KontraS KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
Salam Dari Borobudur Poso kembali berduka dan kembali dikoyak bom. Dua buah bom meledak di akhir Mei lalu di Pasar Tentena, Poso. Sebuah bentuk kejahatan tanpa mempedulikan rasa kemanusiaan telah dilakukan oleh tangan-tangan manusia lain yang mungkin memang telah mati nuraninya. Telah mati rasa empatinya. Dan kembali darah tumpah di Poso, di tengah upaya untuk membangun perdamaian antar kelompok masyarakat.
dengan
kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan
Poso yang terus didera pertikaian hampir kurun waktu tujuh tahun, menjadi wacana utama yang diangkat dalam berita utama kali ini. Bukan hanya konflik kekerasan, namun juga korupsi dana kemanusiaan semakin menambah derita korban dan menambah warna kelam di Poso. Program pemerintah berupa dana kemanusian bagi sejumlah pengungsi “raib” dikuras oleh manusia-manusia yang rakus. Entah apa dan mengapa, meski sejumlah (tindakan dan solusi dikeluarkan untuk Poso), toh hingga kini jeritan dan kekerasan tetap terjadi. Selain itu, sejumlah konflik dan tindak kekerasan juga berlangsung di berbagai wilayah. Aceh, Kalimatan Tengah, Riau, Lampung dan Papua, jadi gambaran bagaimana kekerasan kerap dijadikan alasan demi atas nama kekuasaan dan politik. Rakyat terus menjadi korban kekerasan negara yang tiada akhir.
Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Sementara, Tim Pencari Fakta (TPF) Munir telah berakhir pada 23 Juni 2005. Sejumlah rekomendasi dan temuan telah diberikan sebagai laporan pada Presiden SBY. Tim khusus Mabes Polri-pun telah dibentuk di akhir Juni, demi meneruskan penyelidikan kasus ini. Meski kematian Munir sangat bermuatan politis, namun kematian penjuang hak asasi manusia ini harus terus diungkapkan dan dituntaskan, hingga kita tahu siapa otak dari pembunuhan keji ini. Munir telah menjadi tumbal dari perjuangan hak asasi manusia di Indonesia. Tidak ada kata berhenti untuk mengungkapkan kasus ini. Tidak hanya berhenti di TPF atau berhenti hanya pada tersangka Pollycarpus. Penyelidikan harus didesak terus agar dapat menemukan aktor di balik pembunuhan ini. Komitmen SBY merupakan taruhannya.
KontraS diprakarsai oleh beberapa LSM dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-
Munir terlalu berharga. Maka kematiaannya harus kita hargai, dengan jalan terus berjuang agar keadilan dan hukum ditegakkan. Pengungkapan kasus ini harus menjadi barometer atas penegakan hukum di negeri ini. Dan kita tetap harus berjuang tanpa henti dan lelah.
HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja:
Redaksi
Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Nining, Abu, Victor, Sinung, Haris, Harits, Islah, Papang, Bonang, Helmi, Nur’ain, Bobby, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri.
Federasi Kontras Mouvty, Ori, Gianmoko, Bustami, Asiah (Aceh), Oslan (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia
Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Indria Fernida Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati, Sidang Redaksi: Haris Azhar, Nining Nurhaya, Edwin Partogi, Ali Nursahid, dan Mufti Makarim. Layout: segitiga.comm Kredit gambar pada sampul : Dokumentasi LPSHAM Sulteng Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected], website: www.kontras.org KontraS sebuah lembaga Advokasi, yang berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Nining di 3926983 atau
[email protected]
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
2
BERITA UTAMA
Derita Poso Yang Tak Kunjung Usai Poso kembali berdarah. Dua ledakan bom berkekuatan high explosive mengguncang Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Sabtu , 28 Mei pagi. Kedua ledakan bom itu terjadi di Pasar Induk Tentena dan di dekat Kantor BRI Unit Tentena, tepat didepan Markas Kepolisian Sektor Pamona Utara. Konflik dan segala macam bentuk kekerasan lainnya terus terjadi. Kurun waktu tujuh tahun menjadi bukti potret semua rentetan kekerasan. Dan korban jiwa terus melayang di Poso, Sulawesi Tengah.
S
abtu pagi di akhir Mei itu, Pasar Induk Tentena tengah dipenuhi warga yang hendak berbelanja. Saat ledakan pertama terdengar, kepanikan luar biasa melanda warga yang sedang berbelanja. Mendengar ledakan ini warga berhamburan keluar pasar.
Rekonsiliasi Yang Gagal
Saat kesepakatan damai antar dua pihak yang terlibat konflik dideklarasikan pada 20 Desember 2001, oleh Pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi Malino Untuk Poso (Deklama I), titik terang seakan terpancar untuk Saat warga masih panik, dalam waktu 15 menit bom pertikaian tersebut. Gayung bersambut, perwakilan meledak lagi di samping kantor BRI Tentena, yang berjarak masyarakat Poso yang hadir pada pertemuan Malino itu sekitar 10 meter dari ledakan pertama. Ledakan bom ini memberi respon positif atas prakarsa damai di bumi persis di depan Markas Kepolisian Sektor Pamona Utara. Sintuwu Maroso, sebuah consience collective yang Akibat dua ledakan bom tersebut, 22 orang meninggal menggambarkan kekerabatan warga tanah Poso, karena arti dunia, sedang jumlah korban yang mengalami luka berat harafia Sintuwu Maroso itu sendiri adalah persekutuan dan ringan tercatat sebanyak 92 orang. Dari keseluruhan hidup yang kuat. Nilai-nilai kekerabatan itu hadir ketika suasana warga masih diwarnai oleh harmoni sosial yang korban umumnya anak-anak dan perempuan. penuh toleransi. Ketika itu warga Poso berharap Darah, jerit dan tangis menjadi potret keseharian dan kesepakatan tersebut dapat terwujud dengan baik. “teman setia” masyarakat Poso, sekaligus pula menjadi catatan buram konflik berdarah yang masih terus ‘hidup’ Harapan tersebut seakan terkubur karena konflik, yang bukan hanya di Poso tapi juga di sejumlah daerah pertikaian dan kekerasan terus terjadi. Lihat saja sejak Deklama I dideklarasikan hingga Juni 2005, tercatat telah konflik lainnya, seperti Ambon, Aceh, dan Papua. terjadi 166 kali insiden pelanggaran terhadap butir-butir Ledakan dua buah bom di Pasar Tentena di akhir Mei 2005 kesepakatan Deklama I. Insiden-insiden ini malah makin ini, menambah panjang perjalanan konflik Poso yang telah marak mendekati berakhirnya masa operasi pemulihan terjadi sejak 1998. Poso melengkapi babak kelam dalam keamanan sebagai salah satu tindak lanjut Deklama ( lihat sejarah manusia di Indonesia. Konflik yang sudah tabel 1). berlangsung hampir tujuh tahun ini tak pernah tuntas. Bahkan terus meluas kebeberapa wilayah sekitarnya seperti Berbagai kasus kekerasan yang terjadi memunculkan kembali rasa trauma, saling curiga dan sensitivitas di tingkat Palu dan Morowali. masyarakat. Kondisi ini juga didukung oleh pernyataanKonflik berkepanjangan ini mengakibatkan jatuhnya pernyataan aparat keamanan di tingkat masyarakat yang korban yang tidak sedikit. Ribuan rumah, termasuk rumah berusaha menimbulkan kesan bahwa akhir dari masa ibadah hangus dibakar. Ribuan penduduk-pun terpaksa pemulihan keamanan merupakan akhir dari keamanan itu mengungsi. Sementara pertikaian tak pernah tuntas. Selama sendiri. itu selalu ada saja peristiwa kekerasan yang muncul, mulai dari penembakan misterius, penculikan, sampai peledakan Sementara itu, berbagai teror dan upaya mengadu domba bom. Sementara di pengungsian derita pengungsi juga tak dilakukan melalui penembakan-penembakan misterius, kalah getirnya. peledakan bom, bahkan dengan tulisan-tulisan di dinding
3
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
BERITA UTAMA
Tabel 1. Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM Pasca Deklarasi Malino No.
Peristiwa 2002
Tahun 2003 2004
Total
Keterangan
2005
1.
Penyerangan
15
11
1
0
27
2. 3.
Penculikan Penangkapan sewenangwenang
1 0
2 3
1 1
0 20
4 24
4. 5. 6. 7. 8.
Pembunuhan Pemboman Penembakan Penganiayaan Pembakaran
4 14 19 19 0
3 8 10 1 0
3 4 7 2 1
0 6 0 10 0
10 32 36 32 1
Total
72
38
20
36
166
Penyerangan dengan disertai pembakaran rumah-rumah pendudukdan fasilitas umum Pelaku umumya dilakukan oleh kepolisan BKO – Polda Sulteng dan Mabes Polri
Sumber : Database LPSHAM Sulteng, Juni 2005
rumah penduduk yang bertujuan memprovokasi. dagangan. Peningkatan eskalasi insiden kemudian diikuti dengan permintaan dari pihak TNI-Polri untuk menambah dana Tetap Tak Ada Keamanan operasional pemulihan keamanan kepada wakil rakyat Hal lain yang menjadi sangat ironis, karena sejak konflik pecah di Propinsi Sulawesi Tengah. di tahun 1998, sampai saat ini masih berlangsung operasi Kegagalan Deklama ini bisa dikatakan berakar pada pemulihan keamanan dengan sandi Operasi Sintuwu Maroso beberapa hal, diantaranya, desain deklarasi itu sendiri yang sampai saat ini sudah memasuki tahap ke VI yang bersifat elitis, menetapkan ukuran-ukuran perpanjangannya. Otoritas pelaksanaan Operasi Sintuwu keberhasilan pada capaian-capaian kuantitatif, dan sarat Maroso berada di bawah lembaga ekstra teritorial Kepolisian dengan peluang proyek. Desain tindak lanjut Deklama bernama Satuan Tugas (Satgas). Operasi Sintuwu Maroso yang yang memisahkan komponen pelaksana rehabilitasi dikelola oleh Satgas merupakan operasi Gabungan antara sosial, fisik dan keamanan seolah membuat ketiga hal Kepolisian dengan dibantu TNI. tersebut menjadi masalah yang tidak saling terkait. Pola operasi yang dilakukan adalah dengan membuat posAkibatnya, rehabilitasi fisik tidak mempertimbangkan pos aparat Kepolisian atau TNI di sepanjang jalan Trans kondisi keamanan dan rasa aman. Rehabilitai sosial Sulawesi, di sepanjang pintu masuk desa-desa di Poso dan di Peningkatan eskalasi insiden kemudian diikuti dengan tengah-tengah desa. Paska peristiwa penyerangan di Beteleme permintaan dari pihak TNI-Polri untuk menambah dana Oktober 2003, Menteri Koordinator Bidang Politik dan operasional pemulihan keamanan kepada wakil rakyat Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, memerintahkan di Propinsi Sulawesi Tengah. untuk segera digelar Operasi Intelijen di Poso. Yang tidak ditunjang oleh sebuah kebijakan yang bersifat afirmatif terhadap berbagai gejolak dan insiden, Selain itu, saat ini di Poso juga terdapat Pasukan Raider (TNI) dan upaya rehabilitasi keamanan yang diukur dari jumlah sebanyak 1 kompi yang ditempatkan di Pamona Selatan, Poso. pasukan keamanan, dengan mudah dikalahkan dengan Perluasan sistem keamanan juga dilakukan oleh TNI dengan tindakan-tindakan teror yang meresahkan. Keamanan membangun markas Batalyon Yonif 714 Sintuwu Maroso di kemudian seolah-olah menjadi monopoli aparat negara Kecamatan Lage dan Kecamatan Poso Kota, Poso. Selain itu yang kemudian memperlakukannya sebagai barang Kepolisian juga sudah menempatkan 1 Kompi Brimob
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
4
BERITA UTAMA Organik di Poso Kota. Bahkan setelah sejumlah kekerasan yang terjadi pada November 2004 Kepolisian dan TNI menambahkan jumlah pasukannya. Pasca peristiwa pemboman di depan pasar Induk Tentena, pemerintah kembali menambah satuan tugas yang di BKO-kan di Poso dengan menurunkan satuan Detasemen 88 khusus anti teror. Gelar operasi intelijen pun terus diperpanjang dari BIN, Kopasus dan Mabes Polri.
tahun itu terjadi berbagai kasus kekerasan, diantaranya 36 kasus penembakan misterius dan 32 kasus pengeboman. Sementara, akibat tindak kekerasan berupa penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya yang tidak manusiawi sepanjang tahun 2002-2005 tercatat 79 orang menjadi korban hingga meninggal dunia dan 207 luka-luka. Bahkan dalam beberapa kasus terlihat justru aparat Kepolisian dan TNI yang justru melakukan kekerasan terhadap masyarakat; pemukulan, penembakan, pencurian/penjarahan dan kasus Miliaran rupiah sudah habis digunakan untuk operasi kekerasn terhadap perempuan, penangkapan sewenangkeamanan di Poso. Anggaran ini tidak hanya dibebankan wenang disertai penyiksaan dan stigmatisasi terorisme kepada institusi TNI dan Polri melalui dana dekonsentrasi, kepada warga. tapi juga dibebankan ke Pemda Poso melalui APBD-nya. Namun sayang, operasi keamanan yang telah melibatkan Korupsi Dana Kemanusiaan hampir empat ribu personil Polri dan TNI serta menggunakan dana APBD Poso sebanyak hampir 9 miliar Penyelesaian konflik sosial di Poso tidak pernah tuntas, rupiah tetap gagal memberikan jaminan keamanan kepada bahkan semakin meluas dan terkesan dipertahankan. masyarakat. Jumlah dana tersebut belum termasuk dengan Ditengah pertikaian, konflik dan kekerasan yang terus pungutan-pungutan liar, bisnis kayu hitam (ebony), yang terjadi, bentuk kejahatan lain pun muncul dan dilakukan dilakukan oleh anggota-anggota Polri dan TNI di level oleh tangan-tangan yang tak bermoral dan tak mengenal lapangan, secara terbuka. nurani kemanusiaan. Berbagai kasus penyelewengan dana pengungsi yang jumlahnya mencapai ratusan miliar terjadi Dalam banyak hal aparat kemanan dan aparat hukum dimana-mana. disamping gagal memberikan rasa aman, juga gagal membangun kepercayaan dari dua komunitas masyarakat Hingga saat ini, diperkirakan lebih dari 20.000 pengungsi di Poso; Islam-Kristen. Pada tahun 2002- Juni 2005 dari akibat konflik sosial di Poso masih berada di barak 166 kasus kriminal di kabupaten Poso, termasuk yang pengungsian di Tentena. Tidak sedikit juga yang masih berkaitan dengan ker usuhan, hanya 9 kasus yang mengungsi di luar Sulteng, seperti di Sulawesi Selatan, ditingkatkan proses hukumnya, ke kejaksaan dan Sulawesi Utara, dan Pulau Jawa. Hampir dapat dipastikan, pengadilan. Dari sisi keamanan terlihat bahwa sepanjang kehidupan para pengungsi ini berada di bawah garis Tabel 2: Data Jumlah Pasukan non Organik Polri dan TNI di Poso Pasukan OPS SM I (6 Bulan)
OPS SM II (3 Bulan)
OPS SM III (3 Bulan)
OPS SM IV (3 Bulan)
OPS SM V (3 Bulan)
1/1-30/603 1/7-30/9/03 KBP.BRIMOB KBP RESKRIM
1/10-10/12/03 KBP BRIMOB
1/4-12/704 KBP RESKRIM
13/7/04-14/1/05 AKBP Poso AKBP Mrwl
POLDA Sulteng
2178
1765
1902
1692
1737
BKO
1016
525
421
889
425
TNI
968
845
900
1350
1350
Jumlah
4162
3135
3223
3931
3512
Sumber : Paparan Polda Sulteng pada Dialog Publik, Proyeksi Penegakan Hukum dan Rekonsiliasi di Poso Catatan : angka jumlah aparat keamanan yang di BKO di Poso tidak termasuk jumlah intelijen dari berbagai kesatuan (BIN, Mabes Polri, Kopasus)
5
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
BERITA UTAMA kemiskinan karena tinggal dirumah tidak layak huni, tanpa sumber penghasilan yang memadai, dan tanpa masa depan yang jelas. Untuk membantu para pengungsi, sebenarnya pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa bentuk program bantuan, seperti Jaminan Hidup, Bekal Hidup, Rumah Tinggal Sederhana (RTS), dan bahan bangunan rumah (BBR). Selain itu juga terdapat program rekonsiliasi untuk Poso, yaitu sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Malino I tahun 2001. Dalam pelaksanaannya, program-program itu dijalankan oleh Departemen Sosial dan Dinas Sosial Poso dan Kimpraswil. Sedangkan dana rekonsiliasi dan dekonsentrasi dikelola oleh Pemprov Sulteg, Pemkab Poso, dan kelompok Kerja Malino. Dana yang dianggarkan untuk pemulihan Poso sebesar 54 miliar rupiah. Untuk beberapa kasus yang ditemui di lapangan dan telah dilaporkan oleh masyarakat dan korban, terdapat manipulasi penyaluran dana bantuan kemanusiaan. Tercatat dana bantuan yang tidak tersalurkan (dana Jadup dan Bedup) ke 18.700 kepala keluarga (KK) atau 90.330 jiwa. Jika per KK Rp. 2 juta lima ratus, maka sebesar Rp 45 juta 175 ribu dana Jadup, Bedup atau BBR yang masih belum disalurkan (hasil investigasi LPSHAM Sulteng, Juli 2004). Sementara dugaan korupsi dana Jadup dan Bedup periode sejak Agustus 2003, yang saat ini ditangani Kepolisian daerah Sulawesi Tengah hanya senilai Rp 1,7 miliar dari dugaan sebesar Rp 2,2 miliar. Kasus ini diduga melibatkan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Poso dan jejaringnya (kejaksaan, polisi, kepala desa, dan usahawan). Dari kondisi tersebut terlihat bahwa dari jumlah dana pemerintah yang dianggarakan untuk pemulihan konflik Poso baru Rp 2,2 miliar yang diindentifikasikan oleh Kepolisian Poso. Sementara sisanya sekitar Rp 51,8 miliar masih tidak jelas nasibnya. Keterangan dari lapangan diketahui bahwa sekitar Rp 45 miliar rupiah hak masyarakat dalam bentu Jadup, Bedup dan BBR masih belum diterima masyarakat. Ini berarti masih ada 6,8 miliar rupiah yang belum digunakan, kemana dan oleh siapa? Selanjutnya, setiap operasi pemulihan keamanan yang dilakukan membutuhkan dana miliaran rupiah. Anehnya, setiap operasi Sintuwu Maroso akan berakhir-misalnya Januari 2005 selalu muncul kekerasan baru. Operasi itu diperpanjang dengan mempertahankan atau menambah pasukan. Miliaran rupiah kembali mengalir sebagai bentuk penyelesaian oleh pemerintah.
Ironisnya, ratusan miliar dana di balik program-program itu sama sekali tidak memberikan sumbangsih terhadap rehabilitasi pengungsi dan kekerasan bersenjata terus terjadi dimana-mana. Entah dan mengapa tidak berhenti. Tidak Mampu Menghentikan Kondisi Poso sampai saat ini jelas merupakan sebuah pembiaran dan pemeliharaan konflik yang mengakibatkan penderitaan panjang masyarakat Poso. Rentetan kekerasan terhadap warga Poso yang belum diselesaikan seperti, penembakan misterius, pengeboman, kekerasan aparat terhadap warga Poso dan kekerasan terhadap perempuan seperti perkosaan adalah bukti bahwa Poso belum bebas dari kekerasan. Anehnya, pola kekerasan tertutup seperti penembakan misterius dan pengeboman merupakan kekerasan yang intensitasnya cukup tinggi dan terjadi saat dimulainya gelar operasi intelijen pada Oktober 2003. peristiwa ini kerap terjadi pada waktu-waktu tertentu seperti Lebaran dan Natal. Puncak dari kekerasan yang terus terjadi adalah peristiwa ledakan bom di Pasar Tentena pada akhir Mei lalu. Ironisnya, upaya hukum terhadap tindak kekerasan tersebut sangat tidak berarti. Terbukti beberapa kali pihak kepolisian hanya menerima laporan dari masyarakat dan korban penembakan misterius. Dalam soal pengeboman pihak kepolisian tidak mampu menangkap dan menghentikan/memutus rantai peredaran bahan peledak. Polisi Beberapa kali melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dicurigai tetapi kemudian dilepas karena pihak tersebut terbukti bukan pelaku pengeboman. Rendahnya kemampuan polisi dan aparat negara lainnya yang diperbantukan seperti TNI dan Intelijen dalam mengamankan keadaan di Poso menjadi perhatian khusus yang sudah sewajarnya, terutama dari kalangan masyarakat. Lebih parahnya, kerja-kerja keamanan tersebut menguras banyak biaya negara atas nama “Pemulihan Poso”. Sampai saat ini telah dilakukan serangkaian biaya operasi keamanan, dari mulai Operasi Sintumu Maroso I sampai VI. Konflik menahun yang terjadi di Poso hanyalah menyisakan penderitaan warga dan tidaklah berlebihan kalau kiranya dapat disimpulkan sebagai wilayah yang terus dikonflikkan dengan target menjadikan wilayah ini sebagai basis militer (kekerasan) dengan perluasan instalasi militer seperti pembentukan Batalyon Infantri 714 Sintuwu Maroso dan Kompi C Brimob dengan alasan keamanan warga. Bukan hanya itu, bahkan penderitaan warga di Poso terus dimanfaatkan sebagai lahan proyek dan kesempatan bagi pemodal untuk menguasai aset-
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
6
BERITA UTAMA aset penghidupan masyarakat secara murah seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Sulewana, Pamona Utara Poso. Proyek-proyek ini merupakan korporasi terselubung antara militer dan pengusaha yang didukung oleh penguasa. Selain itu, operasi pemulihan ini telah menjadi bagian dari dana kemanusiaan untuk Poso yang
berjumlah miliaran rupiah. Selain dana kemanusiaan untuk masyarakat Poso yang harus diambil untuk pengamanan, dana kemanusiaan tersebut juga dikorupsi oleh penjabat Pemerintah Sulteng, Pemda Poso dan Kepolisian. Jelas bahwa ada rangkaian kejahatan yang terus memelihara penderitaan masyarakat Poso dari berbagai sisi, kekerasan dan korupsi.
“Menggugat Tanggungjawab Negara untuk Memenuhi Hak-Hak Korban Konflik di Poso Berupa Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan”
M
enyikapi berlarut-larutnya konflik di Poso, maka Kontras, PBHI, LPSHAM Sulteng, RPKP, CC GKST dan ICW melakukan kegiatan berupa konsolidasi dengan korban di Poso untuk memverifikasi data dan informasi data tentang permasalahan yang terjadi di masyarakat pasca konflik serta memetakan harapan atas terselesaikannya konflik. Rangkaian diskusi komunitas ini dilakukan di Kamp. Pengungsi Posunga Tentena, Desa Silanca, Desa Sepe, Desa Toyado, Desa serta Tokorondo, Pentangolemba dan Desa Pinedapa pada 19 – 21 Mei 2005. Kegiatan ini ditindaklanjuti dengan Diskusi Publik di Poso Kota, pada 23 Mei 2005 bertajuk Proyeksi Penegakan Hukum dan Rekonsiliasi di Poso. Diskusi ini menghadirkan narasumber, AKBP Victor Batara, Kepala Kejaksaan Negeri Poso, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Poso, Arfiandi, Indria Fernida dan Sumitro. Diskusi dihadiri oleh masyarakat Poso dan korban pelanggaran HAM di Poso. Selain itu, bersama dengan 11 orang korban pelanggaran HAM dari Desa Silanca, Desa Tentena, Desa Sepe, Desa Toyado, Desa Tokorondo, Desa Matako, Desa Wawopada, Desa Pentangolemba dan Desa Pinedapa Poso serta dari Palu Sulawesi Tengah, Solidaritas Masyarakat untuk Poso melakukan aksi malam keprihatinan bagi korban bom Poso di Bundaran HI, pada 31 Mei 2005. Aksi itu diikuti dengan melakukan pertemuan dengan beberapa instansi di Jakarta untuk menggugat penuntasan kasus – kasus pelanggaran HAM dan korupsi di Poso dan Sulawesi Tengah. Beberapa instansi tersebut adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, Kejaksaan Agung, Komisi III DPR RI, DPD Wilayah Konflik, Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Perumahan Rakyat dan ormas agama seperti PGI dan PBNU.
7
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
Secara khusus, Kontras, PBHI, LPSHAM Sulteng, RPKP, CC GKST dan ICW menyatakan : Mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM di Poso dengan melibatkan Komnas perempuan untuk menyelidiki kekerasan terhadap perempuan di Poso Mendesak KPK dan Kejaksaan Agung menindaklanjuti laporan korupsi dana kemanusiaan di Poso Mendesak Komisi III DPR untuk melakukan pengawasan dan koordinasi dengan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam menindaklanjuti laporanlaporan yang telah diberikan oleh korban Poso, serta memanggil Kapolri untuk meminta pertanggungjawaban masalah keamanan di Poso, segera membentuk tim audit independen untuk operasi keamanan di Poso, audit dana kemanusiaan, peredaran senjata, amunisi dan bahan peledak di Poso Mendesak DPD khusus daerah konflik untuk menindaklanjuti hasil kerjanya dengan melakukan pertemuan dengan Kapolri, Menkopolkam dan Kepala BIN Mendesak Menteri perumahan Rakyat untuk mengevaluasi dana kemanusiaan perumahan di Poso Meminta para tokoh agama dan organisasi agama untuk melakukan upaya preventif dan mengajak umatnya untuk tidak terprovokasi atas berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso Mendesak Kapolri untuk melakukan tugas pengamanan secara profesioanal dan terpadu Mendesak Presiden dan jajaran pemerintah untuk memberikan hak-hak korban berupa kebenaran, keadilan dan pemulihan (kompensasi, restitusi dan rehabilitasi) ***
BICARA
Konflik Poso
Potret Kegagalan Negara Menegakkan HAM Syamsul Alam Agus*
T
idak ada yang bisa mengurai mengapa kekerasan di Poso hingga kini terus saja berlangsung. Tragedi kemanusiaan itu sudah memasuki tahun ke tujuh dengan kawalan perasaan terluka yang membuncah. Konflik yang sering dianggap konflik antar agama ini bermula pada tahun 1998, pernah jeda pada tahun 1999. Tapi tahun 2000 ditandai sebagai konflik Poso yang massif sehingga kemanusiaan menjadi terkoyak. Ribuan nyawa, rumah ibadah, tempat tinggal dan fasilitas umum ludes oleh amarah. Sepanjang tahun 2001, kehidupan warga di Kota Poso sebagai titik sentral pertikaian, berlangsung bagai api dalam sekam. Dipermukaan terlihat tenang, namun tiba-tiba aksi-aksi sporadis meletus disana-sini. Wilayah pertikaian tak lagi di pusat kota, tetapi telah bergeser dibeberapa tempat di pinggiran kota. Khususnya di kawasan Kecamatan Poso Pesisir maupun di sekitar Kecamatan Lage. Dalam tahun tersebut kedua pihak yang bertikai di Poso sudah hancur-hancuran. Kedua belah pihak sudah banyak meninggalkan duka. Sepanjang tahun 2001 saban pekan ada-ada saja nyawa orang Poso melayang. Penembak misterius bergentanyangan membidik setiap warga Poso yang lengah. Pengeboman entah di bus, di pasar-pasar dan tempat terbuka kerap terjadi. Isu penyerangan di dua kelompok sangat santer sehingga kedua kelompok yang bertikai masing-masing mempersenjatai diri. Perang grafiti juga tak terelakkan. Mereka mencoret di dinding rumah yang habis terbakar. Kata-katanya pun mengundang reaksi emosional untuk berperang. Ketegangan memuncak karena milisi sipil dari dua kelompok bertikai secara terang benderang memamerkan diri. Laskar Jihad dari pihak Islam dan Laskar Manguni dari pihak Kristen berakting dilapangan. Anak muda Poso pun tak segan-segan menenteng senjata rakitan, meski itu disiang bolong. Malam harinya, percobaan bom berdentang nyaring membelah kesunyian. Sepanjang tahun itu kota Poso diliputi suasana perang. Kota Poso hanya diisi oleh milisi dan aparat keamanan yang sama-sama menenteng senjata. Massifnya kekerasan yang terjadi di Poso juga berawal dari keengganan aparat keamanan untuk menyelesaikan tindakantindakan kriminal yang terjadi dalam masyarakat, terutama kasuskasus yang kerapkali melibatkan anggota masyarakat yang berbeda agama dan etnis. Keengganan ini disinyalir berkaitan atau saling mendukung dengan adanya kepentingan-kepentingan
politis elit pemerintah dalam rangka mobilisasi massa untuk perebutan jabatan politis. Dalam kelanjutannya, ada inisiatif pemerintah untuk merancang rekonsiliasi bagi pihak-pihak yang berkonflik dengan dideklarasikannya 10 butir kesepakatan yang dikenal dengan Deklarasi Malino untuk Poso pada tanggal 20 Desember 2001. Gayung bersambut, perwakilan masyarakat Poso yang hadir pada pertemuan Malino itu memberi respon positif atas prakarsa damai dibumi Sintuwu Maroso, sebuah consience collective yang menggambarkan kekerabatan warga tanah Poso, karena arti harafia Sintuwu Maroso itu sendiri adalah persekutuan hidup yang kuat. Nilai-nilai kekerabatan itu hadir ketika suasana warga masih diwarnai oleh harmoni sosial yang penuh toleransi. Kelihatannya pemerintahan Megawati saat itu menunjukkan komitmennya menindaklanjuti 10 butir kesepakatan Malino I dengan mengutus tiga Menteri dan beberapa pejabat setingkat Menteri ke Poso. Namun bukannya membuat Kota Poso makin tenang, karena disaat yang bersamaan, ditemukan lagi mayat yang menjadi korban. Saat para menteri itu kembali ke Jakarta, bukannya solusi yang diperoleh, tapi Kepala Badan Informasi Negara, Jenderal Hendropriyono yang juga mengikuti kunjungan para menteri itu ke Poso, mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial. Hendro menyatakan kalau didusun Kapompa disekitar pinggiran kota Poso terdapat tempat latihan perang pasukan Alqaidah pimpinan Osama Bin Laden. Pernyataan Hendropriyono itu benar-benar menyedot perhatian publik secara nasional dan internasional. Poso tiba-tiba menjadi sebuah titik perhatian dunia, karena disaat yang bersamaan Pemerintah Amerika berusaha mengejar seluruh jaringan Alqaidah dimanapun berada. Oleh Kapolda Sulteng, Brigjend (Pol) Zainal Abidin Ishak pernyataan itu dibantah bahwa tidak terdapat tempat latihan perang-perangan milik jaringan Usama Bin Laden seperti yang dituduhkan Hendro. Ditengah suasana konflik Poso yang belum mereda benar, Panglima Tinggi TNI memutuskan untuk menggelar latihan gabungan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) pada seluruh elemen pasukan TNI dan Polri di Kabupaten Poso. Sebagai bentuk implementasi dari 10 Butir kesepakatan Malino I, Pemerintah kemudian menggelar Operasi pemulihan keamanan dengan sandi operasi Sintuwu Maroso dan kini telah memasuki tahap ke-VI. Operasi ini terus diperpanjang tanpa evaluasi
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
8
BICARA menyeluruh oleh Negara setiap 3 atau 6 bulan masa berakhirnya. Melalui operasi Sintuwu Maroso telah ditempatkan 3512 Pasukan non-organik TNI – Polri. Bahkan sejak oktober 2003, ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat sebagai Menko Polkam telah memutuskan gelar operasi Intelejen untuk mengungkap berbagai peristiwa kekerasan yang terus terjadi di Poso, yang kemudian melebar sampai ke Morowali dan Kota Palu sebagai Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah. Bukan hanya intel-intel dari BIN dan Mabes Polri yang terus mengintai Poso, satu regu dari Kopasus juga telah tersebar dibeberapa wilayah di Poso sejak tahun 2000. Sedangkan pada tahun 2004, pemerintah juga telah merestui pembentukan satu batalyon 714 Sintuwu Maroso. Bukan hanya TNI, Polri pun dapat jatah dengan didirikannnya satu kompi Brigade Mobil (Brimob) di Poso. Harapan warga bahwa melalui kesepakatan Malino I dengan segala bentuk tindaklanjutnya mampu merubah kondisi Poso lebih baik telah mengalami ancaman kegagalan besar. Ditingkatan legislatif (DPR-RI) pun telah membentuk tiga kali Panitia Khusus (pansus) untuk Poso, namun tetap sia-sia karena tidak dikuti oleh niatan yang serius oleh pemerintah maupun anggota Pansus Poso itu sendiri. Rekomendasi pansus “mandul” karena tidak menyentuh substansi dari penyelesaian konflik di Poso disamping kekuatan politik dari rekomendasi itu sendiri yang tidak bersifat mengikat.
Pernyataan-pernyataan itu sulit di buktikan. Yang jelas, sampai saat ini Kepolisian telah memeriksa 105 warga sebagai saksi dan telah dilakukan penangkapan, penahanan yang disertai peyiksaan terhadap 24 warga di Poso. Bahkan pernyataan Wakil Presiden, Yusuf Kalla yang memberikan dead line kepada kepolisian untuk bisa mengungkap pelaku dan motif peristiwa pemboman tidak terbukti. Penangkapan yang disertai penyiksaan terhadap warga telah terjadi. Pola pengkambinghitaman berulang lagi untuk menjawab “nafsu” sang wakil presiden. Seketika pernyataan-pernyataan itu tidak bermakna apa-apa kecuali kegagalan pengungkapannya. Pemeliharaan kekerasan di Poso juga telah berhasil membalikkan perhatian masyarakat terhadap pembangunan proyek-proyek besar, hasil koorporasi antara militer dan pengusaha. Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Sulewana oleh Bukaka Group (milik keluarga Yusuf Kalla) saat ini dalam tahap perampungan dengan melibatkan satuan Armed TNI (Kodan VII Wirabuana). Paska bom di Tentena juga telah direncanakan akan dibangun satu batalyon TNI di Tentena yang saat ini sudah dalam tahap pembebasan lahan-lahan warga di desa Saojo, Pamona Utara. Konflik perkepanjangan di Poso telah menggambarkan kepada kita bahwa negara telah gagal menghentikan kekerasan, bahkan telah menjadi bagian dari skenario kejahatan terhadap kemanusiaan.
Badan Intelijen Negara Untuk kondisi Poso saat ini, Untuk kondisi Poso saat ini, penting adanya (BIN) pun tak ketinggalan penting adanya penggalangan kekuatan bersama untuk mengambil peran untuk peng galangan kekuatan mendamaikan Poso. menggugat tanggung jawab negara dalam bersama untuk menggugat Sekitar akhir April 2005, tang gung jawab negara memenuhi hak-hak korban Poso berupa Syamsir Siregar, Kepala dalam memenuhi hak-hak kebenaran, keadilan dan rehabilitasi. BIN mengundang para korban Poso berupa pemuka agama dan kebenaran, keadilan dan masyarakat (Islamrehabilitasi. Upaya ini harus Kristen) ke Jakarta untuk membicarakan masa depan Poso yang diikuti keinginan serius semua pihak termasuk pemerintah untuk sudah “berangsur-angsur damai”. Pertemuan terus digelar yang segera: (1) mengevaluasi secara menyeluruh operasi pemulihan pada akhirnya kedua tokoh agama yang hadir bersepakat keamanan termasuk operasi intelijen di Poso karena berlarutmendeklarasikan point-point kebersamaan untuk perbaikan larutnya penderitaan dan berlanjutnya kekerasan terhadap warga situasi di Poso, antara lain (1) Penghentian Kekerasan di Poso disebabkan ketidakjelasan arah dan koordinasi satuan operasi (2) Mengawal proses PILKADA yang aman di Poso dan ke (TNI, Polri, BIN dan Kopassus) yang ada di Poso. Menjadi (3) adalah meminta kepada pemerintah untuk secara serius penting untuk diperhatikan langkah strategis penghentian mengawal proses rekonsiliasi grass root di Poso. Masih dalam peredaran senjata, amunisi dan handak ke Poso (2) Untuk segera perjalanan para perwakilan masyarakat itu menuju Poso, dua melakukan audit dana kemanusiaan dan operasi keamanan yang bom berkekuatan high explosive pada tanggal 28 Mei 2005 selama ini di gunakan untuk Poso. Korupsi yang telah terjadi di meledak di depan pasar induk Tentena. Akibat peristiwa ini 22 Poso juga telah melibatkan aparat Pemda setempat (Provinsi dan warga meninggal duni dan 92 lainnya luka berat dan ringan. Kabupaten Poso), Polisi, TNI dan usahawan (3) pembentukan Umumnya korban adalah anak-anak dan perempuan. tim independen untuk pengungkapan kebenaran atas peristiwa Perhatian pemerintah dan dunia internasional seketika tertuju ke yang terjadi di Poso (4) penegakan hukum tanpa diskriminasi Tentena. Berbagai spekulasi atas peristiwa itu terus bermunculan dengan menjunjung tinggi HAM (5) segera merehabilitasi dan melalui media cetak dan elektronik. Mulai dari keterkaitan mendukung upaya rekonsiliasi berbasis pada korban di Poso. pengusutan dugaan korupsi dana kemanusiaan untuk Poso sampai pada tuduhan adanya jaringan terorisme internasional di Poso * Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPSHAM) Sulawesi Tengah pada peristiwa pemboman itu.
9
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
SUARA KORBAN
Dikubur Hingga Digantung Agar Mengaku
P
oso kembali menangis. Derita warga sipil-pun seakan tak berhenti. Jerit tangis terus terdengar, seakan tak kunjung henti. Poso terluka kembali, saat dua bom meledak di Tentena. Ironisnya, aparat penegak hukum kembali pula “kebakaran jenggot”. Entah mengapa, pola yang sama terulang kembali. Demi untuk menemukan dengan cepat pelaku peledakan bom, polisi secara membabi-buta mencari, menangkap dan setelah itu melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang menurutnya (baca: polisi) dicurigai. Dan tangis serta luka terdengar lagi. Kali ini bukan karena bom, tapi oleh tangan-tangan aparat penegak hukum itu sendiri.
tiba ia diberi cangkul dan disuruh menggali tanah. Jumeri hanya mampu melaksanakan perintah itu tanpa tahu untuk apa. Sampai kedalaman sekitar satu meter, Jumeri disuruh masuk. Tapi karena ia menolaknya, Jumeri dipaksa masuk dengan cara ditendang. Setelah itu ia ditimbun sebatas leher dan diberi rica (cabe) dan dipaksa memakannya. Tak selesai penyiksaan itu, kepala Jumeri dipukul dengan cangkul dan Jumeri-pun diancam akan ditembak di kepala. Tawa Wakapolres Jumeripun bertutur, saat dibenamkan di tanah, Wakapolres Poso, Riky Naldo berada di depannya. Sambil tertawa ia meminta Jumeri mengakui semua tuduhan di atas. Tapi Jumeri tetap tak mengakuinya, lantaran ia memang tak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Bahkan, menurut Jumeri, tiba-tiba Wakapolres sendiri yang memukul kepalanya dengan cangkul sambil terus menimbun dirinya. Jumeri ingat, di kepalanya ada empat moncong senjata dalam posisi siap tembak.Lalu ia diperintahkan bangun, tapi Jumeri tak mungkin bisa bangun karena ia sudah ditimbun tenggelam dan tak bisa bangun. Pada saat itulah tiba-tiba ada Pak Saidi (warga lain) yang menyaksikan peristiwa ini.
Jumeri (23 thn) hanya seorang petani biasa. Rabu (1/6), sekitar pukul 15.00 Wita, saat itu ia sedang berada di kebun membelah coklat (kakao). Tiba-tiba datang Mungkin karena ada Pak Saidi, setelah 30 menit timbunan beberapa orang Brimob yang tanpa kejelasan Jumeri digali. Tapi penyiksaan itu belum berhenti, karena membawanya ke Pendolo (Ibukota Kecamatan Pamona setelah itu Jumeri direndam di sungai yang berada di Selatan, Kabupaten Poso), untuk diinterogasi secara sekitar lokasi kebunnya. “Saya direndam lalu dinaikkan. paksa. Kejadian ini berlangsung pada Rabu (1/6). Belum Terus berulang sebanyak empat kali. Setelah itu saya sempat diinterogasi, tiba-tiba Jumeri mendapat pukulan dibawa pergi. Tapi sepanjang jalan saya dipukuli oleh Wakapolres Poso dan dipaksa mengaku bahwa ia-lah yang meletakkan bom di pasar Tentena. Saat dibenamkan di tanah, Wakapolres dengan tangan. Karena merasa tidak pernah meletakkan Poso, Riky Naldo berada di depannya. Setelah itu saya bom itu, Jumeri tidak mengakuinya. Sambil tertawa ia meminta Jumeri ditaruh di Polsek Pamona Selatan di mengakui semua tuduhan di atas. Tapi Pendolo dan Jumat Interogasi-pun tetap dilanjutkan. Kali ini Jumeri tetap tak mengakuinya, m a l a m Jumeri dipaksa mengaku bahwa dirinya pernah memerangi Mamasa (Mamasa lantaran ia memang tak melakukan d i b e r a n g ka t k an ke Polsek Poso. adalah salah satu kabupaten yang pernah perbuatan yang dituduhkan. Disini saya mengalami kerusuhan antar warga di tahun 2004-2005). Lantaran merasa tak terlibat, Jumeri- diborgol sampai jam empat subuh, lalu jam lima kami pun tidak mengakuinya. Karena inilah, Jumeri harus diberangkatkan ke Polres Poso,”ungkap Jumeri. kembali menerima pukulan yang bertubi-tubi dari petugas kepolisian Mabes Polri. Selama dalam interogasi di Polres ini, Jumeri terus dipaksa, disertai dengan pukulan bertubi-tubi untuk mengakui Kamis malam, Jumeri dititipkan di Polsek Pamona bahwa ia yang meletakkan bom di Tentena dan bahwa ia Selatan. Entah mengapa, siang harinya Jumeri dibawa ke juga terlibat dalam kerusuhan Mamasa. Tapi Jumeri tetap kebun, katanya harus membantu mencari Pak Tayib. Tiba- tidak mengakui semua perbuatan yang dituduhkan
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
10
SUARA KORBAN tersebut (karena memang ia tidak melakukannya). Perlakuan dan penyiksaan ini harus Jumeri terima siang sampai subuh. Selain pernah menerima pukulan dengan kayu, Jumeri-pun pernah digantung. Waktu itu Jumeri digantung di Pendolo, dengan kaki diatas dan kepala dibawah. (Jumeri di gantung tepat di Hotel Mulia Pendolo. Jumeri mengaku ia juga harus menerima pukulan dari 15 intel saat itu. Jumeri sendiri dapat menandaikan mereka intel karena ia sendiri sering melihatnya).
Kini Jumeri memang telah dibebaskan. Selama hampir 10 hari Jumeri harus menerima perlakuan tidak manusiawi dan dirampas hak-haknya dalam mendapatkan perlakuan hukum yang tidak adil dari petugas. Jumeri mungkin hanya salah satu dari warga lainnya yang harus menerima perlakuan kekerasan dari aparat hukum, yang jelas-jelas merupakan pelanggaran HAM. Padahal Jumeri hanya petani biasa. Petani di Poso yang terus dilanda konflik hingga kini.***
Berharap Kapten Cepat Bebas Bersama dua rekan lainnya, Yamin Labuso, Erikson Hutagaol, Resmiadi, disandera oleh kelompok Abu Sayyaf Philipina,saat berada dan berlayar di perairan Malaysia. Selama lebih dua bulan, Yamin dan dua rekan lainnya, berpindah-pindah tempat dari satu pulau ke pulau lainnya. Tekanan dalam tangan sandera, ditambah tidak ada kabar apakah akan dibebaskan atau tidak, membuatnya frustasi dan nyaris putus harapan. Ketika ia berhasil dibebaskan, Yamin tetap merasa sangat sedih. Karena, sang kapten, Resmiadi, belum dapat dibebaskan hingga kini.
M
alam, Selasa itu, lelaki tamatan STM ini seperti ada firasat. Ia merasa tidak tenang. Ayah dari seorang putra yang belum genap berumur dua tahun ini, seperti merasa akan ada sesuatu. Meski ia tidak tahu kegelisahannya mengapa, Yamin, mencoba tidak terlalu mengikuti perasaannya. Ia menyakini dirinya bahwa tidak ada yang akan terjadi, karena selama hampir lima tahun bekerja di kapal, ia tidak pernah mengalami insiden apapun. Namun, kegelisahan dan feeling itu makin bertambah ketika seminggu setelah berangkat dari Pulau Tarakan, Kalimantan, memasuki perairan Malaysia. Ia dan enam kru kapal termasuk sang kapten, sudah harus mendapatkan pemeriksaan dan dirazia sampai dua kali. Pemeriksaan yang dilakukan agaknya dikaitkan dengan masalah Ambalat. Razia dua kali itu terjadi pada hari yang sama, yakni pada hari Rabu, 30 Maret 2005.. Tak lama lepas dari pemeriksaan razia, saat berada di pulau Menangki, tiba-tiba sebuah speed boat berkecepatan tinggi telah menempel kapal mereka dari arah seberang kanan. Waktu diteropong mereka mengira rombongan tersebut polisi, karena mengenakan baju tentara/loreng. Tapi setelah kapal dekat, baru mereka sadar kalau enam orang penumpang speed boat itu bukanlah polisi meski semuanya bersenjata lengkap. “Setelah mempet, dua orang naik ke kapal. Mereka menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Taose. Tiba-tiba mereka bertanya pada Erik, muslim atau Kristen. Erik menjawab non muslim. Lalu mereka mencari kapten, Resmiadi. Tak lama mereka menunjuk saya, Erik dan kapten, sambil berkata…you..you…go. Saya sempat pula ditanya muslim atau bukan. Saya menjawab muslim dan mereka
11
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
menyuruh saya mengucapkan dua kalimat syahadat. Anggota lainnya langsung naik. Mereka menodongkan senjata, dan menyandera serta membawa kami menuju speed boat. HP, dompet, serta lainnya, diambil semua oleh mereka,” ujar Yamin. Dengan sembilan orang berada di speed boat, siang itu, Yamin dan dua rekannya dibawa berlayar. Baru saat magrib mereka tiba di sebuah pulau, lalu makan, mengisi bensin, dan kembali melanjutkan perjalanan. Rombongan ini tiba di pulau lainnya. Di Pulau ini mereka menetap selama dua hari. Mulai saat itulah Yamin harus mengikuti rute mereka. Berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau lainnya. Selama berada dalam sandera, Yamin masih diperlakukan dengan baik. Apapun yang mereka makan, pasti mereka-pun diberi. Meski kadang mereka hanya makan sekali dalam sehari atau bahkan tidak sekalipun. Kelapa dan bubur jadi santapan makanan mereka. Malam menjelang, Yamin hanya dapat tidur di tanah atau menggunakan alas daun kelapa, sedang para penyadera tidur di interval. Untuk pakaian, Yamin hanya bisa pasrah dengan baju satu-satunya yang masih melekat di badan. “Sejak berpindah-pindah itu perasaan saya selalu ketakutan dan tidak pernah tenang. Kalau pun bisa tidur paling-paling hanya tidur ayam. Saya sempat juga menderita sakit diare. Rasa takut dan putus asa terus ada di diri saya. Awalnya, setelah beberapa hari diculik ada berita di radio. Dari situ saya tahu kalau mereka meminta tebusan sebanyak 3 juta ringgit untuk kami bertiga. Tebusan itu mereka minta pada bos kami. Ternyata, mereka awalnya ingin mencari sandera
SUARA KORBAN China atau Malaysia, karena mereka anti Malaysia. Mereka meminta tebusan sebagai dana untuk pejuangan yang sedang mereka lakukan. Mereka mengatakan berjuang agar merdeka. Maka tebusan itu sangat mereka butuhkan,” kata Yamin. Tekanan Bertambah Selama 40 hari, Yamin masih bersama-sama kapten untuk akhirnya dipisahkan. Pertemuan terakhir dengan kapten, ia masih sehat. Mereka harus selalu berpindah-pindah, paling lama hanya dua hari menetap di satu tempat/pulau. Kadangkadang tekanan makin terasa ketika para penyadera mengatakan, tidak yakin apakah mereka bisa pulang atau tidak, bila uang hasil tebusan tidak diberikan.
pembebasan waktu yang paling menegangkan, karena disitulah hidup dan mati dirinya. Bila berhasil lolos maka mereka bisa terus hidup. “Penjaga saya ada dua orang. Yang satu sudah tidur. Lalu saya beralasan ingin buang air besar. Penjaga lalu mengatakanya cepat. Saat itulah saya lari dan terus berlari, ternyata Erik sudah menunggu di bawah bersama intel. Lalu kami bertiga lari dan berlari. Belakangan saya baru tahu kami dibebaskan tentera Philipina. Saat pertama bertemu, pasukan tentara Philipina mereka sempat menodong. Mereka menanyakan apakah saya benar Erik dan Yamin. Kami jawab ya. Lalu kami ikut satu pasukan, sedang pasukan lain saya tidak tahu pasti, tapi kelihatannya mereka menyerbu. Kami berlari dari jam 12 malam hingga pukul 6 pagi. Selanjutnya menneruskan perjalanan bersama tentara keluar masuk hutan, turun gunung. Sampai ke markas pukul 6 pagi. Dari situ kami diterbangkan dengan helicopter ke Sambuarga. Hingga akhirnya kami bebas tepatnya pada tanggal 12 Juni dan dipertemukan dengan perwakilan dari Indonesia oleh tentara Philipina,” tutur Yamin.
“Saya hanya bisa berdoa. Sempet putus harapan dan sangat frustasi di satu bulan pertama karena tidak ada berita. Yang kami tahu, bos kami tidak punya uang dan tidak sanggup membayar tebusan tersebut. Waktu masih bertiga kami masih bisa saling menguatkan. Tekanan itu benar-benar menyiksa, terlebih lagi Erik. Ia lebih sering diancam, mau dipotong lehernya atau ditembak karena ia bukan muslim. Saya pun Meski kini Yamin sudah bebas, ia masih sangat sedih karena tidak ingat tanggal dan hari lagi. Saat telah dipisahkan dengan hanya ia dan Erik yang bisa dibebaskan. Sang kapten belum kapten, bila saya dengan Erik duduk berdua langsung bisa bebas karena saat pembebasan kapten kapal sudah dipisahkan. Mungkin mereka takut kami mengatur siasat. dipisahkan dari rombongan besar tempat ia dan erik disekap. Ya..mereka rata-rata baik. Tapi karena ingin merdeka dan Tapi, Yamin masih yakin tentara disana bekerja keras mencari dan berusaha membebaskan kapten. demi perjuangan, Dirinya dan Erik sangat berharap agar maka kadang mereka Saya stres kalau sering ditanya detil, seperti kapten dapat segera dibebaskan. sangat keras pada membuka kisah yang ingin saya lupakan. Beberapa hari setelah bebas, ia kami,” ucap Yamin. Terlalu mengerikan kalau saya ingat. Kadang bertemu dengan orang tua kapten. itu Yamin hanya mampu Takala teringat anak saya sering menangis, sering mimpi dan Saat mengatakan agar mereka sabar dan yang baru berumur masih belum bisa tidur nyenyak. berdoa,agar kapten cepat bebas. dua tahun, dan bila “Sekarang saya mau istirahat dulu, dua rasa kangen begitu menderanya, Yamin hanya bisa menangis mengingat anak dan atau tiga bulan ini. Saya stres kalau sering ditanya detil, seperti isterinya yang berada di Bali. Ia menikah saat tugas dan membuka kisa h yang ingin saya lupakan. Ter lalu singgah berlayar di Bali, empat tahun lalu. Namun, semua menger ikan kalau saya ingat. Kadang saya ser ing kerinduan itu hanya mampu ia simpan dalam dirinya. Dan, menangis, sering mimpi dan masih belum bisa tidur nyenyak. Ya karena selama disandera, kami selalu ditekan keadaan ini membuatnya kian terasa tertekan. dan berada dalam situasi tekanan yang begitu tinggi. Hari terus berjalan. Ternyata dalam rombongan tersebut ada Ditakut-ditakuti. Semuanya butuh waktu. Saya masih satu orang intelinjen yang menyamar. Intel dari tentara trauma, tapi masih ingin kerja di kapal. Tapi kalau kapal lewat disana, saya tidak mau. Sekarang ini saya mau Philifina ini menyamar selama 10 hari dalam pasukan ketemu isteri dan anak saya di Bali, baru ke Tertane penyadera. Yamin, bertutur, sehari sebelum bebas, dia bertemu ibu dan keluarga disana. Sekarang hanya ingin (intelijen) ini mendekati dirinya dan mengatakan bahwa nanti memikirkan keluarga dulu. Saya akan berusaha bekerja ada tentara Philipina yang akan membebaskannya. Mereka lagi nanti bila semua sudah sedikit tenang. Karena saya akan datang sekitar jam 12 malam. Intel ini mengingatkannya punya cita-cita, untuk menyekolahkan anak saya setinggi agar keluar saat peyerbuan. Bila Yamin dan Erik tidak keluar, mungkin dengan kemampuan saya. Saya juga ingin maka ia tidak akan bertanggungjawab. Sorenya, malam mengucapkan terimakasih pada Kontras karena saya tahu sebelum lari mereka sudah mengatur siasat, Intel ini juga Kontras punya adil besar dalam pembebasan saya ini,”ujar mengingatkan agar jangan sampai tertidur. Bagi Yamin proses Yamin mengakhiri wawancara.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
12
JEJAK SANG PEJUANG
Terus Berjuang
di Samping Tim Penyidik Baru Polri Masa kerja TPF Munir telah berakhir pada 23 Juni lalu. Tim penyidik Polri-pun dibentuk. Mantan Ketua TPF Bridjen Marsudhi diangkat kembali menjadi Ketua Tim Khusus yang beranggotakan 30 orang dari berbagai unsur Polri. Presiden SBY berjanji akan menuntaskan kasus ini. Kita lihat dan jangan lengah menagih janji tersebut, sambil terus berjuang agar kasus ini dituntaskan dan otak pelakunya ditangkap dan diadili.
M
eski terus terhadang oleh sejumlah kendala, pengusutan kasus pembunuhan Munir oleh TPF, di awal Mei lalu, tepatnya (09/5) akhirnya berhasil meminta keterangan mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Djazuli. Pertemuan ini berlangsung selama dua jam di Sekretariat TPF di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat.
Minggu kedua Mei (12/5) TPF mendatangi kantor BIN untuk memeriksa sejumlah dokumen terkait dengan prosedur dan aturan di lembaga telik sandi tersebut. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari data yang terkait dan dibutuhkan bagi pengusutan kematian Munir. Penahanan Polly Diperpanjang
Hasil pertemuan yang berlangsung sangat tertutup itu, semakin memperkuat keyakinan TPF adanya anggota dan mantan anggota BIN yang terlibat. Hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk menelusuri fakta-fakta tentang dugaan yang telah dimiliki TPF berkenaan dengan adanya indikasi tersebut. Sedang pada tanggal (11/5) TPF kembali melaporkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan kepada Presiden SBY di Istana Negara. Dalam pertemuan itu, Presiden mengharapkan agar hambatan yang selama ini dialami oleh TPF dapat dieliminir. Presiden juga meminta TPF Munir lebih mengefektifkan dan meningkatkan koordinasi serta kerjasama antar instansi terkait untuk mendapatkan hasil yang lebih signifikan. Menanggapi kendala yang ditemui oleh TPF, Presiden menyampaikan agar pejabat atau instansi terkait mendukung suksesnya pekerjaan TPF. Presiden mengingatkan, TPF dibentuk berdasarkan Keppres, sehingga diharapkan tidak ada hambatan dan kendala untuk mengungkapkan kasus meninggalnya Munir. Usai pertemuan, Presiden memanggil Menkopolhukam Widodo AS, Menkumham Hamid Awaluddin, serta Jaksa Agung Abdurrahman Saleh. Pemanggilan ini dilakukan untuk lebih meningkatkan efektifitas penegakan hukum, termasuk untuk membantu proses penyelesaian perkara Munir itu sendiri. Sementara itu Nurhadi Djazuli, mantan sekretaris Badan Intelijen Nasional (BIN) (11/5) menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Mabes Polri. Sebelumnya Nurhadi (9/5) lalu juga diperiksa oleh TPF. Menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komjen Pol Suyitno Landung, pemeriksaan itu dilakukan sehubungan dengan keterkaitan Nurhadi dengan tersangka yang sudah ditetapkan, Pollycarpus Budiharjo, pilot Garuda Indonesia.
13
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
Penahanan Pollycarpus tersangka pembunuh Munir diperpanjang 30 hari (17/5). Hal itu dilakukan karena Pollycarpus masih dibutuhkan keterangannya untuk membongkar kasus pembunuhan tersebut, selain itu, berkasnya belum lengkap. Menurut Irjen Pol Ariyanto Anang Boediharjo, Divisi Humas Mabes Polri, status Pollycarpus adalah tahanan pengadilan. Usman Hamid (anggota TPF) mengatakan, perpanjangan masa penahanan Pollycarpus harus dilakukan karena terkait erat dengan jaminan keselamatan jiwa Pollycarpus sebagai tersangka sekaligus saksi kunci, yang keterangannya dapat mengungkap siapa otak pelaku pembunuhan Munir. Akan ada resiko besar yang bisa dihadapi oleh Pollycarpus, dengan statusnya sebagai saksi sentral jika ia dilepaskan. Penyelidik Polri pada (17/5) meminta keterangan dari mantan pejabat BIN Muchdi PR. Muchdi dimintai keterangan sebagai saksi. Lambannya penyelidikan kasus Munir ini membuat ssejumlah LSM merasa prihatin. Forum Solidaritas Pembela HAM Indonesia menilai bahwa Polri lamban dalam menangani kasus kematian Munir. Padahal hal ini akan bisa berdampak buruk secara politis dan merugikan Presiden SBY, yang juga sudah berkomitmen mengeluarkan Keppres No.111/2004 tentang pembentukkan TPF Munir. Akan tetapi, rekomendasi TPF sering tidak dijalankan oleh Polri. Dalam pernyataan sikapnya, mereka meminta Presiden mampu menindak tegas aparatnya yang mencoba menghambat kinerja TPF Munir. Polri juga didesak agar tidak ragu-ragu menyelidiki para anggota BIN yang diduga terlibat walaupun harus berhadapan dengan unsur-unsur TNI dan polri, baik yang masih aktif maupun purnawirawan.
JEJAK SANG PEJUANG Wakil Ketua TPF Munir, Asmara Nababan seusai bertemu dengan Presiden (18/5) mengatakan bahwa hubungan antara Penjabat BIN dan Pollycarpus terus dipersoalkan. “Yang kami laporkan pada Presiden, adanya kontak antara Pollycarpus dengan seseorang BIN beberapa kali. Itu kontak yang menandakan adanya hubungan yang selama ini dibantah. Tetapi, siapa orang itu? Itu yang harus kita letakkan secara hati-hati agar tidak menimbulkan sangkaan dan memojokkan atau mengkambinghitamkan BIN sebagai institusi,” ungkap Asmara. Dari data yang ditemukan, kontak itu ada melalui telepon, dimana nomor telepon yang tercatat adalah telepon BIN dan nomor pejabat BIN. Sedangkan Presiden SBY meminta TPF memberikan rekomendasi kepada penyidik agar temuan-temuan itu ditindaklanjuti. TPF Munir (18/5) untuk kedua kalinya, memeriksa mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Sjazuli. Pemeriksaan berlangsung selama empat jam di Gedung Pusat Pendidikan dan Latihan Departemen Luar Negeri. Pertemuan ini dilakukan karena TPF menilai, pihaknya tidak puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan Nurhadi atas 10-15 pertanyaan yang diajukan. Usmad Hamid mengatakan, sulit mendapat keterangan rinci yang dibutuhkan TPF Munir. Jawaban Nurhadi malah semakin memunculkan banyak pertanyaan lain yang harus ditindaklanjuti.
terkesan bahwa dokumen yang diberikan itu baru dibuat/isinya terasa sumir. Untuk itu, TPF mengharapkan perhatian DPR untuk mendorong agar apa yang telah disepakati pimpinan BIN dengan TPF juga dapat diimplementasikan stafnya. Belajar dari kasus ini, TPF juga mengusulkan DPR untuk merestrukturisasi lembaga intelijen, termasuk soal pertanggungjawaban yang ketat atas sebuah operasi intelijen. Sebuah “permainan sandiwara” lain dipertunjukan oleh Mantan Ketua BIN Hendropriyonopriyono di akhir Mei (29/5). Hendropriyono mengadukan dua anggota TPF Munir, Usman Hamid dan Rachland Nashidik ke polisi. Kedua anggota TPF ini dilaporkan karena telah menyebarkan fitnah, mencemarkan nama baik, dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Hendropriyonopriyono datang ke Kantor Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI bersama sejumlah penasehat hukumnya. Salah satu hal yang membuat Hendropriyono merasa difitnah adalah pernyataan Usman dan Rachland di media yang menyebutkan bahwa ia tinggal di Amerika Serikat dan seolah-olah menghindari pertemuan dengan TPF. Sementara itu TPF Munir mempersilakan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono melanjutkan pengaduan dan gugatannya ke kepolisian terkait tuduhan pencemaran nama baik, fitnah, dan perbuatan tidak menyenangkan. Gugatan itu selain dinilai tidak bersifat esensial, juga tidak berpengaruh pada kerja penyelidikan TPF. Bahkan, TPF tetap akan berencana memang gil Hendropriyonopriyono.
Untuk itu, TPF Munir akan menindaklanjutinya ke dalam tiga tahapan. Tahap pertama, mendalami keteranganketerangan Nurhadi. Tahap kedua, meng- cross-check seluruh keterangan Nurhadi, baik pada pemeriksaan pertama dan kedua, dengan saksi lain, informasi, dan petunjuk lain yang dimiliki TPF Munir, termasuk dibandingkan dengan keterangan Nurhadi ketika diperiksa di kepolisian. Merasa Dihambat BIN
Aksi demo di depan Istana Negara. (Dok. KontraS)
Sementara itu TPF juga menilai bahwa BIN tidak kooperatif dalam pengungkapan kasus terbunuhnya Munir. Dalam menjalankan tugas, tim yang dibentuk lewat keputusan Presiden itu menghadapi perlakuan yang dinilai menyulitkan dari BIN. Hal ini diungkapkan oleh pihak TPF saat bertemu dengan Tim Munir DPR (19/5). Dalam pertemuan yang dipandu Wakil Ketua Tim Munir DPR Slamet Effendy Yusuf itu, juga mengemuka kendala anggaran dana karena anggaran dari pemerintah yang juga belum turun untuk tim TPF ini. Dalam hubungannya dengan BIN, TPF merasa menemui sejumlah hambatan, diantaranya untuk mendapatkan dokumen serah terima jabatan mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Djazuli, yang
Rachland mempertanyakan materi pengaduan Hendropriyonopriyono, karena bila yang dipersoalkan adalah pernyataan yang m e l a n s i r Hendropriyonopriyono tinggal di Amerika Serikat, di sejumlah media massa, hal itu cukup bisa dijelaskan tanpa
perlu mengadu ke kepolisian. Atau, jika Hendropriyonopriyono merasa dengan penyebutan namanya di media massa menciptakan kesan dirinya menolak diperiksa TPF, Rachland menilai hal seperti itu selain kekahwatiran Hendropriyonopriyono pribadi, juga bisa dijawab dengan cara hadir di pemeriksaan ketika TPF telah menentukan jadwal pemeriksaan. Sedangkan Usman Hamid mengatakan, selama ini sikap terbuka TPF terhadap pertanyaan media massa merupakan bentuk penghormatan terhadap prinsip keterbukaan serta hak publik untuk tahu. Kecuali tentunya, untuk informasi yang bersifat subtantif dan tidak bisa dibuka untuk publik karena akan berpengaruh pada jalannya proses penyelidikan.
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
14
JEJAK SANG PEJUANG Janji Kapolri Pada (2/05) TFP mengundang dua orang kru Garuda, Oedy Irianto dan Yeti Susmiarti, yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Kedua awak kru Garuda ini sengaja diundang karena TPF belum pernah mendengar langsung keterangan dari mereka berdua. Materi pokok pertanyaan yang diajukan menyangkut dugaan adanya penumpang gelap dalam pesawat garuda nomor penerbangan 974 yang ditumpangi Munir pada 6 September 2004. Saat diperiksa polisi pada (5/04), Yetty mengaku bahwa penumpang kelas bisnis sebenarnya 15 orang, bukan 14 orang seperti yang tertulis di manives (daftar penumpang pesawat). Sementara itu, janji Kapolri untuk serius menyelesaikan kasus pembunuhan Munir ibarat titik terang lain yang diharapkan akan sangat membantu mempercepat terungkapnya kasus ini. Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar berjanji pula aka menindaklanjuti semua rekomendasi TPF Munir yang jalan di tempat. Rekomendasi itu antara lain menyangkut rekonstruksi dan penetapan direksi Garuda sebagai tersangka. Penyataan ini disampaikan Ketua TPF Munir Marsudi Hanafi usai menemui Kapolri di Mabes ABRI. Menurut Marsudi, Kapolri juga berjanji untuk memangkas birokrasi yang bisa menghambat selesainya penyelidikan. Janji Kapolri lainnya, akan segera memeriksa siapa saja yang diduga terlibat atau patut diminta keterangannya, termasuk pula anggota BIN. Lebih lanjut Kapolri meminta agar waktu TPF yang tersisa sekarang dapat lebih meningkatkan kerjasama secara maksimal dengan penyidik. Sedang menanggapi pernyataan apakah penyidik merasa takut untuk menyelidiki orang-orang tertentu dalam kasus Munir, Kapolri langsung mengatakan bahwa polisi merupakan penegak hukum dan pemberi rasa aman kepada masyarakat. Karenanya, polisi tidaklah mengenal yang namanya rasa takut. Termasuk pula adanya sejumlah ancaman dalam menjalankan tugas, namun polisi tetap harus menjalankan tugasnya secara profesional. Di awal Juni, TPF kembali menemui kendala karena gagal meminta keterangan dari penjabat dan mantan Sekretaris Utama BIN Suparto dan Nurhadi Djazuli untuk diperiksa di kantor Sekretariat TPF Munir di Gedung Komnas Perempuan. Alasan kedua pejabat ini, karena tidak setuju dengan lokasi pertemuan. TPF yang diwakilki oleh Usman Hamid menolak jika pembatalan itu dilakukan terkait dengan sikap dan penolakan mantan kepalan BIN Hendropriyonopriyono. Meski demikian, Usman berharap BIN sebagai institusi bisa tetap bersungguh-sungguh bekerja sama dan bersikap kooperatif terhadap kerja TPF di sisa waktu kerjanya. Sementara itu sejumlah LSM megecam sikap dan pernyataan AM Hendropriyonopriyono. Menurut Direktur Eksekutif PBHI Johnson Pandjaitan, sikap Hendropriyono itu tidak pantas dan sangat melecehkan kinerja dan kredibilitas TPF Munir. Kecaman aktivis LSM itu merujuk pada wawancara khusus Hendropriyonopriyono dengan Metro TV. Dalam wawancara tersebut Hendropriyono menilai, TPF tidak profesioanl, tidak cermat dan tidak sopan. Bahkan, Hendropriyono menyebut TPF sebagai “hantu blau”. Hendropriyono juga mengakui, TPF sudah mengirim surat undangan kerumahnya, tapi dirinya tidak akan
15
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
datang. Hendropriyono bersedia datang ke pemeriksaan jika dipanggil polisi. Sikap Hendropriyono ini, menurut Johnson, merupakan upaya pengalihan dan menjadikan pemeriksaan sejumlah anggota BIN, termasuk dirinya, sebagai masalah pribadi, bukannya masalah publik. Untuk itu, diharapkan semua aparat hukum berhati-hati terhadap manuver Hendropriyono. Karena dikhawatirkan ini telah menjadi pola, menarik masalah publik menjadi masalah pribadi dan menggunakan hukum untuk mengintimidasi. Karenanya, bila terpancing dengan manuver tersebut, aparat akan cenderung mendahulukan menyelesaikan pengaduan Hendropriyono daripada mengungkap pembunuh Munir. Teror Tiada Henti Sementara aksi teror terus dilakukan terhadap isteri Alm. Munir, Suciwati. Teror yang disampaikan melalui suarat itu menyebutkan bahwa Suciwati akan diculik dan dibutakan matanya. Surat ancaman itu dikirim ke Kantor KontraS di Jl. Borobudur, Jakarta Pusat. Surat teror itu ditulis dengan tangan, dan bercap pos Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pengacara keluarga Munir, Iskandar Sonhaji Iskandar menegaskan teror tersebut telah dilaporkan kepada Mabes Polri. Selain Suciwati, teror serupa juga diterima oleh Usman Hamid (Koordinator KontraS/Sekretaris TPF). Dalam ancamannya, peneror minta penyelidikan terhadap kasus Munir dihentikan. Peneror juga mengancam telah menyediakan dana sekitar Rp.250 juta untuk menculik Usman dan Rp.215 Juta untuk menculik Suciwati. Teror melalui telepon juga menimpa keluarga staf sekretaris KontraS, Heryati. Sang peneror yang mengaku kawan dekat I Ketut Murtika, Direktur HAM pada bagian Pidana Khusus Kejaksaan Agung menanyakan telepon rumah Usman Hamid, Suciwati, serta nomor telepon rumah Heryati sendiri. Ternyata sang peneror menelpon rumah Heryati dan mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia telah menyediakan uang Rp 200 juta untuk mencelakan dan membutakan mata Heryati. Teror lewat telepon dengan ancaman pembunuhan kepada Usman juga diterima oleh Irta Sumirta, Keamanan Kontras. Bahkan teror pembunuhan lewat membutakan mata juga ditujukan kepada Irta itu sendiri selaku penerima telepon. Suciwati Kampanye Keluar Negeri Sementara itu, Isteri Almarhum Munir (5/6) memulai kampanye ke luar negeri. Suciwati akan berkampanye ke beberapa kota di Amerika dan Eropa untuk mencari dukungan dalam pengungkapan kasus pembunuhan terhadap suaminya ini. Suciwati didampingi oleh Mouvty Makarim, Presidium Federasi KontraS. Suciwati datang ke Atlanta, Amerika Serikat untuk memenuhi undangan The Carter Center, yang merupakan lembaga bentukan mantan Presiden Jimmy Carter yang bekerjasama dengan Human Rights First. Selanjutnya Suciwati menuju Washington DC untuk menghadiri undangan Kongres. Almr. Munir juga pernah bertemu beberapa tokoh Kongres Amerika ini. Kemudian Suciwati menghadiri perayaan 25 tahun lembaga Right Livelihood, di Salzburg, Austria.
JEJAK SANG PEJUANG Almarhum Munir sendiri pada tahun 2000 menerima penghargaan Roll of Honour sebagai pembela HAM (Human Right Defender) dari lembaga ini. Pada kesempatan ini, Suciwati meminta perhatian dunia internasional agar menekan pemerintah Indonesia untuk segera mengungkap siapa dalang kematian Munir. Di tanah air, pada 8 Juni, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan kembali diperiksa hampir lima jam di Mabes Polri. Menurut salah satu pengacara Indra, Muhammad Assegaf, pertanyaan yang diberikan hanya penegasan dari pemeriksaan yang pernah dilakukan. Sementara itu, Kepala BIN Sjamsir Siregar akan membantu kerja TPF Munir, dimana Sjamsir akan meminta langsung mantan Kepala BIN sebelumnya, AM Hendropriyono untuk memenuhi panggilan TPF Munir secara langsung dan tidak mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Dia juga mengatakan, bahwa pihaknya tidak perlu mengeluarkan izin khusus bagi mantan Kepala BIN untuk memberi keterang an kepada TPF Munir. Prosedur pemanggilannya pun tidak lagi terikat ketentuan protokoler yang merupakan salah satu poin kesepakatan antara BIN dan TPF. Sjamsir juga memaparkan, secara organisasional saat ini Hendropriyono bukan lagi tercatat an g g o t a B I N , sedang protokoler hanya berlaku bagi anggota BIN. Tapi, bisa saja dilakukan lewat protokoler BIN bila TPF menghendakinya. Empat Skenario Untuk Munir TPF Munir (15/6) menemukan sebuah d ok u me n y a ng meng ungkapkan Foto: Dok. KontraS empat skenario pembunuhan Munir. Di Markas Besar Kepolisian Negara RI (Polri), Ketua TPF Brigadir Jenderal (Pol) Marsudhi Hanafi membeberkan dokumen tersebut. Menurut dokumen itu, skenario pertama menyebutkan Munir direncanakan dibunuh saat berada di dalam mobil. Skenario kedua, Munir dibunuh dengan menggunakan santet atau teluh. Adapun yang ketiga, Munir akan dibunuh dengan memasukkan racun di makanan Munir di Kantor Imparsial atau Kontras. Sedangkan skenario keempat Munir akan diracun dengan arsenik. Terkait dengan informasi di dokumen itu, TPF sangat yakin pembunuhan Munir benar-benar kejahatan yang direncanakan dan konspiratif. Lebih lanjut, TPF akan meminta Polri agar segera menindaklanjuti rekomendasi yang belum dijalankan, salah satunya mengenai desakan rekonstruksi yang sangat penting untuk berlangsungnya Scientific Crime Investigation.
Di tempat terpisah Kapolri Da’I Bachtiar mengakui, pihaknya merasa sangat terbantu dengan keberadaan TPF terkait dengan upaya pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Tetapi, bila bicara mengenai soal kewenangan (penyelidikan) seperti diatur dalam Undang-undang, tentunya Presiden tidak akan melampaui ketentuan itu. Dan, selama tidak melanggar UU, masalah penguatan kewenagan itu bisa dipertimbangan. Hal ini diungkapkannya menanggapi wacana perpanjangan dan penambahan wewenang TPF Munir yang akan habis pada 23 Juni. Sedangkan Usman Hamid mengatakan mengaku setuju dengan pendapat tersebut. Menurutnya, TPF dibentuk bukan untuk mengambil yurisdiksi kepolisian, seperti penyelidikan atau penyidikan. Sedang untuk semua hasil temuan yang sudah direkomendasikan kepada polisi, TPF juga menyerahkan sepenuhnya penyidikan tersebut. Termasuk, apakah semua rekomendasi itu ditindaklanjuti atau tidak, bukanlah sebuah masalah bagi TPF. Namun, Usman meminta kepolisian memeriksa kembali seorang warga negara Belanda, Lie Khi Ngian, yang saat kejadian duduk di sebelah Munir. Menurutnya, pemeriksaan ini perlu karena polisi belum cukup memperoleh keterangan, sementara TPF melihat ada sejumlah kejanggalan terkait dengan keberadaan pria yang bekerja di salah satu perusahaan farmasi di Indonesia ini. Pertemuan Gagal
yang
M e l i h a t k o nd i s i yang ada, TPF Munir menyatakan tidak akan memanggil mantan Kepala BIN Hendropriyono yang telah tiga kali menol a k ha d i r m e m e n u h i undangan TPF. Selama ini TPF telah berupaya mengundang Hendropriyono secara layak dan bahkan memenuhi keinginannya untuk memberlakukan protokol kerjasama TPF-BIN terkait pemanggilan itu. Meski hing g a kini TPF bel um sampai pada tahap kesimpulan final, termasuk didalamnya soal keterlibatan dan peran serta tokoh-tokoh A, B, C dalam pembunuhan Munir, namun undangan pemanggilan dan pemeriksaan Hendropriyono oleh TPF tak lagi sekedar didasari alasan kapasitas Hendropriyono sebagai mantan Kepala BIN. Menurut Usman Hamid, kesempatan untuk datang memenuhi undang an TPF, sebenarnya bisa menjadi kesempatan untuk memberi penjelasan dan klarifikasi berbagai temuan dan keterangan yang diperoleh TPF, yang
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
16
JEJAK SANG PEJUANG beberapa di antaranya memang memunculkan nama Hendropriyono. Dari informasi, keterangan, dan dokumen yang ada di TPF, penemuan itu tidak bisa dihindari. Dan untuk menguji kebenarannya agar tidak keliru dalam mengambil kesimpulan, tidak mungkin TPF mengundang Hendropriyono tanpa dasar pertimbangan tersebut. Ketidakhadiran Hendropriyono akan menjadi bagian laporan TPF ke Presiden di akhir masa kerjanya nanti. Hendropriyono sendiri sudah tiga kali diundang. Undangan pertama pada 31 Mei untuk jadwal pertemuan 6 Juni. Undangan kedua dilayangkan pada 6-7 Juni untuk pertemuan 9 Juni. Ketiga pada 9 Juni untuk pertemuan 16 Juni. Sementara itu pada (21/6), TPF Munir menolak untuk datang dalam undangan tripartit Tim Pemantau Kasus Munir DPR, tertanggal 20 Juni 2005. Tujuannya adalah mempertemukan TPF dan Hendropriyono. Wakil Ketua TPF mengatakan, ketidakhadiran TPF dikarenakan TPF sudah dua kali memberikan berbagai informasi. Dan, TPF merasa kebutuhan tim DPR sudah terpenuhi dengan baik. Menurut Asmara, TPF Munir tidak merasa memiliki sengketa. Karena itu, pihaknya tidak memerlukan mediasi dari DPR untuk bertemu dengan Hendropriyono. Asmara menambahkan, mediasi yang difasilitasi Tim DPR justru akan menimbulkan kesan politis. Karena itu jangan dipolitisasi sehingga ada salah persepsi yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan yang lain. Tak Diundang Rekonstruksi Menjelang akhir masa kerjanya, (23/6) TPF Munir mengusulkan pembentukan komisi yang berfungsi mengawal kasus ini hingga pengadilan. Komisi itu harus memiliki kewenangan yang lebih besar daripada yang dimiliki TPF saat ini. Termasuk didalamnya kewenangan memberikan sanksi jika ada yang menolak diperiksa tim. Namun, hal ini juga sangat terkait dengan komitmen presiden agar kasus ini terungkap. Sementara itu pada (23 /6) polisi melakukan rekonstruksi pembunuhan Munir di hanggar Garuda, Cengkareng. Direktur I Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Bridjen Pranowo Dahlan menjelaskan, rekonstruksi yang berlangsung tertutup itu belum menemukan fakta baru. Termasuk CCTV yang tidak merekam peristiwa yang terkait dengan kasus ini. Dalam rekontruksi ini, tidak ada anggota TPF Munir yang hadir. Usman Hamid mengatakan bahwa penyidik Polri tidak memberitahukan TPF akan adanya rekonstruksi tersebut. Rekontruksi memang berlangsung sangat tertutup termasuk untuk kalangan media. Tim Penyidik Baru Jumat (24/6) TPF kematian Munir menyerahkan kesimpulan dan rekomendasi kepada Presiden SBY, berkenaan dengan berakhirnya masa kerja TPF (23/Mei). Laporan itu juga menguraikan proses
17
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
pembentukan tim sampai rekomendasi yang harus diambil untuk menyikapi tewasnya Munir. Disimpulkan, latar belakang pembunuhan Munir dikarenakan ia sangat kritis terhadap persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. TPF juga merekomendasikan sejumlah orang dari BIN untuk diperiksa kembali, termasuk mengusulkan pemeriksaan lanjutan terhadap dua nama penjabat di Garuda Indonesia yang pernah diusulkan TPF menjadi tersangka.TPF mengungkapkan bahwa pengungkapan misteri kematian aktivis HAM Munir, kini bergantung pada pemerintah dan aparatnya. Untuk itu, TPF juga berharap pemerintah mampu menggerakkan institusi dibawahnya untuk sungguh-sungguh menguak misteri dan menuntaskan kasus kematian Munir dengan dasar kesimpulan dan rekomendasi yang sudah diberikan TPF. Ketua TPF Munir Brigadir Jenderal (Pol) Marsudi Hanafie usai bertemu Presiden mengatakan, Presiden SBY menilai hasil kerja TPF Munir optimal sesuai dengan mandat yang diberikan. Saat itu, menurut Marsudi, semua kesimpulan dan rekomendasi dari TPF akan diolah dan direspon dalam waktu singkat oleh Presiden.untuk menuntaskan kasus ini secara personal Presiden ingin mendapatkan dukungan dari TPF. Di akhir bulan Juni (29/6), Wakil Kepala Divisi (wakadiv) Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Soenarko DA, mengumumkan bahwa sekitar 30 orang penyidik dikerahkan oleh Mabes Polri untuk mengungkap kematian aktivis HAM, Munir. Ke-30 penyidik Polri itu tergabung dalam Tim Penyidik Kasus Munir. Unsur yang terdapat dalam tim tersebut terdiri dari penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim), NCB Interpol, Polda Metro jaya, dan Pusat Laboratorium Dan Forensik (Puslabfor) Mabes Polri. Tim ini diketua mantan Ketua TPF Munir, Brigjen Pol Marsudhi Hanafi, mantan Ketua TPF Munir. Menurut Soenarko, Tim ini dibentuk untuk menyelidiki temuantemuan yang didapat TPF Munir, terutama tentang empat tahapan skenario Munir. Sementara itu dengan adanya tim penyidik ini, maka secara otomatis tim penyidik sebelumnya tidak lagi menangani kasus Munir. Tim sebelumnya ini dipimpin direktur I Transnasional Bareskrim Mabes polri, Bridjen Pol Pranomo Dahlan. Disamping itu Sunarko mengatakan, dengan diangkatnya Marsudhi sebagai Ketua Tim Penyidik kasus tersebut, masyarakat boleh berharap banyak bahwa semua rekomendasi yang dihasilkan TPF akan ditindaklanjuti oleh Tim Penyidik. Terlebih, sebagai mantan ketua TPF, Marsudhi tahu banyak tentang rekomendasi dan langkah-langkah yang diambil TPF saat itu. Meski terselip sedikit rasa pesimis akan pengungkapan kasus pembunuhan Munir, terlebih telah berakhirnya masa kerja TPF (yang selama ini lebih banyak aktif dalam kerja penyelidikannya) perjuangan untuk mendukung dan berharap tidak boleh berhenti dan mati. Hukum dan keadilan harus terus kita perjuangan apapun taruhannya. ***
BERITA DAERAH
Awalnya ditolak, namun akhirnya pemerintah menerima Komisi Ahli PPB mereview Pengadilan HAM Adhoc Timor Timur. Komisi ahli-pun telah melaporkan hasilnya pada Sekjed PBB. Mereka, menganggap Pengadilan Adhoc Tim Tim tidak kredibel. Akankah kasus ini dibawa ke pengadilan internasional?
“Keseriusan” Indonesia Ditantang Komisi Ahli PBB
P
engadilan HAM Timor Timur telah berakhir 2 tahun lalu. Hingga kini, hampir semua tersangka, baik militer maupun sipil telah dibebaskan Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Keputusan bebas bagi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan itu mengundang reaksi keras kelompok hak asasi manusia, baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk PBB.
Pada Januari 2005, Sekjen PBB membentuk Comission Of Expert/ Komisi Ahli (COE), yang terdiri dari Prafullachandra Bhagwati dari India, Prof Yozo Yokota dari Jepang dan Sahista Shameen dari Fiji. Komisi ahli ini bertugas menganalisa proses pengadilan HAM ad hoc Timor Timur, untuk selanjutnya memberikan rekomendasi pada sekjen PBB perihal proses pengadilan HAM ini. Pemerintah Indonesia, dengan serta merta menolak kedatangan komisi a hl i. A l a s a nny a , Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Lorosae telah menyepakati rekonsiliasi melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) - Comission Of Truth and Friendship pada 14 Desember 2004 di Bali. Bahkan, pada 9 Maret 2005 Presiden SBY dan Xanana Gusmao telah mendelakrasikannya, walaupun ditentang kalangan hak asasi manusia baik di Indonesia maupun Timor Leste. Kedatangan Komisi Ahli Namun keberadaan KKP, tidak mengagalkan niat Komisi Ahli untuk me-review pengadilan HAM ad hoc Timor Timur. Pada akhirnya setelah Pemerintah Indonesia meyakini Komisi Ahli
mengakui keberadaan KKP, maka pada 18 - 20 Mei 2004 pemerintah menerima kedatangan Komisi Ahli untuk mempelajari kasus Timor Timur. Ketiga anggota Komisi Ahli itu bertemu dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dan ketua Mahkamah Agung Bagir Manan serta dan Komnas HAM. Sebelumnya, 5-10 Mei terjadi pertemuan antara pejabat tinggi, jaksa, pengacara dan aparat hukum, keluarga korban kerusuhan 1999, dan staf PBB di Timor Lorosae. Dari hasil laporan Komisi Ahli yang diserahkan pada Sekjen PBB (26/ Mei), disebutkan bahwa pengadilan HAM ad hoc Timtim tidak kredibel dan tidak memenuhi standar internasional. Alasannya, pertama, proses pengadilan di Jakarta tidak memadai (Manifstly inade quate) atau kurang sesuai dengan standar internasional. Kedua, kerja Jaksa Penuntut Pengadilan HAM Adhoc Tim Tim Umum tidak memadai, dakwaaan sangat berpihak kepada terdakwa dan tuntutan yang tidak konsisten. Komisi Ahli juga menolak term of refrence (TOR) KKP, dengan alasan bahwa TOR tidak membedakan antara pelaku atau saksi, mencampuradukkan orang yang bertanggungjawab atas kejahatan serius dan kejahatan biasa. Selanjutnya TOR juga tidak memiliki mekanisme untuk menindak serius pengungkapan pelanggaran HAM serta adanya amnesti untuk pelaku yang seharusnya tidak dibolehkan mendapatkan amnesti sesuai standar internasional. Sementara itu TOR juga bertentangan dengan UU HAM di Indonesia, termasuk tidak adanya kejelasan tentang independensi yang efektif dari KKP. Terakhir, KKP tersebut tidak dikonsultasikan
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
18
BERITA DAERAH dengan korban pelanggaran HAM. Berdasarkan masalah di atas, Komisi ahli PBB menyarankan komunitas internasional untuk tidak menyediakan anggaran atau dukungan dana, kecuali pemerintah Indonesia dan Timor Leste mempertimbangkan kembali TOR KKP. PBB juga menyarankan agar segera membentuk pengadilan internasional, yang salah satunya memakai hybrid mechanism. Sedang Sekjen PBB Kofi Annan sendiri memberi waktu 6 bulan kepada Indonesia - dimulai dari tanggal yang ditentukan oleh DK PBB - untuk mengambil tindakan yang substansial dan sungguh-sungguh atas rekomendasi tersebut.
tidak sejalan dengan TOR komisi tersebut. Menlu Hasan Wirajuda menyatakan bahwa Komisi Ahli akan dapat membantu upaya KKP ke arah proses penyelesaian melalui rekonsiliasi. Perbaikan sistem hukum
Sementara itu, pemerintah Indonesia, terkesan mengabaikan apa yang direkomendasikan sekjen PBB, dengan alasan telah ada kesepakatan penyelesain melalui mekanisme KKP. Sayangnya, KKP bukannlah argumentasi yang tepat untuk mengugurkan proses hukum. Sebab, KKP tidak terikat secara hukum dan KKP sendiri juga tidak memberi jaminan atas keadilan bagi korban.
Padahal, seharusnya dengan adanya rekomendasi PBB, pemerintah bisa mengambil kesempatan untuk memperbaiki penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Laporan juga dapat membuat jera para pelanggar HAM agar tidak ada lagi pelanggaran HAM di Indonesia. Tidak lagi mengorbankankan hak-hak ribuan korban dengan kedok untuk menjaga nama baik negara atau malah melindungi segelintir orang. Lebih dari itu, kekerasan masa lalu akan sangat mungkin terulang, jika tidak ada pengakuan atas sejarah masa lalu, dan tidak ada kemauan untuk mengakui kesalahan. Seharusnya kita bisa belajar dari masa lalu, sehingga dunia-pun bisa terbebas dari pelanggaran terhadap kejahatan hak asasi manusia.
Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao, menyampaikan bahwa Timor Leste masih menunggu sikap Indonesia perihal rekomendasi Komisi ahli untuk pengadilan Internasional. Jika Jakarta menyatakan siap menghadapi pengadilan Internasional, Timor Leste juga akan menyatakan sikap. Pemerintah Indonesia menyatakan akan menyurati PBB dan DK PBB perihal penolakan pembentukan Mahkamah Internasional dan beberapa rekomendasi Komisi Ahli yang dianggap pemerintah Indonesia
Hal ini juga mengemuka dalam Diskusi Publik Prospek Pemenuhan Keadilan Korban Pelanggaran HAM di Timor Leste melalui Komisi Ahli dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, pada 17 Mei 2005. Diskusi yang diselenggarakan KontraS dan Human Rights Working Group, menghadirkan narasumber Rafendi Jamin (HRWG), Johnson Panjaitan (PBHI), Agung Yudhawiranata (Elsam), Kusnanto Anggoro (CSIS) dan I Gusti Agung Wesaka Puja (Departemen Luar Negeri). (Yat)
Kepergian Munir yang begitu tiba-tiba meninggalkan luka mendalam bagi rekan dekat dan teman seperjuangannya. Ketika, akhirnya Munir diketahui meninggal karena dibunuh, luka itu kian perih dan semakin dalam. Inilah, sebuah catatan kecil tentang sosok Munir dimata rekan, teman, sahabat dekatnya. Sebuah ungkapan kisah yang belum sempat diceritakan pada almarhum. Buku ini bisa didapatkan di toko buku. Jalan Borobudur No.14 Jakarta Pusat
Telp: 62-21-3926983
19
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
BERITA DAERAH
Akankah Aceh Damai? Sejak 19 Mei 2005 lalu, status darurat di Aceh telah berubah menjadi Status Tertib Sipil. Sudah terlalu panjang “Status” yang disandang Serambi Mekah ini. Dimulai dari Darurat Militer (19/5/2003) selama enam bulan. Status ini kemudian diperpanjang enam bulan lagi. Lalu, disambung menjadi keadaan Darurat Sipil (19 Mei-2004 hingga 18 Mei 2005). Status Tertib Sipil, akankah membawa perubahan?
R
asa ny a Ac eh m em ang su da h se ha ru snya “beristirahat” dan masyarakat yang telah lama begitu haus akan kedamaian dan keadilan harus segera dapat merasakan semua itu. Konflik yang telah berlarutlarut, kekerasan, nyawa, darah yang tumpah, adalah gambaran derita masyarakat Aceh selama bertahun-tahun. Namun, nyatanya semua impian tentang kedamaian dan keadilan, masih terlalu jauh. Ditengah-tengah perang yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI yang justru bukan hanya menimbulkan korban diantara keduanya, maka rakyat sipil-pun tetap menjadi tumbal darah dan nyawa dari pertikaian tersebut. Sementara itu sejumlah perundingan terus digelar dan diupayakan, namun kenyataan dan kata kesepakatan yang selalu ditunggu-tunggu seakan masih jauh dari apa yang diinginkan. Padahal perundingan merupakan satu-satunya cara penyelesaian di Aceh. Peperangan dan senjata harusnya tidak ada lagi, terlebih setelah Aceh dihantam tragedi kemanusiaan tsunami di akhir 2004. Perundingan Aceh sangat penting untuk menuntaskan akar masalah di Aceh. Ironisnya, meski beberapa perundingan telah dilakukan,masing-masing pihak yang berunding tetap bertahan di posisinya masing-masing. Baik RI maupun GAM sama-sama memasang “penawaran tertinggi” dalam memutuskan hasil akhir, sementara pasukan TNI dengan GAM terus saling menyerang. Akibatnya, dua kali penyelesaian konflik melalui Jeda Kemanusiaan (20002001) dan Kesepakatan Penghentian Permusuhan (2002-2003) tak mampu berjalan efektif. Hingga kini perundingan yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah GAM sudah berlangsung empat kali. Putaran pertama diadakan pada 28-29 Januari 2005, putaran kedua pada 21-23 Februari 2005, putaran ketiga 12-16 April 2005, dan keempat 26-30 Mei 2005, yang bertempat di Helsinki.
Kekerasan Tetap Terjadi Di tengah-tengah pertemuan informal antara RI dan GAM di Helsinki, aktivitas gangguan keamanan terus meningkat. Di pertengahan Juni, pihak GAM telah melakukan penghadangan terhadap Batalyon 513 dan 514. Akibatnya tiga prajurit TNI tewas dalam peristiwa ini. Entah berangkat dari kondisi yang tetap memanas ini, akhirnya pihak TNI mengklarifikasi Aceh menjadi daerah hitam, abu-abu, dan putih. TNI mengatakan, akan tetap berkonsentrasi di daerah abu-abu dan hitam, sedangkan daerah putih diserahkan ke Kepolisian dibantu satuan kewilyahan, termasuk satuan bantuan tempur. Sementara itu di akhir bulan Juni, sejumlah delegasi asing tiba di banda Aceh. Delegasi asing ini terdiri dari Perwakilan Uni Eropah (7 orang), perwakilan Crisis Management Iniciative, LSM yang memfasilitasi Pertemuan Helsinki (2 orang), Perwakilan Asia (2 orang), dan perwakilan ASEAN (2 orang). Delegasi ini didampingi Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil serta Panglima Komandan Operasi TNI Majyen Bambang Dharmono. Kedatangan Tim ini bertujuan untuk melihat persipan lapangan jika nanti tercapai kesepakatan antara pemerintah dan GAM. Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa TNI yang ditugaskan mengamankan NAD akan segera ditarik jika terjadi kesepakatan antara pemerintah RI dan GAM. Langkah ini juga dilakukan dalam rangka gencatan senjata nantinya. Meski mendapat kecaman dari sejumlah anggota DPR lantaran melibatkan perwakilan asing dalam perundingan, pihak RI yang sedang berunding dengan GAM tetap melanjutkan perundingan tersebut. Beberapa masalah krusial jadi bahasan dalam pertemuan ini, mulai dari masalah amnesti, teknik bagaimana gencatan dilakukan, hingga masalah keinginan GAM untuk mendirikan Parpol Lokal. Perundingan memang harus terus dilakukan, karena rakyat menjadi taruhannya. Entah sampai kapan rakyat Aceh akan menderita bila perundingan ini kembali gagal? ***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
20
BERITA DAERAH Perampasan hak atas tanah, kembali terjadi di desa Runtu, Kalimantan Tengah. Aparat kembali jadi “boneka pengaman” untuk perusahaan besar, sang pemilik modal. Sedang warga yang jelas-jelas haknya teraniaya, tak mendapat perlindungan. Nyawa anak manusia seakan tak ada harganya.
T
indakan represifitas aparat TNI dan POLRI dalam menghadapi sengketa agraria (perkebunan sawit) warga desa Runtu dengan PT Mitra Mendawai Sejahtera (PT MMS) salah satu anak perusahaan Tanjung Lingga Group, masih mencerminkan kuatnya budaya militeristik dan keberpihakan aparat keamanan pada kuasa modal. Sedang wilayah yang diklaim PT MMS selama ini milik masyarakat dan merupakan kawasan kelola masyarakat yang dipergunakan untuk berladang dan berkebun buah-buahan secara turun-temurun. Kamis (26/Mei), sekitar pukul 10.00 WIB warga Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan (Arsel), Kabupaten Kota Waringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng), berencana melakukan demo ke Perkebunan Sawit untuk mempertahankan tanah mereka yang dirampas oleh pihak perusahaan PT. MMS. Warga melakukan aksi demonstrasi dengan mendatangi camp kerja PT. MMS dengan menggunakan satu buah truk. Namun, warga kembali lagi ke desa karena mereka dihadang oleh aparat kepolisian dari Mapolres Kobar dan Brimob Polda Kalteng serta tentara dari TNI Batalyon 2361 Kalteng yang berjaga di perusahaan PT. MMS. Warga lalu kembali dengan massa yang lebih besar, dengan menggunakan enam buah truk. Masyarakat yang datang terdiri dari warga desa Runtu, Umpang dan Gandis Kecamatan Arut Selatan. Saat itu warga meminta pekerjaan dihentikan dan buldozer yang sudah menggarap lahan dikeluarkan. Permintaan warga ini dituruti. Sekitar pukul 12.00 WIB warga bersiap untuk membawa traktor kepinggir jalan negara. Pada saat warga hendak keluar camp, mendadak terdengar rentetan tembakan ke udara sebanyak tujuh kali. Warga balik mendatangi petugas yang menembakkan senjata, namun langkah ini dihadang dua petugas bersenjata. Akibatnya bentrokan tak terhindari. Aparat lalu mengejar massa dengan tembakan dan pukulan, lalu menangkap sebagian warga dan membawanya ke Mapolres Kotawaringin Barat. Ditembak saat Diangkut Dalam peristiwa ini, satu orang warga tewas, yakni, Doni Andrianto alias Edon (22) warga RT 4 Desa Runtu, yang tertembak pada bagian kemaluan. Dua warga luka parah, Eyos (25) pahanya tertembus peluru mengenai tulang hingga nyaris patah dan Ardi (23) betis kiri tertembus peluru tajam dan hidungnya patah terkena popor senjata. Sedikitnya 42 warga
21
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
Mereka hanya Mempertahankan Hak Tanahnya ditangkap oleh aparat Mapolres Kobar. Dari pihak aparat keamanan tiga orang dan satu orang satpam PT MMS mengalami luka-luka serius. Peristiwa ini terjadi 10 km dari Desa Runtu atau sekitar km 75 arah Pangkalan Bun-Nanga Bulik. Dari keterangan Paman korban, Doni, saat ditangkap dalam keadaan sehat. Doni ditangkap dan dijemput oleh pihak aparat di lokasi pembatuan milik PU pada KM 75 menjelang magrib (26/Mei). Keluarga korban mendapat kabar Doni meninggal (27/Mei), pukul 10.00 WIB. Keterangan kematian disampaikan oleh camat pada pihak keluarga. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut dan hanya memberitahukan tidak ada luka atau kekerasan di tubuh korban. Keesokan harinya, sekitar pukul 17.00 WIB sebanyak 42 warga desa yang menjadi tahanan di Mapolres Kobar dibebaskan dari segala sangkaan dan tuduhan. Hal ini dilakukan untuk meredam amarah masyarakat. Pelepasan warga dari Polres Kobar hampir bersamaan dengan penyerahan jenasah Doni oleh Muspida Kobar ke pihak keluarga korban. Bupati Kobar Suchaemi Muda menjelaskan bahwa dari visum yang dilakukan tidak ditemukan tanda kekerasan pada tubuh korban, tapi anus korban mengeluarkan darah. Sedang dari pengakuan teman korban yang terluka, Doni tertembak di bagian kemaluannya saat diangkut setelah pencidukan oleh aparat, pada sore hari sekitar maghrib. Saat itu saksi tidak mengenali penembak karena sudah gelap dan begitu banyak aparat. Kembalikan Hak Warga KontraS menilai tindakan aparat keamanan sangat berlebihan dalam peristiwa ini hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa rakyat sipil. Atas sikap dan tindakan aparat keamanan hendaknya KAPOLRI segera melakukan pengusutan tuntas kasus “Runtu” dan menindak tegas aparat Kepolisian Kotawaringin Barat serta aparat BRIMOB Polda Kalteng yang terlibat dalam peristiwa ini. Sekaligus, segera mengambil langkah-langkah mendesak guna memberikan perlindungan dan rasa aman kepada seluruh warga masyarakat desa Runtu dan sekitarnya. Untuk itu, Gubernur Kalteng dan Bupati Kobar juga harus segera melakukan tindakan cepat dan komprehensif guna mengembalikan hak penguasaan dan hak kelola masyarakat Runtu atas tanah dan sumber-sumber kehidupannya dari klaim sepihak PT. MMS. Sementara itu, Komnas HAM dapat merespon kasus ini dengan segera dan menurunkan Tim pencari fakta (TPF) guna menyelidiki adanya dugaan kuat telah terjadinya tindak pelanggaran HAM yang serius dalam kasus ini.***
BERITA DAERAH
Tuntutan Untuk Pelanggaran HAM
ABEPURA
D
alam surat tuntutan yang dibacakan oleh JPU untuk dua terdakwa, Kombes. Pol. Drs. Johny Wainal Usman, yang waktu itu menjabat sebagai Dansat Brimob Jayapura dan Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing sebagai Kapolres Jayapura, JPU menuntut hukuman 10 tahun kepada masing – masing terdakwa.
Pemeriksaan Persidangan Dari keterangan saksi yang dihadirkan JPU untuk terdakwa Johny Wainal Usman terdiri 31 saksi korban, 2 saksi MH, ser ta 7 saksi yang dibacakan BAP. Selanjutnya untuk terdakwa Daud Sihombing terdiri dari 31 orang saksi korban, 2 saksi dari MH serta 11 saksi yang dibacakan BAP nya. Semua keterangannya rata – rata memberatkan terdakwa.
Hal ini bertentangan dengan pernyataan Direktur HAM Kejagung I Ketut Murtike pada tanggal 14 Juni 2005. Dalam pertemuan dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Kasus Abepura yang terjadi pada 7 Desember diawali dengan Abepura yang terdiri dari KontraS dan PBHI, ia menegaskan penyerangan Brimob secara membabibuta tanpa penyelidikan akan konsisten dengan surat dakwaan dan memperhatikan terlebih dahulu ke asrama Ninmin, Yapen Waropen, fakta persidangan sehingga akan memberikan tuntutan pemukiman suku Lani, Suku Yali, Suku Anggruk dan Asrama maksimal serta Ikatan Mahasiswa Ilaga, memasukkan kompensasi, mereka dituduh terlibat Restitusi dan Rehabilitasi dalam aksi pengrusakan Pengadilan HAM untuk kasus Pelanggaran untuk korban dan di Mapolsek Abepura. HAM Berat Abepura di Makasar yang telah keluarga korban. Namun Dari keterangan saksi – faktanya justru JPU hanya saksi yang ada, dimulai dari bulan Mei 2004 tahun lalu, telah memberikan tuntutan t e r u n g k ap a d an y a selesai melakukan pemeriksaan terdakwa minimal kepada masing – penyiksaan yang masing terdakwa dan tidak dilakukan oleh anggota dan saksi, baik saksi yang dihadirkan Jaksa jelas menyebutkan Brimob baik di TKP, Penuntut Umum (JPU), Penasehat Hukum kompensasi, restitusi dan sepanjang jalan menuju tehabilitasi kepada korban Markas Brimob Jayapura (PH) maupun dari Majelis Hakim (MH). dan keluarga korban. dan Mapolres Jayapura, berupa pemukulan dan Kontras menyesalkan hal tersebut, karena kembali Jaksa penyiksaan dengan pentungan, popor senjata serta balok. Penuntut Umum tidak mengedepankan kepentingan Korban juga diinjak – injak dengan sepatu laras dan bentuk – korban – seperti pada Pengadilan HAM Timor Timur dan bentuk perlakuan tidak manusiawi lainnya. Selain itu, korban Pengadilan HAM Tanjung Priok. Tuntutan itu dipaksa menandatangani surat yang tidak tahu isinya. Korban dari peristiwa ini mencapai 105 orang, 96 orang laki – laki dan menunjukkan tidak ada itikad baik JPU untuk memenuhi 9 orang perempuan. sedang korban meninggal ditempat karena hak – hak korban berupa keadilan, kebenaran maupun ditembak langsung yaitu Elkius Suhuniap, ditembak di Skyline, reparasi (kompensasi, restitusi dan rehabilitasi), walaupun Jayapura. Sedang dua korban meninggal akibat penyiksaan hal tersebut telah diperjuangkan sejak awal. yaitu Ory Ndrongi dan Jony Karunggu. (Chris)
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
22
BERITA DAERAH Hampir 22 tahun Nelayan Tradisonal, Bengkalis, Riau, harus hidup dalam konflik dan pertikaian dengan penguasa nelayan Jaring Batu. Nelayan Tradisional ini-pun terus “berteman” dengan segala bentuk tindak kesewenang-wenangan. Aparat hukum pun “seakan telah terbeli” oleh mereka yang berkuasa. Jerit dan derita rakyat kecil hilang ditengah lautan.
P
enganiayaan yang dilakukan oleh nelayan jaring batu, kecamatan Rangsang, desa Meskom, Bengkalis, (15/6/ 2005) pada enam orang nelayan tradisional rawai Desa Teluk Lancar dan Desa Kembung Luar Kecamatan Bantan di perairan Kembung Luar, adalah saksi bisu dari buntut pertikaian yang telah terjadi selama 22 tahun, antara nelayan tradisional rawai Kecamatan Bantan dengan nelayan jaring batu kecamatan Rangsang, Bengakalis, Riau. Konflik berkepanjangan yang sudah terjadi sejak tahun 1983 telah memakan korban luka-luka, kerugian harta benda dan gangguan psikologis di masyarakat. Kesemua peristiwa ini akibat perang terbuka yang terjadi di laut dan aksi premanisme pengusaha jaring kurau serta aparat keamanam. Konflik yang kembali terjadi di pertengahan Juni lalu, jadi cermin hidup, bagaimana aparat hukum telah membiarkan konflik ini hidup selama bertahun-tahun. Keenam orang nelayan tradisional rawai ini diserang dan disandera bersama dua buah kapal nelayan mereka. Kejadian tersebut berlangsung di tengah laut di perairan Desa Kembung Luar. Bahkan, satu buah kapal milik nelayan Rawai ditabrak dan ditenggelamkan di tengah laut. Kelompok jaring batu juga melakukan penganiayaan terhadap keenam
kesejahteraan dan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Ironisnya, para aparat hukum (polisi) kembali membela para penguasa. Konflik yang terus terjadi selama puluhan tahun ini, dimana hampir tiap tahunnya terjadi pertikaian, ironisnya tidak pernah diselesaikan atau ditangani dengan serius oleh para aparat. Maka sepanjang puluhan tahun itu pula, mereka, khususnya masyarakat nelayan tradisional Kecamatan Bantan, hidup dalam suasana konflik untuk mempertahankan kawasan tempat dimana mereka melaut. Mereka hidup dalam ancaman pengoperasian jaring batu, yang telah merambah ke daerah tangkapan nelayan tradisional. Tidak Ada Respon Selama konflik berlangsung, tidak terlihat adanya respon positif dari Pemkab. Bengkalis, Pemprov. Riau dan aparat keamanan untuk langkah penyelesaian secara arif dan bijaksana. Bahkan, Gubernur Riau terkesan sengaja tidak melihat permasalahan ini. Oknum Polres Bengkalis malah pernah melakukan intimidasi
Mereka “Dipaksa” Hidup dalam Pertikaian nelayan rawai. Lima orang sandera lalu dilepas, sedang seorang lainnya, yakni Nurdin diserahkan kepada pihak Kepolisian (Polsek Ransang/16/6), yang akhirnya dibawa ke Mapolres Bengkalis (20/6) sekitar pukul 07.00 WIB. Baru pada pukul 16.00 WIB (20/6), Nurdin dibebaskan dari Mapolres Bengkalis dan kembali ke rumahnya di Desa Teluk Lancar Kecamatan Bantan. Saat kembali Nurdin dalam kondisi lebam pada wajahnya, serta beberapa bagian tubuhnya memar-memar. Korban penyiksaan ini juga mengeluhkan rasa sakit pada bagian kepala dan pendengarannya. Kondisi psikologis korban juga masih agak trauma pasca peristiwa penyanderaan dan penahanan yang dilakukan oleh kelompok jaring batu dan aparat kepolisian. Pertikaian Lalu Setidaknya sepanjang tahun 1983-2004 telah terjadi 34 kali pertikaian/bentrokan terbuka di tengah laut antara kelompok nelayan rawai dan kelompok jaring batu. Sejumlah tindak kekerasan dan penganiayaan juga harus diterima oleh nelayan tradisional ini. Kondisi ini mengakibatkan secara psikologis warga nelayan tradisional rawai takut untuk melaut. Yang makin memprihatinkan, hal ini juga sangat berpengaruh pada kondisi
23
Berita KontraS No. 02/III-IV/2005 03/V-VI/2005
terhadap Abu Samah, Ketua Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan (SNKB) dengan cara menodongkan pistol dan menyandera anaknya yang bernama Sabri. Berangkat dari kondisi konflik yang tetap terus berlanjut ini dan melihat tidak adanya keinginan serius untuk menyelesaikan permasalahan diatas, maka Tim Pembela Nelayan Tertindas, mendukung setiap langkah perjuangan yang dilakukan masyarakat nelayan Rawai kecamatan Bantan Kabupaten Bangkalis Propinsi Riau, untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum terhadap wilayah tangkap yang diinginkan “0-12 mil dari garis pantai Pulau Bengkalis bebas jaring kurau.” Selain itu Tim juga mendesak Gubernur Riau sesegera mungkin membuat surat Keputusan Bersama tentang penghentian/ pelarangan pengoperasian jaring kurau di wilayah perairan kedua propinsi. Termasuk mendesak, Kapolri untuk sesegera mungkin memanggil Kapolda Riau dan memerintahkan Kapolri untuk dapat menindak tegas oknum Polres Bengkalis yang melakukan intimidasi pada nelayan tradisional rawai, Bantan, Abu Samah. Serta mendesak Kapolda Riau dan Kapolres Bengkalis agar dapat menciptakan rasa aman di masyarakat nelayan Kecamatan Bantan.***
REMPAH-REMPAH
Nasib Buruh Migran Tak Pernah Jelas Hingga kini sejumlah 792 Buruh Migran hilang atau dihilangkan. Namun, Pemerintah RI seakan kurang peduli pada persoalan ini. Bila persoalan sudah menghangat, maka semua berlomba-lomba melempar tanggungjawab. Pembenahan semua sistem terkait mutlak segera dilakukan. Konsorsium Pembela Buruh Migran (KOPBUMI), KontraS dan HRGW menyesalkan tidak adanya upaya serius dari pemerintah untuk mengklarifikasi hilangnya beberapa Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di luar negeri. Peristiwa ini sebenarnya sudah lama terjadi, setidaknya dari tahun 80an, tapi data yang pasti akan jumlah BMI yang hilang hingga kini sulit dipastikan. Jika mengacu pada catatan hasil monitoring KOPBUMI, sejak tahun 2001-2004, untuk daerah Jawa Barat khususnya Kabupaten Sukabumi, jumlah BMI yang hilang berjumlah 792 orang. Di Nusa Tenggara Barat 110 orang, Jawa Timur 27 orang serta beberapa lagi kasus BMI yang hilang dari daerah lain, yang selama ini menjadi kantong-kantong potensi BMI. Sedangkan dari laporan pengaduan keluarga BMI yang hilang di berbagai negara, yang diterima oleh KOPBUMI, sampai dengan bulan Mei 2005 berjumlah 61 orang. Untuk itu, jika mengacu pada data jumlah kasus baik yang berasal dari hasil monitoring maupun pengaduan keluarga korban yang hilang, maka kemungkinan prediksi kedepannya jumlah kasus Buruh Migran Indonesia yang hilang di berbagai negara akan terus bertambah. Hal ini sangat dimungkinkan karena sistem dan mekanisme penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri yang diterapkan oleh pemerintah RI memiliki banyak kelemahan. Beberapa dari persoalan yang ada itu, diantaranya adalah sistem dan mekanisme penempatan. Dimana, koordinasi antara instansi terkait sangat kacau. Mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap perekruitan dan pemberangkatan BMI yang dilakukan oleh pelaku bisnis penempatan tenaga kerja keluar negeri sangat lemah. Serta persoalan mentalitas aparat terkait dan ditambah pula dengan tidak adanya Undangundang yang benar-benar representative untuk melindungi
BMI. Sehingga keseluruhan mata rantai permasalahan ini, mengakibatkan tingginya resiko terjadinya kasus-kasus BMI yang hilang di berbagai negara. Negara pengirim (Indonesia) maupun negara penerima BMI, selama ini enggan bertanggungjawab atas kasus hilangnya BMI. Bahkan jika ada laporan kasus BMI hilang, pemerintah sangat lamban merespon serta saling lempar tanggungjawab antara instansi yang terkait. Dan, bilapun ada korban yang berhasil ditemukan akan tidak mudah untuk langsung bisa dipulangkan ke Indonesia, dengan alasan pihak Pemerintah tidak mempunyai dana untuk memulangkan mereka. Ironisnya, untuk beberapa kasus, BMI ini justru diperjual-belikan secara illegal kepada majikan-majikan yang membutuhkan pembantu rumah tangga oleh staf-staf KBRI, yang nantinya berpotensi untuk hilang atau dihilangkan. Sementara Pemerintah RI bila dimintai pertanggungjawaban atas kasus-kasus seperti ini cenderung meyalahkan korban atau keluarga korban (Blame of Victim). Pelayanan Perlindungan Berpijak pada masalah diatas maka sangat terlihat jelas, buruknya mekanisme perekrutan dan pengiriman BMI, yang secara tidak langsung berpotensi hilangnya BMI. Termasuk juga, tidak memadainya mekanisme maupun upaya negara pengirim dan penerima dalam melindungi BMI. Seharusnya, BMI yang hilang merupakan tanggungjawab antara dua negara baik sebagai negara pengirim maupun negara penerima, seperti yang termaktum dalam standar HAM menurut International Labour Organization dan International Convention of Civil and Political Rights. Untuk itu, Pemerintah RI dan Negara penerima harus bertanggungjawab untuk mengklarifikasi keberadaan para BMI yang hilang. Kedua negara harus secara aktif mencari, menemukan dan menginformasikan kepada pihak keluarga tentang nasib mereka serta memulangkan mereka bila terjadi keadaan yang membahayakan BMI. Pemerintah RI juga harus membenahi seluruh sistem dan mekanisme penempatan yang berpotensi memuculkannya kasus hilangnya BMI di berbagai negara. Selanjutnya, Pemerintah RI juga harus membenahi sistem dan mekanisme Pelayanan Perlindungan Warga Negara di Kedutaan-kedutaan Besar Indonesia serta mengusut dan menindak tegas staf Kedutaan maupun pelaku bisnis penempatan lainnya, yang terlibat dalam berbagai kasus BMI yang hilang. ***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
24
REMPAH-REMPAH
Jangan Pernah Lupakan Tragedi Mei 1998 Peristiwa kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998 telah menimbulkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Indonesia. Tidak sedikit korban jiwa dan harta benda yang telah ditimbulkan akibat tragedi yang terjadi secara bersamaan di beberapa kota tersebut. Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang terjadi dalam bentuk kerusuhan massal yang meliputi berbagai tindakan perusakan, pembakaran, penjarahan, pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, dan pemerkosaan mengindikasikan adanya pelangagran hak asasi manusia (HAM) yang berat pada peristiwa tersebut. Karenanya, kasus ini harus segera diselesaikan dengan cara menyelidiki secara tuntas peristiwanya dan menyeret para pelakunya ke pengadilan, demi untuk menegakkan hukum dan HAM, sekaligus memberikan keadilan kepada para korban dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
P
ada 13 Mei 2005, tepat tujuh tahun berlalu sejak peristiwa yang memilukan tersebut. Dalam rangka memelihara solidaritas terhadap para korban dan upaya untuk terus mendesak proses penyidikan terhadap kasus Mei, Tim Solidaritas Kasus Kerusuhan Mei 1998 telah menerbitkan sebuah buku dengan judul “Reka Ulang Kerusuhan Mei 1998”. Buku ini menampilkan sketsa wajah para pelaku dan rekontruksi peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang didapatkan dari hasil testimoni para korban dan saksi mata. Buku ini diharapkan dapat menjadi semacam dokumentasi sejarah peristiwa dan juga sebagai alat bantu bagi proses penyidikan terhadap kasus kerusuhan Mei 1998 yang sedang berlangsung. Acara yang digelar pada 13 Mei, bertempat di Jakarta Media Center, Gedung Dewan Pers terselenggara atas Dok. KontraS kerjasama Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Asosiasi penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI), KontraS, IKOHI dan FKKM (Forum Keluarga Korban Mei) 98 mengahdirkan para narasumber Usman Hamid (KontraS, Romo Mudji (Budayawan), Raymond Sinaga (Penulis), Ibu Ruminah (Ibu Korban), dipandu oleh Lamria (APHI). Diskusi ini disiarkan secara langsung oleh Radio 68H Jakarta. Pada kesempatan pertama, Romo Mudji menegaskan bahwa buku ini merupakan media untuk penyadaran dan untuk terus
25
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
membuat kita ingat tanpa mengenal rasa jenuh, tidak patah dan terus berharap. Semuanya karena tujuan yang sama, yaitu mencintai Indonesia. Memperpeka Nurani Romo mengingatkan, kita bukanlah mencintai Indonesia yang pengecut. Bukan Indonesia mer deka, yang didalamnya masih bercokol par a pelaku, yang tidak pernah bertanggungjawab atas semua perbua tan t er ku tu knya ini. K it a mencintai Indonesia yang semakin beradab. Dan, agar per istiwa kejaha tan kemanusiaan ini tidak terulang lagi. Untuk itu semua lintas agama, lintas bangsa mulai dan tetap memperpeka nurani, memperpeka diri, agar peristiwa ini tidak akan pernah terjadi lagi. Sedangkan penulis buku Raymond mengungkapkan, tujuan pembuatan buku ini dikarenakan melihat ada upaya-upaya melupakan peristiwa 13 Mei, terlebih saat mendekati pemilihan presiden di tahun 2004. Penting untuk diungkapkan, bahwa kasus ini terjadi di berbagai tempat, pada saat yang hampir bersamaan, dengan adanya komando yang sama. Secara khusus, buku ini dipersembahkan untuk terus mengingat, bahwa peristiwa yang telah terjadi tujuh tahun
REMPAH-REMPAH lalu merupakan peristiwa yang melibatkan banyak orang, yang pola-pola terstruktur dan hingga kini tidak ada pertanggungjawaban pelakunya. Salah satu ibu korban (Gunawan), Ibu Ruminah yang merasakan benar bagaimana sakitnya kehilangan seorang anak dan tidak jelas nasibnya hingga kini, berharap agar peristiwa ini tidak terulang lagi kepada anak cucunya kelak. Dan mengucap syukur karena masih dalam keadaan sehat hingga masih bisa berjuang untuk terus menuntut hingga bisa dibawa kepengadilan, meski untuk itu ia tidak boleh mengenal rasa lelah dan putus asa. Ia tidak ingin anak cucunya kelak merasa sakit serta trauma berkepanjangan seperti yang ia rasakan hingga kini. Sedang menurut Usman Hamid, buku ini patut diapresiasi sebagai bagian dari usaha bersama untuk terus optimis, untuk terus menajga harapan. Harapan bahwa apapun yang terjadi dimasa lalu sangat mungkin untuk dibongkar. Dengan membongkar kebenaran inilah maka masa depan Indonesia akan jauh lebih baik, lebih beradab. Dan apapun dalil-dalil hukumnya, kasus ini tidak bisa dibiarkan. Kalau ada masalah hukum antara komnas HAM dan Kejaksaan Agung, semestinya mereka bisa bertemu.dan mendiskusikan agar masalah ini ada jalan keluarnya. Tidak sekedar lempar tanggungjawab antar Komnas Ham dan Kejaksaan Agung sendiri. Dan Usman mengajak, selama peristiwa ini belum diselesaikan, maka kita akan terus memperingati peristiwa ini, dengan tetap bersatu dalam perjuangan bersama hingga bisa terselesaikan hingga tuntas.***
Kasus Penghilangan Paksa masih berlangsung di berbagai negara di dunia. Deklarasi Perlindungan bagi setiap Orang dari Penghilangan Paksa tidak mampu mempertanggungjawabkan perilaku negara. Desak negara untuk mendukung Konversi Perlindungan bagi Setiap Orang dari Penghilangan Paksa!!
Mei 13-14, tahun 1998, sejarah kelam yang mengakibatkan hilangnya ratusan bahkan mungkin ribuan orang, jadi saksi bisu tragedi kemanusiaan di Indonesia. Sebuah sejarah yang tidak dan memang tidak harus dilupakan. Sejarah yang harus terus diingat, agar tidak akan terulang lagi. Cukup sekali “Tragedi Mei 98” Lalu... Bagaimana tragedi ini terjadi? Benarkah kerusuhan Mei “direncanakan” dan diorganisir dengan “rapi”? SEBUAH BUKU dan SKETSA TENTANG REKA ULANG KERUSUHAN MEI 1998 Buku ini bisa didapatkan di KontraS Jalan Borobudur No.14 Jakarta Pusat
Telp: 62-21-3926983
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
26
REMPAH-REMPAH
Berjuang “Mencabut” Rekomendasi DPR Genderang perang mendesak DPR mencabut Rekomendasi tentang tidak terbuktinya Kasus TSS sebagai bentuk pelanggaran berat HAM, agaknya harus terus dibunyikan. Bila rekomendasi ini tidak dicabut, Kejaksaan Agung tidak akan memulai penyidikannya. Kini, delapan fraksi DPR setuju pencabutan itu. Nyatanya, kita tetap masih harus menunggu keputusan final, sambil terus membunyikan genderang pencabutan. Berkas penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung sejak 2002 lalu. Tapi, hingga kini berkas tersebut bolak - balik dikembalikan ke Komnas HAM dengan berbagai alasan. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Jaksa Agung adalah adanya rekomendasi DPR RI periode 1999 - 2004, pada tahun 2001 yang menyatakan “tidak ada unsur pelanggaran HAM berat” dalam kasus Trisakti Semanggi I dan Semanggi II. Padahal, jelas dari penjelasan para ahli hukum – termasuk Mahkamah Agung – menyatakan bahwa rekomendasi DPR dapat diabaikan, karena rekomendasi tersebut bukanlah proses hukum. Sehingga Kejaksaan Agung harus segera melakukan penyidikan atas kasus TSS ini. Namun, tampaknya alasan itu ditampik Jaksa Agung. Abdurrahman Saleh – dalam pertemuan dengan korban TSS Desember 2004. Saat itu Jaksa Agung menyatakan bahwa Kejaksaan Agung baru akan melakukan penyidikan jika rekomendasi DPR tersebut dicabut. Bertolak dari kenyataan tersebut, keluarga korban bersama pendamping yang terdiri
dari KontraS dan Tim Penuntasan Kasus 12 Mei (TPK 12 Mei) bersama Aliansi Korban Kekerasan Negara (AKKRA) berupaya untuk – kembali - mendesak DPR RI periode 2004 – 2009 agar mencabut rekomendasi tersebut serta segera merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM Adhoc. Dimulai pada pertemuan korban TSS dengan Komisi III DPR pada 25 Januari 2005. Komisi III menjanjikan akan membuat kajian untuk mencabut rekomendasi tersebut. Maka, korban TSS didampingi Kontras, TPK 12 Mei dan AKKRA melakukan rangkaian loby – loby fraksi DPR RI (lihat tabel)*. Secara keseluruhan dari delapan fraksi besar yang ada di DPR RI, setuju untuk melakukan peninjauan kembali dan pencabutan rekomendasi DPR RI tahun 2001 dan akan menyerahkan pada mekanisme hukum. Fraksi – fraksi yang ada telah menyerahkan pernyataan secara tertulis kepada Komisi III yang membidangi hukum dan HAM. Mereka meminta agar rekomendasi DPR RI tahun 2001 ditinjau kembali atau dicabut. (Chrs)
Tabel hasil pertemuan Fraksi DPR RI untuk Kasus TSS I & II No
Fraksi
Waktu
Hasil
1
Partai Keadilan Sejahtera
1 juni 2005
Diterima A. Muzammil Yusuf dan Umung Anwar Sanus: - F PKS akan menyatakan Kasus TSS merupakanpelanggaran HAM Berat dan akan mengusulkan pencabutan rekomendasi Pansus DPR untuk kasus TSS
2
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
6 juni 2005
Diterima Jacobus Kamarlo M, Gayus Lumbun dan Meliala Sembiring;- F PDIP akan tetap konsisten mendukung pengadilan HAM untuk kasus TSS dan mendukung pencabutan rekomendasi Pansus untuk kasus TSS
3
Partai Persatuan Pembangunan
8 Juni 2005
Diterima Hafid Maksum, Hifin Syarkawi, Mayasak Johan dan Johan Mahya:F PPP mendukung pencabutan rekomendasi pansus DPR RI periode 1999 – 2004 untuk kasus TSS
4
Partai Golkar
10 Juni 2005
Diterima Akil Mukhtar beserta 4 anggota lainnya: - F PG berpegangan pada hasil KPP HAM TSS dan akan mendukung pencabutan rekomendasi pansus DPR RI periode 1999 – 2004
5
Partai Amanat Nasional
6
Partai Kebangkitan Bangsa
20 Juni 2005
Diterima Saifullah Ma’shum, Masduki Baidlowi, Bachrudin Nasori dan Badriyah Fayumi: Mendukung pengungkapan kasus TSS lewat pengadilan HAM dan mendukung pencabutan rekomendasi pansus DPR RI periode 1999 – 2004
7
Partai Demokrat
23 Juni 2005
Ditemui Sutaji dan Ziki Wahab;-akan membawa kasus TSS ke mekanisme rapat internal fraksi untuk membahas sikap fraksi selanjutnya
27
Diterima Hj. Azlaini Agus:- Setuju dilakukan pengkajian kembali terhadap kasus TSS ini. Dalam hari yang sama lewat kontak telpon anggota FPAN Arbab Paproeka meyatakan dukungan dilakukan perubahan sikap DPR terhadap kasus.
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
Panggil Paksa Para Jenderal! Tiga Jenderal yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM menolak dipanggil Komnas HAM. DPR menyarankan Komnas menyurati Presiden. Komnas HAM melakukan pertemuan informal dengan Wiranto. Komnas HAM bisa meminta surat kepada Presiden untuk mendorong Panglima TNI agar mematuhi UU 39/1999 dan UU 26/2000. Karenanya, DPR menyarankan agar Komnas HAM menyurati Presiden agar mempermudah pemanggilan perwira TNI terkait penyelidikan kasus orang hilang. Pernyataan ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Akil Mochtar di Jakarta, saat bertemu dengan Tim Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 (TPOSP) Komnas HAM pada (16/6). Komnas HAM sendiri telah dua kali mengirimkan surat panggilan resmi kepada Wiranto, Prabowo Subianto, dan Sjafrie Sjamsuddin. Tiga orang Jenderal inii menolak memenuhi panggilan Komnas HAM, sebab Panglima TNI tidak memberikan izin atas pertimbangan Babinkum TNI. Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Mayjen TNI FX James Sukiman menyatakan bahwa kasus yang ditangani Komnas HAM terjadi tahun 1998, sementara Komnas HAM dibentuk berdasarkan UU nomor 39/1999 tentang HAM dan UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Karena itu, menurut Sukiman, kasus yang ditangani Komnas HAM tidak bisa berlaku surut, sehingga kasus-kasus yang terjadi di masa lalu harus melalui Pengadilan HAM Adhoc. Hal senada juga diungkapkan Panglima
karena posisi hukum Komnas HAM termasuk hak-hak untuk mengundang atau memanggil sudah diatur dalam UU. Agar lebih efektif, Komnas HAM juga harus melakukan subpoena (pemanggilan paksa melalui perintah pengadilan) kepada ketiga jenderal tersebut bersamaan dengan keluarnya surat Presiden. Keberadaan 14 Aktivis Sebelumnya, mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto saat melakukan pertemuan “silaturahmi” dengan (TPOSP) minggu pertama Juni lalu, mengakui bahwa 14 korban penghilangan paksa tahun 1997-1998 (yang selama ini tidak diketahui nasibnya) “sudah tidak ada”. Meskipun belakangan (Wiranto membantah mengatakan hal ini, akan tetapi pernyataan tersebut harus disikapi dan ditindaklanjuti secara serius oleh TPOSP). Terutama untuk mendesak Wiranto menjelaskan siapa pelaku yang membunuh ke-14 orang hilang itu. Termasuk juga, mendesak dimana lokasi dikuburkannya korban, kalau memang sudah meninggal. Selama ini pihak TNI (yang terlibat dalam kasus penculikan) hanya mengakui menculik 9 aktivis. Sementara, 14 aktivis yang dinyatakan Wiranto sudah “tidak ada” tersebut tidak pernah diakui keberadaanya. Padahal, menurut beberapa korban penculikan yang kemudian dibebaskan, saat disekap mereka sempat berkomunikasi dengan beberapa dari 14 orang yang belum kembali. Ke-14 korban-korban penghilangan paksa adalah Yani Afri, Noval A Katiri, Deddy Umar/Hamdun, Ismail, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, Ucok Siahaan, M Yusuf, Sonny, Wiji Thukul, dan Leonardus Gilang Nugroho. PDIP Harus Mendukung Sementara itu, KontraS dan IKOHI juga mendesak para pimpinan partai PDIP yang terkait dengan para korban penculikan aktivis 1997-1998 untuk memberikan kesaksian kepada TPOSP dalam kasus Herman Hendrawan, Yani Afri dan Sonny. Dimana, para korban ini secara politik dan organisasi terkait dengan PDIP. Para pimpinan tersebut antara lain, Sucipto, DR Tjiptaning, dan Hery Achmadi.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM) bersama beberapa anggota Komnas Ham dalam rapat membahas masalah penculikan.
TNI. Ia menambahkan harus ada keputusan politik terlebih dulu dari DPR yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut adalah pelanggaran HAM berat. Hal ini juga dibantah oleh DPR. Akil Mochtar menjelaskan, sebenarnya kedudukan Komnas HAM sebagai institusi yang berhak melakukan pemanggilan telah diatur cukup jelas dalam kedua UU tersebut. Karenanya, Komnas HAM bisa jalan terus
Penculikan terhadap aktivis demokrasi ini terkait langsung dengan proses konsolidasi demokrasi yang terjdi paska penggulingan kepempinan PDI Megawati Soekarnoputri oleh Orde Baru melalui Kongres Medan 1996. Konsolidasi ini membuat kekuasaan Soeharto semakin takut, hingga akhirnya melakukan serangkaian penangkapan, penyiksaan, penahanan dan penghilangan paksa, yang diantara korban terdapat para aktivis demokrasi yang secara politik berhubungan langsung dengan beberapa pimpinan PDI diatas. Karenanya, secara tidak langsung PDIP ‘wajib’ mendesak penanganan kasus ini secara lebih serius sesuai.***
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
28
sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanan konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court Of Justice). Komitmen setengah hati ini menunjukkan keengganan pemerintah untuk menginvestigasi, menghukum para pelaku penyiksaan dan mengekstradisi pelaku kejahatan penyiksaan untuk bertanggung jawab, sekaligus memberikan santunan kepada korban penyiksaan. Data Statistik
Peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional di Bundaran HI Jakarta
Dalam sidang ke 27 yang berlangsung pada 12-23 November 2001, Komite Menentang Penyiksaan merekomendasikan sejumlah hal penting atas laporan awal pemerintah Indonesia. Rekomendasi itu antara lain, CAT meminta pemerintahan
Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Komitmen Setengah Hati
I
ndonesia telah menandatangani Konvensi Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture-CAT) pada 23 Oktober 1985 dan baru meratifikasinya pada 28 September 1998 seperti tertuang dalam UU No 5 tahun 1998. Lahirnya UU tersebut merupakan hasil desakan lembagalembaga Hak Asasi Manusia, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional. Desakan atas ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan ini didasarkan atas laporan lembaga-lembaga tersebut, atas terjadinya berbagai kasus penyiksaan yang justru semakin meningkat, baik jumlah maupun kuantitasnya, selama kurun waktu 13 tahun sebelum Konvensi Anti Penyiksaan diratifikasi. Pada 1994, Amnesty Internasional mencatat bahwa sepanjang tahun 1983-1986 pemerintah telah menggelar operasi di luar jalur hukum untuk menindak para pelaku kejahatan, yang saat itu dikenal dengan Petrus (Penembak Misterius) Lahirnya UU No. 5 tahun 1998 menunjukkan bahwa hak orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan tidak lagi berposisi sebagai hak moral, tetapi sudah menjadi hak yang legal. Namun hal itu tidak terjadi secara otomatis karena berlangsungnya proses ratifikasi tidak mengakhiri problem penyiksaan, bahkan secara de fakto hak itu masih berada di ruang hak moral semata. Bentuk-bentuk hukuman terhadap pelaku penyiksaan justru baru terlegitimasi seiring dengan lahirnya UU HAM No. 39 tahun 1999 dan UU Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000, dimana disebutkan bahwa penyiksaan adalah salah satu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Walaupun Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut, tetapi tetap membatasi (reservation) kayaknya reservasi 2 pasal deh! untuk pasal 30 ayat 1, yang mengatur upaya penyelesaian
29
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
Indonesia untuk memasukkan data statistik mengenai tindakan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahan martabat manusia yang disebabkan perbedaan jenis kelamin, kelompok etnis, daerah dan jenis serta lokasi penahanan. Tujuh tahun sudah konvensi itu diratifikasi, tapi dalam implementasi masih jauh dari harapan. Praktek penyiksaan, tindakan represif masih terjadi dan terus dilakukan oleh aparat negara. Komitmen itu hendaknya ditunjukkan oleh pemerintah melalui pembaharuan hukum, penyelidikan dan penuntasan kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Dalam menentang praktek-praktek penyiksaan yang masih berlangsung di Indonesia ini, Koalisi Anti Penyiksaan membuat beberapa rangkaian kegiatan mulai tanggal 23-26 Juni 2005, mendesak pemerintah untuk melakukan langkah kongkrit dalam mengimplementasikanya UU Anti Penyiksaan. Serangkaian acara digelar diantaranya, Diskusi Publik, pemutaran film dan konfrensi pers. Acara ini diadakan di Hotel Mandarin, Jakarta. Sedangkan diskusi komunitas dan pemutaran film juga digelar di komunitas penggusuran, Cikarang (KMK) dan kampus Universitas Islam Nasional, Ciputat, Juga diadakan Aksi massa dari Bunderan HI Jakarta menuju Istana Negara. Aksi ini diikuti oleh lebih kurang 300 orang. Berbagai unsur dari LSM, masyarakat, aktivis, korban, keluarga korban dan masyarakat biasa ikut dalam aksi ini. Aksi menentang segala bentuk penyiksaan dihentikan, atas nama apapun. Peserta aksi sepakat untuk Bersatu Melawan Penyiksaan.(SL)
Kedutaan Filipina, Komisi I DPR RI serta berbagai fraksi hingga tokoh – tokoh masyarakat. Bersama-sama keluarga korban, KontraS terus membangun harapan meski harus tetap bergelut dalam ketidakpastian atas nasib korban, hingga akhirnya dua orang sandera dilepaskan.
Dok. KontraS
Dua Dilepas
Satu Sandera Masih Tak Jelas Dua dari tiga sandera yang ditawan oleh sekelompok bersenjata di Filipina Selatan dibebaskan. Namun hingga kini nasib sang kapten kapal tetap belum jelas. Pemerintah hendaknya tidak langsung puas dan berdiam diri. Perjuangan pembebasan sandera Ahmad Resmiadi harus terus dilakukan.
D
i pertengahan Juni tepatnya (13/Juni) Departemen Luar Negeri RI mengofirmasikan bahwa dua dari tiga warga negara Indonesia, yang disandera sejak 30 Meret 2005 lalu oleh sekelompok bersenjata di Filipina Selatan, telah dibebaskan. Kedua sandera tersebut yaitu Yamin Labuso (28) dan Erikson Hutagaol (23), sedangkan nasib Kapten Kapal Ahmad Resmiadi (32) sampai saat ini belum diketahui.
Penyanderaan warga Indonesia oleh kelompok bersenjata di Filipina bukanlah kasus yang pertama. Setidaknya dalam catatan KontraS telah terjadi empat kasus serupa sejak tahun 2002 hingga 2005 ini. Pada tahun 2002, tiga WNI disandera, satu orang bebas dan dua orang tidak diketahui nasibnya. Pada tahun 2003, dua WNI yang disandera akhirnya di eksekusi oleh para penyadera. Dan, pada tahun 2004, satu WNI kembali disandera yang diduga telah dibunuh. KontarS menilai, kebijakan pemerintah dalam soal upaya pembebasan sandera selama ini menunjukkan wajah yang diskriminatif dan sangat ditentukan oleh desakan publik lewat opini yang berkembang. Dibanding, sebag ai bentuk pertanggungjawaban negara dalam menjalankan kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Meski kedua sandera telah dibebaskan, namun Kapten kapal Ahmad Resmiadi belum jelas kabarnya. Kembali keluarga korban harus menunggu kepastian nasib sang kapten kapal. Untuk itu KontraS tetap mendesak pemerintah untuk terus serius melakukan upaya pembebasan Ahmad dan tidak langsung “puas” dengan telah dibebaskannya dua sandera yang lain. KontraS juga mendesak, untuk mencegah terulangnya peristiwa yang sama di masa depan, perlu ditingkatkan kerjasama keamanan antara pemerintah Indonesia, Malaysia dan Filipina di perairan yang rawan perompakan. ***
Pembebasan kedua sandera ini dilakukan oleh Komando Angkatan Bersenjata Filipina Wilayah Selatan melalui sebuah operasi militer yang didahului dengan operasi intelijen. Pembebasan dilakukan pukul 03.00 hari Minggu (12/6). Berita pembebasan tersebut secara resmi disampaikan oleh Pemerintah Filipina kepada Pemerintah Indonesia melalui KBRI Manila pada hari yang sama. Pada (18/6) Deplu menyerahkan dua sandera pada keluarga. Pertanggungjawaban negara Kasus penyanderaan ini berawal pada 30 Maret, dimana terjadi aksi perompakan kapal Bonggaya oleh lima orang bersenjata yang kemudian diketahui berasal dari Filipina. Para perompak kemudian menyandera 3 orang WNI diatas. Sejak itu KontraS bersama keluarga Erikson, keluarga Yamin dan keluarga Resmiadi dari Depok, Jawa Barat. Medan dan isteri Yamin di Bali terbang langsung untuk bersama-sama mengupayakan pembebasan ke tiga sandera ini. Berbagai instansi dimintai pertanggungjawaban serta dimintai dukungan untuk membantu upaya pembebasan sandera, seperti Departemen Luar Negeri,
Buku ini dapat diperoleh di KontraS Jakarta
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
30
PERPRES No 36/2005 Kekuasaan Yang Terbeli
menghormati hak rakyat atas tanah. 21 proyek pembangunan, antara lain sarana jalan umum, rumah sakit, rumah ibadah, kantor-kantor pemerintahan, rumah susun sederhana, cagar alam dan fasilitas umum lainnya, atas nama “kepentingan umum” membuat semakin leluasanya pengusaha. Mereka kian bebas merambah proyek-proyek yang selama ini bertentangan dengan kepentingan rakyat. Praktek penggusuran Paksa Pada kenyataannya, Perpres ini bisa menjadi alat bagi pemerintah untuk melakukan praktek penggusuran paksa (forced eviction), dimana berpeluang memberikan otoritas dan wewenang kepada SBY untuk mencabut hak atas tanah rakyat. Sedangkan bagi masyarakat, hanya disediakan waktu 90 hari untuk bermusyawarah sebelum digusur paksa. Di dalamnya juga tidak ada ketentuan menyangkut penentuan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, tidak dilakukan secara partisipatif, tidak lewat konsultasi publik, bahkan penentuannya dilakukan secara sefihak, atau malah dua belah fihak, antara investor (pemilik modal) dan pemerintah.
K
eadilan sedemikian jauh dari harapan. Kesejahteraan masyarakat marjinal seakan mimpi. Presiden yang dipilih oleh masyarakat secara langsung pada Pemilu 2004 dengan harapan kesejahteraan, akan terwujud seolah hanya angan-angan. Hak prerogratif yang dipunyai presiden yakni otoritas, kewenangan untuk secara cepat mengatasi kemiskinan dan mengupayakan keadilan sosial bagi masyarakat justru menambah kesengsaraan itu makin panjang. Tumpukan kasus penggusuran tempat tinggal, penggusuran pekerjaan, peniadaan hak atas hak hidup, hak atas tanah, menjadi potret buram pemerintahan SBY yang masih berlangsung sampai sekarang. Kondisi ini diperparah dengan lahirnya Peraturan presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umum, yang di tanda tangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 3 Mei 2005. Perpres yang berisi 24 pasal ini sama sekali tidak melindungi dan
Kekejaman Perpres No. 36 2005 ternyata melebihi Keppres No. 55/1993 Tentang “Pembangunan Untuk Kepentingan Umum” sebagaimana termaktub dalam Kepress No 55/1993, yang pada rezim orde baru, dibatasi dalam “kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.” Ternyata ketentuan ini justru dicabut. Implikasi dari perubahan itu adalah memberikan legitimasi untuk para pengusaha dan investor, untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa meghormati hak-hak rakyat. Selama ini, para pemodal berusaha merayu para penentu kekuasaan untuk berkolaborasi melancarkan agenda liberalisasi ekonomi. Perpres ini merupakan wujud dari lalimnya penguasa, rakusnya pemodal dan berusaha memper mudah masuknya investasi melalui pertemuan tingkat tinggi antara pemerintah dengan pemodal asing (infrastructure summit) yang digelar Januari 2005. Demi investasi asing dan pertumbuhan ekonomi, hak rakyat atas tanah pun dikorbankan. (SL)
Perbandingan Peraturan Perundang-undangan: Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Pasal 5 PERPRES NO 36/2005 a. Jalan umum, saluran pembuangan air b. Waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainya termasuk saluran irigasi. c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat kesehatan masyarakat. d. Pelabuhan, bandar udara, atau terminal. e. Peribadatan. f. Pendidikan atau sekolah. g. Pasar umum INPRES. h. Fasilitas pemakaman umum. i. Fasilitas keselamatan umum. j. Pos dan telekomunikasi. k. Sarana olahraga. l. Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya. m. Kantor pemerintah n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
31
Berita KontraS No. 03/V-VI/2005
Pasal 5 KEPPRES NO 55/1993 a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi. b. Waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya. c. Rumah Sakit Umum dan Puskesmas. d. Pelabuhan, bandar udara, stasiun KA dan terminal. e. Tempat peribadatan. f. Pendidikan atau sekolah. g. Pasar umum. h. Fasilitas pemakaman umum. i. Fasilitas keselamatan umum. j. Pos dan telekomunikasi. k. Sarana olahraga. l. Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya. m. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB, atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB. n. Fasilitas TNI dan Kepolisian Negara RI sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. o. Lembaga Pemasyarakatan dan rumah tahanan.