Dari Redaksi Salam hangat para pembaca Geospasial, Edisi Agustus tahun 2013 telah terbit. Kontribusi alumni dan mahasiswa terus memberikan informasi terkini tentang kemajuan ilmu geografi dan aktifitas alumni geografi. Topik yang dibahas antara lain tentang kemajuan salah satu software SIG yakni Tools untuk Extract, Transform dan Load (ETL) serta teknologi penginderaan jauh DINSAR. Liputan pada acara The 8th International Symposium on Digital Earth 2013 di Kuching, Malaysia menambah wawasan. Beberapa kontribusi alumni yang sudah diterbitkan pada media lain disajikan sebagai pelengkap kegiatan alumni geografi UI seperti Jakarta Diizinkan Kebanjiran dan Kisah Pendakian Cartenz. Akhir kata selamat membaca, sukses selalu, atas kebersamaan civitas geografi UI.
Salam Redaksi
Daftar Isi
Wujudkan Mimpi di KPK (alumni Geo UI, bekerja di KPK)
Kisah Pendakian Cartenz
Bercerita Menggunakan Peta di Buka Peta
Introduction to Extract, Transform and Load (ETL) Tool for ArcGIS 10.1 16
Urgensi Rancangan Undang-Undang Perbatasan, Seberapa Pentingkah? 35
Indonesia Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN 2015
Jakarta Diizinkan Kebanjiran (Oleh Triarko Nurlambang. Sinar Harapan, 25 Januari 2013) 42
ISDE 2013
Aplikasi D-Insar Untuk Estimasi Volume Material Vulkanik Gunung Semeru 46
Mengenal Kawasan Ekonomi Dan Strategis Nasional (Telaah Singkat KAPET Dan KEK) 53
4
6 14
39
44
TEAM REDAKSI PENASEHAT: Dr. Rokhmatuloh, M. Eng REDAKSI: Adi Wibowo, Iqbal Putut, Laju Gandharum, Ratri Candra, Weling Suseno, Rendy Pratama, Ardiansyah STAF AHLI: Astrid Damayati, Sugeng Wicahyadi, Supriatna, Triatko Nurlambang ADMINISTRASI: Ashadi Nobo
ALAMAT REDAKSI: Gd. Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia KAMPUS UI DEPOK Telp. (021) 7721 0658 , 702 4405 Fax. (021) 7721 0659 Redaksi menerima artikel / opini/ pendapat dan saran dari pembaca, utamanya yang berkaitan dengan masalah keruangan. Kirimkankan tulisan ke alamat redaksi atau email dengan disertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon serta Biografi
FOTO sampul depan dan belakang oleh :Wido Cs (alumni 2009)
3
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Opini Wujudkan Mimpi di KPK (alumni Geo UI, bekerja di KPK) Oleh: Eko Prabowo Bapak tahu koruptor?” “Ya,” jawab seorang nelayan di Nusa Tenggara Timur itu, tegas. “Koruptor itu orang hebat. Kaya. Hidup mewah dan terkenal. Tiap hari masuk tivi. Nanti kalo anak saya sudah besar, saya suruh jadi koruptor saja!” “Heh?” Dialog ini nyata! Bukan buah pikiran gila saya. Adalah Mohamad Rofie Harianto, pegawai Fungsional Dikyanmas KPK yang mengalaminya pada suatu kesempatan di tahun 2011. Ngeri, ya? Terima kasih pada media massa di seluruh Indonesia yang selama tahun 2012 saja mempublikasikan tak kurang dari 20.000 berita terkait korupsi. Dan sebagian besar, jika mau jujur, menampilkan wajah penuh senyum kemenangan dari para koruptor dari segala kelas. Dari yang mukanya buluk dan tembam seperti babi hingga yang cantik mulus seperti Angelina Sondakh. Lengkap dengan adegan sujud syukur dan lambaian tangan. Macam parade pemenang medali emas Olimpiade saja! Rofie adalah teman kuliah saya. Sungguh mengejutkan bahwa dia, yang selama ini saya kenal sebagai seorang pengusaha bimbingan belajar yang sangat sukses, banting setir menjadi pegawai KPK. Ah, sungguh menarik! Mari kita kuak apa alasannya dan bagaimana sesungguhnya wujud profesi uniknya ini. Yang sedang cari motivasi untuk kaya dan sukses dalam jenjang karir, sebaiknya tidak perlu lanjut membaca. Semua itu tidak ada dalam artikel ini. Silahkan ke blog tetangga.
Kamu bukannya sudah sukses di industri pendidikan sebagai bos Bimbingan Belajar?
Betul. Saya 12 tahun bekerja di Bimbingan Tes Alumni (BTA) yang cukup sukses di Jakarta, Serang, Bandung, Bengkulu, Bukit Tinggi, Banda Aceh, Mataram, dan beberapa kota besar Indonesia lainnya. Posisi terakhir saya di sana adalah General Manager.
Lalu kenapa banting setir jadi pegawai KPK? Saya tidak pernah dengar orang mendadak tajir setelah jadi pegawai di sana. Apa yang ingin kamu capai? Sederhana saja. Saya berasal dari keluarga Betawi. Konsevatif. Kedua orang tua saya ingin saya aman. Mereka minta saya jadi PNS. Maka saya mendaftar ke KPK, yang pada tahun 2010 kebetulan sedang membuka lowongan melalui program Indonesia Memanggil ke-5 (IM5). Tapi saya juga punya keinginan pribadi. Saya malu dan prihatin karena tingginya angka korupsi bangsa kita. Saya ingin berkontrobusi nyata menghilangkan itu semua. Di Pontianak, Abraham Samad pernah mengajukan pertanyaan yang sama kepada saya. “Ngapain kamu masuk KPK?” katanya. Namun sebelum saya menjawab, beliau malah menukas, “Jawab nanti, 10 tahun lagi. Kamu bakal ngerti. Ini jalan yang sudah ditentukan Tuhan untuk kita.”
Jadi pegawai KPK di era ketika koruptor sangat kaya dan berkuasa seperti sekarang ini, apa hidupmu dan keluargamu tidak dalam bahaya? Resiko dalam setiap pekerjaan pasti selalu ada. Ya, kita jalani saja.
Menangkap dan memenjarakan koruptor kan pekerjaan di ujung. Sebenarnya, apa sih yang menyebabkan korupsi kian menggila di negara kita? Pada dasarnya, korupsi adalah kejahatan. Dan sebagaimana semua kejahatan lainnya di dunia, itu adalah buah dari perselingkuhan antara niat dan kesempatan. Persis seperti yang dikatakan oleh Bang Napi. Niat bisa muncul dari kebutuhan atau keserakahan. Sementara kesempatan, lahir dari sistem yang buruk. KPK bekerja untuk mengedukasi semua orang agar niat korupsinya hilang, sekaligus memperbaiki sistem yang ada agar kesempatan untuk korupsi juga lenyap.
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
4
Dengan begitu banyaknya koruptor, apakah Indonesia masih bisa dan boleh berharap? Harapan selalu ada. Namun, jujur saja, mustahil menghapuskan korupsi dari muka bumi. Yang dapat dilakukan adalah menekannya hingga ke tingkat yang paling rendah. Kita perlu belajar dari negara tetangga. Mereka memberantas korupsi tidak hanya di level hukum, namun hingga ke level bahasa dan alam pikiran! Orang China menyebut korupsi dengan “tanwu” yang artinya “keserakahan bernoda”. Di Thailand, korupsi disebut “ginmoung” yang maknanya adalah “memakan bangsa”. Sementara orang Jepang menggunakan “otsuko” untuk menyebut korupsi, yang artinya “pekerjaan kotor”. Gantilah kata “korupsi” yang melangit dan tidak jelas maknanya ini dengan kata yang lebih nyata dan punya arti buruk, sehingga orang malu jika diasosiasikan dengan kata tersebut!
Sekarang banyak koruptor kelas kakap yang usianya muda. Sepertinya regenerasi mereka cukup baik. Apakah tidak ada upaya untuk memasukkan perlawan terhadap korupsi ke jiwa generasi berikutnya?
Sesuai amanat UU No 30 tahun 2002 pasal 13 huruf c, KPK sudah menyelenggarakan Pendidikan Anti Korupsi. Program ini intinya menanamkan 9 nilai kepribadian utama ke dalam diri siswa SD, SMP, dan SMA: jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. Saat ini program tersebut sudah berjalan di tak kurang dari 2.000 sekolah. Format lain dari program ini juga akan segera diluncurkan yaitu dalam bentuk film, kartun, dan komik anti korupsi.
5
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Perjalanan Kisah Pendakian Cartenz Oleh: Adiseno (Sinar Harapan News, 12,13,14 Agustus 2013)
Manula Mendaki Gunung Tertinggi Indonesia Beda usia diantara kami 42 tahun. Termuda, Ridwan Hakim, baru 21 tahun, masih mahasiswa jurusan Kimia di Fakultas Matematik Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Tertua, Agam Napitupulu, pensiunan bankir, baru 63 tahun. Pimpinan pendakian, Fandi Ahmad yang biasa dipanggil Agi sudah 30 tahun. Saya, masih 54 tahun, sudah mendaki Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) tiga kali sebelumnya. Kami semua anggota Mapala Universitas Indonesia (Mapala UI). Ide pendakian ini dari Agam Napitupulu. Ia bercita-cita mendaki seluruh tujuh gunung tertinggi di tujuh pulau, kepulauan besar Nusantara. Kerinci (3.805mdpl) di Sumatera, Semeru (3.676mdpl) di Jawa, Rinjani (3.726mdpl) di Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara dan Bali), Bukit Raya (2.278mdpl) di Kalimantan, Rantemario (3.478mdpl) di Sulawesi, Binaiya (3.027mdpl) di Kepulauan Maluku dan Carstensz Pyramid di Papua. Tiga bulan sebelum keberangkatan kami pada 7 Juli 2013, Agam mengabarkan dia mendaki Bukit Raya gunung keenamnya, tinggal Carstensz Pyramid. Agam pun mengajak Agi, yang sudah lima kali mengantarkan kru televisi, ibu-ibu pendaki, dan lainnya ke Carstensz. Agi memilih lewat jalur Sugapa, kabupaten Intan Jaya. Jalur ini kini kerap digunakan para pendaki asing untuk mencapai kemah induk Lembah Danau-danau (4.200mdpl). Jalur Sugapa bukan mudah, karena mencapai ke Lembah Danau-danau membutuhkan enam hari perjalanan. Agi pun meminta Ridwan ikut. Ridwan, teman mendakinya di jalur baru Puncak Trikora yang mereka capai pada awal tahun ini. Entah kenapa, Agam meminta saya ikut. Padahal saya terakhir kali mendaki saya satu setengah tahun lalu. Awal 2012, Februari, saya mendaki Gunung Salak, mengantar kenalan yang ingin mendoakan istrinya, pramugari korban musibah penerbangan di gunung setinggi 2.211mdpl. Kami kemalaman dan ketika turun saya jatuh terperosok jalur air. Kaki cedera hingga enam bulan tidak bisa rutin olahraga jogging. Agam bukan bankir sukses jika tidak bisa menjual idenya ke saya. Buktinya, saya pun ikut serta walau 20 tahun lalu setelah melewati jalur Sugapa saya berjanji dalam hati tidak akan lewat lagi. Pasalnya, saya harus meniti setapak di sisi air terjun, dan berjam-jam menelusuri sungai kecil yang licin penuh batu berlumut. Bilogay 20 Tahun Kemudian Kami berada di Nabire (Rabu,9/7)menimbang badan untuk bisa beli tiket Aviastar. Penerbangan regular di pedalaman, sudah setara dengan tren terbaru di Eropa. Harga tiket mengikuti berat badan. Tidak ditanya, harga penerbangan 45 menit dari Nabire ke Bilogay sama dengan biaya penerbangan Jakarta-Nabire. Di gudang bandara kami melihat tumpukan pagar besi, kantung-kantung semen, telur, sayur. Ketika ditanya pada petugas Aviastar, ternyata itu untuk diangkut ke Bilogay. Bilogay desa kecil berbandara perintis adalah bagian dari “kota” Sugapa. Sejak 2008 Sugapa menjadi ibukota kabupaten Intan Jaya, pemekaran dari kabupaten Paniai dengan ibukota Nabire. Namun beda dengan Nabire yang bisa menyediakan segala kebutuhannya melalui pelabuhan laut, Sugapa harus mendapatkan pagar besi untuk rumah pejabat atau kantor dinasnya dengan pesawat kecil berpenumpang hanya tiga sampai 14 saja, Pilatus Porter atau Twin Otter. Ketika pesawat Twin Otter Aviastar menjelang Bilogay saya terkejut melihat landasan sudah hitam legam, diaspal. Tarmac yang puluhan tahun lalu saya lalui masih lapangan rumput sempit. Atap seng sudah memenuhi sekeliling bandara perintis ini. Warung-warung berteralis kawat berderet-deret di tepi bandara. Di Bilogay masih seperti dulu, tidak ada bangunan di tepi landasan. Barang ditumpuk saja di tepi dan penumpang berhamburan keluar menjauh dari propeler pesawat mencari ojek.Ini semua hasil positif pemekaran daerah.
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
6
Tahunan lalu saya hanya menginap di rumah kayu jauh dari tetangga di bawah bandara. Jika mendengar suara pesawat datang, saya harus berlari-lari mendaki. Malam gelap gulita tidak ada lampu listrik. Saat itu Sugapa masih kecamatan. Perubahan paling mencolok adalah ojek. Megapro, Byson, bahkan yang terbaru Versa 150cc sudah berbaris rapih. Tidak aneh pemandangan pengemudi ojek bersepatu boots karet, helm full face, dengan penumpang yang telanjang dada hanya mengenakan koteka saja. Ojek ini pun yang membawa kami ke dusun terakhir Zanamba di desa Swanggama. Dari Swanggama ini kami memulai pendakian menyusuri ke hulu daerah aliran sungai (DAS) Kemabu. Di Plato Zenggilorong Sungai utama Kemabu masih kami ikuti kearah timur sampai Zanamba. Dari Zanamba kami mengikut anaksungai Yabu, melalui tambang garam dan bermalam ditepinya. Ternyata kekhawatiran saya jalur Sugapa ini berbahaya dan melelahkan tidak salah. Jalan ke tambang garam melalui longsoran dengan jurang sungai deras dibawahnya. Agam, membahas sungai itu dari sudut pandang arung jeram. Kelasnya sudah diatas 5 alias unrunable. “Kalau jatuh baru keluar di Memberamo,” simpul Agam. Hari kedua, kami mencapai sungai kecil di dataran tinggi. Ketinggian sudah 3.500mdpl, sungai disebut oleh porter kami sebagai Ebay, dan perkemahan kami Endatapa. Esoknya kami bermalam di perkemahan yang mereka sebut Ebay. Perkemahan berada di atas lereng punggungan yang membatasi lereng lembah DAS Yabu dengan dataran tinggi Plato Zenggilorong. Di Zenggilorong memang terdapat banyak sungai kecil. Salah satunya kami seberangi saat mencapai dasar punggungan dan memasuk dataran tinggi. Saya duga itu hulu sungai Ebay yang dua hari lalu kami berkemah ditepiannya di Endatapa. Pada tengah hari keempat kami menyeberangi hulu Sungai Kemabu. Saya kenali sungai ini dari perjalanan 20 tahun lalu ketika menyeberang Plato Zenggilorong dari Ilaga. Kami bermalam di Nasidomeh, perkemahan yang bersejarah. Nasidomeh dalam bahasa Dani artinya “rumah nasi (yang berlimpah)” Di lokasi itu rombongan pendaki, Philip Temple yang menemukan jalur celah New Zealand mendapatkan drop bahan makanan dari udara. Ketika para porter suku Dani dari Ilaga yang mengiringinya mendapatkan ini pada tahun 1961 mereka pun menyebut tempat mereka bermalam sebagai rumah nasi. Di tempat ini pula kisah para pendaki Mapala UI tahun 70an, Herman Lantang, Heru Budiargo, Edi Wuryantoro, almarhum Hendry Walandouw dan lainnya pernah bermalam. Cerita-cerita legenda bagi kami anggota Mapala UI. Jejak Seven Summits Hampir 30 tahun lalu, saya mengantarkan Pat dan Baiba Morrow serta Steve Fosset. Mereka pada 1986 menjadi pendaki asing pertama yang mendapat izin resmi Indonesia ke Carstensz. Pat sudah lebih setahun mengusahakan ijin, ia melibatkan Mapala UI sebagai liason. Saya dan Titus Pramono diminta menemani karena kami beberapa bulan sebelumnya baru kembali dari Carstensz. Pat berhasil dan kiprahnya itu menjadikan Carstensz Pyramid bagian dari Seven Summits, puncak tertinggi di ketujuh benua bumi. Carstensz tertinggi diantara Himalaya dan Andes ini mewakil benua Australasia. Sejak itu Carstensz Pyramid ditawarkan secara komersial pada para peminat Seven Summits dengan bandrol 18.000 USD ex Timika, Papua. Rabu (17/7) kembali saya mengikuti jejak 30 tahun lalu. Mengantar seorang teman menuju puncak tertinggi di sisi barat Samudera Pasifik. Bagi pendaki Seven Summit, Carstensz unik. Satunya-satunya gunung batu yang membutuhkan teknik panjat tebing untuk mencapai puncaknya. Bahkan beberapa pendaki yang tidak akrab memanjat menilai Carstensz lebih sulit dari Everest. Pat pun dalam buku seven summit-nya, Beyond Everest, memberikan tingkat kesulitan tinggi bagi Carstensz. Bagi Agam, jalan pulang balik di jalur Sugapa juga bukan sembarangan. Kaki terjerembab dalam lumpur sedalam dengkul sangat melelahkan. Ia mendaki Carstensz dengan berjam-jam meniti tali menggunakan ascender yang juga melelahkan. Maklum ia juga baru kenal teknik panjat tebing hanya beberapa jam saja, latihan mingguan di dinding panjat buatan di kampus Universitas Indonesia.
7
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Di punggung puncak itu kami diberkahi ketika awan tersibak. Di bawah, kearah timur, kami melihat aktivitas tambang PT Freeport Indonesia. Sungguh berbeda dengan 30 tahun lalu. Tidak Nampak aktivitas tambang kala itu, Grassberg masih seperti namanya bukit rerumputan. Sekarang Carstensz tidak lagi terasa terpencil dan sepi. Bagi saya, sangat mengganggu melihat musnahnya keheningan alam. Kami tiba di puncak Carstensz Pyramid pada pukul 14.00 lewat sedikit. Setelah berangkat dari jam 03.00 pagi di Lembah Danau-danau. Tentu saja tiba di puncak seperti baru selesai lari marathon saja. Sebentar foto-foto, makan buah kaleng yang menjadi tradisi Agam Napitupulu saat mencapai puncak. Dan kami pun bersiap-siap turun, meniti tali ratusan meter untuk kembali ke kemah induk, delapan jam kemudian.
(PUNGGUNGAN PUNCAK – Fandi Achmad (30) dan Agam Napitupulu (63) berada di punggungan jelang puncak Carstensz Pyramid (4.884mdpl) pada Rabu 17/7)
Dibuang Sayang, Disimpan Kepayang “Aiih bapak, itu sedikit jauuhh.” Begitu Darius Hondani menjawab pertanyaan tamunya. Darius kepala porter tim pendaki Mapala Universitas Indonesia (Mapala UI) ke Carstensz Pyramid pada Juli 2013. Ia menjelaskan letak perkemahan untuk malam nanti. Penjelasan yang membuat kami tertawa-tawa. Jika kami tanyakan dengan satuan waktu, ia pasti tegas menjawab. “Bisa. Jam enam kah? Jam tujuh kah? Itu bisa,”ujarnya. Dan kenyataannya nanti tidak sesuai jamnya. Maklum, Darius tidak seperti kami di pergelangannya hanya ada inggen, perhiasan tradisional masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Ia tidak pakai jam tangan, tentu saja estimasi waktunya meleset. Pria yang anak gadisnya, Januari Hondani, sekolah menengah di Kokonao itu tidak jelas usianya. Ia kelihatan berusia 40 tahun. Badannya kurus, tetapi jalannya cepat. Jika mengangkat beban ia tidak kesulitan. Ketika salah seorang pendaki diare, ia memaksa untuk membawakan beban hingga ke puncak punggungan. Ringannya saja dipanggul beban tambahan. Wajah boros tetapi tenaga prima. Perkara “lost in translation” sudah biasa dalam berkomunikasi dengan para porter. Tanpa Darius Hondani dan rekan-rekannya, tidak bisa pendaki mencapai Lembah Danau-danau, kemah induk pendakian Carstensz Pyramid. Memang mungkin saja bisa, tetapi pasti sulit setengah mati. Buktinya, pendaki terkemuka dunia Reinhold Messner tahun 70 mendaki Carstensz lewat Ilaga, dibantu porter masyarakat Dani. Begitu juga Philip Temple yang bersama-sama Heinrich Harrer, pendaki pertama dinding utara Eiger dan terkenal karena dirinya diperankan oleh Brad Pitt dalam Seven Years in Tibet, biografinya. Mereka pun membawa porter yang membantu mengangkat beban hingga Lembah Danau-danau. Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
8
Philip Temple menuliskan pengalamannya bersama masyarakat Dani dalam buku The Last True Explorer: Into The Darkness New Guinea. Itulah pengalaman kami, saya Agam Napitupulu, Fandhi Achmad dan Ridwan Hakim, berjalan bersama masyarakat Pegunungan Tengah Papua tidak bisa tanpa mereka, tetapi bersama mereka kami bisa tertawa dan kerapkali kecewa. Perimbangan Moni -Dani Darius Hondani adalah orang Moni. Hanya dua suku yang menyertai pendakian Carstensz tim Mapala UI, yang satunya masyarakat Dani. Di Kabupaten Intan Jaya, di ibukotanya Sugapa, kami menjumpai Darius Hondani. Di Intan Jaya masyarakatnya kebanyakan suku Pegunungan Tengah Papua, yakni Moni, Dani, Mee, Nduga, Damal. Bupati dan Wakil Bupati Intan Jaya bisa jadi mewakili mayoritas masyarakat disana. Natalis Tabuni orang Dani dan wakilnya Yann Kobogoyauw dari suku Moni. Di rombongan kami pun terjadi kebalikannya. Orang kedua yang sigap mendampingi Darius adalah Toginus Tabuni, ia orang Dani. Dari 13 porter empat diantaranya dari suku Dani. Dua anak bujangan Janius Yamambani dan Jam Zanamban dari suku Moni. Lima diantara mereka adalah perempuan. Jutina Kobogau warga Moni asal Homeo jalan bersama sanak laki-lakinya Darius Sondegau, tidak jelas apakah Darius itu putra atau kemenakan Jutina. Hampir dua minggu kami bersama dan hubungan keluarga diantara ibu paruh baya dan pemuda dewasa tetap”lost in translation.” Perpaduan Moni dan Dani ini ternyata penting untuk diperhatikan. Ketika kami dalam perjalanan pulang, kami berpapasan dengan rombongan pendaki dari Adventure Indonesia dibawah pimpinan Meldy dan Poxy, dua pemandu pendaki asal Manado, Sulawesi Utara. Mereka membawa tamu dari Austria, Norwegia, Kanada dan empat warga Bandung. Porter mereka mencapai 30 orang tetapi hanya sedikit saja warga Dani. Akibatnya, ketika tiba kembali di Zanamba Sabtu (22/7) di kalangan teman-teman Les Kogoya salah seorang porter kami dari suku Dani sudah dibicarakan untuk mem-„palang‟ rombongan itu ketika kembali nanti. Perkara palang ini pun kami pun tidak lolos. Ketika berangkat kami menginap di rumah ketua gereja katolik di Zanamba. Itu memang rumah yang kerap menjadi penginapan para pendaki. Namun, di sebelah bukit dari situ, seorang warga Moni sedang membangun penginapan buat pendaki. Belum jadi, karena baru kerangka dan atap seng yang terpasang. Ketika kami melewati setapak kesana karena jalur pendakian lewat situ, kami di palang. Julius Wonda, tuan rumah tempat kami menginap dari suku Dani. Ia juga seorang tukang kayu, sama seperti Yusuf orang tua Yesus Kristus. Dan Julius Wonda yang ditugasi membangun penginapan baru itu. Walau hubungan kerja terjalin tetap saja palang di jalan terpasang. Fandhi Achmad yang menyelamatkan kekisruhan kami ini. Fandhi adalah salah satu dari perintis jalur melalui Sugapa hingga kini digunakan oleh rombongan pendaki asing. Ketika itu ia bersama Meldy dan Poxy. Agi juga dibantu empat porter, diantara Darius Hondani dan Willem. Willem yang sekarang membangun penginapan baru itu. Ia tentu saja sungkan karena anak-anaknya memalang jalannya Agi. Cepat saja tanaman yang ditancap di jalan dicabutnya dan anak-anak Dani yang memegang parang diusirnya. Jika tidak mengajak kelompok tertentu jadi masalah, atau dimana menginap diperkarakan, maka tidak usah heran jika diibukota Sugapa, rumah dinas bupati bisa dibakar habis oleh masyarakat. Saat kami balik ke Sugapa, kantor-kantor pemerintah daerah di palang oleh masyarakat. Masalahnya, rumah-rumah dinas belum mendapat penggantian dari pemerintah daerah. Para pegawai Dinas Keuangan terpaksa menenteng laptop masing-masing dan bekerja di rumah. Seorang pegawai Dinas Keuangan Trisnarto asal Jogyakarta, sambil bekerja menjelaskan ini sudah biasa. Mereka dengan mudah pindah kembali ke kantor jika palang nanti sudah dicabut. Sekali lagi kami pun tidak lolos dari urusan palang. Kami di Sugapa diijinkan menginap di rumah dinas Kepala Keuangan Kabupaten Sugapa, Fulgenus Wiraa. Ketika kami balik dengan ransel-ransel masuk ke rumah itu, seorang mengaku bernama Feri Sani menghampiri. Ia minta uang rokok kepada kami. Alasannya, rumah dinas itu bukan untuk menginap pendaki gunung. Penginapan ada di Guest House pemda yang biayanya, menurut Feri Sani, Rp10 sampai 20juta. Ia sebagai warga Moni asli di lahan itu merasa rumah dinas itu masih hak adatnya, jadi ia minta uang rokok Rp1juta, tunai.
9
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Ditawar Rp500ribu pun ia bergeming. Feri baru melunak ketika Darius Hondani menjelaskan kami di Zanamba pun kami hanya membayar Rp300ribu untuk menginap di rumah ketua gereja Julius Wonda. Pengalaman ini, bagi kami tidak lagi cukup diterjemahkan sebagai “lost in translation.” Ini sudah diluar nalar. Rumah yang kuncinya dipegang orang lain, bisa ditagihkan “sewa”-nya oleh orang yang hanya mengaku punya keterikatan adat. Jembatan, Service Included Tidak semua kecewa memang, ada tertawanya juga. Saat kembali menelusuri Sungai Yabu, air sungai meluap deras. Jembatan batang pohon yang kami gunakan saat berangkat sudah hanyut. Daniel Kogoya yang memberitahu adanya “palang” alam itu. Istri Daniel, Selefina Zoani, ikut dalam rombongan porter kami. Daniel naik perjalanan satu hari dari Zanamba untuk menjemput istrinya. Di perkemahan Dibasiga di tepi sungai Yabu itu kami dikabari. Berbeda dengan kami, para porter tenang-tenang saja menghabiskan malam dengan cerita, api unggun, dan memasak ubi. Esoknya mereka bergegas dimuka. Ketika kami tiba di tepi sungai, Daniel Kogoya sudah merentangkan bilah kayu tipis diantara dua batu besar. Jembatan batang kayu itu dia perkuat dengan batang-batang lainnya. Kogoya adalah fam suku Dani, dan teman-teman Moni pun sudah akrab dengan konstruksi jembatan yang dibangun. Janius Yamambani memanjat pohon kecil mencari akar sulur untuk dijadikan tali pengingat batang-batang kayu. Para perempuan sibuk mencuci ubi dan memasaknya. Hanya dua jam kurang kami duduk menonton kerjasama rapih antara Dani dan Moni. Jembatan pun jadi, bahkan kami dibagi juga beberapa butir ubi. Bukan kami tidak serakah, dan bukan juga para ibu-ibu penduduk Intan Jaya itu pelit. Kami hanya makan sedikit karena kulit ubi sangat panas, fresh from the camp fire. Jari kami tak kuat memegangnya apalagi menguliti ubi bakar api unggun itu. Walau negosiasi harga dan biaya selalu terjadi sehari-hari, termasuk pertukaran bahan makan, ternyata dalam perjanjian lisan itu ada klausul layanan jembatan yang sudah termasuk dan tidak dibicarakan.
(MERAKIT JEMBATAN – Darius Sondegau warga Moni dari Homeo diawasi oleh Daniel Kogoya warga Dani dari Zanamba, Sugapa sedang merapihkan ikatan akar sulur pada jembatan yang mereka rakit bersama)
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
10
Ambil Fotonya, Tinggalkan Jejak Mu “Take nothing but pictures, leave nothing but footprints,” kata-kata ini pertama saya dengar dari almarhum Norman Edwin. Norman, sekarang saya baru tahu, ternyata mengutip itu dari moto Baltimore Grotto, paguyuban penelusur gua dari Amerika Serikat. Bagi, anggota Mapala Universitas Indonesia (Mapala UI), moto ini harus tertanam kedalam hati. Seperti almarhum Norman yang bagi anggota Mapala UI adalah legenda. Memang dalam gua, begitu almarhum kerap mempromosikan salah satu gairah petualangannya, lingkungannya sangat rentan. Semua tumbuh dalam kegelapan dan terbentuk oleh kekuatan air. Sedikit gangguan didalam gua, maka alam rusak tanpa bisa diperbaiki. Kami yang lebih senang mendaki pun memegang prinsip yang sama. Bukan hanya karena Carstensz Pyramid berada dalam Taman Nasional Lorentz , juga karena gunung tanpa sampah yang kami cintai. Itulah mengapa setelah makan coklat, roti, biskuit, permen, semua kemasan kembali masuk kantung saku. Petang nanti, saat di perkemahan, kami menitip sampah untuk dipersembahkan ke api unggun para porter. Beda dengan kami yang tidur di tenda dalam kantung tidur, mereka membuat api didalam bivak raksasa, dan tidur bertiga belas mengelilingi api unggun. Gaya menjelajah masyarakat Moni dan Dani membuat mudah menjalani anak kalimat kedua. Mereka seperti membawa pengolah sampah jinjing. Sayangnya pengolah tradisional mereka tidak termasuk compactor, kaleng -kaleng sisa masih bisa dijumpai di bekas perkemahan. Sampah mulai jelas kami lihat setelah menjejak dataran tinggi Plato Zenggilorong. Sebelumnya di setapak menuju dataran tinggi, hanya ada sachet minuman suplemen, sisa kemasan mi instan. Walau ketika membagikan makanan kepada para porter kami meminta kemasan yang mereka buang untuk dikantungi. Petangnya kami serahkan kembali agar dibakar. Hanya, kepala porter, Darius Hondani yang menjalankan contoh itu. Itu pun kalau dia makan bersama kami di jalan. Namun yang dijalan setapak, sampah masih berguna. Jika tertinggal, dan ini sering terjadi, kami tahu arah dengan mengikuti jejak kaki. Menghafal bentuk jejak sepatu, ukuran kaki telanjang, jadi kebutuhan agar bisa mencapai perkemahan. Setiap kali melihat sisa kemasan minuman suplemen, kami yakin berada di jalur yang benar. Jejak seperti itu tidak perlu banyak, cukup sesekali setiap kilometer sudah bermanfaat. Namun jika berada di perkemahan, sisa sampah kemasan makan bertumpuk mengganggu. Semakin mendekat Lembah Danaudanau, tumpukan sampah di perkemahan semakin menggunung. Paling mengenaskan di Lembah Danau-danau sendiri. Pasalnya, kelompok pencinta alam karyawan Freeport, sudah memasang peringatan agar tidak membuang sampah. Sampah Industri Sampah dionggok oleh para pendaki. Ini saya simpulkan dari sisa porter sepanjang jalan yang tidak variatif, hanya dua tiga jenis kemasan saja yang mereka buang. Mi instan, minuman suplemen, dan biskuit. Kalau sudah ada kaleng minuman ringan Amerika Serikat, kemasan sereal, kardus keju, sudah pasti bukan dari para porter. Jika diingat bahwa pendaki ke Carstensz Pyramid, kebanyakan adalah yang tergoda Seven Summit, artinya mereka pernah ke Kilimanjaro paling tidak. Gunung tertinggi di Afrika ini lebih murah dan lebih mudah mendakinya dibandingkan Carstensz. Jadi, bisa diasumsikan mereka semua pernah kesana. Ke Kilimanjaro, rute sudah terbuka lebar, perkemahan sudah siap dengan bangunan dormitori khas pendakian. Mountain hut sebutan umumnya. Juga pengolahan sampah sudah tersedia. Apalagi yang pernah ke Denali atau McKinley di Amerika Utara. Disana disediakan kantung plastik untuk kotoran manusia. Tidak sembarang dibuang di tepi jalan, dibalik semak-semak seperti yang kami lakukan di Taman Nasional Lorentz . Perkaranya sebenarnya disini. Fasilitas di Taman Nasional Lorentz , walau sudah berdiri sejak 19 Maret 1997 dan menjadi Warisan Dunia UNESCO pada 1999, nihil. Di dusun Zanamba, maupun desanya Swanggama tidak ada petugas kehutanan yang kami jumpai. Bahkan memasuki kesana, kami tidak membawa izin dari Kehutanan, karena buat apa repot mengurus ke kantor mereka di Senayan, kalau tidak ada yang menanyakan mulai dari Nabire, Sugapa sampai Zanamba.
11
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Cukup surat jalan dari Mapala UI yang kami serahkan ke kantor polisi dan kantor militer di Sugapa. Sebetulnya perbuatan ini melanggar undang-undang, tapi siapa peduli dengan undang-undang yang tidak bisa dijalankan? Sama seperti undang-undang memasuki wilayah pertambangan. Porter kami mengakalinya dengan menitip kepada pekerja Freeport saudara mereka untuk membelikan bahan makanan di Tembagapura. Kami pun dalam keadaan darurat pasti akan melanggarnya. Kemana lagi harus mencari bantuan medis terdekat? PT Freeport Indonesia sendiri bukan tidak memahami mereka bertetangga dengan taman nasional. Tiga puluh tahun lalu ketika dikeluhkan WWF dan para pendaki karena banyaknya sampah industri di Lembah Danaudanau dan Lembah Kuning, mereka melakukan pembersihan. Sampai-sampai grafiti cat di batu yang dilakukan masyarakat hingga ke New Zealand Pass di ketinggian 4.500meter mereka hapus. Akan tetapi, polusi cahaya, suara dan pemandangan tambang terbuka dan tailing yang bahkan sudah menutup salah satu sejarah Freeport sendiri, masih menyisakan hutang. Bermalam di Lembah Danau-danau tidak lagi hanya diterangi cahaya bintang, tetapi sudah ditambah lampu pijar di Grassberg yang rona merahnya menembus kain tenda. Suara kendaraan terdengar jelas menderu hingga terpantul dinding punggungan tengah pemisah Lembah Danau-danau dan Lembah Kuning. Tailing dari Grassberg sudah membenam Carstensz Meadow, dan celah Dayak. Di Carstensz Meadow pada satu sisi di lereng Grassberg seberang dahulu disebut Pos Ayam Hitam, terdapat lokasi perkemahan Dozy, pendaki sekaligus ahli geologi yang menemukan Ertszberg, cikal bakal tambang Temabagapura. Bagi pendaki, Dayak Pass atau celah Dayak adalah sejarah. Pertama kali pendaki menembus Lembah Danau-danau berkat para porter Dayak Kalimantan yang menunjukan celah itu setelah mereka memilih sungai Otakjwa sebagai bersumber dari pegunungan es hanya dengan melihat aliran dan merasakan suhunya. Semua sekarang sudah terkubur. Dari gigir puncak Carstensz, truk, jalur makadam, guratan tambang jelas terlihat menusuk mata. Perlu Via Ferrata Mengambil pengalaman dari pengelolaan Kilimanjaro, patut juga menengok ke Kinabalu. Pengelolaan Kinabalu pun seperti Kilimanjaro. Jalur sudah tertata hingga tidak lagi perlu mencari-cari jejak sampah. Tempat bermalam sudah difasilitasi penginapan. Dan satu lagi kelebihan negeri jiran kita ini, sudah ada via ferrata disana.
Via ferrata adalah jalur besi, pengaman kawat baja terentang disepanjang jalur pendakian. Fungsinya, para
pendaki tinggal mencantolkan cincin kait tali tubuh mereka ke rentangan kawat baja. Tidak takut lagi terjatuh karena tertahan oleh jangkar (anchor) kawat. Via ferrata pertama berkembang di Dolomite Pegunungan Alp Eropa. Puncak-puncak batu yang mirip kawasan Carstensz Pyramid ini terletak di perbatasan Italia-Austria yang pada masa lalu bermusuhan. Para militer membangun pertahanan di gigir gunung dan untuk mengangkut perlengkapan mereka memasang jalur kawat baja. Ketika masa damai, jalur itu digunakan pendaki. Ternyata menguntungkan karena tidak perlu membawa kelengkapan panjat tebing, cukup alat dasar saja sabuk kekang (harness) dan tali tubuh. Keberadaan via ferrata juga meningkatan keamanan. Kawat baja tentu saja lebih kuat dari tali nilon. Sekarang ini mendaki Carstensz Pyramid, berarti meniti tali-tali nilon yang sudah terpasang berminggu-minggu. Hanya kebaikan dan adat istiadat para pendaki yang mengganti tali tua dengan yang lebih baru. Jika seperti kami hanya membawa satu tali untuk berempat, tidak bisa kami tinggalkan satu karena setiap tim pendaki selalu harus membawa satu tali untuk kedaruratan. Sekitar seribu meter tali terbentang dari dasar tebing Carstensz Pyramid di Lembah Kuning hingga ke puncaknya pada 4.884meter. Hanya satu rentang 15 meter saja yang merupakan kawat baja. Sudah saatnya Taman Nasional (Hendrikus Albertus) Lorentz penjelajah Belanda tahun 1909 dikelola agar sampah tidak menjadi masalah. Dan puncak yang mengambil nama pelaut Belanda Jan Carstensz pun sudah waktunya dipasang via ferrata.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
12
(SAMPAH PERKEMAHAN – Gundukan sampah teronggok di kaki Puncak Jaya yang dulu disebut Puncak Soekarno. Sampah di perkemahan Nasidomeh sisa para pendaki Carstensz Pyramid (4884mdpl))
13
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Opini Bercerita Menggunakan Peta di Buka Peta Oleh : Eko Prabowo Pernahkah kamu berpikir untuk keluar dari pekerjaan yang sudah mapan dan menjadi wirausahawan? Mungkin pernah dan benar-benar sudah kamu lakukan. Selamat! Apapun yang terjadi, setidaknya kamu sudah berani mengikuti kata hati untuk berkarya sesuai dengan mimpimu.
Nah, dua orang ini, Alumni Geografi UI, Danu dan Satrio, mengundurkan diri dari National Geographic Indonesia dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk mewujudkan mimpinya. Apa mimpi mereka? BUKA PETA! Apa itu? Kamu kunjungi saja link tersebut dan lengkapi infonya dengan baca wawancara berikut ini:
1. Kenapa peta? Bukan toko online, website iklan, atau yang lainnya? Satrio: Karena saya lulusan Geografi. Itu adalah passion saya sejak dulu Danu: Bisanya memang bikin peta. Dan teknologi saat ini sangat mendukung untuk itu 2. Apa bedanya dengan Google Maps?
Satrio: Google Maps jelas menjadi acuan. Begitu juga dengan layanan peta online seperti GIS Cloud atau GeoCommons. Tapi ketiganya masih miskin peta tematik dan cerita. Fitur bercerita menggunakan peta itulah yang ditawarkan oleh Buka Peta Danu: Google Maps adalah layanan peta dasar. Buka Peta menawarkan kesempatan bagi semua orang untuk membuat peta tematik mereka sendiri, sesuai keinginan dan kebutuhannya
3. Visinya hobi atau bisnis? Kalau bisnis, apa memang prospeknya bagus? Satrio: Keduanya juga boleh! Kalau ada orang butuh jasa pembuatan peta online, kami siap menyediakannya. Hitung-hitung mengurangi aliran dana keluar negeri. Kalau orang Indonesia bisa, kenapa mesti pakai jasa orang asing? Danu: Secara bisnis, Buka Peta adalah portofolio kami. Siapa butuh dan merasa yakin dengan kemampuan kami, silahkan membuka pintu kerja sama. Dari sisi publik, ini juga akan jadi layanan terbuka untuk masyarakat umum. Dan prospeknya, sangat bagus! Saat ini yang sudah menggunakan layanan semacam ini adalah industri perkebunan, ritel, dan perbankan
4. Teknologi dibalik ini semua, apakah sulit dikuasai dan mahal? Satrio: Jika mulai dari nol, tentu sangat sulit! Apalagi latar belakang keilmuan saya bukan teknologi informasi. Untungnya ada open source. Kami memanfaatkan Jquery, Open Layers, PHP dan berbagai teknologi open source lainnya. Kami racik sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi kebutuhan tertentu Danu: Semua menggunakan open source, termasuk Map Server
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
14
5. Apa manfaatnya Buka Peta bagi orang Indonesia? Satrio: Orang Indonesia harus memiliki akses pada data spatial-nya sendiri. Selama ini kan hanya sebagai objek survey, sementara kepemilikan data selalu di pihak asing? Semakin banyak peta tematik di Buka Peta nantinya juga akan membuka mata kita. Menjadikan kita lebih kenal negeri sendiri Danu: Orang Indonesia harus segera sadar kondisi negerinya sendiri. Bercerita menggunakan peta tematik akan membuat kita paham konteks lokasi dari suatu kejadian, hingga tidak akan muncul lagi pertanyaan “Raja Ampat itu dimana sih?” atau “Rusuh di Mesuji, itu di propinsi mana, ya?” OK guys, upaya kalian asyik banget! Semoga terus punya semangat dan energi. Sukses selalu!
15
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Teknologi Introduction to Extract, Transform and Load (ETL) Tool for ArcGIS 10.1 By : Priadharma ETL Tool Creation ETL is short for extract, transform, load, three database functions that are combined into one tool to pull data out of one database and place it into another database. EXTRACT is the process of reading data from a database. TRANSFORM is the process of converting the extracted data from its previous form into the form it needs to be in so that it can be placed into another database. Transformation occurs by using rules or lookup tables or by combining the data with other data. LOAD is the process of writing the data into the target database. We can migrate different format data to ArcGIS Geodatabase. Below is the example of Shape file migration to ArcGIS Geodatabase by using ETL Tool. After opening of Arc Catalog. Please ensure that “Data Interoperability” extension must be selected. Select it from Customize Extensions…
1.1 Steps to Create Migration Tool a) b)
Open the Arc Catalog Click on the ArcToolbox from the Standard tool bar menu and select the “Add Toolbox” option by right click on the ArcToolbox header.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
16
c)
It will open a window. Click on the New Toolbox and give the appropriate name to toolbox. Select the toolbox and click on the Open button. This task will add the newly created toolbox in the Arc Toolbox window.
d)
Right click on the newly created toolbox and select Spatial ETL Tool option (New
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
Spatial ETL Tool).
17
e)
It will open “Create Translation Workspace Wizard window”. Click on the browse button and select “Esri Shape” from FME Reader Gallery and click on the OK button.
f)
Click on the Next button.
g)
Click on the browse button and select the located source data and click on the open button.
18
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
h)
Click on the Next button.
i)
Click on the browse button and select “Esri Geodatabase” from FME Writer Gallery and click on the OK button.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
19
j)
Click on the next button.
k)
Click on the Next button.
i)
Select the option Static Schema to manipulate the output schema manually and click on the next button.
20
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
m)
Click on the finish button.
n)
After click on the finish button it will display the Spatial ETL Tool Window.
1.2
Steps to Add Feature Classes for Mapping
In this part we will see how to add the Source and Target feature classes for mapping. a)
Click on the Writers menu bar and select “Import Feature Types” option.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
21
b)
Click on the browse button and select Geodatabase in which data needs to be migrated and click on the OK button.
c)
This process will ask which target feature classes need to be add or we can add all feature classes which are shown in the below window. But It is better to add the particular feature classes, in which data will be migrate as per mapping matrix.
As per above snap all “KODE_UNSUR” values goes to one feature class “Toponimi” so need to add only one feature class in which data will be migrate. Select one feature class from the “ Select Feature Types window” in which we have to migrate the data.
22
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
d)
It will add the selected feature class in the Spatial ETL Tool window. Mapping the both source and target feature class. If the fields name are same than we don‟t need to mapping fields values.
2.
Use of Transform
2.1
Steps to use Attribute Filter
Data migrated from source to different feature classes on the basis of “KODE_UNSUR” filed values. We need to use the Attribute Filter from Transformer Gallery. We can simply add the transformer by double-click the transformer name and it will appear in the workspace. Every transformer has a Properties button on the right of the transformer. Properties button
This button is color-coded to show the status of the settings. If the Properties button is the same color as the transformer, we can use the transformer with its existing parameters. A yellow Properties button indicates that the transformer contains default settings, but we have not yet accepted them. We can use the transformer in this state, but our workspace may produce unexpected results A red Properties button means that there is at least one parameter for which FME cannot supply a default value. We must provide a value for all required fields before we use the transformer in the workspace.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
23
Below are the following steps how to use the Attribute Filter:
24
a. b. c.
Select the “Attribute Filter” from Transformer Gallery. Mapping of input data with Attribute Filter. Click on the “Properties button” and select the field name from the drop down in “Attribute to Fiter by”.
d.
Click on the import button and import all values on the basis of particular field and click OK.
e.
Mapping all the field values with the target feature classes on the basis of mapping matrix provided by BAKOSURTANAL.
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
f.
2.2
We also need to map the field manually as per requirement because field names are not matching.
Steps to use Attribute Filter with Attribute Value Mapper
Data migrate from source to different feature classes on the basis of “KODE_UNSUR” filed values & Domain values. We need to use the Attribute Filter & Attribute Value Mapper from Transformer Gallery. Attribute Value Mapper Looks up and assigns attribute values based on other attributes, and stores the looked-up value in a new attribute.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
25
AttributeValueMapper
Choose Source Attribute
New Attribute Name to assign attribute values based on other attributes
Default value will used for autofill the value for blank row
Import Mapped Value information
Below are the following steps how to use the Attribute Value Mapper: a. b. c.
26
Select the “AttributeValueMapper” from Transformer Gallery. Mapping of Attribute Filter with Attribute Value Mapper. Click on the “Properties button” and select the field name from the drop down in “Source Attributes” and write the field name in “New Attribute Name” in which we have to assign the attribute values based on source attribute.
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
d.
In some cases we need to assign the domain values more than one in different columns. In this case we need to use the more than one “Attribute Value Mapper”.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
27
e. f.
Mapping the entire source with the target feature classes on the basis of mapping matrix provided by BAKOSURTANAL. We also need to map the fields manually as per requirement because field names are not matching.
3 Re-use of existing ETL Tool for different Scale feature classes As we know all different scale feature classes mapping are same with different target feature classes.
3.1 Steps to re-use existing tool on same source a. b.
Copy the existing tool. Add Reader from Reader menu bar (Readers
c.
Mapping the newly added readers with transformer “Attribute Filter”.
28
Add Reader).
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
d.
Delete the previous feature class and import attribute values of newly added feature class in transformer “Attribute Filter” and delete those attributes values which do not exist in the newly added reader‟s data.
e.
If target feature class name are same then we can use the existing mapping otherwise need to be change the feature class name. Click on the target feature type properties button and change the target feature class name.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
29
Be careful, while assigning the target feature class name. If feature class name is not correct then data will not be migrate in particular feature class, new stand alone feature class will be created by ETL tool.
3.2 Steps to re-use existing tool on Different source If we have copied the data or tool on different workspace. Then we need to update the source and target parameters before run the tool. Select “Published Parameters” from “User Parameters” and double click on the source and destination parameters and assign the path for each source and target.
30
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
4 Find Updated (Newly added & deleted) data from existing The latest updated data compare with seamless data by using Change Detector Tool. Following are the steps: a.
Create & Open “Change Detector Tool” in Arc Catalog.
b. c.
Select Source as Personal Geodatabase (PGDB) & Target as shape file or as per requirement. Add Seamless and Updated data from Readers menu bar (Readers Add Reader…)
d.
Assign Seamless data feature class mapping with “Original” parameter of Change Detector tool and Updated data feature class mapping with “Revised” parameter of Change Detector
tool.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
31
e.
Add Target feature class from Writers menu bar (Writers
f.
Create feature class and assign attribute values which we needed. Same process need to be followed for other feature classes.
32
Add Feature Type…)
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
g.
After create the feature class and assign the attribute values. We need to map both feature classes with Change Detector Tool, Added & Deleted parameter.
a.
Run the tool. The transformer Change Detector will determine adds and deletes not only in spatial data, but also in attributes (note that attribute changes are treated as adds and deletes). Following is the screenshot of source and destination feature counts produced by the tool.
b.
It will generate the log file with detail as below: Features Written
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=GARISRPANTAILN_Add (GARISRPANTAILN_Add)
1
GARISRPANTAILN_Delete (GARISRPANTAILN_Delete)
119
================================================================ ============== Total Features Written
120
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-==-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
33
Features Read Summary =-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=GARISRPANTAILN
982
================================================================== ============ Total Features Read
982
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-==-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=Features Written Summary =-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=GARISRPANTAILN_Add
1
GARISRPANTAILN_Delete
119
================================================================== ============ Total Features Written
120
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=Translation was SUCCESSFUL with 2 warning(s) (120 feature(s) output) FME Session Duration: 31.2 seconds. (CPU: 5.3s user, 2.1s system) END - ProcessID: 5760, peak process memory usage: 125856 kB, current process memory usage: 107020 kB Translation was SUCCESSFUL
34
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Topik Urgensi Rancangan Undang-Undang Perbatasan, Seberapa Pentingkah? oleh, Osmar Shalih
[email protected] Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki daerah perbatasan antar Negara cukup panjang, yaitu sepanjang 4.800 Km. Kawasan perbatasan antar Negara tersebut, dinilai memiliki nilai potensi strategis bagi perkembangan kegiatan perdagangan internasional, dalam hal ini Indonesia dengan Negara tetangganya. Oleh karenanya, baik Perbatasan darat, seperti halnya (1) Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Malaysia, (2) Papua dengan Papua Nugini, (3) Nusa Tenggara Timur dengan Timur Leste, serta perbatasan laut seperti (1) Wilayah Selatan Indonesia dengan Australia, dan (2) Wilayah Utara Indonesia dengan Negara di Asia, sehingga seyogyanya perlu dimanfaatkan kondisi tersebut semaksimal mungkin. Sikap pro aktif secara tidak langsung akan membatasi penetrasi Negara-negara yang terdapat disekitar wilayah perbatasan. Apalagi mengingat bahwa kondisi sosial dan ekonomi diantara dua daerah yang memiliki perbatasan Negara, seperti antara Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Serawak (Malaysia), antara Kalimantan Timur (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia), dan antara Kepulauan Riau dengan Singapura dan Johor (Malaysia) berbeda, dimana kondisi sosial-ekonomi di Negara Tetangga Indonesia relatif lebih baik. Hal ini yang merupakan salah satu penyebab daerah perbatasan menyuplai sumber daya alam sebagai bahan baku ke Industri di Negara tetangganya.
Gambar. Kawasan Perbatasan Negara (Sumber: Bappenas)
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
35
Selain perbedaan tersebut, pembangunan daerah perbatasan secara keseluruhan mengalami beberapa masalah, antara lain: 1. Suatu kenyataan bahwa banyak daerah perbatasan terletak jauh dari pusat pemerintahan dan aktivitas ekonomi sehingga kecenderungan menjadi kawasan yang tertinggal. 2. Minimnya ketersediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air bersih, dan sebagainya (merupakan daerah terisolir) 3. Adanya hambatan administratif dalam lalu lintas barang dan orang sehingga daerah perbatasan yang pada dasarnya homogen menjadi heterogen. Lebih jauh, ditemukan adanya persoalan un-official economy dari arus SDA dan tenaga kerja dari perbatasan Indonesia ke Negara tetangga. 4. Pada beberapa daerah perbatasan, terdapat ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi dengan Negara tetangga. Lebih jauh, terdapat ketimpangan investasi antara perbatasan Indonesia dengan Negara tetangganya. 5. Potensi sumber daya alam yang besar yang belum menghasilkan suatu produk unggulan yang bernilai tambah tinggi melalui proses industri. Sehingga seyogyanya perlu dilakukan pemantapan satu atau beberapa produk industri pengolahan hasil perkebunan yang dapat menjadi penentu pasar dunia. 6. Ketidakmampuan Indonesia dalam mengelola, melindungi, dan mempertahankan daerah perbatasan, baik darat, laut, dan udara sesuai garis batas wilayah yang disepakati dengan Negara tetangga. 7. Adanya kedala struktural dimana kewenangan untuk daerah perbatasan hingga saat ini masih berada pada Pemerintah Pusat, sehingga daerah seringkali gamang dalam memutuskan kebijakan (tindakan) jika ditemukan masalah yang membutuhkan penanganan segera. Lebih jauh, masalah yang paling kompleks adalah sebaik apapun konsep pembangunan yang disusun, pada tataran implementasi selalu saja terkendala pada status daerah perbatasan yang tidak memiliki payung hukum yang jelas. Oleh karena permasalahan diatas tersebut, maka Komite I DPD RI mengambil inisiatif untuk melakukan penyusunan Rancangan Undang-Undang Daerah Perbatasan.
Jalannya Pembahasan FGD RUU Daerah Perbatasan Acara dihadiri Pejabat Kementerian Lembaga yang menangani daerah perbatasan, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Tentara Nasional Indonesia, Polri, dan Gubernur daerah perbatasan, dan Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Fokusnya adalah mengetahui seberapa penting RUU daerah Perbatasan bagi Kementerian/Lembaga. Sebenarnya, jika ditinjau kembali “wilayah perbatasan” telah memiliki Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang “cukup berpihak” kepada pembangunan perbatasan, yakni Undang-Undang nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Namun, oleh peserta rapat baik anggota Dewan Perwakilan Daerah-RI dan Pejabat Kementerian sepakat bahwa kedua payung hukum tersebut belum diterapkan sesuai “amanat atau cita-cita” pada awal pembentukannya. Semisal, persepsi (pandangan) Kementerian/Lembaga bahwa “pembagian
kewenangan yang tidak jelas, membuat siapa yang paling bertanggung jawab dalam membangun perbatasan juga menjadi tidak jelas”. Lebih jauh oleh Kementerian/Lembaga lainnya dikemukakan bahwa “Peran Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah, juga dalam kedua payung sebelumnya masih belum tegas”.Lainnya menilai “Badan Nasional Pengelola Perbatasan sebagai lead dari pembangunan Perbatasan yang salah satunya memiliki tugas dan fungsi, menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemafaatan wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, belum mampu mempercepat pembangunan di Perbatasan”
36
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Gambar. Suasana Rapat FGD RUU-Perbatasan (Sumber: Osmar Shalih)
Selain pembagian kewenangan, menurut hemat penulis, yang perlu diperhatikan adalah dinamika suatu wilayah. Pembangunan perbatasan selama ini mengacu kepada Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan 2011-2025, (2) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan 2011-2014, serta Rencana Jangka Panjang, Menengah dan Rencana Kerja Pemerintah. Selama ini dalam dokumen tersebut sebagai acuan pembangunan perbatasan, telah ditetapkan Lokasi-Lokasi Prioritas (Lokpri) penanganan pembangunan perbatasan, (Jangka waktu 2010-2014 terdapat 111 Lokpri, 38 Kabupaten, 12 Provinsi). Adanya pemekaran wilayah, membuat Lokpri tersebut “terbelah, terpenggal” atau menjadi bergeser wilayahnya tidak sesuai dengan esensi atau kriteria Lokasi Prioritas (Lokpri), dimana salah satu kriteriannya adalah Lokpri merupakan Kecamatan paling luar yang berbatasan langsung dengan suatu Negara. Negara
Negara
Tetangga
Tetangga
Kecamatan A (Lokpri)
Pemekaran Wilayah
Kecamatan B Kecamatan A
Hasil Pemekaran Wilayah
Gambar. Ilustrasi Pemekaran Wilayah Pada Lokpri-Perbatasan (Sumber: Osmar Shalih)
Menurut peserta lain juga dalam Undang-undang 43/2008, “untuk Lokpri yang berada pada wilayah perbata-
san laut, belum jelas kedudukannya. Perlu ditinjau lebih lanjut”.
Dualisme Pemikiran Dalam Rapat FGD pembahasan RUU Perbatasan tersebut terdapat dua pandangan yang berbeda. Disatu sisi, Dewan Perwakilan Daerah RI sebagai inisiator setuju untuk segera merancang RUU-Daerah Perbatasan, sedangkan beberapa Kementerian/Lembaga berpendapat berbeda. Seperti halnya pandangan “bahwa tidak perlu ada RUU baru, tetapi cukup merevitalisasi payung hukum yang telah ada”. Lebih jauh diungkapkan
“revitalisasi dengan pembagian kewenangan yang jelas, serta beberapa pasal di payung hukum sebelumnya”. Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
37
Lainnya mengemukakan bahwa, “jika tujuan RUU-Perbatasan adalah mempercepat pembangunan perbata-
san, cukup dengan Raperpres saja atau mengoptimalkan turunan peraturan perundangannya, yang diatur yang lebih teknis”. Namun, dari peserta pun ada yang sependapat dengan dicanangkannya RUU-Daerah Perbatasan, dengan syarat harus bisa mempercepat pembangunan perbatasan. Pendapat lainnya, mengemukakan bahwa “RUU adalah suatu keputusan politik dari anggota Dewan yang terhormat. Dibuat sesuai dengan ketentuan, dengan menyiapkan naskah akademik dan proses berlajut sampai dengan sebagaimana semestinya” Wajar Dewan Perwakilan Daerah menginisiasi adanya RUU Perbatasan karena mewakili rakyatnya di Daerah Perbatasan. Paham kondisi eksisting yang ada di daerahnya serta memiliki “interest” sebagai wakil rakyat. Penulis sendiri berpendapat, apapun payung hukum akhirnya nanti, harus dikembalikan kepada hakikat dari pembangunan, untuk kemakmuran rakyatnya. Tidak boleh Ego Sektoral pasal perpasalnya. Harus komprehensif menyelesaikan permasalahan perbatasan.
Akhir kata, penulis berpendapat bahwa Suatu hal besar yang dapat dipelajari dalam proses tersebut adalah
“Koordinasi: kata yang sederhana, tetapi sulit diimplementasikan” Siapkan “amunisi” kompetensi untuk berkontribusi sebanyak mungkin untuk tanah air. Sudah saatnya Geografi berkontribusi banyak.
38
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Topik Khusus Indonesia Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 (Oleh Alfian Syafrizal. Kemenko Perekonomian RI)
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
39
40
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
41
Opini
Jakarta Diizinkan Kebanjiran
(Oleh Triarko Nurlambang. Sinar Harapan, 25 Januari 2013) Ternyata Kota Jakarta memang diizinkan kebanjiran dan warganya pun memang diizinkan untuk hidup di daerah banjir.
dologis, perkembangan perubahan kondisi ini tidak lepas dari intervensi ulah manusia berikut kegiatannya yang telah mengubah fungsi lahan tadi.
Dengan sadar dan sengaja, penduduk Jakarta memang dihadirkan untuk menjadi korban banjir. Jakarta memang berada di daratan tempat air tergenang. Coba saja periksa, ada berapa daerah di Kota Jakarta yang disebut sebagai rawa, seperti Rawa Buaya, Rawa Belong, Rawa Bambu, Rawa Mangun, Rawa Jati, dan rawa-rawa lainnya. Sementara itu, daerah yang memiliki ketinggian permukaan tanah melebihi ratarata mempunyai sebutan diawali dengan kata “Pulo” (“pulau”), seperti Pulo Gadung, Kampung Pulo, Menteng Pulo, dan lain-lain. Namun mengapa di daerah yang mestinya relatif tinggi juga dilanda banjir? Kemungkinan besar ada dua faktor utama yang terkait dengan kondisi geohidrologis. Yang pertama adalah adanya “gangguan” terhadap komponen geohidrologis, terutama daya serap air tanah di permukaan karena alih fungsi lahan menjadi built-up area (emplacement) yang terakumulasi secara masif luasannya. Sebagai ilustrasi, berdasarkan data BPN (Badan Pertanahan Nasional), built-up area di Jakarta bertambah dari 31,4 persen menjadi 82,1 persen dari total wilayah Jakarta di tahun 1994 dan saat ini ruang terbuka di DKI Jakarta tinggal sekitar 12 persen. Tentu kondisi ini dengan gamblang menjelaskan debit limpasan banjirnya menjadi semakin tinggi karena volume air hujan maupun air limpasan yang meresap ke tanah jauh berkurang. Faktor utama lain adalah terjadinya penurunan permukaan tanah ratarata di Jakarta sehingga sesuai dengan sifat air yang mencari tempat lebih rendah menjadikannya tempat yang semula tinggi (pulo) apalagi yang sudah rendah (rawa) menjadi mudah tergenang. Faktor penunjang lain adalah semakin mengecilnya kapasitas tampung debit aliran sungai selain oleh tumpukan sampah berikut proses endapan lumpur (sedimentasi) yang tinggi dan oleh desakan permukiman atau built-up yang dibangun sepanjang bantaran sungai, serta merupakan daerah sepadan yang dilarang dibangun menurut peraturan pemerintah. Secara pragmatis geohidrologis, meluapnya air sungai dan tergenang air menjadi banjir yang meluas menjadi yang dapat dipahami sebagai suatu gejala yang wajar. Intensitas curah hujan yang tidak banyak dan berlangsung sebentar juga akan berpotensi menimbulkan banjir dalam situasi seperti ini. Menurut sejumlah pakar geohi-
Izin Kebanjiran Pertanyaan mendasar yang jarang dibahas adalah mengapa masyarakat dan pelaku bisnis diizinkan untuk bermukim dan berkegiatan di lokasi-lokasi banjir tersebut? Siapa yang memohon dan memberi izin ini? Apakah penataan ruang DKI Jakarta yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) tidak mengisyaratkan daerah rentan (vulnerable area) banjir ini? Jika mengetahui lokasi yang bersangkutan merupakan daerah berpotensi banjir, mengapa para pengembang properti secara jujur dan terbuka tidak menyampaikan daerah yang bersangkutan merupakan daerah yang rentan terhadap banjir? Atau mereka berikut para konsultannya memang tidak punya pengetahuan tentang kerentanan daerah ini terhadap banjir? Jawaban logis yang masuk akal adalah karena alasan pragmatis rasional ekonomi bisnis semata. Kalau kejujuran dan keterbukaan tersebut disampaikan kepada masyarakat atau calon konsumen, lantas siapa yang akan beli atau sewa produk properti yang berisiko ini? Jadi ada semacam koalisi yang terbangun dan terlembaga atau terinstitusionalisasi antara pemerintah yang membuat kebohongan publik melalui kebijakan penataan ruangnya dan para pengembang lewat promosi kondisi lingkungan lokasi (on-site) propertinya. Secara keseluruhan kondisi yang telah berkembangan dan mampu menciptakan satu set opini publik lokasi propertinya “bebas banjir” dapat dikatakan sebagai kebohongan publik atau bahkan pembodohon publik secara sistematik. Proses pemberian izin lokasi tersebut dimulai dari lembaga terendah pemerintahan daerah sampai yang tertinggi provinsi maupun pusat untuk yang tergolong pembangunan berskala besar. Selain itu juga terjustifikasi oleh lembaga teknis yang terkait. Artinya, izin kebanjiran ini merupakan hasil kerja berjamaah aparat dengan lembaganya dan pihak yang berkepentingan terhadap izin lokasi yang bersangkutan.
42
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Ini masalah kelembagaan dan aktor-aktor yang merekayasa pemberian izin secara sistematis dan terstruktur dengan aktor-aktor pemberi izin dan pengelola yang kelihatannya memiliki “kesepakatan” mekanisme pengambilan keputusan tersendiri tanpa peduli konsekuensinya. Inilah buah dari pengelolaan wilayah pembangunan jika lebih pada urusan transaksional rasional. Mereka tidak lagi berpikir bijak dan komprehensif serta tanggung jawab kepada masyarakat pemangku kepentingan lainnya. Bermunculan dan menguatnya hegemoni elite (baca: koalisi birokrat dan pengusaha/pengembang) yang memiliki akses dan kapasitas kapital mempunyai kekuatan politik-bisnis dalam menentukan alokasi peruntukan suatu bidang tanah. Umumnya mereka hanya berpikir on-site, tidak berpikir sistemik dan holistik sehingga sering kali terungkap pernyataan: “itu bukan urusan saya…, itu urusan kamu” atau “ itu bukan daerah saya…, yang penting daerah saya…”. Dalam sudut pandang Henry George mengenai tanah, sikap ini menunjukkan sikap tanah sebagai fungsi kapital dan dimiliki sendiri bukan tanah sebagai fungsi sosial sehingga hanya boleh disewa. Selanjutnya sikap ini lebih berorientasi pada kepentingannya, kepentingan dalam otoritasnya, kepentingan dalam lahan yang dikuasainya, dan kepentingan manfaat serta keuntungan untuknya. Namun kemudian dengan lihainya sering dibungkus dengan pencitraan melalui opini yang terbangun di berbagai media massa dengan menyatakan kira-kira seperti ini: “saya atau kami
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
adalah kelompok yang ikut membangun Kota Jakarta menjadi lebih bercitra internasional dan berwawasan pembangunan konstruksi hijau”. Padahal yang dimaksud hanya berlaku untuk di dalam lokasi propertinya saja tanpa menginternalisasi nilai-nilai eksternalitas, di antaranya potensi banjir ini. Arti lainnya adalah tanggung sistemik tidak pernah menjadi bagian pertimbangannya. Kalaupun terjadi bencana seperti banjir sekarang ini maka sasaran untuk diserahkan tanggung jawabnya adalah pada instansi pemerintah untuk menangani banjir karena dianggap telah menjadi urusan publik. Akibatnya, terciptalah opini seolah -olah tanggung jawabnya hanya pada pundak pemerintah saja. Dalam konteks arena politik bisnis ini maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa kedua belah pihak dalam hegemoni elite ini sebenarnya mengalami “untung-buntung”, namun pihak pengusaha atau pengembang swasta lebih banyak “untung”-nya daripada pemerintah yang cenderung pada “bunting”-nya karena menanggung biaya langsung risiko bencana banjir dan proses pemulihannya. Sejauh ini masalah banjir lebih banyak di sisi hilir permasalahannya yang bersifat praktisteknis, seperti
43
Liputan Khusus
5/9/2013 – International Symposium of Digital Earth (ISDE) ke-8 telah diselenggarakan pada tanggal 26-29 Agustus 2013 yang lalu. Acara dua tahunan tersebut diadakan di Borneo Convention Center Kuching (BCCK), Kuching, negara bagian Sarawak, Malaysia. ISDE ke-8 kali mengusung tema “Transforming Knowledge into Sustainable Practice”. Sejarah penyelenggaraan ISDE 1999 – Beijing, Cina 2001 – Fredericton, Kanada 2003 – Brno, Republik Ceska 2005 – Tokyo, Jepang 2007 – Berkeley, AS 2009 – Beijing, Cina 2011 – Perth, Australia
Sebagai sebuah kegiatan ilmiah ISDE 2013 dihadiri oleh kurang lebih 350 peserta yang mewakili berbagai kalangan, seperti akademisi, periset, praktisi, policy makers, pegawai pemerintah, serta pelajar (baik tingkat sarjana dan pascasarjana). Para peserta yang hadir mewakili kurang lebih 36 negara termasuk Indonesia (3 orang). Tidak ketinggalan pula beberapa institusi/organisasi lokal dan internasional yang ikut serta pada sesi eksibisi/pameran, antara lain ESRI, RADI, Space Eye, Taylor & Francis, serta JUPEM (Malaysia).Sebanyak lebih dari 200 karya ilmiah ikut ambil bagian dalam kegiatan yang berlangsung selama lima hari tersebut. Karyakarya ilmiah tersebut dikelompokkan dalam sub-tema yang lebih spesifik dan dipaparkan oleh para peserta dalam sesi/panel yang lebih kecil. Tidak kurang dari 15 sub-tema dipersiapkan dalam acara ini, dan setiap sub-tema dimulai dengan
menghadirkan dua atau lebih pembicara kunci yang merupakan pakar/praktisi di bidang yang berkaitan. Selain itu juga terdapat sesi Student Paper Contest yang memperlombakan karya-karya ilmiah dari masing-masing peserta. Keynote speaker
Tema-tema dalam ISDE 2013
Abdul Kadir Tabib – Department of Survey & National Mapping, Malaysia Alesandro Annoni – Joint Research Centre, Itali
Barbara Ryan – Group on Earth Observation (GEO), Swis
ICT Technologies
Davina Jackson – D_City, Australia
Empowering The Community, Engaging Society
Fanan Ujoh – Benue State University, Nigeria
Digital City and Green City
Digital Heritage
Adapting to Global and Climate Change
Land and Water Management
Geoff West – Curtin University, Australia Guo Huadong – Chinese Academy of Science (CAS), Cina Hiromichi Fukui – Chubu University, Jepang Jane Rovins – Integrated Research on Disaster Risk, Cina
Le Wang – University at Buffalo, The State University of New York, AS Li Deren – Wuhan University, Cina
Digital Earth Vision and Innovation Earth Observation Technologies
Early Warning, Emergency Management and National Security
Mining, Energy and Resources Development
Natural Resource Management and Agriculture
Health and Biodiversity
Vladimir S Tikunov – Moscow University, Rusia
Sustainability
Yola Georgiadou – Faculty for Geo-information Science and Earth Observation (ITC), Belanda
Marine and Coastal Environment
Zulkifli Yusop – Institute of Environmental & Water Resource Management (IPASA), Malaysia
Hazard and Disaster
Mario Hernandez – ISPRS Representative, Amerika Latin Mustafa Din Subari – Agensi Angkasa Negara, Malaysia Vern Singhroy – International Space University Strasbourg, Perancis
44
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Paparan oleh Taylor & Francis Salah satu hal yang menarik perhatian adalah sesi diskusi dan paparan yang diisi oleh Taylor & Francis Group. Taylor & Francis merupakan salah satu penerbit jurnal internasional yang termasuk dalam indeks SCOPUS. Sesi tersebut menghadirkan Arthur P. Cracknell yang merupakan pakar di bidang teknik elektro dan fisika serta telah menjadi penulis berbagai buku penginderaan jauh, dan Lyndsey Dixon sebagai perwakilan Taylor & Francis untuk wilayah asia-pasifik. Pada paparannya Prof. Cracknell banyak memberikan informasi mengenai tata cara publikasi dan berbagai kiat untuk bisa mempublikasikan karya ilmiah kita dalam jurnal internasional seperti beberapa jurnal terbitan Taylor & Francis. Panel Natural Resource Management and Agricul-
ture Panel lainnya yang saya ikuti adalah Natural Resource Management and Agriculture. Di dalam panel tersebut saya mendapat kesempatan untuk memaparkan hasil penelitian yang saya sedang kerjakan saat ini. Penelitian tersebut berkaitan dengan pemantauan kadar biomasa tanaman karet menggunakan data-data geospasial khususnya penginderaan jauh. Hasil penelitian yang dipaparkan merupakan hasil awal yang akan diolah lebih lanjut untuk mencapai tujuan penelitian. Pemaparan tersebut mendapat respon dari chairman serta beberapa peserta yang hadir pada sesi tersebut. Selain itu terdapat dua orang peserta lainnya yang juga mewakili Indonesia pada kegiatan ini. Penutupan Kegiatan ini ditutup dengan sambutan dari ketua panitia kegiatan yang memaparkan data dan terkait dengan kegiatan tersebut. Pada acara penutupan diumumkan juga para pemenang dari sesi Paper Contest dan Poster, serta peresmian tuan rumah penyelenggaraan ISDE berikutnya. Halifax, telah diresmikan untuk menjadi tempat penyelenggaraan ISDE ke-9 pada tahun 2015 yang akan
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
statistik
Student Kanada datang.
45
Teknologi APLIKASI D-INSAR UNTUK ESTIMASI VOLUME MATERIAL VULKANIK GUNUNG SEMERU Faris Pramadhani1), A. Azis Kurniawan1), M. Bayu Rizky Prayoga1), Miqdad Anwarie1), Shafwatustsana1) 1) Mahasiswa Dept. Geografi, Universitas Indonesia ABSTRAK Aktifitas vulkanik Gunung Semeru di Indonesia sebagai salah satu gunung api teraktif di dunia masih dalam skala intensitas yang tinggi. Pengukuran volume material yang ditumpahkan dari hasil erupsinya perlu di monitoring sebagai bentuk mitigasi bencana dalam bentuk deformasi permukaan. Estimasi volum material berbasis Penginderaan Jauh radar menggunakan metode D-InSAR dimaksudkan untuk mengetahui perubahan sifat fisik tanah secara spatio-temporal. Estimasi volum material dihasilkan dari dua nilai fasa gelombang citra yang di bedakan dengan citra lain dan di kalibrasi dengan nilai Log Ratio dan menghasilkan output berupa komposit warna citra di dua waktu observasi yang berbeda. Hasil pengukuran volum material bahwa pada bulan Januari sampai Februari, penumpukan volume material vulkanik Semeru mencapai 1.484.554,38033 m 3 mengarah relatif ke barat, barat daya dan selatan dari Kawah Jonggring. Kata kunci : deformasi tanah, D-InSAR, erupsi vulkanik
PENDAHULUAN Latar Belakang Gunung Semeru (3.676 mdpl) merupakan salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Menurut catatan seimograf Badan Vulkanologi, satu sampai tiga kali gempa tremor diikuti dengan letusan dapat dihasilkan setiap harinya. Erupsi Gunung Semeru memuntahkan berbagai material, mulai dari awan panas (wedhus gembel), lava pijar, bom gunung api, hingga debris dan aliran piroklastik lainnya. Aktivitas Semeru di sepanjang tahun 2011 hingga awal 2012 disebut mengalami peningkatan. PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2011) melaporkan terjadi 27 kali gempa tremor setiap hari yang diikuti guguran lava pijar serta munculnya kubah lava baru. Hal ini meningkatkan status Semeru menjadi siaga. Material letusan Semeru berupa aliran piroklastik dalam volume yang besar dapat dialirkan melalui channel – channel alami seperti sungai dan lereng. Jutaan meter kubik endapan piroklastik yang labil mengendap di puncak, lereng gunung maupun di dasar sungai saat terjadinya letusan, apabila terjadi intensitas dan akumulasi hujan yang cukup tinggi material tersebut mudah menjadi aliran lahar yang dalam terminologi teknis disebut sebagai aliran debris. Aliran debris mempunyai daya rusak yang besar terhadap kehidupan manusia dan parasarana dan sarana yang terlanda. Pentingnya pemantauan secara berkala menjadi suatu kebutuhan untuk analisis pemulihan hingga persiapan mitigasi. Differential Synthetic Aperture Radar Interferometry (D-InSAR) merupakan sebuah metode penginderaan jauh yang digunakan untuk mendeteksi pergeseran muka tanah, termasuk penurunan dan pengangkatan, di suatu wilayah secara akurat yang diperoleh melalui data citra SAR (Synthetic Aperture Radar) yang diambil dari dua waktu akuisisi berbeda (Stramondo et al, 2006; Tralli et al., 2005).
46
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Prinsip ini memanfaatkan selisih dua interferogram sehingga menghasilkan perbedaan/selisih frinji (fringe), yang menandai adanya pergeseran. Metode ini akan menghasilkan data DEM ( Digital Elevation
Modelling) berupa informasi pergeseran/penurunan permukaan yang di validasi dengan data ketinggian permukaan melalui pengukuran GPS atau interferometri lainnya dengan akusisi sama. Metode D-InSAR akan lebih efisien dan efektif daripada tehnik kovensional levelling atau GPS yang dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya besar (surveyor yang dibutuhkan dan konsumsi waktu) ketika di terapkan pada area yang luas. Selain itu, kelebihan dari monitoring penginderaan jauh daripada titik poin GPS lapangan adalah penginderaan jauh merekam wilayah secara spasial bukan secara sampling dan interpolasi. Sehingga, monitoring wilayah mana yang mengalami perubahan dapat terdeteksi dengan akurat. Penelitian ini bertujuan membuat sebuah model untuk estimasi volum material dan kaitannya dengan kejadian erupsi menggunakan sistem D-InSAR.
TINJAUAN PUSTAKA Material Erupsi Vulkanik Erupsi gunung api adalah proses keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Magma yang keluar dapat secara ekstursi maupun intrusi. Material letusan gunung berapi berupa gas vulkanik, lava dan aliran pasir serta batu panas, lahar, hujan abu, dan awan panas (Smith, et al., 1983; Blong, 1984).
Palsar Palsar merupakan sensor radar yang dibawa oleh satelit ALOS. Keunggulannya dibandingkan sensor optik adalah dapat dihandalkan pada segala kondisi cuaca, siang dan malam. Selama operasi normal, PALSAR pada dasarnya mengobservasi dengan sudut off-nadir sebesar 34.3 derajat untuk menghasilkan mode resolusi spasial 10 meter. Sudut off-nadir PALSAR dapat diubah dari 9.7 hingga 50.8 derajat. PALSAR juga memiliki mode observasi luas yang disebut ScanSAR. Resolusi mode ScanSAR adalah 100 meter, sedangkan resolusi normalnya 10 meter. Swath-width mode ScanSAR mencapai 250 hingga 350 km, sedangkan pada resolusi normal mencapai 70 km.
Differensial Interferometri SAR (D-InSAR) Parameter yang digunakan untuk menghitung perbedaan ketinggian permukaan adalah perbedaan fasa gelombang yang dipancarkan dan gelombang kembali. Karena gelombang yang dipancarkan berasal dari satelit, fasanya bisa diketahui dan dibandingkan dengan fasa sinyal yang kembali. Fasa sinyal kembali tersebut
dipengaruhi
oleh
jarak dengan permukaan Bumi yang dikenai ( International Matching Fund
Research, 2011). Pada umumnya, perbedaan pada dua titik akuisisi (across track) akan terjadi. Dalam kasus ini, akuisisi ganda dapat dilakukan untuk mengukur topografi, dan mengukur perubahan topografi (efek differensial) sepanjang waktu. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 1.
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
47
(Gambar 1. Skenario riil geometri DInSAR)
Tiga citra interferometri yang di ambil digunakan untuk mendapatkan dua baseline (B1, α1); (B2, α2) ,sehingga mendapatkan interferogram di waktu yang berbeda. Eksagerasi gambar diatas menunjukan sudut isinden dan sudut absolut yang hampir sama. ∆p adalah deformasi yang terjadi antara akuisisi kedua dan ketiga. Dalam implementasi repeat-track interferometri, sinyal perjalanan tiap bagian, ketika transmitter dan receiver ada di lokasi yang sama. Sehingga, diekspresikan dalam persamaan
DInSAR melibatkan setidaknya tiga citra SAR dari wilayah yang sama dari tiga waktu akuisisi yang berbeda. Citra 1 dan 2 digunakan untuk membentuk interferogram dari topografi daratan menggunakan teknik interferometrik dasar. Begitu juga untuk citra 2 dan 3 menghasilkan interferogram selanjutnya dari wilayah yang sama. Dua interferogram ini kemudian dibedakan (differensial) untuk melihat adanya perubahan yang terjadi pada permukaan Bumi.
METODE PELAKSANAAN A.
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara dijital dan survei lapang ( untuk validasi). Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data citra Fine- beam Single-Polarization ( FBS ) ALOS PALSAR tahun 2011. Berikut tahapan pengumpulan data pada penelitian ini: 1) Perolehan interferogram SAR dari data citra SAR tahun 2011 bulan Januari dan Februari untuk memperoleh master image dan slave image yang kemudian di interpretasi menggunakan software SARScape. 2) Peta Digital Geologi Merapi skala 1:50.000 diperoleh Puslitbang Geologi 3) Observasi di lapangan dan pengambilan sampel material.
B.
Pengolahan data Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data adalah sebagai berikut.
48
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
1. Estimasi deformasi permukaan berdasarkan perubahan nilai interferometri Pada tahap ini diambil Tiga citra interferometri yang di ambil digunakan untuk mendapatkan dua baseline, sehingga mendapatkan interferogram di waktu yang berbeda. Diekspresikan dalam persamaan
Persamaan (1) menunjukan proses konversi fasa yang didapat dari kedua nilai fasa interferogram untuk dikonversi menjadi nilai ketinggian. Proses ini melewati tahap Goldstein-Werner filtrasi noise dan smooth pada interferogram (Goldstein and Werner, 1998). Koefisien yang digunakan adalah 0,2. Sehingga diperoleh persamaan 2,
2. Analisa keterkaitan deformasi permukaan dengan material erupsi Pada tahap ini dilakukan analisa deskriptif kualitatif dari hasil pengolahan citra dan kejadian di lapangan pada saat ini serta pengambilan data sekunder pada tahun yang sama dengan citra Skema Alur Penelitian: Master Image
Konversi Interferometri
Interferogram
Konversi Slave Image Log Ratio
Fringe
Survey Lapang Perubahan
Sampel Tanah
D-InSAR
DEM
Foto dan OVERLAY
Deformation D-InSAR
Pergerakan Arah Material
Estimasi Volum Material
Penarikan kesimpulan merupakan
jawaban dari permasalahan dan
tujuan yang disimpulkan
berdasarkan hasil analisis output yang berupa model dari data yang diperoleh. Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
49
C.
HASIL PENELITIAN
Metode Synthetic Aperture Radar Interferometry Observasi perekaman data master pada tanggal 10 Januari 2011 dan untuk observasi perekaman data slave direkam pada tanggal 25 Februari 2011. Dengan kurun waktu hingga 1 bulan diharapkan dapat menghasilkan estimasi penumpukan material yang signifikan.
D-InSAR Dalam memproses Interferometri SAR, sinyal asli SAR (raw data) diubah menjadi data Single Look Complex (SLC). Proses ini disebut Focusing citra SAR. Sinyal radar dalam bentuk backscetter bulum dapat diterjemahkan, data masih berupa sinyal 8 bit. Pada proses ini dilakukan pengolahan data berupa koreksi paramerter SAR, koreksi doppler, kompresi range SAR, dan kompresi azimuth SAR. Tujuan dari focusing adalah mendapatkan citra dalam bentuk single look complex (slc) agar citra dapat diproses dalam tahap selanjutnya. Proses multilook adalah proses terakhir dalam pengolahan Synthetic Aperture Radar(SAR) agar bisa digunakan pada studi pengindraan jauh radar. Dalam citra SAR yang sudah dalam format SLC ini, besaran perbandingan antara resolution azimuth dan resolution range yaitu 7 : 3. Sehingga citra SLC telah memiliki perbandingan pixel yang sesuai dan efek sidelooking dari satelit dapat dihilangkan.
(Gambar 2. Perubahan sinyal Raw menjadi SLC, Multi look dan Interferogram )
Setelah nilai baseline dua citra didapat, maka langkah berukutnya adalah melakukan Interferogram Generation, proses ini bertujuan untuk menunjukkan siklus dari fasa interferometrik (modulo 2π).Warna pada citra interferogram yang dihasilkan (Cyan-Yellow-Magenta) untuk satu gelombang. Estimasi Penumpukan dan Hilang Material Berdasarkan hasil DinSAR untuk keseluruhan scene data, penumpukan tertinggi berada pada nilai 4,2 meter/Jan-Feb dan penurunan tertinggi sebesar 0,6 meter/Jan-Feb . Pada penarikan jangkauan 12 km, Secara spasial, material vulkanik Semeru terkonsentrasi di sekitar puncak Semeru, relatif mengarah ke barat daya, selatan dan barat dari puncak, dimana kenaikan tertinggi berada di barat sekitar 0,4 meter. Pada penelitian sebelumnya menggunakan metode LIDAR (Krisbiantoro, 2011) melaporkan bahwa
50
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
pergerakan trajektori awan debu vulkanik terdispersi kearah barat, barat daya dan selatan mengarah ke Kota/Kab Malang, Lumajang, Pasuruan serta Probolinggo. Sehingga, terdapat keselarasan antara hasil DInSAR dengan penelitian sebelumnya. Bromo
Puncak Semeru
(Gambar 3. Estimasi kenaikan dan penurunan muka tanah pada jangkauan 12 km dari Kawah Jonggring Saloko (puncak semeru))
Volumetrik Tahap Volumetrik material dilakukan dengan menghitung selisih antara volume material yang menumpuk (+) dan material yang hilang (-), dimana hasilnya adalah nett volum material yang dihasilkan dalam JanuariFebruari (estimated).
Penumpukan – Hilang = Volume material (nett) Kalkulasi volume dan area material tersebut didasarkan pada metode kubikasi, dimana nilai Z merupakan kenaikan dan penurunan, dan area dihasilkan secara spasial dari scene citra yang mengalami penaikan dan penurunan berdasarkan olahan D-InSAR. Dataset Penumpuka n Hilang
Plane_Hei Referenc Eksagerasi Area_2D ( m2 ) Area_3D ( m2 ) Volume ( m3 ) 0
ABOVE 1
0
BELOW 1
59.578.863,833 6
59.578.864,994 1.672.202,42835
12.604.035,682 12.604.036,194 187.648,04802 Volume (Nett)
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
1.484.554,38033
meter
kubik
51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan D-InSAR, volume material vulkanik Semeru relatif mengarah ke barat, barat daya dan selatan dari Kawah Jonggring dengan kisaran penumpukan mencapai 0, 4 meter. Hasil Volumetrik menunjukan bahwa pada bulan Januari sampai Februari, volume material vulkanik Semeru mencapai 1.484.554,38033 m 3.
Saran Untuk mendukung hasil pengolahan D-InSAR, maka perlu diuji pengolahan pada tahun atau bulanbulan berikutnya, agar dapat dilihat tren kenaikan dan analisa regresinya.
Daftar Pustaka
Bayuaji, Luhur., Sumantyo, J.T. S., Kuze, Hiroaki. (2010). Alos Palsar D-InSAR for Land Subsidence mapping in Jakarta, Indonesia. Canadian Journal Remote Sensing, Vol. 36, No. 1, pp. 18. Boerner, Martin. (2012). How Infrasonic Imaging, HF-Surface-radar and HF-OTHR & GPS Technology can favorably be implemented for detecting the On-set of Tsunamis and the real-time imaging of its spreading. University of Illinois at Chicago. Goldstein, R.M., dan Werner, C.L. (1998). Radar interferogram filtering for geophysical applications. Geophysical Research Letters, Vol. 25, pp. 4035–4038j Hidayat, Agus & Roswintiarti Orbita. (2011). Pengembangan Teknologi, Operasi dan Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Lapan: Jakarta. Krisbiantoro, Agus. Analisa Ejeksi dan Dispersi Awan Debu Vulkanik Gunung Semeru Jawa Timur. Jurnal Neutrino Vol 4 No.1. Tralli, D.M., Blom, R.G., Zlotnicki, V., Donnellan, A., dan Evans, D.L. (2005). Satellite Remote Sensing of Earthquake, Volcano, Flood, Landslide and Coastal Inundation Hazards. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, Vol. 59, No. 4, pp. 185–198
52
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Topik Khusus Mengenal Kawasan Ekonomi dan Strategis Nasional (Telaah Singkat KAPET dan KEK) Oleh. Alvian Safrizal (Kemenko Perekonomian RI)
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
53
54
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
55
56
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
57
58
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
59
60
Volume 12 / No. 2 / Agustus 2013
Volume 12/ No. 2 / Agustus 2013
61