Halaman Tahun 3, No. 21 Edisi Mei 2013
Jurnal Bhumiksara Dialektika Iman, Ilmu, dan Budaya
JJURNAL URNAL B HUMIKSARA Salam dari Redaksi PADA 20 April 2013, Bhumiksara memasuki usia 25 tahun. Dalam momentum perayaan ulang tahun perak ini sebuah pertanyaan reflektif dapat diajukan, sejauh manakah lembaga ini telah mencapai visi dan misinya melalui berbagai kegiatan yang telah dilakukan di masamasa lalu hingga saat ini? Untuk meneruskan pencapaian visi dan misinya tersebut apa yang perlu diupayakan di waktu-waktu mendatang? Bhumiksara lahir untuk menanggapi keprihatinan Gereja Indonesia; merupakan sebuah jawaban terhadap adanya krisis kaderisasi dalam Gereja maupun dalam masyarakat. Tujuannya ialah untuk mempersiapkan kader bagi Gereja dan masyarakat Indonesia; secara sistematis membantu mempersiapkan lapisan-lapisan pemimpin atau kader-kader yang unggul, yang menyala iman keterpanggilannya, mumpuni dalam ilmunya, sadar akan tanggungjawabnya sebagai orang Kristiani maupun sebagai anggota masyarakat, yang siap untuk menerapkan Ajaran (Sosial) Gereja dalam memecahkan persoalan konkret, yang semuanya diwarnai oleh ciri kecendekiawanan, dalam ilmu dan profesi apa saja. Di tengah berbagai karya kerasulan yang ada di tubuh Gereja, Bhumiksara (garam dunia) menempatkan dirinya sebagai sebuah pusat kerasulan awam kaum intelektual dan profesional, dalam arti kerasulan di antara dan oleh para cendekiawan dan profesional Katolik Indonesia. Yang harus diusahakan seorang intelektual ialah merancang strategi yang paling tepat untuk bisa ‘menggarami’ lingkungan sekitar. Menjadi ‘garam’ bagi seorang intelektual tidak lain adalah menghadirkan Kerajaan Allah dalam masyarakat. Bhumiksara lahir untuk memperkuat kerasulan awam di kalangan intelektual dan profesional, karena peran mereka sangat menentukan masa depan Indonesia. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia sendiri, peran cendekiawan begitu mengesankan. Hampir seluruh pendiri negara kita dapat disebut sebagai intelektual yang sekaligus pejuang kemerdekaan. Kerasulan intelektual di masa-masa yang akan datang semakin penting seturut perkembangan zaman seperti diserukan Paus Yohanes XXIII yang mengajak perlunya memutahirkan ajaran Gereja menanggapi kemajuan dan
DAFTAR ISI Salam dari Redaksi ....................................................................... 1 Aktualia ....................................................................................... 2 25 Tahun Yayasan Bhumiksara: Tetap Berkomitmen Membentuk Pribadi-Pribadi Katolik yang Unggul, Cakap, Bermartabat ..................................................... 2 Kader Bangsa Berintegritas, Untuk Membangun Pendidikan Indonesia Bermakna, Menuju Generasi Emas 2045 ............... 5 Pendidikan Bermakna Menuju Masa Depan Indonesia ........... 9 Analisis ........................................................................................ 12 Kontribusi Dalam Membangun Bangsa Melalui Penelitian Asam Lemak Linoleat Terkonjugasi ............ 12 Revitalisasi Budaya Politik Indonesia ........................................ 15 Menggugat Etika Penyelenggara Pemilu ................................. 19 Refleksi ........................................................................................ 23 Membangun Pendidikan Bermakna Menuju Masa Depan Indonesia, .............................................. 23 Menegakkan Hukum Menuju Masa Depan Indonesia ............. 26 Pencapaian Profesi Di Jalan Tuhan ........................................... 30 Pariwisata Berwawasan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Spiritualitas .................................................... 33 Aksi .............................................................................................. 36 Sekilas Sejarah Program Yayasan Bhumiksara ......................... 36 Sekolah Pengkaderan, Sebagai Sarana Pendidikan Bermakna Menuju Masa Depan Indonesia ............................................... 39 Membangun Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ................... 42 Pemberdayaan Melalui Apresiasi & Bisnis Bersama ................ 46 Membangun Ekonomi (Wirausaha Sosial) Indonesia .............. 49
kondisi setempat. Untuk mencapai visi dan misinya, Bhumiksara memberi perhatian serius terhadap penggalian hubungan iman, ilmu, dan budaya. Kegiatan ini sangat penting dalam melayani kebutuhan kerasulan intelektual sendiri agar dapat hidup sebagai profesional yang bergerak di bidang masing-masing. Melalui usaha itu, dalam diri para cendekiawan diharapkan interaksi antara iman, ilmu, dan budaya dapat berlangsung, baik sebagai pendidik, pengacara, militer, dokter, ahli hukum, ahli pertanian dan lainnya. Pertanyaannya, sejauh mana cita-cita itu sudah ada dalam pencapaian hingga di usia 25 tahun ini? Jurnal edisi khusus 25 tahun Bhumiksara bertema Education is God’s Calling ini memuat tulisan-tulisan dari bhumiksarawan yang berkarya di bidang ilmu dan profesinya masing-masing. Semoga tulisan-tulisan yang dimuat dalam edisi khusus ini dapat menjadi inspirasi dalam melanjutkan gerakan “menggarami” bumi Indonesia. Selamat membaca.
Jurnal Bhumiksara
Halaman 2
Aktualia
25 TAHUN YAYASAN BHUMIKSARA: TETAP BERKOMITMEN MEMBENTUK PRIBADI-PRIBADI KATOLIK YANG UNGGUL, CAKAP, BERMARTABAT Prof. Dr. Thomas Suyatno
HARI Sabtu 4 Mei 2013, kita memeringati hari jadi Yayasan Bhumiksara ke-25, ketika sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita masih bersama-sama terperosok di dalam kondisi krisis, dan belum berhasil ke luar dari keterpurukan. Bahkan, baru saja kita mengalami bersama, peristiwa yang memudarkan harapan besar untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dengan menyaksikan carut-marut di dunia pendidikan nasional kita, khususnya atas pelaksanaan UN dan pergantian kurikulum baru bagi pendidikan dasar dan menengah. Di dunia pendidikan tinggi pun kita juga terpuruk. Kita sangat prihatin peringkat Knowledge Economi Index (KEI) kita sangat jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita: Singapore 19, Malaysia 48, Thailand 63, Indonesia 103. Padahal 2 tahun lagi kita menghadapi ASEAN COMMUNITY Education (2015). Saat ini Perguruan Tinggi kita yang siap bertarung dengan negara-negara lain di bawah 10%--terakreditasi A hanya 6,67% dari 3.124 PTS dan 94 PTN. Selain itu, semakin maraknya KKN di segala bidang dan lapisan, mulai dari pusat sampai dengan jajaran pemerintahan terkecil terjadi KKN yang luar biasa. Kealpaan dan kelemahan-kelemahan lain, dampak, dan akibatnya tidak sefatal KKN. Rakyat sangat peka, sensitive, dan gregetan terhadap semua bentuk KKN. Mengapa? Karena KKN-lah yang menjerumuskan bangsa ini ke dalam kondisi tidak adil, dan dalam kondisi terpuruk secara berkepanjangan. Oleh karena itu, saya mengajak para Bhumiksarawan, kita semua, bahkan bangsa ini berjihad melawan KKN—jangan berhenti. Kita harus mewakafkan diri untuk berjuang melakukan pemberantasan semua bentuk kosupsi. Kondisi serba krisis ini mau tidak mau menimbulkan halhal serba kritis yang menerpa hampir semua bidang lingkungan hidup, yakni ekonomi, politik, sosial, hukum, keamanan, bahkan eksistensi sebagai bangsa. Eksistensi
kita diancam oleh disintegrasi sosial serta disintegrasi negara. Terus-menerus kita bertanya, memeriksa serta mewacanakan, mengapa kondisi serba krisis dan serba kritis itu menimpa bangsa dan negara kita? Pada kesempatan ini, tepat kiranya bangsa kita, juga Yayasan Bhumiksara yang berulang tahun ke-25, melakukan introspeksi dan refleksi secara total. Jika pangkal tolak ialah introspeksi dan relfeksi bersama, soul-searching, pencarian jiwa bersama, pola dan semangat yang sesuai adalah rekonsiliasi, revitalisasi, redinamisasi, dan refungsionalisasi di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat. Di dalam situasi ideal seperti itu, panggung dan platformnya bukan lagi partisan, melainkan nasional yang inklusif, yang sesuai dengan bunyi, amanat, dan semangat konstitusi, bukan berpikir dan bekerja untuk pribadi, kelompok, golongan, atau partai, melainkan untuk sebesar-besarnya dan seadil-adilnya kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia bersatu seperti yang oleh para Bapak Bangsa dituangkan sebagai kesepakatan dan komitmen nasional di dalam bentuk negara kesatuan, mau tidak mau, dipengaruhi oleh dorongan ekspresi kemandirian dan kebebasan. Kesatuan bukan lagi sekadar kerangka dan struktur, kesatuan sekaligus merupakan organisme kewargaan dan kemasyarakatan yang dinamis, yang hidup, yang merupakan kenyataan, serta mengungkapkan diri dalam kebebasan serta aneka ragam ekspresi kegiatan, kehidupan, dan aspirasi dari masyarakat yang majemuk. Namun, harus disadari secara bersama pula bahwa pluralisme memerlukan bingkai. Kelima sila dasar Negara yang selama ini kita anggap dan digunakan sebagai bingkai
Jurnal Bhumiksara
tidak dapat lagi dianggap sebagai bingkai yang mati dan doktriner. Ia harus diperlakukan sebagai bingkai yang hidup dan dihidupi, yang memberi dan menerima, dan oleh karena itu, harus terus-menerus diaktualisasikan sebagai pola dan nilai-nilai perilaku bersama serta citacita bersama. Bukan zamannya lagi bicara soal mayoritas dan minoritas, melainkan bersama-sama, seluruh warga negara Indonesia. Persoalan-persoalan bangsa dan negara yang mendesak, seperti ancaman disintegrasi, konflik sosial yang horizontal dan yang vertikal agar ditempatkan dan dipahami di dalam pola gejolak perubahan serta tuntutan akan ekspresi diri, perbaikan nasib, serta kepastian dan keadilan. Kondisi krisis itu hanya dapat kita atasi secara bersamasama. Harus disadari bahwa jika kita, pemerintah, elit, organisasi politik dan kemasyarakatan tidak sanggup membawa bangsa keluar dari kondisi krisis, kita semua akan menjadi korbannya. Di dalam situasi dan kondisi bangsa dan negara seperti digambarkan di atas, apa yang perlu kita lakukan ke depan? Sebelum menyusun strategi ke depan di dalam rangka aktualisasi visi dan misi berdirinya Yayasan Bhumiksara 25 tahun yang lalu, saya ingin secara singkat menjelaskan mengapa Yayasan Bhumiksara lahir, untuk apa lahir, visi misi apa yang ingin diwujudkan?
Halaman 3
keunggulan intelektual dan keahlian professional serta integraitas moralnya dengan berbagai cara. Dengan pernyataan pencapaian maksud dan tujuannya, Bhumiksara tidak hanya menempatkan dirinya sebagai institutsi, melainkan juga sebagai Komunitas Gerakan. Sebagai sebuah gerakan, Bhumiksara pada hakikatnya merupakan: 1. ajakan mengembangkan kemampuan cendekiawan muda untuk menjadi “Pewarta Kabar Gembira" di tengah umat dan masyarakat Indonesia yang majemuk; 2. penyadaran akan bimbingan Roh dan Penyelenggaraan Ilahi dalam setiap langkah kehidupan manusia; dan 3. penghayatan spiritualitas “butir garam” di dalam pengembangan diri sebagai cendekiawan muda dalam meraih keunggulan, pelayanan, dan keberpihakan pada kaum lemah. Gerakan Bhumiksara bukanlah sebuah organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi terstruktur lainnya, melainkan sebuah organisme. Keberadaannya lebih pada pembentukan spiritualitas dalam rangka melaksanakan kerasulan awam. Dengan gambaran sejarah singkat tadi dapat ditarik kesimpulan betapa luhur dan tingginya cita-cita yang ingin diwujudkan oleh para Pendiri Bhumiksara.
Gagasan awal untuk mendirikan Yayasan Bhumiksara muncul dari sekelompok cendekiawan Katolik, khususnya yang tergabung dalam Badan Pengurus APTIK. Mereka berusaha menanggapi keprihatinan masyarakat dan Gereja Katholik Indonesia terhadap munculnya gejala: a. menyusutnya jumlah tokoh-tokoh Katolik dalam posisi kepemimpinan lokal, regional, dan nasional; b. melemahnya pengaruh suara lembaga dan tokoh Katolik di dalam segala bidang kemasyarakatan; c. adanya kecenderungan kaum professional Katolik memisahkan kehidupan professional mereka; dan d. kurangnya upaya terorganisasi dan sistematis untuk merefleksikan keterkaitan antara iman, ilmu, dan budaya.
Kini, di tengah-tengah carut-marutnya bangsa dan negara kita, apa yang perlu kita lakukan dan masih relevankah keberadaan Bhumiksara?
Visinya adalah munculnya sosok atau pribadi rasul awam yang berintegritas moral tinggi, cakap dan piawai dalam profesi, sigap melayani yang terpinggirkan, dan solider terhadap sesamanya. Sedangkan misinya adalah mengembangkan SDM cendekia, mengembangkan
Di atas plat-form nasional yang diberi kesegaran, dinamika serta jiwa dan semangat baru, Bhumiksara bukan saja harus mewujudkan dan melanjutkan visi serta misinya, tetapi meningkatkan sumbangannya bagi terwujudnya lapisan masyarakat yang cendekia dan
Melalui pasang surutnya keadaan dan perkembangan, gerak dan dinamika Bhumiksara harus berjalan terus dengan kesadaran serta pemahaman baru, justru sekarang ini, ketika sebagai bangsa dan negara kita bersama-sama dihadapkan pada perubahan zaman pancaroba. Bhumiksara harus menyegarkan kembali mimbar dan forum kita bersama. Kita harus membuat plat-form bersama itu begitu relevan dan actual, sehingga dapat menanggapi perubahan dan tuntuan zaman. Inilah tantangan dan pekerjaan rumah kita.
Jurnal Bhumiksara
professional, yang subur bobot dan dimensi visi serta etikanya dan juga semakin ahli dan terampil dalam berbagai bidang yang diperlukan oleh kemajuan serta tantangan global yang ditandai dengan semakin tajamnya tingkat persaingan di segala bidang. Sejarah eksistensi Bhumiksara selama 25 tahun tidak selalu merupakan sejarah pergerakkan dalam tanah, suasana, dan iklim yang subur atau menunjang. Dilewati dan dialami juga periode-periode tandus penuh tantangan. Oleh karena itu, kondisi bukanlah dalih bagi kita untuk mengendurkan jiwa dan semangat kita, justru merupakan cambuk untuk memerbesar darmabakti kita pada bangsa dan negara tercinta.
Halaman 4
Kondisi di mana kita hidup, di tengah arus perubahan di dalam dan dari luar, kembali memerlukan peranan ide yang disegarkan dan diperbarui, memerlukan caloncalon pemimpin yang kembali dapat menangkap pertanda zaman, bahkan zaman perubahan yang serba cepat dan zaman yang penuh persaingan. Sebagai konklusi dapatlah kita sarankan bahwa mungkin, sekaranglah waktunya bagi Bhumiksara untuk menyegarkan kembali visi, misi, dan program-program kerja kita, agar cocok dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Prosesnya tidak mudah karena akan berimplikasi terjadinya perubahan-perbahan di dalam status quo, terutama yang bertalian dengan wewenang, kepentingan, hak dan kewajiban. Terima kasih dan dirgahayu Bhumiksara 25 tahun.
Penulis adalah Ketua Pembina Yayasan Bhumiksara Tulisan ini dipaparkan dalam Acara 25 Tahun Yayasan Bhumiksara, 4 Mei 2013, di Gedung Yustinus, Kampus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Sambutan dan Pencerahan dari Bapak Thomas Suyatno (4/5) di Gedung Yustinus, Unika Atma Jaya
Jurnal Bhumiksara
Halaman 5
KADER BANGSA BERINTEGRITAS UNTUK MEMBANGUN PENDIDIKAN INDONESIA BERMAKNA MENUJU GENERASI EMAS 2045 Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum
1. Pengantar MASYARAKAT bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini - dan pasti berlanjut terus di kemudian waktu—sedang disibukkan oleh agenda besar menyongsong hadirnya Generasi Emas 2045. Pada usia seabad Indonesia merdeka itu masyarakat bangsa ini diharapkan sudah memiliki generasi berkarakter ‘emas’ dengan konotasi makna yang ‘baik, tangguh, kuat, kokoh, indah, menarik’ dan semacamnya. Generasi Emas yang dicapai pada tahun 2045 itu salah satu cirinya ditandai dengan telah mapannya generasi tersebut bersikap dan berperilaku dalam dunia yang sarat dengan tantangan dan tuntutan zaman akibat perkembangan IPTEKS yang begitu cepat. Kemapanan dalam bersikap dan berperilaku demikian itu harus dibangun di atas nilai-nilai karakter bangsa yang kuat dan tangguh sebagai fundamen dasar yang ditanam dengan baik utamanya lewat wahana-wahana pendidikan. Praksis pendidikan dalam jenjang apa pun yang tidak menempatkan nilai-nilai karakter sebagai basis perkembangannya, hampir dapat dipastikan tidak akan berdampak baik bagi para peserta didiknya. Dalam konteks inilah nilai-nilai karakter memiliki arti yang sangat penting sekaligus mendasar. Dalam pengembangan sumber daya manusia, konotasi demikian ini dapat disederhanakan dengan sebutan sumber daya manusia ‘profesional dan berkualitas’. Kalau hendak digunakan terminologi ‘kader’, maka sebutannya adalah ‘kader bangsa profesional dan berkualitas’. Penulis lebih memilih istilah ‘integritas’ alih-alih ‘profesional’ dan ‘berkualitas’ dalam makalah ini. Lalu istilah ‘sumber daya manusia’ akan disebut sebagai ‘kader’. Pada masa-masa lampau, ketika masyarakat bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada era yang baru dan penuh tantangan, yakni globalisasi (globalization), yang ternyata berlanjut dengan fakta glokalisasi (glocalization) hingga sekarang, terminologi ‘profesional dan berkualitas’ juga demikian menggejala. Sejak momentum itu, aneka seminar, aneka diskusi,
aneka pelatihan dan rupa-rupa workshop, hampir semuanya bertajuk SDM ‘profesional dan berkualitas’ itu. Lalu, di manakah distingsi signifikan di antara terminologi sama yang hadir pada masa-masa menjelang globalisasi dan pada masa-masa menjelang Generasi Emas 2045 ini? Itulah salah satu persoalan yang hendak dicoba dijawab dalam tulisan singkat ini. Dalam konteks pesta perak 25 tahun berdirinya Yayasan Bhumiksara, perlu dicatat bahwa keterlibatan yayasan ini dalam ikut berperan serta membangun dan mencerdaskan bangsa benar-benar telah teruji dan memang berhasil signifikan. Para kader bangsa yang pernah dibantu ‘dihidupi’ atau ‘diwikani’ (Jawa) dan ‘dipelihara’ yayasan ini, baik yang kemudian secara setia berkiprah hidup dalam masyarakat dengan tetap mengemban visi-misi yang sesuai dengan visi-misi yayasan ini, maupun yang berkiprah secara profesional dan penuh tanggung jawab serta penuh dedikasi dengan model dan caranya sendiri-sendiri, terbukti telah banyak yang secara nyata membantu mengembangkan masyarakat bangsa Indonesia, yang pada konteks waktunya kala itu sedang giat membangun para kader bangsa. Termasuk, tentu saja di dalamnya, membangun dan memaknai nilai-nilai karakter bangsa yang tidak sama sekali mudah, tidak sama sekali sederhana, karena pada faktanya, di era sekarang ini karut-marut masyarakat bangsa sebagai akibat dari jeleknya penghayatan terhadap nilai-nilai karakter bangsa ini sungguh-sungguh ‘menakjubkan’ tetapi juga sekaligus memalukan setiap elemen bangsa. Tulisan singkat ini hendak berfokus pada seluk-beluk pengembangan para kader bangsa dalam rangka menghadapi generasi emas 2045. Bagaimana seharusnya yayasan yang sedang merayakan pesta perak 25 tahun berdirinya ini, mampu terlibat dan berkiprah dalam masyarakat dan bangsa. Akan tetapi juga dengan semangat permaafan, bak pepatah lama mengatakan,‘tiada padi kuning setangkai’, alias tidak ada sesuatu yang sempurna, maka tulisan singkat ini pun disajikan pada pembaca budiman dalam
Jurnal Bhumiksara kesederhanaannya dalam pengertian yang seluas-luasnya. 2. Generasi Emas 2045: ‘Yayasan Bhumiksara’ dan ‘Masyarakat Indonesia’ Dalam penyelenggaraan pendidikan, baik oleh masyarakat maupun Yayasan Bhumiksara yang kini sedang merayakan Perak 25 tahun ini, juga mungkin sekali yayasan-yayasan lain yang bergerak dalam pengembangan para kader bangsa, sama-sama memikul tanggung jawab besar, berat, dan relatif sama. Kedua institusi ini sama-sama bermaksud mencerdaskan kehidupan bangsa, tentu dengan cara dan misinya sendirisendiri, dengan batasan-batasannya sendiri-sendiri, dan juga dengan kendala-kendalanya sendiri. Masyarakat Indonesia sebagai institusi, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa menjalankan fungsi dan tugas dengan kendali pemerintah. Artinya, semuanya disediakan pemerintah dan pertanggungjawaban pelaksanannya, entah itu baik entah itu buruk, semuanya kepada pemerintah. Dengan perkataan lain, penyelenggara masyarakat dan bangsa Indonesia adalah pemerintah Indonesia itu sendiri, bukan yang lainnya. Adapun pada sisi satunya, yayasan-yayasan swasta lainnya, baik itu yayasan pendidikan maupun yayasan-yayasan dalam kiprah lainnya, baik yang bersentuhan dengan pendidikan maupun yang sama sekali tidak, semua dapur rumah tangganya diatur dan dikelola sendiri-sendiri secara mandiri oleh yayasan yang bersangkutan. Pertanggungjawabannya bukan pertama-tama kepada pemerintah sebagai manifestasi dari masyarakat dan bangsa serta negara, melainkan kepada yayasan itu sendiri dan kepada Tuhan Yang Mahamurah. Terlepas dari fakta yang disebutkan terakhir ini ideal ataukah tidak, tetapi demikianlah realitanya. Setiap yayasan harus membanting tulang bekerja super keras sendiri dan harus secara mandiri menghidupi karya-karya dan misi-misinya.
Halaman 6 berkarya demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Semuanya sama-sama ikut serta membangun dan mengembangkan para kader bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Perjalanan pendidikan masyarakat Indonesia sejak dulu di zaman sebelum kemerdekaaan, dan berlanjut dengan pendidikan di Era Orla dan Era Orba, yang kemudian berlanjut lagi dengan pendidikan di Era Reformasi, hingga pendidikan di Era pasca-Reformasi seperti yang terjadi sekarang ini, konsep dan praksis pendidikan dalam negeri kita tercinta masih sama saja karutmarutnya. Dari dimensi hasil karya yang dipublikasikan sebagai luaran pendidikan, misalnya saja, khususnya lagi dalam jenjang pendidikan tinggi, Indonesia masih kalah dan jauh tertinggal dari negara-negara berkembang lainnya yang berada di wilayah sekitar. Sebut saja misalnya dengan Malaysia dan beberapa negara di sekelilingnya. Artinya, di dalam usianya yang sudah lebih dari 68 tahun sejak merdeka sebagai bangsa ini, pendidikan di Indonesia masih sama saja tidak karuannya, baik dari dimensi konsep pendidikan maupun dari dimensi praktik penyelenggaraannya. Otonomi keilmuan yang diterima dan disandang oleh para guru dan dosen, juga oleh para kader dan para siswa, sepertinya tidak sepenuhnya berhakikat otonom sebagaimana yang seharusnya. Semakin banyak administrasi yang membebani guru dan dosen di era sekarang ini, sebagai dampak tidak langsung dari kemudahan-kemudahan, fasilitas-fasilitas, dan tunjangan-tunjangan yang diterima dari pemerintah, menjadikan mereka terbebani lebih berat.
Berkaitan dengan hal ini, kiranya pantas disebut artikel Satryo Soemantri Brodjonegoro di Harian Kompas yang terbit pada awal Maret 2013. Salah satunya, dia menyinggung perkara ini, yakni bahwa tanggung jawab pendanaan bagi institusi swasta dan negeri, semestinya sama-sama berada di pundak pemerintah, bukan yang negeri oleh pemerintah, dan yang swasta oleh swasta sendiri.
Maka sekali lagi, otonomi dari para kader dalam bidang pendidikan di Indonesia itu berdimensi semu, tidak sungguh-sungguh berotonomi sebagaimana yang seharusnya. Sejalan dengan pemikiran Brojonegoro dalam Kompas awal Maret 2013, otonomi yang tidak sepenuhnya merupakan otonomi demikian ini, akan menjadikan mereka semakin tidak aktif apalagi kreatif. Ketidakkreatifan itu dibangun oleh fakta bahwa segala pekerjaan dan tugas guru dan dosen, semuanya serba dikendalikan oleh pemerintah. Kurangnya otonomi demikian inilah yang menjadikan mereka mandul, karena banyak hal mereka serba tergantung pada institusi, terutama sekali pada institusi pemerintah itu sendiri.
Alasannya, baik institusi atau yayasan yang berpelat merah alias ‘negeri’ maupun institusi atau yayasan yang tidak berpelat merah alias ‘swasta’ semuanya berjuang dan
Pertanyaannya kemudian, untuk menghadapi Generasi Emas 2045 yang dicanangkan sebagai generasi bangsa yang semestinya memiliki karakter tangguh untuk
Jurnal Bhumiksara menghadapi berbagai tantangan dan dampak dari perkembangan teknologi itu sendiri, patut dipertanyakan bagaimanakah yayasan-yayasan pendidikan maupun nonpendidikan, juga tidak terkecuali Yayasan Bhumiksara, juga sesungguhnya pemerintah sendiri, apakah mereka-mereka ini sudah benar-benar merasa terlibat di dalam mempersiapkan dan mengantisipasinya? Ataukah, lebih cenderung asal berjalan dan asal berfungsi. Semuanya ini perlu untuk terus direfleksi! Kalaupun benar-benar sudah terlibat, bukanlah para kader yang dibangun pada masa lampau belum secara khusus diprogramkan untuk menghadapi era baru sebagai para kader seabad Indonesia merdeka? Pemerintah pun demikian, bukankah pendidikan yang disiapkan oleh pemerintah selama ini, baik yang berdampak bagus maupun yang tidak berdampak bagus, sama sekali belum dikait-eratkan dengan rencana kehadiran generasi emas 2045 itu? 3. Generasi Emas 2045: Gambaran Kader Bangsa yang Diidealkan Pada uraian terdahulu telah sedikit tersirat gambaran para kader bangsa yang diidealkan. Akan tetapi sebenarnya, seperti apakah gambaran para kader tersebut yang lebih konkret? Penulis berpikir, para kader bangsa yang pantas disebut sebagai generasi emas tersebut adalah generasi paripurna. Generasi berkarakter paripurna dalam konteks ini digunakan untuk menyebut generasi yang benar-benar berintegritas. Kata integritas, menurut Poerwadarminta, adalah ‘kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, ketulusan’. Dengan demikian orang yang berintegritas, dalam pandangannya adalah orang yang telah mencapai tataran ‘paripurna’, lebih dari sekadar matang dan dewasa. Orang ‘paripurna’ itu sosok yang penuh dengan ‘kemuliaan’. Dia adalah pribadi yang ‘arif dan bijaksana’. Maka orang yang berintegritas itu dalam keseharian hidupnya mampu dijadikan anutan, mampu dijadikan tuntunan, dan tidak menjadi ‘tontonan’. Tidak mudah menemukan sosok berintegritas sebagaimana yang dimaknai di depan tadi, karena sekarang ini yang banyak ditemukan adalah orang-orang yang ‘corrupt’, orang-orang yang busuk, suka mencuri, suka membohongi, suka berpura-pura, tidak memiliki jatidiri, suka akal-akalan. Orang sekarang ini banyak yang pandai meramu dalil-dalil akal, dalil-dalil kehidupan, tetapi faktanya hanyalah banyak akal-akalan. Peristiwa hidup di sekeliling kita banyak memberikan contoh akan hal ini.
Halaman 7 Dalam konteks negara dan bangsa, integritas itu dicapai melalui upaya penciptaan pemerintahan yang bersih (clean government), dan tata kelola yang baik (good governance). Kata kuncinya adalah ‘change’, perubahan! Dalam konteks para kader, integritas sebagaimana yang dipahami di atas tadi juga hanya bisa dicapai dengan perubahan atau ‘change’. Selanjutnya, beberapa ciri para kader bangsa yang berintegritas berikut ini pantas dicermati dan diperhatikan untuk membangun masyarakat bangsa yang lebih baik dan bermartabat ke depan, khususnya untuk yayasan-yayasan yang bertelamali dengannya. a. Para kader bangsa berintegritas harus memiliki kesetiaan pada hal-hal kecil Kalau para kader setia dengan sesuatu yang kecil, pada waktunya nanti para kader itu akan dapat setia pula pada sesuatu yang besar. Kalau para kader mampu mengerjakan yang kecil, pada waktunya nanti para kader akan dapat mengelola yang besar. Maka mulai sekarang, pedulilah ‘memungut’, ‘merawat’, ‘ngipuk-ipuk’ hal-hal yang terkesan kecil dan trivial itu. Jangan sampai para kader itu ‘blereng’ alias silau dengan barang-barang yang besar, dan tidak pernah merasa ‘gumun’ alias ‘terkagumkagum’ dengan peristiwa yang kecil. b. Para kader bangsa berintegritas harus mampu menemukan sesuatu yang benar Ketika orang-orang lain tidak menemukan kebenaran itu, ketika orang-orang lain setia pada wilayah abu-abu ‘grey areas’, wilayah yang tidak jelas, para kader harus berani menempuh jalan yang benar. Maka, orang tidak boleh mengambil keputusan sendiri, orang harus mempertimbangkan yang lain, orang harus bersama bersama dengan yang lain (with others), orang harus berpikir dan bekerja untuk yang lain (for others). Maka sesungguhnya, orang berintegritas itu juga adalah orang yang memiliki kesediaan untuk menjadi ‘men and women for and with others’, bukan segala sesuatunya untuk diri sendiri. Integritas seseorang akan mencapai kepenuhan, hanya kalau orang bersama dengan yang lain, dan hidup untuk yang lain. c. Para kader bangsa berintegritas harus memiliki rasa tanggung jawab. Orang yang bertanggung jawab itu terbuka dan jujur terhadap dirinya dan terhadap orang-orang lain. Tidak ‘plinthat-plinthut’, tidak ‘kucing-kucingan’, tetapi jujur dan terbuka menerima dan mengakui apa adanya. Terhadap kesalahan yang dibuatnya, orang yang jujur dan bertanggug jawab itu akan dengan cepat meminta
Jurnal Bhumiksara maaf, maka dia juga pasti sosok yang suka dan cepat memberi maaf. Terhadap sesuatu yang buruk, orang yang jujur dan berintegritas itu akan mengakuinya, tidak akan ‘menyembunyikannya’, hingga dia hanya akan dikesankan sebagai yang baik-baik saja. Orang yang bertanggung jawab menerima dan mengakui kekurangan dan kelemahan itu, sebagai ‘foot step’ untuk maju ke tataran berikutnya yang lebih baik. e. Para kader bangsa berintegritas harus memiliki budaya percaya/‘trust’ Sebagai pribadi yang sedang menuju integritas, pra kader harus berlatih untuk menciptakan budaya ‘trust’, bukan budaya ‘suspicion’ yang selalu mencurigai dan tidak pernah mempercayai. Hidup dalam budaya ‘trust’ akan mendewasakan diri. Orang yang memiliki ‘trust’ akan berkembang secara pribadi, orang yang diberi ‘trust’ juga akan berkembang secara pribadi. Maka setiap orang harus berusaha untuk menjadikan dirinya ‘teladan’ bagi orang lain, ‘anutan’ bagi orang lain, supaya budaya ‘trust’ benarbenar berkembang. f. Para kader bangsa berintegritas harus memiliki komitmen untuk menepati janji Para kader akan dapat mencapai integritas, kalau mampu membiasakan diri untuk ‘menepati janji’, tidak ‘mengingkari janji’. Apresiasi dan kepercayaan kepada diri seseorang akan hilang dan luntur, kalau orang tidak pernah menepati janji, atau bahkan ingkar janji. Dalam berkawan dengan sesama para kader, jagalah untuk selalu mengedepankan komitmen untuk setia pada janji. g. Para kader bangsa berintegritas harus memiliki kepedulian pada kebaikan yang lebih besar Para kader memiliki komitmen untuk memberikan perhatian, mencurahkan hati, kepada sosok atau entitas yang telah memberikan kebaikan kepada para kader, dan para kader berkomitmen untuk memberikannya, untuk membalasnya dengan lebih besar. h. Para kader bangsa berintegritas harus memiliki kejujuran dan kerendah-hatian Orang yang berintegritas itu tidak pernah memproklamasikan ‘bahwa dia jujur’ dan ‘bahwa dia rendah hati’. Atau, ‘bahwa dia mencapai ini’, atau ‘mencapai itu’, dan seterusnya. Akan tetapi, kejujuran dan kerendahhatian itu akan kelihatan dari ‘sikap’ dan ‘perilaku’ para kader. Kata-kata harus terkalahkan oleh ‘sikap’ dan ‘perilaku’ itu, bukan justru sebaliknya ‘tindakan para kader berbicara lebih keras daripada kata-kata’.
Halaman 8 d. Para kader bangsa berintegritas harus setia pada sosok lain yang dipandang lebih berintegritas Orang akan dapat mencapai tataran ‘integritas’, kalau orang itu berani dan mau dekat dengan sosok-sosok yang memiliki integritas. Jadi, berusaha berdekat-dekatlah dengan sosok-sosok yang memiliki integritas itu, bukan justru sebaliknya dengan yang tidak memiliki integritas. Maka dengan sendirinya, para kader akan ikut mempromosikan integritas, karena para kader hidup dalam kalangan orang-orang yang berintegritas, dalam komunitas yang penuh dengan integritas. 4. Penutup Generasi Emas 2045 adalah sebuah keniscayaan. Artinya, mau tidak mau, suka tidak suka, generasi emas itu akan datang dan harus datang, dan harus pula dipersiapkan kedatangannya. Berkaitan dengan itu, pengembangan sumber daya manusia oleh lembaga apa pun, termasuk Yayasan Bhumiksara, harus bervisi pengembangan sumberdaya manusia yang berintegritas. Alasannya, sumber daya manusia yang merupakan Generasi Emas itu sesungguhnya menunjuk pada generasi yang penuh integritas. Terdapat sejumlah ciri yang menunjuk pada dimensi keintegritasan sumber daya manusia, yang dapat dipegang oleh sejumlah lembaga untuk mengembangkan sumber daya manusia, berturut-turut yakni: (1) Para kader bangsa berintegritas harus memiliki kesetiaan pada hal-hal kecil; (2) Para kader bangsa berintegritas harus mampu menemukan sesuatu yang benar; (3) Para kader bangsa berintegritas harus memiliki rasa tanggung jawab; (4) Para kader bangsa berintegritas harus memiliki budaya percaya/‘trust’; (5) Para kader bangsa berintegritas harus memiliki komitmen untuk menepati janji; (6) Para kader bangsa berintegritas harus memiliki kepedulian pada kebaikan yang lebih besar; (7) Para kader bangsa berintegritas harus memiliki kejujuran dan kerendah-hatian; (8) Para kader bangsa berintegritas harus setia pada sosok lain yang dianggap para kader lebih berintegritas. Daftar Rujukan Koesoema, A. Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo Kompas (Edisi-edisi Maret 2013). Majalah Educare KWI (Edisi-edisi Tahun 2012 s.d 2013). Munthe, Bermawi. 2010. Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media
Penulis adalah dosen di Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Universitas Sanata Dharma
Jurnal Bhumiksara
Halaman 9
PENDIDIKAN BERMAKNA MENUJU MASA DEPAN INDONESIA Dr. Salman Habeahan
PENDIDIKAN yang baik dan bermutu merupakan paspor untuk meningkatkan harkat dan martabat seseorang. Melalui pendidikan yang bermutu kita dapat membangun masa depan yang lebih baik. Atas dasar keyakinan inilah persoalan pendidikan merupakan salah satu persoalan yang sangat urgen, yang harus mendapat perhatian banyak pihak. Pendidikan yang bermakna menuju masa depan Indonesia merupakan topik yang menarik dan menjadi salah satu tema refleksi yang penting dalam konteks kondisi pendidkan kita yang masih carut marut. Pendidikan Bermakna menuju Masa depan Indonesia merupakan topik besar dan penting menjadi sebuah harapan bahwa melalui pendidikan yang bermakna akan dapat terwujud Masa Depan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera sesuai dengan cita-cita Proklamasi kita. Pendidikan Bermakna Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Bermakna? Apakah ada pendidikan yang tidak bermakna? Dalam setiap proses pendidikan diharapkan sekurang-kurangnya ada makna yang diperoleh peserta didik, dari tidak tahu menjadi tahu (change). Masalahnya adalah proses pendidikan itu sendiri belum berjalan sesuai dengan harapan dan hakekat pendidikan untuk membimbing anak bertumbuh menjadi manusia yang cerdas seutuhnya. Artinya, pendidikan bermakna yang dicita-citakan belum berjalan menghantarkan peserta didik mampu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan terampil serta berkepribadian, berbudi pekerti yang luhur. Gagasan pendidikan bermakna menjadi sebuah harapan karena kondisi pendidikan kita dewasa ini belum berhasil membimbing anak pada makna yang sejati. Pendidikan kita banyak digegoroti oleh ideologi pasar dan makna sempit pendidikan, sekedar membuat anak tahu dan terampil dalam bidang tertentu, sehingga secara perlahanlahan terjadi pergeseran makna pendidikan, berubah menjadi sebuah lembaga pelatihan yang mampu menyiapkan peserta didik agar terserap dalam dunia kerja industri (Antonio Gramsci).
Kondisi persekolahan kita semakin diperparah oleh kuatnya arus dan ideologi pasar industri yang secara intensif dan sistematis menggerogoti pengelolaan persekolahan kita sehingga muncul komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Lembaga pendidikan kita secara perlahan-lahan kehilangan rohnya, dan lulusan persekolahan kita pun kehilangan makna dan nilai terdalam dari tujuan hidupnya. Hal ini terindikasi dari output lembaga pendidikan tinggi kita cenderung wawasan keilmuannya sempit dan moralitas rendah, cenderung larut dalam kehidupan yang pragmatis, hedonis, dan materialistis. Pendidikan bermakna pada dasarnya bertujuan untuk membimbing peserta didik agar dapat menjalani dan memaknai kehidupan. Maka ada sekurang-kurangnya tiga tujuan pendidikan bermakna yang harus dicapai oleh preserta didik: kemampuan untuk dapat hidup secara mandiri, hidup secara bermakna dan kemampuan untuk hidup dengan mengembangkan kehidupan. Tujuan pendidikan ini sangat berat dan tampaknya belum berhasil dijawab oleh sistem pendidikan nasional kita (Mochtar Buchori). Bila kita lihat lebih jauh bagaimana pendidikan bermakna di atas dapat terwujud dalam proses pendidikan kita. Pertama, kemampuan untuk dapat hidup secara mandiri. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik melalui proses pendidikan di sekolah diharapkan dapat membuat seseorang mampu untuk menghidupi diri sendiri. Kemampuan ini dapat terwujud melalui cara-cara yang menghormati arti dan makna kehidupan, martabatnya sebagai pribadi yang luhur dan mulia. Hal yang memprihatinkan, tidak jarang output lembaga pendidikan kita terpaksa harus menjual harga dirinya yang suci dan mulia untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dan masih banyak juga out put lembaga pendidikan tinggi kita yang belum mampu hidup secara mandiri (alias pengangguran) sehingga menjadi beban masyarakat.
Jurnal Bhumiksara
Kedua, hidup secara bermakna. Membangun hidup secara bermakna tidak cukup diperoleh melalui lembaga pendidikan formal di dalam kelas. Membangun hidup secara bermakna membutuhkan proses dan pergumulan panjang sebab setiap komunitas terkadang memiliki ukurannya sendiri mengenai hidup bermakna, dan sangat ditentukan values yang mendasari hidup setiap individu dan kelompoknya. Bagi sekelompok orang hidup bermakna dilihat dan dinikmati melalui harta, uang banyak, dan kedudukan yang tinggi. Tapi bagi sekelompok orang termasuk penulis, hidup bermakna dapat diukur melalui sebuah cara hidup yang memberikan arti dan makna bagi banyak orang (Man for Others). Ia menjadi garam dan terang bagi orang-orang di sekelilingnya. Kedua pandangan mengenai hidup yang bermakna di atas tidak perlu dipertentangkan. Harta, uang banyak dan kedudukan yang tinggi merupakan sarana dan momentum untuk mewujudkan hidup yang bermakna melalui sikap dan tindakan orang beriman yang bersedia berbagi dan berbela rasa. Peran keluarga sebagai pendidik utama dan pertama, serta komunitas kerasulan intelektual menjadi sangat penting dan strategis dalam membangun hidup secara bermakna. Bagaimana proses pendidikan kita dapat mengembangkan pendidikan bermakna? Salah satu model pendidikan berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) peserta didik sejak dini dilatih dan dibiasakan berpikir reflektif. Pembelajaran berbasis CTL relevan dalam menumbuhkan pendidikan bermakna karena dikaitkan dengan kehidupan nyata peserta didik secara riil dan kemampuan didasarkan atas pengalaman, dan perilaku siswa dibangun atas kesadaran diri. Pembelajaran menjadi bermakna karena pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi peserta didik bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari. Dan Pembelajaran dipersepsi relevan dengan hidup siswa sehingga mereka mampu melihat relevansi apa yang dipelajari dengan tuntutan kondisi kehidupan kini dan di masa depan. Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui, dialami, dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Dan model pembelajaran berbasis CTL ini dapat membangun pendidikan yang transformatif, menumbuhkan spiritualitas, dan nilai-nilai kehidupan serta responsif
Halaman 10
terhadap budaya, kearifan lokal yang ada dalam setiap komunitas masyarakat yang plural. Pendidikan bermakna, terbuka pada konteks pluralisme budaya, agama, dan kondisi sosial, sehingga terbangun sebuah dialog kehidupan (interreligous dialog) dalam bingkai religiositas yang memerdekakan. Dengan demikian pendidikan bermakna dapat membuat setiap peserta didik mampu untuk hidup bersama (learning to live together), berubah (change) peka dan peduli dengan realitas kehidupan di tengah masyarakat, terbuka berdialog dengan kehidupan, kini dan di masa depan. Ketiga, kemampuan untuk hidup dengan mengembangkan kehidupan. Hidup dan mengembangkan kehidupan yang luhur dan mulia merupakan tugas dan panggilan setiap manusia sebagai citra Allah. Panggilan ini kudus dan bukan saja menjadi tugas lembaga pendidikan kita di sekolah. Sekolah diharapkan dapat menghantar peserta didik mampu hidup di tengah masyarakat dengan komitmen untuk mengembangkan kehidupan; menghargai kehidupan (pro life) dan memuliakan kehidupan itu sendiri melalui tugas dan karya di tengah masyarakat. Mengembangkan kehidupan bukan sekedar pro-kreasi, tetapi juga mendidik anak menjadi dewasa dan mandiri sehingga bertumbuh menjadi pribadi yang memiliki integritas moral yang tinggi. Maka, lembaga pendidikan – persekolahan kita di masa depan diharapkan tidak sekedar mendidik anak pintar, mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi mampu untuk hidup dan mengembangkan kehidupan itu sendiri. Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, dalam Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationes, Gereja menegaskan makna yang amat penting dari pendidikan Kristen adalah: menghantar kaum muda untuk menjadi lebih sadar akan martabatnya sendiri dan tugasnya untuk ikut aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk itulah setiap lembaga pendidikan Katolik diharapkan memiliki keunggulan komparatif (Comparative Advantage) dalam pembinaan pribadi manusia agar menyadari tujuan akhir hidupnya dan panggilan serta perutusannya yang hakiki memajukan kehidupan di tengah masyarakat. Kerasulan Intelektual Membangun pendidikan bermakna menuju masa depan Indonesia tidak hanya tugas lembaga pendidikan – persekolahan melainkan tanggungjawab seluruh stake-
Jurnal Bhumiksara holder pendidikan: orangtua, lembaga pendidikan, pemerintah, masyarakat, serta dunia industri. Kita pantas bertanya ulang: mengapa generasi bangsa kita akhir-akhir ini banyak menunjukkan sikap hidup yang kurang mandiri dan melakukan tindakan yang membuat hidupnya tidak bermakna, serta belum mampu mengembangkan dan memuliakan kehidupan? Fenomena ini mau menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang benar dalam tradisi pendidikan-persekolahan kita, termasuk pendidikan bangsa kita selama ini. Bila kita bercermin pada tujuan pendidikan bermakna, masih banyak tugas dan noda kehidupan yang memalukan dalam diri kita sebagai penanggungjawab pendidikan. Korupsi yang semakin meraja lela, usaha mengatasi kemiskinan yang semakin tidak populer bahkan bukan pilihan politis penyelenggara negara, kekerasan yang semakin marak, bahkan atas nama agama melukai kehidupan, semuanya itu merupakan contoh bahwa pendidikan bermakna sebagai usaha mengembangkan dan memuliakan kehidupan masih jauh dari harapan. Proses pendidikan kita sudah seharusnya tidak dipisahkan keberadaannya dari kondisi sosial kultural yang melingkupinya. Kita harus mengakui bahwa faktor utama dalam maju-mundurnya tingkat kecerdasan dan kebermaknaan kehidupan suatu bangsa memang bukan semata-mata pendidikan, melainkan juga politik. Namun, pendidikan merupakan salah satu penyebab dari timbulnya pasang-surut dalam tingkat kecerdasan dan kebermaknaan kehidupan suatu bangsa. Hal ini mau mengatakan bahwa pada satu sisi kualitas pendidikan diharapkan mampu menciptakan kultur baru di masyarakat dan sebaliknya kultur baru dalam masyarakat memberi orientasi baru bagi suatu proses pendidikan yang bermakna menuju masa depan Indonesia. Masalah-masalah kehidupan kebangsaan kita menunjukkan bahwa reformasi dan transformasi yang kita inginkan haruslah melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakat yaitu transformasi sosial budaya, politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan. Sebagaimana ditegaskan H.A.R. Tilaar, tidak mungkin terjadi transformasi politik tanpa transformasi pendidikan, dan seterusnya tidak mungkin terjadi transformasi pendidikan
Halaman 11 tanpa transformasi politik dan ekonomi. Pendidikan bermakna sebagaimana diuraikan di atas menjadi sebuah harapan untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang menghargai dan memuliakan kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera. Inilah panggilan dan medan tugas kerasulan intelektual untuk memberikan pencerahan (insight) baru dan sebagai lilin-lilin kecil yang memberikan penerangan di tengah kegelapan arah pendidikan kita. Dalam upaya mewujudkan pendidikan bermakna menuju masa depan Indonesia, sudah seharusnya birokrasi pendidikan kita melakukan pembaharuan di bidang pendidikan nasional secara esensial yang bersifat kultural dan politis. Peran intelektual menjadi sangat penting untuk menggali filosofi pendidikan dan nilai-nilai kearifan lokal bangsa kita guna mendesain sebuah konten dan proses pendidikan yang bermakna dan mampu membawa bangsa kita keluar dari krisis multi dimensi yang dihadapi bangsa Indonesia. Dan usaha pembaharuan sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan masa depan Indonesia akan sulit terwujud tanpa dibarengi pembaharuan di bidang politik dan hukum. Dengan demikian dimensi moral-politis sangat penting ketimbang perubahan arah pendidikan (ganti menteri ganti kurikulum) berdasarkan naluri mekanistis (pejabat pemerintah) dan tujuan politis semu. Maka, diharapkan lembaga-lembaga pendidikan kita akan menjadi lembaga konservasi nilai-nilai kehidupan (living values) dan menjadi agen pembaharu untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi nilai-nilai kebermaknaan akan kehidupan, serta mampu memuliakan kehidupan itu sendiri. Melalui karya pendidikan dan kesaksian kerasulan intelektual, kita dapat mengembalikan roh pendidikan bermakna yang semakin redup. Peran intelektual menjadi garam dan terang adalah sebuah harapan. Namun dukungan komunitas kerasulan intelektual (seperti Bhumiksara) merupakan oase yang dirindukan para intelektual Katolik yang tak jarang berada di persimpangan jalan untuk hidup secara mandiri (setia menjadi intelektual), hidup secara bermakna, dan mengembangkan serta memuliakan kehidupan menjadi garam dan terang dunia.
Penulis adalah dosen & PNS di Kementerian Agama, Sekretaris Dewan Penyantun Unika St.Thomas Medan Sumatera Utara
Jurnal Bhumiksara
Halaman 12
Analisis
KONTRIBUSI DALAM MEMBANGUN BANGSA MELALUI PENELITIAN ASAM LEMAK LINOLEAT TERKONJUGASI Prof. Dr. F.M. Suhartati
BEBERAPA tahun terakhir ini penelitian yang saya lakukan terfokus pada Asam Lemak Linoleat Terkonjugasi. Penelitian tentang asam lemak linoleat terkonjugasi pertama kali saya lakukan dengan biaya dari Bogasari Nugraha pada 2005, selanjutnya dari Penelitian Fundamental DIKTI (2008), Strategi Nasional Tahun Anggaran I (2009), Proyek I-MHERE (2010), Penelitian Unggulan tahun pertama (2011) dan tahun kedua (2012). Penelitian berawal dari percobaan in vitro, yang selanjutnya diujicobakan pada ternak, juga pada tikus putih sebagai hewan model, kemudian baru pada tahun 2012 diujicobakan pada wanita yang berusia 40-60 tahun. Berbagai penelitian tentang asam lemak linoleat terkonjugasi dilakukan karena ada permasalahan kesehatan pada manusia yang perlu segera dipecahkan. Permasalahan tersebut antara lain obesitas, tingginya kolesterol darah, atherosclerosis, penyakit jantung koroner, kanker dan lain-lain. Sebagai insan yang berkecimpung dalam dunia peternakan, saya berkeinginan mengambil bagian untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sesuai dengan bidang studi yang saya ampu, yaitu Ilmu Nutrisi dan Produk Ternak Fungsional dan Terapeutik, maka saya melakukan berbagai penelitian rekayasa pakan untuk meningkatkan asam lemak linoleat terkonjugasi yang mempunyai peran dalam mengatasi permasalahan kesehatan manusia. Pengetahuan tentang asam lemak linoleat terkonjugasi (conjugated linoleic acid yang disingkat CLA) sangat menarik untuk dikaji. Hal tersebut karena CLA sangat bermanfaat bagi umat manusia, antara lain berfungsi sebagai lean body mass promotan dan antidiabetic, antioksidative, cholesterol-depressing dan growth promoting, mengurangi atherosclerosis, menurunkan lemak adipose dan Low Density Lipoprotein (LDL); meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) plasma darah. Asam lemak linoleat terkonjugasi (Conjugated linoleic acid yang disingkat CLA) merupakan istilah untuk campuran posisi dan geometri isomer asam lino leat (c9,c12-C18:2n-6)
dengan dua ikatan rangkapnya terkonjugasi (Ecker et al., 2010, Tricon et al., 2006, Kelly et al., 2007). Dapat pula diartikan sebagai nama generik dari campuran posisi dan geometri isomer asam linoleat, yang terutama terdapat dalam produk ternak ruminansia (Desroches et al., 2005), yaitu daging, lemak susu, dan produk olahan susu hewan ruminansia (Battacharya et al., 2006, Kim et al., 2007, Tricon et al., 2006, Meng et al., 2008). Terjadi peningkatan minat terhadap conjugated linoleic acid (CLA) karena sifat potensi terapeutik yang dimilikinya (Christie et al., 2001). Asam lemak linoleat terkonjugasi (CLA) merupakan produk alami tetapi jumlahnya hanya sedikit. Di alam, isomer yang paling melimpah adalah cis-9, trans-11 (c9, t11) (Whigham et al., 2007). CLA juga diproduksi secara sintetis, campuran trans-10, cis-12 CLA (t10, c12-CLA), dan c9 t11-CLA saat ini tersedia sebagai suplemen kesehatan (Meng et al., 2008). CLA komersial diproduksi melalui isomerisasi alkaline dari minyak yang kaya asam linoleat, seperti minyak bunga matahari, dan cenderung mengandung campuran equimolar dari cis-9, trans-11, dan trans-10, cis-12-octadecadienoic acid (Gambar 1), bersama-sama dengan jumlah yang bervariasi (sampai 30%) dari kedua isomer geometri dan posisi (Christie et al., 2001).
Gambar 1. Isomer cis-9, trans-11, dan trans-10, cis-12octadecadienoic acid (Sumber: Christie et al., 2001)
Selain itu, isomer bisa memanjang dan mengalami desaturasi dalam jaringan hewan oleh enzim yang terlibat dalam biosintesis asam arakidonat untuk menghasilkan analog terkonjugasi, yang bahkan mungkin bertanggung jawab untuk aktivitas biologis CLA (Sébédio et al., 1998)
Jurnal Bhumiksara Konsentrasi CLA dalam produk ruminansia lebih tinggi daripada daging non ruminansia (Lawson et al., 2001), karena CLA dibentuk di dalam rumen dari asam linoleat pakan. Oleh karena tanaman tidak mensintesis CLA, lemak susu dan daging ruminansia merupakan sumber utama CLA bagi manusia. Cis-9, trans-11-CLA merupakan health-promoting CLA untuk manusia (Pariza, 2004), dibentuk sebagai senyawa antara selama biohidrogenasi asam linoleat oleh bakteri rumen dan dengan demikian sumber isomer tesebut secara alamiah adalah air susu dan lemak yang berasal dari ruminansia. Isomer CLA utama dalam lemak adalah cis-9, trans-11 CLA, yaitu sekitar 80-90% dari CLA total lemak susu, sedangkan isomer t10, c12 CLA hanya sekitar 1% (Jensen, 2002). Asam lemak linoleat terkonjugasi disintesis baik di rumen sebagai hasil biohidrogenasi tak lengkap asam linoleat, maupun di jaringan melalui Δ9-desaturasi vaccenic acid (VA;18:1 trans-11) (Or-Rashid et al., 2007, Desroches et al., 2005). Rataan kandungan CLA dalam air susu bervariasi antara 0,3 sampai dengan 0,6% dari total asam lemak (Dhiman et al., 2000). Oleh karena level CLA dalam makanan sangat minimal, berbagai penelitian menggunakan sumber CLA sebagai pakan tambahan telah dilakukan untuk menghasilkan produk hewani yang kaya CLA (Hwangbo et al, 2006;. Kim et al, 2007). Isomer utama CLA dalam lemak susu adalah cis-9, trans11, yang merupakan 80-90% dari total CLA (Sehat et al, 1998). Dalam kondisi pakan tertentu proporsi isomer trans-10,cis-12 CLA meningkat. Jadi faktor pakan juga mengubah arah jalur biohidrogenasi dalam rumen. Rendahnya proporsi isomer cis-9, trans 11 dalam lemak daging dibandingkan dengan lemak susu mungkin berhubungan dengan diet rendah serat. Rumput kaya akan C18:3 dan konversi trans-11 C18:1 menjadi C18:0 merupakan tahapan dengan kecepatan yang terbatas dalam biohidrogenasi, maka sejumlah substansi trans 11 C18:1 diabsorbsi postruminally pada hewan yang diberi pakan rumput. Trans-11 C18:1 dapat di desaturasi menjadi CLA oleh enzim jaringan yang berbeda, sebagai contoh adalah Δ9-desaturase dalam kelenjar mammary. Hal tersebut yang menyebabkan tingginya level CLA yang terdapat dalam air susu sapi yang diberi pakan pasturebased diet (Chilliard et al., 2001). Berbeda dengan rumput, pakan konsentrat yang tinggi menyebabkan rendahnya CLA. Berdasarkan penelitian Silva et al (2002) diperoleh hasil bahwa kandungan CLA dalam jaringan intramuskular domba yang hidup dalam pasture lebih tinggi daripada domba yang diberi pakan konsentrat. Struktur Kimia Isomer Conjugated Linoleic Acid dan Asam Linoleat, Asam Lemak trans-10,cis-12 octadecadienoic, cis-9, trans-11 octadecadienoic acid, dan cis-9, cis-12
Halaman 13 octadecadienoic acid (Asam Linoleat) tercantum dalam Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia Isomer Conjugated Linoleic Acid dan Asam Linoleat. Asam Lemak trans-10,cis-12 octadecadienoic (A), cis-9,trans-11 octadecadienoic acid (B) dan cis-9, cis-12 octadecadienoic acid (Asam Linoleat) (C) (Sumber: Bauma et al., 1999).
Berbagai rekayasa pakan untuk meningkatkan CLA dalam air susu dan daging telah saya lakukan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ternyata pakan yang diuji lebih berpengaruh terhadap peningkatan CLA air susu jika dibandingkan pada daging. CLA air susu dapat meningkat 130% jika dibandingkan dengan pakan tradisional yang biasa diberikan oleh peternak dan sapi diperah empat jam setelah diberi pakan rumput. Air susu tersebut telah diujicobakan pada tikus putih betina galur Wistar. Kesimpulannya adalah bahwa air susu yang kaya CLA dapat memperlambat pertambahan bobot badan tikustikus yang sudah hiperlipidemia, menurunkan kandungan kolesterol total dan Low Density Lipoprotein (LDL) serta meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) (Suhartati dkk., 2011) Selain pada tikus putih, air susu hasil rekayasa pakan juga sudah saya uji cobakan kepada manusia, yaitu wanita penderita dislipidemia. Berdasarkan wawancara dengan responden diperoleh hasil bahwa setelah mengkonsumsi air susu, buang air besar menjadi lancar, perut rasanya lega, pegal-pegal yang biasanya dirasakan hilang, yang biasanya mudah masuk angin, setelah mengkonsumsi air susu menjadi sehat. Ada juga responden yang sebelumnya merasa semutan, setelah mengkonsumsi, rasa semutan hilang, dan tidur lebih nyenyak. Bagi penderita dislipidemia, mengkonsumsi air susu sapi yang kaya asam lemak linoleat terkojugasi sebanyak 300ml/orang/hari dapat menurunkan trigliserida, LDL-cholesterol dan meningkatkan HDL-cholesterol. Semua kegiatan yang saya lakukan termasuk penelitian merupakan wujud rasa syukur saya atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Atas kuasa Roh Kudus saya mendapat pencerahan untuk mencari permasalahan sebagai landasan dalam merancang suatu penelitian. Tanpa bantuan Roh Kudus, saya tidak mempunyai kemampuan
Jurnal Bhumiksara
Halaman 14
saya dalam merancang dan melaksanakan penelitian karena ada campur Tangan Tuhan. Manusia diberkahi oleh Tuhan suatu sifat ingin tahu.
Keagungan Tuhan antara lain dengan cara menjadi peneliti yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik bagi kemaslahatan orang banyak.
Keingintahuan seseorang terhadap permasalahan di sekelilingnya dapat menjurus kepada keingin-tahuan ilmiah. Saya menyadari sepenuhnya bahwa penelitian bukanlah prakarsa manusia, sebab mula-mula yang mengambil inisiatif adalah Tuhan. Prakarsa datang dari Tuhan diturunkan kepada manusia melalui hasrat ingin tahunya. Oleh karena itu sudah sepantasnya dan selayaknya bila setiap saat saya memuji syukur atas
Saya berharap bagi para cendekia Kristiani dapat menjadi garam masyarakat melalui kepakarannya. Hendaklah menjadi cendekia yang humanis dan religius. Bagi saya Bhumiksara sudah sangat baik dalam segala hal. Tidak ada pesan bagi Bhumiksara, saya hanya dapat memujikan Bhumiksara tetap jaya dan eksis.
DAFTAR PUSTAKA Bauman, D. E., L. H. Baumgard B. A. Corl and J. M. Griinari. 1999. Biosynthesis of conjugated linoleic acid in ruminants. Proceedings of the American Society of Animal Science. 1-15. Bhattacharya, A., J. Banu, M. Rahman, J. Causey, G. Fernandes. 2006. Biological effects of conjugated linoleic acid in health and disease. J. Nutr. Biochem. 17(12) 789-810. Chilliard, Y., A. Ferlay, M. Doreau. 2001. Effect of different types of forages, animal fat or marine oils in cow's diet on milk fat secretion and composition, especially conjugated linoleic acid (CLA) and polyunsaturated fatty acids. Livestock Production Science:70:31-48. Christie, W. H., J. L. Sébédio and P. Juanéda. 2001. A Practical Guide To The Analysis Of Conjugated Linoleic Acid (CLA). Inform, 12: 147-152 Desroches S., P. Y. van Chouinard, I. Galibois, L. Corneau, J. Delisle, B. Lamarche, P. Couture, and N. Bergeron. 2005. Lack of effect of dietary conjugated linoleic acids naturally incorporated into butter on the lipid profile and body composition of overweight and obese men. Am J Clin Nutr 82:309 –319. Ecker,J., G. Liebisch, M. Scherer and G. Schmitz. 2010. Differential effects of conjugated linoleic acid isomers on macrophage glycerophospholipid metabolism. J Lipid Res. 51(9): 2686–2694. Hwangbo, J., J. H. Kim, B. S. Lee, S. W. Kang, J.-S. Chang, H. D. Bae, M. S. Lee, Y. J. Kim, and N.-J. Choi. 2006. Increasing content of healthy fatty acids in egg yolk of laying hens by cheese byproduct. Asian-australas J. Anim. Sci. 19:444–449. Jensen, R. G. 2002. The composition of bovine milk lipids. J Dairy Sci 85: 295–350. Kelly, N.S., F.H. Neil and K.L. Erickson, 2007. Conjugated linoleic acid isomer and cancer. J.Nutr., 137:2599-2607. Kim, J. H., J. Hwangbo, N.-J. Choi, H. G. Park, D.-H. Yoon, E.W. Park, S.-H. Lee, B.-K. Park, and Y. J. Kim. 2007. Effect of dietary supplementation with conjugated linoleic acid, with oleic, linoleic, or linolenic acid, on egg quality characteristics and fat accumulation in the egg yolk. Poult. Sci. 86:1180–1186. Lawson, R. E., A. R. Moss, and D. I. Givens. 2001. The role of dairyproducts in supplying conjugated linoleic acid to man’s diet: A review. Nutr. Res. Rev. 14:153–172.
Penulis adalah guru besar dan peneliti di Universitas Soedirman
Meng, X. S. F. Shoemaker, S. O. McGee, and M.M. Ip. 2008. t10,c12Conjugated linoleic acid stimulates mammary tumor progression in Her2/ErbB2 mice through activation of both proliferative and survival pathways. Carcinogenesis. 29(5): 1013–1021. Or-Rashid,M.M., N. E. Odongo, and B. W. McBride. 2007. Fatty Acid Composition Of Ruminal Bacteria And Protozoa, With Emphasis on Conjugated Linoleic Acid, Vaccenic Acid, and Odd-Chain and BranchedChain Fatty Acids. Pariza, M. W. 2004. Perspective on the safety and effectiveness ofconjugated linoleic acid. Am. J. Clin. Nutr. 79:1132S–1136S Sébédio, J.L., P. Juanéda, G. Dobson, I. Ramilison, J.C. Martin, J.M. Chardigny, J.M. and W. W. Christie. 1997. Metabolites of conjugated isomers of linoleic acid (CLA) in the rat. Biochim. Biophys. Acta 1345: 5-10 Sehat, N., J. K. G. Kramer, M. M. Mossoba, M. P. Yurawecz, J. A. G. Roach, K. Eulitz, K. M. Morehouse, and Y. Ku. 1998. Identification of conjugated linoleic acid isomers in cheese by gas chromatography, silver ion high performance liquid chromatography and mass spectral reconstructed ion profiles. Comparison of chromatographic elution sequences. Lipids 33:963-971 Silva, S.J.R., J.B. Bessa and F.S. Silva. 2002. Effect of Genotype, Feeding System and Slaughter Weight on The Quality of Light Lambs. II. Fatty Acids Composition of Meat. Livestock Production Science. 77:187-194. Suhartati, F.M., W. Suryapratama dan S. Rahayu. 2011. Penggunaan Air Susu Sapi yang Kaya Asam Lemak Linoleat Terkonjugasi Sebagai Upaya Untuk Menurunkan Bobot Badan, Kolesterol, LDL dan meningkatkan HDL Darah. Laporan penelitian Unggulan (Tidak dipublikasi). Suhartati, F.M. dan J. Mulyanto. 2012. Penggunaan Air Susu Sapi Yang Kaya Asam Lemak Linoleat Terkojugasi Sebagai Upaya Untuk Kendali Metabolik (Studi Kasus Pada Penderita Dislipidemia). Laporan Penelitian Unggulan. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Tricon, S., G. C. Burdge, E.L. Jones, J. J. Russell, S. El-Khazen, M. Williams, P. C. Calder, and P. Yaqoob. 2006. Effects of dairy products naturally enriched with cis-9,trans-11 conjugated linoleic acid on the blood lipid profile in healthy middle-aged men. Am J Clin Nutr 83:744 –53. Whigham, L. D., A. C Watras, and D. A. Schoeller. 2007. Efficacy of conjugated linoleic acid for reducing fat mass:a meta-analysis in humans. Am J Clin Nutr . 85:1203–11.
Jurnal Bhumiksara
Halaman 15
REVITALISASI BUDAYA POLITIK INDONESIA Drs. Ign. Agung Satyawan, S.E., S.Ikom, M.Si
KETIKA gelombang gerakan reformasi muncul dan berhasil menumbangkan rezim Orde Baru tahun 1998, fajar harapan perubahan ekonomi-politik di Indonesia yang lebih demokratis seakan-akan sudah berada di pelupuk mata. Eforia perombakan serangkaian institusi politik beserta fungsi-fungsinya segera dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat. Sekedar contoh perombakan tatanan kenegaraan antara lain adalah amandemen UUD 45, pemberlakuan undang undang tentang urusan politik, hukum dan pemerintahan yang lebih demokratis dan adil, pembentukan institusi politik baru untuk lebih menjamin saling kontrol mekanisme kekuasaan seperti Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi, serta diciptakannya berbagai komisi ad-hoc seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang membantu fungsi institusi yang sudah ada namun tidak berjalan secara maksimal. Demikianlah, beberapa tahun pasca Orde Baru, Indonesia Baru yang lebih demoratis, adil dan sejahtera benar-benar akan terwujud. Namun setelah 14 tahun berlalu, harapan yang membuncah pada awal reformasi seakan-akan kuncup kembali. Meski sudah dipimpin oleh empat orang presiden secara silih berganti, Indonesia Baru yang diimpikan belumlah terwujud, bahkan disinyalir lebih buruk daripada Orde Baru. Memang ada kemajuan yang dicapai antara lain terjaganya stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terciptanya suprastruktur politik yang demokratis, serta pertumbuhan ekonomi yang konsisten. Angka pertumbuhan GDP Indonesia tahun 2012 mampu mencapai 6,3%, walau lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar 6,5%. Disamping cerita sukses yang telah diraih pada masa reformasi ini, ternyata ada banyak indikator yang harus dicermati secara serius untuk mencegah Indonesia menuju negara gagal. Indikator tersebut antara lain Indeks Daya Saing Global yang dikeluarkan oleh World Economic Forum. Pada tahun 2012, Indeks Daya Saing Global Indonesia menurun pada peringkat 50 dari 144 negara. Tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat 46. Demikian pula Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tergolong rendah. Pada tahun 2010 posisi IPM
Indonesia berada pada peringkat 108, kemudian menurun pada peringkat 124 dengan skor 0,617 dari 187 negara yang disurvai pada tahun 2011. Pada tahun 2012, IPM Indonesia mengalami sedikit kenaikan menjadi peringkat 121. Di kawasan ASEAN, peringkat Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Untuk Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International, pada tahun 2012 peringkat Indonesia berada di posisi 118, sama dengan peringkat negara Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. Ironisnya, peringkat Indonesia ini berada di bawah Timor Leste. Intinya, Indonesia masih tergolong negara dengan tingkat korupsi tinggi di dunia, terutama korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun elit politik. Belum lagi dengan angka tindak kekerasan, intolerensi berdasarkan isu SARA, tawuran pelajar dan mahasiswa, kriminalitas serta bentrok sesama aparat negara yang pada akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Menilik fenomena di atas, meskipun ada prestasi dalam membangun suprakstruktur politik selama reformasi, perilaku elit politik maupun warga negara biasa belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Pendek kata, ada persoalan budaya politik yang perlu dicermati. Menuju Budaya Politik Indonesia yang Ideal Ada begitu banyak definisi tentang budaya politik yang tidak mungkin dibahas secara mendetail di ruang yang terbatas ini. Beberapa ahli berpendapat bahwa wujud budaya politik berakar dari aliran paham dan tradisi dari sub-kelompok di dalam suatu masyarakat politik. Clifford Geertz, misalnya mendeskripsikan ada tiga aliran besar di Indonesia (baca: Jawa) yaitu aliran Santri, Abangan dan Priyayi (Geertz, 1960). Demikian pula Herbert Feith menganalisa lima aliran dalam politik Indonesia, terutama pada masa Orde Lama yaitu Komunisme, Sosialisme Demokrat, Islam, Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa (Feith dan Castles, 1970). Aliran ini terrefleksi pada kekuatan dan partai-partai politik saat itu. Meskipun pola aliran ini sudah tidak valid pada kondisi saat ini, sisa-sisanya masih terlihat pada landskap politik Indonesia kontemporer.
Jurnal Bhumiksara Dalam pandangan yang berbeda, Gabriel Almond dan Sidney Verba mengartikan budaya politik sebagai civic culture (budaya kewarganegaraan) yaitu orientasi warga negara terhadap obyek-obyek politik dalam sistem politik negara yang bersangkutan. Orientasi ini berupa orientasi kognitif, afektif, dan evaluatif. Distribusi orientasi politik dapat membedakan tiga tipe budaya kewarganegaraan yaitu: pertama, tipe parokial yang ditengarai dengan banyaknya warga negara yang tidak terlibat dalam proses politik. Kedua, tipe subyek yaitu warga negara yang mempunyai orientasi pasif terhadap proses politik. Kalaupun terlibat dalam kegiatan politik hanya sebatas pada implementasi dari out-put kebijakan yang telah dibuat. Ketiga, tipe partisipan yaitu suatu keadaa dimana warga negara mempunyai orientasi tinggi terhadap proses politik, baik proses input dalam perumusan kebijakan maupun pada proses out-put politik (Almond dan Verba, 1963). Sistem politik yang stabil menandakan ada kesesuaian antara berfungsinya suprastruktur dengan tipe budaya politiknya (Welsel dan Inglehart, 2008). Sistem politik demokratis, misalnya, akan bertahan jika warga negaranya mempunyai tipe budaya partisipan. Sebaliknya, sistem politik otoritarian akan ditopang dengan tipe budaya subyek. Sementara itu pada kesempatan lain, Verba menyatakan bahwa budaya politik adalah produk proses sosial yang dialami oleh individu warga negara sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, inti budaya politik adalah proses pembelajaran politik atau sosialisasi politik (Verba, 1965). Apa yang dipelajari tidak lain adalah nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan politik yang akan dijadikan rujukan dalam berperilaku politik. Ada dua sumber dalam proses pembelajaran yakni sumber langsung dan tidak langsung. Sumber tidak langsung terdapat pada peran yang dimainkan oleh institusi sosial seperti keluarga, sekolah dan peer group (kelompok bermain). Sumber tidak langsung ini berperan dalam membatinkan nilai-nilai sosial, etika maupun keutamaan-keutamaan sosial lainnya yang tidak berkaitan dengan muatan politik, namun akan mendasari penerimaan nilai-nilai politik ketika individu dewasa. Pada intinya, sumber tidak langsung ini mendidik individu agar mempunyai kepribadian matang secara sosial. Dalam konteks Indonesia, barangkali perlu ditambahkan peran organisasi sosial keagamaan dalam membentuk keutamaan individu. Sedangkan sumber langsung adalah institusi sosial yang bertugas memberi pembelajaran nilai-nilai politik seperti media massa, organisasi kema-
Halaman 16 syarakatan, partai politik maupun keteladanan para elit politik. Persoalan akan menjadi runyam manakala institusi sosial ini tidak mampu memberi pembelajaran nilai-nilai politik sebagaimana mestinya. Padahal nilainilai politik ini penting untuk dijadikan rujukan individu warga negara guna menentukan orientasi politiknya terhadap sistem politik yang sedang berjalan. Langkah mana yang mesti didahulukan untuk merevitalisasi budaya politik sepertinya akan terjebak pada dilema lingkaran setan. Bagi warga negara yang menyadari bahwa ada persoalan besar yang menghadang di depan bangsa ini, pasti akan melakukan sesuatu yang dapat mereka lakukan. Para ahli pendidikan telah mengatakan bahwa masa efektif untuk membatinkan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan sosial terjadi ketika individu masih kanak-kanak. Dengan kata lain, institusi keluarga menjadi entry-point untuk merivitalisasi budaya politik. Disinilah letak tanggung jawab orang tua untuk mendidik putera-puterinya agar menjadi manusia utama kelak ketika mereka dewasa. Namun celakanya, terutama yang terjadi di kota-kota besar, tugas dan kewajiban orang tua sebagai pendidik utama sedikit banyak diserahkan kepada institusi lain seperti sekolah. Sementara itu, institusi sekolah lebih disibukkan dengan aspek pengajarannya daripada aspek pendidikan. Belum lagi jika tiba saatnya diberlakukan kurikulum baru, pihak sekolah lebih disibukkan dengan urusan administrasi-birokrasi pengajaran. Akibatnya, peserta didik akan mencari acuan nilai dan rujukan berperilaku diluar instusi sekolah. Pada era globalisasi sekarang ini mereka dengan mudah menemukannya melalui media massa maupun media sosial yang nyaris tidak terkontrol. Bahkan tidak jarang mereka menemukan rujukan nilai di jalanan. Selain institusi keluarga, institusi sosial keagamaan dapat memainkan peranan penting dalam membatinkan nilainilai moral pada masa individu masih dalam usia muda. Para pemuka agama beserta institusi keagamaan seperti masjid dan gereja dengan cara masing-masing mempunyai tanggung jawab dalam membentuk etika dan moral individu yang masih muda ini tanpa terjebak pada fanatisme sempit dan berkutat pada aspek ritualliturgial belaka. Disini letak posisi strategis institusi keagamaan dalam memberi pencerahan sehingga jelas mana batas ruang lingkup agama dan mana batas ruang lingkup sosial sehingga individu yang bersangkutan mampu membangun relasi sosial dengan individu yang beragama lain dengan penuh persaudaran dan rasa saling menghargai.
Jurnal Bhumiksara
Mengingat Bangsa Indonesia tersusun dari entitas yang plural, tabrakan antar kepentingan ikatan-ikatan primordial merupakan bahaya laten dan jika tidak dikelola secara serius, ia akan mengancam eksistensi NKRI. Ikatan-ikatan primordial ini mampu membentuk sub-budaya politiknya sendiri yang pada gilirannya akan bertabrakan dengan budaya politik nasional (civic culture). Sebetulnya persoalan ini sudah diselesaikan oleh para bapak dan ibu pendiri bangsa ini. Melalui perdebatan yang sengit namun cerdas dan inspiratif yang jarang kita temukan pada masa sekarang ini, dimulai pada masa pergerakan sampai menjelang Indonesia merdeka, mereka menemukan bahwa dalam ikatan primordial itu masing-masing mempunyai keutamaan (local wisdom). Keutaman-keutamaan tersebut saling berpotongan satu sama lain dan membentuk cross-cutting consensus. Keutamaan-keutamaan yang dapat diterima bersama inilah yang kemudian dijadikan konsensus untuk menjadi nilai dasar dalam membentuk bangsa dan negara Indonesia. Nilai dasar itulah yang kita kenal dengan Pancasila. Maka sebenarnya esensi persoalan budaya politik Indonesia adalah membatinkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sedemikian rupa sehingga menjadi acuan utama warga negara Indonesia untuk berperilaku. Upaya-upaya untuk melakukan hal tersebut menjadi tanggung jawab setiap institusi sosial yang ada sesuai dengan ruang lingkupnya masing-masing, termasuk di dalamnya adalah keluarga. Hanya budaya politik yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila itulah yang mampu menopang berdirinya NKRI. Berkaitan dengan Bhumiksara sebagai intitusi sosial kemasyarakatan yang berlandaskan pada keyakinan Katolik, mempunyai peran strategis terutama dalam mempersiapkan generasi muda Katolik yang bermutu dan berbudaya politik selaras dengan nilai-nilai ajaran Gereja sekaligus selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Pendek kata, Bhumiksara dapat membentuk, walaupun dalam jumlah yang kecil, pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh dan bertanggung jawab sebagai warga negara sekaligus warga Gereja. Bhumiksara dapat melengkapi peran Hirarkhi Gereja dalam membatinkan nilai-nilai Katolik sehingga menjadi batu penjuru untuk berpola pikir dan berperilaku kaum muda Katolik. Selain dengan pemberian bea-siswa dan pembinaan secara berkelanjutan, Bhumiksara dapat mengambil peluang untuk mempopulerkan Ajaran Sosial Gereja (ASG). ASG ini
Halaman 17
merupakan khasanah kekayaan Gereja yan tak ternilai namun jarang disentuh dan dipelajari secara intens umat Katolik. Salah satu sebabnya adalah bahasa ASG terlalu kering dan sulit dipahami. Disinilah menurut hemat penulis, menjadi peluang bagi Bhumiksara untuk menyederhanakan bahasa ASG dan mengkontekstualkannya pada masa sekarang sehingga lebih mudah dipahami dan sekaligus mendesiminasikan bukan saja kepada kaum muda namun juga kepada khalayak umum termasuk yang non Katolik. Pengalaman penulis dengan Bhumiksara adalah berkaitan dengan layanan literatur. Sekitar tahun 1990 an ketika literatur masih terbatas dan internet belum sepopuler seperti sekarang ini, kiriman literatur dari Bhumiksara boleh dikatakan menjadi seperti oase. Sedikit banyak literatur tersebut dapat menambah pengetahuan namun yang lebih penting dapat membentuk cara pikir yang lebih matang. Selain kiriman literatur, layanan lain yang barangkali perlu dikembangkan adalah sapaan-sapaan yang lebih bersifat personal dan alangkah baiknya berkembang menjadi wacana diskusi yang mencerdaskan, mengingat interaksi seperti ini dapat dengan mudah dilakukan melalui media sosial. Dalam konteks tulisan ini, kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai implementasi membentuk budaya politik karena budaya politik bukanlah kata benda namun kata kerja yang selalu bergerak tanpa berkesudahan. Catatan penutup Ketika mengetahui banyak kegagalan yang dialami Indonesia dalam membangun ekonomi-politik-hukumsosial pada masa reformasi ini, orang kemudian menyalahkan ketidakbecusan penyelenggara negara, partai politik, aturan yang tidak adil dan sebagainya. Pendek kata, sumber kesalahan berada pada pihak lain. Meski asumsi ini ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar. Barangkali diri kita sendiri mempunyai andil dalam menciptakan kesalahan itu. Indikator negatif yang disandang Indonesia bersumber dari budaya politik yang kurang sesuai dengan harapan pasca Orde Baru untuk menciptakan Indonesia Baru. Budaya politik merupakan proyek bersama bangsa ini, termasuk diri kita. Untuk melakukan revitalisasi budaya politik maka perlu kontektualisasi nilai-nilai yang telah menjadi konsensus bersama yakni Pancasila agar dapat menjadi acuan nilai untuk berperilaku sebagai warga negara. Sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, kontektualisasi dan sekaligus
Jurnal Bhumiksara pembatinan nilai-nilai maupun keutamaan-keutaman termasuk di dalamnya nilai Pancasila dapat dilakukan oleh setiap warga negara, misalnya dalam institusi terkecil masyarakat, yakni keluarga. Revitalisasi budaya politik bukanlah pekerjaan mudah seperti membalik telapak tangan. Ia adalah proyek besar bangsa ini yang memerlukan kontribusi setiap komponen yang ada. Oleh karena itu, hasilnya pun tidak akan terlihat seketika. Pembentukan budaya politik adalah pekerjaan terus menerus dari generasi ke generasi.
Halaman 18 Bhumiksara sebagai intitusi sosial yang berlandaskan nilainilai Katolik mempunyai posisi strategis untuk membentuk budaya politik terutama di kalangan generasi muda Katolik untuk membentuk individu sebagai warga negara dan warga Gereja yang bertanggung jawab. Peran seperti ini perlu dipertahankan dan dikembangkan dengan modelmodel yang baru di masa mendatang. Selamat berpesta perak Yayasan Bhumiksara.
Referensi Almond, G. A. dan Verba, S. (1963). The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Princeton: Princeton University Press. Almond, G.A. dan Verba, S. (Eds.). (1980). The Civic Culture Revisited. London: Sage Publication. Feith, H. & Castles, L. (1970). Indonesian Political Thinking, 1945-1965. Ithaca: Cornell University Press Geertz, C. (1960). TheReligion of Java. London: Free Press. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Sangat Rendah, http://nasional.kompas.com/read/2012/04/17/12214022/Indeks%20Pembangunan%20Manusia%20Indonesia%20Sangat%20Rendah Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Peringkat 118 Dunia, http://www.kemendagri.go.id/news/2012/12/07/indeks-persepsi-korupsi-indonesiaperingkat-118-dunia Indonesia sees 2012 GDP growth at 6.3%, lower than target, http://www.straitstimes.com/breaking-news/se-asia/story/indonesia-sees-2012gdp-growth-63-lower-target-20121106 Marijan, K. (2010). The Study of Political Culture in Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik, 12(2), 57-66 Penurunan Peringkat Daya Saing Indonesia Tahun 2012, http://www.bappenas.go.id/blog/?p=826 Peringkat Korupsi 2012: Indonesia Masih Jawara di Dunia, http://www.srie.org/2012/12/peringkat-korupsi-2012-indonesia-masih.html UNDP: Indeks Pembangunan Manusia RI Naik, http://www.solopos.com/2013/03/19/undp-indeks-pembangunan-manusia-ri-naik-389206 Verba, S. (1965). Comparative Political Culture. Dalam L. Pye dan S. Verba (Eds.).Political Culture and Political Development. Princeton:Princeton University Press. Welzel, C. dan Inglehart , R. (2008).Political Culture, Mass Beliefs, and Value Change.http://www.worldvaluessurvey.org/wvs/articles/folder_published/publication_580/files/OUP_ch09.pdf
Penulis adalah dosen di Universitas Sebelas Maret
Jurnal Bhumiksara
Halaman 19
MENGGUGAT ETIKA PENYELENGGARA PEMILU Dr. Osbin Samosir, M.Si
SALAH satu keunggulan dari kalangan kader Katolik adalah ketika integritas kepribadiannya menjadi sangat tangguh sehingga menjadi panutan dalam pola kerjanya. Integritas tersebutlah yang membuat kalangan Katolik kerap dipercaya memegang jabatan-jabatan kunci baik di organisasi nasional yang plural maupun dalam lembagalembaga kenegaraan. Bhumiksara lahir justru untuk penciptaan regenerasi Katolik yang bermartabat dan berintegritas tersebut. Tetapi rupanya persolan integritas yang unggul tersebut dewasa ini tidak lagi hanya menjadi pekerjaan rumah kalangan Katolik saja, tetapi menjadi pekerjaan bersama bagi seluruh anak-anak bangsa. Bhumiksara pun lahir justru untuk mengukuhkan dan melahirkan kader-kader Katolik yang tangguh untuk Gereja dan untuk tanah airnya, yakni Indonesia. Pengalaman saya bekerja di lembaga kepemiluan sejak 2008, tampak sangat jelas bahwa perilaku etis yang mengedepankan integritas sudah menjadi barang yang mahal dewasa ini bagi penyelenggara pemilu. Salah satu fenomena sangat menarik terkait Penyelenggara Pemilu di Indonesia setelah tiga kali Pemilu di Era Reformasi (1999, 2004, dan 2009) adalah ketika Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu melahirkan satu lembaga baru lagi, setelah sebelumnya sudah ada dua lembaga penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Lembaga baru itu adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP RI) yang bertugas menjadi hakim untuk peradilan etik bagi penyelengara pemilu. Jadilah Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki tiga lembaga penyelenggara pemilu sekaligus. Hampir seluruh negara demokrasi di dunia hanya memiliki satu lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat independent police seperti KPU. Tetapi postur kepemiluan kita merasa sangat perlu menghadirkan tiga lembaga yang khusus menangani pemilu. Asal muasal dan ceritera kelahiran DKPP RI sangat jelas yakni ketika tiga kali penyelenggaraan pemilu sebelumnya justru memberi kesimpulan bahwa Komisi Pemilihan Umum di semua level dan Pengawas Pemilu
di seluruh jenjang masih sangat jauh dari perilaku yang beretika sebagai penyelenggara pemilu. Terlalu banyak perilaku curang dan keberpihakan kepada salah satu kandidat yang justru melibatkan penyelenggara pemilu. Maka dirasakan menjadi sangat penting untuk menghadirkan satu lembaga baru yakni penegak kode etik bagi penyelenggara pemilu. Ketika menuju Pemilu 2004 lahirlah Pengawas Pemilu dengan nama Panwaslu yang sifatnya sementara (adhoc). Karena pengawas pemilu dianggap menjadi sangat penting untuk mengontrol perilaku KPU sejak sebelum tahapan awal dimulai, maka menuju Pemilu 2009 Panwaslu di tingkat pusat berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu yang sifatnya permanen, tetap, dan mandiri sama seperti KPU. Dalam menyongsong Pemilu 2014, rupanya keberadaan Bawaslu di pusat dan Panwaslu di daerah dianggap tidak memadai karena perilaku KPU khususnya di daerah justru dicurigai tidak netral, malah berpihak kepada salah satu calon dan merugikan salah satu calon yang lain. Maka UU No 15 tersebut tidak hanya memberi penguatan di tingkat Bawaslu dengan melahirkan Bawaslu Provinsi di seluruh Indonesia, tetapi juga malah melahirkan lembaga baru bernama DKPP RI. Apa yang menjadi fokus dari DKPP RI? Fokus utama DKPP RI adalah menegakkan perilaku etik dari Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Pengawas Pemilu di seluruh jenjang. Rupanya dirasakan bahwa perilaku penyelenggara pemilu justru jauh dari harapan sebagai penyelenggara pemilu yang berintegritas, yang netral, bebas, mandiri, dan profesional. Keluhan-keluhan bahwa penyelenggara pemilu kerap menjadi tim sukses atau menguntungkan salah satu calon atau kandidat dan merugikan kandidat atau calon yang lain muncul namun tidak ada saluran yang tepat untuk mengadukannya. Padahal salah satu cita-cita yang melahirkan Era Reformasi 1998 adalah bagaimana menciptakan proses berpemilu di Indonesia dalam kaidah demokrasi sebagaimana dipahami oleh seluruh negara bangsa beradab. Tetapi rupanya cita-cita berpemilu yang demokratis itu masih jauh dari harapan ketika penyelenggara pemilu
Jurnal Bhumiksara
justru terlibat dalam perilaku yang tidak etis. Penyelenggara Pemilu, khususnya KPU di daerah kerap mendapat ditudingan miring, berpihak kepada kalangan penguasa lokal, kalangan paling dekat kekerabatannya, dan kalangan paling bermodal. Bahkan Pengawas Pemilu di sejumlah jenjang yang dibayangkan akan mengawal kekurangan atau kesalahan yang dibuat oleh KPU justru kerap menjadi bahagian dari proses berpemilu yang tidak beretika dengan berpihak pada salah satu kandidat. Lembaga baru bernama DKPP sebagaimana dikonstruksikan oleh UU No 15 Tahun 2011 bukanlah penyelenggara Pemilu seperti KPU atau Bawaslu. KPU menjadi penyelenggara tahapan pemilu di semua jenjang mulai dari tahapan pemutakhiran daftar pemilih hingga menghasilkan kandidat/calon yang terpilih baik di Pemilu Legislatif (DPR dan DPD), Pemilu Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah; sementara Bawaslu sebagai penyelenggara setidaknya berperan mengawasi tiga hal di seluruh jenjang, yakni: mengawasi seluruh tahapan pemilu yang diselenggarakan oleh KPU, mengawasi perilaku dan kinerja KPU, dan mengawasi peserta yang turut bertarung di pemilu tersebut. Ringkasnya, proses penyelenggaraan pemilu diserahkan kepada KPU di semua jenjang, sementara peran pengawasan diserahkan kepada Pengawas Pemilu di semua tingkatan. Lalu dimana posisi DKPP? Keberadaan DKPP adalah sebagai lembaga peradilan etik bagi kedua penyelenggara tersebut, baik KPU maupun pengawas pemilu mulai dari jenjang pusat hingga jenjang terendah yakni KPPS atau PPL di tingkat kelurahan atau desa. DKPP menjadi lembaga peradilan bagi perilaku para penyelenggara yang dituding miring atau berpihak, yang tidak professional dan tidak memberikan asas kepastian hukum dan keadilan secara sosial. Perilaku etis penyelenggara pemilu dapat dinilai dengan bersandar pada asas penyelenggaraan pemilu yang mandiri, jujur, adil, kepastian hukum yang mengandaikan seluruh elemen penyelenggara pemilu baik KPU maupun pengawas pemilu tidak berpihak dan bekerja profesional justru kerap hilang, sehingga peserta pemilu terutama kalangan pencari keadilan justru menjadi kelompok yang lemah tak berdaya dan dirugikan. Penegakan Hukum dan Kode Etik Penguatan penyelenggaraan pemilu yang semakin beretika dan bermartabat hanya bisa diwujudkan ketika penyelenggara pemilu memiliki integritas. Integritaslah
Halaman 20
yang bisa memastikan terselenggaranya pemilu yang berjalan dalam koridor asas-asas penyelenggaraan pemilu. DKPP menjadi lembaga peradilan untuk dugaan atas perilaku yang tidak beretika dari penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu yang berintegritas diukur dari kemampuannya menyelenggarakan pemilu dengan berpegang pada 11 (sebelas) asas penyelenggara pemilu yakni mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionaitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Jika seluruh penyelenggara pemilu di semua jenjang berpegang pada proses pemilu dengan sebelas azas di atas, maka DKPP tidak perlu hadir. Bahkan jika KPU di seluruh jenjang melakukan sebelas asas pemilu di atas, maka tidak perlu ada Pengawas Pemilu dan sengketa hasil pemilu pun tidak perlu merepotkan Mahkamah Konstitusi (MK). Kehadiran DKPP bukan sebuah kebanggaan, tetapi sebuah keprihatinan atas praktik dan perilaku penyelenggara pemilu yang tidak bermartabat. Maka kehadiran DKPP selain dimaksudkan untuk mengupayaan penegakan hukum (rule of law) dalam penyelenggaraan pemilu, perlu satu lagi penegakan Kode Etik (rule of ethics). Kode Etik mengikat perilaku penyelenggara pemilu untuk berjalan dalam sebelas asas penyelenggaraan pemilu. Sebuah negara demokrasi yang menganut penegakan hukum yang kuat terukur ketika penyelenggara pemilu baik KPU maupun Pengawas Pemilu menjalankan semua fungsi dan tatanan demokratis sesuai dengan fungsi dan kewenangannya secara mandiri dan bebas dari kepentingan salah satu peserta pemilu, dalam hal itulah otomatis penegakan Kode Etik (rule of ethics) akan terwujud. Penyelenggara yang menjalankan proses dan tahapan sesuai dengan undang-undang atau peraturan yang mengikatnya akan otomatis menjadi penyelenggara pemilu yang beretika juga. Tetapi manakala sebaliknya, ketika penyelenggara pemilu justru bersikap tidak netral dan malah berpihak kepada salah satu peserta pemilu, maka dipastikan hancurlah penegakan etik sebagaimana digariskan oleh asas-asas penyelenggaraan pemilu. Ketidaktaatan pada asas penyelenggaraan pemilu tersebut akan menghancurkan etika penyelenggaraan pemilu. Fakta menunjukkan bahwa sejak DKPP dilantik oleh Presiden pada 12 Juni 2012 hingga akhir April 2013, DKPP sudah menerima pengaduan sejumlah 168 buah
Jurnal Bhumiksara
pengaduan, di mana dari seluruh pengaduan tersebut yang masuk ke persidangan adalah sejumlah 77 buah perkara kode etik. Dari seluruh perkara yang disidangkan oleh DKPP terdapat 43 orang penyelenggara pemilu di semua jenjang yang akhirnya terpaksa harus dipecat karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik penyelenggara pemilu. Peradilan Etik DKP Pengaduan etik yang diterima oleh DKPP adalah dugaan perilaku penyelenggara pemilu yang oleh peserta pemilu dianggap berpihak kepada salah satu atau sejumlah calon atau kandidat sehingga proses penyenggaraan pemilu menjadi tidak mandiri dan tidak profesional. Perilaku etik itu terkait dengan perilaku orang per orang dari penyelenggara pemilu, bukan pengaduan atas lembaga. Maka prosedur beracara yang disusun oleh DKPP bersama KPU dan Bawaslu memberi peluang kepada seluruh masyarakat luas untuk mengadukan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakuan oleh penyelenggara pemilu secara orang per orang di semua level. Karena perilaku etik tersebut adalah perilaku yang dilakukan oleh orang seorang secara pribadi. Dalam format pengaduan yang harus disampaikan kepada DKPP harus jelas siapa orang yang diadukan dengan menyebut nama secara langsung, baik sendirisendiri maupun keseluruhan nama dari penyelenggara pemilu di sebuah daerah. Maka sangat mungkin bahwa hanya satu orang dari penyelengara pemilu yang diadukan oleh pengadu, tetapi juga sangat mungkin bahwa keseluruhan penyelenggara pemilu yakni 5 (lima) orang anggota KPU dan 3 (tiga) orang pengawas pemilu yang diadukan. Persidanganlah yang menentukan siapakah yang bersalah di antara yang diadukan tersebut, apakah seluruh yang diadukan atau hanya sejumlah orang saja. Atau malahan mungkin tidak ada satu pun yang terbukti bersalah melanggar kode etik, sehingga pihak-pihak yang sempat diadukan ke DKPP justru harus direhabilitasi. Format persidangan DKPP dilakukan terbuka untuk umum persis seperti format persidangan umum di pengadilanpengadilan. Tidak ada ketertutupan dalam proses peradilan etik di DKPP, tetapi publik diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melihat, mendengar dan mengikuti
Halaman 21
secara langsung proses persidangan yang dilakukan. Mungkin sebuah terobosan baru dari penegakan kode etik, karena seluruh lembaga penegak kode etik di Indonesia selama ini justru membuat peradilan atau penegakan keadilannya secara tertutup tanpa diketahui oleh masyarakat, proses seperti apa peradilan etik dilakukan. Sebagaimana terjadi pada umumnya bahwa peradilan kode etik yang tertutup justru memunculkan keraguan masyarakat luas atas putusan etik yang diambil di mana tidak pernah bersifat pemecatan bagi pihak yang bersalah tetapi cenderung mengarahkan si teradu yang bersalah untuk mengundurkan diri. Persidangan Etik di DKPP memberi kesempatan kepada setiap pihak pengadu untuk membacakan gugatannya di hadapan persidangan yang terbuka dan disaksikan oleh siapapun. Kesempatan yang sama diberikan kepada pihak teradu untuk membela dirinya apakah si teradu berperilaku tidak etis seperti diduga oleh pengadu atau tidak. Bahkan tidak tertutup kemungkinan para pihak baik yang diadukan maupun pihak pengadu untuk menghadirkan saksi-saksi dan bukti-bukti baru (novum) untuk menguatkan dugaan pelanggaran atau pembelaan dari pihak teradu. Bahkan kehadiran saksi ahli pun terkait pemahaman yang berbeda atas peraturan tertentu yang merugikan salah satu pihak menjadi sangat dimungkinkan, terutama terkait putusan-putusan PTUN di sejumlah daerah ditafsir secara berbeda oleh penyelenggara pemilu. Bila disimak putusan-putusan DKPP, maka terlihat bahwa putusan DKPP terdiri dari empat level, yakni rehabilitasi, peringatan ringan, peringatan berat, dan pemecatan. Sekilas membaca putusan-putusan DKPP bisa dibahasakan kira-kira demikian, rehabilitasi adalah ketika pihak teradu tidak terbukti bersalah dalam peradilan DKPP, maka kewajiban bagi DKPP untuk merehabilitasi nama baik dari si teradu. Peringatan ringan adalah peringatan yang diberikan oleh DKPP kepada penyelenggara pemilu yang bukan karena kesengajaan atau tidak terbukti di peradilan bahwa ada maksud sengaja atau ada maksud tertentu dari penyelenggara pemilu untuk melakukan kesalahan ringan dari proses pemilu, tetapi lebih karena ketidakpahaman atas peraturan tertentu dan tidak berdampak buruk bagi pasangan calon. Peringatan keras diberikan ketika perila-
Jurnal Bhumiksara
ku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang diadukan sudah memberi dampak bagi proses pemilu dan terdapat kesan abai bagi penyelenggara untuk bersikap profesional tetapi masih bisa diperbaiki, misalnya pemutakhiran daftar pemilih sebagaimana dilakukan oleh Ketua KPU DKI Jakarta dalam Pemilu Kada 2012 lalu. Sementara pemecatan terpaksa dilakukan jika terbukti penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran sangat berat seperti keberpihakan kepada salah satu calon secara nyata, yang membuatnya tidak mandiri dalam menjalankan proses penyelenggaraan pemilu sebagaimana dibuktikan dalam persidangan DKPP. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat (final and binding), yang berarti tidak bisa digugat ke lembaga lain. Sebagaimana dilakukan oleh sejumlah pihak yang dipecat oleh DKPP dengan menggugat putusan DKPP ke PTUN, seluruhnya ditolak oleh peradilan PTUN karena memang oleh Undang-undang No 15 Tahun 2011 secara tegas mengatakan bahwa putusan yang dihasilkan oleh DKPP final dan mengikat. DKPP pun dalam memberikan putusan tidak pernah gegabah, tetapi melakukan pemeriksaan secara intensif dan detail terhadap perkara yang diajukan dengan memberikan kesempaan seluasluasnya kepada seluruh pengadu dan teradu untuk menghadirkan alat bukti masing-masing secara meyakinkan. Dan bahkan bila dirasa perlu untuk melakukan persidangan lanjutan, DKPP melakukan persidangan melalui video conference dari Mabes Polri
Halaman 22
Jakarta ke Mapolda darimana daerah KPU yang diadukan berasal, maka DKPP bekerjasama dengan Mabes Polri memfasilitasi persidangan jarak jauh tersebut. Sebagaimana selama ini dilakukan oleh DKPP dengan Mabes Polri, para pihak menjadi sangat terbantu untuk tidak perlu hadir di Jakarta tetapi cukup dengan kehadiran para pengadu atau teradu berikut saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan DKPP di Mapolda dari KPU yang digugat. Semua upaya yang dilakukan oleh DKPP ini adalah dalam rangka menjalankan amanat undang-undang, dengan satu harapan ke depan supaya para penyelenggara pemilu semakin berintegritas melakukan penyelenggaraan pemilu yang bermartabat, adil dan profesional. Dengan penyelenggaraan pemilu yang demikian maka proses berdemokrasi sebagaimana kita harapkan dengan lahirnya Era Reformasi akan terwujud. Jenjang paling awal penguatan demokrasi justru harus dimulai dari tahapan proses pemilu yang bermartabat. Terkait dengan itu, Bhumiksara perlu untuk terus menerus mendorong, menanamkan dan melahirkan semakin banyak kaderkader Katolik yang bermartabat, baik untuk menjadi penyelenggara pemilu maupun di ranah sosial yang lain. Sebab sadar atau tidak, kekatolikan kita tidak akan pernah bisa dilepaskan dari keberadaan kita sebagai bangsa, yang dalam konteks kekinian adalah keberadaan sebagai anak-anak bangsa yang turut memperjuangkan demokrasi.***
Penulis adalah Sekretaris Persidangan DKPP RI, tulisan ini pendapat pribadi.
Jurnal Bhumiksara
Halaman 23
Refleksi
MEMBANGUN PENDIDIKAN BERMAKNA MENUJU MASA DEPAN INDONESIA MEREFLEKSI PERGULATAN KEHIDUPAN DI BIDANG PENDIDIKAN Dr. J.C. Tukiman Tarunasayoga
Pengantar DINAMIKA paling menarik yang penting direfleksikan dalam dunia pendidikan agar menjadi penuh makna adalah (1) hal-hal mendasar terkait pendidikan anak usia dini (PAUD), (2) tarik ulur kurikulum terutama di Pendidikan Dasar dan Menengah, (3) tantangan di Perguruan Tinggi, dan (4) peran serta masyarakat dalam pendidikan. Selama puluhan tahun, perhatian dunia pendidikan kita lebih dipusatkan ke lima hal berikut sebagai upaya untuk/atau “atas nama” peningkatan mutu (bdk. Edward Sallis. 2010). Pertama, perbaikan secara terus menerus (continuous improvement), yaitu upaya terus menerus menjamin semua komponen pendidikan mengejar standar mutu yang ditetapkan. Konsekuensinya, institusi pendidikan selalu terdorong untuk memperbaharui proses demi tuntutan dan kebutuhan “pelanggan,” lalu muncul seloroh “ganti menteri, ganti kebijakan,” dan lain sebagainya. Kedua, selalu menentukan standar mutu (quality assurance) melalui serangkaian upaya penetapan standar dari berbagai komponen, seperti standar mutu materi kurikulum, evaluasi (baca ujian), proses pembelajaran, dan lain-lain, sebagaimana kita kemudian mengenalnya dengan delapan standar nasional pendidikan (SNP). Konsekuensinya antara lain, terciptanya kompetisi (sehat dan tidak sehat) menyangkut upaya mengejar mutu, persis perusahaan yang harus mengejar sertifikat ISO. Jadilah dunia pendidikan kita tidak ada bedanya dengan dunia perusahaan. Ketiga, satuan pendidikan (sekolah) dibebani dengan label agent of cultural change, harus menjadi agen perubahan kultur. Sekolah harus berhasil membentuk budaya organisasi yang antara lain menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional.
Konsekuensinya, terjadi berbagai rekayasa dalam upaya mempertahankan apalagi meningkatkan mutu. Seringkali terjadi yang diutamakan adalah rekayasa meningkatkan mutu hasil, sementara mutu proses diabaikan. Proses pembelajaran dari hari ke hari sering (boleh) diabaikan, tetapi menjelang ujian disodorkan “kultur” baru seperti try out, praujian silang, doa massal, rapat dan doa massal orangtua siswa, dan lainlain. Keempat, terus melakukan perubahan organisasi mengingat institusi pendidikan sudah bergeser menjadi semi-perusahaan.Dan kelima, keeping closed to the customer, sebagai konsekuensi dari pergeseran menjadi semi-perusahaan di atas. Siapa dan darimana asal siswa atau pun mahasiswa sebuah institusi pendidikan? Umumnya dari “pelanggan lama.” Ayah atau ibunya dulu sekolah di situ, anaknya juga disekolahkan di situ; begitu selanjutnya sebuah institusi pendidikan berusaha terus menjaga relasi dengan pelanggannya. Dalam konteks dunia pendidikan telah berkembang semakin “komersial” seperti itulah,uraian berikut berkisah mencoba mencari makna. 1. PAUD, Mengejar Ketertinggalan Sebutlah secara ekstrem betapa baru sekitar 5-7 tahun terakhir ini perhatian menggebu kepada PAUD muncul ke permukaan dunia pendidikan kita. Bagaikan tertinggal kereta, banyak pihak (baca pemerintah) menggelar serangkaian kebijakan dan strategi agar dapat mengejar kereta yang moga-moga berhenti sejenak di stasiun berikutnya. Istri pimpinan negara, provinsi dan kabupaten/kota diangkat dan disebut sebagai “Bunda PAUD” dengan harapan pada seratus tahun usia kemerdekaan RI nanti (tahun 2045) tercipta generasi cerdas, sehat, berakhlak mulia bangsa Indonesia. Ini upaya yang baik dan mulia dengan catatan, seluruh proses yang terjadi benar-benar menyentuh makna substansial ke-PAUD-an.
Jurnal Bhumiksara Ada empat hal substansial PAUD, yakni: pertama, akselerasi cakupan jangan terengah-engah apalagi kehabisan tenaga hanya karena meributkan pengertian pendidikan formal, nonformal, dan informal, sampaisampai ribut berkepanjangan ketika jenjang Taman Kanak-kanak (TK) dimasukkan ke dalam ranah PAUD. Kedua, memperluas cakupan dan jangkauan PAUD jauhlebih penting/mendesak dibandingkan dengan mempersoalkan kualifikasi pendidik. Dewasa ini Kemdikbud cenderung mengemukakan pentingnya pemenuhan kualifikasi pendidik (lalu muncul strata sebelum disebut sebagai pendidik, yakni ada yang masuk strata pengasuh dulu, ada juga strata yang lain) daripada meluaskan cakupan sehingga semakin banyak jumlah anak yang terlayani di PAUD. Pemenuhan hak anak memperoleh pengasuhan dan pendidikan jauhlebih penting dan mendesak ketimbang pemenuhan kualifikasi pendidik. Perbanyak pelatihan untuk siapa saja yang tertarik mengasuh PAUD. Ketiga, PAUD membutuhkan pejabat (tingkat pusat maupun daerah) yang benar-benar memberi hati untuk anak-anak, bukan sekedar job seekers. Dan keempat, seratus persen PAUD membutuhkan keterlibatan orangtua.Perbanyak pelatihan untuk orangtua (parenting education), sebanyak pelatihan untuk mereka yang mengasuh di PAUD. 2. Dikdas dan Dikmen, Masalah Kurikulum Conny Semiawan (dlm Sindhunata (ed). 2000) menegaskan bahwa berbicara tentang kurikulum jangan terjebak ke dalam sejumlah hal teknis, melainkan harus terus-menerus membahas what is (kurikulum pendidikan hari ini), selanjutnya tentang what could (apa yang sekiranya dapat diupayakan), dan what should (apa yang secara ideal hendak dicapai, berikut persyaratannya). Dengan kata lain, kurikulum (sebutlah di dikdas dan dikmen) tidak saja merefleksikan contentnya, namun juga terutama harus terumuskan secara tajam/kuat dalam cara pembelajaran yang dilakukan dalam konteks tertentu anak didik. Kalau mau disebutkan secara ekstrem, kurikulum di diknas dan dikmen itu akan semakin bermakna untuk masa depan kalau memuat dua komponen pokok, yaitu bagaimana mengembangkan apa yang dibawa anak sejak lahir sebagai modal potensialnya (nature), dan bagaimana lingkungan (nurture) mendukung, menjamin, dan berperan aktif dalam proses pembelajaran (lihat hal. 27).
Halaman 24 Bergelut dalam program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di tingkat SD/MI sejak tahun 1999, semakin menyadarkan saya betapa banyak pihak (baca: pemerintah terutama) belum all out membangun pendidikan tingkat dasar. Program atau kebijakan yang silih berganti kebanyakan berkutat pada what is semata-mata, akibatnya banyak kritik menyangkut hilangnya orientasi ke depan anak-anak kita karena what should tidak digemakan terus. 3. Perguruan Tinggi Kita, Tantangannya Hal paling substansial untuk PT seharusnya adalah otonomi PT itu, dan hal itu terefleksikan ke dalam proses mengajar belajar (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1985). Secara sederhana dapatlah disebutkan bahwa dosen-dosen PT seharusnya memberikan kuliah (mengajar) yang mendorong mahasiswanya semakin terampil dan benar-benar belajar. Konkretnya, dosen harus terus-menerus mendorong/menyarankan mahasiswa dalam hal: (a) cara terbaik membuat catatan selama kuliah, (b) cara terbaik membaca buku/diktat, sumber belajar, (c) cara melakukan diskusi, praktikum, kerja kelompok, kerja individu, (d) cara belajar terbaik untuk ujian, (e) cara mengatur kegiatan belajar dan aktifitas organisasi, dan lain-lain. Aspek terpenting dari semua itu ialah dosen harus mengajarkan ketrampilan mendengarkan dan ketrampilan berbicara mahasiswa. Inilah hal substansial paling bermakna bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia. Bukankah dewasa ini bangsa kita mengalami kesulitan mendengarkan? Karena sulit mendengarkan, bukankah siapa saja saat ini mengalami sulit berbicara? Jauh lebih sulit berbicara ketimbang berteriak-teriak atau memakimaki pihak lain. 4. Peran serta Masyarakat Makin Tersudut Pembangunan pendidikan menjadi semakin tidak/ kurang bermakna karena peran serta masyarakat semakin tersudut-terpinggirkan. Dewasa ini masyarakat (orangtua?) inginnya serba gratis, sekolah bagi anakanaknya tidak harus (tidak mau?) membayar, dan iklim seperti itu semakin subur karena pihak pemerintah maupun para anggota legislatif senantiasa menyerukan sekolah gratis. Peran serta masyarakat (orangtua) dalam pembangunan pendidikan semakin kecil, nyaris nihil. Kalau pun di setiap satuan pendidikan ada yang disebut komite sekolah sebagai representasi peran serta
Jurnal Bhumiksara
masyarakat, dan di setiap kabupaten/kota dan provinsi, ada Dewan Pendidikan, peran serta masyarakat bergeser menjadi stempel belaka, sekedar memenuhi tuntutan peraturan atau pun perundang-undangan. Sekuat-kuatnya negara membiayai pembangunan pendidikan, seingin-inginnya pejabat pemerintahan memenuhi tuntutan perundang-undangan, tanpa peran serta masyarakat, pembangunan pendidikan akan semakin tidak bermakna bagi masa depan Indonesia. Penutup Apakah saya telah menjadi “garam” dalam pembangunan pendidikan Indonesia? Pertanyaan itu tiba-tiba menggelitik pada saat saya membaca ToR tentang Rancangan Penerbitan Buku 25 Tahun Yayasan Bhumiksara. Bisa juga pertanyaannya berkembang menjadi demikian: Bagaimana imanku telah “menggarami” pembangunan pendidikan di Indonesia? Supratiknya (2005) menulis bahwa menurut Fowler, modus atau cara berada iman itu meliputi tujuh aspek operasi berikut.
Halaman 25
Pertama, iman itu dapat berbentuk logika, penalaran, dan penilaian; kedua, dapat juga berbentuk ke dalam pengambilan peran atau kemampuan untuk mengambil perspektif pribadi; ketiga, bentuk pertimbangan moral; keempat, batas-batas kesadaran sosial yang menopang rasa identitas diri dan tanggungjawab sosial; kelima, tempat autoritas, yakni pribadi, gagasan, atau pranata yang diakui dan dipakai sebagai sumber autoritas dalam mempertimbangkan arti dan makna nilai; keenam, bentuk koherensi dunia, yakni gambaran komprehensif tentang dunia, hidup, dan lingkungan akhir yang memberikan koherensi dan rasa berarti yang menyeluruh; dan ketujuh, fungsi symbol, yakni daya afektif-kognitif dari imajinasi yang mengintegrasikan seluruh aspek pengalaman iman. Sejauh ini saya merasa baru aspek operasi kedua, ketiga, keempat, kelima, dan keenam yang telah saya laksanakan. Maafkan, sementara aspek pertama dan ketujuh masih berupa pergulatan. Selamat dan panjang usia Yayasan Bhumiksara. Terimakasih boleh bergabung selama ini. Berkah Dalem.
Referensi: Sallis, Edward. 2010. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan, IRCiSoD,Yogyakarta Semiawan, Conny. 2000. “Relevansi Kurikulum Pendidikan Masa depan”, dalam Sindhunata (ed),Membuka Masa Depan Anakanak Kita.Kanisius, Yogyakarta. Supratiknya. 2005. “Cendekiawan dan Kedewasaan dalam Cara Beriman” (dlm Yayasan Bhumiksara Jakarta, Iman, Ilmu, dan Budaya). Utomo, Tjipto dan Ruijter, Kees. 1985. Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan, Gramedia Jakarta.
Penulis adalah dosen Program Pascasarjana Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, UNDIP Semarang, UNS Solo, dan UNTAG Semarang
Jurnal Bhumiksara
Halaman 26
MENEGAKKAN HUKUM MENUJU MASA DEPAN INDONESIA Nikolas Simanjuntak, M.H.
KONTRIBUSI pengalaman saya berpartisipasi dalam penegakan hukum di negeri ini, hampir saja terhenti di awal perjalanan. Andainya saya tak bertemu Pater Kadarman SJ dkk Pendiri dan Pengurus Bhumiksara di tahun 1990. Di masa itu, saya sedang berkembang mekar dalam profesi sebagai Pengacara muda yang ditokohkan, jadi media darling, selebriti dan news maker. Hampir tiap hari jadi tumpahan segala macam pengaduan atas penindasan rakyat jelata di seantero Sumut Aceh, yang terkenal ganas brutal di era jaya penguasa Orba. Dalam melakoni tugas itu, saya harus blusukan menjelajahi hampir semua pelosok pedalaman, desa, dan kota di wilayah ini kecuali kepulauan. Sarana komunikasi sangat langka dan terbatas, belum ada TV swasta, handphone, internet dan semacamnya. Saya tak bisa mengelak lari dari situasi bagai perang gerilya sungguhan melawan segala rupa penindas dan pejabat serta aparat yang memegang kuasa, uang, dan bedil. Beberapa kali saya mau dihentikan paksa oleh semua lawan. Pun izin praktek saya tak mau diperpanjang. Di suatu saat saya harus berhadapan langsung dengan preman suruhan yang menyetir traktor untuk menggusur rumah Kiai tua miskin. Tiada cara lain untuk membela, maka saya hadang traktor itu bertameng badan persis satu meter di depan alat berat yang sedang meraung. Dan ternyata, operatornya muter balik sambil diteriaki massa, yang baru saya sadari, rupanya adegan seru ini sedang ditonton rakyat banyak dan awak media tulis. Di kesempatan lain, parang golok preman suruhan juga pernah menghadang saya dkk yang berdiri membela massa pedagang kaki lima ketika hendak digusur, karena mereka tak sudi membayar upeti palak kepada orang suruhan para pejabat pasar. Duka derita lara bercampur-baur segala emosi dengan antusiasme semangat muda, senantiasa bersaling-silang dalam pergumulan yang menguras enerji, pikiran, waktu dan korban biaya tak berbilang. Tanpa berharap memperoleh uang memadai atas layanan jasa profesi rakyat jelata ini. Bahkan uang kantong sendiri dari rumah, seringkali harus dikorbankan untuk ongkos pembelaan mereka manusia yang tak pernah diperhitungkan bahkan disia-siakan. Tentang biaya
pembelaan ini, teman saya pernah merumuskannya begini. Uang untuk membeli makanan anak-anak kami harus dikorbankan, yakni ketika makanan yang disuap kepada anak-anak ini belum sampai di mulutnya, lalu makanan itu kami rampok lagi untuk menjadi ongkos pembelaan dan biaya harian pelaksanaan profesi penegakan keadilan bagi rakyat jelata ini. Bukan Hanya Urusan Orang Hukum Topik mengenai penegakan hukum memiliki sejarah sepanjang peradaban umat manusia itu sendiri. Inti soalnya timbul sejak hukum ditemukan sebagai cara penyelesaian masalah antar manusia yang hidup sosial. Apakah masalah itu akan diselesaikan dengan menghukum seseorang atau tidak? Segera pada saat itu juga muncul pertanyaan: mengapa harus dihukum? Karena menghukum berarti harus benar dan adil. Lalu dengan itu, hukum memasuki kandungan esensi soal besar yang mendasar mengenai kebenaran, keadilan, dan kepastian apakah seseorang itu “bersalah” atau “tidak salah”. Tiga kunci kata itulah yang akan terus dicari untuk ditemukan oleh dan di dalam penegakan hukum. Problematikanya menjadi semakin meluas lagi, ketika hukum harus menjadi rel yang di atasnya negara melaksanakan kekuasaannya. Dalam konteks itu, lalu hukum telah masuk ke dalam ranah penuh liku penyelenggaraan hidup kenegaraan. Dan, ketika hukum harus dibuat agar dapat menyelenggarakan negara yang baik, guna mencapai tujuannya untuk keadilan, kesejahteraan, perdamaian, dan pencerdasan kehidupan bangsa, maka penegakan hukum pun ada di situ. Pokok soal yang dimasuki penegakan hukum menjadi: bagaimana hukum itu dibentuk dan dibuat (law making) melalui rangkaian proses politik hukum? Setelah hukum dibuat, maka siapa dan bagaimana melaksanakannya (law implementation) secara publik makro dan privat mikro? Dan, setelah hukum itu dilaksanakan, maka bagaimana memeriksa dan menilainya apakah pelaksanaannya sudah benar atau bagaimana hukum itu ditegakkan (law enforcement) supaya jangan sampai ada yang salah dilakukan. Kemudian berlanjut lagi,
Jurnal Bhumiksara bagaimana terus membaharui dan menemukan hukum (law invention) agar semakin lebih baik bagi pemberadaban manusia pribadi dan kolektif secara berlanjut. Seluruh aksi terhadap empat siklus hukum itu termasuk di dalamnya fungsi bantuan hukum, yang di suatu saat pernah dirumuskan sebagai bantuan hukum struktural. Begitu luas dan dalamnya serta rumit dan berlikunya segala aspek penegakan hukum dan keadilan, menjadikan karya ini bukan hanya urusan orang hukum. Ini pekerjaan kita semua, karena di semua proses sejak pembuatan sampai pembaharuan hukum adalah urusan banyak sekali orang, melibatkan banyak sekali lembaga dan institusi. Kupas tuntas tapi memerlukan pengembangan mengenai hal itu, telah saya tuliskan dalam buku “Acara Pidana Indonesia dalam SIRKUS HUKUM” penerbit Ghalia, Jakarta, 2009 [364+xxxvi hlm]. Hukum yang Mengubah Nasib Orang Kiranya sulit untuk membantah, bahwa hukum merupakan salah satu instrumen pemberadaban manusia. Sulit dan rumit membayangkan umat manusia zaman ini, seandainya hukum menjadi tidak berdaya. Apalagi jika diandaikan hukum tidak ada, maka bagaimana dan akan ke mana peradaban manusiawi akan mengarah. Pemahaman terhadap hukum itu sendiri menjadi sesuatu yang seakan tidak habisnya dibahas dan dikaji bahkan hingga ad infinitum. Salah satunya adalah yang berusaha diungkapkan di dalam buku saya. Sejak awal sudah terlintas dalam benak saya untuk memberi judul Buku ini sebagai Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Mengapa sirkus? Karena di dalamnya dituntut ada kemahiran, keterampilan, dan juga kelihaian serta kecerdikan yang harus dikuasai dengan kualitas di atas rata-rata. Syukur-syukur ada kecerdasan di dalam diri pelakunya, yang bahkan dituntut seharusnya memiliki kecerdasan intelektual, emosional, kultural, dan spiritual sekaligus, seperti yang dipahami dalam IQ-ESQ (intellectual, emotional, and spiritual quotient). Di dalam sirkus juga ada arena permainan. Sirkus hukum karena itu sering berkesan konotasi negatif. Tapi tidak selalu. Di arena itu, orang bisa jadi terkesima sekaligus penuh heran bercampur-baur antara percaya dan tidak, mengapa satu peristiwa sampai bisa terjadi. Tapi arena itu, bisa jadi juga mainan beneran yang tak layak dilakukan secara etis moral. Karena itu, kata sirkus bermakna ganda sehingga diberi tanda baca kursif. Makna yang lebih dalam dan jauh melampaui kata ‘sirkus’ akan dapat dipahami secara personal reflektif oleh para pembaca. Itu akan dapat diikuti dalam narasi deskriptif topik-topik khusus yang disajikan dalam buku ini.
Halaman 27 Hukum Acara Pidana di dalam Buku ini hanyalah salah satu segi dari begitu banyak ragam dan ramainya bidang yang digumuli Hukum. Namun demikian, hukum acara itu sendiri pun ternyata juga bisa menggambarkan representasi praksis dan teoritis hukum pada umumnya. Titik-tautnya dengan Hukum Pidana tentu ada. Tetapi juga dengan hukum lain-lainnya bahkan dengan ilmuilmu lainnya. Akan tetapi selain itu, ternyata bisa juga ditemukan bahwa Hukum Acara Pidana sebagai ilmu, memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan hukum lainnya. Pada umumnya sudah diketahui bahwa hukum memiliki sejarah panjang yang sama dengan peradaban umat manusia. Pelaksanaan hukum itu sendiri menjadi salah satu cara penyelesaian ragam masalah yang timbul dalam irama harian hidup hubungan inter-subyektif sesama anggota masyarakat. Penyelesaian masalah dengan instrumen hukum ternyata kemudian menjadi tidak sederhana. Inti soalnya timbul sejak hukum acara cenderung menjadi cara penyelesaian dengan tujuan untuk menghukum seseorang. Maka pada saat itu segera muncul juga yang sebaliknya. Mengapa harus dihukum? Karena menghukum berarti harus benar dan adil. Dan, demi kebenaran dan keadilan itu juga, maka berarti hukum acara harus pula berfungsi untuk membebaskan seseorang yang terbukti tidak bersalah. Dalam konteks seperti itu, ternyata hukum bisa jadi mengubah nasib orang. Dia akan dihukum, berapa lama hukumannya, ataukah dia akan dibebaskan. Barang miliknya disita, dijual-lelang oleh negara, dimusnahkan, ataukah dikembalikan kepada pemiliknya, dan seterusnya. Hukum disitu memasuki kandungan esensi soal besar dan mendalam tentang kebenaran dan keadilan yang berkepastian. Dan, itulah pada intinya yang akan dicari untuk ditemukan oleh hukum acara. Problematikanya menjadi semakin meluas lagi, ketika hukum itu juga dengan semua aspek yang melekat berkaitan dengannya harus menjadi rel, yang di atasnya negara melaksanakan kuasanya. Dalam konteks seperti itu, hukum menjadi masuk ke dalam ranah penuh liku penyelenggaraan hidup kenegaraan, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Lalu, ketika hukum harus dibuat agar dapat menyelenggarakan negara yang baik untuk mencapai tujuannya bagi keadilan, kesejahteraan, perdamaian, dan pencerdasan kehidupan bangsa, maka hukum pun ada disitu. Inti soal yang dimasuki hukum menjadi: bagaimana hukum itu dibentuk melalui rangkaian proses politik hukum? Agenda kegiatan aksi dan reaksi terhadap kesemuanya itu dapat disebut sebagai hukum dalam arti luas. Di dalamnya fungsi
Jurnal Bhumiksara hukum bisa jadi masuk ke ranah politis, sosiologis, antropologis kultural, etis moral, dan selanjutnya menjadi jauh lebih dari sekedar hukum acara itu sendiri. Karya penegakan hukum, dengan dalam arti luas seperti di atas itu, menjadi bukan hanya urusan orang hukum. Tetapi menjadi urusan kita semua. Topiknya menjadi sangat meluas (broadening) dan mendalam (indepth) yang menjangkau hampir semua segi kehidupan manusia secara individual, mikro, dan kolektif, makro, atau disebut sebagai ranah yang privat maupun yang publik dan kenegaraan bahkan internasional. Contoh Penegakan Hukum di Lembaga Parlemen Berikut ini bisa ditelusuri lebih jauh betapa luas dan dalamnya hukum dibentuk melalui proses politik hukum di ruang parlemen bersama dengan pemerintah dan masyarakat. Antara lain meliputi: (1) kebijakan publik yang pro-rakyat (public policy), (2) sosialisasi dan komunikasi politik bersama dengan seluas mungkin kelompok masyarakat (public opinion), (3) penggalangan dukungan politik yang menguntungkan rakyat (public support), dan (4) pemberdayaan berbagai kelompok masyarakat (public empowerment), khususnya “wong cilik” yang terpinggirkan oleh ketidak-adilan ekonomi, sosial, hukum maupun politik. Agenda program dalam rangka peningkatan kinerja Dewan, pada pokoknya bertujuan untuk (1) meningkatkan fungsi legislasi Dewan untuk menghasilkan berbagai UndangUndang yang fokus bagi pelestarian ideologi Pancasila, keutuhan NKRI dan perwujud-nyataan dari ketentuan yang ada di dalam Konstitusi, dan bagi penuntasan kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan rakyat, (2) meningkatkan fungsi anggaran Dewan dengan politik anggaran untuk kepentingan langsung seluruh rakyat sekurang-kurangnya 70% dari APBN, dan (3) meningkatkan fungsi pengawasan Dewan atas kebijakan dan kinerja Pemerintah secara lebih kritis bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Oposisi disandarkan kepada 2 (dua) fokus, yakni: (1) welfare state for all, dalam hal (1.a.) fungsi yang fundamental tidak boleh dikomersilkan, (1.b.) public expenditure harus meningkat terus dengan adanya (1.c.) sistem jaminan sosial, serta adanya subsidi yang (1.d.) selective productive subsidy; (2) berfokus kedaulatan nasional dalam lintas bidang yang terdiri dari (2.a.) energi, (2.b.) pangan, (2.c.) keuangan, dan (2.d.) pertahanan. Fungsi legislasi perlu memperhatikan : (i) Substansi RUU senantiasa harus dijiwai oleh pasal 33 UUD 1945 dengan
Halaman 28 mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai perwujudan komitmen Fraksi terhadap ekonomi kerakyatan; (ii) Substansi RUU yang berkaitan langsung dengan pelestarian nilai-nilai Pancasila ditempatkan sebagai fokus dan prioritas Fraksi; (iii) Substansi RUU yang berkaitan langsung dengan keutuhan NKRI ditempatkan sebagai fokus dan prioritas Fraksi, dan menolak substansi yang diduga akan mencabik-cabik keutuhan NKRI; (iv) Substansi RUU yang berkaitan langsung dengan peningkatan kesejahteraan rakyat ditempatkan sebagai fokus dan prioritas Fraksi; (v) Substansi RUU yang berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan ditempatkan sebagai fokus dan prioritas Fraksi; (vi) Substansi RUU yang berkaitan langsung dengan agenda kepentingan asing ditolak; (vii) Substansi RUU yang berkaitan langsung dengan agenda ideologi lain ditolak; dan (viii) Substansi RUU yang berkaitan dengan agenda mengeliminasi peran Partai politik harus ditolak. Beberapa Rekomendasi Menyimak dengan seksama dan mengamati secara teliti perkembangan situasi politik kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia dalam kurun waktu sepanjang tahun 2011, berikut ini disampaikan sikap dasar politik seturut garis ideologi Fraksi di DPR RI, yang diharapkan agar dapat menjadi panduan arah bagi pimpinan dan pejabat pemerintah serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia ke depan. 1. Masalah Papua: Perlu didorong dan dikawal penyelesaian masalah Papua secara damai, bermartabat dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui pendekatan dialogis yang bertanggungjawab. 2. Masalah Tenaga Kerja Partai seharusnya berpihak pada perlindungan dan kesejahteraan buruh, pekerja formal dan informal dalam dan luar negeri. Partai perlu memerintahkan kepada seluruh kader partai menjadi bagian dari advokasi kasus dan advokasi kebijakan ketenagakerjaan. Secara konkret, langkah politik tersebut bisa diimplementasikan dalam kebijakan politik: (i) menolak revisi UU No. 13 Thn 2003 tentang Ketenagakerjaan, menginisiasi lahirnya UU tentang Sistem Pengupahan dan Perlindungan Upah, dan UU tentang Komite Pengawasan Ketenagakerjaan; (ii) mendesak kader partai yang ada di legislatif, terutama eksekutif untuk menetapkan upah layak di tingkat kota/kabupaten dan
Jurnal Bhumiksara dan provinsi yang sesuai tuntutan hidup layak sesungguhnya; (iii) memperjuangkan arah politik terkait TKI yang lebih pada perlindungan, bukan bisnis jual beli TKI. 3. Kemandirian Pangan Mewajibkan anggota dan calon anggota Dewan yang memiliki KTA di daerah pemilihan masing-masing untuk menanam benih padi MSP, Singkong Toba dan/atau Singkong Manggu serta ternak kelinci. 4. Masalah Kedaulatan Wilayah Mendesak Pemerintah melakukan perundigan dengan negara-negara tetangga terkait batas wilayah negara dengan menyiapkan data komprehensif agar tidak merugikan keutuhan NKRI; mendesak Pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan dan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi; dibutuhkan kepemimpinan nasional yang tegas, kuat, dan berwibawa dalam bingkai Empat Pilar (Pancasila 1 Juni, Undang-Undang Negara RI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) dalam rangka mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. 5. Penegakan Hukum Harus dilakukan penegakan hukum secara proporsional dan profesional dengan tidak menggunakan prinsip tebang pilih; menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus besar seperti Bank Century, dan kasus besar lainnya. 6.Politik Pangan dan Energi Mendesak pemerintah untuk meningkatkan produksi dalam negeri yang berbasis kepada ekonomi kerakyatan; melakukan revisi terhadap UU No. 7 Thn 1996 tentang Pangan, khususnya tentang kedaulatan pangan; menjamin ketersediaan BBM untuk seluruh rakyat di wilayah NKRI dengan harga yang berlaku secara nasional; Pemerintah harus menjamin kelangsungan subsidi yang sedang berjalan (untuk BBM dan listrik) dan subsidi untuk bauran energi berbasis nabati. Mengenai pelaksanaan pengaturan BBM Bersubsidi, pemerintah harus lebih dahulu menjamin adanya penguatan kelembagaan, mempercepat diversifikasi energi terutama pemenuhan gas untuk transportasi darat, melakukan verifikasi dan perbaikan data pengguna BBM Bersubsidi di sektor kelautan, perikanan, dan transportasi air, melakukan pembangunan infrastruktur pendukung distribusi BBM Bersubsidi, dan simultan juga melakukan kajian perubahan sistem subsidi dari subsidi harga ke subsidi
Halaman 29 produk dan/atau subsidi langsung. 7. Pengadaan Tanah untuk Rakyat Mendesak pemerintah menjamin penyediaan tanah untuk kepentingan umum; mendesak pemerintah untuk melakukan pembatasan penguasaan tanah oleh swasta; mendesak pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria dan pemanfaatan tanah terlantar untuk kepentingan rakyat. 8. Pendidikan Mewujudkan wajib belajar 12 tahun yang merupakan kelanjutan dari program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang telah dilaksanakan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri; membumikan Pancasila dengan cara memasukkan kembali kurikulum Pancasila 1 Juni di semua jenjang pendidikan. 9.Kemandirian Ekonomi Merevitalisasi peran Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional; meningkatkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai basis pemberdayaan ekonomi kerakyatan. 10. Kesehatan Pemenuhan hak kesehatan rakyat yang tidak diskriminatif, yang untuk itu diinstruksikan kepada seluruh kader partai, khususnya yang berada di legislatif dan eksekutif (gubernur, bupati, walikota) untuk menjalankan program politik partai berupa: (i) memperjuangkan beroperasinya rumah sakit tanpa kelas di setiap daerah di seluruh Indonesia; (ii) memperjuangkan lahirnya UU Keperawatan yang akan memberikan kepastian perlindungan bagi para perawat yang merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rakyat; (iii) mendesak segera dibuatnya aturan turunan dari UU BPJS agar sistem jaminan sosial nasional, terutama jaminan kesehatan bisa diterima oleh seluruh rakyat, sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan UU, yakni Januari 2014. 11. Jaminan Kebebasan Beragama Dalam rangka memperkuat integrasi NKRI dibutuhkan UU Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Pemerintah harus terus berjuang unutuk tidak boleh gagal dalam memberikan perlindungan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi pemeluknya.
Penulis adalah mantan Sekretaris Eksekutif Yayasan Bhumiksara. Saat ini bekerja sebagai Staf Ahli di DPR RI, dan sebagai dosen mata kuliah hukum di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, dan juga sebagai pengacara.
Jurnal Bhumiksara
Halaman 30
PENCAPAIAN PROFESI DI JALAN TUHAN dr. Rudianto Halimputera, Sp.OG
SEGALA kehidupan di muka bumi ini selalu ada yang mengatur. Sebagai dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, saya mengakui senantiasa bersentuhan dengan "Sang Pengatur", yakni Tuhan yang Maha Kuasa. Salah satu pengalaman pribadi sekaligus kesaksian iman yang paling mengesan bagi saya adalah kasus seorang ibu yang mengalami pendarahan hebat paskah melahirkan. Ibu tersebut merupakan rujukan dari seorang bidan. Sesampainya di rumah sakit ibu tersebut sudah dalam keadaan kekurangan darah, dan sumber pendarahan masih belum bisa diidentifikasi. Saya pun berusaha semaksimal mungkin untuk berusaha menyelamatkan nyawa si ibu melalui berbagai usaha. Dengan segala kepasrahan, saya berinisiatif melakukan sumbatan jalan lahir dengan tampon gas sepadat mungkin di jalan lahir dan rongga rahim, dilanjutkan perawatan di ICU dengan perkiraan si ibu tersebut kemungkinan tidak bisa diselamatkan, mengingat pendarahan yang masih aktif. Apa yang terjadi, sungguh di luar perkiraan saya. Keesokan paginya setelah 8 jam perjuangannya, kemudian saya menemukan si ibu masih bisa membuka mata dan menatap lemah ke saya. Pada hari ke-3 perawatan di ICU, dan setelah mendapat transfusi darah sebanyak 23 kantung, si ibu sudah dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa, dan dua hari berikutnya sudah bisa pulang berkumpul kembali dengan bayi dan suami serta anak-anaknya. Saya bersyukur dan turut bahagia melihat hidup si ibu yang terselamatkan. Tapi kasus sebaliknya juga pernah terjadi. Betapa sedih rasanya, melihat seorang ibu yang datang ke rumah sakit dengan segar bugar, tetapi terpaksa pulang ke rumah dengan ditandu, seluruh tubuh ditutupi kain dengan jantung yang sudah berhenti berdetak. Satu hal lain, yang sering membuat saya tak mampu menahan rasa takjud adalah menyaksikan bagaimana terjadinya kehamilan dan tumbuh kembangnya organorgan yang saling berkaitan, seolah seolah suatu rangkaian mesin yang berjalan simultan sampai suatu saat organ itu rusak dan berhenti serta berakhirnya suatu kehidupan. Betapa mengagumkan bahwa satu sperma dan satu telur yang bertemu bisa menghasilkan satu manusia yang sempurna, sungguh sangat luar biasa.
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa melakukan hal semacam itu. Setinggi apapun ambisi para pakar kesehatan terutama di bidang infertilitas, tetap saja hasilnya belum bisa memuaskan. Memang, untuk melakukan pembuahan di luar rahim sudah berhasil dicapai, tetapi bagaimana caranya mempertahankan buah kehamilan di dalam rahim sampai cukup bulan, masih jauh dari harapan para pakar kesehatan. Saya sangat bersyukur menjadi seorang dokter kebidanan dan penyakit kandungan oleh karena jalur profesi saya ini juga sangat bersinggungan dengan tindakan abortus provocatus. Saya sangat berterima kasih bahwa ajaran agama Katolik yang sudah menghormati awal kehidupan sejak dari pembuahan, sehingga dengan itu saya tanpa ragu-ragu lagi untuk menolak semua permintaan abortus provocatus apapun yang menjadi penyebab kehamilan yang tidak diinginkan itu. Bila kita mendengar kata abortus, yang pertama kali terbayangkan adalah banyaknya persepsi, bagaimana proses abortus itu? Menderitakah si bayi? Bertentangankah dengan norma norma agama dan etika? Membahayakan nyawakah? Bagaimana perasaan si dokter dan pasiennya? Bagaimanapun juga, tindakan abortus memberikan dampak yang luas, baik dari segi fisik, psikis, sosial, hukum. Tindakan abortus ini umurnya sama tuanya dengan umur kehidupan manusia, di mana selalu ada dua pertentangan dalam perjalanan kehidupan manusia: ada yang menghendaki keturunan dan sebaliknya ada yang tidak menghendaki keturunan. Bagi yang tidak menghendaki keturunan ini persoalannya cukup kompleks dan yang terbanyak adalah dari populasi rumah tangga yang dalam kehidupan berumah tangganya dalam kategori tidak bermasalah, kedengarannya cukup aneh, koq bisa keluarga baik baik, meminta tindakan abortus sebagai upaya tidak menghendaki kehamilan. Di sinilah problem sosialnya bersinggungan, untuk mereka yang memang berprofesi sebagai penyedia jasa di bidang pelayanan pemuas nafsu birahi, pastilah mereka sudah sedia payung sebelum hujan, artinya supaya profesi bisa berjalan tanpa jeda haruslah menghindari kehamilan dengan memakai metode keluarga berencana
Jurnal Bhumiksara artinya mereka adalah orang-orang dengan sadar membutuhkan metode keluarga berencana. Sebaliknya wanita dari keluarga baik baik, mempunyai banyak problem dalam hidup berkeluarga antara lain: menganggap dirinya sudah tidak bisa hamil lagi sehingga tidak membutuhkan metode keluarga berencana lagi walaupun masih dalam usia reproduksi, tuntutan suami yang ingin menambah anak, tuntutan akan pemenuhan jenis kelamin anak, takut efek samping metode keluarga berencana, kurang mendapat informasi tentang keluarga berencana, sebaran dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan yang tidak merata sampai ke kabupaten kabupaten ditambah dengan trend para pimpinan daerah mengusulkan pemekaran wilayah yang pada akhirnya berdampak pada sebaran dokter, kualitas pemberian informasi dari para bidan dan paramedis di posyandu, puskesmas, rumah sakit yang jauh dibawah standar, hal ini memberikan kesan calon peserta keluarga berencana hanyalah sebagai obyek saja terlebih lagi pada program program KB-KES pemerintah di mana pasangan usia subur adalah target dari program tanpa mempertimbangkan efek samping, kenyamanan, dan kelangsungan atau kepatuhan akseptor KB, hal lain yang memperburuk adalah perhatian yang kurang para dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan untuk selalu mengingatkan ibu-ibu paska melahirkan untuk kembali berkonsultasi masalah keluarga berencana sebelum kembali melakukan hubungan suami istri paska melahirkan dibandingkan dengan melakukan tindakan seksio sesaria yang bisa menghasilkan rupiah-rupiah yang lebih banyak. Dari segi kebijakan pemerintah adalah tidak menjadikan fokus tentang penurunan angka kesuburan tetapi lebih difokuskan angka kematian ibu dan bayi yang lebih mempunyai nilai prestisius bila didengungkan di forumforum resmi pemerintah sebagai keberhasilan kepala pemerintahan berbuat dalam bidang kesehatan. Beberapa faktor inilah yang membuat permasalahan dalam timbulnya abortus, khusunya abortus provocatus kriminalis ataupun abortus provocatus medisinalis. Masih adanya daerah abu-abu dari peraturan hukum mengenai indikasi abortus sering digunakan oleh kalangan medis untuk mengisi celah-celah melakukan tindakan abortus, ringannya sanksi hukum dan ketidakberanian untuk melaporkan tindakan abortus yang dilakukan oleh dukun, paramedis dan medis tambah melanggengkan kegiatan ini. Apa yang sering kita dengar di media massa mengenai medis, paramedis, dukun atau pribadi sendiri melakukan abortus hanyalah puncak dari suatu gunung es, dalam
Halaman 31 dalam kehidupan sebenarnya tindakan ini berjalan terus akan tetap langgeng sampai akhir masa tanpa ada yang bisa menghentikan, dan baru akan berhenti bila nafas manusia juga berhenti. Kebutuhan akan abortus provocatus saya ibaratkan sebagai bukan kebutuhan primer tetapi bila kita mendapatkannya maka kebutuhannya akan sangat urgen, yang dengan segala daya upaya baik materi, kehormatan harga diri, akan digadaikan pada siapa saja yang bisa menolong lolos dari permasalahan hamil yang tidak diinginkan itu. Dari kamar praktek saya dapat melihat bahwa setinggi apapun profesi orang dalam bidang agama ternyata tidak berbanding lurus dengan keinginan melakukan abortus, dalam hal ini pengalaman yang saya alami adalah dari dua keluarga yang sama-sama menerima berita bahwa anak wanita kesayangan hamil di luar nikah, bapak yang pertama adalah seorang pemuka agama Kristen dan satunya adalah bapak yang berprofesi sebagai pedagang, ternyata yang meminta untuk abortus adalah si bapak pemuka agama Kristen sedangkan si bapak pengusaha dengan lembutnya menasehati anaknya untuk menerima semua cobaan dari Tuhan dan mengambil hikmahnya, sedangkan si bapak pemuka agama dengan emosi dan nervousnya mengeluarkan kata kata yang tidak pantas. Ternyata kata-kata abortus itu tidak memandang siapapun atau apapun dan bisa membutakan imannya kepada Tuhan. Nah, pernahkan terpikirkan oleh kita seandainya hal seperti itu menimpa keluarga kita, sampai di mana iman kita berperang melawannya, kalahkah atau menangkah iman kita, hanya pribadi pribadi kita masing masing yang bisa mengukur ketebalan iman kita. Semua yang saya alami tentu tidak lepas dari suatu perjalanan hidup 20 tahun yang lalu. Sesudah menyelesaikan pendidikan dokter umum, saya dan istri yang juga seorang dokter umum, memutuskan untuk berkarya di kampung halaman, tepatnya di kabupaten Pelaihari Provinsi Kalimantan Selatan. Hidup di kota kecil membentuk suatu kedekatan yang luar biasa dengan para warga, termasuk para suster Santa Perawan Maria, dan Pastor Karyono OMI yang kebetulan bertugas di Paroki Pelaihari. Pertemuan demi pertemuan dengan Pastor dan para suster-suster membuat kami tahu apa yang mereka kerjakan. Pastor Karyono OMI setiap kali berkunjung ke Stasi selalu membawa tas yang berisi obat-obatan sederhana dan alat P3K, yang berguna untuk mengobati umat yang sakit di Stasi yang dikunjunginya. Hal itu membuat kami penasaran, kenapa masalah kese-
Jurnal Bhumiksara
hatan harus diurus oleh Pastor, sedangkan di Paroki kami ada 3 orang dokter Katolik, yaitu saya yang bekerja di puskesmas, istri saya yang bekerja di rumah sakit umum Pelaihari, dan sepupu saya, yang juga seorang dokter gigi di Rumah Sakit Umum tersebut. Dengan pengetahuan saya sebagai kepala Puskesmas dan pernah dilatih membentuk Dana Sehat, yaitu suatu program untuk memberdayakan masyarakat untuk membiayai kesehatan mandiri dengan cara mengumpulkan iuran per keluarga yang disepakati dan dikelola oleh badan yang ditunjuk. Usulan Dana Sehat ini saya ajukan ke Pastor dan Suster untuk diterapkan kepada umat di Stasi, dengan acuan rencana: melatih beberapa umat masing masing Stasi untuk mengenal penyakit penyakit ringan, obat-obatan dan pencatatan serta pelaporan. Dengan bantuan donatur dan Seksi Sosial Keuskupan Banjarmasin, pelatihan dijalankan, dan program pun dapat bergulir. Setelah beberapa lama berjalan, kami pun berhasil mendapatkan pengakuan dari Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut. Hal itu terwujud dalam acara peresmian Dana Sehat Swasta Mandiri. Dalam acara peresmian tersebut kami juga mengundang suster-suster yang berkarya di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin di mana rumah tersebut merupakan rujukan tersier dalam alur rujukan Dana Sehat kami tersebut. Pada waktu itulah pula saya mendengar kata "Bhumiksara". Sungguh suatu penyelenggaraan ilahi. Perkenalan itu berawal saat seorang suster dari Rumah Sakit Suaka Insan tersebut bertanya kepada saya: “Dokter kenapa tidak melanjutkan sekolah spesialis?” Lalu pada waktu itu spontan saya menjawab: “Siapa yang tak mau sekolah lagi ambil spesialis Suster? Masalahnya modal tidak cukup untuk melanjutkan studi”. Pada waktu itu memang tarif dokter praktek sore sangat murah, sehingga praktis kami hanya mengandalkan gaji PNS saja. Eee..rupaya melalui Si Suster jalan mulai terbuka, tepat pada waktunya, Suster memperkenalkan nama Bhumiksara. Berbekal informasi singkat itu saya mencoba mencari tahu lebih lanjut dan berkonsultasi ke yayasan tersebut. Setelah mencoba berkonsultasi melalui surat, dan sambil
Halaman 32
menunggu jawaban, dengan perasaan yakin kami mencoba mendaftar untuk ikut tes masuk spesialisasi, kebidanan untuk saya dan patologi anatomi untuk istri saya. Puji Tuhan, ternyata kami lulus ujian masuk spesialisasi lebih dulu daripada balasan surat dari Bhumiksara. Dengan segala tekad kami berangkat ke Ujung Pandang untuk sekolah lanjut spesialisasi di almamater kami, dan mondok di rumah mertua. Setelah empat bulan menjalani pendidikan spesialisasi, balasan surat dari Bhumiksara belum juga kunjung datang. Tapi rupanya tangan Tuhan bekerja lewat cara lain. Tiba tiba saja saya mendapat info bahwa seorang Pastor di Gereja Katedral Ujung Pandang pernah mendapat beasiswa dari Bhumiksara. Setelah menemui Pastor tersebut, saya pun diberi kesempatan untuk bertemu muka langsung dengan Pastor Kadarman SJ yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris eksekutif Bhumiksara. Dari pertemuan itu, Pastor Kadarman SJ menyuruh saya menulis tentang apa saja yang telah dilakukan atau karya apa yang sudah dibuat untuk orang kecil. Di situlah saya sungguh merasakan jalan Tuhan menuntun saya ke jalur ini. Apa yang sudah saya buat ternyata ada benang merahnya. Lalu saya menulis tentang Dana Sehat yang kami bentuk, di mana gerakan ini tanpa pernah memikirkan pamrih atau harapan apapun. Tulisan saya tentang Dana Sehat itu saya kirimkan kepada beliau, Rupanya tulisan tersebut menggugah hati beliau, lalu memutuskan untuk memberikan beasiswa bagi kami. Setelah tahun ketiga menjalani pendidikan dengan penuh perhatian, Pastor menanyakan kondisi keluarga kami di mana putra kami yang kedua sudah lahir, dan syukur pada Tuhan Beliau pun memutuskan untuk menambah jumlah besaran beasiswa yang kami terima. Dengan berkat Tuhan yang senantiasa bersama keluarga kami sampai hari ini, saya dan istri saya (dr Daisy Tumedia Sp.PA) telah mempunyai dokter umum yang baru yaitu putri kami yang pertama dr. Patricia Fergie Claudia Halimputeri yang sekarang sedang bertugas sebagai dokter internship di kota Bitung. Putra kami yang kedua Vincentius Yulio Halimputera juga sedang belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penulis adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, bekerja di Rumah Sakit Umum Balikpapan
Jurnal Bhumiksara
Halaman 33
PARIWISATA BERWAWASAN KEMANUSIAAN: SEBUAH REFLEKSI SPIRITUALITAS Dr. Frans Teguh
WACANA kepariwisataan saat ini memerlukan refleksi serius mengingat tantangan yang dihadapi (environmental scanning) dan tingkat kemampuan analisis proaktif terhadap masa depan bangsa dan pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Dalam konteks ini perlu dicermati perkembangan dua paradigma pariwisata yang mengandung persoalan substantif tentang kepariwisataan, yakni upaya mendefinisikan (redefine) pariwisata dalam format multidimensi, ilmiah dan komprehensif. Paradigma pertama adalah pariwisata sebagai fenomena manusia yang merupakan resultante reaksi psikologis akibat dari munculnya kebutuhan (drive dan motive) untuk melakukan perjalanan hasil reproduksi faktor push and full. Kedua adalah pariwisata sebagai suatu industri. Benturan terhadap dua platform ini dapat dihindari manakala pihak-pihak yang berkompeten (stakeholder pariwisata) menyadari esensi dasar paradigm di atas. Yang menjadi persoalan saat ini adalah ketika pelaku terlalu berlebihan dalam menginterpretasikan peranannya seperti overkomersialisasi dari tour overator atau kebanggaan sektoral instansi dan dinas pelayanan parawisata yang berlebihan karena vested-interest tertentu, atau pembangunan kawasan dan saran pariwisata (hotel/objek wisata) yang mengabaikan faktor lingkungan hidup dan daya dukung (carrying capacity) dan pemberdayaan masyarakat sebagai asset utama parawisata. Tentu saja sinergi pendekatan paradigm di atas akan menghasilkan tatanan kepariwisataan yang harmonis, bermanfaat dan berakar dalam komunitas (community base tourism) meminimalisasi praktek bisnis yang semata-mata berpikir: we sell every thing, profit oriented dan pragmatic. De Kadt dalam buku Tourism: is a passport to development? (1979) menggugat esensi pokok kepariwisataan yang bagi sebagian orang dianggap sebagai tiket untuk meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat. Tidak berlebihan anggapan ini, namun pada kenyataannya hal tersebut tetap menjadi semangat utopia masyarakat dan lingkungan kita. Dalam
konteks yang sama ini ada pelbagai harapan yang digantukan kepada pariwisata terlebih dengan melihat peluang pada sektor small scale industries, gender, diversifikasi produk wisata (ecotourism, agrotourism, forest tourism), pemberdayaan, penyerapan tenaga kerja dan sebagainya. Analis pariwisata Geoffrey Wall (1994) dalam salah satu diskusi mengemukakan bahwa solusi efektif dari permasalahan tidak harus bergantung kepada kepariwisataan. Tourism is not a magic solution for economic problem. Hal ini logis karena orang masih beranggapan bahwa kepariwisataan dapat menyembuhkan proses pembangunan masyarakat di desa dan kota. Lebih jauh kita jernihkan bahwa fenomena kepariwisataan perlu dikaji apakah semua persoalan seperti kerusakan alam dan budaya hanya disebabkan oleh kegiatan dan industri pariwisata. Tesis pemikiran ini perlu dicuatkan mengingat pariwisata mengandung multi-karakteristik yang kompleks sebagaimana usaha jasa pada umumnya (perishable, intangible, variability, complexity, dependability) sehingga keterkaitannya dalam sistem pariwisata seyognya dicermati secara utuh. Cooper Chris (1997) menggarisbawahi tentang munculnya persepsi yang berkembang di masyarakat lebih dipengaruhi oleh kesalahan interpretasi tentang hakekat pariwisata. Dalam diskusi ini Cooper menggambarkan empat periode perkembangan kepariwisataan di suatu negara yang berbasis pada karakteristik dan pilihan pembangunan yang berkaitan dengan pembangunan lingkungan hidup, antara lain: Periode tahun 1950-an pariwisata berkembang secara co-existence dengan bidang lain karena memberikan kontribusi/dampak postif. Periode tahun 1960-an terjadi proses pengrusakan lingkungan hidup (deterioration). Periode tahun 1970-an adalah masa konflik kepentingan antara pariwisata dan bidang lain sehingga terjadi benturan dalam tahap perkembangan kepariwisataan. Periode tahun 1980/1990-an telah mulai terjadi kesadaran ilmiah dengan pendekatan yang lebih
Jurnal Bhumiksara komprehensif sehingga muncul model pengembangan pariwisata simbiotik yang mengarah kepada pembangunan pariwisata, meningkatkan prostitusi, kriminalitas dan perjudian? Apakah pariwisata melestarikan seni tradisional dan kerajinan bagi budaya setempat? Apakah pemerintah lebih mengarahkan prioritas pembangunan pariwisata untuk memuaskan wisatawan/pengunjung daripada penduduk setempat? Apakah penduduk setempat memberlakukan fasilitas wisata yang mahal melalui pajak? Apakah pariwisata ikut berperan merusak sumber daya yang semula memiliki daya tarik bagi wisatawan? Apakah terdapat tingkat kejenuhan dalam daur hidup produk wisata yang diakibatkan oleh tingkat pertumbuhan dari kedatangan wisatawan yang lebih menimbulkan masalah daripada maslahat? Apa yang sedang dilakukan untuk memperkirakan tingkat pertumbuhan wisatawan dan menjamin bahwa hal tersebut tidak melebihi ukuran yang ideal? Sementara itu pola dan gerak pembangunan pariwisata Indonesia masih memperlihatkan sikap yang belum sepenuhnya professional dan ilmiah. Hal ini misalnya dibuktikan oleh masih kurangnya kajian ilmiah yang dilakukan oleh pelaku industri pariwisata. Sebagai contoh, penerapan konsep product positioning bagi tour operator di Indonesia, hanya sekitar 15% menerapkan konsep research-based product dan tentu saja ini sangat berpengaruh pada keunggulan kompetitif produk wisata Indonesia (Teguh 1977). Atau misalnya, pemusatan pembangunan hotel di suatu kawasan tertentu yang tidak mengindahkan lingkungan hidup atau masih sedikitnya usaha jasa pariwisata dan perhotelan di Indonesia yang memiliki sertifikasi ISO. Tiga proposisi dikemukakan oleh Voase (1996) sebagai referensi dalam mengkristalisasi model pengembangan pariwisata masa mendatang. Pertama, pariwisata adalah manusia menggantikan konsepsi pariwisata sebagai tempat dan objek wisata semata-mata (tourism as people replacing tourism as place). Kedua, pariwisata sebagai sustainable domesticity yang mengandung pengertian kelestarian dan kelangsungan sumber daya setempat dengan tantangan pada upaya memformulasikan pariwisata sebagai bentukan aktivitas manusiawi dan sistem industri kepariwisataan yang berkelanjutan. Ketiga, pariwisata sebagai metamorphosis proses keseimbangan dan harmonisasi dalam tatanan hubungan kemanusiaan, antar individu (guest-host relationship), bangsa dan negara sehingga mengurangi bentuk dan
Halaman 34 kecenderungan imperialism baru (tourism into equilibrium). Bagaimanapun tantangan yang perlu direkayasa secara positif adalah upaya memberdayakan segala potensi dan sumber daya pariwisata sebagai manifestasi proses transformasi nilai. Yang dimaksudkan di sini adalah proses penularan nilai lokal yang satu ke nilai lokal yang lain (tourism values exchange) melalui persahabatan manusia sehingga menghasilkan keserasian dan keharmonisan nilai yang dapat diterima oleh semua pihak secara menyenangkan antar dua belah pihak. Pada tatanan tersebut koridor nilai tersebut merujuk pada nilai universal sesuai tuntunan suara hati. Artinya, kebutuhan akan reorientasi pengembangan pariwisata memasuki tatanan nilai budaya, norma dan etika serta keagungan kepribadian manusia dengan menjunjung harkat dan martabat. Tentu saja, praktek pemberdayaan pariwisata yang terlalu menimbulkan dampak negatif perlu diminimalisasi dalam konteks pariwisata yang luhur, adil dan mulia sehingga pariwisata lebih efektif dan kreatif menjawab persoalan-persoalan bangsa dan masyarakat yang terjadi di Indonesia saat ini. Pemikiran yang jauh ke depan seyogianya mengiringi keinginan para pelaku pariwisata yang terjun dalam bidang jasa ini. Sintesis pariwisata Indonesia adalah proses sinergi nilai ekonomis, budaya dan masyarakat, serta dan yang lebih penting adalah menanamkan jiwa dan semangat spiritualitas ke arah visi strategis pariwisata Indonesia sebagai aset nasional dan proses pendidikan masyarakat internasional. Di sini yang paling penting adalah bagaimana merumuskan nilai spiritualitas dalam praktek pariwisata kita. Dengan demikian, hakekat spiritualitas dalam pariwisata adalah pergumulan dan peziarahan fisik dan non-fisik dalam aura perjalanan iman ke destinasi rohani dengan mengalami pengayaan nilai alam, budaya dan pelayanan manusia. Penempatan subjek manusia meresponsi kebutuhan insane yang mengandung nilai humanis universal. Kekuatan spiritual pariwisata terletak pada aspek pengelolaan yang harmonis terhadap tuntutan kebutuhan dan kemampuan apresiasi nilai perjalanan. Isu service quality, hospitality, competitive advantage, benchmarking, dan nilai lain yang merupakan produk industrialisasi seyogyanya ditempatkan dalam konteks yang proporsional sehingga menghindari proses reduksi nilai-nilai luhur dalam pariwisata. Implikasi dari praktek yang lebih mendewakan semangat industrialisasi akan menghasilkan proses dehumanisasi dan denaturalisasi
Jurnal Bhumiksara
yang sulit dikontrol. Mengapa? Karena bagaimanapun perdebatan tentang konsepsi tourism value pasti akan menyentuh dengan totalitas aspek kehidupan manusia yang kompleks. Nilai luhur yang dimaksudkan di sini adalah kandungan etika, moral dan norma universal seperti peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai destinasi final pembangunan nasional. Gereja tampil cukup proaktif meresponsi fenomena demoralisasi dan denaturalisasi dalam proses pembangunan kepariwisataan. Mengutip Pedoman Umat Katolik Indonesia (1995) tentang industri pariwisata dijelaskan bahwa pariwisata yang baik perlu dikembangkan dan didukung. Arahnya menuju ke pengangkatan diri rakyat bahwa tanah airnya dibanggakan. Maka pengembangan itu tidak boleh menghancurkan identitas suku dan daerah atau harkat diri manusia. Industri pariwisata hendaknya ditumbuhkan dengan membangkitkan cinta daerah dan tanah air secara sehat. Juga dalam hal pariwisata, manusia perlu mendapat prioritas perhatian. Harus diakui bahwa pengejawantahan komitmen ini sebagai sikap normatif agak sulit ketika manusia dan pelaku pariwisata berhadapan dengan muatan nilai yang berbeda serta semakin menipisnya dinding moralitas dan etika dunia usaha. Hal ini tentu saja
Halaman 35
mengakibatkan munculnya pesimisme dan eksklusifisme perilaku yang cenderung membenarkan praktek-praktek manipulasi nilai manusia karena tekanan dan tuntutan hidup. Alangkah sulit pencernaan kita terhadap pemahaman spiritualitas personal dan komunal. Karena yang diharapkan dalam pemahaman spiritualitas adalah resonansi gerak individu melalui praktek profesi yang terdalam karena berhubungan dengan kebenaran dalam terang religiositas. Namun ketika tercipta hegemoni nilai universal dan uniformitas pasti hal itu berbenturan dengan pariwisata yang indah, menarik, lokal dan kepesonaan serta harmonisasi pengalaman. Pada tataran yang sama nilai spiritualitas tidak pernah berjarak dengan proses industrialisasi dan profesi pariwisata karena keterlibatan manusia sebagai subjek dan objek dalam kegiatan pariwisata mutlak. Dengan demikian, pertanyaan substantif adalah sejauh mana kita meletakkan batas moral, etika dan religiositas dalam praktek usaha jasa kepariwisataan. Ketika kepariwisataan per se menghasilkan komoditi dalam pelbagai dan format secara simultan sebenarnya terjadi proses kristalisasi nilai spiritualitas. Dalam konteks ini, paling tidak kita memahami dan mencoba mengatasi krisis nilai kemanusiaan.
Penulis saat ini bekerja di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai Kepala Bagian Perencanaan dan Kerjasama. Sebelumnya, di kementerian yang sama, menjabat sebagai Koordinator Program DMO (2010-2012).
Jurnal Bhumiksara
Halaman 36
Aksi
SEKILAS SEJARAH PROGRAM YAYASAN BHUMIKSARA I. Latar belakang dan Sejarah Awal GAGASAN awal untuk mendirikan Yayasan Bhumiksara muncul dari sekelompok cendekiawan Katolik, khususnya yang tergabung dalam Badan Pengurus Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK). Mereka berusaha menanggapi keprihatinan akan krisis kepemimpinan dalam masyarakat dan Gereja Katolik Indonesia. Dalam perspektif keprihatinan itu pada 1987, mereka mencoba menyikapi program beasiswa yang dimiliki APTIK, yaitu Program Peningkatan Studi bagi S-2 dan S3, dan Program Pembinaan Kader. Ketika itu peningkatan kompetensi akademik kader lebih mendapat perhatian daripada pembinaannya. Hal ini dikarenakan kebutuhan mendesak bagi perguruan tinggi yang tergabung dalam APTIK untuk peningkatan proses belajar-mengajar dan akreditasi. Maka Program Peningkatan Studi S-2 dan S-3 dimanfaatkan sepenuhnya, sementara Program Pembinaan Kader tidak dipakai. Selain itu, Program Pembinaan Kader tidak cukup mendapat perhatian karena tidak ada lagi tenaga khusus yang bisa menanganinya secara berkelanjutan. Dilatarbelakangi situasi tersebut, mereka pun sepakat untuk menangani Program Pembinaan Kader secara tersendiri, dan menggagas pendirian sebuah lembaga untuk menanganinya. Berusaha menindaklanjuti dan mendalami kesepakatan itu, mereka pun melakukan semacam studi banding dan mempresentasikan ide mengenai rencana pembentukan pusat-pusat keunggulan akademik dan pengembangan kader intelektual Katolik di hadapan wakil-wakil dari Misereor, Missio, Cebemo, Konrad Adenauer Stiftung (KAS), Vobis, Fonds Rabobanken, Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD), United Board for Christian Higher Education in Asia dan Bureau Buitenland van de Universiteit van Nijmegen en Leuven di Belanda pada tanggal 9-10 Mei 1987. Sekembalinya ke Indonesia, pada tanggal 29 Agustus 1987 para Pengurus APTIK tersebut, ditambah tokoh
dari Kompas Gramedia, Pengurus KWI, dan beberapa cendekiawan dan tokoh Katolik lainnya, berkumpul dan sepakat mendirikan Yayasan Bhumiksara. Mereka itu terdiri dari Prof. Dr. A.M. Kadarman, S.J., Prof. Dr. Anton M. Moeliono, Mgr. F.X. Hadisumarto, O.Carm., Ir. Johanes Sadiman, Drs. Frans Seda, Drs. P. Swantoro, dan F.X. Danuwinata, S.J. Pada saat itu pula mereka berhasil membentuk personalia Badan Pengurus Yayasan Bhumiksara, yang secara legal baru disahkan pada 20 April 1988. II. Perkembangan Selanjutnya (Program) Sejak berdiri pada tahun 1988 hingga 2013, untuk mencapai visi dan misinya, telah diselenggarakan berbagai macam kegiatan formatif, yakni: menyelenggarakan pelatihan, memberikan beasiswa studi S-2 dan S-3, mendukung pelaksanaan kajian iman, ilmu dan budaya (IIB), membentuk komunitas gerakan (jaringan), penguatan kepemimpinan institusi dan pengembangan manajemen organisasi, pengembangan kepemimpinan LSM, pemberian beasiswa studi S-1, pengembangan ethical leadership, dan pengembangan layanan literatur/publikasi. Berikut ini perkembangan singkat pelaksanaan program/ kegiatan tersebut. 1. Program Wijalatih Pada 1988 hingga 1992, perjalanan Yayasan Bhumiksara ditandai dengan beberapa kegiatan awal, antara lain sosialisasi, konsolidasi, penelitian, perumusan strategi implementasi visi, misi dan program yang digariskan dalam Anggaran Dasar, yakni pengembangan kepemimpinan kader di tengah umat dan masyarakat, dan pengkajian masalah iman ilmu dan budaya. Pertama-tama Yayasan Bhumiksara menyeleksi beberapa calon wijalatih dan menawarkan kepada mereka untuk mengambil program kursus atau pelatihan sesuai dengan kebutuhan untuk pengembangan kepemimpinan mereka masing-masing. Untuk tujuan itu, kerja sama dengan berbagai lembaga pun diupayakan, antara lain dengan Institut Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (IPPM), Jakarta.
Jurnal Bhumiksara
2. Pemberian Beasiswa S-2/S-3 Pada 1990 Yayasan Bhumiksara mulai membuka program beasiswa S-2 dan S-3 secara selektif berdasarkan kebutuhan kepemimpinan dan gagasan masa depan calon. Pada akhir tahun 1991, jumlah beasiswa (termasuk wijalatih) mencapai 34 orang. Permintaan beasiswa untuk peningkatan studi dan pelatihan terus bertambah, bahkan melebihi dari jumlah yang bisa dipenuhi. Total beasiswa hingga tahun 2004, berjumlah 137 orang. 3. Program Iman, Ilmu, dan Budaya (IIB) Pada 1989 program IIB mulai dijajaki kemungkinan bentuk pelaksanaannya. Para pakar dari berbagai pusat kajian dan dari fakultas-fakultas filsafat dan teologi diajak untuk berunding guna merancang kerja sama dan merumuskan program konkret. Pada tahun ini pula panitia kecil berhasil menyusun suatu proposal kursus Iman dan Ilmu untuk selama tiga tahun. Kemudian, beberapa lokakarya dan seri seminar IIB pun mulai didukung penyelenggaraannya, antara lain, Seri Seminar Iman dan Ilmu oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya pada tahun 1990, dan Forum Pengkajian Iman dan Ilmu di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya pada tahun 1991. Pada 1996 program IIB, terselenggara melalui kerja sama dengan Pusat Pengembangan Etika di Universitas Atma Jaya dalam bentuk Seri Qolloquium. Pada 1997 hingga 1999 kegiatan yang sama juga dilaksanakan di beberapa Rukun Lokal, antara lain di Jakarta, Bogor, Bandung, dan Yogyakarta. Pada 2003 program beasiswa pascasarjana terhenti. Situasi tersebut memberi peluang kepada Yayasan Bhumiksara untuk memberi perhatian lebih pada Rukun Lokal dan Program IIB. Atas dukungan sponsor pun Program IIB kembali berkembang pelaksanaannya, bahkan menjadi program unggulan dengan lebih banyak melibatkan Rukun Lokal. Dengan demikian kedua program tersebut berkembang bersamaan. Dari 33 Rukun Lokal, sebanyak 16 Rukun Lokal terlibat dalam penyelenggaraan Program IIB hingga tahun 2008. Namun pada tahun 2009, pelaksanaan Program ini lebih diprioritaskan di Perguruan Tinggi Katolik yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK). 4. Pembentukan Komunitas Gerakan Pada 1991 muncul ide untuk menyatukan bhumiksara-
Halaman 37
wan di berbagai daerah dalam sebuah forum guna melakukan pertemuan secara rutin. Pertama kali terbentuk di Jakarta, kemudian bergulir ke daerah lain. Nama forum tersebut untuk pertama kalinya disebut local chapter, kemudian berubah menjadi Rukun Lokal. Pada tahun-tahun selanjutnya, jumlah Rukun Lokal terus bertambah, dan komunikasi dengan Rukun Pusat (Badan Pengurus Yayasan Bhumiksara) berjalan intensif. Rukun Lokal menjadi sebuah gerakan cendekiawan awam profesional yang berusaha mengembangkan spiritualitas dan kerasulan. Mereka berkumpul secara rutin saling membantu dan mendukung untuk menjalani profesi dalam terang Injil. Pada tahun 1992 tercatat telah tersebar sejumlah 32 Rukun Lokal di berbagai kota provinsi di Indonesia. Setiap Rukun Lokal memilih pendamping spiritualnya masing-masing. Untuk menanggapi dinamika itu, Rukun Pusat menerbitkan sebuah pegangan yang bisa membantu dalam mengembangan profil Bhumiksarawan, identitas dan cara kerjanya. Juga mengirimkan layanan literatur dan memfasilitasi pertemuan regional dan nasional secara berkala. Pada tahun 1993 diselenggarakan pertemuan nasional yang pertama di Jakarta. Beberapa pertemuan regional juga terlaksana, antara lain di Pematangsiantar pada 1994. Pertemuan Nasional kedua juga digelar pada tahun 1996 di Jakarta. Kemudian secara rutin terselenggara di Jakarta pada 2003 dan 2004. 5. Program Bantuan Institusional Pada 1993, Yayasan Bhumiksara membuka program bantuan institusional yang bermaksud melayani lembaga Katolik dalam peningkatan kepemimpinan institusional dan manajemen organisasinya. Program tersebut diawali dengan suatu penelitian organisasi yang menghasilkan usulan konkret bagi kemajuan organisasi. Juga penelitian keadaan dan kemampuan pimpinan, merencanakan dan membiayai program pengembangan untuk menyiapkan tenaga pimpinan yang profesional. Pada tahun itu, tercatat ada sejumlah 18 lembaga Katolik di berbagai Keuskupan yang dilayani oleh Yayasan Bhumiksara untuk tujuan tersebut. Hubungan kerjasama Bhumiksara dan organisasi/badan Katolik lainya yang sejalan pun semakin ditingkatkan. 6. Program Pengembangan Kepemimpinan LSM Pada 1995, secara khusus, Yayasan Bhumiksara membuka program pelatihan bagi Lembaga Swadaya
Jurnal Bhumiksara
Halaman 38
Masyarakat (LSM), bekerja sama dengan Yayasan Bina Swadaya. Untuk itu dibentuk panitia penasehat ahli yang beranggotakan Bapak Ir. J. Sadiman, Bapak Drs. Bambang Ismawan, M.Sc., Dr. Ir. A.J. Rajino dari IPB. Panitia tersebut membuat rencana seleksi bagi para calon peserta program. 7. Layanan Literatur dan Media Komunikasi Sejak 1992, untuk mendukung kualitas pelaksanaan kajian iman, ilmu dan budaya, dan pelaksanaan pertemuan rutin di berbagai Rukun Lokal, Rukun Pusat (Badan Pengurus Yayasan) menyediakan layanan literatur berupa fotokopi bahan-bahan yang relevan. Juga menerbitkan media internal yang diberi nama ”Nawala Bhumiksara”. Seiring dengan perkembangan pelaksanaan program IIB, sejak 2001 Yayasan Bhumiksara menerbitkan Jurnal Bhumiksara dan bukubuku. Dengan pertimbangan efisiensi dan gerakan hijau, maka sejak 2011, Jurnal Bhumiksara dan Nawala diterbitkan dalam bentuk digital.
8. Program Beasiswa dan Pendampingan Nasional S-1 Pada tahun 2005, Yayasan Bhumiksara menggulirkan program beasiswa kepada 100 mahasiswa program strata satu yang kuliah perguruan tinggi negeri. Pada tahun 2007 diselenggarakan Pendampingan Nasional (Pennas) pertama bagi mereka di Jakarta, disusul pendampingan nasional (Pennas) kedua pada 2009 di Yogyakarta. Pada tahun 2013, Yayasan Bhumiksara membuka kembali program beasiswa S-1 yang dinamai Beasiswa Pemapan (Pemimpin Masa Depan). Beasiswa Pemapan tahun pertama diberikan kepada 10 mahasiswa yang kuliah di UI, UGM, IPB, dan Unair. 9. Ethical Leadership Pada tahun 2012 Yayasan Bhumiksara bekerja sama dengan Sekretariat KWI menggulirkan program Ethical Leadership berupa Workshop Ehem. Workshop Ehem bertujuan mengembangkan kepekaan (sensitivitas) dan kepedulian terhadap masalah korupsi serta meningkatkan keterlibatan dalam upaya pemberantasannya, baik secara pribadi, kelompok maupun kelembagaan (institusi).
Dirangkum redaksi dari berbagai sumber
Acara 25 Tahun Yayasan Bhumiksara, 4 Mei 2013
Jurnal Bhumiksara
Halaman 39
SEKOLAH PENGKADERAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN BERMAKNA MENUJU MASA DEPAN INDONESIA Immanuel Yosua
Pendahuluan PENDIDIKAN merupakan faktor fundamental dalam membangun suatu bangsa. Dengan kualitas pendidikan yang baik, rakyat mampu menjadi pribadi yang “tercerahkan”. Dengan menjadi sosok yang “tercerahkan”, mereka akan mampu membaca fenomena/tanda-tanda zaman, mampu menganalisa tanda-tanda tersebut, dan mampu bertindak secara tepat sebagai respon atas munculnya tanda-tanda tersebut. Sebaliknya dengan kualitas pendidikan yang kurang baik, rakyat menjadi tidak terlatih dalam proses berfikir. Akibatnya, rakyat menjadi pasif dan kehilangan kemampuan dalam menemukan sesuatu bagi perbaikan/ kemajuan bangsanya. Sayangnya kualitas pendidikan di negara kita secara umum, tidak terklasifikasikan pada poin yang pertama (dibaca: yang baik) alih-alih terklasifikasikan pada poin yang kedua (dibaca: yang kurang baik). Pearson (2012) mempublikasikan laporannya mengenai performansi pendidikan dan menempatkan Indonesia pada rangking 40 dari 40 negara yang disurvei pada Index Global Keterampilan Kognitif dan Pencapaian Pendidikan. Hasil riset Pearson (2012) juga menempatkan Indonesia pada kategori bawah dalam hubungan antara ekspektasi pendidikan dan produktivitas kerja. Nampaknya walaupun negeri kita telah sekian lama merdeka, pendidikan masih menjadi primadona di antara berbagai permasalahan mendasar yang berkembang di Indonesia. Perkembangan Yayasan Bhumiksara menurut saya, kelahirannya turut dibidani oleh kondisi pendidikan tersebut. Dengan slogannya, “Iman, Ilmu, dan Budaya”, Yayasan Bhumiksara berusaha untuk berkontribusi dalam dunia pendidikan melalui pengembangan ketiga domain tersebut baik secara mandiri maupun secara kolaboratif. Pengembangan ini utamanya dilakukan melalui proses mendidik dan mengkader intelektual Katolik sebagai “garam” di tengah dunia, yang artinya mampu menunjukkan keberpihakan dan solidaritas intelektual Katolik dalam penyelesaian permasalahan bangsa. Kata Katolik di sini menjadi ciri khas yang hakiki
dan tak tergantikan, karena ke-Katolikan ini menjadi dasar untuk dapat menyelesaikan permasalahan bangsa, selain tentunya dengan menggunakan keilmuan dan daya penalaran kritis. Dalam kontribusinya, Yayasan Bhumiksara memosisikan diri sebagai sebuah sarana kerasulan intelektual, dalam bidang apa saja, dan dalam profesi apa saja, baik sebagai ilmuwan, peneliti, politisi, pengajar, wartawan, penulis, medis, penggerak masyarakat, dan lain sebagainya (Yayasan Bhumiksara, 2013). Dalam rangka mendidik dan mengkader intelektual Katolik sebagai rasul-rasul awam, Yayasan Bhumiksara mengembangkan berbagai macam program. Yayasan Bhumiksara menerbitkan jurnal ilmiah dan buletin Nawala sebagai sarana pengembangan curah gagasan/keilmuan dan sekaligus dapat menjadi sarana komunikasi khususnya antar anggota Bhumiksara. Yayasan Bhumiksara melakukan berbagai pelatihan seperti misalnya pelatihan “Etika Kepemimpinan” atas kerjasama dengan KWI, pelatihan anti korupsi, kegiatan “The First Roundtable on Corporate Governance”, dan lain sebagainya. Yayasan Bhumiksara juga memfasilitasi pemberian beasiswa, yang pada awalnya ditujukan untuk mahasiswa Pascasarjana, kemudian diperluas jangkauannya bagi mahasiswa tingkat Sarjana yang studi di Perguruan Tinggi Negeri. Tidak hanya berhenti pada pemberian beasiswa, Yayasan Bhumiksara juga terlibat dalam memberikan berbagai macam pelatihan dan pendampingan bagi para mahasiswa tersebut. Saya merupakan salah seorang yang beruntung karena “terjaring” dalam program beasiswa ini. Saya merasa bersyukur bahwasanya selain saya mendapatkan dana bantuan untuk melangsungkan perkuliahan, saya pun diberikan pendampingan yang sangat bermanfaat bagi diri saya baik dalam lingkup pendampingan nasional maupun dalam lingkup lokal. Sebagai salah seorang alumni penerima beasiswa Bhumiksara, saya mengucapkan “Proficiat” atas ulang tahun Yayasan Bhumiksara yang ke-25. Syukur atas perjalanan 25 tahun ini hendaknya kita maknai sebagai
Jurnal Bhumiksara suatu momentum untuk merevitalisasi gerakan Yayasan ini ke depan. Tulisan ini akhirnya mencoba untuk memberikan suatu sumbangsih pemikiran bagi perjalanan “bahtera” Bhumiksara ke depan dari satu gagasan program, “Sekolah Pengkaderan.” “Sekolah Pengkaderan: Sebuah Urgensi” Ide dasar dari munculnya sekolah pengkaderan ini berasal dari concern Yayasan Bhumiksara sendiri mengenai pendidikan dan pengkaderan intelektual Katolik sebagai garam di tengah dunia, yang juga turut saya rasakan sebagai concern saya secara pribadi. Tidak mudah rasanya menemukan tokoh-tokoh Katolik pada zaman sekarang ini yang memiliki pengaruh besar dalam dinamika perjalanan bangsa. Kondisi yang relatif sama turut dirasakan pula oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diungkapkannya saat menjadi Key Note Speech pada Dies Natalis ke-67 Pemuda Katolik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut kemudian menambahkan bahwa kelemahan dalam pendidikan kader menjadi penyebab sulitnya orang-orang Katolik saat ini tampil sebagai tokoh-tokoh nasional (Dagur, 2012). Ini sangatlah berbeda dengan masa-masa awal di mana banyak tokoh Katolik terlibat dalam usaha-usaha mencapai kemerdekaan dan perintisan cikal bakal negara ini. Di antara sederetan tokoh ini dapat kita jumpai nama-nama seperti Ignatius Joseph Kasimo (IJ Kasimo), pendiri partai Katolik Indonesia, anggota Volksraad, dan juga menteri pada kabinet presiden Soekarno. Ada pula nama Frans Seda, beliau pernah menjadi ketua Partai Katolik, pernah berkarir sebagai menteri, dan penasihat presiden lintas zaman. Ada pula sosok klerus yaitu Mgr. Albertus Soegijopranoto, beliau merupakan uskup pertama yang asli Indonesia dan tokoh utama di balik pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Vatikan, sehingga Vatikan menjadi negara Eropa pertama yang memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Semboyan yang sangat khas dari Mgr Soegijopranoto adalah “100% Indonesia, 100% Katolik.” Kesuksesan dalam “menelurkan” tokoh-tokoh Katolik di atas tidak lepas dari perjuangan keras pengkaderan ala Rm Van Lith, SJ. Rm Van Lith sangat mengerti pentingnya pendidikan dalam menghasilkan tokoh-tokoh bangsa, untuk itu ia memulai karya misinya di Indonesia dengan pendirian sekolah bagi kaum pribumi. Pendidikan ini selain memberikan penekanan pada pengembangan kapasitas berfikir, mentalitas, dan spiritualitas Kristiani,
Halaman 40 Juga memberikan porsi yang signifikan bagi pemupukan karakter nasionalisme. Harapannya setiap alumnus dapat menjadi alter Christus, artinya menjadi Kristus-Kristus yang lain bagi keluarga, masyarakat, Gereja, dan bangsanya. Dalam hal ini kepribadian Kristus, karakter kepemimpinan Kristus, dan welas asih Kristus, menjadi cerminan dalam berfikir, merasa, dan bertindak seorang kader saat ia terjun ke masyarakat. Kini sudah lebih dari 100 (seratus) tahun semenjak sekolah misi pertama didirikan di Muntilan, namun demikian warisan gagasan pemikiran, spiritualitas, dan tindak tanduk Rm. Van Lith tidak pernah usang. Sebaliknya hal ini masih dirasa sangat relevan dalam pengembangan pendidikan kader Katolik Indonesia ke depan. Rencana Gagasan ke Depan Pendirian sekolah pengkaderan merupakan salah satu program yang perlu menjadi prioritas Yayasan Bhumiksara ke depan. Dengan merintis sekolah pengkaderan ini, kita dapat mempersiapkan putra/putri Gereja untuk dapat terlibat dalam pembangunan negeri ini di masa mendatang. Setidaknya, menurut saya, ada beberapa agenda program spesifik yang akan dinaungi oleh sekolah pengkaderan, sebagai berikut :
1. Tetap
melanjutkan pemberian “beasiswa pengkaderan” bagi mahasiswa-mahasiswi Katolik yang menempuh studinya di perguruan tinggi negeri dengan memberikan prioritas yang lebih besar bagi mahasiswa-mahasiswi tidak mampu dan berasal dari kawasan Timur Indonesia sebagai calon penerimanya. Mahasiswa-mahasiswi yang akan diberi beasiswa tersebut haruslah mempunyai keunggulan khusus yang menjadikannya layak menerima beasiswa. Beberapa karakteristik yang dipersyaratkan melekat pada calon penerima beasiswa yaitu: memiliki jiwa kepemimpinan, memiliki rasa empati/kepekaan sosial, memiliki kemampuan interaksi sosial, dan memiliki spiritualitas Kristiani, selain tentunya juga harus memiliki kemampuan kognitif yang baik. Program ini tidak hanya semata-mata memfasilitasi dengan dukungan material, namun juga mendidik calon-calon penerima beasiswa tersebut untuk siap terjun sebagai pemimpin di tengah masyarakat.
2. Pengiriman mahasiswa-mahasiswi/orang muda Katolik untuk menjadi guru di kawasan Timur Indonesia khususnya di daerah-daerah yang menjadi basis umat Katolik. Masih terlihatnya gap yang besar antara kualitas pendidikan di kawasan Barat dan
Jurnal Bhumiksara
kawasan Timur Indonesia membuat urgennya pelaksanaan transfer ilmu dari kawasan Barat menuju kawasan Timur Indonesia. Ide dasar dari program ini sendiri sedikit banyak meminjam konsep yang sudah dikembangkan oleh Indonesia Mengajar yaitu untuk mengirimkan putra-putri terbaik bangsa menjadi pengajar di daerah-daerah yang terpencil. Dengan sedikit perbedaan, program ini bermaksud mengirimkan mahasiswa-mahasiswi/orang muda Katolik untuk menjadi pengajar-pengajar di kawasan Timur Indonesia khususnya yang menjadi basis umat Katolik. Harapannya guru-guru muda ini dapat membantu menjembatani penyediaan pendidikan yang berkualitas serta mengkader dan menginspirasi pelajar-pelajar di daerah untuk membangun daerahnya/menjadi agen perubahan bagi daerahnya. 3. Penyediaan program-program pelatihan kaderisasi kepemimpinan bagi awam Katolik. Yayasan Bhumiksara perlu mengembangkan berbagai macam program pelatihan yang berkaitan dengan utamanya tujuan kaderisasi itu sendiri. Adapun yang menjadi sasaran dari program-program ini adalah karyawan-karyawan muda Katolik yang bekerja di berbagai sektor maupun mahasiswa-mahasiswi Katolik di berbagai perguruan tinggi. Harapannya setelah mereka mengikuti pelatihan ini mereka betulbetul siap untuk terjun sebagai pemimpin dalam masyarakat dan bisa mengembangkan jejaring dengan orang-orang Katolik yang sudah berkecimpung sebagai tokoh-tokoh pemimpin di bidang keprofesiannya masing-masing. 4. Penguatan rukun-rukun lokal untuk menggerakkan daerahnya masing-masing. Yayasan Bhumiksara perlu lebih memberdayakan alumni-alumni yang dimilikinya, baik yang berasal dari
Halaman 41
alumni penerima beasiswa maupun peserta program pelatihan kepemimpinan Katolik, ke dalam rukun-rukun lokal yang ada di setiap daerah. Rukun-rukun lokal ini sebaiknya perlu lebih dikoordinasikan keberadaannya sehingga dapat menghasilkan berbagai program kerja yang bergerak secara nasional sesuai dengan agenda kerja Yayasan Bhumiksara. Selain itu perlu pula dikembangkan program-program kerja yang berangkat dari kebutuhan daerah masing-masing, yang harapannya mampu menjawab permasalahan yang dijumpai di sana. Kesimpulan Berdirinya Yayasan Bhumiksara sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan. Dengan keberadaannya, Yayasan Bhumiksara berusaha untuk terlibat dalam pengentasan permasalahan tersebut melalui pengembangan dan pengkaderan intelektual Katolik untuk menjadi rasul-rasul awam di tengah masyarakat, yang akhirnya mampu terlibat untuk memperbaiki berbagai permasalahan bangsa. Sayangnya di zaman sekarang ini tokoh-tokoh Katolik yang tampil sebagai rasul-rasul awam di tingkat nasional mengalami kemerosotan dibandingkan pada zaman dahulu. Dengan alasan itulah penulis mencoba mengusulkan adaya sekolah pengkaderan sebagai suatu masukan untuk mencoba merevitalisasi gerakan Yayasan Bhumiksara ke depan. Sekolah pengkaderan ini nantinya akan mencakup beberapa program spesifik seperti “beasiswa pengkaderan”, pengiriman guru ke daerah basis Katolik untuk mengkader pelajar-pelajar di sana, program pelatihan kaderisasi kepemimpinan awam Katolik, serta pemberdayaan rukun lokal sebagai sarana pengembangan kemajuan daerah masing-masing.
Daftar Pustaka Economist Intelligence Unit. 2012. The Learning Curve, Lessons in Country Performance in Education. London: Pearson (http://thelearningcurve.pearson.com/the-report, diakses 9 Maret 2012). Yayasan Bhumiksara. 2013. Rancangan Penerbitan Buku 25 Tahun Yayasan Bhumiksara. Jakarta : Yayasan Bhumiksara Dagur, R. 2012. Sri Sultan: Kini Sukar Mendapat Tokoh Nasional Katolik.(http://indonesia.ucanews.com/2012/12/18/sri-sultan-kinisukar-mendapat-tokoh-nasional-katolik/ diakses pada 28 Maret 2013). Penulis sedang menempuh kuliah S2 psikologi di Asia University, Taiwan (beasiswa penuh universitas).
Jurnal Bhumiksara
Halaman 42
MEMBANGUN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN Dr. Ignatius Iryanto
Pengantar PERKEMBANGAN CSR di Indonesia dapat dikatakan sangat menggembirakan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya korporasi yang melaksanakannya, semakin banyaknya berbagai seminar dan workshop yang diselenggarakan dengan tema ini. Berbagai pemerintah daerah pun sudah mulai pro-aktif dalam menuntut adanya CSR oleh perusahaan yang beroperasi di wilayahnya. Namun kecenderungan positif ini harus juga diwaspadai karena dapat bermuara pada hal-hal yang bersifat berlebihan, yang ujung-ujungnya malah destruktif terhadap CSR serta dunia korporasi itu sendiri. Di tengah perkembangan tersebut muncul pula kekhawatiran akan efek negatif dari dwi fungsi pengusaha. Pertanyaan-pertanyaan pun mengemuka; apakah wewenang politik yang bersifat publik akan dipakai sebagai instrumen untuk memuluskan agendaagenda bisnis korporasinya yang bersifat privat? Apakah budaya korporasi yang bersifat privat akan menimbulkan malfungsi budaya demokrasi yang bersifat publik? Untuk itu dibutuhkan sebuah studi mendalam mengenai persoalan ini untuk memverifikasi validitas dari kekhawatiran di atas serta untuk menemukan solusi yang diperlukan secara objektif. CSR dan Misi Sosial Kapital Paradigma bahwa korporasi bukan hanya berurusan dengan ekonomi yang memproduksi profit dan memberikan akumulasi modal bagi pemiliknya namun juga merupakan organ yang memiliki tanggung jawab sosial, telah menjadi trend global saat ini. Sebagai institusi privat, disadari bahwa korporasi juga harus menghasilkan dan membangun “public goods and facilities” yang memberikan benefit sosial bagi masyarakat dan lingkungannya. Pemahaman ini sudah makin menyebar menjadi kesadaran baru di kalangan korporasi. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah bentuk implementasi dari kesadaran tersebut. CSR dilihat bukan sebatas biaya yang harus dikeluarkan namun lebih sebagai investasi sosial yang memberikan kontribusi penting bagi keberlanjutan korporasi itu sendiri. CSR itu
dapat dianalogkan dengan relasi antara ikan dan air bagi korporasi dan masyarakat. Pada hakekatnya CSR adalah implementasi dari corporate values (nilai-nilai korporasi) yang dianut dan bersumber dari spiritualitas korporasi itu sendiri. Korporasi sebagai corpus (tubuh) juga memiliki roh (spirit) yang memberi arah bagi visi ke depan dari korporasi itu. Para pemilik korporasi dengan tingkat kesadaran sosial yang tinggi akan melihat fungsi dari kapital yang dimiliki sebagai instrumen pengembang peradaban dunia, bukan sebagai obyek akhir dari ambisi ekonominya semata. Kepuasan dari melihat daftar kekayaannya sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kepuasan dalam menyaksikan betapa kekayaannya telah memberi kontribusi dalam membangun peradaban di sekitarnya. Di sanalah sebenarnya inti dari misi sosial suatu kapital. CSR dan Spirit of Capitalism Dalam seminar sehari bertemakan: Membangun Etos Bangsa Memuliakan Martabat Kerja pada tanggal 7 Desember 2005 di Jakarta, dalam memeringati 100 tahun pemikiran Max Weber dikemukakan bahwa kapitalisme yang mendapatkan legitimasi teologis dari Luther dan Calvin menjadi motor penggerak dari modernisasi Barat. Terjemahan kreatif yang dilakukan Luther terhadap teks asli Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman telah berhasil mendorong pandangan yang sangat memuliakan pekerjaan, mengumpulkan kapital. Bekerja adalah panggilan dari Tuhan dan mengumpulkan kekayaan jelas bukan dosa tetapi justru merupakan tugas berahmat dari Tuhan. Ini mendorong sikap hidup hemat, rasional, disiplin, kerja keras dan lain sebagainya. Seminar juga menegaskan bahwa setiap budaya dan agama memiliki potensi yang dapat mendorong spirit yang sama. Namun, seminar terkesan melupakan tema yang mungkin lebih sentral yaitu: masih relevankah spirit of capitalism ala Weber untuk saat ini? Apakah spirit of capitalism tidak merupakan penyebab dominasi homo homini lupus terhadap homo homini socius? Tujuan tertinggi dari kapitalisme tentunya adalah akumulasi profit, sementara apakah prosesnya disertai dengan pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, mengganggu kesehatan publik, koruptif, dan lain-lain.
Jurnal Bhumiksara
Pertanyaannya, sistem budaya mana yang mampu mentransformasikan nilai-nilai spiritualnya sedemikian rupa sehingga CSR mendapatkan legitimasi religius, sebagaimana etika protestan berhasil memberikan legitimasi religius terhadap spirit of capitalism? Apakah kekristenan mampu menemukan terjemahan kreatif atau interpretasi teks baru untuk itu, atau konfusianisme dengan kekentalan kolektivismenya, spirit of bushido di Jepang, Hinduism di India, atau sistem syariah yang mencoba memasukkan unsur loss sharing selain profit sharing dalam sistem akumulasi modal suatu korporasi? Singkatnya, perlu dilakukan transformasi nilai, sehingga milenium ketiga dapat menjadi saksi kesuksesan berbagai sistem budaya tersebut. CSR Dijadikan Kewajiban? Secara harafiah, CSR adalah tanggung jawab sosial korporasi. Tanggung jawab (responsibility) adalah suatu kesadaran moral tentang perlu atau pentingnya suatu hal itu dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Karena merupakan implementasi dari kesadaran moral maka CSR di banyak negara lebih bersifat voluntary (kesukarelaan) daripada mandatory (kewajiban legal). Secara ideal, jika seluruh komponen masyarakat memiliki moral publik yang baik maka sistem hukum tidak terlalu diperlukan karena setiap komponen akan sadar bahwa seluruh tindakannya otomatis akan memperhatikan kepentingan komunal, kepentingan bangsa. Namun dalam kenyataannya, kekuasaan cenderung bersifat korup dan disalahgunakan. Hal ini berlaku baik bagi kekuasan politik, kekuasaan ekonomi, bahkan kekuasaan sosial seperti pemegang otoritas nilainilai budaya dan agama. Karena itu, sistem hukum diperlukan untuk membatasi dan menjegal kecenderungan-kecenderungan koruptif dan penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Karena beradabnya tatanan politik, ekonomi maupun sosial tidak dapat diserahkan hanya pada kesadaran moral komponen masyarakat. Dalam forum diskusi online jaringan CSR Asia Pasifik yang penulis ikuti di pertengahan tahun 2005, sifat wajib (regulatory) dan sukarela (voluntary) dari CSR ini menjadi satu tema yang hangat didiskusikan. Pihak yang memilih CSR bersifat sukarela mempertimbangkan keberlanjutan penerapannya dalam korporasi mengingat segala yang bersifat wajib biasanya dilaksanakan secara setengah hati dan manipulatif. Dalam negara yang law enforcementnya sangat lemah, efektivitas dari CSR yang bersifat wajib sangat diragukan. Namun yang menarik adalah bahwa hampir seluruhnya menyatakan, walau-
Halaman 43
pun bersifat sukarela perlu ada tekanan terhadap korporasi baik bersifat advocacy, insentif ataupun reward. Pihak yang mengusulkan CSR bersifat wajib mendasarkan pertimbangannya pada kenyataan bahwa kebanyakan korporasi hanya memikirkan segi profit dan tidak terlalu peduli dengan pertimbangan ekologis serta kepentingan kepentingan lain yang bersifat publik. Dalam diskusi tersebut berkembang tiga versi pemikiran jalan tengah, versi pertama: untuk jangka pendek dibutuhkan suatu regulasi yang mewajibkan pelaksanaan CSR dalam suatu korporasi untuk mendorong korporasi mengalami sendiri komplementaritas antara profit sosial dengan profit privat. Versi kedua: regulasi hanya digunakan untuk menjamin standard minimum pelaksanaan CSR, sedangkan bagi korporasi yang secara sukarela menjalankan CSR melebihi standard minimum harus diberi reward. Versi ketiga adalah dibangunnya suatu mekanisme kemitraan antara sektor privat dan sektor publik yang menjalankan CSR ini. Korporasi perlu diwajibkan untuk secara konsisten menjadikan CSR sebagai core value. Menimbang bahwa social responsibility dalam CSR menyangkut tanggung jawab terhadap aspek aspek seperti lingkungan, kesehatan publik, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan terhadap pekerja migran, akuntabilitas dan transparansi publik, kejujuran dalam iklan dan promosi, atmosfir kerja dalam perusahaan, pendidikan dan karier pekerja, dan lain-lain, akan merupakan faktor-faktor koreksi yang menjamin bahwa proses akumulasi modal terjadi secara bertanggung-jawab. Intinya profit korporasi menjadi sustain jika paralel dengan profit sosial karena keduanya merupakan faktor umpan balik positif satu terhadap yang lain. Pemahaman yang Keliru terhadap CSR CRS yang seharusnya merupakan tanggung jawab (moral) korporasi, dijadikan kewajiban dalam UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jadi kewajiban itu pada prinsipnya dibuat untuk memaksakan berbagai korporasi yang tidak memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial untuk mulai menjalankan kewajiban sosialnya atas lingkungan dan masyarakat di sekitar wilayah operasinya. Namun akhir-akhir ini dalam pelaksanaannya, kewajiban bagi korporasi ini dipahami secara keliru oleh pemangku kepentingan lokal. Kewajiban dari korporasi dalam melaksanakan CSR
Jurnal Bhumiksara dimaknai sebagai hak (penuh) dari pemangku kepentingan lokal. Akibatnya beberapa Pemerintah Daerah mulai menuntut agar dana CSR dari korporasi diserahkan sepenuhnya kepada pihak pemerintah daerah sebagai bagian dari APBD dan pelaksanaannya menjadi hak penuh dari pemerintah daerah. Pemahaman seperti ini jelas salah-kaprah karena CSR sebagai kewajiban dari perusahaan, implementasinya pun merupakan bagian dari operasional perusahaan, bahkan menjadi komponen penting dari good corporate citizen (GCC). Bahwa UU mewajibkan perusahaan untuk memperhatikan aspirasi lokal, bekerjasama dengan pemerintah daerah serta juga memperhatikan desain pengembangan wilayah yang dibuat oleh pemerintah daerah adalah persoalan how to do (bukan who to do). Hal yang harus menjadi bagian dari tahapan perencanaan program CSR, namun menyerahkan dana CSR sebagai bagian dari APBD adalah hal yang bertentangan dengan esensi CSR itu sendiri. Selain itu dalam menentukan sasaran program CSR, korporasi tentu memiliki prioritas-prioritas yang terkait dengan strategi korporasi itu sendiri. Umumnya yang mendapatkan prioritas pertama adalah wilayah-wilayah yang bersentuhan langsung dengan operasi korporasi, sehingga wilayah-wilayah itu sewajarnya mendapatkan porsi terbesar dari program CSR korporasi terkait. Hal ini pun mesti dilihat sebagai kewajaran dan tidak dapat diintervensi secara semena-mena oleh pemangku kepentingan lokal. Pemahaman bahwa CSR adalah hak penuh dapat mengarah pada intervensi mutlak tentang sasaran program CSR dalam suatu wilayah yang juga diwarnai oleh tarik menarik politik lokal. Korporasi seharusnya melepaskan dari persoalan itu. Sudah selayaknya pemerintah (baca: nasional) tidak hanya mengawasi GCC dari suatu korporasi, namun juga mengawasi GGG (good government governance) dari pemerintahan daerah agar selain bahwa korporasi diwajibkan untuk memiliki tanggung jawab sosial sesuai amanat UU, namun juga bahwa korporasi yang memiliki tanggung jawab sosial itu dapat terlindungi dari praktekpraktek intervensi yang tidak memiliki dasar hukum atau yang bersumber dari pemahaman regulasi yang salah kaprah. Sistem hukum dibuat untuk mencegah kecende rungan koruptif dari korporasi yang tidak memiliki kesadaran tanggung jawab sosial namun seyogyanya sistem hukum pun tidak disalahgunakan untuk mempersulit kinerja korporasi yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosialnya. CSR, Objetivitas Award dan Sustainabilitas Para pemilik korporasi dengan tingkat kesadaran sosial
Halaman 44 yang tinggi akan melihat fungsi dari kapital sebagai instrumen pengembang peradaban dunia, bukan sebagai obyek akhir dari ambisi ekonominya semata. Di sanalah sebenarnya inti dari misi sosial suatu kapital. Pemahaman ini sudah makin menyebar menjadi kesadaran baru di kalangan korporasi. Implementasi dari kesadaran tersebut dapat muncul dalam bentuk philantrophy di mana para pemilik modal ini memberikan donasi pribadi pada yayasan-yayasan kemanusiaan (milik keluarganya atau milik publik), yang melaksanakan kegiatan-kegiatan charity/amal atau mendorong secara kuat programprogram Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan-perusahaan miliknya. Semangat pemanfaatan dana dana CSR dari berbagai korporasi juga bermuara pada dibentuknya berbagai forum, paguyuban atau pun asosiasi CSR yang menjamur. Salah satu kegiatan yang disukai adalah memberikan Award pada berbagai program CSR. Dua hal yang seyogyanya menjadi perhatian dalam konteks ini adalah independensi dan obyektivitas lembaga yang menilai serta aspek keberlanjutan dari program yang dinilai. Umumnya aspek independensi dan obyektivitas dari lembaga penilai memiliki interdependensi yang kuat. Banyak sekali terjadi bahwa korporasi peserta “lomba” harus membayar sejumlah uang kepada asosiasi tersebut sebagai dana partisipasi sehingga dapat saja diragukan obyektivitas dari pemberian berbagai award tersebut. Dibutuhkan suatu sikap netral yang kuat untuk secara konsisten tidak memberikan penghargaan kepada program-program CSR dari suatu korporasi yang menjadi penyandang dana dari lembaga tersebut. Yang ideal adalah bahwa sumber dana dari lembaga pemberi award tidak tergantung pada para calon penerima award dan intensi pemberian penghargaan lebih untuk menginspirasi korporasi lain untuk mereplikasi sebuah program yang sudah berhasil baik bagi masyarakat maupun bagi korporasi. Independensi dana hanya bisa terjadi jika pemberi award adalah pihak kementerian terkait atau lembaga internasional yang terkait dengan agenda-agenda global. CSR umumnya dibedakan secara tegas dari kegiatan philantrophy atau charity dari sudut keberlanjutan dampak (bukan dampak an sich) yang ditimbulkan oleh program tersebut. Ditengarai bahwa sering juga suatu program yang baru diinisiasi dan berlangsung selama setahun, sudah mendapat award walaupun sebenarnya sama sekali belum terbukti adanya dampak berkelanjutan dari program tersebut yang seharusnya membawa pada kemandirian kelompok masyarakat dampingan. Oleh
Jurnal Bhumiksara karena itu, dapat dipertimbangkan bahwa penghargaan atas program CSR sebaiknya didasarkan pada Sustainability Report dari suatu korporasi. Dengan demikian yang berhak diikutkan adalah korporasi yang sudah memiliki Sustainability Report, dus suatu level kesadaran yang tinggi atas pentingnya aspek “keberlanjutan” dalam seluruh aspek korporatif. Lembaga yang memberikan penilaian dapat mengambil program atau pun kegiatan yang dilaporkan tersebut dan kemudian melakukan peninjauan ke lapangan untuk mengecek validitas dari laporan tersebut. Isi laporan dan hasil pengecekan akan lebih obyektif daripada suatu kumpulan data yang dari awal sudah dipersiapkan oleh korporasi untuk mendapatkan award, (apalagi) dari lembaga yang hidupnya justru tergantung pada korporasikorporasi tersebut. Dari sudut korporasi sendiri, adanya award memang berkaitan dengan brandingnya di pasar modal dalam relasinya dengan investor, apalagi investor yang menerapkan prinsip Social Responsibility Investment (SRI). Walaupun demikian, award hampir tidak memiliki keterkaitan dengan “brandingnya” di kalangan masyarakat sekitar wilayah operasi. Award tidak akan meningkatkan kepercayaan masyarakat atas korporasi. Oleh karena itu korporasi yang baik akan memberikan prioritas pada benefit sosial pada kemandirian masyarakat dan citranya di pasar saham (salah satunya dengan award) sebagai hasil ikutan dari prioritas pertama. Bukan sebaliknya. Agenda Lokal dan Nasional CSR Dalam sebuah diskusi di forum online internasional mengenai CSR, dibahas mengenai apakah program CSR sebaiknya menangani isu isu dan agenda agenda lokal atau global? Hasilnya 74% memilih fokus pada isu-isu lokal, 14% memilih isu isu global dan sisanya memilih tergantung pada jenis isu. Jika dicermati penjelasan atas pilihan yang diambil, jelas nampak kesadaran penting isu lokal bagi CSR karena pentingnya terbina hubungan yang baik antara korporasi dengan masyarakat lokal maupun antara korporasi dengan pemerintahan lokal/daerah. Dijelaskan juga bahwa paling ideal adalah jika agenda lokal yang diambil adalah agenda yang sejalan dengan agenda-agenda global seperti MDG’s dan pemanasan global dan lingkungan hidup. Dalam konteks nasional, pertimbangan di atas dapat juga diterapkan. Sementara ini berbagai kementerian negara juga berlomba-lomba membentuk forum-forum CSR dan
Halaman 45 menghimpun kalangan swasta seluas mungkin agar mendukung program-program unggulan dari kementerian tersebut dengan dana CSR. Trend ini masih terus berlangsung sehingga menimbulkan pertanyaan penulis, jika hal ini terus berlangsung dan semua kementerian teknis (bahkan kementerian koordinator) menciptakan forum-forum CSRnya sendiri maka dapat dibayangkan bagaimana korporasi harus menyesuaikan diri dengan seluruh forum tersebut. Harus diakui bahwa jika seluruh dana CSR dari kalangan swasta dan dana program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) dari BUMN dimobilisasi, akan menghasilkan kekuatan pendanaan yang luar biasa. Pemanfaatan dana dana tersebut dapat diselaraskan dengan kebijakan pemerintah secara nasional namun sebaiknya dengan prioritas-prioritas tertentu sembari juga memberi ruang pada korporasi untuk memiliki keleluasaan dalam menyesuaikan CSRnya dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Jika pijakan prioritasnya adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dari masyarakat perdesaan, maka persoalan pangan, ketersediaan energi di perdesaan, ketersediaan air bersih, pendidikan berbasis karakter bagi anak usia dini dan kesehatan lingkungan selayaknya menjadi prioritas nasional dan kementerian-kementerian yang terkait dengan itu seharusnya didukung dalam membentuk forum-forum CSR. Aspek lainnya biarkan menjadi ruang gerak dari korporasi itu sendiri yang akan menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal. Penutup Ada peraturan yang menetapkan bahwa satu hingga tiga persen dari keuntungan BUMN harus digunakan untuk program kemitraan dan bina lingkungan. Pertanyaannya, apakah penggunaan dana ini tepat sasaran? Bagaimana dengan korporasi-korporasi swasta? Jika ada kewajiban yang sama terhadap mereka dan masing-masing menentukan prioritas yang terkait dengan strategi korporasi itu sendiri (isu, lokasi, waktu, aktor, volume dan lain-lain), maka banyak sekali agenda-agenda lingkungan, pendidikan, kesehatan, dapat ditangani oleh korporasi nasional. Tentu saja dibutuhkan kiat-kiat tertentu agar seluruh kegiatan tersebut tidak merupakan biaya yang membebani tetapi investasi yang menjamin kesinambungan dari profit korporasi itu sendiri. Kuncinya satu: komplementaritas antara profit korporasi dengan profit sosial. Langkah pertama adalah mempersiapkan SDM dari korporasi yang benar-benar memahami aspekaspek dari CSR.
Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Adaro Membangun Negeri pada PT Adaro Energy Tbk, Peneliti lepas Risk Consulting Group – Jakarta
Jurnal Bhumiksara
Halaman 46
PEMBERDAYAAN MELALUI APRESIASI DAN BISNIS BERSAMA MASYARAKAT Natalia Ita Septiana
ARTIKEL ini saya siapkan dalam rangka menyambut ulang tahun BHUMIKSARA yang ke-25. Dalam Jurnal Bhumiksara edisi November 2012, kita diingatkan untuk memelihara lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan melalui berbagai cara, antara lain melalui usaha konservasi. Lingkungan hidup kita yang telah rusak akibat ulah manusia, disebabkan oleh kegiatan ekonomi. Lebih parah lagi adalah dikarenakan oleh keserakahan manusia. Maka sudah saatnya, kegiatan ekonomi ke depan harus memperhitungkan dampaknya pada kehidupan sosial dan lingkungan hidup. Jika kita mengikuti perkembangan situasi negara akhirakhir ini barangkali kita tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Tersingkapnya korupsi pejabat disemua bidang, sektor, dan lini, antara lain praktek-praktek kotor kementerian pertanian yang seharusnya mampu menyediakan pangan dengan memproduksi produkproduk pertanian, tetapi malah mengupayakan impor pangan, membuat hati kita miris. Mencermati kenyataan itu, benar sekali pendapat yang mengatakan bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak kepada pengusaha dan importir besar daripada kepada para petani. Kita menyaksikan bahwa tanah sawah yang subur dengan mudah berubah menjadi rentetan rumah tanpa halaman, dan para petani kemudian terpaksa berganti profesi menjadi pedagang yang menjajakan produk impor. Tentu importir besar akan sangat diuntungkan dengan situasi ini, sementara rakyat akan semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Maka dari itu, banyak pihak yang meyakini bahwa masalah ekonomi berkontribusi besar dalam menyebabkan melunturnya semangat kebersamaan atau solidaritas kita sebagai bangsa. Sebagai profesional di suatu lembaga swadaya masyarakat yang banyak bersentuhan dengan masyarakat petani kecil pedesaan dan perkotaan sering mencuat pertanyaan dalam hati kecil, mengapa usaha mikro muncul, di tengah-tengah derasnya kapitalisme, dan kepungan perusahaan-perusahaan raksasa, di
tengah-tengah perusahaan raksasa, di tengah-tengah cengkraman investor-investor raksasa korporasi multi nasional. Benarkah bahwa munculnya ekonomi mikro didorong oleh kreatifitas dan berkembangnya jiwa wiraswasta di kalangan mereka? Bukankah hal itu dikarenakan keterpaksaan, dan merupakan satu-satunya jalan untuk bisa bertahan? Terkait dengan hal ini, barangkali ada gunanya kita lakukan ‘survei’ sederhana jika kita menghadiri pameran produk UKM. Kita perlu mencari tahu darimana mereka memperoleh bahan bakunya dan seberapa besar ketergantungan mereka terhadap pasokan? Pengalaman saya berkarier di Bina Swadaya, sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang memfokuskan kegiatannya dalam bidang sosial dan ekonomi, banyak bersentuhan dengan masalah keuangan mikro dan UKM. Seiring waktu berjalan dan perubahan kondisi dan situasi sosial, lembaga ini mau tidak mau harus terus menerus menyesuaikan pola pendekatannya dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat seturut perkembangan zaman; harus terus-menerus memperbaharui diri dan luwes menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah dengan cepat. Namun, ada satu hal yang tidak pernah berubah dan tetap dipertahankan oleh Bina Swadaya dalam pendekatannya, yaitu segala upaya yang dilakukan haruslah dilandasi oleh belarasa, setia kawan atau solidaritas kepada sesama. Dahulu, ketika belum ada mobile phone dan internet, saat komunikasi masih mengandalkan surat menyurat atau tilpon rumah, kita merasakan betapa jarak antara kota dan desa cukup terbentang luas, tetapi kini arus informasi telah mendekatkan keduanya. Berkat teknologi banyak tokoh lokal atau istilah sekarang local champion yang tampil di panggung nasional. Mereka adalah sosok-sosok penggerak masyarakat yang bermunculan untuk menginisiasi suatu kegiatan inovatif yang menjadi solusi atas masalah masyarakat di sekitarnya. Mereka hadir dan berbuat sesuatu ketika pemerintah alpa. Oleh karena itu prakarsa mereka patut diapresiasi dan mereka harus didorong untuk terus berkarya sehingga dapat mengajak lebih banyak lagi
Jurnal Bhumiksara
orang-orang untuk ikut tergerak melakukan kegiatan serupa. Mengapresiasi pendekar-pendekar lokal ini dirasa sangat banyak manfaatnya dalam rangka pemberdayaan. Dengan mempertimbangkan efek domino dari hal baik itu, tentu sangat penting pula mengapresiasi kontribusi media cetak dan televisi saat ini. Sarana informasi dan komunikasi massa itu begitu memegang peran penting dalam membangun perubahan persepsi dan cara pandang masyarakat. Perlu dirancang sebuah cara untuk mengekspos para tokoh lokal, selain memberitahukan kepada masyarakat bahwa setiap tindakan mulia sangat dihargai, juga berguna untuk membuka wacana bagi setiap orang untuk bisa dan berani melakukan hal yang sama. Berangkat dari keyakinan itu, maka sejak tahun 2007 Bina Swadaya meluncurkan suatu penghargaan yang disebut dengan KUÇALA SWADAYA. Penghargaan pertama kali diberikan kepada 5 (lima) orang tokoh masyarakat yang telah banyak berkiprah dalam memajukan masyarakat dibawah pendampingan Bina Swadaya, dan yang kedua diberikan pada tahun 2011 kepada 3 (tiga) tokoh masyarakat yang telah bekerja untuk kepentingan masyarakat, baik sebagai ketua kelompok swadaya masyarakat, pendamping atau motivator, maupun sebagai pelaku usaha. Kegiatan ini awalnya direncanakan sebagai event rutin lima tahunan, tetapi kini sedang digodok agar dapat diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Pendekatan pemberdayaan lain yang juga sedang dirintis oleh Bina Swadaya belakangan ini adalah Bisnis Bersama Masyarakat (BBM), yaitu suatu kegiatan yang bertujuan untuk menjadikan masyarakat yang tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat sebagai partner bisnis. Awalnya program ini beranjak dari suatu kegiatan yang dirintis oleh satu dua orang yang memiliki kepedulian masyarakat. Salah satu dari kegiatan BMM yang saat ini sedang berjalan adalah rintisan pembesaran ikan kerapu macan dalam jaring apung di sungai, seperti yang dilakukan Wahidin di desa Cangkring. Dekat pertigaan jalan menjelang Indramayu kota ada satu jalan kelas dua menuju sebuah desa bernama Cangkring, Kecamatan Catigi, Indramayu. Kecamatan ini memiliki luas 225 hektar tetapi di sana terdapat 3 desa
Halaman 47
yang tidak memiliki area pertanian sama sekali, karena itu mata pencaharian para penduduknya adalah nelayan. Disana ada seorang pemuda pelopor bahari untuk propinsi Jawa Barat, yang sosoknya pernah dimuat di harian KOMPAS setahun yang lalu, namanya Wahudin. Pemuda ini merasa prihatin atas nasib teman-teman sesama nelayan satu desa yang mengalami masalah ekonomi. Pada pertengahan tahun 2011, terjadi sebuah peristiwa tragedi terseretnya banyak nelayan oleh ombak. Anomali cuaca pada waktu itu menyebabkan para nelayan tidak bisa melaut. Hantaman angin dan badai di Indonesia saat itu sungguh diluar kebiasaan. Hal itu menyebabkan para nelayan tidak bisa mencari nafkah lagi dari laut.Oleh karena itu banyak nelayan yang kemudian terpaksa meninggalkan desanya untuk menjadi buruh bangunan, suatu pekerjaan yang sebenarnya tidak sesuai dengan ketrampilannya. Wahudin sangat prihatin menyaksikan situasi tersebut, lalu dia pun tergerak untuk melakukan suatu untuk memperbaiki nasib para nelayan di desanya. Cangkring adalah sebuah desa paling ujung di Indramayu, yang berbatasan dengan laut, jauh dan terpencil diantara tambak rumput laut (Gracilariagelidum)dan bandeng imlek1 dengan akses jalan yang buruk dan sulitnya mendapatkan air bersih, padahal mereka tinggal di tepi sungai dan dekat dengan laut. Para nelayan di desa tersebut dicoba diberdayakan agar tidak hanya tergantung pada hasil tangkapan ikan di laut, melainkan juga pada usaha budi daya ikan di tambak. Selama ini nelayan dipahami sebagai orang yang mata pencahariannya menangkap ikan dengan kapal atau mereka yang membudidayakan ikan di tambak. Walau sudah dimengerti bahwa tidak semua nelayan memiliki kapal atau tambak tetapi pemerintah atau pembuat kebijakan tetap saja tidak bisa memahami permasalahan mereka ketika membuat kebijakan atau meluncurkan program-program bagi nelayan. Contohnya, jika fokus program pemerintah hanya meningkatkan produksi ikan saja, maka hanya pemilik tambak dan pemilik kapal besarlah yang mendapat bantuan. Akhir-akhir ini, hampir seluruh pemilik tambak sudah memiliki organisasi yang dinamakan Perhimpunan Petani Tambak dan memiliki organisasi pra koperasi yang dibina oleh pemerintah.
Jurnal Bhumiksara
Sekarang ini para pemilik kapal besar sedang mendapat bantuan jaring rampus1, sedangkan para nelayan kecil, yang selama ini sudah bersikap baik dan tidak menggunakan jaring arad, tidak mendapatkan bantuan apapun. Mereka itu termasuk kelompok nelayan yang tak ‘terlihat’. Mengapa demikian? Karena program pemerintah juga tidak menyentuh mereka, hanya para pemilik kapal dan penguasa tambak saja yang diuntungkan dengan adanya program pemerintah tersebut. Dari informasi yang kami peroleh sejauh ini hanya ada 5 orang yang menguasai tambak-tambak di lokasi tersebut, termasuk Rohmin Dahuri yang kini juga memiliki usaha tambak disana bersama 20 orang anggota kelompoknya. Di desa Cangkring memanjang sungai Rambatan Lama yang bersebelahan dengan ujung sungai Cimanuk. Lebar sungainya mencapai 80-90 meter. Menyadari potensi tersebut, timbullah ide dalam pikiran Wahudin untuk membesarkan ikan Kerapu Macan (Epinephelusfuscogutattus), atau kadang disebut ikan Goropa. Ikan ini termasuk jenis ikan karang yang dikenal sebagai ikan hias, tetapi juga menjadi menu makanan mahal. Tidak sedikit restoran di Jakarta menjadikannya sebagai menu unggulan. Wahudin mencoba memberdayakan penduduk desa nelayan melalui praktek pembesaran ikan di dalam jaring apung. Ia berharap kegiatan tersebut dapat menjadi alternatif bagi nelayan miskin yang tidak memiliki modal, terutama kaum mudanya. Dalam kegiatan ini Bina Swadaya mendukung dana untuk uji coba, sedangkan Wahudin dan tiga orang lainnya menyumbangkan tenaga dan ketrampilan mereka. Kegiatan ini masih terus berlangsung dan pada bulan Juli nanti akan dilakukan panen yang kedua. Hasil panen nantinya akan dijadikan modal usaha pembesaran ikan berikutnya dalam payung kelompok swadaya yang dirancang untuk menjadi
Halaman 48
koperasi nelayan. Jika hal ini terjadi maka desa Cangkring akan segera memiliki koperasi simpan pinjam yang menyediakan modal bagi anggotanya yang akan melaut, dengan demikian mereka dapat menjual hasil tangkapan secara bebas di Tempat Pelelangan Ikan. Sangat disayangkan bahwa TPI seringkali tidak berfungsi, karena desakan ekonomi yang membuat para nelayan terpaksa menjual ikan tangkapannya langsung di laut dengan harga rendah.1 Menanggapi situasi tersebut, Bina Swadaya mencoba menggulirkan suatu program, dengan sebuah pendekatan BBM (Bisnis Bersama Masyarakat). Pendekatan seperti ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan kearifan lokal. Melalui pendekatan ini pula diharapkan tumbuh dalam diri masyarakat kepedulian untuk menjaga lingkungan hidup. Dengan metode ini pula diharapkan terpenuhi tiga (3) unsur P dari ekonomi solidaritas yaitu:
people atau manusia - mengacu pada pengembangan kapasitas manusia untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang ini. planet atau lingkungan – pelestarian lingkungan yang memastikan agar generasi masa depan dapat memenuhi kebutuhannya. profit atau surplus yang berkelanjutan, yang menerapkan pembangunan manusia dan pelestarian lingkungan.
Dengan mengapresiasi para tokoh lokal, baik dengan cara mewartakan apa yang mereka kerjakan maupun dengan memberikan dukungan terhadap gagasan mereka, diharapkan akan tumbuh solidaritas kepada sesama dan akan mendorong lebih banyak lagi orang yang tergerak untuk berbuat kebaikan. Cimanggis, 12 April 2013
Penulis saat ini bekerja di sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat Yayasan Bina Swadaya sebagai Staf Pengembangan Bisnis Baru
Jurnal Bhumiksara
Halaman 49
MEMBANGUN EKONOMI (WIRAUSAHA SOSIAL) INDONESIA MENUJU MASA DEPAN Aurelia Claresta Utomo
MUHAMMAD Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006 adalah inspirator utama saya untuk mengenal konsep bisnis sosial. Ketika beliau ramai disorot atas pencapaiannya, saya baru memasuki tahun kedua sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Hadiah Nobel tersebut adalah penghargaan atas 30 tahun konsistensi beliau dan Grameen Bank dalam membantu orang-orang paling miskin di Bangladesh keluar dari lingkaran kemiskinan. Gerakan awalnya adalah memberikan pinjaman kepada pengemis agar mereka bisa mulai berdagang asongan dari rumah ke rumah, hal yang tidak pernah diberikan oleh bank konvensional. “When you plant the best seed from the tallest tree in a tiny flowerpot, you get a replica of the tallest tree, only inches tall. Poor people are bonsai people. There is nothing wrong with their seeds, but society never gave them the proper base to grow in. All it takes to get poor people out of poverty is for us to create an enabling environment for them. Once the poor can unleash their energy and creativity, poverty will disappear very quickly.” – Muhammad Yunus, Building Social Business. Konsep bisnis sosial yang dipelopori Muhammad Yunus adalah bisnis yang dibuat untuk tujuan sosial, bukan untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan pemilik modal. Mengapa harus berupa bisnis, bukan berupa yayasan/NGO (misalnya)? Jawabannya ialah agar upaya tersebut lestari (sustainable). Yayasan/NGO jika tidak menghasilkan uang atau mendapat donasi, tidak dapat bertahan, namun sebuah bisnis bisa bertahan karena adanya aliran kas (cash inflow) dari kegiatan bisnis tersebut. Kabar baiknya, sesungguhnya bisnis sosial lebih mudah didirikan daripada bisnis pada umumnya, karena tujuannya bukan keuntungan yang besar. Asal masih menghasilkan sedikit laba, bisnis itu sudah bisa
Bertahan. Bisnis sosial pun bisa diaplikasikan pada bidang-bidang yang berbeda dan tujuan sosial yang berbeda-beda, misalnya menyediakan air bersih untuk daerah yang kekeringan, menyediakan makanan bergizi lengkap dengan harga yang murah, atau seperti Grameen Bank, memberikan pinjaman produktif kepada orang miskin. Ketika mengetahui konsep bisnis sosial, saya sangat gembira. Bisnis sosial ini sangat menarik karena kemampuannya untuk menyelesaikan masalah sosial secara mandiri tanpa perlu terus menerus didanai oleh donasi. Konsep ini juga memberikan kesempatan bagi para pengusaha/pemilik modal untuk mendukung isu sosial dari keberadaan sebuah bisnis. Sejak Maret 2012, saya dipercaya untuk mengelola diversifikasi baru dari bisnis keluarga. Walau saya tidak dapat menerapkan 100% konsep bisnis sosial pada bisnis ini (karena pemilik modalnya bukan saya sendiri), tapi saya masih bisa memasukkan berbagai unsur sosial dalam keberadaan bisnis tersebut. Membuka Lapangan Pekerjaan Semua bisnis pasti menciptakan lapangan pekerjaan. Akan tetapi bisnis pada umumnya mencari karyawan dengan latar belakang pendidikan, usia, dan status perkawinan tertentu. Dalam bisnis sosial, orang yang berpendidikan sangat rendah atau bahkan tidak pernah bersekolah formal, bisa dipekerjakan dengan diberi pelatihan terlebih dahulu. Saya mempekerjakan seorang ibu muda yang sudah lama tidak bekerja namun sedang sangat membutuhkan uang karena suaminya tidak lagi pulang ke rumah. Orang-orang yang tidak bisa melamar pekerjaan di bisnis pada umumnya karena batasanbatasan tertentu, bisa dipekerjakan di bisnis sosial. Pemberdayaan (Empowerment) Pemberdayaan dapat ditemukan di dalam bisnis pada
Jurnal Bhumiksara
umumnya. Hal yang bisa membedakan pemberdayaan tersebut adalah tujuannya. Jika pada bisnis pada umumnya, pemberdayaan (bentuknya program development dan pelatihan) dilakukan agar bisa berkontribusi lebih bagi perusahaan, pemberdayaan dalam bisnis sosial bisa ditujukan agar orang bisa mengembangkan kemampuan hard skill dan soft skillnya agar bisa memperbaiki kesejahteraan keluarganya. Intepretasi saya, melatih karyawan yang belum memiliki pengalaman bekerja dengan menggunakan komputer dan software Excel dan software penjualan. Pengetahuan semacam ini bisa mereka gunakan jika suatu saat mereka memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik atau bahkan membuka usaha sendiri. Melibatkan Mereka dalam Koperasi Koperasi adalah wadah yang baik sekali untuk menunjang kesejahteraan anggota masyarakat berekonomi lemah. Mengenalkan mereka dengan koperasi adalah bentuk dukungan agar mereka memiliki akses akan pengetahuan pengelolaan finansial, perencanaan pendanaan sekolah-kesehatan-pensiun, serta layanan kredit untuk kegiatan pendukung kesejahteraan. Saya mengajak karyawan saya untuk bergabung menjadi anggota koperasi agar mereka bisa mendapatkan bantuan finansial ketika saya tidak bisa memberikan pinjaman, dan ketika mereka sudah tidak bekerja lagi di perusahaan yang saya pimpin.
Halaman 50
Dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi, diharapkan generasi tersebut bisa punya pilihan yang lebih baik dalam pekerjaan dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Meningkatkan Daya Beli Konsumen Dalam bisnis sosial, profit yang besar bukanlah tujuan. Oleh karena itu produk yang dihasilkan bisa dijual dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang ditawarkan oleh bisnis pada umumnya. Ketika konsumen bisa memenuhi kebutuhannya dengan mengeluarkan uang lebih sedikit, daya belinya otomatis meningkat karena ada sejumlah uang yang bisa dialihfungsikan untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Menjadi Inspirasi Sama seperti hal buruk, hal baik pun tidak dapat ditutuptutupi. Sehebat apa pun cara seseorang untuk menutupi, tetap saja ia akan terlihat. Ketika sebuah bisnis sosial menjadi inspirasi bagi orang-orang lain, ia akan menjadi pemicu terciptanya banyak kebaikan di berbagai bidang. Muhamad Yunus sendiri telah terlibat dalam bisnis sosial di bidang pertanian, peternakan, perikanan, energi terbarukan, teknologi informasi, pendidikan, kesehatan, kain tenun tangan, jasa penyaluran tenaga kerja, dan bidang-bidang lain yang serupa.
Menciptakan Wirausahawan Baru Dalam bisnis pada umumnya, pemilik perusahaan seharusnya menganggap karyawan yang membuka usaha sendiri sebagai ancaman. Pada bisnis sosial, karyawan yang bisa menjadi wirausahawan adalah prestasi dan pencapaian. Sebab, dengan bertambahnya jumlah wirausahawan (sosial), akan terbuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan.
Perjalanan dan Mimpi Saya sendiri masih tergolong pemula dalam perjalanan membuat bisnis sosial, alias masih berproses. Tapi mimpi saya ini akan saya bawa terus, akan saya perjuangkan untuk bisa terwujud dalam jangka waktu 510 tahun lagi. Saya yakin, semua hal bisa dimulai dari yang kecil. Hal yang terpenting adalah menjaga api semangat untuk mewujudkannya. Menyadur sebuah kutipan, “Dream big, act bigger”. Perbuatan harus lebih besar dari mimpi itu sendiri agar mimpi itu bisa terwujud.
Mendukung Pendidikan Generasi Selanjutnya Pendidikan adalah cara yang paling ampuh untuk membuat seseorang memiliki kemampuan dan daya tawar yang relatif lebih tinggi dalam pekerjaan. Dalam bisnis sosial, hal ini bisa didukung dengan membuat kebijakan yang menyokong pendidikan anak-anak karyawan hingga bisa mencapai pendidikan tinggi.
Bisnis sosial sejatinya muncul dari mimpi. Mimpi akan dunia bebas dari kemiskinan. Dunia dengan laut, danau, sungai, dan udara yang bebas dari polusi. Dunia tanpa perang. Dunia yang menyuguhkan pendidikan gratis bagi anak-anak miskin dan yang tinggal di area terpencil, dunia tanpa kekerasan dalam keluarga, dunia yang indah untuk ditinggali.
Jurnal Bhumiksara
Halaman 51
Bisnis sosial ini adalah harapan untuk kaum lemah agar ekonominya bertumbuh, harapan atas ketersediaan pangan bergizi secara swadaya, harapan atas lingkungan hidup yang lebih bersih dari polusi, dan berbagai harapan lainnya. Hal ini tentu sesuai, sejalan dengan perjuangan Yayasan Bhumiksara untuk menjadi “garam” dan “terang” bagi dunia. Saya mengucapkan selamat ulang tahun Yayasan Bhumiksara yang ke-25 tahun, semoga banyak kader dan gerakan serta hal baik yang bisa terus terlahir dan bermultiplikasi dari kehadiran Yayasan Bhumiksara di Indonesia, salah satunya dengan bermunculannya bisnis sosial di berbagai bidang.
Saya akan menutup tulisan ini dengan kutipan yang sangat menyentuh hati saya dan membuat saya dapat menjaga api semangat untuk mewujudkan bisnis sosial di masa depan. “We’ll have to dare to make bold leaps to make the impossibles possible. As soon as one impossible becomes possible, it shakes up the structure and creates a domino effect, preparing the ground for making many other impossible possible.” – Muhammad Yunus, Building Social Business.
Penulis adalah entrepreneur dan sedang merintis bisnis sosial.
Mgr. Ignatius Suharyo memberikan homili pada Misa Syukur 25 Tahun Yayasan Bhumiksara
Redaksi Jurnal Bhumiksara: Royani Lim, Ludovicus Lubis, Thomas Eko Susunan Kepengurusan Yayasan Bhumiksara Organ Pembina : Prof. Dr. Thomas Suyatno (ketua), Prof. Dr. Bernadette N. Setiadi (sekretaris) Mgr. M.D. Situmorang, OFM Cap, Mgr. J. Soenarka, SJ, Drs. St. Sularto Organ Pengawas : Michael Utama Purnama, M.A. (ketua), H.Y. Susmanto, M.B.M. Organ Pengurus : Drs. J. Eddie Cahyono Putro M.B.A. (ketua), Dr. F.S.S. Ery Seda (wakil ketua), Prof. Dr. Lanny W. Pandjaitan (sekretaris) Dra. Wiwiek D. Santoso (bendahara), B. Djokodwihatmono, M.A. , Dr. Slamet Sarwono, Y.W. Junardy, Direktur Eksekutif : Royani Lim Sekretariat Yayasan Bhumiksara Telp/Fax. 62.21.5745326,
[email protected] Kampus Unika Atma Jaya, Gedung A 108, Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930 Bank: Bank Mandiri Cabang Atma Jaya, Jakarta, Giro No.: 102-00-0603161-8 (a.n. Yayasan Bhumiksara)