KontraS KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh
Salam Redaksi Luapan kekecewaan masyarakat Indonesia yang dihadirkan dalam berbagai bentuk ekspresi politik, menjadi corak dominan yang bisa kita cermati sehari-hari pascapenyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009. Tidak sekadar berbondong-bondong menjadi golput, mengumpulkan seribu tandatangan (dengan atau tanpa cap jempol darah), atau beragam bentuk mosi ke-tidak-percaya-an lainnya; namun memang sedari awal Pemilu 2009 tidak didesain secara sistematis. Kondisi ini bisa kita cermati dari amburadulnya daftar pemilh tetap (DPT), banyaknya warga negara yang tidak bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih, dan setumpuk kecurangan lainnya. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat menilai lembaga negara ini (baca: KPU) tidak kredibel dalam menjalankan mandat tugasnya.
masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi
Karut marut ini juga tidak mendapat respon yang berarti dari pemerintah. Dan elemen masyarakat sipil menuntut agar pemerintah segera melakukan evaluasi besar-besaran atas kinerja KPU dalam persiapan sukses politik nasional 5 tahunan tersebut. Hal yang tak kalah penting lainnya adalah menempatkan kembali tema HAM sebagai spirit kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kontras menilai dari rangkaian debat caprescawapres, safari kampanye, hingga iklan politik berbiaya fantastis itu, masih belum menunjukkan hadirnya kehendak baik untuk merubah haluan negara ini ke arah yang lebih baik, berprikemanusiaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberadaban.
dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Abu, Victor, Sinung , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Puri, Putri, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Oslan P, Bustami dan Neneng. Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara),
Sudah sepatutnya kita belajar banyak dari pengalaman yang dilakukan oleh Las Madres de la Plaza de Mayo, Argentina yang sempat bertandang ke Indonesia. Kedatangan mereka dari seberang benua Amerika Latin nun jauh di sana adalah sebuah kehormatan tersendiri yang bisa Kontras ungkapkan di sini. Lydia Taty Almeida dan Aurora Morea yang berkunjung dengan misi membangun jalinan komunikasi dengan gerakan politik korban di Indonesia, menghadirkan percikan nuansa, gelora, asa yang bergemuruh dibatin masing-masing korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu yang sempat berjumpa dengan mereka. Terus membangun harapan dan merealisasikannya untuk meruntuhkan tembok impunitas adalah tantangan yang paling nyata dan harus kita hadapi bersama-sama, demi meraih keadilan dan kebenaran bagi mereka yang telah banyak berkorban jiwa dan raga bagi perubahan Indonesia yang lebih baik. *** Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Papang hidayat Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Puri Kencana Putri Design layout: BHOR_14 Production Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org
Harry Maturbong (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita
2
KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 021-3926983 atau
[email protected]
KontraS
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
BERITA UTAMA
Politik dan HAM Indonesia: Merajut Harapan Indonesia yang lebih Baik Pemilihan Presiden (Pilpres) akan digelar pada 8 Juli mendatang. Ada tiga nama pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (Capres dan Cawapres), mereka adalah; Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto dengan nomor urut 1, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dengan nomor urut 2, dan Jusuf Kalla-Wiranto dengan nomor urut 3. Ketiga pasangan capres dan cawapres inilah yang akan dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia untuk memimpin Indonesia lima tahun mendatang, periode 2009-2014. Tidak ada alternatif lain setelah Mahkamah Konstitusi menolak judicial review yang memungkinkan capres dan cawapres di luar nominasi oleh partai politik (capres/cawapres independen).
Kedua, pada kondisi ini, Pemerintah terkesan melakukan pembiaran terhadap kekacauan proses pemilu yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi serta prinsip pemilu yang jujur dan adil (jurdil). Ini sudah terlihat sejak usulan draf UU Pemilu, di mana pemerintah mengusulkan data DPT diambil dari data Departemen Dalam Negeri. Namun, tidak ada pemrosesan data lebih lanjut, seperti memverifikasi data maupun pemutakhiran data oleh KPU. Dengan fakta-fakta tersebut maka jelas penyelenggaraan pemilu legislatif April lalu mempunyai masalah serius. Akibatnya, proses demokrasi yang sedang dibangun di negeri ini mengalami kemunduran. Sudah menjadi kewajiban negara untuk merehabilitasi hak konstitusional (hak asasi) warga negara yang dihilangkan.
Menilik tiga pasangan capres dan cawapres yang ada tersebut, kita sadar bahwa para calon pemimpin bangsa ini jelas masih mempunyai pekerjaan rumah besar dalam persoalan hukum dan keadilan menyangkut hak-hak asasi manusia. Di antara “Pemerintah harus merehabilitasi hak pilih warga negara yang mereka masih terdapat figur yang punya catatan kelam soal hilang dalam pemilu legislatif yang lalu. Setelah direhabilitasi, hak asasi manusia di masa lampau. Majunya Prabowo dan hak itu kemudian harus diakomodasi dalam pemilu susulan.” Wiranto sebagai kontestan Pilpres 2009 adalah cermin Demikian diutarakan oleh Patra M. Zen, Ketua YLBHI. rendahnya komitmen koalisi aktor Jika tak merehabilitasi hak pilih politik terhadap penegakan HAM itu warga negara itu, menurut sendiri. Mengingat, kedua orang itu Patra, pemerintah harus adalah individu yang diduga kuat menjelaskan alasan rasional bertangungjawab atas terjadinya atas sikap itu kepada pelanggaran berat HAM di masa lalu; masyarakat. Indonesia adalah Penculikan Aktivis 97/98, kasus Trisakti, negara hukum. Hak asasi setiap Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei ’98, warga negara dijamin dengan dan kasus Timor Timur ‘99. Semua undang-undang dan kasus ini merupakan horor terhadap pemerintah yang bertanggung kemanusiaan -sebagaimana yang jawab untuk memastikan hak tertulis dalam berbagai laporan resmi tersebut dipenuhi. Lebih lanjut negara atau internasional- dan sesuai perspektif HAM, negara pengakuan akan suatu punya kewajiban dalam pertanggungjawaban individual Para Korban Pelanggaran HAM dan Masyarakat memberikan pemulihan hak/ merupakan harga mati. sipil melakukan aksi di depan kantor KPU reparasi bagi mereka yang telah menjadi korban yang hak Sebuah gambaran yang begitu ironis. politiknya tidak terpenuhi. Mereka yang masih tersandung persoalan hukum malah berlomba mencari simpati untuk menjadi pemimpin bangsa Selain itu negara harus menjamin tidak berulangnya persoalan pro-rakyat. Hukum pun terabaikan tak bermakna. Padahal, serupa pada pemilu capres mendatang. pengabaian terhadap penegakan HAM adalah ancaman pada nilai dan harapan pada kemanusiaan. Tidak hanya itu, sendi- HAM jadi muara penegakan hukum sendi kehidupan juga dihancurkan ketika keadilan diabaikan. Sementara itu, sejak awal, kita semua berharap agar hukum dan keadilan menjadi bagian utama di mata para calon Harus diakui Pemilu April 2009 bermasalah pemimpin bangsa ini. Sedangkan penegakan HAM menjadi Persoalan hukum dan HAM sebenarnya telah terjadi sejak awal muara dari penegakan hukum di Indonesia. Kita berharap para pemilu digelar. Menurut banyak sumber, pemilu kali ini calon presiden/wakil presiden mendatang akan mampu terburuk dibanding dua pemilu sebelumnya. Pertama, cacat memberi penegasan formal sikap mereka atas persoalan HAM teknis manajemen, yang menyebabkan hilangnya jutaan hak di Indonesia. “Tidak hanya itu, diharapkan pula calon presiden konstitusional rakyat Indonesia. Ini terkait dengan buruknya mendatang mampu melahirkan kebijakan integral tentang penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), serta kacaunya logistik penegakan HAM dan memutus rantai impunitas, “ujar Indria surat suara, temasuk kasus tertukarnya surat suara, tapi tetap Fernida, Wakil Koordinator Kontras. disahkan KPU. Untuk itu, bersama sejumlah teman aktivis demokrasi dan HAM, KontraS mengunjungi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
3
BERITA UTAMA di awal Juni lalu. Saat itu diungkapkan, agar KPU memasukkan tema HAM dalam debat calon presiden yang akan digelar. KPU berjanji akan memasukkan HAM sebagai salah satu bagian (sub tema), dalam tema tata kelola pemerintahan yang baik dan penegakan hukum. Meskipun, kita lebih berharap tema penegakan HAM menjadi tema khusus karena terkait dengan jaminan atas keadilan publik. “Pernyataan tegas dan sikap politik capres/cawapres tentang HAM sangat penting, khususnya atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang ada selama ini. Dengan penegasan itu, masyarakat akan dapat mengambil sikap lanjut atas berbagi persoalan yang selama ini mengantung, “ ujar Papang Hidayat, Kepala Biro Litbang Kontras. Pentingnya mengungkap kebenaran atas kasus-kasus masa lalu dan memutus rantai impunitas, harus tetap menjadi perhatian bersama. Jika tidak, Indonesia akan tetap dihantui oleh berbagai persoalan yang terkait dengan ketidakadilan. Dan hendaknya, ditegaskan bahwa kekuasaan tidak dapat digunakan sebagai tameng bagi peniadaan hukum (impunity).
Dialog capres putaran I
ini menjadi sebuah sinyal baik untuk mendesak tanggungjawab mutlak Lapindo. Hanya saja, SBY terlihat inkonsisten dengan pernyataannya yang disampaikannya. Melibatkan unsur pemerintah untuk ikut bertanggungjawab atas kasus Lapindo, juga dinilai menyalahi ketentuan. Hal ini sekaligus menegaskan kepada publik, bahwa ada upaya untuk melindungi korporasi dengan melepaskan bentuk pertanggungjawabannya. Semua orang kemudian mahfum bahwa salah satu tokoh yang bertanggung jawab terhadap Lapindo adalah yang menopang kekuatan SBY dan Kalla. Sedang Megawati, terkesan tidak ingin mengambil risiko dengan mengutik tragedi Lapindo. Megawati cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan normatif dalam sesi debat tersebut. Maka terjawab sudah kalau memang sejak awal, para capres dan cawapres tidak memiliki agenda yang serius dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Meskipun hak asasi manusia diakui, bahkan dijamin dalam konstitusi, nyatanya proses hukum dari pelanggaran HAM masih sering diabaikan dan terus menerus mengalami kemandegan, karena para korban dan keluarga korban berhadapan langsung dengan berbagai institusi kuat.
Debat pertama kandidat presiden Tidak mengherankan jika hingga saat ini, yang digelar oleh KPU, Kamis (18/ misalnya, aktor kunci pembunuh Munir 6), mengambil tema “Good masih belum tersentuh hukum dan Governance dan Supremasi Hukum”. bertanggungjawab atas kematian Munir. Debat itu memberi ruang khusus Akibatnya, rasa keadilan masyarakat pada ketiga kandidat Presiden yang dijamin oleh konstitusi terabaikan. untuk beradu konsep mengenai penegakan HAM di Indonesia. Menutup pertanggungjawaban Dalam debat itu, terlihat bagaimana persoalan HAM hanya Sejak awal pula terlihat, meski para menjadi bagian kecil (para capres calon presiden dan calon wakil presiden hanya diberi waktu dua menit), mengatakan akan berkomitmen penuh dari debat tersebut. Dari hasil debat terhadap upaya penegakan HAM yang itu, ketiga Capres Megawati disampaikan oleh masing-masing tim Seruan Para Pejuang HAM dalam merespon Soekarno Putri, Susilo Bambang sukses mereka, namun kita kecewa atas Pemilu 2009 Yudhoyono, dan M.Jusuf Kalla pernyataan mereka yang masih tidak menunjukkan itikad dan berupaya untuk menutup upaya serius untuk menyelesaikan masalah HAM masa lalu. pertanggungjawaban atas pelanggaran berat HAM masa lalu. Hal ini terlihat dari pernyataan ketiganya yang lebih memilih Pernyataan tersebut merupakan upaya sabotase terhadap pendekatan rekonsiliasi atas nama persatuan. proses peradilan yang sedang dilakukan. Secara tidak langsung, Khusus pernyataan SBY, presiden kita ini malah menyebutkan dalam lima tahun pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran berat HAM. Meski bisa diperdebatkan secara hukum, fakta yang ada menunjukan kasus-kasus yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Tengah (kasus Lapindo), kasus Alastlogo, atau kekerasan yang meningkat di tanah Papua bisa jadi bukti yang mencolok. Terkait penanganan kasus kejahatan Lapindo, pernyataan demi pernyataan yang dilontarkan SBY dan Megawati cenderung menyalahkan korban. Ini menunjukkan keduanya tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta belum menempatkan posisi institusi negara sebagai pihak yang mampu menjamin perlindungan terhadap warga negaranya. Hal lainnya, SBY dan JK bersepakat bahwa penyebab terjadinya semburan lumpur panas adalah PT. Lapindo. Tentu
4
mereka menyatakan setuju akan upaya penegakan HAM dan penghukuman bagi pelaku pelanggaran HAM, kecuali bagi diri mereka sendiri. Pernyataan mereka ini merupakan inflasi HAM, yaitu sebagai kondisi yang meniadakan bentuk pertanggungjawaban itu sendiri. Menolak dan menyangkal pertanggungjawaban masa lalu adalah pertanda bahwa komitmen mereka terhadap HAM sekadar basa-basi yang kini melembaga. Padahal, tidak benar proses hukum atas kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sudah final bagi cawapres Wiranto dan cawapres Prabowo Subianto. Hingga kini, terlepas dari hasil proses mekanisme Pengadilan HAM ad hoc yang belum juga menghasilkan terpidana untuk semua kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia, sebenarnya proses peradilan kasus-kasus HAM masih berlangsung. Sejauh ini, Komnas HAM
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
BERITA UTAMA sebagai institusi negara secara formal, sudah menyimpulkan adanya pelanggaran berat HAM untuk kasus Timor Timur 1999, Trisakti Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, Talangsari 1989 dan Penghilangan Paksa para Aktivis 1997/1998.
Ke depan, bangsa ini amat membutuhkan figur pemimpin yang berani mengungkap sejarah kelam masa lalunya, dengan mengadili semua pelaku yang terlibat dan memulihkan hak para korban. Sebagai negara hukum dan bercita-cita menegakkan demokrasi, peradilan untuk menuntaskan kasuskasus tersebut menjadi sebuah keharusan dan tidak tergantikan. Impunitas harus diakhiri dalam suatu sistem politik demokrasi. Sebab, praktik impunitas tidak hanya menunjukkan bagaimana secara moral negara gagal mewujudkan akuntabilitasnya, namun juga secara politik kondisi ini akan membahayakan arah transisi demokrasi ke depan. Di titik ini, pemerintahan SBY-JK beserta DPR, ikut berkontribusi besar terhadap langgengnya kejahatan itu sendiri, karena hingga hampir di akhir periodenya, mekanisme pertanggungjawaban negara tidak berjalan maksimal.
Macetnya proses penyidikan (kasus TSS, Mei 1998, Talangsari 1989 dan Penghilangan Paksa para Aktivis 1997/1998), serta kegagalan proses pengadilan (kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984), bukan menghentikan seluruh proses peradilan. Bila terjadi perubahan karakter signifikan terhadap berbagai institusi terkait (seperti Jaksa Agung, Presiden, atau DPR), maka secara legal, kasus-kasus tersebut bisa berjalan kembali, karena untuk jenis kasus-kasus tersebut tidak mengenal kadaluarsa dan bersifat retroaktif. Cawapres Wiranto misalnya, bisa saja ditetapkan menjadi terdakwa baru di Persidangan HAM ad hoc yang baru (seperti yang direkomendasikan oleh Komisi Ahli Sementara itu, situasi ini telahyang dibentuk oleh Sekretaris uga menempatkan demokrasi Jenderal PBB). Demikian halnya berada di persimpangan makna. berlaku pada Prabowo Subianto, Politik pemilu 2009 tidak lebih karena belum digelarnya suatu hanya sebagai sarana untuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasusmelindungi kejahatan HAM yang kasus terkait dengannya. Kondisi ini terjadi, dan juga memperkukuh sekali lagi bukan menempatkan bangunan impunitas yang telah para pelaku sebagai pihak yang terpelihara. Tentu saja, kita bebas dari tuntutan hukum. Di sisi semua berharap agar publik lain, SBY juga dapat dimintakan secara seksama memperhatikan pertanggungjawaban hukum rekam jejak dan komitmen karena telah membiarkan seluruh penegakan HAM dari para proses peradilan HAM tidak pasangan kandidat Capres dan berjalan secara efektif. Cawapres Pemilu 2009. Keluarga korban dan masyarakat sipil melakukan aksi Dan hingga kini, mereka yang depan gedung DPR RI dalam merespon Pemilu 2009 Dengan menjadikan HAM namanya telah disinggung di atas, sebagai dasar pertimbangan baik secara eksplisit maupun rasional untuk seluruh pemilih implisit, termasuk juga dalam berbagai laporan resmi yang yang akan menggunakan hak pilih-nya pada pemilu 2009, kita dibuat baik oleh mekanisme domestik, bilateral dan berharap demokrasi masih bisa ditegakkan di Indonesia. Sikap internasional; masih juga menyangkal pertanggungjawaban menolak mereka untuk menjadi pejabat publik adalah pilihan individualnya. Jika mereka terus menyangkal bijak yang harus dilakukan, di tengah-tengah terjadinya pertanggungjawabannya atas masalah HAM, maka mereka ‘impunity gap´. Publik harus sadar bahwa melupakan kejahatan bukanlah pihak yang memiliki kejujuran terhadap agenda masa lalu akan membiarkan kejahatan serupa terulang, dan program lima tahun ke depan yang disampaikannya pada saat mengabaikan rekam jejak para pejahat HAM membuat mereka masa kampanye pilpres 2009. tidak akan pernah merasakan efek jera.***
Tidak satupun dalam kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu Negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam kovenan ini, atau untuk membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam kovenan ini.” (Pasal 5 (ayat 1) Kovenan Hak Sipil dan Politik)
“Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hak-hak asasi manusia yang mendasar diakui atau yang ada dusuatu Negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut atau mengakui sebagai hak yang lebih rendah sifatnya” (Pasal 5 (ayat 2) Kovenan Hak Sipil dan Politik) Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
5
BERITA UTAMA
Solidaritas Las Madres de la Plaza de Mayo untuk Komunitas Korban di Indonesia Di tengah hiruk-pikuk kampanye Pemilihan Presiden dan janji-janji yang gencar ditebar oleh mereka, kita merasa sangat terhormat atas kunjungan dan dukungan solidaritas dari Las Madres de la Plaza de Mayo (Ibu-Ibu dari Plaza de Mayo) Argentina. Mereka dianggap sebagai salah satu ‘ikon’ pejuang HAM dunia internasional yang banyak dijadikan inspirasi dalam gerakan HAM di dunia. Perjuangan Las Madres juga dijadikan sebagai salah satu inspirasi bagi perjuangan komunitas korban pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya untuk korban dan keluarga korban yang tergabung dalam JSKK, yang melakukan aksi damai setiap Kamis sore di depan Istana Negara (Aksi Kamisan). Aksi Kamisan ini mengikuti metode serupa yang dilakukan oleh Las Madres yang juga dilakukan pada hari Kamis, dengan mengelilingi Plaza de Mayo, seberang istana presiden, Casa Rosada di pusat kota Buenos Aires.
Kamisan yang hingga saat ini telah berlangsung selama 106 kali, tidak hanya untuk kepentingan hak-hak mereka sendiri, tetapi juga untuk memperjuangkan cita-cita kemanusiaan yang universal, yaitu kebenaran dan keadilan. Semangat yang dijadikan daya dorong, seperti cinta seorang ibu kepada anaknya yang di-hilang-kan, merupakan sumber kekuatan yang harus terus dipupuk untuk menghadapi berbagai macam kesulitan yang muncul. “Kalau bukan ibu yang mengingat dan memperjuangkan anak kita yang hilang, siapa yang akan mengingat mereka? Karena itu, terus berjuang, meski dalam kesedihan dan jangan menurunkan semangat, “ ujar Lydia Taty Almeida (80), perwakilan Las Madres Linea Fundadora, ketika memberikan semangat pada pertemuan komunitas korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di KontraS.
Namun, sungguh ironis ketika banyak negara-negara di dunia Aksi Kamisan Las Madres ini semakin berani mengambil dianggap legendaris, karena langkah radikal terhadap dilakukan selama hampir 30 kejahatan terhadap kemanusiaan, tahun sejak tahun 1977, para pemimpin negara di tanpa absen satu hari Kamis Indonesia masih juga amnesia pun. Menurut mereka, hanya terhadap masa lalu dan gagal ada dua hal yang bisa menegakkan keadilan. Beberapa menghentikan aksi Kamisan contoh yang bisa dijadikan tersebut; entah mereka perbandingan dalam upaya dibunuh semua atau penegakan HAM seperti, upaya pemerintah mengungkapkan pemerinatah Kamboja untuk Menghadiri acara Diskusi di Univerkeberadaan anak-anak menggelar pengadilan bagi sitas Indonesia, Depok mereka, dengan cara mereka, anggota rezim Khmer mengadili dan menghukum Merah yang bertanggung jawab pelakunya. atas ladang pembantaian (killing field) terhadap 1 juta orang warga Kamboja, pada tahun 1970-an. Atau, vonis 25 tahun Ancaman serius penjara yang diberikan kepada mantan presiden Peru Alberto Fujimori, atas keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM Las Madres adalah himpunan para ibu yang bertransformasi di negeri itu. Kondisi itu bertolak belakang dengan upaya dari para ’ibu rumah tangga biasa’ menjadi pejuang HAM. penegakan HAM di Indonesia, di mana para penjahat Mereka menjadi kompetitor nomor satu dan menjadi kemanusiaan masih bisa menikmati previlese khusus di ancaman serius junta militer berkuasa saat itu. Perjuangan semua aspek kehidupan (baca: aspek ekonomi, sosial dan mereka juga bukan tanpa biaya; ada pendiri organisasi politik). Tanpa malu, saat ini mereka maju, berlaga dalam mereka yang ’dihilangkan’, tidak jarang mereka berhadapan pemilu, bersiap-siap untuk memimpin negeri ini. dengan represi aparat keamanan. Tidak hanya itu, Las Madres juga ikut berjuang keras melawan sistem ketidakadilan sosial Namun sekali lagi, perjuangan para korban di Indonesia, dengan contoh teladan Las Madres tersebut, tidak akan surut di sana yang masih bercorak patriarkal. sampai kebenaran dan keadilan tegak di bumi Indonesia. Kita Adanya solidaritas dari Las Madres terhadap gerakan korban percaya bahwa sekokoh apa pun tembok impunitas yang di Indonesia ini, menunjukkan bahwa tujuan perjuangan dibangun para pelaku dan pelindung mereka, suatu saat bisa para korban pelanggaran HAM di Indonesia lewat aksi roboh oleh benih-benih inisiatif sederhana korban.***
6
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
SUARA KORBAN
Serpihan Ingatan Mei 1998 Menanti sebelas tahun untuk mendengar kebenaran yang dikatakan oleh negara. itulah yang tengah ditunggu oleh Ruyati Darwin, pasca kematian Eten Karyana, anak pertamanya, pada peristiwa Tragedi Mei 1998 silam. Duka yang tidak berkesudahan semakin ia rasakan setiap memasuki penghujung bulan Mei. Eten tewas pada usia 32 tahun, dan Ruyati hanya berhasil menemukan dompet milik anak sulungnya itu ketika Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) menemukan benda itu di balik reruntuhan Mal Yogya, Klender Jakarta Timur. Ruyati semakin yakin, Eten telah meninggal dalam peristiwa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan besar di Jakarta dan beberapa kota itu. Kelelahan akan sangat terlihat dalam raut wajah Ruyati, ketika ia diminta untuk menceritakan kembali upaya hukum yang telah ia tempuh bersama-sama dengan keluarga korban lainnya, baik keluarga korban tragedi Mei ‘98, Trisakti, Semanggi I dan II serta keluarga korban pelanggaran HAM lainnya. Upaya tempuh yang terus mereka lakukan, mulai dari menggunakan jalur prosedural yang melibatkan lembaga negara (Komnas HAM) dan organisasi pendamping korban (Kontras dan Ikohi), hingga saling menguatkan moriil dan spirit di antara keluarga korban sendiri, agar tetap tabah dan semangat dalam memperjuangkan dan mempertahankan kasus yang telah menimpa anak, adik, saudara mereka.
Bu Darwin bersama dengan keluarga korban lainnya melakukan tabur bunga di bekas Yogya Klender tempat anaknya meninggal
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
Hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM berujung pada sebuah temuan, bahwa peristiwa yang terjadi (baca: Tragedi Mei 1998) memenuhi unsur pelanggaran berat HAM. Namun, kasus itu mandeg di tengah jalan, ketika Komnas HAM dan Kejaksaan Agung memiliki perbedaan persepsi dalam menafsir undang-undang. Kontroversi mencuat, dan kuat diduga kasus ini tidak akan pernah tertuntaskan karena sarat dengan kepentingan politik. TNI pun giat mencari dalih dengan saling lempar tanggung jawab dalam peristiwa itu. Dan kian ironis, ketika Ruyati menyaksikan kasus yang telah ia perjuangkan selama ini dijadikan komodifikasi politik oleh elit politik untuk memenangkan kontestasi Pemilu 2009. Komodifikasi tragedi akan melahirkan episode ironi yang tidak saja menyakitkan bagi korban dan keluarga korban, namun juga akan menciptakan noktah merah dalam sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Kini, bersama dengan Paguyuban Keluarga Korban Tragedi Mei 1998, Ruyati berusaha tetap bertahan dengan segenap upaya yang ia miliki. Sambil terus mengikuti perkembangan kasus Mei 1998, bersama-sama dengan organisasi pendamping. Semangat pantang menyerah Ruyati sudah seharusnya menjadi lecutan bagi generasi muda, untuk tetap mengingat masa lalu sebagai medium merancang masa kini dan masa depan Indonesia yang lebih baik, karena dengan mengingat masa lalu kita akan melangkah dengan tidak mengulang peristiwa yang telah terjadi.***
Bersama keluarga korban melakukan tabur bunga di Pondok Rangon, tempat pemakaman para korban tragedi Mei ‘98
7
OPINI Las Madres de Plaza de Mayo
Sepekan untuk Selamanya Oleh : Puri Kencana Putri*
Langit Jakarta masih menyisakan lembayung petang ketika kami tiba di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Kami akan menjemput tamu agung yang datang jauh dari seberang benua untuk berbagi kisah dan pengalaman selama sepekan di Jakarta. Frase tamu agung mengingatkan saya tentang sebuah drama yang ditulis oleh Nikolai Gogol, sastrawan berkebangsaan Rusia, berjudul Inspektur Jenderal dan diinterpretasikan oleh Usmar Ismail dalam karya layar lebarnya berjudul Tamu Agung pada medio 1950. Namun, di sini saya tidak tengah menyarikan kisah drama maupun saduran layar lebarnya. Frase tamu agung menjadi pas dan melekat untuk me-metaforakan derajat kegigihan dan konsistensi Las Madres selama 32 tahun perjuangan penegakan hak asasi manusia di Argentina.
penumpang yang memiliki ciri-ciri fisik seperti Las Madres; perempuan lanjut usia, berwajah latin. Dan hal yang selalu kami perhatikan adalah penanda selendang putih yang kemungkinan besar akan mereka gunakan.
Menyapa Las Madres
Sepenggal kisah yang dibawa dari Argentina
Nyaris 3 jam kami menunggu di depan pintu kedatangan, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran mereka di sana. Hingga akhirnya saya disapa oleh seorang perempuan asing yang memperkenalkan dirinya sebagai Fransizka Grobke, utusan langsung Amnesty International London yang ikut menemani perjalanan Las Madres. Tidak berapa lama, seorang pria latin datang menyalami dan mencium kedua pipi saya. Ia memperkenalkan diri sebagai Rafael Barca, Direktur Eksekutif Amnesty International Argentina. Di belakangnya berdiri Duta Besar Argentina untuk Indonesia dan akhirnya, untuk pertama kalinya saya dan Putri berjumpa langsung dengan legenda hidup yang telah banyak menginspirasi gerakan politik korban di banyak negara.
Menunggu dengan harap-harap cemas, sambil membayangkan Lydia Taty Almeida, atau yang akrab disapa dengan panggilan fisik mereka yang tidak bisa dibilang muda itu. Usia 80 tahun, Taty adalah perempuan energik yang pernah saya jumpai. Setiap pagi, ia pasti selalu menempuh perjalanan selama 2 hari, menyempatkan diri untuk sudah pasti akan menguras energi online di sudut hotel. dan vitalitas mereka. Bahkan, Kemungkinan besar ia sebelum kami berangkat menuju mengirimkan kabar dan bandara, saya mencoba perkembangan informasi mengumpulkan informasi sebanyakkepada teman-teman banyaknya tentang mereka melalui organisasinya. Ia tidak sarana internet dan buku. Dari sana pernah lupa untuk selalu saya menemukan banyak kisah, memberikan senyuman, mulai dari ilustrasi kasus yang pelukan dan ciuman hangat mereka hadapi, proses perjuangan kepada Putri dan saya. dan advokasi, hingga tampilan fisik Percakapan kecil di pagi hari khas berupa selendang putih yang selalu kami lakukan. Taty Berfoto bersama dengan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim senantiasa terpasang di atas kepala selalu menanyakan kepada mereka. kami berdua tentang hal-hal kecil seperti kondisi kesehatan kami, apakah kami sudah Harus diakui, saya dan Putri Kanesia dihadang rasa gugup tingkat tinggi ketika menanti kedatangan mereka di pintu sarapan, apakah kami sudah istirahat cukup dan lain kedatangan internasional. Kami bergantian mengangkat tinggi- sebagainya; mengingat padatnya aktivitas yang harus kami tinggi tulisan “Las Madres Plaza de Mayo” untuk memudahkan lakukan bersama-sama. mereka menemukan kami, para penjemput dari KontraS. Setiap kali pintu kedatangan dipenuhi dengan penumpang yang baru tiba, kami memperhatikan dengan cermat adakah mereka di antaranya. Beberapa kali saya bersiborok mata dengan
Nyaris setiap hari Putri dan saya menemani ke mana pun mereka berada. Sehingga, kami memiliki pengalaman dan kisah-kisah unik bersama mereka, termasuk juga tentang kehidupan personal yang tidak banyak terekspos kepada
*Staf Litbang Kontras
8
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
OPINI publik melalui pemberitaan di media massa. Sebagaimana Konvensi Anti Penghilangan Paksa pada tahun 2006. Bahkan, yang telah banyak dicatat dalam banyak pemberitaan, baik Argentina merupakan negara kedua (dari 10 negara) yang telah dalam maupun luar negeri, Lydia Taty Almeida hidup dalam meratifikasi kovenan tersebut pada tahun 2007. keluarga militer. Ayah, paman, dan banyak saudaranya berprofesi sebagai perwira militer Argentina. Ketika Dirty War Pencapaian dari perjuangan mereka tidak hanya berhenti terjadi, ia tidak menyangka anak laki-lakinya yang masih sampai disitu, politik domestik Argentina juga mengalami duduk di bangku kuliah juga ikut dihilangkan dalam operasi kemajuan dengan dibentuknya Komisi Nasional untuk Orang intelijen yang digagas oleh junta militer Videla. Setiap kali ia Hilang (CONADEP). Setelah bekerja selama setahun, CONADEP menjebut nama anak lakilakinya Alejandro Martin Almeida, berhasil membuat laporan berdasarkan kasus pelanggaran matanya menerawang jauh menembus batasan ruang dan HAM yang dilakukan junta militer Videla sepanjang tahun waktu. Alejandro yang saat itu masih berstatus sebagai 1976-1983, yang diberi judul Nunca Mas, yang bisa mahasiswa kedokteran dihilangkan oleh aparat intelijen negara diterjemahkan secara bebas, “Jangan Terulang Lagi”. Dalam pada 17 Juni 1975. Dan hingga kini, Taty masih belum Nunca Mas tersebut, CONADEP berhasil mengidentifikasi 8000 menemukan kabar keberadaan anaknya. Kondisi serupa juga korban dari 30.000 korban yang diyakini keberadaannya. Lebih dialami oleh Aurora Morea, yang bergabung dengan gerakan lanjut, Nunca Mas dijadikan cetak biru (blue print) dalam proses Las Madres de la Plaza de Mayo karena anak perempuan dan peradilan dan pertanggungjawaban publik. Skema pemulihan menantunya dihilangkan secara paksa. Susana Perdini de hakhak korban juga disandarkan pada laporan CONADEP Bronzal yang saat itu masih berusia 27 tahun, dihilangkan tersebut. bersama dengan suaminya. Susana yang saat itu sedang hamil muda, juga aktif dalam organisasi melawan junta militer Hari-hari bersama Las Madres Videla. Dua kisah di atas dituturkan melalui ingatan mereka yang Las Madres yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, mulai tergerus waktu. Masa penantian yang berlangsung lama kira-kira berarti “ibu”. Ibu-ibu yang telah datang dari seberang untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas peristiwa inilah yang selalu saya temui setiap hari. Ayunan langkah kekerasan berdimensi pelanggaran tegap, genggaman tangan erat dan HAM masa lalu di Argentina, harus ciuman di kedua pipi adalah haldilalui mereka dengan jalan hal kecil yang akan selalu saya panjang dan berliku. ingat tentang mereka.. Memasuki Tekanan politik, stigmatisasi dan usia senjanya, Lydia Taty Almeida ancaman kekerasan acap dan Aurora Morea yang tergabung dilayangkan kepada mereka. dalam Las Madres de la Plaza de Bahkan beberapa orang teman Mayo Linea Fundadora itu, masih mereka dalam pergerakan Las penuh semangat mengikuti semua Madres akhirnya mengalami nasib proses kegiatan; mulai dari sesi nahas; ikut diculik dan dihilangkan. wawancara dengan beberapa Namun demikian, ancaman teror harian terkemuka nasional, sesi yang gemar dilayangkan rezim junta pemotretan, sesi pertemuan Taty berdiskusi dengan komunitas korban militer Videla, tidak menyurutkan korban, sesi pertemuan dengan Pelanggaran HAM mental dan moral mereka untuk lembaga negara, jamuan makan melanjutkan advokasi. malam hingga acara plesir yang sudah pasti tidak akan ditinggalkan oleh mereka. Survivalitas yang dilakukan Aurora, misalnya. Ia sempat diasingkan dari lingkungan pergaulan di antara teman-teman Mengunjungi negara Indonesia adalah advokasi internasional maupun keluarganya sendiri, karena terlibat aktif dalam pertama kalinya yang mereka lakukan. Antusiasme publik, gerakan politik korban. Aurora dicibir sebagai orang gila dari khususnya para pegiat HAM, pekerja kemanusiaan, akademisi, perkumpulan Las Madres (Las Locas de Plaza de Mayo). jurnalis, hingga komunitas korban begitu tinggi untuk mengenal mereka lebih dekat. Publik Indonesia tidak saja bisa Tekanan itu justru tidak mengendurkan spirit mengenal secara baik berdasarkan praktik yang telah mereka.Optimisme Las Madres telah menuai hasilnya. Melalui diterapkan oleh Taty dan Aurora dalam perjuangan perjuangan jalur prosedural internasional, Las Madres de la Plaza de Mayo politik korban di Argentina, namun kita juga dikayakan dengan bersama dengan KontraS, Ikohi dan beberapa NGO HAM pengalaman batin dan spirit yang disampaikan secara eksplisit internasional lainnya, berhasil mendorong disahkannya
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
9
OPINI oleh mereka. Kendala bahasa seringkali dibayangkan akan menjadi penghambat proses penyampaian tutur, namun pada kenyataannya, kendala itu bisa teratasi dengan baik melalui bentuk ekspresi fisik. Ciuman, pelukan, gerakan mata dan masih ada banyak gerakan tubuh lainnya, menjadi jembatan yang mempermudah proses penyampaian pesan. Selain itu, kehadiran Fransizka, Rafael dan para penerjemah yang fasih berbahasa Spanyol, turut membantu proses translasi bahasa. Bahasa Spanyol sebagai bahasa ibu yang dipergunakan hampir seumur hidup oleh Taty dan Aurora memang tidak bisa dilepaskan dari mereka. hampir seluruh percakapan baik formal maupun informal yang dilakukan di antara kami menggunakan bahasa Spanyol, dan tentu saja Fransizka dan Rafael telah banyak membantu semua proses pengalihbahasaan tersebut.
manusia yang berbeda dengan diri mereka sebelumnya. Aurora yang lebih pendiam, gemar menghabiskan waktunya di sore hari untuk berenang. Selama sepekan, sedikit banyak saya bisa mengetahui kegemaran mereka masing-masing. Aurora misalnya, selain gemar dengan minuman soda, ia pun menyukai aktivitas berenang hingga berjam-jam. Sekadar melepas lelah dari jadwal kegiatan Las Madres, di tepi kolam renang kadang ia menceritakan kehidupan personalnya dengan ekspresi khas latin-nya. Lain halnya dengan Taty, ia gemar berbincang-bincang dan menghabiskan senja dengan percakapan-percakapan santai bersama dengan Rafael. Taty juga seorang dokumentator yang baik, ke mana pun ia pergi, Taty tidak pernah lupa mencatat setiap peristiwa. Kedetilan nampaknya menjadi hal penting bagi Taty, selain berbagi kisah dan pengalaman kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia.
Pertemuan yang dilakukan nyaris setiap hari akhirnya Plaza de Mayo menuju Merdeka Utara menciptakan keintiman tersendiri di antara Putri, saya dan Saya bisa melihat getaran yang mereka. Meski kadang kami terpancar dari sorot mata yang bercakap-cakap tanpa ditemani dilayangkan Taty dan Aurora ketika Fransizka ataupun Rafael, kami bergabung dalam aksi Kamisan. Aksi bisa memahami topik apa yang yang diinspirasi dari gerakan Las tengah diperbincangkan, meski Madres de la Plaza de Mayo itu, melalui proses panjang dan merupakan gerakan kultural korban cenderung lucu jika diingat. untuk menggugat pemerintah dalam Misalnya, seperti keinginan penuntasan kasus pelanggaran HAM mereka yang kuat untuk masa lalu. Jika setiap Kamis Las Madres mencoba menggunakan bajaj akan muncul mengelilingi Plaza de berkeliling kota Jakarta. Saya itu Mayo, di seberang istana Presiden, maka mereka sudah berada di Taty berpelukan dengan ibu Tuty Koto di dalam mereka bisa melihat keteguhan hati penghujung waktu pulang aksi Kamisan yang juga dimiliki korban dan keluarga kembali ke Argentina, namun korban pelanggaran HAM masa lalu padatnya jadwal wawancara masih menanti mereka. di tengah-tengah kesibukan itu, mereka ketika berdiri pada hari yang sama di depan istana presiden. meminta Putri dan saya untuk mengantarkan mereka pergi berbelanja ke Pasar Baru, dan tentu saja menggunakan bajaj, bukan taksi. Dibantu Fransizka, mereka mengatakan bahwa pengalaman menaiki bajaj adalah pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup mereka. hal-hal semacam itu diekspresikan melalui percakapan santai, mirip seperti para cucu yang sedang berkomunikasi dengan nenek mereka sendiri. Kerasnya pengalaman batin dan fisik yang telah mereka alami, berbagai bentuk kehilangan atas sosok orang yang mereka kasihi, tidak mengubah mereka menjadi individu-individu berhati keras. Mereka tetap manusia biasa yang memiliki rasa cinta kasih seperti orang kebanyakan. Aktivisme yang menguras konsentrasi lahir dan batin dalam perjuangan mereka, tidak mengubah Taty dan Aurora menjadi
10
Nampaknya, Taty tidak kuasa untuk membendung berbagai rasa yang ingin diungkapkan olehnya ketika menghadiri aksi Kamisan. Bersama-sama Aurora, Taty memekikkan dengan lantang, “Presente!” berkali-kali. Presente jika diterjemahkan secara bebas, berarti, “Mereka tetap di sini”. Mereka adalah orang-orang yang dihilangkan secara paksa melalui kekuasaan negara. Kehadiran Taty dan Aurora selama sepekan di Indonesia adalah wujud solidaritas konkret dukungan dan penguat ikatan solidaritas antar korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu. Taty dan Aurora telah membuktikan bahwa perjuangan penegakan HAM dan solidaritas gerakan politik korban hanya bisa dilakukan jika kita berani mengambil risiko, dengan segenap konsekuensi yang melekat di dalamnya untuk mempertahankan arti kehidupan.
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
JEJAK SANG PEJUANG
Hakim Perkara Muchdi Diperiksa Proses pemeriksaan terhadap majelis hakim PN Jakarta Selatan yang telah memutus bebas Muchdi Pr dalam kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM, Munir, disambut baik oleh Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum). Ketiga nama hakim tersebut adalah Hakim Soeharto, Ahmad Yuzak dan Haswandi. Pemeriksaan ini diharapkan dapat menghadirkan keadilan bagi korban dan kebenaran bagi publik luas. Dalam pemeriksaan tersebut dan harapan hasilnya, Kasum menyampaikan beberapa catatan penting, diantaranya, berharap Komisi Yudisial (KY) bisa bekerja segera dan menyerahkan hasil pemeriksaan hakim-hakim PN Jakarta Selatan tersebut ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. “Hal ini penting, karena hasil pemeriksaan tersebut paling tidak akan menjadi dasar tambahan bagi Majelis Hakim Kasasi MA yang memeriksa perkara terdakwa Muchdi PR, “ ujar Choirul Anam.
45 Makassar), Zulkarnain, SH. MH (ketua bagian pidana, Fakultas Universitas Widyagama Malang). Setelah melakukan sidang, majelis eksaminasi berkesimpulan bahwa secara umum hakim telah salah menerapkan hukum pembuktian. Teori dan hukum pembuktian tentang saksi berangkai atau ketting bewijs tidak diterapkan oleh hakim, sehingga bukti-bukti yang ada justru semakin kabur. Bahkan, hakim mengabaikan alat bukti yang kuat, hanya karena dibantah oleh terdakwa. Majelis eksaminasi juga melakukan analisa terhadap surat dakwaan, surat tuntutan, putusan dan fakta-fakta persidangan, yang intinya menilai penuntut umum tidak maksimal dalam menyusun surat dakwaan maupun dalam membuktikan dakwaannya di persidangan dan dalam menyusun surat tuntutan. Selanjutnya, majelis hakim tidak memposisikan dirinya sebagai hakim yang aktif, baik untuk mencari kebenaran materiil dengan tidak memerintahkan yang berwenang untuk memproses 5 orang saksi yang mengingkari keterangannya dalam BAP dengan dakwaan sumpah palsu, maupun dalam menerapkan hukum pembuktian saksi berangkai (ketting bewijs).
Kasum juga meminta MA agar segera mengeluarkan putusan kasasi perkara terdakwa Muchdi Pr karena sudah mencapai waktu lima bulan, hal ini sebagaimana merujuk proses kasasi perkara terpidana Pollycarpus terdahulu, yang hanya membutuhkan waktu lima bulan.
Selanjutnya, sebagaimana hasil eksaminasi publik putusan bebas Terdakwa Muchdi Pr pada Sahabar Munir beraksi di depan Gedung Mahkamah Agung Sekiranya majelis hakim tanggal 18 April 2009 lalu, menerapkan hukum putusan bebas terhadap Muchdi Pr memiliki banyak kejanggalan, seperti majelis melemahkan pembuktian secara benar, maka tindak pidana penganjuran alat bukti yang sah dengan keterangan terdakwa. Hal ini melakukan pembunuhan berencana seperti apa yang menunjukkan bahwa majelis hakim yang menyidangkan kasus didakwakan pada dakwaan alternatif pertama telah terbukti pembunuhan berencana Munir dalam perkara terdakwa secara sah dan menyakinkan. Muchdi Pr tidak kredibel. Dalam hal ini, majelis eksaminasi juga memberikan Untuk hal ini, Kasum telah menemui KY (5/1). Mereka telah rekomendasi: meminta KY menginvestigasi putusan hakim yang • Terhadap putusan bebas PN Jakarta Selatan atas nama membebaskan Muchdi Pr. Sebab, mereka menilai ada terdakwa Muchdi PR tersebut, dapat dilakukan upaya kejanggalan dalam putusan tersebut. Kejanggalan itu, antara hukum kasasi oleh penuntut umum dengan lain, majelis hakim dengan sengaja melemahkan alat bukti yang membuktikan bahwa putusan tersebut bukan putusan sah dengan keterangan terdakwa. bebas murni tetapi bebas tidak murni
Putusan majelis eksaminasi Pada tanggal 15 – 17 April 2009, berlangsung sidang majelis eksaminasi atas putusan bebas PN Jakarta Selatan Nomor 1488/ Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel, dengan Terdakwa Muchdi Pr. Majelis eksaminasi terdiri dari akademisi dan praktisi, yaitu Adnan Pasliadja, SH (mantan jaksa dan dosen Fakultas Hukum UMJ), Andre Ata Ujan, MA, Ph.D (dosen filsafat hukum, Universitas 17 Agustus 1945), Dr. Marwan Mas, SH, MH (dosen fakultas Hukum Universitas
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
•
Kepada pimpinan Kejaksaan Agung agar dalam penunjukan penuntut umum sungguh-sungguh memperhatikan integritas dan tingkat kompetensi, terutama perkara-perkara penting yang mendapat perhatian publik
•
Komisi Yudisial perlu menelaah putusan hakim dan proses-proses pemeriksaan oleh majelis hakim yang
11
JEJAK SANG PEJUANG mengadili perkara Muchdi PR untuk mengevaluasi integritas hakim tersebut.
KY periksa hakim kasus Muchdi Pada akhirnya, KY memeriksa tiga hakim yang memutus bebas terdakwa Muchdi Pr atas kasus Munir (5/6). Anggota KY, Zaenal Arifin, mengatakan, tiga hakim yang diperiksa adalah Soeharto, Ahmad Yusak dan Aswandi. “Kami periksa berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran hukum acara, “ kata Zaenal. Sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Kasum.
Menurut Zaenal, pemeriksaan berlangsung lebih dari dua jam sejak pukul 14.30 WIB. “Sebenarnya mereka sudah diperiksa dua pekan lalu, “ imbuh Zaenal. Pemeriksaan diulang, karena pada pemeriksaan pertama, ketua majelis hakim Soeharto tidak bisa datang. “ tambahnya. Pemeriksaan dilakukan oleh Ketua KY M. Busyro Muqoddas dan Zaenal Abidin sendiri. Selanjutnya hasil pemeriksaan akan dibawa ke rapat pleno komisi dua pekan mendatang. Komisi akan merekomendasikan sanksi bila terbukti ada pelanggaran hukum acara. Jika sanksinya berupa hukuman berat, menurut Zaenal, akan dibentuk majelis kehormatan hakim.***
BEFORE YOU GO* written by Ben & friend Seven days your time was counted down and need more than work Before you have it in your hand ‘cause i believe it’ll not be easy To work comfortable ‘cause you play dangerous games But you’re leaving this world And You leaving everything ‘Cause they took your world Until sun goes down, wasting time You gotta be home soon So many picture, shut it off inside my head I try to forget, ‘cause my hero was dead Try to survive with the work so hard And more to believe Move the dark from the earth take your hands up to heal the world Every little bit to the people We’re starting drawn and need some help Move away demon from our face And an angle wanna be my best friend ‘Cause i am the man with the truth So you take this wheel from me Use the hammer of law Try to survive in Indonesia Walking for the man Who will take away out of the pain *Album Munir “Lagu Untuk Munir“ 12
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
KABAR DARI DAERAH
Pulihkan Hak-hak Korban Lapindo! Akhir Mei lalu, genap tiga tahun kasus lumpur Lapindo menenggelamkan Porong Sidoarjo. Bahkan dampaknya meluas hingga 19 desa. Perusahaan Bakrie yang harus bertanggungjawab atas semua keteledorannya ini malah memperoleh “dukungan” secara tidak langsung dari pemerintahan SBY-JK. Tiga tahun lalu, lumpur menyembur dari sumur pengeboran Banjar Panji-1 PT Lapindo Brantas milik Abu Rizal Bakrie, salah satu anggota kabinet SBY-JK. Saham Lapindo juga dimiliki PT Medco – milik Arifin Paniogoro, dan Santos dari Australia. Baru Maret 2007, Pemerintah mengeluarkan Perpres 14, disusul revisinya Perpres No. 48 tahun 2008. Keduanya, mengarahkan penanganan sebatas jual beli aset tanah dan bangunan. Inilah bentuk kesalahan mendasar yang disengaja dalam penanganan korban lumpur Lapindo. “Kebijakan tersebut menyesatkan arah dan moda penanganan kasus Lapindo, baik penanganan fisik, sosial dan penegakan hukum’, ujar Siti Maemunah dari JATAM. Penanganan sesaat terlihat jelas di lapangan. Saat ini, ada 19 desa terkena dampak lumpur. Tapi, hanya 9 desa yang tercantum dan diakui dalam Perpres, sisanya nyaris tak digubris, meski penanganan 9 desa juga memiliki kendala di lapangan. Pelanggaran PT. Lapondo Brantas atas ketentuan yang diatur di dalam Perpres terjadi berkali-kali, namun tidak ada pemerintahan SBY – JK tidak berani memberikan sanksi khusus. Sementara bisnis Bakrie grup terus berlanjut. Hasilnya, aset keluarga Bakrie, di bisnis energi, perkebunan, properti, baja, televisi, telekomunikasi dan infrastruktur, tahun lalu meningkat 83,66%, sekitar Rp 42,9 trilyun (Warta Ekonomi, 2009). Begitu ironis, lantaran korban lumpur Lapindo makin menderita dan bertambah dari segi kuantitas korban. Lebih dari 10 ribu rumah tenggelam lumpur, lahan terdampak meluas hingga lebih 800 ha. Mereka kehilangan tempat tinggal, gangguan kesehatan, krisis air dan banyak anak sekolah yang putus pendidikan.
Memecah belah warga Sementara jual beli aset yang harusnya lunas tahun 2007, bahkan pembayaran 20%-nya berlarut-larut, belum tuntas. Sementara 80%-nya, yang harusnya selesai pada bulan Agustus - Desember 2008, nasibnya sama terkatung-katung. Secara sepihak, Lapindo menawarkan berbagai skema pembayaran yang membingungkan dan memecah belah warga. Terakhir, pemerintah bagai menginjak-injak Perpresnya sendiri, dengan membiarkan PT. Lapindo mencicil Rp 30
juta per bulan, dan di lapang menjadi Rp 15 juta perbulan. Ini baru aspek urusan jual beli. “Masalah kesehatan, pendidikan dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya tak kalah buruk. Tiap hari warga harus berkubang dengan gas-gas berbahaya yang bersifat karsinogenik, air tercemar dan lingkungan tak sehat, baik fisik dan psikis”, ujar Catur Bambang Nusantara, Direktur WALHI Jawa Timur. Di Puskesmas Porong, tercatat kunjungan penderita ISPA meningkat drastis sejak lumpur menyembur, tercatat penderita ISPA yang datang, angkanya mencapai 26 ribu orang, hingga tahun 2008 mencapai 46 ribu orang. Desa-desa yang tak diakui terdampak, kondisinya juga kian memburuk. Desa Siring barat terparah, dari 250 rumah penghuninya, sekitar 70%-nya mengalami berbagai kerusakan, mulai dari bangunan retak-retak akibat amblesan tanah, munculnya gas liar berbahaya (bubble gas), hingga air yang tercemari logam berat. Hal serupa dialami desa Jatirejo barat, Mindi, Ketapang, Gedang, Pamotan, Gempolsari, Glagaharum dan Desa Besuki timur. Prosedur penanganan yang salah juga merembet pada proses penegakan hukum. Hingga saat ini, kepolisian dan kejaksaan saling lempar masalah pidana kasus Lapindo. Terakhir, Mahkamah Agung bahkan menolak kasasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) atas putusan pengadilan yang memenangkan pemerintah dan PT. Lapindo Brantas, 3 April lalu (Media Indonesia, 2009). Alasannya, perusahaan telah mengeluarkan dana untuk menangani semburan lumpur dan biaya jatah hidup pengungsi. “Putusan yang sangat jauh dari rasa keadilan, mengingat fakta lapangan menunjukkan hal berbeda. Hak-hak korban terus diabaikan, mereka tambah miskin, sakit dan masa depannya makin tak tentu. Oleh karenanya, kami sedang memikirkan cara membawa kasus ini kembali ke jalur hukum,’ ujar Zainal Abidin dari YLBHI. Pemerintah harusnya melakukan langkah-langkah efektif yang meliputi langkah-langkah administratif, yudisial maupun kebijakan untuk memulihkan korban. Sayang, yang terlihat, pemerintah seakan tak mempunyai kuasa menentukan arah penyelesaian yang adil dan terkesan lepas tangan. Upaya masyarakat untuk melakukan langkah-langkah hukum seharusnya diposisikan sebagai langkah koreksi bagi pengambil kebijakan untuk penyelesaian yang adil bagi korban, dan bukan digunakan untuk memelencengkan urusan penegakan hukum, yang berakhir pada hilangnya bentuk tanggung jawab dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab.***
“Negara Pihak dari Kovenen ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah- langkah yang memadai guna melindungi hak ini”. (Pasal 6 (ayat1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
13
KABAR DARI DAERAH
Gerakan Kaum Muda Anak Korban Lapindo Mencari Keadilan Sementara itu, beberapa kaum muda dan anak-anak korban Lapindo datang ke Jakarta untuk menyampaikan kekhawatiran terhadap masa depan mereka. Hal ini dikarenakan penyelesaian kasus Lapindo mengabaikan persoalan hilangnya mata pencaharian, pendidikan dan dampak kesehatan akibat lingkungan tercemar. Mereka juga akan menyampaikan surat dari teman-temannya kepada para Capres. Mereka berharap akan muncul seorang presiden di Indonesia yang menolak didikte oleh Lapindo. pada awal Juni (03/06), Fahmi dan kedelapan temannya bertemu Jusuf Kalla bersama rombongan Konsorsium Masyarakat Miskin Kota, di jalan Mangunsarkoro Jakarta. Sejak Minggu (31/05), mereka menunggu kesempatan bertemu para Capres. Bertemu Jusuf Kalla, mereka menyerahkan 200 surat kaum muda dan anak-anak korban Lapindo. “Apa langkah nyata yang bapak akan lakukan di masa akhir jabatan bapak sebagai wakil Presiden, hingga Oktober nanti?,” tanya Fahmi, saat mendapat giliran bertanya, mewakili teman-temannya. Sayang, jawaban Jusuf Kalla membuat mereka kecewa. “Itu jawaban lama, yang terus dikatakan pemerintah,” ujar Sifa,
pemuda dari desa Permisan. Ungkapan serupa dirasakan kawan-kawannya dari desa Reno Kenongo dan Jati rejo. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), kembali disebut-sebut Jusuf Kalla, sebagai badan pemerintah yang akan menyelesaikan segala masalah terkait kasus lumpur Lapindo. “Bagaimana mungkin bisa mengurus masalah-masalah dasar korban Lapindo, jika penanganan kasus Lapindo salah arah sejak awal. Warga yang harusnya diperlakukan sebagai korban, malah digeser seolah mitra jual beli. Akhirnya, pemenuhan hak-hak dasar korban Lapindo dilupakan’, ujar Mutjtaba Hamdi dari Lapis Budaya, yang mendampingi korban Lapindo, sore itu. Tak mudah mendapatkan Capres yang sungguh-sungguh, sanggup dan berani mengurus kasus Lapindo. Oleh karenanya, kaum muda dan anak-anak korban Lapindo akan kembali mendatangi dua Capres lainnya, Megawati – Prabowo & SBY Boediono. Mereka ingin mendapatkan kepastian agenda para Capres 2019 – 2014 akan menyelamatkan atau malah menenggelamkan nasib korban Lapindo.***
Aksi Premanisme “yang” Dilindungi Polri Ketua Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Percut Sei Tuan Deli Serdang, harus menerima perlakuan ketidakadilan dari Poltabes Medan. Laporan Razali atas penyerangan dirinya ditolak oleh Poltabes Medan. Padahal, dari pengakuannya, korban diserang sejumlah orang tak dikenal, yang diduga dilakukan oleh preman bayaran PTPN II yang terjadi pada 31 Maret lalu. Razali diserang dan rumah tempat ia dan keluarganya tinggal di Desa Sentis Sei Jernih Percut Sei Tuan Deli Serdang, dibakar hingga tidak bersisa sedikit pun. Awalnya, Razali mengadu ke Polsek Percut Sei Tuan pascaperistiwa. Karena dianggap memiliki keterbatasan, Kapolsek Percut Sei Tuan mengarahkan korban beserta masyarakat untuk membuat pengaduan langsung ke Poltabes Medan. Sesampainya di Poltabes, korban diminta menunggu hingga hampir satu jam. Setelah menunggu sekian lama, pengaduan korban malah ditolak pihak kepolisian dengan alasan Poltabes Medan tidak mampu (menyerah) menangani kasus ini. Karenanya, KontraS Sumatera Utara melihat ada semacam indikasi untuk sengaja melindungi aksi premanisme. Karena pada saat yang sama, pihak PTPN II bersama para premanpreman bayarannya terlihat lebih dulu berada di Poltabes Medan. Padahal, sebagai warga negara yang baik, tindakan korban yang memilih jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan adalah tindakan yang tepat. Namun, tindakan kepolisian yang menolak pengaduan korban malah akan menjurus pada tindakan menyuburkan premanisme di tengah
14
masyarakat. Menyelesaikan persoalan dengan cara-cara kekerasan, khas barbarian. Sementara, buntut dari persoalan ini juga terkait dengan sengketa tanah. Di mana di mata hukum persoalan ini telah dimenangkan masyarakat. Keputusan Mahkamah Agung No. 1734 K/Pdt/2001 memutuskan pengembalian sebidang tanah seluas 300 ha. kepada masyarakat yang tergabung dalam BPRPI Sumatera Utara, khususnya Kampung Tanjung Mulia Kecamatan Percut Sei Tuan Pasar III, IV, dan V Sampali Deli Serdang sebagai tanah adat hak ulayat suku Melayu yang diperoleh secara turun temurun dari pemangku adat. Di mana Razali dan warga lainnya telah lama tinggal. Atas nama keadilan dan kebenaran dan demi citra Polri yang seharusnya tidak memihak, Kontras Sumatera Utara meminta agar Kapoltabes Medan dapat bersikap adil dalam melihat persoalan ini. Termasuk di dalamnya melakukan dan menindak pihak-pihak yang harus bertanggung jawab terhadap penyerangan dan pembakaran rumah Razali. Selanjutnya, KontraS Sumatera Utara secara khusus meminta Kapoltabes Medan agar segera menghentikan segala bentuk kekerasan dan premanisme yang terjadi di Desa Sentis Sei Jernih Percut Sei Tuan. Lebih lanjut, Kapolda Sumatera Utara diharapkan tidak menerapkan prinsip tebang pilih dalam menjalankan tugasnya, sehingga reformasi kepolisian yang sedang berjalan tidak tercoreng oleh tindakan aparaturnya sendiri.***
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
KABAR DARI DAERAH
Penembakan Petani Sioyong Donggala Jargon “Mengayomi dan Melayani” yang diusung Polri agaknya masih belum diamini sepenuhnya oleh seluruh anggota Polri. Karena, hingga kini masih banyak anggota Polri kurang mengedepankan upaya dialogis dalam menangani berbagai konflik yang terjadi di Indonesia. Lihat saja bagaimana protes warga tehadap aktivitas pengerukan batu di sungai Sioyong oleh PT Asean Tunggal Mandiri Perkasa (ATMP), yang dilakukan pada 28/04 untuk pembangunan tangggul penahan abrasi pantai di Desa Sabang kecamatan Damsol, Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Bahkan dalam protes itu, telah memakan korban jiwa dua orang warga sipil yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Kedua korban, Ramang Datu Adam dan Safrudin harus merasakan timah panas dari aparat Brimob Polda Sulawesi Tengah. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng Wilianita Selviana, mengatakan, kedua korban ditembak saat melakukan protes dengan petani lainnya menentang pengerukan batu di sungai Sioyong oleh PT ATMP. Dari data yang dikumpulkan, PT ATMP sendiri adalah kontraktor lokal yang biasa menangani proyek-proyek infrastruktur pemerintahan daerah. Pemilik perusahaan Reza Akbar, adalah ipar dari Wakil Bupati Donggala Ali Lasamaulu. Aktivitas PT ATMP hanya dilengkapi dengan dokumen proyek seperti UKL/UPL dan SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah). Perusahaan hanya mengantongi surat rekomendasi dari aparat Desa Parisan Agung. Padahal, lokasi penggalian di Desa Sioyong dan lokasi proyek di Desa Sabang. Ironis.
Menyebabkan pendangkalan Sejak awal, warga memang menolak pengerukan ini. Sebab, pengerukan atau pengambilan batu di hulu irigasi Sioyong berpotensi menyebabkan pendangkalan pada mulut irigasi. Konsekuensinya kemudian adalah debit air yang keluar dari irigasi semakin kecil. Proyek irigasi yang dibangun sekitar tahun 1986 tersebut, saat ini merupakan salah satu penyuplai air yang diandalkan bagi lebih dari 1000 ha. sawah di 3 desa yaitu, Desa Sioyong, Desa Parisan Agung dan Desa Karya Mukti. Sementara itu, aktivitas penggalian yang dilakukan oleh perusahaan telah mencapai dua kilometer ke arah hulu sungai Sioyong. Selama ini pula, sungai Sioyong telah digunakan sebagai irigasi bagi warga di tiga desa. Jarak pengambilan batu sungai dari pintu irigasi hanya sekitar satu kilometer. Setelah berjalan sekitar 10 hari, luas areal pengerukan terus menerus mengalami pergeseran wilayah hingga mencapai tiga kilometer dari pintu irigasi. Sementara itu, sepanjang perusahaan melakukan aktivitasnya, pihak perusahaan belum memperlihatkan dokumen/izin sebagai syarat legalitas pengerukan kepada masyarakat setempat. Aktivitas penggalian batu yang dilakukan di hulu irigasi tersebut akan mendorong pergerakan tanah dan pasir secara
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
signifikan ke hilir bendungan. Akibatnya, akan terjadi pendangkalan di hilir atau bendungan karena penumpukan material (pasir dan tanah) jika musim penghujan dan debit air bertambah. Para petani juga mulai resah atas aktivitas operasional perusahaan yang akan mengancam 1.000 lebih hektar sawah produktif milik mereka di tiga desa itu.Selain itu, jalur kendaraan pengangkut alat-alat berat juga merusak tanaman warga seperti kelapa dan durian.
Upaya komunikasi Masyarakat sebenarnya telah berusaha membangun upaya komunikasi dengan pihak berwewenang. Alhasil, pada 13 April 2009 lalu, Tim Teknis dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi III Provinsi Sulawesi Tengah datang dan melihat kondisi. Tim ini menyatakan pengerukan harus dihentikan. Selanjutnya pada 18 April, Tim ke II dari Dinas Pertambangan Kabupaten Donggala dan Balai Wilayah Sungai III Sulawesi Tengah juga telah mendatangi proyek tersebut dan melakukan pertemuan dengan masyarakat. Tim inilah yang merekomendasikan secara khusus untuk dilakukannya pengerukan kembali, karena dari hasil evaluasi tidak ditemukan dampak lingkungan sebagai ekses dari proses pengerukan. Surat Tim II inilah yang akhirnya dijadikan rujukan oleh perusahaan untuk masuk mengeruk kembali batu di sungai Sioyong. Seminggu kemudian, Tim III terdiri Bapedalda dan Dinas Pertambangan Donggala serta Balai Wilayah Sungai III Sulawesi Tengah datang ke lokasi. Tim tidak ke lokasi pengerukan, tapi hanya melakukan pertemuan dengan warga dengan melibatkan unsur aparat setempat seperti, camat, Kapolsek, Danramil serta 1 regu Brimob. Dalam pertemuan tersebut, warga secara tegas menyatakan penolakannya terhadap kehadiran tim teknis, karena tim yang datang diindikasikan condong memihak pemodal. Di tengah sengketa tersebut, aktivitas perusahaan PT ATMP terus dilakukan. Namun karena PT ATMP tidak dapat menunjukkan izin lengkap untuk mengeksploitasi sungai, maka mereka menyewa Brimob Polda Sulawesi Tengah, untuk menjaga keamanan selama proses pengerukan. Pengangkutan batu yang berlangsung 18 hari selalu dikawal oleh Brimob. Pasukan keamanan ini lebih banyak digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak melanjutkan protes. Namun mengingat kerugian besar yang langsung dialami oleh petani, membuat mereka bersikeras mendesak agar aktivitas perusahaan dihentikan segera. Aktivitas protes warga berakhir dengan penembakan oleh aparat keamanan pada Ramang dan Safrudin yang hingga kini masih dirawat di Rumah Sakit Umum Undata Palu.
bersambung ke halaman 16 15
KABAR DARI DAERAH
Ke mana Raibnya Dana Kesejahteraan Prajurit TNI? Pemerintah diminta segera melanjutkan reformasi di sektor keamanan, agar peristiwa yang terjadi di Balyon 751 TNI Sentani – Jayapura tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Imbauan itu disampaikan oleh sejumlah koalisi LSM yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Reformas Sektor Keamanan, terkait aksi demo yang berakhir ricuh yang dilakukan oleh prajurit Batalyon 751 TNI Sentani, Jayapura (29/4) lalu.
namun institusi TNI harus berani menindak rantai komando yang tertinggi hingga ke pengadilan militer. Diharapkan mekanisme ini bisa digunakan untuk menemukan akar persoalan. Bahkan jika ditemukan unsur pidana di dalamnya, kasus ini sebaiknya segera dibawa ke pengadilan umum. Apa yang terjadi di Batalyon 751 Sentani merupakan tanggung jawab struktural, yang mencakup tanggung jawab operasi sampai administrasi yang dibebankan kepada komandan batalyon. Selain itu, koalisi LSM juga melihat melemahnya kepemimpinan para perwira di lapangan, juga menjadi faktor pemicu demo tersebut. Tidak dipungkiri, penyelenggaraan peradilan militer bisa ditempuh untuk mengadili perkara semacam ini.
Peristiwa ini sendiri juga telah membuat masyarakat di sekitar kompleks Batalyon 751 TNI Sentani resah, akibat adanya anggota masyarakat dan wartawan yang menjadi korban pada peristiwa tersebut. Meski akhirnya Panglima TNI menyampaikan maaf serta upaya KASAD untuk Selain itu, koalisi LSM ini juga melakukan dialog dengan berharap DPR terutama Komisi I para prajurit Batalyon 751 melakukan pengawasan terkait Sentani, Jaringan Masyarakat penggunaan anggaran Sipil untuk Reformasi Sektor kesejahteraan prajurit, Keamanan tetap meminta khususnya pada kepentingan agar institusi TNI lebih jeli penegakan akuntabilitas dan serius dalam penggunaan dana kesejahteraan menyelesaikan akar prajurit. Sehingga tidak terjadi permasalahannya, hingga lagi korupsi seperti yang terjadi hal serupa tidak terjadi lagi. pada kasus dana ASABRI yang Mengingat, tindakan hingga saat ini masih belum indisipliner anggota TNI terselesaikan. selama ini juga masih terjadi, hingga mengakibatkan Prajurit TNI sedang melakukan tugas Menurut koalisi, setiap prajurit korban di kalangan berhak mendapatkan perlakuan masyarakat sipil. Koalisi LSM yang layak dari negara, ini juga meminta Departemen Pertahanan untuk melakukan khususnya dalam hal kesejahteraan. Tidak ada alasan yang peninjauan ulang terhadap lokasi instalasi militer yang membenarkan terkait untuk mengabaikan hak tersebut, meski ditempatkan di tengah komunitas masyarakat, hal ini didasari polemik minimnya anggaran TNI masih menjadi hal yang juga pada prinsip hukum internasional tentang jarak terus dibahas. TNI tidak sekadar dituntut untuk tetap optimal humaniter. dan profesional dalam menjalankan mandat tugasnya, namun Terkait dengan demo para prajurit Batalyon 751 TNI Sentani, aspek kesejahteraan tidak boleh tertinggalsebagai bagian TNI dituntut tidak sekadar mengadili para prajurit rendahan unsur yang melengkapi profesionalisme dan reformasi sektor karena melakukan demo dan atau melanggar perintah keamanan di tubuh militer Indonesia. *** (pembangkangan) ataupun melakukan pencopotan jabatan,
Sambungan dari halaman 15 Berdasarkan peristiwa ini, Kontras dan Walhi meminta agar anggota kepolisian yang diduga terlibat penembakan dan kekerasan warga diselidiki dan diadili. Selanjutnya, para pimpinan Polri dapat meninjau kembali kembali penempatan-penempatan anggota Brimob dalam pengamanan objek vital. Kontras dan Walhi memandang hendaknya Polri dapat lebih mengedepankan pendekatan dialogis bersama antara masyarakat, perusahaan dan
16
pemerintah daerah untuk penyelesaian konflik, guna mencegah meluasnya konflik dan timbulnya korban. Pemerintah pun diharapkan bisa segera menghentikan operasi perusahaan PT Asean Tunggal Mandiri Perkasa dan melakukan tindakan hukum yang tegas untuk melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Jika perusahaan tetap beroperasi dikhawatirkan konflik akan terus terjadi dengan eskalasi dan risiko kekerasan yang lebih luas.***
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
KABAR DARI DAERAH Enam Tahun Darurat Militer
Komnas HAM Konfirmasi Temuan Pelanggaran HAM Pada Masa Darurat Militer Kita tentu tak akan pernah melupakan peristiwa pedih yang terjadi enam tahun silam di wilayah paling ujung barat Indonesia. Saat itu dengan mengatasnamakan menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberlakuan status Darurat Militer (DM) dan Darurat Sipil (DS) di Aceh. Peristiwa ini tepatnya dimulai sejak tanggal 19 Mei 2003 hingga18 Mei 2005. Akibat dari penerapan kebijakan DM dan DS, pelanggaran HAM berdimensi kekerasan terjadi secara meluas. Kesimpulan ini diperkuat oleh laporan tim adhoc Komnas HAM yang dibentuk dan bertugas melakukan pemantauan tindak kekerasan pada masa penerapan Darurat Militer I dan II di Aceh.
pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama berlangsungnya Daerah Operasi Militer (DOM). Pembentukan Tim Kajian Kekerasan di Aceh adalah langkah maju. Namun, sangat disesalkan, lingkup pengkajian tim ini hanya dibatasi pada kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Aceh pada tahun 1989-2002. Sedangkan untuk kasus-kasus kekerasan selama pemberlakuan DM dan DS yang terjadi pada tahun 2003-2005 tidak termasuk dalam lingkup kerja tim.
Tidak ada alasan pasti
Namun sangatlah disayangkan, tidak diketahui secara pasti Saat saat itu, team adhoc alasan Komnas HAM Komnas HAM ini telah tidak memasukkan menemukan sedikitnya 70 kasus-kasus kekerasan kasus peristiwa pelanggaran yang terjadi pada tahun HAM. Di antaranya, 9 kasus 2003-2005 dalam tim. penangkapan dan Padahal, seharusnya penahanan sewenangsesuai dengan UU No. 39/ wenang, 16 kasus 1999 tentang HAM, penyiksaan, 6 kasus Komnas HAM harus penghilangan paksa, 30 menjalankan tugas dan kasus perlakukan tidak fungsi untuk manusiawi, 9 kasus menindaklanjuti setiap Masyarakat Aceh berkumpul di Masjid Baiturrahman menuntut pelecehan seksual dan tindak kekerasan yang Referendum pemerkosaan, pengusiran terjadi. Apalagi data awal dan pengungsi sebanyak 8 untuk kasus-kasus kekerasan di Aceh pada tahun 2003-2005 kasus, 19 kasus pembunuhan di luar proses hukum, 3 kasus telah dimiliki. penyerangan membabi buta, 7 kasus perusakan/pemusnahan kepemilikan pribadi, 1 kasus perampasan dan penjarahan Berangkat dari realita yang terjadi inilah, Kontras Aceh kepemilikan pribadi, dan 1 kasus perusakan kepemilikan dan berharap agar secepatnya Komnas HAM membentuk tim bangunan publik. khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Aceh sepanjang pemberlakuan operasi militer Selanjutnya, pada pertengahan tahun 2008, Komnas HAM termasuk DM dan DS. Sekali lagi, sangatlah tidak masuk akal kembali membentuk Tim Kajian Kekerasan di Aceh. Tim ini apabila Komnas HAM sebagai lembaga negara yang dibentuk melalui keputusan ketua Komnas HAM No. 53/ berwenang dalam penyelidikan HAM mengabaikan peristiwa KomnasHAM/IX/2008 dengan tujuan untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa DM pengkajian terhadap bentuk-bentuk kekerasan serta peristiwa dan DS.***
Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi, Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. (Pasal 9 (ayat1) Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diberlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia (Pasal 10 (ayat1) Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik) Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
17
KABAR DARI DAERAH
Pekerja HAM kembali “Diganggu” Terjadinya penangkapan Direktur di tengah laut oleh petugas. Tindakan kepolisian tersebut Walhi Nasional, Berry Furqon dan dikhawatirkan akan mengagalkan pelaksanaan kegiatan Kepala Divisi Jaringan Walhi masyarakat sipil (FKPP) di Malalayang, Manado. Nasional, Erwin Usman, yang tengah melakukan aksi dalam Terlalu berlebihan pembukaan acara alternatif dalam menyikapi World Dalam hal ini, aparat kepolisian terlalu Ocean Conference berlebihan dalam merespon kegiatan (WOC), sungguh masyarakat sipil. Kegiatan FKPP Penyampaian aspirasi FKPP sumber. www.svhie.com disesalkan oleh seharusnya dilihat sebagai kebebasan/hak juga hendaknya dipandang s e l u r u h asasi menyatakan pendapat dan sebagai kontribusi positif dari masyarakat sipil berekspresi sebagaimana dijamin dalam masyarakat sipil, agar forum Indonesia. Penangkapan terjadi pagi hari (11/ konstitusi dan UU HAM. Sementara WOC menghasilkan keputusan 05), di pelataran Hotel Kolongan Beach menjamin kebebasan tersebut dapat ideal dengan memperhatikan Manado, Pantai Malalayang Manado. WOC direalisasikan sebagai bagian dari tugas kepentingan nelayan dan diselenggarakan oleh Forum Keadilan, profesional Polri. Polri semestinya keberlangsungan lingkungan Kelautan dan Perikanan (FKPP). memastikan kebebasan pendapat/ hidup, sebagaimana sebelumnya berekspresi itu dapat dilaksanakan dengan dilangsungkan dalam forumPenangkapan ini merupakan tindak lanjut baik, bukan sebaliknya, dengan forum internasional lainnya. Polwiltabes Manado dan Pemkot Manado menghalang-halangi hakekat kebebasan yang membubarkan acara masyarakat sipil itu sendiri. untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat Penyampaian aspirasi FKPP juga dalam pelaksanaan WOC serta merusak stand milik FKPP di hendaknya dipandang sebagai kontribusi positif dari lapangan RS Prof Dr. Kandou, Malalayang, Menado pada sore masyarakat sipil, agar forum WOC menghasilkan keputusan hari (9/05). Pembubaran dilakukan tanpa alasan yang jelas. ideal dengan memperhatikan kepentingan nelayan dan Polwiltabes Manado dan Kesbang mencabut surat izin tersebut keberlangsungan lingkungan hidup, sebagaimana sebelumnya tanpa memberikan salinannya kepada FKPP. dilangsungkan dalam forum-forum internasional lainnya. Sedianya FKPP akan melangsungkan lokakarya, seminar, pameran budaya seperti kerajinan hasil laut nelayan Pihak Polri hendaknya dapat mempertimbangkan tindakannya tradisional serta Kongres Nelayan Indonesia mulai 9-17 Mei yang menghambat kegiatan yang digagas masyarakat sipil. 2009. Panitia juga telah menyampaikan izin ke Mabes Polri Baik acara WOC maupun acara alternatif FKPP yang dihadiri sejak 28 April 2009 yang ditembuskan ke Kesbang Linmas oleh kalangan internasional. Jika Polri tetap membatalkan acara Manado, Polda Sulawesi Utara (Sulut) dan Polwiltabes tersebut, maka hal ini dapat menciderai penilaian dunia Manado. Pada 7 Mei 2009, Kesbang telah mengeluarkan izin, internasional terhadap pelaksanaan demokratisasi di dan pada 8 Mei Polwiltabes juga telah mengeluarkan izin yang Indonesia. Kontras sendiri telah meminta pihak kepolisian sama. Akibat peristiwa tersebut, panitia kemudian untuk mengambil langkah inisiatif dalam memfasilitasi memindahkan tempat pelaksanaan di pelataran Hotel gagasan dari FKPP, karena penyampaian pendapat bisa dilakukan secara damai. Jika hal ini dilakukan, maka akan Kolongan Beach Manado, di Pantai Malalayang. dapat mengangkat citra kepolisian untuk menjadi lebih baik Sementara itu, puluhan nelayan yang akan menghadiri dan profesional di mata masyarakat.*** Kongres Nelayan Indonesia di tempat yang sama juga dihadang
“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui gak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan ha k ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasar kesepakatan sukarela” (Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 11)
a) Meningkatkan cara-cara produksi, konservasi dan distribusi pangan, dengan sepenuhnya memanfaatkan pengetahuan tehnik dan ilmu pengetahuan, melalui penyebarluasan pengetahuan asas-asas ilmu gizi, dan dengan mengembangkan atau memperbaiki sistem pertanian sedemikian rupa, sehingga mencapai suatu perkembangan dan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien. (Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 11 ayat (2) (a))
18
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
REMPAH-REMPAH
Aksi Sosial untuk JSKK Mengawali Konser Bulanan Iwan Fals & Band bulan Mei 2009 dengan judul “Panji Panji Demokrasi” pada tanggal 30 Mei 2009 (pk 15.15 – 17.45) di Panggung Kita, Leuwinanggung, diadakan aksi sosial. Judul konser dipilih dalam rangka memperingati hari reformasi yang jatuh pada tanggal 21 Mei. Maka, tidak salah jika pilihan jatuh kepada Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), yang merupakan komunitas keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk keluarga korban pada rangkaian acara memperingati peristiwa Reformasi Mei 1998.
Pada akhir acara, Iwan Fals & Band membawakan empat judul lagu; Satu-Satu, Untukmu Negeri, Karena Kau Bunda Kami, dan Pulanglah.
Acara ini diadakan di Kantor Kontras, Senin (25/05), dibuka pada pukul 13.00 WIB.
Kehadiran Iwan di antara keluarga korban, korban, dan pejuang HAM tak hanya menghibur. Kehadirannya dimaknai sebagai dukungan dan keberpihakan. Sebuah pemberian yang oleh korban dan keluarga korban jarang diperoleh oleh pemangku negara.
Acara dibuka sambutan dari perwakilan Kontras Indria Fernida yang menjadi tuan rumah. Dilanjutkan oleh PT Tiga Rambu dengan perwakilannya Kresnowati yang juga mewakili TVS, dan JSKK dengan perwakilannya Suciwati yang juga menyampaikan kata sambutan. Pemberian solidaritas secara simbolis diberikan oleh Presiden Direktur PT Tiga Rambu, Rosana Listanto, kepada presidium JSKK, Sumarsih, Suciwati, dan Bejo Untung.
Di depan korban, keluarga korban, dan pejuang HAM yang hadir di Kontras, Iwan Fals mengatakan, dirinya ingin memilik presiden seperti mantan Presiden Korea Selatan Roh Moohyun. “Ia memilik rasa malu, “ katanya memberi alasan tentang Roh Moo-hyun yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena alasan terlibat kasus korupsi.
Aksi sosial dan konser bulanan ini diselenggarakan oleh PT Tiga Rambu, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang impresariat atau entertainment, yang mengurus semua kegiatan Iwan Fals dan disponsori oleh PT TVS Motor Company Indonesia.
Solidaritas diberikan oleh PT Tiga Rambu dan TVS dalam bentuk sumbangan uang, sebagai dukungan untuk JSKK dalam perjuangan dan aksi-aksi yang dilakukan. Bentuk solidaritas ini dipilih karena TVS terutama peduli pada bidang pendidikan selain juga lingkungan, sehingga bantuan ini bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi ke sekolah-sekolah, khususnya sosialisasi buku “Saatnya Korban Bicara: Menata Derap Merajut Langkah”, yang diterbitkan oleh JSKK, maupun kegiatan-kegiatan JSKK lainnya yang bekerja sama dengan persatuan guru-guru sejarah.
Aksi sosial dalam kaitan konser bulanan Iwan Fals sebelumnya antara lain; pada bulan April 2009, yaitu penanaman hutan bakau di Pekalongan dalam rangka memperingati hari Bumi (judul konser: Berpijak yang Bijak), pada bulan Maret 2009, pemberian bantuan ke Taman Belajar dan Bermain Rasuna sekolah non formal Yayasan Sekar Pramita dalam memperingati hari Perempuan International (judul konser: untuk yang Paling Cantik), dan pada Februari 2009, aksi sosial ke Panti Non Werdha Pusaka 19/19A dalam rangka turut merasakan Hari Kasih Sayang (judul konser: Potret Cinta).***
Presiden Direktur PT Tiga Rambu memberikan hadiah kepada Presidium JSKK Sumarsih, Suciwati dan Bedjo Untung
Iwan Fals bersama dengan Band menyanyikan beberapa lagu yang bertema sosial dihadapan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Aula KontraS
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
19
REMPAH-REMPAH
Menggugat Absennya Etika Politik Sejumlah eksponen aktivis ‘98 yang tergabung dalam Gerakan Kaum Muda (GKM), merasa prihatin dengan penyelengaraan politik elektoral yang berlangsung tanpa etika politik, dalam siaran persnya (21/5). Para elit-elit politik mempertontonkan konstestasi yang hanya mengabdi pada uang dan kekuasaan semata. Pemilu legislatif 9 April disusul proses lobi untuk membangun koalisi menuju pilpres, dinilai gagal mengembangkan praktik politik yang beradab.
menghadirkan spirit tradisi politik dan cenderung larut pada kepentingan pragmatis menjaga posisi aman dan nyaman dekat kekuasaan. “Salah satu contohnya, penolakan sebagian partai yang berkoalisi dengan SBY terhadap cawapres Boediono yang bergeser dari alasan ideologis menjadi alasan teknis, “ tambah Asep.
“Sejujurnya ini tidak sesuai dengan imajinasi kami tentang demokratisasi pascaturunnya Soeharto, “ kata Asep Wahyuwijaya, eksponen aktivis mahasiswa, 1997. Asep yang sempat duduk di bangku mahasiswa hukum, Universitas Pajajaran Bandung pernah menjabat sebagai Sekjen ISMAHI (Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia).
Edwin Partogi, salahsatu badan pekerja Kontras (mantan Sekjen HMI cabang Jakarta), secara lugas mempertanyakan tampilnya para militer penjaga Soeharto di arena pilpres. “Apa sebelas tahun ini telah merubah para penjaga Soeharto itu menjadi reformis. Sangat terbuka kita semua akan diajak kembali ke masa lalu, “ tegasnya.
Asep juga menyesalkan masih tumbuhnya strategi memperoleh kekuasaan dengan kecurangan. Ini tercermin dari praktik politik uang dan pengabaian atas hilangnya jutaan hak pilih rakyat tanpa memperoleh rehabilitasi.
Tampilnya para penjaga Soeharto
Sedangkan mantan Aktivis HMI yang kini menjadi Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) untuk Indonesia, Ray Rangkuti, menyampaikan mereka tidak berpihak kepada siapapun, selain agenda pematangan demokratisasi. Targetnya adalah penegakan etika politik dan ekonomi kerakyatan benarbenar dijalankan.
Padahal, perjuangan luhur mahasiswa dan masyarakat ketika itu harusnya menjadi “Bagi kami, tokoh-tokoh pedoman bagi segenap yang terlibat kejahatan bangsa dan elit politik masa lalu, baik di bidang dalam mengembangkan ekonomi, HAM, demokratisasi yang kebudayaan, maupun beradab. Perjuangan demokrasi sebenarnya tanpa pamrih dengan tidak layak mendapat Diskusi Caleg dengan tema prospek HAM paska 2009 pengorbanan jiwa tempat di era reformasi, “ (peristiwa Trisakti, ujarnya. Tragedi Mei, Semanggi I dan II), mahasiswa dan masyarakat semata-mata diabdikan Untuk itu, para mantan aktivis ini kembali mengingatkan agar bagi kepentingan bangsa. Hingga selayaknya mereka yang kita tidak mudah percaya pada pimpinan politik stuktural mendapat ruang kekuasaan dari buah gerakan reformasi, maupun non-struktural yang ada. Kepercayaan pada sepatutnya menjadikan lembaga-lembaga politik sebagai alat pimpinan politik harus didasari oleh tindakan-tindakan untuk menghadirkan kebaikan bersama, bukan menjadi mereka yang sepadan dengan prinsip etik yang diterima secara predator politik yang memakan rakyat dan konstituen-nya universal. Upaya konsolidasi masyarakat sipil harus menjadi daya tawar yang efektif untuk mendorong aktor-aktor negara sendiri. lebih bertanggungjawab dalam penyelenggaraan negara yang Di sisi lain, GKM menyatakan kehadiran aktor-aktor baru mengabdi pada kepentingan rakyat. *** kekuasaan sepertinya telah gagal dalam menyebarkan dan
“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencar, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.” (Pasal 19 (ayat 2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik) 20
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
REMPAH-REMPAH
Polri Harus Tindak Tegas Anggotanya yang Melakukan Kekerasan Ketegasan Polri dalam menindak anggotanya yang terlibat kasus-kasus kriminal layak kita hargai. Lihat saja bagaimana Komjen Suyitno Landung pada kasus penyuapan Adrian Waworuntu, Kombes Wiliardi Wizard untuk kasus pembunuhan Nasrudin, dan Kompol Rojayani dalam kasus pemerasan telah berhasil ditindak tegas. Di mana ketiga perwira polisi ini melakukan tindak pidana saat masih bertugas di Mabes Polri. Dan, sebagaimana proses hukum terhadap Suyitno Landung, Polri hendaknya dapat menindak Wiliardi dan Rojayani tidak hanya sebatas profesi kode etik, tetapi juga melalui peradilan umum.
sebelumnya, Bayu ditangkap ditempat tinggalnya oleh sekitar tujuh orang aparat Polres Jakarta Utara. Namun dari penelusuran ayah korban pada hari yang sama ke Polres Jakarta Utara, Polsek Senen, Polsek Kemayoran tidak mendapat informasi adanya penangkapan terhadap Bayu. Ayah korban sempat mengambil inisiatif dengan menelpon salah seorang aparat yang menangkap Bayu (nomor itu didapat dari isteri Bayu ketika aparat tersebut melakukan penggeledahan pascapenangkapan). Dari hubungan telpon tersebut, ayah korban sempat mendengar suara Bayu yang berteriak minta tolong. Lalu hubungan telpon itu terputus.
Sikap tegas Mabes Polri dalam menindak anggotanya, merupakan langkah besar bagi membangun citra Polri yang profesional sekaligus pengayom dan pelindung masyarakat. Bahwa penegakan hukum di lingkungan internal ini juga harus dimaknai sebagai upaya penguatan organisasi, karena penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri tidak dapat dipungkiri telah menjadi rahasia publik. Penegakan hukum di kalangan internal ini sesungguhnya menjawab harapan masyarakat yang sekaligus mengangkat citra Polri semakin positif.
Dan baru pada malam harinya setelah bapak korban menemui Wakasatreskrim Polres Jakarta Utara, ia mendapat keterangan Bayu benar ditangkap dan tengah dilakukan pengembangan di daerah Bogor. Pada 5 April 2009 Bayu ditemukan tewas dengan luka tembak di dada kiri dan kanan, serta luka tusuk di kedua kakinya. Santoso Wakanit IV Polres Jakarta Utara menyampaikan kepada keluarga bahwa Bayu ditembak karena berusaha melarikan diri. Penjelasan ini sulit diterima bila mengingat luka-luka yang dialami Bayu.
Ketiga, kasus penyiksaan terhadap Zaenal M. Latif oleh aparat Polres Cilegon. Zaenal ditangkap pada 29/04. Sejak di lokasi penangkapan yang terjadi di Komplek “Tindakan Taman Banakarta, Zaenal telah mengalami penyiksaan dari sepuluh aparat (salah penyiksaan dan seorangnya, Ipda Dedi Herdiana). Ketika penghilangan nyawa yang terjadi menjalani introgasi di Polres Cilegon, Zaenal kembali disiksa untuk dipaksa mengakui sebagai pada kasus tersebut bandar narkoba dengan cara pemukulan ke Tiga kasus kekerasan di atas merupakan wajah, punggung serta menyundutkan rokok ke tubuh korban. Penyiksaan berlanjut ketika polisi Sementara itu, Kontras sendiri telah menerima tindakan melakukan penggeledahan di tempat kost korban. pengaduan masyarakat terkait dengan tindak pelanggaran HAM Dengan mata dan mulut dibekap lakban, korban kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian yang serius” dipukuli di bagian wajah oleh empat aparat yang dalam menjalan tugasnya. Pertama, kasus membawanya. Subuh (30/04), korban diancam kematian Carmadi pada 16 April 2009 di Polres akan dibunuh oleh Briptu Rahmat dengan Slawi ketika tengah menjalani pemeriksaan. Carmadi dituduh melakukan pengeroyokan terhadap Imron (seorang tim sukses menempelkan laras pistol di kaki kanan dan memaksa korban caleg PDIP di Jawa Tengah), warga sekampung di desa Pakulaut mengakui dirinya sebagai pengedar narkoba. Korban akhirnya dilepaskan dan diperbolehkan pulang (30/4), dengan diberi baju Tegal, Jawa Tengah. ganti (baju sebelumnya yang telah ternoda darah dilarang Pada Kontras, keluarga korban menyampaikan bahwa sebelum dibawa pulang). Korban juga dilarang menceritakan pada kematiannya Carmadi telah mengeluhkan tindakan penyiksaan siapapun tindakan penyiksaan yang dialaminya. oleh polisi yang dialaminya. Carmadi kepada keluarga menunjukkan luka pada bagian kepala, kuping kiri hingga Ketiga kasus kekerasan polisi itu telah dilaporkan oleh keluarga tidak dapat mendengar, lidah robek, dan sakit di bagian rusuk korban/korban didampingi Kontras ke Mabes Polri (12/05), sebelah kiri. Ketika dinyatakan meninggal oleh polisi, Polda Banten (6/05), dan Polres Jakarta Utara (5/05). ditemukan juga bekas lilitan di leher. Anehnya Kasatreskrim Polres Slawi yang sebelumnya menerangkan korban pingsan Tindakan penyiksaan dan penghilangan nyawa yang terjadi ketika menjalani pemeriksaan, mengubahnya pernyataanya pada kasus tersebut di atas merupakan tindakan pelanggaran dengan menyatakan korban meninggal karena bunuh diri. HAM yang serius. Kontras secara khusus meminta Kapolri Kasatreskrim memberi copy visum et reptrum kepada pihak untuk memberi perhatian serta penindakan terhadap keluarga. Namun visum tersebut tidak sesuai standar dan aparatnya yang masih gemar melakukan tindak kekerasan. Tidak hanya menerapkan sanksi administratif namun juga tidak menjelaskan sebab kematian. membawanya ke pertanggungjawaban publik berupa tindak Kedua, kasus kematian Bayu Perdana Putra oleh aparat Polres pidana pengadilan.*** Jakarta Utara. Bayu diketahui meninggal (5/04). Tiga hari Pada konteks inilah, kita berharap Kapolri tetap menjaga komitmen penegakan hukum internal bagi pembentukan budaya organisasi yang akuntabel. Kapolri harus memastikan bahwa kebijakan serupa juga diterapkan di semua tingkatan, baik di jajaran Polda hingga Polsek.
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
21
REMPAH-REMPAH
Tunda Pembahasan RUU Rahasia Negara Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Rahasia Negara oleh DPR dan pemerintah yang masih berlangsung hingga saat ini, adalah bukti pengabaian berbagai reaksi yang disampaikan sejumlah kelompok masyarakat sipil yang menghendaki DPR menunda pembahasan. Upaya penundaan ini mencuat lantaran naskah RUU Rahasia Negara berpotensi mengancam HAM, hak-hak sipil, kebebasan pers, kebebasan publik dalam mengakses informasi dan kerja-kerja advokasi dengan alasan rahasia. Kekhawatiran ini juga bukan tanpa alasan. Ruang lingkup rahasia negara yang bersifat luas dan elastis, telah memberi ruang terjadinya penyimpangan atas nama rezim rahasia. Masalahnya makin bertambah runyam, karena penetapan informasi rahasia tanpa proses uji publik. Adanya keleluasaan bagi pejabat publik melakukan klaim rahasia negara atas informasi dan aktivitas yang mereka lakukan juga menjadi faktor penentu dalam eksekusi RUU tersebut. Selain itu, keberadaan Dewan Rahasia yang didominasi pejabat pemerintah dan tidak representatifnya perumusan rahasia negara yang mengenyampingkan kebutuhan publik dalam memperoleh informasi, juga akan menjadi faktor pendorong beberapa pihak untuk tetap mempertahankan RUU Rahasia Negara. Pada gilirannya, RUU Rahasia Negara berlawanan dengan upaya advokasi masyarakat sipil. Atas nama rezim kerahasiaan institusi keamanan di antaranya TNI, Polri dan BIN dapat melakukan tindakan koersif pada masyarakat. Dengan tidak jelasnya batasan definisi dan cakupannya, akan mendorong aparat keamanan melakukan pelanggaran HAM. Akses kelompok advokasi reformasi sektor keamanan tertutup terhadap informasi yang secara umum berkaitan dengan reformasi sektor keamanan dan mengekang peran masyarakat sipil dalam isu-isu reformasi sektor keamanan.
Mengejar kemajuan normatif Desakan kuat dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Pertahanan yang menghendaki agar RUU Rahasia Negara disahkan pada masa pembahasan tahun 2009, menunjukkan
bahwa pemerintah hanya ingin mengejar kemajuan normatif. Yakni, reformasi sektor keamanan berjalan dengan baik yang ditunjukkan dengan lahirnya sebuah UU Rahasia Negara yang mengatur informasi terkait pertahanan dan keamanan, sebagai bagian dari agenda reformasi militer yang selama periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalami kemacetan. Sementara sikap DPR memperlihatkan dukungan terhadap kemauan pemerintah, DPR tidak hirau dengan substansi RUU Rahasia Negara, substansi pasal-pasal yang mengancam kelangsungan demokrasi dan bila tidak hati-hati bisa mengurangi fungsi kontrol DPR itu sendiri, akibat tidak maksimalnya pembahasan dalam suasana Pemilu 2009. Pada akhirnya, keperluan menghadirkan sebuah undangundang tentang rahasia negara untuk menjamin adanya kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan prinsip demokrasi, apalagi mengancam rezim keterbukaan. Demi melindungi kepentingan keamanan nasional dan kepentingan publik, masyarakat tentu berharap pemerintah segera mengganti naskah RUU Rahasia Negara, dengan mengedepankan prinsip maximum acces dan limited axemption dalam pengaturan rahasia negara. Sementara itu, penentapan standar rahasia negara perlu diarahkan pada pengelolaan kerahasiaan negara dan bukan kriminalisasi yang diarahkan pada masyarakat umum. Selain perlu diatur jaminan hukum, bagi pejabat publik yang beritikad baik membuka tindak pidana yang ada di badan publiknya, demi kepentingan hukum yang lebih besar. Hal ini guna menghindari penyalahgunaan wewenang maupun tindakan kriminal di balik kerahasiaan negara Terakhir, kalangan DPR RI hendaknya menunda pembahasan RUU Rahasia Negara dengan memperhatikan aspirasi masyarakat sipil yang menghendaki kerahasiaan harus dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih, sempitnya waktu menjelang peralihan DPR dan Pemilu 2009, jelas tidak memungkinkan pembahasan RUU Rahasia Negara dilakukan secara komprehensif dan transparan.***
(1) Kewenangan untuk menentukan bahan keterangan menjadi Rahasia Negara berada pada Pimpinan Lembagalembaga Negara. Pimpinan Lembaga Pemerintah baik Departemen maupun Non Departemen, Pimpinan Badan Usaha Milik Negara dan Pimpinan BDan-badan lain yang ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia, rincian keweanngnya ditur dalam Peratusan Pelaksanaan Undang-Undang Rahasia Negara. (Pasal 12 Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara) (1) Barang siapa karena kewajibannya tidak melaksanakan pengamanan Rahasia Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Hukuman pidana penjara dapat ditambah sepertiga barang siapa karena kewajibannya melaksanakan pengamanan Rahasia Negara dengan sengaja mengumumkan atau memberitahukan atau menyerahkan kepada pigak yang tidak berhak (Pasal 18 Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara) 22
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
REMPAH-REMPAH
Komitmen Perlindungan bagi Korban Pelanggaran HAM Didukung oleh Madres of the Plaza de Mayo Argentina, AFAD dan Amnesty Internasional; Kontras dan Ikohi telah meminta Komnas HAM agar memberikan perhatian khusus terhadap lambannya proses penandatanganan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, sebagaimana yang telah dijanjikan Pemerintah Indonesia dalam sidang Dewan HAM PBB, Maret 2007 lalu. Di mana dalam sidang Dewan HAM PBB tersebut, Hamid Awaluddin yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, menegaskan bahwa pemerintah tengah berikhtiar untuk menjadikan HAM sebagai salah satu pilar utama dalam reformasi tata internasional (mekanisme PBB) yang baru.
DPR yang telah bekerja sejak pertengahan 2007 lalu. Di mana berdasarkan pemantauan, Pansus telah menyelesaikan beberapa agenda. Di antaranya, mendengar keterangan dari berbagai pihak, saksi dan korban, pendamping korban, perwakilan pemerintah dan pihak terkait lainnya terkait dengan pengungkapan kasus orang hilang. Dalam pertemuan dengan pimpinan dan anggota Pansus sebelumnya, pihak Pansus menyampaikan bahwa rekomendasi Pansus akan memperkuat temuan dan kesimpulan dari Komnas HAM. Anggota Pansus juga menyatakan tidak akan mengeluarkan rekomendasi yang justru bertentangan dengan temuan Komnas HAM.
Pengesahan Konvensi Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang secara Paksa di PBB pada akhir tahun 2006, merupakan perjuangan panjang melalui keringat, darah dan airmata para ibu keluarga korban orang hilang, termasuk para ibu yang tergabung dalam dari Madres of the Plaza de Mayo, Argentina. Ibu-ibu para korban orang hilang di Indonesia sendiri terlibat melalui peran aktif Kontras dan Ikohi sebagai anggota organisasi regional Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD).
Kontras dan Ikohi dalam suratnya berusaha mengingatkan tentang masa bakti tugas DPR RI periode 2004 – 2009 yang akan segera berakhir, maka dari itu Kontras dan Ikohi berharap agar setumpuk pekerjaan rumah yang belum selesai, khususnya terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat baik yang terjadi di masa lalu maupun yang terjadi setelah tahun 2000 segera dituntaskan. Di mana kasus penghilangan paksa 1997/1998 yang menjadi bagian di dalamnya, dapat segera diselesaikan.
Selanjutnya, konvensi ini memberikan kewajiban kepada negara untuk mengambil langkah-langkah strategis guna menyelidiki tindakan-tindakan penghilangan paksa yang dilakukan oleh orang-orang atau sekelompok orang, yang bertindak tanpa kewenangan, dukungan atau persetujuan dari negara, serta membawa mereka yang bertanggung jawab ke muka pengadilan.
Dalam surat tersebut, juga diungkapkan agar hasil akhir dan rekomendasi Pansus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998 juga segera ditindaklanjuti dalam bentuk rekomendasi oleh ketua DPR RI dan Presiden, untuk segera membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Termasuk memberikan rekomendasi pada ketua DPR RI untuk segera mendorong pemerintah terkait melakukan usaha-usaha pencarian 13 orang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang.
Karenanya, Komnas HAM yang menjadi institusi paling strategis, diharapkan bisa mendorong upaya penandatanganan konvensi ini. Dan sebagai satu-satunya institusi HAM di Indonesia, Komnas HAM dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan pengkajian atas urgensi penandatanganan konvensi, untuk kemudian merekomendasikan pada pemerintah agar segera memasukkan agenda ini dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2000-2010. Hal ini merupakan wujud nyata komitmen pemerintah atas perlindungan bagi korban pelanggaran HAM. Sementara itu, pengesahan konvensi ini akan menjadi sangat penting untuk mencegah tindakan serupa terjadi di masa depan. Terlebih, di tengah kebuntuan proses hukum atas berbagai kasus penghilangan paksa di Indonesia. Penting juga memastikan agar para pelaku yang bertanggungjawab dibawa ke proses pengadilan, sehingga dapat menimbulkan efek jera. Namun, sangatlah disesalkan, pelaku yang semestinya bertanggungjawab justru tengah berebut untuk menguasai kepemimpinan bangsa ini dalam kontestasi Pemilu 2009.
Rekomendasi Pansus Selanjutnya, pada awal Juni, Kontras dan Ikohi juga telah melayangkan surat terbuka kepada Effendy Simbolon (Ketua Pansus Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998). Surat itu dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan kerja Pansus
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
Terakhir, Kontras dan Ikohi juga mendesak Pansus, agar segera meminta Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyidikan kasus Penghilangan Paksa 1997/1998 sebagaimana diperintahkan UU Nomor 26 tahun 2000, dan diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Februari 2008. Langkah politik ini perlu diambil, karena langkah hukum saja tidak cukup untuk menyelesaikan kasus yang kompleksitasnya cukup tinggi. Dalam prinsip HAM, kasus penghilangan paksa adalah continuous crimes (kasus yang terus berlanjut) sehingga pertanggungjawaban atas pelaku merupakan tanggungjawab negara, termasuk kepada siapapun yang nanti akan menjadi bagian dari penyelenggara pemerintahan. Sedangkan komitmen terhadap penuntasan kasus adalah batu ujian terakhir bagi DPR RI periode 2004-2009, sesuai pula dengan janjinya kepada keluarga korban yang masih menanti keadilan.*** “Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau sisrtematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud dalam hokum internasional yang berlaku dan harus memperoleh konsekwensi seperti yang berlaku di bawah hokum internasional.” (Pasal 5 Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan orang secara Paksa)
23
KABAR DARI SEBERANG
Durban Review Conference; Inflasi HAM di Konferensi Internasional Pada 20 hingga 24 April 2009 lalu di Jenewa, Swiss, tepatnya di kantor urusan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diselenggarakan suatu konferensi internasional, yang dikenal sebagai Durban Review Conference sumber: www.wwan.cn (DRC), sebagaimana yang dimandatkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 61/149 (pada tahun 1996). DRC ini merupakan suatu evaluasi terhadap implementasi dari Deklarasi dan Program Aksi Durban yang merupakan hasil dari Konferensi Dunia Melawan Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan Intoleransi Terkait lainnya yang berlangsung di kota Durban, Afrika Selatan pada 2001. Lokasi konferensi tersebut menunjukan suatu harapan akan dunia tanpa praktek diskriminasi berbasis ras/warna kulit yang disimbolkan dengan runtuhnya Rezim Apartheid di Afrika Selatan yang merupakan rezim terakhir yang dibangun berdasarkan segregasi ras/ warna kulit secara formal. Konferensi ini dihadiri oleh 141 perwakilan negaranegara anggota PBB, 39 institusi/komisi hak asasi manusia nasional (serupa dengan Komnas HAM kita), institusi HAM regional, 20 badan traktat dan mekanisme HAM internasional, dan sekitar 500 NGO HAM dari seluruh kawasan di dunia.
Kontroversi semakin meninggi ketika Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad memberikan pidato selama konferensi. Ahmadinejad menyerang praktek rasisme yang dilakukan oleh Israel dan menuduh bahwa isu holocaust digunakan sebagai slogan untuk membenarkan agresi mereka terhadap rakyat Palestina. Sejak Ahmadijenad memulai pidatonya, para delegasi dari negara-negara Barat melakukan boikot dengan meninggalkan ruangan konferensi, sementara sebagian delegasi lain memberikan aplus kepadanya.
Sekjen PBB, Ban Ki-Moon menyesalkan aksi boikot tersebut, namun juga menyesalkan isi pidato Presiden Ahmadijenad. Sikap serupa juga dinyatakan kebanyakan NGO HAM. Mereka menyesalkan suatu konferensi HAM tingkat tinggi yang seharusnya dilandasi oleh suatu komitmen politik akan promosi dan perlindungan HAM justru dijadikan alat politik para pemimpin dunia yang sedang bertikai. Memang belakangan ini nilai-nilai HAM sering digunakan, ditafsirkan, dan dirujuk untuk suatu kepentingan politik. Hal ini yang disebut sebagai inflasi sumber: http://bandannie.files.wordpress.com HAM.
Meski konferensi ini memiliki tujuan dan substansi yang mulia, namun isinya kemudian dipolitisir oleh berbagai kepentingan negara-negara tertentu yang sedang memiliki ketegangan politik. Kelompok negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jerman, Belanda memboikot DRC. Sementara beberapa negara barat lainnya hanya mengirim perwakilan/ delegasi tingkat rendah. Mereka menuduh DRC ini digunakan oleh banyak kepentingan untuk mempromosikan sikap antisemitisme dan kebijakan anti penodaan agama yang dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sebagian dari kelompok negara-negara pemboikot ini juga menyesalkan tidak dimasukkannya agenda penghapusan diskriminasi terhadap kaum homoseksual. Singkatnya kelompok negara-negara Barat menuduh DRC ini hanya digunakan untuk mempersoalkan praktek-praktek
24
rasisme dan intoleransi yang terjadi di negara-negara Barat dan menafikan apa yang terjadi serupa di negara-negara berkembang.
Namun, hasil akhir dari DRC tidaklah terlalu mengecewakan karena keinginan berbagai pihak relatif bisa diakomodir. Pertama, sesuai dengan keinginan negara-negara Islam di dunia, DRC menyerukan agar praktek prasangka (stereotipe) terhadap kaum Muslim di dunia -akibat peristiwa 11 September 2001- harus diakhiri. Kedua, sesuai keinginan negara-negara Barat, DRC tidak menyatakan bahwa penodaan agama sebagai salah satu bentuk rasisme dan karenanya tidak bisa dijadikan subjek pelarangan secara hukum. Ketiga, DRC menyerukan kepada negara-negara yang belum meratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial untuk segera meratifikasinya. Bagi negaranegara yang sudah meratifikasinya, diserukan agar mengimplementasikan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Ratifikasi universal akan menunjukan bahwa diskriminasi rasial adalah kejahatan internasional.
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
SERBA-SERBI
TATY ALMEIDA berfoto bersama dengan Suciwati (Istri Munir), Sumarsih (Ibunda Wawan, Ibu Darwin dan Angkhana (Istri Somchai Nelapaijhit)
Taty Almeida dan Aurora dalam aksi Kamisan di depan Istana Presiden bersama dengan para korban dan Keluarga Korban
Taty dan Aurora memberikan kenang-kenangan kepada Komnas Perempuan yang diterima oleh Kamala Chandrakirana (Komnas Perempuan)
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
25
SERBA-SERBI
Iwan Fals dan Band menyanyikan beberapa lagu dalam aksi sosial di kantor Kontras
Keluarga Korban Tragedi Mei ‘98 melakukan doa dan tabur bunga di pemakaman para korban Mei ‘98 di TPU Pondok Rangon
Keluarga Korban bersama dengan masyarakat sipil melakukan aksi di depan Bunderan HI untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat tentang tragedi Mei ‘98
26
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
SERBA-SERBI
Pulanglah, Pak!! oleh: Fitri Nganti Wani Pulanglah, Pak Kami sekeluarga menunggumu, Pak Kawan-kawanmu juga menunggumu, Pak Pulanglah, Pak Apakah kamu tidak tahu Indonesia pecah, Pak? Pipa pipa menancap di ibu pertiwi kita Asap-asap dari pabrik-pabrik mengotori pertiwi kita, Pak Limbah-limbah membuat sungai-sungai Dan kali kali tercemar Kami terpaksa tutup hidung, Pak Pertiwi kita menangis Pertiwi butuh kamu, Pak Pulanglah, Pak Apakah kau tidah ingat aku lagi Aku anakmu, Pak Aku, Adik, Ibu dan semua orang merindukanmu, Pak Apakah hanya dengan doa-doa saja Aku harus menunggu ? Penguasa, Kembalikan Bapakku!!! 15 Mei 2000
Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009
27