KontraS
Salam Dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
Salam Redaksi Hak untuk menganut sebuah agama/keyakinan adalah hak individu yang paling hakiki. Sebuah hak dasar asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara.
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang
Negeri mengklaim telah memberi tempat kepada semua pemeluk agama dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, kini mendapat tantangan. Benarkan ada kebebasan beragama di Indonesia? Aksi kekerasan yang dialami oleh penganut Ahmadiyah, Lia Eden, dan pelarangan pendirian tempat ibadah telah berbicara sebaliknya tentang kebebasan beragama. Wilayah yang abstrak ini seperti ingin diberi satu warna oleh mereka yang mengatas namakan umat beragama.
secara paksa tapi juga diminta oleh
Disisi lain negara khususnya aparat keamanan terkesan membiarkan situasi kekerasan ini terus berlangsung. Inilah masalahnya, negara gagal menjalankan berbagai bentuk kekerasan yang kewajibannya melindungi warga negaranya untuk beragama dan menjalani terjadi baik secara vertikal di Aceh dan keyakinannya tersebut. masyarakat korban untuk menangani
Papua maupun secara horizontal
Persoalan ini kami jadikan sebagai fokus utama dalam edisi awal di tahun 2006. Sedang di daerah lain persoalan kekerasan dan tindakan teror terus berlanjut, mulai dari kekerasan yang terjadi di tanah Cenderawasih, penemuan kuburan saat dan Poso. Selanjutnya, ia berlangsung konflik di Aceh, bentrok antara TNI-Polri di Menado, hingga bebasnya berkembang menjadi organisasi yang terdakwa kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, seakan menglengkapi sederetan independen dan banyak berpartisipasi persoalan kekerasan yang tak kunjung usai. seperti di Maluku, Sambas, Sampit
dalam membongkar praktek
Pada edisi 2006, sebuah rubrik baru kami berikan, “kabar dari seberang” menjadi
kekerasan dan pelanggaran hak asasi sebuah informasi tentang tindak kekerasan kemanusiaan yang terjadi di belahan manusia sebagai akibat dari lain di luar wilayah Indonesia. Inilah salah satu bentuk konsen kami terhadap penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa
persoalan kemanusiaan yang tidak dapat dipisahkan oleh ruang dan waktu. Karena perjuangan memang tidak mengenal kata jauh, bukan teman, atau tempat. Sebuah perjuangan dilakukan untuk menembus semua dimensi-dimensi diatas.
LSM dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-
Selamat tahun baru 2006. Teruslah berjuang, karena tak ada kata akhir untuk sebuah perjuangan.
HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Nining, Abu, Victor, Sinung, Haris, Harits, Islah, Papang, Bonang, Helmi, Nur’ain, Bobby, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud, Silly, Yati, Chrisbiantoro.
Federasi Kontras Mouvty, Ori, Gianmoko, Bustami, Asiyah (Aceh),
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar,Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu,M. Harits, Bonang, dan Mufti Makaarim. Layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected],
[email protected]. website: www.kontras.org
Oslan (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia
Redaksi Berita KontraS menerima
KontraS sebuah lembaga Advokasi, yang berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Nining di 3926983 atau
[email protected]
kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
2
FOKUS UTAMA
Kebebasan Beragama, Ahmadiyah dan Suaka Hingga kini, terlebih selama orde baru, pemerintah selalu mendengung-dengungkan kebebasan beragama di Indonesia sebagai suatu prestasi yang membanggakan. Nyatanya, pernyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Sejumlah aksi penyerangan dan bentuk kekerasan terus terjadi terhadap Jemaah Ahmadiyah dan penganut agama lainnya di beberapa wilayah Indonesia. Di masa Orde baru, pemerintah memang hanya mengakui lima agama resmi yang boleh dianut oleh warga negaranya, yaitu Islam, Kristen Prostentan, Khatolik, Hindu dan Budha. Setelah itu, ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid, agama dan keyakinan Khong Hu Cu diakui sebagai salah satu agama resmi. Namun sesungguhnya masih banyak aliran keagamaan dan kepercayaan yang hingga saat ini tidak mendapat pengakuan, mengalami kesulitan untuk melakukan peribadatan dan kelabilan dalam identitas sosial mereka. Tidak hanya itu, mereka (agama minoritas) pun kerap mengalami kesulitan melakukan peribadatan ketika berhadapan dengan resistensi mayoritas. Dalam konteks hak asasi manusia jelas menegaskan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan rumpun hak yang paling fundamental, yang tidak dapat dikurangi, dibatasi, atau dilanggar dalam kondisi apapun (non derogable rights). Namun, kekerasan dan semua bentuk intimidasi serta teror yang dilakukan oleh sekelompok warga terhadap kelompok penganut agama lain masih terus berlangsung. Khususnya, seperti terlihat dalam peristiwa aksi serangan massa jemaah Ahmadiyah di Lombok Barat dan serangan terhadap jemaah Ahmadiyah di wilayah lain. Fenomena ini jelas menunjukkan bahwa negara dan pemerintah telah gagal menjamin dan memberi rasa aman bagi warga negara, terutama dalam kasus perusakan dan pembakaran rumah anggota Jemaah Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB), yang terjadi diawal Februari lalu. Bahkan, di pertengahan Februari lalu, beredar selebaran gelap atas nama Aliansi gerakan Muslim Bulukumba. Selebaran ini ditujukan pada ormas Islam, Organisasi Kemahasiswaan, Pengurus masjid dan Remaja Masjid serta tokoh Agama slam se-Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, untuk berpartisipasi dalam aksi pengusiran Jemaat Ahmadiyah, setelah shalat Jumat (17/02). Teror, intimidasi dan segala bentuk kekerasan ini harusnya tidak dibiarkan. Pemerintah juga tidak memberikan ruang bagi caracara kekerasan tersebut. Atas dasar apapun dan atas pembenaran apapun, kekerasan yang diawali dengan hasutan dan pembiaran (oleh pihak aparat) terhadap serangan-serangan tersebut, tidak dapat dibenarkan demi alasan apapun. Hal ini merupakan pelanggaran serius yang harus diselesaikan lewat pengadilan HAM. Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Zoemrotin K Susilo menilai bahwa peristiwa (perusakan) ini telah terjadi terus-menerus. Hal ini jelas menunjukkan bahwa negara gagal
3
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
memberi rasa aman kepada warga negaranya sendiri. Sementara, aparat kepolisian terkesan membiarkan peristiwa itu. Persoalan ini telah terjadi sejak tahun 2002 sampai sekarang dan sudah bukan lagi by accident (tidak disengaja). Sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin warga negaranya memperoleh rasa aman dan hak asasi mereka, termasuk kebebasan menjalankan dan memeluk agama. Bahkan, mereka yang tidak beragama sekalipun tidak bisa diusir dengan cara seperti itu. Zoemrotin juga menilai bahwa peristiwa perusakan dan pembakaran tersebut bukan disebabkan oleh persoalan agama, melainkan lebih dipicu egoisme kelompok, yang jika dibiarkan justru dapat mengakibatkan bangsa ini terpecah-belah. Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamamdiyah Din Syamsuddin mengecam keras perusakan terhadap kelompok Ahmadiyah ini. Tindakan ini sendiri jelas bertentangan dengan nilai Islam. Selain itu, perbedaan agama dan faham keagamaan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran tindakan kekerasan dalam bentuk apapun. Beliau juga meminta agar umat Islam tidak terpancing dengan aksi kekerasan dan meminta pemerintah segera mengusut tuntas serta menindak tegas pelakunya. Hal senada dikatakan oleh Ketua Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah Muspani. Ia mendesak negara bersikap proaktif mencegah tindan anarkis dan cepat mengambil keputusan terhadap setiap masalah agama dan etnis. Menurutnya, Indonesia adalah negara hukum dan agama tidak boleh dijadikan pembenaran melakukan tindak kekerasan. Mencari Suaka Adalah Hak Buntut dari sejumlah kekerasan yang terus terjadi ini, anggota Jemaah Ahmadiyah Lombok (NTB), berniat untuk meminta suaka politik ke Australia dan Kanada. Mereka mengatakan, bahwa akan mengajukan permintaan ini jika tidak bisa lagi memperoleh jaminan keamanan untuk kembali ke rumah. Ironisnya, kegelisahan dan keinginan kelompok ini dijawab ‘gampang’ oleh Departemen Luar Negeri. Menurut Juru bicara Departemen Luar Negeri, Desra Percaya, tidak ada landasan hukum bagi pengikut Ahmadiyah di Lombok untuk meminta suaka politik kepada negara lain. Ia juga menyatakan bahwa Konvensi Jenewa tahun 1951
FOKUS UTAMA
menyatakan bahwa seseorang bisa mendapatkan suaka politik jika terdapat ancaman atas agama, kelompok etnis, kelompok tertentu, dan asosiasi politik. Menurutnya, keempat ancaman tersebut harus dilakukan oleh negara, sedangkan kasus Ahmadiyah lebih merupakan konflik hubungan antar masyarakat. Untuk itu, penanganan para pengikut Ahmadiyah ada pada otoritas kepolisian. KontraS mengkritik penyataan tersebut. Karena hak mencari suaka adalah hak yang dilindungi hukum nasional sebagaimana tercantum dalam pasal 28 UU 39/1999 tentang HAM dan tergolong hak atas rasa aman. Dijelaskan dalam pasal ini bahwa hak suaka tersebut tidak berlaku hanya bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sementara itu, warga Ahmadiyah tidak masuk kategori tersebut. Karena itu, cukup alasan mencari suaka bila pemerintah benar-benar tidak menjamin perlindungan politik, hukum dan keamanan. Aturan Hukum Yang Tidak Konsisten Disisi lain KontraS juga menilai, salah satu akar masalah sehingga aksi-aksi kekerasan ini terjadi, terletak pada aturan hukum yang tidak konsisten. Ada aturan yang melindungi kebebasan beragama sesuai keyakinan (UUD 1945 dan UU
HAM), tetapi ada juga aturan yang melarang kebebasan beragama sesuai keyakinan diluar otorisasi negara (KUHP). Di dalam UUD 1945 dan UU No.39/1999 melindungi hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinan sendiri sebagai hak fundamental. Sementara KUHP justru digunakan untuk mengekang hak setiap orang untuk beragama sesuai keyakinannya.
FOKUS UTAMA
Untuk itu pemerintah harusnya segera merevisi ketentuan KUHP untuk mencegah terjadinya hasutan, paksaan dan serangan kekerasan terhadap warga negara minoritas, seperti yang dilakukan oleh massa terhadap penganut jemaah Ahmadiyah. Yang terpenting dari pembenahan ini adalah perubahan paradigmatik dalam tubuh negara terutama aparat penegak hukum. Khususnya menyangkut apa yang salah dan benar menurut aparat hukum dan menurut sudut pandang masyarakat tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pembenahan ini penting pula dilakukan untuk mencari titik temu sekaligus solusi bersama guna mencegah terjadinya peristiwa diatas. Pemerintah sangat dituntut jeli dan tepat menangani persoalan yang timbul dalam masalah ini. Pemerintah harusnya bisa melihat bahwa fenomena yang ada ini berkaitan dengan keyakinan, identitas maupun cara hidup beragama, dimana hal ini menjadi hak asasi manusia yang paling fundamental.***
Catatan kekerasan yang dilakukan terhadap pengikut Jemaah Ahmadiyah di Indonesia selama setahun terakhir. Bogor, Jawa Barat 9 Juli 2005. Sekitar 400 orang beratribut organisasi Islam menyerbu Kampus Mubarak, pusat kegiatan dakwah Ahmadiyah, di Parung Bogor, Jawa Barat. Empat anggota Jemaah Ahmadiyah terluka, beberapa mobil rusak. 15 Juli 2005. Ribuan anggota kelompok yang menyebut diri Gerakan Umat Islam mengepung Kampung Mubarak. Pengusiran dengan tindak kekerasan terjadi. 6 Januari 2006. Masjid Ahmadiyah Qodian dan sebuah majelis taklim di RT 01/03, Desa Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, dirusak seratus lebih warganya. Cianjur, Jawa Barat 6 Agustus 2005. Satu unit rumah tinggal dan satu mushala milik Jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Cijati, Kabupaten Cianjur, hancur dirusak massa dan dibakar hingga rata dengan tanah. 19 September 2005. Ribuan orang menyerang tempat ibadah dan rumah pribadi milik anggota Jemaah Ahmadiyah di empat lokasi di Cianjur Selatan. Enam masjid luluh rantak, 70 rumah rusak, beberapa diantaranya dibakar, dan satu madrasah hancur.
Majalengka, Jawa Barat 19 Agustus 2005. Masjid Ahmadiyah di Desa Sadasari, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, dirusak ratusan orang. Lombok, Nusa Tenggara Barat 19 Oktober 2005. Tiga rumah anggota Jemaah Ahmadiyah di Kawasan BTN BumI Asih, Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, kabupaten Lombok Barat, dirusak massa. Bulukumba, Sulawesi Selatan 4 Februari 2006. Sebanyak 26 unit rumah di BTN Bumi Asih di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, yang dihuni anggota Ahmadiyah, dirusak dan dibakar massa. 17 Februari 2006. Beredar selebaran gelap atas nama Aliansi gerakan Muslim Bulukumba. Selebaran ini ditujukan kepada Ormas Islam, Organisasi Kemahasiswaan, Pengurus Masjid dan Remaja Masjid serta tokoh Agama Islam se-Kabupaten Bulukumba, untuk berpartisipasi dalam aksi pengusiran Jemaat Ahmadiyah, setelah shalat Jumat, 17 Februari 2006.***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
4
FOKUS UTAMA
Konstitusi dan Undang-undang yang Mengatur Keyakinan/Agama Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Pasal 156 a “Dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan :
Pasal 28 E ; a. 1. 2.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya..; Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 22 UU No.39/1999 ; 1.
2.
Setiap orang bebas memeluk agamanya masingmasing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasannya dikatakan, “hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa ada paksaan dari siapapun.
”Ketentuan KUHP yang Mengekang Keyakinan
Pasal 157 “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus ribu lima ratus rupiah. Pasal 503
Beragama Bab II tentang Pelanggaran Ketertiban Umum Pasal 156 KUHP “Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ratus rupiah”
“Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana dengan paling banyak dua ratus duapuluh lima rupiah 2). Barangsiapa membikin gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang diperbolehkan atau untuk sidang pengadilan, di waktu ada ibadat atau sidang.
“Peristiwa perusakan dan pembakaran tersebut bukan disebabkan oleh persoalan agama, melainkan lebih dipicu egoisme kelompok, yang jika dibiarkan justru dapat mengakibatkan bangsa ini terpecah-belah” Zoemrotin K Soesilo (Wakil Ketua Komnas HAM)
5
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
BICARA
Teropong Pandang HAM Tentang Kebebasan Beragama Oleh : Papang Hidayat* Pemerintah Indonesia baru saja pada 2 Februari 2006 lalu mendaftarkan diri menjadi negara pihak Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik, yang akan diabsahkan pada 2 Mei 2006. Berdasarkan landasan Kovenan Sipol ( Instrumen HAM penting lainnya adalah Deklarasi Universal HAM dan The Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief) inilah sudut pandang HAM tentang kebebasan beragama/ berkeyakinan disusun, tentang kewajiban dan tugas negara; apa saja substansi normatifnya, mekanisme perlindungannya, dan pemulihan hak bila terjadi pelanggaran. Sebenarnya produk legislasi domestik Indonesia punya ketentuan yang serupa dengan prinsip HAM universal tersebut. Hal ini bisa dirujuk pada Pasal 28 E dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Pasal 28E memberikan hak kepada setiap untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Sedangkan pasal 29 menegaskan jaminan negara atas kebebasan beragama tadi. Nafas selaras juga dicantumkan dalam UU No.39/1999 tentang HAM Pasal 22. Sayangnya jaminan konstitusional ini tidak dioperasionalisasikan pada undang-undang atau produk hukum yang lain, seperti polemik SKB tentang pendirian rumah ibadat, perda Syariah Islam, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan terjadinya paradoks tata kenegaraan soal kebebasan beragama, di satu pihak Indonesia sebagai negeri dengan populasi umat Islam terbesar secara formal merupakan negara yang toleran merujuk pada konstitusi dan sistem politik formalnya, namun di lain pihak aturan normatif tersebut tidak efektif dalam menjamin kebebasan beragama secara aktual. Penyerangan terhadap komunitas agama tertentu, penghalangan beribadat, dan penggunaan pidana penodaan agama terhadap kelompok tertentu semakin intens. Pada momen itu negara bahkan terlihat melakukan pembiaran justru dengan alasan tidak mau terlibat dalam urusan hubungan antar agama. Padahal ketegangan hubungan antar agama tersebut sudah memasuki ranah aksi kekerasan. Dalam perspektif HAM, kebebasan beragama merupakan hak asasi yang paling dasar/fundamental. Hak ini termasuk dalam golongan non derogable rights, yaitu hak yang tidak dapat ditunda dan dikurangi pemenuhannya, dalam keadaan apapun baik dalam keadaan damai maupun perang/ darurat. Hak ini diatur pada Pasal 18 Kovenan Si-pol yang secara ringkas mengatur: pertama, hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Kedua, tidak boleh adanya paksaan terhadap seseorang untuk menganut menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Ketiga, Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Keempat, penghormatan atas kewenangan orang tua atau wali hukum untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Secara tekstual dalam Kovenan Sipol tidak memberikan sebuah batasan (definisi) yang jelas tentang agama (religion) secara sosiologis. Namun demikian Komite HAM –badan otoritas atas Kovenan Si-pol- dapat mengeluarkan suatu tafsir legal atas ketentuan/pasal yang ada di dalam Kovenan ini, yang dikenal sebagai General Comment. Komite HAM (pada sesi ke-48, tahun 1993) sendiri mengeluarkan General Comment No.22 untuk Pasal 18 dari Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Beberapa poin penting dalam General Comment No.22 yang bisa membantu menjelaskan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Pertama, dengan penjelasan ini hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama ada di tingkatan baik individual maupun komunitas. Artinya pengakuan atas hak ini bisa diklaim secara individual atau komunitas. Ini menunjukkan sulitnya mendefinisikan secara ketat apa itu agama dan sekaligus menggugurkan argumen bahwa hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama bisa ditentukan oleh suatu entitas politik atau hukum, seperti pengakuan negara (soal agama resmi dan tidak resmi), atau suatu badan/otoritas religius tertentu (soal agama yang benar atau sesat). Prinsip ini sesuai dengan kenyataan empirik bahwa bahkan agama yang dianggap terstruktur sekalipun -secara teologis, organisatoris, dan administratif- bisa memiliki sub-struktur dan sub-sistem. Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya secara empirik memiliki varian yang beragam, tidak hanya menyangkut level institusi, namun juga di tingkatan teologis dan ritual. Kedua, penjelasan ini menegaskan hak atas kebebasan beragama juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama, atau tidak menganut suatu agama dan kepercayaan apa pun. Kebebasan beragama juga termasuk meyakini agama tradisional atau membentuk agama baru. Selain itu paragraf ini juga menjelaskan pentingnya (menekankan) masalah diskriminasi terhadap kepercayaan atau agama minoritas. Sesuai dengan prinsip dalam Kovenan dan hukum HAM internasional lainnya setiap hak (ditingkatan individu) mengandaikan adanya kewajiban di lain pihak, yaitu negara. Negara sebagai subjek hukum HAM wajib memberikan perlindungan secara khusus terhadap kepercayaan atau agama minoritas. Ketiga, adanya perbedaan dalam kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama – yang merupakan tingkatan abstrak - dengan menjalankan/mempraktekan kepercayaan
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
6
BICARA
atau agama, yang merupakan bentuk yang konkrit empirik. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama merupakan hak yang tak bersyarat (unconditionally), di mana tidak mungkin suatu kerja abstraksi bisa kekang atau diintervensi oleh orang lain. Keempat, adalah hak seseorang untuk berpindah keyakinan atau agama – termasuk menjadi ateis atau sebaliknya- sejauh itu dilakukan menurut akal pikiran bebasnya sendiri. Negara harus menjamin tidak ada paksaan apakah seseorang ingin berpindah keyakinan atau agama, termasuk jaminan seseorang tidak dipaksa untuk pindah keyakinan atau agama. Kelima, praktek keagamaan atau kepercayaan tidak boleh dijadikan sebuah propaganda perang, diskriminasi,
permusuhan, atau kekerasan yang bersifat rasial atau religius. Dan negara pihak dari Kovenan Sipol ini wajib membuat peraturan atau perundang-undangan yang melarang praktek tersebut. Keenam, sesuai dengan prinsip yang diatur pada Pasal 2 Kovenan Sipol bahwa setiap negara pihak harus mengkategorikan pelanggaran atas hak kebebasan beragama sebagai sebuah tindak pidana. Hal ini yang belum terjadi pada kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia (persekusi terhadap jemaah Ahmadiyah). Aparat penegak hukum hanya memproses tindak pidana penganiayaan atau perusakan barang, padahal kejahatan yang terpenting adalah pelanggaran atas hak kebebasan beragamanya.*** *Staf biro Litbang Kontras
Kebebasan Beragama di Berbagai Kawasan Dunia
Sumber Center for Relegius Freedom, http//freedomhouse.org/relegion/publicnational/rtiw/fig1.html
7
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
TUTUR
Pak Amir, “Omar Bakrie” dari Peristiwa Talangsari – Lampung 1989
“Gaji Saya Hanya Diberi Setengah” Nama saya Amir, dilahirkan di Klaten, 29 November tahun 1945, beragama Islam, dengan pekerjaan Pensiunan Guru Agama Islam SDN 1 Bandar Agung dan beralamat di Desa Bandar Agung Rt 10 Rk 5 Kec. Bandar Sribahono, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.
Maringgai, katanya hanya dimintai keterangan sebentar setelah itu dikembalikan.
Saya adalah salah satu korban langsung yang berhubungan dengan kasus “Talangsari” ada pula yang mengatakan “Gerakan Warsidi” bahkan yang mengerikan ada yang memberi sebutan : “Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)”.
Di Kodim Metro saya kembali ditanya seputar identitas, setelah selesai langsung dibawa ke Korem Gatam Tanjung Karang. Saya diinterogasi bahkan dipotret dari seluruh penjuru depan, samping, dan dari belakang. Dari situ saya dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rajabasa. Saya tak habis mengerti mengapa kemudian saya langsung dimasukkan ke sel berukuran 4 x 8 M persegi. Saya hanya sendirian, tanpa tikar, tanpa bantal, tanpa selimut bahkan tanpa WC dan kamar mandi. Saat itu perut lapar tapi tak ada jatah makan.
Dengan tidak ada rasa kecurigaan sedikitpun di hati saya, karena diboncengi motor oleh Sekretaris Desa/Carik Sutris dan dikawal oleh kedua anggota TNI (saya masih sempat mohon Saya konsisten untuk mengungkap pelanggaran Hak Azasi izin Kepala Sekolah SDN 1 Bandar Agung) saya berangkat. Manusia ( HAM ) di muka bumi ini khususnya yang Tiba di kantor Koramil Labuhan Maringgai sekitar jam 08.00 dilakukan oleh WIB langsung tentara dari dihadapkan Komando Resort K o m a n d a n Dok. Kontras Militer (Korem) Koramil. Saya Garuda Hitam ditanyakan (Gatam) Lampung sekitar biodata yang pada saat itu saya, setelah dikomandani selesai langsung Hendropriyono. disuruh naik Ketika peristiwa mobil, saya kira Talangsari, Lampung pulang ke rumah, terjadi pada tahun ternyata saya 1989 pasukan Korem malah dibawa ke Garuda Hitam ini kantor Kodim telah membantai Metro Lampung warga dengan sadis Tengah. Tiba di sehingga banyak Kodim Metro korban yang semua bendameninggal, luka-luka benda yang saya serta banyak yang bawa dan saya dipenjara ditambah kenakan seperti Pertemuan dengan Komisi III DPR-RI hancur harta benda jam tangan, kaca dan kehilangan mata, sepatu dan pekerjaan. uang dilucuti.
Saya ingat, pada tanggal 4 April 1989, sekitar jam 07.15 WIB selesai memberi makan ternak ayam ras petelor dan berkemas mengajar ke SDN 1 Bandar Agung ( saya berpakaian dinas mengajar), bersamaan datangnya Ketua Rukun Tetangga 10, Suraji, dengan sopan mengajak saya agar datang ke rumah Ponimin selaku Kepala Dusun/Bayan RK 5. Setelah tiba di rumah Bayan, disana ada dua anggota TNI yang berpakaian seragam lengkap yang saya tidak kenal. Lalu mereka mengajak saya ikut ke kantor Koramil Labuhan
Bila hari beranjak malam di sel banyak nyamuk dan tidur tanpa alas. Anehnya gigitan nyamuk yang sangat banyak itu tidak terasa sakit, bau yang anyir kata orang dari luar kok tak terasa. Namun, alangkah kejamnya mereka. Menahan saya yang tak
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
8
TUTUR
tahu apa salah saya. Belum lagi perut keroncongan karena hanya mendapat jatah air hangat air putih satu aqua, air untuk cebok satu timba kecil, mandi hanya di lap dengan kain seluruh tubuhnya. Baru pagi harinya sekitar jam 08.00 pagi saya mendapat jatah sarapan 3 potong singkong rebus dan siang jam 12.00 dapat jatah nasi opreng dengan sayur daun singkong yang masih menyatu dengan gagangnya. Di tambah sepotong ikan asin yang digoreng setengah direbus. Jam 17.30 WIB mendapat jatah makan malam dengan lauk yang sama hanya kadang-kadang diganti dengan tempe, telor seminggu sekali, sepotong daging seminggu sekali, cuci mulut buah pisang setiap makan siang, bubur kacang setiap hari (bubur sedikit airnya banyak). Setelah berjalan lebih kurang satu minggu baru diadakan intrograsi oleh Jaksa Penyidik di kantor Korem 043 Gatam. Nama Jaksa Penyidik yang saya ingat yaitu, Sanusi SH, Abu Hanan SH, Ibnu SH, Tando Sukoco SH dan lain lagi masih banyak yang sudah lupa namanya.
Sepuluh hari para tahanan politik termasuk saya, sebelum dibebaskan secara bergantian lebih dahulu ditampung di sel Pom Korem 043 Gatam. Disini, sejak jam 08.00 WIB hingga jam 18.00 WIB bebas di luar sel untuk menghirup udara segar. Tetapi di malam hari sejak jam 18.00 WIB hingga jam 08.00 WIB di dalam sel.
Selama saya ditahan di LP Rajabasa hingga menjelang bebas, sudah dua kali saya dipanggil bertemu empat mata dengan Hendropriyono Komandan KOREM 043 GATAM. Pertama ketika kira-kira satu minggu saya ditahan, dan saya ditanya supaya menjawab secara jujur apa yang menjadi pertanyaan dari Jaksa Penyidik, dan katanya saya besok mesti dipulangkan. Ternyata setelah saya jawab secara jujur apa yang ditanyakan oleh banyak Jaksa Penyidik nyatanya tidak dipulangkan juga. Panggilan yang kedua ketika sehari menjelang bebas, Waktu terus berjalan, setelah satu Pak Hendropriyono berpesan, antara minggu lebih saya ditahan, lain setelah bebas nanti harus ternyata keluarga, istri dan anakmentaati/mematuhi semua peraturan negara. Kembali bekerja sebagai guru anak belum diberitahu oleh agama SDN 1 Bandar Agung. Dan mereka. Pada tanggal 13 April kalau ada masyarakat yang bertanya 1989 istri berusaha membesuk tentang diri saya selama dalam masa saya ditemani Suparji tetangga tahanan agar saya jawab ditahanan kami. Namun, prosesnya amat diperlakukan secara baik. Terakhir, kalau ada kesulitan, terutama tentang sulit, harus melalui Danramil tugas saya sebagai guru agama Islam Labuhan Maringgai dan SDN 1 Bandar Agung agar menghadap Dankorem 043 GATAM Tanjung langsung dengan beliau tanpa Karang baru dapat ke LP perantara.
Pertanyaan dari Jaksa Penyidik rata-rata sama dan selalu berulang-ulang, sekitar sangkut paut dengan kegiatan Gerakan Warsidi. Karena pertanyaan tentang ada sangkut pautnya dengan gerakan Warsidi tidak ada, saya dituduh terlibat dengan Rajabasa, Tanjung Karang. gerakan NII ( Negara Islam Ada banyak memori yang tak bisa saya Indoneisa ). Hal seperti ini tambah lupakan selama saya menjadi tahanan. aneh lagi, lah kok saya yang sekecil Diantaranya sikap polisi penjaga LP ini ingin mendirikan Negara Islam Rajabasa yang rata-rata melecehkan Indonesia? Malah saya dituduh ingin jadi Camat NII di Lampung — Kecamatan Gunung Balak. para tahanan kasus Talangsari. Lalu sikap anggota Korem yang sering menjemput ketika dibawa ke kantor Korem Waktu terus berjalan, setelah satu minggu lebih saya ditahan, Gatam memborgol dengan mengaitkan borgolnya antara ternyata keluarga, istri dan anak-anak belum diberitahu oleh satu tahanan dengan lainnya. Lalu para Jaksa ketika mereka. Pada tanggal 13 April 1989 istri berusaha membesuk mengadakan pemeriksaan seperti rekayasa dan main-main, saya ditemani Suparji tetangga kami. Prosesnya amat sulit, salah satu contohnya, ketika akan dihadiri oleh Jaksa Agung harus melalui Danramil Labuhan Maringgai dan Dankorem 043 Sukarton Marmosudjono, saat itu diadakan penyidikan GATAM Tanjung Karang baru dapat ke LP Rajabasa, Tanjung bohong-bohongan. Para Jaksa memerintahkan kepada seluruh tahanan yang tengah diperiksa agar bersikap serius Karang. dalam penyidikannya ketika Jaksa Agung hadir untuk Setelah sering diintrograsi mulailah ada kawan dalam sel, yaitu, berkunjung, tetapi setelah Jaksa Agung pulang seluruh jaksa Bah Syaean dari Braja Harjosari Way Jepara dan Hadi Sucipto dan yang disidik boleh lega dan senda gurau bebas. dari Braja Dewa Way Jepara. Kurang lebih dua bulan menempati sel ini, kami dipindah ke blok Tahanan Politik/Tapol rombongan Wajib Lapor kasus Warsidi yang berukuran 3 x 8 M yang berisi 7 orang. Di sel ini juga sering diintrograsi dan dikonfrontir dengan korban Tepat tanggal 20 Juli 1990 saya dibebaskan. Secara pribadi yang lain, termasuk dengan korban langsung tragedi Talangsari. saya tidak diberi surat bebas dari Rutan/LP Rajabasa Memang saya tidak termasuk yang disidangkan, namun pernah ataupun dari Korem 043 Gatam Tanjung Karang. Saya menjadi saksi persidangan bapak Zainal Arifin dari Teluk diantar oleh Imam Suhari, sambil membawa surat bebas Betung yang dituduh sebagai penggerak Gerakan NII di daerah atas nama saya menuju ke kantor Koramil Labuhan Lampung. Dan di sel ini saya mendekam sekitar 13 bulan. Maringgai dan tiba di kantor Koramil diantara pukul 22.00 WIB. Imam Suhari langsung melapor kepada Danramil
9
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
TUTUR
Labuhan Maringgai, A. Wahid, dengan nada geram saya diterima, karena Danramil saat itu juga ingin pulang ke rumahnya di Way Halim Bandar Lampung dan saya diajak sekalian disuruh naik mobilnya di bak belakang tanpa tutup. Dengan geramnya saya dibentak sambil mengucap “anjing kamu!” “Ayo naik atau saya tembak!” Karena saya merasa yang kalah saya ikuti ajakannya. Saya diturunkan di jalan 55 yang jaraknya hingga sampai ke rumah kurang lebih 3 km. Dengan berjalan kaki saya pulang menuju rumah dan tiba di rumah tepat pukul 24.00 WIB. Saya dibebaskan, saya diwajibkan apel/wajib lapor di kantor Koramil Labuhan Maringgai oleh Danramil A. Wahid. Sebelum saya disana sudah banyak yang diwajibkan lapor. Masa apel ini berjalan lebih dari 3 tahun. Tadinya setiap minggu sekali. Kadang-kadang tiga hari sekali.Kemudian kadang-kadang sebulan sekali. Lalu saat saya minta izin untuk mengikuti rapat panitia ujian akhir sekolah saya dimarahi oleh Wahid Danramil Labuhan Maringgai, malah saya diwajibkan apel setiap hari, sejak jam 08.00 hingga jam 16.00 WIB dan ini berjalan hampir satu bulan. Dalam apel ini bukan hanya disuruh tanda tangan saja, melainkan di pekerjakan dengan secara paksa dan diawasi secara ketat, tidak ada kata istirahat, bahkan dimarahi, di bentak, di caci maki dan sampai mengeluarkan kata-kata : “Anjing kamu ! Babi kamu !” Bahkan saya sering disakiti dengan tendangan, pukulan berulang kali. Pada umumnya dipekerjakan seperti bekerja membabat rumput, menyapu halaman, juga pernah disuruh membuat acir bahan dari bambu yang dibelah-belah kecil berukuran 2 x 100 cm , masing-masing membuat 2.500 potong. Khusus untuk saya pribadi sering diistimewakan oleh Danramil, Wahid, kalau yang lain jam 12.00 WIB sudah boleh pulang, saya belum diperbolehkan, masih disuruh mengerjakan ini dan mengerjakan itu, seperti mencuci motor, mencuci piring, membersihkan lobang sampah, ngepel lantai bahkan pernah disuruh mencuci celana dalamnya. Itulah kekejaman Wahid terhadap diri saya dengan cara membentak, mencaci maki, menendang dan memukul sering aku terima.
Gaji Hanya Diberi Setengah Saya diwajibkan apel/wajib lapor selam hampir 3 tahun lebih. Saya tetap melaksanakan tugas kewajiban sebagai PNS/Guru Agama Islam SDN 1 Bandar Agung, walau oleh Kepala Sekolah A. Jasmani melarang untuk bertatap muka dengan anak-anak. Saya tetap datang dan dikerjakan untuk menyapu, mengapur dan membersihkan WC, yang walaupun ini bukan pekerjaan seorang guru, ini tetap saya jalani dengan penuh kesabaran. Baru setelah ganti kepala sekolah yang baru yaitu bapak Saridiyanto saat itu hingga pensiun saya diperbolehkan mengajar/tatap muka dengan anak lagi. Selama ditahan 16 bulan, istri hanya menerima gaji dan beras dua kali/dua bulan, yang 14 bulan tidak menerimanya.
Saya terima Surat Keputusan skorsing gaji 50 % dari gaji pokok, tertanggal 30 Desember 1989. Dan setelah dibebaskan hingga masa jabatan sebagai PNS habis, saya tidak mengalami kenaikan pangkat, baik reguler maupun berkala. Berkali-kali sudah saya mengajukan permohonan untuk pemulihan status kembali 100% dari gaji pokok, hingga sekarang belum berhasil. Sebelum ditahan saya mempunyai ternak ayam petelor sebanyak 450 ekor, semua habis dijual gara-gara saya ditahan, dijual untuk kebutuhan biaya hidup istri dan anak, karena istri dan anak saya hidupnya masih menggantungkan pada saya. Program pendidikan terhadap anak-anak saya gagal lantaran terpuruknya ekonomi gara-gara saya ditahan dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda pemulihan. Untuk kondisi yang ada ini, saya sudah melakukan pengurusan, diantaranya ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tk. I Lampung di Teluk Betung (1991) serta mengurus ke Korem 043 Gatam di Tanjung Karang termasuk ke instansi-instansi terkait, namun sampai berkali-kali tetap tidak ada tanggapan. Dalam pengurusan tentang kedinasan saya sebagai PNS Guru Agama Islam SDN 1 Bandar Agung baik kembali gaji ke 100 % maupun pensiun apalagi gaji yang belum dibayarkan selama diskorsing 50 % selama 16 tahun sampai sekarang belum dapat dicairkan. Demikian catatan yang dapat saya utarakan, yang jelas akibat pembantaian terhadap korban Talangsari oleh pasukan TNI sangat menyakitkan diri saya dan keluarga, istri dan anak-anak menjadi sangat menderita. Dan pada umumnya semua yang menjadi korban kasus Talangsari juga sangat menderita. Ditambah sangat menderita lagi dibulan Desember 2005 hingga sekarang saya sudah tidak terima gaji dan tanpa ada surat keputusan pemberhentian atau SK pensiun. Dimana letak keadilan Pemerintah kita ? Dimana letak rasa hati nurani aparatur negara yang duduk di instansi Pendidikan Dasar Lampung Timur serta instansi terkait lainnya? Dimana letak pertanggungjawaban seorang pemimpin terhadap bawahannya? Saya meminta Negara agar mengusut tuntas para pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan saya menuntut agar pelanggar-pelanggar hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pada umumnya dihukum berat. Atas partisipasi dan respons yang baik sesuai dengan tugas Bapak/Ibu sebagai selaku penyelenggara negara ataupun Bapak/ Ibu sebagai yang peduli terhadap nasib para korban tindasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), saya ucapkan banyak terima kasih. Hanya kepada Allah SWT saya berlindung, semoga Allah meridhoi, amin. Bandar Agung, 04 Februari 2006 Saya atas nama korban AMIR
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
10
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
Kasus Munir: Tidak boleh berhenti di Polly Dua bulan lebih sudah putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat (20/12/05) memvonis 14 tahun penjara bagi terdakwa Pollycarpus B Priyanto. Dalam putusan, Pollycarpus divonis sebagai pelaku yang berkomplot bersama Oedi Irianto, Yeti Susmiarti, Ramelgia Anwar, dan Muchdi PR yang dinilai lebih memiliki motif membunuh Munir. Penegasan Presiden SBY untuk mengusut tuntas hingga dalangnya juga diadili (21/12/ 05) dan memerintahkan jajarannya segera berkoordinasi melakukan proses hukum lebih lanjut (28/12/05), patut kita hargai. Akan tetapi, selama dua bulan, kita belum melihat kemajuan berarti. Yang terlihat justru ketidaklaziman, yakni saat jajaran Polri berusaha mengorek informasi dari istri terpidana Polly. Ini memberi kesan mengada-ada. Padahal Polri bisa mengoptimalkan wewenangnya mengeledah, menyita, dan menangkap seluruh pelaku yang disebut Pengadilan dan menyidiknya lebih intensif. Kasus ini menuntut konsekuensi kerja cepat dan tidak memberi celah pihak-pihak yang mau menghambat proses hukum (obstruction of justice). Apalagi ini menyangkut keterlibatan anggota BIN, lembaga yang memiliki jaringan luas adalah tantangan yang tidak mudah. Karena itu, pasifnya sikap Presiden dan Kapolri memberi kesan menyia-nyiakan waktu yang ada, sehingga memungkinkan para pelaku berkonsolidasi demi terhindar dari jeratan hukum. Padahal, berkali-kali kita mengingatkan, sistim pengusutan kasus ini tidak efektif. Para pelaku diproses satu-persatu, dan wewenang Polri justru tak dioptimalkan. Pernyataan sikap diatas disampaikan oleh KontraS di awal tahun lalu. Hal hampir senada juga diungkapkan oleh mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Kematian Munir, Rachland Nashidik, yang mempertanyakan langkah Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Sutanto yang meminta isteri Pollycarpus Budihari Priyanto, Yos Hera Iswandari, segera menghubungi dirinya jika Pollycarpus berbicara terus terang soal kematian Munir. Kepala Polri seharusnya membentuk tim penyidik baru guna mengungkap kasus itu.
penyidik lamanya dan setelah itu membentuk tim baru, yang lebih bisa dia percayai untuk segera mengungkap kasus itu. Upaya seperti itu sekaligus bertujuan menghilangkan kekhawatiran soal kemungkinan risiko kepolisian di tingkat penyidik memang tidak menginginkan kasus kematian Munir diungkap. Entah mengapa pula. Hingga kini Pesiden SBY belum mengindahkan saran publik untuk segera memerintahkan Kapolri merombak internal Kepolisian termasuk memerintahkan Kepala BIN melakukan operasi kontra intelejen. Padahal hal ini sesungguhnya akan memudahkan terwujudnya penyidikan berkas kasus Munir II dan pengungkapan dugaan konspirasi dalam tubuh BIN termasuk dengan secepatnya membentuk Tim Kasus Munir yang baru, lantaran dengan tim baru, Presiden bisa mendapatkan informasi yang jauh lebih akurat. Dalam pembicaraan dengan Suciwati (istri Munir), Jubir Andi Malarangeng mengabarkan ketiadaan waktu Presiden untuk menerimanya, dan malah meminta Suciwati tidak mengkritik Presiden (16/01/06). Padahal kebutuhan untuk bertemu membahas capaian proses hukum amat mendesak, terutama dengan adanya rencana pembubaran Tim DPR untuk Kasus Munir. Rekaman Percakapan Bisa Diminta Menanggapi pernyataan Kepala Badan reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara yang mengatakan bahwa Polri tidak bisa mendeteksi isi pembicaraan itu, hingga menjadi bukti yang diperlukan. Menurutnya, isi pembicaraan tidak bisa lagi diketahui lantaran provider seluler hanya menyimpan rekaman pembicaraan hingga tiga bulan, setelah itu akan dihapus. Menurut Usman Hamid, merupakan alasan yang sangat mengada-ada. Sebab, dalam Undang-undang No 36/ 1999 tentang Telekomunikasi (Telkom) tidak diatur seperti itu.
Rachland juga menegaskan, Kepala Polri seharusnya punya kepercayaan yang besar untuk bisa mengungkap kasus ini secara profesional dan bukan malah melakukan pendekatan personal. Ia juga menuturkan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah permintaan ini. Namun, bila Kapolri berniat membuktikan Pollycarpus selama ini berbohong, langkah itu tak perlu melalui isterinya. Sebab Kapolri bisa langsung mencari tahu dari Pollycarpus sendiri.
Usman mengatakan, dalam UU tentang telkom ditegaskan, pihak berwenang seperti Polri dan Kejaksaan bisa meminta secara tertulis ke Telkom untuk membuka sebuah rekaman pembicaraan pemakai telepon untuk kepentingan penyidikan. Dimana dalam UU tersebut tidak disebutkan batas waktu seperti yang dikatakan Makbul. Seharusnya,saat itu ditanyakan kembali pada Makbul, kapan Polri meminta membuka rekaman pembicaraan antara kedua orang tersebut secara tertulis. Bila itu dilakukan pasti bisa.
Rachland mengaku khawatir langkah seperti itu justru dilakukan karena Kepala Polri sudah tidak percaya pada kemampuan tim penyidknya dalam mengungkap kasus itu. Pendekatan terhadap isteri Pollycarpus dinilai justru semakin mencerminkan kondisi seperti itu. Padahal, jika benar seperti itu, Kepala Polri seharusnya tinggal mengaudit kinerja tim
Usman melihat Polri tidak serius mengusut kasus terbunuhnya Munir. Sebab, kalau polisi serius, seharusnya sejak awal Polri membuka rekaman pembicaraan antara kedua orang tersebut. Terlebih Polri telah mulai menyelidiki kasus Munir sejak 8 September 2004, sehari setelah nyawa
11
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
Munir dihilangkan. Artinya, mengapa ada alasan seperti yang disampaikan Makbul. Usman juga mengatakan bahwa untuk membuktikan keterlibatan Mucdhi bukan hanya lewat rekaman pembicaraan dengan Pollycarpus, tetapi juga lewat orang-orang yang menyaksikan motif dia membunuh Munir. Dimana bukti-bukti tersebut sudah sebagian disebutkan majelis hakim dalam putusannya terhadap Pollycarpus, namun, mengapa Polri tidak menindaklanjutinya. Menurut Usman Hamid, kewenangan itu diatur dalam Pasal 42 UU nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kewenangan yang sama juga dimiliki Kepala Polri. Baik Jaksa Agung maupun Kepala Polri mempunyai otoritas langsung, terlebih posisi Jaksa Agung sangat menentukan karena ia mempunyai kewenangan untuk mengendalikan penegakan hukum. Menurut Usman, dengan dibukanya informasi dari perusahaan penyelenggara jasa telekomunikasi, maka dapat diketahui isi dari percakapan antara mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Pr dan Pollycarpus.
pencari fakta terlebih menggunakannya sebagai bukti sah di pengadilan. Menanggapi hal ini, Usman Hamid mengatakan, seharusnya polisi menindaklanjuti temuan tim pencari fakta. Temuan itu hanya membantu dan melengkapi tugas penyidik, artinya ada yang ditindaklanjuti dan ada yang tidak ditindaklanjuti. Dok. Kontras
DPR Gunakan Interpelasi Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Suciwati, meminta DPR untuk menggunakan hak interpelasi untuk menggugat keseriusan pemerintah menyelesaikan kasus Munir (3/2). Menurut Agung Widjaya dari Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia mengatakan kesungguhan mengungkap semua pelaku pembunuh Munir bisa menjadi indikator keberhasilan pemerintah melakukan penegakan hukum dan hak asasi manusia tahun 2006.
Sedangkan Suciwati mengharapkan DPR mendorong presiden agar membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus ini. Suciwati mengaku kecewa karena kepolisian tidak menindaklanjuti hasil putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang jelas-jelas menyebut ada konspirasi Pertemuan KASUM dengan Ketua DPR RI dan menyebut pihak-pihak yang terlibat pembunuhan Munir. Suciwati menilai terlalu banyak hambatan untuk mengungkap kasus ini. Jaksa Polisi Mengaku Kesulitan Agung, menurutnya, pernah menyatakan akan berkoordinasi dengan polisi, tapi sampai sekarang belum ada hasilnya. Dewan Sementara itu Kapolri Jenderal Susanto mengakui bahwa jangan terjebak bahwa terpidana Pollycarpus hanya menjadi lembaganya kesulitan mengungkap tuntas kasus kambing hitam pembunuhan suaminya. “Ia (Pollycarpus) pembunuhan Munir. Pengakuan ini diutarakannya dalam dengan sadar menjadi pelaku pembunuhan. Tapi bukan hanya rapat kerja dengan Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia dia pelakunya,” tegas Suciwati. DPR awal Februari lalu. Susanto juga terlihat ragu-ragu menjawab pertanyaan tentang dugaan keterlibatan anggota Menanggapi hal ini, Muhaimin menjanjikan akan mendorong intelijen dalam pembunuhan tersebut. Komisi III DPR guna menanyakan hal kepada Kepala Polri, termasuk berjanji untuk menyosialisasikan permohonan Saat sejumlah anggota DPR mendesak Sutanto interpelasi DPR. membeberkan temuan sementara polisi, ia berulang kali berkelit dengan alasan mengalami kesulitan dalam Seperti diketahui bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat(20/ penyidikan. Sutanto hanya mengatakan bahwa ia sudah 12) menyebutkan ada pihak luar yang memotivasi pembunuhan meminta Pollycarpus berterus terang mengenai kasus tersebut. Salah satunya, disimpulkan dari kedekatan hubungan pembunuhan itu dan siapa otaknya. Saat politikus PDI, Pollycarpus dengan Muchdi Pr, lewat hubungan telepon Panda Nababan meminta penerangan apakah ada sebanyak 41 kali, sekalipun Muchdi Pr menyangkal mengenal keterlibatan Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, mantan Deputi Polly. V BIN yang diduga berkomunikasi dengan Polly sesaat, sebelum dan sesudah Munir meninggal, Susanto tertegun Sementara anggota DPR dari Komisi Hukum dan Hak Asasi sebentar sebelum akhirnya menjawab, “agar para Manusia menyesalkan tidak adanya kemajuan dalam proses wartawan yang ada dalam ruangan ini tidak boleh penyidikan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. “Kami memuat.” Akhirnya rapat saat itu memutuskan menunda kecewa rapat tertutup tapi tidak ada informasi baru, “ ujar anggota komisi dari fraksi Partai kebangkitan Bangsa, pembahasan tentang perkembangan kasus Munir. Nursyahbani Katjasungkana, usai rapat tertutup dengan Kepala Dalam pertemuan itu, Susanto juga mengatakan bahwa Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI polisi tidak bisa begitu saja menggunakan temuan tim komisaris Jenderal Makbul Padmanagara (14/2).
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
12
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
Ia menilai rekomendasi tim pencari fakta belum dijalankan sepenuhnya oleh Polri. Nursyahbani juga menegaskan harusnya polisi tidak menggunakan cara-cara konvensional dalam mengungkap kasus konspirasi. Harus membuat terobosan bila tak ingin gagal. Lantaran kasus ini bukan pembunuhan biasa. Motifnya bukan sekedar menghilangkan nyawa. Tapi ini pembunuhan politik tingkat tinggi. Oleh karena itu polisi harus mempunyai cara, atau proposal hukum untuk mengungkap kasus ini. Termasuk pula dukungan konkret dari pemerintah dengan menindak orang-orang di BIN yang tidak kooperatif. Sedang sifat memaksa, baik fisik maupun non fiksi harus digunakan. Sangat disayangkan, ketika polisi memanggil, dan yang dipanggil tidak datang tapi didiamkan saja. Padahal menurut pasal 242 KUHP tegas diatur, barangsiapa menolak memberi keterangan untuk suatu proses peradilan bisa dihukum pidana. Terkait dengan itu, Ketua DPR Agung Laksono diminta memberikan dukungannya untuk upaya pengungkapan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Hal ini disampaikan dalam pertemuan antara Agung dan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM). Hadir dalam pertemuan ini diantaranya Suciwati, Usman Hamid, Binny Buchori, MM Billah, Hendardi, dan Asmara Nababan. Melalui pertimbangan atas amar putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat (20/12) terdapat kejanggalan yang menunjukkan pembunuhan Munir bersifat konspirasi. Dimana, Pollycarpus tidak melakukan pembunuhan itu sendiri, hingga memerlukan penyidikan lebih jauh untuk mengungkap para pelaku dibalik skenario pembunuhan Munir itu. Kasum juga meminta agar DPR mendesak pemerintah, agar membentuk tim kepresidenan, dengan mandat yang lebih kuat mengawal proses pengungkapan kasus Munir. Karena, menurut Hendardi tidak sepenuhnya kita bisa percaya pada institusi formal. Sementara Suciwati menyatakan kekecewaannya terhadap presiden SBY, yang dia nilai tak serius. Menurut Suciwati, Presiden kerap menyatakan dukungan untuk pengungkapan kasus Munir, namun tidak disertai sikap nyata. Menanggapi hal itu, Agung menegaskan dirinya bersedia menindaklanjuti harapan itu kepada Presiden, baik secara tertulis maupun lisan, dalam forum konsultasi. Sementara tiga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jawa Timur Nuruddin AR, Mardjito, dan Mudjib, mendesak pemerintah ikut mendorong pengungkapan kasus ini. Jangan biarkan kepolisian memutus kasus ini hanya sampai pada Pollycarpus. Sebab, sudah terbukti pembunuhan Munir direncanakan rapi dan melibatkan oknum militer. “Kepentingan Pollycarpus apa membunuh Munir?” kata Nuruddin. Mudjib menambahkan, Panglima TNI tak perlu cemas atas institusi yang dipimpinnya bila ada sejumlah oknum terlibat. “Kalaupun ada, yang salah kan oknumnya, “ungkapnya. Hal senada disampaikan Mardjito. Ia mengaku tidak mengenal mendiang Munir secara pribadi. Ketokohan Munir pun kurang cocok dengan dirinya. Namun, dirinya terus terang mengatakan
13
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
tidak bisa menerima kasus kematian Munir bila tidak dituntaskan. Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDIP, Sumatera Utara II) menyebutkan, dirinya mengharapkan pemerintah menunjukkan niatannya menuntaskan kasus meninggalnya Munir. Semua informasi dari TPF mestinya digunakan Bareskrim untuk menuntaskan kasus ini.
Muchdi tidak di dukung TNI Muchdi yang selama ini menjadi sorotan, kemudian melakukan langkah meminta bantuan hukum. Mantan pejabat Badan Intelejen Negara ini mendatangi Tim Pembela Muslim (TPM) (2/2). TPM selama ini dikenal sebagai pembela kelompok muslim yang dituduh terlibat aksi terorisme. Muchdi mengaku mendapat rekomendasi dari sejumlah orang seperti Cholid Ridwan, Rosyid Safeei dan terutama Ja’far Umar Thalib agar TPM mempertimbangkan menjadi penasihat hukumnya. Mahendradatta salah seorang pengacara TPM mengatakan pihaknya akan melihat lebih dahulu back ground yang ada. Kedua untuk menghindari conflict of interest dengan klien TPM yang lainnya Muchdi juga ditanyakan apakah ia terlibat dalam rekayasa penangkapan atas Jafar Umar Thalib, Abu Bakar Ba’asyir dan Habib Rizieq. Muchdi mengatakan tidak. Langkah Muchdi yang meminta TPM menjadi pembelanya menarik untuk diamati. Pertama, biasaya Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) Mabes TNI selalu memberikan bantuan hukum terhadap para prajuritnya terutama para perwira aktif maupun purnawirawan ketika terbelit pada proses hukum. Sebagaimana mereka sangat aktif mendampingi para perwira atau purnawiran yang diperiksa terkait kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, Penculikan Aktifis 97-98, dan Kerusuhan Mei 98 dan kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Ketiadaan dukungan dari institusi TNI ini dapat dibaca sebagai tiadanya dukungan kepada Muchdi. Hal ini bisa disebabkan adanya keyakinan dari TNI bahwa Muchdi memang terlibat dalam kasus meninggalnya Munir. Dan TNI tidak ingin menambah beban dirinya dengan melakukan pembelaan terhadap Muchdi. Apalagi sejak awal Munir meninggal sejumlah surat kaleng yang dikirimkan kepada pihak keluarga Munir, sepertinya menghendaki agar tuduhan kematian Munir ini dikaitkan dengan TNI. Kedua, Muchdi memilih TPM. TPM selama ini menjustifikasi dirinya sebagai pembela kelompok muslim yang dipojokan dengan tuduhan terorisme. Pilihan Muchdi terhadap TPM ini dapat dibaca sebagai usaha untuk menciptakan sentimen keagamaan terhadap tudingan yang selama ini ia terima. Tentu ditambah dengan klaim-klaim keanggotaannya di beberapa organisasi Islam serta dukungan dari sejumlah orang yang ia sebut diatas. Disisi lain, pendekatan terhadap kelompok agama yang dilakukan oleh Muchdi ini merupakan gaya lama dari pemerintahan orde baru. Mengapa demikian, karena pada masa orde baru ketika pemerintah mendapat
JEJAK KASUS SANG PEJUANG
tekanan dari masyarakat, maka aparat TNI/intelejen selalu aktif melakukan penggalangan opini dan dukungan melalui kelompok/tokoh-tokoh agama. Dan upaya ini kerap berhasil. Ketiga, agak aneh bila dikatakan bahwa Ja’far Umar Thalib sebagai salah seorang yang memberi rekomendasi agar Muchdi dapat didampingi oleh TPM. Hal ini juga terkait dengan conflict of interest yang TPM maksud dengan klien lainnya. Sebagai seorang mantan pejabat tinggi dilingkungan BIN. Tentu sulit untuk dibantah bahwa besar sekali keterlibatan BIN dalam aksi-aksi penangkapan sejumlah orang yang dituduh teroris, apalagi ketika Kepala BIN Hendropriyono. Tuduhan sebagai teroris terhadap Ba’asyir dan Ja’far Umar Thalib juga berkembang pada masa itu. Jadi sepertinya mustahil orang seperti Ja’far Umar Thalib memberikan dukungan kepada Muchdi. Sebab Muchdi dalam penyidikan di kepolisian menyangkal bahwa Munir masuk dalam katagori orang yang “membahayakan”. Namun ia mengatakan yang membahayakan negara contohnya teroris seperti Abu Bakar Ba’asyir dan Ja’far Umar Thalib. Tim Pembela Muslim sepertinya membaca gelagat yang sama. Hal ini dapat dilihat dari terpecahnya pendapat dikalangan pengecara TPM terhadap permintaan Muchdi ini. Sekalipun beberapa pengecara TPM tetap mendampingi Muchdi tetapi mereka tidak menggunakan nama Tim Pembela Muslim akan tetapi Tim Pembela Muchdi. Tentangan terhadap Tim Pembela Muslim untuk tidak membela Muchdi juga datang dari pendiri TPM dan beberapa organisasi Islam yang selama ini menjadi kliennya. Muchdi juga siap mengajukan gugatan kepada pihak yang terus melemparkan opini atau analisis seperti itu. Jika ada pihak yang merasa tidak puas atas proses hukum yang terus berlangsung, keberatan itu semestinya disalurkan lewat proses hukum yang benar, yaitu dengan mengajukan gugatan dan bukannya terus menyajikan opini tanpa bukti. Pernyataan ini dikemukakan oleh tim pengacara hukum Muchdi setelah bertemu dengan ketua DPR Agung Laksono. Salah satu Tim Pengacara Muchdi, Mahendradatta menyatakan perlu bukti permulaan yang cukup untuk memulai sebuah proses hukum. Jangan sampai opini seseorang dijadikan bukti. Jika memang masih ada pihak yang belum puas dengan proses pengadilan yang telah berjalan, pihak Muchdi mempersilakan mereka mengajukan gugatan. Meski, siap menunggu gugatan seperti itu, pihak Muchdi tidak akan segan menggugat pihak-pihak yang dinilai terus-menerus mengipasi persoalan dan memprovokasi aparat. Pihak Muchdi masih mengindentifikasi pihak mana yang melakukan hal itu. “Kalau terus-menerus begini, kami akan memulai (menggugat) dahulu,” kata Mahendradatta. Menanggapi pernyataan ini, Usman Hamid mengatakan, tidak tahu siapa pihak yang dimaksud Muchdi. Namun, Usman membantah jika anggapan adanya pihak yang
melempar opini atau analisis untuk menyudutkan Muchdi. Usman merujuk amar putusan Pollycarpus, yang menyatakan adanya pihak luar yang memotivasi pembunuhan Munir. Pernyataan itulah yang dinilai sebagai arah positif untuk melanjutkan penyelesaian kasus tewasnya Munir.
Ragam Dimensi Sementara dalam acara diskusi publik dengan tema “Pernyataan Sikap menuntut Percepatan Persidangan Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir ” yang berlangsung di Universitas Brawijaya, akhir Februari lalu, Koordinator Kontras Usman Hamid mengatakan bahwa untuk menuntaskan kasus meninggalnya Munir, Polri diminta kembali memanggil dan meminta keterangan dari nama yang telah direkomendasikan majelis hakim sebelumnya, diantaranya Vice Prisedent Corporate Security PT Garuda Indonesia Ramelgia Anwar. Selain itu, orang yang direkomendasikan majelis hakim adalah pramugara Oedi Irianto dan pramugari Yeti Susmiarti serta beberapa pejabat intelijen. Pemanggilan kembali nama tersebut, menurut Usman, dimaksudkan untuk dapat menelusuri lebih dalam lagi siapa orang di balik Pollycarpus. “Sebab, dalam persidangan saja, hakim sendiri secara tegas telah mengatakan ini adalah bentuk kejahatan konspirasi yang dilakukan kelompok sindikat. Maka, selanjutnya, kita perlu mengetahui siapa saja yang terlibat,”ungkap Usman. Menurut Usman, pembunuhan Munir ini menjadi kasus yang menarik karena mengandung aneka ragam dimensi. Karena meninggalnya Munir terjadi di pesawat, kasus ini perlu ditelaah dari dimensi hukum penerbangan. Kasus ini juga sepatutnya diungkap dengan mengkajinya melalui dimensi telekomunikasi. Kita semua terus berharap agar Presiden SBY bisa segera mengambil tindakan, agar pengusutan kasus Munir berjalan, tidak mandeg dan akhirnya justru terkubur. Kita sangat tidak menginginkan kasus ini gagal melewati “a test of our history” seperti kata Presiden. Apalagi di saat desakan internasional tinggi; Kongres AS (27/10/05), LSM Perempuan nasionalinternasional (15/12/05) dan terutama dari Pelapor Khusus PBB untuk Independensi Peradilan Mr. Leandro Despouy dan Duta Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM Ms. Hina Jilani (23/11/05). Presiden harus menunjukkan komitmen yang sungguhsungguh dalam pengungkapan kasus. Seluruh dunia, sangat menaruh perhatian pada kasus pembunuhan Munir dan terus mengikuti proses pengungkapannya, yang akan mempengaruhi wibawa pemerintah. Mereka yang dengan kekuatan dan kekuasaan politik, yang terlibat dalam kasus ini harus bisa diseret untuk mengikuti kekeuatan hukum. Pastinya hal itu membutuhkan kekuatan politik, yang datangnya bisa dari dukungan penuh Presiden dengan tindakan nyata. Karenanya Presiden SBY dapat kembali ke komitmen awal, ke jalan menuju penegakan hukum sejati. Jalan yang nantinya akan menjamin keselamatan para pejuang HAM, yang melindungi kebebasan berpendapat, yang memastikan demokrasi Indonesia.***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
14
KABAR DAERAH
Kekerasan Di Papua Berbalas di Jakarta Penembakan terhadap tiga penambang tradisional oleh polisi Brimob di wilayah penambangan Freeport-Papua (21/2) telah menoreh luka bagi warga Papua. Kekerasan yang tak pernah terjawab oleh adanya pertanggungjawaban hukum ini di Jakarta disikapi oleh sejumlah mahasiswa asal Papua dengan melakukan aksi balas ke gedung Plaza 89 tempat PT. Freeport berkantor di Jakarta (23/2). Aksi yang dilakukan oleh 13 mahasiswa asal Papua ini dilakukan pada dini hari, pukul 03.30 WIB. Awalnya aksi ini dimaksudkan untuk memblokir jalan masuk dari karyawan PT. Freeport untuk mendapat penjelasan terkait penembakan terhadap tiga penambang tradisional dan meminta agar PT. Freeport yang beroperasi di Papua ditutup. Namun emosi yang tak terkendali dari para mahasiswa ini, tidak lagi tertahan sesampai gedung Plaza 89. Mereka kemudian melakukan perusakan selama 15 menit terhadap kaca dan beberapa perangkat kerja terbakar. Aksi ini sempat coba dihentikan oleh seorang Brimbob yang tengah berjaga namun ia tidak mampu menguasai keadaan.
Atas beberapa hal yang secara prosedur hukum telah dilanggar oleh pihak kepolisian Polda Metro Jaya itu, K o n t r a S mengirimkan sebuah surat protes kepada Kapolri Jenderal Sutanto. KontraS meminta Sutanto menindak tegas Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Dok. Kontras
Usai mereka melakukan pengrusakan, 10 mahasiswa (Paul Wolom, Yan Matuan, Dedy Paragaye, Marthin PB, Aksi unjuk rasa di depan Ales, Gomer Kogoya, L. Devlan Kogoya, N. Dhanny, Itus Kogoya, dan Betenus Magayang), dari 13 mahasiswa ini tersadar telah melakukan tindak krimanal, lalu mencari perlindungan ke KontraS. Sekitar pukul 07.00 WIB dua puluh aparat polisi dari Polsek Setiabudi datang ke KontraS untuk membawa para mahasiswa itu ke Polda Metro Jaya. Setelah KontraS bernegosiasi dan meminta jaminan proses hukum yang fair terhadap para mahasiswa ini, pada pukul 10.00 WIB mereka dibawa ke Polda dengan didampingi para pengacara dari KontraS, PBHI, dan LBH Jakarta. Sekitar, pukul 14.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB para mahasiswa ini menjalani pemeriksaan. KontraS menilai bahwa aparat Polda Metro Jaya tidak menjalankan mekanisme yang sesuai dengan prosedur hukum serta melanggar hak-hak mereka. Antara lain, kesepuluh mahasiswa ini langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa didahului adanya pemeriksaan terhadap saksi pelapor. Sementara, penandatanganan surat penangkapan oleh Polsek Setia Budi
15
baru dilakukan pada pukul 22.00 WIB padahal proses penangkapan telah berlangsung setidaknya dari pukul 10.00 WIB ketika para mahasiswa dibawa ke Polda. Dan tanpa surat penahanan para mahasiswa ini, usa i menjalani pemeriksaan yang berakhir pukul 23.00 WIB, tidak diijinkan pulang.
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
Penahanan terhadap 10 mahasiswa asal Papua ini mendapat tentangan dari lebih kurang 300 warga / mahasiswa Papua yang tergabung dalam Front Pepera, masyarakat di Papua dan DPR Papua yang telah meminta secara resmi agar mereka dialihkan status penahanannya (tahanan rumah atau tahanan kota).
wisma 98, Jakarta
Aksi Tiga Hari Menyikapi segala persoalan yang terus berlangsung di Bumi Cenderawasih ini, sejumlah mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Front Persatuan Rakyat Papua (Front Pepera), serta lembaga mahsiswa lainnya, melakukan aksi unjuk rasa di depan Gebung Plaza 89, Jl.Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (26-28/2). Front Pepera memandang, selama ini pemerintah telah mengabaikan suara rakyat Papua. Eksplotasi emas yang dilakukan PT. Freeport di Tembagapura sejak tahun 1967, mereka nilai sebagai pencurian hak rakyat. Penguasaan atas
KABAR DAERAH
SDA oleh PT. Freeport ini juga diikuti oleh pelanggaran hakhak asasi rakyat Papua.
Sesaat setelah penangkapan itu berlangsung, para pengacara dan pendamping telah mencoba mencari informasi ke Polsek Setiabudi, Polres Jakarta Selatan dan Polda Metro Jaya, namun Aksi yang diikuti oleh sekitar 300 orang ini dilakukan selama semua membantah telah melakukan penangkapan. Pada tiga hari. Salah satu tuntutan akhirnya, para korban diperiksa sebagai mereka ialah pemerintah agar saksi dalam dugaan tindak pidana menutup PT.Freeport. Tuntutan pengrusakan terhadap benda dan orang ini menurut Arkalius Baho Front Pepera (pasal 170 KUHP), penghasutan (pasal (salah satu perwakilan Pepera 160), penganiayaan (pasal 351 KUHP), memandang, selama ini yang berorasi), merupakan pembubaran aksi (pasal 218 KUHP). pemerintah telah permintaan “harga mati” yang Pemeriksaan berlangsung berlarut-larut tidak bisa ditawar-tawar lagi. dan memakan waktu 4 jam, hingga pukul mengabaikan suara 23.00 WIB. rakyat Papua. Eksplotasi Namun di hari kedua aksi, polisi kembali melakukan tindakan Salah seorang korban, M. Islah (KontraS), emas yang dilakukan PT. sewenang-wenang dengan mengatakan dirinya tak mengerti Freeport di menangkap enam orang aktivis mengapa polisi melakukan penangkapan. yang bertindak sebagai Tembagapura sejak “Saya tiba-tiba ditangkap oleh tiga polisi pendamping aksi ini. Meski yang berpakaian sipil tanpa tahu sebab tahun 1967, mereka nilai demikian, di hari ketiga setelah akibatnya. Saat ditanyakan apa apa sebagai pencurian hak penangkapan enam aktivis alasannya, saya justru dipukul tiga kali,” tersebut, mahasiswa dan ujar Islah ketika mengadukan hal ini ke rakyat. Penguasaan atas pemuda belum menyurutkan kantor Komnas HAM bersama SDA oleh PT. Freeport langkah untuk terus beraksi. perwakilan 17 LSM. Dimana, memasuki hari ketiga, ini juga diikuti oleh aksi unjuk rasa para mahasiswa KontraS menilai peristiwa ini sengaja pelanggaran hak-hak dan pemuda Papua berjalan ditunjukkan sebagai sebuah upaya shock asasi rakyat Papua. tertib. Meski jumlah pengunjuk terapy oleh negara untuk meredam rasa terus berkurang (hanya kekuatan masyarakat sipil yang sekitar 150 orang), namun mendukung perjuangan rakyat Papua. mahasiswa yang berunjuk rasa Bahkan, aparat kepolisian tidak ini terus beroarasi mengindahkan access to justice dalam peristiwa tersebut, karena menyampaikan tuntutannya. dengan sengaja menyembunyikan informasi ketika para pendamping mencari informasi atas keberadaan korban. Hal Dalam orasinya mereka juga mendesak pemerintah membebaskan tanpa syarat seluruh tahanan kasus Mil 6263 Timika dan sepuluh mahasiswa yang ditangkap akibat Dok. Kontras pengrusakan Plaza 89 Kuningan-Jakarta. Mereka juga mengecam hegemoni AS-Uni Eropa atas penguasaan dan penghancuran SDA dan ekonomi-politik di tanah Papua. Termasuk meminta pemerintah menarik seluruh pasukan non-organik TNI-POLRI yang ada di Papua. Penangkapan Aktifis Ketika aksi berlangsung pada hari kedua (27/2) polisi memperlihatkan tontonan kesewenang-wenangan. Dengan cara paksa polisi yang berpakaian preman melakukan penangkapan terhadap enam aktivis (Islah - KontraS, Ridho - PBHI, Arie Ariyanto - PRD Jakarta, Yudi - LMND, Wahyu LS-ADI, Rius - LS-ADI, Abdul karim/Rawing - LS-ADI, Agus Suparwono – Walhi) yang mendampingi para demontras saat mereka beraksi. Dalam penangkapan itu aparat melakukan penganiayaan berupa pemukulan, penendangan di kepala, muka dan dada termasuk melakukan perampasan terhadap handphone milik Islah.
Aksi unjuk rasa di wisma 98, Jakarta ini jelas pula mengabaikan prinsip-prinsip keadilan. Kekerasan aparat terhadap para aktifis pendamping telah diadukan oleh ke Komnas HAM.***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
16
KABAR DAERAH
Penangkapan Antonius Wamang Cs
Mereka Ditangkap dengan Sewenang-wenang Melalui aksi pengkelabuan yang dilakukan oleh agen Biro Investigsi Federal Amerika (FBI), Antonius Wamang (46) dan sebelas rekannya ditangkap oleh polisi (11/01). Kesebelas orang ini ditangkap lewat sebuah “skenario” rapi yang dimainkan oleh FBI dan polisi, tanpa di sertai surat perintah penangkapan dan penahanan. Sebelas warga lainnya yang ikut ditangkap adalah Pdt Isak Onawani (45) Hardi Sugumol (23), Yohanes Kasamol pelajar, Jarius Kibak (23), Esau Onawame (41), Yulianus Deikme (32) dan Agustinus Angaibak (32), Fiktus Wamang (29), Markus Kelabetme (43) penginjil, Domi Mom petanii, Germanus Magal (23) petani. Antonius Wamang dan sebelas rekannya dituduh sebagai pelaku penembakan terhadap konvoi lima kendaraan International School milik PT Freeport Indonesia yang menewaskan tiga orang, dimana dua diantaranya warga Amerika, Ted Burgon (71) asal Sunriver, Oregon dan Rickey Lyne Spear (44) dari Littleton, Dolorado dan seorang warga Indonesia FX Bambang Riyanto serta melukai 9 orang lainnya. Peristiwa ini terjadi pada 31 Agustus 2002 di Mil 62-63 Tembagapuru. Maka inilah babak baru dari kasus Timika, setelah sebelumnya banyak pihak menduga keterlibatan TNI dalam kasus ini. Sebelumnya, hasil investigasi FBI pada tahun 2004, menyimpulkan pelaku pembunuhan adalah tentara Organisasi Papua Merdeka pimpinan Kelly Kwalik. Lewat hasil pemeriksaan yang dilakukan, polisi kemudian menetapkan delapan orang tersangka (empat nama terakhir diatas dibebaskan). Kedelapan orang ini, menurut Kapolda Papua, Irjen Pol Tommy Jacobus, dijerat Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, 338 tentang pembunuhan, dan 351 KUHP tentang penganiayaan, subsider Undang Undang No.12 tahun 1951.
Karena FBI tidak punya kewenangan untuk terlibat pada aksi penangkapan terhadap para tersangka tersebut. Soal terlibat FBI dalam aksi penangkapan ini di akui oleh pihak kepolisian maupun pemerintah AS sendiri. Kapolda Papua Irjen Tommy Yacobus mengakui penangkapan Antonius Wamang, pimpinan Tentara Papua Nasional (TPN), berkat kerjasama dengan biro penyelidik Federal Amerika Serikat, FBI. Pemerintah AS juga mengakui kerjasama dengan polisi dalam penangkapan ini sebagaimana disampaikan oleh Sean McCormack, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika. Tak sampai disitu, di Mabes Polri ternyata agen FBI pun ikut melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Keikutsertaan FBI melakukan pemeriksaan ini di protes oleh Jhonson Panjaitan-PBHI selaku kuasa hukum dari para terdakwa. Menurut Jhonson para tahanan, mengaku diperiksa sekitar pukul 18.00 hingga pukul 21.00. Jhonson mengatakan akan mengadukan hal ini kepada Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara bahkan hingga Presiden SBY. Pernyataan Jhonson in dibantah oleh Anton Bachrul Alam, Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri. Menurut Anton kewenangan pemeriksaan tahanan Papua sepenuhnya ada ditangan Polri. “Kami tidak pernah membiarkan FBI menginterogasi tahanan karena mereka berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia,” katanya. Pemeriksa Di Mabes Polri
Drama penangkapan sendiri ini berlangsung “apik” setelah sebelumnya, Wamang Cs dibawa dari Hotel Amole dengan menggunakan truk kontener oleh agen FBI dengan alasan supaya tidak terlihat aparat keamanan. Nyatanya, truk tersebut malah masuk ke kantor Polsek Kuala Kencana. Setelah diinterogasi di sekitar 9 jam lamanya, keesokannya delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka dibawa ke Polda Papua. Mereka lalu ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penembakan Timika. Keterlibatan FBI Penangkapan yang secara produral tidak sah ini ditentang oleh Tim Gabungan Advokat Mil 62-63, yang terdiri dari KontraS Papua, Elsham, LBH Papua dan sejumlah LSM lainnya. Surat penangkapan terhadap ke 8 orang tersangka itu baru diserahkan oleh polisi setelah para tersangka tiba di Polda Papua. Selain itu penangkapan yang melibatkan FBI ini dinilai tidak sah.
17
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
Selanjutnya, 8 tersangka ini diperiksa di Mabes Polri – Jakarta. Rencana akan dibawanya para tersangka ke Jakarta diprotes oleh ribuan orang yang terdiri dari mahasiswa, pemuda dan anggota masyarakat yang tergabung dalam Front Persatuan Pembebasan Masyarakat Papua Barat pada 14 Januari 2006. Mereka melakukan blokade jalan utama di depan Kampus Universitas Cenderawasih. Ini adalah jalan utama yang menghubungkan kota Jayapura dengan Bandara Sentani. Namun setelah berlangsung negosiasi dengan Kapolresta Jayapura Ajun Komisaris Paulu Waterpauw yang menjanjikan akan mempertemukan massa dengan Kapolda Papua, Irjen Pol Tommy Jacobus, pemblokiran itu dibuka. Sayangnya setelah massa telah berada di Polda, Kapolda tidak berada ditempat. Ketua Tim Advokasi Mile 62-63 Aloysius Renwarin didampingi Rektor Sekolah Tinggi Teologi
KABAR DAERAH (STT) Walter Post, Pdt Beny Giay, Mama Yosepha Alomang, Paula Makabory staf Elsham Timika, Albert Rumbekwan anggota Komnas HAM Papua dan 15 orang yang mendatangi Mapolda Papua diterima oleh Direktur Reskrim Polda Papua Kombes Pol M Situmorang yang didampingi Direktur Intelkam Slamet Supandi serta Kadispen Polda Papua Kombes Kartono. Pihak kepolisian menjelaskan bahwa ke 8 orang itu dibawa ke Jakarta dalam rangka memudahkan proses penyidikan. Karena saksi-saksi terkait tinggal diluar Papua bahkan ada yang dari luar negeri. Selanjutnya setelah proses penyidikan selesai, kasus ini akan dilimpahkan ke Papua dan persidangan akan dilakukan di Timika. Situmorang malah menegaskan akan bertanggung jawab dan menjamin bahwa ke 8 tersangka itu setelah di bawa ke Mabes Polri akan kembali ke Papua. “ Mereka akan kembali ke Jayapura dan saya akan bertanggungjawab akan hal itu,” kata Situmorang. Namun, secara diam-diam delapan tersangka diberangkatkan dari tahanan polda Papua dengan menggunakan helikopter ke Bandara Sentani yang kemudian dengan menggunakan penerbangan Garuda berangkat menuju Jakarta. Sekitar pukul 00.05 WIB 15 Januari 2006 para tersangka tiba di gedung Bareskrim Polri. Para pengacara telah tiba di Mabes Polri dan hendak mendampingi para tersangka tidak dapat langsung bertemu. Reinhard Parapat dari PBHI gagal bertemu dengan kliennya karena ditolak oleh polisi dengan alasan mereka belum mengantongi surat kuasa resmi dari keluarga tersangka. Sementara itu, Wakadiv Humas Polri, Anton Bachrul Alam, mengatakan polisi telah mengamankan barang bukti berupa 73 selongsong peluru kaliber 5,56, tiga butir kaliber 7,62, sebutir proyektil, topi hijau dengan gambar baret merah, dan sejumlah pakaian dari kelompok Antonius Wamang. Namun ketika ditanyakan apakah proyektil itu sama jenisnya dengan yang dipakai untuk membunuh pada peristiwa Timika 2002 lalu, Anton belum bisa memberikan keterangan pasti. Senjata Beli Dari TNI Dalam interogasi di Polsek Kuala Kencana menurut Aloysius Renwarin-Direktur Elsham, Wamang mengakui melakukan penembakan di mil 62-63. Wamang menyebut serangan itu “satu piring, dua sendok”. Maksudnya, ketika itu dia bersama anggota menembakkan 30 butir peluru atau menghabiskan satu magasin—tak jelas arahnya. Setelah peluru habis, kelompok Wamang mundur lalu penembakan dilanjutkan kelompok lain yang beranggotakan 3 orang dengan penutup kepala dan baju militer. Wamang menyebut kelompok itu berasal dari sebuah kesatuan di TNI. Sampai situ, interogasi terhadap Wamang dihentikan oleh polisi. Wamang juga mengaku sering bekerjasama dengan seorang anggota TNI mencari kayu gaharu di hutan. Anggota TNI
ini berperan sebagai penadah. Dari kerjasama itu Wamang mendapat senjata M-16 dan SSI. Dia membeli dari seorang yang mengaku sebagai Sersan Jefry. Pembelian dilakukan di Jl. Jaksa, Jakarta Pusat, pada Juni 2001. Di sisi lain, Kapolri Jenderal Pol Sutanto merasa yakin, alat bukti untuk membawa Antonius Wamang beserta 7 tersangka insiden Timika pada 31 Agustus 2002 ke pengadilan sudah lengkap. Bukti-bukti itu di antaranya surat-surat, saksi, selongsong peluru dan keterangan para tersangka dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dan sampai saat ini polisi masih mengejar empat tersangka lainnya. Namun, Sutanto membantah keterlibatan TNI atau Polri sebagai pelaku ataupun otak dari insiden tersebut. Dari fakta hukum yang ada, katanya, tidak ditemukan indikiasi semacam itu dan dari pengakuan Antonius Wamang itu memang atas perintah pimpinannya (Kelly Kwalik). Wamang mendapat perintah untuk mengganggu fasilitas yang ada di PT Freeport. Bahkan perintah lain adalah mengganggu TNI dan Polri disana. Sutanto juga menjelaskan para tersangka akan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keterangan Sutanto ini bertentangan dengan janji yang sebelumnya telah disampaikan oleh Direktur Reskrim Polda Papua Kombes Pol M Situmorang pada 14 Januari 2006, ketika menerima para tokoh masyarakat Papua yang mempertanyakan dibawanya para tersangka ke Jakarta. Hakim Tidak Fair Senin (23/01), Koalisi LSM (KontraS Papua, Elsham, ALDP, dan LBH Papua, dll) melakukan gugatan terhadap tindakan Kapolri cq Kapolda Papua yang telah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap para tersangka yang diluar prosedur. Gugatan itu antara lain, penangkapan dilakukan oleh FBI Amerika Serikat bersama polisi tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Kedua, surat penangkapan itu baru ditandatangani oleh 12 orang tersebut pada 12 Januari 2006 atau satu hari setelah proses penangkapan di ruang Reskrim Polda Papua di Jayapura yang ditanda tangani oleh Drs M Situmorang selaku Direktur Reserse Kriminal Polda Papua. Sementara pihak pihak Polda Papua menyatakan surat perintah penangkapan itu sudah dikeluarkan pada 11 Januari 2006. Padahal pada tanggal 12 Januari Situmorang baru tiba dari Jakarta. Pra peradilan atas kasus ini akhirnya dimenangkan oleh Polri. Sebelumnya para kuasa hukum dari penggugat melakukan aksi walk out karena majelis hakim (Hakim Ketua Madjedi Hendi Siswara SH) menolak permintaan pihak Pemohon yang menginginkan agar Hakim menghadirkan para pemohon (saksi prinsipal) yang ditangkap pada 11 Januari lalu sesuai dengan ketentuan pada pasal 82 ayat (1) B KUHAP. Hakim menolak menghadirkan para pemohon dengan alasan tidak ada kewajiban hakim untuk menghadirkan pemohon praperadilan. Menurut Hakim Madjedi, gugatan yang diajukan oleh para pemohon tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Berkaitan dengan penangkapan yang tidak menyertakan surat perintah penangkapan dan penahanan, menurut majelis hakim, petugas
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
18
KABAR DAERAH
penyidik telah berupaya mengirimkan surat perintah penangkapan dan penahanan kepada anggota keluarga, namun pihak keluarga menolak. Pihak penyelidik dan penyidik akhirnya memutuskan mengirim surat itu melalui Pos Mimika. Penangkapan dan penahanan dimulai 11 Januari, sedangkan surat perintah penangkapan dan penahanan diterima keluarga 13 Januari 2006 melalui kantor pos. Prosedur seperti ini dinilai tidak menjadi persoalan besar yang melanggar peraturan perundang-undangan,” kata Madjedi. Hakim menilai penangkapan dan penahanan itu sudah sesuai prosedur sehingga permintaan rehabilitasi dan ganti rugi sebesar 153 juta rupiah dinilai tidak berasalan.
di Papua, terutama terkait dengan peristiwa penembakan yang terjadi di Pania. Di Jakarta, Solidaritas Tragedi Freeport (STF) menuntut pembebasan delapan tersangka insiden penembakan Mile 62 Timika yang pada 11 Januari 2006 ditangkap oleh aparat kepolisian. Aksi longmarch ini dilakukan dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Negara dan berakhir di Kedutaan Besar Amerika Serikat. Rekonstruksi
Kuasa hukum para tersangka, Iwan Niode mengatakan tetap akan melakukan upaya hukum untuk melakukan perlawanan dengan melanjutkan kasus ini ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudicial.” Kami tidak kaget dengan hal itu karena sebelumnya kami sudah tahu arah putusan itu,” kata Iwan. Menurutnya, pihaknya memandang bahwa hakim tidak objektif dalam memeriksa kasus ini.
Mabes Polri sekitar tanggal 26 hingga 29 Januari 2006 telah melakukan rekontruksi terhadap kasus Timika Mile 62-63 ini. Rekrontruksi itu hanya menghadirkan 3 orang tersangka. Yakni Antonius Wamang, Yulianus Deikme dan Agustinus Angaibak. Ketiganya diterbangkan diam-diam ke lokasi. Sedang 5 tersangka lainnya tetap di Mabes Polri. Dua pengacara dari tersangka Jhonson Panjaitan dan Reinhard Parapat.
Pada saat yang sama baik di Jayapura maupun di Jakarta tengah berlangsung demonstrasi yang dilakukan oleh elemen masyarakat Papua. Di Jayapura aksi berlangsung di Gedung DPRP oleh Front Anti Militer dengan massa sekitar 500 orang. Dalam aksinya mereka menyatakan menolak kehadiran militer
Dari rekontruksi tersebut diketahui Wamang menembak bersama dua rekannya yang saat ini telah meninggal. Terungkap pula Wamang menembak dengan senjata SS1 dan M16 dan juga senjata mosseur.
Kronologis Penangkapan Antonius Wamang Cs1: 1. Pada 6 Januari 2006 FBI (Federal Beaureu Investigation) dari Amerika Serikat tiba di Timika. 2. Pada 7-10 Januari 2006, FBI melalui Willy Mandowen (anggota Dewan Adat Papua)2 dan Eltinus Omaleng meminta kepada Pendeta Isak Onawame dan Markus Kelabetme agar dapat menghubungi yang lainnya (termasuk Kelly Kwalik pimpinan TPN/OPM KODAP III Mimika) untuk bertemu FBI di kantor PT. Freeport Indonesia di Kuala Kencana Timika. 3. Pendeta Isak dijemput dan dibawa ke tempat yang telah ditentukan di kantor PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana, pertemuan tidak dapat dilakukan ditempat tersebut dan kemudian pertemuan itu dialihkan ke Hotel Amole II yang terletak di jalan SP II Timika. 4 Dalam pertemuan di Hotel Amole II itu terdapat 4 orang anggota FBI. Salah seorang anggota FBI berkata “Kamu akan kami bawa ke Amerika dan disana kamu akan buka hal ini, kalau disini kami tidak bisa jamin, kalau di Amerika kami punya negeri, jadi bisa jamin.” 5. Pada tanggal 11 Januari 2006 sekitar pukul 20.30 WIT, setelah semua (12 orang termasuk Antonius Wamang) yang mau berangkat ke Amerika berkumpul di Hotel Amole II, seorang personel FBI mengatakan bahwa mereka telah menyediakan mobil khusus yang akan dipakai untuk mengangkut mereka ke airport Timika, karena pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Amerika telah siap untuk berangkat. Mereka ((FBI) juga mengatakan bahwa ke 12 orang itu harus masuk dalam mobil box (container truck) agar supaya tidak dapat dilihat oleh security atau keamanan ketika mobil itu dikendarai langsung ke landasan pesawat; setelah dilandasan mereka akan langsung naik ke pesawat yang akan membawa mereka ke Amerika. Ke 12 orang itu merasa yakin dengan penuturan FBI, tanpa ragu-ragu lagi mereka langsung naik dan masuk ke dalam mobil box/container tersebut. 6. Ternyata mobil itu menuju ke Polsek Kuala Kencana. Setiba di Polsek Kuala Kencana pada malam itu, mereka sangat terkejut bukan diturunkan di landasan pesawat seperti yang dijanjikan oleh FBI yang akan membawa mereka ke Amerika, tetapi mereka berada di Polsek dan berhadapan langsung dengan pasukan lengkap anti huru hara dari Brimob yang berjumlah 15 orang personil. Ke 12 orang itu disuruh masuk ke dalam salah satu ruangan kantor Polsek. Barang-barang mereka berupa tas dan semua isinya diambil oleh petugas oleh petugas di Polsek itu. Mereka kemudian disuruh oleh polisi untuk melepaskan celana panjang mereka dan diperiksa diseluruh badannya. Setelah itu, mereka tidak diijinkan lagi untuk memakai celana panjangnya. 7. Setelah itu mereka disuruh masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan untuk di interogasi. Interogasi berlangsung dari pukul 22.30 WIT sampai pukul 07.00 WIT keesokan harinya (Kamis, 12 Januari 2006). Sekitar pukul 07.10 WIT, ke 12 orang yang ditangkap itu kemudian dimasukkan kembali ke dalam mobil box dan dengan pengawasan super ketat dari Brimob kemudian mereka dilarikan ke bandara Moses Kilangain Timika lewat jalur Mile 32 dan kemudian menuju arah Kwamki Lama dan tembus di airport. Ke 12 orang itu dibawa dan diturunkan di terminal AVCO, kemudian aparat kepolisian memborgol mereka dan setelah itu mereka dinaikkan di Pesawat Garuda dengan nomor flight GA 652 menuju Jayapura. 8. Pesawat Garuda itu tiba di Bandara Sentani pada pukul 09.23 WIT, lalu mereka diturunkan lewat pintu belakang pesawat, dimana dilandasan telah diparkir sebuah Tank dan sebuah kendaraan lapis baja “Barakuda”. 1
Diolah dari dari Permohonan PraPeradialan dan Ganti Kerugian yang dilakukan oleh Koalis LSM Untuk Kasus Mile 62-63 Timika.
19
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
KABAR DAERAH
Kegagalan Intelijen Di Poso, Cermin Kegagalan Pemerintah Kembali Poso meminta korban. Korban jiwa dan luka-luka kembali terjadi pada peristiwa ledakan di Palu (31/12). Terulangnya peristiwa ini seakan sebuah cermin besar bahwa pihak intelijen telah gagal menyediakan sistem peringatan dini aksi pemboman. Bagaimana jaringan aktor pelaku bisa beraksi disaat dan dilokasi tertentu yang tak termonitor aparat yang menjaga keamanan. Artinya, siapa yang memiliki kemampuan seperti ini? Selama ini masyarakat sudah cukup lelah dan bosan dengan aksi teror dan kekerasan di kota Palu dan Sulteng, yang umumnya tanpa diiringi proses hukum yang antisipatif, cepat dan tanggap. Presiden dan Menkopolhukam mengutuk dan meminta Kapolri melakukan pengusutan, dan pengembangan dengan kasus-kasus lainnya. Sementara Menkopolhukam akan membuat sebuah task force khusus mengenai peledakan di Palu. Task force ini akan berperan melakukan kegiatan intelijen dan penindakan.
dibutuhkannya Darurat Sipil di Kabupaten Poso, seperti yang dilansir berbagai media cetak lokal, diakhir bulan Januari lalu (28/1), nilai sebagai sebuah langkah maju oleh Edmond Leonardo Siahaan Koordinator KontraS Sulawesi. Menurut Edmond, sudah seharusnya seorang Kepala Daerah, harus tegas dalam menyatakan sikapnya, terutama dalam penanganan keamanan, termasuk penanganan Poso yang selama ini dilanda konflik kemanusiaan. Namun pernyataan itu, sebaiknya bukan hanya sebuah lips service belaka, guna memuaskan public dan media cetak, yang belakangan ini menginginkan langkah kongkrit Pemerintah Daerah (Pemda) Sulteng dalam menyikapi aksi-aksi kekerasan yang menjalar dari Poso hingga Palu sepanjang tahun ini.
Namun, respon negara Namun, respon negara seperti itu juga menjadi pola yang monoton. seperti itu juga menjadi Pengusutan dan membuat tim khusus pola yang monoton. bukan sesuatu yang baru bagi Pengusutan dan masyarakat atas kekerasan di Palu dan Poso. Lihat saja, sejak 2003 telah digelar membuat tim khusus operasi intelijen, Operasi Sintuwu bukan sesuatu yang Maroso, pembentukan Satgas Selama ini, keinginan masyarakat luas Menkopolhukkam serta penunjukkan untuk mendapatkan jaminan keamanan baru bagi masyarakat Kabareskrim Polri sebagai tim yang utuh, salah diartikan oleh atas kekerasan di Palu penegakan hukum atas kekerasan di Pemerintah dan Aparat Keamanan dan Poso Poso. Meski setiap aksi kekerasan dengan menjawab aksi-aksi kekerasan terjadi, lalu ada respon cepat, tapi dengan pembangunan Satuan Tugas selalu tanpa hasil dan gagal meredam (Satgas) Baru, Operasi pemulihan dan aksi berikut. Artinya, respon pemerintah tidak dianggap penambahan aparat. Contoh, kasus Mutilasi dijawab dengan serius oleh pelaku kekerasan. Ada apa? Satgas Poso, Peristiwa Bom Maesa dijawab dengan pembentukan Komando Operasi Keamanan (Koopskam) yang Tidak berlebihan kiranya, bila Presiden mengevaluasi BIN, membawahi Satgas Poso, serta peningkatan Status Polres Poso dan bukan hanya pimpinan, tapi juga semua pejabat menjadi Polres Khusus, dan tak ketinggalan disertai pula strategis di lingkup BIN. Evaluasi perbaikan semacam ini penambahan Pasukan di Poso. Namun, aksi-aksi kekerasan diperlukan agar BIN diisi orang-orang yang kapabel dan masih terus terjadi. bersih supaya bisa menjalankan tugasnya. Bukan dengan memberi wewenang hukum pada BIN seperti menangkap Seharusnya, HB Paliudju-Ahmad Yahya, sebagai Gubernur dan dan menahan orang. Wakil Gubernur terpilih 2006-2011, membuat konsep penanganan Poso yang lebih manusiawi dan menghargai Hak Sementara itu, DPR juga harus mengadakan emergency debate Asasi Manusia (HAM), terutama pasca konflik dan rehabilitasi untuk memeriksa secara terbuka tentang efektifitas saat ini. Sudah saatnya, mereka berdua menyatakan sikap koordinasi intelijen dalam pengamanan; serta memeriksa bahwa penanganan Poso bukan dengan pendekatan yang kesungguhan BIN menjalankan tugasnya di Palu dan Poso. militeristik, karena hanya akan menimbulkan persoalan baru. Termasuk mendengar tuntutan masyarakat Palu dan Poso tentang Tim Pencari Fakta yang melibatkan masyarakat Edmond menyarankan, sebaiknya dalam jangka waktu 3 Bulan dengan wewenang untuk menyelidiki lebih jauh kinerja BIN setelah dilantik, Gubernur terpilih telah mempublikasi konsep melaksanakan tugas-tugasnya di Palu dan Poso. penanganan Poso yang komprehensif serta menghargai HAM. Sebaiknya, pernyataan “Belum Memerlukan Darurat Sipil Di Tantangan Gubernur Terpilih Poso” dituangkan dalam Kontrak Politik pada saat pelantikannya nanti, yang melibatkan Tokoh-tokoh Agama dari Sementara itu, pernyataan Gubernur Sulawesi Tengah Poso, Ormas dan Organisasi Sosial lainnya yang selama ini (Sulteng)—terpilih, HB Paliuddju, tentang belum concern dengan penanganan pasca konflik Poso.***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
20
KABAR DAERAH
HAM dan Keadilan dalam RUU-PA Tanggal 14 Februari 2005 secara resmi DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA). Dimana proses pengesahan pansus yang beranggotakan 50 orang ini berlangsung cepat. Dari total 13 kursi anggota DPR daerah pemilihan Aceh, 11 di antaranya masuk dalam pansus ini. Terpilih sebagai ketua, Ferry Mursyidan Baldan (F Golkar), wakil ketua antara lain R.K Sembiring Meliala (FPDIP), Djoko Soesilo (FPAN), dan Teungku Muhammad Iyus (FPPP). Sebelumnya (27/01/06), pemerintah menyerahkan draft UU PA ke DPR. RUU PA yang diserahkan pemerintah kepada DPR ini terdiri dari 206 pasal dan 40 bab. Draft RUU-PA yang telah dibahas oleh masyarakat sipil Aceh sejak Oktober 2005, memuat beberapa turunan pasal yang mengadopsi hasil dari MoU Perdamaian RI dan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki lalu. Beberapa pasal yang dianggap cukup krusial diantaranya, menyangkut partai politik lokal, calon independen, dan pembagian pendapatan pusat daerah, persetujuan DPRD berkaitan dengan pengesahan UU tentang Aceh oleh DPR, mengenai pengadilan HAM/KKR serta pemekaran provinsi. Untuk ‘mengawal’ pembahasan RUU PA ini di DPR, pemda NAD telah membentuk tim khusus. Tim ini beranggotakan unsur alim ulama, tokoh masyarakat, pemerintah, DPRD, serta GAM, anggota tim ini berjumlah 31 orang. Tim khusus nantinya diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pemerintah pusat dan DPR tentang rancangan UU tersebut. Persoalan awal yang muncul dari proses pembahasan RUU ini menyangkut ketentuan dalam MoU point 1.1.1 yang menyatakan paling lambat 31 Maret 2006 pemerintah telah harus mengesahkan UU baru ini. Batas waktu ini agaknya sulit dipenuhi, mengingat DPR baru menetapkan pansus pada 14 Februari 2006, hingga waktu yang tersedia bila merujuk batas itu tinggal 28 hari lagi. Ferry Mursyidan Baldan, hanya mengatakan bahwa pansus akan bekerja maksimal dalam membahas RUU ini .
Isue-isue Negatif Diantara perdebatan tentang proses dan subtansi materi dari RUU PA ini, muncul isue baru yang dihembuskan oleh BIN dalam rapat kerjanya dengan Komisi I DPR. Isue tersebut ialah GAM tetap memperjuangkan Aceh Merdeka. Menurut BIN, MoU itu merupakan batu loncatan menuju negara Aceh Merdeka. Dasarnya karena GAM tidak menyerahkan semua senjata kepada AMM. GAM hanya menyerahkan 769 pucuk dari 840 yang harus diserahkan berdasarkan MoU. Selain itu BIN juga mengungkapkan GAM telah mempersiapkan propaganda, untuk memperburuk citra Indonesia, kalau RUU PA tidak memenuhi keinginan mereka. Adapun hal yang disiapkan oleh GAM diantaranya adalah kembali mengangkap persoalan pelanggaran HAM maupun pelanggaran
21
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
kesepahaman damai Helsinki. Pendapat ini dibantah oleh Yuddy Chrisnandi (anggota Komisi I), menurutnya laporan BIN itu hanya bersifat analisis. Menurut Yuddy yang harus dilakukan oleh BIN adalah memberikan buktibukti kuat. Mengometari isue ini pihak yang diwakili Irwandi Yusuf, Senior Representatif GAM, mengatakan laporan itu dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah agar merubah kebijakannya. Irwandi menilai laporan itu tidak terlepas dari bisnis yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang merasa terancam dengan kondisi aman Aceh. Irwandi malah menuding balik, bahwa pihaknya mendeteksi ada operasi intelejen yang luar biasa sedang berlangsung di Aceh. Operasi ini menurutnya dilakukan dengan dana besar untuk memuluskan binis-bisnis pihak tertentu.
Menjadi nihil KontraS sendiri mengapresiasi dua pihak GAM dan RI yang telah setapak demi setapak memenuhi komitmen MoU dengan sukses mulai dari pelucutan senjata, demiliterisasi dan re-integrasi yang berjalan sesuai harapan. Pembentukan UU Pemerintahan Aceh adalah tantangan yang berat, karena prospek keberhasilannya kini ditentukan oleh DPR RI. Namun, patut dikhawatirkan keberhasilan awal MoU menjadi nihil kembali, jika agenda pembuatan UU pemerintahan Aceh gagal memahami aspirasi rakyat Aceh atau malah menimbulkan persoalan baru. Indikasi awal ke arah ini terlihat jelas bagaimana Depdagri merombak rancangan yang disusun susah payah seluruh komponen Aceh; Pemda dan DPRD NAD, masyarakat sipil, dan GAM yang menghasilkan RUU PA. Sementara itu bila dilihat secara khusus, pasal-pasal HAM versi Depdagri berpotensi mengundang perbedaan penafsiran di tingkat pelaksanaan. Contoh, rumusan pasal tentang pengadilan HAM. Versi DPRD Aceh pasal 183 ayat 3: Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.Versi Depdagri Pasal 178 ayat 3 : Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi untuk Aceh. Teks pasal pengadilan HAM versi Depdagri bisa diartikan pemerintah membentuk pngadilan HAM untuk Aceh dengan kedudukan di Medan atau di Jakarta dengan alasan teknis. Disini terasa bahwa pemerintah menjauhkan akses korban terhadap keadilan (access to justice). Pasal ini bisa jadi cermin keinginan Jakarta untuk tetap mendominasi atau mengontrol pengadilan HAM. Sedangkan rumusan pasal pengadilan HAM versi Depdagri membuat pengadilan HAM bisa terus tertunda
KABAR DAERAH
pembentukkan tanpa limit waktu yang jelas. Berbeda dengan rumusan versi DPRD Aceh yang memuat limit waktu maksimal 1 tahun. RUU versi DPRD ini bisa mencegah terulangnya preseden buruk Papua dimana pengadilan HAM versi UU Otsus Papua tak juga terbentuk salah satunya karena tanpa limit waktu. Contoh untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Depdagri juga tidak memuat limit waktu pembentukannya. Pembentukan KKR Aceh ditentukan oleh KKR nasional dapat dipahami meski Presiden prosesnya lambat. Selain pengadilan HAM dan KKT. RUU PA versi Depdagri mencoba menganulir dua klausul penting, yaitu tentang reparasi dan pelaporan khusus PBB. Reparasi diatur pada Pasal 176 ayat 4 : “Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat membantu merehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur akibat konflik”. Sedangkan pelaporan khusus PBB diatur pada Pasal 185: “Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat HAM Tertentu di wilayah, pemerintah memberi kesempatan kepada pelapor khusus dan atau pejabat lain PBB untuk masuk ke wilayah Aceh”.
Penghapusan klausul ini terlalu berlebihan karena mekanisme kunjungan pelapor khusus dan atau pejabat lain PBB merupakan hal yang normal, apalagi Indonesia telah meratifikasi kovenan induk dan kovensi internasional. Indonesia sendiri pernah mengundang beberapa pelapor khusus ke Indonesia, antara lain pelaopr khusus untuk kekerasan terhadap perempuan, pelapor khusus untuk independensi peradilan, pelopor khusus untuk pendidikan, dan pelopor khusus untuk kebebasan pers. Menjadi suatu yang ‘wajib’ bila Pansus DPR memakai versi DPRD Aceh khususnya tentang Pengadilan HAM dan KKR sebagai bentuk penghormatan terhadap keikutsertaan rakyat Aceh dalam proses pemerintahan. Pansus DPR perlu secara intensif mendengarkan/meminta masukan dari masyarakat korban pelanggaran HAM pada masa DOM dan paska DOM di Aceh. Pansus DPR RI hendaknya bisa menerima seluruh substansi RUU Pemerintah Aceh versi DPRD Aceh, khususnya pasal-pasal HAM lantaran sangat jelas bahwa dari sudut legitimasi dan partisipasi publik, RUU PA versi DPRD Aceh lebih kuat ketimbang versi Depdagri.***
Pengrusakan Kantor SIRA, Indikasi Eksisnya Milisi Aceh Pada 17 Februari 2006, sekitar pukul 10.30 WIB (17/02)telah terjadi aski pengrusakan terhadap kantor konsulat/perwakilan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Wilayah Blang Pidie dan penganiayaan terhadap anggotanya oleh kelompok sipil terorganisir. Tindakan kekerasan jelas tidak dibenarkan. Karena itu, sudah sepatutnya persoalan ini segera diselidiki oleh Kepolisian. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh lebih dari seratus orang tak dikenal ini bertujuan meminta SIRA dibubarkan. Tuntutan ini juga dilanjutkan ke DPRD. Sementara aparat kepolisian sendiri, baru tiba saat milisi sudah sudah meninggalkan lokasi kejadian. Sebelumnya, pada Desember 2005, seorang anggota DPRD Aceh Barat Daya juga mengancam anggota SIRA dengan menggunakan pistol dan meminta SIRA tidak mendirikan kantor di Blang Pidie. Sejak dimulainya perjanjian damai, sejumlah kalangan telah menyerukan pembubaran kelompok sipil terorganisir dan bersenjata, yang berpotensi mengancam kebebasan masyarakat dan proses perdamaian yang saat ini sedang berlangsung. Disisi lain, pemerintah cenderung membiarkan keberadaan kelompok-kelompok yang potensial melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Bahkan, TNI dan penjabat sipil di Aceh mengingkari keberadaan kelompok sipil terorganisir dan bersenjata yang mulai muncul sebelum pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Perlakuan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok ini menunjukkan tetap eksisnya keberadaan kelompok sipil yang terorganisir di Aceh pasca perjanjian damai. Hal ini juga menunjukkan ketiadaan agenda prioritas pemerintah dalam menanggulangi keberadaan kelompok-kelompok ini yang berpotensi menimbulkan kekerasan baru. Oleh karenanya, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah yang efektif untuk membubarkan kelompokkelompok sipil terorganisir. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan antar kelompok masyarakat, yang juga mengancam proses perdamaian yang sedang berlangsung.***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
22
KABAR DAERAH
Pembongkaran Kuburan di Dekat Pos TNI di Aceh Pasca penandatanganan nota kesepahaman damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, 15 Agustus 2005, masyarakat bersama relawan Palang Merah Indonesia dan polisi menggali sedikitnya 22 kuburan di Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka menemukan 37 kerangka yang diduga sebagai korban konflik selama penerapan darurat militer di NAD, 19 Mei 2003-18 Mei 2004.
Penggalian kuburan konflik di Aceh ini masih terus berlanjut dan meluas. Pada umumnya masyarakat menggali untuk menemukan anggota keluarganya yang hilang. Penggalian yang dilakukan oleh keluarga korban dan masyarakat selain melibatkan Palang Merah Indonesia (PMI), juga melibatkan Aceh Monitoring Mission (AMM),serta aparat kepolisian dan TNI setempat. Menurut Koordinator Badan Pekerja KontraS Aceh, Asiah, di Banda Aceh (1/2), pada umumnya masyarakat menggali untuk menemukan anggota keluarganya yang hilang. Penggalian kuburan dilakukan dengan menggunakan alat seadanya, yaitu cangkul, parang, sekop dan alat-alat penggalian lainnya. Setelah digali, kerangka korban ada yang divisum di rumah sakit setempat dan ada yang langsung dibawa pulang oleh keluarganya jika pihak keluarga berhasil mengidentifikasinya, untuk kembali dikuburkan secara layak. Namun, Asiah menyesalkan sikap polisi yang belum menindaklanjuti kasus penemuan jenazah tersebut. Menurut Asiah, jenazah-jenazah yang ditemukan itu berada dalam kondisi berbeda-beda, ada yang terbungkus dengan kain goni, ada yang ditemukan dengan tangan terikat dan ada yang ditemukan rangka tanpa kepala di satu kuburan dan rambut di kuburan lainnya. Di beberapa lokasi penggalian, kuburan-kuburan tersebut ditemukan di dekat pos-pos yang pernah ditempati oleh aparat TNI non organik. Diantaranya, dua jenazah dibekas pos Yonif
725 di Desa Lhok Merbo, Aceh Utara, dan satu jenazah di bekas pos Yonif 121 di Desa Manee Kareung, Kecamatan Blang Mangat, Aceh Utara. KontraS Aceh mencatat telah terjadi 22 kasus penggalian kuburan korban konflik dengan 37 buah kerangka yang ditemukan. Dalam beberapa kasus, korban ditangkap atau diculik pada saat penerapan Darurat Militer tahap I di Aceh. Sedangkan, informasi tentang penggalian kuburan konflik ini sudah mulai diberitakan oleh media massa sejak bulan November 2005. Berdasarkan temuan tersebut, KontraS Aceh menilai telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat selama penerapan status darurat militer di NAD. Untuk itu KontraS Aceh mendesak Komnas HAM untuk segera menindaklanjuti temuan kasus-kasus penggalian kuburan korban konflik di Aceh. Mengingat bahwa pra penandatanganan MoU antara RI dan GAM telah banyak terjadi berbagai peristiwa tindak kekerasan di Aceh, maka sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan atas setiap temuan/laporan dugaan pelanggaran HAM, Komnas HAM harus menindaklanjuti setiap temuan kuburan yang diduga merupakan kuburan korban akibat konflik bersenjata di Aceh.KontraS Aceh juga meminta agar segera membentuk tim penyelidik sementara (ad hoc) dengan melibatkan unsur organisasi HAM, ahli forensik dan aparat kepolisian untuk menyelidiki dan memantau temuan kuburan korban konflik tersebut.***
Meski status DOM sudah dicabut dan diikuti permintaan maaf beberapa presiden, termasuk petinggi keamanan pemerintah, Nyatanya tidak otomatis melepaskan masyarakat Aceh dari belengu kekerasan. Bahkan dalam kurun waktu yang sama, jika dibandingkan dengan masa DOM, Jumlah korban kekerasan yang terjadi lebih besar dari yang terjadi pada masa berlakunya status DOM. Maka “ Aceh, Damai dengan Keadilan?” adalah sebuah laporan kerja, “Mengungkap kekerasan masa lalu”, yang disusun oleh Kontras, agar dapat kembali mengingatkan para pengambil kebijakan Negara tentang persoalan Aceh yang sebenarnya. Dapatkan di KontraS Jl. Borobudur No.14 Jakarta
23
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
KABAR DAERAH
Penahanan Raju Langgar Hak Anak Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan Ham) menemukan indikasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam proses peradilan terhadap Muhammad Azwar alias Raju di Pengadilan Negeri (PN) Langkat, Sumatera Utara. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan HAM Depkum dan HAM Hanif Abbas, apa yang terjadi di PN Langkat tidak bisa ditoleransi karena jelas melanggar hak asasi manusia. Hanif menilai pengadilan terhadap diri Raju bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM internasional. Apalagi, Indonesia juga ikut meratifikasi konvenan HAM. Selain itu, kasus Raju bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak, sebab yang bersangkutan belum genap berumur delapan tahun. Cerita tentang Raju semula murni kenakalan anak semata. Peristiwa itu bermula ketika Iswandi (9 thn), adik Eman, mogok sekolah selama 10 hari berturut-turut. Kepada ibunya, Iswandi mengaku takut sekolah karena tiap hari dijitak oleh Raju. Hal ini dilaporkan Ani kepada wali kelas anaknya. Raju pun dipanggil dan dimarahi.
Raju, kata hakim, perbuatan Raju adalah pidana penganiayaan yang mengakibatkan korban luka, tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, mempersulit persidangan, tidak punya itikad baik, tidak ada keinginan berdamai, orang tua Raju tak menghargai sidang dengan membuat kegaduhan, dan tidak memperhatikan keadilan untuk korban. Melanggar Hak Anak
Persidangan Raju yang jelas menjadi trauma tersendiri bagi Raju, mengundang sejumlah tanggapan. Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menegaskan proses persidangan Raju tak bisa dihentikan. Hukum acara menurut Bagir tidak membenarkan, bila satu kali perkara sudah dilimpahkan pada hakim, hakim dilarang untuk menghentikan sampai Namun sekalipun Raju perkara itu diputus. Lebih lanjut Bagir mengatakan, syarat dan tata cara berusia 8 tahun, masih peradilan anak sudah diatur dalam UU terlalu dini bagi anak untuk No.3/1997.
mempertanggungjawab atas perbuatannya. Karena pada usia tersebut anak-anak masih belum dapat memahami apa yang diperbuat, dan belum dapat membedakan mana yang benar dan salah
Dan sesuai sekolah, Raju mencari Iswandi, tapi tak ditemukan. Raju hanya bertemu Eman. Maka terjadilah perkelahian, yang oleh jaksa dan hakim disebut penganiayaan. Hasil visum et repertum menunjukkan Eman menderita luka-luka, memar, merasa sakit di perut, leher, tulang iga, dan pinggul. Secara fisik, Eman memang jauh lebih lemah dibandingkan Raju meskipun usianya terpaut enam tahun. Tubuh Eman kurus dan kecil untuk anak seusianya.
Dari sini persoalan terus bergulir. Orangtua Eman yang meminta biaya pengobatan anaknya pada orangtua Raju tidak digubris. Lalu Ani melapor ke aparat desa dan kepolisian Sektor Gebang. Dari situ berkas diserahkan ke Kejaksaan Negeri Langkat. Raju didakwa melanggar Pasal 341 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang pun digelar( 26/12/2005) dipimpin oleh Tiurmaida H Pardede. Namun sidang terpaksa ditunda karena Raju dan orangtuanya tidak hadir. Dua sidang berikutnya (29/12) dan (05/01/2006), pun batal karena Raju tak hadir. Ia baru muncul pada sidang keempat, 12 Januari 2006. Pada sidang selanjutnya, Tiurmaida menahan Raju dengan alasan demi kelancaran sidang, hakim menahan Raju selama 15 hari (terhitung dari 19 Februari). Alasan lain penahan
Sementara itu. Koordinator Bidang Pengawasan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial Irawady Joenoes menyatakan, hakim yang mengadili Raju tidak profesional. Hakim juga dianggapnya tidak memahami semangat dan essensi UU Pengadilan Anak yang dibuat untuk melindungi mental anak.
Sedang Ketua Komisi Nasional perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menilai, apa pun alasannya, penahanan Raju merupakan pelanggaran terhadap hak anak. Penahanan Raju tidak seharusnya dilakukan. Pasalnya, semua tindakan yang menyangkut anak harus menjadi kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama. Ironisnya lagi, Ani Sembiring (keluarga Eman), mengaku telah sepakat berdamai dengan orang tua Raju pada persidangan kedua. Saat itu keluarga Raju telah memberikan uang perdamaian sebesar satu juta rupiah. Setelah perdamaian itu, mereka menganggap perkara itu telah selesai. Bila masalah persidangan terus dilanjutkan, menurut Ani, hal itu bukan menjadi urusan mereka. Tidak jauh berbeda dengan beberapa pandangan diatas, KontraS menilai proses persidangan atas Raju tidak sah dan harus dihentikan karena Raju ketika peristiwa perkelahian itu berlangsung Raju baru berusia 7 tahun 8 bulan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.3/1997 tentang Peradilan Anak bahwa batas usia yang dapat diajukan ke sidang adalah anak yang sekurang-kurangnya berusia 8 tahun. Namun sekalipun Raju berusia 8 tahun, masih terlalu dini bagi anak untuk mempertanggungjawab atas perbuatannya. Karena
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
24
KABAR DAERAH
pada usia tersebut anak-anak masih belum dapat memahami apa yang diperbuat, dan belum dapat membedakan mana yang benar dan salah. Mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum pidana, sehingga tidak dapat dibawa ke pengadilan. Selain itu menurut KontraS, penahanan yang dilakukan terhadap Raju ditempat penahanan orang dewasa merupakan tindakan yang ceroboh dan berbahaya bagi perkembangan psikis dan kemungkinan dari tindakan pelecehan seksual terhadap anak. KontraS mencatat, Balai Pemasyarakatan (Bapas) tidak pernah terlibat atau dilibatkan bagi perlindungan Raju ketika proses penyidikan, penuntut hukum dan persidangan. Sehingga Bapas dalam proses hukum kasus Raju ini sama sekali tidak memberikan pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara.
Oleh karena itu KontraS meminta, pertama, Komisi Yudisial harus proaktif untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hakim Tiurmaida H Pardede dan memberi saksi yang keras bagi tindakan Hakim tersebut yang telah bertindak sewenang-wenang dan mengacam keselamatan anak (Raju). Kedua, Mahkamah Agung harus mengefektifkan fungsi pengawasannya dan memberi efek jera terhadap Hakim yang bermasalah atas kasus ini. Ketiga, Pemerintah harus melakukan amandemen terhadap UU Peradilan Anak dengan memberi batas usia mininal 15 tahun bagi anak yang bisa diajukan ke sidang pidana. Yang jelas, bilakah sidang akan tetap dilanjutkan atau tidak? Yang terpenting adalah hakim, jaksa, penasehat hukum harus berpikir demi kepentingan Raju. Jangan pula hukum berlaku sangat “kaku” untuk Raju, namun sangat flesibel dan tak berarti untuk korupsi atau pada para pelaku pelanggaran berat HAM. Bila ini yang terjadi, lalu dimana letak keadilan itu sebenarnya? ***
Lagi-Lagi Bentrok TNI-Polri Sejumlah anggota Kepolisian resor kota Manado dan Detasemen Zeni tempur manado terlibat perkelahian, Sabtu (28/1) sekitar pukul 23.00 WITA. Akibat kejadian ini Serda Farly Achmad, anggota Den Zipur Maumbi Manado tewas dan tiga anggota lainnya cedera. Perkelahian ini membuktikan bahwa ada banyak perubahan yang harus dilakukan dalam institusi ini. Peristiwa bentrokan ini pun bukan baru sekali terjadi. Pangdam VII Wirabuana, Majyen TNI Arif Sampurno menyesalkan insiden bentrokan tersebut. Sedangkan menyangkut pengeroyokan dan penganiayaan terhadap dua wartawan yang dilakukan anggota TNI berkaitan dengan peliputan kasus ini, Pangdam meminta maaf dan menyesali peristiwa tersebut. Berdasarkan keterangan Kepala Penerangan Kodam VII/Wirabuana, Mayor Rustam Effendi, peristiwa terjadi sekitar perempatan Marina Plaza Manado. Kasus dipicu oleh seorang oknum anggota Polres Manado yang naik motor bersama beberapa anggota Polres lain, menyerempet Serda Husain Daud, salah seorang anggota Den Zipur 4 yang kebetulan sedang bersantai bersama sejumlah rekannya di depan Marina Plaza. Setelah itu salah seorang perwira Den Zipur, Julius, menanyakan pada anggota Polres Manado perihal kejadian tersebut. Namun, pertanyaan Julius ditanggapi negatif sejumlah anggota Polres Manado. Tak lama kemudian, sebuah truk dinas operasional Polres Manado muncul dan menabrak kerumunan tersebut. Akibatnya, Serda Ferly Ahmad tertabrak dan digilas ban belakang hingga ia tewas ditempat. Sementara tiga anggota TNI lainnya, yakni Prada Johson Sasanda, Prada Hasan Hariri, dan Prada Iwan Lwenusa luka parah dan masih menjalani perawatan insentif di rumah sakit TNI AD Teling, Manado. Bentrokan antar dua institusi ini mencerminkan belum matangnya para prajurit dalam menghadapi gesekan-gesekan persoalan yang muncul dalam keseharian mereka. Ironisnya, gesekan tersebut kerap kali memicu sebuah peristiwa kekerasan antar dua institusi, TNI dan Polisi. Persoalan yang sangat sepele-pun bahkan bisa mengerahkan anggota lainnya untuk ‘bertarung’ termasuk pula mengerahkan massa. Akibatnya kerap mengakibatkan jiwa manusia melayang. Ironisnya, persoalan ini bukan hanya berlangsung sekali dua kali, namun kerap terulang. Pertanyaannya bagaimana bisa mereka melindungi rakyat, bila mereka sendiri belum mampu menahan emosi dan mampu mengendalikan ego sektoral institusi antar mereka. Atau inikah cermin arogansi aparat kekerasan negara kita?***
25
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
KABAR DAERAH
Jahit Mulut Korban Sutet: Absennya Tanggungjawab Negara Aksi mogok makan dan jahit mulut terus dilakukan oleh warga sebagai wujud protes mereka yang menjadi korban pembangunan jaringan saluran udara tegangan tinggi (Sutet). Sementara itu, sebagian warga lainnya juga berteriak agar pemerintah menunjukkan kepedulian mereka atas tuntutan warga ini. Pemerintah sebagai penyelenggara negara juga dituntut memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat. Sebuah penelitian dampak Sutet yang melibatkan banyak kalangan harus segera dibentuk. Di Jakarta warga yang merasa dirugikan atas pembangunan jaringan Sutet Cibinong-Saguling-Cilegon melakukan aksi mogok makan dan jahit mulut di bekas kantor Partai Demokrasi Indonesia, Jalan DiponegoroJakarta, aksi ini terus berlanjut hingga lewat dari dua bulan sejak digelar kali pertama mulai 27 Desember lalu. Meski kondisi mereka terus melemah ( beberapa diantaranya harus dirawat di rumah sakit), mereka terus menuntut pemerintah melaksanakan tanggungjawab membayar ganti k e r u g i a n s e b a g a i m a n a ditetapkan dalam Aksi jahit mulut korban sutet Pasal 12 UndangUndang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Sementara itu sebanyak 17 kepala desa dari enam kecamatan di kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Korban Sutet mengadu kepada PLN distibusi Jawa Barat (14/2). Mereka meminta agar tanah warga yang dilintasi Sutet diberi ganti rugi atau kompensasi. Menurut data Kantor Hukum H Yovie M Santosa, Sh, Msi dan rekan yang mendampingi 17 kepala desa, setidaknya terdapat 1.515 keluarga tinggal di bawah Sutet di Kabupaten Cianjur. Mereka tersebar di 17 desa kecamatan, meliputi Kecamatan Ciranjang, Bojong Picung, Karang Tengah, Cikalong Kulon, Sukaluyu, dan Mande. Atang mengatakan, dari tujuh kecamatan tersebut tidak sedikit warga yang tinggal di bawah Sutet meskipun mereka
terganggu oleh radiasi dan gangguan lainnya. mereka tidak punya cukup biaya untuk pindah. Sedang Kepala Desa Jambe, kecamatan Saluyu, H Soleh, mengatakan, akibat sutet yang melintas di enam kecamatan ini, harga tanah warga turun dratis. Menurutnya, sebelum ada Sutet, harga tanah Rp.40.000,hingga Rp.50.000 per meter. Namun, sejak tahun 1995 tanah dijual Rp. 10.000 per meter pun tidak laku. Penelitian Dampak Sutet Untuk menghindari polemik dan kesimpangsiuran mengenai dampak Sumber : AFP berdirinya jaringan Sutet terhadap masyarakat yang berdiam diri di bawah jaringan tersebut, pemerintah dituntut segera membentuk tim penelitian dampak Sutet. Usulan ini dikemukan oleh Koordinator KontraS, Usman Hamid, dalam diskusi panel yang dilangsungkan berkaitan dengan aksi mogok makan dan jahit mulut korban Sutet di Posko Selamatkan Rakyat Indonesia (SRI), Jalan Diponegoro, Jakarta. Menurut Usman, tim indepeden yang akan dibentuk, dan harus segera dibentuk, harus melibatkan orang-orang yang memang memiliki keahlian di bidangnya. Hal senada dikemukan oleh pakar kedokteran keluarga dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Dr Anies Mkes PKK. Menurutnya, penelitian itu nantinya tidak hanya sekedar mengamati kondisi masyarakat dalam waktu sesaat, tetapi diharapkan didesain sebagai penelitian jangka panjang.
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
26
KABAR DAERAH
Dari penelitian terhadap penduduk di tiga kabupaten di Jawa Tengah, pada tahun 2004 Anies menemukan, warga yang berdiam di bawah jaringan Sutet 500 kilovolt memiliki resiko 5,8 kali lebih besar mengalami gejala hipersensitivitas daripada warga di luar jaringan Sutet. Karenanya, ia berharap tim peneliti mendatang harus melibatkan banyak kalangan, dari peneliti universitas, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi profesi. “Dimana penelitian dapat dilakukan secara multicenter, dan untuk penyakit tertentu, akan lebih baik kalau dilakukan case control,” ujar Anies. Negara tidak boleh lagi mengabaikan hak-hak warga yang selama ini dirampas dengan alasan demi pembangunan. “Bukan hanya hak atas kesehatan, tetapi hak-hak sipil lainnya. untuk itu, harus dilakukan penelitian ilmiah dan diadakan standar sehingga dapat diukur besar ganti rugi yang harus diberikan,” tegas Usman. Penuhi Hak Korban Tindakan yang dilakukan oleh para korban Sutet yang melakukan aksi mogok makan dan menjahit mulut tidak dapat
dilihat sebagai tindakan yang otonom. Akan tetapi merupakan reaksi dari sikap protes terhadap absennya negara memenuhi hak para korban Sutet terhitung sejak 1996. Proses panjang memperoleh keadilan yang diabaikan oleh negara telah melahirkan frustasi. Sebuah kefrustasian yang melahirkan amarah merupakan reaksi yang sangat manusiawi dari penderitaan yang tak pernah diobati dari kebijakan negara. Sementara itu, bila negara tetap mempertahankan sistem yang menjauhkan korban dari keadilan yang menjadi haknya. Maka sulit terhindar kekerasan kemudian menjadi pilihan aksi bagi upaya terpenuhinya tuntutan. Sedang dalam perspektif HAM aksi yang dilakukan oleh warga Sutet dengan cara mogok makan dan jahit mulut ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan negara yang mendahuluinya. Sehingga segala resiko keselamatan jiwa dari para peserta aksi mogok makan ini menjadi tanggungjawab negara. KontraS sendiri sangat mengkuatirkan keselamatan warga yang melakukan mogok makan. Pemberhentian aksi ini hanya dapat dilakukan apabila pemerintah segera memberikan ganti rugi penuh terhadap warga yang terkena dampak dari Sutet. Mencegah jatuh korban jiwa, KontraS mendesak pemerintah segera memenuhi hak korban Sutet.
Sebuah Buku Putih Sejak meninggalnya Munir, yang kemudian diumumkan sebagai akibat adanya kandungan racun arsen di dalam tubuhnya, kejadian ini menjadi misteri yang mengundang perhatian luas, di dalam maupun di luar negeri. Sayang hingga setahun lebih, kasus ini hanya berhasil menyeret satu orang pelaku, seorang pilot Garuda ke pengadilan. Buku putih Kontras ini merupakan upaya petunjuk pada publik luas, pengungkapan kasus pembunuhan Munir,
27
Dapatkan di KontraS
tidak terletak pada masalah tekhnis,
Jl. Borobudur No 14, Jakarta
namun, lebih pada masalah politik.
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
KABAR DAERAH
Komitmen Panglima TNI Baru pada HAM? Panglima TNI yang baru Marsekal TNI Djoko Suyanto, sejauh ini tidak memiliki track record yang buruk. Kursi Panglima yang dijabat oleh perwira Angkatan Udara ini diharap dapat memberi kontribusi positif dalam upaya pertahanan negara, lebih-lebih menjaga prajurit TNI untuk tidak melakukan pelanggaran HAM guna memperbaiki citranya di mata rakyat. dok.kontras
Fit and property Test
KontraS sejak awal menaruh perhatian yang cukup serius berkaitan dengan adanya rencana pergantian Panglima TNI. fit and Dalam fit and proper test yang diselenggarakan oleh Komisi I DPR terhadap Marsekal TNI Djoko Suyanto pada 1 Februari lalu, KontraSpun mengajukan usulan berupa pertanyaanpertanyaan yang erat berhubungan dengan visi penegakan hukum dan HAM dalam kerangka supremasi sipil.
Sebagaimana diutarakan secara terbuka oleh sejumlah anggota Dewan, masalah HAM menjadi salah satu prioritas penilaian dalam kegiatan fit and proper test tersebut. Tak bisa dipungkiri, bahwa selama ini upaya penegakan HAM kerap terhambat oleh adanya resistensi militer. Padahal masalah HAM amat penting sebagai akuntabilitas militer terhadap publik Indonesia, sekaligus sebagai salah satu bentuk penilaian komunitas internasional. Banyak sekali kerjasama internasional dan posisi status RI di muka komunitas internasional terganggu karena masalah HAM. Karenanya, momentum penunjukkan seorang perwira Angkatan Udara bisa menjadi terobosan baru bagi prospek TNI ke depan yang lebih menghormati proses penegakan HAM. Kiki Syahnakri, Letnan Jenderal TNI (Purn) Mantan Wakil KSAD, mengatakan bahwa opini selalu berkembang seputar pengangkatan Panglima TNI yang kerap dikait-kaitkan pula dengan kepentingan politik. Namun, “roh” yang semestinya dihidupkan dalam setiap momentum pergantian Panglima TNI adalah niat dan iktiar untuk terus-menerus menjaga jati diri TNI sebagai “tentara rakyat (bukan tentara golongan dan senantiasa membela kepentingan rakyat). Termasuk, keinginan dari TNI sendiri untuk terus memprioritaskan upaya memelihara dan meningkatkan kemampuan, bukan kekuatan.
TNI dan HAM Secara khusus KontraS mengirimkan surat kepada Ketua Komisi I DPR RI untuk dapat memberikan ruang partisipasi publik berupa keikutsertaan sebagai pemantau (observer) fit
and proper test. Sebelumnya KontraS mengajukan kepada Ketua DPR dan Fraksi-fraksi di DPR usulan sejumlah daftar pertanyaan yang berhubungan dengan visi penegakan hukum dan HAM dalam kerangka supremasi sipil.
properties
Diantaranya menyangkut pandangan dan sikap calon Panglima terhadap kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan TNI di derah konflik seperti Aceh dan Papua. Lalu, masalah penanganan demontrasi mahasiswa, buruh dan petani; penyelesaian sengketa pertanahan dan perburuhan. Selanjutnya, menyangkut tindakan dan kebijakan yang akan dilakukan dalam penyidikan kasus Trisakti, Semanggi serta tragedi Mei 1998, dimana Mabes TNI menolak panggilan Komnas HAM yang meminta keterangan personil TNI. Hal lain yang mengemuka dalam usulan pertanyaan KontraS pada Panglima baru ini, mengenai persoalan/kebijakan dari komando teritorial dan pengadilan militer termasuk masalah pertanahan yang akhir-akhir ini kerap menjadi berita. Seperti masalah/sengketa pengambilalihan tanah warga masyarakat dengan TNI, khususnya TNI AU di sejumlah wilayah terutama di beberapa Lanud seperti di Bojong Kemang (Atang Sanjaya) Bogor, Kuala Namo Sumut, Ambon (Pattimura Laha) dan Papua. Yang terpenting ingin diketahui adalah sikap dan kebijakan yang akan dilakukan oleh panglima TNI dalam menjaga dan menjamin perdamaian di Aceh, sikap/kebijakan dalam masalah Papua dan jaminan masa depan institusi dan prajurit TNI untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran berat HAM. Uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Panglima TNI baru ini juga dihadiri oleh sejumlah aktivis/LSM dan keluarga korban HAM ikut menyaksikan rapat ini. Dalam rapat Djoko meminta DPR selalu mengingatkan dirinya jika menyeleweng dan meminta DPR mengusulkan pada Presiden untuk dipecat bila dirinya bertindak otoriter. Sayangnya ketika ditanyakan kepada Djoko tentang kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Djoko bertameng dengan keputusan DPR periode lalu yang mengatakan tidak ada pelanggaran berat HAM pada kasus itu. Apakah ini pertanda bahwa Marsekal Djoko Suyanto juga akan melindungi aparat TNI yang terlibat pelanggaran HAM dari pertanggungjawaban hukum? Panglima Djoko Suyanto telah dinobatkan sebagai Panglima TNI. Selamat bekerja Pak Djoko. Rakyat akan mengawasi Anda. Buktikan bahwa Anda saat ini memang yang terbaik bagi TNI dan bangsa dengan menjunjung penghormatan terhadap hak asasi manusia. ***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
28
REMPAH - REMPAH
Refleksi akhir tahun 2005 dan Proyeksi tahun 200
2005, TAHUN HUKUM HAM DISIA-SIAKAN
PENEGAKAN HAM TAHUN 2006: INDONESIA MENGAYUH BIDUK RETAK KontraS menilai penegakan HAM sepanjang tahun 2005 di Indonesia mengenaskan. Payung hukum yang sudah tersedia, disia-siakan percuma oleh negara. Kedaulatan hukum tidak tegak. Hilangnya keberanian, orientasi dan inspirasi negara membuat rakyat lebih menonjol dalam pengupayaan keadilan. Kesadaran dan keberanian rakyat yang menguat dan meluas, menghasilkan tekanan perlawanan keras masyarakat dalam melindungi dan membela dirinya.
kerja ini telah tertuang dalam berbagai aktivitas termasuk pada setiap siaran pers yang dirilis sepanjang 2005. Kompilasi akhir tahun ini penting untuk mengukur kapasitas gerakan organisasi KontraS, konstituen dan jaringan pendukung dalam melangkah ditahun 2006, sekaligus menentukan strategi perjuangan bersama menuju penegakan HAM. Berikut uraian lengkap hasil refleksi dan proyeksi ke depan KontraS:
Meski begitu, cara negara menghindar dari tuntutan masyarakat telah berkembang lebih halus, canggih dan semakin defensif . Berbekal politik citra dan stabilitas politik yang relatif solid, pemerintah bersama kepentingan elit kuasa terus menerus berkelit dari tanggungjawabnya atas berbagai persoalan HAM yang kian menumpuk. Negara berkali-kali tertangkap basah’ saat berusaha memasung atau mempersempit kebebasan publik seperti terlihat pada RUU Intelijen Negara, RUU Rahasia Negara dan PP Penyiaran. Jurnalis, petani, dan nelayan masih jauh dari perlindungan negara.
Negara Tidak Berani Tegakkan Hukum HAM.
Respon negara yang keluar biasanya ada dua tipe. Pertama yang bernuansa aman, netral dan sesungguhnya tak punya gigi seperti saat menegaskan (baca: mengulangi) putusan pengadilan Munir. Padahal pencapaian konkret kasus lebih dari sekedar ucapan bela-simpati. Itu salah satu kekhasan negara di tahun ini: enak didengar tapi jauh dari harapan ideal. Kedua adalah tatkala terdesak, pemerintah bukan menyanggupi, tapi malah bereaksi berlebihan. Kenaikan BBM, kritik mahasiswi di India atau kritik Ketua PGRI adalah bukti sesungguhnya negara sedang panik, dan frustasi. Penyelesaian konflik masih dipengaruhi resistensi terselubung pro status quo dan birokrasi yang apologi. Aceh , kehendak negara mendorong perdamaian dan membangun Aceh sudah baik tapi masih menutup mata atas ketidakadilan HAM masa lalu. Di Papua , HAM belum tegak dan memperihatinkan, sementara pembentukan MRP tidak diiringi kepercayaan penuh (MRP disuruh berlari tapi kaki terikat). Poso , pendekatan keamanan masih jadi tumpuan utama, negara tidak berani mengoreksi aparat keamanan dan menegakkan hukum sehingga hilang arah. Di tahun 2005, institusi negara yang berwenang langsung menegakkan HAM masih lumpuh seperti tahun 2004. ˜Kerja’ justru terlihat pada Menteri Luar Negeri seperti kasus pembebasan sandera WNI di Filipina, ratifikasi dua Kovenan Induk PBB dan diplomasi internasional HAM, dimana Indonesia menjadi Ketua Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa. Refleksi dan proyeksi ini adalah pokok renungan dari pergulatan KontraS bersama sejumlah komunitas korban. Sebagian catatan
29
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
Sepanjang 2005, hampir semua lembaga negara menyianyiakan hukum HAM yang dibuatnya, termasuk ratifikasi ICCPR dan ICESPR. Pada kasus Trisakti 12 Mei ˜98, Presiden setelah didesak mahasiswa & keluarga korban mau memberikan tanda jasa kepada keempat korban mahasiswa. Jaksa Agung disorientasi, masih mendiamkan berkas penyelidikan kasus TSS, Mei, Wasior-Wamena. Komnas HAM tak lagi berwibawa. Rendahnya kredibilitas pengadilan , membuat korban tidak mendapat keadilan, padahal fakta kejahatan diakui pengadilan. Di tahun 2005 terdakwa kasus Priok, Abepura dan Timtim bebas. Di tahun 2005, DPR mulai lebih sensitif HAM dibanding tahun 2004, bahkan lebih sensitif dari eksekutif. DPR bentuk Pansus Bojong, Pansus Tabrakan Tol Jagorawi, Tim Kasus Munir. Pada kasus Trisakti dan Semanggi, Komisi III memenuhi tuntutan korban. Tapi semua langkah ini masih perlu dikonkritkan lewat paripurna. Selain itu, para politisi lebih kritis dalam penolakan rencana pengaktifan koter, perluasan wewenang BIN. Diluar proses hukum, sikap negara yang semula ingin memaksakan rekonsiliasi pada korban lewat KKR, menjadi tidak jelas arahnya. Rencana Presiden SBY merehabilitasi bekas tahanan politik Pulau Buru tidak terlaksana. Aksi teror dan kekerasan di Poso, Palu dan sekitarnya terus berlanjut tanpa jelas siapa yang bertanggungjawab. Akhir tahun justru ditutup dengan peledakan bom yang kembali menelan korban rakyat kecil.
Kekerasan Negara Masih Tumbuh Subur.
Fit and Propert test
Di tahun 2005, banyak aparat keamanan yang tidak menghormati hukum, martabat, dan hak asasi manusia para petani, nelayan, jurnalis dan warga sipil. Kepolisian tercatat sebagai pelaku kekerasan tertinggi (140 kasus), disusul militer (75 kasus). Wilayah kekerasan tertinggi terjadi di Sulawesi (88 kasus) dan Aceh (108 kasus).
REMPAH - REMPAH
Kekerasan terjadi akibat negara mengabaikan kewajibannya memenuhi kesejahteraan sosial dan ekonomi serta cara pandang lama. Negara yang pasif dalam melayani kesejahteraan publiknya berujung pada keresahan sosial masyarakat. Kemudian keresahan sosial masyarakat tersebut disikapi pendekatan yang represif. Contohnya: •
Di Runtu Kobar Kalimantan Tengah, unjuk rasa warga mempertahankan lahan dari upaya penyerobotan oleh PT MMS disikapi berlebihan, seorang warga tewas dan 44 luka-luka.
•
Di Tanah Awu, Lombok Barat, warga masyarakat ditembaki saat mempertahankan lahan pertaniannya untuk dijadikan lapangan terbang.
•
Di Tambusai Riau, warga masyarakat direpresi saat mempertahankan lahan dari perluasan perusahaan perkebunan sawit.
•
Di Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara sejumlah warga masyarakat dianiaya dan disiksa saat mempertahankan tanah adatnya.
•
Di Kabupaten Selayar seorang tokoh nelayan bernama Mudain tewas di tembus timah panas, akibat aparat merepresi nelayan yang menindak pelaku-pelaku pemboman dalam menangkap ikan. 39 nelayan lainnya ditangkap, ditahan dan di kriminalisasi oleh kepolisian Selayar (15/11).
•
Di Bengkalis, sekitar 13 orang nelayan Rawai sempat hilang (12/12/05), 1 orang tewas tertembak oleh polisi. Selama puluhan tahun nelayan terganggu sumber kehidupannya akibat penangkap ikan yang memakai Jaring Karau.
•
•
Di Bojong Kemang, TNI AU hendak mengambil alih tanah tiga desa tanpa memperhatikan kepemilikan yang sah dari masyarakat setempat atas tanah. Di Pekalongan, pada kasus antara PTPN IX Jolotigo dengan petani dari Dukuh Keprok dan dari Desa Mesoyi. Polisi melakukan kriminalisasi terhadap 5 orang petani yang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk menekan kuasa hukum petani Handoko Wibowo juga ikut diperiksa oleh polisi (25/04/05).
Reformasi TNI, POLRI dan BIN Mulai Mundur Kekerasan TNI masih merebak. TNI tetap merupakan warga negara kelas satu. Contoh terakhir adalah penyerangan pasukan Raider terhadap penduduk sipil dan pemukimannya di sepanjang jalan poros Dusun Karamaka, Dusun Ga’do dan dusun Ujung Moncongkarama, Jeneponto Sul-sel. Pasukan Raider yang berpakaian preman dan membawa parang panjang, kayu balok, dan pipa besi menyisir dengan membuat kelompok-kelompok, tiap kelompok berjumlah lima orang menyebar merusak properti
masyarakat. 80 rumah rusak dan 16 orang warga luka-luka (28/11). Peristiwa serupa juga terjadi di Asiki, Distrik Jair, Boven Digul, Papua, 29 November 2005. Libarius Oga (33) Karyawan PT. Korindo, tewas ditembak anggota pasukan Yonif 634/VWS Angkatan Darat, Praka Zulkarnain. Kasus main hakim sendiri dan mudahnya meletuskan senjata menjadi cermin arogansi anggota TNI dan praktik diskriminasi hukum dalam penanganan kasus pidana oleh militer. Belum lagi promosi perwira-perwira yang tidak memperhatikan reputasi dalam kasus pelanggaran HAM. Pada tahun 2005 watak militer, kepolisian, dan intelijen masih diwarnai perangai represif. Di lain sisi, isu anti terorisme dimanipulasi untuk memperkuat legitimasi posisi tawar politiknya. Militer ingin mengaktifkan institusi komando teritorial dan BIN ingin membajak kewenangan penegakkan hukum. Ini jelas bertentangan dengan upaya reformasi politik yang sudah berjalan untuk menegakkan supremasi sipil. PROYEKSI 2006 Tahun 2006 dalam proyeksi KontraS, watak negara tidak berubah dan tidak ada keinginan kuat untuk merubah lembagalembaga negara yang semakin sarat dengan KKN. Bila ini benarbenar terjadi, daftar penyelewengan bertambah dan kepercayaan masyarakat kian berkurang. Tetap tingginya kesadaran masyarakat, membawa penegakan HAM di tahun 2006 seperti mengayuh biduk retak karena tugas gerakan HAM semakin pelik dan berat. Harapan penegakan HAM justru lebih terlihat di tubuh masyarakat, bukan negara. Semakin banyak warga masyarakat berani melaporkan penyimpangan. Muncul perlawanan di mana-mana adalah bukti nyata masyarakat tidak lagi diam terhadap penyimpangan hukum dan HAM oleh negara. Gerakan HAM terus tumbuh subur, meskipun sebagian diantaranya masih terlihat terburu-buru, tidak sabar, dan terkadang emosional dalam memperjuangkan HAM. Sebagai otokritik, KontraS melihat gerakan HAM masih kurang mampu mencengkeram hukum, meski negara kerap tersudut. Canggih, halus dan tetap kuatnya negara menghadapi tiap tuntutan masyarakat juga diperlihatkan lewat penggunaan hukum sebagai alat pemukul balik (bukan melindungi) siapapun ( whistle blower ) yang melibatkan diri dalam pemberantasan kejahatan. Terakhir, di tahun 2006, tantangan penegakkan semakin bertambah berat. Kerawanan ekonomi akan menyumbang besar terjadinya kekerasan, terutama terhadap kelompok marginal seperti petani, nelayan, buruh, dan kaum miskin kota. Negara bisa kembali gagal melindungi warganya. Kesadaran masyarakat bertambah, sehingga prospek penegakan HAM tahun 2006 bukan tanpa harapan. Gerakan HAM perlu lebih berkonsolidasi dengan seluruh lapisan masyarakat. Sebab penegakan hukum dan HAM mustahil bila hanya berharap dari kebaikan hati para elit kuasa.***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
30
REMPAH - REMPAH
“Merisaukan Tertutupnya Kerja Tim Penyelidik Kasus Orang HIlang” Dibentuknya Tim ad hoc Penyelidik Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997/1998 berdasarkan SK Komnas No. 23/Komnas/X/2005 dengan jangka waktu kerja 1 Oktober 2005 s/d 31 Desember 2005, dan diperpanjang masa tugasnya s/d 31 Maret 2006 (SK Komnas HAM No.29/Komnas HAM/XII/2005), ternyata membuat masalah baru. Dimana terdapat beberapa hal yang mulai merisaukan korban dan keluarga korban orang hilang. Diantaranya, kelemahan sosialisasi ataupun publikasi proses kerja Tim ad hoc Penghilangan Paksa 1997/1998 periode pertama, termasuk kemajuan dan capaian kerja dari tim tersebut. Bahkan, Tim ini terlihat cenderung menutup diri pada publik (media) dan korban. Kondisi ini jelas merugikan korban dan keluarga korban serta masyarakat yang berkepentingan atas masalah ini. Ketertutupan ini akhirnya menimbulkan kecurigaan akan adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk menghambat kerja tim sehingga kasus ini tidak terungkap. Kondisi Ini wajar bila merujuk pengalaman penyelidikan tim-tim terdahulu dan insiden pertemuan informal antara tim sebelumnya dengan Wiranto. Sementara itu, hingga saat ini korban, keluarga korban dan publik menunggu adanya informasi yang memadai tentang keberadaan tim dan hasil kerjanya. Padahal tim ini dibiayai oleh APBN yang notabene harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Menolak Memberikan Kesaksian Menyimak proses pengusutan yang saat ini sedang berlangsung, maka IKOHI dan KontraS, bersama korban dan keluarga korban penghilangan paksa menyatakan amat menyesal dan menolak memberikan kesaksian dan dukungan kepada kerja KPP HAM Penghilangan Orang secara Paksa 1997/1998 sampai ada komitmen tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan. Komitmen tinggi tim penyelidik ini adalah penting, agar mampu mengungkap dan menemukan nasib serta keberadaan para aktifis yang hilang hingga saat ini. Termasuk memeriksa pihak-pihak terlibat dan bertanggungjawab untuk diadili sesuai hukum yang berlaku. Adapun bentuk konkret dari komitmen tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan itu antara lain; jadwal pemeriksaan aparat TNI/Polri yang dipublikasikan; jadwal inspeksi tempat-tempat yang diduga menjadi tempat interogási, penyekapan dan penyiksaan aktifis yang telah dilepaskan ataupun masih hilang. KontraS, Ikohi, Korban dan keluarga korban, juga merisaukan sikap Presiden dan DPR yang kurang menunjukkan dukungan penuh atas usaha-usaha korban dan keluarga korban orang hilang. Padahal ini adalah bagian dari perjuangan menegakan hukum dan keadilan.***
“Setiap negara harus mengambil upaya-upaya legislatif, administratif, yudikatif dan upaya lainnya yang efektif untuk mencegah dan menghentikan tindakan-tindakan penghilangan orang dengan paksa di teritori dalam wilayah hukumnya” (Deklarasi Perlindungan Bagi semua Orang dari Penghilangan secara Paksa Pasal 3).
31
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
REMPAH - REMPAH
Politisasi Kasus Trisakti, Semanggi I dan II di DPR Agaknya penuntutan keadilan bagi kasus Trisakti dan Semanggi seperti mimpi yang sulit diwujudkan. Jatuhnya jiwa-jiwa muda dan pahlawan reformasi ibarat tumbal yang tak berarti apapun. Seperti bola pingpong yang terus dioper, kasus ini tak mendapat respon berarti, bahkan DPR kembali membatalkan Badan Musyawarah DPR membahas kasus ini pada rapat yang di gelar (19/01). Artinya, ini menjadi kali kesekian DPR ingkar janji. Sementara itu, Rekomendasi Pansus DPR (2001) yang menyatakan tidak ada Pelanggaran berat HAM pada Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) telah dijadikan alasan bagi Kejagung untuk tidak menindaklanjuti penyidikan kasus TSS. Padahal, sangat jelas rekomendasi Pansus DPR bukanlah pruduk hukum lantaran Pansus itu dibentuk bukan berdasarkan dan ketika UU pengadilan HAM belum disahkan. Dan, sesuai keputusan 29/DPR/III/20002001, mandat pansus DPR hanya sebatas memantau proses Aksi di DPR/MPR RI penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I-II dimana wewenang menyelidik dan memutuskan ada tidaknya pelanggaran berat HAM bukan wewenang DPR, tetapi ada di Komnas HAM. Bila mengacu pada hasil kajian Komisi III DPR (2004-2009) telah ada kemajuan setidaknya Komisi di DPR ini merekomendasikan peninjauan kembali kasus TSS. Ketua DPR pun pernah berjanji akan mengagendakan kasus TSS tersebut pada rapat Bamus (Badan Musyawarah). Namun sampai dengan lima kesempatan Bamus sejak 12 Januari 2006, DPR tidak juga mengagendakan kasus TSS. Iropnisnya, belum lagi janji tersebut dipenuhi, pada hari Jumât (17/02) Rapat Pimpinan (Rapim) DPR memutuskan hasil Pansus DPR (1999-2004) untuk kasus TSS, tidak bisa dibatalkan. Alasan yang diberikan adalah tidak etis membatalkan hasil kerja Pansus DPR masa yang lalu. Dan belum ada preseden untuk membuka kembali kasus yang sudah diputus dalam rapat paripurna DPR priode 1999-2004. Padahal Rapim bukanlah alat kelengkapan Dewan sebagai
pemutus kebijakan dewan. Terlebih-lebih, Sidang Paripurna, yang merupakan alat kelengkapan DPR, sudah meminta Bamus mengagendakan pembahasan kasus Trisakti Semanggi I dan II. Alasan tidak etis membatalkan keputusan yang dibuat oleh DPR periode sebelumnya adalah sangat mengada-ada. Sebab DPR pada setiap periodiknya tidak terikat pada hasil DPR sebelumnya. Sebagaimana DPR juga membuat regulasi perundang-undangan dan lainnya yang tentunya merubah keputusan yang telah dihasilkan oleh DPR s e b e l u m n y a . Seharusnya Sidang Dok.Kontras Paripurna DPR ini dan rekomendasi Komisi III DPR tidak bisa dikalahkan Rapim DPR. Kondisi ini jelas mencerminkan bahwa DPR telah dengan sengaja mengikari janjinya dengan dalih mekanisme internal yang sangat birokratis. Rekomendasi Pansus DPR telah melindungi pelaku pelanggaran HAM, memandulkan Jaksa Agung yang enggan menyidik kasus TSS, serta menyurutkan harapan keadilan bagi korban dan keluarga korban. Dengan kondisi ini maka tidak ada kata lain bahwa kita harus terus mendesak pertanggungjawaban Ketua DPR, untuk membahas kasus TSS pada rapat Bamus, maupun rapat Paripurna DPR RI. Selanjutnya, meminta agar rapat Paripurna DPR RI mengesahkan hasil kajian Komisi III dengan mencabut rekomendasi Pansus DPR (2001). Terakhir, mendesak DPR segera mengusulkan kepada Presiden agar mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM Adhoc bagi kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Perjuangan ini tak boleh dihentikan, karena kebenaran dan keadilan adalah hak dari korban dan seluruh manusia.***
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
32
REMPAH - REMPAH
Bebasnya Pranowo:
Keagungan’ MA Bagi Para Pelanggar HAM Hukum dan kebenaran kembali terbang. Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum, tetap tidak dan belum mampu melakukan slogan yang diusungnya ini. Hukum hanya sebuah isapan jempol belaka. Sedang keadilan dan kebenaran, bak matahari yang tak mungkin diraih. Lihat saja, saat Mahkamah Agung membebaskan Mayor Jenderal (Purn) Pranowo, terdakwa kasus pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok (13/01) lalu. Pada saat itu, empat anggota majelis hakim agung menyatakan perkara Pranowo tidak dapat diterima (niet ontvankelijkheid/NO). Sekalipun Ketua Majelis, Hakim Agung Artidjo Alkostra menyatakan pendapat yang berbeda. Vonis bebas sama dengan menyembunyikan kebenaran tentang fakta-fakta penyiksaan, dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Padahal fakta-fakata kejahatan dan pelanggaran berat HAM itu jelas terjadi dan terang adanya.
mereka telah diberi pendidikan dan pelatihan luar negeri dengan biaya besar. Secara keahlian dan moral, hakim MA seharusnya berkualitas. Keputusan ini jelas sangat memprihatinkan, karena terjadi justru disaat kebobrokan MA tengah disorot oleh masyarakat. Putusan MA juga diskriminatif lantaran hanya orang-orang lemah yang dihukum, yang kuat justru dibebaskan. Tirani lebih dijadikan dasar putusan, ketimbang nurani. Lewat putusan bebasnya Pranowo, maka MA telah 18 kali membebaskan terdakwa pelanggaran HAM. Hingga tak Dok. Kontras
Ka-ki :Irta Sumitra (korban Tanjung Priok),pertemuan dengan Komisi Yudisial, Ratono (korban Tanjung Priok)
Vonis ini juga sama dengan membolehkan pemerintahan siapapun, saat ini dan ke depan, dapat menyiksa dan memperlakukan warga sipil seenaknya. Sebab MA justru melegalkan cara-cara menahan warga sipil di tahanan militer dan menyiksanya dalam sel sempit dan gelap. Namun, kita patut memuji keberanian sikap Ketua Majelis Kasasi Artidjo Alkostar, lantaran banyak hakim agung tidak mempunyai komitmen politik penegakan HAM. Padahal,
33
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
salah kiranya, bila MA telah digunakan sebagai sarana membebaskan para tertuduh pelanggaran HAM. Penyelesaian pelanggaran HAM memerlukan terobosan luar biasa. Gagasan Komisi Yudisial untuk meyeleksi ulang hakim agung, patut mendapat dukungan penuh. Bahkan, bila perlu, Ketua MA Bagir Manan harus segera diganti dengan hakim yang benar-benar agung, punya intgritas moral dan keahlian.***
REMPAH - REMPAH
Status Perkara Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
34
REMPAH - REMPAH
17 Tahun Pengabaian Negara Atas Peristiwa Talangsari Setelah 17 tahun peristiwa Talangsari Lampung, yang terjadi 6 Februari 1989 silam, hingga saat ini negara belum juga menunjukkan kemajuan yang berarti dalam upaya menggungkap kebenaran atas peristiwa ini dan memberikan keadilan kepada para korban. Pada saat peristiwa terjadi banyak jatuh korban akibat brutalitas yang dilakukan aparat keamanan dari Komando Resort Militer (Korem) 043 Garuda Hitam Lampung dibawah Aksi di Komnas HAM pimpinan Kol. Hendropriyono. Tidak sedikit orang dewasa bahkan anakanak ikut serta menjadi korban. Setidaknya 46 orang merenggang nyawa akibat penembakan, penyiksaan dan dibakar. 83 orang diantarannya anak-anak mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Sebanyak 24 orang mengalami pengadilan yang tidak fair. Serta 46 orang ibu dan anakanak juga diusir secara paksa dari desa mereka. Selain itu sebanyak 88 orang hingga saat ini tidak diketahui keberadaan (penghilangan paksa). Cerita kelam yang dikenal sebagai peristiwa Talangsari itu hingga saat ini masih segar dalam ingatan Dok. Kontras korban. Memang tidak untuk dilupakan tapi untuk diingat bahwa diantara kita para pelaku pelanggaran berat HAM itu masih hidup dan hidup dengan penghormatan serta kemewahan diantara tuntutan korban beserta keluarganya akan keadilan. Ingatan yang akan dibagi korban kepada kita semua, bahwa tindak kebiadan itu memang pernah terjadi dan tidak boleh terulang pada siapapun. Upaya korban menuntut adanya proses hukum yang adil terhadap kasus itu menjadi spirit bagi korban bahwa apa yang telah mereka dapatkan Usaha ini membuahkan hasil dengan dibentuknya tim Komnas HAM untuk menyelidiki kasus Talangsari. Setidaknya hingga saat ini Komnas HAM telah membentuk tiga kali tim Penyelidikan kasus Talangsari. Tim awal dipimpin Koeparmono Irsan (Juni 2001), tim kedua dipimpin Hasballah M Saad (2004), dan terakhir dipimpin oleb Enny Soeprapto (Maret 2005). Sayangnya dua tim terakhir melakukan penyelidikan bukan bersifat projusticia. Tiga kali terbentuknya tim ini bukan disebabkan oleb beratnya penanganan kasus ini. Akan tetapi sebaliknya, tim penyelidik ini silih berganti karena ketidakseriusan kerja dari tim-tim tersebut. Sementara itu, telah beberapa kali, korban dan keluarga korban peristiwa Talangsari mendatangi Komnas HAM untuk menanyakan langsung perkembangan penyelidikan kasus ini.
35
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
Terakhir pada 8 Februari 2006 bertepatan dengan 17 tahun peristiwa Talangsari, korban dan keluarga korban kembali mendatangi Komnas HAM, dengan menggelar aksi pendudukan dan audiensi. Keinginan bertemu ketua Komnas HAM dan seluruh anggota tim penyelidik untuk kasus Talangsari tidak bisa dipenuhi, rombongan hanya bertemu dengan Zoemrotin K Sosesilo (Wakil Ketua Komnas HAM) dan Ruswiyati Suryasaputra (anggota tim penyelidik kasus Talangsari). Aksi ini sedikit ‘berhasil’ lantaran Komnas HAM berjanji lewat surat yang dikeluarkannya untuk menyelesaikan laporan tim penyelidik kasus Talangsari pada bulan Maret 2006. Komnas juga berjanji bahwa kelanjutan status kasus Talangsari, akan ditentukan melalui mekanisme pleno di Komnas HAM yang akan jatuh pada minggu ke II bulan April. Sebelumnya, korban dan keluarga korban juga mengadakan diskusi publik (6/02). Termasuk diskusi internal dan loby untuk meminta dukungan ke PB NU (07/02). Korban dan keluarga korban juga mendatangi Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan PP Muhammadiyah di awal Februari lalu untuk meminta dukungan serupa. Ketiga ormas ini berjanji akan mengingatkan pemerintah dan Komnas HAM untuk serius menuntaskan kasus Talangsari. Namun, sejumlah teror dan intimidasi masih terus diterima mereka. Lihat saja, saat para korban dan keluarga korban datang ke Jakarta diawal Februari lalu, teror masih terus dilakukan. Beberapa intel polisi mendatangi korban di desa Talangsari dan menakuti-nakuti supir bus yang akan mereka tumpangi untuk tidak membawa rombongan korban yang hendak ke KontraS (Jakarta). Mengakali teror ini, korban berpencar dan berjalan kaki sejauh 4 km. Teror ini kerap datang saat menjelang korban dan pendampingnya menyuarakan kasus Talangsari. Bahkan, pada tahun 2005 salah seorang korban Sucipto ditusuk perutnya dengan senjata tajam. Meski, peristiwa ini sudah dilaporkan ke Polsek Way Jepara, hingga kini pelaku belum tertangkap. Dibayangin teror dan intimidasi yang kerap muncul, korban dan keluarga korban hingga kini masih terus menanti arti dari keadilan dan kebenaran bagi mereka. Termasuk meminta Komnas HAM segera membentuk Penyidikan Projusticia ***Chris
KABAR DARI SEBERANG
Laporan CAVR: Membongkar Kekerasan RI di Timtim Pertengahan Januari lalu, Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao menyampaikan laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR/Commissao de Acolhimento e Reconcillliation) kepada sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Laporan itu mengejutkan Indonesia terutama TNI, lantaran laporan mengungkapkan terjadinya pelanggaran HAM oleh Indonesia (khususnya pihak TNI), yang mengakibatkan kasus kematian 183.000 warga Timor Leste selama periode 1975-1999. Temuan dari laporan yang disusun ini dari hasil wawancara sekitar 8.000 saksi, keterangan pengungsi, dan laporan intelijen serta militer. Di dalamnya juga disebutkan bahwa militer Indonesia berusaha membasmi orang-orang TimorTimur. Caranya, meracuni pasokan makanan dan air dengan napalm dan bahan kimia lainnya. Laporan yang sama menyebutkan polisi atau tentara Indonesia bertanggungjawab atas 70 % dari 18.600 pembunuhan atau penghilangan antara 1975 dan 1999. Buntut dari penyerahan laporan Xanana Gusmao ini, beberapa penjabat/anggota DPR langsung (seperti biasanyared) berkomentar tanpa tahu persis detil dari laporan itu sendiri. Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla, saat itu menuding laporan CAVR berlebihan. Sedang juru bicara Kepresidenan, Dino Patti Djalal mengatakan kalau CAVR bukan lembaga hasil bentukan PBB dan hanya beranggotakan orang Timor Leste. Menurutnya, persoalan ini bisa menghambat upaya pemerintah Indonesia yang akan lebih mengedepankan Komisi Kebenaran dan Persahabatan dalam penyelesaian rekonsiliasi kedua negara. KontraS sendiri sejak awal menyampaikan bahwa Indonesia hendaknya tidak keliru menafsirkan penyerahan laporan CAVR oleh Presiden Timor Leste Xanana Gusmao ke PBB. Indonesia juga tidak perlu panik dengan menghubungkan penyerahan laporan CAVR sebagai pelanggaran kesepakatan bilateral RI-Timor Leste berkaitan dengan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Terlebih, tanpa membaca dan mempelajari terlebih dulu isi laporan tersebut. Mencegah Berulangnya Pelanggaran HAM Laporan yang diserahkan itu sebagai pelaksanaan mandat CAVR dari PBB untuk melakukan penyelidikan non-judicial terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Lorosae sejak 25 April 1974 sampai 25 Oktober 1999. Penyelidikan ini juga dijalankan dalam kerangka pengungkapan kebenaran (truth seeking), memfasilitasi rekonsiliasi antara korban dan pelaku untuk kejahatan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah Timor Leste
dalam promosi HAM, rekonsiliasi, dan mencegah berulangnya pelanggaran HAM di masa depan. Hal senada diungkapkan mantan anggota Komisi Penyidik Komnas HAM untuk pelanggaran HAM pascajajak pendapat Timtim 1999 Asmara Nababan. Indonesia harus membaca dulu laporan tersebut dan menahan diri seraya menyiapkan langkah antisipasi bantahan terhadap tudingan pelanggaran HAM selama Timtim bergabung. Menurutnya, langkah nyata lebih dihargai daripada asal bantah. Sebab, dunia internasional perlu bukti lewat penyelidikan yang independen dan objektif, bukan sekedar bantahan. Asmara menilai, bila Indonesia tidak menuntaskan kasus pelanggaran HAM Timtim, selamanya Indonesia akan tersandera soal tersebut. Dimana, energi loby Indonesia di dunia internasional terserap habis soal pelanggaran HAM Timtim, yang jelas akan sangat merugikan. Sementara itu, Presiden Xanana Gusmao sendiri menjelaskan tujuan utama penyerahan laporan CAVR kepada Kofi Annan (PBB) semata-mata untuk menyampaikan kebenaran tentang peristiwa di Timor Leste. Laporan itu dimaksudkan pula untuk menekankan kepada komunitas internasional agar peristiwa yang dialami ini tidak terulang kembali. Dirinya juga mengakui, menerima hasil laporan itu sebagai upaya menyembuhkan luka lama. Menurutnya, bisa saja angka laporan kekejaman yang disebutkan itu diperdebatkan karena dianggap tidak akurat. Tapi, bagi Xanana, bukan angka saja yang perlu diperdebatkan, tetapi ada pelajaran penting yang dapat diambil hikmatnya.
Pada akhirnya, Presiden SBY bisa memahami apa yang dilakukan Presiden Xanana Gusmao. Presiden melihat ini sebagai permasalahan dan proses internal Timor Leste dengan PBB. Pemerintah juga tidak akan menanggapi secara subtasial isi dari laporan tersebut. Yang paling penting, laporan ini diharapkan tidak menganggu proses rekonsiliasi melalui KKP yang kini tengah berjalan. Pertanyaannya, apakah pemerintah RI dan Timor Leste akan tetap mengabaikan rasa keadilan korban pelanggaran HAM di Timtim yang telah lama menanggung penderitaan dengan mempertahankan mekanisme kompromi politik lewat KKP? ***
CAVR (Commision for Receptin, Truth and Reconcilliation-CRTR) dibentuk oleh PBB melalui UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) lewat keputusan UNTAET/REG/2001 tanggal 13 Juli 2001. CAVR bukan sebuah mekanisme rekonsiliasi antar masyarakat di Timor Leste. Peran CAVR mirip seperti Komisi Kebenaran dan Persahabatan atau KKR di Indonesia. Di samping itu, CAVR juga sebagai sebuah mekanisme domestik Timor Leste dan bukan merupakan mekanisme bilateral atau internasional. Tanggungjawabnya bukan kepada Indonesia atau kepada KKP bilateral, bahkan bukan kepada Presiden Timor Leste, tapi langsung kepada PBB.
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
36
KABAR DARI SEBERANG
Dukung PPB Tutup Penjara AS-Guantanamo Lima investigator independen PBB menuntut Amerika Serikat segera menutup tahanan Guantanamo Bay dan membawa semua tahanan ke muka pengadilan yang independen dan kompeten atau melepaskannya. Tuntutan ini, hasil dari studi 18 bulan terhadap situasi para tahanan di pangkalan udara (Naval Base) AS, dengan merujuk informasi dari AS, ahli, LSM HAM dan wawancara dengan bekas tahanan Guantanamo di Perancis, Spanyol, dan Inggris. PBB juga sangat menyesalkan sikap AS yang menutup peluang interview tahanan di Guantanamo. Laporan itu menyebutkan bahwa penahanan yang dilakukan Pemerintah AS terhadap sekitar 500 orang sejak serangan 11 September 2001 adalah tidak sah. Penahanan itu dikategorikan sebagai penyimpangan atas hukum internasional. Oleh karena itu, para penyidik PBB menuntut AS segera membebaskan seluruh tahanan. Jika memang ada tahanan yang dianggap terlibat kejahatan, mereka harus diadili.
Diikuti Proses Hukum KontraS mengecam keras penyiksaan, penghukuman dan perlakuan lain yang kejam terhadap para tahanan di penjara Guantanamo dibawah otoritas Pemerintah AS. kontraS-pun mendukung rekomendasi laporan lima investigator idenpenden PBB yang mendesak AS menutup penjara AS di Guantanamo.
Draft dari laporan itu juga menjelaskan bahwa Perlakuan kejam ini menurut teknik interogasi yang catatan KontraS telah dianggap sah oleh berlangsung sejak tahun 2002 Depertemen Pertahanan hingga 2005. fakta ini dapat AS ternyata masuk dilihat dari kontroversi dalam kategori kekerasan kebijakan Menteri Pertahanan dan sangat merendahkan AS, Donald Henry Rumsfeld, martabat berdasarkan yang terungkap pada hukum internasional. November 2002 berupa ijin Laporan itu juga menilai, penggunaan teknik interogasi tindakan kekerasan yang menyakitkan (harsh). secara berlebihan telah dilakukan dalam banyak Penggunaan berbagai teknik kasus. Hak-hak tawanan penyiksaan yang dilakukan, pun dilanggar, mulai dari mengakibatkan penderitaan pengadilan yang adil, fisik dan psikis yang luar kebebasan menjalankan biasa bagi para tahanan. Dok. Amnesty Internasional ibadah dan akses pada Penyiksaan adalah kejahatan medis. Mereka juga yang ditentang seluruh umat dipaksa makan ketika manusia seperti tertuang sedang melancarkan aksi mogok makan. Para dokter dan dalam Konvensi Anti Penyiksaan. pekerja kesehatan diduga terlibat atau setidaknya hadir, ketika para tahanan dicecoki makanan secara paksa. Karena itu, pertanggungjawaban dari tindak kekerasan ini tidak cukup hanya berhenti pada penutupan penjara tetapi Para penyelidik PBB menuntut Washington agar temuan harus diikuti dengan proses hukum terhadap para pelaku, mereka mengenai penyiksaan di Guantanamo segera atasannya dan pengambil kebijakan dari tindakan diinvestigasi oleh pengadilan kriminal AS. Dengan demikian, penahanan sewenang-wenang dan penyiksaaan ini. Karena seluruh pelaku penyiksaan terhadap tahanan di Guantanamo para tahanan inipun sebelumnya tidak pernah melalui proses dapat diadili. hukum yang kompeten dan independen. Para penyelidik juga meminta AS agar menjamin para pelapor PBB secara penuh. AS juga dituntut agar tidak membatasi akses bagi penyidik PBB ke Penjara Guantanamo, termasuk melakukan wawancara secara pribadi dengan para tahanan.
37
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
Untuk itu, PBB harus segera memfasilitasi hukum bagi para pelaku pelanggaran berat ini. Pemerintah AS tidak boleh merasa nyaman dengan beragam alasan tanpa penghukuman yang seharusnya dijatuhkan terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam penyiksaan.***
KABAR DARI SEBERANG
MENCARI FORMAT RULE OF LAW/ ATURAN MAIN HUKUM DI ASIA Pada tanggal 16-21 Februari 2006 di Hong Kong, diselenggarakan sebuah lokakarya regional untuk mencari masalah penegakkan hukum dan HAM di kawasan Asia; dari Sri Lanka, India, Thailand, Kamboja, Filipina, RRC, dan Indonesia. Peserta lokakarya rata-rata merupakan pengacara praktek, mantan hakim, dan aktivis LSM HAM. Dari Indonesia sendiri pesertanya adalah Rudi Rizki (Hakim HAM, akademisi, dan Ahli Independen PBB), Taufik Basari (LBH Jakarta), dan Papang Hidayat (KontraS). Dasar kegiatan lokakarya ini adalah prinsip dan norma HAM universal, khususnya yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik (Sipol/ICCPR) pada Pasal 2. Kovenan Sipol/ICCPR ini juga sudah diajukan proses ratifikasinya oleh Pemerintah RI pada 2 Februari 2006 dan Indonesia akan diakui sebagai negara pihak pada 2 Mei 2006 nanti. Pasal 2 Kovenan Sipol merupakan salah satu pasal kunci (terpenting) yang mempengaruhi tata aturan pasalpasal lainnya, tertutama yang mengatur katalog hak sipil dan politik. Secara sederhana Pasal 2 ini merupakan mekanisme nasional bagi tugas dan tanggung jawab negara (pihak) dalam menghormati dan menjamin pemenuhan hakhak sipil dan politik bagi setiap individu yang berada di bawah juridiksi kewenangannya. Penghormatan dan pemenuhan hak-hak ini harus diimplementasikan oleh negara dalam suatu mekanisme preventif, dan bila terjadi pelanggaran HAM (human rights violence) adalah kewajiban dan tugas negara untuk melakukan investigasi, prosekusi, penghukuman (bagi pelaku), dan pemulihan (reparasi) bagi korban. Ada 3 tema yang diatur dalam Pasal 2 ini yang tercantum dalam 3 ayatnya; yaitu: Pasal 2 (1): Prinsip non-diskriminasi dalam penegakkan HAM. Pasal 2 (2): Kewajiban negara
dalam membuat mekanisme kebijakan (legislatif, yudikatif, dan administrasi) dan institusional dalam pemenuhan HAM. Pasal 2 (3): Kewajiban negara untuk melakukan pemulihan efektif (effective remedy) bila terjadi suatu pelanggaran HAM. Dari presentasi masing-masing negara ditemukan kemiripan di beberapa negeri -- kecuali Myanmar -- bahwa mereka memiliki suatu sistem hukum yang relatif akomodatif terhadap norma HAM, namun nyaris tidak bisa digunakan dalam praktek hukum sehari-hari. Pasal 2 ICCPR menegaskan bahwa tidaklah cukup suatu negara menghasilkan produk legislasi tentang HAM, namun jika terjadi pelanggaran HAM pelakunya tidak bisa dijangkau hukum dan korban tidak mendapat pemulihan. Penegakkan HAM juga mencakup kewajiban dan tugas negara untuk melakukan investigasi, prosekusi dan penghukuman bagi pelaku, dan memberikan ganti rugi bagi korban. Pemulihan Efektif (Effective Remedy) atas Pelanggaran HAM Beberapa modal politik yang lahir dari era reformasi 1998 pada awalnya cukup menjanjikan. Tema HAM yang dulunya merupakan mantra yang diharamkan, justru kemudian menjadi agenda formal negara. Berbagai legislasi dan perubahan institusional yang relevan untuk penegakkan HAM mulai diproduksi. Tema-tema HAM mulai menjadi wacana terbuka di ruang publik dan tercantum di dokumen-dokumen resmi negara. Di bawah ini beberapa legislasi dan institusionaliasi hasil reformasi politik pasca Orde Baru yang relevan dengan masalah HAM. Bahkan Indonesia memiliki mekanisme Pengadilan HAM domestik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, sesuatu yang tidak ditemui di mekanisme hukum negara lain. Mekanisme legislasi dan institusional ini merupakan instrumen preventif terjadinya pelanggaran HAM.
Perkembangan Legislasi RI
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
38
KABAR DARI SEBERANG
Selain pembaharuan legislasi, rezim pasca Orde Baru juga melakukan berbagai pembenahan institusional yang lebih progresif: -
Mekanisme multi partai dan pemilu yang lebih demokratis. Pemisahan institusi militer dengan kepolisian. Penghilangan kursi parlemen untuk TNI/Polri. Pembenahan sistem peradilan; kejaksaan dan kehakiman. Pembentukkan insitusi negara tambahan: Ombudsman, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dll.
Namun salah satu legislasi yang terpenting belum juga direvisi, yaitu KUHP dan KUHAP.
Pelanggaran HAM sering dianalogikan dengan penyakit yang penyelesaiannya adalah dengan pengobatan atau pemulihan (remedy). Pemulihan (remedy) ini merupakan tanggung jawab dan tugas negara yang sangat sentral dalam Kovenan ini. Pemulihan yang efektif (effective remedy) selain sebagai bentuk penyelesaian atas terjadinya pelanggaran HAM, namun juga sekaligus sebagai mekanisme jaminan preventif tidak berulangnya pelanggaran HAM di masa depan (prinsip guarantee of nonrepetition). Mekanisme effective remedy ditegaskan oleh Kovenan ini harus bisa ditangani oleh mekanisme peradilan (hukum), dalam hal ini setiap pelanggaran HAM harus bisa dilakukan investigasi, proses penuntutan/prosekusi, pengadilan, dan penghukuman bagi pelaku, sementara korban harus diberikan ganti rugi/reparasi, baik rehabilitasi, restitusi, atau kompensasi. Mekanisme effective remedy ini sendiri bisa dikategorikan sebagai
rights to remedy, di mana kelompok korban adalah kelompok yang paling berkepentingan dan hak ini melekat dalam dirinya (inalienable rights). Kategori hak ini sering dikenal sebagai Hak-Hak Korban/Victim’s Rights. Mekanisme dan hak effective remedy ini tercantum di berbagai instrumen internasional: Deklarasi Universal HAM (Pasal 8), ICCPR (Pasal 2 ayat 3 dan Pasal 9 ayat 5), CAT (Pasal 14), CERD (Pasal 6), CRC (Pasal 39), Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Dissapearance (Pasal 19), Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power (Prinsip 11, 18, dan 19) dan Principles on the Effective Prevention and Invetigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Excecutions (Prinsip 20). Terakhir studi terpadu soal effective remedy ini dibuat dalam Set of Principles for The Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity. Kegagalan memenuhi standar tersebut merupakan sebuah impunity. Sayangnya mekanisme pemulihan efektif ini merupakan masalah utama dan terpenting dalam penegakkan HAM di Indonesia. Beberapa representasi contoh kasus di bawah ini menunjukkan argumen tersebut; kegagalan mekanisme Pengadilan HAM untuk kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Aberpura dalam menghukum para pelaku utama. Masih tertunda/ditahannya proses prosekusi dan pengadilan untuk kasus Tragedi Mei ’98, kasus Trisakti Semanggi I dan II/TSS, kasus Wasior, dan Wamena. Sementara untuk beberapa kasus bahkan belum tersentuh mekanisme investigasi seperti kasus Tragedi ’65, kasus Talangsari-Lampung, kasus Penembakkan Misterius/Petrus. Bahkan Kasus Pembunuhan Munir juga bisa dilihat sebagai kegagalan kewajiban negara, karena bentuk penyelesaian lewat persidangan Pollycarpus jelas tidak membawa keadilan bagi para pelaku lainnya, sementara keluarga korban tidak mendapat ganti rugi dari negara.
LAPORAN HAM 2005 Laporan ini menunjukkan bahwa realitas penegakan hukum dan HAM di tahun 2005 masih gelap. Di tahun 2006, tantangan penegakan HAM semakin bertambah berat. Kerawanan sosial dan ekonomi akan menyumbang besar terjadinya kekerasan, terutama terhadap kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti petani, nelayan, mahasiswa, buruh dan kaum miskin kota
39
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
KABAR DARI SEBERANG
BILA ANDA TERTARIK INGIN LEBIH TAHU SOAL KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM, TERMASUK KASUS MUNIR ANDA DAPAT MENGUNJUNGI
www.kontras.org ANDA JUGA DAPAT DOWNLOAD TERBITAN KAMI SEPERTI BULETIN, BUKU-BUKU, SERTA SEJUMLAH DATA DAN SEJUMLAH PERATURAN NASIONAL / INTERNASIONAL BERKAITAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI JURNALIS YANG TIDAK SEMPAT DATANG KE KONTRAS, ANDA DAPAT KUNJUNGI WEB INI UNTUK DAPAT MENGAKSES PERS RELEASE KAMI WEB INI JUGA DAPAT ANDA MANFAATKAN BAGI PARA PENELITI YANG TENGAH MENDALAMI HAL-HAL TERKAIT DENGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI MEREKA YANG SUKA ‘NAKAL’ MEMANTAU KAMI, MELALUI WEB INI AKAN MEMUDAHKAN ANDA MENGENAL LEBIH DALAM TENTANG KONTRAS SELAMAT BERKUNJUNG 40
Berita KontraS No. 01/I-II/2006
Berita KontraS No. 01/I-II/2006