JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT
ISSN 1693-2889
Volume 14 Nomor 2 April 2015 PENYALAHGUNAAN WEWENANG SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Oleh : Eddy Pelupessy
Abstrak Kedudukan hukum dari pejabat pembuat komitmen adalah sebagai pemerintah pengguna barang dan jasa, yang telah melakukan perbuatan hukum tidak saja dari aspek publik tetapi juga dari aspek perdata. Adapun penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pembuat komitmen adalah merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan sangatlah bertentangan dengan teori negara kesejahteraan. Pendekatan yang protektif cenderung menciptakan peluang-peluang KKN dalam pengadaan barang dan jasa, sehingga perlu dihindari selain itu, penegakan hukum terhadap penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa dilakukan secara tegas, tidak tebang pilih terhadap pejabat pembuat komitmen tertentu. Kata kunci: I.
Pendahuluan Dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, pemerintah senantiasa
dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mengemban kewajiban ini, pemerintah mempunyai kewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuknya baik yang berupa barang, jasa maupun pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, pemerintah juga memerlukan barang dan jasa itu dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan. Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa merupakan bagian yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan inilah maka menjadi praktek yang rutin (routin practice).1 Pelaksanaan transaksi komersial baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah karenanya menjadi suatu kelaziman.2
1
Hugh Collins, 1999, Regulating Contracts, Oxford University Press, London, h. Charles Tiefer, et.al., 1999, Government Contract Law, Carolina Academic Press, North Carolina, h. ix. Periksa juga Michael T. Molan, 2003, Administrative Law, Old Bailey Press, London, h. 243 dan Bernard Rudden, 1989, “The Domain of Contract (English Report)”, dalam Contract Law Today (Anglo-French Comparisons), Donald Harris, et. al. (ed.), Clarendon Press, Oxford, h. 94. 2
Hukum dan Masyarakat 2015
Dengan melibatkan diri ke dalam suatu transaksi komersial, pemerintah mengikatkan diri pada suatu hubungan kontraktual. Jenis hubungan kontraktual yang dibentuk juga beragam. Jika dilihat dari sisi anggaran, kontrak yang dibuat oleh pemerintah itu pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu kontrak yang bersifat pembelanjaan dan kontrak yang membawa penerimaan pendapatan.3 Pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah (government procurement) tergolong pada jenis yang pertama, sedangkan jenis yang kedua meliputi berbagai macam kontrak, diantaranya tukar menukar, sewa menyewa, penjualan asset negara termasuk saham, penerbitan obligasi atau pinjaman luar negeri (loan agreement). Pengadaan barang dan jasa
dilakukan oleh pemerintah dalam
menjalankan fungsi penyelenggaraan negara. Dalam kaitan ini pemerintah melibatkan diri ke dalam suatu hubungan kontraktual dengan sektor swasta yakni dengan mengikatkan diri ke dalam suatu kontrak pengadaan barang dan jasa. Hubungan kontraktual yang dibentuk oleh pemerintah itu juga terkait dengan kewajibannya untuk menyediakan, membangun dan memelihara fasilitas umum (public utility).4 Kontrak yang dibentuk pada dasarnya adalah kontrak komersial sekalipun di dalamnya terkandung elemen hukum publik.5 Di satu sisi hubungan hukumnya terbentuk karena kontrak, tetapi di sisi yang lain isinya sarat dengan aturan bagi penyedia barang dan jasa. Di negara-negara dengan sistem hukum common law kontrak ini lazim disebut government contract, sedangkan di Francis disebut administrative contracts.6 Government contract sering juga diartikan sebagai pengadaan barang
3
Pasal 11 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Colin Turpin, 1972, Government Contracts, Penguin Books, Harmonds, h. 9. 5 Istilah kontrak komersial (commercial contracts) digunakan untuk membedakannya dengan kontrak konsumen (consumer contracts). 1994, Periksa Princples of International Commercial Contracts, UNIDROIT, Rome, h. 2. 6 Lihat Georges Langrod, 1955, “Administrative Contracts (A Comparative Study)”, The American Journal of Comparative Law, Vol. IV, Summer, Number III, h. 325. Salah satu kesimpulan dan suatu penelitian perbandingan hukum menyangkut domain kontrak (the domain of contract) antara Hukum Inggris dan Francis yang dilakukan oleh Bernard Rudden dan Camifie Jauffret-Spinosi adalah bahwa administrative contract yang dikenal di Francis pada dasarnya tidak dikenal di Inggris. Lihat, Camille Jauffret- Spinosi, “The Domain of Contract (French Report)”, dalam Donald Harris, et.al. (ed)., op. cit., h. 149. 4
59
Hukum dan Masyarakat 2015
dan jasa oleh pemerintah (government procurement)7 oleh karena dalam banyak hal substansinya memang demikian. Jenis kontrak ini dengan demikian berbeda dari perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst) yaitu perbuatan hukum oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang menjadikan kebijakan publik sebagai objek perjanjian.8 Pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah mempunyai fungsi penting dalam lapangan perekonomian suatu negara. Dalam kaitan ini Turpin menyatakan: “A substantial part of this procurement is concentrated upon crucial sectors of industry whose welfare is of national importance, and much government contracting takes place at the forefront of technological advance. It will be realized that the way in which government procurement is carried out can have a significant effect upon growth, competitiveness and efficiency...9
Kebutuhan pemerintah yang dipenuhi melalui pengadaan dari sektor swasta meliputi jumlah yang sangat besar dan dalam beragam kualitas. Seperti juga Turpin, Sudjan memandang bahwa kontrak pengadaan mempunyai makna penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Lebih jauh ia menyatakan : “It is not only by reason of its magnitude that government procurement is important to the economy, but a substantial part of the procurement is so oriented as to speed up the development of crucial sectors of industry which is a matter of national importance. It would not be wrong to say that government contracting is so planned as to be avant-garde of 7
Henry Cambell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, 6th Ed., West Publishing Co., St. Paul Minn, h. 696. 8 Periksa, Philipus M. Hadjon, dkk., 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 172 (Philipus M. Hadjon I). Lihat juga, H.M. Laica Marzuki, “Perjanjian Kebijaksanaan (Beleidovereenkomst)”, Yuridika. No. 2-3, Tahun VI, MaretApril-Mei-Juni 1991, h. 150. 9 Colin Turpin, op.cit., h. 17
60
Hukum dan Masyarakat 2015
technological development of the country. While it can be asserted that many industries are dependent on government procurement, it would not be wrong to say, that the government also in its turns is dependent upon industry for meeting its requirements.”10
Pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah melibatkan jumlah uang yang sangat besar. Itulah sebabnya dikatakan pemerintah merupakan pembeli yang terbesar (the largest buyer) di suatu negara. Dalam kaitan ini pemerintah mempunyai tanggung jawab agar kebijakan dalam bidang pengadaan mampu mendukung tujuan ekonomi dan menetapkan instrumen-instrumen dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Salah satu strategi yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam kaitan dengan bidang pengadaan ini adalah dengan membuat kebijakan pemberdayaan perusahaan berskala kecil, menengah dan mikro (Small Medium and Micro Enterprises-SMME’S) misalnya dengan menetapkan sistem pengadaan yang relatif lebih mudah, khususnya pada proses tender.11 Dalam perspektif Indonesia, kontrak pengadaan juga mempunyai fungsi penting dalam pembangunan perekonomian negara karena di samping bersifat rutin dan melibatkan keuangan negara yang jumlahnya sangat besar, kebijakan di sektor pengadaan merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi. Kontrak pengadaan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia selalu dikaitkan dengan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri. Pengadaan barang oleh pemerintah dengan demikian tidak saja untuk mencukupi tersedianya barang dan jasa atau pembangunan fisik, tetapi juga berfungsi untuk mendorong laju pertumbuhan industri dalam negeri. Kontrak pengadaan di Indonesia juga diarahkan guna peningkatan peran serta usaha kecil dan koperasi, misalnya dengan memberikan peluang 10
M.A. Sudjan, 2003, Law Relating to Government Contracts, Universal Law Publishing Co., Pvt., Ltd., Delhi, h. 533. 11 Tertuang dalam suatu green paper yang di-introdusing oleh Jeff Radebe, Menteri Keuangan Afrika Selatan pada tahun 1997 sebagai usaha untuk mendapatkan masukan dari segenap sumber guna pembaharuan sistem pengadaan di Afrika Selatan. Periksa, http://wwwpolily.org.za/html” govdocs/green.papers.
61
Hukum dan Masyarakat 2015
melalui sub-kontrak. Kontrak pengadaan dengan demikian dapat pula digunakan sebagai instrumen penerapan kebijakan pemerintah dalam rangka pemberdayaan usaha kecil sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil (UU No. 9/ 1995).
II. Analisis Dan Pembahasan A. Kedudukan Hukum Dari Pejabat Pembuat Komitmen Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintahan dapat dimaknai sebagai “fungsi” dan sebagai “organisasi”. Sebagai fungsi, yakni aktivitas memerintah, adalah melaksanakan
tugas-tugas
pemerintahan,
dan
pemerintah
sebagai
organisasi, pemerintahan yang dibebani dengan pelaksanaan tugas pemerintahan. Berdasarkan penelusuran bahan pustaka, pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian, di satu pihak dalam arti “fungsi pemerintahan” (kegiatan memerintah), di lain pihak dalam arti “organisasi pemerintahan” (kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan). Fungsi pemerintahan ini secara keseluruhan terdiri dari berbagai macam tindakantindakan pemerintahan, keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tindakan-tindakan hukum perdata dan tindakan-tindakan nyata. Hanya perundang-undangan dan penguasa politik dan peradilan oleh para hakim tidak termasuk didalamnya. Apabila dipahami dalam arti sempit “pemerintahan” dimaknai sebagai organ/ badan/ lembaga yang juga sebagai alat atau aparat yang menjalankan fungsi eksekutif, sedangkan dipahami dari arti luas, maka “pemerintahan” meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial. Dengan demikian berbicara tentang pemerintahan berarti bersangkut paut dengan organisasi dan fungsi pemerintah. Istilah pemerintahan yang dimaksud dalam penulisan ini dibatasi pada pemerintahan dalam arti sempit, yakni sebagai organ/ badan maupun sebagai fungsi yang
62
Hukum dan Masyarakat 2015
menjalankan
pemerintahan,
yang
berkedudukan
hukum
sebagai
pemerintah dalam kontrak pengadaan barang dan jasa. Walaupun ada ahli hukum yang mengatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan yang terdiri atas peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih lanjut, yakni peraturan-peraturan umum tentang pemerintahan, peraturan-peraturan dari pihak penguasa yang lebih rendah tidak dapat dikategorikan dalam hukum publik. Hal ini dapat juga di lihat dari sudut yang lain. Namun demikian pendapat tersebut juga perlu adanya suatu pertimbangan dan pemikiran lebih lanjut, bahwa dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memungkinkan fungsi pemerintahan membentuk peraturan-perundang-undangan yang bersifat umum, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden (termasuk didalamnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010), Peraturan Kepala Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk mengatur kepentingan umum di luar undang-undang dan peraturan daerah. Fungsi pemerintahan yang lain, yakni berkaitan dengan fungsi pengaturan,
fungsi
pelayanan,
fungsi
pemberdayaan
dan
fungsi
pembangunan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Fungsi pengaturan, yang lazimnya dikenal sebagai fungsi regulasi dengan segala bentuknya, dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan kondisi yang tepat sehingga menjadi kondusif bagi berlangsungnya berbagai aktifitas, selain terciptanya tatanan sosial yang baik di berbagai kehidupan masyarakat. 2. Fungsi pelayanan, akan membuahkan keadilan dalam masyarakat. 3. Fungsi pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan pembangunan terciptanya kemakmuran dalam masyarakat. Ketiga fungsi tersebut sebagai tugas pemerintahan yang ditujukan pada kepentingan umum (public service) yang dijalankan oleh alat pemerintahan. Dengan demikian secara umum fungsi pemerintahan menjalankan segala kegiatan
63
Hukum dan Masyarakat 2015
di luar fungsi yang dijalankan oleh badan legislatif dan badan yudisial berdasarkan ketentuan dan kewenangan yang mengikat. Dilihat dari pekerjaan yang dikerjakan oleh aparatur pemerintahan, fungsi pemerintahan memiliki cakupan yang sangat luas, terlebih lagi dalam konsep negara
kesejahteraan.
Di
dalam
negara
kesejahteraan
konsep
dasar
penyelenggaraan pemerintahan tertuju pada terwujudnya kesejahteraan umum, karena ini fungsi pemerintahan antara lain meliputi fungsi perencanaan, fungsi pengaturan, fungsi tata pemerintahan, fungsi pelayanan, fungsi pemberdayaan dan pembangunan, fungsi penyelenggaraan usaha-usaha negara yang dilakukan oleh dinas-dinas, lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan negara, dan fungsi penyelenggaraan kesejahteraan umum. Dalam perspektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi objek hukum administrasi negara. Ada beberapa ciri yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan yaitu: 1. Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab sendiri, yang dalam pengertian modern diletakkan sebagai pertanggung jawaban politik dan kepegawaian atau tanggung jawab pemerintah sendiri dihadapan Hakim. Organ pemerintah adalah pemikul kewajiban tanggung jawab. 2. Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak tergugat dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding atau perlawanan. 3. Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat. 4. Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri. Organ pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan hukum menurut hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan Bupati atau Walikota adalah organ-organ dari badan umum
64
Hukum dan Masyarakat 2015
“Kabupaten”. Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya. Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum, yang dilakukan melalui perwakilan yaitu pejabat. Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun di antara keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata negara dan hukum administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian. Di samping itu, tampak bahwa pejabat menampilkan dirinya dalam dua kepribadian yaitu selaku pribadi dan selaku personifikasi dari organ, yang berarti selain diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian juga tunduk pada hukum keperdataan khusus dalam kapasitasnya selaku individu atau pribadi. Tindakan hukum jabatan pemerintah dijalankan oleh pemerintah. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan pemerintahan. Begitupun kedudukan hukum pemerintah dalam aspek publik dalam kontrak pengadaan barang dan jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Selanjutnya bahwa negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik. Bila berdasarkan hukum publik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan. Tindakan hukum badan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah sebagaimana manusia dan badan hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum. Pemerintah menjual dan membeli, menyewa dan menyewakan, menggadai dan menggadaikan, membuat perjanjian, dan mempunyai hak milik. Dalam kedudukannya yang spesifik, pemerintah menggunakan berbagai ketentuan hukum privat dalam pergaulannya. Kadang-kadang mereka terlibat dalam lalu 65
Hukum dan Masyarakat 2015
lintas pergaulatan keperdataan dalam kedudukan yang sama dengan pihak swasta, tanpa kedudukan spesifiknya sebagai pemerintah dan yang melindungi kepentingan umum dalam hal terjadi sengketa. Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan. Oleh karena itu, kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum privat, tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum. Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 172 tahun 2014, pemerintah telah melakukan perbuatan hukum tidak saja dari aspek publik tapi juga dari aspek perdata yaitu perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subyek hukum, pada asasnya akibat hukum ditentukan juga oleh hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum pemerintah adalah kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum. Perbuatan hukum dapat bersifat aktif maupun pasif. Meskipun seseorang tidak berbuat, tetapi kalau dari sikapnya yang pasif itu dapat ditafsirkan mengandung pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum, maka perbuatan yang pasif itupun merupakan perbuatan hukum. Perbuatan menjadi perbuatan hukum. Pemerintah merupakan subyek hukum yang adalah pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban itu dapat disebut orang sebagaimana halnya pihak penyedia jasa pemborongan, dan dalam arti hukum “orang” terdiri dari unsur pribadi dan badan hukum. Badan hukum (termasuk didalamnya instansi pemerintah) adalah subyek hukum dalam arti yuridis dan mempunyai hak dan kewajiban dalam kontrak pengadaan barang dan jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014. Dalam pelaksanaan kontrak
pengadaan barang dan jasa pemerintah
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014, terdapat perbuatan subyek hukum lainnya yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum, 66
Hukum dan Masyarakat 2015
tidak peduli apakah terjadinya akibat hukum itu dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Akibat hukum yang timbul sama sekali tidak tergantung pada kehendak si pelaku. Perbuatan lainnya ini ada yang dibolehkan dan ada yang merupakan perbuatan melawan hukum.
B.Pertanggungjawaban Pidana Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua istilah yang amat sangat luas dalam kajian hukum pidana. Oleh karenanya, penulis membatasinya hanya untuk mengetahui batasan, kapankah perbuatan/tindakan seseorang merupakan sebuah tindak pidana? Meskipun, menurut van Hattum 12, antara perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu ada hubungan yang erat dan tidak mungkin dipisah-pisahkan. Terkait dengan perbuatan/tindak pidana, Roeslan Saleh13 mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang masuk dalam rumusan delik adalah merupakan sekumpulan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya diancam dengan pidana. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit atau delict, akan tetapi di dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku tidak seragam dalam menerjemahkannya, seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana dan sebagainya. 14 Menurut Simmons15, unsur tindak pidana (strajbaar feit) terbagi atas dua unsur, yakni: 1. Unsur obyektif, yang terdiri dari: a. Perbuatan orang. b. Akibat dari perbuatan tersebut. c. Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan tersebut. 2. Unsur subyektif, yang terdiri dari: a. Orang yang mampu untuk bertanggung jawab b. Adanya kesalahan yang mengiringi perbuatan. 12
Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru. h.23. 13 Ibid. h. 57. 14 Tolib Setiady. 2010. Pokok-pokok Hukum Penintensier Indonesia, Bandung: Alfabeta. h.10. 15 Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto. h.41.
67
Hukum dan Masyarakat 2015
Sementara menurut Molejatno,16 unsur-unsur tindak pidana meliputi:
1. Unsur formil a. Perbuatan manusia. b. Perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum. c. Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu. d. Larangan itu dilanggar 2. Unsur materiil Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus benar- benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dalam prespektif dan ajaran hukum pidana, setiap perbuatan yang dilakukan dan memenuhi unsur tindak pidana (criminal act), akan selalu dituntut adanya pertanggungjawaban berupa pengenaan sanksi pidana sepanjang memenuhi syarat untuk dapat dipertanggung- jawabkan. Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana17 sebagaimana telah dikemukakan. Kecuali, terdapat alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana (alasan pembenar) dan alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf).18 Pendapat ini sejalan dengan pendapat Mezger 19 yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang mendapat perhatian dan dicampuri oleh hukum pidana adalah perbuatan. Pengenaan sanksi pidana adalah reaksi atas delik dalam bentuk suatu nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pembuat delik itu20 atas suatu perbuatan yang telah memenuhi unsur tindak pidana. Hal 16
Tolib Setiady. Op.Cit. h.10. Chairul Huda. Op.Cit. h.62. 18 Ibid. h.121. 19 Roeslan Saleh. 1979. Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru. h.14. 20 Roeslan Saleh. 1983. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. h.9. 17
68
Hukum dan Masyarakat 2015
ini merupakan dimensi pertanggungjawaban pidana, yang dalam kerangka teoritik terdapat dua ajaran, yaitu ajaran monoistis dan dualistis. Menurut Simons, ajaran monoistis merumuskan perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukum, bertentangan dengan hukum, di- lakukan oleh seseorang yang bersalah, dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan dicampumya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana disatukan dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolaholah dianggap bahwa kalau terjadi perbuatan pidana, maka pelakunya pasti dapat dipidana.21 Sementara, ajaran dualistis berpandangan bahwa tindak pidana hanya menyangkut persoalan perbuatan. Masalah apakah orang yang melakukan kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain. Hal ini berpangkal tolak dari asas geen straf zander schuld.22 Perhatian hukum pidana dalam hal ini terbagi secara seimbang, antara masalah perbuatan (perbuatan pidana) dan orang yang melakukannya (pertanggungjawaban pidana). Pandangan dualistis ini dikenal dengan hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan dan pembuatnya (daad en dader straftrecht).23 Pemidanaan sebagai dasar paradigma pemberantasan korupsi tetap berorientasi pada tiga golongan besar tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (per geldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).24 Secara khusus, Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view)
21
Rantawan Djanim. 2006. Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana. Semarang: BP UNDIP. h.60 22 Chairul Huda. Op. Cit. h. 6. 23 Chairul Huda. 2005. Dasar-Dasar Teori dan Filsafat Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Bahan disampaikan pada Dies Natalis XVII dan Wisuda IX STHI Jakarta. h.2-3. 24 Bambang Poernomo. Op.Cit. h. 27.
69
Hukum dan Masyarakat 2015
dan pandangan utilitarian (utilitarian view).25 Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat, sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Sementara, pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Pada satu sisi, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana. Di sisi lain, pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). Korupsi akan selalu berhubungan dengan kekuasaan. Ia ibarat dua sisi dari satu mata uang, korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi korupsi. Kenyataan ini mengingatkan kita pada pendapat Guru Besar Sejarah Modem Universitas Cambridge-Inggris, yang hidup di abad ke-19, Lord Acton (John Emerich Edward Delberg-Acton)26 dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton, bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Artinya, kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut. Terkait hal ini, Miriam Budiardjo27 juga mengatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya. Akan tetapi, manusia yang
mempunyai
kekuasaan
absolut
sudah
pasti
akan
menyalahgunakannya. Begitu juga dengan Indriyanto Seno Adji 28 yang 25
ELSAM. 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. Position Paper Advokasi RUU KUHP 2005. Jakarta: ELSAM. Cet. Pertama. h.10. 26 Ermansyah Djaja. Op.Cit. h.1. 27 Miriam Budiardjo. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. h.99. 28 Indriyanto Seno Adji. 2002. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Prof Oemar Seno Adji, SH dan Rekan. h.180.
70
Hukum dan Masyarakat 2015
mengatakan bahwa karakteristik dari tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan penggunaan kekuasaan secara menyimpang dan tercela sifatnya. Eratnya relasi korupsi dengan kekuasaan ini juga disinggung oleh Adami Chazawi 29, yang menyatakan bahwa praktik korupsi semakin canggih dengan balutan kebijakan publik yang sangat rapi, sehingga sifat melawan hukum formilnya menjadi tidak tampak. Demikian dikemukakan juga Sutherland,30 bahwa setiap kasus tindak pidana korupsi pasti melibatkan pejabat yang menempati posisi tertentu di dalam sebuah instansi. Karena jabatannya itu, mereka adalah orang-orang yang kerap dihormati di masyarakat. Dan karena jabatan itu pulalah, kejahatan yang dilakukan tidak sekedar kejahatan yang sifatnya street crime, tetapi kejahatan dengan modus yang lebih rumit dengan jumlah yang lebih besar serta memiliki dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Robert Klitgaard31 kemudian merumuskannya bahwa: C = M+ D A, corruption (C) [korupsi] sama dengan monopoly power (M) [kekuasaan monopoli] plus discretion by officials (D) [wewenang pejabat] minus accountability (A) [akuntabilitas]. Dijelaskannya lebih lanjut bahwa, jika seseorang memegang monopoli atas barang atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapat barang atau jasa itu berikut jumlahnya, dan tidak ada akuntabilitas dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu maka kemungkinan besar di situ terdapat korupsi. Strategi anti-korupsi hendaknya menggali cara-cara untuk mengurangi kekuasaan monopoli, menjelaskan dan membatasi wewenang, dan meningkatkan keterbukaan, sambil memperhitungkan kerugian langsung dan tidak langsung dari cara-cara itu.32
29
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. h. 410. 30 Kemitraan (partnership). Op.Cit. h.85. 31 Robert Klitgaard. alih bahasa Masri Maris. Op.Cit. h.29. 32 Ibid. h.29-30.
71
Hukum dan Masyarakat 2015
Istilah kekuasaan, jabatan dan discretion by officials (wewenang pejabat)
merupakan
istilah
yang
selalu
berhubungan
dengan
penyelenggaraan Negara yang lazim disebut pemerintahan. Oleh karena itu, istilah-istilah tersebut pada dasarnya berada dalam ruang lingkup hukum administrasi Negara, yang justru diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pada. Pada Pasal 3 UU ini, terlihat bahwa unsur "menyalahgunakan kewenangan" sebagai species delict dari 'unsur melawan hukum' sebagai genus delict akan selalu berkaitan dengan jabatan pejabat publik (public official).33 Sementara, istilah kerugian keuangan Negara justru didefinisikan dan diatur secara rinci
dalam
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang keduanya juga berada dalam ruang lingkup hukum administrasi Negara dalam konteks menjalankan fungsi pemerintahan. "Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai."34 Berkaitan dengan ini, Philipius M. Hadjon 35 menjelaskan fungsi pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum publik. Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan jabatan (ambt). Jabatan diperoleh melalui tiga sumber, yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan (bevoegdhied, legal power, competence). Selain itu, pemerintah juga memiliki
wewenang
kebijaksanaan
discreationnaire).36
Freis
mengingat
pemerintah
fungsi
ermessen atau
(freis diberikan
ermessen! kepada
administrasi
pouvoir pemerintah
negara
untuk
33
Komariah S. Sapardjadja dalam H. Abdul Latif. 2014. Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group. h.4. 34 Lihat: Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 35 Philipus M. Hadjon, et al. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. h.139. 36 Bahsan Mustafa. 1990. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti. h. 55.
72
Hukum dan Masyarakat 2015
menyelenggarakan kesejahteraan umum, yang berbeda dengan fungsi kehakiman untuk menyelesaikan sengketa antar penduduk. Keputusan pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada kesesuaian dengan hukum yang berlaku (rechmatigheid). Demikian juga dalam soal kerugian keuangan Negara sebagai sebuah akibat dari pelaksanaan kewenangan di bidang keuangan Negara, dilaksanakan melalui pemberian delegasi atau mandate.37 Artinya, persoalan ini juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jabatan dalam doktrin hukum administrasi Negara sebagaimana telah diuraikan. Meski demikian, prinsip tanggung jawab dan pertanggungjawaban tetap melekat secara bersamaan. Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintah tersirat di dalamnya tentang pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Dalam konsep hukum publik, dikenal prinsip geen bevoegdheid (macht) zander veraantwoordelijkheid (tidak ada kewenangan atau kekuasaan tanpa pertanggungjawaban). 38 Oleh karena itu, tanggung jawab pejabat dalam menjalankan fungsinya dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) tindak pemerintahan. Dalam hukum administrasi, persoalan legalitas tindak pemerintahan berkaitan dengan pendekatan terhadap kekuasaan pemerintahan. Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan perilaku dalam hukum administrasi. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service. Tanggung jawab pejabat dalam melaksanakan fungsinya dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Pembedaan ini membawa konsekuensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan
37
W. Riawan Tjandra. 2013. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Kompas Gramedia.
38
Sri Soemantri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung. Alumni.
h.29. h.7.
73
Hukum dan Masyarakat 2015
tanggung gugat tata usaha Negara (TUN).39 Secara spesifik, menurut Tatiek Sri Djatmiati,40 dalam konteks hukum administrasi negara, tindak pidana korupsi merupakan tanggung jawab pribadi pejabat, dengan parameter utama yaitu penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan sewenang-wenang
(unreasonableness).
Dalam
hal
terdapat
unsur
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan sewenang-wenang (unreasonableness), maka terdapat unsur maladministrasi, dan tentu ada unsur perbuatan melawan hukum, dan perbuatan itu menjadi tanggung jawab pribadi pejabat yang melakukannya. Dapatlah dikatakan bahwa secara substansial, tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan negara berada dalam disiplin ilmu yang berbeda. Korupsi sebagai tindak pidana berpijak pada doktrin hukum pidana, sementara kerugian keuangan Negara terutama keuangan negara berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawabnya, berpijak pada doktrin hukum administrasi negara yang sudah pasti terdapat prinsip-prinsip yang berbeda, meski kemudian keduanya terintegrasi dalam tindak pidana korupsi: kerugian keuangan negara, sebagai salah satu kelompok dari tujuh kelompok tindak pidana korupsi sebagaimana telah diuraikan.
III. Penutup A. Kesimpulan Penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan merupakan suatu kejahatan, dimana penegakan hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal sebagai salah satu bagian dari keseluruhan kebijaksanaan penanggulangan kejahatan.
39
Philipius M. Hadjon, et al. 2011. Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi: Kisi-Kisi Hukum Administrasi Dalam Konteks Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. h.16. 40 Tatiek Sri Djatmiati, et al. 2011. Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi: PeIayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. h.49.
74
Hukum dan Masyarakat 2015
B. Saran Perlu adanya penegakan hukum pidana yang tegas terhadap setiap penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Peran penegak hukum harus dapat menjamin keseimbangan antara rasa keadilan, kegunaan atau kemanfaatan dan kepastian hukum, tidak boleh adanya tebang pilih terhadap pejabat yang telah melakukan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah.
Daftar Pustaka
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. Ade Maman Suherman, 2010, Pengadaan Barang dan Jasa Perspektif Kompetisi, Kebijakan Ekonomi dan Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Adhi Ardian Kustiadi dkk, 2006, Buku Penataan Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Publik, Jakarta. Adrian Sutedi, 2008, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai permasalahannya, Sinar Grafika, Jakarta. Agus Dwiyanto, 2006, Mewujudkan Good Gevernance Melalui Pelayanan Publik, UGM Press, Yogyakarta. Alifan Malik, 2010, Pengantar Bisnis Jasa Pelaksana Konstruksi, Andi, Yogyakarta. Amik Tri Istiani, 2014, Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. CV. Primaprin, Sleman Yogyakarta. Andi Hamzah. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Awaloedin Djamin, 2007, Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan: Dulu, Kini dan Esok. Bahsan Mustafa. 1990. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti. 75
Hukum dan Masyarakat 2015
Chairul Huda. 2005. Dasar-Dasar Teori dan Filsafat Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Bahan disampaikan pada Dies Natalis XVII dan Wisuda IX STHI Jakarta. Charles Tiefer, et.al., 1999, Government Contract Law, Carolina Academic Press, North Carolina, h. ix. Juga Michael T. Molan, 2003, Administrative Law, Old Bailey Press, London, h. 243 dan Bernard Rudden, 1989, “The Domain of Contract (English Report)”, dalam Contract Law Today (Anglo-French Comparisons), Donald Harris, et. al. (ed.), Clarendon Press, Oxford. ELSAM. 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. Position Paper Advokasi RUU KUHP 2005. Jakarta: ELSAM. Cet. Pertama. Henry Cambell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, 6th Ed., West Publishing Co., St. Paul Minn. Hugh Collins, 1999, Regulating Contracts, Oxford University Press, London. Komariah S. Sapardjadja dalam H. Abdul Latif. 2014. Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group. M.A. Sudjan, 2003, Law Relating to Government Contracts, Universal Law Publishing Co., Pvt., Ltd., Delhi. Philipus M. Hadjon, dkk., 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 172 (Philipus M. Hadjon I). H.M. Laica Marzuki, “Perjanjian Kebijaksanaan (Beleidovereenkomst)”, Yuridika. No. 2-3, Tahun VI, Maret-April-Mei-Juni 1991. Roeslan Saleh. 1979. Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru. _____________. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru. Sri Soemantri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung. Alumni. Tatiek Sri Djatmiati, et al. 2011. Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi: PeIayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. W. Riawan Tjandra. 2013. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Kompas Gramedia.
76
Hukum dan Masyarakat 2015
77