Pengantar Redaksi Salam Semangat... “The journey of a thousand miles begins with one step (Lao Tzu) “ Kata-kata kata yang menginsipirasi dan menjadi motivasi kami semua adalah kutipan yang menyatakan bahkan perjalanan yang panjang dan sulit sekalipun pasti memiliki titik awal. BioTrend edisi kedua tahun 2015 ini, kami harapkan dapat menjadi langkah-langkah awal dari jalan panjang para peneliti dalam melakukan diseminasi ilmu dan hasil penelitian untuk dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengenalan dengan bahasa yang lebih populer sebagai karakter majalah Bio Trend dapat memudahkan pengguna dalam memahami mem ilmu dan hasil penelitian. Edisi kedua lebih difokuskan pada bioteknologi kesehatan, yang meliputi pemanfaatan teknologi dalam berbagai bidang, seperti teknik penggandaan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk diagnostik, teknik Gilson assembly dalam rekombinasi DNA dan metode Resazurin sebagai indikator aktivitas sel. Topik kanker menampilkan potensi pengembangan obat antikanker terkini melalui penargetan jalur transduksi sinyal Lysosomal Cell Death (LCD) serta a pentingnya pemeriksaan Androgen Reseptor (AR) pada penderita kanker payudara. Paparan lain adalah mengenai harapan baru pengembangan vaksin untuk penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tingkat kejadian dan angka kematiannya masih tinggi. Sebagai tambahan han pengetahuan, kami menghadirkan tulisan bidang lingkungan mengenai pemanfaatan limbah sebagai bahan baku pembuatan bioselulosa. Bagi pembaca yang berminat menjadi saintis, paparan mengenai pentingnya menjadi saintis dalam pembangunan bangsa akan sangat bermanfaat untuk lebih memotivasi diri. Akhir kata, selamat membaca dan menikmati sajian kami. Ketidaksempurnaan adalah sebuah kesempurnaan tersendiri, kesempurnaan akan lebih mudah didekati dengan menyadari ketidaksempurnaan. Mohon maaf atas semua kekurangan gan yang ada. Semoga edisi kali ini lebih baik dari edisi sebelumnya. Salam semangat
Dr. Ratih Asmana Ningrum Editor kepala
PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jalan Raya Bogor KM.46 Cibinong ,BogorJawa Barat 16911 Tel.021-8754587 Fax.021-8754588 Website :www.biotek.lipi.go.id
Redaksi Pembina Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Penanggung Jawab dan Pemimpin Redaksi Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Editor kepala Dr. Ratih Asmana Ningrum Editor Bidang Pangan Dr. Wahyuni Editor Bidang Energi Swastika Praharyawan, Apt,M.Si, Editor Bidang Kesehatan Dr. Desriani DesainGrafis Suherman, S.AP Administrator Ario Tutuko Suwarno, S.Kom
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
BAHAN BAKU ALTERNATIF PEMBUATAN BIOSELULOSA Ruth Melliawati Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jl. Raya Bogor KM. 46. Cibinong
“Inovasi diperlukan untuk membuat nata (bioselulosa) dari berbagai limbah pabrik.”
B
ioselulosa adalah selulosa yang dihasilkan oleh bakteri. Selulosa merupakan homopolisakarida linier yang tidak bercabang, terdiri atas 10.000 atau lebih unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Dalam industri, sumber selulosa adalah kayu, tetapi selulosa juga dapat dihasilkan oleh bakteri. Beberapa mikroorganisme yang dapat menghasilkan selulosa, diantaranya dari genus Acetobacter, Rhizobium, Agrobacterium, dan Sarcina. Selulosa yang dihasilkan oleh bakteri adalah selulosa murni tanpa komponen lignin sebagai pelindungnya. Diameter selulosa
umumnya berkisar 0,1 mm, 300 kali lebih kecil dibandingkan dengan serat selulosa kayu, jaringan serat memiliki area yang luas, kapasitas pengikat air tinggi, resistensi tinggi dan memiliki kekuatan tarik yang besar. Media yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah senyawa karbon, nitrogen serta beberapa zat untuk pertumbuhan seperti asam amino dan garam mineral.
untuk membuat nata dari berbagai limbah pabrik.
Pada umumnya, nata dibuat dari air kelapa, karena air kelapa cukup mengandung vitamin, mineral, senyawa nitrogen, dan gula. Dengan menambahkan sedikit gula sebagai sumber karbon, ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen, dan menambahkan asam cuka untuk mengatur pH agar bakteri tumbuh subur. Lapisan tipis selulosa Dengan berkembangnya industri terbentuk di atas permukaan pangan di Indonesia, limbah cair medium yang pada akhirnya semakin banyak, serhingga sangat menjadi tebal, putih, dan kenyal. mungkin menurunkan kualitas Kandungan nata de coco terdiri lingkungan apabila tidak ditangani dari 3-4% serat selulosa dan 95 secara baik dan terkendali. % lebih adalah air. Limbah pabrik Limbah limbah industri tersebut merupakan peluang yang besar hingga kini belum banyak untuk digunakankan sebagai dimanfaatkan, Sementara itu, bahan alternatif untuk membuat berdasarkan informasi dari para nata, karena masih mengandung pengrajin nata, air kelapa menjadi bahan-bahan organik dan sulit didapat dan harga bersaing. anorganik yang cukup baik untuk Oleh karena itu, inovasi diperlukan pertumbuhan bakteri Acetobacter.
Gambar 1. Bioselulosa (nata de coco) dari air kelapa (A), ekstrak kulit Pisang Raja (B), ekstrak kulit buah Naga (C)
1
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Saat ini, produsen nata de coco yang menjadi pesaing kita adalah Filipina, Malaysia, Jepang, dan lain-lain. Jepang telah mampu memanfaatkan nata de coco untuk produk non-pangan, seperti bahan elektronik, komposit baja ringan, dan lain-lain. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri nata de coco, karena memiliki bahan baku kelapa yang cukup melimpah dan limbah industri yang cukup banyak. Industri nata de coco juga dapat dikerjakan dalam skala rumah tangga, sedangkan pasar luar negeri masih sangat luas. Makanan atau minuman yang terbuat dari nata de coco banyak disukai, tidak hanya di Indonesia tetapi juga digemari oleh masyarakat di berbagai belahan dunia seperti di AS, Jepang, Eropa, Timur Tengah, Australia, dan lain-lain. Produk minuman kemasan nata de coco memiliki prospek yang cerah sebagai produk ekspor unggulan, karena memiliki pangsa pasar yang luas dan memiliki nilai jual yang tinggi. Pasar produk nata de coco baik domestik maupun luar negeri masih terbuka lebar. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi tantangan yang menjanjikan untuk membuka peluang usaha yang akan memberi manfaat kepada ekonomi nasional secara keseluruhan. Beberapa bahan baku alternatif untuk membuat nata (selulosa) Limbah air kelapa Sejak semula limbah air kelapa digunakan sebagai bahan baku
untuk membuat nata de coco. Dari hasil analisa Balai Penelitian Kimia Bogor dilaporkan bahwa kandungan air kelapa tua untuk setiap 100 g contoh mengandung 98,69 g air, 0,05 g ptotein, 0,01 g lemak, 0,82 g glukosa/fruktosa,0,95 g sukrosa, 1,77 g gula total, 0,46 g abu dan 1,31 g total solid. Hasil penelitian terakhir dari Tropical products institute, melaporkan bahwa dalam air kelapa terdapat glukosa, fruktosa, sorbitol, m-inositol, dan kemungkinan s-inositol. Selain itu, juga mengandung sejumlah vitamin dalam jumlah kecil, terutama asam askorbat (Vit. C) yang terdapat dalam jumlah 0,73,7/100 mg air buah. Di samping itu, asam amino bebas yang terdapat dalam air kelapa adalah asam sitrat, asam aspartat, asam glutamat, serin, glycin, threonin, alanin, histidin, lisin, arginin, prolin, valin, leusine, fenilalanin, tirosin, hidrosiprolin, metionin dengan jumlah total 4.135 mg/100 gr sisa alkohol tidak terlarut. Dilaporkan juga adanya zat pengatur tumbuh dalam air kelapa yaitu 1,3 difenil urea (5,8 gr/ml) dan indolasetat arabinosa. Dalam air kelapa, kalium merupakan komponen yang utama disamping sejumlah "trace elements", seperti Na, Ca, Mg, Fe, Cu, P, S, Cl. Untuk saat ini, nata de coco termasuk struktur yang mempunyai nilai ekonomi, karena bukan sekedar untuk tujuan pangan, tetapi juga untuk bahan
industri dan menjadi komoditi eksport yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Di samping itu juga, walaupun kandungan gizinya kecil bahkan mungkin tidak ada, namun struktur selulosa yang terdiri dari jalinan benang seperti tekstil yang berkadar serat tinggi sangat baik untuk pencernaan, juga dikatakan dapat mencegah terjadinya penyakit usus (kangker). Limbah cair susu Limbah susu dari pabrik biasanya dibuang, tetapi di dalam limbah susu masih mengandung unsurunsur yang cukup baik untuk pertumbuhan bakteri. Dari hasil analisis dilaporkan bahwa COD dan BOD dari limbah susu yang segar tercatat masing masing 820 mg/l dan 4000 mg/l. Angka tersebut sangat tinggi, demikian juga kadar minyak/lemak cukup tinggi, sedangkan senyawa anorganik masih memenuhi angka standar baku mutu untuk dilepas ke lingkungan. Di samping senyawa tersebut tentunya senyawa organik dan unsur karbon, nitrogen, dan mineral terkandung di dalamnya.
Dari hasil penelitian pendahuluan, limbah susu dapat dipakai sebagai medium untuk membuat nata, namun selulosa yang dihasilkannya tipis, sedangkan bila limbah susu dicampur dengan air kelapa dengan perbandingan 1 : 1 hasilnya sama dengan bila menggunakan air kelapa. Jadi
Gambar 2. Bioselulosa (nata de coco) dari air kelapa (A), ekstrak kulit Pisang Ambon (B), ekstrak kulit Sawo (C)
2
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
limbah susu dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif untuk membuat nata. Limbah cair tahu Limbah cair pada proses pembuatan tahu yang berasal dari air sisa penggumpalan dan air sisa pada percetakan merupakan limbah yang memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh mikroba. Selain itu, juga karena di dalamnya masih mengandung zat organik, serta mengandung zat terlarut serta padatan tersuspensi. Limbah cair tahu, baik yang menggunakan bahan penggumpal CaSO4 maupun asam asetat, masih dapat dimanfaatkan secara fermentasi untuk makanan ternak ataupun untuk membuat nata. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menambahkan sumber nitrogen dan karbon secukupnya. Pembuatan nata dari limbah tahu memerlukan waktu lebih lama dari pada menggunakan limbah air kelapa yaitu kurang lebih 14 hari. Limbah cair tapioka Sumber Badan Litbang Pertanian melaporkan bahwa, air hasil samping produksi tapioka mengandung karbohidrat 2,5%, glukosa 0,185 mg/L, nitrogen total mencapai 182 mg/L, serta pH 5 – 5,5. Dari data tersebut diinformasikan bahwa limbah cair tapioka dapat dimanfaatkan sebagai substrat untuk membuat nata de cassava.
kain kasa steril. Kedalaman substrat cair dalam nampan adalah 2 cm. Setelah delapan hari inkubasi terbentuk lapisan nata de cassava ketebalan berkisar 1,25 – 1,5 cm. Limbah padat tapioka (0nggok) Limbah padat tapioka (onggok) dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat nata.de cassava, dari setiap satu kilogram onggok, setelah diproduksi akan menjadi lima kilogram lembaran nata. Selain bernilai ekonomis, nata de cassava baik untuk kesehatan. Kandungan gizi setiap 100 gram basah produk ini mengandung serat kasar sebesar 1,71 persen. Karena berserat tinggi, maka sehat untuk pencernaan, tetapi mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan produk nata dari air kelapa. Kelemahannya, kalau nata de cassava membutuhkan waktu proses yang lebih lama karena terjadi proses hidrolisis karbohidrat menjadi gula melalui fermentasi. Dalam prosesnya perlu waktu tiga hari lebih lama dari Nata de coco yang dibuat dari air kelapa. Kelebihannya, nata de cassava mengandung gula 5-7 persen, sementara nata de coco hanya 2 persen, sehingga tidak membutuhkan penambahan gula (hasil penelitian mahasiswa UGM). Limbah kulit buah buahan
Beberapa limbah kulit buah buahan dapat digunakan untuk membuat nata. Dari hasil Proses pembuatan nata de penelitian yang dilakukan Pusat cassava : air hasil samping Penelitian Bioteknologi LIPI, produksi tapioka disaring untuk ekstrak limbah kulit pisang raja, memisahkan kotorannya, direbus sampai mendidih selama 15 menit, pisang kepok, pisang ambon, pisang uli, juga kulit buah naga, kemudian tambahkan gula 2,5%, melon, semangka, pir, apel, sawo, urea 0,2%, cuka dapur (25%) dan nanas dapat dipakai sebagai sebanyak 1,0 % dan diaduk media untuk membuat nata. hingga rata. Selanjutnya substrat cair didinginkan sampai suhu di Proses pembuatan nata dari bawah 40°C. Susbtrat diinokulasi ekstrak kulit buah buahan bibit A. xylinum sebanyak 10%, berlangsung antara 7-12 hari diinkubasi selama 8 hari pada hingga cairan limbah berubah suhu ruang (28 – 35°C) pada menjadi lapisan tebal (nata) yang wadah nampan yang steril serta siap diolah. Hasil nata pada waktu ditutup kertas koran steril atau
3
dipanen berbeda warna antara satu dengan yang lain, khususnya bila menggunakan kulit buah naga akan berwarna merah sesuai dengan warna kulit buah naga, akan tetapi setelah melalui pencucian dan perendaman warna merah akan hilang dan menjadi putih transparan. Sebagai informasi dari hasil penelitian, ekstrak kulit bagian dalam pisang raja ( perbandingan ekstrak kulit pisang raja : air kelapa = 75 : 25), kulit buah pir, dan kulit buah sawo menjadi urutan kedua setelah air kelapa dan urutan ketiga adalah kulit pisang kepok dan pisang ambon. Selain limbah kulit buah buahan dapat juga ekstrak tomat, jambu air dan buah yang lain yang dapat dibuat sebagai bahan baku untuk membuat nata. Daftar Pustaka Casida L.E. 1968 Industries Microbiology. New York : John Wiley. Tresnawijaya M. 1990. Dasar Dasar Biokimia. Jakarta : Airlangga Peter Ross, Raphael Mayer and Moshe Benziman. 1991. Cellulose Biosynthesis and Fuction in Bacteria Yoshino, T., T. Ashakura and K. Yoda. 1996. Cellulosa production by Acetobacter pasteurianus on silicone membrane. J. Ferment. Bioeng. 81:32-36. Ruth Melliawati dan Nuryati. 2012. Pemanfaatan limbah buah buahan menjadi produk berserat oleh bakteri Acetobacter sp. RMG-2. . Prosiding Seminar Nasional, Proses Biologi dan Kimia Dalam Industri yang Berwawasan Lingkungan. UNB. Bogor, 8 Desember 2011. Hal. 114-123
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
MENJADI SAINTIS DAN MEMBANGUN BANGSA Anky Zannati Pusat Penelitian BioteknologiBioteknologi LIPI Jl.Raya Bogor KM.46 Cibinong Science Center, Bogor 16911. Telepon: 021-8754587. 021 Email :
[email protected]
“Kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi modal dasar untuk dapat menghasilkan sebuah inovasi yang sangat bermanfaat untuk pengembangan ekonomi agar dapat bersaing secara global.” Kemajuan suatu negara dapat dilihat dari beberapa indikator, beberapa diantaranya adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 dari Lembaga Riset dan Teknologi Republik Indonesia menyebutkan bahwa, kemampuan suatu bangsa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkesinambungan sangat bergantung pada kemampuan bangsa tersebut dalam meningkatkan inovasi. Inovasi yang berbasis pada kapitalisasi produk riset teknologi akan
memberi dampak langsung pada peningkatan produktivitas yang berkelanjutan yang pada akhirnya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi modal dasar untuk dapat menghasilkan sebuah inovasi yang sangat bermanfaat untuk pengembangan ekonomi agar dapat bersaing secara global. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu harus didukung dengan sumberdaya manusia yang memadai, dalam hal ini adalah keberadaan peneliti atau
saintis di bidangnya masin masingmasing. Namun di Indonesia potensi sumberdaya manusia di bidang sains dan riset masih rendah dibandingkan negara lain. Menurut data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Institute for Statistics 2005 2005-2014, jumlah peneliti iti di Indonesia hanya 205 per 1 juta penduduk. Jika dibandingkan dengan negara maju sangatlah jauh berbeda, seperti Jepang,, jumlah penelitinya adalah 5.573 per 1 juta penduduk penduduk, Amerika Serikat 4.663 per 1 juta penduduk,, Inggris 4.269 per 1 juta penduduk.
Gambar 1.. Statistik Jumlah Peneliti per 1 Juta Penduduk (UNESCO, 2014).
4
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Banyak faktor yang membuat rendahnya minat pemuda-pemudi untuk terjun ke dunia riset dan sains. Salah satunya karena riset dan sains dilihat sebagai suatu bidang yang tidak populer. Hal lain juga karena perhatian pemerintah yang dirasa masih kurang perhatian pada bidang ini, hingga karir menjadi seorang peneliti atau saintis dilihat tidak menjanjikan. Maka jika seseorang bercita-cita menjadi peneliti atau saintis terdengar sangat aneh dan tidak biasa, dan hanya orang-orang tertentu yang bisa terjun kedalamnya.
sudah kita jajaki bahkan sejak kecil. Hal ini bisa kita jumpai misalnya pada keingintahuan seorang anak kecil yang bertanya kepada ibunya, kemana matahari pergi pada malam hari. Karena anak kecil tersebut melihat siang hari langit terang benderang dan pada malam harinya langit gelap. Rasa keingintahuan tersebut merupakan salah satu contoh dasar berpikirnya seorang saintis, dan tentu terdapat hal lain pula yang perlu dipersiapkan untuk terjun ke bidang riset dan sains.
Langkah awalnya, mulailah sejak dini, misalnya sejak duduk di Saintis adalah orang yg bangku SMU/SMA/SMK. Bidang berkecimpung dalam ilmu minat atau mata pelajaran tertentu pengetahuan, dikatakan juga dapat menjadi bidang yang akan orang yg ahli mengenai suatu didalami. Lalu langkah ilmu, khususnya ilmu pengetahuan selanjutnya, setelah mengetahui alam. Definisi tersebut pastinya ketertarikan kepada salah satu membawa kita kepada figur bidang, maka capailah tingkat
peneliti dan mahasiswa telah terbuka informasinya secara luas. Data lembaga pemberi beasiswa dalam negeri dan luar n negeri berserta syarat syarat-syarat yang harus dipenuhi bisa diakses dengan mudah (Universitas Indonesia, 2010). Untuk mendapatkan beasiswa tentu harus lebih dahulu memenuhi kriteria beasiswa tersebut, salah satu yang paling umum adalah mempersiapkan kemampuan ba bahasa asing, misalnya bahasa inggris. Langkah berikutnya adalah fokus pada satu bidang tertentu, perdalam bidang tersebut sehingga menjadi handal. Sebagai contoh bidang Bioteknologi adalah bidang yang luas maka fokuslah pada suatu area, misalnya bioteknologi gi tanaman pangan. Hal lain yang dibutuhkan untuk menjadi seorang saintis, yaitu berpikir dengan cara yang
Gambar 2.. Model pendidikan terintegrasi . Pendidikan menengah dan berkelanjutan hingga universitas sebagai pusat riset untuk membangun sumber daya manusia berbasis iptek (RISTEK, 2011) seorang yang berkacamata tebal, memakai jas lab putih, berbicara dengan bahasa yang sulit dimengerti. Penggambaran atau steriotipe seperti ini tentunya bukan tanpa alasan, karena sebagian besar orang melihat bidang ilmu pengetahuan sebagai suatu yang sulit, serius dan tidak menarik. Dunia ilmu pengetahuan, riset dan sains sesungguhnya
pendidikan yang lebih tinggi dan mulai terfokus. Pendidikan yang lebih tinggi bertujuan agar saintis menjadi lebih handal di bidangnya. Mencapai pendidikan yang lebih tinggi, tidak harus dengan biaya pribadi, hal ini akan terasa berat. Hal ini dapat disiasati dengan mengajukan beasiswa, baik dalam negeri maupun luar negeri. Peluang beasiswa untuk pengajar,
5
sistematik. Mulai dengan pertanyaan akan suatu hal atau masalah tertentu, lalu membuat hipotesis tentang hal tersebut, dan mulai mencari jawabannya m melalui penelitian untuk mendapatkan fakta atau bukti ilmiah dan mengetahui kebenaran. Kerjasama merupakan hal penting di dalam bidang riset dan
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
sains, maka selanjutnya mulailah mencari teman untuk bertukar informasi, mulai bekerjasama dengan pihak lain, membuka jaringan baru. Hal ini bisa didapatkan dengan melibatkan diri di dalam suatu seminar atau pertemuan ilmiah, masuk keanggotaan klub ilmiah, mengajukan lamaran untuk fellowship ataupun internship di suatu lembaga penelitian didalam maupun luar negeri, atau bahkan memulai dari yang paling mudah, yaitu menjadi asisten laboratorium di kampus.
suatu cekaman lingkungan tertentu. Bahkan untuk meningkatkan nutrisi suatu tanaman dan meningkatkan hasil suatu tanaman. Para saintis di lembaga riset dan universitas di Indonesia diantaranya LIPI, IPB, ITB dan UGM sejak awal tahun 2000 terus melakukan riset pada perbaikan ketahanan tanaman pangan, industri dan hortikultura terhadap cekaman biotik dan abiotik (Sutrisno, 2006). Pengembangan riset bidang pangan ini sangat penting untuk Indonesia secara perlahan-lahan
prototipe, misalnya alat sensing untuk pendeteksian gempa, kebakaran atau bom, merupakan contoh nyata bahwa sains sangat penting. Kehidupan dengan perubahan yang cepat dan kebutuhan yang meningkat, hanya bisa dijawab dengan adanya inovasi baru. Saintis Bioteknologi Kini bidang riset bioteknologi merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kemampuan suatu negara
Gambar 3. Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor bahan pangan pokok (FAO, 2015)
Dunia riset dan sains membutuhkan manusia yang siap mendedikasikan hidupnya untuk menemukan inovasi-inovasi baru yang dapat memperbaiki kualitas hidup. Seorang saintis berkontribusi besar diantaranya dalam peningkatan tanaman pangan menjadi lebih baik, peningkatan kualitas kesehatan, memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Pangan yang lebih baik didapatkan dari para saintis yang mendedikasikan hidupnya untuk memperbaiki sifat tanaman. Misalnya membuat suatu varietas tanaman yang tahan penyakit tertentu, atau toleran terhadap
melepaskan diri dari status pengimpor bahan pokok (FAO, 20105) Kualitas kesehatan meningkat seiring dengan majunya riset dibidang ilmu kesehatan dan farmasi, penemuan obat-obat baru atau bahkan penemuan cara mendeteksi penyakit lebih dini, efisien dan murah. Perbaikan kondisi lingkungan juga dapat dilakukan dengan mendorong riset dan ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan kualitasnya. Seperti ditemukannya cara mendegradasi limbah dengan mikroba tertentu. Pembuatan suatu alat atau
6
menghadapi tantangan. Hasil penelitian bioteknologi diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat sangatlah dinantikan. Peran saintis bioteknologi sangatlah penting. Saintis bidang bioteknologi diharapkan dapat membantu mencari jalan keluar bagi berbagai permasalahan, diantaranya pertanian yang terdampak oleh perubahan iklim, penemuan obat yang baru dan efisien, bahkan perbaikan kondisi lingkungan yang tercemar.
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Gambar 4. Dr. Wahyuni, M.biomed (Kiri) Dr. Ratih Asmana Ningrum (kanan), saintis muda dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI mendapatkan penghargaan dari Loreal Fondation atas dedikasinya dalam bidang riset bioteknologi. Salah satu saintis dari Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI yaitu Dr. Wahyuni, S.Si, M.biomed, peneliti tanaman cabai ini baru saja mendapatkan penghargaan dari Metabolomics Society atas papernya yang berjudul Metabolomics and molecular marker analysis to explore pepper (Capsicum sp.) biodiversity. Paper tersebut berisi tentang riset biodiversitas dari tanaman cabai. Penghargaan sebagai First Winner Highest Download Paper di Jurnal Springer untuk Dr. Wahyuni, S.Si, M.biomed, menandakan riset yang dilakukannya banyak mendapatkan perhatian dari peneliti lain di seluruh dunia. Indonesia dengan biodiversitas yang sangat tinggi memang membutuhkan saintis yang mampu mengungkap kelebihan dari suatu varietas tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, salah satunya adalah tanaman cabai. Pada tahun 2005 Dr. Wahyuni, S.Si, M.biomed juga mendapatkan penghargaan dari Loreal Fondation atas risetnya pada virus Murine Leukemia Virus (MLV), bertujuan untuk mendapatkan obat untuk penyakit yang diakibatkan virus leukemia tersebut.
Secara Oral, merupakan usaha untuk mendapatkan obat kanker yang lebih efektif, efisien, dan murah. Saintis dari Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI ini mendapatkan penghargaan dari Loreal Fondation pada tahun 2013. Pentingnya peran riset dan sains dalam membangun bangsa dan negara, tentunya harus didukung dengan keberadaan saintis, yang siap mendedikasikan hidupnya di dalamnya. Seorang saintis yang mencintai pekerjaannya melihat sains sebagai suatu hal yang menantang dan menyenangkan. Mereka akan berpikir bahwa suatu kebanggaan dapat memberikan jalan keluar suatu permasalahan. Apalagi jawabannya bermanfaat bagi kehidupan banyak orang. Dengan rasa ingin tahu yang dimiliki hampir oleh semua orang, maka sesungguhnya semua orang bisa menjadi seorang saintis, tidak terkecuali. Namun, memang banyak hal yang harus dipersiapkan dan dijalani, dan tidak semuanya mudah, butuh komitmen yang tinggi. Seorang filsuf mengatakan “there is no royal road in science...”.
Saintis muda lain yang berdedikasi Daftar pustaka dalam riset bioteknologi bidang obat dan kesehatan adalah Dr. Food Agriculture Organization. Ratih Asmana Ningrum. Risetnya (20105). World agriculture: yang berjudul Pengembangan Anti towards 2015/2030 an FAO Kanker Mutein Rekombinan Perspective. Earthscan Interferon Alpha-2B Lebih Tahan Publications Ltd, London, 66Protease Untuk Tujuan Terapi 68.
7
Lembaga Riset dan Teknologi Republik Indonesia (2011): Masterpan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 20112025, 39-43. Loreal Fondation – UNESCO (2014): Suport Women who Move Science Forward. Loreal Indonesia, 2014: 1-12. Sutrisno. (2006). Peran Bioteknologi dalam Pembangunan Pertanian Indonesia. Risalah Seminar Ilmiah, 17-19. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Institute for Statistics (2014) : Number of Researcher per Million Inhabitants by Country, http://www.uis.unesco.org. Universitas Indonesia (2010) : Peluang Beasiswa untuk Pengajar, Peneliti, dan Mahasiswa, vol.8, 7-88. Roy Goodacre (2014) : Metabolomics Society, Metabolomics Publication Awards, 10:771, DOI 10.1007/s11306-014-0719-x.
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
LYSOSOMAL CELL DEATH SEBAGAI TARGET PENGEMBANGAN OBAT ANTIKANKER TERKINI Riyona Desvy Pratiwi Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jalan Raya Bogor Km. 46, Cibinong Science Center, Bogor, Jawa Barat E-mail :
[email protected]
P
engembangan obat antikanker semakin penuh tantangan karena harus mampu mengiringi progresivitas penyakit kanker itu sendiri. Layaknya sel normal, sel kanker juga memiliki sistem perlindungan terhadap kondisi dan paparan senyawa yang dapat mengganggu aktivitas dan perkembangannya. Sistem perlindungan tersebut berpotensi menyebabkan resistensi terhadap terapi kanker. Oleh karena itu, diperlukan obat antikanker yang efektif dengan risiko resistensi yang rendah. Dalam dua dekade terakhir, hampir sebagian besar obat
antikanker dikembangkan untuk memicu apoptosis. Apoptosis merupakan jalur kematian sel yang distimulasi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, serta melibatkan berbagai protein, seperti famili caspase, protein pro-apoptosis (Bax dan Bak) dan protein antiapoptosis (Bcl2). Akan tetapi, menjadikan apoptosis sebagai target satu-satunya dalam terapi kanker diduga tidak efektif dan berisiko tinggi menimbulkan resistensi (Hu dan Kavanagh, 2003). Resistensi terhadap apoptosis dikategorikan dalam dua jenis, yaitu resistensi bawaan
Gambar 1. Struktur lisosom (Settembre, dkk., 2013)
8
(innate/primary innate/primary resistance resistance) dan resistansi yang terjadi setelah sel kanker diberi perlakuan dengan obat tertentu ((acquired resistance). Sebagai contoh, resistensi bawaan disebabkan oleh adanya mutasi gen p53 pada sel kanker. Overekspresi presi gen p53 dapat menghambat terjadinya apoptosis (Hanahan, 2000). Sedangkan pada acquired resistance resistance, sel kanker yang telah diberi perlakuan obat tertentu mengalami mutasi yang dapat menginaktivasi protein pro-apoptosis apoptosis dan mengaktivasi protein anti anti-apoptosis. Dengan demikian, efektivitas obat pemicu apoptosis itu pun akan berkurang bahkan tidak efektif sama sekali (Zahreddine dan Borden, 2013). Resistensi terhadap obat pemicu apoptosis ini telah d ditemukan dalam beberapa studi, baik pada uji pre-klinik klinik menggunakan model sel manusia atau pun pada uji klinik. Aas, dkk., (1996) melalui studi yang melibatkan 63 pasien yang menderita kanker payudara, menemukan resistensi bawaan terhadap doxorubicin (obat antikanker penginduksi apoptosis) yang disebabkan mutasi gen p53. Selain itu, Giri dan Anggarwal (1998) melaporkan resistensi terhadap pemberian tumor necrosis alpha (TNFa) sebagai pemicu apoptosis, pada salah satu sel T manusia, yaitu sel HuT HuT-78. Pemberian an TNFa pada sel HuT HuT-78 mengaktivasi NF NF-κB yang dapat menghambat terjadinya apoptosis. Aktivasi NF NF-κB ini ternyata dapat juga disebabkan oleh beberapa obat yang sudah lazim digunakan dalam terapi kanker seperti
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
doxorubicin, daunorubicin, taxol, vincristine dan vinblastine, campthothecin, dan etoposide. Kasus resistensi lainnya ditemukan pada sel kanker kolorektal manusia, HTC116. Sel tersebut mengalami resistansi terhadap oxaliptalin, obat antikanker pemicu apoptosis yang sering digunakan untuk terapi kanker kolorektal. Resistensi ditandai dengan tidak terdeteksinya ekspresi Bax (salah satu protein pro-apoptosis) (Gourdier, dkk., 2002). Oleh karena tingginya kasus resistensi terhadap obat antikanker pemicu apoptosis, diperlukan pengembangan senyawa antikanker yang bekerja melalui jalur non-apoptosis (GrothPedersen dan Jäӓtelӓ, 2013). Jalur kematian sel yang tidak melibatkan protein proapoptosis/anti-apoptosis mulai diperkenalkan sekitar satu dekade lalu. Jalur tersebut merupakan jalur yang bergantung pada organel pendegradasi, yakni lisosom sehingga dikenal sebagai
Gambar 2.
lysosomal cell death (LCD) (Giuccardi, dkk., 2004). Sebelum membahas LCD lebih lanjut, terlebih dahulu akan dipaparkan sekilas mengenai lisosom dan perubahannya pada sel kanker yang dapat mempermudah terjadinya LCD.
digesti intraselular maupun ekstraselular, serta berfungsi dalam homeostasis kolesterol dan membran plasma (Appelqvist, dkk., 2013). Sebagai organel penghancur, di dalam lisosom terdapat sekitar 50 enzim pendegradasi yang terdiri dari protease, lipase, glikosidase, Lisosom nuklease, sulfatase, dan fosfatase (Luzio, dkk., 2007). Uniknya, pada Lisosom merupakan organel sel kondisi normal, enzim yang terdapat pada tepi nukleus pendegradasi tersebut dapat hampir di semua sel hewan dan tersimpan dengan baik di dalam manusia, kecuali pada sel darah lisosom dan tidak merembes ke merah. Ukuran dan bentuk lisosom sitosol karena membran lisosom bervariasi dari ± 0.1-1.2µm dalam dilindungi oleh suatu protein yang disebut sebagai LAMP (lysosomal bentuk bulat dan agak lonjong (Luzio, dkk., 2007 dan Appelqvist, associated membrane protein). dkk., 2013). Berbeda dengan Perlindungan oleh LAMP organel-organel lainnya, lisosom disebabkan adanya glikosilat rantai memiliki membran lipid bilayer berat yang tahan terhadap tunggal yang tidak dilengkapi degradasi terutama pada suasana reseptor mannose-6. Selain itu, pH asam (Eskelin, 2006). Komponen di dalam lisosom, yakni pH 4.5-5, lisosom lebih lengkap dapat dilihat lebih rendah dibandingkan pH pada Gambar 1. pada sitosol dan di dalam organel lainnya yang cenderung netral Lalu, dengan spesifikasi dan (±pH 7.4) (Luzio, dkk., 2007). keunikan yang dimilikinya, Organel ini berperan dalam sistem bagaimanakah lisosom dapat
Mekanisme terjadinya LCD (diadopsi dari Groth-Pedersen dan Jäӓtelӓ, 2013). Beberapa faktor penginduksi akan meningkatkan permeabilisasi membrane lisosom sehingga katepsin keluar dari lisosom. Pelepasan katepsin dalam jumlah besar dapat menyebabkan necrosis-like cell death, sedangkan pelepasan katepsin dalam jumlah kecil menyebabkan apoptosis-like cell death. Sementara itu, katepsin juga dapat mengaktivasi Bid yang berfungsi untuk mengaktikan Bax/Bak. Bax/Bak merupakan protein yang dapat meningkatkan permeabilisasi mitokondria atau mitochondrial outer membrane permeabilization (MOMP). Sitokrom-c terlepas menuju sitosol sebagai hasil dari MOMP. Sitokrom-c ini akan berikatan dengan Apaf1 untuk mengikat caspase-9, kemudian caspase-9 mengaktivasi caspase 3,6, dan 7 yang menyebabkan terjadinya apoptosis.
9
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
berperan dalam proses kematian sel (LCD)? Lysosomal Cell Death Lysosomal cell death (LCD) diawali dengan terjadinya permeabilisasi membran lisosom yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti oksidan, spingiosin, kinase, protease, protein virus dan bakteri, serta obat – obat tertentu yang dapat terakumulasi di dalam lisosom atau disebut juga sebagai senyawa lisosomotropik (Giuccardi, 2004 dan Johansson, 2010). Meningkatnya permeabilitas membran lisosom ini mengakibatkan enzim-enzim yang tersimpan di dalam lisosom keluar menuju sitosol. Enzim – enzim tersebut kemudian mendegradasi molekulmolekul di dalam sel dan pada akhirnya merusak membran plasma yang diiringi dengan kematian sel (Boya dan Kroemer, 2008). Dari sekian banyak enzim lisosom, katepsin ditemukan berpengaruh besar dalam LCD, terutama katepsin B, D, dan L (Boya dan Kroemer, 2008). Pelepasan katepsin dalam jumlah besar dapat menyebabkan kematian sel dengan morfologi yang mirip seperti nekrosis. Nekrosis merupakan jalur kematian sel yang ditandai dengan dilatasi sel, terpisahnya ribosom dari retikulum endoplasma, dan terkadang ditemukan kondensasi nukleus. LCD yang menyebabkan morfologi sel seperti nekrosis ini disebut juga sebagai necrosis-like cell death (Boya dan Kroemer, 2008; Ziegler dan Groscurth, 2004). Sebaliknya, pelepasan parsial katepsin mengakibatkan kematian sel dengan morfologi seperti apoptosis (ditemukannya kondensasi nukleus, membrane blebbing, dan
pembentukan badan apoptotik), sehingga dikenal dengan apoptosis-like cell death (Giuccardi, 2004; Boya dan Kroemer, 2008; Galuzzi, dkk., 2012) (Gambar2). Konsep lysosomal cell death (LCD) sering kali menimbulkan kerancuan dengan konsep autofagi yang lebih dahulu dikenal dalam bidang biologi sel. Autofagi merupakan proses kematian sel
Menyerang sel kanker melalui jalur LCD sangat menguntungkan karena adanya perbedaan antara sel normal dan sel kanker dalam hal tingkat ekpresi katepsin dan kondisi lisosom. Katepsin diekspresikan lebih banyak pada sel kanker dibandingkan pada sel
sel kanker dibandingkan pada sel normal (Allison, 1974; Kallunki, dkk., 2013). Tingginya kadar katepsin di dalam lisosom, dapat mengurangi proteksi membran oleh LAMP-1 dan LAMP-2 sehingga membran lisosom akan lebih mudah rusak (Kallunki, dkk., 2013). Di samping itu, pada sel kanker, lisosom ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak, berukuran lebih besar, dan lebih rapuh oleh karena aktivasi fosfatidilinositol-3 kinase (PI3K) (Mousavi, dkk., 2003; Glunde, dkk., 2003). Permeabilisasi membran lisosom akan lebih cepat terjadi pada lisosom yang berukuran lebih besar. Selain tingkat ekspresi katepsin dan perubahan lisosom, oksidan intraseluler yang merupakan salah satu pemicu permeabilisasi membrane lisosom, ditemukan lebih banyak pada sel kanker (Boya dan Kroemer, 2008). Meskipun demikian, pelepasan katepsin haruslah spesifik, yakni hanya pada intraseluler karena katepsin B, D, dan L yang terlepas keluar sel (katepsin ekstraseluler) dicurigai menyebabkan metastasis dan mempercepat progresivitas penyakit kanker (Kallunki, 2013). Bagaimanakah menstimulasi permeabilisasi membrane lisosom?
Permeabilisasi membran lisosom dapat dipicu oleh faktor eksternal yang terakumulasi di dalam lisosom. Mekanisme akumulasi ini yang melibatkan autofagosom dikenal juga dengan istilah yang berfusi dengan lisosom lisosomotropism. Sedangkan membentuk autolisosom, senyawa yang dapat terakumulasi sedangkan LCD, seperti yang dalam lisosom, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya hanya disebutkan sebelumnya, dikenal bergantung pada katepsin yang dengan istilah senyawa dilepaskan melalui permeabilisasi lisosomotropik (Firestone, 1979). membran lisosom (Boya, dkk., Prinsipnya, senyawa 2013). lisosomotropik harus bersifat amfifilik (memiliki gugus apolar dan Menyerang sel kanker melalui jalur polar), memiliki atom karbon LCD sangat menguntungkan sekitar 18-20; merupakan basa karena adanya perbedaan antara lemah dengan pKa 6.5-11 (optimal sel normal dan sel kanker dalam pKa 8); dan ClogP > 2 hal tingkat ekpresi katepsin dan (Nadanaciva, dkk., 2011; Ndolo, kondisi lisosom. Katepsin dkk., 2012; Giraldo, dkk., 2014). diekspresikan lebih banyak pada
10
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Senyawa-senyawa dengan karakter demikian, secara teoritis dapat berdifusi pasif dengan mudah ke dalam sel melalui membran plasma. Setelah berada di dalam sel, pada pH netral sitosolik, senyawa tersebut ditemukan dalam bentuk tidak terprotonasi dan kemudian berdifusi pasif ke dalam membran lisosom. Begitu masuk ke dalam lisosom yang memiliki pH rendah, senyawa lisosomotropik akan terprotonasi. Senyawa yang telah terprotonasi, terperangkap di dalam lisosom dan terakumulasi di sana (Firestone, 1979; Giraldo, dkk., 2014). Begitu mencapai critical micelle concentration
Bagaimanakah mendeteksi permeabilisasi membran lisosom? Beberapa metode telah dikembangkan untuk mendeteksi permeabilisasi membran lisosom, antara lain (Boya dan Kroemer, 1 2 2008; Aits , dkk., 2015; Aits , dkk., 2015) : 1.
Menggunakan marka yang dapat berfluoresensi pada suasana asam, seperti acridine orange atau LysoTM tracker . Prinsipnya, setelah terjadi permeabilisasi membran lisosom, marka akan berdifusi ke dalam
pH sitosol sehingga marka dapat berfluoresensi di luar lisosom. 2.
Mengukur aktivitas katepsin yang terlepas dari lisosom. Setelah sel dipapari senyawa yang dapat menginduksi LCD, sitosol kemudian diekstraksi dari sel dengan menggunakan digitonin. Digitonin bersifat sebagai deterjen yang dapat merusak plasma membran dengan menggantikan kolesterol pada membran.
3.
Dari lisat sel tersebut, aktivitas katepsin yang terlepas dari lisosom dapat diukur. Metode
Gambar 3. Proses akumulasi agen lisosomotropilk di dalam lisosom (diadopsi dari Giraldo, dkk., 2014) (CMC), senyawa lisosomotropik membuka pori membran lisosom layaknya kinerja senyawa yang bersifat deterjen (Repnik, dkk., 2013). Pori membran lisosom yang terbuka menyebabkan katepsin dikeluarkan dari lisosom (Boya dan Kroemer, 2008).
lisosom dan berfluoresensi di dalam lisosom yang bersuasana asam. Akan tetapi metode ini memiliki kekurangan sebab memungkinkan terjadinya positif palsu karena adanya faktor-faktor tertentu seperti obat-obatan yang bersifat asam, yang dapat mengubah
11
ini cukup spesifik untuk mengukur katepsin yang keluar dari lisosom karena digitonin lebih mudah merusak plasma membran, sedangkan membran lisosom lebih tahan terhadap digitonin sebab jumlah kolesterol pada membran plasma lebih banyak
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
dibandingkan pada membran lisosom.
agen lisosomotropik, tidak menunjukkan aktivitas terhadap LCD. Peluang masih terbuka lebar 4. Menggunakan loading bagi para peneliti untuk menggali dekstran yang berfluoresensi lebih lanjut mengenai senyawake dalam lisosom. Ketika senyawa yang berpotensi membran lisosom sudah membunuh sel melalui LCD. permeabel, dekstran yang Dengan demikian, jalur alternatif berfluoresensi dapat diamati ini dapat dijadikan sebagai target keluar dari lisosom dan pengembangan obat antikanker, ditemukan di sitosol. Metode terutama untuk sel kanker yang ini juga berguna untuk analisa telah resisten terhadap senyawa real time dan untuk penginduksi apoptosis. mengetahui ukuran pori Daftar Pustaka membran lisosom yang terbuka berdasarkan ukuran dekstran yang keluar dari Aas, T, Borresen, AL, Geisler, S, lisosom. Sorensen, BS, Johnsen, H, Varhaug, JE, Akslen LA, 5. Overekspresi galektin-3 yang dan Lonning, PE. (1996), terkonjugasi dengan protein Spesific p53 mutations are berfluoresensi sebagai associated with de novo biomarker. Galectin-3 resistance to doxorubicin in merupakan protein unik yang breast cancer patients, memiliki carbon recognition Nature Medicine, 2(7) : 811domain (CRD). Pada kondisi 814 normal, galektin-3 ditemukan 1 sebagian besar dalam sitosol. Aits , S, Jӓӓtelӓ, M., dan Ketika terjadi permeabilisasi Nylandsted, J. (2015), membran lisosom, galectin-3 Methods for the akan bertranslokasi menuju quantification of lysosomal lisosom yang rusak dengan membrane permeabilization berikatan dengan glikan N: A hallmark of lysosomal cell death, Methods in Cell acetylactosamin yang Biology, 126 : 261-285. terdapat pada protein membran lisosom. Galektin-3 2 yang sebelumnya terlarut di Aits , S, Kricker, J, Liu, B, dalam sitosol akan Ellegaard, AM, Hämälistö, terakumulasi pada lisosom S, Tvingsholm, S, Termeau, yang rusak dan membentuk EC, Høgh, S., Farkas, T, spot. Kelebihan metode ini Jonassen, AH, Gromova, I, adalah dapat digunakan Mortensen, dan M, Jäättelä, langsung untuk mendeteksi M. (2015), Sensitive jumlah lisosom yang rusak. detection of lysosomal membrane permeabilization Status LCD dan pengembangan by lysosomal galectin antikanker terkini puncta assay, Autophagy, 11 (8) : 1408-1424 Belum banyak data yang menjelaskan lebih detail mengenai Allison, AC. (1974), Lysosomes in cancer cells, Journal of LCD. Pagliero, dkk., (2015) Clinical Pathology, 1974 (7) menemukan bahwa mekanisme lisosotropism tidak cukup untuk : 43-50 menjelaskan terjadinya LCD. Beberapa senyawa yang secara Appelqvist, H, Wӓster, P, Kagedal, struktur kimia tidak memiliki gugus K, Öllinger, K (2013) : The amina (secara teoritis tidak bersifat lysosome : froms waster bag basa lemah), ternyata memberikan to potential therapeutic target, Journal of Molecular efek positif terhadap LCD, Cell Biology, 5(4) : 214-226 sebaliknya beberapa senyawa yang memiliki karakter layaknya
12
Boya, P. dan Kroemer, G. (2008), Lysosomal membrane permeabilization in cell death, Oncogene, 27 : 64346451 Boya, P, Reggiori, F, dan Codogno, P. (2013), Emerging regulation and fuctions of autophagy, Nature Cell Biology, 15 : 713-721 Eskelin, EL. (2006) : Roles of LAMP-1 and LAMP-2 in lysosome biogenesis and autophagy, Molecular Aspects in Medicine, 27 : 495-502 Firestone, RA, Pisano, JM, Bonney, RJ. (1979), Lysosomotropic agents.1.Synthesis and cytotoxic action of lysosomotropic detergents., Journal of Medicinal Chemistry, 22(9) : 11301133 Galluzzi, L, Vitale, I, Abrams, JM, Alnemri, ES, Baehrecke, EH, Blagosklonny, MV, Dawson, TM, Dawson, VL, El-Deiry, WS, Fulda, S, Gottlieb, E, Green DR, Hengartner, MO, Kepp, O, Knight, RA, Kumar, S, Lipton, SA, Lu, X, Madeo, F, Walorni, F, Mehlen, P, Nunez, G, Peter, ME, Piancentini, M, Rubinsztein., DC, Shi, Y, Simon, HU, Vandanebeele, P, White, E, Yuan, J, Zhivotowsky, B, Melino, G, Kroemer, G. (2012), Molecular defenitions of cell death subroutines: recommendations of the Nomenclature Committee on Cell Death 2012, Cell Death and Differentiation, 19 : 107120 Giraldo, AMV, Appelqvist, H, Ederth, T., dan Öllinger, K. (2014), Lysosomotropic agents : impact on lysosomal membrane permeabilization and cell
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
death, Biochemical Society Transactions, 42(5) : 14601465 Giri, DK dan Anggarwal, BB. (1998), Constitutive activation of NF-κB causes resistance to apoptosis in human cutaneous T cell lymphoma HuT-78 cells : Autocrine role of tumor necrosis factor and reactive oxygen intermediates, The Journal of Biological Chemistry, 273 : 1400814014 Giucciardi, ME, Leist, M dan Gores, GJ. (2004), Lysosomes in cell death, Oncogene, 23 : 2881- 2890. Glunde, K, Guggino, SE, Pathak, AP, Ichikawa, dan Y, Bhujwalla, ZM. (2003), Extraceullar acidification alters lysosomal trafficking in human breast cancer cells, Neoplasia, 5(6) : 533545
Regulation of apoptosisassociated lysosomal membrane permeabilization, Apoptosis : 15, 527-540
clearance and energy metabolism, Nature Reviews Molecular Cell Biology, 14: 283-296
Kallunki, T., Olsen, OD., Jӓӓtelӓ, M.( 2013), Cancerassociated lysosomal changes : friends or foes?, Oncogene, 32 : 1995-2004
Zahreddine, H dan Borden KLB. (2013), Mechanism and insights into drug resistance in cancer, Frontiers in Pharmacology, 4(28) : 1-8.
Luzio, JP, Pryor, PR, Bright, NA. (2007) : Lysosome : fusion and function, Molecular Cell Biology, 8 : 622-632
Ziegler, U dan Groscurth, P. (2004), Morphological Features of Cell Death, News in Phisiological Science, 19 : 124-128
Mousavi, SA, Brech, A, Berg, T, dan Kjeken, R. (2003), Phosphoinositiside 3-kinase regulates maturation of lysosomes in rat hepatocytes, Journal of Biochemistry, 372 : 861-869 Nadan aciva, S, Lu, S, Gebhard, DF, Jessen BA, Pennie, WD, Will, Y. (2011), A high content screening assay for identifying lysosomotropic compounds, Toxicology In Vitro, 25(3) : 715-723
Gourdier, I, Del Rio, M, Crabbe, L, Candeil, L, Copoisa, V, Ndolo RA, Luan Y, Duan S, Ychoub, M, Auffray, C, Forrest ML, Krise JP (2012) Martineau, P, Mechtia, N, Lysosomotropic properties Pommier, Y.(2002), Drug of weakly basic anticancer specific resistance to agents promote cancer cell selectivity in vitro. PLoS oxaliptalin is associated with ONE 7(11): e49366 apoptosis defect in a cellular model of colon carcinoma, FEBS Letters, 529 : 232-238 Pagliero, RJ, D’Astolfo, D, Lelieveld, D, Pratiwi, RD, Groth-Pedersen, L dan Jäӓtelӓ, M. Groth-Pedersen, L, Jaatela, (2013), Combating M, Martin, N, Liskamp, R, apoptosis and multidrug Klumperman, J, Egan, DA. resistant cancers by (2015) : Discovery of new targeting lysosomes, Cancer small molecules that Letters, 332 : 265-274. induces lysosomal cell death in cancer cells, submitted. Hanahan, D. (2000), The hallmark of cancer, Cell, 100(1): 57Repnik, U, Cesen, MF, dan Turk, 70. B. (2014), Lysosomal membrane permeabilization Hu, W, dan Kavanagh, JJ. (2003) : in cell death : Concepts and challenges, Mitochondrion, Anticancer therapy targeting the apoptotic pathway, 19(A) : 49-57 Oncology, 4, 721-729. Settembre, C, Fraldi, A, Medina, Johansson, A.C., Appelqvist, H., DL, dan Ballabio, A, (2013), Nilsson, C., Kageldal, K., Signals from the lysosome : Roberg, K., Öllinger. (2010), a control centre for cellular
13
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
GIBSON ASSEMBLY, PIRANTI ENZIMATIS TERBARU DALAM TEKNOLOGI REKOMBINASI DNA Sri Kartika Wijaya Pusat Penelitian Bioteknologi- LIPI Jl.Raya Bogor KM.46 Cibinong Science Center, Bogor 16911. Telepon: 021-8754587. Email :
[email protected],
[email protected]
S
elama hampir setengah abad, tak terhitung jumlah peneliti yang telah melakukan rekombinasi DNA. Rekombinasi DNA didefinisikan sebagai teknik perakitan DNA baik
secara natural atau artifisialyang prosesnya melibatkan pertukaran materi genetik dari kromosom yang berbeda atau dari region berbeda dari satu kromosom makhluk hidup yang sama
(Clancy, S 2008), rekombinasi ini secara umum diperlukan untuk duplikasi kromosom pada saat meiosis yang merupakan momen kritikal perkembangbiakan makhluk hidup. Selain itu,
Gambar 1. menjelaskan tentang teknik Gibson Assembly dilakukan diawal masa percobaan yang secara umum dituturkan bertujuan untuk menginsersi sebuah fragmen DNA ke dalam vektor pUC19. Bagian [1A] memperlihatkan sisi penggabungan vektor dan insert. Perbanyakan vektor pUC19 yang memiliki sisi overlap dengan beberapa bagian dari –N dan –C fragmen insert dilakukan dengan teknik PCRdengan primer yang didesain unik pada sisi reverse dan forward.Bagian [1B] merupakan gambaran umum dari prosesGA. Sisi DNA vektor dan insert yang saling tumpang tindih dilambangkan dengan garis hitam. T4 DNA Polimerasi akan memakan beberapa puluh basa yang bersinggungan pada sisi 3’ dari DNA, yang akibatnya akan membentuk overhang pada dua sisi DNA yang bersinggungan. Taq Polimerase dan Taq ligase akan mengisi celah DNA sekaligus melekatkan dua untai DNA asing menjadi satu untai DNA yang tersambung rapat tanpa celah.
14
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
rekombinasi DNA juga berperan dalam proses perbaikan dan replikasi DNA yang terjadi secara alami (Clancy, S 2008).
ligase DNA(Gellert 1967)yang esensial untuk pelekatan untai DNA (Lehnman 1974)dan enzim restriksi(Smith & Welcox 1970) yang berfungsi sebagai enzim Secara umum, rekombinasi DNA yang bisa membelah DNA pada dikelompokkan menjadi sekuens yang spesifik(Loenen et rekombinasi yang sifatnya natural al. 2013). Dua enzim yang dan non-natural. Salah satu tipe fenomenal tersebut memiliki peran rekombinasi yang sering dilakukan utama dalam proses rekombinasi diantaranya adalah rekombinasi DNA karena keberadaannya yang yang bersifat non-natural, karena memungkinkan peneliti untuk terkadang rekombinasi non-natural memotong DNA dengan ukuran ini diperlukan saat seorang peneliti tertentu dan kemudian meletakkan ingin menyusun elemen genetik atau menyambungkan DNA asing atau pada saat mensintesa genom tersebut ke dalam genom makhluk suatu makhluk hidup secara utuh. yang lain. Hingga kini, berbagai Sejak itulah metoda rekombinasi adaptasi dan penyempurnaan DNA mengalami banyak perbaikan metode rekombinasi terus dari segi teknik dan kemudahan dilakukan demi hasil yang lebih penggunaan, dan pada akhirnya cepat danakurat. pengembangan metoda tersebutmenjadi sangat beragam. Penelitian mengenai teknologi Tak dapat dipungkiri bahwa rekombinasi DNA sudah dimulai perkembangan metoda sejak tahun 1967, yaitu ketika rekombinasi DNA menjadi sangat kelompok penelitian Zimmerman pesat sejak ditemukannya enzim melakukan eksperimen ekstrem
Gambar2.
yang bertujuan untuk menyatukan dua untai DNA bakteriofagedengan reaksi enzimatis(Zimmerman et al. 1967). Kelompok penelitian mereka menggunakan enzim yang berasal dari ekstrak Escherichiacoli untuk menggabungkan dua untai DNA. Beberapa tahun kemudian, A.D Kaiser dan Peter Lobban berhasil mengembangkan teknik untuk menggabungkan dua molekul DNA, yang dikemudian hari menjadi teori dan teknik acuan dibuatnya DNA dimer sirkuler dari Polyomavirus simian virus 40 (SV40)(Jackson, Symons & Berg 1972). Polyomavirus simian virus 40 (SV40) adalah DNA virus yang berperan kuat sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (Vilchez & Butel 2004), dan pada saat itu ditemukan bahwa pada infeksi tingkat akhir, mayoritas virus SV40 ditemukan dalam bentuk sirkuler DNA yang ditengarai terbentuk dengan cara
Memperlihatkan pembaharuan teknik Gibson Assembly dengan menggunakan enzimeksonuklease III dan T5 eksonuklease. Kedua enzim ini hanya dibedakan di sisi aktif pemotongan ujung DNA. Secara umum, T5 eksonuklease lebih ringkas karena hanya memerlukan satu kali pengaturan suhu pada 50ºC.
15
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
rekombinasi DNA (Goff & Berg 1977). Karena proses rekombinasi inilah SV40 digunakan sebagai subjek untuk mengamati proses rekombinasi yang terjadi secara natural.
Gibson Assembly Gibson Assembly (Borgi & Gargouri) adalah teknologi rekombinasi DNA terbaru yang diperkenalkan oleh Gibson grup. Teknik rekombinasi ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 2009. Dalam sebuah tulisan komunikasi singkat, Daniel Gibson dengan gamblang memaparkan proses enzimatis perakitan molekul DNA yang berhasil menggabungkan molekul DNA hingga ribuan kilobasa dalam satu
Lompatan besar di bidang rekombinasi DNA terjadi ketika para peneliti bisa mengembangkan teknik penggabungkan dua molekul DNAyang tadinya hanya berupa fragmen linearhingga akhirnya berhasil membuat DNA sirkuler yang memiliki Gibson Assembly (Borgi & struktur berupa lingkaran tertutup. Gargouri) adalah teknologi DNA sirkuler ini menarik perhatian rekombinasi DNA terbaru yang dunia ilmiah dikarenakan diperkenalkan oleh Gibson berperan pada grup. Teknik rekombinasi ini replikasi bakteri, seringkali pertama kali dipublikasikan merupakan penanda infeksi (seperti pada tahun 2009. Dalam misalnya pada sebuah tulisan komunikasi kasus infeksi SV40), dan terlebih lagi singkat, Daniel Gibson dengan sirkular DNA ini berpotensi untuk gamblang memaparkan proses dikembangkan lebih jauh untuk berbagai enzimatis perakitan molekul kepentingan di DNA yang berhasil bidang biologi molekuler. Riset menggabungkan molekul DNA intensif tentang rekombinasi DNA ini hingga ribuan kilobasa dalam rupa-rupanya satu kali reaksi isothermal menjadi inspirasi bagi kelompok riset yang lain untuk kali reaksi isothermal, teknik GA memoles teknik rekombinasi membutuhkan satu syarat penting, tersebut menjadi lebih mudah. yaitu rangkaian DNA yang dibuat Beberapa teknik pun melalui overlap/ tumpang tindih satu sama proses uji coba, selain lain, yang memiliki basa nukleotida denganenzim restriksi dan PCR, saling berpasangan satu sama teknologienzim ligase independen lain. (Li & Elledge 2007)pun diadopsi sebagai salah satu strategi Jauh sebelum teknik ini berhasil kloning. Hanya saja, kesemua dikembangkan, kisah sukses teknologi rekombinasi diatas strategi rekombinasi DNA dengan memiliki kekurangan berupa teknik yang dikembangkan oleh rentang waktu pengerjaan yang kelompok penelitian Gibson lebih lama, biaya yang lebih tinggi, bukanlah proses singkat. Pada dan terkadang tidak tahapan awal penelitian memungkinkan untuk melakukan pengembangan teknologi GA ini; modifikasi yang diperlukan pada khususnya sebelum mereka sekuen DNA. berhasil mengembangkannya menjadi satu tahap reaksi; Gibson
16
grup melakukan rekombinasi DNA melalui dua tahap reaksi.Kelompok penelitian tersebut melakukan rekombinasi yang bertujuan untuk menyisipkan sebuah fragmen DNA pada vektor PUC19(Gibson 2011). Proses rekombinasi dimulai dengan perbanyakan vektor E.colidengan kultur bakteri. Stok DNA yang sudah dipurifikasi dari vektor tersebut diperbanyak dengan teknik Polymerase Chain Reaction(PCR), yang merupakan satu teknik terbaik untuk penggandaan untai DNA.Teknik PCR ini memungkinkan kita untuk menggandakan DNA vektor dan insert sekaligus dengan penambahan bagian overlap sepanjang 40bp di sisi –N dan –C dari vektor (gambar 1A).Dua-tahap rekombinasi in-vitro bisa terlaksana dengan menggunakan enzim T4 DNA polymerase dan kombinasi dari enzim Taq DNA polimerase dan Taq DNA ligase. Dalam reaksi ini, Taq DNA polimerase bekerja sama seperti DNA polimerase manusia pada proses replikasi alami, hanya saja, jika DNA polimerase manusia akan rusak sesaat setelah berada dalam temperatur tinggi, maka Taq DNA polimerase masih bisa bertahan hingga 94ºC. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri jika mengingat siklus PCR yang berulang-ulang hingga 20 atau 35 siklus menggunakan suhu 94-95ºC untuk setiap siklusnya, menjadikan Taq DNA polimerase enzim yang ideal bagi proses ini penggandaan DNA ini. Proses dua-tahap rekombinasi DNA yang pertama kali diperkenalkan oleh grup Gibson ini dikerjakan dengan cara sebagai berikut(Gibson 2011):
Pada reaksi pertama; ujung 3’ dari fragmen DNA akan terpotong sepanjang beberapa basa hingga membentuk overhangpada ujung 3’ tersebut. Proses pemotongan sebagian DNA fragmen ini dilakukan oleh enzim T4 DNA polimerase
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
pada suhu 37ºC, yang bertujuan untuk mengekspose bagian DNA yang overlap, baik pada insert DNA fragmen ataupun pada DNA vektor. Proses pemotongan tersebuthanya mungkin terjadi jika tanpa penambahan dNTPs, sedangkan dNTPs dibutuhkan sebagaisumberdaya basa tunggal A (Adenin), T (Tirosin), G (Guanin) dan C (Sitosin) yang penting pada saat merakit untaian DNA baru.Mengingat hal itu, pemberian dNTPs ditunda pada reaksi tahap pertama dan baru akan ditambahkan pada reaksi kedua. Setelah proses pemotongan ujung DNA dengan T4 Polimerase, enzim tersebut akan di inaktifasi pada suhu 75ºC, yang kemudian disertai dengan proses pendinginan secara lambat dan bertahap, proses pendinginan ini diharapkan bisa menginisiasi proses annealing(pelekatan) dari sisi yang saling overlap (tumpang tindih).
Reaksi kedua adalah dengan melibatkan enzim Taq polymerase dan Taq ligase, dua enzim ini akan aktif pada suhu 45ºC dengan penambahan dNTPs.Taq Polimerase menggunakan sumber daya dNTPs untuk merekontruksi untai DNA baru, proses rekonstruksi ini dibarengi dengan proses repairing oleh Taq ligase untuk mengisi celah-celah diantara dua DNA asing yang masih mungkin belum sempurna. Dengan demikian, kolaborasi antara enzim Taq polymerase dan Taq ligase tersebut diharapkan bisa menghasilkan sambungan DNA yang tanpa celah.Aktivitas ini juga meminimalisir adanya kemungkinan kesalahan pada saat mengisi celah DNA yang tidak komplemen. (Gambar 1B).
Seperti yang telah dijabarkan diatas, bahwa reaksi dua-tahap rekombinasi DNA tersebut memiliki satu hal yang mungkin menjadikannya kurang efisien, fakta bahwa reaksi pertama dan kedua tidak bisa dikerjakan dalam satu reaksi adalah dikarenakan keberadaan dNTPs akan menghambat kerja enzim T4 DNA polymerase. Disisi lain, dNTPs adalah substansi yang diperlukan untuk mengisi celah di untai DNA yang kosong.Terlebih lagi, perbedaan suhu untuk reaksi pertama dan kedua sedikit ekstrim, yaitu 75ºC dan 45ºC. Maka dari itu penyempurnaan proses rekombinasi DNA ini kemudian dilakukan dengan penggunaan enzim eksonulease III. Enzim inibisa melakukan fungsi yang sama seperti enzim T4 DNA polymerase, yaitu mengeliminasi sebagian basa pada ujung 3’, namun kelebihannya, enzim T4 DNA polymerasetersebut tidak akan terhambat dengan keberadaan dNTPs pada larutan. Pada akhirnya, dengan cara ini rekombinasi DNA bisa dilakukan dengan satu tahap reaksi dengan menggunakan thermocycler.Hanya saja teknik rekombinasi DNA menggunakan eksonuklease III tetap memerlukan dua temperature yaitu pada suhu 37ºC dan 50ºC (Gambar 2). Pada perkembangan selanjutnya enzim T5 eksonuklease pun digunakan menggantikan enzim eksonuklease III, pada dasarnya dua enzim ini memiliki fungsi sama, hanya saja T5 eksonuklease akan memotong basa di ujung 5’ bukan di ujung 3’ seperti yang dilakukan oleh eksonuklease III. Kelebihan lain dari enzim T5 eksonuklease ini adalah kemudahan dalam proses pengaturan suhu selama reaksi berlangsung, dalam proses rekombinasinya enzim T5 eksonuklease hanya memerlukan satu kali pengaturan suhu pada 50ºC.
17
Nah bagaimanakah detail proses rekombinasi dengan enzim eksonuklease dan T4 DNA polimerase ini? Mari simak langkahnya (Gambar 2):
Enzim T5 eksonuklease Enzim T5 eksonuklease adalah enzim yang pertama kali bertugas dalam proses perakitan DNA dengan teknik GA. Enzim ini bekerja dengan sedikit ‘memakan’ bagian ujung 5’ dari DNA, yang tujuannya adalah untuk memberi ruang bagi enzim lain bekerja menyatukan dua DNA yang asing satu sama lain.
Enzim Phusion dan Taq Ligase. Dua enzim ini mulai aktif bekerja saat suhu thermocycler mencapai 50ºC. Berbeda dengan enzim T5 eksonuklease yang aktif sejak saat ditambahkan ke dalam campuran DNA dan menjadi inaktif ketika suhu mencapai 50ºC. Saat T5 eksonuklease ‘memakan’ beberapa basa di ujung 5’ dan meninggalkan jejak berupa ujung DNA yang menggantung, maka enzim Phusion akan ‘mengisi’ ruang kosong antara DNA yang overlap. Pekerjaan enzim Phusion ini akan disempurnakan oleh Taq Ligase yang akan menutup celah-celah kecil antara dua DNA yang digabungkan dan sebagai hasil akhir, akan diperoleh satu DNA yang tersambung rapat tanpa celah.
Aplikasi Teknik Gilson Assembly Dalam artikel yang ditulis oleh Daniel Gibson dan Salvatore Rusello yang dipublikasikan oleh NEB, mereka memaparkan bahwa jika dibandingkan dengan kloning tradisional yang membutuhkan situs pemotongan enzim restriksi, dilanjutkan dengan ligasi dan konfirmasi dengan teknik PCR, metode kloning dengan Gibson Assembly terbilang lebih efisien, cepat dan mudah.
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Karenakeseluruhan proses penggandaan untai DNA vektor dan insert, penggunaan enzim restriksi dan enzim ligase, dilanjutkan dengan kloning dan transformasi bisa dikerjakan dalam waktu beberapa jam saja. Produk Gibson Assembly bisa langsung digunakan untuk transformasi ke dalam sel inang tanpa harus melewati proses purifikasi yang bisa berdampak mengurangi konsentrasi sampel DNA. Poin penting yang mungkin sedikit harus mendapatkan perhatian khusus adalah pada saat mendesain primer yang akan digunakan untuk proses assembly, karena setiap primer yang dibuat harus memiliki sisi overlap pada dua untai DNA yang berbeda. Namun saat ini, beberapa software bioinformatika berbayar mampu memberikan kemudahan dalam proses perakitan primer ini. Hal lain adalah ketepatan konsentrasi DNA vektor dan fragmen yang akan diinsersikan juga harus akurat. Dalam buku panduan teknik Gibson Assembly, dijelaskan bahwa konsentrasi yang dibutuhkan akan sangat dipengaruhi oleh banyaknya fragment DNA dan panjangnya fragment DNA yang akan di rekombinasi, yang secara umum juga akan menentukan efisiensi dari proses assembly DNA yang dilakukan.
kedepannya, akan mempengaruhi kecepatan proses perakitan DNA, dan utamanya akan sangat mempengaruhi proses sintesa genom, secara tidak langsung juga akan mempercepat proses riset di bidang-bidang terkait.
Li, MZ & Elledge, SJ 2007, 'Harnessing homologous recombination in vitro to generate recombinant DNA via SLIC', Nat Methods, vol. 4, no. 3, pp. 251-6. Loenen, WAM, Dryden, DTF, Raleigh, EA, Wilson, GG & Murray, NE 2013, 'Highlights of the DNA cutters: a short history of the restriction enzymes', Nucleic Acids Research.
Daftar Pustaka
Borgi, I & Gargouri, A 2008, 'A spontaneous direct repeat deletion in the pGEX fusion vector decreases the expression level of recombinant proteins in Roop, RM, 2nd, Bellaire, BH, Escherichia coli', Protein Valderas, MW & Cardelli, JA Expr Purif, vol. 60, no. 1, pp. 2004, 'Adaptation of the 15-9. Brucellae to their intracellular niche', Mol Microbiol, vol. 52, no. 3, pp. Gellert, M 1967, 'Formation of covalent circles of lambda 621-30. DNA by E. coli extracts', Proceedings of the National Smith, HO & Welcox, KW 1970, 'A Academy of Sciences of the Restriction enzyme from United States of America, Hemophilus influenzae: I. vol. 57, no. 1, pp. 148-55. Purification and general properties', Journal of Molecular Biology, vol. 51, Gibson, DG 2011, 'Enzymatic assembly of overlapping no. 2, pp. 379-91. DNA fragments', Methods Enzymol, vol. 498, pp. 349- Vilchez, RA & Butel, JS 2004, 61. 'Emergent Human Pathogen Simian Virus 40 and Its Role in Cancer', Clinical Goff, SP & Berg, P 1977, Microbiology Reviews, vol. 'Structure and formation of circular dimers of simian 17, no. 3, pp. 495-508. virus 40 DNA', Journal of Virology, vol. 24, no. 1, pp. Zimmerman, SB, Little, JW, 295-302. Oshinsky, CK & Gellert, M Dalam kesempatan yang lebih 1967, 'Enzymatic joining of luas, teknik Gibson Assembly juga Jackson, DA, Symons, RH & Berg, DNA strands: a novel memungkinkan untuk P 1972, 'Biochemical reaction of diaplikasikan untuk beberapa hal Method for Inserting New diphosphopyridine nucleotide', Proceedings of lain, diantaranya untuk Genetic Information into the National Academy of merekonstruksi DNA yang DNA of Simian Virus 40: berukuran besar, Site-directed Sciences of the United Circular SV40 DNA mutagenesis, membuat fragment States of America, vol. 57, Molecules Containing DNA rantai ganda, dan juga pada Lambda Phage Genes and no. 6, pp. 1841-8. proses kombinasi-sintesis fragmen the Galactose Operon of DNA (Gibson and Russello). Escherichia coli', Proceedings of the National Dalam perkembangannya, teknik Academy of Sciences of the Gibson assembly telah United States of America, diperkenalkan secara luas dalam bentuk produk jadi di bawah brand vol. 69, no. 10, pp. 2904-9. NEB. Semua enzim yang dibutuhkan untuk proses Gibson Lehnman, IR 1974, 'DNA Ligase: Assembly dikonsentrasikan Structure, Mechanism, and didalam satu tube tunggal untuk Function', Science, vol. 186, proses satu reaksi isothermal yang no. 4166, pp. 790-7. mudah. Dengan teknik baru ini,
18
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
KELENJAR SALIVA AEDES AEGYPTI HARAPAN BARU PENGEMBANGAN VAKSIN DEMAM BERDARAH DENGUE Syubbanul Wathon, Rike Oktarianti dan Kartika Senjarini Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37, Kampus Tegal Boto, Jember, 68121 Email:
[email protected]
D
emam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh vektor Arthropoda dengan vektor utamanya adalah Aedes aegypti (Ae. aegypti). DBD telah menyebabkan kematian kurang
dan Pasifik Barat (Simasathien and Watanaveeradej 2005). Transmisi virus dengue ke tubuh manusia (inang) melalui perantara Ae. aegypti betina dewasa yang melakukan blood feeding. Aktivitas blood feeding dilakukan oleh nyamuk betina dewasa untuk memperoleh asupan nutrisi dan
darah dan pembesaran pembuluh darah. Inflamasi merupakan respon inang akibat kerusakan jaringan yang ditandai dengan rasa nyeri, kemerahan dan timbulnya panas. Kemerahan dan timbulnya panas terjadi akibat adanya pembesaran pembuluh darah. Imunitas atau kekebalan
Gambar 1. Mekanisme kerja protein saliva Arthropoda dalam mempengaruhi respon imun tubuh manusia (Fontaine et al., 2011).
lebih 1,5 juta manusia pada tiap tahunnya (Hill et al., 2005). Kasus DBD berkembang dengan cepat dan dua perlima dari populasi manusia dunia beresiko terkena infeksi virus dengue dengan peningkatan jumlah kasus pertahun. Status virus dengue adalah endemik pada 100 negara di daerah tropis dan subtropis, seperti di wilayah Asia Tenggara
penting untuk perkembangan dan pematangan telur di dalam tubuhnya (Gubler, 1998). Tubuh vertebrata memiliki 3 sistem pertahanan yang berperan dalam menghambat proses blood feeding yaitu haemostasis, inflamasi dan imunitas. Haemostasis merupakan respon inang untuk mengontrol kehilangan darah akibat gigitan vektor melalui mekanisme aggregasi trombosit, koagulasi 19
tubuh inang berkaitan dengan adanya paparan antigen asing dalam interaksi antara vektor dan inang sekaligus transmisi virus yang dibawa melalui respon imun spesifik dan non spesifik (Ribeiro and Francischetti, 2003). Kelenjar saliva vektor Arthropoda memiliki peranan penting sebagai “counter-attack” terhadap mekanisme pertahan tubuh inang
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Vertebrata dalam menghambat blood feeding (Gambar 1). Kelenjar saliva vektor Arthropoda memiliki potensi menghambat haemostasis inang Vertebrata melalui proses anti koagulasi untuk menghambat vasokonstriksi (vasodilator), mengandung molekul spesifik (imunomodulator) yang berfungsi sebagai faktor anti inflamasi dan dapat menginduksi respon imun inang yang dapat berupa respon alergi yang diwujudkan oleh rasa gatal di kulit dan kemerahan di lokasi gigitan (Fontaine et al., 2011). Komponen vasodilator dan imunomodulator pada kelenjar saliva dimanfaatkan oleh patogen untuk meningkatkan infektivitasnya di dalam tubuh inang Vertebrata, khususnya manusia (Rohousova and Volf, 2006).
proses blood feeding. Protein sekretoris yang telah dideskripsikan sebagai protein yang mampu memodulasi respon imun yaitu protein anggota dari kelompok D7 (37 kDa), adenosin deaminase, purin hidrosilase, apirase (68 kDa), α-glukosidase (67 kDa), 30 kDa alergen (Peng and Simons, 2004). Oleh karena itu, saliva atau kelenjar saliva memiliki peran penting dan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan transmisi patogen dari vektor Arthropoda ke inang manusia.
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh pasien. Kondisi pasien dapat bervariasi mulai dari gejala yaitu demam ringan yang tidak spesifik dan biasa disebut demam dengue. DBD menyerupai demam dengue namun ditambah dengan kecenderungan pendarahan dan kebocoran plasma yang disebabkan aktivasi komplemen oleh komplek antigen-antibodi. Reaksi tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui 1. Penatalaksanaan penyakit endotel dinding pembuluh darah DBD (Rampengan, 2008). DSS menyerupai gejala DBD yang DBD merupakan penyakit infeksi ditambah dengan kegagalan yang disebabkan oleh virus sirkulasi. DSS ditandai dengan dengue (DENV). Virus tersebut denyut nadi yang melemah, ujung berasal dari genus Flavivirus, jari terasa dingin, hilangnya Potensi saliva vektor Arthropoda famili Flaviviridae yang diketahui kesadaran serta adanya rejatan (syock) yang akhirnya juga dapat dalam meningkatkan transmisi memiliki 4 serotipe yaitu DENV1, patogen ke tubuh inang semakin DENV2, DENV3 dan DEN4 (Murell menyebabkan kematian (Gupta et et al., 2011). Infeksi salah satu al., 2012). mendorong para peneliti melakukan identifikasi dan serotipe akan memunculkan karakterisasi terhadap beberapa antibodi terhadap serotipe yang Penanganan penyakit DBD telah molekul yang terkandung di dalam bersangkutan, sedangkan antibodi dilakukan dengan cara kelenjar saliva vektor Arthropoda yang terbentuk terhadap serotipe pengendalian vektornya, namun (Andrade et al., 2005). Data lain sangat kurang, sehingga tidak belum memberikan hasil yang analisis transcriptome dan dapat memberikan perlindungan maksimal. Pengendalian vektor proteomic kelenjar saliva yang memadai terhadap infeksi nyamuk DBD secara mekanis dari serotipe virus dengue yang menunjukkan dugaan beberapa dilakukan dengan cara lain (Deauvieau et al., 2000). pengasapan (fogging), gerakan 3M kandidat telah diidentifikasi sebagai protein potensial yang (menguras, menutup dan memiliki aktivitas imunogenik, yaitu DBD dapat menyebabkan demam mengubur), dan memanfaatkan SGS1 (387 kDa) pada Ae. aegypti berdarah yang akut secara tibaovitrap untuk survey dalam rangka (King et al., 2011). Penelitian tiba dan pada kasus tertentu dapat monitoring populasi Ae. aegypti Ribeiro et al. (2007) dengan menyebabkan demam berdarah telah diprogramkan oleh menggunakan mass spectrometry yang parah dan fatal disertai pemerintah. Namun demikian, telah berhasil mengidentifikasi 24 dengan kegagalan sirkulasi yang upaya nasional untuk protein, diantaranya: apirase, berakhir pada kematian (Gubler, menggerakkan seluruh komponen serpin 1 dan 2, protein D7, 1998). WHO (2009) masyarakat belum memberikan adenosin deaminase, serin mengklasifikasikan DBD menjadi hasil yang maksimal karena protease, amilase, aktin, purin dua kelompok yaitu DBD ringan partisipasi dan kesadaran nukleosidase, dan lektin. Almeras dan DBD berat, walaupun masyarakat yang masih rendah et al. (2010) juga telah klasifikasi DBD pada tahun 1997 dan tidak adanya evaluasi serta mengidentifikasi 120 jenis protein sudah bermacam-macam, lemahnya sistem monitoring dari kelenjar saliva Ae. aegypti dan 15 misalnya Dengue Fever (DF), Dinas Kesehatan (Samsudrajat, Dengue Hemoragic Fever (DHF), jenis diantaranya berhasil 2008). dan Dengue Shock Syndrome diidentifikasi sebagai protein sekretoris yang terlibat dalam (DSS).
20
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Sampai saat ini belum dilaporkan vaksin yang berlisensi untuk DBD dan semua masih dalam tahap pengembangan. Kendala dalam pengembangan vaksin DBD adalah kurangnya hewan model yang cocok dan mempunyai infeksi patologis yang sama dengan manusia. Sementara itu, pengembangan vaksin hidup dari virus dengue yang dilemahkan menghadapai kendala dalam menentukan keadaan yang tepat untuk melemahkan virus pada tingkat yang optimal. Kendala yang lain adalah kekhawatiran tentang stabilitas genetik dari vaksin virus hidup yang dilemahkan dan kemungkinan menjadi fenotip yang lebih ganas (Schmitz et al., 2011). 2. Konsep pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) Pendekatan terbaru vaksin DBD adalah dengan mencegah transmisi patogen melalui pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) berbasis vektor yang salah satunya dengan memanfaatkan komponen dalam saliva vektor (Titus et al., 2006). Saliva nyamuk mengandung substansi yang berperan penting dalam proses transmisi patogen, seperti vasodilator, inhibitor koagulasi darah, imunomodulator dan agregasi platelet (Lavazec et al., 2007). Pengembangan potensi saliva vektor sebagai target TBV didasarkan pada penelitian sebelumnya yaitu pada kasus penyakit Leishmaniasis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya paparan secara berulang saliva vektor penyakit Arthropoda dapat memberikan mekanisme yang protektif terhadap tubuh inang melalui pergeseran respon imun yang justru memberikan kekebalan pada tubuh inang (Oliviera et al., 2008). Apabila paparan secara berulang saliva vektor penyakit Arthropoda
Gambar 2. Morfologi kelenjar saliva Ae. aegypti betina; (A) Lobus medial; (B) Lobus lateral; (C) Duktus salivarius (menggunakan Olympuss stereo mikroskopi, pembesaran 400x, kamera: Sony Cybershoot DSC W30).
dapat mempengaruhi respon imun inang ke arah yang lebih protektif (Belkaid et al., 1998), maka pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mengendalikan transmisi virus dengue yaitu melalui vaksinasi tubuh inang dengan komponen saliva Ae. aegypti. Tubuh inang akan merespon komponen saliva yang diinjeksikan dengan membentuk antibodi yang melawan komponen saliva tersebut sehingga virus dengue tidak dapat ditransmisikan atau memblokir transmisi patogen ke tubuh inang (Titus et al., 2006). Dengan demikian komponen kelenjar saliva merupakan target potensial TBV dan studi mengenai saliva Ae. aegypti merupakan strategi yang esensial untuk pengembangan TBV DBD.
berperan dalam proses blood feeding (Arcá Arcá et al., 1999). 4. Potensi Kelenjar Saliva Ae. aegypti sebagai Target Potensial Pengembangan TBV melawan DBD
Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa saliva vektor Arthropoda terlibat dalam respon imun alami dan bawaan dalam tubuh inang (Gambar 3). Ader et al.. (2004) juga menyebutkan lebih spesifik bahwa protein saliva Ae. aegypti bersifat imunogenik, misalnya aktivitas penghambatan virus dengue pada sel dendritik. Saliva Ae. aegypti juga berpengaruh pada regulasi sitokin yaitu melalui peningkatan kadar IL12, P70 70 dan TNF TNFα yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh 3. Kelenjar Saliva Ae. aegypti manusia. Schneider et al. (2006) juga melaporkan bahwa adanya gigitan Ae. aegypti mempengaruhi Struktur kelenjar saliva berpasangan, pada nyamuk betina imunitas pada hewan model tikus ukurannya lebih besar dari pada ke arah yang lebih protektif. Hal nyamuk jantan. Setiap kelenjar tersebut menunjukkan bahwa saliva terdiri atas 3 lobus (Gambar terdapat peran eran perlindungan saliva 2), dua lobus di bagian lateral dan Ae. aegypti terhadap infeksi virus dengue. satu lobus di bagian median. Lobus median dan distal-lateral mengekspresikan gen dengan produk protein berupa apirase, antikoagulan dan vasodilator yang
21
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Gambar 3. Protein saliva Arthropoda yang terlibat dalam respon imun alami (innate) dan dapatan (adaptive) pada tubuh manusia (Fontaine et al., 2011).
Informasi mengenai identitas dan fungsi dari protein-protein yang terdapat dalam kelenjar saliva Ae. aegypti sangat penting untuk diketahui. Beberapa kelompok
protein saliva Ae. aegypti telah berhasil diidentifikasi dan sebagian diantaranya telah diketahui fungsi serta aktivitasnya. Masing-masing kelompok protein
saliva Ae. aegypti diidentifikasi sebagai protein sekretoris dan juga terlibat dalam proses blood feeding seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Protein-protein tentatif kelenjar saliva Ae. aegypti beserta fungsinya. Kisaran bobot molekul protein 110-270 kDa
Nama molekul tentatif protein yang sudah teridentifikasi SGS (a, i)
62-68 kDa
Apyrase (a, c, n)
58 kDa
Dengue virus binding protein (h)
Fungsi tentatif protein yang sudah teridentifikasi Spesifik Ae. aegypti Imunogenik Antikoagulan (Antiplatelet) Mediator pengikatan virus dengue dalam kelenjar saliva nyamuk
55-60 kDa
Adenosin deaminase (a, i)
Menghambat agregasi trombosit
47-50 kDa
Salivary serpin putative anticoagulant (a, g)
Antikoagulan
40-47 kDa
Serpin (a, j)
Antikoagulan
15-37 kDa
D7 family (a, f, d, m)
23-30 kDa
Antigen-5 protein family, putative 30 kDa allergen-like protein (a, e, g, k, j)
Vasodilator, antikoagulan, imunomodulator Alergen
Keterangan: (a) Almeras et al., 2010; (b) Calvo et al., 2006; (c) Champagne et al., 1995; (d) Fontaine et al., 2011; (e) Hacket et al., 2002; (f) James et al., 1994; (g) Orlandi-Pradines et al., 2007; (h) Lormeau and May, 2009; (i) Ribeiro et al., 2001; (j) Robeiro et al. 2007; (k) Schreiber et al., 1997; (l) Schneider et al., 2004; (m) Valenzuela et al., 2002; (n) Wasinpiamongkol et al., 2010.
22
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Eksplorasi komponen imunogenik saliva Ae. aegypti dapat dilakukan melalui pencarian protein kelenjar saliva yang berperan penting dalam merespon infeksi virus dengue, khususnya protein yang terdapat pada antibodi individu yang sehat di daerah endemik. Penduduk sehat di daerah endemik diduga memiliki respon kekebalan alami terhadap serangan patogen. Beberapa penelitian telah menjelaskan adanya kekebalan alami penduduk di daerah endemik, seperti penelitian yang dilakukan Kamhawi et al., (2000) pada kasus Leismaniasis. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa paparan secara berulang saliva Phlebotomus papatasi dapat menyebabkan penduduk endemik menjadi resisten terhadap penyakit Leishmania Mayor karena adanya peningkatan sitokin-sitokin yang berkaitan dengan imunitas seluler. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Cornelie et al. (2007) pada penduduk endemik malaria yang mengembangkan protein (antibodi) anti-saliva Anopheles gambiae dalam tubuhnya karena adanya paparan secara berulang saliva Anopheles gambiae di wilayah endemik.
Daftar Pustaka Ader DB, Celuzzi C, Bisbing J, Gilmore C, Gunther V, Peachman KK, Rao M, Bavir D, Sun W and Palmer DR. (2004): Modulations of dengue virus infection of dendritic cell by Aedes aegypti saliva, Viral Immunol, 17 (2), 252-256.
Penelitian yang dilakukan Oktarianti et al. (2013) telah berhasil menginvestigasi komponen spesifik saliva Ae. aegypti yang berkaitan dengan transmisi patogen. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya dua protein spesifik saliva Ae. aegypti dengan bobot molekul sekitar 31 dan 56 kDa yang bereaksi silang dengan antibodi penduduk sehat di daerah endemik. Protein tersebut tidak bereaksi silang dengan antibodi penduduk yang sebelumnya belum pernah terpapar gigitan Ae. aegypti. Kemampuan protein tersebut dalam mengenali antibodi penduduk sehat dari daerah endemik dapat berfungsi sebagai indikator resistensi penduduk terhadap virus dengue.
agregasi platelet dan mencegah proses vasokontriksi. Protein saliva Ae. aegypti dengan bobot molekul sekitar 55-60 kDa termasuk ke dalam kelompok adenosin deaminase (Ribeiro et al., 2001). Protein tersebut menghidrolisis adenosin menjadi inosin dan ammonia. Proses hidrolisis tersebut menghambat agregasi dan degranulasi sel mast, sedangkan inosin mencegah koagulasi di lokasi gigitan untuk menghambat produksi sitokin yang berperan dalam proses inflamasi (Ribeiro et al., 2001; Valenzuela et al., 2002).
Protein-protein tersebut telah diidentifikasi sebagai protein potensial yang menunjukkan aktifitas imunomodulator. Data tersebut sangat mendukung Profil protein saliva Ae. aegypti pengembangan TBV melawan menunjukkan adanya kesamaan DBD berbasis komponen saliva Ae. aegypti. Pendekatan yang dengan protein imunogenik yang telah dipublikasi sebelumnya. mungkin dilakukan yaitu melalui James et al. (1991) menunjukkan vaksinasi menggunakan kombinasi bahwa protein saliva Ae. aegypti komponen imunogenik saliva Ae. aegypti untuk menghambat infeksi dengan bobot molekul sekitar 30virus dengue. Langkah ini akan 35 kDa termasuk famili D7 yang diekspresikan pada saliva Ae. menjadi strategi yang efektif untuk aegypti betina bagian lobus lateral. melawan wabah DBD, khususnya Protein D7 berperan sebagai faktor di negara tropis seperti di anti-hemostatik, mengikat amina Indonesia biogenik yang berfungsi dalam saliva and host defense system: a tale of tear and blood, An Acad Bras Cienc, 77 (4), 665-693.
effects of vector saliva and saliva preexposure on the long-term outcome of Leishmania major infection in the mouse ear dermis, The Journal of Experimental Medicine, 188 (10), 19411953.
Arcá B, Lombardo F, Guimarães, M., Torre A, Dimopoulos G, James AA and Coluzzi M. (1999): Trapping cDNAsencoding secreted Calvo E, Mans BJ, Andersen JF proteins from the salivary and Ribeiro JM. (2006): glands of the malaria vector Function and evolution of a Anopheles gambiae Proc. mosquito salivary protein Natl. Acad. Sci, 96, 1516family, J Biol Chem, 281 (4), 1521. 1935-1942.
Almeras L, Fontaine A, Belghazi M and Bourdon S. (2010): Salivary gland protein repertoire from Ae aegypti mosquitoes, Vector Borne and Belkaid Y, Kamhawi S, Modi G, Zoonotic Diseases. 10 (4), Valenzuela J, Noben-Trauth 391-402. N, Rowton E, Ribeiro J, and Sacks DL. (1998): Andrade BB, Teixeira CR, Barral A Development of a natural and Barral-Netto M. (2005): model of cutaneous Haematophagous arthropod leishmaniasis: powerful 23
Champagne DE, Smartt CT, Ribeiro JM and James AA. (1995): The salivary glandspecific apyrase of the mosquito Aedes aegypti is a member of the 5’-nucleotidase
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
famil,. Proc Natl Acad Sci, 92, 694-698.
gland protein of the female mosquito, Aedes aegypti, Mol Biochem Parasitol, 44, 245254.
Cornelie S, Remoue F, Doucoure S, Ndiaye T, Sauvage FX, Boulanger D and Simondon F. Kamhawi S, Belnaid Y, Modi G, (2007): An insight into Rowton E and Sacks D. immunogenic salivary proteins (2000): Protection against of Anopheles gambiae in cutaneous Leishmaniasis African children, Malaria resulting from bites of Journal, 6: 75. uninfected sand flies, Science, 290, 1351-1354. Deauvieau F, Sanchez V, Balas C, Kennel A, Aymeric D, Lang J King JG, Vernick KD and Julian and Guy B. (2007): Innate FH. (2011): Members of the Immune Response in Human salivary gland surface protein Dendritic Cells Upon Infection family (SGS) are major by Chimeric Yellow-Fever immunogenic components of mosquito saliva, JBC Papers Dengue Vaccine Serotype 14, Am. J. Trop. Med. Hyg, 76 in Press, 286 (47), 40824(1), 144-154. 40834. Fontaine A, Diouf I, Bakkali N, Misse D, Pages F, Fusai T, Rogier C and Almeras L. (2011): Implication of haematophagous arthropod salivary proteins in hostvector interactions, Parasit & Vector, 4, 187. Gubler DJ. (1998): Resurgent vector-borne diseases as a global health problem. Emerg Infect Dis, 4, 442-450.
Lavazec, Boundin, Lacroix, Bonnet, Diop, Thiberge, Boisson, Tahar, and Bourgomn. (2007): Carboxipeptidase B of Anopheles gambiense target for a Plasmodium falciparum transmission-blocking vaccine, Infection and Immunity, 75 (4), 1635-1642.
Pradines B, Fusa T and Rogier C. (2007): Antibody response against saliva antigens of Anopheles gambiae and Aedes aegypti in travellers in tropical Africa, Microbes Infect, 9, 1454-62. Oliviera F, Jochim RC, Valenzuela JG and Kamhawi S, (2008): Sand flies, leishmania, and transcriptome-borne solution, NIH Public Acces parasitology int, 58 (1), 1-5. Peng Z and Simons FER. (2004): Mosquito allergy: immune mechanisms and recombinant salivary allergens, Int Arch Allergy Immunol, 133, 198209. Rampengan. (2008): Penyakit Infeksi Tropik pada Anak, Jakarta: EGC. Ribeiro JM, Charlab R and Valenzuela JG. (2001): The salivary adenosine deaminase activity of the mosquitoes Culex quinquefasciatus and Aedes aegypti, J Exp Biol, 204, 2001-10.
Lormeau, VMC. (2009): Dengue Ribeiro JM and Francischetti IM. viruses binding protein from (2003): Role of Arthropod aedes aegypti and aedes Saliva in Blood feeding: Gupta N, Srivastava S, Jain A, polynensiensis salivary gland, sialome and post-sialome Virology Journal, 6 (35), 1-4. perspective, Ann. Rev. Chaturvedi and Umesh C. Entomol. 48, 73-78. (2012): Dengue in India. Indian Journal, 136, 373-390. Murrel S, Chin-Wu S and Butler M. (2011): Review of dengue Ribeiro JMC, Arca B, Lombardo F, Hackett SF, Ozaki H and Strauss virus and the development of Calvo E, PhanVM, Chandra vaccine, Biotechnology RW. (2002): Angiopoietin 2 PK, and Wikel SK. (2007): An Advances, 29, 239-247. expression in the retina: Annotated Catalogue of upregulation during Salivary Gland Transcripts in physiologic and pathologic Oktarianti R, Senjarini K, Hayano the Adult Female Mosquito, neovascularization, J Cell Aedes aegypti, BMC T, Fatchiyah F and Physiol, 184, 275-84. Genomics. 8, 6. Aulanni’am. (2015): Proteomic analysis of immunogenic Hill CA, Kafatos FC, Stansfield SK protein from salivary gland of Rohousova I and Volf P. (2006): Aedes aegypti, J Infect Public and Collins FH. (2005): Sand fly saliva effects on host Health, 8 (6), 572-82. Arthropodborne diseases: immune response and vector control in the genomics Leishmania transmission, era, Nat Rev Microbiol, 3, Folia Parasitol (Praha), 53, Orlandi PE, Almeras L, Denis de 262-268. Senneville L, Barbe S, 161-171. Remoue F, Villard C, Cornelie James AA, Blackmer K, Marinotti S, Penhoat K, Pscual A, Samsudrajat A. (2008): Pengendalian Vektor Di O, Ghosn CR and Racioppi Bourgouin C, Fontenille D, Laboraturium B2P2VRP JV. (1991): Isolation and Bonnet J, Corre-Catelin N, Salatiga. Progdi KesMas, FIK, characterizatio of the gene Pages’s P, Laffite D, expressing the major salivary Boulanger D, Simondon FO, UMS. 24
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Schmitz J, Roehrig J, Barret A, and Hombach J. (2011): Next generation dengue vaccines: review of candidate in preclinical development, Vaccine, 29, 7276-7284.
cDNA from Drosophila Valenzuela JG, Charlab R, encoding a protein with Gonzalez EC, Mirandasimilarity to mammalian Santos IKF, Marinotti O, cysteine-rich secretory Francischetti IM and Ribeiro proteins, wasp venom JMC. (2002): The D7 family of antigen-5, and plant group 1 salivary proteins in blood sucking Diptera, Insect Mol pathogenesis-related proteins, Gene, 191, 135-41. Biol, 11 (2), 149-155.
Schneider B, Soong L, Zeidner N and Higgs S. (2004): Aedes aegypti salivary gland extracts Simasathien S and Wasinpiyamongkol L, Patramool S modulate anti-viral and Watanaveeradej V. (2005): and Luplertlop N. (2010): Dengue vaccine, J Med Assoc Th1/Th2 cytokine responses Blood-feeding and to sindbis virus infection. Viral Thai. 88 (Suppl 3), 63–77. immunogenic Aedes aegypti Immunilogy. 17 (4), 565-57 saliva proteins, Proteomics, Schneider BS, Soong L, Girard Titus RG, Bishop JV and Mejia JS. 10, 1906-1916. YA, Campbell G, Mason P (2006): The and Higgs S. (2006): Potentiation immunomodulatory factors of WHO. (2009): Dengue, Guidelines of West Nile encephalitis by arthropod saliva and the for Diagnosis, Treatment, mosquito feeding, Viral potential for these factors to Prevention and Control. New Immunol, 19, 74–82. serve as vaccine targets to Edition. France, WHO Library prevent pathogen Cataloguing. transmission, Parasite Schreiber MC, Karlo JC and Immunology, 28, 131-141. Kovalick GE. (1997): A novel
25
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
RESAZURIN SI INDIKATOR AKTIVITAS SEL Gita Syahputra Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Desain Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI E-mail :
[email protected]
P
engujian Aktivitas dan Perbanyakan Sel Penggunaan metode untuk mengetahui aktivitas sel dan perbanyakan sel telah dilakukan sebelumnya dengan menggunkan beberapa metode yaitu, uji aktivitas sel, menggunakan senyawa analog nukleotida, dan penggunaan garam tetrazolium sebagai indikator metabolisme. Uji aktivitas sel biasanya digunakan untuk mengetahui efek suatu senyawa pada sel secara in vitro, misalnya dalam pengujian senyawa obat pada suatu bakteri patogen. Uji aktivitas sel dapat diketahui hasilnya secara kuantifikasi dengan menghitung konsentrasi ATP interseluar yang terbentuk dalanm suatu sel. Tidak hanya ATP, biomarker lain seperti konsentrasi NADH juga dapat digunakan LDH Penggunaan uji ini diperlukan keterampilan personel yang baik dan menggunakan alat dan bahan yang tidak murah. (Rampersad, 2012) Metode penggunaan senyawa analog nukleotida misalnya menggunakan penanda berupa 3 senyawa analog [ H]-thymidine atau 5-bromo-2’-deoxyuridine [BrdU] disisipkan kedalam DNA sel dan mengalami replikasi pada sel secara normal. Jumlah nukleotida kemudian diukur berdasarkan: 1. Jumlah DNA yang berpenanda dalam populasi sel, 2. Jumlah penanda inti dengan mikroskop. Tingkat pertumbuhan sel sebanding dengan jumlah penanda (senyawa analog). Penggunaan metode ini menggunakan radioisotope sehingga memerlukan penanganan sampel seperti
persiapan, penyimpanan, dan pembuangan yang membutuhkan perlakuan khusus (Stoddartdkk., 2011) Penggunaan garam tetrazolium kerap digunakan sebagai indikator metabolisme suatu sel dikarenakan metode ini tidak menggunakan biaya yang cukup banyak. Garam yang digunakan dalam uji ini adalah 3-(4,5dimethyethiazol-2-yl)-2, 5diphenyltetrazolium bromide (MTT), sodium 3′-[1-phenylamino)carbonyl]-3,4-tetrazolium]-bis(4methoxy-6-nitrobenzene) sulfonic acid hydrate (XTT), and 4-[3-(4iodophenyl)-2-(4-nitrophenyl)-2H5-tetrazolio]-1,3-benzene disulfonate, water-soluble tetrazolium salt (WST-1). Salah satu garam yang biasanya digunakan dalam pengujian aktivitas sel adalah garam MTT. Prinsip penggunaan garam MTT adalah pengukuran perbanyakan sel secara kolorimetri dengan melihat perubahan garam tertrazolium menjadi formazan dalam mitokondria yang aktif pada sel hidup. Penggunaan garam – garam tersebut harus disesuaikan dengan objek sel yang akan dilihat aktivitasnya, Misalnya untuk metode MTT, metode ini tidak dapat diaplikasikan pada sampel yang berwarna karena sampel juga akan menyerap sinar UV sehingga menimbulkan nilai yang tidak valid (Mosmanndkk., 1983) Resazurin danAplikasinya Resazurin (C12H7NO4) memiliki nama IUPAC (7-hydroxy-10oxidophenoxazin-10-ium-3-one) dengan bobot molekul 229,18828 g/mol. Resazurin merupakan
26
senyawa aktif dari Alamar Blue yang diketahui merupakan indikator reaksi reduksi oksidasi (redoks) yang digunakan untuk menilai fungsi metabolism sel sejak lama (Rampersad, 2012). Resazurin juga dikenal sebagai diazol-resorcinol, azoresorcin, resazoin, resazurine, yang larut dalam air, tidak beracun, dan mudah masuk kedalam membran sel. Resazurin telah dimanfaatkan dalam banyak penelitian dan telah dilaporkan pada beberapa terbitan tulisan ilmiah Hasil penelusuran literatur melalui PubMed ditemukan lebih dari 200 terbitan mengenai aplikasi Alamar Blue pada penelitian kanker, sedangkan 1000 terbitan tulisan ilmiah pada pencarian, seleksi, dan pengembangan obat. Aplikasi resazurin pertama kali dilakukan pada tahun 1929 oleh Pesch dan Simmert untuk menduga kontaminasi bakteri dan yeast pada susu. Penelitain terbaru (Muliro dkk, 2013) melaporkan pemanfaatan resazurin pada pengujian susu dengan prinsip reduksi resazurin. Pada bidang kesehatan dalam skala seluler (Ahmed et.al, 1994), apoptosis, siklus selular dan kontrol (Mizuno dkk, 2004) , uji senyawa toksik pada medis dan risiko pada lingkungan, sitotoksisitas (Hamid dkk, 2004), uji antimkiroba (Lozano-Chiu dkk, 1998), Pemanfaatan lainnya telah digunakan untuk pengujian fungsi mitokondria pada sel secara in vitro (Zhang dkk, 2004). Penelitian tersebut menitikberatkan pada fungsi mitokondria pada sel dalam
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
hal kemampuannya dalam fungsi respirasi, integrasi membran, dan dalam aktivitas mitokondria pada respirasi kompleks. Resazurin memiliki warna biru yang tidak berflourescent dan dapat tereduksi menjadi warna pink yang berfluorescent dalam bentuk resorufiin. Perubahan warna dari biru (resazurin) menjadi warna pink (resorufin) merupakan indikator terjadinya reduksi oleh sel (Page ddk., 1993). Perubahan warna pada resazurin dilakukan oleh enzim – enzim dalam sel pada bagian mitokondria dan
kandidat obat untuk menghambat bakteri patogen, seperti Mycobacterium spp, Staphylococcus spp, Enterococcus spp, Pseudomonas spp (Yamaguchi dkk., 2002, Zabranskydkk., 1995). Pada Mycobacteriumspp, resazurin dapat digunakan pada sistem BACTEC (Yajkodkk., 1995). Sebuah studi yang melaporkan perbandingan tujuh pengujian dari beragam senyawa kimia, yang meliputi Nitrae Reductase Assay (NRA), microscopic observation drug susceptibility (MODS),
uji kimia, dan berguna untuk menentukan kecepatan tumbuh suatu sel (Rampersad, 2012). Telah banyak metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui aktivitas sel dan metabolisme, seperti uji aktivitas sel, menggunakan senyawa analog nukleotida, dan penggunaan garam tetrazolium. Metode – metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan oleh metode lain. Resazurin sebagai metode yang terus dikembangan telah banyak
Gambar 1. Mekanisme reduksi Resazurin pada sel
sitoplasma, enzim tersebut adalah dihydrolipoamine dehydrogenase (EC 1.8.1.4) (Matsumoto dkk., 1990)NAD(P)H: quinone oxidoreductase (EC 1.6.99.2) (Belinsky dkk., 1993), danflavin reductase (EC 1.6.99.1) (Chikubadkk., 1994). Pemanfaatan resazurin untuk menilai potensi obat juga telah banya dilaporkan seperti pada multi-drug screening dalam pengujian senyawa antimikroba terhadap yeast dan fungi patogen (termasuk Aspergillus spp., Candida spp.) dengan metode NCCLS (Reis dkk., 2004, McBride dkk., 2005). Penggunaan resazurin untuk screening
Mycobacterium Grwoth Indicator Tube 960 (MGITTM 960), Genotype MTBDRplus, Alamar Blue, MTT dan uji resazurin untuk deteksi kandidat-kandidat obat anti M.tuberculosis strains Ugnda (Bwangadkk., 2010). Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa Resazurin dan MTT memiliki sensitivitas dan selektifitas yang baik dibanding metode lain. Resazurin banyak digunakan didalam laporan ilmiah terkait uji aktivitas dan metabolisme sel, dikarenakan alasan berikut: Nonradioaktif, mudah diguanakan, murah, tidak diperlukan keahlian khusus, pengujian dapat dilakukan cepat pada sampel yang banyak, tidak beracun, tidak mengganggu
27
menjawab kekurangan metode – metode sebelumnya yang pernah ada. Resazurin telah diaplikasin ke banyak bidang ilmu sains dari peternakan hingga kesehatan dan banyak terdapat pada laporan ilmiah baik nasional maupun internasional. Daftar Pustaka Rampersad, S.N. Multiple Applications of Alamar Blue as an Indicator of Metabolic Function and Celluar Health in Cell Viability Bioassays. J. Sensors. 2012. 12347-12360 Stoddart, M.J. Cell viability assays: Introduction, mammalian cell
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
viability. Meth. Mol. Biol. 2011, 740, 1–6.
Clin. Microbiol. 2004, 42, Page, A.B.; Page, A.M.; Noel, C. A 2247–2248. new fluorimetric assay for Mosmann, T. Rapid colorimetric cytotoxicity measurements in McBride, J.; Ingram, P.R.; assay for cellular growth and vitro. Int. J. Oncol. 1993, 3, Henriquez, F.L.; Roberts, survival: Application to 473–476. C.W. Development of proliferation and cytotoxicity colorimetric assays. J. Immunol. Meth. Matsumoto, K.; Yamada, Y.; microtiter plate assay for 1983, 65, 55–63. Takahashi, M.; Todoroki, T.; assessment of antimicrobials Mizoguchi, K.; Misaki, H.; against Acanthamoeba. J. Ahmed, S.A.; Gogal, R.M., Jr.; Yuki, H. Fluorometric Clin. Microbiol. 2005, 43, Walsh, J.E. A new rapid and determination of carnitine in 629–634. simple non-radioactive assay serum with immobilized to monitor and determine the carnitine dehydrogenase and Yamaguchi, H.; Uchida, K.; Nagino, proliferation of lymphocytes: diaphorase. J. Clin. Chem. K.; Matsunaga, T. Usefulness An alternative to [3H] 1990, 36, 2072–2076. of a colorimetric method for thymidine incorporation testing antifungal drug assay. J. Immunol. Meth. Belinsky, M.; Jaiswal, A.K. susceptibilities of Aspergillus 1994, 170, 211–224. NAD(P)H: quinone species to voriconazole. J. oxidoreductase1DTInfect. Chemother. 2002, 8, Mizuno, R.; Oya, M.; Shiomi, T.; diaphorase expression in 374–377. Marumo, K.; Murai, M. normal and tumor tissues. Inhibition of MKP-1 Cancer Metastasis Rev. 1993, Zabransky, R.J.; Dinuzzo, A.R.; expression potentiates JNK 12, 103–117. Woods, G.L. Detection of related apoptosis in renal vancomycin resistance in cancer cells. J. Urol. 2004, Chikuba, K.; Yubisui, T.; Shirabe, K.; enterococci by the alamar mic 172, 723–727. Takeshita, M. Cloning and system. J. Clin.Microbiol. nucleotide sequence of a 1995, 33, 791–793. 4 Hamid, R.; Rotshteyn, Y.; Rabadi, cDNA of the human L.; Parikh, R.; Bullock, P. erythrocyte NADPH-flavin Bwanga, F.; Joloba, M.L.; Haile, M.; Comparison of Alamar Blue reductase. Biochem. Biophys. Hoffner, S. Evaluation of and MTT assays for high Res. Commun. 1994, 198, seven tests for the rapid through-put screening. 1170–1176. detection of multidrugToxicol. In Vitro 2004, 18, resistant tuberculosis in 703–710. Moon, T.W.; Mommsen, T.P. Uganda. Int. J. Tuberc. Lung Biochemistry and molecular Dis. 2010, 14, 890–895. Muliro S.P; Shalo P.L; Kutima P.M. biology of fishes. Environ. Quality assessment of raw Toxicol. 2005, 6, 51–56. Yajko, D.M.; Madej, J.J.; Lancaster, camel milk using dye M.V.; Sanders, C.A.; reduction tests. African Reis, R.S.; Ivan, N., Jr.; Lourenço, Cawthon, V.L.; Gee, B.; Journal of Food Science and S.L.S.; Fonseca, L.S.; Babst, A.; Hadley, W.K. Technology Vol. 4(5). 2013. Lourenço, M.C.S. Comparison Colorimetric method for 116-121 of flow cytometric and Alamar determining MICs of Blue tests with the antimicrobial agents for Zhang H.X; Du G.H; Zhang J,T. proportional method for Mycobacterium tuberculosis. Assay of mitochondrial testing susceptibility of J. Clin. Microbiol. 1995, 33, functions by resazurinin vitro. Mycobacterium tuberculosis 2324–2327. ActaPharmacologicaSinica to rifampin and isoniazid. J. 25(3). 2004. 385-389
28
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) : PERKEMBANGAN DAN PERANNYA DALAM DIAGNOSTIK KESEHATAN Bugi Ratno Budiarto M.Biotech Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jalan Raya Bogor Km. 46, Cibinong Science Center, Bogor, Jawa Barat
Pendahuluan
Bioteknologi modern dan seperti pangan, teknologi ini pun capaiannya dalam tiga dekade ini telah mampu berkontribusi nyata. PCR merupakan teknologi yang tidak lepas dari peran vital Perbaikan varietas-varietas padi mampu melipat gandakan secuplik teknologi PCR. Penemuan protein- melalui teknologi rekayasa fragmen DNA yang terdapat dalam protein baru yang penting melalui genetikatelah mampu komplek makromolekul genom teknologi DNA rekombinan seperti menciptakan padi dengan kualitas dari berbagai sumber (hewan, insulin, hormon faktor perumbuhan unggul baik dari sisi nutrisi yang tumbuhan, bakteri, dan dan antibodi adalah contoh nyata dikandungnya maupun daya n virus)menjadi 2 kali bagaimana teknologi ini sangat adaptasi yang lebih mumpuni lipatnyasecara enzimatis. signifikan perannya dalam proses dibandingkan padi sejenis hasil [8-10] Teknologi ini juga dikenal dengan pencapaian luar biasa umat perkawainan alami . Selain [3-5] tingkat sensitifitas yang cukup manusia .Berkat teknologi PCR aplikasi PCR yang semakin tinggi karena hanya membutuhkan pula pengurutan basa-basa DNA meluas, teknologi PCR pun terus secuplik sampel DNA saja untuk manusia berhasil dituntaskan menurus mengalami perbaikan mendapatkan jutaan kopi DNA dalam kurun waktu yang relatif dan modifikasi mengikuti baru. Sejak pertama kali singkat yang membawa dampak tantangan penelitian yang terus ditemukan oleh Kary Banks Mullis besar bagi dunia kedokteran yang berkembang dan dinamis dewasa [11,12] 32 tahun silam, teknologi PCR membawa arah pengobatan ini . telah merevolusi semua aspek berfokus pada individu pasien atau yang disebut dengan personal biologi molekular di seluruh Dari sisi ekonomi, penemuan luar [6,7] medicine . Disisi lain, bidang dunia.Para ilmuwan bersepakat biasa ini telah menjadi pendorong bahwa penemuan teknologi PCR pertanian terutama kaitannya bertumbuhnya industri-industri pantas disejajarkan dengan dengan kebutuhan pokok manusia bioteknologi dunia, seperti(Abbott penemuan utas DNA(Deoxyribonucleic acid) oleh James D. watson and Francis Crick pada 1953. Teknologi PCR mampu memberidampak cukup signifikan diawal dekade penemuannya terutamapada teknologi kloning gen yang semula tidak mungkin dilakukan menjadi kenyataan yang membawa era baru bioteknologi [1] kearah yang lebih modern . Signifikansi teknologi ini telah menyentuh seluruh ranah penelitian hayati (kesehatan, lingkungan, dan pertanian) yang kemudian berkat teknologi ini pula pengurutan kode genetika manusia berhasil diselesaikan, Gambar 1. Kary B. Mullis (kiri) saat menerima Nobel prize bidang kimia berbagai jenis obat-obatan baru Tahun 1993 (http://www.scienceguardian.com/blog/aditemukan, spesies-spesies baru reminder-as-to-who-kary-mullis-really-is-thank-god.htm) berhasil diidentifikasi dan penanganan penyakit-penyakit berbahaya seperti kankerdan penyakit menular bisa lebih dini [2] dideteksi .
29
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Laboratories (U.S.), Becton, Dickinson and Co. (U.S.), Bio-Rad Laboratories (U.S.), Qiagen (Netherlands), Promega (U.S.), Sigma-Aldrich (U.S.), Roche Diagnostics (Switzerland), Siemens Healthcare (Germany), dan Thermo Fisher Scientific (U.S.) dengan omset fantastis dimana keuntungan pasar hampir sebagian besarnya diperoleh dari penjualan enzim polymerase. Omset penjualan atas mesin dan produk-produk PCRdiprediksi akan mencapai angka yang cukup spektakular yaitu sebesar 13.4 miliar dolarpada tahun 2020 (http://www.genengnews.com/key wordsandtools/print/3/36590/). Atas penemuan yang revolusioner diabad 21inilah akhirnya Kary B. Mullis dihadiahi nobel kimia pada tahun 1993 (Gambar 1). Prinsip-prinsip Dasar PCR Ide cemerlang itu muncul secara spontan di dalam kepala Kary B. Mullis ketika berkendara dari San Francisco menuju Mendocin. Dua pasang fragmen oligonukleotida (primer) yang saling berlawanan dan berkomplemen terhadap masing-masing utas DNAnya dengan mengulang siklus (1) denaturasi dimana dua untas DNA dipisahkan secara fisik menggunakan suhu tinggi, (2) annealingdimana suhu diturunkan untuk memfasilitasi penempelan DNA polymerase secara spesifik pada untas tunggal DNA yang sudah berkomplementasi dengan primer spesifiknya, dan (3) polimerasidimana utas tunggal DNA dibaca oleh DNA polymerase dengan menambahkan basa-basa DNA komplemennya (Gambar 3) maka fragmen DNA dapat diperbanyak [13] secara eksponensial .Aplikasi dariprinsip dasar PCR ini terkendala ketika dicobakan diloratorium dikarenakan beberapa
hal berikut: (1) belum ditemukannya enzim DNA polimerase yang tahan panas menyebabkan harus dilakukan penambahan enzim baru setiap siklus polimerasi bertambah yang menyebabkan tidak efisiennya proses pengerjaan untuk mendapatkan jumlah kopi DNA yang ideal dan (2)penggunaan tiga water bath terpisah menyebabkan proses PCR secara teknis cukup [14] sulitdilakukan .Untunglah penemuan enzim DNA polimerase tahan panas dari mikroba Thermophilus aquaticusmengatasi kendalapada pada proses penambahan enzim sekaligus menurunkan biaya PCR yang [15] sebelumnya cukup besar . Tidak lama setelah itu, revolusi mesin PCRdimana suhu tiap-tiap langkah PCR (denaturasi, annealing, dan polimerasi) dikendalikan secara otomatis di dalam satu wadah reaksitertutup juga berhasil diciptakan dengan nama “Thermal [16] Cycler” . Otomatisasi ini selain memudahkan proses PCR hal inijuga berdampak padapemakaian tempat untuk mesin PCR menjadi lebih efisien (Gambar 2). Secara teknis perbanyakan DNA dengan PCR memerlukan tujuh komponen yaitu (1) template/cetakan DNA yang akan diperbanyak, (2) enzim DNA polimerase tahan panas, (3) satu pasang primer, (4) dNTP, (5)kofaktor MgCl2, (6) larutan penyangga dan (7) air. Ke-tujuh komponen tadi dicampurkan di dalam tubung ukuran 200 µL dalam kondisi dingin sebelum dilakukan PCR di dalam mesin thermal cycler. Metode konvensional perbanyakan DNA dengan PCR terdiri dari tiga langkah/stepyang diulang untuk suatu siklus tertentuyaitu (1) denaturasi cetakan/template DNA
30
o
pada suhu 94-95 C, (2) annealing/penempelan primerprimer pada segmen tertentu DNA menggunakan suhu spesifik (suhu spesifik ini didapatkan dari nilai o Tm primer dikurangi 5 C) dimana fragmen DNA akan diperbanyak, o dan (3) polimerasipada suhu 72 C yaitu suhu optimal enzim untuk memanjangkan primer-primer yang sudah menempel tadi.Adapun waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari satu langkah ke langkah selanjutnya dalam satu kali siklus PCR adalah bergantung pada mesin PCRtetapi secara umum durasi denaturasi biasanya paling lama 30 detik, durasi annealing sangat bergantung pada spesifikasi dan panjang primer yang dibuat tetapi untuk mudahnya durasi tidak kurang dari 15 detik dan tidak lebih lama dari 1 menit, sedangkan durasi polimerasi sangat ditentukan oleh panjang fragmen DNA yang dihasilkan dan secara kasar ditetapkan untuk memperbanyak fragmen DNA dengan ukuran 1 kb dibutuhkan durasi 1 menit tergantung pada jenis enzim [17] polimerase yang digunakan . Dari tujuh komponen PCR, perancangan primer yang baik adalah kunci keberhasilan dalam proses amplifikasi DNA dengan metode ini. Adapun pasangan primer yang optimal yaitu bila primer tersebut hanya menempel spesifik pada gen targetnya dan bila proses amplifikasi DNA selesai tidak terbentuk dimer [18] primer . Perancangan primer biasanya menggunakan software bioinformatika dan untungnya saat ini sudah banyak software gratis yang bisa diakses secara online seperti primer3plus (http://www.bioinformatics.nl/cgibin/primer3plus/primer3plus.cgi/).
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Gambar 2. Prinsip dasar perbanyakan fragmen DNA dengan teknologi PCR (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/probe/docs/techpcr/)
31
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Gambar 3. Alat PCR (kiri) yang digunakan untuk Perbanyakan kopi DNA pada awal sebelum ditemukan mesin Thermal-Cycler PCR (kanan) (http://galleryhip.com/thermal-cycler-pcr.html) Perkembangan Teknologi PCR Teknologi PCR selalu mengalami inovasi mengikuti dan menjawab kebutuhan-kebutuhan di bidang riset maupun diagnostik dan inovasi tersebut terjadi pada komponen “software” yaitu enzim dan komponen kimia pendukungnya, komponen “technique” yaitu metodologi PCR dan komponen “hardware” yaitu mesin PCR.isolasi, kloning gen dan modifikasi dari enzim DNA
polimerase. Sampai tahun 2013 saja sudah diketahui ada 19 jenis DNA polimerase baik type A maupun B dengan karakteristik unik hasil pengisolasiandari berbagai jenis thermotolerant bakteri (genus Themus, Thermoccocus, dan Pyrococcus)sehingga tidak heran dewasa ini persaingan untuk memunculkan DNA polimerase dengan fungsi unggul sangat digencar dilakukan oleh berbagai peneliti di dunia.Pencarian
mikroorganisme-miroorganisme baru di ekosistem yang ekstrim serta modifikasi DNA polimeraseyang sudah ada dengan teknik mutagenesis dan rekayasa genetika merupakan bagian dari upaya untuk mendapatkan DNA polimerase terbarukan yang diharapkan memiliki aktivitas, spesifitas dan stabilitas tinggi sehingga bisa [19-21] meningkatkan efisiensi PCR .
Tabel 1. Jenis-jenisDNA polimerase yang sudah ada di pasar dan digunakan sebagai tools dalam biologi molekular berserta karakteristiknya Karakteristik Jenis Enzim Type DNA Referens Aktivitas Aktivitas Panambahan polimerase eksonukleas eksonukleas i Fidelity adenin pada e 5→3 e 3→5 ujung 3 DNA Taq: [22] Thermus √ Rendah √ aquaticus Tfl: Tidak Thermus Tipe A √ √ [23] diketahui flavus Tma: Thermotoga √ Sedang [24] maritima KOD: Thermococcu √ Tinggi [25] s Tipe B kodacaraensis Pfu: √ Tinggi [22] Pyrococcus
32
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
furiosus Pwo: Pyrococcus woesei
-
Metodologi PCR yang semula digunakan hanya untuk perbanyakaan DNA saja sekarang sudah jauh mengalami perkembangan yang cukup memukau mengikuti kebutuhan akan analisa berdasarkan kasus yang sedang terjadi. Inovasi terkait technique” PCR yang kini berkembang memiliki peranan
√
Tidak diketahui
cukup signifikan pada hasil-hasil penelitian dewasa ini terutama pada bidang kedokteran seperti prediksi suatu penyakti atau mengukur efektivitas suatu obat melalui perhitungan jumlah kopi gen, analisa keragaman gen pembawa penyakit atau analisa mutasi gen. Metode-metode itu antara lain COLD (Coamplification
-
[26]
at Low Denaturation [27] Temperature)-PCR , PNAC (Peptide Nucleic Acid [28] clamp)PCR ,Supression [29] PCR dan TETRA ARMS (AmplificationRefractory [30] MutationSystem)-PCR . Adapun prinsip dan aplikasi dari masingmasing metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode-metode PCR terkini Metode PCR COLD PCR
PNAC PCR
Supressio n PCR
TETRA ARMS PCR
Prinsip
Fungsi
Aplikasi
Denaturasi selektif missmatch/heterodu pleks DNA (campuran DNA tipe mutan dengan tipe wildnya) pada Tc (suhu critikal)
Pengayaan fragmen DNA yang mengandung mutasi pada populasi suatu sel sel dan deteksi mutasi gen
Penghambatan secara selektif perbanyakan fragmen DNA tipe wild menggunakan oligo peptida Ampflifikasi spesifik pada daerah SS loop dari hairpin DNA yang terbentuk dari ikatan komplemetari yang kuat pada ujung-ujung linker menggunakan primer spesifik gen Amplifikasi fragmen gen spesifik menggunakan sepasang primer pengamit (flanking primer) dan sepasang primer internal yang berposisi saling berlawanan arah
Deteksi mutasi gen
Ref.
1. Pengayaan gen KRAS [31][32] dan gen P53 yang membawa mutasi yang jumlahnya sedikit pada kanker paru 2. Deteksi mutasi DNA BRAF dan K-ras pada kolon kanker 3. meningkatkan akurasi deteksi mutasi K-ras dengan metode analisa kurva leleh (melting curve) Deteksi mutasi KRAS [33] pada kanker kolon dengan tingkat sensitivtas dan spesifitas yang cukup tinggi
Deteksi keragaman gen
Deteksi type alele gen [34] thrombin III, interleukin 1α, insulin like growth factor II, aldolase B, alfa microglobulin, Low Density Lipoprotein
Deteksi keragaman gen dan mutasi
Deteksi mutasi gen PI3KCA exon 9 dan 20 pada kanker payudara
33
[35]
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
[43]
Berkat teknologi PCR pula pengurutan basa-basa DNA manusia berhasil dituntaskan dalam kurun waktu yang relatif singkat yang membawa dampak besar bagi dunia kedokteran yang membawa arah pengobatan berfokus pada individu pasien atau yang disebut dengan personal medicine Inovasi “hardware” PCR setidaknya pada saat ini terdapat empat jenis mesin PCR yang sudah dikembangkandan digunakan pada penelitian dan diagnostik yaitu (1) mesin PCR konvensional biasa (2) mesin PCR konvensional dengan programgradient temperature, (3) Real-Time PCR,dan (4) droplet digital PCR. Mesin PCR yang dilengkapi dengan gradient temperaturememiliki fungsi utama yaitu optimasi suhu annealing primer secara paralel pada pemakainya untuk mendapatkan suhu annealing terbaik yang akan diterapkan pada perbanyakan DNA selanjutnya. Pengguna tinggal memilih suhu annealing yang diingikan yang mengacu pada nilai Tm (Melting Temperature) primer o [36] dikurangi5 C . Real-Time PCR dengan teknologi komputerisasi yang handal dimana feature yang [37] tawarkan sudah sangat lengkap termasuk program gradient temperature. Real Time PCR memiliki keunggulan dalam hal (1) kemampuan dalam menghitung secara tepat jumlah DNA yang diperbanyak tiap siklusnya yang memungkinkan material genetika yang terdapat pada sampel dapat dihitung secara tepat pula, (2),
perbanyakan DNA selama proses PCR berlangsung bisa diamati secara langsung (Real-Time), (3) menawakan beragam jenis deteksi seperti mutasi, genotyping, perhitungan jumlah sel dan ekspresi gendan (4) mengeliminasi keharusan analisa [38] lebih lanjut seperti elektroforesis yang merupakan keterbatasan dari PCR konvesional. Teknologi terkini dari mesin PCR yaitu droplet digital PCR yang dikembangkan oleh perusahaan ternama Bio-Rad-Ltd. Alih-alih proses amplifikasi DNA dilakukan dalam sistem aquoes, dalam droplet digital PCR sintesis DNA dilakukan secara enkapsulasi air yang teremulsi dalam minyak. Metode partisi ini menyebabkan perhitungan atau analisa DNA dengan droplet digital PCR begitu tinggi ketepatannya. PCR jenis ini memberikan keunggulankeunggulan luar biasa untuk berbagai tujuan penelitian maupun diagnostik seperti (1) analisa [39] keragaman jumlah kopi DNA , (2) deteksi mutasi DNA yang [40] langka , (3) ekspresi gen dan [41] analisa microRNA , (4) aplikasinya dalam Next [42] Generation Sequencing (NGS) dan (5) analisa aktivitas enzim dengan resolusi skala sel tunggal
34
(single cell) . Tidak tertutup kemungkinan beberapa tahun lagi dari sekarang dengan semakin canggihnya teknologi komputer dan berkembangannya ilmu material dan bioteknologi bisa terwujudnya mesin portable PCR dengan dimensi fisik yang cukup kecil tetapi tetap memilikifeaturefeaturetercanggih didalamnya sehingga dengan mesin PCR seperti ini akan sangat membantu bagi para penggunayang dinamis (peneliti kepurbakalaan, petugas kesehatan dan petugas konservasi)yang mengharuskanproses PCR dan olah data di lapangan sehingga data yang didapatkan akan lebih cepat dan akurat. Peranan PCR dalam Diagnostik Kesehatan Diagnostik klasik,sebelum PCR dipopulerkan sebagai metode deteksi dalam klinis, menggunakan metode analisa protein sebagai sarana dalam melakukan deteksi suatu penyakit. Tidak mengejutkan bahwa sistem deteksi yang banyak dipakai atau ditawarkan pada suatu institusi kesehatan seperti rumah sakit pada umumnya menggunakan metode yang mengacu pada prinsip-prinsipimunokimia, sebagai contoh yang terkenal yaitu deteksi human papiloma virus mengunakan tes Pap Smear atau deteksi kelainan sel menggunakan metode imunohistokimia.Namun terkadang, deteksi semacam itu riskan akan terjadinya kesalahan dalam penafsiran hasil dikarenakan rendahnya sensitifitas metode yang mungkin terjadi karenarusaknya antibodi yang digunakan (misalkan salah proses penyimpanan atau kadaluarsa) atau rendahnya kualitas sampel jaringan akibat proses [44] penyimpanan yang terlalu lama . Untuk mengkonfirmasi salah penafsiran data maka diperlukan suatu metode mumpuni baik sifatnya sebagai metode tunggal deteksi atau komplemen untuk mengatasi batasan tadi. Aplikasi PCR dalam diagnostik kesehatan telah banyak dilakukan dewasa ini
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
yang sudah diakui sebagai gold standard dalam diagnostik klinis seperti FISH (Flouresence In Situ [46] Hybdridization) yang menggunakan prinsip kerja yaitu pelabelan DNA target pada jaringan secara in situ menggunakan probe berflourensensi, IHC [47] (ImmunoHistoChemistry) yang menggunakan prinsip yaitu deteksi protein menggunakan antibodi Secara teknis, metode PCR dapat spesifik yang sudah ditempelkan probe khusus, maupun sanger dipakai sebagai metode [48] komplemen terhadap metode baku sequensing yang menggunakan dengan tingkat sensitifitas dan [45] spesifitas yang cukup tinggi . Oleh sebab ituwajar jika teknologi ini cukup mumpuni dalam mendeteksi mikroorganism berbahaya yang titernya cukup kecil sekalipun dalam beragam sampel, mendeteksi suatu mutasi gen tertentu pada pasien penderita kanker, dan mendeteksi kelainan gen-gen bawaan.
prinsip kerja yaitu pengurutan basa-basa DNA oleh DNA polymerase dengan memasangkan basa-basa DNA yang sudah dimodifikasi secara kimia hanya dengan melibatkan penggunaan satu primer.Dibawah ini adalah tabel 3 kompilasi dari beberapa hasil penelitian beserta aplikasi klinis PCR dalam diagnostik kesehatan terkait deteksi penyakit berbahaya, penyakait turunan dan penyakit kanker.
Tabel 3. Aplikasi metode PCR dalam deteksi berbagai macam penyebab penyakit Aplikasi PCR Diagnost ik penyeba b Penyakit berbaha ya
Diagnost ik penyakit turunan
Deteksi Salmonella sp. pada pangan Mycobacteri um tuberculosis pada darah dan urin Plasmodium sp. pada darah
Lokus ttrRSBCA
Down’s syndrome
Duplikasi gen TTC3 pada kromosom 21 dan KDM2A pada kromosom 11 kromosom sex
48,XXYY syndrome
Diagnost ik kanker
Gen/krom osom
IS6110
18s RNA
Ret syndrome
MEPC2
Otak
Hati
EGFR, TP53, KRAS, dan Neurofibro min 2 dan NF2p.R57 P16
Payudara
Her-2
Metode pembandin g Metode kultur bakteri
Keampuhan metode PCR Sensitifita Spesifisitas s *** ***
Referensi
-
**
**
[50]
Multiplex RealTime PCR Quantitai ve RealTime PCR
Blood smear menggunaka n Microskopi
***
***
[51]
Analisa karyotipe kromosom
***
***
[52]
Quantitati ve flouresce nce PCR Quantitati ve real time PCR Droplet Digital PCR
Anilsa karyotipe kromosom
***
***
[53]
DHPLC, DGGE, dan SSCP Sequencing
***
***
[54]
***
***
[55]
MetilasiPCR
Deteksi stabilitas mikrosatelite DNA atau deteksi mutasi P53 IHC (ImmunoHys toChemistry)
**
**
[56]
***
***
[57]
Metode RealTime PCR NestedPCR
RealTime PCR
*** sangat tinggi** tinggi* sedang
35
[49]
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Kebutuhan diagnostik kesehatansaat inikaitannya dengan metode molekular yaitu tersedianya metode molekular yang memenuhi kriteria (1) akurat, (2) cepat, dan (3) murah. Akurasi metode PCR sangat ditentukan oleh kemampuan kita dalam hal (1) merancang pasangan primer spesifik dari gen yang akan diperbanyak, (2) pemilihan gennya, (3) beserta pemilihan metode PCR yang akan dipakai. Pemilihan gen untuk diagnostik menggunakan PCR akan ditentukan oleh kebutuhan dari jenis deteksi. Untuk deteksi bakteri biasanya menggunakan 16sRNA, deteksi jamur menggunakan 18sRNA atau ITS, deteksi kanker menggunakan onkogen spesifik kanker. Pemilihan metode PCR mana yang dipakai tergantung seberapa besar tingkat deteksi yang diinginkan. Deteksi jenis mikroba pada suatu jaringan misalkan, cukup digunakan metode PCR biasa yang digabungkan analisa post-PCR dengan sanger [58] seqeuncing . Sedangkan untuk deteksi mutasi gen pada jaringan kanker yang memerlukan tingkat akurasi tinggi maka biasanya digunakan metode PCR yang telah dimodifikasi seperti telah dipaparkan sebelumnya pada tabel 2.Beberapa hasil penelitian membuktikan metode-metode tersebut memiliki akurasi bervariasi namun secara umum tingkat deteksi mutasi meningkat sebesar 10-100 kalinya jika dibandikan dengan deteksi mutasi dengan metode sanger sequensingdimana produk PCRnya hasil dari perbanyakan metode konvensional PCR. Untuk kecepatan dalam proses mendapatkan hasil, pengolahan sampel (ektrasi DNA, proses pencampuran komponen PCR, proses PCR dan analisa hasil) dengan metode PCR jauh lebih cepat dibandingkan dengan pengolahan sampel yang sama dengan metode IHC hal ini disebabkan karena kompleksitas prosedur IHC dan sulitnya penafsiran hasil pewarnaan yang mengharuskan adanya personel
khusus yang sudah terlatih.Lebih Souriau, Christelle, and Peter J. lanjut, diagnostik gen Hudson. "Recombinant menggunakan metode PCR sudah antibodies for cancer banyak dipakai di rumah sakit dan diagnosis and therapy." Expert opinion on biological pusat-pusat diagnostik sehingga therapy 3.2 (2003): 305-318. dengan pemeriksaan rutin dan masif akan berdampak pada ongkos pemeriksaan yang murah Wilson, Brenda J., and Stuart G. dan tentu itu akan tergantung Nicholls. "The Human pada teknologi PCR yang Genome Project, and recent digunakan semakin sensitif advances in personalized genomics." Risk management metode yang dipakai maka ongkos and healthcare policy 8 diagnostik yang ditawarkanakan sedikit lebih mahal. (2015): 9. Kesimpulan Teknologi PCR akan terus mengalami inovasi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan hayati yang dewasa ini begitu dinamis dan kompleks. Inovasi teknologi PCR mencakup tiga komponen utama yaitu ‘software”, “hardware” dan “technique”. Penemuan-penemuan baru pada ketiga komponen tersebut telah memperkuat PCR sebagai salah satu tools bioteknologi yang mumpuni dalam menjawab tantangan penelitian maupun diagnostik kedepan. Daftar Pustaka Bartlett, John MS, and David Stirling. "A short history of the polymerase chain reaction." PCR protocols. Humana Press, 2003. 3-6. Gibbs, Richard A. "DNA amplification by the polymerase chain reaction." Analytical Chemistry 62.13 (1990): 1202-1214.
Lunshof, Jeantine E., et al. "Personal genomes in progress: from the human genome project to the personal genome project." Dialogues in clinical neuroscience 12.1 (2010): 47. Ma, Xujun, Qian Qian, and Dahai Zhu. "Expression of a calcineurin gene improves salt stress tolerance in transgenic rice." Plant molecular biology 58.4 (2005): 483-495. Singh, Anil K., et al. "Raising salinity tolerant rice: recent progress and future perspectives." Physiology and Molecular Biology of Plants 14.1-2 (2008): 137-154. Key, Suzie, Julian KC Ma, and Pascal MW Drake. "Genetically modified plants and human health." Journal of the Royal Society of Medicine 101.6 (2008): 290-298.
Garibyan, Lilit, and Nidhi Avashia. "Research Techniques Made Ladisch, Michael R., and Karen L. Simple: Polymerase Chain Reaction (PCR)." The Journal Kohlmann. "Recombinant human insulin." Biotechnology of investigative dermatology progress 8.6 (1992): 469-478. 133.3 (2013): e6. Robson, Martin C., Thomas A. DeGraves, Fred J., Dongya Gao, Mustoe, and Thomas K. Hunt. and Bernhard Kaltenboeck. "The future of recombinant "High-sensitivity quantitative PCR platform." Biotechniques growth factors in wound healing." The American 34.1 (2003): 106-115. journal of surgery 176.2 (1998): 80S-82S. Shampo, Marc A., and Robert A. Kyle. "Kary B. Mullis—Nobel Laureate for procedure to
36
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
replicate DNA." Mayo Clinic Proceedings. Vol. 77. No. 7. Elsevier, 2002. Mullis, K. B., et al. "Specific enzymatic amplification of DNA in vitro: the polymerase chain reaction." Biotechnology Series (1992): 17-17.
Technology 40.6 (2007): 1475-1483. Cline, Janice, Jeffery C. Braman, and Holly H. Hogrefe. "PCR fidelity of Pfu DNA polymerase and other thermostable DNA polymerases." Nucleic acids research 24.18 (1996): 35463551.
Saiki, Randall K., et al. "Primerdirected enzymatic amplification of DNA with a thermostable DNA polymerase." Science 239.4839 (1988): 487-491.
detection assay for colorectal cancer micrometastases in lymph nodes." International journal of cancer 111.3 (2004): 409-414. Kaur, Manjit, and G. Mike Makrigiorgos. "Novel amplification of DNA in a hairpin structure: towards a radical elimination of PCR errors from amplified DNA." Nucleic acids research 31.6 (2003): e26-e26.
Kaledin, A. S., A. G. Sliusarenko, and S. I. Gorodetskiĭ. "[Isolation and properties of DNA polymerase from Machnicki, Marcin M., et al. extreme thermophylic "ARMS-PCR for detection of bacteria Thermus aquaticus BRAF V600E hotspot YT-1]." Biokhimiia (Moscow, Weier, Heinz Ulrich, and Joe W. mutation in comparison with Russia) 45.4 (1980): 644-651. Gray. "A programmable Real-Time PCR-based techniques." Acta Biochimica system to perform the Polonica 60.1 (2013): 57-64. polymerase chain reaction." Diaz, R. S., and E. C. Sabino. DNA 7.6 (1988): 441-447. "Accuracy of replication in the polymerase chain reaction. Mancini, Santucci., et al. “The use van Pelt-Verkuil, Elizabeth, Alex Comparison between of COLD-PCR and highVan Belkum, and John P. Thermotoga maritima DNA resolution melting analysis Hays. Principles and technical polymerase and Thermus improves the limit of detection aspects of PCR amplification. of KRAS and BRAF mutations aquaticus DNA polymerase." Brazilian journal of medical in colorectal cancer. Journal Springer Science & Business and biological research 31.10 of Molecular Diagnostics. Media, 2008. (1998): 1239-1242. 12.5 (2010): 705- 711. He, Q., et al. "Primers are decisive Takagi, Masahiro, et al. for sensitivity of PCR." "Characterization of DNA Castellanos-Rizaldos E, Liu P., et Biotechniques 17.1 (1994): polymerase from Pyrococcus al. “Temperature-Tolerant 82-84. sp. strain KOD1 and its COLD-PCR reduces application to PCR." Applied Kim, Kee Pum, et al. "Improved temperature stringency and and environmental thermostability and PCR enables robust mutation microbiology 63.11 (1997): enrichment. Clinical efficiency of Thermococcus Chemistry. 58.7 (2012): 1130celericrescens DNA 4504-4510. polymerase via site-directed 1138. mutagenesis." Journal of Dąbrowski, Sławomir, and Józef biotechnology 155.2 (2011): Kur. "Cloning and Expression Taback B, Bilchik AJ., et al. 156-163. inEscherichia coliof the ”Peptide nucleic acid clamp PCR: A novel K-ras mutation Recombinant His-Tagged Lee, Jong Il, et al. DNA Polymerases detection assay for colorectal "Characterization and PCR fromPyrococcus cancer micrometastases in application of a thermostable furiosusandPyrococcus lymph nodes. International woesei." Protein expression DNA polymerase from Journal of Cancer. 111 and purification 14.1 (1998): Thermococcus pacificus." (2004): 409-414. Enzyme and Microbial 131-138. Technology 47.4 (2010): 147Broude NE, Zhang L., et al. 152. Carotenuto, Pietro, et al. “Multiplex allel-specific target "Detection of KRAS mutations amplification based on PCR supression. Protocol National Song, Jung Min, et al. in colorectal cancer with Fast COLD-PCR." International of Academic Science. 98.1 "Characterization and PCR journal of oncology 40.2 performance of a family B(2001): 206-211. type DNA polymerase from (2012): 378-384. the hyperthermophilic Harle A, Lion M., et al. “Analysis of PIK3CA exon 9and 20 crenarchaeon Taback, Bret, et al. "Peptide Staphylothermus marinus." nucleic acid clamp PCR: A mutations in breast cancers Enzyme and Microbial using PCR HRM and PCRnovel K‐ras mutation
37
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
ARMS: correlation with clinicophatological criteria. Oncology Reports. 29 (2013): 1043-1052. Danssaert, J., et al. "RoboCycler 96 cyclers: Higher throughput with 96-well format." Strategies 7 (1994): 66-67. Deepak, S. A., et al. "Real-time PCR: revolutionizing detection and expression analysis of genes." Current genomics 8.4 (2007): 234.
Ramos-Vara, J. A. "Technical aspects of immunohistochemistry." Veterinary Pathology Online 42.4 (2005): 405-426. Reizenstein, E. "Diagnostic polymerase chain reaction." Developments in biological standardization 89 (1996): 247-254.
Sun, Lei, et al. "Rapid detection of Down's syndrome using quantitative real-time PCR (qPCR) targeting segmental duplications on chromosomes 21 and 11." Gene 552.2 (2014): 272-276. 1.
Poppert, Sven, et al. "Rapid diagnosis of bacterial meningitis by real-time PCR and fluorescence in situ hybridization." Journal of Valasek, Mark A., and Joyce J. clinical microbiology 43.7 Repa. "The power of real-time PCR." Advances in (2005): 3390-3397. physiology education 29.3 (2005): 151-159. Watson, Natasha, et al. "Heterogeneous staining for Ruelle, Jean, et al. "Validation of mismatch repair proteins an ultrasensitive digital during population-based droplet PCR assay for HIV-2 prescreening for hereditary plasma RNA quantification." nonpolyposis colorectal Journal of the International cancer." The Journal of AIDS Society 17.4 (2014). Molecular Diagnostics 9.4 (2007): 472-478. Zhu, Guanshan, et al. "Highly Sensitive Droplet Digital PCR Wang, Wei, et al. "Molecular Method for Detection of Genotyping of Human EGFR-Activating Mutations in Rhinovirus by Using PCR and Plasma Cell–Free DNA from Sanger Sequencing." Rhinoviruses. Springer New Patients with Advanced Non– Small Cell Lung Cancer." The York, 2015. 39-47. Journal of Molecular Diagnostics 17.3 (2015): 265- Malorny, Burkhard, et al. 272. "Diagnostic real-time PCR for detection of Salmonella in food." Applied and Heredia, Nicholas J., et al. Environmental Microbiology "Droplet Digital™ PCR quantitation of HER2 70.12 (2004): 7046-7052. expression in FFPE breast cancer samples." Methods Cruz, Heidi Lacerda Alves da, et 59.1 (2013): S20-S23. al. "Evaluation of a nestedPCR for Mycobacterium White, Richard A., et al. "Digital tuberculosis detection in PCR provides sensitive and blood and urine samples." Brazilian Journal of absolute calibration for high throughput sequencing." BMC Microbiology 42.1 (2011): genomics 10.1 (2009): 116. 321-329. Ludlow, Andrew T., et al. "Quantitative telomerase enzyme activity determination using droplet digital PCR with single cell resolution." Nucleic acids research 42.13 (2014): e104-e104.
clinical microbiology 42.12 (2004): 5636-5643.
Rougemont, Mathieu, et al. "Detection of four Plasmodium species in blood from humans by 18S rRNA gene subunit-based and species-specific real-time PCR assays." Journal of
38
Zhang, Qiu-Shi, and Dong-Zhi Li. "A case of 48, XXYY syndrome detected prenatally by QF-PCR." Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine 22.12 (2009): 12141216.
Ariani, Francesca, et al. "Real‐time quantitative PCR as a routine method for screening large rearrangements in Rett syndrome: Report of one case of MECP2 deletion and one case of MECP2 duplication." Human mutation 24.2 (2004): 172-177. Pan, Wenying, et al. "Brain Tumor Mutations Detected in Cerebral Spinal Fluid." Clinical chemistry (2015): clinchem-2014. Wong, Ivy HN, et al. "Detection of aberrant p16 methylation in the plasma and serum of liver cancer patients." Cancer research 59.1 (1999): 71-73. Mendoza, Gretel, Amelia Portillo, and Jorge Olmos-Soto. "Accurate breast cancer diagnosis through real-time PCR her-2 gene quantification using immunohistochemicallyidentified biopsies." Oncology letters 5.1 (2013): 295-298. Viljoen, Gerrit J., Louis H. Nel, and John R. Crowther, eds. Molecular diagnostic PCR handbook. Springer Science & Business Media, 2005.
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
PENTINGNYA PEMERIKSAAN ANDROGEN RESEPTOR (AR) TERHADAP PENDERITA KARSINOMA PAYUDARA DI SUMATERA BARAT Daan Khambri1, Wirsma Arif Harahap1 , Yanwirasti2, Samuel J. Haryono3, Jamsari4 1. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang 2. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang 3. KSM Bedah Onkologi RSK Dharmais Jakarta 4. Bagian Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang
K
arsinoma payudara menempati urutan pertama dari seluruh karsinoma yang 1 dijumpai di seluruh dunia. Diperkirakan 23% atau 1.383.500 kasus baru per tahun dan 14% atau 458.400 kasus akan berakhir 2 dengan kematian. Di Indonesia, berdasarkan data tahun 2009 karsinoma payudara juga sebagai penyebab terbanyak kematian akibat penyakit karsinoma pada wanita yang dirawat di rumah 3 sakit. Setiap tahun terdapat 39.831 kasus baru karsinoma payudara. Laporan dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2012 menunjukkan angka kejadian 26 kasus per 100.000 wanita. Demikian juga dengan jumlah rawatan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M.Djamil Padang pada tahun 2014, dimana karsinoma payudara merupakan jenis karsinoma yang paling sering dirawat di RS M Jamil Padang dan merupakan penyebab kematian paling sering akibat kanker pada wanita. Dalam 20 tahun terakhir, terlihat peningkatan secara dramatis terhadap pemahaman mengenai multistep karsinogenesis dan peran utama perubahan genetik dalam diagnostik, pengobatan dan pencegahan karsinoma payudara. Hal ini menyebabkan peningkatan pada pencegahan, deteksi dan strategi pengobatan pada penderita-penderita karsinoma payudara. Karsinoma payudara merupakan tumor yang heterogen
yang mempunyai berbagai subtipe dengan perilaku biologi, klinikopatologi, dan karakteristik 4 molekular yang berbeda. Perou dkk mengklasifikasikan karsinoma payudara atas beberapa subtipe berdasarkan ekspresi beberapa gen yakni : Luminal A, Luminal B Her-2 negatif, Luminal B Her-2 positif, Her-2 Positif dan Basal Like atau yang lebih dikenal dengan Triple Negatif Breast 5 Cancer (TNBC). Subtipe Luminal A adalah subtipe karsinoma payudara yang ditandai dengan ekspresi (Estrogen Reseptor) ER positif, (Progesteron Reseptor )PR positif, HER2 Negatif dan ekspresi Ki67 kecil 6 dari 14%. Dijumpai sekitar 40% dari seluruh subtipe karsinoma 4 payudara, memiliki respon yang 5 rendah terhadap kemoterapi. Pada umumnya subtipe ini memiliki angka ketahanan hidup yang panjang dari pada subtipe lainnya, gradasi tumor yang rendah dan memiliki faktor 7 prognostik yang baik. Subtipe Luminal B terbagi atas dua kategori, yakni (1) subtipe Luminal B dengan ekspresi ER dan/atau PR positif, HER2 negatif dan Ki67 besar dari 14% (2) subtipe luminal B dengan ekspresi ER atau PR positif, HER2 positif dengan semua ekspresi Ki67 5 (positif maupun negatif). Dijumpai sekitar 20% dari seluruh subtipe 4 kanker payudara. Sering muncul pada penderita dengan usia muda dan memiliki faktor prognostik terhadap kejadian metastasis
39
pada tulang dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan subtipe luminal A. Subtipe Human Epidermal Growth Factor Receptor-2 (HER2) adalah subtipe karsinoma payudara dengan ditandainya ekspresi ER dan PR negatif tetapi ekspresi HER2 positif. Dijumpai sekitar 15% dari seluruh subtipe karsinoma payudara dan biasanya kurang responsif terhadap terapi hormonal, tetapi memberikan respon terhadap anti HER2 seperti trastuzumab. Memiliki prognosis yang buruk, gradasi histologi yang tinggi dan metastasis ke Kelenjar Getah Bening (KGB). Subtipe TNBC adalah subtipe karsinoma payudara yang diperkirakan sekitar 15% dari seluruh karsinoma payudara, dengan perilaku biologi yang lebih buruk, sangat invasif, gradasi histologi tinggi, indeks mitosis yang tinggi, sering metastasis ke otak dan paru-paru, mempunyai prognosis yang buruk, tidak dapat diterapi hormonal dan atau anti 8 HER2. Namun pada subtipe TNBC terdapat ekspresi androgen receptor (AR) dan beberapa pathway lagi yang sedang dipelajari untuk mengetahui lebih lanjut dimana peran AR pada 9 TNBC. Perkembangan dan progresifitas karsinoma payudara sangat tergantung dari aktivitas hormon steroid, yaitu estrogen, progesteron dan androgen termasuk reseptornya. Peran ER
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
dan PR pada karsinoma payudara sudah terbukti sebagai prediktor terapi hormonal, sedangkan peran androgen dan Androgen Receptor (AR) sampai saat ini masih belum banyak diketahui walaupun ekspresi AR lebih banyak dijumpai pada karsinoma payudara yaitu 70-90%, dibandingkan dengan ekspresi ER 60-80% dan ekspresi PR 50-70%. Lebih lanjut, ekspresi AR berhubungan dengan usia yang lebih tua, status menopause, grading histologi yang rendah dan mempunyai faktor prognosis yang 10 baik.
(DHT) yang berada di sitoplasma dan kemudian dipindahkan ke 11 dalam inti sel. AR sering ditemukan pada payudara, prostat, tulang dan otak. Disini menunjukkan bahwa androgen dan metabolitnya memainkan peranan penting dalam homeostatis jaringan normal dan dalam proses karsinogenesis. Pada payudara kelebihan paparan androgen dapat meningkatkan risiko karsinoma payudara pada wanita. Ekspresi AR pada karsinoma payudara secara umum berkisar 70-90%, pada subtipe TNBC ekspresi AR berkisar 10AR pada manusia terletak pada 20% dan pada subtipe HER-2 12 kromosom X yaitu Xq 11-12 ekspresi AR juga berkisar 20%. (gambar 2.3), juga dikenal sebagai Dilaporkan dalam beberapa NR3C4 (Nuclear Receptor penelitian bahwa ekspresi AR juga Subfamily 3, Group 3, Member 4) berhubungan dengan prognosis adalah subtipe nuclear receptor karsinoma payudara. yang diaktifkan oleh pengikatan hormon androgen seperti Faktor prognosis tergantung pada testosteron atau dihidrotestosteron stadium klinis, stadium patologi,
ukuran tumor, usia, metastasis kelenjar limfe, derajat diferensiasi, indeks mitosis, ER, PR, HER-2, 14, 15 Ki67 dan P53 (Tabel 1.1). Analisis univariate menunjukkan bahwa ekspresi AR merupakan faktor prognosis yang penting untuk karsinoma payudara sedangkan analisis multivariat menunjukkan bahwa hanya metastasis kelenjar getah bening (KGB), ukuran tumor, dan status ER yang merupakan faktor prognostik independen untuk 16 karsinoma payudara. Ekspresi AR berhubungan dengan tipe patologisnya, gradasi histologis yang rendah dan metastasis KGB pada karsinoma payudara. Ekspresi AR tidak berhubungan dengan status haid pertama (menarche) , sementara dari penelitian lain ekspresi AR berhubungan secara signifikan 17 dengan status menarche.
14, 15
Tabel 1.1 Faktor Prognostik Karsinoma Payudara Faktor Prognostik Baik Stadium klinis Stadium dini Stadium patologi Stadium I-II Ukuran tumor >0-2 cm Usia > 50 thn Kelenjar limfe Metastasis – Derajat diferensiasi Baik Indeks mitosis Rendah ER Positif PR Positif HER-2 Negatif Ki67 <14% P53 Negatif Keberadaan AR positif pada sub tipe TNBC dan subtype HER-2 menimbulkan kemungkinan pendekatan terapi hormonal yang lain untuk pengelolaan kedua subtype karsinoma payudara 9, 10, 13 tesrsebut. Garay dkk (2012) menemukan bahwa sekitar 4050% dari ER(+) yang diterapi dengan tamoxifen dan aromatase inhibitor mengalami resistensi obat akan tetapi terapi androgen 12 mungkin masih efektif.
Buruk Stadium Lanjut Stadium III-IV >2cm < 50 thn Metastasis + Sedang, buruk Sedang, tinggi Negatif Negatif Positif ≥14% Positif
biasanya datang berobat pada usia 55-65 tahun atau pada usia post menopause. Sedangkan di Indonesia, usia rata-rata penderita berkisar pada usia premenopause, 15 40-49 tahun. Penelitian komparatif karsinoma payudara antara RS di Indonesia dan Malaysia menunjukkan usia median pada saat diagnosis karsinoma payudara di RS UMCC Malaysia terjadi pada usia 52 tahun sedangkan di RSK Dharmais Jakarta terjadi pada usia 18 Ekspresi AR dengan Faktor 47 tahun. Hal ini menunjukkan Prognostik Karsinoma Payudara bahwa usia penderita karsinoma payudara di Asia lebih muda Sebagai perbandingan pada dibandingkan di negara eropa negara maju, rata-rata penderita yang menunjukkan adanya peran
40
epigenetik dimana penelitian mengenai epigenetik tersebut masih jarang dilakukan di Indonesia. Untuk daerah Sumatera Barat, dari 120 penderita karsinoma payudara yang datang berobat di RSUP Dr. M. Djamil Padang, hampir seluruh penderita dalam penelitian ini memiliki ukuran tumor >2 cm (99.2%) dan mengalami metastasis ke kelenjar limfe (77.5%). Ukuran tumor dan metastasis kelenjar limfe menentukan stadium karsinoma payudara. Sebagian besar pasien yang datang berobat adalah penderita karsinoma payudara
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
dengan stadium lanjut. Berdasarkan data tahun 2013, penderita karsinoma payudara stadium lanjut yang datang
berobat sebesar 77.2% dan hanya 22.8% penderita berobat pada 19 stadium dini (stadium I dan II).
Karakteristik dari subyek dapat dilihat pada tabel 1.2
Tabel 1.2 Karakteristik 120 Penderita Karsinoma Payudara di Sumatera Barat Variabel Usia penderita
Kelompok Premenopause (≤49 tahun) Postmenopause (>49 tahun)
f 65 55
% 54.2 45.8
Stadium
Stadium Dini Stadium Lanjut
40 80
33.3 66.7
Ukuran Tumor
0-2 cm >2 cm
1 119
0.8 99.2
Kelenjar Limfe
Metastasi KGB (+) Metastasis KGB (-)
93 27
77.5 22.5
Jenis Histopatologi
Duktal Karsinoma Non Duktal Karsinoma
103 17
85.8 14.2
Derajat Diferensiasi
Diferensiasi baik Diferensiasi sedang-buruk
12 108
10 90
Mitosis
Mitosis Rendah Mitosis Sedang-tinggi
30 90
25 75
Imunohistokimia
ER 56 64
46.7 53.3
44 76
36.7 63.3
43 77
35.8 64.2
98 22
81.7 18.3
102 18
85 15
Positif Negatif PR Positif Negatif HER-2 Positif Negatif Ki-67 ≥14% <14% AR Positif Negatif
Kecendrungan yang sama juga didapatkan pada laporan angka kejadian karsinoma payudara di RS Kanker Dharmais Jakarta, dimana pasien yang berobat pada stadium I 6 %, stadium II 18%, stadium III 44% dan stadium IV 32%. Di Jogjakarta 55.3% penderita karsinoma payudara datang berobat juga pada stadium 15 lanjut. Ditinjau dari hasil pemeriksaan diferensiasi histopatologi, didapatkan hampir seluruh penderita berada pada diferensiasi
sedang hingga buruk (90%). Diferensiasi diketahui berkaitan dengan usia subyek dimana sebagian besar subyek didalam penelitian ini adalah penderita karsinoma payudara pada kelompok usia premenopause. Diferensiasi karsinoma payudara pada orang Asia dengan diferensiasi baik lebih rendah ddibandingkan orang eropa. Dilaporkan tahun 2011 histopatologi dengan derajat diferensiasi baik pada RS UMMC Malaysia (28%) dan RS Kanker
41
18
Dharmais (11%). Hal ini membuat prognosis penderita karsinoma payudara di Indonesia menjadi lebih buruk karena disamping penderita datang dalam stadium lanjut, derajat diferensiasinyapun buruk dimana menurut evidence based, karsinoma payudara dengan derajat diferensiasi baik akan memiliki kesintasan/angka harapan hidup 5 tahun sebesar 90-94 % sedangkan karsinoma payudara dengan derajat diferensiasi sedang sampai buruk
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
memiliki kesintasan 5 tahun 20 sebesar 30-78%. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa sebagian besar pasien karsinoma payudara di Indonesia berobat dalam stadium lanjut. Hal ini menjadi masalah dalam penatalaksanaan karsinoma payudara di Indonesia karena hasil tata laksana kanker payudara stadium lanjut memerlukan biaya besar dimana hasil yang didapatkan tidak optimal.
karsinoma dan adenokarsinoma payudara. Didapatkan 85.8% penderita pada penelitian ini dengan histopatologi tipe karsinoma duktal. Sementara itu di Yogyakarta dilaporkan bahwa karsinoma duktal invasif (78%) merupakan insiden terbanyak, diikuti oleh karsinoma lobular invasif (9%), karsinoma meduler (4%), karsinoma musinosa (koloid) 15 ( 3%) dan tipe-tipe lain (6%) . Indeks mitosis, didefinisikan dengan jumlah mitosis yang Pemeriksaan lainnya untuk terlihat dalam area tertentu, menentukan tingkat prognosis merupakan cara akurat untuk pasien kanker payudara memperkirakan proliferasi sel tumor. Pada pemeriksaan derajat Histopatologi juga merupakan mitosis didapatkan 75% penderita salah satu faktor prognostik yang memiliki indeks mitosis yang penting. Berdasarkan hasil tinggi. Hal ini sebanding dengan histopatologinya maka karsinoma derajat diferensiasi histopatologi payudara dibagi menurut 4 dimana derajat diferensiasi yang kelompok yaitu prognosis sangat tinggi akan memicu tingginya baik, prognosis baik, prognosis indeks mitosis. Indeks mitosis buruk dan prognosis sangat buruk. tinggi menunjukkan aktivitas Kriteria prognosis sangat baik proliferasi yang tinggi pula dari adalah cribriform, tubular, tumor yang menyebabkan tumor tubulolobular dan musinus dengan cepat invasi dan metastasis yang 22 survival 10 tahun >80% ; mengakibatkan prognosis buruk. prognosis baik adalah mixed Pemeriksaan imunohistokimia saat tubular, mixed ductal, medular ini merupakan pemeriksaan atipik, lobular alveolar dengan standar dalam menentukan prognosis 60-80% dalam 10 tahun subtipe dan merupakan panduan ; prognosis buruk adalah ductal, tatalaksana kanker payudara. campuran ductal dan lobular serta Pada penelitian ini dari 120 pasien lobular dengan survival 10 tahun yang diperiksa, didapatkan dibawah 50% dan terakhir adalah ekspresi pemeriksaan sebagai prognosis sangat buruk yaitu berikut ER(+) 46.7 %, PR(+) karsinoma payudara inflamatoar 36.7%, HER-2 (+++) 35.8 %, Kidengan survival 10 tahun dibawah 67 ≥14% 81.7 %, AR(+) 85%. 20 30%. Hasil pemeriksaan Berdasarkan pemeriksaan IHK, histopatologi kanker payudara kelompok subtipe karsinoma merujuk pada standar diagnosis payudara pada penelitian ini yang ditentukan oleh WHO tahun adalah : Luminal-B 49 subyek 21 2012. Pada penelitian ini tipe (40.8%), diikuti subtipe HER-2 karsinoma dibagi menjadi 2 sebanyak 30 subyek (25%), kelompok besar yakni: 1) kemudian TNBC 27 subyek Karsinoma ductal, yang terdiri (22.5%) dan Luminal-A 14 subyek atas: invasive karsinoma ductal, (11.7%). Proposi prosentase hasil invasive karsinoma NST, pemeriksaan IHK tsb, tidak jauh infiltrating ductal karsinoma, berbeda jika dibandingkan dengan glycogen rich cell karsinoma, hasil pemeriksaan IHK dari RSKD metaplastik karsinoma dimana dimana ER/PR(+) sebesar 40% kelompok ini merupakan HER-2 (+++) sebesar 45 % dan 18 karsinoma payudara dengan TNBC sebesar 12 %. Serta hasil prognosis buruk. 2) Karsinoma pemeriksaan Aryandono non ductal, yang memiliki menunjukkan ER(+) 52,1%, PR 15 prognosis baik diantaranya: (+) 48,5 %, HER-2 (+++) 44,9%. invasive lobular karsinoma, Onitilo melaporkan dari 1134 karsinoma musinosum, papilary penderita karsinoma payudara di
42
Amerika Serikat dilakukan pemeriksaan IHK dengan hasil ER (+) 883 orang (77,9%), PR (+) 670 (59,1%) dan HER-2(+) 201 (17,7%) dan 152 orang dikelompokkan sebagai TNBC 23 (13,4%). Hubungan AR dengan ukuran tumor Dari hasil penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara ukuran tumor penderita terhadap ekspresi AR (p=0.017, 95% CI). Hasil yang similar juga ditemukan pada penelitian karsinoma payudara di India yang menemukan bahwa ekspresi AR positif berhubungan dengan 24 ukuran tumor yang rendah. Namun kecendrungan yang berbeda ditemukan pada hasil pemeriksaan Yu tahun 2010 pada penderita karsinoma payudara di Cina dimana tidak terdapat hubungan antara ukuran tumor 25 dengan ekspresi AR. Lebih lanjut, hasil penelitian Yu (2010) menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi HER-2 dengan AR (p=0.018 95% CI). Berbeda dengan beberapa penelitian lain yang mendapatkan bahwa ekspresi AR tidak signifikan 13, 25 dengan ekspresi HER-2. Micello dalam penelitiannya tahun 2010, melaporkan bahwa terdapat komunikasi silang (crosstalk) antara AR dan HER-2 yang menunjukkan bahwa HER-2 menginduksi transaktivasi AR melalui jalur MAPK sehingga 10 akhirnya mengekspresi AR. Sementara untuk faktor prognostik lainnya didalam penelitian ini menunjukan hubungan yang tidak signifikan dengan ekspresi AR dimana hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan beberapa penelitian lain di Asia maupun 13, 25 Eropa. Hubungan antara ekspresi AR dengan faktor prognostik payudara pada 120 subyek penderita dapat dilihat pada tabel 1.3.
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Tabel 1.3 Hubungan Ekspresi AR dengan Faktor Prognostik Karsinoma Payudara
Faktor Prognostik Stadium Klinis Stadium dini Stadium lanjut Histopatologi Duktal karsinoma Non duktal karsinoma Ukuran Tumor 0-2 cm >2 cm Usia Premenopause (≤49 tahun) Postmenopause (>49 tahun) Kelenjar Limfe metastasis KGB (+) metastasis KGB (-) Derajat Diferensiasi Baik Sedang-buruk Indeks Mitosis Rendah Sedang-tinggi Imunohistokimia ER Positif Negatif PR Positif Negatif HER-2 Positif Negatif Ki-67 ≥14% <14% Untuk melihat ekspresi AR sebagai prognostik karsinoma payudara, maka penelitian ini mencoba mengelompokan 4 marker IHK (ER, PR, HER-2 dan AR) atau lebih dikenal dengan istilah Quadruple dalam rentang waktu pengamatan mulai dari penderita didiagnosis karsinoma payudara hingga bulan Juni 2015. Pengelompokan 4 Marker IHK ini
Ekspresi AR Positif Negatif
Total
p
33 (82.5%) 69 (86.2%)
7 (17.5%) 11 (13.8%)
40 (100%) 80 (100%)
0.588
88 (85.4%) 14 (82.4%)
15 (14.6%) 3 (17.6%)
103 (100%) 17 (100%)
0.741
0 102 (85.7%)
1 (100%) 17 (14.3%)
1 (100%) 119 (100%)
0.017
56 (86.2%) 46 (83.6%)
9 (13.8%) 9 (16.4%)
65 (100%) 55 (100%)
0.700
78 (83.9%) 24 (88.9%)
15 (16.1%) 3 (11.1%)
93 (100%) 27 (100%)
0.520
17 (94.4%) 91 (89.2%)
1 (5.6%) 11 (10.8%)
18 (100%) 108 (100%)
0.288
28 (93.3%) 74 (82.2%)
2 (6.7%) 16 (17.8%)
30 (100%) 90 (100%)
0.140
48 (85.7%) 54 (84.4%)
8 (14.3%) 10 (15.6%)
56 (100%) 64 (100%)
0.838
37 (84.1%) 65 (85.5%)
7 (15.9%) 11 (14.5%)
44 (100%) 76 (100%)
0.832
2 (47.7%) 16 (20.8%)
41 (95.3%) 61 (79.2%)
43 (100%) 77 (100%)
0.018
82 (83.7%) 20 (90.9%)
16 (16.3%) 2 (9.1%)
98 (100%) 22 (100%)
0.390
dibagi atas : 1). Quadruple Positive (ER, PR, HER-2 dan AR positif); 2). Quadruple Negative (ER, PR, HER-2 dan AR negatif) yang juga merupakan karsinoma payudara subtipe TNBC dengan ekspresi AR negatif; 3) Nonquadruple (bukan salah satu pengelompokan sebelumnya). Berdasarkan analisis yang dilakukan terdapat hubungan yang
43
bermakna antara 4 marker IHK tersebut dengan prognosis penderita dimana penderita dengan semua hasil pemeriksaan imunohistokimia negatif atau lebih dikenal dengan istilah Quadruple Negative memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok lainnya (gambar 1). Log Rank = 20.459
p = 0.000
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Gambar 1. Analisis Kaplan Meyer pengelompokan 4 Marker IHK (ER, PR, HER-2 dan AR)
Disarankan melakukan pemeriksaan AR untuk penilaian prognostik pada karsinoma payudara, terutama pada karsinoma payudara subtipe HER2 dan TNBC. Hasil pemeriksaan AR dapat dijadikan sebagai dasar prediksi terapi hormonal AR pada karsinoma payudara subtipe HER2 dan TNBC, yang membutuhkan pembuktian pada penelitian lanjutannya. Daftar Pustaka Boyle P, Bernard Levin. 2008. World Cancer Report 2008. IARC : France.
cancer subtypes and survival in the Carolina. Breast Cancer Study (J) JAMA; 295(21): 2942-2502. Goldhirsch, A., E.P. Winer., A.S. Coates., R.D. Gelber., M.Piccart-Gebhart., et al. 2013. Personalizing the treatment of women with early breast cancer: highlights of the St Gallen International Expert Consensus on the Primary Therapy of Early Breast Cancer. Annals of Oncology 24: 2206–2223
Perou CM, Sorlie T, Eisen MB, Jemal, A., Bray, F., Center, M. M., van de Rijn M, Jeff rey SS, Ferlay, J., Ward, E. & Rees CA, et al . Molecular Forman, D. 2011. Global portraits of human breast cancer statistics. CA Cancer tumours. Nature J Clin, 61, 69-90. 2000.;406(6797):747-52. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Profil Kesehatan RI. Jakarta. Carey I.A, Perou CN, Livasy CA et al. 2006. Race breast
Winchester, DP., Jan M. Jeske., Robert A. Goldschmidt. 2000. The diagnosis and management of ductal carcinoma in-situ of the breast. CA: A Cancer
44
Journal for Clinicians Volume 50, Issue 3, pages 184–200, May/June 2000. Ismail-Khan, Roohi & Merilyn M.Bui. 2010. A Review of Triple-Negative Breast Cancer. Cancer Control; 17: 173-176. Gucalp, Ayca, Tiffany A & Traina. 2010. Triple Negative Breast Cancer, Role of the Androgen Receptor. The Cancer Journal; 6: 62-65. Micello, D., Marando, A., Sahnane, N., Riva, C., Capella, C. & Sessa, F. 2010. Androgen receptor is frequently expressed in her2-positive, er/pr-negative breast cancers. Virchows Arch, 457, 467-76. Diaz-Chico B, Nicolaz, German Rodriquez P., Ana Gonzales, Raquel Ramirez, Crictina Bilbao et al. 2007. Androgen and Androgen Receptor in Breast Cancer.
BioTrends Vol.6 No.2 Tahun 2015
Journal of Steroid Biochemistery & Molecula Biology. Elsevier; 1-15. Garay, Joseph P., Bedri Karakas, Abde M Abukhdeir, David P Cosgrove, John P Gustin et al. 2012. The Growth Response to Androgen Receptors Signaling in Erαnegative Human Breast Cells in Dependent on p21 and Mediated by MAPK Activation. Breast Cancer Research;7-17. Ogawa, Y., Hai, E., Matsumoto, K., Ikeda, K., Tokunaga, S., Nagahara, H., Sakurai, K., Inoue, T. & Nishiguchi, Y. 2008. Androgen receptor expression in breast cancer: Relationship with clinicopathological factors and biomarkers. Int J Clin Oncol, 13, 431-5. Goldhirsch, A., W.C . Wood, H.J. Senn, J.H. Glick, R.D. Gelber. 1995. International consensus panel on the treatment of primary breast cancer. EJC : Volume 31, Issue 11, Pages 1754-1759. Aryandono T. Faktor prognosis kanker payudara operable di Yogyakarta. Yogyakarta: Disertasi, Universitas Gajah Mada; 2006:188. Kuenen – Boumeester, Van der Kwast TH, Claassen CC., Look MP, Liem GS et al. 1996. The Clinical Significance of Androgen Receptors in Breast Cancer and their Relation to Histological and Cell Biological Parameters. J Cancer; 32A: 1560-1565. Birrell SN, Hall RE & Tilley WD. 1998. Role of the androgen receptor in human breast cancer. J Mammary Gland Biol Neoplasia; 3 :95-103. Ng CH, Pathy NB, Taib NA, Teh YC, Mun KS , Amiruddin A, Evlina S , Rhodes A ,Yip
CH.2011. Clinicopathological study between dharmais cancer centre jakarta and university malaya medical centre, kuala lumpur. Asian Pacific J Cancer Prev : 12, 29432946 Peraboi, 2014. Pedoman penatalaksanaan kanker payudara ( edisi terbatas) Soerjomataram I, Louwman MWJ, Ribot JG, Roukema JA, Coebergh JWW. 2008. An overview of prognostic factors for long-term survivors of breast cancer. Breast Cancer Res Treat 107:309–330 Lakhani, S.R., Ellis. I.O., Schnitt, S.J., Tan, P.H., van de Vijver, M.J. WHO classification of tumours. Ed th 4 . IARC. 2012 Stetler-Stevenson, William G., and David E. Kleiner Jr. "Molecular biology of cancer: invasion and metastases." Cancer: principles and practice of oncology6 (2001): 123-136. Onitilo, Adedayo A., et al. "Breast cancer subtypes based on ER/PR and Her2 expression: comparison of clinicopathologic features and survival." Clinical medicine & research 7.1-2 (2009): 4-13. Mishra, Dhruva Kumar, et al. "Global methylation pattern of genes in androgensensitive and androgenindependent prostate cancer cells." Molecular cancer therapeutics 9.1 (2010): 33-45. 1.
Yu, Q., Y. Niu, N.Liu, J.Z. Zhang, T.J. Liu et al. 2010. Expression of Androgen Receptor in Breast Cancer and its Significance as a Prognostic Factor. Annual of Oncology; 1-7.
45