KontraS KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang
Salam dari Borobudur
Salam redaksi
dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa
Di akhir Agustus lalu (28/08), Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia yang menulis laporan berjudul “Suharto Inc.” Sebelumnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah membatalkan gugatan tersebut. Keputusan MA memenangkan gugatan ini menambah panjang daftar MA sebagai mesin cuci kekuasaan. Laporan ini kami kupas secara mendalam dalam rubrik berita utama kali ini. Sementara di Makassar, warga komplek perumahan Purnawirawan (Rumpun) Makassar, dipaksa mengosongkan rumah mereka yang telah ditempatinya selama berpuluh tahun. Pengosongan terhadap 2500 rumah purnawiran (luas kl.90 Ha), juga diikuti tindak kekerasan yang kental kepentingan bisnis. Dari Aceh, ada tiga berita yang kami informasi. Mulai dari persoalan Tapol/Napol Aceh yang sebagian besar (1.488) yang tersebar di seluruh LP belum jelas kapan akan dibebaskan. Juga cerita tentang pembubaran diskusi publik yang di adakan oleh LBH oleh aparat kepolisian dan perkembangan tentang penangkapan delapan aktivis LBHAceh, menjadi informasi dari rubrik kabar daerah. Peringatan sewindu tragedi Semanggi II, peluncuran laporan HAM 2006 yang ditulis lengkap oleh badan pekerja Kontras, jadi bagian dari sebagian rubrik rempah-rempah. Sedangkan, rubrik jejak kasus sang pejuang, mesih menyoroti proses persidangan PK kasus Munir yang terus bergulir, dengan didengarkannya keterangan oleh sejumlah saksi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Tulisan dalam rubik-rubik ini diharapkan bukan sekedar sebagai bacaan sesaat. Kami berusaha mempertahankan ingatan, bahwa diantara kita masih banyak korban kekerasan negara yang dalam nyanyian sunyinya berharap negara hadirnya ditengahtengah mereka memberi keadilan. Peristiwa yang dialami korban adalah fakta yang tak layak dilupakan.
organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Abu, Victor, Sinun , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Oslan P dan Bustami. Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
2
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri Suparyati. Design layout: BHOR_14 Production Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 021-3926983 atau
[email protected]
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
BERITA UTAMA
Kemenangan Soeharto vs Time, Bentuk Tirani Hukum Mahkamah Agung Laporan khusus majalah Time edisi Asia yang berjudul “Suharto Inc.” Memerahkan kuping keluarga Cendana, yang tiga dekade berkuasa di Indonesia. Mereka mengajukan gugatan pencemaran nama baik. Gugatan itu dibatalkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Namun, MA justru mengeluarkan keputusan mencengangkan : Time bersalah! Putusan ini kembali meunjukkan MA bagai “mesin cuci” kekuasaan. Di akhir Agustus lalu (28/08), Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia yang menulis laporan berjudul “Suharto Inc.” Pada 24 Mei 1999. Putusan tersebut dibuat dalam sidang majelis MA yang diketuai German Hoerdiarto, dengan anggota Muhammad Taufik dan Bahauddin Qaudry. Tergugat diharuskan membayar Rp 1 triliun serta meminta maaf di sejumlah media dalam dan luar negeri selama tiga kali berturut-turut. Sebelumnya, pihak Suharto mengajukan gugatan 12 alasan kasasi. Dimana, MA memutuskan alasan nomor 2 sampai 12 dapat dibenarkan. Putusan ini membuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juni 2000 dan Pengadilan Tinggi pada Maret 2001, yang menyatakan Time tidak bersalah dibatalkan. Putusan kasasi MA ini jelas menambah daftar panjang posisi MA sebagai “mesin cuci” kekuasaan. Masalahnya, kasus yang berawal dari berita majalah Time terhadap kekayaan keluarga Soeharto pada Mei 1999 ini, memang bukan sekedar berita. Hasil investigasi yang dilakukan Time kala itu seolah mengkonfirmasi asumsi yang berkembang di publik dalam dan luar negeri tentang kekayaan Keluarga Soeharto. Kekayaan yang tentu diperoleh dari hasil kekuasaan yang korup. Dengan lugas, pada halaman 16 majalah Time Asia volume 153, terpampang gambar Suharto dan tulisan berjudul “Soeharto Inc. How Indonesian’s Longtime Boss Built a Family Fortune” (Perusahaan Soeharto. Bagaimana Bos Indonesia membangun Kekayaan Keluarga). Selanjutnya, di halaman 17, Time juga menulis Soeharto telah mengumpulkan kekayaan keluarga senilai 9 miliar dolar AS. Uang tersebut menurut laporan Time, sudah ditranfer dari Swiss ke sebuah rekening di Austria. Selanjutnya, informasi yang sangat berharga dari Time ini dimanfaatkan oleh Kejaksaan Agung yang kala itu tengah melakukan penyidikan terhadap korupsi yang dilakukan oleh keluarga Soeharto. Bila ditilik dari sini, dapat dikatakan informasi yang diberitakan oleh Time menyumbang amunisi bagi pengungkapan kejahatan Soeharto beserta kroni-kroni sebagaimana amanat Tap MPR No XI/1998 (termasuk Instruksi Presiden Nomor 30 tahun 1998). Merujuk putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juni 2000, maupun Pengadilan Tinggi yang memutuskan menolak gugatan yang diajukan oleh Soeharto terhadap Time, pada putusan tingkat pertama, Majelis Hakim telah menilai bahwa
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
informasi yang diberitakan Time berguna bagi kepentingan publik dan sesuai dengan tuntutan zaman. Berangkat dari hal ini, harusnya pemberitaan Time dapat dilihat sebagai hal positif. Mengapa? Karena pemberitaan yang didasarkan hasil investigasi itu telah membuat terang isueisue seputar kekayaan Keluarga Soeharto di masyarakat. Di sisi lain Time telah menjalankan fungsi media yang kredibel, berbasis fakta dan menyangkut isu kepentingan publik. Selanjutnya, Time juga turut andil membantu membuka jalan bagi negara, untuk melakukan tindakan hukum lainnya demi pengusutan terhadap tindakan KKN yang dilakukan oleh Soeharto beserta kroni-kroninya. Sementara kepentingan publik yang lebih besar memang harus jadi dasar bagi majelis hakim dalam memutuskan perkara ini. Pengungkapan kejahatan Keluarga Soeharto seharusnya dipahami sebagai kehendak rakyat Indonesia sebagaimana telah tertuang dalam Tap MPR XI/1998 tersebut.
Buron nomor satu Tak berselang beberapa minggu setelah vonis bebas yang diberikan oleh MA ini, di pertengahan September (18/9), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), meluncurkan inisiatif untuk memburu para pemimpin dan penjabat korup yang mencuri uang rakyat di negara-negara berkembang. Soehartopun menjadi orang yang paling diburu dan menduduki peringkat pertama sebagai pemimpin otoriter yang mencuri aset negara paling banyak. Besarnya ditaksir mencapai US$ 15-35 miliar. Inisiatif yang dinamakan The Stolen Asset Recovery Initiative (mengembalikan Aset yang Dicuri) atau Star Initiative itu, akan menguatkan pasal-pasal pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), traktat PBB untuk memerangi korupsi global, yang berlaku efektif sejak Desember 2005. (DPR sendiri bahkan telah mengesahkan UU Ratifikasi terhadap traktat tersebut pada Maret 2006). Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengatakan, inisiatif StAR diluncurkan karena dampak pencurian aset negara yang terhadp pembangunan negara berkembang sangat besar. “Banyak negara berkembang sangat membutuhkan biaya untuk mengurangi kemiskinan. Pada saat yang sama, uang hasil korupsi yang mengalir dari negara-negara berkembang diperkirakan mencapai USD 40 miliar setahunnya. Jumlah itu kira-kira 40 persen dari dana pembangunan, “ ujar Zoellick.
3
BERITA UTAMA Dalam penjelasannya, PBB menyebutkan daftar tersebut dipersipakan oleh Transparency Internasional (TI) dan Bank Dunia, yang didukung oleh data-data yang didapat melalui informasi dari berbagai media massa. Satu-satunya informasi yang didapatkan secara resmi dari sumber suatu negara adalah dari Peru, yaitu berkaitan dengan kemungkinan keterlibatan Alberto Fujimori dalam menghilangkan kekayaan negara tersebut. Menurut catatan PBB. Menurut catatan PBB-Bank Dunia, Filipina akhirnya memperoleh kembali USD 624 juta dari uang yang diparkir Ferdinand Marcos di Swiss. PBB dan bank dunia mengingatkan bahwa pengembalian aset negara yang dicuri sangat memakan waktu, memerlukan kredibilitas dan upaya yang berkelanjutan, serta keinginan politik yang kuat dari suatu negara.
Tirani hukum Karenanya, kembali pada vonis MA yang memenangkan gugatan Soeharto tersebut kita patut merasa sangat prihatin. Putusan ini mencerminkan, langkah MA yang sebelumnya kerap memenangkan para pelanggaran HAM dan korupsi, hanya menempatkan MA sebagai tirani hukum dari masa lalu yang menolak arus perubahan. Lihat saja, bukan kali pertama ini MA menjatuhkan vonis kontroversial. Sebelumnya, MA membebaskan terdakwa pelanggaran berat HAM. MA membebaskan terdakwa pembunuh Munir. MA membebaskan koruptor. MA juga memperpanjang usia pensiun dirinya sendiri. Pengaruh MA membuat Pengadilan Tipikor menolak untuk memanggil Ketua MA Bagir Manan dalam perkara korupsi Probosutejo dengan terdakwa suap Harini. Di sisi lain, Jaksa Agung menghentikan proses penuntutan atas kasus korupsi Soeharto.
Masalah-masalah ini adalah cermin sikap resisten MA untuk berubah. Sayangnya, perilaku politik petinggi negara malah memperkuat resistensi itu. Solusi politis atas penolakan MA saat hendak diaudit BPK, menyusul penolakan MA untuk diawasi Komisi Yudisial adalah cara-cara yang menjauhi pelaksanaan kode etik hukum secara konsekuen. Dan kini sudah saatnya perilaku ini dikoreksi. Setidaknya dalam menyikapi program PBB dan Bank Dunia tentang StAR Initiative (Stolen Asset Recovery- Prakarsa Penyelamatan Kembali Kekayaan Yang Dicuri). Upara Pemerintah untuk membahas aksi nyata dengan Bank Dunia dalam merespon program itu sebaiknya tidak dalam rangka politik pencitraan. Kewajiban untuk menuntaskan kasus korupsi dan pelanggaran HAM rejim Soeharto selayaknya tak perlu menunggu tekanan internasional. Tekanan dunia atas kasus korupsi dengan menempatkan Soeharto sebagai nomor satu, sesungguhnya menunjukkan adanya nilai bersama yang universal, bahwa korupsi adalah kejahatan atas umat manusia. Korupsi oleh pemimpin Orde Baru, selama ini gagal dijerat hukum. Kegagalan itu dipengaruhi keengganan politik pemerintah untuk menggelar pengadilan atas Soeharto. Sementara itu, upaya pemerintah yang hanya memperdatakan kasus BPPC atau sejumlah yayasan, tentu bukanlah langkah yang cukup untuk menunjukkan adanya keseriusan. Di sisi lain, Jaksa Agung menghentikan penuntutan pidana. Langkah ini bisa dinilai masyarakat sebagai komestik belaka, seolah ada kehendak negara untuk mengembalikan harta kekayaan hasil korupsi Soeharto, keluarga dan kronikroninya. Yang diharapkan rakyat Indonesia dan dunia justru keberanian Pemerintahan SBY-JK untuk memutus belenggu masa lalu. Menampilkan diri menjadi bagian dari situasi politik baru yang menghormati hukum yang adil, bukan warisan hukum rejim otoritarian. ***
Daftar Pencuri Aset Negara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
4
Nama Soeharto (Indonesia) Ferdinand Marcos (Filipina) Mobutu Sese Seko (Zaire) Sani Abacha (Nigeria) Slobodan Milosevic (Serbia) Jean Claude Duvalier (Haiti) Alberto Fujimori (Peru) Pavio Lazarenko (Ukraina) Arnold Aleman (Nikaragua) Josefh Estrada (Filipina)
Tahun 1965-1997 1972-1986 1965-1997 1993-1998 1989-2000 1971-1986 1990-2000 1996-1997 1997-2001 1998-2001
Kerugian negara US$ 15-35 miliar US$ 5-10 miliar US$ 5 miliar US$ 2-5 miliar US$ 1 miliar US$ 300-800 juta US$ 600 juta US$ 114-200 juta US$ 100 juta US$ 70-80 juta
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
BERITA UTAMA
Manifesto Keadilan Keputusan Mahkamah Agung menghukum majalah Time dan memenangkan Suharto, membebaskan pembunuh Munir, membebaskan pelanggar HAM dan para koruptor, bahkan menolak uji materi perda diskriminatif atas perempuan adalah contoh-contoh telanjang dari penghianatan reformasi. Benteng akhir penjaga keadilan itu bukan saja telah mempermainkan mandat suci keadilan, tetapi sekaligus telah menghamba kembali pada kepentingan kekuasaan Orde Baru. Penghambaan itu bukanlah suatu kebetulan belaka, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk mengembalikan politik lama, mengancam kebebasan pers, dan menutupi-nutupi pelanggaran HAM, justeru dalam kondisi di mana rakyat sangat mendambakan keadilan dan kebenaran. Keangkuhan Mahkamah Agung bukan sekedar tampak pada kegilaan lembaga itu dalam hal pengaturan administrasinya sendiri seperti terlihat pada penentuan sesuka-sukanya gaji dan masa jabatan, tetapi juga pada keangkuhannya untuk menampilkan diri sebagai lembaga yang tak tersentuh aturan bernegara, seperti saat menolak audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial. Ini inkonsisten dengan kebijakan MA sendiri. Tentu saja kondisi itu berkaitan juga dengan kondisi umum kehidupan politik kita yang makin tanpa arah dan tanpa etika. Keseluruhan gerak reformasi memang sedang dalam bahaya, karena kepemimpinan politik tidak mampu memperlihatkan ketegasan habis-habisan dalam soal pemberantasan korupsi Suharto dan kroni-kroninya, serta dalam soal penegakan Hak-hak Asasi Manusia Oleh karena itu, dengan ini kami menuntut pembersihan total Mahkamah Agung dari para pemerkosa keadilan, penjual hukum dan orang-orang berwatak Orde Baru yang selama ini telah membuat MA menjadi sarang mafia peradilan. Sebagai langkah menuju pembersihan itu, Ketua MA Bagir Manan harus diberhentikan. Dibacakan di depan Gedung Mahkamah Agung RI, Jakarta, pada hari Kamis, tanggal 4 Oktober 2007, Pukul 14.00
Komite Aksi Bersihkan MA Usman Hamid-Nursyahbani Katjasungkana-Denny Indrayana-Firmansyah Arifin-Dian Sastrowardoyo-Heru Hendratmoko-Binny Buchory-Goenawan Mohamad-Rieke Dyah PitalokaEstu Fanani- Bivitri Susanti-Syamsuddin Haris-Rizal Malik-Rachland Nashidik-Rahman TollengSantoso-Wahyu Susilo-Garin Nugroho-Dita Indah Sari-Hendardi-Hamid Basyaib-Maria Pakpahan-Rafendi Djamin-Hilmar Farid- Teten Masduki-Anis Hidayah-Marco KusumawijayaSyaiful Mudjani-Fikri Jufri-Sabam Siagian-Daniel Dhakidae-Willy Aditya-Clara JuwonoNugroho Dewanto-Andi Achdian-Indra Jaya Piliang- Bambang Widodo Umar-Ibnu TricahyoPatra M. Zen-Andi Yuwono-Dian Kartika Sari-Guntur Romli-Rena Herdiyani-Chalid Muhammad-Suciwati-Rena Herdiyani-Ridho Triawan -Ray Rangkuti-Don K Marut-Saldi Isra
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
5
TUTUR
Sang Pejuang (untuk Alm. Munir) Oleh : Abdullah Bawi Hari ini Telah tiga tahun sudah Kau terbaring dan terbujur kaku Namun suaramu Masih terdengar dimana-mana Kau dendangkan lagu Senandung pilu Nyanyian kemerdekaan dan keadilan yang durjana Nyanyian sunyi yang haus kedamaian Anak manusia yang teraniaya dan dirundung duka Mereka yang terempas di bukit-bukit batu Suaramu mengisi relung hati Yang kehilangan harapan dan hari esok Kau hentakkan kaki-kaki telanjang tanpa alas Biar bumi bergetar Biar mereka yang haus darah Mereka yang tamak Terpana Jauh disana Kau dinista dan disiksa Tetapi Di negeri kelahiran ini Jutaan manusia mengusung jasadmu Mengantar kepergianmu Keharibaan ibu pertiwi tercinta
Aksi memperingati 3 tahun meninggalnya Munir (dok.KontraS)
6
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
OPINI
MA, Penguasa Hukum yang Gamang Oleh: Haris Azhar (Kadiv. Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi)
Selasa, 28 Agustus 2007. Mahkamah Agung membuat sebuah keputusan yang mengejutkan dengan memenangkan gugatan Perdata Soeharto terhadap majalah Time Asia yang menulis laporan “Suharto Inc.” pada 24 Mei 1999. laporan tersebut memuat daftar korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan Kronikroninya. Keputusan ini kian menambah panjang daftar putusan-putusan kontroversial yang tidak berpihak pada sesnitifitas masyarakat. MA terlihat sebagai mesin pencuci dosa. Sebelumnya, MA membebaskan para petinggi TNI dan POLRI yang terlibat dalam pelanggaran berat HAM kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Dalam kasus Korupsi, MA membebaskan Akbar Tandjung, yang saat itu menjabat sebagai ketua DPR (1999-2004).
mendapatkan informasi, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, HAM, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dari kedua argumen diatas tergambar bahwa posisi Pers memang cukup penting bagi penegakan hukum dan utamanya adalah mendorong wacana keadilan. Pers tidak bisa dikekang sebagaimana dimasa lalu. Dan jika dilihat dari kiprah media di Indonesia, selama paska reformasi, sangat signifikan berperan dalam membangun wacana demokratisasi dan mengungkap kezaliman kekuasaan di Indonesia. Termasuk kezaliman kekuasaan dimasa lalu. Lalu dimana letak kontroversial dari putusan MA terhadap majalah TIME Asia?
Dalam putusannya, MA menghukum majalah Time untuk membayar ganti kerugian immateriil kepada Soeharto senilai Rp 1 triliun. Time juga diperintahkan meminta maaf secara terbuka di media nasional maupun internasional. MA menilai Time edisi Asia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan nama baik dan kehormatan Soeharto, sebagai mantan presiden RI tercemar.
Pertama, MA menyatakan bahwa pemberitaan TIME telah mencemarkan nama baik Soeharto. Hal ini bertentangan dengan putusan hakim yang mengadili kasus ini pada tingkat yang lebih rendah; Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2000) dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Kedua pengadilan ini menyatakan bahwa informasi yang diberitakan Time berguna bagi kepentingan publik dan sesuai dengan tuntunan zaman.
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL., Ketua Mahkamah Agung (MA) RI dalam Sambutannya disaat Rakernas Mahkamah Agung, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Aksi di depan Mahkamah Agung RI Seluruh Indonesia di Denpasar – Bali (19 – 22 September 2005) menyampaikan pesannya kepada para hakim: “untuk menjamin dan melindungi kebebasan pers. Hakim sebagai salah satu garda depan yang menjamin tegaknya negara berdasarkan hukum tidak mungkin berlepas tangan dari upaya membangun pers yang bebas”.
Kedua, MA tidak memahami kerja (jurnalistik Investigasi) yang dilakukan oeh Majalah TIME dalam membongkar Korupsi Seoharto dan kroniDok.Kontras kroninya. Tidak serta merta semua hal yang memojokkan seseorang atau lebih menjadi sah untuk dikatakan sebagai pencemaran nama baik. Padahal TIME telah menjalan fungsi kerja sesuai dengan standar investigasi dan mempertimbangkan kalayakan informasi Korupsi Soeharto dan Kroni-kroninya bagi masyarakat luas.
Sementara dalam Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa Pers berperan untuk memenuhi hak masyarakat untuk
Ketiga, Informasi yang dimunculkan TIME bahkan digunakan oleh pihak Kejaksaan Agung yang juga sedang berusaha
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
7
OPINI
mengungkapkan korupsi Soeharto dan Kroni-kroninya. Bahkan temuan-temuan TIME menguatkan mandat Pemerintah Indonesia dari Tap MPR No XI/1998 untuk mengadili Seoharto dan kroni-kroninya. Putusan MA dalam kasus TIME merupakan sinyal ancaman, baik bagi profesi jurnalis, bagi upaya mengoreksi (korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan) masa lalu dan bagi pelapor kejahatan. Kualitas hakim dengan level Mahkamah Agung seharusnya mampu menjadi ‘kuping’ bagi suara keadilan masyarakat. Masyarakat yang hak-haknya telah dirampas atau dikorupsi oleh kekuasaan dimasa lalu. Para hakim seharusnya menjadi pintu bagi upaya koreksi terhadap kejahatan-kejahatan serius. Patut disadari bahwa pemeliharaan nama baik merupakan hal yang penting. Namun, menjaga nama baik, termasuk nama baik mantan Presiden Soeharto, harus ditempatkan secara proporsional. Artinya, dalam kasus ini menjaga nama baik Soeharto harus dihubungkan dengan konteks dimana Soeharto dituduh melakukan korupsi bersama kroni-kroninya. Jika Soeharto belum terbukti melakukan korupsi hal tersebut hanya semata-mata adanya Surat Keterangan Pemberhentian Pemeriksaan Perkara (SKP3) dari Kejaksaan Agung. Surat ini
membawa konsekwensi bahwa Soeharto belum dihukum tapi juga belum bebas dari tuduhan meng-korupsi uang rakyat. Menghukum TIME justru membuktikan kehancuran logika hukum dalam masyarakat yang sedang bertransisi politik menuju demokrasi. Dalam masyarakat yang sedang transisi menuju demokrasi penting untuk mengambil pembelajaran dari masa lalu yang kelam. Terutama dalam soal Korupsi dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kehancuran logika hukum terjadi ketika otoritas hukum gagal menghukum atau gagal mencari terobosan penyelesaian kasus-kasus yang diduga dilakukan akibat penyelahgunaan kekuasaan dimasa lalu. Disisi lain, otoritas hukum justru menghukum pihak-pihak sipil, seperti Majalah TIME, yang mendorong penuntasan kasus, seperti korupsi Soeharto. Usaha Majalah TIME harus dilihat sebagai upaya advokatif, ketika negara enggan mengungkapkan kebenaran, maka media jurnalistik mampu mengungkapakan kebenaran. Jika penguasa masih ingin berkuasa, maka gunakanlah kekuasaan yang diberikan masyarakat untuk kepentingan dan kebaikan masyarakat.***
Aksi Protes terhadap putusan MA yang memenangkan Soeharto, dilakukan beberapa elemen masyarakat bertajuk “Sapu Bersih Mahkamah Agung” Dok. KontraS
8
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
JEJAK SANG PEJUANG
Tiga Tahun Kematian Munir Tanpa Terpidana 7 September 2007, tepat tiga tahun Munir tewas. Sang pejuang HAM ini pergi di atas pesawat Garuda menuju Belanda kala hendak melanjutkan studi. Hasil forensik menyatakan ia tewas akibat racun dengan dosis mematikan. Walau pengusutan tengah berjalan, belum jelas apakah semua pihak yang bertanggungjawab dalam konspirasi pembunuhan ini kelak dihukum. Sidang PK-pun masih terus berjalan. Dan kita menunggu keadilan hadir pada kasus ini. Dalam rangkaian aksi memperingati tiga tahun terbunuhnya yang menurutnya sama sekali tidak memuaskan. Setelah Munir, tepat pada tanggal 7 September, saat melakukan konvoi dibuka kembali, muncul harapan darinya agar kasus tersebut aksi di depan kantor Badan Intelijen Negara (BIN), di Pejaten bisa segera tuntas. Namun, dari beberapa kali sidang PK, Timur, Jakarta Selatan, ada sebuah peristiwa yang tak terduga nama-nama seperti Hendropriyono, Muchdi PR tak kunjung diperiksa. Padahal nama-nama tersebut sempat muncul dalam terjadi. Tiba-tiba saja hampir penyelidikan dan semua telepon seluler keterangan beberapa saksi. kehilangan sinyal. Entah mengapa. Yang jelas beberapa Sayang sekali, rangkaian orang wartawan terpaksa bunga yang khusus berjalan menjauh sambil dipersembahkan untuk para mengangkat teleponnya petinggi BIN tidak diterima. berharap ada sinyal. Maklum Tidak ada satupun dari saja, aksi yang diikuti oleh penjabat tinggi BIN mau sekitar tujuh ratus orang yang menerima perwakilan terdiri dari kalangan aktivis, peserta aksi. Meski kecewa, mahasiswa, buruh, Forum rombongan tetap dengan Betawai remuk (FBR), dan tertib melanjutkan aksi masyarakat umum ini, juga menuju depan Istana diliputi oleh banyak Merdeka. Setibanya disana wartawan. Banyak wartawan juga digelar beberapa orasi yang bingung tidak bisa dari perwakilan LSM, melaporkan peristiwa aksi Aksi peringatan 3 tahun meninggalnya Munir Mahasiswa dan Buruh. Sore Dok.KontraS secara langsung karena signal hari dibawah guyuran telpon gengam di lokasi demo hujan deras peserta aksi blank. Baru setelah peserta aksi pulang dan kembali ke Kontras. Dan karena hujan pula, acara bergeser sekitar 200 meter dari gerbang BIN, jaringan lain yang rencananya akan digelar malam hari bertempat di komunikasi kembali normal. Tugu Proklamasi Jakarta terpaksa batal dilaksanakan. Acara Mengusung puluhan karangan bunga, para peserta aksi diskusi kecil digelar dan hanya diikuti oleh mahasiswa dan menganggap petinggi dan mantan penjabat lembaga itu ikut beberapa perwakilan LSM. bertanggung jawab atas kematian Munir. Mereka juga Sementara dalam rangkaian peringatan tiga tahun Munir mengusung poster bergambar Kepala BIN Syamsir Siregar dan lainnya, juga digelar Memorial Lecture bertajuk “Teologi wakilnya As’ad. Juga poster mantan Kepala BIN Kemanusiaan Menuju Keadilan Universal “ di Universitas Hendropriyono, serta Mucdhi Purwoprandjono dan Islam Negeri (UIN) Jakarta. Manunggal Maladi, dua mantan deputi kepala lembaga ini. Dalam kuliah yang digelar Kamis (6/9) malam itu, Prof Dr Sedangkan saat berorasi di atas mobil pick up, Suciwati Komaruddin Hidayat mengatakan, Indonesia adalah bangsa menyatakan kedatangan demostran bukan untuk menyerang yang tengah menjadi. Kasus Munir merupakan batu uji dari lembaga telik sandi itu. “Kami mendukung pembersihan BIN pembentukan bangsa itu. Gagal tidaknya Indonesia dari penjahat, bukan untuk mengoyak-ngoyak institusi ini, “ menyelesaikan kasus itu dan merefleksikannya demi masa tegasnya. Suciwati juga mendesak agar BIN segera dirombak. depan merupakan batu uji dari pembentukan bangsa ini. “BIN perlu direformasi agar akses informasi terhadap lembaga ini bisa dibuka lebih lebar kepada masyarakat.” Mengapa? Karena pembunuhan Munir, ungkap Komaruddin, Suciwati lebih lanjut menyatakan, pemerintah selama tiga tahun ini, belum memberikan perkembangan yang signifikan karena kasus kematian Munir sempat tenggelam dengan hasil
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
bukan persoalan personal, tetapi pembunuhan itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hadir juga dalam acara kuliah tersebut Prof Dr Soetandyo Wignyosoebroto dan Budy Munawar Rachman.
9
JEJAK SANG PEJUANG Pembantu Dekan III Fakultas Syariah UIN, Yayan Sophian, mengatakan, dalam kuliah itu dibahas pandangan Islam tentang hak asasi manusia. Menurut dia, Islam tidak menentang HAM. Refleksi bahwa Allah menghormati dan memuliakan manusia merupakan dasar sikap beriman untuk juga menghormati manusia.
merupakan murid yang mempunyai kemampuan tinggi dan mempunyai sifat yang periang serta suka membantu temantemannya. “Saya ingat sekali saat membimbing dia, Dia (Munir), sering membantu teman-temannya. Yang jelas dia suka bergaul dengan siapa saja, “ ujar guru Bahasa Indonesia itu.
Sikap Munir dapat dinilai sebagai aktualisasi hidup beriman itu. Pilihannya merupakan upaya membangun harapan di tengah kenestapaan dan deraan kekerasan penguasa. Penghormatan terhadap hak hidup seseorang yang sedemikian dihormati Allah merupakan bagian intregal dari ajaran dan sikap beriman. Di situlah peringatan tiga tahun kematian Munir memperoleh dimensi yang lain.
Sementara dari Yogyakarta, puluhan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Untuk Solidaritas Udin dan Munir (KASUM, ) Jogya mendatangi DPRD DIY, Jl. Malioboro. Mereka menuntut kasus pembunuhan Munir dituntaskan.
Surabaya, Yogya
Bersihkan BIN
Malang, Sementara itu, ditengah desakan para aktivis kepada pemerintah agar membersihkan BIN, muncul usul supaya penyidik mengusut kembali orang-orang yang disebut dalam rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF).
Sementara itu peringatan tiga tahun Munir juga digelar di sejumlah daerah. Di Surabaya puluhan aktivis yang tergabung dalam Komunitas Pembela HAM Jatim melakukan unjuk rasa di depan patung Gubernur Suryo Surabaya. Para demostran Menurut mantan anggota juga membawa sejumlah TPF Rachland Nasidik, poster dan selebaran yang rekomendasi tim dibagi-bagikan pada gabungan itu harus pengendara lalu lintas. Dok.Kontras ditindaklanjuti. Selain Mereka berasal dari AJI mantan Ketua BIN Aksi peringatan 3 tahun meninggalnya Munir di depan kantor BIN Surabaya, Serikat Dosen Hendropriyono, TPF Progresif Unair, Kelompok merekomendasikan nama Perempuan Pro Demokrasi mantan Deputi Surabaya, Ikatan Orang Hilang Surabaya, Pusham Unair, Jerit Surabaya, Aliansi Buruh Menggugat, LBH Surabaya dan HMI Penggalangan BIN Mucdhi PR dan mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Djazuli sebagai orang yang patut diperiksa. Komisariat Unair. “Semua rekomendasi TPF sudah dilengkapi alasan serta bukti. Direktur LBH Surabaya, Syaiful Aris, yang ikut serta melakukan Itu layak dipertimbangkan, “tegas Rachland. unjuk rasa mengatakan penuntasan kasus Munir memasuki babak penting yakni digelarnya sidang PK atas tersangka Sedang Kepala divisi Legal Komisi Solidaritas Untuk Munir Pollycarpus. “Berbagai bukti (novum) baru yang dihadirkan (KASUM), Asfinawati mendukung dibukanya kembali hasil Jaksa Penuntut Umum berupa rekaman percakapan telepon rekomendasi TPF. “Hasil TPF memang belum dipublikasikan antara Pollycarpus dan Indra Setiawan (mantan Dirut Garuda) presiden apalagi ditindaklanjuti. Itu patut dipertanyakan, “ semakin memperkuat keyakinan bahwa ada konspirasi tingkat ujarnya. Direktur LBH Jakarta ini juga menyatakan, selain menjadi tinggi di balik pembunuhan Munir, “ tegas Aris. kekuatan moral, temuan TPF yang merupakan lembaga resmi Sedang di kota kelahiran Munir, Malang, puluhan anggota HMI bentukan presiden bisa menjadi pegangan bagi penegak hukum cabang Malang juga mengadakan unjuk rasa di depan gedung untuk menuntaskan kasus Munir. “Kasus Polly bukan berarti DPRD Kota Malang. Mereka mendesak penuntasan kasus Munir. case closed. Apapun hasilnya nanti, bukti-bukti dalam kasus tersebut tak otomatis dihapus, “ ujarnya. Tiga tahun Munir juga diperingati siswa-siswi SD Muhammdiyah IV di jalan Welirang kota Batu, Jawa Timur. Apalagi kata Asfin, pembuktian yang selama ini dikemukakan Para murid dan guru tempat Munir sekolah dulu itu di pengadilan bertujuan membuktikan keterlibatan Polly mengadakan upacara bendera setengah tiang serta menggelar dalam pembunuhan Munir, tidak ditujukan untuk menguak kasus tersebut. “Siapa pun yang diduga terlibat harus aksi teatrikal. diperiksa termasuk As’ad,” Katanya. Asfin menambahkan, Salah satu guru SD Muhammadiyah IV yang juga guru Munir, meski ada fakta pertentangan antara As’ad dengan Farida, di Batu, mengatakan pada waktu sekolah, Munir
10
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
JEJAK SANG PEJUANG Hendropriyono dan ada dugaan skenario keterlibatan As’ad, tidak berarti dia urung diperiksa. Sementara itu KASUM menegaskan belum tuntasnya kasus Munir menunjukkan bahwa telah tiga tahun pula negara gagal menghukum pelakunya, khususnya sang dalang komplotan. Seharusnya setelah tiga tahun, publik sudah bisa melihat para penjahat pengecut tersebut mendekam di balik jeruji penjara.
melindungi para pembela HAM seperti yang termaktum dalam konvensi perlindungan pembela HAM.
Jadi komiditas politik Sementara itu saat menjadi pembicara di acara diskusi bertema, “Demokrasi dan penegakan HAM”, diselenggarakan oleh Yayasan Puspa Indonesia untuk Demokrasi (27/10), di Palembang, Usman Hamid mengutarakan kasus pembunuhan Munir bakal menjadi komoditas politik dalam Pemilu 2009, jika pemerintah tidak segera menuntaskan masalah tersebut. Usman menuturkan, kasus tersebut akhirnya hanya dipolitisir untuk memperbaiki citra partai politik, citra calon presiden, atau untuk menghantam lawan politik.
Hampir semua orang dengan akal sehat bisa melihat bahwa kasus Munir merupakan ujian bagi reformasi sistem kenegaraan. Bahkan Presiden SBY sendiri menegaskan, kasus Munir merupakan “ujian bagi sejarah Indonesia”. Sukses tidaknya pengungkapan kasus Munir menjadi penanda apakah reformasi sistem baru negara ini berpihak pada korban, kebenaran, dan keadilan atau masih menjadi perisai bagi “Secara yuridis para pelaku.
berdasarkan KUHAP, kasus
Lebih lanjut, Usman mengaku, selama ini kasus Munir hanya diangkat sebagai janji politik, tetapi tidak pernah diselesaikan sepenuhnya sebagai upaya penegakan hukum dan keadilan. Bahkan, kasus tersebut bisa dipakai untuk menjatuhkan lawan politik.
KASUM mengakui beberapa waktu Munir bisa diselesaikan belakangan ini pengungkapan kasus tahun 2008 karena tinggal Munir memang mulai memasuki tahapan selangkah lagi sudah yang penting, meski lagi-lagi terasa menuju aktor sangat lambat. Rumor yang berkembang “Misalnya, kasus pembunuhan Munir intelektualnya” ujar Usman di publik mulai menjadi fakta yang solid. bisa diangkat untuk menunjukkan Kasus ini sedikit demi sedikit terkuak, Hamid kepada masyarakat bahwa kasus yaitu sebagai hasil konspirasi politik dari tersebut terjadi pada masa pemerintahan orang-orang yang menyalahgunakan Megawati. Artinya jangan memilih otoritasnya. Keterlibatan orang-orang di Megawati. Tetapi, saya berharap itu tidak Garuda dan di Badan Intelejen Nasional terjadi karena idealnya kasus Munir bisa selesai tahun 2008, “ (BIN) mulai nampak jelas seiring dengan berjalannya sidang ujar Usman. PK baru-baru ini. Sayang tidak semua pihak mau bekerja sama dan membuka dirinya bagi proses penegakan hukum. Menurut Usman, secara yuridis berdasarkan KUHAP, kasus Karenanya KASUM meminta BIN sebagai institusi negara, Munir bisa diselesaikan tahun 2008 karena tinggal selangkah bagian dari instrumen pelayanan publik, membuka diri untuk lagi sudah menuju aktor intelektualnya. Hal itu karena mantan bekerja sama dengan aparat penegak hukum guna membongkar Presiden Direktur PT Garuda Indonesia Indra Setiawan sudah duri dalam daging yang selama ini justru membebani citra mengakui membuat surat untuk Pollycarpus atas permintaan BIN di muka publik. KASUM juga berpedapat bahwa bentuk Wakil Kepala Badan Intelijen Negara M As’ad. nyata untuk mereformasi diri harus diwujudkan dengan cara menyerahkan anggota BIN yang disebutkan dalam persidangan “Kalau tahun 2008 tidak selesai, kekhawatiran itu benar-benar terjadi, yakni kasus Munir hanya menjadi wacana politik ke polisi. menjelang pemilu, “ Kata Usman. Jika kasus Munir tidak selesai KASUM juga mendesak Presiden SBY menggunakan otoritasnya tahun 2008, pihaknya akan terus memperjuangkan agenda sebagai kepala negara untuk membuka ketertutupan institusi- penyelesaian melalui partai politik maupun calon presiden institusi bawahannya. Sebagai parameter ‘ujian sejarah yang akan maju dalam Pemilu 2009. Indonesia’, kegagalan pengungkapan secara tuntas kasus Munir akan menjadi coreng hitam pemerintahan SBY-JK. Presiden SBY Pihaknya, menurut Usman, juga memastikan akan harus mengenyampingkan segala kalkulasi untung rugi politik meningkatkan kampanye supaya masyarakat semakin cerdas, dan harus mengutamakan tugas objektifnya sebagai kepala teliti, dan cermat untuk memilih partai politik dan pemimpin yang mampu menyelesaikan kasus hukum dan HAM, termasuk negara. kasus Munir. Sedangkan pandangan sisi lain dikemukakan oleh Menurut Ketua Komnas HAM, Ifdal Kasim, Selasa (11/9). Menurutnya, Menurut Usman, kampanye internasional juga terus kasus ini merupakan momentum pembuktian bahwa lembaga dilakukan. Pada November, Pelapor khusus PBB untuk peradilan di Indonesia merupakan benteng keadilan, mampu penyiksaan akan mengunjungi Jakarta serta beberapa daerah, dan berkeinginan untuk mewujudkan keadilan bagi setiap seperti Aceh dan Papua. Pepalor khusus itu akan mengadakan orang di negeri ini. pertemuan dengan instansi pemerintah dan beberapa lembaga swadaya masyarakat. Upaya-upaya itu membuat Lebih lanjut Ifdal mengungkapkan, selayaknya pemerintah Usman optimis kasus Munir bisa diselesaikan jika ada memperhatikan komitmen bersama masyarakat dunia untuk kemauan pemerintah.
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
11
JEJAK SANG PEJUANG Penangguhan Indra ditolak Sementara pada persidangan Rabu (24/10), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, majelis hakim yang diketuai oleh Heru Pramono, menolak permohonan penangguhan penahanan terhadap mantan Direktur Utama Garuda, Indra setiawan. Menurut hakim, Indra yang didakwa terlibat dalam kasus Munir ini, masih perlu ditahan dalam proses pemeriksaan perkara itu. Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum Noor Rachmat dalam pendapatnya menolak keberatan yang diajukan penasehat hukum terdakwa dan minta sidang itu dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi. Salah satu alasan penolakan itu adalah Noor berpendapat ada hubungan sebab akibat antara perbuatan Indra dan perbuatan Pollycarpus. Pendapat itu menolak keberatan penasehat hukum terdakwa yang menyatakan dalam eksepsinya, tidak nyata dalam dakwaan bahwa diterbitkannya surat tugas Nomor GA/DZ2270/04 tanggal 11 Agustus 2004 oleh terdakwa, telah memberikan kesempatan dan sarana kepada Pollycarpus untuk melakukan kejahatan yang didakwakan, yaitu dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, yaitu Munir.
Bagir tangani langsung PK Sementara itu, Ketua MA Bagir Manan turun langsung menangani perkara PK kasus Munir. Perkara tersebut akan ditangani Bagir bersama empat hakim agung lainnya. “Akan saya pimpin sendiri sendiri. (Berkas) Sudah langsung berputar ke anggota majelis, “ ujar Bagir ditanya mengenai PK Pollycarpus. Ditanya apakah MA akan memprioritaskan penanganan perkara itu, Bagir mengatakan tidak ada prioritas. “Pokoknya kami kerjakan saja, “ ujarnya. Sebelumnya dalam berkas permohonan PK, jaksa mengajukan bukti baru berupa kesaksian Indra Setiawan, Rohainil Aini, Raymond J Latuihamalo alias Ongen, dan Asrini Utami Putri. Asrini yang menumpang pesawat yang sama dengan Munir sempat melihat Pollycarpus duduk bersama Munir di Coffe Bean di Changi, Singapura. Dalam PK tersebut, jaksa juga memperdengarkan percakapan antara Pollycarpus dan Indra Setiawan. Dalam percakapan itu, Pollycarpus menyebut-nyebut Bagir Manan dan orang-orang MA sebagai “orang kita”. Bagir membantah disebut “orang kita”. Ia menuding Pollycarpus melakukan kebohongan besar. Meski demikian, Bagir mengatakan, omongan Pollycarpus tidak akan mempengaruhi proses PK.
Komnas HAM keluarkan fatwa Komnas HAM berencana mengeluarkan fatwa mengenai kasus terbunuhnya Munir, pada 10 Desember. Untuk itu, Komnas HAM akan melakukan analisis hukum atas kasus tersebut, termasuk menganalisis jalannya persidangan dan pertimbangan hakim atas kasus itu.
12
Anggota Komnas HAM, Yosef Adi Prasetyo dalam diskusi publik berjudul “ Meretas Tantangan Pengungkapan Kasus Munir : Menelisik Fakta-fakta Baru Konspirasi Pembunuhan Munir “ di Jakarta, Jumat (26/10), mengatakan, dalam melakukan analisis hukum kasus Munir, Komnas HAM membentuk tim yang terdiri dari pakar hukum, anggota Polri dan jaksa. “Setelah melakukan analisis hukum atas kasus ini, kami akan mengumumkan ke publik hasilnya, “ kata Yosef. Yosef mengatakan, ia dan sejumlah anggota Komnas HAM yang baru prihatin terhadap Komnas HAM sebelumnya, yang tidak pernah mendiskusikan kasus Munir. “Kami sungguh merasa pihatin, pembunuhan terhadap pembela HAM, kok tidak pernah didiskusikan oleh Komnas HAM, “ tegasnya. Menurut Yosef, pengungkapan kasus Munir secara tuntas dapat mengakhiri impunitas yang dilakukan negara ke depan. “Ini penting. oleh karena itu, semua pihak harus bersatu mendorong penuntasan pengungkapan kasus ini, “ ujarnya. Sedangkan pakar ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Effendi Ghazali mengatakan, pengungkapan kasus Munir ini tergantung niat baik dan kemauan pemerintah sekarang ini. Selama ini pemerintah hanya beretorika saja untuk menuntaskan kasus ini. “Sebenarnya fakta terbunuhnya Munir sudah banyak, tinggal dirangkaikan saja dan disatukan saja, “ ujar Effendi. Effendi mengatakan, Munir, selain sebagai pejuang dan pembela HAM, juga sebagai pemimpin muda untuk kemajuan bangsa Indonesia. “Oleh karena itu, kita membelanya, berjuang untuk mengungkapkan siapa yang telah membunuh dia, “ ujarnya. Effendi menghimbau semua media massa agar terus memberitakan kasus Munir. “Saya lihat media akhir-akhir ini memberitakan kasus Munir di halaman dalam dan kecil lagi, “ ujarnya. Pembicara lain, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, Munir dibunuh atas kehendak rezim yang merupakan warisan rezim lama. Munir dibunuh, selain untuk meniadakan Munir dari muka bumi, juga untuk menciptakan ketakutan massal. Sedangkan di tempat terpisah, Suciwati menanggapi janji Komnas HAM tersebut. Ia menyatakan, sejak tiga tahun silam, dirinya selalu berharap komisi yang seharusnya di gerbong depan penegakan HAM Indonesia tersebut berbuat sesuatu untuk menuntaskan kasus ini. “Secepatnya janji tersebut direalisasikan, itu lebih baik, “ tegas Suciwati. Suciwati sendiri sejak awal yakin suaminya dibunuh karena kiprahnya menegakkan dan mempromosikan HAM di Indonesia. “Makanya, tak salah memang jika mereka (Komnas HAM), mengaku malu karena belum berbuat apapun. Namun saya percaya pada janji tersebut karena mereka berasal dari lingkaran kami. Ini adalah ujian bagi komitmen mereka yang sejak sebelum terpilih pun sudah menandatangani kontrak kerja dengan para keluarga dan korban pelanggaran HAM,” ungkap Suciwati. ****
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
JEJAK SANG PEJUANG
Doa Bumi Lorosae untuk Munir “Marilah kita teruskan perjuangan Munir, meskipun Munir memiliki keyakinan yang berbeda dengan kita namun perjuangan HAM adalah universal tidak mengenal kelompok, ras, agama dan keyakinan tertentu”. “Munir adalah inspirasi perjuangan kita, semoga dikuatkan bagi keluarga yang ditinggalkan”. Itulah penggalan khotbah Pastur Jus Felix Mewengkang, MSC didepan patung Kristus Raja, Dili Timor Leste. Hari itu adalah 7 September 2007 tepat tiga tahun Munir menghembuskan nafas terakhir di udara, dalam penerbangan Garuda GA 974 menuju Amsterdam. Sore itu cuaca kota Dilli amat cerah, awan biru nampak menyelimuti dan menghilangkan terik mentari yang biasanya menyorot tajam kota ini.
Sosok Munir memang memiliki tempat di hati masyarakat Timor Leste. Munir salah satu dari sekian aktivis HAM di Indonesia yang berani menentang praktek pelanggaran Berat HAM di negeri itu. Tidak banyak mungkin yang dilakukan Munir jika dibandingkan pengorbanan rakyat Timor Leste sendiri, Dok.KontraS namun duka sangat nampak dari raut wajah rakyat Timor ketika mendengar sang pejuang HAM itu sudah pergi dan sampai hari ini upaya pengungkapan kasusnya masih tersendat.
Lebih dari sekitar puluhan masyarakat dan Munir juga dikenal dekat dengan aktivis HAM di Timor beberapa aktivis dan mahasiswa Leste berkumpul Timor Leste di Indonesia dan menggelar misa kudus bersama beberapa aktivis HAM untuk mendoakan Alm di Indonesia aktif menentang Munir dan dukungan kebijakan represif pemerintah bagi upaya membongkar Indonesia khususnya ABRI (baca; kasus pembunuhan Aksi berdoa untuk Munir di Timor Leste TNI) di Timor Leste. Sepanjang Munir. Misa ini digelar hidupnya, Munir pernah dua tepat satu lapis dibawah patung Kristus Raja. Patung yang memiliki makna bagi kali mengunjungi Timor Leste untuk melihat dan masyarakat Timor Leste. Peninggalan pemerintah Orde Baru mendengar sendiri derita rakyat akibat pelanggaran HAM. untuk mengambil hati masyarakat dan dunia internasional terhadap posisi Indonesia saat itu, namun hal itu tidak Sebelum dan setelah jajak pendapat yang akhirnya menutup praktek pelanggaran Berat HAM selama memenangkan kelompok pro kemerdekaan, banyak jatuh korban jiwa akibat tindakan brutal dan tidak manusiawi. pendudukan. Sayangnya para petinggi militer Indoensia mengelak dari Pembukaan misa diawali dengan pengantar tentang Munir pertanggungjawaban atas tragedi kemanusiaan tersebut. yang disampaikan oleh Chris (Kontras), dan seorang sahabat Tak satupun sikap ksatria dan bertanggungjawab mereka Munir dari Imparsial. Kemudian dilanjutkan oleh beberapa perlihatkan. sahabat dekat Munir di Timor Leste. Seiring menguatnya tekanan dunia internasional terhadap Misa kudus berlangsung sangat sederhana dengan peralatan pemerintah Indonesia maka dibentuklah KPP HAM untuk apa adanya namun tidak mengurangi semangat peserta yang Timor-Timur dan Munir termasuk didalamnya. hadir. Misa dipimpin oleh Pastur Jus Felix Mewengkang, MSC Pelanggaran HAM Berat di Timor Leste berlanjut hingga dan dihadiri oleh beberapa kelompok masyarakat lintas dibentuknya pengadilan HAM ad hoc dan berujung pada agama dan keyakinan serta aktivis Ngos lokal diantaranya putusan kasasi MA yang hanya memberikan hukuman FOKUPERS, yayasan HAK, Mahasiswa, Pelajar, Latuhamutuk pada Eurico Gueteres. dan beberapa organisasi penggiat HAM serta perwakilan staf CAVR. Nampak hadir pula beberapa mantan aktivis KontraS Begitulah cerita singkatnya dan kenapa rakyat Timor tetap Timor Leste, mereka membawa pesan perjuangan untuk memberikan tempat untuk Munir di hati mereka. Doa yang dikirimkan dari Dili menjadi penanda bahwa Munir adalah Munir dan masyarakat Indonesia. simbol persahabatan antara rakyat Timor dan Indonesia. Setelah selesai kemudian dilanjutkan dengan tabur bunga Seperti sering mereka katakan, kita tidak berperang dengan dan renungan untuk Munir di Pantai Dili. Acara ini berjalan rakyat Indonesia tapi kita memerangi pemerintah otoriter sangat khidmat dan penuh emosi seakan Munir turut hadir yang menindas kita. Viva Munir. *** dan saling berbagi ditengah-tengah kami.
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
13
KABAR DARI DAERAH
Alastlogo, Skenario Impunitas Di Balik Pengeluaran Para Tersangka Tidak diperpanjangnya masa penahanan (17/9), terhadap 13 anggota marinir tersangka pelaku penembakan warga Alastlogo terkesan mengada-ada. Alasan demi hukum yang disampaikan oleh KSAL Laksamana TNI Slamet Soebijanto terkait diatas bertentangan dengan aturan hukum itu sendiri yang mensyaratkan apabila tersangka sudah menjalani tahanan 200 hari (Pasal 78 ayat 4 UU No.31/1997). Karenanya, pengeluaran para tersangka ini patut dicurigai sebagai skenario impunitas oleh TNI dalam melindungi korpsnya (esprit de corps). Sementara itu, upaya mengaburkan peristiwa ini dari konteks hukum dapat dilihat dari bersikerasnya pihak TNI mengklaim bahwa jatuhnya korban luka dan tewas dalam peristiwa itu akibat peluru yang memantul. Panglima TNI dihadapan Komisi I DPR (13/6), menolak permintaan beberapa anggota DPR agar proses hukum kasus ini dilakukan di peradilan umum.
bahwa para tersangka ini tidak mendapatkan saksi administratif dari kesatuannya. Sedang tidak ditahannya para tersangka ini disebabkan oditur tidak menggunakan kewenangannya untuk melakukan perpanjangan penahanan. Walaupun berkas perkara para tersangka sudah dilimpahkan penyidik Polisi Militer TNI Angkatan Laut (Pomal) kepada Oditur Militer (14/06/2007).
Ketidakadilan Sejak awal KontraS sendiri meragukan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dari internal TNI AL, karena akan menimbulkan ketidakadilan bagi korban dan keluarganya melalui suatu proses hukum yang tidak fair seperti yang terjadi saat ini.
Sementara itu, berlarutnya proses hukum kasus Alastlogo ini seiring Mendoakan warga yang meninggal akibat tembakan dengan tindakan dilapangan, Dok.Tim Investigasi kasus Pasuruan dimana intimidasi, teror masih terus dialami oleh warga dengan terus berlangsungnya aktivitas TNI-AL dilahan sengketa. Sedangkan uji tembak balistik yang dilakukan diluar TKP (di Bhumi Marinir Cilandak oleh Koprs Marinir dan Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya di Mapolda Jatim), cenderung Karenanya kasus ini harus kembali ditegaskan dimana dalam menyesatkan. Kunjungan Panglima TNI kepada para tersangka penanganannya seluruh proses hukum terhadap tersangka (13/8) malah menguatkan kesan dukungan institusi kepada para harus segera diserahkan kepada mekanisme peradilan umum. tersangka. Terakhir, KSAL memberikan jaminan atas tidak KontraS juga berharap Komnas HAM dapat segera melakukan penyelidikan ulang atas kasus ini. diperpanjangnya masa penahanan. Disisi lain pembebasan para tersangka dengan alasasan demi hukum dan pengembalian mereka kepada kesatuannya, malah makin menjelaskan skenario impunitas ini. Padahal, para tersangka diancam hukuman diatas 5 tahun dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan nyawa orang lain. Sedangkan pengembalian tersangka kepada kesatuannya mengandaikan
KontraS juga meminta Komisi I DPR untuk melakukan pengawasan dan memastikan proses hukum atas kasus ini berjalan dengan benar. Termasuk meminta Menteri Pertahanan dan Panglima TNI menunjukkan komitmen TNI agar tunduk pada hukum pada kasus ini. Sedangkan secara khusus konflik tanah antara warga dan TNI AL di Alastlogo untuk sementara dalam status quo mengingat situasi yang mudah memanas dilapangan. ***
1. Tidak ada seorangpun dibawah juridiksi hukum suatu Negara pihak protocol ini dapat dieksekusi mati. 2. Setiap Negara pihak harus mengambil semua upaya yang diperlukan untuk menghapus hukuman mati dibawah jurisdiksi hukumnya (Pasal 1 Protokol Tambahan Kedua Kovenan Hak Sipil dan Politik untuk Penghapusan Hukuman Mati)
14
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
KABAR DARI DAERAH
Segera Pulangkan Tapol Aceh Perdamaian Aceh telah berjalan dua tahun. Dalam perjanjian itu, ada beberapa mandat dalam MoU yang ditandatangani pemerintah RI dan GAM di Helsinki yang belum dijalankan. Salah satunya adalah pembebasan Tapol/Napol Aceh yang ditangkap dan ditahan ketika masa konflik. Pemerintah pusat telah memberikan amnesti terhadap 1.488 mantan tapol/napol GAM yang ada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) di seluruh Indonesia dan memberikan remisi terhadap 366 mantan tapol/ napol yang ada di LP di seluruh Aceh. Sementara itu, pada awal bulan September 2007, dari 11 tapol yang masih ditahan di LP pulau Jawa dan Sumatera, empat tapol diantaranya sudah dibebaskan bersyarat dan tujuh tapol lainnya masih ditahan, yaitu: Lembaga No. Nama 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Hukuman Ket. Pemasyarakatan LP Cipinang (Kls I) Seumur hidup
Tgk. Ismuhadi Jafar Saifan LP Cipinang (Kls I) 11 tahun Nurdin Irwan bin LP Cipinang (Kls Seumur hidup Ilyas II) Ibrahim LP Cipinang (Kls Seumur hidup Hasan II) Iwan LP Pasuruan, 13 tahun Setiawan Semarang M. Udin LP Pasuruan, 11 tahun Semarang Diman LP Sukamiskin, 15 tahun Subardinan Bandung Muhammad LP Sukamiskin, 12 tahun Nur Bandung Hamdani LP Tanjung Gusta, 9 tahun Medan Zul Ramli LP Tanjung Gusta, 10 tahun Medan Mahyeddin LP Jantho, Aceh 17 tahun M. Adam Besar
Bebas bersyarat*
Bebas bersyarat* Bebas bersyarat*
Bebas bersyarat*
* Telah bebas bersyarat pada awal September 2007 Dalam perjanjian MoU Helsinki pasal 3.1.2 tentang Amnesti menyebutkan “Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambatlambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.” Pasal ini harusnya menjadi pijakan pemerintah untuk segera membebaskan Tapol Aceh yang masih ditahan. Dan bila alasan pemerintah pusat masih tidak membebaskan tapol tersebut karena alasan mereka terlibat kriminal, maka harus dipertanyakan lagi keterlibatan para tapol dalam kasus-
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
kasus kriminal. Bahkan tuduhannya sangat tragis, yakni adanya tuduhan mereka sebagai teroris. Semua Tapol yang sampai saat ini masih ditahan adalah anggota GAM dan mereka ditangkap karena melakukan aktifitas-aktifitas GAM. Pernyataan kriminal sangatlah tidak beralasan. Pemerintah Aceh, DPRA dan pimpinan GAM harus melakukan klarifikasi terhadap pernyataan tersebut dan melakukan verifikasi untuk mencari tahu penyebab para Tapol masih ditahan.
Kondisi LP tidak kondusif Sementara itu, kondisi keamanan LP Cipinang sangat tidak kondusif setelah terjadinya kerusuhan yang mengakibatkan dua tahanan terbunuh (31/7/2007). Peristiwa seperti ini terjadi setiap tahunnya di LP Cipinang yang merenggut korban jiwa, dan terjadi karena perebutan lahan antar kelompok atau geng. Kondisi LP Cipinang juga tidak kondusif untuk ditempati oleh tahanan politik GAM sehingga keselamatan jiwa mereka sangat terancam. Hal lainnya, di LP Cipinang banyak beredar senjata tajam dan sering terjadi kerusuhan yang merenggut korban jiwa. Ancaman lainnya adalah kekerasan yang pernah dialami oleh para tahanan politik GAM di LP tanjung Gusta, Medan, yaitu Alm. Iwan bin Abdul Jalil (Iwan Dukun) dan Tgk. Abdurrahman Toyo yang terjadi pada tahun 1995. Pada saat itu terjadi kerusuhan yang sengaja direncanakan oleh kelompok tertentu yang mengakibatkan kebakaran di dalam sel tahanan dan keduanya tewas terbakar. Ini merupakan pengalaman pahit yang pernah terjadi terhadap tahanan politik GAM. Di sisi lain, tapol adalah warga Aceh yang notabenenya mempunyai anggota keluarga yang menetap di Aceh. Keberadaan Tapol yang ditahan di luar Aceh akan sangat menyulitkan pihak keluarga untuk menjenguk para tapol. Dari sisi ekonomi dibutuhkan biaya perjalanan yang relatif cukup besar dan pihak keluarga harus menyediakan waktu khusus untuk menjenguk. Apabila tapol dipulangkan ke Aceh, beban keluarga untuk menjenguk setidaknya bisa dikurangi sambil menunggu proses pembebasan lebih lanjut. Padahal persoalan tapol ini telah mendapat perhatian dari Pemerintah Aceh, diantaranya Gubernur Irwandi Yusuf telah pernah melakukan negosiasi pada pemerintah pusat untuk memulangkan tapol tersebut ke Aceh. Bahkan di bulan Mei 2007, para tapol di pulau Jawa telah bersiap untuk dikembalikan ke Aceh, tetapi ada pihak tertentu yang menghalangi upaya pemulangan tersebut dengan alasan tidak terjamin keamanannya. Padahal kita semua tahu, kondisi Aceh kian hari kian membaik. Agaknya pemerintah pusat masih “tidak ikhlas” dengan apa yang telah ditandatangani di Helsinki. Padahal MoU adalah mandat yang harus dijadikan prioritas dalam keberlangsungan perdamaian Aceh ke depan.
15
KABAR DARI DAERAH
Forum Keadilan Tapol/Napol Aceh (FKTNA) meminta pemerintah pusat di Jakarta untuk segera memulangkan tapol Aceh yang masih ditahn di LP Jawa dan Sumatera ke LP di Aceh. FKTNA juga meminta DPRA dan Pemerintah Aceh dapat segera membentuk tim khusus untuk memverifikasi status para tapol yang masih ditahan. Meminta Kanwil Kehakiman Aceh untuk bertanggung jawab atas pemulangan Tapol Aceh dari pulau Jawa dan Sumatera dan segera melakukan pertemuan dengan Menteri-menteri di Jakarta. ***
“Gaya Lama Aparat Membubarkan Diskusi Publik” Aparat kembali menunjukkan arongasinya. Pada saat diskusi publik yang diadakan LBH Banda Aceh Pos Langsa di Aula Kartika Hotel Langsa, dengan tema “Diskusi hak-hak rakyat terhadap pendidikan, pendapatan dan pekerjaan”, Rabu (3/ 10) , diskusi diancam akan dibubarkan Polresta Kota Langsa. Ancaman dan teror ini, jelas menunjukkan adanya pola-pola lama yang dipakai aparat dalam kinerjanya sebagai aparat penegak hukum. Kejadian bermula ketika tiga petugas Polresta Kota Langsa mendatangi Hotel dan menanyakan izin dan pemberitahuan acara. Diskusi ini sendiri menghadirkan nara sumber, Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan nasional dan Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa serta Kamaruddin, SH, Wakil Direktur Internal LBH Banda Aceh. Menurut Wakil Direktur Operasional LBH Banda Aceh, Mohd. Jully Fuady, tindakan Polresta yang mengirimkan pertugas ke Hotel Kartika adalah sebuah tindakan yang meruntuhkan citra kepolisian sebagai penegak hukum. Karena alasan yang dipakai terasa sangat dipaksakan. Dengan tetap memaksakan Juklak/02/XII/1995, makin memperlihatkan bahwa para penegak hukum jajaran Polres Kota Langsa terlambat mengikuti perkembangan hukum yang ada. Para Penegak hukum ini masih gemar memakai cara pandang lama dan terlalu yakin dengan legalistik normatif. Hal ini sangat ironis dengan masa perdamaian dan penguatan demokrasi. Karena apa yang dilakukan Polresta Langsa sebaliknya, yakni memata-matai diskusi rakyat yang hanya mengangkat tema-tema sederhana untuk kepentigan rakyat. Hingga jadi aneh dan lucu ketika Juklak tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat masih menjadi acuan polisi dalam memantau keamanan dan ketertiban. Padahal, sebagian besar masyarakat sudah tahu telah ada UU No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang mengatur tantang tata cara pemberitahuan dan perizinan dan kategorisasi menyampaikan pendapat di muka umum. Sementara bila merujuk pada UU No 9 Tahun 1998, jelas bahwa para penegak hukum di Polresta Langsa terlalu berlebihan dalam menanggapi diskusi publik yang di selenggarakan. Sedangkan berdasarkan petunjuk lapangan yang dikeluarkan Mabes
16
Polri (29/!2/1995), tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat yang diteken Kapolri, disebutkan bahwa acara diskusi adalah pertemuan yang tidak memerlukan izin dan pemberitahuan.
“Dalam Juklak tersebut kegiatan yang memerlukan perijinan Polri, antara lain, pesta umum, keramaian umum, pawai umum, olah raga, pameran. Sedangkan kegiatan yang memerlukan pemberitahuan pada Polri, antara lain: rapat, sidang, musyawarah, muktamar, kongres, sarasehan, dan penyampaian pendapat dimuka umum, sedangkan diskusi tidak pernah di atur dalam juklak itu” ujar Jully Fuady yang mengaku terkejut dengan tindakan aparat Polres Langsa, karena tindakan aparatur kepolisian tersebut telah mengangkangi UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dan bertentangan dengan asas hukum Lex Superior Derogat Lex Inferior (aturan lebih tinggi mengesampingkan aturan rendah). Akibat tindakan aparat Polres Langsa tersebut, acara diskusi terganggu dan penanggung jawab kegiatan Mardiati, terpaksa menghadap pihak Polres Langsa yang di terima oleh Bagian Intel Polres Langsa untuk menjelaskan ketentuan yang berlaku terhadap kegiatan dalam acara diskusi tersebut. Namun upaya itu tidak mencapai titik temu hingga pihak Intel Polres Langsa tetap meminta LBH Pos Langsa untuk membuat permohonan surat pemberitahuan terhadap acara diskusi tersebut. Belakangan diketahui Pihak Polres Langsa juga menekan pengelola Hotel Kartika tempat dimana acara diskusi itu berlangsung, untuk menghentikan acara tersebut sebelum pihak LBH Pos Langsa mengurus surat pemberitahuan kepada Polres Langsa. “ Padahal LBH Banda Aceh Pos Langsa tidak akan pernah berniat untuk membuat surat pemberitahuan kepada Polres Langsa terkait dengan acara diskusi itu, karena memang tidak ada aturan yang di langgar dalam pelaksanaan kegiatan diskusi tersebut sesuai dengan UU No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum dan peraturan lainnya,” tegas Jully.***
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
KABAR DARI DAERAH
Delapan Staf LBH Banda Aceh Kembali Dipanggil Polres Kota Langsa kembali mengirimkan surat panggilan terhadap 8 orang pekerja Bantuan Hukum LBH Banda Aceh guna dimintai keterangannya sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana menyiarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan yang isinya menghasut di muka umum dengan lisan atau tulisan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 160 Jo 161 Jo 55 Jo 56 KUHPidana. Surat Pemanggilan tersebut telah diterima oleh ke 8 Pekerja Bantuan Hukum LBH Banda Aceh (11/09). Mereka diminta menghadap Kasat Reskrim Polres Langsa selaku pPenyidik (17 s/d 20 September), di ruang tipiter (tindak pidana tertentu) Sat Reskrim POLRES Langsa. Ini merupakan surat panggilan keempat yang diterima oleh 8 Staf LBH tersebut. Ke-8 Pekerja Bantuan Hukum LBH Banda Aceh tersebut adalah: 1.
M. Jully Fuady SH (Wakil Direktur Bagian Operasional LBH Banda Aceh)
2.
Kamaruddin SH (Wakil Direktur Bagian Internal LBH Banda Aceh)
3.
Mustiqal Syahputra SH (Kepala Divisi EKOSOB LBH Banda Aceh)
4.
Mardiati SH (Koordinator LBH Banda Aceh Pos Langsa)
5.
Sugiono (Staff LBH Banda Aceh Pos Langsa)
6.
Juanda (Staff LBH Banda Aceh Pos Langsa)
7.
Mukhsalmina SH (Assisten Pembela Umum)
8.
Yulisa Fitri SH (Assisten Pembela Umum)
Alasan dilakukan pemanggilan guna dimintai keterangan tambahan guna kepentingan kelengkapan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dalam perkara Tindak Pidana sebagaimana yang disangkakan oleh Polres Langsa. Hal ini dilakukan karena sebelumnya Kejaksaan Negeri Kota Langsa telah menolak BAP dari Polres Langsa terhadap 8 Staf LBH Banda Aceh tersebut dengan alasan tidak cukup bukti atau keterangan yang dihimpun dalam BAP tersebut. Sebelumnya PT. Bumi Flora telah menunjukkan itikad baiknya dengan mencabut pengaduannya ke Polres Langsa sehingga Pasal 335 (tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan) yang merupakan delik aduan telah dicabut, namun oleh pihak Polres masih terus menindak lanjuti perkara. Aliansi Peduli Korban Bumi Flora (APKBF) sangat menyesalkan pemanggilan kembali ke-8 staf LBH tersebut, “Kami menanggap bahwa pemanggilan ini terkesan dipaksakan oleh pihak kepolisian karena sampai sekarang polisi tidak mampu menemukan unsur pidana dalam pasal 160 dan 161,” ujar Asiah, juru bicara APKBF. Selain itu, upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat juga bisa menghambat upaya advokasi yang dilakukan oleh LBH Banda Aceh di beberapa wilayah di Aceh dalam membela kepentingan masyarakat yang tertindas dan termajinalkan, terkait dengan penyelesaian persoalan pertanahan struktural yang saat ini banyak terjadi di Aceh. Terlebih, sebagian dari delapan orang yang diperkarakan adalah tokoh-tokoh kunci atau penting di LBH Banda Aceh, maka dapat dipastikan hal ini akan memperlemah laju advokasi yang dilakukan LBH Banda Aceh terhadap masyarakat.***
Bila anda tertarik soal kasus kasus pelanggaran HAM termasuk perkembangan kasus pembunuhan Munir anda dapat mengunjungi www.kontras.org anda juga dapat mendownload terbitan kami seperti buletin, buku-buku, serta sejumlah data dan peraturan nasional, internasional terkait dengan Hak Asasi Manusia Website ini juga bisa dimanfaatkan untuk para Peneliti yang tengah mendalami issue seputar HAM dan demokrasi di Indonesia
Selamat Berkunjung !!!
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
17
KABAR DARI DAERAH
Polisi Serang Polisi Pamong Praja di Lampung Utara Cerita kekerasan yang menelan korban jiwa kembali terulang. Diawali oleh persoalan sepele antara satu orang petugas satpol PP dan dua anggota polisi Resort Lampung Utara. Buntut persoalan ini dua nyawa melayang dan satu orang lainnya ditembak. Kembali, arogansi dan solidaritas yang berlebih dari para aparat polisi jadi salah satu cermin buruknya wajah kepolisian kita.
Peristiwa kekerasan ini berawal saat Pemda Lampung Utara (8/10), membagikan THR ke sejumlah LSM, Wartawan dan masyarakat. Ditengah antrian pembagian tersebut, komandan regu satuan polisi pamong praja yang bertugas menjaga gedung Pemda Lampung Utara, Sodri Ahmad mendengar suara ributribut para pengantri. Sodri pun menyelidiki asal kegaduhan itu. Ternyata, dalam gedung tempat pembagian THR ada anggota Polres yang mengatur antrian, Bripda Mark David dan Bripda Edo Miko A. Namun, dua orang anggota polisi tersebut malah menyuruh Sodri ikut mengantri. Jelas Sodri menolak. Tapi, dua orang petugas ini malah menarik baju bagian belakang Sodri. Sondripun berontak sambil berkata “Urusin antrian orang lain aja.” Entah tak terima, dua petugas ini segera mengajak Sodri ke kantor polisi (mapolres). Sodri menolak mengikuti kemauan tersebut. Kejadian ini sempat dilerai oleh anggota Satpol PP lainnya, Harun Soleh. Buntutnya, beberapa menit kemudian, Sodri didatangi Fernando aparat polisi yang menyatakan akan menangkap dirinya lantaran telah membuat keonaran. Sodri pun kembali menolak dibawa ke kantor polisi, dan sempat terjadi perang mulut antar Sodri dengan Fernando. Pada saat bersamaan muncul Bripda Edo dan Bripda Mark David. Melihat Sodri dikepung tiga orang anggota kepolisian, sejumlah anggota satpol PP yang lain mendatangi bermaksud melerai. Kedatangan anggota satpol ini tidak diterima oleh ketiga orang anggota kepolisian tersebut, hingga sempat adu mulut. Saat bersamaan Kepala Kantor Polisi Pamong Praja M. Yamin Tohir datang dan melerai pihak yang bertikai dan mengajak Mark David dan Edo ke ruang kerjanya. Kepala Kantor Polisi Pamong Praja lalu menelepon Kepala Satuan Samapta dan Komandan Provost Polres Lampung Utara, untuk mendamaikan pihak yang berselisih tersebut. Tak lama datang kasat samapta Polres Lampung Utara AKP Joko Waluyo dan membawa kedua anggota kepolisian tersebut ke Mapolres Lampung Utara. Siang hari, Samsul Hefki Ali, Assisten Sekretaris Daerah Lampung Utara, menemui Kapolres sebagai upaya mendamaikan mereka yang berselisih. Saat yang bersamaan Kepala Pol PP, Drs. Yamin Tohir menemui Kasat Samapta yang saat itu didampingi oleh anggota Provos Polres Lampung Utara, Tamsir Ali, saat itu Kasat Samapta tidak ada di tempat. Lalu diwakili Kanit Samapta (IPTU Jhon Kenedy), dan memberikan jaminan tidak akan ada keributan kembali antara Pol PP
18
Lampung Utara dengan anggota Polres Lampung Utara dan akan mempertemukan mereka yang berselisih pada (9/10).
Penyerangan dan pengeroyokan Nyatanya, kejadian sepele diatas tak berhenti sampai sini. Malam hari, sekitar pukul 23.00 WIB masuk sepeda motor yang melewati Pos Pol PP kemudian berputar kembali dari Pemda Lampung Utara. Kejadian ini disaksikan oleh anggota Pol PP yang ada di Pos Penjagaan, Eduar, Zarkasih, Herwan Jaya Saka, Kakan Pol PP Drs. Yamin Tohir serta Devi Aris Tama. Lima menit setelahnya, sekitar 30 orang anggota Polres Lampung Utara yang berpakaian preman melakukan penyerbuan ke Pos Pol PP Pemda Lampung Utara. Petugas satpol PP yang berada di pos tersebut semua menghindar kecuali Devi Aristama. Korban Devi Aristama dikeroyok sekitar 30 orang itu. Akibat penyerbuan tersebut, Devi mengalami luka-luka memar. Sedang fasilitas Pos Pol PP rusak berat, Mobil patroli Pol PP rusak. Sementara salah satu anggota polres yang menyerbu, Bripda Reza tertusuk sangkur milik Devi. Setelah melakukan pengrusakan tersebut, para penyerang meninggalkan lokasi. Rekan-rekan korban sesama anggota satpol PP mendatangi kembali pos yang sempat diserang oleh polisi tersebut. Devi dibawa oleh rekan mereka ke Rumah Sakit Umum Daerah Lampung Utara. Saat bersamaan, anggota kepolisian yang tertusuk sangkur juga dibawa kerumah sakit yang sama. Keduanya dirawat di Unit Gawat Darurat. Melihat Devi ada di rumah sakit tersebut, para polisi yang berpakaian preman mengeroyok dan menganiaya korban, hingga akhirnya korban mengalami pendarahan yang cukup hebat hingga tidak sadarkan diri. Hal ini sempat dilerai oleh anggota Satpam Rumah sakit, Arifin. Naas, Arifin malah mendapatkan pukulan dari puluhan anggota kepolisian yang mengamuk. Pihak rumah sakit sendiri tidak menduga peristiwa ini bakal terjadi. Akibat tindakan tersebut, fasilitas ruang gawat darurat (UDG) rusak dan berantakan. Nyatanya, pada (9/10), pagi hari anggota Polres Lampung Utara, Fernando kembali berselisih di halaman parkir kantor pemda Lampung Utara. Sementara dua hari kemudian (11/ 10), pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB, anggota Pol PP Devi Aris Tama meninggal dunia.
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
KABAR DARI DAERAH Dua ditembak dan satu tewas Buntut dari peristiwa kematian Devi, sekitar 40 orang di malam hari, melakukan pembakaran satu buah sepeda motor dan perusakan pos polisi di Pasar Kotabumi. Polisi pun melakukan penangkapan pada orang-orang yang dicurigai. Entah dengan alasan apa, polisi malah menembak dan menangkap dua orang, Riski Ria Ibroni, mahasiswa FE Universitas Lampung (ditembak pada bahu kanan) dan Oon Ardiansyah pengawai honorer Bulog Lampung Utara (tertembak di bagian pantat sebelah kanan). Dari informasi yang didapat, pada saat pembakaran pos polisi Oon Ardiansyah sedang bermain ke rumah salah seorang rekannya di daerah pasar. Korban pulang mengendarai sepeda motor. Mendengar ada suara ribut-ribut Oon lantas memacu laju sepeda motornya. Ditengah perjalanan, korban merasakan ada sesuatu yang menembus pantatnya, saat itu korban tidak menyadari kalau dirinya terkena peluru aparat kepolisian. Oon masih sempat menjalankan sepeda motornya. Naas, Oon diberhentikan oleh petugas kepolisian. Dirinya harus pasrah menerima pukulan di sekujur tubuhnya. Oon pun jatuh pingsan, bahkan dirinya tidak sempat mengenali berapa jumlah petugas yang memukul dan menendangnya. Oon lalu dibawa ke Markas Kepolisian Resort Lampung Utara. Di Mapolres, Oon ditempatkan di ruang provost. Setiap ada petugas yang masuk keruangan tersebut, Oon selalu dipukul, baik menggunakan tangan kosong ataupun menggunakan kotak peluru. Korban tidak sempat mengenali pelaku pemukulan, karena posisi pemukul tidak berhadapan melainkan memukul dari belakang. Setelah itu melakukan pemukulan pelaku keluar ruangan. Oon lalu dibawa kerumah sakit Bhayangkara Bandar Lampung. Ia sempat dirawat selama 22 Hari. Pihak keluarga baru mengetahui keberadaan dirinya setelah ia menjalani
perawatan dua hari. Kabar dirinya diketahui oleh kerabat yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah sakit dan kebetulan melihat Oon. Lalu kerabat segera memberikan khabar kepada orang tua korban. Pihak kepolisian Resort Lampung Utara yang membawa korban ke rumah sakit Bhayangkara tidak bertanggungjawab atas biaya perawatan korban. Pihak keluarga terpaksa meminta bantuan Pemda Lampung Utara membantu biaya perawatan korban. Setelah biaya perawatan dipenuhi, korban dibawa pulang oleh keluarga dengan menggunakan bis umum menuju lampung utara. Nyatanya bentrokan tak berakhir sampai sini. Keesokkan harinya, massa mendengar ada korban lain di RSU Riacudu Lampung Utara. Korban diketahui bernama Warjan (Ratu Sako), yang tak lain adalah kakak ipar korban Devi Aris Tama. Korban ditusuk menggunakan kayu dari ketiak sebelah kanan menembus ketiak sebelah kiri. Mendengar kejadian ini dini hari sekitar pukul 02.00 WIB terjadi pergerakan massa besarbesaran. Sekitar tiga ribu orang bergerak menuju Polsek Abung Timur yang mengakibatkan terbakarnya Polsek Abung Timur. Dari informasi yang diidapat, Warjan tewas dengan luka tusukan dahan pohon jambu. Dahan Jambu tersebut masih menancap ditubuh korban. Sebelumnya, korban sempat diantar oleh petugas Reserse Kriminal Polres Lampung Utara ke rumah sakit Umum daerah Ryacudu. Petugas reserse yang mengantarkan jenazah mengatakan kepada petugas rumah sakit kalau korban merupakan korban kecelakaan. Kekerasan yang dilakukan oleh polisi diatas, hanya menjauhkan polisi dari masyarakat. Motto Polri untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat kehilangan makna oleh dirinya sendiri. ***
Refleksi akhir tahun KontraS sampai pada kesimpulan bahwa situasi HAM tahun 2006 telah memasuki tahap genting. HAM diserang dari segala penjuru. Bukan hanya nilai, norma dan aturannya, tapi juga institusi-institusi penopang tegaknya HAM. HAM sebagai etika politik dipinggirkan oleh cara pandang dan kepentingan sempit elite penguasa. Institusi tertinggi di bidang yudikatif gagal menghadirkan keadilan bagi korban. Institusi legislatif hanya janji-janji kepada korban. Politik Istana adalah politik keraguan, bukan politik HAM sejati. Ini sekelumit buku catatan HAM selema tahun 2006, yang dikeluarkan Kontras dengan judul “HAM Belum Jadi Etika Politik”
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
19
KABAR DARI DAERAH
Bisnis Militer Dibalik Penggusuran Rumah Purnawirawan di Makassar Bisnis militer kini kian melebar dan “menjamur”. Di Makassar, warga komplek perumahan Purnawirawan (Rumpun) Makassar, dipaksa mengosongkan rumah mereka yang telah ditempatinya selama berpuluh tahun. Nyatanya, pengosongan terhadap 2500 rumah purnawiran (luas kl.90 Ha), yang diikuti dengan tindak kekerasan itu kental kepentingan bisnis.
rangka memenuhi kebutuhan rumah 700 prajurit. Selain itu, Kodam juga mengatakan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk pengamanan asset dan mensterilkan kompleks tersebut dari penghuni yang tidak berhak. Dengan alasan ini pihak Kodam menolak memberikan ganti rugi terhadap para purnawirawan dan keluarganya.
Warga mencatat bahwa setidaknya ada delapan belas kali kali Padahal para purnawirawan ini ketika masih menjadi prajurit tindakan pengosongan paksa, yang melibatkan aparat Kodam aktif dikenakan tabungan wajib perumahan yang hingga saat dalam jumlah besar yang diikuti dengan tindak kekerasan. Tak ini tidak pernah ada kejelasan realisasinya. Ini artinya cukup hanya disitu, sejumlah bentuk intimidasi yang dilakukan penguasaan para purnawirawan terhadap komplek oleh pihak Kodam VII Wirabuana, juga telah perumahan itu seharusnya dapat dilihat mengakibatkan tekanan psikis yang sebagai bentuk jaminan atau kompensasi berakibat kematian terhadap 20 dari ketidakjelasan terhadap tabungan “Indikasi lain dari purnawirawan atau keluarganya. wajib perumahan mereka terdahulu. Indikasi adanya kepentingan bisnis dibalik tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Kodam Wirabuana diatas dapat dilihat dari gencarnya ruilslag yang dilakukan Kodam VII selama 2 tahun terakhir. Pada tahun 2006 saja berlangsung 4 kali ruilslag terhadap BEKANG (luas kl. 5000/m2), kantor Kodim (kl.5000/m2), Kaveleri (kl.15 Ha), dan komplek LINUD 700 (kl.20 Ha). Keterlibatan bisnis “keluarga Yusuf Kalla” dalam ruilslag (kantor Kodim dan Linud 700) ini juga perlu diklarifikasi agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat yang makin meluas.
kepentingan bisnis Kodam Wirabuana juga terlihat dari berbagai modus praktek yang digunakan oleh Kodam bagi prajurit, kesatuankesatuan TNI atau kalangan bisnis maupun pribadi yang ingin memanfaatkan rumah para purnawirawan tersebut ”.
Indikasi lain dari kepentingan bisnis Kodam Wirabuana juga terlihat dari berbagai modus praktek yang digunakan oleh Kodam bagi prajurit, kesatuan-kesatuan TNI atau kalangan bisnis maupun pribadi yang ingin memanfaatkan rumah para purnawirawan tersebut. Misal, terhadap rumah yang sudah kosong namun belum dipesan oleh prajurit, maka ditawarkan ke kesatuan-kesatuan lain untuk dijadikan mess/rumah perwakilan, dengan harga yang bervariasi berdasarkan taksiran rumah tersebut. Sementara bagi prajurit yang hendak mendapat rumah dinas yang saat ini dikuasai oleh purnawirawan, para prajurit itu dikenakan biaya berdasarkan taksiran nilai rumah. Setelah adanya kesepakatan harga antara prajurit dan Kodam maka rumah tersebut akan dikosongkan oleh Kodam dengan pengerahan pasukan. Namun, bila rumah kosong tersebut belum ditempati oleh prajurit, maka rumah tersebut ditawarkan kepada pihak swasta/pribadi baik untuk kepentingan tempat tinggal maupun usaha.
Alasan pengosongan Selama ini pihak Kodam selalu menggunakan alasan pengosongan rumah para purnawirawan tersebut dalam
20
Disisi lain, Peraturan Pemerintah No.31/ 2005 sendiri telah mengatur hak warga untuk mengajukan kepemilikan terhadap rumah atau tanah yang telah ditempati selama 10 tahun. Hal serupa juga diatur dalam UU Pokok Agraria. Dan tanah diatas rumah itu sesungguhnya bukan merupakan tanah TNI, tanah tersebut hingga saat ini masih berstatus tanah negara. Sementara atas rumah itu sendiri, selama ini pihak Kodam tidak pernah mengucurkan dana bagi perbaikan maupun perawatan.
Secara hukum, baik UU TNI, UU Agraria apalagi UUD 1945 langkah Kodam VII Wirabuana tidak bisa dibenarkan dan tidak bijaksana. Bahkan langkah ini melanggar SKEP KSAD tentang Kewajiban Prajurit TNI menghormati HAM. Sedangkan selama ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menjamin kesejahteraan TNI. Karena itu menjadi wajar bila ratusan purnawirawan TNI di Makasar dan dimanapun diberikan rumah yang layak. Pemberian ini tidaklah berlebihan karena ini adalah kebutuhan mendasar yang dibutuhkan oleh para Purnawirawan TNI. KontraS bersama Forum Warga Peduli Rumah Negara (FWPRN) meminta agar Menteri Pertahanan dan Panglima TNI segera menghentikan tindak kekerasan dan pengosongan yang dilakukan oleh Kodam VII Wirabuana. Disisi lain, pemerintah terlebih dulu mengembalikan tabungan atau memberikan relokasi yang layak kepada para purnawirawan tersebut, sebelum melakukan pengosongan. Wajar kiranya hal ini dilakukan mengingat para purnawirawan ini, sebelumnya telah memiliki tabungan wajib perumahan yang hingga saat ini belum terealisasi. Dan di pihak DPR RI hendaknya dapat pula untuk mengambil langkah-langkah efektif dan terbaik bagi penyelesaian kasus ini secara adil.***
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
KABAR DARI DAERAH
Delapan Tahun Tragedi UBL Berdarah Delapan tahun sudah tragedi 28 September Lampung. Tak pernah terlupakan. Akibat serbuan aparat militer dan Polres Bandar Lampung ke dalam Universitas Bandar Lampung, dua orang mahasiswa Universitas Negeri Lampung, Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria meninggal dunia, sedangkan 44 orang mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Peristiwa ini menambah catatan kelam tragedi kekerasan kepada mahasiswa. Yang juga jadi tragedi gelap kekerasan mahasiswa terbesar di Lampung.
Sementara peradilan militer yang diterapkan pada peristiwa di Trisakti, Semanggi II dan Universitas Bandar Lampung tidaklah memenuhi rasa keadilan keluarga korban. Sedangkan saat ini, proses hukum kasus kekerasan terhadap mahasiswa inipun berhenti. Jaksa Agung menolak untuk melakukan penyidikan, dengan alasan masih adanya rekomendasi DPR periode 1999-2004 yang menyatakan tidak adanya pelanggaran berat bagi kasus ini. Di sisi lain, meski rekomendasi tersebut merupakan proses politik yang semestinya dapat diabaikan, namun DPR melakukan politik pingpong yang menjanjikan untuk mencabut rekomendasi tersebut dalam berbagai
Peristiwa kekerasan ini sendiri tak dapat dilepaskan dari rangkaian Dok.http://www.unila.ac.id peristiwa sepanjang Aksi peringatan 8 tahun UBL berdarah September 1999. Dimana hampir seluruh mahasiswa di wilayah Indonesia melakukan aksi demonstrasi menolak penerapan UU rapat internalnya. Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan pencabutan Dwi fungsi ABRI, yang dianggap bertentangan dengan HAM, Karenya, demi memenuhi rasa keadilan keluarga korban yang mengancam kebebasan warganegara serta menguatkan telah ditinggalkan selama lebih dari 8 tahun, maka Jaksa kembali posisi ABRI (TNI). Puncaknya, (24/09/1999), aparat TNI/ Agung harus secepatnya membentuk tim penyidik untuk ABRI melakukan penembakan kepada mahasiswa (Yap Yun kasus kekerasan terhadap mahasiswa ini. Sedangkan pihak Hap) dan masyarakat di kawasan Semanggi, sesaat setelah DPR berkewajiban untuk menghentikan politisasi demi pemerintah mengumumkan penundaan pemberlakuan RUU kepentingan kuasa masa lalu dalam kasus ini. Di sisi lain, Komnas HAM yang baru agar berperan aktif mencari PKB (dikenal dengan peristwa Semanggi II). terobosan atas terhambatnya proses ini. Karena, persoalan Maka pasca peristiwa tersebut terjadilah peningkatan aksi-aksi yang terhambat selama ini sebenarnya dapat diantisipasi bila penolakan terhadap RUU PKB serta solidaritas terhadap korban Komnas HAM memiliki kerangka kerja yang jelas dan Semanggi II di beberapa wilayah Indonesia. Termasuk aksi kerjasama yang baik dengan Kejaksaan Agung dan DPR RI. demonstrasi di Lampung (28/09/1999) dan di Palembang (5/10/ 1999). Namun aksi ini direspon oleh aparat kepolisian dan TNI Kita pun berharap Presiden RI tidak diam. Presiden harus ikut dengan melakukan penembakan dan kekerasan kepada para menengahi dan memberikan solusi yang berpihak pada demonstran, yang menewaskan dua orang mahasiswa korban. Artinya, presiden jangan hanya turun tangan saat Universitas Lampung, dan Meyer Ardiansyah (mahasiswa IBA terjadi sengketa antara MA dengan BPK atau lembaga negara lainnya. Palembang).
Kejahatan terhadap kemanusiaan Sementara itu, dalam laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti Semanggi I dan II tahun 2002 lalu, ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya/terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dalam rangkaian peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa sejak Mei 1998 hingga Oktober 1999. KPP HAM TSS juga menemukan bahwa tindak kekerasan terhadap mahasiswa saat itu merupakan kebijakan pemerintah dalam menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menuntut reformasi.
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
Secara khusus kita juga berharap DPRD Bandar Lampung memberikan perhatian serius berupa surat resmi dari DPRD Bandar Lampung. Sedang pihak Pemda Lampung segera mendorong penuntasan kasus ini. Termasuk membantu memfasilitasi keluarga korban menuntut keadilan. Perhatian ini merupakan kewajiban dari pemerintah setempat sebagai bentuk tanggungjawab atas keluarga korban yang notabene adalah warga Lampung. Pada akhirnya, sebagai bagian korban kekerasan mahasiswa dalam menuntut reformasi di negeri ini, Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria layak disebut sebagai pahlawan rakyat Lampung dan pahlawan demokrasi di Indonesia.***
21
REMPAH-REMPAH
Dengar Pendapat KKP di Timor Leste: Milisi Diberi Pil Anjing Gila Dalam dengar pendapat kelima yang diselenggarakan oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), di Dili di pertengahan September lalu, disiarkan secara langsung di televisi dan radio. Ini adalah langkah positif yang belum pernah diterapkan KKP ketika berlangsung di Indonesia. Merujuk bahwa pengungkapan kebenaran ini jadi isu strategis kedua negara, harusnya sejak awal ditetapkan bahwa proses dengar pendapat harus disiarkan secara langsung lewat mediamedia resmi di kedua negara. Tujuannya jelas agar masyarakat dari dua negara ini sama-sama mengetahui fakta yang terjadi, agar tidak muncul stigma (terutama dari masyarakat Indonesia), terhadap masyarakat Timor Leste. Sisi positif lainnya menyangkut, keterangan sejumlah saksi, baik pelaku maupun korban. Keterangan pelaku Jony Marquez, Thomas Goncalves dan Fransisco de Carlvalho dan keterangan korban seperti, Sancho Ramos, Markus Baquin dan Mario Goncalves. Kesaksian mereka tidak dapat dilepaskan dari pilihan tempat diadakannya dengar pendapat, yaitu di Dili, Timor Leste. Bahkan dari pihak pelaku Thomas Goncaves dan Fransisco Carlvalho, juga meminta agar tetap dibentuk pengadilan HAM internasional untuk kejahatan yang terjadi. Dari keterangan para saksi terungkap jelas bahwa ada upaya sistematis sejak awal keterlibatan ABRI/TNI dalam kekerasan tersebut, baik melalui operasi Komodo maupun Operasi Seroja, dengan inisiasi pembentukan Apodeti maupun pembentukan berbagai organ milisi. Diakui pula adanya dukungan dana dan senjata dari ABRI/TNI dan pemerintah bagi milisi. Bahkan terungkap adanya operasi pemberian “pil anjing gila” oleh anggota TNI, yang bertujuan membuat orang berani membunuh dan melakukan kekerasan lain. Seperti yang dituturkan oleh mantan Komandan Tim Alfa Jhony Marques serta Marcus Baquin, saksi pembunuhan di Passabe. Sebagai komandan Tim Alfa, Jhony mengaku menembak mati delapan biarawan dan biarawati pada (25/ 09/1999). Tindakan itu dilakukan bersama enam anak buahnya. “Pembunuhan itu seharusnya tak perlu terjadi. Sebab, tidak ada yang memerintah. Pemerintah sipil dan militer saat itu sebenarnya juga sudah ada tak ada disini. Namun, setelah minum dua kapsul yang diberikan anggota TNI, saat itu saya tiba-tiba ingin membunuh. Saya menghadang rombongan biarawan dan biarawati, “ tutur Djony. Menurutnya, kapsul yang tidak diketahui jenisnya itu diberikan oleh Irwan, staf Korem Dili pada saat itu. (Kompas, 27 September). Keterangan dari para saksi tersebut jelas berbeda dengan apa yang diungkapkan dalam dengar pendapat di Jakarta. Dimana dari keterangan para pelaku, baik yang TNI maupun sipil, sangat terkesan kuat secara berseragam melakukan kebohongan publik. Misalnya, dengan mengatakan, kekerasan
22
yang terjadi di Timor Leste adalah kekerasan horizontal, kecurangan UNAMET, tidak ada suplai senjata dari pihak ABRI/TNI dan tidak ada dukungan dana bagi milisi oleh aparat pemerintahan. Namun, kesaksian yang diberikan secara seragam tersebut tidak didukung oleh fakta legal.
Sejumlah kelemahan Namun, KontraS mencatat sejumlah kelemahan dalam proses dengar pendapat kelima oleh KKP ini. Diantaranya; pertanyaan-pertanyaan yang mengkonstruksikan seolah-olah kekerasan yang terjadi di tahun 1999 tersebut adalah konflik antar masyarakat Timor, pro kemerdekaan/pro intergrasi. Pola pertanyaan seperti ini merupakan perilaku yang selalu dilakukan oleh komisioner di KKP. Selanjutnya, ketiadaan penggalian informasi yang mendalam terhadap korban yang bersaksi. Terlihat dari kurun waktu kesaksian para korban yang kerap lebih cepat selesai dibandingkan jika pelaku yang memberikan kesaksian. Kelemahan lainnya, kurangnya publikasi, sedikitnya partisipan dari masyarakat yang hadir dalam pendapat (mengindikasikan masyarakat Timor Leste sudah tidak mengubrisi lagi kerja dari KKP). Sementara itu, semua kesaksian dari penjabat negara RDTL diberikan dalam bentuk tertutup; Ramos Horta, Xanana Gusmao, Teotonio De Assis, dan Taur Matan Ruak. Ini adalah bentuk penghindaran keterbukaan terhadap masyarakat Timor Leste serta bentuk diskriminasi terhadp para korban yang justru seharusnya diberikan proteksi. Disisi lain, meskipun komisi ini mengembang misi membangun persahabatan antar kedua negara, idealnya semua dengar pendapat dilakukan di Timor Leste. Mengapa? Alasannya lantaran semua peristiwa ini terjadi di Timor Leste dan korban mayoritas berada di Timor Leste. Karenanya, dengar pendapat yang diadakan di Dili (24-28 September) adalah dengar pendapat yang terakhir, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Apalagi KKP memiliki dasar hukum yang lemah hanya berbasis Join of Understanding, melanggar prinsip HAM, yaitu merekomendasikan Amnesti untuk pelaku, serta kelemahan lainnya. Seperti, mencari pertanggungjawaban institusional. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam khasanah hukum pidana. Karenanya akan sangat aneh jika kemudian KKP merekomendasikan sesuatu yang bertentangan dengan faktafakta sebagaimana yang tertuang dalam KPP HAM (Indonesiao), CAVR (Timor Leste), dan SCU (Timor Leste) serta Laporan Komisi Independen PBB. Karenanya, KontraS merekomendasikan agar KKP segera melaporkan kelemahan-kelemahan tersebut pada kedua Bersambung ke hal 23
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
REMPAH-REMPAH Peringatan Hari Penghapusan Hukuman Mati Sedunia
Moratorium Universal untuk Hukuman Mati Terkait dengan Hari Penghapusan Hukuman Mati Sedunia, agar pemerintah Indonesia melakukan moratorium (penghentian sementara) penerapan hukuman mati di Indonesia. Sesuai dengan tema internasional, Proposed UN General Assembly resolution for a Resolution for a Universal Moratorium on Executions, terkait pula dengan rencana eksekuasi terdakwa Bom Bali I, Amrozi Bin H. Nurhasyim, Ali Ghufron dan Imam Samudera. Pemerintah Indonesia harus mendukung Resolusi Sekretariat Jenderal PBB melakukan moratorium universal bagi penghapusan hukuman mati di dunia. Sementara itu, di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup (right to life); merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini secara jelas tercantum dalam Konstitusi RI. Dalam sistem hukum di Indonesia, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk menghentikan suatu tindak pidana. Sistem peradilan kita masih belum mumpuni untuk sebuah proses yang jujur (fair trial). Korupsi, birokratisasi, diskriminasi dan bias kelas memperbesar peluang lahirnya hukuman mati dari kesalahan penerapan hukum. Di sisi lain, kenyataan sosiologis membuktikan bahwa hukuman mati tidak mengurangi tindak pidana yang terjadi. Artinya faktor determinan untuk menimbulkan efek jera tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Penghukuman mati terhadap Tibo dkk, yang dipidana karena jadi aktor kekerasan dalam konflik Poso, justru menutup saksi dan bukti lainnya. Selain juga menimbulkan reaksi meluas yang justru kontraproduktif terhadap proses penegakan HAM.
Sedang rencana penghukuman mati terhadap terpidana terorisme, Amrozi dkk justru disambut semangat jihad atas keyakinannya. Hukuman mati ini justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansinya. Karenanya, bukan tak mungkin hal ini justru jadi pemicu pihak lain melakukan tindakan serupa. Hingga tak ada jaminan sama sekali bahwa hukuman mati ini akan mengurangi tindak pidana di masa yang akan datang, apalagi menjerakan para pelakunya.
142 negara hapus hukuman mati Sementara itu, perkembangan global menunjukkan bahwa penerapan kebijakan abolisi secara de fakto dan de jure makin meningkat. Hingga tahun 2007, sebanyak 142 negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati, sementara 55 negara lainnya masih menerapkan hukuman mati. Dalam catatan KontraS, sebanyak 118 orang terancam dihukum mati di Indonesia, dengan rincian 56 orang terpidana kasus pembunuhan, 55 orang terpidana kasus narkoba dan 7 orang terpidana kasus terorisme. Sementara 11 aturan masih menerapkan pidana mati dan belum diharmonisasikan dengan kostitusi. RUU KUHP baru masih menerapkan hukuman mati meski memberikan ruang lewat penundaan eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon). Karena itu, langkah politik berupa moratorium jadi hal mendesak yang harus dilakukan. Pemerintah harus segera melakukan amandemen terhadap aturan hukuman mati yang melanggar konstitusi. Di sisi lain, Pemerintah hendaknya tetap mengacu pada Safeguards Guaranteening Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty (Jaminan Perlindungan bagi mereka yang Menghadapi Hukuman Mati), sesuai Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50 dan Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59, sebagai pembatasan yang tidak bisa dikurangi.
Sambungan dari hal 22 pemerintahan sponsor Komisi, diiringi rekomendasi agar kedua pemerintah segera mempersiapkan bentuk kerjasama penyelidikan, penyidikan dan penuntutan umum atas peristiwa pelanggaran berat HAM di Timor Leste 1999. KontraS juga berharap KKP segera meminta pertanggungjawaban keuangan pada rakyat kedua negara dan segera mengimplementasikan rekomendasi CAVR, terutama yang terkait dengan program reparasi korban dan keluarga korban. Jika KKP tidak merubah pola dan prinsip kerjanya sesuai dengan prinsip hukum HAM internasional, maka hasil kerja KKP akan tak bermakna.***
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
23
REMPAH-REMPAH Peluncuran Buku Laporan Hak Asasi Manusia Tahun 2006
HAM Belum Jadi Etika Politik Sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas kerja-kerja KontraS dalam mengawal proses demokrasi dan pengakan HAM sepanjang tahun 2006, KontraS meluncurkan Buku Laporan Tahunan HAM 2006, September 2007 ini. Meski terlambat, KontraS berharap catatan ini dapat menjadi cermin bagi pengambil kebijakan melakukan perbaikan-perbaikan dalam menjalankan tanggungjawab negara kepada rakyatnya dan menjadi pelajaran bagi masyarakat sipil, khususnya korban pelanggaran HAM untuk terus membangun harapan dan berjuang dalam merebut keadilan. Laporan HAM yang disajikan dalam buku ini merupakan hasil advokasi, investigasi, monitoring dan riset yang dilakukan KontraS sepanjang tahun 2006. Laporan ini merupakan hasil pembacaan KontraS terhadap dinamika politik nasional dan perkembangan diplomasi Internasional RI, yang disimpulkan tetap belum memberikan ruang HAM berperan sebagai etika dalam kehidupan politik, ekonomi dan hukum. Persoalan penting yang disoroti mulai dari problem impunitas yang makin menguat dalam kegagalan mengadili Soeharto, mandeknya kasus Trisakti-Semanggi I dan Semanggi II, Tragedi Mei dan kasus Penculikan Aktifis 97/98 di Kejaksaan Agung. Kasus TalangsariLampung 1989 yang belum selesai di tingkat penyelidikan Komnas HAM, serta bebasnya para terdakwa pada kasus Tanjung Priok dan Timor Leste. Sementara itu Mahkamah Konstitusi malah membatalkan UU KKR yang meski minim pemenuhan hak korban, namun menjadi salah satu mekanisme formal penyelesaian masalah lalu. Di sisi lain, kasus pembunuhan aktifis HAM Munir yang menyedot perhatian kalangan internasional juga tetap suram akibat putusan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan pembunuhan Munir dan hanya dipersalahkan atas penggunaan surat palsu. Sementara penyelidikan kepolisian tak tampak perkembangannya. Dalam laporan ini juga KontraS menyajikan perkembangan di daerah seperti Aceh yang merajut damai namun masih sunyi dari pemenuhan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Wilayah Papua yang masih subur kekerasan diantara eksplotasi sumber daya alam oleh kepentingan modal asing yang tak mengindahkan hak-hak masyarakat serta pelestarian lingkungan hidup. Sementara daerah Poso masih menunjukkan diri sebagai Kabupaten terpanas di Indonesia. Bom masih sering meledak
24
disana, penembakan misterius masih terjadi, penyalahgunaan wewenang pun masih kerap dilihatkan oleh polisi. Sementara badan khusus yang dibuat oleh pemerintah pusat pun gagal menghentikan kekerasan di Poso yang diduga melibatkan aparat kekerasan Negara. Eksekusi terhadap Tibo dkk juga menjadi salah satu issue panas di Poso selain penyerangan yang dilakukan oleh Brimob pada malam takbiran di Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso. Di ujung timur Indonesia, rakyat Papua masih menanti elit berubah bagi perbaikan kehidupan yang bebas dari rasa aman. Aparat polisi dan TNI yang jauh dari pengawasan masih menjadi pelaku kekerasan utama. Wacana perpanjangan kontrak freeport dan pelanggengan binis militer menjadi lahan subur pengeruk kekuasaan kelompok.
Problem kekerasan konvensional Dalam laporan ini pun disajikan problem kekerasan konvensional dari berbagai daerah yang dilakukan oleh TNI, Polri, Satpol PP, bahkan satpam BIN. Sewindu paska tumbangnya rejim Soeharto ini juga masih menyisakan problem kekerasan, khususnya berbagai penyiksaan untuk mendapatkan informasi, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, serta kekerasan terhadap aktifis di berbagai wilayah di Indonesia. Hal lain yang menjadi perhatian KontraS adalah perkembangan reformasi insitusi dan legislasi di negeri ini. Reformasi belum tampak total dalam pembenahan institusi TNI dan Polri yang merupakan aktor penting kekerasan selama ini. Termasuk membaca arah politik negara, yang seolah takut dengan Kebebasan Informasi dengan cara membentuk draft UU tentang Rahasia Negara dan RUU Intelejen yang bernuansa kepada penguatan negara dibanding beradaptasi dengan tuntutan demokratisasi yang mengedepankan keterbukaan dan partisipasi publik. Di sisi lain, aturan perlindungan saksi dan korban belum juga dapat berjalan efektif karena lembaganya tak juga terbentuk. Terakhir, terkait dengan pro-kontra hukuman mati, KontraS bersikap tegas, dimana hak hidup manusia tidak boleh dirampas sekalipun atas nama hukum. KontraS menyadari bahwa perjuangan melawan politik kekerasan, ketakutan dan penindasan tak dapat dilakukan sendirian. Berbagai pencatatan atas kerja KontraS adalah refleksi perhatian dan solidaritas dari kelompok korban, rekan-rekan jaringan di hampir seluruh wilayah Indonesia serta pers. Karenanya, KontraS mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu penyusunan laporan HAM tahunan ini dan dalam perjuangan bersama melawan impunitas di negeri ini.***
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
REMPAH-REMPAH HUT TNI ke 62
Elit Sipil Gagal Mereformasi TNI Tentara Nasional Indonesia (TNI) berusia 62 Oktober ini. Sebuah usia yang tidak bisa dibilang muda lagi. Namun, diusia ini TNI masih banyak menyisakan persoalan yang belum mampu diselesaikan. Reformasi TNI jadi bagian penting dalam agenda reformasi sektor keamanan. Agenda yang sengaja disusun agar TNI tidak lagi menugaskan dirinya sendiri, tidak lagi membiayai dirinya sendiri (bisnis), serta tidak menjebak dirinya pada kancah politik tingkat lokal maupun nasional. Ada dua masalah utama yang menyebabkan tidak tuntasnya pekerjaan rumah dari reformasi TNI. Diantaranya, elite-elite sipil kerap berdalih bahwa anggaran TNI yang rendah adalah kendala. Padahal bujet militer telah mengalami kenaikan dibanding jumlah anggaran di masa lalu. Sedang alasan ketidaksiapan institusi sipil untuk melaksanakan reformasi TNI harusnya dijawab dengan langkah konkret memperkuat instansi sipil, bukan malah menjadi alasan untuk menunda penuntasan Pekerjaan Rumah (PR) reformasi TNI. Karenanya ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diantaranya, kita menyayangkan janji Menhan Juwono Sudarsono agar Presiden SBY dapat segera mengeluarkan keputusan tentang agenda penghapusan bisnis. Akibatnya, agenda ini masih jalan di tempat. Kita khawatir, jika terus ditunda, agenda ini tak dapat memenuhi target pada 2009. Lebih jauh dari itu, keterkaitan anggota TNI dengan kasus-kasus kriminal dan korupsi akan semakin memudarkan semangat korps TNI. Ini juga bisa berakibat kontrol sipil atas militer (civilian supremacy) menjadi kian lemah dan sulit diwujudkan. Sedangkan Tim Supervisi dan Transformasi Bisnis (TSTB), TNI yang dibentuk Pemerintah, sebatas verifikasi sejumlah usaha/ bisnis TNI yang institusional, belum mengumumkan dan memberlakukan status quo. Dalam proses ini terbuka peluang terjadi penjualan atau pengalihan aset maupun perusahaan. Penghapusan bisnis-bisnis militer harus mencakup penghapusan bisnis-bisnis non-institusional (bisnis abu-abu). Contohnya adalah dugaan pembayaran uang keamanan ilegal dari Freeport ke sejumlah pejabat TNI. Kasus ini tidak diusut. Ketidakseriusan Pemerintah terlihat dari belum terbitnya Peraturan Presiden tentang pengaturan bisnis militer yang telah direncanakan sejak Oktober 2005.
Menciptakan situasi konflik Sementara itu, kegagalan untuk menghapus bisnis-bisnis militer akan terus menyeret anggota TNI dalam kasus kriminal serta menciptakan situasi konflik terus—menerus antar individu maupun satuan-satuan keamanan berbagai wilayah. Ada sekitar 12 peristiwa kekerasan antara anggota TNI dan POLRI. Contoh terakhir itu kasus Ternate, Maluku Utara. Anehnya, elite sipil selalu beralasan bahwa tawuran itu disebabkan oleh persoalan kesejahteraan akibat anggaran
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
rendah. Padahal masalahnya adalah sistem yang disimpangi sebagaimana terjadi dalam kasus korupsi dana pensiun ASABRI oleh beberapa perwira tinggi dan koneksinya. Selain ASABRI, ada banyak kasus kejahatan yang tidak ditangani secara serius. Antara lain kasus kepemilikan senjata ilegal (misal, kasus Koesmayadi), skandal jual beli alutsista (pembelian tank scorpio, helikopter MI-17, pesawat Foker 50). Kasus ini menguap tanpa kejelasan proses hukum. Disisi lain, sejumlah kekerasan oleh anggota TNI tidak diselesaikan secara tuntas sesuai hukum yang berlaku. Contohnya adalah kasus konflik tanah di mana TNI menembak warga sipil seperti terjadi di Alastlogo, Pasuruan, Jatim. Atau kasus penggusuran paksa tanah milik warga Rumpin-Bogor Jabar. Kasus-kasus kekerasan ini mempermalukan TNI di mata masyarakat. Apalagi jika kasus-kasus pelanggaran berat masa lalu terus menerus tidak dituntaskan.
Pelaksanaan UU TNI Lambatnya pelaksanaan UU TNI untuk mendorong pemindahan yurisdiksi hukum atas perkara kriminal oleh anggota TNI dari yurisdiksi pengadilan militer ke pengadilan umum. Pembahasan RUU Peradilan Militer memperlihatkan lemahnya kepemimpinan elite-elite sipil. Di tengah pembahasan kita juga dikejutkan dengan istilah baru, peradilan koneksitas bagi warga sipil yang melakukan kejahatan militer. Istilah ini mengandaikan ada kekosongan hukum bagi kejahatan militer yang dilakukan oleh sipil dan menjungkirbalikan logika umum. Logika terbalik dari pasal ini ialah jika militer tunduk pada pengadilan sipil, maka warga sipil pun wajib tunduk pada hukum militer. Padahal subjek yang hendak diatur dalam RUU ini adalah militer, bukan sipil. Pergeseran paradigma elite sipil tak sepenuhnya terjadi. Akibatnya pelaksanaan UU TNI berjalan lambat. Yang ada adalah cara meredam tuntutan pelanggaran HAM masa lalu lewat cara-cara yang menghianati esensi reformasi, yaitu keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia. Sedangkan struktur komando teritorial masih jadi mata dan telinga militer terhadap rakyat. Bahkan mungkin berpotensi jadi alat kekuasan. Kasus terakhir adalah pembentukan Tim Kebersamaan wilayah Bantul Yogyakarta yang melibatkan Babinsa TNI. Langkah ini jelas inkonsisten dengan pengakuan TNI untuk mendorong pemberdayaan masyakat dan demokratisasi. Koter memang dibutuhkan di daerah tertentu, tapi kenyataannya banyak yang lebih cenderung menjadi parasit dari pemerintahan sipil di daerah. Sebagai catatan penutup, Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah progresif di bidang reformasi TNI tanpa mengeluarkan biaya besar atau bahkan tanpa biaya sama
25
REMPAH-REMPAH sekali. Misalnya, mengeluarkan instruksi Presiden, menyampaikan informasi hasil audit, dan mendukung prosesproses hukum atas kasus-kasus yang melibatkan pejabat TNI. Masalah anggaran seharusnya tak dijadikan alasan untuk terus menunda implementasi reformasi TNI dan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM masa lalu.
untuk tidak menarik-narik TNI ke dalam politik praktis. Bila hal ini kembali terjadi, maka mustahillah upaya reformasi membangun supremasi sipil, termasuk di dalamnya supremasi hukum, serta membangun profesionalisme militer dalam misi pertahanan nasional maupun misi perdamaian dunia.
Selain itu, kita meminta semua kalangan elite-elite sipil yang kini sudah mulai bersiap-siap menghadapi Pemilihan Umum,
DIRGAHAYU TNI !
Kekerasan TNI Periode 2006 - 2007 No Tindakan 1 2 3 4 5 6
Penembakan Penganiayaan / penyiksaan Penyerangan warga sipil Bentrok TNIPolri Penangkapan sewenangwenang Jumlah
Jumlah peristiwa
Tewas
8 10
Laki 4 0
2
Luka
Pr 0 0
Laki 13 13
Pr
1
0
1
0
12
7
0
13
0
2
0
0
0
0
34
12
0
40
0
0 0
Kasus Kriminalitas TNI Periode 2006 - 2007
Sumber: Litbang Kontras 2007
26
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
REMPAH-REMPAH
Komnas HAM harus Segera MenindakLanjuti Penyelidikan Kasus Talangsari Lampung 1989 Akhir September lalu, sebuah apresiasi kita berikan atas perhatian yang diberikan Komnas HAM untuk kasus Talangsari. Termasuk komitmen Ketua Komnas HAM baru, Ifdhal Kasim sesaat setelah dirinya terpilih, yang mengatakan akan memprioritaskan kasus Talangsari Lampung. Sejauh ini Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan pro justisia terhadap kasus Talangsari Lampung 1989. Penyelidikan tersebut telah dilakukan sejak 14 Maret 2007 (SK Nomor 15/Komnas HAM/V/2007) dan diperpanjang sampai 30 Agustus 2007 (SK Nomor 16A/Komnas HAM/V/2007), dengan susunan tim Zumrotin K. Susilo (Ketua tim), Ruswiyati Suryasaputra, Ifdhal Kasim, M Farid, S.A Supardi. Namun demikian, penting untuk kembali mengingatkan dan meminta Komnas HAM periode 2007-2012 , segera menindaklanjuti hasil penyelidikan yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM. Mengingat terdapat sejumlah hal yang masih patut ditindak lanjuti dan belum tergali dalam proses penyelidikan yang telah dilakukan. KontraS sendiri mencatat, sebagai pendamping/kuasa hukum korban, Tim Penyelidik Komnas HAM baru melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan korban sebanyak 65 orang, masing-masing di Solo dan Lampung. Jumlah ini diluar dari pemeriksaan korban yang telah menyatakan Islah. Kontras juga mencatat sejumlah hal penting yang harus dilakkan ke depan. Diantaranya, Komnas melakukan pemeriksaan kunjungan sebagai upaya dari pencarian fakta/ penyelidikan terhadap korban dan keluarga korban, yang mengalami trauma psikologis (18 tahun lebih). Kita tahu bahwa dalam kondisi trauma tidak memungkinkan adanya pemeriksaan terhadap saksi yang dituangkan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Hal ini juga penting dilakukan agar tim penyelidik bisa menuangkan kondisi, penderitaan dan kerugian yang dialami para korban kedalam berkas hukum/ laporan penyelidikan yang akan dihasilkan kemudian.
Termasuk pemeriksaan berkas serta lokasi penahanan dan pengadilan (lampiran). Sementara itu, dilakukan pula pemanggilan dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang diduga kuat terlibat sebagai pelaku atau penanggungjawab atas pembantaian pada peristiwa ini. Bila pelaku sulit didatangkan atau tidak bersedia datang setelah melalui proses pemanggilan yang layak, Komnas HAM hendaknya menggunakan kewenangan pemanggilan paksa (sub poena power) sebagaimana yang diatur dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Karenanya penting Komnas HAM membangun komunikasi dengan lembaga peradilan terkait sebelum mengungkapkan upaya hukum tersebut. Komnas HAM segera melakukan pendataan secara spesifik atas kerugian immateril dan materil yang dialami oleh korban, keluarga korban, terutama perempuan dan anak-anak. Hal ini penting dilakukan guna memotret bentuk pelanggaran berat HAM secara utuh dan berlanjut, terutama yang terkait dengan hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, stigmatisasi dan diskriminasi, hak atas pekerjaan serta hak atas rasa aman akibat masih adanya ancaman dan intimidasi dari pihakpihak tertentu terhadap para korban dan keluarganya. KontraS juga memandang penting dilakukan tindakan lanjut berupa program perlindungan saksi dan korban, termasuk membuat program trauma healing bagi para korban yang masih menderita trauma, membangun komunikasi dengan lembagalemabag terkait yang terkait dalam menindak lanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, seperti Kejaksaan Agung. Perlu pula melibatkan Kejaksaan Agung dalam tim penyelidikan, terkait dengan respon pihak diluar Komnas HAM yang menolak dan potensial mempolitisasi kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Sebegaimana pengalaman telah mengajarkan sebelumya. *** Tempat-tempat yang patut diperiksa dalam kasus Talangsari 1989
Komnas HAM juga segera melakukan pemeriksaan terhadap korban, keluarga dan saksi yang belum diperiksa. Paling tidak dalam catatan KontraS masih ada 14 nama yang relevan untuk diperiksa. Termasuk melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), guna melengkapi keterangan sejumlah saksi, terutama saat penyerangan ke dusun Talangsari III demi mendapat gambaran utuh pergerakan pelaku dan korban saat kekerasan berlangsung.
Kuburan massal Komnas HAM agar segera melakukan pemeriksaan kuburan massal di dusun Talangsari III Kecamatan Way Jepara. Tindakan ini merupakan salah satu usaha yang patut dilakukan meningat masih terdapat korban yang masih hilang hingga saat ini.
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
27
REMPAH-REMPAH 23 Tahun Tanjung Priok 1984
Pelaku di Bebaskan, Korban Masih Dikorbankan Dua puluh tiga tahun kasus Tanjung Priok terjadi. Hampir 10 tahun Soeharto lengser dari kursi kepresidenana RI. Namun, tetap tiada keadilan yang diberikan bagi korban. Mereka yang dulunya jadi korban penembakan dan penangkapan semena-mena. Mereka yang ditahan tanpa pengadilan, disiksa, dihilangkan, distigma. Termasuk harta benda yang dirampas, hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas. Mereka masih menjadi korban dan terus berjuang menggapai keadilan yang telah terbengkalai selama 23 tahun. Bagi korban tak ada ingatan yang para korban yang masih anak-anak, dilupakan. Bagaimana pada tahun tidak bisa melanjutkan sekolahnya. 2006 Mahkamah Agung Atau anak-anak korban yang memperagakan parade pembebasan kehilangan ayah atau kakaknya yang hukum (Impunitas secara De Jure) diharapkan menjadi penopang terhadap sejumlah nama yang ekonomi. seharusnya bertanggung jawab. Mulai dari Sriyanto, Pranowo, Menolak mentah-mentah Sutrisno Mascung dan RA. ButarButar. Kegagalan Peradilan HAM Tak ada kata berhenti. Rasanya untuk menghukum sesungguhnya segala usaha tetap dan terus telah tergambar dari buruknya dilakukan oleh para korban. Lewat kinerja Penuntut Umum. Selain Pengadilan Negeri (28/02/2007), menghapus nama (Alm.) LB mereka kembali menuntut Moerdani dan Try Sutrisno dalam pemerintah mengeluarkan dana proses penyidikan, Kejaksaan Agung Kompensasi. Namun, lagi-lagi, justru membuktikan kejahatan luar hakim tunggal Martini Marjan biasa (Extra Ordinary Crime) pada kasus menolak mentah-mentah Tanjung Priok dengan sistem pidana permohonan penetapan kompensasi umum (Ordinary Crime) yang berbasis para korban dengan alasan tidak ada pada KUHAP. Kegagalan lain pelanggaran berat HAM dalam kasus diakibatkan persoalan politik karena Tanjung Priok 1984. sedangkan tidak adanya jaminan otoritas hingga kini MA juga belum negara dalam mendukung memutuskan kasasi yang telah administratif atas kerja Pengadilan diajukan sejak 5 Maret 2007. HAM atas kasus Tanjung Priok. Sidang pengadilan HAM ad hoc Tj Priok Padahal di tahun 1984 itu, mereka Selain itu, pemerintah juga tidak menyiapkan sistem perlindungan Dok.Kontras jelas dikorbankan oleh kebijakan anti kritik Soeharto dan brutalitas aparat saksi yang memadai. Sedangkan, di keamanan. Sementara itu di era pengadilan, hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku dengan sejumlah transisi politik (setelah belas), bahkan setelah puluhan tahun upaya koreksi pun tetap didominasi oleh pelaku. Tidak ada saksi untuk mencabut kesaksian. mereka yang dijatuhi hukuman. Tidak ada perbaikan kondisi Terlihat bahwa pengadilan HAM bukan hanya gagal korban. Bahkan tragedi kemanusiaan 23 tahun ini tidak diakui memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap sebagai pelanggaran berat HAM. Masyarakat pun terus para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, namun pengadilan juga dikorban. Dari perilaku kekerasan menjadi korban sistem gagal memberikan kebenaran yang sejati atas kasus Tanjung peradilan yang tidak fair dan jujur. Priok termasuk gagal menjamin kepastian reparasi (Perbaikan) Sementara itu transisi politik tidak pernah digunakan untuk atas penderitaan dan kerugian para korban. mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa lalu, khusus Sementara itu, hingga kini banyak diantara korban yang masih untuk kasus Tanjung Priok. Di sisi lain keluarga korban tetap mempertanyakan Keberadaan keluarganya yang masih hilang. tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung Banyak pula korban yang sampai hari ini harus menanggung jawaban pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun biaya pengobatan akibat kekerasan yang dulu mereka alami. reparasi. Korban yakin bahwa sesuatu yang buruk bisa Termasuk pula korban yang harus kehilangan tempat usaha dikoreksi. Demikian pula putusan-putusan pengadilan HAM atau pekerjaannya akibat dirampas atau distigmatisasi yang atas kasus Tanjung Priok harus bisa dikoreksi demi kebenaran menyebabkan dirinya sulit mendapatkan pekerjaan. Belum lagi, dan keadilan.***
28
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
REMPAH-REMPAH Catatan Tiga tahun Pemerintahan SBY-JK:
HAM di Ujung Lidah 20 Oktober 2007, tepat tiga tahun SBY-JK menjalankan pemerintahan. Selama tiga tahun tersebut Agenda Hak Asasi Manusia (HAM), dijalankan secara parsial. Isue HAM masih sebatas jargon dibanding upaya penegakannya. Terutama penegakan HAM dalam konteks penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, masih dilihat sebagai ancaman terhadap kekuasan dibanding tanggungjawab negara terhadap korban. Negara sejauh ini belum pernah mengambil jarak tegas antara kekuasaannya dan pelaku pelanggaran HAM. Fakta menyulitkan masyarakat untuk membedakan antara pelaku dan pemimpin negara, karena sikap diam negara dapat dimaknai sebagai perlindungan terhadap para pelaku. Dan berikut sedikit catatan evaluasi dari tahun ketiga perjalanan pemerintahan SBY-JK :
Kasus Munir dan reformasi BIN Patut diapresiasi langkah-langkah yang diambil Polri dan Kejaksaan Agung dalam upaya luar biasa lewat Peninjauan Kembali atas terdakwa Pollycarpus Budiharipriyanto, serta didakwanya Indra Setiawan dan Rohanil Aini. Namun, langkah ini masih jauh dari memuaskan. Mengingat dalam 3 tahun ini, belum terlihat keberanian pemerintah cq Polri untuk mengungkap pengerak dan dalang atas pembunuhan Munir ini. Sementara Badan Intelejen Negara (BIN), yang notabene alat dari Presiden, hingga kini belum menunjukkan kesungguhan membersihkan duri dalam daging ditubuhnya. Minimnya kontribusi BIN dalam penuntasan kasus Munir tidak terlepas dari lemahnya kepemimpinan Syamsir Siregar termasuk ketidaktegasan Presiden membersihkan BIN dari praktek hitam yang selama ini kerap dilakukan. Bila tiada perubahan kepemimpinan di BIN dan dukungan politik yang bulat dari Presiden, maka Polri selalu gamang mengambil langkahlangkah progresif dalam penuntasan kasus ini. Tentu kondisi kian memperburuk citra Indonesia dalam pergaulan Internasional.
Reformasi TNI dan Polri Hingga kini agenda pengakhiran bisnis militer masih batas wacana. Peraturan Presiden yang dijanjikan sejak akhir tahun
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
2005 tidak juga terbit. Ketidakjelasan sikap pemerintah ini membuka peluang pengalihan asset dan perusahaan militer pada pihak swasta demi keuntungan para pengelolanya. Sementara dalam pembahasan RUU Peradilan Militer yang tengah berlangsung di DPR malah menyisakan keanehan dengan dibukanya peluang pelaku tindak pidana militer diadili di pengadilan militer. Padahal subjek yang harusnya diatur dalam RUU adalah aparat militer yang melakukan pelanggaran militer. Sementara itu Kekerasan militer terhadap warga sipil terkait konflik tanah pada tahun ini (Alastlogo, Rumpin, dll) juga menunjukan pentingnya keseriusan Pemerintah mengambil langkah strategis yang berkeadilan, baik bagi kepentingan warga maupun TNI. Rendahnya penegakan hukum dan disiplin, serta kultur kekerasan dan semangat korps yang membabi buta juga masih jadi problem dasar dari bentrokan polisi dan tentara yang masih sering terjadi. Anehnya, kekerasan ini malah dinilai sebagai akibat dari rendahnya penghasilan TNI-Polri. Argumen ini sangat tidak relevan lantaran banyak PNS maupun warga lainnya yang juga mengalami problem dengan penghasilan namun tidak berakhir dengan kekerasan. Sedangkan penyelesaian pelanggaran dan kekerasan lewat mekanisme internal di TNI/Polri, terbukti tidak memberi efek jera. Malah dinikmati sebagai mekanisme impunity.
Penanganan korban lumpur Lapindo Hingga kini korban lumpur Lapindo belum mendapat pemenuhan hak mereka atas tanah dan lingkungan mereka yang menjadi lautan lumpur. Sikap manis bibir dan politik tarik ulur pemerintah selama ini, seolah mengambil strategi yang sama dengan penanganan korban PHK PT Dirgantara Indonesia. Keberpihakan pemerintah pada korban Lapindo seolah tersandera ditubuhnya sendiri, selama Aburijal Bakrie selaku pemilik perusahaan masih dianggap bernilai dibanding suara korban Lapindo. Politik balas budi masih mendominasi kebijakan politik dibanding kepentingan publik khususnya korban.
Penyelesaian kasus masa lalu vs hukuman mati Sementara itu, pemerintah masih menerapkan hukuman mati bagi para narapidana pembunuhan, terorisme, dan narkorba. Padahal penerapan sanksi hukuman mati ini jelas bertentangan dengan Konstitusi yang memberikan jaminan terhadap hak atas hidup. Dalam konteks ini, pemerintah berdalil bahwa hukuman ini masih diperlukan untuk
29
REMPAH-REMPAH memberi efek jera. Sekalipun tetap tidak ada bukti bahwa hukuman mati berhasil menekan tindak pidana. Argumen lain, perbuatan para narapidana tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban dan kesengsaraan yang tak terhingga pada keluarga korban. Pada argumen kedua ini jelas sekali sikap ambivalen pemerintah. Bersikerasnya pemerintah menerapkan hukuman mati dengan alasan keadilan bagi korban dan keluarganya, berseberangan dengan sikap pemerintah cq Jaksa Agung dalam upaya pemenuhan hak korban pelanggaran berat HAM. Jaksa Agung mengenyampingkan aspek keadilan bagi korban dan mengedepankan alasan formal rekomendasi DPR yang belum keluar serta segala dalil hukum materil dan formil dibuat-buat.
Peran di dunia internasional Patut diapresiasi keberhasilan pemerintah menjadikan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM dan Presiden Dewan Keamanan PBB. Keberadaan Indonesia dalam lembaga bergengsi itu harusnya bisa memberi kontribusi penegakan HAM di dunia Internasional. Keberhasilan politik ditingkat Internasional itu perlu diikuti pula perbaikan penegakan HAM dinegeri sendiri. Janji negara anggota yang telah ikrarkan oleh pemerintah sebaiknya bukan pepesan kosong bagi pemenuhan politik pencitraan saja.
Penanganan konflik Poso dan terorisme Sekalipun langkah yang diambil pemerintah cq Polri dalam penuntasan teror di Poso lewat operasi Sogili pada Januari lalu membuahkan hasil menekan tidakan teror disana, namun operasi itu jelas telah memakan korban sipil tak berdosa yang seharusnya dihindari. Dalil tindakan kontrateroris oleh pemerintah cq Polri masih menyisahkan problem penyampingan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penerapannya. Perilaku kekerasan atas nama hukum masih dikedepankan dibanding profesionalisme dan penghormatan hak asasi manusia. Jatuhnya belasan korban tewas dalam operasi Sogili dan penembakan tanpa alasan terhadap Abu Dujana menjadi gambaran perspektif Polri atas terorisme.
Ancaman kebebasan berekspresi, beragama dan human rights defender Sekalipun jaminan terhadap kebebesan berorganisasi dan bereksperisi dan menjalankan agama serta kepercayaan telah tertuang dalam konstitusi maupun UU, namun praktek kekerasan masih terus berlangsung. Dengan dalil komunisme, sekelompok orang malah mendapatkan proktesi dari polisi ketika melakukan pembubaran terhadap kegiatan ilmiah semacam diskusi/seminar, bahkan rapat organisasi. Tidak jauh berbeda dengan pelarangan terhadap penganut kepercayaan maupun agama mininoritas yang kerap mengalami kesulitan dan kekerasan dari massa dalam upaya melakukan peribadatan. Selain itu kekerasan terhadap aktifis HAM sebagai pihak terdepan dalam advokasi korban pelanggaran HAM masih terus terjadi. Teror yang dialami oleh Albert Rumbekwan paska kedatangan utusan khusus PBB Hina Jilani menjadi gambaran aktual dari bekerja aktor kekerasan ini.
30
Cabut Mandat SBY Diawal Januari isue cabut mandat yang dipelopori oleh sejumlah politisi dan purnawirawan TNI berhasil membuat kalut Presiden SBY. Respon SBY dengan mengutus Menteri Polhukkam dan Kepala BIN membuat pertemuan dengan sejumlah purnawirawan (16/01), mengambarkan Presiden SBY yang masih menempatkan dirinya sebagai representasi dari TNI dan elit militer lama. Sekalipun ancaman yang disampaikan oleh sejumlah pemrotes itu sesungguhnya tidak memiliki kekuatan signifikan. Ini menunjukkan bahwa SBY lebih mengkuatirkan kehilangan kekuasaannya dibanding dengan secara konsisten menjalankan janjinya dahulu selama pemilu. Meskipun Pilpres masih 2 tahun lagi, namun manuver elit politik untuk memperebutkan posisi nomor satu telah berlangsung. Agenda politik perebutan kursi Presiden selayaknya tidak mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih besar. Beriring atau tidaknya pasangan SBY-JK kedepan, bukan alasan untuk mengenyampingkan segala kewajiban penegakan HAM.
Pengadilan atas mantan presiden Soeharto Mahkamah Agung baru-baru ini memenangkan Gugatan Soeharto atas majalah Time. Kemenangan ini menandakan babak baru dari isue korupsi Soeharto selama ini. Liputan investigasi Time terhadap kekayaan hasil korupsi mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai pencemaran nama baik oleh putusan Kasasi MA. Padahal pernyataan tentang korupsi, kolusi dan nepotisme jauh sebelum Time telah diamanatkan oleh Tap MPR No. XI/1998. Putusan MA ini seolah memunggungi pengetahuan publik selama ini tentang kejahatan Soeharto. Sementara pemerintah hanya mencoba mengambil harta Soeharto dan keluarganya dengan langkah Perdata, disisi lain menutup pertanggangjawaban Pidana lewat SKP3 Jaksa Agung. Diluar sana, PBB dan Bank Dunia lewat program StAR Initiative (Stole Asset Recovery—Prakarsa Penyelamatan Kembali Kekayaan yang Dicuri) menempatkan Soeharto dalam urutan teratas sebagai perampas kekayaan negara. Selayaknya dukungan internasional ini tidak disia-siakan oleh Pemerintah SBY untuk kembali menghimpun keberanian mengadili mantan Presiden Soeharto. Langkah ini penting sebagai pertanda memutus belenggu masa lalu dan menampilkan wajah politik baru yang menegakkan hukum berkeadilan. Terlepas dari evaluasi tersebut diatas, secara konstitusional SBY-JK masih memiliki 2 tahun tersisa untuk memperbaiki performance pemerintahan dalam agenda hak asasi dan demokrasi. Dua tahun ke depan ini, dapat jadi peluang dan ancaman bagi SBY untuk terus berkuasa atau tidak, tentunya sangat ditentukan oleh kepuasan masyarakat atas konsisten agenda yang pernah dijanjikannya sendiri. Disisi lain para kompotitor Pilpres 2009 tentu tengah jeli melihat sisi lemah pemerintah hari ini. Agenda penegakan HAM tentu merupakan salah satu yang tidak boleh disepelekan.***
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
KABAR DARI SEBERANG
STOP! Kekerasan Para Biksu di Myanmar Aksi brutal aparat terhadap aksi damai yang dilakukan oleh para Biksu di Myanmar patut dikecam. Aksi para Biksu yang menentang pemerintahan Junta Militer yang berlangsung sejak 23 September 2007 dengan damai, akhirnya dilukai dengan aksi brutal dari pihak Pemerintah Junta sendiri. Hari itu ribuan Biksu di tembaki gas air mata, dipukuli dan ditangkapi. Bukan hanya mendapat perlakuan kekerasan, sekitar seribu demonstran termasuk sekitar 80-an biksu ditangkap paksa dan langsung dimasukkan ke dalam truk polisi. Sejak awal aksi itu digelar, beberapa kalangan dunia internasional khususnya telah mengecam junta militer untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Keprihatinan juga datang dari kalangan negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Asean, termasuk negara tetangga yang dekat posisinya dengan Myanmar, Tahland. Namun, hal yang dikhawatirkan terjadi. Kekerasan dilakukan oleh aparat secara membabi-buta. Sementara itu, Sekjen PBB, Ban Ki-moon mendesak menteri Luar Negeri China, India, dan Singapore sebagai bagian dari pemimpin ASEAN saat ini agar segera mengupayakan adanya dialog perdamaian di Myanmar. Memang tak ada kata lain, China, India,
dan ASEAN harus segera mendukung himbauan Ban Ki-moon atas kekuasaan Myanmar mengontrol protes-protes damai yang tumbuh dan memposisikan beban mereka, diluar upaya PBB dalam rangka menemukan solusi bagi krisis politik di Myanmar. Sebagai bagian dari masyarakat Internasional yang menghormati nilai-nilai anti kekerasan, KontraS mendesak Pemerintahan Junta Militer agar segera menghentikan aksi kekerasan dan membebaskan para Biksu dan demonstran lainnya. Karena apa yang telah dilakukan oleh para Biksu untuk turun kejalan adalah bagian dari kebebasan masyarakat Myanmar untuk mengeluarkan pendapat dan mengkritik pemerintahan Junta selama ini. KontraS juga mendukung upaya-upaya dibukanya pintu dialog perdamaian dalam negara Myanmar sendiri seperti yang disampaikan oleh Sekjen PBB. Lebih jauh, negara China, India dan Singapore harus segera memfasilitasi dialog damai tersebut untuk menghindari korban sipil lebih banyak lagi. Kita juga berharap Pemerintah RI dapat terlibat dalam upaya-upaya dialog damai sebagaimana mandat dalam Konstitusi RI.***
Indonesia sebagai Predisen DK PBB.
Diantara Prestasi , Harapan dan “Kambing Hitam” Indonesia resmi jadi Presiden DK PBB (1/11/2007). Satu posisi yang cukup strategis dalam mengkoordinasikan anggota DK PBB merespon perkembangan politik dunia. Disamping sebuah kehormatan, posisi ini juga melahirkan tantangan, terkait dengan pilihan politik Indonesia ikut serta menciptakan perdamaian dunia, dengan menjunjung tinggi nilai HAM dan demokrasi. Tantangan ini tercermin dalam dinamika internasional dan menjadi isu strategis di dunia, di luar penyelesaian kasus Burma dan konflik Timor Tengah. Temasuk pula tantangan atas perbedaan kepentingan politik yang tajam di dalam Internal DK PBB sendiri. Sementara itu, peran politik Indonesia sebagai presiden di tingkat internasional dalam konteks merespon perkembangan perdamaian dunia sangat penting dalam moment sekarang. Bahkan menerapkan sebuah paradigma baru yang disebut “responsibility to protect”. Kewajiban melindungi HAM pada situasi dimana negara telah gagal menjalankan kedaulatannya di bidang perlindungan HAM. Kondisi diatas dapat terlihat dari beberapa aspek. Yakni, dalam kasus Burma. Indonesia sebagai salah satu negara penting ASEAN memiliki pengaruh kuat untuk maksimalisasi proses; perdamaian. Indonesia juga dapat mendorong sinergi antara PBB dan ASEAN dalam menentukan pola pendekatan dan jalan keluar krisis Burma. Khusus untuk masalah krisis Timur Tengah. Indonesia juga sebagai negara yang memiliki relasi dan ikatan cukup kuat, terutama karena negara kita mayoritasnya Islam terbesar dan menjadi anggota OKI yang memiliki pengaruh. Dalam konteks ini Indonesia memiliki kesempatan strategis untuk mengkoordinasikan politik internasional di bawah PBB untuk merespon dengan model dan pendekatan baru. Peran yang diambil adalah mensinergikan OKI dan PBB untuk proses perdamaian dan mendorong pendekatan baru yang tidak berbasis pada pendekatan Keamanan.
Berita Kontras No.05/IX-X/2007
Politik luar diubah Namun, kedua hal diatas dapat direalisir manakala Prinsip Politik Internasional Indonesia juga di ubah. Misal, dalam penyelesaian Burma, Indonesia harus menanggalkan gaya lama atas nama ASEAN yang selalu berlindung dibalik jargon “ASEAN WAY” . Jargon tersebut jauh dari prinsip demokratis dan berseberangan dengan kaidah Internasional. Posisi Indonesia sebagai ASEAN yang menjalankan ASEAN WAY dan posisi sebagai Presiden DK PBB akan menyulitkan Indonesia sendiri. Jika Indonesia tidak merubah gaya ASEAN tersebut yang merupakan model pendekatan warisan dari kediktatoran Presiden; Soeharto dan Presiden Singapura; LEE Kwan Zhu. Selanjutnya, adalah menanggalkan gaya politik “sektarian’ atas respon perkembangan krisis Timur Tengah. Dimana, Indonesia harus berani tampil dengan menanggalkan politik Sektarianisnya yang selama ini ditampilkan seperti respon terhadap krisis Israel dan Palestina yang selalu menggunakan pendekatan agama dalam responnya. Jika kedua persyaratan di atas dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia, maka peran politik Indonesia di Internasional akan menjadi lebih baik. Dan maksimalisasi posisi Indonesia dalam DK PBB khususnya ketika menjadi Presiden DK PBB akan tercapai dan menghasilkan atau prestasi yang sangat bagus. Namun jika tidak ada perubahan gaya dan model pendekatan politik Internasional yang dilakukan, posisi Indonesia sebagai Presiden DK hanya akan jadi bumerang bagi nama baik dan kepentingan bangsa Indonesia sendiri . Malah akan jadi kambing hitam dalam setiap respon DK yang kontra produktif untuk penciptaan perdamaian dunia akibat kontradiksi kepentingan di Internal anggota DK.***
31