Hal ini juga kian dipicu dengan beredarnya selebaran-selebaran gelap yang bertujuan memicu pertikaian kelompok masyarakat di Poso, Palu dan sekitarnya. Selebaran gelap ini juga berisi tuduhan negatif terhadap tokoh-tokoh masyarakat dengan sentimen agama, “ tegas Usman. Tak diperlukan lagi Sementara itu, hal senada telah pula dilontarkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju yang menyatakan, keberadaan Koopskam sudah tidak diperlukan lagi. Karena menghimpun kekuatan di masyarakat untuk bersatu teguh, lebih harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Berdasarkan kondisi diatas Kontras mendesak Presiden SBY untuk segera mengevaluasi implementasi Inpres No 14 tahun 2005, tentang penyelesaian konflik poso secara komprehensif dan mengumumkan hasilnya ke masyarakat. Evaluasi juga harus mencakup audit anggaran operasi pemulihan keamanan dan penegakan hukum di poso (Operasi Cinta Damai, Operasi Maleo I-IV, Operasi Sintuwu Maroso I-VII, Koopskam serta Satgas Poso dan Satgas Palu), secara transparan dan terbuka. KontraS juga secara khusus mendesak Presiden dan Menkopolkam bertindak tegas terhadap jajaran keamanan, intelijen dan hukum yang terindikasi lambat, kurang tegas dan apalagi terlibat dalam kekerasan di Poso. Karena, bila kondisi tersebut tidak segera dilakukan, maka kekerasan dan konflik yang terus dipicu sulit dihentikan. Penegakan hukum harus diprioritaskan demi membongkar jaringan pelaku.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
16
BERITA DAERAH
Sidang Sepuluh Mahasiswa Papua: Saksi Tidak Melihat Terdakwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai menyidangkan kasus perusakan kantor Freport di Plaza 89, Jalan HR Rasuna Said Jakarta pada Rabu, 17 Mei lalu. Sepuluh mahasiswa menjadi terdakwa dalam kasus ini. Para mahasiswa yang menjadi terdakwa ini adalah, Yan Matuan, Nur Wenda, Martheos Binianggelo, Dok. Kontras Medy D.Paragaye, Gomer Kogoya, Lambert Devlan Kogoya, Paul Wolom, Alus Wenda, Benetus Magayang, dan Nur Danny Wenda. Dalam sidang yang dipimpin hakim Achmad Sobari (17/05), jaksa penuntut umum Supomo mendakwa mereka melakukan kekerasan sebagaimana diatur di dalam KUHP pasal 170 ayat (1) yaitu “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
Pada sidang keempat yang digelar (07/6), Ketua majelis hakim Achmad Sobari menolak eksepsi 10 terdakwa karena tidak cukup memberi pertimbangan hukum. Menurut David Sitorus yang bertindak sebagai salah seorang pengacaranya, eksepsi yang diajukan oleh para terdakwa isinya memang di luar kerangka sistem hukum positif. Sementara saat selesai mengikuti sidang yang digelar di PN Jakarta Selatan ini, sempat terjadi sedikit keributan dan aksi dorong terdakwa dengan para petugas kejaksaan. Menurut Yan Matuan, dirinya merasa tak senang melihat petugas kejaksaan menghalang-halangi para terdakwa yang akan diwawancarai wartawan usai sidang. Namun tindakan saling dorong ini tak berlangsung lama, David, penasehat hukum para terdakwa, berhasil melerai. “Pengadilan ini milik rakyat. Biarkan mereka bicara kepada publik, “ kata David, yang meminta petugas memberi kesempatan para terdakwa diwawancarai wartawan.
Sebelumnya, sepuluh mahasiswa yang menjadi terdakwa ini melakukan aksi unjuk terkait dengan penembakan terhadap tiga penambang tradisional oleh polisi Brimob di wilayah penambangan Freeport-Papua (21/2). Kekerasan Aksi di Plaza 89 Kuningan yang tak pernah terjawab oleh adanya pertanggungjawaban hukum ini, disikapi oleh sejumlah mahasiswa asal Papua dengan melakukan aksi Sementara pada sidang kelima yang digelar (14/06), jaksa balas ke gedung Plaza 89 tempat PT. Freeport berkantor di penuntut umum menghadirkan dua orang saksi petugas satpam dari PT Freeport serta plaza 89. Saksi yang Jakarta (23/2). dihadirkan oleh jaksa penuntut umum terkesan Sementara itu pada sidang ke-dua yang berlangsung pada dipaksakan karena saksi tidak pernah melihat para (24/05), Yan Matuan yang mewakili sembilan orang teman terdakwa melakukan kekerasan sebagaimana terdapat lainnya menolak dijadikan terdakwa. Menurutnya, kehadiran dalam surat dakwaan. Pada saat konfirmasi oleh majelis mereka dipersidangan hanyalah keinginan sebagai saksi dari hakim atas keterangan saksi, para terdakwa ini mengakui suatu tindakan eksploitasi dan kesewenang-wenangan yang perbuatan dan siap bertanggungjawab atas perbuatan dilakukan terhadap rakyat Papua. “ Dalam kesempatan ini yang telah mereka lakukan. “Ya, kami mengakui semuanya juga kami nyatakan yang kami lakukan dalam peristiwa seperti yang tertulis dalam BAP (Berita Acara Plaza 89 bukan suatu tindakan kriminal,” tegas Yan. Karena Pemeriksaan,) dan tidak ada yang kami sangkal. Kami itu, para terdakwa meminta majelis hakim menolak dakwaan hanya ingin sidang dipercepat, “ tegas Yan Matuan. Sidang kemudian di tunda untuk menghadirkan saksi jaksa penuntut umum. berikutnya.
17
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
BERITA DAERAH
Konflik Nelayan Bengkalis: 23 tahun Belum Ada Tanda Berakhir Sengketa wi1ayah tangkap antara nelayan tradisional rawai (sejenis pancing) dan pengusaha jaring batu di kawasan perairan Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau, kembali terjadi pada Kamis (15/6). Akibat konflik ini setidaknya tercatat 10 orang nelayan rawai luka-luka dan berikut 1 buah pompong (perahu) rawai ikut dibakar oleh kelompok jaring batu/jaring kurau. Konflik antar dua kelompok yang terakhir terjad,berawal saat enam orang nelayan tradisional rawai yang berasal dari Desa Teluk Lancar, Kecamatan Bantan, Nurdin, Rusli, Husin, Hasan, Isadan dan Man, diserang oleh kelompok nelayan jaring batu (dipimpin Ujang Karim). Mereka diserang dan akhirnya disandera bersama dua buah kapal nelayannya. Kejadian berlangsung di tengah laut diperairan Desa Kembung Luar. Satu buah kapal milik nelayan rawai ditabrak dan ditenggelamkan di tengah laut. Kelompok jaring batu selanjutnya melakukan penganiayaan terhadap keenam nelayan rawai. Beberapa jam kemudian, lima orang dari nelayan dilepaskan sedang seorang warga nelayan, Nurdin (33 thn), tetap disandera dan dianiaya di atas kapal milik kelompok jaring batu. Satu hari Nurdin disandera oleh kelompok jaring batu, dan keesokkan harinya ia diserahkan pada pihak kepolisian (Polsek Ransang). (17/6), Nurdin dipindahkan oleh aparat Polsek Rangsang ke Mapolsek Tebing Tinggi dengan status tidak jelas (saksi atau tersangka). Aparat kepolisian hanya menyatakan bahwa Nurdin “diamankan”. Setelah tiga hari “diamankan” di Maposek Tebing Tinggi, Nurdin dipindahkan ke Mapolres Bengkalis, masih dengan status tidak jelas. Dalam rentan waktu penyanderaan oleh kelompok jaring batu hingga ke pihak aparat kepolisian, pihak keluarga, pendamping LSM di lapangan dan Tim Kuasa Hukum Serikat Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB) Kabupaten Bengkalis tak pernah diberi tembusan / pemberitahuan menyangkut status dan keberadaan Nurdin. Ketika pihak Tim Pengacara dan keluarga korban hendak mengkonfirmasi status Nurdin, pihak Polres Bengkalis (Kasatreskrim AKP Borowindu) saat dihubungi menyatakan bahwa Nurdin hanya “diamankan” dan dimintai keterangan. Baru, pada (20/6), sore Nurdin dibebaskan dari Mapolres Bengkalis, dia ke rumahnya di Desa Teluk Lancar Kecamatan Bantan. Saat kembali ke rumahnya, terdapat lebam pada wajahnya, serta beberapa bagian tubuh Nurdin memarmemar. Korban juga mengeluhkan rasa sakit pada bagian kepala dan pendengarannya. Kondisi psikologis korban juga masih agak trauma pasca peristiwa ‘penyanderaan’ dan penahanan yang dilakukan oleh kelompok jaring batu dan aparat kepolisian 23 tahun konflik Sengketa dan pertikaian antar kelompok nelayan tersebut bukanlah yang pertama. Dalam catatan Tim Pembela Nelayan
Rawai-Bengkalis, setidaknya kasus ini sudah berlangsung 23 tahun lamanya (1983-2006). Konflik terbuka baik dilakukan di perairan berikut dampak turunannya sampai konflik itu dibawa kedaratan menjadi sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari denyut kehidupan masyarakat Bantan. Sementara, Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB) Bengkalis, menyatakan bahwa kasus ini terjadi akibat tidak adanya kemauan serius pihak pemerintah dan aparat terkait untuk mengambil langkah-langkah penting terhadap penyelesaian kasus ini secara menyeluruh dan berkeadilan bagi kepentingan nelayan kecil. Tidak dapat dipungkiri berbagai kasus kekerasan dan bentrokan antar nelayan yang telah terjadi selama ini, diakibatkan oleh lemahnya perangkat peraturan pendukung beserta institusi penegaknya, guna mendukung upaya nelayan tradisional rawai menjaga dan mempertahankan wilayah tangkapan dan sumbersumber kehidupan di perairan Kabupaten Bengkalis. Wa1aupun sejak tahun 2003, Bupati Bengkalis, H. Syamsurizal, telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 52/2003 tertanggal 06 Januari 2003, yang intinya melarang beroperasinya alat tangkap jenis jaring kurau (jaring batu) di wilayah 0-4 Mil1aut, faktanya hingga saat ini operasi jaring kurau masih saja terus terjadi dengan pembiaran (by ommision) aparat keamanan dan pemerintah terkait. Bahkan, rata-rata bentrokan antar nelayan, justru banyak terjadi di wilayah yang seharusnya dilarang bagi operasi jaring batu tersebut. Penegakan hukum (law enforcement) tak dilakukan secara tegas dalam kasus ini. Karenanya, kami mendesak Gubemur Riau sebagai wakil pemerintah pusat di daerah segera mengambil langkah-langah penting dan mendesak untuk penyelesaian sengketa wilayah tangkap ini secara komprehensif. Tindakan ini dilakukan dengan tetap mengedepankan azas kelestarian dan keberlanjutan sumber daya perikanan laut. Dalam operasi penegakan hukum, Kapolda Riau dan jajarannya harus mampu menghindari tindakan kriminalisasi bagi nelayan tradisional yang hendak mempertahankan kelestarian kawasan pesisir dan lautnya dari ancaman kerusakan akibat operasi jaring batu dan alat tangkap merusak lainnya. Sementara itu, DPRD Riau dan DPRD Bengkalis agar pro aktif dalam upaya mediasi ke arah penyelesaian sengketa ini, yang lebih adil bagi nelayan tradisional. Selama ini pihak DPRD tampaknya bersifat pasif dan terkesan membiarkan ber1arutIarutnya sengketa ini. Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pelarangan Pengoperasian Jaring Batu di wilayah kelolah nelayan rawai, yang saat ini dihentikan proses pembahasannya. Padahal Peraturan Daerah itu penting bagi jaminan aktifitas nelayan tradisional rawai yang selama ini merasa terancam dengan aktifitas nelayan jaring batu. Akankah Pemerindah Daerah Bengkalis menghentikan konflik ini?***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
18
BERITA DAERAH
KKR Dalam RUU PA Harus Dapat Menerobos Kebuntuan KKR Nasional KontraS dan Aceh Working Group (AWG) menyambut baik masuknya pasal pengadilan HAM dan KKR dalam Draft RUU PA seperti dalam rapat kerja pansus pada 17 Mei 2006 silam. Demikian juga dengan substansi yang mengatur tentang masalah tersebut, terutama kejelasan waktu kapan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) Aceh dibentuk. Namun demikian sangat disayangkan adanya ketidakjelasan materi pengaturan KKR secara keseluruhan. Diantaranya, dinyatakan bahwa KKR di Aceh sebagai bagian dari KKR Nasional, padahal sudah ada pemahaman yang lebih baik kalau KKR Aceh dibentuk paling lambat enam bulan atau satu tahun. Posisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum jika ternyata KKR Nasiona dalam waktu enam bulan atau satu tahun tidak terbentuk, walaupun UU PA dipahami sebagai lex specialis deroga lex generalis. Semestinya, pengaturan kepastian waktu terbentuknya KKR tersebut dibarengi dengan jaminan bahwa sekalipun KKR nasional belum terbentuk dalam waktu yang ditentukan, KKR Aceh dapat dibentuk lebih dahulu. Langkah ini sangat penting untuk menjadi klausul dalam pengaturan KKR Aceh agar ketidakpastian hukum dapat dihindari dan keutuhan posisi UU PA sebagai lex specialis derogat generalis terwujud. Langkah ini juga untuk menghindari polemik hukum seperti terjadi dalam KKR Papua setelah adanya KKR Nasional. Tidak ada langkah lain Sementara itu harus ada kepastian bahwa tidak ada langkah extra judicial lain selain mekanisme KKR. Hal ini penting untuk dirumuskan menjadi bagian dalam pengaturan tentang KKR,
19
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
mengingat banyak aksi politik dari para elit politik untuk mendorong pemberian amnesty terhadap aktor yang berkonflikdi Aceh sebelum terbentuknya KKR dan Pengadilan HAM, terutama oleh elit politik dari PDIP (Kompas, 18 Mei 2006). Perlu disadari bahwa pemberian amnesty secara konstitusi Indonesia diberikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR (pasal 14 UUD 1945). Begitu pula untuk memberi kejelasan status terhadap proses-proses extra judicial selama ini yang berlangsung di Aceh, seperti pemberian Diyat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan skema dalam program Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Kepastian ini menjadi bagian dari jaminan hukum bahwa penggalian kebenaran dalam proses KKR akan dapat maksimal dihasilkan. Karenanya, KontraS dan AWG mendesak Pansus agar dapat menjamin kepastian KKR Aceh terbentuk walaupun KKR nasional belum ada. Termasuk pula mendesak Pansus untuk memberikan jaminan bahwa mekanisme extra judicial lain, selain KKR tidak berlaku secara hukum. Seperti ditegaskan oleh anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh, Ahmad Farhan Hamid (Fraksi Partai Amanat Nasional Aceh II), pembentukan KKR di Aceh oleh KKR Indonesia telah mengerucut selambat-lambatnya setahun setelah pengesahan RUU Pemerintahan Aceh. Karenanya, apabila batas itu dilewati, Aceh berhak membentuk KKR sendiri. Artinya, bila anggota Pansus telah mengatakan hal seperti tersebut di atas, maka komitmen tersebut juga menjadi komitmen dari semua anggota Pansus yang ada untuk berjuang menyuarakan hal ini akan terealisir.***
BERITA DAERAH
Teror Bom Terus Berlanjut : Kedamaian Masih Menjadi Asa Satu tahun tahun sudah peristiwa ledakan bom Tentena di Poso (28/05/2005), terjadi namun hingga kini belum ada kejelasan pengusutan kasus tersebut. Karenanya, KontraS, Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) kembali mempertanyakan proses hukum dari kasus peledakan bom di Tentena tersebut. Masyarakat tak akan pernah bisa melupakan begitu saja, karena ledakan high explosive itu menewaskan 22 orang dan melukai 75 orang. Dan nyatanya, peristiwa kekerasan dari pemboman ini bukan merupakan ledakan yang terakhir. Pasca peristiwa tersebut, pemboman, penemuan bom dan ancaman adanya bom terus terjadi di Sulawesi Tengah (data terlampir). Paska pemboman Pasar Tentena, dalam rangka mengusut pelaku dan motif peledakan ini, jajaran mabes Polri, Polda Sulawesi Tengah dan Polres Poso menggelar operasi penangkapan terhadap sejumlah warga masyarakat yang diduga terlibat. Pada 1 Juni 2005 sejumlah aparat kepolisian menangkap 4 warga desa Pandajaya tanpa prosedur hukum. Seperti yang kerap dan lazim dilakukan oleh aparat kepolisian kita. Maka, pada saat mereka ditangkap dan diinterograsi, mereka mengalami berbagai macam bentuk penyiksaan dan segala bentuk kekerasan serta intimidasi lainnya. Padahal jelas-jelas hal ini melanggar UU nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, atau merendahkan martabat manusia. Dan, sebulan paska pemboman pasar Tentena, aparat keamanan kembali kecolongan dengan terjadinya pemboman dan penemuan bom di Poso. Entah seperti sebuah rekayasa sandiwara, nyatanya pemboman, penemuan dan ancaman bom yang terbaru seringkali menutupi kasus-kasus pemboman yang sudah lama, dan bahkan mengubur kasus-kasus tersebut tanpa ada pengungkapan dan proses hukum. Disisi lain respon aparat keamanan yang seringkali tidak strategis malah menyebabkan timbulnya rasa tidak aman didalam masyarakat. Hal ini terbukti, setiap ada peristiwa
kekerasan, akan dijawab dengan adanya penambahan jumlah aparat keamanan di Poso. Operasi-operasi keamanan tanpa evaluasi Kasus pemboman pasar Maesa di Palu pada akhir tahun 2005, misalnya. Peristiwa tersebut dijawab dengan pembuatan Komando Operasi Keamanan (Koopskam) yang langsung dibawahi Menkopolhukam Widodo AS. Sementara itu, pembentukan Koopskam ini sendiri, tidak dibarengi dengan evaluasi terhadap kinerja aparat keamanan yang tergabung dalam operasi atau satuan tugas lainnya, sehingga kehadiran Koopskam tidak tampak membawa manfaat bagi kedamaian di Poso. Bahkan untuk menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi di Poso, pemerintah menjadikan Poso sebagai Polres Khusus. Dengan Polres Khusus ini, jumlah antara aparat keamanan dengan jumlah penduduk dalam komposisi yang ideal. Poso merupakan satu-satunya wilayah yang mendapatkan kekhususan dimana tiap desa memiliki minimal satu polisi desa. Nyatanya pola seperti ini tidak menjamin masyarakat merasa nyaman, karena hingga hari ini tidak ada evaluasi atas keberadaan polisi desa. Untuk itu, KontraS, LPS-HAM dan PBHI, menuntut dan mendesak adanya pengusutan semua kasus kekerasan secara transparan dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sehingga masyarakat mengetahui dengan jelas adanya penegakan hukum. Segera dilakukan evaluasi terhadap (kinerja) aparat keamanan yang bertugas di Sulawesi Tengah, yakni kinerja Koopskam, Satgas Poso, Detasemen 88 Anti Teror Mabes Polri, dan seluruh aparat yang terkait agar terciptanya perdamaian di Poso. Disisi lain harus segera dibentuk tim audit Independen terhadap peredaran dan penggunaan bahan peledak. Yang terakhir adalah keterlibatan penuh masyarakat, terutama para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Poso, agar dapat menghimbau kepada masyarakat Poso untuk tidak terpancing terhadap tindakan-tindakan provokatif/ kekerasan.***
Tabulasi pengeboman, penemuan bom dan ancamam bom di Sulawesi Tengah Periode 28 Mei 2005 - 28 Mei 2006
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
20
BERITA DAERAH
RUU Peradilan Militer Dead lock, TNI Tolak Pengadilan Sipil Pembahasan rancangan Undang-Undang Peradilan Militer (RUU PM) yang merupakan salah satu agenda reformasi militer yang mulai dilakukan Maret lalu, bisa jadi buntu dan macet. Pihak TNI yang diwakili oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Djoko Suryanto bersikukuh menghendaki tindak pidana umum oleh prajurit tetap diadili di peradilan militer.
Kritik pernyataan Menhan
Sedangkan Panitia Khusus DPR menegaskan sikapnya mengenai klausul bahwa seorang prajurit yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum. DPR tidak akan mundur soal sikap itu, hanya saja tawaran yang mungkin bisa diberikan untuk menjembatani kebuntuan pembahasan RUU dengan pemerintah adalah adanya alternatif masa transisi untuk pemberlakuan klausul tersebut.
Kekecewaan ini dinyatakan oleh YLBHI, KontraS, dan Imparsial, LSM yang tergabung dalam Kelompok Kerja Monitoring Rancangan Undang-undang Peradilan Militer (RUU PM) pada (26/6).
Mengutip pernyataan Anggota Pansus Effendy Choirie (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur IX) bahwa sikap DPR itu didasari konstitusi dan juga ketetapan MPR. TNI tidak bisa memposisikan diri lebih superior ketimbang elemen bangsa yang lain sehingga menolak klausul seperti yang termuat dalam RUU Peradilan Militer itu. Namun, sebagai alternatif untuk menengahi kebuntuan, bisa saja ada masa transisi maksimal tiga tahun atas pemberlakuan ketentuan itu. Masa transisi itu sekaligus bisa dipergunakan untuk menata perangkat hukum yang diperlukan, seperti hukum acara peradilan militer. “Tenggang waktu itu untuk mengakomodir keberatan TNI, tapi sikap dasar DPR tidak berubah,” ujar Effendy. Lebih lanjut ditekankan oleh Effendy, sikap DPR itu akan kembali ditegaskan kepada pemerintah, terutama setelah melihat kecenderungan resistensi dari pihak TNI. Kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan juga Menteri Pertahanan akan dipertanyakan mengenai kebijakan besar politik perundang-undangan menyangkut reformasi posisi TNI. Pembahasan RUU PM menunjukkan sikap TNI yang cenderung tidak berubah jika dibandingkan dengan pada rezim sebelumnya. Sementara itu Ketua Pansus Peradilan Militer Andreas Pareira (Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan) kemarin menyatakan, Pansus sepakat untuk menyampaikan sikap tersebut langsung kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Pertemuan dengan Presiden diharapkan bisa terlaksana pada bulan Juni ini. Andreas juga menyatakan khawatir kebuntuan persoalan diatas terjadi karena kurang lengkapnya informasi. Menurut Andreas ada kesan TNI masih memiliki kekhawatiran berlebihan terhadap akses-akses dari pelimpahan peradilan umum. Usulan DPR pun dianggap melemahkan TNI.
21
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
Sementara itu sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengaku kecewa dan meminta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono membuktikan pernyataannya yang menilai aparat penegak hukum dan pengadilan umum belum siap menangani atau mengadili kasus pidana umum dengan pelaku prajurit TNI.
Selain itu kelompok ini mengatakan, jika Menhan tidak dapat membuktikan pernyataannya itu dapat diartikan sebagai bentuk pelecehan terhadap sistem peradilan umum sekaligus juga terhadap kemampuan para aparat hukum di Indonesia. Padahal, dalam beberapa kasus, Kepolisian Negara RI dapat membuktikan keterlibatan oknum TNI, walau belakangan kemudian kasusnya diambil alih TNI sendiri. Usman Hamid, mencontohkan beberapa kasus seperti pembunuhan Theys Hiyo Eluay, peledakan bom tahun 2000, dan kasus Timika. “Oleh polisi semuanya berhasil diungkap dan belakangan diketahui melibatkan oknum anggota TNI. Akan tetapi, sayangnya setelah terungkap ada keterlibatan seperti itu, kasusnya kemudian diambil alih oleh TNI. Akan tetapi, walau bagaimanapun, Polri berani dan mampu mengungkap keterlibatan oknum TNI, “ujar Usman. Beberapa contoh tadi, menurut Usman, menunjukkan pernyataan Menhan sama sekali tak berdasar dan terkesan meremehkan kemampuan para penegak hukum serta institusi pengadilan umum. Usman juga menyatakan, ketidaksiapan justru berada di pihak Menhan dan Dephan, yang sampai sekarang sejumlah jabatan penting di dalamnya masih didominasi kaum miiter. Dari sana, lanjutnya, juga menunjukkan pemerintah sendiri masih belum siap, ragu, dan tidak punya keinginan serius menerapkan prinsip supremasi sipil. Sedangkan Koordinator Pokja Monitoring RUU PM Donny Ardyanto menegaskan, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 004 tentang TNI dan Ketetapan MPR Nomor VII/ MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri disebutkan secara jelas, TNI harus tunduk pada peradilan umum jika melanggar hukum pidana umum. Menurut Donny, jika dibilang aparat tidak siap, terutama secara psikologis, hal itu jangan dijadikan sebagai sesuatu hal yang mutlak. Seharusnya, siap atau tidak siap, aturan tetap harus diberlakukan.***
REMPAH-REMPAH
REMPAH-REMPAH
Sewindu Kasus Trisakti (12 Mei 2006)
Ribuan Kartu Pos Dukungan Kasus TSS Diserahkan Kepada Presiden 12 Mei 1998, menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam catatan kelam sejarah bangsa Indonesia. Hari yang dikenang dengan tragedi Trisakti ini menjadi luka yang tak jua sembuh diobati. Pasalnya hingga Sewindu kasus ini terus terlunta-lunta. Dan keluarga korban pun tetap mendapat hambatan dari Jaksa Agung dan DPR dengan alasan “hukum” Seperti diketahui, rekomendasi DPR periode 1999-2004 menyatakan kasus Trisakti Semanggi I dan II (TSS) bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Namun, seluruh Fraksi di DPR sepakat bahwa rekomendasi itu mencederai kewenangan DPR (abuse of power) dan patut dibatalkan (5/ 6/05). Sebab, sebagai lembaga legislatif, DPR tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sebuah kasus pelanggaran HAM. Terlebih kesimpulan rekomendasi itu hanya berdasar pada sebuah voting. Meski proses pembatalan berbelit dan sempat terkatung-katung di tingkat Pimpinan DPR, akhirnya upaya peninjauan ulang disepakati akan dilakukan Komisi III DPR (23/02/06). Dengan demikian agenda peninjauan ulang kasus TSS selaras dengan upaya penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM (22/04/02) dan menjadi solusi atas macetnya proses penyidikan di Kejaksaan Agung. Namun, DPR tidak saja harus segera membatalkan rekomendasi tersebut namun juga turut mendorong Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM. Sementara itu kita pun terus memperingatkan DPR agar tidak mengulangi kesalahannya jika kembali membentuk Pantia Khusus (Pansus) atau semacamnya. Upaya ini selain bertentangan dengan Pasal 43 Ayat 2 UndangUndang No.26/2000 tentang Pengadilan HAM juga dapat dinilai melampaui prosedur dan rentan praktek politisasi. Rekomendasi DPR kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc pada kasus TSS ini sebenarnya bisa dibisa lakukan bila merujuk pada pasal 43 ayat 2 tersebut. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa DPR merekomendasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden didasarkan pada dugaan terjadi pelanggaran berat HAM. Dugaan yang dimaksud dapat merujuk pada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Karena dalam penyelidikanlah ditentukannya dugaan telah terjadinya kejahatan tersebut.
Aksi ke DPR dan Istana Puncak peringatan Sewindu tragedi Trisakti (12/05) di peringati dengan aksi turun jalan ke DPR. Ditengah suasana hujan yang mengguyur, ratusan mahasiswa yang
terdiri dari berbagai organisasi : Aliansi Peduli 12 Mei 1998, AKKRA, BEM ITI, FAMSI Atmajaya, GMNI (UBK & UKI), Kontras, Kompak, LS-ADI, dan TPK 12 Mei serta sebagian besar mahasiswa Trisakti ini, mengajukan sejumlah tuntutan dalam spanduk yang dibawanya serta dalam orasi yang disampaikan. Aksi ini menuntut agar DPR segera mencabut rekomendasi Pansus RI yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat serta menagih komitmen, konsistensi pemerintah untuk segera membentuk pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Trisakti. Selanjutnya pada (18/05), dilakukan audiensi dengan melibatkan keluarga korban dan korban pelanggaran HAM lainnya menuju istana negara. Pada saat itu rombongan aksi diterima oleh Juru Bicara Presiden Andi Malarangeng. Rombongan menyerahkan 1.666 postcard dukungan penuntasan untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Poscard yang ditujukan bagi presiden, berisikan agar Presiden segera merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM Ad hoc untuk kasus Trisakti. Sempat pula rombongan memberikan respon atas keluarnya SKKP kasus Soeharto. Andi Malarangeng selaku Juru bicara (Jubir) Presiden menyatakan bahwa Presiden akan terus memperbaiki semua masalah yang menyangkut kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, termasuk kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Menyikapi masalah Soeharto, Andi menyatakan sikap Presiden mengendapkan untuk mempelajari masalah di masa lalunya dan bagaimana sesungguhnya kasus ini dari segi hukum. Andi sempat pula mengomentari bila ingin mengetahui masalah teknis hukum tanyakan langsung ke kejaksaan atau kepolisian. Sedang, puncak peringatan “Sewindu Reformasi” dilakukan di halaman kantor KontraS dengan mengadakan panggung bersama yang mengetengahkan diskusi publik “Pengadilan Soeharto” dengan pembicara Hendardi (PBHI) dan Fazroel Rahman. Acara dimeriahkan pula oleh musik Parlemen Cirebon, Sanggar Anak Negeri, pengamen Cirebon dan teater “Requeim Semanggi” yang dibawakan oleh Casanova STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung. Yang terpenting dalam acara ini dilakukan pembacaan Resolusi Korban Pelanggaran HAM oleh seluruh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM dan Adili Soeharto.
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
22
REMPAH-REMPAH
Kasus Tanjung Priok: Ketertutupan Akses Pengadilan Akses terhadap peradilan adalah sebuah jalan menuju keadilan. Melalui hak yang dimiliki pencari keadilan, informasi dan akses bisa diperoleh. Keterbukaan di pengadilan dan hak untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh lembaga peradilan masih menjadi “menara gading” yang hanya orang tertentu yang bisa mendapatkanya. Padahal, dalam pasal 19 Deklarasi Umum Hak asasi Manusia menyatakan “ Setiap orang berhak atas kebebesan berpendapat dan berekpresi; hak ini mencakup kebebasan untuk REMPAH-REMPAH menganut pendapat tanpa ada tekanan dan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan melalui media apapun tanpa memperdulikan batas negara”. Hal ini menjadi hak yang paling mendasar, “judicial transparency” juga sebagai kontrol publik serta mendorong akuntabilitas penyelenggara negara. Selama ini gelapnya sebuah perkara sangat terkait dengan sulitnya mengakses proses yang sedang berlangsung. Sejumlah peraturan seperti KUHAP pasal 226 telah memberikan sejumlah hak terhadap para pihak yang berperkara (didalamnya termaktub hak korban), tetapi hak tersebut tidak serta merta bisa diperoleh. Ketertutupan akses tersebut terlihat ketika kuasa hukum korban pelanggaran HAM Tanjung Priok (KontraS), bermaksud meminta petikan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keinginan untuk mendapatkan petikan putusan ini dilakukan setelah Pengadilan membebaskan para terdakwa Tanjung Priuk. Namun, sejumlah putusan yang diinginkan pihak korban ini tidak diberikan secara mudah dan cepat. Setelah melayangkan tiga surat permohonan, KontraS baru bisa mendapatkan putusan tersebut. Itupun dengan rentan waktu yang lama dan proses yang cukup alot. Padahal dalam konteks korban akan sangat terkait dengan adanya upaya hukum selanjutnya setelah mendapat informasi perkaranya. Surat pertama ditujukan ke Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Permohonan surat pertama untuk mendapatkan salinan putusan yang dilayangkan pada 11 April 2006, tidak dikabulkan. Surat ini dianggap salah lantaran ditujukan atas nama pribadi, Bapak Ketua KPN Cicut Sutiarso. Selanjutnya, KontraS kembali melayangkan surat kedua yang ditujukan kepada Ketua PN (06/06). Namun, surat kedua inipun hanya hanya mendapat respon “dipertimbangkan”. Akhirnya panitera pidana Yanwitra menyarankan untuk membuat surat lagi disertai alasan yang jelas dan surat kuasa yang baru. Untuk itu, KontraS kembali mengirimkan surat ketiga yang tetap ditujukan kepada KPN (14/06). Baru pada surat ketiga inilah (setelah rentang waktu yang cukup lama), permohonan kuasa hukum korban (KontraS) baru dikabulkan.
23
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
Akses publik ke persidangan Sementara itu, bila kita melihat, pada prinsipnya persidangan adalah terbuka untuk umum. Dimana publik dan korban dapat mengakses informasi terhadap jalannya persidangan dengan terang. Hak tersebut juga melekat di pihak media massa yang mewakili publik. Tetapi selama proses persidangan pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok ini jauh dari harapan tersebut. Dalam prosesnya yang terjadi malah pengerahan pasukan. Dalam terdakwa Sriyanto (yang dalam posisinya saat itu sebagai Komandan Kopasus) terlihat jelas bagaimana masyarakat umum tidak dapat memasuki persidangan. Pintu ruangan pengadilan dipenuhi oleh para aparat Kopasus lengkap dengan atribut dan persenjataanya. Di dalam ruangan, mereka (aparat TNI) berbaris dan bersaf seakan melakukan upacara. Saat persidangan Sriyanto pertama kali di gelar, wartawan juga dihalang-halangi untuk meliput. Sejumlah media massa dan cetak hanya bisa mendengarkan diluar persidangan. Saat terdakwa keluar, para aparat tersebut juga melakukan blokade terhadap terdakwa. Sambil bernyanyi mars Kopasus, mereka bersiap dan mengawal secara ketat terdakwa agar tidak boleh diwawancarai oleh wartawan. Dalam prinsip court managemen, prisnsip keterbukaan dan adanya akses dan informasi terhadap keadilan menjadi prinsip yang penting dan harus dipenuhi. Tanggung jawab lembaga penegak keadilan tersebut tidak serta merta dilaksanakan. Disamping tidak adanya sistem pengaturan terhadapnya persoalan “alerginya” para aparat terhadap orang maupun pihak yang menginginkan informasi tersebut. Demikian pula akses terhadap dokumen pengadilan. Tidak adanya mekanisme yang baku mengenai bagaimana publik mendapatkan informasi. Seharusnya, pihak administrasi pengadilan mempermudah semua pihak, untuk bisa mendapatkan semua akses terhadap sebuah perkara. Dalam aturan KUHAP, hanya pihak yang berperkaralah yang bisa mendapatkan dokumen sidang. Kalaupun pihak yang lain ingin mendapatkan juga harus melewati birokrasi yang berbelit-belit. Bila semua pengadilan punya itikad baik, mereka sebenarnya bisa mengambil contoh dari Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam situs milik MK dapat kita akses langsung segala proses dan hasil keputusan persidangan yang telah berlangsung. Dengan begitu publik mendapatkan haknya atas informasi dan MK terhindar dari praktek nakal komersialisasi perkara.Semoga... ***
REMPAH-REMPAH
Ketidakjelasan Pembentukan KKR Sidang pengujian UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terhadap UUD kembali digelar, Selasa (23/5). Agenda sidang yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, adalah mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR. Sidang ini dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Seperti diketahui sebelumnya, enam organisasi HAM dan dua orang secara perorangan mengajukan permohonan uji materiil terhadap UU Nomor 27 tahun 2004 tentang KKR ke Mahkamah Konstitusi. Organisasi itu diantaranya, KontraS, Imparsial, SNB, LBH Yaphi, LBH Jakarta dan Elsam. Sedangkan pemohon individu adalah korban berbagai aksi kekerasan HAM tahun 1997 dan tahun 1965. Dalam petitum yang disampaikan, kuasa pemohon meminta majelis menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang. Pemohon juga meminta Majelis menyatakan materi muatan Pasal 27, Pasal 44, Pasal 1 ayat (9) KKR tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dua pasal yakni Pasal 1, Pasal 27 dan Pasal 44 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 1 menyangkut definisi amnesti, yaitu “pengampunan yang akan diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sedangkan Pasal 27 menyatakan, “Kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.” Yang lainnya, Pasal 44 yang memuat “pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan Komisi, perkaranya tidak dapat lagi diajukan kepada pengadilan HAM ad hoc.” Nilai-Nilai Islah Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin dalam tanggapan pemerintah antara lain menyatakan bahwa pembentukan KKR merupakan sebuah ikhtiar kolektif yang mengedepankan nilai-nilai islah dari bangsa Indonesia dan kehendak saling memaafkan antara pelaku dan korban dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Pada masa lalu, sebelum berlakunya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, peristiwa-peristiwa tentang pelanggaran hak asasi manusia berat, seringkali dinisbikan bahkan dianggap tidak ada, bahkan tanpa dipermasalahkan dan diselidiki siapa pelaku, siapa korban, dan berapa jumlah korban. Karenanya, kedepan diharapkan pelanggaran HAM berat tidak terulang dan terjadi lagi. Didukung sejumlah alasan lain, Pemerintah memohon agar Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara
bijaksana menyatakan, permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Sementara M.Akil Mochtar yang menyampaikan tanggapan DPR. M. Akil Mochtar menyatakan sejarah pembentukan KKR, yang juga telah mendapatkan konsultasi dari berbagai kalangan. Ia juga menambahkan, bahwa pembentukan UU tentang KKR didasarkan pada pertimbangan pelanggaran HAM berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, yang sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas. Terus mundur Sementara itu, makin mundurnya pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), terjadi karena kelambatan Presiden untuk memilih 21 nama dari 42 kandidat yang telah diajukan panitia seleksi. Menarik mengutip apa yang dikatakan oleh anggota DPR yang mantan Ketua Panitia Khusus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Sidarto Danusubroto (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Barat VII), bahwa kelambanan pemerintah membentuk KKR kemungkinan muncul karena kekhawatiran untuk mengungkapkan kebenaran yang merupakan praktik baru yang diakomodasi dalam UU Nomor 27/ 2004 mengenai (KKR). Pembentukan KKR sendiri semestinya dilakukan paling lambat April 2005. Namun, upaya itu mandek setelah Presiden tidak kunjung menetapkan 21 anggotanya. Menurut Sidarto, keengganan untuk mengungkap kebenaran karena selama ini hal itulah yang paling sulit dilakukan. Sejak awal memang terlihat keengganan itu, termasuk keinginan untuk mendorong upaya langsung pada rekonsiliasi tanpa lebih dulu mengungkapkan kebenaran. KKR di Aceh Sementara itu, kelambanan pembentukan KKR di tingkat pusat akan berpengaruh langsung terhadap pembentukan KKR di Aceh sebagaimana amanat RUU Pemerintahan Aceh yang kini mendekati tahap akhir pembahasan. Dalam rumusan RUU Pemerintahan Aceh inisiatif pemerintah disebutkan, KKR Indonesia membentuk KKR di Aceh dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Anggota Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh, Ahmad Farhan Hamid (Fraksi Partai Amanat Nasional, Aceh II), mengatakan, pembentukan KKR di Aceh oleh KKR Indonesia telah mengerucut selambat-lambatnya setahun setelah pengesahan RUU Pemerintahan Aceh. Apabila batas itu dilewati, Aceh berhak membentuk KKR sendiri.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
24
REMPAH-REMPAH
Dari hari : Peringatan Hari Internasional Dukungan terhadap Korban Penyiksaan 26 Juni 2006
Pemerintah Tidak Serius Memenuhi Kewajibannya Untuk Menghentikan Penyiksaan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan Untuk itu, kebutuhan akan aturan perundang-udangan melalui UU No 5 tahun 1998 sejak tahun 28 September 1998. yang implementatif sejalan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan amat mendesak. Sebagai negara pihak Konvensi Menentang Penyiksaan atau the Dok. Kontras Saat ini draft Rancangan KUHP masih International Convention against Torture, menjadi bahan diskusi oleh tim and other Cruel, Inhuman, or Degrading perumusnya. Rancangan tersebut Treatment or Punishment (Convention memuat ketentuan tentang tindak against Torture-CAT), Indonesia pidana penyiksaan. Terdapat dua hal terikat kewajiban untuk melakukan yang wajib dipenuhi oleh rancangan upaya legislatif, judikatif dan pasal pidana tentang penyiksaan eksekutif yang efektif untuk tersebut, yakni dimuatnya unsurmencegah terjadinya tindak unsur definisi penyiksaan penyiksaan (pasal 2 CAT). Indonesia sebagaimana dalam pasal 1 Konvensi juga wajib menjamin pelakunya menentang penyiksaan, ketentuan dihukum melalui hukuman yang pidana yang berat sesuai dengan berat sesuai dengan kejamnya kedudukan tindak penyiksaan Aksi hari anti penyiksaan di Bunderan HI tindak penyiksaan yang di luar rasa sebagai kejahatan luar biasa, dan kemanusian (pasal 4 CAT). Selain itu, perumusan pasal lain untuk memuat ketentuan mengenai juga terdapat kewajiban untuk memberikan pemulihan tindakan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan (kompensasi, rehabilitasi dan restitusi) kepada para korban martabat lainnya sebagaimana dalam pasal 16 Konvensi penyiksaan (pasal 14 CAT). Menentang Penyiksaan. Kewajiban ini semakin mengikat Indonesia terlebih karena Indonesia-pun telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak- Hal lain yang juga mesti diperhatikan bahwa untuk Hak Sipil dan Politik (International Convenan on Civil and Political memproses kasus penyiksaan dibutuhkan prosedur Rights- ICCPR) dengan UU No. 12 tahun 2005. Dalam kovenan khusus mengingat pelakunya adalah pejabat publik atau tersebut juga terdapat larangan tindak penyiksaan (pasal 7 aparat keamanan. Banyak kasus sulit untuk ditindak ICCPR) dan kewajiban untuk memberikan pemulihan bagi lanjuti karena permasalahan kesetiaan terhadap korps (corps d’esprit). Oleh karena itu Jaringan Menentang para korban (pasal 2 ICCPR). Penyiksan juga mendorong agar dibuat aturan khusus Namun hampir delapan tahun telah berlalu dan belum ada untuk menangani kasus penyiksaan termasuk pula implementasi konkrit yang membuat masyarakat merasa membentuk unit penyidik khusus untuk kejahatan aman dan tidak terancam dari tindak penyiksaan oleh aparat penyiksaan. Pemerintah juga harus mempersiapkan negara. Setiap hari masyarakat disuguhkkan fakta-fakta aturan-aturan hukum sebagai langkah harmonisasi penyiksaan oleh aparat negara melalui tayangan-tayangan terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan yang kriminal di televisi. Namun banyaknya fakta dan banyaknya berhubungan dengan aturan ekstradisi, persoalan korban tidak sebanding dengan banyaknya penegakan yurisdiksi universal untuk penyiksaan, perlindungan hukum terhadap pelaku penyiksaan. Sehingga dapat terhadap seseorang yang meminta perlindungan negara dikatakan bahwa pemerintah tidak serius melaksanakan RI dimana jika kembali ke negaranya tersebut orang itu kewajibannya untuk menghentikan penyiksaan dan akan terancam untuk disiksa dan lain-lain sebagaimana diatur dalam Kovensi Menentang Penyiksaan. memulihkan keadaan korban penyiksaan. Ketentuan hukum yang tersedia di Indonesia saat ini juga belum sejalan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun aturan lainnya, termasuk UU Hak Asasi Manusia dan UU Pengadilan HAM masih belum cukup meng-cover segala kewajibankewajiban negara menurut Konvensi Menentang Penyiksaan.
25
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
Indonesia tidak peduli Senin, 26 Juni 2006, adalah International Day in Support of Victims of Torture atau dikenal juga hari dukungan terhadap para korban penyiksaan. Hari anti penyiksaan ini diperingati di seluruh dunia sebagai bentuk penghormatan atas para korban dan keluarga korban
REMPAH-REMPAH
penyiksaan, karena banyak negara di dunia, termasuk Indonesia tidak mempedulikan nasib para korban dan bahkan semakin memperberat penderitaan mereka dengan tidak melakukan penghukuman terhadap pelaku dan memberikan pemulihan bagi para korban. Peringatan 26 Juni-hari dukungan terhadap korban penyiksaan ini seharusnya dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa negara bertanggung jawab melindungi warga negara dan berkemauan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kewajiban dalam Convention against Torture dan ICCPR hendaknya tidak hanya di atas kertas belaka, namun harus mewujud dalam tindakan konkrit, tegas dan pasti. Berdasarkan hal-hal tersebut, Jaringan Menentang Penyiksaan, mendesak Pemerintah menegakkan hukum tanpa diskriminasi terhadap pelaku tindak penyiksaan sesuai dengan tingginya kekejaman dari tindak penyiksaan itu. Mendesak pemerintah untuk memberikan hak-hak korban penyiksaan atas kompensasi, restitusi,
rehabilitasi, dan satisfaction. Mendesak Pemerintah untuk segera mengimplementasikan kewajibannya menurut Konvensi menentang Penyiksaan melalui aturan hukum yang jelas dan tegas, meliputi prosedur penanganan kasus penyiksaan, penghukuman terhadap pelaku, definisi penyiksaan, dan kewajiban negara memberikan pemulihan terhadap korban, termasuk membentuk unit penyidik khusus untuk memproseh hukum tindak penyiksaan. Selanjutnya, juga mendesak kepada Kepala Kepolisian RI (Kapolri) untuk memerintahkan secara tegas bahwa aparat kepolisian tidak diperbolehkan menggunakan cara-cara penyiksaan dalam segala tindakannya dan terhadap pelaku penyiksaan akan ditindak secara hukum dengan ancaman hukuman yang berat. Dan, pada akhirnya, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk secara bersama mengutuk segala tindak penyiksaan yang terjadi, mencegah peristiwa tersebut, melaporkan dan melakukan tindakan hukum terhadap segala tindak penyiksaan yang terjadi yang dilakukan aparat keamanan atau pejabat publik.***
Salah Tangkap Atas Dalih Terorisme Tiga Lembaga Swadaya masyarakat, KontraS, Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS HAM) Sulteng, Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pengacara Indonesia (DPD SPI) Sulteng mendesak Kapolda agar segera melakukan krarifikasi atas penangkapan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri di Palu. Pada Senin (8/5), Densus 88 akan melakukan penangkapan atas Taufik Bulaga warga kelurahan Lawanga, Kabupaten Poso. dan Hasanudin, Muchtar, Ali dan Ibrahim warga Kelurahan Lere, Kota Palu. (ini yang kapan?) Termasuk pula sebelumnya, kasus penangkapan orang yang disangka teroris di Kabupaten Tolitoli, Sabtu (6/5). Penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror Polri saat ini memang sedang gencar dilakukan, terutama ditujukan kepada orang-orang yang dianggap terlibat tindak Terorisme. Namun, sejumlah penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror Polri ini, telah mengundang reaksi dan protes dari masyarakat luas. Kondisi ini berkaitan dengan masalah landasan hukum pemberantasan tindak terorisme seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme, dimana harus diakui cukup rentan untuk salah pengertian dalam prakteknya. Seperti Pasal 26 ayat (1) tentang bukti permulaan yang cukup penyidik dapat menggunakan laporan Intelejen, kemudian Pasal 28 (?). Secara umum Perpu ini memang kontroversial.
Protes dari masyarakat luas ini, terutama berkaitan dengan cara-cara penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror Polri, yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya, dimana kerapkali diiringi dengan tindak kekerasan. Contoh, tindak kekerasan ini data dilihat dari kasus salah tangkap oleh Densus 88 Anti Teror Polri di Desa Pandajaya, Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso, pada 1 Juni 2005 lalu. Penangkapan warga Desa Pandajaya ini sendiri mengakibatkan kurang lebih 10 orang warga menjadi korban salah tangkap dan tindak penyiksaan. Operasi penangkapan yang dipimpin oleh Kompol Ricky Naldo CH Sik (Wakapolres Poso saat itu). Kasus ini sendiri telah dilakukan Pra-Peradilan yang dimenangkan warga korban salah tangkap di Pengadilan Negeri Poso Juli 2005 lalu. Karena itu pemerintah, khususnya Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Tengah harus segera mengklarifikasi sejumlah penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror Polri tersebut. Apalagi, Kapolda Sulteng, Brigjend Pol Oegroseno sempat menyatakan diberbagai media cetak bahwa penangkapan oleh Densus 88 ini tidak berkaitan dengan dugaan Terorisme, melainkan kriminal murni. Informasi ini diketahui oleh warga agar tidak menimbulkan salah persepsi atau menimbulkan rasa was-was atau ketakutan pada warga Poso, yang hingga masih kerap berada dalam kecemasan dan ketakutan.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
26
REMPAH-REMPAH
Kekerasan Terhadap Para Pembela HAM Kekerasan, mulai dari intimidasi, teror, pengejaran, penculikan, penganiayaan bahkan pembunuhan, masih terus mewarnai para pembela HAM/Human Rights Defender (HRD). Kadang mereka (para HRD-red), ini kerap harus menerima semua pelakuan yang melanggar hak asasi manusia, dari mereka yang mengatasnamakan kesatuan, persatuan bahkan atas nama kebenaran itu sendiri. KontraS sendiri menerima sejumlah pengaduan (data) tentang tindak kekerasan terhadap para pejuang HRD (anggota LSM). Diantaranya, dari Aliansi Masyarakat Totabuan, Sulawesi Utara, dimana, informasi yang ada, aparat Polres Bolaang telah melakukan penembakan, pemukulan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap aktivis Aliansi Masyarakat Totabuan (23/5), dalam aksi demokrasi mempertanyakan hasil pilkada di daerah Bolaang Mongondow (20/6).
dengan ancaman-ancaman yang dilakukan secara verbal, perampasan sejumlah peralatan panitia dan perampasan beberapa dokumen acara. Bersamaan dengan kejadian tersebut Polresta Bandung Tengah membawa empat orang panitia untuk diinterogasi di kantor Polresta dan dipaksa menandatangani BAP. Ancaman lewat paket Sementara markas Aliansi Solidaritas Peduli Masyarakat Korban Runtu (Solidamor)-26 Mei, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah diteror paket berisi ayam busuk tanpa kepala dan tulisan bernada ancaman, Sabtu (1/7). Paket yang dikemas dalam bungkusan serupa kotak sepatu orang dewasa dan bersampul kertas kado merah itu diantar oleh seorang tak dikenal dengan mobil pikap warna putih, sekitar pukul 11.00 wib. Alamatnya tertuju yakni Uga-Koordinator Solidamor 26.
Aksi damai yang dilakukan selama satu hari itu mengalami chaos setelah massa dibubarkan secara paksa oleh aparat Polres Bolaang Mongodow dengan menggunakan pentungan, gas air mata, batu, senjata api, hingga mengakibatkan korban luka-luka. Aparat juga melakukan penangkapan kepada para massa aksi. Sedangkan pasca peristiwa aparat Polres menyatakan bahwa Koordinator dan Sekjen AMT masuk dalam Daftar Pencarian Orang Hilang.
Ternyata paket tersebut berisi ayam tanpa kepala yang sudah mulai membusuk, dan ada secarik kertas yang bertuliskan “Awas Jangan Macam2/x. Kalau Macam2/x. Door” Selain tertera juga nama pengirim Otoh (P. Bun). Mendapat paket itu, Uga kemudian melaporkannya ke Polres Palangkaraya. Tal lama sejumlah anggota Polisi langsung meluncur ke TKP dan membawa barang bukti tersebut ke Mapolres. Hingga kini pihak kepolisian masih menyelidiki kasus ini.
Sementara itu aksi penculikan dan intimidasi yang dilakukan sekelompok orang yang tidak dikenal juga menimpa Kamzul Abrar (Koordinator Forum Peduli Nurani Rakyat Sulit Air) terkait aktivitas korban melaporkan dugaan korupsi Wali Nagari sulit Air, Solok, Sumatera Barat (Sumbar), kepada pihak Kejaksaan Negeri Solok.
Teror/ancaman ini diduga Uga berkaitan dengan aksi demo yang dilakukannya pada (10/6). Sebelumnya, Uga juga pernah ditelepon (8/6), orang yang tak dikenal. “Orang tersebut menanyakan aksi-aksi apa saja akan dilakukan pada demo 10 Juni lalu,” jelas Uga. Meski menerima ancaman ini, Uga mengaku tak gentar dan akan terus memperjuang hak-hak masyarakat yang akan dibelanya. Kepada pihak berwajib Uga meminta agar mengusut tuntas kasus ini.
Korban ditangkap oleh beberapa orang yang tidak dikenal dan disekap selama lima hari (2-7 Juni), di sebuah tempat yang tidak diketahui persis lokasinya, karena pada saat penangkapan kedua mata korban ditutup dengan saputangan oleh pelaku. Selama dalam penyekapan, korban tidak mengalami kekerasan fisik tetapi korban mendapatkan sejumlah intimidasi yang intinya mengusir korban dari wilayah Sulit Air, Solok, Sumbar dan mengancam keselamatan keluarga korban, jika korban tidak segera meninggalkan wilayah Sulit Air. Berdasarkan kesaksian salah seorang saksi, sebelum diculik oleh pelaku, Wali Nagari Sulit Air pernah menyatakan bahwa ia tidak senang dengan aktivitas korban yang berani dan kritis serta akan membunuhnya. Pembubaran paksa Di Bandung, Jawa Barat, tepatnya di Wisma Brantas, pada Sabtu (20/5), terjadi pembubaran paksa atas kegiatan yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan, Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat), dan INCReS (Institute for Culture and Religion Studies). Pembubaran ini dilakukan oleh ratusan orang yang mengatasnamakan Organisasi Kepemudaan yang terdiri dari, Persatuan Anti Gangguan Regional (PAGAR), dan Organisasi Kepemudaan Patriot Panca Marga. Pembubaran tersebut disertai
27
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
Solidamor-26 sendiri beranggotakan lembaga NGO‘S dan Individu. Mereka berasal dari masyarakat korban Tragedi Runtu, Betang Borneo, , LAMAN, Pokker SHK Kalteng, WALHI Kalteng, JARI, Pakat Borneo, PRD-21, Lembaga Dayak Panarung, YBSD, Rinting, Suwandie dan Yulia R. Lembaga ini merupakan Tim Edhock yang dibentuk pada tanggal 2 Maret 2006, atas dasar keprihatinan dan kepedulian atas peristiwa Kasus Runtu 26 Mei 2005 yang belum mendapat perhatian serius dan penyelesaian dari pihak-pihak yang terkait di Kalimantan Tengah. Peristiwa ini menyebabkan satu korban meninggal dunia, dua orang cacat seumur hidup, 40 orang luka ringan dan ratusan orang menderita depresi. Lagi kekerasan wartawan Sementara itu kekerasan terhadap wartawan kembali terjadi. Sepuluh wartwan media elektronik dan cetak dari Jakarta dipukuli oleh 30 orang pria (13/6), di Tenggarong, Kutai, Kartanegara, Kalimantan Timur. Para wartawan selamat, tetapi terluka dan trauma. Para korban adalah rombongan wartawan yang diundang Gubernur Kaltim Suwarna Abdul Fatah dalam acara
REMPAH-REMPAH pemaparan pencapaian pembangunan dan kesiapan PON XVII 2008 di Samarinda, Kaltim. Para wartawan yang menjadi korban, Bambang dan Endah (TVRI), Alex Maja (Sinar Harapan), Suwarso (Suara Pembaruan), dan seorang wartawan Media Indonesia, Chairul (Koran Tempo). Saat kejadian, para wartawan ini sedang berada di atas jembatan Golden Gate, diatas sungai Mahakam. Lalu mereka ditanya seorang laki-laki apakah mereka rombongan wartawan dari Jakarta. Setelah diiyakan, laki-laki itu berteriak kepada sekelompok orang yang langsung menyerang mereka. “Mereka keluar dari tiga mobil dan memukuli kami. Rombongan lalu menyelamatkan diri ke Samarinda dan bergegas kembali ke Jakarta, “ ujar Zulkanain (Berita Kota), yang ikut dalam rombongan. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Kaltim Maturidi mengecam pemukulan itu karena para wartawan tidak ada hubungan apa pun dengan pemukul. Diduga, juga tak ada
kaitan dengan pemberitaan. Dia mengatakan, jika pemukul merasa dirugikan melalui pemberitaan, solusinya tidak dengan kekerasan, tetapi melalui hak jawab dan proses hukum. KontraS sendiri memandang bahwa peristiwa diatas merupakan tindakan melawan hukum dan merupakan peristiwa kekerasan terhadap pembela HAM (HRD). Pembela HAM, yang terdiri dari masayarakat, mahasiswa, dokter, pers dan lainnya adalah pihakpihak yang aktif menyuarakan demokrasi dan HAM, yang kerjakerjanya dijamin oleh Dekralasi Pembela HAM berdasarkan prinsip internasional. Patut diduga aksi dari beberapa tindakantindakan tersebut merupakan upaya pembungkaman terhadap beberapa kelompok masyarakat aktif yang melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah daerah yang tidak berpihak pada masyarakat. Dan sudah semestinya semua tindak kekerasan diatas harus segera diselidiki dengan benar. Hukum dan keadilan harus ditegakkan. Dan sudah semestinya, pemerintah/aparat wajib memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan pada mereka. Persoalannya, kerap pula tindak kekerasan ini dilakukan oleh aparat pemerintah/hukum. Lalu dimana letak hukum dan kebenaran itu sendiri?
Kejelasan Tentang Pembubaran Ormas Saat bertemu dengan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, sehubungan dengan adanya desakan pihakpihak tertentu agar pemerintah membubarkan ormas-ormas atau kelompok (Islam) tertentu, Presiden SBY mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah berpikir membubarkan ormas. Eksistensi ormas atau kelompok-kelompok masyarakat dijamin UUD 1945. Kontras menyambut positif pernyataan Presiden SBY-melalui Ketua PP Muhammadiyah, bahwa Pemerintah tak akan membubarkan Ormas atau suatu organisasi lain. Pernyataan ini menjadi penting karena perlu dirumuskan lewat sebuah kebijakan yang lebih konkrit dan resmi. Kebijakan ini diperlukan agar keresahan masyarakat akibat wacana penertiban Ormas tak berlanjut, dan mencegah penafsiran yang menyimpang oleh pejabat-pejabat negara di bawah Presiden. Misalnya, rencana pemerintah menertibkan Ormas telah digunakan Panglima Kodam Iskandar Muda Supiadin untuk mengancam kebebasan berorganisasi di Aceh, seperti Sira. Pangdam menyatakan; “SIRA adalah organisasi ilegal dan kegiatannya harus dihentikan karena bertentangan dengan UU Ormas, Pemda harus berani bertindak tegas.” Terhadap SIRA juga dinyatakan Bambang Dharmono (wakil RI di Aceh Monitoring Mission) yang menyatakan bahwa Pemerintah akan memverifikasi Ormas di Aceh. Menurutnya, Ormas ilegal atau yang tidak punya izin resmi sesuai Undang-undang. Bahkan belakangan sempat ada permintaan agar pengurus organisasi SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh) menghilangkan kata referendum dalam namanya. Contoh pernyataan diatas berpotensi mengganggu jalannya perdamaian di Aceh. Kebijakan Presiden SBY juga mencakup
kejelasan kriteria dari wacana dan keinginan untuk membatasi kebebasan berorganisasi yang merupakan bagian dari HAM yang harus dilindungi. Sebelumnya, kantor konsulat/perwakilan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Wilayah Blang Pidie dirusak dan anggota SIRA dianiaya oleh kelompok sipil terorganisir, (17/ 02). Tindak kekerasan yang dilakukan oleh lebih dari seratus orang tak dikenal ini bertujuan meminta SIRA dibubarkan. Sedang Desember 2005, seorang anggota DPRD Aceh Barat Daya juga mengancam anggota SIRA dengan menggunakan pistol dan meminta SIRA tidak mendirikan kantor di Blang Pidie. Mengintervensi kebebasan sipil Beranjak dari perkembangan yang ada terhadap persoalan seputar penertiban Ormas, KontraS meminta Pemerintah mencabut UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang telah mengintervensi kebebasan sipil dalam hal berorganisasi. Intervensi ini terlihat pada Pasal 2 (asas tunggal Pancasila), Pasal 8 (wadah tunggal) Pasal 12 (pemerintah sebagai pembina), serta Pasal 13 sampai dengan Pasal 17 tentang pembekuan/pembubaran. Pencabutan ini penting untuk mencegah kelanjutan dari upaya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan wacana penertiban Ormas untuk kepentingan politik. Sekaligus juga untuk memberi jaminan bagi keselamatan demokrasi, HAM dan kebebasan sipil di masa depan. Apabila penertiban Ormas berlanjut akan mengulangi metode represif rejim Soeharto. Yakni memaksakan asas tunggal kepada setiap organisasi massa dan partai politik. Lihat saja, pemaksaan ini telah berakibat jatuhnya korban kemanusiaan pada tragedi Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
28
REMPAH-REMPAH
RUU Rahasia Negara: Jangan Jadi Benteng Impunity Saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara sudah berada di Departemen Hukum dan HAM untuk dilakukan harmonisasi. RUU diajukan oleh Departemen Pertahanan dan mendapatkan banyak tentangan dari masyarakat sipil karena RUU ini semakin mengukuhkan ketertutupan negara atas informasi yang seharusnya dapat diakses publik. Dalam perumusan RUU ini pemerintah hendaknya bisa benar-benar mengadopsi prinsip-prinsip penting, diantaranya, kewajiban bagi negara untuk membuat sebuah sistem pengelolaan rahasia negara yang dapat menjamin keamanan nasional. Hal penting lainnya sebuah informasi dapat ditetapkan sebagai rahasia negara jika (dan hanya jika) informasi tersebut secara obyektif menyangkut keamanan nasional. Dengan kata lain, rahasia negara adalah informasi yang apabila bocor dapat membahayakan keamanan nasional. Poin penting lainnya adalah, keamanan nasional tersebut tentunya juga menyangkut keamanan warga negara (human security), selain keamanan wilayah dan pemerintahan. Sementara itu, RUU Rahasia Negara yang disusun oleh Departemen Pertahanan juga masih belum mengadopsi dan mengatur secara jelas prinsip-prinsip tersebut. Hal ini dapat terlihat pada pengertian rahasia negara yang masih terlalu umum dan cenderung keluar dari batasan mengenai keamanan nasional. Misalnya, dengan masih dimasukkannya unsur “penyelenggaraan negara” dan “ketertiban umum” dalam pengertian tentang Rahasia Negara. Termasuk pula masalah cakupan rahasia negara yang juga terlalu umum, dimana ada beberapa hal yang tidak memenuhi prinsip, sebuah informasi bisa ditetapkan sebagai Rahasia Negara atau bukan, sesuai dengan prinsip diatas. Mekanisme penetapan rahasia negara masih tidak jelas, termasuk didalamnya metode dalam menentukan apakah sebuah informasi merupakan Rahasia Negara atau bukan, sesuai dengan prinsip diatas. Selanjutnya, mekanisme pengelolaan dan pengamanan rahasia negara juga masih tidak jelas, sehingga tidak ada jaminan bahwa Rahasia Negara terjamin keamanannya. Sedangkan menyangkut informasi, benda dan/atau aktivitas yang tidak berkaitan dengan kejahatan hak asasi manusia dan tindak pidana korupsi, tidak dikecualikan dalam RUU ini. Padahal, hal ini perlu diatur agar kekhawatiran masyarakat bahwa UU ini akan dijadikan benteng dan rantai impunitas dapat dijawab. Pengertian Rahasia Negara Beranjak dari poin-poin diatas, sejumlah komponen masyarakat sipil diantaranya KontraS, YLBHI, Pacivis, Lesperssi, LSPP, Imparsial, Visi Anak Bangsa, ISAI, PSHK,
29
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
Propatria, Yayasan SET, dan ICW mengusulkan, pertama, agar rumusan Pasal tentang pengertian Rahasia Negara, menjadi sebagai berikut: “Informasi, benda dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini, yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak secara objektif dapat mengancam keamanan nasional dan keamanan masyarakat.” Kedua, cakupan jenis rahasia negara, dibatasi hanya meliputi ruang lingkup bidang, Pertahanan dan keamanan Negara, Hubungan Luar Negeri, Intelijen, dan Persandian Negara. Dan akhirnya, bidang proses penengakan hukum, ketahanan ekonomi nasional dan aset vital negara mesti dihapus. Ketiga, mekanisme penetapan rahasia negara semestinya dimuat sebuah bagian atau pasal yang mengatur mekanisme penetapan rahasia negara yang dilakukan secara ketat dan terbatas, dengan alat pengujian dan kriteria-kriteria penetapan yang diketahui publik oleh lembaga yang ditunjuk dalam UU ini. Kempat, mekanisme pengelolaan dan pengamanan rahasia negara perlu dirumuskan sebuah pasal untuk menunjuk sebuah lembaga yang secara khusus bertanggungjawab untuk mengelola dan mengamankan rahasia negara. Dalam hal ini. Penyimpanan, pentransmisiannya dapat dilakukan oleh Lembaga Sandi Negara Terakhir, informasi, benda dan/atau aktivitas yang berkaitan dengan kejahatan hak asasi manusia dan tindak pidana korupsi, mesti dikecualikan. Rahasia negara ditetapkan secara ketat dan terbatas seperti dalam point 3. dan tidak berlaku jika Informasi, benda dan atau/ aktivitas tersebut menyangkut adanya dugaan keras kejahatan hak asasi manusia dan kasus korupsi. Pasal ini merupakan pasal pengecualian (exeption clause), seperti klausa yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (the International Covenant Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi oleh UU No. 12/ 2005 perihal non derogable rights. Jauh lebih baik bila pemerintah memasukan aturan tentang Rahasia Negara ini dalam pasal pengecualian di RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang saat ini tengah di bahas di DPR. Dengan demikian rahasia negara menjadi komplemetari dari hak publik atas informasi yang dikecualikan dan tentu akan meringankan beban anggaran negara. ***
KABAR DARI SEBERANG
Bila Timor Leste Terus Rusuh Impunitas Terus Berlanjut Sejumlah organisasi Hak Asasi Manusia, menyayangkan perkembangan situasi keamanan di Timor Leste akhirakhir ini. Kondisi ini semakin menutup peluang keadilan dan upaya mengungkap kebenaran di timor Leste yang sedang berjalan. Situasi keamanan yang terjadi saat ini mengalihkan perhatian internasional dari masalah keadilan menjadi masalah keamanan. Akibatnya impunitas terus berlanjut.
Damai dan Adil
Kondisi ini semakin nyata setelah tersiar kabar hilangnya berkas dan bukti material kejahatan HAM berat, termasuk perkara Jenderal Wiranto, dan Adam Damiri. Implikasi negatif terjadi pada kelanjutan laporan CAVR Timor Leste yang amat strategis bagi perdamaian dan semakin jauhnya penegakan keadilan di tingkat PBB untuk Timor Leste. Padahal agenda ini akan dibahsas pada bulan Juni 2006 di PBB. Hal tersebut akan bisa digunakan sebagai alasan untuk tidak memprioritaskan keadilan dan memberi peluang bagi pelaku kejahatan untuk lepas dari jeratan hukum.
Mendesak PBB untuk segera memberi bantuan kemanusiaan, memfasilitasi perundingan damai dan mengkongkritkan keadilan bagi Timor Leste sesuai tanggung jawabnya serta terus mendorong penyelesaian problem impunitas. Serta, mendesak negara-negara regional memberi bantuan kemanusiaan.
Sedangkan elit politik Timor Leste tidak segera melanjutkan rekomendasi CAVR misalnya tahapantahapan rekonsiliasi yang bisa memberu fundamen kerangka kerja yang jelas bagi transisi oplitik di Timor Leste dijalankan. Langkah yang diambil membuat rekonsiliasi dengan Indonesia, melalui CTF yang berarti juga bertentangan dengan hak-hak korban. Sementara PBB sendiri lambat dalam upaya penegakan keadilan bagi Timor Leste dan tidak konsisten memberikan bantuan untuk kehidupan sosial ekonomi. Kelambanan ini terbukti dari lamanya hasil COE dan CAVR dari Sekjen PBB ke Dewan Keamanan.
Karenanya, komunitas NGO Indonesia mendesak elit politik Timor Leste menyelesaikan masalah keamanan dengan jalan damai dan adil. Penyelesaian ini sangat penting untuk mencegah meluasnya konflik di tingkat masyarakat. Termasuk menjelaskan secara terbuka kepada PBB dan Publik tentang penjarahan barang bukti kejahatan.
Timor leste mulai dilanda kerusuhan sejak hampir 600 anggota tentara dipecat karena dianggap melakukan pembangkangan dan disersi. Para anggota tentara itu melakukan protes atas dugaan terjadinya diskriminasi di lembaga mereka dan kondisi kerja yang buruk. Para mantan tentara yang berjumlah sepertiga dari tentara Timor Leste mengancam akan melakukan perang gerilya jika pemerintah dan komandan militer menolak mengangkat mereka kembali. Persengketaan kemudian memuncak menjadi huru hara, April lalu mengakibatkan lima orang tewas, menghancurkan lebih dari 100 rumah dan toko, serta memaksa warga mengungsi ke desa-desa di sekitar Dili.***
30
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006
30
KABAR DARI SEBERANG
Kasus Charles Ghankay Taylor: Tidak Ada Surga Bagi Penjahat Kemanusiaan Pada tanggal 20 Juni 2006, Charles Taylor mantan presiden Liberia- tiba di Den Haag, Belanda setelah ditransfer dari Freetown, kota tempat Special Court for Sierra Leone/SCSL – pengadilan hybrid yang dibuat oleh PBB. Di Den Haag Charles Taylor dimasukan ke dalam fasilitas pusat tahanan ICC/ Mahkamah Pidana Internasional, sambil menunggu persidangan SCSL yang harus dijalaninya. Dia dipindahkan ke Den Haag karena pertimbangan kondisi keamanan yang tidak kondusif di Freetown, Sierra Leone.
salah satu kisah sukses dari sekian kasus lainnya untuk memutus lingkaran setan impunitas.
Di tempat lain, kisah sukses serupa juga bisa jadi pelajaran buat Indonesia yang pernah mengalami dan merasakan peradaban kekerasan dalam periode yang cukup panjang. Di Afrika, pemerintah Senegal setuju –setelah ditekan oleh Uni Afrikauntuk mengadili mantan diktaktor Chad, Hissene Habre yang dituduh bertanggung jawab atas kejahatan terhadap Charles Taylor didakwa terlibat dalam kemanusiaan dan penyiksaan yang kejahatan perang (pembunuhan, sistematis yang terjadi di sana sepanjang perampokan, meneror dan perlakuan kejam periode kekuasaannya 1982-1990. Charles Taylor terhadap warga sipil), kejahatan terhadap Sementara itu di Argentina para mantan (www.zedcom.bf) kemanusiaan (pembunuhan, mutilasi, pejabat tinggi militer dan kepolisian yang perkosaan, penculikan, perbudakan, dan perbudakan bertanggung jawab atas penghilangan paksa, seksual), dan pelanggaran serius hukum humaniter pembunuhan, dan penyiksaan terhadap puluhan ribu internasional (penggunaan tentara anak). Jenis kejahatan ini orang yang terjadi pada periode ‘Perang Kotor’ (1976-1983) merupakan pelanggaran HAM yang paling serius dan berat. mulai diadili setelah amnesti yang diberikan kepada Charles Taylor termasuk tokoh utama yang menginisiasi mereka dicabut. konflik bersenjata di Sierra Leone dan Afrika Barat yang bermulai pada tahun 1996. Pada saat itu Taylor merupakan Mantan diktaktor Chile, Pinochet Ugarte –beserta presiden Liberia, negeri tetangga Sierra Leone, dan merupakan keluarganya- juga sedang mengantri untuk duduk di kursi pendukung utama gerombolan pemberontak bersenjata pesakitan di meja hijau setelah seluruh imunitasnya Revolutionary United Front/RUF. Saat itu Taylor sangat dilucuti. Pada Maret 2006, untuk pertama kalinya menikmati penjualan berlian illegal di sana. Mahkamah Pidana Internasional/ICC menangkap dan menahan mantan panglima milisi Kongo, Thomas Lubanga Meskipun Presiden Liberia sekarang, Ellen Johnson-Sirleaf yang terlibat dalam perang di sana yang mengakibatkan memberikan persetujuan terhadap upaya pengadilan korban jiwa hampir 3 juta orang. Lubanga dituduh telah internasional atas Taylor, ia mengkhawatirkan situasi melakukan kejahatan perang dan menggunakan serdadu keamanan di Leberia dan Sierra Leone bila persidangan anak. Sementara di kawasan Asia Tenggara, pengadilan digelar di sana. Hal ini dikarenakan masih banyaknya HAM hibrid yang dibentuk PBB sedang bersiap-siap pendukung Taylor yang masih berkuasa di struktur formal mengadili mereka yang bertanggung jawab dan terlibat negara. Bahkan ketika Taylor turun dari jabatan presiden dalam kekejaman di bawah rezim Khmer Merah pimpinan dan melarikan diri ke Nigeria, ia tetap bisa mengontrol dan Pol Pot pada periode 1975-1979, dengan jumlah korban mengatur pasukannya dari sana. Presiden Ellen kemudian jutaan jiwa. meminta bantuan komunitas internasional untuk mengadili Taylor di luar negeri. Permintaan itu kemudian ditanggapi Meskipun agak terlambat dan para korban harus menanti secara positif oleh pemerintah Inggris yang menyanggupi dalam waktu yang cukup melelahkan, namun untuk menyediakan fasilitas penahanan jika Taylor divonis perkembangan ini bisa menjadi satu tahapan baru dalam bersalah. peradaban manusia untuk tidak mentolerir praktek impunitas. Pengalaman terbaik di negeri lain ini tentu bisa Perkembangan tranfer Taylor ke Den Haag dan rencana menjadi pelajaran berharga dan sumber inspirasi segar pengadilan terhadap dirinya merupakan langkah maju bagi bagi gerakan korban di Indonesia. Beberapa waktu komunitas internasional untuk memerangi impunitas. belakangan ini problem tembok impunitas di Indonesia Meskipun masih banyak pula penjahat HAM kakap yang kembali relevan untuk dibicarakan dan diperdebatkan masih bisa hidup bebas, pengalaman Taylor ini bisa menjadi dengan naiknya isu pengadilan atas Soeharto. Pengalaman satu langkah maju untuk menerapkan prinsip ‘tidak ada di seberang tentu tidak bisa dicetak ulang begitu saja di surga bagi para penjahat HAM’. Kasus Taylor juga merupakan sini, namun tetap berharga untuk dipikirkan!.***
31
Berita KontraS No. 03/V-VI/2006