Pengantar Redaksi Bagi Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, penerbitan Jurnal Bina Adhyaksa pada bulan Nopember 2012 ini merupakan momentum yang penting dan strategis, sebagai langkah awal untuk menuju penerbitan majalah ilmiah yang terakreditasi. Penerbitan kali ini merupakan perwujudan dari apa yang telah disampaikan oleh Redaksi pada penerbitan Jurnal Bina Adhyaksa bulan Maret 2012, bahwa tahun 2012 merupakan momentum yang penting dan strategis dalam kaitan rencana dan langkah Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I. menuju perjalanan ke depan. Diawali dengan penerbitan pertama bulan Desember 2010 sampai dengan penerbitan ke 6 (enam) pada bulan Juli 2012, adalah tahap perbaikan dan penyempurnaan menyongsong penerbitan edisi ke 7 (tujuh) bulan Nopember 2012 sebagai terbitan yang dikondisikan menuju proses akreditasi majalah ilmiah sesuai standar yang ditetapkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Salah satu standar yang telah ditindaklanjuti supaya Jurnal dapat diakses secara langsung oleh pembaca melalui internet adalah membuka laman (website): www.kejaksaan.go.id/jurnalbinaadhyaksa dan pos-el(e-mail):
[email protected] Pada terbitan ini, kami tampilkan 2 (dua) hasil penelitian dalam bentuk survei yakni survei tentang persepsi masyarakat terhadap kinerja Kejaksaan dalam melakukan penegakan hukum yang melibatkan unsur masyarakat (eksternal) dan survei tentang Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) pada Jaksa Agung Muda Pembinaan yang melibatkan unsur pegawai di lingkungan Kejaksaan (internal); serta ragam tulisan yang mengupas permasalahan penyidik dalam tindak pidana Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia, diskresi dalam perspektif hukum, eksistensi konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dalam penegakan supremasi hukum dan peran Lembaga Pemeriksaan Tambahan dalam penyelesaian perkaraperkara mengambang. Akhirnya, sekali lagi Redaksi mengucapkan terima kasih atas segenap dukungan dan kepercayaan yang diberikan selama ini demi kontinuitas dan konsistensi penerbitan Jurnal Bina Adhyaksa.
SALAM ADHYAKSA REDAKSI
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA Volume 3 Nomor 1 - Nopember 2012
DAFTAR ISI
Hasil Penelitian : Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Melakukan Penanganan Perkara (Research Finding : The Public Perception of Public Prosecution Performance In The Case Management). Oleh : Hendi Suhendi .................................................................................
1 -21
Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana Jasa Keuangan Di Indonesia (The Authority Issues for Investigator in Criminal Financial Service in Indonesia) Oleh : Wahyu Wiriadinata ....................................................................... 23 - 34 Diskresi Dalam Prespektif Hukum (The Discretion of Legal Perspective) Oleh : Niniek Suparni ................................................................................. 35 - 45 Eksistensi Konsepsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat Dalam Penegakan Supremasi Hukum (The Existance Of Concept Of Law As An Instrument Of Reforming Society In The Enforcement Of Law Supremacy). Oleh : Baringin Sianturi. ........................................................................ 47 - 56 Peran Lembaga Pemeriksaan Tambahan Dalam Penyelesaian PerkaraPerkara Mengambang (The Role Of Additional Examination In Settlement Floating Cases) Oleh : Khunaifi Alhumami ................................................................... 57 - 72 Hasil penelitian : Survey Indeks Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Bidang Pembinaan (Research finding : The Survey Of Public Satisfaction Index On The Performance Of Advancement Department) Oleh : Sri Humana Lagustiani ................................................................. 73 - 85
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
JURNAL BINA ADHYAKSA ISSN 208-75622
Vol 3 No.1 Nopember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. Suhendi Hendi (Peneliti Madya IV/c pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.)
Wiriadinata Wahyu (Program Magister Hukum Universitas Padjajaran)
Hasil penelitian :
Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana Jasa Keuangan Di Indonesia
Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Melakukan Penanganan Perkara
Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 23 - 34
Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 1 - 21 Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum, tidak terlepas dari tuntutan masyarakat agar dalam menjalankan tugasnya lebih profesional. Walaupun beberapa pembenahan telah dilakukan, namun berkurangnya simpati dan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan, selama ini tidak dapat dimungkiri sebagai buah dari kegagalan mereformasi kultur dan watak personilnya. Survei ini dilakukan untuk mengetahui apakah benar bahwa dalam melakukan pelayanan publik, kinerja Kejaksaan telah memenuhi harapan masyarakat? Sampel dipilih secara acak (random) dengan menggunakan tekhnik simple random sampling. Jumlah responden sebanyak 1140 responden. Sampling eror diperkirakan sebesar 2,9 %, dengan nilai kepercayaan 96 %. Non eror sampling dimungkinkan karena Ada pengarahan dari pejabat Kejaksaan di lokasi penelitian, solidaritas antar penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Polisi) sehingga penilaian tidak murni. Namun demikian data yang diperoleh tidak mengurangi obyektivitas survei yang dilakukan. Data diolah secara kuantitatif dengan menggolongkan pada karakteristik responden. Hasil survei menyebutkan bahwa : 65,88% masyarakat masih sangat mempercayai kinerja aparat Kejaksaan dalam menangani perkara. Sedangkan 25,70% masyarakat menilai kinerja aparat Kejaksaan kurang dipercaya. Jaksa dinilai mampu dan ahli dalam menangani perkara, hanya 12,54 % mayarakat yang menyatakan bahwa Jaksa kurang/tidak mampu. Masyarakat (66,93%) berpendapat bahwa Jaksa dinilai dalam menuntut perkara pidana dirasakan sudah adil, sedangkan sebagaian masyarakat (33,07 %) menyatakan bahwa Jaksa selalu kurang adil/tidak adil dalam melakukan tuntutan pidana, Jaksa dalam mengeksusi selalu tepat waktu sedangkan 30,61 % menyatakan tidak tepat waktu. Kata Kunci : persepsi masyarakat, kinerja, Kejaksaan. (Hendi Suhendi) JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Tulisan ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektivitas penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menanggulangi kejahatan jasa keuangan di Indonesia. Pertanyaan dan masalah ini muncul karena dalam UndangUndang Otoritas jasa Keuangan ada Penyidik OJK yang mempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana OJK yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Padahal sudah ada penyidik lain yang mempunyai kewenangan untuk menyidik, yaitu Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Kerangka teoritis bertolak dari pemikiran Aristoteles yang mengemukakan tentang tujuan hukum untuk mencapai keadilan juga stuffen theory dari Hans Kelsen. Metode penulisan adalah yuridis normatif, dengan mempelajari peraturan perundangundangan, baik yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuan hukum, khususnya perundangundangan yang berkaitan dengan Otoritas Jasa Keuangan. Hasilnya berupa aspek yuridis dituangkan dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah : Akan terjadi tumpang tindih antara penyidik OJK dengan Penyidik Jaksa, Polisi dan KPK, baik dalam penyidikan tindak pidana umum maupun khusus/ korupsi, tentang efektivitas dari penyidik OJK harus dibuktikan di masa yang akan datang. Kata Kunci : Penyidik, jasa keuangan, efektivitas, tumpang tindih. (Wahyu Wiriadinata).
Abstrak... iii
Suparni Niniek (Peneliti Utama/ IV e pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.)
Sianturi Baringin (Jaksa Fungsional pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.)
Diskresi Dalam Prespektif Hukum
Eksistensi Konsepsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat Dalam Penegakan Supremnasi Hukum
Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 35 - 45 Istilah kebijaksanaan dan/atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy, biasa dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebagai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis (hubungan sebab akibat) untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Hukum dan kebijakan publik yang identik merupakan kebijakan pemerintah saling terkait satu dengan yang lain, kedua terminologi diartikan sebagai hukum positif yang berlaku pada sebuah Negara dan ketika penerapan hukum (rechtsoepassing) dihubungkan dengan implementasi kebijakan pemerintah maka keduanya pada dasarnya saling tergantung. Penerapan hukum itu sangat memerlukan kebijakan publik untuk mengaktualisasikan hukum tersebut di masyarakat, sebab umumnya produk-produk hukum yang ada umum hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan karena cakupannya yang luas dan bersifat nasional maka tidak jarang produk-produk hukum atau undang-undang yang ada itu tidak mampu meng-cover seluruh dinamika masyarakat yang amat beragam di daerah tertentu. Demikian pula sebuah implementasi kebijakan publik tidak dapat berjalan dengan baik bila di dalam penyelenggaraannya tidak dilandasi dasar-dasar hukum yang kuat. Kata Kunci : Diskresi, Prespektif hukum, dan Implementasi Kebijakan (Niniek Suparni)
iv
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 47 - 56 Reformasi yang terjadi di Indonesia saat ini memperlihatkan suatu keadaan yang kebablasan, artinya setiap individu masyarakat melaksanakan reformasi itu dengan tindakan kekerasan. Hal ini kita lihat dari berbagai mass media cetak maupun elektronik yang menggambarkan suatu kebrutalan dan justru seolah-olah tidak ada lagi penegakan hukum. Keadaan ini menimbulkan suatu pertanyaan tentang keberadaan hukum itu sendiri, apakah masih menjadi panglima atau justru hukum itu hanya menjadi sesuatu yang retorika saja. Timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum adalah merupakan wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap wibawa pemerintah. Hal ini menjadi sebab muasal kurangnya penghormatan terhadap hukum adalah karena hukum tersebut tidak diciptakan dari sendi-sendi hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga agar masyarakat patuh terhadap hukum maka seharusnya hukum dibuat menurut aturan/hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan selanjutnya hukum yang dibentuk itu menjadi sarana pembaharuan masyarakat (Law as a tool of Social Engineering) untuk menegakan supremasi hukum. Kata Kunci : Konsepsi hukum, masyarakat, dan penegakan supremasi hukum. (Baringin Sianturi).
Alhumami Khunaifi (Jaksa pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.) Peran lembaga Pemeriksaan Tambahan Dalam Penyelesaian Perkara-Perkara Mengambang
Humana Sri (Peneliti Muda/ IIId pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.) Hasil Penelitian Survey Indeks Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Bidang Pembinaan
Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 57 - 72 Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 73 - 75 Setelah berlakunya KUHAP, 1981, banyak ditemukan perkara mengambang yang terjadi pada tingkat penyidikan. Untuk mengatasi hal itu, dalam UU Kejaksaan Tahun 1991 dibentuk lembaga pemeriksaan tambahan agar ada kepastian penyelesaian perkara dan menjamin hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, saksi korban, maupun kepentingan umum. Dalam prakteknya, lembaga baru ini tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena memuat syarat-syarat yang menyulitkan, diantaranya ialah jaksa baru bisa melakukan pemeriksaan tambahan bila penyidik menyatakan optima dan menyerahkan perkara ke jaksa. Namun dalam kenyataannya, penyidik hampir tidak pernah menyatakan optima dan melimpahkan ke jaksa sehingga jaksa tidak bisa melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Oleh karena itu, ruang lingkup pemeriksaan tambahan perlu diperluas meliputi pula pengambilalihan perkara bila penyidik tidak menindaklanjuti perkara dan melimpahkannya ke jaksa. Hal ini diperlukan agar jaminan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hukum atas hak asasi para pencari keadilan dapat diwujudkan dengan baik. Kata Kunci : Pemeriksaan tambahan, penyidikan dan penuntutan. (Khunaifi Alhumami)
Mengukur indeks kepuasan masyarakat (IKM) dalam memberikan pelayanan berkaitan erat dengan konsep dan prinsip-prinsip pokok reformasi birokrasi. Survei indeks kepuasan masyarakat ini untuk mengetahui kinerja Kejaksaan. Survei ini hanya dilakukan pada bidang pembinaan yang meliputi 9 (sembilan) unit kerja, yaitu Sesjambin, Biro Perencanaan, Biro Hukum, Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Perlengkapan, Biro Peralatan, Pusat Litbang, Pusat Daskrimti. Data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat memproleh pelayanan. Sampel diambil secara acak (random). Responden masing-masing unit kerja 150 orang dengan keseluruhan responden 1350 orang. Data diolah menurut teknik pengukuran metoda exel (aplikasi excel). Hasil survey menyebutkan bahwa : kepuasan masyarakat terhadap satuan kerja bidang pembinaan dengan nilai baik, yaitu : Nilai persepsi 3 ; Nilai Interval IKM 2,51 – 3,25 ; Nilai Interval Konversi IKM 62,51 – 81,25 ; Mutu pelayanan kinerja “Baik” (= B ). Skor tertinggi pada unit kerja Pusat Data statistik kriminal dan teknologi informasi. Sedangkan IKM terendah ada pada unit kerja biro kepegawaian dengan skor 64,799. Umumnya ketidak puasan masyarakat terletak pada “Prosedur Pelayanan” , sedangkan kepuasan tertinggi masyarakat pada”Keamanan dan Kenyamanan dalam memberikan pelayanan”. Kata Kunci : Indeks Kepuasan Masyarakat, Kinerja, Kejaksaan. (Sri Humana).
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Abstrak...
v
JURNAL BINA ADHYAKSA ISSN 208-75622
Vol 3 No.1 Nopember 2012
Keywords sourced from the article. This Abstract sheet may be copied without permission and fees. Suhendi Hendi (Peneliti Madya IV/c pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.) Research Finding : The Public Perception of Public Prosecution Performance In The Case Management. Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 1 - 21 Attorney as law enforcement officers, not in spite of the demands of the public to be more professional in carrying out their duties. Even thought several improvements have been made, but reduced sympathy and public confidence in the judiciary, so far can not be denied as a result of the failure to reform the culture and character of its personnel. survey was conducted to know Is it true that in doing public service, the performance of the Prosecutor has met the expectations of the people?. Randomly selected sample (random) using simple random sampling technique. Number of respondents 1140 respondents. Sampling error is estimated at 2.9%, with 96% confidence. Possible due to non-sampling errors There is a direction from of Attorney officials at the sites; solidarity between law enforcement (judges, prosecutors and police) so that an assessment is not pure. However, the data obtained did not diminish the objectivity of the survey conducted. Data analyzed quantitatively to classify the characteristics of respondents. The survey results stated that: 65.88% of the public still believes in the performance of prosecutors handling the case. While 25.70% of the public prosecutors assess the performance of the less believable. Prosecutors capable and expert in handling cases. Only 12.54% society stating that prosecutors lack / inadequacy. Community (66.93%) believed that the prosecutor in a criminal case requires felt was fair, while sebagain people (33.07%) stated that the prosecutor is always less than fair / unfair in making criminal charges. Prosecutors in mengeksusi always on time, while 30.61% did not timely. Keywords: public perception, performance, Attorney (Hendi Suhendi)
vi
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Wiriadinata Wahyu (Program Magister Universitas Padjajaran) The Authority Issues for Investigator in Criminal Financial Service in Indonesia Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 23 - 34 The purpose of this paper is to answer the question how the effectiveness of the investigator the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) in tackling crime financial services in Indonesia. Questions and problems arise because the law there Investigator Financial services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) which has the authority to investigate criminal Financial services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) covering banking, capital markets, insurance, pension funds, financial institutions and other financial institutions. Whereas other investigators already has the authority to investigate, namely Attorney, Police and Corruption Eradication Commission (KPK). Theoretical framework departed from the Aristotle argued about the purpose of the law to achieve justice also stuffen theory of Hans Kelsen. This paper used the normative study, by studying the legislation, either in the statute itself and is in the literature / science books of law, especially laws relating to the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK). The result is a juridical aspects outlined in the form of descriptive analytical. The conclusions of this paper are: There will be an overlap between the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) investigator with the Attorney Investigator, Police and the Corruption Eradication Commission (KPK), both in general and criminal investigations special crime / corruption, on investigating the effectiveness of the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) investigator to be proven in the future to come. Keywords : Investigator, financial service, effectiveness, overlap. (Wahyu Wiriadinata)
Suparni Niniek (Peneliti Utama/ IV e pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.)
Sianturi Baringin (Jaksa Fungsional pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.)
The Discretion of Legal Prespective
The Existance of Concept of Law as an Instrument of Reforming Society in The Enforcement of Law Supremacy
Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 35 - 45 Term policies and / or policy translated from the policy, usually associated with the decision of the government, because the government has the authority or power to direct the public, and responsible for serving the public interest. The difference in policy with the words of wisdom came from a desire to distinguish the term policy as the government’s decision of a general nature and is applicable to all members of the community, in terms of discretion, which means “god,” a decision that is casuistry (causal link) to something a given time.Law and public policy is the policy of the government are identical interlinked with each other, the two terms is defined as the law of a country and when the application of the law (rechtsoepassing) associated with the implementation of government policies that are both basically interdependent. Application of the law is in need of public policy to actualize the law in society, because generally the products of existing common law only regulates matters of a general nature and because its scope is broad and it is not uncommon to national products or statute law that there was not able to cover the entire dynamic of a very diverse community in a particular area. Similarly, a public policy implementation may not run properly if its implementation is not based on the fundamentals of a strong legal.Keywords : discreation, Prespective of law, Implementation of policy.
Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 47 - 56 Reforms that occurred in Indonesia at this time showed an excessive state, meaning that each individual community to implement reforms violence. This condition we see from various print and electronic mass media which describes the brutality and as if there is no law enforcement. This situation raises a question about the existence of the law itself, is still a commander or even the law into something it’s just rhetoric. The emergence of public mistrust of law and law enforcement is a form of public mistrust of government authority. This is the reason for the origin of a lack of respect for the law is that the law is not created from the legal joints are living in the community, so that people obey the law then the law should be made according to the rules / laws are living in the midst of society, and the subsequent legal formed it into a means of renewal communities (Law as a tool of Social Engineering) to uphold the rule of law. Keywords : The concept of law, community, the enforcement of law supremacy. (Baringin Sianturi).
(Niniek Suparni)
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Abstrac... vii
Alhumami Khunaifi (Jaksa pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.) The role of additional examination in settlement floating cases. Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 57 - 72 After enactment of the Criminal Procedure Code, 1981, is found many floating cases at the level of investigation. To overcome this, the Attorney General Act of 1991 established additional examination institutions that settlement certainty and guarantee human rights for litigants, both suspects, witnesses, and the public interest. In practice, these new institutions can not be implemented properly due to load difficult conditions, such as the prosecutor can be perform additional examination when investigators claimed optima and submit the case to the prosecutor. But in reality, investigators are almost never expressed optima and delegate to the prosecutor so that the prosecutor could not complete the case file by performing additional examination. Therefore, the scope of additional examination need to be extended to cover also the case when investigating the takeover did not follow up the case and delegate to prosecutors. This is necessary in order to guarantee the rule of law, justice, and legal protection of human rights justice seekers can be realized well. Keywords : Additional examination, investigation and prosecution. (Khunaifi Alhumami)
Humana Sri (Peneliti Muda/ IIId pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I.) The Suvey of Public Satisfaction Index on the Performance of Advancement Department. Jurnal Bina Adhyaksa 2012 3(1), 73 - 85 Measuring community satisfaction index ( IKM ) in providing services closely related to the concept and basic principles of bureaucratic reform. This IKM survey aims to determine the performance of attorneys. This survey is only done in the field of Pembinaan which includes nine (9) units: Sesjambin, Biro Perencanaan, Biro Hukum, Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Perlengkapan, Biro Peralatan, Pusat Litbang, and Pusat Daskrimti. Data and information about the level of community satisfaction obtained from the quantitative and qualitative measurements on the opinion of people who obtain services. Sampling were taken at random (random sampling), respondents in each work unit amounted to 150 for a total of respondents were 1350 respondents. The data is processed according to the the measurement technique by using the excel method (microsoft office excel programs). The result of research reveals that community satisfaction the units of Pembinaan are “good”, perception of value 3; interval value IKM 2.51 to 3.25; interval value conversion IKM 62.51 to 81.25; quality of service performance is “Good” (=B). The highest score is the Pusat Daskrimti unit. While the index is lowest public satisfaction is Biro Kepegawaian unit with a score of 64.799. Generally, public dissatisfaction is based on “procedure of services”, while the highest satisfaction based on the “safety and comfort in providing services”. Keywords : Public satisfaction index, Kinerja, Kejaksaan. (Sri Humana).
viii
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Hasil Penelitian :
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENANGANAN PERKARA (Research Finding : The Public Perception of Public Prosecution Performance In The Case Management) Hendi Suhendi Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I. Jl. Sultan Hasanudin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Email :
[email protected] (Diterima tanggal 3 Oktober 2012, disetujui tanggal 2 Nopember 2012) Abstrak Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum, tidak terlepas dari tuntutan masyarakat agar dalam menjalankan tugasnya lebih profesional. Walaupun beberapa pembenahan telah dilakukan, namun berkurangnya simpati dan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan, selama ini tidak dapat dimungkiri sebagai buah dari kegagalan mereformasi kultur dan watak personilnya. Survei ini dilakukan untuk mengetahui apakah benar bahwa dalam melakukan pelayanan publik, kinerja Kejaksaan telah memenuhi harapan masyarakat? Sampel dipilih secara acak (random) dengan menggunakan tekhnik simple random sampling. Jumlah responden sebanyak 1140 responden. Sampling eror diperkirakan sebesar 2,9 %, dengan nilai kepercayaan 96 %. Non eror sampling dimungkinkan karena Ada pengarahan dari pejabat Kejaksaan di lokasi penelitian, solidaritas antar penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Polisi) sehingga penilaian tidak murni. Namun demikian data yang diperoleh tidak mengurangi obyektivitas survei yang dilakukan. Data diolah secara kuantitatif dengan menggolongkan pada karakteristik responden. Hasil survei menyebutkan bahwa : 65,88% masyarakat masih sangat mempercayai kinerja aparat Kejaksaan dalam menangani perkara. Sedangkan 25,70% masyarakat menilai kinerja aparat Kejaksaan kurang dipercaya. Jaksa dinilai mampu dan ahli dalam menangani perkara, hanya 12,54 % mayarakat yang menyatakan bahwa Jaksa kurang/tidak mampu. Masyarakat (66,93%) berpendapat bahwa Jaksa dinilai dalam menuntut perkara pidana dirasakan sudah adil, sedangkan sebagaian masyarakat (33,07 %) menyatakan bahwa Jaksa selalu kurang adil/tidak adil dalam melakukan tuntutan pidana, Jaksa dalam mengeksusi selalu tepat waktu sedangkan 30,61 % menyatakan tidak tepat waktu. Kata Kunci : persepsi masyarakat, kinerja, Kejaksaan. Abstrac Attorney as law enforcement officers, not in spite of the demands of the public to be more professional in carrying out their duties. Even thought several improvements have been made, but reduced sympathy and public confidence in the judiciary, so far can not be denied as a result of the failure to reform the culture and character of its personnel. survey was conducted to know Is it true that in doing public service, the performance of the Prosecutor has met the expectations of the people?. Randomly selected sample (random) using simple random sampling technique. Number of respondents 1140 respondents. Sampling error is estimated at 2.9%, with 96% confidence. Possible due to non-sampling errors There is a direction from of Attorney officials at the sites; solidarity between law enforcement (judges, prosecutors and police) so that an assessment is not pure. However, the data obtained did not diminish the objectivity of the survey conducted. Data analyzed quantitatively to classify the characteristics of respondents. The survey results stated that: 65.88% of the public still believes in the performance of prosecutors handling the case. While 25.70% of the public prosecutors assess the
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Persepsi Masyarakat... (Hendi Suhendi)
1
performance of the less believable. Prosecutors capable and expert in handling cases. Only 12.54% society stating that prosecutors lack / inadequacy. Community (66.93%) believed that the prosecutor in a criminal case requires felt was fair, while sebagain people (33.07%) stated that the prosecutor is always less than fair / unfair in making criminal charges. Prosecutors in mengeksusi always on time, while 30.61% did not timely. Keywords: public preception, performance, Attorney
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan –kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut dapat diketahui bahwa problemproblem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”. Saat ini dapat diamati, dilihat dan dirasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di kalangan birokrasi. Hampir setiap saat dapat ditemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah berkurangnya rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap 2
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
wibawa hukum. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum / pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidak steril dari perilaku-perilaku sosial lingkungannya. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur sehingga akan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat tidak mengerti nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah. Kejaksaan sebagai salah satu pilar birokrasi hukum dan aparat penegak hukum, juga tidak terlepas dari tuntutan masyarakat agar dalam menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sorotan dan kritik-kritik tajam yang diarahkan masyarakat, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan. Berkurangnya simpati dan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, khususnya korps Adhyaksa, selama ini tidak dapat dimungkiri sebagai buah dari kegagalan Kejaksaan dalam mereformasi kultur dan watak personilnya. Kondisi di atas wajar saja muncul sebab tantangan yang dihadapi memang makin kompleks dan sulit. Dengan demikian, kurang tepat jika kritikan di atas ditanggapi dengan emosi serta buruk sangka (suudhon). Berkaitan dengan ini, lebih baik hal itu diambil hikmahnya, yakni bahwa kritikankritikan yang ditujukan kepada aparat itu dapat dijadikan peringatan dan dorongan untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan
tugas. Kalau memang keliru (salah), secepatnya diperbaiki kekeliruan itu. Kritikan/masukan dari masyarakat harus diartikan masih ada “harapan” kepada Kejaksaan agar senantiasa dalam kondisi kinerjanya selaras dengan dambaan masyarakat. Secara internal haruslah ditanggapi sebagai suatu tantangan, introspeksi maupun auto kritik, yang kesemuanya mengarah pada optimalisasi pendukung untuk bekerja lebih baik pada esok hari dibandingkan hari ini. Untuk itu garapan utamanya adalah pada faktor manusianya sebagai subyek utama sekaligus penentu suasana kebatinan, gerak langkah atau performa Kejaksaan. Adanya kritikan dan masukan dari masyarakat adalah dinamika dalam pelaksanaan tugas yang harus ditanggapi secara positive thinking, bijaksana dalam menanggapi atau menjawab responnya. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menentukan bahwa Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang di bidang hukum pidana, perdata dan tata usaha negara serta tugas lain yang ditentukan undang-undang. Luasnya cakupan tugas tersebut, bukanlah menjadikan munculnya kesewenangan pelaksanaan tugas, tetapi justru sebaliknya mendatangkan kewajiban-kewajiban yang tidak ringan dan harus dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu pada program kerja pembaruan maupun reformasi birokrasi pada periodisasinya, selalu dilakukan penyesuaian/penyempurnaan kepada tuntutan kebutuhan maupun antisipasi tantangan selanjutnya. Memang sulit dibantah bahwa proses hukum yang sering tidak independen, tebang pilih, dan mengabaikan rambu-rambu kepatutan tidak dapat dilepaskan dari kegagalan Kejaksaan dalam menanamkan prinsip independensi dan profesionalitas terhadap para personilnya. Sebagai dampak JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
turunannya, bermunculanlah berbagai persoalan hukum yang tidak jarang membuat miris nurani publik. Terlepas dari semua itu, di sisi lain, Kejaksaan dalam kedudukannya sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan perundang-undangan, memiliki harapan-harapan dalam pelayanan terhadap masyarakat melalui penanganan perkara yang sederhana, cepat dan berbiaya murah. Pelaksanaan kekuasaan negara itu senantiasa diusahakan berdaya guna, berhasil guna secara berkesinambungan, terarah, dan komprehensif.
B. Identifikasi Masalah Pokok permasalahan dalam survei ini adalah : “Apakah dalam melakukan pelayanan publik terhadap penanganan perkara, kinerja Kejaksaan telah memenuhi harapan masyarakat?”.
C. Metodologi : 1.
Lokasi dan Responden
Lokasi dan responden dipilih secara acak (random). a.
Lokasi survei : 1). Wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Jawa-Barat, terdiri dari : Kejaksaan Negeri Bandung; Kejaksaan Negeri Tasikmalaya; Kejaksaan Negeri Garut ; Kejaksaan Negeri Ciamis ; Kejaksaan Negeri Banjar. 2). Wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Jawa-Tengah , terdiri dari : Kejaksaan Negeri Semarang; Kejaksaan Negeri Pekalongan; Kejaksaan Negeri Kendal; Kejaksaan Negeri Demak ; Kejaksaan Negeri Kudus. Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi)
3
3). Wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Kalimantan-Timur, terdiri dari : Kejaksaan Negeri Samarinda; Kejaksaan Negeri Balikpapan; Kejaksaan Negeri Tenggarong ; Kejaksaan Negeri Penajam; Kejaksaan Negeri Bontang. 4). Wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera-Utara, terdiri dari : Kejaksaan Negeri Medan; Kejaksaan Negeri Belawan; Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam; Kejaksaan Negeri Binjai; Kejaksaan Negeri Stabat. 5). Wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, terdiri dari : Kejaksaan Negeri Makasar; Kejaksaan Negeri Maros; Kejaksaan Negeri Sungguhminasa; Kejaksaan Negeri Pangkep; Kejaksaan Negeri Takalar. b. Responden. Responden terdiri dari kalangan yang pernah berhubungan langsung atau tidak/ belum pernah berhubungan langsung dengan Kejaksaan. Penggolongan kedua karakteristik responden ini dimaksudkan untuk menjaga obyektifitas pendapat responden. Responden yang pernah berhubungan langsung dengan Kejaksaan : 1). 2). 3). 4). 5). 6). 7).
Narapidana; Tahanan; Saksi/korban; Penyidik Polri; Jaksa; Hakim; Pengacara.
Responden yang tidak/belum pernah berhubungan langsung dengan Kejaksaan:
1). Anggota DPRD; 2). Akademisi/Dosen/guru/pendidik ; 3). Masyarakat/Pengurus RT, RW 4). Tokoh Masyarakat 5). Lembaga Swadaya Masyarakat. 2.
Sampel dipilih secara acak (random) dengan menggunakan tekhnik simple random sampling. Jumlah responden sebanyak 1140 responden. Sampling eror diperkirakan sebesar 2,9 %, dengan nilai kepercayaan 96 %. Non eror sampling dimungkinkan karena : a. Ada mengarahan dari pejabat Kejaksaan di lokasi penelitian ; b. Solidaritas antar penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Polisi) sehingga penilaian tidak murni ; Namun demikian data yang diperoleh tidak mengurangi obyektivitas survei yang dilakukan. 3.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Pengolahan Data
Data diolah secara kuantitatif dengan menggolongkan pada karakteristik responden.
FAKTA DAN DATA A. Gambaran Umum Kinerja Kejaksaan Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI 2, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak ukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan 2
4
Tekhnik Sampling
Lihat Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
negara, khususnya penuntutan, harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004). Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada dalam posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa 3. Karena Kejaksaan melakukan penuntutan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana tertentu serta berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta sebagai pelaksana penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga lembaga Kejaksaam sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya insitusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam hukum Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara untuk mewakili pemerintah meliputi: penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain kepada negara atau pemerintah, meliputi Lembaga/Badan Negara, Lembaga/Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Untuk menyelamatkan, memulihkan kekayaan negara dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. 3
Ibid JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Setiap tahun Kejaksaan senantiasa mengembangkan dan mereformasi diri agar mampu menyesuaikan diri dengan perangkat perundang-undangan baru maupun dengan harapan-harapan masyarakat dengan melakukan serangkaian langkah dan upaya pelaksanaan tugas secara maksimal dan optimal. Bagi Kejaksaan upaya untuk mencapai target sesuai harapam masyarakat merupakan suatu tantangan yang tidak mudah meskipun harus tetap dilaksanakan. Kejaksaan menyadari bahwa proses penanganan perkara tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan. Berbagai perkara kejahatan maupun pelanggaran senantiasa meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Demikian pula dalam pembaruan modus operandi termasuk dalam pembuktian mens rea (sikap batin) dan actus reus (perbuatan pelaksanaan). Hal inilah yang menjadi permasalahan mengapa Kejaksaan sebagai institusi senantiasa mengalami kendala dalam menuntaskan penanganan perkara. Tantangan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas tidak hanya datang dari eksternal namun juga secara internal. Dengan pendekatan ke dalam, Kejaksaan melakukan pembenahan-pembenahan pada seluruh unit kerja, baik di pusat maupun di daerah, termasuk pada personil Jaksa. Bagi Kejaksaan, tantangan dari pihak eksternal seperti kritik merupakan masukan positif yang sangat berharga dalam upaya Kejaksaan untuk berubah menjadi lebih baik. Pembaruan organisasi maupun personil merupakan tuntutan perubahan zaman. Kejaksaan pun senantiasa melakukan pembaruan secara komprehensif di bidang penuntutan sebagaimana digariskan oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Oleh karenanya, sebagai implementasi atau tindak lanjut atas pelaksanaan kinerja Kejaksaan berdasarkan Undang-undang Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi)
5
Nomor 16 Tahun 2004, Kejaksaan telah melaksanakan pembaruan dengan diterbitkannya 6 (enam) Peraturan Jaksa Agung RI, yaitu Peraturan Jaksa Agung RI tentang : (1) Rekruitmen CPNS dan Calon Jaksa; (2) Pembinaan Karir; (3) Pendidikan dan Pelatiham; (4) Standar Minimun Profesi Jaksa; (5) Kode Perilaku Jaksa; dan (6) Mekanisme Pengawasan. Program Reformasi Birokrasi Kejaksaan telah dilakukan sejak Tahun 2008, untuk menciptakan Kejaksaan modern dengan lebih mengutamakan pelayanan publik dalam penegakan hukum melalui pembenahan sistem, yang meliputi pembenahan aspek kelembagaan (organisasi), pembenahan aspek ketatalaksanaan (bussiness process), dan aspek sumber daya manusia. Reformasi Birokrasi Kejaksaan dimanfaatkan sebagai sarana efektif untuk mewujudkan perubahan dan peningkatan kinerja serta membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kejaksaan. Dalam konteks penegakan hukum ada perubahan paradigma dengan menitikberatkan pada upaya penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan, kepastiah dan kemanfaatan hukum, tanpa mengabaikan hati nurani. B. Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Sebagian besar masyarakat menilai, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi semakin buruk. Dalam lima tahun terakhir, paling buruk pada tahun ini. Kinerja Kepolisian, Pengadilan dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi masih lemah. Rapor ketiga institusi penegak hukum ini ’merah’ di mata publik. Berdasarkan survei opini publik nasional yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 1022 Oktober 2010, publik menilai integritas Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sangat rendah. Ketiga lembaga yang dinilai 6
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
buruk integritasnya tersebut, dinilai tidak dapat mencegah aparatnya dari tindakan korupsi atau menghindari tekanan dari kelompok pengusaha dan politisi. Menurut hasil survei, publik menilai bahwa kepolisian paling tidak dapat mencegah terjadinya korupsi di internal lembaganya. Sedangkan Kejaksaan dinilai paling tidak dapat menghindari tekanan kepentingan pengusaha, sama halnya dengan lembaga Pengadilan. Publik menilai intervensi dari partai politik atau politisi di ketiga institusi hukum ini juga masih kuat. Ketiganya belum mampu menolak tekanan suap dari pengusaha dan politisi atau partai politik.4 Rangkuman berbagai survei opini publik yang diselenggarakan menunjukkan betapa merosotnya citra penegakan hukum di setiap tataran institusi penegak hukum di negeri ini, baik di tingkatan aparat maupun institusi penegak hukum. Dalam jajak pendapat sebelumnya terpapar, nyaris seluruh responden menengarai kuatnya pengaruh uang dalam penyelesaian masalah hukum di negeri ini. Pada lapisan kelembagaan, institusi Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan penegak hukum lainnya semakin dilihat sebelah mata oleh masyarakat. Dari aspek penilaian terhadap kinerja umum, ketidakpuasan publik masih menonjol. Hanya 32,6 persen responden yang puas dengan kinerja profesional polisi dan hanya 24,3 persen yang puas dengan Kejaksaan. Ekspresi ketidakpuasan publik tak hanya dominan dalam menilai akuntabilitas dan profesionalitas Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam perkara yang lebih subtil, yakni sikap keberpihakan, juga dinilai masih belum memuaskan rasa keadilan masyarakat. Lebih dari 70 persen responden menilai baik aparat Kepolisian ataupun Kejaksaan, terutama dalam kasus rekaman Anggodo, masih lebih berpihak kepada 4
Publik Minta Koruptor Dihukum Mati, Harian Sumut Pos, 08/11/ 2010
kepentingan masyarakat 5.
penguasa
ketimbang
Kritik lain berasal dari Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), yang langsung dipaparkan di depan sejumlah Kajati dan pejabat eselon dua Kejaksaan. Berdasarkan hasil penelitian kedua lembaga ini, pengawasan di tubuh Kejaksaan belum berjalan sebagaimana mestinya. Selain karena semangat membela korps yang berlebihan, penindakan terhadap jaksa nakal terhambat oleh faktor rasa enggan dan kasihan. Meskipun kesalahan sudah jelas, tim pengawas enggan untuk menindak karena merasa kasihan terhadap jaksa bersangkutan. Akibatnya, pengawasan dan penindakan jaksa bermasalah terkesan minim. Kalaupun ada selalu berupa angka statistik. Bahan-bahan rapat kerja Kejaksaan Agung dengan DPR selalu memuat statistik penindakan terhadap jaksa dan pegawai Kejaksaan.6
ataupun ekonomi di luar institusinya, yang secara langsung memengaruhi kualitas tuntutan yang diajukan. Ketiga, terkait dengan masih rendahnya kualitas penuntutan institusi Kejaksaan dan ketidakindependenan institusi ini dalam menghadapi kekuatan dari luar yang mempengaruhinya, publik pun menilai masih rendahnya jaminan kepastian hukum yang diberikan lembaga ini kepada masyarakat. Hampir 60 persen publik meragukan kepastian hukum yang diupayakan institusi Kejaksaan. Upaya yang dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi penegakan hukum diantaranya dengan menetapkan beberapa program kerja, yaitu: 1.
Program Percepatan (Quick Wins) - membangun kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan (Public Trust Building) - menciptakan perubahan pada pola pikir, budaya kerja serta perilaku Aparat Kejaksaan (Change Mindset, Workculture, Behaviour) - Perbaikan Produk Utama Kejaksaan melalui peningkatan kinerja penanganan perkara dan pengaduan masyarakat (Improvement of Bussiness Process/Core Bussiness)
2.
Strategi Reformasi dan Majemen Perubahan - menyusun Dokumen Manajemen Perubahan serta membentuk Tim Manajemen Perubahan.
3.
Penataan Organisasi - melakukan reorganisasi menuju organisasi yang tepat fungsi (bukan berorientasi pada struktur), serta tepat ukuran (right sizing).
4.
Penataan Tatalaksana dan Proses Kerja - menyusun Dokumen Tatalaksana dan Proses Kerja (SOP) dengan terus
Hasil pengumpulan opini publik, setidaknya tiga alasan yang mendasari rendahnya kepuasan responden terhadap kinerja lembaga ini.7 Pertama, dari sisi penuntutan hukum, masih terdapat 57,8 persen responden yang menyatakan ketidakpuasan mereka. Masih terlalu minim responden yang menilai baik kualitas tuntutan yang diajukan oleh aparat Kejaksaan dalam menangani berbagai kasus hukum di negeri ini. Kedua, dari aspek independensi lembaga ini dalam tugas penuntutan yang dilakukan. Bagian terbesar responden (56,6 persen) menilai ketidak-independenan Kejaksaan dari berbagai kekuatan politik 5
Jajak Pendapat Kompas : Saatnya Reformasi Penegak Hukum, ntikorupsi.Org, 16-11-2009 6 Hukum online.com. Menindak Jaksa Nakal, Jangan Hanya Sekedar Statistik 06 Januari 2006 7 Jajak Pendapat Kompas : Saatnya Reformasi Penegak Hukum, ntikorupsi.Org, 16-11-2009 JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi)
7
melaksanakan penyempurnaan disesuaikan ketentuan baru organisasi dan tatalaksana Kejaksaan serta dengan pedoman Kepmenpan dan Reformasi Birokrasi tentang penyusunan Tatalaksana/SOP. 5.
Manajemen Sumber Daya Manusia Sistem Pengawasan - analisis jabatan dan evaluasi jabatan - asessment center - sistim Penilaian Kinerja (Performance Management System)
6.
Sistem Pengawasan - mengembangkan aplikasi IPKU instrumen berbasis TI - menyusun Peraturan Jaksa Agung sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS - dibukanya akses kepada publik untuk pengaduan (Laporan Pengaduan) melalui website
Kejaksaan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak hanya terfokus pada penanganan perkara tindak pidana umum semata tetapi juga penanganan perkara korupsi, perdata, tata usaha negara serta pengaduan masyarakat. Tugas pokok dan fungsi tersebut senantiasa didasarkan atas persamaan di depan hukum. Implementasi pelaksanaan tugas tersebut dilakukan dengan tidak membedajan orang baik dari status sosial, suku, agama, ataupun ras. Kejaksaan juga menyadari bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas tidak terlepas dari kerjasama dan koordinasi yang baik dengan lembaga penegak hukum lainnya. Agenda pembangunan kinerja Kejaksaan berfokus pada Reformasi Birokrasi dengan melaksanakan tugas berdasarkan SOP (Standar Operating Procedure) yang tepat, cermat, terarah, efektif dan eisien dengan mengoptimalkan 8
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
pelayanan publik. Melaksanakan penataan struktur organisasi dan membentuk aparat Kejaksaan yang profesional, handal dan bertanggung jawab demi kelancaranupaya penegakan hukum yang berkeadilan. Kejaksaan mempunyai kewenangan sesuai dengan amanat yang tersirat dalam undang-undang untuk dapat melaksanakan tugas dengan melakukan monitoring dan evaluasi atas sistem pengelolaam administrasi dan penanganan perkara yang cepat, tepat, dan murah. Sistem pengelolaan administrasi yang bersih dan berwibawa akan berpotensi kinerja yang good government dan penanganan perkara terutama korupsi yang sangat merugikan masyarakat, sehinga bukan hanya dapat menjerat pelaku korupsi namun juga sekaligus dapat mengembalikan kerugian negara secara signifikan. Untuk meningkatkan sistem akuntabilitas kinerja yang terpola good governance serta efisien dan efektivitas dalam mencegah terjadinya makelar kasus, Kejaksaan telah melakukan pengawasan melekat dan bekerjasama dengan masyarakat dalam laporan pengaduan yang dapat ditindak lanjuti. Sehingga penanganan dan penyelesaian perkara dapat tercapai secara optimal dan dapat mencegah penyalahgunaan wewenang dan jabatan. C. Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara 1.
8
Perkara Tindak Pidana Umum Unit kerja Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum telah melaksanakan Program/Kegiatan dengan capaian di tingkat Direktorat mencapai 97% dari target tahun 2011, dan kinerja di tingkat Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri serta Cabang Kejaksaan Negeri mencapai 84%.8
Kejaksaan RI - Pencapaian Kinerja Bidang Pidana Umum Kejaksaan RI tahun 2011
a. Profil Kriminalitas Tahun 2011 1) SPDP tahun 2010 : 131.100 perkara 2) SPDP Januari s/d September 2011 : 99.770 perkara
f. Perkara Penting 1) Narkotika : 13.274 perkara (95,94%) 2) Psikotropika : 556 perkara (90,26%)Perlindungan anak : 3.635 perkara (97,35%) 3) Kehutanan : 1.640 perkara (97,36%) 4) KDRT : 1.150 perkara (97,21%) 5) HKI : 122 perkara (110%) Jumlah = 20.377 perkara
b. Penyelesaian SPDP 1) Jumlah SPDP periode Januari s/ d September 2011 : 157.902 perkara 2) Diserahkan ke Tahap I : 123.991 perkara (78,52%) 3) Tidak ada tindak lanjut : 33.911 perkara (21,48%)
g. Satgas Teroris 1) Perdagangan Orang : 68 perkara (57,62%) 2) Terorisme : 41 perkara (34,74%) 3) Pencucian Uang : 9 perkara (7,62%)
c. Penyelesaian Penyerahan Tahap I 1) Berkas lengkap (P-21) : 89.522 perkara (72,22%) 2) Berkas kembali kepada Penyidik a) Tidak lengkap (P-18/P-19) : 11.737 perkara (9,47%) b) Tidak dikembalikan ke PU : 3.507 perkara (2,83%) c) Berkas dalam penelitian PU : 19.195 perkara (15,48%) d. Penyelesaian Perkara Dinyatakan Lengkap
2) Tidak diserahkan : 5.392 perkara (6,02%) Perkara
i.
Yang
1) Diserahkan Tahap II : 28.160 perkara (93,98%)
e. Penyelesaian Penuntutan
h. Penyelesaian Perkara Tahap Banding periode Januari s/d September 2011 1) Diputus : 2.213 perkara (21,57%) 2) Sisa : 8.047 perkara (78,43%)
1) Diputus : 1.613 perkara (17,26%) 2) Sisa : 7.732 perkara (82,74%) j. Penyelesaian Perkara Tahap Peninjauan Kembali periode Januari s/d Sept 2011
Tahap
1) Sudah dilimpahkan ke PN : 79.201 perkara (94,11%) 2) Penyelesaian lainnya (dikirim ke instansi lain dan dihentikan penuntutannya) : 49 perkara (0,06%) 3) Sisa (belum dilimpahkan) : 4,901 perkara (5,83%) : JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Penyelesaian Perkara Tahap Kasasi periode Januari s/d September 2011
1) Diputus : 42 perkara (7,91%) 2) Sisa : 489 perkara (92,09%) k. Penyelesaian Perkara Yang Mengajukan Grasi periode Januari s/d September 2011 1) Diputus : 39 perkara (1,89%) 2) Sisa : 2.024 perkara (98,11%) l.
Data Perkara Yang Dijatuhi Hukuman Mati Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi)
9
2) DIK Target : 100 perkara, Capaian : 105 perkara = 105%
1) Dalam Tahap Banding : 3 perkara 2) Dalam Tahap Kasasi : 10 perkara 3) Dalam Tahap Peninjauan Kembali : 39 perkara 4) Dalam Proses Kasasi : 15 perkara 5) Belum menentukan sikap : 9 perkara 6) Sudah dieksekusi : 10 perkara
3) TUT TPK Target : 100 perkara, Capaian : 74 perkara = 74% 4) TUT TPE & TPL Target : 45 perkara, Capaian : 0 perkara = 0%
m. Hasil Dinas periode Januari s/d September 2011
5) TUT Pelanggaran HAM Target : 5 perkara, Capaian : 0 perkara = 0%
Berhasil melakukan penagihan Hasil Dinas sejumlah Rp. 172.338.937.542 (seratus tujuh puluh dua milyar tiga ratus tiga puluh delapan juta sembilan ratus tiga puluh tujuh ribu lima ratues empat puluh dua rupiah) 2.
6) Eksekusi & Eksaminasi TPK Target : 80 perkara, Capaian : 80 perkara = 100% 7) Eksekusi & Eksaminasi TPE & TPL Target : 20 perkara, Capaian : 20 perkara = 100%
Perkara Tindak Pidana Khusus Di Kejaksaan Agung dari target 450 perkara, terrealisir 384 perkara (85&).
b. Kinerja Penanganan perkara PIDSUS di Kejati/Kejari/Cabjari seluruh Indonesia
Di Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri target 4785 perkara terrealisir 3301 perkara (69%).
1) LID Target : 1445 perkara , Capaian: 699 perkara = 48,4%
Total keseluruhan pencapaian selama tahun 2011 dari target 5.235 perkara terrealisir 3685 perkara (70%)9
2) DIK Target : 1445 perkara, Capaian : 1624 perkara = 112,4%
Jumlah keuangan/kekayaan negara yang diselamatkan Rp. 527.980.665.272 (lima ratus dua puluh tujuh milyar sembilan ratus delapan puluh juta enam ratus enam puluh lima ribu dua ratus tujuh puluh dua rupiah), US$ 2.920 (dua ribu sembilan ratus dua puluh dolar Amerika). a. Kinerja Penyelesaian Penanganan Perkara PIDSUS pada Jampidsus
3) TUT TPK Target : 1445 perkara, Capaian : 1425 perkara = 98,6% 4) TUT TPE & TPL Target : 450 perkara, Capaian : 266 perkara = 60% 3.
1) LID Target : 100 perkara , Capaian : 112 perkara = 112% 9
Kejaksaan RI – Pencapaian Kinerja bidang Pidana Khusus Kejaksaan RI tahun 2011
10
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
10
Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara a. Target Penerimaan SKK Secara keseluruhan pencapaian target penerimaan SKK di seluruh Kejaksaan mencapai 374,39% 10
Kejaksaan RI – Pencapaian Kinerja bidang Perdata dan tata Usaha Negara Kejaksaan RI tahun 2011
b. SOP Penyusunan SOP tentang prosedur dan batas waktu penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara baik di pusat maupun di daerah
sembilan ratus lima puluh delapan juta delapan ratus lima puluh satu ribu tujuh ratus tiga puluh enam rupiah). 2) Memulihkan Keuangan/ Kekayaan Negara.
c. Tugas dan wewenang bagian Perdata dan Tata Usaha Negara
Tahun 2011 keuangan negara yang berhasil dipulihkan Rp 68.906.472.627 (enam puluh delapan milyar sembilan ratus enam juta empat ratus tujuh puluh dua ribu enam ratus dua puluh tujuh rupiah).
1) Penegakan Hukum Tahun 2011 = 606 kasus, tahun 2010 = 564 kasus 2) Pengacara Negara Kegiatan penanganan perkara melalui litigasi, tahun 2011 = 3.319 kasus. Tahun 2010 = 1.791 kasus
5) Tindakan Hukum Lain Tahun 2011 = 16 kasus, tahun 2010 = 27 kasus
3) Pembayaran Uang Pengganti (PUP). Tahun 2011 jumlah PUP yang berhasil ditagih Rp 10.614.103.143 (sepuluh milyar enam ratus empat belas juta seratus tiga ribu seratus empat puluh tiga rupiah). Sedangkan tahun 2010 sebesar Rp 11.850.392.130 (sebelas milyar delapan ratus lima puluh juta tuga ratus sembilan puluh dua ribu seratus tiga puluh rupiah).
6) Perjanjian kerjasama bidang Datun Tahun 2011 = 730 perjanjian, tahun 2010 = 397 perjanjian
Dalam hal penanganan perkara, dari target 782 perkara capaian jauh melampaui target sebanyak 4.274 perkara atau mencapai 547%:
3) Pertimbangan Hukum Tahun 2011 = 106 kasus, tahun 2010 = 68 kasus 4) Pelayanan Hukum Tahun 2011 = 88 kasus, tahun 2010 = 64 kasus
d. Penyelamatan Keuangan Negara 1) Mempertahankan Keuangan/ Kekayaan Negara. Tahun 2011 berhasil dipertahankan Rp 34.854.250,286.305 (tiga puluh empat triliun delapan ratus lima puluh empat milyar dua ratus lima puluh juta dua ratus delapan puluhenam ribu tiga ratus lima rupiah) dan 4 (empat( buah truk. Tahun 2010 hanya Rp 3.170.958.851.736 (tiga triliun seratus tujuh puluh milyar JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
1) Kejaksaan Agung Target : 282 perkara, Capaian : 265 perkara = 94% 2) Kejati, Kejari, Cabjari Target : 500 perkara, Capaian : 4009 perkara = 802%
2. Kejaksaan Pengawasan
Dalam
Bidang
Capaian Kinerja Bidang Pengawasan a.
Penanganan Laporan Pengaduan (Lapdu). Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi) 11
Dalam tahun 2011 Jaksa Agung Muda Pengawasan telah menyelesaikan laporan pengaduan baik berasal dari masyarakat langsung, maupun melalui Komisi Kejaksaan Republik Indonesia yaitu sebagai berikut : Sisa Desember 2010: 910 Lapdu; Diterima Januari S/D Nopember 2011 : 1.611 Lapdu11 ; -
Jumlah
: 2.521 Lapdu
-
Diselesaikan
: 1.571 Lapdu
-
Sisa (Lapdu Masih Dalam Proses) : 950 Lapdu
b. Penyelesaian : Dari data tersebut di atas lapdu yang dapat diselesaikan sejumlah 1.571 Lapdu, dengan rincian : Terbukti 170 Lapdu; Tidak terbukti 1.401 Lapdu.
ANALISIS HASIL SURVEI A. Profil Responden Yang Di Survei 1.
Usia Responden Usia responden digolongkan berdasarkan kriteria umur sebagai berikut: a. Usia dibawah 30 thn (16,14% ) ;
c. 36- 40 tahun = 227 ( 19,91% ) ; d. 41 - 45 tahun = 188 ( 16,49% ) ; e. 46 - 50 tahun = 169 ( 14,82% ) ; f. 51 - 56 tahun = 96 ( 8,42 % ) ; g. Lebih dari 57 thn = 67 (5, 88 %); Usia responden yang berhasil di survei tergolong pada usia yang cukup ideal sebanyak 624 responden (54,73%) terdiri Kejaksaan RI – Pencapaian Kinerja bidang Pengawasan Kejaksaan RI tahun 2011
12
2.
Jenis Kelamin Responden
Responden dilihat berdasarkan jenis kelamin adalah Laki-laki (L) = 927 (81,32%), sedangkan Perempuan (P) = 213 (18,68%). 3.
Pendidikan Responden
Dilihat dari tingkat pendidikan, responden berpendidikan tinggi, Diploma, S1, S2 dan S3 keseluruhannya berjumlah 658 responden (56,89 %). Terdiri dari pendidikan Diploma 71 responden ( 6,23% ), S1 444 responden (38,59 %) ; pendidikan S 2 sebanyak 136 responden (11,92 %) dan S3 (Doktor) 7 responden (0,61%). Data ini akan memberikan gambaran bahwa survei ini dilihat dari jenjang pendidikan cukup bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan responden yang pada pendidikan Sekolah Dasar (SD) ada 42 responden (3,68%), SLTP 89 responden (7,89%), SLTA 351 responden ( 30,79% ) .
= 184
b. 31- 35 tahun = 209 ( 18,33% ) ;
11
dari usia antara 36 sampai 40 tahun sebanyak = 227 (19,91%), usia antara 31-35 tahun = 209 (19,91%) dan responden pada usia 4145 tahun = 188 (16,49%). Dari gambaran ini diharapkan jawaban responden dapat lebih obyektif .
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
II. PEMBAHASAN 1.
Sumber Informasi tentang Kinerja Kejaksaan
Masyarakat umumnya sudah mengetahui kinerja aparat Kejaksaan. Sebagian besar responden 582 (51,05%) menyatakan bahwa sumber informasi kinerja Kejaksaan diperoleh dari pengalaman sendiri. Sedangkan informasi lainnya diperoleh dari sumber berasal dari : a. Pemberitaan media cetak, seperti surat kabar/koran, majalah 206 responden (18,07%)
b. Dari pemberitaan elektronik sebanyak 267 responden (23,42 %);
3.
c. Berasal dari pemberitaan orang lain sebanyak 85 responden (7,46 %)
Kemudahan prosedur pelayanan secara keseluruhan menurut responden yang berhasil diwawancarai 594 responden (52,11%) menyatakan bahwa prosedur pelayanan aparat Kejaksaan mudah dan 93 responden (8,15%) menyatakan sangat mudah, hal ini menggambarkan fungsi pelayanan aparat Kejaksaan sudah berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat. Ekspresi ketidakpuasan publik tak hanya dominan dalam menilai akuntabilitas dan profesionalitas institusi Kejaksaan tetapi menyangkut personalitas aparat Kejaksaan, dapat tergambarkan dalam hasil survei bahwa 453 responden (39,74 %) menyatakan bahwa prosedur pelayanan aparat Kejaksaan kurang mudah 246 (21,58%) dan tidak mudah 207 (18,16%).
Sumber Informasi
Pengalaman 51,05 % Media Elektronik 23,42 % Media cetak 18,07 % Orang lain 7,46 %
2.
Tanggung Jawab Aparat Kejaksaan Dalam Melaksanakan Tugas Dan Wewenangnya.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut responden 76,05% aparat Kejaksaan itu sudah bertanggung jawab dan 9,64% responden menyatakan sangat bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas wewenangnya, sedangkan 163 responden (12,30%) menyatakan bahwa aparat Kejaksaan kurang bertanggungjawab dan tidak bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas wewenangnya. Pendapat ini dilatarbelakangi dari informasi banyaknya jaksa-jaksa yang terkena kasus suap dan melakukan pemerasan. Tanggungjawab Aparat Kejaksaan
Bertanggungjawab 76,05 % Kurang bertanggungjwb 10,63 % Sangat bertanggungjawab Tidak bertanggungjawab
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Kemudahan Prosedur Pelayanan Oleh Aparat Kejaksaan
Kemudahan prosedur pelayanan
Mudah 52,11% Kurang mudah 21,58 % Tidak mudah 18,16 % Sangat mudah 8,15 %
4.
Kejelasan Dalam Memberikan Pelayanan Dan Kepastian Hukum.
Menurut 738 responden (64,74%) menyatakan bahwa di lembaga Kejaksaan kualitas pelayanan sudah jelas yaitu diatas standar. Sedangkan 307 responden (26,93%) menyatakan bahwa aparat Kejaksaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak jelas dan kurang jelas.
Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi) 13
Kejelasan dlm memberikan pelayanan
Jelas 64,74 % Kurang jelas 19,82 % Sangat Jelas 8,33 % Tidak Jelas 7,11 %
5.
Tanggungjawab Aparat Kejaksaan Dalam Memberikan Pelayanan.
Tanggungjawab aparat Kejaksaan dalam memberikan pelayanan, 873 responden (76,58 %) menyatakan bertanggungjawab; 102 responden (8,95 %) menyatakan aparat Kejaksaan dalam memberikan pelayanan sangat bertanggungjawab; ini dapat dlihat dari indikator penyelesaian perkara baik perkara pidana umum, perkara pidana khusus (korupsi) maupun perkara perdata dan tata usaha Negara (lihat gambaran Kejaksaan dalam penanganan perkara). Sedangkan 165 responden (14,47%) menyatakan tidak dan kurang bertanggungjawab; kurang bertanggungjawab 12,63% dan tidak bertanggungjawab 1,84%. Meskipun hanya 14,47% gambaran yang menunjukan bahwa aparat bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan tidak bertanggungjawab, ini harus menjadi perhatian pimpinan dan seluruh jajaran Kejaksaan untuk memaksimalkan dalam memberikan pelayanan.
Tanggungjwb dlm memberikan pelayanan
Bertanggungjawab 76,58 % Kurang bertanggungjwb 12,63 % Sangat bertanggungjwb 8,95 % Tidak bertanggungjawab 1,84 %
14
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
6.
Kedisiplinan Dan Kesungguhan Aparat Kejaksaan Dalam Memberikan Pelayanan.
Kedisiplinan amat penting. Mungkin disiplin bukan selalu kunci utama untuk memecahkan suatu persoalan. Namun, apapun solusinya, disiplin amat berperan agar solusi utama itu bisa berjalan. Dengan disiplin, banyak manfaat yang akan dirasakan. Bukan saja akan menghilangkan kebiasaan menunda pekerjaan, lebih dari itu juga akan membuat pekerjaan selesai lebih cepat dan hidup lebih tertata. Hasil survei menunjukan bahwa 840 responden (73,68%) dan 93 responden (8,15%) aparat Kejaksaan dalam melaksanakan tugas selalu dilakukan dengan penuh kedisiplinan dan kesungguhan, sedangkan 207 responden (18, 16%) menyatakan aparat kejaksaan kurang tidak dan kurang disiplin dalam membrikan pelayanan. Kedisiplinan memberikan pelayanan
Disiplin 73,68 % Kurang disiplin 15,53 % Sangat disiplin 8,16 % Tidak disiplin 2,63 %
7.
Perilaku, Kesopanan Dan Keramahan Aparat Kejaksaan Dalam Memberikan Pelayanan.
Dari hasil survei tentang kesopanan, keramahan dan perilaku aparat Kejaksaan secara keseluruhan artinya menyangkut insitusi dan personifikasi dapat tergambar dari jawaban responden bahwa 904 responden (79,30%) aparat Kejaksaan berperilaku sopan dan ramah, 120 responden (10,53%) menyatakan sangat sopan dan sangat ramah. Sedangkan 116 responden (10,17% ) menyatakan kurang dan tidak sopan dan tidak ramah.
Kesopanan, Keramahan dan Perilaku
Sopan & ramah 79,30 % Kurang Sopan & sangat ramah 10,53 %
aparat Kejaksaan. Ini didasarkan pada fakta bahwa Kejaksaan menurut hasil survei ICW adalah lembaga penegak hukum yang paling banyak menuntaskan kasus korupsi. Kejaksaan dlm menangani perkara Pidana
Kurang Sopan 9.03 % Tidak Sopan & tidak Dipercaya 65,88 % Kurang Dipercaya 21,49 %
8.
Kecepatan Dan Ketepatan Aparat Kejaksaan Dalam Memberikan Pelayanan
Data survei menunjukan bahwa 271 responden (23,77%) bahwa aparat Kejaksan dalam memberikan pelayanan tidak cepat dan tidak tepat waktu. Namun demikian 804 responden (70,53%) masih percaya bahwa Kejaksaan dalam memberikan pelayanannya tepat waktu bahkan 65 responden (5,70%) menyatakan sangat tepat waktu. Gambaran ini menunjukan bahwa aparat kejaksaan selalu cepat dan tepat waktu, namun demikian 23,77% yang menyatakan tidak cepat dan tepat waktu menggambarkan ketidakpuasan atas pelayanan yang dilakukan aparat Kejaksaan. Kecepatan, ketepatan pelayanan
Tepat waktu 70,53 % Kurang tepat waktu 22,02 % Sangat Tepat waktu 5,70 % Tidak Tepat waktu 1,75 %
9.
Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Pidana
751 responden (65,88%) menyatakan bahwa kinerja aparat Kejaksaan masih dipercaya masyarakat, bahkan 96 responden ( 8,42 % ) sangat percaya terhadap kinerja JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Sangat Dipercaya 8,42 % Tidak Dipercaya 4,21 %
Di Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri target 4785 perkara korupsi terrealisir 3301 perkara (69%). Total keseluruhan pencapaian selama tahun 2011 dari target 5.235 perkara terrealisir 3685 perkara korupsi (70%). Unit kerja Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum telah melaksanakan Program/ Kegiatan dengan capaian di tingkat Direktorat mencapai 97% dari target tahun 2011, dan kinerja di tingkat Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri serta Cabang Kejaksaan Negeri mencapai 84%. Meskipun demikian 245 responden atau 21,49% masyarakat masih menilai kinerja aparat Kejaksaan masih kurang dipercaya dan 48 responden atau 4,21% masyarakat tidak percaya terhadap kinerja Kejaksaan. 10. Keadilan Mendapatkan Pelayanan Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pendapat respoden tentang gambaran keadilan dalam mendapatkan pelayanan Kejaksaan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi adalah : masyarakat 697 (61,14%) merasa adil pelayanan yang dilakukan Kejaksaan, hanya 67 responden (5,88 %) menyatakan sangat adil. Sedangkan masyarakat yang menyatakan kurang adil Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi) 15
pelayanan yang dilakukan Kejaksaan 290 responden ( 25,44%) dan 86 responden (7,54% ) menyatakan tidak adil. Keadilan dalam Penyidikan Korupsi
Adil 61,14 % Kurang Adil 25,44 % Sangat Adil 7,54 % Tidak Adil 5,88 %
Dalam menangani perkara korupsi sikap keberpihakan, juga dinilai masih belum memuaskan rasa keadilan masyarakat, masih lebih berpihak kepada kepentingan penguasa ketimbang masyarakat atau praktek-praktek tebang pilih masih cukup dirasakan masyarakat. 11. Kemampuan Jaksa (SDM) Dalam Menangani Perkara Hasil survei menunjukan bahwa 866 responden (75,97%) jaksa mampu dan ahli dalam menangani perkara bahkan 131 responden (11,49%) menyatakan sangat mampu. Hanya 143 responden (12,54%) yang menyatakan jaksa kurang/tidak mampu dalam menangani perkara. Ini menunjukan semakin meningkatnya kemampuan jaksa dalam melaksanakan tugas pokoknya. Kejaksaan dlmMenangani Perkara Pidana
Mampu 79,57 % Kurang Mampu 11,75 % Sangat Mampu 11,49 % Tidak Mampu 0,79 %
16
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
12. Keadilan Dalam Tuntutan Pidana
Melakukan
Kejaksaan berupaya agar dalam melakukan tuntutan benar-benar diperhatikan rasa keadilan masyarakat. Salah satunya adalah dengan adanya rencana tuntutan, sehingga tuntutan jaksa penuntut umum menjadi tanggungjawab bersama antara jaksa dengan atasannya sampai derajat kedua (kasi pidum/pidsus dan kajari atau sampai asisten/Kajati). Dengan rentut ini diharapkan ada pengawasan sekaligus menjadi tanggungjawab secara renteng. Publik menilai intervensi dari pihak ketiga masih dirasakan dalam hal jaksa melakukan tuntutan. Pertama, dari sisi penuntutan hukum, masih ketidakpuasan mereka Kedua, dari aspek independensi lembaga ini dalam tugas penuntutan yang dilakun tidakindependen lagi. Pengaruh dari berbagai kekuatan politik ataupun ekonomi di luar institusinya, yang secara langsung mempengaruhi kualitas tuntutan yang diajukan. Ketiga, terkait dengan masih rendahnya kualitas penuntutan institusi Kejaksaan dan ketidakindependenan institusi ini dalam menghadapi kekuatan dari luar yang memengaruhinya. Mengingat masalah rentut ini murni merupakan kebijakan internal Kejaksaan, sehingga mengundang untuk diperdebatkan. Kebijakan ini menjadi praktek dalam proses penuntutan karena berbagai alasan, antara lain : 1. Dalam banyak kasus, pertimbangan hukum oleh Jaksa dinilai kurang matang dan kurang comprehensive; 2. Adanya centencing policy yang ditetapkan oleh Jaksa agung ; 3. Adanya asas dalam penuntutan bahwa jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan;
4.
Mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Penuntut Umum.
Disamping itu, kritik terhadap eksisitensi rentut cukup banyak dan beralasan, antara lain dikatakan bahwa : 1.
2.
3.
Jaksa menjadi tidak lagi merdeka (dependent) dalam menjalankan tugas dan fungsinya, karena tuntutan itulah yang merupakan puncak dari tugas jaksa dipersidangan sebelum hakim menjatuhkan vonis, yang justru penentuan tuntutannya bukan lagi ditangannya tetapi sudah diintervensi oleh atasannya secara legal; Jaksa menjadi kurang bertanggungjawab karena kewenangan tuntutannya bukan lagi dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menentukan; Tidak memberi kesempatan berkembangnya profesionalisme Jaksa.
jaksa mengeksekusi perkara, bukan petikan putusan. Oleh karena itu dalam banyak perkara yang sudah berlangsung lama ini eksekusi putusan pengadilan oleh jaksa tidak banyak dipermasalahkan. Ketepatan Mengeksekusi Perkara
Tepat waktu 59,74 % Kurang Tepat waktu 25,09 % Tidak Adil Tepat waktu 7,98 % Sangat tdk Tepat waktu7,19 %
Berdasarkan survei 69,39% jaksa dalam mengeksusi selalu tepat waktu atau sangat tepat waktu {57 responden (5 %)}. Sedangkan 30,61% menyatakan jaksa dalam mengeksekusi perkara kurang tepat tidak tepat waktu.
Keadilan dlm menuntut Perkara Pidana
14. Tindakan Terhadap Oknum Jaksa Yang Berperilaku Sangat Buruk Adil 59,74 % Kurang Adil 25,09 % Tidak Adil 7,98 % Sangat Adil 7,19 %
Hasil survei 59,74% tuntutan jaksa dalam perkara pidana dinyatakan dirasakan adil, sedangkan 33,07% menyatakan dalam menuntut perkara pidana kurang adil dan tidak adil.
Jaksa Agung Basrief Arief menyebutkan dalam rentang waktu 2011 hingga 2012, pihaknya telah menerima laporan sebanyak 375 jaksa dan petugas Tata Usaha (TU) nakal (detik.com.11 Juni 2012). Dari data itu ada 233 orang Jaksa nakal dalam menyelesaikan perkara di pengadilan. “Terakhir sampai Tahun 2012 ada 375 orang, terdiri 233 jaksa dan 142 tenaga TU,”, Hukuman berat terhadap Jaksa buruk berperilaku
13. Ketepatan Waktu Mengeksekusi Perkara Setuju 56,75 %
Polemik eksekusi perkara oleh jaksa akan mencuat ke publik apabila menyangkut kasus-kasus besar. Pengadilan sampai Mahkamah Agung kadang tidak menyadari bahwa salinan putusan resmi yang dijadikan JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Sangat Setuju 35,53 % Kurang setuju 4,21 % Tidak setuju 3,51 %
Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi) 17
Kejaksaan Agung telah mengambil tindakan tegas terhadap anak buahnya yang melanggar aturan tersebut. Namun, bagi jaksa dan pegawai Kejagung yang berprestasi, telah menberikan penghargaan sesuai dengan kinerjanya selama ini. Terhadap Kejati, Kejari bahkan jaksa-jaksa yang berpretasi Kejaksaan memberikan penghargaan dan promosi.” Dalam tahun 2011 Jaksa Agung Muda Pengawasan telah menyelesaikan laporan pengaduan baik berasal dari masyarakat langsung, maupun melalui Komisi Kejaksaan Republik Indonesia yaitu diterima Januari S/D Nopember 2011 dapat diselesaikan sejumlah 1.571 Lapdu, dengan rincian : Terbukti 170 laporan pengaduan, tidak terbukti 1.401 Lapdu. Secara umum masyarakat mengaku kecewa dengan tindakan oknum jaksa hingga intitusi Kejaksaan makin terpuruk dimata masyarakat. Untuk itu ke depan para jaksa lebih mempedomani Tri Krama Adhyaksa dalam keseharian jaksa, sehingga dalam melaksanakan tugas pokok, Jaksa nantinya berjalan sesuai dengan Satya, Adhy dan Wicaksana atau kejujuran, tanggung jawab dan kebijaksanaan. Masyarakat masih mempercayai adanya oknum jaksa yang dalam tindakan memperdagangkan perkara itu, bukan dilakukan instansi lembaga melainkan itu dilakukan oknum jaksa yang tidak paham akan tugas pokok jaksa yang terdapat dalam UU Nomor 16 Tahun 2004. Mengenai hukuman oknum jaksa yang berperilaku buruk 56,75 % setuju, untuk dijatuhi hukuman berat. Bahkan lebih tegas lagi 35,53% sangat setuju kalau oknum jaksa tersebut dijatuhi hukuman berat. Seperti, dicopot status jaksanya, dikeluarkan dari PNS dan diproses secara hukum. Ini dimaksudkan agar membuat jera okum jaksa nakal sekaligus mengembalikan kepercayaan 18
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
institusi Kejaksaan dimata masyarakat. Dan hanya 7,72 % menyatakan kurang dan tidak setuju.
III. PENUTUP Berdasarkan survei tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Melakukan Penanganan Perkara” maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Kesimpulan 1.1 Masyarakat umumnya sudah mengetahui kinerja aparat Kejaksaan. bahwa sumber informasi diperoleh dari pengalaman sendiri. Sedangkan informasi lainnya diperoleh dari sumber berasal dari: pemberitaan media cetak, seperti surat kabar/ Koran, dari pemberitaan elektronik seperti televisi. 2.2 Aparat kejaksaan dalam melaksanakan tugas wewenangnya, sudah bertanggungjawab , meliputi antara lain : a. Tentang prosedur pelayanan; Mengenai kemudahan prosedur pelayanan oleh aparat Kejaksaan menurut masyarakat prosedurnya mudah. Hal ini menggambarkan fungsi pelayanan aparat kejaksaan sudah berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat. b. Kejelasan dalam memberikan pelayanan; Kejelasan memberian pelayanan dan kepastian hukum oleh aparat Kejaksan menurut masyarakat sudah cukup jelas. Ini menujukan
bahwa lembaga kejaksaan dalam memberikan pelayanan dan kepastian hukum kualitas pelayanannya telah memenuhi standar. Namun demikian sebagian masyarakat (26,93%) masih beranggapan bahwa kejelasan lembaga Kejaksaan dalam memberikan pelayanan masih di bawah standar. c. Tanggungjawab dalam memberikan pelayanan; Dari sisi tanggungjawab dalam memberikan pelayanan, masyarakat menyatakan bahwa aparat kejaksaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sudah bertanggungjawab; d. Kedisplinan dan kesungguhan dalam memberikan pelayanan; Sebagian besar masyarakat (81,84%) menyatakan aparat Kejaksaan dalam memberikan pelayanan, disiplin dan penuh kesungguhan sedangkan 18,16 % menyatakan tidak dan kurang disiplin. e. Perilaku, kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan; Sebagian besar masyarakat (89,83%) menyatakan bahwa kesopanan, keramahan dan perilaku aparat kejaksaan dalam memberikan pelayanan berperilaku sopan dan ramah, hanya (10,17%) masyarakat yang menyatakan perilaku aparat Kejaksaan kurang sopan dan tidak ramah. f. Kecepatan dan ketepatan memberikan pelayanan ; JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Masyarakat (70,53%) percaya bahwa aparat Kejaksan dalam memberikan pelayanan sudah cepat dan tepat waktu. bahkan (5,70%) menyatakan sangat tepat waktu. Hanya (23,77%) yang menyatakan pelayanan oleh aparat Kejaksaan selalu kurang tepat waktu dan tidak tepat waktu.. 3.3 Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara. Kinerja aparat Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana masih dipercaya masyarakat (65,88%), bahkan 8,42% masyarakat masih sangat mempercayai kinerja aparat Kejaksaan dalam menangani perkara. Sedangkan 21,49% masyarakat masih menilai kinerja aparat kejaksaan kurang dipercaya dan 4,21 % masyarakat tidak percaya terhadap kinerja Kejaksaan menangani perkara. 4.4 Kemampuan Jaksa ( SDM ) dalam menangani perkara ; Masyarakat (75,97%) menyatakan bahwa jaksa mampu dan ahli dalam menangani perkara bahkan 11,49% menyatakan jaksa dianggap sangat mampu. Hanya (12,54 %) mayarakat yang menyatakan bahwa jaksa kurang/ tidak mampu dalam menangani perkara. 5.5 Keadilan mendapat pelayanan dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Menurut masyarakat (67,02%) bahwa aparat Kejaksaan sudah adil dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan (32,98%) masyarakat masih Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi) 19
berpendapat bahwa selama ini proses penyidikan perkara korupsi dirasakan tidak adil, masih adanya praktek tebang pilih. 6.6 Keadilan dalam melakukan tuntutan perkara ; Masyarakat (66,93%) berpendapat bahwa jaksa dalam menuntut perkara pidana dirasakan sudah adil, sedangkan sebagain masyarakat (33,07%) menyatakan bahwa jaksa selalu kurang adil/ tidak adil dalam melakukan tuntutan pidana . Dari angka ini menggambarkan bahwa masyarakat masih mendambakan proses penegakan hukum yang menciptakan rasa keadilan dan kepastian hukum. 7.7 Ketepatan waktu mengeksekusi perkara ; Kejaksaan juga merupakan satusatunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). KUHAP telah menetapkan bahwa jaksa adalah eksekutor terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
secara hukum. Ini dimaksudkan agar membuat jera okum jaksa nakal sekaligus mengembalikan kepercayaan institusi Kejaksaan dimata masyarakat. Dan hanya 7,72% menyatakan kurang dan tidak setuju, karena perilaku buruk dipengaruhi lingkungan setempat.
B. Saran 1.
Agar lebih dioptimalkan lagi peran penerangan hukum (penkum) melalui jalur kehumasan dan program teknologi informasi (jaringan internet) khusus menyangkut kinerja Kejaksaan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi;
2.
Tanggungjawab aparat Kejaksaan dalam melaksanakan wewenangnya masih perlu ditingkatkan, terutama kinerjanya agar lebih ditingkatkan meskipun masyarakat masih percaya terhadap kinerja Kejaksaan;
3.
Sebagian masyarakat masih meragukan kemampuan SDM Kejaksaan unutk itu pembinaan aparat Kejaksaan (jaksa) dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal maupun informal;
4.
Agar tidak ada lagi sikap keberpihakan dan tebang pilih dalam menangani perkara korupsi. Selama ini masih belum memuaskan rasa keadilan masyarakat dan masih lebih berpihak kepada kepentingan penguasa, untuk itu jaksa dalam melakukan tunutan harus mengindahkan rasa keadilan masyarakat, tidak diskriminatif, adil;
5.
Masyarakat masih menganggap eksekusi perkara tidak tepat waktu, hambatan administrasi dan prosedur jangan menjadikan proses hukum menjadi terhambat;
6.
Pimpinan Kejaksaan harus melakukan tindakan dan hukuman yang keras dan
Berdasarkan survei 69,39% menyatakan jaksa dalam mengeksusi selalu tepat waktu Sedangkan 30,61% menyatakan jaksa dalam mengeksekusi perkara kurang/tidak tepat waktu. 8.8 Tindakan yang seharusnya terhadap oknum kejaksaan yang berperilaku buruk. Pendapat masyarakat (92,28%) hukuman terhadap oknum jaksa yang berperilaku buruk setuju untuk dijatuhi hukuman berat. Seperti dicopot status jaksanya, dikeluarkan dari PNS dan diproses 20
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
tegas terhadap oknum Kejaksaan yang melakukan pelangggaran dan berperilaku buruk, ini penting karena akan mempengaruhi citra dan birokrasi yang sedang dibangun institusi. Tindakan tegas akan mempunyai dampak positif bagi citra Kejaksaan dimata masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali, Pokok-pokok Pikiran Tentang The Criminal Justice Sistem, Makalah disampaikan dalam seminar tanggal 25 mei 2010, hotel century, Jakarta 2010 Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta : 1984 Bestian , Metode Pemilihan Sampel, kompas Research Center, Jakarta, 2012 ————, Manajemen Penelitian Opini Publik, kompas Research Centre, Jakarta, 2012 Go to comments Leave a comment, Menghitung margin error, marchth,2009
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Harian Sumut Pos, Publik Minta Koruptor Dihukum Mati 08/11/2010 Hukum online.com. Menindak Jaksa Nakal, Jangan Hanya Sekedar Statistik 06 Januari 2006 Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur negara & Hukum Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta : 2007 ———, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta : 2009. Kejaksaan RI - Pencapaian Kinerja Bidang Pidana Umum Kejaksaan tahun 2011 Kompas : Saatnya Reformasi Penegak Hukum, jajak Pendapat Anti korupsi.Org, 16-11-2009 Republik Indonesia, Undang-ujdang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Tahun 1981 nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209 ———, .Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2004 nomor 67, Tambahan Lembaran Negara 4250 ———, Undang-undang nomor 48 tahun 20049 tentang Kean Kehakiman, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 507.
Persepsi Masyarakat (Hendi Suhendi) 21
22
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
MASALAH PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA JASA KEUANGAN DI INDONESIA (The Authority Issues for Investigator in Criminal Financial Service in Indonesia) Wahyu Wiriadinata Program Magister Universitas Padjadjaran Email :
[email protected] (Diterima tanggal 16 Oktober 2012, disetujui tanggal 12 Nopember 2012) Abstrak Tulisan ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektivitas penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menanggulangi kejahatan jasa keuangan di Indonesia. Pertanyaan dan masalah ini muncul karena dalam Undang-Undang Otoritas jasa Keuangan ada Penyidik OJK yang mempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana OJK yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Padahal sudah ada penyidik lain yang mempunyai kewenangan untuk menyidik, yaitu Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Kerangka teoritis bertolak dari pemikiran Aristoteles yang mengemukakan tentang tujuan hukum untuk mencapai keadilan juga stuffen theory dari Hans Kelsen. Metode penulisan adalah yuridis normatif, dengan mempelajari peraturan perundangundangan, baik yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuan hukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan dengan Otoritas Jasa Keuangan. Hasilnya berupa aspek yuridis dituangkan dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah : Akan terjadi tumpang tindih antara penyidik OJK dengan Penyidik Jaksa, Polisi dan KPK, baik dalam penyidikan tindak pidana umum maupun khusus/korupsi, tentang efektivitas dari penyidik OJK harus dibuktikan di masa yang akan datang. Kata Kunci: Penyidik, jasa keuangan, efektivitas, tumpang tindih Abstract The purpose of this paper is to answer the question how the effectiveness of the investigator the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) in tackling crime financial services in Indonesia. Questions and problems arise because the law there Investigator Financial services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) which has the authority to investigate criminal Financial services Authority (Otoritas Jasa Keuangan / OJK) covering banking, capital markets, insurance, pension funds, financial institutions and other financial institutions. Whereas other investigators already has the authority to investigate, namely Attorney, Police and Corruption Eradication Commission (KPK). Theoretical framework departed from the Aristotle argued about the purpose of the law to achieve justice also stuffen theory of Hans Kelsen. This paper used the normative study, by studying the legislation, either in the statute itself and is in the literature / science books of law, especially laws relating to the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK). The result is a juridical aspects outlined in the form of descriptive analytical. The conclusions of this paper are: There will be an overlap between the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) investigator with the Attorney Investigator, Police and the Corruption Eradication Commission (KPK), both in general and criminal investigations special crime / corruption, on investigating the effectiveness of the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan /OJK) investigator to be proven in the future to come. Keywords: Investigator, financial services, effectiveness, overlap.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Masalah Penyidik... (Wahyu Wiriadinata) 23
I.
PENDAHULUAN
Dalam rangka membangun perekonomian nasional yang tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan keseimbangan di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan ekonomi nasional harus diwujudkan dengan menyeluruh dan bisa menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor nyata. Salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh kegiatan yang menjalankan fungsi perantara bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional. Globalisasi ekonomi telah menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan 24
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
lembaga jasa keuangan lainnya, agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Otoritas Jasa Keuangan diperlukan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan yang mandiri/ independen dilandaskan asas-asas : - Independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku; - Kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; - Kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum; - Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; - Profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan; - Integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan - Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Di Indonesia peran jasa keuangan pernah mengalami masa yang dinilai tidak melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan, malah merugikan masyarakat dan negara, sebagaimana yang terjadi pada kasus/perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus BLBI merupakan masalah yang cukup mengguncangkan kondisi perbankan dan perekonomian Indonesia yang berimbas ke masalah politik dan hukum. Dalam kasus BLBI ini yang berawal dari 1997 banyak melibatkan para pejabat tinggi dari mulai Presiden Soeharto, Menteri Perekonomian dan Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, Pejabat Tinggi Bank Indonesia termasuk Anggota DPR masa jabatan 1999-2004 yang menangani JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Bidang Ekonomi dan Keuangan. Kasus ini bermula pada Agustus 1997 ketika pemerintahan rejim Soeharto melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik lalu belanja dollar dalam jumlah yang sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dan menguras dana masyarakat. Pada 1 September 1997 Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali, kemudian muncul isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valuta asing. Hal ini menimbulkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional goyah, sehingga terjadi rush. Atas fenomena ini, pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang sakit dimerger atau dilikuidasi. Kebijakan yang berupa kredit ini dinamakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada 1 November 1997 ada 16 bank yang dilikuidasi, pada tanggal 31 Desember 1997 Bank Indonesia mulai membuka dan mengucurkan aliran dana besar-besaran ke bank-bank yang saat itu mengalami masalah keuangan yang nilainya mencapai kurang lebih 600 triliun. BLBI senilai kurang lebih 600 triliun itu ternyata oleh bank penerima bantuan malah diselewengkan, sehingga menjadi masalah pidana, menjadi perkara tindak pidana korupsi yang penanganannya dilakukan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Ada beberapa perkara BLBI ini yang melibatkan Bank besar yang perkaranya telah diputus dan dinyatakan para pimpinan bank tersebut terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Akan tetapi perkara yang lainnya yang melibatkan konglomerat kakap ternyata perkaranya oleh Kejaksaan Agung dihentikan penyidikannya.
Masalah Penyidik... (Wahyu Wiriadinata) 25
Akan tetapi terhadap penghentian penyidikan tersebut, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia mengajukan praperadilan. Pada tanggal 6 Mei 2008 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding. Persoalannya terus menjadi polemik di antara para aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK), pemerintah dan para politisi di Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi yang tidak menentu ini jelas merugikan masyarakat konsumen pengguna jasa keuangan (perbankan) dan negara. Demikian pula kasus Bank Century berawal dari kegagalan bank tersebut dalam memenuhi prefund kliring (transaksi antar bank) di Bank Indonesia pada 13 November 2008, seperti yang diakui oleh manajemen bank tersebut. Dalam pengakuannya, Manajemen Bank Century menyampaikan bahwa bank tersebut hanya terlambat 15 menit saat harus memenuhi dana prefund kliring sebesar Rp. 5 miliar yang seharusnya ditransfer pada pukul 08.00 WIB. Sehingga manajemen Bank Century mengumumkan bahwa pihaknya mengalami kalah kliring karena tingginya intensitas transaksi dana masuk dan dana keluar nasabah sehubungan dengan ketatnya likuiditas saat ini. Pada saat yang bersamaan, Muliaman D Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengaku tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. Dia mengatakan semua bank, baik besar maupun kecil, saat ini dalam pengawasan BI agar persoalan likuiditas ini bisa dikendalikan secara baik. Pada 21 November 2008, akhirnya Gubernur Bank Indonesia Boediono mengumumkan bahwa BI melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) 26
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
memutuskan pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Meskipun Bank Indonesia menyadari bahwa kondisi kesehatan Bank Century dalam keadaan buruk, LPS meminta nasabah tak perlu panik karena lembaga tersebut akan menjamin seluruh kebutuhan likuiditas Bank Century dengan alokasi dana sebesar Rp. 1 triliun. Berdasarkan data LPS, suntikan dana yang telah dikucurkan oleh lembaga tersebut kepada Bank Century total dana yang dikucurkan adalah Rp. 6,77 triliun. Bukti ketidak-beresan manajemen Bank Century dalam menjalankan operasionalnya semakin terlihat ketika ditetapkannya status tersangka kepada mantan Direktur Utama Bank Century, Hermanus Hasan Muslim pada 27 November 2008. berdasarkan pemeriksaan penyidik Polisi, Hermanus telah melanggar tindak pidana perbankan. Hermanus terbukti telah menjalankan permintaan dari tersangka sebelumnya yaitu Robert Tantular. Kasus Bank Century ternyata tidak sekedar masalah internal, ternyata dugaan atas lemahnya pengawasan dan koordinasi antara Bank Indonesia dan Bapepam-LK terbukti dengan mencuatnya masalah penggelapan dana investasi PT Antaboga Sekuritas di Bank Century. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1989 ini diadukan para nasabah ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Beberapa manajemen perusahaan itu diduga menggelapkan uang milik investor. Kerugian sementara yang diderita para investor adalah Rp. 233 miliar. Kerugian ini, menurut Polisi kemungkinan akan bertambah. Kisruh di Antaboga berawal dari kasus yang terjadi di PT. Bank Century Tbk, ketika operasional Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ratusan nasabah Antaboga mendatangi kantor
perusahaan tersebut. Mereka ingin menarik dananya yang diinvestasikan di reksadana. Pasalnya, produk investasi yang diterbitkan Antaboga, dipasarkan oleh Bank Century. Nasabah Antaboga kebanyakan adalah nasabah Bank Century. Mereka diminta menandatangani sertifikat reksadana di kantor Bank Century. Dengan adanya kasus Bank Century yang sekarang berubah nama menjadi Bank Mutiara telah ada pimpinan Bank Century yang dipidana, akan tetapi kasus yang lain yang kerugian negaranya lebih besar dan melibatkan para petinggi dan penguasa di Indonesia, kasusnya belum terselesaikan dengan tuntas. Adapun kasus pencucian uang yang merugikan konsumen jasa keuangan di masyarakat antara lain kasus Dhana Widyatmika dijerat dengan Pasal 55 ayat 1, Pasal 3 dan 4 UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dhana Widyatmika diduga memiliki berbagai usaha untuk melakukan pencucian uang, antara lain memiliki perusahaan PT. Mitra Modern Mobilindo (jual beli mobil), PT. Bangun Bumi Persada (real estate), PT. Trisula Artamega (perdagangan); memiliki beberapa kapling tanah senilai Rp. 4,5 miliar, minimarket dan peternakan ayam. Ditemukan dalam satu rekening terdapat aliran dana senilai Rp. 97 miliar. Dhana diduga memiliki kekayaan senilai Rp. 60 miliar. Kasus Dhana Widyatmika ini sekarang sedang ditangani oleh penyidik Kejaksaan Agung RI, akan tetapi kasus lain yang terkait yang melibatkan para pejabat tinggi di Departemen Keuangan dan nilai pencucian uangnya lebih dari kasus Dhana, nampaknya belum disentuh oleh aparat penegak hukum. Untuk menjawab, menyelesaikan dan mencegah kasus-kasus tersebut di atas tidak JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
terulang kembali. Pemerintah dan negara telah mengambil langkah-langkah pencegahan, antara lain dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagai pelengkap atau menyempurnakan peraturan perundangundangan yang mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan undang-undang OJK yaitu undang-undang tentang Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tersebut secara khusus diberikan wewenang kepada penyidik OJK untuk melakukan penyidikan terhadap kejahatan OJK. Undang-undang tentang Bank Indonesia mempunyai fungsi dan tujuan antara lain melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan di masyarakat, walaupun setelah sekian lama undangundang tentang Bank Indonesia berlaku, perlindungan terhadap konsumen tetap lemah, dengan indikasi beberapa kasus seperti yang telah dibeberkan di atas. Selain itu dengan lahirnya UndangUndang tentang otoritas jasa keuangan, dimana otoritas jasa keuangan mempunyai fungsi juga tentang pengawasan terhadap perbankan, sedangkan dalam undangundang Bank Indonesia Pasal 8 c : Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut : c. mengatur dan mengawasi Bank. Dengan demikian terjadi tumpang tindih dalam pengawasan terhadap OJK khususnya di sektor Perbankan. Begitu pula tentang penyidik OJK dalam menemukan problema yang sama di masa yang akan datang, sebab akan terjadi over lap dengan penyidik yang ada yaitu penyidik Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Dari uraian tersebut di atas muncul pertanyaan yang perlu dilakukan pengkajian yaitu : Sejauh mana efektivitas dari penyidik OJK dalam menanggulangi kejahatan Jasa Keuangan di Indonesia. Masalah Penyidik... (Wahyu Wiriadinata) 27
Untuk mengurai pertanyaan di atas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, digunakan metode penelitian, yaitu penelitian hukum normatif/yuridis normatif, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data primer berupa undang-undang, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. Adapun guna tulisan ini ialah mudahmudahan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
LANDASAN PEMIKIRAN Aliran hukum alam didasari oleh pemikiran filosofis dari Aristoteles, dijelaskan bahwa pengertian adil menurut undang-undang dan adil menurut alam. Hukum alam berlaku di semua ruang dan sifatnya tidak tertulis. Lebih lanjut ditegaskan hubungan antara hukum alam dengan hukum positif. Aristoteles mengemukakan bahwa derajat hukum alam itu lebih tinggi dibandingkan hukum positif. Hukum alam itu melengkapi kekurangankekurangan yang dialami oleh hukum positif. Hukum alam membawa kelayakan, melunakkan satu ketentuan umum yang terdapat dalam setiap peraturan perundangundangan dengan memperhitungkan keadaan-keadaan tertentu dari tiap-tiap permasalahan. Namun demikian tidak berarti bahwa adil menurut kepatutan adalah tidak adil menurut undang-undang, akan tetapi kepatutan memberikan kesempurnaan.1
1
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, Jakarta,1972, hal. 14.
28
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Pasca Aristoteles pemikiran tentang hukum alam atau hukum kodrat berkembang lebih jauh. Thomas Aquinas adalah salah satu pemikir hukum alam pasca Aristoteles yang pemikirannya lahir pada abad pertengahan yang cukup besar pengaruhnya terutama di kalangan kaum gereja Katholik bahkan sampai abad ke 21 ini, hal tersebut terlihat pada pembaharuan filsafatnya oleh pakar-pakar hukum khususnya yang beragama Katholik yang disebut aliran NeoThomistis. Berbeda dengan pandangan M.T. Cicero, Thomas Aquinas sebenarnya membedakan antara enam macam hukum, yaitu : hukum abadi (lex aeterna), hukum kodrat (lex naturalis), hukum manusia (lex humana), hukum Ilahi (lex devina), hukum yang diberikan oleh gereja kepada kaum beriman, kristiani (lex ecclesiastica), dan hukum nafsu, dorongan nafsu-nafsu dalam diri kita yang merangsang kita untuk berdoa (lex concupiscential). Pada abad pertengahan tersebut hukum alam dicirikan dengan bersumberkan dari rasio Tuhan. Selanjutnya hukum alam dalam keragaman dan manifestasinya terlihat pada jaman Aufklarung (pencerahan), Thomas Hobbes mengartikan hukum alam sebagai susunan aturan--aturan yang harus dipakai sebagai pedoman bagi kemajuan seseorang menurut cita-cita rasionalnya, jika ia dapat mengetahui dengan sempurna semua keadaan yang meliputinya dan sama sekali tidak tergoncangkan oleh perasaan-perasaan yang mendadak dan prasangka--prasangka. Karena itu menurut anggapan sebagian besar manusia benar-benar bertindak demikian, maka aturan-aturan hukum alam secara hipotetis menetapkan syarat-syarat sebagai dasar yang memungkinkan tingkah laku manusia yang pokok untuk mendirikan suatu pemerintah yang kokoh. Aturan-aturan tersebut bukanlah menentukan adat nilai, melainkan menetapkan secara sebab-akibat dan ajaran-ajaran hukum dan moral. Selanjutnya Thommas Hobbes berpendapat
bahwa hukum alam fundamentil, yang pertama ialah mencari damai dan mengikutinya, manusia diperintahkan berusaha memperoleh damai dan keadilan, sejalan dengan alam pikiran Aristoeles. Akan halnya pemikiran dari aliran hukum positif / recht positivisme. Aliran positifisme ini sangat mengagungkan hukum tertulis. Aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis.2 Tokoh yang paling berpengaruh dari aliran ini adalah Hans Kelsen. Menurutnya teori hukum murni adalah hukum positif. lni merupakan teori tentang hukum positif umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu, namun ia menyajikan teori penafsiran. Pandangan Kelsen tentang hukum, sangat men-cerminkan ciri positivisnya. Kelsen melihat hukum positif sebagai satu--satunya hukum, dan hukum harus benar--benar dipisahkan dari segala pengaruh anasiranasir non hukum, seperti moral, politis, ekonomis, sosiologis, dan sebagainya. Kelsen selain dikenal sebagai pencetus teori hukum murni tapi berjasa mengembangkan teori jenjang (stuffen theory) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah kedudukannya sema-kin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi di sebut oleh Kelsen dengan Grundnorm atau norma dasar. Pandangan semacam ini sudah tidak relevan lagi dalam masa modern kini. Tak mungkin kita menjadikan hukum sebagai sesuatu “benda otonom” yang berdiri 2
Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergaulan Kemanusiaan. Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 77.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
terlepas sama sekali dari pengaruh ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hukum tidak berada dalam ruangan hampa, tapi dia selalu berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya lebih-lebih di abad globalisasi ini. Demikianlah dalam Undang-Undang OJK yang mengatur tersendiri tentang penyidikan yaitu dengan membentuk dan memberi kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana OJK kepada penyidik tersendiri di luar penyidik yang telah ada sebelumnya, yaitu Jaksa, Polisi dan KPK dilakukan dengan maksud untuk adanya keseimbangan antara tujuan hukum untuk mencapai keadilan dan tujuan hukum untuk mencapai kepastian hukum.
II. PEMBAHASAN Dari landasan pemikiran di atas, maka kita dapat mengambil satu makna, sesungguhnya hukum itu terbentuk tidak lain adalah untuk menciptakan keadilan di samping adanya kepastian hukum. Tentang hukum yang bertujuan mencapai keadilan di masyarakat itu dilukiskan oleh Muchtar Kusumaatmadja dalam definisi hukumnya : Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai keadilan, juga meliputi lembaga serta proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut sebagai kenyataan di masyarakat.3 Dari definisi di atas Muchtar Kusumaatmadja menggaris bawahi bahwa sebelum tercapainya keadilan harus diciptakan dulu ketertiban di masyarakat, tidak mungkin ada keadilan kalau masyarakat tidak tertib. Artinya masyarakat harus mentaati hukum, baik hukum materil maupun hukum formil. Yang dimaksud dengan ketertiban di sini termasuk ketertiban dalam proses peradilan. Mulai penyidikan, 3
P. Sitorus, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab), Pasundan Law Faculty, Alumnus Press, Bandung, 1998, hal. 94.
Masalah Penyidik... (Wahyu Wiriadinata) 29
b. Pembantu penyidik yang dijabat oleh pejabat Kepoli-sian Negara, yang berpangkat Sersan Dua sampai de-ngan Sersan Mayor dan anggotaanggota kepolisian khusus yang atas usul Komandan atau Kepala Ja-watan Instansi Sipil pemerintah diangkat oleh Kapolri.
pra-penuntutan, penuntutan, persidangan dan eksekusi. Termasuk di dalamnya proses dan penyelesaian perkara tindak pidana Otoritas Jasa Keuangan. Tentang penyidikan, pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan, penyidik adalah peja-bat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan. Pengangkatan untuk menjabat jabatan sebagai penyidik Polisi adalah berdasarkan penunjukan oleh Kapolri. Wewenang untuk menunjuk penyidik tersebut dapat di-limpahkan oleh Kapolri. Se-dangkan penyidik yang dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil, pengangkatannya dilakukan oleh Menteri atas usul Departe-men yang membawahi Pegawai Negeri Sipil tersebut. Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kapolri. Dan wewenang pengangkatan itu dapat dilim-pahkan oleh Menteri Kepada Pejabat yang ditunjuknya. (Pasal 2 (6) PPRI No. 27/1983). Pengangkatan seseorang menjadi penyidik pembantu, yang berasal dari kepolisian diangkat oleh Kapolri atas usul dari komandan atau pimpinan kesatuannya masing-masing. Sedangkan pengangkatan Penyidik Pemban-tu yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil dapat dilimpahkan kepada pejabat Kapolri. (1) Penyidikan adalah tindakan selama pemeriksaan penda-huluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pida-na; (2) Penyidikan dilakukan oleh: a. Penyidik yang dijabat oleh pejabat Kepolisian Negara yang berpangkat sekurang-kurangnya Pembantu Let-nan Dua; 30
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Yang dimaksud dengan Polisi Khusus, adalah pejabat-pe-jabat dari instansi/jawatan sipil tertentu yang diberi kewe-nangan Kepolisian khusus oleh undang-undang. Selain itu ada juga penyidik tindak pidana tertentu, seperti penyidik tindak pidana tertentu/khusus yaitu penyidik Jaksa dan KPK yang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus korupsi. Demikianlah Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur tentang acara sendiri khususnya perihal penyidikan. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan akankah terjadi penyidikan oleh penyidik OJK di dalam tindak pidana yang sama, dimana hak dan kewenangan penyidikan pada tindak pidana OJK dipunyai juga oleh penyidik lain yang telah ada. Keadaan ini nampaknya akan tidak selaras dengan integrated criminal justice system. Integrated criminal justice system mempunyai pengertian adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana. Salah satu pilar dari sistem penanganan terpadu, adalah harus adanya koordinasi dari para penyidik.4 Dengan adanya penyidik Otoritas Jasa Keuangan, hal ini akan menimbulkan rebutan perkara dalam penyidikan tindak pidana OJK dan akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang berujung kepada adanya nebis in idem. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang mandiri dan independen serta 4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kesatu, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 61.
bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di sektor perbankan, pasar modal, pengasuransian, dana pensiun, lembaga pembayaran dan lembaga keuangan lainnya. Dengan demikian termasuk penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, perdagangan obat bius, perdagangan senjata dan manusia, penyelundupan, kejahatan di bidang perpajakan, pasar modal dan kejahatan di industri asuransi. Itu dapat disidik oleh penyidik OJK apabila terindikasi adanya kejahatan. Dengan demikian penyidik OJK mempunyai kewenangan yang besar selain berwenang melakukan penyidikan yang tidak dipunyai oleh penyidik lain. Dalam hal penyidikan terhadap tindak pidana jasa keuangan undang-undang OJK mengaturnya dalam Pasal 49 yang berbunyi: (1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan; b. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; c. melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; d. memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; f. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan; g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi; h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; i. meminta bantuan aparat penegak hukum lain; j. meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat Masalah Penyidik... (Wahyu Wiriadinata) 31
dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; k. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; l. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan m. menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan dan Jaksa wajib menindaklanjuti dan memutuskan tindak lanjut hasil penyidikan sesuai kewenangannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya hasil penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Tentang kewenangan penyidikan yang dipunyai oleh penyidik OJK ini, seperti penyidikan terhadap semua tindak pidana yang menyangkut jasa keuangan seperti diatur dalam sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan. Sementara terhadap tindak pidana perbankan telah ada penyidik sebelumnya yaitu pejabat Polisi Negara, Jaksa dan KPK.
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian Polisi sebagai penyidik termasuk penyidik mempunyai hak dan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan dan lain-lain). Begitu juga Kejaksaan. Jaksa sebagai penyidik mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, ini diatur daterhadap tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 6 c, yang berbunyi : Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas : Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan demikian penyidik KPK mempunyai kewenangan pula di sektor perbankan dan sektor-sektor otoritas jasa keuangan lainnya, apabila di sektor-sektor itu terindikasi adanya tindak pidana korupsi. Dengan adanya kewenangan penyidikan dari penyidik OJK, maka akan terjadi diverifikasi penyidik dan akan membuat makin tumpang tindihnya penyidikan dalam tindak pidana tertentu yaitu tindak pidana yang diatur di luar KUHAP.
Polisi sebagai penyidik tindak pidana – perbankan – diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 6 ayat (1) a. Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia, selain itu Polisi sebagai penyidik diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) a yang berbunyi :
Kasus BLBI yang tak kunjung tuntas, juga kasus Bank Century yang sudah ditangani oleh penyidik KPK, Kepolisian dan Kejaksaan sampai hari ini belum mengakomodir aspirasi masyarakat secara tuntas. Kasus mutakhir tentang tumpang tindihnya penyidikan, adalah dalam kasus/ perkara simulator SIM yang sama-sama ditangani oleh penyidik yaitu penyidik Kepolisian dan Penyidik KPK.
Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
Akankah penyidik OJK efektif melaksanakan pemberantasan tindak pidana
32
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
di bidang OJK. Pertanyaan pada awal tulisan ini harus dibuktikan di waktu yang akan datang, sebab kewenangan penyidikannya pun baru akan dijalankan.
III. PENUTUP 1.
2.
Untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan jasa keuangan, maka dibuatlah undang-undang tentang jasa keuangan, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Adapun tugas dan kewenangan OJK adalah antara lain melakukan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, selain daripada itu OJK juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana jasa keuangan, yaitu dengan membentuk penyidik tersendiri yaitu penyidik OJK di luar penyidik yang telah ada seperti Penyidik Polisi, Jaksa dan KPK. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dimana di dalamnya mengatur tentang penyidik tersendiri, maka dimungkinkan akan terjadi tumpang tindih penyidikan. Baik penyidikan tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Sebab terhadap tindak pidana yang terjadi dalam Otoritas Jasa Keuangan diatur oleh ketentuan undang-undang yang ada dan telah ada penyidik lain yang berhak melakukan penyidikannya.
Polisi sebagai penyidik tindak pidana – perbankan – diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 6 ayat (1) a. Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia, selain itu Polisi sebagai penyidik diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) a : Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian Polisi sebagai penyidik termasuk penyidik mempunyai hak dan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan dan lain-lain). Begitu juga Kejaksaan. Jaksa sebagai penyidik mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 ayat (1) d. Di bidang Pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang. Jadi apabila terindikasi adanya tindak pidana korupsi di sektor jasa keuangan (sektor perbankan dan lainlain) maka Jaksa berwenang melakukan penyidikan. Begitu juga penyidik KPK, selaku penyidik mempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 6 c) : Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas : Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan demikian penyidik KPK mempunyai kewenangan pula di sektor perbankan dan sektor-sektor otoritas jasa keuangan lainnya, apabila di sektorsektor itu terindikasi adanya tindak pidana korupsi. 3. Tentang efektivitas dari penyidik Otoritas Jasa Keuangan harus dibuktikan Masalah Penyidik... (Wahyu Wiriadinata) 33
di masa yang akan datang. Karena kewenangan yang dipunyai oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan sampai saat ini belum dilaksanakan. Oleh karena itu hasil dan efektivitasnya belum dapat dievaluasi dan diukur.
DAFTAR PUSTAKA Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kesatu. Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. 1996, Saleh, Roeslan, Mengadili Sebagai Pergaulan Kemanusiaan. Jakarta : Aksara Baru, 1983.
34
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Sitorus, P., 1998, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, Pasundan Law Faculty. Bandung. Alumnus Press. Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta, Bharata, 1972, Undang-Undang : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, tentang Otoritas Jasa Keuangan.
DISKRESI DALAM PERSPEKTIF HUKUM (The Discretion of Legal Perspective) Oleh : Niniek Suparni Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I. Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email :
[email protected] (Diterima tanggal 2 Nopember 2012, disetujui tanggal 14 Nopember 2012) Abstrak Istilah kebijaksanaan dan/atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy, biasa dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebagai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis (hubungan sebab akibat) untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Hukum dan kebijakan publik yang identik merupakan kebijakan pemerintah saling terkait satu dengan yang lain, kedua terminologi diartikan sebagai hukum positif yang berlaku pada sebuah Negara dan ketika penerapan hukum (rechtsoepassing) dihubungkan dengan implementasi kebijakan pemerintah maka keduanya pada dasarnya saling tergantung. Penerapan hukum itu sangat memerlukan kebijakan publik untuk mengaktualisasikan hukum tersebut di masyarakat, sebab umumnya produk-produk hukum yang ada umum hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan karena cakupannya yang luas dan bersifat nasional maka tidak jarang produk-produk hukum atau undang-undang yang ada itu tidak mampu meng-cover seluruh dinamika masyarakat yang amat beragam di daerah tertentu. Demikian pula sebuah implementasi kebijakan publik tidak dapat berjalan dengan baik bila di dalam penyelenggaraannya tidak dilandasi dasar-dasar hukum yang kuat. Kata kunci : Diskresi, Prespektif Hukum dan Implementasi Kebijakan Abstract Term policies and / or policy translated from the policy, usually associated with the decision of the government, because the government has the authority or power to direct the public, and responsible for serving the public interest. The difference in policy with the words of wisdom came from a desire to distinguish the term policy as the government’s decision of a general nature and is applicable to all members of the community, in terms of discretion, which means “god,” a decision that is casuistry (causal link) to something a given time. Law and public policy is the policy of the government are identical interlinked with each other, the two terms is defined as the law of a country and when the application of the law (rechtsoepassing) associated with the implementation of government policies that are both basically interdependent. Application of the law is in need of public policy to actualize the law in society, because generally the products of existing common law only regulates matters of a general nature and because its scope is broad and it is not uncommon to national products or statute law that there was not able to cover the entire dynamic of a very diverse community in a particular area. Similarly, a public policy implementation may not run properly if its implementation is not based on the fundamentals of a strong legal. Keywords :Discretion, Perspective of Law, Implementation of policy
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Diskresi Dalam... (Niniek Suparni) 35
I.
PENDAHULUAN
Terjadinya perkembangan zaman disertai tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, peran negara menjadi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan warganya. Peranan negara yang semakin besar dan luas memasuki hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat serta beranekaragamnya tantangan yang dihadapi, yang berkembang dengan cepat dan menuntut segera penyelesaian, untuk itu pemerintah memerlukan Freis Ermessen atau discretionaire.1 Freis Ermessen adalah wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting yang mendesak, yang datang secara tiba-tiba di mana belum ada peraturannya. Kebijaksanaan itu diambil tanpa dilandasi peraturan umum, yang memberi kewenangan kepada administrasi negara untuk membuat kebijaksanaan. Yang dalam praktek sering dituangkan dalam berbagai bentuk, seperti: surat edaran, pedoman, pengumuman, surat keputusan yang bersifat abstrak dan umum, serta bahkan dalam bentuk peraturan yang disebut pseudo-wet geving (perundang-undangan semu). Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas hukum, lembaga Freis Ermessen atau dicretionaire menimbulkan berbagai dilema dan persoalan. Bagi suatu negara yang didasarkan atas hukum, mengharuskan agar setiap kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah didasarkan atas wewenang undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi sesuai dengan asas legalitas.2 1
2
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 12 Philipus M. Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gajah Mada Press, Yogyakarta, 1993, hal. 152 et seq
36
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Freis Ermessen atau dicretionaire menjadi salah satu sumber penyebab timbulnya sengketa antara pejabat tata usaha negara dengan warga, utamanya dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (beschikking). Freis Ermessen yang dilaksanakan dan dituangkan dalam suatu bentuk keputusan, jika menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata, dapat dinilai sebagai keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (onrechtmatige overheidsdaad) atau dinilai sebagai perbuatan (keputusan) yang dikeluarkan atas dasar sewenang-wenang (willikeur atau a bus de droit), atau penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir). Akibat penggunaan Freis Ermessen dapat dinyatakan bertentangan dengan hukum bahkan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak manusia, sehingga menimbulkan kerugian bagi warga. Untuk itu kehadiran hukum administrasi dan asasasas umum pemerintahan yang baik serta peradilan administrasi, menjadi sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan individu dan menegakkan serta melindungi hak-hak asasi manusia, terlebih bagi negara yang menganut paham rechtsstaat yang dibangun di atas falsafah indivudualisme dan liberalisme. Di beberapa negara yang menganut asas oportunitas, telah berkembang pengertian penyampingan perkara tidak hanya berdasar alasan kepentingan umum, namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi penuntutan. RM Surachman dengan mengutip Wilcox, menyatakan bahwa pedoman diskresi penuntutan itu harus seimbang dengan kedudukan Jaksa yang dominan. Akan tetapi kalau pedoman yang dalam penjabarannya terlalu kaku, diskresi akan berkurang artinya, mengingat bahwa adalah “diskresi itu adalah kebebasan menerobos aturan” dan dilakukan dengan
tidak keluar dari “aturan bernalar dan aturan keadilan.”3 Diskresi penuntutan akan membuka kesempatan bagi Jaksa untuk menyaring kasus-kasus pidana lebih efektif sebelum dilakukan penuntutan dengan melakukan penangguhan penuntutan, sehingga pelaku dapat merehabilitir dirinya sendiri. Apabila kewenangan ini didistribusikan kepada Jaksa Penuntut Umum di Indonesia, niscaya akan lebih dapat dijamin terciptanya asas peradilan pidana secara cepat, sederhana dan biaya ringan yang bertumpu pada keadilan dan sangat didambakan dalam reformasi hukum dan era globalisasi. Kewenangan dimaksud selaras dengan sistem peradilan pidana yang diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya penuntutan tidak dilakukan oleh Kepolisian, kecuali sebagaimana maksud Pasal 205 KUHAP sehingga Single Prosecution System di Indonesia dapat diwujudkan secara utuh. Salah satu karakteristik Single Prosecution System adalah kewenangan diskresi penuntutan, di samping karakteristik lain seperti: Kejaksaan independen, Kepolisan tidak melakukan penuntutan, pimpinannya tidak ditetapkan berdasarkan pertimbangan politik dan tidak berada di bawah kontrol politik.4 Penyampingan perkara atau diskresi penuntutan pada umumnya berkaitan dengan upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process), sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP. Lebih jauh jangkauannya dikenal pula yang disebut penuntutan dengan syarat (voorwaardelijke vervolging).5 3
4 5
RM Surachman, Mozaik Hukum Jilid I,CV Sumber Jaya Ilmu, Jakarta, 1996, hal. 76 Ibid., hal. 65 Satochid Kartanegara. Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan Kuliah. Tanpa Tempat, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, hal.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
II. KEKUASAAN, KEWENANGAN DAN KEBIJAKSANAAN / KEBIJAKAN (PUBLIK) A. Kekuasaan Kekuasaan mengekspresi dan mewujudkan kemauan dari seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan pihak yang lain. Oleh karena itu, struktur kekuasaan selalu merupakan relasi antara sekurang-kurangnya dua pribadi atau dua kelompok yang tidak sama. Pada prinsipnya para ahli pikir/ilmuwan, 6 menekankan pada aspek dominasi (dominance) dan bersifat paksaan (coercion), dan ditujukan kepada tujuan tertentu. Konsep kekuasaan dan hukum lazimnya dibicarakan sebagai satu kesatuan. Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu pihak dalam bidang tertentu. Kekuasaan bersumber pada hukum, yaitu ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi.7 Setiap kekuasaan (termasuk kekuasaan negara) harus memiliki otoritas atau wewenang otoritas, atau wewenang adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang diorganisir. Di sini penekanannya pada hak dan bukan pada kekuasaan belaka. Suatu kekuasaan tanpa otoritas atau wewenang, merupakan kekuasaan yang tidak sah, oleh karena itu suatu kekuasaan harus memperoleh pengesahan atau pengakuan dari masyarakat agar lahir suatu otoritas atau wewenang. Negara sebagai organisasi kekuasaan juga memiliki kekuasaan. Kekuasaan negara 290; dan Roeslan Saleh, Stelsel Hukum Pidana Indonesia, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 1962, hal.31 6 Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 20 7 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, tanpa tahun, hal. 4
Diskresi Dalam... (Niniek Suparni) 37
dijalankan sesuai hukum yang berlaku (legalitas), diakui oleh masyarakat (legitimasi demokratis), dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral).8 Pada kekuasaan negara yang berdasarkan hukum, kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan digunakan sesuai undang-undang yang berlaku, untuk kepentingan masyarakat. Kewenangan adalah kekuasaan formal (formal power), dianggap mempunyai wewenang (authority) sehingga berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturannya, merupakan kekuasaan formal yang lahir dari hukum publik, yang memberikan dasar untuk melakukan perbuatan publik. 9 Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan jabatan (ambt). Jabatan melalui 3 (tiga) sumber yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat akan melahirkan kewenangan (bevoegdheid, legal power, competence).10 Wewenang atribusi (attributie) merupakan wewenang baru yang diciptakan oleh peraturan perundang-undangan dan menciptakan suatu wewenang yang orisiner. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang Undang Dasar. Legislator yang berkompeten dalam memberikan atribusi wewenang itu dibedakan atas:11 Original legislator, misalnya di negara Republik Indonesia adalah MPR, DPR, dan Presiden, serta DPRD dan Kepala Daerah; Delegated legislator, misalnya Presiden berdasarkan ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah. 8
Soehino, Ilmu Negara, Liberty. Yogyakarta,1986, hal. 141 et seq Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 73,74 10 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta, 1993, hal. 137 11 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 91 9
38
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Delegasi (delegatie) adalah penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, penyerahan demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan hukum. 12 Jadi merupakan pelimpahan wewenang yang telah ada oleh Badan atau Pejabat Administrasi yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif, kepada Badan atau Pejabat Administrasi lainnya. Mandat atau pemberian kuasa (mandaatsverlening) merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, namun berbeda dengan delegasi. Mandataris atau siapa yang diberi mandat, melaksanakan kekuasaan tidak bertindak atas nama sendiri. Mandataris bertindak atas nama pemberi kuasa, sehingga tidak memiliki tanggung jawab sendiri. Sebetulnya tidak terjadi pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang, sehingga tidak terjadi perubahan mengenai wewenang yang telah ada. Yang ada hanya suatu hubungan intern antara atasan dan bawahan.13 B. Kewenangan Pemerintah
dan
Wewenang
Kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) maupun dari kekuasaan eksekutif administratif (pemerintah). Sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenai sesuatu alat tertentu atau bidang tertentu saja. Kewenangan merupakan kumpulan w e w e n a n g - w e w e n a n g (rechtsbevoegdheden), misalnya: wewenang 12
Andrea Fockema, Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, Terjemahan Saleh Adiwinata, Binacipta, Bandung, 1983, hal. 91 13 Indroharto, op.cit., hal 66
menandatangani suatu surat keputusan oleh seorang pejabat atas nama Menteri; sedangkan kewenangannya tetap berada di tangan Menteri. Menurut Prajudi Atmosudirdjo 14 disebut dengan delegasi wewenang, sedangkan menurut S.F.Marbun15 yang terjadi adalah pemberian mandat, di mana tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (Menteri sebagai mandans). Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan undang-undang, berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Sifat wewenang pemerintahan antara lain expressimplied, jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.16 Sedangkan “isinya” dapat bersifat umum (abstrak), misalnya membuat suatu peraturan dan dapat pula bersifat konkrit dalam bentuk suatu keputusan atau suatu rencana, misalnya membuat Rencana Tata Ruang serta memberikan nasehat.17 Dikenal pula adanya wewenang pemerintahan bersifat fakultatif, yaitu apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat dipergunakan. Badan/pejabat tata usaha negara tidak wajib menggunakan wewenangnya, karena masih ada pilihan dan pilihan itu hanya dapat dilakukan setelah keadaan atau hal-hal yang ditentukan dalam peraturan dasarnya dipenuhi. Untuk mengetahui apakah wewenang bersifat fakultatif atau tidak, tergantung peraturan dasarnya. Wewenang pemerintahan yang bersifat ‘terikat’ (gebonden bestuur) yaitu, apabila 14
S. Prajudi Atmosudirdjo, op.cit., hal. 78 S.F. Marbun, op.cit., hal. 154 16 Indroharto, op.cit., hal. 70 17 Ibid. 15
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
peraturan dasarnya menentukan isi suatu keputusan yang harus diambil secara terperinci, sehingga pejabat tata usaha negara tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan ketentuan secara harfiah seperti dalam rumusan peraturan dasarnya. Misalnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, 18 atau ketentuan yang berbunyi: Pejabat yang berwenang ‘wajib’ memberi cuti pada bawahannya. Berbeda dengan wewenang yang bersifat bebas (discretioner), di mana peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar atau bebas kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, untuk menolak atau mengabulkan dengan mengaitkannya pada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 jo. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, menentukan: “Pejabat yang berwenang memiliki wewenang untuk memberikan cuti kepada bawahannya.” Rumusan ini pada akhirnya meletakkan pemberian wewenang cuti kepada Pejabat Tata Usaha Negara dan pemberian cuti itu diberikan atau tidak, sepenuhnya menjadi wewenang Pejabat Tata Usaha Negara tersebut. 18
Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo - Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, berbunyi sebagai berikut: (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara;(2)Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud sudah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud;(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Diskresi Dalam... (Niniek Suparni) 39
Kebebasan menentukan kebijaksanaan, selalu berarti suatu kebebasan yang relatif menurut undang-undang. Artinya peraturan dasarnya tidak menentukan secara tepat bagaimana bunyi keputusan yang akan dikeluarkan. Namun hal itu tidak boleh diartikan, bahwa penggunaan wewenang demikian dapat dilakukan dengan bebas tanpa berlakunya suatu norma hukum yang harus ditaati. Bagaimanapun bebasnya sifat wewenang pemerintahan yang dirumuskan dalam peraturan dasarnya, di situ juga tetap harus dapat berlaku paling tidak normanorma hukum yang tidak tertulis yang disebut “asas-asas umum pemerintahan yang baik.”19 . Demikian pula adanya sikap pemberian wewenang pembuatan undang-undang kepada pembuat undang-undang yang lebih rendah tingkatannya. Hal ini menurut Struycken dan van Wijck 20 dinamakan terugtred atau “sikap mundur dari pembuat undang-undang.” Dengan sikap terugtred seperti ini berarti pemberian wewenang bebas (discretioner) kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara akan menjadi besar dan luas. Tindakan demikian kecuali mengandung hal positif juga dapat menimbulkan hal-hal negatif. Hal positif antara lain: Badan/Pejabat Tata Usaha Negara akan lebih bebas dan lebih memiliki diferensiasi untuk menyesuaikan sesuatu sesuai keadaan dan situasi nyata dalam masyarakat, dibanding dengan harapan legislatif yang dituangkan dalam undangundang. Sedang segi negatif adanya wewenang bebas (discretioner) dapat mengundang potensi munculnya tindakan détournemen de pouvoir atau willikeur / a bus de droit.
kepada pihak lain yang bukan merupakan badan pemerintahan, misalnya kepada suatu badan hukum perdata (swasta), Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dalam Pertimbangan Hukumnya dalam perkara Nomor 04/G/1991/ PTUN.Mdn, merumuskan bahwa pelimpahan dapat dilakukan asal dipenuhi syarat-syarat tertentu, seperti: (1) Bahwa wewenang atau kebijaksanaan yang dilimpahkan itu menurut ketentuan perundang-undangan adalah wewenang si Pejabat yang dilimpahkan itu; (2) Bahwa perundang-undangan yang mengatur wewenang atau kebijaksanaan itu, bukan peraturan-peraturan yang bersifat gebonden bestuur; (3) Bahwa pelimpahan itu adalah merupakan jalan terbaik untuk mencapai manfaat yang optimal bagi kepentingan umum; (4) Bahwa pelimpahan itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum, maupun jaminan-jaminan perlindungan hukum bagi pencari keadilan; (5) Bahwa sarana dalam Hukum Publik untuk maksud itu belum cukup tersedia. Rumusan pertimbangan hukum Majelis Hakim di atas tetap memuat batasan tolok ukur hukum bagi kemungkinan pengujiannya dari segi rechtmatigheid. Kecuali itu juga memuat ukuran batasan dari segi doelmatigheid-nya, yakni berupa manfaat dan kepentingan umum serta belum tersedianya sarana hukum publik yang mengaturnya.
C. Kebijaksanaan/Kebijakan
Mengenai kemungkinan suatu wewenang atau kebijaksanaan dari Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara dilimpahkan
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science.21 Beberapa penulis besar dalam ilmu
19
21
20
Indroharto, op.cit., hal. 102 S.F. Marbun, op.cit., hal. 156, 157
40
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Yehezkel Dror, Public Policymaking Reexamined, Chandler, San Francisco, 1968, hal. 6-8
ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebagai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat kausitis (hubungan sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan. Seseorang minta “kebijaksanaan” seorang pejabat untuk memperlakukan secara “istimewa” atau secara “istimewa” tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang ada, yang biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy). Secara etimologis kata policy berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
perintah atau administrasi pemerintah. 22 Dalam pengertian umum kata ini seterusnya diartikan sebagai,”…a course of action intended to accomplish some end”23 atau sebagai “…whatever government chooses to do or not to do.”24 Uniknya dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris. Dengan pengertian ini sifat bijak sana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana mungkin tidak pakar dalam sesuatu bidang ilmu, namun memahami hampir semua aspek kehidupan.25 Kalau orang yang cerdas dapat segera memberi jawaban yang tepat atas sesuatu pertanyaan, maka orang yang bijaksana mungkin pada waktu yang sama tidak mau memberikan jawaban, karena yang demikian itu mungkin dianggapnya lebih bijaksana. Jawaban yang bijaksana bukan sekedar dapat menjawab, tetapi juga menjawab dengan tepat waktu, tepat lingkungan dan tepat sasaran. Konotasi ini agaknya sangat relevan dengan kajian ilmu kebijakan, dan jawaban yang demikian itulah yang menjadi obyek studi dari ilmu ini. Di samping itu, kebijaksanaan atau kebijakan (policy) dapat diartikan, baik 22
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998, hal. 1 23 Charles O. Jones, An Introduction to the Study of Public Policy, Belomont, CA, Wadsworth, 1970, hal. 4 24 Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Prentice Hall, N.J, Englewood Cliffs, 1978, hal. 1 25 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, 2004, hal. 7 et seq.
Diskresi Dalam... (Niniek Suparni) 41
secara teoritik maupun praktikal. Secara teoritikal kebijakan (policy) dapat diartikan secara luas (board) maupun secara sempit (narrow). Dari kepustakaan kita dapat mengetahui bahwa policy dalam arti luas (board) merupakan, “…a general pattern of decision and action by governmental authorities that are tied together by a common and general goal to which all of the decisions and action are directed”. Sedangkan “policy” dalam arti sempit (“narrow”) merupakan, “…is a body of principles to guide action. It consists of decisions about the future. It is an authoritative declarations of prescription consisting of: Statutes, An appropriation, A set of rule, An executive order, or A judicial decision reacted by political process. Di samping itu, kebijaksanaan atau kebijakan (“policy”) secara praktikal erat kaitannya dengan hukum positif, yaitu teori hukum positif yang mempunyai objek berupa gejala-gejala dari hukum yang berlaku dalam masyarakat (pada waktu tertentu, mengenai masalah tertentu, dan dalam lingkungan masyarakat/Negara tertentu yang memberikan dasar pemikiran tentang jiwa dalam hukum tersebut). Hubungan antara teori hukum dengan hukum positif dengan demikian merupakan hubungan yang bersifat dialektis, karena hukum positif ditetapkan berdasarkan pada teori-teori hukum yang dianut (pada waktu tertentu, mengenai hal tertentu, dan di masyarakat/Negara tertentu), dan bagaimana dalam pencapaiannya (implementasinya). Ini berarti bahwa hukum positif ditetapkan, berdasarkan pada teori-teori hukum yang dianut. Hukum positif dalam penerapannya (implementasinya) tidak jarang dihadapkan pada suatu gejala yang memaksa untuk dilakukan peninjauan kembali teori-teori hukum yang dianut, dan memperbaharuinya, sehingga mempunyai sifat timbal-balik.26
Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian publik itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum.27 Kebijakan publik merupakan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam mengendalikan pemerintahannya. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, kebijakan publik dan hukum mempunyai peranan yang penting. Pembahasan mengenai hukum dapat meliputi dua aspek: Aspek keadilan menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil di tengah sekian banyak dinamika dan konflik di tengah masyarakat dan Aspek legalitas ini menyangkut apa yang disebut dengan hukum positif yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan Negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.28 Kebijakan pemerintah merupakan wahana dari suatu pemerintah untuk secara rasional menguasai dan mengemudikan aktivitas-aktivitas sosial. Kegiatan kebijakan pemerintahan berwujud dalam kegiatan mengatur dan mengarahkan masyarakat, antara lain dengan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan, perencanaan, aneka intervensi oleh pemerintah terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan lain-lain kegiatan yang sifatnya fundamental. Bagi mereka yang mempelajari kebijaksanaan pemerintah secara tuntas, secara teoritis akan mampu menjadi “policy analyst”, sedangkan secara praktis akan mampu untuk membantu 27
26
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 107 et seq
42
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
http://www.massofa.wordpress.com/kajian ilmu kebijakan dan pengertian kebijakan/13 november 2008.antikorupsi. 28 Edi Wibowo, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal. 18
pemerintah dalam menyusun kebijakankebijakan yang berkualitas. Dalam perjalanan sejarah, munculnya studi tentang kebijakan pemerintah sebenarnya ingin menjelaskan bahwa berbagai peristiwa yang berlangsung dalam suatu pemerintahan bukanlah terjadi secara alami atau sebagai sesuatu yang terjadi menurut proses perkembangan yang normal, tetapi sebenarnya akibat dari aktivitas pemerintah, negaralah yang memberikan warna terhadap berbagai peristiwa tersebut. Artinya kebijakan pemerintahlah yang sebenarnya banyak mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Dengan memahami bahwa kebijakan pemerintah adalah tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah, maka kata pemerintah inilah yang membedakannya dari kebijakan perorangan dan kebijakan kelompok, dalam hal ini kebijakan dibuat untuk mengatur perilaku masyarakat. Jadi ’kebijakan’ merupakan seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk mencapainya. Dalam proses mencapai sasaran, implementasi kebijakan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perumusan kebijakan, birokrasi pemerintah mengimplementasikan kebijakan menjadi program dan proyek. Akan tetapi sering terjadi implementation gap dalam pelaksanaan suatu kebijakan, di mana implementation gap merupakan kondisi adanya suatu perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan hasil atau kenyataan yang dicapai. Bagaimana dengan halnya bila terjadi bahwa suatu kebijakan disalahgunakan ataupun disalahartikan oleh / dalam hal pelaksanaanya? Proses implementasi kebijakan menyangkut perilaku badan-badan JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
administrasi yang kompeten terhadap suatu program serta tanggung jawabnya pada program; dan menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, juga sosial yang mempengaruhi perilaku pihakpihak yang terlibat sehingga berdampak sesuai harapan ataupun tidak sesuai harapan. Dalam hal ini maka proses implementasi suatu kebijakan dapat di analisis dari 3 (tiga) sudut pandang: 1) Pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center), di mana dari sudut pandang ini, melihat usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atasan atau lembaga-lembaga di tingkat pusat untuk mendapatkan kepatuhan dari lembaga-lembaga atau pejabatpejabat di bawahnya/daerah atau untuk mengubah perilaku masyarakat/ kelompok sasaran. 2) Pejabat-pejabat di lapangan (the periphery) yaitu melihat tindakan para pejabat dan instansi-instansi di lapangan untuk menanggulangi gangguangangguan yang terjadi di wilayah kerjanya. 3) Kelompok sasaran (target group) yaitu memusatkan perhatian pada efektivitas dan efisiensi pelayanan atau jasa yang diberikan pemerintah telah mengubah pola hidupnya. Seperti telah disebut sebelumnya bahwa hukum dan kebijakan publik yang identik merupakan kebijakan pemerintah sesungguhnya saling terkait satu dengan yang lainnya. Bahkan pada bidang ini juga akan terlihat bahwa hubungan hukum dan kebijakan pemerintah tidak sekedar terdapatnya kedua hal itu dibicarakan dalam satu topik atau pembicaraan, keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi namun lebih dari itu antara hukum dan kebijakan publik pada dasarnya saling tergantung satu sama lainnya, kedua terminologi diartikan sebagai Diskresi Dalam... (Niniek Suparni) 43
hukum positif yang berlaku pada sebuah Negara dan ketika penerapan hukum (rechtsoepassing) dihubungkan dengan implementasi kebijakan pemerintah maka keduanya pada dasarnya saling tergantung. Keterkaitan secara mendasar adalah nampak pada atau dalam kenyataan bahwa pada dasarnya penerapan hukum itu sangat memerlukan kebijakan publik untuk mengaktualisasikan hukum tersebut di masyarakat, sebab umumnya produk-produk hukum yang ada itu pada umumnya hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan karena cakupannya yang luas dan bersifat nasional maka tidak jarang produk-produk hukum atau undang-undang yang ada itu tidak mampu meng-cover seluruh dinamika masyarakat yang amat beragam di daerah tertentu. Demikian pula dengan implementasi kebijakan publik, sebuah implementasi kebijakan publik tidaklah dapat berjalan dengan baik bila di dalam penyelenggaraan implementasi kebijakan publik itu tidak dilandasi dasar-dasar hukum yang kuat. Kebijakan publik itu sendiri menurut Harold D. Laswell diartikan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktekpraktek yang terarah. Sedangkan oleh Carl J. Frederick diartikan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam satu lingkup tertentu menunjukkan hambatanhambatan dan keputusan-keputusan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Begitu juga David Fasten secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah. Hubungan hukum dan kebijaksanaan publik yang nota bene merupakan kebijakan publik dapat dilihat adalah pemahaman bahwa pada dasarnya kebijakan publik umumnya harus dilegalisasikan dalam 44
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
bentuk hukum, disini berlaku suatu pendapat bahwa sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman yang demikian itu dapat dilihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas. Bahwa sesungguhnya antaran hukum dan kebijakan publik itu pada dasarnya tataran praktek yang tak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan masing-masing dengan prinsipprinsip saling mengisi, sebab logikanya sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu kehilangan makna substansi. Dengan demikian sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tanpa ada legalisasi dari hukum tertentu akan sangat lemah dimensi operasionalnya.29
III. PENUTUP A. Kesimpulan -
Bahwa istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum.
-
Bahwa ciri-ciri yang melekat pada kebijakan-kebijakan pemerintah pada kenyataannya bersumber pada orangorang yang memiliki wewenang dalam sistem politik yang pada akhirnya membawa implikasi tertentu terhadap konsep kebijakan pemerintah. Berbagai hal mungkin saja dilakukan oleh pemerintah, artinya pemerintah dapat saja menempuh usaha kebijakan yang sangat liberal dalam hal campur tangan atau cuci tangan sama sekali, baik
29
Muhsin, Hukum Dan Kebijakan Publik, Aneroes Press, Malang, 2002, hal. 57-58
terhadap seluruh atau sebagian sektor kehidupan.
B. Saran -
-
Agar kebijaksanaan dan/atau kebijakan dalam bentuknya yang positif, dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu. Agar setiap kebijaksanaan dan/atau kebijakan pemerintah dapat memenuhi beberapa kategori, yaitu: demands (tuntutan kebijakan), poling decision (keputusan kebijakan), policy statement (pernyataan kebijakan), policy outputs (keluaran kebijakan), dan policy outcomes (hasil akhir kebijakan).
DAFTAR PUSTAKA Atmosudirdjo, S. Prajudi. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994. Budiardjo, Miriam. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 1991. Fockema, Andrea. Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, Terjemahan Saleh Adiwinata. Bandung: Binacipta, 1983. Hadjon. Philipus M., dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1993.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan Kuliah. Tanpa Tempat: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun. Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta, tanpa tahun. Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1997. Muchsin. Hukum Dan Kebijakan Publik. Malang: Aneroes Press, 2002. Saleh, Roeslan. Stelsel Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, , 1962. Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1986. Soewargono. (1996). Model-model Public Policy, IIP Jakarta Press. Surachman, RM Mozaik Hukum Jilid I. Jakarta: CV Sumber Jaya Ilmu, 1996. Wibowo, Edi. Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2004. Winarno, Budi. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita, 2008. http://www.massofa.wordpress.com/kajian ilmu kebijakan dan pengertian kebijakan/13 november 2008.antikorupsi.
Diskresi Dalam... (Niniek Suparni) 45
46
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
EKSISTENSI KONSEPSI HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM (The Existance Of Concept Of Law As An Instrument Of Reforming Society In The Enforcement Of Law Supremacy) Oleh : Baringin Sianturi Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I. Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email :
[email protected] (Diterima tanggal 10 Oktober 2012, disetujui tanggal 12 Nopember 2012) ABSTRAK Reformasi yang terjadi di Indonesia saat ini memperlihatkan suatu keadaan yang kebablasan, artinya setiap individu masyarakat melaksanakan reformasi itu dengan tindakan kekerasan. Hal ini kita lihat dari berbagai mass media cetak maupun elektronik yang menggambarkan suatu kebrutalan dan justru seolah-olah tidak ada lagi penegakan hukum. Keadaan ini menimbulkan suatu pertanyaan tentang keberadaan hukum itu sendiri, apakah masih menjadi panglima atau justru hukum itu hanya menjadi sesuatu yang retorika saja. Timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum adalah merupakan wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap wibawa pemerintah. Hal ini menjadi sebab muasal kurangnya penghormatan terhadap hukum adalah karena hukum tersebut tidak diciptakan dari sendi-sendi hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga agar masyarakat patuh terhadap hukum maka seharusnya hukum dibuat menurut aturan/hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan selanjutnya hukum yang dibentuk itu menjadi sarana pembaharuan masyarakat (Law as a tool of Social Engineering) untuk menegakan supremasi hukum. Kata kunci : Konsepsi hukum, masyarakat, penegakan supremasi hukum. Abstract Reforms that occurred in Indonesia at this time showed an excessive state, meaning that each individual community to implement reforms violence. This condition we see from various print and electronic mass media which describes the brutality and as if there is no law enforcement. This situation raises a question about the existence of the law itself, is still a commander or even the law into something it’s just rhetoric. The emergence of public mistrust of law and law enforcement is a form of public mistrust of government authority. This is the reason for the origin of a lack of respect for the law is that the law is not created from the legal joints are living in the community, so that people obey the law then the law should be made according to the rules / laws are living in the midst of society, and the subsequent legal formed it into a means of renewal communities (Law as a tool of Social Engineering) to uphold the rule of law. Keywords : The concept of law, community, the enforcement of law supremacy.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Eksistensi Konsepsi... (Baringin Sianturi) 47
I.
PENDAHULUAN
Sejak timbul krisis ekonomi, perbankan di Indonesia awal tahun 1997 yang berpuncak pada bergesernya kepemimpinan bangsa dari Presiden Soeharto, membawa dampak yang begitu luas bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, karena sejalan dengan itu terjadi pergeseran frontal atas nilai akhlak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diakibatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada Pemerintah orde baru, sehingga menimbulkan gejolak sosial yang begitu tinggi dan menjadikan sistim perekonomian yang ambruk serta menjadikan tingkat kemiskinan semakin tinggi. Gejolak sosial tersebut menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum itu sendiri, hal ini mengakibatkan sekelompok masyarakat merasa dirinya mempunyai wewenang mengadili sendiri penjahat yang tertangkap tangan, dengan cara menganiaya dan membakar pelaku, hal ini menggambarkan seolah-olah hukum dan penegak hukum tidak ada, atau setidak-tidaknya tidak mampu menegakkan supremasi hukum. Gejolak sosial tersebut sampai saat ini masih terlihat dalam kehidupan masyarakat sehingga masyarakat tidak lagi percaya kepada pemerintah, khususnya penegak hukum. Keadaan ini menimbulkan suatu dilema apakah ketidaktertiban masyarakat tersebut, diakibatkan karena tidak memadainya sistem hukum yang ada, atau karena hukum itu sendiri (dalam bentuk peraturan perundangundangan) dibuat atau diciptakan tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat atau fungsi lembaga hukum itu sendiri, yang tidak tertib serta apakah kemampuan dan kewibawaan penegak hukum yang tidak ada, sehingga masyarakat tidak tunduk pada hukum. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa kondisi 48
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
saat ini masih diwarnai oleh pengalaman masa lalu, tentang adanya kondisi yang berkaitan dengan penegakan hukum yaitu: a.
Pengabaian hukum (disregarding law);
b.
Ketidakhormatan (disrespecting law);
c.
Kketidakpercayaan terhadap hukum (distrusting law);
d.
Ketidaktaatan pada (disobedience law).
atas
hukum
hukum
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini kiranya sudah cukup memperlihatkan bahwa hukum itu sendiri, dianggap non eksisten oleh masyarakat, (misalnya dengan tingginya “peradilan rakyat” terhadap pelaku kejahatan kelas teri, dan juga oleh penegak hukum sendiri misalnya Polisi yang membiarkan pelanggaran tanpa ditindak, Jaksa yang tidak melakukan penuntutan, dan Hakim yang lebih berorientasi pada hukum belaka dengan mengabaikan konsep “keadilan” yang hidup di tengah masyarakat). Permasalahan tersebut sebenarnya dapat di atasi dengan memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dalam konteks pembinaan hukum sesuai dengan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi kemajuan pembangunan serta membina sikap para penguasa dan para pejabat Pemerintah ke arah penegakan hukum, keadilan, perlindungan harakat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum berlandaskan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Untuk mencapai ke arah itu harus dicari konsepsi hukum yang tepat dalam rangka penegakan hukum menuju pembaharuan masyarakat dalam rangka menegakkan supremasi hukum.
II. PEMBAHASAN A. KONSEPSI HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN MASYARAKAT Banyak pendapat para ahli yang memberi batasan tentang pengertian teori hukum seperti dalam berbagai literatur hukum, yang secara garis besar menggambarkan bahwa teori hukum itu sama pengertiannya dengan filsafat hukum dan ada pula yang berpendapat bahwa pengertian teori hukum itu berbeda dengan pengertian filsafat hukum, namun selain itu ada juga yang berpendapat bahwa pengertian teori hukum identik pengertiannya dengan filsafat hukum. Lili Rasjidi memilih pengertian yang berusaha membedakan pengertian teori hukum dan filsafat hukum. Acap kali juga di kalangan para pakar hukum disebut teori hukum dalam arti sempit. Teori Hukum adalah ilmu yang mempelajari pengertianpengertian pokok dan sistim dari hukum”.1 Teori Hukum merupakan hasil karya pemikiran para pakar hukum yang bersifat abstrak yang dicapai ilmu hukum itu sendiri sehingga sifatnya masih teoritis yang dapat menjawab permasalahan hukum yang sama, di masa yang akan datang, sedangkan filsafat hukum tingkat abstraksinya sudah begitu tinggi dan diciptakan oleh para filusuf¸ yang tidak dapat secara langsung digunakan secara teoritis untuk pemecahan permasalahan hukum., sehingga oleh karena begitu tinggi tingkat abstraksinya, maka filsafat hukum itu merupakan teori payung (Grand Theory). Menyangkut soal teori ini dalam dunia keilmuan dikenal adanya teori payung (Grand Theory), teori tengah (Middle Range 1
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 11.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Theory), lalu yang terendah adalah teori biasa yang dihasilkan oleh suatu disiplin ilmu.2 Teori hukum ini dikenal pula dengan istilah Pelajaran Hukum Umum, Ilmu Hukum Sistematis dan Ilmu Dogmatis.3 Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat; di Indonesia diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang mengilhami pembentukan hukum dalam bentuk peraturan-peraturan zaman orde baru (Orba) dalam rangka pembinaan hukum nasional. Pembahasan hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat sangat penting dan perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan mengenai pemikiran tentang hal tersebut di Indonesia dewasa ini.4 Hal yang sangat mendesak dilakukan adalah karena pandangan atau konsepsi bahwa hukum merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat sangatlah penting dilakukan mengingat bahwa hukum diciptakan untuk kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat, namun di sisi lain, apabila semua sendi kehidupan manusia harus diatur oleh hukum (perundang-undnagan) maka justru hal itu akan membawa ketidaknyamanan masyarakat. Bila menyimak konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang dianut Mochtar Kusumaatmadja, banyak dipengaruhi oleh ajaran pemikiran Roscoe Pound, yang menganut Sociological Jurisprudence, yang intinya hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of Social Engineering), pemikiran ini bertentangan 2
Ibid, hal. 12. Ibid, hal. 12. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dna Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Binacipta, Bandung, 1976, hal 1 3
Eksistensi Konsepsi... (Baringin Sianturi) 49
dengan aliran mazhab sejarah yang mengetengahkan, bahwa hukum itu timbul dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, sehingga hukum bergerak karena kebiasaan, sedangkan menurut aliran Sociological Jurisprudence justru hukum itu diciptakan menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang diinginkan, bahkan kalau perlu merubah atau menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif sehingga terjadi pembaharuan hidup masyarakat dari kehidupan lama kehidupan baru. Bahwa walaupun konsepsi hukum Mochtar Kusumaatmadja ini banyak dipengaruhi oleh ajaran dari Roscoe Pound dan aliran Pragmatic Legal Realism, akan tetapi konsepsi hukum tersebut disesuaikan dengan sistim hukum dan sistim masyarakat di Indonesia. Pengembangan konsepsionil dari hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauannya dan ruang lingkup, daripada di tempat kelahirannya sendiri karena beberapa hal, yaitu:5 1.
Lebih menonjolnya perundangundangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensinya juga ada memegang peranan, berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat di mana teori Pound ini ditujukan terutama pada peranan pembaharuan daripada keputusankeputusan pengadilan, khususnya keputusan Supreme Court sebagai Mahkamah Tertinggi;
2.
Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “mechanistis” daripada konsepsi “Law as a tool of Social Engineering”. Aplikasi
5
Ibid, hlm. 9.
50
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
mekanisme demikian yang digambarkan dengan kata “tool” akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda daripada penerapan “legisme” yang dalam sejarah hukum Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang keras. Dalam pengembangannya di Indonesia, maka konsepsi (teoritis) hukum sebagai alat atau sarana pembaharuan ini dipengaruhi pula oleh pendekatanpendekatan filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan “policyoriented” dari laswell dan Mc. Dougal. Disimak secara mendalam teori konsepsi hukum tersebut dilandasi pokok pikiran bahwa kehidupan yang tertib hukum dan keteraturan dalam usaha pembangunan masyarakat merupakan hal yang diperlukan, dengan demikian hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu, sehingga diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis, yang sesuai masyarakat Indonesia, karena hukum yang diciptakan diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti masyarakat untuk kesejahteraan hidupnya. Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, juga perlu diterapkan terhadap lembaga penegak hukum dan penegak hukum, sehingga ketentuan undang-undang (hukum) sesuai dengan kehidupan masyarakat, dan rasa keadilan masyarakat, yang tertib hukum dan masyarakat yang patuh akan hukum yang diciptakan penegak hukum. Wibawa penegak hukum akan lebih tinggi bila menjalankan ketentuan hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat, oleh karena itu dalam menciptakan hukum (perundangundangan) haruslah terlebih dahulu dilakukan penelitian hukum secara mendalam dalam kehidupan masyarakat, sebelum pembentukan perundang-undangan. Peranan akademisi dalam hal ini memegang
peranan penting dalam menguji kesahihan ketentuan perundang-undangan yang akan diciptakan, karena tanpa adanya penelitian yang jelas, tidak akan pernah diketahui pasti seperti apa “living law” yang ada dan bagaimana perencanaannya harus dibuat secara akurat. Dalam menerapkan konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a. Bahwa harus disadari, pengembangan satu bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan berpengaruh terhadap bidang hukum lain yang belum dapat disebut sebagai bidang yang netral. b. Bahwa penerapan tujuan pembentukan hukum tidak terlalu jauh dari kenyataan sosial dalam arti perlu diperhatikan apakah masyarakat itu sudah siap untuk mengikuti dan mematuhi instrumen hukum yang baru itu. c. Bahwa konsepsi ini tidak hanya dalam ruang lingkup pembentukan hukum tertulis, yang mengalami keterbatasan, namun penerapan konsep/teori hukum ini haruslah memerlukan peranan penegak hukum yang profesional untuk memberikan kehidupan/jiwa kalimat yang tertulis dalam perundangundangan tersebut, sehingga aparat hukum khususnya Hakim dapat menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. B. HUBUNGAN KEKUASAAN
HUKUM
DAN
Hubungan hukum dan kekuasaan dapat dirumuskan secara singkat dalam slogan sebagai berikut: “Hukum tanpa kekuasaan adalah anganangan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”6 6
Lili Rasjidi, Op.Cit, hal. 75.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Peranan kekuasaan dalam penerapan hukum merupakan fungsi sentral terhadap pembentukan peraturan hukum, sehingga kekuasaan memerlukan legitimasi yuridis (pembenaran hukum) agar menjadikan pelaksanaan kekuasaan/ wewenang tersebut sah, oleh karena hukum merupakan pembatas kekuasaan. Pelaksanaan kekuasaan harus sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri sehingga baik buruknya kekuasaan bergantung dari parameter bagaimana kekuasaan itu dilaksanakan untuk mencapai tujuan dalam rangka pembaharuan masyarakat menuju masyarakat yang tertib hukum. Apabila dalam masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat tertib hukum, maka penggunaan kekuasaan juga semakin kurang peranannya, karena tingkat kesadaran hukum dalam masyarakat itu sudah tinggi. Hubungan erat antara hukum dan kekuasaan terlihat dari konsep sanksi dan konsep penegakan konstitusi, sehingga penegakan sanksi dan penegakan konstitusi diperlukan kekuatan yang sah yang melahirkan kekuasaan untuk melaksanakan penegakan hukum tersebut. Dalam lingkungan masyarakat yang rentan perbedaan budaya, maka pendekatan pelaksanaan kekuasaan dalam penegakan hukum juga harus disesuaikan dengan norma yang hidup dalam masyarakat, dengan tidak mengenyampingkan wibawa penegak hukum, keadilan dan kepastian hukum, sebagaimana tugas penegakan hukum, bahwa semua orang sama haknya dalam hukum, maka dengan demikian penegakan hukum dalam masyarakat ditentukan tingkat enforcement dari para aparat penegak hukum tanpa penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, dan selalu memperhatikan hak asasi manusia. Penegakan hukum dengan penggunaan kekuasaan yang dibatasi hukum sangat Eksistensi Konsepsi... (Baringin Sianturi) 51
diperlakukan, untuk menjunjung supremasi hukum, karena dalam satu bangsa yang beradab hukum harus dikedepankan dan dijunjung tinggi, sehingga kehidupan manusia dapat dijamin oleh hukum. Dalam era reformasi sekarang, banyak kelompok masyarakat yang menterjemahkan reformasi itu, seolah-olah semua kelompok masyarakat mempunyai kekuasaan yang dibungkus dengan kepentingan agama dan kepentingan masyarakat, sehingga melakukan tindakan-tindakan brutal dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Menghadapi hal dan situasi yang demikian, maka diperlukan wibawa penegak hukum yang handal dan profesional dalam menjalankan hukum dan ketentuan yang telah diciptakan untuk menjadikan masyarakat yang tertib hukum. Selanjutnya segala sesuatu permasalahan dan pelanggaran terhadap peraturan atau ketentuan hukum harus dengan prosedur hukum yang ada dan dilakukan oleh kekuasaan penegak hukum yang terlegitimasi. C. BUDAYA TERTIB HUKUM CIKAL BAKAL SUPREMASI HUKUM Supremasi hukum berarti hukum merupakan superior atau di atas segala sesuatu yang mengatur tingkah laku dan perbuatan masyarakat. Dalam konteks negara berdasarkan hukum maka kehidupan masyarakat, baik dalam hubungan privat dan kepentingan publik diatur dengan hukum (ketentuan perundang-undangan). Hukum ditempatkan sebagai superior berarti masyarakat harus tunduk dan mentaatinya. Dalam suasana masyarakat Indonesia saat ini, timbul suatu pemikiran bahwa krisis ekonomi juga membawa dampak terhadap krisis kepercayaan kepada pemerintah yang sekaligus terjadinya krisis kepercayaan 52
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
kepada hukum dan lembaga hukum serta aparat penegak hukum, karena penegakan hukum hanya dapat terlaksana bila pemerintah yang berkuasa terlegitimasi dalam kehidupan masyarakat dan bukan hanya legitimasi yang lahir secara formal melalui prosedur yang ada. Dari keadaan tersebut timbul pertanyaan apakah ketentuan yang ada itu, tidak lagi hidup di tengah-tengah masyarakat atau memang penegak hukum dan lembaganya yang tidak mempunyai wibawa dan kekuasaan, tentu hal ini harus dijawab dengan suatu penelitian akademis oleh kalangan pakar hukum, untuk mencari akar permasalahan tersebut. Untuk terciptanya supremasi hukum, maka perlu diciptakan masyarakat yang mempunyai budaya tertib hukum, sehingga dengan demikian bila telah tercipta masyarakat yang tertib hukum, maka dengan sendirinya masyarakat akan menempatkan hukum di atas segala-galanya. Aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga terciptanya supremasi hukum. Terciptanya supremasi hukum juga tidak terlepas dari wibawa dan kinerja serta profesionalisme dari aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas penegakan hukum yang diembannya. Aparat perlu dibersihkan dari anasir-anasir interest pribadi dan golongan dan juga perbuatan yang tercela dalam rangka terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa serta mempunyai integritas yang tinggi. Apabila masyarakat telah hidup dalam budaya tertib hukum, maka akan tercipta masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan dan kesemuanya itu hanya dapat tercipta apabila hukum (perundang-undangan) yang dibuat sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat “Living Law” dan juga dijalankan aparat penegak hukum yang profesional dan berwibawa serta mempunyai sikap integritas yang tinggi, sehingga setiap
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat haruslah melihat akar permasalahannya secara jernih. D. 3 (TIGA) UNSUR KETERPURUKAN HUKUM DI INDONESIA Setelah rezim silih berganti, justru penegakan hukum Indonesia semakin terpuruk, dan akhirnya keterpurukan hukum itu membawa dampak terhadap sektor kehidupan lain, utamanya sektor perekonomian nasional. Semaksimal apapun juga upaya memulihkan perekonomian bangsa, tidak akan mempunyai arti bila belum mampu menemukan solusi dan keluar dari keterpurukan hukum. Dalam menganalisa akar permasalahan tentang keterpurukan hukum di Indonesia, dicoba melalui pendekatan akademis, yang secara teoritis dapat diakui keberadaannya. Menurut konsep Lawrence Meir Friedman, mengemukakan tiga unsur sistim hukum (Three Elements of Legal System), yaitu: a. Struktur (Structure) b. Substansi (Substance) c. Kultur Hukum (Legal Culture) Struktur hukum adalah merupakan kerangka tetap yang memberikan bentuk dan batasan terhadap keseluruhan aspek atau elemen pelaksanaan hukum itu sendiri. Berbicara tentang struktur hukum di Indonesia adalah termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, yang juga termasuk unsur struktur jumlah dan jenis serta yurisdiksi dari pengadilan. Sehingga dapat dikatakan bahwa struktur merupakan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of a still photograph, which freezes the action). Sedangkan subtansi adalah merupakan aturan, norma dan pola perilaku nyata JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
manusia yang berada dalam sistim tersebut. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan orang yang berada dalam sistim itu, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup “Living Law” (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam Kitab UU atau “Law Books”. Kultur hukum adalah merupakan budaya hukum yang berarti sikap dan cara pandang masyarakat terhadap hukum itu sendiri yang mencakup sikap terhadap struktur dan substansi hukum tersebut, yang memberi nilai (value), kepercayaan, pemikiran dan harapan terhadap hukum tersebut. Pemikiran dan pemberian nilai terhadap hukum dipengaruhi oleh budaya hukum dari masyarakat, jadi dengan kata lain kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, sehingga tanpa kultur hukum, maka sistim hukum itu sendiri tidak berdaya. Dalam konteks keberadaan hukum di Indonesia saat ini tidak dapat dipungkiri, bahwa ketiga sistim hukum tersebut di atas jelas-jelas sudah sangat kritis, karena telah terjadi krisis kepercayaan kepada semua lembaga hukum, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan termasuk kepada aparat penegak hukumnya, yang melahirkan krisis kepercayaan terhadap Law Enforcement, yang pada akhirnya, bila hal ini tidak diperbaiki segera, dikhawatirkan masyarakat Indonesia tidak sekedar termasuk “bad trust society” tetapi akan sampai pada kwalifikasi “worst trust society”. Dilihat dari segi unsur substansinya (dalam bentuk perundang-undangan) banyak ketentuan UU yang tidak dapat dijalankan dengan baik karena ketentuan dalam perundang-undangan tersebut tidak dapat Eksistensi Konsepsi... (Baringin Sianturi) 53
diterima masyarakat, karena tidak dan atau belum menyentuh rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pemahaman tentang kepastian hukum yang hendaknya, jangan sekedar dipahami sebagai kepastian UU, melainkan kepastian yang menciptakan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, di mana pengejawantahannya terlihat dari kualitas putusan penegak hukum, yang senada dengan apa yang diamanatkan dalam pasal 5 ayat (14) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat. Perbaikan terhadap ketiga sistem hukum (struktur, substansi dan kultur) tadi akan melepaskan bangsa dan Negara RI dari keterpurukan hukum, yang akhirnya dapat memperbaiki perekonomian rakyat, karena dalam situasi yang bagaimanapun apabila ketiga sistem hukum itu sudah sesuai dengan apa yang hidup di tengah masyarakat, akan tercipta stabilitas politik, hukum, ekonomi dan keamanan. E. HAKIKAT DARI TEORI ATAU KONSEPSI HUKUM SEBAGAI SOLUSI PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM Setidaknya ada dua contoh yang menarik untuk menggambarkan pentingnya proses penegakan hukum di dalam situasi yang tidak menentu dan tidak pasti. Dalam situasi tersebut dukungan dan partisipasi publik untuk secara bersama mengatasi ketidakpastian itu menjadi penting untuk dilakukan. Sekitar tahun 1930an, Amerika mengalami suatu keadaan di mana situasi itu dikenal sebagai “the great depression”, karena baik sistim sosial, ekonomi dalam keadaan berantakan. Franklin D Roosevelt 54
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
selaku pimpinan pemerintahan Amerika saat itu membuat suatu program konkrit yang disebut sebagai “the new deal” dengan konsepsi utama berupa penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Ketidaktertiban sebagai dampak dari situasi yang dipenuhi ketidakpastian hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum. Di sisi lain, pasca turunnya kekuasaan pemerintahan Marcos pada tahun 1986 digunakan sebagai momen untuk mendesak pembaruan hukum yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat yang terpinggirkan. Asumsi dasar yang diletakkannya adalah karena kelompok masyarakat tersebut menjadi korban ketidakadilan. Program “access to justice” harus diterapkan dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat dengan penyadaran hukum kelompok masyarakat itu sendiri.7 Kedua contoh di atas secara tegas menjelaskan bahwa penegakan hukum harus secara tegas dan konsisten dilaksanakan. Perlu dirumuskan konsepsi pembaruan dan konsepsi untuk mewujudkan proses penegakan hukum itu dilakukan dengan cara menggerakkan proses partisipasi publik secara sistimatis dan komprehensif. Dalam konteks itu, masyarakat menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk bisa mendorong dan menciptakan proses perubahan dan pembaruan pada lembaga penegakan hukum agar konsistensi penegakan hukum bisa dilakukan secara “tegak lurus”. Terjadinya keterpurukan hukum di Indonesia justru terletak pada “Legal Thought” (pemikiran hukum) yang masih amat Legalistik-Positivistik yang sebagian besar dianut kalangan pakar hukum di Indonesia, yang akibatnya ilmu hukum yang dijadikan andalan untuk menemukan solusi terhadap keterpurukan hukum tersebut 7
Many Roads to Justice, Participatory Justice in The Philippines, The Ford Foundation, 2000, hal. 197 – 231.
hanyalah sekedar ilmu hukum positif yang sangat sempit. Hakikat ilmu hukum yang sebenarnya mampu menjadi alat yang efektif membebaskan bangsa Indonesia dari keterpurukan hukum, bila ketiga unsur yang telah diuraikan pada point di atas dilihat dari kehidupan hukum masyarakat yang berarti baik struktur, substansi dan kultur tadi harus diwujudkan dengan konsepsi hukum atau teori hukum yang berdasarkan “Living Law” atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara umum bila dilihat dari konsepsi positivisme maka justru keterpurukan hukum kita terlahir karena kebanyakan pakar hukum di Indonesia yang diilhami oleh faham positivisme tersebut, di mana konsep keadilan dan kepastian hukum itu hanya dipandang dari materi atau substansi dari perundang-undangan yang diciptakan. Sementara penciptaan atau pembentukan UU itu sendiri sarat kepentingan golongan tertentu atau penguasa saat itu, sehinga tentunya tentang keadilan dan kepastian hukum harus sejalan dengan alam pikiran penguasa saat yang belum tentu sama dan sejalan dengan prinsip kepastian dan keadilan yang hidup dalam kehidupan hukum yang lahir di tengah-tengah masyarakat. Jadi kalau prinsip keadilan dan kepastian hukum hanya semata-mata didasarkan pada aturan sesuai dengan teori legal positivis, dalam bentuk perundangundangan, yang tidak didukung oleh ketiga aspek atau sistim hukum (struktur, substansi dan kultur) yang tidak sesuai dengan rasa hukum masyarakat, maka nilai penghargaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri akan kecil, yang akhirnya masyarakat tidak menerima hukum (perundang-undangan) itu di tengah-tengah kehidupannya, maka mustahil lahir penegakan supremasi hukum, karena bisa saja lahir sikap apatis (masa bodoh) dari masyarakat terhadap hukum itu.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Melihat keterpurukan hukum saat ini, maka sebaiknya penyusunan perundangundangan oleh Pemerintah haruslah dapat membaca aspirasi dan “Living Law” dari masyarakat, dengan melakukan penelitian secara akademis yang kemudian pembentukan UU harus didahului dengan drafting akademis yang menggodok konsepsi hukum dan prinsip-prinsip hukum dalam jiwa masyarakat guna menentukan tujuan filosofis dibentuknya UU tersebut dan diundangkan seharusnya dilakukan “Uji Sahih” kepada masyarakat guna menentukan apakah Undang-Undang tersebut diterima masyarakat, atau apakah masyarakat sudah siap menerima ketentuan itu. Apabila masyarakat menerima keberadaan UU tersebut maka sudah barang tentu akan mematuhi dan menjalankannya, sehingga akan tercipta masyarakat yang tertib hukum, dengan demikian maka hukum (perundang-undangan) yang diciptakan menjadi sarana pembaharuan masyarakat guna menciptakan kepastian dan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, yang kesemuanya akan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang handal, profesional dan berintegritas moral yang tinggi serta segala tindakannya dalam bentuk putusan harus tetap sesuai dengan kehidupan hukum masyarakat. Dari konteks tersebut sudah saatnya dicari konsepsi hukum atau teori hukum yang mendasarkan pemikirannya pada penciptaan atau pembentukan hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga masyarakat akan mentaati hukum itu sendiri, atas kesadaran hukumnya yang didasarkan atas kedaulatan hukum, karena hukum diciptakan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Eksistensi Konsepsi... (Baringin Sianturi) 55
mematuhinya karena menganggap hukum itu sendiri tidak lagi tidak lagi berdaulat.
III. PENUTUP 1.
Bahwa keterpurukan hukum di Indonesia meliputi tiga sistem yaitu struktur, substansi dan kultur hukum, yang tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistim tadi sudah terkikis dalam tahap krisis kepercayaan.
2.
Dari segi struktur, lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan tidak mendapat tempat lagi dalam hati dan sanubari hukum masyarakat.
3.
Penciptaan/pembentukan perundangundangan tidak sesuai dengan perasaan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, karena pembentukannya tidak didasarkan pada penelitian, drafting akademisi dan tidak melalui “uji sahih” dari masyarakat, dengan demikian masyarakat belum siap untuk menerimanya dan cenderung tidak
56
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
4.
Konsepsi hukum/Teori hukum yang dianut dalam pembentukan UU adalah konsepsi hukum yang berdasarkan pemikirannya pada pembentukan hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat sekaligus menjadi sarana pembaharuan hidup masyarakat tanpa mengenyampingkan keadilan dan kepastian hukum menurut hukum positif itu sendiri maupun keadilan dan kepastian hukum yang hidup dalam masyarakat.
5.
Konsepsi Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat masih eksis dipakai dalam melepaskan negara kita dari keterpurukan hukum dewasa ini, dengan memperhatikan peningkatan kinerja aparat penegak hukum.
PERAN LEMBAGA PEMERIKSAAN TAMBAHAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA-PERKARA MENGAMBANG (The Role Of Additional Examination In Settlement Floating Cases) Oleh: Khunaifi Alhumami Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I. Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email:
[email protected] (Diterima tanggal: Agustus 2012, disetujui tanggal: 14 Nopember 2012) ABSTRAK Setelah berlakunya KUHAP, 1981, banyak ditemukan perkara mengambang yang terjadi pada tingkat penyidikan. Untuk mengatasi hal itu, dalam UU Kejaksaan Tahun 1991 dibentuk lembaga pemeriksaan tambahan agar ada kepastian penyelesaian perkara dan menjamin hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, saksi korban, maupun kepentingan umum. Dalam prakteknya, lembaga baru ini tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena memuat syarat-syarat yang menyulitkan, diantaranya ialah jaksa baru bisa melakukan pemeriksaan tambahan bila penyidik menyatakan optima dan menyerahkan perkara ke jaksa. Namun dalam kenyataannya, penyidik hampir tidak pernah menyatakan optima dan melimpahkan ke jaksa sehingga jaksa tidak bisa melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Oleh karena itu, ruang lingkup pemeriksaan tambahan perlu diperluas meliputi pula pengambilalihan perkara bila penyidik tidak menindaklanjuti perkara dan melimpahkannya ke jaksa. Hal ini diperlukan agar jaminan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hukum atas hak asasi para pencari keadilan dapat diwujudkan dengan baik. Kata Kunci: Pemeriksaan Tambahan, Penyidikan dan Penuntutan Abstract After enactment of the Criminal Procedure Code, 1981, is found many floating cases at the level of investigation. To overcome this, the Attorney General Act of 1991 established additional examination institutions that settlement certainty and guarantee human rights for litigants, both suspects, witnesses, and the public interest. In practice, these new institutions can not be implemented properly due to load difficult conditions, such as the prosecutor can be perform additional examination when investigators claimed optima and submit the case to the prosecutor. But in reality, investigators are almost never expressed optima and delegate to the prosecutor so that the prosecutor could not complete the case file by performing additional examination. Therefore, the scope of additional examination need to be extended to cover also the case when investigating the takeover did not follow up the case and delegate to prosecutors. This is necessary in order to guarantee the rule of law, justice, and legal protection of human rights justice seekers can be realized well. Keywords: Edditional examination, investigation and prosecution
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 57
I.
PENDAHULUAN
Salah satu sistem yang digunakan untuk menanggulangi atau mengendalikan kejahatan supaya berada dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat ialah sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem ini sangat erat kaitannya dengan hukum acara pidana, yaitu aturan hukum yang mengatur tentang tata cara penanganan perkara pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalamnya diatur secara rinci dan sistematis pejabat atau lembaga yang berwenang melaksanakan sistem, beserta tugas dan kewenangannya masing-masing. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, sistem peradilan pidana Indonesia dijalankan oleh 4 (empat) komponen, yaitu: kepolisian selaku penyidik, kejaksaan sebagai badan penuntut umum, pengadilan bertugas mengadili dan memutus perkara, serta lembaga pemasyarakatan melakukan pembinaan nara pidana. Kejaksaan sebagai badan penuntut umum diberi tugas untuk melakukan penuntutan perkara pidana, yaitu dengan melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.1 Tugas tersebut dijalankan oleh pejabat yang dikenal dengan sebutan jaksa. Dalam menjalankan tugasnya sebagai penuntut umum, jaksa diberi kewenangan mengadakan prapenuntutan, yaitu melakukan penelitian terhadap berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan ole penyidik dan apabila terdapat kekurangan, jaksa diberi kewenangan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan. 1
Lihat Pasal 1 butir 7 KUHAP
58
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Ketentuan mengenai prapenuntutan ini dalam KUHAP diatur Pasal 14 huruf b. Selain itu, jaksa juga diberi kewenangan melakukan pemeriksaan tambahan, yaitu melengkapi berkas perkara, bila penyidik menyatakan optima dan menyerahkan berkas perkaranya ke jaksa untuk dilengkapi sendiri. Lembaga pemeriksaan tambahan tidak diatur dalam KUHAP melainkan diatur dalam Undang-undang Kejaksaan, dan UU Kejaksaan yang pertama kali mengatur pemeriksaan tambahan ialah UU No. 5 Tahun 1991. Ketentuan tersebut tetap dipertahankan ketika UU No. 5 Tahun 1991 diganti dengan UU No. 16 Tahun 2004. Pembentukan lembaga pemeriksaan tambahan dilakukan karena setelah berlakunya KUHAP, banyak ditemukan perkara-perkara mengambang (floating case) yang terjadi pada tingkat penyidikan. Namun setelah lembaga ini dibentuk ternyata belum bisa menyelesaikan floating case dikarenakan adanya syarat-sayarat yang menyulitkan.
II. PEMBAHASAN 1.
Lahirnya Lembaga Pemeriksaan Tambahan dan Filosofinya
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, lembaga pemeriksaan tambahan dibentuk karena setelah berlakunya KUHAP ternyata ditemukan banyak floating case, seperti: perkara yang SPDP-nya dikirim ke kejaksaan tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pengiriman berkas perkara; berkas perkara yang dikembalikan jaksa untuk dilengkapi namun tidak dikirim kembali oleh penyidik; dan berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap tetapi tida diikuti dengan penyerahan tersangka dan barang bukti. Di sisi lain, hukum acara yang diatur dalam KUHAP tidak memberi jalan keluar atas penyelesaian kasus seperti itu, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan
dapat merugikan para pencari keadilan. Hal ini berbeda dengan Het Herziene Inlandsch Reglement/HIR (Staatsblad 1941 No. 44) yang menganggap penyidikan adalah bagian dari penuntutan sehingga selain sebagai penuntut umum, jaksa juga diberi kewenangan melakukan penyidikan dan penyidikan lanjutan (Pasal 39 HIR). Dengan adanya kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan, bila ada perkara yang tidak ditindaklanjuti penyidik, jaksa dapat mengambil alih perkara dan melakukan penyidikan sendiri. Pada masa HIR jaksa ditetapkan sebagai koordinator aparat penyidik yang disebut dengan jaksa pembantu (hulp magistraat). HIR menganggap tugas penyidikan pada hakekatnya ialah membatu tugas penuntutan, yaitu membuktikan salah tidaknya terdakwa di pengadilan. Pembuktian ada di pengadilan dan yang ditugaskan untuk itu ialah jaksa, maka jaksa punya kewajiban mengendalikan, mengarahkan dan mengawasi jalannya penyidikan dalam pencarian dan pengumpulan alat bukti, oleh karenanya jaksa ditetapkan sebagai koordinator penyidik. Adapun yang ditunjuk sebagai jaksa pembantu ialah kepala distrik (wedana/asisten wedana), kepala onderdistrik (kepala desa), pegawai polisi umum yang sekurang-kurangnya berpangkat mantri polisi,dan pegawai polisi umum yang ditunjuk oleh Jaksa Agung [Pasal 51 ayat (1) HIR]. Tugas dan wewenang jaksa pembantu ialah membantu jaksa dalam mengumpulkan alat bukti di lapangan, oleh karena itu wewenangnya dalam pengumpulan alat bukti ini sama dengan wewenang jaksa, yaitu menerima pengaduan tentang kejahatan atau pelanggaran (Pasal 53 HIR). Setelah menerima pengaduan, Jaksa Pembantu melakukan pengusutan (penyidikan/proses verbal) yang hasilnya segera dilaporkan kepada jaksa untuk dilakukan penuntutan JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
karena Jaksa Pembantu tidak mempunyai kewenangan melakukan penuntutan perkara pidana. Apabila jaksa telah melakukan sendiri penyidikan terhadap suatu perkara, maka untuk menangani perkara tersebut tidak diperlukan lagi penyidikan dari Jaksa Pembantu agar tidak terjadi duplikasi. Kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan yang dimiliki jaksa, nampaknya kurang berkenan di pihak kepolisian, sehingga berusaha menghilangkan kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan yang dimiliki jaksa. Upaya tersebut menyebabkan munculnya konflik antar aparat penegak hukum. Daniel S. Lev menyebut konflik tersebut sebagai pertikaian yang getir dalam sistem peradilan (judicial war) pidana Indonesia.2 Menurut A.Z. Abidin lahirnya konflik diantara lembaga penegak hukum dipengaruhi oleh keberhasilan PKI menerapkan konsep pertentangan kelas. Pengadilan dipertentangkan dengan kejaksaan dan kejaksaan dibenturkan dengan kepolisian. Padahal tujuan dari konsep ini, bukan dimaksudkan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana (criminal justice system), tetapi semata-mata memperebutkan status dan menuntut kesetaraan.3 Konflik itu akhirnya dimenangkan oleh polisi karena UU Pokok Kepolisian dan UU Pokok Kejaksaan Tahun 1961 menetapkan pihak pertama (polisi)-lah yang berwenang mengadakan penyidikan pendahuluan. Namun undang-undang itu juga mengandung ketentuan rangkap sebagi upaya membuat kompromi, dan memberi peluang dibuatnya saling pengertian mengenai pembagian kerja yang cocok yang tidak mengesampingkan pihak penuntut dari 2
3
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, (penterjemah: Nirwono dan AE Priyono), Jakarta: LP3ES, 1990, hal. 140. A.Z. Abidin. Usul Perbaikan Kata dan Usul Tambahan untuk Memperkuat Pendapat Bahwa Kejaksaan Agung Termasuk Jabatan Negera yang Bersama-sama dengan Mahkamah Agung Memegang Kekuasaan Kehakiman, Makalah, Makasar: 24 April 2004, hal. 4.
Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 59
pengusutan kejahatan.4 Sebab dalam UU Pokok Kejaksaan Tahun 1961, jaksa masih diberi kewenangan melakukan penyidikan lanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1961 yang berbunyi: “untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, kejaksaan mempunyai tugas mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan dalam hukum acara pidana dan lain-lain peraturan negara.” Dengan lahirnya UU Kejaksaan 1961 dan UU Kepolisian 1961, maka langkah pertama ‘mengebiri’ kewenangan jaksa telah berhasil dilakukan, walaupun hal itu justru mengaburkan hubungan antara magistraat dan hulp magistraat. Menurut Bismar Siregar aturan-aturan yang ada dalam kedua undang-undang tersebut hanya mengaburkan ketentuan dan sistem yang secara tegas dan jelas tertera dalam HIR di mana jaksa adalah magistraat dan polisi adalah hulp magistraat. Keraguan timbul umpamanya dalam wewenang penyidikan polisi yang seakan-akan telah menjadi otonom dan berdiri sendiri menurut Pasal 13 UU No. 13 Tahun 1961, sehingga mungkin dapat dikatakan bahwa ia bukan lagi hulp magistrat.5 Padahal menurut doktrin tugas pembuktian itu ada pada jaksa dan tugas penyidik membantu jaksa mencari dan mengumpulkan alat bukti yang berserakan di lapangan. Oleh karena itu, antara penyidikan dan penuntutan tidak bisa dipisah-pisahkan secara tajam dan jaksa seharusnya dapat menyidik semua tindak pidana jika mau. 6 Artinya penyidikan seharusnya memang ditangan polisi, namun
4 5
6
Daniel S. Lev, op. cit., hal. 141. Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Penerbit Binacipta, 1983,hal. 91. Andi Hamzah, Kelemahan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, makalah seminar, Jakarta, 28 September 2004.
60
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
dalam keadaan tertentu, jaksa dapat melakukan penyidikan sendiri. Perselisihan antara polisi dan jaksa ternyata terus berlanjut pada saat penyusunan peraturan tentang hukum acara pidana untuk menggantikan HIR. Polisi masih menginginkan agar semua kewenangan jaksa yang terkait dengan penyidikan dihapuskan. Akhirnya Judicial War II terjadi pada saat penyusunan UU No. 8 Tahun 198. Perselisiahan tersebut kembali dimenangkan polisi dengan dihapuskannya kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan lanjutan dan menjadi koordinator penyidik. Semua kewenangan tersebut kemudian dialihkan ke polisi dan jaksa hanya ditetapkan sebagai penuntut umum, kecuali untuk tindak pidana tertentu. Saat KUHAP disahkan, pucuk pimpinan 3 (tiga) institusi penegak hukum berasal dari kalangan militer yang masih aktif, dan saat itu kepolisian masih menjadi bagian dari militer (ABRI). Ketua Mahkamah Agung dijabat Moedjono; Ali Said sebagai Menteri Kehakiman; dan Jaksa Agung-nya Ismael Saleh. Menurut Andi Hamzah, hilangnya kewenangan penyidikan oleh jaksa, tidak lepas dari peranan Jaksa Agung yang saat itu dijabat militer. Setelah Jaksa Agung bersal dari militer, dengan mudah Panglima ABRI memanggil Jaksa Agung dan dengan mudah pula Jaksa Agung diminta melepaskan wewenang penyidikan dalam KUHAP.7 Hilangnya kedudukan jaksa sebagai penyidik dan koordinator penyidik membuat posisi jaksa menjadi lemah dan tidak meyakinkan di persidangan. Jaksa tidak dapat mengetahui jalannya penyidikan secara obyektif dan substansial karena hanya memeriksa berkas perkara. Selain itu, hilangnya kewenangan jaksa dalam 7
Andi Hamzah, Membangung Moralitas Jaksa sebagai Jaksa Profesional, makalah seminar, Jakarta, 11 Desember 2003.
melakukan penyidikan juga menyebabkan banyak perkara mengambang karena tidak ditindaklanjuti oleh penyidik, sedangkan jaksa juga tidak bisa melakukan penyidikan sendiri. Banyaknya floating case tersebut menjadi temuan Pansus RUU Kejaksaan DPR-RI (UU Kejaksaan Tahun 1991). Pada saat melakukan kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Pansus menemukan 3 (tiga) macam kategori floating case, yaitu:8 a.
Perkara yang sudah dinyatakan lengkap, tetapi belum diserahkan tersangka dan barang buktinya (PK-1);
b.
Permintaan penyempurnaan berkas penyidikan dalam rangka prapenuntutan (PK-3) oleh jaksa, namun tidak ditindaklanjuti oleh penyidik; dan
c.
Perkara yang sudah ada Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) atau SPDP-nya sudah diterima jaksa tetapi berkasnya belum dilimpahkan.
Data yang dimuat Harian Surabaya Post tanggal 3 Mei 1991 menunjukkan sejak tahun 1988 sampai tahun 1991 ada sebanyak 5730 (lima ribu tujuh ratus tiga puluh) kasus termasuk kategori (a); sebanyak 1513 (seribu lima ratus tiga belas) termasuk kategori (b); dan sebanyak 2128 (dua ribu seratus dua puluh delapan) kasus termasuk kategori (c).9 Fakta inilah yang menjadi salah satu sebab dibentuknya lembaga pemeriksaan tambahan, yaitu tugas dan wewenang jaksa untuk melengkapi sendiri berkas perkara, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d UU No. 5 Tahun 1991. Selanjutnya, dalam Penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1991 Alinia tiga belas angka 1 disebutkan pemeriksaan tambahan dilakukan untuk memperoleh kepastian penyelesaian perkara 8
9
Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2007, hal. 156-157. Ibid, hal. 157. JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan serta menjamin kepastian hukum, hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, terdakwa, saksi korban, maupun kepentingan umum. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa filosofi dibentuknya lembaga pemeriksaan tambahan ialah agar perkara-perkara mengambang yang terjadi pada tingkat penyidikan dapat diselesaikan secara cepat, sederhana dan biaya ringan, sesuai asas contante justitie. Selain itu, pembentukan lembaga pemeriksaan tambahan juga dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya kepastian hukum dan melindungi hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, saksi korban, maupun kepentingan umum. Pembentukan lembaga pemeriksaan tambahan diperlukan karena sarana yang ada dalam KUHAP tidak memberi jalan keluar atas penyelesaian kasus-kasus mengambang. Akibatnya banyak perkara yang tidak jelas penyelesaiannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat, terutama korban kejahatan. 2.
Pemeriksaan Tambahan Kendala Pelaksanaannya
dan
Hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP memuat secara sistematis jalannya proses peradilan pidana, termasuk proses pembuktian dan alat-alat bukti-nya. Pembuktian mempunyai peran yang sangat penting, karena tahap ini sangat menentukan nasib seseorang, baik pelaku maupun korban. Oleh karena itu, pembuktian harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar keadilan bagi para pihak dapat terpenuhi secara obyektif. Proses pembuktian bukan untuk mencari-cari kesalahan pelaku, namun bukan pula untuk menghindarkan pelaku dari tanggung jawab pidana. Tujuan pembuktian adalah mencari kebenaran materil, agar Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 61
jangan sampai putusan pengadilan merampas atau menindas hak asasi orang yang tidak bersalah, dan jangan sampai pula korban kejahatan menjadi ‘korban’ untuk yang kedua kali karena kegagalan penegak hukum menghukum pelaku. Menurut Andi Hamzah, tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran materiil itu hanyalah tujuan antara. Tujuan akhir ialah mencapai ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.10 Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku secara universal, beban pembuktian ada dipundak jaksa. Ketentuan ini memang tidak disebutkan secara tersurat dalam salah satu pasal yang ada di KUHAP, namun karena pembuktian itu harus dilakukan di persidangan dan berdasarkan dalil “siapa yang menuduh dia yang harus membuktikan” (actori incumbit probatio), maka jaksa-lah yang memikul beban pembuktian karena ia yang mengajukan dakwaan. Dalam bahasa Belanda asas tersebut didefinisikan sebagai “de bewijslast berust bij de aanklager” (beban pembuktian terletak pada jaksa) atau “de bewijslast is ten laste van de aanklager” (beban pembuktian ditanggung oleh jaksa).11 Beban pembuktian ada dipundak Penuntut Umum hampir dianut oleh semua negara.12 Asas actori incumbit probatio sejalan dengan Pasal 66 KUHAP yang menyatakan terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Penjelasan Pasal 66 KUHAP menyatakan ketentuan tersebut merupakan penjelmaan asas praduga tidak bersalah. Asas ini memberikan pedoman untuk mempergunakan prinsip akusator (accusatoir) dalam setiap pemeriksaan, yaitu 10
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hal. 10. 11 http://www.encyclo.nl/begrip/Actori%20incumbit%20probatio, diakses tanggal 26 September 2012. 12 "Penuntut Umum Sebagai Pihak Yang Mempunyai Beban Pembuktian dalam Penuntutan Perkara Pidana: dalam: http:// lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/beban-pembuktianpenuntut.html, diakses tanggal 27 September 2012.
62
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
tersangka/terdakwa harus dianggap sebagai salah satu pihak yang saling berhadapan, bukan sebagai obyek (inquisitoir). Dalam sistem saling berhadapan (adversary system) ini, ada pihak terdakwa yang dibelakangnya terdapat pengacara. Di pihak lain ada penuntut umum yang atas nama negara menuntut pidana, yang dibelakangnya terdapat penyidik yang memberi data tentang hasil penydikan.13 Ketentuan yang secara tersurat menyebut “jaksa” sebagai pihak yang memikul beban pembuktian terdapat dalam Penjelasan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Pasal a quo mengatur tentang pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewijlast) yang dapat dilakukan oleh terdakwa. Penjelasan Pasal aquo menyatakan: “Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa …..”. Sebagai pihak yang memikul beban pembuktian, jaksa harus berusaha menghadirkan minimum 2 (dua) dua alat bukti di persidangan. Selain itu, jaksa juga harus memastikan, alat-alat bukti itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sah dan mampu meyakinkan hakim atas kesalahan terdakwa. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Untuk mendukung tugas jaksa dalam melakukan pembuktian di persidangan, jaksa 13
Andi Hamzah, Hukum Acara….. op. cit., hal. 61.
diberi wewenang melakukan penelitian berkas hasil penyidikan. Bila dalam penelitiannya, ditemukan kekurangan baik formil maupun materiil, jaksa berwenang memberi petunjuk demi kesempurnaan penyidikan. Hal ini dalam praktek peradilan disebut dengan prapenuntutan yang penyebutan istilahnya hanya ada dalam satu ketentuan, yaitu Pasal 14 huruf b KUHAP. Walaupun istilah prapenuntutan hanya terdapat dalam satu pasal, namun mekanismenya diatur dalam Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: a.
Pasal 110 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. (2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. (3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum. (4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. b.
Pasal 138 KUHAP
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Maksud dari diadakannya prapenuntutan ialah agar upaya penuntutan yang dilakukan jaksa tidak mengalami kegagalan karena lemahnya alat bukti yang diajukan ke pengadilan, atau karena adanya kesalahan-kesalahan lainnya. Hal ini sebagai jalan tengah atas dihilangkannya kedudukan jaksa sebagai penyidik dan koordinator penyidik yang dulu diatur dalam HIR. Dalam kenyataannya, lembaga prapenuntutan tidak selalu berjalan efektif dalam mendukung kegiatan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa. Banyak berkas perkara yang dikembalikan jaksa disertai petunjuk untuk dilengkapi, ternyata tidak dikembalikan penyidik kepada jaksa, sehingga perkara tersebut tidak dapat diajukan ke penuntutan oleh jaksa. Selain itu, lembaga prapenuntutan juga tidak dapat menyelesaikan perkara-perkara yang sudah dinyatakan lengkap, tetapi tidak diikuti penyerahan tersangka dan barang bukti, serta tidak bisa mengatasi masalah perkara yang SPDP-nya sudah diterima jaksa tetapi berkasnya tidak dilimpahkan oleh penyidik. Untuk menyelesaikan permasalahan perkara-perkara mengambang tersebut, akhirnya dibentuklah lembaga pemeriksaan tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d UU No. 5 Tahun 1991 dan tetap dipertahankan dalam UU No. 16 Tahun 2004 [Pasal 30 ayat (1) huruf e]. Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 63
Rumusan norma dalam kedua ketentuan tersebut memiliki redaksional yang sama, yaitu: “dalam perkara pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”. Kedua undang-undang tersebut, dengan tegas memberikan wewenang kepada jaksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan apabila hasil penyidikan penyidik belum lengkap, sehinga jaksa akan melengkapi sendiri berkas perkara itu dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Namun dalam prakteknya, kewenangan tersebut tidak serta merta dapat dapat dilakukan oleh jaksa, karena dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf d UU No. 5 Tahun 1991 dan Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16 Tahun 2004 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan tambahan, yaitu:14 a. b.
c.
d.
Tidak dilakukan terhadap tersangka; Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara; Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakannya ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP; dan Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Berbagai syarat di atas, justru menjadi kendala dalam pelaksanaan pemeriksaan tambahan, sehingga kewenangan ini hampir 14
Redaksional Penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf d UU No. 5 Tahun 1991 juga sama persis dengan redaksional Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16 Tahun 2004.
64
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
tidak pernah dijalankan oleh jaksa dan kejaksaan. Diantara ke-empat syarat di atas, prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik, manjadi kendala paling utama karena prinsip ini diartikan jaksa baru bisa melakukan pemeriksaan tambahan setelah ada pernyataan optima dari penyidik dan penyidik melimpahkan berkas hasil penyidikannya ke jaksa. Tanpa adanya pelimpahan dari penyidik, jaksa tidak dapat melengkapi berkas hasil penyidikan secara sepihak. Di sisi lain, penyidik hampir tidak pernah menyatakan optima, sehingga jaksa tidak bisa melakukan pemeriksaan tambahan karena jaksa tidak diberi kewenangan mengambil alih penanganan perkara bila penyidik tidak menyatakan optima. Syarat pemeriksaan tambahan harus dapat diselesaikan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari juga sangat menyulitkan jaksa karena terlalu singkat waktunya. Padahal perkara-perkara yang dapat dilakukan pemeriksaan tambahan adalah perkara-perkara yang sulit pembuktiannya. Oleh karena itu, jangka waktu 14 (empat belas) hari sangat sulit dipenuhi oleh jaksa. Selain itu, adanya ketentuan yang melarang pemeriksaan tambahan dilakukan terhadap tersangka juga menyulitkan jaksa, karena bila ternyata dalam pemeriksaan ditemukan adanya saksi yang berpotensi menjadi tersangka, maka jaksa tidak bisa melakukan pemeriksaan. Padahal dalam rangka menemukan kebenaran materiil jaksa juga perlu melakukan konfrontasi antara saksi dengan tersangka bila keduanya memberikan keterangan yang berbeda. Kendala-kendala di atas, menyebabkan lembaga pemeriksaan tambahan tidak cukup efektif sebagai sarana untuk menyelesaikan floating case yang terjadi pada tahap penyidikan. Hal ini dapat dilihat dari data perkara tindak pidana umum di seluruh Indonesia yang tidak ditindaklanjuti oleh penyidik selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun
dari tahun 2005 s/d 2011, yaitu sebagai berikut:15
keadilan, baik tersangka, saksi korban, maupun kepentingan umum.
Tabel: Perkara-Perkara Mengambang dari Tahun 2005 s/d 2011 NO
TAHUN
SPDP YG TDK DITINDAKLANJUTI KE TAHAP I
1
2
3
PERKARA P-18/ P-19, PERKARA P-21, NAMUN TDK DIKIRIM NAMUN TDK DITINDAKLAGI KE JAKSA LANJUTI KE TAHAP II 4
5
6
1
2005
80.203
6.079
2.942
89.224
2
2006
79.963
3.635
3.780
87.378
3
2007
77.334
4.947
5.422
87.703
4
2008
74.309
8.276
6.237
88.822
5
2009
65.559
4.632
6.662
76.853
6
2010
57.841
7.396
6.612
71.849
7
2011
32.577
6.309
14.395
53.281
467.786
41.274
46.050
555.110
JUMLAH
Data di atas, menunjukkan bahwa perkara yang tidak ditindaklanjuti penyidik dalam kurun waktu tahun 2005-2011, sangat besar sekali, yaitu sebanyak 555. 110 (lima ratus lima puluh lima ribu seratus sepuluh) perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang SPDP-nya telah disampaikan ke jaksa namun tidak ada tindaklanjutnya sebanyak 467.786 (empat ratus enam puluh tujuh ribu tujuh ratus delapan puluh enam) perkara; perkara yang dikembalikan jaksa dengan petunjuk untuk dilengkapi (P-18/P-19) namun tidak dikembalikan lagi oleh penyidik sebanyak 41.274 (empat puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh empat) perkara; dan perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P-21) namun tidak diikuti dengan penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap II) sebanyak 46.050 (empat puluh enam ribu lima puluh) perkara. Hal ini berarti, secara faktual ketentuan mengenai pemeriksaan tambahan ternyata tidak mampu menjamin terwujudnya kepastian penyelesaian perkara dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan serta tidak mampu menjamin terwujudnya kepastian hukum, hak-hak asasi pencari 15
JUMLAH
Tim Penyusun, Naskah Akadmik RUU Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2012 (Draft 10 April 2012), Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 2012, hal. 99.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
3.
Upaya Mengefektifkan Pemeriksaan Tambahan Untuk Mengatasi Floating Case
Lembaga pemeriksaan tambahan pertama kali diatur dalam UU Kejasaan Tahun 1991. Hal ini berarti, eksistensi lembaga pemeriksaan tambahan dalam sistem peradilan pidana Indonesia sudah berlangsung selama 21 (dua puluh satu) tahun. Namun selama kurun waktu tersebut, jaksa sangat jarang sekali melakukan pemeriksaan tambahan untuk melengkapi berkas perkara dikarenakan adanya berbagai hambatan, sebagaimana telah dikemukan pada pembahasan sebelumnya. Akibatnya sampai saat ini masih ditemui banyak perkara mengambang (floating case) yang terjadi dalam proses penyidikan perkara pidana. Menyikapi banyaknya floating case ini, biasanya kejaksaan mengirimkan kembali kepada kepolisian, SPDP dan berkas perkara yang tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian. Pengembalian SPDP dan berkas perkara tersebut dilakukan untuk menghindari adanya tunggakan perkara di kejaksaan. Pengembalian tersebut, secara formal memang dapat mengakhiri ketidakpastian penanganan perkara di tingkat kejaksaan. Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 65
Namun secara substansial perkara tersebut tetap saja tidak ada kejelasan statusnya karena terhenti begitu saja. Akibatnya timbul ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat, khususnya korban dan pelapor, karena kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya tidak dapat diwujudkan. Hal ini berpotensi menyebabkan gagalnya sistem peradilan pidana dan turunnya kepercayaan masyarakat pada praktek penegakan hukum dan aparatur penegak hukum. Oleh karena itu, keberadaan lembaga pemeriksaan tambahan ini masih tetap diperlukan, namun dengan memperluas ruang lingkupnya. Beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam ruang lingkup pemeriksaan tambahan adalah sebagai berikut: Pertama, pemeriksaan tambahan harus dapat dilakukan terhadap tersangka. Ketentuan ini sangat diperlukan karena bisa jadi, dari pemeriksaan yang dilakukan terhadap para saksi ternyata diantara para saksi yang diperiksa layak untuk dijadikan tersangka. Bila pemeriksaan tambahan tidak boleh dilakukan terhadap tersangka, maka hal ini dapat menganggu penanganan perkara lebih lanjut karena tidak ada yang berwenang memeriksa ‘saksi’ yang layak jadi tersangka. Sebab tidak mungkin polisi melakukan pemeriksaan karena perkaranya sudah dilimpahkan atau diambil alih oleh jaksa. Selain itu, bila dalam pemeriksaan tambahan jaksa juga tidak bisa memeriksa tersangka ‘yang ditemukan’ dari para saksi, hal ini sebenarnya dapat mereduksi kebenaran sejati yang ditemukan dalam proses tersebut, sehingga keadilan yang dihasilkan ialah keadilan semu, bukan keadilan yang sesungguhnya. Pemeriksaan tersangka juga diperlukan karena bisa jadi dalam pemeriksaan saksi, perlu dilakukan konfrontasi dengan tersangka mengenai keterangan yang diberikan saksi, agar jaksa mampu melihat fakta hukum yang sebenarnya, sehingga upaya pembuktian dan 66
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
penuntutan perkara di pengadilan dapat berhasil dengan dipidananya terdakwa sesuai perbuatannya. Di sisi lain, jangan sampai orang yang tidak bersalah tetap dipaksakan untuk dibawa ke pengadilan dan dikenakan upaya paksa seperti penahanan. Hal ini tentu saja dapat melanggar hak asasi manusia dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Kedua, pemeriksaan tambahan sebaiknya tidak hanya dilakukan terhadap perkaraperkara yang sulit pembuktiannya, dan/ atau dapat meresahkan masyarakat, dan/ atau yang dapat membahayakan keselamatan negara, tetapi dilakukan terhadap 3 (tiga) jenis floating case sebagaimana temuan Pansus DPR. Sering kali tidak berlanjutnya perkara ke penuntutan, bukan karena sulitnya pembuktiannya, tetapi karena ada faktor lain yang tidak berkaitan dengan aspek yuridis, sebagaimana banyak perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P-21) namun tidak diikuti dengan penyerahan tersangka dan barang bukti. Hal ini diperlukan agar upaya agar memberikan jaminan atas hak-hak semua warga negara dapat terpenuhi, sebab bisa jadi perkara yang mandek tersebut sangat merugikan korban, akan tetapi karena yang bersangkutan tidak berdaya maka ia tidak bisa memperjuangkan hak-haknya. Oleh karena itulah negara berkewajiban melindungi hak asasi setiap warganya dengan menciptakan sitem peradilan pidana yang baik. Ketiga, dalam pemeriksaan tambahan sebaiknya juga mengatur pengambilalihan perkara oleh jaksa. Selama ini, pemeriksaan tambahan mengalami kendala, karena baru dapat dilakukan bila penyidik sudah menyatakan optima dan melimpahkan perkara ke jaksa. Sebelum diserahkan
penyidik, jaksa tidak dapat melakukan pemeriksaan tambahan, padahal penyidik hampir tidak pernah menyatakan optima dan melimpahkan perkaranya ke jaksa. Nampaknya penyidik, lebih cenderung membiarkan begitu saja perkara-perkara tersebut, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel tentang data perkara yang tidak ditindaklanjuti oleh penyidik.
disertai petunjuk tindak pidana dan pasal apa yang dapat disangkakan. 3) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik tidak memenuhi panggilan PU atau tidak segera mengirimkan berkas perkara ke PU setelah diberi petunjuk oleh PU, PU dapat mengambil alih pemeriksaan dan melakukan penuntutan.
Ketentuan tentang pengambilalihan perkara dapat dikelompokkan sesuai 3 (tiga) jenis perkara yang tidak ditindaklanjuti oleh penyidik, yaitu sebagai berikut: a.
Perkara yang SPDP-nya disampaikan ke jaksa, namun tidak ada tindak lanjutnya Terhadap perkara-perkara yang ada SPDP-nya, namun tidak ada tindak lanjutnya, jaksa dapat mengambil alih pemeriksaan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penyidik wajib mengirimkan berkas perkara ke penuntut umum (PU) dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari, setelah mengirimkan SPDP ke PU. 2) Dalam hal penyidik tidak mengirimkan berkas perkara dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam angka (1), PU dapat memanggil penyidik untuk menanyakan kelanjutan perkara. Pemanggilan tersebut diperlukan agar PU dapat menanyakan kasus posisinya, bila PU berpendapat dalam perkara tersebut tidak terdapat tindak pidana, PU dapat menyarankan kepada penyidik agar menghentikan penyidikan. Sebaliknya bila PU berpendapat ada tindak pidana, PU wajib memerintahkan penyidik agar segera melakukan pemberkasan
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
4) Turunan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka (3) wajib disampaikan PU kepada penyidik. b.
Perkara yang dikembalikan jaksa disertai petunjuk untuk dilengkapi (P18/P-19), namun tidak dikirim kembali oleh penyidik Perkara-perkara yang dikembalikan jaksa, namun tidak dikirim kembali oleh penyidik, jaksa dapat mengambil alih pemeriksaan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penyidik wajib melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk yang diberikan PU dan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari wajib mengirimkan kembali berkas perkara tersebut kepada PU. 2) Dalam hal penyidik mengirimkan kembali berkas perkara ke PU, namun sampai 3 (tiga) kali pengembalian berkas perkara tersebut masih belum lengkap, PU dapat mengambil alih pemeriksaan dan melakukan penuntutan. 3) Dalam hal penyidik tidak mengirimkan kembali berkas perkara yang dikembalikan PU dalam jangka waktu 28 (dua puluh delapan) hari, maka PU dapat mengambil alih pemeriksaan dan melakukan penuntutan.
Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 67
4) Dalam hal PU mengambil alih pemeriksaan, dalam waktu 7 (tujuh) hari penyidik wajib menyerahkan berkas perkara dan barang bukti yang dimilikinya kepada PU. 5) Dalam hal penyidik tidak memenuhi ketentuan dalam angka (4) maka yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan penyidik, minimal untuk waktu 1 (satu) tahun. 6) Turunan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf (2) wajib disampaikan PU kepada penyidik. c.
Perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P-21), namun tidak diikuti dengan penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) oleh penyidik. Terhadap perkara-perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P-21) namun tidak diikuti dengan penyerahan tersangka dan barang bukti oleh penyidik, jaksa dapat mengambil alih perkara dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penyidik wajib menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada PU paling lama 14 (tujuh) hari, apabila berkas perkara sudah dinyatakan lengkap (P-21). 2) Dalam hal penyidik tidak menyerahkan tersangka dan barang bukti sebagaimana ketentuan angka (1), PU dapat mengambil alih perkara dengan meminta penyidik segera melimpahkan tersangka dan barang bukti kepada PU. 3) Dalam hal permintaan PU sebagaimana dalam ketentuan angka (2) tidak dipenuhi penyidik dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari, yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan penyidik, minimal untuk waktu 1 (satu) tahun.
68
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Ketentuan mengenai pengambilalihan perkara oleh jaksa, dimaksudkan agar tidak ada lagi kasus-kasus mengambang karena berhenti begitu saja. Alternatif lain untuk menyelesaikan terjadinya kasus-kasus mengambang ialah dengan memasukkan ketentuan penyidikan lanjutan oleh jaksa dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan dalam UU Kejaksaan. Dengan adanya penyidikan lanjutan oleh jaksa maka perkara-perkara yang tidak ditindaklanjuti oleh penyidik dapat diambil alih jaksa, sebagaimana pada masa berlakunya HIR dan UU No. 15 Tahun 1961. Bahkan di banyak negara jaksa juga diberi kewenangan melakukan penyidikan, walaupun secara faktual jaksa hampir tidak pernah melakukan sendiri penyidikan. Adanya kewenangan penyidikan lanjutan secara tidak langsung juga dapat dijadikan sebagai sarana kontrol, agar penyidik bersungguh-sungguh dalam menyidik suatu perkara, karena bila tidak sungguh-sungguh penyidikannya dapat diambil alih oleh jaksa. Keberadaan penyidikan lanjutan oleh jaksa juga dapat dijadikan sarana bagi pencari keadilan, khusunya korban atau pelapor, bila mereka tidak puas atas kinerja penyidik karena mendiamkan atau mengambangkan perkara yang dilaporkannya. Di negara-negara yang sistem penuntutannya mengikuti tradisi Eropa Kontinental, dalam KUHAP-nya biasanya mencantumkan jaksa sebagai salah satu penyidik. Bahkan dalam KUHAP Belanda jaksa ditempatkan sebagai penyidik pada urutan pertama, baru disusul penyidikpenyidik yang lainnya. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya jaksa hampir tidak pernah melakukan tugas penyidikan tetapi mensupervisi jalannya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Ditetapkannya jaksa sebagai penyidik salah satu tujuannya ialah agar jaksa bisa melakukan penyidikan sendiri bila penyidik tidak menindaklanjuti laporan masyarakat.
Dengan adanya kewenangan penyidikan yang dimiliki jaksa ini, penyidik menjadi sungguh-sungguh dalam melakukan penyidikan karena kalau ‘bermain-main’, percuma saja sebab perkaranya dapat diambil alih jaksa. Implikasinya penyidik menjadi professional sehingga jaksa di Belanda hampir tidak pernah melakukan penyidikan. Perluasan kewenangan pemeriksaan tambahan atau pun penghidupan kembali penyidikan lanjutan oleh jaksa sangat diperlukan agar tidak ada lagi kasus-kasus yang penyelesaiannya tidak jelas atau mengambang. Sebab dengan ketidakjelasan penyelesaian suatu perkara, hal tersebut sangat bertentangan dengan asas kepastian hukum dan dapat menimbulkan ketidakadilan karena merugikan pencari keadilan. Semua ini diperlukan agar tujuan akhir dari hukum acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh Andi hamzah, yaitu mencapai ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat dapat terwujud dengan baik, sehingga cita-cita para pendiri bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terpenuhi. Selanjutnya setelah penyempurnaan aturan dilakukan, maka kejaksaan harus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas yang baik, khususnya di bidang penyidikan. Sebab dengan diperluasnya aturan tentang pemeriksaan tambahan atau disetujuinya aturan tentang penyidikan lanjutan, maka perlu ada tambahan SDM yang memiliki keahlian, khususnya di bidang penyidikan, karena pada hakekatnnya substansi pemeriksaan tambahan sama dengan substansi penyidikan, yaitu mengumpulkan alat bukti yang dapat mendukung tugas penuntutan yang dilakukan oleh jaksa. Oleh karena itu, perlu rekruitmen tenaga jaksa dan staf yang JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
bertugas membantu jaksa dalam melakukan pemeriksaan tambahan/penyidikan lanjutan agar pelaksanaan pemeriksaan tambahan/ penyidikan lanjutan mampu mendukung kegiatan penuntutan yang dilaksanakan oleh jaksa.
III. PENUTUP Keberadaan lembaga pemeriksaan tambahan sangat diperlukan untuk menyelesaikan floating case dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta menjamin kepastian hukum dan melindungi hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, terdakwa, korban, maupun kepentingan umum. Namun secara faktual peran tersebut belum dapat dilaksanakan dengan baik karena kewenangan ini jarang dilakukan jaksa disebabkan tidak adanya pelimpahan perkara dari penyidik. Akibatnya floating case yang banyak terjadi setelah berlakunya KUHAP, sampai sekarang masih tetap terjadi dan menjadi tumpukan perkara yang tidak jelas penyelesaiannya. Oleh karena itu, perlu ada perluasan kewenangan pemeriksaan tambahan diantaranya ialah dengan menambahkan aturan tentang pengambilalihan perkara, sanksi bagi penyidik yang tidak menyerahkan perkara dan pemeriksaan terhadap tersangka. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka mengefektifkan peran lembaga pemeriksaan tambahan agar mampu menyelesaikan masalah floating case demi terwujudnya kepastian dan keadilan bagi setiap warga negara. Perluasan kewenangan pemeriksaan tambahan ini harus dimasukkan dalam amandemen UU Kejaksaan. Alternatif lainnya ialah dengan menghidupkan kembali lembaga penyidikan lanjutan oleh jaksa yang dulu pernah diatur dalam HIR dan UU Kejaksaan 1961, dan yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh negara-negara yang menganut sistem Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 69
penuntutan Eropa Kontinental. Ketentuan mengenai penyidikan lanjutan perlu dimuat dalam KUHAP, oleh karenanya harus ada amandemen terhadap KUHAP. Selain diatur dalam KUHAP, penyidikan lanjutan juga perlu diatur dalam UU Kejaksaan sehingga dalam amandemen UU Kejaksaan materi tentang penyidikan lanjutan perlu dimasukkan sebagai pengganti materi pemeriksaan tambahan. Namun demikian, perubahan dari pemeriksaan tambahan ke penyidikan lanjutan ini bukan hanya perubahan penggunaan istilah saja, tetapi juga harus diikuti dengan perubahan substansi, yaitu substansinya sama dengan penyidikan lanjutan sebagaimana dulu pernah diatur dalam HIR dan UU No. 15 Tahun 1961.
DAFTAR PUSTAKA Buku, Makalah, dan Internet: Abidin. A.Z. Usul Perbaikan Kata dan Usul Tambahan untuk Memperkuat Pendapat Bahwa Kejaksaan Agung Termasuk Jabatan Negera yang Bersama-sama dengan Mahkamah Agung Memegang Kekuasaan Kehakiman. Makalah, Makasar: 24 April 2004; Effendy, Marwan. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005; Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana di Luar KUHAP Sebagai Lex Spesialis. Makalah disampaikan dalam Seminiar Nasional di Pusdiklat Kejaksaan. Jakarta: 3 Desember 2008; ——-—.Membangung Moralitas Jaksa sebagai Jaksa Profesional. Makalah seminar, Jakarta, 11 Desember 2003;
70
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
—--—. Kelemahan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi. Makalah seminar, Jakarta, 28 September 2004; ———. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika, 2001; ———. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985; ———-, dan RM. Surachman. Peranan Jaksa Di Berbagai Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995; Harahap, M. Yahya. Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2001; ———. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2003; H t t p : / / w w w. e n c y c l o . n l / b e g r i p / Actori%20incumbit%20probatio. Diakses tanggal 26 September 2012; Http://id.shvoong.com/law-and-politics/ criminal-law/2170972-pengertianpembuktian/.Diakses tanggal 8 Agustus 2012; Kejaksaan Agung RI. Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia (19451985). Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1985; Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. (Penterjemah: Nirwono dan AE Priyono). Jakarta: LP3ES, 1990; Martokusumo, Sudikno. Hukumm Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Penerbit LIBERTY, 1998; Nusantara, Abdul Hakim G. et. al. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dan Peraturan-Peraturan Pelaksana. Jakarta: Djambatan, 1986;
Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 2007;
“Penuntut Umum Sebagai Pihak Yang Mempunyai Beban Pembuktian dalam Penuntutan Perkara Pidana”. Dalam http://lp3madilindonesia. b l o g s p o t . c o m / 2 0 11 / 0 1 / b e b a n pembuktian-penuntut.html. Diakses tanggal 27 September 2012;
Siregar, Bismar. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Penerbit Binacipta, 1983;
Poernomo, Bambang. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1984; Ramelan. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2006; Reksdiputro, Mardjono. “Mengembangkan Pendekatan Terpadu Dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Pemikiran Awal) dalam: Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997; —-—--.”Menuju pada Satu Kebijakan Kriminal (Lembaga Pra-Penuntutan sebagai Ruang Komunikasi”) dalam: Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997; ——-—.”Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai Bagian dari Hak-Hak Warga Negara (Civil Rights)”, dalam: Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994; Santoso, Topo. Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan. Depok: Pusat Studi Peradilan Pidana, 2000; Sasangka, Hari. Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Soerya, Cristina. et. al. Kedudukan Kejaksaan Agung Sebagai Penegak Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Puslitbang Kejaksaan Agung RI, 2001; Subekti, R. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003; Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981; Sunaryo, Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, 2005; Surahman, RM. Mozaik Hukum I: 30 Bahasab Terpilih”. Jakarta: Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I., 1996; Tak, Peter J.P. “The Dutch Prosecution Service”. Dalam: Taks and Powers of the Prosecution Service in the EU Member States. Peter J.P. Tak (ed.). Nijmegen Netherlands: Wolf Legal Publisher, 2004; Tim Penyusun. Naskah Akadmik RUU Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2012 (Draft 10 April 2012). Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 2012; Tirtaamidjaja, M.H. Kedudukan Hakim dan Djaksa dan Atjara Pemeriksaan Perkara-Perkara Pidana dan Perdata. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1990; Yahya, Iip D. Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Soeprapto dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1959. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Peraturan Perundang-undangan: Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Peran Lembaga... (Khunaifi Alhumami) 71
Republik Indonesia. LNRI Tahun 2004 Nomor 67, TLNRI Nomor 4401; ———. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. LNRI Tahun 1991 Nomor —, TLNRI Nomor 3451; ———. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. LNRI Tahun 1981 Nomor 76, TLNRI Nomor 3209;
72
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
———.Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. LNRI Tahun 1961 Nomor 254, TLNRI Nomor 2298.
Hasil penelitian/survei
SURVEY INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KINERJA BIDANG PEMBINAAN (Research finding : The Survey Of Public Satisfaction Index On The Performance Of Advancement Department) Sri Humana Lagustiani Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung (Diterima tanggal 3 Oktober 2012, disetujui tanggal 5 Nopember 2012) Abstrak Mengukur indeks kepuasan masyarakat (IKM) dalam memberikan pelayanan berkaitan erat dengan konsep dan prinsip-prinsip pokok reformasi birokrasi. Survei indeks kepuasan masyarakat ini untuk mengetahui kinerja Kejaksaan. Survei ini hanya dilakukan pada bidang pembinaan yang meliputi 9 (sembilan) unit kerja, yaitu Sesjambin, Biro Perencanaan, Biro Hukum, Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Perlengkapan, Biro Peralatan, Pusat Litbang, Pusat Daskrimti. Data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat memproleh pelayanan. Sampel diambil secara acak ( random ). Responden masing-masing unit kerja 150 orang dengan keseluruhan responden 1350 orang. . Data diolah menurut teknik pengukuran metoda exel (aplikasi excel). Hasil survey menyebutkan bahwa : kepuasan masyarakat terhadap satuan kerja bidang pembinaan dengan nilai baik, yaitu : Nilai persepsi 3 ; Nilai Interval IKM 2,51 – 3,25 ; Nilai Interval Konversi IKM 62,51 – 81,25 ; Mutu pelayanan kinerja “Baik” (= B ). Skor tertinggi pada unit kerja Pusat Data statistik kriminal dan teknologi informasi. Sedangkan IKM terendah ada pada unit kerja biro kepegawaian dengan skor 64,799. Umumnya ketidak puasan masyarakat terletak pada “Prosedur Pelayanan” , sedangkan kepuasan tertinggi masyarakat pada”Keamanan dan Kenyamanan dalam memberikan pelayanan”. Kata Kunci : (Indeks Kepuasan Masyarakat, Kinerja, Kejaksaan ). Abstract Measuring community satisfaction index ( IKM ) in providing services closely related to the concept and basic principles of bureaucratic reform. This IKM survey aims to determine the performance of attorneys. This survey is only done in the field of Pembinaan which includes nine (9) units: Sesjambin, Biro Perencanaan, Biro Hukum, Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Perlengkapan, Biro Peralatan, Pusat Litbang, and Pusat Daskrimti. Data and information about the level of community satisfaction obtained from the quantitative and qualitative measurements on the opinion of people who obtain services. Sampling were taken at random (random sampling), respondents in each work unit amounted to 150 for a total of respondents were 1350 respondents. The data is processed according to the the measurement technique by using the excel method (microsoft office excel programs). The result of research reveals that community satisfaction the units of Pembinaan are “good”, perception of value 3; interval value IKM 2.51 to 3.25; interval value conversion IKM 62.51 to 81.25; quality of service performance is “Good” ( =B ). The highest score is the Pusat Daskrimti unit. While the index is lowest public satisfaction is Biro Kepegawaian unit with a score of 64.799. Generally, public dissatisfaction is based on “procedure of services”, while the highest satisfaction based on the “safety and comfort in providing services”. Keywords: Public Satisfaction Index, Performance, Attorney.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Survey Indeks... (Sri Humana Lagustiani) 73
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengukur indeks kepuasan masyarakat dalam memberikan pelayanan berkaitan erat dengan konsep dan prinsip-prinsip pokok reformasi birokrasi. Kata reformasi sampai saat ini ditujukan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan yang berkaitan dengan norma-normanya. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka dengan reformasi ini akan terjadilah keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsipprinsip umum dalam masyarakat .Khan (1981) 1 memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976)2 mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara 1
2
Siswoyo22, Reformasi Birokrasi Menuju Pelayanan Efektif dan Efesien kepada Masyarakat, Februari 20, 2008. ibid
74
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
efektif dan efisien. Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni pemerintah dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Suatu pelayanan publik yang tidak efisien masih dapat dimaklumi sepanjang pelayanan itu efektif bagi masyarakat (Putra :19)3. Efektivitas dapat dilihat dari 3 pendekatan yakni: Pendekatan Sasaran (goal approach), mengukur efektivitas dari segi output; Pendekatan Sumber (system resource approach), melihat dari inputnya; Pendekatan Proses (process approach), yakni menekankan pada faktor internal organisasi publik, seperti efisiensi dan iklim organisasi. Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga. Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang biasanya disebut pegawai Sipil dengan istiah Aparatur Pemerintah. Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya dan diberi mandat oleh negara dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna 3
ibid
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat . Birokrasi dalam pengertian keseharian selalu dimaknai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat (Tjokrowinoto:112)4. Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik kelemahan. Disadari atau tidak pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagaimana diamanatkan dalam undangundang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasionan ( Propenas ) adalah menyusun Indeks Kepuasan Masyarakat sebagai tolak ukur terhadap optimalisasi kinerja pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat. Kebijakan Kejaksaan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dilaksanakan secara konsisten dengan memperhatikan kebutuhan dan harapan masyarakat, sehingga pelayanannya dapat diberikan secara cepat, tepat, murah, terbuka, sederhana dan mudah dilaksanakan serta tidak diskriminatif. Oleh karena itu peningkatan kualitas pelayanan merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara terusmenerus dan berkelanjutan oleh unit kerja pada semua tingkatan. Untuk mengetahui kinerja unit-unit kerja di lingkungan kejaksaan perlu dilakukan penilaian, melalui penyusunan indeks kepuasan masyarakat, sebagai tolak 4
ibid JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
ukur terhadap optimalisasi kinerja pelayanan publik. Survey kinerja Kejaksaan ini dilakukan pada bidang pembinaan yang meliputi 9 (sembilan) unit kerja, yaitu Sesjambin, Biro Perencanaan, Biro Hukum, Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Perlengkapan, Biro Peralatan, Pusat Litbang, Pusat Daskrimti. Hasil survey indeks kepuasan masyarakat ini akan dapat menjadi bahan penilaian terhadap unsur pelayanan yang masih perlu perbaikan dan menjadi pendorong setiap unit penyelenggara pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.
B. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dilakukan Survey Indeks kepuasan masyarakat adalah : 1.
untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan di lingkungan Jaksa Agung Muda Pembinaan yang terdiri dari 9 (Sembilan ) unit kerja, yang dapat digunakan untuk melihat gambaran kinerja pelayanan unit yang bersangkutan.
2.
sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan public.
C. Manfaat Survey Manfaat dilakukan survey indeks kepuasan masyarakat : 1.
Diketahui kelemahan dari masingmasing unit penyenggara pelayanan guna perbaikan;
2.
Diketahui kinerja penyelenggara pelayanan yang telah dilaksanakan ;
3.
Sebagai bahan penetapan kebijakan yang perlu diambil dan upaya yang perlu dilakukan; Survey Indeks... (Sri Humana Lagustiani) 75
4.
Diketahui indeks kepuasan masyarakat secara menyeluruh terhadap hasil pelaksanaan pelayanan public pada lingkup Jaksa Agung Muda Pembinaan;
5.
Memacu persaingan positf, antar unit penyelenggara pelayanan dalam upaya peningkatan pelayanan ;
6.
Diketahui gambaran kinerja unit pelayanan.
E. Ruang Lingkup Runag lingkup survey indeks kepuasan masyarakat ini terbatas pada kinerja Jaksa Agung Muda Pembinaan yang meliputi 9 (sembilan) unit kerja, yaitu Sesjambin, Biro Perencanaan, Biro Hukum, Biro Kepegawaian, Biro Umum, Biro Perlengkapan, Biro Peralatan, Pusat Litbang, Pusat Daskrimti.
GAMBARAN UMUM KEJAKSAAN D. Sasaran survey Survey indeks kepuasan masyarakat ini dilakukan pertama kali di lingkungan Kejaksaan, pada unit-unit kerja bidang Pembinaan tentang penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Sasaran yang hendak dicapai adalah : 1.
Untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja unit-unit pelayanan bidang pembinaan dalam memberikan pelayanan;
2.
Penataan system, mekanisme dan prosedur pelayanan, sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara lebih berkualitas, berdayaguna dan berhasil guna;
3.
Tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan public.
Yang dimaksud Masyarakat dalam survey ini adalah Masyarakat/pegawai di lingkungan kejaksaan yang pernah atau sedang menerima pelayanan dari unit-unit penyelengara pelayanan bidang pembinaan Kejaksaan Agung RI. Yang dimaksud unsur pelayanan adalah factor atau aspek yang terdapat dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat sebagai variable penyusunan indeks kepuasan masyarakat untuk mengetahui kinerja unit pelayanan. 76
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
A. Langkah Pembaharuan dan Reformasi Birokrasi Kejaksaan Secara umum mutu pelayanan aparatur pemerintah disegala bidang dirasakan masih lemah dan rendah, oleh karena itu sebagai aparatur pelayan publik pemerintah perlu terus menerus berupaya meningkatan mutu pelayanan.Bahwa tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan public semakin meningkat, hal ini sejalan dalam upaya mewujudkan good governance untuk menjawab tunutan masyarakat pengguna layanan. Pembaharuan hukum yang dilakukan Kejaksaan antara lain dengan optimalisasi kinerja melalui Reformasi Birokrasi. Hal ini merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan secara bertahap. Sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, yang menyatakan bahwa “Pembangunan aparatur Negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparat Negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik”. Tuntutan mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bagi kejaksaan sebagai aparatur Negara banyak mendapat sorotan publik terutama dalam menjamin terciptanya kepastian hukum. Dilaksakannnya reformasi birokrasi karena, kejaksaan sebagai salah satu
lembaga penegak hokum masuk dalam kualifikasi prioritas pertama bagi lembaga penegak hokum dalam seluruh program reformasi birokrasi yang dikoordinasikan oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara. Sedangkan tujuan dan Sasaran Reformasi Birokrasi adalah untuk membangun/membentuk profil lembaga dan perilaku pegawai Kejaksaan agar mempunyai integritas tinggi, produktifitas tinggi, bertanggungjawab dan mampu memberikan pelayanan prima pada masyarakat. B. Gambaran dan struktur unit kerja Bidang Pembinaan Berdasarkan peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-009/A/JA/ 01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Agun Pembinaan adalah unsure pembantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pembinaan, bertanggungjawab kepada Jaksa Agung. Lingkup bidang pembinaan meliputi pembinaan atas perencanaa, pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, organisasi dan ketatalaksanaan, kepegawaian, pengelolaan kekayaan milik Negara, pertimbangan hokum, penyusunan peraturan perundang-undangan, kerjasama luar negeri, pelayanan dan dukungan teknis lainnya. Susunan organisasi Jaksa Agung Muda Pembinaan terdiri dari : a. b. c. d. e. f.
Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan ; Biro perencanaan ; Biro Umum ; Biro Kepegawaian ; Biro Keuangan ; Biro Perlengkapan, dan JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
g.
Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
Selain itu unit kerja yang secara administrative dan birokrasi berada pada Jaksa Agung Muda Pembinaan namun bertanggungjawab langsung pada Jaksa Agung adalah : 1. 2.
Pusat Penelitian dan Pengembangan ; Pusat Data, Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi.
SURVEY INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT. 1.
Pengertian Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM )dan Unsurunsurnya
Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memeproleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan public dengan memebandingkan antara harapan dan kebutuhannya. Unsur Indeks Kepuasan Masyarakat terdiri dari 14 unsur pelayanan, yaitu : 1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan. 2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang diperlukan untuk mendapat pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya. 3.
Kejelasan pelayanan, yaitu kebaradaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan.
4.
Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama Survey Indeks... (Sri Humana Lagustiani) 77
lingkungan unit pemnyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pleyanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku. 5.
Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan hingga penyelesaian pelayanan.
6.
Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.
7.
Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8.
Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pemberian pelayanan dengan tidak membedakan pangkat, golongan/status jabatan masyarakat yang dilayani.
9.
Kesopanan dan keramahan pelayanan, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah saling menghargai dan menghormati.
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan. 11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
2.
Langlah-langkah survey IKM
a.
Lokasi dan sample survey
Survey dilakukan di 5 (lima) wilayah hukum kejaksaan tinggi dengan masingmasing 4 (empat) kejaksaan negeri yang berdekatan dengan kejaksaan tinggi dan yang relative jauh dengan wilayah hokum kejaksaan tinggi. Pengambilan sample lokasi survey ini diharapkan akan relative objektif dalam membrikan penilaian kinerja. Penunjukan lokasi penelitian dilakukan secara acak. Adapun wilayah hukum kejaksaan tinggi tersebut adalah : 1.
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, meliputi kejaksaan negeri Bandung; Kejaksaan negeri Tasikmalaya, kejaksaan negeri Garut, Kejaksaan negeri Ciamis, kejaksaan negeri Banjar.
2.
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, meliputi Kejaksaan negeri Semarang ; Kejaksaan negeri Kendal , Kejaksaan negeri Pekalongan, Kejaksaan negeri Demak, Kejaksaan negeri Kudus.
3.
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, meliputi Kejaksaan negeri Medan ; Kejaksaan negeri Lubukpakam Kejaksaan negeri Belawan, Kejaksaan negeri Binjai, Kejaksaan negeri Stabat.
4.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, meliputi Kejaksaan negeri Kejaksaan Negeri Makasar; Kejaksaan Negeri Maros; Kejaksaan Negeri Sungguhminasa; Kejaksaan Negeri Pangkep; Kejaksaan Negeri Takalar
12. Kepastian jadual pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 13. Kenyamanan lingkungan, kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih , rapid an teratur sehingga dapat memebrikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan. 14. Keamanan terjaminnya 78
pelayanan, yaitu tingkat keamanan
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
5.
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, meliputi kejaksaan negeri Samarinda; Kejaksaan negeri Tenggarong, kejaksaan negeri Balikpapan, Kejaksaan negeri Bontang , kejaksaan negeri Penajam.
b.
Sample dan Responden survey
1.
Teknik pengambilan sample
Sample diambil secara acak ( random ), responden masing-masing unit kerja 150 orang, keseluruhan responden 1350, terdiri dari jaksa dan pegawai tata usaha, dengan rincian dan karakteristik responden sebagai berikut : a.
b.
c.
d.
c.
Pelaksanaan pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan di aula kejaksaan ( kejaksaan tinggi/negeri ), diawali dengan pengarahan tentang tatacara pengisian kuistioner . Isian data terdiri dari 14 unsur pelayanan yang telah ditetapkan dalam kuistioner. d. Pengolahan data Data pendapat masyarakat yang terisi dalam kuistioner diedit dengan melakukan penomoran, kemudian dikompilasi umur; jenis kelamin; pendidikan, dan jabatan responden. Data diolah menurut teknik pengukuran metoda exel.
Berdasarkan usia, responden yang menjawab kuistioner tertinggi adalah responden usia antara 46 – 50 tahun yaitu 1349 responden ( 99,93 % ), sedangkan responden usia 61 – 65 tahun paling sedikit yang memberikan tanggapan yaitu 1 responden ( 0,07 %).
HASIL PENGOLAHAN DATA IKM
Berdasarkan jenis kelamin, responden yang menjawab kuistioner tertinggi adalah responden jenis kelamin laki-laki 903 responden ( 66,96% ), perempuan 447 responden ( 33,04 % ).
1.
Nilai persepsi 3 ;
2.
Nilai Interval IKM 2,51 – 3,25
3.
Nilai Interval Konversi IKM 62,51 – 81,25
Berdasarkan jabatan/pekerjaan, responden yang menjawab kuistioner tertinggi adalah responden jaksa 859 (63,63 %) sedangkan responden pegawai TU 471 ( 34,89 % ), tanpa menyebut jabatan 20 responden (1,48%).
4.
Mutu pelayanan kinerja Baik ( B ).
Berdasarkan pendidikan, responden dengan pendidikan SLTP 2 responden (0,15%), pendidikan SLTA 214 responden ( 15,58% ), pendidikan Diploma 26 responden ( 1,93% ), S1 791 responden ( 58,59% ), S2 306 responden ( 22,6% ) dan S3 10 responden ( 0,47% ), tanpa menyebut pendidikan 1 responden ( 0,07% ). JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Dari data yang masuk dan setelah diolah dengan rumus yang sudah ditentukan (aplikasi excel ) maka dari 9 unit kerja yang ada di pembinaan umumnya dengan nilai baik, yaitu :
Skor tertinggi indeks kepuasan masyarakat bidang pembinaan pada unit kerja Pusat Data statistik kriminal dan teknologi informasi dengan skor 70,669; sedangkan indeks kepuasan masyarakat terendah ada pada unit kerja biro kepegawaian dengan skor 64,799. Adapun urutan skor hasil indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut5: 1. Pusat Data statistik kriminal dan teknologi informasi 70,669; 2. Biro Umum 70,657 3. Biro Perencanaan 70,018 5
Penyusunan urutan dilakukan berdasarkan peringkat hasil survei
Survey Indeks... (Sri Humana Lagustiani) 79
4.
Pusat Penelitian dan Pengembangan 69,793 Biro Hukum 69,790 Biro Keuangan 69,746 Sesjambin 69,746 Biro Perlengkapan 69,353 Biro Kepegawaian 64,799
5. 6. 7. 8. 9.
skor tertendah ada pada unsure kecepatan dalam memberikan pelayanan yaitu NRR 2,733 Skor tertinggi NRR 3,140 pada keamanan pelayanan. 2. Unit Kerja Biro Umum
Berikut ini hasil penilaian atas kepuasan masyarakat masing-masing unit yang ada pada bidang pembinaan dengan unsur yang mempunyai nilai terendah dan tertinggi, yaitu :
No.
1.
Unit Kerja Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi UNSUR PELAYANAN
No.
NILAI RATA-RATA
UNSUR PELAYANAN
NILAI RATA-RATA
U1
Prosedur pelayanan
2.740
U2
Persyaratan pelayanan
2.807
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.853
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.833
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.913
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.907
U7
Kecepatan pelayanan
2.687
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.827
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.947
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.780
U1
Prosedur pelayanan
2.707
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.707
U2
Persyaratan pelayanan
2.793
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.733
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.840
U13
Kenyamanan lingkungan
3.013
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.853
U14
Keamanan pelayanan
3.020
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.927
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.880
U7
Kecepatan pelayanan
2.733
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.853
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.973
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.780
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.767
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.753
U13
Kenyamanan lingkungan
2.953
U14
Keamanan pelayanan
2.947
Keterangan: - U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
Keterangan: - U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur UNIT PELAYANAN : 70,659 = 70.66
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
UNIT PELAYANAN : 70,669 = 70.67
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
80
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Skor terendah dengan NRR : 2,687 Skor tertinggi dengan NRR : 3,027
4.
3. Biro Perencanaan UNSUR PELAYANAN
No.
NILAI RATA-RATA
U1
Prosedur pelayanan
2.707
U2
Persyaratan pelayanan
2.813
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.860
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.860
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.907
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.880
U7
Kecepatan pelayanan
2.713
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.787
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.933
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.780
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.640
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.707
U13
Kenyamanan lingkungan
2.920
U14
Keamanan pelayanan
2.967
Unit Kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan UNSUR PELAYANAN
No.
NILAI RATA-RATA
U1
Prosedur pelayanan
2.660
U2
Persyaratan pelayanan
2.827
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.820
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.807
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.867
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.853
U7
Kecepatan pelayanan
2.720
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.840
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.860
U10
Kewajaran biaya pelayanan
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.693
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.667
U13
Kenyamanan lingkungan
2.927
U14
Keamanan pelayanan
2.953
Keterangan: - U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur UNIT PELAYANAN : 70,018 = 70.02
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
Keterangan: - U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur UNIT PELAYANAN : 69,793 = 69.79
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
Skor terendah tentang Kepastian biaya pelayanan NRR 2,640, Unsur dengan skor tertinggi keamanan pelayanan.dengan NRR 2,967.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
Skor terendah dengan NRR : 2,660 Skor tertinggi dengan NRR : 2,953
Survey Indeks... (Sri Humana Lagustiani) 81
5. Unit Kerja Biro Hukum UNSUR PELAYANAN
No.
6.
Unit Kerja Biro Keuangan
NILAI RATA-RATA
No.
UNSUR PELAYANAN
NILAI RATA-RATA
U1
Prosedur pelayanan
2.653
U1
Prosedur pelayanan
2.627
U2
Persyaratan pelayanan
2.847
U2
Persyaratan pelayanan
2.773
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.807
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.827
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.833
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.833
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.900
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.873
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.893
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.880
U7
Kecepatan pelayanan
2.720
U7
Kecepatan pelayanan
2.720
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.880
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.807
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.873
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.913
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.780
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.780
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.673
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.667
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.718
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.693
U13
Kenyamanan lingkungan
2.880
U13
Kenyamanan lingkungan
2.940
U14
Keamanan pelayanan
2.880
U14
Keamanan pelayanan
2.960
Keterangan:
Keterangan: - U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur UNIT PELAYANAN : 69,790 = 69,79
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
Nilai terendah adalah Prosedur Pelayanan NRR 2,653 . Nilai tertinggi Tanggungjawab Petugas Pelayanan NRR 2,900.
82
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
- U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur UNIT PELAYANAN : 69,749 = 69,75
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
Nilai terendah pada procedure pelayanan (2,627) sedangkan nilai tertinggi keamanan pelayanan (2,960)
7. Unit Kerja Sesjambin UNSUR PELAYANAN
No.
8.
Unit Kerja Biro Perlengkapan
NILAI RATA-RATA
No.
UNSUR PELAYANAN
NILAI RATA-RATA
U1
Prosedur pelayanan
2.573
U1
Prosedur pelayanan
2.667
U2
Persyaratan pelayanan
2.747
U2
Persyaratan pelayanan
2.780
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.720
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.853
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.873
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.773
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.860
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.805
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.887
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.880
U7
Kecepatan pelayanan
2.607
U7
Kecepatan pelayanan
2.753
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.687
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.780
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.907
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.887
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.673
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.780
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.587
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.687
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.687
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.627
U13
Kenyamanan lingkungan
2.873
U13
Kenyamanan lingkungan
2.940
U14
Keamanan pelayanan
2.947
U14
Keamanan pelayanan
2.960
Keterangan:
Keterangan: - U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur UNIT PELAYANAN : 69,749 = 69,75
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
Nilai terendah adalah unsur prosedur pelayanan dengan skor NRR 2,573, Sedangkan nilai tertinggi adalah unsur keamanan pelayanan NRR 2,947.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
- U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur UNIT PELAYANAN : 69,353 = 69,35
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
: : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
Unsur dengan skor terendah adalah kepastian jadwal pelayanan dengan NRR 2,627, Unsur dengan skor tertinggi pelayanan keamanan dengan NRR 2,900
Survey Indeks... (Sri Humana Lagustiani) 83
KESIMPULAN DAN SARAN
9. Unit Kerja Kepegawaian UNSUR PELAYANAN
No.
NILAI RATA-RATA
U1
Prosedur pelayanan
2.387
U2
Persyaratan pelayanan
2.547
U3
Kejelasan petugas pelayanan
2.567
U4
Kedisiplinan petugas pelayanan
2.647
U5
Tanggung jawab petugas pelayanan
2.720
U6
Kemampuan petugas pelayanan
2.753
U7
Kecepatan pelayanan
2.433
U8
Keadilan mendapatkan pelayanan
2.473
U9
Kesopanan dan keramahan petugas
2.813
U10
Kewajaran biaya pelayanan
2.780
U11
Kepastian biaya pelayanan
2.520
U12
Kepastian jadwal pelayanan
2.480
U13
Kenyamanan lingkungan
2.780
U14
Keamanan pelayanan
2.387
A. Kesimpulan 1.
2.
Keterangan: - U1 s.d. U14 - NRR - IKM - *) - **) NRR Per Unsur
= = = = = =
Unsur-unsur pelayanan Nilai rata-rata Indeks Kepuasan Masyarakat Jumlah NRR IKM tertimbang Jumlah NRR tertimbang x 25 Jumlah nilai per unsur dibagi Jumlah Kuisioner yang terisi NRR tertimbang = NRR per unsur x 0,071 Per Unsur
3.
Hasil survey atas kepuasan masyarakat terhadap satuan kerja bidang pembinaan yang terdiri atas 9 (Sembilan ) unit kerja dengan nilai Baik yaitu : Nilai persepsi 3 ; Nilai Interval IKM 2,51 – 3,25 ; Nilai Interval Konversi IKM 62,51 – 81,25 ; Mutu pelayanan kinerja Baik ( B ). Skor tertinggi indeks kepuasan masyarakat bidang pembinaan pada unit kerja Pusat Data statistik kriminal dan teknologi informasi dengan skor 70,669; sedangkan indeks kepuasan masyarakat terendah ada pada unit kerja biro kepegawaian dengan skor 64,799. Umumnya ketidak puasan masyarakat atas pelayanan masing-masing unit kerja adalah pada Prosedur Pelayanan , sedangkan kepuasan tertinggi masyarakat pada Keamanan dan Kenyamanan dalam memberikan pelayanan.
UNIT PELAYANAN : 64,799 = 64,80
Mutu Pelayanan: A (Sangat Baik) B (Baik) C (Kurang Baik) D (Tidak Baik)
B. Saran. : : : :
81,26 - 100,00 62,51 - 81,25 43,76 - 62,50 25,00 - 43,75
Unsur dengan skor terendah adalah prosedur pelayanan dengan NRR 2,387, Unsur dengan skor tertinggi unsur keamanan pelayanan dengan NRR 2,827
84
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
1.
Meskipun hasil penilaian satuan kerja bidang pembinaan sudah baik, tetapi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat bisa ditingkatkan lagi menuju mutu kinerja lebih baik lagi ( sangat baik ).
2.
Hasil penilaian ini agar dijadikan sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan menata system, mekanisme dan prosedur pelayanan yang lebih berkualitas, bergaya guna dan berhasil guna.
3.
Membuat standar operasional prosedur yang jelas sebagai upaya peningkatan kaualitas pelayanan public.
Daftar Pustaka Agus Dwiyanto, dkk Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia —————— Reformasi Birokrasi public Indonesia Benveniste, Guy. Birokrasi. Jakarta 1997: PT Raja GrafindoPersada Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik di Indonesia Mostopadidjaja AR. “Reformasi Birokrasi Sebagai syarat Pemberantasan KKN”, Jakarta 2003 Pramusinto Agus dan Erwan Agus Purwanto. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Jakarta, 2009 Siswoyo22, Reformasi Birokrasi Menuju Pelayanan Efektif dan Efesien kepada Masyarakat, Februari 20, 2008. Susanto, Heri, “Ditjen Pajak Juara Kena Sanksi Pelanggaran”, diakses dari situs http://
[email protected] Taufiq Effendi, “Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance”, Sumber Lain : Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Nasional (PROPENAS) tahun 2000 – 2004,
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 1 - Nopember 2012
(Lembaran Negara RI, tahun 2000 nomor 206 ); ————, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. ( Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 67 ); ————, Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 38 tahun 20120 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia ); ————, Intrukesi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Kepada Masyarakat ; ————, Keputusan Men PAN Nomor 63/ Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik; ————, Keputusan MenPAN Nomor 25/ M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah ; ————, Peraturan MenPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 tahun 2012 tentang Petunjuk Tekhnis Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan Program Reformasi Birokrasi di Kejaksaaan Republik Indonesia ( Area perubahan).
Survey Indeks... (Sri Humana Lagustiani) 85