Dari Redaksi Salam hangat para pembaca Geospasial, Edisi April tahun 2013 adalah edisi awal tahun 2013. Kontribusi alumni dan mahasiswa banyak memberikan informasi. Mulai dari Peluncuran Landsat generasi kedelapan, hingga perjalanan di luar Indonesia oleh mahasiswa geografi. Salah topic yang menarik adalah ulasan mengenai kampong kota, yang merupakan sebuah gambaran unik kondisi yang ada di perkotaaan terutama di ASEAN. Tulisan ini mengulas khusus kondisi di Indonesia terutama kampong kota di Sumatera. Perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Studi Mahasiswa Geografi mengangkat ulasan yang menarik tentang Jakarta, Urban Heat Island dan Kondisi Australia.
Akhir kata selamat membaca, sukses selalu, atas kebersamaan civitas geografi UI.
Salam Redaksi
Daftar Isi Satelit Landsat Baru Meluncur
4
Disaster Waste Management in Indonesia: Policy Direction and Implementation Framework ULASAN KAMPUNG KOTA Urban Heat Island
6
14 22
TRIP DI NEGERI SEMENANJUNG MALAYSIA (AUN- STUDENT EXCHANGE PROGRAM 2012, MALAYSIA) Kompleksitas dan Tantangan dalam Satu Kata, JAKARTA Australia : Anomali Belahan Selatan
26 29
33
Green Regional Development Dalam MP3EI 36 RAN GRK dan Sawit Ramah Lingkungan
44
TEAM REDAKSI PENASEHAT: Dr. Rokhmatuloh, M. Eng REDAKSI: Adi Wibowo, Iqbal Putut, Laju Gandharum, Ratri Candra, Weling Suseno, Rendy Pratama, Ardiansyah STAF AHLI: Astrid Damayati, Sugeng Wicahyadi, Supriatna, Triatko Nurlambang ADMINISTRASI: Ashadi Nobo
3
ALAMAT REDAKSI: Gd. Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia KAMPUS UI DEPOK Telp. (021) 7721 0658 , 702 4405 Fax. (021) 7721 0659 Redaksi menerima artikel / opini/ pendapat dan saran dari pembaca, utamanya yang berkaitan dengan masalah keruangan. Kirimkankan tulisan ke alamat redaksi atau email dengan disertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon serta Biografi Diterbitkan oleh: Forum Komunikasi Geografi
Volume 11 / No. 1/ April 2013
Kampusiana Satelit Landsat Baru Meluncur Oleh: Laju Gandharum (
[email protected])
Sejak diluncurkan pertama kali pada tahun 1972, proyek satelit Landsat terus berkembang mengindera bumi hingga generasi terakhir Landsat 7 yang diluncurkan pada April 1999 dan masih aktif hingga kini. Satelit ini mengusung sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) yang merupakan perbaikan dari sensor satelit sebelumnya Landsat 4 dan 5 yang menggunakan sensor Thematic Mapper (TM). Citra satelit Landsat 7 ETM+ memiliki 8 kanal spectral yang terdiri atas 7 kanal multispectral dan 1 kanal pankromatik. Resolusi spasialnya pun bervariasi, yakni: kanal 1 sampai dengan kanal 5 dan kanal 7 resolusi spasialnya adalah 30 m, kanal 6 yang merupakan kanal termal memiliki resolusi spasial 60 m, sedangkan kanal pankromatiknya memiliki resolusi spasial 15 m. Citra Landsat dengan keunggulan resolusi spasial, spectral dan cakupannya yang sangat luas (1 scene Landsat mencakup area 185 km x 185 km) banyak digunakan kalangan untuk berbagai aplikasi remote sensing seperti studi-studi perubahan global, monitoring dan kajian tutupan lahan, dan pemetaan skala luas. Terlebih setelah digratiskan sejak Januari 2009 (dapat didownload melalui situs USGS United States Geological Survey), penggunaan data Landsat 60 kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Data yang gratis tersebut adalah data yang dimiliki/dikelola oleh USGS, sedangkan data-data Landsat lain yang dikelola oleh jaringan internasional (international ground station) gratis-tidaknya tergantung dari pengelola ground station dimana stasiun tersebut berada. Di tengah perjalanannya Landsat 7 ETM+ mengalami kendala, pada Mei 2003 satelit tersebut instrument Scan Line Corrector-nya gagal berfungsi, akibatnya citra yang dihasilkan tidak sempurna. Walau demikian data tersebut masih banyak didownload oleh pengguna. Dengan berbagai teknik pengolahan citra digital, citra Landsat 7 ETM+ tersebut masih bisa diperbaiki tampilannya. Sebagai alternatif dan pelengkap citra Landsat 7 ETM+, citra Landsat 5 TM masih bisa digunakan hingga tahun 2011. Hingga kini satelit Landsat 5 ini masih aktif mengorbit bumi sejak diluncurkan pada tahun 1984 (28 tahun yang lalu). Namun dikarenakan penurunan kemampuan komponen satelit sejak November 2011 pengumpulan citranya dihentikan. Para ahli di NASA (National Aeronautics and Space Administration) hingga kini masih mencoba melakukan kemungkinan perbaikan sehingga data citra Landsat 5 bisa dimafaatkan kembali sembari menunggu peluncuran satelit Landsat generasi berikutnya yang diluncurkan pada 11 Februari 2013 ini dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit Landsat ini diberi nama LDCM (Landsat Data Continuity Mission). LDCM merupakan proyek kolaborasi antara USGS dan NASA. Citra LDCM nantinya akan memiliki resousi spasial yang bervariasi 15m-100m dan 11 kanal citra. Detil spesifikasi resolusi spasial dan spectral citra LDCM adalah sebagai berikut.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
4
Operational Land Imager (OLI) Nine spectral bands, including a pan band: Band 1 Visible (0.433 - 0.453 µm) 30 m Band 2 Visible (0.450 - 0.515 µm) 30 m Band 3 Visible (0.525 - 0.600 µm) 30 m Band 4 Near-Infrared (0.630 - 0.680 µm) 30 m Band 5 Near-Infrared (0.845 - 0.885 µm) 30 m Band 6 SWIR 1(1.560 - 1.660 µm) 30 m Band 7 SWIR 2 (2.100 - 2.300 µm) 30 m Band 8 Panchromatic (PAN) (0.500 - 0.680 µm) 15 m Band 9 Cirrus (1.360 - 1.390 µm) 30 m
Thermal Infrared Sensor (TIRS) Two spectral bands: Band 10 TIRS 1 (10.3 - 11.3 µm) 100 m Band 11 TIRS 2 (11.5 - 12.5 µm) 100 m
Dalam satu harinya satelit LDCM akan bisa mengumpulkan 400 scene citra, angka ini merupakan 150 kali lebih banyak dari apa yang bisa dikumpulkan oleh satelit Landsat 7 dalam satu harinya. Data LDCM direncanakan akan diberikan gratis pada pengguna umum. Semoga!
5
Volume 11 / No. 1 / April 2013
Topik Khusus Disaster Waste Management in Indonesia: Policy Direction and Implementation Framework Ujang Solihin Sidik Programme Development Officer, Assistant Deputy for Solid Waste Management Ministry of the Environment, Republic of Indonesia
Indonesia: a Country Prone to Hazards Indonesia is part of Pacific Ring of Fire a large area in Pacific Ocean basin where the earth’s most frequent earthquakes and volcano eruptions are exist. About 90% of the world's earthquakes and 81% of the world's largest earthquakes occur along the Ring of Fire 1. Indonesia is the most active Ring of Fire since it’s located at three main active tectonic plates namely Eurasian Plate, Pacific Plate, and Indo-Australian Plate. Indonesia Ring of Fire is laying from tip of Sumatera Island on the west, Jawa Island, Bali and Nusa Tenggara Isles, Maluku Isles, and finish at the northern part of Sulawesi Island on the east. Indonesia is also threatened by flood since Indonesia has a high rainfall and home of hundred rivers. Since 1815 to 2012 flood is recorded as most frequent natural disaster occur in the country and have been taken more than 18,5 thousand life2. Consequently, Indonesia is very vulnerable country to natural hazard and disaster. About two-third of Indonesia Region is affected by natural disasters. Statistic data (1980 to 2010) shows that 21.6 million people had been affected by natural disaster3. Type of Disaster United Nations for Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) categorised disaster into five main hazards including: earthquakes, flooding, tsunami, hurricanes-typhoons-cyclones, conflict shortterm, and conflict protracted4. In Indonesia case, disaster is classified in to three types namely natural disaster, non-natural disaster, and social disaster (Indonesian Law No. 24 year 2007 regarding Disaster Management). Referred to the Law, natural disaster is defined as hazard that caused by natural occurrences such as earthquakes, tsunami, flooding, volcanoes, flooding, drought, typhoons, and landslides. Non-natural disaster is hazards that caused by non-natural occurrences including technology failure, modernisation failure, epidemic, and disease. Meanwhile, social disaster is hazards that occur because of conflicts and terrorism. 1
Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Pacific_Ring_of_Fire Indonesia National Agency for Disaster Management: http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp 3 PreventionWeb: http://www.preventionweb.net/english/countries/statistics/?cid=80 2
4
Disaster Waste Management Guidelines, UNEP/UNOCHA Environment Unit, Switzerland, 2011 Volume 11 / No. 1 / April 2013
6
Disaster Policy and Regulation Disaster policy and management in Indonesia is regulated by Law No. 24 Year 2007 regarding Disaster Management as mentioned earlier. The Law regulates several aspects of disaster management including definition and type of disaster, responsibility among stakeholders, share of roles among national, provincial, and local government; institutional arrangement, financial arrangement, implementation of disaster management, international parties’ involvement, disaster relief management, monitoring, and criminal code on disaster management. In addition, disaster implementation framework consists of three phases namely pre-disaster, emergency, and post-disaster. Unfortunately, the implementation framework of disaster management does not include disaster waste management. There is no article nor sub article that mention about disaster waste, however, based on experiences from major natural disaster that hit several regions in Indonesia, for instance Aceh Tsunami in 2004, Yogyakarta Earthquake in 2006, and Padang Earthquake in 2009; debris from disaster is one of biggest problem should be encountered during and after disaster. It took more than two years for clearing up disaster waste that generated after tsunami only in Banda Aceh, capitol city of Aceh Province. A huge resources and efforts were disbursed for clearing up debris of tsunami. United Nations Development Programme (UNDP) trough the Aceh Emergency Response and Transitional Recovery Programme reported that USD 14.4 million from multi donor fund was expensed for disaster waste management programme. Waste Policy and Regulation There are two regimes of law that manage and regulate waste in Indonesia. The Law No. 32 Year 2009 that revised Law No. 23 Year 2007 regarding Environment Protection and Management is fundamental law for policing and regulating industrial waste and domestic waste water. Type of wastes that regulated by the Law including industrial waste (solid waste, air emission, and waste water), hazardous waste of industry, electronics and electrical waste (e-waste), and domestic waste water. The polluter pay principle (PPP) is adapted to the Law for preventing and controlling pollution from industrial sectors including hazardous one. The Law 32/2009 mandates Ministry of the Environment (MOE) to set up environmental standards for certain type of industry and waste. MOE is obliged to monitor and do surveillance the environmental performance of industrial sectors using the standards. Administrative and criminal sanction will be applied to industry if not comply the standards. The Law No. 18 Year 2008 concerning Solid Waste Management is fundamental law for managing domestic solid waste; sometimes it also refers to municipal solid waste (MSW). Differ with industrial waste management; a public service principle is adapted to manage domestic solid waste. In this case, government both national and local, are responsible for managing domestic solid waste. Nevertheless, government is allowed to deliver the responsibility to private sector through business agreement. Moreover, an extended producer responsibility (EPR) policy is applied for certain type of waste such as some packaging wastes and hazardous household wastes. 3R’s: a Shifting Paradigm of Solid Waste Management in Indonesia Indonesia is still suffering from the impacts of improper waste management implementation, especially in almost mega-city.
7
Volume 11 / No. 1 / April 2013
Environmental pollutions that caused by poor waste management are still exist broadly since we are practicing as follows: no segregation of waste, collection rate less that 60%, open dumpsite 95% (more than a half is unmanaged), and less participation of community and business sector. The real problem of waste in Indonesia is organic material that comes from food waste and trimming waste because this type of waste is dominated the composition of waste by volume (60-70%). Mostly of organic waste is actually not treated. Recent data shows that composting rate is only 0.5% nationwide. Meanwhile, we assume that recycling rate of recyclable materials such as metal, plastic, and paper as well as e-waste is high since the informal sector has been establishing this recycling industry for more than 15 years. Indonesia is encountering less capacity of waste management in all aspects including institutional, policy and regulation, financial, and public awareness. Indonesia is now starting to shift the paradigm of solid waste management policy by adopting 3Rs policy and implementation. We are now preparing legislative framework of proper waste management as implementation of solid waste management law including government regulations, ministerial regulations, and guidelines. There will be four major policy direction benchmarks including: comprehensive regulations, integrated planning and coordination, measureable goal and target, and community awareness. Policy implementation of solid waste management is directed by four major strategies as follows: waste minimisation, waste transformation, proper management, and management advancement. The strategy of waste minimisation is likely very close to sustainable resource management since we put this strategy more upstream. It means we are going toward more sustainable approach, both sustainable production and sustainable consumption. Types of Solid Waste There are three types of solid waste that regulated by the Law including household waste, household-like waste, and specific waste. The household waste refers to domestic solid waste that generated as remains of human daily activities at home. The household-like waste refers to domestic solid waste that generated as remains of human daily activities not from home, but from another sources such as offices, schools, commercial areas, shops, hotels and apartments, hospital, public facilities (bus terminal, railway station, airport, port, parks, roads), industrial complex, etc. The third type of solid waste is called specific waste. Specific waste is defined as solid waste that needs a specific treatment due to its concentration, characteristic, and high volume. The specific waste consists of six types including: 1. Domestic solid waste that contains hazardous substances; 2. Domestic solid waste that contains remnant of hazardous waste; 3. Disaster waste; 4. Construction and demolition waste; 5. Waste that cannot be treated by available technology; and Waste that generates in huge volumes at a particular time. Disaster and Waste Natural disasters have generated large amounts of debris, causing considerable challenges for public officials.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
8
Debris is the waste stream resulting from a natural disaster and often includes building materials, sediments, vegetative debris, personal property, and other materials. Cleaning up this debris can be time-consuming and costly5. Waste created in a disaster poses significant challenges to relief and recovery operations and a rapid return to a normal situation. Disaster debris needs to be removed from roads, homes and public facilities before survivors can begin to rebuild their lives and livelihoods. Left uncollected and unmanaged, such waste can hinder emergency response operations and create additional public health and environmental risks. Waste that generates from disaster and conflict threaten public health, hinder reconstruction, and impact the environment. Public health risks can occur from the following: direct contact with waste in particular sharp objects, hazardous waste, and disease from vectors such as flies and rodents, and debris from unstable postdisaster buildings. Pile of wastes can hinder reconstruction since it can block access for relief efforts. Environmental impacts, which are closely associated with human impacts, can include waterways, agricultural areas and communities contaminated by chemicals and heavy metals. Physical obstruction of waterways can also occur. Disaster Waste Management Ministry of the Environment Republic of Indonesia (MOE Indonesia) now is working on the draft of government regulation concerning management of specific waste as a mandate of Law No. 18 Year 2008 article 23 verses 1. This regulation obliges government both national and local, community, and private to manage specific waste in a specific way. Since there are six types of specific waste, consequently there will be six different systems of specific waste management. At disaster waste point of view, MOE Indonesia takes a great effort to formulate comprehensive as well as applicable regulation on disaster waste management based on our own experiences to response and recovery from major disasters that hit Indonesia several years ago. Lesson learnt is also gained from other countries that are very frequent hit by big disasters such as Japan and USA. In addition, formulation of our disaster waste management regulation should also consider the issues of disaster waste and their impacts. UNOCHA (2011) has been identified some issues and impacts on disaster waste that can be seen on Table 1 and has been characterised disaster waste in conjunction with type of disaster as seen on Table 2. Framework of Disaster Waste Management Since Indonesia has promulgated Law No. 24 Year 2007 regarding Disaster Management, the framework of disaster waste management should refer to the Law that stipulated three phase of disaster implementation framework namely pre-disaster, during emergency response, and post-disaster. Pre-disaster activities are focused on setting up planning, readiness and prevention programmes in the situation that absence of disaster and occurrence of potency disaster. Emergency activities are focused on saving lives and evacuating victims. Meanwhile, post-disaster activities must be focused on how to rehabilitate and reconstruct the affected areas as quick as possible. Thus, disaster waste management framework consists four phases including pre-disaster activities, emergency response activities, rehabilitation activities, and reconstruction activities.
5
Planning for Natural Disaster Debris, USEPA, 2008
9
Volume 11 / No. 1 / April 2013
Table 1. Disaster waste issues and their impacts6
Pre-disaster Phase In this phase, government should develop disaster waste management plan for building preparedness and readiness to handle disaster waste, especially for the city or regency and province that considered as prone hazard area. In this planning process, it must be defined clearly some aspects as follows: 1.Responsibility at all government level including central, province, and city/regency; 2.Main and supporting agency that should be mobilise; 3.Community and private involvement mechanism; 4.How to involve international initiative; 5.Financial arrangement such as regular budget, contingency budget, and international aids. Emergency Phase The most priority issue on this stage is how to deal with waste as required to avoid any obstacles in search and rescue operations to save lives, evacuate victims, and open all possible accesses. There are four main activities that should be carried out rapidly in emergency phase as follows: 6
Disaster Waste Management Guidelines, UNEP/UNOCHA Environment Unit, Switzerland, 2011
Volume 11 / No. 1 / April 2013
10
Table 2. Hazard types and their waste characteristic 7
1)Implement waste needs assessment to identify types of waste, location of waste, and condition of waste; 2)Develop hazard ranking list to identify waste streams and associated hazards; 3)Set up waste handling matrix to make priority options for handling, treating, and disposing each type of disaster waste; 4)Set up disposal site guidelines to locate emergency dumpsites.
7
Idem.
11
Volume 11 / No. 1 / April 2013
Rehabilitation Phase This phase lays the groundwork for a disaster waste management programme that has been set up on emergency phase. It also continues to address key issues such as the location of a disposal site for the different types of waste, streamlining logistics for waste collection, transportation and reuse/recycling activities. Some following actions could be implemented during this phase including: Implement waste needs assessment to evaluate types of waste, location of waste, and condition of waste; Set up waste handling matrix to review options for handling, treating, and disposing each type of disaster waste; Set up fundraising actions to identify financial resources for funding the programme implementation; Set up disposal site closure guidelines to close unmanaged dumpsites. Reconstruction Phase Reconstruction phase includes implementation of disaster waste management designed in previous phase and continued monitoring and evaluation activities. The following actions should be considered during this phase: Develop and implement a communications plan for the key stakeholders to measure their needs and expetions; Procure or repair necessary waste management plant, machinery, and equipment; Train waste management operators if required; Support waste management operators or local authorities to implement disaster waste management systems; Hand over disaster waste management into normalised and improved waste management systems. Challenges The biggest challenge that we should encounter to develop disaster waste management in Indonesia is how we could complete the formulation of government regulation on specific waste management on schedule. Unfortunately, the progress of this process could be missed in target since we are facing some limitations including budget allocation and expertise availability.
Volume 11/ No. 1 / April 2013
12
References BRR-UNDP (2006), Tsunami Recovery Waste Management Programme, Six-Monthly Progress Report, Multi Donor Fund for Aceh and Nias, Indonesia Care International and ProAct Network, Quick Guide Post-Disaster Debris Management Indonesia National Agency for Disaster Management: http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp Ministry of the Environment (2008), Indonesia Law No. 18 Year 2008 regarding Solid Waste Management, Indonesia Ministry of the Environment (2009), Indonesia Law No. 32 Year 2009 regarding Environment Protection and Management, Indonesia National Agency for Disaster Management (2008), Indonesia Law No. 24 Year 2007 regarding Disaster Management, Indonesia PreventionWeb: http://www.preventionweb.net/english/countries/statistics/?cid=80 Shelter Center and ProAct Network, Planning Centralised Building Waste Management Programmes in Response to Large Disasters, Switzerland UNEP (2008), Disaster Waste Management Mechanism, A Practical Guide for Construction and Demolition Wastes in Indonesia, Japan UNEP/UNOCHA Environment Unit (2008), Addressing Disaster Waste Management Issue II, Switzerland UNEP/UNOCHA Environment Unit (2011), Disaster Waste Management Guidelines, Switzerland USEPA (2008), Planning for Natural Disaster Debris, USA Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Pacific_Ring_of_Fire
13
Volume 11 / No. 1 / April 2013
Opini ULASAN KAMPUNG KOTA Oleh Yudi Antommy Judul Aseli: SEBAGAI SEBUAH TITIK TOLAK DALAM MEMBENTUK URBANITAS DAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN VoAgung Cahyo Nugroho Jurnal Rekayasa l. 13 No. 3, Desember 2009
P ENDAHULUAN Sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel. Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Lahan (topos) akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital / hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang produktif
Volume 11 / No. 1 / April 2013
14
yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota. Perencanaan penataan ruang yang berkelanjutan dicirikan kepada keterpaduan tiga pilar yaitu: ekonomi, ekologi, dan sosial. Berkelanjutan secara ekonomi menurut Asafu (2005:117) adalah dalam pengertian pencapaian pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien dalam penggunaan sumber daya. Dari sisi ekologi dicirikan dengan adanya keterpaduan ekosistem, daya dukung dan konservasi sumber daya termasuk keragaman hayati. Selanjutnya dari aspek sosial jika memenuhi keadilan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi, pemberdayaan, identitas budaya, dan pembangunan kelembagaan. Dalam studinya Agung Cahyo Nugroho mengemukakan bahwa Kampung Kota merupakan fenomena Perkotaan di Indonesia. Dalam konteks permukiman penduduk di kota, Indonesia memiliki tiga tipe permukiman, dimana tipe pertama merupakan tipe permukiman yang terencana (well-planned), dengan penataan infrastruktur dan fasilitas yang lengkap dan dapat dijangkau oleh kendaraan bermotor. Tipe kedua adalah tipe kampung, dengan rumah-rumah yang berada di dalam, kebanyakan tidak dapat dijangkau dengan mobil maupun motor. Tipe ini adalah tipe permukiman lama/asli kota-kota di Indonesia. Sedangkan tipe ketiga adalah permukiman pinggiran/kumuh (squatter) yang banyak bermunculan pada ruang-ruang marjinal kota, seperti tepi sungai atau di tanah milik negara. Tipe ini juga sering disebut dengan tipe kampung illegal (Sullivan, 1980). Kampung, dalam bahasa Melayu berarti sebuah kompoun tertutup (enclosed compound). Dalam bahasa Minangkabau, kampung berkaitan dengan kehidupan yang sarat dan konsisten akan penerapan nilai-nilai tradisional. Di Aceh, gampong merupakan keseluruhan komunitas di sebuah desa (Atman, 1974). Kampung sebagai sebuah enclosed compound di dalam kota memliki karakteristik tersendiri, di mana kehidupan sebuah desa (village) masih terdapat di dalamnya, yang masih nampak pada sistem sosial dan budaya yang mengikat. Akibatnya, keberadaan kampung ini mau tidak mau harus menjadi perhatian dan bagian dari kehidupan perkotaan, termasuk dalam proses perencanaan dan penataan kota. Hal ini tentunya mendorong kampung sebagai salah satu bagian pembentuk sebuah kota di Indonesia, sebagai bagian yang relevan atau sebuah alternatif pemecahan problem perkotaan.
DESKRIPSI kutipan pernyataan bahwa : Like almost everything, urban development in
Indonesia took a dualistic course (…) tale of two cities. This Implies that we have formal high stancard, rational settlement/urban development copied from developed countries, especially the ‘west’. Super imposed on it, we easily can find the second city, indigenous, informal yet very natural and human in its development, locally known as the ‘kampung’ . (Indrayana, Silas, 1985, p.4, dikutip dari Sandi A Siregar, Bandung the Architecture of a City in Development, 1990)
15
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Pendapat ini menyatakan bahwa kampung sebenarnya sebuah bentuk asli dari kotakota di Indonesia. Terlepas dari formalitas bentuk maupun aturan-aturan pembangunan, nampaknya kampung lebih menggambarkan segi humanitas dan urbanitas kehidupan kota yang saat ini mulai dicari kembali oleh negara-negara maju melalui konsep New Urbanism. Kampung kota merupakan fenomena yang banyak terjadi terutama di negaranegara berkembang, dimana pertumbuhan pola sosial dan budaya masyarakat berbeda dengan tuntutan kehidupan kota, jika dipandang dari sudut universalisme nilai dan kehidupan perkotaan modern. Selanjutnya ekspansi kota yang mengacu pada pertumbuhan ruang perkotaan akan diikuti oleh pemecahan tanah ke dalam wilayah yang lebih kecil dan terpecahnya kepemilikan tanah. Dalam studi Mc Taggart (1966) menyimpulkan bahwa sudah menjadi ketentuan bahwa pengalihan kepemilikan tanah desa menjadi tanah kota mengakibatkan terpecahnya kepemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Dengan adanya pembagian tanah ulayat menjadi bagian yang lebih kecil bisa menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup penduduk di ke dua Nagari tersebut.
GARAPAN Agung Cahyo Nugroho mengemukakan hasil beberapa konsep perencanaan dan perancangan kota yang mencoba mengakomodasikan seluruh prinsip yang ada yaitu antara lain konsep mengenai pembangunan yang berorientasi pada sistem transit/ transportasi (TOD), konsep perumahan dengan kepadatan tinggi dan konsep mengenai pemanfaatan tapak yang multifungsi, dengan fungsi hunian sebagai intinya, hingga konsep mengenai kota yang terpadu (compact city) berbasis pada lingkungan hunian.
ANALISIS BERDASARKAN TEORI LIVE CYCLE Ruang Daur hidup manusia kondisinya dipengaruhi oleh ketiga unsur. Kondisi spasial bermukim manusia menuntut; - kenyamanan bertinggal (labour), kenyamanan berkarya (Work), dan kenyamanan hubungan antar manusia (action). (Arendt, Human Condition 1987) 68 Geliat Nafas Kampung Kota Sebagai Bagian Dari Permukiman Kota Kondisi Penduduk dengan Pendidikan rendah dan Pendapatan rendah Labour Otak, atau kemampuan berfikir manusia dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Secara keseluruhan kepala keluarga penduduk disini dari segi pendidikan mayoritas adalah tamat SMP, otomatis untuk golongan ini karya yang dapat di sumbangkan adalah lebih banyak pada karya fisik, seperti buruh bangunan, pedagang keliling, dll. Kebutuhan mereka dalam menjaga kenyamanan raganya adalah dengan istirahat (terutama tidur) adalah sangat besar. Artinya untuk bertinggal, yang paling penting bagi mereka adalah tempat yang bisa digunakan untuk tidur, karena dengan tidur mereka bisa mengembalikan stamina yang harus digunakan kembali esok harinya.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
16
Sehingga secara spasial, kebutuhan ruang tinggal mereka tidaklah terlalu kompleks. Sedangkan kebutuhan untuk berhubungan dengan antar manusia secara nyaman tidaklah dibutuhkan ruang khusus baik ditempat tinggal ataupun di lain tempat, nongkrong didepan rumah adalah kegiatan mereka berhubungan dengan manusia lain. Lain halnya dengan ibu-ibu rumah tangga dari golongan ini pula yang tinggal dirumah, aktifitasnya dipengaruhi oleh statusnya sehingga ruang yang dibutuhkan adalah lebih banyak untuk Lalour mind dan lobour body yang bersifat tukar pikiran dengan tetangga, menonton televisi dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, sedangkan karya (work) kadang untuk yang cukup mampu adalah dengan membuka warung, menerima jahit neci. pasang kancing atau menerima buruh cuci dan setrika. Sehingga kebutuhannya akan ruang adalah R. multi fungsi, R. tidur, Km/wc, jemur dan Dapur. Kenyamanan bertinggal bagi golongan ini, adalah cukup dengan memiliki R. multi fungsi, R. tidur, Km/wc, dan Dapur, secara pribadi. Terutama untuk Ruang tidur mereka memerlukan tempat yang utama. Kenyamanan berkarya bagi mereka adalah mereka cukup menyadari tingkat pendidikannya, sehingga bila pendapatannya sudah sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari maka sudah cukup bagi mereka. Namun keingingan untuk meningkatkan penghidupan keturunannya (bagi yang sudah berkeluarga) kadang membuat mereka berfikir untuk mencari tambahan pendapatan di rumah. Berkarya ditempat yang dekat dengan tempat mereka bermukim adalah pilihan utama bagi mereka untuk menekan pengeluaran, dan bagi mereka merupakan tempat berkarya dengan kenyamanan tinggi. Kenyamanan berhubungan antar manusia bagi golongan ini pun terjadi secara spontan di luar ruang tinggalnya. Dari pengamatan terlihat mereka banyak yang berkumpul digang-gang yang teduh dan ada warung disekitarnya, dan sepertinya secara spontan terdapat tempat duduk sbg fasilitas untuk ngobrol. Kondisi Penduduk dengan Pendidikan Tinggi dan Pendapatan Tinggi serta Pendidikan rendah dengan pendapatan Tinggi (pengusaha), Semakin tinggi Kinerja otak atau tingkat pendidikan dan pengetahuannya, akan mempengaruhi kemampuan mereka (tingkat kehidupan mereka), pekerjaan merekapun lebih baik sehingga kebutuhan mereka untuk ruang privasinya semakin beragam. Demikian pula semakin tinggi tingkat pendapatannya karena hasil karya (work) mereka kebutuhan ruang tinggalnya pun dan tingkat privasinyapun semakin tinggi dan kompleks. Contohnya adalah kaum pribumi pemilik usaha Konvesi, Ruang tinggal mereka terlihat lebih mapan dan permanen. Batas antara Ruang tinggal dan Usaha sangat jelas, privasi Ruang tinggalnya sangat terjaga, terlihat dengan pagar pembatas rumahnya yang dibuat sangat tinggi dan kuat. Ruang untuk berhubungan dengan orang lain didalam rumah telah menggunakan dua tingkatan, yaitu Teras dan Ruang tamu yang tidak bercampur dengan kegiatan lain yang lebih privasi. Untuk bermain, anak-anak pada golongan ini banyak bermain didalam rumah atau langsung keluar kepusat-pusat hiburan. Tidak ada yang berlarian di dalam gang seperti pada golongan yang lebih rendah. Ibu-ibu rumah tanggapun tidak terlihat bergabung bersama diluar rumah, seperti golongan masyarakat dengan pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah.
17
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Kenyamanan bertinggal bagi golongan ini jelas sekali telah komplek dan cukup ideal, Hirarki R. Tamu, R. Keluarga, R. Tidur, Km/wc, Dapur, Jemur, Gudang dan R. Kerja, merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi untuk kenyamanan hidup mereka. Pembagian ruang tidurpun sudah dipisahkan antara Orang tua, anak-anak dan para pekerjanya. Kenyamanan berkarya bagi golongan pengusaha ini di jelaskan melalui peningkatan omset dan pendapatannya, sehingga membutuhkarn ruang kerja yang lebih besar lagi. Prinsip tempat tinggal sebagai modal usaha tetap mereka pakai, namun dengan pembatas yang jelas dan kualitas yang baik bagi kedua fungsi tersebut. Kenyamanan berhubungan antar manusia, nampaknya lebih tertutup dan terbatas. Golongan ini tidak terlalu terbuka untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Untuk berhubungan dengan lingkungan mereka menggunakan ruang dirumahnya yang dengan pola bertingkat, melalui pembantunya, baru mereka sendiri yang bertemu. Artinya mereka sudah memiliki tingkat privasi tertentu untuk berhubungan dengan nyaman. Dari beberapa inovasi yang diusulkan oleh Agung yang dikutib dari Lim, diantaranya inovasi instrumen perencanaan bagi terbentuknya permukiman kota yang menuju pada konsep keberlanjutan sebagai antisipasi dan kritik terhadap proses perencanaan modern yang ada, yaitu : 1. Self sufficiency, yaitu upaya untuk memenuhi kebutuhan kota yang seoptimal mungkin, berasal dari proses produksi dan reproduksi dari kota itu sendiri, dengan meminimalkan ketergantungan pada area sekitar (hinterland), terutama dengan menyeimbangkan proporsi alokasi pelayanan dan sumber pembiayaan dalam kota. 2. Land as Resource, mengoptimalkan penggunaan tanah sebagai sumber paling vital bagi pembangunan kota dengan mengatur penempatan lokasi, kapasitas dan intensitas optimal serta kontrol yang lebih ketat terhadap pembangunan yang akan dilaksanakan. Pengembangan tidak harus selalu berorientasi pada pusat kota, tetapi berada pada titik -titik pertumbuhan yang dapat terakses oleh seluruh warga kota. 3. Shifting and Floating Values, yaitu teori mengenai nilai lahan yang mengambang, dan dapat diletakkan pada titik-titik pertumbuhan. Hal ini untuk mencegah ekspansi sektor komersial agar tidak merusak tatanan/struktur kota yang telah mencapai titik optimal dan melindungi kawasan-kawasan yang berkarakter dan bersejarah, sehingga lahan untuk hunian dapat pula ditempatkan pada lokasi-lokasi yang sesuai bagi penghuninya. Teori ini dapat digunakan untuk melindungi permukiman yang telah ada di pusat kota dengan memberikan magnet baru pada kawasan baru yang tetap memiliki sistem keterkaitan dan keterpaduan dengan pusat kota dan kawasan lain. 4. Transport and Mobility, dengan menyediakan sistem transportasi massal yang terjangkau dan layak. Hal ini juga berfungsi untuk mengurangi polusi dan degradasi lingkungan kota akibat penggunaan kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas maksimal ruang pergerakan kota. Pemanfaatan sarana tradisional masih dimungkinkan dengan mengatur hierarki pelayanannya.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
18
5. Conservation of Environmental Areas, yaitu upaya melestarikan bangunan atau kawasan bersejarah dari tekanan ekonomi ruang, untuk menjaga identitas dan karakter kota. Upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan nilai ekonomi pada bangunan atau kawasan lama (adaptive use), sehingga memiliki legitimasi dan peran yang kuat sebagai salah satu komponen kota. Berdasarkan pada teori fase pertumbuhan perkotaan, evolusi ruang perkotaan dapat dibagi pada dua fase, yaitu: difusi dan koalisi. Difusi mengarah pada perpecahan dari satu bagian menjadi dua atau lebih bagian. Sebaliknya, koalisi justru menyatukan dari dua atau lebih yang berbeda. Pola pertumbuhan ini sangat mungkin berbeda antara kota-kota di negara US dan Eropa, yang umumnya berpola outlying. Mayoritas pertumbuhan perkotaan pada kota-kota berkembang mengarah pada stabilisasi kawasan perkotaan. Proses perkotaan ini berdampak pada perubahan lahan. Akibat dari keterbatasan ruang di kota dan tingginya biaya konstruksi, maka investasi pada kawasan-kawasan peri-urban dengan pilihan yang fleksibel untuk mengubah lahan menjadi menarik secara ekonomis. Namun demikin, lahan pertanian yang paling sering dikorbankan. Selanjutnya, industrialisasi mendorong perubahan pada pembangunan industri di perdesaan, yang mengakibatkan ekspansi permukiman dan pencemaran lingkungan. Distribusi kepadatan pertumbuhan (Growth Density) yang tertinggi dapat dianggap sebagai zona pertumbuhan perkotaan paling intensif di kawasan peri-urban. Pada periode pertama lokasi GD tertinggi ada pada 6 – 9 km dari pusat kota, sementara pada periode kedua GD tertinggi ada pada arak 9 – 12 km dari pusat kota. Kelemahan lain dari penelitian ini adalah tidak menguraikan akibat dari pertumbuhan kota yang bervariasi pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Ekosistem perkotaan terdiri dari energi matahari, material bumi, udara dan air, interaksi dengan tanaman dan hewan. Interaksi yang kompleks terjadi antar elemen-elemen tersebut. Proses urbanisasi cenderung menyederhanakan interaksi-interaksi ini dan mengabaikan proses interaksi alamiah sehingga menimbulkan ketidakstabilan pada kota. Dampak pertumbuhan kota tidak dapat direduksi hanya pada skala perubahan lahan pertanian kepada lahan permukiman semata, namun juga dampak secara siklus. Bentuk kota berpengaruh terhadap kemampuannya memelihara keterhubungan dari habitat ekologi (Tannier et al.: 2012). Sistem Lingkungan (Environmental Systems), sistem ini menekankan bahwa perkotaan terdiri dari unsur biotik dan non-biotik yang ditimbulkan oleh proses alamiah. Dalam sistem lingkungan ini mengutamakan pada aspek tanaman, hewan, dan proses dasar terkait dengan air, udara, dan materi. CATATAN POKOK Peneliti dalam tulisannya menyimpulkan bahwa ada beberapa prinsip yang dapat menjadi dasar dalam menciptakan kondisi urbanitas dan ruang kota yang berkelanjutan. Beberapa prinsip tersebut antara lain : 1). Menempatkan kampung kota sebagai bagian integral dari sistem perencanaan kota yang harus selalu diperhitungkan dan dipertimbangkan.
19
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Legalitas dan kepastian hukum terhadap eksistensinya melalui kekuatan poltik menjadi dasar yang paling berpengaruh pada upaya-upaya perbaikan dan pengembangannya. Kampung kota dapat berperan sebagai satu kesatuan lingkungan (neighbourhood). 2). Prinsip-prinsip new urbanism barat sebagai pendekatan fisik dapat diadopsi secara moderat ke dalam prinsip New Urban Settlement, dengan kriteria-kriteria dan standar kebutuhan dan ukuran yang berbeda disesuaikan dengan kondisi lokal sebagai struktur mikro kampung kota. 3). Menciptakan keterkaitan antar lingkungan baik melalui keterkaitan ekonomi, sosial maupun budaya (makro) maupun lingkungan fisiknya (mikro), sehingga dapat menciptakan sistem perkotaan dan memberi legitimasi kuat pada eksistensi kampung (macro - micro linkage). 4). Menemukan kembali signifikansi kampung kota dari segi kesejarahan dan makna kultural tempat, untuk menentukan intervensi apa yang sebaiknya harus dilakukan dalam meningkatkan kualitasnya. 5). Keseimbangan yang proporsional antara kekuatan masyarakat melalui partisipasi dan tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan sistem hunian perkotaan yang demokratis, plural dan toleran menuju masyarakat post-modern asia. Namun demikian penelitian tersebut tidak mempertimbangkan faktor morfologi sebagai faktor yang juga mempengaruhi Perencanaan sebuah kota. Kondisi topografi (kelerengan) lahan serta pembatas lainnya seperti laut pada kasus lokasi kota, menjadi pembatas arah pertumbuhan kota. Lokasi kasus yang kemiripan lokasi geografis dengan kota-kota di Indonesia, sehingga analisis pertumbuhan ini dapat dipergunakan untuk juga mengamati tipologi pertumbuhan kota-kota di Indonesia. Kelemahan dari penelitian ini hanya berlandaskan pada teory-teory perkotaan pada negara -negara yang ada di eropa dan lainnya. Pertumbuhan kota yang terus menerus mengarah pada pembentukan kawasan metropolitan. Rodrique (2012) menyatakan bahwa pendekatan terbaru berpendapat bahwa struktur ruang merupakan kontinum (continuum) yang membentuk permukiman perkotaan the Extended Metropolitan Region (EMR;sering disebut juga metropolis) yaitu kontinum dari aktivitas perkotaan yang meliputi agglomerasi perkotaan dan jejaring aktivitas kota-kota satelit. Tentunya istilah kampung kota lambat laun mulai ditinggalkan.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
20
REFERENSI Nia Kurniasih Pontoh, ”Pola perbaikan dan Pembangunan Lingkungan Rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, No 12/April 94. Denyza SA, ”Jakarta Kota Tercinta”, Majalah Asri No. 202/006 tgl 1 – 31 Mei 2000, Ismet Belgawan Harun, ”Pasar Tanah Perkotaan informal– Suatu Sketsa Pertanahan dipinggiran kota Metropolitan”, URDI News Letter. Turner JC, “ Housing by People”, MIT Press, 1985 Arend, “ Human Condition”, MIT Press, 1987 Adhisakti, L.T., 1997. “A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta Historictourist City Based on Urban Space Heritage Conceptio”’, Kyoto University. Danisworo, M. dan Martokusumo, W., 2003. ”Materi Perkuliahan Isu Kontemporer Perancangan Kota”, Magister Arsitektur ITB, Bandung Evers, H.D. and Korff, R., 2000. “Southeast Asian Urbanism : The Meaning and Power of Social Space”, St. Martin’s Press, New York. Frey, H., 1999. “Designing the City : Toward A More Sustainable Urban Form”, E & FN Spon, London. Khudori, D., 2002. ”Menuju Kampung Pemerdekaan”, Yayasan Pondok Rakyat, Yogyakarta. Lim, W.S.W, 1998. “Asian New Urbanism”, Select Books, Singapore. Siregar, S.A., 1990. “Bandung – The Architecture of a City in Development”, Leuven. Whitehead, M., 2002. “Planning for Urban Development : Flat Bush New Town-A New Zealand Case Study”, makalah pada Seminar Perencanaan dan Pengendalian Kota, Universitas Parahyangan. www.newurbanism.org
21
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Kampusiana TRIP DI NEGERI SEMENANJUNG MALAYSIA (AUN- STUDENT EXCHANGE PROGRAM 2012, MALAYSIA) Oleh : Sigit -KELANTAN (Darul Naim) Kelantan merupakan Negeri yang berada di utara semenanjung malaysia dan berdekatan dengan Thailand selatan. Kelantan salah satu negeri yang sangat identik dengan keagamaan. Negeri ini di dominasi oleh pondok pesantren dan tempat beribadah yang tersebar di pelosok negeri kelantan. Kebanyakan masyarakat Malaysia menilai bahwa negeri kelantan sama seperti Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Indonesia) karena eratnya kehidupan sehari – hari dengan peribadatan. Masyarakat kelantan di dominasi oleh Masyarakat beragama muslim dan agama lain seperti Kristen, dan hindu. Akan tetapi mereka bisa hidup dengan damai. Negeri yang sangat tenang dan harmoni ini di pimpim oleh seorang ulama yang ternyata telah menjadi menteri besar selama 23 tahun. Masyarakat negeri kelantan dan malaysia pada umumnya akrab mengenalnya dengan sebutan Nik Aziz (ulama besar negeri kelantan). Meskipun Kelantan akrab dengan wisata agama akan tetapi negeri ini juga memiliki beberapa tempat menarik seperti Istana negeri kubang kerian, Istana Jahar, Istana batu, Handricrat village, War museum, Beijing Mosque, Istana kota lama, siti khodijah market, Petra Arch, Pantai Cahaya bulan, pantai Irama, pantai Melawi, Pantai tok bali dan tempat wisata. Perjalanan ke negeri Kelantan saat itu bersama dengan kawan saya (Ibrahim Hussin) yang juga belajar di University Sains Islam Malaysia (USIM). Saat itu masa menjelang hari raya idul qurban sehingga perjalanan dari Kuala lumpur ke Kelantan (tepatnya di Pasir emas) kurang lebih 17 jam karena traffic jam. Kesempatan untuk tinggal di Pasir emas selama 10 hari membuat saya bisa merasakan kehidupan masyarakat kelantan yang sangat taat beribadah dengan lingkungan yang harmonis. Selain itu juga saya bisa menikmati makanan khas kelantan yaitu Nasi kerabu, nasi dagang, dan ayam percik.
(Dokumentasi Sigit, tanggal 25 Oktober – 3 November 2012, Negeri Kelantan) -NEGERI SEMBILAN (Darul Khusus) Negeri sembilan merupakan salah satu state yang terletak di pantai barat semenanjung malaysia. Masyarakat di Negeri sembilan dominan adalah perantau yang berasal dari Minangkabau, sumatra barat, Indonesia. mereka telah tiba di negeri sembilan sejak abad ke14. Ini adalah kenyataan karena ketika kita memasuki negeri sembilan hampir semua landscape pembangunan terutama rumah penduduk sama hal nya rumah penduduk di sumatra barat.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
22
Disini kita juga mudah menjumpai makanan has sumatra barat seperti nasi padang, akan tetapi di Malaysia secara umum masyarakat menyebutnya Nasi Kandar. Negeri sembilan di kenal dengan kecantikan pantai nya yaitu Port dickson beach. Oleh karena itu saya dan teman – teman dari USIM menyempatkan untuk mengunjungi objek wisata tersebut selain ada objek wisata lain seperti Museum dan pusat perbelanjaan (Nilai 3 wholesale centre). Kecantikan alam dan budaya yang ada di negeri sembilan menjadikan negeri ini di kenal dengan sebutan “ Discover the beauty of negeri sembilan, the home of ancient tradition”.
(Dokumentasi Sigit, tanggal 19 Desember 2012, Negeri Sembilan)
-PERAK (Darul Ridzuan) Perak merupakan salah satu state yang berada di pantai barat semenanjung Malaysia. Negeri perak di dominasi dengan deretan bukit yang sangat terjal meskipun kelihatan unik dan rindang karena tertutup oleh pepohonan yang begitu lebat. Perak memiliki beberapa destinasi wisata yang sangat menarik diantaranya: Pangkor Island, Royal Belum, Zoo taiping & Night safari, Galeri Sultan Azlan shah, Royal Museum, dan Masjid Ubudiyah. Perjalanan dari Kuala lumpur menuju Kuala kangsar (Bandar Diraja) hampir 3 jam. Akan tetapi selama perjalanan kita bisa menikmati suasana perkembangan sebuah kota seperti Ipoh. Saat itu saya hanya memiliki kesempatan untuk mengunjungi Galeri Sultan Azlan shah, Royal Museum, dan Masjid Ubudiah.
(Dokumentasi Sigit, tanggal 18 Desember 2012, Negeri Perak)
23
Volume 11/ No. 1 / April 2013
-SELANGOR (Darul Ehsan) Selangor merupakan Kawasan penting bagi Malaysia karena di negeri ini memiliki pintu masuk utama (KLIA dan LCCT) ke semenanjung Malaya. 2 bandara ini merupakan lokasi penting dalam kemajuan Malaysia. Selangor merupakan salah satu negeri yang mengalami kemajuan pesat dengan di dorong oleh adanya kota yang moderan seperti Petaling jaya, Subang Jay, Sunway dan Klang. Untuk menuju negeri Selangor dari Kuala lumpur hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam dengan menggunakan Komuter line (kreta api) dan di lanjutkan dengan publik transpot yaitu Rapid K.L. Selangor memiliki beberapa objek wisata yang menarik seperti: Batu Cave, Blue Mosque, Sepang international circuit, dan ICity. Selain itu keberadaan saya di Kuala lumpur saya gunakan juga untuk mengunjungi Universiti Kebangsaan Malaysia.
(Dokumentasi Sigit, 5 – 10 Oktober 2012, Negeri Selangor) -PAHANG (Darul Makmur) Pahang merupakan negeri yang paling besar di semenanjung Malaysia. 2/3 dari daratan pahang berupa kawasan hutan yang masih hijau. Untuk menuju negeri Pahang, kita bisa menggunakan public transport seperti bus atau komuterline antar negeri. Perjalanan dari kuala lumpur sekitar 2 jam. Negeri Pahang memiliki landscape yang hampir sama dengan perak yaitu banyak perbukitan dan di kelilingi oleh hutan yang sangat rindang. Keindaham alam yang masih asri mengikat para pelancong untuk mengunjungi beberapa objek wisata di negeri ini antara lain: Genting highland, Cameron Highland, Tioman island, Fraser Hill, Berjaya hill, dan Cherating beach. Waktu luang yang saya miliki saat itu, saya manfaatkan untuk mengunjungi Genting Highland. Genting Higland menjadi Ikon utama bagi negeri Pahang karena keberadaan Casino. Akan tetapi kawasan genting higland juga memiliki basis alam karena pembangunan genting higland sangat intergrated antara alam dan buatan manusia. Kawasan wisata ini terletak di ujung bukit dengan kondisi udara yang sangat dingin dan memiliki fasilitas yang sangat lengkap bagi para pelancong. Selain mengunjungi Genting highland, saya juga mengunjungi kota penting di negeri Pahang yaitu Temerloh City. Kota Temerloh di kabarkan akan menjadi Ibu kota Negeri Pahang menggantikan Kota Kuantan pada tahun 2016 di karenakan lokasinya yang sangat strategis. Kunjungan ke Kota Temerloh tidak hanya untuk menemui teman lama (saudara Uganeswara) tetapi juga untuk mengenal lebih jauh budaya dan kawasan negeri Pahang. Di tengah terik matahari saya memasuki sebuah kedai makan india untuk menikmati makanan khas Pahang yaitu “Leaf Banana Food”.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
24
(Dokumentasi Sigit, tanggal 11 November dan 30 Desember 2012)
25
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Kampusiana Materi Kajian
Urban Heat Island Definisi Heat Island Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island) merupakan fenomena dimana suhu udara dan suhu permukaan di daerah perkotaan lebih tinggi daripada daerah di sekelilingnya. Perkembangan daerah perkotaan menyebabkan perubahan tata guna lahan menjadi daerah terbangun memberikan dampak terhadap kenaikan suhu permukaan. Hal ini disebabkan karena konstruksi bangunan seperti beton, aspal, dll dapat menyerap dan menahan panas matahari lebih besar dibandingkan lahan yang masih alami. Pemanasan antropogenik dari kegiatan transportasi, industri, dan rumah tangga juga turut menyumbang terhadap kenaikan suhu di perkotaan.
Perbedaan suhu antara daerah perkotaan dengan daerah sekitarnya dapat dikatakan sebagai heat island Intensity. Perbedaan suhu tersebut dapat mencapai 3-10oC. Intensitas panas bervariasi antara siang dan malam. Pagi hari merupakan kondisi dengan intensitas yang rendah dan cenderung meningkat pada siang hari dan mencapai puncak di malam hari. Intensitas panas juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca dimana pada saat cuaca cerah dan tidak banyak angin intensitas panas lebih tinggi dibandingkan dengan cuaca mendung dan banyak angin. Perkotaan yang terus berkembang dari waktu ke waktu menyebabkan meluasnya daerah pulau panas dan semakin meningkatnya intensitas panas sehingga daerah pinggiran kota dapat berubah menjadi pulau-pulau panas baru. Pengukuran Heat Island Pengukuran Heat Island dilakukan dengan mengukur unsur iklim mikro terutama suhu udara pada daerah perkotaan hingga perdesaan untuk membandingkan perbedaan suhunya. Untuk itu, dibutuhkan data dari stasiunstasiun pengukuran yang tersebar merata dan dapat mengukur pada waktu yang sama agar hasil pengukuran perbedaan suhu dapat lebih akurat. Hal ini membutuhkan waktu dan tenaga yang besar. Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini memungkinkan untuk mengukur suhu permukaan dengan memanfaatkan kanal gelombang inframerah termal. Beberapa satelit yang memiliki kanal termal seperti Landsat, NOAA, dan MODIS dapat menghasilkan citra satelit yang menggambarkan suhu permukaan di suatu daerah dengan cakupan yang cukup luas sehingga dapat mendeteksi lokasi-lokasi pulau panas dengan biaya yang minim dan waktu yang cepat. Volume 11 / No. 1 / April 2013
26
Dampak Heat Island Meningkatnya suhu di perkotaan akan menyebabkan meningkatnya konsumsi energi listrik oleh pemakaian mesin-mesin pendingin. Peningkatan pemakaian mesin pendingin akan meningkatkan jumlah gas polutan di atmosfir sehingga pencemaran udara akan meningkat. Meningkatnya suhu dan pencemaran udara akan mempengaruhi tingkat kesehatan manusia. Akibat yang akan timbul berupa gangguan pernapasan, kanker, stroke, bahkan kematian. Hal ini akan menyebabkan daerah perkotaan menjadi daerah yang tidak nyaman untuk ditinggali. Mitigasi Terhadap Fenomena Heat Island Mitigasi yang dilakukan oleh beberapa komunitas masyarakat terhadap fenomena heat island dengan melakukan penambahan area hijau perkotaan dengan menanam pohon, mengganti atap rumah dengan cool roof yang terbuat dari material dengan bahan atau warna yang dapat memantulkan cahaya matahari lebih besar. Selain atap rumah, hal ini juga dilakukan pada material pembuat jalan atau lapangan.
27
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Materi Kajian
Usaha ini akan berdampak pada penurunan suhu dan polusi udara sehingga dapat menurunkan resiko dampak fenomena heat island terhadap kesehatan manusia. Dilihat dari besarnya dampak negatif yang ditimbulkan, fenomena heat island di sebuah kota harus diperhatikan untuk menentukan langkah-langkah strategis dalam mewujudkan pembangunan kota yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. --- (Muhammad Ramdhani Fajri KSG2012)
Referensi: Khomarudin, M Rokhis. 2004. Mendeteksi Pulau Panas (Heat Island) Dengan Data Satelit Penginderaan Jauh. Jurnal Lapan, Vol 6, No 2 Gartland, Lisa. 2008. Heat Island: Understanding and Mitigating Heat in Urban Areas. Sterling VA: London Quattrochi, ..et al. 2003. Land Use and Land Cover Change, Urban Heat Island Phenomenon, And Health Implication: Remote Sensing Approach. Heat Island effect di akses di http://www.epa.gov/hiri/index.htm pada tanggal 10 Oktober 2012 Pukul 12:48
Volume 11 / No. 1 / April 2013
28
"Masyarakat yang tidak mampu maupun yang setengah mampu, bisa mendapatkan kartu ini untuk rawat inap di rumah sakit negeri maupun swasta, bahkan puskesmas secara gratis," janji Jokowi, Gubernur terpilih DKI Jakarta untuk periode 2012-2017, saat sedang melakukan kampanye dulu yang sempat dikutip oleh Tribunnews Jakarta pada 10 April 2012. Warga Jakarta ternyata tak hanya mempunyai ancaman “banjir air” yang menjadi salah satu isu sentral DKI Jakarta, namun juga terancam “banjir janji” oleh para kandidat Calon Gubernur DKI Jakarta 2012 silam ini. Padahal, masalah yang dihadapi Jakarta tidak sederhana. Semakin hari kian kompleks. Peran pemimpin mendatang menjadi sangat penting. Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, memiliki banyak rekaman sejarah. Jika kita memandang Kota Jakarta sekarang, mungkin sulit terbayang bahwa ribuan tahun yang lalu kawasan ini masih baru terbentuk dari endapan lumpur sungai-sungai, seperti Ci Liwung, Ci Sadane, Ci Tarum, Kali Angke, Kali Bekasi, yang mengalir ke Utara Jakarta. Sejarah panjang Jakarta dengan pelabuhan besar Sunda Kelapa-nya, memang sudah menarik minat orang untuk datang sejak dahulu kala. Termasuk di antaranya, kedatangan Portugis yang kemudian diikuti dengan Belanda. Pihak-pihak tersebut yang pernah menguasai Jakarta, sejak zaman Portugis hingga VOC-Belanda, telah menjadikan Jakarta (Jayakarta) sebagai pusat kekuasaan. Demi menopang fungsi sebagai 'power epicentrum', berbagai bangunan simbol kekuasaan, bendungan, stasiun kereta dan ruang publik dibangun. Dan hingga kini, sisa-sisa kemegahan itu masih bisa kita saksikan dalam jejak kota tua dan bangunan tua peninggalan Belanda yang bertebaran di Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedunggedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Pembangunan simbol-simbol kemegahan Jakarta pun terus berlanjut. Monumen Nasional, Mesjid Istiqlal, dan Kawasan Senayan, kerap dibanggakan sebagai simbol keberhasilan atas capaian kemerdekaan. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut yang pertumbuhannya dinamis merupakan sumbangan
29
penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21. Orde Baru juga tidak ketinggalan. Presiden Soeharto dengan gelarnya sebagai Bapak Pembangunan, merancang Jakarta sebagai daerah yang sangat menarik bagi investor. Hasilnya, pemodal asing berduyun-duyun memadati Jakarta. Dan sempurnalah Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi negara, dimana 70% uang nasional beredar didalamnya. Bahkan era reformasi yang sering didengungkan sebagai antitesa Orde Baru juga tidak ingin kalah dalam 'memegahkan' ibukota. Supermall mewah, toko-toko cabang dari berbagai merek terkenal dunia, gedung-gedung pencakar langit, apartemen, superblock dan lainnya, seakan bertumbuh bak jamur di musim hujan. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan kemegahan Jakarta. Bukan pula hal yang tercela bila pembangunan fisik dan infrastruktur melaju dengan pesat di ibukota. Namun tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh pembuat kebijakan di Jakarta adalah bagaimana mengelola perkembangan dan dinamika
Gambar 1. Jakarta Tempo Dulu
Gambar 2. Landmark di Jakarta
Volume 11/ No. 1 / April 2013
kota dengan segala beban berat yang ditanggung, ditambah tuntutan warganya yang sangat beragam. Dengan status sebagai kota berpenduduk besar, kompleksitas permasalahan kota yang berusia hampir lima abad ini, tentu membutuhkan penanganan yang serius dan kerja yang cerdas. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menciptakan keseimbangan pertumbuhan kota dan pembangunan manusia di dalamnya. Kompleksitas yang terkandung dalam suatu istilah bernama “JAKARTA” ini adalah suatu kota yang padat, sibuk, modern, hidup, butuh perjuangan untuk dapat bertahan, dan berbagai kepentingan yang terdapat didalamnya. Padat; Jakarta dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar dengan multikulturalisme yang tinggi karena sebagian besar adalah pendatang dari kota atau pulau lain dengan Jakarta sebagai daerah tujuan urbanisasi. Kepadatan penduduk ini juga menambah kepadatan ruang kota jakarta, sehingga dapat menimbulkan tingkat stress, kriminalitas, dan kemiskinan yang tinggi. Sibuk; Jakarta dijadikan sebagai tumpuan berbagai kepentingan didalamnya dan tidak pernah mati aktivitasnya. Modern; sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman karena sebuah megapolitan dapat dengan cepat mengalami perubahan akibat faktor ruang gerak dan mobilitas yang tinggi. Hidup; aktivitas di Jakarta terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya. Tak hanya siang hari, Jakarta juga mempunyai tingkat hunian yang luar biasa pada kehidupan malam hari.
memilih untuk tinggal di kota satelit, sementara bekerja di pusat kota, karena lahan di pusat kota yang semakin terbatas dan terutama karena nilai tanah di pusat kota yang tinggi. Hal ini didukung pula oleh fakta yang terjadi bahwa jumlah penduduk Bodetabek tahun 1990 telah melampaui jumlah penduduk Jakarta (Gambar 4).
Gambar 3. Pola Strong Center
Jakarta yang multietnik, multikultural, sesungguhnya memberikan nilai unik tersendiri dibandingkan dengan kota metropolitan lain di dunia. Namun, kondisi Jakarta yang sangat plural sejak masa lalu itu bukan dijadikan identitas kota. Segregasi berdasarkan etnik, agama, dan kelas sosial, justru terjadi dalam pembangunan kota, mulai dari kompleks bisnis, sekolah, sampai permukiman. ”Tembok-tembok segregasi, secara sengaja, justru dibuat dengan dungu,” komentar Imam Prasodjo, sosiolog UI, dikutip dari Diskusi Kompas, Selasa (3/4/2012) tentang pemimpin baru DKI Jakarta. Jakarta sebagai pusat kota yang kuat pasti mempunyai pengaruh terhadap kota pinggirannya, Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Sesuai dengan struktur ruang dalam skala metropolitan dalam The Geography of Transport Systems (2006), dinyatakan bahwa strong center (Gambar 3) adalah kota-kota yang memiliki kepadatan, penggunaan lahan, dan tingkat aksessibilitas yang tinggi, sehingga membutuhkan kota pinggirannya sebagai kota satelitnya. Terkadang, penduduk lebih Volume 11 / No. 1 / April 2013
30
Selanjutnya dengan data pertumbuhan penduduk dari tahun 1960 hingga 2000 dinyatakan bahwa jumlah penduduk Jakarta mencapai titik jenuhnya (Gambar 5). Pola pemanfaatan ruang Jabodetabek mengalami dinamika yang cukup pesat seiring dengan dinamika penduduk dan aktifitas masyarakat di wilayah tersebut. Dalam hal ini lahan pertanian selalu menjadi jenis lahan yang paling banyak mengalami konversi. Berdasarkan kajian tentang pola penutupan lahan di Jabodetabek data tahun 19722001 dapat dilihat kebutuhan ruang untuk pemenuhan sarana permukiman dan fasilitas meningkat cukup pesat dengan sebaran sebagaimana berikut pada Gambar 6.
Gambar 6. Sebaran Kepadatan Penduduk dan Derajat Perubahan Penutupan Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Jabodetabek
Melihat kompleksitas Jakarta menuju kota berkelanjutan, terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi Jakarta sebagai solusi permasalahan yang ada, dilihat dari dua perspektif, yaitu makro dan mikro nasional. Dalam perspektif makro nasional, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh Jakarta, antara lain tantangan urbanisasi, tantangan kesenjangan antar wilayah, tantangan globalisasi, tantangan perubahan iklim. Penekanan lahirnya kesepahaman secara nasional, yaitu bahwa beban pembangunan ibukota Jakarta bukan hanya pekerjaan rumah Pemerintah DKI Jakarta saja, namun juga partisipasi masyarakat juga sangat diperlukan. Permasalahan Jakarta kini tidak lagi dapat diselesaikan tanpa menyelesaikan akar permasalahannya yaitu dengan membangun daerah-daerah lain di luar Jakarta maupun di luar Jawa yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang agar mampu memiliki daya tarik tersendiri sebagai daerah tujuan untuk kehidupan yang lebih baik.
31
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Masalah Jakarta adalah masalah nasional. Oleh karena itu, solusi permasalahannya pun perlu melibatkan peran aktif dari para pelaku pembangunan lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pelaku. Kearifan lokal dapat menjadi salah satu solusi pemecahan masalah pembangunan di Jakarta, baik pembangunan fisik wilayah yang bersifat makro, maupun pembangunan manusia yang bersifat mikro. Misalnya, dalam pembangunan perumahan harus memperhatikan kearifan lokal yang ada sehingga tercipta hunian yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, aman, dan nyaman. Kearifan lokal berperan dalam pengambilan keputusan dari setiap kebijakan pembangunan yang dikeluarkan. Contoh lain, diadakannya penyuluhan peningkatan kesadaran masyarakat tentang membuang, mengolah, dan mendaur ulang sampah. Prinsip kearifan lokal ialah pembangunan ekonomi boleh jalan tapi masyarakat dan lingkungan harus tetap lestari. Kearifan lokal dibentuk demi pembangunan yang berkelanjutan serta memberi manfaat yang lebih baik kepada masyarakat. --- (Febriana Dewi Lestari - KSG2012)
Volume 11 / No. 1 / April 2013
32
Topik Khusus
Australia : Anomali Belahan Selatan Australia, adalah sebuah negara multikultural yang berbeda dengan Indonesia, berbeda polanya. Di Indonesia multikultural-nya berangkat dari perbedaan suku asli atau daerah-daerah yang ada di Indonesia. Sedangkan di Australia, keragaman tersebut berasal dari berbagai suku bangsa di dunia yang bermigrasi lalu kemudian tumbuh kembang membangun Australia. Mereka berasal dari dominasi inggris, arab, persia, india, tionghoa, jepang, korea, melayu, thailand, afrika, eropa, hingga amerika.
Gambar 1 Univ of Sydney
besar dunia. Universitas ini memiliki sistem tata kelola dan budaya riset yang cukup tinggi sehingga mampu menghasilkan sejumlah pengetahuan baru serta juga peningkatan kapasitas mahasiswanya. Ada sebuah perbedaan konsep yang mendasar dalam metode belajar di Australia dan di Indonesia secara umum. Di Indonesia, kita disuguhkan dengan begitu banyak mata pelajaran atau mata kuliah yang harus dipelajari dan menjadi syarat wajib kelulusan. Sehingganya arahnya pun menjadi kabur, orientasi para pelajarnya pun menjadi memikirkan bagaimana cara untuk bisa lulus atau lolos dari kewajiban tersebut. Di Australia, jumlah subjek tersebut tidak sebanyak di Indonesia. Lebih sedikit dan fokus pada pengetahuan tertentu. Sehingganya mereka dapat benar-benar menikmati pengetahuan tersebut sebagai sebuah ilmu, bukan syarat kewajiban untuk lolos.
Kualitas pendidikan yang baik menghasilkan manusiamanusia yang tentu tidak kalah baik. Ada sejumlah Berkah Heterogenitas karakteristik personal yang mudah dijumpai di sebagian besar orang Australia, diantaranya : disiplin, respect to Heterogenitas yang tinggi antar berbagai suku bangsa system, time, people, work hard and play hard, gemar tersebut ternyata membawa berkah tersendiri bagi membaca, menulis, dan di berbagai tempat umum hingga Australia. Sejumlah perbedaan yang ada membuat mereka rumah-rumahnya terdapat banyak buku/bahan bacaan. semakin kaya akan kebudayaan yang akhirnya melahirkan Hal ini menunjukkan tingginya tingkat konsumsi mereka sejumlah gagasan-gagasan yang memacu perkembangan terhadap pengetahuan. ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di Australia. Kemudian juga ada satu kebiasaan atau hobi sebagian Kemajuan tersebut tentu tidak lepas dari peran serta besar mereka yang dimaknai lebih dari sekedarnya. pendidikan berkualitas yang menjamah para warga Adalah travelling, menjamah seluruh penjuru dunia adalah negaranya. Di Australia terdapat sejumlah universitas cita-citanya. Beberapa kutipan yang ditemui di berbagai kelas dunia yang telah mencipta sejumlah kontribusi rumah di Sydney, adalah “The World is a book, and those dalam membangun dunia keilmuan. Sebut saja salah who do not travel read only one page” ; “.. satunya, University of Sydney yang berada di peringkat 50
33
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Gambar 2 Kutipan tentang Travelling Dengan sejumlah karakter positif tersebut, mereka akhirnya mampu mencipta berbagai inovasi bagi pembangunan Australia. Dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, di berbagai tempat seperti fasilitas umum, lembaga pendidikan, pemerintah, swasta, hingga rumahrumah sebagian besar sudah terhubung dengan koneksi internet. Di berbagai kendaraan, seperti bus umum, mobil pribadi, hingga taksi sebagian besar sudah dilengkapi dengan GPS sebagai navigator.
Gambar 3 Featherdale Wildlife Park contoh penghormatan terhadap para pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan sangat tinggi. Dari bidang konservasi hayati dan hewani, sejumlah wildlife atau habitat asli kehidupan liar hewan dan tumbuhan di Australian masih terjaga dengan utuh. Kesadaran akan pentingnya konservasi tersebut seakan telah dipahami oleh semua warga negara.
Dari bidang transportasi, moda transportasi umum sudah disadari oleh penduduk sebagai fasilitas yang harus dioptimalkan penggunaannya untuk mencegah kemacetan dan polusi terhadap lingkungan. Kemudian juga untuk kemudahan akses memperoleh fasilitas transportasi umum yang terdiri dari bus, train, dan ferry juga telah disediakan satu kartu yang bisa digunakan untuk semua jenis moda tersebut. Untuk mendapatkan lisensi mengemudi di Australia pun tidaklah dengan mudah. Ada serangkaian proses panjang hingga bertahun yang harus dilalui oleh mereka yang ingin berkendara. Hasil dari proses panjang ini dapat terlihat dari rendahnya angka kecelakaan lalu lintas disana. Para pengemudi terlihat lebih bijak dalam mengemudi, seperti Volume 11 / No. 1 / April 2013
Gambar 4 Kosciuszko National Park
34
Selanjutnya, terhadap setiap potensi alam yang dimiliki, mereka sangat peka dan optimal dalam ekplorasi potensi tersebut. Salah satunya adalah adanya pembangkit listrik
Paham liberal yang juga turut berkembang di Australia menjadi salah satu pendorong lahirnya dua krisis di atas. Menurut salah seorang mahasiswa di Sydney University, “Ada dua jenis agama di Australia, yaitu ‘praktek’ dan ‘non -praktek”. Hal ini mencerminkan bagaimana semakin menurunnya tingkat kepercayaan terhadap praktekpraktek atau ibadah keagamaan di Australia. Kedepannya, hal ini akan menuju pada ketidakpercayaan terhadap konsep agama atau Tuhan. Sejumlah data mencatat bahwa angka bunuh diri di Australia relatif tinggi. Kecendrungan penyebab dari kejadian ini diperkirakan adalah krisis spiritual yang terjadi di negara tersebut. Ketika sejumlah hiburan fana tidak lagi mampu menjadi obat bagi sejumlah permasalahan yang mereka hadapi, akhirnya ketiadaan hubungan yang mereka buat dengan Tuhan membuat mereka memilih jalan bunuh diri sebagai solusi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menjadi permasalahan krusial di negara ini. Selanjutnya terkait krisis nasionalisme, hal ini diakibatkan oleh tingginya tingkat heterogenitas suku bangsa di negara ini. Multikultural antar bangsa yang terjadi, lemahnya sejarah pengikat kesatuan, dan berkembangnya sikap apolitis di sejumlah masyarakat, menjadi penyebab menurunnya kadar nasionalisme yang dimiliki oleh para warga Australia.
Gambar 5 Snowy Hydro
tenaga salju yang terdapat di area snowy mountain di Jindabyne, New South Wales. Krisis Spiritual dan Nasionalisme Tak ada gading yang tak retak, ungkapan tersebut juga berlaku bagi Australia. Dibalik semua keunggulan yang telah diraih mereka, tentu masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang menjadi tantangan bagi mereka dan mesti diselesaikan. Adalah dua jenis krisis yang tengah melanda saat ini di negeri kangguru ini, yaitu ; krisis spiritual dan nasionalisme.
35
Anomali Belahan Selatan Ya begitulah Australia, sebuah negara benua yang berada di belahan bumi bagian selatan. Dalam studi pembanguan wilayah, berdasarkan pola lokasi tingkat kemajuan suatu negara, negara maju cenderung berada di bumi belahan utara dan negara berkembang berada di belahan bumi selatan. Australia adalah salah satu anomali dari teori tersebut. Meskipun sejumlah potensi pelemahan di masa mendatang akibat beberapa krisis semu di hari ini mengancam, namun kemajuan peradaban yang mereka capai hari ini jauh lebih baik daripada kondisi sebagian besar negara lainnya di belahan bumi selatan. --- (Ibnu Budiman - KSG2012)
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Topik Khusus Green Regional Development Dalam MP3EI Raldi Hendro Koestoer Peneliti PPK LIPI Pendahuluan Pembangunan nasional merupakan penjabaran makro dari generasi pembangunan daerah. Dalam liputan nasional ini telah dicanangkan menjadi bagian yang tidak terpisah dari Pembangunan wilayah yang berada dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (Bappenas, 2012). Untuk profil 33 provinsi di Indonesia, tampak bahwa kapasitas masing-masing wilayah sangat bervariasi dan dengan demikian target masing-masing wilayah pun berbeda antara satu dengan lainnya. Orientasi pembangunan perkotaan seperti DKI Jakarta, sebagai contoh, merupakan pusat jasa yang sangat berpotensi. Sejalan dengan apa yang dijabarkan dalam RPJM 2010-2014 (www.bappenas.go.id), secara operasional, perencanaan induk dituangkan dalam bentuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sebagian pakar ragu apakah MP3EI mampu menciptakan pembangunan yang pro-growth, pro-poor dan proemployment (UKP4, 2012) dan bahkan tantangan yang menonjol adalah merujuk pada Pembangunan Hijau, atau Ramah Lingkungan. Makalah ini ingin mengungkapkan bagaimana kiprah pembangunan daerah ramah lingkungan dalam kaitan dengan MP3EI. Pendekatan green regional approach merupakan metoda dasar dalam uraian terhadap persebaran wilayah hijau di daerah kasus, yaitu Kalimantan. Pilihan lokasi dipertimbangkan merupakan daerah yang sangat ‘vulnerable’ ditinjau dari sisi MP3EI dan lingkungan hidup. Urutan penjabaran adalah mengacu pada konsep lingkungan hidup global dan merujuk pada fokus ekonomi hijau dimana pendekatan keruangan menjadi fokus utama jabaran makalah ini. Selanjutnya, dikemukakan tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia dan ‘vulnerable island’, Kalimantan, diangkat sebagai wilayah usulan bagi pengembangan hijau; tinjauan tentang Heart of Borneo merupakan tuntutan pembangunan ramah lingkungan dunia international. Bermimpi Besar-Implementasi Lokal Penggunaan pertama dari frase ‘think globally, act locally’ dalam konteks lingkungan masih diperdebatkan. Ada yang menyatakan bahwa frase tersebut diciptakan oleh Brower, (2000, 2004), pendiri Friends of the Earth atau FoE, sebagai slogan untuk FoE sewaktu berdiri pada tahun 1969. Ada pula yang menyebutkan bahwa frase tersebut merupakan pendapat Rene Dubos ( Moberg and Dubos, 2005: hal: 160– 163 ) yang pernah menjadi penasehat Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup pada tahun 1972. Dubos adalah Volume 11 / No. 1 / April 2013
pengarang maxim populer "Think Globally, Act Locally", yang menuangkan gagasan tentang masalah lingkungan global. Aspek lingkungan global hanya dapat muncul sebagai suatu kegiatan melalui pertimbangan ekologi, ekonomi dan perbedaan kultural disekitar kita. Menurutnya, kesadaran lingkungan mulai muncul dari rumah. Pendekatan Dubos’ membangun hubungan konstruktif dan kelentingan antara manusia dan keberlanjutan sumberdaya bumi. Konsep tersebut dipahami sebagai dasar untuk memantau dampak lingkungan hidup dari suatu kegiatan produksi atau hasil jasa perusahaan. Namun, penggunaannya juga diusulkan untuk menggambarkan dan menilai dampak lingkungan dari skala kegiatan ekonomi yang lebih luas, yaitu, dari seluruh sektor ekonomi dan masyarakat. Scaling up dari tingkat perusahaan ke masyarakat, tingkat nasional, regional atau global, bagaimanapun adanya akan selalu memerlukan pertimbangan eko-efisiensi yang tidak hanya mempertimbangkan dari sisi aktivitas produksi seperti pada tingkat perusahaan, tetapi juga dampak lingkungan dari sisi tingkat konsumsi. Dengan tidak adanya konsensus mengenai definisi ekoefisiensi seperti yang diterapkan dalam konteks yang lebih luas, "eko-efisiensi" digunakan di sini sebagai ukuran efisiensi penggunaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sektor swasta, istilah "menggunakan" tidak hanya mencakup penggunaan langsung sumber daya alam sebagai masukan untuk proses produksi, tetapi juga mencakup penggunaan sumber daya alam tidak langsung. Memperluas konsep untuk diterapkan pada konteks nasional membutuhkan penerapan yang tidak hanya untuk kegiatan produksi, tetapi juga dampak lingkungan dari tingkat konsumsi. Konsep Ekonomi Hijau Berangkat dari konsep ekonomi lingkungan, dimana kejadian tentang kegagalan pasar menjadi titik tolak munculnya kepentingan kelangkaan terhadap pelestarian lingkungan. Dipercaya bahwa kegagalan pasar bersumber dari dampak eksternalitas. Kegagalan pasar yang berkait dengan aspek perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, merupakan akibat dari biaya eksternalitas yang tinggi dimana bunga komersial masa depan berakibat dari biaya awal yang besar. Biaya awal ini banyak disebabkan oleh biaya riset, pengembangan dan pemasaran sumber energi hijau serta produk-produk hijau, guna menghindari produkproduk yang tidak ramah lingkungan;
36
ekonomi hijau termasuk generasi energi hijau berdasarkan dan lingkungan yang lebih sustainable atau lebih energi terbarukan untuk menggantikan bahan bakar fosil environmental friendly (ramah lingkungan). dan konservasi energi guna pemanfaatan energi yang Dukungan Kebijakan efisien. Dalam memaparkan pemahaman keruangan, seseorang Untuk tujuan Inisiatif Ekonomi Hijau, UNEP (2012) telah dapat merujuk pada regulasi yang mendukung aspek spamengembangkan definisi kerja dari ekonomi hijau sebagai tial, yaitu Undang-Undang no 26 tahun 2007. Dalam salah satu yang menghasilkan ekuitas kesejahteraan sosial bagian Ketentuan UU 26/ 2007 dituangkan beberapa dan perbaikan kehidupan manusia; sementara secara pengertian dasar tentang Penataan Ruang dan perangkat signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan kelembagaan yang mengelola ruang. Dalam referensi terekologi. Dalam ungkapan sederhana, ekonomi hijau dapat sebut, disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu dianggap sebagai salah satu dari aspek yang memiliki sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan proses transaksi ekonomi secara karbon rendah, ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. pemanfaatan sumber daya yang efisien dan inklusif secara Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang sosial masyarakat. meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,dan Secara operasional, ekonomi hijau adalah salah satu pengawasan penataan ruang. Pemerintah Pusat termasuk kegiatan yang memiliki nilai pemahaman tentang Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pertumbuhan, pendapatan dan penciptaan lapangan pemerintahan negara Republik Indonesia, dan Pemerintah kerja. Ketiga aspek tersebut dihasilkan dari investasi publik daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan dan swasta yang dalam prosesnya berjalan sambil perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan energi pemerintahan daerah. Pemanfaatan ruang adalah upaya dan efisiensi sumber daya, serta mencegah hilangnya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem. Singkatnya, dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan semua bentuk transaksi ekonomi yang berkait dengan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. pemanfaatan sumber daya alam dan energi secara efisien Dalam Pasal (3) disebutkan: Penyelenggaraan penataan yang bernuansa rendah karbon, dengan merujuk pada ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah penciptaan lapangan kerja guna mencapai tingkat nasional yang aman,nyaman, produktif, dan berkelanjutan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Investasi ini perlu dikatalisasi dan didukung oleh kelompok Nasional dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara masyarakat, reformasi kebijakan belanja dan perubahan lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya regulasi. Ini merupakan langkah terobosan dalam keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan pembangunan yang mampu menjaga, meningkatkan dan, sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya jika perlu, membangun kembali modal alam sebagai aset manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang ekonomi kritis dan sumber keuntungan publik, khususnya dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan bagi masyarakat miskin yang penghidupannya dan akibat pemanfaatan ruang. keamanan sangat bergantung pada alam.Dari definisi yang UU 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan diberikan UNEP, pengertian ekonomi hijau dalam kalimat Lingkungan Hidup. Menurut kebijakan tersebut, sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan rendah Karbon, hemat pemanfaatansumber daya alam semua benda, daya , keadaan, dan makhluk hidup dan berkeadilan sosial. termasuk manusia dan perilakunya,yang mempengaruhi Kemudian apa bedanya ekonomi hijau (green economy) alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable kesejahteran manusia serta makhluk hidup lainnya. Dalam development)?. Konsep ekonomi hijau melengkapi konsep konteks terhadap ruang, tampak bahwa regulasi ini pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui berelasi dengan UU Penataan Ruang. Selanjutnya, prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Sehingga guna melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan utama pembangunan berkelanjutan (Alamendah, 2012). hidup yang meliputi perencanaan, pemanfatan, peng Fauzi (2012) mengatakan secara singkat bahwa green ndalian,pemeliharaan,pengawasan dan penegakan economy adalah pertumbuhan yang sustainable hukum. Peraturan Presiden no 5 tahun 2010 merupakan (berkelanjutan) untuk kelestarian manusia dan juga tidak penetapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah harus merusak lingkungan. Green economy bahkan bisa Nasional (RPJMN). menciptakan pertumbuhan baru dari sumber daya alam
37
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Dokumen ini merupakan pedoman penyusunan rencana strategis lembaga dan kementerian, termasuk rencana kerja pemerintah dan sekaligus juga sebagai pedoman koreksi RPJMD dalam mencapai sasaran nasional. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada tahun 2010, berada di atas pertumbuhan 5% (BPS, 2012). Ini merupakan pencapaian pertumbuhan yang tinggi dan dalam kedudukan strategis, Indonesia harus bersaing secara global dengan negara berkembang lainnya. Dalam posisi tersebut, Indonesia perlu mempercep*at terwujudnya hasil pembangunan dan kesejahteraan yang harus dinikmati oleh seluruh masyarakat. Untuk itu diperlukan tahapan terobosan melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Berkait dengan komitmen Pemerintah utk mengurangi emisi karbon, maka dirilis Peraturan Presiden no 61/ 2011 tentang Rencana Aksi Nasional untuk Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Dalam upaya reduksi emisi karbon, dilakukan tahapan target tertentu sesuai dengan fokus sektor-sektor prioritas. Master Plan pada tanggal 27 Mei 2011 lalu, Presiden RI meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, dengan visi masyarakat Indonesia yang merdeka, progresif, adil dan makmur. MP3EI menerapkan koridor pengembangan didukung oleh penguatan pertumbuhan konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan penguatan infrastruktur pendukung. Strategi utama adalah untuk mengintegrasikan tiga elemen utama, yaitu (i) mengembangkan koridor ekonomi Indonesia melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor dengan pengembangan klaster industri dan kawasan ekonomi khusus berbasis sumber daya komoditas, (ii) memperkuat konektivitas nasional melalui konektivitas dan pertumbuhan intra-dan antar-pusat di koridor ekonomi, konektivitas antara koridor, konektivitas internasional. (iii) Unsur ketiga adalah untuk mempercepat kapasitas Sains dan Teknologi. Dalam paparan Koridor Pembangunan dimaksudkan perencanaan investasi guna mendukung infrastruktur dapat ditargetkan. Pengembangan koridor ekonomi Indonesia membutuhkan investasi yang signifikan; secarakeseluruhan, hingga 2014, investasisekitarRp 4.012 Triliun, dengan rincian kasar: 32% di Jawa, 18% di Sumatera, 24% di Kalimantan, 8% di Sulawesi, 3% di Bali-Nusa Tenggara, dan 15% di Papua-Kepulauan Maluku dari investasi total. Dalam ranah target investasi, diharapkan swasta dapat berpartisipasi sekitar 51%; sehingga ada ruang cukup bagi sector swasta untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sementara itu, sekitar 18% dari total investasi akan dilakukan oleh perusahaan milik negara, sekitar 10% akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dan 21% dalam bentuk investasi campuran. (www.ekon.go.id/MP3EI). Dalam susunan percepatan dan perluasan Masterplan harus menggunakan paradigma pembangunan ekonomi yang tidak bisnis seperti biasa. MP3EI diharapkan menjadi produk yang menawarkan perbaikan terobosan ke depan. MP3EI tidak hanya merupakan dokumen yang menawarkan rencana menu tindakan untuk solusi untuk masalah pembangunan masa lalu, seperti kemiskinan dan pengangguran, tetapi juga mengandung ulasan dan strategi masa depan yang harus ditindak-lanjuti. Pengembangan koridor ekonomi mencakup enam Koridor, yaitu: koridor Ekonomi (KE) Sumatera, KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi-Maluku Utara, KE Bali-Nusa Tenggara, dan KE Papua-Malucas. Daerah potensial untuk dikembangkan di koridor masing-masing: Sentra produksi dan pengolahan sumber daya alam dan energi nasional ditumpahkan di KE Sumatera, dorongan nasional untuk industri, dan jasa di KE Jawa, dan selanjutnya. (Lihat Gambar 1)
Development Themes in Six Economic Corridors
Gambar 1: Persebaran Enam Koridor Ekonomi MP3EI Land-based Products & Energy
Mining&Energy
!"
Agriculture, Farming & Fisheries
%"
$"
&"
#" '"
Industry & Service
Volume 11 / No. 1 / April 2013
Tourism & Food Security
Natural & Human Resources
38
Kasus Kalimantan Pengutamaan Kasus Kalimantan didasarkan bahwa dengan adanya fokus pembangunan terhadap pemanfaatan SDA khususnya pertambangan dan perkebunan, memiliki implikasi terhadap kerusakan lingkungan hidup. Pembangunan Kalimantan yang merupakan Koridor Ekonomi kelompok 3, terdiri dari 4 hubs, yaitu: Pontianak, Palangka Raya, Balikpapan dan Samarinda. Koridor ini diperkirakan memiliki peningkatan pendapatan (PRDB) sebanyak 2.6 kali; dari $59m PRDB ada tahun 2008 sampai $152m pada tahun 2030, dengan tingkat estimasi pertumbuhan 3.6% dibandingkan dengan estimasi basis 5.8%. Fokus pembangunan terutama pada sumberdaya alam, yaitu: Migas, Kelapa sawit dan batu-bara. Melalui jalur sungai fasilitas angkutan barge membawa batu-bara dengan kereta api. Sungai utama nya adalah Barito dan Mahakam. Dengan akses terhadap Kereta api diharapkan dapat menghubungkan daerah pedalaman, atau hinterland menuju akses kepada sungai-sungai utama. Pembangunan infrastruktur jalan raya mendorong konektivitas antara wilayah kelapa sawit dan pertambangan ke peningkatan produksi kelapa sawit di Kalimanatan Tengah dan Kalimantan Barat Kalimantan, dilihat dari sisi potensi investasi sumber daya alam dapat dibagi dalam beberapa kelompok. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2, Kalimantan Timur lokus investasi dari kelompok 1, 2 dan 3, membutuhkan Rp 341 T dari !total " #$ &'() T.&Kontribusi * +&* $, produksi - . * . )Kalapa (- $ Sawit mencapai Overview Rp% 556,66 80% dan total luas sekitar 53% dari luasan perkebunan di Consists of 4 hubs:Pontianak, Palangka Raya, Balikpapan dan /. 00(1. 0 Kalimantan. Lokus utama di Kalimantan Timur adalah di Maloy; penetapan tersebut berdasarkan Inpres no 1 tahun... Samarinda
$
2/#* +#0$. 3$40. 15- +(. * $&* 1$40. - #66(* 7$. 3$8 (* (* 7$ This corridor is estimated to increase Domestic Regional Income (PRDB) as much as 2.6x; from $59 billionPRDB in 2008 to $152 2:+Persebaran Usulan Investasi 40. 15- +Gambar 6$&* 1$9& (. * &'$, * #07: $; #6#0<#= $ dan Potensi Pengembangan billion in 2030 with estimation of 3.6% growth compared to baseline estimation of 5.8%
Current Focus 1. Oil and Gas! More rxploration to ensure stabilized growth of production 2. Palm Oil ! Increasing production during harvesting, substituting to products with hight added value and downstream products. 3. Coal Mining! Increasing production and building infrastructures which can reach hinterland mines
Future Sustainable Industry 1. Fishery! Expanding shrimp aquaculture industries 2. Logging! Building sustainable forestry industries and expanding to products with high added value (paper) 3. Rubber ! Increasing rubber industry
Necessary Key Infrasturctures: River Port ! Barge Loading Facillities connecting the rail way to carry coal through the Barito and Mahakam river Railway ! Necessary to make the hinterland coal mining economically viable; Central Kalimantan Toll Road ! Better connectivity between palm oil plantations and mining areas to increase CPO production (Central and West Kalimantan) !"
Heart of Borneo Kawasan ‘Heart of Borneo’ (HoB) membentang di pulau Kalimantan dan mencakup 3 negara yaitu: Brunei, Malaysia dan Indonesia. Luas HoB area adalah 30% dari total luas total pulau Kalimantan (Paddenburg dkk., 2012). Untuk Indonesia, kawasan HoB ini mencakup sebagian besar dari Kalimantan Barat (4.010.000ha), Kalimantan Timur (6.137.000ha) dan Kalimantan Tengah (2.466.000ha). (Lihat Tabel 1). Dari total luas cakupan HoB, Indonesia melingkupi 57% area. Tabel 1: Komposisi Luasan HoB menurut Negara
39
Sumber: Koestoer, 2012
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Aspek kunci dari ekonomi ramah lingkungan adalah penekanannya pada kapital alam untuk mempertahankan pertumbuhan ‘hijau’ dan kesejahteraan masyarakat jangka panjang. Kapital alam ini mencakup ekosistem, biodiversitas dan manusia, yang memastikan kesejahteraan masyarakat setempat. Komponen pokok dalam kapital alam HoB adalah sumberdaya alam, termasuk hutan, mineral, tanah dan air, serta kandungan karbon yang tersedia dari alam tersebut. Masyarakat yang ada di kawasan HoB adalah komunitas Dayak aseli. Mereka bergantung pada daya dukung alam setempat, dimana mereka telah mendiami selama lebih dari ribuan tahun lamanya. Pendekatan Ekonomi Hijau dimaksudkan menciptakan perlindungan ekosistem yang menguntungkan ekonomi Kalimantan dan masyarakatnya. Paddenburg dkk. (2012) membuat suatu laporan yang komprehensif terhadap analisis HoB yang merujuk pada biaya lingkungan. Dua skenario dasar yaitu ‘Business As Usual’ (BAU) dan ‘Green Economy’ (GE). Skenario pertama, BAU, menghantar pada pendekatan tradisional yaitu ukuran pembagunan ekonomi dan PDB; sementara dalam GE, modal alam dinilai atas dasar semua sektor yang tercakup dalam lansekap HoB. (Lihat Gambar 3) Actual Tahun 2000
Actual Tahun 2009
Gambar 3: BAU dengan Aktual Persebaran Hutan Tahun 2000 (kiri) dan 2009 (kanan)-Sumber: Paddenburg dkk (2012)
BAU mengasumsikan keberlanjutan kegiatan bisnis yang menurunkan kualitas lingkungan ditandai dengan keuntungan jangka pendek, sekitar kurang dari 10 tahun. Sedangkan, GE merujuk pada pendekatan keuntungan jangka panjang dan berupaya meng’internal’kan sebagian besar dampak lingkungan, yang pada gilirannya menghindari degradasi modal alam dan memastikan pelayanan jangka panjang. (Lihat Gambar 4). Volume 11 / No. 1 / April 2013
40
Gambar 4: Perbedaan BAU (atas) dan GE (bawah)- Sumber: Paddenburg dkk (2012)
41
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Penerapan Green (Techno) Economy Kebijakan publik seperti ini merupakan pendorong utama kemajuan sosial dan lingkungan. Kemajuan menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan lingkungan dapat diukur melalui referensi dua kriteria : (i) kinerja lingkungan dan (ii) keberlanjutan lingkungan. Kelestarian lingkungan merupakan indikator kuat untuk mengukur dampak ekonomi suatu negara atau wilayah pembangunan dengan memperhatikan tekanan pada sumber daya yang berasal dari proses konsumsi dan produksi, serta untuk menentukan apakah masih dalam ranah daya dukung lingkungan lokal. Peningkatan produksi guna kepentingan pemenuhan pada pasar, menuntut eco-efisiensi melalui peningkatan teknologi. Konsep Techno Economy ramah lingkungan seperti ini yang dimungkinkan dikembangkan bagi pembangunan ke depan. Banyak kesempatan dan substantif untuk mengurangi dampak lingkungan secara positif, disertai dengan dampak negatif nol atau kecil pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah. Hal ini dituangkan melalui perencanaan pembangunan dan implementasi program yang nyata bagi pembangunan wilayah. Kebijakan publik adalah penting untuk membimbing dan mendorong perubahan sosial, karena pasar sendiri tidak dapat memberikan perubahan tersebut. Antisipasi dari pendekatan spatial pada situasi MP3EI khususnya untuk Kalimantan dapat dielaborasi lebih luas. Kalimantan merupakan lumbung energi yang berasal dari variasi sumber investasi, baik Pemerintah, swasta maupun lainnya. Jika ditelusuri secara ‘teknis pertampalan’, maka akan tampak klaster-klaster yang dapat dihindari bagi pembangunan yang ‘sensitif’ atau tidak ramah lingkungan, khususnya jika diterapkan pendekatan GE pada persebaran Koridor Ekonomi Kalimantan. Dengan demikian skenario dengan tekno ekonomi melalui pendekatan keruangan (spatial approach) dapat menjangkau hasil yang berlandaskan eco-efisien dan kepentingan kesejahteraan sosial masa mendatang. Penutup Melalui makalah ini dituangkan pemikiran global disertai implementasi lokal khususnya dalam Pembangunan Ekonomi hijau Indonesia. Komitmen Indonesia dalam konteks Perencanaan dan Pembangunan Hijau merujuk pada referensi dasar, yaitu : (i) RPJM-MP3EI dan PP GRK (PP 61 & PP 71/ 2011). Pada dasarnya MP3EI telah membuka peluang bagi para pelaku ekonomi dan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan terhadap pembangunan infrastruktur. Namun disadari bahwa kepentingan terhadap perlindungan lingkungan hidup menjadi titik tolak pembangunan yang butuh ‘kehati-hatian’. Itulah sebabnya PP 61 dan 71 memberi petunjuk bagi implementasi Pembangunan Ekonomi Hijau, khususnya terhadap sektor-sektor pendorong pembangunan. Bagi kepentingan Pembangunan ramah Lingkungan, khususnya mengantisipasi pengurangan kerusakan lingkungan dalam konteks MP3EI, secara analitikal, perlu dilakukan teknis ‘penampalan’ antara persebaran rencana infrastruktur menurut wilayah dan pola sebaran pembangunan hijau. Dalam ulasan dicontohkan melalui kasus Kalimantan, dimana dengan skenario ‘Green Economy’ dapat diantisipasi di wilayah-wilayah mana yang ‘Vulnerable’. Dalam Prioritas Pembangunan perlu difokus pertimbangan Konsep Green (Techno) Economy. Green Techno Economy dimaksudkan untuk menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan program pengentasan kemiskinan, pengangguran dan kelestarian sumberdaya lingkungan melalui pemanfaatan teknologi yang efisien. Secara keseluruhan Pembangunan Ekonomi Ramah Lingkungan berpijak pada pengembangan kapasitas Sumberdaya Daya Manusia (SDM), Iptek dan kemitraan. Pembangunan Kapasitas SDM tidak akan lepas dari peningkatan iptek. Namun guna mendorong percepatan dalam pembangunan SDM dan Iptek tersebut, perlu dibangunan kemitraan dengan dunia usaha (pengguna), sehingga komponen kebutuhan pendanaan dan perluasan pasar tidak lagi menjadi kendala bagi pembangunan lokal.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
42
Referensi Alamendah, 2012, dalam http://alamendah.wordpress.com/2012/06/03/mengenal-pengertian-ekonomi-hijau-greeneconomy-alamendah.wordpress.com, June 2012 Brower, David (2000), The Daily Telegragh, 8 November. Ellul, Jacques (2006), Penser globalement, agir localement, Pyremonde, Paris. Fauzi, A. (2012), ‘Green Economy Menjaga Kekayaan Alam’, dalam Perspektif Baru, 27 April. Geddes, Patrick (1915). Cities in Evolution. London: Williams. Grauer, Stuart (1989). ‘Think Globally, Act Locally: A Delphi Study of Educational Leadership Through the Development of International Resources in the Local Community’. University of San Diego, San Diego. Koestoer, Raldi (2012), ‘IMT GT and BIMP EAGA Move Forward’, makalah dalam National Workshop on Sustainable Development Goals, Mei 28-29, 2012, Bali. Moberg, Carol and René Dubos (2005), Friend of the Good Earth, 2005. ASM Press. Paddenburg, Annawati, Andrea M. Bassi, Christopher E. Cosslett dan Andy Dean (2012), Heart of Borneo: Investing in Nature For A Green Economy, WWF HoB Global Initiative, Jakarta. Ralph, Keyes (2006), The Quote Verifier. Simon and Schuster. New York, NY Reed, Christopher (2000), ‘Obituary of David Ross Brower’, The Guardian, 8 November 2000. Online copy di the John Muir Trust Stephen, Walter (2004). Think global, act local : the life and legacy of Patrick Geddes. Edinburgh: Luath Press. UKP4, Republik Indonesia (2012), National Workshop on Sustainable Development Goals, Mei 28-29, 2012, Bali. www.en.wikipedia.org/w/index.php?title=Think_globally,_act_locally&oldid=460943093, dibuka pada 10 November 2012. www.archive.org/ details/citiesinevolutio00gedduoft, dibuka pada 12 November 2012. www.bappenas.go.id, RPJM, 2012, dibuka pada 12 November 2012. www.ekon.go.id, MP3EI, dibuka pada 8 November 2012 UNEP 2012, Green Economy in a Blue World, http://www.unep.org/ Greeneconomy/ AboutGEI/ WhatisGEI/ tabid/29784/Default.aspx
43
Volume 11/ No. 1 / April 2013
Opini RAN GRK dan Sawit Ramah Lingkungan Oleh: Alvian Safrizal Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Sejak regulasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dimunculkan pada tahun 2011, tampak pemerintah cenderung menjalankan program pembangunan secara “serius”. Strategi masing-masing sektor disinergikan dan merujuk pada target-target penurunan emisi GRK secara kuantitatif dan kualitatif. Hal tersebut diterakan secara nyata dalam Peraturan Presiden (P P) No.61 Tahun 2011. Tidak terlepas dari hal tersebut, implementasi terhadap penurunan emisi GRK dilakukan pada sektor perkebunan industri kelapa sawit; sementara dipahami bahwa kelapa sawit Indonesia pernah mengalami kesulitan untuk masuk ke pasar Amerika Serikat. Untuk itu tulisan ini berupaya untuk mengupas secara umum regulasi pemerintah dalam penurunan emisi GRK dan implementasi upaya industri sawit ramah lingkungan.
Sekilas RAN GRK Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020 dari tingkat Business as Usual (BAU) dengan usaha sendiri dan mencapai 41 % apabila mendapat dukungan internasional. Hal ini telah disampaikan oleh Presiden Yudhoyono dalam pidatonya pada pertemuan G-20 pada tanggal 25 September 2005 di Pittsburg , USA. Implementasi dari komitmen tersebut yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PP) No.61 Tahun 2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK) pada tanggal 28 Oktober 2011 oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana. Upaya penurunan emisi GRK, selain pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di tingkat pusat, juga dilakukan pula ditingkat daerah (propinsi) agar berkontribusi pula dalam pencapaian target nasional. Kegiatan inti yang berdampak langsung pada penuruan emisi GRK dan penyerapan GRK, yakni: Sektor Pertanian meliputi perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi; optimalisasi lahan; penerapan teknologi budidaya tanaman; pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida; pengembangan areal perkebunan (sawit, karet, kakao) dilahan tidak berhutan/ lahan terlantar/ lahan terdegradasi/ areal penggunaan lain (APL); dan pemanfaatan kotoran/ urine ternak & limbah pertanian untuk biogas. Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut meliputi pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH); perencanaan pemanfaatan dan peningkatan usaha kawasan hutan; pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan; pengukuhan kawasan hutan; peningkatan,rehabilitasi, operasi& pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan bergambut); pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan; pengembangan pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar & terdegradasi untuk mendukung subsector perkebunan, peternakan & hortikultura; penyelenggaraan, rehabilitasi hutan & lahan & reklamasi hutan di DAS prioritas; pengembangan perhutanan sosial; pengendalian kebakaran hutan; penyidikan & pengamanan hutan; pengembangan kawasan konservasi, ekosistem esensial & pembinaan hutan lindung; dan peningkatan usaha hutan tanaman. Energi dan Transportasi meliputi penerapan mandatori manajemen energy untuk pengguna padat Energi; penerapan program kemitraan konservasi energi; peningkatan efisiensi peralatan rumah tangga; penyediaan & pengelolaan energy baru terbarukan & konservasi energi; pemanfaatan biogas; penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan; peningkatan sambungan rumah yang teraliri gas bumi melalui pipa; pembangunan kilang mini plant liquid petroleum gas (LPG); reklamasi lahan pasca tambang; pembangunan ITS (Inteligent Transport System) ; penerapan pengendalian dampak lalu lintas (Traffic Impact Control); penerapan manajemen parker; penerapan Congestion Charging and Road Pricing (dikombinasi dengan angkutan umum massal cepat); reformasi sistem transit Bus Rapid Transit (BRT)/ semi BRT; peremajaan armada angkutan umum; pemasangan Converter Kit (gasifikasi angkutan umum) ; pelatihan dan sosialisasi smart driving (eco-driving); membangun non motorized transport (pedestrian & jalur sepeda); pengembangan KA perkotaan Bandung; pembangunan double-double track (termasuk elektrifikasi); pengadaan kereta rel listrik baru; modifikasi kereta rel diesel menjadi kereta rel diesel elektrik; pembangunan mass rapid transportation Jakarta North-South tahap I dan Tahap II;
Volume 11 / No. 1 / April 2013
44
pembangunan jalur kereta api bandara Soekarno-Hatta; pembangunan monorail Jakarta; dan pembangunan/ peningkatan & preservasi jalan. Industri meliputi penerapan modifikasi proses dan teknologi; konservasi & audit energy; dan penghapusan bahan perusak ozon. Pengelolaan Limbah meliputi pembangunan sarana prasarana air limbah dengan sistem off-site & on-site; dan pembangunan tempat pemrosesan akhir (TPA) & pengelolaan sampah terpadu reduce, reuse and recycle (3R) Berikut detail target penurunan emisi CO2e setiap sektor: Sektor Pertanian (gigaTon)
Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut (gigaTon)
Sektor Energi dan Transportasi (gigaTon)
Sektor Industri (gigaTon)
Sektor Pengelolaan Limbah (gigaTon)
Target Penurunan Emisi 26 %
0,008
0,672
0,038
0,001
0,048
Target Penurunan Emisi 41 %
0,011
1,039
1,056
0,005
0,078
(Sumber: PP No.61 Tahun 2011)
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia saat ini dalam kancah dunia sangat berperan dalam produksi kelapa sawit. Produk dibidang ini dalam susunan sektor-sektor target penurunan emisi karbon (GRK) bisa masuk dalam konteks industri (perkebunan). Menindaklanjuti antisipasi ke depan dalam hal global warming, pemerintah mulai menerapkan sistem pengelolaan kelapa sawit ramah lingkungan. Hal ini tentu akan menjembatani antara target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai dirujuk pada RAN GRK, dan sistem pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan. Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis sebagai penghasil devisa negara utama dari sektor non migas. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas perkebunan, perkembangannya cukup pesat dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya terutama terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Hingga saat ini Indonesia bersama Malaysia menjadi negara pengekspor crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Seiring berjalannya waktu luas dan produksi kelapa sawit Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya dan ditargetkan akan semakin besar setiap tahunnya. Hingga tahun 2011, produksi kelapa sawit Indonesia dari perkebunan rakyat (PR) 8.797.924 Ton, perkebunan besar (PB) 4.168.064 Ton
45
(Luas Kelapa Sawit Volume 11/ No. 1 / April 2013
Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit ternyata menimbulkan beberapa masalah. Masalah tersebut antara lain di perkebunan kelapa sawit dan pada proses pembuangan limbah. Perluasan perkebunan kelapa sawit yang sangat ekspansif ternyata membawa berbagai dampak positif dan negatif. Dari berbagai literatur dampat disimpulkan beberapa dampak negatif dari pengembangan kelapa sawit, antara lain: 1. Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah, ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pemanasan global. 2. Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber penangkap carbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca). 3. Terganggunya Keseimbangan ekologis. Hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik menyebabkan keseimbangan menjadi terganggu. 4. Kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah. Beberapa dampak negatif inilah yang antara lain menjadi alasan berbagai pihak yang menuding agroindustri kelapa sawit terutama pada saat pembukaan lahan baru sangat mempengaruhi pemanasan global. Selain dari itu, semakin maraknya kampanye “anti sawit” di negara-negara barat serta tindakan pemerintah di negara-negara maju yang “menghambat” penggunaan CPO maka pemerintah Indonesia sejak tahun 2012, mengeluarkan konsep kelapa sawit berkelanjutan yang lebih dikenal dengan akronim ISPO. Dasar lain penetapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yakni adanya beberapa komitmen global dalam pemanfataan sawit berkelanjutan, seperti Rio Earth Summit 1992, Earth Summit +5 1997, World Summit on Sustainable Development 2002 di Johannesburg sera International Conference on Financing Development di Doha dan tuntutan dari para negara importir CPO di Eropa yang hanya akan membeli minyak kelapa sawit berkelanjutan mulai tahun 2015. Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah merupakan Mandatori bagi seluruh perusahaan Perkebunan yang berdomisili di Indonesia. Oleh karena itu seluruh usaha perkebunan yang ada harus melakukan ISPO , sehingga perusahaan harus punya sertifikasi tentang ISPO . Tujuan Ditetapkannya ISPO: >Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya memproduksi minyak sawit lestari. >Meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Internasional >Mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK. >Mendukung komitmen unilateral pemerintah Indonesia di Kopenhagen (2009) dan Program Based Line on LOI Indonesia dan Norwegia (2010). >Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia. >Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan masyarakat global. >Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup. Ketetapan Hukum dari ISPO melalui Permentan No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Untuk mendapatkan sertifikasi ISPO perusahaan harus terlebih dahulu mendapat penilaian, untuk menentukan kriteria kelas kebun. Kebun yang sudah dinilai akan mendapat kriteria kelas I, II,III dan IV sesuai hasil dari pelaksanaan penilaian. Dalam pelaksanaan penilaian usaha perkebunan bukan hanya pada fisik kebun semata, tetapi juga lingkungan, SDM, manajemen usaha, kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar. Penilaian usaha perkebunan dilakukan oleh petugas penilai yang sudah mendapat pelatihan dari Lembaga Pelatihan Perkebunan (LPP) dan sudah mendapat sertifikat tentang penilaian usaha perkebunan. Petugas penilai akan bertanggung jawab secara teknis dan juridis terhadap hasil penilaiannya. Aspek yang dinilai dalam penilaian usaha perkebunan meliputi; legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, serta pelaporan. Hasil penilaian ini akan menentukan kelas kebun bagi kebun operasional yaitu, kebun kelas I (Baik sekali) kelas II (baik), Kelas III (sedang), Kelas IV (kurang) dan kelas V (kurang sama sekali). Ini semua ditentukan oleh nilai hasil penilaian yang dilaksanakan oleh penilai.
Volume 11 / No. 1 / April 2013
46
Penutup Dengan dilaksanakannya aksi nyata pemerintah di sektor industri (perkebunan) dengan mengeluarkan peraturan produksi kelapa sawit yang ramah lingkungan merupakan salah satu upaya konkrit mewujudkan target penurunan emisi karbon yang tercantum dalam RAN GRK. Hingga tahun 2013 sudah terdapat sekitar 10 perusahaan pengelolaan kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) serta sekitar 15 perusahaan pengelolaan kelapa sawit yang sedang menjalankan proses audit oleh Kementerian Pertanian RI (Fadhil Hasan, Gapki 2013). Dengan terwujudnya kelapa sawit Indonesia yang ramah lingkungan maka negara kita telah mempersiapkan diri lebih dini dalam mengantisipasi pemanfaatan kelapa sawit yang ramah lingkungan sebagaimana akan diberlakukan di negara-negara maju (Eropa dan USA) 2015. Sehingga industri kelapa sawit Indonesia pada masa depan tidak terkendala dan tidak menjadi penghambat bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia. Perusahaan pengelolaan industri kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO menandakan perusahaan telah memenuhi semua aspek legalitas termasuk tidak melanggar kawasan hutan, telah melakukan praktik terbaik di dalam mengelola operasionalnya, ramah lingkungan, mengelola pekerja dengan baik, ramah sosial, mensejahterakan masyarakat sekitar dan melakukan improvement secara terus menerus. Referensi Barani, Achmad Mangga. 2013. Pengalaman Implementasi ISPO. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian. Direktur Jenderal Perkebunan. 2013. Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia/ISPO Sebagai Mandatori Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian. Hasan, Muhammad Fadhil. Mengikuti Perkembangan Implementasi ISPO. Jakarta: Workshop Kebijakan Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Kemenko Bidang Perekonomian. Kurniawan, Wawan. 2011. Urgensi Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit Berkelanjutan Untuk Mengurangi Pemanasan Global. Jakarta: Jurnal Teknik Industri Universitas Trisakti. Laporan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Menko Perekonomian perihal satu tahun Perpres No.61/2011 tentang RAN-GRK. 29 November 2012. Laporan Pelaksanaan RAN/RAD-GRK. Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Endang Murniningtyas. 26 Maret 2013. Mulyani, Anny,dkk. 2003. Kesesuaian Lahan Untuk Kelapa Sawit Di Indonesia. Jakarta: Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Peraturan Presiden (PP) No.61/2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
47
Volume 11/ No. 1 / April 2013