DARI REDAKSI Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menerbitkan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 2 Tahun 2014. Pada penerbitan ini redaksi telah berusaha untuk memilih artikel-artikel yang telah kami terima, dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang telah ditentukan bagi suatu Jurnal Ilmiah. Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 2 Tahun 2014 ini memuat artikel mengenai: Konsistensi Pemerintah Daerah atas Penerapan Desentralisasi Bidang Lingkungan Hidup dalam Perundang-undangan Lingkungan Hidup Berbasis Hukum Progresif, Disharmoni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukkan Produk Hukum Daerah dengan Beberapa UndangUndang terkait Regulasi Pembatalan Peraturan Daerah, Tinjauan Kritis tentang Pengaturan Kembali Substansi Ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang sudah Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengingkat oleh Mahkamah Konstitusi, Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013, Pengawasan Hakim Konstitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di Indonesia, Fenomena Hukum yang “Ditidurkan” dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Peran Politik Pembaharuan Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Personel Tentara Nasional Indonesia (TNI), Penerapan Aplikasi Sistem Informasi Managemen Kepegawaian (SIMPEG) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Implementasi Pasal 127 dan 128 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan Kepastian Hukum Sertifikasi Halal Produk Pangan di Indonesia. Pada Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 2 Tahun 2014 redaksi mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Suhariyono, S.H., M.H., Bapak Linus Doludjawa, S.H. dan Bapak A. Ahsin Thohari, S.H., M.H. yang telah turut berpartisipasi sebagai pembaca ahli (Mitra Bestari). Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan.
Salam, Redaksi.
iii
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014
DAFTAR ISI Dari redaksi Lembar Abstrak
iii vii - xii
Artikel: Konsistensi Pemerintah Daerah atas Penerapan Desentralisasi Bidang Lingkungan Hidup dalam Perundang-undangan Lingkungan Hidup Berbasis Hukum Progresif Wahyu Nugroho
113 - 126
Disharmoni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukkan Produk Hukum Daerah dengan Beberapa Undang-Undang terkait Regulasi Pembatalan Peraturan Daerah Rudy Hendra Pakpahan
127 - 134
Tinjauan Kritis tentang Pengaturan Kembali Substansi Ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang sudah Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengingkat oleh Mahkamah Konstitusi Unan Pribadi
135 - 142
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Ramiyanto
143 - 150
Pengawasan Hakim Konstitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUUXII/2014 Budi S.P. Nababan dan Fauzi Iswahyudi
151 - 160
Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di Indonesia Wahyu Wiriadinata
161 - 170
Fenomena Hukum yang “Ditidurkan” dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fajar Laksono Soeroso
171 - 182
Peran Politik Pembaharuan Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) Muhammad Fadli
183 - 194
Penerapan Aplikasi Sistem Informasi Managemen Kepegawaian (SIMPEG) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Implementasi Pasal 127 dan 128 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Muhammad Mufid, S.Ag.,M.Si.,MH.
195 - 202
Kepastian Hukum Sertifikasi Halal Produk Pangan di Indonesia H.KN. Sofyan Hasan
203 - 212
Panduan Untuk Penulis Jurnal Legislasi Indonesia
212-1 - 212-6
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.25
UDC 342.25
Nugroho, Wahyu
Nugroho, Wahyu
Konsistensi Pemerintah Daerah atas Penerapan Desentralisasi Bidang Lingkungan Hidup dalam Perundang-undangan Lingkungan Hidup Berbasis Hukum Progresif
Local Government Consistency on Decentralization Implementation of Environment Sector in Environmental Legislation Based on Progressive Law
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2. Semangat desentralisasi yang melimpahkan kewenangan persoalan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah, khususnya tingkat kota atau kabupaten dalam praktik perjalanannya mengalami penyimpangan dengan tidak diimbangi komitmen bersama (political will) para pembuat kebijakan daerah untuk melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di tengah gencarnya program pembangunan perekonomian di berbagai sektor, sehingga berimplikasi kepada pembangunan yang tidak berkelanjutan atau pengabaian terhadap ekologi dan berdampak luas menjadi terancamnya generasi mendatang. Seperangkat norma yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup memuat paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang harus diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Fakta empiris (empirical evidents) menunjukkan penerapan otonomi daerah yang kebablasan dengan luasnya kewenangan pemerintah daerah atas instrumen perizinan lingkungan hidup di segala sektor perekonomian, yakni sektor pertambangan, kehutanan, perindustrian dan lain sebagainya. Selain itu, lemahnya fungsi pengawasan terhadap badan usaha berakibat terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup di sektor tersebut. Perspektif hukum progresif tentunya meletakkan faktor perilaku manusia sebagai kajian terpenting kaitannya dengan perlakuan manusia terhadap lingkungan atau etika lingkungan. Selain itu, juga fungsi hukum ditempatkan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, hendaknya bertujuan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam atau pembangunan ekonomi dengan tidak merusak ekologi. Oleh karena itu, diperlukan optik yang holistik (utuh) oleh pemerintah daerah dalam penerapan desentralisasi bidang lingkungan dan menempatkan diri sebagai aparat penegak hukum lingkungan administrasi yang tegas terhadap pelaku pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup berbagai sektor. Kata kunci : pemerintah daerah, otonomi daerah, lingkungan hidup, undang-undang, hukum progresif
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2. The spirit of decentralization of environmental issues delegate local governments an authority, especially city or county level in their practicing is not matched by a shared commitment (political will) regional policy makers to make the protection and preservation of the environment in the midst of the economic development programs in various sector, so the implications for the development of unsustainable or waiver of ecology and wider impact be threatened future generations. Norms contained in the legislation in the environmental field includes sustainable development paradigm that must be implemented by local governments. Empirical facts (empirical evidents) shows the implementation of regional autonomy that is too far to the extent of local government authority over environmental permitting instrument in all sectors of the economy, namely mining, forestry, industry and so forth. In addition, weak oversight functions of the business entity or the result of pollution and environmental damage in the sector. In the progressive perspective law, of course, put the factor of human behavior as the most important studies related to human treatment of the environment or environmental ethics. In addition, the law also placed to human function, not man for the law, should aim to provide for the welfare and happiness of society in the context of natural resource use or economic development without damaging the ecology. Therefore, the required optical holistic (whole) by the local governments in the field of environmental decentralization and placing themselves as law enforcement officers environmental administrative action against perpetrators of pollution or environmental damage various sectors. Keywords: local government, local autonomy, environmental law, progressive law.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya UDC 34.05
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees UDC 34.05
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya UDC 347.955
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees UDC 347.955
Pakpahan, Rudy Hendra
Pakpahan, Rudy Hendra
Ramiyanto
Ramiyanto
Disharmoni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukkan Produk Hukum Daerah dengan Beberapa Undang-Undang terkait Regulasi Pembatalan Peraturan Daerah
The Disharmony of Internal Affairs Minister Regulation Number 1 of 2014 on Local Regulation Forming with Other Laws Concerned with Local Regulation Abrogation
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
Judicial Review on Criminal Case after Constitutional Court Adjudication Number 34/PUU-XI/2013
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
Perbedaan regulasi dalam pembatalan Peraturan Daerah antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah telah menimbulkan sebuah permasalahan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri membatalkan Peraturan Daerah Provinsi dengan Peraturan Menteri dan Gubernur membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Gubernur. Oleh karena itu, pembentukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 telah mengabaikan prinsip harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sehingga menimbulkan ketidaktertiban hukum.
The differences of the abrogating regulation between the Regional Regulation and Law Number 32 of 2004 jo. Law Number 28 of 2009 on Regional Taxes with Internal Affairs Minister Regulation Number 1 of 2014 on The Establishment of the Regional Legal Products has caused a problem. Law Number 32 of 2004 jo Law Number 28 of 2009 has stated that the decision to abrogate the Regional Regulation determined by Presidential Regulation, meanwhile Internal Affairs Minister Regulation Number 1 of 2014 has stated that the Internal Affair Minister abrogate the Provincial Regulation and the Governor Regulation abrogate District/City Regulation. Therefore, the formation of Internal Affairs Minister Regulation Number 1 of 2014 has ignored the principles of harmonization with the other laws and regulations on top of it, so it will cause legal disorder. Keywords: regulation, abrogation, Regional Regulation.
Kata Kunci: regulasi, pembatalan, peraturan daerah. UDC 347.961
UDC 347.961
Pribadi, Unan
Pribadi, Unan
Tinjauan Kritis tentang Pengaturan Kembali Substansi Ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang sudah Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengingkat oleh Mahkamah Konstitusi
Critical Review on Substance Stipulation Rearrangement of Article 66 Section (1) of Law Number 30 of 2004 on Notary Which has been Stated No Legal Force Binding by Constitutional Court
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
The Constitutional Court verdict Number 49/PUU-X/2012 has stated that phrase “with the approval of the Regional Supervisor Council” in Article 66 section (1) of Law Number 30 of 2004 on Notary contrary to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 and stated that phrase “with the approval of the Regional Supervisor Council” in Article 66 section (1) Law Number 30 of 2004 regarding Notary did not have legal force. However, in Article 66 Law Number 12 of 2014 on the amandement of Law Number 30 of 2004 on Notary has regulated a provision on permit or application of notary examination which has been stated by Constitutional Court verdict Number 49/PUU-X/2012, despite of the authorized institution is no longer Regional Supervisor Council but Notary Honor Council. This phenomenon is interesting to be studied particularly from law making process aspect.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 telah menyatakan bahwa frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ dalam Pasal 66 ayat (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, dalam Pasal 66 Undang-Undang 12 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah diatur kembali ketentuan tentang izin atau permohonan pemeriksaan Notaris yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusannya Nomor 49/PUU-X/2012, walaupun lembaga yang diberi kewenangan tersebut bukan lagi Majelis Pengawas Daerah tetapi Majelis Kehormatan Notaris. Fenomena tersebut menarik dikaji khususnya dari aspek pembentukan peraturan perundang-undangan. Kata kunci : pembentukan undang-undang, harmonisasi, putusan mahkamah konstitusi.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
Keywords: Law making process, Harmonization, The Constitutional Court verdict.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
Peninjauan Kembali dalam hukum acara pidana merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya. Menurut Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengajuan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali untuk perkara yang sama yang telah diputus. Kemudian ketentuan itu diajukan Judicial Review (Uji Materil) ke Mahkamah Konstitusi oleh Antasari Azhar melalui kuasa hukumnya. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 34/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa peninjauan kembali yang hanya dapat diajukan satu kali tidak mencerminkan nilai keadilan khususnya bagi terpidana atau ahli warisnya, sehingga Peninjauan Kembali harus dapat diajukan lebih dari satu kali. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final sehingga berimbas pada ketentuan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU-HAP) yang ditentukan sama dengan ketentuan KUHAP. Oleh karena itu, ketentuan peninjauan kembali dalam RUU harus dirumuskan kembali (reformulasi) yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Judicial review in the procedure of criminal is one of the extraordinary legal remedy which belongs to convict or his/her heirs as their rights. Based on Article 268 section (3) of Criminal-Law Procedural Code (KUHAP), the judicial review may only filed one time for the same case that has been adjudicated by judges. Then the stipulation has been filed for judicial review to the Constitutional Court by Antasari Azhar through his lawyers. In the Constitutional Court verdict Number 34/PUU-XI/2013 has decided that judicial review may only filed one time, that it does not reflect the value of justice, especially for the convict or his/her heirs, so that judicial review must be filed more than once. The verdict of the Constitutional Court is final and binding, so that it has the impact on the provisions of Procedure of Criminal Law draft bill which is determined together with the provisions of the Criminal- Law Procedure Code (KUHAP). Therefore, a judicial review in the draft bill should be redefined (reformulation) accord with the Constitutional Court verdict. Keywords: judicial review, criminal trial, the Constitutional Court verdict.
Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Perkara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi UDC 342.56
UDC 342.56
Nababan, Budi S.P. dan Iswahyudi, Fauzi
Nababan, Budi S.P. and Iswahyudi, Fauzi
Pengawasan Hakim Konstitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014
Constitutional Judges Supervision after Constitutional Court Adjudication Number 1-2/PUU-XII/2014
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 1-2/PUUXII/2014 mengenai judicial review UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 menyebabkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 berlaku kembali. Lantas, bagaimanakah pengawasan terhadap hakim konstitusi pasca Putusan MK tersebut. Bagaimanapun hakim konstitusi juga seorang manusia biasa. Sebelumnya pengawasan hakim konstitusi oleh KY telah dianulir oleh MK melalui Putusan Nomor 005/PUUIV/2006 dan Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan penelitian hukum normatif. Sehingga penulis melihat bahwa pengawasan hakim konstitusi dilakukan secara internal menurut ketentuan UU MK yang lama (lebih tepatnya lagi pasca Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 serta Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Jika saja kedua putusan tersebut tidak pernah diucapkan maka tentu saja KY dapat menjalankan fungsinya melakukan tindakan terhadap pertemuan hakim MK dengan pihak berperkara sebagaimana yang dilansir oleh beberapa media massa.
The Constitutional Court verdict Number 1-2/PUU-XII/2014 regarding judicial review of Law Number 4 of 2014 on Stipulation of Government Regulation to Replace Law Number 1 of 2013 on Contitutional Court led to Law Number 24 of 2003 on Constitutional Court that has been change to Law Number 8 of 2011 should be returned. So, how is the supervision of Constitutional Court judges after the verdict? However the constitutional judges are also human. Previously, the supervision of constitutional judges done by Judicial Commission has been annulled by the Constitutional Court through verdict Number 005/PUU-IV/2006 and Number 49/PUU-IX/2011. To answer these questions, the author used the study of normative law (juridical normative research). So the author see that constitutional justice supervision is done internally by the provisions of the old version of Law on Constitutional Court (more accurately, after the verdict of Number 005/PUU-IV/2006 49/PUU-IX/2011). If only the two decisions were never spoken then of course Judicial Commission is able to run its function to take actions against judges of the Constitutional Court in the meeting as reported by media.
Kata kunci: Putusan, Mahkamah Konstitusi, Pengawasan.
Keywords: Verdict, Constitutional Court, Supervision.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.56
UDC 342.56
UDC 34.04
UDC 34.04
Wiriadinata, Wahyu
Wiriadinata, Wahyu
Fadli, Muhammad
Fadli, Muhammad
Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di Indonesia Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
Judicial Commision Indonesia
Tulisan ini dibuat untuk mengetahui efektivitas Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap hakim di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif/yuridis normatif, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian ditemukan jawaban bahwa peran Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap para hakim belum efektif. Hal ini disebabkan oleh karena diantaranya Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan hukuman administrasi sendiri dan tidak mempunyai kewenangan penyidikan terhadap para hakim yang terbukti melanggar aturan pidana.
Peran Politik Pembaharuan Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Personel Tentara Nasional Indonesia (TNI)
The Role Of Legal Reform Politics In Handling Money Laundering Crime Commited By Indonesian National Army Personnel
The purpose of this paper is to find out the effectiveness of Judicial Commission in supervising judges in Indonesia. For method of research, the writer used a normative legal/juridical-normative method. Data was analyzed by a descriptive-qualitative method. From the research result was found that the role of Judicial Commission in supervising the judges was not effectively implemented. The reason is, among others, the Judicial Commission has neither an authority to impose itself any administrative punishment nor an investigatory authority over those judges who allegedly have committed a crime.
Kata kunci : Pengawasan, penyidikan, penghukuman.
Keywords: Supervision, investigation, recommendation, punishment.
rekomendasi,
and
Judges
Supervision
in
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
UDC 34.03
UDC 34.03
Soeroso, Fajar Laksono
Soeroso, Fajar Laksono
Fenomena Hukum yang “Ditidurkan” dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Statutory Dormancy Phenomenon in a Failure of Eradication of Corruption, Collusion, and Nepotism
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme belum sesuai sebagaimana yang diharapkan. Kemungkinannya banyak, akan tetapi salah satu hal yang mendasar ialah bangsa ini terlampau fokus hanya pada pemberantasan korupsi, padahal, reformasi 1998 mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Artinya, yang diberantas KKN, bukan hanya korupsi. Dalam kerangka itu, telah ada UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang sampai hari ini masih berlaku. Namun, UU No. 28/1999 tidak pernah efektif diberlakukan, bahkan menjadi “hukum yang ditidurkan” (statutory dormancy). Ironisnya, tidak pernah ada upaya mengefektifkan atau mencabutnya. Tulisan ini mengemukakan 4 (empat) fakta yang meyebabkan UU No. 28/1999 “ditidurkan”, yaitu: (1) UU No. 28/1999 kehilangan 'ruh'pasca berlakunya UU No. 30/2002; (2) 'penyempitan' KKN menjadi hanya korupsi belaka; (3) tidak memiliki acuan teknis pelaksanaan; dan (4) nepotisme hampir mustahil diberantas. Fakta tersebut menunjukkan 2 (dua) hal, UU No. 28/1999 lemah secara substansi, dan kelemahan tersebut direspon dengan perilaku hukum untuk 'menidurkan' UU No. 28/1999. Ketidakefektifan UU No. 28/1999 tidak boleh dibiarkan. Jika problemnya terletak pada lemahnya UU No. 28/1999, hal yang perlu dilakukan tentulah menyempurnakan ketentuanketentuan tersebut dalam kerangka mempertajam upaya pemberantasan KKN.
Corruption, collusion, and nepotism eradication does not achieve the objective as we expected. There are many possibilities, but one of the fundamental thing that this nation is too focused only on the eradication of corruption, whereas, the reformation in 1998 has given the mandate to eradicate corruption, collusion and nepotism. It means that not only corruption but also collusion, and nepotism must be eradicate. Within that framework, there is Law Number 28 of 1999 on Implementation of Clean and Free State from Corruption, Collusion, and Nepotism Implementation which today still exist and bind. However, Law Number 28 of 1999 is not effectively enforced, and being “statuta dormancy”. Ironically, there is no effort to make it effective or to repeal. This paper illustrates four facts that cause Law Number 28 of 1999 is being “statuta dormancy”, that is to say; (1) Law Number 28 of 1999 has been lost its soul after the enactment of Law Number 30 of 2002; (2) constriction of corruption, collusion, and nepotism just merely corruption; (3) It does not have the technical reference to implement; and (4) nepotism is almost impossible to eradicate. The facts indicated of two (2) terms, Law Number 28 of 1999 is substantially weak, and the weakness of the law is responded by lulling the Law. In other side, the ineffectiveness of Law Number 28 of 1999 must not be allowed. If the problem lies in the weaknesses of Law Number 28 of 1999, it is certainly necessary to improve these provisions within the framework of efforts to sharpen the eradication of corruption, collusion, and nepotism.
Kata Kunci: Statutory Dormancy, Pemberantasan KKN.
Keywords: “statuta dormancy”, eradication of corruption, collusion, and nepotism.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) tidak memasukkan perangkat hukum militer seperti, Atasan yang berhak menghukum (Ankum), Polisi Militer, ataupun Oditur sebagai penyidik tindak pidana asal. Hal ini menyebabkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak mempunyai dasar hukum dalam meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan terkait transaksi keuangan mencurigakan (TKM) yang berindikasi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh personil Tentara Nasional Indonesia (TNI). Yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah penyidikan laporan hasil analisis atau pemeriksaan PPATK terkait dugaan pencucian uang personil TNI? Personil TNI tunduk pada peradilan militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) sehingga proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dilaksanakan dalam hukum acara peradilan militer. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia telah mengatur bahwa personil tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, akan tetapi belum ada revisi terhadap Undang-Undang Peradilan Militer. Untuk itu diperlukan peran politik hukum dalam pembaharuan UU TPPU dan UU Peradilan Militer agar dapat terpenuhinya kepastian hukum dan persamaan kedudukan di muka hukum serta selaras dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia sebagaimana pembukaan UUD NRI 1945.
Law Number 8 of 2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime does not include legal tools such as military act, eg superior gives punishment to subordination (ANKUM), Indonesian Military Police (PM), and Military Oditur, also known as Military Prosecutor as an investigator of predicate crime. This causes Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK), has no legal basis in forwarding the results of the analysis or examination related Suspicious Financial Transactions (TKM) with indications of money laundering committed by personnel of Indonesian National Army (TNI). The issue of this subject is how the PPATK investigation on the results of the analysis and examination report of the alleged money laundering that committed by personnel of TNI? Military personnel are subject to military justice which provided in Law Number 31 of 1997 on Military Justice (Military Justice Act) so that the procedure of inquiry, investigation, and prosecution are based on military justice procedure. Despite the Law Number 34 of 2004 on Indonesian National Army (TNI) already regulates that military personnel are subject to the general jurisdiction in violation of the general criminal law. However, until today there is no revision of the Military Justice Act. Because of that, the role of political of law in order to reform the Prevention and Eradication of Money Laundering Act and the Military Justice Act to fulfill the rule of law and equality before the law and be consistent with the establishment of the state of Indonesia as written in the preamble of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 (UUD Republik Indonesia 1945) is required.
Kata Kunci: Politik Hukum, Pembaharuan, Pencucian Uang, TNI, PPATK, Hasil Analisis.
Keywords: Political of law, reformation, money laundry, Indonesian Army Force (TNI), Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK), analysis result.
UDC 34.03
UDC 34.03
Mufid, Muhammad
Mufid, Muhammad
Penerapan Aplikasi Sistem Informasi Managemen Kepegawaian (SIMPEG) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Implementasi Pasal 127 dan 128 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2. Salah satu amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah Sistem Informasi ASN. Pasal 127 ayat (1) menyatakan bahwa untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Sedangkan pada Pasal 128 UU ASN dinyatakan bahwa sistem informasi ASN sekurangkurangnya memuat sepuluh field data tiap pegawai. Tiga tahun sebelum UU ASN disahkan, Kementerian Hukum dan
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2. One mandate of Law Number 5 Year 2014 concerning Civil Administrative State (ASN) is the establishment of ASN Information Systems. Article 127 paragraph (1) states that to ensure the efficiency, effectiveness, and accuracy of decision making in Management Information Systems, ASN Information Systems is required. While in Article 128 of the Law stated that the ASN information system shall contain at least ten data fields for each employee. Three years before the ASN law was enacted, Ministry of Justice and Human Rights has implemented Employee Management Information System (SIMPEG), which actually contains more data fields each employee; fifteen fields. Ministry of Justice and Human Rights should be able to optimize the utilization of personnel management in order to realize SIMPEG with base Merit System, which emphasizes qualifications, competence, and
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
HAM telah menerapkan Sistem Informasi Manajemen Pegawai (SIMPEG), yang justru memuat lebih banyak field data pegawai yakni lima belas field. Dengan demikian, Kementerian Hukum dan HAM harus mampu mengoptimalkan pemanfaatan SIMPEG guna mewujudkan pengelolaan aparatur dengan basis sistem merit, yakni mengedepankan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh aparatur dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif. Muara dari sistem merit tentu saja adalah perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik.
performance that is owned by the apparatus in the recruitment, appointment, placement, and promotion to the positions held in an open and competitive process. The goal of the merit system of course is the realization of good governance. Keywords: ASN Information Systems, Employee Management Information System, Information Technology and Human Resource Development.
Kata Kunci: Sistem Informasi ASN, Sistem Informasi Manajemen Pegawai, Teknologi Informasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(LOCAL GOVERNMENT CONSISTENCY ON DECENTRALIZATION IMPLEMENTATION OF ENVIRONMENT SECTOR IN ENVIRONMENTAL LEGISLATION BASED ON PROGRESSIVE LAW) Wahyu Nugroho Peneliti Satjipto Rahardjo Institute dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta Jl. Prof. Soepomo, SH. No. 84 Tebet Jakarta Selatan 12870 Indonesia Email:
[email protected] (Naskah diterima 14/03/2014, direvisi 16/06/2014, disetujui 02/07/2014) Abstrak
UDC 348.97
UDC 348.97
Hasan, H.KN. Sofyan
Hasan, H.KN. Sofyan
Kepastian Hukum Sertifikasi Halal Produk Pangan di Indonesia
Legal Certainty on Halal Food Product Certification in Indonesia
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 2.
Sertifikat halal merupakan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan sesuai dengan syari'at Islam, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi yang mengkonsumsinya. Namun, regulasi yang ada masih terkesan sektoral, parsial dan inkonsistensi serta tidak sistemik dan yang paling mendasar bahwa sertifikasi halal itu bukan merupakan suatu kewajiban (mandatory) bagi pelaku usaha, tetapi bersifat sukarela (voluntary). Akibatnya sertifikat halal dan label halal belum mempunyai legitimasi hukum yang kuat, sehingga tidak menciptakan jaminan kepastian hukum kehalalan produk pangan. Untuk ini, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang masih tersendat di DPR segera diputuskan menjadi Undang-undang dan memberikan otoritas penuh kepada MUI untuk melakukan sertifikasi halal melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa. Sedangkan pemerintah berfungsi sebagai regulator dan pengawas dalam implementasi ketentuan undang-undang yang akan ditetapkan tersebut. Jangan sampai terjadi regulator, pelaksana dan pengawas berada/oleh satu tangan, karena akan menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
Halal certificate is a written decree (fatwa) of Indonesian Ulama Council (MUI) that clarified the halal food product is in accordance with Islamic law, aims to provide legal certainty to those who consume the food. However, existing regulations still impressed sectoral, partial and inconsistent and not systemic and most fundamental that the halal certification is not an obligation (mandatory) for businesses, but it is voluntary. Consequently halal certification and halal label does not have a strong legal legitimacy, so it does not create legal certainty of halal food products. In consequence, the draft bill of Law on Halal Product Guarantee which is stalled in the House of Representative (DPR), it soon must be decided to become Law, so it may give MUI full authority to put down halal certification through Food, Drugs, and Cosmetics Assessment Institute (LPPOM). While the government serves as a regulator and supervisor in the implementation of the provisions of the law. Do not let regulators, implementers and supervisors in one hand, because it will lead to confusion and legal uncertainty.
Kata Kunci: Sertifikat Halal, Majelis Ulama Indonesia, Produk Pangan
KONSISTENSI PEMERINTAH DAERAH ATAS PENERAPAN DESENTRALISASI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS HUKUM PROGRESIF
Keywords: Halal Certificate, the Indonesian Ulama Council (MUI), Food Products
Semangat desentralisasi yang melimpahkan kewenangan persoalan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah, khususnya tingkat kota atau kabupaten dalam praktik perjalanannya mengalami penyimpangan dengan tidak diimbangi komitmen bersama (political will) para pembuat kebijakan daerah untuk melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di tengah gencarnya program pembangunan perekonomian di berbagai sektor, sehingga berimplikasi kepada pembangunan yang tidak berkelanjutan atau pengabaian terhadap ekologi dan berdampak luas menjadi terancamnya generasi mendatang. Seperangkat norma yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup memuat paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang harus diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Fakta empiris (empirical evidents) menunjukkan penerapan otonomi daerah yang kebablasan dengan luasnya kewenangan pemerintah daerah atas instrumen perizinan lingkungan hidup di segala sektor perekonomian, yakni sektor pertambangan, kehutanan, perindustrian dan lain sebagainya. Selain itu, lemahnya fungsi pengawasan terhadap badan usaha berakibat terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup di sektor tersebut. Perspektif hukum progresif tentunya meletakkan faktor perilaku manusia sebagai kajian terpenting kaitannya dengan perlakuan manusia terhadap lingkungan atau etika lingkungan. Selain itu, juga fungsi hukum ditempatkan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, hendaknya bertujuan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam atau pembangunan ekonomi dengan tidak merusak ekologi. Oleh karena itu, diperlukan optik yang holistik (utuh) oleh pemerintah daerah dalam penerapan desentralisasi bidang lingkungan dan menempatkan diri sebagai aparat penegak hukum lingkungan administrasi yang tegas terhadap pelaku pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup berbagai sektor. Kata kunci : pemerintah daerah, otonomi daerah, lingkungan hidup, undang-undang, hukum progresif
Abstract The spirit of decentralization of environmental issues delegate local governments an authority, especially city or county level in their practicing is not matched by a shared commitment (political will) regional policy makers to make the protection and preservation of the environment in the midst of the economic development programs in various sector, so the implications for the development of unsustainable or waiver of ecology and wider impact be threatened future generations. Norms contained in the legislation in the environmental field includes sustainable development paradigm that must be implemented by local governments. Empirical facts (empirical evidents) shows the implementation of regional autonomy that is too far to the extent of local government authority over environmental permitting instrument in all sectors of the economy, namely mining, forestry, industry and so forth. In addition, weak oversight functions of the business entity or the result of pollution and environmental damage in the sector. In the progressive perspective law, of course, put the factor of human behavior as the most important studies related to human treatment of the environment or environmental ethics. In addition, the law also placed to human function, not man for the law, should aim to provide for the welfare and happiness of society in the context of natural resource use or economic development without damaging the ecology. Therefore, the required optical holistic (whole) by the local governments in the field of environmental decentralization and placing themselves as law enforcement officers environmental administrative action against perpetrators of pollution or environmental damage various sectors. Keywords: local government, local autonomy, environmental law, progressive law.
113
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 113 - 126
A.
Pendahuluan
Gagasan lahirnya otonomi daerah sebagai konsekuensi dari kebijakan desentralisasi berawal dari UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diamandemen melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pembentukan peraturan tentang pemerintahan daerah pada tahun 2004 memberikan harapan besar dalam perjalanan proses demokratisasi Indonesia, melalui pengalihan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk dikelola, dan selain itu, memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengatur, mengelola dan memanfaatkan segala potensi daerah (lokal), termasuk dalam hal ini bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di segala sektor. Lingkungan hidup merupakan hal terpenting bagi manusia sebagai bagian dari ekosistem yang ada di alam sekitarnya guna memberikan ruang gerak untuk melakukan aktivitas di segala bidang kehidupan manusia agar terjadi keberlangsungan hidup (survival) ke depannya. Dalam melakukan aktivitasnya, khususnya perekonomian tentu dibutuhkan keseimbangan lingkungan yang baik, sehat dan kondusif. Apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan, seperti pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup, kehidupan manusia akan terganggu bahkan terancam. Sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah, melalui UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terjadi pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota. Semangat desentralisasi membawa pengaruh dalam setiap kebijakan pemerintah daerah dan masyarakat lokal, khususnya perizinan-perizinan yang bersifat administrasi bagi pengusaha daerah, namun setelah dievaluasi dalam perjalanannya kurang lebih 9 (sembilan) tahun lamanya, sejumlah permasalahan bermunculan di bidang lingkungan hidup, yakni terjadi ketimpangan pembangunan daerah di segala sektor, yakni perindustrian, pertambangan, tata ruang kota dan kehutanan antara perekonomian dengan lingkungan yang berdampak langsung kepada masyarakat. Pencemaran di sektor perindustrian yang disebabkan ketidaktaatan penanggung jawab usaha terhadap instrumen lingkungan hidup, terlebih pemerintah daerah yang secara sengaja tidak mengeluarkan wajib amdal, padahal berpotensi menyebabkan dampak lingkungan. 1
114
Kemudian sektor pertambangan di berbagai daerah seperti Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara sebagai daerah tambang, baik aktivitas pertambangan secara kolektif (tambang rakyat), maupun secara korporasi (tambang badan usaha) dilakukan eksploitasi besar-besaran tanpa memedulikan keadilan lingkungan. Kasus lainnya, aktivitas bahan galian C (pasir) di sejumlah daerah pesisir yang pada akhirnya menjadi tipis karena dikeruk terus-menerus. Selanjutnya di sektor kehutanan daerah Banten dan Kalimantan terjadi legalisasi perizinan oleh pemerintah daerah bagi pengusaha dengan dalih investasi, yang kemudian menyebabkan konflik masyarakat adat kawasan hutan karena kehilangan hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Kemudian juga terjadinya pembakaran hutan di Riau, sehingga mengakibatkan kabut asap lintas daerah hingga lintas negara tetangga. Sejumlah permasalahan tersebut tentunya menjadi bahan kajian penulis untuk mengkaji bagaimana konsistensi penerapan desentralisasi oleh pemerintah daerah di bidang lingkungan hidup dalam perundang-undangan lingkungan hidup sebagai upaya menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup di berbagai sektor, serta kebijakan pemerintah yang pro lingkungan dan basis hukum progresif sebagai paradigma pemikiran guna menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.
Konsistensi Pemerintah Daerah Atas Penerapan.....(Wahyu Nugroho)
memperkuat demokrasi ditingkat lokal. Desentralisasi PPLH diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan dengan memberikan pelayanan prima bagi masyarakat, kemudahan dalam mengakses informasi, peningkatan peran serta masyarakat serta penegakan hukum lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut tentunya pemerintah daerah harus mempunyai kapasitas yang memadai dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.2
B.
a.
sarana dan prasarana/infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan sebagainya) yang belum memadai;
c.
ketersediaan SDM lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas yang belum memadai;
d.
pengalokasian anggaran yang sangat terbatas;
e.
iklim politik yang masih kurang berpihak kepada lingkungan.
Secara prinsip, kebijakan desentralisasi ditujukan untuk memperkuat kapasitas pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik dan
http://www.menlh.go.id/review-pelaksanaan-otonomi-daerah-bidang-lingkungan-hidup/, diakses pada tanggal 27 Februari 2014.
bersifat komersial Kebijakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan tidak selalu ditujukan untuk mengatur perlindungan terhadap kualitas fungsi daya dukung dan daya tamping lingkungan agar tetap tinggi atau setidaktidaknya menurun secara signifikan. Ada peraturan yang pembentukannya hanya bersifat formalitas saja, sehingga hanya memberikan petunjuk umum secara garis besar dan bahkan terkadang parsial. Adapula pengaturan tentang pengelolaan lingkungan yang diserahkan kepada masing-masing sektor, seperti sektor kehutanan, pertambangan, industri, pekerjaan umum atau perumahan. Cara ini tentunya hanya melihat pengelolaan lingkungan dari kacamata kepentingan sektor yang bersangkutan. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan lingkungan hanya merupakan minority regulation yang mendukung perundang-undangan sektoral, misalnya pada tahun-tahun awal orde baru. Hal ini amat kentara dalam rumusan Uundang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Pertambangan, atau Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing. Jadi, kebijakan perundang-undangan itu hanya bersifat komersial.4
Perundang-
bersifat insidentil Penyebab kelahiran suatu peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan tidak jarang ditandai oleh sifat reaktif terhadap suatu kejadian (kasus) yang bersifat insidental. Sifat reaktif dari aturan yang sekedar berupaya merespon peristiwa lingkungan inilah yang sering mengakibatkan peraturan tersebut hanya “berumur pendek” dengan penyelesaian yang juga bersifat ad hoc. Oleh karena terbitnya perundang-undangan tadi didasarkan pada situasi dan kondisi konkret, maka ciri kebijakan hukum lingkungannya pun bersifat insidental. Produk peraturan yang tadinya tidak direncanakan untuk jangka panjang itu, akhirnya dikeluarkan karena terdesak oleh keadaan yang sesegera mungkin harus diatasi. Misalnya, lahirnya peraturan yang dilatarbelakangi oleh adanya suatu wabah penyakit, masalah kesehatan lingkungan, ataupun karena timbulnya pencemaran dimana-mana oleh industri tertentu. Sifat peraturan perundang-undangan seperti itu sudah tentu tidak akan luwes dalam jangka waktu yang lama (tidak mampu mencakup kebutuhankebutuhan perkembangan zaman), karena
kebijakan/Peraturan PPLH daerah yang belum jelas, termasuk didalamnya visi dan misi Kepala Daerah yang kurang terhadap lingkungan;
b.
b.
Dalam upaya memahami kebijakan hukum lingkungan di Indonesia, Asep Warlan Yusuf sebagaimana dikutip oleh Deni Bram mengklasifikasikan jenis kebijakan hukum berdasarkan sifat perangkat peraturan perundangundangan lingkungan hidup antara lain:3
Selain permasalahan di atas, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengidentifikasi sejumlah masalah yang dialami selama pelaksanaan otonomi daerah di bidang lingkungan hidup seperti:1 a.
Sifat Instrumen Hukum undangan Lingkungan Hidup
cakupan yang ditata hanya mampu menjangkau kepentingan-kepentingan saat itu (saat adanya kebutuhan yang mendesak).
c.
Bersifat parsial Ciri-ciri dari suatu kebijakan perundangundangan di bidang lingkungan hidup yang bersifat parsial ialah: (1) Masalah lingkungan dilihat hanya sebatas pengaturan isu yang berdiri sendiri-sendiri, tanpa ada kaitan dengan isu lainnya, misalnya pada isu kerusakan hutan yang dipersepsi hanya sebagai masalah kerusakan pohon (kayu), padahal, hal tersebut juga terkait dengan masalah tata air, banjir, longsor, dan bahkan kerusakan situs budaya. (2) Cara pengaturan yang tidak sistematis dan terpadu, dan lebih terkesan menonjolkan sektor masing-masing, sehingga terjadi “ego sektor”.
2
Ibid. Deni Bram, Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Oktober 2011, hlm. 68. 4 Ibid., hlm. 70. 3
115
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 113 - 126
d.
(3) Tidak terjadi interaksi, interdependensi, interkoneksi dan interrelasi antara satu isu lingkungan dengan isu yang lain. Misalnya, Peraturan Menteri X melarang suatu aktivitas, tetapi Peraturan Menteri Y justru membolehkannya.
kebutuhan tersebut justru hanya dibuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang, misalnya hanya berupa peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan menteri, yang tidak perlu melibatkan DPR. Kebijakan jalan pintas ini secara ringkas bercirikan:
(4) Sulit untuk melihat masalah lingkungan sebagai suatu yang komprehensif, terintegrasi dan holistik. Misalnya, lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2004 jo. UndangUndang Nomor 19 tahun 2005 yang membolehkan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung, yang sebenarnya oleh Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan telah dilarang.
(1) Pengaturan lingkungan sering diterabas oleh produk yang mudah diterbitkan;
(4) P e n g a t u r a n l i n g k u n g a n l e b i h mengutamakan faktor efektivitas dan efisiensi; dan (5) Produk hukum tidak didasarkan pada pengkajian yang komprehensif dan mendalam.
(1) Adanya kebutuhan akan perangkat hukum yang mendesak; (2) Menghindari waktu yang berlarut-larut untuk menunggu terbitnya peraturan yang lebih tinggi, sehingga ditempuh jalan pintas dengan menggodok peraturan menteri atau keputusan presiden. Cara ini dianggap lebih praktis dibandingkan dengan menerbitkan sebuah undang-undang yang dibuat oleh presiden dengan persetujuan DPR, yang sudah tentu prosesnya memakan waktu yang lama dan membutuhkan banyak biaya;
(2) Pengaturan pengelolaan lingkungan diatur oleh masing-masing sektor;
(3) Motivasi sosial politis;
(3) Apabila tidak ada koordinasi, maka sering timbul konflik kewenangan, overlapping dan tarik-menarik kepentingan di antara sektor; dan
Terdapat kecenderungan dalam praktik adanya beberapa bentuk regulasi yang seharusnya secara substansial membutuhkan tingkatan regulasi yang lebih tinggi, misalnya dengan undang-undang, tetapi dalam beberapa hal,
116
(3) Konsisten, artinya bahwa setiap produk perundang-undangan di bidang lingkungan hidup senantiasa harus mengedepankan selain good process, yang artinya dibentuk dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) seluas mungkin secara genuine, juga good norms yang artinya tepat jenis perundangundangannya, dibuat oleh lembaga yang tepat pula, serta mampu menjabarkan dengan jelas (clearly) prinsip-prinsip good environmental governance dan good sustainable development governance ke dalam norma yang enforceable, sehingga undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini dapat dijadikan atau berfungsi sebagai “payung hukum” bagi kegiatan yang dilakukan oleh sektor lainnya yang terkait dengan isu lingkungan hidup, seperti sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan dan perikanan.
Cara negatif yang berwujud jalan pintas ini ditempuh karena adanya faktor-faktor berikut:
(1) Masalah lingkungan hanya dilihat dari sudut pandang sektoral;
perangkat jalan pintas
(2) Kohesif, artinya senantiasa dikembangkan keterpaduan, keterkaitan, keterlekatan, keterhubungan dan ketergantungan antara perundang-undangan lingkungan dengan sektor-sektor lainnya yang berada di bawah naungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup; dan
(3) Pengaturan lingkungan lebih bersifat teknis operasional;
Pada dasarnya, kebijakan perundangundangan lingkungan yang bersifat sektoral atau departmental ini hampir serupa dengan yang bersifat parsial sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ciri inilah yang paling banyak menandai peraturan perundangundangan lingkungan di Indonesia. Selain dapat dimaklumi bahwa pelaksanaan praktis dari suatu kegiatan bermuara pada masingmasing sektor atau departemen, hal itu juga disebabkan karena setiap departemen diberi wewenang teknis untuk menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tugasnya masing-masing. Dengan kata lain, kebijakan sektoral atau departmental ini bercirikan:
e.
(1) Komprehensif, artinya substansi perundang-undangan ini memuat setiap aspek dari pengelolaan lingkungan, yaitu meliputi antara lain: inventarisasi, perencanaan, perlindungan, pencegahan, pemanfaatan, penanggulangan, pemulihan, pelestarian, konservasi, kelembagaan, partisipasi masyarakat, desentralisasi, pengawasan, pengendalian, perizinan, sumber daya manusia, standar baku mutu, instrumen ekonomi, dan menginternalisasi komitmen global;
(2) Penyelesaian masalah lingkungan selalu didasarkan pada kesepakatan (joint policy) para pengambil kebijakan, misalnya melalui surat keputusan bersama;
bersifat sektoral atau departmental
(4) Berpotensi untuk terjadi disharmoni dan inkonsistensi dalam pengambilan kebijakan di bidang lingkungan.
Konsistensi Pemerintah Daerah Atas Penerapan.....(Wahyu Nugroho)
(4) Anggaran biaya yang tidak mencukupi untuk memproduksi undang-undang; dan (5) Faktor kekurangtangkasan para aparat yang berkompeten. f.
Bersifat komprehensif, kohesif dan konsisten Berdasarkan penjelasan pada butir a sampai dengan e tersebut di atas, maka pertanyaan yang muncul kemudian ialah: bagaimanakah suatu peraturan perundang-undangan lingkungan hidup itu seharusnya dibangun? Secara teoritis, substansi dan rancang bangun peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup memiliki ciri:
Untuk melakukan perubahan format dan praksis hukum yang saat ini dipraktikkan di Indonesia, Satjipto Rahardjo menganjurkan untuk menggunakan siasat dengan menolak status quo dan secara progresif melakukan pembebasan yang dirumuskan ke dalam gagasan dan tipe hukum progresif,5 yaitu dengan melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum serta melakukan berbagai terobosan baru. Oleh 5
karena itu, dibutuhkan pendekatan lain selain pemerintah daerah khususnya dalam konteks regulasi bidang lingkungan hidup, yaitu dengan pendekatan yang komprehensif/holistik, termasuk melibatkan budaya dan lingkungan. Secara substansi perundang-undangan dan pranata lingkungan, pemerintah daerah dalam penegakan hukum lingkungan administrasi selain berpijak pada norma hukum yang bersifat konsisten, kohesif dan komprehensif, juga memerhatikan kesadaran hukum masyarakat sebagai bagian terpenting dari budaya hukum. Budaya hukum diterjemahkan sebagai kesadaran hukum masyarakat terhadap fungsi pelestarian lingkungan hidup dan adanya upaya mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup di semua sektor. Penegakan hukum lingkungan berbasis hukum progresif melakukan pendekatan terhadap faktor-faktor meta yuridis (di luar hukum), yakni lingkungan, sosial, budaya dan etika. Dalam konteks ini, persoalan kegiatan ekonomi tidak menegasikan etika lingkungan, artinya para pengusaha atau pemegang izin usaha misalnya di sektor pertambangan, juga memerhatikan etika lingkungan, yakni sikap pemegang izin usaha yang ramah lingkungan, tidak berpotensi mencemar atau bahkan merusak lingkungan, sebagai bentuk dari eksploitasi terhadap sumber daya alam. Hal tersebut menjadi political will (komitmen) aparatur pemerintah daerah sebagai wujud desentralisasi menegakkan hukum lingkungan administrasi dengan melibatkan etika lingkungan. C.
Kebijakan strategis dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasca Reformasi
Potret kebijakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur secara konstitusional melalui amandemen UUD 1945 Pasal 33 ayat (4) yang menyatakan: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi.” Norma Pasal 33 ayat (4) mengandung filosofi bahwa setiap kebijaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia di segala sektor hendaknya disinergikan dengan keadilan lingkungan dan
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Maret 2007, hlm. 189.
117
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 113 - 126
berkelanjutan. Urgensi dari pembangunan perekonomian adalah kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat lokal (pedesaan) yang secara sosiologis memiliki kultur hukum berbeda dengan masyarakat perkotaan. Melalui pemerintah daerah, potensi sumber daya alam yang ada di masyarakat dikembangkan dan dijadikan sebagai sarana untuk melestarikan lingkungan hidup. Kebijakan publik (public policy) akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya masyarakat dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Di era reformasi, komitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terlihat semakin kuat. Paling tidak, pada tataran formal nampak ada keinginan untuk memerankan hukum secara kuat sebagai instrumen untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan dari kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas pemanfaatannya dalam pembangunan. Hasil kajian Esmi Warassih dan Rahmat Bowo,6 mengungkap sejumlah fakta bahwa secara political will, sudah ada komitmen untuk menciptakan pembangunan berwawasan lingkungan sebagai berikut: pertama, penambahan ayat (4) pada Pasal 33 UUD 1945 sebagai hasil perubahan keempat semakin menegaskan dan menguatkan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu model yang harus diterapkan dalam kebijakan pembangunan. Jimly Ashiddiqie menyebut istilah green constitution,7 artinya konstitusi hijau dengan semangat pengintegrasian kebijaksanaan pembangunan secara berkelanjutan yang pro lingkungan. Kedua, konsekuensi yuridis dari landasan konstitusional pada pasal 33 ayat (4) tersebut, adalah terbitnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai sektor pemerintahan, yang mengadopsi wawasan lingkungan di dalamnya.8 Ketiga, berbagai instrumen pemerintahan, yang diperkirakan akan mampu mendorong terlindunginya SDA dan lingkungan, telah diintegrasikan dalam sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan, dan menjadi prosedur baku dalam rangkaian aktivitas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2009. Keempat, untuk memastikan bahwa
penyelenggara pemerintah menggunakan instrumen pemerintahan tersebut secara benar dan menjalankannya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, beberapa peraturan perundangundangan telah mengkriminalisasikan tindakan administratif tertentu yang cacat secara prosedural dalam penerbitan izin terkait dengan pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup. Menurut penulis, kebijakan lingkungan dalam tataran nasional yang secara konstitusional mengandung prinsip pembangunan berkelanjutan, ditambah dengan kompleksitas penaatan hukum lingkungan di dalam UU No. 32 tahun 2009 dan sejumlah UU sektoral bidang lingkungan hidup hendaknya diterjemahkan oleh para pemangku kepentingan di tingkat daerah, baik dinas kehutanan, dinas pertambangan, dinas tata kota maupun dinas pariwisata, sebagai kesatuan lingkungan hidup secara holistik. Semua aspek kegiatan perekonomian di sejumlah sektor hendaknya memiliki pemahaman yang utuh tentang fungsi pelestarian lingkungan dan penaatan hukum lingkungan. Secara substansi, banyak peraturan sektoral lingkungan hidup yang diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini, secara pranata kelembagaan lingkungan hidup di daerah beserta perangkat kerja daerah, memiliki keterbatasan kapasitas dan kuantitas, dibandingkan dengan jumlah pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup daerah. Hukum progresif meletakkan faktor manusia sebagai tolok ukur keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan administrasi di tingkat daerah. Segala perangkat daerah pemerintah kota atau kabupaten yang menangani persoalan lingkungan hidup atau pranata hukum bidang lingkungan memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar, khususnya sektor kehutanan dan sektor perindustrian. Selain itu, pijakan ketentuan normatif tidak menjadi satu-satunya bahan kajian untuk menegakkan hukum lingkungan melalui perizinan-perizinan, karena perlu juga dilibatkan faktor budaya hukum masyarakat sekitar dan hak-hak atas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat atau lokal yang masih memegang erat nilai-nilai lokal atau kearifan
6 Esmi Warassih Pudjirahayu dan Rahmat Bowo, “Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Hukum Progresif”, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Semarang: Diterbitkan atas Kerjasama Thafa Media dengan Konsorsium H u k u m Progresif Universitas Diponegoro Semarang, Cet. I November 2013, hlm. 892-893. 7 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 152. 8 Sebagai contoh adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 t e n t a n g Sumber Daya Air, Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara.
118
Konsistensi Pemerintah Daerah Atas Penerapan.....(Wahyu Nugroho)
lokal (local wisdom). Dalam konteks hukum dalam kenyataan (law in action), semangat desentralisasi yang melimpahkan kewenangan persoalan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah, khususnya tingkat kota atau kabupaten, tidak diimbangi dengan komitmen bersama (political will) para pemangku kepentingan untuk melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, karena justru yang terjadi adalah ketimpangan. Kewenangan luas yang diberikan kepada pemerintah daerah, khususnya kabupaten dan kota dalam hal perizinan-perizinan instrumen lingkungan hidup terhadap para pengusaha atau pelaku ekonomi di berbagai sektor, khususnya sektor industri, mengalami kelemahan dalam penegakan hukum lingkungan administrasi, yaitu salah satunya tidak dilengkapi dokumen AMDAL dan izin lingkungan, padahal, kedua instrumen tersebut memiliki arti penting sebagai pengendalian dampak lingkungan di masyarakat sekitar, baik pencemaran atau kerusakan. Dalam konteks sektor industri, terjadi pencemaran di sejumlah kota yang sebagian besar kawasan industrinya sedemikian parah, ditambah lagi dari sisi tata ruang kota yang menyalahi peraturan daerah tata ruang kota. Dari hasil penelitian tesis penulis yang membidik sektor perindustrian di Kota Semarang Jawa Tengah dalam kebijakan desentralisasi di bidang lingkungan hidup terungkap bahwa terdapat dua model penegakan hukum lingkungan, yakni:9 pertama, penegakan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang dalam menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup kawasan industri Kota Semarang memberi penekanan pada bidang penanganan sengketa lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan dan bidang pengawasan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dua bidang inilah sebenarnya yang paling urgen di dalam melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum administratif di lapangan, sidak ke industri-industri secara bergantian, melakukan pengecekan surat-surat / dokumen, antara lain dokumen AMDAL, UKL-UPL, SPPL, izin lingkungan, kemudian juga sidak sampling air yang dibuktikan dengan ada tidaknya dokumen IPLC (Izin Pembuangan Limbah Cair) dari pemilik industri, apakah limbah yang diolah tersebut melebihi baku mutu lingkungan atau di
bawah baku mutu. Tindakan BLH Kota ini berdasarkan pada UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perda Kota Semarang No. 13 tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup; kedua, penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif dilakukan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah ketika sudah terjadi pencemaran atau kerusakan terhadap lingkungan dalam konteks perindustrian yang menimbulkan dampak besar bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Contohnya, penanganan kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di sungai Tapak Tugurejo. Hasilnya pun berhenti di tingkat penyidikan karena pemilik industri berjanji akan memenuhi langkah-langkah administratif sebagaimana diatur dalam Perda Kota Semarang No. 13 tahun 2006. Kelemahan pemerintah daerah dalam kebijakan penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup di daerah adalah karena keterbatasan sumber daya manusia dan sarana dan prasarana dalam sebuah pranata, yakni Badan Lingkungan Hidup, baik provinsi maupun kota/kabupapen. Selain itu, kurang terintegrasinya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai tangan panjang dari aparat kepolisian dalam penegakan hukum lingkungan secara represif. Oleh karena itu, paradigma berpikir hukum progresif perlu ditekankan kepada para stakeholders, guna menembus kebekuan dalam menjalankan peraturan yang bersifat positivistik untuk memecahkan suatu kasus lingkungan, yakni melalui strategi pelibatan unsur etika lingkungan, perilaku yang memanusiakan alam/lingkungan dan membongkar watak/perilaku para pemegang izin usaha yang tidak memedulikan aspek lingkungan.
D. Variabel dalam Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Hidup di Daerah Perubahan sistem kekuasaan yang sentralistik menjadi desentralistik menjadi pekerjaan sekaligus tantangan baru untuk menegakkan hukum lingkungan yang mengutamakan segi administrasi. Sejumlah perizinan menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan instrumen hukum yang ditujukan kepada para pengusaha, khususnya di daerah yang izinnya
9 Wahyu Nugroho, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Menanggulangi Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Kawasan Industri Kota Semarang Berbasis Peningkatan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development), Tesis pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2011, hlm. 293-295.
119
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 113 - 126
diterbitkan melalui pemerintah daerah. Kompleksitas penegakan hukum administrasi lingkungan hidup di daerah sangat erat hubungannya dengan sejumlah instrumen hukum perizinan tersebut. Dalam implementasi paradigma pembangunan berkelanjutan, pola pikir yang dibangun pemerintah daerah berbagai sektor cenderung top-down atau hanya menggunakan pijakan yuridis semata yang bersifat legalistik, tanpa memerhatikan faktor-faktor keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi, ego sektoral dan kelemahan atas pengawasan bagi industri atau sektor lain dalam menjalankan instrumen hukum perizinan lingkungan hidup. Beranjak dari sini, ditemukan variabel dalam penegakan hukum administrasi lingkungan di daerah, yakni hubungan interaksi diantara stakeholders, pemerintah daerah beserta badan lingkungan hidup atau dinas terkait, pengusaha, masyarakat dan NGO yang memiliki kapasitas legal standing dalam melakukan gugatan atas pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Arief Hidayat dan Adji Samekto dalam kajian kritis penegakan hukum lingkungan di era otonomi daerah mengatakan bahwa dalam otonomi daerah, pendekatan pluralis muncul sebagai antinomi terhadap pendekatan realis yang memandang pemerintah negara sebagai aktor paling penting dalam memberikan kesejahteraan masyarakat.10 Oleh karena itu, kekuatan-kekuatan masyarakat (termasuk korporasi) menjadi penting perannya untuk bersama-sama memajukan kesejahteraan masyarakat setempat misalnya melalui pembukaan lapangan kerja baru dan penanaman modal. Kecenderungan yang terjadi kemudian, demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terjadilah kolaborasi antara penguasa dengan pengusaha yang berpotensi merusak lingkungan, mereduksi sumber daya alam dan akhirnya merugikan masyarakat. Dalam perspektif sosiologis, kompleksitas kenyataan di dalam masyarakat perlu dimasukkan ke dalam pemahaman dan analisis terhadap hukum, karena penegakan hukum pada akhirnya tidak hanya terhenti pada coraknya yang logisuniversal, melainkan variabel.11 Dalam menafsirkan suatu pasal peraturan perundang-undangan, harus diperhatikan masalah perubahan kehidupan masyarakat yang memberi nuansa pada pemikiran, 10
dan pengalaman akan memberikan proses pemahaman baru terhadap apa yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Pertumbuhan dan perkembangan hukum mempunyai kerangka penafsiran tertentu dengan memperhatikan kenyataan sosiologis dalam masyarakat yang menjadi dasar pelaksanaan Pasal 33 tersebut. Selain itu, harus ada petunjuk tentang hal-hal yang menjadi pangkal tolak penafsirannya agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan bagi pelaksanaan.12 Dalam proses penegakan hukum administrasi lingkungan di daerah, pemerintah daerah beserta perangkat daerah di badan lingkungan hidup dan dinas lainnya hendaknya ada pemahaman yang komprehensif tentang urgensi pembangunan perekonomian yang berwawasan lingkungan. Variabel yang ditemukan adalah dominasi kekuasaan legalisasi perizinan berkedok investasi daerah, tanpa memerhatikan atau melihat hak-hak masyarakat lokal, adat atau pribumi untuk mengakses sumber daya alam serta budaya hukum masyarakat (adat). Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUUVIII/2010 tertanggal 16 Juni 2011, memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Pertimbangan hukum mahkamah berpatokan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, maka yang menjadi ukuran adalah frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam segala pengurusan, pengelolaan dan pengaturan sumber daya alam, yang dalam konteks ini adalah hutan. Penguasaan tersebut wajib memerhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (atau dikenal sebagai hak ulayat) atau hak-hak lainnya yang dijamin oleh konstitusi, seperti hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak akses untuk melintas, serta hak ekonomi, sosial budaya (hak ekosob). Kasus pembakaran lahan hutan dan lahan perkebunan di sejumlah wilayah Riau, Sumatera, menjadi pelajaran berharga bagi para pemangku kepentingan aparat pemerintahan dan kepolisian daerah sebagai pemegang amanah dari undangundang untuk menjalankan fungsi dan
Arief Hidayat dan Adji Samekto, op.cit., hlm. 112.
11
Konsistensi Pemerintah Daerah Atas Penerapan.....(Wahyu Nugroho)
wewenangnya untuk melakukan penegakan hukum lingkungan daerah, serta peran serta masyarakat dalam bentuk kesadaran pelestarian lingkungan dan pengawasan.13 Mencermati kasus tersebut, penulis menyebutkan sebagai kejahatan lingkungan yang pelakunya adalah korporasi secara terorganisir. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana sistem atau pola perizinan oleh pemerintah di sektor kehutanan terhadap pemegang izin usaha (contohnya AMDAL dan izin lingkungan) ? dan apakah dalam operasional suatu industri (contohnya Hutan Tanaman Industri) atau badan usaha tersebut juga disertai dengan pengawasan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengajukan tesis yang diawali dari pertama, kesamaan pemahaman aparat yang berwenang bahwa pencemaran atau kerusakan lingungan akan berdampak pada hilang atau punahnya sumber daya alam sebagai soko perekonomian bangsa; kedua, ketegasan Kementerian Lingkungan Hidup dalam memberikan sanksi sebagaimana tercantum di dalam UU No. 32 tahun 2009 kepada pelaku pembakar hutan, termasuk korporasi dengan ancaman pidana; dan ketiga, pertanggungjawaban kolektif antar kementerian, yakni kementerian kehutanan, kementerian pertanian dan kementerian lingkungan hidup, sehingga tidak ada tudingan dalam menghadapi persoalan serius ini. Ketiga kementerian tersebut memiliki fungsi koordinasi dengan aparatur pemerintahan daerah sektoral, khususnya Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten setempat yang terkena imbas dari kebakaran lahan hutan dan atau perkebunan.14 Penerapan desentralisasi pada dasarnya tidak serta-merta menghilangkan pertanggungjawaban pusat (sentralisasi). Dalam perspektif hukum lingkungan internasional, kasus pembakaran hutan yang berdampak kepada polusi asap hingga ke negara tetangga akan melahirkan state responsibility (pertanggung jawaban negara), yakni dalam bentuk pelanggaran kewajiban untuk mencegah, mengurangi dan mengawasi kerusakan atau gangguan terhadap lingkungan (a duty to prevent, reduce, and control environmental harm).15 Kewajiban ini sudah dipandang sebagai prinsip 13
yang telah diterima sebagai suatu kebiasaan. Indonesia sebagai negara yang hampir tiap tahunnya terjadi kebakaran hutan atau perkebunan dipandang sebagai tanggung jawab negara yang berpotensi untuk dapat digugat oleh negara tetangga karena dirugikan oleh polusi asap. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera melakukan ratifikasi polusi asap lintas batas (Transboundary Haze of Pollution) ASEAN.16 Syamsul Arifin telah mengidentifikasi sejumlah variabel kendala dalam penegakan hukum lingkungan dalam perspektif kelembagaan (pranata), antara lain:17 1.
Belum optimalnya pemahaman penegak hukum (PPNS, polri, jaksa, hakim) terhadap substansi dari peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sehingga banyak kasus lingkungan tidak terselesaikan sesuai dengan kehendak undang-undang. Adapun hal-hal yang terkait dengan peningkatan capacity building antara lain:
2.
-
Perekrutan PPNS yang bukan dari basic hukum berdampak kepada pemahaman substansi, dan penafsiran hukum itu sendiri tidak sesuai dengan roh dari hukum lingkungan itu sendiri.
-
Pelatihan dalam bentuk diklat-diklat lingkungan masih minim bagi personel Polri yang ditempatkan pada bidang penegakan hukum lingkungan, begitu juga dengan personil dari Kejaksaan.
-
Hakim yang menangani perkara lingkungan harus memiliki sertifikasi hakim lingkungan, dan ini diikuti pula dengan keharusan untuk membentuk sistem peradilan khusus lingkungan.
Masalah-masalah yang selalu dihadapi oleh instansi lingkungan hidup di daerah antara lain: a. Minimnya bahkan tidak terdapatnya pejabat PPNS dan PPLHD, sebagai dampak dari terbatasnya pelaksanaan diklat-diklat yang dilakukan oleh pemerintah pusat, dan selain itu kewenangan pelatihan masih
Lihat: Media Indonesia, Selasa, 4 Maret 2014, hlm. 2.
14
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Gamal Nasir) mengklaim telah menjalin kesepakatan dengan 70 perusahaan perkebunan beserta asosiasi petani untuk mencegah pembakaran lahan. Melalui kesepakatan itu, setiap perusahaan perkebunan diwajibkan memiliki sarana dan prasarana kebakaran, tanpa kelengkapan tersebut, pemerintah tak akan menerbitkan izin. Lihat: Koran Tempo, Selasa, 4 Maret 2014, hlm. 5. 15
Patricia W. Birnie and Alan E. Boyle, International Law and The Environment, Oxford: Clarendon Press, 1992, hlm. 89.
16
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, hlm. 174.
Wahyu Nugroho, Opini “Urgensi Ratifikasi Polusi Asap Lintas Batas”, Media Kampus Gairah Belajar Sepanjang Hayat, Vo. I, No. 6 Agustus 2013, hlm. 20.
12
17
120
Soemantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press, t.th, hlm. 23-24.
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: PT Sofmedia, 2012, hlm. 215-216.
121
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 113 - 126
dipegang oleh pemerintah pusat. b. Penempatan pegawai oleh BKD yang tidak melihat keilmuan pegawai tersebut. Penempatan ini bukan saja di tingkat staf, tetapi juga pejabat eselonnya yang tidak didasari oleh proporsional tugasnya. c. Pegawai yang telah mendapatkan diklatdiklat lingkungan selalu dimutasikan ke instansi lain yang tidak ada korelasi dengan bidangnya, sehingga berdampak kepada minimnya pegawai yang menguasai masalah lingkungan. Ini dilakukan demi mengejar karir jabatan, karena masih banyak instansi lingkungan yang masih menyatu dengan satuan kerja perangkat daerah lain. d. Minimnya anggaran yang tertampung pada instansi lingkungan hidup daerah, sehingga program-program lingkungan tidak dapat dilaksanakan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, minimal penulis mengajukan beberapa hal antara lain: 1.
2.
3.
4.
5.
122
Proses rekruitmen pegawai dalam pranata lingkungan hidup dilakukan berdasarkan latar belakang disiplin ilmu terkait, yakni humaniora atau hukum. Pranata bidang lingkungan hidup daerah memiliki hubungan koordinasi dengan dinas di sektor lainnya, misalnya dinas pertambangan, dinas tata ruang kota, dinas perindustrian, dinas kehutanan, sehingga permasalahan bidang lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dan sinergi dengan dinas lainnya. Peningkatan kapasitas (capacity building) aparat daerah bidang lingkungan hidup dalam bentuk pelatihan-pelatihan dan tidak dimutasikan ke bidang yang lainnya. Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup dan pelatihan bagi para pemegang izin usaha di sektor industri atau sektor lainnya di bidang lingkungan hidup dalam hal prosedur atau mekanisme perizinanperizinan dan pengetahuan akan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup serta ketaatan hukum lingkungan. Melakukan penyuluhan hukum lingkungan dan wawasan lingkungan kepada masyarakat akar rumput atau di kawasan industri dan kawasan di sektor perekonomian lainnya, agar
terbentuk kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya perlindungan lingkungan. 6.
7.
Melibatkan NGO di bidang lingkungan, seperti WALHI, dan lain sebagainya agar memiliki kesamaan visi dan misi untuk menegakkan hukum lingkungan (terintegrasi) dalam segala hal, termasuk memadukan program kerja diantara mereka. Kerjasama dengan perguruan tinggi dalam melakukan diklat, workshop atau pelatihanpelatihan lainnya guna memperkuat softskill dalam rangka capacity building dalam menjalankan tugas kesehariannya.
Konsekuensi dalam penerapan otonomi daerah di bidang lingkungan hidup perlu mendapatkan arah politik hukum yang jelas yang terumuskan dalam strategi kebijakan lingkungan hidup daerah, khususnya kabupaten atau kota. Komitmen (political will) antar sektoral dalam mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup mendapatkan perhatian utama, tentunya dengan mengintegrasikan para stakeholders tersebut di atas, sehingga penegakan hukum lingkungan administrasi dapat dijalankan. Perlu dikembangkan pemikiran yang progresif untuk membawa perubahan, inovatif dan berusaha menembus titik kebuntuan legalistik-formal, karena pemikiran yang konservatif hanya menempatkan dirinya untuk mengikuti arah prosedur baku sebagaimana dalam alam pikiran legalistikpositivistik.
E.
Rekonseptualisasi Pembangunan Berkelanjutan bagi Pemerintah Daerah guna Mewujudkan Keadilan Lingkungan yang ProRakyat
Mengonsep ulang atau menyusun kembali pembangunan berkelanjutan dimaksudkan untuk memperbaiki ketimpangan antara law on the books dengan law in action di daerah sebagai konsekuensi dari otonomi daerah. Pembangunan berkelanjutan telah menjiwai kerangka hukum di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Beberapa negara bahkan telah mengambil prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar pengambilan keputusan di pengadilan. Ini berarti nilai-nilai pembangunan berkelanjutan dapat berperan dalam pengaturan pengelolaan lingkungan hidup.18 Implikasinya, prinsip-prinsip pembangunan
Konsistensi Pemerintah Daerah Atas Penerapan.....(Wahyu Nugroho)
berkelanjutan perlu didorong agar para pengambil kebijakan berperan untuk mewujudkannya. Otto Soemarwoto mengatakan bahwa pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan pemenuhan hak generasi yang akan datang adalah tidak bersifat serakah untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga kepentingan anak cucu dengan berusaha meninggalkan sumber daya yang cukup dan lingkungan hidup sehat serta dapat mendukung kehidupan mereka dengan sejahtera.19 Dalam konteks desentralisasi, kebijakan pemerintah daerah untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni ekonomi, politik (kekuasaan) dan budaya. Sejumlah faktor tersebut terungkap ketika mencermati kondisi atau berbagai fakta sosial (empirical evidents) di beberapa daerah, termasuk pemerintah Provinsi Riau, Kalimantan dan Papua. Berhasil tidaknya pemerintah daerah, termasuk kabupaten, dalam menjalankan normanorma hukum lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sebagai bingkai peraturan, tergantung pada faktor ekonomi, politik (kekuasaan) dan budaya. Penulis menyoroti pertama, faktor ekonomi dalam proses perizinan atau pengawasan terhadap izin usaha dipengaruhi oleh muatan yang berbau materialistis, terjalinnya hubungan yang harmonis antara pemerintah daerah atau pranata dalam sektor lingkungan hidup daerah dengan para pengusaha; kedua, faktor kekuasaan (politik) dalam pengambilan keputusan publik di bidang lingkungan memiliki keterkaitan dengan sejumlah pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan investasi daerah atau pendapatan asli daerah, pada akhirnya dimudahkan untuk proses perizinan hingga tidak dilakukan pengawasan terhadap para pengusaha di berbagai sektor perekonomian tersebut, selain itu, secara struktural kelembagaan diwarnai konflik kepentingan (conflict of interest) dengan dimutasikannya pegawai ke unit lain atau bahkan dinas lain, padahal tidak memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas; dan ketiga, faktor budaya yang memiliki pengaruh terhadap kesadaran hukum para pengusaha dan masyarakat sekitar akan arti pentingnya hukum lingkungan, pengawasan, hingga penerapan sanksi yang tidak tegas. Hal ini terlihat dari pemberian sanksi yang
hanya bersifat teguran terhadap pemilik perusahaan atau industri pada saat dilakukan sidak di lapangan. Kelemahan dalam pemberian sanksi akan memberikan konsekuensi berikutnya, yakni diabaikannya perizinan-perizinan yang dianggap cukup strategis kaitannya dengan pengendalian dampak lingkungan. Rekonseptualisasi pembangunan berkelanjutan akan memberikan pengaruhnya bagi pejabat daerah yang terpatri dalam paradigma berpikir bahwa setiap pembangunan perekonomian di berbagai sektor selain memiliki tujuan untuk memberikan kesejahteraan langsung bagi masyarakat, contohnya masyarakat kawasan hutan, kawasan industri, kawasan pertambangan dan kawasan pesisir pantai, juga mengingatkan kepada pelaku ekonomi untuk memikirkan kebutuhan generasi selanjutnya dan memerhatikan ekologis yang pro-rakyat.
F.
Penutup
Hukum lingkungan merupakan interdisipliner yang tidak dapat dipandang melalui kacamata kuda (dogmatis), melainkan secara komprehensif dengan meminjam bidang ilmu lain. Peraturan yang memiliki dampak berjangka panjang, tidak dapat diprediksikan keberhasilannya dalam kurun waktu minimal 5 (lima) tahun. Untuk dapat menerapkan peraturan perundang-undangan yang baik, dibutuhkan perilaku yang baik oleh semua aparatur daerah. Tidak ada artinya dibuat suatu undang-undang yang ideal, yang memiliki karakter responsif dan progresif, akan tetapi dijalankan oleh manusiamanusia yang tidak memiliki perilaku yang baik terhadap lingkungan. Disinilah dibutuhkan integritas dan juga political will (komitmen) bersama, khususnya para pemegang kebijakan daerah untuk menjalankan amanah konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya di bidang lingkungan hidup. Dalam penegakan hukum lingkungan era modernisasi saat ini pasca otonomi daerah terjadi benturan antara law on the books dengan law in action. Kompleksitas penerapan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup hendaknya menggunakan optik sosiologis, etika lingkungan dan budaya hukum. Melalui konsep
18 M. Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan (termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN, Denpasar, 2003, hlm. 11. 19 Otto Soemarwoto, Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 7.
123
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 113 - 126
Lingkungan dalam Menanggulangi Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Kawasan Industri Kota Semarang Berbasis Peningkatan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development), Tesis pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
pemikiran Eugene Erlich tentang “the living law” dan pemikiran Roscoe Pound dengan “law as a tool of social engineering”, pemahaman aparat pemerintahan dan penegak hukum daerah akan menjadi utuh (holistic).
Daftar Pustaka Buku-Buku Arifin, Syamsul. 2012. Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: PT Sofmedia. Asshiddiqie, Jimly. 2009. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Pers. Birnie, Patricia W. and Alan E. Boyle. 1992. International Law and The Environment, Oxford: Clarendon Press. Bram, Deni. 2011. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pudjirahayu, Esmi Warassih dan Rahmat Bowo. 2013. “Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Hukum Progresif”, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Cet. I, Semarang: Diterbitkan atas Kerjasama Thafa Media dengan Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro Semarang. Rahardjo, Satjipto. 2007. Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. ____________.2002. Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press. ____________ . 2006. Ilmu Hukum, Cet. 6, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Konsistensi Pemerintah Daerah Atas Penerapan.....(Wahyu Nugroho)
Silalahi, M. Daud. 2003. Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan (termasuk Perlindungan) Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN, Denpasar. 11.
Nasional 2010-2014 Perda Kota Semarang No. 13 tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUUVIII/2010 tertanggal 16 Juni 2011 Media dan Majalah Nugroho, Wahyu. 2013. Opini “Urgensi Ratifikasi Polusi Asap Lintas Batas”, Media Kampus Gairah Belajar Sepanjang Hayat, Vol. I, No.
6. Agustus, 20-22. Media Indonesia, Selasa, 4 Maret 2014. Koran Tempo, Selasa, 4 Maret 2014. Internet
http://www.menlh.go.id/reviewpelaksanaan-otonomi-daerah-bidanglingkungan-hidup/, diakses pada tanggal 27 Februari 2014.
Jurnal Suharto, Rakhmat Bowo. Oktober 2003. Pembangunan Ekonomi Indonesia (Sebuah Refleksi Teoritik Tentang Peran Ilmu dan Hukum), Jurnal Hukum Vol. XIII, No. 2, Fakultas Hukum UNISSULA Semarang. 190-195.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan
Soemantoro, t.th, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press.
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Soemarwoto, Otto. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Tesis dan Makalah Nugroho, Wahyu. 2011. Penegakan
124
Hukum
125
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 113 - 126
DISHARMONI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN BEBERAPA UNDANGUNDANG TERKAIT REGULASI PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (THE DISHARMONY OF INTERNAL AFFAIRS MINISTER REGULATION NUMBER 1 OF 2014 ON LOCAL REGULATION FORMING WITH OTHER LAWS CONCERNED WITH LOCAL REGULATION ABROGATION) Rudy Hendra Pakpahan Fungsional Perancang Muda Peraturan Perundang-undangan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara Jl. Putri Hijau No. 4, Medan 20112, Indonesia E-mail :
[email protected] (Naskah diterima 16/04/2014, direvisi 16/06/2014, disetujui 02/07/2014) Abstrak Perbedaan regulasi dalam pembatalan Peraturan Daerah antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah telah menimbulkan sebuah permasalahan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri membatalkan Peraturan Daerah Provinsi dengan Peraturan Menteri dan Gubernur membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Gubernur. Oleh karena itu, pembentukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 telah mengabaikan prinsip harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sehingga menimbulkan ketidaktertiban hukum. Kata Kunci: regulasi, pembatalan, peraturan daerah.
Abstract The differences of the abrogating regulation between the Regional Regulation and Law Number 32 of 2004 jo. Law Number 28 of 2009 on Regional Taxes with Internal Affairs Minister Regulation Number 1 of 2014 on The Establishment of the Regional Legal Products has caused a problem. Law Number 32 of 2004 jo Law Number 28 of 2009 has stated that the decision to abrogate the Regional Regulation determined by Presidential Regulation, meanwhile Internal Affairs Minister Regulation Number 1 of 2014 has stated that the Internal Affair Minister abrogate the Provincial Regulation and the Governor Regulation abrogate District/City Regulation. Therefore, the formation of Internal Affairs Minister Regulation Number 1 of 2014 has ignored the principles of harmonization with the other laws and regulations on top of it, so it will cause legal disorder. Keywords: regulation, abrogation, Regional Regulation.
126
127
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 127 - 134
A.
Peraturan Perundang-undangan Sebuah Sistem
Sebagai
kesatuan yang bersifat hirarkis, yaitu mulai pembentuk hukum yang tertinggi kepada yang lebih
Kebutuhan tentang peraturan perundangundangan yang harmonis dan terintegrasi merupakan sebuah kebutuhan yang sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban, menjamin adanya kepastian dan perlindungan hukum. Pembentukan peraturan perundangundangan yang harmonis dan terintegrasi diperlukan untuk mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung pembangunan nasional secara umumnya. Sebagai negara hukum, yang menjadikan hukum sebagai dasarnya dalam realitasnya memiliki 3 (tiga) tujuan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan,1 tentunya Indonesia dalam mencapai ketiga tujuan ini membutuhkan proses yang berlangsung pada sub-sub sistem hukum yang antara lain disebutkan oleh Lawrence M. Friedman2 yaitu substansi hukum,3 struktur hukum4 dan budaya hukum.5 Prinsip utama yang harus dipegang teguh di dalam setiap negara hukum ialah peraturan perundang-undangan lebih rendah selalu melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau mengesampingkan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.6 Selanjutnya, dari sisi yang berwenang membentuk hukum, bahwa pembentuk-pembentuk hukum membentuk suatu 1 Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian hukum dan unsur kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukumnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan unsur keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga harus di korbankan dan begitu selanjutnya. Itulah yang disebut antinomy yaitu sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara seimbang antara ketiga unsur tersebut. Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Lihat dalam, 2
Lihat dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hlm. 128.
3
Substansi hukum meliputi aturan-aturan hukum, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Mengenai hal ini Lawrence M.Friedman, menyatakan sebagai berikut “Subtance is what we call the actual rules or norms used by institutions,(or as the case may be) the real observable behavior pattern of actors within the system….”, Lihat dalam Lawrence M. Friedman, The Legal Sistem : A.Social Science Perspektive, (New York: Russel Sage Foundation, 1969), hlm. 16. 4 Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya. Mengenai hal ini Friedman menulis,”….structure is the body, the framework, the longlasting shape of the system; the way courts of police depatements are organized, the lines of jurisdication, the table of organization”, Lihat dalam Lawrence M. Friedman, The Legal Sistem……… Ibid., hlm. 16. 5 Budaya hukum (legal culture) sebagai “….attitude and values that related to law and legal system, together with those attitudes and values affecting behavior related to law and its institutions, ether positively or negatively. Lihat dalam Lawrence M. Friedman, On Legal Developmant, dalam “Rutgers Law Review” Vol. 24, 1969, hlm.28. 6 Sunaryati Hartono, Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia Sekarang dan Masa Mendatang, dalam Majalah BPHN Departemen Kehakiman No. 1, hlm. 11-26. 7 Misalnya, pembentuk Undang-Undang Dasar mendelegasikan wewenangnya kepada pembentuk undang-undang dan selanjutnya mendelegasikan pula wewenangnya kepada pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya, seperti kepada pelaksana hukum sebagai pelaksana undang-undang. Lihat dalam, Ruslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perundangundangan, (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm. 38. 8 9
128
Disharmoni Peraturan Menteri Dalam Negeri.....(Rudy Hendra Pakpahan)
perundang-undangan lainnya, baik pertentangan secara vertikal maupun horizontal. Permasalahannya ialah bagaimana mengatasi terjadinya pertentangan-pertentangan, batasanbatasan perbedaan di antara ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai sub sistem atau sistem hukum dalam suatu kesatuan hukum nasional, sehingga tidak terhalang oleh perbedaanperbedaan dan tidak terjadi tumpang tindih atau duplikasi.
B.
Harmonisasi Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Secara etimologis, harmonisasi berasal dari kata dasar harmoni yaitu menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya untuk menuju atau merealisasi sistem harmoni.11 Istilah harmoni diartikan sebagai keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan dan keseimbangan. Adapun unsur-unsur yang dapat ditarik dari perumusan pengertian harmonisasi, antara lain: Pertama, adanya hal-hal ketegangan yang berlebihan; Kedua, menyelaraskan kedua rencana dengan menggunakan bagian masing-masing agar membentuk suatu sistem; Ketiga, suatu proses atau suatu upaya untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan; Keempat, kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Bertolak dari unsur-unsur dalam perumusan di atas dapat diambil kesimpulan makna harmonisasi, yaitu upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, halhal yang bertentangan dan kejanggalan. Pembentukan peraturan perundang-undangan nasional membutuhkan penyesuaian terhadap unsur-unsur sistem hukum nasional yang mencakup unsur-unsur substansi atau materi hukum, struktur hukum beserta kelembagaannya dan kutur hukum untuk mewujudkan terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Oleh karena itu harus terlebih dahulu melakukan harmonisasi terhadap perumusan sistem hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan nasional yang dapat digunakan sebagai pedoman. C.
Permendagri ini mencabut Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
10
Ibid.
11
Diabaikannya
Harmonisasi
Dalam
Penyusunan Permendagri No. 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Permendagri No. 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebenarnya diharapkan mampu menutupi berbagai kelemahan yang ada pada Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Produk Hukum Daerah. Namun dalam beberapa pasal dalam Permendagri No. 1 Tahun 2014 tidak konsisten menyebutkan regulasi apa yang digunakan dalam pembatalan Perda (antara Pasal 80, Pasal 85 dan Pasal 86 bertentangan dengan Pasal 95 ayat (1)) serta Permendagri ini juga tidak harmonis (mengabaikan prinsip harmonisasi) dengan Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Bab VII tentang Evaluasi dan Klarifikasi Perda, pada Pasal 80 disebutkan bahwa: (1) Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. (2) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi. (3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda dan/atau peraturan gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan peraturan gubernur dengan Peraturan Menteri. Kemudian dalam Pasal 85 pada Bab VII tentang Evaluasi dan Klarifikasi Perda, Permendagri No. 1 Tahun 2014 disebutkan bahwa : (1) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) kepada bupati/walikota paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. (2) Bupati/walikota menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi. (3) Apabila bupati/walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda
S. Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, (Jakarta: Kartini, 1989), hlm. 13-14. M. Dahlan Al Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Arkola, 1995), hlm. 185.
129
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 127 - 134
atau peraturan bupati/walikota, gubernur membatalkan Perda dan/atau peraturan bupati/walikota dengan peraturan gubernur. Ketidakkonsistenan pembentuk Permendagri ini terlihat dari perbedaan regulasi yang dipakai dalam hal pembatalan Perda. Kedua Pasal di atas jelas sangat bertentangan dengan Pasal 95 ayat (1), yang berbunyi: (1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3) terhadap sebagian atau seluruh materi Perda kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Jika dilihat dalam Pasal 145 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terdapat perbedaan yang mendasar terkait dengan regulasi pembatalan Perda dimaksud dimana disebutkan bahwa: (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Sementara itu, dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2014 disebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri/Gubernur menyampaikan hasil evaluasi Ranperda Provinsi/ Ranperda Kab/Kota paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya Ranperda melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri/ Keputusan Gubernur. Kemudian Gubernur/
130
Bupati/Walikota memiliki waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk menindaklanjuti hasil evaluasi dan jika tidak ditindaklanjuti serta tetap menetapkan Ranperda dimaksud menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri/ Gubernur membatalkan Perda dimaksud dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri/Peraturan Gubernur. Selanjutnya, dalam bab yang sama mengenai hal klarifikasi hasil evaluasi pada Pasal 86 Permendagri No. 1 Tahun 2014 disebutkan bahwa: (1) Gubernur menyampaikan Perda tentang Pajak Daerah, Perda tentang Retribusi Daerah, Perda Tata Ruang Daerah, Perda tentang APBD, Perda tentang Perubahan APBD dan Perda tentang Pertanggungjawaban APBD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diundangkan kepada Menteri Dalam Negeri. (2) Klarifikasi terhadap Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim evaluasi.
Disharmoni Peraturan Menteri Dalam Negeri.....(Rudy Hendra Pakpahan)
(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. (5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Selanjutnya, pada Pasal 7 Bab III tentang Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundangundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa: (1) Jenis dan hierarki peraturan perundangundangan terdiri atas: a. undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3) Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila tidak sesuai dengan hasil evaluasi maka Perda dimaksud dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Jika kita bandingkan dengan Bab VIII tentang Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah Tentang Pajak dan Retribusi pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terlihat juga ketidakharmonisan tersebut terkait dengan adanya perbedaan regulasi yang akan membatalkan Perda setelah melalui tahapan klarifikasi, dimana dalam undang-undang ini disebutkan bahwa: (1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. (2) Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. (3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
b. ketetapan Rakyat;
Majelis
Permusyawaratan
c. undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti; d. undang-Undang; e. peraturan Pemerintah; f.
peraturan Presiden;
g. peraturan Daerah Provinsi; dan h. peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum peraturan perundangundangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kemudian, pada Pasal 8 Bab III tentang Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundangundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, disebutkan juga bahwa: (1)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai hierarki peraturan perundangundangan terlihat bahwa Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur bukan merupakan peraturan perundang-undangan yang ada dalam hierarki sehingga kekuatan hukum dari Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur jelas berbeda dengan Peraturan Daerah. Sehingga menurut penulis, ketentuan yang terdapat pada Pasal 80 ayat (3), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 86 ayat (3) dalam Permendagri No. 1 Tahun 2014 yang mengatur mengenai pemberian kewenangan pembatalan Peraturan Daerah kepada Menteri dan Gubernur adalah keliru dan bertentangan dengan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Penyebutan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengandung arti bahwa peraturan perundangundangan yang disebutkan terlebih dahulu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang disebutkan kemudian apalagi dengan peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan dalam hierarki namun diakui sebagai jenis peraturan perundang-undangan juga, misalnya Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur. Konsekuensinya, peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Apabila norma hukum yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah bertentangan dengan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, maka peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, dapat dinyatakan tidak mempunyai
131
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 127 - 134
kekuatan hukum. Konotasinya, norma hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas norma yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian, tertib hukum itu mangandung pembagian susunan hierarkis dari norma-norma hukum, dan normanorma hukum dalam pengertian tertib hukum itu merupakan kesatuan keseluruhan, serta mempunyai susunan bertingkat atau berjenjang.
D. Kesimpulan Perbedaan regulasi dalam pembatalan Perda antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan Permendagri No. 1 Tahun 2014 tentunya telah menimbulkan sebuah permasalahan. Seharusnya Permendagri No. 1 Tahun 2014 tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan karena secara hirarkis undang-undang tersebut kedudukannya berada di atas Permendagri. Pelaksanaan Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah menurut Bagir Manan seharusnya memenuhi beberapa syarat, yakni sebagai berikut:12 1.
Harus sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan melalui peraturan perundangundangan.
2.
Tidak boleh menyimpang atau melanggar kepentingan nasional dan batas-batas wewenang yang telah diberikan.
3.
Pemerintah Pusat berhak untuk mengawasi Pemerintah Daerah baik secara preventif dan represif.
Selanjutnya, Bagir Manan juga menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundangundangan diperlukan pemeriksaan aspek-aspek hukum yang meliputi:13 menghindari
undangan yang lain; dan 4.
Pemeriksaan mengenai ketepatan norma ditinjau dari objek yang diatur, subjek yang akan terkena serta dampak yang timbul dalam pelaksanaan undang-undang bersangkutan.
Oleh karena itu, jika mengacu pada pendapat Bagir Manan di atas dapat kita lihat bahwa kewenangan pengawasan pemerintah pusat kepada daerah yang diwujudkan melalui diundangkannya Permendagri No. 1 Tahun 2014 mengabaikan prinsip harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Sementara itu, untuk menjamin terbentuknya peraturan perundang-undangan yang baik, antara lain mengandung moralitas tertentu, mengandung keharmonisan, tidak terhalang oleh perbedaanperbedaan, tidak saling bertentangan, terkait dalam sistem, bervisi dan tahan waktu lama sangat diperlukan proses harmonisasi hukum yang terkadang dianggap remeh oleh sebagian pihak. Harmonisasi sebagai suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai subsistem dalam kerangka sistem hukum nasional. Dengan demikian akan terbentuk peraturan perundangundangan nasional yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten, serta taat asas. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa: “Tidak sederhana mengatakan, bahwa hukum menciptakan keamanan dan ketertiban. Namun, hukum juga bisa menimbulkan persoalan. Kekurang-hati-hatian dalam membuat hukum memiliki resiko, bahwa hukum malah menyusahkan atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Hukum juga memiliki potensi untuk menjadi kriminogen, inilah tragedi manusia dan hukumnya”. Oleh karena itu, upaya pengharmonisasian peraturan perundangundangan memiliki peran yang sangat vital dalam mendukung pembangunan hukum nasional sehingga peraturan perundang-undangan secara nasional dapat selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten, serta taat asas dan tidak menimbulkan persoalan baru.
1.
Pemeriksaan untuk ketidakjelasan rumusan;
2.
Pemeriksaan konsistensi rumusan, penggunaan istilah, struktur dan lain-lain;
3.
Pemeriksaan dalam rangka harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-
12
R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 4.
Disharmoni Peraturan Menteri Dalam Negeri.....(Rudy Hendra Pakpahan)
Daftar Pustaka Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996. Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, No. 1 Tahun 1997.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Hassan Shaddily, dkk., Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1973. L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk., Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, 1996/1997. Lawrence M. Friedman, The Legal Sistem : A.Social Science Perspektive, New York: Russel Sage Foundation, 1969. Lawrence M. Friedman, On Legal Developmant, dalam “Rutgers Law Review” Vol. 24, 1969. M. Dahlan Al Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola, 1995. R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bandung: Alumni, 1982. Ruslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dalam Perundangundangan, Jakarta: Aksara Baru, 1979. Sunaryati Hartono, Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia Sekarang dan Masa Mendatang, dalam Majalah BPHN Departemen Kehakiman No. 1. S. Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Jakarta: Kartini, 1989. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
13
Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, No. 1 Tahun 1997), hlm. 150-160.
132
133
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 127 - 134
TINJAUAN KRITIS TENTANG PENGATURAN KEMBALI SUBSTANSI KETENTUAN PASAL 66 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS YANG SUDAH DINYATAKAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (CRITICAL REVIEW ON SUBSTANCE STIPULATION REARRANGEMENT OF ARTICLE 66 SECTION (1) OF LAW NUMBER 30 OF 2004 ON NOTARY WHICH HAS BEEN STATED NO LEGAL FORCE BINDING BY CONSTITUTIONAL COURT) Unan Pribadi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta Jln. Gedong Kuning 146 Yogyakarta Indonesia Email: unan
[email protected] (Naskah diterima 14/03/2014, direvisi 09/06/2014, disetujui 02/07/2014) Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 telah menyatakan bahwa frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, dalam Pasal 66 Undang-Undang 12 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah diatur kembali ketentuan tentang izin atau permohonan pemeriksaan Notaris yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusannya Nomor 49/PUU-X/2012, walaupun lembaga yang diberi kewenangan tersebut bukan lagi Majelis Pengawas Daerah tetapi Majelis Kehormatan Notaris. Fenomena tersebut menarik dikaji khususnya dari aspek pembentukan peraturan perundang-undangan. Kata kunci : pembentukan undang-undang, harmonisasi, putusan mahkamah konstitusi.
Abstract The Constitutional Court verdict Number 49/PUU-X/2012 has stated that phrase “with the approval of the Regional Supervisor Council” in Article 66 section (1) of Law Number 30 of 2004 on Notary contrary to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 and stated that phrase “with the approval of the Regional Supervisor Council” in Article 66 section (1) Law Number 30 of 2004 regarding Notary did not have legal force. However, in Article 66 Law Number 12 of 2014 on the amandement of Law Number 30 of 2004 on Notary has regulated a provision on permit or application of notary examination which has been stated by Constitutional Court verdict Number 49/PUU-X/2012, despite of the authorized institution is no longer Regional Supervisor Council but Notary Honor Council. This phenomenon is interesting to be studied particularly from law making process aspect. Keywords: Law making process, Harmonization, The Constitutional Court verdict.
A.
Pendahuluan
Pada tanggal 15 Januari 2014 telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam perubahan undang-undang tersebut ada ketentuan yang menarik untuk dikaji yaitu perubahan terhadap Pasal 66 ayat (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi RI. Dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
134
berbunyi “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a.
mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris penyimpanan Notaris; dan
b.
memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
135
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 135 - 142
c.
pengambilan fotokopi Minuta Akta atau suratsurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan”.
untuk memberikan izin atau persetujuan pengambilan Minuta Akta dan/atau pemanggilan (pemeriksaan) Notaris.
Adapun perubahan Pasal 66 ayat (1) Undangundang Nomor 30 Tahun 2004 dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 menyatakan:
Apabila kita menengok ke belakang, Mahkamah Konstitusi RI melalui putusannya Nomor : 49/PUU-X/2012 telah memutuskan :
1.
1.
Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang : a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
2.
3.
4.
Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau suratsurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
Dari bunyi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat dibaca sebagai berikut : a.
b.
c.
adanya pengaturan kembali ketentuan tentang izin atau persetujuan pengambilan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris penyimpanan Notaris. adanya pengaturan kembali ketentuan tentang izin atau persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. adanya lembaga baru yang bernama Majelis Kehormatan Notaris yang diberi kewenangan
2.
Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun anehnya, dalam Pasal 66 UndangUndang 12 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah diatur kembali ketentuan tentang izin atau permohonan pemeriksaan Notaris yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi walaupun lembaga yang diberi kewenangan dimaksud bukan lagi Majelis Pengawas Daerah tetapi Majelis Kehormatan Notaris. Berdasarkan uraian di atas, fenomena yang menarik untuk dikaji adalah apakah suatu ketentuan dalam undang-undang yang sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi RI, dimungkinkan untuk diatur kembali dalam undang-undang yang baru ?
B.
Proses Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian penting dari skema pembangunan yang mengintegrasikan komponen sistem hukum yang meliputi struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).1 Peraturan perundang-undangan yang baik dapat diwujudkan apabila dalam proses pembentukannya dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Pada saat ini, ketentuan tentang tata cara pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia diatur dalam Undang-
Tinjauan Kritis Tentang Pengaturan Kembali.....(Unan Pribadi)
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang telah menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Tahapan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi: 1.
Perencanaan;
2.
Penyusunan;
3.
Pembahasan;
4.
Pengesahan atau penetapan;
5.
Pengundangan.
Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, DPD dan Pemerintah.2 Prolegnas merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang disebut Badan Legislasi (Baleg). Sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Dalam penyusunan undang-undang, rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, DPD atau Presiden.3 Rancangan undang-undang tersebut harus disertai naskah akademik, kecuali untuk Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang dan RUU mengenai pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang cukup disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu:
136
b.
pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.4
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.5 Rancangan undang-undang disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan undang-undang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal rancangan undang-undang dimaksud tidak ditandatangani oleh Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan undang-undang disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.6 Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah atau Berita Daerah. Untuk undang-undang, diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, sedangkan penjelasannya diundangkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.7 Dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi tersebut, setiap orang dianggap telah mengetahuinya. Suatu peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan atau ditetapkan baru dapat berlaku mengikat umum apabila peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan dalam suatu Lembaran Negara atau Berita Negara.8
C.
Harmonisasi Undangan
Peraturan
Perundang-
Salah satu proses yang harus dilalui dalam tahapan pembentukan peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
a.
pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi,
2
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Pasal 66-67 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Pasal 72 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, hlm. 151.
3 4 5 6
1 Oka Mahendra, 2006, Reformasi Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, hlm. 97.
Rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
7 8
137
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 135 - 142
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan peraturan perundang-undangan.
hukum tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis. Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundangundangan, dengan tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI.10
Dasar hukum mekanisme harmonisasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah: a.
untuk pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi (Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
b.
untuk pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum (Pasal 47 ayat (2) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011).
c.
d.
untuk pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum (Pasal 54 ayat (2) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011). untuk pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum (Pasal 55 ayat (2) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, kata harmoni berarti keselarasan dan keserasian. Sedangkan kata harmonisasi adalah upaya untuk mencari keselarasan. Adapun yang dimaksud harmonisasi peraturan perundang-undangan ialah upaya atau proses untuk merealisasikan keselarasan dan keserasian asas dan sistem hukum sehingga menghasilkan peraturan (sistem hukum) yang harmonis.9 Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagaimana dikutip oleh Ahmad M. Ramli, memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai berikut: Harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian
Tinjauan Kritis Tentang Pengaturan Kembali.....(Unan Pribadi)
b.
-
peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari sistem hukum;
-
peraturan perundang-undangan dapat diuji baik secara material maupun formal;
-
menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan secara taat asas demi kepastian hukum.11
-
Aspek Kelembagaan Koordinator pengharmonisasian adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, c.q. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Pihak yang terlibat, di samping Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI adalah instansi pemrakarsa dan instansi-instansi pemerintah terkait lainnya sesuai substansi yang diatur.
Harmonisasi dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, sebagai berikut: a.
harmonisasi pada Tahapan Penyusunan Naskah Akademik -
Untuk memperlancar pada saat pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan dan untuk menghindari kekurangsiapan konsepsi, harmonisasi peraturan perundang-undangan sebaiknya dilakukan sejak penyusunan naskah akademik.
Aspek Substansi Arah harmonisasi adalah keselarasan konsepsi dengan falsafah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam RUU tersebut.
Pasal 1 ayat (7) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 mengatur definisi naskah akademik yaitu naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek atau arah pengaturan rancangan undangundang.
-
Aspek Prosedur Pemrakarsa RUU mengajukan pengharmonisasian kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, dan selanjutnya terhadap konsepsi RUU yang sudah diharmonisasi tersebut wajib dimintakan persetujuan Presiden sebagai RUU Prolegnas.
Harmonisasi dalam tahap ini dilakukan
12
c.
Harmonisasi pada Tahapan Perancangan Draf RUU Harmonisasi terhadap suatu rancangan undang-undang (RUU) yang berasal dari presiden dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Harmonisasi tersebut dilaksanakan atas permintaan tertulis dari menteri/pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang memprakarsai penyusunan RUU yang bersangkutan. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan kemudian mengundang wakil-wakil dari instansi terkait untuk melakukan pengharmonisasian terhadap RUU dimaksud.
harmonisasi pada Tahapan Prolegnas Mekanisme pengharmonisasian dalam rangka penyusunan Prolegnas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, yaitu menyangkut 3 (tiga) hal:
Menurut Wahiduddin Adams, ada 3 (tiga) alasan mengapa perlu dilakukan upaya pengharmonisasian terhadap suatu peraturan perundang-undangan, yaitu:
9 Ahmad M. Ramli, 2008, Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Majalah Hukum Nasional Nomor 2 Tahun 2008, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hlm. 4. 10 Ibid, hlm 4. 11 Wahiduddin Adams, 2009, Harmonisasi Peraturan Daerah, hlm 4-6.
138
melalui analisis dan evaluasi terhadap berbagai peraturan peraturan perundangundangan yang terkait, baik peraturan nasional maupun konvensi atau perjanjian internasional dan harmonisasi terhadap asasasas serta teori hukum serta kesesuaiannya terhadap Dasar Negara dan UUD Negara RI tahun 1945. Pada tahapan ini juga sudah mulai dirumuskan norma dalam bentuk rumusan akademik sebagai landasan dibentuk dan dirumuskannya sesuatu pasal secara konkret.
Adapun aspek-aspek yang perlu diharmonisasikan meliputi 2 (dua) hal, yaitu:12 1.
Aspek yang berkenaan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan, yang mencakup: a) pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan Pancasila; b) pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan Undang-Undang Dasar; c) pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan; d) pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundangundangan secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan; e) pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan dengan konvensi/ perjanjian internasional, terutama yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia; f)
pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan;
g) pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan teori hukum, pendapat para ahli, yurisprudensi, hukum adat, norma-norma tidak tertulis,
Wicipto Setiadi, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan.
139
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 135 - 142
rancangan peraturan perundangundangan, rancangan pasal demi pasal dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan kebijakankebijakan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan disusun. 2.
Aspek Teknik Penyusunan perundang-undangan
peraturan
Teknik penyusunan peraturan perundangundangan, baik yang menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan adalah sebagaimana tertuang dalam lampiran Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sekarang sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011). Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tidak dapat menjadi alasan batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan yudicial review, namun menunjukkan bahwa peraturan perundangundangan tersebut jelek.
D.
Analisis
Apabila kita mengacu pada tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan dan aspek-aspek yang harus diharmonisasikan sebagaimana telah diuraikan di atas, di mana salah satu aspek yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan adalah pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan maka frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah“ yang semula dimuat dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012, tidak boleh diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Qomaruddin dalam salah satu tulisan ilmiahnya menyatakan bahwa norma hukum yang secara tegas dinyatakan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh diatur dan dituangkan kembali dalam undang-undang yang dibentuk. Materi undang-undang tersebut harus merupakan penjabaran dan pelaksanaan dari putusan atau jiwa/semangat yang terkandung di dalam putusan Mahkamah Konstitusi.13 Pembentuk undang-undang, baik DPR maupun pemerintah khususnya perancang peraturan perundang-undangan harus memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi dalam menyusun rancangan undang-undang agar undang-undang yang akan dibentuk sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.14 Dalam studi yang dilakukan oleh Moh. Mahfud MD, penelusuran sejarah dan analisis terhadap produk hukum menunjukkan bahwa watak produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Kelompok dominan (penguasa) dapat membuat undang-undang atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap politiknya sendiri yang belum tentu sesuai dengan jiwa kontitusi yang berlaku.15 Studi tersebut sangat relevan dengan peristiwa pengaturan kembali materi yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi ke dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah belum tentu harmoni karena masih bertentangan dengan konstitusi yang berlaku. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
13
Qomaruddin, 2009, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi.
14
Ibid.
15
Moh. Mahfud MD., 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 348.
140
Tinjauan Kritis Tentang Pengaturan Kembali.....(Unan Pribadi)
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945”. Selain daripada itu, dalam Pasal 9 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: (1) Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Dalam hal suatu peraturan perundangundangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 49/PUU-X/2012 bersifat final dan harus menjadi salah satu aspek untuk mengharmonisasi pada pembentuk undang-undang saat menyusun suatu rancangan undang-undang. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi merupakan koreksi terhadap kinerja lembaga legislatif dalam melaksanakan fungsi legislatif. Agar undang-undang yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden tidak dikoreksi lagi oleh Mahkamah Konstitusi maka putusan-putusan Mahkamah Konstitusi perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh dalam menyusun rancangan undang-undang sebagai pemandu agar materi muatan rancangan yang disusun tetap dalam koridor konstitusi. Pengaturan kembali suatu substansi ketentuan dalam undang-undang yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi akan menjadi preseden buruk yang akan ditiru oleh para pembentuk undang-undang pada saat menyusun undangundang baru atau undang-undang tentang perubahan atas undang-undang. Mengingat Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah dimohonkan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi dan telah dikabulkan, besar kemungkinan pihak-pihak yang merasa dirugikan dan mempunyai kedudukan hukum (legal standing) oleh berlakunya Undang-Undang 12 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris akan mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi terhadap substansi Pasal 66 UndangUndang 12 Tahun 2014 tersebut dan besar kemungkinan Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
E.
Penutup
Pengaturan kembali substansi ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi ke dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan contoh konkrit pembentukan peraturan perundangundangan yang tidak memperhatikan aspek harmonisasi. Pengaturan kembali suatu materi undangundang yang sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi akan menjadi preseden buruk dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan rentan untuk dimohonkan pengujian kembali kepada Mahkamah Konstitusi oleh pihak yang merasa dirugikan dan mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Penting bagi para pembentuk undang-undang untuk benar-benar memperhatikan putusanputusan Mahkamah Konstitusi dalam proses pengharmonisasian rancangan undang-undang, mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana putusannya bersifat final.
Daftar Pustaka Buku - Buku A.A. Oka Mahendra, 2006, Reformasi Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta.
141
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 135 - 142
Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundangundangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius Yogyakarta. Moh. Mahfud MD., 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Makalah / Artikel Ahmad M. Ramli, 2008, Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundangundangan, Majalah Hukum Nasional Nomor 2 Tahun 2008, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta. Qomaruddin, 2009, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi. Wahiduddin Adams, 2009, Harmonisasi Peraturan Daerah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XI/2013 (JUDICIAL REVIEW ON CRIMINAL CASE AFTER CONSTITUTIONAL COURT ADJUDICATION NUMBER 34/PUU-XI/2013)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Ramiyanto Desa Suka Damai Baru Dusun 3 Rt. 002 Rw. 003 Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin Indonesia
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Email:
[email protected] (Naskah diterima 24/03/2014, direvisi 09/06/2014, disetujui 02/07/2014)
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Abstrak
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2006 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undandg-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Wicipto Setiadi, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Peraturan Perundang-Undangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUUX/2012.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUUX/2012.
Peninjauan Kembali dalam hukum acara pidana merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya. Menurut Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengajuan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali untuk perkara yang sama yang telah diputus. Kemudian ketentuan itu diajukan Judicial Review (Uji Materil) ke Mahkamah Konstitusi oleh Antasari Azhar melalui kuasa hukumnya. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 34/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa peninjauan kembali yang hanya dapat diajukan satu kali tidak mencerminkan nilai keadilan khususnya bagi terpidana atau ahli warisnya, sehingga peninjauan kembali harus dapat diajukan lebih dari satu kali. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final sehingga berimbas pada ketentuan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU-HAP) yang ditentukan sama dengan ketentuan KUHAP. Oleh karena itu, ketentuan peninjauan kembali dalam RUU harus dirumuskan kembali (reformulasi) yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Perkara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi
Abstrack Judicial review in the procedure of criminal is one of the extraordinary legal remedy which belongs to convict or his/her heirs as their rights. Based on Article 268 section (3) of Criminal-Law Procedural Code (KUHAP), the judicial review may only filed one time for the same case that has been adjudicated by judges. Then the stipulation has been filed for judicial review to the Constitutional Court by Antasari Azhar through his lawyers. In the Constitutional Court verdict Number 34/PUU-XI/2013 has decided that judicial review may only filed one time, that it does not reflect the value of justice, especially for the convict or his/her heirs, so that judicial review must be filed more than once. The verdict of the Constitutional Court is final and binding, so that it has the impact on the provisions of Procedure of Criminal Law draft bill which is determined together with the provisions of the Criminal- Law Procedure Code (KUHAP). Therefore, a judicial review in the draft bill should be redefined (reformulation) accord with the Constitutional Court verdict. Keywords: judicial review, criminal trial, the Constitutional Court verdict.
A.
Pendahuluan
Dalam hukum acara pidana, peninjauan kembali (disingkat PK) disebut dengan istilah “herziening”. PK merupakan upaya hukum yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya untuk tidak menerima putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kract van gewijsde). Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (12) Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut KUHAP upaya hukum dibagi menjadi 2 (dua) sebagaimana yang ditentukan dalam BAB XVII, yaitu: upaya hukum biasa yang mencakup banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa yang mencakup 1
142
kasasi demi kepentingan hukum dan permohonan peninjauan kembali. Perbedaan antara kedua upaya hukum tersebut adalah:1 1)
Upaya hukum biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum luar biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2)
Upaya hukum biasa tidak memerlukan syaratsyarat yang bersifat khusus atau syarat-syarat tertentu, sedangkan upaya hukum luar biasa
Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 190.
143
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 143 - 150
hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat khusus atau syarat-syarat tertentu; dan 3)
Upaya hukum biasa tidak selamanya ditujukan ke Mahkamah Agung, sedangkan upaya hukum luar biasa diajukan kepada Mahkamah Agung dan diperiksa serta diputus oleh Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir.
Selain itu, kedua upaya hukum di atas juga memiliki persamaan yang terletak pada tujuannya yaitu: mengoreksi dan meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan yang telah dijatuhkan tersebut demi hukum, kebenaran, dan keadilan.2 Jadi, PK adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya. Hak adalah peranan (role) yang fakultatif sifatnya, oleh karena itu boleh tidak dilakukan.3 Dengan sifatnya seperti itu, apabila terpidana atau ahli warisnya tidak menghendaki untuk mengajukan PK maka itu tidak menjadi masalah. PK adalah wewenang yang dimiliki oleh Mahmakah Agung untuk memeriksa dan memutusnya. Hal itu sesuai dengan rumusan Pasal 28 ayat (1)4 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung RI sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan UndangUndang RI No. 3 Tahun 2009. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang berwenang memeriksa dan memutus permohonan PK yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya adalah Mahkamah Agung. Dalam hukum administrasi negara, wewenang yang diberikan oleh undangundang adalah kewenangan yang bersifat atribusi (atributif). Menurut M. Hadjon, atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan.5 Oleh karena, wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Agung itu diberikan oleh undang-undang yang melekat pada jabatannya, maka wewenangnya bersifat atributif.
Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana.....(Ramiyanto)
Dalam konteks hukum acara pidana saat ini telah terjadi perkembangan pemikiran sejak diajukan uji materil (judicial review) terhadap ketentuan batas pengajuan PK dalam KUHAP oleh Antasari Azhar Ke Mahkamah Konstitusi (MK).6 Dalam putusannya Nomor 34/PUU-XI/2013, MK menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,”7 Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis berkeinginan untuk mengkaji masalah batas pengajuan peninjauan kembali dalam KUHAP setelah putusan MK. Adapun yang dijadikan sebagai rumusan masalah dalam tulisan ini adalah: Bagaimana aturan mengenai batas peninjauan kembali perkara pidana setelah adanya putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013?
B.
Pembahasan
B.1. Batas Pengajuan Menurut KUHAP
Peninjauan
Kembali
Sebelum membahas mengenai batas pengajuan PK menurut KUHAP ada baiknya untuk dibahas terlebih dahulu mengenai sejarah pengaturannya. Di Indonesia lembaga PK sudah lama dikenal yaitu sejak zaman kolonial Belanda yang dikenal dengan istilah Herziening yang diatur dalam Titel 18 Reglement op de Strafvordering Staatsblad No. 40 jo No. 57 tahun 1847 (dalam perkara perdata), tetapi hanya untuk orang Belanda atau yang dipersamakan dan tidak berlaku bagi pribumi yang saat itu disebut sebagai “inlader”.8
dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan.”9 Oleh karena masalah peninjauan kembali belum ada pengaturannya, maka dengan merujuk pada UU No. 1 Tahun 1950 dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969 yang memungkinkan diajukan permohonan peninjauan kembali. Namun, dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 18 Tahun 1969 tanggal 23 Oktober 1969 menunda berlakunya Peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan alasan karena masih diperlukan peraturan lebih lanjut misalnya mengenai biaya perkara yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan.10 Dalam perkembangannya Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung di atas dicabut dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1979 tanggal 30 November 1971. Peraturan Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa permohonan peninjauan kembali mengenai perkara perdata dapat diajukan request civil dengan bercermin kepada Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, sedangkan mengenai perkara pidana tidak dapat diajukan karena belum ada undang-undangnya.11 Lahirnya peninjauan kembali dalam perkara pidana dimulai dengan adanya Kasus Sengkon dan Karta, yang terjadi pada tahun 1980.12 Kasus tersebut secara singkat dapat dilihat pada uraian di bawah ini:13 “Sengkon dan Karta dituduh melakukan penganiayaan dan pembunuhan atas korban Sulaiman, di mana perkaranya diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Negeri Bekasi (tahun 1977). Mereka sempat diadili dalam tingkat Banding oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang putusannya berisi menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi. Selama menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang mereka bertemu dengan narapidana Gunel Cs, yang dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Bekasi karena dituduh melakukan perampokan dan membunuh Sulaiman.”
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 tuntutan untuk adanya suatu upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terus bergulir dan hal tersebut terwujud dengan disahkannya UndangUndang RI Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung (UU No. 1 Tahun 1950). Pasal 131 undang-undang itu menentukan bahwa “Jika
2
Ibid. Purnadi Purbacaraka, Displin hukum adalah Disiplin Sosial (Pendahuluan). Dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman (Ed), 1996. Displin Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 11. 4 Pasal 28 ayat (1) UU RI No. 14 Tahun 1985 rumusan selengkapnya adalah: Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. Permohonan kasasi; b. Sengketa tentang kewenangan mengadili; c. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 5 Philipus M. Hadjon, 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction to the Indonesian Administrative Law, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 130. 6 Aturan PK hanya satu kali bertentangan dengan UUD Tahun 1945, , diakses tanggal 8 Maret 2014. 7 Ibid. 8 Hadari Djewani Tahir dalam Marwan Effendy, 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi, hlm. 255. 3
144
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Menurut Andi Hamzah, kemungkinan dari terjadinya kasus di atas maka Mahkamah Agung setelah mengadakan rapat kerja dengan DPR tanggal 19 November 1980 memberanikan diri untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1981 (PERMA RI No. 1 Tahun 1981) yang mengatur kemungkinan mengajukan permohonan PK terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.14 Selain mengatur PK (herziening) dalam perkara pidana, peraturan itu juga mengatur PK (request civiel) dalam perkara perdata.15 Bekaitan dengan PK (herziening) dalam perkara pidana, Pasal 9 PERMA No. 1 Tahun 1981 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mengadung pemidanaan, dengan alasan sebagai berikut:16 1)
Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti , akan tetapi satu sama lain bertentangan;
2)
Apabila terdapat sesuatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuanketentuan pidana lain yang lebih ringan.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa sebelum berlaku KUHAP masalah peninjauan kembali terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 1981. Hadirnya PERMA tersebut telah menimbulkan bermacam-macam pendapat di kalangan para ahli hukum, baik yang bergerak di bidang teori maupun praktik. Secara garis besarnya mereka berpendapat dari segi pembentukannya.17
Marwan Effendy, Ibid. Andi Hamzah, 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.298-299. Ibid, hlm. 299. Syarifuddin Petanase, 2010. Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa, hlm. 219. Ibid. Andi Hamzah, Loc.cit. Syarifuddin Petanase, Op. cit, hlm. 220 Andi Hamzah, Op. cit, hlm. 299-300. Syarifuddin Petanase, Loc. cit.
145
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 143 - 150
Menurut mereka, dalam Pasal 21 UndangUndang RI Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah diletakkan dasar di mana ditentukan bahwa lembaga PK akan diatur dengan undang-undang. Jadi, pembentukan lembaga PK itu harus disusun bersama-sama antara Pemerintah dan DPR, bukan wewenang Mahkamah Agung.18 Dengan adanya kritikan tersebut, maka PK diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan tanggal 31 Desember Tahun 1981 di Jakarta. Setelah menguraikan pengaturan mengenai PK di atas, maka pertanyaan selanjutnya adalah “Bagaimana ketentuan dalam KUHAP mengenai batas pengajuan PK yang dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya?'. Untuk menjawab pertanyaan itu, maka akan diuraikan dari aturan yang paling umum sampai pada ketentuan yang ada di dalam KUHAP. Batas pengajuan yang dimaksudkan di sini adalah berapa kali seorang terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung. Secara umum mengenai batas pengajuan PK telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009). Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 menentukan bahwa “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.” Dari ketentuan tersebut, maka dapatlah dipahami bahwa permohonan pengajuan PK hanya dapat diajukan satu kali. Hal itu karena terhadap perkara PK yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan kembali. Dalam konteks hukum acara pidana, ketentuan batas pengajuan PK telah diatur dalam KUHAP sebagaimana yang ditentukan Pasal 268 ayat (3) bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Ketentuan itu sama seperti yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 yang telah diuraikan di atas. Oleh karena itu, menurut KUHAP batas pengajuan peninjauan PK hanya dapat dilakukan satu kali oleh terpidana atau ahli warisnya.
B.2. Batas Pengajuan Peninjauan Kembali Menurut KUHAP setelah Putusan MK Nomor. 34/PUU-XI/2013. MK dalam putusannya Nomor. 34/PUUXI/2003 memutuskan bahwa ketentuan pengajuan PK yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya MK secara singkat menyatakan bahwa ketentuan pengajuan PK yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) tidak mencerminkan keadilan. Menurut MK, kepastian hukum dapat dibatasi sedangkan keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa PK hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus ada novum yang subtstansial baru ditemukan yang ada pada saat PK sebelumnya belum ditemukan. Adapun penilaian mengenai novum atau bukan novum merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat PK. Keadilan merupakan hak dasar manusia yang sangat mendasar (fundamental), bahkan lebih mendasar dari kebutuhan manusia akan kepastian hukum. Dengan demikian ratio legis yang digunakan sebagai pertimbangan MK dalam putusannya adalah lebih menitikberatkan keadilan daripada kepastian hukum. Dari uraian pertimbangan MK di atas, maka dapatlah dipahami bahwa MK mengabulkan pengajuan uji materil (judicial review) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) terhadap UUD 1945 didasarkan pada nilai keadilan. Menurut MK, kepastian hukum layak untuk diberikan batasan, sedangkan keadilan tidaklah demikian karena kedilan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat mendasar. Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa pengjuan PK satu kali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP) bertentangan dengan prinsip keadilan yang harus dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat 1 UUD 194519). Pertanyaanya adalah: “Sudah tepatkah putusan MK terkait dengan PK dalam perkara pidana yang dapat diajukan lebih dari satu kali?
Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana.....(Ramiyanto)
KUHAP sebagaimana yang dituangkan dalam UU No. 8 Tahun 1981 merupakan produk hukum sebagai bagian upaya pembangunan nasional. KUHAP lahir dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita hukum nasional, yaitu memiliki undangundang hukum acara pidana baru yang memiliki ciri kodifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.20 Dalam konsiderans “menimbang” huruf (b) KUHAP ditentukan bahwa “Demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978) perlu mengadakan suatu peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari wawasan nusantara”. Kemudian konsiderans “menimbang” huruf (c) KUHAP juga menentukan bahwa “Pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan sikap pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Merujuk pada penjelasan di atas, maka dapatlah dipahamai bahwa kepastian hukum bukanlah tujuan utama dari KUHAP. Hal itu senada dengan pendapat Romli Atmasasmita sebagai berikut: “KUHAP telah meletakkan dasar humanisme dan merupakan suatu cara baru dalam dunia peradilan Indonesia. Dalam undang-undang itu, tampaknya tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan yang diutamakan dan merupakan masalah dasar adalah bagaimana mencapai tujuan tersebut sedemikian rupa sehingga perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindarkan.”21 20
Jadi, KUHAP bertujuan untuk mencapai kepastian hukum yang di dalamnya memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Artinya kepastian hukum yang tidak memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud itu, tidaklah dibenarkan. Perlindungan harkat dan martabat manusia diletakkan pada posisi yang sama keadilan, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.22 Oleh karena itu, perlindungan terhadap harkat dan marbat manusia yang dimaksudkan adalah dapat memberikan suatu keadilan. Dengan demikian, dalam hukum acara pidana tidak dibenarkan juga apabila kepastian hukum mengabaikan keadilan. Keadilan dan kepastian merupakan bagian unsur dalam penegakan hukum yang sama-sama harus diperhatikan. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan itu terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat juga terjadi karena adanya pelanggaran hukum. Dalam hal itu, hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum (r e c h t s s i c h e r h e i t ), kemanfaatan (zweckmassigkheit), dan keadilan (gerechtigkeit).23 Selanjutnya Sudikno Merktokusumo mengatakan bahwa ketiga unsur tersebut saling bertentangan, sehingga apabila satu yang diperhatikan akan mengorbankan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam menegakan hukum harus ada kompromi di antara ketiga unsur tersebut, yang harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktik tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional itu.24 Dalam konteks substansi hukum, Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum merupakan suatu unsur kebudayaan, maka setiap unsurunsur kebudayaan lain hukum mewujudkan salah satu nilai dalam kehidupan konkret manusia yaitu keadilan.25 Nilai itu adalah materi yang harus menjadi isi aturan hukum, sehingga aturan hukum yang bentuk harus mencerminkan nilai keadilan.
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005. Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 7
21
Romli Atmasastmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Binacipta, hlm. 28. 18 19
Ibid.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen ketiga menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian dalam ayat (2) ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan itu jelas bahwa Mahkaham Agung dalam menjalankan peradilan ditujukan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
146
22 Maksudnya adalah dalam perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia harus mencerminkan rasa keadilan dan dalam keadilan harus mencerminkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. 23
Sudikno Mertokusumo, 2008. Mengenal Hukum (Suatu Pengatar), Yogyakarta: Liberty, hlm.160.
24
Ibid.
25
Theo Huijbers, 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 162.
147
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 143 - 150
Hal itulah yang menjadi ukuran adil atau tidak adilnya suatu tata hukum.26 Selain itu, Radbruch juga mangatakan bahwa dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang diperlukan untuk sampai pada pengerian hukum yang memadai. Ketiga aspek tersebut adalah: keadilan, tujuan keadilan (finalitas), dan kepastian hukum (legalitas).27 Singkatnya, di dalam hukum senantiasa terkandung 3 (tiga) aspek tersebut28, yang ketiganya memiliki perbedaan. Sebagaimana telah diuraikan pada halaman sebelumnya, bahwa ketiga nilai dalam hukum itu senantiasa mengalami pertentangan karena ketiganya memiliki konsep yang berbeda. Dalam konteks pembahasan ini, terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum karena ada sebagaian orang berpendapat bahwa dengan adanya putusan MK sebagaimana dimaksud telah mengabaikan kepastian hukum. Hal itu berarti mereka memandang kepastian hukum dalam hukum acara pidana memiliki posisi yang lebih utama daripada keadilan. Padahal, seperti yang juga telah diuraikan pada halaman sebelumnya bahwa secara umum hukum acara pidana bertujuan untuk mencapai keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Keadilan diletakkan lebih awal daripada kepastian hukum, sehingga seharusnya keadilan harus lebih diutamakan dengan tetap memperhatikan kepastian hukum. Keadilan dan kepastian hukum memang sulit untuk disatukan, karena suatu aturan dianggap adil belum tentu memiliki kepastian hukum, begitu juga sebaliknya. Mengenai hal itu Radburch telah berpendapat bahwa kepastian hukum harus dijaga demi keamanan negara maka hukum positif selalu ditaati dan juga kalau isinya kurang adil atau kurang sesuai dengan hukum. Namun ada pengecualian, yaitu apabila pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum terlihat tidak adil maka boleh dilepaskan.29 Dengan demikian, keadilan dapat mengesampingkan kepastian hukum apabila 26
aturan hukum yang dimaksudkan dirasakan tidak adil. Secara umum tujuan dari KUHAP lebih mengutamakan keadilan, daripada kepastian hukum. Hal itu tentu saja berlaku bagi PK, khususnya mengenai batas pengajuannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Menurut Yahya Harahap, prinsip yang terkandung dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP sangat menyentuh rasa keadilan. Seolah-olah prinsip itu merupakan suatu tantangan antara kepastian hukum dengan rasa keadilan, dan dengan berani mengorbankan keadilan dan kebenaran demi tegaknya kepastian hukum. Sebab dengan prinsip itu telah tertutup kemungkinan untuk mengejar keadilan sampai pada saat-saat terakhir.30 Selanjutnya Yahya Harahap juga mengatakan bahwa jalan kompromi sebenarnya dapat ditempuh pembuat undang-undang dengan cara menetapkan permintaan peninjauan kembali untuk kedua kalinya “tidak dapat dibenarkan atas alasan yang sama” dengan permintaan peninjauan kembali yang pertama. Dengan rumusan yang demikian itu, pada satu segi masih tetap terbuka kemungkinan ditegakkan hukum dan keadilan, sedang pada segi yang lain dibatasi kemungkinan anarki dalam lembaga upaya hukum tersebut.31 Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pengaturan PK dalam KUHAP bertujuan untuk mencapai suatu keadilan termasuk mengenai batas pengajuannya bagi terpidana atau ahli warisnya. Agar keadilan tercapai maka pengajuannya semestinya dapat diajukan lebih dari satu kali. Namun, dalam konteks putusan MK hanya terbatas apabila didasarkan pada novum guna pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, alat atau tata cara yang digunakan dalam membuktikan novum itu berbeda dengan cara yang digunakan pada waktu pengajuan PK yang pertama. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan. Menurut penulis berkaitan dengan novum ini seharusnya tidak hanya terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, juga berlaku bagi novum yang berbeda dengan novum
Bernard L. Tanya, et.al., 2010. Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Yogyakarta: Genta Publishing, hlm.
129. 27
Theo Huijber, Op. cit., hlm. 163. Bernard L. Tanya, et.al., Op. cit, hlm. 130. 29 Theo Huijbers, Op. cit, hlm. 165. 30 M. Yahya Harahap, 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 640. 31 Ibid. 28
148
Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana.....(Ramiyanto)
yang dijadikan dasar pengajuan PK sebelumnya. Artinya, apabila novum kedua berbeda dengan novum yang dijadikan dasar pengajuan PK sebelumnya maka seharusnya juga dapat diajukan lebih dari satu kali, mengingat pengaturan PK dalam KUHAP memang ditujukan untuk memberikan keadilan bagi khususnya bagi terpidana atau ahli warisnya. Selanjutnya masalah penilaian novum tetap menjadi kewenangan Mahkamah Agung yanag memeriksa dan memutus perkara PK. Putusan MK berkaitan dengan pengujian undang-undang adalah bersifat final sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 47 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2013, Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Produk Hukum Mahkamah Konstitusi. Kata “final” sebagai sifat putusan MK berarti putusan tersebut tidak dapat dilakukan suatu upaya apapun, sehingga sejak saat itulah bersifat mengikat. Oleh karena putusan MK bersifat final, maka putusan tentang pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP juga tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Sehingga setelah adanya putusan MK, maka pengajuan PK dapat diajukan lebih dari satu kali dengan dasar adanya novum baru baik yang berkaitan dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi ataupun tidak. Selain itu, juga berimbas pada ketentuan yang ada di dalam RUU-HAP, yang mana ditentukan dalam Pasal 261 ayat (2). Dengan demikian, ketentuan tersebut juga harus dirumuskan kembali (reformulasi) dengan disesuaikan dengan putusan MK tentang batas pengajuan PK.
C.
Penutup
Dari uraian latar pembahasan masalah pada halaman sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa batas pengajuan peninjauan kembali menurut KUHAP adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) yang rumusannya “Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Hal itu berarati, PK yang sudah diajukan dan telah diputus untuk perkara yang sama tidak dapat diajukan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya.
Setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUUIX/2013 batas pengajuan peninjauan berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP. Putusan tersebut memutuskan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari satu kali. Hal itu berarti mengenai batas pengajuan PK mengalami perkembangan, yaitu yang mana sebelum adanya putusan MK hanya dapat dilakukan satu kali. Namun setelah adanya putusan MK yang bersifat final, pengajuan PK dapat diajukan lebih dari satu kali. Adapun saran yang dikemukakan oleh Penulis yaitu bahwa putusan MK adalah bersifat final sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Produk Hukum Mahkamah Konstitusi. Kata “final” berarti terakir, sehingga putusan MK tidak dapat dilakukan upaya hukum atau tidak dapat diganggu gugat. Dengan adanya putusan MK yang bersifat final maka berimbas pada RUU-HAP yang saat ini sedang dibahas, karena dalam RUU itu rumusannya seperti yang ditentukan dalam KUHAP yaitu pengajuan PK hanya dapat dilakukan satu kali. Oleh karena itu, ketentuan pengajuan peninjauan kembali dalam RUU-HAP harus dirumuskan kembali (reformulasi) yang disesuaikan dengan putusan MK tersebut. Dalam merumuskan ulang (reformulasi) tentang ketentuan batas pengajuan PK seharusnya tidak hanya didasarkan pada novum yang berkaitan dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga atas novum yang berbeda dengan novum yang dijadikan dasar pengajuan PK sebelumnya. Dengan begitu keadilan dan kebenaran materiil akan benar-benar dapat diwujudkan.
Daftar Pustaka
Buku / Literature Atmasastmita, Romli, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Binacipta. Effendy, Marwan, 2012. Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi.
149
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 143 - 150
Hadjon, Philipus M., 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction to the Indonesian Administrative Law, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hamzah, Andi, 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76.
Harahap, M. Yahya, 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076.
Huijbers, Theo, 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius. Makarao, Mohammad Taufik dan Suharsil, 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia. Mertokusumo, Sudikno, 2008. Mengenal Hukum (Suatu Pengatar), Yogyakarta: Liberty. Petanase, Syarifuddin, 2010. Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa. Purbacaraka, Purnadi, Displin hukum adalah Disiplin Sosial (Pendahuluan). Dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman (Eds), 1996. Displin Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Tanya, Bernard L., et.al., 2010. Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Yogyakarta: Genta Publishing. Wisnu Broto, Al., dan G. Widiartana, 2005. Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1-2/PUU-XII/2014 (CONSTITUTIONAL JUDGES SUPERVISION AFTER CONSTITUTIONAL COURT ADJUDICATION NUMBER 1-2/PUU-XII/2014) Budi S.P. Nababan dan Fauzi Iswahyudi Perancang Pertama Peraturan Perundang-undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara JL. Putri Hijau No.4 Medan Indonesia E-mail:
[email protected] (Naskah diterima 17/03/2014, direvisi 10/06/2014, disetujui 02/07/2014)
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahuh 1985 Tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 73. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran 4359. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4958.
Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 1-2/PUU-XII/2014 mengenai judicial review UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 menyebabkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 berlaku kembali. Lantas, bagaimanakah pengawasan terhadap hakim konstitusi pasca Putusan MK tersebut. Bagaimanapun hakim konstitusi juga seorang manusia biasa. Sebelumnya pengawasan hakim konstitusi oleh KY telah dianulir oleh MK melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan penelitian hukum normatif. Sehingga penulis melihat bahwa pengawasan hakim konstitusi dilakukan secara internal menurut ketentuan UU MK yang lama (lebih tepatnya lagi pasca Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 serta Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Jika saja kedua putusan tersebut tidak pernah diucapkan maka tentu saja KY dapat menjalankan fungsinya melakukan tindakan terhadap pertemuan hakim MK dengan pihak berperkara sebagaimana yang dilansir oleh beberapa media massa. Kata kunci: Putusan, Mahkamah Konstitusi, Pengawasan.
Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor. 34/PUUXI/2013. Website Aturan PK hanya satu kali bertentangan dengan
http://www. mahkamahkonstitusi. go.id/ index. php?page=web.Berita&id=9694#.UxnO z84aJH1, diakses tanggal 8 Maret 2014 UUD
1945,
Abstract The Constitutional Court verdict Number 1-2/PUU-XII/2014 regarding judicial review of Law Number 4 of 2014 on Stipulation of Government Regulation to Replace Law Number 1 of 2013 on Contitutional Court led to Law Number 24 of 2003 on Constitutional Court that has been change to Law Number 8 of 2011 should be returned. So, how is the supervision of Constitutional Court judges after the verdict? However the constitutional judges are also human. Previously, the supervision of constitutional judges done by Judicial Commission has been annulled by the Constitutional Court through verdict Number 005/PUU-IV/2006 and Number 49/PUU-IX/2011. To answer these questions, the author used the study of normative law (juridical normative research). So the author see that constitutional justice supervision is done internally by the provisions of the old version of Law on Constitutional Court (more accurately, after the verdict of Number 005/PUUIV/2006 49/PUU-IX/2011). If only the two decisions were never spoken then of course Judicial Commission is able to run its function to take actions against judges of the Constitutional Court in the meeting as reported by media. Keywords: Verdict, Constitutional Court, Supervision.
A.
Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal 13 Februari 2014 mengenai judicial review UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU menyatakan bahwa: (a) UU Nomor 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) UU Nomor 4 Tahun 2014 tidak mempunyai kekuatan 1
150
hukum mengikat; dan (c) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) berlaku kembali.1 Putusan MK dalam perkara tersebut relatif cepat dibandingkan dengan pengujian undangundang yang lain, seperti UU Pemilu Presiden yang diajukan Effendi Gazali (jeda waktu 10 bulan sejak
Lihat lebih lanjut dalam Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014.
151
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 151 - 160
sidang terakhir hingga pembacaan putusan). Perkara pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 ini diregistrasi di MK pada 8 Januari 2014. Sidang perdana digelar pada 23 Januari, sidang kedua pada 30 Januari, dan sidang ketiga sekaligus sidang terakhir pada 4 Februari. MK memberikan kesempatan kepada pemohon untuk mengajukan keterangan ahli secara tertulis pada 7 Februari dan kesimpulan pada 10 Februari. Dengan demikian, perkara tersebut diputus dalam waktu lebih kurang sebulan sejak didaftarkan.2 Patut disayangkan memang, MK kembali memberi putusan yang cukup “fenomenal” karena putusan ini diluar harapan (expectation), MK sepertinya mempunyai kecenderungan untuk menjadi lembaga yang hegemonik3 yang berpotensi mengancam keseimbangan prinsip checks and balances yang menjadi ide dasar munculnya MK dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Betapa tidak, sebelumnya MK telah dua kali membatalkan ketentuan mengenai pengawasan hakim MK; pertama, pembatalan pengawasan oleh KY ketika membatalkan sejumlah ketentuan pengawasan di dalam UU KY (Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006) dan pembatalan Majelis Kehormatan Hakim MK yang diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 (Putusan Nomor 49/PUUIX/2011). Tidak mengherankan jika putusan MK ini nantinya akan kembali membuka perdebatan melalui eksaminasi, tulisan dan pendapat di media massa, jurnal ilmiah dan lain-lain. Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang, bagaimanakah pengawasan hakim konstitusi pasca Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan penelitian hukum normatif (juridical normative research). Bambang Waluyo mengatakan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen.4 Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang ada di perpustakaan. Penelitian ini didasarkan pada bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder seperti dalam pandangan Peter Mahmud Marzuki.5 Meskipun sebagai sebuah putusan pengadilan, putusan MK yang berada dalam jangkauan asas res judicata pro veritate habetur atau de inhoud van het vonnis geld als waard (apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar), namun Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 terkait dengan pengawasan hakim konstitusi dapat diperdebatkan (debatable). Karena pada prinsipnya siapa pun yang memiliki kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara sebagai pelaksana tugas kehakiman, spesiesnya boleh saja berbeda (hakim agung, hakim konstitusi, hakim ad hoc, dan lain-lain)6 yang tidak mungkin luput dari kekhilafan dan kesalahan serta tidak akan selalu kebal dari bisikan dan godaan dunia.
B.
Pembahasan
B.1. Teori Checks and Balances Sebagai Pembatas Kekuasaan Negara Dalam sistem hukum Indonesia, pembatasan kekuasaan negara dilakukan melalui pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan itu sendiri dimaknai sebagai separation of power, dimulai dari pemahaman atas Trias Politica Montesquieu. Hal ini muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu bahwa cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali.7 Pembatasan kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan ke dalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut).8 Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama sekali dikemukakan oleh seorang filsuf Inggris, John Locke (1632-1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treaties on Civil Government (1690) yang membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power) dan kekuasaan federatif (federative power) yang masing-masing terpisah
2 http://nasional.kompas.com/read/2014/02/13/1209235/Hari.ini.Putusan.UU.MK. Kredibilitas.MK.Dipertaruhkan, diakses tanggal 20 Februari 2014. 3 Bahkan dalam studinya, Feri Amsari memaparkan bahwa interpretasi konstitusional MK melalui pengujian UU atas UUD 1945 dalam beberapa perkara pengujian UU telah memungkinkan hakim konstitusi melakukan perubahan informal atas UUD 1945 karena hakim MK memberikan makna baru atas sejumlah pasal UUD 1945. Feri Amsari, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). 4 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.13-14. 5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 141. 6 Munafrizal Manan, Penemuan Hukum Oleh Mahkamah Konstitusi, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 91. 7 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 76 8 Ibid, hlm. 74.
152
Pengawasan Hakim Konstitusi.....(Budi S.P. Nababan dan Fauzi Iswahyudi)
satu sama lain. Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan membentuk undangundang; eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang; dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain.9 Kemudian pada tahun 1748 seorang filsuf Perancis Baron de Montesquieu, mengembangkan pemikiran John Locke tersebut dalam buku yang berjudul L'Esprit des Lois. Montesquieu menyatakan, “when the legislative and the executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrate, there can be no liberty”. Begitu pun dalam hubungan dengan kekuasaan kehakiman dan kekuasaan lainnya, Montesquieu menyatakan, “again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave with violence and oppression.10 Sedikit berbeda dengan John Locke dan Baron de Montesquieu, C. van Vollenhoven membagi kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu; bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif; rechtspraak (peradilan); dan politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara.11 Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak pernah mengatakan bahwa antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Justru Montesquieu menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat diantara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja.12
Dalam perkembangan praktik ketatanegaraan kemudian muncul berbagai kritikan terhadap konsep separation of power tersebut. Oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik, konsep separation of power dimodifikasi menjadi pembagian kekuasaan (distribution of power/division of power). Dalam pandangan John A.Garvey dan T.Alexander Aleinikoff, tidak mungkin lagi dalam teori Trias Politica memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat, bagai tidak mempunyai hubungan sama sekali.13 Meskipun dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada menyebutkan trias politica, namun menurut Miriam Budiardjo pada garis besarnya ciri-ciri trias politica dalam arti pembagian kekuasaan terlihat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.14 Oleh Peter L.Strauss dalam tulisannya yang berjudul The Place of Agencies in Government: Separation of Power and Fourth Branch, checks and balances merupakan upaya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan diantara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Checks and balances lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antar cabang kekuasaan negara.15 Hemat penulis bahwa checks and balances merupakan pengawas diantara kekuasaan yang ada, konsep trias politica tergambar dengan nyata dalam penyusunan formasi hakim konstitusi.
B.2. Indepensi Hakim Konstitusi Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari
9
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 282.
10
Saldi Isra, op.cit, hlm. 76.
11 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi R.I, 2006), hlm. 14. 12
Ibid, hlm. 77.
13
Ibid, hlm. 77.
14
Miriam Budiardjo, op.cit, hlm. 290.
15
Saldi Isra, op.cit, hlm. 78.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
153
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 151 - 160
kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan roh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Kebebasan hakim pada lembaga peradilan hakikatnya merupakan benteng (safeguard) dari rule of law.16 Prinsip tersebut juga dianut secara universal sebagaimana tercermin dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh The Seventh United Nations Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Nomor 40/146 tanggal 13 Desember 1985. Independensi hakim pada lembaga peradilan hakekatnya merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.17 Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses, pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.18 Kemerdekaan hakim harus tetap dimaknai dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil (fair). Dalam pandangan John Ferejohn: ”One definitional problem is that judicial independence is a
relative, not an absolute, concept. The following definition of 'dependency' highlights the relative nature of judicial independence: in [A]person or institution [is]… dependent … [if] unable to do its job without relying on some other institution or group”.19 Independensi peradilan dalam perkembangannya harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis, yakni akuntabilitas publik (public accountability). Dalam angka 33 International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence disebutkan bahwa “It should be recognised that judicial independence does not render the judges free from public accounttability, however, the press and other institutions should be aware of the potential conflict between judicial independence and excessive pressure on judges”.20 Berdasarkan ketentuan di atas, maka independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Menurut Paulus E. Lotulung ada batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan hakim (konstitusi) yaitu aturan-aturan hukum itu sendiri.21 Oleh Moh. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu mengusulkan ada sepuluh rambu yang harus diindahkan oleh hakim konstitusi agar dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD tidak melampaui batas atau masuk kedalam ranah kekuasaan lain dan menjadi politis.22
16 Lihat lebih lanjut dalam Sri Soemantri, “Sistem Pemerintahan Republik Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum Vol. X No.3 Nopember 2002, hlm. 190; Yance Arizona, “Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme”, Jurnal Konstitusi Vol.I No.1 November 2008, Mahkamah Konstitusi RI, hlm.27; R.M. Ananda B.Kusuma, “Teori Konstitusi dan UUD 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. III No. 2 Mei 2006, hlm. 152; dan Abdul Latif, “Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multipartai”, Jurnal Konstitusi, Vol. VI No. 3 September 2009, hlm. 25-26. 17 A.V. Dicey menentukan tiga tolok ukur dari keberadaan negara hukum (rule of law) yaitu: (1) supremasi hukum (supremacy of law); (2) persamaan dihadapan hukum (equality before the law); dan (3) konstitusi yang berdasarkan pada hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights). 18 A. Ahsin Thohari, “Jalan Terjal Konstitusionalisme Indonesia”, Jurnal Konstitusi Vol.1 No.1 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi R.I, hlm.161. 19 A.Ahsin Thohari, Desain Konstitusioan Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 10 Maret 2010, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta,.hlm. 71. 20 Ibid. 21 Paulus E. Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum. Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I, Denpasar, 14 -18 Juli 2003, hlm.7. 22 Sepuluh rambu tersebut adalah: a) Tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, pembatalan UU tidak boleh disertai pengaturan. b) Tidak boleh membuat ultra petita. c) Tidak boleh menjadikan UU sebagai dasar pembatalan UU lainnya. d) Tidak boleh mencampuri masalah-masalah yang didelegasikan oleh UUD kepada lembaga legislative untuk mengaturnya dengan atau dalam UU sesuai dengan pilihan politiknya sendiri. e) Tidak boleh mendasarkan pada teori yang tidak secara jelas dianut oleh konstitusi, yang menjadi dasar adalah isi UUD 1945 dan semua original intent nya. f) Tidak boleh melanggar asas nemo judex in causa sua. g) Para hakim tidak boleh berbicara atau mengeluarkan opini kepada publik mengenai kasus konkret yang sedang diperiksa. h) Para hakim tidak boleh mencari-cari perkara dengan menganjurkan siapapun untuk mengajukan gugatan atau permohonan ke MK. i) Para hakim tidak boleh proaktif menawarkan diri sebagai penengah dalam silang sengketa politik antar lembaga negara atau antar lembaga politik. j) Tidak boleh ikut membuat opini tentang eksistensi atau tentang baik buruknya UUD. Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 281-284. Namun sayangnya sepuluh rambu tersebut juga ditabrak oleh Moh. Mahfud MD ketika menjabat sebagai Ketua MK.
154
Pengawasan Hakim Konstitusi.....(Budi S.P. Nababan dan Fauzi Iswahyudi)
Kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan akuntabilitas peradilan (judicial accountability). Wujud akuntabilitas publik dalam pengawasan peradilan, bahwa walaupun hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman haruslah independen, tetapi independensi tersebut tidak boleh menjadikan hakim sebagai pelaku yang tidak terkontrol. Menurut Lintong O. Siahaan, pada prinsipnya peran hakim dalam memutuskan perkara dapat diuji melalui tiga hal, yaitu social change, despite dan statement. Berdasarkan parameter tersebut, dalam menjalankan kewenangannya hakim termasuk juga hakim konstitusi memiliki kebebasan yudisial dalam memutus sengketa, meski demikian ia bukanlah corong undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya sekedar menuangkan dari apa yang ada dalam aturan hukum,23 tetapi ia memiliki kompetensi perilaku, yang meliputi perilaku secara individu (personal) maupun perilaku yudisial. Kompetensi hakim tersebut merupakan kemandirian perilaku hakim dalam kekuasaan yudisial (the authority of judges judicial behaviour).
B.3 Judicial Review UU Nomor 4 Tahun 2014 Sebelum membahas tentang judicial review suatu undang-undang, perlu diuraikan secara singkat teoritis keberadaan MK. MK diperkenalkan oleh pakar hukum Austria, Hans Kelsen (18811973) yang menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukanya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut dengan
Mahkamah Konstitusi (constitutional court) atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung.24 Ide Hans Kelsen tersebut sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI yang mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk “membanding” UU. Namun usulan ini disanggah oleh Soepomo, sehingga ide pengujian UU terhadap UUD tidak diadopsi dalam UUD 1945. Kemudian seiring dengan momentum amandemen UUD 1945, ide pembentukan MK kembali menguat. Akhirnya melalui pembahasan yang mendalam, rumusan mengenai lembaga ini dapat disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Ketentuan mengenai lembaga ini dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.25 Salah satu kewenanangan MK yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah menguji UU terhadap UUD. Adanya pelembagaan mekanisme pengujian UU (judicial review) yang dilakukan oleh MK, menurut Saldi Isra merupakan salah satu wujud adanya pemurnian atau purifikasi sistem pemerintahan presidensial di Indonesia setelah dilakukannya empat kali perubahan UUD 1945.26 Sayangnya, beberapa putusan pengujian UU oleh MK menimbulkan perdebatan.27 Pada intinya ada dua perdebatan yang muncul, pertama tentang putusan yang bersifat ultra petita,28 kedua tentang kecenderungan MK menjadi lembaga yang superbody.29 Salah satu putusan MK yang menimbulkan perdebatan tersebut adalah Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang judicial review UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
24 Mahkamah Konstitusi, Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 20032006, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 26. 25
Ibid, hlm. 27-28.
26
Munafrizal Manan, op.cit, hlm. 3.
27 Beberapa diantara putusan MK yang menimbulkan perdebatan ilmiah misalnya Putusan Nomor 005/PUU-IV/-2006, Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, serta Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Putusan MK yang teranyar yang menimbulkan perdebatan ilmiah kali ini berasal dari putusan MK yang memperbolehkannya Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus pidana bisa dilakukan lebih dari satu kali. Putusan ini dimohonkan oleh Antasari Azhar. 28 Mahfud MD, misalnya ketika masih menjadi anggota DPR pernah berpendapat MK tidak boleh memutus atas apa yang tidak diminta. Larangan atas putusan ultra petita juga berlaku bagi pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab jika ultra petita dibolehkan maka dapat diartikan bahwa MK bisa mempersoalkan apa pun isi UU yang tidak dipersoalkan oleh siapapun dengan alasan bahwa masalahnya sangat penting dan diperlukan untuk kebaikan. Ibid, hlm.86. 29 Beberapa anggota Komisi III DPR mengkritik cukup keras putusan-putusan MK yang terkesan superbody, seperti Lukman Hakim Saifuddin dari partai PPP menilai MK dapat menjadi monster baru bagi penegakan hukum di Indonesia, Gayus Lumbuun dari PDI P mengatakan MK seolah-olah berfungsi sebagai regulator. Pada intinya kedua anggota DPR ini menilai MK melalui beberapa putusannya telah mengambil alih kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Ibid, hlm. 91. Lebih lanjut lagi komisioner Komisi Yudisial, Taufiqurrahman Syahuri mengatakan majelis hakim MK melanggar etik karena memutus pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu tentang MK, http://www.antaranews.com/berita/418858/ky-menilai-hakim-mk-melanggarnorma-etik, diakses tanggal 24 Februari 2014.
155
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 151 - 160
Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU yang diajukan oleh Dr. A. Muhammad Asrun, S.H, M.H dan kawan-kawan yang selalu berperkara di MK serta Gautama Budi Arundhati, S.H., L.L.M dan kawan-kawan yang merupakan asosiasi pengajar hukum acara MK. Menurut para pemohon, sudut materiil/substansi yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2014 dianggap telah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada pokoknya menyangkut tiga hal utama, yaitu: (a) Penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi; (b) Memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi; dan (c) Perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.30 Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU yaitu: a.
perorangan warga negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang;
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara.
Yang dimaksud dengan 'hak konstitusional' dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24 Tahun 2003 adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut dalam berbagai yurisprudensi MK dijabarkan lebih lanjut yaitu harus memenuhi lima syarat sebagai berikut: a.
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan UUD 1945;
b.
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU yang dimohonkan pengujian;
c.
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitrusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d.
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya UU yang dimohonkan pengujian;
e.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan merujuk ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan beberapa yurisprudensi MK, maka MK berpendapat bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan pengujian UU a quo. Selanjutnya berdasarkan seluruh dalil-dalil yang telah diuraikan disertai dengan bukti-bukti terlampir, serta keterangan para ahli yang didengar dalam pemeriksaan perkara, maka dinyatakan bahwa: (a) UU Nomor 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) UU Nomor 4 Tahun 2014 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan (c) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK berlaku kembali. Berlakunya kembali UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menurut hemat Penulis, bukan berarti semua ketentuan norma dalam UU tersebut diberlakukan. Sebab melalui Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 ada beberapa norma dalam UU ini dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 194531 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Penulis melihat pada putusan judicial review terkait dengan pengawasan terjadi benturan asas hukum acara yang dianut di MK itu sendiri yaitu, asas tidak seorangpun dapat menjadi hakim atas perkaranya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa) dan asas hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya (ius curia novit). Terhadap kedua asas ini hakim konstitusi sebagai negarawan harus lebih cermat, harus mampu memilah-milah kapan harus mengutamakan asas nemo judex idoneus in propria causa, kapan harus
30
Khusus mengenai perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi sebagaimana yang diuraikan oleh para Pemohon, penulis tidak melihat adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan dengan berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. 31 Beberapa norma yang dibatalkan antara lain pengaturan tentang komposisi Majelis Kehormatan MK (Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011) yang dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945. Lihat lebih lanjut dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011.
156
Pengawasan Hakim Konstitusi.....(Budi S.P. Nababan dan Fauzi Iswahyudi)
mengutamakan asas ius curia novit. Melalui putusan-putusan terkait dengan pengawasan hakim konstitusi mementingkan asas ius curia novit dibandingkan asas nemo judex idoneus in propria causa. Alangkah bijaknya jika hakim konstitusi memberikan putusan yang tepat terkait dengan pengawasan MK mengutamakan asas nemo judex idoneus in propria causa. Edward Mc Whinney pernah mengatakan bahwa putusan yang benar adalah yang mampu diambil secara metode yang benar, waktu yang tepat dan disesuaikan dengan kebutuhan negara (perpaduan antara konsep hukum dengan konteks sosial). Jadi seharusnya putusan MK terkait dengan judicial review pengawasan MK yang benar harus sesuai dengan konteks sosial agar tidak menimbulkan kegoncangan.
B.4 Akibat Hukum Judicial Review Terhadap Pengawasan Hakim Konstitusi Meskipun kekuasaan kehakiman tidak boleh diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi, namun bukan berarti hakim konstitusi, terbebas atau kebal dari sanksi etika maupun sanksi pidana apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindak pidana. Sekali lagi penulis menekankan bahwa seorang hakim konstitusi juga merupakan manusia biasa yang suatu saat tidak mungkin tidak luput dari kekhilafan dan bisikan godaan duniawi sehingga perlu diawasi. Jauh sebelum terbentuknya Komisi Yudisial (KY), Oemar Seno Adji dalam bukunya yang berjudul Peradilan Bebas Negara Hukum, telah menyatakan bahwa kebebasan hakim tidak berarti bahwa ia bebas di dalam menentukan kerangka umum dan prinsip-prinsip dasar daripada kegiatan peradilan dan organisasinya, tetapi suatu kebebasan harus berdampingan dengan dua perkara, yaitu factuele virjheid dan persoonlijke vrijheid.32 Menyadari akan hal tersebut, maka MPR melalui amandemen UUD 1945 membentuk sebuah lembaga yang dinamakan KY. KY ini sebenarnya dibentuk sebagai lembaga eksternal yang mempunyai peran untuk mengawasi para hakim, mulai dari hakim di bawah MA, Hakim
Agung hingga hakim pada MK33 yang dituangkan kedalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut, Sri Soemantri berpendapat bahwa KY berwenang untuk:34 a.
menerima laporan perilaku hakim;
masyarakat
tentang
b.
meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c.
melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d.
memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
e.
membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/atau MK, sserta disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Pada awalnya pengawasan hakim konstitusi khususnya yang berkaitan dengan etika dan prilaku dilakukan melalui pengawasan internal35 dan melalui pengawasan eksternal.36 Pengawasan internal dilakukan oleh Majelis Kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh KY berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY. Namun sayangnya, berdasarkan Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945. Dengan kata lain bahwa adanya Putusan Nomor 005/PUUIV/2006 menyebabkan pengawasan MK yang semula dilakukan secara internal dan eksternal berubah menjadi hanya pengawasan internal yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan MK. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan MK diatur dalam Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003 yang kemudian disempurnakan dalam Peraturan MK Nomor 07/PMK/2005. Menindaklanjuti Putusan MK tersebut, kemudian dilakukan perubahan terhadap UU MK.
32
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 109. Lihat dalam Pasal 24 B ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 34 Sri Soemantri, Kedudukan, Wewenang dan Fungsi Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan R.I. Dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, (Jakarta, 2006), hlm.29-30. 35 Lihat lebih lanjut dalam Peraturan MK tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. 36 Lihat lebih lanjut dalam UU tentang KY sebelum perubahan. 33
157
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 151 - 160
Berdasarkan ketentuan Pasal 27A UU Perubahan MK Tahun 2011, KY dalam pengawasan etik hakim konstitusi kembali dilibatkan walaupun hanya sebagai anggota Majelis Kehormatan MK. Majelis Kehormatan MK adalah perangkat yang dibentuk oleh MK untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap hakim konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dimana kedudukan Majelis Kehormatan MK bersifat ad hoc. Sehubungan dengan sifatnya yang ad hoc, Moh. Mahfud MD mengusulkan agar dibentuk Majelis Kehormatan MK yang permanen untuk melakukan pengawasan.37 Namun ketentuan mengenai Majelis Kehormatan MK sebagaimana yang tercantum dalam UU Perubahan MK Tahun 2011 kembali dianulir oleh MK melalui Putusan Nomor 49/PUUIX/2011 yang membatalkan ketentuan Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011. Pembatalan ketentuan tersebut dikarenakan keanggotaan Majelis Kehormatan MK terdiri dari unsur KY, Pemerintah dan DPR. Dengan adanya pembatalan ini maka pengawasan hakim konstitusi kembali hanya dilakukan oleh MK melalui Majelis Kehormatan MK sesuai dengan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan MK. Tertangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK menyebabkan Pemerintah kembali menyusun formulasi pengawasan terhadap hakim MK melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2013, kemudian Perpu tersebut disetujui oleh DPR menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014. Dalam Perpu tersebut pengawasan hakim konstitusi dijalankan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh MK dan KY untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi yang bersifat tetap. Berdasarkan ketentuan dalam perpu tersebut, KY mempunyai peranan dalam penyusunan komposisi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi serta menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dengan kata lain pengawasan hakim konstitusi dilakukan campuran pengawasan internal sekaligus eksternal. Disisi lain, MK yang tidak ingin diawasi secara eksternal mengeluarkan Peraturan MK Nomor 2
Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi. Dalam salah satu konsiderannya disebutkan bahwa sebelum terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2013 perlu dibentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi. Dalam Peraturan MK tersebut, pembentukan Majelis Kehormatan diusulkan oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi. Hal ini mencerminkan bahwa pengawasan MK sepenuhnya secara internal oleh MK. Namun sayangnya formulasi pengawasan hakim konstitusi sebagaimana dalam UU tentang Penetapan Perpu tersebut kembali dibatalkan melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 diberlakukan kembali, namun harus diingat bahwa yang dimaksud dengan pemberlakuan kembali undang-undang tersebut bukanlah undangundang sesuai dengan original intent nya, karena sebagaimana telah diuraikan penulis bahwa MK telah menganulir beberapa ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut, salah satunya tentang pengawasan. Sehingga sampai dengan sekarang pengawasan hakim konstitusi dilakukan secara internal oleh MK. Menjadi miris sekarang karena pengawasan internal oleh MK tidak menyentuh hakim MK yang melakukan pertemuan dengan pemohon, terlepas dari pemohon dalam judicial rewiew UU tentang Penepatan Perpu adalah pihak yang selalu berperkara di MK dan asosiasi pengajar hukum acara MK sering kerjasama dengan Setjen MK, namun tidaklah etis jika berlangsung pertemuan hakim MK dengan pihak berperkara.38
C.
Penutup
Judicial review suatu undang-undang merupakan salah satu kewenangan yang diberikan konstitusi kepada MK. Melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang judicial review UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU, terkandung makna bahwa pengawasan hakim konstitusi dilakukan menurut ketentuan UU MK yang lama (lebih tepatnya lagi dengan UU MK pasca Putusan Nomor 005/PUUIV/2006, Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011).
37 http://www.m.sindonews.com/read/2013/10/07/13/791846/mahfud-md-usulkan-pengawasan-permanen-hakim-mk, tanggal 24 Februari 2014. 38
158
Pengawasan Hakim Konstitusi.....(Budi S.P. Nababan dan Fauzi Iswahyudi)
diakses
http://www.antaranews.com/berita/418858/ky-menilai-hakim-mk-melanggar-norma-etik, diakses tanggal 24 Februari 2014.
Terhadap perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi sebagaimana yang diuraikan oleh para Pemohon dalam judicial review UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, penulis tidak melihat adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan dengan berlakunya UU tentang Penetapan Perpu tersebut. MK menjalankan kekuasaan kehakiman sekaligus melakukan pengawasan terhadap tubuhnya sendiri. Keadaan seperti ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan tindakan abuse of power yang menyebabkan tumbuh suburnya judicial corruption (mafia peradilan). Bagaimanapun juga seorang hakim konstitusi juga merupakan manusia biasa yang perlu diawasi. Penulis sangat menyayangkan putusan MK terdahulu terkait pengawasan hakim (Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011) karena secara langsung putusan ini telah memangkas kewenangan KY dalam rangka melakukan pengawasan terhadap hakim termasuk hakim konstitusi.39 Selain itu penulis melihat, bahwa keberadaan kedua putusan tersebut secara tidak langsung juga memicu lahirnya Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang mementahkan pengawasan hakim konstitusi oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang akan dibentuk oleh MK dan KY. Jika saja Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 49/PUUIX/2011 tidak pernah diucapkan maka tentu saja KY dapat menjalankan fungsinya dalam melakukan tindakan terhadap pertemuan hakim MK dengan pihak berperkara sebagaimana yang dilansir oleh beberapa media massa.
Daftar Pustaka Buku Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996). Feri Amsari, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
39
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I, 2006). Mardjono Reksodiputro, ”Komisi Yudisial: Wewenang Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Serta Menjaga Perilaku Hakim di Indonesia (Membentuk Kembali Peradilan IndonesiaSuatu Pengamatan Yuridis Sosial) dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, (Jakarta; 2005). Mahkamah Konstitusi, Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006). Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009). Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Munafrizal Manan, Penemuan Hukum Oleh Mahkamah Konstitusi, (Bandung: Mandar Maju, 2012). Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1985). Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010).
Sri Soemantri, Kedudukan, Wewenang dan Fungsi Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan R.I. Dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, (Jakarta, 2006). Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Jurnal dan Makalah A. Ahsin Thohari, “Jalan Terjal Konstitusionalisme Indonesia”, Jurnal Konstitusi Vol.1 No.1 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi R.I. John Ferejohn, “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial Independence, 72 Southern California Law Review (1999).
KY lahir sebagai upaya untuk mengembalikan wibawa pengadilan sebagai pabrik keadilan dan hakim sebagai produsen keadilan yang adil dan tidak memihak. KY lahir dilatarbelakangi kondisi peradilan kita yang memang sudah terserang virus akut judicial corruption bahkan menurut Mardjono Reksodiputro bahwa sistem hukum dan sistem peradilan (the legal and justice system) seperti orang sakit yang sudah harus masuk ruang ICU. Lihat lebih lanjut dalam Mardjono Reksodiputro, ”Komisi Yudisial: Wewenang Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Serta Menjaga Perilaku Hakim di Indonesia (Membentuk Kembali Peradilan Indonesia- Suatu Pengamatan Yuridis Sosial) dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, (Jakarta; 2005), hlm.35.
159
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 151 - 160
Lintong O. Siahaan, “Peran Hakim Dalam Pembaharuan Hukum di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-36 No. 1 Januari-Maret 2006. Paulus E. Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum. Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I, Denpasar, 14 -18 Juli 2003.
Media massa
KOMISI YUDISIAL DAN PENGAWASAN HAKIM DI INDONESIA
http://nasional.kompas.com/read/2014/02/13/1 209235/Hari.Ini.Putusan.UU.MK.Kredibilitas.MK.D ipertaruhkan, diakses tanggal 20 Februari 2014.
(JUDICIAL COMMISION AND JUDGES SUPERVISION IN INDONESIA) Wahyu Wiriadinata Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Jl. Idi Adimaja I No. 1 Bandung e-mail:
[email protected] (Naskah diterima 10/04/2014, direvisi 10/06/2014, disetujui 02/07/2014)
http://www.antaranews.com/berita/418858/kymenilai-hakim-mk-melanggar-norma-etik, diakses tanggal 24 Februari 2014. http://www.m.sindonews.com/read/2013/10/07/ 13/791846/mahfud-md-usulkan-pengawasanpermanen-hakim-mk, diakses tanggal 24 Februari 2014.
Abstrak Tulisan ini dibuat untuk mengetahui efektivitas Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap hakim di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah “penelitian hukum normatif/yuridis normatif, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian ditemukan jawaban bahwa peran Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap para hakim belum efektif. Hal ini disebabkan oleh karena diantaranya Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan hukuman administrasi sendiri dan tidak mempunyai kewenangan penyidikan terhadap para hakim yang terbukti melanggar aturan pidana. Kata kunci : Pengawasan, penyidikan, rekomendasi, penghukuman.
Abstract The purpose of this paper is to find out the effectiveness of Judicial Commission in supervising judges in Indonesia. For method of research, the writer used a normative legal/juridical-normative method. Data was analyzed by a descriptivequalitative method. From the research result was found that the role of Judicial Commission in supervising the judges was not effectively implemented. The reason is, among others, the Judicial Commission has neither an authority to impose itself any administrative punishment nor an investigatory authority over those judges who allegedly have committed a crime. Keywords: Supervision, investigation, recommendation, punishment.
A.
Pendahuluan
Kemandirian peradilan di Indonesia dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pada Pasal 24 ayat (1) disebutkan bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Ini mengandung suatu arti bahwa kekuasaan kehakiman adalah suatu lembaga yang harus lepas dan bebas dari pengaruh kekuasaan legislatif, eksekutif maupun kekuasaan lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya.
160
Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya. Implementasi kemandirian hakim dan peradilan sesungguhnya dibatasi terutama oleh aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuanketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya dan tidak melanggar hukum serta bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat bertindak “contra legem”. Selanjutnya harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Di mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung
161
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 161 - 170
jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).1 Diperlukan hakim yang jujur dan tidak koruptif. Perlu pengawasan yang obyektif untuk mengontrol tugasnya. Lembaga itu telah ada yaitu Komisi Yudisial di samping lembaga fungsional yaitu Mahkamah Agung. Akan tetapi kenyataannya banyak kasus perilaku hakim yang menyimpang dari apa yang seharusnya beberapa contoh, yaitu kasus Hakim Syarifudin yaitu Hakim Pengawas di Pengadilan Negeri di Jakarta Pusat yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap dari Kurator Puguh Iriawan. Kasus tersebut telah menjadi perkara Tindak Pidana Korupsi dan Hakim Syarifudin telah divonis 4 tahun penjara sedangkan Puguh Iriawan divonis 3 tahun 8 bulan penjara. Dalam tahap upaya hukum. Juga Hakim Imas Dianasari yaitu Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industri di Pengadilan Negeri Bandung, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap. Perkaranya telah diputus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung dan Hakim Imas divonis dengan hukuman penjara selama 6 tahun. Selanjutnya di Semarang kasus Hakim Kartini Juliana Mandalena Marpaung dan Hakim Heri Kusbandono disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, karena disangka telah melakukan tindak pidana korupsi dan perkaranya sedang disidangkan. Perkara ini juga melibatkan hakim dan pihak lain, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (non aktif) Grobogan Jawa Tengah Muhammad Yaeni, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Para pihak yang terlibat dalam perkara di atas antara lain Sutjahjo Padmo Wasono, Ketua Pengadilan Negeri Semarang merangkap Ketua Pengadilan Tipikor Semarang yang mendistribusikan perkara Yaeni ke tim Kartini dan pernah bertemu dengan Henu Kusbandono untuk membahas majelis perkara Yaeni, serta menolak merombak tim Kartini yang menangani kasus Yaeni. Pragsono, hakim karier Pengadilan Negeri Semarang yang bersertifikat Hakim Tipikor, Ketua Majelis perkara Yaeni menggantikan Lilik Nuraini, yang dipindah ke Tondano, Sulawesi Utara, diduga aktif berhubangan dengan Heru untuk mengatur perkara Yaeni serta diduga aktif meminta uang ke Heru. 1
162
Komisi Yudisial Dan Pengawasan Hakim.....(Wahyu Wiriadinata)
Kartini Juliana Mandalena Marpaung Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Semarang dari jalur pengacara yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, aktif bertemu dengan Heru untuk mengatur vonis Yaeni, ditugaskan Pragsono menerima duit dari Yaeni melalui Heru, bakal menerima jatah suap dari Yaeni, bersama Lilik dan Asmadinata menjadi majelis hakim yang kerap membebaskan koruptor di Semarang dan sejak 9 Agustus 2012 lalu seharusnya sudah pindah ke Pengadilan Negeri Gorontalo karena terbukti melanggar kode etik hakim.
Last but not lease kasus hakim yang menyalahgunakan narkotika yaitu dengan memakai dan pesta narkotika. Hal ini dilakukan oleh seorang hakim Pengadilan Negeri Bekasi berinisial PW yang ditangkap oleh aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 16 Oktober 2012 di sebuah tempat hiburan kawasan Jalan Hayam Wuruk Jakarta yang sedang berpesta narkoba bersama dengan tiga perempuan yang mendampingi hakim tersebut. Bersamaan dengan penangkapan itu disita pula barang bukti berupa ekstasi dan sabu-sabu.
Asmadinata Hakim Ad Hoc Pengadilan Korupsi Semarang dari jalur pengacara bertemu dengan Heru untuk mengatur vonis Yaeni, kemudian diduga bakal menerima jatah suap dari Yaeni dan bersama Lilik dan Kartini menjadi Majelis Hakim yang kerap memvonis bebas koruptor di Semarang, sejak 9 Agustus 2012 lalu seharusnya sudah pindah ke Pengadilan Negeri Ambon karena terbukti melanggar kode etik hakim.
Kasus-kasus di atas yang melibatkan hakim sebagai tersangka perkara korupsi dan penyalahgunaan narkoba, hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus korupsi dan tindak pidana lainnya serta pelanggaran kode etik hakim yang dilakukan oleh hakim. Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial telah ada sejak tahun 2004.
Lilik Nuraini sebelum dipindah ke Pengadilan Negeri Tondano dan digantikan Pragsono, ia Ketua Majelis perkara Yaeni, diduga terlibat mengatur perkara Yaeni sejak awal dan berhubungan dengan Heru lewat kartini, lalu dimutasi karena terbukti melanggar Kode Etik Hakim. Heru Kusbandono Hakim Ad Hoc Pengadilan Korupsi Pontianak dari jalur pengacara, tersangka ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi makelar Yaeni ke Hakim Pengadilan Tipikor Semarang kerap datang ke Pengadilan Tipikor Semarang untuk mengatur kasus Yaeni yang berperan mengantar uang suap Yaeni ke Kartini. Muhammad Yaeni Ketua DPRD non aktif Grobogan yang menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor Semarang, yang meminta Heru melobi hakim Pengadilan Tipikor Semarang yang menangani perkaranya dan diduga yang menyuruh Sri Dartuti, adiknya, menyediakan uang suap. Sri Dartuti pengusaha di Semarang yang juga adik Yaeni diduga yang menyediakan dana suap. Hakim-hakim dan pihak tersebut di atas diduga terlibat kasus penyuapan oleh Sri Dartuti kepada Hakim Tindak Pidana Korupsi Semarang. Perkaranya disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan sedang diproses di Pengadilan Negeri Semarang.
Mukhlas, “Integritas dan Profesionalitas Korps Penegak Hukum di Indonesia”, Makalah, Bandung, tanpa tanggal, hlm. 1.
Dari uraian tersebut di atas muncul pertanyaan dan masalah yang perlu dilakukan pengkajian yaitu: Bagaimana efektivitas dari lembaga Komisi Yudisial di dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dan menanggulangi perilaku hakim yang negatif serta apa penyebab dari kurang efektifnya lembaga Komisi Yudisial di dalam pengawasan terhadap perilaku hakim dan penanggulangan perilaku hakim yang negatif. Adapun tujuan penelitian dimaksud untuk mengetahui bagaimana implementasi atau penerapan dasar-dasar pengawasan terhadap hakim, apakah sudah diterapkan sebagaimana mestinya. Juga secara praktis bagaimana efektivitas Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap hakim di Indonesia dan penyebab hal tersebut. Untuk mengurai pertanyaan di atas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, digunakan metode penelitian, yaitu penelitian hukum normatif/yuridis normatif, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data primer berupa undang-undang, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
Tulisan ini dilandasi oleh pemikiran, bahwa tujuan hukum untuk mencapai keadilan di masyarakat merupakan tujuan hukum yang utama. Selain untuk tercapainya kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh aliran Rechts Positivisme yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Tujuan hukum untuk mencapai keadilan merupakan tujuan hukum yang paling tua yang sampai saat ini tetap dipertahankan. Namun, dengan syarat bahwa di masyarakat harus terlebih dahulu terciptanya ketertiban. Tentang hal tersebut di atas dikemukakan juga oleh Muchtar Kusumaatmadja yang memberikan definisi hukum, yaitu: “Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai keadilan, juga meliputi lembaga serta proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut sebagai kenyataan di masyarakat”.2 Dari definisi yang dikemukakan tersebut di atas, jelaskan bahwa menurut Muchtar Kusumaatmadja tujuan hukum yang hakiki ialah terpeliharanya ketertiban dan tercapainya keadilan. Pemikiran dari Muchtar Kusumaatmadja ini sejalan dengan pemikiran Roscoe Pound3 Lebih jauh lagi Roscoe Pound mengemukakan tentang hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat: Law as a tool of social engineering, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. Konsep ini dilansir oleh Muchtar Kusumaatmadja disesuaikan dengan kondisi Indonesia menjadi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pembaharuan maksudnya ialah memperbaharui cara berfikir masyarakat dari cara berfikir tradisional kepada cara berfikir modern. Hukum harus bisa dijadikan sarana untuk memecahkan semua problem yang ada di dalam masyarakat. Konkritnya dalam konteks tulisan ini, bahwa problema hukum juga harus bisa menjawab masalah penyimpangan perilaku hakim di dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, sebab banyak hakim yang melakukan tindak pidana korupsi pada waktu melaksanakan tugasnya. Untuk mengurai problem tersebut salah satu hal yang harus diperbaharui adalah sistem hukum sebagaimana yang termuat di dalam undang-undang tentang komisi yudisial, tidak mengatur tentang kewenangan Komisi Yudisial yang mempunyai otoritas untuk
2
P. Sitorus, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab), Pasundan Law Faculty, Alumnus Press, Bandung, 1998 , hlm. 94.
3
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, Jakarta, 1972, hlm. 37.
163
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 161 - 170
menjatuhkan hukuman terhadap hakim, Komisi Yudisial hanya bisa memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhi hukuman kepada hakim dari hasil pemeriksaan Komisi Yusidial. Juga upaya paksa dalam pembuktian dan norma-norma lain yang bersifat dapat membuat jera para hakim, termasuk melakukan penyidikan terhadap hakim yang melakukan perbuatan tindak pidana seperti korupsi dan tindak pidana lainnya. Hal itu tidak bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial karena memang dalam Undang-Undang Komisi Yudisial kewenangan itu tidak ada.
B.
Hakim dan Pengadilan
Hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undangundang.4 Sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, ia harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dirinci bahwa unsur-unsur hakim yang baik itu adalah hakim yang memiliki: integritas, kepribadian, jujur, adil, profesional, berpengalaman dan menjaga kemandirian peradilan. Berkenaan dengan pengharapan dan upaya mendapatkan hakim yang baik, yang memiliki integritas dan profesional itu diperlukan komitmen lembaga terkait yang memiliki wewenang untuk merekrut dan menyeleksi hakim, yakni dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, right man on the right place dan objektif. Integritas dapat dimaknakan dengan “suatu sifat, mutu atas keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran”.5 Dalam pandangan Komisi Yudisial, prinsip integritas itu sebagai sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Dalam konteks jabatan hakim selaku pejabat negara yang ditugasi menegakkan hukum dan keadilan, unsur integritas calon hakim itu dapat diperoleh melalui rekrutmen dan seleksi yang ketat
dan baik. Namun demikian, integritas itu harus dipupuk dan dikembangkan secara berkelanjutan melalui pendidikan dan latihan. Jika seorang hakim memiliki integritas, dengan sendirinya ia memiliki potensi, dan kemampuan yang pada akhirnya akan melahirkan kewibawaan dan kejujuran. Di Indonesia jabatan hakim sebagai suatu profesi, memiliki kode etik yaitu Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/ 2009 dan 02/SKB/P.KY/IV.2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang harus dijadikan dasar perilaku dan tindakan profesi hakim. Kode etik tersebut dirumuskan dengan maksud untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter serta untuk mengawasi tingkah laku hakim. Dengan demikian jika karakter telah terbentuk dan perilaku hakim didasarkan pada patokan, diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.6 Dalam upaya mengawal penegakkan hukum yang bersih dan berkeadilan, Komisi Yudisial telah berhasil membuat rancangan dan mendorong terwujudnya Pedoman Etika Perilaku Hakim, yang didasarkan pada The Bangalore Principle of Judicial Conduct. Pedoman Perilaku Hakim yang dirancang Komisi Yudisial tersebut merupakan sumbangan besar kepada Mahkamah Agung. Pengembangan prinsip integritas hakim sebagai salah satu unsur dari Pedoman Perilaku Hakim itu perlu dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Pengembangan prinsip integritas hakim itu antara lain berbunyi: hakim berperilaku tidak tercela; menghindari konflik kepentingan; mengundurkan diri jika terjadi konflik kepentingan; dan menghindari pemberian hadiah dari pemerintah daerah walaupun pemberian tersebut tidak mempengaruhi tugas-tugas yudisial. Mahkamah Agung selaku lembaga peradilan tertinggi di Indonesia telah mengapresiasi prinsip integritas hakim ini dan mengembangkanya menjadi 17 (tujuh belas) butir perilaku hakim. Prinsip utama dari pengembangan itu agar hakim mempunyai kepribadian untuk tidak tergoyahkan, berani menolak godaan dan intervensi. dan selalu berusaha melaksanakan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan yang baik. Butir-
4
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5
Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi ke 3, Jakarta, Balai Pustaka, 1999, hlm. 347.
6 Wildan Suyuthi, Kode Etik Hakim, dalam Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct). Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003, hlm. 33.
164
Komisi Yudisial Dan Pengawasan Hakim.....(Wahyu Wiriadinata)
butir itu kemudian menjadi rambu-rambu bagi perilaku hakim, yaitu sebagai berikut: a.
Mempunyai Rasa Keadilan
Adil mengandung arti “menempatkan sesuatu pada tempatnya” dan memberikan sesuatu yang menjadi haknya, yang didasarkan atas suatu prinsip, bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Karena itu, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Dalam lingkungan peradilan, keharusan perlakuan adil itu lebih banyak dibebankan kepada sosok hakim, karena dalam proses persidangan, para hakim itu merupakan pemeran utama untuk memeriksa dan mengadili perkara para pihak. b.
Jujur
Ini mengandung makna, dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakikat yang hak dan yang bathil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun di luar persidangan. c.
Arif dan Bijaksana
Hakikatnya adalah mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaankebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya itu. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun. Karena itu, dalam konteks tertentu perilaku hakim dibatasi, yakni dalam hal: d.
Mandiri
Adanya independensi yang mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun (eksekutif
dan legislatif) dan bebas dari pengaruh apa pun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan itu menunjukkan bahwa hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun. e.
Berintegritas Tinggi
Ini mengandung makna mempunyai kepribadian utuh, tidak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. dan selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan yang lebih baik. f.
Bertanggungjawab
Arti dari tanggung jawab adalah kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan semua tugas dan wewenang sebaik mungkin serta bersedia menanggung segala akibat atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya itu. Rasa tanggung jawab akan mendorong terbentuknya pribadi yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh pengabdian, serta tidak menyalahgunakan profesi yang diamanatkan. g.
Menjunjung Tinggi Harga Diri
Hakikat dari menunjunjung tinggi harga diri adalah bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai aparatur peradilan. h.
Berdisiplin Tinggi
Ini mengandung arti ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan
165
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 161 - 170
masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya. i.
Rendah Hati
Hakikatnya yaitu berupa kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas. j.
Profesional
Hakikat profesional yaitu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan. keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien. k.
Profesionalitas Hakim
Pengembangan profesionalitas hakim paling tidak dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: (a) model pendidikan dan latihan dan (b) sistem pendidikan hakim secara umum. Pendidikan tinggi hukum di Indonesia yang menganut civil law, menghasilkan produk yang memiliki kesenjangan dengan kualifikasi di level praktis. Walaupun dari segi regulasi, lembaga-lembaga pendidikan hukum itu telah mengalami banyak kemajuan, yakni dengan penyempurnaan kurikulum serta masuknya mata-mata kuliah pendukung, tetapi hal itu belum dapat menjamin keluaran yang profesional dan siap pakai. Di dalam kenyataannya apa yang terurai di atas yang secara umum merupakan hal yang tersurat dan termuat dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dimana sosok hakim yang ideal
166
nyatanya belum terbentuk, tercapai dan terpenuhi. Ini terindikasi dengan banyaknya kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan oleh para hakim seperti digambarkan pada awal tulisan ini. Akan tetapi kasus-kasus penyimpangan profesi hakim seperti tersebut di atas bukan merupakan keadaan hakim hari ini pada umumnya, sebab masih banyak kebaikan yang ada, berupa kinerja para hakim yang tinggi, dimana masih banyak hakim yang baik dan berdedikasi baik serta idealis. Begitu pula kinerja Komisi Yudisial yang telah tercapai di dalam pengawasan terhadap hakim dan menjaga kehormatan serta harkat derajat hakim, hal ini sudah banyak yang berhasil, diantaranya kenaikan gaji dan tunjangan hakim yang lebih tinggi dari sekarang. Hal ini akan menambah kesejahteraan para hakim yang akan mendukung naiknya citra hakim di hadapan keadilan dan masyarakat. Ini merupakan keberhasilan Komisi Yudisial dalam rangka tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
C.
Eksistensi Komisi Yudisial
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dimana dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif dan kekuasaan lainnya. Berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia, yaitu Jakarta. Dalam memutar roda organisasinya digerakkan oleh pimpinan dan anggota, terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang merangkap anggota, jumlahnya tujuh orang anggota yang berstatus sebagai pejabat negara. Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum dan anggota masyarakat. Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial diberlakukan ketentuan peraturan perundangundangan bagi pejabat negara. Anggaran Komisi Yudisial dibebankan pada Anggaran Pendapat dan Belanja Negara. Anggota Komisi Yudisial mempunyai forum previlegiatum, dimana anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangkal telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak
Komisi Yudisial Dan Pengawasan Hakim.....(Wahyu Wiriadinata)
pidana kejahatan terhadap keamanan. Pelaksanaan penangkapan atau penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama dua kali dua puluh empat jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung. Adapun kewenangan Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dalam melaksanakan kewenangan dimaksud Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon Hakim Agung, melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung, menetapkan calon Hakim Agung dan mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. Komisi Yudisial juga mempunyai kewenangan dan tugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap Hakim Mahkamah Agung, untuk itu bisa menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR, untuk itu mempunyai kewajiban menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima. Semua keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia. Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Komisi Yudisial harus memenuhi syarat: Warga Negara Indonesia, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berusia paling rendah empat puluh tahun dan paling tinggi enam puluh delapan tahun pada saat proses pemilihan, mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat lima belas tahun, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, dan melaporkan daftar kekayaan. Anggota Komisi Yudisial yang terpilih diangkat oleh Presiden dan dengan persetujuan DPR, Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melalui DPR. Kewenangan Komisi Yudisial adalah : mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung, dan menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim di atas Komisi Yudisial mempunyai tugas: melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim, menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup, memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, dan mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Selain itu Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim. Dalam melakukan pengawasan Hakim, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan perilaku pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Untuk melaksanakan pengawasan itu Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim. Pimpinan Badan Peradilan dan/atau Hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud. Dalam pelaksanaan tugas dimaksud di atas Komisi Yudisial dapat: melakukan verifikasi terhadap laporan, melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran, melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari Hakim yang diduga
167
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 161 - 170
melanggar pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim untuk kepentingan pemeriksaan, melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi, dan menyimpulkan hasil pemeriksaan. Pemeriksaan oleh Komisi Yudisial meliputi: pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dan permintaan klarifikasi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas. Dalam setiap pemeriksaan sebagaimana dimaksud dibuatkan berita acara pemeriksaan yang disyahkan dan ditandatangani oleh terperiksa dan pemeriksa. Klarifikasi sebagaimana dimaksud, diajukan oleh hakim yang diduga melakukan pelanggaran dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya pemanggilan yang menyebutkan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara patut oleh Komisi Yudisial. Hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim berisi dugaan pelanggaran dinyatakan terbukti, atau dugaan pelanggaran dinyatakan tidak terbukti. Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung sanksinya berupa: sanksi ringan terdiri atas teguran lisan, teguran tertulis, atau pernyataan tidak puas secara tertulis. Sanksi sedang terdiri atas penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun, penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun, atau hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan. Sanksi berat terdiri atas pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap dengan hak pensiun, atau pemberhentian tetap tidak dengan hormat. Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.
D.
Fakta Konkrit
Dari hasil penelitian ditemukan beberapa hal, yaitu: Di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disebutkan bahwa “Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud Pasal 13 huruf b”7 Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul menjatuhkan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi “ Dari bunyi pasal tersebut di atas bisa ditarik pengertian bahwa Komisi Yudisial hanya bisa mengajukan/merekomendasikan untuk memberi sanksi/menghukum (administrasi/disiplin) seorang hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Jadi Komisi Yudisial tidak boleh menjatuhkan hukuman sendiri kepada para hakim. Komisi Yudisial hanya dapat memeriksa kasus yang melibatkan seorang hakim, itu pun terbatas kepada perilaku hakim yang melanggar kode etik hakim, di luar pro justisia, yang normanya diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sedangkan apabila ditemukan dan terbukti adanya perbuatan yang melanggar hukum pidana, maka Komisi Yudisial tidak dapat mengambil langkah lebih lanjut seperti kewenangan untuk penyidikan. Ini merupakan kelemahan yang ada di tubuh Komisi Yudisial. Terhadap usulan penjatahan hukuman administrasi oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, sikap Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terhadap usulan Komisi Yudisial itu tidak otomatis harus dijalankan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi bisa saja Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak melaksanakan rekomendasi seperti yang direkomendasikan oleh Komisi Yudisial tersebut. Walau dalam prakteknya banyak juga usulan penjatahan hukuman terhadap hakim dari Komisi Yudisial yang diakomodir oleh pimpinan Mahkamah Agung. Begitu juga terhadap hasil pemeriksaan Komisi Yudisial yang menemukan adanya unsur pidana dari perbuatan hakim, belum ada patron yang baku untuk tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial.
7 Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial berbunyi: “Komisi Yudisial berwenang, b: menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”.
168
Komisi Yudisial Dan Pengawasan Hakim.....(Wahyu Wiriadinata)
Melihat kenyataan tersebut di atas, maka untuk itu di masa yang akan datang agar supaya peran Komisi Yudisial lebih menggigit, maka Komisi Yudisial harus diberi kewenangan tambahan yaitu kewenangan untuk menjatuhkan hukuman administrasi/disiplin sesuai dengan kode etik hakim. Di samping itu Komisi Yudisial harus diberi kewenangan pro justitia yaitu kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap para hakim yang diduga atau diindikasikan melakukan tindak pidana. Untuk kewenangan itu tentu harus didukung oleh perangkat perundang-undangan yaitu dengan merubah Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dengan menyisipkan pasal-pasal kewenangan penyidikan oleh Komisi Yudisial terhadap para hakim yang diduga melakukan tindak pidana.
menghukum berdasarkan kode etik dan perilaku hakim serta diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana.
Daftar Pustaka Buku-Buku Adji, Oemar Seno, 1976, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta. Erangga. Hamzah, Andi, 2006, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta. Sinar Grafika. Mukhlas, (Tanpa Tanggal), “Integritas dan Profesionalitas Korps Penegak Hukum di Indonesia”, Makalah, Bandung. Nawawi Arief, Barda, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kesatu. Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Akibat dari ketidakpunyaan kewenangan dari Komisi Yudisial untuk menjatuhkan hukuman sendiri terhadap para hakim yang melakukan pelanggaran kode etik serta ketidakpunyaan kewenangan dari Komisi Yudisial untuk melakukan penyidikan terhadap para hakim yang diduga melakukan tindak pidana, hal ini menimbulkan peran Komisi Yudisial terhadap pengawasan para hakim menjadi kurang menggigit, akibatnya maka para hakim tidak mempunyai rasa jera di dalam melakukan perbuatan penyimpangan yang negatif, baik itu pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim maupun pelanggaran terhadap hukum pidana.
Tanusuboto, S., 1983, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana. Bandung : Alumni.
E.
Tresna, R., tt., Komentar HIR. Djakarta: Pradnya Paramita.
Kesimpulan dan Saran
Peran Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap para hakim belum efektif, ini terindikasi dengan masih banyaknya para hakim yang melakukan pelanggaran, baik terhadap kode etik hakim maupun pelanggaran terhadap ketentuan pidana. Hal ini disebabkan oleh karena diantaranya ada kelemahan dalam regulasi yaitu tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan hukuman administrasi sendiri terhadap hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan penyidikan terhadap para hakim yang terbukti di dalam pemeriksaan melanggar aturan pidana. Supaya kepada Komisi Yudisial selain diberi kewenangan untuk memeriksa dan membuktikan adanya pelanggaran kode etik dan tindak pidana, juga Komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk
Pound, Roscoe, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta. Bharata. Sitorus, P., 1998, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, Pasundan Law Faculty. Bandung. Alumnus Press. Soedjono D., 1982, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP. Bandung: Alumni. Tahir, Hadari Djenawi, 1981, Pokok-Pokok Pikian dalam KUHAP. Bandung: Alumni.
Wildan Suyuthi, 2003, Kode Etik Hakim, dalam Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct). Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Jurnal Hukum Jurnal Ilmu Hukum “Litigasi”, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Vol. 4 Nomor 3, Bandung, Oktober 2003. Jurnal “Wawasan Hukum”, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Vol. 16 Nomor 10, Bandung, Februari 2007. Jurnal Ilmu Hukum “Litigasi”, Vol. 8 Nomor 3, Bandung, Oktober 2007. Jurnal “Wawasan Hukum”, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Vol. 18 Nomor 1, Bandung, Februari 2008.
169
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 161 - 170
Jurnal Ilmu Hukum “Litigasi”, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Vol. 9 Nomor 3, Bandung, Oktober 2008. Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Vol. XII Nomor 1, Bandung, Maret 2010. Jurnal “Hukum dan Pembangunan”, Badan Penerbit FH-UI, Tahun ke-10 Nomor 4, Jakarta, Oktober, 2010. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, Vol. 5 Nomor 1, Jakarta, 2012. Jurnal “Bina Adhyaksa”, Kejaksaan Agung RI, Vol. 6 Nomor 1, Jakarta, Juli, 2012. Jurnal “Legislasi Indonesia”, Dirjen Perundangundangan Kemenhumham RI, Vol. 9 Nomor 1, Jakarta, April, 2012. Jurnal “Legislasi Indonesia”, Dirjen Perundangundangan Kemenhumham RI, Vol. 9 Nomor
2, Jakarta, Juli, 2012. Jurnal “Legislasi Indonesia”, Dirjen Perundangundangan Kemenhumham RI, Vol. 9 Nomor 3, Jakarta, Oktober, 2012. Jurnal “Konstitusi”, Mahkamah Konstitusi RI, Vol. 9 Nomor 2, Jakarta, Juni, 2012.
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
FENOMENA HUKUM YANG 'DITIDURKAN' DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME (STATUTORY DORMANCY PHENOMENON IN A FAILURE OF ERADICATION OF CORRUPTION, COLLUSION, AND NEPOTISM) Fajar Laksono Soeroso Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta 10110 Indonesia Telp. (021) 23529000; Fax. (021) 3520177 Email:
[email protected] (Naskah diterima 15/04/2014, direvisi 16/06/2014, disetujui 02/07/2014) Abstrak Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme belum sesuai sebagaimana yang diharapkan. Kemungkinannya banyak, akan tetapi salah satu hal yang mendasar ialah bangsa ini terlampau fokus hanya pada pemberantasan korupsi, padahal, reformasi 1998 mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Artinya, yang diberantas KKN, bukan hanya korupsi. Dalam kerangka itu, telah ada UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang sampai hari ini masih berlaku. Namun, UU No. 28/1999 tidak pernah efektif diberlakukan, bahkan menjadi “hukum yang ditidurkan” (statutory dormancy). Ironisnya, tidak pernah ada upaya mengefektifkan atau mencabutnya. Tulisan ini mengemukakan 4 (empat) fakta yang meyebabkan UU No. 28/1999 “ditidurkan”, yaitu: (1) UU No. 28/1999 kehilangan 'ruh' pasca berlakunya UU No. 30/2002; (2) 'penyempitan' KKN menjadi hanya korupsi belaka; (3) tidak memiliki acuan teknis pelaksanaan; dan (4) nepotisme hampir mustahil diberantas. Fakta tersebut menunjukkan 2 (dua) hal, UU No. 28/1999 lemah secara substansi, dan kelemahan tersebut direspon dengan perilaku hukum untuk 'menidurkan' UU No. 28/1999. Ketidakefektifan UU No. 28/1999 tidak boleh dibiarkan. Jika problemnya terletak pada lemahnya UU No. 28/1999, hal yang perlu dilakukan tentulah menyempurnakan ketentuan-ketentuan tersebut dalam kerangka mempertajam upaya pemberantasan KKN. Kata Kunci: Statutory Dormancy, Pemberantasan KKN.
Abstract Corruption, collusion, and nepotism eradication does not achieve the objective as we expected. There are many possibilities, but one of the fundamental thing that this nation is too focused only on the eradication of corruption, whereas, the reformation in 1998 has given the mandate to eradicate corruption, collusion and nepotism. It means that not only corruption but also collusion, and nepotism must be eradicate. Within that framework, there is Law Number 28 of 1999 on Implementation of Clean and Free State from Corruption, Collusion, and Nepotism Implementation which today still exist and bind. However, Law Number 28 of 1999 is not effectively enforced, and being “statuta dormancy”. Ironically, there is no effort to make it effective or to repeal. This paper illustrates four facts that cause Law Number 28 of 1999 is being “statuta dormancy”, that is to say; (1) Law Number 28 of 1999 has been lost its soul after the enactment of Law Number 30 of 2002; (2) constriction of corruption, collusion, and nepotism just merely corruption; (3) It does not have the technical reference to implement; and (4) nepotism is almost impossible to eradicate. The facts indicated of two (2) terms, Law Number 28 of 1999 is substantially weak, and the weakness of the law is responded by lulling the Law. In other side, the ineffectiveness of Law Number 28 of 1999 must not be allowed. If the problem lies in the weaknesses of Law Number 28 of 1999, it is certainly necessary to improve these provisions within the framework of efforts to sharpen the eradication of corruption, collusion, and nepotism. Keywords: “statuta dormancy”, eradication of corruption, collusion, and nepotism.
170
171
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 171 - 182
A.
Pendahuluan
Sekarang ini, hampir tidak ada lembaga negara yang absen meneriakkan jargon-jargon anti korupsi. Dalam berbagai kesempatan, lembagalembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian (POLRI), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK) bersuara lantang terhadap korupsi. Kejaksaan Agung mengusung slogan "Berani Jujur, Hebat-Korupsi Sikat, Tanpa Korupsi Hidup Sehat dan Nikmat".1 POLRI tidak mau kalah. Berbagai banner anti korupsi dibentangkan. “Korupsi Harus Diberantas hingga Nol Persen”, “Kawasan Bebas Pungli”, demikian bunyi bannerbanner tersebut.2 Di MA, Ketua MA, Hatta Ali, terus meyakinkan bahwa MA tengah serius berkomitmen memerangi korupsi.3 Kementerian dan lembaga lain di ranah eksekutif juga tidak ingin ketinggalan.4 Sementara di MK, zona bebas korupsi telah dicanangkan sejak lama. Jargon-jargon anti-korupsi dijumpai di beberapa sudut Gedung MK. Misalnya papan bertuliskan: Perhatian. Para Pemohon dan Pihak Terkait diminta agar tidak memercayai siapapun yang mengaku hakim atau pegawai MK dengan menghubungi anda melalui telepon, sms, bertemu langsung atau dengan cara lainnya dan menjanjikan dapat mengatur perkara/putusan dengan atau tanpa imbalan uang, hadiah, atau imbalan lainnya. Jargon anti korupsi pun lantang disuarakan di lingkungan DPR. Di DPR telah dibentuk Gugus Tugas DPR yang terdiri atas 28 anggota DPR dari berbagai fraksi dan komisi. Gugus Tugas ini intensif mengampanyekan parliamentary awareness tentang anti korupsi di lingkup parlemen.5 Hal-hal tersebut menunjukkan semangat anti korupsi yang sangat menggembirakan. Namun ironisnya, di tengah jargon-jargon tersebut, kasus korupsi seperti tidak berkurang. Terus saja bermunculan kasus-kasus baru. Lantas 1
pertanyaannya, mengapa di tengah semangat besar tersebut upaya pemberantasan KKN seolah hanya menemui satu kegagalan ke kegagalan berikutnya. Tentu ada banyak analisis terhadap hal tersebut. Mungkin soal pendekatan yang kurang tepat. Mungkin karena adanya perlawanan terhadap gerakan anti-korupsi, baik blokade di birokrasi dan aparat penegak hukum, fenomena corruptor fights back berupa penyerangan terhadap undangundang dan institusi anti-korupsi, maupun manipulasi putusan pengadilan.6 Menurut penulis, ada hal lebih mendasar yang menyebabkan pemberantasan KKN tidak kunjung sesuai harapan, yaitu bangsa ini terlampau memusatkan fokus pada pemberantasan korupsi. Jika ditarik ke belakang, salah satu hal yang disepakati sebagai amanat reformasi 1998 ialah pemberantasan terhadap KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme.7 Hal demikian berarti, ada 3 (tiga) entitas berbeda yang harus diberantas, bukan hanya korupsi, melainkan juga kolusi dan nepotisme. Oleh karenanya, memfokuskan energi hanya pada korupsi dapatlah dikatakan sebagai tindakan yang menyempitkan amanat reformasi. Dalam rangka pemberantasan KKN, sesungguhnya telah ada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU No. 28/1999) yang sampai hari ini masih berlaku. Namun jika dicermati praktiknya, UU No. 28/1999 tidak pernah efektif dijalankan. Menurut penulis, persoalan inefektifitas UU No. 28/1999 menjadi menarik untuk dikaji. Jika kolusi dan nepotisme dipahami sebagai akar terjadinya korupsi, maka kolusi dan nepotisme telah pula menjadi mata rantai sistemik yang memproduksi perilaku-perilaku korup. Jadi, walaupun korupsi diberantas, tetapi manakala kolusi dan nepotisme dibiarkan terjadi, korupsi dipastikan akan muncul kembali. Ketidakefektifan UU No. 28/1999 meng-
Pada peringatan Hari Anti Korupsi Tahun 2011, Kejaksaan Agung mengambil tema “Terus Berjuang Berantas Korupsi” dengan slogan “Berani Jujur, Hebat-Korupsi Sikat, Tanpa Korupsi Hidup Sehat dan Nikmat", Tribunnews.com, 9 Desember 2011. Diakses 22 Maret 2014. Baca juga “Kejaksaan Agung Ikut Pasang Berani Jujur Hebat”, Republika, 8 Desember 2012. 2 “Pemberantasan Korupsi Polri, dari Pemasangan PIN hingga Spanduk”, Republika, 20 Mei 2013. 3 “Hatta Ali: Tidak Ada Toleransi untuk “Pedagang Keadilan”, 19 Agustus 2013, www.dilmiltama.go.id. Diakses 22 Maret 2014. 4 Empat lembaga kementerian yaitu Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertanian, berkomitmen untuk mencegah korupsi di lingkungan birokrasi, dalam ”4 Kementerian Komitmen Anti Korupsi”, . 5 Gugus Tugas Anti Korupsi DPR dilakukan pada 12 Desember 2012 melalui Deklarasi Pembentukan Gugus Tugas Nasional AntiKorupsi Global Organization of Parliamentarians Against Corruption Indonesia National Chapter, lihat . “Gugus Tugas DPR Anti Korupsi Berkampanye”, http://www.antaranews.com/berita/408686/gugus-tugas-dpr-antikorupsi-berkampanye, Senin, 9 Desember 2013. Diakses 22 Maret 2014. 6 Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 73. 7 Meskipun tidak ada produk hukum resmi yang menetapkan, tetapi 6 (enam) agenda berikut diterima sebagai kesepakatan dalam praktik, yaitu (1) Amandemen UUD 1945; (2) penghapusan Dwi Fungsi ABR; (3) penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (3) desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); (4) mewujudkan kebebasan pers; dan (4) mewujudkan kehidupan demokrasi. Baca MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010), hlm. 3-4.
172
Fenomena Hukum Yang 'ditidurkan' Dalam .....(Fajar Laksono Soeroso)
implikasikan praktik-praktik kolusi dan nepotisme tidak tertangani dengan baik. Untuk itu, tulisan ini mengemukakan mengenai apa yang menyebabkan UU No. 28/1999 tidak efektif diimplementasikan?8 Di samping itu, hal yang juga menarik, meskipun jelas terbukti tidak efektif, mengapa tidak pernah terlihat upaya terhadap UU No. 28/1999, apakah dicabut, diperbaiki, atau diganti.
B.
Pembahasan
B.1. Sekilas Mengenai UU No. 28/1999 UU No. 28/1999 merupakan produk hukum yang dibuat pada masa Presiden B.J. Habibie yang ditandatangani pada 19 Mei 1999. UU ini merupakan amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP MPR No. XI/MPR/1998). Hal yang mendasari terbitnya TAP MPR No. XI/MPR/1998 antara lain, 1)
bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional,9
2)
bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.10
Jika dicermati, substansi utama TAP MPR No. XI/MPR/1998 tersebut terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Pasal 3 pada pokoknya menyatakan bahwa untuk menghindarkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya,
harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Pemeriksaan atas kekayaan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh kepala negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat dan juga upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi. Sedangkan Pasal 4 menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Berdasarkan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, UU No. 28/1999 dibentuk. Dalam Pasal 4 TAP MPR RI Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (TAP MPR No. 1 Tahun 2003), dinyatakan bahwa TAP MPR No. XI/MPR/1998 merupakan salah satu TAP MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Dalam hal ini, setelah UU No. 28/1999 terbentuk, maka kemudian TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tidak berlaku. Sejak saat itulah, UU No. 28/1999 kemudian menjadi landasan hukum bagi pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme.11 Addresat UU No. 28/1999 adalah seluruh Penyelenggara Negara, baik yang berada di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Tujuannya, agar mereka menjadi Penyelenggara Negara yang bersih, yakni Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik KKN serta perbuatan tercela lainnya. Setelah itu, baru kemudian kewajiban masyarakat untuk ikut berperan serta. Karena bagaimanapun, dalam segala hal, keterlibatan masyarakat sangat penting dan dibutuhkan. Lebih lanjut, 'ruh' dari UU No. 28/1999 dapat dikatakan terletak pada eksistensi Komisi
8 UU tersebut hanya menghasilkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 1999 yang bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara. KPKPN tersebut akhirnya bubar tidak lama setelah terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan: “Setelah berlakunya KPTPK, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud Pasal 10 sampai Pasal 19 UU Nomor 28 Tahun 1999, dinyatakan tidak berlaku”. 9 Konsiderans Menimbang huruf d TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998. 10 Ibid. 11 Konsideran Menimbang huruf c UU No. 28/1999.
173
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 171 - 182
Pemeriksa yang berfungsi mencegah praktik KKN dalam penyelenggaraan negara. Dalam Pasal 10 dinyatakan, untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Pemeriksa. Dalam ketentuan Pasal 17, Komisi Pemeriksa ditentukan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara. Komisi Pemeriksa berwenang melakukan pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebelum, selama, dan setelah Penyelenggara Negara yang bersangkutan menjabat. Hal tersebut dimaksudkan untuk menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan Kejaksanaan. Fungsi pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemeriksa sebelum seseorang diangkat selaku pejabat negara adalah bersifat pendataan, sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah Pejabat Negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi untuk menentukan ada atau tidaknya petunjuk tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara Negara yang dilakukan oleh SubKomisi Yudikatif, juga disampaikan kepada MA. Apabila dalam hasil pemeriksaan ditemukan petunjuk adanya KKN, maka hasil pemeriksaan disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, untuk ditindak lanjuti. “Petunjuk” maksudnya adalah fakta-fakta atau data yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keunggulan UU No. 28/1999 dapat pula dilihat dari sanksinya. UU No. 28/1999 mengakomodir adanya sanksi administratif dan sanksi pidana atau perdata. Sanksi administratif dijatuhkan kepada setiap Penyelenggara Negara yang melanggar
kewajiban-kewajibannya.12 Sementara, setiap Penyelenggara Negara yang melanggar kewajiban untuk (1) tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme; atau (2) bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, diberikan sanksi pidana.13 Di samping itu, UU No. 28/1999 jelas membedakan terminologi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kolusi dan nepotisme acapkali dikatakan sebagai bagian atau salah satu varian dari korupsi, karena korupsi dipahami merupakan “genus” yang terdiri atas beragam “spesies”. Terdapat ratusan bahkan ribuan jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi mengingat korupsi merupakan istilah dengan arti sangat luas. Secara ringkas, Syed Husein Alatas menggolongkan tindakan-tindakan tersebut ke dalam 7 (tujuh) macam tipologi korupsi yang kesemuanya memiliki esensi pencurian melalui penipuan.14 Dalam konteks Indonesia, secara normatif, pembedaan terhadap ketiga tindakan tersebut amat jelas. Kolusi dan nepotisme memiliki sejarah dan terminologi sendiri yang berbeda dengan korupsi, dan ini ditegaskan dalam TAP MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme juncto TAP MPR No. 1 Tahun 2003 yang secara tegas membedakan istilah korupsi dengan istilah kolusi dan nepotisme.
B.2. Hukum yang Ditidurkan Dalam sosiologi hukum, terdapat istilah “hukum yang tidur atau ditidurkan” (statutory dormancy), yaitu hukum yang berlaku tetapi tidak lagi dipakai.15 Fenomena statutory dormancy terjadi misalnya pada UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas, karena UU Nomor 14 Tahun 1992 terbukti tidak efektif di ranah praktik. Pelanggaran demi pelanggaran terjadi setiap hari di jalan raya.
12 Kewajiban Penyelenggara Negara adalah: (1) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; (2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat; (4) melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, tas, dan golongan; dan (6) melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 13 Sanksi tersebut dinyatakan dalam Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 28/1999. Pasal 21 menyatakan setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Sedangkan, untuk setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 14 S.H. Alatas, Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 3. 15 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. 21.
174
Fenomena Hukum Yang 'ditidurkan' Dalam .....(Fajar Laksono Soeroso)
Penegak hukum juga tidak dapat menegakkan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut.16 Berbicara mengenai hukum yang tidur atau ditidurkan erat kaitannya dengan membicarakan efektifitas hukum. Ketentuan hukum dikatakan efektif manakala perilaku orang bergerak ke arah yang dikehendaki oleh pembentuk ketentuan hukum tersebut, yaitu ketika orang menaatinya. Dalam hal ini, ketentuan hukum menjadi penuntun perilaku (guiding behaviour) bagi manusia. Mengapa suatu UU ditidurkan, sementara yang lain tidak? Dan, mengapa hal itu terjadi? Dari konsep efektifitas hukum dapat diketahui pengaruh hukum terhadap masyarakat. Inti dari pengaruh hukum terhadap masyarakat adalah perilaku masyarakat yang sesuai dengan hukum. Manakala masyarakat berperilaku sesuai dengan kehendak hukum, dapat dikatakan hukum demikian efektif. Begitu pula sebaliknya, hukum tidak efektif manakala hukum disadari bukan merupakan abstraksi nilai dalam masyarakat. Jika demikian yang terjadi, timbullah kemudian hukum yang tidak bisa dijalankan (unworkable), atau bahkan dalam taraf tertentu, hukum justru menimbulkan praktik pembangkangan. Secara sederhana, efektifitas hukum dipahami sebagai kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum dan pelaksanaannya. Donald Black berpendapat bahwa efektifitas hukum merupakan masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara membandingkan antara realitas hukum dalam teori (law in theory) dengan realitas hukum dalam praktek (law in action) sehingga nampak adanya kesenjangan antara keduanya. Hukum dianggap tidak efektif jika terjadi disparitas antara realitas hukum dan ideal hukum. Untuk mencari solusinya, langkah apa yang harus dilakukan untuk mendekatkan kenyataan hukum dengan ideal hukum agar 2 (dua) variabel (law in theory dan law in action) menjadi sama? Manakah yang harus berubah, hukumnya yang harus diubah agar sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau sebaliknya, perilaku masyarakat harus berubah mengikuti kehendak hukum?.17
Dilihat dari perspektif hukum, meminjam analisis Antony Alloott dalam artikelnya berjudul “The Effectiveness of Law”,18 hukum tidak efektif disebabkan antara lain karena 3 (tiga) hal, yaitu 1.
problem dalam pemancaran akhir norma hukum yang disebabkan oleh tidak menyebarnya norma hukum yang diterbitkan. Hukum tidak bisa diadaptasi oleh subyek sebagai pesan instruksional (instructional messages) karena membutuhkan lawyer sebagai “special decoders”, namun tidak bisa/mampu menyediakannya;
2.
kemungkinan konflik antara arah serta tujuan legislator dan kebiasaan sosiologis masyarakat (nature of society); dan
3.
hukum tidak berlaku efektif disebabkan karena kegagalan implementasi hukum itu sendiri. Seringkali tidak cukup tersedia perangkat norma (norms), perintah (orders), institusi (institutions), atau proses (processes) yang berkaitan dengan undang-undang.19
Merangkum hal-hal tersebut, terhadap pertanyaan mengapa UU No. 28/1999 “ditidurkan” sehingga tidak pernah efektif berlaku di masyarakat, penulis mengemukakan sekurangkurangnya 4 (empat) fakta utama berikut.
1.
UU No. 28/1999 kehilangan 'ruh'
Hilangnya 'ruh' UU No. 28/1999 merupakan akibat dari lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-I/2003. Berlakunya UU KPK dianggap telah melucuti hak dan kewenangan konstitusional yang dimiliki KPKPN. Jika dicermati, Pasal 13 huruf a, Pasal 26 ayat (3) huruf a, Pasal 69, dan Pasal 71 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 telah melanggar dan menghapus hak dan kewenangan konstitusional KPKPN. Penghapusan tersebut jelas merupakan pembunuhan eksistensi KPKPN sebagai lembaga pemeriksa kekayaan penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 17 UU No. 28/1999. Menurut UU No. 28/1999, KPKPN bertugas memantau
16 Pada akhirnya, mengingat UU Nomor 14 tahun 1992 berlaku tetapi tidak pernah efekti, maka dengan alasan tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, UU tersebut diganti dengan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ditetapkan pada 22 Juni 2009. 17 Achmad Ali, Donald Black: Karya dan Kritikan Terhadapnya (Dilengkapi Komentar Awal sebagaiProlog dan Komentar Penutup sebagai Kesimpulan, Makassar, 2000. 18
Antony Alloott, The Effectiveness of Law, dalam Valparaiso University Law Review, Vol. 15, Winter, 1981.
19
Ibid.
175
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 171 - 182
kekayaan penyelenggara negara, meneliti laporan atau pengaduan dugaan adanya KKN, dan menyelidiki harta kekayaan negara yang terindikasi KKN. Selain itu, KPKPN juga bertugas mencari bukti dan saksi untuk penyelidikan serta meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan adanya KKN tersebut. Karena kehadiran UU KPK itu, KPKPN kemudian mengajukan uji materi untuk meminta MK membatalkan atau menyatakan tidak berlakunya beberapa ketentuan dalam UU KPK, atau setidak-tidaknya membatalkan pasal yang menghapus kewenangan KPK untuk memeriksa kekayaan mantan dan penyelenggara negara demi mencegah terjadinya KKN. Dalam perkara tersebut, KPKPN menyatakan bahwa UU KPK telah melanggar dan menghapus hak dan kewenangan konstitusional KPKPN, padahal kewenangan KPKPN tersebut diberikan oleh UUD 1945 melalui Tap MPR No. XI/MPR/1998 yang kemudian dirumuskan melalui UU No. 28/1999. Selain itu, penerapan UU KPK dinilai membatasi dan menghilangkan hak masyarakat untuk memiliki lembaga pencegahan KKN dan hak untuk memiliki penyelenggara negara yang bebas KKN. KPKPN meminta agar hal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan Perubahannya.20 Namun pada akhirnya, melalui Putusan No. 006/PUU-I/2003 yang diucapkan pada sidang pleno yang terbuka untuk umum pada 30 Maret 2004, MK memutus menolak dan tidak menerima permohonan tersebut.21 Pada perkembangannya, KPKPN benar-benar dibubarkan pada 29 Juni 2004. KPKPN melebur ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk personel KPKPN dan sisa anggaran sebesar Rp 36,7 miliar. KPKPN dilebur ke KPK. Peleburan KPKPN ke KPK secara resmi dilakukan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada saat itu, Faisal Tamim. Peleburan ini mengacu pada Keppres Nomor 45 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial Sekretariat Jenderal KPKPN ke KPK. Secara yuridis, Keppres yang ditetapkan pada 27 Mei 2004 tersebut merupakan tindak lanjut Putusan MK Nomor
006/PUU-I/2003. Mengingat KPKPN merupakan esensi terpenting UU No. 28/1999, maka sejak dileburnya KPKPN ke KPK itulah UU No. 28/1999 kehilangan 'ruh' sebagai hukum.
2.
No. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Satjipto Rahardjo menyatakan:22 “Korupsi versi Undang-Undang Antikorupsi “hanya” merumuskan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompok. tentu saja itu sudah lumayan, tetapi jika kita ingin menuntaskan pemberantasan korupsi dengan sekalian percabangannya, maka sasaran tembak yang demikian itu belum mencukupi. Yang kita tembak baru korupsi konvensional”
Penyempitan' Makna KKN Menjadi Korupsi
Semangat massif lembaga-lembaga negara untuk memerangi korupsi sangat menggembirakan. Namun, ada kecenderungan gerakan-gerakan tersebut semuanya hanya memfokuskan pandangan pada “korupsi” belaka, sementara pemberantasan kolusi dan nepotisme tidak kelihatan sama sekali. Kehadiran UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3/1999) dan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang turut 'menidurkan' UU No. 28/1999. Makna KKN dipersempit menjadi hanya korupsi saja, sementara kolusi dan nepotisme diabaikan, dianggap termasuk ke dalam korupsi. Dalam UU No. 3/1999, tindak pidana korupsi ditonjolkan sebagai satu-satunya hal yang harus diberantas. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU tersebut, dinyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pada konteks ini, ada penyempitan pemberantasan KKN menjadi sekedar pemberantasan korupsi belaka. Oleh karenanya, setiap pembicaraan pemberantasan korupsi hanya dilakukan untuk korupsi yang menurut Satjipto Rahardjo, adalah korupsi dalam arti konvensional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU
20 Salah satu norma yang diuji ialah Pasal 71 ayat (2) UU KPK yang menyatakan bahwa "Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dinyatakan tidak berlaku". Ketentuan inilah yang dinilai telah menghilangkan eksistensi KPKPN dan kewenangan konstitusionalnya. 21 Putusan ini diwarnai dissenting opinion dari Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan dan Hakim Konstitusi Sudarsono. Putusan demikian tersebut semakin mengukuhkan pembubaran KPKPN walaupun Putusan MK sesungguhnya tidak dapat dimaknai membubarkan KPKPN. Dalam putusannya, MK pun tidak menyatakan eksplisit bahwa KPKPN harus bubar. MK hanya menyatakan permohonan pengujian terhadap Pasal 13 huruf a, Pasal 69 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 26 ayat (3) huruf a, dan Pasal 71 ayat (2) tidak dapat diterima karena tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK sama sekali tidak mencabut payung hukum KPKPN, baik UU No.28/1999 maupun Keppres No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan KPKPN dan Sekretariat Jenderal KPKPN.
176
Fenomena Hukum Yang 'ditidurkan' Dalam .....(Fajar Laksono Soeroso)
Maksudnya, yang diberantas barulah sebatas korupsi yang diartikan stipulatif sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memuat 3 (tiga) unsur akumulatif di dalamnya, yakni, (1) dilakukan secara melawan hukum, (2) untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta (3) merugikan keuangan negara. Tanpa ketiga unsur tersebut bukanlah perbuatan yang layak disebut korupsi. Kiranya, pandangan itulah yang mendasari lembaga-lembaga negara ketika berlomba meneriakkan jargon anti korupsi. Jadi, yang dicegah dan diperangi sebatas korupsi dalam arti stipulatif. Padahal di sisi lain, ada jenis korupsi lain, yakni korupsi non konvensional. Menurut Satjipto Rahardjo, korupsi tidak boleh hanya dimaknai sempit dengan merujuk secara stipulatif pada bunyi undang-undang, melainkan lebih pada perilaku koruptif dalam memanfaatkan jabatan yang dipegang penyelenggara negara. Satjipto Rahardjo, memberikan contoh bahwa korupsi nonkonvensional itu adalah “korupsi kekuasaan”, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik mana pun dan pada tingkat mana pun, yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati, tidak bermutu, dan merusak kepercayaan publik. Ia adalah penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (willekeur), ceroboh, melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar; bekerja asal-asalan, tidak perduli perasaan rakyat, dan sebagainya.23 Menurut Moh. Mahfud MD., yang termasuk juga dalam korupsi non-konvensional antara lain sikap merasa paling berkuasa, selalu ingin melibatkan kroni dalam kegiatan-kegiatan formal apapun di lembaganya, membuat kegiatan di luar
tugas pokok untuk mendapat honor yang secara formal sah tetapi kurang patut, gemar pada protokoler secara berlebihan, dan perilaku-perilaku sejenis lainnya.24 Dari jenis korupsi inilah kolusi dan nepotisme muncul dan kemudian segera memproduksi perilaku korupsi yang bersifat konvensional. Untuk korupsi konvensional, sudah tidak terhitung berapa banyak jumlah pejabat/penyelenggara negara yang berhasil dijatuhi hukuman. Namun, bagaimana dengan orang yang terbukti melakukan korupsi nonkonvensional? Sampai hari ini pelaku-pelaku korupsi non-konvensional masih melenggang bebas. Padahal, jika dicermati, korupsi nonkonvensional amat dekat dengan korupsi konvensional. Orang yang gemar melakukan korupsi non-konvensional cenderung mudah untuk melakukan korupsi konvensional manakala ada keinginan (willingness) dan kesempatan (opportunity) melakukannya. Jika dicermati lebih dalam, kolusi dan nepotisme pula yang sesungguhnya membuat tindakan-tindakan korupsi berlangsung sistematis dan rapi. Dalam hal ini, penyempitan makna KKN menjadi hanya korupsi sebagaimana UU No. 31/1999 turut pula berkontribusi 'menidurkan' UU No. 28/1999.
3.
Tanpa Acuan Teknis Pelaksanaan
Menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 28/1999, “kolusi” diberi arti “permufakatan secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara”. Dari definisi tersebut, sekurang-kurangnya dapat dilacak 5 (lima) unsur kolusi, yaitu: a.
adanya permufakatan atau kerja sama, mengingat perbuatan kolusi tidak dapat dilakukan sendirian, melainkan oleh 2 (dua) orang atau lebih melalui suatu permufakatan atau kerja sama di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.;
b.
secara melawan hukum yang mencakup perbuatan melawan hukum, baik dalam arti formil maupun dalam arti materiil. Artinya, perbuatan tersebut tidak hanya yang sebatas yang telah tegas diatur dalam peraturan
22
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 135. Ibid, hlm.136. 24 Moh. Mahfud MD, Pemberantasan Mafia Peradilan:Mendiagnosa Akar Masalah, Menemukan Solusi Terarah, Keynote Speech pada Debat Publik dalam Rangka 10 Tahun Komisi Hukum Nasional (KHN), yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), Kamis, 18 Februari 2010 di Hotel Millenium, Jakarta. 23
177
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 171 - 182
c.
perundang-undangan, melainkan juga perbuatan yang dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma sosial kehidupan dalam masyarakat;
'ditidurkan'. Padahal, aturan implementasi dan sarana pelaksanaan, merupakan salah satu prasyarat bagi sebuah UU untuk dikatakan baik.
dilakukan oleh penyelenggara negara yaitu Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelengaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.
d.
melibatkan pihak lain yang meliputi keluarga, kroni, dan para pengusaha;
e.
adanya kerugian. Unsur ini menunjukkan bahwa kolusi termasuk ke dalam kategori delik materiil, artinya kolusi tidak cukup hanya dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, namun juga harus menimbulkan suatu akibat, yaitu berupa kerugian, baik kepada orang lain, masyarakat, dan/atau negara, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
Sementara, menurut UU No. 28/1999, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagaimana halnya kolusi, berdasarkan definisi tersebut, sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) unsur dalam konsep nepotisme, yaitu: (1) perbuatan penyelenggara negara, (2) secara melawan hukum, (3) menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ketentuan-ketentuan tersebut sudah sangat jelas. Apa yang dimaksud kolusi sudah sedemikian tegas. Demikian juga, apa yang dimaksud nepotisme sangatlah jelas. Bahkan, terhadap pelaku yang terbukti melakukan kolusi dan nepotisme, diancam sanksi hukuman pidana yang juga tegas dan berat. Namun, ketegasan demikian menjadi kurang berarti. Sebab, baik kolusi maupun nepotisme pada dasarnya sangat sukar dicari norma hukum pidananya.25 Tidak ada instrumen atau acuan teknis pelaksanaan untuk mengawal penegakan ketentuan-ketentuan tersebut. Menurut Penulis, ketiadaan instrumen atau acuan teknis pelaksanaan telah membuat UU No. 28/1999
Nepotisme Sulit Diberantas
Per definisi, kolusi dan nepotisme sama-sama merusak dan berbahaya. Namun sebenarnya, jika dilihat dari tendensi dan kelanggengan ikatannya, antara kolusi dan nepotisme sedikit agak berbeda. Dalam kolusi, tendensinya terbatas asal saling menguntungkan. Jangka waktu lamanya berkolusi sangat bergantung pada relasi yang dibangun berdasarkan keuntungan masingmasing pihak. Artinya, jika antara pihak-pihak tidak lagi saling menguntungkan maka ikatan kolusi dapat dihentikan kapan pun atau hilang secara alamiah. Berbeda dengan nepotisme, tendensinya tidak lagi cukup saling menguntungkan melainkan umumnya didasari oleh naluri biologi untuk lebih memilih saudara atau kroni-kroninya untuk suatu posisi atau pekerjaan tertentu, padahal pada saat yang sama, tersedia banyak pilihan orang dengan kapasitas yang serupa, bahkan lebih bagus. Karena didasari oleh naluri biologi maka ikatan kepentingan dalam nepotisme cenderung lebih langgeng ketimbang dalam kolusi. Jadi, jawaban kenapa UU No. 28/1999 tidak efektif berlaku, antara lain karena (1) praktik nepotisme tidak gampang dideteksi dibandingkan dengan tindakan korupsi. Tudingan seseorang melakukan nepotisme relatif mudah dijawab dengan alasan kompetensi; (2) tendensi naluri biologi membuat nepotisme hampir mustahil diberantas. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara. Dalam zaman apapun, naluri 'menolong' famili atau kerabat dekat terutama yang minus kompetensi, akan selalu eksis, terlebih lagi dalam iklim budaya bangsa dengan kekerabatan yang sangat kuat seperti Indonesia. Karena kedua hal tersebut, kolusi semakin massif, demikian juga nepotisme terus saja 'membudaya' di tengah-tengah suara lantang mengenai pentingnya profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Di tengah kondisi demikian, UU No. 28/1999 terus saja “ditidurkan” oleh addresat UU, yakni para penyelenggara negara.
25 Dani Krisnawati, Eddy O.S. Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto, dan Supriyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena: Ilmu dan Amal, Jakarta, 2006, hlm. 36.
178
Fenomena Hukum Yang 'ditidurkan' Dalam .....(Fajar Laksono Soeroso)
Keempat hal tersebut menunjukkan bahwa di satu sisi, UU No. 28/1999 lemah secara substansi. Sementara di sisi lain, kelemahan itu direspon dengan perilaku hukum addresat UU untuk 'menidurkan' UU No. 28/1999. Tampak jelas adanya kelindan hukum dengan manusia, terutama dari addresat UU yaitu Penyelenggara Negara, yang melahirkan perilaku hukum atau respon serupa terhadap UU No. 28/1999 yakni sama-sama membuat UU tersebut tidak efektif demi menghindari kerugian akibat keberlakuannya. Menurut penulis, fenomena “hukum yang ditidurkan”, dalam hal ini UU No. 28/1999, memberikan sumbangsih signifikan terhadap kegagalan upaya pemberantasan KKN. Kenyataan membuktikan, kolusi dan nepotisme terus terjadi karena hukum yang ada dipertahankan dalam ketidakberdayaannya. Pada gilirannya, kolusi dan nepotisme akan memproduksi perilaku Penyelenggara Negara koruptif dalam artinya yang stipulatif.
B.3. Politik Hukum terhadap UU No. 28/1999 Oleh karena UU No. 28/1999 terbukti tidak pernah efektif diberlakukan, maka hal tersebut tidak boleh dibiarkan. Proses legislasi terkait dengan UU No. 28/1999 harus segera dipikirkan. Jika problemnya sangat jelas yakni terletak pada lemahnya kekuatan 'internal' UU No. 28/1999, hal yang perlu dilakukan tentulah melakukan revisi untuk menyempurnakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut. Dalam merevisi UU tersebut, perlu dicermati, pertama, UU tersebut haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai UU yang baik. Menurut Erman Radjagukguk, undang-undang yang baik merupakan undang-undang yang memenuhi unsur-unsur; (a). norma harus sesuai dengan perasaan hukum masyarakat; (b). isinya merupakan pesan yang dapat dimengerti masyarakat; (c). adanya aturan implementasi; (d). harus ada sarana pelaksanaannya; dan (e). harus sesuai/sinkron dengan undang-undang yang lain.26 Kedua, UU hasil revisi sejak awal harus antisipatif terhadap sindrom statutory dormancy. Oleh karenanya, dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis harus benar-benar diperhatikan. Ketiga, UU harus pula dapat 'memaksa' Penyelenggara Negara untuk membuktikan dan menjamin dirinya benar-benar 'bersih', bukan hanya sekedar bersih dari korupsi (konvensional), saja tetapi juga harus bersih dari 26
segala bentuk kolusi dan nepotisme atau korupsi yang bersifat non-konvensional. Jika ketiga hal tersebut sudah dapat dipenuhi, baru kemudian bicara soal desain substansi. Terkait dengan substansi, dalam hubungannya dengan hilangnya 'ruh' UU No. 28 Tahun 1999 karena dilucutinya kewenangan KPKPN misalnya, penulis berpendapat bahwa peleburan ke KPK sejatinya justru memberi 'angin' bagi Penyelenggara Negara untuk menjadi pelaku KKN. Menurut Penulis, justru keberadaan lembaga seperti KPKPN inilah yang membuat Penyelenggara Negara berpikir ulang untuk melakukan tindakan KKN. Sebab, KPKPN tidak memerlukan dasar hukum tindak pidana korupsi terlebih dahulu untuk melacak kekayaan pejabat atau penyelenggara negara. Terlebih lagi, dalam perkembangannya sampai saat ini, peleburan KPKPN ke tubuh KPK juga belum dapat dikatakan efektif karena gerak KPK cenderung dibatasi, yakni harus dengan adanya tindak pidana terlebih dulu. Oleh karena itu, ada baiknya, dalam substansi UU yang hendak dihadirkan nanti, fungsi KPKPN dihidupkan kembali. Akan sangat baik pula jika fungsi KPKPN dikeluarkan dari KPK, karena kedua lembaga tersebut memiliki fungsi berbeda, yang dapat berdiri sendiri dan saling melengkapi satu sama lain. KPKPN berperan dalam melakukan fungsi pencegahan melalui pencatatan dan pengawasan sebelum ada indikasi tindak pidana. Sementara, KPK memiliki fungsi represif setelah indikasi tindak pidana ditemukan. KPKPN pun hendaknya memiliki kewenangan melakukan penyitaan sementara jika dalam pencatatan kekayaan tidak sesuai dengan profil pejabat atau penyelenggara negara. Apabila pejabat atau Penyelenggara Negara tersebut dapat mempertanggungjawabkan dan membuktikan kekayaan tersebut, maka aset atau harta yang disita dikembalikan. Akan tetapi, jika pejabat atau Penyelenggara Negara tidak dapat membuktikan dan mempertanggung-jawabkannya, aset atau harta tersebut dapat langsung dirampas untuk negara. Untuk mendukung kewenangan KPKPN yang demikian, misalnya perlu dimasukkan ketentuan terkait hal tersebut ke dalam RUU tentang Perampasan Aset. Bahkan jika perlu, KPKPN dapat diperluas kewenangannya hingga dapat memeriksa aset partai politik. Manakala partai politik tidak
Erman Radjagukguk, Hukum adalah Keadilan, Republika, 19 November 2013.
179
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 171 - 182
dapat mempertanggungjawabkan dengan tepat perolehan aset dan hartanya, maka dapat dilakukan penyitaan, kemudian dilanjutkan dengan perampasan. Jika hal tersebut dapat diwujudkan, pemberantasan KKN dapat diharapkan akan jauh lebih efektif.
korupsi. Kenyataan membuktikan, kolusi dan nepotisme terus terjadi karena 'ketidakberdayaan' UU No. 28/1999 tersebut dipertahankan. Pada gilirannya, kolusi dan nepotisme akan memproduksi perilaku Penyelenggara Negara koruptif dalam artinya yang stipulatif.
Seiring dengan hal tersebut, sudah seharusnya KPK diberi tanggungjawab, kewajiban, dan peran untuk memerangi kolusi dan nepotisme ke level minimum, seperti halnya selama ini dilakukan KPK dalam menekan korupsi. Sejalan dengan itu, kontrol publik terhadap lembaga-lembaga negara harus terus dijaga intensitas dan kemurniannya. Publik, terutama LSM-LSM anti korupsi, jangan lagi mudah dikecoh untuk hanya concern pada korupsikorupsi konvensional saja, karena sangat mungkin kolusi dan nepotisme terjadi demikian rapi di lembaga-lembaga negara yang selama ini mendapat sanjungan publik karena dipandang sangat 'bersih'. Publik harus peduli serta mengawasi sekaligus berani menegur jika ada Penyelenggara Negara terindikasi kolusi dan nepotisme, sekecil apapun indikasi tersebut. Jangan sampai nanti publik tersentak hebat karena pada suatu hari nanti justru di lembaga-lembaga yang dipandang bersih tersebut ditemukan timbunan praktik kolusi dan nepotisme yang parah.
Terdapat 4 (empat) fakta yang membuat UU No. 28/1999 “ditidurkan”, yaitu: (1) UU No. 28/1999 kehilangan 'ruh'; (2) 'penyempitan' KKN menjadi hanya korupsi belaka; (3) tidak memiliki acuan teknis pelaksanaan; dan (4) nepotisme hampir mustahil diberantas. Fakta tersebut menunjukkan 2 (dua) hal, (a) UU No. 28/1999 lemah secara substansi, dan (b) kelemahan tersebut direspon dengan perilaku hukum untuk 'menidurkan' UU No. 28/1999. Kelemahan UU No. 28/1999 justru dipelihara oleh addresat putusan karena menguntungkan kepentingannya. Dileburnya KPKPN dalam UU No. 28/1999 ke KPK merupakan berkah terselubung bagi Penyelenggara. Sebab, justru KPKPN ini yang dikhawatirkan, karena tindakannya tidak memerlukan dasar hukum tindak pidana korupsi terlebih dahulu untuk melacak kekayaan pejabat atau penyelenggara negara.
C.
Penutup
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan kegagalan upaya pemberantasan KKN di Indonesia yaitu karena bangsa ini terlampau fokus pada pemberantasan korupsi. Jika ditarik ke belakang, salah satu amanat reformasi 1998 ialah melakukan pemberantasan KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, yang harus diberantas bukan hanya korupsi, tetapi juga kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, memfokuskan energi hanya pada pemberantasan korupsi dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak konsisten terhadap amanat reformasi. UU No. 28/1999 dibuat dalam rangka pemberantasan KKN, namun pada faktanya tidak dapat secara efektif diberlakukan dalam pemberantasan KKN. Dengan kata lain, UU No. 28/1999 telah menjadi statutory dormancy atau “hukum ditidurkan”. Fenomena UU No. 28/1999 yang 'ditidurkan' di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi memberikan kontribusi signifikan terhadap kegagalan upaya pemberantasan
180
UU No. 28/1999 tidak boleh dibiarkan 'ditidurkan'. Jika problemnya jelas, yakni terletak pada kelemahan UU No. 28/1999, politik hukumnya adalah melakukan penyempurnakan terhadap UU tersebut melalui revisi UU No. 28/1999. UU hasil revisi tersebut haruslah memenuhi, (1) unsur-unsur sebagai UU yang baik. (2) antisipatif terhadap sindrom statutory dormancy, dan (c) UU harus dapat digunakan untuk 'memaksa' Penyelenggara Negara membuktikan dan menjamin dirinya benar-benar 'bersih' dari KKN.
Fenomena Hukum Yang 'ditidurkan' Dalam .....(Fajar Laksono Soeroso)
Daftar Pustaka
Ali, Achmad, 2000. Donald Black: Karya dan Kritikan Terhadapnya (Dilengkapi Komentar Awal sebagai Prolog dan Komentar Penutup sebagai Kesimpulan, Makassar. _________, 2012. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Bandung. Alatas, S.H., 1987. Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES. Alloott, Antony. 1981. The Effectiveness of Law, dalam Valparaiso University Law Review, Vol. 15, Winter. Black, Donald, 1976. The Behavior of Law, Academic Press, London. Dani Krisnawati, Eddy O.S. Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto, dan Supriyadi, 2006. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena: Ilmu dan Amal, Jakarta. Jhonson BS Rajagukguk dalam tulisan berjudul Reformasi Mentalitas Budaya Politik Menuju Pemberantasan Korupsi, di http:// www.hariansib.com/date15/rubrik1.htm. Kleden, Ignas, 2103. Nepotisme, Kroniisme, dan Dinasti, Kompas, 31 Oktober 2013. Mahfud MD, Moh, 2006. Hukum Tak Kunjung Tegak, Citra Aditya Bakti, Bandung.
______________, 2010. Pemberantasan Mafia Peradilan:Mendiagnosa Akar Masalah, Menemukan Solusi Terarah, Keynote Speech pada Debat Publik dalam Rangka 10 Tahun Komisi Hukum Nasional (KHN), yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), Kamis, 18 Februari 2010 di Hotel Millenium, Jakarta. MPR RI, 2010. Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI Jakarta. Rachbini, Didik J, 2010. Kolusi PenguasaPengusaha, Kompas, 16 Februari 2010. Rahardjo, Satjipto, 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. ______________, 2009. Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. ______________, 2006. Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1980. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. CV Rajawali, Jakarta. Wijayanto dan Ridwan Zachrie (ed), 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia, Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudah seharusnya KPK diberi tanggungjawab, kewajiban, dan peran untuk memerangi kolusi dan nepotisme ke level minimum, seperti halnya selama ini dilakukan KPK dalam menekan korupsi. Selain itu, kontrol publik terhadap lembaga-lembaga negara harus terus dijaga intensitas dan kemurniannya. Publik, terutama melalui LSM-LSM anti korupsi, jangan lagi hanya concern pada korupsi-korupsi konvensional saja, karena sangat mungkin kolusi dan nepotisme terjadi demikian rapi di lembaga-lembaga negara yang selama ini mendapat sanjungan publik karena dipandang sangat 'bersih'. Publik harus lebih peduli untuk ikut mengawasi sekaligus menegur Penyelenggara Negara atau lembaga-lembaga negara jika terdapat indikasi tindak kolusi dan nepotisme, sekecil apapun indikasi tersebut.
181
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 171 - 182
PERAN POLITIK PEMBAHARUAN HUKUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PERSONIL TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) (THE ROLE OF LEGAL REFORM POLITICS IN HANDLING MONEY LAUNDERING CRIME COMMITED BY INDONESIAN NATIONAL ARMY PERSONNEL) Muhammad Fadli Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan Jl. Sultan Alauddin No. 102 Makassar Indonesia Telp. (0411) 854731 Fax. 0411871160 Email:
[email protected] (Naskah diterima 30/04/2014, direvisi 16/06/2014, disetujui 02/07/2014) Abstrak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) tidak memasukkan perangkat hukum militer seperti, Atasan yang berhak menghukum (Ankum), Polisi Militer, ataupun Oditur sebagai penyidik tindak pidana asal. Hal ini menyebabkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak mempunyai dasar hukum dalam meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan terkait transaksi keuangan mencurigakan (TKM) yang berindikasi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh personil Tentara Nasional Indonesia (TNI). Yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah penyidikan laporan hasil analisis atau pemeriksaan PPATK terkait dugaan pencucian uang personil TNI? Personil TNI tunduk pada peradilan militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) sehingga proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dilaksanakan dalam hukum acara peradilan militer. Meskipun dalam UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia telah mengatur bahwa personil tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, akan tetapi belum ada revisi terhadap Undang-Undang Peradilan Militer. Untuk itu diperlukan peran politik hukum dalam pembaharuan UU TPPU dan UU Peradilan Militer agar dapat terpenuhinya kepastian hukum dan persamaan kedudukan di muka hukum serta selaras dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia sebagaimana pembukaan UUD NRI 1945. Kata Kunci: Politik Hukum, Pembaharuan, Pencucian Uang, TNI, PPATK, Hasil Analisis.
Abstract Law Number 8 of 2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime does not include legal tools such as military act, eg superior gives punishment to subordination (ANKUM), Indonesian Military Police (PM), and Military Oditur, also known as Military Prosecutor as an investigator of predicate crime. This causes Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK), has no legal basis in forwarding the results of the analysis or examination related Suspicious Financial Transactions (TKM) with indications of money laundering committed by personnel of Indonesian National Army (TNI). The issue of this subject is how the PPATK investigation on the results of the analysis and examination report of the alleged money laundering that committed by personnel of TNI? Military personnel are subject to military justice which provided in Law Number 31 of 1997 on Military Justice (Military Justice Act) so that the procedure of inquiry, investigation, and prosecution are based on military justice procedure. Despite the Law Number 34 of 2004 on Indonesian National Army (TNI) already regulates that military personnel are subject to the general jurisdiction in violation of the general criminal law. However, until today there is no revision of the Military Justice Act. Because of that, the role of political of law in order to reform the Prevention and Eradication of Money Laundering Act and the Military Justice Act to fulfill the rule of law and equality before the law and be consistent with the establishment of the state of Indonesia as written in the preamble of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 (UUD Republik Indonesia 1945) is required. Keywords: Political of law, reformation, money laundry, Indonesian Army Force (TNI), Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK), analysis result.
182
183
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 183 - 194
A.
Pendahuluan
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). UU TPPU mengatur mengenai transaksi keuangan yang mencurigakan dengan sejumlah uang yang dinilai tak wajar atau dikenal dengan transaksi keuangan mencurigakan (TKM). TKM merupakan salah satu objek analisis dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan pihak pelapor kepada PPATK.1 PPATK merupakan lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Peran PPATK sangat penting sebagai poros dalam mekanisme komunikasi dan koordinasi antar instansi atau lembaga yang terlibat dalam upaya menegakkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Kriminalitas ganda bermakna adanya dua kejahatan pidana yang masing-masing sebagai perbuatan tersendiri yang dalam terminologi hukum dikenal sebagai concursus realis yang terdiri dari kejahatan asal dan tindak pidana pencucian uang (money laundering).2 Yenti Garnasih mendefinisikan, “Pencucian uang merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan seperti, korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan, dan kejahatan serius lainnya, sehingga kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.”3 Menurut Sarah N Welling pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya 1
hasil dari obat bius, korupsi, penggelapan pajak, judi, penyeludupan, dan lain-lain yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan dengan aman.4 Tujuan dan maksud dari money laundering menikmati manfaat yang diperoleh dari uang kejahatan untuk menyulitkan petugas dalam penuntutan, dan selanjutnya menginvestasikan kembali untuk kegiatan kriminal di masa yang akan datang atau untuk kegiatan usaha yang sah dalam jumlah uang besar supaya diserap peredaran investasi di sektor perbankan atau perusahaan bisnis lainnya.5 PPATK dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi dapat meneruskan laporan hasil analisis atau pemeriksaan laporan TKM kepada penyidik.6 Laporan hasil analisis atau pemeriksaan PPATK merupakan informasi penting yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh penegak hukum atau penyidik tindak pidana asal dalam proses penyelidikan dan penyidikan guna lebih memperkuat dugaan tindak pidana asal serta tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan. Hasil analisis PPATK yang disampaikan kepada pihak penyidik adalah berupa informasi intelijen keuangan yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti suatu dugaan tindak pidana.7 Transaksi keuangan mencurigakan dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 UU TPPU, yaitu: 1.
Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
2.
Transaksi Keuangan oleh Pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini;
Lihat Pasal 17 Undang-Undang 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2
Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Visimedia, Jakarta, hlm. 54. 3 Yenti Garnasih, Penanganan Kejahatan Aliran Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian Uang, Makalah disampaikan Pada Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin Universitas Hasanuddin Makassar, pada tanggal 19 Maret 2013, hlm. 7.
Peran Politik Pembaharuan Hukum Dalam.....(Muhammad Fadli)
3.
Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
4.
Transaksi Keuangan yang diminta PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Pada dasarnya, transaksi keuangan mencurigakan diawali dengan transaksi yang memiliki karakteristik, sebagai berikut:8 1). Tidak memiliki tujuan ekonomi dan bisnis yang jelas; 2). Menggunakan uang tunai dalam jumlah relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran; atau 3). Aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran. Salah satu TKM yang ditemukan oleh PPATK adalah TKM personil TNI. Akan tetapi penerusan laporan hasil analisis terkait TKM personil TNI kepada penyidik tindak pidana asal menemui kendala. Kepala PPATK M. Yusuf menyatakan bahwa: “laporan hasil analisis (LHA) PPATK terhadap rekening perwira TNI ini tidak dapat diperlakukan sama dengan temuan serupa di kepolisian. LHA tentang adanya transaksi tak wajar milik anggota polisi dapat diteruskan ke penegak hukum untuk diselidiki. Adapun hasil analisis transaksi tak wajar pada rekening milik anggota TNI jalan di tempat alias mandek karena tak ada satu pun dari institusi penegak hukum yang dapat menyelidiki ada atau tidaknya tindak pidana dalam kasus itu. Hal ini menjadi hambatan karena ada celah hukum, di mana belum ada regulasi yang mengatur instansi mana yang akan menerima penyampaian hasil analisis dari PPATK yang melibatkan anggota TNI”.9 Lebih lanjut menurut M.Yusuf,” hingga kini penyidik yang diatur dalam Undang-undang (UU TPPU) hanya berasal dari enam unsur yaitu KPK, Kejaksaan, Kepolisian, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, dan BNN. Ini menimbulkan perlakukan diskriminatif, karena tidak ada penyidik yang berwenang, dalam hal kalau kami menemukan transaksi mencurigakan di
TNI akan kami laporkan ke mana? Siapa yang akan melakukan penyidikan awal? Kalau yang lain ada, tetapi TNI tidak ada. Ini menggambarkan adanya diskriminasi.” 1 0 Pernyataan ketua PPATK merupakan suatu kondisi bahwa lembaga PPATK dalam melaksanakan tugas, fungsi, ataupun kewenangannya harus berlandaskan peraturan perundang-undangan. Proses penyelidikan dan penyidikan mengenai laporan hasil analisis PPATK terkait TKM personil TNI merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme maka untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kepastian hukum atau ketertiban hukum serta perlakuan yang sama di muka hukum guna menjunjung tinggi keadilan. Konsekuensi sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi kepastian hukum dan persamaan di muka hukum (asas equality before the law). Asas kepastian hukum yang merupakan asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.11 Selain itu Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Indonesia harus dapat mengadopsi Pasal 14 ICCPR yang menganut prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan (administration of justice), begitupula dalam Pasal 26 ICCPR yang memberi jaminan kepada semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.12 UU TPPU tidak memasukkan penyidik dalam peradilan militer sebagai penyidik tindak pidana asal. Di lain pihak, personil TNI atau anggota TNI
4
8 Lihat Penjelasan Pasal 23 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
5
9 Sandro Gatra dan Laksono Hari W, 2012, Rekening Gendut Milik TNI Tak Bisa Diproses (online),http://nasional.kompas.com/ read/2012/02/20/18533186/Rekening.Gendut.Milik.TNI.Tak.Bisa.Diproses, (diakses tanggal 23 April 2014).
Yenti Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1. Bambang Purnomo, 2011, Money Laudering Persepsi Hukum Sosial-Ekonomi Beraspek Pidana. Memahami Hukum: Dari Konstruksi Sampai Implementasi (Kumpulan Tulisan dalam Peringatan Ulang tahun yang ke-40 Prof.Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H. Editor: Prof Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. dan Ninuk Triyanti, S.H., M.H. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 190.
10 Baiquni, 2013, PPATK Bingung ke mana Laporkan Transaksi Keuangan TNI (online), http://www.merdeka.com/peristiwa/ppatkbingung-ke-mana-laporkan-transaksi-keuangan-tni.html, (diakses tanggal 24 April 2014).
6 Lihat Pasal 44 Ayat (1) huruf l Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
11 RGS & MITRA Advokat dan Konsultan Hukum, 2009, Asas Kepastian Hukum (online), http://rgs-istilah-hukum.blogspot.com/ 2009/09/asas-kepastian-hukum.html, (diakses tanggal 24 April 2014).
7 Ni Komang Wiska Ati Sukariyani, 2010, Peranan Hasil Analisis Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Dalam Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131167-T%2027436-Peranan%20hasil-Metodologi.pdf, diakses pada 23 April 2014, hlm. 58.
12 Inosentius Samsul, Urgensi Reformasi Peradilan Militer, Jurnal Info Singkat Vol. V, No. 18/II/P3DI/September/2013, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI (online) http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/ files/info_singkat/Info%20Singkat-V-18-II-P3DI-September-2013-6.pdf, (diakses tanggal 24 April 2014), hlm. 2-3.
184
185
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 183 - 194
masih tunduk pada yustisiabel peradilan militer sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer). Meskipun dalam Tap MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Tap MPR No VII/MPR/2000) dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah mengatur bahwa personil tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut akan dibahas mengenai bagaimanakah peran politik pembaharuan hukum dalam penanganan tindak pidana pencucian uang personil TNI?
B.
Pembahasan
B.1. Teori Perundang-undangan Perundang-undangan berkaitan dengan legislasi yang berasal berasal dari Bahasa Inggris yaitu, legislation yang berarti 1) perundangundangan, 2) pembuatan undang-undang. Sedangkan kata legislation berasal dari kata kerja to legislate yang berarti mengatur atau membuat undang-undang.13 Teori perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertianpengertian dan bersifat kognitif sedangkan ilmu perundang-undangan berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan, dan bersifat normatif (handlungsorientiert).14 Pasal 1 Angka 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) memberikan pengertian peraturan perundangundangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundangundangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbindend voorschrift) disebut juga dengan istilah undang-undang dalam material (wet in materiële
zin), yaitu ieder rechtsvoorschrift van de overhead met algemeen strekking, (semua hukum yang tertulis dari pemerintah yang mengikat umum).15 Pasal 6 UU PPP, materi muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan asas: asas pengayoman, asas kemanusian, asas kebangsaan, asas kekeluargaan, asas kenusantaraan, asas bhinneka tunggal ika, asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, asas ketertiban dan kepastian hukum, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undang tersebut harus memenuhi asas-asas tersebut, termasuk asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 UU PPP maksud asas keadilan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, materi muatan perundangundangan harus pula memenuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan mengamanatkan dalam setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial dalam hal ini termasuk dikotomi antara perlakuan sipil dan militer. Sedangkan asas ketertiban dan kepastian hukum dalam dijelaskan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum sehingga menjamin keteriban hukum dan tidak terjadi ketidakteraturan antara peraturan perundang-undagan yang satu dengan lainnya. Teori jenjang norma hukum Hans Nawiasky (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen) yang merupakan pengembangan teori jenjang norma dari Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre dikemukakan bahwa,16 “sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
Peran Politik Pembaharuan Hukum Dalam.....(Muhammad Fadli)
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.” Adapun jenis dan hierarki atau jenjang peraturan perundangundangan diatur dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU PPP terdiri atas: 1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4). Peraturan Pemerintah; 5) Peraturan Presiden; 6). Peraturan Daerah Provinsi; dan 7). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kekuatan hukum dalam peraturan perundangundangan sesuai dengan hierarki dalam Pasal 7 Ayat (1) tersebut. Peraturan perundang-undangan yang berada di hierarki bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada pada hierarki atau jenjang yang berada diatasnya. Dalam hierarkis peraturan perundang-undangan berlaku asas lex superior derogat legi inferiori dan asas lex specialis derogate legi generali. Menurut asas lex superior derogat legi inferiori apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundag-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hierarkisnya lebih rendah harus disisihkan. Sedangkan menurut asas lex specialis derogate legi generali jika dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain.17
B.2. Teori Politik Hukum Upaya pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidak terlepas dari politik hukum yang ada. Secara etimologis istilah politik hukum berasal dari Bahasa Belanda rechtspolitiek yang merupakan bentukan dati kata recht dan politiek. Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai 17 18
13
tujuan negara. Sehingga politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukumhukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuaannya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945.18 Menurut Padmo Wahjono, politik hukum merupakan kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu. Dengan demikian, politik hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).19 Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Definisi ini mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius constituendum atau hukum yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang.20 Pengertian politik hukum menurut Soedarto yaitu, usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Sartjipto Rahardjo menedefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.21 Sunaryati Hartono mengemukakan faktorfaktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi belaka, akan tetapi ikut ditentuakan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum internasional.22 Upaya pemerintah dalam kebijakan rezim pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia terlihat dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 99. Moh. Mahfud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 1.
Saldi Isra, 2010, Pergeseran fungsi legislasi menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 78.
19
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2011, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 26.
14
20
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13.
Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hlm. 8-9.
15
Op. Cit., Ridwan HR. hlm. 135-136.
16
Maria Farida Indrati S, Op.Cit., hlm. 44.
186
21
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.Cit, hlm. 27-28.
22
Ibid., hlm. 33.
187
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 183 - 194
Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Upaya perubahan dan pergantian undang-undang tersebut dalam rangka memperbaiki peraturan perundang-undangan sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Meskipun UU TPPU saat ini masih memiliki kekurangan, di antaranya tidak dimasukkannya penyidik dalam peradilan militer sebagai penyidik tindak pidana asal. Mengingat personil TNI masih tunduk dalam peradilan militer dalam perkara tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam UU Peradilan militer. Menurut Andi Mattalatta, politik pembaharuan hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan atau tujuan nasional.23 Peran politik hukum tentu sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dengan pembuatan hukum baru ataupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana ditentukan dalam pembukaan UUD NRI 1945. Politik hukum perundang-undangan tetap dalam kerangka implementasi UUD NRI 1945, harus selaras dengan cita cita pembentukan negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945; (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Artinya, cita-cita pembentukan negara atau biasa disebut tujuan negara itu harus dijadikan alas sekaligus arah dalam setiap penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) dan pembahasan dalam penyusunan perundang-undangan dan peraturan lainnya.24 Pelaksanaan politik hukum melalui pembaharuan hukum harus mampu membawa kemajuan, melindungi seluruh tumpah darah, dan mensejahterahkan seluruh warga Negara, khususnya dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu cara adalah dengan melakukan revisi terhadap UU TPPU dan
Peran Politik Pembaharuan Hukum Dalam.....(Muhammad Fadli)
UU Peradilan Militer disesuaikan dengan Tap MPR No VII/MPR/2000 dan UU TNI.
B.3.
dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Menurut Soegiri dkk. memberi definisi, “Angkatan perang itu merupakan suatu kesatuan organisasi, yang baik cara pembentukannya maupun cara pemeliharaannya dilakukan secara khusus dan istimewa. Sebagai akibat dari semua itu, maka dalam kehidupan militer terdapat polapola pikiran dan pola-pola pengertian tersendiri yang sering menyimpang dari pikiran-pikiran serta pengertian-pengertian yang terdapat dalam kehidupan masyarakat umum. Inilah kekhususan-kekhususan dari Angkatan Perang dan Militer.”26
Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Personil TNI
B.3.1.Pengertian Penyidikan Pengertian Penyidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Butir 2 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni dalam Bab I mengenai penjelasan umum, yaitu: “Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.” Pengertian Penyidik ditentukan dalam rumusan Pasal 1 Butir 1 KUHAP), yaitu: “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Tentara Nasional Indonesia tunduk dalam yusitisiabel peradilan militer diatur dalam UU Peradilan Militer. Sedangkan jika personil TNI dan masyarakat yang secara bersama-sama dengan personil TNI melakukan tindak pidana maka diatur dalam Bagian Kelima Acara Pemeriksaan Koneksitas Pasal 198 ayat (1) yaitu, 1).Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.” Sedangkan dalam Pasal 198 ayat (2), dinyatakan bahwa, “Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur, dan Penyidik dalam lingkungan peradilan umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.” Jadi, penyidik militer melakukan penyidikan terhadap personil TNI sedangkan penyidik dalam lingkungan peradilan umum tetap melakukan penyidikan terhadap mereka yang tunduk dalam kewenangan peradilan umum. Sehingga masih ada pemisahan dalam proses penyidikan.
Penyidikan diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana yakni berupa pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya suatu perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik dari berbagai sumber, yaitu dari: laporan, pengaduan,tertangkap tangan, atau diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil penyelidikan. 25
B.3.2. Penyidikan dalam UU Peradilan Militer UU TNI memberi pengertian dalam konsideran menimbang huruf (c) bahwa Tentara Nasional Indonesia merupakan alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang
Hukum Acara Pidana Militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) tidak membedakan pengertian Penyelidikan dan Penyidikan. Tidak ada pembedaan pengertian tersebut karena Hukum Acara Pidana Militer merupakan Hukum Acara Pidana Khusus. Ketentuan mengenai kewenangan penyelidikan dalam hukum acara pidana umum yang dimiliki oleh polisi negara, di dalam Hukum Acara Pidana Militer kewenangan tersebut dilakukan oleh Atasan yang Berhak Menghukum (ANKUM) melalui Bagian I (Intel) tiap-tiap kesatuan dan Polisi Militer.27 UU Peradilan Militer dalam Pasal 69 ayat (1) mengatur bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah: a). Atasan yang Berhak Menghukum, b). Polisi Militer, c). Oditur Militer. Sedangkan dalam Ayat (2) menyatakan tentang penyidik pembantu yaitu:a). Provos TNI Angkatan Darat, b). Provos TNI Angkatan Laut, c). Provos TNI Angkatan Udara.
B.4 Peran Politik Pembaharuan Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Personil TNI Salah satu asas penting dalam negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi harus berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang, badan atau pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.28 Begitu pula PPATK atau institusi TNI dalam menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya harus berlandaskan pada asas kepastian hukum, termasuk kewenangan PPATK dalam meneruskan laporan hasil analisis atau pemeriksaan TKM yang terindikasi tindak pidana pencucian uang. PPATK berwenang untuk meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik sebagaimana Pasal 44 ayat (1) huruf e dan l UU TPPU. Selain itu institusi TNI memerlukan landasan hukum untuk bertindak sebagai penyidik tindak pidana asal guna
23 Andi Mattalatta, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 6 No. 4-Desember 2009, Direktorat Jenderal peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hlm. 571.
26
Jimly Asshiddiqie, 2008, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 170-171.
24
27
Moch. Faisal Salam, 2002, Hukum Acara Peradilan Militer di Indonesia, CVMandar Maju, Bandung, hlm. 25-26.
28
Ni'matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 78.
25
Ibid., hlm. 574-575. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti Bandung, hlm. 60-61.
188
189
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 183 - 194
melanjutkan penyidikan terkait hasil analisis atau pemeriksaan PPATK dan adanya TKM yang terindikasi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh personil TNI. Permasalahan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh personil TNI adalah tidak tercantumnya perangkat hukum peradilan militer seperti, atasan yang berhak menghukum (Ankum), Polisi Militer, dan Oditur dalam UU TPPU. Padahal personil militer saat ini masih tunduk pada yustisiabel Peradilan Militer sebagaimana ditentukan dalam UU Peradilan Militer. Hal ini menyebabkan PPATK tidak mempunyai dasar hukum untuk meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan terkait TKM yang terindikasi tindak pidana pencucian uang. Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3) UU TPPU menyatakan bahwa: “Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.” sedangkan penjelasan Pasal 64 ayat (2) UU TPPU dinyatakan bahwa: “Laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia dan tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya berdasarkan Undang-Undang ini.” Berdasarkan penjelasan pasal tersebut diketahui bahwa hasil analisis atau pemeriksaan terkait PPATK terkait adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lainnya diserahkan hanya kepada penyidik terbatas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia, sedangkan penyidik militer tidak diatur. Kewenangan penyidikan dalam UU TPPU dirumuskan dalam ketentuan Pasal 74, yaitu: “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.” Penjelasan ketentuan Pasal 74 dalam UU TPPU sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan "penyidik tindak pidana asal" adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.” Penjelasan Pasal 74 UU TPPU menyatakan secara limitatif tentang penyidik tindak pidana pencucian uang yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Bea dan Cukai dan Ditjen Pajak yang dalam penjelasannya tidak mencantumkan Polisi Militer atau perangkat hukum militer lainnya sebagai penyidik tindak pidana asal. Tidak dicantumkannya penyidik dalam peradilan militer, seperti, Ankum, Polisi Militer, ataupun Oditur maka sudah sangat jelas bahwa yang dimaksudkan sebagai penyidik tindak pidana asal hanya dibatasi Kepolisian RI, Kejaksaan, KPK, BNN dan Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai.29 Dari ketentuan Pasal 74 UU TPPU tersebut, terutama dalam penjelasannya, tampak tidak memungkinkan ada kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang oleh penyidik Polisi Militer dan ini menjadi suatu permasalahan.30 Di lain pihak, personil militer saat ini masih tunduk pada yustisiabel Peradilan Militer jika melakukan tindak pidana umum sehingga acara pemeriksaannya harus dilakukan secara khusus berdasarkan hukum acara peradilan militer meskipun dalam pelanggaran tindak pidana umum maka perlu dicantumkan penyidik peradilan militer sebagai penyidik tindak pidana asal dalam UU TPPU. UU Peradilan militer saat ini belum disesuaikan dengan Tap MPR No. VII/MPR/2000 dan UU TNI. Tap MPR No. VII/MPR/2000 dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a dijelaskan, “bahwa Personil Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.” Begitupula dalam dalam Pasal 65 ayat (2) UU TNI kembali menjelaskan bahwa: “Personil tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran
Peran Politik Pembaharuan Hukum Dalam.....(Muhammad Fadli)
hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undangundang.” Sudah seharusnya UU Peradilan Militer menyesuaikan dengan apa yang diatur dalam Tap MPR No VII/MPR/2000 dan UU TNI. Maka dari itu diperlukan revisi terhadap UU Peradilan Militer sebagai lex specialis yang merupakan pengaturan yang lebih bersifat khusus sehingga dapat tercipta harmonisasi antara peraturan satu dengan peraturan lainnya. Menurut Andi Mattalatta, dalam negara hukum sistem hukumnya harus tersusun dalam tata norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-norma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal.31 Pentingnya revisi juga harus dilakukan terhadap UU TPPU untuk memperluas ketentuan penyidik tindak pidana asal dengan memasukkan penyidik pada peradilan militer sebagai penyidik tindak pidana asal. Sebagai negara yang turut meratifikasi ICCPR (Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik atau Kovenan Sipol) sudah seharusnya Indonesia dapat mengakomodasi ketentuan Pasal 14 ataupun yang menganut prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan (administration of justice) ataupun Pasal 26 Kovenan Sipol tentang prinsip persamaan perlindungan oleh hukum (equal protection of law) mempunyai makna bahwa semua orang harus diperlakukan sama di muka hukum dan mendapat perlindungan sama tanpa diskriminasi. Ketentuan Pasal ICCPR 14. Ayat 1 menyatakan bahwa, “semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum...”32 dalam General Comment 13 dinyatakan bahwa “The right to a fair trial and equality before the courts have historically been regarded as fundamental rules of law…”33 yang dapat diartikan bahwa, “hak untuk peradilan yang
adil dan persamaan kedudukan di muka pengadilan secara historis dianggap sebagai aturan hukum.” Adapun Pasal 26 ICCPR, dinyatakan bahwa, “Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain). Dalam buku International Human Rights and Islamic Law dijelaskan bahwa “Article 26 ICCPR goes further to guarantee an equal standing before the law for every individual. Judges and public administrators must thus apply the law without discrimination.”34 Hal ini berarti bahwa Pasal 26 ICCPR mengatur lebih lanjut untuk menjamin kedudukan yang sama di muka hukum bagi setiap individu. Para hakim administrator umum harus menerapkan hukum tanpa adanya diskriminasi. Hal yang juga perlu menjadi perhatian dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah materi muatan dalam pembuatan peraturan perundang-undang tersebut harus memenuhi asas sebagaimana dalam ketentuan Pasal 6 UU PPP termasuk asas keadilan yang mengamanatkan setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, materi muatan perundang-undangan harus pula memenuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial dalam hal ini termasuk tidak diperbolehkan adanya dikotomi antara perlakuan sipil dan militer. Serta memperhatikan asas ketertiban dan kepastian hukum sehingga menjamin ketertiban hukum dan tidak terjadi ketidak teraturan antara peraturan perundangundangan yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini politik hukum sangat berperan penting dalam rangka pembaharuan peraturan perundangundangan terkait. Hal ini berkaitan dengan
31
Andi Mattalatta, Op.Cit, hlm. 579.
32
Pasal 14 Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
29
Yenti Garnasih, 2013, Tindak Pidana Pencucian Uang: Dalam Teori Dan Praktik, Makalah pada Seminar dalam rangka Munas dan Semiar Mahupiki, diselenggrakan Mahupiki Kerjasama Mahupiki dan Universitas Sebelas Maret, Solo 8 sd 10 September 2013 (online).http://www.mahupiki.com/assets/news/attachment/10042014105556_Dr.%20Yenti%20Garnasih,%20S.H.,%20M.H%20TIND AK%20PIDANA%20PENCUCIAN%20UANG%20dr%20yenti.pdf (diakses tanggal 24 April 2014). hlm.7.
33 Sarah Joseph, Jenny Schultz, and Melissa Castan, 2004, The International Covenant on Civil and Political Rights (Cases, Materials, and commentary) Second Edition. Oxford University Press Inc., New York, hlm. 390.
30
34
190
Ibid., hlm.8.
Mashood A. Baderin, 2005, International Human Rights and Islamic Law, Oxford University Press Inc., New York, hlm.163
191
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 183 - 194
kebijakan resmi dari yang dikeluarkan oleh pemerintah atau penyelenggara negara dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dalam rangka mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu serta pelaksanaan cita-cita bangsa atau tujuan nasional sesuai dengan pembukaan UUD NRI 1945. Khususnya dalam revisi UU TPPU dan UU Peradilan Militer.
C.
Penutup
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi kepastian hukum dan persamaan di muka hukum (asas equality before the law), sehingga dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya, PPATK wajib menjunjung tinggi asas kepastian hukum dan persamaan di muka hukum. Selain itu, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan beberapa asas dalam materi muatannya di antaranya, asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta asas ketertiban dan kepastian hukum dalam materi muatannya. Materi muatan dalam UU TPPU maupun UU Peradilan Militer harus menjunjung tinggi asas tersebut agar penegakan hukum terkait dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh personil TNI dapat efektif memenuhi asas persamaan di depan hukum dan rasa keadilan. UU TPPU secara atributif memberikan kewenangan kepada PPATK untuk meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik. Namun masih terdapat kendala bagi PPATK sebagai poros dalam mekanisme komunikasi dan koordinasi antar instansi atau lembaga yang terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut dikarenakan masih terdapat celah hukum dan ketidakharmonisan antara peraturan satu dengan yang lainnya yang menyebabkan laporan hasil analisis atau pemeriksaan PPATK terkait laporan hasil analisis TKM personil TNI tidak dapat diteruskan kepada penyidik yang berwenang menindaklanjuti dengan tidak disebutkannya penyidik dalam institusi peradilan militer sebagai penyidik tindak pidana asal dalam UU TPPU. Pembaharuan UU TPPU sangat diperlukan dalam hal memasukkan penyidik dalam lingkup
192
Peran Politik Pembaharuan Hukum Dalam.....(Muhammad Fadli)
peradilan militer sebagai penyidik tindak pidana asal tindak pidana pencucian uang. Begitupula dengan UU Peradilan Militer saat ini merupakan hal yang sangat penting dalam menyesuaikan terhadap Tap MPR No VII/MPR/2000 dan UU TNI. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi ICCPR sudah seharusnya Indonesia mengadopsi Pasal 14 dan Pasal 26 ICCPR yang menganut prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam administrasi peradilan (administration of justice) jaminan kepada semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Peran politik hukum dalam pembaharuan peraturan perundang-undangan sangat diperlukan hal ini menyangkut kewenangan penyelenggara negara dalam mengeluarkan kebijakan resmi mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama agar sistem hukum tersusun dalam tata norma hukum secara hirarkis dan tidak bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana dalam pembukaan UUD NRI 1945, khususnya dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jahja, Juni Sjafrien. 2012. Melawan Money Laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang). Jakarta: Visimedia. Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Melissa Castan. 2004. The International Covenant on Civil and Political Rights (Cases, Materials, and Commentary) Second Edition. New York, Oxford University Press Inc. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. MD, Moh. Mahfud. 2010. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers. _____________________, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Purnomo, Bambang. 2011. Money Laudering Persepsi Hukum Sosial-Ekonomi Beraspek Pidana. Memahami Hukum: Dari Konstruksi Sampai Implementasi (Kumpulan Tulisan dalam Peringatan Ulang tahun yang ke-40 Prof.Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H. Editor: Prof Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. dan Ninuk Triyanti, S.H., M.H. Jakarta: Rajawali Pers.
Daftar Pustaka
Salam, Moch. Faisal. 2002. Hukum Acara Peradilan Militer di Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju.
Asshiddiqie, Jimly. 2008. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Pers.
Syaukani, Imam, dan A. Ahsin Thohari. 2011. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Buku-Buku
Baderin, Mashood A., 2005. International Human Rights and Islamic Law. New York: Oxford University Press Inc. Garnasih, Yenti. 2003. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering). Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Huda, Ni'matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Indrati S, Maria Farida. 2007. Ilmu PerundangUndangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius. Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Makalah Garnasih, Yenti. Penanganan Kejahatan Aliran Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian Uang, Makalah disampaikan Pada Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin Universitas Hasanuddin Makassar, pada tanggal 19 Maret 2013.
Jurnal Andi Mattalatta, 2009, Politik Hukum PerundangUndangan, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.6 No.4-Desember 2009, Direktorat Jenderal peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI.
Sumber Elektronik Ni Komang Wiska Ati Sukariyani, 2010, Peranan Hasil Analisis Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Dalam Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Tesis, Universitas Indonesia Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi Jakarta, http://www. lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131167T%2027436-Peranan%20hasilMetodologi.pdf, (diakses tanggal 23 April 2014) Sandro Gatra dan Laksono Hari W, 2012, Rekening Gendut Milik TNI Tak Bisa Diproses(online),, (diakses tanggal 23 April 2014).
Baiquni, 2013, PPATK Bingung ke mana Laporkan Transaksi Keuangan TNI (online),http:// www.merdeka.com/peristiwa/ppatkbingung-ke-mana-laporkan-transaksikeuangan-tni.html, (diakses tanggal 24 April 2014). RGS & MITRA Advokat dan Konsultan Hukum, 2009, Asas Kepastian Hukum (online), h t t p : / / r g s - i s t i l a h hukum.blogspot.com/2009/09/asaskepastian-hukum.html, (diakses tanggal 24 April 2014). Inosentius Samsul, Urgensi Reformasi Peradilan Militer (online), Jurnal Info Singkat Vol. V, No. 18/II/P3DI/September/2013, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI (online) http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/i nfo_singkat/Info%20Singkat-V-18-II-P3DISeptember-2013-6.pdf, (diakses tanggal 24 April 2014).
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
193
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 183 - 194
TAP MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
PENERAPAN APLIKASI SISTEM INFORMASI MANAGEMEN KEPEGAWAIAN (SIMPEG) KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM RANGKA IMPLEMENTASI PASAL 127 DAN 128 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA Muhamad Mufid, S.Ag., M.Si., MH Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. H.R. Rasuna Said Kav 6-7 Jakarta Selatan, Indonesia Email:
[email protected] (Naskah diterima 14/03/2014, direvisi 16/06/2014, disetujui 02/07/2014)
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Abstrak Salah satu amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah Sistem Informasi ASN. Pasal 127 ayat (1) menyatakan bahwa untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Sedangkan pada Pasal 128 UU ASN dinyatakan bahwa sistem informasi ASN sekurang-kurangnya memuat sepuluh field data tiap pegawai. Tiga tahun sebelum UU ASN disahkan, Kementerian Hukum dan HAM telah menerapkan Sistem Informasi Manajemen Pegawai (SIMPEG), yang justru memuat lebih banyak field data pegawai yakni lima belas field. Dengan demikian, Kementerian Hukum dan HAM harus mampu mengoptimalkan pemanfaatan SIMPEG guna mewujudkan pengelolaan aparatur dengan basis Sistem Merit, yakni mengedepankan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh aparatur dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif. Muara dari sistem merit tentu saja adalah perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik. Kata Kunci:
Sistem Informasi ASN, Sistem Informasi Manajemen Pegawai, Teknologi Informasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Abstract
One mandate of Law Number 5 Year 2014 concerning Civil Administrative State (ASN) is the establishment of ASN Information Systems. Article 127 paragraph (1) states that to ensure the efficiency, effectiveness, and accuracy of decision making in Management Information Systems, ASN Information Systems is required. While in Article 128 of the Law stated that the ASN information system shall contain at least ten data fields for each employee. Three years before the ASN law was enacted, Ministry of Justice and Human Rights has implemented Employee Management Information System (SIMPEG), which actually contains more data fields each employee; fifteen fields. Ministry of Justice and Human Rights should be able to optimize the utilization of personnel management in order to realize SIMPEG with base Merit System, which emphasizes qualifications, competence, and performance that is owned by the apparatus in the recruitment, appointment, placement, and promotion to the positions held in an open and competitive process. The goal of the merit system of course is the realization of good governance. Keywords:
A.
ASN Information Systems, Employee Management Information System, Information Technology and Human Resource Development.
Pendahuluan
Pasal 127 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan bahwa, untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Tiga tahun sebelum disahkan UU ASN tersebut, Kementerian Hukum dan HAM telah menerapkan sekaligus mengembangkan Sistem Informasi Managemen Kepegawaian (SIMPEG), yang dapat diakses melalui alamat http://simpeg.kemenkumham.go.id. SIMPEG Kementerian Hukum dan HAM
194
sejatinya merupakan suatu sistem yang digunakan untuk pengelolaan data pegawai secara online, sebuah aplikasi komputer yang menyediakan fasilitas pengelolaan data kepegawaian dan mengelola data kepegawaian tersebut menjadi informasi kepegawaian yang dibutuhkan untuk menunjang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masalah kepegawaian. Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), bahwa dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum
195
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 195 - 202
dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, Pegawai ASN harus memiliki profesi dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam rangka menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Sistem Informasi ASN merupakan rangkaian
informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi yang diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi. Dengan demikian penerapan Sistem Informasi ASN paling tidak menekankan tiga tujuan penting yakni holistikasi data dan informasi kepegawaian, kemanfaatan sistem informasi kepegawaian dalam rangka pengambilan keputusan terkait sumber daya manusia, serta pelembagaan nilai-nilai kompetisi sehat melalui pendokumentasian serta pengidentifiasian kompetensi, kualifikasi serta potensi pegawai. Dalam konteks reformasi birokrasi, ketiga aspek merupakan turunan terhadap dua dari delapan area perubahan, yakni tatalaksanan dan sumber daya manusia aparatur. Area perubahan tatalaksana menuju pada terwujudnya sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai prinsip-prinsip good governance. Sedangkan area sumber daya manusia aparatur bertujuan mewujudkan SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.
Penerapan Aplikasi Sistem Informasi.....(Muhamad Mufid, S.Ag., M.Si., MH)
B.
Determinisme Teknologi dalam UU ASN
Paradigma yang dianut dalam UU ASN cenderung determinisme. Dalam ranah ini, determinisme teknologi berasumsi bahwa teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Struktur sosial dibentuk oleh materialitas teknologi. Teknologi diciptakan untuk mengatasi keterbatasan fisik manusia (instrumentalism). Parameter teknologi adalah efektivitas dan efesiensi untuk mencapai tujuan. Karenanya, teknologi merupakan simbol kemajuan peradaban manusia. Teknologi yang kemudian didefinisikan sebagai sistem informasi ASN ditempatkan sebagai salah satu komponen kunci dalam membentuk aparatur negara yang melayani dengan optimal. Namun demikian, determinisme teknologi sejatinya memiliki dilema. Ada premis yang berpotensi bermasalah. Adanya asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear. Padahal teknologi berkembang secara multilinier yang melibatkan begitu banyak aspek yang melingkupi baik pada tataran mikro, messo maupun makro. Lingkup mikro merujuk pada tataran internal dimana teknologi bekerja. Lingkup messo merupakan kondisi sosial pada level lokal-regional yang mempengaruhi teknologi. Sedangkan lingkup makro adalah tataran global yang memberi pengaruh terhadap perkembangan teknologi. Dalam teori teknologi komunikasi dan masyarakat massa misalnya dikatakan bahwa teknologi informasi memiliki sejumlah asumsi untuk membentuk masyarakat. 1 Teknologi informasi memiliki efek yang berbahaya sekaligus menular bagi masyarakat. Untuk meminimalisir efek ini di Eropa pada masa 1920-an, teknologi informasi dikendalikan oleh pemerintah, walaupun ternyata kebijakan ini justru berdampak buruk di German dengan digunakannya teknologi informasi untuk propaganda Nazi. Di Indonesia, tekonologi informasi berperan penting sejak negara ini baru berdiri, hingga kemudian dikontrol oleh Orde Baru. Pada sisi lain, penerapan teknologi ASN memiliki asumsi bahwa aparatur negara harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Ini mengindikasikan bahwa segenap aparatur tidak perlu cukup alasan untuk
Gambar 1. Tampilan halaman utama SIMPEG
196
melakukan perubahan, tapi melulu berdasarkan pertimbangan teknologi. Jika tidak hati-hati, penerapan sistem informasi ASN justru berpeluang membawa pada otoritarianisme teknologi. Teknologi sistem informasi menempatkan sitem informasi sebagai kontrol bagi aparatur negara yang dapat membungkam sikap kritis aparatur negara terhadap perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Titik temu dari dua kutub tersebut tampaknya terletak pada tanggung jawab sosial. Bagaimanapun teknologi sistem informasi diperlukan sebagai katalisator bagi perwujudan ASN yang profesional serta melayani publik, namun pada sisi lain sistem informasi yang diterapkan tidak membungkam daya nalar dan sikap kritis aparatur negara. Diperlukan sensibilitas besar terhadap aspek terakhir ini. Titik temu ini menjadi penting ketika diajukan pertanyaan ontologis apakah teknologi informasi itu netral atau tidak. Pertanyaan tersebut sejatinya sangat esensial karena merupakan pertanyaan filosofis. Menurut Arnold Pacey, ada dua jawaban dari pertanyaan tersebut, yakni “ya” dan “tidak”.2 Jawaban “ya” jika kita melihat teknologi dengan segala prinsip kerjanya. Sedangkan “tidak” jika kita melihat pada manusia di sekitar teknologi. Dengan kata lain, jika kita melihat teknologi informasi sebagai hukum-hukum fisika dan ilmu pengetahuan yang direkayasa berikut perkembangannya sedemikian rupa, maka pada dasarnya kita melihat teknologi informasi sebagai sebuah sebuah sistem yang tertutup. Atau dengan kata lain kita melihat teknologi secara kebendaan. Maka dengan demikian teknologi adalah netral. Sedangkan bila kita melihat teknologi informasi sebagai berikut tataran sosial-politik yang melingkupinya, maka teknologi tidak lagi bebas nilai. Teknologi informasi tidak lagi hanya benda mati, tapi teknologi merupakan sistem terbuka yang sensitif terhadap perubahan struktur messo dan struktur makro yang melingkupinya. Terkait dengan embivalensi teknologi komunikasi, Marshal Mc Luhan,3 pakar komunikasi dari Kanada, menyebut dua kemungkinan pengaruh perkembangan teknologi komunikasi,
1 Baran, Stanley J. dan Davis, Dennis, K., 2009. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future, Wadsworth Cengange Learning, Boston, hlm. 48. 2
Arnold Pacey, 1984. The Culture of Technology. MIT Press, Cambridge, hlm. 3.
3
Lihat Muhamad Mufid, 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Kencana, Jakarta, hlm. 118.
197
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 195 - 202
yakni apa yang Luhan sebut sebagai global village dan global pillage. Global village merujuk pada kondisi dimana teknologi informasi menciptakan manfaat positif dengan mengatasi hambatan jarak dan waktu, sehingga seolah-olah dunia hanyalah sebuah desa, sehingga interkasi dapat terjadi kapan pun dan dimana pun. Aparatur Kementerian Hukum dan HAM yang tersebar hingga penjuru nusantara dapat berinteraksi dimanapun dan kapanpun dengan server pusat. Sedangkan global pillage merupakan situasi dimana teknologi informasi justru menciptakan manfaat negatif, dengan cara menciptakan ketergantungan.4 Aparatur menjadi sangat bergantung pada teknologi, tanpa menyadari bahwa teknologi pada dasarnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Bisa dibayang misalnya ketika infrastruktur sistem informasi mengalami gangguang maka dipastikan proses-proses yang berkaitan dengannya pun mengalami hambatan. Teknologi informasi memang hadir dengan membawa dua sisi. Selain sisi positif, teknologi informasi juga mempunyai implikasi negatif seperti perubahan gaya hidup, tantangan tata kelola, penyesuaian regulasi serta pergeseran kekuatan. Teknologi membawa perubahan gaya hidup, yakni perubahan apa yang dibutuhkan (need) menjadi apa yang diinginkan (want), begitu juga sebaliknya. Sehingga orang tidak lagi sadar bahwa yang ia inginkan sejatinya merupakan kebutuhan, atau apa yang ia butuhkan sejatinya adalah keinginan. Penggunaan teknologi informasi dalam tata kelola sumber daya manusia tidak lagi menjadi suatau “keinginan”, tapi lebih sebagai “kebutuhan”. Perkembangan teknologi informasi juga menuntut seseorang untuk menguasai perkembangan tersebut, sekaligus menguasai update dari teknologi. Hal ini mengakibatkan siapa saja yang tidak mengikuti perkembangan teknologi akan ditinggalkan oleh zaman. Sedangkan untuk terus berhubungan dengan perkembangan teknologi, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian, tata kelola organisasi perlu sedemikian rupa disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Regulator juga dituntut untuk merevisi berbagai aturan yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan teknologi. Padahal sejatinya
Penerapan Aplikasi Sistem Informasi.....(Muhamad Mufid, S.Ag., M.Si., MH)
regulator haruslah memiliki independensi. Namun perkembangan teknologi akan memaksa regulator untuk terus dan menerus menyesuaikan aturan yang berlaku agar sesuai dengan perkembangan teknologi. Inilah yang tercermin dalam Pasal 127 dan Pasal 128 UU ASN, yang berbunyi demikian: Pasal 127 : (1) Untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. (2) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi antarInstansi Pemerintah. (3) Untuk menjamin keterpaduan dan akurasi data dalam Sistem Informasi ASN, setiap Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memutakhirkan data secara berkala dan menyampaikannya kepada BKN. (4) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berbasiskan teknologi informasi yang mudah diaplikasikan, mudah diakses, dan memiliki sistem keamanan yang dipercaya. Pasal 128 : (1) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) memuat seluruh informasi dan data Pegawai ASN. (2) Data Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. data riwayat hidup; b. riwayat pendidikan formal dan non formal; c. riwayat jabatan dan kepangkatan; d. riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan; e. riwayat pengalaman berorganisasi; f.
riwayat gaji;
g. riwayat pendidikan dan latihan; h. daftar penilaian prestasi kerja; i.
surat keputusan; dan
j.
kompetensi.
C.
Sebagai sistem informasi, SIMPEG merupakan sistem yang berisi sistem pengolahan data yang dilengkapi dengan kanal-kanal komunikasi yang digunakan dalam sistem organisasi data. Elemen proses dari sistem informasi antara lain mengumpulkan data (data gathering), mengelola data yang tersimpan dan menyebarkan informasi.5 Jika dibedah, kehadiran sistem informasi seperti SIMPEG dimungkinkan paling tidak karena tiga hal, yakni konvergensi teknologi, jaringan internet, serta digitalisasi. Pertama, konvergensi teknologi adalah penyatuan sejumlah teknologi di bidang informasi sehingga membentuk suatu media komunikasi yang baru. Konvergensi teknologi menyebabkan masyarakat memilik varian teknologi informasi yang lebih banyak, tergantung pada kemampuna dan ketersediaan jaringan yang ada. Kedua, jaringan internet kini sudah masuk desa. Walaupun penetrasinya masih terbatas, namun perkembangannya menunjukkan grafik yang pesat. Sifat internet yang real time dengan audiens yang tak terbatas menjadikannya sebagai garda terdepat pembentukan masyarakat informasi. Penetrasi jaringan internet yang telah mencapai penjuru nusantara merupakan penunjang utama pengembangan SIMPEG. Ketiga, digitalisasi adalah konversi segala data sehingga bisa dibaca oleh komputer. Tren ini merupakan syarat mutlak agar data dapat didistribusikan melalui internet dan jaringan komputer lainnya. Digitalisasi memungkinkan informasi selain lebih cepat tersebar juga bisa disimpan untuk kemudian diakses kembali dengan lebih cepat dan lebih fleksibel, guna kepentingan organisasi dan aparatur. Digitalisasi pada SIMPEG tersaji dalam menu “SIAP” atau Sistem Informasi Administrasi Pegawai dan menu “Dossier” yang berisi arsip pegawai dari mulai pengangkatan CPNS hingga yang bersangkutan pensiun, dalam bentuk digital. Namun demikian, agar sistem informasi selalu andal dan berjalan dengan baik, diperlukan orangorang yang bertugas untuk mengelola dan memelihara sumber daya dan layanan peralatan sistem informasi yang digunakan untuk mendukung proses-proses di dalam organisasi. 5
4
198
Ibid., hlm. 119.
SIMPEG dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
6
Di dalam sistem informasi, manusia berinteraksi dengan manusia, manusia berinteraksi dengan komputer, dan komputer berinteraksi dengan komputer lain. Di dalam sistem informasi, data, informasi dan/atau pengetahuan mengalir dibawa oleh dokumen atau media komunikasi elektronik seperti telepon atau jaringan komputer. Keberadaan sistem informasi diperlukan dalam organisasi untuk mendampingi proses bisnis (business process) dari organisasi. Hal ini tidak terlepas dari konsekuensi sistem informasi yang terdiri atas kombinasi dari teknologi informasi dan aktivitas orang yang menggunakan teknologi itu untuk mendukung operasi dan manajemen. Dalam arti yang sangat luas, istilah sistem informasi yang sering digunakan merujuk kepada interaksi antara orang, proses algoritmik, data, dan teknologi. Dalam pengertian ini, istilah ini digunakan untuk merujuk tidak hanya pada penggunaan organisasi teknologi informasi dan komunikasi, tetapi juga untuk cara di mana orang berinteraksi dengan teknologi ini dalam mendukung proses bisnis. Sistem informasi adalah gabungan yang terorganisasi dari manusia, perangkat lunak, perangkat keras, jaringan komunikasi dan sumber data dalam mengumpulkan, mengubah, dan menyebarkan informasi dalam organisasi.6 SIMPEG sendiri dikembangkan dengan memenuhi beberapa unsur. Pertama, Sistem Informasi Manajemen. Sistem ini merupakan kelengkapan pengelolaan dari proses-proses yang menyediakan informasi untuk pimpinan guna mendukung operasi-operasi dan pembuatan keputusan dalam sebuah organisasi. Pada tataran ini, masukan yang diberikan berupa data yang telah diproses, beberapa data yang asli, model-model pengolahan data. Kemudian data-data tersebut akan diproses. Proses yang terjadi berupa pembuatan laporan-laporan yang ringkas, keputusan-keputusan yang rutin dan jawaban dari query yang diberikan. Kedua, Sistem Pendukung Keputusan. Merupakan peningkatan dari SIM dengan penyediaan prosedur-prosedur khusus dan pemodelan yang unik yang akan membantu pimpinan dalam memperoleh alternative keputusan. Ketiga, Sistem Informasi e-Kepegawaian. Yakni suatu sistem yang dibangun untuk menjawab
Witarto, 2014. Memahami Sistem Informasi, Penerbit Informatika, Bandung, hlm. 19. Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_informasi/. Diakses pada tanggal 12 Juni 2014.
199
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 195 - 202
tantangan pengintegrasian data dan informasi dari proses bisnis di bidang kepegawaian yang berbasis internet. Bila kita bandingkan jumlah field data pegawai antara Sistem Informasi AS sebagaimana diamanatkan UU ASN serta yang ada pada SIMPEG, kita bisa temukan dalam field data pegawai dalam aplikasi SIMPEG lebih banyak dan lebih detail. Dalam Pasal 128 UU ASN dinyatakan bahwa sistem informasi ASN sekurang-kurangnya memuat sepuluh field data tiap pegawai. Adapun SIMPEG justru memuat lebih banyak field data pegawai yakni lima belas field. Untuk lebih jelas kita bisa lihat perbandingan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Perbandingan field data pegawai dalam UU ASN dan SIMPEG NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
UU ASN Data riwayat hidup Riwayat pendidikan formal dan non formal Riwayat jabatan dan kepangkatan Riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan Riwayat pengalaman berorganisasi Riwayat gaji Riwayat pendidikan dan latihan Daftar penilaian prestasi kerja Surat keputusan Kompetensi -
SIMPEG Data riwayat hidup Riwayat pendidikan formal dan non formal Riwayat jabatan dan kepangkatan Riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan Riwayat pengalaman berorganisasi Riwayat gaji Riwayat pendidikan dan latihan Daftar penilaian prestasi kerja Surat keputusan Kompetensi Penugasan Hukuman Cuti Data keluarga Pengalaman kerja dan catatan penugasan
Dari perbandingan pada tabel tersebut terlihat bahwa SIMPEG berupaya memaksimalkan terwujudnya holistikasi data dan informasi kepegawaian. Holistikasi ini menjadi penting dalam rangka pengambilan keputusan terkait sumber daya manusia, serta pelembagaan nilai-nilai kompetisi sehat melalui pendokumentasian serta pengidentifiasian kompetensi, kualifikasi serta potensi pegawai. Dengan holistikasi tersebut, misalnya dalam rapat pimpinan dalam rangka menentukan pengisian jabatan, identifikasi dan tracking pegawai yang diusulkan oleh masing-masing satuan kerja dapat dilakukan melalui SIMPEG. Hal yang sama dapat dilakukan ketika organisasi memerlukan penyegaran melalui rolling pejabat/pegawai. Penempatan pejabat/pegawai tentu harus mempertimbangkan segenap data yang terekam dalam SIMPEG sehingga tujuan dari penyegaran organisasi tidak kontra produktif. Dalam konteks tersebut, SIMPEG berperan dalam berbagai fitur yang ada di dalamnya, terutama fitur SIAP dan DOSSIER. SIAP sendiri
200
kepanjangan dari Sistem informasi Administrasi Pegawai, yang merupakan kumpulan informasi data pegawai Kementerian Hukum dan HAM dari data CPNS hingga data pensiun. Dalam fitur SIAP terdapat subfitur output data seperti daftar riwayat hidup, daftar urut kepangkatan, statistik pegawai, laporan pegawai, dan kenaikan gaji berkala. Modul DOSSIER merupakan arsip digital pegawai, yaitu kumpulan hasil digitalisasi arsip pegawai berupa file PDF. Arsip digital pegawai yang terdapat di SIMPEG antara lain SK CPNS, SK PNS, SK pangkat serta SK jabatan. DOSSIER berperan sebagai back-up arsip pegawai apabila ruang arsip terjadi hal yang tidak diinginkan seperti bencana alam, kebakaran atau hilangnya arsip pegawai. Dengan digitalisasi, arsip pegawai menjadi fleksibel karena bisa diakses sekaligus di cetak kapan saja dan dimana saja. Pada sisi lain, rentang wilayah kerja Kementerian Hukum dan HAM di segela penjuru nusantara hingga perwakilan di luar negeri dapat memanfaatkan arsip digital tersebut tanpa harus melewati rangkaian birokrasi hingga ke pusat. Dengan demikian akan terjadi efesiensi waktu, yakni ketika dibutuhkan maka pegawai cukup mengakses DOSSIER. Selain itu layanan ini dapat mempermudah proses layanan kepegawaian. Misalnya apabila terdapat kekurangan berkas dalam usulan kenaikan pangkat maka dapat bisa langsung dicetak dari DOSSIER tanpa harus menunggu dari pegawai yang bersangkutan.
Penerapan Aplikasi Sistem Informasi.....(Muhamad Mufid, S.Ag., M.Si., MH)
Kantor Wilayah Maluku yang baru-baru ini meraih penghargaan sebagai terbaik pertama dari Menteri Hukum dan HAM RI atas keberhasilan melakukan updating data dan arsip pegawai hingga seratus persen. Apresiasi khusus terhadap Kanwil Maluku ini perlu dikemukakan mengingat wilayah Maluku tentu memiliki ketersediaan dan kestabilan jaringan internet yang tidak sebaik di wilayah Pulau Jawa misalnya. Fenomena ini tentu menunjukkan bahwa sarana dan prasarana saja tidak cukup. Diperlukan komitmen dan perubahan pola pikir yang lebih baik dalam rangka memujudkan pengembangan SDM berbasis teknologi informasi.
Ferment, and Future. Wadsworth Cengange Learning, Boston. Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Kencana, Jakarta. Pacey, Arnold. 1984. The Culture of Technology. MIT Press, Cambridge. Witarto, 2014. Memahami Sistem Informasi, Penerbit Informatika, Bandung.
Website http://dikatara.wordpress.com/2011/11/30/siste m-informasi-sumber-daya-manusia. Diakses pada tanggal 18 Juni 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_informasi/. Diakses pada tanggal 12 Juni 2014.
Daftar Pusataka Buku-buku Baran, Stanley J. dan Davis, Dennis, K. 2009. Mass Communication Theory: Foundations,
http://media.kompasiana.com/buku/2013/11/06 /sistem-informasi-sumber-daya-manusia608298.html. Diakses pada tanggal 18 Juni 2014
D. Penutup Idealisasi penggunaan sistem informasi dalam pendayagunaan aparatur Kementerian Hukum dan HAM pada gilirannya memerlukan komitmen dan perubahan budaya pikir pegawai itu sendiri. Komitmen diperlukan agar kualitas data yang terekam dalam SIMPEG dapat dipertanggungjawabkan sekaligus dapat ditingkatkan. Pada sisi lain, perubahan budaya pikir diperlukan untuk menepis hambatan klasik berupa keterbatasan jaringan internet sebagai alasan untuk tidak memaksimalkan updating data pegawai. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap upaya yang sudah dilakukan kantor wilayah laian, contoh kongkrit dari adanya komitmen dan perubahan budaya pikir dalam melakukan updating data dan arsip pegawai dalam aplikasi SIMPEG telah ditunjukkan oleh
201
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 195 - 202
KEPASTIAN HUKUM SERTIFIKASI HALAL PRODUK PANGAN DI INDONESIA (LEGAL CERTAINTY ON HALAL FOOD PRODUCT CERTIFICATION IN INDONESIA) H. KN. Sofyan Hasan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, Jalan Sriwijaya Negara Bukit Besar, Kampus Palembang Indonesia E-mail:
[email protected] (Naskah diterima 10/04/2014, direvisi 16/06/2014, disetujui 02/07/2014) Abstrak Sertifikat halal merupakan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan sesuai dengan syari'at Islam, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi yang mengkonsumsinya. Namun, regulasi yang ada masih terkesan sektoral, parsial dan inkonsistensi serta tidak sistemik dan yang paling mendasar bahwa sertifikasi halal itu bukan merupakan suatu kewajiban (mandatory) bagi pelaku usaha, tetapi bersifat sukarela (voluntary). Akibatnya sertifikat halal dan label halal belum mempunyai legitimasi hukum yang kuat, sehingga tidak menciptakan jaminan kepastian hukum kehalalan produk pangan. Untuk ini, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang masih tersendat di DPR segera diputuskan menjadi undang-undang dan memberikan otoritas penuh kepada MUI untuk melakukan sertifikasi halal melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa. Sedangkan pemerintah berfungsi sebagai regulator dan pengawas dalam implementasi ketentuan undang-undang yang akan ditetapkan tersebut. Jangan sampai terjadi regulator, pelaksana dan pengawas berada/oleh satu tangan, karena akan menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Kata Kunci: Sertifikat Halal, Majelis Ulama Indonesia, Produk Pangan
Abstract Halal certificate is a written decree (fatwa) of Indonesian Ulama Council (MUI) that clarified the halal food product is in accordance with Islamic law, aims to provide legal certainty to those who consume the food. However, existing regulations still impressed sectoral, partial and inconsistent and not systemic and most fundamental that the halal certification is not an obligation (mandatory) for businesses, but it is voluntary. Consequently halal certification and halal label does not have a strong legal legitimacy, so it does not create legal certainty of halal food products. In consequence, the draft bill of Law on Halal Product Guarantee which is stalled in the House of Representative (DPR), it soon must be decided to become Law, so it may give MUI full authority to put down halal certification through Food, Drugs, and Cosmetics Assessment Institute (LPPOM). While the government serves as a regulator and supervisor in the implementation of the provisions of the law. Do not let regulators, implementers and supervisors in one hand, because it will lead to confusion and legal uncertainty. Keywords: Halal Certificate, the Indonesian Ulama Council (MUI), Food Products
A.
Pendahuluan
Penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa Pangan1 merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pangan harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat (Hadi Setia Tunggal, 2013: 63). Mengkonsumsi produk halal menurut keyakinan agama (Islam)
dan/atau demi kualitas hidup dan kehidupan merupakan hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Mashud, 2012: 1). Ketentuan mengenai perlindungan konsumen ini (sebenarnya) telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV disebutkan bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Lahirnya organisasi konsumen di Indonesia dilatarbelakangi oleh banyaknya permasalahan yang
1 Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan).
202
203
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 203 - 212
memprihatinkan dan merugikan konsumen, sementara posisi konsumen sangat lemah. Berbeda pada masa lampau, pengolahan pangan masih sederhana dan juga komunikasi konsumen pada produsen masih dapat dilaksanakan secara langsung. Namun, pada masa kini, pengolahan pangan sudah sangat kompleks. Produsen menggunakan berbagai bentuk teknologi untuk melakukan produksi.2 Bahan pangan pada umumnya tidak dikonsumsi dalam bentuk seperti bahan mentahnya, tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis pangan lainnya melalui proses produksi yang panjang dan mahal (Tien R. Muchtadi, 2010: 16). Mulai dari pengadaan bahan baku dan bahan tambahan, proses pengolahan, pengemasan, distribusi pengangkutan, dan penjualan. Akibatnya, akses komunikasi konsumen pada produsen menjadi jauh dan untuk mengetahui kehalalan suatu produk pangan menjadi sulit. Ditambah lagi di satu sisi produsen hendak memperoleh laba sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan usaha, di sisi lain konsumen menginginkan produk bermutu dengan harga yang terjangkau. Ada beberapa contoh kasus yang telah sangat menyakiti konsumen muslim di Indonesia, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi produsen dan dunia usaha, yaitu: kasus isu lemak babi (1988), kasus heboh daging celeng di pasaran (2000-2002), kasus heboh yang melanda Indonesia akibat masalah keharaman penyedap masakan Ajinomoto (2001) (Anton Apriyantono dan Nurbowo, 2003: 11), kasus Kratingdaeng, kasus Dendeng Sapi Campur Babi di Jawa Barat dan Jawa Timur (2009), dan kasus Vaksin Meningitis jemaah haji yang mengandung enzim babi (2009) (Thobien AlAsyha, 2003: 13). Menyikapi kasus-kasus tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) dan Komisi Fatwa telah berikhtiar untuk memberikan jaminan produk makanan halal bagi konsumen muslim melalui instrumen sertifikat halal. Sertifikat halal merupakan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari'at Islam bertujuan
untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga dapat menenteramkan batin yang mengkonsumsinya (Depag RI [1], 2003: 1). Dalam pelaksanaannya, LPPOM MUI melakukan pengkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan, maka hasil pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas dari tinjauan syari'ah Islam. Pertemuan antara sains dan syari'ah inilah yang dijadikan dasar penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI. Namun, karena sertifikasi ini masih bersifat sukarela maka (jangan heran kalau) saat ini masih banyak produk yang sudah bersertifikat halal, tetapi belum memiliki label halal, walaupun terdapat sekitar 35,19 persen dari total produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sekitar 90 persen dari jumlah tersebut berasal dari produk pangan (Lukmanul Hakim, 2011: 135) Pemerintah telah merespon pentingnya sertifikasi halal dan pencantuman tanda/label halal pada produk (labelisasi halal) melalui beberapa regulasi, yaitu Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) menggantikan Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996; Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK); Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan, Piagam Kerjasama Depkes, Depag dan MUI tentang Pelaksanaan Pencantuman Label “Halal” pada makanan, serta Kesimpulan Mudzakarah Nasional tentang Alkohol dalam Produk Makanan (Mashudi, 2011: 25). Namun demikian, dilihat dari substansi regulasi yang ada tersebut tampaknya masih sektoral, parsial, tumpang tindih, tidak sistemik dan bahkan inkonsistensi. Selain sifatnya sektoral, parsial dan tidak konsisten, tumpang tindih, dan tidak sistemik, juga terdapat hal yang paling mendasar yakni sertifikasi
2 Seirama dengan kemajuan Iptek, teknologi pangan kini pun mampu menciptakan berbagai produk pangan yang sangat beragam dengan kualitas dan rasa yang istimewa. Hanya saja, terkadang untuk mendapatkannya diperlukan bahan penolong atau bahan tambahan pangan (food additive) yang memiliki sifat khusus. Sering kali bahan-bahan ini diperoleh dari salah satu atau beberapa bagian dari tubuh babi. Secara ekonomi penggunaan bahan babi mampu memberikan banyak keuntungan, karena murah dan mudah didapat. Adapun secara kualitas sampai saat ini bahan dari babi merupakan pilihan terbaik sebagai bahan penolong atau bahan tambahan pangan. Bahanbahan tersebut ketika sudah diolah menjadi produk pangan menjadi sangat sulit untuk dikenali. Hal inilah yang mendorong masyarakat Muslim untuk semakin meningkatkan kewaspadaan mereka agar jangan sampai produk pangan yang mereka konsumsi tercemar oleh unsur babi.
204
Kepastian Hukum Sertifikasi Halal Produk Pangan.....(H. KN. Sofyan Hasan)
halal tersebut bukan merupakan suatu kewajiban (mandatory) bagi pelaku usaha, namun bersifat sukarela (voluntary). MUI meminta agar pencantuman sertifikat halal menjadi suatu kewajiban bagi produsen makanan, bukan hanya upaya sukarela saja. Di samping memang dalam rangka memuaskan pihak konsumen, di lain sisi juga dapat menaikkan mutu produk mereka di pasaran lokal dan internasonal. Dengan memiliki sertifikat dan tanda halal, hal tersebut dapat menjadi standar ukuran kualitas mutu produk makanan bagi produsen (Depag RI [2], 2003: 53). Saat ini persoalan sertifikasi halal menjadi pembahasan di DPR dan media massa. DPR tetap menginginkan agar kewenangan sertifikasi halal berada di tangan LPPOM MUI sebagaimana yang sudah berjalan selama ini (Harian Republika, 5 Maret 2014: 1) Ketua MUI Din Syamsuddin menegaskan bahwa penentuan kehalalan haruslah dikeluarkan melalui fatwa ulama melalui sidang komisi fatwa. Ulama yang diwadahi MUI dengan berbagai ormas di dalammnya hendaknya diberikan otoritas penuh untuk melakukan sertifikasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama ini MUI hanya sebatas memberikan sertifikasi, sedangkan proses labeling produk tetap ada pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Harian Republika, 5 Maret 2014: 9). Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan dalam kajian ini, yaitu apakah sertifikasi dan labelisasi halal sudah memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum produk pangan halal bagi konsumen muslim di Indonesia?
B.
Pembahasan
B.1. Keterkaitan dan Pentingnya Halal dengan Labelisasi Halal
Sertifikasi
Sertifikat halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI Pusat atau Propinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obatobatan dan kosmetika yang diproduksi oleh perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh LPPOM MUI. Pemegang otoritas menerbitkan setifikasi produk halal adalah MUI yang secara teknis ditangani oleh LPPOM. Bagi konsumen, sertifikat halal berfungsi: a) terlindunginya konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-obatan dan kosmetika yang tidak halal; b) secara kejiwaan perasaan hati
dan batin konsumen akan tenang; c) mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram; d) akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Sedangkan bagi produsen, sertifikat halal mempunyai peran sangat penting, yakni: a) sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup muslim; b) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen; c) meningkatkan citra dan daya saing perusahaan; dan d) sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran; e) memberi keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya saing dan omzet produksi dan penjualan. Sertifikasi juga harus menjangkau bahan baku, bahan tambahan ataupun bahan penolong dalam bentuk “bukan kemasan” yang tidak diecerkan untuk bahan produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan produk lainnya yang beredar di masyarakat. Sertifikasi produk halal diberlakukan tidak hanya terhadap produk dalam negeri tetapi juga produk luar negeri. Mengenai produk yang bersertifikat halal dari lembaga sertifikat luar negeri, perlu diperhatikan bahwa tidak semua standar luar negeri atau internasional dapat diterapkan di Indonesia karena di Indonesia batasan halal adalah yang paling ketat dan tidak dapat disimpangi. Misalnya di luar negeri babi yang telah berubah menjadi X dapat menjadi tidak diharamkan lagi, sedangkan di Indonesia babi yang telah mengalami perubahan apapun tetaplah diharamkan. Dalam konteks Indonesia, terdapat sejumlah lembaga yang terlibat yaitu Departemen Agama, Badan POM, dan MUI (Komisi Fatwa MUI, LPPOMMUI), Departemen Pertanian tergabung dalam Komite Halal Indonesia (KHI). Sertifikat halal berlaku dua tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang sama. Setiap pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal terhadap produknya mencantumkan keterangan atau tulisan halal dan nomor sertifikat pada label setiap kemasan produk. Selama masa berlaku sertifikat halal tersebut, perusahaan harus dapat memberikan jaminan bahwa segala perubahan baik dari segi penggunaan bahan, pemasok, maupun tekonologi proses hanya dapat dilakukan dengan sepengetahuan LPPOM MUI yang menerbitkan sertifikat halal. Jaminan tersebut dituangkan dalam suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal
205
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 203 - 212
(SJH). SJH dibuat oleh perusahaan berdasarkan buku panduan yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal, apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal3 dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya. Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Sedangkan labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal. Setiap pelaku usaha yang akan mencantumkan label halal harus memiliki sertifikat halal terlebih dahulu. Tanpa sertifikat halal MUI, izin pencantuman label halal tidak akan diberikan pemerintah. Sampai saat ini, belum ada aturan yang menetapkan bentuk logo halal yang khas sehingga pada umumnya produsen mencetak tulisan halal dalam huruf latin dan/arab dengan bentuk dan warna yang beragam. Akan tetapi beberapa produsen sudah mulai membuat logo halal dengan bentuk logo MUI dengan mencantumkan nomor sertifikat halal yang dimilikinya. Hal ini dirasakan lebih aman bagi konsumen karena masih banyak produk yang beredar di pasaran yang mencantumkan label halal tanpa memiliki sertifikat halal MUI (Jurnal Halal No. 59, 2005: 15) Ada beberapa peraturan bersifat teknis yang mengatur masalah pelabelan halal, antara lain keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 (Nomor 68 Tahun 1985) tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Jadi, jelas bahwa tulisan halal yang dibubuhkan pada label atau penandaan makanan produknya, dianggap oleh hukum bahwa produsen tersebut secara sah telah memenuhi prosedur sertifikasi produk halal dari LPPOM MUI. Namun jika ternyata terbukti sebaliknya, maka produsen dapat dituntut secara hukum karena melakukan pembohongan publik.
Di samping pelaku usaha harus bertanggung jawab atas label halal yang dicantumkan pada produknya, ia juga berkewajiban melapor kepada pihak pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI. Prosedur pelaporan tersebut diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Kesehatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan melakukan pengawasan selanjutnya. Kegiatan sertifikasi halal di Indonesia baru dilakukan sejak didirikan LPPOM MUI pada 1989. Sedangkan ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi yang didasarkan atas hasil sertifikasi halal, baru dikeluarkan tahun 1996 yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/ SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan yang direvisi dengan Kepmenkes RI Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tersebut.4 Upaya menghindarkan dari kesalahfahaman para pihak khususnya konsumen perlu dilakukan, sehingga pelaku usaha perlu melakukan penyesuaian dan sosialisasi produknya bahwa ada jaminan kehalalan terhadap produk yang diedarkan di masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut Kepmenkes RI Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 menyatakan tegas dalam Pasal 17. Berdasarkan keputusan tersebut, izin pencantuman label halal dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI (sekarang menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan/Badan POM) baik kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI. Selain ketentuan di atas, terdapat peraturan yang lebih tinggi yang menaungi atas ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal antara lain UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan terutama Pasal 86 ayat (4) jo Pasal 95, 96, 97 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam ketentuan kedua UU tersebut, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam
3 Sertifikat Halal MUI untuk pertama kali diterbitkan pada tanggal 7 April 1994 untuk produk Unilever Indonesia. Pada saat itulah produk Unilever Indonesia memiliki legitimasi untuk memasang label halal. 4 Produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan “halal” wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pada Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 yang telah direvisi ini disebutkan dan Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 Pasal 8 di atas.
206
Kepastian Hukum Sertifikasi Halal Produk Pangan.....(H. KN. Sofyan Hasan)
memproduksi pangan, melainkan mencakup pula proses pembuatannya. Oleh karena itu, perusahaan yang akan melakukan pelabelan halal secara legal harus melakukan sertifikasi halal. Hal ini untuk menghindari adanya pernyataan halal yang tidak valid. Suatu perusahaan yang membuat pernyataan halal secara tidak valid dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) UUPK, karena termasuk sebagai pelanggaran terhadap Pasal 8 (h) dari UU tersebut. Dengan demikian, proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa ini sudah melalui tahapan kontruksi pikir yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat (dalam hal ini konsumen dan pelaku usaha). Rudolf Stamler mengistilahkan hal tersebut dengan cita hukum (Roeslan Saleh, 1995: 49). Cita hukum tersebut ialah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Cita hukum tersebut tidak lain ialah Pancasila. Selain itu Pancasila telah ditetapkan para pendiri negara Proklamasi ini sebagai norma yang tertinggi dalam kehidupan kenegaraan rakyat Indonesia, sebagai norma dasar negara (Staatsgrundnorm) (Hamid S. Attamimi, 1994: 1-2). Cita hukum berfungsi sebagai “bintang pemandu” bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak mungkin dicapai, namun cita hukum memberi manfaat karena ia yang beralaku, dan kepada cita hukum kita dapat mengarahkan hukum positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan dengan sanksi pemaksa, menuju suatu yang adil. Oleh karena itu, menurut Stammler, keadilan ialah usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Dengan demikian, hukum yang adil ialah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Pendek kata, hukum merupakan sebuah kehendak yuridis manusia. Kehendak itu memicu kesadaran bersama (bukan orang perorangan) suatu masyarakat manusia untuk membentuk peraturan hukum. Kehendak yuridis tersebut, bukan dalam makna psikologis, tetapi makna transendental. Ada komitmen bersama, ada kesepakatan, dan karena itu, ia bersifat objektif
yang melampaui soal batiniah orang perorangan. Ia berada dalam dunia obyektivitasi sebagai patokan obyektif bagi keteraturan hidup (Bernard L. Tanya, 2010: 125).
B.2. Sistem Jaminan Halal Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah suatu sistem yang dibuat dan dilaksanakan oleh perusahaan pemegang sertifikat halal dalam rangka menjamin kesinambungan proses produksi halal Depag: 2003: 42). Sistem ini dibuat sebagai bagian dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan suatu sistem yang berdiri sendiri sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh LPPOM MUI (Jurnal Halal No. 59, 2005: 31). Substansi SJH diuraikan secara tertulis dalam bentuk manual halal, meliputi: a) pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal Policy); b) panduan halal (Halal Guidelines) dengan berlandaskan Standard Operating Procedure; c) sistem manajemen halal (Halal Management System); d) uraian kritis keharaman produk (Haram Critical Control Point); e) sistem audit halal (Internal Halal Audit System). Perusahaan yang telah mensertifikatkan halal untuk produknya dituntut menyiapkan suatu sistem untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara konsisten, yang disebut sebagai sistem jaminan halal (SHJ) (Depag, [4], 2003: 175). Pada dasarnya distributor tidak hanya menyalurkan dan menjual suatu produk tertentu melainkan juga melakukan repacking (pengemasan ulang) ataupun relabeling (pelabelan ulang), maka proses audit harus tetap dilakukan di lokasi produsen asal. Audit yang dilakukan di lokasi pengemasan dan pelabelan ulang saja tidak cukup untuk memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Bagi produk impor, prosedur ini tetap berlaku meskipun produk tersebut telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi negara asal yang diakui MUI (Jurnal Halal No.81, 2010: 13). Audit ke produsen asal tidak perlu dilakukan hanya jika produk yang dikemas dan dilabel ulang telah disertifikasi oleh MUI. Pelaku usaha (Pasal 7 UUPK) wajib memenuhi hak-hak konsumen dalam setiap barang dan/atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan.5
5 Terkait dengan produk halal Pasal 8 ayat (1) huruf h UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
207
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 203 - 212
Pelaku usaha yang hendak mengajukan sertifikat halal produknya, disyaratkan menyiapkan hal-hal sebagai berikut: a) produsen menyiapkan suatu SJH; b) SHJ tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan; c) dalam pelaksanaannya, SJH ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual);6 d) produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin; e) baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran, dari mulai direksi sampai karyawan memahami betul cara memproduksi produk halal dan baik; f) produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah SJH dilakukan sebagaiman mestinya; g) untuk melaksanakan huruf f tersebut, perusahaan harus mengangkat minimum seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal. Selanjutnya, perusahaan mendaftar ke LPPOM MUI, dengan melengkapi persyaratan, seperti: Izin Usaha, Izin Depkes, KTP pemilik dan mengisi formulir. Verifikasi awal dilakukan oleh LPPOM MUI tentang analisis kelayakan mendapatkan sertifikat halal dan kesepakatan sertifikat halal. SJH dari produsen dimaksudkan sebagai SJH yang diharapkan dari produsen secara mandiri setelah mendapatkan sertifikat halal. Dengan SJH ini diharapkan perusahaan dapat menghasilkan produk yang benar-benar terjamin kehalalannya. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi pemasaran. Sistem Organisasi Halal merupakan sistem organisasi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan sistem jaminan halal. Dalam Sistem Organisasi Halal ini diuraikan struktur organisasi yang terdiri atas perwakilan top management dan bidang-bidang terkait antara lain: quality assurance (QA), quality control (QC), purchasing (pembelian), research and development (R&D),7 production, dan
pergudangan. Masing-masing bidang tersebut dikoordinasikan oleh auditor halal internal. Ditinjau dari segi tujuannya, penyusunan dan penerapan SJH adalah untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang dihasilkan dapat selalu dijamin kehalalannya sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI. Oleh karena itulah, prinsip-prinsip yang ditegakkan dalam operasional adalah: a) Maqashid al-syariah, pelaksanaan SJH bagi perusahaan yang memiliki sertifikat halal MUI mempunyai maksud memelihara kesucian agama, akal/pikiran, jiwa, keturunan, dan harta di samping loyalitas pada negara; b) Jujur, perusahaan harus jujur menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses produksi yang dilakukan di perusahaan di dalam manual SJH serta melakukan operasional produksi halal sehari-hari berdasarkan yang tertulis di dalamnya. c) Kepercayaan, LPPOM MUI memberikan kepercayaan kepada perusahaan untuk menyusun sendiri manual SJH-nya berdasarkan kondisi nyata internal perusahaan. d) Sistematis, SJH didokumentasikan secara baik dan sistematis dalam bentuk manual SJH dan arsip terkait agar bukti-bukti pelaksanaannya di lingkungan perusahaan mudah untuk ditelusuri. e) Disosialisasikan, implementasi SJH merupakan tanggung jawab bersama dari level manajemen puncak sampai dengan karyawan sehingga SJH harus disosialisasikan dengan baik dan menyeluruh di lingkungan perusahaan. f) Keterlibatan key person, perusahaan melibatkan personal-personal dalam jajaran manajemen untuk memelihara pelaksanaan SJH. g) Komitmen manajemen, implementasi SJH di perusahaan dapat efektif dilaksanakan jika didukung penuh oleh top manajemen. Manajemen harus menyatakan secara tertulis komitmen halalnya dalam bentuk kebijakan halal. h) Pelimpahan wewenang, manajemen memberikan wewenang proses produksi halalnya kepada auditor halal internal, yakni staf atau beberapa staf internal perusahaan yang ditunjuk resmi oleh manajemen perusahaan sebagai staf untuk mengkoordinasikan pelaksanaan SJH. i) Mampu telusur, setiap pelaksanaan fungsi produksi halal selalu ada bukti dalam bentuk lembar kerja yang dapat ditelusuri keterkaitannya. j) Absolut, semua bahan yang
6
Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut
7 Bila ditilik dari asal usul istilah research, semula terutama dipakai dalam arti penelitian untuk digunakan bagi suatu tujuan praktis (applied research), sehingga kata research biasanya dikaitkan dengan kata development atau pengembangan (R&D atau Litbang) dan perencanaan (planning). Selanjutnya lihat C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhit Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994, hlm. 100.
208
Kepastian Hukum Sertifikasi Halal Produk Pangan.....(H. KN. Sofyan Hasan)
digunakan dalam proses produksi halal harus pasti kehalalannya. SJH tidak mengenal adanya status bahan yang berisiko rendah, menengah atau tinggi terhadap kehalalan suatu produk spesifik. Sistem harus dapat mengidentifikasi setiap bahan secara spesifik merujuk pada pemasok, produsen, dan negara asal. Ini berarti bahwa setiap kode spesifik untuk satu bahan harus dengan satu status kehalalan. Aplikasi SJH bukannya tanpa problematika (Jurnal Halal No.72, 2008, 21), yang menghadang. Beberapa problem teknis yang memerlukan perhatian khusus program SJH adalah: a) Terbatasnya sumber daya manusia dan banyaknya kegiatan produksi yang yang cukup menyita perhatian. Oleh karena itu, sering muncul inisiatif dari beberapa perusahaan untuk mencoba mengintegrasikan sistem jaminan halal ini dengan ISO (Endang Sri Wahyuni, 2003: 122-123); b) Penggunaan bahan turunan hewan merupakan masalah yang yang sering menjadi ganjalan dalam praktik sistem jaminan halal; c) Dukungan maksimal sarana prasarana seperti, laboratorium, transportasi dan dokumentasi; d) Komitmen dari auditor baik auditor LPPOM MUI maupun Auditor Internal di perusahaan.
B.3. Auditing Penentuan Titik Kritis Kehalalan Produk Menurut Sopa, titik kritis kehalalan adalah menelusuri asal-usul bahan dan proses pembuatannya, kemudian dikonsultasikan dengan kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan kehalalan pangan. Apabila bersesuaian maka diartikan halal, namun jika tidak berarti diragukan. Jika diragukan, maka dilakukan verifikasi terhadap hal yang diragukan tersebut (Sopa, 2008: 104). Penentuan titik kritis dalam proses sertifikasi produk halal berfungsi mencegah terjadinya kesalahan dan penyimpangan dalam proses produksi halal. Titik kritis ini mengacu pada pedoman halal yang telah dibuat, yang mencakup bahan-bahan yang digunakan untuk berproduksi, serta tahapan-tahapan proses yang mungkin berpengaruh terhadap keharaman produk. Untuk menentukan titik-titik kendali kritis, harus dibuat dan diverifikasi bagan alur bahan, yang selanjutnya diikuti dengan analisa terhadap tahapan yang berpeluang untuk terkena kontaminasi bahan yang menyebabkan haram. Dalam Islam, produk pangan yang baik diistilahkan Thayyibb, sedangkan pangan bukan
hanya harus thayyibb tetapi juga harus halal. Seperti yang tercantum dalam firman Allah: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaiton, karena sesungguhnya syhaiton itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 168) Berdasarkan ayat 168 surah al-Baqarah tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya umat Islam, tetapi juga umat lainnya harus mengkonsumsi pangan yang halal, dan juga baik. Setiap manusia, apapun agama dan keyakinan yang dianutnya, pasti memerlukan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Agar selamat dalam kehidupannya secara fisik-biologis, sehat secara fisik-jasmani, makanan yang dikonsumsi itu haruslah yang halal dan thoyyib, karena semua yang halal itu niscaya mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan (KH. Ma'ruf Amin, 2013: 28 dalam Jurnal Halal No. 104). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berbicara mengenai pangan halal adalah menyangkut kepentingan seluruh umat manusia dalam rangka menciptakan SDM yang berkualitas. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya. Uraian berikut ini akan menjelaskan beberapa ketentuan regulasi sekitar sertifikasi dan labelisasi halal dimaksud.
B.4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UUPangan) terdapat beberapa pasal berkaitan dengan pengaturan kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab VIII Label dan Iklan Pangan, Pasal 97, ayat (1), (2) dan (3). Bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sbb: Pasal 97 (1)
Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan.
(2)
Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
209
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 203 - 212
(3)
Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:
atau memasukkan Indonesia e.
Kepastian Hukum Sertifikasi Halal Produk Pangan.....(H. KN. Sofyan Hasan)
pangan
ke
wilayah
tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
a.
nama produk;
b.
daftar bahan yang digunakan;
c.
berat bersih atau isi bersih;
d.
nama dan alamat pihak memproduksi atau mengimpor;
e.
halal bagi yang dipersyaratkan;
f.
tanggal dan kode produksi;
Pasal ini tidak sesuai dengan Pasal 97 UU Pangan, karena selain yang lima (hal) tersebut di atas, dalam Pasal 97 ada lagi tambahan keterangan tentang halal bagi yang dipersyaratkan. Karena PP 69/1999 ini statusnya ada di bawah UU, maka yang berlaku seharusnya Pasal 97 UU Pangan. Dari kenyataan ini, perlu ada formulasi baru/ atau diformulasikan kembali isi Peraturan Pemerintah agar harmonis dengan UU. Dapat diperhatikan dari Pasal PP 69/1999 berikut ini:
g.
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
Pasal 10
h.
nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan
(1)
i.
asal usul bahan Pangan tertentu.
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
(2)
Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.
yang
Dengan pencantuman halal pada label pangan, dianggap telah terjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut. Penjelasan Pasal 97 ayat (1) huruf e menyatakan cukup jelas. Hal ini terasa janggal atau aneh karena bertentangan dengan bunyi ayatnya sendiri. Pada ayat (1) dan (3) di atas berbunyi bahwa keterangan tentang halal wajib dicantumkan, akan tetapi dalam penjelasan dinyatakan cukup jelas. Apalagi bahwa kewajiban ini baru berlaku apabila si produsen ingin menyatakan bahwa produknya halal. Keanehan kedua adalah kebenaran pernyataan halal walaupun tanggung jawab si pelaku usaha, akan tetapi tidak ada kewajiban untuk diperiksakan dulu kehalalannya oleh lembaga yang berwenang. Jadi seakan-akan kehalalan hanya ditentukan oleh produsen, sedangkan konsumen dipersilahkan membuktikan kebenarannya.
Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan sertifikasi dan label halal dalam PP 69/1999 ini yaitu Pasal 2, 3, 10 dan 11. Pasal 3, ayat (2) Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya:
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Pencantuman keterangan halal atau tulisan "halal" pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, melainkan harus pula dibuktikan dalam proses produksinya (Depag, 2003, [5]: 461462).
a.
nama produk;
Pasal 11
b.
daftar bahan yang digunakan;
(1)
c.
berat bersih atau isi bersih;
d.
nama dan alamat pihak yang memproduksi
B.5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
210
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Penjelasan Pasal 11: ayat (1) Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai dengan ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya. (2) Lembaga keagamaan yang dimaksudkan adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa regulasi yang ada tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap produk pangan halal bagi konsumen muslim di Indonesia karena tidak sejalan dengan UUPK, terutama Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Demikian juga Pasal 2 yang menyatakan bahwa Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Dengan demikian jaminan kehalalan suatu produk dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertifikasi halal dan tanda halal yang menyertai suatu produk.
C.
Penutup
Sertifikasi halal yang selama ini telah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa. Dan kegiatan labelisasi halal dikelola oleh Badan POM sudah sangat tepat dan memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum produk pangan halal bagi konsumen, paling tidak sudah dapat memberikan ketenangan batin dalam mengkonsumsi pangan tersebut. Karena sudah melalui proses yang
panjang antara lain adanya sistem jaminan halal (SJH) oleh perusahaan, audit oleh LPPOM dan Komisi fatwa. UUPK Nomor 8 Tahun 199 dan UU Pangan Nomor 18 tahun 2012 dan PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan tidak menjadikan sertifikasi dan labelisasi halal sebagai sebuah bentuk kewajiban (mandotary) bagi pelaku usaha, tetapi bersifat sukarela (voluntary). Dengan demikian, sertifikasi halal dan labelisasi halal dapat dikatakan belum mempunyai legitimasi (formal) hukum yang kuat. Untuk itu, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang sedang dibahas di DPR segera menjadi Undang-undang dan tetap memberikan otoritas kepada MUI melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa yang mengeluarkan fatwa halal. Atau dapat saja pemerintah yang mengeluarkan sertifikat halal setelah mendapat rekomendasi dari MUI atas kehalalan suatu produk pangan. Sedangkan pemerintah berfungsi sebagai regulator dan pengawas dalam implementasi ketentuan undang-undang yang akan ditetapkan tersebut. Jangan sampai terjadi regulator, pelaksana dan pengawas berada/oleh satu tangan, karena akan menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
Daftar Pustaka Buku-buku Apriyantono, Anton dan Nurbowo, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, cet. ke-II, Jakarta: Khairul Bayan Press, 2003. Apriyantono, Anton, Joko Hermanianto, dan Nur Wahid, Pedoman Produksi Pangan Halal, Jakarta: Khairul Bayan Press, 2007. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986. Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produk Halal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, [1]. --------------,Pedoman Strategi Kampanye Sosial Produk Halal, Jakarta: Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, [2]. --------------,Pedoman Verifiasi Produk Halal, Jakarta: Proyek Pembinaan Pangan Halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
211
Vol. 11 No. 2 - Juni 2014 : 203 - 212
Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, [3]. --------------, Pedoman Produksi Halal, Jakarta: Proyek Pembinaan Pangan Halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, [4]. -------------, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta: Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal; Derektorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, 2003, [5]. Hadi Setia Tunggal, Perundang-Undangan Pangan Terbaru, Jakarta: Harvarindo, 2013. Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat Terhadap Sertifiikasi Produk Halal, Semarang: Program Dokor (S3) Ilmu Hukum UNDIP Semarang, 2011. Miru, Ahmadi, Prinsip-prinsip Perlidungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Muchtadi, R. Tien, Teknologi Proses Pengolahan Pangan, Bandung: ALFABETA, 2010. Nurbowo, Delapan Belas Langkah Memilih Produk Halal Nasional dan Dunia, Jakarta: Khairul Bayan Press, 2006. Thobieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta : Al-Mawardi Prima, 2003. Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Majalah/Jurnal Al-Hikmah dan Ditbinbapera, Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam No. 13 Thn V, Jakarta: Ditbinbapera, 1994. LP POM MUI. Jurnal Halal: Menenteramkan Umat. Nomor 59 Th. X 2005.
212
------------------, Jurnal Halal: Menenteramkan Umat. Nomor 72 Th. XI 2008. ------------------, Jurnal Halal: Menenteramkan Umat. Nomor 81 Th. XIII 2010. ------------------, Jurnal Halal: Menentramkan Umat. Nomor 104 Th. XVI 2013. Harian Republika, Rabu, 5 Maret 2014.
Undang-Undang/Peraturan-Peraturan Lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5360). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821). Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985. Nomor 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan. Keputusan Menteri Agama R.I Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Keputusan Menteri Agama R.I Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 924/Menkes/SK/VII. 1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996/ tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.
212-1
212-2
212-3
212-4
212-5
212-6