KontraS
Salam Dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Hukuman mati masih saja berlangsung di negeri ini. Tahun ini tercatat 54 orang terpidana mati, yang sedang menunggu eksekusi, sebagian besar untuk kasus narkoba dan terorisme. Eksekusi hukuman mati ini masih saja diberlakukan, padahal jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mendasar, yaitu hak untuk hidup. Suatu hak yang dalam prinsip internasional dikenal sebagai non derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun), yang juga diatur dalam konstitusi Indonesia. Masalah inilah yang diangkat sebagai berita utama edisi kali ini. Wacana tentang pelaksanaan hukuman mati kembali ramai diperbincangkan. Negara tetap mempertahankan hukuman mati dalam hukumnya, sementara KontraS menegaskan bahwa proses/pelaksanaan hukuman mati ini jelas-jelas harus ditentang dan dihapuskan. Sementara itu, perkembangan penyelidikan kasus pembunuhan Munir mulai memperlihatkan titik terang. Pollycarpus, pilot garuda Indonesia telah ditetapkan sebagai salah satu satu tersangka. Meski harapannya kecil untuk mendapatkan informasi lebih lanjut (dari Pollycarpus) siapa dalang atau orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan ini, tapi harapan itu, sekecil apapun harus terus hidup dan diperjuangkan. Perpanjangan masa kerja TPF oleh SBY menjadi bentuk lain untuk terus menyalakan harapan akan pengungkapan pembunuhan teman, sahabat dan guru kita, Munir. Dibeberapa daerah seperti Aceh, Ambon, Medan, Papua, Kalimantan Selatan, tindak kekerasan masih terjadi. Persoalan ini juga menjadi sorotan penting yang harus diungkap tuntas dan ditindaklanjuti. Sedang di lain pihak, reformasi dalam tubuh TNI seperti sebuah ‘janji’ yang kembali dinodai oleh para petinggi/pejabat TNI. Sesuatu yang memang sudah diperkirakan dari awal. Sesuatu yang hanya sebatas wacana belakang.
KontraS diprakarsai oleh beberapa LSM dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-
Inilah topik-topik lain yang diangkat sebagai ulasan/informasi yang kami sajikan. Untuk itu, tak bosannya kami berseru kepada semua rekan dan saudara. Mari kita kobarkan terus semangat perjuangan untuk membela kebenaran dan keadilan bagi mereka yang tertindas.
HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja:
Redaksi
Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Nining, Abu, Victor, Sinung, Haris, Harits, Islah, Papang, Bonang, Helmi, Nur’ain, Bobby, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri.
Federasi Kontras Mouvty, Ori, Gianmoko, Bustami, Epi Narti (Aceh),
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Indria Fernida Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati, Sidang Redaksi: Haris Azhar, Nining Nurhaya, Edwin Partogi dan Mufti Makaarim. Layout: ispro design. Kredit gambar pada sampul : marked.dp.ua dan www.istockphoto.com
Oslan (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Badan Pekerja Kontras dibantu oleh
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected], website: www.kontras.org
relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia
Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
KontraS sebuah lembaga Advokasi, yang berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Nining di 3926983 atau
[email protected]
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
2
BERITA UTAMA
Praktek Hukuman Mati, Matinya Hukum Nurani! Delapan orang terpidana akan dieksekusi mati tahun ini. Padahal, hukuman mati harus ditolak karena hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang paling dasar; hak untuk hidup. Hak untuk hidup, sebagaimana dijamin dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun. Tetapi, mengapa hukuman mati ini tetap dilaksanakan? Inikah sisi buruk potret hukum di Indonesia? 20 Maret 2005, dini hari, Astini (51 tahun), wanita yang divonis mati oleh PN Surabaya pada 17 Oktober 1996, “dipaksa” menghembuskan napas akhirnya di depan regu tembak, yang terdiri dari 12 orang anggota Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah Jawa Timur. Wanita separuh baya ini sebelumnya telah mencoba “memperpanjang” hidupnya lewat permohonan grasi kepada Presiden (Megawati) tahun lalu (2004). Astini menjadi orang keempat yang dieksekusi mati dalam kurun 1 tahun terakhir. Tiga terpidana mati lain, sebelumnya telah dieksekusi di Sumatera Utara untuk kasus narkoba. Sementara masih ada 53 orang terpidana mati yang akan dieksekusi - sebagian besar untuk kasus pidana narkoba dan terorisme - yang belum dieksekusi, bila mengacu pada data dari Jaksa Agung RI. Hukuman Mati telah menjadi wacana dan berkembang pada lima tahun terakhir ini. Berbagai tesis memang bisa dikembangkan untuk mencari jawab mengapa hal ini bisa dan bahkan terus dilakukan. Apakah benar kondisi ini lahir dari kesadaran membangun sistem hukum yang berwibawa atau justru dikembangkan untuk mengatasi ketidakwibawaan hukum yang semakin terbuka? Yang patut diperhatikan bahwa hukuman mati jelas tidak bisa didekati lewat cara pandang normatif. Fakta penerapan hukuman mati sepanjang sejarah hukum di Indonesia, lebih terlihat sebagai instrumen politik penguasa yang gagal menghormati demokrasi dan hak asasi manusia. Proses pertumbuhan berbagai ketentuan hukum yang melandasi hukuman mati, pada akhirnya, secara langsung mengantarkan kita untuk lebih dekat memahami watak rezim penguasa di balik aturan-aturan hukum tersebut, ketimbang kritis terhadap soal hukuman mati itu sendiri. Dengan kata lain kita terpaksa meng-iya-kan pelaksanaan hukuman mati. Fakta-fakta sejarah yang ada juga menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati telah menjadi bagian dari “kekayaan politik” rezim yang berkuasa. Mereka (terpidana mati) ini tidaklah otomatis/langsung akan berhadapan dengan regu tembak, tetapi mereka masih harus bertarung dengan keputusan politik (Grasi) yang dimiliki oleh Presiden sebagai kepala negara. Nasib hidup para terpidana mati seolah berada dan ditentukan oleh kebaikan hati Presiden. Ketika itulah, hidup dan esensi sebagai manusia (dari terpidana mati), telah berubah menjadi angka-angka dan bendera dari upacara simbolik kekuasaan. Terpidana mati hanya resah menunggu tanggal “kematian”. Sementara negara semakin “berwibawa” karena merasa telah melakukan “pembasmian terhadap penyakit masyarakat”. Putusan hukuman mati ini telah mengantarkan pencabutan indentitas terpidana sebagai manusia dan ia segera berubah menjadi “ekperimen sanksi” mengatasi kejahatan. Seharusnya, apapun jawaban dan “dalih-dalih” yang dipergunakan, pelaksanaan hukuman mati (death penalty/capital punishment) haruslah dihapuskan/ditolak keras. Dua alasan dasar yang bisa dikatakan mengapa hukuman mati wajib ditolak, pertama, atas dasar prinsip hukum HAM;
3
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
nilai kemanusiaan harus diatas segala-galanya, termasuk hukum positif. Kedua, atas dasar realitas pelaksanaan hukum di Indonesia yang masih tidak netral dan korup. Hak fundamental Mengacu pada dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian HAM internasional, dimana Indonesia juga menjadi negara pesertanya, maka hukuman mati harus ditolak karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yakni hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Hak untuk hidup merupakan hak dasar setiap manusia yang wajib dilindungi oleh negara dalam keadaan apapun. Hal ini semakin tegas dan jelas jika dilihat pada posisi Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsekwensi dari posisi ini adalah Indonesia terikat secara moral pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Lebih jauh, tahun ini Presiden Soesilo Bambang Yudhpyono telah berkomitmen akan menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil Politik. Sisi lain yang paling terlihat jelas, hukuman mati memiliki pelanggaran HAM serius lainnya, yakni, pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Ironisnya, Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan telah diadopsi menjadi Undang Undang No.5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Hukuman mati juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amensty Internasional, mencatat hingga 1 Oktober 2004, terdapat 118 negara (dengan rata-rata pertambahan 3 negara tiap tahun), yang telah menghapuskan hukuman mati, baik dalam aturan dan mekanisme hukumnya maupun dalam prakteknya/penegakan hukumnya. Bahkan dari 118 negara, 24 diantaranya telah memasukkan penghapusan hukuman mati ke dalam konstitusinya. Wilayah yang negara-negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika. Padahal Afrika kita ketahui sebagai wilayah yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Harus Ditolak Atas dasar pertimbangan politik hukum yang ada di Indonesia, maka hukuman mati “wajib” ditolak. Ada beberapa hal yang menjadi
BERITA UTAMA landasan dari argumentasi ini, yakni; karakter reformasi yang berjalan sampai saat ini di Indonesia belum melahirkan atau menunjukkan sistem peradilan yang independen, tidak memihak, dan aparatus yang ‘bersih’ dan cerdas. Lemah dan rendahnya kapasitas sistem peradilan bisa sangat memungkinkan munculnya proses pemeriksaan yang salah. Maka besar pula kemungkinan melahirkan putusanputusan yang salah, seperti hukuman mati. Parahnya, pelaksanaan hukuman mati tidak akan dikoreksi oleh negara ketika kebenaran yang berpihak pada terpidana muncul kemudian setelah pelaksanaan hukuman mati. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang terjadi/dilaksanakan di masa lalu di Indonesia, menjadi pelajaran berharga yang pahit buat kita khususnya untuk “dunia hukum” di Indonesia. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak selalu benar dan selalu bisa salah. Bahkan, menurut riset Amensty Internasional, di Amerika Serikat (sejak 1973) sekalipun telah terjadi kesalahan sistem judisial terhadap 116 orang terpidana mati. Hukuman mati telah gagal menjadi faktor utama untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan, bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap penghentian tindak pidana pembunuhan atau tindak pidana lainnya. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kejahatan/kriminal lainnya, tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem lainnya seperti problem struktural (kemiskinan, pendidikan rendah), dan aparat hukum/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme, hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis (baca: konsekwensi perjuangan) untuk tetap dan terus atau bahkan meningkatkan radikalisme dan militansi dalam melakukan suatu tindakan. Sementara itu, praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminatif. Hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok masyarakat menengah keatas yang (diduga) melakukan tindak kejahatan serius. Para pelaku korupsi dan pelaku pelanggaran berat HAM yang mengakibatkan banyak jatuh korban dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati. Patut dicatat bahwa penerapan hukuman mati menunjukkan kontradiksi aturan hukum di Indonesia. Pelaksana hukuman mati selalu mengatakan bahwa hukuman mati sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal dalam amandemen kedua UndangUndang Dasar 1945 tahun 2000, telah menjamin hak untuk hidup setiap warganegara Indonesia. Dalam pasal 28 I dikatakan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun.” Tidak hanya di aturan hukum, dalam hal sikap politik Pemerintah Indonesia juga memperlihatkan sikap yang bertentangan dalam soal hukuman mati. Pemerintah (dimasa Presiden Megawati) pernah
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada Kartini, seorang Tenaga Kerja Perempuan, dengan alasan kemanusiaan. Namun, hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati Warga Negara Asing di Sumatera Utara tahun lalu dan Astini, pertengahan Maret 2005 di Jawa Timur. Penerapan hukuman mati juga kontraproduktif bagi penjaminan pekerja hak asasi manusia di Indonesia. Para pekerja HAM dan masyarakat yang pro penegakkan HAM di Indonesia sangat berkepentingan agar kasus pembunuhan Munir diungkap. Dengan terbongkarnya kasus pembunuhan terhadap Munir akan banyak pelajaran yang bisa diambil untuk penghormatan HAM kedepan di Indonesia. Tetapi upaya pembongkaran kasus Munir sempat terhambat karena Pemerintah Belanda tidak mau “kooperatif ” dalam hal menyerahkan beberapa bukti pembunuhan Munir. Hal ini terjadi karena Pemerintah Belanda terikat dengan protokol (6) Konvensi Eropa mengenai penghapusan hukuman mati. Konsekwensinya Pemerintah Belanda tidak akan bekerjasama, termasuk dengan Indonesia, dalam sebuah proses atau upaya hukum yang ancaman hukumannya berupa hukuman mati bagi pelakunya. Tidak Bertanggungjawab Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung (Jaksa Agung, Abdurrahman Saleh) mengajukan sebuah tata cara baru dalam pelaksanaan hukuman mati; dari cara ditembak menjadi digantung atau disuntik mati. Persoalannya, bukan pada perubahan cara, tetapi penghukuman harus dihentikan. Perubahan cara hukuman mati tidak akan berpengaruh apapun bagi upaya membangun penegakan hukum yang lebih manusiawi. Perubahan cara dengan menggunakan dalih meminimalisir derita terpidana, hanya ilusi seakan-akan ada perubahan cara hukuman mati ke bentuk yang lebih manusiawi. Padahal hukuman mati, dengan cara perubahan apapun, terus dilaksanakan. Oleh karenannya, pilihan cara tidak dapat menjadi pembenaran untuk melaksanakan hukuman mati. KontraS juga mempertanyakan sikap Kejaksaan Agung yang menolak memberi informasi jumlah terpidana mati, data terpidana yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan terpidana mati yang tengah menanti eksekusi. Sikap tersebut adalah sikap yang tidak bertanggungjawab, bertentangan dengan prinsip dasar dari penegakan hukum yang demoktaris, bahkan standar minimum hukum acara pidana yang menghormati hak-hak asasi terpidana. Seharusnya, data diatas tidak dikategorikan “rahasia negara”. Sikap kejaksaan Agung malah membangun kecurigaan publik terhadap ketidakberesan pelaksaan hukuman mati, misalnya kondisi terpidana mati dalam tahanan. Padahal, publik memiliki kebebasan untuk memperoleh informasi, apalagi menyangkut pelaksanaan putusan hukum. Sifat putusan hukum perkara pidana maupun perdata adalah terbuka, sehingga alasan menutup-nutupi pelaksanaan hukuman mati hanya dibuat-buat. Kejaksaan Agung tidak dapat menutup akses publik atas informasi soal hukuman mati menggunakan Alasan bahwa hukuman mati merupakan persoalan yang “sensitif ”, dan mendapat sorotan tajam di dalam negeri serta di luar negeri. Sorotan publik didalam negeri dan diluar negeri harus dilihat secara kontruktif bagi upaya penegakan hukum yang demokratis.
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
4
BERITA UTAMA
Berdasarkan realitas yang ada inilah, KontraS mendesak : · · · · ·
Untuk menghentikan berlangsungnya eksekusi bagi terpidana hukuman mati dalam waktu dekat. Untuk itu perlu adanya upaya intervensi politik dari Presiden. Presiden SBY kiranya juga dapat meninjau ulang rencana eksekusi Jaksa Agung bagi terpidana mati yang grasinya ditolak Presiden pada periode lalu (lihat lampiran). Selanjutnya, Presiden hendaknya dapat segera meratifikasi Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut kedua Protokol Tambahannya (Optional Protocol I & II), sebagaimana yang telah tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 20042009. Secara strategis dalam jangka panjang, perlu dilakukan pencabutan hukuman mati di berbagai produk hukum Indonesia, mulai dari KUHP dan beberapa UU yang relevan. Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat petisi menolak pemberlakuaan hukuman mati ke Presiden/DPR. Bila penghapusan hukuman mati itu dilakukan baik melalui mekanisme hukum atau politik, berarti mengangkat martabat Indonesia dimata komunitas internasional sebagai salah satu negara yang menghargai Hak Asasi/Hak Fundamental dari seorang manusia.***
Daftar Terpidana Mati yang Segera Dieksekusi
5
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
BICARA
Hukuman Mati, Bukan Sekadar Penerapan Hukum Positif Oleh Usman Hamid* PENERAPAN hukuman mati terus diperdebatkan sejumlah kalangan, pemerintah dengan masyarakat dan dalam masyarakat sendiri, sebagaimana terlihat pada polling Kompas. Berlangsungnya pro kontra yang cukup lama ini bisa jadi menemui jalan buntu jika seandainya pemerintah, para hakim dan pembuat undang-undang di Senayan tidak mampu mengambil langkah inovatif yang manusiawi atas kontroversi ini. Pertentangan undangundang secara hierarki, dualisme produk hukum setingkat undangundang, ambiguitas sikap pemerintah memandang hukuman mati, kewajiban moral internasional pemerintah Indonesia terhadap sejumlah ketentuan internasional adalah sederetan persoalan yang harus dijawab dan dijelaskan kepada masyarakat, untuk mengakhiri pro kontra tersebut. Termasuk bagaimana semestinya kita memandang polemik ini agar supaya nasib para terpidana mati itu memperoleh kejelasan, kejelasan yang bisa jadi sesuatu yang sangat menyedihkan dan tidak pernah diharapkan sebelumnya oleh para keluarganya dan sebagian masyarakat. Rasanya kita perlu menguraikan awal mula perdebatan penting ini, minimal kita dapat mengerti letak persoalannya untuk selanjutnya menentukan sikap. JIKA saya tidak salah, awal mula hangatnya perdebatan ini dipicu oleh belum dieksekusinya sejumlah putusan hukuman mati yang dijatuhkan para hakim di beberapa pengadilan hingga membuat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) tampak kesal. Pasalnya, sang Menteri meminta agar terpidana mati dapat segera dieksekusi, namun eksekusi tak kunjung dilakukan. Penolakan presiden atas permohonan grasi sejumlah warga negara yang menerima putusan pidana mati itu kembali menegaskan sikap resmi pemerintah untuk menerapkan hukuman mati. Walhasil, penolakan tersebut mendapat berbagai reaksi keras. Kalangan ornop HAM menilai hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 I butir 1 UUD 45 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Artinya, seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana, harus diubah. Pada pijakan ini, presiden dianggap tidak memiliki alasan yang cukup untuk menentang ketentuan konstitusi tersebut. Sebaliknya, banyak pendapat yang setuju atas penerapan hukuman mati. Sejauh tidak bertentangan dengan asas konstitusionalitas, mereka berpendapat hukuman mati masih perlu diterapkan untuk kejahatan tertentu. Mereka menyatakan sepanjang hukuman mati masih dicantumkan di undang-undang seperti KUHP, maka penerapan hukuman mati tentu harus dilakukan, tidak bisa dihindari. Salah seorang anggota Komnas HAM menunjuk ketentuan UUD 45 Pasal 28 J yang menyebut adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan dalam pasal yang sama, yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.” (Kompas, 18/2). Termasuk yang setuju dengan pendapat ini adalah Menteri Kehakiman dan HAM serta Ketua Mahkamah Agung (MA). Ironisnya, Ketua MA mengatakan bahwa pihaknya tidak mempunyai sikap apa-apa mengenai hukuman mati karena hanya melaksanakan
ketentuan undang-undang yang berlaku. Menurut dia, selama ketentuan UU dalam hal-hal tertentu masih mengancamkan pidana mati memang hakim diberi kemungkinan untuk menjatuhkan hukuman mati itu (19/ 2). Begitu sempitkah pandangan Hakim Agung kita? DARI segi legalistik, apakah adanya undang-undang seperti KUHP yang mengandung ancaman pidana mati, sertamerta menjustifikasi eksekusi hukuman mati? Bagaimana dengan undang-undang yang lain? Sebut saja misalnya, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga menjamin hak-hak seperti yang tertera di dalam UUD 45. Di situ jelas dan tegas dikatakan bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan seterusnya, adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.” Kalau demikian halnya, apakah dualisme hukum seperti ini yang merupakan sumber masalah, para pembuat undang-undang, atau justru masalahnya ada pada itikad baik pemerintah, terutama presiden. Tentu tidak sulit sebenarnya untuk menjawab pertanyaan ini, seandainya saja kita mau jujur. HUKUMAN mati, yang biasa disebut capital punishment atau death penalty, merupakan isu yang telah diperdebatkan cukup lama dalam berbagai forum internasional. Tahun 1994, ketika UN General Assembly mempertimbangkan perlunya sebuah resolusi untuk me-restrict hukuman mati dan mendorong moratorium untuk eksekusi-eksekusi tersebut, Singapura menyerukan bahwa hukuman mati bukan sebuah isu HAM. Akhirnya 74 negara abstain dalam voting dan resolusi tersebutgagal. Meski demikian, negaranegara penentang hukuman mati yang terus meningkat tetap menempatkan hukuman mati dalam konteks hak asasi manusia. Tahun 1997, UN High Commission on Human Rights menyetujui sebuah resolusi yang menyatakan bahwa “abolition of the death penalty contributes to the enhancement of human dignity and to the progressive development of human rights.” Catatan Pusat Informasi Hukuman Mati (Death Penalty Information Center) menunjukkan, dalam upaya penghapusan hukuman mati, negara-negara anggota Council of Europe telah membentuk sebuah protokol (6) pada Konvensi Eropa tentang HAM yang menuntut penghapusan hukuman mati. Begitu juga dengan Konvensi Amerika tentang HAM dengan protokol tambahan mendukung pengakhiran hukuman mati. Bahkan, penghapusan hukuman mati yang disyaratkan Uni Eropa terhadap negaranegara yang sedang mengajukan keanggotaannya, telah membuahkan penghentian di banyak negara Eropa Timur. Russia bahkan mengubah hukuman mati bagi 700 orang yang tengah menunggu eksekusi, dan sedang mempertimbangkan perubahan legislasi menuju penghapusan hukuman mati. Polandia, Yugoslavia, Serbia, dan Montenegro sudah memutuskan penghapusan hukuman mati, kecuali di waktu perang. Dengan melihat perkembangan dunia seperti itu, masihkah kita ingin mengasingkan diri atas nama kesetiaan pada hukum positif ? MEMBANGUNKAN konsensus dalam masyarakat kita tentu tidak mudah, termasuk di antara bangsa-bangsa. Harus melewati perjuangan panjang dan melibatkan semua kalangan, baik masyarakat dan pemerintah. Tentu ini merupakan tantangan berat bagi human rights defender saat ini. Amnesty Internasional adalah salah satu organisasi HAM yang terus konsisten memperjuangkan penghapusan hukuman mati. Hingga saat ini, setiap tahunnya, Amnesty mengeluarkan laporan HAM yang menyebut sejumlah negara yang masih mempertahankan penggunaan
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
6
BICARA hukuman mati. Menurut Amnesty, pada tahun 1986 sebanyak 46 negara telah menghapus hukuman mati untuk kajahatan biasa (ordinary crimes). Enam belas tahun kemudian (tahun 2002), bertambah menjadi 89 negara. Di luar dari jumlah tersebut, terdapat 22 negara yang telah menghentikan praktik penerapan hukuman mati, meski hukum positif tentang penggunaan hukuman mati itu masih berlaku. Dengan demikian, negara yang menentang penggunaan hukuman mati seluruhnya berjumlah 111 negara, melebihi jumlah 84 negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Menurut William Schabbas, 15 tahun yang lalu perdebatan soal hukuman mati tidak muncul mengingat banyaknya negarapendukung hukuman mati. Dengan melihat catatan Amnesty tadi, dapat kita bayangkan betapa dramatisnya perubahan global dunia menentang penggunaan hukuman mati, setelah selama berabad- abad, hampir seluruh negara di mana pun menerapkan hukuman mati.
BERKAITAN hukuman mati, Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik (Pasal 6 butir 1) disebutkan, “every human being has the right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.” Dalam butir selanjutnya dijelaskan bahwa di negara-negara yang belum menghapus penggunaan hukuman mati, vonis mati boleh diterapkan hanya untuk kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes) sesuai hukum yang berlaku pada saat tindak kejahatan dilakukan dan tidak bertentangan dengan provisi-provisi Kovenan ini dan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
Alasan penghapusan hukuman mati di negara-negara itu bervariasi. Sebagian dari mereka dikarenakan pengertian yang lebih luas tentang arti hak asasi manusia. Spanyol, meninggalkan hukuman mati dengan menyatakan; “what more degrading or afflictive punishment can be imagined than to deprive a person of his life.” Switzerland menghapus hukuman mati karena the death penalty constituted “a flagrant violation of the right to life and dignity” (hukuman mati merupakan sebuah pelanggaran yang keji dari hak atas hidup dan martabat).
Kovenan ini menegaskan, “Siapa pun yang divonis mati harus memiliki hak untuk memperjuangkan pemaafan atau pengurangan hukuman dari vonis yang dijatuhkan. Pengampunan, pemaafan atau pengurangan hukuman dari vonis mati dapat diberikan pada semua kasus.” Meskipun Indonesia tidak meratifikasi kovenan tersebut, bukan berarti kemudian pemerintah begitu saja mengabaikan moralitas kewajiban internasionalnya sebagai bangsa yang beradab. Tentu kita masih ingat kasus Kartini, seorang TKW yang diancam pidana mati di bawah yurisdiksi hukum negara lain. Kalau tidak salah, ketika itu pemerintah dengan cukup gigih menentang rencana penerapan hukuman mati terhadap warga negaranya yang bekerja di Saudi Arabia.
Terakhir, seorang hakim Constitutional Court di Afrika Selatan melarang hukuman mati dalam konstitusi baru dan menyebut hak atas hidup sebagai “hak-hak yang paling terpenting dari semua hak asasi manusia... dan ini harus ditunjukan oleh negara dalam semua tindakannya, termasuk cara menghukum kriminal.”
Kemungkinan lemahnya objektivitas penyelidikan, resiko-resiko fatal error yang muncul atau menjatuhkan hukuman secara salah adalah sedikit dasar pijakan pemerintah menentang hukuman mati tersebut. Kalau memang saat itu bisa dilakukan, kenapa saat ini pemerintah tidak mau?*** * Koordinator Kontras Dimuat di Harian Kompas, Jumat, 28 Februari 2003
Surat Buat Presiden
Suara Korban
Kepada yth: Presiden Republik Indonesia Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono Di- Jakarta Dengan Hormat, Bersama surat ini kami terpidana mati sesuai putusan Mahkamah Agung Reg. N0 72 PK/PID/2002, mengajukan permohonan grasi. Dengan nomor 01/TP. HAM/II/2005, yang diajukan penasehat hukum kami. Akan tetapi kami secara pribadi melampirkan beberapa kejadian/kronologi sebagai baham pertimbangan bapak presiden, yang semula sudah kami sampikan beberapa waktu yang lalu akan tetapi tidak ditindak lanjuti para oknum-oknum yang menangnai perkara kami. Kami sangat kecewa dan merasa dipermaikan padahal kebenaran sudah kami ungkapkan. Pada kesempatan inilah kami memohon kepada bapak presiden dapat menyikapi suara hati kami orang kecil yang dijadikan korban/tumbal oleh oknum-oknum yang berperan sehingga terciptanya konflik yang hingga sampai saat ini yang tidak tersentuhn oleh hukum. Putusan mati bagi kami yang dikeluarkan oleh mahkamah agung bukanlah suatu jalan keluar utama terciptanya perdamaian di kota Posso yang dikenal dengan semboyan “Sintuwu Maroso” yang artinya persatuan, tetapi yang pasti yang di idam-idamkan masyarakat umumnya yaitu kebenaran secara hukum harus disingkirkan. Demikian surat keterangan ini kami buat dengan benar walau segala kemungkinan resiko yang akan kami terima akibat penyampaian kami. Kami yakin bapak Presiden dapat menerima dengan bijaksana suara hati kami yang menjerit sebagai orang kecil. Kami hanya dapat berdoa semoga kebenaran akan berfihak kepada yang benar sehingga kedamaian, kerukunan dan rasa aman tercipta di bumi Sintuwu Marosso, yaitu kota Posso yang sama-sama kami cintai. Terimkasih. Damai sejahtera menyertai kita semua. Palu, April 2005 Fabianus Tibo
7
Marinus Riwu
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
Dominggus Dasilva
SUARA KORBAN
“Saya Ingin Mati Di Tengah-tengah Perjuangan” Oleh: Anwar Umar Tidak pernah terpikir sedikitpun dalam benak lelaki tua ini perjalanan hidupnya. Ia hanya bisa pasrah menjalani semuanya. Meski kepahitan, penderitaan dan duka seakan tak henti menjadi teman hingga usia tuanya. Pria yang menghabiskan sebelas tahun di penjara ini, hanya bisa berjuang hingga sisa hidupnya. Berjuanguntuk mencari keadilan dan hukum atas apa yang tidak pernah ia lakukan.
Anwar Umar (76 thn), belum genap enambelas tahun mendaftarkan diri untuk ikut BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Lampung. Saat itu dirinya hampir ditolak lantaran usianya yang masih sangat muda. Toh, akhirnya ia dipercaya menjadi “mata-mata” Jepang. Tugasnya mengawasi barak-barak Jepang, termasuk menyelidiki kekuatan senjata dan jenis senjata yang dipergunakan Jepang. Dari sinilah perjalanan karier Umar dimulai. Di tahun 1950 ia sudah diangkat menjadi Sersan, tahun yang sama ia sempat pindah ke Jakarta saat revolusi milter meletus. Di tahun yang sama ia juga mengundurkan diri dari BKR. Setelah beberapa lama menetap di Jakarta, Umar kembali ke Lampung. Niatnya untuk kembali ke kesatuan tidak memungkinkan lagi. “Saat itu kesatuan sudah terpecahbelah. Akhirnya saya malah diangkat sebagai staf Gubernur, merangkap staf Perwakilan Pemerintahan Lampung yang masih ada di Jakarta,” kata Kakek dari belasan cucu ini. Ketika peristiwa 65/PKI meletus, kondisi di Lampung-pun sudah sangat panas. Semua orang-orang partai sudah habis ditangkap. Umar sendiri mengakui secara resmi tidak tergabung dalam partai. Namun, ia dipercaya menjadi Sekjen/memimpin Serikat Buruh Se-Indonesia, Non Partai yang ada di Lampung. Salah satu bupati yang mengenalnya, menasehatinya segera meninggalkan Lampung dan berangkat ke Jakarta, lantaran situasi Lampung yang sudah begitu memanas. Sebelum meninggalkan Lampung, Umar sempat menandatangani surat pernyataan sebanyak 3 lembar yang menyatakan ia tidak terlibat dalam organisasi/kegiatan apapun dalam partai PKI. Dibawa Ke LP Jatinegara Akhirnya pada 23 Oktober 1965 Ayah dari 8 orang putra berangkat ke Jakarta tepatnya di daerah sekitar Percetakan Negara. Sampai malam hari, dan belum lagi menginap, datang seseorang yang mengaku utusan RW. Utusan ini menyuruh Umar datang melapor ke rumah Pak RW. Umar pun segera menuju rumah RW, disana ia tidak menemui pak RW. Malah telah berkumpul banyak militer. Salah seorang diantaranya sambil menghunus senjata menyuruh Umar duduk dengan kasar. “Saya tanya, dimana Pak RW, salah seorang militer itu menjawab pergi. Militer lainnya memanggil saya, sambil berteriak ‘siapa yang namanya Anwar Umar’. Berapa kali ditanya saya hanya diam. Akhirnya saya jawab sambil berdiri. Ternyata mereka takut juga dengan sikap saya, karena dalam ilmu kemiliteran kalau sudah seperti itu kita tinggal duel. Akhirnya dia bilang ‘Duduk saja pak. Tenang-tenang,” ungkap
Umar.Sambil menerawang seakan membuka lembaran hitam yang ingin dilupakannya, Umar meneruskan kisahnya. Malam hari itu ia dibawa ke pos lain yang berada di depan Gedung Mis Tjijih, sekitar Pasar Senen Jakarta. Disini ia sempat ditahan satu malam tanpa diberi makanan. Lapar pun menyerang, terlebih Umar tidak membawa uang sepeserpun. Dirinya hanya bingung, mengapa ia ditangkap dan ditahan. Setelah itu sekitar jam 10.00 siang ia dipindahkan ke Jatinegara. “Disitu, dihalaman gedung Widana, yang halamannya luas, banyak sekali orang yang ditahan, jumlahnya sekitar 800 orang. Setelah 3 hari memblundak hingga 3 ribuan. Satu kompi PM berjaga-jaga. Kapasitas sel kamar tahanan ditempati hampir 60 orang. Malam hari kami tidak bisa tidur, hanya duduk saja. Lantaran udara yang begitu panas, beberapa orang meminum air seninya sendiri. Setelah beberapa hari, kami dipindahkan ke penjara Cipinang sekitar jam satu siang. Semua pakaian kami dilucuti hanya tinggal baju singlet dan celana dalam. Di siang bolong itu, kami disuruh merangkak kodok menuju sel, panas luar biasa. Kalau menengok belakang saja langsung ditendang. Di Sel semakin sempit dan sesak karena dimuatin sebanyak 45 0rang,” ujar Umar. Seakan mengumpulkan sisa-sisa kisah yang tak pernah bisa dilupakan ini, Umar melanjutkan cerita, bagaimana ia dan teman-teman selnya selama satu minggu tidak menerima makanan dan minuman. Mereka hanya dibiarkan begitu saja. Setelah satu minggu berlalu, datang keluarga yang menjenguknya sambil membawa makanan. Saat itu Umar kembali bersedih. Ia ingin membagi makanannya tersebut, tapi tidaklah mungkin cukup untuk seluruh tahanan. Waktu terus berjalan dengan lambatnya. Tanpa sanggup mengingat berapa lama sudah berada dalam tahanan, akhirnya Umar harus kembali menjalani siksa lainnya. Siksa fisik yang membekas dan meninggalkan luka batin tersendiri. Umar menuturkan, hari itu ketika ia baru memasuki halaman sudah mendengar jeritan menyayat dari seorang wanita yang sedang disiksa/diinterogasi. Saat itu ia berkata pada dirinya sendiri, tidak akan menjerit bila disiksa. Ketika ia disetrum, tangannya diikat rapat dengan kawat dan distrum dengan kapasitas Aki 20 Volt, Umar menjerit mengeluarkan suara kesakitan sangat keras. Tubuhnya melambung hingga keatas. Saat itu ia dipaksa mengaku dan menandatangani surat, yang menyatakan ia terlibat dan merencanakan sesuatu untuk NKRI. Tapi Umar tidak mengakui perbuatan itu dan ia harus menerima siksaan atas sikapnya ini. “Siksaan terus berlanjut. Setelah itu saya dibawa ke ruang lain. Disana telah ada beberapa orang polisi (kalau tidak salah satunya jaksa penuntut), dan kembali saya disiksa. Tubuh saya dihantam dengan kursi jati hingga kursi itu rontok. Tak cukup sampai disitu, siksaan terus berlanjut. Kepala saya dibenturkan ketembok berkali-kali. Untung saja karena selalu
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
8
SUARA KORBAN menggunakan peci maka kepala saya masih agak terlindungi. Karena beratnya siksaan ini saya lalu berkata, lebih baik saya ditembak saja biar mati sekalian. Penyiksaan dihentikan sebentar. Di sel ada teman yang membisiki agar saya mau menandatangani pernyataan tersebut, daripada mati atau cacat seumur hidup. Bila nanti bila pekara ini dibawa kepengadilan baru kita tolak. Akhirnya saya menerima ide tersebut dan menandatangani pernyataan tersebut,” tutur Umar sambil berkaca-kaca. “Menetap” Di penjara Tangerang Setelah itu Umar kembali dipindahkan ke penjara Cipinang. Tapi hanya beberapa hari saja. Lalu ia kembali dibawa ke Salemba. Kapasitas penjara yang hanya 800 orang sudah diisi hingga mencapai 3 ribu lebih tahanan. Satu sel dihuni 5 orang dan kembali ia tidak Aksi di Depan Kedubes India bisa tidur. Tapi ia hanya semalam, lalu dipindahkan ke penjara Tangerang. Kehidupan penjara dan siksa yang ada membuat banyak tawanan yang mening gal dunia lantaran kelaparan dan sakit/tidak dirawat. Nasi yang diberikan dicampur dengan kaca atau pasir. Hampir setiap hari ada saja yang meninggal setelah “menyantap” menu tersebut. Tak butuh waktu lama, rata-rata tawanan meninggal karena mengalami pendarahan usus. Demikian juga yang dialami oleh Umar. Waktu itu kabarnya ia akan dipindahkan ke Pulau Buru. Namun, karena kondisi kesehatan yang sangat buruk, membuatnya tidak jadi ‘berangkat”. Saat itu ia sedang menderita busung lapar, malaria dan matanya sudah kuning. Ia hanya mendengar cerita dari teman-teman yang ada, Pulau Buru adalah hutan belukar yang tidak pernah dijamah manusia. Ada beberapa penduduknya yang bahkan setengah primitif. Kemudian Umar ditahan di Salemba sambil menjalani rehabilitasi. Disini tiap minggu ia memperoleh pemeriksaan kesehatan. Setelah hampir enam bulan, kesehatannya sudah mulai pulih hingga ia dipindahkan kembali. Sementara itu, dalam lingkungan penjara ada proyek pertanian dan perternakan yang hasilnya untuk kepentingan militer. Umar berpikir untuk menyegarkan badan lebih baik ia ikut/bekerja di proyek tersebut. Selama lebih satu tahun Umar bekerja menanam sayur-mayur. Ia tidak memperoleh apapun untuk jerit payahnya ini, hanya mendapatkan jatah makanan. 26 September 1976 Umar bebas. Tapi ia masih dikenai tahanan rumah selama tiga bulan, dan tahanan kota selama 6 bulan, baru setelah itu ia bisa bebas sepenuhnya. Tapi kondisi yang ada saat itu membuatnya tetap tidak bisa bebas. Mereka masih tidak diperbolehkan untuk menerima tamu, mengikuti rapat/kegiatan-kegiatan lainnya. “Di KTP saya ada tanda ET. Meski sekarang KTP saya tidak lagi bertanda ET, tapi saya tidak mendapatkan KTP seumur hidup selayaknya oarngorang yang sudah berumur diatas 65 tahun. Mereka menganggap saya masih ada masalah. Tapi saya sendiri tidak peduli, bagi saya kemana saya pergi tidak akan berbuat kesalahan,” tegas Umar.
9
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
Tahun 1998 Umar mulai bergerak kembali. Ia ikut dalam demodemo mahasiswa yang sedang marak saat itu menentang rezim orde baru. Saat Ulang Tahun LBH di tahun 1998, Umar mendapat kesempatan untuk menyampaikan orasi. Di depan Ali Sadikin, Adnan Buyung Nasution serta undangan lain yang hadir, Umar menyampaikan orasinya yang berjudul “Anak Desa Masuk Kota Melawan Suharto.” “Dari situ saya terus bergerak dan bergabung dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Hal terpenting dalam perjuangan kami adalah membebaskan teman-teman yang belum dibebaskan. Saya juga menjadi salah satu yang mengorginir keluarga tahanan. Hal ini sengaja saya lakukan karena di rumah saya hanya seorang diri. Isteri saya menikah lagi saat saya sedang dalam penjara. Saat keluar saya “ditampung” oleh isteri saya meski hanya beberapa hari. Sesuai peraturan penjara, bila tidak ada keluarga yang menampung maka akan ditampung oleh salah satu organisasi. Dok Kontras Berjuang Untuk Meraih Keadilan Mata Umar berkaca ketika menceritakan derita keluarganya. Anakanak yang pendidikannya rendah, yang ikut merasakan pahitnya hidup ditinggal sang ayah. Bahkan salah seorang anaknya bunuh diri saat Umar berada di penjara. Sang anak putus asa karena tidak tahu bagaimana kabar ayahnya. Ironisnya, Umar sendiri baru mengetahui saat ia keluar dari penjara. Hubungan terpisah yang terlalu lama, menyebabkan hubungan Umar dan anak-anaknya kurang akrab dan harmonis. Kini Umar menjalani hari-hari tuanya sendiri, disebuah kamar sewaan kecil di Jakarta. Lelaki tua yang masih gagah ini mengerjakan sendiri semua kebutuhannya. Mulai dari mencuci baju, menyetrika dan memasak. Tidak ada uang pemasukan yang pasti. Dari ketrampilan mengurut yang dimilikinya, Umar mencoba bertahan hidup. Baginya sudah cukup bila ia sudah memiliki sedikit minyak tanah, beras, kecap dan garam untuk meneruskan hidupnya sehari-hari. “Saya memang sendiri dan hidup sendiri. Tapi saya ingin terus berjuang. Bila saya meninggal jangan di kamar atau di atas kasur yang “tidak ada artinya”. Saya ingin mati ditengah-tengah perjuangan bersama teman-teman lainnya. Inilah fokus utuma perjuangan saya. Hanya itu harapan saya, karena saya tidak menginginkan apapun,” ungkap Umar sambil tersenyum lirih. Keinginan Umar kini hanya meminta keadilan. Bila bisa ia ingin namanya direhabilitasi bahkan bila mungkin ia mendapatkan kompensasi untuk semua derita yang telah dirasakan. Disamping itu Umar tetap akan berjuang. Ia juga mengharap pemerintah tidak melakukan diskriminasi bagi dirinya serta korban-korban 65 lainnya. Hingga kini, Umar sadar masih ada anggapan bahwa kejahatan yang terberat di Indonesia adalah 65. Tapi, sampai kini-pun pemerintah belum mengklarifikasi kejadian sebenarnya dan siapa tokoh utama dari peristiwa 65. Umar terus berjuang agar keadilan dan hukum ditegakkan serta benar-benar dijalankan.***
JEJAK SANG PEJUANG
Setelah Pollycarpus, Siapa Tersangka Lain? Pilot senior Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, resmi dijadikan tersangka kasus pembunuhan Munir. Berikutnya, dua kru garuda, Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti, dijadikan tersangka. Sementara, Mantan Sekretaris Utama BIN, Nurhadi Djazuli, sempat menolak diperiksa. Presiden-pun memperpanjang masa kerja Tim Pencari Fakta (TPF). Ada banyak bukti baru ditemukan, Siapa menyusul Pollycarpus? Enam bulan sudah pengusutan kasus terbunuhnya Munir berjalan. Kerja keras yang dilakukan oleh Tim Pencari fakta (TPF) memanglah tidak mudah. Dan, rasanya kondisi ini bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Apalagi kasus terbunuhnya aktivis pejuang HAM ini sangat sarat dengan muatan “POLITIK”nya. Semua ini menjadi pekerjaan kita bersama dan patut mendapat perhatian khusus. Munir dibunuh ditengah situasi kebebasan berdemokrasi dibangun di Indonesia. Pembunuhan ini memang telah direncanakan sejak lama untuk akhirnya dilakukan secara sistematis dan konspiratif. Bila kasus ini dibiarkan dan tidak diungkap tuntas akan sangat berbahaya, terlebih mengingat buruknya reputasi pengadilan di Indonesia. Bukan hanya diperlukan perhatian dari masyarakat, pada akhirnya dukungan dunia internasional kita perlukan untuk terus-menerus mengawasi, agar kasus ini dapat diungkap dengan jujur, transparan dan adil. Di awal Maret 2005, pertemuan TPF dengan pihak Manajemen Garuda (waktu itu dipimpin langsung Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan), di kantor Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, telah menemukan fakta bahwa selama ini, Manajemen PT.Garuda Indonesia tidak melakukan investigasi internal terkait dengan terbunuhnya Munir. Menurut Ketua TPF, Brigadir Jenderal (Pol) Marsudi Hanafi, investigasi internal ini harus dilakukan pihak Maskapai Penerbangan, seperti tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 1992. Bahkan, pihak Garuda, tidak memiliki komitmen untuk membantu proses pengungkapan kasus secara cepat. Dari pertemuan itu tersirat bahwa ada pihak-pihak tertentu (dari Garuda) yang bersikap defensif. Dari pertemuan dengan Garuda, TPF mengambil kesimpulan sementara bahwa pembunuhan Munir merupakan konspiratif. Dan hal diutarakan TPF kepada Presiden SBY di Istana Negara. Artinya, TPF tidak menemukan indikasi pembunuhan ini dilakukan perseorangan dengan motif pribadi. Dari dua kali pertemuan yang dilakukan dengan pihak Garuda, adanya indikasi kuat keterlibatan anggota direksi dan pegawai Garuda, baik secara langsung maupun tidak. Bukti yang menunjukkan argumen diatas adalah tiga lembar surat yang dikeluarkan Garuda. Ketiga surat tersebut sarat dengan kejanggalan. Satu surat ditandatangani sendiri oleh Indra Setiawan, yang kedua oleh Ramelgia Anwar, dan satu lagi sebuah nota yang diteken Sekretaris Kepala Pilot Airbus 330, Rohainil Aini. Semuanya berhubungan dengan satu orang, yakni pilot Pollycarpus Budihari Priyanto, Pilot pesawat Airbus 330, yang sudah 19 tahun berkarier di Garuda.
Polly yang pernah bergabung sebagai penerbang Associated Mission Aviation di Sentani, Papua, memang sebelumnya telah menjadi “buah bibir” lantaran Polly-lah yang memberikan kursinya yang bernomor 03 K di kelas bisnis kepada Munir, yang hanya mengantongi tiket ekonomi kursi nomor 40 G. Tiga Surat yang Mencurigakan Tiga salinan surat yang dimiliki TPF, jelas sekali menyebut (ditujukan) untuk pilot Pollycarpus. Surat pertama yang ditandatangani Indra Setiawan adalah surat penugasan bertanggal 11 agustus 2004. Bagi TPF (dan juga tim gabungan DPR), menyimpulkan bahwa lazim penunjukkan seorang pilot untuk menjadi tenaga bantuan di unit keamanan perusahaan garuda ditandatangani langsung oleh Direktur Utama. Surat kedua yang dikeluarkan Ramelgia Anwar juga sangat mencurigakan. Surat itu mencantumkan tanggal 4 September, dua hari sebelum pesawat yang ditumpangi Munir. Tanggal itu jatuh pada hari sabtu, saat kantor Garuda tutup dan tak mungkin mengeluarkan surat sejenis itu. Tapi, setelah melalui proses interogasi polisi, belakangan terungkap, ternyata surat itu sebenarnya dibuat pada tanggal 15 September, dan baru ditandatangani Ramelgia pada 17 September. Artinya, sepekan lebih setelah Munir meninggal. Berdasarkan kondisi ini, ada dua kemungkinan, Pertama, adminitrasi Garuda yang amburadul atau, kedua, ada upaya untuk menutupi fakta tertentu yang terkait dengan pembunuhan Munir. Sedangkan selembar surat lainnya, nota bertanggal 6 September itu diteken oleh Rohainil Aini. Sebagai sekretaris, staf Adminitrasi ia jelas bukan orang yang memiliki wewenang untuk menandatangani surat berisi perubahan jadwal terbang bagi Pollycarpus. Otoritas itu ada pada Kepala Pilot Airbus 330, Kapten Karmel S, yang ketika itu tengah bertugas di luar negeri. Dari pemeriksaan yang ada, terungkap bahwa Polly datang ke kantor pusat Garuda di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, menemui Rohainil (6/9) pukul 16.30 WIB. Menjelang tutup kantor, Polly mendesak agar dibuat surat “pengubahan jadwal” terbang, agar ia bisa ikut naik pesawat GA974 menuju Singapura dan kembali ke Jakarta dengan penerbangan paling pagi.
Dugaan Keterlibatan Intelijen Selain adanya keterlibatan PT Garuda Indonesia, TPF juga mengemukakan keterlibatan PT Angkasa Pura II terkait dengan 700 titik
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
10
JEJAK SANG PEJUANG sistem perekam keamanan (CCTV) yang dioperasikan dua operator. Rekaman CCTV itu dinilai tidak akurat. Pihak PT Angkasa Pura II sendiri mengemukakan perekaman dilakukan secara acak berdasarkan permintaan. Hal ini jelas mencurigakan. Untuk itu TPF meminta untuk memeriksa PT Angkasa Pura II, khususnya operator yang bertugas tanggal 6 September 2004. Sementara itu di pertengahan Maret 2005, tim TPF mendapatkan sejumlah informasi dari sumber-sumber yang dirahasiakan, mengenai dugaan keterlibatan (setidaknya mengetahui), dari sejumlah aparat intelijen dalam kasus pembunuhan Munir. TPF menganggap bahwa informasi itu terlalu penting untuk diabaikan, namun terlalu berbahaya untuk dipercayai begitu saja. Penting, karena informasi itu memperkuat salah satu dari kemungkinan motif pembunuhan Munir. Berbahaya, karena informasi itu peka disampaikan oleh pihak-pihak yang merahasiakan identitasnya untuk tujuan yang tidak diketahui. Karenanya, untuk memastikan informasi itu adalah sebuah petunjuk bagi investigasi kasus pembunuhan Munir atau informasi yang justru menyesatkan, TPF menilai perlu untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Termasuk pula Aksi di depan gedung Garuda didalamnya mengecek informasi mengenai keterlibatan lembaga intelijen dalam kasus pembunuhan Munir, dimana BIN adalah salah satu lembaga yang perlu diperiksa. TPF mengharapkan, semua pihak yang mengetahui atau memiliki informasi atau bukti-bukti tambahan yang tersembunyi mengenai kasus Munir untuk menyerahkannya kepada TPF. Selama kasus ini menjadi misteri dan tak bisa diungkap, selama itu pula banyak pihak, termasuk didalamnya TNI dan sejumlah perwira tinggi lainnya, baik yang masih aktif atau telah punarwirawan, akan mendapatkan sorotan yang sama sekali tidak menguntungkan.
Ditahannya Pollycarpus Akhirnya penanganan kasus kematian Munir memasuki babak baru. Setelah memeriksa secara maraton selama lima hari, pada Jum’at (18/03) malam tim penyidik Mabes Polri menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, sebagai tersangka dan menahan Pollycarpus di rumah tahanan Mabes Polri. Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar menyatakan ada indikasi Pollycarpus memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, ada sesuatu yang disembunyikan, dan hal inilah yang menjadi indikator bagi penyidik bahwa diperlukan pendalaman lagi untuk penyelidikan. Sejauh ini, atas dasar ‘ada sesuatu yang disembunyikan’ polisi menyakini bahwa Pollycarpus terkait dengan kematian Munir.
11
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
Hanya sampai kini peran yang bersangkutan belum dipastikan, apakah Pollycarpus bertindak sebagai eksekutor atau hanya berperan membantu dan menyediakan fasilitas. Akan tetapi, Direktur Kriminal Umum dan Transnasional Kepolisian Negara RI (Polri)Brigadir Jenderal (Pol) Pranowo Dahlan menegaskan, polisi memiliki bukti kuat untuk menetapkan Pollycarpus sebagai tersangka. Dimana, tersangka melakukan pelanggaran pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana, junto pasal 55 dan 56 KUHP, plus sangkaan subsider berupa pelanggaran pasal 263 KUHP, tentang pemalsuan dokumen. Dasar-dasar penetapan yang bersangkutan, antara lain adanya laporan polisi, keterangan saksi, dan bukti material. Di sisi lain penugasan Pollycarpus oleh manajemen PT Garuda Indonesia, untuk melakukan supervisi mekanik ke Singapura, dinilai janggal. Mengingat urgensi penugasan terhadap pilot senior yang kini tersangka kasus kematian Munir tersebut lemah. Seharusnya, kebutuhan akan supervisi mekanik biasanya ditangani otoritas penerbangan setempat, dan tidak perlu ada petugas khusus yang didatangkan dari negara asal. Aspek lain yang juga menjadi titik berat penyelidikan adalah usaha memberi tempat duduk kepada Munir selama penerbangan JakartaSingapura. Kegiatan Polly selama penerbangan Jakarta-Singapura, dan kegiatan selama di Bandar Udara Changi, Singapura.
Demo di Garuda Sementara secara terpisah ratusan orang yang tergabung dalam Komite Aksi Pembela Kasus Munir, (bertepatan dengan HUT KontraS yang ke – 7), melakukan aksi unjuk dok. Kontras rasa di depan kantor Garuda di Jakarta. Aksi ini menuntut pihak Garuda Indonesia agar mempertanggungjawabkan keterlibatan pihak Garuda dalam kasus pembunuhan Munir, dan mengungkapkan secara terbuka siapa yang berada di balik kasus tersebut. Sementara KontraS, Imparsial dan isteri Almarhum Munir Suciwati bertemu dengan manajemen Garuda Indonesia. Pertemuan yang berlangsung selama satu jam ini mempertanyakan dugaan keterlibatan pihak Garuda dalam konspirasi pembunuhan Munir. Dalam hal ini Manajemen Garuda diwakilkan langsung Direktur Utama Garuda Indonesia Emisyah Satar (yang menggantikan posisi Dirut lama, Indra Setiawan Pranowo). Pertemuan ini juga mendesak agar pihak Garuda terbuka terhadap semua informasi yang ada.
TPF Diperpanjang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono optimis bahwa TPF dapat mengungkapkan kasus kematian Munir. Oleh karena itu, Presiden memperpanjang masa kerja TPF sampai dengan 23 Juni 2005.
JEJAK SANG PEJUANG Perpanjangan masa kerja TPF ini sebagai salah satu respon dari laporan TPF, bahwa adanya indikasi sejumlah mantan petinggi BIN yang terlibat dalam pembunuhan Munir. Oleh karenanya dibutuhkan waktu agar lebih lama untuk menyelidiki indikasi/temuan tersebut. Sementara itu, lewat suarat bernomor B-201/E.2/Epp./03/2005 tertanggal 18 Maret 2005, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Direktur Pra Penuntutan I Putu Kusa, meminta Kepala kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melakukan kegiatan persiapan penanganan kasus kematian Munir dalam lingkup kegiatan pra penuntutan. Disisi lain, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menjamin tidak akan menuntut hukuman mati bagi pembunuh aktivis HAM Munir, jika nanti tertangkap dan disidangkan. Jaminan itu diberikan sepanjang sesuai dengan prosedur hukum Indonesia. Hal ini terkait dengan sikap pemerintah Belanda yang akan menyerahkan buktibukti penyelidikan, olah tempat kejadian pekara, dan sisa organ tubuh Munir yang telah dioptosi, asalkan Indonesia menjamin pembunuhnya tak dihukum mati. Permintaan itu disampaikan Menteri Kehakiman Belanda J.P.H Donner kepada Jaksa Agung melalui surat pada tanggal 14 Maret 2005. Menuntaskan kasus ini, akan menjadi beban berat bagi Makarim Wibisono (Indonesia) sebagai Ketua Komisi HAM PBB ke-61. Ketua Komisi Tinggi HAM PBB Makarim Wibisono mendukung penyelesaian tuntas kasus pembunuhan Munir. Dukungan itu diberikan Duta Besar Perwakilan Tetap Republik Indonesia (RI) di Jenewa saat bertemu delegasi Kelompok Kerja HAM (Human Right Working Group/HRWG), di Jenewa, Swiss. Delegasi aktivis Koalisi LSM Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional yang dipimpin Rafendi Djamin (Koordinator HWRG) bertemu Makarim di Gedung Komisi Tinggi HAM PBB. Isteri almarhum Munir, Suciwati ikut hadir dalam pertemuan ini. Di luar negeri, protes atas pembunuhan Munir terus mengalir. Kali ini kedutaan Besar Indonesia yang di Filipina yang menjadi sasarannya. Yang mendemo adalah anggota AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappearances-federasi Organisasi Keluarga Orang Hilang) se Asia, yang memang berbasis di Manila Filipina. Sebelum ajal menjemput, Munir adalah Presiden AFAD.
Dua Tersangka Lain Setelah tertunda dua pekan, TPF bertemu dengan Kepala BIN Syamsir Siregar, di kantor BIN, jakarta (6/4), pertemuan dilakukan untuk mengklarifikasi ada tidaknya keterlibatan anggota BIN dalam pembunuhan Munir. Syamsir menyatakan mendukung kerja TPF Munir. BIN juga menempatkan tiga deputi-nya bergabung dalam tim khusus bersama dengan empat orang anggota TPF, yang akan menyusun protokol (semacam prosedur) untuk penyelidikan kasus kematian Munir. Setelah Pilot Garuda Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka, penyidik Mabes Polri menetapkan status yang sama terhadap dua kru garuda, Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti. Keduanya, pada 6 April 2005 menjalani pemeriksaan di Mabes Polri. Mereka ditetapkan sebagai tersangka karena pada penerbangan Garuda GA 974 JakartaAmstredam (via Singapura), mereka bertugas mempersiapkan segala sesuatu/makanan dan minuman untuk penumpang, termasuk untuk almarhum Munir. Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Suyitno Landung menjelaskan racun arsenik masuk ketubuh Munir, diduga pada penerbangan JakartaDok. Kontras Singapura sesuai dengan toksiologi dari pakar Belanda dan Indonesia. Meski belum bisa dipastikan apakah racun tersebut terdapat pada mie goreng atau orange juice yang disantap Munir. Sedangkan TPF Kasus Munir meminta Kepolisian RI mempertimbangkan penetapan Brahmanie Astawati-pramugari senior (parser) yang juga bertugas pada penerbangan GA 974. Alasan dari TPF, Brahmani-lah yang mengizinkan penukaran tampat duduk bagi Munir saat perjalanan Jakarta-Singapura. Brahmanie sendiri menegaskan, ia tidak pernah dimintai izin oleh Pollycarpus untuk memindahkan tempat duduk almarhum dari nomor 40 G (klas ekonomi) ke 3K (klas Bisnis). Menurutnya, Polly hanya memberitahu tentang pemindahan tempat duduk tersebut. Brahmanie mengaku ia tidak kuasa menolak pemindahan seat oleh Polly, meskipun Polly tidak berwenang. Sebab, ketika itu Munir sudah duduk di seat bisnis. Selain itu, ada satu alasan yang bisa dirasakan para awak kabin seperti dia, yakni bahwa pilot ibarat ‘warga kelas satu’ di maskapai penerbangan. Oleh karena itu, sangat sulit menginterupsi keputusan seorang pilot. Brahmanie menolak keras jika dinilai terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir. Ia hanya bertugas sebagai flight service
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
12
JEJAK SANG PEJUANG
manager dari Jakarta sampai Singapura, sementara yang bertugas menggantikannya untuk penerbangan Singapura-Jakarta adalah Najib Nasution. Brahmanie juga menyatakan, sehari sebelum keberangkatan, awak kabin menerima pesanan moslem meal (makanan muslim) untuk kursi 40G kelas ekonomi, yang merupakan kursi ‘asli’ Munir. Ia mengaku tidak tahu siapa yang memesan makanan tersebut. “Saya sudah menyampaikan informasi soal pemesanan moslem meal ini pada polisi. Tapi, selanjutnya tentu terserah polisi. Mereka yang lebih tahu penting atau tidaknya sebuah informasi,” ujar Brahmanie di salah satu media Jakarta. Tolak Diperiksa Mantan Sekretaris Utama BIN yang kini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Federasi Nigeria, Nurhadi Djazuli, menyatakan menolak memenuhi panggilan TPF kasus meninggalnya Munir. TPF dinilai tidak berwenang melakukan penyelidikan yang merupakan wewenang Kepolisian Negara RI. Bagi TPF/ melalui Ketuanya Marsudi Hanafi, penolakan Nurhadi berarti sama saja menghina Presiden karena TPF sendiri berdasarkan Keppres. Rencana memeriksa Nurhadi di kantor Komisi Nasional Perempuan, Jakarta, pertengahan April lalu gagal dilakukan. Nurhadi malah menggelar konperensi pers dan menegaskan bahwa ia tidak akan memenuhi undangan karena menilai TPF Munir bukan penyidik. Sementara itu Departemen Luar Negeri menunda keberangkatan Nurhadi sebagai Duta Besar RI untuk Republik Federasi Nigeria. Sekretaris Jenderal Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat mengakui, penundaan dilakukan atas permintaan TPF berkaitan dengan kepentingan TPF yang membutuhkan keterangan Nurhadi. Monolog Munir Sebuah monolog yang dimainkan oleh Whani Darmawan dipentaskan, Kamis (21/4) di Bentara Budaya Jakarta, yang bertutur tentang beberapa sisi Munir. Monolog yang ditulis oleh F.X Rudy Gunawan dan disutradarai Landung Simatupang, tidaklah berpretensi melakukan kultus individu terhadap tokoh seperti Munir. Munir dihadirkan sebagai manusia biasa, sederhana, tak luput dari berbagai jamahan keisengan. Pada akhirnya, ide menghadirkan Munir ke atas pentas kesenian tidak lalu menjadi campur baur dengan kepentingan politik apapun.. Mereka, awak dan pencetus ide ini mengakui, peristiwa kesenian harus berada pada real estetika yang mengatasi kepentingan-kepentingan pragmatis seperti politik. Pementasan ini sebelumnya juga dipentaskan di Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, dan Mataram. Pada acara Monolog ini juga dihadirkan diskusi dengan para pendukung acara, disamping hadirnya Suciwati (isteri almarhum), Usman Hamid (KontraS/anggota TPF), dan Rieke Diahpitaloka (artis/aktivis).***
Buku tentang keterlibatan militer dalam bisnis-bisnis yang berjalan
Buku ini bisa di dapatkan di Kontras
13
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
BERITA DAERAH
Perundingan Helsinki Tetap Dinodai Kekerasan Delegasi Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka mengakhiri perundingan damai putaran ketiga di Helsinki, Finlandia (16/4), sehari lebih cepat daripada jadwal. Kedua belah pihak sepakat akan bertemu kembali dalam perundingan keempat 26 Mei mendatang. Menurut anggota delegasi Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, pertemuan kali ini cukup produktif, meskipun belum ada kesepakatan akhir mengenai penyelesaian masalah Aceh secara komprehensif. Perundingan itu, sebagaimana dua putaran sebelumnya, dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Kedua pihak juga sepakat untuk melanjutkan upaya mencari solusi permanen dan komprehensif dengan harga diri bagi semuanya.
atau keluarga GAM. Agaknya perseteruan ini masih terus terjadi dan masyarakat tetap tidak “mempunyai” pilihan lain selain hanya kekerasan yang terus disodorkan.***
Rekapitulasi Tabel Kekerasan Aceh Paska Tsunami Periode 26 Desember 2004 s/d Maret 2005 A. Jenis Pelanggaran
Isi Perundingan RI dan GAM adalah; • Kedua belah pihak berniat mendapatkan solusi komprehensif dan permanen dengan penekanan pada martabat untuk kedua belah pihak • Perundingan berniat menentukan kerangka kerja untuk struktur adminitrasi lokal • Perundingan akan mengeksplorasikan bentuk keikutsertaan dalam pemilihan lokal • Perundingan akan menentukan detail atau rincian dari amnesty • Keterbukaan atau transparansi akan ditingkatkan untuk pengumpulan dan pengalokasian pemasukan antara pemerintah pusat dan Aceh • Kedua belah pihak menyambut baik kemungkinan melibatkan organisasi-organisasi regioanal (tingkat ASEAN) guna memantau komitmen atau perjanjian kedua belah pihak kelak • Kedua belah pihak akan berusaha keras agar pasukan keamanan dari masing-masing negara dapat menahan diri dilapangan selama masa negoisasi
B. Korban sipil berdasarkan jenis kelamin
Salah seorang anggota delegasi GAM, M Nur Djuli, menyatakan, sebaiknya pihak fasilitator tidak terlalu tergesa-gesa membuat deadline (batas akhir) sebab perundingan ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Hanya saja, agaknya “lagu lama” masih terus berkumandang. Dimana semangat tinggi di Helsinki terganjal dengan berlanjutnya pertempuran di Aceh dan oleh keputusan TNI untuk mengirim 3 ribu personel militer baru ke propinsi ini. Problem ini akan makin besar, karena biasanya pasukan yang sudah datang akan sulit kembali. Sementara pihak TNI sejak bencana Tsunami hingga Maret 2005 mengaku telah membunuh lebih dari 260 anggota GAM. Kekerasan masih dan akan terus terjadi di Aceh. Perundingan tidak akan berarti apapun bila tindak kekerasan tetap terus dilanjutkan. Aceh akan tetap menjadi “ladang kekerasan” bila masing-masing pihak mengang gap “perang” hanya satu-satunya cara bagi penyelesaian Aceh. Sementara masyarakat yang harus selalu, dan terus menjadi korban. Jika menjadi korban akibat kekerasan oleh GAM, masyarakat akan dituduh pro NKRI. Jika menjadi korban akibat kekerasan oleh TNI atau Polri, masyarakat akan dituduh Pro GAM
C. Identitas Pelaku
Dokumentasi KontraS 2005, disarikan dari hasil Investigasi dan Media
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
14
BERITA DAERAH
Pembiaran Kekerasan di Bojong oleh Polisi Warga Bojong, Bogor, masih harus terus berhadapan dengan kekerasan. Entah dengan alasan apa, sekelompok preman meneror, mengancam, sejumlah warga. Sementara, pengaduan masyarakat Bojong ke Polisi tak mampu memberhentikan kekerasan. Walhasil, kekerasan terus mengancam di Bojong. Minggu, 27 Maret lalu, sekitar 200-an orang dari kelompok preman dengan menggunakan sepeda motor dan mobil membawa senjata tajam, clurit, samurai, dan balok, datang ke kampung Bojong Girang Desa Bojong kecamatan Kelapanunggal Bogor. Para preman tersebut membakar spanduk, mengancam akan membakar Posko Pembelaan Warga Bojong dan mengancam warga yang berada di sekitar Posko dan sepanjang jalan. Akibatnya, sejumlah ibu-ibu menangis karena ketakutan.
Terus berlangsungnya tindakan preman membuktikan, secara kepolisian telah dengan sengaja Bogor. Tindakan kekerasan bahwa tidak ada penegakkan Seharusnya Kepolisian mampu pelaku kekerasan dan Bogor. Rupanya pengaduan dalam surat pelaporan BGR, tanggal 24 Maret 2005), Kepolisian RI, tidak direspon memberikan efek penghentian KontraS mendesak agar DPRuntuk kasus TPST Bojong, kinerja aparat kepolisian yang secara kritis oleh DPR Dok. Kontras sangat diperlukan mengingat intimidasi dan premanisme orang dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap beroperasinya TPST Bojong.
Aksi warga Bojong di Mabes Polri
Peristiwa itu merupakan rentetan dari peristiwa penghadangan, pengancaman dan intimidasi para preman terhadap aksi damai warga Bojong tiga hari sebelumnya (24 Maret 2005). intimidasi yang dilakukan para tidak langsung, bahwa aparat membiarkan kekerasan di Bojong, dan intimidasi juga membukti hukum yang serius oleh Polisi. dan segera menangkap para pelaku intimidasi terhadap warga Bojong, dan pelaporan warga (tertuang No.Pol.LP/115/K/III/Res/ bahkan sampai ke Markas Besar dengan sungguh-sungguh dan kekerasan di Bojong, Bogor. RI, terutama Panitia kerja DPR segera melakukan pengawasan atas tidak profesional. Pengawasan Kepolisian membiarkan aksi-aksi yang dilakukan oleh sekelompok
Aksi Ke Mabes Polri Buntut dari peristiwa diatas, Minggu (27/3), sedikitnya 60 warga Bojong, didampingi oleh KontraS dan WALHIi, mendatangi Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI. Warga melaporkan pembiaran oleh polisi yang bertugas di Bojong saat terjadi ancaman dan kekerasan pada Minggu sebelumnya. Warga merasa polisi tidak dapat menjamin keamanan warga bahkan terkesan polisi ‘mengabdi’ kepada pengelola TPST Bojong, PT Wira Guna Sejahtera (PT.WGS). Saat kedatangan pada minggu malam, warga terpaksa menginap lantaran laporan warga tidak bisa diterima dengan alasan Mabes Polri sedang libur. Esok harinya, aksi dilanjutkan warga dengan berunjuk rasa di depan pintu gerbang Mabes Polri. Dalam aksinya ini, warga menuntut penutupan TPST Bojong dan penegakan hukum terhadap aparat yang melakukan pembiaran kekerasan tersebut. Sementara itu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Arianto Boedihardjo, berjanji akan menyelidiki aparat kepolisian di Bojong yang dituduh berkonspirasi dengan TPST Bojong, Bogor. Hanya saja, menurutnya, Mabes Polri tetap akan menyerahkan kasus ini dulu pada satuan polisi setingkat Polsek (Kepolisian Sektor), Polres (Kepolisian Resort), dan Polwil (Kepolisian Wilayah). Selanjutnya akan diselidiki apakah satuan tersebut memperhatikan keluhan warga atau tidak. Artinya, warga Bojong masih harus menunggu hasil penyelidikan dari pengaduan kasus ini, dan sementara ini pula mereka harus/dibiarkan menjaga “keamanan” dirinya sendiri. ***
15
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
BERITA DAERAH
Ledakan Jelang HUT RMS Trauma kerusuhan tahun lalu saat HUT RSM dilangsungkan, masih dirasakan masyarakat Ambon. Tahun ini, kembali, bom meledak, dua hari sebelum HUT RMS. Bendera RMS pun dikibarkan. Warga dirundung ketakutan itu. Entah sampai kapan
. Suhu keamanan di Ambon memanas menjelang peringatan HUT RMS (Republik Maluku Selatan) yang jatuh pada 25 April 2005. Sebuah bom meledak meledak di belakang bekas Bioskop Oriental Ambon, pada 23 April 2005 dua hari sebelum perayaan HUT RMS. Sebelumnya, sekitar seminggu lalu juga terjadi ledakan di kawasan Pohon Pule. Lima warga yang diduga sebagai pelaku peledakan bom bom rakitan tersebut telah diamankan di Mapolres Pulau Ambon. Mereka ditangkap dilokasi kejadian dan kini tengah diperiksa tim penyelidik untuk dimintai keterangan terkait dengan ledakan itu. Belum diketahui motif dari peledakan ini, yang jelas ledakan bom diatas merupakan peledakan Bom yang kelima terjadi di Ambon pada April ini. Kapolres Pulau Ambon dan Pp Lease AKBP Leonidas Braksan menduga peledakan bom tersebut hanya bertujuan memprovokasi warga karena terjadi di daerah perbatasan.
Dari hasil pemeriksaan, menurut Kapolres, dua diantara kelima warga yang diamankan dijadikan tersangka karena kedapatan memiliki dan membawa dua buah bom rakitan yang belum sempat diledakan. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian peledakan diatas, karena bom meledak di tanah kosong di tepi Kali Batugantung. Bertepatan dengan hari ulang tahun RMS, aparat keamanan dari unsur TNI dan Kepolisian menggelar Operasi Merah Putih. Hingga siang hari, helikopter petugas yang melakukan patroli udara terus hilir-mudik memantau situasi keamanan. Di kota Ambon aktivitas memang berjalan seperti biasa. Namun, bendera RMS yang dikenal dengan Benang Raja tetap dikibarkan di beberapa lokasi kota Ambon. Hingga sehari setelah perayaan HUT tersebut, total bendera yang dinaikkan berjumlah sembilan buah. Beberapa bendera itu kini diamankan di Polsek Baguala, Polda Maluku, maupun Markas Polres Pulau Ambon.
Lagi, Kekerasan dan Penangkapan Mahasiswa ! Lagi, kepolisian dan aparat sipil yang dipersenjatai melakukan kekerasan terhadap masyarakat di Medan yang hanya menuntut hak atas kesejahteraan Pada akhir Maret 2005, masyarakat Ngaban Sibolangit yang didampingi oleh Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) melakukan aksi menuntut ganti rugi tanah warga yang diserobot oleh pemerintah kota Medan. Aksi ini berlangsung selama 3 hari. Aksi dilakukan dengan bentuk pendudukan di kantor Dewan Perwakilam Rakyat Daerah (DPRD) Kota medan. Bertepatan dengan hari terakhir aksi, dilangsungkan Pembacaan Laporan Pertanggungjawaban Walikota Medan di DPRD. Aksi yang semula berlangsung aman berakhir dengan kekerasan terhadap masyarakat. Aparat menggunakan pentungan dan popor senjata dalam melakukan kekerasan terhadap massa. Akibatnya 7 orang warga mengalami luka-luka serius, sedangkan 5 orang mahasiswa (LMND) mengalami luka parah, bocor dikepala, luka dalam dan memar. Polwitabes Medan juga menangkap dan
membawa dua orang mahasiswa yang tergabung dalam LMND Medan yakni Johan Merdeka dan Dear. Kekerasan berupa pemukulan dan penangkapan, sebagaimana yang terjadi di Medan menunjukkan bahwa pemerintah, terutama Pemerintah Kota Medan, telah memaksakan kehendaknya mengambil tanah dengan menggunakan kebijakan dan melawan advokasi masyarakat dengan cara kekerasan yang dibantu oleh kepolisian dan aparat sipil lainnya. Pilihan membuat kebijakan untuk menyerobot tanah masyarakat atas nama “kepentingan umum” oleh Pemerintah Medan dan menggunakan kekerasan atas advokasi masyarakat merupakan karakter anti demokrasi. Demikian juga dengan kepolisian yang dengan seenaknya mengkriminalkan para pendamping masyarakat. Tindakan ini adalah cara-cara pembungkaman terhadap aktifitas pembela HAM.
Berangkat dari kejadian diatas KontraS; • Mengutuk tindak kekerasan dan penangkapan terhadap masyarakat Ngaban Sibolangit dan mahasiswa oleh kepolisian dan aparat sipil yang dipersenjatai • Menuntut kepada Pemerintah Kota Medan untuk segera mengembalikan tanah/lahan masyarakat Ngaban Sibolangit. • Mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi atas tindak kekerasan yang dilakukan terhadap warga Ngaban Sibolangit dan mahasiswa/pendamping. • Menuntut kepolisisan Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Medan untuk membebaskan mahasiswa yang ditangkap.***
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
16
BERITA DAERAH
“Brutalitas” Polisi Di Laut Utara, Kalsel Para nelayan ini hanya meminta agar limbah buangan yang ada di Laut Utara kalimantan Selatan, diangkat. Tapi penangkapan, serta letusan senjata api jadi jawaban permintaan mereka. Suara si kecil kembali dibungkam dengan senjata Tindakan brutal masih diperlihatkan oleh aparat Kepolisian. Tindakan yang tidak manusiawi ini dilakukan saat terjadi aksi blokade laut yang dilakukan oleh para nelayan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel). Aksi nelayan ini dipicu dengan adanya pencemaran batuan limbah dari PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk (PT.ITP) di perairan Pulau Laut Utara. Pada 16 Juni 2004, sekitar pukul 15.00 Wita, lebih kurang 600 orang buruh PT. ITP dan TKBM berkumpul di demarga PT. ITP, beberapa diantara mereka yang mengenakan seragam ITP ini membawa pipa besi, kayu, bahkan senjata tajam (sejenis golok). Mereka melempari nelayan yang sedang melakukan aksi blokade laut ini, dengan batu hingga mengakibatkan beberapa nelayan terluka terkena lemparan. Melihat kondisi tersebut, Ketua INSAN menyerukan agar para nelayan mundur menjauh dari dermaga. Tak lama setelah para nelayan menjauh, kapal besar tempat koordinator aksi dan tokoh-tokoh nelayan didatangi speed board rombongan MUSPIDA Kotabaru, yang diwakili Dinas Perikanan, Ir. Radiansyah. Tak lama kemudian datang juga rombongan kepolisian yang dipimpin oleh Kabag. Mitra Polres Pulau Laut, M.Yusuf. rombongan ini datang menggunakan 10 buah speed board. Awalnya dilakukan dialog antara perwakilan Dinas Perikanan, Polres dan para nelayan. Dalam dialog tersebut perwakilan Dinas Perikanan dan Polres meminta nelayan membuka blokade. Para nelayan menyanggupi dengan syarat ada jaminan tertulis agar PT. ITP mau memenuhi tuntutan nelayan untuk mengangkat limbah buangan PT. ITP. Ir.Radiansyah sendiri menjamin, tetapi pihak nelayan menginginkan jaminan dikeluarkan oleh PT.ITP sendiri. Dialog-pun tidak mencapai kata kesepakatan. Sebelum meninggalkan kapal, Kabag Mitra menyerukan, apapun yang terjadi, blokade harus tetap dibuka sebelum jam 16.00 Wita. Akan tetapi, entah mengapa, secara tiba-tiba, rombongan polisi dari 3 speed langsung menyerang dan menyerbu kapal. Mereka (polisi-red), juga
melakukan penangkapan dan pemukulan terhadap 2 orang perwakilan nelayan yakni H.Dullah dan Zainal Abidin. Serta 3 orang dari pendamping, Rahmat Sumarlin/Walhi Kalsel, Kisworo/ Komunitas Sumpit, Abu/Jari Indonesia. Mereka ditangkap dan dipindahkan ke speed board polisi untuk akhirnya dibawa ke Polres Kotabaru. Mereka juga menangkap beberapa orang nelayan lainnya. Tak berhenti disini, para polisi ini secara membabi buta membuang semua peralatan dan perlengkapan para nelayan ke laut. Penangkapan ini diketua oleh Martin. Aksi ‘brutal’ yang dilakukan oleh polisi dilanjutkan dengan pengejaran terhadap semua nelayan di perairan Selat Laut. Seorang nelayan yang mendapatkan todongan pistol dipaksa untuk menunjukkan dan memberitahu tempat Ketua dan Sekretaris Ikatan Nelayan SAIJAAN. Sekitar pukul 19.00 Wita, Polres Kotabaru mengirim 3 orang polisi (Martin, Harsono dan Edy), menuju ke desa Rampa Lama, untuk menangkap Arbani (Ketua SAIJAAN), Riduansyah (Sekretaris) dan Ambo Nai (Ketua Kelompok RT6). Namun, mereka gagal menemui 3 orang tersebut. Dengan alasan bahwa mereka yang hendak ditangkap lari kerumah penduduk, polisi-polisi ini melemparkan tembakan sebanyak 3 kali. Mereka juga merusak pintu salah satu rumah penduduk. Kejadian diatas secara otomatis, membuat ibu-ibu dan anak-anak menjadi ketakutan. Bahkan, seorang isteri nelayan, Udin, mengalami kelumpuan kaki akibat terkejut mendengar dan melihat langsung tembakan yang diarahkan 3 orang polisi ini kearah penduduk. Wanita yang sedang hamil tua ini hampir 4 jam tidak bisa menggerakkan kakinya akibat trauma letusan tembakan yang didengarnya. Beberapa lama setelah peristiwa diatas Polres Kotabaru masih terus melakukan patroli maupun pengintaian di perkampungan nelayan, sejak pembubaran pertemuan nelayan pada 18 Juni 2004. Bagi mereka yang menjadi korban penangkapan juga dikriminalkan. Mereka dijadikan tersangka dan diproses dipersidangan.***
Mereka yang Hilang dan Mereka yang di Tinggalkan Potret penghilangan paksa di Indonesia
Bisa di dapatkan di Ikohi dan toko Buku Gramedia
17
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
BERITA DAERAH
“Ada Apa Dibalik Pembentukkan KKP?” Pembentukkan KKP Terkesan tergesa-gesa. Buruknya isi kerangka acuan, terkesan “dipaksakan “ hingga menjadi sorotan masyarakat. Bahkan konsultasi publik-pun diabaikan. Deal politik seakan bermain dibalik semuanya. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Pemerintah RI dan Pemerintah Timor Leste pada 9 Maret lalu, telah mengesampingkan tuntutan keadilan korban pelanggaran berat HAM di Timtim 1999. Pembentukan KKP hanya menjadi kepentingan kepentingan politik masing-masing pemerintah.
Dibentuknya KKP juga bertentangan dengan pernyataan pejabat penting dari kedua negara yang semula menjamin tidak adanya impunity dalam KKP. Dikaji dari kerangka acuan yang disepakati, keputusan politik membentuk KKP jelas berniat untuk mengampuni orang-orang bersalah dalam pelanggaran berat HAM Timtim, tanpa memperhitungkan derajat kesalahan.
Pernyataan diatas dapat dibuktikan Pengadilan HAM Timor-Timur melalui beberapa hal. P e r t a m a , pembentukan KKP yang tergesa-gesa sehingga melibatkan mekanisme yang demokratis, seperti pelibatan masyarakat sipil dan masyarakat korban. Baik, publik di Indonesia maupun di Timur Leste.. Kedua, buruknya materi/isi kerangka acuan KKP; naskah pembukaan (preamble), tujuan (objectives) maupun mandat (mandate), yang hanya memberi pengampunan pada sekelompok orang kuat yang terlibat dalam kejahatan.
Seharusnya dan jelas kiranya, prinsip rekonsiliasi atau persahabatan atau apapun namanya, tetap berpijak pada keadilan. Bukan sekedar memaafkan, tetapi juga memperhitungkan kesalahan. Harus memberi kontribusi bagi keadilan. Bukan sebaliknya, berkontribusi bagi kondisi ketiadaan hukuman yang telah ada (impunitas), yang berarti menolak keadilan dan menukar keadilan dengan kepentingan ekonomiDok. Kontras politik sesaat kedua negara. Karena itu, harusnya segera didesak pemerintah kedua negara untuk mempertanggungjawabkan keputusan membentuk KKP dihadapan publik, parlemen, demi kepentingan hak korban.
Upaya perbaikan terhadap materi kerangka acuan KKP ternyata hanya sekedar perubahan kata, sementara maknanya tidak berubah, sama saja. Tetap memberikan pengampunan bagi pelaku. Contoh perubahan kata tanpa perubahan makna, terdapat pada butir 14 C (i) kata “amnesti” diubah menjadi pengampunan; kalimat “rehabilitasi bagi mereka yang dituduh secara sewenang-wenang telah melanggar HAM”, diganti dengan “rehabilitasi bagi mereka yang dituduh melanggar HAM, namun tuduhan tersebut salah.
Penegakan Keadilan
Ayat-ayat diatas, meskipun telah dirubah, melegalkan impunitas (kejahatan tanpa hukuman) atas kasus pelanggaran berat HAM di Timtim pada 1999. Pelaku peristiwa ini, yang telah “diadili” kedua negara, akan semakin tidak merasa bersalah dan menganggap pengadilan yang selama ini diselenggarakan adalah kesalahan politik hukum di kedua negara.
KontraS berharap Pemerintah RI-Timor Leste mau meninjau ulang penolakannya terhadap Komisi Ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setidaknya Pemerintahan kedua belah pihak tidak menghalang-halangi setiap upaya Komisi Ahli dalam meneliti proses peradilan domestik. Apabila terjadi, maka hal itu hanya akan merugikan kedua pemerintahan.
Pada tujuan, kalimat “untuk menetapkan kebenaran konklusif ” diganti dengan “ untuk menetapkan kebenaran akhir”. Ini jelas menunjukkan KKP dibuat hanya demi kepentingan praktis tanpa niat membangun hubungan bilateral yang beradab untuk jangka panjang. Pada bagian mandat, kalimat “mengungkapkan kebenaran faktual” diganti dengan “mengungkapan fakta kebenaran”.
Jika ada kebutuhan akan keadilan bagi Indonesia dan Timor Leste, kehadiran KKP patut dipertanyakan. Hal ini mengingat telah ada dua proses pengungkapan kebenaran yakni oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste serta Komisi Nasional HAM di Indonesia. Yang dibutuhkan saat ini justru penegakan keadilan sebagai tindakan nyata kedua negara paska pengungkapan kebenaran.
KontraS juga menyambut baik kedatangan tim Komisi Ahli PBB untuk mendiskusikan kelemahan pengadilan adhoc Timtim sekaligus mencari jalan keluar untuk menengakan keadilan di Indonesia. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste harus menyadari bahwa dibentuknya Komisi Ahli disebabkan keengganan kedua negara untuk menuntut individu-individu yang bertanggungjawab dalam kejahatan kemanusiaan.***
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
18
BERITA DAERAH
Tragedi Talangsari Lampung, Akankah Berhenti di Penyelidikan? Tragedi Lampung 1989, yang mengakibatkan sekitar 246 orang hilang dan ratusan orang meninggal, hingga kini belum ada titik terang penyelesaiannya. Desakan para korban akhirnya dijawab dengan pembentukkan Tim Penyelidikan kasus ini oleh KOMNAS HAM. Tim ini mulai bergerak dengan melakukan investigasi langsung ke Lampung awal April 2005.
Aksi talangsari di Komnas HAM
Dok Kontras
Awal Maret 2005 lalu, berdasar hasil Pleno, KOMNAS HAM kembali membentuk tim penyelidik untuk kasus Talangsari Lampung. Pembentukan ini lahir karena desakan keluarga korban Talangsari dengan didampingi LBH Bandar Lampung dan KontraS dalam bentuk melakukan aksi. Para korban mendesak KOMNAS HAM untuk serius menuntaskan kasus yang terjadi pada 1989 di Talangsari Lampung. Sesungguhnya KOMNAS HAM telah beberapa kali membentuk tim penyelidik untuk kasus Talangsari. Pertama, pada tahun 2001 yang diketuai oleh Koesparmono Irsan, kedua, pada Februari 2004 yang diketuai oleh Hasballah M Saad. Namun, dari dua tim yang telah dibentuk tersebut tidak ada hasil atau kemajuan untuk penuntasan kasus Talangsari Lampung 1989. Pada 29 Maret sampai 9 April 2005, akhirnya tim KOMNAS HAM datang ke Lampung untuk melakukan pemeriksaan saksi korban. Investigasi dilanjutkan pada 17 April di Solo. Sebanyak 47 saksi di mintai keterangannya oleh tim dari KOMNAS HAM. Tim KOMNAS HAM juga mendatangi lokasi kejadian di yakni Desa Sidorejo, Desa Cihideung, Bandaragung, Proyek Pancasila, dan Pekalongan (Metro) karena kebetulan lewat saat menuju rumah warga/saksi yang akan dimintai keterangan. Hasil investigasi ini nantinya akan dibawa kedalam rapat paripuna KOMNAS HAM yang rencananya dilakukan pada akhir April. Dalam rapat tersebut, rencananya akan diputuskan “apakah kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak?”. Bila ternyata kasus ini diketahui merupakan pelanggaran berat HAM maka tim dari KOMNAS akan turun kembali guna melakukan investigasi yang lebih intensif. Hal ini diungkapkan oleh Yudi Rohman (LBH Lampung), yang mendampingi tim di lokasi.
19
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
Dok. Kontras Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah Tim KOMNAS HAM daam Investigasinya yang dilakukan hanya beberapa hari, mampu menggali peristiwa kejahatan besar ini? KontraS mencatat bahwa kasus Talangsari Lampung mengakibatkan 550 orang dibunuh diluar proses hukum, 218 orang dinyatakan hilang, 35 orang ditangkap serta diperlakukan secara sewenang-wenang/disiksa. Belum termasuk kerugian harta benda lainnya yang membuat korban, keluarga korban harus menanggung penderitaan hingga saat ini. Sampai saat ini KOMNAS HAM, juga, belum melakukan pemeriksaan terhadap fihak TNI/Polri dan pemeriksaan di TKP (tempat kejadian perkara). Beberapa hal yang disebutkan belakngan merupakan upaya yang penting dilakukan bagi sebuah tim investigasi dalam kasus-kasus pelanggaran Berat HAM. Selain itu, hal tersebut juga penting dilakukan untuk menunjukkan apakah KOMNAS HAM serius dalam menanggani kasus Talangsari Lampung 1989. Harapan dan cita-cita korban untuk mendapatkan hak-haknya adalah suatu keharusan dan kelaziman. Hak-hak tersebut adalah hak untuk keadilan, hak untuk kebenaran, dan hak untuk Pemulihan. Penyelesaian dan pengungkapan sampai tuntas kasus Talangsari, dengan mengedapankan hak-hak korban menjadi penting bagi bangsa Indonesia. Pertama, pengungkapan dan penghukuman terhadap para pelaku akan menjadi pelajaran untuk menghormati HAM dimasa akan datang. Kedua, pengungkapan ini akan menjadi barometer penegakan hukum HAM di Indonesia saat ini. Akankah KOMNAS dan Tim-nya mandul lagi, sebagaimana 2 timnya yang terdahulu? Akankah Investigasi ini berhenti ditengah jalan? Atau KOMNAS HAM harus di Reformasi?***
BERITA DAERAH KABAR DAERAH
Keadilan Yang Dibalas Senjata di Dusun Titikupa, Papua
Masyarakat adat Topo Suku Degey Papua, hanya meminta ganti rugi atas tanah mereka yang digunakan untuk memperlebar bisnis PT.Djayanti Group. Tapi, perusahaan ini malah ingkar janji. Ironisnya, aparat Brimob justru melakukan kekerasan pada warga yang hanya ingin memperoleh keadilan.
Latar belakang kejadian bermula dari tuntutan masyarakat Pemilik dusun dalam pembayaran uang permisi atau uang pembangunan jalan yang terjadi di areal Konsesi HPH PT.Djayanti Group lebih khusus HH PT. Optima Intim Perkasa Utama di Potowai (Loggpondm Km 1). Namun masyarakat justru harus berhadapan dengan aparat Polri dari Polsek dan Polres Timika serta Brimob yang menjadi becking dari perusahan tersebut. Warga bukan hanya mendapat kekerasan berupa pemukulan, tapi juga todongan pistol hingga tembakan oleh aparat Brimob berpakaian preman. Peristiwa ini terjadi, Kamis, 20 Januari 2005, sekitar pukul 12.30 Wit. Penembakan pertama bermula ketika masyarakat sedang melakukan pertemuan dalam rangka membicarakan pembayaran uang atas pembangunan di Dusun Titikupa yang menjadi area operasi perusahaan tersebut. Acara ini sendiri dihadiri Camat, Koramil, Kapolsek serta Danton Brimob beserta seorang anak buahnya. Sedang dari pihak perusahaan diwakili Simson Hindom selaku pimpinan perusahaan PT.Djayanti Group. Pihak perusahaan (Simson Hindom), tidak menepati janji pertamanya. Padahal. Awalnya ia berjanji setelah kembali dari Prangko dan Larau akan melakukan pembayaran dana kompensasi di kedua daerah yakni Dusun Titikupa (termasuk Distrik Kapiraya), yang terkena pembangunan jalan. Ingkar janji membuat masyarakat kecewa, hingga terjadi perang mulut antara perwakilan masyarakat dan pihak perusahaan dalam pertemuan tersebut. Buntut dari kekecewaan ini meluas, hingga di luar gedung timbul reaksi masyarakat yang membuat situasi makin panas. Kemudian, anggota Brimob melakukan tembakan sebanyak satu kali ke udara dan satu kali ke tanah. Peluru ketiga dan keempat diarahkan pada korban/warga, tapi tidak mengenai sasaran. Tembakan kelima dan keenam akhirnya mengenai sasaran yakni warga yang sedang berdemontrasi. Korban yang ada dari peristiwa ini, yakni Oktavianus Makai tertembak di kaki dan mengalami luka parah. Alem Makai luka dibagian belakang kepala akibat pukulan oleh Brimob yang menggunakan moncong senjata. Sedang Pokuwai terkena peluru disiku tangan kanan dan Niko Degei terkena peluru nyasar di paha bagian kanan. Saat terjadinya tindak kekerasan ini masyarakat sama
sekali tidak melakukan tindak kekerasan apapun, karena masyarakat takut serta panik dan menghindar agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Para korban khususnya yang terkena tembakan dilarikan ke Timika di RSM Karitas untuk segera mendapat pengobatan serta perawatan. Banyaknya Pelanggaran Berbagai Pelanggaran kinerja HPH Djayanti Group terhadap masyarakat Hukum Adat Hak Ulayat, sudah lama terjadi. Perusahaan ini seakan mendapat angin segar untuk terus menindas bahkan merasa berhak melakukan tindakan apapun demi untuk memperkuat bisnisnya. Suara rakyat selalu dan terus diabaikan. Masyarakat selalu mendapat perlakuan tidak adil dan tindak kekerasan lainnya serta tekanan dari perusahaan dan aparat keamanan “terbeli” dan berpihak pada perusahaan. Sejak awal tidak ada surat pelepasan dari masyarakat adat (hak Ulayat) atau penyerahan kerja sama antar perusahaan dan masyarakat Adat (hak Ulayat). Pada kondisi ini perusahaan malah menggunakan kekuatan polisi (Brimob) untuk menakut-takuti masyarakat pemilik tanah adat setempat. Pada akhirnya, segala masalah diambil alih oleh polisi (Brimob). Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak berdaya dibawah tekanan yang ada terlebih tekanan dibawah moncong senjata pistol yang ditodongkan. Perusahaan juga tidak pernah menggunakan tenaga kerja yang berasal dari orang pribumi atau masyarakat yang punya Hak Ulayat. Hal ini karena ada stigma bahwa orang Papua bodoh, pemabuk, tidak tahu kerja, kotor dan berbagai lainnya. Sementara itu dari segi ekosistem (lingkungan), tidak pernah ada penanaman kembali areal yang diambil kayu-nya. Termasuk yang paling dirasakan tidak adil, adalah pembayaran kompensasi yang tidak sesuai peraturan, bahkan sudah dua periode hak ulayat rakyat tidak diberikan. KontraS yang menerima pengaduan yang disampaikan oleh Masyarakat Adat Topo suku Degey Papua yang didampingi/bersama Lembaga Pengawasan Pembangunan dan Peradilan Indonesia (LP3I), meminta KOMNAS HAM untuk mengambil langkah-langkah penyelidikan terhadap tindak kekerasan yang berlangsung, guna menjamin perlindungan hak asasi manusia masyarakat Topo. Serta meminta pertanggungjawaban hukum yang jelas atas kasus kekerasan yang telah terjadi terhadap masyarakat adat Topo. Menjamin pula tidak terjadi pengampunan tanpa proses hukum bagi aparat Polri yang telah melakukan kekerasan. ***
“Setiap tindakan penghilangan orang dengan paksa merupakan suatu tindak pidana terhadap martabat manusia. Tindakan ini dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap tujuan-tujuan piagam perserikatan bangsa-bangsa, dan sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia. Dan kebebasankebebasan dasar yang serius dan nyata.” (Pasal 1 Deklarasi perlindungan bagi setiap orang dari penghilangan paksa)
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
20
BERITA DAERAH KABAR DAERAH
Tim Seleksi Calon Anggota KKR Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) telah dikeluarkan. Ada banyak pasal didalamnya, yang jelas-jelas memihak pada pelaku. Dan, korban harus menerima semua putusan hukum yang tetap tidak berpihak padanya. Sementara Presiden tetap membentuk tim seleksi untuk memilih calon anggota KKR. UU KKR menjadi bukti nyata negara dalam memaksakan kehendaknya. Perkembangan terkini dalam upaya pengungkapan pelanggaran HAM berat masa lalu telah sampai pada saat dimana negara secara terang-terangan memaksakan kehendaknya untuk tetap memberlakukan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Bahkan dalam perkembangan terakhir, pemerintahan SBY telah menunjuk Tim Seleksi untuk memilih calon-calon yang akan duduk selaku anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, melalui Peraturan Presiden RI No. 27 No. 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Panitia seleksi tersebut diketuai oleh Zulkarnaen Yunus (Dirjen Administrasi Hukum Umum, DepkumHAM), dengan anggota Wicipto Setiadi (Dirjen Peraturan Perundang-undangan DepkumHAM), Hafid Abbas (Dirjen Perlindungan HAM, DepkumHAM), Bambang Widjojanto (masyarakat), Sunaryati Harotono (masyarakat), Sulistijowati Sugondo (masyarakat). Komposisi ini tidak sesuai dengan aturan dalam pasal 33 ayat 3 UU No. 27 tahun 2004 yang mengatur 5 orang panitia tim seleksi, terdiri dari 2 orang unsur pemerintah dan 3 orang unsur masyarakat.
Pendaftaran calon anggota ini ditutup tanggal 25 April 2005. Sekitar 1300 orang melamar menjadi anggota, lebih banyak dari penerimaan calon anggota Komisi Yudisial (282 orang), Komisi Kejaksaan (206 orang), Komisi Konstitusi (317 orang) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (513 orang). Beberapa nama yang dikenal publik, seperti Syafii Maarif, Anhar Gonggong, Deliar Noer, Ghazali Abbas, Ifdhal Kasim, Fadjroel Rahman dan Ita F Nadia juga ikut mendaftar. Berdasarkan UU KKR, para calon anggota tersebut akan menjalani seleksi administratif hingga tersaring 42 nama, kemudian diajukan kepada presiden untuk ditetapkan 21 orang calon anggota KKR. Presiden mengajukan 21 nama tersebut kepada DPR untuk diseleksi. Jika DPR tidak menyepakati beberapa calon, maka Presiden akan memberikan calon anggota baru – hasil seleksi Tim Panitia - untuk melengkapi persyaratan 21 anggota KKR. Sedianya mereka akan dibagi dalam 3 sub komisi, yaitu Subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran HAM berat, Subkomisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, serta Subkomisi pertimbangan amnesti.*** dok.kontras
Komisi yang Tidak Berpihak pada Korban Sementara itu korban, khususnya para korban kejahatan negara bersikap keras dan lantang atas pemberlakuan UU KKR ini. Mereka menganggap bahwa UU KKR hanya akan mengesahkan (Legitimasi) penghindaran pelaku dari tanggung jawab hukum. Selain itu dari proses pembentukannya UU KKR ini mengandung ‘bias proses’ karena tidak melibatkan konsultasi publik/partisipasi aktif masyarakat secara luas, khususnya masyarakat korban. Dilihat dari segi materi, UU KKR yang berpihak pada korban seperti termuat dalam pasal 27; KKR akan diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Atau pada pasal 44; pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc. Diabaikannya pengadilan sebagai upaya untuk mengungkap kebenaran justru akan menjadikan korban menjadi korban untuk yang kedua kalinya. Undang-undang KKR, jelas memberian jaminan perlindungan atau impunitas (ketiadaan penghukuman) kepada PELAKU. UU KKR tidak memberikan jaminan upaya pemenuhan hak-hak korban menyangkut keadilan, informasi dan jaminan tidak terulangnya kembali kejahatan itu. Posisi korban yang tidak setara dalam proses KKR kelak juga merupakan suatu masalah yang seharusnya diselesaikan lebih dahulu oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi ke depan harusnya mensyaratkan pemberian rehabilitasi terlebih dahulu ke korban. Dalam soal penghukuman idealnya pemaafan tidak hanya bersifat moral. Pelaku juga harus melakukan pemaafan di muka publik dan hukum atas kejahatan yang telah dilakukan. ***
21
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
REMPAH-REMPAH
Ungkap Tuntas Kasus Penculikan! Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan selama 7 tahun, akhirnya pertengahan Januari 2005, Ketua KOMNAS HAM menetapkan pembentukan Tim Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan Penculikan Aktivis oleh Tim Mawar. Pembentukan Tim ini bagi korban masih merupakan awal dari usaha besar untuk mengungkapkan kebenaran dan mewujudkan keadilan bagi korban dan keluarga korban serta masyarakat, yang selama ini berada dalam ketidakpastian. Hampir tiga bulan setelah bekerja, Tim Penyelidikan KOMNAS HAM baru akan melakukan pemeriksaan saksi korban. Setelah itu baru akan melakukan penyelidikan ke lokasi penyekapan dan penyiksaan, serta memeriksa para saksi pelaku. Bagian kunjungan ke lokasi dan pemeriksaan saksi pelaku inilah yang akan menajdi kerja berat Tim Penyelidik, karena selama ini para pelaku pelanggaran berat HAM selalu menolak dan tidak kooperatif untuk memenuhi panggilan Tim Penyelidikan. Inilah topik bahasan yang diangkat dari talkshow yang diselenggarakan KontraS dan IKOHI bekerjasama dengan Radio 68 H. Diskusi publik ini dilakukan untuk mengingat kembali dan mengungkap misteri peristiwa penghilangan orang secara paksa, yang diduga kuat melibatkan salah satu kekuatan elite di TNI Angkatan Darat, yaitu KOPASSUS. Acara ini digelar pada Kamis, 28 April , bertempat di Hotel Sahid Jaya, Jakarta dan disiarkan langsung oleh Radio 68H Jakarta. Acara ini dihadiri oleh korban, perwakilan korban, organisasi korban, KOMNAS HAM, dan perwakilan satuan militer dan kepolisian, LSM, Media dan masyarakat umum Sedangkan sebagai pembicara hadir, Firman Jaya Daeli Fraksi PDIP, Fadli Zon (Direktur Center for Policy Studies) dan Mugiyanto (korban Penculikan/Ketua IKOHI).
Bagaimana Menyikapinya Firman Jaya mengatakan bahwa secara pribadi ia punya kekhawatiran bila kasus ini berada di DPR. Misalnya DPR membentuk Tim apalagi membentuk Pansus (Panitia Khusus), polanya akan sama dengan kasus Trisakti dan Semanggi I dan II, dimana proses kebenaran hanya dikalahkan oleh voting dan seterusnya. Yang harus dilihat juga dari konteks perpolitikan bahwa masih ada kekuatan konservatif yang berkepentingan supaya kasus penculikan atau penghilangan paksa ini tidak dibongkar. Artinya, kita harus melihat lembaga DPR itu secara kritis. Fadli Sedangkan Fadli Zon menegaskan, kasus ini harus diselesaikan dalam rangka pengungkapan kebenarannya dan untuk mencapai keadilan yang sesungguhnya, terutama korban dan keluarga korban. Hal ini agar korban, keluarga korban, masyarakat tahu apa motivasi mereka di balik penculikan. Apa polanya, siapa pelakunya, siapa yang memerintahkan. Juga, agar menjadi evaluasi bagi aparat negara untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan kesewenangan kekeuasaan. Dan juga, supaya kita tidak melakukan kekerasan, dalam hal ini penculikan oleh siapapun. Oleh karena itu maka, harus ada pengakuan dulu, ada proses pengungkapan kebenaran dan harus diselesaikan. Fadli juga mengatakan, bila SBY peduli terhadap hal ini, ia harus mengambil inisiatif politik dengan mendesak Komnas HAM untuk membuka kasus ini. Komnas HAM sendiri harus menggiring kasus ini ke Projustisia, sebab kalau tidak, tidak akan jalan. Sementara itu Mugiyanto menuturkan, kasus penculikan atau penghilangan orang harus dituntaskan, dibuka sejelas-jelasnya tentang peristiwanya, termasuk dan terutama adalah nasib mereka yang sampai sekarang masih hilang. Kepentingan dan tujuannya adalah agar kita (Indonesia) bisa belajar dan melihat, sehingga ke depan hal-hal seperti ini tidak perlu terjadi lagi. Yang harus tetap diwaspadai bila peristiwa ini mudah dilupakan atau mencoba melupakan masa lalu yang hitam dan hanya melihat ke depan. Padahal tidak akan bisa melihat masa depan yang baik ketika masa lalu yang hitam itu tidak diselesaikan, karena akan terus dan terus mengulang peristiwa-peristiwa tersebut. Mugiyanto menekankan, salah satu mekanismenya adalah pengadilan. Ini penting untuk memberikan efek jera atau kapok. Bisa dibayangkan kalau peristiwa penghilangan orang secara paksa, yang menurut masyarakat internasional sebagai kejahatan yang luar biasa, kalau tidak diungkap dan pelakunya tidak diadili, maka pelaku-pelaku tersebut akan mengulang lagi di tempat dan waktu yang lain. Hal ini nyatanya telah terbukti/ terjadi. Pelaku pelanggaran HAM di Timor Leste mengulang hal yang sama di Aceh. Sebab, mereka tidak dihukum dan tidak menimbulkan efek jera.***
Kasus Penghilangan Paksa masih berlangsung di berbagai negara di dunia. Deklarasi Perlindungan bagi Setiap Orang dari Penghilangan Paksa tidak mampu mempertanggungjawabkan perilaku negara. Maka penting untuk mendesak negara untuk mendukung Konvensi Perlindungan bagi Setiap Orang dari Penghilangan Paksa. Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
22
REMPAH-REMPAH REMPAH-REMPAH
Tujuh Tahun Perjalanan KontraS Bulan Maret 2005 genap KontraS berusia tujuh tahun dalam mengadvokasi pelanggaran berat HAM di Indonesia. Kepergian Munir menjadi catatan penting bagi KontraS untuk tetap terus berjuang. Dukungan pihak lainnya diperlukan agar KontraS tak berjalan sendiri. Pada 20 Maret 2005 lalu, KontraS genap berusia tujuh tahun. Tahun ini menjadi lain dengan tahun sebelumnya. Duka karena pembunuhan Munir menjadi bahan renungan dan tantangan tersendiri bagi KontraS. Tanpa Munir, sang ikon HAM, KontraS tetap dan harus terus ‘berjalan”. Paling tidak, harapan tersebut adalah cita-cita yang diinginkan Munir semasa hidupnya; KontraS harus memikirkan, menimbang dan mengukur gerakan anti kekerasan. Kepergian Munir sebagai seorang sosok pejuang anti kekerasan bukan tanda akhir dari perjuangan. Melainkan sebaliknya, keyakinan itu terus mengalir dalam darah dan semangat advokasi HAM di Indonesia. Munir bukan hanya milik sekelompok aktivis masyarakat sipil, melainkan sudah menjadi bagian dari masyarakat yang bercita-cita. Munir identik dengan cita-cita Indonesia yang bebas dari rasa takut dan kekerasan. Untuk itu, desakan untuk menuntaskan kasus ini menjadi desakan masyarakat luas dengan menuntut negara melindungi mereka. Jangan pernah ada lagi pembunuhan politik seperti yang dialami oleh Munir. Menginjak usia yang hampir sama dengan masa reformasi paska Orde Baru, KontraS merasakan bahwa perjuangan membebaskan manusia dari rasa takut dan segala bentuk teror kekerasan masih jauh dari cita-cita. Tidak berlebihan kiranya, KontraS merasakan bahwa tidak bisa berjuang sendirian. KontraS merasa perlu membangun dukungan dari semua pihak untuk melakukan refleksi bersama dan merenungi muramnya kondisi kemanusiaan di negeri ini. Masyarakat dalam kapasitasnya harus mengambil sikap dan melawan prioritas utama dalam renungan/refleksi HUT KontraS ke 7 ditahun 2005.
Pada peringatan HUT-nya ditahun 2005 ada dua acara penting yang dilakukan. Pagi hari, diadakan demo/aksi ke kantor pusat Garuda Indonesia. Aksi damai ini sengaja dilakukan untuk mendesak pihak Garuda/manajemen garuda agar segera mengungkapkan keterlibatan Garuda dalam pembunuhan Munir di pesawat Garuda. Dalam aksi damai yang diikuti hampir dua ratus simpatisan baik LSM maupun masyarakat biasa, perwakilan aksi menemui manajemen Garuda Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, pihak manajemen berjanji untuk membentuk desk Munir guna membantu upaya pengungkapan pembunuhan Munir. Malam hari HUT dirayakan dengan tumpengan kecil, doa bersama. Acara ini dihadiri pula oleh keluarga korban, wartawan serta hadir Suciwati (isteri almarhum Munir). Acara diisi dengan diskusi tujuh tahun perjalanan KontraS. Masukan menarik datang dari Willy Pramudya (wartawan), yang mengingatkan KontraS agar tetap berjalan dengan misi awal terbentuknya KontraS, yakni berpihak pada kepentingan korban kekerasan dan tetap terus mendampinginya. Meski kepergian Munir, menjadi tantangan sendiri, tapi diharapkan KontraS terus melanjutkan perjuangan yang diawali oleh Munir. Berjuang demi kepentingan korban dan rakyat kecil yang teraniaya serta berjuang demi Hak Asasi Manusia.***
Segera Audit Bisnis TNI Undang-undang Tentara Nasional Indonesia pasal 76 ayat 1 menyatakan Dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian dalam ayat 2 pasal yang sama dikatakan Tata cara dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat 1 (satu) diatur dengan keputusan presiden. Sementara itu, perkembangan terakhir dari upaya pemerintah mengambil alih bisnis TNI dapat dilihat pada pernyataan dari Menko Perekonomian Aburizal Bakrie yang menyatakan bisnis TNI tidak perlu dilakukan audit sebelum diserahkan kepada pemerintah. Pernyataan ini sangatlah disayangkan.Pertama, penting bagi pemerintah untuk terlebih dahulu melakukan audit secara transparan untuk memenuhi akuntabilitas publik atas bisnis TNI yang selama ini dijalankan. Audit ini sangat mendesak untuk melihat sejauh mana bisnis yang telah dilakukan oleh TNI memberi konstribusi positif kepad upaya kesejahteraan prajurit TNI, seperti yang selama ini dejelaskan pihak TNI. Atau sebaliknya, bisnis TNI selama ini memberi sumbangan terhadap keterpurukan kondisi perekonomian Indonesia. Bila hal itu terjadi pertanggungjawaban hukum atas pihak-pihak yang telah menyalahgunakan bisnis TNI haruslah dituntut dimuka hukum. Kedua, sejauh ini juga tidak ada klasifikasi yang jelas oleh pemerintah tentang apa saja yang dimaksud dengan bisnis militer. Penjelasan ini diperlukan untuk menegaskan komitmen TNI dan pemerintah dalam mengakhiri bisnis militer yang selama ini tampil dengan banyak bentuk seperti, yayasan, koperasi, perseroan terbatas, hingga bisnis-bisnis illegal lainnya yang kerap terajdi di daerah konflik. Ketiga, Pemerintah samapi saat ini juga belum menyusun secara jelas strategi pertahanan, postur militer dan kebutuhan anggaran untuk memenuhi semus itu. Bila hal ini telah dilakukan baru bisa dapat menentukan berapa besaran biaya yang harus ditanggung oleh APBN untuk kepentingan militer. Kekurangan anggaran militer yang selama ini dikeluhkan oleh TNI harus bisa dijelaskan dengan rumusan yang lebih konkrit. Karenanya, pemerintah harus segera melakukan audit dengan terlebih dahulu melakukan inventarisasi bentuk-bentuk bisnis militer. Kedepannya, Pemerintah harus menghapus semua bentuk bisnis militer tersebut dalam bentuk dan keterlibatan apapun. Pemerintah harus juga memperhitungkan kerugian-kerugian yang diakibatkan Bisnis Militer. Ketentuan tersebut juga harus memuat prinsip akuntabilitas, transparansi, enviromental recovery serta kemanusiaan.***
23
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
REMPAH-REMPAH
Bebasnya Tono Suratman, Preseden Buruk Penegakan HAM Wajah buruk dalam penegakan HAM di Indonesia kembali dipertontonkan. Majelis Hakim membebaskan Tono Suratman, mantan Komandan Korem 164 Dili saat peristiwa pelanggaran berat HAM paska jejak pendapat di Timtim 1999. Awal Maret lalu, majelis Kasasi Mahkamah Agung yang diketuai oleh Artidjo Alkostar menyatakan permohonan Kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum tidak diterima, karena Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc, Gabrial Simangungsong tidak pernah secara resmi mengajukan memori kasasi. Akibatnya, Brigjen Tono Suratman, mantan Komandan Korem 164 Wiradharma Dili Timor Timur tetap bebas sesuai dengan putusan pengadilan HAM Adhoc. Sehari setelah itu, pihak Kejaksaan Agung menjelaskan alasan tidak diajukannya memori kasasi karena belum mendapatkan salinan putusan Majelis Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Timor Timur. Dalam hal ini, terlepas dari kesalahan institusi mana yang harus dimintai pertanggungjawabannya, ada dua masalah sangat serius yang diremehkan oleh aparat hukum dalam penegakan kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur tahun 1999. Pertama, kasus ini tidak hanya menegaskan kembali betapa buruknya mekanisme dan sistem pengadilan HAM Indonesia, tetapi juga menunjukkan rendahnya komitmen dan kinerja aparat hukum negara untuk memperjuangkan keadilan atas pelanggaran berat HAM. Kasus lepasnya Tono Suratman dari jeratan hukum menambah panjang lolosnya para terdakwa pelanggaran berat HAM pada kasus Timor Timur (sudah 13 dari 18 terdakwa yang bebas). Namun, yang unik dan berbeda dari kasus lainnya, bebasnya Tono Suratman ini
Peta Timor - Timur
lebih disebabkan oleh kelalaian mendasar dari Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc untuk mengajukan memori kasasi. Kelalaian ini juga bentuk pelecehan secara institusional, dalam hal ini Kejaksaan Agung RI, terhadap penegakan HAM Indonesia. Kesalahan fatal ini menambah panjang daftar keganjilan proses Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Timor Timur, seperti tidak dijalankannya MOU tentang pertukaran alat bukti yang telah disepakati oleh pemerintah RI dan pemerintah Timor Leste. Kemudian, tidak memadainya hukum acara yang berlaku, minimnya kehadiran saksi korban, tidak adanya mekanisme perlindungan saksi, tidak adanya pemulihan tentang hak korban, minim dan bebasnya terdakwa dalam putusan tingkat pertama. Dibebaskannya Tono Suratman, semakin meneguhkan anggapan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal untuk melakukan penuntutan secara efektif terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat di Timor-Timur 1999. disamping itu, pembebasan para tersangka ini telah menunjukkan bahwa “pengadilan Indonesia tidak mampu memberikan keadilan bagi korban kekejaman yang terjadi di Timor-Timur 1999,” sehingga Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Timor-Timur sudah menjadi batas penghabisan (exhausted) bagi upaya keadilan. Menunjuk Komisi Ahli PBB Kegagalan pemerintah Indonesia melakukan penuntutan secara efektif terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM di Timor-Timur 1999 justru membuka peluang mekanisme internasional untuk mengadili dan meminta pertangggungjawaban para pelaku pelanggaran HAM berat di Timor-Timur 1999. Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Kofi Annan, telah secara resmi membentuk dan menunjuk Komisi Ahli PBB (Commission of Expert) untuk meninjau kembali seluruh proses persidangan Pengadilan Ad Hoc HAM Timtim yang dilaksanakan di Indonesia. Kesimpulan yang diperoleh oleh Komisi Ahli PBB (Commission of Expert) akan disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB.
Dok. Kontras
Dapat dipastikan Komisi Ahli PBB (Commission of Expert) telah menjadi keharusan bagi terwujudnya kebenaran dan keadilan Indonesia. Selain itu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dapat kiranya segera menindak Jaksa Agung atas kelalaiannya dalam penanganan kasus pelanggaran HAM, terutama dalam kelalain memori kasasi Tono Suratman.***
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
24
REMPAH-REMPAH
Reformasi Setengah Hati di TNI Agaknya Reformasi di tubuh TNI hanya sebatas wacana yang bergulir. Mayjen Syafrie Sjamsoedin yang jelas-jelas terlibat pelanggaran HAM di tanah air, malah diangkat sebagai Sekjen Departemen Pertahanan. Pengangkatan sejumlah anggota TNI untuk menduduki pos-pos sipil Karir Sipil Tergusur di departemen/pemerintahan merupakan kekeliruan. Apalagi jika alasanya hanya karena para anggota TNI tersebut memenuhi syarat administarsi Diangkatnya sejumlah perwira TNI aktif dalam jabatan Eselon I di (calon sipil tidak ada yang Dephan justru memotong memenuhi syarat suatu bentuk promosi kepegawaian). Aksi di depan Departemen Pertahanan pejabat sipil di lingkungan Departemen/pemerintahan, Pengangkatan TNI aktif, dalam hal ini Dephan. secara tidak langsung, Padahal masih banyak orangmenimbulkan kecurigaan orang yang sudah lama publik bahwa berkarir dalam birokrasi, pemerintah, khususnya contohnya pengawai negeri Presiden dan Wakil sipil (PNS) atau kelompok Presiden yang terlibat akademisi yang cerdas dan langsung dalam tim kompeten dengan kebutuhan penilaian akhir (TPA) perencanaan strategi tidak tegas dalam pertahanan Indonesia. Tetapi penempatan pejabat hal ini diabaikan oleh secara professional di Presiden, Menhan dan Mabes lingkungan pemerintah. TNI. Pergantian penjabat esselon I di lingkungan Dengan didudukinya jabatanDephan juga tidak dapat jabatan sipil oleh anggota dilepaskan dari rotasi dok.kontras TNI aktif, kebijakan strategis TNI yang sebelumnya Dephan akan sangat telah dilakukan. Dengan didominasi oleh kata lain Dephan masih dijadikan bagian dari target penempatan anggota kecenderungan-kecenderungan militer semata-mata. Dan tidak TNI dalam berkarir. Hal ini seolah-olah merupakan rekomendasi dari demokratis. Kondisi ini akan menyulitkan Menhan dalam sebuah UU yang, dari saat perumusan dan menjelang pengesahannya, mengendalikan strategi pertahanan. Hal ini juga menunjukkan menjadi kontroversi yaitu UU TNI, pasal 47 UU TNI tentang prajurit ketidaksiapan Menhan dalam perubahan stktur TNI termasuk soal aktif dalam jabatan sipil. promosi jabatan itu. Secara paradigmatif pengangkatan Sjafrie Sjamsoedin menjadi Sekjen Dephan menjadi sinyal politik bahwa fungsi kekaryaan TNI masih ada. Pengangkatan tersebut, terlebih-lebih, tidak dilakukan dengan pensiunan dini atau pengunduran diri dari dinas kemiliteran TNI. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi TNI yang dibangga-banggakan sejak 1999. dengan kata lain reformasi tidak berjalan secara maksimal. Pengangkatan ini tidak dilakukan secara cermat (carefulness) sesuai asasasas umum pemerintahan yang baik. Ada pertimbangan lain selain soal reformasi TNI. Soal catatan karir setiap anggota TNI yang ingin dipromosikan ke suatu jabatan lain yang penting. Dalam kasus pengangkatan Syafrie Sjamsoedin (sebagai Sekretaris Jenderal/Sekjen) seharusnya jajaran pemerintah (Presiden dan Menhan) mempertimbangkan soal dugaan kuat keterlibatan Sjafrie Samsoedin atas peristiwa pelanggaran berat HAM kasus penculikan aktivis 1997/1998, penembakan mahasiswa di Trisakti, serta kerusuhan Mei 1998. Pengangkatan ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah telah mengabaikan kenyataan tersebut, dan justru menjauhkan TNI dari akuntabilitas hukum.
25
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
Polemik Lama Sementara itu, pengantian pejabat strategis di lingkungan Dephan adalah akibat dari adanya “lubang” di Undang-undang TNI. Sehingga secara formal, tindakan ini memang dibenarkan oleh UU TNI. Pengangkatan aparat negara TNI sebagai pengawai negeri sama saja mengangkat kembali polemik lama ketika UU No.34/2004 masih berupa draf yang dibahas DPR RI pada 2004. Artinya, ketentuan UU TNI khususnya Pasal 47 tidak jelas mengatur tentang siapa yang berwenang mengangkat dan memberhentikan TNI aktif duduk dijabatan sipil. Hingga akan menimbulkan pertanyaan, kepada siapa TNI bertanggungjawab, kepada pejabat sipil dimana TNI bekerja aktif atau kepada Panglima TNI? Sekali lagi kondisi ini adalah wujud ketidak konsistenan TNI untuk mereformasi diri ditengah demokrasi serta agenda penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.***
REMPAH-REMPAH
Markas KOPASSUS Harus Segera Diinspeksi!
REMPAH-REMPAH
Tim Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan Penculikan Aktifis oleh Tim Mawar yang dibentuk Komnas HAM sudah tiga bulan bekerja. Namun, Tim penyelidikan tersebut belum menghasilkan kerja yang memuaskan. Desakan-desakan yang diberikan agar Tim melakukan inspeksi dan penyelidikan ke tempat-tempat penyekapan dan penyiksaan, hingga kini belum dilakukan.
Setelah enam tahun berlalu, dengan desakan korban dan keluarga Dalam kesempatan itu, keluarga korban meminta Tim Penyelidik korban bersama KontraS dan IKOHI, dan berdasarkan hasil Rapat melakukan pemeriksaan terhadap Fadli Zon (Penulis Buku “Huru-Hara Pleno akhirnya KOMNAS HAM membentuk tim Penyelidik untuk Mei 98”). Pemeriksaan ini dianggap penting, karena Fadli Zon juga kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Peristiwa Kerusuhan Mei dianggap sangat dekat dengan Prabowo Subiakto (Mantan Danjen 1998 dan Penculikan aktivis oleh Tim Mawar. Tim tersebut diketuai Kopassu). KOMNAS HAM Ruswiyati Surya Saputra. Tim juga akan memperpanjang Penyelidik ini akan melakukan Pemeriksaan keluarga korban masa kerja sampai dengan penyelidikan/meminta bulan Juli 2005, dikarenakan keterangan korban, memanggil hasil penyelidikan yang saksi, mengumpulkan barang belum maksimal. bukti, meninjau dan mengumpulkan keterangan Perubahan Nama ditempat kejadian, dan memanggil fihak terkait guna Berdasarkan SK No :06/ memberikan keterangan secara KOMNAS HAM/IV/2005, tertulis atau menyerahkan telah dilakukan perubahan dokumen yang diperlukan. nama dari Tim Penyelidikan Sebelumnya KOMNAS HAM Penghilangan Orang Secara juga pernah membentuk Tim Paksa menjadi “Tim pengkajian Penghilangan Orang Penyelidikan Orang Secara Secara Paksa, 23 September 2003, dok.kontras Paksa Pada Periode 1977yang diketuai oleh M.M. Bilah, 1998”. Awalnya KOMNAS yang rekomendasinya untuk HAM memberi nama Tim ini “Tim Penyelidikan Penghilangan Orang membuat penyelidikan atas tindakan Penghilangan Orang Secara Secara Paksa Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan Penculikan Aktifis oleh Paksa sesuai dengan pasal 89 ayat 3 undang-undang 39 tahun 1999 Tim Mawar”. Pemberian nama ini diprotes karena dimungkinkan tentang Hak Asasi Manusia. Disamping itu, dalam kasus Mei, pemberian nama “Penculikan Aktivis oleh Tim Mawar” hanya akan KOMNAS HAM juga pernah membentuk Tim Ad Hoc untuk mempersempit sasaran penyelidikan dan memberikan alibi yang kuat penyelidikan peristiwa pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dalam bagi para pelaku untuk melepaskan tanggungjawab atas mereka yang Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Tim KOMNAS ini bekerja mulai Januari sampai sekarang masih hilang, dan memberikan permakluman(apalogi) hingga Juli 2005 untuk menyelidiki kasus Penghilangan Orang Secara bagi Tim Penyelidik untuk tidak menyelidiki pelaku dan korban diluat Paksa antara tahun 1997-1998 dan penculikan aktivis yang terjadi di Tim Mawar. Harusnya, penamaan Tim didasarkan pada peristiwa dan beberapa daerah seperti di Solo, Jakarta, Lampung, dan beberapa korban, dan bukan pada pelaku. daerah lainya. Yang paling mendesak dilakukan dan untuk mencegah agar proses Beberapa saksi sudah mulai diperiksa untuk dimintai keterangan. penyelidikan ini tidak gagal, KOMNAS HAM harus segera melakukan Mulai korban di Lampung, Surabaya, Solo dan Bangka Blitung. inspeksi dan penyelidikan ke tempat-tempat penyekapan dan penyiksaan Hingga akhir April sekitar 25 saksi sudah dimintai keterangan. (terutama markas KOPASSUS di Cijantung) dan segera melakukan Namun, hingga kini pemeriksaan terhadap pelaku penculikan dan rekonstruksi (terutama pada kasus Andi Arief, Mugiyanto, Aan Rusdianto pemeriksaan TKP belum dilaksanakan oleh KOMNAS HAM. dan Nezar Patria) serta memeriksa para saksi pelaku. Padahal dalam posisi ini, pelaku yang dalam penyelidikan sebelumnya belum pernah datang untuk dimintai keterangan menjadi posisi Tindakan melakukan penyelidikan ke lokasi penyekapan dan penyiksaan kunci untuk pengungkapan kasusnya. Kondisi ini membuat harapan adalah sesuatu yang sangat mendesak untuk mengungkap pola penculikan korban dan keluarga korban untuk mengetahui nasib keluarga mereka dan penghilangan, mengindentifikasi pelaku dan penanggungjawab, serta dan kejelasan siapa pelaku peristiwa tersebut menjadi mengambang. mengetahui nasib serta keberadaan mereka yang sampai saat ini masih hilang. Dan, bila hal tersebut tidak dilakukan, maka pergantian sejumlah Dari hasil audiensi dengan KOMNAS HAM akhir April 2005 (28/ anggota Tim Penyelidikan, dengan orang-orang yang punya kapasitas 04), KOMNAS HAM yang diwakili oleh Koesparmono, Ruswiyati dan komitmen menegakkan HAM dan tidak memiliki rekam jejak buruk dan Samsudin menjelaskan bahwa KOMNAS sudah mengirimkan dalam penegakan HAM, adalah sesuatu yang harus segera dilakukan.*** surat ke TNI tentang pemberitahuan akan dilakukanya pemeriksaan.
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005
26
REMPAH-REMPAH Wujudkan Keadilan, kembalikan Keluarga Kami! Selama tiga hari, di akhir Maret lalu, Korban dan keluarga korban Penghilangan Paksa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan Penculikan Aktivis oleh Tim Mawar, mengadakan lokakarya di Ciawi Bogor. Dalam kegiatan ini, terdapat beberapa poin penting yang dibicarakan terutama menanggapi pembentukan Tim Penyelidikan oleh KOMNAS HAM. Beberapa penyataan yang dianggap penting diantaranya; Peristiwa Kerusuhan Mei serta Penculikan Aktivis adalah benar salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan bentuk pelanggaran berat HAM. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa jelas yang menjadi korban adalah anak-anak dan saudara-saudara kita yang merupakan penduduk sipil. Demikian juga, tindakan penghilangan pada mereka adalah tindakan sistematis yang dilakukan sebagai kebijakan negara untuk menjaga stabilitas keamanan negara. Lebih dari itu, tindakan tersebut juga merupakan tindakan yang meluas mengingat tindakan penghilangan orang tersebut dilakukan di berbagai daerah (paling tidak terjadi di Lampung, Jawa Tengah dan DKI Jakarta). Dimana, yang menjadi korban adalah warga sipil dari berbagai latar belakang dan jenis kelamin, mulai dari aktivis politik maupun masyarakat biasa. Sementara itu, KOMNAS HAM sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan masih memiliki banyak kelemahan dan kekuranganseriusan dalam melakukan kerja-kerja penyelidikan. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan lambatnya KOMNAS HAM dalam melakukan penyelidikan untuk kasus penghilangan paksa ini. Sebagai informasi, dua bulan lebih setelah Tim Penyelidikan terbentuk (Tim dibentuk tanggal 20 Januari 2005), belum ada seorangpun saksi dan korban yang diperiksa. Tim juga belum melakukan kunjungan penyelidikan terahdap tempat-tempat yang diduga menjadi tempat penyekapan dan penyiksaan para korban. Karenanya, untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit, dan untuk tidak menjadikan kerja penyelidikan ini sebagai proyek profit, maka; Tim Penyelidikan KOMNAS HAM segera mempercepat kerja-kerjanya dengan melakukan kunjungan dan penyelidikan terhadap tempat yang diduga sebagai tempat penyekapan dn penyiksaan seperti markas KOPASSUS, Mabes POLRI, Mapolda Metrojaya, MAKODAM Jaya, KODIM Jakarta Timur dan tempat-tempat lain. Tim Penyelidikan KOMNAS HAM juga harus segera memeriksa para saksi dan korban, anggota Tim Mawar, dan para perwira yang pernah diperiksa oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) karena keterlibatan mereka pada kasus penghilangan paksa tahun 1997/1998. Dengan menjadikan “semangat melawan impuntas” sebagai landasan kerja, diminta kepada semua pihak untuk tidak menghalangi usaha mewujudkan keadilan (obstruction to justice) dengan bekerja sama dengan Tim Penyelidikan, tidak melakukan teror, ancaman dan intimidasi terhadap anggota Tim dan saksi serta korban Kepada Presiden SBY untuk mendorong sepenuhnya usaha Tim Penyelidikan KOMNAS HAM sebagai bentuk komitmennya dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, mewujudkan keadilan, dan mwlindungi HAM secara umum.***
1. Setiap umat manusia mempunyai hak hidup yang melekat pada dirinya. hak ini harus dilindungi oleh hukum. tak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang. 2. Dinegara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati hanya dapat dijatuhkan bagi kejahatan-kejahatan berat sesuai dengan hukum yang verlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kovenan ini dan konvensi pencegahan dan hukuman bagi kejahatan genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan dengan putusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang. ( Pasal 6 ayat 1 dan 2 Kovenan internasional Hak Sipil dan Politik)
27
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005