KontraS Salam Redaksi Sepuluh tahun sudah, Kontras berjalan bersama dengan masyarakat untuk menyerukan penolakan terhadap kekerasan dan menjaga, menjunjung tinggi dan Korban Tindak Kekerasan) kemanusiaan. Dan pada pada tanggal 20 Maret 2008, dalam peringatan satu dekade dibentuk untuk menangani persoalan ini, Kontras mengusung tema “Human Loves Human” Menolak Kekerasan dan penculikan beberapa aktivis yang Merawat Kemanusiaan. KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang
diduga berhubungan
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang
Sementara itu, pekerjaan untuk melakukan hal tersebut, masih jauh dari berhasil, karena pelanggaran Hak Asasi Manusia masih tidak mendapatkan respon dari pemerintah, Meskipun dalam pertemuan dengan Korban Pelanggaran HAM, Presiden memberikan respon positif atas upaya penyelesaian pelanggaran HAM di negeri ini, agar korban dan keluarganya mendapatkan keadilan.
secara paksa tapi juga diminta oleh
Sedangkan penyelesaian kasus kematian Munir-pun, memasuki babak baru. Tim khusus kasus Munir yang diketuai Bambang Hendarso, mulai menunjukkan berbagai bentuk kekerasan yang kerjanya, dan mulai memanggil saksi-saksi baru dan berjanji akan menetapkan terjadi baik secara vertikal di Aceh dan tersangka baru pada bulan Juni. Hal ini dikarenakan ada fakta-fakta baru yang Papua maupun secara horizontal ditemukan dalam beberapa putusan pengadilan, untuk bisa menyelidiki keterkaitan seperti di Maluku, Sambas, Sampit BIN dengan kasus kematian Munir. masyarakat korban untuk menangani
dan Poso. Selanjutnya, ia
Impunitas-pun masih terlihat dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM, terlihat dengan adanya anjuran kepara purnawirawan yang diduga terlibat dalam kasus independen dan banyak berpartisipasi pelanggaran HAM untuk tidak datang memenuhi panggilan Komnas HAM. Selain dalam membongkar praktek itu penghuni gedung bundar pun kini menjadi sorotan terkait kasus suap Urip kekerasan dan pelanggaran hak asasi dengan Artalyta (Ayin) dan Jaksa Muda Pidana Khusus Kemas Rahman. berkembang menjadi organisasi yang
manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,
Selain itu, kekerasan terhadap masyarakat tak hanya terjadi dibelahan bumi Nusantara, seperti Aceh, Medan dan Kendari. Ramai-ramai masyarakat luas diseluruh pelosok negeri menyerukan untuk menghentikan pesta olah raga dunia, Olimpiade yang akan diselenggarakan di China, apabila kehajatan terhadap kemanusiaan di Tibet masih terjadi. Pada akhirnya kita berharap dan tidak akan pernah berhenti untuk menyuarakan agar segala bentuk kekerasan dapat hilang dari bumi kita tercinta. Dan “Human Loves Human” Menolak Kekerasan dan Merawat Kemanusiaan akan terus kita praktikkan dalam tiap kegiatan yang kita lakukan.***
Ndrie, Abu, Victor, Sinung , Alam,
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Guan Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud. Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri Suparyati. Federasi Kontras: Oslan P dan Design layout: BHOR_14 Production Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris,
Bustami. Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara), Harry Maturbong (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 021-3926983 atau
[email protected]
KontraS
2
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
BERITA UTAMA
Satu Dekade Kontras
Human Loves Human: Menolak Kekerasan, Merawat Kebebasan “Setiap orang akan mengharapkan keberhasilan dengan tingkat kegemilangan yang sama dengan sepuluh tahun lalu. Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak ada makhluk hidup yang mampu mengendalikan dan memaksakan keberhasilan dan, malah, kadang-kadang kegagalan menjadi awal keberhasilan besar mungkin karena pelajaran yang diberikan dan dengan itu semoga bisa menghantarkan lembaga ini (KontraS, red) untuk menikmati “the earnest of success” (Shakespeare) “kesungguhan suatu keberhasilan. Daniel Dhakidae Tanggal 20 Maret, menjadi tanggal bersejarah bagi Kontras. Bertepatan dengan tanggal ini pada 2008 Kontras memasuki usia kesepuluh dalam perjalanannya. Sepuluh tahun menapaki jejak-jejak untuk terus berupaya merawat komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dengan sepenuh hati dalam menentang berbagai bentuk kekerasan.
Namun dalam tahun-tahun belakangan kekerasan tak lagi datang dari alamat penguasa, melainkan ia datang dari alamat yang berbeda-beda. Kekerasan bisa datang dari alamat suku atau etnis, agama atau kelompok tertentu dalam Dok. Biro foto kepresidenen sebuah agama, pendukung partai politik atau calon kepala daerah, pendukung dan penolak pembentukan wilayah baru, kekerasan demi mudahnya proyek Sepuluh tahun tahun pula globalisasi ekonomi pasar Kontras belajar bahwa bahkan kekerasan kekerasan dalam kehidupan bertebaran di lapangan adalah sesuatu masalah sepak bola hingga konser yang tak mudah dilawan. musik. Singkatnya Sama artinya menentang kekerasan telah beranakkekerasan membutuhkan pinak dengan subur dalam banyak dukungan, sepuluh tahun tahun kreatifitas, kesabaran Presiden SBY menerima Kontras dan perwakilan korban terakhir dan menimbulkan untuk teguh pada kerusakan alam yang tak komitmen. Dari terbayangkan bagaimana pengalaman 10 tahun itu, menurut Koordinator Usman memperbaikinya kelak. Hamid, mereka telah belajar bahwa kekerasan dalam kehidupan, bukanlah masalah yang mudah untuk dilawan. Dan saat kebebasan dirayakan sedemikian rupa, kekerasan “Teror, kecaman, hinaan hingga kekerasan pada kami dari menyusup ke tengah-tengahnya. Bahkan kekerasan-pun rumah hingga tempat bekerja membuat jalan kami seperti dipakai untuk membenarkan brutalisme. Sedang konstitusi pilihan hidup yang mendaki. Tentunya Kontras juga negera seakan dihempaskan oleh sekelompok orang yang menyadari bahwa untuk mencapai perlu dukungan,” merasa dirinya paling benar. Semua kitab hukum seakan tak katanya ada nilainya ketika setiap orang melakukan teror dan kekerasan untuk membangun impunitas pada dirinya. Lebih lanjut Usman mengatakan bahwa dalam perjalanan Kebajikan politik, kesopanan publik dan konstitusionalisme yang telah menempuh jarak tempo selama 10 tahun, dipaksa hilang. Hingga kita bertanya, bagaima kita Kontras juga mulai melihat terjadinya perubahan dari menghadapi ini semua? habitus kekerasan. Jika sebelum reformasi dan awal-awal reformasi terjadi, kekerasan adalah laku dari kekuasaaan Sementara menilik dari sudut pandang yang lain, mengutip dan laku kekuasaan itu mengepung setiap ruang hidup apa yang ditulis B Josie Susilo Hardianto, dalam artikelnya bersama. Hingga aroma ketakutan menjalar ke semua yang dimuat di harian Kompas (19/3), “ Kontras 10 tahun, penjuru, dan pada gilirannya merampas kebebasan dalam Menyuarakan yang Teraniaya”, dikatakan bahwa kelahiran segala maknanya yang dibutuhkan manusia. dan perjalanan Kontras mengiring arus reformasi yang bergulir di negeri ini. Pilihan sikap yang diambil (sebagaimana
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
3
BERITA UTAMA diambil oleh motor pendirinya, Munir), telah menempatkan Kontras sebagai lembaga milik para aktivis HAM, tetapi juga saluran dan pembuka harapan para korban. Karena itu, sejatinya, dalam satu dekade perjalanan Kontras, yang paling utama adalah kepercayaan korban terhadap Kontras. Yang termasuk didalamnya kesungguhan dan kegigihan korban yang telah ditunjukkan selama ini, untuk tetap setia berjuang melawan lupa, mendamba kebenaran dan keadilan, untuk masa lalu dan dan masa yang akan datang. Namun sampai dengan tahun kesepuluh reformasi, kita masih dihadapkan pada penistaan kemanusiaan. Penolakan Jaksa Agung untuk menyelidik kasus pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I-II, Mei 1998, penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pro demokrasi, putusan pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang membebaskan para pelaku dan menolak permohonan kompensasi korban, penolakan para mantan petinggi militer memenuhi panggilan Komnas HAM untuk kasus Talangsari 1989, serta keengganan pemerintah membuka mata dan hati untuk mengakui betapa peristiwa 1965 telah merenggut jutaan hak anak bangsa yang tidak berdosa, dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, menjadi cermin bentuk-bentuk kekerasan yang masih terus dilakukan tanpa pernah diselesaikan.
Undangan presiden
asasi manusia di Indonesia,” ujar Koordinator Kontras, Usman Hamid, yang ditemui di sela-sela acara ulang tahun. KontraS tidak menyia-nyiakan undangan ini, pada Rabu siang 26 Maret, KontraS memenuhi undangan Presiden. Pada pertemuan itu KontraS menyampaikan evaluasi tentang problem kekerasan yang terus berlangsung dan problem penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang tidak juga mengalami kemajuan. Pertemuan ini diharapkan menjadi salah satu moment penting yang akan melahirkan harapan positif. Selain Usman Hamid, dalam pertemuan tersebut hadir Karlina Supelli (Pendiri Kontras), Hiratetty Yoga (keluarga korban Trisakti), Sumarsih (keluarga korban Semanggi I) , Tuti Koto (keluarga korban penculikan). Azwar Kaili (korban Talangsari), Irta Sumirta (Korban Tanjung Priok), dan Ruminah (keluarga korban Mei 98). Usai pertemuan itu, Usman Hamid mengatakan bahwa Presiden memberi respon positif atas upaya penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di negeri ini dan menegaskan perlu penyelesaian kasuskasus tersebut, agar korban dan keluarganya menemukan keadilan. Beberapa harapan positif tumbuh ketika dalam pertemuan itu, Presiden juga mengatakan, dalam penyidikan kasus Munir upaya hukum tidak berhenti pada terpidana Pollycarpus. Presiden mengatakan, perkara itu diselesaikan secepat mungkin, dan siapapun yang terbukti terlibat
Dalam perhelatan 10 tahun KontraS ini, KontraS menggelar Human Rights Annual Lecture Dhaniel Dhakidae memberikan lecture dalam ultah mengambil tema Human Loves kontras yang kesepuluh Human: Menolak Kekerasan, Merawat Kebebasan. Sedianya harus dihukum berat. KontraS mengundang Presiden untuk dapat hadir pada perhelatan tersebut. Namun karena Presiden Susilo Bambang Dalam pertemuan itu, Presiden terkejut mendengar kondisi Yudhoyono pada waktu bersamaan telah ada agenda, maka di Talangsari Lampung yang belum dialiri listrik. “Presiden Presiden mengundang Kontras untuk hadir di Istana. menanyakan berapa kilometer jarak antara Talangsari dan Soal undangan presiden ini dikomentari oleh Kompas sebagai sesuatu yang istimewa, “tidak pernah dalam sejarah Indonesia seorang Presiden mengundang sebuah LSM ke Istana sebagai penghormatan beliau karena tidak bisa hadir dalam acara ulang tahun,” demikian ditulis Kompas.com (26 Maret 2008, 20:57 WIB, Presiden, Slank dan Evolusi KontraS) tentang undangan Presiden itu. “Kami memang mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi Presiden mengatakan tidak bisa datang. Sebagai gantinya, tadi siang beliau mengundang kami ke istana dan kami berbicara banyak tentang perkembangan hak
4
Bandar Lampung. Hingga kini Talangsari belum dialiri listrik, “ ujar Usman. Mendengar hal itu Presiden mengatakan akan mengirim utusan khusus untuk bertemu dengan Gubernur Lampung dan Bupati Lampung Timur. Presiden, lanjut Usman, juga akan memanggil Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, yang sebelumnya mengomentari pemanggilan sejumlah pensiunan Jenderal oleh Komnas HAM. “Presiden sempat mengatakan, sebaiknya menteri tak mengatakan sesuatu di luar kompetensinya, “ kata Usman.
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
BERITA UTAMA Pada pertemuan tersebut, Presiden SBY juga mendengarkan para korban secara detail cerita mereka sampai kepada hal-hal yang spesifik. Misalnya, menyangkut masalah berkas penyelidikan kasus Semanggi 1 dan 2, Tragedi Mei, dan penculikan aktivis yang sudah sampai di Kejaksaan Agung. Para keluarga korban mendengar informasi bahwa berkas-berkas itu hilang. “Presiden berjanji untuk mengecek ke Jaksa Agung secara langsung, untuk kemudian diupayakan langkah lanjutnya di masa yang akan datang,” kata Usman.
Membangun peradaban baru Sementara itu, Presiden SBY menilai apa yang sudah dilakukan oleh Kontras adalah bagian dari upaya kita membangun peradaban baru di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Jubir Presiden, Andi A. Mallarangeng. “Presiden sangat menghargai apa yang sudah dilakukan oleh Kontras. Kata Presiden, KontraS adalah bagian dari upaya kita membangun peradaban baru di Indonesia. Peradaban yang non kekerasan, peradaban yang damai. Dan ini merupakan tugas kita semua, salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Kontras dan kawan-kawan yang lain,” kata Andi.
Menurut Andi, Presiden juga menegaskan tidak peduli status dari kasus-kasus tersebut. Apakah pelanggaran HAM biasa atau HAM berat. “Keadilan harus dituntaskan, yang bersalah harus dinyatakan bersalah. Siapun dia. Yang tidak bersalah tentu tidak bersalah, yang kesalahannya besar dihukum berat, yang kesalahannya ringan dihukum ringan,” Andi menegaskan. Ketika menerima pengurus Kontras, Presiden SBY didampingi oleh Menko Polhukam Widodo AS, Mensesneg Hatta Rajasa, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, dan Jubir Presiden Andi Mallarangeng.
Puncak perayaan Sementara puncak peringatan HUT kontras, sejak awal telah digagas dan dikonsep berbeda dengan peringatan kelahiran Kontras di tahun-tahun sebelumnya. Dimulai dengan peringatan satu dekade ini Kontras ingin mengembangkan tradisi baru pada peringatan hari jadinya dengan menggelar public lecture (kuliah umum). Pilihan pada model acara ini diharapkan dapat memberi kesempatan bagi mereka dari kalangan pemerintah maupun masyarakat yang memiliki kualifikasi, memberikan pandangan dan pencerahan terhadap gagasan HAM dan kebangsaan. Diharapkan pula gagasan itu terkait dengan isu yang jadi panduan bagi pengembangan peradaban yang jauh lebih baik di masa datang.
Presiden SBY, lanjut Andi, sudah mendengarkan satu demi satu kasus-kasus yang disampaikan Kontras. Presiden memerintahkan kepada Menkopolhukam untuk Pada akhirnya perhelatan satu dekade segera menggelar Kontras-pun digelar. Rabu (26/03), bertempat pertemuan di tingkat di Dhanapala Gedung D, Departemen kabinet dengan agenda Keuangan, Jakarta Pusat, acara ini seperti yang disampaikan dilangsungkan. Sejak pukul 18.30 WIB, tamuKontras. “Ada perubahan tamu mulai berdatangan. Hingga akhirnya dari kekerasan negara sekitar 500 undangan diperkirakan hadir. menjadi kekerasan non Diantara tamu yang hadir, tampak juru bicara negara, yang dilakukan Presiden Andi Mallarangeng, Menteri Pemuda oleh berbagai unsur di dan Olahraga Adhyaksa Dault, Ketua Komisi Jimly Asshidiqie memberikan lecture dalam masyarakat. Yudisial Busro Muqodas, Ketua Komisi III dalam Ultah Kontras-10 Presiden menegaskan tadi Trimedya Panjaitan serta anggota DPR bahwa fungsi dan tugas Lukman Hakim Syaifudin, rombongan parodi negara dan pemerintah adalah untuk melindungi atau republik mimpi, wakil dari Mabes TNI, wakil Mabes AD, melayani warga negara. Siapapun. Tidak boleh ada warga Dirjen Lapas dan Direktur HAM dari Dep.Hukum dan HAM, negara melakukan kekerasan terhadap warga negara yang wakil dari Deplu, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim dan lain. Itu prinsip yang harus ditegakkan, oleh karena itu Komisioner Komnas Stanley, Syafii Maarif mantan ketua merupakan bagian dari konstitusi,” Andi menjelaskan. umum PP Muhammadiyah, kalangan NGO, korban dan Sejalan dengan pemikiran yang disampaikan pengurus keluarga korban, mahasiswa, rekan-rekan pres, dan tamu Kontras, Presiden SBY mempersilakan Kontras untuk undangan lainnya. menghubungi pejabat-pejabat negara manapun untuk Acara ini dimulai sekitar pukul 19.00 WIB rangkaian dimulai pendampingan-pendampingan yang dilakukan oleh dengan pemotongan tumpeng, yang dibagikan kepada Andi Kontras. “Dan Presiden memerintahkan semua pejabat Mallaranggeng, Adhyaksa Daud, Jimly Asshidiqie, Lukman negara untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya dalam Hakim Syaifuddin, Kaka Slank, Ibu Sumarsih serta pewakilan rangka menuntaskan kasus-kasus kekerasan dan ketidak Kontras Rohman. Acara berlanjut dengan kata sambutan dari adilan di negeri ini,” ujar Andi.
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
5
BERITA UTAMA Andi Mallarangeng. Dalam hiburan hari ulang tahun Kontras tidak lagi diisi oleh nyanyian para aktivis yang bersuara parau dengan sound system seadanya. Malam ini grup band Slank datang menyumbang dua buah lagu.
keadilan di negeri ini tidak lagi cukup hanya diteriakkan di jalan-jalan, tapi juga disuarakan dalam dialektika intelektual dan jejaring persahabatan yang luas,” terang Usman kepada rekan-rekan pers.
Malam itu sangat berbeda dengan peringatan ulang tahun Kontras sebelum-belumnya. Biasanya ulang tahun Kontras tak jauh dari atmosfir aktivis yang beraura kaum pinggiran. Acara utama adalah orasi di panggung terbuka dengan aneka hiburan rakyat dan dihadiri keluarga korban pelanggaran ham yang selama ini didampingi kontras. Malam itu, di atas panggung berlatar hitam yang adalah slide yang silih berganti menampilkan gambar tokoh-tokoh kemanusiaan seperti Nelson Mandela, Bunda Theresa, dan Munir. ”
Usai acara itu beberapa kesan positif muncul seperti dinyatakan oleh Jimly Asshiddiqie (13/4): “Menurut saya, esensi dari konstitusi adalah agar setiap manusia mencintai manusia, tanpa membeda-bedakan agama, keyakinan politik dan lain sebagainya. Saya senang dengan istilah ‘human loves human’, karena itu menggambarkan pesan konstitusi. Makanya saya mendukung KontraS.”
Dari dunia selebritis tidak hanya Slank yang ikut berpartisipasi. Sutradara muda Indonesia Riri Riza yang juga anggota Perkumpulan KontraS menjadi “dalang” dari seluruh rangkaian acara. Di pojok panggung, artis Happy Salma dan aktor Nicholas Saputra berdiri sebagai MC. “Puji Tuhan, mereka semua teman-teman kontras yang tidak bersedia dibayar,” jelas Usman. Malam ini juga terasa berbeda karena puncak acara perayaan ulang tahun adalah kuliah umum tentang hak asasi manusia. Hadir sebagai pembicara dosen pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Karlina Supelli, Kepala Litbang Kompas, Dhaniel Dhakidae, dan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Ash-shidiqie. “Kami hendak membangun tradisi baru, sebuah cara baru menyuarakan hak asasi manusia. Zaman berubah, suara
Berbeda dengan Jimly, Ahmad Syafii Maarif (17/4) mengatakan: “Problem Indoenesia sudah semakin serius, tidak cukup dengan orang baik, perlu orang yang berani ‘menabrak’ seperti KontraS. Kalo agamawan sering hatihati, sopan, tapi sering membuat posisinya tidak jelas. Saya senang dengan KontraS. Berbuat baik, posisinya selalu tegas dan sangat mengerti bahasa gaul seperti human loves human.” Tetapi, perjalanan Kontras masih sangat panjang dan dibutuhkan begitu banyak kekuatan dalam menolak kekerasan dan merawat kebebasan itu sendiri. Seperti yang diutarakan oleh Usman Hamid di akhir pengantarnya di malam itu, “Semoga kita semua diberikan matahari ilmu yang terus terbit di setiap fajar yang menyingsing waktu. Sehingga apa yang menjadi doa, harapan serta kerja keras perjuangan, kelak mendatangkan Indonesia yang jauh lebih baik. Bumi yang bebas dari kekerasan, yang di dalamnya setiap manusia mencintai alam semesta dan mencintai semua makhluk yang ada di dalamnya.” ***
Kontras berkunjung ke Harian Kompas Pemerintah didesak agar konsisten dan berani memberikan akses dan pengakuan terhadap hak atas keadilan dan pemulihan ( rights to justice and remedies) bagi keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat. Hal itu terutama menyangkut pengungkapan soal fakta yang sebenarnya terjadi dan menimpa anggota keluarga mereka. Pernyataan itu terlontar saat Kontras dan perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM berkunjung ke redaksi Kompas di Jakarta (8/4). Keluarga korban antara lain Hiratetty Yoga (ibu Elang Mulia Lesmana, korban peristiwa Trisakti tahun 1998), Tuti Koto (ibu Yani Afri, korban penghilangan orang tahun 1997-1998), dan Arif Priyadi (ayah Bernadus Irmawan, mahasiswa korban peristiwa Semanggi). Mereka juga didampingi Asmara Nababan. “Jika misalnya, pemerintah saat ini masih menganggap sulit untuk memenuhi kedua hak itu, paling tidak pemerintah jangan hanya menghalangi hak keluarga korban untuk mengetahui kebenaran (rights to truth) tentang apa yang terjadi, “ ujar Usman. Pemenuhan hak atas kebenaran minimal bisa dilakukan dengan tak menghalangi proses penyelidikan. Usman menambahkan, terdapat pengalaman berharga yang bisa dipetik Indonesia dari proses penyelesaian kasus penculikan orang di Argentina. Pemerintah Argentina pada dekade 80-an mendirikan Conadep yang bertugas mencari kejelasan dan kebenaran soal orang yang menjadi korban pelanggaran HAM berat. Pemerintah Argentina memperbaiki kondisi korban dan keluarganya, yang kebanyakan memang berada dalam kondisi lemah secara ekonomi, dengan memberikan berbagai bentuk tunjangan dan reparasi. Sedang Ibu Tuti Koto mengatakan, dirinya ingin mendapatkan keadilan bagi putranya. “Semua sidang pengadilan HAM berat saya ikuti, tetapi sampai sekarang kenapa kasus kami tak pernah terungkap, “ ujar Ibu Tuti.***
6
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
SUARA KORBAN
Bagaimana Mungkin Melupakan Talangsari?* Isbedy Setiawan ZS
Bagaimana mungkin aku melupakan saat saat kau Datang membawa dendam ke rumah-rumah kami? Bagaimana mungkin aku dapat menghapus wajahmu Garang ketika menyambangi kampung kami? Bagaimana mungkin bisa, meski kalian rayu atau paksa Kami untuk menghapus kenangan pahit dan luka itu Ingatlah ketika kami tak berdaya diancam moncong senapan, Atau saat tubuh-tubuh kami dikoyak-koyak peluruhmu. Anak-anak kami, istri kami, suami kami, atau kerabat taklim kami, Harus lari ke kebun-kebun diburu angkaramu. Apa kau masih ingat? Lalu bagaimana mungkin kau suruh kami melupakan Peristiwa pahit dan mencekam itu? Lalu bagaimana bisa kami Terima salam manismu agar kami melupakan orang-orang tercinta Yang mati ditembus kebencianmu? Bagaimana bisa? Kami tak mungkin melupakan tanah kami, Kampung kami, kebun-kebun kami, rumah-rumah kami, Inilah tanah kami, talangsari kami yang pernah asri itu... Meski di luar hati kami, matahari berkali-kali ganti Kalender bertukar warna, kami akan tetap mengenang hari-hari pahit Penuh air mata dan darah itu…. -juga kuburan massal tiada nisan itu-
* Diambil dari buku Ontologi Puisi “orang-orang Talangsari”
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
7
OPINI Pengantar Lecture Satu dasawarsa Kontras
Menolak kekerasan dan merawat kebebasan Karlina Supelli (Dosen di Program Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). Realitas apakah yang mau ditunjuk oleh kebebasan? Mengapa kata ini menjadi sedemikian keramat? Banyak orang dihilangkan secara paksa dan mati dibunuh demi merawat kata ini. Sepuluh tahun yag lalu, Kontras lahir. Secara tersirat, kelahirannya adalah demi kekerasan, baik kekerasan akibat penyalahgunaan kekuasaan maupun dalam perjalanannya-kekerasan antar warga yang kian meluas. Hubungan antara Kebebasan dan Kekerasan itulah yang amat ringkas akan saya sampaikan dalam Pengantar ini.
1. Problematika Kebebasan Dari kedalaman refleksi seorang fisuf Jerman yang hidup pada abad ke-18, Immanuel Kant, kita belajar bahwa kebebasan adalah suatu postulat. Kebebasan bukan sesuatu yang dapat dibuktikan, melainkan pengandaian metafisis yang perlu agar moralitas menjadi mungkin.
arti inilah kebebasan terkait dengan kebutuhan manusia bereksistensi. Ia bebas dari segala tekanan yang membuatnya terasingkan dari kehidupan bersama, serta bebas untuk menjalankan kehidupan yang utuh dan mandiri sebagai manusia.
2. Kebebasan dan Kekerasan Masalahnya, dalam proses mewujudkan kebebasan, manusia berhadapan dengan dilema. Perjuangan kelompok membela suatu jenis kebebasan ternyata bertentangan dengan pengejaran kelompok lain untuk kebebasan yang lain lagi, yang pada gilirannya justru melenyapkan kebebasan itu sendiri. Kebebasan beragama suatu kelompok bertentangan dengan kebebasan berpendapat kelompok lain, dlsb. Disinilah kekerasan kerap berperan, sebagai barbar untuk menyelesaikan pertentangan.
Problem kita adalah kita terus menebar omongan mengenai Civil Society, tanpa menyadari bahwa jantung dari Civil Society adalah Civilitykeberadaban. Kita terjebak dalam posisi Apa yang secara masyarakat warga dan militer kala kultural kita beberbicara mengenai civil society, padahal namakan sebagai antitesis dari civility bukan militer ketakberadaban, melainkan kekerasan, ketidakberadaban.
Masalahnya, jika seseorang mengatakan “saya bebas”, hampir bisa dipastikan bahwa kita akan sedikit bingung. Apakah yang ia maksudkan? Apakah maksudnya ia bebas dalam konteks dari kemiskinan, dari tekanan, ataukah ia bernegara adalah bebas untuk berbuat semaunya, atau bebas Kita lupa bahwa alasan kita untuk berpendapat, dlsb? Pernyataan “saya mendikhotomikan civil society dengan ketiadaan polity/ bebas” ibarat rumah kosong. Bagaimana militer persis karena kita mengenali bahwa p o l i t e i a rumah itu akan dihuni bergantung pada alasan pengalaman kita, militer merupakan (tatanegara). bagaimana kata itu akan dijatuhkan ke dalam alat kekerasan. Inilah yang dengan sangat gejala. Dan itu berarti kita menambahkan cermat ingin dijernihkan oleh almarhum keterangan (bebas dari...kebebasan dalam arti Munir, salah seorang pendiri Kontras. negatif) atau kata kerja (bebas untuk....kebebasan dalam arti Namun ironisnya, persis karena itu ia menjadi korban positif). ketakberadaban kekuasaan. Ketika dalam konteks memajukan hak-hak asasi manusia, kita gigih memperjuangkan kebebasan berpendapat, apakah artinya? Tidakkah keutamaan pernyataan “kebebasan berpendapat” muncul dari fakta bahwa kita menganggap penting bagi seseorang untuk dapat mengekspresikan pendapatnya?
Apa yang secara kultural kita namakan sebagai ketakberadaban, dalam konteks bernegara adalah ketiadaan polity/politeia (tatanegara). Civility berasal dari civis, yang menunjuk ke warga negara. Sebagai warga negara, seseorang bertindak atasa dasar konstitusi. Ia punya polity dan karena itu secara kultural, ia civilized-beradab. Tanpa polity, tanpa konstitusi, yang berlaku adalah hukum rimba.
Kata kebebasan bersifat fragmentaris, ia kosong kecuali disertai dengan apa yang disusulkan sesudah kata itu. Dalam
8
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
OPINI Bersama pemahaman ini, melekat sebuah catatan, sebagaimana nanti akan tampak dalam pemaparan Annual Lecture ini. Berbicara mengenai konstitusi bukanlah semata berbicara tentang undang-undang qua undang-undang, melainkan seluruh proses menjelmakan dan merawat keutuhan eksistensi manusia melalui cara-cara yang beradab.
3. Keberadaban dan Ingatan Kontras lahir 20 Meret 1998 sebagai jawaban terhadap permintaan keluarga korban yang sanak keluarganya diculik. Sesungguhnya sudah sejak tahun 1965, ratusan ribu nyawa di Indonesia dihilangkan secara paksa. Dari seluruh jenis kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia, inilah bentuk kejahatan yang terberat. Pernyataan ini tidak sedikitpun bermaksud mengurangi tingkat kekejian bentukbentuk pelanggaran HAM lainnya.
Antara dasar jurang yang menyembunyikan nasib korban dan tepian tempat para keluarga menanti, terentang jarak yang amat besar. Betapapun pahit kepastian yang akan menyeruak ke permukaan, almarhum Munir dan rekan-rekannya di Kontras berjuang keras memerpendek jarak itu. Pembunuhan Munir adalah tragedi kemanusiaan pahit bagi negeri ini. Malam ini, Kontras mengajak kita untuk merefleksikan, bagaimana kita akan menyikapi ketakberadaban, yang di negeri ini telah merembet ke hampir semua simpul kehidupan. Mulai dari cara memanfaatkan fasilitas publik, cara beragama, cara berbisnis, sampai atau boleh jadi terutama-cara berpolitik. Kita merenungkannya di atas ingatan akan korban dan di atas kerinduan lengang keluarga korban terhadap sanak keluarga mereka. Kita merenungkannya di atas seruan politik kealpaan, yang terus mendesak agar kita melupakan masa lalu. Padahal ingatan justru bekerja menurut paradoksnya sendiri. Ingatan merupakan prasyarat bagi pemikiran akan masa kini dan masa depan. Masa kini dan masa depan dipandu bukan oleh ide-ide yang jatuh dari langit, melainkan oleh ingatan akan sebuah dunia yang pernah ada di masa lalu dan bagaimana kita menanganinya.
Bagaimanapun, inilah horor berkepanjangan bagi yang diculik maupun bagi k e l u a r g a n y a . Penghilangan orang merupakan penyangkalan atasa kemanusiaanya. Orang hilang diangap tidak ada, a non-being. Aspek manusiawi yang paling mendasar dari seseorang, yakni pengalamannya akan r u a n g - w a k t u , disingkirkan. Korban Kala politik-termasuk disembunyikan di tempat Karlina Supelli memberikan sambutan dalam acara Ultah Kontras -10 politik beragama dan yang mereka sendiri tidak berbisnis-terampas ke tahu, tanpa tahu juga melulu derap mengejar pergantian siang-malam. Sementara keluarga mereka terus menunggu tanpa tahu kekuasaan yang meninggalkan bangkai korban berceceran dis kapan penantian itu akan berakhir dan dalam bentuk duka eluruh negeri, mengingat bukan lagi perkara psikologis. Perlawanan terhadap ketidak adilan ‘pelupaan’ merupakan atau suka. prasyarat kehiduan politik sekaligus tuntutan etik. Kita Di negara demokratis, betapapun besar kejahatan dibawa ke muasal segala kekejian dan semua itu tidak seseorang, ia berhak untuk didakwa, diadili, dinyatakan terulang. Tanpa kesadaran ini, sejarah hanya akan merupakan sebagai tahanan, dan diberi tahu hukumnannya. Hanya keulangbalikan mengerikan tanpa akhir. Tragedi hanya dalam pemerentahan yang lembaga hukumnya tidak menjadi trasendensi ketika sejarah membawa di dalam dirinya berfungsi, penghilangan paksa menjadi jalan untuk meneror kemungkinan bagi situasi eksistensi yang baru. Kongkretnya, warga yang kritis. Pemerintah dapat berpura-pura tidak ini adalah menjawab pertanyaan bagaimana kejahatan masa bertanggungjawab dengan mengatakan tidak tahu menahu lalu diselesaikan dengan cara-cara yang beradab, sehingga terbuka landasan yang memadai bagi sebuah peradaban baru mengenai kejadian itu. di negeri ini. Sebuah peradaban tanpa kekerasan. ***
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
9
OPINI Lecture Utama
Dari Bencana Manusia Hilang Menuju Ke-warga-negaraan-an Aktif Daniel Dhakidae Hari ini kita merayakan 10 tahun Kontras dalam kancah politik Indonesia. Sepuluh tahun terasa lama kalau persoalan terus-menerus mendera, dan setiap upaya seperti menabrak dinding, akan tetapi terasa singkat bukan karena keberhasilan, akan tetapi adanya secercah harapan bahwa dinding lebih menjadi tantangan dan bukan nasib. Karena itu masa sepuluh tahun jangan hanya dijadikan rentangan sang waktu-susul-menyusul antara jam-hariminggu-bulan, dan tahun. Masa sepuluh tahun harus menjadi tonggak. Untuk menjadi tonggak tidak ada yang lain daripada melihat sejenak ke belakang untuk mengambil langkah ke depan. Itu artinya melihat kembali dan menginterogasikan tahun 1998, bulan Maret. Semua yang hadir di dalam ruangan ini tahu, dan dalam dugaan saya semua yang hadir di dalam runagan ini pun bukan hanya sekedar tahu akan tetapi mengalami apa artinya Maret 1998. Ketika kita berada sekarang pada bulan Maret 2008, maka bulan Maret itu tampil dengan wajah yang sangat berbeda, yaitu wajah tolak-tarik antara badan eksekutif dan parlemen dalam urusan apa saja : Dirut bank sentral yang ditolak DPR, komite anti korupsi yang menangkap jaksa yang melakukan tindak korupsi, memecat jaksa lainnya. Semua itu mungkin hanya sekedar pentasan, dan mungkin juga sekedar mainmain sebagai political gimmics. Namun, dibaliknya, peristiwaperistiwa itu menunjukkan ada suatu jenis permainan yang berbeda, a new game in town dan mungkin juga the only game in town, yaitu menyemburnya percik-percik demokrasi yang sedang berjalan. Saya mengatakan di sini sebagai “percikpercik demokrasi perwakilan, menjadi tujuan ketika rakyat menderita dalam kebingungan karena demokrasi malah mempersulit hidup, demokrasi melipat-gandakan korupsi; demokrasi memperlebar jurang antara yang miskin dan kaya. Kita selalu dihantui pertanyaan apakah masa sepuluh tahun itu subur, ataukah meranggas, seperti pohon dengan daundaun berguguran”. Untuk kembali kepada sepuluh tahun lalu, mari kita periksa apa yang terjadi pada bulan Maret 1998. B ulan Maret 1998 tidak lain dari the last ditch defense of a falling regime, pembelaan diri matian-matian dari suatu rezim yang sudah lapuk, letih yang bisa dibandingkan dengan besi yang tampak kukuh dari luar tetapi di dalmnya hancur karena mengidap iron fatigue, besi letih atau letih besi. Apa yang terjadi? Itulah
10
saat MPR Orde Baru menjalankan rapat terakhir yang tidak pernah dibayangkannya sebagai terakhir, akan tetapi malah dianggap rapat MPR pertama dalam siklus pemilu yang ke tujuh kalinya dalam masa Orde Baru. Itulah rapat MPR yang sudah membutakan dirinya untuk tidak melihat bahwa krisis yang sudah berlangsung satu tahun sejak awal Juli tahun 1997 adalah krisis besar, yang dengan seluruh kekuasaan yang diberikan ke atasnya masih mengumumkan bahwa krisis itu adalah krisis nilai tukar rupiah. Seenteng itu! Namun, bukan itu urusan kita hari ini. Yang menjadi urusan kita adalah apa yang terjadi di luar parlemen Orde Baru. Yang terjadi adalah berminggu-minggu demonstrasi di UGM, dan di kampus-kampus lain, berpuluh mahasiswa yang dikejar keluar kampus oleh badan-badan keamanan, dan ada yang dibunuh, dan untuk langsung menyentuh apa yang malam ini diperingati berpuluh kaum aktivis yang dihilangkan secara paksa, yang tentu saja menjadi terjemahan Indonesia untuk suatu istilah baku yang diperkenalkan dan dibela oleh Amnesty Internasional, forced disappearances, penghilangan manusia secara paksa. Penghilangan paksa adalah bentuk ekstrim dari kekerasan. Sedangkan kekerasan lain seperti pemasangan IUD, intrauterine device, meraja-lela ketika perempuan-perempuan desa menjadi seperti sapi betina, dikumpulkan, dipaksa memakai IUD untuk mensukseskan KB. Penyiksaan tubuh perempuan sudah berlangsung berdasawarsa lamanya. Pembongkaran penyiksaan secara sistematik baru terjadi ketika proses penyadaran tentang modal, kekuasaan, dan dominasi patriarki dibongkar tahun 1980-an oleh kaum aktivis perempuan. Yang jauh-jauh lebih memilukan dalam hal semua kekerasan di atas adalah kebisuan politik yang terus menguasai masyarakat seperti tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan memanfaatkan kemampuan melihat ke belakang teknik penghilangan adalah metode kekerasan yang paling canggih, sulit dideteksi, dan hampir tidak mungkin dihentikan. Kekerasan fisikal dalam bentuk ini menjadi penutup babak kekerasan Orde Baru yang efektif untuk beberapa alasan. Pertama, jenis kekejaman fisikal hampir berada di luar bayangan siapapun. Kedua, efek psikologis dengan memainkan ketegangan antara keterbukaan dan
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
OPINI kerahasiaan. Ketiga, efek politis yang luas justru diolah dan dikembangkan karena kerahasiaan. Di sini terjadi suatu paradoks yang sangat menyakitkan dan sekaligus menakutkan, yaitu paradoks antara kerahasiaan dan keterbukaan. Kerahasiaan harus dijagasiapa yang menangkap di mana dan kapan - dan ketidakpastian nasib antara hidup dan mati harus tetap dipermainkan, namun di pihak lain, kerahasiaan ini harus diketahui secara terbuka. Harus dibuka di media untuk memperluas efek takut. Keterbukaan dimungkinkan oleh dua alat yang dimiliki pihak masing-masing yaitu penculik dan korban. Korban dan penculik memiliki jaringan yang luas. Duanya, penculik dan korban, memiliki atau menguasai media. Jaringan korban menjadi alat utama membuka peristiwa “rahasia” itu. Unsur kerahasiaan justru mencari keterbukaansemakin tersebar ke dalam seluruh jaringan bahwa seorang atau beberapa orang hilang maka efek psiko-politik semakin tinggi dan semakin mencekam. Semakin media massa memberitakan penghilangan misterius yang tidak pernah diselesaikan semakin mencekam lagi. Namun, di tengah itu setiap penghilangan politik pada akhirnya organisasi seperti Kontras mampu mendobrak kesunyian itu dan perubahan terjadi ketika kerahasiaan dibongkar pada tanggal 27 April tahun 1998, dan ketegangan diputuskan. Hal tersebut terjadi ketika di depan Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, para korban membongkar hal-hal berikut ini yang lebih merupakan cerita horor fiksi daripada peristiwa sungguhan. Dia diambil tiga orang yang tidak dikenal dengan tangan diborgol ke belakang serta mata ditutup, dibawa ke suatu tempat yang tidak mampu diindentifikasikannya. Selama di tempat rahasia tersebut, dia menjalani pemeriksaan disertai penyiksaan. Dia disetrum, dipukul, dan direndam di dalam sebuah bak. Ketika dia dikeluarkan dari tempat tahanan, setelah dua bulan berada dalam incommunicado, 4 Februari sampai 3 April 1998, dia diberikan peringatan oleh aparat militer “agar tidak mengungkapkan kepada siapapun apa yang menimpanya”. Semua pengakuannya di depan Komnas HAM dia berkata “saya mengatakan ini dengan resiko dibunuh. Mereka mengatakan akan mencari saya sampai kapan pun dan dimana pun jika mengungkapkan kejadian ini kepada umum.” Dalam kasus ini hampir seluruh deskripsi yang dipakai oleh Amnesty Internasional bisa dikenakan dengan sangat teliti. Dua komponen utama bisa dilihat dalam hal ini. Pertama, seluruh ritual fisik hampir-hampir memenuhi tuntunan buku teks tentang bagaimana menggabungkan dua hal yaitu forced disappearance dan torture, hilang dan siksa,
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
penghilangan dan penyiksaan. Di sana dibongkar ritus-ritus penyiksaan : dia ditodong dengan pistol sambil mengatakan : “Ikut, ikut saya....saya sendiri polisi,.....Masuk, duduk di dalam...Nanti malam kamu mati.” Menghubungkan penangkapan, polisi dan kematian adalah tiga hal yang bisa bertabrakan satu sama lain. Kalau mereka itu benar-benar polisi mungkin bisa berhubungan dengan penangkapan, akan tetapi dalam suatu tata cara hukum normal tidak mungkin langsung boleh dihubungkan dengan kematian apalagi langsung nanti malam oleh polisi. Menghancurkan psike seseorang menjadi tujuan paling penting dari suatu penyiksaan. Dan siksaan terbesar untuk rakyat pada masa Orde Baru adalah kalau berhasil meyakinkan korban bahwa : “kamu PKI, kamu PRD.” Namun, ketika semua hanya mereka-reka tentang pelaku maka Munir dari Kontras, YLBHI, dengan tegas mengatakan bahwa tingkat keterlibatan militer begitu jauh sehingga melibatkan delapan institusi militer mulai dari Koramil, Kodim, Mabes Polri, Polda Metro Jaya dan lain-lain. Semuanya berjalan menuju yang kedua yaitu tujuan dari mereka yang mempraktekkan penganiayaan yaitu kata-kata, dan pengakuan. Dalam pengakuan di depan publik semua mengungkapkan keterlibatan militer, namun tetap tidak ada yang bisa duga militer dari divisi mana, seksi mana, dari kesatuan mana dan karena itu keterbukaan persis seperti pintu putar, revolving door, yang mengantar seorang masuk dan sekaligus juga membawanya lagi keluar. Suatu perbandingan dengan penculikan abad tujuh belas, sebagaimana dilaporkan oleh Karl Marx, sambil mengutif Raffles mungkin pada tempatnya dikemukakan di sini. Sejarah ekonomi kolonial Belanda-dan Belanda adalah negara contoh kapitalisme abad tujuhbelas—menampilkan suatu gambaran tentang hubungan pengkhianatan, penyogokan, pembunuhan kejam yang tidak ada taranya, dan kekejian. Tidak ada yang lebih khas dari sistem penculikan (System des Menschendiebstahles) di Selebes, untuk memperoleh budak bagi keperluan Jawa. Para penculik itu dilatih khusus untuk keperluan ini. Para pencuri, penerjemah dan para penjual adalah agen-agen utama dalam perdagangan ini (sedangkan) pangeran-pangeran Bumiputera menjadi pusat penjual-belian utamanya (die hauptverkaufer). Para pemuda yang diculik itu disimpan dalam tempat-tempat tahanan rahasia, sampai tiba saatnya untuk dikirim ke kapal-kapal budak. Suatu laporan resmi mengatakan, “Kota Makassar yang satu itu, misalnya, penuh dengan tempat tahanan rahasia, yang satu lebih seram dari yang lain, dijejali oleh kaum malang tersebut, korban kerakusan dan Tirani, mereka diikat dengan rantai, dipisahkan dari keluarganya dengan kekerasan.” Penculikan abad tujuhbelas pada masa kerakusan kapitalisme primitif sangat mungkin dibandingkan dengan penculikan
11
OPINI abad duapuluh Orde Baru dalam beberapa hal. Pertama, kalau penculikan abad tujuhbelas adalah demi suatu akumulasi modal dalam tingkat awal maka penculikan Orde Baru adalah demi mempertahankan akumulasi modal “yang tidak pada tempatnya” yang sangat tinggi dalam versi kapitalisme simbolik yang didukung para kapitalisme-birokrat atau birokrat-kapitalisme di mana militer sendiri menjadi kapitalis dan sekaligus penjaga kapitalisme itu.
satu pihak, dan apa sumbangan politik untuk kehidupan bangsa dan manusia pada umumnya, di pihak lain? Karl Schmitt membedakan antara hostis, musuh, dan inimicus, lawan. Hostis, musuh “cum quo bellum habemus”, dengan siapa kita berperang, “qui oppugnat” yang menyerang kita. Dan seteru, inimicus, adalah karena kita memendam kebencian pribadi, “quocum habemus privata odia”, karena dia membenci kita, “Qui nos odit.”
Kedua, sistem penculikan dikerjakan oleh orang-orang yang terlatih dengan baik secara profesional. Tidak ada kaum profesional yang lebih terlatih untuk itu dari militer. Ketiga, bilamana kota Makassar diganti dengan “Jakarta dan sekitarnya” maka laporan di atas secara menakjubkan masih tetap berlaku kata-perkata serta titik komanya setelah tiga ratus tahun kelak kemudian hari, “Kota Jakarta dan sekitarnya, dijejali oleh kaum malang tersebut, korban kerakusan dan tirani, mereka diikat dengan rantai, dipisahkan dari keluarganya dengan kekerasan.”
Dalam permainan bola sepak, misalnya tidak dikenal kata “musuh” akan tetapi “lawan”, bukan enemy akan tetapi contestant. Namun, ketika antara kedua kawan kita katakan terjadi permusuhan, maka yang kita pahami dengan itu adalah penghapusan hubungan sebegitu intens, berjalan sedemikian rupa sehingga sangat mungkin bisa menuju ke per-musuh-an, dan mencabut nyawa seterunya yang lain.
Apa yang terjadi pada masa Orde baru politik diterjemahkan secara telanjang ketika negara melihat warganya sendiri sebagai musuh, der Feind, hostic, yang terhadapnya dilancarkan Dalam semua kasus ini perang, terbuka atau kekuasaan Orde Baru itu tertutup, diumumkan sudah menyentuh tubuh, atau tidak diumumkan. langsung ke tubuh manusia Cerita tentang negara dan rakyat Indonesia, Dr. Dhaniel Dakidae ketika memberikan lecture utama dalam ultah yang mengobarkan langsung ke kulit dan tulang. kontras ke-10 Dok.Kontras “perang” kepada Semuanya itu berlangsung warganya dengan mudah sepi dalam kebisuan yang bisa dilihat dan dibaca dalam dokumen-dokumen tentang hanya disaksikan kain hitam pembalut mata, oleh radio yang diputar keras untuk menghentikan semua jenis bunyi yang peristiwa di Lampung, Tanjung Priuk, di Jawa Timur, di berasal dari luar kamar tahanan. Semuanya dengan tuuan Jakarta pada saat krisis tahun 1998 ketika 200 orang satu-satunya adalah penaklukan tubuh yang ingin dikerjaka dibakar hidup-hidup di dalam mall, di jalan Diponegoro ketika kaum aktivis PDIP disembelih seperti memotong alat-alat Orde Baru : ..tubuh manusia adalah bahan terakhir yang ditangkap dan kambing pada pagi hari 27 Juli 1997. Semuanya, kita sebut dibentuk oleh semua lembaga politik, ekonomi, dan penjara. kembali sambil sengaja mengabaikan pembunuhan satu Sistem produksi, dominasi, dan sosialisai secara fundamental juta lebih yang dicurigai sebagai PKI pada tahun 1965bergantung pada penaklukan yang berhasil terhadap tubuh-tubuh 1967, karena terlalu besar soalnya, dan terlalu besar itu. Lebih khusus lagi, mereka menuntut agar tubuh dikuasai jumlahnya untuk kita persoalkan secara memadai dalam dan ditaklukan (menurut keperluan) pelatihan sehingga mereka suatu referat singkat malam ini. dibuat lentur, patuh, dan berguna sampai tingkat tertentu. Dengan latar belakang seperti itu reformasi tidak lain dari memulihkan kembali harkat manusia, dan harkat warga Namun, ketika kekerasan itu dibuka di depan umum maka sebagai warga, dan harkat pribadi manusia. Namun, kekerasan bermetamorfosa menjadi pornografi. Kekerasan pertanyaan senantiasa menghantui semua kita atas dasar tidak lagi menakutkan, akan tetapi memuakkan. apa pemulihan harkat manusia itu menjadi kewajiban? Atas dasar apa emansipasi kewargaan itu suatu keniscayaan? Semua yang telah kita katakan tentang forced disappearances di atas memaksa kita untuk bertanya apa what is politics all Secara mekanik jawaban siap-pakai yang selalu about, untuk apa suatu bangsa berurusan dengan politik di dikemukakan adalah kembali kepada konstitusi. Namun,
12
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
OPINI tidak ada yang lebih bisu dalam huruf dan mati dalam Atau sebagaimana dikatakan: bertindak daripada konstitusi itu. Konstitusi hadir untuk dipuja sebegitu besar sehingga tidak menyentuh rakyat kecil, an expression of active citizenship of a political order of free dan sebegitu tinggi sampai tidak menyentuh bumi. Konstitusi and equal citizens; an order conducted according to laws which mengatakan bahwa tanah, air, dan udara adalah milik negara rest upon the deliberation and free consent of those citizens. untuk dimanfaatkan sepenuh-penuhnya untuk memakmurkan rakyat. Kebijakan publik menjual tanah atau Atau ungkapan kewargaan aktif dari suatu tata politik dari para warga yang bebas dan setara; suatu tata yang menggadaikannya untuk kepentingan dijalankan menurut hukum yang segolongan pengusaha-pedagang. Menjual berpijak atas pertimbangan dan hutan lindung dengan harga tiga ratus persetujuan bebas dari para warga itu. rupiah per meter terlalu segar dalam Konstitusi harus tetap ingatan kita untuk dibicarakan ulang di menjadi dasar dengan Active citizenship tidak serta-merta sini. harus menjadi warga yang patuh syarat konstitusi dipahami
sebagaimana senantiasa dipahami, sebagai pakta, perjanjian, Konstitusi harus tetap menjadi dasar akan tetapi warga yang peduli dengan social and political dengan syarat konstitusi dipahami nuansa yang sangat berbeda yang contract yang dirumuskan sebagai pakta, perjanjian, social and terungkap dalam kemitraan, sikap political contract yang dirumuskan dalam dalam undang-undang kritik, dan kemampuan memberikan undang-undang dasar 1945. Setiap yang dasar 1945. Setiap yang kritik ekonomi-politik; active mempelajari hukum tahu bahwa pakta mempelajari hukum tahu citizenship juga berarti mengikat, dan harus dilaksanakan, pacta bahwa pakta mengikat, dan membangkitkan penyadaran tentang sunt servanda. Dengan mengatakan itu harus dilaksanakan, pacta emansipasi, suatu sikap anti-otoriter maksudnya tidak lain daripada sunt servanda. di satu pihak dan pengolahan mengatakan bahwa kita harus kembali rasionalistas terkendali di pihak lain. kepada cita-cita republik, back to the republican ideas, sebagaimana KONTRAS bersama Munir—yang dirumuskan oleh para founders dari menjadi sahabat, mitra, sesama aktivis republik ini, atau apa yang oleh para pakar disebut sebagai dari hampir semua yang berada di dalam ruangan ini— “civic republicanism” atau “voluntary action as active memainkan perannya selama sepuluh tahun terakhir ini citizenship”. dengan gemilang. Namun, sepuluh tahuh ke depan adalah Dalam bahasa Indonesia pantaran citizen dalam “warga” begitu longgar maknanya sebagai “anggota” seperti dalam siaran radio pagi hari: “warga membuka pintu dan menemukannya mati terkapar di kursi”. Begitu anonim. Warganegara malah dikatakan sebagai “penduduk sebuah negara atau bangsa” yang tidak adanya bedanya dengan mengatakan bahwa “penduduk pulau” itu 1000 orang, begitu anonim, meski ditambah di sana dengan “mempunyai kewajiban dan hak penuh”. Sangat menarik melihat urutan “kewajiban” yang pertama muncul dan baru kemudian disusul “hak penuh”. Ini tentu saja peninggalan paham-paham organic state di mana warganegara ditimbuni seribu kewajiban dan tanpa hak sehingga civic education di sana adalah “memperkenalkan dan mempertegas kewajiban warganegara yang baik” kepada negara. Dalam pengertian actaive citizenship urutan harus dibalik menjadi “hak penuh dan kewajiban yang bisa dirunding”.
tahun-tahun penuh ketidakpastian ekonomi-politik. Di tengah-tengah ketidakpastian itu akan ada pergeseran generasi pemimpin republik ini yang sebagian besar akan jatuh ke tangan kaum muda, yang pada gilirannya semakin meningkatkan ketidakpastian itu. Namun, kita tahu peran KONTRAS bukan untuk menghilangkan ketidakpastian ekonomi-politik, yang berada di luar kemampuannya, akan tetapi mempersiapkan energi untuk memperkuat jaringan, kemitraan, jaringan antar-institusi untuk menghadapi ketidakpastian itu. Setiap orang akan mengharapkan keberhasilan dengan tingkat kegemilangan yang sama dengan sepuluh tahun lalu. Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak ada makhluk hidup yang mampu mengendalikan dan memaksakan keberhasilan dan, malah, kadang-kadang kegagalan menjadi awal keberhasilan besar mungkin karena pelajaran yang diberikan dan dengan itu semoga bisa menghantarkan lembaga ini ini untuk menikmati “the earnest of success” (Shakespeare) “kesungguhan suatu keberhasilan”.
“Ungkapan kewargaan aktif dari suatu tata politik dari para warga yang bebas dan setara; suatu tata yang dijalankan menurut hukum yang berpijak atas pertimbangan dan persetujuan bebas dari para warga itu”.
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
13
JEJAK SANG PEJUANG
Kasus Munir Berlanjut Ke Tersangka Lain Penyidikan kasus Munir dipastikan tidak berhenti pada pemenjaraan Pollycarpus Budihari Priyanto. Tim khusus kasus Munir yang diketuai Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri tetap bekerja untuk menuntaskan kasus ini. Bambang bahkan berjanji membekuk dalang kasus tersebut sebelum Juni 2008. Janji itu terungkap saat Suciwati bersama KASUM bertemu Kabareskrim (14/3) sore. “Dalam pertemuan yang terakhir, Kabareskrim berjanji sekitar Juni bisa selesai. Ternyata, Bambang berjanji bisa lebih cepat, “ kata Hendardi. Sementara itu, Majelis Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi, Jumat (14/3), memutuskan memberikan peringatan keras kepada Mohammad Assegaf dan Wirawan Adnan. Kedua advokat itu juga diharuskan membayar biaya perkara Rp3,5 juta. Assegaf dan Wirawan dinilai telah melanggar Kode Etik Advokat saat mendampingi Pollycarpus dalam perkara pembunuhan Munir. Sidang dewan kehormatan ini digelar setelah pada 15 Agustus 2007 KASUM mengadukan Assegaf dan Wirawan ke Peradi. Pengaduan tersebut dilakukan karena pada tanggal 13 Agustus 2007, kedua advokat itu mendatangi dan menyerahkan surat permintaan klarifikasi kepada BIN, terkait dengan kesaksian anggota lembaga itu dan mantan Direktur Utama PT Garuda Indra Setiawan dalam perkara pembunuhan Munir. KASUM menilai yang ditanyakan Assegaf dan Wirawan termasuk bukti baru (novum) dalam pengajuan peninjaun kembali Pollycarpus. Padahal, sidang PK saat itu belum digelar. Dalam pertimbangannya, majelis dewan kehormatan tidak dapat menerima dalih Assegaf dan Wirawan bahwa surat ke BIN merupakan bagian dari haknya sebagai advokat untuk memperoleh informasi dari pemerintah. Sebab, dalam surat itu mereka tidak menyebutkan dokumen yang dibutuhkan. Thomas Tampubolon, penasehat hukum Assegaf, menyatakan mengajukan banding atas putusan tersebut.
Dukungan Parlemen Eropa Sedangkan kabar baik datang atas dukungan kembali Parlemen Eropa terhadap perkembangan dari kasus pembunuhan Munir. Dimana pada tanggal 13 Maret yang lalu sebanyak 412 anggota Parlemen Uni Eropa mengadopsi sebuah Deklarasi Tertulis (Written Declaration) tentang pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dengan ini berarti Deklarasi itu menjadi sebuah sikap resmi dari Parlemen Eropa. Dalam Written Declaration bernomor 98/2007, para anggota Parlemen Uni Eropa mendesak tiga hal, pertama, meminta Pemerintah Indonesia secepatnya melakukan segala sesuatu
14
agar memastikan seluruh pihak yang bertanggungjawab di semua level atas kematian Munir dibawa ke pengadilan dan keadilan ditegakkan. Kedua, mendesak Komisi dan Dewan Uni Eropa untuk terus memantau penyelidikan kasus Munir termasuk proses hukum yang berlangsung saat ini. Ketiga, mengintruksikan Presiden Uni Eropa untuk menindaklanjuti desakan ini bersama seluruh nama yang menandatangani, kepada pihakpihak sebagai berikut, yakni seluruh pemerintah dan parlemen dari negara anggota Uni Eropa, Presiden Republik Indonesia dan Ketua DPR-RI dan Ketua MPR-RI. Dalam pertimbangannya, 412 anggota parlemen UE juga menegaskan pentingnya penuntasan kasus ini lantaran pembunuhan terhadap Munir berarti juga mengintimidasi dan mengancam para pembela HAM dan jurnalis di Indonesia. KASUM sendiri menyambut positif dan menyampaikan terima kasih atas perhatian Parlemen Eropa yang terus memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menegakkan kedaulatan hukum dalam kasus pembunuhan Munir sampai ke akar-akarnya. Upaya penandatanganan ini dimotori oleh anggota parlemen UE seperti Raül Romeva i Rueda, Eija-Riitta Korhola, Jules Maaten, Glyn Ford dan Ana Maria Gomes sejak 12 November 2007. Sampai 12 Maret 20081 kasus Munir telah memperoleh dukungan 412 anggota parlemen (sekitar 52% dari 795 anggota parlemen) sehingga dapat diadopsi sebagai Deklarasi Parlemen Uni Eropa. Dengan dikeluarkannya deklarasi ini, menunjukkan tingginya perhatian parlemen Uni Eropa kepada kasus Munir dan wujud dukungan penuh masyarakat Uni Eropa bagi penegakkan HAM Indonesia. Wujud dukungan itu diberikan kepada Pemerintah Indonesia, khususnya jajaran Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung untuk terus mengungkap para pelaku lapangan dan aktor utama yang terlibat, khususnya setelah Pollycarpus divonis 20 Tahun penjara oleh Mahkamah Agung (25/1). Karenanya Kontras dan KASUM berharap agar Presiden RI bersama Polri dan Kejaksaan Agung merespon positif perhatian ini dengan secepatnya menetapkan tersangkatersangka baru, antara lain eks Deputi V BIN Muchdi PR yang diketahui berhubungan intensif dengan Pollycarpus
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
JEJAK SANG PEJUANG dan mulai mengusut pertanggung jawaban mantan Kepala BIN AM. Hendropriyono. Deklarasi ini juga ditembuskan/dikirim kepada ketua DPR dan MPR, serta pejabat terkait. “Pemerintah jangan merasa diintervensi karena hal begini juga dilakukan Indonesia. Misalnya saat Indonesia mendukung Palestina atau mengecam persitiwa Darfur, “ ujar Choirul Anam, di acara jumpa pres menyangkut dukungan parlemen Eropa ini. Sementara itu Usman Hamid menambahkan jika Indonesia mengabaikan hal-hal semacam ini kemungkinan akan timbul konsekuensi. “Bisa berdampak sangat besar di banyak sektor termasuk memperpanjang larangan penerbangan pesawat Indonesia ke Eropa, ekonomi, juga kerjasama militer dan polisi. Karenanya saya berharap dan meminta polisi untuk tidak menyia-yiakan dukungan internasional semacam ini, “ ujar Usman.
Di dalam keputusan hukum yang sudah inkraacht tersebut ada beberapa bukti dan fakta hukum penting yang bisa digunakan sebagai petunjuk untuk melakukan penyidikan tahap selanjutnya, yang intinya menyangkut keterlibatan petinggi BIN dalam konspirasi pembunuhan ini. Keputusan ini semakin menambah bukti dan fakta hukum setelah putusan Pollycarpus yang seharusnya semakin meyakinkan dan memperkuat penyidik untuk mengungkap keterlibatan pelaku-pelaku yang lain, yang salah satunya mantan Deputi V BIN Muchdi PR, dalam skenario besar konspirasi pembunuhan Munir.
Indra Setiawan (mantan direktur Garuda) saat di Pengadilan Dok.Kontras
Sementara itu, Rafendi Djamin yang sedang mengikuti Sidang Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss, menuturkan, pengungkapan pembunuhan Munir juga dibicarakan Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM Hina Jilani pada 13 Maret lalu. Ketika melaporkan kunjungan ke Indonesia pada Juni 2007, Hina menyayangkan adanya sejumlah pihak yang membuat penyelesaian kasus pembunuhan Munir berjalan lamban.
Indra saksi untuk tersangka baru Tepat pada tanggal 14 April lalu, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan bebas dari tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Indra sebelumnya telah menjalani 18 bulan penjara sesuai amar putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara itu KASUM menilai dalam konteks ini, Indra bebas karena masa hukumannya habis dan tidak melakukan upaya hukum. Oleh karenanya keputusan terhadap Indra merupakan keputusan yang sudah inkraacht atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
Berangkat dari hal inilah, Usman menyatakan pemerintah harus melindungi Indra setelah ia dibebaskan. Alasannya, selama persidangan perkaranya, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia ini banyak memberikan keterangan kunci dalam kasus pembunuhan Munir.
“Indra sangat rawan dengan perlakuan intimidatif. Perlindungan maksimal bagi Indra adalah dengan menangkap dan memproses hukum orang-orang yang disebut dalam persidangannya. Apakah orang yang disebut dalam persidangan Indra memang benar terlibat atau tidak dalam pembunuhan Munir, itu masalah yang harus dibuktikan lewat proses hukum. Sebab, jika perlindungan hanya dilakukan dengan mengawal Indra setiap hari, justru tidak memberinya kebebasan. Pertanyaan lain, sampai kapan pengawalan itu akan dilakukan, “ ujar Usman. Sedang KASUM menambahkan, perlindungan terhadap Indra bukan hanya menjadi kewajiban kepolisian melainkan juga menjadi kewajiban dari pemerintah dalam hal ini Presiden mengingat hingga saat ini Lembaga Perlindungan Saksi danKorban belum disahkan. KASUM juga mengkritik kelambanan penyidik mengungkap pelaku lain. Masa penahanan Indra, seharusnya diperhitungkan dalam melakukan penyidikan. Saat Indra dibebaskan, pelaku lain seharusnya sudah ditangkap.
15
KABAR DAERAH
Protes Premanisme Walikota Kendari, Ditanggapi Represif Polisi Tindakan represif, kembali diperlihatkan oleh aparat Kepolisian. Pada (27/03), aparat kepolisian dari Polresta Kendari melakukan tindakan brutal pada para mahasiswa, yang melakukan unjuk rasa mengecam tindakan premanisme yang dilakukan oleh Walikota Kendari terhadap Pedagang Kaki Lima, Petani, Nelayan, Buruh, Miskin Kota dan Aktifis pro Demokrasi dan HAM. Akibat tindakan represif aparat tersebut, delapan orang mahasiswa ditangkap dan 30 orang lainnya mengalami luka-luka dan dibawa ke rumah sakit. Unjuk rasa diatas adalah buntut dari tindakan premanisme yang dilakukan oleh Walikota Kendari dan Pemkot Kendari sehari sebelumnya (26/03), yang telah mengakibatkan sedikitnya tiga orang mengalami luka-luka. Aksi unjuk rasa ini adalah bentuk solidaritas terhadap premanisme yang selalu dijadikan alat walikota untuk membungkam suara kritis yang disampaikan oleh rakyat. Dalam hal ini pedagang kaki lima yang jadi korban penggusuran dari kebijakan pemerintah kota Kendari. Tindakan kekerasan dan aksi brutal yang dilakukan oleh aparat Kepolisian kota Kendari dengan menembak, melakukan sweeping dan menangkap mahasiswa patutlah dikecam. Kita juga sangat menyesalkan upaya pembiaran aksi premanisme yang dilakukan oleh Walikota Kendari terhadap aksi massa yang menentang penggusuran terhadap pedagang kaki lima satu hari sebelumnya. Upaya dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia (by ommission) inilah yang kemudian menjadi pemicu dari marahnya mahasiswa melihat aksi premanisme terus dipertontonkan oleh pemerintah kota Kendari.
Padahal, penanganan represif terhadap mahasiswa yang melakukan unjuk rasa, sebagai perbuatan melawan hukum, penggunaan kekuasaan secara berlebihan (excessive use of power) dan menciderai upaya membangun gerakan pro demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia sebagaimana yang terdapat didalam UndangUndang tentang Hak Asasi Manusia, baik hak ekonomi, social dan budaya (ekosob), maupun hak sipil dan politik (sipol). Karenanya pada tanggal (31/03), lima orang wakil dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan KontraS menemui Kepala Divisi Humas Mabes Polri. Mereka memberikan masukan kepada Polri perihal kasus itu sekaligus menginformasikan bahwa pemicu utama peristiwa itu adalah aksi preman yang diduga dipengaruhi Wali Kota Kendari. “Kami berada di lapangan saat kericuhan hari pertama terjadi, “ kata Chalid Mohammad, wakil Walhi. Mereka berharap tim dari Markas Besar menangani kasus ini. Sementara dari Makassar, Sulawesi Selatan, ratusan mahasiswa memprotes kekerasan aparat polisi terhadap mahasiswa di Kendari. Para pengunjuk rasa mendesak Kepala Polri mencopot Kepala Polda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal Djoko Satrio. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban institusi polisi atas kekerasan yang diduga dilakukan aparat. “Aparat harus bertanggungjawab, “ ujar koordinator aksi, Zulkifli. ***
Lambannya Kinerja Poltabes Medan dalam Kasus Pembunuhan Pengacara Adi Prihatin dan kecewa. Barangkali inilah salah satu bentuk yang bisa disampaikan atas lambannya kinerja Poltabes Medan dalam mengusut kasus pembunuhan terhadap Adi, SH pengacara yang tewas ditembak di Jalan Sei Deli pada 18 Juni 2005. Meski kasus ini sendiri telah terjadi 3 tahun lalu, namun hingga kini kasus penembakan dan pembunuhan ini belum juga mampu dituntaskan oleh aparat kepolisian. Kasus ini tidak hanya lamban ditangani aparat polisi, namun Parlindungan HC Tamba, SH, rekan kerja korban dijebak pula oleh dua orang yang mengaku sebagai polisi di kawasan Medan Baru, dengan alasan kepemilikian narkoba. Penjebakan ini diduga masih berkaitan dengan misteri kematian Adi, SH. Hal ini diperkuat dan dibuktikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan (31/Juli/2006), menjatuhkan vonis bebas kepada Tamba karena tidak terbukti memiliki narkoba seperti yang didakwakan terhadapnya. Berdasarkan fakta-fakat tersebutlah, Kontras Sumut menilai bahwa kasus tersebut menjadi imbas dari tidak adanya itikad baik negara untuk secara serius menjalankan fungsi dan wewenangnya dalam kerangka penegakan hukum yang diamanahkan UU No. 02/ 2002 tentang Polri. Ditambah tidak adanya regulasi yang menjamin setiap orang bebas
16
mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak asasinya. Karena kekerasan terhadap pembela HAM merupakan bentuk penghinaan yang paling menyakitkan dari proses penegakan HAM itu sendiri. Kematian Adi, SH dan pengkriminalisasian terhadap Parlindungan Tamba, SH merupakan contoh kasus dari sekian banyak kasus kekerasan dan pengkriminalisasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan HAM (penggiat) atau HRD (Human Right Defender). Dan selama regulasi yang mengatur kepastian hukum bagi HRD belum ada, maka dipastikan intensitas kekerasan terhadap HRD akan semakin tinggi. Kontras Sumatera Utara meminta Poltabes MS secepatnya segera mengungkap kasus pembunuhan terhadap Adi, SH dengan menyeret pelaku penembakan Adi, SH ke hadapan hukum. Di sisi lain kita berharap pula agar Kepolisian Daerah Sumatera Utara terus dan tetap mengedepankan profesionalitas Polisi sebagai aparatur pelindung dan pengayom masyarakat serta penegak hukum sesuai dengan UU No 2 tahun 2002. Kasus ini dapat menjadi salah satu pendorong pentingnya UU Perlindungan Saksi untuk segera diimplementasikan. ***
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
KABAR DAERAH
Komite Peralihan Aceh di Atu Lintang Diserang Peristiwa penyerangan, pembunuhan dan pembakaran anggota dan kantor Komite Pelarihan Aceh (KPA), di Atu Lintang, Kab. Aceh Tengah (1/03), menjadi bukti dari ekses pembiaran konflik horizontal yang telah berlangsung lama di Aceh Tengah. Peristiwa berdarah ini mengakibatkan enam anggota KPA wilayah Linge tewas dan satu unit kantor KPA wilayah Atu Lintang dibakar. Aksi ini dilakukan oleh sekelompok orang bersenjata parang dan wajahnya ditutup sebo. Pembiaran dan tidak adanya upaya serius untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai di Aceh Tengah telah mengakibatkan konflik tersebut kian membesar dan ini merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan perdamaian Aceh. Anggapan ini tidak berlebihan mengingat pada tahun 2003, Aceh Tengah juga mencatat peristiwa pemukulan anggota JSC (Joint Security Committee) di lapangan Musara Alun, Takengon yang mengawali titik berangkat gagalnya CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) yang difasilitasi HDC (Henry Dunant Centre).
peristiwa ini bukanlah peristiwa pertama dalam masa damai di Aceh. Peristiwa dengan pola yang sama juga pernah terjadi di Kec. Juli, Kab. Bireun pada bulan April 2007, yang kemudian kasusnya tidak terungkap sama sekali. Pada saat itu pelakunya juga datang dengan truk, membawa parang, wajahnya ditutup sebo, melakukan pembacokan dan bergerak cepat. Kalau peristiwa Atu Lintang tidak terungkap dan tuntas bisa memicu kembali masalah yang sama dan dendam. Akibatnya konflik dan permusuhan di Aceh Tengah akan langgeng, dan bukan tidak mungkin juga akan merambat ke daerah yang lain, dengan salah satu penyebab adalah karena kapasitas pihak aparatur keamanan (kepolisian) lemah dalam mengungkap kasus ini.
Peristiwa ini juga telah mencederai agenda perdamaian Aceh yang telah ditandatangani pada 15 Agustus 2005, sekaligus melengkapi sejumlah kegagalan dan keterlambatan proses perdamaian Belajar dari kekerasan demi kekerasan di Aceh, seperti ketiadaan usaha membubarkan milisi-milisi sipil, lambatnya pembentukan Pemerintah seharusnya bisa mengambil Harusnya, semua pihak pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan pembelajaran dari kekerasan demi kekerasan yang lebih fokus pada Rekonsiliasi. terjadi di Poso dimana paska perjanjian Damai pengungkapan kebenaran (Malino I:2001) kekerasan berubah bentuk menjadi dan menindak pelakuBerlanjut dan meluasnya insiden ini juga bukti sengketa kekerasan diantara masyarakat sipil dengan pelaku dibalik peristiwa pihak kepolisian tidak melaksanakan fungsinya dasar atau kepentingan tertentu. Perluasan dan ini daripada mengeluarkan secara maksimal dengan melakukan proteksi dini perubahan bentuk kekerasan pasda akhirnya hanya pernyataan-pernyataan atas kemungkinan-kemungkinan yang muncul dan akan memperlemah arti perdamaian, membangun bertolak belakang dengan meresahkan masyarakat. Bahkan sangat kefrustasian diantara masyarakat dan menjauhkan realitas. disayangkan munculnya pernyataan yang terburuupaya keadilan bagi korban kekerasan dimasa konflik buru dari Kepala Kepolisian Resort Aceh Tengah, lalu. AKBP Kawedar, SH, bahwa peristiwa pembakaran kantor KPA Linge adalah tindakan spontanitas (serambi Indonesia, 2 Karenanya, berulangnya insiden kekerasan di Aceh pasca Perjanjian Maret 2008). Damai Helsinki serta tiadanya penegakan hukum yang layak mengesankan adanya pembiaran yang sistematis yang dilakukan Disisi lain, pernyataan tersebut masih terlalu dini dan merupakan sikap oleh pihak keamanan (polisi). Ditambah lagi, berbagai insiden yang kurang bijak. Mengapa? Karena Aceh merupakan daerah yang kekerasan yang terjadi sebelumnya pelaku sangat jarang tersentuh baru reda dari konflik politik panjang, hingga dibutuhkan pengungkapan hukum, motif dan mata rantai kekerasan pun menjadi sulit kebenaran yang lebih adil serta tetap dalam tujuan meredam potensi terungkap. konflik baru. Kemudian baru bisa disimpulkan modus dari peristiwa Atu Lintang yang mengejutkan dan mengkhawatirkan rakyat Aceh ini. Atas insiden di Atu Lintang, kita berharap semua pihak, kelompok sipil (milisi PETA dan KPA) agar menahan diri dan mendahulukan Pernyataan yang terlalu dini ini juga menunjukkan ketidakseriusan semua proses secara damai demi tegaknya agenda-agenda pemerintah dan Kepolisian dalam mengusut tuntas peristiwa Atu perdamaian di Aceh yang saat ini berlangsung. Meminta kepada Lintang. Dan bila itu yang terjadi, maka akan mengindikasikan polisi pihak kepolisian segera melakukan peyelidikan, mengungkap motif tidak berani mengungkap kejadian yang sebenarnya. Terlepas dari kejadian dan menghukum pelaku kriminal sesuai dengan hukum yang apapun kondisi atau tarik-menarik politik yang ada, harusnya polisi berlaku. bersikap independen dan professional dengan mengedepankan kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi Dan untuk Pemerintahan Aceh dapat mengarahkan agenda terjaminnya keamanan dalam negeri. rekonsiliasi Aceh tidak hanya terbatas pada elite masyarakat namun hendaknya terintegrasi dengan semua bidang, ekonomi-politikHarusnya, semua pihak lebih fokus pada pengungkapan kebenaran dan keamanan dengan melibatkan semua pihak tidak terkecuali. Terakhir, menindak pelaku-pelaku dibalik peristiwa ini daripada mengeluarkan Pemerintah segera melakukan upaya pembubaran sesuai aturan pernyataan-pernyataan bertolak belakang dengan realitas. Perlu disadari hukum terhadap milisi-milisi sipil bersenjata di Aceh. ***
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
17
REMPAH-REMPAH
Akil Mochtar dan Mahfud MD Merambah Mahkamah Konstitusi Di bulan April, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki hakim konstitusi baru pilihan Komisi III DPR. Mahfud MD, anggota DPR dari Fraksi Par tai Kebangkitan Bangsa(FKB) akan menggantikan hakim konstitusi Achmad Roestandi, yang memasuki masa pensiun per 31 Maret 2008. Terpilihnya Mahfud diputuskan dalam rapat Komisi II DPR, Jumat (14/3). DPR juga memilih Jimly Asshiddiqie (yang menjabat ketua MK) dan Akil Mochtar (anggota Fraksi Golkar DPR) sebagai calon hakim konstitusi periode 20082013. Mereka menyingkirkan tiga belas calon lain, termasuk hakim konstitusi Harjono (periode 2003-2008). Pemilihan hakim MK dilakukan terbuka, beberapa jam sesudah Komisi III DPR menyelesaikan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 16 calon. Sebanyak 49 anggota Komisi III memilih tiga nama. Satu surat suara dinyatakan tidak sah karena menuliskan empat nama. Dalam pemilihan, Mahfud meraih 38 suara menang tipis atas Jimly yang memperoleh 37 suara. Di urutan ketiga, Akil Mochtar mengantongi 32 suara. Peringkat keempat ditempati Harjono (15 suara), disusul Deddy Ismatullah (akademisi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung) dengan sembilan suara, dan Dr. Taufiqurrochman Syahuri, akademisi dari Universitas Bengkulu, dengan tiga suara. Mayoritas anggota Komisi III DPR ini memilih Jimly, Akil, dan Mahfud dalam satu paket. Kompromi politis Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (AmukMK), menilai terpilihnya Mahfud, Jimly, dan Akil adalah buah kompromi politis. Penilaian yang digunakan, menurut Amuk-MK (yang beranggotakan sejumlah LSM), hanya didasarkan pada akseptabilitas dan akomodasi yang tinggi pada anggota Komisi III. Ahli hukum tata negara Saldi Isra berharap Mahfud dan Akil yang memiliki latar belakang politik segera mengumumkan pengunduran diri dari partai dan DPR untuk menjaga independensi. Kepada Jimly, kata Saldi, diharapkan tak menjadikan jabatan itu sebagai batu loncatan untuk Pemilu 2009.
18
Sebelumnya dan telah sejak awal Amuk-MK melihat bahwa dalam proses seleksi hakim konstitusi yang dilakukan DPR tersebut, DPR sangat tidak partisipatif dalam memberikan kesempatan bagi publik untuk memberikan penilaian/ masukan terhadap yang ada. Lantaran Komisi III DPR hanya memberikan waktu yang sangat minim, hanya dalam waktu kurang dari 1 hari (+ 10 jam) yang diumumkan hanya di satu media cetak pada hari Kamis, (6/03). Sangatlah mustahil, dalam waktu yang singkat dan informasi calon yang sangat minim, mengharapkan adanya masukan publik yang memadai tentang track record calon. Apalagi mengingat jadwal yang berubah-ubah, dan semua calon yang akan di fit and proper belum bisa dipastikan sebelumnya. Terkesan hal ini hanya sekedar gugur sebuah kewajiban, menjadi tidak efektif, dan tidak sungguh-sungguh menerapkan prinsip partisipatif yang ditentukan oleh UU Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Amuk-MK juga melihat bahwa Komisi III DPR tidak jelas menempatkan dan menentukan cara yang dilakukan dalam proses seleksi hakim konstitusi, sehubungan dengan adanya dua hakim konstitusi incumbent yang akan diseleksi kembali. Ketidakjelasan ini menyangkut perihal, cara bagaimana dua hakim konstitusi tersebut akan diseleksi. Hal ini mengingat bahwa sebelumnya mereka akan ‘dibedakan’ dan tidak akan di fit and proper test, akan tetapi masih masuk dalam jadwal fit and proper test. Kemudian, apakah dengan cara yang berbeda tersebut, dapat menjamin lolos tidaknya sebagai hakim konsitusi untuk masa periode berikutnya. Juga menyangkut parameter apa yang akan digunakan untuk mengukur dan menentukan dua hakim konstitusi tersebut. Demikian halnya bagi calon lainnya, tidak jelas parameter yang akan nantinya akan digunakan Komisi III DPR. Karenanya, sebelumnya pula, Amuk-MK telah mengusulkan agar parameter yang digunakan adalah (Untuk hakim konstitusi incumbent), menyangkut perihal apakah ada pelanggaran terhadap kode etik, larangan rangkap jabatan sebagaimana ditentukan dalam pasal 17 UU MK, dan laporan harta kekayaannya sejak menjabat sebagai hakim. Sedangkan untuk calon hakim konstitusi, adalah negarawan yang memahami hukum dan tatanegara, non partisan, tidak pernah terkena dugaan kasus korupsi/ pelanggaran HAM, berumur minimal 50 tahun, tidak mendekati usia pensiun hakim MK, pernah tidak lolos dalam seleksi pejabat publik lainnya.***
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
REMPAH-REMPAH
Korupsi Aparatus Kejaksaan Agung Tameng Pelaku Kejahatan Rapat pimpinan umum Kejaksaan Agung memutuskan mengganti Jaksa Agung Muda Pidana Khusus atau Jampidsus, yang (dulu) dijabat oleh Kemas Yahya Rahman (17/3). Bersamaan dengan itu, diputuskan pula penggantian Direktur Penyidikan di Bagian Tindak Pidana Khusus, jabatan yang dipegang oleh Muhammad Salim “Pertimbangannya menyangkut kredibilitas tim Pidana Khusus, “ kata Jaksa Agung. Lebih lanjut Jaksa Agung menjelaskan, salah satu penyebab penggantian itu adalah pemberitaan media soal dugaan suap Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani, Pengusaha yang dekat dengan Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia yang tersangkut kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam mobil Urip ditemuka uang 660.000 dolar AS oleh KPK. “Itu menganggu citra Gedung Bundar sebagai pemeriksa berbagai kasus korupsi, “ ujar Hendarman. Jaksa Agung diminta jangan hanya berhenti pada tindakan administratif mencopot Kemas dan Salim. Jaksa Agung harus membuka pintu seluas-luasnya bagi KPK untuk mengusut adanya dugaan tindakan pidana yang dilakukan kedua penjabat Kejagung itu. Desakan itu disampaikan Direktur Indonesia Court Monitoring Denny Indrayana. Denny juga mengkhawatirkan tindakan Jaksa Agung yang hanya memberikan sanksi admintratif justru dapat menghilangkan upaya yang lebih besar, yaitu membongkar kasus pidana yang diduga melibatkan kedua penjabat Kejagung itu. “Dari banyak kasus pemberian sanksi adminitratif Kejaksaan Agung kepada jaksa-jaksa nakal, saya menduga ini semacam modus operandi di Kejaksaan Agung. Maksudnya, dengan memberikan sanksi adminitratif ini, Kejaksaan Agung merasa sudah cukup untuk menghukum jaksa-jaksa nakal. Padahal, tindakan yang dilakukan jaksa-jaksa tersebut bukan lagi tindakan melanggar etika, tetapi sudah sebuah tindak pidana, “ kata Denny.
Bukti ketidaklayakan Sebelumnya, KontraS dan Keluarga Korban Pelanggaran berat HAM juga telah mendesak agar Jaksa Agung Hendarman Supandji segera mencopot Kemas Yahya Rahman dari jabatannya. Keengganan dan perilaku tindak bertanggung jawab, serta kegagalan dalam kerja pengungkapan kasuskasus Pelanggaran berat HAM dan kasus BLBI merupakan bukti ketidak layakan seorang Keimas Yahya Rahman untuk menjadi Jampidsus. Sementara dalam kasus-kasus Pelanggaran berat HAM, Kontras menilai, Kemas Yahya Rahman, memiliki catatan buruk ketidak berpihakannya pada upaya-upaya penuntasan kasus pelanggaran berta HAM, baik dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung maupun sebagai Jampidsus. Sebagai Kapuspenkum Kemas Yahya Rahman, beberapa kali
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
menyatakan (lihat Lampiran) bahwa kasus-kasus pelanggaran berat HAM seperti Trisakti, Semanggi I dan II, harus menunggu rekomendasi DPR untuk dibuatkan Pengadilan HAM Adhoc dan alasan adanya ne bis in idem. Bahkan, tanpa adanya penyidikan, Keimas Yahya Rahman, berani menyatakan bahwa “Wiranto, berdasarkan proses hukum, tidak terlibat dalam tiga kasus pelanggaran HAM berat” (Sinar Harapan, 26 Mei 2004). Sementara sikap berbeda justru ditunjukkan Kemas Yahya Rahman terhadap keluarga korban yang datang ke Kejagung, dengan cara membentak. Sedangkan dalam kapasitasnya sebagai Jampidsus, Kemas Yahya Rahman, masih menolak menindak lanjuti upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Sejak awal menjabat Jampidsus, dirinya tidak pernah memprioritaskan usaha penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Padahal banyak kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang mentok di Kejakgung. Tangapan baru diberikan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (21/2/08). Namun tanggapan tersebut masih meneruskan argumentasi lama, termasuk yang keluar dari pernyataannya semasa menjabat Kapuspenkum, dimana Kejaksaan Agung menolak menindak lanjutinya dengan alasan masih diperlukan pengadilan HAM adhoc sebelum dilakukan penyidikan. Bahkan Keimas Yahya Rahman, berani menyatakan bahwa berkas-berkas tersebut hilang dan masih perlu dicari (Media Indonesia, 14 Maret 2008). Sehingga dengan kasat mata dapat dilihat jelas bahwa perilaku dan pernyataan Kemas Yahya Rahman sangat tidak berpihak pada upaya penghormatan dan pemenuhan HAM sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 dan dijamin dalam berbagai per-UU-an bidang HAM. Kemas Yahya Rahman, mewakili Kejaksaan Agung, hanya menggunakan intepretasi dari per-UU-an yang ada untuk menghindar, bukan untuk memenuhi kebutuhan korban dan kewajibannya sebagai aparat hukum, sebagaimana sumpah jabatannya. Tindakan-tindakan Kemas Yahya Rahman, selain merupakan sebagai pengingkaran keadilan dan pembangkangan hukum juga patut diduga mengandung kejahatan karena membiarkan hingga hilang berkas penyelidikan Komnas HAM kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Tindakan ini bertentangan dengan sejumlah aturan hukum. Oleh karenanya kami meminta Jaksa Agung segera mencopot Keimas Yahya Rahman dari jabatannya sebagai Jampidsus. ***
19
REMPAH-REMPAH
Himbauan Obstruction of Justice Menteri Pertahanan Pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang menghimbau para purnawirawan agar tidak datang memenuhi panggilan Komnas HAM jelas membuktikan bahwa Menhan “melindungi” para purnawirawan ini. Entah kesepakatan apa yang ada antara Menhan seusai bertemu bekas Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto serta Kabainkum, hingga Menhan mengeluarkan pernyataan ini. Yang jelas pernyataan ini kian mencerminkan dukungan secara resmi terhadap pelanggengan praktik impunitas di Indonesia. Tak dapat dipungkiri sikap Menhan tersebut menabalkan dirinya sebagai palang pintu yang menghambat para pencari keadilan dari sejumlah korban dari berbagai kasus pelanggaran HAM kinimbang menjadi motor penggerak upaya penegakan keadilan dan akuntabilitas (justice and accountability). Alihalih memfokuskan diri pada reformasi sektor keamanan Menhan justru menyerang lembaga negara lain (Komnas HAM), yang kedudukannya telah dikuatkan melalui peraturan perundang-undangan. Munculnya himbauan illegal ini juga menunjukan sikap ketidakmengertian Menhan akan proses hukum yang dilaksanakan oleh Komnas HAM. Terbukti dengan pernyataannya perihal keterangan disampaikan para purnawirawan akan menjadi bagian dari proses verbal. Pasal 89(3) (b) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan salah satu kewenanganan Komnas HAM adalah sebagai penyelidik terhadap peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran berat HAM.
Ditegur Presiden Akibat pernyataan tersebut, menurut Usman Hamid, Presiden SBY berjanji akan menegur Menhan. “Presiden menegeskan akan membicarakan soal itu (polemik pemanggilan Komnas HAM), agar setiap menteri tak keluarkan pernyataan di luar kewenangan, “ ujar Usman usai bertemu presiden di Istana Negara, Jakarta (26/3). Presiden SBY juga meminta Usman dan kawan-kawan untuk mengadakan pertemuan dengan Menhan dan Panglima TNI untuk membicarakan masalah pemanggilan para petinggi TNI
terkait kasus pelanggaram HAM kasus Talangsari, Trisakti, Semanggi I-II, dan kasus penghilangan aktivis pro demokrasi. Namun, Menhan tetap tidak mengubah imbauan agar para purnawirawan TNI tidak perlu datang memenuhi panggilan Komnas HAM. Penyataan ini dilontarkan oleh Menhan saat bertemu dengan Usman Hamid, dan mantan anggota Komns HAM, Zoemrotin K Susilo, dalam sebuah pertemuan tertutup sekitar tiga jam di salah satu restoran di Hotel Sutan, Jakarta (1/4). Menurut Zoemrotin, dalam pertemuan yang digagas Kontras ini, pada akhirnya kedua belah pihak “sepakat untuk tidak sepakat”. “ Dalam pertemuan itu, kami juga sama-sama membahas aturan UU seputar pelanggaran HAM berat, seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kami juga jelaskan, karena KKR tidak terbentuk, maka khusus untuk kasus pelanggaran HAM berat, asas retroaktif bisa diterapkan, “ ujar Zoemrotin. Terkait dengan pertanyaan Menhan mengapa TNI AD lebih banyak mendapat sorotan, Zoemrotin menyatakan, hal itu logis saja mengingat pada masa lalu (Orde Baru), institusi tersebut memang memegang porsi kendali dan kewenangan yang sangat besar. “Saya enggak tahu apakah pernyataan atau sikap seperti itu termasuk titipan dari TNI atau pendapat pribadi Menhan. Berbicara soal pelanggaran HAM masa lalu, ya jelas terkait TNI AD karena saat itu mereka sangat berkuasa. Jadi, tidak benar kalau dianggap TNI AD yang akan disasar sekarang, “ ujar Zoemrotin. Pada akhirnya kita akan tetap mendukung upaya Komnas HAM untuk mengabaikan himbauan illegal Menhan itu serta meneruskan kerja-kerjanya dalam mengungkap pelanggaran HAM masa lalu. Termasuk mendesak Presiden bersikap tegas serta mengambil tindakan terhadap Menhan yang berusaha melindungi para pelaku pelanggaran HAM berat di tanah air. ***
“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat: hak ini termasuk kebebesan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya” (pasal 19(2) Konvensi Hak Sipil dan Politik)
20
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
REMPAH-REMPAH
Film Fitna Salah Gunakan Kebebasan Penayangan film Fitna sebagaimana yang sempat ditayangkan pada situs www.liveleak.com maupun www.youtube.com jelas telah mencoreng nama Islam dan menyalahgunakan arti dari kebebasan. Film yang dibuat oleh Greert Wilders ini mengeneralisir bahwa tindakan terorisme adalah bagian dari keyakinan seorang muslim dan mendiskreditkan Al Quran. Penyebaran kebencian semacam ini sebelumnya juga muncul pada kartun Nabi Muhammad di Denmark tahun 2005 dan 2008
Isi dari film Fitna ini jelas menyudutkan umat Islam di dunia dengan menuding Islam berada di balik aksi serangan bom 11 September 2002 dan pemboman di kota Madrid, Spanyol, beberapa waktu lalu yang menewaskan ratusan orang.
masih dimungkinan untuk dibatasi/dikurangi. Pembatasan tersebut justru untuk melindungi hak dan kepentingan yang lebih luas dan tidak boleh dimaksudkan untuk mengurangi makna substansial kebebasan itu.
Pembatasan dimungkinkan atas dasar suatu kondisi darurat Sejak film ini ditayangkan, berbagai aksi kaum muslimin di suatu negara yang bisa mengancam keselamatan bangsa mengecam beredarnya fil Fitna (life of the nation) yang memiliki tersebut. Bahkan, Sekjen PBB asal karakter sangat luar biasa (exceptional) Pembatasan dimungkinkan Korea Selatan Ban Kim Mon dan dan sementara (temporary). Keadaan atas dasar suatu kondisi pemerintah Belanda juga tak setuju darurat ini tidak melulu harus darurat di suatu negara yang dengan penayangan film tersebut. didefinisikan sebagai keadaan darurat bisa mengancam keselamatan perang atau militer, tapi juga kondisi Film Fitna maupun kartun Nabi bangsa (life of the nation) genting yang bisa membahayakan Muhammad ini dibuat atas adalah yang memiliki karakter sangat tatanan masyarakat seperti bencana ekspresi yang salah yang tidak dapat luar biasa (exceptional) dan alam atau krisis ekonomi. disadarka atas nama hak kebebasan sementara (temporary). berekspresi dan berpendapat. Dimana, Pasal 20 ICCPR membatasi Keadaan darurat ini tidak Mengapa? Lantaran film dan kartun kebebasan berekspresi, yakni segala melulu harus didefinisikan ini berpotensi menumbuhkan propaganda untuk perang harus dilarang sebagai keadaan darurat perang kebencian terhadap Islam, dan oleh hukum dan segala tindakan yang atau militer, tapi juga kondisi sebaliknya menimbulkan kemarahan menganjurkan kebencian atas dasar genting yang bisa dan kekerasan dari mereka yang kebangsaan, ras atau agama yang membahayakan tatanan terusik. merupakan hasutan untuk melakukan masyarakat seperti bencana diskriminasi, permusuhan atau alam atau krisis ekonomi. Dalam prinsip-prinsip pembatasan kekerasan harus dilarang oleh hukum. atas kebebasan berekspresi (The Johannesburg Principles On National Karenanya Kontras mendukung segala Security, Freedom of Expression And Access to Information) upaya yang dibenarkan melalui hukum dan HAM untuk dinyatakan, kebebasan berekspresi baru dapat dikenai melarang peredaran film Fitna. Kita patut mengapresiasikan pembatasan atau dapat dihukum sejauh merupakan sikap pemerintah Belanda, Parlemen Uni Eropa, PBB, OKI, ancaman terhadap keamanan nasional dan hanya ketika Pemerintah Indonesia dan masyarakat dunia lainnya yang negara bisa menunjukkan bahwa penyampaian ekspresi menolak peredaran film tersebut. tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau Kedepan pada semua kalangan yang memiliki pandangan ada hubungan langsung dan dekat antara penyampaian sejalan dengan Geert Wilders, tidak lagi gegabah meneruskan pendapat dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian langkah-langkah mendeskriditkan Islam atau agama dan kepercayaan lain melalui bentuk apapun. Lantaran tindakankekerasan. tindakan tersebut jelas bertentangan dengan usaha Sementara itu, kebebasan berekspresi dan berpendapat membangun peradaban dan penghormatan atas perbedaan adalah satu kategori hak asasi manusia yang utama. Namun berkeyakinan dan beragama. ***
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
21
REMPAH-REMPAH Kepada Yang Terhormat,
Bapak Hendarman Supandji Jaksa Agung RI Di
Tempat
Bapak Jaksa Agung yang terhormat, Melalui surat ini kami menyampaikan kekecewaan kami atas pengembalian berkas penyelidikan kasus-kasus masa lalu, yaitu Trisakti Semanggi I dan II, kasus Mei 1998, kasus penculikan aktivis 1997/1998 dan kasus Wasior Wamena ke Komnas HAM. Pengembalian berkas ini melukai harapan kami di tengah munculnya inisiatif maupun komitmen politik dari berbagai institusi negara bagi proses penegakan HAM. Telah satu dasawarsa kami menuntut penyelesaian kasuskasus pelanggaran HAM masa lalu. Kami telah merasakan banyaknya rintangan dan hambatan. Kami semakin merasa diombang-ambingkan untuk mendapatkan keadilan, akibat debat tak berkesudahan antara Jaksa Agung, Komnas HAM dan DPR RI. Harapan baru muncul saat Kejaksaan Agung dan Komnas HAM menyatakan akan duduk bersama untuk mendiskusikan hambatan-hambatan yang timbul dalam proses peradilan HAM berdasarkan UU No. 26 tahun 2000. Harapan itu makin diperkuat dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 18/PUU-V/2007 perihal UU No 26 tahun 2000 (UU Pengadilan Hak Asasi Manusia) terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2). Secara hukum Mahkamah Agung telah menghentikan debat tafsir antar Jaksa Agung, Komnas HAM dan DPR mengenai kapan Pengadilan HAM adhoc harus dibentuk. Putusan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi III DPR RI dalam rapat kerjanya dengan Jaksa Agung. Jaksa Agung menyatakan setuju dengan usulan Komisi III untuk melanjutkan penyidikan tanpa harus menunggu pengadilan HAM ad hoc terbentuk. Apalagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga turut memberikan komitmen politik serta dukungan bagi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yang dinyatakan dalam pertemuan dengan kami pada tanggal 26 Maret 2008 di Istana Negara. Dengan jelas Presiden menyatakan akan meminta kepada setiap kabinetnya untuk mendukung proses hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Pernyataan Presiden ini memperkuat harapan terwujudnya penegakan supremasi hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karenanya pengembalian berkas penyelidikan kasuskasus tersebut ke Komnas HAM pada 1 April 2008 lalu merupakan pertanyaan besar bagi kami. Karena hal tersebut menyimpangi berbagai komitmen yang telah dibuat serta
22
mengingkari instruksi Presiden. Sepanjang yang kami ketahui, pengembalian berkas tersebut tidak disertai petunjuk dan keterangan yang jelas. Dari pemantauan kami, Jaksa Agung menyampaikan alasan pengembalian berkasberkas tersebut sebagai berikut; –
1. Kasus Wasior Wamena. Kejaksaan Agung meminta Komnas HAM melengkapi persyaratan formil penyelidikan sesuai pasal 20 (3) UU nomor 26 tahun 2000, 2. Kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Kejaksaan Agung tidak melanjutkan penyidikan karena para pelaku telah diadili dan diputus oleh Peradilan Militer sehingga putusan dianggap sudah inkrach dan akan terbentur pada asas ne bis in idem. 3. Penculikkan dan penghilangan paksa aktivis 1997/ 1998. Kejaksaan Agung masih menungu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu. 4. Kasus Mei 1998. Kejaksaan Agung masih menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu.
Dari alasan yang dikemukakan Jaksa Agung, kami melihat bahwa argumentasi yang diajukan merupakan alasan lama yang telah melahirkan perdebatan panjang. Kejaksaan Agung seakan menutup mata terhadap perkembangan yang tejadi - baik secara hukum maupun politik – yang dengan jelas telah mengugurkan alasan-alasan tersebut. Bapak Jaksa Agung yang terhormat, Pengembalian berkas kasus kami ke Komnas HAM seakan mencerminkan inkonsistensi komitmen Kejaksaan Agung RI sebagai garda terdepan dalam penegakkan hukum dan HAM di Indonesia. Kami khawatir hal ini hanya akan melanggengkan impunitas dan merupakan langkah mundur bagi upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, hal ini tentu akan menambah panjang ketidakpastian bagi korban dan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan. Kami berharap dukungan Presiden SBY untuk penuntasan kasus-kasus pelannggaran HAM berat masa lalu dapat mampu diwujudkan oleh Jaksa Agung selaku bagian yang tidak terpisahkan dalam kabinet pemerintahan. Apalagi selama ini keluarga korban tetap konsisten memberikan dukungan kepada Jaksa Agung untuk melanjutkan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM.
Bersambung ke hal. 23
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
REMPAH-REMPAH
Lagi, Masjid Ahmadiyah dirusak Peristiwa penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah terulang lagi. Kali ini nasib malang dihadapi oleh warga Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat. Penyerangan terjadi pada Senin 28 April 2008, pukul 01.00 Wib dini hari, di mana sekelompok masa membakar Masjid Al-Furqon milik warga jemaah Ahmadiyah RW 02 desa Parakansalak, Kab. Sukabumi, Jawa Barat. Selain membakar Masjid Al-Furqon, massa juga merusak tiga bangunan lain sekolah agama (madrasah) dan sebuah rumah milik seorang tokoh agama (mubaligh) yang mengelola rumah ibadah setempat. Sebelumnya, massa berkumpul di desa Parakansalak dan kemudian datang bersamaan ke arah Masjid Al Furqon. Sesampainya di Kampung Parakansalak, mereka melempari dan mulai membakar beberapa bagian masjid sehingga dalam waktu singkat, bangunan masjid habis terbakar. Regu pemadam kebakaran yang hendak menjinakkan api kesulitan masuk ke lokasi karena jalan diblokade warga yang membakar mesjid. Selain membakar masjid, warga juga membakar tiga ruang kelas Madrasah Ahmadiyah yang berada di dekat masjid. Saat kejadian ini berlangsung, polisi yang menjaga di lapangan hanya ada enam orang. Sedangkan massa yang mengepung sekitar 200 orang. Massa yang cukup banyak tersebut jelas tidak dapat dihalau oleh polisi yang hanya berjumlah enam orang.
Pencopotan plang masjid Ketua Forum Komunikasi Jamiatul Mubalighin (FKJM) Endang Abdul Karim mengatakan, pembakaran tersebut dilakukan secara spontan oleh warga yang emosi. Pasalnya, sejak Jumat lalu, warga sudah memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk tidak melakukan peribadatan di masjid. Padahal sebelumnya, Jamaah Ahmadiyah juga sudah melakukan pencopotan plang masjid tersebut.
Kejadian serupa juga terjadi dibeberapa tempat, diantaranya di Tasikmalaya dan Padang. Sekolompok massa juga melakukan pelemparan batu terhadap masjid Ahmadiyah di Singaparna Tasikmalaya (18/04/08). Sedangkan massa yang mengatasnamakan Komite Persiapan Syariat Islam (KPSI) di Padang juga mendatangi Masjid Ahmadiyah Padang dan menyampaikan surat akan menyita asset milik Jemaah Ahmadiyah (24/04/08) Kejadian di atas menggambarkan ketidaksigapan Pemerintah mengantisipasi dampak kebijakan Bakorpakem di tingkat paling bawah. Padahal beberapa waktu yang lalu Kepala Polri Jenderal Sutanto menegaskan Polri memberi perlindungan kepada warga Ahmadiyah di mana pun. Berulangya peristiwa ini disebabkan kepolisian kurang tegas dalam memberikan sanksi hukum bagi pelaku kekerasan. Tanpa adanya proses hukum terhadap para pelaku, kejadian serupa berpotensi akan dapat terulang. Penting juga dilakukan adalah peran aktif pemerintah untuk lebih giat dalam memberikan pemamahan kepada aparat pemerintah daerah dalam memenuhi kewajiban pemerintah dalam melindungi, mempromosikan dan memenuhi Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain itu, pengamanan yang maksimal, persuasi pada kantong-kantong yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Terkait dengan peristiwa di atas,Kontra berharap Komnas HAM dapat melakukan penyelidikan terhadap beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi terhadap Jemaah Ahmadiyah. Komnas harus menjalankan kewenangan mediasi yang dimiliki untuk mencegah kejadian serupa terulang, dengan mengajak para tokoh agama mendialogkan perbedaan yang ada. Sekali lagi, apapun alasannya tidak ada seorangpun yang berhak menggunakan segala bentuk kekerasan pada orang lainnya***
Menyikapi perkembangan yang terjadi, kami meminta Jaksa Agung RI; Pertama, menjalankan komitmen politik yang telah disepakati dengan mendasarkan pada putusan formal MK untuk melakukan penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa keluarga kami. Kedua; bekerja sama dengan Komnas HAM untuk menindaklanjuti proses penyidikan tanpa harus mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM. Ketiga; menjelaskan kepada keluarga korban secara langsung terkait proses hukum yang berlangsung, mengingat keluarga korban adalah salah satu pihak yang berhak untuk mengetahui proses, tahapan dan hambatan yang ada. Demikian surat ini kami sampaikan. Komitmen dan keseriusan dari Jaksa Agung RI adalah cermin dari kepedulian terhadap korban pelanggaran HAM yang hingga kini belum memperoleh keadilan. Hormat Kami 17 April 2008 JSKK, Famsi Atmajaya, KontraS, BEM FH Atmajaya, IKOHI, FKKM Mei 1998, GMNI UKI, Paguyuban Mei 1998, GMNI UBK, Korban Wasior-wamena.
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
23
KABAR DARI SEBERANG
Free Tibet, No Human Rights, No Olympics: Masyarakat Sipil Indonesia Tolak RRC sebagai Tuan Rumah Aksi unjuk rasa yang berujung pada rusuh terjadi di Tibet (12/3), Cina. Unjuk rasa yang Olimpiade
berlangsung di kota Laksa ini diawali oleh pawai yang dilakukan oleh beberapa biksu untuk memperingati 59 tahun pemeberontakan Tibet melawan pemerintahan Cina. Unjuk rasa para biksu ini juga memprotes pembatasan kegiatan keagamaan dan penangkapan para biksu yang terjadi pada Oktober 2007. Aksi protes ini terus meluas di seluruh dunia menjelang persiapan Cina menjadi tuan rumah Olimpiade pada 8-24 Agustus di Beijing Para pengunjuk rasa yang turun ke jalan ini menuntut pembebasan rekan-rekan mereka. Aksi ini kemudian pecah menjadi kerusuhan dan pemerintah menindak tegas para pengunjuk rasa, yang pada akhirnya memicu kerusuhan terburuk sejak 1989. Protes-protes ini pun kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di Cina yang dihuni penduduk etnis Tibet. Dua pekan protes ini terus berlanjut dan menurut Perdana Menteri Tibet di pengasingan, Samdhong Rinpoche, hingga tanggal (24/3), sekitar 130 dikonfirmasikan tewas dalam tindakan keras Cina terhadap demontras. Isu ini terus meluas ke rencana pemboikotan Olimpiade 2008. Sejarah yang ada menunjukkan bahwa antara Tibet-Cina “memiliki” luka lama. Tibet sendiri, awalnya adalah wilayah merdeka sebelum Cina mengirim pasukannya pada tahun 1950 untuk menguasai dataran tinggi itu. Penentangan terhadap pemerintahan Cina berakhir dengan pertumpahan darah pada tahun 1959. Paska peristiwa tersebut, Cina menganggap Tibet sebagai bagian wilayahnya. Karenanya kerusuhan yang berawal di pertengahan Maret lalu dan terus berlangsung hingga akhir April ini, merupakan pergolakan yang tidak terjadi dalam waktu semalam tapi berlangsung puluhan tahun. Selama ini Cina telah “memperlakukan” Tibet bukan hanya berkisar pada persoalan kesenjangan tapi juga warga Tibet menganggap mereka telah lama ditindas, diperas hak-hak termasuk dalam bidang ekonomi.
Meminta dunia membantu Dalai Lama, penerima Hadiah Novel Perdamaian tahun 1989 karena perlawanan tanpa kekerasan, meminta dunia membantu penyelesaian krisis di negara asalnya. Dalai Lama sendiri telah tinggal di menetap di Tibet sejak 1959. Dalai menegaskan hanya ingin diberi kesempatan berdialog dengan China untuk mengakhiri keresahan di Tibet. “Saya sangat terbuka..kami sedang menanti, “ katanya. Dalai menjelaskan mengapa warga Tibet melakukan protes. Ia mengatakan terjadi agresi demografis di Tibet. Dalai juga menyatakan bahwa Cina berisiko memasuki ketidakstabilan karena buruknya catatan soal HAM. “Cina terlihat stabil, namun di bawah permukaan terjadi kebencian meluas, “ ujar
24
Dalai, yang menjuluki Cina sebagai negara polisi dengan aturan teror. Sementara itu, pada saat iring-iringan obor olimpiade sampai di Jakarta (22/3), Masyarakat Indonesia untuk Kebebasan Tibet melakukan aksi unjuk rasa yang berlangsung di Gelora Bung Karno, Jakarta. Namun, aparat keamanan melakukan penangkapan terhadap beberapa peserta aksi damai “Free Tibet, No Human Rights, No Olympics” di pintu Gerbang Senayan. Aksi penangkapan dimulai ketika salah satu dari peserta aksi, Nino menyanyikan sebuah lagu. Tiba-tiba angota polisi dengan memakai helm hitam yang diduga dari PPRM (Pasukan Pengendali Rusuh Massa) mencoba mencopot/menurunkan 2 buah banner yang dipasang di pagar gerbang utama GBK. Seketika itu, Abdul Haris, Gatot, Adam (tiga-tiganya dari LBH Jakarta) dan Awal (Kp. Pilar) mendatangi para polisi PPRM untuk meminta secara baik-baik dua buah banner yang notabene bukan milik polisi. Namun, polisi tidak mau menyerahkan dua buah banner tersebut, akhirnya terjadi tarik menarik. Seketika itu anggota Polisi yang berada di Pagar gerbang GBK mulai mengerubungi dan ‘menahan’ Adam, Abdul Haris dan Gatot, dan Awal ditempat aksi. Saat itu juga, beberapa teman lain seperti Abu, Victor, Alam (KontraS) melakukan negosiasi agar teman-teman yang ditangkap dilepaskan. Akan tetapi Polisi justru menangkap Alam dengan menarik badannya, memukul dan akhimya terjadi tarik menarik antara Polisi dengan sebagian peserta aksi. Sementara itu Adam, Abdul Haris, Gatot masih ditahan ditempat dengan cara memagar yang bersangkutan hingga tidak bisa bergerak. Selanjutnya, ditengah-tengah kerumunan massa aksi, AKBP Heri Wibowo (Wakil Kapolres Jakarta Pusat) meminta Abu, Tri Agus, dan Nico untuk membubarkan diri karena tidak ada pemberitahuan aksi terlebih dahulu ke Polres Jakarta Pusat. Nico menyampaikan bahwa sebelumnya dia telah mengirimkan surat pemberitahuan aksi melalui faksimili ke Polda Metro Jaya.
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
KABAR DARI SEBERANG Dalam aksi ini aparat Polda Metro Jaya menangkap warga negara Belanda, Stef Bolte Gauke, seorang mahasiswa perguruan tinggi di Utrecht, Belanda yang sedang melakukan tugas magang di Kontras, sebagai salah satu kewajiban yang dibebankan oleh perguruan tingginya. Kepala Divisi Advokasi dan Investigasi Kontras, Abu Said Pelu, yang mendampingi Stef saat diperiksa di markas Polda Metro Jaya, mengatakan, “Stef tidak terlibat secara langsung dalam unjuk rasa. Stef hanya bertugas untuk mendokumentasikan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Kontras. Karenanya polisi tidak memiliki alasan untuk mendeportasi Stef. Jika hal tersebut tetap dilakukan maka akan menjadi preseden buruk bagi Indonesia di mata dunia, kata Abu. Karenanya dia berharap polisi tidak mengaitkan keberadaan Stef dengan unjuk rasa Kontras. Saat itu polisi juga menangkap tujuh orang pendemo lainnya yang tak lama kemudian dibebaskan. Aksi penangkapan tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebebasan masyarakat sipil untuk menyampaikan pendapatnya, dimana hak tersebut telah dijamin dalam konvensi hak sipil dan politik yang telah diratifikasi oleh Indenesia ke dalam UU No.12 tahun 2005 bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasanpembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
Menyimpang prinsip-prinsip kemanusiaan Aksi yang dilakukan oleh masyarakat sipil di Indonesia ini merupakan bentuk kekecewaan yang dalam yang jatuhnya korban di Tibet dan di belahan dunia lainnya, yang turut pula menjadi korban kekerasan Cina. Padahal, berdasarkan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dengan tegas dinyatakan, semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Kesemuanya dikaruniai akal dan hati nurani dan menginginkan pergaulan satu sama lain dalam persaudaraan. Oleh karena itu, tidak diperkenankan adanya perlakuaan kejam dan penyiksaan
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
terhadap dan penghinaan terhadap setiap orang. (Pasal 1 dan Pasal 5). Karenanya, kekerasan yang dilakukan Pemerintah Cina di Tibet, jelas menyimpangi prinsip-prinsip kemanusiaan yang diatur dalam DUHAM. Sedang sebagai tuan rumah, pemerintah Cina juga harus memenuhi standar tuan rumah (penyelenggara) olimpiade sesuai dengan piagam olimpiade Internasional. Pada piagam ini tuan rumah di haruskan menjunjung tinggi, bukan saja sportifitas di pertandingan, tetapi menghargai perbedaan dan hak-hak dasar manusia. Dimana, negara penyelenggara berusaha menciptakan kehidupan yang bahagia, pendidikan yang baik dan peduli terhadap etika dasar. Negara penyelenggara juga harus mempertimbangkan promosi perdamaian di masyarakat dengan pemelihataan harga diri manusia, dan menegaskan bahwa olahraga adalah sebuah hak asasi manusia dan praktik untuk saling m e m a h a m i persahabatan, solidaritas dan keadilan. Karenanya, mengharuskan penghapusan diskriminasi yang tidak cocok dengan mekanisme olympiade. Prinsip-prinsip tersebut adalah ukuran kelayakan menjadi tuan rumah (penyelenggara) olimpiade. Karenanya, pemerintah RRC dapat dikategorikan telah menyimpangi standar tersebut. Bentuk kekerasan berupa pembatasan ekspresi dan berkumpul masyarakat Tibet dibatasi, begitupun dengan kasus-kasus lainnya seperti penyiksaan terhadap praktisi Falun Gong, kelompok Kristiani, Muslim Uyshgur dan kasus pembantaian manusia di lapangan Tiananmen tahun 1989. Belum lagi keterlibatan pemerintah Cina dalam kerusuhan di Darfur Sudan yang telah mengundang simpati dunia. Berdasarkan hal diatas, maka sudah selayaknya negara yang tidak melindungi, memenuhi dan menghormati HAM, tidak layak menjadi tuan rumah sebuah kegiatan Internasional seperti Olimpiade. Sudah seharusnya seluruh masyarakat dunia, terutama para atlit menentang pelanggaran HAM dan memboikot penyelenggaraan oympiade di Cina, demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di Negeri Tirai Bambu tersebut. ***
25
KABAR DARI SEBERANG
PPB Akan Bahas Laporan Anti Penyiksaan Indonesia Komite Anti Penyiksaan PBB pada tanggal 6 Mei mendatang akan membahas laporan Pemerintah RI mengenai pelaksanaan Konvensi Anti Penyiksaan di Indonesia. Dalam laporannya Pemerintah menyatakan bahwa Indonesia sudah mencoba melaksanakan Konvensi Anti Penyiksaan dengan sebaikbaiknya. Komite Anti Penyiksaan juga akan membahas laporan Komnas HAM dan laporan alternative NGO.
akan dilaporkan sebagai bayangan kepada Komite Anti Penyiksaan, dengan harapan dapat membantu memperbaiki dan menghapus praktek-praktek penyiksaan di Indonesia .
Membenahi legislasi
Sementara itu, hingga kini Pemerintah masih belum membenahi legislasi yang mengatur larangan penyiksaan Dalam sidang Komite Anti Penyiksaan ini, kita berharap di Indonesia, terbukti penyiksaan sebagaimana definisi pemerintah Indonesia, melalui Delegasi RI bersikap terbuka pasal 1 ayat 1 Konvensi Anti Penyiksaan masih belum ada dalam KUHP dan KUHPM yang dan jujur terhadap segala kondisi menjadi dasar acuan bagi penyiksaan yang terjadi, serta penegakan hukum pidana di berkomitmen tinggi untuk Di sisi lain, sikap terbuka dan Indonesia. Sehingga para pelaku menghapuskan segala tindakan jujur dibutuhkan karena sidang penyiksaan banyak yang lolos dari penyiksaan yang ada. komite merupakan mekanisme jeratan hukum dan malah perbaikan kondisi hak asasi Di sisi lain, sikap terbuka dan jujur mendapat promosi kenaikan dibutuhkan karena sidang komite pangkat. manusia di suatu negara. Baik merupakan mekanisme perbaikan perbaikan instrumen hukum, Terbukti pada Pengadilan HAM adkondisi hak asasi manusia di suatu institusi maupun penyelesaian hoc yang digelar Indonesia untuk negara. Baik perbaikan instrumen kasus. mengadili kasus Timor Timur dan hukum, institusi maupun Tanjung Priok, maupun pengadilan penyelesaian kasus. Komite tidak HAM permanen untuk mengadili akan dapat melakukan perbaikan melalui rekomendasi mengikat jika tidak ada informasi yang kasus Abepura semuanya membebaskan terdakwa benar dan jujur dan sikap terbuka dari pemerintah. Biasanya penyiksaan dari segala hukuman. Hal ini sangat ironis suatu pemerintah hanya memberikan laporan atau informasi mengingat ada peristiwa kejahatan, ada korban, tetapi tentang apa yang baik dan telah dilakukan olehnya, bukan pelaku kejahatan tidak ada. Oleh karena itu jelaslah bahwa impunity masih sangat kental di Indonesia dan korban apa yang terjadi dan hambatan yang dialami. masih jauh untuk dapat menggapai keadilan. Yang special dalam mekanisme sidang komite anti penyiksaan juga memberikan kesempatan yang cukup panjang terhadap Karenanya Koalisi Menentang Penyiksaan berharap dan Komnas HAM maupun NGO secara formal untuk meminta agar Pemerintah Indonesia dapat segera memberikan laporan ataupun informasi kepada komite. Dalam melaksanakan Konvensi Anti Penyiksaan dengan sebaikkonteks ini, ketidak jujuran dan ketertutupan pemerintah baiknya, termasuk melakukan deklarasi terhadap pasal 21 akan sia- sia dan hanya akan menghasilkan penilaian buruk dan 22 Konvensi yang mengakui kewenangan Komite Anti terhadap pemerintah. Komite akan mendapat informasi atau Penyiksaan untuk menerima komunikasi dari negara-negara laporan secara formal/resmi dari Komnas HAM maupun peserta konvensi dan individual. Melakukan harmonisasi hukum Indonesia dengan memasukkan definisi penyiksaan NGO. ke dalam KUHP dan KUHPM, serta mencabut semua Yang tidak dapat dipungkiri, hingga kini praktek penyiksaan ketentuan hukum yang bertentangan dengan Konvensi Anti masih banyak terjadi di Indonesia dan merupakan metode Penyiksaan yang sudah diratifikasi Pemerintah ke dalam sistematis yang digunakan aparat, tidak hanya di daerah UU No. 5 Tahun 1998; konflik seperti Aceh dan Papua, melainkan juga di daerahdaerah lain di Indonesia. Penyiksaan tersebut dilakukan oleh Di sisi menghukum para pelaku penyiksaan dan tidak aparat kepolisian, militer, intelejen, aparat yang berada di memberikan peluang promosi atau kenaikan pangkat bawah koordinasi Pemerintah Daerah seperti Satpol PP, dan terhadap para pelaku. Memberikan hak-hak korban aparat yang berada di bawah kontrol Departemen seperti penyiksaan. Menghapus hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat termasuk antara misalnya Polisi Hutan. lain menghapuskan hukuman mati di Indonesia. Praktek penyiksaan dan tindakan yang kejam, tidak Meratifikasi Optional Protocol Konvensi Anti Penyiksaan. manusiawi dan merendahkan martabat ini telah direkam dan
26
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
KABAR DARI SEBERANG
Impunitas di Sidang Dewan HAM Sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa (PBB), yang berlangsung di Geneva, Swiss, 9-14 April 2008 menaruh perhatian serius terhadap persoalan impunitas dan perlindungan bagi pejuang hak asasi manusia (human rights defender). Sidang juga menghasilkan rekomendasi apa yang sebaiknya dilakukan untuk Indonesia Indonesia, mengirimkan 23 delegasi untuk memaparkan kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Yang diwakili kalangan organisasi non pemerintah (NGO) tiga orang dan pemerintah 20 orang. Delegasi membawa tiga dokumen untuk menjadi referensi kondisi HAM di Indonesia. Tiga dokumen itu, kompilasi rekomendasi dari Dewan HAM PBB untuk Indonesia, kompilasi dari stakeholder (NGO Indonesia dan Internasional), dan laporan dari pemerintah. Sedang persoalan Impunitas (kekebalan hukum bagi pelaku pelanggaran HAM) juga jadi sorotan yang mendalam terkait situasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang mengalami hambatan serius di Indonesia. Misalkan kondisi terkini dari peristiwa pengembalian empat berkas perkara oleh kejaksaan agung, statement Menhan dan penyelesaian kasus Timor leste, terutama KKP/CTF dan pembebasan Eurico Gueteres serta berbagai kasus masa lalu yang lain. Situasi HAM yang juga tidak memberikan rasa aman, kebebasan dan perlindungan HRD menjadi sorotan yang tidak kalah tajam. Rekomendasi yang dihasilkan dewan HAM – UPR berangkat dari berbagai kasus dan kondisi di
Indonesia, misalkan saja pembunuhan almahum Munir, teror terhadap aktivis HAM di Papua, kriminalisasi, akses yang terbatas untuk mendapatkan informasi, dan masalah lainnya.
Normatif semata Disadari oleh komunitas Internasional dalam Dewan HAM – UPR Indonesia memang telah mengalami kemajuan dibidang HAM, namun kemajuan tersebut hanya bersifat “normatif ” semata. Dengan menekankan pada Impunitas dan perlindungan terhadap HRD, komunitas Internasional menyatakan bahwa kemajuan tersebut tidak boleh berhenti pada skala “normatif ”, namun subtansi dan implementasi. Sementara untuk Impunitas menjadi indikator seberapa besar suatu negara mengalami perubahan yang lebih baik dalam konteks HAM. Sebab Impunitas tidak hanya mensyaratkan perubahan norma, namun juga institusi dan politik dalam perubahan itu sendiri. Jika institusinya memiliki karakter yang sama, walau normanya sudah berubah maka tetap saja tidak akan memungkinkan perubahan mendasar HAM yang akan terlaksana. Dimana konteks Indonesia, Impunitas dapat dilihat dari karakter kejaksaan yang tidak mengalami perubahan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, TNI juga tidak berubah, dan berbagai institusi lain. Sebagai komunitas Internasional yang menghargai hak asasi manusia, rekomendasi diatas tentu harus diterapkan dalam membenahi persoalan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Tidak lantas dibiarkan menjadi sekadar “macan ompong”. Mengambil langkah lewat perubahan kebijakan serta penyelesaian kasus masa lalu dengan standar hukum HAM Internasonal menjadi satu keharusan.
“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.” “Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undangan dasar atau hukum.” (pasal 7 dan 8 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia)
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
27
SERBA-SERBI
Zoemrotin K Soesilo (Dewan Pengurus Kontras) memotong Tumpeng bagian dari acara Satu dekade Kontras
Zoemrotin K Soesilo memberikan potongan tumpeng kepada juru bicara kepresidenan Andi Malaranggeng
Zoemrotin K Soesilo memberikan potongan tumpeng kepada vokalis Slank Kaka
28
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
SERBA-SERBI
Usman Hamid, Koordinator Kontras memberikan kata sambutan pada Satu Dekade Kontras yang mengambil tema “Human Loves Human”
Ibu Tuti Koto (ibu korban penculikan, Yani Afri) dan Pak Amir (korban Talangsari) membacakan doa pada acara Satu Dekade Kontras
Karlina Supelli memberikan Pengantar Lecture pada acara Satu Dekade Kontras
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
29
SERBA-SERBI
Joseph Adi Prasetyo (anggota Komnas HAM) sedang berbincang-bincang dengan para presiden dan wakil presiden Republik Mimpi
Asmara Nababan (Dewan Pengurus Kontras) sedang berbincang dengan Dhaniel Dakidae dan Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM)
Syafii Maarif berjabat tangan dengan vokalis Slank Kaka
30
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
SERBA-SERBI
DR. Dhaniel Dhakidae memberikan Lecture utama pada acara Satu Dekade Kontras
Prof. DR. Jimly Assiddiqie (ketua Mahkamah Konstitusi) memberikan Lecture penutup pada Satu Dekade Kontras
Group Band Slank memberikan performance pada acara Satu Dekade Kontras
Berita Kontras No.02/III-IV/2008
31